Selasa, 15 Desember 2015

Husna dan Lily, teman belajarku yang nikmat, eh, yang baik..

“Kak, aku hamil...” ucap Husna terbata.

Aku jarang sekali kehabisan kata-kata. Hanya pada kesempatan yang langka, saat aku tidak tahu harus berkata apa. Dan ini salah satunya...

***

Aku masih duduk di kelas 3 SMA, saat dunia mengenalkanku pada Husna, seorang gadis manis, siswi SMP kelas 3.

Husna dan keluarganya adalah warga baru di kompleks tempat tinggalku. Bapaknya, Haji Andi Ahmad, adalah seorang pengusaha dengan banyak bidang bisnis. Mereka pindah dari kecamatan sebelah, menempati rumah baru yang megah di kompleks tempat tinggalku.

Kompleksku terletak di ujung utara kota Makassar. Suatu kompleks perumahan dengan lingkungan yang ramah dan akrab. Setiap warga saling mengenal dan berkelompok-kelompok dalam kegiatan sosial. Bapak-bapak dan pemuda rutin berolahraga bersama. Olahraga yang populer di lingkungan ini adalah sepakbola dan sepak takraw.

Remaja putra dan putri aktif dalam kegiatan pengajian. Di sinilah lembaran cerita tentang Husna mulai dituliskan di dalam buku kumal kehidupanku...

***

“Nan, pinjam lembaranmu” Hasrul meminta padaku selepas pengajian sore.

Hasrul adalah sahabatku sejak SD. Badannya besar, kulitnya gelap. Berlawanan dengan perawakanku yang kecil dan berkulit putih. Tidak benar-benar putih, sih, standar warna kulit suku bugis. Lembaran yang dimaksud Hasrul adalah catatan materi pengajian. Masing-masing kami mencatat materi yang diberikan dalam selembar kertas, dengan tulisan arab gundul. Lembaran tersebut akan kami simpan untuk kami pelajari masing-masing.

Sambil menyalin materi dari lembaranku – Hasrul termasuk pencatat yang lambat, sehingga sering ketinggalan materi – dia bertanya,

“Sudah lihat anak bungsunya Haji Andi Ahmad?”

“Belum,” jawabku singkat

“Wah, ketinggalan kamu. Anaknya cantik lho..” katanya lagi

“Besok-besok juga bakal lihat. Kalo memang cantik ya besok-besok juga bakal tetap cantik kan..” jawabku sambil membuka sarung, menampakkan celana kostum sepakbola. Selepas pengajian, kami biasanya langsung bersiap main bola.

“Cepat sedikit cappo’,” sambungku.

Cappo’ adalah sapaan akrabku dengan beberapa teman. Hanya teman yang terbilang dekat. Cappo’ sejatinya berarti saudara sepupu, tetapi di kalangan pertemanan kami sapaan itu menjadi panggilan satu sama lain.

“Sabar ppo’, sedikit lagi.. Eh eh, itu dia anaknya.. Namanya Andi Husna..” mataku mengikuti pandangannya menuju seberang jalan.

Melintas di depan masjid, anak dara berkerudung bahan kaos warna biru, menuju arah lapangan sepakbola. Wajahnya bulat, matanya besar, menarik.. Sekilas saat melintas mata kami bersitatap. Dia tersenyum dan berlalu.

Andi adalah gelar kebangsawanan bugis. Disematkan sebagai nama depan, pria maupun wanita. Terkadang disingkat menjadi “A.” di depan nama.

Hasrul menyelesaikan salinannya dengan cepat. Lalu kami berlari menuju lapangan untuk latihan.

Selesai latihan, saat sedang duduk melepas sepatu, mataku tertumbuk pada sekelompok gadis yang duduk-duduk di tepi lapangan. Ternyata itu Husna dan teman-temannya, menonton kami latihan. Sekedar menyapa, kulambaikan tangan, mereka cekikikan. Dasar remaja..

***

Setiap remaja laki-laki di kompleksku sudah punya pacar. Rajin-rajin ngaji, tapi pacaran masih jalan juga. Maklumlah, darah muda mengalir deras dalam pembuluh nadi. Ketika remaja putra dan putri rutin bertemu, maka rasa suka akan mudah dipicu. Iya kan? Hehe..

Tetapi mereka berpacaran tidak pernah terang-terangan. Lingkungan agamis kami yang menyebabkan mereka pacaran kucing-kucingan. Di kompleks bahkan diberlakukan larangan berdekatan pria wanita yang bukan muhrim. Tidak boleh berduaan, apalagi berboncengan.

Tetapi larangan tinggal larangan. Mereka – dan pada akhirnya kami, aku dan Husna juga – selalu menemukan cara berpacaran, bermesraan, bahkan bercumbu. Kemauan selalu menemukan jalan, begitu juga dengan kemaluan, bukan? Haha..

Tetapi aku saat itu masuk pengecualian. Aku belum punya pacar sampai saat itu, sampai saat aku duduk di bangku kelas 3 SMA.
Aku bersekolah di suatu SMA unggulan di kotaku. Sekolah anak bureng, istilahnya. Sekolah para pemBUru RENGking, haha..

Keinginan berpacaran tentu ada. Hanya belum bertemu padanannya.

Hal ini membuat aku sering menjadi bulan-bulanan teman-temanku di kompleks. Jadi bahan olok-olokan karena masih menjomblo di antara mereka yang pada sudah punya pacar.

Kehadiran Husna di kompleks menjadikan kami berdua mutual dalam hal ini, dan berujung pen-comblang-an. Seringkali kami berdua “dijebak” untuk berada dalam kondisi berdua saja. Kalian para pembaca tentu paham maksudku.
Kami dijodohkan secara konyol oleh lingkungan pertemanan kami, begitu singkatnya..

Sehingga pada suatu ketika di masa kini, saat Husna menyalahkanku atas kehamilannya, ingatanku segera menjelajah ke masa lalu, menyalahkan mereka yang memaksanya jatuh cinta padaku..

Tetapi itu terlalu jauh, akan kuceritakan dulu tentang Husna, desah-rintih dari bibir berbingkai kerudungnya, dan lekukan-lekukan belia nan menggiurkan di balik longgar gaunnya..

***

Tidak perlu kuceritakan bagaimana proses kami diledek-ledek oleh teman-teman. Bagaimana semu merah wajah remaja kami berdua setiap kali di pengajian, di kondangan, di tempat nongkrong di jalan, berubah menjadi lirikan penasaran dan curi-curi pandang.

Setahun kemudian – lama yah.. haha.. – kami pun jadian.

Saat itu aku berkuliah, menjelang semester kedua, sementara Husna kelas 1 SMA. Orangtuaku membelikanku sepeda motor. Bekas, sih, tapi cukup baik. Sebelum kami jadian, kami sudah kenyang sekali dengan ledekan dan candaan teman-teman. Sehingga saat kunyatakan suka dan Husna menerima, kami tidak malu-malu lagi satu sama lain.

Jawaban Husna dikirim lewat SMS. Pesannya masuk pagi, saat aku sedang di kampus, yang berarti dia di sekolah, setelah kutembak dia sore hari sebelumnya..

“Kalau berani dan serius, Kak Nanta jemput saya siang nanti sepulang sekolah,” katanya..
Dadaku berdegup kencang. Menjemput pulang bagi kalian mungkin hal sepele. Tetapi bagiku, yang sebelumnya belum pernah berpacaran, dan selama ini hanya melihat orang lain bermesraan, itu sangat mendebarkan..

Bayangan bisa duduk rapat dengan gadis yang didambakan, walaupun rapat dari belakang, cukup bikin panas dingin..

Setidaknya panas dinginnya bertahan beberapa hari. Kemudian antar jemput dengan motor menjadi biasa saja. Kujemput di sekolah, dan kuturunkan sebelum mendekati gerbang kompleks – biar ngga dilihat warga – kemudian menjadi rutinitas yang hambar.

Mungkin demikian pula yang dirasakan Husna. Sehingga saat suatu hari kuajak dia bolos sekolah ke Bantimurung – sebuah tempat wisata di luar kota Makassar – dia langsung mengiyakan..

***

Bantimurung adalah taman purbakala, taman fauna (kupu-kupu dan primata) serta taman air di Kota Maros, sebuah kota di utara Makassar.
Tempat ini sangat ramai di hari libur, tetapi ideal untuk pacaran pada hari kerja. Mengapa? Tentu karena sepinya.. Haha..

Pukul 06:30, kuparkir motorku di tempat yang sekira Husna akan turun dari angkot, siap menjemput. Lalu kukirim pesan singkat,

“Aku di panyingkul ya..” Panyingkul itu pengkolan atau tikungan, fellas..

“Iya kak, sebentar lagi sampai..” balasnya.

Tidak lama kemudian, nampaklah dia turun dari angkot. Seragamnya rapih, putih abu-abu, dengan setelan longgar. Mengamati dia berjalan ke arahku, melintas di depan sebuah toko, ntuk pertama kalinya aku mulai memikirkan bentuk tubuh gadis ini..

Sejenak menghayal, tiba-tiba Husna menghilang dari pandanganku. Panik, mengira diri berhalusinasi, aku menoleh mencari-cari. Husna benar-benar hilang!

Tetapi tidak lama kemudian, dia muncul dari dalam toko. Ternyata saat aku menghayal tadi, dia berbelok ke dalam toko. Untuk apa? Berganti pakaian! Haha..

Kini dia berjalan ke arahku dengan celana jeans ketat, dengan kaos ketat pula.
Dan tersadarlah aku, buah dada pacarku ini bukan ukuran biasa..

***

Kulewatkan saja beberapa fragmen tidak penting dalam perjalanan menuju Bantimurung, ya, suhu sekalian. Perjalanan penuh dengan basa-basi dan percobaan rem mendadak, haha..

Iya, buah dadanya terkadang menabrak punggungku. Tetapi setelah dua-tiga kali, dia mulai menyadari kesengajanku. Jadi dengan malu diletakkannya tas sekolahnya di antara kami. Haha.. apes..

***

Setiba di Bantimurung, sambil mengatur posisi sepeda motorku di parkiran, kubuka percakapan.
“Dek, mau berenang?” tanyaku

“Ga ah, kak, Cuma bawa baju ini sama baju sekolah..”

“Oh, kalo gitu kita ke museum kupu-kupu,”

“Di situ rame gak, kak?” tanyanya menyelidik.

“Iya, rame kok, tenang saja.. Jadi ga bakal kakak apa-apakan.. haha..”

“Kalo gitu jangan ke museum..” katanya tersenyum, lalu mendahuluiku ke arah loket karcis.

Aku terkejut mendengar ucapannya, mungkin hanya bercanda, pikirku. Tetapi rasanya penasaran juga jika tidak kuperjelas. Mungkin memang bercanda kali ya, jadi aku cukup meladeni gaya bercandanya ini.

“Kalo mau berduaan dan agak sepi, kita ke Gua Mimpi, di atas..” kataku menjajari langkahnya.

Tiket dibeli, kami melangkah masuk lokasi.

“Gimana?” tanyaku beberapa saat kemudian. Bermaksud memperjelas, apakah dia benar-benar serius mau berduaan di tempat sepi, di sini.

“Apanya, kak?” tanyanya sambil mengerjap-ngerjapkan mata, menggoda. Duh, gemasnya...

Untuk suhu sekalian ketahui, Bantimurung adalah kompleks taman purbakala dengan air terjun di tengah-tengahnya. Taman ini dikelilingi tebing-tebing tinggi. Di sisi air terjun, terdapat tangga menuju air terjun lain yang lebih tinggi. Menelusuri tangga ini, kita akan mendapati sungai dan hutan, sebelum tiba di air terjun kedua.

Hutan dan tepian sungai inilah tempat sepi, teduh dan mendukung untuk duduk-duduk romantis (baca: mesum, haha..) berdua..

Selama ini aku hanya tau ini dari cerita teman. Aku memang sudah beberapa kali ke sini, tetapi dalam rangkaian beberapa kegiatan, dengan rombongan yang ramai. Bayangkan rasanya kali pertama datang ke tempat yang terkenal untuk asyik-masyuk, dengan pacar pertama, tanpa manual dan tanpa pedoman! Haha..

Saat itu belum ada contoh, bahkan istilah, ssi. Tetapi itulah yang harus kulakukan. Speak-speak iblis! Haha..

“Maksud kakak, Husna mau berendam, ramean, atau mau cari tempat duduk yang tenang, tidak terganggu?” sengaja kutekankan nada bicaraku pada kata “rame” dan “tenang.”

Lalu katanya, “Seandainya bisa, berenang, tapi di tempat yang berdua saja..” katanya sambil memalingkan muka, menatap pepohonan yang jelas tidak lebih penting dariku, pacarnya yang sedang gerah penasaran!

Aku tidak ingat lagi detailnya, tetapi beberapa saat kemudian, kami menemukan diri sedang duduk berdua, di naungan pohon yang letaknya menjorok ke arah sungai. Posisi yang jauh dan tidak terlihat dari jalan menuju gua-gua.

Sesekali terdengar suara pengunjung lain yang sedang menelusuri jalan menuju air terjun atau gua mimpi. Setelah beberapa kali memeriksa posisi, aku lalu yakin, posisi kami “aman” di sini.

Perlahan, kulingkarkan lenganku di bahu Husna, yang duduk rapat di sampingku.

Di tempat ini pemandangannya tidak indah, tapi bodo amat, di kepalaku ada hal lain yang ingin kunikmati.

“Na, boleh ya..” kataku.

“Boleh apa kak?”

“Boleh ini..” kudaratkan ciuman di pipinya, sangat dekat dengan bibirnya..

Lalu katanya, “Ga boleh, kak..” tapi seulas senyum tersungging di wajahnya.

Kuanggap itu lampu hijau untuk seranganku selanjutnya..

Kutarik dia ke pangkuanku, duduk menyamping dan sebelah tanganku memeluk pinggangnya.
Dia tampak terkejut, tapi tidak menunjukkan perlawanan. Kutarik lengan kanannya agar melingkar di leherku. Lalu dengan cepat, kulumat bibirnya...

“Mmmpphhh.. Kak.. Ga boleh..” katanya, namun tetap, tanpa perlawanan.

Kutarik wajahku, kutatap matanya. Matanya meredup, agak basah, tetapi bibirnya tetap tersenyum.

Kudaratkan ciumanku yang kedua. “Ga boleh, kak.. Jangan..” hanya kata-kata.. Lengan kanannya malah semakin erat memeluk leherku.
Tangan kirinya memegang tangan kananku yang bebas, menuntun ke pipinya.

Bibir kami saling melumat, berkecipak basah, seperti biasanya para pencium pemula.
Lalu tangan kananku perlahan menarik lepas kerudungnya. Husna pasrah saja saat kain penutup kepalanya lepas, menampakkan rambut panjang yang diikat ekor kuda. Warnanya hitam dengan berkas keemasan. Rupanya Husna senang mewarnai rambutnya.

Kembali kudaratkan, melumat lembut, menuntut, mencecap manisnya keremajaan bibirnya. Tangan kiriku memeluk pinggangnya, sementara tangan kananku mengelus-elus pipinya.

Tidak lagi ada suara penolakan, yang ada hanya gumaman lembut dan desah nafas kami yang semakin berat.

Tangan kiriku perlahan kumasukkan lewat celah bawah kaosnya, mengelus lembut punggungnya. Kurasakan Husna bergetar saat jariku menyentuh kulit punggungnya.

Tangan kananku juga tidak tinggal diam. Seiring gerak bibir kami yang terus saling memijat, perlahan kugeser tanganku turun dari pipinya, mengelus leher, dengan pelan namun mantap, bergerak menuju gundukan bulat di dada Husna.

Aku pernah membaca, bahwa payudara gadis yang belum pernah dijamah akan terasa kenyal dan keras. Semakin sering diremas, teksturnya akan melunak dan bentuknya akan sedikit menggantung. Biasanya pria menjamah payudara kekasihnya terlebih dulu dari luar bra atau kaos. Setelah beberapa kali kencan – beberapa kali bercumbu dan meremas – barulah si gadis mengijinkan prianya menjamah payudaranya skin to skin. Pada saat itu biasanya teksturnya sudah lunak, karena sudah sering diremas dari luar.

Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus mengulum-gigit bibirnya, tangan kiriku perlahan melepas kait bra di punggung Husna. Lalu tanpa membuang waktu, tangan kananku menyusup cepat, menangkup payudara kirinya. Aduhai, suhu sekalian, bayangkan rasanya…


Update 1

***

Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Sambil terus mengulum-gigit bibirnya, tangan kiriku perlahan melepas kait bra di punggung Husna. Lalu tanpa membuang waktu, tangan kananku menyusup cepat, menangkup payudara kirinya. Aduhai, suhu sekalian, bayangkan rasanya…

Prosesi saling pagut dan pijat bibir menjadi tersamar. Konsentrasiku terpecah ke gundukan kenyal nan membusung yang sedang kutangkup. Haruskah diremas? Dengan tekstur keras seperti ini, bukankah akan sakit jika diremas-remas? Jika sakit, akankah pikiran sehatnya kembali, lalu mundur dari semua ini? Meninggalkanku dalam kekentangan?

Terlalu banyak berpikir membuatku tidak lagi menikmati kuluman dan lumatan bibir Husna. Karenanya kuturunkan bibirku, mencecap lembut dagunya, lehernya, lalu terus mengitari wajahnya, menuju kulit tipis di belakang telinganya.

“Jangan berbekas, Kak..” suaranya teredam desah. Jelas sekali akal sehatnya kian terkabur birahi.

Tangan kananku yang sedari tadi hanya mengusap dadanya, kini kugerakkan setengah meremas.

“Nnggghhh..” desahnya, mengigit bibir bawahnya..

Kuangkat sebentar wajahku, mencoba menangkap pandangannya dari sela kelopak yang setengah terkatup. Husna menatapku, tersenyum, seperti menguatkan, meminta aku melanjutkan..

Dengan ibu jari dan ketiga jariku yang lain, perlahan kuremas kembali putik susunya sebelah kiri. Sementara jari telunjukku mencoba mencari kuncup yang pasti ada, haha..

Tetapi kuncup yang kucari tidak kunjung ketemu. Di puncak putik susunya hanya ada area lunak yang agak melesak ke dalam. Setiap kali jari telunjukku menyentuh dan – sedikit – menusuk area itu, jeritan kecil muncul dari bibir Husna. Kelak kuketahui, area itu bernama areola.

Mengapa putingnya tidak teraba? Sekali lagi konsentrasi bercumbu itu terganggu. Dengung birahi di ubun-ubunku berkurang, berganti kesadaran. Kuhentikan sejenak cumbuanku, meski tangan kananku tetap di tempatnya yang terlanjur nyaman dan istimewa.

Mata Husna terbuka, dahi kami bersentuhan, juga ujung hidung kami. Terasa nafas kami yang memburu berangsur stabil, kembali dalam ritme biasa. Walaupun aku tahu, sedikit picu saja, akan membakar hasrat bercumbu kami kembali.

“Dek, sakitkah?” tanyaku berbasa-basi.

Husna menggeleng pelan, “Geli, Kak..”

“Bra-nya ukuran berapa, Dek? Besar juga..”

“Nomornya 34, Kak. Tapi nomor itu menunjukkan lingkar dada, kak, bukan mangkuknya..” bisiknya tersenyum, jidatnya masih tersandar di jidatku. Saat berkata, bibirnya terasa sedikit menyapu bibir dan pipiku.

Sebuah pelajaran baru tentang ukuran bra wanita, kucatat dalam dalam benakku pada hari itu. Haha..

“Tapi kok tidak ada putingnya?” kataku setengah tertawa, jari telunjukku kulesakkan ke kuncup bukitnya.

Husna melengos, mencubit hidungku, lalu katanya, “Ya belum muncullah, kak, kan belum pernah disentuh orang..”

“Itu hanya muncul kalo lagi kedinginan, pas mandi, berenang, atau bangun pagi..” lanjutnya lagi, pelajaran baru lagi.

“Mau lihat ah..” kataku sambil mencoba menyingkap kaosnya.

“Ih, lale-nya.. Jangan, kak..” dia agak terkikik, menggeliat mencegah tanganku membuka kaosnya.

Lale adalah istilah umum di daerahku, untuk perilaku terkait erotisme dan atau pornografi/aksi. Jika seorang pemuda melontarkan lelucon porno, maka sebutannya adalah pemuda-lale. Jika ada anak SD mengintip dalaman bawah teman cewek di kelasnya, maka dia akan dijuluki si lale oleh teman-temannya.

Geliat tubuh Husna yang setengah hati tidak dapat menghalangi niatku membuka kain penutup dadanya. Dalam satu gerakan, sekaligus tersingkap kaos dan bra-nya. Tangan kiriku berputar ke belakang tubuhnya – yang masih duduk menyamping di pangkuanku – dan menangkap tangan kirinya, agar tidak menghalangi tanganku yang satunya. Sedangkan tangan kanannya masih melingkar di leherku.
Terpampanglah dua bukit indah nan menantang, ranum dan kencang. Dengan bulir keringat yang memberi aksen segar. Seperti ilustrasi iklan buah di teve, haha..

Dengan wajah merah padam, mungkin malu, atau jengah, Husna menarik tangan kirinya, lepas dari peganganku. Lalu berdiri..

Dan tanpa memperbaiki posisi baju dan branya, Husna kembali duduk di pangkuanku, dan kali ini badannya dihadapkan padaku! Dua lengannya diletakkan di bahuku, wajahnya menunduk, tersenyum manis sekali. Senyum yang jika kini berusaha kuingat, amat sangat sulit rasanya. Mengapa? Karena saat itu beberapa mili di depan wajahku, terpampang pemandangan lain yang lebih dahsyat.

Amboi, suhu sekalian, dua putik susu yang menggemaskan, seolah menggapai meminta diremas-remas.

Tetapi alih-alih meremasnya, tanganku kunaikkan, keduanya. Ibu jari dan telunjukku menyentuh kedua bukit itu dengan posisi menopang. Lalu dengan perlahan, kudekatkan wajahku, kukecup kuncupnya..

Puting susu Husna – yang ternyata ada! – masih tenggelam saat itu. Kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..

Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.

“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..


Update 2

***

Puting susu Husna yang sebelumnya tenggelam dalam areola, kukecup, kuhisap dalam bergantian, berulang-ulang..

Wajah Husna seketika menengadah, jeritan kecil terlontar berulang-ulang dari bibirnya.

“Akh, Kaakk.. Ssshh... Hhnnnn.. Kaak... Ouhh..”
Tangannya meremas rambut di belakang kepalaku, menekan wajahku lebih dalam, terbenam dalam keindahan payudara remajanya..

Tubuh bagian atas Husna menggelinjang, menanggapi sentuhan bibir dan lidahku yang bertubi-tubi di buah dadanya. Matanya terkatup rapat, sesekali membelalak, setiap kali – mungkin – dirasakannya sensasi baru yang menusuk-nusuk kesadarannya.

Geliat tubuhnya sedikit menyusahkanku dengan kegiatan baruku yang nikmat. Maka tanganku perlahan kupindahkan dari payudaranya, turun menangkup bulatan pantatnya, yang melembung empuk di pangkuanku. Kuremas lembut dengan tujuan sedikit menahan gerak tubuhnya yang tersentak-sentak.

Kian lama kurasakan puting susunya semakin mengeras dan mencuat. Sensasi perubahan tekstur saat putingnya mengalami ereksi, terasa membuai lidah dan bibirku. Kupelankan hisapanku di sebelah sini, dan kumainkan jariku di puting sebelah sana. Terlupa aku persisnya, tetapi suhu sekalian tentu paham maksudku.

“Kak, mulai perih..” rintihnya, di sela cumbuanku.

Ujar singkatnya membuatku terbangun dari lena. Ternyata aku keenakan nenen, sehingga tidak sadar waktu sudah berjalan lama. Matahari mulai meninggi. Jam pulang sekolah tinggal sejam lagi.

Kukecup singkat bibirnya, lalu kuajak berdiri dan merapikan bajunya. Sambil mengawasi arah jalan, sesekali kulirik gadisku yang tengah mengenakan kerudungnya kembali. Husna merapikan kerudungnya sambil duduk di sebuah batang pohon tumbang. Bentuknya seperti bangku, mungkin memang sering dijadikan wahana bercumbu bagi pasangan-pasangan yang tahu, haha..

Gerak tubuh Husna yang sedang merapikan pakaiannya entah mengapa memicu gairahku bangkit kembali. Nekad, kupeluk dia dari belakang, tubuhnya sedikit kuangkat, kuposisikan kami duduk searah, seperti sedang menunggang kuda, dengan Husna di depanku.

Setengah terkejut, Husna menggapai ke belakang, menyentuh pipiku,

“Kak, sudah siang, sudah dulu lah..”

“Sebentar saja,” kataku. ,”Nanti motornya bisa dikebut, biar cepat sampai..”

“Kak, ahhh.. sudah.. Mmmhhh..” kalimatnya tertahan, saat pipinya kupalingkan ke belakang, dan kulumat lagi bibirnya.

Kedua tanganku turun naluriah, seperti sudah fitrahnya, menyentuh, menangkup dan meremas dadanya..

“Mmhhh.. Kak, yang itu sakit.. masih perih ujungnya..” Husna mendesah..

Lalu tanganku mesti ke mana? Suhu tentu tahu, betapa tidak nyamannya french kiss, tanpa tangan disemayamkan di suatu tempat.
Maka sementara, sambil terus melumat bibirnya, tanganku turun, mengusap-usap perutnya yang rata. Sebelah tanganku yang lain bergerak lebih ke bawah, memainkan kancing jeans-nya.

Klik. Terbuka sudah mekanisme pengaman pertama. Tinggal menarik turun resluiting-nya. Kutemukan kepala zipper itu dengan tangan kanan, kutarik turun perlahan. Husna adalah pencium yang baik, dia cepat belajar dan sangat menikmatinya. Kelak hal ini kusadari pada percumbuan-percumbuan kami kali berikutnya. Jadi saat dia tengah terlena dengan pertukaran saliva kami, kususupkan tangan kiriku, ke dalam jeans, ke dalam underpants, langsung menuju celah di antara ke dua kakinya..

Saat jariku mulai menyentuh kulit bagian bawah perutnya, menyentuh halus rambut-rambut tipis yang menghiasi ujung bawah tubuhnya, kurasakan punggungnya seketika tersentak. Tangannya spontan bergerak menggenggam pergelangan tanganku, mencoba menariknya menjauh. Tarikannya kali ini berbeda, penolakannya terasa bersungguh-sungguh.
Sejenak kuhentikan gerak tangan kiriku, kubiarkan terdiam, menangkup area berambut di atas vagina-nya. Bibir kami tidak berhenti dari kegiatan perjabatan-nya, sesekali terdengar kecipak dan kecup, pertanda keterlibatan lidah di dalamnya.

“Jangan yang itu, Kak..” desisnya, terdengar seperti ancaman.

Kuteruskan menciumi bibirnya, menyapu rongga mulutnya dengan lidah. Kami pencium pemula yang sedang belajar bersama, dengan pengalih berhatian berupa payudara dan vagina! Haha..

Selang beberapa saat, rasa penasaran kami menang. Pegangannya pada lenganku mengendur, membiarkan jari tangan kiriku bergerak pasti, menelusuri semak lembutnya, menuju belahan di antara pahanya..

“Ouuuhhh.. Kak.. Kakak lalee.. Kenapa, aaahhhh.. Kenapa turun ke situuuhhh.. Ahhh..” kepalanya menengadah, pasrah dan bersandar ke bahuku. Sangat kontras, kalimat yang diucapkannya, dengan gesture tubuhnya.

Perlahan, jari tengahku mulai menelusup ke vaginanya, mulai dari celah kecil di bagian atasnya.

Suhu sekalian, saat itu barulah saya ketahui, bahwa vagina wanita tidak basah seluruhnya pada saat mendapat ransangan hebat. Bagian atas vagina, di mana terdapat klitoris, terutama, akan tetap kering pada saat itu. Oleh karenanya jangan keburu menyentuh, apalagi menggesek dengan jari pada bagian itu. Alih-alih nikmat, yang terasa justru perih yang tidak terkira. Begitu kata seorang partner belajar saya yang lain, seorang gadis bernama Lily – kelak ceritanya akan saya bagi.

Yang basah pertama kali adalah vulva, lubang di bagian bawah vagina. Di bagian inilah cairan pelumas berkumpul, dan biasanya merembes ke underpants wanita.

“Kak, perih... Ahhhh.. sakit, Kak..” Husna merintih saat jari tengahku meraba celah di bagian atas vaginanya.

Karena bingung, tetapi tidak ingin berhenti, jariku kuarahkan ke bagian lain. Terus menuju ke bawah, kutemukan daerah lunak yang basah. Kumainkan jariku di sana. Tempat ini sempit, tetapi terasa lebih lega ketimbang area atas.

“Mmmhhh.. Ouuhh.. Kak.. Ssshhh.. Ahhh..” desisan dan rintihan, sebuah persetujuan..
Dari arah bawah, kugerakkan jariku menggesek ke arah atas. Tanganku yang basah karena cairan pelumas di bawah, kugeruskan menelusuri celah vaginanya, menuju tonjolan samar, yang kutahu – dari buku – pasti klitorisnya.

Tubuh Husna bergetar hebat, matanya membelalak, tangannya mencengkeram pergelangan tangan kiriku. Tangan yang sedang merangsek, menjelajah teritori tubuhnya yang paling personal. Jariku yang basah kini bergerak bebas, memainkan emosi dan rasa-nya, melalui secuil daging kecil bernama itil. Hihi..

“Oouhhh.. Kak.. Aaaaahhhhh..”

“Sakit, dek?” tanyaku berbisik.

“Aaaahhh.. Kak.. Aaahh..” Husna hanya mendesah, sambil menggeleng kencang.

Kuteruskan kegiatanku sambil menciumi lehernya. Tepatnya menciumi kerudungnya di bagian leher. Badannya kian rapat bersandar. Untunglah perawakannya mungil, sehingga tidak terasa berat.

Tidak lama kemudian, badan Husna bergetar lebih hebat dari sebelumnya. Kukunya menancap di pergelangan tanganku..

“Kakk.. Akhh.. Kak.. Ooouuhhhhh.. Ahhhh..” badannya menegang, kaku, lalu beberapa detik selanjutnya melemas bagai tak bertulang.

Kekasihku mengalami orgasme-nya yang pertama.

Tubuhnya bersandar dengan nafas memburu. Tanganku masih menangkup selangkangannya, saat perlahan nafas dan detak jantung kami kembali normal dengan perlahan.

Kami merapikan pakaian dalam diam. Bingung hendak mengatakan apa tanpa kecanggungan. Kami berangkat pulang. Husna memelukku dari belakang. Memasuki wilayah Makassar dari utara, Husna meminta diturunkan di sebuah SPBU.

“Husna mau ganti baju, Kak. Biar orang rumah ga curiga. Kak Nanta pulang saja, nanti Husna naik angkot.”

Husna terlihat mantap meminta itu, jadi kuiyakan saja. Kukebut motorku menuju pulang.

Setiba di rumah, kuperiksa ponselku, sebuah indikator pesan baru.

“Kak Nanta lale..
Luv u...”

Hatiku berbunga. Kentangku bertunas ganda.. Haha..


Update 3

***

Aku selalu membayangkan, pacaran remaja akan dimulai dengan hubungan platonis. Sedikit lebih lama, pacaran lalu mengarah ke hubungan romantis. Saling bertukar cendera mata. SMS-an mesra. Kemudian makan berdua, jalan-jalan ke mall dan semacamnya. Aku dan Husna memulai dengan eksplorasi yang lebih jauh. Lebih dalam dan lebih pribadi.

Kelak kusadari, bahwa kejadian di Bantimurung meletakkan dasar yang berbeda pada hubunganku dengan Husna. SMS-an menjelang tidur tidak biasa kami lakukan setelah itu. Kami jarang keluar berdua ke tempat ramai untuk keperluan pacaran seperti remaja biasanya. Bertukar pesan biasanya kami lakukan hanya untuk mengatur janji temu. Pacaran serasa tidak cukup jika tanpa bercumbu.

Percumbuan kami tidak selalu mudah mendapat tempat dan waktu. Husna sekolah, SMA kelas 1, sedangkan aku mulai sibuk dengan kuliah dan kegiatan kampusku. Aku juga tidak lagi tega mengajaknya bolos sekolah, praktis hanya sekali itu, saat pertama kali kutelusuri gairahnya di Bantimurung sana.

Kami lebih sering bertemu di rumah teman sekolahnya, pada sore hari sepulang sekolah atau kegiatan tambahan. Saat aku datang, biasanya teman-temannya tahu diri, pamit entah ke mana. Tetapi aku dan Husna juga tidak berani berbuat lebih di rumah mereka. Paling banter hanya rutinitas lumat bibir sambil meremas lambang osis-nya, haha.. Terkadang iseng tanganku menyusup ke balik rok abu-abu panjangnya, tetapi tetap tak bisa lama-lama.

Demikian berulang terus, sampai Husna naik kelas 2. Satu tahun, suhu sekalian, haha..

Sampai suatu hari, sebuah pesan singkat membunyikan ponselku...

“Kak, Kak Hajrah lagi ga di rumah, Mas Iman juga..” bunyi pesan dari Husna.

“Oh, mereka pada ke mana? Trus kenapa memangnya kalau mereka tidak ada? Adek lagi butuh bantuan mereka, gitu?” balasku, naif.

“Mereka lagi ke Semarang, ka kampungnya Mas Iman. Bukan adek. Kak Nanta yang pasti butuh..”

Sontak kesadaran menyerbu ke otakku. Ini undangan, suhu sekalian! Haha..

***

Pernah kuceritakan, bahwa Husna adalah anak bungsu. Bapaknya, Haji Andi Ahmad, adalah duda beranak dua saat menikah dengan Hajja Bunga, ibu dari Husna. Hajja Bunga sendiri adalah janda beranak empat pada saat itu. Hajrah adalah anak sulung bawaan Hajjah Bunga. Husna adalah satu-satunya anak dari Haji Andi Ahmad dan Hajjah Bunga.

Hajrah – si kakak sulung – tinggal bersama suaminya, Kasiman, di sebuah kompleks perumahan mewah, di kecamatan sebelah. Husna sering main ke rumah Hajrah, menemani ponakannya – putra Hajrah – bermain. Hal ini membuat Husna sering diminta menjaga rumah itu jika Hajrah dan suaminya bepergian.

Kompleks ini dihuni oleh keluarga-keluarga berada, dengan tingkat sosialisasi rendah. Semua rumah dikelilingi pagar yang tinggi, dengan pintu yang selalu tertutup.

Dan aku diundang – dengan halus dan sindiran – oleh seorang gadis belia, menemaninya di suatu kamar, di dalam rumah, di sini...

***

Kulewatkan lagi detail tidak penting perjalananku menuju rumah di mana Husna menungguku, ya, suhu sekalian. Beda lagi seandainya referensi kuliner makassar yang suhu sekalian inginkan, maka akan saya ceritakan tentang coto makassar Paraikatte yang kusinggahi sebentar dalam perjalanan. Haha..

Setiba di rumahnya, kuparkir motorku di naungan kanopi, kuketuk pintunya. Sebuah pesan singkat menderingkan ponselku,

“Lewat pintu samping, Kak..”

Kukitari taman kecil dengan deretan bonsai, kutemukan pintu samping yang dimaksud, tidak terkunci. Aku melangkah masuk, melewati koridor dengan lampu redup. Koridor ini mengarah ke ruang keluarga, ternyata. Husna duduk manis di sofa, tersenyum dikulum, tidak menoleh – walaupun tahu – saat aku melangkah menghampirinya.

Kuhempaskan diri ke sofa di sampingnya. Husna saat itu mengenakan mukenah. Mungkin baru saja selesai ibadah ashar.

“Empunya rumah bakal lama di Semarang?” tanyaku.

“Iya, Kak, dua minggu, kayaknya..” jawabnya tanpa menoleh. Kami berdua duduk rapat berdampingan. Kabut percumbuan menggantung rendah di bawah langit-langit, hanya menunggu sampai kami menghirup dan mabuk dibuatnya.

“Jadi, bisa tiap hari nih…” kataku sambil meletakkan tangan kanan di lutut kirinya.

“Kata siapa, besok Mama bakal nginap di sini kok, sampe Kak Hajrah pulang” katanya ringan, menepis jatuh tanganku.

“Yaahh.. kirain bisa berduaan 2 minggu..” kataku memonyongkan bibir.

“Memangnya mau ngapain, Kak?”

“Yaa.. apa yahh.. meneruskan sesuatu yang tertunda melulu, mungkin?”

“Memangnya harus dua minggu? Sesorean ini tidak cukup?” katanya sambil memutar bola mata, menggoda.

Godaannya kusambut, aku menyerah. Kuterkam dia, kutindih di sofa. Bibirku mengulum bibir atasnya, bibir bawahku digigit olehnya. Setahun bercumbu membuatnya semakin hebat membagi tugas oral. Dia tahu kapan waktunya membelit lidahku ke dalam mulutnya, atau memijat lidahku di dalam sini. Dia mengerti kapan mesti menggigit bibirku, atau melepas ciuman untuk sekedar mendesah ringan, menggemaskan..

“Mmmhhh.. Kangen ya Kak? Mmmhh..” desahnya lembut. Kedua lengannya melingkar di leherku, tubuhnya tertindih olehku.

Mukenah yang dikenakannya menyusahkan gerakan kami. Maka kuangkat wajahku, sebelah tangan bertumpu di sisi tubuhnya, sebelah tanganku menarik lepas mukenahnya.

Tidak bisa kusembunyikan ekspresi takjubku saat melihat Husna di balik mukenah. Di baliknya, Husna hanya mengenakan tanktop berwarna hijau muda. Tanpa bra di baliknya. Kulirik ke bawah, kakinya – yang kini melingkar di pinggangku – hanya mengenakan secarik kain segitiga, putih bersih warnanya.

“Wah, adek nakal juga yah, ternyata..” kataku menggodanya.

“Yang begini, kan, yang Kak Nanta suka?” katanya tersenyum, lengannya kembali melingkar di leherku, menarikku ke bibirnya yang merekah terbuka. Kulumat bibirnya dengan rakus, dibalasnya dengan tak kalah bernafsu.

Waktu kami hanya sesorean, jika benar kata Husna tadi. Jadi menurutku tidak perlu bergerak perlahan. Kutarik Husna turun dari sofa yang rendah itu. Kami bergulingan di lantai, kini dia menindihku.

Kedua tanganku menangkap bulatan pantatnya, menyusup ke dalam batas celana dalamnya. Kuremas keras, senada dengan gerak pinggulnya yang naluriah menirukan olah tubuh senggama. Naluri manusia dalam birahi memang sudah punya pola koreografi tersendiri, sejak jaman purbakala hingga kini.

Kutarik turun kain segitiga mungil itu. Husna tidak keberatan, atau mungkin tidak menyadari yang kulakukan. Tanganku kian bebas menggerayangi bulat pantatnya, sedangkan Husna terus menciumi bibirku penuh nafsu. Aroma birahi seolah menguar bagai uap panas dari tubuh kami, memenuhi ruangan tiga dimensi.

Tangan Husna mulai meraba perutku, mencari ujung baju. Kubantu niatnya dengan duduk tegak, dan melepas kaosku. Kini posisi Husna mengangkangiku. Sepertinya tersadar bahwa separuh tubuhnya bagian bawah sudah polos tidak tertutup sesuatu. Kepalang basah, dengan satu gerakan, Husna menarik tanktopnya ke atas, melepas kain terakhir yang menutup payudaranya.

Kami bertatapan sejenak. Seorang gadis dilanda asmara, duduk mengangkang di pangkuan seorang pemuda, yang saat itu hanya birahi yang ada di kepalanya, haha..

Kami kembali beradu bibir, memijat lidah masing-masing dengan buas, dengan ganas. Jarinya memainkan gesper celanaku, membuatku tersadar, bagian bawah tubuhku belum terbebas dari belenggu.

Kurebahkan tubuhnya ke belakang, spontan tangannya memeluk leherku. Dengan tidak menghentikan ciuman, kulepas gesper, kancing dan resluiting celana kainku. Lalu kurenggut lepas ke bawah, sekalian dengan celana model boxerku.

Kami bertindihan, meneruskan gerakan meniru persetubuhan. Bibir masih saling melumat. Sebelah tangan Husna mengusap punggungku, sebelah lainnya meremas rambutku.

Kuturunkan ciuman ke lehernya, meninggalkan jejak merah penanda daerah jelajah. Kudaratkan ciuman bertubi di dagu, leher, lalu turun dengan pasti ke belahan dadanya.

“Ouuhhh.. Kak.. Kak Nanta laleee... Ahhh..” katanya mencoba bercanda, jelas sulit dengan luapan birahi meruah ke ubun-ubunnya.

Kuteruskan cumbuan di dadanya. Kedua tanganku kini merema keras dua bukit susunya. Dan dengan cepat, mengulum putingnya yang mencuat indah.

Selama setahun lebih berpacaran, payudara Husna kerap kuremas. Memang, selama itu terkadang hanya ciuman dan remasan yang dapat kami lakukan, haha..

“Kakk..hhh.. Gelii..hh.. Ahhh.. Kak, terus, ahhh.. tapi lebih lembut..” ceracaunya semakin lirih.

Kugeser tubuhku sedikit turun dari tindihanku. Dengan posisi sedikit menyamping, sebelah tanganku kini meremas bergantian buah dada Husna, bibirku kembali mencari dan membungkam bibirnya. Sebelah tanganku yang lain bergerak turun, meremas lembut pahanya sebelah dalam. Naluriah, Husna melebarkan posisi kakinya, memberi jalur leluasa menuju celah basah selangkangannya..

“Akhh.. Kak Nantaa.. Ahhh.. pelan kak.. hmmmpphh..” jeritan kecilnya tertahan, saat bibirnya kembali kubungkam dengan ciuman. Tanganku tetap mantap, menelisik bibir vaginanya yang merembes basah.

“Mmmhhh.. Ahhhh.. Kak.. Ahhh..” jerit dan desah yang sama, mengisi ruang tamu, menggema menuju suatu tempat yang entah di mana.

Kucepatkan gerak jariku di liang senggamanya, menusuk setengah masuk dengan jari tengah. Lalu dengan ibu jari, kutekan-gesek klitorisnya..

“Aahhhhhhh.. Kak.. ouuhhhhh.. kak..”

Tubuh Husna tersentak, saat kenikmatan orgasmik runtuh menimpanya..

“Hhhhhh.. Kak.. adek lemas.. yang barusan itu bikin adek hilang tenaga..” katanya terengah-engah, berusaha berseloroh.

Tidak menunggu sampai nafasnya normal kembali, kuterkam lagi tubuhnya. Kutindih, kutarik pahanya melingkar dan menjepit pinggangku. Kuposisikan batang kelelakianku pada celah vaginanya yang masih basah. Ya, kami lanjutkan dengan petting.

Pada mulanya, hanya desah dan desis ringan yang Husna bisikkan. Lalu, seiring bertambah cepatnya gesekan batangku di celah kenikmatannya, suaranya berganti jeritan kecil penuh gairah..

Gerakan kami mengalir seirama, pinggulku menekan ke bawah, seolah sedang bersenggama. Tanganku turun ke dadanya, meremas keras bulatan payudaranya yang kenyal nan padat. Sambil terus bergerak memompa, terus menerus kuarahkan batang kelelakianku menggerus celah sempit nan basah di antara kedua kakinya.

Kurasakan cairan senggama dari vaginanya membanjir, melumuri senjata priaku. Suara pergesekan kelamin kami mengisi ruangan, di sela rintihan Husna yang lirih.

Gerakan kami semakin cepat. Aku mendaki kian tinggi. Yang kulakukan ini tidak ubahnya hanyalah masturbasi, dengan menggunakan vagina asli, hihi..

Kurasakan ujung batangku mulai berkedut, aku akan mencapai klimaks. Dalam pergesekan yang semakin cepat, Husna pun merasakan sensasi yang kian lama kian nikmat..

“Ahhhh.. Kak.. Ahhhh.. Terus, kak.. Ahhhhh..” demikian, berulang, meninggi, lalu lepas, dalam semburan kentalku, membanjiri perutnya..

“Aaaaahhh, dek.. Aahhhhhhh..” desahku tidak tertahan saat itu.

Tanganku meraba mencari tanktop hijaunya, kubersihkan ceceran sperm ku yang membanjiri perut Husna hingga ke dada.

“Yang terakhir ada rasanya, buat adek?” tanyaku tentang petting barusan.

“Ada, sih, kak..” katanya sambil mengatur nafas.
“Tapi ga seenak yang tadi, yang pake jari..” katanya malu-malu.

“Hmm.. Lain kali, dek Husna mau yang betulannya?” tanyaku sambil meraih celana.

“Iyalah.. asal kakak jangan kasar..”

Kukenakan kembali pakaianku, Husna juga beranjak memakai celana dalamnya. Tanktopnya yang terkena cairanku dipungutnya, lalu dengan santai berjalan menuju ambang sebuah kamar.

Kutarik tangannya, kupeluk dia dari belakang, lalu bisikku,
“Kapan lagi dong, ada kesempatan?”

“Ya, malam ini saja, kenapa Kak?” dia sedikit meronta melepaskan diri. Berlari memasuki kamar terdekat.

“Sudah ya, mau mandi dulu nih..” serunya dari dalam kamar.

Aku masih termangu, lalu melangkah mendekati pintu kamar.

“Bukannya mamanya Husna mau datang?” tanyaku.

Wajah Husna muncul dari balik pintu kamar, “Iya, memang.. tapi besok sore..”
Husna menghilang lagi ke dalam kamar.

Aku lalu duduk di sofa, mencoba memahami kondisi.

Husna bersedia “belajar lebih jauh” denganku. Malam ini, katanya. Hari masih sore saat ini. Mamanya baru datang keesokan hari, sore, tepatnya. Besok itu hari minggu.
Semua kepingan informasi hanya berarti satu hal : aku punya semalam dan sehari untuk mereguk kenikmatan kekasihku..

Kelak, di masa kini, Husna selalu menyebut malam pengantinnya – dengan suaminya sekarang – sebagai malam kedua, sebab malam pertama baginya adalah malam itu, saat aku semalaman di dalam kamarnya, juga di dalam tubuhnya..
 



Update 4

***

Seperti yang kuterakan dalam judul cerita ini, Husna, adalah salah satu “teman belajar” ku dalam Erotisme 101. Gaya pacaran kami yang kelewatan, – okelah, yang mesum – menjadikan kami sulit untuk menyentuh sisi romantisme cinta remaja. Kami seperti dewasa jauh sebelum masanya. Terutama bagi Husna, yang masih belia SMA.

Jika diibaratkan ajaran, kami adalah penganut aliran Birahiyah. Aliran para pemuda yang senantiasa bertasbih dalam desah, bertahajud dalam rintih gairah asmara.

Ya, itu memang berlebihan, suhu sekalian, haha.. Yang aku ingin sampaikan, adalah pada pikiran kami berdua saat mengingat pasangan – aku mengingatnya, Husna mengingatku – hanya ada keinginan menjelajah tubuh satu sama lain. Status kami memang pacaran, tetapi lebih mirip sexmate, wahana eksplorasi keingintahuan yang tabu. Keintiman dewasa dalam pemahaman yang lugu.

***

Pelajaran kami selanjutnya dimulai beberapa saat lagi. Husna sedang mandi di kamar kakaknya seusai pemanasan sore barusan. Bunyi siraman shower samar terdengar hingga ke ruang tengah, tempatku duduk menunggu hanya dengan mengenakan celana. Keringatku belum hilang sepenuhnya, membuatku enggan mengenakan kaosku. Di samping tidak menemukan setelah tadi dilempar Husna serampangan.

Iseng kuganti saluran teve. Ada berita tentang penipuan Bank di sana, dan seorang mengaku nabi di situ. Pikiranku tidak bisa menangkap jelas apapun yang kulihat dan kudengar saat itu. Yang ada hanya penasaran menunggu makhluk manis yang sedang mandi, dan apa yang akan dilakukannya bersamaku. Ya, pacaran kami tidak sehat. Tapi seperti rokok dan soda, kesadaran tentang tidak sehatnya, tidak mengurangi nikmatnya.. Haha..

“Ish, Kak Nanta melamun..” wajah dibingkai rambut basah mengintip dari sela pintu yang terbuka secelah.

“Habisnya lama sih, mandinya..”

“Lama karena kirain Kakak mau ikutan.. Hihi..” katanya menggoda, menggemaskan cekikikannya.

Melihat gerakanku yang mencoba bangkit mengejarnya ke dalam kamar, Husna langsung membanting pintu. Klik. Pintu dikunci dari dalam.

“Kak Nanta kalo mau mandi, di kamar mandi dekat tangga saja, ya.. hihi..”

Sial, tunas kentangku seperti patah diinjak kambing.

***

Sehabis mandi, kuraih handuk yang tergantung di pegangan pintu sebelah luar, kukeringkan rambut dan badanku sambil melangkah kembali ke ruang tengah. Bercelana model boxer saja, siluetku memenuhi lorong panjang di bawah tangga menuju arah dalam.

Husna tidak kutemukan di ruang tengah. Samar kudengar senandungnya dari arah lebih dalam, di bagian belakang. Bajuku tidak juga kutemukan. Dengan bertelanjang dada dan hanya secarik kain persegi berjahit menutupi senjata, santai kuhampiri sumber cahaya di ruang dapur.

Dan di sanalah Husna, berdiri membelakangiku. Rambutnya masih basah, terurai ke punggungnya, membasahi kaos longgar yang kukenali adalah milikku. Di tubuhnya, kaos itu jatuh melekat ringan. Menutup dan menyembunyikan lekukan antara punggung atas ke pinggang, antara pinggang ke pinggulnya. Dan di ujung bawah, kaosku menutup bulat pantatnya, yang menampilkan garis batas segitiga celana dalamnya. Husna sedang memasak mie instant, dengan tetap membelakangiku, bersenandung mengikuti sebuah lagu yang saat itu terlalu tidak penting untuk kutangkap, haha..

Beberapa menit kunikmati keindahan tersamar tubuh kekasihku ini. Anak dara yang menemaniku menikmati naik turunnya birahi, jauh sebelum waktu yang seharusnya, haha..

Gerakanku menarik ekor matanya. Husna menoleh, mendapatiku menatapnya dengan ekspresi yang mungkin mirip raut muka pemerkosa, haha..

“Ngeliatin segitunya.. pake nunjuk-nunjuk lagi, hihi..” katanya memonyongkan bibir.

“Nunjuk?” tanyaku tidak mengerti.

“Tuh, di bawah.. hihi..”

Ternyata batang lelakiku sudah tegak begitu saja. Mengacung seperti jarum kompas, menunjuk arah destinasi ke mana seharusnya dia bertualang.

Jengah, kubetulkan sedikit posisi penisku. Sulit menyembunyikan ketika celana hanya selapis yang dikenakan. Kudekati Husna, kupeluk frontal.

“Kak, makan dulu deh, itu ada mie..”

Kurasakan dadanya yang bulat kenyal mengganjal pelukan kami. Puting susunya masih keras, mungkin karena hisapanku sore tadi, atau hanya karena habis mandi. Dengan gemas kuremas pantatnya.

“Sudah, Kak, ga capek, apa..” katanya mendorongku ke meja makan.

Aku mengalah, lalu duduk dan menikmati apapun yang dia sajikan. Kami makan berdua, sambil mengamati petang hari turun mengganti cahaya.

***

“Mmmmmhhh.. Kak.. pelan, jangan dibikin merah.. Aaahh..” desah Husna saat kuciumi lehernya dari samping.

Kami duduk di tepi ranjang, di kamar di lantai dua. Segera setelah makan tadi, seolah telah direncanakan, kami berdua langsung masuk kamar. Husna mematikan lampu utama, dan menyalakan bedside lamp, yang sinarnya lebih redup.

Kami duduk bersisian, langsung berciuman, tidak ingin membuang kesempatan. Hasrat kami begitu menggebu, dan musuh kami adalah waktu. Husna sempat berkata, saat aku tadi mandi, dia sudah mengecek semua jendela dan pintu. Kami bebas mengeksplolasi wilayah baru, dengan ekspresi sebebas yang kami mau.

“Adek memang jarang pake bra kah, di rumah?” tanyaku di sela kesibukanku di lehernya.

“Ga lah, kak.. Aahhhh.. hanya hari ini, karena ada kak Nanta yang temani.. Mmmmhhh.. Kak.. Geli..”

Kami seperti pasangan pengantin baru, bercumbu di kamar sendiri. Kamar ini kelak menjadi kamar Husna dan suaminya. Setelah menikah, pada tahun pertama mereka menumpang di rumah ini. Ironis.

Husna menjadi lebih berani. Tangan terdekatnya bergerak menuju selangkanganku, menangkup dan meremas-meremas batang kejantananku. Berkali-kali aku meringis dibuatnya, saat gerakannya terlalu kasar, atau terasa memelintir keras. Tetapi Husna cepat belajar. Singkat kemudian, dia sudah tahu cara mempermainkan emosiku, dengan pijatan dan elusan di kaki ketigaku.

“Kak, ukuran segini memangnya bisa masuk?” katanya saat jemarinya lebih berani disusupkan ke dalam celana boxerku.

“Belum pernah dengar cerita ada yang ga muat masuk, dek.. jadi pasti bisa.. haha..” kataku sambil merengkuh Husna ke pangkuanku, berhadap-hadapan, gaya faforitku.

Aku sangat suka memangku gadisku dalam posisi ini. Tangan lebih bebas, memeluk pinggang, meremas pantat, menangkup payudara. Jika hendak memainkan vaginanya, cukup rebahkan diri ke belakang, biarkan si wanita duduk tegak, letakkan telapak tangan di pangkal paha, perbatasan paha dengan pinggangnya, dan arahkan ibu jari ke klitorisnya. Sentuh, lalu getarkan. Cara ini juga terbukti mempercepat orgasme wanita yang sedang bergaya WoT. Kubuktikan itu kemudian, dengan Lily, gadis yang senang di atas. Tapi itu cerita lain, masa yang berbeda.

Posisi ini juga membuatku bebas memilih apa yang hendak kuciumi. Bibir, leher, puting susu, ketiak, dan kuping. Semua dalam jangkauan cumbu.

Saat ini kupilih hidangan terdekat di depan mata, sepasang buah dada. Aroma sabun samar-samar kucium dari kulit susunya yang lembut dan kencang. Kuhirup dalam wangi tubuhnya, kucucup pelan kuncup payudaranya. Kaosnya – kaosku – tersingkap ke atas, tergulung di antara leher dan kedua bukit indahnya.

“Ouuhhh.. Nnnnhh.. Kak Nanta suka itu, kah? Ahhh..” tanya Husna tentang daging kenyal di dadanya.

Remaja senang dipuji. Normalnya, mereka suka bertanya kepada pasangannya, apa sih yang kamu suka dariku?. Gadis –gadis akan senang jika jawabannya adalah tentang pribadi mereka, sifat mereka. Tetapi juga akan tersanjung dan tersipu jika kita terus terang memuji sesuatu pada fisiknya.

“Iya, sukalah..” jawabku singkat, meneruskan hisapanku dengan kuat.

“Mmmmmhh.. Besar kah, Kak?” tanyanya lagi. Remaja labil.

“Iya, dek, besar..”

Saat itu, payudara paling besar yang nyata dan terbuka yang pernah kulihat memang adalah milik Husna. Menjadi berbeda saat kukenal Lily, gadis yang akan kuceritakan pada kali berbeda setelah ini.

“Itu punya kak Nanta, kak Nanta maini sepuasnya.. Aahhhhhh.. Kak, sakit, jangan digigit..” suhu sekalian tentu paham, godaan puting saat mengeras, sulit untuk tidak digigit, hehe..

Kurebahkan badanku ke tempat tidur, tubuh Husna mengikut turun menindihku. Dengan tekun dia mulai menciumi wajahku. Mata, pipi, hidung, lalu tertambat di bibirku. Tangannya tertekuk bertumpu di sisi kepalaku.

“Mmmmhhhh.. Kak Nanta pasti sudah banyak perawani bibir cewek lain.. Mmmmmhh.. Hayo ngaku..”

“Iyalah, kalo cuma bibir, sudah sering..” jawabku berbohong. Boro-boro ciuman, pacaran saja baru ini yang pertama. Tetapi dia tidak perlu tahu, bahwa ini juga pelajaran pertamaku, bahwa Husna adalah preparatku, seperti aku yang menjadi bahan praktik baginya, haha..

Prosesi berciuman kami selalu mengambil waktu yang lama. Rasanya tidak terpuaskan, menikmati kuluman, gigitan dan pijatan area oral kami, satu sama lain. Sambil menikmati cumbuan bibirnya, tanganku mantap turun meremas gumpalan nan bulat pantatnya. Husna senang jika pantatnya dicubit kecil saat berciuman. Cubitan itu mempercepat vaginanya basah, katanya.

Sebelah tanganku menangkup, mencubit, meremas pantatnya, bergantian di sini dan di sana. Sebelah lagi naik mengelus lembut punggungnya di balik kaos longgarnya.

Tubuh Husna ramping, tetapi tidak kurus. Ada lapisan-lapisan lemak tipis di bagian-bagian tubuhnya, yang membuatku nyaman meremas. Pinggangnya berlekuk, tetapi tidak langsing-langsing amat. Chubby kata kalian, cambondeng kata orang sini. Gadis dengan bentuk tubuh seperti ini adalah yang paling nikmat dicumbu. Cukup ringan untuk segala macam gaya, dan cukup berlekuk membulat untuk digigit dan diremas di – hampir – semua tempat.

Tanganku bergerak dari punggung ke sisi tubuh Husna, ke pinggang, lalu ke depan, menangkup sebelah susunya. Kuremas lembut, sambil memilin putingnya..

“Mmhhhhh.. buka saja Kak.. Ahhh..”

Kuhentikan sejenak cumbuanku saat Husna duduk tegak, menarik kaosnya lepas ke atas. Kutarik kembali tubuhnya, kupeluk rapat. Bibir kami bertemu kembali, berkecipak penuh rindu.

Di dadaku, puting susunya mengeras, mengganjal manis. Kugulingkan badan, berbalik menindihnya. Dari balik celana masing-masing, kelamin kami saling menggoda. Batangku yang keras menggesek mekinya yang sedikit menggunduk dan basah. Kain ini mengganggu.

Kutegakkan diri. Kuangkat kakinya ke bahuku. Kami bersitatap dalam senyum malu-malu. Tanganku bergerak mengelus betisnya, lututnya, pahanya.. Bergerak mantap menuju garis batas celana dalamnya. Husna mengangkat pantatnya saat kutarik lolos celana dalamnya ke bawah. Tangannya refleks bergerak mencoba menghalangi pandanganku ke vaginanya yang terekspose terbuka.

“Ih, mau lihat, dek, jangan ditutup lah..” kataku tersenyum.

Kutarik kedua tangannya, kulebarkan pahanya. Amboi.. Pemandangan baru terpampang di sana.

Vaginanya sudah sangat basah. Hiasan rambut halus di bagian atasnya juga terlihat basah, akibat rembesan dari celana dalamnya. Pikiran iseng dan coba-coba muncul di kepalaku.

Perlahan kuturunkan wajah, mengecup pelan pahanya sebelah dalam, bergerak perlahan, kutelusurkan lidahku menuju selangkangan, menapaki bibir luar vagina Husna..

“Aaahhhhhh.. Kak.. Jangan.. Ga usah.. Kak... Aahhhhhhh..”

Tidak kuhiraukan apa kata Husna, toh, dia juga tidak sungguh-sungguh menolaknya. Tangannya turun meremas rambutku, sebelah tangannya meremas seprai di samping wajahnya. Kujilati lipatan bibir luar vaginanya. Terasa asin, dengan aroma khas cairan wanita. Sebenarnya kurang sedap, tetapi aku belum peduli saat itu. Kuteruskan jilatanku lebih dalam, sesekali lidahku menyapu lipatan dalam celah sempitnya.

“Ahhhh.. Kak.. Aaaaaahhhh.. itu kan, jorok, ahhhh...” kata-katanya menghilang, tenggelam dalam kenikmatan yang kusentuhkan di liang kewanitaannya..

Kutemukan tonjolan samar klitorisnya, kujepit dengan bibir, seperti saat memainkan puting susunya. Kucucup perlahan, lalu semakin kencang..

“Ooooouuuuhhhhhh.. Ssshhhhh.. Ahhhhh.. Kak..hhh..” Husna menggelepar, dia mencapai orgasmenya yang pertama.

Kutinggalkan sejenak Husna, terlentang dalam bugilnya. Kucuci wajah dan mulutku di toilet dalam kamar itu. Saat kembali, Husna sudah bersembunyi dalam selimut, tersenyum, menungguku..

Tanpa membuang waktu, kutanggalkan kain penutup bagian bawah tubuhku. Kusingkap selimut, lalu menindih Husna di baliknya. Duh, nyamannya, menindih tubuh bugil kekasih, di dalam selimut. Serasa bagai suami istri, hihi..

Kami berciuman, dalam, basah dan mesra. Kubangkitkan kembali gairahnya, yang belum hilang sepenuhnya, dengan remasan dan plintiran pada putik dan puting susunya. Tangan Husna bergerak alami ke batang penisku yang sudah tegang maksimal. Dielusnya perlahan, dengan gerakan memijat, pangkal hingga ujungnya.

Kuturunkan wajahku ke buah dadanya, hingga aku menghilang sepenuhnya ke dalam selimut. Husna melepaskan pegangannya dari penisku. Posisinya kini tidak terjangkau oleh jarinya. Kutekuni puting susunya sebelah-menyebelah, menghisap, mencucup.

Sebelah tanganku kembali turun membelah liang sempit nan membanjir di sela pahanya.

“Ahhhh.. Kak.. Kak Nanta, lale.. Nakal.. Aahhhh..” ceracaunya sambil mengelus punggungku, meremas rambut di belakang kepalaku.

Kunaikkan wajahku kembali, menatapnya dalam jarak embusan nafas. Mata kami saling menatap. Kedua paha Husna melebar, memberiku akses menindihnya dalam jepitan kaki mulusnya. Lalu perlahan, Husna mengangguk..

“Iya, Kak.. adek mau..” jawabnya untuk pertanyaan yang tidak kulontarkan.

Tanganku turun, menggenggam batang penisku, mengarahkan kepalanya menuju liang senggama Husna, yang basah, menantang nan muda..

Beberapa kali percobaan gagal. Kulirik sekilas, bibir vaginanya memerah, mungkin mulai lecet. Husna lalu membantu dengan mengarahkan kepala penisku menuju liang yang seharusnya. Perlahan, kepala penisku mulai menemukan pintunya.

“Akkhhh.. Kak..” Husna meringis saat dirasakannya benda asingku menyeruak menyelidik di relung vaginanya.

“Mmmmhh.. Dek, sakitkah? Aaah..”

Jawabannya datang dalam bentuk pelukan erat di leherku. Lalu bisiknya di telingaku,

“Terus, kak.. adek mau..”

Trenyuh aku mendengar bisikannya. Lembut namun mantap. Keraguanku hilang. Kuteruskan dorongan pinggulku perlahan. Kurasakan vagina sempit Husna terbelah, menyambut batangku sedikit demi sedikit, kulit demi kulit..

Penisku sudah masuk setengah saat kusadari pipi Husna basah. Kuangkat wajahku, ditahan oleh pelukannya yang bertambah erat.

“Terus, kak.. jangan berhenti..”

“Aaaaakkhh..” jerit kecilnya terdengar keras, menggema di kamar, saat penisku masuk seluruhnya. Pahanya melemas jatuh, tetap mengangkangiku tetapi Tidak lagi melingkar menjepit pinggangku. Kami terdiam lama, menikmati pelukan satu sama lain. Kurasakan puting susunya mencuat di dadaku, badannya naik turun seiring nafas yang memburu, dan dekapan vaginanya di penisku, sempit nan basah..

Kupindahkan telapak tanganku ke pipinya, lalu kudekatkan bibirku, mengecup lembut bibirnya. Lengannya berpindah ke bawah ketiakku, terus menelikung ke atas, tersampir di kedua bahuku. Aku siap bergerak.

Kutarik perlahan pinggulku, lalu kutekan kembali. Ada aaahh.. pada setiap tarikan, dan terdengar ooouuhh.. di setiap tusukan.

Perlahan-lahan gerakanku semakin konstan. Vaginanya semakin licin, lembut, menghisap dan terasa memilin. Vagina perawan memang tidak ada tandingannya!

Gerak memompa pinggulku makin mantap, makin lancar dan makin nikmat.

“Aaaahhhh.. Kak.. Oouuhhh.. Aaahhhh.. Perih, kak..” jerit Husna berulang-ulang. Mungkin terdengar tetangga, aku tidak peduli. Rintihannya terus terdengar, makin lama makin tajam dan dalam. Kekasihku tersiksa rasa sakit dan kenikmatan, menyerangnya bergantian, secara simultan.

Kurasakan penisku berkedut, melembung, siap memancarkan laharnya. Kucepatkan gerakanku. Husna mencakari punggungku, menggigit bahuku.

“Aaaahhh.. dek, hampirrr.. Aaaaahhh..” tak sadar aku mengerang.

Lalu ledakan warna-warni di kepalaku, seiring membuncahnya ribuan sel sperm, menyembur ke dalam vagina Husna, yang tetap memelukku erat.

Aku mencapai klimaks. Perlahan kesadaran berangsur memenuhi kepalaku. Husna masih mendesah seiring gerak gelepar tubuhku, follow trough dari orgasme yang baru melandaku.

Batangku mengerut, hihi..

Kami berpelukan. Pasti Husna kentang saat itu. Namun apa dayaku, ini orgasme pertamaku dalam vagina wanita. Kekuatanku tersedot habis sepenuhnya.

Kami berpelukan lama. Kulirik jam dinding, masih jam delapan lewat sedikit. Masih banyak waktu untuk memuaskan Husna, pikirku.

Husna bangkit, hendak membersihkan diri, katanya.

Lalu kantuk menyerangku. Hal terakhir yang kulihat sebelum tidur mengambil alih kesadaranku adalah Husna, yang menyusup kembali ke dalam selimut, bergelung tidur memelukku..


Update 5

***

Kompleks tempat tinggalku adalah perumahan dengan banyak akses, tanpa pintu gerbang. Keamanan warga ditunjang oleh siskamling mandiri, dengan jadwal ronda tiap malam. Hanya pria berkeluarga yang mendapat giliran ronda berdasarkan jadwal, adapun para pemuda lajang, diharapkan ikut menjaga keamanan setiap malam.

Aku termasuk yang meronda hampir setiap malam. Selepas isya, biasanya kukerjakan sebentar tugas kampusku, lalu rebahan di masjid. Pukul sepuluh malam, aku terbiasa terbangun dan lalu terjaga sampai subuh, sesekali ikut patroli keliling kompleks. Jam dalam tubuhku seolah sudah menyetel alarm, selalu membangunkanku jam segitu.

Kebiasaan itu juga yang berjasa membuatku bisa mereguk kefanaan surgawi tubuh Husna, gadis belia yang tidur lelap di sampingku..

***

Aku terbangun belasan menit melewati pukul sepuluh. Sejuknya pendingin ruangan membuat kerongkonganku kering. Kusingkap selimut perlahan, menampakkan tubuhku dan Husna yang polos. Aku melangkah menuju kamar mandi di pojok ranjang.

Saat menuntaskan hajat kecil, kuamati batang kejantananku. Bercak-bercak putih dengan semu merah muda mengering menyelubunginya. Ini darah perawan husna, bercampur cairan persetubuhan kami. Semalam aku ejakulasi di dalam tubuhnya, semoga tidak apa-apa, haha..

Ingatan tentang kejadian di awal malam, membuat gairahku naik perlahan. Akh, masih banyak waktu menuntaskannya. Kubersihkan tubuh bawahku lalu meraih handuk mandi Husna, kulingkarkan di pinggangku dan berjalan ke dapur. Rumah yang besar ini membingungkanku.

Aku masih duduk menggenggam gelasku saat Husna mengintip di pintu dapur.

“Hoo.. dicariin, ternyata di sini..” ujarnya dengan mata menyipit. Rambutnya agak acak-acakan, sisa pergumulan. Husna menghampiriku, mengambil gelas dari tanganku dan menandaskan isinya.

Saat itu Husna lagi-lagi mengenakan kaos longgarku. Hanya kaos longgarku. Dia minum sambil berdiri menyamping di depanku. Saat menghabiskan air minumnya, dagunya terangkat, menampilkan lehernya yang putih, bergerak seiring bunyi tegukan airnya. Gerakan tangannya yang mengangkat gelas membuat ujung bawah kaosnya terangkat, menampakkan buah pantatnya yang putih, bulat telanjang.

Seketika tuas kecil dalam mesin libidoku terangkat. Aku terangsang!

Kupeluk Husna, kuangkat tubuhnya ke pangkuanku, kuhadapkan badannya mengangkangiku.

“Eit, gelas, kak..” katanya mengingatkan. Gelas diletakkan perlahan di wastafel di belakangku.

“Mau lagi, dek.. mmmmhhh..” kata-kataku tidak selesai, Husna langsung melahap bibirku dengan rakus. Mungkin kentang sore tadi membuatnya ikut penasaran dan menyimpan nafsu yang latent. Pahanya menjepit pinggangku, bergerak seolah mengelus kulitku.

Husna begitu agresif menyerangku. Cumbuannya turun ke leher, berputar ke telinga dan bahuku. Tangannya memeluk ketiakku, menikung ke belakang, telapaknya mengelus dan meremas punggungku.

“Yang semalam.. Ahhhh..”

“Hhmmm..?” Husna bertanya tanpa menghentikan ciumannya, kali ini di puting dadaku.

“Sakitkah yang semalam, dek?” tanyaku pada akhirnya.

Husna menghentikan sejenak ciumannya di sekujur tubuh atasku. Matanya menjajari wajahku, tangannya di kedua pipiku.

“Sakit, kak.. pake banget.. ga ada enaknya sama sekali..” katanya tersenyum.

“Adek cuma tahu dari orang, dari bacaan, kalo sakit itu hanya awalnya saja, setelahnya bakal enak. Makanya adek mau saja nerusin. Apalagi kelihatannya kak Nanta asyik sekali, jadi adek rela saja.. hihi..”

Aku kehabisan kata-kata.

“Tapi habis ini, kak Nanta tolong bikin adek terbiasa, biar bisa rasakan enaknya sama-sama..” kata Husna setengah berbisik, mengecup lembut bibirku memungkas kalimatnya.

Perasaan dalam benakku jadi campur aduk. Terharu, nafsu, takjub, takut. Tetapi logika dan nurani selalu kalah oleh birahi.

Kurengkuh tubuh Husna dalam pelukanku. Badannya terangkat saat kedua tanganku meremas pantatnya dengan kasar. Kursi dapur berderik saat Husna menyilangkan lengan, mengangkat siku dan melepas kaosnya dengan satu tarikan. Sekali lagi, tubuh polos belia Husna terpajang di hadapanku.

Husna menerkam bibirku penuh nafsu. Sebelah tanganku menangkup payudaranya, meremas lembut, sedangkan tanganku lainnya tetap meremas pantatnya bergantian.

Kami berciuman lama, ketika gerak kami yang liar mulai membuat kursi yang kududuki seperti hilang keseimbangan. Aku lalu berdiri, dengan Husna tetap menjepitku dan memagutku, seperti burung pelatuk di dahan kayu.

Aku melangkah ke koridor, tanpa melihat jalan. Posisi tubuh Husna yang “kugendong” membuat pandanganku terhalang. Di koridor, kuletakkan dia di sebuah meja pajangan yang tingginya sepinggang. Di sini, aku dapat berdiri tegak, wajah Husna sejajar denganku dalam posisi duduknya. Kami terus berciuman.

Handuk yang tadi kukenakan entah jatuh di mana. Kami berdua sudah telanjang, berhadapan, berciuman di suatu tempat yang bahkan bukan ruangan.

“Kak, kak Nanta sudah keras lagi.. Mmmmmhh..” ujar Husna di sela ciuman kami. Tangan kirinya terulur ke depan, menggenggam senjataku yang teracung seperti menunjuk perutnya.

“Adek sudah mau?” tanyaku, sambil bergerak menunduk mencucup puting susunya..

“Oouuhh.. Iya kak.. adek mau lagi.. Aaaahhhnnn.. Ouhhhh..” badan Husna agak ke belakang, menyandar ke dinding koridor.
Perlahan kususuri buah dadanya dengan ciuman, kuluman, hisapan. Turun ke perutnya, mengitari pinggangnya. Husna meremas rambutku, memejamkan mata, menengadah menikmati sensasi geli nikmat yang menjalari sekujur tubuhnya.

Aku berlutut saat wajahku mencapai paha Husna. Kuciumi kedua belah pahanya bergantian. Tanganku turun ke lututnya, memijat dan meremas lembut. Kulebarkan posisi kedua lutut itu, membuat paha Husna terentang membuka, menampakkan vaginanya yang merekah, basah.

Perlahan, kudekatkan wajah menuju bukaan celah pahanya. Aroma khas vagina menyambut wajahku, kuciumi selangkangannya, bergerak perlahan, menuju bibir vaginanya.

“Aaaaaaahhh.. kak.. adek basah di situ.. aaahh.. jorok, kak.. Ooouuhhhh..”

Kali ini tidak kubenamkan wajahku dalam vaginanya, hanya lidah yang kugerakkan menjelajah anatomi organ kewanitaannya. Lidahku menyapu klitoris dan keempat labia-nya.

Saat kurasakan tubuh Husna menegang, kutegakkan badanku. Kutarik tangannya agar menggenggam batangku. Kuremas pantatnya, posisi kami menjadi rapat. Pahanya mengangkang, membuka jalan. Husna paham maksudku, tangannya menuntun penisku menuju bukaan liangnya yang sudah basah, siap dirambah.

“Aaaaaahh.. Kak..” perlahan kepala penisku terbenam.

Rasanya sempit, tetapi tidak sesulit pertama kali. Bibir Husna mencari bibirku, mengulum rapat, melumat dengan kuat, seakan hendak menutupi rasa perih yang kembali mendera di sela kakinya. Kedua tangannya memelukku, meremas pantatku yang tengah tegang.

Kugerakkan sedikit pinggulku, agar batangku bisa menerobos lebih jauh.

“Mmmmmhhh.. Hhhhgg.. Mmmmmmhh..” desahan Husna teredam ciuman.

Posisi ini menghalangiku untuk “masuk” lebih dalam. Untuk mencapai kedalaman maksimal penetrasi, area yang ditumbuhi rambut kemaluan kedua insan harus dapat bertemu dengan rapat. Dengan begitu batang penis dapat mencapai kedalaman maksimal. Posisi berdiri-duduk (lelaki berdiri, gadis duduk) cukup menghalangi hal itu, terutama karena vagina ini baru kehilangan virginity-nya dua jam yang lalu, haha..

Karena rasanya tidak maksimal, kupeluk dan kuangkat tubuh Husna, tanpa melepaskan tusukanku yang sudah masuk dua per tiga.

“Aaaakkkhh.. Kakk.. Ouhhh..”

Ternyata menggendongnya dalam posisi ini membuat batangku melesak lebih dalam. Husna meringis, menghentikan ciuman di bibirku, dan memeluk erat, sambil menggigiti bahuku.

Aku melangkah perlahan menyusuri koridor, menuju entah ke mana. Untuk mencapai kamar semula, aku harus naik tangga.

Naluri mengarahkanku menuju ruang lain, ruang tengah, tempat semula kami bercumbu ashar tadi. Cahaya temaram lampu ruangan lain menerobos lewat pintu yang tak berdaun.

“Mmmmhhh.. Ahhhh..” Husna merintih seiring langkah kakiku. Ternyata setiap langkahku mengakibatkan pergesekan di dalam liangnya.

Perlahan aku duduk selonjor di karpet tebal berbulu, berbentuk bulat di tengah ruangan. Husna tetap mengangkangi pahaku, vaginanya tetap menjepit kemaluanku.

“Aaahhh..” desah Husna saat bobot tubuhnya membuat penisku masuk lebih dalam lagi.

Husna duduk membelakangi jendela besar di ruang tengah. Kisi-kisi di atas jendela meloloskan larik-larik sinar yang jatuh menyinari sebagian tubuh Husna, yang bersimpuh mengangkangi tubuhku.

Lama kami terdiam, tidak bergerak. Menikmati keberadaan masing-masing. Kurasakan garis bibir vaginanya berdenyut menjepit batangku.

“Adek mau di bawah?” tanyaku sambil menyentuh pipinya. Husna memalingkan wajah, mengecup pelan telapak tanganku.

“Ga, kak.. Ahhh.. mau di atas saja..” katanya pelan.

“Kalo adek di bawah, kakak goyangnya keras, sakit tauk, kak..” lanjut Husna.

Aku paham maksudnya. Husna mau tetap di atas. Dia hendak mengendalikan permainan kali ini, agar rasa yang didapatkannya sesuai kehendaknya. Dia ingin mereguk kenikmatan yang tidak didapatkannya pada ronde kami di awal malam tadi.

Kurabahkan badanku terlentang ke belakang. Husna lalu menumpukan kedua tangannya ke dadaku. Posisi kedua tangannya yang menyatu di tengah membuat dadanya terjepit, membentuk belahan yang rapat, membusung mempesona.

Perlahan diangkatnya pinggulnya, penisku berdesir saat cairan kental di pertemuan selangkangan kami terpecah, terpisah.

“Aaaaaahhh..” desah Husna, saat pantatnya terangkat perlahan.

“Ooooouuuhhhhh..” desahnya lagi saat pinggulnya pelan-pelan diturunkan.

Kucoba membaca wajahnya. Sulit menentukan, apakah itu ekspresi kesakitan, atau rona penuh kenikmatan. Sebelah tangannya meraih tanganku, membawanya, menuntun telapakku meremas dadanya. Tangannya tetap menangkup tanganku, tanpa kata memintaku meremas susunya, dengan ritme yang diinginkannya.

“Aaaaaaaahhh.. Aaaaahhhh.. Ooooouuhhhh.. Kak.. Aaahh..” suara Husna mengisi setiap celah di ruangan. Setiap gerak tubuhnya yang pelan diikuti dengan erangan dan desahan. Sesekali Husna mendesis dan memejamkan mata rapat-rapat.

Goyang pinggulnya semakin lama semakin stabil dan konstan. Desahannya semakin lama semakin keras, berubah dari desah perih menjadi jerit nikmat.

“Aaahh.. dek.. Aahhhh.. enak, kah?” tanyaku saat mata kami beradu.

Tersenyum, Husna mengangguk malu.

“Iyah, kak.. Ahhhhh.. kak Nanta jangan bergerak, aaahhh..” Husna menahan tubuhku saat tanpa sadar kugerakkan pinggulku menyodoknya dari bawah.

“Aaaaahhh.. Ooouuhh.. Uuhhh.. kak..”

Gerak pinggulnya semakin liar. Kepalanya tersentak ke kiri, lalu ke kanan. Kenikmatan menderanya bagai tamparan. Pantatnya yang naik turun terasa lembut menepuk-nepuk pahaku. Lalu tiba-tiba badannya kaku.

Sebuah mobil berbelok di jalan depan rumah Husna. Sinar lampunya menyorot jendela dari luar, menembus ke dalam, menyinari tubuh Husna dari belakang. Tepat saat siluet tubuhnya terbentuk, berpendar bagai malaikat, kepalanya tersentak ke atas. Pahanya menjepit keras pinggangku, tubuhnya melengkung indah ke belakang.

Keindahan orgasme menyerangnya tanpa ampun.

“Aaahhhh.. kak.. mmmhhh..” desahnya saat rebah ke depan, menindihku, mencari bibirku.

“Enak, dek?” kataku meledek.

“Iihhh, kak Nanta lale.. nanya-nanya mulu..”

Tak sabar, kugulingkan tubuhku, berbalik menindihnya. Pertemuan kelamin kami sesaat terlepas, tetapi langsung kusarangkan kembali saat berada di atasnya.

“Aakkhhh.. kak.. pelan..”

Tidak kuhiraukan lagi lenguhan Husna saat itu. Kuangkat wajahku, duduk tegak dalam posisi setengah berlutut. Kuraih betisnya, kulebarkan sejauhnya. Lalu, dengan kedua tangan masih memegang kakinya ke samping, kugerakkan pantatku maju mundur, mengulek lubang vaginanya..

plochhh.. slepp.. terdengar berulang-ulang, ditingkahi jerit kecil Husna yang kini menggelinjang bagai kesetanan.

“Ooouuhhh.. kak.. aaaahhh.. kak Nantaaaa.. aahhhh..”

“Sakit, dek?” tanyaku terengah.

Husna menggeleng kencang, terus mengerang, menggeliat keenakan. Sepasang payudaranya berguncang-guncang, seiring gerakanku memompa liang senggamanya.

Kurasakan penisku berkedut, panas mendera kepala senjataku itu. Sebentar lagi laharku erupsi. Kucepatkan gerakanku, tetapi tertahan, saat Husna mengunci tubuhnya, membuatku tak bisa bergerak memompa.

“Aaaaaaahhh.. Adek sudah pi.. Aaaaaaaahhhh..” entah apa yang hendak dikatakan Husna, saat desahnya sendiri menghentikan kalimatnya.

Perlahan Husna melemas, memberiku kesempatan untuk kembali memompa.

“Aaaahhh.. Ooouhhhh.. kak Nanta.. adek sudah.. Ooouuhh..” jeritnya, saat kenikmatan kembali merayap pelan, menggerogoti tubuhnya.

“Dikit lagi, dek.. Aaaaaaahhhh..” tak bisa kutahan desahanku, saat semburan lava panas menyeruak keluar daru ujung penisku.

Tubuhku rebah ke depan, menindih Husna yang langsung memelukku rapat. Bibirnya menyambut bibirku, bergumul, melumat penuh rindu.

“Mmmmhhh.. kakak ih.. nyembur di dalam terus, adek bisa hamil nanti..” katanya di sela ciuman.

“Mmmhh.. ya mau gimana, mau keluar adek malah kunci pake kaki..”

“Habisnya enak sih, hihi..”

Kami terus berciuman dalam posisi bertindihan. Kakinya tertekuk di lutut, sebelah kaki lainnya melingkar di tubuhku. Tidak lama kemudian, pinggul kami bergerak sendiri. Ketika penis di dalam vagina, gerak memompa memang tak terhindarkan, kan, suhu sekalian?

Kami bersenggama dengan santai, mendesah berbarengan, saling tindih bergantian. Sisa malam kami habiskan dengan bersetubuh dalam gaya missionari, dan saling memberi orgasme sampai dini hari.

***

Waktu menunjukkan pukul empat dini hari, saat aku dan Husna mencapai limit atas kekuatan muda kami. Permainan terakhir kami lakukan di kamar atas, tempat kami memulai sore sebelumnya.

Kelelahan, aku rebah di lantai, dekat pintu menuju balkon kamarnya. Husna memangku kepalaku, membelai-belai rambutku. Dingin membuat Husna menarik selimut, melingkupi tubuh kami berdua yang sedang bersitatap diagonal.

“Kak Nanta lale..” katanya tersenyum, terus menatap mataku, membelai rambutku.

“Adek juga ga kalah lale..” kataku sedikit berpaling, mengecup bantalku, pahanya yang telanjang.

***

Aku tertidur saat Husna mandi mendahuluiku. Pagi jam tujuh, aku dibangunkannya.

“Gih, mandi, Kak..”

“Lho, Husna sudah mandi waktu kakak tidur ya?”

“Iya, kenapa?”

“Harusnya barengan..” kataku sambil meraih ke depan, meremas susunya yang hanya dibalut handuk.

“Ish, ada juga ga mandi, jadinya.. ini saja masih perih, tauk, kak..” katanya menepis tanganku menjauh.

Aku lalu mandi dan mengenakan pakaianku kembali. Kususul Husna ke dapur, dia membuat sarapan untuk kami berdua.

Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Untuk kali pertama aku tersadar; rasa cinta di antara kami tidak mutual. Aku memandang Husna sebagai peraduan birahi. Sementara cintanya padaku, entah ini cinta monyet, kingkong atau gorilla, adalah tulus, setidaknya pada saat itu. Saat hartanya yang paling berharga tanpa ragu diserahkannya padaku.


Update 6

***

Kami sarapan dalam diam, hanya sesekali bertatapan. Aku bingung, setiap kali hendak memulai percakapan, yang terpikir di kepalaku hanya tentang persetubuhan. Setiap kali menatap ke arahnya, yang kulirik pertama kali adalah bibirnya, dada dan pantatnya..

Aku memutuskan tidak menghabiskan hari di rumah Kak Hajrah pada Minggu itu. Resiko kedatangan tamu tak terduga terasa lebih besar dan tidak menyediakan penjelasan bagi yang heran; apa yang kami lakukan berduaan di rumah itu. Kusampaikan pada Husna, bahwa aku sudah hendak pulang.

Husna memanyunkan bibirnya setelah kuberitahu.

“Masak adek ditinggal sendirian..” katanya merajuk.

“Lha kan dulu-dulu kalo jaga rumah di sini adek memang selalu sendirian, kan?” kataku tersenyum.

“Itu beda.. sekarang adek sudah punya pacar, sudah ada kak Nanta. Ananta Pancaroba, si calon guru Fisika. Jadi mestinya ga sendirian lagi dong.. Ish..”

“Masih ada kali lain, kan dek.. Kakak khawatir ada orang datang. Kan lebih baik mencadangkan waktu ketimbang mepet trus kedapatan..” kataku menghampirinya, memeluk kepalanya.

“Huuu.. dasar kak Nanta cagur, paling bisa bikin penjelasan..” katanya sambil mendongak, meminta bibirnya dilumat.

Kami sedang duduk di ruang tengah. Aku di sofa, Husna di lantai di dekat kakiku. Kami berciuman lama, tahu akan perlu mencari waktu lagi untuk kesempatan seperti itu.

Seperti biasa, saat berciuman, tidak nyaman rasanya tanpa meremas “sesuatu”. Tanganku kemudian menyusup melalui tepi atas kerah tanktopnya. Posisi duduk Husna yang lebih rendah memudahkan tanganku mencapai gundukan payudaranya.

“Mmmmmhh.. Mmhhh.. Ahhhh..” Husna sulit menahan desah jika tanganku sudah bermain di dadanya.

“Kak Nanta pulang dulu ya, dek..” kutarik ciumanku ke jidatnya. Husna terpejam menikmati.

Aku lalu berdiri, Husna tetap bergeming. Sepertinya dia tidak mau mengantarku ke depan. Jadi aku hanya tersenyum, menoleh sebentar padanya, lalu melangkah keluar. Kupanaskan mesin motorku, masih di teras depan rumah.

Saat sudah dalam posisi siap berangkat, dari atas motor aku menoleh ke arah rumah. Di jendela kecil dekat pintu samping yang kulewati tadi, Husna menatapku. Dia tersenyum manis, lalu memeletkan lidah. Bibirnya mengerucut, memberiku ciuman jauh.

Bentuk bibirnya yang mungil namun tidak terlalu tipis, selalu membuatku gemas. Gerak ciuman barusan membuatku bimbang sejenak.

Akh, persetan. Aku ingin satu babak lagi. Kumatikan motorku, lalu setengah berlari, kembali memasuki rumah itu. Rumah bisu yang berbaik hati menjadi surga semalamku.

Husna membelalak heran melihatku membuka pintu.

“Kenapa, kak? Ada yang ketinggalan?” tanyanya, tetap berdiri di depan jendela.

“Iya, ini. Mmmmmmhhh..” kuterkam mungil bibirnya, memagutnya dengan buas. Husna membalasnya tidak kalah ganas.

Kami berciuman dalam posisi berdiri. Kusingkap tanktop hitam yang dikenakannya sejak sarapan tadi. Tanganku berputar ke belakang, melepas kait bra, lalu menmbaliknya ke atas.

Menyembullah dua bukit indah payudaranya. Bercak merah samar menghiasi di beberapa titik, bekas cumbuanku semalam. Kuturunkan wajahku, menekuk lutut, mencucup puting susunya bergantian.

“Ahhhhh.. kak, kenapa jadi pengen lagi? Aaaaahh..” Husna mendesah sambil memeluk leherku, menarik dan membenamkan wajahku lebih dalam ke buah dadanya.

Aku tidak kuasa menjawab. Kepalaku berdenging penuh hasrat. Kutarik celana pendek Husna, terlepas dari bulat pinggulnya. Sekali lagi kutarik juga celana dalamnya hingga lepas, jatuh melingkari pergelangan kakinya.

Kuloloskan kedua celanaku dengan tergesa. Dalam satu hentakan, batang penisku langsung terbebas, terhunus, mengacung di perut Husna.

Aku tahu, Husna saat ini sudah basah. Hisapan-hisapanku di puting susunya sangat membantu mengencerkan pelumas alami di liang vaginanya.

Lalu kuangkat sebelah pahanya, melingkar di pinggangku. Dalam posisi berdiri, kucoba melakukan penetrasi. Husna beringsut menyesuaikan diri. Ternyata dia pun sudah tak sabar ingin kumasuki.

Beberapa percobaan kulakukan, tidak berhasil juga. Lalu kuingat sesuatu. Sesuatu yang kudapat dulu dari sebuah film dewasa yang kutonton saat SMA.

Dengan cepat kuputar tubuh Husna hingga membelakangiku. Kini Husna berdiri menghadap jendela. Tangannya refleks menangkap kisi-kisi jendela, seperti bergantungan di sana.

Kusejajarkan posisi penisku ke bawah pantatnya. Sulit menemukan lubang vagina wanita jika dia berdiri tegak seperti pria, ternyata. Film semi-porn tidak sepenuhnya benar dalam hal ini, hihi..

Kutekan lembut punggung Husna, agar dia sedikit membungkuk. Posisi baru ini membuat pantatnya sedikit mencuat ke atas. Belahan vaginanya nampak jelas dari belakang.

“Kak, mau apa..” Husna menolehkan kepalanya.

“Sabar, dek, kakak mau lagi..” kataku kalem.

Husna kembali membelakangiku, menunggu. Badannya setengah membungkuk, tangannya memegang ambang bawah jendela. Kuarahkan kepala batang kejantananku, membelah vaginanya..

“Aaaahh.. kering lagi, kak..” Husna merintih, vaginanya tidak sebasah tadi, ternyata.

Dengan tangan, kugerak-gerakkan penisku menggerus belahan kemaluan Husna, kugesekkan naik turun searah celah sempitnya. Perlahan cairan pelumas alami mulai menyebar, membasahi relung vagina Husna, juga kepala penisku.

Kurasakan penisku melesak sendiri menembus jepitan bibir luar vagina Husna.

“Aaaaahhh.. kak.. Aaaaaaaaaahhh.. Ooouuuhh..” Husna merintih lagi, kali ini lebih merdu, haha..

Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan lembut. Pada setiap gerakan maju, penisku masuk lebih dalam dari sebelumnya.

Amboi, suhu sekalian, posisi menusuk dari belakang ternyata berjuta rasanya. Posisi kaki wanita yang berdiri tidak terlalu mengangkang membuat jepitannya lebih grip. Belahan vagina yang terekspose sepenuhnya membuat penis menghujam jauh lebih dalam, seperti masuk seluruhnya. Belum lagi sensasi bulatan pantat yang kenyal memijat paha dan perut si lelaki, memantul-mantul dengan empuk.

Kupompa perlahan liang senggama Husna. Husna mengerang dan menjerit bergantian. Badannya terpuruk semakin turun, tidak kuat menahan kenikmatan di area bawah tubuhnya.

“Ooouuhhhhh.. dalam sekali, kak.. Aaaaaaahhh..” jerit Husna berkali-kali.

Posisi badannya yang semakin merunduk, bertumpu di jendela membuat vaginanya semakin mudah kuakses. Kutingkatkan kecepatan dan kekerasan hujaman penisku pada setiap kali sodokan.

Tubuh Husna beriak bergetar menyambut tusukan demi tusukan yang kulancarkan.

“Aaaaaaahh.. Oouuuuhhhh.. Kak, terus, kak, lebih dalam.. Aaaaahhh..” Husna tidak lagi malu meminta.

Desahan wanita selalu membuat pria lebih bersemangat memompa, bukan, suhu sekalian? Itulah mengapa aspek GFE termasuk hal yang diperhatikan dalam memilih WP. Mereka yang nilai GFE-nya tinggi biasanya mendesahnya asyik, hihi..

Suara Husna yang terus mengerang dan mendesah membuatku semakin menggila. Kuraih buah dadanya yang menggantung dengan kedua belah tangan. Husna sedikit menegakkan badan, menyerahkan susunya untuk kuremas-remas. Tangan kanannya terulur ke belakang, mencoba memegang pinggulku, menarikku agar terus menusuk lebih dalam.

“Terus, kak.. Ooouuhhhh.. adek hampir sampai.. Aaaaaahhh..”

Kurasakan orgasme-ku juga sudah di ambang jalan. Sedikit lagi laharku menyembur. Kupercepat gerakanku, kuperdalam sodokanku. Lalu..

“Aaaaaahhh.. dek, kakak keluar.. Aaaaaaaahhhh..” seruku tertahan, seolah berbicara lewat hidung.

“Jangan stop, kak.. terus.. Oooouuhhhhh.. Sssssshhh… Ooouuhhh..” Husna mendesak. Tangan kanannya menarik-dorong pinggulku, memintaku tidak memperlambat ritme.

Meski sudah ejakulasi, kecepatan gerakku tidak kuturunkan. Kurasakan basah vagina Husna sampai membanjir, meleleh turun menyusuri pahanya. Itu cairan kami berdua. Terus kusodok dengan kecepatan tinggi.

“Ooouuuhhh.. iya, kak, begitu.. adek sedikit lagi.. Ooouuhhh..”

Lalu tubuhnya menegang. Tangan yang tadinya meremas pinggangku kini mencengkeram erat. Buku jarinya memutih di ambang jendela. Husna sedang orgasme dengan hebatnya.

“Aaaaaaahhh.. kak Nanta.. Ahhhhh..” desahnya meredakan engah.

Kupeluk tubuhnya dari belakang. Husna berdiri tegak, penisku terlepas dari liangnya. Husna bersandar ke depan, di jendela. Tanganku menahan tubuhnya, menangkup dada.

Perlahan nafas dan detak jantung kami pulih. Setengah terengah kami merapikan pakaian.

“Kak Nanta pulang, gih.. adek mau bobo sampe sore.. hihi..” kata Husna tiba-tiba, mendorongku keluar dari pintu.

Aku tertawa, melangkah keluar. Kunyalakan mesin motorku, lalu mengarah pulang.

***

Pukul 11 malam. Aku terbangun di pos ronda. Sebuah sms menggetarkan ponselku.

adek baru bangun nih.. capek kak..

Sedang kuketik balasan saat pesan berikutnya masuk lagi,

tapi enak, mau lagi.. luv u, kak Nanta lale..

Aku tersenyum, sms nya tidak jadi kubalas. Kukantungi kembali ponselku, lalu kembali rebah. Sekali tidak ikut patroli ronda tidak mengapa, lah ya.. Haha..

Lalu sebelum lena menutup terangku, sebuah kesadaran lain menimpaku; aku tidak pernah benar-benar mengatakan "cinta" pada Husna.

Tidak bahkan dalam balasan pesan singkat.


Update 7

***

Husna bercerita, bahwa lelah fisik menderanya selama empat hari, sejak kami menghabiskan malam dan pagi bersama di rumah kak Hajrah. Kantuk mengganggunya di sekolah. Rasa pegal menggantung panjang di keempat tungkainya, seperti bayangan senja. Tetapi yang paling mengganggu – katanya – adalah meningkatnya rasa peka pada organ kewanitaannya.

Sedikit gesekan saja pada paha bagian dalamnya – lanjut Husna bercerita – dapat membuatnya tanpa sadar mendesah. Berlari saat berolahraga membuat selangkangannya basah! Haha..

Aku tidak tahu, apakah memang demikian yang dialami umumnya remaja belia setelah mengalami wisata birahi yang intens dalam semalam. Ataukah ini hanya terjadi pada gadisku seorang.

Sejak pergumulan panjang kami di rumah kak Hajrah, Husna secara rutin mengirimiku pesan gambar via MMS. Isi pesannya selalu membuatku dumba’-dumba’ gleter.

Dumba’-dumba’ gleter kurang lebih berarti mengalami debar jantung yang tidak keruan, tanpa penjelasan.

Betapa tidak, keesokan hari setelah hari itu, dikirimkannya gambar payudaranya, dengan caption “Lebam-lebam nih, bekas cupang kakak...”

Pada malam harinya, giliran gambar pahanya sebelah dalam. “Lecet nih.. Kak Nanta lale sih..”

Demikian terus menerus selama beberapa hari, seperti melaporkan perkembangan. Bahkan sekali waktu dikirimkannya gambar vaginanya, hanya ditutupi dua jari. “Kalo ini minta lagi, Kak Nanta harus siaga, ya..”

Pesan-pesan dan gambar-gambar itu membuatku nyaris gila. Gadisku sedang dalam masa bahagia dimabuk cinta. Dia tiba pada usia eksplorasi diri, bertepatan dengan narsisme remaja, serta percobaan exhibisi. Tak bisa kubayangkan apabila masa itu gadget dan transmisi sudah secanggih saat ini. Husna patut bersyukur, belum ada media sosial pada saat itu, sehingga kebodohan remajanya hanya menjadi miliknya sendiri, hihi..

Tetapi padatnya kegiatan kuliah dan sekolah membuat kami berdua sulit mencari waktu berduaan. Kami tidak pernah lagi mendapat kesempatan setelah malam di rumah kak Hajrah. Kesibukan kami datang bergantian, kadang berbarengan. Demikian berlangsung selama hampir dua bulan. Saat itu sudah mendekati masa ujian sekolah Husna untuk naik kelas tiga. Sementara aku memasuki masa praktik peer teaching.

Demikian seterusnya hingga Husna naik ke kelas tiga. Kemudian pelajaran baru kami datang…

***

Aku sedang berdiri di kelas micro teaching saat seorang teman masuk menghampiri dan berbisik,

“Nan, ada yang nyari tuh.. nangis-nangis, haha..” katanya meledek. Kuintip sebentar keluar, terkejut ketika melihat Husna berdiri dengan raut bingung di tepi trotoar.

Aku pamit permisi kepada dosen pengawas, dengan sopan kujelaskan sebuah alasan yang kukarang sekenanya, agar giliran mengajarku diundur. Sesuatu tentang adik sepupu dan kabar duka. Aku setengah berlari keluar, menghampiri Husna. Demi melihatku berderap ke arahnya, embun di sudut matanya mengembang tumpah..

Husna terisak menutup wajah. Kutarik tangannya menuju sebuah taman melingkar di samping tempat parkir. Pada sore hari seperti ini, area parkir sudah sepi. Pemilik kendaraan lebih senang memarkir kendaraan di depan gedung dekanat agar lebih mudah diawasi. Pencurian part kendaraan sering terjadi di sini.

“Adek, kenapa? Kok bisa sampai ke sini?” tanyaku perlahan, duduk di sampingnya.

“Takut, kak..” ucapnya terbata di sela tangis. Tidak perlu kugambarkan suara isak tangisnya, tidak ada estetika di sana.

Aku terdiam, tidak bertanya lagi. Separuh benakku menduga-duga. Separuh lagi terdiam hanya karena enggan mengejar. Pergaulan mengajarkanku bahwa percuma mencecar jawaban dari seorang wanita yang menangis. Lebih baik menunggu tangisnya mereda, lalu biarkan dia mulai bercerita.

Husna butuh waktu lama sampai tenang dan guncangan bahunya mereda.

“Kak, adek sudah sejak pagi muntah-muntah..” dia memulai cerita.

“Harusnya tanggal ini adek sudah haid, tapi belum ada juga. Adek takut, kak..” lanjutnya, tangisnya pecah kembali.

Dugaan benak kecilku benar. Ini yang kubayangkan semula, saat pertama melihat Husna berdiri dengan raut bingungnya. Pikiranku yang terbiasa mengatur masalah langsung bekerja. Beberapa nama yang dapat kuhubungi dan kuminta bantuannya mulai bermunculan di kepalaku. Solusinya begitu jelas. Lalu pelan, kurangkul bahunya,

“Tidak ada gunanya menduga-duga, kita pastikan saja ya, dek..”

“Kakak antar pulang sekarang, di perjalanan kakak singgah beli alat test, nant..” lanjutku.

“Gimana kalo iya, kak?” Husna memotong perkataanku.

“Kita urus nanti.” aku memungkas tegas.

Kuajak dia pulang. Seperti kataku tadi, aku singgah di sebuah apotik yang terletak di belakang sebuah rumah sakit. Rumah sakit ini terbilang tertua di kotaku. Apotik yang kutuju adalah rekomendasi teman-teman kampusku. Tidak tepat dikatakan rekomendasi, sebenarnya. Hanya mendengar cerita mereka, mengenai beberapa apotik yang tidak terlalu ketat dalam menjual beberapa “produk”. Test pack generik, cytotec, gastrul, genekosid dan varian lain misoprostol dapat dibeli di sini. Demikian pula dengan alat kontrasepsi. Menemukan barang-barang demikian saat itu terbilang sulit, lho, suhu sekalian..

Kuturunkan Husna beberapa meter dari gerbang kompleks, di tempat biasa. Kuselipkan test pack di genggamannya. Aku tidak bisa menjelaskan apa-apa, kami sama-sama tidak paham cara pakainya. Setidaknya Husna bisa membaca petunjuk pada kemasannya.

Kutinggalkan Husna di sana, kupacu motorku pulang, memikirkan percabangan rencana.

***

Husna meneleponku pagi-pagi sekali.

“Kak.. Adek kayaknya cuma masuk angin, kemarin..” katanya serak.

“Kenapa? Hasilnya cuma 1 strip yah? Dicoba lagi besok, biar yakin..” jawabku.

“Adek ga sempat test, semalam sudah mulai haid..”

Perlahan darah merayapi wajahku, meronakan romanku yang pucat semalaman. Duh, leganya..

Kami melanjutkan obrolan dengan ringan. Hari itu Husna tidak masuk sekolah, alasannya karena nyeri datang bulan. Padahal mungkin sebenarnya dia hanya malu dilihat orang dengan mata sembab hasil menangis seharian.

Kami sama-sama berjanji lebih berhati-hati saat bercinta, bukannya berjanji tidak lagi melakukannya. Haha, dasar remaja..

Kata-kata terakhir Husna saat hendak mengakhiri obrolan-lah yang menjejali pikiranku semalaman setelahnya. Katanya,

“Tapi jadinya kak Nanta mesti kerja keras, dong ya..”

“Ng? Maksudnya?”

“Kak Nanta ga boleh lagi “sampai” duluan. Soalnya kak Nanta kalo “duluan” pasti buangnya di dalam, kan, hihi..”

Benar juga yah..

***

Husna jadi lebih sering main ke kampusku. Terlebih saat itu, tahun ketiga dia di SMA, Husna mengikuti bimbingan belajar intensif di sebuah lembaga bimbel yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampusku. Menjelang akhir semester, lembaga ini bahkan sering menggelar event “nightmare.” Sebuah kegiatan malam minggu, di mana peserta bimbingan mengikuti pembelajaran sampai larut malam, kemudian menginap hingga dini hari.

Kami jadi sering mencuri waktu berduaan di kampus. Dia membolos nightmare, tentunya. Aku sudah sangat mengenal spot dan waktu yang ideal untuk berpacaran di lingkungan fakultasku. Apabila hendak bercengkerama mendengarkan musik, kami dapat duduk-duduk di pelataran depan perpustakaan, tempat divisi musik UKM Seni menggelar latihan. Atau di deretan kantin, jika hendak menikmati kudapan murah meriah. Kami juga bisa duduk-duduk di baruga fakultas sebelah, jika ingin melihat rekan sastra berdeklamasi, atau peragaan teman-teman seni tari. Tetapi tempat favorit kami adalah tempat yang tidak biasa.

Aku aktif sebagai pengurus di sebuah lembaga kemahasiswaan tingkat fakultas. Tugasku sebagai unit umum memberiku akses kepada pengelolaan inventaris, termasuk ruang sekretariat. Sekretariat LK ini ditempatkan di lantai tiga sebuah gedung berbentuk L, tepat di sudutnya.

Akibat seringnya terjadi bentrokan mahasiswa di fakultas sebelah, dekanat memutuskan menambah keamanan pada gedung ini, dengan memasang pagar besi di ujung setiap tangga. Terdapat dua pagar besi di setiap perbatasan lantai, dari lantai satu sampai lantai tiga.

Pada malam hari, pihak keamanan kampus akan mengunci pagar terbawah. Mahasiswa yang sudah melaporkan diri tinggal berjaga di sekretariat akan diijinkan untuk bermalam, tetapi tidak dapat keluar lagi setelah pagar paling bawah dikunci.

Husna sering sekali kuselundupkan pada sore hari ke sekretariatku, tepat sebelum para satpam mengunci pagar terbawah. Jika beruntung, Husna dan aku akan menghabiskan semalaman bergelut di dinginnya lantai sekretariat yang hanya berlapis karpet. Bercinta baginya, bagiku melatih stamina. Kami lalu bersenggama semalaman, dengan semua gaya yang kami bisa pikirkan.

Jika tidak beruntung, terkadang kami tidak hanya berdua. Ada teman lain yang ikut menginap bersama. Kalau sudah begitu, kami gunakan tempat kedua...

***

“Oouuuhhhhh.. Kak.. Aaahhhhh.. terussssssss..hhhh.. Aaahhhh..” Husna tidak sanggup lagi menahan rintihannya.

Tubuh telanjangnya yang indah sebagian terlindungi sinar lampu oleh lengkungan tepi tangga di atas kami. Pakaiannya teronggok berantakan di bawah kami. Kerudung, dalaman hingga kaos kaki.

Teman-temanku di atas, di sekretariat mungkin mendengarnya. Tetapi persetan, toh mereka tahu aku dan Husna melakukan ini hampir setiap waktu. Setiap kali Husna datang ke kampus sore hari untuk menemuiku.

Hari ini kami tidak beruntung. Sekretariat sedang ramai. Tetapi birahi harus dipenuhi. Itu hasrat tertinggi yang sifatnya manusiawi, pemenuhannya bersifat surgawi.

Husna berdiri bersandar di dinding, kakinya terangkat sebelah, berpijak di rail besi penahan tangga. Aku berdiri di hadapannya, memompa vaginanya yang lebar terkuak. Tanganku menggenggam buah pantatnya, menarik berirama, sesuai hantaman batangku yang tegak berkilat, basah oleh cairan vagina Husna.

“Oooouuhhh.. Aaaaaahhh..” terdengar lirih berulang, setiap kali kutekan tusukanku dalam-dalam.

Kami bercinta dengan berdiri di selasar tangga. Sebuah area persegi di tikungan tangga lantai dua menuju lantai tiga. Aku memegang kunci semua pagar besi yang ada di gedung ini, kecuali pagar terbawah dan kunci ruang kuliah. Kunci pagar di lantai dasar dan kunci ruangan hanya boleh dipegang security.

Pada titik ini, kami tidak terlihat dari lantai bawah, tidak juga dari atas. Pagar besi di ujung atas tangga kukunci, memenjarakan teman-temanku di lantai tiga. Mereka – mungkin – hanya mendengar suara kami, tapi tidak bisa melihatnya. Pilihanku bukan di balkon lantai dua, sebab dapat terlihat dari bangunan lain. Ruang kuliah yang terkunci juga bukan pilihan. Di tempat ini, gaya kami terbatas pada berdiri berhadapan, doggy style atau duduk saling pangku, varian lain dari woman on top.

Dengan ritme teratur, kugenjot terus vagina Husna. Sekali sodokan dalam, beberapa kali tusukan ringan, kupadukan dengan gerak pantat memutar, mengubek-ubek liangnya yang licin dan terasa memilin. Husna menggigit bibirnya dan mendesis setiap kali kulakukan tusukan ringan perlahan.

“Sssssshhhhhh.. Mmmmmhh.. Aaaahhh.. Enak, kak.. lagi.. lagi.. Hhhhmmm..”

Aku belajar dari permainan-permainan kami belakangan ini, bahwa untuk memberikan orgasme pada pasangan wanita, terlebih dulu kesampingkan keinginan untuk cepat menuntaskan permainan. Kendalikan ritme gerakan. Memang nikmat yang dirasakan wanita jika kita menghantam memeknya dengan keras dan dalam, tetapi tusukan pelan beberapa kali dengan diselingi satu atau dua kali hujaman penuh akan mengulur waktu menjadi lebih lama. Untuk mengantarkan wanita orgasme lebih dulu, teman terbaik kita adalah waktu.

Aku selalu berusaha membuat Husna orgasme beberapa kali lebih dulu sebelum menuntaskan ejakulasiku. Hal ini membuatku selalu bisa “menarik diri” tepat waktu. Menghindarkan kami dari kemungkinan terjadinya fertilisasi internal. Seperti kali ini, sudah kubuat Husna orgasme empat kali.

“Aaaaaaahhh.. Oooouuhhh.. Kak.. Adek hampir... Aaaaahhh..” Husna mencengkeram sebelah tanganku yang masih menangkup mangkuk pantatnya. Kutundukkan wajahku, menghisap dalam puting susunya bergantian, sebelah menyebelah. Kunaikkan tempo gerakan. Kuhisap kuncup bukitnya dalam-dalam, kugigit-gigit ringan.

“Mmmmmhhh.. Aaaaaaahhh.. Ouuuuhhhh.. Kakk.. terus, kak.. begitu.. Ooouuhhh..”

Kurasakan vagina Husna berdenyut, tubuhnya berguncang hebat, kakinya mengejang. Gigitanku di puting susunya memang selalu membantu menambah nikmat sensasi yang Husna rasakan. Kepalanya terangkat ke belakang, tubuhnya melengkung indah, lalu kaku kemudian..

“Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Aaaaaaaaahhhhh.. Mmmmmmmmhhhhh.. Aaaaaaahh..” desah panjang Husna menandakan dia tiba pada ujung pendakian, puncak tertinggi kenikmatan.

Setiap kali Husna mencapai orgasme pertama, orgasmenya yang kedua dan seterusnya jadi lebih cepat. Ini mungkin karena orgasme pertama membuat sel syaraf sensori di area klitoral dan vaginalnya menjadi lebih peka. Husna mungkin merasa aku yang perkasa, tetapi sebenarnya dia yang mudah orgasmenya, haha..

Tubuhnya perlahan melemas, nafasnya memberat, kakinya melemas seperti tidak bertulang. Kubalikkan badannya membelakangiku, menghadap void tangga. Husna bertopang pada rail tangga dengan dada. Tangannya terentang ke samping, menggenggam besi penahan itu di samping badannya.

Tubuh Husna membungkuk menyesuaikan diri, dia tahu maksudku. Perlahan kuarahkan batang penisku ke gundukan daging terbelah yang indah nan basah, yang menyembul di bawah pantatnya. Sensasi nikmat saat vagina sempit terbelah, selalu membuatku tak sadar memejamkan mata.

Penisku kembali ke dalam jalur pacunya. Kini saatnya bermain keras. Kekasihku sudah mendapat beberapa kali orgasmenya, kini giliranku. Kugoyangkan pantatku maju dengan penuh, menusuk dalam hingga terasa membentur dinding rahimnya yang terjauh..

“Ooouuhhh.. Kak... aaaaaaahh..”

Kutarik cepat lalu kusodokkan kembali. Kulakukan terus dengan ritme cepat, Husna benar-benar menikmati. Tanganku terjulur ke depan, meremas susunya dengan keras. Ibu jari dan telunjukku bergerak memilin puting susunya, memutar-mutar, mencubit dan menarik sesuka hati. Husna selalu suka putingnya dimainkan saat bersetubuh.

Gerakan kami semakin liar. Husna pun menggerakkan pantatnya maju mundur, menyambut goyangan pinggulku, sodokan demi sodokan.


Suara tepukan pantatnya dengan bagian depan tubuhku terdengar nyaring, ditingkahi desisan, erangan dan jeritan Husna yang berusaha diredamnya. Kami bergerak selaras, seperti berdansa dengan gerak kontemporer senggama, diiringi musik ritmis monoton serta lirik berupa rintihan dari bibir Husna.

Lalu setelah ratusan kali sodokan kuat dan dalam, kurasakan sensasi tak asing, saat cairan panas nan kental hendak keluar dari ujung penisku.

“Aaaaaahhh.. dek, kakak samp.. aaaaahhh..” kutarik penisku pada saat yang tepat, sesaat kemudian, pejuku menyembur menyirami belahan pantat Husna, melintasi punggung hingga ke tengkuknya.

Kami terengah mengatur nafas, belum sanggup mengubah posisi. Kelelahan seketika mendera tubuhku. Pendakian kenikmatan memang dapat menyembunyikan rasa lelah persetubuhan, tetapi orgasme membuat rasa lelahnya terasa berkali lipat lebih berat kemudian.

Aku dan Husna membersihkan diri dengan tissue yang sebelumnya selalu kusiapkan. Berpakaian, lalu membuka kunci pagar, menyelinap kembali ke sekretariat. Kami mengendap-endap di sela tubuh teman-temanku yang – kelihatannya – lelap tertidur di lantai ruangan. Husna selalu diterima di sini, dan dibolehkan tidur di ruang perpustakaan sekretariat.

Husna mengunci pintu di dalam, aku merebahkan diri di samping teman-temanku di luar. Aku hampir tertidur saat ada – entah siapa – yang berbisik perlahan, “Nyamanna tawwah..” diikuti dengus dan cekikikan tawa kecil teredam teman-temanku. Mereka ternyata mendengarkan..


 Update 8

***

Bapakku adalah seorang lulusan pesantren terkenal di pulau Jawa. Beliau bekerja sebagai PNS di instansi pemerintahan kota Makassar. Seperti pada umumnya pesantren jaman dulu, tempat Bapak menimba ilmu agama juga mempunyai perguruan bela diri. Bapak adalah pendekar silat yang piawai, dan latihan keras yang pernah beliau alami diturunkannya kepada kami, aku dan kakak-kakakku.

Aku putra bungsu dari tiga bersaudara, semuanya pria. Kedua saudaraku sudah berkeluarga. Dibandingkan kedua kakakku, aku tumbuh dengan fisik yang tidak besar, sedang-sedang saja. Tetapi Bapak memperlakukan kami sama. Latihan fisik yang kami terima sama beratnya sejak belia.

Kedua kakakku aktif di ikatan pencak silat tingkat pemda. Kakakku tertua, Daeng Rosi, termasuk salah satu dewan pembina di tingkat kota, sedangkan Daeng Iga – kakakku nomor dua – adalah pelatih di tingkat provinsi. Adapun aku hanya aktif dalam latihan di perguruan lokal di kotaku.

Ijinkan aku bercerita tentang kakakku yang kedua, Daeng Iga.

Bauk Dirga Sinapati, dilahirkan enam tahun lebih dulu daripadaku. Wajahnya rupawan, perawakannya semampai dengan rahang persegi yang digandrungi gadis-gadis. Dia jago hampir di semua cabang olahraga. Sepakbola, bulu tangkis, takraw, tenis meja, sebut saja.

Tetapi yang aku hendak ceritakan adalah betapa mudahnya dia menaklukkan wanita-wanita cantik di sekitarnya. Aku menjadi saksi bagaimana gadis yang dia pacari terus berganti – atau bertambah – hanya dalam hitungan hari. Ya, kakakku ini seorang playboy, sampai suatu saat sikapnya itu berhenti ketika bertemu dengan seorang wanita bernama Shinta, yang kini menjadi istrinya.

Kakakku pernah bercerita, bahwa tidak semua gadis yang didekatinya bersedia jalan dengannya. Ada yang menolak karena tahu akan diduakan, ada juga yang risih karena segan pada wibawa Bapakku, tokoh kecamatan yang sangat disegani.

Di antaranya, yang paling membuat Daeng Iga penasaran adalah seorang gadis bernama Andi Liliana. Seorang gadis cantik yang empat tahun lebih muda dari kakakku itu. Berkali-kali didekati dan digoda, tidak membuat gadis itu mau jadi pacarnya. Andi Liliana tinggal di kompleks sebelah, tetapi banyak bergaul di kompleks tempat tinggalku, karena senang mengikuti kegiatan pengajian yang rutin diadakan di situ.

Andi Liliana biasa disapa dengan Lily.

Iya, suhu sekalian, dialah partner belajarku yang kedua. Gadis yang dulunya diincar oleh kakakku, Daeng Iga. Gadis cantik yang dariku dua tahun lebih tua..

***

Setiap pria punya kriteria fisik ideal wanita. Ada juga pria yang punya fetish (google pls) sekaitan dengan kecenderungan seksualnya. Aku tidak terkecuali.

Fantasiku tentang wanita seksi selalu melibatkan wanita dengan warna kulit sawo matang. Wanita dengan warna kulit keemasan selalu membuatku mudah teransang. Ukuran payudara sedang juga selalu mengisi angan-anganku. Entah mengapa, payudara yang terlalu besar tidak terlalu menggugah hasrat kelelakianku. Khayalan jorokku juga selalu diisi dengan wanita dengan lekukan, bukan wanita langsing a la model yang justru digandrungi pria-pria kebanyakan. Singkatnya, aku tergila-gila dengan wanita dengan ciri-ciri latina, tetapi minus payudara raksasa., haha..

Lily adalah sebuah antitesa dari wanita dalam khayalanku. Bentuk fisiknya sama sekali berbeda dengan bayanganku tentang wanita sexy. Tubuh langsing Lily lebih tinggi dariku beberapa centi. Kulitnya putih lembut, seperti transparan di beberapa tempat. Matanya bulat cerdas, dengan bingkai bulu mata yang lentik. Payudaranya bulat besar membusung, sulit disembunyikan oleh kerudung. Lily sering menjadi gunjingan pemuda-pemuda di dua kompleks kami. Tidak heran, kakakku yang playboy pernah menjadikannya incaran, walaupun gagal.

Lily sedang menjalani studi tingkat akhir di sebuah universitas negeri ternama di Makassar. Sikapnya dewasa, matang dan mandiri. Dia aktif di sebuah lembaga kemanusiaan yang salah satu kegiatannya adalah memberi santunan dan pembelajaran gratis pada tunawisma dan anak jalanan.

***

Suatu ketika, LK ku menerima sebuah surat dari suatu lembaga. Isinya adalah permintaan sukarelawan untuk mengisi kelas gratis pada anak-anak jalanan yang tersebar di Kota Makassar. Kegiatan ini diharapkan berkesinambungan dan menjadi kerjasama tetap antara kedua lembaga.

Aku termasuk dalam tim yang ditugaskan dalam kegiatan itu. Studi yang kutempuh memang ilmu sains keguruan, sehingga sesuai dengan tujuan kegiatan. Sudah dapat suhu sekalian duga, lembaga yang mengundang kami adalah lembaga yang di dalamnya Lily menjadi anggota.

Pada kegiatan inilah aku mengenal Lily lebih dekat. Dulu yang kutahu hanya nama dan wajahnya, kini aku mulai mengenalnya lebih dari itu saja. Dulu kusebut dia sebagai odo’-odo’na Daeng Iga, dan dia mengenalku hanya sebagai adik dari pria yang pernah mengincarnya. Sekarang, kami sudah saling mengenal nama.

Kami banyak berdiskusi di luar kegiatan. Tentang lingkungan, hobby dan selera musik. Banyaknya teman yang kami kenal bersama di luar lembaga, membuat kami sering terlibat percakapan berdua. Pertemanan kami di lingkungan tempat tinggal juga membuat kami berdua menjadi lebih akrab di tengah teman-teman anggota lainnya. Kami sering makan berdua atau mendengar musik bersama sambil mengisi kesenggangan di antara kegiatan.

Jika tidak bertemu, kami jadi lebih sering bertukar kabar lewat SMS atau telepon. Komunikasi kami menjadi lebih intens, bersamaan dengan semakin jarangnya kebersamaanku dengan Husna.

Ya, kesibukan kuliah, mengajar kelas micro, kegiatan eksternal dan keaktifanku di padepokan mengalihkanku dari Husna. Kami menjadi jarang bertemu. Saat sedang berduaan pun, rasa hambar mulai terasa. Kadang-kadang kami tetap sengaja mencari tempat untuk menunaikan hasrat. Biasanya pilihan kami jatuh ke pondokan sempit nan murah yang tersebar di sebuah pantai terkenal di kotaku.

Sesekali Husna datang menemuiku di padepokan. Terutama karena pada saat itu aku mulai jarang menginap di kampus. Menunggu aku selesai latihan untuk sekedar mengobrol, seperti sedang menggugurkan kewajiban. Semua teman seperguruan sudah kukenalkan padanya. Pada saat itulah Husna bertemu dengan Raja, seorang teman seperguruanku asal Sumatera. Aku sendiri yang mengenalkan mereka berdua.

Banyak detail terjadi dalam rentang satu bulan sejak Husna dan Raja kukenalkan. Tetapi intinya, hubunganku dengan Husna mencapai titik jenuh, berbanding terbalik dengan keintiman antara Husna dengan Raja, serta keakrabanku dengan Lily.

Teman-temanku seperguruan mulai sering menggunjingkan Husna, bagaimana mereka menyaksikan Raja sering menerima SMS atau telepon dari Husna. Entah mengapa, tidak kurasakan apa-apa tentang itu. Tidak iri, tidak juga cemburu. Puncaknya terjadi ketika dengan mata kepala sendiri, kulihat mereka berdua di sebuah lokasi wisata, pantai Tanjung Bunga. Mereka tidak tahu aku – juga Lily – ada di sana, sedang membawa anak-anak tunawisma berekreasi.

Aku tidak keberatan dengan hubungan mereka berdua. Hanya menyesalkan, sebab Husna tidak langsung berterus-terang. Aku mulai bersikap dingin saat bertemu dengannya, tetapi juga tidak mengkonfrontasi tentang apa yang kudengar dan sudah kusaksikan sendiri. Husna mulai merasakan perubahanku, tetapi terlalu takut untuk mulai membalasnya.

Sikapku kepada Raja tidak berubah. Kami tetap bergaul dan latihan seperti biasanya. Pada dasarnya aku sudah merelakan apapun yang terjadi di antara mereka. Raja dan Husna sepertinya menyadari hal ini, sehingga mereka mulai sedikit terbuka.

Antiklimaks hubunganku dengan Husna terjadi pada sebuah turnamen pencak silat antar-perguruan tingkat kota. Saat itu aku dan Raja serta beberapa teman yang lain ikut sebagai peserta.

Husna datang pada hari kedua, hari di mana Raja dijadwalkan bertanding. Kali itu Husna tidak menghampiriku seperti biasa, melainkan langsung duduk di samping Raja. Aku berusaha menangkap tatapan mata Husna.

Saat pandangan kami bertemu, aku tersenyum dan mengangguk kecil kepadanya. Husna membalas tersenyum, lalu melingkarkan tangannya di lengan Raja. Sudah kuberikan restuku, dan Husna memahami maksudku.

Pada hari itu aku memutuskan, tanpa sakit hati dan dendam, kututup ceritaku tentang Husna.

Tetapi hanya terpaut enam bulan setelahnya, kudapati bahwa aku keliru mengira..



Update 9

***

Aku sedang duduk mendengarkan musik lewat headset ketika Lily menghampiriku di tempat kegiatan kami. Kuangkat daguku, menyapanya dengan anggukan ke atas, tetap meneruskan keasyikanku. Lily menyapa beberapa teman, lalu duduk rapat di sampingku.

Beberapa menit - kusangka - Lily hanya duduk diam, sampai kemudian kurasakan ditariknya headset dari telingaku,

"...itu pacarmu, kan?" hanya ujung kalimat itu yang sempat kutangkap. Ternyata sedari tadi dia menanyakan sesuatu padaku.

"Hah? Yang mana?" tanyaku sedikit terkejut. Kumatikan pemutar musik di ponselku, lalu memutar pandangan, mencari orang yang - kukira - Lily maksudkan.


"Hey, aku tadi nanya. Waktu di Tanjung minggu lalu, aku lihat, kamu juga lihat, cewek yang jalan berdua sama cowok waktu itu. Itu pacarmu, kan? Anak Pak Haji?"

"Hoo.. kirain.. Iya, tepatnya mantan." kataku menggaruk-garuk kepala, nyengir.

"Mantan? Kalian putus, gitu? Hihi.. pantesan.." Lily cekikikan, membuatku heran.

"Pantesan apa?"

"Playlist kamu di HP, lagu mellow mulu.. Hihihi.. dasar ingusan.." Lily menoyor kepalaku dengan ujung jarinya.

"Eh, kata siapa playlist-ku mellow, nih, lihat.." kutunjukkan layar ponselku padanya.

Belum sempat aku bicara, Lily memotong ucapanku,

"Tuh, kan... Tak Bisa ke Lain Hati, Lara Hati, Bunga. Lagu mellow semuaa... Hahaha.." mata Lily sampai basah karena tertawa.

"Ih, ini ada lagu rock juga..." aku membela diri.

"Iya, tapi slow-rock, Salam Untuk Dia, konten-nya mellow juga... Hahaha..."

Lily memang senang menggodaku belakangan ini. Menggoda, ya, suhu sekalian, bukan merayu. Dia senang menoyor kepalaku, mencubit lengan, menarik kuping atau mencolek hidungku. Kurang lebih aku diperlakukannya seperti anak kecil di dekatnya.

Saat diperlakukan demikian, aku hanya nyengir dan menggaruk-garuk kepala. Jika sudah begitu, Lily biasanya berhenti menggangguku lalu menatapku sambil tersenyum, demikian sesaat kemudian berpaling.

Saat tawa kami mereda, Lily kemudian bertanya,

"Kamu mau cerita kenapa?" yang dimaksudnya adalah alasanku putus dari Husna.

"Biasa saja, doi ketemu cowok lain. Temanku juga. Kurasa mereka lebih cocok. Kami juga sudah mulai hilang rasa."

"Cuma begitu saja? Kamu ga mencoba mempertahankan? Kalian begitu cocok lho, aku sering dengar kan, dari teman-teman pengajian..."

"Lebih banyak masalah kalo aku coba pertahankan. Kalo Husna kutahan, artinya aku harus bicara dengan Raja, kan. Sekalipun dibahas baik-baik, sedikit banyak hubunganku dengan Raja akan jadi terusik."


"Lagipula, pun bila Husna memilihku di atas Raja, aku tetap tidak bisa menerimanya kembali. Sebab jika aku benar-benar berarti baginya, maka semestinya Raja tidak pernah ada..." lanjutku.

Suhu sekalian, jika seorang gadis mendengar ceritaku dengan versi ini saja, maka tentulah aku terlihat sebagai seorang pria berjiwa besar. Yang begitu dewasa melepaskan hubungan demi kebaikan bersama.

Padahal tentulah tidak demikian apabila kuceritakan semuanya.

Tidaklah berani aku menceritakan tentang penyebab utama - menurutku - hubungan kami jadi hambar. Tentu tak mungkin kukisahkan tentang pacaran kami yang melulu erotis, yang saking intensnya membawa kami kepada kecanggungan, saat terpaksa harus puas dengan sekadar temu-romantis.

Tidak etis pula jika aku berterus terang kepada Lily, bahwa hantaman terhadap hubungan kami - aku dan Husna - yang sudah genting itu, bukan hanya datang akibat perkenalan Husna dengan Raja, tetapi juga akibat perkenalanku dengan Lily.

Kuakui, cerita yang hanya kusampaikan sebagian ini membuat Husna di mata Lily menjadi terlihat egois. Membuat - dalam pandangan Lily - aku menjadi korban yang membuatnya merasakan simpati.

"Hoo.. Begitu toh. Aku setuju pandanganmu. Kamu ternyata ga se-ingusan itu, hihi.." Lily tertawa, kembali aku menggaruk-garuk kepala.

"Jangan suka pasang tampang bloon begitu, ih..." Lily mendorong pipiku.

"Kenapa? Kan ini aslinya, bloon.. haha.." kataku, tetap menggaruk, kepala..

"Pokoknya jangan!" Lily memasang muka galak, bertolak pinggang, berdiri.

"Nanti aku jatuh cinta..." katanya tersenyum, lalu berbalik pergi.


***

Aku dan Lily jadi semakin akrab. Sms dan telepon dari Lily menjadi salah satu sumber semangatku setiap hari. Cukup membantuku melewati semester itu, di tengah kesibukan kuliah dan tugas-tugas praktis-ku yang menguras stamina dan emosi.

Kami bertukar kabar setiap pagi, siang, sore lalu pagi lagi. Isi kabarnya tidak penting.

Jika Lily menyeberang jalan dan melihat anak kucing belang tiga, aku yang langsung tahu. Kalau aku minum kopi dan tumpah di bajuku, Lily yang mendapat update pertama. Kami seperti remaja yang baru menikmati masa pendekatan. Menikmati desir berpandangan dan duduk berdekatan tanpa - atau belum - bernafsu, lalu tersenyum sendiri malu-malu. Hal yang tidak kurasakan kepada Husna, partner belajarku yang pertama.

***

Usiaku yang lebih muda dua tahun tidak mengurangi keakrabanku dengan Lily. Terutama karena aku berbeda almamater, jadi kewajiban beramah-tamah dengan senior menjadi tidak mengikat kami. Sekedar informasi, di daerahku ini, tabe'-tabe' kepada kakak angkatan itu wajib hukumnya.

Kedekatan di lembaga kami bawa ke lingkungan kami yang mutual. Di lingkungan kompleks, kami saling mengunjungi rumah. Aku sering bertamu di rumahnya, demikian sebaliknya. Tidak bisa dipungkiri, aku mulai menaruh hati padanya. Dan terlalu naif jika kukatakan bahwa Lily tidak membalas dengan rasa yang sama.

Lily adalah anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya masih bersekolah di SMP, tetapi di kota yang berbeda bersama Ibunya. Kedua orangtua Lily tidak lagi bersama, sudah bercerai, dan sudah cukup lama. Ayah Lily adalah seorang pensiunan pegawai BUMN. Saat pensiun beberapa tahun yang lalu, beliau mendapat uang tunjangan yang cukup besar, yang kemudian dibelikannya berhektar-hektar tanah di wilayah utara Sulawesi Selatan.

Lily dan ayahnya tinggal berdua. Ayahnya sering sekali bepergian lama untuk mengurus tanah yang dijadikannya lahan perkebunan. Hal inilah yang membuat Lily - terpaksa - menjadi gadis yang mandiri.

Aku sering bertamu pada saat ayahnya sedang di rumah. Berbeda dari penampakannya yang tinggi besar dan - terlihat - murung, Pak Umar, itu namanya, ternyata sangat ramah. Pada kunjunganku pertama - waktu itu alasanku datang untuk membetulkan komputer Lily - beliau bercerita panjang tentang pengalamannya mengikuti pelatihan komputer saat awal bekerja.

Pak Umar adalah seorang pria agamis yang anti pacaran. Aku dipandangnya hanya sebagai teman putrinya, dan satu-satunya pemuda sopan yang cukup berani berkunjung dan menjadi teman ngobrolnya. Di hadapan beliau, aku menyapa Lily dengan sebutan "Kak". Tanpa pengaturan sebelumnya, Lily juga memanggilku "Dik". Kemudian aku mulai memberanikan diri berkunjung pada saat Pak Umar - kuketahui - sedang keluar daerah...

***

SMS-ku dengan Lily suatu siang,

Nant : Lagi di rumah?
Lily : Iya...
Nant : Ada niat keluar?
Lily : Mungkin, kenapa?
Nant : Ada kopikah?
Lily : Yeee.. memangnya di sini warung... :P
Nant : Hoo.. Kirain..
Lily : Kirain apa???
Nant : Kirain di situ warung... XP


Dua jam kemudian..

Lily : Hey...
Nant : Yaaaa...
Lily : Kamu d mana?
Nant : Di lapangan, lagi mo main bola
Lily : Ihhh.. kok??
Nant : Lha, kan memang sudah sore... kenapa sih???
Lily : Yaudah
Nant : Hey, ada apa sih?

Tidak ada balasan dari Lily. Kucoba menelpon, Lily tidak menjawab.

Kuputuskan untuk membatalkan latihanku pada hari itu. Kubenahi kembali sepatu dan kelengkapan latihanku, tanpa mengganti baju, aku berjalan ke rumahnya.

Lily langsung membuka pintu pada ketukanku yang pertama. Wajahnya datar, bibirnya merapat membentuk garis tipis. Matanya menatapku sinis. Jika tidak mengenalnya lebih baik, aku mungkin mengira sedang berhadapan dengan seorang pemeran antagonis, hihi...

"Hey, kehabisan pulsa? Kok nda balas?" tanyaku polos.

"Kenapa ke sini?" alih-alih menjawab, Lily malah bertanya.

"Lha itu, kamu ga balas sms-ku. Tadi kamu kenapa nyari?" kami masih berdiri berhadapan di ambang pintu.

"Ih, siapa yang nyari? Baca ulang tuh sms..." Lily sedikit mendelik. Kini kupahami, ekspresi macam ini yang dulu sering ditampakkanya pada pria-pria yang mendekatinya. Ekspresi yang membuat pria urung, lalu menyebutnya gadis jutek dan pemurung.

"Haha.. iya iya.. maksudku, tadi kenapa nanya "di mana?", ada perlu yang bisa kubantukah, itu saja..." aku tersenyum menggaruk kepala, memasang tampang paling bodoh yang kubisa.

Lily tidak menjawab, dia hanya menggeser tubuh ke samping, membuka pintu lebih lebar. Sebuah gestur menyilakan. Aku melangkah melewatinya, Lily menutup pintu di belakangku.

Aku duduk di ruang tamu, di ujung sebuah kursi panjang. Lily ikut duduk beberapa jarak dariku. Aroma wangi tercium dari tubuhnya yang terbalut terusan rumahan, cardigan, dan kerudung kaos merah maroon.

"Jadi, tadi ada apa memangnya?" aku kembali bertanya.

Lily tidak menjawab. Wajahnya masih kaku, merengut. Matanya tertuju ke depan. Menatap sebuah cangkir tertutup di atas meja. Aku jadi ikut-ikutan menatap meja, masih tidak mengerti.

Lily menghela napas, lalu memalingkan wajah, berbisik, "dasar ingusan..."

"Ng? Kamu manggil namaku?" kataku sambil tersenyum.

Gesture-nya yang barusan membuatku sadar, dia sedang ngambek padaku karena sesuatu. Aku hanya tinggal perlu mencari tahu apa gerangan itu.

"Li, kenapa sih.. adik bikin salah apa..." kataku sambil memanyunkan bibir.

Lily melemparkan bantal kursi kepadaku. Aku tidak menghindar, bantal itu mengenai wajahku. Bibirku kubuat lebih manyun lagi.

"Jangan pasang muka begitu!" Lily tampak marah, memungut bantal yang lain dan bergerak ke arahku.

Kutangkap pergelangan tangannya saat mengayunkan bantal ke arah wajahku, lalu kutangkap lagi lengannya yang lain. Kami bersitatap dalam jarak yang begitu dekat. Kurasakan napasnya menyapu wajahku.

"Jangan pasang muka begitu..." katanya lirih, masih berusaha terlihat marah.

Tetapi terlambat, secercah kecil senyum terlanjur muncul di sudut bibirnya. Aku tersenyum, Lily menunduk menyembunyikan pandangan. Kuikuti dengan memiringkan wajah. Matanya tidak kulepaskan dari mataku.

"Itu kopi buat kamu, tauk.. Sekarang sudah dingin.." katanya pelan, bibirnya ikutan manyun kekanakan.

Senyumku melebar. Aku benar-benar baru mengerti saat itu. Lily semakin dalam menunduk, dengan cepat aku berujar,

"Maaf, aku tadi salah paham, tidak berani ke-GR-an trus datang tiba-tiba mengharap beneran dikasih kopi, hihi..."

"Kulepas tanganmu, tapi main pukul-pukulannya sudah, ya..." kataku tersenyum.

Lily menghentakkan tangannya lepas. Lalu duduk memunggungiku. "Berantem" tadi membuat posisi duduknya jadi rapat denganku.

Aku menyadari, kami saat ini sudah bukan lagi sekedar teman. Kami tiba pada hubungan saling memiliki, kedekatan yang memberi hak menuntut, serta hak cemburu. Semua terjadi dengan alami, tanpa ikrar, tanpa pernyataan verbal.

Kuberanikan diri bergerak, memeluknya dari belakang. Kuletakkan daguku di bahunya, kukecup lembut kuping di balik kerudungnya.

"Li, kalo ngambek, berarti kamu yang ingusan..."


Update 10

***

Lily adalah walaupun, bukan karena.

Kedekatanku dimulai dengan banyak kemakluman atas kekurangan satu sama lain, bukan dengan alasan kelebihan diri.

Aku tidak ingat pernah berkata, "aku suka dia karena..," tetapi sebaliknya, aku sering berpikir, "kami tetap bersama, walaupun.."

Kami bertahan dengan banyak walaupun. Walaupun aku lebih muda, walaupun secara fisik dia di luar kriteria. Walaupun menurutnya aku kekanakan, walaupun – dalam banyak hal – kami sering berbeda pandangan. Walaupun kami tidak pernah dijodoh-jodohkan, walaupun kami akhirnya mesra tanpa pernah mengucap kata jadian. Walaupun kulitnya putih, walaupun aku tidak lebih tinggi.

Sejatinya berpacaran baru kurasakan saat itu, saat menjalaninya dengan Lily. Setidaknya demikian yang kukira sampai kami akhirnya berpisah.

Tetapi ijinkan aku menceritakannya peristiwa demi peristiwa..

***

Kuberanikan diri bergerak, memeluknya dari belakang. Kuletakkan daguku di bahunya, kukecup lembut kuping di balik kerudungnya.

"Li, kalo ngambek, berarti kamu yang ingusan..."


Lily bergeming. Kukecup sekali lagi, kini di pipinya, langsung menyentuh kulitnya. Bahunya sedikit bergerak, badannya yang semula tegak terasa mengendur, setengah bersandar ke pelukanku.

“Lepas, ih..” pintanya lirih.

Kulepas pelukanku dari pinggangnya, lalu bersandar di kursi. Gerak tubuhku yang sedikit rebah bersandar diikuti oleh Lily, yang kini ikut bersandar di bahuku. Kami duduk dalam diam beberapa saat. Posisi duduk kami yang begitu dekat membuatku memperhatikan beberapa detail dari diri Lily.

Kusadari saat itu, bahwa dalam posisi duduk, wajah kami sejajar tingginya. Ini berarti punggung kami sama panjang, tetapi kaki Lily lebih jenjang. Kuamati juga selarik garis samar di punggung tangannya sebelah kanan, seperti bekas luka yang sudah lama pulih. Tidak luput kuamati kukunya yang berwarna, mungkin baru dicat tadi pagi. Kuku berwarna biasanya berarti si gadis sedang datang bulan. Seperti biasa, duduk diam membuat pikiranku selalu menerawang.

“GR banget sih, sok dicari. Siapa juga yang mau nyari-nyari anak ingusan kayak kamu.”

Lily mengomeliku. Jelas sekali, dia meminta dirayu.

“Sekarang aja kamu ngomongnya begitu. Suatu waktu, kamu bakal treak manggil-manggil namaku dalam tidurmu karena rindu, hihi..” kataku mencoba melucu.

“Huuu.. Kamu itu kayaknya lahir dari ramuan sikap GR, kepedean, narsis, dan megalomania.. ingusan pula..” Lily memonyongkan bibir, mencibir.

Aku tergelak. Kami terdiam sejurus lagi. Lily menoleh ke arahku, wajahnya begitu dekat, dicoleknya daguku dengan bahu,

“Kubuatkan ulang, ya, kopinya..”

“Jika kakak berkenan, adik akan senang sekali..” kataku membelalakkan mata.

Lily mendorong jidatku, lalu berdiri dan beranjak ke dapur. Posisi duduk kami sangat dekat, sehingga saat berdiri, pinggul Lily berputar tepat di depan mataku. Terlihat ganjil bagiku, pinggang kecil yang begitu ramping menyatu dengan pinggul besar ber-kurva bulat.

Lily membungkuk ke depan, memungut cangkir bertutup dari meja. Saat membungkuk, kulirik "walaupun"-ku yang pertama; payudara Lily yang tergantung dengan sangat besarnya. Lengkung garis tubuhnya meliuk, semakin menonjolkan bentuk pinggulnya yang benar-benar bulat.

Mataku lekat memandangi bulatan itu berguncang saat melangkah, kemudian menghilang di ambang pintu tak berdaun menuju bagian dalam rumah. Itu "walaupun"-ku yang kedua.

Terkadang aku heran menyadari betapa berbeda ukuran pria tentang daya tarik wanita. Lily sama sekali tidak sexy menurutku, tetapi sebaliknya bagi pria-pria lain, baiklah, pria-pria pada umumnya. Tetapi kusadari, kriteria dan logika selalu kalah oleh cinta.

Aku menyukai gambaran utuh tentang dirinya, bukan tubuh yang menjadi persemayaman jiwanya. Apabila kuibaratkan lukisan Pantai Tanjung Bira, yang kusukai adalah Tanjung Bira-nya, bukan kanvas dan bingkainya.

Langkah kaki Lily yang mendekat membuyarkan lamunanku. Diletakkannya kopiku yang baru di meja, dengan asap mengepul dari permukaan hitamnya.

“Tuh, diminum ya, jangan dipake mandi,” Lily berujar judes, masih melanjutkan lagak ngambeknya.

“Iya, kakak.. tau aja adik ini belum mandi, hihi..”

“Dasar anak ingusan,” Lily mengempaskan diri di sampingku, rapat seperti semula.

Kami duduk bersisian dengan Lily di sebelah kiri. Perlahan kurangkul bahunya, kutarik semakin rapat, seolah takut dia akan lari. Lily mandah saja, tangan kanannya ditumpangkan di atas lututku. Posisi duduk kami seperti pasangan tua suami istri dalam iklan biskuit jaman dulu, aku jadi terkikik geli.

“Ih, kenapa mesem-mesem begitu?” Lily menoleh padaku, embusan napasnya terasa menyapu wajahku.

Aku tidak menjawab, mata kami bersitatap. Perlahan kudekatkan wajahku, bibirku bergerak maju, lurus menuju bibirnya. Sesaat sebelum jarak di antara kami menghilang, Lily memejamkan mata, aku juga. Sedetik kemudian, nyeri menyengat batang hidungku..

Refleks kudekapkan telapak tanganku ke muka, memijit hidungku, bingung. Lily berdiri tertawa di sampingku. Ternyata, saat kukira bibir kami akan bertemu, Lily mengerjaiku lagi, menyentil hidungku keras sekali. Menurutnya itu lucu, tetapi rasa nyeri di hidungku tidak bisa membuatku ikut tertawa.

Tawa Lily mereda seketika saat dilihatnya, dari sela jariku yang menutup hidung, beberapa tetes darah mengucur ke bajuku. Aku mimisan, suhu sekalian, haha..

Lily jadi panik,

“Duh, Nant, sakit ya? Duh..”

Lily berlari ke dalam, lalu kembali dengan selembar handuk. Tergesa ditariknya kaosku terlepas ke atas, lalu membekap wajahku dengan handuk. Dituntunnya aku ke kamar di sebelah ruang tamu, terus ke kamar mandi. Tidak henti-hentinya dia meminta maaf, mengatakan bercandanya kelewatan, seterus dan sebagainya.

Dengan handuk basah, dibersihkannya wajahku, lalu segulung kapas disumpalkannya di hidungku. Kembali tanganku dituntunnya ke kamar, kali ini aku duduk di kursi rias di kamarnya.

“Duh, Nant, beneran, aku ga tau bakal sekeras itu, jadinya, maaf, ya..” Lily mengulang lagi perkataanya, sambil membuka lemari, mencari sesuatu.

“Haha, iya, tau.. sakit sih, tapi gapapa, ini namanya kecelakaan canda, haha.. eh, kamu nyari apa sih?”

“Bajumu kan kena darah, jadi langsung kurendam biar nodanya hilang. Kamu pake ini dulu.” Lily menyodorkan sebuah kaos longgar.

“Aduh, jadi ga enak, dapat baju baru… huhuhu..” ujarku menggaruk kepala.

Kontan Lily mencubit pipiku, “Jangan pasang muka begitu!” sergahnya.

Kutangkup tangannya, cubitannya lepas, telapaknya menyentuh pipiku. Cubitannya berubah menjadi elusan lembut. Lalu kutarik lengannya, mendekatkan tubuhnya, perlahan kududukkan Lily menyamping di pangkuanku.

Tangannya tetap di pipiku ketika perlahan-lahan wajahnya mendekat. Lalu bibir kami merapat. Pada mulanya hanya kecupan ringan. Satu kecupan, lalu dua. Kemudian sentuhan ujung bibir kami seperti terekat kekuatan magis, mengubah gerakannya menjadi ciuman manis.

Lily adalah pecium pemula. Ciuman pertama kami saat itu hanya serangkaian kecupan lama dan sinambung, bukan lumatan, juga bukan kuluman berpengalaman. Tetapi adalah tugasku untuk menuntunnya, kan, suhu sekalian?

Keindahan dari ciuman adalah pada dinamika gerakannya yang alami. Tidak ada pola gerakan yang baku untuk berciuman. Tidak ada ketukan atau hitungan. Tetapi hanya dengan melakukan, pasangan bisa langsung memahami seperti apa seharusnya bibir dan lidah pasangan diperlakukan.

Bibir kami terus berpagut dengan canggung, kemudian berangsur selaras, seolah tidak lagi ingin lepas. Ciuman kami secara gradual berubah, dari kecupan lembut menjadi lumatan-lumatan panas yang menuntut.

Lily mengangkat wajah sejenak, mengambil napas panjang. Diamatinya wajahku lekat-lekat. Kapas obat di hidungku dilepasnya, dijatuhkan ke lantai begitu saja. Pendarahan di hidungku sudah berhenti, nampaknya.

Sebelum bibirnya kembali turun ke bibirku, aku berdiri dan menggendong tubuhnya, melangkah maju menuju tempat tidurnya. Lily memeluk leherku, membenamkan wajahnya di dadaku yang telanjang.

Kuletakkan lembut tubuhnya di ranjang, lalu kuikuti gerak rebahnya, perlahan menindih tubuhnya. Kembali tangannya memeluk leherku, bibirnya merekah terbuka saat kudaratkan ciumanku di sana.

“Mmmmmmhhhh.. Mmmmmhhhhh..” Lily mendesah, saat kuciumi bibirnya, lehernya, kupingnya, bertubi-tubi.

Kerudungnya yang sudah berantakan terasa sedikit mengganggu, kulepas dengan sebelah tangan, lalu meneruskan cumbuanku. Lehernya yang putih bersih kuciumi, kejepit lembut dengan bibir, menambah dalam desahan-desahan yang terurai dari bibirnya yang penuh.

Bibir penuh, "walaupun"-ku yang, entah ke-berapa..

“Mmmmmhhh.. Aahhh..” desahan Lily terdengar dalam.

Kembali kucumbui bibirnya, lidahnya kini mulai menari di sela bibir dan gigiku, seperti berdansa mengikuti lidahku. Pelukannya kian erat di leherku. Kurasakan buah dadanya yang melembung besar mengganjal dadaku. Padat, kenyal dan keras. Kuberanikan diri menjamahnya.

“Mmmmmhhh.. Mmmmmhhh..” Lily sedikit tersentak saat telapak tanganku meremas sebelah payudaranya.

Gila, tanganku tidak bisa menangkup seluruh permukaannya. Kukeraskan remasanku, Lily mengencangkan pelukannya.

Penasaran, kuarahkan kedua tanganku ke dadanya. Kini aku tengkurap menindih Lily, dengan kedua tangan tertangkup di dadanya. Dalam posisi ini, kedua tanganku sulit meremas, sebab bobot tubuhku sepenuhnya tertumpu di situ. Jadi hanya kuletakkan tanganku, membiarkan gravitasi membantuku menekan payudaranya.

Ciuman kami semakin bernafsu. Tetapi suhu sekalian tentu tahu, ciuman panas punya durasi maksimal. Hentikan atau teruskan ke level selanjutnya, hanya itu pilihannya.

Kuangkat wajahku sejenak, sebelah tanganku menarik cardigan Lily ke samping. Lily meneruskan maksudku, membuka kain berbahan wol itu, melontarkannya ke seberang ruangan.

Nampaklah bagian atas gaun terusan Lily, serupa daster linen dengan bagian atas tidak berlengan. Nampak bahunya yang putih, juga bagian atas dadanya yang membentuk belahan rapat membusung.

Bukaan ini tidak cukup, maka kuraih bahu terusan itu, kuloloskan melalui lengan Lily, lalu kutarik ke bawah. Lily pasrah saja ketika dari balik gaunnya, menyembul dua gunung putih kembarnya yang besar, tertutup sebagian oleh branya yang sempit. Gaunnya kini tergulung di pinggang, menutup hanya setengah tubuhnya bagian bawah.

Kain penopang dadanya seakan tidak cukup menampung bulatan padat nan kenyal di dadanya. Payudaranya seakan hendak tumpah dari behanya.

Kualihkan pandanganku dari sana, aku belum terbiasa melihat lekukan sebulat ini. Kukecup bibirnya, dibalasnya dengan lembut. Namun kebiasaan meremas dan memilinku seperti sudah mengambil bagian otonom dalam sistem organ gerakku. Tanganku naluriah turun, menyusup ke balik bra Lily, meremas langsung daging bulat susunya.

“Mmmmmmhh.. Aaaaahh.. Pelan, Nan..” desah Lily.

Desah lirih Lily membuatku semakin bersemangat menjamahnya di sana. Sebelah tanganku menyusup ke balik punggungnya, melepas kait bra-nya dengan dua jari.

Lily menggerakkan badan, membantuku melepaskan belitan bra dari tubuhnya. Kini kedua gunung kembar itu terbebas sepenuhnya.

Ciumanku perlahan turun dari bibir ke lehernya, kedua tanganku turun meremas-remas payudaranya, sejauh yang sanggup ditangkup telapak tanganku.

Tangan Lily berpindah dari leher ke rambutku, perlahan menarik turun kepalaku, mengarahkan hidung dan bibirku ke buah dadanya.

Dengan cepat kulahap kuncup susunya, kuhisap dengan keras, berganti-ganti sebelah menyebelah.

“Aaaaaahhh.. Mmmmmmmmhh..” Lily mendesah, menggigit bibirnya rapat-rapat.

Puting susu Lily berwarna seperti kulit bibir. Peralihan warna dari merah muda menuju cokelat terang. Setelah ereksi, putingnya berbentuk bulat pepat dan mungil, kontras dengan bulatan gunungnya yang besar membusung.

Lily terlihat begitu menikmati hisapan dan remasanku di payudaranya. Kakinya bergerak gelisah, mengentak-entak. Pinggulnya sesekali diangkat, mendorong tubuhku yang sedang menindihnya rapat. Rintihannya semakin lama semakin keras dan panjang. Menyadari itu, kucumbui payudaranya lebih liar, kuhisap lebih dalam, kuselingi dengan gigitan-gigitan ringan.

“Oooouuuhhhh.. Mmmmmmmhhh.. Nantaaa.. Ooouuhhh.”
Rintihannya semakin dalam, semakin lantang.

“Nantaa.. Ooouuhhh.. Iyahhh, Nantaaa.. Mmmmmhhh..”

Gradasi nada ini terasa akrab, membuatku semakin bersemangat menciumi dan menggigiti, mengulum dan menghisap, sambil meremas kedua belah payudara Lily.

“Nant, Ouuhhhh.. Nantaaaaaa..hhhhhhh...”

Jeritan diikuti desahan panjang Lily menyadarkanku, dia mencapai orgasme.

Untuk pertama kali, kutambahkan dalam catatan pelajaranku, bahwa seorang wanita bisa mencapai orgasme hanya dengan cumbuan di dadanya..

Ketika hendak kulanjutkan ke langkah berikutnya, suara adzan magrib mengejutkanku…

***

Aku kembali duduk di ruang tamu rumah Lily. Lily setengah berbaring di sampingku. Kami duduk di kursi panjang, Lily sepenuhnya bersandar di tubuhku. Kami berpelukan, kembali dalam pakaian lengkap, kecuali kali ini aku mengenakan kaos kuning milik Lily.

“That was close, hihi..” kataku nyegir.

“Huuu.. tadi itu kelewatan. Kamu terlalu jauh..” Lily mencubit lenganku yang melingkar di dadanya, lalu mengecupnya, di titik yang baru saja dicubitnya.

“KITA terlalu jauh, bukan hanya aku, kan.. hehe..”

Lily sekarang mengigit lenganku. Aku meringis, lalu menunduk mengecup jidatnya.

“Tuh, lagi-lagi kopimu ga diminum, jadi dingin lagi..”

“Lha habis, yang dibikin kopi, tapi yang dikasih malah susu.. makanya tad..”

Plak! Tangan Lily melayang menamparku pelan, lalu mencubit, lalu mengelus. Tubuhnya menggeliat, kueratkan pelukanku di tubuhnya. Aku tertawa, lalu kami terdiam beberapa saat.

“Tapi ternyata aku salah..” kataku sejurus kemudian.

“Salah apa?”

“Tadi aku bilang suatu waktu, kamu bakal treak manggil-manggil namaku dalam tidurmu karena rindu. Aku salah di situ..”

“Kamu bukannya treak, tapi merintih, mendesah, dan bukan karena rindu, tapi karena dicumbu..”

Aku mencoba menciumnya lagi, tapi Lily bangkit, melemparku lagi dengan bantal.. Hihi..

***


Update 11

***

Berlalu sepekan sejak insiden mimisan itu. Kejadian yang menegaskan bahwa aku dan Lily sudah merasa saling memiliki.

Aku tidak jadi melanjutkan malam bersama Lily pada saat itu, sebab teringat motorku yang masih kuparkir serampangan di tepi lapangan sepakbola. Dengan enggan saat itu kami melepas diri masing-masing.

Kedekatan kami yang memang sudah terjalin sebelumnya terasa semakin rapat. Kami selalu saling mencari di keramaian kegiatan, dan saling merindukan jika tidak bertemu.

Aku dan Lily saling terbuka. Tentang perasaan dan kesibukan, tentang stress dan kegemaran. Kami tidak pernah menutupi pada saat kami marah satu sama lain, hal yang membuat kami bisa membahasnya sampai tuntas dan tidak jadi ganjalan lagi. Semua orang melihat kami sebagai dua orang sahabat, tidak ada yang mengira bahwa kami saat ini sudah lebih dari itu.

Teman-teman kami di lembaga tidak melihat hubungan kami sebagai sesuatu yang istimewa, sebab - di depan mereka - aku tetap berlaku sebagaimana aku yang biasa, cagur yang kekanakan dan jauh dari sikap dewasa. Hal ini membuat mereka tidak bisa membayangkan bahwa aku sekarang adalah pria Lily, si cantik dewasa yang jadi idola di sana. Terlebih karena hampir semuanya tahu bahwa umur Lily dua tahun lebih tua.

Demikian juga yang kami lakonkan di lingkungan tempat tinggal dan pengajian. Masing-masing kami dikenal sebagai persona yang masih sendiri. Terlebih ketika teman-temanku sudah tahu semua, bahwa aku dan Husna tidak lagi bersama. Hal ini membuat Lily masih saja ada yang mendekati, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Hal yang demikian pun tidak kami tutupi satu sama lain.

Kami merasa - lebih tepatnya mengira - bahwa membahas semua hal yang terjadi adalah sehat dan bermanfaat. Tetapi ternyata justru ini yang kemudian menjadi cobaan yang tidak dapat ditanggung oleh hubungan kami...

***

Aku semakin sering berkunjung ke rumah Lily pada sore hari. Kami kemudian menghabiskan waktu bersama sampai larut malam, menonton dvd-sewaan sambil berpelukan, atau sekedar mengobrol di teras samping menghadap taman. Apapun itu, semua selalu berlanjut pada satu hal; percumbuan.

Lily selalu suka dicumbui kapan saja kami berduaan. Dia hanya memberi satu syarat; asalkan tidak ada orang lain yang melihat. Dia tidak pernah keberatan diganggu pada saat mencuci, memasak, menerima telepon atau bahkan jika sedang tidur. Lily akan langsung menyambut pelukan, sentuhan, ciuman dan remasanku dengan antusias, walaupun sedikit kaku. Tetapi Lily belum pernah mengijinkanku menyentuh daerahnya yang paling intim.

Setiap kali kucoba merabanya di sela paha, Lily akan menghindar dengan manis. Merapatkan kaki, menepis tangan, mencubit, atau bahkan berlari sambil tertawa. Dia belum ingin merasakan disentuh di sana, tetapi itu malah membuatku penasaran, semakin ingin mencobanya.

Berbeda dengan imajinya sehari-hari, Lily adalah gadis yang manja. Hal ini nampak jika kami sedang berdua saja. Jika aku sedang duduk di kursi panjang, Lily akan berbaring dengan berbantal pangkuan. Jika aku duduk di lantai, dia akan duduk bergelung di antara kedua kakiku, meringkuk di hangatnya pelukanku. Dia senang merajuk, dan jika begitu aku yang harus membujuk. Sikap kami satu sama lain saat sedang berdua saja, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami tampilkan sehari-harinya.

***

Lily sedang menyiram tanaman di taman samping sore itu, ketika aku datang bertamu. Ayahnya – seperti biasa – sedang ke luar kota, mengurus usaha perkebunannya di utara. Lily mengenakan pakaian rumahannya, kaos belel dengan bawahan celana katun pendek setengah paha.

Taman samping ini tidak terlihat dari luar rumah. Dibuat di sepetak tanah kecil di beranda bagian dalam, berbatasan langsung dengan pagar tembok tetangga. Kita harus masuk ke ruang tamu, berbelok ke ruang keluarga/ ruang teve, kemudian keluar ke beranda samping, untuk dapat melihat taman ini.

Sambil menunggu Lily selesai dengan kegiatan sorenya, aku duduk di beranda mengamatinya. Kuamati rambutnya yang sebahu, digelung dan dijepit di belakang kepalanya, menampakkan tengkuk dan lehernya yang putih bersih. Keringat membasahi pelipis dan lehernya, menimbulkan noda air di kerah kaosnya. Sedikit turun, dadanya nampak membusung, seperti terbelenggu oleh kaos abu-abu yang membungkusnya. Lekukan dadanya bermuara ke perutnya yang rata, dibalas dengan lekukan lain di bagian belakang tubuhnya. Pinggul Lily mungkin satu-satunya bagian tubuhnya yang langsung sesuai dengan seleraku, membulat kencang tetapi tidak melebar. Kutelan ludahku saat memandangi bulatan itu.

“Hey, apaan sih?” seruku saat Lily mengarahkan selangnya menciprati wajahku.

“Habis kamu ngliatin begitu, dasar otak ngeres..”

“Haha.. ngliatin apa salahnya.. kayak ga suka aja..”

“Serem, tauk..” Lily membereskan selang, mematikan keran, lalu berjalan ke arahku.

Aku duduk di kursi malas kepunyaan Pak Umar, ayah Lily. Kursi berbahan beludru berwarna merah dengan isian empuk yang membuat badanku bersandar terpuruk. Lily melewatiku ke arah dapur, lalu muncul kembali dan duduk menyamping di pangkuanku. Kepalanya direbahkan, bersandar di bahuku. Kakinya disampirkan di lengan kursi.

“Ih, mepet-mepet, keringatan gini juga..” kataku seolah keberatan.

“Biarin, weee..” katanya manja, memeluk leherku.

“Aku ada dvd baru tuh, nonton yo’..” ajakku.

Kami berdua senang menonton film. Walaupun genre film yang kami sukai berbeda, kami tetap menonton bersama, terkadang berdiskusi setelahnya.

“Ada film apa, memangnya?”

“Final Destination 5, trus ada lagi tuh, filmnya Gerard Butler, tapi lupa judulnya,”

“Ok, yuk..” jawab Lily. Tetapi tidak beranjak dari pangkuanku, bahkan tidak mengangkat wajah dari bahu dan leherku.

“Woi, “yuk” kok nda bergerak?” kucolek pinggangnya. Lily menggeliat.

“Nnngggg.. gendongin..” dia bermanja, mengeratkan gelayutnya di leherku.

“Ogah ah, berat..” kataku.

“Ih, fisik ih, kamu.. gigit nih..” Lily menggigit leherku, ringan, lalu mengecupnya berulang-ulang, seperti tidak tega. Dia tidak sadar, kecupannya di situ bisa membangkitkan sesuatu.

Kami tidak jadi beranjak ke dalam. Kubiarkan Lily sibuk dengan leher dan pipiku, yang diciuminya berganti-ganti, dengan telapak tangannya mengelus pipiku dan ibu jarinya di daguku. Kuturunkan tanganku ke pahanya, mengelus jenjang kaki atasnya itu dengan lembut. Kain celananya yang longgar tersingkap karena posisi duduknya, semakin menampakkan kulitnya yang putih.

Dengan telapak tangan, ditariknya wajahku menghadapnya, lalu bibirku dikecupnya. Ciuman kami selalu dimulai dengan pertemuan lidah di sela bibir, panas dan basah. Kepalanya sedikit dimiringkan, bibir kami menyatu dengan rapat, saling melumat, menggelitik, menyenangkan.

Tanganku menyusuri garis pahanya sebelah luar, mengelus setengah meremas. Kugerakkan perlahan, jemariku menemukan ujung pipa celananya, menyusup ke celahnya, lalu dengan lembut menangkup bulatan empuk buah pantatnya.

Ciuman kami semakin panas. Lily memeluk leherku erat, menarik wajahku mendekat, seolah ingin menyatukan diri. Tubuhnya menggeliat, seiring penyatuan oral kami, dan gerak tanganku yang meremas pantatnya dengan lembut.

“Mmmmmmmmhh.. Mmmmhh..”

Ketika ciuman membuat gadismu mendesah lirih, kau sudah membawanya menapaki anak terbawah tangga birahi.

Geliat tubuh Lily membuat posisi duduknya bergerak menggeser kejantananku. Sentuhan empuk pinggul Lily yang duduk tepat di atasnya membuatnya perlahan-lahan mengeras. Kupindahkan tanganku ke pinggangnya yang ramping, menyusup ke balik kaos, bergerak mantap menuju gundukan bulat besar payudaranya. Bulatan besar yang nampak sesak, mendesak seperti hendak meledak.


“Harusnya kamu jangan pakai bra..” bisikku di sela ciuman.

“Mmmmmhhh.. mana aku tahu kamu mau datang.. Mmmmmhh.. Mmmmmmhhh..” jawabnya terus lena dalam cumbuannya.

Tanganku berputar ke punggungnya, meninggalkan sejenak sepasang bola kelenjar di dada Lily, melepas kait bra, lalu menyusup ke depan kembali.

Suhu sekalian, gravitasi adalah musuh dari buah dada yang besar alami. Bobot massa payudara tanpa implan, akan selalu menariknya ke bawah, membuatnya tidak membusung seperti milik para bintang film semi. Tidak terkecuali payudara Lily.

Tanpa bra yang memegang, buah dada Lily yang besar tidak lagi mengacung tegang. Posisinya sedikit menggantung, tetapi tidak – atau belum? – ngondoy. Maka demi tubuh indah pasangan, suhu sekalian, perlakukanlah dengan lembut. Keindahan tubuh pasangan juga bergantung pada cara pria memperlakukannya. Jangan hanya mau nikmatnya, haha..

Lily menengadah menikmati saat jari-jariku mulai mempermainkan puting susunya di balik baju. Tanganku yang satu lagi tidak mau ketinggalan, kususupkan mengikuti, meremas sebelah payudaranya yang lain. Ciumanku beralih ke lehernya yang terbuka. Beberapa helai rambut Lily terurai di tengkuknya, melekat oleh peluhnya.

“Aaaaaahhhh.. Nanta.. dibuka aja.. Mmmmhhhh..” Lily meminta.

Lily menegakkan tubuh, memberiku kesempatan menyingkap kaos dan branya ke atas. Aku bukan pria yang sabar menunggu. Tidak suka dengan prosesi buka pakaian satu-satu. Maka kutarik Lily berdiri, susunya berguncang saat tubuhnya bergerak, kuikuti dengan berjongkok di depannya, menarik lepas celana kainnya, dalam satu gerakan, bersama celana dalamnya.

Tubuh Lily terbuka sepenuhnya, polos di hadapanku. Refleks, Lily mundur dan duduk di kursi yang kutinggalkan tadi, tangannya menangkup di selangkangan, menutup areanya yang paling pribadi.

Setengah membungkuk, kuserang kembali bibirnya. Kulumat perlahan, sambil melepas kaosku sendiri. Bertelanjang dada, kutarik kedua lengannya agar melingkar di leherku, kembali menekuni bibir masing-masing dalam ciuman, berpelukan.

Sinar matahari senja menerobos dari celah sempit di antara atap beranda dengan pagar tetangga. Terus melarik, menyinari kulit Lily yang berkeringat, memberi aksen jingga.

Sambil terus membungkuk mencium bibirnya – aku masih bertelanjang dada – kucondongkan tubuh, membuat Lily rebah bersandar. Kedua lengannya masih melingkar di leherku. Perlahan, tanpa melihat, kuarahkan tanganku ke bawah, meraba celah lembab di selangkangannya.

“Mmmmmmhh.. Aaaaaahh.. Aaahhh.. Nantaaa..” Lily sejenak melepaskan pagutannya di bibirku. Kakinya dirapatkan, seolah enggan diraba di sana.

Kutarik sejenak tanganku, kuturunkan badanku berjongkok di depannya, kupindahkan ciuman ke puting susunya. Lily kian erat memelukku, merintih kenikmatan, saat aku mulai menyusu di kedua belah payudaranya.

“Aaaaaahhhhh.. Pelan, Nanta.. Ahhhh..”

Tanganku kembali beraksi. Kali ini kutarik kedua lututnya membuka, kuangkat dan kusampirkan di sandaran lengan kursi. Posisi ini membuat badan Lily terpuruk ke belakang, tubuhnya rebah setengah berbaring. Kedua lengannya masih melingkar di leherku, memelukku yang tengah mencumbu puting susunya.

Kedua kakinya yang terentang membuka membuat kemaluannya menjadi tidak tertutup lagi. Dalam posisi seperti ini, Lily tidak bisa menghindar lagi.

Perlahan, tanpa membuat gerakan yang tiba-tiba, kuturunkan ciumanku, inci demi inci. Dari dadanya, menyusuri perutnya yang rata. Berbelok ke samping di pangkal pahanya, lalu mendadak ke tengah, tepat di tengah vaginanya..

“Uugghhhh.. Nantaaa.. Jangann.. Uuuugggghhh..” Lily tersentak, saat bibirku melumat bibir vaginanya.

Jarinya berusaha menarik wajahku menjauh dari sana. Tetapi posisi duduknya yang setengah rebah, dengan kaki mengangkang dan tersampir di sandaran kursi membuatnya tidak punya tempat bertumpu. Lily hanya bisa menjerit, saat lidahku mulai menjelajahi organ kewanitaannya.

“Ooooouuuggghhh.. Nant, Aaaahhhh.. Nantaaaa.. Jangan.. Aaaaaahhh..”

Jerit kecilnya membuatku semakin bersemangat. Vagina Lily berbeda, cairan pelumasnya sangat bening, tanpa warna. Tidak tercium aroma khas yang dulu kudapati pada Husna. Vagina Lily tidak berbau, bahkan samar-samar dapat kucium aroma wangi. Belakangan kutahu, itu aroma sabun manjakani.

Kutekuni belahan labia Lily dengan lidah. Bibir vagina Lily yang terbelah vertikal, membuat ilusi bibir wanita yang berbaring menyamping. Kumiringkan wajahku, kukecup dan kulumat seperti sedang berciuman.

“Aaaaaaaahhhh.. Nanta.. Sudahhhh.. Aaaaahhh..”

Kurasakan kekuatan penolakan di tangan Lily sudah hilang. Bahkan kedua tangannya kini bergerak mengusap pelipisku, walaupun bibirnya masih berkata jangan.

“Uuugghhhh.. Nanta..”

Kubenamkan wajahku dalam-dalam di belahan itu, menggodanya dengan menggeserkan hidungku. Lily semakin mendesah. Suaranya serak. Pinggulnya tanpa sadar bergerak menyambut sapuan lidahku di bawah sana.

“Mmmmmmmmhhhh.. Aaaaaaahhh.. Nantaaaaa.. Sudah, sayang..”

Lily memanggilku ‘sayang’, sebuah kemajuan baru. Kugerakkan wajahku sedikit ke atas, kutemukan tonjolan yang mencuat jelas. Klitoris Lily juga berbeda, saat ereksi, posisinya lebih kentara.

Kucucup tonjolan itu, dan efeknya mengejutkanku.

“Aaaaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaa.. Di situ.. Jangan.. Aaaaahh..”

Apakah maksud Lily, “jangan di situ” atau justru “di situ, jangan berhenti?”. Akh, persetan, kuteruskan..

Aku menggoda Lily habis-habisan. Kumainkan klitorisnya dengan bibir dan lidah bergantian. Sesekali kugigit perlahan.

Tanganku kuulurkan ke atas, menemukan wajahnya, mengelus pipinya. Sebelah tanganku bergerak, meremas payudaranya dengan keras, seperti pemanjat tebing yang mencari pegangan.

Lily menoleh ke arah tanganku di pipinya, bibirnya menemukan ibu jariku, mengecup lalu mulai mengulumnya. Naluri wanita. Kulumannya berganti gigitan, pelan, lalu berubah keras, saat tubuhnya mengejang. Pinggulnya terangkat tinggi, mendorong wajahku yang masih menempel di sana..

“Aaaaaaaaahhhhh.. Aaaaaaaahhhhhhh.. Nantaaaaaaaaa..”

Lily merintih panjang, saat orgasme membawa kesadarannya melayang..

***

Lily masih terbaring di posisinya, setengah badan tersampir di kursi, mengatur napas terengah. Aku bersimpuh di kaki kursi, membaringkan pipiku di sebelah pahanya yang kini terjulur ke depan menyentuh lantai. Sebelah kakinya yang lain masih tersangkut di sandaran lengan.

Perlahan Lily mengangkat tubuh, menurunkan kaki lalu duduk tegak. Diraihnya bajunya, dikenakannya langsung tanpa beha. Rambutnya yang terurai lepas digelungnya kembali.

Aku mengangkat wajah dari pahanya, lalu,

Plak! aku ditamparnya lagi, dengan pelan. Seperti biasa, tangannya tetap di pipiku, berubah menjadi elusan.

“Kamu tuh..” katanya memulai. Dipasangnya lagi ekspresinya yang galak.

“Apa?” tanyaku tersenyum.

Lily tidak jadi meneruskannya, dia hanya melengos, tidak bisa menahan senyum.

Aku berdiri, hendak melangkah ke dalam, saat tanganku ditariknya.

“Kamu gendong aku ke kamar, kakiku lemas nih, gara-gara kamu..”

“Baik, kakak..”

Plak! sebuah tamparan-elusan lagi, saat aku menunduk menggendongnya.

Kubopong tubuhnya ke Kamar. Kuletakkan lembut di ranjangnya. Lily langsung bergelung dalam selimut. Mungkin dia lelah, pikirku. Jadi kutinggalkan dia di kamarnya.

Aku kembali ke beranda, kutemukan bajuku di lantai. Kukenakan lalu berkeliling menyalakan lampu dan menutup pintu. Gelap mulai turun mengganti cahaya.

Aku kembali ke ruang tengah, berbaring di sofa. Kakiku agak kesemutan karena lama berjongkok tadi.

Ponselku berdering, pesan dari Lily;

Lily : Kamu di mana? Gih, cuci muka dulu!
Nant : Di sofa depan, iya iya..

Aku melangkah ke toilet luar. Setelah membersihkan muka, kuraih ponsel, sebuah pesan baru lagi. Kenapa tidak treak saja sih, dari dalam, pikirku.

Lily : Kamu nginap saja. Jagain aku..
Nant : iyaaa..

Beberapa menit kemudian,

Lily : mau jagain ga?
Nant : iya, ini kan lagi jagain..
Lily : jagain itu di sini, bukan di luar situ..

Aduhai, dewa kentang.. Aku benar-benar memujamu..


Update 12

***

Apa yang akan dilakukan pria kebanyakan, ketika diundang ke dalam kamar gadisnya, pada malam hari, saat sedang hanya berdua?

Romantisme di antara kami sedang diuji. Ujiannya datang berupa kesempatan dan sambutan. Berupa rasa kentang dan undangan.

“jagain itu di sini, bukan di luar situ..”

***

Aku tahu apa yang akan menyambutku jika aku merangsek masuk ke kamar Lily saat itu juga. Rangkaian hal-hal yang kusuka. Jika kutunda sedikit lagi, birahi kami yang masih tinggi dapat hilang dan perlu upaya untuk membangkitkannya kembali.

Lalu mengapa aku urung bergerak?

Alih-alih menjawab tantangan, kunyalakan teve di ruang keluarga. Kuraih bungkusan dvd sewaan yang kubawa sebelumnya. Kumasukkan sekenanya, lalu rebah di sofa. Sebuah film mulai dimainkan, tentang seorang suami yang meninggal karena sakit, tetapi sebelumnya sudah membuat beberapa pengaturan untuk kebahagiaan sang istri.

Film dengan genre ini sama sekali bukan seleraku. Sengaja kusewa, sebab kutahu Lily pasti suka. Sebuah film drama romantis yang masih termasuk dalam kategori recent released.

Menonton film ini – bagiku - begitu membosankan. Tidak ada hentakan dan ketegangan. Hal-hal yang terjadi di dalam kisahnya begitu biasa, begitu manusiawi, seperti kehidupan sehari-hari. Apa sih yang menarik dari genre ini? Pikirku.

Kemudian sebuah pertanyaan muncul di kepalaku, “bagaimana jika kewajaran cerita dan kemiripan semesta pada film inilah yang menjadi daya tariknya?” Mungkin Lily, dan penggemar cerita drama lainnya, terpikat oleh kewajaran ini, sehingga saat menontonnya mudah terbawa empati.

Kuraih sampul film itu, terbaca, P.S. I Love You. Kulirik jam dinding, sudah hampir pukul delapan. Aku teringat pada Lily, kekasihku di dalam kamar. Perlahan aku bangkit, mematikan teve, lalu melangkah ke ambang pintu kamarnya.

Lily masih dalam posisinya seperti saat kutinggalkan sore tadi, meringkuk di tepi tempat tidurnya di dalam selimut. Gerak teratur napasnya menandakan dia sedang tidur, menyerah pada lelah tubuhnya saat menungguku.

Orgasme wanita memang berbeda dengan pria pada persebaran efeknya. Orgasme wanita dirasakan menyeluruh, dari ubun-ubun ke ujung kaki. Impulsnya menginduksi seluruh jaringan syaraf sensori. Sementara pada lelaki, orgasme bersifat lokal. Hanya mempengaruhi daerah genital. Jika berada di puncak tertinggi gairah, paling luas area orgasme pria hanyalah di sekitar tungkai bawah. Pendakian kenikmatan pada wanita melibatkan lebih banyak sistem organ ketimbang pria, ini yang membuat lelah orgasme mereka berlipat dan berganda.

Lampu di kamar Lily adalah jenis lampu dengan tombol putar pengatur intensitas cahaya. Kuputar hingga level nomor dua. Pendar cahaya lembut menggantikan terang, menerangi wajah dan lengan Lily yang tidak tertutup selimut, naik turun seiring napasnya yang lembut.

Aku berdiri sejenak di tepi tempat tidur, mengamati wajah Lily lekat-lekat. Garis wajah Lily begitu lembut. Melihatnya tanpa perlindungan seperti ini membuatku heran, betapa berbeda perangainya saat bergaul di luar sana.

Lily selalu nampak mandiri dan dewasa. Dia mengendarai kendaraan sendiri saat beraktivitas, menolak dibukakan pintu, menolak tawaran – sebenarnya permintaan – teman-teman prianya untuk mengantar pulang, dan sangat tidak mau ditraktir makan. Lily tidak punya sahabat dekat. Tidak ada geng cewek atau komunitas sorority. Dia dikenal dengan namanya sendiri. Bukan dikenal sebagai anaknya Bapak Anu, atau temannya si itu. Satu-satunya yang kini dikenal orang sebagai teman dekatnya adalah aku.

Tetapi hari-hari belakangan ini membuatku melihat Lily sebagai pribadi yang berbeda. Dia seperti membuka etalase diri yang dulunya begitu pribadi. Seperti mengubah museum tertutup menjadi galeri.

Lily berlaku manja padaku. Dia merajuk, memberi indikasi sanguine dan menuntut perlakuan mesra. Tembok angkuhnya seakan runtuh, menjadi pagar bebungaan yang rapuh.

Mataku tertuju pada tangannya. Ponselnya masih tergenggam di sana. Kuduga dia jatuh tertidur sesaat setelah mengirim pesan terakhir. Perlahan, kutarik ponsel itu dari genggamannya dan meletakkannya di meja. Lalu dengan hati-hati, aku menyusup ke dalam selimutnya, memeluknya dari belakang.

Lily merespon gerakanku dengan menggeliat membetulkan posisi. Dia sadar bahwa aku ada dan sedang memeluknya. Kini tubuh kami saling rapat, lengkungan tubuh kami seperti saling mengisi, seolah puzzle manusia yang bertemu padanannya.

“Nnnnggghh..” Lily menggeliat manja, kueratkan pelukanku di pinggangnya. Aroma wangi rambutnya membuai lembut. Harumnya sederhana seperti narestu, tidak berlebihan.

“Capek yah.. Memangnya habis ngapain, sih..” bisikku perlahan dari belakang.

Lily mencubit lenganku di pinggangnya, kutahu dia tersenyum, mulai terjaga, tetapi tetap memejamkan mata.

“Bapak pulangnya kapan?” lanjutku bertanya.

“Sebentar lagi, sepertinya. Mungkin tiga atau empat hari lagi.”

Kusadari Lily menyebut tiga atau empat hari sebagai satuan waktu yang “sebentar”.

“Kamu sejak kapan sering ditinggal sendiri?”

“Sejak SMP. Aku lupa persisnya. Bapak sudah pensiun cukup lama, kan..”

Kami terus berbincang dalam posisi berpelukan. Lily sudah terjaga sepenuhnya. Lily bercerita tentang awal masa perceraian orangtuanya. Bagaimana Bapaknya, sekalipun menuntut cerai, tidak bisa menyembunyikan rasa kehilangan saat itu. Bagaimana kacaunya keuangan dan belanja rumah tangga mereka karena perceraian yang datang tiba-tiba.

Aku tidak menanyakan alasan kedua orangtuanya bercerai, hanya mendengarkan dalam diam. Lily menyinggung kekecewaannya pada kedua orangtuanya, yang menyerah pada konflik, mengambil jalan yang menurutnya hanya suatu bentuk pelarian yang tidak solutif.

Sudah kuceritakan sebelumnya, suhu sekalian, bahwa aku punya fetish terhadap wanita dengan ciri-ciri yang sangat berbeda dengan fisik Lily. Hal ini membuatku tidak pernah langsung bergairah begitu saja terhadapnya, jika tanpa stimulus seksual dan sambutan yang jelas.

Hal inilah yang membuat kami bertahan lama dalam obrolan malam ini. Kami benar-benar mengobrol, bukan sekedar berbicara. Kami berkomunikasi, bukan hanya mengaso dan memanfaatkan spasi.

Lily bercerita dengan lancar. Kusadari dia tidak menangis, hanya membeberkan fakta tanpa emosi, dan aku mendengarkannya tulus, tanpa tendensi. Suhu sekalian paham tendensi yang kumaksudkan? Tendensi pria yang sengaja berlagak mendengarkan, namun sebenarnya hanya menunggu sang gadis sampai pada suasana hati paling rapuh, lalu memanfaatkan kerapuhannya untuk mengambil yang diinginkannya? Haha..

Kubetulkan posisi berbaringku menjadi bersandar di kepala tempat tidur. Lily berbalik memelukku. Dia terus bercerita tentang masa kecilnya yang bahagia bersama keluarganya yang utuh. Ceritanya terus bergulir, terkadang melompat maju dengan jauh, lalu kembali mundur ke masa lalu. Lily bercerita tentang kesulitannya saat SMA, harus bangun pagi dan berangkat sendiri ke sekolah, lalu pulang cepat untuk berbenah di rumah. Hal yang terus menjadi rutinitasnya hingga kini.

Kami berbincang sampai dini hari, sampai saat kusadari keheningan di antara kami. Lily jatuh tertidur memelukku, kepalanya beralaskan lengan atasku, sedikit di atas ketiak.

Kusadari tubuh Lily hanya terbungkus selembar kaos belel dan tipis. Kubetulkan posisi selimut dengan sebelah tangan. Helai rambut yang jatuh ke wajahnya kussampirkan di balik telinga. Kukecup lembut keningnya, Lily mengeratkan pelukannya.

Terjelaskan bagiku semuanya tentang Lily. Tentang pribadinya yang mandiri. Tentang telatennya dia di rumah, dan kepeduliannya yang tinggi pada para tunawisma dan anak jalanan. Dia berempati, dan dalam peduli dia selalu ingin berbagi.

Malam itu aku langsung tahu, tak akan pernah kubiarkan dia sendiri lagi.

***

Lily membangunkanku dengan kecupan di dahi. Katanya butuh berkali-kali sampai aku benar-benar membuka mata. Lily sudah mandi, rambutnya tergerai basah, turun dan menyapu wajahku saat Lily menunduk di atasku. Mungkin sebenarnya itu yang membuatku terjaga.

Kami sarapan di beranda. Lily membuat teh, sedang aku menyeduh kopi. Dia masih mengenakan kaos yang semalam, kini dengan dalaman. Pahanya yang putih panjang terlihat sepenuhnya, dipamerkan padaku dengan sengaja.

“Kalian para pria kenapa gandrung sekali sama kopi? Pahit begitu..”

Ayah Lily adalah penyuka kopi kental.

“Tidak cuma pria, kok, wanita juga banyak yang suka.”

“Pahit, tauk, ga enak..” katanya.

“Kamu belum tahu saja. Cara menyajikan kopi enak ada banyak lho. Dengan vietnam drip, syphoon, bialetti, atau french press. Kalo tubruk begini rasanya memang biasa aja. Nih, coba dulu seduhanku, dikit saja,” ujarku, ngasal.

Lily mencondongkan tubuh ke arahku dari seberang meja, kusodorkan cangkirku.

“Bukan yang itu..” katanya tersenyum, menggoda.

Lily meraih kedua pipiku, menarikku ke wajahnya, memberi ciuman basah. Lidahnya menari di sela bibirku, kami berpagutan, berdiri doyong dari kedua sisi berseberangan.

“Mmmmmhhhh.. Mmmmmmmmmm.. iya juga yah, kopinya jadi enak kalo pake french kiss. hihi..” Lily mendecakkan lidah, menggoda, menggemaskan..

“Bukan french kiss, french press!” seruku, bergerak mengitari meja, menggelitik pinggangnya.

Lily menggeliat kegelian, berbalik menyerang. Kami lalu berkejaran di ruang tengah, beranda, ruang tengah, ruang tamu lalu kembali ke beranda. Kutangkap tubuhnya, lalu kubopong berdiri, kami berciuman mesra, lama sekali.

Saat menarik wajah, terengah, Lily berujar lagi,

“Ciuman pagi, pahit-pahit kopi.. hihi..”

“Kamu tuh ya, jangan suka ngledekin kopi. Kopi itu minuman yang penuh perencanaan, bahkan dari mula dia ditemukan. Ga kayak teh, ditemukan tanpa kesengajaan.”

Aku berjalan kembali ke beranda, aku duduk kembali, kuletakkan Lily duduk menyamping di pangkuanku. Seperti biasa, obrolan santai seperti ini akan membawa kami ke sebuah diskusi biasa, asimilasi pikiran walaupun temanya sederhana.

“Maksudnya? Masa sih kopi ditemukan pake rencana?” Lily duduk tegak, lengannya di belakang leherku. Diraihnya sepotong roti, menyuapiku, lalu mengigitnya juga.

“Gini yah, proses seduh teh konon ditemukan oleh seorang berkebangsaan china. Jaman dulu dia mandi berendam di kolam air panas, lalu selembar daun teh kering jatuh ke airnya. Orang itu melihat air berubah warna jadi kuning kehijauan. Trus dicoba-coba deh untuk konsumsi..” kuusap pahanya sambil berbicara. Pandanganku ke arah meja sedikit terhalangi oleh dadanya yang membusung besar tepat di depan wajahku.

“Lha kalo kopi? Kira-kira insiden macam apa yang bisa membuat sebutir buah kopi matang, mengelupas sendiri, mengering, lalu tersangrai, kemudian tergiling halus dan terseduh air panas? Seseorang di masa lalu pastilah meneliti, mengkaji kandungannya, lalu bereksperimen untuk menemukan cara terbaik mengkonsumsinya. Iya kan?” lanjutku.

“Duh, yang slalu nongkrong di Ujung.." Lily mencolek hidungku.

Ujung adalah satu dari beberapa toko kopi dan perlengkapannya di Makassar. Letaknya di Jalan Somba Opu, pesisir pantai Losari.

"Kamu selalu seuring-uringan gini kalo bicara soal kopi?” lanjut Lily sambil tertawa.

“Gak. Hanya kalo kopiku kebanyakan gula, atau kebanyakan susu.” Kataku sambil membenamkan wajahku di belahan dadanya.

“Aaaiihh.. geli, Nant! Hey, berhenti, ih..” Lily menggeliat, mendorongku lalu bangkit berdiri.

Aku tertawa. Teh di tangan Lily tertumpah ke meja dan lantai.

“Kamu dihukum, kamu harus bersihin itu. Tuh, kain pel..” kata Lily menunjuk alat pel yang bersandar di dinding.

“Iya, iya.. digodain dikit aja kok pake hukuman..” kataku menggerutu. Kuhabiskan kopiku lalu mulai membersihkan tumpahan di lantai.

“Aku mau siap-siap ke kampus ya. Kamu ada kuliah gak? Kalo gak, kamu di sini aja. Aku pulang cepat kok.” Lily bertanya, aku pura-pura tidak dengar.

“Ih, kok ngambek sih, dasar ingusan.. hihi..” Lily mendekatiku, memelukku dari belakang.

“Lha habis, masak adik dihukum cuma gegara becanda tadi, ish ish ish..” aku memanyunkan bibir.

Lily mengecup pipiku, badannya yang sedikit lebih tinggi memudahkan jangkauannya ke wajahku. Dikecupnya lama, berkali-kali, lalu berjalan ke arah dalam,

“Kata siapa hukumannya gara-gara yang tadi?”

“Lha, trus, salah adik apa dong?” tanyaku menoleh.

“Suruh siapa, semalam dipanggil masuk, malah ngobrol doang, aku ga diapa-apain.. nggantung, tauk..”

Lily melangkah santai ke kamarnya, meninggalkanku dengan mulut setengah ternganga. Itu ekspresi alami paling bloon yang pernah terpasang di sana..


Update 13

***

Sunyi dan semarak malam, bertabur kilau bintang
Bulan pun naik perlahan, tersipu..
Kau dan aku tenggelam, dalam dekapan cinta
Tanpa suara berbincang, dua jiwa..


Desah napas terdengar lirih, beriringan, dalam pola kacau tidak beraturan. Ritmis, dinamis, indah, terkadang menyakitkan. Kami terlena dalam pejam mata, tangan dan kaki di mana-mana.

Malam selalu indah sejak aku bersama Lily. Seperti malam ini, kami berpeluk, dalam paradoks percumbuan; tubuh membelit saling menghangatkan, namun megap-megap mencari lega kepanasan..

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya..

***

Sungguh aneh cara kerja otak manusia. Tidak seperti mesin, yang ketika algoritma sudah diatur dari semula, maka perintah selanjutnya akan dilaksanakan sesuai polanya. Manakala sebuah software dibuat untuk tidak menginput sesuatu, maka demikianlah adanya, sampai dimasukkan perintah baru.

Setiap malam bersama Lily membuat pattern wanita ideal dalam diriku berangsur berubah. Mengingat Lily, berarti membayangkan Lily dalam paket utuh. Mata yang berbinar cerdas, rambut sebahu, kulit putih terawat, pinggang ramping dan perut rata, menyangga sepasang payudara yang besar, bulat dan membusung. Mengkhayalkan Lily, tidak lepas dari mengingat sikapnya yang dewasa namun manja, mandiri dan ceria, dengan wawasan yang meledak-ledak, siap berdiskusi namun tidak jarang menggoda.

Awwe, indo’ku le.. putramu dilanda asmara. Algoritma kriteria wanita di kepalaku berubah, menambahkan entry baru bernama Andi Liliana.

Rasa risih di antara kami juga menguap hilang. Perasaan sebagai orang asing sudah tergantikan dengan kebutuhan akan keberadaan satu sama lain. Aku memandang Lily sebagai gadis yang harus kulindungi, kubuat tertawa setiap waktu, kujauhkan dari bosan dan sedih.

Percintaan erotis kami juga membawa hal baru bagiku dan Lily. Keterbukaan dalam kepribadian kini diikuti dengan keterbukaan fisik. Eksplorasi jarak dekatku di area paling intim tubuhnya membuat Lily kini tidak canggung lagi berganti baju di dekatku, bahkan mengganti celana, dengan mataku lekat menatapnya. Iya, suhu sekalian, cunnilingus hampir setiap waktu kulakukan. Lily menikmati sex oral yang sudah kuperkenalkan beberapa waktu berselang. Liliy menikmatinya, aku menyukainya.

***

Pelajar yang melanjutkan studi di jurusan yang kuambil kebanyakan adalah putra daerah. Minat menjadi guru memang paling banyak didapati di sekolah-sekolah luar kota Makassar. Di angkatanku, hanya ada 6 dari 178 orang, yang berasal dari SMA dalam kota, atau kaum pribumi, begitu kami menyebutnya.

Keuntungan menjadi kaum pribumi adalah pada rasa percaya diri. Pengalaman lebih dulu perihal trayek angkot, venue gaul, bahasa, selera humor lokal dan tempat nongkrong membuatku lebih luwes membawa diri. Tidak ada rasa takut atau malu, bahkan sejak masa-masa orientasi dan pengenalan kampus.

Suatu hari dalam rangkaian kegiatan orientasi, kami diharuskan berdiri mengantri di depan sebuah loket. Berpanas ria, kepala plontos, tanpa topi, tidak juga pet. Beruntunglah bagi para maba cewek yang berkerudung. Seperti seorang cewek sesama maba di barisan lain di sampingku, agak ke depan beberapa langkah.

Yang menarik mataku adalah sesuatu yang tersembul dari kantung tasnya di bagian samping, sebuah buku kecil namun tebal. Master of Game sebuah novel karya Sidney Sheldon, kukenali buku itu dari ilustrasi pada sampulnya.

“Hey,” bisikku. Dia menoleh, terkejut.

“Sudah sampai mana? MacGregor atau Blackwell?”

“Apa?” cewek itu terlihat bingung dengan pertanyaanku.

“Novelnya sudah dibaca sampai bagian mana? Masih di keluarga McGregor atau sudah tentang keluarga Blackwell?” lanjutku, masih berbisik.

Sedikitpun aku tidak pernah ragu memulai dialog semacam itu. Tidak pernah takut dikatakan SKSD. Jadi teman akrab atau dianggap sok dekat, pilihanku sederhana. Beruntung, kali itu cewek ini memilih yang pertama.

“Hoo.. buku ini. Aku baru mulai baca, masih tentang Jamie McGregor. Blackwell itu siapa?” tanyanya balas berbisik.

Baru kuperhatikan wajahnya saat itu. Cewek ini menarik, bahkan cantik. Yang menonjol padanya adalah paduan mata dan hidung, terlihat oriental meski berkerudung. Berkacamata persegi, dengan dagu sedikit berbelah.

Antrianku tiba-tiba bergerak lebih banyak ke depan. Aku berbisik singkat,

“Lanjut kapan-kapan yah.. Ohya, Ananta, Fisika.”

“Hara, Kimia.”

Kami jadi teman akrab setelah itu, dan..

***

Plak!

Lily menepuk keras bantalnya, pahaku.

“Aww.. kenapa?” tanyaku kaget, kata-kataku menggantung di udara.

“Ceritanya kok kepotong begitu? Kok langsung jadi akrab? Mana proses pedekate lanjutannya?” Lily uring-uringan.

“Ya gak ada pedekate lah, Cuma berkenalan, kan.. perih nih..” kataku mengusap pahaku, di tempat yang tadi ditepuk Lily.

“Kamu aja yang ga ngerti. Cewek diajak ngobrol tentang sesuatu yang dia sukai, pada saat-saat yang gak terduga, oleh cowok sepantaran yang ga jelek, itu pasti dirasa sebagai movement. Itu pedekate bagi mereka, bagi kami.” Lily ikutan mengusap-usap pahaku, bergeser mengecupnya, seperti biasa.

“Duh, mau bilang aku cakep aja pake belok-belok gitu..” aku tergelak.

“Woi, aku ga bilang kamu cakep kok. Aku bilang, kamu ga jelek. Itu beda, tauk..”

Aku semakin keras tertawa. Lily bangkit menggelitiku, mencubiti perutku.

“Cakep itu segini,” kata Lily mengangkat tangan kanan sejajar matanya. Lalu katanya,

“Kalo “ga jelek,” itu segini..” diangkatnya tangannya yang lain, sejajar dada.

“Oke, oke, aku ga cakep juga ga jelek. Apapun kah, asal sama kamu.” Kataku tertawa lagi.

“Ih, jijik ih, ngrayu..”

Lily kembali rebah di pangkuanku.

“Trus si Hara ini sekarang gimana? Masih sering ngecengin kamu?”

“Ga ada ngeceng-ngecengan. Aku sama dia cuma sering ngobrol, biasanya tentang bacaan. Selera baca kami banyak beririsan.” Aku bersandar di pilar rumah. Malam itu kami pacaran melantai di beranda. Selembar selimut tebal menjadi alas dudukku, dan alas tubuh Lily yang berbaring di pangkuanku.

“Itu gak sepenuhnya kebetulan, lho, Nan. Aku serius.” Lily menegaskan wajah saat aku tampak akan tertawa.

“Pada mulanya mungkin kebetulan saja, tapi selanjutnya Hara bakal nyari tau buku-buku yang kamu baca, trus ikutan baca juga, hanya biar bisa nyambung ngobrol sama kamu.”

Dengan ragu, aku bertanya,

“Kamu cemburu?”

“Bukan, ini bukan cemburu yang bicara, tapi aku, dalam sudut pandangku sebagai cewek.”

“Kamu mungkin tidak sadar, kamu punya sesuatu tentang kata-kata. Memandang wajahmu mungkin tidak bikin jatuh hati seketika, tapi duduk ngobrol sama kamu itu bisa bikin cewek geer, lho.”

Lily terus bicara, matanya lurus menatap langit-langit rendah beranda. Kubelai rambutnya. Lily terlihat serius dalam setiap kata-kata.

Setelah makan malam di luar tadi, kami langsung pulang, mandi – terpisah lho suhu, belum mandi sama-sama – lalu duduk melantai sambil memutar musik di beranda. Lily bercerita tentang harinya di kampus siang tadi. Tentang seorang seniornya satu angkatan, yang terus-menerus melakukan pendekatan. Aku selalu merasakan sesuatu saat Lily bercerita tentang pria-pria yang mendekatinya. Dan Lily tidak pernah melebih-lebihkan, aku sering menyaksikan sendiri hal ini.

Selalu kurasakan sesuatu saat Lily menceritakan hal seperti ini. Semacam rasa terancam. Lily mungkin merasakannya malam itu, jadi dimintanya aku gantian bercerita padanya tentang teman cewek yang kuanggap dekat. Maka kumulailah bercerita tentang Sahara, teman kuliah dari jurusan sebelah.

“Ngobrol sama kamu itu bikin geer. Kamu kalo ngobrol, kliatannya ngasih perhatian sama lawan bicara kamu sepenuhnya. Kamu bukan cuma good-looking tapi juga good-talking. Cewek suka jatuh hati karena itu. Hey, aku serius nih..”

“Cewek sangat suka kalo apa yang dia sampaikan diperhatikan. Kami suka kalo ide kami dianggap serius. Apalagi kalo yang kami sukai juga dihargai. Kamu harusnya lihat cara Riska dan Iyang ngliat kamu kalo kamu lagi ngajar di lembaga, atau lagi ngomong di rapat. Apalagi kalo kamu lagi ngobrol becanda sama mereka. Mereka itu sering nitip salam lewat aku, tauk..”

“Sekali lagi, aku ga cemburu, Nanta, kamu bebas sesukaan di luar sana, tapi di ujung hari kamu harus balik ke aku..”

Lily menarik wajahku mendekat, ah, manga ecchi itu tidak sepenuhnya benar. Sulit mencium kekasih pada posisi ini. Menunduk sedalam apapun, bibir tidak akan saling menjangkau jika kekasihmu rebah di pangkal paha, haha..

Lily bangkit menyambut bibirku. Sebelah lengannya melayang melingkari leherku, sebelah yang lain bertumpu di lantai.

“Mmmmmhhh.. di sini kamu bebas ngapain saja.. Mmmmmmmhhhh..”

“Bebas?”

“Bebas..”

“Boleh ini?” kutarik tubuhnya mendekat, kami duduk bersilangan dengan rapat. Kembali kuselami bibirnya yang penuh, kulumat, kukulum, kugigit. Lily menjerit kecil, lalu tersenyum.

“Boleh ini?” kuturunkan ciuman ke lehernya.

“Boleh.. Ahhhh..”

“Ini?” kuremas payudaranya yang membusung, terasa lembut dalam balutan kaos tipis dan bra sport.

“Terusin.. Aaaaahhhh.. Nanta..”

Lily menegakkan tubuh, menarik wajahku ke bawah, ke tengah payudaranya, membenamkan wajahku di sana.

Aku terengah – nyaris – kehabisan napas. Kugerakkan wajahku mencari udara. Lily merasakan ini sebagai kenikmatan. Wajahku ditariknya lebih rapat, terbenam lebih dalam..

Kuangkat wajahku, kuterkam tubuhnya rebah ke belakang. Kualihkan cumbuan kembali ke wajahnya, mengarahkan bibirku ke celah bibirnya yang merekah terbuka.

“Mmmmmmmmhhhh..” Lily menyambut ciumanku, lengannya terulur ke bawah, menarik lepas kaosku melewati kepala.

Lily selalu suka membuka kaosku saat sudah seperti ini. Bagian dari bawaan pribadinya yang selalu ingin dominan. Aku suka diperlakukan begitu, membuatku merasa lebih diinginkan.

Musik mengalun lembut, mengiringi gerak tubuh kami yang khusu’ dalam cumbu, berlayar dalam gairah yang meluap tanpa tumpah.

Beralaskan selembar kain kami bergulingan. Saling tindih bergantian. Selimut alas sudah terlipat, tergulung, lalu terlontar berantakan. Kami tidak peduli. Adalah kehangatan yang kami buru, menggalinya berdua dalam liar cumbu.

“Mmmmmmmhhhhh.. ke kamar.. Li..”

Pertanyaanku teredam lumatan bibir Lily. Dia menggeleng, ganti menindihku. Sejenak Lily menegakkan tubuh. Mata kami bertemu, saat Lily menarik lepas kaosnya ke atas.

Seperti biasa, aku langsung bangkit, tidak ingin membuang waktu, kulepaskan kait bra di punggungnya, membebaskan kedua gunung kembarnya yang melembung indah.

Ya, suhu sekalian, kini aku dapat melihat keindahan dari bentuk ini..

Tanpa sadar, kami bugil sepenuhnya. Berbaring dalam peluk, rebah pada sisi tubuh kami berhadapan. Kaki Lily melingkari tubuhku, menjepit pinggangku seolah takut kutinggalkan.

Sebelah pahanya terjepit di antara kedua kakiku, menekan batang kejantananku. Tubuh kami bergerak menggeliat, mengikuti irama pertautan bibir kami yang saling melumat, mendorong dalam ciuman panjang penuh gairah.

Kubalikkan badan Lily terlentang, kutindih sebagian. Buah dada Lily membulat, terlihat lebih besar dalam posisinya menentang udara, menghadap langsung ke wajahku. Kusambar putting terdekat dengan mulutku, kuremas keras, gemas.

“Ughhhh.. Nanta.. gigitin aku.. Aaaahhhh..”

Sebelah tanganku naluriah bergerilya. Bergerak turun menyusuri garis perut, tepat menuju ke celah basah di antara kedua kakinya.

“Akh.. Jangan, sakit..”

Lily merintih saat jariku menggesek klitorisnya yang menyembul kecil.

“Kering, ke sini dulu.. Iyah, di situhhh.. Aaaahhh..” dituntunnya jariku ke bagian terbawah vaginanya. Pusat kosmos tubuhnya yang kini membanjir basah. Titik awal penyatuan tubuh dua manusia.

“Oooouuhh.. Nanta.. terus, sayang.. sekarang ke atas..”

Lily meminta dengan lirih. Mengarahkan permainanku yang – sebenarnya – sudah terlatih. Jika Lily senang dengan pikiran bahwa aku sama hijaunya dengannya, biarkanlah begitu saja.

Kumainkan terus jariku di sana. Di lembah indah nan basah milik Lily. Setiap gerakan kecil jariku di vaginanya, menimbulkan gelinjang keras di tubuh Lily, ditingkahi jerit kecil, seperti menandingi musik yang tengah mengalun. Aku dan Lily, ventriloquist dan boneka birahi.

Dengan mendadak, Lily merenggut tanganku dari selangkangannya. Dipeluknya tubuhku, menarikku menaiki tubuhnya. Kakinya terentang membuka, batang penisku jatuh tepat di celah vaginanya.

Kami berpelukan rapat, kaki Lily bertumpu pada telapak, tertekuk menegakkan lutut. Wajahku kembali turun ke dadanya. Rasanya belum puas menghisapi kuncup payudaranya yang kini mencuat, berdiri menantang.

Tangan Lily menangkup pantatku yang bergerak sendiri, memompa, menekankan batang penisku tepat di klitorisnya.

“Aaaaaahhh.. Nanta.. Ahhhh..”

Kuangkat wajahku dari gunung indah Lily, kutatap matanya. Pinggulku terus bergerak, dalam remasan telapak tangan Lily yang menangkup hangat.

“Aaaaahhh.. Nanta.. aku mau kamu..”

Kutatap matanya lekat-lekat. Lily kini melingkarkan kedua lengannya di leherku, balas menatap.

“Aku mau kamu.. ambil aku, Nanta..”

Kukecup lembut keningnya, matanya, pipinya.

“Kamu yakin, Li?”

“Kamu gak yakin?” tanyanya balas menggoda.

“Semua denganmu bagiku adalah yang pertama, Nanta.. apakah ini juga pertama buat kamu?” Lily melanjutkan bertanya.

Pikiranku yang berkabut mengarahkanku pada dua pilihan. Jujur dan merusak suasana, atau berdusta karena tidak ingin kehilangan keindahan ini.

Petikan gitar mengganti alunan biola, Kla Project melagukan bait Romansa..

Aku mengangguk mantap.

Lily tersenyum, mencium dalam bibirku, lalu membuka kakinya, memberiku jalan yang lebih leluasa.

Kumasuki tubuhnya dengan lembut. Tidak kubiarkan Lily merasakan sakit. Aku bergerak sangat perlahan, dengan ritme teratur dan lambat. Lily mendesah lembut, menikmati setiap gerak kecil yang kulakukan.

Tertiup aroma bunga mengantarkan nikmat gairah s’mara
Terlantun untaian mantra; duhai bersemilah cinta kita
Tersiram prahara kasih, tersenyumlah, dan setia dari waktu ke waktu..


“Aaaaahhh.. Ahhhhhhhh.. Aaaaaaahhh..”

Mata Lily terpejam, terhanyut dalam desir indah saat tubuh kami menyatu, kian rapat, semakin dalam.

Rasanya berjam-jam, sampai akhirnya penisku terbenam sepenuhnya. Kusentuh bibir Lily perlahan, dia membuka mata.

“Rasa?”

Sebuah pertanyaan klasik pria, saat merasa mendominasi pasangannya.

“Sedikit perih.. ahhh.. tapi gak sakit, ahh, Nanta.. penuh sekali rasanya..hh..”

Lily sulit menahan desah. Suaranya seperti sedang terhimpit dalam ruang sempit.

Lalu aku mulai menggerakkan pinggulku. Mata kami tetap bersitatap. Mulutnya terbuka, menganga tanpa sadar, saat ujung terdepan tubuhku, bergerak menggesek pusat syaraf sensori di bawah perutnya.

“Ooouuuhhh.. Ahhhhhh.. Nanta.. kamuu.. Ahhh..”

Pengalaman menguntungkanku, ketabahan dan kesiapan Lily memantapkan gerakanku. Kugerakkan pinggulku dengan ritme konstan. Kuatur napasku setenang mungkin. Pengalaman pertama kekasihku ini haruslah indah. Harus berbeda dari perawan lain di seluruh dunia.

“Aaaahh.. Nanta.. Nantaaaa..”

Lily memelukku erat, menjeritkan mantra birahi, dengan namaku di dalamnya.

Aku terus bergerak memompa. Dangkal, dangkal, dangkal, lalu dalam. Pola yang sama, berulang, teratur.

Naluri dan ketenanganku membuatku dapat merasakan pendakian yang dirasakan Lily. Aku dapat memperhitungkan detik-detik menjelang Lily mencapai puncaknya. Tanpa mengubah ritme, kutambahkan tekanan pada setiap tusukanku.

Lily menggelinjang hebat. Aku tahu Lily akan sampai beberapa saat lagi. Kutambahkan tekanan. Saat ini setiap tusukanku adalah tusukan penuh, namun tetap dengan ritme yang sama.

“Aaahhh.. Ahhhh.. Nantaa.. Oouhhh.. Ahh.. Ooooooooohh.. Nantaaaaaaaaa..hhh..”

Lalu suara seolah disihir hilang dari tubuhnya..

Tubuhnya menegang, kepala Lily seperti ditarik ke belakang. Kurasakan rembesan cairan yang semakin membanjir, membasahi titik penyatuan tubuh kami. Tidak kuhentikan gerakanku, aku akan tiba beberapa detik lagi.

Kucabut penisku tepat sebelum kusemburkan lahar panasku.. Lahar itu meruah, membanjiri perut Lily yang rata, dalam trance-nya yang tidak kunjung reda.

***

“Jadi aku boleh semauku di luar sana, asal selalu kembali ke kamu?” tanyaku pada Lily, di suatu waktu pada malam itu. Malam di mana kami mereguk indahnya nikmat surgawi yang sama, berkali-kali.

Lily tidak menjawab, dicubitnya perutku, “Memangnya kamu mau? Sama siapa? Sahara?”

“Haha, nanya doang, kok, kan kamu juga yang duluan bikin pernyataannya..” kubelai pipinya, Lily memejamkan mata. Kami kelelahan, nyaris kehabisan tenaga.

“Kamu beneran belum pernah sebelumnya? Sama Husna juga belum?”

Dalam lena, kurasakan kepalaku menggeleng pelan. Memberikan jawaban tanpa kata.

Jawaban yang kusesali hampir setiap hari setelahnya..

Update 14

***

Apa lawan dari percaya?

Apakah “tidak percaya”?

Bukan, terlalu pungkas. “Tidak percaya” adalah percaya dari sisi berbeda. Tidak percaya, sebuah kepastian. Ringkas, magnitude, mutlak. Case was closed.

Musuh abadi dari percaya adalah sesuatu yang menggantung rendah, menghantui sebagai bayang-bayang. Menunggu, mengganggu, berbisik menghasut dalam kepalamu.

Musuh itu bernama ragu.

***

Pagi itu aku terbangun dengan kebas di setengah tubuhku bagian atas. Semalam kami bercinta berkali-kali, seolah tidak punya hal lain untuk dikerjakan esok hari. Aku tertidur menelungkup, dengan Lily memelukku dari belakang, setengah menindih tubuhku yang telanjang.

Dua bulan berlalu sejak malam kami yang pertama. Seperti yang sudah kujanjikan pada diriku, tidak kubiarkan Lily sendirian semenjak itu. Kami semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Berduaan di rumah, saling menggoda saat mandi berdua, bercumbu di beranda, atau bercinta dengan liar di penjuru rumah. Kami seperti tidak terpisahkan. Kecuali di lembaga.

Kami tetap menutupi hubungan ini di depan teman-teman di sana. Kami lupa alasannya mengapa, tapi rasanya seru juga punya rahasia berdua seperti ini di depan mereka. Datang dan pergi terpisah, lalu berkencan di tempat wisata, di teater, di rumah, di kamar. Bertukar cerita dari sudut pandang berbeda tentang teman-teman dan suasana yang sama.

***

Aku dan Husna bukannya putus komunikasi begitu saja. Kami tetap bertukar kabar seperti biasa, di sepanjang hubunganku dengan Lily, dan hubungan Husna dengan Raja.

Jika bertemu muka, kami memang saling diam, ada kecanggungan yang membuat suara kami masing-masing jadi hilang. Tetapi Husna tetap rajin memberi kabar lewat SMS. Terkadang menelepon untuk bertanya tentang suatu urusan, atau meminta bimbingan soal-soal persiapan ujian.

Beberapa hal secara instingtif tidak kami bahas. Sengaja tidak pernah kusinggung tentang Raja, dan Husna tidak pernah bertanya tentang hubungan cintaku saat ini. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak. Kurasa tidak ada untungnya menebak-nebak.

Demikian seterusnya sampai suatu pagi, saat tengah menikmati sarapan pagi bersama Lily, sebuah SMS dari Husna mengejutkanku.

Husna : Kak, adek gak lulus
Nanta : UN?
Husna : Bukan, kak. UN lulus, tapi SPMB gak
Nanta : Kakak ikut prihatin. Ada yang bisa kakak bantu?
Husna : Gak, kak, doain aja buat tahun depan
Nanta : Iya, selalu didoakan. Adek yang sabar y...

"Dari siapa?" Lily iseng bertanya. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, badan sedikit basah, terbalut selembar kaos tipis rumahan.

Setiap lekuk dan tonjolan tercetak jelas dari luar kaosnya. Selembar handuk membungkus kepalanya yang basah.

Kami selalu sarapan di beranda samping. Sebuah meja bundar dengan dua kursi kayu antik. Set meubel antik yang kokoh.

"Dari Husna," jawabku biasa. Kuletakkan ponsel di meja.

Rutinitas kami berubah sejak "malam pertama" kami. Kami memulai malam dengan mandi bersama, lalu bercengkrama dan mengobrol di ruang tengah. Kami selalu menyetel musik atau menonton dvd sewaan. Film yang diputar berulang-ulang karena tidak selesai ditonton.

Kami akan sibuk bercumbu, memberi rangsang satu sama lain, meninggalkan layar berpendar semalaman. Percumbuan selalu berlanjut. Tiada malam tanpa bercinta selagi kami bisa.

Pagi juga punya rutinitas sendiri. Lily senang sekali duduk di pangkuanku saat sarapan. Duduk menyamping bermanja, dengan hanya selembar kaos menempel di badannya. Kami selalu bercinta setelah sarapan. Lily sangat agresif pada pagi hari, selalu liar menindihku dalam posisi apapun aku saat itu. Jika aku sedang duduk, Lily akan mengangkangiku di kursi. Jika tidak sedang duduk, dia akan menarikku, mendorongku hingga berbaring, dan menunggangiku seperti joki kuda, haha..

Pagi itu berbeda. Lily duduk di seberang meja, melipat kaki.

"Mau cerita?" Lily bertanya, nampak acuh tidak acuh.

"Husna cuma sampekan, dia gak lulus SPMB. Itu doang." kuseruput kopi hitamku.

Sekilas kupandang wajah Lily. Matanya sejenak merenung, dia tampak prihatin dengan ceritaku tentang Husna.

"Duh, kasihan sekali. Dia pasti stress sekarang. Kamu gak mau nemuin dia?" Lily nampak bersungguh-sungguh bertanya.

"Tadi sih aku tanya, perlu bantuan gak, walaupun aku sendiri gak tau bisa bantu apa. Tapi dia bilang minta didoakan saja."

"Hoo.." Lily menjawab datar.

"Eh, aku mau keluar pagi-pagi. Mau ke terminal jemput kiriman barang." Lily melanjutkan sambil berdiri.

Dia melangkah mengitari meja, mengecup ringan pipiku lalu menghilang ke kamarnya.

Kuhabiskan kopiku, lalu melangkah mengikutinya ke kamar.

"Aku pulang aja kali ya. Ntar sore ke sini lagi," kataku sambil bergerak memeluknya dari belakang.

Lily sedang melepas kaosnya, hendak berganti baju, nampaknya.

Kucium tengkuknya, aroma wangi yang lembut, seperti teh hijau, menyapa candraku.

"Mmmmmhhh... Terserah kamu aja.."

Lily mendesah pelan, tertahan. Lengannya sedang bersilang di depan dada saat kupeluk. Kaosnya baru setengah tersingkap, kini berhenti dan menggantung di lehernya.

"Atau kau mau aku di sini dulu?" bisikku lembut di lehernya. Tanganku meremas bulatan besar di dadanya.

"Ahh, Nan.. kamu pulang aja dulu.. stop, Nan.. Ahh.."

Lily selalu tidak bisa menahan diri jika aku bermain di dadanya. Tetapi pagi ini benar-benar berbeda.

Lily membalik badannya ke arahku, menurunkan kembali ujung kaosnya menutupi tubuhnya yang terbuka, memegang wajahku di kedua pipi, mengecup bibirku singkat,

"Plis, kamu pulang dulu, Nan, mood-ku sedang gak baik.. ngerti yah.."

"Tentang Husna?" tanyaku hati-hati, menatap matanya.

"Jangan natap begitu, serem, tauk.." Lily mundur, duduk di tepi tempat tidurnya.

Kutarik kursi rias persegi dan duduk menghadap lurus ke arahnya.

"Ish, dibilangin jangan menatap kayak gitu.." Lily merengut manja.

"Hihi, emang kenapa? Mataku kenapa?" tanyaku tertawa.

"Kamu itu serakah bener yah, maunya dipuji mulu..."

"Maksudnya?" aku benar-benar tidak mengerti bagian ini.

"Iya, serakah.. kamu tahu, karakter wajah kamu itu ada di alis sama mata. Aku sudah pernah bilang, kan, dulu.." kata Lily.

"Kamu sudah tahu itu. Kamu sadar kalo kamu bisa mainin emosiku dengan tatapan matamu, malah sengaja-sengaja begitu..." lanjut Lily, masih manyun, nampak lucu sekali saat itu.

Aku tahu, percuma menginterupsi Lily saat sudah ngomel seperti itu. Terus terang, apa yang Lily katakan tentang komposisi wajahku adalah hal yang baru dan tidak pernah kusadari. Lily mungkin mengira pernah mengatakannya padaku, tetapi aku yakin ingatannya tersaru dengan hal lain. Aku punya ingatan yang cukup baik dan dapat diandalkan, buktinya, aku sanggup mengingat – dan menuliskan – kisah ini, hihi..

“...dan kamu tahu, aku gak bisa bicara kalo kamu sudah pasang muka serius begitu. Kamu tahu sekali itu, trus sengaja pasang mulu, biar liat aku kayak gini. Trus maksa aku ngomong biar aku muji..” ekspresi Lily semakin lucu, aku tidak bisa menahan tawaku.

Aku berhenti tertawa saat kulihat Lily menangis di sana. Terkejut, kuhampiri, duduk di sisinya, kupeluk tubuhnya.

“Hey, maafkan.. aku gak tahu kamu seserius itu tentang ini.. maaf, Li..”

Lily tiba-tiba menegakkan tubuh, mengusap air mata lalu pelan berkata. Kelak kuingat, Lily adalah salah satu wanita paling jujur dan paling terus-terang yang pernah kukenal.

“Nan, ini hanya pemicu. Aku harus jujur, untuk pertama kalinya aku cemburu. Aku sadar, banyak wanita di sekelilingmu, beberapa dengan jelas tertarik padamu. Aku tidak pernah cemburu pada mereka..”

“..tetapi berbeda jika itu Husna. Nan, sejauh apapun hubungan kalian sekarang, Husna selalu menjadi ancaman bagiku, jujur kuakui itu. Tanyakan pada semua pasangan, apa arti mantan bagi mereka, dan apa artinya juga bagi pasangannya. Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..”

Bom-nya baru dijatuhkan beberapa detik kemudian..

“..ditambah kenyataan, bahwa kamu gak seterbuka itu padaku tentang Husna. Nanta, aku cewek, dan cewek mudah tahu saat dibohongi oleh cowok yang dia sayang. Selama ini aku yakin aku bukan seks pertama buat kamu. Mungkin itu Husna, mungkin cewek lain. Tapi masalahnya bukan itu..”

Aku tertegun. Aku tiba pada suatu momen langka, di mana lidahku tercekat, tidak mampu bicara.

“..kamu tahu masalahnya apa. Kan?”

Aku mengangguk pelan. Lily menatapku, meraih kembali wajahku, mengecup bibirku.

“Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis.. Setelah ini, aku mau ga ada bohong lagi..”

Aku mengangguk lagi.

Lily tersenyum. Senyum memahami, memaafkan. Betapa dewasa gadisku ini, memberi maaf pada apologi yang tidak kuucapkan. Permintaan maaf yang seharusnya kuucapkan..

“Kamu pulang dulu. Kita sama-sama perlu tenang, terutama aku. Lagipula, kita butuh jarak untuk bisa saling rindu..”

Lily terus tersenyum dan mengusap pipiku.

"Iya deh, sampai nanti sore.." kataku pada akhirnya.

Kukecup keningnya, dalam dan lama.

***

Sore setelah itu, Lily belum pulang. Tidak biasanya begitu, seingatku. Dari depan rumahnya - aku belum turun dari motorku ketika menyadari Lily belum di sana - kutelepon dia.

Beberapa kali berdering, Lily tidak mengangkatnya. Beberapa menit yang terasa berjam-jam, aku menunggu telepon balasan yang tidak kunjung datang.

Lalu dengan iseng, sambil menunggu kabar Lily kukirim pesan pada Husna.

Nanta : Gimana emosi?
Husna : XD gak gimana-gimana, kak. Harus bisa terima
Nanta : Persiapkan diri lebih baik
Husna : Iya, kak. Sekarang sih masih suka tiba-tiba nangis
Nanta : itu biasa. asal gak keterusan aja
Husna : Iya, kak.. ini lagi nenangin diri
Nanta : Hoo.. lagi bersemedi toh.. di gua mana?
Husna : Ish, bukan di gua, kak, di rumah kak Hajrah aja ini
Nanta : kalo di situ ada juga jadi sibuk jagain ponakan
Husna : Iya sih, kak, tapi lumayan ngalihin pikiran

Nama Lily muncul di layar, telepon yang kutunggu

"Hey, kamu di mana?" Lily bertanya.

"Di depan rumah kamu, nunggu. Kamu balik jam berapa?"

"Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini. Aku jadinya ke rumah Oom, ada acara besok di sini, jadi mesti bantu-bantu.." Lily berbicara cepat. Samar kudengar suara keramaian di latar belakang.

"Kamu kalo mau tidur di rumah masuk saja, pagi-pagi aku pulang kok, tapi siang mesti ke sini lagi.." lanjut Lily.

"Iya, kalo gitu besok aja aku ke sini lagi. No big deal." kataku pelan.

"Maaf, ya, Nan. Besok aku janji temenin kamu seharian, eh, semalaman ding, haha.." Lily tertawa. Belum apa-apa aku sudah rindu padanya.

"Oke.."

Telepon ditutup. Sesuatu berubah, aku tak tahu itu apa.

Kulirik kembali layar ponselku, kedip indikator pesan masuk.

Husna : Listrik lagi mati, kak.
Nanta : gpapa, orang jaman dulu juga tetap hidup tanpa listrik
Husna : Tapi kan ada temannya. Husna lagi sendirian. Kak Hajrah ke nikahan keluarga di luar kota.
Nanta : Cocok, kan mau bersemedi
Husna : Hihi, iya sih. yaudah, adek semedi dulu

Kunyalakan motorku. Mungkin sebaiknya aku ke kampus. Sejak bersama Lily, malam-malam hampir selalu kuhabiskan bersamanya. Sudah jarang sekali aku menengok sekretariatku di malam hari. Kupacu motorku membelah Makassar.

Di traffic light tengah kota, kurasakan ponselku bergetar singkat. Kubuka pesan yang masuk, dari Husna.

"Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..."

Semestinya pesan itu kuabaikan saja..


Update 15


***


“Ahhh.. Kak, Oooouuuuuhhh..” Husna mengerang, kukunya menggores punggungku.

Pinggulku terus bergerak, naik, turun, menekan, menarik, cepat, mendesak, tanpa jiwa.

“Terus, kak, terus.. Aaahhhh.. Ahhhh..”

Husna mereguk gairah yang sekian lama tertunda. Ini bukan cinta, kami berdua menyadarinya. Hanya pelampiasan atas sesuatu yang terasa belum selesai.


***


Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kupacu motorku lebih cepat, berusaha mengabaikan dengung kecil dalam otakku yang menggoda menjawab dini. Kubayangkan wajah Lily, berharap dapat mengusir semua kemungkinan yang dapat terjadi di balik ini.

Hey, Nanta lale? Kemungkinan apa sih yang kau pikir dapat terjadi? Husna hanya butuh teman mengobrol, kan? Kau dan dia punya kekasih, sekarang. Ayolah, jangan ke-geer-an.

Mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati, kamu gak bisa membantah itu..

Terdengar suara Lily di sela raungan mesin dan derum knalpot.

Kak, temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Teringat sikap Lily yang – mungkin – menghindariku sore ini. Suaranya yang berusaha menenangkanku, meyakinkanku bahwa pembicaraan tadi pagi bukan masalah besar untuk hubungan kami. Tetapi aku tahu, sesuatu sudah mengisi celah kosong yang kubuat di kepalanya. Sesuatu bernama ragu.

Duh, Nan, aku ga nginap di rumah malam ini..

Motorku berbelok ke kiri di tikungan sebelum sebuah monumen berbentuk piala. Kutelusuri lapangan tenis, pasar tradisional, bergerak dengan ragu di sebuah jalan lurus yang sepi. Menuju sebuah tempat yang sama sekali berbeda dengan tujuanku semula. Kulewati pos sekuriti, dengan papan besar bertuliskan “Bukit Baruga.”

temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kuparkir motorku di naungan kanopi. Posisi yang sama saat terakhir kali aku ke rumah ini. Rumah Kak Hajrah terlihat sepi, hanya pendar cahaya lilin yang memainkan cahaya di tirai jendela, yang membuat aku tahu Husna di dalam sana.

Aku bergerak ke pintu samping, lalu surut. Tidak, sebaiknya aku masuk lewat depan. Aku kini datang untuk menemani seorang teman yang sedang takut sendirian. Datang untuk mengobrol, tentang hasil ujiannya yang tidak sesuai harapan.

temenin gih.. mati listriknya kayak lama..

Kupencet bel. Husna berlari kecil membuka pintu. Dia tidak mengenakan kerudung. Matanya masih sedikit sembab. Husna melangkah mundur saat aku melangkah masuk dan menutup pintu di belakangku. Dalam diam, kami melangkah ke dalam, melewati ruang tamu pertama, ruang tamu kedua, berbelok ke ruang keluarga.

Husna terus berjalan ke arah sofa, aku berdiri tertegun di ambang pintu.

Yang begini, kan, yang Kak Nanta suka?

Desah itu, tempat ini.

Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis..

…aku ga nginap di rumah malam ini..

Husna membalik badan, melihatku yang masih berdiri di ambang pintu. Mata kami beradu,

Memangnya harus dua minggu? Sesorean ini tidak cukup?

Husna menatapku, wajahnya menerawang seolah menembus ke belakang kepalaku. Seperti tidak sadar, Husna melangkah mendekat, aku tertegun, wajah bloon-ku pasti terpampang sesaat,

Jangan suka pasang tampang bloon begitu, ih...

Suara Lily.

Seandainya bisa, berenang, tapi di tempat yang berdua saja..

Bibir Husna. Napas kami.

Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis..

Aku selalu ingat saat ini, saat paling bodoh dalam hidupku.

Lengan Husna melingkar, menekan wajahku ke arahnya, menarikku ke dalam dirinya. Bibir kami beradu, perlahan, rindu, lalu sebelah kaki Husna terangkat ke pinggangku, kutopang pinggulnya dengan sebelah tanganku. Gerak kaki Husna menarik picu pada diriku, aku lepas pada gairah yang kutahu bukan lagi milikku.

Kututup candraku dari semua suara. Semua. Bahkan dari suara Husna yang terengah mendesah dalam gairahnya. Seperti gila, kuangkat tubuh Husna, kuangkat dan kuhempaskan di sofa. Kutarik lepas semua kain yang melekat di tubuhnya, di tubuhku. Lalu melontarkan diri jatuh, menggila, memeluk-tindih tubuhnya.

Husna menyambutku dengan liar, memeluk, meremas, menciumi dan menggigit semua yang dapat dijangkaunya. Kami bergulingan, bertindihan. Sofa, tepi, lalu karpet tebal di lantai. Tangan Husna menjangkau, menggenggam ujung tubuhku, mengelus dan mengarahkannya dengan tepat, ke ambang pintu yang sudah terkuak menunggu.

Semua bergerak seperti gerak dipercepat. Dingin, tanpa rasa. Suara sekitarku tetap hilang. Tidak kudengar desah dan rintih Husna, – yang pasti ada, dariku juga – tidak ada kenikmatan seperti yang dulu kuburu, setiap kali tubuh kami menyatu.

Kami bercinta tanpa cinta. Lalu lepas, dalam semburan respon alami ujung kejantananku di dalam tubuhnya. Aku sampai juga, Husna belum sedikitpun di sana.

Kesadaran perlahan menguasaiku. Suara mulai terdengar lagi, pelan, lalu perlahan menjadi jelas.

“Ahhh.. Kak, Oooouuuuuhhh..” Husna mengerang, kukunya menggores punggungku.

Tubuhnya terus bergerak, mendorong tinggi, memaksa pinggulku ikut bergerak, naik, turun, menekan, menarik, cepat, mendesak, tanpa jiwa. Aku tahu Husna menikmatinya, menuntut dituntun tiba di tempat yang lebih dulu kucapai.

“Terus, kak, terus.. Aaahhhh.. Ahhhh..”

Husna mereguk gairah yang sekian lama tertunda. Ini bukan cinta, kami berdua menyadarinya. Hanya pelampiasan atas sesuatu yang terasa belum selesai.

Kuteruskan gerak tubuhku, memompa tubuh Husna. Wajahku terbenam di bahunya, terlalu takut mengangkat muka dan melihat wajah lain di sana.

Husna mengejang, tubuhnya melengkung, menjerit keras, saat orgasme mendera di seluruh sel tubuhnya.

“Aaaaaaaahhh, Kak.. Aaaaaaaahhhhh..”


***


Listrik belum menyala juga. Rasa sesal merayap di benakku. Kuusir dengan cepat. Aku lelaki, pandangangku harus selalu ke depan. Kami meredakan napas yang memburu. Pertarungan singkat satu babak itu selesai dengan cepat. Lima menit, sepuluh, dua puluh lima, entahlah, mungkin satu jam berlalu dalam diam. Kami masih berpelukan dan bertindihan. Tubuhku layu di dalam tubuh Husna, lalu terlepas sendiri, diikuti lepasnya pelukan kami.

“Kak, kenapa pergi?”

Husna berbaring telungkup di sampingku. Beberapa menit kembali berlalu dalam bisu.

“Memang adek lebih dulu berpaling, tapi Kak Nanta tahu, kak Nanta yang lebih dulu ninggalin adek..”

Kutolehkan wajah ke arahnya. Wajah Husna datar, tidak ada tuduhan dan sikap menyalahkan di sana. Husna bertumpu pada siku, kedua tangannya menopang pipinya yang bersih. Dia cantik..

“Kakak tidak pernah benar-benar tahu, dek. Penjelasan paling mungkin adalah karena kakak jatuh cinta lagi, pada wanita lain..” perlahan aku bicara, untuk pertama kalinya, sejak menjejakkan kaki di rumahnya sedari tadi.

Raut muka Husna tidak pernah berubah saat aku bicara. Kumulai cerita tentang pertemuanku dengan Lily, tanpa menyebutkan nama. Husna mendengarkan, sesekali tersenyum, membuatku bingung. Tiba-tiba Husna memotong ceritaku,

“Bauk Ananta Pancaroba. Putra ketiga Haji Andi Bauk Mappalewu. Alumni SMA Negeri **. Lahir di Kota S******, 13 Mei 1984. Kuliah di Jurusan Fisika, program studi pendidikan. Penyuka warna hitam. Gelandang kiri PS Gadjamada. Coffeeholic, kutu buku, mata minus sebelah, tapi ogah pake kacamata.”

Aku tertegun, terdiam sesaat. Lalu Husna melanjutkan,

“Coba Kak Nanta jelaskan diri adek dengan cara yang sama..” Husna bertanya tenang, tersenyum simpul.

Aku terdiam, seketika memasuki lagi momen langka yang kaku, gagu.

“Kakak sebenarnya bukan “pergi” ninggalin adek. Yang tepat adalah Kak Nanta “tidak pernah benar-benar “di sini”,”

“Adek sekarang sadar, perasaan Kak Nanta ke adek tidak sedalam yang adek rasa. Dan adek sekarang tahu, Kakak baru mulai menyadarinya saat ketemu dengan cewek lain itu..”

Mataku tidak lepas dari mata Husna, saat dia terus berbicara,

“Mungkin karena itu juga akhirnya adek mau menanggapi pendekatan Kak Raja. Cewek itu kayak cermin, kak, selalu berusaha mencintai cowok yang cintanya lebih besar terhadapnya.”

Perlahan Husna beringsut mendekatiku, tangannya terulur membelai wajahku,

“Adek gapapa, kok, Kak. Lebih baik begini. Kak Nanta juga sudah bahagia, kan, dengan yang sekarang?”

Aku tersenyum, Husna balas tersenyum.

“Raja baik sama adek?” tanyaku, memutar badan menghadapnya.

“Hihi, iya dong.. Perhatian banget. Cemburuan sih, tapi adek suka,”

Kami bercakap santai setelah itu. Husna dan aku seolah tidak menyadari, kami masih sama-sama bugil. Seolah tidak ingat, kami baru saja bersetubuh di sana, persis di tempat kami saat itu sedang berbaring dan bicara.

Kami bercanda, membahas banyak hal, tetapi tetap berhati-hati saat menyinggung hubungan satu sama lain.

Sampai saat keingintahuan Husna memenangkan diri, membuatnya hati-hati bertanya,

“Ng, Kak.. Kakak sama ceweknya.. Ng, pernah.. Pernah ML?”

Saat itu kami berdua berbaring telentang, memandangi lampu yang masih juga padam. Aku tidak menjawab. Husna mencubit pinggangku. Aku tertawa.

“Ih, pake rahasia segala, jawab gak? Kakak pernah ML kan, sama pacarnya yang sekarang?”

Aku masih tersenyum diam, kugerakkan tanganku melintasi bibirku, memberi isyarat seolah sedang menutup zipper. “Rahasia,” maksudku.

Husna bangkit tertawa dengan gemas, duduk menindihku, mencubiti pinggangku,

“Jawab gak?” kami tertawa bersama.

Husna menggeser posisi duduknya di atasku. Memposisikan kemaluannya menghimpit penisku,

“Kalo gak jawab, adek bikin Kak Nanta konak, nih, trus kutinggalin, hihi..”

Husna mulai menggerakkan pinggulnya, menggesekkan area vaginanya ke batang penisku yang masih terkulai lemas. Aku masih tersenyum, bibirku terkatup rapat, membiarkannya terus berusaha. Husna sedang bermain seolah menginterogasiku. Sebuah permainan yang berbahaya.

“Jawab gak?”

Husna tersenyum nakal, kedua tangannya lalu bergerak menarik tanganku ke atas. Menekan pergelanganku di atas kepala, seperti sedang memborgol. Pinggulnya bergerak cepat, menimbulkan suara becek, saat cairan pelumas mulai merembes dari vaginanya.

“Adek bikin kak Nanta konak habis, pokoknya, trus adek tinggal ke kamar, trus adek kunci dari dalam. Biar tau rasa, hihi..”

Perlahan penisku mulai mengeras. Gerakan pinggulnya mungkin tidak seberapa, tetapi payudaranya yang membulat menggantung di depan matakulah yang menggoda. Buah dada yang besarnya sedang, tetapi membulat sempurna.

“Hayoo.. ada yang mulai matojo tuh, hihi..” Husna terkikik sendiri saat dirasakannya kedut di batangku yang mulai ereksi.

“Ngaku gak? Pasti pernah, kan?”

Gerak pinggul Husna semakin cepat, seiring vaginanya yang semakin basah. Lalu tiba-tiba,

“Aaahhh..”

Husna mendesah tanpa sadar. Percobaannya membuatku terangsang ternyata lebih dulu berdampak pada dirinya. Husna seperti baru saja tersadar akan suara desah yang terlontar. Pipinya bersemu merah. Wajahnya dipalingkan, berusaha menyembunyikan jengah. Tetapi pinggulnya tidak kunjung berhenti bergerak. Aku tahu, Husna terhanyut dalam arus yang dibuatnya sendiri.

Desah Husna barusan seperti percik api yang menyentuh bahan bakar yang sudah tumpah meruah di dalam diriku.

Kuangkat kepalaku, kutegakkan leherku menyambar buah dadanya yang tergantung rendah di depan wajahku.

“Ahhhh.. Kak.. Ngaku dulu.. Ahhhh.. Kakak jawab dulu..”

“Jawab apa?” kataku di sela kulumanku di putting susunya.

“Jawab, pokoknyaa.. Aaahhh..”

“Apa tadi pertanyaannya?” kataku menggoda.

Husna kehilangan kendali. Percakapan tadi sudah terhapus dari benaknya yang kini dipenuhi nafsu birahi. Stimulus yang diberikannya memakan tubuhnya sendiri.

“Aaaahhh.. Kak..”

Aku berguling, tubuh Husna menggeliat saat kugantikan posisinya yang mendominasi. Kutindih tubuhnya. Husna secara naluriah melebarkan paha, menyambut kerasnya penisku tepat di tengahnya.

Dengan sekali hentakan, batang kejantananku menerobos liang senggamanya yang basah.

“Adek beneran mau tahu, apa kakak pernah begini sama pacar kakak sekarang?”

“Ouuuuhh.. Iya, kak.. Aaaahhh.. Aouuuhhh..”

“Sering, selalu, hampir setiap malam..” jawabku pelan, mulai bergerak memompa dengan perlahan. Mataku terus menatap wajahnya, berusaha menangkap pandangan yang terus dipalingkannya.

Husna memekik, memejamkan mata. Aku masih belum puas menggodanya. Kuatur ritme tusukanku, dengan pola yang kuingat sangat disukainya. Kugerakkan pinggulku sesekali memutar, membuat seluruh daerah di dalam vaginanya tidak luput oleh sentuhanku.

“Aaaaaaahhh.. Ahhhhh.. Sudah, kak, keluarin.. Ahhhh..” tangan Husna mendorong bahuku, tanpa tenaga.

“Adek sama pacar yang sekarang juga pernah?” tanyaku, membalikkan permainannya.

“Aaaahh.. Iyaaa, kak.. Aaaahhh.. Pernahhh.. Ouuuhh..”

“Sering?”

“Ahhhhh.. Kak, terus, kak.. Aaaahh..”

“Ih, sering gak?” kusodok lebih dalam.

“Ouuhhhh.. Iya, kak, sering.. Ahhh..”

Husna tidak tahan lagi. Diraihnya tubuhku, dipeluk erat. Bahuku digigitnya, melampiaskan rasa nikmat yang mendera area genitalnya.

Aku terus memompa, sebelah tanganku meremas buah dadanya, memilin-milin putting susunya. Husna terus menjerit, mendesah, menggigit dan mencakari punggungku.

“Aaaaahhhh..”

Desah panjang keluar dari bibir Husna, juga dariku. Untuk pertama kalinya, kurasakan nikmat yang berbeda, ketika orgasme dicapai bersama.

Sebut aku gila. Tetapi membahas hubungan kami masing-masing saat bersenggama sekali itu, membangkitkan gairah yang aneh dalam diriku. Sebuah pengalaman baru.


***


Ketika terbangun kemudian, kurasakan dingin yang menusuk. Kulirik jam, pukul dua dini hari. Listrik sudah pulih kembali. Kuraih pakaianku, kukenakan satu persatu.

Husna meringkuk di kaki sofa, tidak jauh dari posisiku. Kuangkat tubuhnya dengan hati-hati, kugendong ke kamar di lantai dua. Kubetulkan selimut menutupi tubuhnya yang telanjang. Sekilas mata Husna terbuka, kubisikkan pamitku perlahan.

Kukecup keningnya,

“Kakak pergi ya..”

Sebuah kata perpisahan, yang lebih dari sekadar pamitan.


***


Aku dan Husna benar-benar tidak berkabar lagi semenjak itu. Sampai pada suatu hari, beberapa minggu setelahnya, saat Husna menelepon di tengah malam, mengabarkan kehamilannya..


Update 16

***

Hari-hari berlalu datar sejak momen terakhirku bersama Husna. Aku kembali pada kehidupanku yang biasa. Menjalani studi, menikmati hobi, menggiati kegiatan organisasi dan menemani - ditemani - Lily.

Aku dan Lily tetap bersama. Terkadang kami memang tiba pada saat-saat canggung dan kaku, saat pembicaraan kami tanpa sadar menyinggung Husna. Tetapi hal itu kami lewatkan begitu saja.

Kehidupan terlalu datar untuk dikenang, terlalu membosankan untuk diceritakan kembali. Saat ini, jika aku memaksakan diri mengingat semua yang terjadi, hanya kilasan fragmen-fragmen kecil yang dapat dipanggil kembali oleh kotak memoriku.

Ijinkan aku menceritakannya seingatku..

***

Kuliah Kerja Nyata (KKN) kuprogramkan pada semester itu. Aku ditempatkan di sebuah dusun di puncak gunung di Kabupaten Bone. Kabupaten dengan wilayah terbentang memanjang di sebelah utara Kota Makassar.

Lily melepasku dengan hangat. Pada malam sebelum pelepasan mahasiswa KKN, Aku dan Lily menyewa sebuah kamar penginapan murah - Ayahnya sedang di rumah - di sekitar wilayah bandar udara. Kami bercinta semalam penuh tanpa tertidur, seakan tidak ingin membuang waktu sedetikpun.

Pada malam itu kusadari, hanya dengan bercumbu atau bercinta, aku dan Lily dapat berkomunikasi tanpa kecanggungan. Iya, suhu sekalian, sejak hari di mana Lily menyatakan perasaan cemburunya pada Husna, kurasakan sebuah tabir menggantung di antara kami. Tabir keraguan Lily tentang perasaanku terhadapnya. Perasaan bahwa setiap kata yang kuucapkan padanya tidak lagi jujur. Keraguan yang menyiksa.

Apa yang dapat seorang pria lakukan jika gadisnya meragukannya? Ketidakpercayaan dapat dihalau dengan argumentasi, dengan diskusi logis atau pemaparan bukti empiris.

Tetapi keraguan yang tidak terucapkan adalah hal berbeda. Sebuah racun yang mengendap di dasar perasaan, menunggu riak untuk muncul ke permukaan.

Hanya dengan bercinta, aku bisa menyatakan – tanpa kata – bahwa saat itu di hatiku hanya Lily satu-satunya yang ada. Dan hanya saat bercinta, Lily bisa menatapku penuh perasaan, tanpa keraguan. Bahasa yang kami pahami berubah menjadi isyarat birahi. Bahasa paling primitif yang dikenal manusia.

***

Lily menjengukku di lokasi KKN pada minggu ke empat aku di sana. Kuatur hari di mana rekan-rekan posko sebagian besar sedang pulang ke Makassar atau ke daerah masing-masing. Lily menghabiskan malam di sebuah penginapan wisata, bersamaku, tentu saja.

Pada malam itu Lily bercerita tentang seorang pria yang datang bertamu ke rumahnya. Anak dari teman Bapaknya, yang dengan jelas menyatakan datang karena diminta ayahnya berkenalan. Kurasakan cemburu, tetapi tidak kutampakkan sedikitpun saat itu.

Lily bercerita dengan lancar. Jika tidak mengenal Lily dengan baik, maka aku akan mengira Lily jatuh hati pada pria itu. Seorang insinyur teknik yang bekerja di sebuah perusahaan mitra BUMN. Jika saja kami tidak baru saja menikmati malam panjang dengan bercinta habis-habisan, aku akan yakin, bahwa Lily akan menerima jika pria itu nanti meminangnya.

***

Aku mengenal Citra di lokasi KKN. Seorang mahasiswi dari universitas berbeda, yang saat itu juga ditempatkan di dusun yang sama. Dusun terpencil ini ditempati oleh dua kelompok mahasiswa. Enam orang dari kampusku, delapan orang dari universitas negeri yang lain.

Citra adalah mahasiswi jurusan kedokteran gigi. Kami langsung akrab pada kali pertama bercakap. Kukenali dia sebagai gadis penggila tokoh superhero Marvel Universe. Obrolan tentang personil Avengers, Fantastic Four, para mutant dari X-Men, komparasi detil komik dengan versi animasi film, selalu menjadi bumbu dalam percakapan kami.

“Kamu tahu bedanya Peter Parker dengan Spiderman?” tanyaku suatu hari.

Saat itu kami hanya berdua di beranda posko. Sebuah rumah panggung tinggi yang sengaja dikosongkan untuk dijadikan base untuk kami. Citra selalu bangun subuh, sama sepertiku. Kami selalu mendapat waktu pagi-pagi sekali untuk mengobrol berdua seperti ini, sebelum teman-teman lain terbangun.

“Kan orangnya sama?” jawab Citra, duduk di pagar pembatas beranda.

“Spiderman mendapatkan gadisnya.. Peter Parker nggak, hehe..” aku mengutip monolog terkenal Spiderman dari salah satu sekuel filmnya.

Citra tertawa keras sekali. Tawa yang sebenarnya sedikit berlebih, untuk perkataan yang tidak terlalu lucu. Tubuhnya agak condong dan terlihat akan jatuh dari posisi duduknya. Dengan cepat kutangkap tubuhnya,

“Hey, apaan sih, pegang-pegang.. Ih..” ucapan Citra mengejutkanku.

“Anu, itu.. kupikir tadi kamu bakal jatuh.. Maafkan..” kulepaskan peganganku di pinggangnya.

Saat kuangkat wajahku, aku terkejut melihatnya tertawa.

“Mukamu lucu, kalo lagi bingung begitu.. Hihi..”

Citra mengerjaiku. Kami tertawa bersama.

Sesuatu terjadi di antara kami dalam bulan-bulan yang kami lalui di desa itu. Sesuatu yang membuatku semakin layak dibungkus ragu, dari Lily, kekasihku.

***

Aku bertemu Hara seusai perpisahan mahasiswa KKN tingkat kabupaten. Kami ternyata ditempatkan di kabupaten yang sama, tetapi berbeda desa.

Aku sudah menunggangi motorku ketika itu, sedang bersiap untuk berangkat pulang seusai pelepasan oleh Bupati. Citra memelukku rapat dari belakang, condong mengikuti kontur motorku yang didesain untuk kecepatan tinggi.

Kami - aku dan Hara - bertukar pandang dan senyum dari jauh. Hara melambai. Kami tidak bertemu lagi dalam sisa tahun itu.

***

Aku belum bertemu Lily sejak tiba di Makassar malam tadi. Aku meneleponnya pagi-pagi, katanya sedang di luar, “sedang jalan dengan teman.” Begitu katanya.

Kuhabiskan hari dengan beristirahat, melepas lelah perjalanan kemarin. Teleponku baru berdering lagi tengah malam, nama Husna tertera di sana.

“Kak, aku hamil..” kalimat pertama yang terucap saat kujawab teleponnya. Suara Husna terbata-bata.

Aku jarang sekali kehabisan kata-kata seperti ini. Keheningan sesaat yang terasa berabad menggenang di udara.

Kutata kembali pikiranku, lalu bertanya,

“Adek lagi di mana?”

“Di rumah Satri, kak..” samar-samar kuingat nama itu. Salah seorang teman cewek Husna di SMA.

“Kakak ke situ sekarang..”

Husna tidak mampu menahan tangis setibanya aku di sana. Dia menghambur ke pelukanku, menangis tersedu-sedu. Rumah ini sedang sepi, kutebak hanya mereka berdua yang ada di rumah saat itu.

Kuusap kepala Husna di pelukanku. Kuajak duduk di ruang tamu yang bukan rumahku. Seperti dulu, aku tidak bicara, kutunggu sampai tangisnya mereda.

“Ini salah kak Nanta..”

Aku terhenyak. Seketika ingatanku merambah kembali ke kejadian empat bulan yang lalu. Kejadian di rumah kak Hajrah. Mungkinkah? Mataku penuh tanya saat kutatap Husna,

“Bukan, adek baru telat dua bulan. Tapi ini salah kak Nanta..” matanya kembali berurai air mata.

“Raja?”

Husna mengangguk, lalu menunduk, menutup muka.

“Ini tetap salah kak Nanta..”

Kuraih ponsel Husna di meja, mencoba mencari kontak Raja.

“Percuma, kak. Sejak adek kasihtau tadi pagi, SMS gak dibalas lagi. Nomornya gak aktif..”

Aku paham sepenuhnya kini. Bagaimanapun dewasanya Husna, dia tetaplah remaja yang rapuh. Ditinggalkan Raja pada saat seperti ini membuat pikirannya butuh sesuatu untuk disandari. Suatu jangkar untuk dilemparkan ke kedalaman agar pikirannya tetap waras di tempat. Aku adalah jangkar paling dekat.

Kurangkul bahu Husna.

“Adek maunya gimana?” tanyaku pelan, menatap sesuatu yang tidak menarik di kejauhan.

Kurasakan ponselku bergetar. Kulirik sekilas nama Lily di layar, kuabaikan.

“Gak ada jalan ini dipertahankan, kak. Harus dibuang. Tapi adek gak tau caranya..”

Kupeluk bahunya lebih rapat. Kumantapkan hati. Kusampaikan rencanaku.

***

Kuputuskan kontak dengan banyak orang selama seminggu, termasuk Lily. Kupusatkan perhatian pada Husna, yang memutuskan menggugurkan kandungannya.

Misoprostol dosis tinggi. Alkohol. Perdarahan. Bedah pembersihan yang melibatkan identitas palsu dan ijin kegiatan fiktif.

Tidak ada yang indah dan etis untuk diceritakan.

Saat-saat paling membuat depresi yang pernah terjadi dalam hidupku.

Bagi Husna? Kalikan depresiku dengan sejuta.

***

Tahun 2009 datang tanpa terasa. Tahun bagi mereka yang seusiaku mulai mengenal facebook, haha..

Raja muncul di padepokan pada suatu hari, setelah menghilang selama berbulan-bulan. Emosi marah menguasaiku seketika, ketika dia menyapaku seakan tanpa dosa.

Kutantang dia padudung saat itu juga.

Padudung adalah latih tanding dengan kaidah dan aturan minimal. Dalam latih tanding biasa ada kaidah yang mengatur jumlah serangan dalam satu kali berjibaku. Ada kaidah melangkah dan ada area yang terlarang untuk diserang. Dalam padudung beberapa aturan dihilangkan. Beberapa aturan lagi tetap ada tetapi dilonggarkan. Titik berat latihan ini adalah pada mental dan daya tahan tubuh. Pesilat dipersiapkan menghadapi kemungkinan pertarungan sungguhan, bukan pertandingan olahraga.

Tidak perlu kugambarkan. Cukup kukatakan bahwa setelah padudung-ku melawan Raja, dewan pembina memanggil kami berdua. Konflik personal tidak dapat kusembunyikan lagi.

Raja mendapat teguran. Aku menerima surat peringatan. Kesalahan yang kulakukan dinilai lebih berat, sebab mengakibatkan kerusakan yang hampir permanen pada rekan seperguruan.

Tetapi peringatan yang kutakutkan bukan itu, melainkan dari sumber yang lebih kuhormati.

Bapakku murka mendengar berita dari teman-temannya tentang kejadian itu. Aku dipanggil pulang, perbincangan yang menyesakkan tidak terhindarkan.

“Katakan ini bukan soal perempuan,” Bapakku berbicara datar.

Bapakku adalah seorang pabbicara di lingkungan kedatuan bugis kota asalnya. Keengganannya untuk hidup dalam lingkungan feodal yang dinilainya tidak sejalan dengan ajaran agama membuatnya hijrah ke Makassar, melepaskan gelar dan hidup sebagai pegawai biasa.

Pabbicara berarti juru bicara. Di lingkungan kedatuan, jabatan ini setingkat di bawah kajao (penasihat datu). Pabbicara pada masa lalu bertugas mengajarkan baca-tulis kepada putra-putri datu dan pembesar kedatuan. Pada saat para putra-putri itu memasuki masa remaja, pabbicara jugalah yang mengajarkan keterampilan berkuda, bertarung, berpuisi dan menari.

Pada masa kini, tugas seperti itu tidak dijalankan lagi. Yang ada tinggal kebanggaan yang berlebihan. Megarah pada penyembahan manusia kepada manusia. Hal yang membuat Bapak mantap meninggalkan kehidupan yang demikian.

Para ksatria bugis selalu berprinsip, adalah siri’ ketika dua laki-laki bertarung karena memperebutkan perempuan.

“Tidak bisa, etta (bapak). Ini memang soal perempuan.” Jawabku tertunduk.

Kami hanya terdiam. Duduk berhadapan dalam hening, begitulah selalu cara Bapakku menyampaikan kemurkaannya. Menyiksa kami dengan kemarahan yang disampaikan seperti radiasi. Berjam-jam lamanya kami hanya duduk di sana, di ruang keluarga. Kebisuan yang menyiksa.

Kuterima saja kemarahan Bapak yang ditimpakan kepadaku. Tidak berani kujelaskan cerita yang mendasari tindakanku. Tidak mungkin kujelaskan, bahwa kemarahanku pada Raja dikarenakan dia tega menelantarkan Husna saat tahu kehamilannya. Kemudian muncul dan melenggang begitu saja.

Tetapi di dalam hati aku tahu, ini semua hanyalah manifestasi penyesalanku, telah mengajak Husna mengenal dunia yang seharusnya belum dia tahu.

Ini tetap salah kak Nanta..

***

“Aku hanya bingung, setelah sekian lama, kamu masih segitu care-nya pada Husna..”

Aku dan Lily berbaring dalam selimut, baru menyelesaikan satu sesi awal malam yang nikmat. Kejadian di padepokan hari sebelumnya tidak dapat kututupi, bekas lecet dan bilur di tubuhku bercerita lebih banyak dari yang seharusnya.

Aku tidak menanggapi. Tidak tahu dan merasa tidak perlu.

Lily memutar tubuhnya menghadapku,

"Nan, kamu masih ada rasa sama dia?"

Aku menggeleng mantap. Aku tidak pernah tahu nilai kebenaran dari jawabanku ini. Apakah salah, atau hanya benar sebagian? Entahlah, sebab pertanyaan selanjutnyalah yang mengejutkanku,

"Nan, setelah ada aku, kamu sama Husna.. pernah..?"

Aku tidak menjawab.

Jangan bohongi aku lagi, Nan.. plis..

Diamku menjawab semua yang Lily ingin tahu. Menggerakkan endapan ragu yang sudah lama menunggu.

Malam kami lewati tanpa bicara. Hanya diam sampai lena turun menculik kesadaran.

***

Lily semakin jarang di rumah. Lebih sering beraktifitas di luar, “dengan teman,” hanya itu katanya. Kurasakan kehadiran pribadi yang samar di antara kami, berdiri menghalangi. Aku tahu dari aktifitas sosial media, Lily sedang dekat dengan seorang rekan kerjanya. Pria bernama Nurhadi.

Kubenamkan diri pada kesibukan baruku. Aku mengajar di sebuah sekolah swasta. Jam kerja yang tidak penuh membuatku bisa menerima tawaran paruh waktu dari beberapa sekolah lain. Pada malam hari, kuterima beberapa siswa yang menginginkan jam pelajaran private.

Kealpaan Lily pada sebagian besar waktuku membuatku membuka diri pada beragam rupa kegiatan. Kudaftarkan diri pada pelatihan-pelatihan, kursus jangka panjang dan aktifitas sosial. Dua kali seminggu kuikuti kelas pajak brevert di Graha Pena. Kudaftarkan diri pada kursus akuntansi pada malam sisanya. Tahukah suhu sekalian, ada lho yang namanya “Kelas Etika Berkendara di Jalan Raya,” haha..

Aku harus fair mengakui, memudarnya perasaan di antara aku dan Lily tidak semata karena sibuknya dia dengan seorang pria lain. Aku bukan pria yang sepenuhnya setia. Tanyakan pada Citra, Hara, dan , ah, sudahlah..

***

“Nan, kita harus realistis. Aku 27 tahun ini, dan aku perempuan. Kita gak ke mana-mana saat ini..”

“Poinmu?” kuberanikan diri bertanya.

“Hadi resmi nglamar aku. Sabtu ini keluarganya datang. Aku sudah iyakan, Nan..”

Lily membelai wajahku. Pagi itu pagi yang sama, kami sarapan di beranda. Lily duduk di pangkuanku dengan selembar kaos belelnya.

“Kamu harus ingat, Nan, jangan lagi pernah jadiin cewek sebagai pilihan, ketika dia menjadikanmu satu-satunya di hatinya..”

Lily menatapku lembut. Wajah kami dekat, hampir tidak berjarak. Lily selalu menjadi dua sisi kontradiksi, dewasa dan manja kekanakan dalam satu diri.

..mantan selalu menempati tempat tersendiri di hati..

Pagi itu, kami bercinta dengan sedih..


1 komentar: