Rabu, 23 Desember 2015

Liana and I � Awal Dari Permulaan

Aku adalah seorang pria keturunan berusia 45 tahun. Dengan dua bidang usaha yang kujalankan dengan cukup sukses, serta adanya sejumlah harta warisan, dapat dikatakan aku termasuk orang yang cukup beruntung dimana kami sekeluarga sangat berkecukupan dalam hal keuangan.

Aku telah bercerai dengan mantan istri sekitar 10 tahun lalu. Saat ini aku tinggal berdua dengan putriku disamping adanya dua pembantu wanita dan seorang sopir. Namun sopirku tidak tidur disini. Ia hanya datang dan pulang hari. Sementara anakku itu namanya Liana, kini telah menginjak usia dewasa. Usianya 17 tahun dan saat ini duduk di kelas 2 SMA. Sungguh bahagia aku melihat perubahan dirinya, dari seorang gadis kecil yang lucu menjadi gadis muda yang cantik rupawan dengan tubuh yang telah tumbuh dewasa dengan sempurna. Tak heran kalau banyak teman-teman cowoknya yang naksir dirinya karena selain cantik menarik juga ia cukup berprestasi di sekolah dan termasuk pribadi yang ramah dan menyenangkan. Saat aku berjalan bersamanya, kudapati banyak sekali cowok-cowok muda maupun pria-pria setengah baya yang kira-kira seusiaku atau bahkan yang lebih tua lagi yang suka memandang ke arah putriku. Satu hal yang membuatku merasa bangga mempunyai anak gadis secantik dirinya.

Hubunganku dengannya termasuk akrab dan dekat sekali. Selepas bercerai, aku jadi semakin dekat dengan putriku satu-satunya itu. Meskipun kadang aku sibuk mengurus bisnisku, namun aku selalu menyempatkan waktu untuk berdua dengannya. Sebaliknya, Liana juga amat dekat dan terbuka denganku. Berbeda dengan kebanyakan orangtua yang punya masalah dengan anak baru dewasa seusianya, aku sungguh merasa beruntung mempunyai hubungan yang amat akrab dan terbuka dengan anak gadisku. Disaat hampir semua anak seumuran dia ingin terlepas dari orangtuanya dan maunya bergaul dengan teman-temannya, Liana kadang malah minta supaya aku menjemputnya sendiri. Juga, ia tak merasa risih saat kita pergi berdua. Hampir dalam semua hal, Liana bersikap terbuka denganku. Termasuk dalam urusan dengan cowoknya. Seringkali ia minta nasihatku dalam hubungan asmaranya.

Satu hal lagi yang membuatku amat bangga terhadap putriku, yaitu ia termasuk gadis alim yang nggak neko-neko. Meskipun hidupnya serba berkecukupan, namun tak berarti ia suka berbuat seenaknya. Meskipun telah berpacaran selama hampir setahun, namun ia tetap tahu menjaga batas-batas mana yang boleh dan mana yang tak boleh dilakukan. Sungguh satu hal yang agak langka di jaman yang katanya modern tapi kadang keblinger ini. Sampai saat ini ia masih perawan. Hal itu terlihat jelas dari arah pembicaraan dan tindak-tanduknya.

########

Selama ini aku memang telah menyadari bahwa putriku sekarang bagaikan bunga yang baru mekar dan harum semerbak. Kini ia telah menjadi gadis muda yang cantik dengan tubuh layaknya seorang gadis dewasa. Namun selama ini hal itu hanyalah sekedar konsep yang hanya kusadari dalam tingkat intelektual saja, bukan dalam arti sesungguhnya. Bagaimanapun, ia adalah anakku sendiri. Tentu aku tak bakalan punya pikiran yang nggak-nggak terhadap dirinya, bukan? But, oh. How wrong I was�

Malam itu adalah malam yang tak terlupakan bagiku. Karena malam itu adalah titik balik saat dimana aku memandang Liana putriku dari sudut pandang yang berbeda. Untuk pertama kalinya, aku merasakan betapa �sexy-nya� dirinya. SEXY. Hmm. Istilah yang selama ini sungguh asing bagiku untuk diasosiasikan kepada dirinya. Kalau cantik, menarik, menawan hati, semua itu memang tak asing lagi. Dan semua itu lebih mengarah ke kebanggaan, kekaguman tapi sama sekali bukan ke hal-hal yang berhubungan dengan ketertarikan secara seksual. Selama ini kadang kala ia memakai pakaian yang agak santai dan terbuka, terutama saat menjelang tidur dan tentu saja ketika tidak ada orang luar. Namun aku sama sekali tak pernah berpikiran mupeng terhadap dirinya. Bahkan, jujur saja, sebelum ini aku pernah melihatnya telanjang bulat. Yaitu saat ia berumur 15 tahun. Hal itu terjadi secara tak sengaja dan sebenarnya karena kelalaian dirinya juga. Namun saat itu hal itu tak menyebabkanku untuk berpikiran yang aneh-aneh. Sama sekali tak ada!

Sebaliknya, biasanya pikiranku mengasosiasikan pengertian SEXY ini terhadap gadis-gadis muda di luaran sana, baik cewek-cewek lokal maupun impor, yang biasa kukencani secara short time, long time, ataupun langganan.

Tapi malam itu, entah kenapa, tiba-tiba saja aku melihat putriku sendiri dengan kacamata yang berbeda. Sabtu malam itu ia pergi ke pesta ultah temannya dengan dijemput oleh cowoknya. Ketika hampir pukul 11 malam ia sampai ke rumah dengan diantar cowoknya. Seperti biasa, Liana nampak cantik apalagi dengan gaun pesta yang membalut tubuhnya dengan indah dan elegan. Kita ngobrol cuman beberapa menit sebelum cowoknya pamitan pulang. Setelah itu aku sedang nonton TV saat ia langsung bercerita dengan keadaan pesta tadi. Saat itu ia agak kurang senang karena menurutnya aku tak terlalu memperhatikan dirinya. Karena tak ingin mengecewakannya, akhirnya aku matikan TV dan memusatkan perhatianku kepada dirinya.

Saat aku menatap dirinya lagi, kulihat ia telah melepas lapis luar gaun pestanya yang sebelumnya dikenakannya. Sehingga kini ia hanya memakai pakaian lapis kedua warna abu-abu yang membuat dirinya lebih kelihatan �terbuka�, dengan kedua bahunya terlihat karena rok dalamnya tanpa lengan dan kedua kakinya terlihat cukup banyak karena rok terusan itu agak tinggi di atas lutut. Saat itu ia duduk dengan kedua kakinya disilangkan, sehingga nampak sebagian besar pahanya yang putih halus apalagi roknya itu lebih agak tertarik keatas lagi karena posisi duduknya. Tentu kulihat juga tonjolan di dadanya karena hal itu sungguh tak terhindarkan lagi karena dalamnya memang cukup berisi sementara rok terusan dalamnya cukup ketat membalut tubuhnya. Namun sampai sejauh ini, aku masih belum berpikiran yang aneh-aneh. Pikiran nyelenehku itu mulai timbul saat ia merubah posisi kakinya, dimana kedua kakinya yang tadinya disilangkan kini diluruskan. Kedua kaki itu tidak menghadap ke arahku tapi miring 60 derajat dariku dan keduanya agak terbuka. Meski aku tak bisa melihat, namun aku tahu bahwa celana dalamnya terlihat dari arah sono. Pikiranku agak terganggu akan hal itu, sementara ia terus bercerita dengan santainya seperti biasa. Dan, pikiranku makin berkecamuk saat ia mengubah posisi kakinya lagi dengan disilangkannya lagi dan menghadap ke arahku. Kini aku bisa melihat sebagian paha bagian dalamnya lagi, bahkan lebih banyak dibanding sebelumnya. Bahkan sampai hampir ke pangkalnya, hampir mencapai garis celana dalamnya, namun tak sampai kelihatan. Mungkin hanya beda satu sentimeter. Pada saat itu tanpa kusadari penisku telah menegang! Sungguh gila! Penisku jadi tegang terhadap putriku sendiri! Sementara ia terus berbicara sambil tersenyum ke arahku. Membuat aku jadi semakin tegang, tegang karena takut ketahuan juga tegang karena menatap paha mulus di depanku. Apalagi kulit tubuhnya sungguh putih.

Saat ia berdiri untuk mandi dan meninggalkanku, pikiranku jadi semakin konak. Kulihat dengan jelas betapa mulusnya kedua pahanya, pinggulnya yang menonjol terbalut oleh rok dalaman yang ketat, juga kini kuperhatikan pula payudaranya yang nampak menonjol di balik rok dalaman itu, selain juga garis celana dalam yang tercetak di pinggulnya, garis tali branya yang juga agak tercetak di punggungnya, serta kulit bahu dan lehernya yang putih halus.
�Yuk, Papi, aku mandi dulu ya,� katanya sambil wajah cantiknya menatap kearahku dan tersenyum manis.

Saat itu aku baru menyadari secara langsung betapa kuatnya daya tarik seksual Liana, putriku ini. Bahkan aku, ayahnya sendiri, bisa dibikin belingsatan pada saat itu. Kini aku mulai terbayang dan membayangkan, alangkah indahnya tubuhnya dalam keadaan telanjang bulat seperti saat ini di dalam kamar mandi. Pada saat itulah aku menyadari bahwa putriku ini sungguh amat SEXY! Satu hal yang belum pernah terpikirkan sampai level seperti ini sebelumnya. Oleh karena penasaran, aku sengaja menunggu ia keluar dari kamar mandi. Sebelum tidur, aku ingin melihatnya saat ia memakai daster tidur yang agak-agak tipis. Tentu bakal indah dan SEXY.

Malam itu tak terjadi hal-hal yang diluar batas. Bagaimanapun, Liana adalah putri kandungku. Tentu aku bisa mengendalikan diriku. Terlebih lagi, sampai kapanpun dan apapun yang terjadi, aku tak ingin melukai perasaannya. Namun malam itu adalah titik balik yang bakal mengubah hidupku, paling tidak kini aku mulai dihantui pikiran-pikiran �itu�, yang makin lama terasa makin kuat. Juga malam itu aku melakukan masturbasi dengan agak aneh. Awalnya aku terangsang membayangkan tubuh Liana yang sexy terbalut pakaian ketat saat ia berdiri tadi. Namun setelah itu aku mampu mengalihkan pikiranku ke gadis-gadis muda yang pernah kukencani semalam. Tapi, entah setan dari mana, pas sebelum ejakulasi, pikiranku spontan tiba-tiba kembali ke diri Liana dimana aku menyemprotkan seluruh maniku pada saat membayangkan melihat Liana dalam kondisi telanjang bulat.


Liana and I Bag. 2 – Bara Api Yang Semakin Menyala di Dalam Sekam

Hari itu aku pulang rumah lebih awal disaat langit masih agak sore. Sementara Liana telah sampai di rumah duluan karena siang tadi supirku, Nono telah menjemputnya dari sekolah dan mengantarnya pulang rumah. Kebetulan hari itu jadwal meetingku diundur jadi aku bisa pulang rumah lebih awal. Sesampai di rumah, Nono pun kusuruh pulang ke rumahnya lebih awal supaya ia pun bisa meluangkan waktu lebih banyak dengan keluarganya. Apalagi sisa hari itu aku tak memerlukan jasa dia lagi.

Baru beberapa menit aku duduk di sofa di ruang tengah, saat itu Liana keluar dari kamarnya.
“Wah, tumben jam segini Papi dah nyampe rumah,” katanya dengan tersenyum lebar. “Abis ini Papi nggak pergi lagi khan,” sambungnya lagi dengan wajah gembira ia berjalan mendekat ke arahku. Memang hubungan kami cukup dekat. Dan ia selalu senang manakala aku meluangkan waktu untuk bersamanya.

Namun.. Glekk! Aku agak terkesiap. Liana memakai kaus tanpa lengan yang cukup ketat dengan belahan agak rendah serta celana olahraga yang cukup pendek. Membuat lekuk indah tubuhnya terlihat begitu nyata terutama dadanya yang nampak menonjol di balik kaus ketat itu. Demikian pula pahanya yang mulus serta pantatnya yang bulat berisi di balik celana pendeknya juga nampak jelas. Badannya terlihat basah dengan keringat, demikian pula ujung-ujung rambutnya. Rupanya ia habis olahraga di dalam kamar.

Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihatnya dengan pakaian seperti ini. Namun kali ini aku melihatnya dengan perspektif berbeda. Sejak kejadian malam itu, kini aku jadi melihat dirinya sebagai gadis muda yang sexy dengan daya tarik seksual tinggi. Sehingga saat itu aku dalam keadaan tegangan tinggi, karena pengaruh gaya magnet dirinya. Apalagi ia berjalan mendekatiku dan berada persis di dekatku dalam jarak yang amat dekat. Glekk! Aku jadi menelan ludah sendiri. Penisku seketika jadi mengeras. Dan saat berbicara dengannya, aku secara spontan melirik ke arah dua tonjolan indah di dadanya itu. Begitu padat berisi dan indah. Apalagi saat itu tangan Liana menyentuh diriku, seperti yang biasa ia lakukan dan juga aku lakukan terhadapnya. Namun saat-saat itu aku dalam keadaan normal, bukan dalam keadaan tegangan tinggi seperti ini. Kini nafsuku jadi semakin naik ke atas. Ia tak sadar kalau Papinya kini telah berbeda. Satu hal yang membuatku menjadi merasa “untung” namun juga sekaligus serba salah.

Pada saat itu aku akhirnya berhasil menepis godaan setan nafsu dalam diriku. Dengan halus aku menjauhkan diriku darinya. Dan kini aku jadi teringat akan satu hal penting. Dengan suara bernada teguran, aku berkata kepadanya,
“Kamu ini gimana sih kok keluar pake pakaian seperti ini sore-sore gini… Kalo sampe dilihat Nono gimana?” Saat itu hatiku agak berdebar juga karena aku tak ingin anak gadisku dilihat orang luar dengan pakaian setengah sexy seperti ini apalagi oleh seorang supir. Meskipun orangnya baik dan alim, namun bagaimana pun juga ia tetaplah seorang laki-laki. Apalagi buat orang yang datang dari desa seperti dirinya tentu adalah hal yang luar biasa untuk melihat langsung gadis oriental dengan pakaian sexy seperti yang dikenakan Liana saat ini. Dan, kenyataan bahwa Nono baru meninggalkan rumahku tak lebih dari 5 menit lalu, membuat adrenalinku jadi naik. Sungguh untung sekali Liana tak keluar lebih awal 5 menit. Aku tak ingin Liana putriku jadi santapan mata si Nono. Sementara aku tak terlalu masalah dengan dua pembantuku karena mereka keduanya wanita. Saat ini mereka berdua ada di belakang.
“Iih, Papi. Mana, dia nggak ada disini kok,” katanya menantangku balik.
“Ya karena sebelumnya dia baru saja pulang. Kalo nggak juga dia masih disini,” kataku lagi. “Kamu ini harus lebih hati-hati. Karena sekarang kamu bukan anak kecil lagi. Khan Papi sudah pernah bilang sebelumnya.”
“Nah. Justru itu, Papi… Karena aku tahu kalo Papi sudah suruh pulang Nono, makanya aku keluar pake begini,” katanya membela diri.
“Memang kamu tahu darimana?”
“Khan aku dengar waktu Papi bilang ke dia. Juga waktu dia pamitan. Aku sengaja kasih jarak waktu cukup sampe dia dah pergi, baru aku keluar,” katanya dengan nada kemenangan.
“Tapi tetap aja kamu lain kali jangan begini. Harus lebih hati-hati. Siapa tahu dia masih nyangkut disini,” kataku tak ingin kehilangan kata-kata.
“Hihihi. Emang burung apa bisa nyangkut segala. Kalo aku nggak yakin bener, aku juga nggak akan keluar juga lah, Pi. Tapi, kenyataannya sekarang khan cuman aku sama Papi aja disini. Kalo sama Papi khan ok toh,” katanya dengan wajah manis.
Aku jadi kehilangan kata-kata, tak tahu harus menjawab apa.
“Kalo cuman berdua sama Papi mah… mau pake pakaian kayak gimana aja juga nggak apa2 kalee..,” tambahnya lagi.
“Hush! Kamu jangan ngomong seperti itu. Lagipula, nggak baik dilihat dan didengar orang,” kataku dengan cepat.
“Orang lain mah bisa ngomong apa aja, Pi. Khan Papi juga yang bilang waktu itu. Yang penting adalah kenyataannya. Dan kenyataannya Papi baik banget sama aku. Pokoknya Papi nomor satu dah di dunia.”

########

Setelah itu aku mandi dan tidur siang sejenak. Petangnya kami berdua makan malam bersama. Setelah itu kita nonton TV bentar sebelum akhirnya larut dalam pembicaraan yang topiknya ngalor ngidul bervariasi. Saat-saat kebersamaan dengan putriku Liana seperti ini adalah saat-saat indah yang amat kusyukuri.

Saat hari bertambah malam, akhirnya kita kembali ke kamar masing-masing. Sebelum berpisah, ia memelukku dengan erat dan lalu kucium keningnya sambil kubelai rambutnya. Di dalam kamar aku mengingat kembali saat –saat indah yang terjadi barusan. Aku sungguh beruntung punya anak gadis seperti Liana. Pada saat-saat kebersamaan tadi, semuanya terasa indah. Dan, sumpah mati, sama sekali tak ada sedikitpun perasaan mupeng terhadap dirinya. Termasuk saat ia memelukku tadi walalupun tubuh kami saling menempel erat dan tercium harum semerbak tubuhnya. Inikah namanya cinta murni? Hatiku terasa melayang di atas awang-awang.

Pada saat itu, tiba-tiba…..
Pett!
Suasana jadi gelap gulita. Listrik rumah kami padam.
“Papiii!!!”
Terdengar suara Liana berteriak.
Buru-buru aku keluar kamar (dengan berhati-hati untuk tidak terjatuh karena suasana yang gelap pekat).
“Papiiii!!”
“Iya, Papi disini. Kenapa kamu teriak2?”
“Kok tiba-tiba gelap banget sih!” terdengar suara Liana agak kesal.
Suaranya terdengar berasal dari arah kamar mandi.
“Listriknya mati kali. Atau saklarnya kejepret. Sebentar Papi cek dulu.”
“Kamu dimana?”
“Aku lagi di dalam kamar mandi tadi. Trus tiba2 kok jadi gelap banget,” suaranya dengan nada protes.

“Papi dimana?” tanyanya beberapa kali saat aku meraba-raba untuk berjalan ke arah saklar utama listrik dan mencari lampu senter.
“Oh ya, rupanya saklarnya kejepret,” kataku. Dan segera kunyalakan kembali saklar itu.
“Ah, bikin aku kaget aja tadi,” suara Liana terdengar lega saat lampu menyala kembali.
“Ya udah sekarang kamu terusin ke kamar mandinya.”
“Bentar, Papi disini dulu ya,” katanya sambil memegang tanganku. “Temenin aku ngobrol bentar,” pintanya.

Pada saat itu aku menyadari sesuatu yang berbeda pada pakaian Liana dibanding sebelumnya. Liana masih memakai daster yang sama seperti tadi. Namun…. Bagian dadanya terlihat longgar ditambah adanya gerakan-gerakan yang mengguncang di balik dasternya. Mengetahui itu penisku jadi menegang. Wajahnya yang cantik dan polos dengan dibalut daster rumahan tanpa bra membuat ia terlihat sedemikian sexy dan menggairahkan! Apalagi kini jelas terlihat tonjolan kecil kedua putingnya yang membekas di dasternya!

Saat itu ia mengajakku bicara seperti biasa seolah tak ada apa-apa. Bagi dirinya mungkin tak ada apa-apa. Namun bagiku sangat ada apa-apanya. Segera teringat aku akan kata-katanya siang tadi “Kalo cuman berdua sama Papi mah… mau pake pakaian kayak gimana aja juga nggak apa2 kalee”. Membuat teganganku jadi melonjak ke titik maksimal. Apalagi dengan melihat jelas kedua putingnya yang membekas di dasternya, artinya payudaranya selain padat berisi juga masih begitu kencang.

Di satu sisi, aku merasa “beruntung” bisa menyaksikan pemandangan indah seperti ini. Namun disisi lain, sungguh saat itu adalah godaan yang sangat berat bagiku. Di satu sisi aku tak ingin sampai kehilangan kontrol diri. Tapi disisi lain, aku menikmati pemandangan indah ini. Itu sebabnya aku mau saja menemaninya saat itu. Sungguh tubuh gadis muda yang amat indah dan menggairahkan birahi laki-laki.

Setelah itu ia akhirnya masuk lagi ke kamar mandi dengan memintaku menungguinya di luar, sampai akhirnya ia selesai. Sebelum berpisah masuk ke kamar masing-masing, sempat kulihat untuk terakhir kalinya keindahan tubuh seorang gadis muda dalam diri Liana, terutama bagian dadanya.

Di dalam kamarku, pikiranku berkecamuk. Sungguh gila! Aku sebelumnya merasa telah mampu mengontrol diriku, namun dalam sekejab situasi kini berubah 180 derajat. Kini pikiranku dipenuhi nafsu mupeng terhadap putriku sendiri! Oleh karena tak tahan lagi, malam itu lagi-lagi aku melakukan masturbasi dengan membayangkan Liana putriku sendiri!! Saat ejakulasi, sungguh terasa nikmat sekali. Setelah diriku tenang kembali dan pikiran kembali normal, aku bersyukur. Paling tidak masturbasi seperti ini lebih baik daripada kehilangan kontrol diri dan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Namun aku menyadari, walaupun di atas permukaan tak terjadi apa-apa, namun di bawah permukaan my dark fantasy ini semakin kuat merasuki diriku…. Bagaikan bara api yang semakin menyala di dalam sekam. 


Liana and I Bag 3 – Antara Tahu dan Tidak Tahu

Sebenarnya belakangan ini aku menyadari kalau pada dasarnya aku seorang duda kesepian. Sejak bercerai dengan mantan istriku (Ibunya Liana) hampir 10 tahun lalu, tak ada wanita yang mendampingiku secara permanen. Sementara untuk melampiaskan nafsu syahwatku, tak terhitung banyaknya perempuan yang telah kukencani, mulai dari yang bayaran sampai yang mau suka sama suka. Perempuan-perempuan itu berasal dari berbagai kalangan, status sosial, bahkan aku telah mencicipi wanita-wanita dari berbagai negara. Namun mereka semua hanyalah cinta sesaat. Pada akhirnya, setelah semuanya berakhir, tak ada kebahagiaan yang tersisa. Yang ada hanyalah kekosongan hati yang dalam.

Mungkin hal itulah yang membuat aku jadi semakin dekat dengan Liana, karena bagaimana pun dialah anggota keluargaku yang paling dekat. Selama ini hubungan kita amat dekat dan positif. Sampai beberapa bulan lalu, saat tiba-tiba pikiran gelap itu mulai merasuki diriku...

Untuk itulah aku berpikir untuk mencari pasangan hidup baru, seorang wanita yang dapat mendampingiku selamanya. Namun yang menjadi ganjalan dalam pikiranku adalah Liana. Hal ini bakal tidak mudah baginya. Boleh dikata selama ini kita hanya hidup berdua. Namun tak ada pilihan lain. Ini adalah pilihan terbaik bagi semua pihak. Untuk itu aku harus membicarakan hal ini dengannya….secara pelan-pelan dan sabar. Karena bisa kubayangkan tentu ia tak bakal setuju.

Hari itu, sehabis mengantar Liana ke sekolah dan aku ke kantor, si Nono kusuruh libur. Siangnya, aku sengaja pulang lebih awal dan hari itu Liana kujemput sendiri dari sekolahnya. Setelah makan siang, saat kita ada kesempatan bicara, aku mulai mengarahkan pembicaraan. Namun, sebelum sampai ke topik utama, kusadari kalau hari itu mood Liana kurang baik. Jadi aku urung melanjutkannya. Kini topik pembicaraan berubah ke hal-hal ringan. Sampai akhirnya aku masuk ke kamar untuk tidur siang sebentar.

Di dalam kamar aku berpikir. Hal ini tidaklah mudah dan butuh kesabaran. Karena aku tak ingin menggunakan pendekatan kekuasaan. Aku ingin ia benar-benar setuju dari hatinya. Apalagi aku telah melihat banyak contoh orangtua-orangtua yang bercerai dan kawin lagi tanpa memperhatikan perasaan anak-anaknya. Akibatnya, saat dewasa, saat dimana orangtuanya tak bisa mengontrol, mereka memberontak dan jadinya nggak karuan. Karena mereka menggunakan cara yang sama dengan yang dilakukan orangtuanya sebelumnya, yaitu pendekatan kekuasaan.

Pada akhirnya, aku berkeputusan untuk berusaha mencoba. Namun, apabila Liana tak setuju aku juga tak akan memaksakan kehendak. Karena Liana jauh lebih berharga dibanding mencari istri baru. Aku percaya, pada saatnya masalahku ini akan ada solusinya. Karena tak ada masalah di dunia ini yang tak dapat dipecahkan. Sehingga aku tak perlu kuatir. Setelah itu aku tertidur sampai satu setengah jam....

Sehabis tidur, saat keluar, kulihat Liana sedang duduk di sofa. Ia masih memakai baju seragam. Setelah itu kembali kita berbincang sejenak, sebelum ia meninggalkanku untuk mandi.

Beberapa saat kemudian, ia memanggilku dari kamar mandi.
“Papi, bantuin kesini bentar donk. Salurannya mampet lagi nih,” teriaknya dari kamar mandi.
Dan aku berjalan kesana. Sesampai di kamar mandi.. Ah!! Kulihat ia hanya memakai baju seragamnya saja tapi tanpa rok abu-abunya. Membuat pahanya terlihat jelas dan juga celana dalamnya. Apalagi celana dalamnya warna hitam yang amat kontras dengan warna kulitnya. OMG! Begitu sexy sekali.

Rupanya saluran pembuangan air itu buntu karena banyak kotoran. Saat aku membersihkannya, ia terus berada di sebelahku. Membuatku semakin berdebar-debar. Sengaja aku lama-lama in. Sambil sesekali aku melirik ke celana dalam putriku, terutama bagian ujungnya. Sementara pangkal pahanya begitu putih mulus dan bersih. Pikiranku menerawang membayangkan “sesuatu” di balik celana dalam warna hitam itu. Sementara tanganku dengan setengah hati membersihkan, pikiranku terkonsentrasi penuh membayangkan vagina putriku yang hanya tertutup secarik kain halus!

Sementara Liana tentu tak menyadari isi pikiran kotorku terhadapnya. Karena ia malah berada dekat sekali denganku menyaksikan, sedemikian dekat sampai ujung rambutnya menyentuh pundakku. Kalau tidak ingat ia adalah putri kandungku, tentu ia sudah langsung kusergap dan kuciumi bibirnya.

Setelah cuci tangan, sebelum keluar, aku sengaja “ngelaba” Liana sedikit dengan memegang pundaknya saat berbicara sesuatu. Memang kita telah terbiasa dengan sentuhan-sentuhan kecil seperti ini, sehingga ia tak merasa risih. Hanya saja ia tak tahu kalau belakangan ini aku cenderung punya pikiran kotor terhadapnya.

Setelah duduk balik di sofa, aku jadi teringat akan pikiranku sebelumnya dimana masalahku ini akan ada solusinya. Sementara, pikiranku langsung melayang ke paha mulus dan celana dalam hitam Liana. Jangan-jangan?? Ah, sungguh gila sekali kalau solusi masalahku sesungguhnya ada di balik celana dalam hitam itu….

########

Beberapa hari kemudian aku akhirnya mendapat kesempatan juga untuk berbicara dari hati ke hati dengan Liana. Kujelaskan dengan sabar akan niatku untuk mencari pendamping buatku sekaligus pembimbing baginya. Tentu aku tak mengatakan sedikitpun tentang rasa mupengku kepadanya. Namun, rupanya ia menerimanya dengan amat sangat negatif. Dan ia amat sangat marah kepadaku. Bahkan aku merasa agak kuatir karena sebelumnya ia tak pernah bersikap seperti ini. Dua hari lamanya ia menolak kuajak bicara. Bahkan setelah kujelaskan kalau aku tak akan memaksakan diri dalam hal ini. Setelah itu baru ia mau diajak bicara. Namun suasana agak kaku dan terasa ada jarak.

Hanya dihari keenam ia akhirnya betul-betul kembali seperti biasanya. Itupun juga karena ada situasi yang mendukung. Hari itu kita pergi ke Semarang dua malam karena ada saudara yang married. Sungguh momen yang pas. Karena ini membantu mencairkan hubungan kita seperti sediakala.

Sesampai di Semarang, kita langsung check-in ke hotel. Saat itu hari sudah agak sore. Sehingga kita harus segera bersiap-siap ke resepsi. Di sana, diluar pasangan pengantinnya, Liana termasuk jadi salah satu pusat perhatian, baik di kalangan famili maupun orang lain. Memang ia begitu cantik malam itu, meski dengan make-up ringan. Apalagi sistemnya prasmanan. Sehingga semua orang jadi lebih leluasa saling berinteraksi. Bangga juga aku sebagai ayahnya. Sengaja aku membiarkan ia berinteraksi sendiri dengan orang-orang baru. Supaya memperluas wawasan dan pergaulan. Malam itu ada beberapa cowok yang mendekati dan mengajaknya kenalan. That’s life.

Balik ke hotel, hari sudah agak larut. Tak lama kemudian kita tidur. Esok paginya, kami makan dim sum dengan saudara dekat. Siangnya, diundang makan siang oleh keluarga pengantin. Baru di sore hari waktu kami agak lowong. Saat itu Liana mengajak jalan2 di lingkungan hotel. Memang hotel ini cukup indah dan asri. Sementara sejak kemarin praktis kami selalu sibuk.

Setelah puas berkeliling melihat-lihat, akhirnya kami menuju ke tempat spa & massage. Karena Liana mau di-massage plus maniure – pedicure yang jadi satu paket. Untuk massage-nya, ia memilih pijit tradisional ala Jawa. Tukang pijitnya adalah simbok yang usianya stw dengan kebaya tradisional. Sementara tempatnya ia memilih di luar yaitu semacam pendopo gitu. Jadi kesannya betul-betul tradisional. Hanya satu yang awalnya membuatku agak keberatan adalah pendopo itu bagian atasnya terbuka. Tapi pada akhirnya aku tak mencegahnya. Karena sebenarnya tempatnya cukup discreet. Letaknya agak naik ke atas dan bagian bawah keempat sisinya tertutup rapat. Hanya bagian atasnya saja yang terbuka. Sehingga tak ada orang yang bisa mengintip ke dalam. Apalagi saat itu tak banyak orang dan aku juga menunggu tak jauh dari sono.

Kira-kira sejam kemudian, akhirnya Liana selesai juga. Ia turun ke bawah diikuti oleh ibu stw yang barusan memijitnya. Aku ditawarin pijit juga. Awalnya aku tak mau. Namun, kupikir lagi, daripada nunggu bengong selama sejam lagi, mending aku ikutan pijit juga.

Begitu sampe di pendopo itu, memang suasananya enak banget dan sejuk, karena memang keempat sisi dinding atasnya terbuka. Apalagi pijitan simbok betul-betul bisa bikin seluruh badan jadi rileks. Pada saat itu simbok bertanya kepadaku,
“Nginap berapa lama disini?”
“Dua malam. Kebetulan ada kawinan saudara.”
“Datang berdua aja ya?”
“Iya.”
“Kalo cewek tadi itu, anaknya?” tanyanya.
“Iya. Memang kenapa?”
“Nggak apa2.”
“Anaknya cantik,” kata simbok itu lagi setelah terdiam sejenak.
“Oh ya? Masa?”
“Inggih. Nggak cuman cantik, tapi badannya juga bagus. Trus hatinya juga baik. Dan, kalo dari penglihatan saya, dia itu betul-betul masih gadis.”
“Omong2, umur berapa dia?”
“Tujuh belas tahun. Lima bulan lagi nanti 18 tahun.”
Aku senang juga mendengarnya, meskipun sebenarnya aku juga sudah tahu akan hal ini.
“Emang Mbok tahu darimana kalau anakku itu masih perawan?” tanyaku penasaran.
“Dari badannya juga ketahuan Pak. Perempuan nggak bisa bohong sama saya. Begitu saya liat telanjang, dari dadanya, putingnya, paha, dan kakinya saya bisa langsung tahu orang itu masih gadis apa nggak.”
Jawaban simbok itu membuat hatiku langsung berdebar.
“Lho, jadi dia telanjang buka baju semuanya tadi?”
“Tinggal celana dalam aja. Namanya juga orang pijit Pak. Sama perempuannya aja kok. Lagipula disini aman, nggak ada yang ngeliat.”
Dalam hati aku bergumam. Gila! Nakal juga dia. Diam-diam, tak disangka-sangka, berani juga Liana telanjang sampai sisa celana dalam doang di tempat ini. Meski aman atau apa, dan memang sih, dari tadi tak ada orang yang mendekat ke pendopo ini. Tapi khan tetap aja ini ruangan terbuka.

Tiba-tiba, simbok merengkuh dan memijit-mijit buah zakarku. Dan setelah itu tangannya dengan mahir memijit-mijit batang kejantananku yang telah mengeras karena membayangkan Liana saat telanjang di tempat ini tadi. Sampai akhirnya…. Crotts.. crotts…crottsss. Air maniku tumpah ruah di tangan simbok cekatan itu. Sungguh ruarr biasa.
“Enak Tuan?” tanyanya.
“Wah. Mantap,” kataku. “Hebat.”
“Ya khan saya memang sudah pengalaman, Tuan,” katanya dengan tertawa, menunjukkan giginya yang terbiasa makan sirih.

########

Selepas dari sana, aku dan Liana pergi keluar untuk makan malam. Setelah itu kita balik ke kamar hotel. Begitu sampai, Liana langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi. Tak lama kemudian ia keluar dengan hanya dibalut handuk. Rupanya ia lupa membawa daster tidur sebagai gantinya. Membuatku mau tak mau menatap dirinya. Sebagian lekukan dadanya tak tertutup oleh handuk itu, demikian pula pahanya dan kakinya yang jenjang. Sementara wajahnya yang cantik oriental nampak tanpa dosa seolah tak ada sesuatu yang luar biasa. Ia mengambil daster tidur dan celana dalam SAJA. Lalu ia balik ke kamar mandi. Ditutupnya pintu itu, tapi tak sampai betul-betul tertutup…..
Sepertinya ia sungguh betul2 percaya kepada Papinya dan tak tahu kalo didalamnya berotak mesum.
Beberapa menit kemudian muncullah ia dengan daster tipis yang membuat puting payudaranya tercetak di luar dan di dalamnya berguncang-guncang. Celana dalam warna biru tua itu nampak terlihat jelas di balik dasternya yang bagian bawahnya cukup menerawang.

Aku baru tahu, rupanya di saat tidur Liana tak memakai bra. Dan, ia tak merasa risih melakukan hal yang sama di saat harus tidur sekamar dengan Papinya.
Yang aku tahu juga, tubuh Liana begitu... aww aww aww.
Yang aku tahu lagi, “amunisi” senjataku yang sebelumnya telah terkuras di tangan simbok, kini telah terisi lagi. Di saat ia tidur di sebelahku, kutumpahkan semua isi amunisi itu di dalam celanaku.

Yang aku tak tahu adalah, kalo terus-terusan gini caranya, entah sampai kapan aku bisa bertahan…




Liana and I - Bag 4. Ruang Gelap, Siluet Gelap, Pikiran Gelap

Weekend itu Liana dan aku pergi ke daerah Bandung Selatan karena ada peluang investasi yang menarik untuk dijajaki sekaligus untuk refreshing. Untuk hal-hal berbau bisnis seperti ini, aku sengaja mengajak Liana supaya ia dapat menyerap sejak dari usia belia. Karena seringkali banyak hal yang jauh lebih efektif untuk dipelajari secara langsung di lapangan dibanding di dalam ruang kelas. Kebetulan, Liana pada dasarnya juga tertarik akan hal-hal seperti ini.

Jumat sore itu si Nono membawa kami menuju Bandung, melewati jalan tol yang hampir setengah perjalanan selalu padat merayap. Syukurlah, akhirnya kami sampai juga ke kota Bandung dengan selamat. Sesampai disana, kami menikmati makan malam khas bumi Priangan yang lezat, apalagi karena perut sudah keroncongan. Setelah selesai makan malam, malam itu Si Nono kubebastugaskan sampai Minggu sore. Ia kuberi uang saku selama 2 hari plus uang losmen untuk 2 malam. Bagaimana pun, semua orang khan perlu refreshing dan cuti dari pekerjaan sehari-hari. Saat itu ia bilang kalau ia akan tinggal di tempat saudaranya. Setelah itu, aku dan Liana menginap di hotel semalam.

Di hotel tersebut, kulihat beberapa pasang mata memandang ke arah kami. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Mungkin mereka mengagumi kecantikan Liana yang jalan di sebelahku. Memang Liana tetap terlihat menarik dan enak dipandang meskipun tanpa make up dan dengan pakaian yang biasa saja. Atau mungkin mereka merasa aneh melihat pria setengah baya berdua dengan gadis muda check-in di hotel. Memang wajah kami berdua tak terlalu mirip meski ia anak kandungku, karena Liana lebih mirip ibunya. Well, masa bodohlah dengan apa yang mereka pikirkan asalkan tidak mengganggu saja.

Di kamar kami sempat berdiskusi sebentar mengenai hal-hal umum sebelum akhirnya lampu kamar dipadamkan dan pergi tidur. Keesokan harinya, pagi-pagi setelah breakfast, kami langsung menuju ke tempat lokasi di daerah Bandung Selatan dengan diantar rekan. Sepanjang pagi, waktu tersita penuh untuk hal-hal sehubungan dengan peluang investasi itu. Siangnya, di rumah makan aku dan Liana terlibat diskusi yang cukup serius selama hampir dua jam mengenai investasi yang barusan dijelaskan itu. Pada dasarnya Liana memang tertarik akan hal-hal begini dan orangnya cukup cerdas sehingga pembicaraan kami sungguh hidup dan menarik.

Setelah itu adalah jadwal rekreasi. Aku mendapat info bahwa Kawah Putih layak untuk dikunjungi. Apalagi jaraknya udah nggak jauh lagi. Namun kami dihadapkan pada dua pilihan untuk tempat bermalam malam ini, apakah balik ke Bandung atau mencari tempat menginap di daerah sini - di alam pegunungan yang sejuk dan indah. Liana memilih opsi kedua. Aku pun sama. Sehingga akhirnya kami sepakat untuk mencari penginapan di suasana pedesaan ini, meskipun dengan kelas losmen sekalipun.

Secara keseluruhan, kami cukup puas dengan tempat rekreasi Kawah Putih. Tempat itu sungguh indah apalagi saat kabut tipis menyelimuti permukaan danau kawah tersebut. Sementara cuaca juga cukup bersahabat. Sungguh tempat yang menarik untuk dikunjungi. Setelah itu kami menuju ke danau Situ Patenggang. Tempatnya biasa-biasa saja menurutku, sama sekali tak bisa dibandingkan dengan Kawah Putih. Namun perjalanan kesana cukup menarik, dengan hamparan luas kebun teh di kanan kiri.

Kami sempat berhenti beberapa kali untuk mengambil foto. Selain itu kami sempat juga berbicara sejenak dengan sekelompok petani kebun teh yang kebetulan berjalan pulang melewati kami. Rupanya pekerjaan ini bukan hanya monopoli kaum lelaki. Karena tak sedikit ibu-ibu yang juga bekerja dengan tugas yang sama. Namun satu hal terpenting yang kudapat dari pembicaraan dengan mereka adalah mereka orang-orang dengan pikiran sederhana. Jauh berbeda dengan orang yang tinggal di kota besar. Mungkin karena itu mereka bisa lebih bahagia dibanding orang kota.

Sementara itu, kegiatan kami mengambil foto di pinggir jalan banyak mengundang perhatian orang-orang yang lewat. Mungkin bagi mereka adalah pemandangan tak biasa melihat kami berdua, yang dari wajah dan penampilan sangat jelas bukan orang lokal daerah sana, berdiri di tepi jalan bahkan masuk agak ke dalam di tengah kebun teh itu. Fenomena itu nampak lebih jelas lagi saat beberapa pemuda-pemuda desa yang naik motor melewati kami. Sebagian besar perhatian mereka terpecah saat melihat kami, atau mungkin lebih tepatnya… ke Liana. Memang, dimana saja, siapa saja, tak peduli umur, status sosial, latar belakang, atau hal-hal lainnya, yang namanya cowok semuanya sama saja reaksinya saat melihat cewek yang menarik di matanya. Sebaliknya, memang aku telah menyadari, terutama belakangan ini, kalau putriku sering menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan selama ini tak sedikit teman sebayaku, para ibu-ibu, yang terang-terangan memuji kecantikannya. Namun, sungguh aku tak mengira kalau di tempat pedesaan seperti ini, ia juga jadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang dengan kendaraan di jalan. Sampai-sampai timbul sedikit rasa kekhawatiran dalam hatiku. Sementara itu, sapaan atau lambaian tangan mereka saat kendaraannya melewati kami, kadang ditanggapi oleh Liana dengan lambaian tangan balasan atau senyuman. Membuat mereka kadang jadi bertingkah dengan membunyikan gas motornya kuat-kuat atau tingkah lainnya. Aku hanya berharap semoga tak ada seorang pun yang mendapat kecelakaan. Untungnya tidak.

Tak lama kemudian, matahari telah turun ke barat. Langit yang masih menyisakan warna kuning kemerahan, sedikit demi sedikit menjadi semakin berkurang cahayanya. Membuat kami akhirnya kembali naik mobil, karena kami masih belum mendapat tempat menginap.
Setelah melihat beberapa tempat, akhirnya kami menginap di satu cottage yang letaknya dekat jalan belok ke Kawah Putih. Di sana ada kolam air panas yang dialiri air belerang alami yang mengalir dari lereng gunung setempat. Sementara itu, kami mendapat kamar tidur yang cukup luas yang sebenarnya bisa diisi 6 orang.

Ketika langit berubah gelap, suhu di daerah itu berubah menjadi dingin. Oleh karena itu baik aku dan putriku tergoda untuk mencoba berendam di kolam air panas itu. Apalagi katanya berendam di air belerang bisa menyehatkan kulit. Di sisi lain, di tempat terpencil seperti ini praktis tak ada hal lain yang bisa dilakukan saat langit berubah gelap.

Kira-kira pukul 7 malam, kami mendatangi kolam air panas tersebut yang letaknya di bagian belakang kompleks dan berada di daerah terbuka. Suasana di sana agak sepi. Tak ada satu orang pun yang berendam di kolam tersebut. Kami sempat ragu sejenak. Namun menurut dua orang bapak petugas cottage yang sedang duduk tak jauh dari sana, kolam tersebut bisa dipakai kapan saja – 24 jam. Sehingga akhirnya kami putuskan untuk mencobanya. Apalagi dengan udara dingin seperti ini, merendam tubuh di kolam air hangat adalah satu ide bagus. Setelah itu, kedua bapak tadi telah menghilang masuk ke dalam. Sehingga kini hanya kami berdua di kolam tersebut.

Segera aku melepas kausku dan langsung berendam dengan celana pendek. Sementara itu Liana karena tak membawa pakaian renang, jadinya berendam dengan celana pendek dan kaus melekat di tubuhnya. Kolam itu rupanya terdiri dari tiga bagian yang tingkat kepanasan airnya berbeda-beda. Masing-masing bagian bisa terisi paling tidak 30 orang. Sehingga kolam itu amat besar. Namun kini hanya dipakai oleh kami berdua. Sehingga kami bisa dengan bebas berpindah-pindah dengan sesuka hati. Sementara kalau merasa terlalu panas, kami istirahat sejenak dengan keluar dari kolam dan duduk di tepian merasakan udara dingin pegunungan yang menerpa tubuh.

Setelah mendapatkan privacy buat kami berdua dalam waktu yang cukup lama, pada saat itu datanglah empat pemuda berusia awal 20-an, mungkin tamu hotel yang baru datang. Semuanya berkulit agak gelap dan berambut gondrong. Dua orang diantaranya malah tampangnya agak seram mirip preman. Pada saat itu pandangan mereka terhenti dan tertuju ke satu arah, yaitu Liana! Karena kebetulan pada saat itu (dan sialnya), Liana sedang berada di pinggir kolam dan duduk menghadap ke arah tempat mereka datang. Dapat dibayangkan, dengan pakaian yang basah kuyup membuat bentuk tubuh Liana tercetak secara jelas dan gamblang. Terutama dadanya yang menonjol. Sementara celana pendek yang dipakainya, membuat pahanya yang putih mulus terlihat cukup jelas. Meski suasana agak redup, namun segala sesuatunya masih bisa terlihat jelas.

Empat cowok itu segera melepas bajunya lalu celana jins-nya sebelum akhirnya nyebur ke kolam. Sementara itu mereka terus menerus mencuri-curi pandang dan menatap ke arah Liana. Konyolnya, seorang diantaranya malah hanya memakai celana dalam saja. Untungnya pada saat itu Liana tak melihatnya. Karena, mungkin sadar diliatin sampai kayak gimana gitu, Liana kemudian kembali masuk ke dalam air. Pada saat cowok berkolor itu melepas celananya, Liana sedang memunggungi mereka.

Pada saat itu mereka asyik sendiri agak jauh di sana, meski kadang mereka suka menoleh ke arah kami. Dari pembicaraan mereka, rupanya mereka adalah mahasiswa yang datang dari Jawa Timur.

Tak lama kemudian, kami menyudahi berendam disana. Karena lama-kelamaan badan jadi terasa panas juga. Liana saat berjalan meninggalkan tempat itu dan melewati mereka berempat, membalut tubuhnya dengan handuk lebar yang tadi dibawanya dari kamar. Karena selain untuk menutupi tubuhnya, memang udara jadi semakin dingin setelah berendam. Sementara pandangan mereka bergerak mengikuti gerak langkah Liana yang saat itu rambutnya dibiarkan basah dan terurai.

Sesampai di kamar, Liana langsung mandi. Setelah itu giliran aku yang mandi. Pada saat di dalam kamar, aku merasa agak lega. Karena barusan, terus terang aja aku agak risih dan kuatir. Karena pandangan mereka seperti pandangan mupeng gitu. Apalagi yang dimupengin adalah anak cewek kita sendiri. Dan tempat ini begitu sepi dan asing. Sementara mereka kelihatan seperti dari kalangan low-level ditambah rambut gondrong dan tampang preman. Untunglah tak ada hal-hal tak diinginkan yang terjadi. Namun yang membuatku agak kurang suka adalah mereka berempat rupanya menempati kamar persis di sebelah kami, dimana ruang depannya menyatu. Dan dinding kamar juga tak terlalu tebal sehingga kami bisa mendengar suara mereka dan mungkin juga sebaliknya.

Kira-kira pukul 9, kami tidur. Lampu kamar dimatikan dan ruangan menjadi gelap. Namun suasana masih agak ramai karena empat cowok itu nongkrong di beranda luar. Ruang duduk di beranda luar antara dua kamar kami menjadi satu, jadi mungkin mereka saat ini sedang duduk di depan kamar kami. Soalnya suaranya seperti terdengar dekat.

Pada saat itu aku mencoba menepis pikiranku sendiri yang muncul sedari tadi. Di antara rasa kekhawatiranku tadi, entah dari mana asalnya, dalam diriku ada rasa ketegangan aneh yang membuat batang penisku mengeras. Sementara aku merasa khawatir kalau-kalau empat cowok itu mengganggu kami terutama Liana, pada saat itu pula – anehnya – aku malah membayangkan apa jadinya seandainya di kolam tadi Liana didekati oleh mereka sehingga mereka berlima bercengkerama dengan akrab di dalam kolam. Lalu Liana berdiri di tengah empat cowok itu. Mereka semua tanpa sungkan-sungkan memandangi paha mulus Liana dan tonjolan kedua payudaranya yang nampak jelas terbentuk di balik pakaian basah dan bra-nya. Liana yang berwajah oriental, berkulit mulus dan putih bersih dengan lekuk tubuh yang menggairahkan sungguh begitu kontras dengan empat cowok yang mengerubutinya itu. Karena mereka semua berkulit gelap berbadan tegap dengan rambut gondrong, tampang preman atau rocker yang asal-asalan. Salah seorang yang paling seram mengajak Liana bicara sambil matanya seolah ingin melahap dada Liana, sementara cowok yang hanya berkolor itu memandang lekat-lekat pangkal paha mulus Liana sementara di dalam kolornya terlihat tonjolan besar dan keras…

Sementara itu di luar mereka berempat kini sedang asyik bercanda dalam bahasa yang tak kumengerti namun terdengar kasar. Pada saat ini, di sebelahku, Liana sedang berbaring di bawah selimut. Terakhir kulihat ia memakai daster yang sama yang kemaren dipakainya, tanpa memakai BH.

Pada saat itu, tiba-tiba Liana bangkit duduk dan berkata,” Papi, kok dingin banget ya disini, brrrr,” katanya sambil menggerak-gerakkan badannya. Hal itu membuat pikiranku kembali ke ruang kamar itu. “Kalo kedinginan, pake mantel aja,” jawabku. Memang aku membawa mantel dari sejenis kain flannel yang lumayan hangat namun tak terlalu tebal dan berat. “Mantelnya Papi gantung di dekat lemari,” kataku lagi. “Ya udah pake mantel aja deh. Dingin banget,” katanya sambil bergerak turun dari ranjang lalu ia berjalan menuju ke arah mantel tersebut.
Sementara itu, di luar mereka berempat masih asyik bercanda. Saat itu kulihat bayangan Liana yang mengambil mantel itu dan menghadap ke depan, yang mengarah ke pintu tempat kamar mandi berada dan juga jendela depan tempat dimana suara empat cowok itu berasal. Ia terdiam sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Papi, aku ganti disini aja ya,” sambil ia menaruh mantel tadi di atas kursi di dekatnya. Satu hal yang aku nggak ngerti apa maksudnya. Bukannya mantel tinggal langsung dipake aja, pikirku.

Namun akhirnya aku mengerti, untuk apa memakai daster tipis itu kalau tak bisa melindungi dari rasa dingin, tentu itu yang ada di pikirannya. Dan jantungku berdebar keras saat kulihat bayangan Liana seketika melepas daster yang sedang dikenakannya saat itu dalam kegelapan. Deg! Deg! Deg! Rasanya aku bisa mendengar suara jantungku. Saat ini tubuh bagian atas Liana tanpa busana apa-apa!

Kini aku mengerti semuanya (karena aku boleh dikata selama ini hampir 90% mengerti jalan pikiran serta emosinya). Rupanya sekejab yang lalu Liana berniat ganti baju di kamar mandi. Namun ia jadi ragu karena suara empat cowok di depan terdengar cukup jelas. Sedangkan kamar mandi letaknya di bagian depan. Secara jarak, kamar mandi itu berada amat dekat dengan empat cowok itu. Sedangkan di tempatnya sekarang, jaraknya agak jauh. Secara emosional, tempat dirinya sekarang “serasa lebih aman”. Namun ia agak ragu karena di dalam kamar ini ada aku. Bagaimana pun, selama ini ia tak pernah membuka baju di depanku secara langsung, apalagi saat ini ia tak memakai bra. Namun kini ia mungkin merasa hal itu adalah pilihan paling “aman” dibanding pilihan lainnya. Apalagi, ruangan masih cukup gelap.

Sementara itu, pikiranku yang mencoba menelaah ini semua, bekerja jauh lebih lambat, dibanding kecepatannya melepas dasternya. Sehingga saat ini bagian atas tubuhnya telah tanpa penutup sama sekali. Padahal ia tak sadar telah berbuat kesalahan besar. Pada saat kita merasa terdesak, kadang emosi mendorong kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang awalnya ingin kita hindari. Demikian pula yang terjadi dengan Liana kini. Ia tak sadar justru keadaannya sekarang jauh lebih terbuka dibanding ia ke kamar mandi. Meski jaraknya amat dekat, namun ada dinding tebal yang memisahkan. Namun kini, antara dirinya dan empat cowok itu hanya terpisah tirai yang agak tipis. Untung kamarnya gelap dan di luar lebih terang. Sehingga bisa dipastikan mereka juga tak bisa melihat ke dalam.

Namun hatiku tetap berdegup keras, pertama menyaksikan bayangan gelap tubuh Liana yang setengah telanjang. Dan kedua, bagaimana pun putriku yang saat ini bagian atas tubuhnya tak tertutup sama sekali hanya terpisah oleh tirai tipis dari empat cowok yang tadi terlihat begitu mupeng terhadapnya.

Saat Liana melepas dasternya, ia menghadap ke belakang, sehingga memunggungi posisi empat cowok itu dan menghadap 90 derajat dari tempatku. Secara psikologis hal ini menunjukkan kalau ia menganggap 4 cowok itu sebagai ancaman utama yang harus dihindari, sementara aku tak terlalu menjadi ancaman. Saat itu aku bisa melihat samar-samar dari arah samping siluet keindahan tubuhnya termasuk tonjolan indah dadanya.

Setelah itu ia mengambil mantel dengan memunggungiku, karena mantel itu sebelumnya ditaruh di kursi yang menempel ke tembok. Pada saat itu aku bisa melihat siluet postur tubuhnya yang tinggi semampai dan pinggang ramping. Dan aku menahan napasku, karena pada saat itu secara posisi empat cowok itu bisa melihat payudara telanjang Liana dari arah 90 derajat. Karena perbedaan terang – gelap, seharusnya mereka tak bisa melihat apa yang ada di dalam. Aku hanya berharap semoga tak ada bagian tirai yang tersingkap! Karena pada saat itu suasana di luar jadi agak sunyi! Hatiku berdetak keras. Entah kebetulan atau apa ini.

Liana memasukkan kedua tangannya satu persatu ke dalam mantel itu, dan… srrrrtttttt, terdengar suara retsleting yang ditarik ke atas. Ia berjalan kembali ke ranjang, yang semakin dekat semakin jelas bayangannya. Pada saat ini rasanya aku bisa melihat guncangan dadanya yang bergerak-gerak di balik mantel itu.

Total waktu Liana telanjang tadi mungkin kurang dari 15 detik. Namun detik demi detik terasa begitu berarti dan amat menegangkan bagiku. Di satu sisi aku ingin melihatnya telah lama lagi, makin lama makin bagus. Di sisi lain, aku berharap semoga secepat mungkin ia menyelesaikan perbuatan gilanya ini. Karena bahkan 1 detik pun juga masih terlalu lama seandainya empat cowok itu melihat payudara telanjang anak gadis kita!

Tak lama kemudian, karena hatiku amat penasaran, aku bangkit dari ranjangku pura-pura ke kamar mandi. Namun alasan sebenarnya untuk mengecek dan memastikan keadaan dan posisi tirai depan. Dan… hatiku sedikit lega. Karena tirai itu menutup seluruh bagian jendela. Sehingga tak mungkin mereka bisa melihat ke dalam.

Di atas ranjang, mataku terpejam. Namun aku tak bisa tidur. Setelah beberapa saat, mata kita jadi terbiasa, sehingga ruangan sudah tidak gelap lagi. Siluet gelap yang indah tadi kini telah tiada. Namun, pikiran gelapku masih berkecamuk di dalam hatiku. Batang kejantananku menegang keras. Aku masih terbayang-bayang akan siluet indah tubuh Liana tadi terutama payudaranya. Sementara, saat ini di luar kegaduhan kembali terjadi. Dan, keindahan tubuh putriku akhirnya ikut dinikmati juga oleh mata empat lelaki preman di luar sana karena saat itu Liana berjalan ke depan mencari sumber kegaduhan dengan menyibak tirai jendela. Hal itu dilakukan sebelum ia mengenakan mantel. Di saat ia menemukan sumber kegaduhan itu, saat itu pula mereka memandang dirinya…..
Crotts… crottss…crootsss. Ahh!


Liana and I - Bag 5. Usia Dewasa - 18 tahun

Clingg! Bunyi message masuk.
“Oom, ada barang baru. Bener2 ajib deh pokoknya,” demikian isi sms itu.
Dan, clingg! Gambarnya pun menyusul.
“Top khan? Gimana, mau di-booking-kan buat nanti malam? Harga spt biasa.”
“Dan ingat, Oom adalah orang pertama yang make dia,” demikian isi tambahan sms itu untuk merayuku.
“Ya, memang dia cantik imut dan menarik. Boleh juga sih,”ketikku. “Tapi, umur berapa dia? Kok keliatannya masih mudah banget.”
“Memang, Oom. Dia baru ulang tahun ke 17 tahun bulan lalu.”
“Ah, kalo gitu gua nggak jadi deh. Dia masih di bawah umur!”
“Lho, nggak apa2 Oom. Anaknya memang mau kok, soalnya di BU. Pokoknya jangan kuatir. Dijamin aman deh. Transaksi spt biasanya. Ntar anaknya aku antar ke kamar hotel Oom. Apalagi, anaknya cantik dan imut. Ini yang bener2 namanya daun muda, spt kesukaan Oom biasanya.”
“Ah, nggak deh. Maaf, aku nggak mau kalo masih segitu. Paling nggak harus minimal 18 tahun. Mau cantiknya kayak gimana, kalo di bawah 18 tahun, aku nggak mau,” kataku tegas.

Aku bukan orang munafik. Kuakui, aku bukan pria lurus. Selama ini sudah nggak kehitung berapa banyak aku telah “memakan” gadis2 muda. Namun, ada prinsip yang selalu kupegang teguh, yaitu aku tak pernah mau melahap anak di bawah umur. Dan batas usia dewasa bagiku adalah 18 tahun. Itu adalah harga mati yang tak akan pernah kulanggar. Apalagi aku juga punya anak gadis yang masih di bawah umur, usianya baru 17 tahun lewat. Aku tak ingin anak gadisku diganggu orang, karena itu aku pun juga tak ingin mengganggu anak gadis orang yang masih di bawah umur.

Kini aku mulai sadar, mungkin karena prinsip diriku itu maka selama ini aku tak pernah sampai melakukan aksi terhadap Liana, meskipun banyak kesempatan begitu terbuka dan pada saat itu aku pun lagi mupeng habis terhadapnya. Prinsipku yang tak mau mengganggu anak gadis orang yang masih di bawah umur itulah yang menyelamatkan anak gadisku sendiri, baik dari ancaman orang lain dan juga, terutama, dariku.

########

Bulan lalu, Liana merayakan ulang tahunnya yang ke-18! Sehingga kini, Liana putriku itu secara resmi telah menjadi seorang gadis dewasa. Mulai sekarang, secara perlahan namun pasti, Liana akan jadi semakin independen dan menjalani alur hidupnya sendiri. Sampai pada suatu saat ia akan meninggalkanku dan hidup bersama orang lain.

Sungguh tak terasa. Waktu telah berlalu begitu saja. Jarak waktu 18 tahun terlewati begitu cepat. Pikiranku melayang ke masa lalu, mulai saat ia baru lahir, lalu maju setahun demi setahun sampai sekarang. Memang 18 tahun telah berlalu dengan cepat. Namun bukan berarti tak bermakna sama sekali. Karena tak terhitung banyak sekali pengalaman-pengalaman indah yang kami lewati bersama. Membayangkan itu semua, hatiku menjadi bahagia. Tak ada yang perlu disesalkan. Karena waktu-waktu yang terlewat itu telah terisi dengan momen-momen yang membahagiakan. Dan kini adalah saat yang paling tepat baginya untuk menjadi seorang gadis dewasa yang mandiri.

Dewasa! 18 tahun! Ugh! Hatiku kini serasa tertusuk mengingat dua itu. Masih terngiang di benakku, akan kata-kataku sendiri. Kejadian 3 tahun lalu saat aku dan rekan bisnisku sedang duduk santai di pinggir kolam renang sebuah hotel bintang 5 yang saat itu cukup ramai, sambil cuci mata memandangi gadis-gadis muda yang cantik yang kadang seliweran dengan pakaian renang yang sexy.
“Hahahaa… disini pemandangannya bagus-bagus ya,” kataku.
“Betul, hehehe. Kayaknya mereka masih mahasiswi ya. Masih segar dan kinyis2, mulus-mulus.”
“Ya,” kataku,”Ayam-ayam kampus memang ga ada matinya. Hehehe. Apalagi yang kelas elit. Anak SMA juga,” tambahku. “Mereka sedang hot-hotn ya, dan badannya masih lebih gres dan ga terlalu rusak… hahaha.. karena sering dipake oleh orang2 kayak lu dan gua ini.”
“Pokoknya, asalkan usia udah lewat 18, artinya udah dewasa. So, siapa pun itu, she’s definitely f*ckable! Hehehehe,” tambahku sambil tertawa gembira.
“Setuju. Jaman sekarang, cewek umur 18 tahun mah, kalo nggak udah dieksekusi ama cowoknya juga f*ckable oleh orang-orang bandot tengik kayak kita yang lagi puber kedua ini. Apalagi kalo mereka go public ke public market. Begitu supply and demand sesuai, ya langsung…hajar Bung! Hahahaha.”

Liana kini berusia 18 tahun. Dewasa. Dan kini aku jadi takut terkena bala perkataanku sendiri waktu itu. F***able. Go public. Public market. Oh no! Hatiku langsung bergidik membayangkan istilah-istilah yang dulu kuucapkan tanpa berpikir panjang itu.

Dan, aku tak perlu menunggu lama-lama untuk merasakan sebuah “shock therapy” sehubungan dengan itu. Ketika aku dan Liana sedang fitness di gym di hotel saat kita melepas weekend di Yogyakarta, aku mendapati seorang bapak yang terus-menerus memandangi putriku. Saat itu Liana memang memakai outfit yang membuatnya terlihat cukup sexy karena… yah namanya juga di gym. Apalagi buat gadis muda dengan tubuh seindah dan wajah secantik Liana, susah untuk tak terlihat menarik dan sexy saat ia memakai pakaian olahraga. Justru karena aku tahu hal seperti ini akan terjadi, makanya aku menemani Liana ke gym ini. Tentu aku tidak gila membiarkan anak gadisku masuk ke gym di dalam hotel seorang diri! Namun akibatnya, kini aku jadi harus menyaksikan putriku jadi tontonan dan dimupengin oleh sekian banyak lelaki di ruangan ini.

Saat itu Liana memakai kaus oblong tanpa lengan dan celana pendek. Secara otomatis, kedua tangan dan pahanya tentu terlihat jelas dan menarik perhatian orang. Apalagi dengan kulitnya yang putih dan wajah cantik. Terlebih-lebih lagi, dadanya terlihat menonjol karena tak mampu menyembunyikan sepasang payudaranya yang memang padat berisi itu di balik kaus olahraganya. Dan kebanyakan pengunjung pagi itu adalah pria. Sementara sebagian besar orang melihat dalam batas-batas yang masih bisa ditoleransi, satu bapak ini matanya seolah tak berkedip menyaksikan putriku. Hatiku berdegup keras. Ia berkata sesuatu kepada temannya sambil mata mereka tak beralih. Aku tahu persis tentu mereka berdua sedang kasak-kusuk membicarakan putriku. Dan, hal yang dibicarakan tentu bukan sesuatu yang enak didengar bagiku sebagai ayahnya.

Saat itu Liana menoleh sekilas dan tersenyum kepadaku. Sambil ia terus berlari di threadmill-nya. Namun bagaimana aku bisa tersenyum saat melihat anak gadisku jadi sasaran tatapan penuh kemupengan orang-orang terutama dua bangsat itu. Dan, saat itu sepertinya Liana tak sadar dirinya ditatap oleh dua bajingan tengik itu dan beberapa orang lagi. Sementara dua babon bulukan itu kini berbicara sambil tersenyum-senyum. Wajahnya penuh dengan sinar kemesuman dan kemupengan. Sementara matanya seolah men-scanning sekujur tubuh Liana, memandangi pahanya yang mulus dan dadanya yang begitu menggairahkan.

Dan.. saat itu jantungku seolah berhenti berdetak saat kulihat Liana berjongkok dan membungkukkan badannya untuk membetulkan sepatunya. Dengan membungkuk seperti itu, membuat belahan indah dadanya semakin terlihat oleh kedua bangsat itu. Karena bahkan aku pun yang agak jauh juga bisa melihatnya. Wow! Kudengar suara mereka yang tak dapat menyembunyikan decak kagumnya. Hmm. Kurang ajar! Ini tak dapat dibiarkan, pikirku. Apalagi saat itu cowok muda berbadan tegap berambut cepak dan berkaus loreng seperti tentara itu maju mendekati Liana, sepertinya ingin mengajak kenalan.

“Liana!” panggilku sambil mendekatinya. “Eh, Papi. Ada apa,” tanyanya dengan wajah segar dan tersenyum manis. “Yuk, balik kamar,” kataku tanpa mempedulikan kehadiran cowok itu yang barusan mengajak Liana bicara. “Entar dulu deh, Papi. Tanggung nih,” protesnya.
“Ayuk sekarang aja”, kataku tak sabar. Hatiku sungguh panas akan pembangkangan Liana ini. Aku jadi menduga-gua ada pa ini? Apakah Liana ingin berlama-lama dengan cowok yang baru datang itu? Jangan-jangan ia jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap cowok yang kelihatan seperti tentara itu?? Cowok yang sama sekali nggak cakep dan nggak cocok jadi pasangan Liana! Tidak bisa!
“Ayo, kita jalan sekarang,” kataku setengah memaksa.

Pada saat itu, kudengar ada suara yang memanggilku. Dan rupanya orang itu….. adalah bandot tengik tadi! Sungguh tak disangka-sangka, ternyata orang itu adalah teman SMA-ku dulu. Ia mengenali suaraku yang menurutnya tak berubah dari dulu.

Situasi saat itu sungguh tak menguntungkan diriku. Di satu sisi aku harus melayani kawan lamaku berbicara, sehingga cowok tengil itu kini tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Liana, yang… AAGHHHHH!... entah kenapa saat itu ia bersikap amat ramah kepada cowok yang baru dikenalnya itu dan membangkang perintahku bahkan seolah ia melupakan dunia di sekitarnya. Cowok berbadan tegap itu terus berbicara sambil memandang wajah cantik Liana sementara, tentu, ekor matanya melirik ke payudaranya. Apalagi, ia lebih tinggi dibanding Liana sehingga dalam jarak dekat segitu bisa melihat sebagian lekukan dada Liana yang terlihat dari belahan atas kausnya. Dan… Liana membalasnya dengan menatap wajah cowok itu lekat-lekat, seolah merelakan tubuh indahnya yang sexy ditatap oleh cowok tersebut.

Sementara… aku harus beramah-ramah meladeni tikus sawah teman SMA-ku yang juga seorang bandot itu karena matanya masih sering mencuri-curi pandang ke putriku.
“Siapa dia,” tanyanya akhirnya kepadaku, “Anakmukah?”
“Iya, dia anakku. Namanya Liana,” kataku dengan ogah-ogahan. “Liana, kenalin, Oom Budi, ini teman SMA Papi,” kataku dengan terpaksa. Dan, mau tak mau, terpaksa kurelakan bangsat itu memegang tangan halus putriku.
“Wah, anakmu sudah besar ya. Omong2, umur berapa dia?” tanyanya sambil matanya menatap Liana dan tersenyum-senyum.
“Delapan belas tahun.”
“Delapan belas tahun? Wah sudah dewasa ya,” katanya sambil senyum-senyum yang membuat diriku panas. Karena kata "dewasa" baginya tentu mengarah ke tubuh Liana yang telah matang dewasa dan menarik secara seksual. Apalagi matanya sempat berkejab menatap sekilas ke arah dada Liana. “berarti sudah lama banget ya kita nggak ketemu,” katanya.
“Sejak lulus SMA rasanya kita memang nggak pernah ketemu lagi,” kataku kurang bersemangat.
“Wah, anakmu sudah jadi gadis cantik ya,” katanya terang-terangan. Aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Gimana kalo kita besanan aja, hehehe,” katanya. Membuatku makin kecut.
“Memang anakmu berapa?” tanyaku agak menyimpang.
“Lha, ini anakku yang paling gede,” katanya menunjuk cowok berambut cepak itu. “Boy, ayo kenalan sama Oom dulu. Masa suka sama anaknya, nggak kenalan sama Bapaknya. Gimana sih kamu ini?” katanya sambil tersenyum. Cowok itu tersenyum. Bahkan Liana pun tersenyum sambil agak tersipu. Tak biasanya Liana bersikap seperti itu. Hanya aku saja yang panas hatiku.

Bangsat! Makiku dalam hati. Rupanya semua ini siasat bulus yang sudah direncanakan. Kau sengaja menghadangku supaya anakmu bisa mendekati putriku. Nggak bapak nggak anak sama aja! Aku sama sekali nggak setuju kalau anakku Liana berpasangan sama cowok Boy ini. Soalnya bapaknya dari dulu terkenal reputasinya suka gonta ganti cewek. Tampang anaknya juga seperti seorang playboy. Apalagi dari tadi si Budi ini menatap putriku dengan pandangan mesum. Nanti, jangan-jangan, bapak dan anak sama-sama makan anakku! Pokoknya tidak bisa!

Yang pasti, hari itu adalah hari sial bagiku. Aku sungguh menyesal menuruti permintaan Liana ke gym pagi itu. Kalau nggak ke gym, tentu nggak akan ketemu bapak anak bandot itu. Sialnya, sepanjang hari, Liana terus-menerus membicarakan Boy itu, sama sekali tak mengindahkan suasana kesal hatiku. Kuperhatikan, reaksi, cara bicara, dan gerak-geriknya terhadap cowoknya yang sekarang sama sekali bukan apa-apa dibandingkan dengan sikapnya terhadap Boy. Padahal mereka baru kenal hari itu. Aku yakin sepenuhnya kalau putriku ini telah jatuh cinta kepada cowok itu. Membuat hatiku jadi kesal bukan kepalang. Sungguh aku tak habis pikir, kok bisa-bisanya putriku suka dengan cowok seperti itu. Sungguh sama sekali tak masuk akal. Namun faktanya terjadi!!!

Hatiku kini dipenuhi oleh amarah dan cemburu. Melihat situasi seperti ini, cepat atau lambat putriku akan jatuh ke pelukan Boy. Aku tak mungkin bisa menghalangi hubungan mereka berdua apabila putriku memang beneran jatuh cinta kepada cowok itu. Pada saat sedang dilanda cinta sehebat itu, bahkan ia akan membangkang perintahku, Papinya.

Kata-kata temanku waktu itu terngiang di telingaku. “Jaman sekarang, cewek umur 18 tahun mah, kalo nggak udah dieksekusi ama cowoknya………”.
Untuk memberi pelajaran kepada anak tak tahu balas budi itu, sambil sekaligus mendahului sebelum didahului… kini aku berniat bulat untuk merenggut keperawanan putriku sebelum didahului oleh cowok lain, bila perlu dengan pemaksaan. 


Liana and I - Bag 6. Gadis Misterius

Hubunganku dengan Liana terus menurun dan mencapai titik nadir dalam waktu yang amat singkat. Sejak pertemuannya dengan Boy hari itu, semakin hari Liana makin dekat dengan cowok itu. Sementara hubungannya denganku semakin jauh dan dingin. Terus terang, aku sama sekali tak suka dengan cowok itu, apalagi setelah dugaanku terbukti kalau cowok itu ternyata memang seorang playboy, yang bakatnya nurun dari bapaknya. Ia berusaha mendekati putriku, padahal saat ini ia telah punya paling tidak 3 cewek! Aku berusaha menasehati Liana, namun ia tak menggubris malah ia cenderung menentang omonganku. Kini ia telah, paling tidak, pergi berdua beberapa kali dengan cowok itu. Atau mungkin malah tanpa sepengetahuanku, hubungan mereka telah berjalan lebih jauh lagi. Sejauh mana hubungan mereka, sungguh kini aku tak bisa menduga. Atau mungkin, aku takut membayangkannya. Sementara itu, cowok sebelumnya kini malah tak terlihat lagi. Bisa jadi Liana telah memutuskannya karena ia kini telah tergila-gila dengan Boy! Jadi dugaanku bisa jadi benar. Ironisnya, semakin besar tingkat kebenaran dugaanku, akan semakin menyakitkan saja.

Yang membuatku semakin jengkel, saat hubunganku dengan Liana sedang kurang bagus gara-gara masalah si Boy, mama-nya (mantan istriku) malah ikut memperkeruh suasana dengan ngompor-ngomporin anaknya. Puncaknya, malam itu setelah aku dan Liana bertengkar hebat, esoknya saat aku masih belum pulang kantor, Liana pergi meninggalkan rumah bersama Boy dengan membawa barang-barang dan pakaiannya! Sejak saat itu ia tak pernah balik ke rumah lagi.

Sejak liana tak tinggal serumah denganku, hidupku jadi tak jelas arahnya. Saat sedang kesal, aku sungguh menyayangkan telah bertindak kurang cepat dalam hal “memberi pelajaran” kepada anak tak tahu diri itu. Di saat aku sedang kangen, aku sungguh merindukan saat-saat kebersamaan selama ini.

Untuk mengatasi rasa galauku itu, kini aku jadi semakin sering berhubungan dengan cewek-cewek bookingan, yang biasanya adalah gadis-gadis muda seumuran Liana atau maksimal mahasiswi.

########

Petang itu, kembali aku menyewa seorang gadis mahasiswi melalui agen langgananku. Cewek ini adalah “barang baru” dengan tarif lebih mahal dibanding cewek2 high class biasanya dan agak unik. Karena cewek ini nggak sembarangan terima order. Dia ingin tahu dulu latar belakang calon pelanggannya dan amat selektif dalam memilih langganannya. Aku mengetahui hal ini setelah semuanya deal. Saat itu agenku itu bilang kalau sebelumnya ia harus memberitahu gadis itu sekilas info tentang diriku, dimana akhirnya ia menyetujui. Namun, ia menjelaskan, pada saat hari H-nya, dia masih punya “hak veto” utk membatalkan transaksi apabila calon pelanggan yang dilihatnya tak sesuai dengan gambaran semula. Gila! Masa WP aja pake jual mahal segala, pikirku. Membuat diriku penasaran ingin tahu sebagus apa sih dirinya.

Ting Tong! Suara bel kamar berbunyi. Segera aku membuka pintu kamarku. Rupanya agenku. Disampingnya berdiri seorang gadis muda yang amat cantik dan nampak anggun sekali. Gila pikirku! Sungguh nggak disangka, cewek kayak gini bisa menjual diri. Karena selain wajahnya cantik, gadis ini terlihat berasal dari kalangan cukup berada. Ditambah lagi, cara berpakaian dan penampakannya menunjukkan kesan seorang gadis rumahan baik-baik yang sama sekali jauh dari kesan seorang prostitusi. Tak heran kalau ia berani jual mahal dalam memilih calon pelanggan. Untunglah, aku berhasil “lolos seleksi ketatnya”. Sehingga tak lama kemudian, agen perantara itu meninggalkan kami berdua di dalam kamar.

“Mari, silakan duduk dulu,” kataku basa-basi sambil berkesempatan memegang punggungnya yang dibalut gaun warna hijau muda. Sungguh halus sekali. Seketika birahiku langsung melonjak saat membayangkan sebentar lagi akan segera menikmati diri gadis super high class ini.
“Nama kamu siapa?” tanyaku. “Venny, Oom,” jawabnya dengan gaya elegan. Seandainya ketemu di jalan, sungguh aku nggak bakalan menyangka gadis seperti ini bakal menjual dirinya. “Kamu masih kuliah?” tanyaku lagi. “Iya Oom,” jawabnya lagi dengan senyum manis.

Saat itu juga birahiku langsung memuncak. Wajahnya yang sungguh cantik menawan dengan tipe oriental, kulitnya yang putih halus, dan bentuk tubuhnya yang terlihat indah dibungkus gaun hijau muda yang elegan, membuatku ingin segera menguliti gadis ini dan menikmatinya bulat-bulat.

Aku segera memulai aksi gerilyaku. Aku duduk di sampingnya. Sambil merayunya dan mengucapkan kata-kata SSI, mulai kupegang-pegang tubuh Venny. Tanganku bergerak kesana kemari mengikuti alur lekuk tubuhnya yang sexy. Kuraba-raba paha Venny. Sambil tanganku satunya memeluk-meluk tubuhnya. Sambil kucium-cium wangi harum rambutnya, dan juga wajah orientalnya nan halus lembut. Tangan nakalku makin gencar beroperasi di tubuh Venny. Apalagi Venny sama sekali tak menolak aksiku. Bahkan ia membiarkanku menciumi wajah dan lehernya yang putih halus. Ia kemudian memejamkan matanya. Terlihat sekali dirinya begitu menikmati dan menghayati setiap gerak langkah ciuman nafsuku. Ehhmm.. Ia mengeluarkan erangan-erangan pendek. Sambil lehernya ikut bergerak-gerak mengikuti gerakan ciumanku. Bau wangi tubuhnya begitu terasa. Kedua tangannya yang putih kuraba-raba. “Oh”, rintihnya dengan lirih. Detak jantungnya kurasakan meningkat. Membuat dadanya terlihat naik turun. Sambil terus menciumi leher, rambut, dan sebagian wajah cantiknya, giliran payudara ranum Venny yang jadi sasaranku. Tanganku mengusap-usap gunung kembarnya, dan meraba-raba keduanya, sekaligus melakukan test awal akan kepadatan dan kekenyalannya. Cukup mantap dan berisi juga ternyata. “Gimana... enak, sayang?” kataku. “Oom terusin ya, sayang…”
Tanganku meraba rambutnya dan memegang kepalanya saat dengan lembut kudekati bibirnya dan kuciumnya. Awalnya ia terlihat malu-malu dan berusaha mengelak ciumanku meski usahanya untuk menghindar kesannya cuman setengah hati saja. Saat kukecup kedua kalinya dan berikutnya sambil membelai-belai rambutnya, ia tak lagi menolak meskipun masih belum membalas.

Memang aku telah mafhum, cewek seperti ini biasanya malu-malu kucing dulu di saat-saat awal. Selanjutnya, apabila didekati dengan jalan yang benar, yang awalnya malu-malu kucing bisa berubah jadi ganas kayak kucing liar!
Diriku tersenyum dalam hati saat dugaanku mulai terlihat. Kini Venny mulai berani membalas ciumanku. Membuat kita berdua akhirnya berciuman dengan hangat. Mmmmpp.. Kulumat habis bibir Venny. Kukunci mulutnya dengan mulutku dan kujelajahi seluruh bagiannya. Venny memejamkan matanya. Namun kedua tangannya kini dengan aktif memeluk erat diriku. Ia juga membalas ciumanku dengan penuh perasaan. Kini kita berdua jadi saling mencium, saling memagut, saling melumat bibir lawan, seolah kita adalah sepasang kekasih yang telah lama tak berjumpa. Kini tak jelas siapa mencium siapa. Yang pasti.. Begitu ganas! Begitu liar! Dan begitu brutal! Tak terkendali!

Sikap agresif gadis ini membuat darah muda dalam diriku menggelegak. Sungguh jauh melebihi sangkaanku. Padahal tampangnya nampak alim. Awalnya begitu malu-malu. Namun kini, lihat dirinya sekarang…. Dan, ini semua baru permulaan!

Batang kejantananku yang telah mengeras sejak tadi, kini telah mengeluarkan cairan pre-cum. Membuat segalanya jadi terasa lebih nikmat lagi, ketika kita melakukan french kissing. Bibir ketemu bibir. Mulut beradu mulut. Lidah kita saling berinteraksi, beradu, dan saling menjepit. Kita berdua “bersilat lidah” begitu hebat, namun tanpa keluar kata-kata. Yang ada hanya bunyi decak-decak ajib, yang sungguh tak terkira rasanya. Tubuhku menempel dengan tubuh gadis muda yang umurnya kurang dari setengah umurku ini. Dan, wangi harum tubuh Venny yang tercium kuat, sungguh ibarat racun cinta yang begitu memabokkan.

Puas menikmati bibir gadis ini, segera aku mulai melucuti pakaian gadis putih oriental yang menggairahkan ini. Seerrttt.. Kuturunkan retsleting gaunnya di punggung. Secara gentle namun tegas, kuturunkan kedua bahu gaunnya. Dengan amat sangat kooperatif, Venny menggerakkan tangannya satu persatu, meloloskan keduanya dari bahu gaun itu. Dan kuturunkan gaunnya dari tubuhnya. Dan… terlihatlah tubuh mulusnya yang putih bening, dengan sepasang payudara yang cukup berisi di balik bra indah Victoria Secret warna biru tua. Dan, terus kuturunkan gaun itu sampai terjatuh di lantai dengan gadis itu bersikap kooperatif. Kini gadis mahasiswi cantik itu hanya memakai bra dan celana dalam saja di depanku yang menatap dirinya dengan pandangan penuh nafsu. Wow! Sungguh sexy sekali! Apalagi putih mulusnya dirinya itu yang bikin diriku makin kaga tahan.

Tanganku meraba-raba punggung mulus gadis itu, kugapai kaitan bra di punggung nan putih halus itu. Clep! Kulepas kaitannya, kutarik bra itu dari tubuh mulus pemakainya. Dan… Amboi. Begitu aduhai sekaleee! Kupandangi sepasang payudara Venny yang kencang dan padat berisi dengan kedua puting menonjol tajam ke depan! Wajahnya yang cantik oriental dan imut membuat dirinya terlihat begitu innocent. Sementara dengan payudara 34C-nya yang telanjang seperti ini, yang dagingnya putih bening sementara putingnya yang menonjol ke depan berwarna kemerahan, membuat gadis ini begitu merangsang nafsu, menggairahkan birahi lelaki. Imut dan innocent tapi menggairahkan dan merangsang!!

Venny nampak tersipu malu saat dadanya yang telanjang terus kupandangi. Membuatku semakin menggodanya. “Dada kamu bagus sekali, Ven. Oom suka banget deh,” kataku dengan mata tak lepas dari benda kembar ajaib itu. Wajah Venny merona merah. Ia tersenyum malu-malu mendengarnya. “Jangan diliatin terus donk Oom, Venny malu aah,” katanya sambil kedua tangannya menutupi dadanya yang telanjang. Membuatku semakin gemas saja. Apalagi.. Beuh! Tangannya yang berusaha “menutup” itu nggak nutupin bener-bener. Justru telunjuk dan jari tengahnya agak nge-buka dikit, sehingga putingnya, yang dasarnya memang mancung ke depan, jadi mengintip di tengah-tengahnya. Mengundangku untuk segera menyentuhnya. “Iiih, jangan ah Oom. Geli,” katanya berusaha mengelak saat jari telunjukku mencoba menyentuh ujung putingnya. “Hehehehe… justru yang geli-geli ini yang enak khan,” kataku sambil memeluk dan meraba dirinya. Kemudian “memaksa” kedua tangannya untuk kembali bersikap manis dan membuka kembali jalan menuju gunung kembar itu.

Kuraih “mangga muda” nan menggairahkan itu. Kurasakannya saat menempel di tanganku, betapa padat dan berisi namun kencang “asset penting” gadis muda ini. Sungguh bermutu tinggi, serasi dengan kualitas wajah dan tubuhnya secara keseluruhan. Tarifnya yang mahal serta dirinya yang begitu selektif dalam memilih pelanggan, sungguh amatlah wajar. Terus terang, untuk pertama kalinya selama berkecimpung di dunia gadis bayaran, aku merasa bangga dan mendapat kehormatan bisa menikmati gadis berkualitas tinggi seperti ini. Karena, gadis ini bukan sembarang WP kelas tinggi. Rasanya ada sesuatu yang spesial dari dirinya. Dan kini, kuremas-remas payudara indah gadis spesial ini. Kemudian jari-jariku meraba-raba pula kedua puting merahnya yang begitu sensitif itu. Mula-mula Venny masih bersikap agak malu-malu. Memang dengan gadis seperti ini, kita ibarat main layangan. Kadang harus ditarik ulur dulu sebelum jaimnya bener-bener ilang sampai do’i betul-betul tune-in, all-in, dan all-out. Dan… reaksi tubuhnya tak bisa bohong. Kini payudara Venny jadi semakin kaku dan mengeras dibanding sebelumnya, lebih-lebih lagi putingnya. Kini ia tak lagi berupaya mengelak. Dibiarkan kedua tanganku melanglang buana di seluruh daerah gunung kembarnya. Kedua tanganku terus memainkan payudaranya. Telunjukku menekan-nekan ujung putingnya yang telah mengeras kaku. “Oooh!.... Ooohhh”. Venny mulai mengeluh-ngeluh beberapa kali sambil dirinya bergejolak. “Ooohh!” Aku makin giat dengan aksiku. Kuraba-raba dan kuremas-remas payudara kenyalnya.

Setelah puas memainkan payudara, aku kini beralih ke bagian bawah tubuh Venny. Kuraba-raba paha mulusnya. Lalu kugesek-gesekkan jariku di antara dua pahanya. Venny terus mendesah-desah saat bagian pribadinya dirangsang. Kini jaimnya telah hilang. Sikap malu-malu dalam dirinya telah lenyap. Kini ia mulai bersikap apa adanya. Malah sikapnya secara perlahan namun pasti berubah jadi liar bagaikan kucing kelaparan.

Venny terus mendesah-desah sambil menggeliat-geliatkan tubuhnya. Bahkan kini ia memegang dan meraba-raba payudaranya sendiri, dengan wajah cantiknya mengeluarkan desahan-desahan lirih.

Tak lama kemudian… sreettt! Secuil kain penutup terakhir gadis itu baru saja kuloloskan dari dirinya. Aku berbinar-binar menyaksikan bulu-bulu vaginanya yang tertata rapi. Sengaja kubentangkan pahanya lebar-lebar untuk melihat liang vaginanya yang lipatan-lipatannya berwarna kemerahan dengan liangnya nampak rapat dan sempit.
Sementara itu, kulepas seluruh pakaianku sampai aku telanjang bulat. Penisku menegak dengan kencang. Aku kembali memainkan vagina Venny. Tanganku menggosok-gosok bagian kewanitaannya sambil sekaligus meraba-raba payudara gadis itu. Sebaliknya, Venny yang kini telah kubikin “error” dan hilang urat malunya itu, membalas perbuatanku dengan setimpal. Tangan putih halusnya merengkuh dan menggenggam batang kejantananku, membungkusnya dengan menyisakan ujung kepalanya saja yang menongol. Tangan halusnya terus menggosok-gosok / mengocok-ngocok sosisku. Dengan cekatan ibu jari dan telunjuknya meraba-raba seluruh bagian kepala penisku yang membesar itu. Kini kita berdua sama-sama merasakan kenikmatan yang luar biasa. Cairan pre-cum mengalir keluar butir demi butir. Sementara itu kurasakan liang kenikmatan Venny pun juga telah merembes basah.

Tentu, level kenikmatan yang dirasakan Venny makin meningkat saat aku menjilati daerah sekitar vaginanya. Sungguh aku tak merasa jijik menjilati vagina gadis itu. Karena ia amat merawat tubuhnya, termasuk tentu saja oragan kewanitaannya itu. Bagiku yang telah makan asam garam dalam urusan seks, dengan mudah aku mampu merangsang bagian-bagian sensitif dirinya. Klitoris dan G-spot area-nya dengan cekatan kujilati sampai-sampai membuat vagina Venny jadi banjir bandang basah kuyup. Venny yang tiduran telentang kubuat mendesah dan mengerang-erang sambil tubuhnya menggelinjang-gelinjang liar tak beraturan.

Setelah kurasakan cukup merangsang gadis itu, kini kudekatkan penisku sampai menempel di pintu masuk vagina Venny. Dengan gerakan perlahan namun pasti, kudorong penisku sampai akhirnya masuk menembus dirinya. “AAAhhh....” Venny otomatis mendesah saat kepala penisku menerobos masuk ke dalam dirinya.
“Aahhhh....” Penisku kembali kudorong maju sampai akhirnya terbenam seluruhnya di dalam tubuh gadis mulus itu. Lalu… kukocok-kocok penisku.
“Aahhh.....uuhhhh.....aaahh.....” Venny mendesah-desah mengeluarkan bunyi “ah uh oh ah” saat penisku menghunjam-hunjam di dalam dirinya, menggenjot-genjot otot-otot vaginanya yang tentunya menimbulkan rasa kenikmatan tiada tara baginya. Venny terus mendesah-desah dengan liar saat aku terus menerus memompa dirinya. Dan payudara 34C-nya jadi bergerak-gerak dan berputar-putar dibuatnya. Venny menjerit-jerit makin tinggi frekuensinya. Dadanya semakin kencang perputarannya. Aku semakin cepat memompa penisku di dalam dirinya.
“Ooohhh......Aaaahhh.....aahhhh.....aaaahhhhh..... ” Genjotanku itu akhirnya tak bisa ditahannya lagi. Membuat Venny akhirnya mencapai klimaks dan orgasme! Tubuhnya menggelinjang-gelinjang saat aku terus menggedor-gedor seluruh tubuhnya.

Puas rasanya menyaksikan gadis muda ini kubuat orgasme. Namun aku masih belum mau berhenti. Karena aku masih belum selesai menikmati tubuh gadis ini. Dengan nonstop, tanpa memberi kesempatan jeda, aku melanjutkan eksekusiku terhadap mahasiswi cantik itu. Penisku keluar masuk tak henti-henti ke dalam vagina gadis mulus oriental ini.

“Ooohhh.......ooohhhhh.........ooohhhhhh”. “Shhlleepp.....shhleepppp.....shlleeppp....”. Tubuhku kini menindih tubuh Venny dengan pinggulku terus aktif bergerak maju mundur, menggoyang tubuh gadis itu. Sementara payudaranya terasa menempel di dadaku. Saat post-orgasme, tak berarti Venny jadi lemas. Justru sebaliknya, eksekusiku terhadap dirinya membuat ia terus menerus liar. Kini sambil aku terus menyetubuhi dirinya, ia dengan ganas menciumiku dengan french-kissing yang jauh lebih hot dan liar dibanding sebelumnya. Dan hal itu dibarengi dengan gerakan kedua kakinya yang mengait dan menjepit kakiku. Seolah ia tak ingin aku tiba-tiba menghentikan aksiku mengeksekusi dirinya. Sungguh perbuatan amat liar dari seorang gadis muda yang berwajah innocent! Sampai akhirnya… lagi-lagi ia dapat orgasme.

Kali ini giliran ia mengambil alih kendali. Tubuh kami berpindah posisi. Sekarang tubuh ramping putih mulusnya berada di atas menindih tubuhku. Punggungku diciuminya dan dijilat-jilat. Sekujur tubuhku dari atas sampai bawah! Sambil terkadang ia sengaja menggesek-gesek payudaranya ke punggungku. Setelah itu giliran tubuh bagian depanku yang di-mandi kucing olehnya. Terakhir, mulutnya berakhir dengan sepongan terhadap batangku setelah sebelumnya melumat buah pelirku. Habis puas mengenyot-ngenyot penisku, Venny “mengeksekusi” diriku. Dimasukkannya penisku ke dalam vaginanya. Lalu.. ia mengentotin diriku sambil payudaranya digesek-gesekkan ke dadaku. Dengan aksi liar menggairahkan, gadis muda itu mengocok-ngocok penisku di dalam dirinya. Membuatku jadi sedikit kewalahan dengan tingkah laku gadis muda yang bergairah tinggi ini. Hanya berkat pengalamanku yang segudanglah yang membuatku berhasil menahan diri untuk tak mengalami ejakulasi dini. Aku masih belum puas menikmati gadis ini. Apalagi egoku masih agak terpacu mengingat sikap arogan gadis ini yang “menyeleksi” diriku, orang yang akan membayarnya!
Venny kini sedikit mengubah posisi. Ia masih di atas dan masih mengontrol. Namun kini sambil pinggulnya bergerak naik turun, tubuhnya berdiri menghadap ke depan, memamerkan payudaranya yang indah padat berisi itu bergerak-gerak naik turun dan berputar-putar, seiring dengan goyangan pinggulnya.

“Ooohhh....oohhh....aaahhhh.......aaaaaaghhh. ..”, desahnya.
Venny terus “berolahraga” naik turun “mengendarai” penisku. Aku jadi semakin menggelora melihat keliarannya kini mengingat awalnya tadi bersikap malu-malu. Penisku sungguh nikmat rasanya dijepit dan digesek-gesek oleh dinding vagina sempit gadis ini. Dan… tingkah Venny makin liar saat ia menggapai kedua tanganku dan menaruhnya di dadanya, menyuruhku meremas-remas gunung kembarnya.

“Ooohhh....oohhh....aaahhhh.......aaaaaaghhh. ..” Gerakan tubuh Venny makin cepat saat melakukan gerakan naik turun. Rambutnya yang sebahu ikut tergerak-gerak membuatnya jadi agak awut-awutan. Kini, kesan alim gadis ini saat pertama kali kulihat, telah lenyap hilang tak berbekas. Semuanya kini jadi semakin liar, ganas, dan tak terkendali lagi. Aku pun mulai merasakan kalau penisku tak bakal mampu menahan lama lagi. Lagipula, aku telah cukup puas menikmati dirinya. Sebentar lagi akan tiba saatnya untuk mengakhiri semuanya.

Namun sebelumnya, aku ingin memberi “hadiah tambahan” kepada gadis ini. Rupanya gayung pun bersambut. Karena Venny juga ternyata sudah nggak bisa bertahan lebih lama lagi. Setelah vaginanya ditembus-tembus oleh penis perkasaku seperti ini, (akibat ulahnya sendiri), kini Venny kembali meracau tak karuan dengan gelinjang-gelinjang tubuhnya yang begitu erotis. Pertanda ia mengalami orgasme. Orgasmenya yang ketiga!

Setelah Venny orgasme, aku juga tak perlu berlama-lama lagi. Aku ingin memuntahkan isi cairan batangku di wajah cantik gadis ini. Aku berdiri di tepi ranjang, sementara Venny duduk di depanku. Dengan penuh pengertian, tanpa berkata-kata Venny langsung meraih penisku dan memasukkannya ke dalam mulutnya.

Shleebb....shleebb....shhleebb.... Penisku maju mundur, keluar masuk, timbul tenggelam ke dalam mulut gadis berwajah oriental ini. Kepalanya mengangguk-angguk di depanku sambil menyedot-nyedot batang kejantananku. Di dalam mulut, tak terlihat oleh mata, ujung lidahnya menyapu seluruh bagian kepala penisku yang barusan membuat ia orgasme tiga kali.

Saat hampir tak tahan lagi, segera kukeluarkan penisku dan langsung mengocoknya di depan wajah imut Venny. Sampai… Crottt... crotttt....croottts...crottt....crott..
Muncratlah sudah seluruh isi cairanku dan mendarat mengenai wajah cakep tapi imut ini. Dahinya, hidungnya, alisnya, pipinya, bibirnya, bahkan juga rambutnya, semuanya tak terlewatkan oleh semprotan liar spermaku. Membuat wajah cantik Venny kini jadi belepotan dengan cairan kental berwarna keruh yang agak bau dan lengket-lengket itu. Sungguh puas sekali aku menyaksikannya. Venny tak berani membuka matanya takut cairan kental yang mendarat di alisnya masuk ke dalam matanya. Dan, ia hanya patuh saja saat kusuruh mengulum penisku dan menghabiskan sisa-sisa spermaku sampai semuanya licin dan bersih!

Saat itu wajah cantiknya terlihat begitu kaco balo. Namun ia masih tetap service-oriented. Baru setelah memastikan aku puas dengan kulumannya, saat itulah ia melepaskannya dan langsung ke kamar mandi untuk keramas dan membersihkan wajahnya terutama dari semprotan cairan kentalku yang bau-bau itu.

Setelah ia selesai bersih-bersih, ia mengajakku ke kamar mandi dimana ia dengan telaten membersihkan diriku. Setelah itu kita berbaring-baring sejenak di ranjang. Beristirahat sambil mengumpulkan stamina kembali.

Beberapa saat kemudian ia beres-beres mengenakan kembali pakaiannya yang tercecer di lantai. Lalu ia merias wajahnya dengan make up ringan di depan kaca kamar tidur. Secara keseluruhan, aku sungguh puas dengan service-nya. Meski harganya termasuk mahal sekali, namun kualitas diri gadis ini dan service-nya sungguh amat sangat memuaskan. Dan, tanpa keraguan sedikitpun, ia adalah cewek terbaik yang pernah aku pake.

Kini Venny telah selesai berdandan dan saatnya untuk pergi. Saat itu ia bertanya,”Gimana, apakah Oom puas dengan service Venny?” Tentu aku puas sekali! “Amat sangat puas donk Ven,” kataku cepat. “Jadi kapan-kapan Oom mau ketemu sama Venny lagi?” tanyanya lagi dengan mata berbinar. “Tentu donk, sayang!” jawabku secara spontan.
“Makasih, deh Oom. Nanti kasih tau aja, kalo mau ketemu lagi,” kata Venny sambil kemudian mencium pipiku. “OK, Venny jalan sekarang ya, Oom,” katanya sambil tersenyum manis. “Tunggu,” kataku. “Kamu lupa sesuatu,” kataku lagi, karena aku belum membayarnya! Memang perbedaan antara cewek low-class dan high-class, selain service juga pada umumnya kaum high-class menagih bayaran di saat akhir, sementara low-class memintanya di depan. Mungkin karena kaum high-class merasa lebih pede dengan service yang diberikan ditambah level kepercayaan dan sistem reputasi yang jauh lebih tinggi dibanding kaum low-class. Sebaliknya bagi kaum low-class, sebagian besar pelanggannya mungkin juga dari level low-class, yang mana ada kemungkinan bakal ngemplang. Namun, gadis ini sungguh agak aneh. Karena bahkan di saat akan meninggalkanku pun, ia sama sekali tak menyinggung-nyinggung tentang bayaran. Sungguh ia adalah seorang yang amat pede sekali!

Tentu saja aku tak akan mengemplang bayaran seorang WP. Karena reputasiku bakal hancur di dunia perlendiran nanti. Aku menulis di buku cekku, lalu kertas itu kusobek dan kuberikan kepadanya,” Ini buat kamu,” kataku. Dengan gaya anggun ia melihat sekilas angka yang tertera disana lalu berkata,”Wah, gede amat, Oom. Nggak kebanyakan nih?” katanya sambil tersenyum. Memang aku sengaja memberi tambahan 50% dari tarif yang disetujui sebelumnya, karena aku sungguh puas sekali malam ini. “Nggak apa-apa, kamu bawa aja itu,” kataku. “Wah, makasih banget, ya Oom,” katanya sambil ia memasukkan cek itu ke dalam tas Hermes-nya. Memang ini cewek betul-betul bonafid abis!
“Yuk, Oom, Venny jalan sekarang ya. Nanti calling-calling aja kalo mau ketemu lagi,” katanya dengan senyum manisnya sebelum ia membalikkan badan. “OK, hati-hati di jalan ya,” kataku lagi sambil berjalan mengiringinya menuju pintu keluar. “Makasih Oom,” katanya sesaat sebelum meninggalkan kamarku.

Tiba-tiba Venny menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arahku. Dengan tersenyum misterius, ia berkata,”Oh ya, Oom, titip salam buat Liana ya!”
Degh! Sungguh aku amat terkejut saat tiba-tiba - tak ada hujan tak ada angin tak ada topan badai – ia menyebut nama Liana. “Kamu.. Darimana kamu tahu Liana?” tanyaku masih dalam suasana hati terkejut. “Kamu teman Liana?” tanyaku menyelidik.

Dan, gadis itu menjawab dengan senyum yang kini terlihat makin misterius, “Pokoknya ada deh Oom.”
“Tunggu!” seruku. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah mungkin gadis ini teman sekolah Liana? Ah, nggak mungkin. Karena ia lebih dewasa dibanding Liana. Paling tidak gadis ini berusia 21-22 tahun, atau paling muda juga 20 tahun. Lalu darimana Liana kenal sama dia? Jangan-jangan, mereka kenal karena sesama…. Ahh! Tidak! Tak mungkin, pikirku.
“Venny, ayo jawab pertanyaan Oom dengan jujur. Dimana kamu kenal Liana? Bagaimana kabarnya dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Ayo katakan,” tanyaku bertubi-tubi sambil memegang bahunya.

Sesaat ia terlihat agak kaget dan terpana sejenak. Seketika aku tersadar dan melepaskan dirinya. Pada saat itu ia kembali tersenyum, senyum yang begitu manis. “Venny nggak tahu kabar dia sekarang Oom. Tapi, bukannya Oom yang harusnya lebih tahu gimana keadaan dia sekarang?” tanyanya yang membuatku tertohok karena gadis ini menunjukkan kesan heran seharusnya aku tak perlu menanyakan hal ini kepadanya. Itu sebabnya mengapa gadis ini telihat cukup kaget dengan responsku barusan. Rupanya ia kaget bukan karena perbuatanku yang seolah-olah mengancam dirinya namun karena pertanyaanku yang tak seharusnya kuucapkan.

“Ah, ya, ya, … eh, dia baik-baik aja sebenarnya,” kataku berusaha menutupi prahara dalam rumah tanggaku saat ini. Kulihat gadis itu tersenyum manis mendengar jawabanku namun tak berkata apa-apa. Dalam hati, aku berterima kasih terhadap dirinya yang tentunya tahu jawabanku sekedar asal saja namun ia tak mengejarnya lebih lanjut. Juga, aku agak lega dengan jawaban gadis ini. Artinya mereka bukan temenan saat belakangan ini, setelah Liana kabur dari rumah. Aku tahu pasti, gadis ini tak berbohong. Bisa jadi mereka pernah kenal entah dimana, dan kebetulan ia pernah melihatku bersama Liana. Namun aku sama sekali tak ingat pernah bertemu atau melihat gadis ini, yang mengaku bernama Venny ini. Karena agak penasaran, aku kembali bertanya kepadanya, dengan nada bicara yang jauh lebih terkendali,” Omong2, kalo boleh tahu, kamu kenal Liana, anak Oom, darimana?” tanyaku.

Gadis itu kembali tersenyum misterius. Dengan gaya bicara seolah barusan mendapatkan peti harta karun, ia menjawab,” Maaf Oom, waktunya sudah habis. Dan lagi, sekarang sudah malam, Venny sudah harus pulang ke rumah sekarang. Kalo Oom betul-betul ingin tahu, mungkin kita bisa janjian untuk bertemu lain kali.” Mata gadis itu nampak berbinar-binar saat mengatakan itu.

Dan, ia akhirnya berjalan pergi meninggalkanku yang diliputi rasa penasaran hebat. Siapakah gadis itu? Ia begitu misterius. Semua hal mengenai dirinya sungguh janggal. Ia sama sekali tak cocok menjadi seorang gadis panggilan, bahkan untuk ukuran paling high class sekaligus. Namun kenyataannya, ia datang kemari dengan tujuan melayaniku bercinta dan barusan ia benar-benar melakukan hal itu. Sungguh semua ini tidak klop.




Liana and I - Bag 7. Hidden Truth Yang Tak Seharusnya Diungkapkan

Sejak pertemuan malam itu, aku kembali bertemu dengan Venny beberapa kali. Wajah dan fisiknya tergolong kelas atas. Apalagi service-nya! Ruarrr biasa! Ia begitu telaten melayani dengan sepenuh hati dari awal sampai bahkan setelah permainan berakhir. Sama sekali tak ada kesan buru-buru atau money-oriented. Tarifnya yang tergolong mahal sungguh memadai.
Selain itu, terlepas dari hal2 yang berhubungan dengan esek-esek, ada sesuatu dari dirinya yang membuatku sungguh penasaran kepadanya. Terutama karena semua hal mengenai dirinya sungguh aneh. Apalagi ia mengaku kenal Liana.
Meski telah beberapa kali kita bercinta dengan hebat layaknya sepasang kekasih beneran, ia tak pernah mengungkapkan info secuil pun tentang identitas dirinya yang sebenarnya. Ia selalu hanya tersenyum saja, ketika aku mencoba bertanya hal-hal sehubungan dirinya atau tentang perkenalannya dengan Liana. Membuatku tak bisa untuk mendesaknya juga karena memang aturan main dalam dunia prostitusi, privacy adalah hak setiap orang yang tak boleh dilanggar. Sebaliknya, ia juga tak pernah menanyakan hal-hal pribadi kepadaku. Sementara rasa penasaran dalam hatiku makin bertambah.

Hari itu aku kembali bertemu dengannya. Sebelumnya, aku membujuk dirinya supaya mau melayani booking semaleman. Aku bersedia membayar mahal untuk itu. Namun ia menolak. Alasannya tetap sama seperti sebelum2nya, yaitu ia harus pulang ke rumah malam harinya. Akhirnya kita sepakati untuk bertemu dari siang sehabis ia selesai kuliah sampai malam. Tarifnya adalah 3 kali lipat tarif short-time. Baik, aku setuju, namun dengan syarat tambahan, yaitu ia harus memainkan cosplay dengan seragam SMA sambil kita main sedikit role-play. Dan, ia pun setuju. Jadi akhirnya, DEAL! Siang ini kita janjian ketemu di rumah baruku yang sekitarnya masih banyak tanah kosong dan agak jauh dari tetangga.

Aku sedang tiduran di kamarku dengan hati berdebar saat menunggu Venny mandi dan bersiap-siap. Sampai akhirnya, Dok! Dok! Dok! Kamarku diketuk seseorang. “Ya!” sahutku singkat. Dan, masuklah Venny dengan seragam sekolah. Meski usianya sudah terlalu dewasa untuk anak SMA, namun ia masih cocok memakainya. Dan.. oh my… Venny betul-betul terlihat semakin cantik dan innocent dengan seragam SMA itu, sambil sekaligus sexy saat membayangkan baju seragamnya itu nantinya kutelanjangi satu persatu. Baju atasnya yang agak tipis membuat bra-nya terlihat tembus pandang. Apalagi dadanya nampak cukup menonjol dan ia memakai bra warna hitam. Jadi kelihatan banget gitu dibalik seragam putih itu. Sungguh cocok sekali ia memainkan peran sebagai Liana! Apalagi, “Liana” yang satu ini bisa dilucuti satu-satu pakaiannya dan dinikmati sepuas hati.

Role-play telah dimulai… Ceritanya aku lupa menjemputnya dari sekolah. Hal itu membuatnya kesal. Apalagi ia harus pulang dengan naik sepeda, meminjam dari temannya. Sementara aku malah enak-enakan tiduran disini. Gara-gara mengayuh sepeda dengan jarak cukup jauh, kini tangan dan kakinya pegal-pegal.
“Lho, Venny, kok kamu sudah disini?” tanyaku. “Iiih, Oom gimana sih. Katanya mau jemput Venny, malah sekarang lupa!” kata Venny sambil cemberut. “Aduh, maafin Oom ya,” kataku berusaha menghiburnya. “Kamu nggak marah khan sama Oom?”
“Ah, Oom memang payah!” kata Venny makin kesal, membuat ia semakin cantik. “Haduuh, Oom sungguh minta maaf deh sama Venny,” rayuku sambil menatap wajah cantik gadis itu. “Tapi, omong2 gimana kamu pulang barusan?”
“Karena Oom lupa.. lalai.. dan udah nggak perhatian lagi sama Venny, jadinya Venny mesti pinjam sepeda teman dan pulang naik sepeda. Lihat nih, sekarang tangan dan kaki Venny jadi pegal-pegal semua! Ini semua gara-gara Oom,” katanya dengan suara kesal dan wajah cemberut. Membuatku hampir tak tahan untuk terus main role-play dan langsung menerkamnya.
“Aduh, maafin Oom ya sayang,” kataku sambil mengelus rambutnya dan memijit-mijit bahunya. “Mana yang pegal-pegal, yuk Oom pijitin kamu deh.” Awalnya ia masih rada-rada ngambek dan menolak. Namun setelah dirayu-rayu akhirnya ia menurut juga. Kini ia duduk di atas ranjang sementara aku duduk di sebelahnya sambil tanganku memijit-mijit kakinya. Lalu aku berpindah memijitin pundaknya sembari menempelkan tubuhku ke dirinya dan mencium harum rambutnya.

Pada saat ini, ketika aku berdekatan dengannya seperti ini, sumpah!, ia sungguh mirip dengan Liana. Karena postur tubuh mereka mirip, kulit sama putihnya, panjang rambut juga kurang lebih sama, hanya wajah saja yang berbeda meski sama2 cantik. Namun karena aku berada di samping agak ke belakang, jadi wajahnya tak terlihat. Apalagi dengan seragam SMA yang dikenakan Venny. Dan yang paling utama.. selama ini Liana kadang juga �suka ngambek dan bersikap manja kepadaku seperti ini. Setelah itu biasanya aku baik-baikin dan kusayang-sayang seperti ini, setelah itu ia memelukku. Membuatku membayangkan seolah saat itu aku sedang bersama Liana.

Bedanya kini aku bisa bertindak jauh lebih banyak dibanding dengan Liana sebelumnya. Kini tanganku mulai menggerayangi paha “Liana” ini. Tangan nakalku menyusup masup ke dalam rok abu-abunya. “Gimana rasanya? Enak khan? Sudah nggak cape lagi?” tanyaku dengan tangan menempel di paha mulus gadis ini. “Masih!” jawab “Liana” dengan masih ada nada kesal. Sungguh mirip banget dengan Liana sesungguhnya. “OK, kalo gitu Papi pijitin terus ya,” kataku sembari tanganku makin masup ke dalam menggerayangi paha mulus di balik rok abu-abu. “Iih, tangannya jangan masuk dalam-dalam donk,” protesnya berusaha mengeluarkan tanganku. “Lha? Bukannya kamu pengin pegel-pegelnya hilang.. jadi ya kudu dipijitin terus donk. Apalagi kalo naik sepeda, yang pegel khan di bagian pangkal paha,” kataku makin aktif meraba-raba paha mulus gadis itu.

“Kalo gini caranya, pegal-pegal kamu nggak bakalan ilang,” SSI-ku berlan jut. “Abis kamu duduknya nggak bener sih. Jadi susah mijitnya,” kataku. “Emang harusnya aku duduk gimana,” tanyanya. “Harusnya kayak gini,” kataku sembari tanganku menyingkap rok abu-abu gadis itu. Sehingga kini nampaklah secara keseluruhan pahanya yang putih mulus berikut celana dalamnya sekalian. “Nah, kalo gini khan jadi lebih enak mijitinnya,” kataku meraba-raba pangkal paha gadis itu, hampir menyentuh bagian paling sensitifnya.

Dan, saat Venny memalingkan wajahnya ke arahku, entah ingin protes atau apa, ia sama sekali tak kuberi kesempatan. Saat itu juga bibirnya langsung kukunci dengan bibirku, satu tanganku memegangi kepalanya. Sehingga ia tak bisa berkutik sama sekali selain menerima nasib.
Mmmpph. Kunikmati bibir hangat gadis itu. Kujelajahi tiap milimeternya. Kulihat ia akhirnya memejamkan mata menikmati sapuan bibirku terhadap bibirnya. Cukup lama aku menciuminya. Satu tanganku mengelus-elus rambut indahnya. Tanganku satu lagi sedang asyik meraba-raba paha mulus gadis ini.
Sambil sesekali mengeluarkan lenguhan-lenguhan erotis, Venny mulai membalas ciumanku. Membuat kita saling bergantian saling menciumi satu sama lain. Lidah Venny menjulur-julur di dalam mulutku, menggoda lidahku untuk melakukan hal yang sama. Ooh.. Sungguh nikmat sekali rasanya! Kita saling menjelajahi dan memagut bibir satu sama lain. Sama2 liar. Sama2 buas. Sama2 nafsu. Aku tak tahu berapa lama kita melakukan itu. Karena waktu seolah berhenti. Apalagi saat kita melakukan deep french kissing. Mmmpphh…

Cairan pre-cum-ku telah menetes keluar. Sementara celana dalam gadis ini pun juga mulai terasa berlendir saat barusan jariku secara tak sengaja menyentuh liang rahasianya. Asyik dah. Baru diginiin aja udah mulai basah. Pertanda Venny juga menikmati permainan ini. Apalagi ciumanku barusan membuat sikap defensifnya menurun drastis, membuat posisi duduknya kini dengan dua kakinya terbuka. Membuat nafsuku semakin meningkat. Rok abu-abunya udah dari tadi tersingkap kemana-mana. Celana dalam hitamnya yang halus berenda begitu menggoda apalagi di antara dua paha nan putih mulus.
Leher mulus Venny kini jadi sasaran ciumanku. Dengan penuh nafsu kujelajahi naik turun leher mulus gadis itu, sambil kedua tanganku menggrepe-grepe sekujur tubuhnya yang terbalut pakaian seragam. Tangan kiriku meraba rambut, pundak, punggung, tangan, pantat, paha, dan tentu saja dada gadis mulus itu. Sementara tangan kananku secara khusus menyentuh-nyentuh dan menggesek-gesek celana dalam hitam yang sexy dan menggoda itu.

Kumasukkan tanganku ke dalam cd hitam itu. Dan.. Oohh.. Venny mendesah sambil menggeliat. Kembali kuciumi bibirnya sementara tanganku bermain-main di dalam cd mungilnya itu. Dan, gerakan tubuhnya semakin liar. Ia membalas ciumanku dan kembali kita melakukan deep french kissing. Sementara, jari tanganku pun juga masuk ke liang vaginanya. Membuat vaginanya jadi semakin basah..

Serrtt. Akhirnya kutanggalkan cd hitam itu dari tubuh gadis putih mulus itu. Kini Venny terduduk di ranjang dengan rok abu-abunya tersingkap naik, membuat rambut kemaluannya yang tertata rapi terlihat jelas di depan mataku. Oh, sungguh sexy sekali. Bulu vagina warna hitam di tengah-tengah kedua paha putih mulus yang terbuka lebar. Sementara lipatan bibir vaginanya yang segar kemerahan milik gadis belia itu sungguh menggelorakan hatiku.
Segera kukenyot-kenyot vagina Venny. Kujilat-jilat lipatan luarnya. Membuat ia jadi menjerit-jerit tak karuan. Lidahku menjilat melingkar-lingkar, tak melewatkan satu titik pun. merangsang titik-titik sensitif G-spot-nya. Membuat banjir bah mengalir keluar. Seluruh penjuru ruangan kamarku dipenuhi oleh suara teriakan dan desahan-desahan erotis dari mulut gadis itu. Apalagi saat klitorisnya kujelajahi dengan lidahku.

Setelah puas memberikan “hidangan pembuka”, kini kuraih sepasang payudaranya saat ia sedang terduduk sambil setengah tiduran. Kurasakan keduanya yang begitu padat kencang dan kenyal. Dan, kuremas-remas payudara gadis itu di balik seragam putihnya sambil kembali menciumi bibirnya.

Perlahan namun pasti, kulepas satu persatu kancing baju seragamnya sambil baju putih itu tersibak ke samping. Dan, kuraih pengait bra hitam di depan. Clepp.. dan slooshh, kuloloskan bra hitam itu dari tubuh putih gadis ini. Dan, sejenak kunikmati pemandangan indah di depan mataku. Gadis berwajah oriental itu kini dalam posisi duduk… Kancing baju seragamnya terbuka semuanya. Seragam putihnya tersibak ke samping kiri dan kanan. Membuat sepasang payudara indahnya terbuka terpampang jelas di depan mataku. Dagingnya begitu indah, padat berisi dan putih, sungguh menantang mata lelaki yang melihatnya. Putingnya menonjol kemerahan begitu menggairahkan. Sebagian rambutnya yang asalnya berada di depan menempel di dadanya, kusibakkan ke belakang semuanya. Membuatku bisa melihat seluruh bagian payudaranya tanpa penghalang apa pun, mulai dari kaki bukitnya sampai ke ujung putingnya.

Rok seragamnya masih tersibak ke atas. Membuat kedua paha mulusnya serta bulu-bulu vagina dan liang cintanya terpampang pula dengan jelas. Kembali jari jemariku memainkan vagina gadis itu, sambil bibirku menciumi bibirnya. Tanganku satunya merengkuh sepasang payudara indahnya, meraba-rabai, mengusap-usap, dan meremas-remasnya dengan lembut.

Saat itu Venny sungguh sexy dan menggairahkan sekali. Terutama dengan seragam SMA-nya saat itu sungguh mirip sekali dengan putriku Liana. Sambil menciumi bibirnya dan merangsang vaginanya, kubayangkan diriku melakukan itu terhadap putriku sendiri! Dan “Liana” pun jadi sedemikian bergairah dan mendesah-desah akibat ulahku.

Karena tak sabar lagi untuk segera menghajar gadis ini, kutanggalkan seluruh pakaianku. Penisku menegang dengan keras. Sebelum mengeksekusi gadis ini, kudekatkan penisku ke wajahnya. Aku berdiri di depannya. Ia duduk di depanku, sehingga penisku berada di depan mulutnya. Lalu… nyott, nyott, nyott… kini batang kejantananku telah diemut-emut di dalam mulut putriku. Kulihat penisku maju mundur, keluar masuk, ke dalam mulut Liana. Aku jadi merem melek sambil menikmati sepongan nikmat putriku. Ini dia anak gadis yang tahu membalas budi terhadap ayahnya! Nyott… nyott.. nyott… Ugh, betul-betul nikmattt…..

Venny menghentikan oral seks-nya. Kini saatnya untuk menghajar gadis ini. Kutidurkan Venny di ranjang. Kusingkap baju seragamnya Kusingkap roknya ke atas. Kubentangkan kedua kakinya dan kutekuk ke atas. Kudekatkan penisku ke depan liang vaginanya. Dan… Egghh! Kudorong dengan kuat penisku masuk ke dalam vagina gadis itu. Ah! Venny menjerit. Namun aku tak peduli. Kudorong lagi penisku sampai semuanya masuk ke dalam tubuh gadis itu. Dan… shlebb…shllebb…shleebb, pengeksekusian terhadap gadis itu telah dimulai. Dengan tak henti-henti penisku menggedor-gedor vagina gadis ini. Membuat dirinya berteriak-teriak dan mendesah-desah. Sementara payudaranya bergerak berputar-putar seiring kocokan penisku. Lagi-lagi, seisi ruangan kamar dipenuhi desah-desah dan jeritan erotis gadis ini.

Dengan pakaian seragam SMA yang masih melekat di tubuh gadis berkulit putih dan berwajah cantik oriental ini (tapi dalam keadaan amburadul), terus kugedor-gedor dan kuhajar vagina gadis itu. Dengan kedua tanganku memegangi kedua kakinya yang tertekuk ke atas, penisku terus maju mundur keluar masuk menembus vagina sempit rapat gadis ini. Kubayangkan diriku sedang mengeksekusi Liana, anak tak tahu diri itu. Sementara Liana kini menjerit-jerit entah minta ampun entah karena keenakan. Aku tak peduli. Terus kugenjot vagina putriku itu. Sampai akhirnya, kulihat reaksi tubuh dan ekspresi wajah gadis itu saat dirinya mencapai orgasme. Puaslah sudah hatiku, karena babak pertama telah usai dengan skor 1-0 bagi diriku.

Namun, permainan masih belum selesai karena masih ada babak kedua. Baju seragam SMA gadis itu kutanggalkan semuanya. Kutelanjangi gadis itu bulat-bulat. Kutatap payudaranya yang menggairahkan.. dan kukenyot-kenyot keduanya bergantian. Kunikmati buah “mangga kembar” itu dengan lahap. Payudara putih mulus dan berkualitas prima! Kedua putingnya tentu tak kulewatkan dengan kuemut-emut dan kujilati. Membuatnya jadi semakin keras dan semakin merah. Dan Liana pun menjerit-jerit.

Kemudian sekali lagi gadis itu kueksekusi. Kali ini dalam posisi doggy style. Dengan rambut panjang indah, punggung putih mulus, pantat menggairahkan, ia menungging di atas ranjang membelakangiku. Dengan liang vagina terlihat diantara kedua kakinya. Kudekatkan penisku kearahnya, dan bleeshh! Lagi-lagi penisku masuk ke dalam vagina gadis putih ini. Dan.. uuhh…uuhh…uhhh…. Gadis ini untuk kesekian kalinya hari itu mendesah-desah lagi. Kembali aku menyetubuhi Liana, yang wajahnya tak terlihat karena saat itu kepalanya tertumpu pada tumpukan bantal. Namun tubuh mulusku terlihat jelas, dan terutama vaginanya sedang kutembusi oleh penisku! Sambil terus menusuk-nusuk dirinya, tanganku memegang kedua tangan Liana. Sehingga kini putriku yang bandel itu betul-betul berada dalam kekuasaanku 100%. Apalagi batang kejantananku terus menerus dari tadi menghunjam-hunjam menghajar vagina mudanya.
“Ooohh…ohhhh…ohhh….,” begitu desah Liana terus menerus. “Gimana, enak khan, sayang?” kataku sambil terus menghajar dirinya. “Iya…oohhh….enak….ohhhh….oohhhh,” kata Liana di tengah-tengah desahannya. “Diterusin ya, mau? Nggak berhenti ya…” “Mau… ohhhhh….ohhh…ohhhh…. ya… ohhh… jangan berhenti…. Oohhhh.”

Kini posisi berganti. Aku duduk di ranjang. Sementara Venny “naik” ke atas diriku. Ia duduk sambil kupangku dengan menghadap diriku. Sementara itu, bleeshhh…. Penisku sekali lagi masuk ke dalam vaginanya. Dan, kini ia naik turun mengendarai penisku. Sementara kedua kakiku menjepit tubuh bagian belakangnya. Sehingga ia tak bisa kemana-mana kecuali bergerak naik dan turun.

Aku tak bisa melihat wajahnya karena kepalanya disamping kepalaku. Namun kurasakan tubuh hangat putriku menempel di tubuhku, termasuk payudaranya yang menggairahkan kurasakan menempel dan bergoyang-goyang di dadaku. Sementara wangi harum tubuhnya merasuk ke dalam sanubariku. Tapi yang paling penting, jepitan sempit vaginanya yang masih rapat sungguh amat terasa nikmatnya di penisku. Membuat diriku bagaikan di tengah samudra kenikmatan yang luas, di atas awang-awang indah merasuk dalam hati. Liana, anak gadisku sendiri kini semakin liar mengendarai penisku. Rupanya ia juga merasakan kenikmatan luar biasa dari Papinya, sebuah kenikmatan baru yang sungguh tak terperikan enaknya. “Ooohh… Liana, kalo udah gini, jangan salahin Papi karena memang maunya kamu sendiri, batinku. “Dan… yes! Terusin Ayo kamu terus nikmati penis Papi yang perkasa ini.” Dan Liana pun semakin liar dan bergairah menggerakkan tubuhnya naik turun. Bahkan ia juga ikut-ikutan mendesah dan meracau tak karuan.. “Oooh… aduhh, … aku nggak tahan…. Adduhh…. Papiiii…..” serunya sambil ia mencengkeram tubuhku erat-erat sambil dirinya terus bergerak naik turun. Dan, “Aaaahhh…. Papi…. I’m coming Papiii…. AAAHHHHHHHHHHHHHH!” Liana meracau tanpa malu-malu lagi saat ia mendapatkan orgasme yang kedua. Membuat hatiku bergetar hebat dibuatnya sampai akhirnya aku pun tak dapat menahan gejolak dalam diriku, dan…. Crooottss… crotttss……crotttssss……..

Tumpahlah seluruh cairan spermaku di dalam liang vaginanya. Sungguh ejakulasi yang amat dahsyat! “Ooh, Liana,” batinku. “Sungguh nikmat sekali, sayang….” “Papi… I love u Papi…,” demikian kudengar suara “Liana” berkata dalam hatiku.
Dan, oooh…. Aku langsung terkulai lemas di ranjang. Sementara Venny masih diatas diriku dengan vaginanya masih tertembus oleh penisku yang masih ada sisa-sisa ereksi. Kulihat Venny tersenyum malu-malu saat aku terus menatap dirinya. Ketika ia mengangkat tubuhnya, kulihat bulu kemaluanku begitu basah akan lendir bercampur keringat. Kembali Venny tersenyum malu karena lendir itu semua adalah miliknya. Sungguh permainan cinta yang amat hebat! Kemudian kita tiduran sambil berpelukan. Kurasakan tubuh hangat dan mulus gadis ini. Juga wangi aroma tubuhnya. Sementara napas kami berdua masih agak terengah-engah. Setelah babak kedua berakhir, skor adalah 2-1 bagiku, batinku sambil tersenyum saat mengelus-elus rambutnya.

Tak lama kemudian, kami ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu kami berdua berendam di kolam jacuzzi menikmati hangatnya air serta pijitan semprotan jacuzzi selain juga merasakan nikmatnya berpelukan dengan Venny.

########

Setelah acara di kamar mandi selesai, kami bersantai-santai sambil tiduran di kamar. Waktu masih panjang. Sekarang baru pukul 3 lewat. Sementara pertemuan ini sesuai perjanjian baru berakhir jam 8 malam. Jadi tak perlu buru-buru. Sejenak kami berdua tertidur, sekaligus aku istirahat untuk mengisi “baterai”.

Setelah terbangun, kulihat Venny sedang nonton TV. Sementara aku keluar ke ruang tengah dan menyalakan laptop-ku. Aku reply sejumlah email dan mengecek beberapa hal menyangkut bisnis. Saat itu ada email yang masuk dari sekretaris pribadiku untuk posisi saldo di beberapa bank account-ku yang di-manage olehnya. Dari salah satu account, kuperhatikan rupanya cek-cek yang selama ini kuberikan ke Venny, tak ada satu pun yang dicairkan. Padahal pertemuan pertamaku sudah hampir sebulan lamanya. Hal ini sungguh aneh.

Aku tak dapat menahan diriku untuk tak menanyakan kepada orangnya. Aku masuk ke dalam kamar lagi. “Ven, ternyata kamu belum nyairin semua cek-cek dari Oom?” Venny menoleh ke arahku dan berkata dengan enteng,” Oh iya Oom. Soalnya Venny masih belum perlu.” Membuatku heran. Biasanya cewek-cewek lain langsung dicairkan paling lambat keesokan harinya. Bahkan tak sedikit yang hanya mau menerima pembayaran cash. Tapi cewek ini… terlalu naif atau terlalu pede?
“Cepat dicairin semuanya atuh. Jangan ditunggu lama-lama. Kamu nggak takut nanti cek-nya kosong semua,” kataku mengingatkannya. Memang aku nggak akan mengemplang uang ginian. Namun bagaimana dengan orang lain? Tentu suatu kerugian amat besar kalau sudah melayani ternyata uangnya hanya secarik kertas kosong belaka. “Oh, nggak apa-apa Oom. Masalah ini Venny percaya koq sama Oom,” katanya enteng seolah menyangkut masalah sepele. “Ya mungkin Oom nggak akan menipu. Tapi gimana dengan orang lain?” tanyaku. “Oh, cuma cek-cek dari Oom aja yang nggak dicairin,” kata Venny sambil menatapku. “Hmm, OK, tapi sebaiknya tetap kamu cairin secepatnya,” kataku mengingatkan.
“Omong2… kalo Oom boleh nanya, maaf ya, kamu masih baru di dunia beginian?” tanyaku lagi. Takut dirinya tersinggung, dengan cepat langsung kutambahkan, “Oom bukan ingin tahu tentang itu. Tapi kamu ini terlalu naif untuk berada di bisnis seperti ini. Mungkin karena kamu memang masih baru. Oom cuman ingin kasih nasehat aja, kamu jangan terlalu percaya kepada siapa pun disini,” kataku sambil menatap lekat wajahnya. Dalam hal ini memang aku bersungguh-sungguh menasehatinya. Namun disamping itu juga aku ingin tahu apa yang memicu gadis ini terjun di bisnis ini. Karena, seperti yang kukatakan sebelumnya, banyak sikap dan tindakannya yang sama sekali tak cocok untuk seorang WP, bahkan untuk ukuran kelas paling tinggi pun.

Venny menatapku balik sambil tersenyum, sebuah senyum yang membuatku kaget sekaligus keheranan. Karena senyum itu mengandung makna yang sungguh berbeda dengan apa yang kuperkirakan akan kulihat. Tadinya aku menduga ia anak pengusaha kaya yang mendadak jatuh bangkrut. Sehingga ia harus menjual diri untuk membayar hutang atau paling tidak demi mempertahankan gaya hidup mewah. Aku mengira akan melihat pancaran sinar mata sayu atau senyum kegetiran. Namun ia memandangku dengan senyum manis dan sinar mata berseri-seri. Sebuah pandangan yang menunjukkan kalau hal ini sama sekali tak membebani pikirannya.

Aku tak tahu apakah gadis ini seorang yang amat lihai? Sampai-sampai diriku yang telah cukup berpengalaman di dunia seperti ini pun dapat diperdaya dan dijadikan bulan-bulanan? Namun mungkinkah itu, mengingat usia gadis ini yang masih begitu muda?

Kini semuanya sudah kepalang basah. Reaksi keterkejutanku tadi terjadi begitu spontan dan tak mampu kusembunyikan. Aku yakin ia tentu telah mengetahuinya. Apalagi kalau memang betul ia seorang profesional yang lihai. Kini tak perlu pura-pura lagi. Tanpa tedeng aling-aling, aku langsung bertanya secara to the point, satu pertanyaan yang sebelumnya tak pernah kuucapkan kepada gadis penjual cinta lainnya karena begitu menyakitkan. Namun bagi gadis ini, hal itu tak berlaku.
“Apa yang membuat kamu terjun di dunia “bisnis” seperti ini?” Venny menatapku dengan senyuman aneh, senyum misterius yang telah kulihat sejak hari pertama ketika itu. “Oom, benar-benar pengin tahu?” tanyanya. “Ya, Oom penasaran sejak dari awal melihat kamu. Soalnya menurut Oom segala sesuatunya dari kamu baik itu gerak-gerik, dandanan, sikap, dll, semuanya sama sekali janggal. Kamu sungguh nggak cocok berada di dalam dunia seperti ini,” jawabku blak-blakan. “Baik, kalo Oom pengin tahu... Namun Venny juga ada satu pertanyaan buat Oom. Kalo Oom mau jawab, Venny juga akan jawab pertanyaan Oom. Gimana?” tanyanya. “OK, nggak masalah, kita barter satu pertanyaan dan jawaban,” kataku. “Siapa yang musti jawab duluan?” tanyaku. “Oleh karena Oom yang bertanya dulu, jadi Venny jawab dulu juga nggak masalah,” jawab Venny.

“Kenapa Venny berada disini? Jawabnya simpel aja, karena memang Venny yang pengin sendiri.” Jawaban yang benar-benar lugas dan langsung. “Oh?!” Aku menatap dirinya sambil keheranan. Baru kali ini ada seorang gadis muda, cantik, dari kalangan atas yang secara sukarela terjun di dunia prostitusi. “Memang apa yang kamu cari disini?” tanyaku penasaran.

“Maaf, sekarang giliran Oom yang harus menjawab pertanyaan Venny,” katanya dengan manis. “Ah ya.. betul. Ok, sekarang silakan kamu tanya sesuatu ke Oom, nanti balik Oom nanya ke Venny lagi.” Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit, membuat lekukan atas dadanya sedikit terlihat di celah leher kimono mandinya, membuat gadis itu terlihat semakin indah dan menarik. Namun saat ini sama sekali tak ada pikiran mupeng dalam diriku, karena aku tercurah ke pembicaraan ini. “Apa yang melatar-belakangi Oom menyuruhku memakai seragam SMA dan melakukan role-play hari ini?” tanyanya. Sejenak kulirik tumpukan seragam SMA yang berada di atas meja rias di samping ranjang, berikut bra dan celana dalam gadis ini. Sementara dirinya kini hanya memakai kimono mandi tanpa pakaian dalam. Namun, saat ini aku tak sempat berpikiran mupeng. Karena aku harus memikirkan satu jawaban yang pas. “OK, terus terang Oom katakan, itu semua karena Oom diam-diam punya rasa mupeng kepada anak teman Oom yang sering Oom liat pake seragam SMA. Kebetulan ia mirip sama kamu. Karena itu Oom minta kamu memakai seragam SMA.”

Venny mendengar jawabanku sambil tersenyum simpul…. Lalu berkata, “Oom bohong.” Sebelum aku sempat menjawab, ia bicara duluan. “Sebenarnya Venny sudah tahu siapa yang Oom mupengin itu. Dia sama sekali bukan anak teman Oom seperti yang Oom bilang,” jawabnya. “Lalu menurut kamu siapa?” tanyaku penasaran. “Cewek yang Oom mupengin itu tak lain adalah Liana, anak Oom sendiri!” kata Venny menatapku sambil mengatakan semua itu dengan tenang.

“Apa?!” tanyaku kaget. Tentu hal ini memang benar adanya. Namun meski benar, tentu aku tak akan mengakui pikiran miringku ini kepada orang luar, termasuk gadis ini. Tapi aku sungguh heran. Bagaimana ia bisa menebak secara jitu isi pikiranku? Membuatku terasa mati kutu dihadapannya.


Liana and I - Bag 8. Rahasia Venny

“Cewek yang Oom mupengin itu tak lain adalah Liana, anak Oom sendiri!” kata Venny. “Apa?!” tanyaku kaget. Sungguh tak kusangka, rahasiaku yang selama ini kupendam dalam hati dapat ditebak dengan begitu tepat oleh gadis muda ini. Bagaimana ia bisa mengetahui secara persis isi hatiku?

“OK, bagaimana kamu bisa tahu pikiran Oom tentang Liana?” tanyaku akhirnya setelah terdiam beberapa saat. Sampai disini rasanya tak ada gunanya berusaha menyembunyikan hal ini darinya. Dan gadis itu berkata sambil tersenyum,” Venny telah bertemu banyak orang Oom, karena itu Venny mengenal macam-macam karakter orang. Banyak orang yang ingin bercinta dengan gadis muda. Kenapa? Karena hampir semua orang memendam angan-angan atau imajinasi bercinta dengan gadis-gadis muda yang dalam kehidupan nyata sehari-hari tak mungkin dieksekusinya. Hal itu termasuk keponakan, adik, keluarga dekat lainnya, dan lain-lain. Sementara, juga tak sedikit pria yang berfantasi bercinta dengan putrinya sendiri. Mungkin hal itu tak disadarinya, karena terjadi di level bawah sadar mereka. Untuk itu mereka melampiaskannya ke Venny sambil membayangkan gadis dalam angan-angannya itu. Dan Oom termasuk salah satu diantaranya,” kata Venny sambil tersenyum.

Tak dapat dipungkiri bahwa Venny adalah seorang gadis muda yang amat cerdas terutama dalam menganalisa sifat dan karakter orang. Namun, kenapa ia sampai terjun ke dunia prostitusi? Apalagi dari sikap dan pembawaannya, aku sungguh yakin ia berasal dari kalangan atas, bahkan bukan tak mungkin keluarganya lebih kaya dibandingkan diriku. Apa yang ia cari dari profesi seperti ini?

“Satu pertanyaan yang selalu bikin Oom penasaran…,” kataku,” Gadis hebat seperti kamu, kenapa bisa terjun di dunia seperti ini?” Venny tersenyum dengan mata berbinar,” Apa yang Venny cari disini? Kalau Venny tadi bilang, banyak pria seumuran Oom yang suka berfantasi dengan gadis muda… sebaliknya, Venny suka akan pengalaman bercinta dengan pria setengah baya yang sukses, seperti Oom gini! Itu alasan utama kenapa Venny terjun di bidang ini. Jadi, bagi Venny ini bukanlah prostitusi atau apa, tapi sebuah pengalaman gila yang menggairahkan!”

Oh?! Aku terheran-heran mendengarnya. Tak kusangka rupanya ada gadis muda yang lebih memilih pria berumur dibanding pria muda seusianya. “Tapi mengapa?” tanyaku tak mengerti. Venny tersenyum dan berkata, “Sama seperti pikiran “nyeleneh” Oom dan orang-orang lain, Venny juga punya pikiran yang tak kalah nyelenehnya. Sejak remaja Venny sering berfantasi untuk bercinta dengan Papi Venny!”
Sebuah jawaban yang membuatku terkejut. Sungguh tak kusangka, ternyata sebaliknya ada juga gadis muda yang berfantasi bercinta dengan ayahnya. Kini aku mengerti, selama ini dirinya melayaniku dengan sepenuh hati karena semua ini bukan masalah duit tapi dirinya juga amat menikmati semua ini. Karena, sementara aku membayangkan menyetubuhi Liana, ia membayangkan dirinya bercinta dengan ayahnya. Jadi kloplah.

Analisaku ini makin terbukti saat ia kemudian berkata,”Sebenarnya, jujur aja Oom, Venny sama sekali nggak perlu uang tambahan dari sini karena Venny telah dikasih Papi cukup banyak uang tiap bulannya.”

“Hmm, jadi itu sebabnya kenapa kamu amat selektif memilih orang,” kataku sambil mengangguk-angguk. “Betul sekali Oom. Venny amat selektif dalam memilih orang. Karena Venny hanya mau dengan pria-pria matang dan dewasa dengan latar belakang, kesuksesan, juga ciri fisik yang mirip dengan Papi Venny. Kenapa Venny pasang tarif mahal, sekali lagi bukan karena masalah uangnya, tapi itu hanya sekedar saringan awal saja terhadap pria sukses dan mapan seperti Papi Venny.”

“Wah.. kalo gitu berarti kamu sudah menolak banyak orang ya?” tanyaku sambil geli membayangkan betapa kasihannya orang yang sudah menunggu dirinya datang, lalu mupeng mengharapkan dirinya, ternyata akhirnya hanya mendapat penolakan dari gadis ini. “Betul sekali Oom. Jujur saja, sejak Venny mulai “aktif mencari pelanggan” tiga bulan lalu, hanya Oom seorang yang Venny terima. Yang lain, Venny reject semua. Karena Venny betul-betul picky dalam hal ini,” katanya. “Tapi yang paling lucu Oom, hihihi..,” kata Venny sambil tertawa geli, “Waktu itu Venny pernah janjian ketemu seorang pria. Waktu ketemu, Venny kaget bukan maen. Karena selain ciri-ciri dirinya tak sesuai dengan yang sebelumnya digambarkan ke Venny, juga ternyata ia orang yang cukup terkenal Oom. Kalo Venny sebut namanya, semua orang pasti tahu deh.”

“Tapi begitu ketemu dia Oom, Venny langsung ilfil abis pokoknya. Soalnya selain tampangnya kayak gorilla, juga orang ini terkenal di media massa sebagai orang munafik dan rasis banget pokoknya. Tapi, rupanya diam-diam dia doyan juga bahkan ganas sama perempuan. Tanpa tahu malu, dia bilang katanya suka dengan gadis berwajah oriental seperti Venny. Bahkan, katanya, meski sama-sama putih, tapi Venny jauh lebih cakep, lebih muda, dan lebih menggairahkan dibanding perempuan selingkuhannya yang waktu itu.”

“Ah!” seruku kaget. “Apakah dia itu adalah… “Tapi lalu bagaimana,” tanyaku tertarik. “Waktu itu dia sengaja duduk dempet2 ama Venny sambil merayu2. Mari, kita begadang sama-sama semaleman. Begadang itu boleh-boleh saja lho, hahaha,” katanya sambil mengeluarkan bau napas yang luar biasa busuk. Tak sadar kalau semua itu bikin Venny makin ilfil, malah ia menawarkan supaya Venny mau jadi istrinya yang paling muda dan paling cantik, katanya.”

“Sebelum ia sempat memegang Venny, saat itu juga Venny langsung berdiri dan berlari menjauh. Kalo tahu dia orangnya, ga bakalan Venny datang kesini. Apalagi, salah-salah ntar bisa kena gedor para wartawan. Khan aib banget tuh Oom, padahal Venny nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Lalu Venny langsung bilang, “Maaf Oom, kayaknya aku salah alamat deh. Jadi aku harus pergi sekarang.
“Hah?! Apa-apaan ini?” tanyanya kaget. “Maaf, maaf. Aku betul2 ilfil sama Oom. Ilfil abis,” jawab Venny blak-blakan. “Tapi, saya berani bayar mahal supaya kita bisa begadang semaleman. Kalo jumlahnya kurang, nggak masalah, berapa yang kamu minta?” tanyanya yang bikin Venny pengin muntah aja. “Terima kasih, tapi tidak, terima kasih,” kata Venny sambil langsung buru-buru keluar. Sementara ia yang berusaha mengejar, kalah cepat sama Venny karena saat itu Venny sudah ada di depan pintu. Sebelum pergi, Venny berkata,” Apalagi… aku nggak tahan sama bau mulut naga Oom.” Saat itu terdengar ia berkata, “Aah, terlalu.. sungguh terlalu sekali kamu ini…”

“Ah, hahaha. Ternyata nakal juga kamu ya bisa ngerjain orang seperti itu”, kataku sambil senyum geli. “Soalnya Venny merasa tertipu Oom. Gambaran yang sebelumnya diberikan sama sekali beda dengan orang ini. Tapi Venny akan menolak dengan sopan dan nggak akan bersikap sekasar itu seandainya orang ini tidak terkenal rasis dan munafiknya. Itu yang paling bikin Venny ilfil. Di depan banyak orang mengeluarkan statemen rasis, padahal diam-diam doyan juga sama ceweknya. Kalo memang doyan, ya nggak perlu lah gembar gembor kemunafikan dan kerasisannya. Kalo mau rasis, boleh-boleh saja. Tapi jangan diam-diam secara munafik doyan juga gitu lho.”

“Hahahaaa…,” aku sungguh tertawa ngakak mendengar ceritanya. Tak kusangka gadis muda seperti ini bisa membuat mati kutu orang itu. Tapi, ah, tak ada gunanya membicarakan hal itu.

“Kalo gitu Oom termasuk beruntung ya bisa ketemu kamu beberapa kali. Artinya, kamu juga merasa cocok sama Oom,” kataku sambil menggoda dirinya. “Karena kamu cocok sama Oom, sama-sama punya fantasi yang nyeleneh. Hahahaha. Rupanya kamu terpikat juga sama Oom. Hehehehe,” Wajah Venny terlihat agak tersipu merah mendengarnya. Tapi ia dengan cepat menguasai dirinya bahkan menyerang balik.

“Sebenarnya Oom, Venny tahu sejak hari pertama kalau yang ada dalam pikiran Oom adalah Liana. Karena, mungkin Oom tak menyadari… saat Oom sedang, ehm, making love sama Venny, beberapa kali Oom tanpa sadar menyebut-nyebut nama Liana!” Membuatku amat terkejut sekali. Benarkah seperti itu? “Saat itu Venny masih belum tahu siapa Liana itu, meski Venny bisa menduga-duga. Untuk memastikannya, saat itu sebelum pergi, secara iseng Venny nyeletuk untuk “titip salam ke Liana”. Saat itu reaksi Oom terlihat kaget dan setelah itu Oom yang bilang sendiri kalau Liana adalah anak Oom. Begitu Oom,” kata Venny. “Bahkan barusan, beberapa kali tadi Oom sempat keceplosan menyebut diri Oom “Papi”. Juga, hari ini Oom jadi lebih.. eh… ganas dan bergairah gitu lho, sama Venny yang pake seragam SMA. Pasti itu karena Oom sedang membayangkan bercinta dengan Liana,” kata Venny yang balik membuat wajahku memerah.

Sungguh tak kusangka selama ini tanpa kusadari aku sering menyebut-nyebut nama Liana tiap kali bercinta dengan Venny. Namun, harus kuakui, dalam hal-hal tertentu, gadis ini sungguh mirip dengan Liana. Membuatku seketika berpikir.. jangan2, selama ini apa yang ada di benak Liana juga sama dengan Venny. Diam-diam ia memendam fantasi seksual terhadapku?! Itu sebabnya mengapa kadang ia seperti sengaja menunjukkan ke-sexy-an dirinya, seolah ingin menantang kejantananku. Mungkin ia sendiri sebenarnya tak menyadari itu, karena semua itu didorong dari alam bawah sadarnya.

“Oom..” suara Venny memecah lamunanku. “Oom sedang mikirin Liana?” tanya Venny sambil tersenyum manis. Sigh. Aku menghela napas. Sungguh aku tak bisa menyembunyikan apa-apa di depan gadis ini. Kemudian, kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Liana. Mulai dari kedekatan hubungan kami mulai dari kecil, lalu saat aku harus cerai dengan mantan istriku, saat ia menginjak remaja, saat mulai muncul pikiran mupengku terhadapnya, sampai peristiwa akhir-akhir ini dengan puncaknya ia kabur sehabis bertengkar denganku. Termasuk, kuungkapkan pula rasa kekesalanku yang paling hebat karena Liana meninggalkanku dan memilih tinggal di rumah Mamanya. Jujur aja, hal inilah yang paling amat sangat memukulku dan menyakitkan.

Venny mendengarkan seluruh ceritaku dengan penuh rasa ketertarikan. Tak heran, karena memang banyak sekali kemiripan antara mereka berdua. “Kalo Venny boleh kasih pendapat,” kata Venny akhirnya,” sepertinya diam-diam Liana juga punya fantasi seksual terhadap Oom. Mungkin karena selama ini Oom begitu baik dengannya dan selama ini hanya Oom dan dia berdua saja. Sebaliknya, Venny yakin dia nggak bener-bener suka sama cowok itu. Sepertinya dia melakukan itu untuk manas-manasin dan memancing reaksi dari Oom aja. Supaya Oom lebih memperhatikan dia. Tapi, mungkin Oom nggak nangkep maksud dia, jadi cara Oom menanganinya jadi kurang tepat di matanya. Akibatnya jadi bertengkar terus. Puncaknya, karena tahu Oom sangat anti dengan mantan istri Oom, maka ia sengaja ngadu ke Mamanya sampai akhirnya kabur dari Oom dan tinggal disana. Ini pendapat Venny. Kalo memang dia bener2 suka sama cowok itu, pasti dia akan kabur dengan cowok itu, bukannya tinggal di rumah mantan istri Oom.”

Kalau orang lain yang mengatakan ini, mungkin aku cuman mempercayainya 50%. Namun, aku percaya 100% akan pendapat Venny, karena gadis ini punya pengalaman serupa dengan putriku. Lagipula memang kata2nya sangat masuk akal. Begitu Liana kabur dariku, tak lama kemudian mantan istriku menelponku seakan “pamer” kalau Liana sekarang memilih tinggal bersamanya dibanding denganku.

“Kok ngelamun, Oom,” suara Venny membuyarkan lamunanku. “Ah, nggak,” kataku pura-pura sementara Venny tersenyum melihatku. “Omong2, kamu betul-betul mirip dengan Liana, Ven. Sudah, kamu jadi anak angkat Oom aja ya. Biar kita bisa ketemu tiap hari,” godaku sambil memegang bahunya. “Aah, Oom bisa aja,” kata Venny tersipu namun tersenyum manis. Ah ya! Tiba-tiba aku jadi teringat sesuatu. “Ven,” kataku sambil tersenyum,” Tadi kamu bilang Oom waktu bercinta suka manggil-manggil nama Liana. Tapi, kamu sendiri.. gimana coba. Tadi kamu nyebut-nyebut Oom dengan kata “Papi” waktu sedang seru-serunya tadi. Hehehehe.. Artinya, kamu tadi juga benar2 menikmati dan menghayati role-play kita barusan. Hahahaha…” Muka Venny jadi amat merah. Sampai-sampai saat itu ia tak bisa berkata apa-apa.

“Sudahlah sekarang kita nggak usah malu2 lagi. Sama2 gilanya juga. Hahahaha,” kataku mulai meraba-raba lagi bahu dan punggungnya. “Yuk, kita maen Papi-papian lagi. Hehehe, ” kataku sambil memeluk dirinya dan menggrepe-grepenya.
“Iih, tangan Papi nakal deh. Jangan gitu ah,” katanya pura-pura marah dan berusaha menjauhkan tanganku dari dirinya. Namun, tentu ia tak bersungguh-sungguh. Karena tanganku makin gencar menggrepe dirinya bahkan kini memegang dadanya. “Aahh.. Papi, jangan… aah.. Venny geli ah……”

Mmmpphh…. Kukunci bibir Venny dengan bibirku dan kulumat habis gadis itu. Venny menikmati ciumanku dengan penuh perasaan. Nafasnya menggebu-gebu. Pertanda ia amat exciting dengan permainan ini. Tanganku menyusup masuk ke dalam kimono mandinya, menyentuh payudara hangat gadis itu. Sembari kuciumi bibirnya, payudara kirinya telah berada dalam genggaman tanganku. Aku semakin bernafsu menciuminya. Kini kedua tanganku masuk ke dalam kimononya, bergerak-gerak di dalamnya, meraba-raba dan meremas-remas sepasang payudara indah didalamnya. Begitu kenyal dan pas ditanganku. Sungguh spektakuler dan sensasional!

Tiba-tiba Venny bangkit dari duduknya. “Papi.. bentar, aku pake seragam lagi ya,” katanya. Venny keluar sambil membawa seluruh tumpukan pakaiannya itu. Beberapa saat kemudian ia masuk kembali dengan memakai seragam SMA. Sepertinya ia habis mandi karena ujung-ujung rambutnya nampak agak basah. Tapi…, glekk! Aku menahan napas saat kulihat ia memakai seragam putih namun tanpa bra. Payudaranya bergerak-gerak di balik seragam putih tipisnya. Sementara putingnya membekas menonjol keluar tercetak di seragam putihnya.

“Lho kok Papi ada disini?” tanyanya ke arahku sambil bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Padahal kepalaku langsung senat-senut melihat pemandangan indah dadanya itu. (Bukan, bukan kepalaku yang di atas, tapi yang dibawah ini). “Lho, kok Papi ngeliat sampe bengong gitu sih. Kenapa sih Pi?” tanya gadis yang telah membangkitkan birahiku ini dengan wajah polos.
“Kamu ini baru datang dari sekolah,” tanyaku menyelidik sambil mataku tak berkedip menatap ke putting yang menempel menembus kain putih tipis seragam itu. “Iya, aku baru datang ini Pi,” katanya dengan wajah innocent. Wajahnya boleh innocent, tapi dadanya itu.. oohh.. sungguh menggairahkan membangkitkan birahi pria. “Hah! Kamu baru datang dari sekolah pake baju gini?” tanyaku dengan mata terbelalak. Tak bisa kubayangkan seandainya putriku yang cantik pergi ke sekolah tanpa memakai bra! Membuatku semakin tegang dan naik adrenalinku. “Iya. Lha memang kenapa, Pi. Ini khan baju seragamku,” kata Venny dengan tampang sungguh menggemaskan sekali. Apalagi saat berkata, ia sengaja menarik mengencangkan bajunya, membuat putingnya makin tercetak di seragam putihnya. Seragam sih emang seragam, tapi masa nggak pake bra gitu, batinku dalam hati.

“Ah! Aduh, kamu ini gimana sih, masa ke sekolah nggak pake BH. Kamu khan bukan anak kecil lagi,” keluhku. “Nanti kamu diliatin sama teman-teman cowok apa nggak malu?” tanyaku. “Idiih, Papi. Gimana sih. Ya nggak lah. Tadi aku barusan mandi, Pi. Tapi BH ku kecemplung ke bak air. Sementara aku lupa bawa ganti. Daripada basah-basah, ya mending nggak usah pake sekalian,” jawabnya dengan wajah polos. “Hah? Dan kamu nggak takut nanti ada yang ngintip?” tanyaku. “Ah, siapa yang ngintip, mana nggak ada orang disini. Khan disini cuman ada aku sama papi doang,” katanya sambil berdiri dekat denganku, amat dekat sekali! “Kalo sama Papi, khan nggak apa-apa donk. Ya nggak Pi?” jawabnya dengan wajah innocent.

Waduuhh! Wajahnya boleh innocent-nya dan manis sekali, namun dadanya itu sungguh-sungguh membangkitkan birahi sampai ke titik maksimal! “Ya, memang, kalo sama Papi mah, nggak apa-apa seperti ini. Hehehe,” kataku sambil meraba-raba tubuhnya. “Kamu ini habis mandi ya,” tanyaku sambil mataku tak berkedip menatap ujung puting payudaranya. “Iya, Papi,” jawabnya. “Wah, kamu sekarang sudah dewasa ya,” kataku sambil tanganku meraba sekujur punggungnya sambil terkadang meraba pantatnya juga. “Yuk, sini Papi pijitin bentar ya.” Tanganku mulai meraba bagian depan tubuhnya. Meraba-raba kedua tangannya, bahunya, perutnya, dan akhirnya… dadanya. Kurasakan dadanya yang kenyal berisi ikut tergerak-gerak karena rabaanku. Melihat gadis itu tak melawan, segera kutarik baju seragamnya sehingga keluar dari roknya. Lalu, tanganku menyusup masuk dari bawah, meraba-raba perutnya lalu naik ke atas sampai ke payudaranya. Dan, kumain-mainkan sepasang payudaranya. Kedua putingnya kusentuh-sentuh dengan jariku. “Kamu sudah gede ya sekarang.”
Tanganku satunya meraba pahanya dan merayap naik dan masuk ke dalam rok abu-abunya. Dan… astaga! Rupanya gadis ini tak memakai cd pula! Kurasakan bulu-bulu vaginanya teraba oleh tanganku. Membuatku terdorong untuk mengusap-usap, meraba, serta menggesek-gesek vaginanya. “Ooohhhh….” Gadis itu mulai melenguh. Tanganku mengusap-usap dan menggesek vaginanya, sambil meremas-remas payudaranya. Semuanya terjadi dengan kedua tanganku masuk ke dalam pakaiannya. “Enak sayang?” tanyaku sambil terus meneruskan aksiku.

Aku bangkit berdiri. Posisi kaki gadis itu sedikit kurentangkan. Aku berjongkok di depannya. Dan, kumasukkan kepalaku ke dalam rok abu-abu gadis itu. Di dalam “ruang sempit agak gelap” ini, bibirku merajalela ke seluruh bagian pangkal paha gadis itu. Kujilati seluruh bagian pahanya, terutama pangkalnya. Membuat ia jadi menggeliat-geliat kegelian sekaligus melenguh-lenguh nikmat. Apalagi saat bibirku menemukan sasaran utama di balik rok seragam gadis itu, dimana aku mengenyot-ngenyot vagina yang segar dan amat sensitif itu sementara kedua tanganku berpegangan sambil meremas pantatnya. Membuat ia kini makin mendesah-desah tak karuan. Vaginanya jadi banjir kuyup, membuatku semakin bersemangat menjilatinya. Kepalaku yang berada di antara kedua pahanya, dijepitnya dengan erat seolah ia pengin vaginanya terus kujilati dan kukenyot-kenyot. Lidahku terus menjulur-julur menyapu seluruh bagian vaginanya, bahkan juga sebagian lidahku sempat masuk ke dalam liangnya. Semakin basah, semakin becek, semakin banjirrr. Apalagi dengan posisi berdiri, membuat pengaruh gravitasi semakin membuat cairan lendirnya mengalir makin deras ke bawah. Sampai akhirnya, tubuh Venny seperti kejang-kejang, pertanda ia mendapat orgasme dalam posisi berdiri!

Kini giliranku yang pengin diemut-emut oleh gadis ini. Kutanggalkan seluruh bajuku sampai diriku telanjang bulat. Penisku menegang dengan perkasa di depannya. Sambil berlutut di depanku, ia meraih senjataku itu, dan shleeb..shleebb..shleebb.., disepongnya penisku dengan kepalanya maju mundur. Ah! Sungguh nikmat sekali sepongan gadis ini. Shleebb… shleebb… shhlebb, sambil merem melek menikmati ini semua, kusaksikan penisku keluar masuk di dalam mulutnya.

Kulepas kancing bajunya sementara penisku terus diemut dan dijilat-jilat oleh gadis ini. Begitu kancing bajunya terbuka, tangannya langsung merengkuh payudaranya, kuremas-remas payudara indahnya, dan kupilin-pilin kedua putingnya yang merah segar. Membuat ia semakin terangsang. Bahkan anehnya, dirinya yang mengoral penisku, namun sepertinya justru malah dirinya yang lebih terangsang dibandingkan aku. Sampai-sampai satu tangannya menyentuh dan digesek-gesekkan di antara kedua pahanya. Sementara itu, di atas ia tetap tak melupakan “tugasnya” yaitu terus mengoral penisku. Sementara kedua tanganku terus memainkan payudaranya, tangannya terus digesek-gesekkan di vaginanya.

Membuatku akhirnya merasa kasihan juga melihat dirinya seperti itu. Oleh karena itu, akhirnya aku mengalah. Kutarik penisku dari dalam mulutnya. Aku berdiri di belakangnya. Kunaikkan rok seragamnya sampai ke bagian pinggang. Kudekatkan penisku ke vaginanya. Dan… jleebbb! Chleebbb. Masuklah penis perkasaku seluruhnya ke dalam tubuh gadis putih mulus ini. Dengan posisi dirinya agak membungkuk dan kedua tangannya berpegangan pada tepi ranjang, kuberikan gadis itu kenikmatan duniawi. Sampai.. “Aahh.. ahhhh…ahhhhh…” Gadis itu mendesah-desah hebat saat ia kusetubuhi dalam posisi doggy style. Kedua tanganku memegang pangkal pahanya, menariknya maju mundur. Jleebb..jhleebb…jleebb. Irama kocokan penisku seiring dengan alunan suara desahannya yang memenuhi seluruh isi kamar. Kedua tanganku lalu menampa kedua payudaranya yang berguncang-guncang gara-gara kocokan penisku di dalam tubuhnya. Kuremas-remas payudara indahnya, sambil penisku terus mengeksekusi dirinya. Ia berteriak-teriak mendesah-desah makin liar dan erotis. Sambil ia ikutan menggerakkan pinggulnya maju mundur, seolah tak ingin melewatkan sedikitpun kenikmatan luar biasa dari keperkasaan penisku. Kembali akhirnya gadis itu mengalami orgasme.

Namun aku masih belum puas menikmati gadis ini. Baju seragamnya yang telah terkoyak tak karuan sejak dari tadi, akhirnya kulepas saja semuanya. Kini ia betul-betul bugil tanpa selembar benang pun. Aku menyuruh gadis itu tidur telentang di atas ranjang. Kali ini, dirinya kunikmati dalam posisi missionaris. Penisku maju mundur menembus keluar masuk ke dalam vaginanya. Mataku tak berkedip menyaksikan kedua payudaranya berguncang dan berputar-putar. Sementara dirinya terus mendesah-desah.

Sambil tak menghentikan penisku yang terus-menerus menghajar vaginanya, kumajukan tubuhku supaya aku bisa mengulum buah dadanya yang ranum berisi. Kujilati seluruh bagiannya. Putingnya yang kemerahan menggairahkan langsung kuemut-emut, kukenyot-kenyot, kujilat-jilat, dan kugerak-gerakkan ujung putingnya dengan ujung lidahku. Tentu sambil penisku tetap terus mengesek-esek vaginanya. Membuat ia semakin liar dan mendesah meracau tak karuan. Sampai akhirnya… lagi-lagi gadis itu menyerah kalah, saat ia lagi-lagi mengalami orgasme. Sekali lagi, gadis mulus berwajah oriental itu menunjukkan ekspresi wajah mengalami orgasme. Vaginanya terasa berdenyut-denyut menjepit penisku.

Pada saat itu, rambutnya yang agak panjang telah begitu awut-awutan, sementara kain seprei di sekitar vaginanya telah basah oleh lendirnya yang dari tadi terus mengucur keluar. Namun, aku masih belum mau berhenti. Kali ini ia kusetubuhi dalam posisi miring. Satu kakinya diangkat keatas dan kupegang dengan satu tanganku. Dalam posisi miring itu, kusodok-sodok vaginanya dengan penisku dan kukocok-kocok di dalamnya. Kembali suara “ah, uh, oh” memenuhi isi ruangan sambil dadanya bergerak-gerak. Sambil penisku terus menggedor-gedor vaginanya, kuraba-raba bulu-bulu vaginanya membuat rasa nikmat bagi dirinya jadi semakin luar biasa. Selanjutnya ganti posisi.

Dalam posisi duduk saling berangkulan, lagi-lagi tubuh kita menjadi satu. Kali ini dirinya yang menggerak-gerakkan tubuhnya. Inilah lotus position. Tanganku meraba-raba punggung mulusnya, sementara kedua tangannya memeluk erat tubuhku. Kedua kakinya menjepit tubuhku. Dalam posisi saling berangkulan amat dekat, ia terus menggerak-gerakkan tubuhnya mengocok penisku di dalam vaginanya, atau mengocok vaginanya dengan batang penisku sebagai sumbunya. Sambil melakukan itu, kami saling berciuman. Ciuman timbal balik yang amat dahsyat, liar, ganas, brutal! Kedua tangan dan kaki kami saling mendekap erat satu sama lain. Dadanya menempel dan menggesek-gesek dadaku. Sementara, kedua kelamin kami saling beradu bergesek-gesekan. Sama-sama nikmat. Saling memuaskan… Sementara, pada saat-saat menjelang klimaks itu ia terus-menerus meracau dan memanggilku Papi sambil kedua tangan dan kakinya memeluk erat-erat diriku.

Sampai akhirnya….. lagi-lagi BIG O buat dirinya. Orgasme yang keempat kalo nggak salah. Saking hebatnya, sampai aku lupa gadis itu telah kubikin orgasme berapa kali. Kini, aku pun mulai merasakan kelelahan pada penisku. Sampai beberapa saat kemudian, akhirnya…. Crottss…crottsss..crotttsss…. Spermaku akhirnya tumpah ruah meleleh keluar membasahi seluruh dinding dalam vaginanya. Ugh! Puas sekali rasanya, gila! Kami langsung tiduran sambil terengah-engah. Karena sama-sama kelelahan. Namun sama-sama puas.
Setelah beristirahat beberapa saat, kami menghabiskan sisa waktu yang ada dengan makan malam bersama. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan Venny malam itu. Selain pengalaman bercinta yang amat luar biasa, juga gadis itu memberikan masukan informasi yang amat berharga sehubungan dengan hubunganku dan Liana. Sebaliknya, gadis itu juga mengaku amat beruntung bertemu dengan orang sepertiku dimana kita bisa saling mengerti dan memahami.

Setelah selesai makan malam, akhirnya kami mengambil jalan sendiri-sendiri dan berpisah. Ia pulang ke rumahnya sementara aku balik ke rumahku yang biasa kutinggali. Saat itu waktu telah lewat 45 menit dari yang sebelumnya disepakati. Namun ia sama sekali tak berkeberatan dengan itu. Karena pertemuan itu adalah sebuah pertemuan yang luar biasa, dan perpisahan itu menjadi sebuah perpisahan yang penuh dengan keakraban.

Hari itu adalah hari yang sungguh luar biasa hebat. Saking hebatnya sampai bahkan aku lupa memberikan cek kepada Venny. Sementara gadis itu juga lupa atau sama sekali tak peduli akan hal itu. Kini terbukti sudah, semua hal-hal yang terhebat di dunia ini justru malah tak melibatkan uang sama sekali alias gratis!


Liana and I - Bag 9. My Lovely Daughter, Liana

Pertemuanku dengan Venny sungguh mendatangkan manfaat besar bagiku. Tak hanya dalam hal petualangan seksual semata, tapi juga menyangkut hubunganku dengan Liana. Kondisi mereka berdua memang agak mirip. Dengan masukan dari Venny, kini aku lebih memahami gejolak dalam dirinya. Hubungan kami yang amat erat sejak ia kecil, belakangan menjadi agak chaos setelah ia berubah menjadi seorang gadis dewasa dengan daya tarik yang begitu luar biasa. Apalagi keakraban diantara kami yang terjalin sejak lama, membuat ia begitu easy-going dalam cara berpakaian di rumah maupun saat berinteraksi denganku. Sementara, disisi lain, aku adalah seorang duda kesepian.

Dibanding teman-teman cewek seumurnya, cara berpakaian Liana sebenarnya termasuk konservatif. Namun hal itu hanya berlaku ketika ia keluar atau saat ada tamu datang ke rumah saja. Saat hanya kami berdua di rumah, semuanya berubah drastis. Ia tak merasa risih memakai daster tipis menerawang misalnya, dimana pakaian dalam serta lekuk indah sekujur tubuhnya dapat kulihat jelas. Atau memakai celana pendek dan kaus tanpa lengan berleher rendah. Dengan baju seperti itu ia bisa dengan santainya berada dalam jarak yang amat dekat denganku. Saat membungkuk, dapat kulihat dengan jelas sebagian dadanya yang indah. Pada saat-saat tertentu, kadang ia memeluk diriku dengan erat, dengan pahanya yang begitu putih mulus menempel di pahaku sendiri, dan dapat kurasakan betapa padat berisinya gundukan payudaranya yang menempel di tubuhku. Di saat-saat lain, ia keluar dari kamarnya dengan daster tidur tanpa memakai bra. Saat melihatku, sikapnya santai saja seperti tak ada hal yang aneh. Malah ia berdiri di depanku dan mengajakku bicara seperti biasanya.

Selama ini aku selalu berupaya jaim dan berusaha keras menahan diri. Selama ini pula aku selalu berhasil menahan diriku. Namun tak dapat kupungkiri kalau seringkali timbul gejolak birahi yang amat hebat dalam diriku. Tak dapat kupungkiri kalau aku sering terangsang oleh putriku sendiri. Apalagi, terkadang aku mempunyai kesan kalau ia seperti sengaja “memikatku”.

Tapi, terlepas dari itu semua, pada dasarnya aku sungguh mencintai Liana sebagai putriku. Mungkin itu sebabnya sejauh ini aku tak pernah melakukan tindakan yang tak semestinya terhadapnya. Malam itu, dengan hati berdebar kupencet nomor HP-nya. Jujur saja, sebenarnya hal ini ingin kulakukan sejak saat pertama ia kabur. Namun selalu ada saja pikiran atau pertimbangan lain dalam hatiku yang menghalanginya. Pembicaraanku dengan Venny hari itu membuat sebagian besar halangan itu lenyap. Masih jelas ucapan Venny ketika ia dengan yakin mengatakan kalau sebenarnya Liana amat menyayangiku. Bahwa kami bertengkar hebat bahkan sampai kabur, itu semua hanya upayanya untuk mencari perhatianku. Pada dasarnya ia merasa aku kurang memperhatikannya. Saat ia meninggalkanku, di dalam hatinya sebenarnya ia mengharapkan aku segera mencarinya dan mengajaknya pulang. Bahkan, Venny juga mengungkapkan satu pendapat ekstrim bahwa kemungkinan besar dalam diri Liana juga timbul rasa tertarik dan fantasi seksual terhadap diriku. Karena baginya, aku adalah pria terhebat di dunia. Apalagi ia baru berumur 18 tahun, usia yang penuh dengan gejolak hati dan pikiran. Mungkin ia merasa “kecewa” karena aku tak bertindak terhadap dirinya padahal ia telah “membuka” dirinya. Sehingga, oleh karena marah dan frustasi, akhirnya ia kabur. Teori ini sungguh amat mengejutkan diriku. Seandainya bukan Venny yang mengatakannya, pasti aku bakal menolak teori ini mentah-mentah.

Malam itu akhirnya aku menelpon Liana. Pada akhirnya rasa cintaku kepadanya mengalahkan semuanya. Ternyata dugaan Venny sungguh tepat. Meski pada awalnya pembicaraan kami berjalan agak kaku, namun aku bisa merasakan kegembiraan dalam dirinya. Dan makin lama pembicaraan kami berlangsung makin akrab. Ia menanyakan banyak hal sehubungan dengan diriku dan rumah yang sedang ditinggalkannya. Sampai-sampai tak terasa sudah satu jam lebih kami ngobrol di telepon. Saking asyiknya ngobrol, bahkan ia membatalkan janjinya untuk pergi berdua dengan Boy. Pembicaraan malam itu berakhir dengan janjiku untuk menjemputnya di sekolah besok. (Belakangan aku sungguh merasa beruntung malam itu aku menelponnya. Akibat telponku, ia membatalkan janjinya dengan Boy. Seandainya malam itu mereka pergi berdua, bukan tak mungkin malam itu bakal terjadi sesuatu yang merugikan Liana. Apalagi saat-saat ini Liana sedang galau-galaunya. Sementara, sudah jelas sejak awal kalau Boy terlihat begitu mupeng terhadap putriku).

Esoknya, terlihat ia bergitu gembira melihatku. Aku pun juga sama. Siang itu kami makan bersama. Setelah itu ia kembali tinggal bersamaku. Sejak saat itu hubungan kami jadi semakin akrab, bahkan lebih akrab dibanding sebelumnya dimana kini ia lebih bebas mengungkapkan isi hatinya. Ia mengaku jujur bahwa sebenarnya ia tak begitu sreg pacaran dengan cowok yang baru diputusnya. Hanya karena banyak teman-temannya yang sudah punya pacar saja, maka ia akhirnya menerima cowok itu. Apalagi ia adalah cowok yang paling cakep dan disukai banyak cewek di sekolah, selain juga latar belakangnya dari keluarga cukup atas.

Sementara dengan Boy, ia mengakui kalau sebenarnya ia tak punya perasaan apa pun dengan cowok itu. Tepat seperti dugaan Venny, rupanya semua tindakannya sehubungan dengan cowok itu cuman sekedar untuk menarik perhatianku saja. Sementara reaksiku tak sesuai dengan apa yang diharapkannya. Akhirnya ia kabur. Saat itu, ia bukannya kabur berdua dengan cowok itu. Ia hanya mengantarnya ke tempat tinggal mantan istriku. Tujuan utamanya, tak lain untuk membuat hatiku panas, karena ia tahu persis kalau aku dan maminya agak-agak bermusuhan.
Sementara itu ia kadang masih suka pergi berdua dengan Boy, meski tak bisa dikategorikan sebagai pacaran. Diakuinya, cowok itu sungguh menyenangkan sebagai teman ngobrol apalagi curhat.

Rupanya dalam hal ini Liana masih termasuk beruntung. Boy adalah seorang cowok playboy kawakan yang tentu saja punya misi untuk meniduri Liana. Saat pergi berdua sebenarnya ia punya banyak kesempatan untuk melaksanakan niatnya dengan menggunakan cara kekerasan. Namun ia tak melakukan itu, karena ia yakin hanya masalah waktu saja untuk membuat Liana jatuh ke pelukannya. Pada saatnya nanti Liana akan dengan sukarela menyerahkan dirinya. Karena ia tahu persis kondisi Liana yang lagi nggak stabil dan sedang galau. Namun, ia sungguh tak mengira kalau sumber kegalauan hatinya terpecahkan pada saat yang tepat. Sehingga pada akhirnya puteriku kini selamat tak kurang sesuatu apa pun. Kini ia hanya bisa bermimpi untuk bisa mempermainkan dan menjerumuskan Liana.

Hubunganku dan Liana menjadi semakin akrab. Sementara perasaan mupengku kepada Liana jadi tereduksi sampai titik minimal, meski cara berpakaian dan interaksinya denganku masih tetap sama seperti dulu. Hal ini mungkin karena sejak munculnya Venny membuat hasrat birahiku jadi lebih tersalurkan. Selain itu juga karena saat ini ia sedang persiapan ujian akhir. Sehingga aku juga tak ingin membebani pikirannya dengan hal-hal yang tak perlu. Sebaliknya, untuk lebih memacu semangatnya aku memberinya tantangan dengan mengajaknya berlibur ke Jepang apabila nilai ujiannya bagus.

Pada akhirnya Liana menjawab tantanganku dengan baik. Ia lulus dengan nilai amat bagus. Sehingga kami berdua akhirnya pergi berlibur di Jepang.

=================

Di Jepang kami mengunjungi Tokyo, Osaka, Nagoya, dll. Namun yang paling menarik adalah saat kami menginap di ryokan (penginapan tradisional jepang) di daerah pegunungan dengan pemandangan alam yang indah dan suhu udara yang cukup dingin. Meskipun namanya penginapan “tradisional” namun fasilitasnya serba komplit dan cukup mewah serta luas. Tempat yang kami sewa terdiri dari dua kamar tidur serta ruang tengah yang dilengkapi dengan sauna dan steam room. Di bagian belakangnya adalah halaman yang cukup luas yang berpagar cukup tinggi, dimana terdapat onsen (kolam air panas di ruang terbuka) pribadi yang cukup luas. Semua ini sifatnya private sehingga hanya kami berdua yang memakainya.

Pagi itu kami jalan-jalan naik kereta gunung menikmati indahnya pemandangan setempat. Siangnya Liana berendam di kolam onsen itu saat aku mengecek email dan lain-lain yang berhubungan dengan bisnisku. Beberapa saat kemudian akhirnya aku juga ikut merendam tubuh di kolam tersebut.

Air panas di kolam ini sungguh terasa nikmat sekali. Membuat rasa pegal-pegal di sekujur tubuhku hilang seketika. Sementara suara air yang mengalir ke dalam kolam begitu menyejukkan hati. Dan, pemandangannya sungguh luar biasa. Kami bisa melihat gunung tinggi yang puncaknya berwarna putih karena salju. Membuat pikiran jadi tenang dan rileks.

Sementara Liana juga menikmati suasana ini. Kecantikan alamiahnya memancar begitu kuat dari dirinya. Sungguh selaras dengan keindahan alam sekitar. Saat itu ia memakai baju renang warna hitam. Baju renangnya itu tak dapat menyembunyikan keindahan lekuk tubuhnya. Tak dapat dipungkiri, kini putriku Liana betul-betul telah menjadi seorang gadis dewasa berdaya tarik tinggi, gumamku.

Tak ingin diriku dikuasai pikiran mupeng, aku keluar dari kolam itu dan masuk ke steam room yang letaknya di dalam ruangan. Uap panas di dalam ruang itu membuat diriku merasakan sensasi yang berbeda. Uap itu sungguh tebal dan pekat sekali. Membuat jarak pandangan mata tereduksi secara drastis, mungkin hanya 30 senti saja. Dan panasnya suhu ruangan, membuat tubuh jadi cepat berkeringat. Membuatku merasa agak terganggu dengan celana pendek dan celana dalam yang kukenakan. Keduanya membuatku kurang nyaman dalam ruangan beruap ini. Sebenarnya aku agak ragu untuk melepas keduanya. Namun, ah toh Liana tak ada disini, pikirku. Lagipula, seandainya ia ada disini juga tak bisa melihat asal posisinya jangan terlalu dekat denganku. Akhirnya kulepas keduanya, sehingga aku kini telanjang bulat sendirian di dalam ruang itu.

Tiba-tiba, pintu ruang terbuka, dan masuklah bayangan seorang gadis cantik. “Papi, ada disini ya?” Liana! “Eh, iya, Papi disini,” jawabku agak gugup karena kaget. Buru-buru aku menutupi bagian selangkanganku supaya ia tak bisa melihat “barangku”. “Iih, panas banget ya disini,” katanya. “Dan nggak bisa liat apa-apa lagi,” tambahnya sambil berjalan masuk ke arah tempatku. “Eh, kamu duduk atau tiduran di sebelah sana aja, jangan kesini,” kataku agak gugup. “Lho memang kenapa Pi?” tanyanya kian mendekat. “Pokoknya jangan. Sudah, kamu disana aja,” kataku dengan nada memerintah. “OK. Iiih, emang siapa yang mau deket-deket sama Papi. Aku memang mau kesana kok,” sahutnya tak ingin kalah bicara. Aku tak menanggapinya. Karena aku merasa lega saat ia menjauhi tempatku.

Saat ini sebenarnya aku bisa saja memakai kembali celanaku karena ia juga tak bisa melihatku. Namun, kini aku justru merasa exciting dengan situasi sekarang. Bayangkan, diriku kini telanjang bulat di dalam ruangan kecil bersama putriku. Tentu ini adalah hal yang tak semestinya. Namun ia tak mengetahui keadaanku. Sehingga kami bisa berbicara seperti dalam keadaan normal. Perasaan tegang takut ketahuan olehnya, membuat adrenalin dalam diriku naik. Di saat aku berbicara dengannya, pada saat itu pula aku tidur telentang telanjang bulat dengan batang penisku menegang kencang ke atas dengan perkasanya. Padahal Liana hanya berjarak 3 atau 4 meter dariku di ruangan yang sama. Gila! Betul-betul gila sensasinya!

Sampai akhirnya dengan diam-diam aku memakai celanaku karena tak tahan dengan panasnya dan ingin keluar sebentar. Setelah rasa panas dalam diriku berkurang drastis, aku segera masuk kembali ke dalam. Pada saat itu terbersit pikiran iseng dalam diriku. Mungkinkah Liana saat ini mengikuti tindakanku tadi karena mungkin dikiranya aku tak akan kembali lagi.

“Eh! Papi kok masuk sini lagi?!” terdengar suara Liana berseru dengan nada suara agak terkejut. “Kamu nggak kepanasan disini lama-lama?” tanyaku sambil berjalan mendekatinya. “Eh, Papi! Jangan kesini!” tiba-tiba Liana berteriak dengan agak gugup. Dalam hati aku tersenyum geli. Kini keadaan jadi berbalik. “Memang kenapa Papi ga boleh kesitu?” tanyaku pura-pura tak tahu. “Pokoknya Papi jangan kesini!” seru Liana makin jelas kepanikannya. Samar-samar kulihat gerakan dirinya yang seperti menutupi tubuhnya. Apalagi, meski tak dapat melihat tubuhnya dengan jelas, dapat kulihat kalau posisi tubuhnya saat itu sedang tidur telentang. Sementara di lantai kulihat ada seonggok benda gelap. Apa lagi itu kalau bukan baju renang hitamnya yang tadi. “Papi disana aja ya, di tempat Papi yang tadi,” katanya lagi dengan nada setengah memohon. “OK, OK. Papi kesana aja. Memang kamu ini perbuatanmu suka aneh-aneh,” kataku tanpa menjelaskan lebih lanjut. Sementara Liana tak menjawab apa-apa. Padahal biasanya anak itu suka menyela balik.

Saat itu, diam-diam kuperhatikan gerak-gerik Liana. Meski tak bisa melihat jelas namun aku masih bisa melihat bayangan gerakan dirinya. Ternyata.. Ah! Ia sungguh anak yang bandel. Alih-alih berusaha memakai baju renangnya secara diam-diam, sepertinya ia malah menikmati suasana yang tentunya menegangkan hatinya ini. Bayangan sosok tubuhnya kini masih tidur telentang. Padahal baju renangnya masih di lantai. Sementara, setahuku ia tak perlu memakai pakaian dalam karena di baju renangnya sudah ada penutup dada dan celana dalam. Sehingga kini ia dalam keadaan polos telanjang bulat! Sementara di ruang yang sama, Papinya berjarak 3-4 meter darinya.

Melihat kenekatan Liana ini, aku juga tak mau kalah. Penisku telah menegang. Diam-diam kucopot lagi celana dan cd-ku. Kini kami berdua sama-sama bugil, sama-sama telanjang bulat dalam ruangan itu. Sementara uap masih tetap pekat memenuhi ruangan. Sementara kami berdua telanjang bulat, kami kadang saling berbicara seperti tak ada keanehan apa-apa. Dalam hati aku bertanya-tanya, mungkinkah ia juga tahu kalau kami sama-sama telanjang bulat disini? Tahu sama tahu tapi pura-pura saling tidak tahu? Bisa jadi. Namun satu hal yang pasti, kami berdua menikmati suasana menegangkan ini. Terbukti cukup lama kami berdua di dalam ruangan ini. Sama-sama bersantai dengan rileks namun tegang.

############

Malamnya, aku tidur agak awal. Kamar tidur kami terpisah karena disini ada dua kamar tidur.
Menjelang tengah malam, aku terbangun dari tidurku. Udara terasa begitu dingin menusuk. Tiba-tiba muncul ide bagus dalam benakku… dingin-dingin gini kayaknya enak berendam di kolam air panas. Segera aku keluar dari kamar menuju ke kolam di luar. Sebelumnya aku sengaja melepas celana dalamku jadi aku hanya memakai pakaian luar saja. Cuaca malam itu begitu dingin sementara kabut tebal menyelimuti lingkungan sekitar membuat jarak pandang amat terbatas. Suasana begitu sepi dan tenang. Hanya suara air gemericik yang mengalir masuk ke kolam saja yang kudengar.

Segera aku membuka seluruh pakaianku sampai telanjang bulat dan masuk ke dalam kolam. Aku tak takut ketahuan orang karena meski ruang terbuka, tempat ini adalah tempat pribadi dan berdinding tinggi dan dikelilingi pepohonan rimbun. Satu-satunya orang yang dapat mempergokiku adalah Liana. Namun ini tak mungkin. Karena hari sudah malam. Ia pasti telah tidur di kamarnya. Sementara, kabut yang cukup tebal mengurangi jarak pandang manusia dengan drastis. Sehingga situasinya sungguh aman. Kapan lagi bisa berenang telanjang bulat secara alamiah di kolam hangat di udara terbuka. Sungguh nikmat sekali rasanya saat hampir seluruh tubuhku berada di bawah permukaan air panas ini. Suasana begitu damai dan alami. Membuatku serasa seolah menyatu dengan alam. Untuk waktu yang cukup lama, aku tak bergerak sambil memejamkan mataku.

Setelah puas merendam tubuhku, aku mulai berenang ke sisi lain kolam itu. Tiba-tiba aku amat terkejut saat kurasakan ada sesosok tubuh di dalam kolam tak jauh dari tempatku berada. ”Papi!” Suara Liana! “Liana?!” Seruku kaget. “Kamu ada disini?” tanyaku. Sungguh tak disangka dan tak kuharapkan Liana ada disini saat ini. Sementara aku dalam keadaan telanjang bulat. Tapi, sebaliknya Liana pun juga terdengar amat terkejut dengan kehadiranku. Aku tak berani mendekatinya. Sementara Liana pun juga sepertinya tak ingin aku mendekatinya.
Saat itu kabut mulai menipis. Aku berharap semoga Liana segera naik ke atas dan meninggalkan kolam ini. Setelah ia masuk ke dalam, aku bisa dengan diam-diam naik ke atas dan masuk ke kamarku. Tapi rupanya Liana juga tak kunjung naik. “Kamu mau disini berapa lama lagi? Ini khan sudah dini hari,” kataku. “Papi naik duluan aja. Nanti aku nyusul.”

Kabut yang makin tipis, membuatku kini bisa lebih jelas melihat dirinya. Dan, aku dibuat deg-degan melihatnya. Karena terlihat kulit leher dan kedua bahunya yang putih kerena tanpa penutup apa-apa. Dan di bawah permukaan, terlihat samar-samar mulus putih tubuhnya. Astaga! Rupanya ia juga nggak pake apa-apa disini. Jadi kami berdua kembali sama-sama telanjang! Bedanya dengan tadi, kini kami bisa melihat satu sama lain, meski masih agak samar-samar. Kini kami berdua sama-sama terjebak di dalam kolam ini. Karena keduanya tak ingin ketahuan. Masing-masing pihak mengharapkan lawannya meninggalkan tempat ini duluan. Akibatnya kini kami berdua stuck disini, karena tak ada yang mau bergerak duluan.

Karena tak ingin terus-terusan begini terus sampai pagi, akhirnya aku menembaknya tanpa tedeng aling-aling lagi. “Kamu ini nggak pake baju renang ya?” tanyaku langsung. Liana agak terhenyak sebelum akhirnya ia mengaku. “I-iya,” jawabnya sambil menunduk. “Ya udah kamu buruan masuk sana, Papi nggak liat,” kataku sambil membalikkan tubuhku. Namun, rupanya gadis itu sungguh jahil. Karena bukannya ia menuruti omonganku, ia malah berkata,” Papi naik duluan aja, nanti setelah papi masuk baru aku ke dalam.” Ah, sialan! Pikirku. Oleh karena kesal, aku menegurnya, “Ah, kamu ini gimana sih, masa malam-malam berendam nggak pake baju.” Namun ia langsung menjawabnya balik,”Ya mana aku tahu kalo Papi tiba-tiba malam-malam ikutan muncul kesini.” “Ya udah kamu cepat masuk ke dalam sana,” jawabku tak sabar. “Kenapa sih Papi nyuruh aku cepat2 masuk? Ah, aku tahu. Karena Papi sendiri juga nggak pake celan khan? Hihihi,” tebaknya langsung sambil tertawa geli. “Hush! Kamu jangan sembarangan ngomong,” kataku. “Iih, Papi sok kasih nasehat ke aku, padahal Papi sendiri juga berbuat hal yang sama kayak aku,” bantahnya. Akhirnya, aku tak bisa menyangkal hal itu karena memang hal itu benar adanya.
Lucunya, setelah sama-sama tahu, justru akhirnya kami jadi lebih rileks. Kini ia tak terlalu berusaha menutupi kenyataan dirinya yang telanjang bulat. Sebaliknya aku pun juga demikian. Sehingga kini kami bisa berbincang-bincang dengan santai. Samar-samar dapat kulihat lekuk indah tubuhnya di bawah air temasuk dadanya juga karena kini Liana tak berupaya keras untuk menutupi tubuhnya. Sebaliknya ia juga kadang mencuri-curi pandang melihat ke bagian bawah tubuhku di dalam air. Hmm, agak nakal juga rupanya putriku ini.

Pada akhirnya, aku naik duluan. Kebetulan pakaian tidurku berada di tempat agak jauh dari tempat Liana berada. Sehingga ia tak terlalu jelas melihatku telanjang. Dengan cepat kukenakan baju tidurku dan aku berniat segera masuk. Namun saat itu Liana memanggilku,”Papi, tungguin aku donk,” katanya. Glekk! Aku menelan ludahku. Padahal ia masih di dalam kolam di dekat kimononya yang tergeletak di kursi batu di pinggir kolam. Belum sempat aku bertindak sesuatu, tiba-tiba.. “Udah ah, aku nggak perlu malu sama Papi,” katanya saat ia tiba-tiba keluar dari kolam. Kulihat Liana yang betul-betul telanjang bulat saat itu. Seluruhnya dapat kulihat! Bahkan bulu vaginanya yang basah menempel di tubuhnya dapat kulihat jelas! Sementara ia tak terlalu mempedulikan kehadiranku. Ia lebih sibuk mengeringkan tubuhnya dengan handuk sebelum akhirnya memakai kimono tipis pada tubuhnya tanpa pakaian dalam apa pun. Semua itu dilakukannya di depan mataku. Membuat dirinya terlihat begitu sexy. Sesaat ia menggigil kedinginan. Saat dekat denganku, ia berjalan sambil memeluk dan menempelkan tubuhnya ke diriku. Payudaranya yang berisi terasa kepadatannya menempel di bahuku. Tanpa dapat kucegah lagi, penisku langsung menegang hebat.
Begitu masuk ke dalam ruangan, Liana kemudian masuk ke ruang sauna yang hangat. Saat ini, entah karena kedinginan atau mungkin merasa tak perlu menyembunyikan apa-apa dari Papinya, ia langsung menanggalkan kimononya dan melemparkannya ke luar ruang sauna. Padahal ruangan itu hanya berkaca transparan! Memang, sama seperti steam bath, sauna pun juga sebenarnya direkomendasikan untuk digunakan tanpa memakai pembalut tubuh. Namun tentu hal itu dilakukan pada saat tak ada orang lain. Sementara kini ada aku, Papinya, yang tak se-innocent seperti anggapannya. Sehingga kini aku dapat melihat dirinya dengan polos! Sinar lampu kuning di dalam ruang sauna itu menerpa diri Liana, putriku yang cantik ini, dan membuat kulitnya yang putih jadi semakin bening saja. Sementara lekuk indah tubuhnya terlihat semakin jelas terpampang di mataku. Aku terus berkeliaran di sekitar situ dengan pura-pura sibuk ini itu, sambil diselingi dengan berbicara dan memandang ke arah dirinya. Karena sejujurnya aku merasa sayang melewatkan kesempatan langka ini. Kulit tubuhnya yang putih bening begitu indah dipandang mata. Paha mulusnya sungguh indah menggairahkan. Payudara indahnya yang padat berisi sungguh menggetarkan hati, membuat dadaku berdebar-debar. Apalagi payudaranya yang putih bening begitu kencang dengan kedua putingnya yang kecil namun menonjol dan berwarna kemerahan. Bagaikan buah cherie di atas whip cream putih yang lembut. Sementara bulu-bulu kemaluannya yang kini telah kering, tertata rapi di atas liang vaginanya yang sesekali dapat kulihat saat ia mengubah posisi kakinya. Saat itu nafsu birahiku betul-betul memuncak. Kalau tak ingat bahwa ia adalah putriku, tentu telah terjadi hal “itu”.

Liana dengan santainya mengubah-ubah posisi tubuhnya, membuatku dengan leluasa menyaksikan kemolekan tubuhnya dengan berbagai pose, bagaikan menyaksikan adegan striptease dirinya saja! Bahkan sempat pula kulihat liang vaginanya yang segar kemerahan dengan lubangnya yang sempit. Vagina seorang gadis perawan.

Liana sendiri bukannya tak tahu aku sedang memperhatikan dirinya. Sebaliknya, justru ia sadar dirinya sedang kuperhatikan. Malah ia beberapa kali mengajak masuk ke dalam. Sungguh, saat itu aku tak tahu apakah ia seorang gadis yang amat polos dan innocent yang tak sadar kalau Papinya ini sedang mupengin dirinya, ataukah ia memang sengaja merayu diriku, seorang pria kesepian yang berduaan dengan seorang gadis muda yang aduhai ini, seperti dugaan Venny.

Penisku sejak tadi terus menegang bahkan telah keluar cairan pre-cum ku. Saat itu Liana telah selesai dengan saunanya dan kini berada di dalam kamar mandi. Aku pun akhirnya masuk ke kamarku. Namun aku tak bisa tidur. Sebaliknya, aku kini sungguh penasaran. Dengan hati berdebar aku bangkit dan berjalan keluar. Dengan dalih mengecek apakah dirinya baik-baik saja dengan udara sedingin ini, kugeser pintu kamar putriku. Liana masih belum tidur. Ia sedang berdiri di dekat ranjang memakai kimono tipis tanpa bra. Dengan satu tujuan di dalam hati, aku masuk ke dalam dan kugeser kembali pintu kamarnya….


Liana and I - Bag 10 - Biarlah Semuanya Mengalir Seperti Sungai Part 1

Begitu masuk ke dalam, aku menggeser pintu kamar sampai tertutup rapat. Liana menatapku. Mungkin karena ini adalah hal yang tak biasa. Karena aku memang agak jarang masuk ke kamarnya apalagi di saat malam-malam hari. Kalau aku betul-betul ada perlu dengannya, biasanya aku selalu memanggilnya dulu dari luar. Apabila ia menyuruhku masuk, barulah aku masuk. Kalau tidak, biasanya pembicaraan dilakukan di depan pintu. Dan, beberapa kali ketika aku masuk, selalu pintu kamar kubiarkan terbuka dan aku tak pernah berlama-lama di kamarnya. Meski ia putriku namun aku tetap harus menghargai privacy-nya. Terlebih lagi, kini ia telah menjadi seorang gadis dewasa. Hal ini juga bagus untuk menghilangkan efek “hawa panas” dalam diriku dan “ketegangan” di bagian tertentu pada diriku apabila terus berlama-lama di kamarnya, yang nantinya bisa membuatku lupa diri.

Namun kini justru sebaliknya. Tanpa permisi, aku langsung masuk ke kamar putriku dan lalu menutup pintunya. Kini kami berdua di dalam kamar tidurnya. “Ada apa Papi?” tanyanya sambil menatapku. Sementara kimono tipisnya membuat belahan payudaranya kelihatan padat berisi dengan kedua putingnya menonjol dan menembus kain tipis itu. Liana tak memakai riasan wajah apa pun. Rambutnya juga dibiarkan terurai apa adanya. Namun ia justru terlihat amat cantik dalam keadaan apa adanya seperti itu. “Papi ngelamun apa sih?” tanyanya menyadarkanku kembali. “Eh, Papi lagi nggak bisa tidur. Boleh Papi ngobrol bentar sama kamu?” tanyaku lagi. “Oh ya, tadi harusnya Papi tanya kamu dulu sebelum masuk,” tambahku. Bagaimana pun, ia adalah putriku sendiri, tentu aku harus bersikap se-gentle mungkin. “Oh, nggak apa-apa kok. Yuk ngobrol sambil duduk aja,” kata Liana dengan tersenyum sambil duduk di tengah ranjang dan bersandar di dinding. Sikapnya yang welcome, membuatku melakukan hal yang sama.

Kami berdua berbincang-bincang di ranjang itu dengan cukup lama. Beberapa kali terjadi sentuhan-sentuhan fisik diantara kami. Semua ini terjadi secara alami dan apa adanya sebagai bagian dari interaksi kami secara keseluruhan. Karena memang hubungan kami cukup akrab. Namun hal ini juga menyebabkan birahiku naik ke titik puncak. Apalagi selain sentuhan-sentuhan fisik, sedari tadi aku terus disuguhi akan keindahan tubuhnya, terutama payudaranya di balik kimono tipis tanpa bra! Sungguh indah menawan dan menggairahkan. Bagian atasnya seringkali terlihat dari belahan leher kimononya saat ia bergerak. Sementara putingnya menembus di kain bajunya, daging payudaranya nampak bergerak-gerak secara mencolok karena padat berisi. Paha mulusnya beberapa kali tersingkap dari kimononya saat ia mengubah posisi duduknya. Dan di bawah itu semua, keindahan tubuhnya saat dirinya telanjang bulat tadi masih tergambar secara nyata di dalam pikiranku.
Dan, akhirnya aku mengambi langkah maju. “Papi boleh tidur disini? Apa kamu keberatan?” tanyaku. (Di depan, aliran sungai akan terbelah menjadi dua. Ke arah mana ia akan mengalir, apakah ke kiri atau ke kanan?) Kini semuanya tergantung jawabannya. Apabila ia keberatan, maka aku akan balik tidur ke kamarku dan tak mengganggunya. Namun rupanya Liana sama sekali tak ragu dengan pilihannya. “Ya udah Papi tidur sini aja!” kata Liana dengan terlihat antusias. “Dah lama juga aku nggak tidur sama Papi,” katanya lagi. (Kini, aliran sungai mengalir menuju ke bagian yang deras dengan turbulensi tinggi bahkan mungkin juga terdapat pusaran kuat yang menyedot ke bawah).
Aku tidur berbaring di sebelahnya di ranjang berukuran Queen-size itu. Penghangat ruangan yang bekerja membuat udara di dalam kamar menjadi hangat. Kini lampu kamar semuanya dimatikan kecuali satu. Karena Liana takut akan kegelapan. Kini suasana dalam ruangan menjadi remang-remang, namun juga sekaligus romantis!

“Memang sudah lama sekali ya, kita tidur bareng seperti ini,” kataku mengulangi perkataan Liana tadi sambil menoleh kepadanya. “Iya, udah lama banget,” kata Liana menatapku juga dengan suara terdengar manja. “Terakhir kapan ya? Mungkin 4 atau 5 tahun lalu..,” kataku membayangkan ketika Liana masih berusia sekitar 14 tahun. “Ih, Papi ngaco! Awal tahun ini masi khan, waktu kita ke Yogya. Empat lima tahun dari mana Papi?” katanya.

Rupanya ada perbedaan persepsi antara kami berdua. Persepsi ‘tidur bareng” menurut Liana adalah tidur di kamar yang sama. Sedangkan persepsiku adalah tidur di ranjang yang sama seperti sekarang ini. Terakhir aku tidur satu ranjang dengannya, kalau tidak salah, saat ia berumur 14 tahun. Menyadari bahwa putriku telah mencapai usia puber dengan tubuhnya mulai berkembang, sejak itu aku tak pernah tidur seranjang dengannya. Apabila harus tidur sekamar saat pergi ke luar kota / negeri, biasanya juga dengan ranjang terpisah. Namun sekarang ini, tak hanya kami tidur seranjang namun juga di bawah satu selimut!

“Hehehe, ya Papi cuman becanda kok,” jawabku asal karena tak ingin pikiranku yang “ranjang-oriented” ini diketahui oleh putriku. “Ih, kayaknya Papi emang nggak inget deh. Makanya sengaja jawab begitu. Kalo sama aku, Papi selalu lupa deh,” jawabnya dengan cemberut. Membuat ia semakin cantik saja. “Bukan gitulah. Papi selalu inget kok sama kamu,” kataku. “Kalo inget, nggak mungkin Papi jawab kayak gitu tadi. Papi udah nggak sayang sama aku!”

“Ah, nggak. Papi selalu sayang kok sama kamu. Gimana nggak sayang, kamu khan anak Papi satu-satunya,” kataku. “Sayang apanya! Belakangan ini Papi udah nggak terlalu memperhatikan aku lagi. Jangan-jangan Papi punya pacar baru ya. Papi mau kawin lagi trus abis itu aku ditinggalin.”

“Kamu jangan bilang gitu, Liana. Papi nggak pernah punya pikiran untuk ninggalin kamu. Seandainya Papi mau kawin lagi, juga pasti akan minta persetujuan kamu. Papi nggak akan ninggalin kamu, sayang,” jawabku sambil menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Trus, kalo aku nggak setuju gimana?” tanyanya. “Kalo kamu nggak setuju ya Papi nggak jadi kawin. Gimana pun juga Papi masih lebih berat sama kamu. Soalnya kamu khan anak Papi satu-satunya,” kataku lagi untuk semakin meyakinkan Liana.

“Tapi Papi beda sama dulu,” bantahnya. “Beda gimana?” tanyaku lagi. “Dulu Papi lebih sayang sama aku dibanding sekarang. Pokoknya beda aja,” jawabnya dengan pandangannya terfokus ke belakang diriku. “Dulu Papi lebih sering memperhatikan aku, lebih sering ngajak bicara, lebih sering megang2 rambutku, lebih sering meluk2 aku. Tapi belakangan ini Papi semakin cuek sama aku.”

Aku langsung teringat dengan perkataan Venny waktu itu. Kini aku semakin mengerti letak permasalahannya. Rupanya Liana masih mengasosiasikan rasa sayangku dengan sentuhan-sentuhan fisik yang sering kulakukan saat ia masih kecil dulu. Oleh karena aku mulai jarang melakukannya setelah ia menginjak usia remaja, maka ia beranggapan bahwa aku sudah tidak sayang kepadanya lagi. Oleh karena itu selama ini ia berusaha “memancing-mancing” diriku supaya aku melakukan sentuhan-sentuhan fisik kepada dirinya seperti dulu karena hal itu bagi dirinya adalah pernyataan rasa sayangku kepadanya. Satu hal yang mungkin tak disadarinya, kini ia telah tumbuh menjadi gadis dewasa dengan daya tarik seksual tinggi sedangkan aku adalah pria kesepian, sehingga ada saat-saat tertentu dimana diriku dilanda pikiran mupeng terhadap dirinya. Aku tak yakin bisa menguasai diriku apabila aku terlalu lama berdekatan dengan dirinya. Sebaliknya, ia mengartikan sikapku yang menahan diri ini sebagai suatu “penolakan” bagi dirinya.

“Liana, Papi selalu sayang sama kamu,” kataku sambil memandang dirinya. “Kenapa akhir-akhir ini Papi makin jarang melakukan itu, soalnya kamu sudah mulai beranjak dewasa dan sekarang sudah tumbuh dewasa. Papi nggak mau nantinya kamu salah paham. Kamu mengerti khan maksud Papi? Tapi semua ini bukan karena Papi nggak sayang sama kamu.”

“Aku nggak akan salah paham kok Papi. Aku percaya Papi nggak akan menyakiti aku. Aku tahu Papi sayang sama aku. Tapi kenapa Papi selama ini bersikap PURA-PURA nggak sayang sama aku?” tanyanya. “Ini yang bikin aku nggak mengerti,” tambahnya.

“Liana,” jawabku,”Kamu mungkin nggak menyadari, kamu sekarang sudah jadi gadis dewasa. Kamu ini seorang gadis cantik dengan daya tarik yang luar biasa. Hal ini yang membuat Papi jadi serba salah. Bukan karena Papi nggak sayang atau pura-pura atau apa, tapi… Papi takut nggak bisa menguasai diri nantinya,” kataku dengan terus-terang akhirnya. “Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, Papi sungguh-sungguh sayang sama kamu, apapun yang terjadi dan sampai kapan pun. Itu sebabnya kenapa Papi sejak beberapa tahun terakhir ini tak ingin dekat-dekat sama kamu. Kamu tak tahu betapa beratnya Papi menahan diri. Maafkan Papi, tapi Papi bukan seorang malaikat.”

Liana mendengarkan semuanya dengan sungguh-sungguh. Kini, sebaiknya kukatakan saja semuanya apa adanya tanpa perlu ditutup-tutupi lagi, batinku. Mungkin ia terkejut dan tak menyangka betapa selama ini Papinya, yang diidolakannya itu, diam-diam memendam rasa mupeng terhadap dirinya. Namun, jawaban Liana sungguh mengejutkanku. “Ah, Papi.. Aku nggak ingin Papi menderita. Kalau memang Papi mau.. Papi boleh mengambil semuanya dariku. Aku rela ngasih semuanya ke Papi,” katanya sambil menunduk.

“Apa?!” seruku. “Kamu sungguh-sungguh?” tanyaku dengan terbelalak. Liana tak menjawab. Namun kepalanya mengangguk perlahan. “Sesungguhnya, ini saat yang aku tunggu-tunggu, Papi. Itu sebabnya, kenapa aku putusin si Ferdinand (mantan cowoknya), karena ia berkali-kali terus mancing-mancing ngajak ML tapi aku selalu menolaknya. Karena… aku berniat menyerahkan kesucianku ini ke Papi dulu sebelum melakukannya dengan cowok lain,” katanya dengan suara lirih.

“Oh, Liana!” kataku sambil memeluknya erat. “Papi sayang sama kamu, sayang,” kataku sambil membelai-belai rambutnya. “Aku juga sayang sama Papi,” bisiknya dengan mesra di telingaku. Kemudian… kami bergumul berdua di atas ranjang berseprei putih itu. Tubuhnya begitu hangat dengan aroma tubuh yang harum memabukkan. Kurasakan dadanya yang padat berisi menempel ke diriku. Menempel erat kayak perangko. Sementara penisku menegang juga menempel di tubuhnya. Sehingga aku yakin ia juga menyadari kalau batang kejantananku mengeras karena nafsu birahi terhadap dirinya. “I love you, sweetheart,” bisikku mesra di telingnya. Kurasakan reaksi tubuhnya yang menggigil akibat ucapan mesraku kepadanya. Tubuh kami terus berpelukan erat. Kuciumi kedua pipinya, dan seluruh wajahnya, kecuali bibirnya, kukecupi dengan lembut. Liana memejamkan mata menikmati semua itu. Sasaran ciumanku kini bergeser ke lehernya. Diriku yang telah dikuasai nafsu birahi segera menciumi leher putih mulus putriku. Dengan buas dan ganas kukecupi leher putih menggairahkan ini. Membuat suasana tenang di kamar itu penuh dengan suara kecipakan kecupan2ku. Liana terus memejamkan mata sambil mendesah-desah lirih dan pendek. Membuatku semakin ganas menciumi menikmati kedua sisi leher putriku.

Kudekati wajah cantik Liana yang tidur telentang ini. Kupandang wajahnya dari jarak begitu dekat. Sementara Liana menatapku dengan pasrah. Kudekatkan bibirku ke bibirnya sampai dekat sekali. Sesaat sebelum bibirku menyentuhnya, Liana memejamkan matanya. Pertanda ia telah benar-benar pasrah menyerahkan dirinya kepadaku. Melihat itu, kubisikkan kata mesra untuknya. “I love you, Liana.” Dan ia pun membalas dengan sebuah bisikan mesra pula,” I love you, PAPI.”

BAMM! Kata “PAPI” yang diucapkan oleh Liana serasa bagai palu godam menghantam dadaku. Seketika aku tersadar. Dalam sekejab diriku berpindah dari alam buaian yang sureal kembali ke dunia nyata yang real! TIDAK!! AKU TAK BISA MELAKUKAN INI! Kujauhkan bibirku darinya dan kubelai rambut Liana. Perubahan sikapku ini membuat Liana membuka matanya. Ia juga sadar akan perubahan sikapku.

“Maafkan Papi, sayang,” kataku sambil membelai rambutnya dengan rasa kasih sayang seorang ayah kepada putrinya. “Maafkan Papi yang barusan ingin merusak dirimu. Tapi kamu jangan kuatir. Papi betul-betul sayang sama kamu. Karena itu, Papi tak bisa melakukan itu,” kataku lagi. “Yang berhak melakukan ini adalah suamimu kelak. Bukan Papi,” jawabku sambil terus membelai rambutnya yang terurai, termasuk bagian yang menempel di seprei ranjang. “Tapi ini semua bukan karena Papi nggak sayang sama kamu. Justru sebaliknya, karena Papi SUNGGUH-SUNGGUH sayang sama kamu.”

“Aku tahu Papi. Aku tahu itu,” kata Liana sambil matanya memerah. “Maafkan Liana juga, Papi,” kata Liana sambil memelukku erat. “Aku juga sayang sama Papi.” Kami terus berpelukan erat untuk beberapa saat lamanya. Tanpa sepatah kata pun terucap. Tak ada suara sama sekali…
 


Liana and I - Bag 10 - Biarlah Semuanya Mengalir Seperti Sungai Part 2

Aku terbaring dengan mata terpejam. Telah beberapa menit kami berbaring bersebelahan. Aku berusaha untuk tidur namun tak bisa. Ada satu hal yang perlu diselesaikan. Meski hatiku telah memutuskan untuk tak melakukan hal itu, namun dalam pikiranku dan secara fisik, rasa mupengku masih belum hilang. Untuk ini, aku akan menyelesaikannya dengan caraku sendiri, satu cara yang tidak mengganggu putriku. Aku menoleh ke arahnya, memastikan posisi pandangannya masih ke arah yang berlawanan dengan diriku, sama seperti saat terakhir kulihatnya tadi.

Seolah tersadar akan gerakanku, pada saat itu pula Liana tiba-tiba berbalik dan memandangku. “Papi,” katanya,” Aku tahu Papi gak bisa tidur.” Aku mengangguk mengakuinya,”Ya, memang betul,” jawabku. “Tadi Papi bilang, Papi tak bisa melakukan itu karena rasa sayang Papi kepadaku,”kata Liana. Ya, memang, batinku sambil berdebar. “Sebaliknya, aku juga sayang sama Papi… Oleh karena itu, biar aku kini membantu menyelesaikan masalah Papi. Karena aku pun juga punya andil menyebabkan sampai Papi nggak bisa tidur seperti ini,” kata Liana.

“Apa yang ingin kamu lakukan?” tanyaku dengan hati makin berdebar. “Udah, Papi baring aja,” bisiknya sambil menggerakkan tangannya untuk membuatku telentang. Kemudian tangannya merayap ke pahaku dan menyusup masuk ke dalam celanaku. Tangan halusnya lalu menggenggam batang kejantananku yang masih mengeras kencang, dan… mengocok-ngocoknya dengan lembut. “Gimana rasanya, enak Papi,” tanyanya sambil ibu jari dan telunjuknya kini digunakan untuk mengusap-usap seluruh bagian kepala penisku sambil terus mengocok-ngocok batangku.

Oh.. Ah.. Oh.. Sungguh nikmat sekali rasanya ketika tangan halus putriku terus mengocok dan merangsang seluruh bagian penisku. Membuatku tak berdaya untuk menolaknya. “Oh, ya, oh.. enak sekali, sayang,” gumamku sambil merem melek menikmati kocokannya. Sementara ia terus mengocok, tangan satunya masuk ke dalam bajuku meraba-raba bagian perut dan dadaku. Lalu ia meraba-raba putingku sambil terus mengocok penisku.

Ahh…Ohh….Ahh…. Aku makin menggeliat keenakan. Tanganku kini ikutan meraba-raba kimononya. Kurasakan gumpalan daging payudaranya yang berisi di baliknya. Sementara ibu jari dan telunjuknya memainkan kepala penisku, putingnya yang menonjol kuraba-raba dengan ibu jari dan telunjukku. Membuat kami berdua sama-sama merasakan kenikmatan.

Kemudian Liana kutelentangkan. Tangannya yang berada di dalam celanaku, kukeluarkan. Kutindih dadanya dengan tubuhku. Nafasku memburu naik turun. Nafsu birahi kembali datang dan menguasai diriku. Dan kali ini kekuatannya jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Kupandang wajahnya... lalu bibirnya! Dan, kucium bibirnya! Liana menutup matanya. Ia telah pasrah akan segalanya! Segera aku mencium kembali bibirnya. Tak hanya sekedar mencium, tapi melumatnya! Kujelajahi seluruh bagiannya, kunikmati kehangatan bibir putriku ini, kurasakan kelembutannya…dari luar maupun dalam. Oooh… sungguh nikmat sekali. Inilah bibir seorang gadis yang masih perawan. Inilah bibir putriku Liana! Mmmpphhhhfff…. Ahh, Liana, jangan salahkan Papi yang menciumimu seperti ini, keluhku di dalam hati sambil terus menciuminya. Semua ini adalah akibat perbuatanmu sendiri. Seandainya kamu tidak merangsang Papi sampai sejauh ini, Papi juga nggak akan sampai melakukan ini. Kini sudah terlambat untuk mencegahnya. Sekarang kamu harus merelakan diri untuk bercinta dengan Papi. Lagipula, toh kamu sendiri juga memang menginginkannya. Tapi Papi jamin, kamu akan merasakan kenikmatan luar biasa. Sambil memikirkan itu, aku terus menciumi dan melumat bibir putriku ini.

Waktu rasanya berhenti saat itu. Yang ada dalam benakku hanyalah menciumi, melumat, menikmati, menciumi lagi, melumat, dan menikmati bibir Liana! Dan Liana pun jadi mendesah-desah. Apalagi kini lidahku juga ikut bermain-main di dalam, menjelajahi seluruh bagian lidahnya. Membuat Liana kini juga ikut-ikutan menciumi dan melumat bibirku, lidahnya ikut bergerak-gerak dengan lincah menjelajahi seluruh bagian lidahku. Entah berapa saat lamanya kami saling mencium, melumat, dan berpagutan seperti itu. Namun yang pasti, hasilnya sungguh kenikmatan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata!

Setelah puas menikmati bibirnya, kubangunkan dirinya sampai ia terduduk. Nafasnya masih terengah-engah. Baju kimononya agak amburadul membuat makin banyak saja bagian payudaranya yang terbuka. Udah kepalang tanggung, daripada amburadul seperti itu, mending kulucuti saja sekalian baju putriku ini. Kutarik pita talinya dan kusibakkan baju kimononya ke samping. Sehingga nampaklah sepasang payudaranya yang indah. Putingnya yang mungil tapi menonjol berwarna kemerahan sungguh menggairahkan. Sementara dagingnya begitu putih bening dan kencang padat berisi. Sungguh indah sekali. Betapa tak sia-sia aku membesarkannya selama ini, batinku sambil memandangi payudara indah putriku dengan hati puas.

Baju kimononya akhirnya kuloloskan dari kedua bahu dan tangannya sampai terlepas dari tubuhnya. Kini Liana hanya memakai celana dalam saja. Sebuah celana dalam mungil berwarna hitam. Ia sungguh sexy sekali. Wajahnya yang cantik dan oriental, rambutnya yang indah, kulitnya yang putih bening, kemulusan tubuh serta pahanya, dan payudaranya yang menggiurkan sungguh merupakan perpaduan yang amat sempurna. Perpaduan antara gadis muda yang cantik indah dan menawan hati serta daya tarik kewanitaannya yang begitu sexy dan menggiurkan, menggairahkan birahi laki-laki mana pun yang melihatnya dalam keadaan seperti ini. Bahkan aku, ayahnya sendiri pun jadi bobol pertahanannya sehingga kini nafsu birahi dalam diriku jadi berkobar-kobar. Ditambah lagi, sikap Liana saat itu sungguh menggemaskan hati. Mungkin karena malu melihatku menatap dirinya seperti itu, ia memiringkan tubuhnya dan menggunakan tangannya untuk menutupi bagian-bagian terindahnya, terutama dadanya. Membuat pose tubuhnya semakin memperlihatkan lekuk keindahannya sekaligus membuat hatiku penasaran ingin melihat semuanya.

Kembali ia kudekati dan kupeluk, setelah aku melucuti pakaianku sendiri sampai sama-sama tersisa celana dalam. Kuciumi rambutnya. Sungguh terasa harum. Begitu pula tubuhnya. Kuciumi pipinya, sebagian wajahnya, lehernya. Kucium telinganya sambil kubisikkan kata mesra. “Papi sayang sama kamu, Liana.” Lagi-lagi tubuhnya menegang saat menengarnya. “Kamu sungguh sexy sekali,” kataku sambil meraba-raba punggungnya yang halus sambil menatap punggung putih nan mulus itu dari bayangan cermin. Punggung indah seorang gadis muda yang begitu indah. Kulitnya sungguh putih, halus, dan segar. Kujilati bagian belakang telinganya. Membuat ia merasa geli sekaligus menggelinjang karena nikmatnya. Kepala dan lehernya digerak-gerakkan karena rasa geli yang dirasakannya. Dan, kuraba-raba kedua tangannya mulai dari bahunya yang putih sampai kugenggam kedua telapak tangannya. Dengan kedua tangan kami saling menggenggam, tubuhku menempel di punggungnya, kuciumi bibirnya dari samping. Dadaku bergesekan dengan punggungnya, sambil aku terus melumat dan menjelajahi bibir dan lidahnya sementara tangan kami juga saling menyentuh dan bergerak ke sana ke mari. Beberapa kali Liana melenguh dan mendesah, karena pada saat itu kedua putingnya tersentuh oleh lengannya sendiri akibat tergerak oleh tanganku.

Aku meraba-raba seluruh tubuhnya, sampai akhirnya kedua pahanya yang jadi sasarannya. Tepatnya pangkal pahanya. Sengaja aku merangsang bagian sensitifnya yang dekat dengan bagian kewanitaannya. Membuat ia makin penasaran. Aku menciumi kedua bahu, leher, dan rambutnya. Liana semakin terbuai kenikmatan. Sampai-sampai ia sengaja mendekatkan sendiri bahu dan lehernya untuk kunikmati. Pada akhirnya, aku merengkuh sepasang payudaranya. Kuraba-raba, kuusap-usap, kubelai-belai dengan lembut. Gadis ini adalah anak gadisku sendiri. Oleh karena itu aku harus melakukannya dengan selembut dan se-gentle mungkin. Bagaimana pun, aku tak ingin merusak bentuk tubuhnya yang indah. Akibatnya, ia jadi semakin merasakan kenikmatan luar biasa. Dengan sukarela ia membiarkan kedua tanganku merajalela merasakan kekenyalan payudaranya yang menimbulkan rasa sensasi luar biasa dalam diriku. Karena dengan begitu ia juga merasakan kenikmatan yang tiada tara. Sementara kini kedua telunjukku kutempel-tempelkan di kedua putingnya yang menonjol dan sensitif. Ehh…ehhh….ehhmm.. Liana mendesah-desah. Kedua telunjukku bergerak membentuk lingkaran untuk menekan-nekan seluruh bagian samping putingnya, sambil secara random menempel-nempel ke ujung putingnya. Ahh…ahhh…. Liana jadi semakin mendesah-desah sambil menggeliat-geliat. Sambil terus memainkan payudara dan putingnya, kembali kami berciuman dengan mesra. Sementara payudaranya kumainkan, Liana dengan ganas menciumiku. Kini putriku yang manis dan santun telah berubah menjadi liar pertanda ia telah dikuasai oleh birahi. Dengan ganas ia menciumiku, papinya, dan memelukku erat, dengan dadanya secara engaja ditekan-tekan ke arah tanganku. Oleh karena ingin tahu, kuraba cd-nya di daerah liang vaginanya. Rupanya, di bagian itu telah berlendir. Sengaja kugesek-gesekkan jariku disana. Dan Liana jadi semakin liar dan ganas saja.

Kuloloskan penutup terakhir tubuhnya. Bulu vaginanya yang begitu rapi menempel di tubuhnya langsung menarik perhatianku. Apalagi warnanya yang hitam amatlah kontras dengan bagian tubuh lainnya yang begitu putih bening. Kuraba-raba bulu-bulunya. Jariku bergerak-gerak di bulu vaginanya itu sampai yang awalnya tertata rapi kini jadi menyembul naik ke atas.

Aku melepas cd-ku pula. Kami berdua kini sama-sama telanjang bulat. Kutindih dirinya. Kuciumi bibirnya sementara dadaku menempel di dadanya. Penisku menempel di dekat vaginanya dengan bulu kemaluan kami saling bersentuhan. Ciumanku bergerak turun ke leher. Keduanya kuciumi penuh nafsu. Liana jadi menggelinjang-gelinjang kegelian karena kecupan-kecupanku. Lalu ciumanku turun ke bawah lagi. Kali ini sasarannya apa lagi kalo bukan sepasang payudaranya. Kuciumi seluruh bagiannya. Semuanya, tak ada yang tersisa. Sementara jariku menggesek-gesek vaginanya. Membuat dirinya semakin banjir lendir. Apalagi saat kuciumi dan kukulum-kulum serta kusedot dan kuemut-emut kedua puting payudaranya. Kedua putingnya yang berwarn kemerahan sungguh menggairahkanku sekaligus merupakan titik sensitif seksualnya. Vaginanya jadi terus memproduksi lendir-lendir hangat!

Dan, berpindah posisi. Kedua tanganku kembali memainkan seluruh bagian payudaranya, sementara lidahku menjilat-jilat, menyedot-nyedot, mengecup-ngecup, mengenyot-ngenyot liang vaginanya. Saat itu lidahku ingin kumasukkan ke dalam, untuk menjilati area G-spot-nya. Namun, ah aku membatalkan niatku. Karena aku tak ingin selaput daranya terobek. Untuk itu aku akhirnya menjilati klitorisnya. Dan rupanya hal ini membuat Liana jadi semakin liar berteriak dan menjerit-jerit. Putriku yang biasanya selalu alim dan santun itu kini berubah bagaikan kucing liar ganas yang haus akan kenikmatan seksual. Tubuhnya menggelinjang-gelinjang. Badannya menggigil. Mulutnya meracau tak karuan. Putingnya terasa lebih keras dan kaku dibanding sebelumnya. Liana mengalami orgasme!

Setelah orgasme, ia kumandi-kucingkan. Tubuhnya kubolak-balik dengan seluruh bagiannya kujilati sampai basah mengkilap. Kembali payudaranya kujilat-jilat. Demikian pula vaginanya. Namun tak lama. Karena aku akan menggunakan cara lain untuk memuaskan dirinya sambil sekaligus memuaskan hasrat seksualku sendiri. Satu hal yang kutunggu-tunggu sejak tadi, yaitu mengeksekusi sekaligus memperawani Liana putriku!

Kubentangkan kedua kakinya. Sampai aku lagi-lagi dapat melihat vaginanya yang berwarna merah dengan liangnya yang sempit dan rapat. Karena memang Liana masih perawan.

Namun…. Bagaimana pun aku merasa perlu untuk minta ijin dulu padanya. Karena ini menyangkut masa depannya. Apabila ia tak mau, aku juga tak akan mengeksekusinya. “Liana, Papi masukin ya, mau?” tanyaku sambil menggesekkan jariku di klitorisnya. Aahhh…ahhh… Liana sibuk mendesah-desah. “Gimana?” desakku dengan hati berdebar. Sementara tanganku terus menggesek-gesek organ paling sensitifnya. “Aahhh… ahhhh… masukin aja….ahhhh…. Papi…..”

Segera aku tak ragu-ragu lagi. Semua ini adalah kemauanmu sendiri, batinku dalam hati. Kudekatkan penisku ke liang vaginanya yang kedua kakinya telah terbentang lebar. Kusentuhkan ujung kepala penisku ke liang sempit itu. Kudorong perlahan. Dan Liana menjerit! Namun, itu hanya reaksi spontan darinya saja mungkin karena adanya rasa ketakutan dalam dirinya. Karena sebenarnya penisku masih belum masuk ke dalamnya. Memang aku sengaja memberi pemanasan terlebih dahulu, dengan kudorong-dorong penisku ke vaginanya tanpa bermaksud langsung memasukkannya. Supaya dirinya jadi lebih rileks. Juga supaya ia tak terlalu merasakan sakit saat vaginanya tertembus penis untuk pertama kali. Sekali lagi, Liana adalah anak gadisku. Walaupun sebejat-bejatnya diriku, aku akan membuatnya supaya ia tak merasakan sakit. Beberapa kali ia menjerit saat penisku menekan-nekan liang vaginanya. Namun karena rasa sakit yang diantisipasi tak terjadi, ia menjadi lebih rileks menghadapi hal ini. Sehingga, pada saat akhirnya… blesss, ketika sebagian kepala penisku menembus masuk dinding vaginanya, ia justru mendesah! Kemudian, bless… blesss.. bless…..beberapa kali penisku masuk sedikit demi sedikit ke dalam dirinya. Pada saat itu pula ia mendesah-desah ketika penisku menembus makin dalam di vaginanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi nikmat. Sama sekali tak ada ekspresi kesakitan terlihat dari wajahnya. Padahal… ugh… penisku tadi agak susah masuk ke dalam karena vaginanya masih rapat dan cukup sempit bagi penisku yang ukurannya cukup besar.

Setelah penisku amblas masuk ke dalam dirinya, segera kukocoknya maju mundur, keluar masuk menembusi vaginanya. Pada saat itu pula, Liana mendesah-desah dan berteriak-teriak memanggilku. Kedua tangannya memeluk erat punggungku. Wajahnya menunjukkan ekspresi kenikmatan yang luar biasa. Aah.. kini Liana sudah tidak perawan lagi, batinku saat terus mengeksekusi dirinya. Akhirnya putriku kehilangan keperawanannya di usianya yang ke 18. Dan pria yang merenggut kesuciannya itu tak lain adalah aku, papinya sendiri. Tapi yah, apa mau dikata, lha memang itu adalah kemauannya juga, batinku sambil terus mengocok-ngocok vagina putriku.

“Oooh… Papi…. Ahhhhh…..Papi…..” Liana terus mendesah-desah sambil memanggil-manggilku ketika penisku maju mundur keluar masuk menikmati sekaligus memberikan kenikmatan ke vaginanya. Sambil aku terus mengeksekusinya, kedua tanganku membelai-belai rambutnya baik yang melekat di kepalanya maupun yang menempel di seprei kasur. “Aaahhh…..aaahhhh….aahhhhh….Papi…..ahhhhh…” Liana terus mendesah-desah makin kencang ketika aku terus memompa penisku di dalam vaginanya sambil membelai-belai rambutnya, satu hal yang disukainya dariku. Kemudian sambil terus menyetubuhinya dan membelai rambutnya, kuciumi bibirnya dan french kissing sambil dadaku terkadang menempel-nempel di payudaranya terutama kedua putingnya. Membuat ia semakin geli, semakin nikmat, semakin basah, semakin naik ke awang-awang. Dan akhirnya…. Kembali Liana mengalami orgasme hebat.

Setelah itu, barulah kucabut penisku. Sementara Liana cooling down sebentar, pada saat itu baru kuperhatikan kalau vaginanya mengeluarkan darah cukup banyak. Sampai membuat kain seprei putih itu jadi ternoda merah oleh darah perawannya. Hebatnya, ia tak merasakan sakit sama sekali. Satu hal yang membuatku bahagia. Upayaku melakukannya dengan selembut mungkin sungguh membuahkan hasil maksimal. Terbukti, meski vaginanya mengeluarkan darah, namun Liana tak merasakan kesakitan sedikitpun. Yang ada justru Liana merasakan kenikmatan tiada tara.

Selanjutnya adalah doggy style. Dalam hal ini aku sengaja “membimbing” Liana dalam hal “pendidikan seks” dengan cara memperkenalkannya berbagai macam posisi hubungan seksual. Hal ini tentu bermanfaat bagi dirinya kelak dalam hal membahagiakan suaminya. Untuk itu aku berdiri di belakangnya yang saat itu telah “on position” untuk doggy style. Kedua tanganku memegang pantatnya. Kudekatkan penisku ke liang vaginanya yang masih ada sisa-sisa darah perawannya. Dan, kembali dengan lembut kumasukkan kepala penisku sedikit demi sedikit ke dalam dirinya. Setelah amblas seluruhnya, baru kumainkan penisku di dalam vaginanya. Penisku yang mengocok-ngocok isi dalam vaginanya membuat tubuhnya berguncang-guncang dengan payudaranya bergoyang-goyang dengan keras. Kedua tanganku lalu memegang payudaranya untuk menyangga dan juga melindungi supaya impact guncangannya tak terlalu keras. Bagaimana pun ia adalah anak gadisku. Aku tak ingin bagian tubuh terindahnya menjadi kendur yang nantinya tentu bakal mengecewakan pasangannya di kemudian hari.
Dengan gagah perkasa penisku menyodok-nyodok dinding vagina Liana, membuat ia menjerit-jerit dan mendesah-desah nikmat. Sementara kedua tanganku terus memegang payudaranya.

Selanjutnya, posisi berubah lagi. Kali ini kubimbing Liana supaya ia melakukannya dengan posisi di atas (woman on top). Rupanya ia lebih menikmati posisi ini dibanding posisi doggy sebelumnya. Terbukti, setelah kuberikan bimbingan awal sebentar, ia sudah mampu melanjutkan sendiri dengan secara otomatis naik turun menaiki penisku sambil mendesah-desah makin lama makin liar. Senang juga hatiku bahwa ternyata putriku sungguh amat menikmatinya. Untuk lebih merangsangnya, kedua tanganku merengkuh sepasang payudaranya, dan memainkannya dengan meraba, meremas, memain-mainkan putingnya.

Lalu kami sedikit mengubah posisi dimana ia masih di atas namun dalam posisi kupangku. Setelah itu kembali kubiarkan ia mengendarai penisku sambil menikmati jepitan sempit vaginanya yang menekan keras seluruh bagian penisku. Lagi-lagi Liana aktif berolahraga naik turun sementara payudaranya kukenyot-kenyot bergantian. “Oooohh… Papii… Ahhhhh…… Ahhhh… Papiiiii…. AAHHHHH….” Dan akhirnya, tubuh Liana kembali meregang bersamaan dengan desahan dan ceracauan liar dan ekspresi wajah penuh kepuasan. Orgasme Liana ketiga! Dimana vaginanya kini betul-betul basah berlendir bahkan banjir bandang!

Dalam diriku masih ada sisa energi. Oleh karena itu kembali Liana kuperkenalkan dengan posisi yang lain. Kali ini ia kusetubuhi dengan posisi miring dimana satu kakinya diangkat ke atas. Dari sudut miring seperti itu, vaginanya kembali kugasak dengan penisku maju mundur menembus keluar masuk. Satu tanganku memegang kakinya yang terangkat keatas, sementara tanganku yang lain meraba dan meremas-remas payudaranya. “Oooh…. Papi……Papi….” Dengan penuh gairah Liana terus mendesah-desah. Karena memang posisi persetubuhan yang tak lazim ini memberikan rasa kenikmatan dan sensasi yang berbeda bagiku dan tentu saja bagi dirinya juga. Dan, teriakan-teriakan Liana jadi semakin liar ketika klitorisnya kuraba-raba dengan jari-jariku sementara penisku terus memompa vaginanya untuk “melatih” otot-otot dinding vaginanya.

Setelah itu, Liana kutelentangkan. Kedua kakinya kutekuk keatas. Dan, penisku lagi-lagi menghunjam masuk ke vaginanya dan mengocok-ngocoknya. Saat vaginanya kukocok-kocok, ia terus mendesah-desah sambil menatapku lekat-lekat. Kedua tangannya menggenggam kedua tanganku erat-erat. “Papi….. ahhhhh…… Papi…..ahh, ahh, ahh, ahh…Papi, aku nggak tahan lagi….aduhhh…. Papiiiiiiiiii!!!!!!........” Liana lagi-lagi mendapatkan orgasme dahsyat!

Kini dirinya betul-betul kecapaian. Seprei di bagian tempat “pertempuran” kami berlangsung itu terdapat bekas lendirnya yang membasahi seprei itu, bercampur dengan noda merah dari darah kegadisannya. Sementara liang vaginanya kini kulihat ada bagian yang menonjol keluar, berbeda dengan sebelumnya saat sebelum kusetubuhi. Berdasarkan pengalamanku, perlu waktu beberapa lama untuk membuat bagian itu masuk ke dalam kembali. Kini aku kok rasanya tak tega untuk menyetubuhinya lebih lanjut.

Namun aku masih belum selesai. Untuk itu kutempelkan penisku di antara belahan payudaranya. Dan kugesek-gesek penisku di tengah-tengahnya. Namun, rupanya Liana punya ide lebih bagus. Karena penisku dikocok-kocok di dekat wajahnya. Dengan posisi penisku mengarah ke wajahnya. Dengan cekatan ia terus mengocok-ngocok penisku. Sampai akhirnya… crottssss….crottsss…crooottt…. spermaku tumpah ruah tanpa ampun menghajar wajahnya. Membuat wajah cantik putriku kini jadi belepotan oleh air maniku. Alis, hidung, dagu, pipi, bahkan bibir dan rambutnya semuanya tak kelewatan kena bagian oleh semprotan tak beraturan dari penisku.

Tak lama kemudian Liana membersihkan wajahnya dari cairan maniku lalu tidur berbaring di sebelahku. Sementara aku pun juga tak lama kemudian tidur karena kelelahan. Tempatku tidur ini tepat diatas medan “pertempuran” babak pertama tadi, saat dimana Liana kuperawani tadi. Kini aku tidur di atas seprei yang penuh dengan bekas lendir serta noda merah darah keperawanan Liana putriku.

==================

Keesokan harinya, aku terbangun terlebih dahulu. Hatiku berkecamuk, pikiranku langsung spaneng saat teringat kejadian malam kemarin (atau lebih tepatnya beberapa jam lalu, karena kejadian itu berlangsung setelah lewat tengah malam). Banggakah diriku atau terkutukkah aku? Sesaat aku menoleh ke arah Liana yang masih tertidur memunggungiku. Ia telah mengenakan kimononya kembali. Kimono yang sama yang kukoyak tadi malam - sama seperti kesucian dirinya yang telah kukoyak semalam. Timbul perasaan bersalah dan rasa sesal amat dalam pada diriku. Sungguh biadab sekali kau yang telah merenggut kesucian putriku sendiri! Bahkan setelah melakukan itu semua, dengan teganya kau tidur di atas kain seprei yang permukaannya ternoda merah oleh karena darah keperawanannya! Aku bangkit dari ranjang yang ternoda itu dengan perasaan tak menentu. Lalu, kini apa yang akan kaulakukan setelah kauperawani anak gadismu sendiri, tanya hati nuraniku.

Tapi… seketika pikiranku berubah 180 derajat!!! Ahhh! Sungguh semua ini tak perlu disesali! Segala sesuatu yang terjadi kemarin, semuanya terjadi begitu indahnya! Sama sekali tak ada sesal! Bahkan sebaliknya, aku harus merasa bangga dengan diriku! Hahaha. Dalam hatiku aku tertawa gembira.

Saat itu Liana menggeliat sehingga kini posisi tidurnya telentang. Kulihat kimononya agak berantakan, membuat payudara kirinya terekspos secara jelas termasuk putingnya yang kemerahan. Kutatap bagian tubuh indah putriku itu. Ah, setelah apa yang terjadi kemarin, kini hal ini adalah masalah sepele. Malahan aku lebih concern dengan dirinya yang tentu akan menjadi kedinginan. Oleh karena itu, dirinya kuselimuti dengan selimut tebal itu.

Setelah itu aku bangkit dari ranjang itu. Kubuka tirai jendela sehingga sinar matahari pagi masuk ke dalam kamar. Sambil aku dapat melihat pemandangan indah pegunungan dari jendela kamar. Masuknya sinar matahari itu membuat Liana akhirnya terbangun. “Ah, Papi!” serunya saat ia melihatku. Aku menatap putriku. Sungguh ia adalah seorang gadis yang amat cantik, gumamku. Banyak orang bilang, kecantikan seorang wanita teruji pada saat ia bangun tidur. Dan Liana jelas telah lulus dari ujian ini. “Kamu sungguh cantik sekali, sayang” kataku memuji dirinya. “Sungguh Papi bangga punya anak perempuan seperti kamu,” tambahku lagi. “Iih, Papi..” Wajah cantiknya jadi merona merah. Entah karena pujianku, entah karena ia teringat akan kejadian malam kemarin. Saat itu tubuhnya masih di bawah selimut tebal. Sehingga mungkin ia masih belum sadar seandainya tak ada selimut itu, payudaranya tentu terekspos oleh dasternya yang amburadul itu. Namun… ah, hal itu sungguh tak berarti setelah apa yang terjadi kemarin malam. Aku melirik ke bagian seprei yang kutiduri, daerah tempat “pertempuran seru yang terjadi kemaren malam” sambil tersenyum-senyum sendiri. Aku tak hanya merasa puas, namun juga bangga. “Yuk, kamu mandi dulu deh. Papi juga harus mandi. Habis ini kita makan dulu sebelum check-out,” kataku sambil meninggalkan kamarnya untuk mandi di kamarku.

Hari ini adalah hari terakhir liburan kami. Setelah ini kami harus terbang domestik ke Tokyo dilanjutkan dengan terbang balik ke Jakarta. Bagi pasangan pengantin, katanya malam pertama adalah malam yang terindah. Itu juga KATANYA, namun kenyataannya perlu diragukan karena mungkin “malam pertama” itu telah terjadi sebelumnya, atau mungkin ada kekecewaan dari pengantin pria karena pasangannya sudah tidak perawan, atau kekecewaan dari mempelai wanita karena pasangannya memperlakukannya dengan kasar. Namun bagi kami berdua, malam terakhir liburan itu adalah malam yang indah. Itu bukan “katanya” tapi sungguh kenyataan. Sejak saat itu, hubungan Liana dan aku jadi semakin akrab, jauh lebih akrab dibanding sebelumnya. Kini kami bisa membicarakan hal-hal yang sebelumnya terasa canggung untuk didiskusikan.

Saat di airport, baik di Jepang maupun di Cengkareng, juga saat di dalam pesawat, kuperhatikan bahwa Liana sering jadi sasaran tatapan kekaguman banyak cowok; yang mana hal ini membuatku makin berbangga hati. Sebuah kebanggaan yang amat dalam yang membuat hatiku menggelora, bagi orang yang mengerti isi hatiku. Hehehehe.

Ya, saat ini aku sungguh bangga dengan diriku, karena kejadian tadi malam. Karena aku telah memberikan seks education yang amat berharga kepada Liana putriku. Aku tak peduli, mungkin ada orang yang menghina, memaki, bahkan menghujatku. Karena memang apa yang terjadi malam kemarin sungguh tidak konvensional. Sebaliknya, justru kontroversial. Namun terlepas dari itu semua, aku yakin hal ini akan sungguh bermanfaat bagi Liana dan juga calon suaminya kelak, karena pendidikan seks yang kuberikan kepada putriku ini. Namun, tentu hal ini juga bermanfaat bagi diriku sendiri. Hehehehe.

Sama sekali tak ada penyesalan! Tak ada yang lebih indah daripada ini. Apalagi, semuanya mengalir bagaikan sungai secara natural dan apa adanya. Dan, aku sungguh bangga dengan diriku! Demikian kata batinku terus-menerus. Ya, dari lubuk hatiku yang terdalam, kini aku berani mengatakan ini dengan sungguh-sungguh.

Apalagi, hehehehe, ada satu persoalan yang tak diketahui semua orang. Hanya aku sendiri yang mengetahui ini. Bahkan Liana pun juga tak tahu. Pada saatnya nanti tentu ia akan kuberitahu. Namun untuk saat ini, biarlah hal ini kusimpan dulu. Yang pasti kini hatiku terasa puas dan plong. Betul-betul PLONGG!!




Liana and I – Final Part – At the End, True Love Prevails (No Sex Scene)

Aku melamun membayangkan kejadian sekitar 2 bulan lalu itu. Awalnya terjadi pergulatan batin dalam diriku antara sisi baikku dan sisi gelapku. Untuk sementara, sisi gelapku unggul, sehingga akhirnya aku mencumbui putriku. Namun di saat genting itu, hati nuraniku bekerja saat kudengar Liana memanggilku “Papi”. Saat itu sisi baikku jadi berbalik unggul. Kini aku berfungsi sebagaimana seorang ayah yang melindungi putrinya dari segala macam ancaman, termasuk ancaman dari diriku sendiri. Namun, rupanya pertempuran masih belum selesai. Saat itu aku kembali dihadapkan ke dua pilihan. Dan, kali ini aku memilih sisi gelapku untuk mengambil kendali… sehingga terjadilah itu semua.

Keesokan harinya, aku sungguh amat menyesal dan berharap semua itu tak pernah terjadi. Selanjutnya kubayangkan saat aku berdiri di dekat jendela, memandang ke ranjang dimana Liana saat itu masih tertidur. Mataku tak tertuju ke Liana, melainkan ke kain seprei yang barusan kutiduri. Dan… seprei itu putih bersih tak ada noda sama sekali. Sama sekali tak ada noda darah. Meskipun seprei itu terlihat begitu lecek, namun seprei itu sungguh putih bersih tak bernoda!

“Eh! Papi sudah bangun?!” kata Liana dengan nada suara agak terkejut. Dan, lamunanku itu seketika buyar. Kini aku harus menghadapi kenyataan yang terjadi saat ini. Saat ini Liana berdiri di depanku dengan daster amat tipis yang hampir transparan, membuat dirinya hampir sama dengan telanjang bulat. Apalagi ia tak memakai pakaian dalam apa-apa di balik dasternya itu.
Setelah itu lamunanku akan seprei tadi langsung hilang lenyap. Kini diriku terfokus dengan apa yang terlihat di depanku, dengan apa yang terjadi saat ini….

=================

Secara umum hubunganku dengan Liana berubah drastis sejak kejadian di Jepang malam itu. Kami semakin akrab dan kualitas hubungan kami begitu dalam, jauh lebih dalam dibanding sebelumnya atau dibanding kebanyakan ayah dan anak yang lain. Dan, hal itu membuat kami berdua lebih rela untuk saling “melepaskan”. Kalau sebelumnya hubungan dekat kami lebih disebabkan karena saling ketergantungan antara satu sama lain, dimana hubungan kami itu bersifat egoistis dan posesif. Sebaliknya, kini kami berdua sama-sama dapat melepaskan ketergantungan itu. Karena baik Liana maupun diriku akhirnya sadar, apa pun yang terjadi, aku akan selalu menyayanginya dan sebaliknya putriku itu akan selalu sayang dan ingat kepada Papinya. Sejak saat itu kami berdua saling mengharapkan yang terbaik satu sama lain.

Pada akhirnya Liana sama sekali tak keberatan seandainya aku ingin menikah lagi. Ia tahu apa pun yang terjadi, aku akan selalu menyayanginya. Sebaliknya, aku juga sama sekali tak menghalangi dirinya untuk menggapai cita-citanya. Pada titik ini akhirnya aku menyadari kalau putriku telah dewasa. Ia tak mungkin terus-terusan bersamaku seperti saat masih kecil. Pada suatu saat ia akan meninggalkanku. Namun kini aku bisa berlapang dada, karena aku yakin bahwa apa pun yang terjadi, ia akan selalu sayang dan mencintaiku. Setelah menyadari betul hal ini, secara perlahan namun pasti rasa mupeng dalam diriku kepadanya jadi memudar dan akhirnya menghilang.

Sebaliknya, kulihat Liana juga tak bersikap seperti berusaha memikatku. Meski terkadang secara tak sengaja ia terlihat olehku memakai pakaian yang sexy, seperti contoh sebelumnya, namun sikapnya sungguh jauh berbeda dibanding sebelumnya.

Entah kebetulan atau memang sudah diatur oleh Yang Diatas, kerelaan hatiku untuk melepas Liana teruji dalam waktu yang jauh lebih cepat dari yang kuperkirakan. Karena Liana mendapat tawaran bagus untuk kuliah di luar negeri. Sehingga hari-hari kami tinggal bersama telah terhitung. Meski awalnya hatiku terasa berat, pada akhirnya aku melepas kepergian Liana dengan memberikan restu kepadanya untuk meraih semua masa depan yang diangan-angankannya.

Sejak saat ini, kehidupan kami tidak akan pernah sama lagi. Mungkin ia akan meninggalkanku selamanya dan tinggal di negara lain. Namun, aku akan selalu menyimpan kenangan indah saat bersama dirinya di dalam hatiku. Untuk saat sekarang, apa pun yang terbaik bagi dirinya, aku akan mendukungnya 100% meskipun hal itu mungkin menyebabkanku berpisah dengannya. Juga, aku tak akan ikut campur mengatur urusan jodohnya. Aku yakin dengan bekal didikanku selama ini, Liana akan mampu memilih sendiri pasangan hidup yang terbaik bagi dirinya.
Sambil mengharapkan semua yang terbaik bagi Liana, kubaca puisi Kahlil Gibran mengenai seorang anak:

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life's longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you.

You may give them your love but not your thoughts,
For they have their own thoughts.
You may house their bodies but not their souls,
For their souls dwell in the house of tomorrow,
which you cannot visit, not even in your dreams.
You may strive to be like them,
but seek not to make them like you.
For life goes not backward nor tarries with yesterday.

You are the bows from which your children
as living arrows are sent forth.
The archer sees the mark upon the path of the infinite,
and He bends you with His might
that His arrows may go swift and far.
Let your bending in the archer's hand be for gladness;
For even as He loves the arrow that flies,
so He loves also the bow that is stable.

Kini, aku telah melakukan tugasku menjadi busur yang baru saja melesatkan anak panah ke depan. Kini masa depan anak panah itu ditentukan sendiri olehnya. Sementara, busur ini kini dengan tegar memandang ke anak panah yang barusan dilepaskannya itu, yang kini melesat ke depan menjauhinya. Dengan berusaha tegar, busur itu terus mengharapkan semua yang terbaik bagi si anak panah yang kini tak dapat dilihatnya lagi itu….

=================

Sejak mendapatkan lampu hijau dari Liana, hubunganku dengan Venny terus berlanjut. Pada akhirnya gadis itu dapat menyelesaikan masalah pribadinya dengan ayahnya. Sesuai dengan pengakuannya, hal ini berkat pertemuannya denganku ditambah juga terinspirasi oleh hubunganku dengan Liana dimana pada akhirnya kita mampu melepaskan diri dari hubungan yang bersifat egoistis dan posesif. Pada dasarnya pengalaman Venny dan Liana hampir sama. Mereka berdua sama-sama mendambakan cinta kasih seorang ayah yang menurut pikiran bawah sadarnya tak pernah / kurang didapatkan dari ayahnya. Untuk kasus Liana, untungnya hal ini dapat keburu diselesaikan. Sementara untuk kasus Venny, ia berusaha mendapatkan hal itu dari pria-pria yang seumur dan mirip dengan ayahnya. Namun yang didapatkan dirinya selama ini hanyalah kehampaan yang tanpa makna. Sampai akhirnya ia yang desperate mencari sesuatu yang tak kunjung didapatkan itu, dengan nekat “menjual diri” demi mencari cinta. Namun, memang jalan Tuhan terkadang misterius. Justru gara-gara melakukan kegiatan anehnya itu, ia bisa bertemu denganku, satu-satunya calon pelanggannya yang tak di-reject-nya.

Semenjak ia mampu melepaskan ganjalan di hatinya, hubungan Venny dengan ayahnya semakin baik. Sementara, kami juga semakin akrab dan sering bertemu. Namun bedanya dengan saat-saat awal kami bertemu, pertemuanku dengan Venny tak melulu diisi dengan bercinta doang. Bahkan belakangan kami justru lebih sering berbicara dari hati ke hati, sampai pada akhirnya kami menjalin hubungan cinta yang sungguh-sungguh.

Sekitar satu setengah tahun kemudian, aku dan Venny menikah secara resmi. Dan satu hal yang membuatku semakin bahagia, Liana mendukung 100% dengan pernikahan kami ini. Untuk itu kami melangsungkan pernikahan kami saat ia sedang libur kuliah supaya ia bisa turut menghadirinya.

Setelah menjadi suami istri, tentu hari-hari kami diisi dengan permainan cinta yang jauh lebih hebat dibanding sebelum-sebelumnya. (Tapi… ah, masa hubungan seksual dengan istri sendiri perlu dibuka ke publik disini. Biarlah ini menjadi rahasia Papi saja deh. Hehehe…) Yang pasti, istri baruku ini selalu memanggilku “Papi” di saat momen-momen yang “mencengangkan” itu. Dan, panggilan itu jadi lebih afdol dan sah lagi semenjak lahirnya anak kami, seorang bayi laki-laki yang sehat dan lucu.

Di sela-sela kesibukan kami sebagai orangtua baru dan kegiatan usahaku, tentu kami tetap melanjutkan kegiatan “olahraga di dalam kamar” itu secara rutin. Apalagi, meski telah melahirkan seorang anak, istriku ini masih tetap cantik dan sexy. Bahkan, di mataku istriku ini semakin menggairahkan saja.

=================

Pada suatu malam, beberapa tahun kemudian…

Malam itu adalah malam yang akan selalu kuingat. Malam itu aku dan Liana melakukan pembicaraan dari hati ke hati yang amat dalam. This is the moment of truth bagi kami berdua.

“Papi, aku sungguh berterima kasih banget atas semua yang telah Papi lakukan ke aku,” kata Liana menatapku. Pandangan matanya yang tulus membuat hatiku langsung tersentuh. Orangtua mana yang tak bahagia mendapat ucapan terima kasih tulus dari anaknya, apalagi di momen seperti ini... “You’re the best father in the world, Papi. I really love you,” katanya dengan tulus sambil menatapku lekat-lekat. Membuatku jadi terharu.

“Papi ingat dengan kejadian di Jepang malam itu….” Kata Liana tiba-tiba menyinggung kejadian malam itu. “Hal itu adalah pelajaran hidup yang amat berharga sekali bagiku,” katanya. Aku sungguh mengerti dengan maksudnya. Kami sudah pernah membicarakan hal ini meski tak sedalam sekarang.

Namun kini ada perasaan bersalah dalam diriku ketika berhadapan dengan putriku yang besok akan menikah dan kini memandangku dengan penuh ketulusan. “Liana, maafkan Papi yang telah melakukan kesalahan waktu itu…”

“Tidak Papi, Papi tak perlu minta maaf. Aku tahu hubungan kita ini agak unik dan nggak seperti normalnya ayah dan anak. Namun, seandainya hubungan kita normal-normal saja dan peristiwa malam itu tak terjadi, maka aku nggak akan dapat pelajaran berharga itu. Kalau aku nggak dapat itu, mungkin hidupku sekarang bakal kacau.”

Di usianya yang ke-26 tahun, kini Liana betul-betul menjadi wanita dewasa dengan pemikiran yang juga dewasa dan matang. Kini ia berusaha menghibur diriku yang dilanda perasaan bersalah.

“Semua orang punya kesalahan, aku pun juga ada kesalahan dalam hal ini. Tapi pada akhirnya sikap Papi yang menahan diri waktu itu sungguh amat bermakna positif bagiku. Karena dari situ aku bisa ngeliat bahwa Papi sungguh-sungguh mencintaiku. Juga, Papi menunjukkan secara gamblang bahwa cinta yang tulus tidak harus disamakan dengan seks. Hal ini sungguh berguna dalam hubungan cintaku dengan cowok-cowokku sebelumnya, dan terakhir dengan Heri (calon suami Liana). Juga, hal itu aku terapkan ke diriku sendiri. Kalo Papi bisa menahan diri, kenapa aku nggak? Kalo Papi bisa menahan diri, aku juga mengharapkan hal yang sama dari cowok-cowokku. Karena aku hanya mau melakukan itu setelah aku menikah. Hal ini sesuai dengan perkataan Papi malam itu. Ingat nggak kata-kata Papi waktu itu? {“Kamu jangan kuatir. Papi betul-betul sayang sama kamu. Karena itu, Papi tak bisa melakukan itu. Yang berhak melakukan ini adalah suamimu kelak. Bukan Papi.} Demikian Liana menirukan ucapanku waktu itu. “Kata-kata Papi ini ditambah tindakan Papi malam itu sungguh tertanam di dalam hatiku,” lanjut Liana.

“Mungkin hal ini sebenarnya tak perlu kukatakan kepada Papi. Tapi aku nggak masalah, karena aku memang ingin supaya Papi tahu. Ketahuilah Papi, bahwa aku belum pernah melakukan hubungan terlarang, baik dengan Heri maupun dengan cowok-cowokku sebelumnya. Jadi kata-kata Papi waktu itu kini betul-betul terpenuhi. Sampai detik ini aku masih perawan, Papi,” kata Liana memandangku lekat-lekat. “Kini, setelah semua ujian terlewati, bagaimana aku tak harus berterima kasih kepada Papi untuk hal ini?”

“Liana…,” kataku setelah awalnya aku ragu apakah hal ini perlu kuungkapkan atau tidak. Namun, setelah Liana sebelumnya mengungkapkan hal pribadi yang seharusnya tak perlu dikatakan kepadaku, kini aku juga akan melakukan hal serupa. “Sesungguhnya pada malam itu Papi telah gagal menahan diri,” kataku. “Apa maksud Papi,” tanya Liana keheranan. Lalu kuceritakan apa yang terjadi malam itu, menurut VERSIKU… “Jadi, sebenarnya tak benar kalau Papi sungguh-sungguh mampu menahan diri. Pada akhirnya, Papi tak sanggup “menahan diri” dan malam itu Papi dengan SENGAJA telah melakukan hal itu.”

“Oh!” Liana mendengarkannya dengan mata terbelalak dan melongo. “Tapi…tapi… ah, nggak mungkin. Papi pasti bohong! Bagaimana mungkin kok aku nggak sadar akan hal itu?” tanyanya dengan keheranan.

“Keesokan paginya saat pikiran Papi masih belum bangun 100%,” kataku melanjutkan ceritaku,”Kepala Papi rasanya berputar-putar. Ulu hati Papi terasa ditusuk-tusuk teringat kejadian tadi malam. Dalam hati Papi betul-betul menyesal. Seandainya bisa kembali ke masa lalu tentu Papi tak akan melakukannya. Memang penyesalan selalu datang terlambat. Tapi, tunggu dulu… Tiba-tiba Papi sadar bahwa semua ini hanya MIMPI! Tapi bukan mimpi biasa, melainkan mimpi yang rasanya seperti kenyataan. Apa yang terjadi malam itu begitu intens di dalam pikiran. Sehingga, ketika fisik telah tertidur, pikiran Papi masih terfokus ke arah sana sehingga daya imajinasi bekerja secara bebas dan tak terkendali. Sehingga, hal itu terjadi begitu hebat dalam pikiran Papi.”

“Papi baru sadar kalau itu hanya mimpi karena seprei ranjang yang Papi tiduri masih putih bersih tak bernoda!! Kalau kejadian malam kemarin betul-betul terjadi seperti itu, seprei ranjang itu tak mungkin masih putih bersih. Sesaat kemudian setelah pikiran Papi betul-betul sadar, akhirnya Papi juga ngeh kalau semua itu hanya mimpi belaka.”

“Jadi sebenarnya dalam hal ini Papi tidak bisa dikatakan sukses 100%. Karena dalam mimpi Papi waktu itu, Papi kembali diingatkan oleh hati nurani untuk menahan diri namun kali ini Papi tak menghiraukannya,” kataku.

“Ah! Apapun yang terjadi, yang pasti Papi telah memberikan pendidikan seks yang luar biasa bagiku, yaitu dengan cara: menahan diri. Setiap manusia pasti ada kekurangan termasuk Papi. Namun, disaat yang menentukan, Papi sanggup menahan diri dan memilih apa yang terbaik buat orang lain. Ini yang membedakan Papi dengan orang lain dan membuat aku bangga punya Papi,” kata Liana.

“Dan sebenarnya aku sama sekali nggak bisa nyalahin Papi. Karena, terus-terang saja, pada masa-masa itu dalam diriku juga punya keinginan untuk bercinta dengan Papi karena bagiku Papi adalah segalanya. Mungkin Papi juga sadar bahwa ada saat-saat tertentu dimana aku sengaja menggoda Papi. Jadi ya menurutku wajar juga kalau sebaliknya Papi juga punya pikiran serupa terhadapku. Dan kenyataannya, malam itu sebenarnya aku telah pasrah dan sama sekali tak menolak apapun yang akan Papi lakukan. Namun pada akhirnya Papi telah menunjukkan bahwa cinta tidak sama dengan seks.”

Memang sejak peristiwa malam itu, kami sama-sama menyadari bahwa cinta tulus tak melulu berarti harus memiliki dalam arti sempit. Sehingga pada akhirnya kami sama-sama mampu melepaskan diri dari saling keterkaitan dan sikap posesif. Aku membiarkan Liana untuk tumbuh berkembang, termasuk juga memilih calon pasangannya sendiri. Selama ini ia cukup banyak menjalin hubungan asmara dengan berbagai macam cowok dari berbagai latar belakang dan selama itu pula aku tak pernah menentang siapa pun pilihannya. Aku yakin 100%, dari apa yang telah kuberikan kepadanya, ia tak akan memilih cowok sembarangan. Jadi, siapa pun pilihan dirinya tentu adalah yang terbaik baginya dan tidak akan mengecewakan. Namun sungguh tak kusangka bahwa selama ini ia juga menjaga dirinya untuk tetap perawan sampai menikah.

Sebaliknya, ia membiarkanku menentukan definisi kebahagiaanku sendiri, termasuk menikah lagi. Pada akhirnya aku menikah dengan Venny dan mempunyai seorang bayi laki-laki. Kini, sementara aku melepas putri sulungku Liana untuk menikah dan menjalin kehidupan rumah tangganya sendiri, aku bersama Venny mempunyai tugas baru membesarkan anak kami yang masih kecil untuk menjadi manusia yang berbudi dan bermanfaat bagi masyarakat.

Pada akhirnya kini antara Liana dan aku tak ada ganjalan apa-apa. Semuanya telah terbuka dan kami bisa saling menerima apa yang terjadi. Kini aku hanya bisa mengucapkan semua well wishes supaya pernikahannya berlangsung bahagia dan abadi.

“Tapi omong-omong Papi,” kata Liana lagi,”Hihihi.. Sebenarnya aku juga nggak keberatan telah diperawani oleh Papi dalam mimpi Papi itu. Soalnya memang malam itu aku sudah betul-betul pasrah. Jadi, secara psikologis boleh dibilang Papilah orang yang memerawani aku. Tapi, Papi jangan bilang ke Heri ya,” katanya dengan senyum nakal.

“Tentu, biarlah hal ini jadi rahasia kita berdua saja,” kataku mau tak mau ikut tersenyum juga. “Kalo orang lain tahu, pasti mereka bakal prejudice dan nge-judge kita secara tidak fair,” kataku lagi.

Pada akhirnya kami berdua sepakat bahwa kejadian malam itu adalah sebuah win-win solution bagi semua pihak, tak hanya satu tapi dua hal untuk masing-masing pihak. Bagi Liana, 1). Ia mendapatkan sex education yang amat berharga, seperti yang ia akui sendiri dan 2). Ia juga bahagia, karena pada akhirnya keinginan dalam hatinya waktu itu terkabul, meski bukan secara konvensional, yaitu menyerahkan dirinya untuk dinikmati oleh Papinya. Bagi Heri calon suami Liana, tentu bocah itu harus berterima kasih denganku karena 1). Selain mendapatkan calon istri yang cantik rupawan juga 2). Calon istrinya masih original, satu hal yang amat langka di jaman sekarang. Bagiku sendiri, tentu aku bahagia Liana telah menemukan jodohnya yang sepadan dan serasi dengannya . Apapun kebahagiannya adalah kebahagiaanku juga. Namun disamping itu, hehehe, aku dapat merasakan betapa nikmatnya bercinta dan memerawani Liana, putriku yang cantik ini tanpa harus ada penyesalan di kemudian hari.

“Eh, Papi, omong2, ceritain donk dalam mimpi Papi itu aku diapain aja, jangan cuman garis besarnya doang. Aku juga pengin tahu, sedahsyat apa daya imajinasi Papi. Hihiii,” kata Liana sambil tertawa. “Boleh Papi ceritain dengan detail, tapi dengan satu syarat: yaitu kamu juga harus ceritain secara detail kejadian besok malam,” tantangku. “Idiih, Papi jorok ah. Kalo itu mah rahasiaku sama Heri berdua donk,” kata Liana dengan muka memerah.

Akhirnya, pembicaraan kami malam itu pun berakhir dengan Liana memeluk dan menciumku sambil mengatakan kembali,”I love you, Papi. Thank you for everything.”
“I love you too, Liana. Papi doakan semoga kamu bahagia selalu,” kataku sambil memeluknya erat dan mengelus rambut putriku.

=========

Keesokan harinya, acara pernikahan Liana berlangsung dengan tertib dan lancar, sesuai dengan rencana. Sehari setelahnya, saat kami makan malam bersama, kulihat wajah kedua pengantin baru itu begitu ceria dan bahagia. Saat sempat sendirian dengan Liana, kugoda ia dengan menyinggung tentang “peristiwa hebat” yang tentunya telah terjadi malam kemaren. Dan, hehehe, sungguh puas hatiku karena kali ini ia betul-betul tak bisa membalas celetukanku ini. Namun yang membuatku lebih bahagia, dari reaksi dan body languagenya yang kukenal dengan baik, aku tahu bahwa apa yang terjadi malam kemaren berlangsung dengan begitu spektakuler bagi dirinya.

Acara makan malam bersama itu disudahi saat hari belum terlalu larut malam. Karena, kuyakin pasangan pengantin baru itu tentu ingin mengulangi apa yang telah mereka lakukan malam sebelumnya. Sementara itu, hehehe, aku pun juga tak mau kalah dengan putriku. Aku punya urusan sendiri yang harus diselesaikan malam ini juga dengan istriku yang cantik dan menggairahkan, Venny!

Pada akhirnya, semuanya bahagia dan puas.
At the end, true love prevails.

TAMAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar