Minggu, 06 Desember 2015

Perfect Love

Prolog

Aku berada di kamar nomor 401. Ruangan ini tak begitu mewah, tapi kalau dibilang sewa kamarnya bisa bikin aku bangkrut kalau lama-lama di sini. Apalagi sangat susah kalau harus mengeluarkan uang cash setiap membayarnya. Ini semua aku lakukan gara-gara satu hal, menculik seorang cewek yang sekarang sedang tidur di hadapanku.

Kenapa aku harus lakukan ini? Semua persoalan ini sangatlah rumit. Engkau bisa bilang demikian kalau kau benar-benar benci ama seseorang. Namanya adalah Darmawan, seorang yang boleh dibilang licik, sangat licik. Dia yang bikin seluruh pekerjaanku hancur, yang membuat semua waktuku terbuang percuma. Yah, ini soal bisnis sih, tapi kalau menilik sejarah dia bersama ayahku boleh dibilang ilmu bisnis Pak Darmawan tak ada yang menandingi, selain licik ia juga cerdik. Emang sih, orang licik biasanya cerdik.

Tapi siapa sangka aku benar-benar jatuh cinta kepada cewek yang aku culik. Ya, dia adalah Vira. Vira Yuniarsih Darmawan. Sialnya juga kenapa aku bisa terjebak dalam roda-roda konspirasi ini?

Vira, aku masih teringat bagaimana tadi malam entah bagaimana setruman-setruman listrik di antara kami membuat kami kebablasan. Tapi kami bisa merasakan rasa kesukaan, cinta mungkin, atau apalah. Yang jelas. Aku tak akan menyesalinya. Tapi ada baiknya aku ceritakan semuanya dari awal.



BAB I

Eksekutif Muda

Namaku Arczre VZ, panggil saja Arci. Dari penampilan, aku ganteng. Jelaslah! Iri? Buat cerita sendiri sana kalau iri. Dan tentu saja aku ganteng, karena aku cowok, bukan cewek atau pun maho. Banyak cewek-cewek yang ngejar aku. Mau dihitung? Baiklah, sejak dari aku SMA aku dikejar-kejar cewek. Males aku ngejar cewek, capek! Kelas satu SMA aku sudah macari kakak kelas. Kelas dua SMA aku pacaran ama cewek teman sekelasku. Kelas tiga aku macari seorang mahasiswi. Dan ketiganya tidak aku putuskan tapi mereka mutusin sendiri.

Kenapa begitu? Karena mereka sangat cemburu. Yah, apes juga sih punya cewek posesif seperti mereka. Dan aku tak pernah berusaha mengejar mereka. Ya, sama sekali tidak. Akibatnya mereka menyesal mutusin aku, banyak yang kepengen kembali tapi aku tolak. Aku masih muda dan masih banyak yang suka. Cieh narsis. Sekali lagi ngiri? Bikin aja cerita sendiri!

Singkat cerita papaku adalah seorang yang serius berbisnis. Beliau rela menyekolahkanku tinggi hanya untuk agar suatu saat bisa menggantikannya sebagai seorang direktur. Direktur apaan? Lha wong papaku hanya seorang pemilik bisnis kuliner sebuah rumah makan waralaba yang disebut dengan "Kelopo Kuning". Ya, saking terkenalnya waralabanya ada di mana-mana. Hampir setiap kota pasti ada. Dan lucunya jurusan yang aku ambil di perkuliahanku sangat terbanting. Aku ngambil jurusan IT. Papaku marah, kenapa nggak ngambil jurusan bisnis? Tapi aku dengan enteng bilang, "It's my life dad"

Tapi lambat laun beliau pun mengerti bahwa inilah duniaku. Tentu saja, karena ketika kuliah aku sudah membuat banyak macam produk software, dari akuntansi, restoran, wharehouse, bahkan game berbasis mobile. Bahkan ketika lulus kuliah aku menjadi sebuah Konsultan Pemasaran dan Product Developer di sebuah perusahaan IT terkemuka di kota ini.

Apartemen mewah, mobil sedan (bukan sport), jas keren, sepatu keren. Apalagi yang kurang sih? Ah, bener. Cewek yang kurang. Gara-gara rasa sombongku, ternyata ada imbasnya. Sampai sekarang aku nggak laku. Papa sama mama di rumah sudah mewanti-wanti kapan aku punya gandengan. Usiaku sudah masuk 27 tahun dan belum ada satu pun cewek yang nempel. Tapi dengan kesendirian, tinggal di apartemen akhirnya hidupku pun terusik. Terusik karena hampir tiap hari cuma aku sendirian berada di apartemen yang sepi ini. Emang sih pasangan hidup itu ternyata penting, biar ada yang ngingetin kalau lupa sesuatu. Biar ada yang bantu ngerapiin tempat tidur. Jieh, lama-lama aku mellow beneran nih.

Aku jadi sedikit menyesal karena berperilaku jual mahal dengan mantan-mantanku dulu. Dan sekarang aku mencoba mendekati mereka lagi satu per satu. Pertama mantanku ketika aku masih SMA. Namanya Lusi. Ceweknya cakeplah, tapi ketika aku melihat Facebooknya, hadeh....dia udah punya cowok. Ah, coba yang satunya. Namanya Desi, mantan keduaku. Dasar sial, dia menikah hari ini. Aku nggak diundang? Ah bodo amat. Coba mantan ketiga, mahasiswi dulu itu. Namanya Erina. Eh, dia kayaknya masih jomblo. Baru diputus pacarnya. Iseng, aku pun menyapanya lewat Chat.



Me: Hi!

Erina: Siapa nih?

Me: Ini aku, Arci.

Erina: Arci? Tumben lo nyapa gue. Ada urusan apa?

Me: Tanya kabar aja.

Erina: Kenapa tanya kabar? Puas lo? Lihat gue barusan putus ama pacar gue?

Me: Lho, bukan begitu.

Erina: Trus? Mau apa?

Me: Yah, mau tanya sih. Mau jalan lagi ama aku?

Erina: Jalan ama lo? Lo nggak tahu ya? Lo itu udah nyakitin hati gue dulu. Gue mati-matian minta maaf tapi lo cuek bebek. Iya gue akui gue dulu salah karena posesif. Tapi lo udah nyakiti hati gue karena semudah itu lo deket lagi ama cewek lain. Brengsek!

Me: Lho? Kan wajar aku kan single.

Erina: Dasar nggak sensitif. Udah ah, gue nggak mau ngomong ama lo lagi. Titik!

Eh? Dia tiba-tiba log off. Aku coba lihat profilenya lagi. Eh, aku diblock. Arrghh! Segitu dendamnya kah dia. Yah, aku nggak heran sih. Aku juga nyakiti dia dulu. Halaah...salahku juga sih. Seharusnya aku lebih peka terhadap cewek. Tapi kayaknya sulit sekali. Papa dan Mama di rumah sudah mewanti-wanti, pasti kalau berkunjung ke tempat mereka bakal ditanyai lagi, "Sudah ada calon mantu?"

Akhirnya aku pun nyerah. Kali ini pakai metode pasrah dan berdoa. Moga tuhan ngasih jodoh disaat yang tepat. Toh yang namanya jodoh sudah ada yang ngatur. Masa' sih dari semilyar orang yang menghuni planet bernama bumi ini tak ada satupun yang nyantol kepadaku? Positive thinking aja, papa ama mama ya emang harus sabar. Gimana lagi coba?

Bicara soal proyek. Hari ini aku ada proyek besar. Saking besarnya Bos sebuah perusahaan IT terkemuka di negara ini sampai diundang. Dia juga yang menanamkan saham di perusahaan tempatku bekerja. Dia bernama Arthur Darmawan. Dia terkenal dengan tangan besinya memimpin perusahaannya dari yang terpuruk hingga sekarang menjadi besar bahkan sekarang dia makin besar dengan Darmawan Group miliknya.

Proyek yang akan kita bangun ini merupakan proyek untuk membuat sebuah situs dating. Yah, konsepnya sudah matang. Kami memang tidak mau muluk-muluk paling tidak situs dating ini nanti bisa mendatangkan banyak revenue. Sebagai seorang konsultan pemasaran dan Project Developer maka otomatis akulah yang akan membawahi seluruh operasi proyek ini.

Kemeja putih, jas hitam, berdasi dan laptop...eh, bukan. MacBook Air di tangan. Apa yang kurang coba dengan tampilan semacam ini? Setiap masuk kantor sudah pasti cewek-cewek bakal ngelirik ke arahku. Maklum orang ganteng. Tapi kenapa juga nggak ada yang nyantol. Ah, mungkin karena aku nggak agresif. Mungkin karena aku terlalu cuek. Bisa jadi sih. Tapi sekalipun aku secuek gitu, tentunya ada dong yang mau aku aja sekedar makan siang gitu.

Contohnya adalah Rina. Dia adalah seorang Manajer Customer Relationship. Aku ajak dia makan siang dan dia selalu menolak. Alasannya adalah "Maaf, udah kenyang", "Maaf lagi diet", "Maaf sedang nggak nafsu" dan seterusnya. Aku tahu dia itu single, jomblo, usianya mau nyentuh tiga puluhan, tapi yah seperti itu tanggapannya. Tapi aku jadi heran, jangan-jangan beredar gosip di kantor kalau aku ini orang yang maho sehingga cewek-cewek nggak mau deket denganku, atau jangan-jangan aku diisukan sebagai penjahat kelamin. Nah, kalau sudah begitu parah kan?

Baiklah, aku singkirkan dulu masalah pribadi. Sekarang ini yang jadi permasalahan adalah masalah bisnis.

Bosku bernama, Danny Purnomo. Seorang yang boleh dibilang serius di dalam pekerjaannya. Dia adalah General Manajer. Sebagai seorang General Manajer ia pasti sering bertanya kepada manajer-manajer seperti aku dan yang lainnya tentang masalah pekerjaan mereka tiap minggu. Apa langkah berikutnya? Apakah ada ide? Dan setiap minggu aku selalu punya ide yang bikin Bosku ini jadi merasa kalau perusahaan ini sebenarnya di dalam kendaliku.

Dia berkata, "Arci, lo ini orangnya kebanyakan ide, hampir seluruh langkah perusahaan ini jalan karena keinginan lo."

Dan karena itulah usut punya usut aku bakal diangkat jadi GM bulan depan. Tapi itu juga harus menunggu keputusan direksi.

Setelah aku keluar dari ruanganku dan menuju ke ruang rapat, rapat hari ini pun dimulai. Dan di ujung meja aku melihat CEO perusahaanku namanya Romi Wijaya. Orangnya besar, berkumis dan suaranya penuh wibawa. Siapa sangka hari ini ada orang asing yang aku baru kenal.

"Hari ini kita kedatangan tamu klien besar kita namanya Arthur Darmawan," kata Pak Romi. Aku menoleh ke arah orang asing itu. Dia kemungkinan berusia sekitar lima puluhan. Rambutnya memutih bagian samping kiri dan kanan kepalanya. Kalau boleh dibilang model rambut ini seperti Koes Hendratmo, bintang kawakan tahun lawas di jaman retro dulu.

"Selamat pagi semuanya," sapa Arthur Darmawan.

Dari tatapan matanya aku yakin Arthur ini orang yang lebih berwibawa dari Pak Romi. Nada bicaranya juga berat dan luwes, sepertinya ia sudah lama memimpin orang. Badannya besar tapi tidak gemuk. Kalau dilihat orang ini sepertinya menghabiskan banyak waktu di gym.

"Hari ini rapat akan membahas tentang Produk terbaru tentang situs dating. Pak Arci, silakan presentasi!" perintah Pak Romi.

Aku pun segera ke layar imager dan mempresentasikan konsep situs dating yang menjadi ideku. Setelah presentasi tampak semuanya puas dengan hasil presentasiku, kecuali satu orang. Satu orang yang sangat aku benci.

"Pak Arci, rasanya ide ini buruk," kata Arthur.

Semua orang menoleh ke arahnya. Ya, aku juga.

"Terlalu prematur, sekarang ini bukankah situs sosial media juga bisa berperan sebagai situs dating seperti itu bahkan bisa lebih luas dan tidak terbatas. Kenapa kita tidak fokuskan saja untuk membuat produk yang lebih dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan daripada membuat situs ini, toh situs ini juga sudah banyak yang punya fitur yang sama?" kata Arthur.

"Tapi, kita punya keunggulan yaitu kevalidan data untuk setiap orang yang mendaftar ke situs ini dan ini juga....," kata-kataku terpotong.

"Pak Arci, apakah anda bisa menebak orang yang berada di internet? Bahkan seandainya anjing saya chatting dengan Anda mungkin Anda juga tak akan tahu," kata Arthur. "Pak Romi, saya lebih suka kalau kita bicarakan lagi tentang sebuah software yang berkesinambungan yang bisa dimanfaatkan oleh banyak orang. Saya akan senang sekali dan perusahaan kita bisa lebih luwes lagi dalam bekerja sama dengan berbagai pihak nantinya."

Arrghh! Brengsek. Kenapa orang ini seolah-olah ia berkuasa. Memang benar ia orang yang paling banyak menanamkan saham di perusahaan ini tapi bukan berarti langsung mematikan ideku begitu saja.

Akhirnya hari itu aku hanya jadi kambing cowek yang tidak bisa berbuat banyak. Mematung seperti cacing yang dimasukkan ke freezer. Bahkan ketika makan siang hari itu aku makan lebih banyak seperti biasanya. Pesan dua mangkuk pangsit, dua mangkuk bakso dan sebotol air mineral. Setelah habis makan sebanyak itu aku bilang "BRENGSEK!" Hampir seluruh orang di kantin kaget dengan teriakanku. Ya, kebiasaanku kalau sedang stress adalah makan yang banyak. Lucu ya? Hehehe.

Akhirnya pekerjaanku hari itu sia-sia belaka. Aku pulang ke rumah dengan lesu. Setelah mandi, gosok gigi, aku pun beranjak ke atas ranjang. Tapi aku urungkan niatku. Aku lebih memilih duduk di sofa dan kusetel MP3 Player dengan sound system yang kencang. Sebuah lantunan melodi Bethoven mengalun. Ahh...akhirnya aku pun mencoba untuk rileks sampai ada suara ponsel yang menggangguku.

Kumatikan MP3 Player dan segera aku terima telepon itu. Dari Doni.

"Yap? Apa Don?" tanyaku.

"Bro, aku denger tadi presentasimu kandas ya?" sapanya.

"Iya, brengsek itu Arthur. Apa nggak tahu kalau aku mengkonsep itu sudah lama," jawabku.

"Iya, aku tahu. Kamu di rumah sekarang? Boleh mampir?" tanyanya.

"Kenapa?"

"Biasalah bro, masalah cewek."

"Asem, jangan-jangan para cewek nggak mau deketin aku gara-gara kamu deketin aku"

"Hahahahaha. Nggak lah. Beneran nih, sekalian curhatlah. Kamu tahu sendiri orang macam aku ini hanya punya sohib satu-satunya ya kamu ini," katanya.

"Ya udah deh, ke sini aja. Oh ya, sekalian. Aku lagi laper. Bawa makanan sekalian!"

"Eanjrit, mau meres ceritanya?"

"Biaya konsultasi bro"

"Hahahahaha, kepret. Oke, ntar aku mampir ke Pizza Hut dulu," Doni lalu menutup teleponnya.

Aku menghidupkan tv dan memindah-mindah channel. Nggak ada yang menarik. Paling nggak aku menghabiskan waktu sejenak sampai Doni datang. Ya, dia datang dengan membawa sekotak Pizza. Doni ini sohibku dari semenjak aku masuk ke kantor. Kami sama-sama masuk tapi nasibku lebih mujur karena setahun semenjak aku masuk banyak yang suka dengan pekerjaanku. Aku sering nraktir dia karena yah, tahu sendiri posisiku lebih tinggi dari dia. Tapi kita tetap jadi sohib sampai sekarang.

"Nih, boss. Pizza-nya," kata Doni sambil meletakkan Pizza ke meja.

"Wah, thanks yah," kataku. Aku segera membuka kardus Pizza itu dan langsung mengambil sepotong. Kulumeri pizza itu dengan saus sambal lalu aku kunyah. Melihatku makan, ia juga ikut makan. "Cerita deh cerita!"

"Jadi gini sob," katanya. "Aku barusan putus ama Yuyun!"

"Kenapa?"

"Ada orang ketiga"

"Masa'? Yuyun kayaknya anaknya baek gitu, cinta mati ama kamu"

"Bukan, dia emang baik. Akunya yang nggak. Aku suka ama cewek lain"

"Uhukk..uhuk!" aku terbatuk-batuk karena kaget. "Wah, wah, wah, bro yang bener? Kamu kesambet cewek mana?"

"Inilah masalahnya," katanya.

"Masalahnya apa?"

"Aku suka ama anaknya Pak Arthur," katanya. Oke, kata-katanya bikin aku terkejut.

"Dari mana kamu tahu?"

"Aku tahu karena hari ini Pak Arthur datang ke kantor. Rasanya familiar banget itu wajah, eh akhirnya aku tahu. Dia itu iya dia! Dia bapaknya!"

"Sebentar, jadi kamu selingkuh ama cewek lain. Trus kalian putus gara-gara kamu?"

Doni mengangguk.

"Siapa sih cewek ini koq sampai bikin kamu kesambet?"

"Namanya...Vira Yuniarsih Darmawan"

Aku mengerutkan dahi. "Vira?"

"Iya, itu namanya. Nih fotonya!" Doni memperlihatkan fotonya kepadaku. Ya, Vira. Anaknya cakep. Rambutnya lurus, berkacamata, bibirnya tipis, senyumnya manis.

"Beneran ini?"

"Iya"

"Sialan, tampang kamu biasa tapi laku juga yah," ledekku.

"Kampret lu!" Doni menghabiskan pizza di tangannya dan bersandar di sofa.

"Trus?"

"Aku masih nggak enak ama Yuyun, perasaanku kacau sekarang ini," katanya.

"Seberapa jauh sih kamu deket ama si Vira ini?"

"Baru bulan kemarin jadian. Awalnya cuma iseng, tapi yah...akhirnya kebablasan. Saat aku kencan ama Vira, eh ketahuan ama Yuyun. Dia nangis, aku berusaha menenangkan dia tapi yah tahu sendiri cewek. Susah men."

"Lah, kalo kamu emang suka ama Vira, kenapa kamu masih mikirin Yuyun?"

"Kan selama ini dia baik ama aku, ya gimana sih bro? Nggak tega aja. Sebenarnya juga aku mau putus baik-baik ama Yuyun, tapi koq ya sampai seperti ini"

Aku mulai mencerna kebodohan sohibku ini. Dia udah punya cewek yang cakep, sintal, setia seperti Yuyun, eh malah dia selingkuh. Brengseknya adalah aku yang belum dapat cewek ini malah dianggap tempat yang cocok untuk konsultasi.

"Trus, sekarang apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku.

"Kamu bisa nenangin Yuyun nggak? Terus terang aku nggak bisa. Aku kepengen minta maaf tapi dia pasti bakal marah total ama aku. Aku mutusin Vira juga ya bakal dibabat aku ama bokapnya, tahu sendiri kan? Arthur Darmawan. Bisa-bisa aku besok dipecat kalau sampai mutusin anaknya begitu saja."

"Apes banget sih nasibmu," aku mengela nafas.

"Sorry bro, sorry!" katanya sambil menyatukan telapak tangannya. "Kamu cek Yuyun yah, tenangin do'i. Sampaikan maafku atau apalah."

"Yah, kenapa juga harus aku, cemen lo," hinaku kepada Doni. "Itu persoalan kamu sendiri yang mulai koq aku yang ikut-ikutan?"

"Ayolah Sob, pliiiisss...aku masih sayang ama Yuyun, aku nggak tega lihat dia nangis. Tapi aku juga nggak bisa mutusin Vira! Sadarlah sob posisiku," kata Doni mengiba.

Aku diam sambil menghela nafas. Kuambil sepotong pizza lagi dan kukunyah hingga habis. Suasana hening sejenak. Akhirnya aku pun bilang, "Oke deh, ntar aku sampaikan ke Yuyun. Brengsek kamu. Makanya jangan selingkuh!"

"Sorry deh bro, sorry banget," katanya.

Akhirnya ya sudah deh, apa boleh buat. Besok aku akan menemui Yuyun.




BAB II

Nyaris


Besoknya aku melihat Yuyun. Dia adalah karyawati front officer. Yuyun ini boleh dibilang anaknya baik, cakep, pinter dan lugu. Bego banget kalau Doni sampai nyelingkuhin dia. Dia waktu itu ada di ruang fotocopy. Tatapannya kosong. Dia terus memencet tombol berwarna hijau untuk mengcopy kertas. Tampak matanya sembab. Aku menghampirinya.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Nggak apa-apa," jawabnya.

"Itu mau dicopy sampai berapa?" tanyaku ketika melihat kertas fotocopy mulai habis.

"Eh? Aduh!" Yuyun segera menghentikannya. Dia lalu nangis, "Huuaaaaa.....!"

Melihat cewek jongkok sambil nangis membuatku tersentuh juga.

"Kamu pulang aja deh Yun, kerjaanmu nggak beres gini," kataku.

"Hikss...maaf mas Arci, ini semua gara-gara Doni brengsek itu," katanya.

"Iya, aku tahu"

"Koq seenaknya dia mutusin aku, gara-gara si cewek brengsek itu...hikss...hikss"

"Udahlah! Hei, ntar ketahuan bos berabe lho!" kataku.

"Biarin, biar! Dipecat juga nggak masalah...hiks..."

Dasar wanita. Kalau sudah nangis ya seperti ini ternyata. Aku lalu mengulurkan tanganku, "Udah deh, yuk aku traktir makan di kantin. Udah sarapan belum?"

Dia menggeleng.

Akhirnya aku pun mentraktir dia sarapan pagi itu. Dia makan banyak banget. Mungkin tipikalnya sama seperti aku, kalau sedang stress pasti akan makan sebanyak-banyaknya. Melihat dia makan semangkok bubur untuk ketiga kalinya aku lalu bilang, "Habis ini udah, perutmu bisa meledak nanti"

"Biarin, toh Mas Doni udah nggak perhatian lagi ama aku. Mau gendut kek, mau perut meledak kek aku nggak peduli, hap...nyam...," katanya sambil mengunyah bubur ayam.

Aku hanya bisa menghela nafas. "Ya udah, habis ini kamu bisa kerja nggak? Kalau nggak bisa kerja, ijin pulang saja!"

Dia lalu menatap ke arahku, "Ada apa mas? Apakah Doni mau minta maaf? Pake perantara mas?"

Aku mengangguk.

"HUuaaaaaa...," dia nangis lagi. Habis itu ia pesen bubur ayam lagi. Ini adalah mangkuk keempat yang ia pesan. Dasar wanita.

Hari itu aku memaksa Yuyun untuk pulang ke rumah. Kasihan juga dia. Dan dengan terpaksa juga aku harus nganter dia pulang. Gila apa anak cewek nangis sesenggukan gitu disuruh pulang sendirian. Terpaksa aku ijin sebentar untuk keluar ngenter Yuyun pulang. Aku tentu saja sudah kenal baik dengan dia, karena Doni dan Yuyun sudah bersama sejak aku masuk kantor ini pertama kali. Mereka jadian pun aku tahu. Bahkan kemesraan keduanya bikin aku ngiri. Iyalah, kemana-mana mereka selalu bersama. Aneh aja ketika tiba-tiba dia selingkuh trus end gitu aja.

Di jalan Yuyun lebih banyak nangis. Dia benar-benar total nggak bisa kerja hari ini. Daripada nanti menghabiskan kertas fotocopy. Entah berapa banyak tissue yang ia habiskan di dalam mobilku hanya untuk menyeka air matanya. Kurang lebih selama setengah jam aku berkendara hingga sampai di rumahnya. Rupanya Yuyun ini ngontrak. Rumah kontrakannya cukup lumayanlah, halamannya cukup masuk satu mobil.

"Udah sampai nih," kataku.

"Huaaaa....," nangis lagi nih cewek. Lama-lama gua sumpal itu mulut.

"Woi udah woi! Situ mau turun apa nggak?" tanyaku.

Akhirnya setelah aku bujuk, dia mau turun.

"Udah ya, aku balik," kataku.

"Arci bego!" katanya.

"Hah? Bego kenapa?"

"Kalau ada cewek lagi sedih seperti aku ya ditemeni sebentar kek sampe sedihnya lewat, malah langsung ditinggal"

"Lho, aku juga ada kerjaan ini"

"Hikss...dasar kalian berdua sama-sama bego, pantes kamu nggak dapat pacar sampai sekarang," ejeknya sambil sesenggukan.

Ahh...brengsek, oke dah. "Iya iya, aku temeni. Bawel!"

Aku pun masuk juga ke kontrakan Yuyun. Surprise dia tinggal sendirian di rumah kontrakan kecil ini.

"Ini rumah kontrakanmu?" tanyaku.

"Sebenarnya ini rumah bibiku, karena orangnya sedang jadi TKI akhirnya aku tinggal di sini," jawabnya.

"Oh, begitu. TKI kemana?"

"Ke China"

Rumahnya cukup rapi, ruang tamunya juga nyaman. Bisa dibilang ini adalah ruang tamu ternyaman yang pernah ku ketahui. Di pintunya tampak ada sebuah lubang kecil yang pintunya bisa terbuka. Tampak seekor kucing masuk ke dalam rumah dari pintu itu.

"Heeii....Uciiill...kamu kemana aja? Ngehamilin kucing tetangga lagi ya? Sekarang anakmu berapa sih?" tampak Yuyun menggaruk-garuk leher kucing itu. Yuyun menoleh ke arahku, "Duduk dulu deh, mau minum apa?"

"Nggak usah deh. Ntar jadi asin lagi airnya gara-gara kamu nangis terus," jawabku.

Tiba-tiba Yuyun langsung memelukku.

"Lho, lho, lho, Yun??"

"Sebentar Ci, jangan tinggalin aku, sebentaaar aja," katanya sambil membenamkan wajahnya ke dadaku. Nggak woi, nggak begini jadinya.

"Yun udah deh, Doni itu sohibku aku nggak bisa melakukan ini. Nanti ia salah sangka," kataku.

"Udahlah, dia udah mutusin aku. Kamu lagi sendiri juga kan? Nggak apa-apa kan orang sama-sama sendirinya koq"

Ini sudah bakal aku duga. Menghibur cewek sedih karena diputus, nganter pulang ke rumahnya. Eh, di rumahnya dia sendiran. Bener kata orang, iman itu bisa kuat tapi nggak tahu si amin. Akhirnya di kepalaku ada dua makhluk, satu setan satu malaikat. Yang setan bilang, "Sikat aja bos, dia sendirian, lagi butuh belaian. Toh dia udah diputus Doni. Sikaaaat!" Nah, yang satunya malaikat bilang, "Jangan bos, memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan itu nggak baik. Apalagi dia teman, masa' teman makan teman? Eling, kamu masih kerja hari ini!"

Siapa yang menang?

Aku dorong tubuh Yuyun, "Sorry Yun, ya aku tahu kamu sendirian sekarang, tapi nggak gini caranya. Aku masih nggak enak ama Doni."

Yuyun melepaskan pelukannya. Ia menghela nafas. "Ya udah deh," katanya. "Pergi sana!"

"Sorry, aku pergi sekarang," kataku.

Aku segera berbalik dan pergi meninggalkan Yuyun sendirian di kontrakannya. Kalian kecewa ya? Nggak bakalan ada SS gara-gara aku cuma sendirian bersama Yuyun padahal keadaan sudah memungkinkan, apalagi tadi sempat merasakan perasaan kenyal-kenyal gimana gitu? Hahahhaha, tapi aku gentleman. Nggak mungkin makan temen. Masih panjang jalannya.

Aku pun kembali ke kantor pagi itu.

Sesampainya di kantor aku rada aneh juga melihat Doni di mejanya. Dia juga tampak sedih. Dia melototin layar monitor dengan tatapan kosong. Tangan kanannya mengklik mouse tanpa ia perhatikan apa yang diklik. Mereka berdua ini kenapa sih? Aku pun menepuk pundaknya.

"Kenapa?" tanyaku.

Ia kaget. "Eh, Ci! Sorry"

"Ngelamunin Yuyun? Brengsek lu, bikin anak cewek nangis sampai ngabisin bubur empat mangkok," kataku.

"Serius?" tanyanya.

"Dua rius!"

"Ya udah deh, syukurlah kalau begitu"

"Heh? Syukurlah? Syukurlah kepala lu peak, ntar kalau dia bunuh diri di rumahnya gimana?"

"Nggaklah, kalau dia udah makan banyak biasanya ia udah mendingan, makasih ya. Moga ia memaafkanku kali ini"

"Ck ck..sob sob, udah deh. Aku mau kerja lagi," kataku.

Aku balik lagi ke mejaku setelah menemui Doni tadi. Brengseklah ngapain juga aku ngurusin dua orang nggak jelas itu. Mana hari ini aku harus mempersiapkan presentasi project yang diajuin oleh Arthur Darmawan. Konsep dan projectnya diubah seenak perutnya itu orang. Brengsek bener.

Aku butuh waktu sampai tiga jam. Meeting dilakukan setelah makan siang dan pastinya orang-orang sedang vit semuanya. Maklumlah perutnya udah kenyang setelah makan siang. Aku sudah persiapkan dari presentasi produk yang dulu pernah kami buat. Barangkali nanti akan ada perkembangan lebih lanjut. Akhirnya setelah sibuk bikin presentasi tak terasa sudah jam makan siang. Aku segera ke kantin.

Di kantin aku nggak pesen yang muluk-muluk buat makan siang. Melihat nasi rawon aku jadi ngiler akhirnya aku pesen juga itu nasi rawon plus teh dingin. Saat enak-enak makan aku lalu melihat seorang cewek rambutnya panjang, lurus, ia memakai kacamata dengan bingkai warna hitam. Sesaat ia menoleh ke arahku. Pegawai baru? Bukan. Aku lihat tasnya, GUCCI wogh. Bajunya juga bukan baju orang kantoran. Sebentar aku koq sepertinya kenal. Kapan ya pernah ketemu??

Ingatanku pun melayang. Oh iya, dia cewek yang ditunjukin fotonya ama Doni kemarin. Vira Yuniarsih. Ngapain dia di sini?

Dia tampak duduk sendirian sambil membawa nampan yang isinya burger dan segelas minuman bersoda. Nggak salah lagi, ini cewek yang ditunjukan oleh Doni kemarin. Dan tak lama kemudian aku melihat seorang yang tak asing lagi, siapa lagi kalau bukan Doni?? Dia langsung menghampiri Vira. Mereka langsung terlibat percakapan yang serius. Entah apa. Tapi melihat gelagatnya koq mereka jauh dari yang namanya pacaran yah?

Setelah beberapa saat bicara sambil menghabiskan burgernya, Vira kemudian pergi dan meninggalkan Doni. Sohibku itu tampak murung. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?

Aku tak ingin mengganggunya dulu, segera aku pergi ke ruang meeting karena aku pasti ditunggu oleh yang lain.

Ya, aku pergi ke ruang meeting. Di sana tiba-tiba Pak Romi keluar ruangan bersama Arthur Darmawan. Terus terang aku ingin membuat orang-orang ini terkesan dengan presentasi yang akan aku gelar sebentar lagi. Tapi melihat wajah Pak Romi rasanya hal itu tidak mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Pak, meetingnya?" tanyaku.

"Maaf Arci, meetingnya tidak jadi," jawab Pak Romi. Yang lainnya juga keluar ruangan.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.

"Pak Arthur tidak jadi membuat proyek ini, ia lebih tertarik ke yang lain," jawab Pak Romi.

"Tapi pak, nggak bisa gitu dong. Kan kemarin kita sudah sepakat," kataku.

"Maaf Arci, lain kali saja," kata Arthur. Wajah tuanya itu membuatku tak bisa membantah perkataannya.

Apa yang sebenarnya diinginkan orang tua ini? Kemarin dia menolak proyek situs datingku, sekarang ketika kita sudah sepakat untuk proyek lainnya malah ia batalkan. What the hell he want?

Aku pun kembali ke ruanganku. Hampir saja aku banting laptopku kalau aku tidak berpikir dua kali. Kemudian aku kembali browsing-browsing. Seharian itu aku bete berat dan stress. Total hari itu aku cuma main-main kerjaannya dan sibuk buka-buka situs 64.237.43.94.

Sorenya aku pulang dari kantor. Kulihat Doni menyapaku ketika naik sepeda motornya, "Ci, sorry ya dan terima kasih"

"Halah, tenang aja sob. It's OK," kataku. Padahal nyaris saja itu si Yuyun aku garap.

Kemudian aku setir mobilku dengan tenang menuju apartemenku. Mau pulang tapi aku teringat kalau di rumah nggak ada makanan. Ah, iya. Sebaiknya aku belanja dulu. Aku pun mampir di swalayan untuk berbelanja kebutuhanku selama seminggu. Belanja sayuran mulai dari lobak, kubis, daging, telur, saus, sambal, makanan kaleng, camilan dan minuman bersoda. Setelah itu aku pun mulai mengantri di kasir.

Tampak seorang cewek sedang sibuk mencari-cari sesuatu. Ah, aku tahu dia. Dia kan Vira. Karena aku ada di belakangnya aku menyapanya.

"Cari apa?" tanyaku.

Dia menoleh ke arahku. "Lupa bawa dompet," jawabnya.

Aku melihat ke arah mbak-mbak kasir yang menampakkan wajah nggak suka, aku lalu menyerahkan kartu kreditku ke kasir. "Dijadiin satu aja mbak pembayarannya."

"Lho, koq?"

"Udah, daripada kita ngantri di sini kasihan yang lain," kataku.

Akhirnya belanjaannya pun aku yang bayarin. Aku lihat dia belanja air mineral, kacamata, obat dan beberapa camilan.

"Makasih ya," katanya setelah kami melewati bagian kasir tadi. Ia tersenyum kepadaku. "Aku..."

"Vira Yuniarsih, anaknya Arthur Darmawan," kataku. "Kenalkan aku Arczre, panggil saja Arci"

"Eh?"

"Terkejut aku bisa tahu?" tanyaku.

"Oh itu, i..iya."

"Doni Hermansyah itu temanku, sohibku. Aku lihat tadi kamu di kantin. Ada masalah apa sebenarnya?"

"Itu...bukan apa-apa, nggak ada apa-apa"

"Kalian jalan bareng?" tanyaku.

"Bisa dibilang begitu," jawabnya dengan suara datar. "Sebenarnya aku tadi berpisah ama dia, nggak mau dekat ama dia lagi soalnya tahu sendirilah dia ternyata udah punya cewek gitu"

"Sungguh?" tanyaku.

"Terserah deh, mau percaya apa nggak"

Dia berjalan keluar swalayan dan berdiri di pinggir trotoar.

"Mau kemana?" tanyaku.

"Mau nyari hotel," jawabnya.

"Udahlah nggak usah bego atau pura-pura bego," kataku sambil membuka pintu mobilku.

"Maksudnya?"

"Kamu nggak bawa dompet, mau bayar pake apa? Aku anter aja!"

Ia garuk-garuk kepala, "I..iya juga sih"

Andai saja aku malam itu nggak nyuruh dia masuk mobilku, mungkin semuanya tak akan terjadi. Apalagi sok tahu tentang namanya. Semuanya tak akan terjadi seperti ini. Malam itu pun aku mengantarnya.

"Alamatmu di mana?" tanyaku.

"Di Menteng," jawabnya.

"Gila, tajir bener ya bokapmu? Sampai tinggal di Menteng segala?"

"Tapi jangan pulang yah"

"Maksudnya?"

"Kalau boleh sih, kalau boleh aku ingin tinggal sebentar di rumahmu"

Aku langsung meminggirkan mobilku dan berhenti. "Maksudnya?"

Dia menoleh ke arahku, "Ayolah, aku seorang cewek, nggak bawa dompet, nggak bawa ponsel kemaleman. Lagipula sebenarnya...."

"Sebenarnya?" sambungku.

"Aku kabur dari rumah"

"Oh...perfect. Jadi maksudnya aku sekarang membantu seorang anak cewek kelayapan kabur dari rumah?"

"Pliiiss, bantu aku dong. Semalem aja deh habis itu anterin aku ke rumah bibiku," kata Vira mengiba. Ada raut wajah yang membuatku nggak bisa berbuat banyak selain menurutinya.

"Oke, cuma semalam. Setelah itu kamu cabut!"

Vira mengangguk-angguk. Akhirnya aku dengan sangat terpaksa mengajak dia ke apartemenku.


**** Perfect Love ****



Begitu masuk apartemenku dia cukup takjub. Tubuhnya berputar-putar seperti penari balet yang baru saja masuk panggung. Aku melepaskan sepatuku dan kutaruh di rak sepatu. Dia melihatku melakukannya.

"Eh, lantainya nggak boleh ada sepatu ya? Maaf," ia buru-buru melepaskan sepatunya dan menaruhnya di rak. Aku segera masuk ke kamarku. Vira langsung duduk di sofa.

Barang belanjaan aku taruh di kulkas, setelah itu aku segera ganti baju. Kulepas kemejaku dan ganti dengan singlet serta training. Begitu aku keluar kamar kulihat Vira sudah memasang headphone di telinganya. Dia sedang asyik mendengarkan sesuatu dari MP3 Playerku. Aku hanya geleng-geleng saja menyaksikannya. Kuambil handuk yang ada di dekat centelan kamar mandi, lalu aku membersihkan diriku.

Hari ini rasanya melelahkan sekali. Setelah mandi aku kembali ke ruang tengah. Aku sudah melihatnya menonton HBO.

"Lapar?" tanyaku.

"Iya, kamu ada makanan?" tanyanya.

"Kalau mau masak aja sendiri"

Dia cemberut.

"Kamu bisa masak?" tanyaku.

Dia menggeleng.

"Halah. Dasar anak mama. Ada mie instan kalau mau," kataku.

"Kamu mau bikin aku gemuk?"

"Terserah"

"Iya, iya, aku masak mie instan aja deh. Bawel!" Vira segera pergi ke dapur. Entah ia ngapain aja di dapur, pokoknya ribut.

Aku biarkan dia sibuk di dapur, aku sibuk nonton tv sambil nikmati softdrink yang aku beli tadi. Tak berapa lama kemudian dia sudah datang lagi dengan membawa sepiring mie instan goreng. Tampak dia makan dengan lahap, seolah-olah tak pernah memakan makanan seenak itu.

Melihat ia makan aku jadi tertarik buat makan jua. Akhirnya aku pergi ke dapur memasak. Di dapur masih ada nasi di magic jar. Jadi, aku ambil sayuran yang aku beli tadi, kupotong-potong, kutumis-tumis dan jadi deh. Kuambil nasi dan kutaruh sayurnya di piring. Melihat aku datang dengan membawa masakanku Vira tampak menelan ludahnya.

"Kamu bisa masak?" tanyanya.

"Kenapa? Aneh cowok bisa masak?" tanyaku ketus.

Dia mengangguk pelan. Aku cuek dan mulai makan. Melihatku makan dengan lahap, Vira tampaknya kepingin. Dia melihatku terus.

"Cowok setampan lo, ngurus rumah sendirian, kerja, bener-bener keren yah," gumamnya.

"Ha? Apa kau bilang tadi?" tanyaku yang nggak begitu jelas dia ngomong apa tadi.

"Oh, nggak apa-apa. Aku cuma heran aja, kamu koq masih sendiran aja sampai sekarang"

"Mau gimana lagi, blom ada yang cocok mungkin," kataku sambil terus memasukkan makanan ke mulutku. Aku melirik ke arahnya. Dia lagi-lagi menelan ludah. Aku jadi kasihan melihat dia. "Ya udah sana, ambil di dapur masih banyak!"

Ia tersenyum lalu berjingkat meninggalkanku. Akhirnya kami berdua pun makan malam bersama. Baru kali ini aku punya teman di apartemenku. Cewek lagi.

Setelah makan malam selesai aku masih bersantai sambil menikmati minumanku yang tinggal sedikit. Saat itulah dia celingukan. Melihat kanan dan kiri. Aku jadi risih sendiri, apa sih maunya?

"Kenapa?" tanyaku.

"Kira-kira aku nanti tidur di mana ya?" tanyanya.

"Di tempatmu duduk itu," jawabku.

"Apa? Di sini?"

"Iya, masalah?"

"Plis deh ya, aku seumur hidup tak pernah tidur di sofa!"

"Yah, semuanya ada untuk yang pertama," kataku.

"Tidak, aku ingin tidur di atas kasur. Kamu harus sediain!"

"Hei anak mama, kamu tinggal di apartemenku, jadi kamu harus ikut apa yang aku perintah, jadi terima saja!" kataku. Aku lalu beranjak menuju kamarku. Kuambil bantal dan selimut untuknya aku kemudian meletakkannya di sofa. "Ini, selamat tidur!"

"Hei, aku nggak mau!" katanya masih bersikeras.

"Kalau kamu mau tidur di kamar, maka kamu harus tidur seranjang denganku. Mau?"

Dia terkejut. Dia baru sadar sekarang. Hahahaha, enak saja. Dia tersipu malu. Melihatnya tersipu-sipu itu membuatku makin gemas aja.

"I...iya deh," katanya.

Akhirnya malam itu ia mau tidur di sofa.



BAB III

Rencana Setengah Jahat

Aku terbangun waktu subuh. Walaupun aku tinggal sendiri, aku nggak lupa ibadah. Aku selalu ingat pesan papa dan mama jangan lupa buat ibadah. Sebagai seorang eksekutif muda, aku ini nggak pernah nyentuh alkohol ataupun methanol apalagi nenggak. Aku juga nggak pernah merokok, tapi soal minum kopi aku paling demen. Di rak dapurku ada banyak jenis kopi. Mulai dari kopi aceh, kopi arabika sampai kopi putih.

Ketika aku keluar kamar aku melihat Vira tertidur pulas. Bisa tidur juga dia. Aku dekati dia dan kulihat dari dekat. Aneh aja rasanya, di kamar apartemenku ada seorang cewek cakep putri dari seorang pengusaha yang punya kantor di mana-mana. Apalagi yang megang 70% saham dari perusahaan tempatku bekerja. Melihat dia tidur sepulas ini koq dadaku berdesir yah? Nggak, nggak, emang apa aku? Udah ah mandi aja.

Setelah mandi aku mempersiapkan sarapan. Sarapan yang sangat sederhana. Kuambil dua telur, kupotong daun bawang, kucampur garam lalu campur semua dan aku goreng. Setelah itu aku rebus potongan lobak dan tahu. Kuberi bawang merah, bawang putih, merica, garam dapur dan gula, kutambahi kaldu ayam jadi deh. Mungkin aroma masakanku yang membuat Vira terbangun.

"Hmm? Udah pagi?" gumamnya. Ia menekuk-nekukkan lehernya sampai berbunyi. Dia berdiri lalu melihatku yang sudah berada di dapur.

"Dasar, anak mama. Jam segini baru bangun. Kalau di kampungku kamu bakal dijuluki Perawan Dor. Biasanya perawan-perawan itu bangunnya subuh. Kamu jam segini baru bangun. Dasar," gerutuku.

"Bawel ah, kamu masak? Kaya'nya enak," kata Vira sambil melongok makanan yang aku siapkan.

"Bayar! Kemarin gratis, sekarang bayar!" ketusku.

"Yeee...pelit!" dia cemberut lalu kembali ke sofanya.

"Ingat, ini hari kamu harus pergi dari apartemenku. Kalau papamu sampai tahu kamu ada di sini aku bisa dipecat"

"Aku tadi malam lihat-lihat perhargaan di dinding itu," kata Vira sambil menunjuk ke sebuah piagam yang aku pajang. Piagam sebagai pegawai teladan, Briliant Idea, Desain web terbaik, produk software terbaik, dan lain-lain. "Menurutku papaku nggak bakal mecat kamu, kamu adalah aset berharga baginya."

"Aset berharga? Dua ideku saja ditolak mentah-mentah olehnya," kataku.

"Oh"

Aku kemudian membawa nampan dan meletakkannya di meja. Melihat makanan di atas nampan itu Vira menelan ludah. Aku ketawa melihatnya.

"Kenapa ketawa?" tanyanya.

"Raut wajahmu itu mirip orang kelaparan, padahal tadi malem kamu sudah habis mie instan ama makanan yang aku buat," jawabku. "Jadi masih mikir buat ngurusin badan?"

"Aaarrgghh! Bawel! Dasar pelit!" gerutunya.

"Udah udah, makan aja nggak apa-apa. Tapi ingat hari ini kamu harus cabut. Nggak ada nginep gratis. Aku bisa digrebek ntar."

"Iya, iya, makasih!" raut wajahnya berubah cerah seketika.

"Cuci muka, mandi dulu sanah!" perintahku.

"OK," ia pun beranjak. Dan Cup! Dia mencium pipiku.

"Woi, apa-apaan tadi?" tanyaku. Aku langsung mengusap pipiku.

"Anggap aja hadiah karena telah mengijinkanku menginap di rumahmu," jawabnya. Ia segera masuk ke kamar mandi. Aku masih mengusap-usap pipiku, seumur-umur baru kali ini ada cewek yang mau nyium pipiku. Lebay, cewek-cewekku dulu juga pernah koq nyium pipiku. Maksudku, setelah lama menjomblo baru kali ini aku dicium cewek.

Vira, katanya baru putus ama Doni. Aku tak percaya. Aku pun segera mengambil ponsel dan menelpon dia.

"Halo? Apa Ci?" tanyanya.

"Don, kamu beneran putus ama Vira?" tanyaku.

"Hah? Dari mana lo tahu?"

"Berarti bener yah?"

"Kenapa emangnya? Perasaan nggak ada yang tahu deh kecuali aku ama Vira aja, dia tahu kalau aku punya pacar Yuyun, makanya kemarin di kantin mutusin aku," agak aneh juga sih nada bicaranya Doni. Datar, seperti nggak ada rasa sedih atau bagaimana.

"Trus, Yuyun gimana itu?" tanyaku.

"Kaya'nya aku mau kembali aja deh ke Yuyun sob," katanya. "Aku rasanya bersalah banget ama dia"

"Ya kamu juga sih, pake acara selingkuh segala," kataku.

"Tapi beneran, jujur ama gue. Lu tahu dari mana?"

"Dari Vira sendiri, do'i ada di rumah"

"Waduh...nasib...."

"Heh? Maksudnya?"

"Eh, nggak apa-apa, maksudku lo nggak apa-apa kan?"

"Ya, aku baik-baik aja. Koq kamu nggak terkejut?"

"Aku terkejut koq, terkejut. Koq bisa-bisanya dia ke rumahmu, gimana ceritanya?"

"Dia kabur dari rumah katanya, nggak bawa apa-apa"

"Hah? Polos gitu?"

"Dasar otak ngeres! Maksudnya nggak bawa ponsel, nggak bawa dompet dodol!"

"Oh, kukira. Kalau dia polos beruntung banget lu"

"Kampret, emang aku apaan?"

"Ya sudah deh, kalau misalnya dia tertarik ama lu, sikat aja. Gue belum nyentuh dia nyet, segelnya masih rapet!"

"Serius?"

"Yaelah bro, serius beneran. Di dalam hidup gue, cuma Yuyun yang gue sentuh"

"Naaah, bener kan kamu udah apa-apain Yuyun"

"Hehehehe..."

"Pantes dia nangisnya nggak ketulungan. Udah sana minta maaf!"

"Iye iye! Udah dulu ya sob, mau pergi dulu"

"Oh OK"

Doni menutup teleponnya. Aku segera ke kamarku dan berganti baju. Karena hari ini hari Jum'at dan harus pakai batik, aku pun memakai kemeja batik. Sebenarnya tak melulu kemeja sih, kaos batik pun boleh asal bajunya batik. Udah peraturan dari kantor. Aku pun memilih celana jeans. Setelah selesai berdandan rapi dan wangi aku keluar kamar. Kulihat Vira sudah selesai mandinya. Bau wangi sabun memenuhi ruanganku.

"Kamu mau pergi jam berapa?" tanyaku.

Ia mengangkat bahunya. "Aku sudah kerasan di sini, kaya'nya nggak mau pergi deh"

"Eh, anjrit. Ntar aku digerebek satpam lho gara-gara nyembunyiin anak gadis orang," kataku.

"Udah aaahhh...rese' amat, kerja sana! Cari duit yang bener!" lha? Koq sekarang ia merintah seperti istri?

"Terserah deh, nih kunci serep. Kamu titipin ke Pak Satpam di bawah nanti kalau pergi nanti. Ingat ya, cuma semalam. Malam kedua situ harus bayar!" ancamku sambil meletakkan kunci serep di atas meja.

"Iya iya, bawel!" kata dia ketus.

Aku kemudian keluar dari apartemenku. Aku mampir ke pos satpam di bawah aku bilang saja kalau sodara sedang nginap di apartemenku. Kalau dia mau pergi bakal titipin kuncinya ke pos satpam. Satpam ini namanya Pak Sugi. Sudah tiga tahun ini bekerja di apartemen ini dan aku sudah akrab sekali dengan beliau. Kadang juga untuk nonton bola aku malah ke pos satpam daripada di apartemenku yang sepi.

"Pak, nanti kalau sodara saya ke bawah nitipin kunci yah," kataku.

"Iya, beres mas," katanya. Aku lalu segera memacu Toyota Yaris milikku meninggalkan apartemen.

Setelah berjibaku dengan kemacetan ibu kota aku sampai juga di kantor. Segera aku masuk ke ruanganku dan aku langsung mendapatkan surprise. Ada sebuah memo untukku.


To : Arczre

Content:

Please come to my office

sincerely

CEO

Romi
Ngapain pak Romi manggil-manggil segala? Untuk mengusir rasa penasarannya akhirnya aku pun pergi ke ruangannya. Di ruangan Pak Romi sudah menunggu Pak Arthur. Aku makin penasaran.

"Tutup saja pintunya!" kata Pak Romi.

Pintu pun aku tutup. Setelah itu aku memandangi kedua orang ini. Tampak Pak Arthur sedang membolak-balikkan sebuah berkas. Lalu ia menaruhnya di atas meja. Dia semacam bossy sekali.

"Arci, aku tahu sekarang ini adalah yang paling ditunggu-tunggu. Kamu sudah bekerja dengan baik selama ini, tapi sayangnya kamu tidak dapat promosi," kata Pak Romi.

"Hah? Maksud bapak?" tanyaku.

"Untuk sementara ini kami akan menghilangkan tim bagian Project Developer, jadi kamu nanti akan mimpin bagian R n D. Menurut Pak Arthur kamu lebih cocok kalau mimpin bagian itu," kata Pak Romi.

"Tapi pak? Nggak salah nih? Saya masuk R n D?" kataku. Ini artinya aku bakal membawahi bagian riset di kantor ini. Bagian yang tidak aku suka karena kawan-kawan yang bekerja di bagian R n D, mukanya serem seperti zombie semuanya. Yah, dikarenakan mereka terkadang membuat sesuatu yang tidak ada gunanya dan bagian itu biasanya lebih untuk riset sesuatu yang baru, yang mana memang belum pernah ada sebelumnya. Membawahi bagian R n D? Yang benar saja.

"Sudahlah, kamu itu orangnya sangat briliant, semua ide-ide berdatangan dari kamu. Dengan R n D dipimpin olehmu, rasanya pantas kalau suatu saat nanti kita bisa menghasilkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya," Pak Romi meyakinkan.

"Kamu sudah pernah bekerja membuat game menggunakan VR?" tanya Pak Arthur. "Saya sudah melihat game buatanmu, bagus hanya saja pangsa pasarnya terlalu sempit. Bawahi bagian RnD dan bikinkan saya sesuatu yang bisa dijual."

Brengsek ini orang. Seenaknya saja memerintah.

"Oh ya, sebagai manajer RnD yang baru, kamu tak perlu masuk tiap hari laporkan saja pekerjaan timmu setiap minggu pada meeting mingguan," kata Pak Romi.

Oke, fine!

"Baik pak, jadi saya pindah ruangan sekarang?" tanyaku.

"Tak perlu, ruanganmu tetap di tempatmu sekarang saja, toh semuanya juga kerjanya di lantai yang sama," jawab Pak Romi.

"Terima kasih pak," kataku.

Andai saja di ruangan Pak Romi tadi aku berkata kepada Arthur seperti ini, "Woi, anakmu ada kepadaku. Kalau kamu macem-macem aku garap sekalian dia"

Tapi ternyata naluriku menghalangiku. Total hari itu pekerjaanku berantakan semua. Dengan dihapuskannya Project Developer artinya kami harus rela ditempatkan di manapun. Untunglah aku masih jadi manajer walaupun manajer RnD. Aku tak pernah memimpin tim ini, tapi kuharap mereka baik-baik saja.

Sebelum jam makan siang kantor, aku bertemu dengan timku yang berjumlah sepuluh orang. Mereka semua tampak kucel. Kondisi stress yang mereka alami sudah terpancar dari baju dan rambut mereka.

"Apa kabar?" sapaku.

"Baik pak!" jawab semuanya.

"Kalian sudah tahu kan, bahwa sekarang saya yang mengurusi bagian R n D ini," kataku. "Mari kita berusaha dan tetap bersemangat untuk membuat sesuatu yang berguna."

Ya, sangat aneh aku bicara seperti itu di antara tim zombie ini. Bahkan salah satu timnya saja ada yang ngupil. Arrgghh, brengsek. Ya udah deh, hari itu adalah momen yang paling teraneh dalam hidupku harus bekerja sama dengan tim zombie.



****** Perfect Love *******



Pulang ke apartemen sore ini pun rasanya nggak nafsu lagi. Ternyata PR yang harus dikerjakan R n D sangat banyak. Mulai dari manajemen proyek hingga harus menghapus atau men-cancel proyek-proyek yang terbengkalai. Dan kenapa juga aku yang harus merasakannya? Selidik punya selidik manajer sebelum aku sebut saja Pak Budiman mengundurkan diri. Dan Pak Romi tak melihat ada orang yang cocok selain aku yang bisa menggantikannya karena aku selalu punya ide briliant pada bidang marketing.

Hellow, ini bidang RnD pak, bukan bidang marketing. Tapi apalah yang bisa aku lakukan selain menerimanya? Iya, menerimanya. Dengan langkah lesu aku kembali ke apartemenku. Dan....et voila, pintunya nggak terkunci. Lho, apakah Vira belum pergi? Aku lihat ruanganku, temboknya tampak dipenuhi hiasan Hello Kitty. Hello Kitty??? What??

"Hai?!" aku tahu suara itu, itu suara cewek anak mama yang numpang di kamarku tadi malam.

"Kamu?? Kenapa nggak pergi?" tanyaku.

"Aku nggak bisa pergi, aku udah bilang bukan ke kamu, kalau aku sekarang sedang kabur dari rumah? Btw, gimana tuh wallpapernya? Bagus?"

"Dari mana kamu dapat uang beli wallpaper?"

"Sorry, tadi aku geledah-geledah lacimu trus nemu celengan, jadinya aku ambil uangnya. Hehehehe," dan Vira bilang seperti itu tanpa ada wajah berdosa.

"Woi! Jangan seenaknya ngambil milik orang lain!" bentakku.

"Pliiisss....ampuun... nanti kalau aku pulang aku balikin deh duitnya, ampuuunn...! Maaf, maaaf!" dia meminta maaf berkali-kali kepadaku.

"Kamu....Hrrrrgghhh!" aku begitu gemas ingin meremas dirinya, tapi aku mencoba untuk tenang. "Kamu harus pulang malam ini, sekarang! Bawa barang-barangmu keluar!"

"Hikss...iya, iya, maaf," katanya.

Dia kemudian mengambil tasnya lalu dengan lesu jalan menuju pintu. Kemudian dia memakai sepatunya, setelah itu ia berdiri sejenak. Entah ia mau apa. Aku benar-benar nggak habis pikir. Kenapa ada juga cewek yang bikin gemes seperti ini sih?

Biarin deh dia nggak ada uang, nggak ada ponsel, kluntang-kluntung, kabur dari rumah pula. Aku juga benci apa papanya. Seenaknya tadi bisa mengarahkan aku untuk masuk menjadi manajer RnD. Emang dikiranya gampang apa ngurusi bagian zombie seperti itu?

Aku nggak berperasaan mungkin, membiarkan seorang cewek, malem-malem, sendirian di jalanan yang gelap. Siapa tahu nanti dia diperkosa, siapa tahu nanti dia dijambret, tapi dijambret sih nggak mungkin. Dia nggak bawa uang. Paling juga diculik, tapi siapa yang tahu dia anak seorang bernama Arthur Darwaman pemilik Darmawan Grop? Siapa juga yang bakal tahu kalau menculik dia maka si penculik bakal jadi orang kaya. Tapi agaknya kewarasanku sudah nggak ada lagi, mungkin tersisa sedikit kalau saja wajah Arthur nggak terbayang di benakku.

Vira sedikit sesenggukan. Entah akting atau apa, tapi dia kan nggak punya uang. Dan nggak mungkin juga aku biarin dia keluyuran tanpa tujuan. Aku lalu langsung menghalangi dia ketika mau keluar.

"Minggir, katanya kamu ngusir aku kan?" dia berkata seperti itu sambil menangis.

"Kamu mau kemana emangnya?" tanyaku.

"Nggak tahu deh, ke rumah bibiku mungkin. Emang di dunia ini nggak ada yang ngerti aku, semuanya brengsek. Mbak brengsek, papa brengsek, mama brengsek, lo juga brengsek! Nggak sensitif ama cewek!" katanya.

"Oke, aku ijinin kamu tinggal di sini, tapi ada satu syarat," kataku.

"Sungguh?" raut mukanya langsung berubah.

"Iya, iya, tapi ingat ada syaratnya dan kamu harus ikut dalam permainan ini. Aku mau memberi pelajaran ama papamu," kataku.

"Hah? Kenapa ama papaku?"

"Yah, kamu tahu sendiri papamu itu orangnya sadis, menjengkelkan. Aku kepengen menculik kamu"

Vira mengerutkan dahi. "Menculik aku? Maksudnya gimana?"

"Kamu boleh tinggal di sini, melakukan apapun, terserah deh, asalkan kamu mau pura-pura aku culik. Aku mau bikin dia bangkrut itu aja"

Tiba-tiba wajahnya Vira berubah sumringah. "Oke, aku setuju"

Aku heran, "Setuju begitu saja?"

"Iya, aku emang ingin memberi pelajaran ama papaku. Dia itu udah nggak sayang ama aku lagi. Aku sebagai anak tiri ditelantarkan begitu saja ama dia, nggak mama, nggak mbak, nggak papa sama saja semuanya"

"Jadi? Deal?"

Dia mengangguk. "Deal. Mulai sekarang aku korban penculikan. Yuhuuu!" Dia langsung melompat dan melepas sepatunya lagi. Ia langsung menari-nari nggak jelas. Well, kukira setelah ini adalah bagian yang paling seru. Aku nekat melakukan ini karena aku ingin memberi pelajaran kepada Arthur. Seenaknya dia meremehkan diriku. Belum tahu apa siapa aku?

Let's the game begin.



BAB IV

Game Start

"Vir, aku ingin bilang ke dirimu lagi kalau kita setelah ini nggak main-main. Dalam arti kamu nggak boleh berhubungan dengan siapapu ketika aku menculikmu. Ngerti? Jadi kamu nggak boleh sekedar nyapa tetangga, belanja ke supermarket, ke salon, ke mana-mana. Semuanya harus melalui perantara aku," jelasku.

Vira yang tampaknya baru saja mendapatkan pengalaman baru hanya menatapku dengan matanya yang berbinar-binar. Entah ia mengerti atau tidak.

"Kamu ngerti, nggak?" tanyaku.

Vira manggut-manggut. "Ngerti boss, siap!" Dia menghormat kepadaku.

"OK, jadi karena kamu numpang di apartemen ini dan gratis, maka tidak ada salahnya dong kalau aku minta sesuatu," kataku.

Tiba-tiba dia menyilangkan tangannya di depan dadanya. "Eit, kamu mau apa? Jangan macam-macam ya! Aku bukan cewek gampangan!"

Aku langsung menoyor kepalanya, ia agak terkejut dan melongo. Posisi tangannya masih menyilang di depan dadanya.

"Emangnya juga aku cowok gampangan? Jangan berpikiran mesum deh. Bukan itu maksudku. Maksudku adalah kamu yang jadi cleaning service. Kamu yang nyuci, ngepel, nyapu, bersihin kaca, dan lain-lain. Bahkan kalau perlu kamu belajar masak sana! Dan harus enak! Kalau nggak enak kamu yang makan sendiri!" kataku.

"Oh," dia menunduk malu. "Iya deh, iya!"

"Nah, karena sekarang kita sudah sepakat, maka kita pikirkan rencana berikutnya, tentang bagaimana kamu bisa diculik," kataku.

"Aku diculik sewaktu kabur dari rumah?" usulnya.

"Nggaklah, anggap kamu nggak ada niatan kabur. Kira-kira biasanya kamu pergi ke mana?"

"Dugem," jawabnya singkat.

"Oke, berarti sepulang dari dugem, anggap kamu diculik oleh beberapa kawanan penculik. Mereka selama ini tahu kamu adalah anak Arthur Darmawan pemilik Darmawan Group"

"Hmm...oke, ngerti trus? Papa pasti bakal lapor polisi bukan?"

"Orang seperti papamu itu nggak akan ceroboh. Dia pasti bakal menyelidiki apakah kamu benar-benar diculik ataukah tidak. Dia akan menghubungi beberapa teman terdekatmu, dan tentu saja melacak nomor ponselmu. Tapi karena kamu nggak bawa ponsel anggap saja papamu nggak bisa melacakmu melalui ponselmu. Pertanyaannya adalah apakah kamu menghungi teman-teman terdekatmu sebelum ini?" tanyaku.

"Hmm....ada sih," katanya.

"Yang tahu kamu ada bersamaku adalah Doni, tapi jangan khawatir aku bisa bungkam dia. Pertanyaannya adalah siapa yang kamu hubungi?" tanyaku.

"Temanku, tinggalnya di Tangerang," jawabnya.

"Tangerang ya? Oke, ada nomor teleponnya?" tanyaku.

"Ada"

"Kalau misalnya temanmu itu bisa diajak kerja sama ya Oke-oke saja sih"

"Anu, yang menerima mesin penjawab telepon dia pergi ke mana gitu"

"Mesin penjawab telepon? Masih ada yang pakai telepon rumah?"

"Iya, dia pakai telepon rumah. Kamu tahu sendiri kan nomor telepon rumah mudah dihafal daripada nomor ponsel. Aku nggak bawa ponsel!"

"Iya, iya, aku bisa mengakalinya. Kita tinggal pergi ke rumah dia dan menghapus rekamannya"

"Wah, seperti spionase gitu ya? Keren, oke deh"

Biasanya cewek-cewek kalau diajak hal beginian keder, tapi nggak bagi cewek ini. Aku mulai ragu yang aku pura-pura culik ini cewek.

Aku lalu browsing situs-situs yang menjual barang bekas. Kemudian aku borong banyak ponsel lawas yang bisa membantuku nanti dalam aksiku. Aku juga membeli voice distraction, serta peralatan-peralatan lainnya. Begitu aku sudah beli semuanya tinggal menunggu besok. Karena aku beli online paling tidak delivery servicenya akan datang besok pagi.

Sore itu pula aku menulis surat ancaman kepada Pak Arthur. Kukirimi oranngya email:


Dear Arthur,

Anakmu saya culik. Siapkan uang 3 milyar atau nyawa anakmu tidak selamat. Ketentuannya akan kami berikan setelah Anda membalas email ini.
"Gimana?" aku memperlihatkan emailku kepada Vira terlebih dulu.

"Tiga Milyar?" gumamnya. "Papaku hartanya lebih dari sekedar tiga milyar"

"Kalau ini berhasil, kita bagi dua, satu setengah-satu setengah. Kamu bisa berlibur kemana-mana dengan uang itu," kataku.

Tiba-tiba Vira langsung memencet enter. Akibatnya emailku langsung terkirim.

"Wah, oke deh. Terlanjur. Kita benar-benar sudah masuk sekarang," kataku.

"Aku percaya ama kamu koq," katanya.

"Baiklah, kita tinggal bergerak saja besok," kataku.

Aku menoleh ke arah Vira. Aku kaget karena dia sekarang memasang tampang imut, matanya besar seperti matanya si Pus in Boots. Kenapa dia pake tampang imut seperti itu sekarang? Ah, perasaanku nggak enak. Dan ternyata benar. Ini sudah malam, dia butuh tempat tidur. Aku tahu maksud dari tatapan mata konyolnya itu.

Aku buka telapak tangan kananku dan aku templokkan ke wajahnya. PLOK! Ia langsung kelabakan berusaha menyingkirkan tanganku. "Hei!" serunya.

"Udahlah, aku nggak bakalan biarkan kamu pake kasurku, enak aja. Tetep tidur di sofa!" kataku.

"Dasar pelit!" gerutunya yang sekarang sudah berhasil menghalau tanganku. Dia langsung pergi dan menuju ke sofa tempat tidurnya. Aku hanya tersenyum melihat tingkah polahnya yang lucu.

Aku langsung beranjak ke kamarku. Setelah itu aku banting tubuhku di atas kasur. BRUK! Selamat tidur dunia.



******* Perfect Love *******



Seperti biasa aku terbangun pagi-pagi sekali. Aku keluar dari kamarku melintas ruang tengah. Kulihat lagi-lagi wajah cantik Vira yang tertidur. Seperti kemarin aku dekati dan mendekat kepadanya. Entah kenapa, aneh juga sih ada cewek di apartemenku, tapi nggak aku apa-apain. Ah entahlah, pacar aja bukan. Lagipula bukan itu tujuanku, dia ada di sini adalah karena aku ingin memberikan pelajaran kepada Arthur. Aku betulkan selimutnya hingga tubuhnya kembali berselimut dengan sempurna sampai ke leher.

Seperti kemarin, Vira terbangun sambil menguap lalu mencium-cium bau masakanku. Dia kemudian seperti zombie berjalan menuju dapur dan mencium-cium bau di mangkuk dan panci. Tingkahnya malah mirip anjing Cihuahua.

PLOK! Kembali jurus telapak tangan templokku beraksi.

"Yay!" gerutunya sambil menyingkirkan tanganku dari wajahnya.

"Mandi sana! Dasar perawan dor!" kataku.

"Nanti aja, dasar bawel!"

"Nggak mandi, nggak ada sarapan!" kataku.

"Iya iya!" dia berkata begitu masih sambil mencium-cium bau masakanku. "Nanti yang bakal jadi istrimu beruntung yah, punya suami jago masak."

"Iya, tapi aku lebih suka istri yang bisa memasak, sanah!"

Dia menjulurkan lidahnya. "Weeek! Siapa juga yang mau ama kamu?" Vira langsung berbalik namun baru beberapa langkah berjalan ia berhenti. Ia berbalik lagi, "Eh, Ci, aku nggak ada baju nih. Beliin dong!?"

Aku menatap dia dengan pandangan tidak suka.

"Ayolah Ci, masa' kamu tega aku nggak ganti daleman, bajuku ini aja dari kemaren? Lagian aku nggak boleh masuk kamarmu untuk sekedar pinjem baju. Kamu nggak perasaan banget ama cewek? Aku bisa menjamur Ci, bisa lumutan," katanya.

Aku menghela nafas, "Buset, kamu itu korban penculikan. Koq malah minta yang aneh-aneh"

"Ayolah Ci, beliin baju pliiiiisss!" dia memohon.

"Ya udah, pakai laptopku sana, beli online saja. Aku nggak mau resiko ngajak kamu jalan-jalan keluar," kataku.

"Asyiiiikk!" serunya.

"Hei! Mandi dulu!" bentakku.

"Iya iyaaa!" ia buru-buru masuk ke kamar mandi.

Setelah mandi dan sarapan. Hari itu ia aku ijinkan untuk belanja online. Dia membeli empat pasang baju, berikut juga dalemannya, pake lingerie. Ah, entahlah. Aku nggak tahu selera cewek. Belanja gini doang bisa habis 4 juta. Sompret dah. Untung aja limit kartu kreditku banyak.

"Ingat, jangan keluar!" kataku mewanti-wantinya. "Kalau kamu keluar bisa rusak semua rencanaku."

"Iya, siap boss!" katanya sambil hormat kepadaku.

"Trus, kalau kamu laper di kulkas banyak makanan. Aku nanti bakal pulang cepat," kataku.

"Beres boss!" katanya lagi sambil hormat kepadaku.

"Hubungi aku kalau papamu membalas emailnya!" kataku.

"Siap!" ia menghormat lagi, lama-lama aku senewen jadi tiang bendera kalau dia hormat begitu terus kepadaku.

Setelah itu aku pergi. Kutinggalkan dia di apartemenku, entah nanti apartemenku bakal dihias apalagi oleh dia. Kemarin Hello Kitty, nanti apalagi ya? Ah, bodo ah.

Hari itu aku berencana ingin bertemu dengan Doni karena dia satu-satunya orang yang tahu kalau di rumahku ada Vira. Hari in kantor libur boss. Kantorku memang Sabtu dan Minggu libur, seperti PNS kan? Kami janjian ketemuan di kafe yang nggak jauh dari apartemenku. Setelah aku menunggunya beberapa menit ia pun nongol. Dia langsung duduk di hadapanku.

"Pesen apa?" tanyaku.

"Terserah deh," jawabnya. "Lo yang traktir kan?"

"Iye, dasar miskin lo," kataku.

"Lha, situkan sudah manajer, aku masih bawahan. Wajarlah! Hahahaha"

"Dasar. Mbak sini mbak!" aku panggil pelayan.

Doni lalu memesan yang ada di menu setelah itu mbak-mbak pelayan tadi pergi.

"Don, aku ingin bilang sesuatu ama kamu," kataku.

"Apaan?" tanyanya.

"Vira nginap di rumahku," sontak Doni langsung ketawa keras. Aku toyor kepalanya. "Eh, nyet! Jangan ketawa dulu!"

"Iya, iya, sorry!"

"Aku mau ngasih pelajaran ama Arthur. Aku ama Vira berencana agar Vira diculik. Jadi....kamu harus pura-pura bego nggak tahu di mana Vira berada. Kalau sampai kamu kasih tahu ke orang-orang Vira ada di rumahku, aku sumpahin keturunanmu impoten tujuh turunan!"

"Waduh, sadis amat sumpah lo nyet. Iya, iya, aku nggak bakalan cerita. Tapi serius lo?"

"Iya, dua rius!"

"Lha trus, tanggapan Vira gimana?"

"Dia sih setuju-setuju aja, bahkan semangat banget"

"Awas lho, bisa kena Stockholm Syndrome!"

"Menurutku sih nggak apa-apa, toh dia cakep juga hahahaha," kataku.

"Ci, Arci. Gimana tuh bokap ama nyokap? Masih nanya-nanya kapan punya cucu?" dia cekikikan.

"Iya tuh, tapi kali ini nelponnya cuma seminggu sekali. Biasanya berkali-kali nelpon"

"Kamu juga sih, jadi cowok dingin banget. Udaah, sikat aja itu si Vira. Mumpung dia lagi jomblo"

"Aku heran, koq kamu tenang-tenang aja dia ada di apartemenku?"

"Lah, kenapa? Emang aku udah nggak ada hubungan apa-apa lagi ama dia. Kita udah putus men. Nyante aja"

"Trus kamu udah baikan ama Yuyun?"

Doni menggeleng.

"Yaelah, trus?"

"Nggak tahulah Ci, aku bingung mau balik ama dia apa nggak"

"Sob, Yuyun itu udah aku anggap teman sendiri. Toh kita sering jalan bareng. Kamu juga bikin aku ngiri kalau kalian lagi bersama, masa' ya nggak baikan?"

"Bukannya nggak mau, mentalku belum siap sob!"

"Ya udah deh, apa mau aku bantu?"

"Nggak, nggak usah. Makasih, entar yang ada elu embat lagi si Yuyun"

Aneh Doni ini. Sama Vira enteng banget dia, tapi sama Yuyun nggak. Padahal kan mereka udah jadi mantan dia. Aku coba pancing aja deh biar yakin.

"Kemarin pas nganterin Yuyun, hampir saja itu aku kebablasan," pancingku

"Maksud lo?" tanyanya.

"Yah, tahu sendirilah. Rumahnya sepi dan cuma aku berdua, trus dia meluk aku gitu," kataku.

"Trus, lo apain dia? Nggak lo apa-apain kan?"

"Yeee...khawatir banget, tenang aja. Aku ingat sama sahabatku. Nggak aku apa-apain. Emangnya aku cowok gampangan?"

"Syukurlah," dia tampak lega. Berarti si Doni masih suka ama Yuyun. Bego banget dia.

Tak berapa lama kemudian mbak-mbak pelayan tadi membawakan pesanan kami. Setelah itu dia pergi.

"Jadi, ingat. Jangan beritahu ke siapapun kalau Vira ada di rumahku," kataku.

"Iya, beres!" katanya.


******* Perfect Love ********



Aku pulang ke apartemenku. Benar sesuai dugaanku, kali ini sang penata ruangan amatir mengubah posisi sofaku. Kalau sebelumnya sofanya aku pinggirkan sekarang ia geser ke tengah. Kulihat dia sedang mondar-mandir ngepel lantai. Baguslah. Dan dia pakai baju yang barusan dibelinya tadi. Si kitty ini senang melihatku pulang.

"Baju baru?" tanyaku.

"Iya, he-eh. Makasih yah!" jawabnya.

"Belum ada balasan dari papamu?" tanyaku. Ia menggeleng. "Apa kurang meyakinkan ya?"

"Kenapa nggak kamu kirim aja bajuku ke rumahku?" tanyanya.

"Ah, bener. Harusnya begitu. Oh, ngomong-ngomong ada paket datang?" tanyaku.

"Iya, tuh di meja!" katanya.

Aku segera mengambil kotak bungkusan yang ada di meja. Aku segera bongkar isinya. Semuanya adalah ponsel-ponsel produksi China second. Aku beli dalam jumlah banyak untuk tujuan ini. Aku kemudian mengeluarkan segepok kartu SIM Card.

"Tugasmu sekarang, kalau sudah ngepel aktifkan semua kartu ini!" kataku.

"Oh, Ok!" katanya.

"Ingat, jangan buat nelpon. Cuman diaktifkan aja," kataku.

Ia mengangguk.

"Mana bajumu? Aku akan kirimkan bajumu ke rumahmu," kataku.

Vira buru-buru pergi ke tumpukan baju yang ada di keranjang laundry. Ia datang sambil membawa bajunya. Untung belum dicuci ama dia. Aku mengambil tas plastik yang ada di rak dapur, kemudian aku masukkan baju itu ke dalamnya.

"Aku keluar lagi, moga aja ini berhasil," kataku.

"Siap boss!" katanya lagi.

Aku segera keluar lagi, kali ini menuju ke rumahnya. Semoga aja rumahnya nggak sepi, jadi adanya kiriman baju ini akan bisa langsung ditanggapi. Aku sudah selipkan di dalamnya kertas yang menyuruhnya untuk membuka email dan juga tentu saja ancaman kalau ia lapor polisi maka aku akan menghabisi putrinya.

Mencari alamat Arthur itu nggak sulit. Dari seluruh perumahan di Menteng ini aku sudah menemukannya dengan cepat. Ada tulisan Arthur Darmawan dan logo Darmawan Group di pagar rumahnya. Tanpa tedeng aling-aling aku keluar mobil lalu melemparkan bungkusan plastik ke dalam pagar. Moga aja nggak ada kamera CCTV, kalau ada bisa gawat. Tapi aku sudah pastikan bahwa nggak ada kamera di sana. Setelah itu aku pulang.

Di tengah perjalanan pulang itulah ada kabar baik. Vira menelponku. Ya, dia kutinggalkan nomor teleponku kalau sewaktu-waktu ia ingin menghubungiku.

"Ci, udah masuk emailnya ci, berhasil! Papaku udah menghubungi. Sepertinya kita kena jackpot!" katanya.

"Oh ya? Baguslah. Aku segera ke rumah!" kataku.





BAB V

Setengah Diculik



from: arthur@*****.com
to: darkdoll@******.com

Aku sudah dapat pesanmu. Apa yang kau inginkan sekarang?
Aku dan Vira sama-sama menonton layar monitor laptop. Posisi kami sama, gaya kami sama. Kedua tangan kami menyangga kepala kami sambil memonyongkan bibir. PLOK! Aku templok lagi mukanya.

"Hei! Kamu seneng banget sih nemplokin muka orang?" katanya.

"Ngapain juga niru-niru gayaku?"

"Ya suka-suka aku dong"

Aku kemudian membalasnya.

from: darkdoll@*****.com
to: arthur@******.com


Paket aman. Setelah ini aku akan menghubungimu.
Aku kemudian mengambil sebuah ponsel yang sudah terisi kartu. Aku kemudian memasang sebuah perangkat tambahan di headphonenya. Perangkat ini bisa menyamarkan suaraku. Kemudian aku mulai menelpon Arthur.

"Dengarkan perkataan saya baik-baik! Saya ingin Anda menyiapkan uang tunai tersebut dalam bentuk cash. Masukkan ke dalam tiga kopor. Jangan taruh pelacak atau apapun kalau tak ingin putrimu tewas. Jangan sampai nomor serinya berurutan, kumpulkan uang tersebut dalam pecahan yang berbeda-beda. Siapkan dalam waktu dua hari!" kataku.

"Tapi itu terlalu cepat, tiga hari saja!" aku bisa dengar suara Arthur gemetaran.

"Dua hari atau putrimu tidak selamat!" ancamku.

Aku langsung menutup teleponnya. Vira tampak sumringah.

"Kamu pantes banget jadi penculik," katanya.

"Kamu juga pantes banget jadi korban penculikan," kataku.

"Kamu yakin papa nggak bakal menghubungi polisi?"

"Nggak, pasti dia menghubungi. Percakapanku akan disadap dan direkam. Makanya aku beli banyak SIM Card. Dan setiap selesai menelpon kita harus ganti SIM Card-nya. Mereka butuh waktu satu menit untuk melacak sinyal GPS yang terpancarkan di ponsel ini, maka dari itu kita tak boleh berlama-lama menelpon dia"

"Kamu tahu banget ama hal beginian"

"Yah, itulah gunanya internet, sekarang kita tinggal menunggu hari Senin," kataku.

Aku lalu menutup Macbook milikku kemudian berdiri menggeliat. Aku kemudian berjalan menuju kamarku.

"Kamu ngapain sekarang?" tanya Vira.

"Tiduuur....mumpung libur," jawabku.

"Aku boleh belajar masak yah?!"

"Silakan, awas kalau sampai wajanku lengket gara-gara masakan gosong!"

"OKe, nggak bakal koq. Hehehehe," ia cengengesan. Aku meragukannya ia bakal baik-baik saja.

Akhirnya setelah itu aku tak mendengar apapun karena telah terbang ke alam mimpi. Mimpiku aneh siang itu. Aku berenang-renang di udara. Berenang di udara? Iya sambil naik seekor ikan hiu yang sedang menari-nari. Kenapa aku jadi senewen gini? Kemudian hiu terbang itu melayang-layang mengitari kota sampai tercium bau gosong, ada kebakaran! Aku bisa melihat apinya dari kejauhan dan api itu....wajan gosong?

Aku segera terbangun dan mencium bau gosong. Dari dapur. Aku beranjak dan menuju dapur. Benar juga si Vira masak sampai gosong, Asap di dapur mengepul, aku segera mematikan kompor. Suasana dapurku benar-benar kacau. Vira lalu secara tak sengaja menyentuh kran air, tapi karena terlalu kencang akhirnya muncrat ke mana-mana.

"KYaaaaa!" jeritnya. Akibat ulahnya itu bajunya jadi basah. Aku bersedih....wajanku....

"Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf!" ia terus berkata seperti itu. Aku kembali mengeluarkan jurus tangan templokku ke wajahnya PLOK! Dia diam saja kali ini.

"Apa yang kamu perbuat kepada wajan kesayanganku?" tanyaku.

"Maaf," katanya.

"Hari ini kamu harus makan masakanmu sendiri!" kataku sambil menyerahkan wajah yang isinya ikan gosong dan lengket.

"Maaf," katanya lagi. Kali ini dia memakai jurus mata imutnya.

"Tiada maaf bagimu!" kataku.

"Ayolah Arci, maaf yah. Aku kan baru belajar memasak. Pliiiiisss!"

Aku melihat wajahnya yang memelas. Dan entah kenapa ku koq malah melihat ke bawah juga. Bajunya yang basah karena cipratan air tadi menggambarkan lekuk tubuhnya. Tubuh yang sekal, ideal, dengan buah dada yang padat dan puting yang menonjol. Loh? Dia nggak pake bra?

Dia menatapku yang bengong lalu melihat ke tubuhnya. Segera ia silangkan kedua tangannya di depan dadanya.

"Eit, dasar mesum!" katanya.

"Yah, lumayanlah," kataku sambil menaruh wajan gosong tadi di rak bawah.

"Apanya yang lumayan? Dasar hentai!" Vira segera buru-buru mengambil bajunya yang ada di tas belanjaannya, ternyata ia belum membongkar barang belanjaannya. Ia lalu mengambil baju dan segera pergi ke kamar mandi.

Aku jadi senyum-senyum sendiri hari itu. Nggak apa-apa deh korban wajan satu. Aku kemudian merapikan dapur dan membersihkan semua yang berserakan. Ia mau bikin apa sih sebenarnya? Oh, dia sudah nyiapin cabe, tomat, bawang merah, bawang putih, terasi, daun bawang dan tadi goreng ikan gosong dan lengket. Aku lalu mengambil bahan-bahan lain di kulkas, kutata rapi di atas meja dapur lalu aku mulai memotong-motong. Aku melihat Vira, dia sudah ganti baju.

"Sini, aku ajarin masak!" kataku.

Dia agak ragu-ragu melangkah mendekatiku.

"Halah, sini nggak apa-apa. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, emangnya aku cowok gampangan apa?"

Vira tersenyum kepadaku. Dan akhirnya seharian itu aku ngajarin dia masak. Dia cukup cepat menerima pelajaran dariku, bahkan dari tiga menu masakan dia berhasil bikin sendiri satu menu masakan tanpa aku pandu. Akhirnya kami makan bersama menikmati hasil jerih payah kami.

Di ruang tengah menikmati masakan yang kami masak, berdua seperti ini, koq rasanya aneh ya? Ah, entahlah aku bingung juga mengungkapkannya. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang lain semenjak Vira ada di apartemenku. Entah apa namanya.

"Enak yah, buatanku ternyata. Akhirnya aku bisa masak, jadi besok aku bisa nyiapin sarapan buatmu," katanya.

"Jangan sombong, emangnya masak itu mudah apa?" tanyaku.

"Yaaa, nggak juga sih," jawabnya. "Tapi jujur ini pengalaman pertamaku."

"Dan pengalaman pertamaku juga tinggal ama cewek," kataku.

Dia tersenyum kepadaku sambil menampakkan wajahnya yang manis. Jujur ini makan siang yang paling membuatku bahagia. Nggak pernah seperti ini sebelumnya. Entahlah, seharian itu si hello kitty ini ceria banget. Dan seharian itu pula dia bersenandung. Well, di apartemenku ada sih gitar. Aku nggak tahu cara main gitar. Sebenarnya aku beli gitar itu dengan maksud agar aku bisa belajar main gitar. Tapi halah, boro-boro belajar nggak ada waktu.

Tapi malam itu, aku melihat gitar itu bisa berfungsi. Eh, si Vira bisa main gitar? Dan yang mengejutkan adalah dia menyanyi lagu-lagunya Sheila on 7. Pertama dia nyanyi lagu "Dan", lalu "Kakakku Rani", yang terakhir entah dia nyanyi lagu apa. Aku yang menyaksikan dirinya duduk di balkon sambil melihat kota yang berada di bawah sana. Aku cukup menikmati hiburan yang ada di depan mataku ini. Aku temani dia duduk di balkon.

Vira menoleh kepadaku, "Kenapa?"

"Aku nggak tahu kalau putri seorang Arthur bisa main musik," kataku.

"Iya dong, mungkin habis ini aku bisa masuk dapur rekaman," katanya sambil sedikit pongah.

PLOK! kembali jurus telapak tangan templokku kuarahkan ke mukanya yang imut itu.

"HEI!" dia sekali lagi gusar mengusir tanganku. "Suka banget nemplokin wajahku!"

"Hahahaha, habis kamu ini menggemaskan," kataku.

Kami sama-sama tersenyum. Duduk di balkon berdekatan seperti ini sambil menyaksikan malam yang nggak berbintang karena polusi merkuri membuatku serasa ada yang menyelimuti hatiku, hangat. Apakah kehadiran Vira di sini membuatku lebih nyaman?

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja tubuhku condong ke arahnya, wajahnya mendekat ke wajahku dan kedua bibir kami bertemu. Aku memegang wajahnya, ciuman ini membuat sejuta perasaan aneh hinggap di dadaku.

"Kamu tahu tentang Stockholm Syndrom?" tanyaku.

"Kondisi di mana sang penculik ataupun korban penculikan jatuh cinta satu sama lain?" tanyanya.

"Aku takut kalau lama-lama bersamamaku aku bisa seperti itu nantinya," jawabku.

Vira mendorongku menjauh, "Kalau kamu jatuh cinta kepadaku, maukah kamu pergi denganku dari sini? Aku tak mau kembali lagi kepada papaku"

Aku menghela nafas. Permintaan yang tak bisa aku lakukan. "Aku tak bisa, aku juga tak yakin aku jatuh cinta kepadamu"

Tiba-tiba Vira berdiri. "Dasar Arci bego! Trus lo cium gua barusan kenapa?"

"Aku gak yakin, itu aja!"

"Percuma bibir gue buat lo tadi, dasar hentai!" Vira meletakkan gitarnya dan pergi ke dalam apartemen.

Aku menghela nafas. Aku masih belum yakin Vir. Apakah ini cinta ataukah bukan. Ataukah aku sekedar tiba-tiba mencium dia gara-gara tertarik dengan peristiwa tadi ketika air kran muncrat membasahi bajunya. Ah, entahlah. Kupandangi gitar yang sekarang ada fungsinya itu. Aku bawa gitar itu masuk ke dalam. Kulihat Vira sudah menyelimuti dirinya di sofa. Aku letakkan gitar itu tempat semua di dekat rak buku. Ku dekati Vira. Ia memejamkan mata, bisa jadi cuma pura-pura tidur. Aku tak berani menyentuhnya, hanya menatap dia. Kemudian aku masuk ke dalam kamarku.

Ada sejuta pertanyaan di dalam dadaku yang tak bisa kumengerti. Kenapa aku menciumnya tadi?



********* Perfect Love ********



"Tunjukkan di mana temanmu itu tinggal!" kataku.

Kami berdua sudah berada di dalam mobil meluncur ke Tangerang. Mobilku melintas dengan tenang menyusuri jalanan di Cikupa. Agaknya Vira suka sekali diajak jalan-jalan seperti ini. Dia gembira sekali melihat kiri kanan sambil bertingkah kekanakan. Tujuan kami untuk pergi ke rumah temannya, menghapus rekamannya dan selesai. Seharusnya ini mudah.

Aku kemudian berhenti di sebuah rumah dengan pagar yang cukup tinggi.

"Beneran ini rumah temenmu?" tanyaku.

Vira mengangguk.

"Gimana masuknya? Rumahnya dikelilingi pagar tembok, eh pintu masuknya seperti pintu Valhala."

"Trus?"

"Kita batalin deh menghapus rekamannya. Moga aja polisi nggak menyelidiki sampai ke sana dan temenmu itu pulangnya lama"

"Oh, begitu?"

Akhirnya kami pulang. Tapi aku punya rencana lain sih. Aku mengaktifkan ponsel yang kugunakan untuk menghubungi Arthur. Hal ini agar polisi aku kecoh untuk mencarinya ke sini. Dan aku pun menghubunginya.

"Uangnya sudah siap?" sapaku.

"Siap, tapi aku perlu tahu anakku baik-baik saja!" katanya aku loud speaker.

Aku beri aba-aba kepada Vira untuk pura-pura.

"Papa, tolong aku pa!" kata Vira dengan suara yang dibuat-buat.

"Vira! Vira!" panggil Arthur.

"Nah, sudah dengar bukan? Ingat! Besok kita akan beraksi. Aku akan menghubungi Anda pukul sembilan," setelah itu aku tutup teleponnya, tapi tidak aku matikan.

Vira cemberut.

"Kenapa?" tanyaku.

"Aktingku jelek yah tadi?" tanyanya.

"Sangat jelek!" kataku.

TOK! TOK! TOK!

Aku kaget ketika seorang ibu-ibu mengetuk kaca mobilku. Vira aku suruh untuk menundukkan wajah.

"Maaf mas, saya mau tanya. Apa mas orang daerah sini? Saya nyari alamat koq nggak nemu-nemu yah?" tanya ibu-ibu itu kepadaku.

"Oh saya bukan orang sini bu, maaf," kataku.

"Oh, begitu ya, saya kira orang daerah sini. Mari mas kalau begitu," katanya. Ibu-ibu itu melihat Vira sekilas lalu pergi.

"Fiyuuhh...hampir saja, pulang aja yuk!" kataku.

Akhirnya kami pun kembali ke apartemenku. Agak sore ketika aku sampai di apartemenku. Ketika di tempat parkir aku terkejut karena melihat mobil orang tuaku ada di sana. Wah, bisa gawat ini. Aku segera tanya Pak Satpam.

"Pak, apa orang tuaku datang?" tanyaku.

"Iya mas, tadi siang datang," jawabnya.

"Oh, ya sudah. Bapak nggak bilang yang aneh-aneh kan?" tanyaku.

"Nggak mas tenang aja, Hehehehe"

Aku kembali ke mobilku, kudapati Vira masih di mobil.

"Kamu bisa tunggu di sini?" kataku.

Dia pun bertanya, "Kenapa?"

"Bonyok datang," kataku.

"Eh, kenalin dong ama orang tuamu!"

"Eitss...kamu gila apa? Kamu itu aku culik!"

"Masa' kamu tega ninggalin aku sendirian di tempat parkir ini? Nanti...nanti kalau aku diculik beneran gimana?"

Arggh...sialan, si Hello Kitty ini bener-bener bikin aku gemes. Aku akhirnya menghela nafas. Bingung jua. Vira pun keluar dari mobil.

"Udah deh, aku punya akal koq," kata Vira.

"Caranya?"

"Ayolah naik yuk!" ajaknya.

Kami pun naik ke apartemenku. Setelah kami naik melalui elevator kami pun sampai di depan apartemenku. Tak perlu aku buka kuncinya karena ortuku pasti ada di dalam. Dan benar, pintu tak terkunci aku segera masuk. Aku lihat bokap sedang duduk santai di sofa dan nyokap ada di dapur.

"Ehh...anak mama udah pulang, kejutaaaan!" kata mama.

Papa menoleh ke arahku dan Vira. "Lho, siapa ini?"

Mama juga terkejut melihat Vira, "Eh, iya. Ada tamu rupanya"

"Ma, pa, kenalin ini..." belum sempat aku bilang namanya Vira udah bicara saja.

"Namaku Iskha Om, Tante, temennya Arci," kata Vira sambil membungkuk.

Aku berbisik, "Koq pake nama Iskha?"

"Daripada mereka tahu aku Vira?" bisiknya balik.

Boleh juga idenya menyamarkan nama. Moga aja bisa jadi alibi nanti kalau polisi bertanya kepada kedua orang tuaku. Aku segera melepas sepatuku dan menyalami papa dan mama. Vira ikut-ikutan menyalami kedua orang tuaku.

"Arci, ikut mama sebentar!" kata mama. Ia langsung menggeretku masuk ke dalam kamar. Lalu pintu kamar di tutup. "Eh, itu calon mantu ya? Cakep banget. Kamu emang nggak salah milih."

"Eeerr...ehhmm...nggak sih ma cuma temen," kataku.

"Halaaah...nggak usah malu-malu, dari cara dia megang lenganmu tadi mama tahu dia pacarmu kan?"

Aku bingung mau bilang apa. Akhirnya meluncurlah kata, "Ya deh"

"Koq ya deh? Jawaban macam apa itu?" tanya mama.

"Iya, dia pacarku. Puas mama?" aku segera keluar dari kamar lagi.

Aku lihat Vira ngobrol dengan papa.

"Udah lama pacaran ama Arci?" tanya papa ke Vira. Wah, pikiran kita koq sama ya?

"Baru-baru aja koq om," jawab Vira. Aku pun duduk di dekat Vira. Sekalian akting juga ah, biar mereka nggak curiga.

"Jadi, kenapa papa ama mama kemari?" tanyaku.

"Ya kepengen lihat anak kesayangan dong, emangnya ngapain?" kata mama.

Akhirnya hari itu total Vira diinterogasi oleh mama dan papa. Tapi dengan tenang Vira menjawab semuanya. Dia juga cerita kebiasaanku di rumah ini, pintar masak, rapi dan sebagainya. Vira juga bilang kalau wallpapernya ia tambahkan Hello Kitty biar ada nuansa lucunya. Soalnya katanya aku ini orangnya terlalu serius. Kemudian sampailah kepada sebuah pertanyaan pamungkas khas orang tua.

"Kapan kalian menikah?" tanya mama.

"Ah..itu...masih jauhlah ma," jawabku.

"Halaaah, kalian udah serasi gitu lho koq ya mau lama-lama?" kata papa menimpali.

"Iya, mama kepengen cepet gendong cucu," sambung mama.

"Kalau saya sih, terserah mas Arci aja deh," kata Vira. Aku mengerutkan dahiku sambil menoleh ke arahnya. Vira malah cengengesan.

"Naaah...tuh, Iskhanya udah setuju. Kamu mau nunggu apa?" tanya mama.

"Oh ya, papa ama mama mau nginap di sini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ya mana mungkin kami nginap di sini, ranjangnya cuma satu gitu. Biar Iskha aja nginap sini, ya?" goda mama.

Vira tersipu-sipu.

"Mama tadi bawa oleh-oleh, makanan-makanannya udah mama taruh di freezer. Mama juga kasih kamu baju baru di lemari, mama juga bawain buah Naga kesukaanmu sama buah Pear, juga Sirsak. Ya udah deh, mama ama papa mau ke hotel dulu," kata mama.

"Lho, emangnya ke sini ada urusan apa ma?" tanyaku.

"Kami diundang di salah satu stasiun tv untuk diwawancara," kata papa.

"Oh ya?" aku menegakkan alis.

"Iya, besok kami akan diwawancara Live, seputar pengusaha gitu," kata papa.

"Oh, makanya kalian ke sini ya?"

"Iya, sekalian bawain oleh-oleh buat anak. Kalau tahu ada calon mantu di sini pasti mama bakal bawa yang lebih," kata mama.

Aku nyengir kuda.

"Ya sudah, papa mau tinggalin kalian di sini kalau begitu, takut ganggu hehehe," papa lalu beranjak.

"Ingat lho Ci, jangan sampai lecet, dijaga calon mantu mama!" kata mama.

"Iya, mah iya!" kataku.

Papa ama mama kemudian keluar dari apartemenku. Vira dan aku menghela nafas.

"Fiyuuhh, hampir saja," kataku.

"Hihihihi, papa ama mamamu menyenangkan ya orangnya," kata Vira.

"Koq ide kita tadi sama ya? Pura-pura pacaran"

Vira mengangkat bahunya.

"Udah ah, aku mau mandi. Besok kita sibuk aku mau istirhat malam ini," kataku.

"Arci, ngomong-ngomong...kalau misalnya kita pacaran beneran salah nggak?" tanyanya.

"Kenapa emangnya?"

"Nggak apa-apa sih, tanya aja"

"Kalau sekarang kita pacaran, salah. Karena kamu aku culik"

"Kalau misalnya aku nggak kamu culik? Kira-kira?"

"Mungkin nggak salah"

Vira tiba-tiba memelukku dari belakang.

"Eh, apaan sih?" gerutuku.

"Ci, habis ini kita pacaran yuk?" katanya.

"Heh?"

"Ayolah Ci, kita pergi gitu kemana kalau penculikan ini berhasil. Ya? Ya? Ya?"

Aku juga bingung terhadap hal ini. Vira cakep sih, cantik, manis, imut, lucu, ngegemesin. Apalagi aku dan dia sama-sama jomblo. Aku berusaha melepaskan pelukannya, aku kemudian membalikkan badanku. Aku memegang bahunya, kedua mata kami beradu.

"Tujuanku hanya ingin memberikan papamu pelajaran, sementara kita jangan terlalu jauh dulu ya?" kataku.

Vira menghela nafas. "Kamu janji?"

"Janji apa?"

"Kalau ini semua selesai kamu mau jalan denganku?"

Aku bingung menjawabnya. Mungkin karena aku lama menjawab akhirnya Vira pun bosan.

"Udah deh, nggak usah dipikirkan. Aku kan cuma korban penculikan," katanya. Ia lalu berbalik dan merebahkan diri di sofa. Sejurus kemudian ia sudah menonton saluran tv HBO yang kebetulan saat itu sedang menyiarkan film Harry Potter.

Aku bingung sekarang menghadapi ini semua. Tapi rencanaku harus jalan terus. Arthur harus diberi pelajaran.





BAB VI

Did it Worked?


Hari Senin, saatnya beraksi. Aku sudah menyiapkan seluruh rencanaku pada hari itu. Dan aku mengajak Vira ikut serta. Setelah tadi malam aku merekam seluruh suaranya, ia heran kenapa aku melakukannya. Aku bilang bahwa ini untuk trik khusus. Aku suruh dia nanti untuk menunggu di Hotel Indonesia.

"Seharian ini kita bakalan sibuk, kamu siap?" tanyaku.

"Iya, aku siap," jawabnya.

Mobil pun aku pacu. Pertama rencanaku adalah aku harus terlihat berada di kantor. Sementara Vira harus menyewa sebuah kamar di Hotel Indonesia. Dari sana dia akan mengawasi mobil papanya yang aku arahkan ke sana. Kedua, aku akan terus memandu papanya untuk pengiriman uangnya. Ketiga, uangnya nanti akan diambil oleh orang lain yang telah aku siapkan triknya. Keempat, aku akan menerima uang itu tanpa bergerak dari tempatku. Kelima, Vira dan aku bertemu lalu kami berpisah di Ancol.

Rencana pertama aku harus terlihat di kantor. Saat itu aku melihat Pak Arthur sedang di ruangan Pak Romi. Entah apa yang mereka bicarakan aku tak peduli. Segera aku telepon dia dengan ponsel yang biasa aku gunakan untuk mengancam kemarin, tentunya dengan SIM card yang berbeda.

Dia mengangkat teleponnya, "Halo?"

"Sudah disiapkan uangnya?" tanyaku.

"Sudah, ada di bagasi," jawabnya.

"Bagus, segera bawa uangnya ke Bundaran HI, engkau akan menerima instruksi lebih lanjut di sana. Ingat kalau aku tahu kamu bersama polisi, maka aku akan menghabisi anakmu!" ancamku. Langsung aku mematikan ponselku.

Kulihat Arthur keluar dari ruangannya. Ia terus aku awasi sampai menghilang dari pandanganku. Aku kemudian menghubungi Vira di telepon.

"Ya?" sapanya.

"Dia mulai bergerak, aku akan suruh dia memutari bundaran HI sampai lima kali, lihat apakah ada mobil yang mengikutinya misalnya ikut berputar dua kali atau lebih, kalau aman hubungi aku lagi," kataku

"OK!" katanya.

Aku kemudian mengumpulkan timku agar mereka bertemu denganku di ruang RnD. Segera aku ke ruangan itu menemui tim zombie kita. Mereka seperti biasa, seperti zombie.

"Ok, siapa di antara kalian yang ingin nonton?" tanyaku.

Semuanya berpandangan.

"Ini serius!" kataku.

Langsung semua anggota tim RnD angkat tangan. Just as espected.

"Kalian hari ini nggak usah kerja, muka kucel semua gitu. Hari ini kita nonbar sama makan-makan, aku yang traktir," kataku.

"Wah, beneran bos?" tanya salah seorang di antara mereka. Aku belum ingat siapa nama-nama mereka semua.

"Iya dong, beneran. Ya sudah, sekarang aku ingin kalian berkemas. Hari ini pokoknya ruangan RnD harus kosong!" kataku.

"Siap bos!" seru mereka serempak.

Ternyata memang anak-anak RnD ini tidak pernah ada waktu buat refreshing. Sekali refreshing mereka gembiranya setengah mati seperti anak TK yang main di taman bermain. Aku kemudian pergi ke bendahara untuk request dana untuk nonton bareng. Bendaraha sampai heran.

"Emang buat apa nonton bareng?" tanyanya.

"Buat mencari ide dan inspirasi baru," jawabku.

Pak Romi yang menandatanganinya agak aneh aja dengan requestku. Tapi karena beliau saking percayanya kepadaku akhirnya mengiyakan saja. OK, dana buat nonton bareng sudah ada. Aku akhirnya keluar dari kantor. Selama perjalanan ke bioskop aku terus memantau kontak dari Vira. Aku juga menelpon Arthur.

"Anda sampai di mana?" tanyaku.

"Aku hampir sampai di bundaran HI," jawabnya.

"Tetap berputar-putar di bundaran HI sampai aku menghubungimu," kataku. "Anda pakai mobil apa?"

"Mobil BMW warna hitam nomor plat B 4*** ILO," jawabnya.

"OK," aku menutup teleponnya.

Tak terasa aku pun sampai juga di bioskop. Waktunya rencana selanjutnya. Aku kemudian membooking tiket. Aku sengaja memilih deret kursi tengah sedangkan anggota timku memilih bebas. Aku kemudian masuk ke gedung teather bersama anggota tim RnD. Mereka semua sudah asyik sendiri. Film pun dimulai. Lampu gelap. Aku pun kemudian keluar dari gedung teather. Aku harus punya alibi bukan? Inilah alibiku.

Aku menghubungi Vira, "Bagaimana Vir? Kelihatan?"

"Iya, mobil papa udah berputar-putar di Bundaran HI, tak ada yang mengikuti," katanya.

"OK, terus pantau. Aku akan mengarahkannya ke arah yang lain," kataku. Teleponku aku tutup. Setelah itu aku memakai telepon yang lain untuk menghubungi Pak Arthur.

"Pak Arthur?" sapaku.

"Ya, aku sudah lama berputar-putar ini," katanya.

"Pergi ke Delivery Rocket pengiriman dokumen. Kirimkan uangnya ke alamat yang akan aku SMS kepadamu setelah ini," kataku.

"Ngirim uang pake kurir?"

"Ada yang aneh? Lakukan saja! Setelah itu kirimkan nomor resinya ke nomor ini segera!"

Aku kemudian mengirimkan sebuah alamat melalui SMS. Setelah itu aku matikan ponselku. Delivery Rocket kantor pengiriman dokumen itu hanya satu kantornya di kota ini. Aku pun melajukan mobilku untuk segera pergi ke Delivery Rocket yang jaraknya tak jauh dari tempat aku nonton bareng.

Aku memarkirkan kendaraanku tak jauh dari kantor kurir itu. Kemudian setelah menunggu beberapa menit datanglah mobil BMW ke kantor kurir itu. Dari dalam mobil keluarlah Pak Arthur, ia membuka bagasinya kemudian membawa tiga buah tas yang besar lalu dibawa masuk ke dalam.

Aku segera menghubungi Arthur lagi, "Anda sudah sampai?"

"Ya aku sudah sampai," jawabnya.

"Bagus, kalau begitu kirimkan ke alamat yang tadi aku maksudkan. Dan isi nomor teleponnya dengan nomor telepon yang akan aku kirimkan lewat SMS tadi, sehingga nanti kurir kalau salah alamat bisa menghubungiku," kataku.

"Iya, aku mengerti," katanya. "Setidaknya aku ingin mendengar suara putriku!"

"OK, sebentar," kataku.

AKu kemudian memilih file rekaman di ponsel Samsung Galaxy S4 milikku. Lalu aku menghidupkan rekaman suara Vira, "Papa, papa?!"

"Vira?! Kamu tak apa-apa?" tanya Arthur.

"Papa, aku baik-baik saja. Lakukan apa yang mereka minta!" suara Vira di rekaman.

"Cukup! Sudah mengerti kan? Lakukan apa yang kami inginkan," kataku.

"Baiklah," kata Arthur. Aku senang sekali dan ingin melihat wajahnya ketika aku peralat seperti ini. Rasanya bakal puas kalau aku bisa mengerjainya. Tapi aku masih berdebar-debar kalau-kalau polisi mengikutinya.

Setelah beberapa saat kemudian Arthur keluar dari kantor Delivery tersebut. Dan kini ia pun pergi dengan mobilnya. Setelah mengawasi cukup lama aku kemudian kembali lagi ke bioskop agar anggota tim yang lain tidak curiga dan mendapatiku masih ada dan nonton bareng bersama mereka. Untungnya filmnya pernah aku tonton jadi aku bisa bercerita banyak dengan mereka nanti kalau misalnya mereka tanya-tanya sesuatu.

OK, dalam waktu tiga puluh menit aku sudah kembali ke teather dan duduk di kursi tempat aku tadi pergi. Aku nikmati sisa-sisa filmnya lalu setelah itu ending semua bubar. Mungkin karena filmnya seru sehingga mereka tak sadar kalau aku tadi keluar dari ruangan studio ini.

Anggota tim akhirnya berkumpul lagi setelah itu aku ajak mereka ke food court. Kemudian ponsel yang digunakan untuk ditelpon oleh kurir pun berbunyi. Aku menyuruh anggota timku makan sepuasnya nanti billnya aku yang bayar. Mereka pun bersenang-senang hari itu, tak ada lagi wajah zombie yang kelihatan dari raut wajah mereka.

Aku segera pergi sejenak menerima telepon. Kurir ini terkenal cepat kerjanya, bahkan sekarang saja mereka sudah menelponku.

"Pak ini mau dikirim ke mana?" tanyanya. "Koq alamatnya katanya nggak ada."

"Sebentar, saya pake nomor ponsel yang satunya ya, ini nomormu?" tanyaku.

"Oh, iya pak," katanya.

AKu lalu menekan nomor itu di layar ponselku yang lain. Lalu aku matikan yang aku gunakan untuk ditelpon olehnya tadi. Kemudian aku menelpon dia. Segera dia mengangkat.

"Halo, ini saya yang barusan ditelpon tadi," kataku.

"Dengan Pak Reza?" tanyanya.

"Iya, saya sedang ada di Hotel Indonesia lantai empat. Bisa tolong kirimkan ke kamar nomor 400?"

"Oh, OK," katanya.

"Nanti kalau ada apa-apa telepon aku di nomor ini ya," kataku kemudian setelah itu aku menutup telepon. Aku kemudian kembali ke meja makan. Aku habiskan waktu yang menyenangkan bersama timku. Setelah nonton selesai, makan-makan selesai aku kemudian pamit, tim aku ijinkan pulang atau kembali ke kantor. Hari ini aku sengaja membuat surprise buat mereka.

Moga aja dengan perlakuanku tadi tim RnD nggak seperti tim zombie. Iyalah, dari semua tim hanya tim kami saja yang orangnya kelihatan kucel, nggak terawat, ngupilan, rambut awut-awutan, bahkan mungkin setan aja takut ama mereka. Tampaknya setelah nonton dan makan bareng tadi mereka sedikit bersemangat, punya gairahlah walaupun dikit.

Aku tidak langsung pulang tapi pergi ke Hotel Indonesia. Aku memang menyuruh Vira untuk menunggu orang yang mengantarkan barang. Aku memang menyewa dua kamar, kamar 400 dan 401. Ketika kurir datang meletakkan barangnya dia akan menelponku.

"Pak, halo?" sapanya.

"Ya halo," jawabku.

"Sudah di depan kamar 400 pak," katanya.

"Makasih, tinggalkan saja saya sedang makan siang," kataku.

"Oh, baik. Makasih pak telah memakai jasa kami," katanya.

"Sama-sama,"jawabku. Aku segera menutup teleponku dan membuangnya. SIM Card aku lepas, lalu ponselnya aku masukkan tong sampah. Aku kemudian menelpon Vira.

"Yap, Halo?" sapanya.

"Ambil paketnya di luar!" kataku.

"Siap boss!" jawabnya.

Aku kemudian menutup teleponku dan membuangnya lagi seperti tadi. Setelah itu aku melaju di atas jalanan macet menuju Hotel Indonesia. Prosentase kemungkinan rencanaku berhasil adalah 90%, aku tinggal melihat uangnya saja. Dengan tenang aku memarkir kendaraanku di basement, kemudian segera ke ruangan 401. Aku mengetuk pintu dan wajah Vira langsung nongol.

Ia melompat-lompat kegirangan melihatku. Dari ekspresinya sudah pasti rencanaku 100% berhasil.

"Kamu emang pinter banget Ci! Berhasil!" serunya. Dia langsung menarikku dan memperlihatkan tiga buah ransel besar. Aku cuma tersenyum kecut. Terlalu gampang? Mungkin.

"Ya udah deh, segera dipindah dan buang ranselnya," kataku.

Kami sudah mempersiapkan tiga kopor besar. Dari siang sampai malam kami sibuk menata uang di koper dan menghitungnya. Capek juga yah ngitung uang sebanyak ini. Mataku saja sampai capek. Baru kali ini aku megang duit beneran sejumlah 3 Milyar. Tapi aku bukan orang yang ndeso yang kalau ada uang 3 M langsung dibuat kasur. Nggaklah, tetap cool. Emangnya kalian yang terkadang pake acara norak sebar-sebar uang? Nggak lah, stay cool.

Aku dan Vira berhasil mengumpulkan semua uang ini. Aku sendiri nggak percaya. Tapi biasanya bakal ada orang yang masuk nodongin senjata dan kami terlibat perkelahian. Atau tiba-tiba ada polisi datang. Tapi setelah kami diam di kamar selama dua jam sambil menata uang, nggak ada yang masuk.

Gila men, mimpi apa semalam lihat duit 3 M. Aku dan Vira ketawa-ketawa di kamar. Jelas saja perasaan kami campur aduk, antara senang dan tidak percaya. Aku kemudian menelpon Arthur dan berkata, "Uang telah diterima paket akan kami kirimkan besok"

Tapi meskipun aku sudah dapatkan hasil 100% keberhasilan dari rencanaku ada satu yang belum. How about the girl? Oke, kalian mau tahu bagaimana Vira bisa telentang aku tindih tanpa busana? Semuanya hanya karena sentuhan. Just a magic touch.

Setelah kami mengumpulkan uang dan memasukkannya ke dalam koper, aku dan dia duduk bersebelahan sambil menatap koper itu. Kami bingung, berbagai pikiran berkecamuk. Kalau misalnya duit itu dibeliin ayam goreng dapat berapa, dibeliin kerupuk dapat berapa, dibeliin tempe bisa jadi satu kampung muntah semua. Dengan duit segitu aku bisa pensiun dini, depositoin itu ke bank dan tiap bulan cuman nikmati bunganya aja. Atau aku pergi ke Karibia menghabiskan waktuku berjemur atau berenang. Atau ke Dubai menikmati pemandangan dari gedung pencakar langit tertingginya.

Tapi daripada menghabiskan uang tersebut, di sebelahku ada bidadari imut yang sejak dari kemarin kepengen aku cium. Ya, siapa lagi kalau bukan Vira. Aku menengokkan kepalaku ke samping. Kami berdua mungkin sudah ditakdirkan untuk berciuman hari itu. Ya, aku pun mencium dia dengan ganas, dengan nafas memburu dan Vira benar-benar menerimaku. Mungkin seperti pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah apa itu ulam. Ulam dalam bahasa jawa itu artinya daging empal. Tahu kan daging sapi yang ditumbuk yang biasanya dihidangkan dengan soto atau nasi pecel? Lho, koq malah ngomongin makanan.

Oke back to my moment.

Aku dan Vira berpelukan erat sambil kedua bibir kami tak lepas satu sama lain. Kami saling mengecup, menghisap ludah masing-masing. Kedua tangan Vira mengusap dadaku hingga ke pundak dan dia melingkarkan tangannya di leherku. Ia lalu melepaskan ciumannya. Kedua matanya menatapku dengan sayu.

"Ci, panggil aku Iskha," katanya.

"Hmm? Kenapa?"

"Karena nama itu yang dikenal orang tuamu kepadaku, panggil aku malam ini dengan sebutan itu ya, kumohon"

Agak aneh permintaannya, tapi aku pun akhirnya memanggilnya, "Iskha...."

Vira menciumku lagi. Ah, entahlah. Aku belum pernah bilang cinta kepadanya. Jadian aja belum. Mungkin karena getaran-getaran listrik yang saling mengejutkan di kamar 401 ini membuatku jadi tertarik kepadanya. Kami pun berciuman makin lama-makin hot. Ketika aku buka kancing kemejanya ia diam saja, kuloloskan kemejanya hingga ia kelihatan bra dengan cup 34c. Ciumanku beralih ke pipi, lalu ke lehernya.

"Ahh....Arci..," desahnya.

Ia juga perlahan-lahan membuka kancing bajuku. Satu per satu kancing bajuku di lepasnya dan aku sudah bertelanjang dada. Vira mencium dadaku, dibenamkan wajahnya ke dadaku, ketika dia berbuat seperti itu. Aku buka kaitan bra-nya. Dengan satu gerakan loloslah penutup buah dadanya itu. Wajahnya yang imut kembali menatapku.

"Aku tak tahu ini cinta atau tidak, tapi aku tak menyesalinya kalau ini adalah cinta," kataku.

"Fuck that Arci, kalau lo emang suka ama aku bilang aja. Aku juga soalnya," dia menciumku lagi.

"Tapi, aku butuh alasan untuk mencintaimu"

"Apakah harus? Sejak bertemu denganmu itu sudah jadi alasan kenapa aku bisa sampai menyukaimu"

Apa aku harus menolaknya? Tidak. Tidak perlu. Aku tak akan mengecewakannya. Aku langsung menciumi lehernya lagi. Iskha mendesah. Ia pun kutidurkan di atas ranjang. Tangannya terus memeluk leherku dan jemarinya meremas-remas rambutku. Kuhisap putingnya yang runcing mengacung. Kuremas-remas buah dadanya yang padat dan kenyal itu. Harum bau tubuhnya benar-benar memabukkanku. Kulihat lagi wajahnya yang kini matanya sudah terpejam menikmati sentuhan-sentuhanku.

Damn, kenapa perasaanku seperti ini sekarang. Benarkah aku jatuh cinta kepadanya?

Aku buka kaitan celananya. Vira membantuku meloloskannya tak hanya itu ia juga melepaskan celana g-stringnya. Eh? Sungguhan? Iya, aku bisa melihat sesuatu yang disebut mahkota wanita terpampang di sana. Sesuatu dengan bulu-bulu halus. Vira membantuku melepaskan ikat pinggangku, lalu celanaku dan kami sudah telanjang sekarang. Bugil bo, bugil. Tahu kan bagaimana kalau cowok ngelihat cewek bugil. Tentu saja, tongkat pusakanya tegang 100%.

Vira menatapku dengan mata sayunya lagi. Aku menindihnya. Ahhh..hangatnya tubuh cewek ini. Ia mengusap pipiku.

"Aku cinta kamu ci," katanya.

"Vi..maksudku Iskha. Kamu pernah beginian?" tanyaku

Ia menggeleng.

"Sungguh?"

Ia mengangguk.

"Jadi aku yang pertama dong?"

"Kamu sendiri?"

"Hmm... kalau aku pernah?"

"Berarti kamu bisa melakukannya dengan lembut kan?"

"Entahlah"

Kami berpagutan lagi. Tanganku sudah mulai mencolok-colok liang senggamanya. Menggesek belahan bibir kemaluannya yang lambat laun mulai becek. Kepala pionku mulai aku pasang di depan liang senggamanya. Mata Vira menatap sayu kepadaku. Wajahnya benar-benar cantik, imut, membuatku ingin menciumnya lagi.

Sambil berciuman tongkatku udah mulai masuk sedikit. Vira mengakangkan kakinya. Ia benar-benar pasrah kepadaku, Ketika hentakan kemaluanku pertama kali merobek keperawanan miliknya untuk pertama kali ini membuat Vira melenguh sambil memelukku erat. Matanya terpejam dengan ia menggigit bibir bawahnya. Aku tekan perlahan. Terasa kedutan-kedutan meremas-remas batang kemaluanku.

"Cii...!" pekiknya.

Aku elus-elus rambutnya untuk memberikan rasa nyaman. Batangku benar-benar keras, ditambah lagi seperti ada rasa remasan-remasan memelintir kemaluanku. Antara enak dan ngilu, kombinasi yang memabukkan. Perlahan-lahan aku pun menekan lagi hingga untuk pertama kalinya aku merobek keperawanan seorang cewek.

"Aahhkk!" pekiknya lagi. Ia menatapku lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, seolah-olah menyiratkan "sakit bego!"

Aku diamkan kemaluanku di dalam liang senggamanya. Hangat, ngilu, enak, campur jadi satu. Lendirnya pun banjir membasahi batangku. Aaahhh...gini ya rasanya ngentot. Jujur, ini pertama buatku. Dan, iya....aku akui aku suka ama dia.

"Iskhaa...ahhh...aku cinta kamu," bisikku di telinganya.

"Aku juga Ci....aaahhh...!" balasnya.

Kenikmatan yang menggelora ini membuatku makin mabuk kepayang. Aku pun mulai menarik pantatku dan memajukannya. Seiring gesekan kulit kemaluan kami, membuatku tak bisa menyembunyikan betapa nikmatnya persenggamaan ini. Berkali-kali Vira aku goyang dan berkali-kali juga ia melenguh.

"Nikmat sekali Iskh...," bisikku.

"Aahh..iya Ci...aahh...ahh.."

Kamar itu pun menjadi panas dengan perguluman kami berdua, Pinggul kami sama-sama bergoyang, kemaluannya benar-benar mengocok dan mengempot-empot batangku yang sudah mengeras maksimal. Bunyi benturan selakangan kami memenuhi ruangan kamar 401 ini. Ahh...aku tak ingin cepat-cepat, aku sangat menikmatinya. Begitu juga Vira. Aku tak tahu alasan kenapa dia ingi dipanggil Iskha.

Mungkinkah memang cinta itu tak perlu alasan. Tak perlu sesuatu untuk dijadikan patokan kenapa aku harus suka, kenapa seseorang harus cinta. Bisa jadi yang aku lakukan ini karena instingku sebagai lelaki normal di hadapan cewek bugil, polos tanpa busana. Imut, cantik, menggemaskan, sebagai lelaki normal mencium bibirnya yang lembut adalah hal yang sangat lezat. Ya, lezat tentu saja. Anda pernah merasakan bagaimana es krim yang lumer di lidah? Ketika setiap sentuhan es krim ke bibir kita itu rasanya dingin? Ya, itulah yang aku rasakan ketika bibir lembutnya aku cium.

Dan sekarang kejutan lainnya adalah lidah kami saling bertemu. Menghisap satu sama lain. Mencari celah-celah kenikmatan. Aku memeluk tubuhnya sambil menggenjot dengan irama yang tidak terlalu terburu-buru. Lama-lama aku tak kuat. Penis yang selama ini nggak pernah menggesek liang senggama cewek ini pun akhirnya mulai merasa gatal, geli dan rasanya mengeras.

"Aaahhkk...Vi..maksudku, Iskha..aku...mau kelaur!" kataku.

"Iya...ahhkk...dikit lagi, tahan dong!" katanya.

Aku terus menggenjotnya makin lama, makin cepat, cepat lagi. Dan Vira menggeleng-gelengkan kepalanya kiri kanan. Ia juga makin memelukku erat.

"Aah ahh ahhh...ahhh..ahh...ahhh..ahhhkk... Ciii...nyampe Ciii.....aaaaaaakkkhhh!" jeritnya.

Aku juga akhirnya nyemprot. Aku nggak kuat lagi, pertahananku jebol. Kemaluannya benar-benar menjepitku rasanya nikmat sekali. Eh...koq aku keluar di dalam? Terlambat. Aku baru sadar setelah spermaku keluar semua. Aku ambrukkan kepalaku di bantal. Badanku masih menindih Vira. Nafas kami masih belum tenang. Rasanya nikmat sekali, aku tak pernah merasakan seperti barusan.

Aku bangkit dan melihat hasil perbuatanku di bawah sana. Ketika penisku kutarik, Vira sedikit menggelinjang. Becek sekali kemaluannya, ketika penisku kutarik spermaku yang ada di dalamnya juga ikut meleleh keluar bercampur dengan bercak darah keperawanan miliknya. Gila, aku barusan merawanin anak orang. Tiba-tiba rasa bersalah datang kepadaku. Tapi, buru-buru kutepis. Aku suka ama Vira. Ya, aku akui itu. Dan rasanya nggak enak juga ngerjain calon mertuaku seperti ini.

Vira pun tertidur dengan posisi mengangkang. Aku sedikit geli melihat posisi tidurnya itu. Buru-buru aku menyelimutinya dan tidur di sebelahnya. Vira menggeliat dan memelukku.

Oke, jadi perfect bukan hidupku? Dapat duit, dapat ceweknya. Kalian iri? Iya harusnya iri. Tapi persoalannya belum berakhir sampai di sini. Aku tak bisa tidur malam itu. Masih terjaga. Vira mendengkur halus dalam pelukanku. Ia merasa nyaman. Sebentar lagi kami berpisah. Ia harus aku kembalikan ke Arthur Darmawan. Apakah hubungan kami akan berlanjut? Aku tak tahu. Sebentar lagi peranku sebagai penculik selesai, begitu juga dengan peran dia sebagai korban penculikan juga selesai.


*********** Perfect Love **************


Kami sudah check out dari hotel besoknya. Aku berada di jalanan menuju perumahan Menteng dan mobilku kuhentikan agak jauh dari pos satpam. Aku menyimpan koper berisi uang kami di sebuah brankas di bank. Kami tak perlu memberitahu apa yang ada di dalam deposit box tersebut. Masih di dalam mobil bersama Vira. Aku mengikat tangannya.

"Aku akan menurunkanmu di dekat sini, kamu akan ditolong oleh orang-orang terutama satpam penjaga perumahan," kataku. "Kunci kopornya aku akan kirimkan kepadamu besok. Jadi kamu bisa ambil bagianmu."

"Ci, aku ingin pergi bersamamu. Tak bisakah kita pergi, berdua, bersama gitu?" tanyanya.

"Vir, jangan sekarang yah. Kita nikmati dulu apa yang terjadi sekarang," kataku sambil mengusap rambutnya.

Matanya berkaca-kaca. Aku berikan kecupan lembut di bibirnya. Aku usap pipinya, lalu aku cium lagi dia. Entah kenapa ada rasa tidak tega untuk berpisah dengannya dengan cara seperti ini.

"Maafkan aku," kataku.

"Jadi, tidak mungkin yah kita pergi gitu? Ke mana kek, ke Australi, England, Praha?"

"Tidak sekarang"

Vira agak kecewa. Dia lalu membuka pintu mobil. Dia menatapku lama, sampai kemudian dia berjalan dengan tangan terikat meninggalkanku. Aku menghela nafas. Benar-benar ada rasa yang sakit di dadaku ketika aku melihat dia pergi. Tapi rencanaku tetap harus berjalan bukan?

Aku pun kembali ke apartemenku. Hari ini aku ijin tidak masuk kerja karena sakit. Ingin menenangkan diri setelah baru saja mendapatkan pengalaman yang mendebarkan seumur hidupku. 



BAB VII

Twisted


Hal yang teraneh dalam hidupku adalah engkau berada satu meja dengan orang yang kamu benci. Iya, siapa lagi kalau bukan Arthur. Dia sibuk mengunyah steak tenderloin yang baru saja ia pesan. Steak itu ia kunyah dengan sangat nikmat. Dia lalu menoleh ke arahku.

"Kenapa nggak pesan? Pesan saja!" katanya. "Penjelasanku tadi sudah jelas, bukan?"

Stop!

Bagamaimana bisa sampai seperti ini? Kenapa aku harus makan satu meja dengan orang ini? Kalian mungkin tak akan percaya, tapi sebaiknya aku ceritakan semuanya dari awal.

Setelah aku memulangkan Vira dan mengirimkan amplop berisi kunci koper itu kepadanya. Aku sedikit menjalani kehidupanku dengan tenang. Tenang karena aku sudah memberikan pelajaran kepada Arthur. Namun di sisi lain ada ketidak tenangan. Ya, bagaimana bisa tenang kalau aku teringat dengan Vira, orang yang aku sayangi. Hiasan wallpaper Hello Kitty-nya saja masih ada di apartemenku. Si Hello Kitty itu bagaimana keadaannya sekarang?

Pagi itu sepi, kalau biasanya Si Hello Kitty itu datang ke dapur membaui masakanku, sekarang nggak lagi. Di sofa aku masih lihat selimut dan bantalnya. Kepengen rasanya kalau dia tidur di apartemenku lagi, aku nggak bakal membolehin dia tidur di sofaku. Tidur seranjang aja deh. Aku menghela nafas dan pagi itu masak yang simple, nasi goreng plus telor ceplok.

Aku tidak begitu semangat berangkat ke kantor. Namun aku tetap memaksa wajahku untuk ceria. Jangan deh aku ikut-ikutan jadi zombie gara-gara ini. Aku segera ke mejaku dan membalasi semua email yang ada. Aneh, aku tak melihat Doni hari ini. Kemana dia? Aku telpon ponselnya juga nggak aktif.

Bahkan ketika siang hari pas jam makan siang pun dia tidak muncul. Biasanya ia minta ditraktir. Aku iseng melihat berita di tv.

"Baru-baru ini anak seorang pebisnis dan pengusaha pemilik Darmawan Group ditemukan tewas. Vira Yuniarsih Darmawan usia 24 tahun ditemukan tewas di pinggiran kota setelah sebelumnya tidak pulang selama beberapa hari. Menurut keterangan keluarga korban kemungkinan dia kabur dari rumah, setelah itu korban diculik dan dibunuh.

"Dengan kerja sama dari masyarakat akhirnya tidak sampai dua puluh empat jam setelah mayat ditemukan, polisi kemudian menangkap tersangka di rumahnya. Tersangka berinisial DH telah mengaku menculik korban tapi tak sengaja membunuhnya. Atas hal ini tersangka akan dijatuhi pasal penculikan dan penghilangan nyawa seseorang...." berita di tv itu langsung membuatku tersedak.

"Vira? Tak mungkin!" gumamku. Tapi aku merasa aneh dengan foto yang dimunculkan di tv. Itu bukan Vira! Bukan Vira yang aku kenal. Lalu kalau itu Vira, siapa yang bersamaku selama ini???

Aku melanjutkan menonton berita di tv itu.

"Keluarga Darmawan sangat terpukul atas hal ini. Seperti yang diketahui keluarga Darmawan mempunyai dua orang anak, mereka semua wanita. Yang pertama bernama Iskha Kusumaningrum Darmawan, dan yang kedua merupakan anak tiri yang bernama Vira Yuniarsih Darmawan.....," penjelasan reporter itu seolah-olah menyadarkanku kalau selama ini aku hanya diperalat.

Ponselku bergetar. Aku lihat nomornya. Itu Pak Arthur. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Halo?" aku mengangkat dan langsung bicara.

"Aku ada di restoran di seberang jalan. Kalau kamu ingin bicara denganku silakan aku ada di sana," katanya di telpon. Aku melihat restoran besar itu. Restoran yang mana masakannya selalu mewah dan kebarat-baratan. Aku menutup teleponku dan segera meninggalkan makanan yang belum sempat aku sentuh tadi.

Begitu masuk ke restoran ini aku seperti masuk ke sebuah aula yang sepi pengunjung. Atau memang restoran yang luas dengan berbagai ornamen klasik ini memang sudah dibooking oleh seseorang? Namun berbagai petanyaanku yang timbul ini akhirnya terjawab sudah setelah aku melihat di sebuah sudut ujung meja tampak seseorang yang sangat aku kenal. Orang yang menguasai saham perusahaan tempatku bekerja berada menikmati makan siang sepotong steak tenderloin dengan segelas wine.

Begitu melihatku, ia langsung melambai. Aku pun berjalan menuju ke arahnya. Melihat ia makan dengan nikmat aku juga jadi ngiler sebenarnya, mana tadi aku belum nyentuh makan siangku. Welahdalah, koq aku malah mikirin makanan sekarang? Ia memberi aba-aba untuk duduk. Aku sekarang duduk. Semeja dengan orang yang sangat aku benci itu.

"Kamu pasti bingung dengan apa yang terjadi," katanya.

"Sejujurnya, iya," kataku.

"Aku akan cerita singkat. Pertemuanku denganmu merupakan sebuah anugrah yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Engkau cerdas, cerdik dan lebih daripada itu, kamu mempunyai charming yang tidak dimiliki oleh pemuda biasa seperti dirimu. Awalnya aku ragu ketika memilihmu untuk melakukan ini semua tapi percayalah, engkau telah menolong putriku dari sebuah kemelut yang aku sendiri sebenarnya tidak ingin dia mendapatkan musibah ini."

"Langsung saja, tak usah berbelit-belit. Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Arci, Arci. Aku telah menyelidiki latar belakangmu. Aku kenal ayahmu sebagai seorang pengusaha kuliner yang sukses. Dulu aku pernah berbisnis dengannya dan agaknya bisnis ayahmu sekarang berhasil. Beruntung dia mempunyai anak seperti dirimu, cerdas luar biasa. Tapi sayang, kamu kurang cerdik.

"Masalah yang aku hadapi cukup pelik. Punya seorang anak yang pemadat, broken home. Semuanya memang salahku yang kurang memberikan ia perhatian. Tapi sejujurnya Vira adalah gadis yang baik. Aku juga sangat mencintainya. Sebenarnya juga aku memperlakukan kedua putriku sama. Baik Iskha ataupun Vira. Tapi sayang keadaannya berubah ketika dia dekat dengan seseorang, aku tak tahu siapa. Tapi yang jelas pemuda itu telah menjermuskan Vira untuk memakai obat-obatan terlarang, dugem, bahkan pesta sex.

"Suatu hari aku pulang ke rumah dan mendapati Vira bersimbah darah dengan pisau menancap di perutnya. Aku melihat Iskha menangis di sampingnya. Akhirnya aku sadar kalau Iskha tidak sengaja membunuh adiknya itu. Aku panik tentu saja. Nama baikku dipertaruhkan. Bagaimana mungkin putri seorang pemilik Darmawan Group ini menjadi seorang pembunuh? Aku tak ingin membiarkan itu semua terjadi. Aku pun mengatur siasat. Semuanya sudah aku rencanakan.

"Doni Hermansyah adalah tumbal. Bukan, dia bukan tumbal. Tapi pion untuk membuat rencanaku berhasil. Dia sedang butuh uang untuk keselamatan ibunya yang sekarang sedang terkena kanker paru-paru. Aku bersedia membantunya agar dia menjadi orang yang bersalah atas pembunuhan Vira. Dan kalau dia tak mau aku mengancamnya akan mencelakai kekasihnya Yuyun. Tentu saja ia mau dengan sukarela. Terlebih itu untuk keselamatan ibunya dan juga pacarnya. Tinggal kemudian aku harus mengatur plot, bagaimana Vira diculik. Aku pun mengajak Iskha untuk ikut dalam permainan ini, ia pura-pura menjadi Vira. Tapi sepertinya ia malah jatuh cinta beneran kepadamu.

"Untuk meyakinkanku bahwa engkau orang yang tepat maka aku atur skenario. Aku suruh Doni pura-pura dekat dengan Vira dan memutuskan Yuyun. Yuyun tentu saja shock diputuskan pacarnya. Melihat engkau tidak ngapa-ngapain Yuyun di kontrakannya, hal itu membuatku yakin engkau tak akan mencelakai putriku kalau dia bersamamu. Dan ujianku ternyata tidak salah. Kamu benar-benar menjaga putriku selama di apartemenmu. Bravo, kamu memang gentleman. Dan uang itu? Hahahaha, uang itu sudah aku siapkan dan akhirnya juga kembali kepadaku. Aku suruh Iskha untuk mengambil semua uang yang kamu simpan. Terima kasih kamu telah mengarahkan polisi melacak telepon dan rute pelarianmu hingga akhirnya menemukan mayat Vira. Alhasil nama Iskha bersih, nama Darmawan juga bersih. Terima kasih."

Penjelasan panjang lebar Arthur Darmawan ini makin membuatku membenci orang ini. Tanganku terkepal.

"Kenapa nggak pesan? Pesan saja!" katanya. "Penjelasanku tadi sudah jelas, bukan?"

Aku melihat menu yang berada di atas meja makan. Glek! Laper sebenarnya. Tapi kepalaku berputar-putar, pusing rasanya. Shock karena apa yang aku rencanakan ternyata malah ada orang yang sudah jauh melangkah dua jengkal di depanku. Aku pun mengumpat dalam hati. Stress...perutku kosong. Aku butuh makan. Aku butuh berpikir.

Aku kemudian melambai ke pelayan. Dia pun datang.

"Pesan saja, aku yang bayar," kata Arthur.

"Aku pesan semua menu ini," kataku sambil menunjuk ke menu spesial. "Ingat semuanya, juga minuman ini, ini dan ini!"

Pelayan mengerutkan dahi. Ia tak menyangka aku memesan itu semua. Emangnya kuat makan makanan begitu banyak? Dia tak tahu kemampuan perutku dalam kondisi stress seperti ini.

Akhirnya aku pun terdiam setelah pelayan pergi untuk ke dapur. Kulihat wajah Arthur sangat puas sekali.

"Aku setuju setuju saja kamu dekat dengan Iskha, kamu cerdas dan orang yang karirnya cemerlang. Aku sebenarnya tak sampai hati menolak proyekmu kemarin itu. Semua itu agar kamu benar-benar membenciku dan melakukan rencana ini. Hahahaha, aku tak bisa menahan ketawa karena hal itu," kata Arthur.

Pikiranku terus berkecamuk. Aku tak bisa berpikir secara logis. Bagaimana mungkin orang seperti Arthur ini sangat licik. Mau melakukan apa saja agar namanya baik.

"Aku sedang terlibat kontrak dengan salah satu perusahaan mobile terkemuka dari Korea. Kalau ini deal, kantormu dan groupku akan menjadi perusahaan pertama yang mengisi aplikasi mobile mereka. Tahukah kamu, mereka itu melihat nama baikku, maka dari itulah kalau sampai aku ataupun keluargaku terlibat kasus kriminal, bisa-bisa kontrak batal. Dan itu sama sekali tidak baik. Lagi pula aku tidak mau melihat Iskha depresi gara-gara kesalahan yang tak sengaja ia lakukan"

Selama sepuluh menit aku diam sambil melihat Arthur Darmawan makan siang dengan lahapnya. Saat itulah pesananku tiba. Dalam sekejap mejaku penuh dengan makanan. Aku pun segera memasang serbet, lalu memakan semuanya. Ya semuanya. Makanku sangat lahap. Saat makan itulah aku berpikir, aku tak menghiraukan dia ngomong apa.

Aku berpikir kenapa aku bodoh, kenapa aku tolol sekali. Seharusnya dari ketika pertama kali Doni putus dengan Yuyun dan mengatakan bahwa dia dekat dengan putri Arthur aku sudah curiga. Dia sangat mencintai Yuyun, tak mungkin dia selingkuh. Aku sudah kenal sahabatku ini, lalu kenapa sampai aku meragukannya? Terlebih ketika Doni terlihat biasa saja setelah diputus oleh Vira...yang sebenarnya adalah Iskha. Juga ketika dia khawatir Yuyun aku apa-apain. Itu artinya ia tak pernah bermaksud memutuskan Yuyun.

Aku juga seharusnya curiga. Anak cewek jaman sekarang bagaimana mungkin tidak membawa ponsel? Iskha saat itu pasti membawa ponsel dan melaporkan semuanya kepada papanya. Aku bodoh, karena aku tak pernah menggeledah isi tasnya. Dia berhasil menguras kartu kreditku 4 juta bo', 4 juta! Tak hanya itu, duit 3 milyar itu sekarang tak pernah aku memilikinya. Iskha telah mengambilnya dan diberikan lagi ke papanya. Sedangkan aku hanya menikmati makan siang ini di sini bersama orang brengsek yang bernama Arthur. Sial, ia cerdik, licik, konspirator tulen.

"Aku sudah selesai, kalau kamu masih makan dan ingin pesan lagi pesan saja. Bil-nya dari aku. Aku telah memberikan bonus kepadamu langsung masuk ke rekeningmu. Kuharap bonus itu tak mengecewakan. Terima kasih telah berguna untukku. Dan satu lagi, kuharap kamu tak dendam kepadaku. Aku sangat menyayangi putriku soalnya, kuharap kamu memahami kenapa aku melakukan ini semua," kata Arthur sambil menepuk pundakku, kemudian dia pergi meninggalkanku sendirian menghabiskan seluruh yang tersaji di meja makan.

Aku makan semuanya sampai habis. Sendirian, hingga pikiranku pun tercerahkan. Aku akan balas dia. Arthur benar-benar brengsek. Dan aku punya cara untuk membalasnya. Terima kasih atas makanan yang telah aku makan tadi. Aku benar-benar bersemangat untuk mengalahkannya kali ini dan rencanaku aku yakin 100% berhasil. Otakku tiba-tiba saja berpikir seperti air terjun yang mengalir. Mungkin aku boleh dibilang seperti Detektif Obesitas Kim yang tubuhnya menyusut ketika berpikir keras. Ya, bisa jadi seperti itu, karena setelah berpikir keras tadi aku merasa belum pernah makan padahal makanan semeja tadi aku sendiran yang menghabiskan. Dan aku belum kenyang.



************* Perfect Love ************



Aku menjenguk Doni di rumah tahanan sore itu. Aku langsung marah-marah ketika melihat dia di ruang besuk.

"Kamu brengsek Don! Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?" tanyaku.

"Sorry sob, ini semua demi ibuku dan Yuyun. Kamu harus tahu keadaanku," jawabnya.

"Kamu masih nganggap aku sahabatmu nggak sih? Ngapain kamu rela menjadi tersangka seperti ini?"

"Nggak lama koq sob aku tinggal di sini. Tiga tahun doang setelah itu aku bebas. Pak Arthur menjaminnya. Yang penting ibuku sembuh dan Yuyun nggak kenapa-napa"

BRAK! Aku gebrak meja!

"Kamu bisa bicara seenaknya begitu? Kamu tahu kalau aku sekarang seperti orang yang dipermainkan. Nggak kamu, nggak Arthur, nggak juga Iskha. Kalian benar-benar hebat mempermainkanku!" bentakku ke Doni.

"Aku sudah bilang aku minta maaf, Ci," kata Doni sambil memelas. "Aku tak punya pilihan lain. Apa yang bisa aku lakukan?"

Melihat tangan Doni yang terborgol itu aku jadi kasihan juga sebenarnya. Sahabatku ini malah berkorban untuk orang-orang yang dicintainya. Dan aku diperalat begitu saja oleh Arthur. Orang itu benar-benar akan aku hancurkan sampai dia benar-benar tak ingin melihat dunia ini lagi.

"Trus, bagaimana keadaan ibumu?" tanyaku.

"Dia sekarang mulai mendingan. Tapi tetep harus kemoterapi. Kamu tahu sendirikan kanker"

"Kalau kamu jujur kepadaku dari awal tak akan terjadi seperti ini. Sebenarnya aku sudah curiga dari awal ada yang kamu sembunyikan, ternyata ini yang kamu sembunyikan. Kamu tega banget jadi temen."

"Ci, aku sudah minta maaf. Aku tak punya pilihan lain!"

"Kalau lo nggak ada di tahanan udah gua hajar lo!"

"Iye, iye, hajar deh hajar. Yang penting aku sudah jujur, ibuku selamat, Yuyun juga selamat"

"Koq rasanya aku yang jadi antagonis di sini sih? Ah, nggak. Lebih buruk lagi peran pembantu. Brengsek."

"Ci, jagain Yuyun ya selama kau di sini. Pliiss!" ia mengiba. Ingin rasanya aku benturin kepalanya di meja.

"Kamu harus keluar dari tempat ini," kataku.

"Gimana caranya? Kabur dari penjara?"

"Nggak, kamu harus jujur kalau kamu disuap oleh Arthur untuk mengakui bahwa kamu yang bunuh Vira!"

"Mana mungkin? Itu bodoh namanya!"

"Don! Ini semua nggak adil!"

"Biarin, ini aku lakukan untuk nyokap Ci! Untuk Yuyun! Kamu udah jatuh cinta ama Iskha kan? Selama kamu pura-pura nyulik dia kamu udah suka ama dia kan? Kalau misalnya aku jujur kamu rela dia masuk penjara?"

Aku bagai jatuh dari ketinggian 100 meter mendengar ucapannya itu. Benar juga sih. Kalau dia jujur bisa-bisa Iskha terseret jadi pembunuh. Aku sudah terlanjur suka ama dia, tapi dia udah memperalat aku. Aarrgghh! Aku jadi ngerti kenapa kemarin dia minta untuk lari saja, pergi dari kota ini. Ternyata permintaannya kemarin agar kita bisa pergi bersama adalah permintaan yang sungguh-sungguh. Iskha...aku bodoh. Kenapa tidak bisa membacanya dari awal.

Akhirnya aku pergi meninggalkan Doni tanpa sepatah kata pun. Sekalipun Doni berkali-kali manggil-manggil aku untuk minta maaf. Aku segera pulang. Seluruh otakku serasa nyut-nyutan merasakan hal ini. Rasanya aku ingin segera menghajar Arthur, tapi dia harus diberi pelajaran. Akal-akalan menculik agar polisi menganggap Vira diculik dan dibunuh. Klop sudah. Kalau memang Arthur mencintai putrinya, kenapa malah melakukan itu? Dia hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri. Baiklah kalau begitu. Aku juga punya rencana. Terima kasih atas traktirannya Arthur Darmawan.

Aku pulang lebih dulu dari biasanya. Selama perjalanan pulang pikiranku dipenuhi rencana-rencana dan berusaha menerima keadaan bahwa ini adalah kenyataan bukan mimpi. Aku masuk ke apartemenku. Keadaannya masih seperti sebelumnya. Melihat Wallpaper Hello Kitty itu aku jadi teringat Iskha. Bagaimana kabarnya sekarang setelah berhasil memperalatku?

Aku duduk merenung. Merenungi semuanya. Mungkin kalau orang-orang sekarang melihatku, aku seperti orang yang hancur. Di PHP-in istilah anak muda jaman sekarang, sekalipun kata PHP itu nggak cocok karena itu adalah bahasa pemrograman web yang biasanya aku gunakan untuk membuat website.

Agaknya aku tak perlu bertanya lagi. Karena ketika aku sibuk berpikir dengan rencana balas dendamku, pintu apartemenku terbuka dan seorang wanita masuk. Dari bau parfumnya sudah aku ketahui. Bau parfum cewek, aku menoleh ke arah pintu. Wajah Iskha, orang yang aku anggap sebagai Vira kemarin ternyata datang sendiri ke tempatku. Dia tersenyum kepadaku. Ada raut rasa bersalah di matanya. Tapi tatapan mata itu tak akan pernah aku bisa lupakan seumur hidupku. Iskha, kenapa kamu tega melakukan hal ini kepadaku?

"Kamu mau memaafkan aku?" tanyanya.

Aku tak menjawabnya. Pikiranku sedang berkecamuk, terlebih aku ingin bicara kepadanya saja susah. Aku masih belum bisa memaafkan terhadap apa yang telah ia lakukan kepadaku.

"Aku bisa mengerti hal itu. Aku ke sini ingin mengucapkan selamat tinggal. Maaf kalau kemarin aku berbohong. Aku tahu kamu hancur sekarang telah aku peralat. Sekali lagi maafkan aku," katanya.

"Iskha, itu nama aslimu yah?"

"Iya, makanya kemarin aku ingin kamu manggil aku Iskha," katanya sambil duduk di depanku. "Nih, soft drink kesukaaanmu! Tenang aja nggak diracun koq"

Dia meletakkan dua kaleng softdrink yang biasanya aku minum. Dia mengambil satu dan langsung membukanya.

PSSSSTTTTT! Suara kaleng itu ketika dibuka oleh Iskha. Wajahnya tak akan pernah aku lupa, wajah imut, manis dan sekarang dia ada di hadapanku. Ada rasa aneh saja, cewek seimut ini, secakep ini mau memperalatku. Apalagi dia rela menyerahkan keperawanannya untukku kemarin.

Aku mengambil kaleng soda itu dan membukanya. PSSTTT! sama seperti dia. Aku juga meminum soda itu. Haus juga ternyata aku. Aku tatap mata Iskha.

"Seharusnya kamu menerima tawaranku untuk pergi bersama uang itu," katanya.

"Apakah perasaanmu kepadaku juga bohong?" tanyaku langsung to the point.

Ia menggeleng. "Aku suka kamu, beneran. Aku sebenarnya suka kepadamu sejak bertemu denganmu. Sudah lama sebenarnya. Semenjak aku melihatmu ketika presentasi di kantormu. Saat itu papa sedang memakai skype dan kameranya tak sengaja menyorot ke dirimu. Aku sudah suka kepadamu sejak saat itu. Eksekutif muda, single, mapan, tekun, ulet, jujur, cerdas. Aku suka kamu."

"Lalu kenapa kamu membohongiku sampai seperti ini?"

Iskha kemudian beranjak dan duduk di sebelahku. Ia langsung memelukku.

"Aku sungguh tak tega Ci, aku nggak tega sebenarnya. Kamu mau kan memaafkanku? Aku sayang ama kamu, aku bisa menerima kalau kamu sakit hati sekarang. Tapi, jangan lupakan aku ya? Kumohon...," Iskha mengelus-elus rambutku dalam pelukannya.

Tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Apa ini? Apa dia memberikan sesuatu kepada kaleng soda itu? Tu...tunggu dulu bagaimana bisa? Bukannya tadi kalengnya belum dibuka?

"Sekali lagi maafkan aku ya Ci, maaf. Tapi perasaanku kepadamu itu tidak bohong. Aku sungguh-sungguh menyukaimu. Maafkan aku....," itu kata-kata terakhir Iskha sebelum aku tak sadarkan diri. Aku masih tak tahu bagaimana caranya dia memasukkan obat ke dalam kaleng soda itu. Aku pun tak sadar untuk waktu yang lama. Terkapar dalam pelukannya.

Aku berasa di dalam sebuah kegelapan. Kegelapan yang pekat. Apakah aku mati? Apakah yang dia campurkan ke dalam minuman itu racun untuk membunuhku? Bisa jadi Arthur ingin membunuhku karena aku tahu banyak. Aku tahu siapa yang membunuh Vira, tahu apa yang dia lakukan, tahu apa yang dia perbuat. Bisa jadi. Tapi itu terlalu cepat. Aku ini pemeran utama, kenapa harus aku yang tewas? Aku harus hidup. Harus hidup.

Dan aku pun terbangun di atas tempat tidurku. Hari masih malam. Kulihat jam bekerku menunjukkan pukul 4 pagi. Untunglah bukan racun yang dimasukkan ke dalam minumanku tadi. Aku langsung bangun walau dengan kepala pusing. Ruanganku bersih. Wallpaper Hello Kitty telah dilepas. Tak ada tanda-tanda keberadaan Iskha. Kenapa? Apa yang terjadi? Aku lalu meraih ponselku. Seluruh history callku telah terhapus. Rupanya Iskha membereskan bekas-bekas dia yang pernah tinggal di apartemenku. Cerdik, ini pasti siasat dari papanya. Bisa jadi nanti polisi juga menyelidiki aku di apartemenku, maka dari itulah aku dibuat tidur sementara anak buah Arthur membersihkan semuanya.

Aku masih bingung bagaimana caranya obat itu bisa dimasukkan ke dalam kaleng soda? Akhirnya aku ingat-ingat bentuk kaleng soda itu. Wajar, karena belum terbuka, tapi ada satu bagian yang menurutku agak aneh. Aku ingat-ingat lagi. Ketika aku meraba badan kaleng itu ada satu bagian yang ditempeli sebuah selotip kecil. Sampai kecilnya mungkin tak akan terasa di tangan, tapi aku baru mengingatnya. Ya, dia menyuntikkan obat tidur itu ke dalam kaleng itu dan memberikan selotip kecil agar tertutup lagi. Pantas saja ketika kaleng dibuka masih bisa bunyi seolah belum pernah dibuka. Perfect. I'm lost.

Aku sekarang berdiri di ruang apartemenku seperti orang bodoh yang baru saja terbangun dari mimpi. Mimpi yang indah tentang uang 3 Milyar, dan juga mimpi indah tentang bidadari yang seharusnya bisa jadi pacarku. Arthur Darmawan. Aku akan membalasmu. Nah, kalian tahu bukan kenapa aku sangat membenci Arthur Darmawan? Ya, aku benci dia. Kalian juga pasti membencinya. Sangat membencinya.




BAB VIII
Aku Cinta Kamu, Sungguh

6 bulan kemudian..........

Tak mudah melupakan apa yang telah dilakukan oleh Arthur. Tapi live must go on. Aku selama enam bulan ini konsentrasi membentuk tim RnD menjadi hidup. Dan ya, mereka hidup. Tidak lagi menjadi zombi. Aku berikan hiburan sebulan sekali. Dan aku berikan waktu satu hari di mana mereka boleh melakukan apa saja pada hari itu. Selama lima hari kerja mereka benar-benar harus serius mengembangkan produk yang telah aku rancang, kemudian pada hari sabtu mereka punya waktu bebas di kantor. Entah ngapain aja. Asalkan bisa dilaporkan dan publish di situs kami. Ya, boleh jadi itu adalah Fun project.

Macam-macam fun projectnya. Seperti membuat sebuah game sederhana, kemudian ditaruh di halaman Download game gratis di website kami. Dalam satu bulan akhirnya tim RnD tiba-tiba jadi sangat sibuk dan orang-orangnya menyenangkan. Bahkan perusahaan kami pun mulai membuat Cloud Server. Dan dalam waktu kurang dari tiga bulan aku bisa membuat sebuah ruangan RnD menjadi sangat menyenangkan yang bahkan membuat semua bagian iri. Bagaimana tidak?

Kalau dulu ruangannya penuh dengan komputer, kabel-kabel di lantai kemudian tembok yang penuh dengan tempelan kertas sekarang benar-benar nggak akan ditemukan. Semua kabel disembunyikan di bawah lantai. Tembok dibersihkan dari tempelan-tempelan. Hanya ada sebuah papan dan papan itulah tempat kami untuk menempelkan catatan dan itu khusus catatan tim. Sedangkan catatan pribadi ditempel di meja kerja masing-masing.

Di tengah ruangan ada sebuah kasur sofa yang sangat empuk yang bentuknya melingkar, sehingga seluruh anggota tim yang akan rapat akan nyaman duduk di sana. Di ruangan ini juga ada kulkas yang harus ada isinya. Jadi ketika anggota tim kehabisan makanan kesukaannya, atau minuman kesukaannya tinggal panggilin OB untuk diisi. Semuanya dari anggaran RnD. Anggaran tim RnD sendiri akhirnya menjadi anggaran yang paling besar untuk kantor kami tapi itu imbasnya sangat selaras dengan apa yang dihasilkan. Gara-gara aplikasi yang dikembangkan oleh tim kami perusahaan mendapatkan provit yang sangat memuaskan. Dalam waktu 6 bulan nilai saham perusahaan kami menanjak dan terus menanjak. Perusahaan puas, bos puas, semua puas, bahkan tim kami mendapatkan liburan ke Bali. Yah lumayanlah, daripada nggak.

Dalam sebuah rapat terakhir hari ini tak henti-hentinya Pak Romi berterima kasih kepadaku atas usaha kerja kerasku. Yang paling sibuk sekarang adalah tim marketing yang mana mereka kelabakan harus memasarkan produk-produk baru yang sepertinya tak akan habisnya dibuat oleh Tim RnD. Dan gara-gara itulah tim RnD sekarang lebih menyenangkan, mereka lebih banyak "main-main" kalau di kantor. Kalian mungkin bakal terkejut kalau di kantor kami satu-satunya ruangan yang penuh dengan hiburan adalah di ruangan tim RnD. Kalau kami suntuk, kalian akan melihat kami semua bermain game bersama. Atau bahkan sebagian bermain-main bilyard. Tapi setelah suntuk hilang kami tetap harus kerja. Yep, it's perfect.

Sebenarnya liburan ke Bali juga aku yang mengusulkan. Tak ada salahnya toh pergi ke Bali? Tapi aku lebih prefer ke Lombok sih sebenarnya. Di sana pemandangannya juga bagus. Tak seperti Bali, di sana sedikit tempat untuk berbelanja. Hal inilah yang sebenarnya kami cari benar-benar untuk refreshing. But maybe next time.

Kami pun berangkat ke Bali. Bali? Yap Bali. Begitu turun ke Bandara Ngurah Rai anggota tim RnD seperti orang yang norak selfie sana sini. Ya dong, biar anggota tim lainnya juga iri. Terlebih ketika ada petugas yang menyambut cakep juga. Kami langsung dijemput oleh mobil travel yang langsung mengantar kami ke salah satu hotel di Sanur. Kami menginap tiga hari dua malam. Kami sudah membooking sepuluh kamar. Kegiatan kami total liburan dan aku membebaskan anggota timku membuat acara sendiri. Terserah mau jalan-jalan atau kumpul bareng.

"Bos, nanti malem mau bakar jagung nih di pantai. Mau ikut?" tanya Eko, salah satu anggota timku.

"Lihat aja yah, aku kepengen jalan-jalan ke kafe ntar malem," jawabku.

"Waduh, ke kafe?"

"Iya, katanya di salah satu kafe dekat sini suasananya cozy. Kepengen nyoba aja karena penasaran," kataku. "Kalian silakan aja bersenang-senang. Toh juga gratis. Tapi makannya bayar sendiri-sendiri yah!?"

"Hahahaha, iya deh bos," jawab Eko.

Malamnya para anggota timku ke pinggir pantai. Mereka bakar jagung dan bersenang-senang di sana. Terserah mereka sih. Biarkan mereka berbuat itu karena pasti bulan-bulan terakhir ini mereka sangat penat.

Aku pun jalan-jalan sendirian sambil sesekali cuci mata kepada para turis yang lewat. Tak lama kemudian aku masuk ke sebuah Kafe. Kafe ini sebenarnya milik temanku. Bukan teman di dunia nyata, tapi teman di dunia maya. Aku menelpon dia. Namanya adalah Made.

"Halo?" sapaku.

"Halo, Arci! Waah, udah sampai di Bali?" dia langsung merespon.

"Iya nih ada di kafemu sekarang," jawabku.

"Whoaa?! Beneran? Oke deh, aku turun!" katanya. Ia menutup teleponnya.

Aku pun masuk ke kafenya dan langsung disambut oleh pelayannya. Aku kemudian duduk di sebuah meja yang kosong. Sang pelayan langsung bertanya "Pesan apa pak?"

Aku menjawab, "Cappucino aja satu"

"Ada yang lain?" tanya sang pelayan.

"Nope, sementara itu saja," jawabku.

"OK, segera hadir," katanya.

Dari arah lain muncullah orang yang bernama Made ini. Dia perawakannya agak pendek, rambutnya botak dan dari tampangnya orangnya sangat menyenangkan. Dia memakai kacamata bulat dan perutnya sedikit buncit. Gaya jalannya sangat lucu. Begitu melihatku di meja sendirian ia langsung menyapaku.

"Arci, gimana kabar?" sapanya sambil menyalamiku.

"Great, I Hope," jawabku.

"Gila, liburan ke sini juga kamu," katanya.

"Hahahaha, yah biasalah bonus dari kantor. Kapanlagi aku bisa mampir ke sini?"

"Hehehehe, halah aku tahu tujuanmu kemari. Kamu nyari dia, bukan?"

"Sok tahu lo!"

"Kalau kamu nggak ngasih tahu fotonya ya mana mungkin kita bisa berjodoh?"

"Jadi kapan D'Espresso akan tampil?"

"Habis ini, kamu bisa lihat panggungnya sedang disiapkan!" Made menunjuk ke panggung. Di sana tampak seksi perlengkapan sedang mempersiapkan drum, gitar, dan sound.

"Biasanya sampai jam berapa?" tanyaku.

"Paling sampai dua jam show-nya, tergantung permintaan sih. Biasanya ada tiga band. Kebetulan D'Espresso dapat kesempatan awal"

Aku mengambil nafas dalam-dalam. Terlebih ketika aku melihat seorang gadis naik ke atas panggung. Aku akhirnya menemukannya. Orang yang aku cintai selama ini. Iskha Kusumaningrum. Aku jadi sadar sekarang, satu hal kebodohanku adalah Vira tidak bisa bermain musik. Bahkan dari apa yang aku dengar saudara tirinya itu tak suka musik. Tapi Iskha suka, dia juga pintar bermain musik dan dia adalah vokalis sebuah band yang ngamen ke mana-mana. D'Espresso. Itulah julukan bandnya.

Made menepuk-nepuk pundakku. Aku tersenyum kepadanya, "Makasih sob, makasih"

"Apapun untukmu teman," katanya.

Sang pelayan menghampiri kami dan memberikan Cappucino pesananku. Melihat pemilik Kafe juga ada di sana sang pelayang menghormat.

"Yang ini nggak usah dimasukkan bil. Aku yang mentraktir," kata Made kepada anak buahnya.

"Baik pak," katanya lalu pergi meninggalkan kami.

"Wah, makasih lho," kataku.

"Halah, nggak usah dipikirkan. Cuma segelas aja. Kalau nambah baru bayar!" katanya disambung dengan gelak tawa kami.

Aku kembali mengarahkan pandanganku ke panggung. Iskha, sejak terakhir kali kamu pergi aku selalu merindukanmu. Apa kamu tahu? Aku tak bisa melupakanmu, makanya aku berusaha mencari jejakmu. Terlebih karena aku tak mau lagi berhubungan dengan Arthur. Aku tak mungkin bertanya kepadanya di mana dirimu. Maka aku mencari-cari dirimu. Dan perfecto, kamu ada di Bali setelah aku kenal dengan seorang pengusaha kafe dalam sebuah forum di internet. Akhirnya aku dan Made dekat. Kami pun saling berbagi pengalaman bahkan saling sharing orang yang disuka. Sampai kemudian aku beritahukan foto orang yang aku suka. Dia kaget karena orang yang ada di foto itu adalah kamu. Seorang vokalis band D'Espresso. Dan band itu sedang ngamen di kafe miliknya.

Kalau kamu mencintaiku kenapa kamu menghindar dariku? Kenapa kamu jauh dariku? Apa alasan yang paling mendasar kamu melakukan hal itu? Sampai sekarang aku tak pernah mengerti akan hal ini. Satu-satunya yang membuat diriku mengerti adalah ucapanmu bahwa Cinta tidak butuh alasan. Karena pada dasarnya cinta itu buta. Sama seperti cintaku kepadamu. Sekalipun aku tidak suka kepada ayahmu tapi rasa cintaku kepadamu tak akan pernah sirna. Aku mengakuinya sekarang, aku mencintaimu.

Pertunjukan pun dimulai. Band D'Espresso mulai memainkan musiknya. Dia mulai melantunkan lagu-lagunya. Made ijin untuk pergi karena dia sibuk. Akhirnya aku sendirian di mejaku menatap wajah Iskha dari kejauhan. Pembawaannya ketika memainkan lagu sungguh luar biasa. Aku tak henti-hentinya menikmati setiap alunan nada, setiap suara yang ia bawakan.

Aku menikmati musik itu sambil menikmati juga Cappucino sampai habis. Iskha sama sekali tak bisa mengenaliku dari jauh. Aku bisa memaklumi itu. Tapi aku sangat mengenalinya. Kemudian setelah lagu terakhirnya selesai dan band itu pergi aku mengikutinya.

Ada perasaan senang, berkecamuk dan lain-lain hinggap dalam diriku. Tapi, ketika aku hampir saja menyapanya ketika keluar kafe, aku mendapati seseorang cowok membawa mobil. Mobil Audi biru entah tipe apa. Sepertinya mobil sport. Adegan berikutnya yang membuatku ilfil, sang cowok malah mencium kening Iskha. Who the hell is he? Hampir saja aku menyapanya tapi nggak jadi.

Sebentar aku harus memikirkannya dengan kepala dingin. Oke, bisa jadi dia saudaranya. Tapi Iskha hanya punya satu saudara yaitu Vira. Lalu siapa cowok ini? Pacarnya? Bisa jadi sih. Bukankah kita sudah berpisah selama enam bulan dan selama itu pula dia menghilang. Lalu kenapa dia bilang mencintaiku ketika terakhir kali kita berpisah. Tidak, tidak, tidak. There is something wrong. Iskha kemudian masuk ke dalam mobil tersebut. Sang cowok tersenyum kemudian dia pun ikut masuk ke dalamnya. Tak lama kemudian mobil mulai melaju. Aku memanggil taksi, lalu segera masuk.

"Ikuti mobil Audi di depan itu pak!" kataku kepada sang sopir.

Akhirnya terjadilah kucing-kucingan antara aku dan mobil itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Aku harus mengetahui siapa sebenarnya cowok itu. Kalau toh itu pacarnya, maka ia harus rela Iskha putus malam ini juga. I love her, I adore her. And I believe she still loves me.

Setelah kurang lebih setengah jam akhirnya mobil pun berhenti. Taksiku juga ikut berhenti.

"Matikan lampunya pak!" kataku. Akhirnya lampu taksi pun dimatikan agar tak membuat mereka curiga. Aku melihat Iskha keluar diikuti cowok tadi.

Ketika keluar mereka tampak terlibat cekcok. Iskha marah-marah. Sang cowok coba menenangkan. Tapi Iskha keburu marah, sang cowok mulai memegang tangan Iskha. Aku lalu segera membayar argo taksi, aku lalu berlari mendekat ke arah mereka.

"Lepasin, lepasin gue!" kata Iskha.

"Ayolah sayang kita sudah lama jalan masa' aku nggak boleh cuman mencium keningmu?" tanya cowok itu.

"Indra, kita itu cuma temenan. Dan lo bukan apa-apa gue, jadi jangan sok akrab ama gue. Lo bukan pacar gue!" teriak Iskha.

"Tapi gue suka ama lo Is!"

"Gue akan bayar deh semua yang udah lo korbanin buat nolong gue, tapi nggak buat cari kesempatan seperti ini. Gue kabur dari rumah karena gue muak lihat papa gue. Tapi lo tega ya cari-cari kesempatan seperti ini?" Iskha mendorong cowok itu lalu beranjak menuju ke sebuah rumah. Sepertinya itu rumah kontrakan.

"Baiklah, fine. Lo akan nyesel gara-gara nolak gue. Besok lo angkat kaki dari rumah kontrakan itu! Pergi sana!" kata cowok itu.

"Nggak perlu repot-repot. Gue pergi malam ini!" kata Iskha.

Cowok itu menggebrak mobilnya lalu ia masuk ke mobil. Mobil Audi berwarna biru itu pun menyala mesinnya. Sejurus kemudian mobil mewah itu melaju meninggalkan tempat itu. Tampak Iskha menghela nafas lega. Aku lalu menghampirinya. Dia sedari tadi tak menyadari keberadaanku.

"Hai, Hello Kitty!?" sapaku.

Iskha terkejut dan langsung berbalik. Begitu melihatku ekspresi wajahnya berubah. Mungkin di sekarang bingung. Kenapa orang setampan aku kelayapan malam-malam dari Jakarta menuju Bali dan menyapanya dengan sebutan Hello Kitty? Nggak, nggak mungkin ia mikir begitu. Dia bakal mikir, "Cowokku, ngapain kamu di sini?" Itu juga terlalu berlebihan. Kita masih...apa yaa??...boleh dibilang hubungan yang complicated. Dalam pikirannya sekarang mungkin "Oh shit, there is my past. I must runaway"

Serius dikit dong, Ah! Dia ini pasti mikir, "Arci?! Ngapain kamu ada di sini?" Ya, sesuai dugaanku. Dia bilang seperti itu.

Aku harus bilang jujur dong, "Nyari kamu"

Iskha terdiam seribu bahasa. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Kalau toh aku menduga-duga pun aku pasti akan salah. Pikiran cewek beda dengan pikiran cowok. Untung saja aku tadi mengikutinya sehingga segala percakapannya dengan cowok bernama Indra tadi aku dengar. Cukup lama kami berdiri saling menatap satu sama lain. Bingung mungkin dengan keadaan kita. Orang yang dulu memperalat diriku sekarang ada di hadapanku tapi ajaibnya aku suka kepadanya.

"Kamu mau di sini terus? Aku ada tempat di hotel deket Sanur kalau kamu mau," kataku.

"Kamu masih marah ama aku?"

Aku menggeleng. "Aku tak bisa marah kepada orang yang aku cintai"

"Gombal"

Aku mendekat kepadanya. Iskha berjalan mundur, tapi aku terus mendekat hingga ia berhenti mundur. Aku tarik pinggangnya lalu ingin aku kecup bibirnya tapi dia menutupi bibirnya dengan telapak tangannya. Aku sedikit terkejut.

"Tidak Ci, jangan bikin aku jatuh cinta lagi. Aku sudah cukup merasa bersalah kepadamu," katanya.

Aku tak pedulikan hal itu dan aku pun mencium telapak tangannya. Ia memejamkan matanya, air matanya mengalir. Aku yakin ada rasa kerinduan di dalam hatinya kepadaku. Aku juga merindukannya.

"Arci,...hiks...jangan, aku sudah mati-matian berusaha melupakanmu, hiks...," Iskha terisak.

Ia pun akhirnya menyingkirkan tangannya yang menutupi bibirnya. Hingga aku kembali menciumnya. Kini kedua bibir kami bertemu. Kami saling mengecup. Persetan masa lalu, aku ingin bisa mencintainya. Salahkah kalau aku berbuat demikian? Ia pun menangis dalam pelukanku.

"Maafkan aku Ci, maafkan aku," katanya berkali-kali sambil terisak.

Aku hanya bisa memeluknya sambil mengusap rambutnya. Sesekali aku cium ubun-ubunnya dan berkata, "Tak apa, sudahlah. Tak apa"

Butuh waktu setengah jam untuk menenangkan Iskha dari rasa bersalahnya. Cukup lama memang, tapi waktu setengah jam itu adalah waktu yang paling berharga bagi hubungan kami. Aku pun bisa menenangkannya.


************ Perfect Love ************


Agaknya Iskha memang berniat pergi dari kontrakan milik Indra. Malam itu aku membantunya mengemasi barang-barangnya. Dengan kopor besarnya ia pun pergi denganku memakai taksi untuk nginap di hotel tempat aku menginap. Yang paling heboh ketika aku sampai di hotel? Tentu saja anggota tim RnD yang memergoki aku membawa Iskha.

"Cieee...boss, sama siapa nih bos?" tanya Rudi salah satu anggota timku.

"Cewek gue, ngiri? Makanya jangan jadi jones!" jawabku. Seketika itu anggota tim yang lain ketawa semua.

Iskha ikut tertawa. Aku pun mengajaknya masuk ke kamarku. Yah, anggota tim RnD yang lain nggak perlu tanya-tanya mau apa aku di dalam kamar berdua ama cewekku bukan?

"Koq satu kamar, Ci?" tanyanya.

"Aku nggak mau buat kamu tidur di sofa lagi," jawabku.

"Dasar, mau berbuat mesum?"

"Kalau iya kenapa?"

Perutku dicubit olehnya. "Aduh"

"Nggak, nggak boleh mesum!"

Aku tersenyum. "Oke, kita lihat nanti siapa yang nggak kuat"

"Maksudmu?"

"Kita tidur seranjang. Karena ini single bed," kataku sambil nunjuk ke kasur.

"Ogah"

"Trus, kamu mau tidur di mana?"

"Di sofa aja"

"Lehermu nggak sakit tidur di situ? Sofanya kecil lho," rayuku.

"Biarin, Weeekk!" katanya sambil menjulurkan lidah. Ia menarik kopornya lalu disandarkan ke lemari.

Aku kemudian mengunci pintu kamar. Kulepas sandalku lalu aku beranjak ke atas kasur. "Aku udah mengantuk, kalau kamu kepengen tidur di sofa, silakan saja. Aku tak memaksa. Selamat tidur" Aku pun menendang selimutku dan pura-pura tidur.

"Dasaaarr...Arci masih aja nggak berperasaan, masa' cewek disuruh tidur di sofa sih?" gerutunya.

"Bodo amat, disuruh di tempat yang enak nggak mau"

"Halah bilang aja kalau kamu mau mesumin aku"

"Emang," kataku sambil menjulurkan lidah.

"Tuh kaaan"

"Udah ah, aku ngantuk. Kamu mau mandi silakan, mau langsung tidur silakan. Kalau mau pesen kamar bayar sendiri yah," kataku sambil cekikikan.

Iskha pun gemas. "Ya udah. Aku mau mandi dulu."

Aku pun memejamkan mataku. Malam itu aku sangat bahagia sekali, bisa bertemu lagi dengan orang yang aku cintai. Hampir saja aku tadi salah faham, kalau aku tidak mengikutinya pasti aku bakal jadi orang bego sejagad. Untungnya aku tak pernah putus berharap dari dirinya. Iskha yang aku kenal. Iskha yang aku cinta. Aku ingin kamu menjadi milikku.

Aku pun terlelap. Mungkin memang karena aku capek.

Aku terbangun ketika ada sebuah kecupan lembut di pipiku. Mataku terbuka dan mendapati bidadariku ini tidur di sampingku. Ia memakai gaun tidur one piece. Aku tak pernah melihatnya seperti ini.

"Kukira udah tidur," katanya.

"Iya, udah tidur tapi terbangun karena ciumanmu," kataku.

"Ya udah deh, aku tidur di sofa," katanya.

Sebelum ia beranjak aku menahan tangannya. "Kumohon, tidurlah di sini!"

Iskha menoleh ke arahku. Aku menarik tubuhnya agar masuk ke selimut. "Arci,... jangan yah!?"

"Kenapa?"

"Aku masih ada rasa bersalah kepadamu"

Aku makin menariknya hingga ia tak melawan dan masuk ke dalam dekapanku.

"Kamu tak perlu minta maaf lagi, tak perlu merasa bersalah lagi. Aku mencintaimu, sungguh. Benar-benar mencintaimu. Aku maafkan segala yang telah kamu lakukan. Jadi, sekarang tolong jangan pergi dari pelukanku," kataku.

"Ci, aku..."

"Tak usah diucapkan kalau perasaan kita memang sama"

Ia mengangguk. Iskha kembali tersenyum. Wajahnya yang imut dan manis itu wajah yang paling indah dalam hidupku. Aku menciumnya. Kami saling berpagutan, saling memeluk. Gairah kami pun kembali datang. Ia menarik kaos yang aku gunakan sehingga aku bertelanjang dada. Dan aku dengan sekali menurunkan tali gaunnya Iskha sudah tak memakai apa-apa lagi. Buah dadanya yang aku rindukan terpampang jelas di depanku.

"Kamu tahu Iskha? Aku kangen ama buah dadamu," bisikku di telinganya.

"Ci,...aku kangen bau tubuhmu," katanya. "Tapi kamu yakin kita beginian malam ini?"

"Emang kenapa?"

"Karena aku lagi dapet"

Oke, ini mimpi buruk. GUE KENTAAAAANGG! Mana udah on juga, eh Iskha dapet. Ya udah deh.

"Makanya tadi aku ingin tidur di sofa aja, biar kamu nggak mesumin aku," katanya sambil ngikik.

"Yah...bilang dong dari tadi, kentang nih!" kataku.

"Hihihihi, maaf. Emang sengaja koq ngusilin kamu," katanya.

"Dasar!"

"Aku emut aja yah?"

Aku mengangguk. "Emang bisa?"

"Jangan remehin aku yah, gini-gini aku pernah nonton bokep!"

"Iya deh, iya percaya aku ama Hello Kitty"

Iskha mengelus-elus pusaka milikku dari luar celanaku. Beneran udah tegang maksimal ini. Ia pun membuka kancing dan resleting celanaku lalu diciuminya bagian benda yang menonjol. Ahh...aku baru kali ini diperlakukan seperti ini. Kemudian jemari tangannya mulai menurunkan celana dalamku. TUING! Sebuah tongkat sakti keras dengan pion yang mengkilat terkena cahaya lampu kamar muncul.

"Hihihihi, aku baru kali ini lihat ini dari dekat," kata Iskha.

Tangan Iskha mulai memegang batangku dengan lembut. Ia mengurut perlahan.

"Aahhh...," desahku.

"Enak ya?"

Aku mengangguk.

"Padahal cuma diginiin aja, kalau aku giniin?" Iskha mencium bagian ujung pionnya di belakang lubang kencingnya. Ahh...makin nikmat. Lidahnya mulai menari-nari di sana. Lalu HAP! Ia menghisap pionku. Mulutnya yang mungil itu rasanya tak cukup untuk bisa menampung seluruh batangku yang sudah tegang.

Hangat dan basah rasa mulutnya. Kepalanya Iskha perlahan-lahan turun lalu ia naik, kemudian turun lagi, lalu naik lagi. Dia pun melirik ke arahku. Wogghh...gilaaakkk...baru kali ini aku disepong cewek. Kalau yang nyepong bidadari seperti ini ya nggak kuat deh.

Iskha mengelus-elus perutku. Ia kembali menilat-jilat batangku dengan lidahnya yang lembut. Matanya masih menatapku, ia berusaha menggodaku dengan tatapannya itu, jilatannya makin ke bawah dan dia menciumi bola testisku. Lidahnya kembali menjilat di testisku. Aaaarrgghhh....lemes deh gue. Ampuuun,..gak kuat rasanya. Terus terang jilatan dan hisapannya di testisku membuatku lemes.

"Enak Ci?" tanyanya.

"I..iya, aku lemes Iskh," jawabku.

"Hihihi," ia tertawa geli. Dia mengocok batangku sambil mulutnya masih di testisku. Entah ia permainkan bagaimana lagi testisku sampai rasanya enak banget. Apalagi batangku dikocoknya. Arrghh...bikin kepengen meledak aja.

Tapi ia faham kalau aku tak mau meledak secepat itu. Ia kemudian kembali mengulum batangku. Kepalanya makin semangat mempercepat kocokan. Bah, ini sih udah mau klimaks. Enak banget. Bahkan Iskha berusaha memasukkan seluruh batangku. Nggak, nggak bakal muat Iskh jangan aaahh....Mulutnya penuh sampai dia tersedak.

"Uhuk..uhuk!"

"Jangan sampai penuh, nggak muat!" kataku.

"Tapi aku gemes, gedhe nih. Batang ini kan yang nakal. Udah merawanin aku. Harus dikasih pelajaran," katanya.

Iskha lalu mengocok dengan cepat batangku, kemudian mulutnya berada di kepala pionku. Tak cuma itu, lidahnya menari-nari bak lidah ular menggelitik helmnya. Alamaaakk....nggak kuat. Udah deh, nyerah aku. Udah diujung lagipula itu air mani.

"Iskha, aahh...mau keluar, jangan digituin Aaaargghh!" pekikku.

Iskha tak mempedulikannya. Kocokan tangannya makin cepat dan lidahnya juga makin menari-nari. Aaahhh...nggak tahan lagi. Maka muncratlah maniku ke dalam mulutnya. Ia langsung melahap penisku. Maniku memancar banyak sekali. Iskha menampung semuanya di dalam mulutnya hingga kedutan di batangku udah nggak terasa lagi. Mulutnya tampak mengatup seperti sedang membawa sesuatu. Ia menoleh kiri kanan mencari sesuatu.

"Cari apa?" tanyaku.

Ia menunjuk-nunjuk ke bibirnya.

"Apa?" tanyaku.

Ia menunjuk-nunjuk ke bibirnya lagi.

"Apa? Minta dicium?" tanyaku.

GLEK! Ia menelan pejuhku.

"Aahh...tissue, mana tissue?" tanyanya.

"Oh, bilang dong!"

"Gimana bisa bilang? Mulut penuh pejuh gitu. Lho? Eh, udah tertelan. Kamu sih, jadinya kutelan semua."

AKu ketawa. Aku membuka laci di meja dekat ranjang lalu aku menyerahkan tissue kepadanya.

"Udah, nggak butuh!" katanya sewot. Ia lalu beranjak pergi ke wastafel untuk membersihkan mulutnya. Aku masih ketawa karena peristiwa kecil tadi.

Setelah itu, tak ada kejadian spesial lagi. Aku dipuaskan oleh Iskha walaupun dengan blowjob. Itu saja udah cukup sih. Cukup untuk menenangkan si otong yang udah kentang tadi. Aku tidur sambil memeluk Iskha sampai pagi. Bidadariku, aku tak akan melepaskanmu lagi. Tidak akan.




BAB IX
Moment of Love

Aku terbangun. Hari sudah pagi ternyata. Aku segera mandi. Mandi besar bo', habis itu ibadah. Pesan mama tetap aku jaga, yaitu tetap ibadah di manapun aku berada. Setelah itu aku melihat Iskha yang sekarang tertidur. Sungguh dia sangat cantik ketika tidur. Pepatah bilang cewek akan kelihatan cantiknya ketika ia tidur. Kalau ketika tidur dilihat saja nggak menyenangkan, nggak cantik, maka dalam kehidupannya ia memang demikian. Ah masa' sih? Tapi itu terbukti bagi Iskha. Aku usap rambutnya, aku belai, kemudian aku kecup keningnya.

Iskha menggeliat, ia membuka setengah matanya. Agak terkejut melihatku, "Kaget aku."

"Bangun sana! Anak perawan koq bangunnya siang-siang," kataku.

"Udah nggak perawan, ini pelakunya!" katanya sambil nunjuk hidungku.

"Hahahaha, iya deh, iya, tapi bangun dong. Masa' calon istriku bangunnya siang terus, ntar ngurus aku ama anak-anakku gimana?" tanyaku.

Iskha lalu menyangga kepalanya dengan tanganya. "Hmm?? Calon istri? Emang aku pernah setuju kalau kamu jadi calon suamiku?"

"Hmm? Aku kurang apa coba? Ganteng, mapan, belum nikah?"

"Kamu ini narsis banget, siapa bilang ganteng. Kamu ini jelek, jelek banget. Bahkan dibandingin bintang Andre Garfield kamu nggak ada apa-apanya"

"Oh ya?"

"Iya, kamu jelek, narsis...tapi aku suka"

"Dasar," aku lalu menggelitiki dia.

"Ahahahahaha, ampun Ci, ampuun...aku nggak kuat digelitiki," katanya.

Aku terus menggelitiki dia, ia menjerit-jerit. Pagi yang menyenangkan. Kami banyak bercanda pagi itu. Walaupun kami tak langsung bilang kami telah jadian, tapi cukup sudah hati kami punya rasa yang sama. Hari ini aku dan timku jalan-jalan melihat pantai, aku mengajak Iskha turut serta.

Pantai Sanur beda dengan Kuta. Ya tentu saja. Di sini kalau sore apabila beruntung bisa melihat kawanan Lumba-lumba. Anggota timku yang lain malah entah kemana, katanya ingin belanja. Yang jelas aku membebaskan mereka mau kemana-mana asalkan sorenya balik ke hotel.

Kegiatanku bersama Iskha ya jalan-jalan di pantai, kemudian menikmati es kelapa muda. Setelah itu siangnya makan siang bersama. Yah, mirip orang pacaran pada umumnya. Kami pun menghabiskan waktu ke berbagai objek Wisata di Bali.

"Kamu nggak nelpon anggota bandmu?" tanyaku.

"Nggak, nanti malem pertunjukan terakhir koq. Besok kita balik ke Jakarta. Akunya aja yang nggak mau pulang," jawabnya.

"Kenapa?"

"Yah, kamu tau sendiri. Aku tak suka hidup dengan papaku. Orangnya sok diktator. Meskipun begitu, tak dipungkiri ia membantuku membersihkan namaku karena peristiwa itu. Sampai sekarang aku gemetar ketika mengingat adikku sendiri. Bayangan Vira yang aku tusuk dengan tanganku sendiri membuatku seakan-akan menjadi pembunuh berdarah dingin, Ci."

"Tapi kamu tak sengaja melakukannya, Iskha"

"Aku tahu, tapi tetap saja ada perasaan di mana aku tak bisa lari dari kenyataan bahwa aku seorang pembunuh"

Aku memegang bahunya. "Sudahlah, kamu tak sengaja. Justru yang harus disalahkan adalah papamu dan juga orang yang membuat kehidupan Vira menjadi hancur"

Iskha menghela nafasnya. "Kamu tak mengerti Ci, papaku sudah melakukan banyak hal kepada kami. Ia membiayai seluruh sekolahku, menuruti apapun yang kami mau. Semuanya."

"Lalu kenapa Vira sampai terlibat obat-obatan terlarang?"

"Semuanya karena suatu hal. Ia dipaksa untuk berpisah dengan mamanya sejak kecil. Itulah yang membuat dia sangat membenci papa. Entah karena urusan apa sehingga Mama Roslina harus berpisah dengan papa. Mungkin karena papa saat itu ada mamaku. Tapi bisa jadi bukan. Aku tak tahu."

"Maksudnya? Papamu kawin lagi ketika dia masih beristri?"

"Bisa dibilang begitu, poligami atau apalah. Atau mungkin Mama Roslina sekedar simpanannya"

"Lalu kamu masih kontak dengan Mama Roslina?"

"Beliau udah meninggal beberapa tahun yang lalu. Beliau tak punya siapa-siapa. Bahkan kematiannya saja tak diketaui kalau para tetangganya tak mencium bau busuk dari rumahnya. Beliau mati membusuk karena sakit."

"Oh, maaf. Kasihan sekali"

"Makanya Vira sangat dendam kepada papa. Dia tidak ingin disayang. AKu pun dimusuhinya. Ia jadi bergaul dengan teman-temannya yang sama sekali tak baik. Dugem, mabuk, madat sudah jadi kebiasaannya semenjak dia kenal dengan seseorang yang namanya Viki kalau tak salah. Aku tak mengenalnya. Hanya pernah melihatnya saja ketika bersama dengan Vira di suatu malam.

"Aku pergoki keduanya pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan Vira mengajak Viki untuk nginap di rumah. Aku sangat naik pitam dan mengusir Viki. Akhirnya Viki pun pergi setelah aku minta bantuan satpam untuk mengusir dia keluar dari rumah. Setelah itu terjadilah pertengkaran antara aku dan Vira. Pertengkaran kami pun pada puncaknya. Ia mabuk dan tak sadar mengambil pisau. Kemudian aku berusaha mengelak dan merebut pisau itu. Tapi pertengkaran itu mengakibatkan secara tak sengaja aku menusuk pisau itu ke perutnya. Aku lalu tersadar dan menangis, saat itulah papaku pulang dan melihatku bersimbah darah. Awalnya papa nggak percaya kepadaku. Tapi setelah ia melihat kamera CCTV yang ada di rumahku barulah ia percaya. Tahu sendiri papa sangat sensitif terhadap harta kekayaannya. Ia mengira aku membunuh Vira untuk mendapatkan hak waris," jelas Vira.

"Begitu ceritanya, lalu si Viki itu?" tanyaku.

"Aku nggak begitu tahu. Aku hanya sekali bertemu dengannya waktu itu," jawabnya.

"Sini, aku peluk," kataku. Iskha lalu merebahkan badannya ke diriku. Kupeluk dia sambil kutepuk-tepuk punggungnya. "Everything is gonna be alright. Everything is gonna be alright."

Iskha pun makin erat memelukku. "Makasih ya Ci, engkau sudah menentramkan hatiku"

"Aku nggak dendam kepadamu koq. Kalau kamu tak keberatan, menikahlah denganku," kataku.

"Hmm? Kamu yakin menikah dengan seorang pembunuh seperti aku?"

"Kenapa nggak? Menurutku kamu bukan pembunuh, kamu tak sengaja melakukannya"

"Tapi tetep saja, aku menghilangkan nyawa adikku sendiri"

"Sudahlah, jangan ada lagi kata merasa bersalah. Aku ingin kamu minta maaf ke sahabatku, Doni. Dia selama ini menanggung semua kesalahanmu. Kamu bisa?"

"Oh iya, Doni. Aku juga merasa bersalah kepadanya."

"Iskha, lihat aku!" aku melepaskan pelukanku. Ia pun menatap wajahku. "Kamu jangan merasa bersalah lagi ya? Kita akan hadapi bersama. Kamu akan aku antarkan ke Jakarta. Kalau kamu tak mau pulang ke rumah, kamu bisa tinggal denganku untuk sementara waktu. Aku akan datang ke rumahmu untuk melamarmu."

"Sungguh Ci?"

Aku mengangguk.

"Kamu tahu sendiri, aku sudah bosan ditanyai oleh papa dan mamaku kapan kawin," kataku.

Iskha tersenyum, "Love you Arci jelek"

"Me too, Hello Kitty," kataku.


************** Perfect Love **************


Menyewa mobil, keputusan yang tepat ketika berada di Bali ini. Aku jadi bisa jalan-jalan kemana-mana. Total mobil itu aku sewa dua hari. Mobil yang aku sewa tak perlu besar. Kecil aja cukup toh emang tujuannya bisa nganter Iskha kemana-mana dengannya. Terpilihlah mobil Toyota Yaris warna silver seperti kepunyaanku. Habisnya aku sudah terlanjur jatuh cinta ama City Car yang satu ini.

Malam itu aku mengantar Iskha ke Kafe tempat Made. Melihatku datang bersama Iskha Made langsung menyapaku.

"Wogghh...udah ketemu yang dicari ternyata," katanya.

Iskha ngamplok di lenganku. "Nyari apa?" tanyanya.

"Nyari kamu Hello Kitty!" kataku. "Berkat bantuan Made ini akhirnya aku bisa nemuin kamu"

"Ohh....hehehe, ternyata Pak Made kenal ama Arci?" tanya Iskha.

"Iya, kami kenal lewat Facebook, kebetulan kami berada di group yang sama trus saling kenal. Saling ngobrol trus ngobrolin kamu, akhirnya kita ketemuan di sini dan Arci nemuin kamu," kata Made.

"Makasih ya, cowokku ini kangen ama aku, nggak tahu kalau dia nyari aku seperti ini," kata Iskha.

"Iya, iya, aku bisa lihat koq. Ya sudah, mau beraksi sekarang apa nanti?" tanya Made.

"Nunggu yang lain dululah," kata Iskha.

"Oke, aku tinggal dulu kalau begitu," kata Made.

Kami akhirnya duduk di sebuah meja yang kosong. Aku dan Iskha ngobrol ngalor ngidul, tapi aku lebih perhatian kepada Iskha dengan bandnya yang ternyata sudah terbentuk cukup lama. Sejak lama dia memang anak band, menjadi vokalis. Ia pernah juara nyanyi, ia juga kepengen ikut Indonesian Idol dulu, tapi ia lebih cinta bandnya jadinya mengurungkan niat. Moga saja bisa rekaman suatu saat nanti katanya.

Aku juga bercerita banyak tentang mama dan papaku. Juga bagaimana di rumah semenjak tanpa kehadiran dirinya. Iskha sudah tak sabar ingin merombak kamar apartemenku lagi. Hahahaha, aku tak sabar melihatnya. Tak terasa selama aku ngobrol dengan dia tanganku tak henti-hentinya menggenggam tangannya. Sesekali aku mengusap rambutnya, wajahnya yang manis dan imut itu telah membuat dadaku berdesir sekali lagi.

Aku sekali lagi bilang, "I love you beib"

"I love you too," katanya.

Tak berapa lama kemudian anggota bandnya datang. Iskha memperkenalkan mereka satu persatu. Total ada lima orang. Dan mereka cowok semua. Mereka adalah Rio, Fadil, Reza, Iyon dan Eka.

"Ooo,...pacarnya mbak Iskha," kata Rio.

"Lho, kukira itu si Indra pacarnya," kata Reza.

"Bukan, Indra bukan siapa-siapa," kata Iskha.

"Soalnya kalian selalu bersama sih," sambung Reza.

"Dia cuman bantu aku aja di sini. Dulu temen pas di Jakarta. Kebetulan aku butuh tempat tinggal di Sanur. Yah, dia cukup baik koq"

"Ya deh, ya deh, percaya," kata Eka.

"Guys, ini show terakhir. Buat semarak mungkin yah. Yaaahh....walaupun kalian tahu kalau ini cuma kafe bukan panggung yang gedhe," kata Iskha.

"Beres deh mbak. Eh, ngomong-ngomong baliknya gimana? Bareng-bareng kayak kemaren atau mbaknya sama masnya?" kata Iyon.

"Hmm...nggak tau nih. Yang, bisa nganter aku sampe Jakarta nggak?" tanya Iskha kepadaku.

"Bisa dong," jawabku.

"Cieee...udah ada yang menjaga nih. Hahahaha," goda Eka yang kemudian disambut tawa semua.

Ya, malam itu perasaanku berbunga-bunga. Karena Iskha ada di sisiku. Aku pun menunggui dia sampai selesai pertunjukan. Yah, tak perlulah aku cerita band D'Espresso nyanyi sampai selesai. Yang jelas setelah selesai pertunjukan kita semua pada pamit. Anggota band yang lainnya mau berangkat besok, aku juga pulang besok. Tapi pesawat kami beda. Aku pun menggandeng tangan Iskha keluar kafe.

"Besok balik Jakarta nih, kamu kepengen pergi ke tempat lain?" tanyaku.

"Iya, kepengen ke Sindey, London, Paris, Moskow, Dubai," jawabnya sambil nyengir.

"Aduh, ya nggak pulang-pulang dong ntar"

"Hihihihi, yuk! Aku ngikut kamu ajah. Oh iya, Ci. Tamuku udah pergi"

Aku menoleh ke arahnya, "Hmm? Jadi?"

"Jadi...."

"Jadi...."

"Yah, sebagai permintaan maafku karena kemarin dapet kentang. Jadi...."

Ah bego, aku ngerti maskudnya, "OKE!"

Kami pun buru-buru masuk mobil, setelah mesin mobil dinyalakan kami pun melaju menuju ke hotel. Karena jaraknya nggak terlalu jauh yah mobilnya kan nggak butuh banyak gerak. Hehehehe. Tapi begitu kita udah meluncur, di tengah jalan tiba-tiba sebuah mobil Audi berwarna biru menghadangku. Mobilku pun langsung berhenti. Aku kenal mobil siapa itu. Mobilnya Indra yang kemarin. Indra pun segera keluar dari mobilnya.

"Berhenti! Iskha, aku mau bicara," katanya.

"Eh, beib. Kamu mau bicara atau nggak ama orang ini?" tanyaku.

"Nggak aja deh," jawab Iskha.

"Ok, madam," kataku sambil mengambil gigi R. Mobilku mundur.

"Hei, hei! Tunggu!" teriak Indra sambil mengejarku.

Dengan cepat aku memutar kemudi kemudian mengganti gigi ke satu. Kemudian mobil sudah berlari. Menjauh. Dari spion aku bisa melihat Indra buru-buru balik ke mobilnya. Setelah itu, terjadilah kejar-kejaran. Entah kenapa juga kami kejar-kejaran, padahal tinggal beberapa ratus meter lagi kami sampai di hotel. Iskha ketawa melihat tingkah polah Indra tadi, pasti nggak nyangka kalau mobilnya jalan mundur trus muter balik.

"Belok gang itu Ci, cepetan!" kata Iskha.

"Aku mengerti," kataku ketika melihat sebuah gang kecil. Segera aku matikan lampu mobil dan berbelok ke sana. Mobil Audi warna biru tadi melintas saja tanpa tahu kalau kami cuma sembunyi di gang.

Iskha ketawa keras. "Bego, ahahahahaha"

Aku juga ikut tertawa, setelah aku menyalakan lagi lampu mobil dan pergi dari tempat itu menuju hotel. Pasti si Indra muter-muter kayak orang bego nggak nemuin kami. Tak berapa lama kemudian kami sampai di hotel lagi. Aku dan Iskha kembali menuju ke kamarku dengan naik lift.

"Dia pasti muter-muter kaya' orang bego, hahahaha," Iskha ketawa cekikikan.

"Biar aja, habis orangnya ya ngehadang mobil seenaknya. Nggak tahu apa aku ini mahir nyopir?" kataku.

"Huuu, sombong!" katanya.

Lift terbuka dan aku melihat beberapa anggota timku bawa kue ulang tahun.

"Lho, siapa yang ultah?" tanyaku.

Mereka semua bengong melihatku. Iskha juga menoleh ke arahku lalu ke arah mereka.

"Lho, kukira bapak keluar tadi," kata mereka.

"Ini ultahnya Arci?" tanya Iskha.

"Hehehehe, iya mbak," jawab Eko.

"Yaelaaah, nggak jadi ngasih surprise dong. Hahahahaha, selamat yah. Happy Birthday!" kata Iskha.

Aku nggak pernah menyangka anggota timku sendiri hafal ulang tahunku. Tentu saja, aku tak pernah menyangka juga mereka mau memberikan surprise kepadaku, tapi gagal. Kami pun akhirnya merayakan ulang tahun kecil-kecilan ini. Semua ornag aku undang ke kamarku. Aku menyuapi kue ulang tahun ke Iskha. Semuanya memberikan ucapan selamat bahkan ada yang ngasih aku hadiah semacam pigura yang isinya foto anggota timku. Katanya biar aku ingat. Liburan yang menyenangkan. Stress hilang, ketemu orang yang dicintai. Tapi kami tetap harus kembali.



************ Perfect Love *************



Hari sudah malam. Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan di Bali ini tanpa mencumbui Iskha. Lagipula tadi kan katanya dia udah pergi tamunya. Aku di kamar bercumbu dengannya. Bibir kami saling memagut, desahan nafas Iskha membuatku bersemangat untuk bisa memberikan stimulus-stimulus ke dadanya yang sudah terekspos semenjak kamarku sepi dari timku tadi. Iskha menggeliat ketika aku mengecup lehernya, lalu turun ke dadanya.

Aku kenyot putingnya yang mengacung itu. Puting yang lembut, berwarna kecoklatan yang sudah mengeras. Begitu lembutnya sampai kulit buah dadanya aku hisap juga, benar-benar memabukkanku.

"Kamu suka dadaku ya Ci?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya nih, kenyal"

"Ahh...beib, isep dong!"

Aku menghisap buah dadanya itu. Iskha menggeliat. Kedua tubuh kami sudah tak berbusana lagi, tak ada lagi perasaan malu menyelimuti kami. Seolah-olah kami memang benar-benar membutuhkan ini, membutuhkan cumbuan, belaian dan pergesekan kulit kami pun menandakan ini adalah momen yang sangat kami inginkan.

Setelah puas mengelamuti kedua buah dadanya, ciumanku pun beralih ke perutnya. Terus dan terus hingga aku bertemu dengan liang surgawinya. Kubenamkan mulutku disana menghisapi apapun yang ada di sana. Lidahku menari-nari, menusuk-nusuk, menggelitiknya. Terlebih ketika klitorisnya aku hisap lembut. Iskha menggelinjang sambil meremas kepalaku.

"Cii...Aaahhkk...udah Ciii...aku nggak tahan!" katanya.

Aku menurutinya, menyudahi warming up ini. Tapi tanganku masih nakal. Jemariku mengubek-ubek kemaluannya hingga membuat Iskha mencengkram lenganku. Kedua pahanya mengatup dan badannya melengkung.

CRUTTT! CRUTT! CRUTT!

Ia squirt.

"Arciiii....duuuhh...aaaahhhh!" ia menjerit. Nafasnya terengah-engah seperti baru saja lari maraton. "Tuuhh..kaaan...aku keluar"

"Hehehehe, enak toh?" tanyaku.

"Huuu....ayo dong, masukin!" katanya.

"Iya, iya, bawel kamu ini"

Iskha memberikan senyum manisnya kepadaku lagi. Kami berciuman hot, lagi-lagi bibir kami berpagutan. Aku pun menempatkan kepala pionku ke liang senggamanya yang sudah berlendir. Sangat mudah masuknya, langsung batang itu disambut dengan sedotan-sedotan lembut liang senggama Iskha yang sudah becek.

"Aaahh...Cii... aku kangen kamu masuki," kata Iskha.

"Aku juga kangen masukin ini ke kamu," kataku.

Akhirnya aku goyang dengan lembut dengan gaya misionari. Aku goyang pinggulku sambil menatap matanya. Ini adalah momen kami yang tak akan aku lupakan. Momen di mana seluruh perasaan cintaku akhirnya bisa tercurah ke tempat yang semestinya.

"Aahhh...aahh...Ciii...terus Ciii, teruuss"

"Aku kangen kamu Is, enam bulan tidak bertemu denganmu rasanya kangeeeen banget"

"Aaahh...aahh... iya, aku juga Ci. Ayo Ciii...terusss!"

Batangku yang sudah maksimal itu keluar masuk menggesek kulit kemaluannya. Nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi kenikmatan yang aku rasakan ini sangat luar biasa. Iskha memelukku dengan erat, dada kami berhimpitan sensasinya tambah nikmat. Aku bertumpu dengan kedua lenganku yang sekarang berada di punggungnya. Kening kami saling menempel. Iskha, inilah rasa sayangku untukmu, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kebahagiaan ini berlalu begitu saja. Aku tak ingin perjumpaan kita hanya sampai di sini.

Aku sesekali mengenyot putingnya. Hal itu membuat ia makin menggelinjang. Kedua pahanya mengapit pinggangku seolah tak ingin aku lepas dari tubuhnya.

"Cii...yang kenceng Ci, ayo...ayoo!" katanya.

Aku pun menggoyang dengan cepat. Aaahh....enak gilak. Aku memeluk Iskha lebih erat lagi sambil menciumnya. Nafas kami memburu dan sepertinya aku mau keluar. Goyangan-goyangan pinggulnya yang meliuk-liuk membuat kemaluanku serasa gatal ingin segera mengakhiri ini. Terlebih aku juga bergoyang dengan cepat.

"Cii...aku keluar Cii..keluarin sama-sama yuk," katanya.

"Yuk, aku juga nih," kataku.

Hentakan-hentakan selakangan kami akhirnya sudah sampai ke puncaknya. Tak perlu ditanya lagi bagaimana semburan air maniku membasahi rahimnya untuk kesekian kali. Aku sudah komitmen ingin menikahinya, jadi kalau pun jadi tak masalah. Aku sudah benar-benar jatuh cinta kepadanya. Kedua mata kami saling berpandangan cukup lama ketika tembakan-tembakan orgasme melanda kami.

Iskha menatapku seolah-olah berkata, "Seharusnya ini semua tak terjadi kepada kita. Aku juga mencintaimu."

"Aku cinta kamu Iskha," kataku yang kemudian disambut dengan pagutan.

Moment of Love, ini adalah kedua kalinya kita berpelukan setelah bercinta. Iskha tidur dalam pelukanku. Memelukku seolah tak ingin lepas lagi. Sayangku, tidurlah dalam pelukanku. Rasakanlah rasa cintaku. Aku tak ingin melepaskanmu lagi. Engkaulah bidadariku. Dan aku akan menjemputmu menjadi bidadariku. Sedikit lagi, ya sedikit lagi.




BAB X
Saya Terima Nikahnya



Kami pulang. Yeah, kemana lagi kalau tidak ke apartemenku yang aku cintai? Ketika masuk apartemenku tampak Iskha senang sekali dan berputar-putar di dalamnya. Aku tahu perasaannya sekarang pasti sangat kangen. Kangen masa-masa itu. Dia langsung ambruk ke sofa.

"Ahhh...kangen tidur di sini lagi," katanya.

Aku menggeret dua kopor langsung aku bawa ke dalam kamar. Setelah itu aku geser pintu di balkon. Angin pun masuk ke dalam. Sejuk. Hawa pengap apartemenku langsung hilang ketika angin masuk. Iskha beranjak lagi dan ia mulai memainkan MP3 Player. Saat itu yang mainkan adalah lagunya Maroon 5. Ia bersenandung dan langsung menggeretku untuk berdansa.

Aku tersenyum geli dan menurut saja. Aku peluk dia dari belakang sambil bergoyang. Ahh...indahnya momen ini. Kami akhiri dansa itu dengan ciuman lembut. Tak ada rasa sedih dan gundah dari raut wajah Iskha. Yang jelas ia sekarang bahagia, mungkin perasaannya sama seperti yang aku rasakan kali ini. Ketika rasa cinta menggelora, ketika seluruh perasaan tercurah, maka inilah yang terjadi. Kami belum mandi, kami belum bersih-bersih setelah dari Bandara langsung ke apartemen. Kami pun bercumbu. Sentuhan-sentuhan kami pun akhirnya membuat kami melangkah ke arah yang berikutnya.

Iskha menurunkan celana jinsnya. Ia juga mencopoti celanaku. Kaosku ditariknya. Aku juga membuka seluruh bajunya hingga aku buka kaitan branya. Ia menurunkan celana dalamku. Yup, nggak usah ditanya lagi kami langsung bergumul. Kali ini ia menarikku ke kamar mandi. Sekalian mandi maksudnya.

Di kamar mandi aku cium dia dari belakang sambil kemaluanku mencari-cari celah lubang kewanitaannya dari belakang. Lalu setelah itu aku dorong. Selakanganku bertemu dengan pantatnya yang putih.

"Aaaahhh....Cii..!" desahnya.

Aku peluk Iskha dari belakang sambil meremasi kedua buah dadanya. Kembali lagi batangku menggesek kulit kelaminnya. Iskha pun menyalakan shower sehingga air mengguyur kami. Di bawah guyuran shower aku bercinta dengan dia. Sodokan-sodokan batangku ke dalam liang senggamanya membuat suara-suara yang menggairahkan.

Puas dengan doggy style, aku membalikkan tubuhnya. Menatap wajahnya, lalu kuangkat paha kirinya ke atas. Aku lalu memasukkan kemaluanku ke liangnya lagi. Kemudian aku sodok-sodok tubuhnya. Lengannya melingkar ke leherku.

"Aah...ahhh...ahh..Cii..enak ciii...teruusssss!" keluhnya.

Aku sodok-sodok hingga aku pun sudah mulai keluar. Saat aku mulai klimaks aku peluk dia erat kemaluannya berkedut-kedut menghisap batangku seperti vacum cleaner. Semburan spermaku pun kembali masuk ke rahimnya. Kami berpagutan dengan mesra di kamar mandi itu. Kupeluk tubuhnya.

"Iskha... aku sangat merindukanmu," kataku.

"Aku juga Ci," katanya.

Guyuran shower itu adalah sebagai saksi, bagaimana dua insan bersatu. Selama di apartemenku, aku meluapkan semuanya. Semua rasa cinta, semua rasa rinduku kepadanya. Biarlah orang-orang bilang kami kumpul kebo. Aku sudah komitmen ama Iskha akan menikahinya.


*********** Perfect Love ***********



"Ke rumah papa ama mamaku yuk," kataku.

"Hmm??" gumam Iskha sambil memasak di dapur. Skill memasaknya sekarang mulai naik. Dia menikmati hidup bersamaku selama seminggu ini. Katanya belajar jadi istri yang baik. Mulai dari memasak, mencuci, membersihkan ruangan, semuanya ia pelajari, semuanya ia lakukan. Dan untuk jatah, kalau ada mood kami melakukannya. Seperti suami istri pada umumnya.

"Mungkin permintaanku terlalu terlalu muluk-muluk mengajakmu ke rumah orang tuaku," kataku.

"Nggak koq. Aku mau, kapan?"

"Bagaimana kalau besok?"

"OK, siapa takut"

Aku tak pernah sebahagia ini sebelumnya. Iskha mau bertemu dengan kedua orang tuaku. Akhirnya seharian itu kami berdiskusi tentang kedua orang tuaku. Iskha pun bertanya-tanya, apa kesukaan kedua orang tuaku dan sebagainya. Sebab memang dia hanya bertemu sekali dengan mereka. Aku mengabari kepada papa dan mama tentang bakal kunjunganku kesana. Mereka tentu saja suka. Apalagi aku bilang bakal ketemu calon mantu.

Esoknya mobilku sudah meninggalkan Jakarta saja menuju Semarang. Ya, kedua orang tuaku ada di Semarang. Masa' kalian nggak bisa duga logatku yang nggak terpengaruh dengan budaya jakarta dengan "lo" dan "gue"-nya? Papa itu orang Jawa tulen. Mama juga. Mungkin karena mereka orang jawa yang sudah nggak "Njawani" sehingga nggak kelihatan jawanya. Padahal aslinya kalau sudah kumpul sama orang Jawanya bahasanya pakai Krama Inggil. Aku juga kadang perlu roaming untuk mencernanya.

Butuh waktu kurang lebih 12 jam perjalanan hingga akhirnya aku sampai juga di Semarang. Aku ijin kantor sampai tiga hari untuk masalah ini. Ijin lagi padahal barusan liburan. Bodo amat. Aku beralasan untuk urusan bisnis. Semuanya pekerjaan akan aku remote. Bahkan kalau perlu rapat pakai media online. Misalnya memakai video chat.

Rumah kedua orang tuaku ini lumayan luas halamannya. Aku masih ingat ketika dulu bermain-main di sini. Halaman yang luas dan banyak tetangga yang mampir. Aku pun masih ingat dengan siapa saja teman bermainku dulu. Melihat mobilku datang langsung saja papa dan mama menyambutku. Dan mereka tampak gembira ketika melihat Iskha.

"Eeehhh....nak Iskha, ayo ayo!" kata mamaku.

Iskha tersenyum ramah kepada mama dan papaku. Iskha langsung mencium tangan keduanya. Aku mengambil ransel yang ada di bagasi setelah itu langsung mencium tangan papa dan mama. Kami masuk ke dalam rumah.

"Ini gimana tho maksudnya koq diajak kesini?" tanya Mama.

"Halah, bune ini kayak nggak tahu. Ini maksudnya minta restu ama kita," celetuk papa.

"Oooo begitu toh?"

"Iya, mama, papa, maksud kami ke sini minta restunya. Katanya sih secepatnya mas Arci mau ngelamar," jawab Iskha. Ia sekarang manggil papa dan mama kepada kedua orang tuaku.

"Ealaaah, lha mbok ya gitu, awakmu pinter milih calon mantu cakep," ujar mama.

"Hehehehe," aku cuma nyengir.

"Tapi sayang ma, anak papa ama mama jelek. Tapi aku suka, emang dukunnya siapa sih?" kata Iskha dan langsung disambut gelak tawa mama dan papa.

"Nah itu dia, nggak tahu dulu bikinnya gimana," kelakar papa.

"Mana Mas Yusuf ma? Katanya bakal datang hari ini? Juga mbak Safira," tanyaku.

"Yusuf sedang dalam perjalanan, sebentar lagi juga datang. Mbakmu sedang belanja di swalayan," jawab mama. "Ayo nak Iskha, mama tunjukin kamarmu!"

Hari itu aku diinterogasi oleh papa tentang Iskha. Saat Iskha sedang sendirian bersama mamaku, aku sama papa diajak berkeliling di halaman sambil melihat-lihat tanaman-tanaman hias yang beliau tanam di sana.

"Jadi itu anaknya Pak Arthur?" tanya papa. Beliau sudah aku beritahu latar belakang Iskha.

"Iya pa," jawabku.

"Ingat lho Pak Arthur itu orangnya licik, papa dulu sangat beruntung bisa lepas dari cengkramannya. Kalau papa tidak tegas keluar dari cengkramannya bisa-bisa bisnis papa diembat juga ama dia," jelas papaku.

"Aku sudah beritahu ke papa bukan rencanaku. Kuharap papa dan mama tahu keputusanku. Memang ini berat tapi ini harus aku lakukan. Aku sangat mencintai dia pa," kataku.

Papa menepuk pundakku. "Papa akan mendukungmu. Tapi jangan lupa kalau sudah pergi sering-sering kasih kabar. Yahh...meskipun itu sulit. Kudo'akan kalian berdua bahagia. Bagaimana Pak Arthur. Apa beliau setuju pernikahan ini?"

"Dia mana mungkin bilang tidak. Putri satu-satunya yang paling disayang. Dia pasti merestuinya," kataku.

"Arci, papa hanya pesan satu hal, kalau kamu yakin dengan dirinya. Jangan kecewakan dia. Mengerti? Papa lihat Iskha sangat mencintaimu. Dari sorot matanya, dari bagaimana dia menatapmu, ada kesan cinta di sana, jaga dia, jaga cintanya. Papa akan selalu mendukungmu," kata papa.

"Thank's pap," kataku. Aku lalu memeluk papaku. Beliau menepuk-nepuk punggungku. Rasanya mendapatkan restu kedua orang tuaku ini plong.

Tak berapa lama kemudian Kakakku, Mas Yusuf datang. Kemudian Mbak Safira datang juga dari belanja. Ketika melihat Iskha, tentu saja Mbak Safira terkejut. Mbak safira ini orangnya udah menikah. Ia sengaja datang sendiri dari Brebes. Mas Yusuf juga sudah menikah, tapi tinggal di Balikpapan bersama keluarganya. Dia juga datang sendirian.

"Lho, kamu Iskha?" tanya Mbak Safira.

"Ee...iya mbak," katanya.

"Ya ampuuun, kamu kan vokalisnya D'Espresso," kata Mbak Safira sambil megang tangannya Iskha.

"Koq mbak tahu?"

"Ya tahulah, kamu pernah manggung di kafe temenku dulu. Masih ingat Kafe Dino di Surabaya?"

"Ohh iya, iya," kata Iskha. Ia sedikit mengingat-ingat.

"Yaelah, Ciiii Arci. Ternyata seleramu manteb juga," goda Mbak Safira.

"Siapa dulu dong," kataku.

Iskha malu-malu kucing. Mas Yusuf langsung memukul bahuku. Kami pun pura-pura bertinju. Kemudian tertawa bersama.

"Cieeehh, yang habis ini kawin. Udah gedhe nih adikku," kata Mas Yusuf sambil mencubit bahuku. "Awas lho Iskha. Ini pas sekolah ceweknya banyak."

"Beneran itu mas?" tanya Iskha.

"Iya, dia pernah pacaran ama kakak kelasnya, ama anak mahasiswi juga," kata Mas Yusuf.

"Mas, mas, jangan mengugkap masa lalu yang pahit!" kataku.

"Tenang aja, kalau Mas Arci selingkuh bakal aku bikin ia tak bisa mati tak bisa hidup," jawabnya sambil nyengir ke aku.

Mas Yusuf begidik, "Wah, nggak bisa hidup, nggak bisa mati? Kaya' gimana itu?"

"Halah, Mas ini cari perkara aja. Sanah-sanah!" aku dorong dia menjauh.

Setelah kami bercengkrama akhirnya tiba juga makan malam. Di meja makan kami juga masih ngobrol banyak. Tampaknya mama dan papa sangat suka dengan Iskha. Juga dengan kepribadiannya. Iskha lebih banyak bicara santun kepada mereka. Selama ini aku tak pernah melihat mama dan papa sangat tertarik kepada Iskha.

Aku mempersilakan Iskha tidur di kamarku, tapi Mbak Safira menolak. Katanya biar tidur di kamarnya saja. Mau diinterogasi katanya. Iskha ya cuma nurut-nurut saja. Tampaknya mereka lebih tertarik dengan makhluk cantik itu daripada makhluk ganteng yang pulang kampung ini.

Kamarku, sudah lama aku tidak kembali ke kamar ini. Luas, bahkan poster-poster masa SMA-ku masih tertempel di sana sini. Tapi sayang mungkin ini adalah terakhir kalinya aku tidur di kamar ini. Iyalah, sebentar lagi kalau aku menikah aku akan jarang sekali pulang. Bahkan mungkin tidak. Papa dan mama sudah mengerti keputusanku. Ada sesuatu yang tidak bisa aku ungkapkan sekarang kenapa aku begitu mellow. Melihat anaknya berjuang seperti ini papa sebenarnya bersedih, tapi itu tidak diungkapkannya. Aku melarangnya. Aku tak ingin Iskha tahu semua yang telah aku atur. Aku hanya ingin dia bahagia. Itu saja.

Ketika aku bicara dengan mereka berdua beberapa waktu misalnya. Mama sempat menangis mendengarkan keputusanku. Dia bilang, "Apa tak ada cara lain selain itu?"

Aku menggeleng, "Kalau Pak Arthur bisa berbuat seperti itu kepada papa dan mama, kenapa aku tidak melakukannya?"

"Tapi mama bakal kangen ama kamu Arci, kamu nggak tahu betapa mama sangat merindukanmu selama ini," kata beliau.

"Iya, Arci tahu. Setelah pernikahan kami nanti jaga diri papa dan mama baik-baik yah. Arci akan mencari Iskha. Mencari orang yang Arci cintai, setelah ketemu Arci akan pertemukan dia dengan papa dan mama," kataku sambil menahan air mataku ketika itu.

"Arci, papa akan selalu mendukungmu. Perjumpaan pertama kali papa dengan Iskha, papa yakin dia anak yang baik. Cocok buat kamu," kata papa.

"Makasih, kalian memang kedua orang tua yang terbaik yang Arci punya," aku pun memeluk keduanya kala itu. "Maafkan anakmu yang tidak berbakti ini."

"Sssshhh....kamu anak baik koq, anak yang berbakti. Perjuangkan cintamu, perjuangkan cita-citamu, Mama dan Papa akan berdo'a untuk kesuksesan kalian," kata mama.



*********** Perfect Love ***********


Tidak bisa dipungkiri bahwa melamar Iskha adalah beban mental bagiku. Aku datang langsung ke rumah Arthur Darmawan. Aku pun meminta Iskha untuk jadi istriku. Bahkan Iskha pun aku ajak untuk pulang ke rumahnya. Lagipula, Arthur tetaplah ayahnya. Ayah kandungnya selama ini.

"Papa sih setuju saja kamu menikah sama Arci. Papa sudah tahu siapa dia. Kamu tahu sendiri papa sangat menyayangimu," kata Arthur kepada Iskha. "Dan kamu Arci, kalau sampai kamu sakiti hati Iskha, aku tak akan memaafkanmu."

"Siap pak, bapak tahu sendiri bagaimana perasaan saya kepada Iskha," jawabku.

"Oke, kalau begitu tinggal kita tetapkan saja tanggal mainnya," kata Arthur.

Ya, sungguh cepat. Dua minggu kemudian kami menikah. Resepsinya diselenggarakan di sebuah gedung mewah. Para undangan banyak berdatangan dari pejabat-pejabat dan juga orang-orang penting. Pesta pernikahan yang meriah itu pun dihadiri pula teman-teman kantor. Semuanya ditanggung oleh Arthur. Entah berapa duit ia habiskan untuk biaya pernikahan putri semata wayangnya ini.

Menikah dengang orang yang dicintai. Siapa yang tidak mau. Setelah hampir pukul sembilan malam kami menyalami para tamu akhirnya kami berdua capek berat. Bagaimana tidak capek, setelah dua minggu mempersiapkan pernikahan, hilir mudik ke KUA, akhirnya toh resmi. Nah, sekarang kami tak perlu malu-malu lagi buat ngapa-ngapain. Termasuk yang ehm-ehm...

Masih terngiang-ngiang ucapanku tadi pagi ketika bilang, "Saya terima nikahnya Iskha Kusumaningrum Darmawan dengan mas kawin Al-Qur'an dan cincin berlian 30 karat dibayar tunai"

Selain tamu undangan dari kantor dan dari Pak Arthur. Teman-teman Iskha pun juga datang. Mereka adalah teman-teman band dan juga teman-teman sekolah serta teman-teman kampusnya. Kami bercanda, berkelakar. Bahkan ketika malam resepsi itu Iskha pun menyumbangkan lagu untuk menyanyi. Sebagai mempelai pria aku cuma bisa melihat saja. Tahu sendiri aku kalau menyanyi itu fals.

Malam itu aku dan Iskha hanya menikmati video-video yang kami rekam melalui ponsel. Video pernikahan kami yang mungkin sebentar lagi tak akan bisa kami lihat lagi. Mungkin juga tak akan dia lihat lagi. Bisa jadi aku akan membuang ponsel ini nanti. Bisa jadi juga setelah ini aku tak akan bisa melihat dia lagi.

Aku bercumbu dengan Iskha di malam pengantin itu. Oh tuhan. Dia sangat cantik dengan gaun pengantin berwarna biru itu. Kebaya yang dia pakai sangat cantik, serasi dengan dirinya. Inilah bidadari yang aku nikahi. Ibu dari anak-anakku nantinya. Dari malam sampai pagi kami lakukan aktifitas ranjang kami. Sekalipun kami lelah, tapi entah kenapa malam itu kami punya tenaga sampai tulang-tulang kami rasanya rontok semua. Akibatnya kami bangun kesiangan. Malam pengantin yang tak akan pernah kami lupakan. Di mana semua perasaan kami tertumpah di sana. Bahkan mungkin orang yang paling bahagia adalah Iskha. Biarlah dia merasakan kebahagiaan ini.

Iskha, semoga perasaan kamu ke diriku tidak akan goyah. Yakinlah aku tetap mencintaimu. Sekalipun yang akan terjadi setelah ini akan mengejutkanmu. Aku tak mau jadi peran pembantu di dalam cerita ini. Aku ingin jadi pemeran utamanya. Enam bulan yang telah aku siapkan secara matang akan aku jalankan setelah ini.

Sabarlah sayang, semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan baik-baik saja.




BAB XI
SHOCKED!


Kalau aku dulu pernah berada di situasi teraneh yang pernah aku alami dalam hidupku. Kini kebalikan dengan Arthur Darmawan. Sebulan setelah menikmati masa-masa pernikahan kami, Arthur dan aku duduk di sebuah meja di mana aku makan dengan lahap sedangkan dia duduk menatapku dengan pandangan yang seolah-olah tak percaya. Ia mungkin tak akan menduga aku akan sekejam itu, ia mungkin tak akan menduga aku akan tega melakukan hal itu. Tapi semuanya sudah sesuai dengan apa yang aku rencanakan. Dan itu membuat dia shock.

"Bagaimana pak? Penjelasanku tadi kurang jelas? Ataukah ada pertanyaan?" tanyaku sambil mengunyah steak tenderloin di mulutku yang rasanya sangat lembut.

"What the fuck are you doing to me? WHAT THE FUCK!?" teriaknya sambil menggebrak meja makan. Makananku sampai melompat.

Stop!

Kita rewind dulu kenapa dan bagaimana ini semua bisa terjadi. Bagaikan sebuah kaset yang dijalankan mundur, kita semua kembali kepada keberadaanku di mana setelah aku ditinggalkan Iskha dan terbengong di kamar apartemenku. Setiap orang mungkin juga bakal marah dan stress melihat keadaanku. Bagaimana tidak? Orang sepintar aku, seganteng aku, senarsis aku harus dikalahkan oleh orang tua yang hanya peduli dengan kekayaannya saja.

Yang aku lakukan adalah merancang semuanya dari nol. Aku ada tiga rencana besar yang harus aku lakukan agar ini semua berhasil. Pertama aku butuh uang. Iya, uang. Uang yang banyak. Bagaimana caranya? Aku membeli saham perusahaanku sendiri. Karena aku yakin perusahaanku nilai sahamnya akan naik dengan caraku sendiri yang mengembangkan tim RnD. Tim RnD dengan asuhan dan arahanku membuat produk-produk luar biasa yang tak pernah terpikirkan oleh semua orang sebelumnya. Bahkan berbagai aplikasi mobile kini telah banyak diunduh.

Yang aku lakukan cukup mudah untuk membeli saham perusahaanku sendiri. Aku menyewa beberapa jasa sekuritas untuk membeli saham perusahaanku. Yup, mereka mau melakukan hal ini denganku. Dengan pembagian keuntungannya 50:50. Lagipula tujuanku adalah agar aku membangkrutkan Darmawan Group. Agar ia tak satu-satunya orang yang berkuasa di perusahaanku. Inilah yang aku lakukan. Aku menyewa 10 orang yang bertugas untuk membeli saham perusahaan. Paling tidak bisa dibeli akan menguasai lebih dari 50%. Sehingga apabila nanti 10 orang ini merger jadi satu maka seluruhnya orang ini akan menjadi pemegang kekuasaan perusahaanku.

Berikutnya, aku memperbarui kontrak dengan perusahaan mobile Korea. Pak Arthur juga ada di sana. Di dalam kontrak disebutkan apabila salah satu pihak terlibat dalam tindak pidana maka kontrak proyek akan diserahkan kepada pemegang saham tertinggi di perusahaan ini. Namun apabila pemilik saham tertinggi terlibat tindak pidana maka perusahaan tersebut harus mengganti kerugian akibat penandatanganan proyek ini. Tahu sendiri perusahaan mobile Korea tidak mau ada kesepakatan mereka terlibat tindak pidana kejahatan. Mereka orangnya bersih, nggak tahu juga sih kalau itu cuma kedok dan topeng.

Berikutnya, darimana aku mendapatkan uang segitu banyak untuk membeli saham? Semua atas bantuan papaku. Ya, sepuluh orang yang aku kendalikan membeli saham perusahanku pun kini sudah mencapai 60% dari total saham yang ada di perusahaanku. Ini tidak pernah disadari oleh Arthur. Karena ia terlau sombong, karena ia merasa dirinya cerdik.

Suatu saat, aku mengajak Iskha menemui Yuyun, pacarnya Doni. Awalnya Iskha agak canggung karena tahu apa yang telah diperbuat ayahnya kepada Yuyun dan Doni. Tapi aku menenangkannya.

"Maaf ya Yun, atas perlakuanku selama ini. Aku nggak tahu kalau pengorbanan Doni begitu besar," kata Iskha.

"Iya, Mas Arci udah cerita semuanya ke diriku. Aku bisa mengerti koq sekarang. Aku sangat kangen sama Doni sekarang ini," kata Yuyun.

"Aku berjanji akan mengeluarkan Doni secepatnya," kataku.

"Gimana cara kamu mengeluarkan dia?" tanya Iskha.

"Nggak tahu, pasti ada jalan," jawabku.

"Satu-satunya yang bisa ngeluarin Doni itu cuma papa," kata Iskha.

"Aku bilang ada, pasti ada," kataku.

Perjumpaan Yuyun dan Iskha saat itu memang momen teraneh dalam hidup mereka. Iskha benar-benar merasa bersalah, sekalipun aku berulang kali mengatakan bahwa itu semua bukan kesalahannya jadi tak perlu merasa bersalah. Yuyun pun entah berapa kali mengatakan "Aku tak apa-apa Iskha, aku tak apa-apa"

Barangkali kebaikan hati Iskha-lah yang membuat dia disukai oleh banyak orang. Tidak mamaku, tidak juga papaku, juga Doni. Mereka setuju bahwa Iskha orang yang baik. Aku tak salah menikahi seorang wanita. Sejak menjadi istriku, Iskha benar-benar melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia sudah siap menjadi seorang ibu. Saking siapnya ia pun mencari-cari nama-nama anak di internet. Semua yang dia dapat sampai sekarang ini benar-benar anugrah yang tidak dapat ditukar oleh apapun.

Ada alasan besar kenapa aku menikahi Iskha. Pertama karena aku memang benar-benar mencintainya. Kalau aku tak mencintai dia maka aku tak akan melakukan ini. Kedua, karena aku ingin dekat dengan Arthur, menjelajahi rumahnya, menjelajahi seluruh tempat-tempat yang aku tidak bisa menjangkau sebelumnya. Ketiga, agar aku bisa mendekatinya tanpa dia ketahui. Aku pura-pura menjadi menantu yang baik, mengajaknya makan malam, memberinya hadiah. Dan ia tak mencurigai seluruh perbuatanku, sekalipun ia sangat waspada. Aku bisa melihat dari sorot matanya, sorot mata kecurigaan. Sorot mata yang masih berambisius untuk mencurigaiku. Aku bisa fahami itu, karena rahasia besar tentang kematian Vira aku yang tahu.

Baiklah mari kita urutkan dulu kejadiannya. Aku sudah mendapatkan saham perusahaanku sekitar 60%. Apabila aku gabungkan maka akulah yang memiliki perusahaan itu. Ya, tentu saja aku. Aku bisa masuk ke jajaran direksi yang mengarakan perusahaan. Aku bahkan bisa menurunkan nilai saham dan membeli seluruh saham yang ada begitu mudahnya. Ini sudah aku lakukan, tanpa sepengetahuan Arthur.

Ada hal yang terberat. Hal terberat yang aku lakukan setelah itu.

Sudah sebulan semenjak Iskha dan aku menikah. Aku tinggal di apartemenku bersama Iskha. Iskha sedang memasak di dapur, entah ia masak apa hari itu. Aku hanya menikmati kopi sambil membaca koran elektronik pagi itu di tabletku. Aku berkali-kali menengok ke pintu, aku menunggu kejutan yang tak akan disangka-sangka oleh Iskha. Akhirnya datanglah waktunya.

TOK! TOK! TOK!

Mendengar ketukan itu aku meletakkan cangkir kopi dan tabletku, kemudian aku berjalan menuju ke pintu. Ketika pintu aku buka aku sedikit kaget karena aku melihat tiga orang berseragam polisi ada di sana. Lebih tepatnya dua orang polwan satu orang polisi.

"Kediaman ibu Iskha Kusumaningrum?" tanya polisi itu.

"Iya, saya suaminya," kataku.

"Maaf pak, kami memberikan surat penangkapan untuk ibu Iskha," katanya.

Polisi itu menyerahkan sebuah surat yang bertuliskan Surat Penangkapan atas nama Iskha Kusmaningrum. Iskha yang saat itu selesai di dapur muncul dan menengok ke pintu.

"Ada apa ya mas?" tanya Iskha kepadaku.

"Ini...," aku hanya bisa membuka pintu dan membiarkan polisi itu masuk.

"Ibu Iskha, anda ikut kami sekarang ke kantor polisi," kata sang polisi.

"Ada apa ya pak?" tanya Iskha.

"Anda dituduh telah melakukan pembunuhan dan pemanipulasian barang bukti. Surat perintah penangkapan Anda udah dipegang oleh suami Anda. Sekarang Anda ikut kami!" katanya.

"Sebentar pak! Saya nggak mengerti," kata Iskha.

"Anda dituduh telah membunuh saudari Anda Vira Yuniarsih Darmawan. Sebuah video CCTV menjadi saksi atas perbuatan yang telah Anda lakukan kepada saudari Anda. Anda sekarang iku kami!"

"Mas, mas, apa ini?" tanya Iskha.

"Iskha, Iskha...kamu tenanglah, kamu yakinlah kepadaku. Yakinlah!" kataku.

"Tapi mas, apa yan sebenarnya terjadi?" tanyanya.

"Kamu ikut saja mereka, aku akan menyusulmu nanti Oke?" kataku sambil membelai pipinya.

"Tapi, tapi...," Iskah terbata-bata.

Dua orang polwan menangkap Iskha dan dia diborgol.

"Tenanglah, kamu harus percaya kepadaku. Kamu percaya kepadaku bukan?" tanyaku.

"Tapi Mas..."

Aku menatap tajam ke arahnya. Aku ingin mengisyaratkan kepadanya "Percayalah kepadaku!" Akhirnya Iskha menyerah dan hanya mengangguk. Ia lalu berkata, "Aku percaya kepadamu. Aku percaya"

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ketika aku menikahi Iskha adalah salah satu alasan aku untuk mendapatkan video CCTV tentang pembunuhan Iskha. Aku bisa masuk ke rumah Arthur untuk mendapatkan rekaman itu. Aku tahu pasti rekaman itu dihapus olehnya, tapi aku punya software untuk bisa mengembalikan data yang dihapus. Aku membackup hard disk yang ada di ruang CCTV rumahnya dan mengganti dengan hard disk yang lain. Sedangkan Hard Disk yang berisi rekaman pembunuhan itu datanya aku recovery dan aku simpan ke dalam tempat lain. Tahu sendiri bukan ada software yang bisa mengembalikan data yang telah dihapus. Ya, aku bisa mengembalikan data yang sudah dihapus tersebut.

Rekaman itu aku simpan di sebuah flashdisk yang kemudian flashdisk tersebut akan aku gunakan nanti sesuai situasi dan kondisi.

Aku sungguh hampir tak bisa melakukan ini semua. Bahkan mama dan papa yang mengetahui rencana ini pun meragukanku bisa melakukannya. Menyerahkan Iskha ke pihak yang berwajib, melaporkan pembunuhan atas dirinya. Aku pasti sakit. Iya aku sakit. Sakit sekali hatiku. Tapi ini harus aku lakukan. Aku sangat mencintai Iskha. Arthur tak akan mengerti dan tak akan menyangka aku akan melaporkan Iskha kepada pihak yang berwajib. Aku menelpon Arthur hari itu setelah Iskha ditangkap.

"Halo?" sapaku.

"Ya, ada apa Arci?" tanyanya.

"Pak Arthur, Iskha ditangkap oleh polisi," jawabku.

"Apa? Kenapa? Atas apa dia ditangkap?" tanyanya.

"Atas pembunuhan Vira," jawabku.

"Kamu jangan main-main, kamu yang melaporkan?" tanyanya.

"Bukan saya. Saya tak tahu kalau ada rekaman tentang CCTV pembunuhan Vira, bukankah anda tak pernah cerita hal ini. Jadi saya sama sekali tak tahu," kataku pura-pura.

"Brengsek! Siapa yang melakukannya?"

"Saya akan selidiki," kataku.

"Iya, selidikilah. Proyekku dengan perusahaan Korea bisa hancur berantakan gara-gara ini," kata Arthur.

"Pak Arthur, jadi benar Iskha yang membunuh Vira?"

"Iya, dia yang membunuhnya tapi itu nggak sengaja."

"Tapi, kenapa Iskha tidak diserahkan ke pihak yang berwajib saja waktu itu? Toh nanti dia juga akan dibebaskan karena perbuatannya itu kan tidak disengaja menurut Anda."

"Vira mabuk waktu itu, terjadi pergumulan, perebutan pisau hingga akhirnya Iskha menusuk adiknya sendiri. Ada buktinya dan bukti itu adalah CCTV yang aku taruh di rumahku. Arci, cari siapa yang menyerahkan CCTV itu ke polisi, aku akan buat perhitungan dengan dirinya!"

"Baik pak," kataku. Aku kemudian menutup teleponnya. Sekaligus merekam semua pembicaraan tadi. Filenya aku simpan di ponselku.

Lalu selama enam bulan ini juga aku menyelidiki orang yang bernama Viki. Viki, seorang yang menggemari body piercing, tattonya banyak, dan suka madat. Mencarinya tak sesulit yang aku kira. Hanya searching fotonya di google aku langsung mengetahui facebooknya. Aku kemudian tahu kebiasaannya nongkrong di suatu tempat. Aku juga tahu rumahnya, aku catat semuanya, aku hafal semuanya.

Untuk mengirimkan ke polisi aku membutuhkan sesuatu. Ya, sesuatu. Sesuatu pion yang tak mengetahui keberadaanku. Sesuatu pion yang bisa bergerak karena sesuatu.

Suatu hari aku memakai identitas palsu diinternet langsung menyapa Viki. Aku berkata kepadanya, "Aku tahu Vira dibunuh oleh kakaknya, ambil filenya di tempat Data Recover, serahkan ke polisi aku akan memberimu uang"

Viki tentu saja tertarik. Dia pun mengambilnya ke Data Recover. Dia memasukkan flashdisk itu ke dalam amplop dan menyerahkannya ke polisi. Ia mendapatkan uang dengan mudah dengan cara seperti itu. Namaku bersih. Ia tak sadar apa yang dia lakukan. Di dalam amplop itu aku beberkan bahwa Doni Hermansyah tidak melakukan apapun. Juga bukti-bukti bahwa Arthur Darmawanlah melakukan itu semua.

Setelah Arthur menelpon itulah aku kemudian mulai memberikan cerita buatanku, di mana aku mengetahui bahwa Viki yang memberikan rekaman itu ke polisi. Arthur marah? Jelas. Ia sangat marah bahkan menghajar Viki. Kalian tahu bagaimana dia menghajar Viki? Viki jadi bulan-bulanan empat orang tukang pukul Arthur. Aku tahu bahwa Viki tak akan bicara dengan baik dalam kondisi madat setelah ia membeli narkoba dari uang yang aku berikan kepadanya. Ia hanya mengaku telah menyerahkan sebuah amplop ke polisi. Dia dihajar hingga mukanya bonyok. Aku hanya menonton itu semua sambil menahan ketawa. Aku tetap menunjukkan wajah kesedihan di depan Arthur.

Besoknya Doni tiba-tiba bebas. Ia sendiri tak percaya. Orang yang paling bahagia saat itu adalah Yuyun. Ketika tahu Doni dibebaskan dari segala tuduhan betapa senang dia. Doni kebingungan. Ketika keluar dari sel tahanan aku langsung menjenguk dia di rumahnya. Ia memelukku erat hari itu.

"Gua seneng banget bisa bebas. Tapi kenapa ya?" tanya Doni.

"Aku bilang apa, pasti ada cara untuk dirimu bisa bebas," jawabku.

"Tapi Ci, ini aneh. Aku dibebaskan dari segala tuduhan, apa itu berarti??"

"Ya, Iskha ditangkap karena telah melakukan pembunuhan terhadap adiknya," jawabku.

"Dia menyerahkan diri?"

"Tidak, ada seseorang yang membeberkan bahwa dia adalah pelakunya," jawabku.

"Wah? Koq bisa Mas?" tanya Yuyun. "Siapa orang itu?"

"Orang itu adalah aku," jawabku jujur.

"Hah??!" keduanya terkejut.

"Hei, sob. Lo gila?! Lo cinta ama dia kan? Kenapa lo lakuin itu?" tanyanya.

"Don, kali ini aku butuh bantuanmu, mungkin bantuan terakhir kita sebagai seorang sahabat," kataku.

Mendengar itu Doni tentu saja bingung dan heran. Tapi inilah yang aku lakukan. Aku sudah siap atas semua resikonya. Doni pun mendengarkan rencanaku dengan seksama. Yuyun dan Doni mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Setelah aku jelaskan semuanya Donilah yang marah sekarang sambil menggebrak meja.

BRAK! Doni menggebrak meja.

"Lo brengsek! Kenapa lo mau lakuin itu? Itu konyol!" kata Doni. "Mending gua di penjara saja Ci daripada kehilangan lo. Lo sahabat gue!"

"Dengarlah, papa dan mama udah tahu semuanya, tinggal kalian. Dan aku ingin kalian membantuku, kalau kalian memang masih menganggap aku sahabat," kataku.

"Brengsek lo Ci, daripada begini gua balik aja ke tahanan," kata Doni. Aku tahu ia tak suka rencanaku. Tapi inilah yang akan aku lakukan.

"Maafkan aku sob," aku memeluknya. Aku sempat menangis dalam pelukan Doni. "Semua akan baik-baik saja sob. Lo bisa hidup bahagia sama Yuyun, kalian bisa punya banyak anak. Yun, jaga Doni yah. Dia sohibku. Jangan kecewakan dia!"

"Iya, Ci, iya," kata Yuyun sambil nangis.

Besoknya Arthur kebingungan ketika tiba-tiba pihak perusahaan Mobile Korea membatalkan kontrak. Dan ia lebih bingung lagi ketika Darmawan Group menjadi pihak yang menanggung kerugian ini bukan perusahaanku. Ia tak tahu bahwa aku adalah pemegang saham tertinggi dari perusahaan tempat aku bekerja. Setelah aku memerger semua kepemilikan saham. Aku pun mendapatkan quota 60% dari kepemilikan saham. Siapa yang memiliki perusahaan ini? Ya, aku.

Dan aku pun kemudian memperbaharui kontrak dan menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab sepenuhnya dialihkan ke Darmawan Group. Karena satu-satunya yang bisa memperbaharui kontrak adalah orang yang memiliki perusahaan, paling tidak yang mempunyai saham tertingi di perusahaan tempatku bekerja. Karena power itulah aku bisa memiliki deal baru dengan perusahaan mobile dari Korea itu. Revisi kontrak pun dimulai tanpa sepengetahuan Darmawan Group, karena perusahaanku menarik diri.

Akhirnya proyek yang harusnya jadi dikerjakan oleh perusahaan kami pun tidak jadi. Dan Darmawan Group harus menanggung kerugian sebesar 200juta dollar. Maksud hati Arthur ingin mengambil uang dari keuntungan saham yang ada di perusahaan kami istilahnya ingin mengambil uang perusahaan kami dulu untuk menutupi uang 200juta dollar itu, tapi sayangnya kontrak kami dengan Darmawan Group diputus. Arthur pun kaget. Itu artinya satu-satunya harta yang punya adalah aset Darmawan group dan sisa saham yang ada di perusahaanku. Artinya itu tak akan bisa menanggung kerugian 200juta dollar. Dia benar-benar bangkrut sekarang.

Saat ia kebingungan dengan semua yang terjadi aku memesan sebuah meja dan membooking restoran tempat dulu dia menghinaku. Ya, tempat di mana dia makan enak dengan steak tenderloin. Aku saat itu makan dengan lahap. Memang makanannya sangat enak. Arthur pun aku telepon untuk datang ke restoran itu.

Dengan tampang bodohnya dia pun masuk ke restoran yang sepi, menyisakan aku yang makan dengan lahap di tengah ruangan.

"Duduklah, mertuaku," kataku. "Sudah makan? Pesanlah apa saja"

"Apa yang kamu lakukan di sini? Apa ini?" tanyanya.

"Singkatnya begini. Sayalah orang yang telah membeli seluruh saham yang ada di perusahaan. Saya juga yang merevisi kontrak dengan orang-orang Korea, saya juga yang memberikan beban itu kepada Darmawan Group. Dan saya juga sebenarnya orang yang telah melaporkan Iskha ke pihak yang berwajib. Saya pun telah mempunyai bukti-bukti di mana Anda menghajar Viki, juga rekaman percakapan kita bahwa Anda yang memanipulasi agar terlihat Doni Hermansyah bersalah dan menjadi tersangka pembunuhan yang tidak dia lakukan. Semuanya sudah aku kirimkan dan sedang meluncur ke pihak yang berwajib.

"Jadi inti dari permasalahan ini adalah, sayalah orang yang bertanggung jawab atas ini semua. Anda bangkrut. Anda jadi tersangka. Dan tentunya ini saya kembalikan uang yang dulu pernah Anda berikan ke saya. Anda bisa hidup dengan uang itu setelah ini!" aku menyodorkan cek bertuliskan 30 juta rupiah kepadanya.

Bibir Arthur gemetar. Ia tak menyangka aku melakukan semua ini.

"Bagaimana pak? Penjelasanku tadi kurang jelas? Ataukah ada pertanyaan?" tanyaku sambil mengunyah steak tenderloin di mulutku yang rasanya sangat lembut.

"What the fuck are you doing to me? WHAT THE FUCK!?" teriaknya sambil menggebrak meja makan. Makananku sampai melompat.

"Aku sudah menjelaskan kepada Anda semuanya, kurang jelas?" tanyaku. Kembali aku menikmati steak yang ada di mejaku sampai habis sementara Arthur kalut. Ia seperti orang bodoh di sana. Tak tahu harus berbuat apa, bahkan bicara pun ia tak bisa.

Aku telah selesai makan, kuminum air putih yang ada di meja sebagai penutupnya. Kubersihkan mulutku dengan serbet. Setelah itu aku berdiri. Aku tepuk pundaknya, "Silakan nikmati makanannya, tagihannya ke aku. Aku ada urusan mendesak. Anda tahu bukan bagaimana sekarang rasanya kalah? Sampai jumpa di lain kesempatan. Atau mungkin kita tak akan bertemu lagi."

Arthur sekarang duduk seperti orang bodoh. Terlebih ketika makanan-makanan mewah yang dulu pernah aku pesan sekarang berada di meja di depannya. Pikirannya pasti kalut, ia bingung, mau marah ia tak tahu harus marah kepada siapa. Semuanya karena ia lengah. Lengah karena ia mengira aku tak akan melaporkan Iskha ke pihak yang berwajib. Ia terlalu meremehkan cinta yang aku punya ke Iskha. Ia tak tahu kalau aku sangat mencintai Iskha.

Dan sekarang satu hal yang akan aku lakukan. Menyelamatkan Iskha.



BAB XII
RUNAWAY

Sebagai seorang suami yang baik, aku mengetahui kesehatan istriku. Sebenarnya aku tahu bahwa Iskha menyembunyikannya dariku dan ingin memberiku kejutan. Ia telah hamil. Tapi aku perlu menahan diri karena justru kehamilannya inilah satu-satunya kesempatan aku mau melakukan hal ini. Sebuah rencana tergila di dalam hidupku. Rencana yang seharusnya tidak aku lakukan. Tapi kamu tahu bukan, seseorang pecinta akan melakukan apapun demi orang yang dicintainya.

Aku menemui Iskha di tahanan. Dia tampak shock. Wajahnya lesu ketika aku menjenguknya.

"Kamu tak apa-apa?" tanyaku.

"Iya, tak apa-apa," jawabnya.

Aku tahu hal ini tidak mudah baginya. Tapi aku tetap berusaha membesarkan hatinya. "Bagaimana keadaan di sini?"

"Mengerikan Mas, mengerikan. Aku satu sel dengan pembunuh, pemalak, begal, mengerikan. Kamu tahukan? Mereka semua berbuat yang tidak senonoh kepadaku," katanya.

"Tapi mereka perempuan semua bukan?" tanyaku.

"Iya, sekalipun begitu, mereka kriminal Mas, kriminal!"

"Iskha, aku mencintaimu," kataku sambil mengusap pipinya.

"Aku juga Mas, aku juga"

"Kamu percaya kepadaku kan?"

"Iya, aku percaya kepada Mas."

"Aku akan membebaskanmu secepatnya, aku akan berusaha. Tapi kamu perlu kuat, kamu perlu kuat bertahan."

"Siapa yang melaporkan diriku? Siapa?"

"Viki, Viki yang melaporkannya. Ia mendapatkan rekaman pembunuhan itu dan melaporkannya ke pihak yang berwajib," aku berbohong.

"Oh, iya jelas. Dia tahu tentang rumah," katanya sambil menghela nafas. "Dia pasti mencurinya"

"Iskha, aku ingin kamu meminum ini," kataku sambil menyodorkan sebutir obat.

"Apa ini?" tanyanya.

"Jangan sampai ada yang tahu. Kamu percaya kepadaku bukan?"

"Iya, tapi ini apa?"

"Lakukan saja!"

"Tapi Ci,..."

"Just do it!"

"Ini air mineral. Minum ini!" aku menyerahkan sebotol air mineral kepadanya.

Dia menyembunyikan pil itu dan langsung memasukkannya ke mulut. Ia kemudian minum air mineral yang aku bawa. Sipir tidak curiga dengan hal itu.

"Kamu hamil kan?" tanyaku.

"Hah? Mas tahu?"

"Iya dong, emangnya kamu bisa nyembunyiin test packnya?"

Iskha tersenyum. Ia mengelus-elus perutnya. "Bentar lagi kamu jadi ayah"

Aku mengusap-usap perutnya. Tentu saja aku bahagia, "Iya, aku sangat bahagia sekarang ini, beib"

"Kira-kira cewek apa cowok ya?" gumam Iskha.

"Aku ingin kembar," kataku.

"Ihh...kepengennya. Ntar kalau kembar bapaknya nggak dapat jatah susu dong," godanya.

"Hahahaha, yang penting kamu bahagia," kataku sambil mengusap rambutnya.

"Mas, baik-baik ya di luar. Aku nggak bisa masak lagi buatmu sementara ini, nggak bisa ngepel lantai lagi, nggak bisa nyetrikain bajumu"

"Tenanglah, tak perlu kamu risaukan hal itu. Hei, Hello Kitty, dengarlah!" Iskha menatapku lekat-lekat. Kuambil tangannya, aku ciumi tangannya lalu aku letakkan di dadaku. "Aku akan lakukan apapun untuk kebahagiaanmu, aku akan lakukan apapun, kamu tak perlu khawatir. Aku sangat mencintaimu, saat dunia ini sudah tidak mencintaimu lagi ketahuilah aku adalah manusia, satu-satunya manusia yang akan mencintaimu. Apapun yang ada pada dirimu aku menyukainya. Aku orang yang akan terus menyayangimu, orang yang akan terus mengucapkan kata cinta untukmu. Orang yang akan terus menciumimu walaupun kamu sudah jenuh dengan ciuman-ciumanku.

"Iskha, tak ada yang bisa menenangkanku selain senyumanmu. Tak ada yang bisa menenangkanku selain tatapan matamu itu. Aku ingat setiap bau tubuhmu, setiap lekuk tubuhmu, setiap rasa bibirmu, aku mencintai semua itu. Kamulah sesuatu terindah yang diberikan tuhan kepadaku. Sayangku, aku sangat mencintaimu"

Iskha berkaca-kaca mendengarkan itu semua. Ia pun menangis, "Aku juga sayangku, aku juga... aku percaya kepadamu, aku percaya kepadamu."

Apa yang bisa aku lakukan setelah itu? Menunggu. Menunggu sampai esok hari.


****************** Perfect Love *****************


Apa yang aku lakukan sebenarnya pada waktu 6 bulan itu selain yang telah aku ceritakan? Aku melakukan hal yang gila. Sebelum Iskha datang ke apartemenku seluruh tembok aku penuhi dengan catatan-catatan untuk melarikan diri dari kejaran polisi. Aku sudah merancang semua bagaimana Iskha dan aku bisa melarikan diri. Selama enam bulan aku mengunjungi Doni di tahanan, aku menyadari bahwa tak mudah untuk melarikan diri dari tahanan karena sekuritinya sangat ketat. Satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah Iskha harus keluar dari tahanan itu. Dan salah satu caranya adalah membuat perutnya kejang, tapi itu bukan hal yang mudah hingga aku harus memesan sebuah obat yang membuat perut kejang. Terlebih para dokter tahu bahwa Iskha hamil.

Reaksi perut kejang itu sangat kuat hingga Iskha tak akan sanggup menahannya hingga berteriak-teriak. So pasti hal itu akan membuat ia dibawa ke rumah sakit. Aku sudah merencanakan itu dengan matang. Aku membeli obat itu dari seorang yang sangat memahami obat ini. Ia meyakinkanku bahwa obat itu aman buat ibu hamil. Karena rasa sakit itu hanya menipu, bukan karena gangguan pada rahimnya.

Aku menulis mencoret-coret peta yang aku beberkan di dinding apartemenku. Aku gambar rute mana yang paling aman untukku bisa melarikan diri. Aku pun memilih banyak negara sebagai pelarian terakhirku. Aku jadi teringat sebuah film yang dibintangi oleh Russel Crow "The Next Three Day" di mana seorang suami berusaha menyelamatkan istrinya yang tertuduh sebagai seorang pembunuh. Berangkat dari sanalah aku mendapatkan ide ini. Bodoh ya? Tidak, ini masuk akal.

Pernahkah kamu melakukan apapun untuk orang yang cintai? Kalau belum maka bagaimana kamu bisa dikatakan mencintai dia? Itulah yang aku rasakan kepada Iskha. Aku ingin melakukan apapun demi dia.

Aku benar-benar mematangkan rencanaku untuk melarikan diri bersama dengan Iskha. Hanya aku, mama, papa, Doni dan Yuyun yang tahu tentang rencanaku untuk melarikan diri. Setelah aku benar-benar memantabkan rencanaku hingga aku membersihkan apartemenku. Membersihkan agar polisi nanti tak tahu tujuanku kemana.

Begitu aku keluar dari tahanan aku menyadap telepon mereka. Aku menuju ke luar gedung lebih tepat ke sebuah jaringan telepon yang ada di luar gedung. Dari sana aku kemudian mendengarkan percakapan mereka. Tentang siapa yang menghubungi dan kemana. Saat itulah dari dalam tahanan mereka menelpon ke rumah sakit.

"Halo, rumah sakit?" sapa orang yang ada di telepon.

Aku langsung memotong saluran itu sehingga akulah yang mereka tuju, "Ya?"

"Tolong ada tahanan yang mengalami kontraksi, dia hamil," kata petugas sipir.

"Oke, kami segera berangkat," jawabku lalu menutup telepon.

Aku menutup kembali gardu jaringan yang aku buka untuk menyadap jaringan teleponnya. Aku tunggu lima menit lamanya. Setelah itu aku menghubungi Doni.

"Don, bergerak!" kataku.

Kenapa aku menelpon Doni? Karena Donilah yang menyupir ambulance itu. Ia aku suruh untuk menyamar sebagai petugas rumah sakit yang menyupir ambulance. Yuyun berada di dalam ambulance. Aku kemudian melihat ambulance milik Doni dari kejauhan. Mobil ambulance yang sirinenya meraung-raung itu pun berhenti ketika melihatku ada di tepi jalan. Aku segera membuka pintu belakang dan masuk ke dalamnya. Di dalam Yuyun segera memberiku baju perawat. Aku segera memakai baju itu. Kami semua memakai masker agar tak ada yang mengenali.

Mobil ambulance itu terus masuk ke dalam halaman Rutan. Setelah Ambulance berhenti aku segera membuka pintu dan menurunkan tempat tidur lipat. Segera aku dan Yuyun mendorongnya masuk ke rutan. Saat itulah dua orang sipir wanita mengantar Iskha yang meringis kesakitan. Dia dipapah dengan menggunakan kursi roda. Aku dan Yuyun segera membantunya untuk berbaring di atas tempat tidur. Setelah itu ia pun aku dorong untuk masuk ke dalam ambulance. Satu orang sipir penjara ikut kami masuk ke dalam ambulance.

Aku sudah mengantisipasi ini. Aku sudah siapkan sapu tangan berkloroform untuk membekapnya. Tapi aku tunggu waktu yang pas. Aku pura-pura memeriksa pupil mata Iskha. Iskha melihat ke arahku. Ia terbelalak melihatku. Aku mengisyaratkan agar ia diam saja. Aku mengedipkan mata kepadanya.

"Ayo cepat! Cepat! Pasien kritis!" seruku.

Mobil Ambulance ini pun kembali sirinenya meraung-raung. Kami pun melaju di atas aspal tapi karena raungan sirine ini jalanan jadi lancar. Saat sipir wanita itu lengah aku lalu membekap mulutnya dengan sapu tangan berkloroform. Sang sipir hampir saja melawan tapi ia langsung lemas tak sadarkan diri.

Mobil Ambulance terus melaju. Iskha langsung bangun. Rasa sakitnya sudah hilang tiba-tiba. Memang karena rasa sakit itu cuma sementara. Reaksinya akan hilang setelah dua puluh menit.

"Mas!? Apa yang mas lakukan?!" teriaknya.

"Kamu tenang dulu!" aku membuka maskerku. Yuyun juga.

"Yuyun? Berarti yang nyupir??" Iskha menunjuk ke sopir Ambulance.

"Doni," jawabku.

"Hai Iskha, apa kabar?!" sapa Doni.

"Kamu konsen nyopir saja yet!" kataku.

"Mas, mas tahu ini semua berbahaya? Kalau sampai ketangkap kita semua kena!" seru Iskha.

"Iskha, kamu ingat apa yang aku katakan tadi di tahanan?" tanyaku.

"Iya mas, ingat. Tapi....apakah harus seperti ini?"

"Percayalah kepadaku!" kataku.

Iskha bingung, bingung sekali. Ia memegang kepalanya. Ia mungkin sekarang sangat pusing sekali. Aku kemudian menyerahkan sepasang baju.

"Pakailah! Lepas baju tahananmu, setelah ini kita berpisah dengan Doni dan Yuyun," kataku.

Iskha tak tahu harus bagaimana. Tapi dia akhirnya menurut. Setelah dia mengganti bajunya, Doni memberhentikan mobil ambulance itu di pinggir jalan. Tak jauh dari tempat berhentinya ada mobilku terparkir di sana. Kami semua keluar dari mobil ambulance tersebut.

"Jadi ini perpisahan kita nyet?" tanya Doni.

Aku mengangguk.

"Lo sinting Ci, lo temen gue yang paling sinting yang pernah gue kenal," sambung dia.

"Hahaha, kamu tahu aku adalah pemeran utamanya. Aku nggak ingin peran utamanya dapat kamu semua. Ibumu udah mendingan, bukan? Yuyun juga selamat. Arthur Darmawan nggak bakal mengganggu kalian lagi. Ia sudah bangkrut," kataku sambil menepuk pundak Doni.

"Ci, lo nggak harus ngelakuin ini semua," kata Yuyun.

"Aku perlu, demi orang yang aku cinta aku perlu," kataku sambil mendekap Iskha.

Yuyun lalu memeluk Iskha. "Jaga diri baik-baik yah, lo lagi hamil soalnya"

"Iya Yun, kita bisa ketemu nggak nanti?" tanya Iskha.

"Kapan-kapan deh, kalo punya duit," jawab Yuyun sambil sedikit tersenyum. Tapi yang jelas keduanya menangis setelah itu.

"Ada kata-kata terakhir sebelum kita pergi?" kataku.

"Lo jaga diri deh nyet. Kudo'akan lo sukses di sana," kata Doni. "Jadi ini terakhir kali kita kontak?"

"Yah, mau gimana lagi? Habis ini pasti polisi bakal ngawasi kalian, kontak-kontak kalian juga bakal dicek. Aku nggak mau kalian nanti terlibat dengan mereka lagi. Cukup sampai di sini saja kegilaan ini," kataku.

"Arci!" Doni lalu memelukku, ia menepuk-nepuk pundakku. "Brengsek lo, maafin gua nyet. Maafin gua"

"Kamu nggak salah, kita impas sekarang. Good luck!" kataku.

"Yun, jaga diri yah," kata Iskha.

Setelah itu aku menggandeng Iskha masuk ke mobil. Kami masih melambai untuk yang terakhir kali sebelum pergi dari tempat itu. Tujuan kami adalah bandara. Aku sudah mempersiapkan pasport yang kupersiapkan untuk Iskha. Pasport ini terpaksa memakai nama palsu. Karena kami tak ingin dikenal sebagai Arci ataupun Iskha. Namaku agak aneh sih tapi lebih baik daripada nggak. Aku memakai nama Ridwan Yuswanto, sedangkan Iskha memakai nama Erika Farsya Adhelia.

Aku mencoba tenang ketika memasuki bandara. Tenang dan slow. Aku membawa barang bawaan seadanya. Semuanya berisi baju. Tentu saja tak lupa uang yang telah aku persiapkan selama perjalanan aku simpan di ransel. Semuanya adalah uang dari hasil keuntungan saham yang aku beli dari perusahaanku. Aku membawa yang kurang lebih 75.000 US dollar. Nggak usah banyak-banyak karena memang aku tak ingin terlihat mencolok.

Ketika masuk bandara tangan Iskha gemetar. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tangannya. Itu bisa kurasakan ketika kedua tangan kami saling berpegangan.

"Mas, aku tak bisa melakukan ini, aku tak bisa," katanya.

"Yang, tenanglah. Kita pasti bisa. Kamu percaya kepadaku kan?" tanyaku.

"Mas, kita balik yuk, aku takut kita tertangkap. Aku ... aku takut kamu celaka nantinya karena aku," katanya.

"Sayang, sayang! Dengar!" aku memegang kedua bahunya.

Iskha matanya berkaca-kaca. Aku tahu ketakutan yang sekarang dia rasakan. Ketakutan yang sangat beralasan.

"Aku mencintaimu dan inilah pengorbanan yang aku lakukan. Kumohon menurutlah kepadaku. Aku melakukan ini semua untukmu. Untuk kita. Maka dari itu sejak awal aku ingin kamu percaya kepadaku. Aku komitmen mencintaimu sampai akhir. Lakukanlah bersamaku sampai akhir. Ayolah!"

"Tapi Mas, nanti...nanti..."

"Belum terjadi kan?"

"Eh?"

"Kita belum ditangkap bukan?"

"Tapi aku takut...."

"Takutmu itu wajar. Aku bisa memahami, tapi jangan kau kecewakan aku. Jangan kamu anggap apa yang aku lakukan ini sia-sia. Ini untukmu, untuk kita"

Aku lalu memeluk Iskha yang mulai menangis. Butuh waktu agak lama untuk menenangkannya. Aku tepuk-tepuk pundaknya dan kuelus-elus. Ia membenamkan wajahnya di dadaku. Aku sungguh tak tega melihat air mata di pipinya lagi. Ayo sayangku, percayalah kepadaku.

"Baiklah Mas, aku percaya kepadamu," kata Iskha.

Ia melihat ke arahku. Matanya menatap tajam ke arahku. Aku menghapus air matanya. Ia mencoba tersenyum. Kami berciuman sejenak, lalu kembali melangkah. Menuju terminal 4 Bandara Soekarno Hatta.

Di tanganku sudah ada tiket yang aku beli dengan harga 30 juta, perjalanan Indonesia ke Ceko. Kami nanti akan berhenti di beberapa negara sebelum nantinya mendarat di sana. Pengecekan di Bandara kami lewati dengan mudah, bahkan sampai masuk ke pesawat Jumbo Jet pun kami masuk dengan mudah. Sepertinya polisi belum sadar kami sudah berada di pesawat. Bahkan ketika pemeriksaan pasport tadi tak ada kecurigaan sama sekali. Syukurlah kalau begitu.

Sebelum masuk ke pesawat. Aku hancurkan ponselku. Berikut juga SIMcardnya. Sejak dari perjalanan menuju Bandara aku sudah matikan ponselku. Jadi total tak ada lagi yang menghubungiku. Papa, mama, anakmu ini akan pergi untuk selamanya. Jaga diri kalian. Terima kasih atas doa dan restu yang telah kalian berikan. Kini aku akan menjaga orang yang aku cintai.

Pesawat pun akhirnya tinggal landas. Meninggalkan negeri yang kucintai selama ini, Indonesia. Sampai bertemu lagi suatu saat nanti. Aku akan merindukanmu. Sangat merindukanmu. Di dalam pesawat, Iskha tak henti-hentinya menggenggam tanganku. Aku pun tak henti-hentinya menciumi tangannya, berusaha agar ia tenang.



BAB XIII
THE PERFECT LOVE

Salju turun di bulan Desember ini ketika Ishaq lahir. Anak pertamaku itu lucu sekali. Pipinya montok kemerahan. Iskha sangat bahagia ketika melihat bayi itu lahir. Satu lagi hidupku tambah bahagia. Padahal selama delapan bulan ini kami penuh dalam ketegangan. Ya, tegang karena takut kalau ketahuan, tapi benar-benar kami menyimpan rahasia kami rapat-rapat. Selama delapan bulan ini juga kami selalu berusaha untuk mencari tahu kabar di tanah air. Aku yakin kasus kami tidak akan begitu heboh. Pasti akan tenggelam begitu saja karena kondisi politik dalam negeri.

Kasus kami sempat menghangat selama sebulan. Seorang anak pengusaha bangkrut yang kabur entah kemana. Yang membawa kabur tidak lain adalah suaminya sendiri dengan cara memalsukan keadaan istrinya ketika berada di dalam tahanan. Dan menjemputnya dengan mobil ambulance palsu lalu melumpuhkan sipir penjara yang mengantarnya. Aku membaca bagaimana papa dan mama diwawancarai, aku rindu mereka. Mereka bilang tak tahu menahu tentang keberadaanku. Juga Doni rekan kerjaku yang juga tutup mulut tentang keberadaanku. Polisi menemukan mobilku di sebuah tempat di dekat pantai. Aku menyuruh Doni untuk mengambilnya agar tak diketahui kalau aku ada di bandara setelah aku pergi. Dan iya, tak ada yang menyangka aku berada di sini. Di Praha.

Kabar Arthur Darmawan tak diberitakan di media massa. Ternyata berita tentang larinya Iskha tak begitu heboh. Lebih heboh korupsi para pejabat. Sehingga isu ini cepat sekali diredam. Selama sebulan sekali aku mengirim email kepada Doni, juga kepada keluargaku. Aku mengirimnya dengan alamat palsu tentu saja. Hanya ingin menceritakan bagaimana keadaan kami, bagaimana anak kami. Semua kulakukan tanpa aku mengetahui bagaimana kabar mereka sekarang.

Praha atau Prague ibu kota Republik Ceko ini terdiri 22 distrik dan 57 urban area. Satu-satunya Bandara di sini bernama Ruzyne. Hanya ada dua macam alat transportasi umum yang ada di kota ini selain taksi, yaitu Prague metro atau biasa di Indonesia di sebut bis semacam Trans Jakarta, tapi nggak seperti itu juga. Yang lainnya adalah kereta listrik yang ada di subway.

Kami tinggal di sebuah apartemen yang aku sangat bersyukur sekali di Konvitska ini ada apartemen yang cukup murah sehingga aku bisa menyewanya dengan sisa uang dari pelarianku. Paling tidak kurs dollar ke Koruny tak begitu mengecewakan. Kurang lebih uang dollar yang aku tukar sampai 1,8 juta Koruny. Cukuplah untuk bertahan hidup beberapa bulan apalagi aku bisa nyambi kerja di sini.

Setahun, dua tahun berlalu, kini sudah hampir lima tahun aku berada di sini. Aku bekerja seadanya, untunglah keahilan komputer tak memerlukan ijazah, yang penting skill. Sebuah perusahaan ekspedisi barang mau menerimaku. Gajiku cukuplah tak perlu ditanya berapa yang penting cukup. Paling tidak untuk sementara aku ngontrak di daerah Chyne, Versova. Ada sebuah rumah yang disewakan. Cukup besar rumahnya dan harganya miring.

Hari Minggu di bulan November. Aku memeluk Iskha di tempat tidur. Dia tiba-tiba terbangun, membuatku kaget.

"Kenapa?" tanyaku.

"Ahhh...mimpi buruk," jawabnya.

"Oh, mau aku ambilin minum?" tanyaku. Iskha mengangguk.

Aku kemudian bangun dan menuju ke dapur, mengambil gelas lalu menyalakan kran air. Air yang keluar dari kran air ini sudah layak minum, tak perlu dimasak. Aku kembali ke kamar dan menyerahkan segelas air minum kepadanya. Aku melintasi kamar Ishaq. Aku tengok sedikit keadaannya. Ia tidur dengan pulas. Pasti lelah bermain hari ini. Aku tersenyum dan meninggalkannya.

Iskha meminum air putih itu lalu berbaring lagi. Aku menghabiskan sisanya dan kutaruh di meja di dekat ranjang. Kembali aku memeluknya.

"Boleh nggak sih cerita mimpi buruk?" tanyanya.

"Katanya sih nggak boleh, ceritain aja mimpi yang baik," jawabku.

"Tapi aku ingin cerita"

"Shh, nggak usah. Mimpi buruk itu katanya dari setan. Jadi tak usah dipikirkan"

"Kamu sampai sekarang masih selalu menghiburku. Kamu kira aku percaya dengan hal seperti itu?"

"Iya, kamu percaya"

"Alasannya?"

"Karena kamu percaya kepadaku"

Iskha mencubit hidungku, "Dasar"

Aku mencium bibirnya. Kami pun berpagutan lagi. Lidah kami saling menjilat, bibir kami saling mengecup.

"Malem ini dingin yah," bisiknya.

"Iyalah, salju udah turun. Bakal jadi malam yang panjang," kataku.

Aku meraba toket istriku ini. Putingnya aku gelitiki, membuat dia beringsut merapat ke tubuhku.

"Kepengen?" tanyanya.

"Yuk?"

Dia tersenyum. Kami pun berciuman, berpagutan mesra. Kami sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi orang tua. Anak kami yang sangat kami sayangi sekarang tumbuh dengan cepat. Sudah pintar bertanya-tanya. Mungkin paling pintar di antara teman-temannya. Pagi itu masih pukul tiga. Masih jauh dari waktu subuh. Gelora birahi mulai hadir lagi. Agaknya hawa dingin di luar mengalahkan pemanas yang ada di dalam ruangan.

Akhirnya aku pun mulai bercumbu, menciumi leher Iskha, menghisap-isapnya. Gelora birahi mulai naik, Iskha pun sudah menurunkan boxerku dan mengelus-elus isinya. Aku kemudian meremas-remas buah dadanya yang tercetak dengan jelas dari baju tidurnya yang tipis. Kami pun akhirnya berlanjut. Iskha melepas celana dalamnya, kemudian bergerak ke atasku.

"Jangan buka selimutnya yah?" katanya.

"Oh, Ok," kataku.

Iskha lalu memposisikan kemaluanku ke lubangnya. Batangku pun masuk langsung melesat sejauh-jauhnya ke dalam. Mataku hingga terpejam merasakan sensasinya. Ahh...Iskha, selalu tahu cara memuaskan suaminya. Kami pun bertempur hebat pagi itu, aku biarkan dia meraih kenikmatannya. Ia pun sampai menjerit tapi ditahan hingga berbisik ke telingaku, lenguhan-lenguhannya menandakan ia sangat menikmati aktivitas ini.

Kami melakukannya di dalam selimut. Pergumulan panas ini membuat nafsuku mulai memuncak. Iskha menggeal-geolkan pinggulnya berusaha mencari kenikmatan di antara celah kemaluan kami. Saat Iskha menemukan titik spotnya ia makin liar dan berusaha menggelitik kemaluanku. Dan tentu saja, batangku makin mengeras, makin keenakan dengan perlakuannya ini.

"Arci jelek, aku mau keluar nih," katanya. "Kamu belum?"

Aku menggeleng.

"Aduh..nggak tahan sayang, aku...aku....aku keluarr.....aaaaahhhhhh!" Iskha menegang pantatnya. Pahanya gemetar hebat lalu ia ambruk di atas dadaku.

Nafasnya terengah-engah, ia kemudian menciumi wajahku. Tampak raut kepuasan terpancar di wajahnya.

"Udahan?" tanyaku.

"Kamunya belum keluar," katanya.

Aku kemudian membaringkan dia di sebelahku. Aku balikkan tubuhnya, dengan gaya menyamping ini aku peluk ia dari belakang dan pionku udah masuk ke dalam liang senggamanya. Diangkatnya kaki kanannya sedikit, lalu kembali kemaluanku menyeruak keluar masuk. Lagi, Iskha mengerang. Dari belakang aku ciumi bibirnya. Kepalanya menengok dan aku hisap lidahnya, ludah kami pun menyatu. Kurasakan rasa manis dari lidahnya.

Aku makin mempercepat sodokanku. Sungguh pantatnya Iskha sangat menggiurkanku. Kuremas-remas buah dadanya dari belakang. Selimut ini pun makin memberikan rasa hangat sehingga mau nggak mau aku pun berkeringat.

"Udah mau keluar yah?" tanyanya.

"He-eh....ahhhh...ahhh..aaaah," desahku.

"Semburin yang, semburin di dalem," katanya.

Aku pun tanpa ragu lagi menyemprotkan seluruh isi kantong testisku. Milyaran sel air maniku masuk ke dalam rahimnya. Cairan hangat itu pun berendam di rahimnya. Aku kemudian memeluknya dari belakang sambil meremas-remas buah dadanya. Dan setelah itu kami pun terlelap sejenak.

Pagi yang dingin. Sekarang mulai masuk bulan Desember lagi. Anak-anak kecil mulai bermain di salju. Mereka menyambut salju yang turun dengan riang gembira. Terlebih sebentar lagi Natal. Aku sedang jalan-jalan ke taman sambil ngajak Ishaq dan istriku. Kami memakai pakaian tebal, setelah puas bermain ayunan dan berbagai permainan di taman, Ishaq pun mulai rewel lapar. Kami akhirnya masuk ke sebuah restoran yang tidak terlalu jauh dari tempat itu.

Makanan di Praha ini kebanyakan manis. Jarang ditemui makanan pedas, kalau pun ditemui pasti mahal. Padahal lidah Indonesia itu kalau nggak ketemu yang namanya pedas, benar-benar nggak enak. Tapi begitulah. Anakku makan dengan lahap roti yang ditaburi keju dan beberapa serpihan daging sosis.

Saat itulah seseorang dengan wajah Asia masuk ke restoran itu. Seorang pemuda dan seorang perempuan.

"Capek aku," kata sang pemuda.

"Kamu juga bego juga sih, Praha ini luas dodol. Mau nyari ke mana?" kata si ceweknya. "Emang alamat terakhirnya di mana?"

"Dulu sih katanya di apartemen Konvitska, tapi nama Ridwan Yuswanto nggak ketemu. Katanya udah pindah. Tapi pindah kemana juga nggak jelas," kata si pemuda. "Maklum juga sih udah hampir empat tahun.

"Jadi percuma dong kita jauh-jauh ke sini. Masih beruntung dibayarin ama papanya Arci, biaya ke sini aja mirip banget ama umroh. Setdah," kata Yuyun.

Aku dan Iskha melongo melihatnya. Ya, kami melongo karena dua orang itu adalah Doni dan Yuyun.

"Doni? Yuyun?" panggilku untuk memastikan.

Keduanya menoleh ke arah kami. Yuyun langsung menjerit, "Kyaaaa! Arciii! Iskhaaa!"

Aku dan Iskha langsung berdiri. Yuyun melompat langsung memeluk Iskha. Doni tersenyum ketika melihatku. Kami juga berpelukan.

"Kampret, ngapain kamu ke sini?" tanyaku.

"Gue kangen elu nyet!" jawabnya.

"Yuyuun, kangen ama kamu," kata Iskha.

Yup, dua orang aneh yang masuk ke restoran ini ternyata Doni dan Yuyun. Jadilah kami berempat, eh tidak. Berlima lebih tepatnya makan di restoran ini.

"Whoaa, ini anak lu nyet?" tanya Doni kepadaku sambil ngelus-elus kepala Ishaq.

"Yoi, cakep yah?" kataku.

"Yoi, bersyukur lebih mirip ibunya," goda Doni.

"Eh? Maksud lo?"

"Udahlah sayang akui saya emang Ishaq lebih mirip aku," kata Iskha sambil tertawa terkekeh-kekeh.

"Masa' sih?" aku melihat Ishaq yang cengar-cengir sendiri dengan mulut penuh makanan.

"Kalian gimana? udah nikah?" tanya Iskha.

"He-eh, kami udah menikah, dua tahun yang lalu," jawab Yuyun.

"Hoo, trus? Udah ada momongan?"

"Udah dong, sekarang dijaga ibuku," kata Yuyun. "Kalau kamu ngerti si culun ini kerja keras tiap hari garap aku sampe pinggang rasanya mau copot"

"Hei, kamu juga suka kan? Pekerjaan bikin anak itu emang pekerjaan yang menyenangkan," kata Doni.

"Enak di kamu tapi rempong di aku iya," kata Yuyun sambil menyenggol bahu Doni.

Aku ketawa mendengarnya.

"Iya, dia itu kalau sudah kepengen, nggak tahu waktu nggak tahu tempat," ujar Yuyun.

"Udahlah jangan bikin aku malu," protes Doni.

"Ini kenyataan yang pahit, terimalah!" kata Yuyun.

Doni makin menunduk.

"Hahahaha, oh btw, kalian berapa hari di sini?" tanyaku.

"Cuman sebentar. Habisnya lo nggak bilang nyet kalo udah pindah alamat," kata Doni.

"Yeee..., kan aku nggak bilang harus ngasih tau kamu terus. Pertemuan kita terakhir kan udah aku bilang, aku mutusin kontak ama kamu," kataku.

Doni tersenyum. "Ya aku bisa terima itu. Aku ke sini diongkosi bokap lo. Dia datang trus minta untuk jenguk elu nyet. Mama ama papa lo kangen. Apalagi hanya bisa lihat cucu mereka lewat foto. Terutama mama lo itu pas lihat foto anak lo, diciumin terus, katanya mirip kamu waktu kecil"

"Oh ya? Aku juga kangen ama mama, tapi tahu sendiri kan keadaan nggak mungkin," kataku.

"Kabar papaku gimana?" tanya Iskha.

"Arthur Darmawan sekarang benar-benar bangkrut. Darmawan Group akhirnya dibubarkan, ia terkena kredit macet. Sahamnya anjlok, dan berterima kasih kepada Arci gara-gara dia perusahaan kita masih berdiri karena produk-produk yang ditinggalin olehnya bagus-bagus jadi dengan berbekal itu perusahaan kita masih teratas walaupun saham milik Arci akhirnya dijual," kata Doni. "Dan Arthur Darmawan kini tak punya apa-apa lagi. Sorry for your dad"

"Aku tahu bakal seperti ini nantinya. Ini juga salah papa, seharusnya tak berbuat seperti itu," kata Iskha. "Tapi yang tetap memendam rasa bersalah adalah aku."

Aku mendekap Iskha. Aku cium ubun-ubunnya lalu kucium kepala anakku. "Sudahlah jangan dipikirkan. Semua bukan salahmu. Aku sudah bilang, bukan salahmu."

Iskha mencoba tersenyum walaupun sulit. Kulihat wajahnya yang tersenyum itu. Dia menoleh ke arahku. Dia mengangguk.

"Kamu berapa hari di sini? Dari pada ke hotel mending ke rumah kami aja," kataku.

"Serius?"

"Iyalah, rumahku selalu terbuka untukmu," kataku.

Doni dan Yuyun akhirnya ikut nginap di rumah kami. Sekaligus menghemat ongkos, daripada nginap di hotel. Jangan pikir macem-macem tentang foursome, nggaklah. Kami setia ama pasangan masing-masing. Kami mengorbankan satu kamar buat mereka. Biarlah anggap saja mereka bulan madu di sini. Selama seminggu Doni dan Yuyun bersama kami, selama itu juga mereka banyak bercerita tentang mama dan papa, tentang Indonesia, tentang segala hal yang aku tinggalkan di sana. Walaupun aku sangat merindukannya, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku akan tetap selamanya merindukannya, tanpa bisa kembali ke sana. Mungkin dua puluh tahun lagi setelah kasus kami dianggap berakhir. Tapi untuk sementara waktu, aku tak bisa kembali ke sana. Hidup dengan nama Ridwan Yuswanto akan aku jalani sampai dalam waktu yang cukup lama.

Kalian tahu, kenapa aku melakukan ini semua? Kenapa aku harus repot-repot pergi ke luar negeri segala? Ya, semuanya hanya gara-gara satu orang. Iskha. Iskha Kusumaningrum. Orang yang entah bagaimana aku bisa mencintainya. Mungkin Si Hello Kitty tidak sadar tapi aku mencintainya sejak pertama kali bertemu. Andai saja, Andai saja akumenerima tawarannya untuk lari dengan uang 3 Milyar itu, mungkin kejadiannya tak akan sejauh ini.

Aku bisa menyadari satu hal sekarang. Aku memang pernah pacaran dengan banyak wanita sebelum ini. Aku tahu kenapa mereka memutuskanku. Karena aku tak pernah perhatian kepada mereka, bukan karena mereka terlalu posesif, bukan. Karena memang sebagai orang yang mencinta ia pasti posesif walaupun kadarnya berbeda. Tapi perhatian yang aku berikan kepada Iskha adalah aku tahu dia adalah penyempurna cintaku. Inilah cintaku yang sempurna untuknya. Dia selalu berkata kepadaku bahwa aku adalah orang yang sangat mencintainya. Aku pun berkata dia adalah orang yang sangat mencintaiku. Sebuah cinta yang sempurna itu cukup sederhana sebenarnya keduanya saling mencinta dan keduanya saling berkorban. Apa yang lebih baik dari itu?

Thats it. That was Perfect Love.



BAB XIV
VIEW FROM THE ANGEL (ending)


"Papa, aku besok akan pergi ke Surabaya. Ngamen di sana," kataku.

"Iya, iya, papa ngerti. Tapi papa sekarang mau meeting!" kata papaku.

"Papa, ini soal Vira. Dia sekarang sering mabuk-mabukan, aku tak mau ngurus dia lagi pa, mencium bau alkohol itu bikin aku pusing dan mual," ujarku.

"Iskha, sudahlah. Nanti kita bahas yah. Papa sudah mau meeting," kata papa. "Papa tutup dulu video call-nya"

"Jangan, Iskha tunggu aja!"

"Nanti kamu bosan"

"Udahlah yah, nggak apa-apa. Aku ingin tahu juga bagaimana rasanya rapat"

"Ya ya ya, terserah"

Papa kemudian membiarkan skypenya menyala. Kemudian aku mengikuti rapatnya. Ada seseorang yang sedang presentasi ternyata. Saat itu aku mendengar suaranya, mendengar suaranya membuatku tertarik. Gayanya luwes banget dan humoris. Saat itu ponsel papa berbunyi, rapat terhenti sejenak dan papa harus pergi dari ruangan. Dan saat itulah kamera papa tersenggol dan mengarah ke arah seorang pria.

Ternyata itu ya orangnya. Orang yang presentasi. Siapa namanya? Dia cakep, pakaiannya rapi. Keren. Aku entah kenapa tiba-tiba tertarik kepadanya. Inilah awal kali aku melihatnya. Melihat Arci, suamiku. Orang yang mengisi hidupku. Aku cinta kepadanya. Aku sangat mencintainya. Dia berkorban banyak hal untukku. Aku sampai-sampai tak habis pikir, ada orang yang mau berkorban, mengorbankan seluruh hidupnya untuk seorang pembunuh sepertiku

Sampai sekarang aku tak pernah mengerti kenapa dia rela melakukannya sampai seperti ini. Mungkin, bisa jadi inilah yang disebut dengan cinta yang sempurna. Dan dengannya aku bahagia mempunyai Arci-arci junior. Aku masih merindukan anggota bandku, bagaimana mereka sekarang? Tentunya mereka shock atas kepergianku. Tapi kuharap mereka baik-baik saja dan sukses mengeluarkan album nantinya.

Selamat tinggal semuanya. Itulah yang aku ucapkan ketika pesawat yang aku tumpangi tinggal landas. Berkali-kali suamiku menciumitanganku, agar aku tenang. Hatiku saat itu seperti diaduk-aduk oleh berbagai perasaan. Meninggalkan kampung halaman itu tidak mudah. Apalagi ketika mendarat di airport Ruzyne, menyadari bahwa aku akan seumur hidup di negeri ini membuat beban mentalku jadi bertambah. Negeri yang tak ada pantainya, hanya daratan yang dikelilingi negara Inggris dan Jerman. Apakah aku bisa survive di sini?

Wajar sebagai seorang wanita aku bertanya banyak hal kepada diriku. Wajar sebagai seorang wanita aku merasa khawatir. Tapi inilah perjuanganku, perjuangan Arci, perjuangan Iskha. Hingga sampai anakku lahir, aku baru sadar satu hal. Semua orang berkorban demi aku. Bukan saja papaku, bukan juga suamiku mereka semua sebenarnya berkorban untukku. Aku sangat takjub akan cinta keduanya untukku.

Aku sengaja mengikuti saran ayahku untuk memperalat suamiku. Itu semua karena pada dasarnya aku hanya ingin jadi anak yang berbakti. Ingin membalas seluruh cintanya kepadaku. Apakah aku salah karena melakukannya? Tapi, aku malah jatuh cinta kepada suamiku. Dan mungkin dia tahu kenapa aku melakukannya dulu. Mungkin suamiku tahu bahwa aku melakukannya atas dasar rasa sayangku kepada papaku, karena beliaulah yang menjagaku selama ini. Bisa jadi suamiku tahu. Bisa jadi. Maka dari itulah ia selalu bilang, "Kamu tak salah"

Aku lihat wajah suamiku yang tertidur. Ia kelelahan hari ini. Setelah seharian di kantor dia sekarang tenang di tempat tidur. Aku melihat wajahnya dari dekat. Wajah yang akan menemaniku selamanya. Kucium keningnya. Dia menggeliat lalu memelukku. Aku pun tertidur dalam dekapannya. Selamat malam suamiku sayang. Mimpilah yang indah, kemudian mataku pun terpejam......















Tidak ada komentar:

Posting Komentar