Rabu, 23 Desember 2015

Once Upon A Time In Someplace

Chapter I : Beginning

Namaku Gavindra Aryasatya,biasa dipanggil Gavin.Usia 24 tahun,tinggi/berat 178 cm/68 kg,kulit putih,wajah tampan.Aku bekerja disalah satu departemen milik pemerintah,setelah 4 tahun sekolah dan lulus dari sekolah tinggi negara.Aku berasal dari kota Pekalongan,tapi sa'at ini masih ditugaskan dikantor wilayah Jakarta.

Karena aturan pegawai baru tidak boleh ambil cuti,maka setelah dua tahun resmi jadi pns barulah aku berani mengajukan cuti.Aku bermaksud mengambil cuti selama 10 hari,bila ditambah hari sabtu dan minggu maka total aku bisa istirahat 2 minggu.Rencananya aku mau pulang ke Pekalongan.

Disamping untuk liburan aku juga ingin menghadiri pesta pernikahan kakak sepupuku,yang memang bertepatan waktunya dengan ijin cutiku.Selain itu aku bisa bertemu semua saudara saudara sepupuku karena keluarga besar ibu pasti berkumpul semua diacara pernikahan itu.

Setelah izin dari kantor turun serta mempersiapkan barang yang perlu kubawa dan sedikit oleh oleh untuk orang tua dan keluarga maka dengan mengendarai motor Honda CBR 250R kesayangan hasil dari tabunganku selama dua tahun meluncurlah aku menuju kota kelahiranku yang tercinta 'Pekalongan'.

Selesai sudah acara pernikahan kakak sepupuku yang berlangsung dengan sukses,Dan kemarin dia sudah diboyong suaminya ke kota surabaya yang merupakan kota asal dari mas Erwin,suami Mbak Dita kakak sepupuku.Sebenarnya sedih juga ditinggal jauh dari Mbak Dita,walau sebenarnya sudah enam tahun ini juga aku tinggal jauh di Jakarta.Tapi paling tidak aku masih bisa ketemu kalau Mbak Dita ada di Pekalongan.

Dita Indah Wulandari lengkapnya,usia 33 tahun,tinggi/berat 160 cm/55 kg,kulit sawo matang tapi bersih dan mulus,bibir merah,wajah lumayan,tidak terlalu cantik tapi menarik dan sensual.Dia bekerja disalah satu Bank pemerintah,dia merupakan anak dari kakak ibuku yang paling tua.Mbak Dita lebih dari kakak bagiku,mungkin juga karena aku tak punya kakak kandung.Aku merupaan anak tunggal dari kedua orangtua ku.

Tinggal berapa hari lagi masa cutiku akan berakhir,Dan masa masa ini kumanfaatkan untuk bertemu teman teman lamaku.Sabtu siang yang cukup panas aku pulang dari rumah temanku, Mencoba lewat jalan alternatif selain biar cepat sampai rumah juga untuk sedikit menghindari panas karena banyak pohon ditepi jalan ini jadi cukup teduh sepanjang jalan ini.

Jalan ini tidak terlalu lebar,tapi bisa untuk dua mobil berpapasan.Dikanan kiri jalan adalah sawah.Dulunya jalan itu memang sawah tapi dibuat akses jalan,karena jalan itu tembus ke Terminal Pekalongan.Biasanya jalan ini cukup rame,terutama sa'at pagi jam berangkat sekolah dan kerja.Juga siang dan sore hari jam pulang sekolah dan kerja.Tapi siang ini tampak lenggang.Mungkin karena masa libur sekolah juga,jadi tidak ada anak anak yang lalu lalang pulang sekolah.

Kesunyian jalan itu dipecahkan oleh suara sepeda motor yang melaju kencang kearahku "ngueeenggg ... !"dan ada beberapa orang yang kemudian berteriak "hai jambreeet ! jambreeet !"

Aku langsung paham apa yang terjadi,jalan ini sejak dulu memang terkenal rawan kejahatan.Terutama sa'at malam dan untuk wanita yang jalan sendirian,Aku langsung berusaha menghadang pengendara itu dengan motorku.Pengendara motor itu pun kaget dan berusaha menghindar kesamping tapi akibatnya motornya jadi goyang,jambret yang duduk dibelakang berusaha melompat turun.Tapi malang bagi yang duduk didepan dan" bluuuk !"motor itu pun nyungsep masuk sawah disamping jalan yang penuh lumpur.

Jambret yang melompat turun dari motor tadi berusaha kabur.membawa hasil jambretannya meninggalkan temanya yang jatuh kesawah.Aku segera turun dari motor dan mengejar orang itu.karena orang itu lari dengan terpincang pincang maka dengan mudah aku mengejarnya.

Aku cekal tangan kirinya.tapi dia membalikan badan dan berusaha memukul dengan tangan kanannya,dengan mudah kuhindari pukulannya dengan menunduk.lalu dengan cepat tangan kananku masuk mengedor ulu hatinya.diapun langsung jatuh sambil memegangngi perutnya.

Aku tak mempedulikan kesakitannya.kucari barang yang tadi diseluruh tubuhnya.ternyata berada di tas pinggangnya.ternyata sebuah smartphone seri terbaru.segera kumasukkan kekantong jaketku,kemudian aku berjalan kembali untuk melihat orang yang satunya.ternyata orang itupun masih kesakitan dibawah sana.

Tidak lama datang seorang laki laki setengah baya yang mendekat dengan nafas terengah engah.Kemudian berkata padaku "mas tidak apa apa ?"tanya bapak itu.

"Tidak apa apa pak,bapak orang yang punya hp ini ya?".sambil kuserahkan hp tadi pada bapak itu.

"Oh bukan mas,tapi ini hp milik bos saya.Bos saya ada disana itu mas".
Kata bapak itu sambil menunjuk mobil yang berada kurang lebih 50 meter dari tempatku berdiri.Aku memandang kearah mobil itu,tampak dua orang wanita berdiri disamping nya.

"Terima kasih mas telah menolong kami.Oh ya lupa,nama mas siapa?"tanyanya padaku.
"Panggil saja Gavin'pak"aku memperkenalkan diri.
"Saya Samsuri mas,panggil saja pak Sam".
Sayapun kemudian menjabat tangan bapak itu yang ternyata bernama Samsuri.

"Lalu mau diapakan mereka berdua pak?,mau diselesaikan disini apa mau dibawa kekantor polisi?"tanyaku pada pak Sam.

"Sebentar mas saya tanya bos dulu,soalnya yang jadi korban kan bos".diapun lalu berjalan menuju mobil itu.Tampaknya sang bos adalah wanita yang memakai topi,karena pak Sam menyerahkan hp tadi pada wanita itu.

Pak Sam berbicara pada bosnya sambil menunjuk nunjuk kearah ku.Wanita itu juga melihat kearahku,tapi karena dia memakai topi jadi dari tempatku tidak terlihat jelas wajahnya.setelah itu si bos masuk kedalam mobil.

Tak lama kemudian pak Sam kembali kearahku."Mas kata bos'karena hpnya sudah kembali,jadi bos menganggap sudah tidak ada lagi urusan dengan dua orang itu.jadi dia menyerahkan urusan ini sama mas,karena mas yang telah menangkap penjahat itu".

"Bagaimana menurut pak Sam?"kataku balik bertanya sama pak Sam.

"kalau menurut bapak'beri kesempatan mereka untuk memperbaiki diri.tapi keputusan tetap terserahh mas Gavin".

Aku lalu berkata pada orang yang masih kesakitan kena pukulanku"Kalian bebas kali ini,tapi tolong jangan lagi mengulangi perbuatan ini.Kalau kalian melakukan hal ini lagi,aku masih mengingat wajah kalian.Kalian akan kulaporkan kepihak berwajib".Setelah berkata seperti itu aku tidak mempedulikan lagi mereka.aku pun mengambil sepeda motorku dan pamit pada pak Sam,untuk meninggalkan tempat itu.tapi sebelum kuutarakan maksudku itu.pak Sam berkata padaku.

"Mas Gavin,Bos saya mau bertemu mas.katanya mau mengucapkan terima kasih secara langsung sama mas.itu kalau mas Gavin bersedia dan ada waktu".

"Tak usah pakai mas pak,cukup panggil Gavin saja.tidak perlu berterima kasih pak Sam,kebetulan saja saya lewat tempat ini pak".

"Iya mas,tapi tetap aja kalau mas Gavin tidak muncul,belum tentu hp itu bisa kembali.Lagi pula bapak jamin.mas Gavin tidak akan menyesal ketemu bos saya".

"Ma'af pak,bapak salah kalau menyangka saya menolong orang untuk mendapat imbalan".

"Ma'af mas,bukan maksud saya menyinggung mas Gavin.lagipula bukan hal itu yang bapak maksud.saya percaya mas Ikhlas menolong kami.tolonglah mas,sebentar juga tidak apa apa.soalnya hp itu sangat berharga buat bos saya.jadi dia benar benar mau berterima kasih sama mas".

Karena tak enak hati kepada pak samsuri yang telah memohon dengan sopan padaku dan sedikit rasa penasaran seorang lelaki terhadap wanita,maka akupun mengikuti pak Sam untuk bertemu bosnya.

"Pak Sam,bosnya kan orang kaya.tampaknya kalau cuma kehilangan satu hp saya rasa tidak masalah".

"Iya mas,kalau untuk beli hp lagi yang sama.bos tidak masalah.tapi hp ini lain dari yang lain,benar benar spesial buat bos".

"Kalau itu hp spesial buatnya,berarti aku orang spesial donk pak.karena berhasil menyelamatkan hp itu".kataku sambil tersenyum.

"Mungkin,tapi bapak jamin mas tidak akan menyesal kenal sama bos".

"Memangnya dia siapa pak?Pejabat tinggi atau selebritis ya".

Pak Sam tidak menjawab hanya tersenyum saja.Sebelum kami sampai dimobil Nissan Serena berwarna putih berlian itu.Seseorang menggeser pintunya kemudian keluar dari dalam mobil.

Aku melihat orang itu,tampaknya bukan bos nya pak Sam melainkan seorang wanita berusia sekitar 38 tahun,tinggi 150an,kulit putih,agak gemuk,wajahnya biasa saja.Dia mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri"saya Linda mas,asistennya Bunda"katanya."Gavin"aku pun menjawab.

"Bisa tunggu sebentar mas,Bunda sedang menerima telepon".

Aku tidak menjawab,hanya menganggukan kepala tanda setuju.Mbak Linda kemudian mengeluarkan hp dan menelepon seseorang.Sekilas aku melihat kedalam mobil yang pintunya tidak tertutup.Seorang wanita sedang berbicara ditelepon,karena duduk menyamping dari tempatku berdiri,aku belum bisa melihat jelas wajahnya.Hanya tampak bajunya yang berwarna putih.

"Pak sam dari Jakarta ya,kok bisa sampai disini dan bosnya kena jambret?".

"Iya mas dari Jakarta,kalau soal sampai terjadi hal ini ya panjang ceritanya mas".

"Aslinya darimana pak?Sudah lama ikut bos?".

"Siapa mas,bos atau saya?kalau saya dari Batu,Malang.Sudah lebih dari sepuluh tahun ikut bos.mas sendiri asli dari Pekalongan atau Jakarta?".

"Kalau saya lahir dan besar di Pekalongan pak,tapi sa'at ini bekerja di Jakarta".

"Bekerja apa mas,artis atau model ya mas?"

"Gak lah pak,kok pak SAm menduga seperti itu?memang pak Sam pernah lihat saya di TV atau majalah".

"Kayanya sih ga pernah mas,tapi mas Gavin kan ganteng dan lumayan tinggi tubuhnya,pantes kalau jadi pemain sinetron atau foto model".

"Pak Sam bisa aja,tapi makasih atas pujiannya.saya tidak bekerja didunia entertaint kok pak,tapi kantor pemerintah".

"Bapak kira tadi mas Gavin masih kuliah,eh ternyata malah sudah punya pekerjaan tetap dan masa depan yang cerah.kalau saja bapak punya anak perempuan".

"Memang kenapa pak kalau punya anak perempuan?"

"Mas Gavin pasti kujadikan menantu,hahahaaa ...."

"Hehehee,pak Sam bisa aja".memang anak pak Sam berapa?"

"An .."

Sebelum pak Sam menjawab pertanyaanku.seseorang turun dari mobil.aku dan pak Sam segera menoleh,pak Sam pun segera mengenalkan bosnya."Mas ini bos saya,mungkin mas sudah tahu nama bos saya?"

Sayapun memandang wanita itu,Dan ...




Chapter II : To Be A Friend

Dulu,waktu aku masih sltp dan slta aku pernah suka sekali dengan sebuah grup band.aku pernah rela tidak jajan satu minggu untuk beli album kaset band ini.frontman grup band ini punya seorang mantan istri.Yang menurutku adalah wanita yang sempurna.Dan ...

Kini dihadapanku berdiri wanita itu.seorang wanita yang cantik jelita,berkulit putih,tinggi sekitar 160 cm,tubuhnya tetap langsing walau sudah melahirkan 3 anak,rambutnya yang diwarnai merah menambah pesona kecantikan wanita kelahiran Surabaya 36 tahun yang lalu.

Aku masih terus menatap wanita itu,seolah terhinotis oleh nya.tanpa sadar bahwa wanita itu telah mengulurkan tangannya.aku baru tersadar ketika pak Sam menyentuh pundakku.aku segera menyambut uluran tangannya.dan menyebut namaku"Gavin".

Diapun menyebut namanya"Maia",walau tanpa dia menyebut namanya orang akan tahu siapa dia.Maia Estianty.dialah wanita yang kini ada didepanku.

"Pak bisa tinggalkan kami sebentar?".tanpa menjawab hanya dengan menganggukkan kepala,pak Sam agak menjauh dari kami.

"Mas Gavin,terima kasih telah menyelamatkan hp saya ya,saya senang sekali karena ini h spesial mas".

"Eh,Mbak Maia tidak perlu berterima kasih,hanya kebetulan saya lewat kok".

"Ya pokoknya terima kasih atas bantuan mas Gavin,mungkin ada yang bisa saya lakukan untuk membalas budi mas Gavin".

"Tidak ada mbak,aku sudah senang kok bisa kenal dan membantu mbak Maia.kalau bisa panggil Gavin aja mbak gak perlu pakai mas,biar lebih enak".

"Ok deh,bener nih ga ada sesuatu yang perlu mbak lakukan buatmu Vin?"

"Benar kok mbak".

"Gini aja deh Vin,mbak harus segera latihan buat tampil nanti malam.jadi mbak minta pin BB kamu aja,mungkin kapan kapan kita bisa sambung obrolan kita".

"Ma'af mbak aku ga punya BB.gimana kalau nomer hp?"

"Nomer hp juga tak apa apa".kata mbak Maia sambil tersenyum.mungkin dalam pikirannya mbak Maia berkata"hari gini ga punya BB !!!"

AKu pun segera menyebutkan nomer hp ku"********5555".

Kemudian dia miscall ke hp ku."itu nomer hp mbak,simpan ya".

Kemudian dia memanggil mbak Linda."lin masih ada free ticket ga?"tanyanya.

"Wah ga ada Bun'.tadi pagi bunda bilang ga perlu,jadi diambil semua sama mbak
Mei"

"oh,kalau masih ada sebenarnya mau saya kasih ke Gavin".

"Begini aja bund.kalau mas Gavin mau datang ke show nanti malam biar saya jemput di Sam yang menunggu diluar.empat parkir.nanti saya yang bawa dia masuk.jadi tak perlu tiket".Kata pak Sam memberi ide.

"Begitu juga boleh.Datang ya Vin,ajak juga cewek kamu.tempatnya di DP Caffe,kamu tahukan?".

"Ya tahu mbak,saya pasti usahakan untuk datang".

"Ya sudah,mbak pergi dulu ya Vin.jangan lupa nanti malam jam 8".

"Ok mbak".

Setelah itu pak Sam dan mbak Linda pun pamit padaku.kemudian meluncurlah mobil Nissan Serena itu ke arah selatan.Aku pun segera mengambil sepeda motorku dan pergi dari tempat itu ke arah utara.Sementara dua orang jambret itu entah kemana perginya.

Jam 7 malam aku berangkat ke DP caffe tempat acara pertunjukan mengendarai sepeda motor kesayanganku.Caffe tersebut berada disebuah komplek Mall dan Hotel.Sebelum masuk tempat parkir seseorang memanggil.Ternyata pak Sam telah menungguku di pintu parkir sesuai janjinya tadi siang.

Sesudah memarkir sepeda motorku,pak Sam membawaku ke tempat acara.Tapi tidak lewat pintu depan,melainkan pintu belakang.

"Bapak kira kamu tidak datang Vin?,tadi bunda juga tanya,kamu sudah datang belum".

"Bingung mau datang apa tidak pak'soalnya gak ada teman".

"Lha kok gak sama cewek atau temanmu?atau cewek kamu di Jakarta ya?".

"Tidak pak,aku belum punya cewek kok.kalau teman,ya sibuk sama pacarnya masing masing".

Aku dibawa kesebuah ruangan.kulihat mbak Linda di sedang berbincang dengan seorang wanita didepan pintu ruangan itu.aku mengangukan kepala kepada mbak linda dan wanita itu.kemudian tanpa berkata hanya dengan isyarat mbak Linda mempersilakan aku masuk keruangan itu.

Setelah mengetuk pintu akupun segera masuk kedalam ruangan itu sendiri,tanpa pak Sam yang kembali kedepan.Didalam terdapat empat orang,mbak Maia,Mey Chan,seorang wanita dan yang tampaknya make up artis dan asistennya seorang lelaki yang tampak melambai.

"Malam mbak".kataku memberi salam.

"Malam juga Vin,datang juga kamu.sama siapa?"

"Sendiri kok mbak".

"Ceweknya ga diajak?.Oh ya Mey'ini Gavin yang tadi kuceritakan sama kamu".kata mbak Maia pada orang disampingnya.

"Halo Vin,met kenal ya".kata Mey Chan.

"Met kenal juga mbak".jawabku.

"Ganteng,tinggi,putih,tegap.persis yang bunda ceritain.tipe idaman wanita banget nih".
Kata mbak Mey Chan sambil mengitari tubuhku seakan menaksir harga suatu barang.

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan mbak Mey Chan.ketika aku memandang mbak Maia,dia hanya tersenyum dan tampak merona wajahnya.

"Sudah punya cewek belum Vin?Kalau belum mau donk daftar"kata mbak Mey Chan.

"Eikh mau daftar juga dong bok"kata si asisten make up,dengan gaya melambainya.

Aku hanya bisa tersenyum mendengar kata - kata itu.sambil menunggu mataku terus memandangi mbak Maia menikmati kecantikannya,kadang aku berfikir dalam hati'kok bisa ya seorang lelaki meninggalkan wanita secantik dia.kadang kalau aku tertangkap sedang memandanginya aku jadi malu sendiri.kadang juga kami saling bertatapan.

"Bun lima menit lagi"kata mbak Linda membuyarkan lamunanku.

Tampak Mbak Maia sudah siap tampil diatas panggung.dengan baju dan celana ketat yang penuh warna menambah keseksiannya.dia memandang kearahku seakan minta pendapat tentang kostumnya,aku pun tersenyum dan mengacungkan jempolku untuk kostumnya.

Pukul 8 malam show Duo Maia pun dimulai.Dibuka dengan lagu dari album Maia and friends,Emang Gue Pikirin (EGP).Kemudian nyaris tanpa jeda mereka membawakan semua lagu lagu hits secara sempurna.Sa'at mereka membawakan lagu Ada Kamu,Ingat Kamu,Didadaku Ada Kamu.Aku merasa mbak Maia sering memandang kearahku,seakan akan kata kata'Kamu'itu di tujukan padaku.

Setengah sepuluh lebih show Duo Maia pun berakhir dengan lagu terakhir Sang Juara,setelah itu sebagaian penonton membubarkan diri.aku pun bermaksud pamit pada mbak Maia dan lainnya.Tapi ternyata mereka ada pertemuan dengan manajemen tempat itu.Aku kemudian mencari pak Sam untuk pamit dan minta nanti dia mengatakan pada mbak Maia bahwa aku sudah pulang.

Sa'at hendak menstater sepeda motor setelah pamit pada Pak Sam tiba tiba hp ku berbunyi.sebuah sms dari mbak Maia,kubaca sms itu.hanya tiga kata"jangan pulang dulu".

Aku ragu,mau pulang kok ngak enak.kalau mau menunggu juga ngak tahu maksudnya lagian juga mau nunggu dimana.aku putuskan untuk menunggu diwarung dekat hotel.sambil menunggu aku telepon ayahku.memberitahukan bahwa aku pulang terlambat.kasihan ayah kalau harus menunggu aku pulang.

Untung disitu adalah kawasan 24 jam.maklum depan terminal,jadi hampir jam 11 malam tetap rame.mungkin dikira juga aku ingin menjemput seseorang dari terminal.Sa'at kesabaranku mau habis dan ingin meninggalkan tempat itu hp ku berbunyi.sebuah panggilan,langsung kujawab sa'at kulihat dilayar nama pemanggil mbak Maia.

"Kamu dimana Vin?"

"Warung dekat pintu masuk komplek mall mbak".

"Kamu tunggu sebentar lagi ya,lima menit lagi aku sampai situ".

Belum sempat aku menjawab,telepon itu sudah ditutup.Setelah membayar minuman yang kuminum aku pun keluar.aku menunggu di samping motor,takut mbak Maia tidak melihatku.Tidak lama seorang wanita datang mendekat.ternyata benar mbak Maia.

Dia memakai celana jeans ketat warna gelap dan dengan atasan warna putih dilapis jaket model jumper yang menutup kepalanya,orang yang melihat sekilas tak akan tahu bahwa dia seorang artis.setelah dekat dia langsung berbisik"jangan disini kita jalan dulu".tanpa memberi penjelasan dia kemudian naik keatas sepeda motor.

Terpaksa akupun menjalankan sepeda motorku,kuarahkan ke arah pusat kota.setelah cukup lama saling terdiam akupun membuka pembicaraan."kemana mbak?".

"Kemana aja,yang enak buat nongkrong.tapi jangan yang terlalu rame".

"Kemana ya mbak,aku juga sudah lama ngak nongkrong sama teman teman mbak.soalnya kalau pulang kesini aku jarang keluar,paling teman teman yang main kerumah".

"Ya terserah kamulah kemana".

"Ada sih mbak tempat aku nongkrong dulu.tapi warungnya kecil pinggir jalan dan duduknya pun diatas tikar bukan kursi.lesehan istilahnya mbak.gimana?aku takutnya nanti mbak Mai gak mau."

"Ya sudah,ketempat yang kamu bilang tadi juga ga pa pa".

Akupun segera membawa motorku ketempat itu yang terletak dikawasan Alun alun kota Pekalongan.ini adalah warung kopi,tapi khas Pekalongan namanya Kopi Tahlil,seperti kopi biasa tapi dicampur rempah rempah dan jahe.jadi hangat dan nyaman dibadan apalagi diwaktu malam.dan cemilannya adalah ketan dikasih parutan kelapa dan di atasnya di kasih saus gula merah.KINCO orang pekalongan menamai saus gula merah itu.

Setelah memesan dua kopi kami mencari tempat duduk,tak lama kopi pesanan kami datang.sa'at menaruh kopi diatas meja,pak Man pemilik warung yang sudah mengenalku berbicara sejenak untuk menyapa pelanggannya.

"suwi ra ketok ke Vin,bali kapan?"(lama tidak kelihatan Vin,pulang kapan?)

"iyo pak,bali dek minggu wingi"(iya pak,pulang dari minggu kemarin)

"Ceweknya Gavin ya mbak,Gavin kalau kesini soalnya gak pernah sama cewek"kata pak Man kepada mbak Maia.mbak Maia memandangku sambil tersenyum mendengar perkataan itu."Cantik Vin,cocok sama kamu yang ganteng".kemudian pak Man mempersilahkan kami untuk menikmati pesanan kami sambil berjalan pergi.

"Beginilah tempat nongkrongku sejak dulu mbak,maklum ayah hanya pegawai kecil jadi uang saku ya tidak bayak,lagipula ayah mengajar tidak boleh boros.jadi nongkrongnya diwarung sederhana tidak di caffe caffe yang elit".

"Boleh mbak tahu tentang dirimu dari dulu sampai sekarang?"tanya mbak Maia.

Setelah diam sejenak akupun lalu bercerita tentang diriku mulai dari masa kecil,sd,sltp,slta sampai masa sekarang.mendengar ceritaku,Mbak Maia kadang tersenyum kadang sedih dan bermacam reaksi yang tak kumengerti maksudnya.setelah selesai ceritaku dia pun berkometar.

"Mbak kagum sama kamu Vin"

"Dalam hal apa dan mengapa mbak?"

"Semuanya,dan pertanyaanmu adalah salah satu jawabannya"

"Saya sebagian mungkin tahu mbak,tapi kurang jelas"

"Baiklah mbak jelaskan dalam hal apa kekaguman mbak,kamu nyaris punya segalanya.Wajah tampan,otak pintar,dan hati kamu jujur dan baik".

"Mengapa mbak bisa mengambil kesimpulan seperti itu?"

"soal wajah semua orang tahu kamu tampan,kalau kamu tidak pintar tidak mungkin kamu tiga tahun sekolah ditempat itu,kamu itu sabar dan sayang orangtua,orang seperti itu biasanya baik hatinya,kamu juga kritis,tidak menerima perkataan dan sanjungan orang lain secara mentah mentah".

"Aku bisa menerima alasan mbak,tapi aku tidak bisa mengatakan itu betul apa tidak.karena hanya orang lain yang bisa menilai diriku.boleh aku yang gantian tanya mbak?"

"Ya silakan aja,mbak akan jawab sesuai yang mbak mampu".

"Mengapa tadi siang mbak sampai bisa kena jambret,terus tentang hp itu dan kenapa mbak begitu percaya padaku.sehingga bisa ikut ketempat ini,apa tidak takut kalau nanti terjadi sesuatu dengan mbak?"

"Kalau tadi siang sepele saja.mbak ingin ke museum Batik,tapi ketika sampai tempat kejadian itu mbak ada telepon penting.karena didalam mobil kurang jelas mbak minta berhenti dan turun sebentar dari mobil.dan ketika sudah selesai dan aku mau masuk mobil muncullah dua orang itu.kejadian selanjutnya ya kamu sendiri sudah tahu".

"Tapi benarkah hp itu betul betul istimewa buat mbak".

"Ya istimewa,karena ini hp hadiah ulang tahun dari ketiga anakku.kalau mereka tahu hp ini hilang bukankah mereka akan kecewa dan menganggapku tidak bisa menjaga pemberian mereka.hanya mereka yang tidak ingin kubuat kecewa dalam hidup ini"

"Kalau itu alasannya aku bisa faham mengapa hp itu begitu istimewa,yang ketiga gimana mbak?"

"Sa'at pertama bertemu aku sudah percaya padamu,biasanya laki laki yang memandangku seperti memendam nafsu.tapi pandanganmu tidak seperti itu,pandanganmu seperti memandang barang yang sangat berharga yang akan kamu pertahankan dengan taruhan nyawamu,pandangan itu bagiku menentramkan hati.dan aku pernah mendapatkan pandangan yang sama seperti itu dulu.tapi itu masa lalu.mbak juga tidak takut orang akan berbuat jahat,mbak yakin kamu akan melindungi mbak dengan ilmu bela dirimu bila terjadi sesuatu.kalau kamu yang akan berbuat jahat sih mbak rela menerimanya.tapi mbak yakin 100% kamu tidak akan melakukan itu".

Setelah selesai perkataan dari mbak Maia itu kami pun terdiam cukup lama.aku tidak tahu harus berkometar apa tentang semua perkataan mbak Maia tentang kepercayaannya padaku.kami pun kadang saling berpandangan cukup lama,yang membuat kami sama sama tersipu malu.

"Sebenarnya aku masih merasa mimpi,bisa sedekat ini dengan mbak.tapi biar hal ini mimpi atau nyata.cuma sebentar atau lama aku bisa menjadi teman mbak.aku sudah bahagia"

"Kenapa kamu berkata seperti itu Vin?apa kamu tidak mau berteman terus dengan mbak?atau karena mbak sudah tua,janda lagi".

"Bukan seperti itu mbak.mbak masih cantik,hanya laki laki tidak normal yang tidak suka dengan mbak.tapi alu harus tahu diri mbak.saya ini bukan seleb atau pengusaha yang bisa selau dekat dengan seorang seleb.aku cuma pegawai negeri mbak,yang untuk beli sepeda motor saja harus menabung mbak".

Mbak Maia memegang tanganku kemudian berkata"Jangan begitu Vin,orang memang butuh harta.tapi harta juga tidak menjamin kebahagiaan.mbak sudah pernah mengalaminya.lagian mbak bukan orang seperti itu.bila orang baik padaku aku akan lebih baik padanya"

"Baik mbak aku menurut kata mbak"kataku sambil memegang tangannya juga.

"Biarlah yang nanti terjadi biar terjadi,kita nikmati saja sa'at ini"kata mbak Maia dengan pandangan mata yang mempesona.tangannya lalu kugenggam,aku menunggu reaksinya.sa'at merasa dia tidak keberatan maka tangannya kucium dengan penuh kelembutan.


Chapter III : Kiss Me Baby

Sa'at kucim tangannya tampak dia memejankan mata dengan mulut sedikit terbuka.ingin kucium bibirnya yang menggoda itu.tapi keadaan jelas tidak memungkinkan.aku berpikir"wanita ini benar benar perlu dikasihani,bukan dalam hal materi.tapi butuh kasih sayang dan perhatian serta teman berbagi untuk meringankan beban persoalan yang tidak bisa ditanggung oleh seorang wanita".

"mbak bolehkah aku memanggil bunda kepada mbak?karena panggilan bunda terasa lebih dekat dihati daripada panggilan mbak".

"Boleh Vin,terserah kamu mau manggil apa".

Hawa terasa semakin dingin,angin berhembus dengan cukup kencang.sepertinya akan turun hujan,tampak tetes tetes air mulai berjatuhan.Kulihat jam ditangan sudah hampir menunjukan pukul 1 malam,tinggal kami berdua pengunjung warung kopi itu.akupun mengajak bunda Maia untuk meninggalkan tempat itu.

"Bund'mari kuantar kembali ke hotel.tampaknya mau turun hujan".

Setelah membayar kami segera meninggalkan tempat itu untuk kembali ke hotel.Sa'at diatas sepeda motor bunda Maia membuat hatiku berdebar debar.berbeda tadi waktu berangkat,kali ini duduknya lebih dekat.dapat kurasakan panas tubuhnya menjalariku.tangannya memeluk pinggangku dengan erat,payudaranya menempel ketat dipunggungku.dengan baju dan jaketnya yang kainnya tidak tebal kurasakan kekenyalan payudaranya.

Ketika perjalanan menuju hotel belum sampai setengahnya hujan turun dengan derasnya.karena tidak ada tempat berteduh disekitar tempat itu maka dengan cepat tubuh kami basah kuyup.hujan semakin deras,aku merasa kasihan dengan bunda Maia yang tidak memakai helm.maka ketika ada emperan toko aku memutuskan untuk berteduh ditempat itu.

Ternyata sudah ada orang lain yang juga berteduh ditempat itu.karena tempat itu agak gelap setelah kuperhatikan agak lama barulah kusadari ada tiga orang lagi selain orang yang pertama kulihat tadi.aku mencopot jaketku yang hanya basah dibagian luar.bunda Maia pun melepas jaketnya yang basah.akupun membantunya memeras jaket itu kemudian kutaruh diatas sepeda motor.Tiba-tiba kulihat mereka berempat saling berbisik dan melihat kearah kami.kucoba ikuti arah pandangan mereka,ternyata mereka memperhatikan Bunda Maia.

Sa'at itu baru kusadari ternyata bajunya yang putih tipis mencetak jelas tubuh indahnya karena terkena air hujan,bra dibalik bajunya juga terlihat jelas.ternyata mereka memperhatikan itu.aku menyadari suatu masalah besar bisa terjadi pada bunda Maia.akupun menjadi waspada bersiap menghadapi apa yang akan terjadi,walau aku berusaha tetap tenang.Mau pergi dari tempat itu juga percuma,karena tampaknya bunda mulai kedinginan.kasihan kalu dipaksakan untuk kena air hujan lagi.

"Bund pakai ini,biar tidak terlalu dingin"Aku memberikan jaketku padanya.kukatakan masalah yang mungkin terjadi dengan empat orang itu.tapi kuyakinkan dia untuk tetap tenang dan percaya padaku.empat orang itu mulai bertindak,mereka berjalan kearah kami.aku menyuruh bunda Maia mundur menjauh,lalu aku menyongsong mereka sebelum dekat ke bunda Maia.

"Malam boss,dapat barang bagus nih.boleh dong bagi-bagi sama kita".kata salah satu dari mereka sambil menepuk-nepuk pundakku.tercium bau alkohal dari mulutnya,tampaknya mereka baru saja pesta minuman keras.
"iya boss bagilah ceweknya,benar-benar cakep ceweknya.kaya artis"timpal yang lain.
"kalau boss tidak mau'yah buat kita kita saja,ya gak bro".kata yang lainnya dan disambut oleh tawa yang tiga orang lainnya
"hahahaa...hahahaa...hahahaa..."

Aku masih berusaha sabar,walau dalam hatiku sudah marah sekali."Ma'af bang bro,bila kami mengganggu kenyamanan bang bro sekalian.tapi dia istriku.bukan barang mainan ,jadi tidak bisa dibagi-bagi"kataku menunjuk bunda Maia yang ada dibelakangku.

"hahahaaa...hahahaaa...."mereka hanya tertawa,seakan tidak mempedulikan omonganku.sebenarnya aku juga tahu,percuma ngomong sama orang yang mabuk.dua orang mencoba mendekat kearah bunda Maia,dua orang tetap disampingku untuk menghalangi langkahku.

"Berhentiii...!'atau kalian akan menyesal seumur hidup bila berani menyentuhnya".kataku memperingatkan mereka.mereka berdua berhenti dan tampak ragu sejenak.tapi seorang yang ada disamping kananku yang tampangnya paling sangar dan paling kekar'.menghardik mereka berdua.

"pengecut kalian,cepat tangkap wanita itu.yang ini menjadi urusanku"katanya menunjuk kearahku.dia tampaknya sang bos,karena semua menuruti perkataannya.

Melihat mereka benar-benar nekat maka akupun segera berkata"terakhir kali kuperingatkan kalian,kalian pergi dari sini dengan baik-baik atau kupaksa pergi seperti An*ing kurapan.aku hitung sampai tiga,bila masih disini ..."

"sudah cepat laksanakan"belum sempat aku menyelesaikan ucapanku sang pimpinan mereka memotong ucapanku.

Tampaknya mereka sudah terbiasa melakukan tindakan yang tidak terpuji.tapi kali ini mereka benar-benar salah memilih korban,dan mereka harus menanggung akibatnya.mereka tidak tahu aku sudah di kelas "NIDAN"(pemegang sabuk hitam DAN II dalam tingkatan Karate) di INKAI.

Dengan hentakan kaki kuat aku bergerak kesamping kiri,belum sempat menyadari apa yang terjadi sikut kiriku menghantam orang yang berdiri disamping kiriku dengan telak.karena tinggi orang itu hanya sampai pundakku maka sikutku masuk menghantam lehernya dan orang itu langsung ambruk ketanah"bruuk".sepersekian detik kemudian aku berbalik kearah si orang kekar.dia berusaha mundur,dan aku mengejarnya.aku berhasil menangkap kerah bajunya.kutarik dia kearahku dan dia pun terhuyung kedepan.dan dengan cepat pula lutut kakiku menghajar perutnya.diapun langsungtersungkur ketanah menyusul temannya.

Melihat kedua temannya terjatuh,dua orang yang mendekati bunda Maia pun berhenti.Aku segera berkata kepada mereka"Kalau kalian maju lagi nasib kalian akan sama seperti dua orang itu.tapi bila kalian tidak mau bernasib seperti mereka!cepat pergi!!dan bawa mereka dari sini".tanpa berpikir dua kali mereka langsung pergi dari tempat itu,sambil menuntun dua temannya.tanpa mempedulikan hujan yang masih turun dengan deras.

Setelah mereka pergi aku menghampiri bunda Maia dan berkata"Ma'af bund bila membuat bunda ketakutan,tapi semuanya sudah ok".tampaknya dia masih gemetar dan agak syok,dia masih diam dan kemudian memeluk diriku.akupun membalas memeluknya dan mengelus rambutnya yang masih basah.setelah agak tenang barulah kulepaskan pelukanku.diapun sudah bisa tersenyum lagi.

"Bunda benar-benar kagum denganmu Vin.aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila tidak ada kamu".

"SUdahlah bund,kejadian ini terjadi juga karena aku membawa bunda ketempat ini.jadi aku memang harus bertanggung jawab atas keselamatan bunda.Bund tampaknya bunda kedinginan karena memakai baju basah,nanti bisa masuk angin.lebih baik lepas bajunya dan sementara pakai jaket saja.

"ok'beib"jawab bunda Maia sambil mengedipkan matanya.

Aku membalikan badan dan melihat kesekitar siapa tahu ada orang yang lewat atau mungkin saja orang-orang tadi kembali.sa'at aku membalikan badan lagi bunda Maia sudah memakai kembali jaketku.tapi sa'at aku melihat tangannya ternyata selain memegang bajunya yang basah ditangan satunya dia memegang 'Bra' yang tadi dia pakai."jadi dia tidak pakai bra"pikirku.

"Bund,jadi sekarang itu ya?"kataku sambil menunjuk bra nya yang sekarang ditaruh di atas motor.

"Itu apa.kamu mau bilang sekarang bunda tidak pakai bra ya!,gitu aja kok malu.Branya juga bikin dingin kalau dipakai karena basah,jadi sekalian kulepas.terus kenapa kalau tidak pakai bra?kan masih ada jaket yang menutupinya.kamu pengen lihat isinya ya"katanya menggodaku.

Aku hanya bisa senyum mendengar gurauannya.ternyata hujan tidak kunjung reda,bahkan lebih deras.udara terasa bertambah dingin lagi.tanpa kami sadari.bunda Maia sudah berdiri didepanku,dan aku memeluknya dengan erat dari belakang.

Nafsuku mulai bangkit,kehembuskan nafasku di tengkuknya,kemudian aku mulai menciuminya.terus menuju telinganya,kedua telinganya kucium.kadang kugigit kecil,"sss..."dia mulai mendesah dan menggeliat kegelian.merasa ada respon balik aku meneruskan ciumanku kearah lehernya.kubalikan badannya kearahku,kuselusuri seluruh lehernya dengan bibirku."ssshhh..."desahannya semakin keras terdengar.

Mata bunda masih terpejam dan ia bernapas sangat pelan,dengan bibir sedikit terbuka.dengan perlahan kudekati bibir indah itu.Rasanya seperti lama sekali ketika bibirku semakin dekat dengan wajahnya, sampai aku merasa menyentuh bibir itu dan kemudian merapat ringan lembut,ciuman pertama kami.

Tiga detik waktu yang terlewatkan untuk ciuman pertama kami.dengan perlahan lahan kulepas bibirku dari bibirnya.sambil mataku masih menikmati bibir ranumnya.dengan perlahan dia membuka matanya dan untuk beberapa sa'at kami terdiam hanya saling memandangi satu sama lain.

Dia menatapku dengan pandangan sayu dan berbisik lirih"Kiss me Baby".Aku menunduk dan kukecup bibirnya,terasa lembut dan hangat menyentuh ketika dua bibir saling bertemu.Kelopak matanya perlahan-lahan akhirnya terpejam.Kepala kami pun bergerak perlahan ke atas dan ke bawah,menyentuh bibir kami masing-masing secara bersama.Kelembutan ciuman itu membuat birahi kami menggelegak,menyebabkan kami berdua mengeluarkan erangan lembut,"uhh hmm".

Dan pada saat yang sama aku menyadari betapa sejak dulu aku menginginkan wanita ini,dam malam ini keinginkanku terwujud.ini seperti mimpi yang menjadi nyata.Dan penisku berdenyut seperti memberontak dicelana ketika kami melanjutkan permainan bibir lebih kencang bersama.Setelah beberapa saat ia berhenti,dan perlahan-lahan memishkan bibir kami.Mata bunda perlahan terbuka dan menatapku.

Aku balas memandang ke arahnya dan menatap bibir berkilaunya."Tuhan,betapa indah bibir itu!"aku menjerit dalam hati,"Aku harus memilikinya!"Aku perlahan maju lagi,menatapnya bereaksi.Rupanya bunda terus menatap bibirku yang semakin dekat dengan
wajahnya.Kemudian,matanya menyipit dan dia sedikit mengangkat dan memiringkan kepalanya menunggu!,bibir kami yang masih terbuka saling menanti dan ketika aku melanjutkan gerakan ke arahnya,dia bergerak maju untuk melekatkan bibirku dengan bibirnya dalam kehangatan ciuman.

Kupeluk erat pinggangnya dan dia membalas merangkul leherku.Kumasukan tangan kananku kedalam jaketku yang dipakainya dari bagian bawah.kuelus punggungnya,hangat dan lembut serasa bagai sutra ditelapak tanganku.Naik turun kujelajahi seluruh bagian belakang tubuhnya,"uhh hmm ... ssshhh"dia mulai mendesah lagi.kulepaskan ciuman dibibir secara perlahan dan kuarahkan ciumanku keleher jenjangnya.kubalikan badannya secara pelan dengan bibir masih menyusuri lehernya,kemudian kuarahkan tanganku kebagian depan tubuhnya.kuselusuri perut datarnya dengan lembut,kunikmati kehalusan kulitnya.dan perlahan-lahan tanganku pun naik keatas kebagian payudaranya.

"Ooohh Vin"!!Bunda Maia mengerang,sa'at kusentuh bagian bawah payudaranya dan perlahan-lahan bergeser ke atas,membelai satu-persatu buah dada itu,hingga jari-jariku sampai ke putingnya.Ku pilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian.Bunda Maia semakin mengerang "eeehhmmm"!! dan semakin mendorong payudaranya ke tanganku,
masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah berusaha memuaskan rasa geli yang tertahan selama ini.

Kulepaskan ciumanku dilehernya mencoba mengambil nafas sejenak.kuhentikan juga tanganku yang memilin putingnya.kami sama-sama terdiam,hanya terdengar deru nafas kami yang terengah-engah.kemudian kukeluarkan tanganku dari balik jaket yang dipakainya.Nafsu ternyata menghilangkan kesadaran kami.Sa'at itu baru kusadari ternyata hujan sudah tidak sederas tadi,hanya gerimis kecil.

Setelah kami tersadar dari nafsu yang menggelora,nafas kami berlahan normal kembali."Bund hujannya sudah reda,bagaimana?"dia tidak menjawab,pipinya merona.mungkin merasa jengah dan baru menyadari apa yang telah terjadi.ku ulangi lagi pertanyaanku padanya"Bund hujannya sudah reda,bagaimana?"

"Apa,Oh ya"jawabnya seperti bingung.tanpa berkata-kata lagi dia memngabil kaos,bra dan jaketnya.kemudian menggulungnya jadi satu.untuk dimasukkan kedalam tas tampaknya tidak muat.setelah semuanya selesai.aku menstater sepeda motorku kemudian meninggalkan tempat itu.tempat yang menjadi salah satu kenanganku.

Sepanjang perjalanan menuju hotel kami sama-sama terdiam.dia melingkarkan tangannya kepinggangku dan kepalanya menyandar kepunggungku.karena diam dan membelakanginya aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya.apa dia marah dan menyesal atas kejadian tadi,atau sekedar malu.

Tidak sampai lima belas menit kami sampai dihotel.sa'at turun dari motor dia menatapku dan seperti memohon.aku seperti tahu maksudnya dan mengikutinya smasuk hotel.begitu juga sa"at dia sudah membuka pintu kamarnya,sebenarnya aku ingin pamit untuk pulang.tapi lidah terasa kelu,dan tatapan mata itu datang lagi.tak kuasa kubendung hasrat itu,dan akupun mengikutinya masuk kedalam kamar hotelnya,diapun menutup dan mengunci pintu itu.

Kemudian dia memutar tubuhnya sehingga kini kami saling berhadapan.Kami berhadapan sejenak,lalu dia tersenyum dan nafsu itu kembali datang ketika melihat bibir itu.kembali bibir kami kembali berdekatan dan seperti tak kuasa menahan gairah ini kukecup bibir itu dengan penuh kelembutan."aahh.."dia mendesah kecil ketika tanganku turun ke pantatnya,kemudian kuremas lalu kutarik tubuhnya merapat ke tubuhku.

Dan kemudian masing-masing bibir kami menyentuh lembut dalam ciuman bergelora,ciuman penuh birahi!!Kami bertahan sesaat,merasakan ciuman yang menghalangi kami untuk bernafas dan bergerak!Lalu perlahan kami mulai menggoyangkan kepala,melumat bibir bersama-sama.aku bisa merasakan payudaranya yang lumayan besar melekat di dadaku.Aku pindahkan tanganku ke depan jaket yang masih dipakainya.

Chapter IV : Push Me Baby

Ketika kami melanjutkan ciuman,kepala kami bergerak-gerak dalam irama yang lambat penuh nafsu,aku merasa pelukan melingkar bunda Maia perlahan-lahan mendaki dada dan bahuku sampai terbungkus erat di leherku.Tubuh kami saling menekan.Payudaranya semakin merapat ke dadaku,sementara selangkangan kami bersama-sama menekan.Saat panas ciuman kami mulai naik,"uhmmpp.."Bunda Maia mengeluarkan jeritan tertahan dan bibir kami membuka satu sama lain dalam gelora nafsu yang membara.

Mulut kami kian erat.Tanganku naik turun di punggungnya,menyentuh semua sisi tubuh yang belum pernah kubayangkan.Tanpa melepas ciuman,dengan perlahan kubuka jaket itu.aku menarik tangannya ke bawah dan menarik jaket itu dari bahunya dan membiarkannya jatuh ke lantai.Dia segera memeluk kembali leherku saat aku rapatkan tubuhnya kembali.Aku bisa merasakan putingnya mengeras menusuk kedadaku.

Kami kembali dengan permainan lidah kami.Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya kukorek-korek lidahnya agar keluar.dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi.Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku,kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya didalam mulutku."uhmmpp.."dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.

Kuarahkan kembali tanganku kearah pinggulnya kuremas pantatnya,kuputar tanganku kerah depan dan perlahan kubuka resetling celananya dan dengan sedikit susah maka tanggallah celana ketatnya.Kini seorang wanita cantik bagai bidadari hampir telanjang berdiri didepanku.

Aku segera meletakkan lenganku di bawah pahanya dan mengangkat tubuhnya ke pelukanku,berjalan kearah ranjang dan dengan lembut kubaringkan di atas ranjang.Dia tampak sangat kusut,kedua matanya sayu mulutnya merah dan basah.

Dia menatapku."Gavin,fu*king me baby" ucapnya sambil bergeser ke tengah tempat tidur.Aku mengulurkan tangan dan merangkak ke arahnya, menyambar lengan atasnya,lantas menarik bunda Maia dengan berlutut di atas ranjang.Saat kami bertemu di tengah tempat tidur,kami berdua berlutut,aku mulai merapat lagi.Lalu aku memeluk dan menatap matanya yang menggoda.

"Gavin,lakukanlah.sudah lama mmmppphhhh ....!"Aku memotong ucapannya dengan sebuah ciuman ketika mulut bunda Maia terbuka.Dia masuk dalam pelukanku sesaat sebelum dia mulai mengerang lemah dan mulai kembali menyambut ciumanku.

Perlahan-lahan lengannya merayapi dada dan bahuku ketika ciuman berlanjut lebih hangat dan kian panas sampai kami berdua merasa melayang,hingga kehilangan kendali dalam gairah menggebu.Kami mengerang,mulut kami menyatu,berputar terhadap satu sama lain.Bagian bawah tubuh kami saling melekat dan aku dapat merasakan birahiku mulai mendidih dalam kegilaan.

Aku melirik ke bawah dan merasakan penisku bergerak-gerak dengan denyutan keras.Tampak pula betis Bunda Maia bagaikan padi membunting,pahanya montok namun lembut,dan pinggul seksinya yang masih terbalut celana dalam bermerek Carine Gilson.

Aku tak sanggup menahan diri,langsung saja ku jelajahi paha dan meremas pinggulnya yang selama ini menjadi khayalan para lelaki.Pinggul kami pun mulai bergerak,perlahan-lahan, menyesuaikan dengan irama dan kecepatan ciuman kami.Tanganku naik-turun dipinggul dan pantatnya,mencengkeran bulatan kembar yang masih terbalut celana dalam sutra itu.

Aku bergerak mundur sedikit sehingga tampaklah dua payudaranya yang selama ini tersembunyi.Kini telah berada didepanku dan seakan mengundang aku untuk segera menyentuhnya.putih,tidak terlalu besar tapi masih kencang dan kenyal dengan lingkar areola coklat kemerahan dan puting berwarna merah muda,alangkah indah.

Segera saja aku sergap bagian bawah payudara Bunda Maia dan perlahan-lahan bergeser ke atas,membelai satu-persatu buah dada itu,hingga jari-jariku sampai ke putingnya.Ku pilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian.

Bunda Maia mengerang "EEEHHMMMMM"!!dan semakin mendorong payudaranya ke tanganku,masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah berusaha memuaskan rasa haus yang tertahan selama ini.Aku menghentikan ciuman dan menundukkan kepala ke buah dada sebelah kiri dan menangkap puting dan areola dalam mulutku dan mulai membasahinya dan merangsang puting Bunda Maia dengan lidahku.Dia mengeluarkan erangan lain dan menyambar kepalaku dengan kedua tangannya,jari-jarinya bergerak di rambutku.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya,menariknya ke arahku,mendorong lebih dalam buah dadanya ke dalam mulutku dan mengisap putingnya lama-lama.Tangannya terus bergerak dan menarik-narik rambutku sambil mulutnya tak henti-henti mengeluarkan erangan lemah seperti menangis.

Tangan kiri Bunda Maia kemudian meninggalkan kepalaku dan membelai ringan dadaku.Ketika lidahku berpindah merangsang buah dada lainnya,tangannya lebih bebas menjelajahi tubuhku.
aku rasakan tangannya menarik-narik kausku,memaksa aku melepaskan kulumanku di payudaranya.

Akupun melepaskan kaos dan pakaian dalamku,kami saling bertatapan sejenak dalam keadaan telanjang dari pinggul ke atas.Aku selipkan tangan di pinggulnya,sedangkan Bunda Maia melingkarkan kedua tangannya dileherku,kemudian mulut kami kembali bertemu dalam ciuman yang kian menggelora.Sentuhan
payudaranya yang tenggelam dalam dadaku membuat birahiku makin menggila dan berpikir ingin menyetubuhi Bunda Maia secepatnya.

Tanganku lantas menjalar ke punggung Bunda Maia,menyelinap melewati karet celana dalamnya dan menurunkannya hingga kebawah pantatnya.Aku mengelus-elus pantatnya yang membulat sebelum menarik celana dalam sutra itu kelututnya.Tanganku kembali naik kepaha dan pinggul,berlama-lama bermain dipantatnya sebelum berhenti di pinggangnya.

Aku memeluk Bunda Maia,kami berbaring di tempat tidur,dan payudaranya tenggelam di bawah dadaku,kakiku
mengangkanginya.Kulepaskan celana dan celana dalamku yang masih mengganggu dan akhirnya membebaskan penisku yang sudah lama tersiksa didalamnya.kulepas juga celana dalam sutra yang mahal milik Bunda Maia yang masih nyangkut dilututnya.

Sentuhan penisku di pahanya yang selembut sutra memercikkan sentakan birahi yang kian meluap dan erangan
napsuku keluar tanpa terkendali.Kembali lenganku kepinggangnya dan berkonsentrasi penuh dengan ciuman kami,dengan tubuh telanjang saling merangsang satu sama lain, berlanjut terus hingga puncak birahi kami.

Kulepaskan ciumanku dan sedikit kugeser tubuhku kerah bawah.Kini didepanku terekspos dua buah gunung kembar berwarna putih,hingga urat-urat berwarna hijaunya terlihat,Aku tidak langsung mengeksplorasinya,tapi kurangsang putingnya dengan hembusan nafas dar hidungku.Hembusan nafasku yang hangat membuat putingnya semakin mengeras.

Lalu kuciumi pelan-pelan buah dadanya yang berukuran 34B itu,mula-mula bagian bawah terus melingkar sehingga hampir semua bagian payudaranya kucium dengan lembut.Belum puas menggodanya,lidahku kemudian mulai menari-nari di atas buah dadanya.Akhirnya dengan perlahan dia mulai mendesah halus.

Perlahan lidahku mulai menyapu sekitar putingnya dan akhirnya...putingnya kusapu dengan lidahku.Perlahan mula-mula,semakin lama semakin sering dan akhirnya kukulum putingnya.Ketika dia mendesah merasa nikmat,kulepaskan putingnya dan kemudian mulai kukecup dari bagian tepi lagi.

Perlahan mendaki keatas dan kembali kutangkap putingnya. Kali ini kugigit putingnya dengan lembut,sementara lidahku berputar-putar menyapu putingnya.Sensasi yang ditimbulkan oleh permainan lidahku sungguh luar biasa,"oohh..ssshhh.."dia mengerang,mendesah dan meremas kuat rambutku.seakan semua keinginannya yang terpendam selama ini serasa terpancing keluar dan berontak untuk segera dipuaskan.

Melihatnya mendesah,Selain kugigit kecil putingnya sembari lidahnya menyapu-nyapu,tanganku mulai bermain di lututnya.Dengan lembut tanganku menggerayangi lututnya dan perlahan naik kuelus pahanya.tampak tubuhnya merinding menahan nikmat dan dengan lembut dan pelan tanganku mulai mendaki dan kini berada diatas selangkangannya.

Dengan lembut kuusap pangkal pahanya.Hal ini menimbulkan sensasi dan nikmat yang luar biasa bagi Bunda Maia,sebentar-bentar tubuhnya menggelinjang.Dia tampaknya sudah tak dapat lagi menyembunyikan kenikmatan yang dialaminya.Dengan lembut kusentuh clitnya dan kuputar-putar jariku.membuat dia semakin mengerang"sshh...ssshhh...".

Akhirnya pertahanannya jebol,cairan kental mulai keluar dari vaginanya.sa'at aku semakin mengintensifkan serangan,Bunda Maia menjulurkan tangannya kearah selangkanganku.Disana jemari membelai batang penisku yang mulai mengeras.Jarinya terus membelai turun naik sepanjang batang itu yang Secara perlahan batang tersebut bertambah panjang,besar dan keras.

Kutinggalkan permainan lidahku di payudaranya.perlahan lidahku menyusuri perutnya yang halus mulus dan masih rata diusianya yang sudah 36 tahun.Kemudian lidahku bermain dipusarnya yang membuat dia menggelinjang kegelian.setelah puas bermain dengan pusarnya kepalaku turun sedikit,dan tampaklah didepan mataku gundukan indah dengan sedikit rambut pubis yang tercukur rapi 'Vag*na Bunda Maia'.

Beberapa sa'at kunikmati gundukan itu dengan mataku,setelah itu.Dengan perlahan lidahku mulai menyentuh belahannya.Dia menjerit tak tertahan ketika lidahku bergerak turun naik dibelahan vaginanya,tubuhnya bergetar dan melonjak-lonjak.Tangannya mencengkeram rambutku dengan kuat.

Lidahku tetap bertahan pada posisinya, sehingga aku tetap bisa menggelitik klitorisnya.Aku merasa dinding-dinding vaginanya telah melembab,dan kontraksi-kontraksi khas pada lorong vaginanya mulai terasa.tampaknya vaginanya bisa melakukan empot ayam.

Melihat kontraksi-kontraksi itu.membuatku semakin bernafsu.Kini lidahku semakin ganas dan liar menyapu habis daerah selangkangannya,cairannya yang mulai mengalir kusedot habis dengan bibirku."oohh... Vin Bunda Keluar lagi"Dia berkata dengan nafas terengah-engah setelah berapa kali mencapai puncak orgasme oleh permainan lidah dan bibirku.

Aku pun mulai menggeser bagian bawah tubuhku ke pahanya hingga penisku sampai di pangkal paha Bunda Maia yang telah merentang.Burung itu kini sudah berada di muka sarangnya yang berbulu rapi.Aku mulai menggerakkan penis,memberi isyarat memulai persetubuhan,hingga menyebabkan birahi kami kian mendidih.Kami sama-sama merintih ketika lengan kami saling mendekap tubuh satu sama lain.

Aku tahu saatnya telah tiba dan meraih selangkangannya serta mulai menenggelamkan jariku ke bibir vaginanya yang mulai mekar. Terasa nian lubang kemaluannya sudah sangat basah tanda Bunda Maia sudah siap menerima penisku masuk ke vaginanya.Saat itu pula Bunda Maia merintih,tangannya tak henti bergerak liar dipunggungku.Aku pun tak ingin menunggu lebih lama lagi dan segera kukeluarkan jariku dari lubang kemaluannya,langsung bersiap dengan penisku yang kian tegang di pintu masuk vaginanya yang memanas.

Kubuka kakinya sedikit lebih lebar lagi dan mengarahkan kepala kemaluanku ke bibir vaginanya.kupermainkan kepala penisnya sejenak di bibir kemaluannya, kugerakkan ke atas dan ke bawah dengan lembut untuk membasahinya.Tubuhnya seperti tidak sabar untuk menanti tindakanku selanjutnya,lalu dengan gerakan perlahan kuterobos lubang kemaluannya yang masih terasa sempit.Tetapi karena liang itu sudah cukup basah,kepala penisku dengan perlahan tapi pasti terbenam,semakin lama semakin dalam.

"EeeeHhhhhhhMmmmm"!!!!!mulut Bunda Maia merintih panjang ketika Aku akhirnya membenamkan seluruh batang kemaluanku.Aku merasa sesak tetapi sekaligus merasakan nikmat yang luar biasa,seluruh bagian sensitif dalam liang itu berdenyut.Batang kemaluanku yang keras dan padat disambut hangat oleh dinding vaginanya yang sudah lama tidak tersentuh.

Cairan-cairan pelumas mengalir dari dinding-dindingnya dan vaginanya mulai berdenyut hingga membuatku membiarkan kemaluanku terbenam agak lama untuk merasakan kenikmatan denyutan vaginanya.Kemudian aku mulai menariknya keluar dengan perlahan dan mendorongnya lagi,semakin lama semakin cepat.

Sodokan-sodokan yang sedemikian kuat dan buas membuat gelombang orgasme kembali menghampirinya,dinding vaginanya kembali berdenyut.Kombinasi gerakan kontraksi dan gerakan maju mundurnya membuat batang kemaluanku seakan diurut-urut,suatu kenikmatan yang tidak bisa kuungkapkan hingga gerakanku semakin liar dan ganas,mukaku kurasakan mulai menegang dan keringat berjatuhan dari dahiku.

Tiba-tiba pinggulnya diangkat sedikit dan Bunda Maia membuat gerakan memutar manakala aku melakukan gerakan menusuk.Gerakan pinggulnya yang tiba-tiba menimbulkan efek kenikmatan yang luar biasa bagiku.hingga aku menggigit bibirku untuk menahan nikmat,batang kemaluanku bertambah besar dan keras,ayunan pinggulku semakin ku perkeras tetapi tetap lembut.

Ketika aku mulai memompa batangku masuk dan keluar dalam entakan pendek,aku mulai merasakan getar di kakiku yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh.Pada saat yang sama bagian dalam selangkangan Bunda Maia tak henti-henti berdenyut-denyut disekitar penisku.Aku tahu,dia pun segera mencapai puncak persetubuhan ini sesaat lagi.Semua ini disertai oleh rintihan yang semakin sering dan bagaikan gelombang raksasa yang siap menghempaskan kami berdua.

Penisku terpaku dan tubuhku membeku saat merasakan aliran maniku mengalir dan meletup di ujung penis dalam orgasme yang belum pernah kualami seumur hidupku,terasa mulai dari tumit,bergerak ke semua arah dan akhirnya keluar dengan deras.Pada saat bersamaan Bunda Maia menegang,merapatkan pinggulnya ke pinggulku,saluran vaginanya menjepit batangku,menerbangkan dirinya dalam
orgasme yang sama nikmatnya dengan yang ku alami.

"OoooHhhhh ...... Gaviiiiin"ia berteriak menyebut namaku.Ketika gelombang demi gelombang kenikmatan menggulung,kami saling mencengkeram,mulut kami terbuka lebar.

"Buuundaaaa!!!!!"aku berteriak.Ku semprotkan mani di dinding-dinding vaginanya yang mengisap liar batangku,bagaikan minuman yang melepaskan dahaga birahi Bunda Maia. Sensasi terus berlanjut,seolah-olah aku mengalami orgasme selama berjam-jam,sampai tetes terakhir keluar dari penis.Kami terus merengkuh erat satu sama lain sebagai luapan perasaan.

Ketika keintiman itu mereda,kami mencoba kembali bernapas teratur dan kembali ke kesadaran.Benak kami kembali kekehidupan setelah klimaks melelahkan.Ku lihat mata Bunda Maia tertutup rapat,mulutnya terbuka, terengah-engah.Perlahan aku berguling kesamping.Ku pejamkan mata sejenak untuk beristirahat dan memulihkan kekuatan.

Aku belum pernah merasa begitu lelah dan habis setelah persetubuhan seperti yang kulakukan barusan.Ini pasti karena dorongan,kerinduan,dan keinginan yang akhirnya mencapai puncaknya dalam waktu singkat namun intens dan paling melelahkan.

Aku telah berhasil menyetubuhi Bunda Maia.Seorang selebritis,wanita yang matang yang lama membutuhkan belaian kasih sayang yang benar-benar mengantarku ke puncak napsu yang tak kuketahui sebelumnya,yang membuat perasaanku sangat bahagia.

Aku membuka mata dan memandang ke arahnya dan menyusuri tubuh telanjang Bunda Maia.Payudara 34 B nya tertangkup di kasur,putingnya tertutup seprai.Tapi aku masih dapat melihat perut rampingnya berlanjut ke pinggul lebarnya,paha mulusnya dan betisnya yang berisi.

Terlalu banyak yang membuatku takjub. Aku merasakan gerakan diselangkangan dan penisku mulai mengeras,semua hanya karena memandangnya.Aku kemudian menyadari bahwa ini lebih dari semata birahi,lebih dari sekadar bersetubuh Aku punya perasaan tertarik yang nyata kepadanya.

Dia memicu sesuatu dalam diriku yang aku tak tahu apa,dan aku menginginkan dia lagi,tidak cuma menidurinya,tetapi ingin bercinta dengannya.

Kuarahkan bibirku menuju bibir Bunda Maia dan mengecupnya lembut sementara ia menatap mataku.Kecupan itu berlanjut dan aku mulai menekan bibirku lebih kuat ke bibirnya.Kudengar rintihan lembut keluar dari bibirnya.Aku melihat matanya mulai berkedip-kedip saat dia mulai menyambut kecupanku.

Bunda Maia memejamkan mata rapat-rapat dan perlahan-lahan lengannya beringsut sampai ke atas bahu dan leherku.Aku menyelipkan tanganku di pinggangnya,merapatkan tubuhnya ke arahku.Bunda Maia membalas kecupanku dengan ganas,mulut kami pun bertemu,kepala kami bagaikan menari penuh birahi.

Kami kembali tenggelam dalam napsu yang meluap-luap,seolah-olah sudah berhari-hari tak pernah bersetubuh sejak yang pertama kali tadi.Entah berapa lama kami bermesraan hingga merasa kejantananku pulih.Bunda Maia dapat menyalakan gairah birahiku hanya
dengan membiarkan aku melihat tubuhnya. Aku tak tahu apakah aku dapat memperoleh yang lebih baik lagi.

Tubuh kami mulai bergesek satu sama lain,mengikuti irama ciuman kami, mengirimkan percikan birahi yang mengalir ke selangkangan kami.Aku tidak sabar dan cepat memosisikan diri di antara kakinya, menggerakkan penisku ke atas untuk menyentuh kelentitnya dan kebawah berusaha membuka pintu gerbang vaginanya.

Sambil merintih satu sama lain.Aku tekan pinggulku ke bawah,berhenti sejenak saat kurasakan kepala penisku tepat berada dilubang kemaluannya.Selanjutnya, perlahan-lahan aku menenggelamkan penisku sekali lagi ke saluran yang terasa hangat itu.

Bercampurlah gabungan sisa-sisa air maniku di vaginanya dengan cairan kental Bunda Maia yang hangat dipenisku yang kian lama semakin dalam.Aku sampai ke ujung vaginanya dan mulai memompa keluar masuk dengan pelan sementara Bunda Maia menggerakkan pinggulnya.

Tangannya mencengkeram lenganku dan Bunda Maia menggulung kakinya diselingkar pinggangku.Kami menyudahi ciuman dan Bunda Maia dia sejenak namun segera merintih seolah-olah kepedasan."Oh,Gavin! Push Me Baby!ia seperti menjerit.Aku juga merasakan yang sama kuat dan mulai merintih juga"Buuund.Bund apakan aku Buund!!!"aku merintih sambil merasakan nikmat persetubuhan.

Aku mengecup leher dan telinga Bunda Maia,mencoba untuk mengendalikan desakan kuat dipangkal penisku.Bibirku menyapu pipinya hingga bibir basah kami bertemu satu sama lain.Kami lantas memulai gerakan lambat menyenangkan, penetrasi sensual yang sesuai dengan irama ciuman yang mendalam penuh perasaan.

Rasanya kali ini adalah persetubuhan paling bergelora dalam hidupku saat kami menggigil dan merintih.Bunda Maia mengangkat pinggulnya setiap saat menyambut penisku masuk.Setelah penisku tenggelam,vaginanya menjepit dan melepas penisku yang berdenyut.Itu terus berulang.

Tak satu pun dari kami ingin keintiman ini berakhir saat kami melekat satu sama lain,menggerakkan pinggul kami satu sama lain dalam persetubuhan ini!Tiba-tiba aku merasa sesuatu memicu percikan di pangkal selangkang dan mendaki ke kepala penis,memperingatkan bahwa aku akan kehilangan daya tahan.

Aku mempercepat gerakan sedangkan Bunda Maia mengiba dan mendesah kenikmatan.Pinggul kami terus saling menyambut satu sama lain.Ketika aku merasakan aliran maniku tak tertahan lagi,vagina Bunda Maia seperti menjepit penisku,mencengkeram dengan pagutan yang lentur.Mulut kami berpisah ketika punggung Bunda Maia melengkung dan kami berdua mengeluarkan jeritan tertahan.

Penisku memuntahkan gumpalan demi gumpalan jauh ke dalam tubuh Bunda Maia.Terasa vagina Bunda Maia mencengkeram,dan memerah semburan maniku!Kami saling berpegangan erat-erat,bergetar dalam hempasan orgasme yang meluap!Lama setelah aku berhenti penisku terus bergerak-gerak,dan berdenyut,mengirimkan guncangan lembut di kedalaman vagina Bunda Maia,membuatnya bergetar di sekeliling batangku,dan sebaliknya mengentakkannya.

Terlalu nikmat untuk bergerak saat itu,sehingga kami terus saling mendekap satu sama lain,menyusuri akhir luapan birahi.Ketika akhirnya semua mereda kami melonggarkan dekapan satu sama lain dan perlahan-lahan melandai,Aku masih berada diatas tubuh Bunda Maia.Napas kami berat dan tertahan.Pandangan kami masih meremang,akibat dorongan napsu yang terlepaskan.

Aku menarik kepala dari lekuk leher Bunda Maia dan menatap wajahnya.Bunda Maia melakukan hal serupa.Aku pikir kami berdua merasakan hal yang sama,rasa saling terikat kuat yang mengantar kami ke situasi yang belum pernah kami alami sebelumnya.Perlahan-lahan aku menurunkan kepala dan dengan lembut menekan bibirku ke bibirnya.

Bunda Maia melingkarkan kedua tangannya di leherku danmembalas ciumanku.Ciuman ini,meski tanpa birahi,yang baru saja terpuaskan, ternyata lebih dalam,lebih bersemangat, dan lebih mesra ketika mulut kami menyatu selama beberapa menit.

Aku bisa merasakan cairanku dan Bunda Maia yang telah bercampur keluar dari vaginanya dan menggenang di bawah kami saat kami terus berciuman,penuh kasih,lembut,menyentuh mulut kami satu sama lain.Akhirnya aku merasa penisku terlepas dari vagina hangat Bunda Maia saat kami berhenti berciuman.Setelah itu kami berbaring berdampingan,tertidur.


Chapter V : Who's Kill My Uncle ?

Pagi harinya aku terbangun oleh suara deringan telepon,ternyata hp Bunda Maia.Sa'at aku melihat jam didinding,ternyata sudah hampir jam tujuh pagi.Aku masih berbaring untuk mengembalikan tenaga yang telah terkuras semalam.

Kudengar Bunda Maia sedang berbicara dengan Mbak Linda."Kenapa'Theo tidak telepon sendiri?..Aku tidur larut malam,..ya..oh..eh,tidak apa-apa.Bilang padanya nanti aku akan menghubunginya,ya 1 jam lagi".Ketika Bunda Maia sedang berbicara kugelitik tubuhnya,sehingga dia menerima teleponnya jadi tidak fokus karena kegelian.

"Pagi Bund"Aku menyapanya begitu dia selesai menerima telepon.

"Pag sayang"Jawabnya sambil kembali membaringkan tubuhnya disampingku dan menghadap kearahkuku.

"Gavin!Nakal kamu.Linda tadi curiga,mengapa Bunda menjawab seperti itu.Dikiranya ada apa-apa".Bunda Maia berkata seakan menegurku,nadanya seakan marah tapi mulutnya tersenyum.Dari senyumnya kelihatan kalau dia hanya becanda.

"Ada apa Bund,tampaknya ada hal serius?Siapa Theo kok tadi namanya disebut-sebut".Kataku balik bertanya.

"Theo itu managerku.Dia dari tadi meneleponku,tapi tidak kuangkat.Jadi dia menghubungi Linda,untuk menanyakan mengapa aku tidak mengangkat teleponnya".

"Kenapa tidak menghubunginya sekarang Bund?Siapa tahu ada yang penting".

"Nantilah Vin,Bunda masih capek.Ini juga gara-gara kamu".Ucapnya sambil tangannya menunjuk hidungku.

"Kok gara-gara saya bund?"

"Iya,karena ini"Katanya sambil menyentuh batang penisku."Karena senjatamu yang luar biasa ini membuat Bunda klimaks berkali-kali,tubuhku rasanya lelah sekali"Kemudian Bunda Maia merebahkan kepalanya diatas dadaku.Akupun membalas mengelus-elus kepalanya.

"Bunda berterima kasih padamu Vin.Karena kamu telah memberikan kenikmatan yang luar biasa padaku dan aku merasakan kembali menjadi seorang wanita seutuhnya.Sudah lama sekali bunda tidak merasakan hal seperti semalam".Dia menghela nafas sebentar,kemudian melanjutkan ucapannya.

"Orang bilang bunda wanita yang hebat dan tegar.Itu benar,tapi ada hal-hal tidak bisa dilakukan oleh wanita.Dan hal itu perlu seorang leleki.Aku sebenarnya benar-benar membutuhkan lelaki.Bukan tidak ada leleki yang mau dengenku,banyak.Tapi mereka hanya ingin tubuhku,hartaku,atau ketenaranku".

Dia mulai terisak dalam tangis."Sudahlah Bund,semua akan baik-baik saja dan yakinlah suatu sa'at penantian Bunda akan berakhir"Aku hanya bisa menenangkanya dan tanganku membelai punggung dan kepalanya.

"Itulah Vin,mengapa aku suka kepadamu.Aku tahu kamu bukan hanya mengingikan tubuhku.Tapi bisa juga menjadi orang yang membantu meringankan beban-bebanku.Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu Vin"

"Iya Bund.Aku juga senang bisa berjumpa dengan bunda.Hentikan tangismu dan tersenyumlah.Nanti bisa luntur kecantikan bunda bila terkena airmata.Heheheee"Aku menggodanya.

"Kamu bisa aja Vin.Tapi terima kasih ya kau telah memberiku support.Oh ya kapan kamu akan balik ke Jakarta?Tanyanya mengalihkan persoalan.

"Mungkin hari rabu atau kamis bund.tapi mungkin masih bisa berubah.Kalau Bunda langsung pulang Jakarta atau ada jadwal ke kota lain?"

"Bunda belum tahu Vin,pulang ke Jakartanya kapan.Soalnya sampai minggu depan jadwal kami kosong,jadi kami bisa berlibur beberapa hari.Liburan ini juga Bunda jadikan untuk mencari inspirasi membuat materi lagu untuk album Duo Maia yang baru".

"Bund,Bagaimana kalau Bunda ikut pulang ke Jakarta denganku.Itu kalau bunda mau.Nanti sepanjang perjalanan kita bisa santai sambil menikmati pemandangan"Ucapku sambil tanganku mulai bergerilya lagi pada tubuhnya.

"Ide kamu boleh juga Vin.Nanti sore atau paling lambat besok pagi Bunda beri keputusan."Akhh.. tangan kamu masih nakal saja Vin.Belum puas ya tadi malam?Tapi ma"af ya Gavin sayaaaang..!Bunda benar-benar capek.Tidak bisa menikmati kalau dipaksakan,masih bayak waktu sayang".Katanya sambil mencium keningku.

Aku membalas mencium keningnya.Kami kemudian terdiam,tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk berapa lama.Sambil berpelukan masih dalam keadaan telanjang.Berapa lama kemudian Bunda Maia bangkit dari ranjang dan menuju kamar mandi."Vin bunda mandi dulu ya,tidak enak sama Linda dan Mey Chan"katanya sambil masuk kekamar mandi.

Pintu kamar mandinya tidak ditutup sehingga dari tempatku berbaring terlihat seluruh tubuh indahnya.Ada keinginnan untuk menyusul masuk kekemar mandi dan mengajaknya bercinta didalamnya.Tapi keinginnan itu kutahan,karena dia sudah mengatakan untuk tidak melakukannya sekarang.Kalau aku memaksanya mungkin dia akan menganggapku seperti lelaki lainnya yang sekedar memaksakan hawa nafsunya.Aku pikir masih banyak kesempatan untuk bercinta kembali dengannya.

Aku mengalihkan perhatianku pada ponselku.Aku ingin menelepon kerumah,ingin memberitahu kabarku.Daripada nanti Ayah dan Ibu khawatir.Kucoba menghidupkannya dan begitu kunyalakan banyak pemberitahuan panggilan tak terjawab masuk.Segera kuhubungi ayah.

"Apaaa Yaaah!!!Tidaaaaak mungkiiin.Ayah becanda kan!!"Aku begitu kaget dan merasa lenas seketika tubuhku begitu ayahku memberitahu bahwa 'Om Gian'adik bungsu dan kesayangan ayah meninggal dunia.Aku sudah tidak mendengarkan lagi apa kata ayahku.Aku hanya bisa bengong dan terduduk lemas ditepi ranjang.Sampai Bunda Maia yang kaget mendengar jeritanku datang menghampiri dan bertanya padaku.Tapi aku solah-olah tak mendengar.

"Ada apa Viiin?Kenapa berteriak"Barulah setelah beberapa sa'at aku mendengar pertanyaannya.Tapi aku masih tetap diam,aku berusaha menahan tangisku.BUnda Maia pun terdiam solah kebingungan dengan sikapku.Aku berkeputusan untuk segera pulang dan berbicara dengan Bunda Maia.

Akupun segera menceritakan masalahnya."Ma'af Bund aku pulang dulu.Soal kepulangan kita besok nanti kita lihat keadaan dulu.Atau nanti kita ketemu di Jakarta".Setelah berpakaian aku mencium Bunda Maia sebentar dan kemudian segera pulang kerumah.

Sugianto,Nama lengkapnya.Para keponakannya,termasuk aku memanggilnya 'Om Gian'.Dia adik bungsu dari ayahku.Ayah mempunyai empat saudara,ayah yang pertama,adiknya laki-laki,terus dua orang perempuan,dan terakhir Om Gian.Dia adik kesayangan ayah,mungkin karena itu aku pun jadi keponakan yang paling disayangi oleh Om Gian.

Aku masih ingat ketika aku kecil,Om Gian sering mengajakku bermain dan membelikanku coklat.Ya coklat adalah kesukaanku,ketika ayah marah karena aku minta jajan coklat terus.Maka aku akan mencari Om Gian.Dan kemudian pasti aku akan dapat coklat yang kuinginkan.

Ayah kemudian pasti ngomel-ngomel sama Om Gian,karena terlalu memanjakanku.Dan Om Gian hanya akan tersenyum kepada ayah,kemudian selesai sudah omelan itu.Dan kini tubuh orang yang paling kusayang setelah ayah dan ibu itu kini terbaring abadi ditanah yang memerah.

Banyak orang yang datang keacara pemakamannya.Tak ada istri yang menangisinya.Ya sampai meninggal Om Gian tidak pernah menikah.Dan aku tidak atau belum tahu sampai saat ini alasan kesendiriannya.Om Gian cukup ganteng,dan badannya tinggi tegap,berkulit coklat sawo matang.

Walau aku keponakan kesayangan,aku tidak tahu pasti apa pekerjaan Om Gian.Pernah aku menduga dia itu seorang anggota TNI atau Polisi,tapi Om Gian hanya tersenyum dan berkata bahwa apa yang dilakukannya adalah pekerjaan yang baik dan suatu hari aku akan tahu apa pekerjaannya.

Semua orang sudah meninggalkan area pemakaman itu.Tadi Ayah meminta ku pulang,tapi aku bilang sebentar lagi.Kemudian Ayah dan Ibu pun pulang.Tinggal aku dan Mas Bram,Bramanty Priambodo lengkapnya.Umur 29 tahun,Seorang polisi,walau masih muda sudah berpangkat'Kompol'bertugas di Polda Metro Jaya.Tinggi,tapi agak kurus,rambut tipis agak ikal.

Dia kakak sepupuku,Mas Bram juga salah satu orang yang dekat dengan Om Gian semenjak kecil.Ibunya pernah ikut keluarga Nenek.Waktu Om Gian lahir ibu dari Mas Bram lah yang mengasuhnya.

Mas Bram kemudian mendekatiku,dan berbicara denganku."Vin,kamu bawa kendaraan sendiri atau bareng orang lain?"tanpa memberiku kesempatan menjawab Mas Bram melanjutkan omongannya"Kalau bisa kamu ikut Mas sebentar.Ada hal penting yang harus kita bicarakan secepatnya".Melihat aku seperti tak bersemangat,Mas Bram menambahkan ucapannya sambil menatapku"Ini berhubungan dengan Om Gian".

Begitu Mas Bram mengatakan tentang Om Gian aku langsung menatapnya.Dan dia menganggukan kepalanya meyakinkanku."Jangan dirumah masih banyak orang,ini masalah rahasia".Kemudian aku ikut mobil Mas Bram,setelah menyerahkan kendaraanku pada sepupu yang lain.Kemudian kami menuju ke utara,melewati rumahku dan terus menuju arah pantai.setelah sampai ditempat yang tidak terlalu ramai Mas Bram menghentikan mobilnya dan turun,akupun mengikutinya.

Setelah diam sejenak,Mas Bram kemudian bertanya padaku"Apakah kamu tahu apa pekerjaan Om Gian,sebenarnya?"Aku yang benar-benar tidak tahu hanya bisa menggelengkan kepala.Kemudian dia menjelaskan semuanya tentang Om Gian dari awal hingga saat kematiannya"Om Gian adalah seorang Agen Rahasia,intel bahasa kerennya.Aku juga baru tahu belakangan,setelah diberi tahu salah seorng seniorku yang telah purna tugas dan pernah ikut ditugaskan dalam masalah yang ditangani Om Gian saat itu.Yang tahu pekerjaan Om Gian selain aku hanya Kakek,Nenek dan Ayahmu.Ibumu dan Paman,Bibi lain tidak tahu.

Setelah terdiam sejenak diapun melanjutkan ceritanya"Om Gian tidak mau keluarganya terancam kalau tahu apa pekerjaannya,orang-orang yang dihadapi bukan sembarangan.Kamu ingat paman kadang pergi satu-dua bulan.Saat itu mungkin dia mematai atau mengejar seseorang sampai keluar negeri.Mungkin ini juga alasannya kenapa Om Gian tidak mau berkeluarga.

Mas Bram menghela nafas sejenak.Aku tidak mau mengusik konsentrasinya dalam bercerita,akupun ikut diam.Kemudian dia melanjutkan lagi"Sampai sekitar dua minggu yang lalu dia mengabariku.Dia mengatakan menemukan hal yang diluar dugaan nya.Dia belum mengatakan padaku apa hal itu.Saat dia datang kekantorku aku sedang keluar kota.Kamu ingat waktu aku meneleponmu minggu kemarin?Saat aku kembali kekantor Om Gian sudah pergi entah kemana.Dia sudah tidak menghubungiku lagi sampai aku mendengar berita kematiannya dua hari yang lalu.Dia memang tertabrak kereta api dengan mobilnya,tapi mungkin itu bukan fakta sebenarnya.

"Maksudnya bagaimana mas?"aku menyela cerita Mas Bram karena rasa penasaran dihatiku.

"Dua hari yang lalu aku mendengar kabar dari temanku yang ada di polresta Pekalongan,hari rabu dini hari ada korban tertabrak kereta api.Tapi anehnya tidak ada data diri sama sekali,ketika dicari data mobil itu.Ternyata itu mobil curian yang telah dilaporkan hilang pemiliknya satu minggu sebelumnya.Ketika aku melihat foto korban aku seperti melihat ciri khas dari Om Gian.Maka kemarin aku segera kesini dan melihat korban itu secara langsung,dan benar saja itu betul-betul Om Gian.Dan yang membuatku curiga selain mobil curian yang dipakainya itu.Ketika temanku memeriksa 'TKP'dia mendengar seseorang mengatakan melihat dua orang keluar dari mobil itu sesaat sebelum tertabrak kereta,tapi karena gelap jadi orang itu tidak yakin dan jelas melihat dua orang itu".

"Dimana kejadiannya Mas?"Aku langsung bertanya begitu Mas Bram berhenti bercerita.

"Diperlintasan kereta yang ada dibelakang terminal sana".

"Terminal Pekalongan?"

"Ya,kenapa?.

"Tidak kenapa-napa Mas,kebetulan saja beberapa hari ini aku bolak-balik lewat tempat itu.Jadi mobil yang dipakai itu mobil nomer pekalongan,dan dicuri diwilayah dan dilaporkan masuk polresta Pekalongan ya Mas?.

"Ya,kenapa Vin?

"Tidak apa-apa Mas,Aku hanya ingin berusaha mencari informasi tentang kebenaran adanya dua orang selain Om Gian.Tentunya dengan caraku sendiri".

"Aku tahu kemampuanmu Vin,tapi bila hal itu benar adanya.Mereka tentunya orang-orang yang berbahaya dan sengaja menghilangkan Nyawa Om Gian.Hal ini tidak boleh kamu anggap main-main.Ini tidak seperti kita dulu yang memainkan permainan Polisi dan penjahat dengan Om Gian.Berpikirlah masak-masak dan bersikap dewasa sebelum bertindak.Dan kamu bukan lah aparat penegak hukum.Biar nanti Mas mencari kebenaran ucapan orang itu,".

"Justru karena aku telah dewasa Mas,aku harus ikut bertanggung jawab untuk mencari tahu tentang penyebab kecelakaan Om Gian".

"Baiklah,Aku mengerti bagaimana perasaanmu tentang Om Gian.Aku hanya memintamu untuk hati-hati dan memberitahukan padaku jika kamu akan bertindak melakukan sesuatu.Aku juga akan mencari dan menggali informasi,mungkin Om Gian meninggalkan petunjuk yang belum kita temukan".

Setelah merundingkan bagaimana cara kita saling memberi informasi dan segala sesuatunya,maka kami segera kembali kerumah.Bunda Maia mengucapkan turut bela sungkawa,tapi mohon maaf tidak bisa ikut datang melayat.Dia harus kembali ke Jakarta secepatnya karena ada kontrak yang harus ditanda tangani.Dia menyuruhku menghubunginya,bila aku sudah pulang ke Jakarta.

Hari rabu adalah hari kedelapan meninggalnya Om Gian.Aku mulai menyusun rencana untuk menyelidiki kematian Om Gian.Tak ada yang tahu rencanaku,bahkan Mas Bram juga belum kuberitahu mengenai rencanaku.Rabu siang aku menuju tempat itu,suatu gang yang terkenal berbahaya.Dulu katanya semua maling,jambret,tukang rampas dll bertempat tinggal didaerah ini.Jadi setiap orang yang masuk gang ini benar-benar harus berhati-hati.Tapi itu dulu Sekarang sudah tidak terlalu seperti itu.Tapi masih saja orang yang berkuasa di daerah itu.

Begitu aku masuk gang itu banyak orang yang menatapku atau mungkin sepeda motorkumenarik perhatian mereka.Tapi aku santai saja walau tetap waspada.Aku segera menuju ke rumah paling ditakuti,rumah pimpinan daerah itu.Kang Jono,semua orang memanggil seperti itu.Tak ada yang tahu nama sebenarnya,tapi setiap orang pasti pernah mendengar namanya.

Orang yang belum melihatnya pasti akan mengira kalau orang ditakuti itu mempunyai badan tinggi besar dan wajah sangar.Tapi mereka akan keliru.Karena Kang Jono itu kecil dan tingginya hanya sampai pundakku.

Begitu aku sampai rumah itu.Kang Jono langsung menyambutku,ketika tahu aku yang datang.Orang-orang yang melihat hal itu pasti akan heran kenapa Kang Jono sangat menghormatiku,hanya sedikit orang yang tahu sebabnya.

Dia mempersilahkan aku duduk dan menyuruh pembantunya menyediakan minuman.Setelah berbasa basi saling menanyakan kabar maka Kang Jono bertanya padaku"Tumben Vin kamu datang kemari?ada seuatu atau hal yang bisa kubantu".

"Maaf nih kalau merepotkan Kang Jono"setelah diam sejenak aku langsung mengutarakan masalahnya.Setelah berpikir sejenak maka diapun berkata"Oh,ya aku ingat mobil itu.Kamu mempunyai sangkut paut dengan mobil itu,tapi sayang sekali mobil itu sudah tidak ada disini".

"Nah itu Kang,kalau bisa tolong beri tahu,siapa yang membeli mobil itu dari sini?"

"Bukan tidak mau membantumu Vin,tapi aku sendiri tidak tahu siapa yang beli itu mobil".

"Kok bisa Kang?"

"Bisa,temanku yang memberikan order.Dia pesan katanya ada orang yang mencari mobil nomer Pekalongan.Mobil jenis apa saja dan dia siap bayar kapan saja.kemudian setelah dapat mobilnya aku memberi tahu temanku lalu aku dihubungi orang itu.Aku memberi harga,dia langsung setuju dan langsung mentransfer uangnya.Dan dia menyuruhku mengantarkan mobilnya kesuatu tempat nanti kalau dia menghubungi.Ya seperti itulah aku tidak pernah melihat orang yang membeli mobilnya.Dan itu tidak masalah bagiku,yang penting uangnya sudah kuterima".

Akupun agak sedikit kecewa mendengar hal itu.Aku yakin Kang Jono tidak bohong,tapi justru hal itu yang membuatnya aneh.Biasanya yng mau menjual barang curian yang tidak mau ketemu pembelinya.Tapi kali ini malah kebalikannya.Melihatku seperti kecewa Kang Jono seperti tak enak hati.Kemudian berkata padaku"Maaf Vin,tapi benar seperti itu kejadiannya.Mungkin ada hal lain yang kubisa kulakukan untukmu?"

"Bukan aku tidak percaya sama Kang Jono,tapi tidak apa-apalah.Mungkin Kang Jono bisa memberitahu di Bank mana,kapan dan berapa jumlah yang diterima dan satu lagi Kang.Nomer telepon orang itu dan teman Kang Jono,siapa tahu berguna".Setelah itu Kang Jono memberiku semua informasi yang kubutuhkan.Aku mengucapkan banyak terima kasih sebelum pergi dari tempat itu.Setelah itu aku pulang untuk menyusun tindakan yang akan kulakukan selanjutnya.Paling tidak kini aku sudah mempunyai beberapa petunjuk.


Chapter VI : Shake It

Esok harinya aku menuju Bank dimana Kang Jono menerima transfer uang dari Mister X,begitu aku menyebutnya.Dan aku sudah punya rencana untuk hari ini.

Kudatangi salah satu CS (Customer Service) yang ada dibagian pojok kanan,dan kusapa dia"Siang Mbak yang cantik"

"Siang Bapak ada yang bis..."Wanita itu kaget begitu dia mengalihkan perhatiannya dari layar monitor dan memandangku.

"Eh kamu Vin,Mbak kira siapa.Ada yang bisa Mbak bantu?"

"Istirahat jam berapa Mbak?"

"Ihh!!!kamu ini,kebiasaan ya.Kalau ditanya malah balik nanya".Dia melihat jam tangan yang melingkar di lengan kirinya yang putih mulus.Kemudian menjawab"Lima belas menit lagi.Ada apa,mau ngajak makan siang ya?"

"Kalau makan biasanya pakai minum Mbak.Apa lagi kalau minumnya susu segar yang ada disitu.Kataku menunjuk kearah dada nya yang membusung besar dan ada name tag'Tika'yang dipasang dibagian luar bajunya,sambil mengedipkan mata.Dia hanya senyum-senyum dan berkata"Husshh,jangan keras-keras bicaranya,nanti dikiranya Mbak wanita yang bisa diajak kencan siapa saja."

"Ok,saya tunggu ditempat parkir ya Mbak"tanpa menunggu jawaban darinya aku segera pergi keluar dan menunggu di tempat parkir.

Tidak lama orang yang kutunggu datang.Begitu aku naik ke Honda CBR ku diapun langsung naik dibelakangku.Tanpa bertanya aku langsung menjalankan sepeda motorku.Begitu agak jauh dari kantornya dia langsung melingkarkan tangannya dipinggangku.Dan otomatis dadanya yang berukuran 36 C itu menempel ketat di punggungku.

Raden Ayu Dyah Kartika Prameswari,nama lengkapnya tapi biasa dipanggil'Tika'.Mbak Tika masih ada darah birunya.Tapi kalau disinggung soal darah birunya dia hanya tertawa dan menganggap itu hal yang konyol.

Mbak Tika adalah teman Mbak Dita sejak SLTA.Sehingga aku juga mengenalnya mulai saat itu.Masuk dan lulus kuliah pun bareng.Yang berbeda adalah tempat kerja mereka,walau sama-sama merupakan Bank milik pemerintah.Mbak Tika sudah menikah delapan tahun yang lalu dan mempunyai satu anak yang sudah berumur tujuh tahun.

Mbak Tika usia 33 tahun sama seperti Mbak Dita.Tingginya 165 cm,berat 58kg,kulit putih bersih,hidungnya mancung,wajah cantik sekali,tubuhnya sexy,payudaranya besar,rambutnya tebal sedikit berombak dan dipotong sedikit dibawah pundak.

"Kerumah aja Vin"suaranya memecah kebisuan diantara kami.

"Tidak apa-apa mbak?'tanyaku untuk meyakinkan.

"Tidak apa-apa,Mas Pras sedang ke Bandung sama Tiara"Mas Pras adalah suami Mbak Tika dan Tiara adalah anak mereka.

"Kamu pulang kapan Vin?Waktu resepsi pernikahan Dita kamu tidak kelihatan.Patah hati ditinggal kawin Dita ya?"

"Mbak bisa saja,aku tidak kelihatan bukan patah hati Mbak.Tapi cemburu sama Mas Pras yang bisa mengandeng wanita secantik Mbak,Auuh..aduuh"tiba-tiba kurasakan cubitan di pinggangku.Rupanya Mbak Tika mecubitku.

"Dasar playboy tengil tukang rayu.Pantas saja Dita sampai tergila-gila,pasti karena kamu rayu tiap hari ya?"

"Kalau Mbak Tika setiap hari disampingku pasti akan kurayu tiap hari,ampuuun Mbak"aku langsung minta ampun saat kurasa tangan Mbak Tika akan mencubitku lagi.Dia kemudian bercerita bahwa waktu menghadiri pernikahan Mbak Dita.dia tidak bisa lama-lama,karena ada undangan resepsi ditempat lain.

Tidak lama kami sampai dirumahnya Mbak Tika,rumahnya diperumahan elit dikota ini.Rumah bertingkat dua itu tampak asri dan nyaman.Dia menyuruhku memasukkan sepeda motorku kedalam garasi,setelah itu aku menyusulnya masuk kedalam rumah.Dulu aku sering kerumah ini.Dan masih seperti dulu,hanya ada sedikit perubahan letak dekorasinya.

"Vin,kalau mau minum atau kue ambil sendiri ya"kata Mbak Tika dari dalam kamarnya.

"Bik Nas kemana Mbak?"Bik Nas adalah pembantunya.

"Ya ikut ke Bandung lah,kalau ngak ikut terus yang jaga Tiara siapa"

"Kok mbak ngak ikut ke Bandung?"

"Besok Mbak menyusul kesana,ada saudaranya Mas Pras yang menikah.Tadi sebenarnya mau bareng sama Mas Pras,tapi ada kerjaan yang harus diselesaikan hari ini"

Setelah mengambil air putih dari dalam kulkas,aku menuju ruang santai dan menyalakan Televisi 42 inch yang ada didepan sofa yang kemudian kududuki.Tak lama kemudian Mbak Tika menyusul dan duduk disebelahku.Dia sudah berganti pakaian dengan Tanktop warna biru muda dan celana pendek warna putih.

Kulihat dadanya makin tampak membulat dengan tanktop ketatnya yang tampak kekecilan ditubuhnya.Setelah minum dan meletakkan gelas yang ada ditangannya,Mbak Tika bertanya padaku"Tumben Vin kamu nyariin Mbak,biasanya dulu kalau tidak ditelepon berkali-kali tidak datang?'

"Ah Mbak kok gitu,kan dulu biasanya aku juga datang kalau ada waktu.Sekarang ini aku lagi sibuk Mbak.Jadi tidak bisa sering bolak-balik.Lagian kalau pulang satu atau dua hari ya tidak kemana-mana Mbak.Paling dirumah,ini juga ambil cuti dua minggu demi acara pernikahannya Mbak Dita.Mungkin satu atau dua bulan lagi aku juga pendidikan lagi.Jadi tidak bisa pulang ke pekalongan untuk sementara".

"Kamu tidak merasa kehilangan Dita?Kita bertiga sudah sama-sama mengertilah".

"Ya,pasti adalah rasa itu Mbak.Tapi bagaimana pun juga tidak mungkin kan kalau dia menunda-nunda perkawinannya.Semakin lama umurnya makin bertambah.Walau kami saling sayang,tidak mungkin juga kami bisa bersatu melihat status hubungan kami yang saudara sepupu.

"Sebenarnya Mbak juga suka kamu Vin,sejak kamu mulai masuk SLTA.Tapi Mbak pikir orang akan bilang apa,kalau aku cinta sama anak berusia 15 tahun.Maka Mbak mencoba melepaskan perasaan itu.Lagi pula saat itu Mbak sudah dijodohkan dengan Mas Pras.Disamping itu melihat kebersamaanmu dengan Dita kupikir akan melihat akhir bahagia dari hubungan kalian.Tapi...,Sudahlah itu kita lupakan.Kamu mencari Mbak ada perlu apa.

Aku kemudian menceritakan masalah yang kuhadapi,sampai tujuanku menemuinya.Setelah berpikir sejenak dia pun berkata"Sebenarnya hal itu melanggar peraturan per Bank kan Vin.Tapi demi kamu Mbak akan usahakan untuk mendapatkan data itu secepatnya".

"Ok,terima kasih sebelumnya Aku ucapkan untuk Mbak yang cantik dan sexy"

"Bisa aja kamu Vin.Tapi benar ya mbak masih cantik dan sexy?Soalnya..."Mbak Tika menghentikan ucapannya dan wajahnya tiba-tiba tampak muram.

"Soalnya kenapa Mbak?Mbak kok kelihatan sedih gitu".

"Tidak apa-apa Vin"katanya.Seperti menyembunyikan sesuatu.

"Ayolah Mbak cerita.Siapa tahu aku bisa membantu.Mbak kan tahu.Aku akan turut sedih kalau Mbak sedih.Tapi kalau Mbak benar-benar keberatan,Tidak usah"

"Sebenarnya ini tentang Mas Pras"Dia sedikit mulai terisak.Aku mengeser dudukku mendekatinya dan mengelus kepalanya.Dia kemudian menyandarkan kepalanya didadaku dan mulai bercerita.

Raden Mas Hendra Prasetya Atmajaya,nama lengkapnya.Tapi dipanggil 'Pras'oleh orang-orang disekitarnya.Mas Pras berumur 35 tahun,Tinggi sekitar 180cm,berat seimbang,kulit kuning bersih,wajah tampan,sebenarnya cocok dengn Mbak Tika yang cantik,tapi Mas Pras pendiam dan halus tindak tanduknya.Paling bicara sedikit dan sebentar kalau ketemu dengannya.Oh ya Mas Erwin,suami Mbak Dita adalah rekan bisnis Mas Pras.Dan Mas Pras lah yang mengenalkan Mbak Dita ke Mas Erwin.

Masalahnya ternyata mulai satu tahun ini Mas Pras dingin kepadanya.Rutinitas pertemuannya mulai jarang.Dia lebih suka sibuk dengan bisnisnya.Bahkan sudah enam bulan ini dia tidak menyentuh Mbak Tika sama sekali.Mbak Tika sudah berusaha berbagai cara untuk mengetahui penyebabnya.Mbak Tika curiga Mas Pras selingkuh.Tapi dia tidak memiliki buktinya.Hanya saja saat menerima telepon Mas Pras menjauh darinya.

"Aku merasa sudah tidak menarik lagi,sehingga Mas Pras mencari wanita lain"

"Mungkin Mbak hanya curiga saja,kan belum terbukti.Lagian masa ada lelaki yang menyianyiakan wanita seperti Mbak.Nanti aku akan bantu bicara sama Mas Pras.Biasanya kalau sesama lelaki bisa saling terbuka.Kalau perlu aku akan memaksa Mas Pras untuk bicara"Kataku dengan nada becanda.Wajah Mbak Tika agak cerah mendegar janjiku.

"Terima kasih Vin.Mbak tahu kamu bisa diandalkan.Andai saja Mas Pras bisa perhatian dan bicara seromantis kamu".

"Tapi Mas Pras bodoh juga ya Mbak,masa wanita semenarik Mbak dianggurin sampai satu tahun.Kalau aku yang jadi suami Mbak,setiap hari akan ku ..?"

"Hushs tidak boleh membodoh-bodohkan orang.Terus kalau Mbak istri kamu,Akan kau apakan?"katanya dengan tatapan mata yang mengoda.

Aku tak menjawab pertanyaannya.Sebagai orang yang cukup berpengalaman soal sex,aku tahu Mbak Tika sangat kesepian dan menginginkan hubungan sexsual.Maka dengan perlahan,kukecup lembut keningnya.Dan kurasakan remasan halus tangannya yang masih memegang tanganku.

Mbak Tika dengan segera merespon tindakanku dengan menutup matanya dan membuka bibir merahnya.Kugerakkan bibirku menciumi kedua pipinya dan berhenti dibelahan bibir merahnya.Mbak Tika pun membalas kecupanku pada bibirnya dengan kuluman yang hangat dan penuh gairah.Tampaknya dia benar-benar kehausan.Kukeluarkan lidahku,mencari lidahnya.Kuhisap-hisap dan kusedot-sedot. Kulepaskan tanganku dari genggamannya dan kugerakkan menggerayangi tubuh Mbak Tika.

Dan perlahan-lahan kususupkan tangan kananku kebalik baju ketatnya.Dan kurasakan halusnya punggung Mbak Tika. Sementara tangan kiriku meremas-remas pantatnya yang padat.Mbak Tika kemudian berdiri dan dengn gerakan striptease melepaskan seluruh pakaiannya.Agar aku lebih leluasa melihat dan menggerayangi tubuh indahnya.

Setelah semua terlepas maka terpampanglah pemandangan yang luar biasa.Dengan jelas aku bisa melihat buah dadanya yang besar seperti buah melon dan masih kencang,perutnya yang ramping dan vaginanya yang dicukur bersih.Membuat nafsu birahiku semakin menjadi-jadi dan kurasakan penisku menegang.

Akupun melepaskan kulumanku pada bibirnya dan dengan sedikit membungkukkan badanku.Aku mulai menjilati buah dadanya yang mulai mengeras,secara bergantian.
Puas menjilati buah dadanya,jilatanku kupindahkan ke perutnya.

Dan kurasakan halusnya kulit perut Mbak Tika.Mbak Tika tak mau ketinggalan,ditariknya zipper yang melilit dipinggangku.Kemudian dengan perlahan menurunkan resetling celanaku,dan menarik celanaku hingga terlepas.

"Aow,tampaknya penismu lebih besar dari yang terakhir Mbak lihat Vin"decaknya kagum,sambil memandangi penisku yang telah menegang dan mengacung-ngacung setelah celanaku terlepas.Mbak Tika menggerakkan tangannya,meraih batang penisku.Diusap-usapnya dengan lembut kemudian dikocok-kocoknya,membuat batang penisku semakin mengeras.

Tak terasa sudah sepuluh menit berlalu.Kusudahi jilatanku pada perutnya.Kuangkat tubuhnya dan kududukkan diatas sofa.Kedua pahanya kubuka lebar-lebar.Dan terpampanglah di depanku bukit kecil yang dicukur bersih.Bibir vagina yang memerah dengan sebuah daging kecil yang tersembul diatasnya.

Kubungkukkan tubuhku dan kudekatkan wajahku ke selangkangannya.Dan aku mulai menjilati pahanya yang putih mulus,dihiasi bulu-bulu halus.Sambil tanganku meraba-raba vaginanya.Beberapa menit berlalu,kupindahkan jilatanku dari pahanya ke vaginanya.Mula-mula kujilati bibir vaginanya,terus kebagian dalam vaginanya.Lidahku menari-nari didalam lubang vaginanya yang basah.

"Ohh.. terus.. Vin.. terus.. goyang lidahmu Vin.. Nik.. Matt.."serunya tertahan.Membuatku semakin bersemangat menjilati lubang vaginanya.Kusedot-sedot klitorisnya.Pantat Mbak Tika terangkat-angkat menerima jilatanku.Ditariknya kepalaku,dibenamkannya pada selangkangannya.

"Ohh.. Vin.. Mbak sudah.. Tak.. Tahan.. Vin.. Masukan.. Masukan penismu sekarang.."pintanya menghiba.

Kuturuti kemauannya.Aku kemudian berdiri.Kuangkat kedua kakinya tinggi-tinggi,hingga ujung jari kakinya berada diatas bahuku.Kudekatkan penisku keselangkangannya dan kugeser-geser sebentar diatasnya.Mbak Tika segera meraih penisku dan menuntunnya ke lubang vaginanya.Kudorong maju pantatku hingga kepala penisku masuk ke lubang vaginanya.

Aku diam sejenak mengatur posisi supaya lebih nyaman,lalu kudorong pantatku lebih keras,membuat seluruh batang penisku masuk ke lubang vaginanya.Kurasakan penisku dijepit dan dipijit-pijit lubang vaginanya yang sempit.Vaginanya penuh sesak karena besarnya batang penisku.

"Aow.. Pelan-pelan.. Vin.. penismu besar sekali"pekiknya,ketika aku mulai memaju mundurkan pantatku,membuat penisku keluar masuk dari lubang vaginanya.Kunaik-turunkan penisku dengan irama,kadang lambat kadang cepat.Sementara tanganku meremas payudaranya dan memilin putingnya.Mbak Tika terus mencerecau tidak jelas.

"Ooh..Vin.. penismu.. ooh..luar biasa..,penis Mas Pras tidak ada apa-apanya.Ooh.. yeah... goyang terus Vin.."Tak terasa sudah dua puluh menit aku memaju mundurkan pantatku.Dan kurasakan vagina Mbak Tika berkedut-kedut.Dan otot-otot vaginanya menegang.

"Ohh.. Vin.. Mbak.. Keluarrr.. Sayang"teriaknya lantang.Sedetik kemudian kurasakan cairan hangat keluar dari vaginanya.Dan Mbak Tika mencapai orgasmenya.Mbak Tika tahu kalau aku belum mencapai puncak kenikmatan.Dia turun dari atas sofa.Kemudian berjongkok dihadapanku.Diraihnya penisku dan dikocok-kocok dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya meremas-remas buah pelirku.

"Akhh.. Mbak.. Enak.. Nikk.. Mat.. terus"seruku,ketika Mbak Tika mulai menjilati batang penisku.Dari kepala hingga pangkal penisku dijilatinya.Mataku merem melek merasakan nikmatnya jilatan Mbak Tika.

Aku semakin merasa nikmat ketika Mbak Tika memasukkan penisku ke mulutnya yang mungil.Dan mulai mengulum batang penisku.Mbak Tika memaju mundurkan mulutnya,membuat penisku keluar masuk dari mulutnya.Sementara tangannya mengocok-ngocok pangkal penisku.

"Oohh.. Mbak.. Akuu.. Tak.. Tahan"teriakku.

Dan kurasakan penisku berkedut-kedut semakin lama semakin cepat.Kutarik rambutnya dan kubenamkan kepalanya diselangkanganku.

"Mbak.. Akuu.. Ke.. Luarrr"teriakku lagi lebih keras.Mbak Tika semakin cepat memaju mundurkan mulutnya.Dan crott! crott! crott!penisku memuntahkan sperma yang sangat banyak di mulutnya.Mbak Tika pun menelannya tanpa ragu-ragu.Dan tanpa rasa jijik sedikitpun dia menjilati sisa-sisa spermaku sampai bersih.

"Terimakasih Vin,kamu telah memberi Mbak kepuasan"pujinya sambil tersenyum."Sama-sama Mbak,aku juga merasa sangat nikmat"sahutku.

"Mbak masih mau lagi"tanyaku."Mau dong,tapi kita istirahat dan mandi dulu ya"ujarnya.

Setelah kami istirahat sejenak mengembalikan nafas yang ngos-ngosan,kami meraih pakaian masing-masing untuk selanjutnya bersama-sama pergi ke kamar mandi yang ada didalam kamar tidurnya.Didalam kamar mandi kami saling menyabuni dan mengosok tubuh kami.Hingga nafsu kami bangkit kembali.Kami pun cepat-cepat menyelesaikn mandi kami.

Sesudah saling menghanduki,masih sama-sama telanjang,kubopong tubuhnya menuju ranjang.Sambil berdiri kupeluk erat tubuhnya.Kulumat bibirnya.Mbak Tika membalas lumatan bibirku dengan pagutan-pagutan hangat.Cukup lama kami bercumbu,kemudian aku duduk disofa yang ada didalam kamarnya.

Dan kusuruh Mbak Tika berjongkok dihadapanku.Mbak Tika tahu maksudku.Diraihnya batang penisku yang belum terlalu keras.Dielus-elusnya lembut kemudian dikocok-kocok dengan tangannya.Setelah penisku mengeras Mbak Tika menyudahi kocokkannya,dia mendekatkan wajahnya ke selangkanganku.Lidahnya dijulurkan dan mulai menjilati kepala penisku.Lidahnya berputar-putar dikepala penisku,kemudian turun kepangkalnya.

"Oohh.. terus.. Mbak.. Nikmat banget"desahku."Isapp.. Mbak.. Isap"pintaku.Mbak Tika menuruti kemauanku.Dimasukkannya penisku kemulutnya.Hampir sepertiga batang penisku masuk ke mulutnya.Sambil tersenyum padaku,dia mulai memaju mundurkan mulutnya,membuat penisku maju keluar masuk dimulutnya.

"Mbak.. Aku.. Tak.. Tahan"seruku.Mbak Tika kemudian naik ke pangkuanku.Vaginanya pas berada diatas selangkanganku.Diraihnya penisku dan dibimbingnya ke lubang vaginanya.Mbak Tika mulai menurunkan pantatnya,sedikit demi sedikit batang penisku masuk ke lubang vaginanya semakin lama semakin dalam.Hingga seluruh batang penisku masuk ke lubang vaginanya.

Sesaat kemudian Mbak Tika mulai menaik turunkan pantatnya.payudaranya yang besar ikut berguncang kesana kemari mengikuti garakan naik turun tubuhnya.Kumasukkan puting susunya yang tepat berada di depan mulutku.Kusedot-sedot hingga dia pun menggerang kenikmatan.Sesekali digoyang-goyangkan pantatnya kekiri-kekanan.Aku tak mau kalah,kusodok-sodokkan pantatku ke atas seirama dengan goyangan pantatnya.

"Ohh.. Vin.. Aku.. Mauu.. Ke.. luarrr"teriaknya setelah hampir tiga puluh menit menggoyang tubuhku.Dan kurasakan otot-otot vaginanya menegang.Tangannya mencengkeram dadaku dengan keras.Sesaat kemudian kurasakan cairan hangat merembes dilubang vaginanya.

"Aku tak ingin mengecewakanmu sayang"katanya sambil tersenyum.Dia menarik penisku keluar dari lubang vaginanya, kemudian berjongkok kembali dihadapanku.Mbak Tika sudah tahu kesenanganku.Dia kemudian menjepit batang kemaluanku diantara buah dadanya yang besar itu.Perlahan tapi pasti Mbak Tika mulai menaik turunkan buah dadanya yang besar itu.Membuatku merasakan nikmat yang tiada taranya.

Cukup lama Mbak Tika menggoyang-goyangkan buah dadanya,kemudian kami berganti posisi.Kusuruh dia menungging,membelakangiku dengan tangan bertumpu pada sofa.Kugenggam penisku dan kuarahkan tepat ke lubang vaginanya.Kudorong sedikit demi sedikit,sampai seluruhnya amblas tertelan lubang vaginanya.

Lalu kudorong pantatku maju mundur.Kurasakan nikmatnya lubang vagina Mbak Tika.Sambil kumainkan klitorisnya yang menyembul dengan jari-jariku.Membuat nafsu birahi Mbak Tika bangkit lagi.Mbak Tika mengimbangi gerakkanku dengan mendorong-dorong pantatnya seirama gerakkan pantatku.

Aku semakin mempercepat gerakkan pantatku,ketika kurasakan akan mencapai orgasme.Demikian juga jari-jariku semakin cepat memilin klitorisnya.

"Mbak.. Mbak.. Akuu.. Mau.. Keluar"seruku."Mbak.. Juga.. Vin"sahutnya.

Dan dalam waktu yang hampir bersamaan,kami mencapai orgasme.Kutarik penisku dari lubang vaginanya.Mbak Tika kemudian membalikkan badannya dan jongkok didepanku,dan kutumpahkan spermaku dibuah dadanya.Kemudian dia duduk di sofa kembali.

Didekatkannya selangkangannya kewajahku.Ditariknya rambutku dan dibenamkannya kepalaku keselangkangannya.Dan akupun mulai menjilati vaginanya sambil duduk.Kuhisap dan kusedot-sedot cairan hangat yang keluar dari lubang vaginanya.Mbak Tika sangat menikmati perlakuanku."Mbak sangat puas sekali Vin.Beda sekali saat berhubungan dengan Mas Pras.Aku pernah berpikir jangan-jangan Tiara ..."Dia menghentikan ucapannya.Dan aku pun tidak terlalu mendengarkan dengan jelas apa yang dikatakan Mbak Tika Saat itu.

Kami mengulangi permainan itu sampai keesokan harinya.Dan aku pulang bersamaan dengan aku mengantar Mbak Tika berangkat kekantornya.Mbak Tika meminta,jika tidak keberatan saat aku nanti sore berangkat ke Jakarta dia ingin ikut membonceng aku ke Bandung.

Sebenarnya Agak jauh dan lama jika harus ke Bandung dulu.Tapi setelah menimbang segala sesuatunya aku pun menyetujuinya.Siapa tahu dalam perjalanan ke Bandung nanti aku juga masih bisa menikmati tubuh montok Mbak Tika.


Chapter VII : Quickie

Dua minggu sudah aku kembali ke Jakarta dan larut dalam rutinitas kerja harian. Aku benar-benar sibuk, aku dipilih untuk ikut pendidikan dan latihan menembak. Belum lagi untuk persiapan menghadapi test ujian untuk mendapatkan bea siswa ke Inggris yang kemungkinan akan dilaksanakan dua bulan lagi.

Jadi masalah Om Gian tertunda sementara. Sebenarnya kalau menuruti kehendak aku ingin cepat menyelesaikan masalah itu. Tapi aku sudah dipesan ayah. Aku harus bisa bekerja disiplin, kerja keras dan penuh dedikasi. Jangan korupsi, walau hanya korupsi waktu apalagi harta.

Satu lagi adalah masalah Mbak Tika. Aku sudah berjanji untuk membantu menyelidiki rahasia kenapa Mas Pras berubah. Satu jam sebelum kami berpisah dua minggu yang lalu kami sempat bercinta. Saat itu Mbak Tika memberikan data yang kubutuhkan dan juga nomer-nomer teman Mas Pras.

Bunda Maia juga sudah memintaku untuk datang ke tempatnya, tapi aku benar-benar belum sempat. Apalagi dari tempatku kerja di daerah Kota Baru, Kemayoran ke tempatnya di Pondok Indah bukanlah jarak yang bisa ditempuh dengan cepat. Apalagi kadang aku lembur sampai malam. Hari liburku hanya hari minggu.

Hari minggu ini aku mencoba berpikir tentang masalah Om Gian. Dari data transfer yang kuterima dari Mbak Tika. Ternyata orang itu tidak menggunakan rekening tapi langsung kirim uang tunai. Ada nama pengirim uang itu, tapi tidak diketahui apakah namanya asli atau palsu. Satu-satunya jalan mungkin hanya melihat rekaman CCTV di Bank tersebut. Tapi itu juga masalahnya bagaimana cara untuk melihat rekaman CCTV di Bank tersebut pada hari kejadian.

Saat aku sedang mencatat analisis dan rencana-rencana ku selanjutnya tiba-tiba Ponsel ku berbunyi. Telepon dari Bunda Maia " Vin, lagi sibuk tidak ? Bunda lagi di sekitar JTC. Kalau ada waktu gabung kesini saja sama Bunda". Setelah berpikir daripada bengong sendirian lebih baik menerima ajakan Bunda Maia.

"Baik Bund, Tiga puluh menit lagi aku sampai" Aku lalu berganti pakaian kemudian segera meluncur kesalah satu Caffe yang ada Di mall mangga dua seperti yang tadi dibilang Bunda Maia. Ketika sampai ditempat parkir itu aku ketemu Pak Sam. Setelah berbincang sejenak dengan Pak Sam aku pun segera masuk kealam Caffe itu.

Saat Bunda Maia memintaku ketempat ini kukira paling Bunda Maia cuma bersama Mbak Mei Chan, Mbak Linda dan Pak Sam. Tapi saat aku masuk ternyata banyak selebritis lainnya. Ada Mbak Yuni Shara dan Raffi Ahmad, Mbak Rossa, Mbak Iis Dahlia, Mbak Krisdayanti, Dua Pasto dan Si Jupe. Tentu saja ada Mei Chan, Mbak Linda dan tiga orang lainnya yang tidak kukenal.

Kemudian aku diperkenalkan dengan mereka semua, ternyata mereka banyak yang berada dalam manajemen artis nya Bunda Maia. Sebenarnya aku tidak menyangka akan bisa berkenalan dengan seleb seperti mereka. Ada rasa grogi juga minder melihat penampilan mereka yang waah. Dibandingkan dengan tampilanku yang biasa saja. Tapi paling tidak diantara para Lelaki yang ada disitu wajahku yang paling good looking.

Sepuluh menit aku ditempat itu Bunda Maia ijin ke toilet. Tak lama handphone ku berbunyi, Ada pesan masuk dari Bunda Maia. Bunyi pesannya" Kamu ketoilet susul Bunda,jangan ada yang tahu". Setelah basa-basi sejenak aku minta ijin untuk ke toilet.

Bunda Maia menarikku kearah toilet wanita begitu melihatku. Kemudian masuk kesalah satu toilet. Tampaknya Bunda Maia telah memperhitungkan keramaian dan lalu-lalang orang yang ke toilet. Lagi pula ini caffe eksklusif. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk ke caffe ini. Dan tentu saja pengunjung lebih sedikit disiang hari. Dia memelukku erat dan berbisik manja "Vin Bunda kangen" kemudian dia menciumku dan tangannya membelai pangkal celanaku. Aku pun mebalas ciumannya dengan lebih panas dan tanganku mulai meremas payudaranya.

Ciuman kami bertambah panas "Eesshh.." Bunda Maia mulai merintih. Dan kami sama tahu kalau situasi tidak menguntungkan maka kami ingin cepet-cepat menyelesaikan ini. Bunda menarik restleting celanaku dan kemudian tangannya masuk kecelanaku dan meremas pelan penisku. Hingga penisku perlahan-lahan membesar, kemudian dia menarik penisku dari dalam celana tanpa melepas ziper lalu meremasnya secara pelan.

Aku tak mau kalah. Kulepas jaketnya dan kemudian kugulung bajunya keatas sampai ke dadanya sehingga Bra putihnya kelihatan. Dan tanpa melepas kaitannya kukeluarkan payudaranya dari tempatnya. Begitu keluar dari tempatnya aku arahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya dan, "Cruppp.." sedotanku langsung terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting susunya. "Aahha Viiin, ooohh.. sedooot teruuus aahh.." tangannya semakin mengeraskan genggamannya pada batang penisku. Sesekali kulirik Bunda Maia sambil terus menikmati puting susunya satu persatu. Batang kejantananku tak lagi hanya diremasnya, dia mulai mengocok-ngocoknya. Sebelah lagi tangannya menekan-nekan kepalaku ke arah dadanya.

Bunda Maia berjongkok di hadapanku. Aku kemudian duduk di closet dan secepat kilat Bunda Maia memasukkan batang kejantananku ke mulutnya.
"Ouughh.. sssttt.. nikmat Bund.. ooohh.. ooohh.. ahh.." geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Batang kejantananku tampak semakin tegang, mulut mungil Bunda Maia hampir tak dapat lagi menampungnya. Sementara tanganku ikut bergerak meremas-remas payudaranya.

"Waaouwwwa punya kamu ini yang bikin Bunda kangen.." Bunda Maia kemudian bangkit dan menurunkan celana dan celana dalam Carine Gilson kesayangannya tanpa melepas nya. Kemudian dia menungging didepanku dan tangannya berpegangan pada kloset. Mataku melotot ke arah belahan liang kewanitaannya. Hmm.. kusempatkan menjilatinya semenit lalu dengan cepat kumasukkan batang kejantananku ke dalam lubang kemaluannya. "Sleeepp.." agak susah juga karena kemaluannya lumayan sempit tapi kemudian amblas juga seluruhnya hingga sampai dasar rahim, lalu kupompa naik turun. "Hmm.. ooohh.."

Bunda Maia kini mengikuti gerakanku. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri kanan. Liang kewanitaannya bertambah licin saja. Batang kejantananku kian lama kian lancar, kupercepat goyanganku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. "Plak.. plak.. plak.. plak.." memang nikmat perempuan setengah baya yang kesepian ini.

Mataku merem melek memandangi punggung dan pantat mulusnya. Nafsuku semakin jalang, gerakanku yang tadinya santai kini tak lagi berirama. Buah dadanya tampak bergoyang kesana kemari, tanganku kemudian kearah depan dan kuremas-remas payudaranya.

"Ooohh Sayang, kamu nafsu sekali. Hmm.. Bunda suka yang begini, ooohh.. genjot terus.." katanya menggelinjang hebat.
"Uuuhha Bunda, nikmat Bund.. hmm Bunda cantik sekali ooohh.."
"aahh.. panjang sekali penis kamu.. ooohh, Viiin.. aahh.." Jeritannya semakin keras dan panjang, takut terdengar keluar suara jeritannya maka kumasukkan jariku kemulutnya hingga dia menghisap jariku. Denyutan liang kewanitaannya semakin terasa menjepit batang kejantananku yang semakin terasa keras dan tegang.

"Viiin..?" dengusannya turun naik.

"Kenapa.. Buuund.."

"Kamu bener-bener hebat Sayang.. ooowwww.. uuuhh... Bunda.. mau keluar hampiiirr.. aahh.." gerakan pinggulnya yang liar itu semakin tak karuan, tak terasa sudah lima belas menit kami bersetubuh. Kubalikan tubuhnya dan kuangkat satu kakinya dan kutaruh diatas closet. kemudian kugenjot lagi penisku.

"Ooohh memang enaak Bund, ooohh..Bund ooohh.. Bund, ooohh.. nikmat sekali BUuund, ooohh.." Tak kuhiraukan tubuh Bunda Maia yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, "Aahha Viinn.. Bunda ke..luaarrra aahh.." liang senggama Bunda Maia terasa berdenyut keras sekali, seperti memijit batang kejantananku dan ia menggigit pundakku sampai kemerahan. Kepala batang kejantananku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya.

Lalu aku mempercepat gerakanku hingga bunyinya kecepak-kecepok akibat banyaknya cairan mani Bunda Maia yang sudah keluar. Lalu aku merasa ada sesuatu yang mau keluar. "Aahh Bund.. uuuhh.. nikmat sekali, ooohh.. Buuund sekarang.. ooohha saya nggak tahan" ceracauku tak beraturan. "Bunda juga Viiin.. ohhh.. Gavin sayaanggg, ooohh.. kita keluarkan bersamaan sayaang, oooh.." Kami berdua berteriak panjang, badanku terasa bergetar dan "Croot.. crott.. croott.. croottt.." entah berapa kali batang kejantananku menyemburkan cairan kental ke dalam rahim Bunda Maia yang tampak juga mengalami hal yang sama, selangkangan kami saling menggenjot keras. Bibirnya ia gigit sendiri. Matanya terpejam seperti merasakan sensasi yang sangat hebat.

Setelah beberapa menit istirahat kami berdua pun segera merapikan pakaian masing-masing. Takut keburu ada orang yang datang. Dan benar saja ketika aku sedang cuci tangan di wastafel. Dua orang masuk ke ruangan toilet itu. Ternyata Mbak Yuni Shara dan Mbak Rossa.

Mereka berdua tampak terkejut melihatku disitu. Tapi kemudian mereka tersenyum begitu melihat Bunda maia keluar dari salah satu toilet dengan pakaian sedikit kusut. Tampaknya mereka mengerti apa yang baru saja terjadi.

Aku cuek saja merapikan pakaianku walau dilihat mereka berdua. Hanya saja kudengar suara samar Bunda Maia berkata "Kalian juga pasti akan ketagihan permainannya". Aku tidak tahu apa lagi yang mereka bicarakan selanjutnya, karena aku sudah keluar dari ruang itu dengan perasaan berdebar-debar. Benar-benar Quickie sex yang luar biasa.

Dua jam aku ditempat itu. Ikut ngobrol kesana kemari. Banyak diantara mereka orang yang easy going. Jadi dengan tangan terbuka mereka menerima kehadiranku. Kadang-kadang aku memergoki ada beberapa mata yang diam-diam menatapku. Saat sore hari acara itu berakhir dan akan dilanjutkan ditempat lain.

Mereka akan menghadiri pesta ulang tahun seseorang. Mereka juga mengajakku ikut, tapi aku menolaknya. Aku pun segera berpamitan pada mereka semua.

Saat menyalami Mbak Yuni dan Mbak Rossa mereka berdua tampak senyum-senyum yang membuatku salah tingkah. Akupun kemudian membalas senyum mereka dan tanganku seperti tanpa sengaja mengelitik telapak tangan mereka. Mereka berdua tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum penuh arti.



Chapter VIII : Surprise

Aku sampai di rumah dinas yang kutempati bersama dua orang temanku jam empat sore. Begitu aku masuk rumah salah seorang temanku berkata "Vin tadi ada orang yang datang mencarimu !"

"Siapa ?"

"Tidak tahu, tadi Fariz yang ketemu orang itu. Orang itu hanya titip ini" kata temanku yang bernama Dion. Sambil menyerahkan amplop putih kecil polos tanpa tulisan apapun.

"Kemana Fariz' Yon?" tanyaku pada Dion.

"Tadi katanya mau ketemu kakaknya". Akupun jadi penasaran siapa orang yang memberikan amplop ini. Aku segera masuk kekamarku setelah mengucapkan terima kasih pada Dion.

Karena penasaran aku segera menyobek amplop kecil itu. Saat kulihat hanya ada kertas kecil berisi nomer telepon. Langsung kuhubungi nomer itu. Begitu tersambung aku segera bertanya. "Hallo ...", belum selesai aku berbicara. Seseorang diseberang telepon memeotong ucapanku dengan kata-kata yang sedikit membingungkan aku. Kata-katanya hanya singkat "Setiabudi......,no..,jam 7 malam". Setelah itu teleponnya langsung ditutup, dan saat kuhubungi lagi sudah tidak aktif.

Aku jadi terdiam memikirkan perkataan orang yang ditelepon tadi. Tapi setelah berpikir sejenak aku dapat menangkap maksud dari orang itu. Orang itu menyuruhku datang ke suatu tempat jam tujuh malam.

Aku melihat jam tanganku, ternyata hampir jam lima sore. Masih ada waktu sekitar dua jam. Jam enam lebih sedikit aku berangkat. Hari minggu jadi jalanan tidak terlalu rame dan aku bisa memacu kendaraanku dengan kecepatan penuh.

Setelah sampai aku segera masuk kedalam apartemen itu dan menuju kamar yang disebut orang tersebut. Segera kuketuk pintunya dan aku bersiap menghadapi segala sesuatu yang bisa saja terjadi.

Tepat jam tujuh seseorang mendekati kamar itu. Setelah mengawasi keadan sekitar memastikan tidak ada orang selain kami. Dia pun segera masuk kekamar itu dan menyuruhku mengikutinya. Setelah didalam kembali dia melihat kekanan kiri sebelum menutup pintu kamarnya.

Begitu membalikan badan orang itu langsung memberiku pertanyaan teka-teki. "Untuk membuktikan bahwa kamu orang yang benar-benar kutuju. Aku punya Dua pertanyaan untukmu : 1. Sang Kucing tidur dimana, mandi dimana, dan dia membawa apa? 2. Paman datang hari apa dan membawa apa? Kalau kamu bisa menjawab teka-teki ini berarti kamu orang yang kutuju. Ada hadiah menantimu. Kalau sebaliknya, silahkan tinggalkan kamar ini sekarang juga".

Mendengar pertanyaan itu aku diam sejenak. Tapi kata-kata kucing mengingatkanku pada kata-kata seperti lagu yang sering didendangkan Om Gian sejak aku kecil. Mengingat akan kata-kata yang sering didendangkan Om Gian maka aku menjawab dengan yakin "Sang Kucing tidur diladang,mandi disungai dan dia membawa kipas dan selimut".

Mendengar jawabanku orang itu tersenyum kemudian berkata "Baik kamu sudah lulus dalam satu tes. Tinggal setengah lagi kamu akan dapat apa yang kamu inginkan".

Pertanyaan kedua membuatku sedikit bingung. Tapi karena jawaban dari pertanyaan pertama berhubungan dengan Om Gian. Maka pertanyaan kedua juga sama. Aku lalu mengingat-ingat apalagi hal yang pernah diceritakan Om Gian tentang dirinya. Dengan sedikit ragu aku menjawab "Paman datang hari selasa dan dia membawa Televisi".

Mendengar jawaban dari mulutku orang itu mendekat dan memelukku kemudian berkata "Kamu benar-benar anak itu" seperti mengerti tatapan mata heranku kemudian orang itu menceritakan semuanya.

Namanya Anwar, dia tidak menyebut nama lengkapnya. Dia adalah rekan kerja Om Gian. Terakhir bertemu Om Gian adalah ketika Om Gian akan kembali ke Indonesia. Satu minggu yang lalu saat dia mendengar tentang kematian Om Gian, dia langsung kembali ke Indonesia. Selain untuk menyelidiki kematian Om Gian, juga ingin menyampaikan wasiat yang diterima dari Om Gian. Mereka berdua sudah bersahabat lama dan sama-sama tidak menikah. Mereka berjanji kalau ada salah satu dari mereka mati. Maka orang yang satunya akan menyampaikan pesan pada keluarga temannya yang mati.

Kemudian dia memberiku beberapa foto. Dalam setiap foto itu ada wajah yang dilingkari. Walau ada beberapa foto, tapi tampaknya ada persamaan setiap gambar yang dilingkari. Ada tiga orang yang dilingkari dalam gambar itu. Dia lalu menjelaskan tiga orang itu yang terakhir sedang diikuti Om Gian dan Om Anwar. Mungkin kematian Om Gian ada hubungan dengan mereka bertiga.

Om Anwar menjelaskan dimana mereka sering berkumpul dan bertemu. Dia memintaku menyelidiki mereka. Karena Om Anwar juga akan kembali melakukan tugasnya. Terakhir dia mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya padaku. Dan terakhir berkata "Kamu baca itu nanti kamu akan mengerti semuanya. Kamu mulai sekarang harus hati-hati, mungkin saja mereka sekarang sudah mengetahui hubunganmu dengan Gian. Paman harus segera pergi. "Selamat Tinggal"

Dan kata-kata selamat tinggal itu adalah ucapan terakhir yang kudengar dari mulut Om Anwar. Karena ketika besok harinya aku melihat siaran televisi ada berita tentang kecelakaan orang tidak dikenal. Dan saat kulihat baik-baik ternyata pakaian dan ciri-ciri korban mirip dengan Om Anwar.

Kini aku benar-benar mengerti mereka sungguh berbahaya dan aku telah masuk didalamnya. Aku kemudian menghubungi Mas Bram. Dan menceritakan tentang Om Anwar. Semua yang dikatakan Om Anwar juga foto-foto yang kuperoleh darinya. Mas Bram berjanji akan menemuiku secepatnya begitu kembali dari Surabaya. Dia juga memintaku mengirimkan foto yang kuperoleh via email.

Surat yang diberi Om Anwar telah kubaca. Surat itu dari Om Gian, dan dia menjelaskan bahwa dia mewariskan sebagian hartanya padaku sedang yang sebagian dibagi untuk kakak-kakaknya dan sebagian untuk amal. Dan selain surat itu ada kunci untuk membuka safe deposit box nya serta surat kuasa bila diperlukan.

Safe deposit box itu ada disalah satu Bank yang ada dijalan Boulevard Barat, Kelapa Gading. Kebetulan Bank itu sama dengan Bank tempat Mister X mengirim uang untuk membeli mobil yang dipergunakan untuk membunuh Om Gian.

Jam sembilan ketika aku didepan laptop sedang mengerjakan sesuatu. Aku dipanggil Bapak Kepala Kantor. Saat aku masuk keruangan kepala kantor, sudah ada Bapak urusan umum dan temanku Fariz. Kemudian dia menjelaskan alasan pemanggilan kami berdua.

Direktorat kami sudah mengadakan MOU tentang NAPZA dengan BNN Pusat dan Polri. Akan diadakan kerja sama dalam pengungkapan kasus penyelundupan maupun peredaran N*rk*t*ka. Aku dan Fariz yang mewakili kantor kami dalam tugas itu. Setelah mendengarkan mekanisme dan bagaimana sistem kerjanya kami diijinkan untuk keluar atau pulang dulu untuk mempersiapkan tugas kami yang akan dilaksanakan mulai esok hari.

Saat istirahat siang kuputuskan untuk pergi ke Bank. Untuk melihat isi Safe Deposit Box pemberian Om Gian. Tidak lama keluar dari halaman kator. Sesorang tampak berjalan didepanku dengan seragam sama denganku. Bedanya orang itu adalah seorang wanita yang memakai J*lb*b.

Kudekati dia dan kusapa "Mbak Ina mau kemana, kok jalan kaki?"

"Eh dik Gavin, Mau kerumah sakit dik"

"Siapa yang sakit Mbak?"

"Anak saya dik" Kemudian dia bercerita. Anaknya sedang sakit dan dirawat dirumah sakit Mitra Keluarga. Dan Mbak Ina mau menengoknya. Sementara dia bekerja, anaknya dijaga oleh adik ipar dan pembantunya. Dia tidak mengajukan cuti karena belum belum lama ini dia sudah mengambil cuti tahunannya.

"Sudah ya dik. Saya duluan" katanya sambil menuju tepi jalan untuk menghentikan taksi yang lewat.

Belum lama Mbak Ina berjalan aku berkata padanya. "Mbak mau saya antar. Kebetulan saya juga mau kearah situ. Kalau Mbak tidak keberatan, dari pada menunggu taksi lama" Saya pun mencoba menawarkan bantuan.

Mbak Ina diam sejenak. Kemudian mengangguk menyetujui penawaranku. Diapun kemudian naik dan duduk dibelakangku. Mbak Ina duduknya agak kebelakang sehingga tubuhnya tidak menempel dengan tubuhku.

Tapi karena aku mengajaknya berbicara dan jalanan ramai maka sedikit demi sedikit badannya agak condong kearah badanku. Mungkin supaya bisa mendengar perkataanku. Ketika aku agak cepat menjalankan sepeda motorku maka diapun mulai memegang pinggangku untuk berpegangan.

Nurul Aina Sofyan, tapi biasa dipanggil Ina kalau dikantor. Usia 34 tahun, tinggi 160 cm, berat sekitar 50 kg, wajahnya cantik, kulitnya kuning langsat, buah dadanya kelihatannya besar, kaca mata minus dan j*lb*b yang selalu dikenakan menambah keanggunannya.

Walaupun usianya lebih tua dariku. Tapi dalam kepangkatan kami satu tingkat. Saat sampai di Rumah sakit aku ikut masuk kedalam menjenguk. Anaknya sakit panas tinggi. Kadang sampai 41 derajat panasnya, untung tidak sampai kejang. Yang menjaga adalah wanita berumur sekitar 29 tahun, Adik iparnya yang bernama Mbak Ita. Aku tidak melihat suami Mbak Ina. Saat kuyanyakan dimana suaminya Mbak Ina hanya diam membisu.

Mbak Ina sebenarnya mempersilahkan aku kalau mau pulang dulu. Tapi aku merasa tidak enak, maka aku memutuskan untuk menunggu Mbak Ina dan kembali kekantor bersama. Sebenarnya walau kami satu kantor. Tapi kami jarang bertemu dan berbicara, karena bagian kami berbeda.

Sekitar lima puluh menit kami dirumah sakit itu. Saat sudah dijalan aku minta ijin Mbak Ina untuk pergi ke Bank sebentar. Sebelum kembali kekantor. Dan Mbak Ina mengiyakan.

Saat masuk kedalam Bank itu aku melihat sekeliling, dan berpikir dalam hati "Apakah Mister X ada ditempat ini". Setelah menghilangkan pikiran aneh itu aku segera menemui salah seorang pegawai Bank dan mengutarakan maksud kedatanganku.

Tapi mereka curiga padaku dan meminta semua data tentang diriku, bahkan dengan surat kuasa dari Om Gian mereka masih ragu. Mungkin karena kami agak bersitegang dan ramai maka menarik perhatian nasabah lainnya. Tak mau nasabah lainnya terganggu maka aku dan Mbak Ina diajak kedalam satu ruangan. Saat kami belum ada kesepakatan tiba-tiba Mbak Ina berkata "Apa Pak Aman ada ditempat? Kalau ada bisa saya ketemu dengannya".

Tak lama muncul seorang laki-laki 30 tahunan, wajahnya lumayan tampan dan berwibawa didepan dadanya ada name tag dan kubaca "Nurul Aiman S. Ternyata dia adiknya Mbak Ina. Kemudian Mbak Ina berbicara dengan adiknya itu. Kemudian Pak Aman berbicara pada pegawai yang tadi menemui aku. Orang itu kemudian pergi dan tak lama kemudian datang kembali sambil membawa sebuah kunci. Kemudian berkata padaku "Maaf Mas atas ketidaknyamanannya. Mari saya antar ke tempat Safe Deposit Box anda". Tampaknya jabatannya lumayan tinggi hingga punya pengaruh..

Setelah berbagai macam jalan dan kunci kini aku berada didepan kotak itu. Pak Aman telah pergi, karena itu prosedurnya. Kubuka kotak itu perlahan dan aku terpukau saat melihat apa yang ada didalamnya. Beberapa potong Emas batangan bernilai 100 gram, satu kantong kecil dan lebih membuatku takjub saat mengetahui bahwa isi kantong itu adalah butir berlian, yang entah berapa harganya. Dua buah amplop yang satu besar dan yang satu kecil. Kubuka amplop kecil yang terdapat tulisan Anwar dibagian luarnya.

Ternyata berisi beberapa butir berlian juga dan ada lagi surat yang bunyinya cukup singkat. "Gian,Aku sebatang kara dan Kamu sudah kuanggap saudaraku. Maka jika aku sudah tidak ada maka berlian ini menjadi milikmu". Aku mengerti maksud dari surat itu. Kemudian kubuka amplop yang satu lagi ternyata ada surat kepemilikan apartemen dan mobil berikut kuncinya. Dan yang membuatku Surprise adalah semua surat itu atas namaku.

Setelah itu aku keluar dari ruangan itu. Hanya surat-surat beserta kuncinya yang kubawa serta satu butir berlian. Berlian lainnya dan batangan emas itu masih ditempatnya. Aku belum berani mengambil barang itu. Aku tidak tahu dari mana Om Gian mendapat berlian itu. Saat akan pulang aku mengucapkan terima kasih kepada Mas Aman. Dengan iseng aku bertanya soal rekaman CCTV di Bank itu. Aku bertanya bolehkah aku melihat rekaman CCTV sebulan yang lalu. Mas Aman berpikir sejenak, kemudian Mas Aman mengajakku keruangan di manakah file-file rekaman itu disimpan.

Saat aku melihat rekaman CCTV pada hari itu. Ternyata Om Gian terakhir kali masuk ke Bank ini juga bersamaan dengan saat Mister X mengirimkan uang ke Kang Jono. Aku berpikir apa Om Gian sudah punya firasat. Kemudian aku minta dicopy kan file itu. Saat aku bertanya tentang orang yang mengirim uang yang terlihat di kamera CCTV. Dia mengatakan orang itu bukan nasabah disitu, Setelah mengucapkan terima kasih pada Mas Aman kami keluar dari Bank itu dan kembali kekantor. Saat tiba didaerah Sunter. Aku menawari makan siang kepada Mbak Ina. Dan dia tersenyum kemudian mengiyakan.

Kami pesan makanan dan kemudian duduk untuk menunggu. Saat berbincang santai kami tiba-tiba datang seseorang yang diikuti empat orang yang tidak kukenal mendekati meja kami. Melihat orang yang datang tersebut Mbak Ina tampak ketakutan. Belum sempat Mbak Ina bersuara orang yang paling depan sudah berbicara keras dan kasar "Dasar Per*mp*an su**al, diajak balik kembali tidak mau ternyata sudah punya lelaki lain yang lebih muda dan cakep ya".

"Ba..bangg, ini bukan seperti yang abang du.."

"Plaaaak" tiba-tiba lelaki itu menampar pipi Mbak Ina, Aku yang tidak menduga tindakan seperti itu tidak bisa mencegahnya.

Mbak Ina sepertinya kesakitan, dia hanya diam sambil mengelus pipinya yang putih mulus kini nampak merah. Aku kemudian segera mendekati Mbak Ina dan berusaha membangunkannya. Tapi tindakanku yang menolongnya tampaknya malah menambah kemarahan lelaki itu.

"Dasar Pere***an mu**fik, bilangnya tidak ada hubungan. Tapi tampak begitu mesra dan perhatian. Mbak Ina masih berusaha berbicara baik-baik dengan lelaki itu. Tapi lelaki itu tampaknya bertambah marah dan begitu tangannya mulai terangkat aku segera berdiri disamping mbak Ina. Dan begitu tangannya melayang kembalimenujukearah Mbak Ina maka akupun segera menangkap tangan itu, dan mengibaskannya.

"Ma'af Bang, Kalau ada persoalan lebih baik bicara baik-baik jangan asal pukul"

"Kamu tahu apa anak kecil, ini urusan rumah tangga orang. Kamu tidak berhak menasehatiku.

Mendengar dia berkata suaminya Mbak Ina aku kaget. Aku berpikir dalam hati"Benarkah dia suaminya, bisa runyam urusannya kalau benar" Aku memandang kearah Mbak Ina untuk memastikannya.
"Bukan Vin cuma mantan" setelah berkata seperti itu Mbak Ina agak bersembunyii dibelakang punggungku.

"Minggir kau anak kecil, kalau tidak kamu akan menyesal"

"Lebih baik Anda yang pergi, Anda sudah membuat kekacauan ditempat ini"

"Hajar bocah kurang ajar itu, beri dia pelajaran"

Tiga orang itu segera menuruti perintahnya dan maju menyerangku. Tampaknya mereka lumayan juga, sehingga aku harus lebih hati-hati. Sementara Mbak Ina berteriak menyuruhku pergi saja jangan meladeni mereka.

Beberapa saat aku hanya menghindar sambil memperhatikan gerakan mereka. Setelah tahu kelemahan mereka aku segera membalas menyerang mereka. Dan dengan enam gerakan cepat, mereka semua tersungkur diatas tanah. Melihat tiga tukang pukulnya jatuh. Mantan suami Mbak Ina nampak marah, tapi dia diam saja. Aku mendekatinya dan mengancamnya "Jika anda sekali lagi menampar atau memukul Mbak Ina, maka anda akan terima balasannya dua kali lipat".

"Kamu akan menyesal telah berurusan denganku, lihat saja nanti " katanya dengan nada geram. Tapi aku diam saja dan tidak menghiraukan ancamannya.

Setelah itu aku membayar makanan dan minuman yang sudah kami pesan walau belum sempat kami makan. Kemudian aku mengajak Mbak Ina pergi dari tempat itu. Diatas sepeda motor dalam perjalanan pulang kekantor Mbak Ina meminta maaf atas kejadian yang baru saja terjadi. kami kemudian sama-sama terdiam hingga perjalanan sampai kekantor.

Sampai sore aku dikantor. Sambil mencatat dan mengulang kembali hasil yang telah kudapatkan sampai saat ini. Foto-foto yang diberikan Om Anwar, catatan dari Mas Bram, rekaman CCTV dan lain-lainnya.

Aku teringat surat dan kunci yang tadi aku peroleh dari Safe Deposit BOx (SDB)nya Om Gian. Kalau ada kunci dan surat pasti ada barangnya. Jadi dimanakah mobil itu?. Pasti ada di apartemennya. Sebuah apartemen di Menteng Dalam. aku pun membereskan meja dan barang-barangku untuk segera menuju ketempat itu.

Saat aku menuju pintu keluar, telepon genggamku berbunyi. Kulihat nama pemanggil 'Bunda Maia' aku jawab panggilan itu. Bunda Maia memintaku datang ketempatnya kalau bisa. Aku jawab tidak bisa malam ini, mungkin besok. Dan diapun setuju dan akan menungguku besok ditempatnya. Saat aku menutup teleponku Mbak Ina sudah berdiri didepanku.

"Vin, Mau tidak mengantar Mbak kerumah sakit?

Sebenarnya aku ingin mengatakan tidak bisa. Tapi begitu melihat tatapannya, bibirnya, wajah anggun keibuan yang terpancar dari dirinya membuat bibirku kelu untuk mengucapkan kata tidak. Maka aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Saat kami sampai dirumah sakit ada Mas Aman diruangan itu. Dia menjemput istrinya, dan gantian Mbak Ina yang menjaga anaknya. Malamnya biasanya nanti Mas Aman datang menemani Mbak Ina menjaga keponakannya.

Saat Mas Aman pulang, sebenarnya aku ingin pamit pulang juga. Tapi lagi-lagi sorot mata wanita yang tampaknya kesepian itu seakan-akan berharap untuk ditemani. Dia pun kemudian menceritakan tentang dirinya. Dia dan Mas Aman cuma berdua didunia ini, orang tua mereka kecelakaan saat mereka kecil, hingga mereka diasuh kakek-neneknya. Untung orang tua mereka cukup meninggalkan banyak harta untuk mereka, Jadi mereka bisa sekolah sampai tinggi.

Lalu tentang mantan suaminya yang sangat kasar padanya, hingga dia minta cerai. Tapi suaminya masih sering mencari-cari dia. Tentang Aida anaknya yang merupakan hiburan satu-satunya bagi dirinya. Aida dinyatakan sudah sembuh dan besok diijinkan pulang.

Melihat dari tadi aku hanya diam saja Mbak Ina merasa tidak enak hati "Vin, Mbak tahu telah menyusahkanmu, Kalau kamu mau pulang mbak persilahkan. Mbak tidak apa-apa kok sendirian"

"Tidak apa-apa kok mbak" kataku. "Kalau tidak apa-apa kok dari tadi, mbak perhatikan kamu kok diam saja. Memang membosankan berdua bersama ibu-ibu. Mending jalan dengan wanita yang masih gadis, cantik, sexy seperti Rini, Tina atau Rachma" Aku hanya tersenyum mendengar dia membandingkan dirinya dengan Rini, Tina dan Rachma. Mereka satu kantor juga dengan kami dan usianya sebaya denganku.

"Kenapa kamu senyum-senyum ? melamunkan mereka ya? mendengar itu aku makin merasa lucu dan hampir tertawa. Melihatku tertawa dia merasa gemas dan berusaha untuk mencubitku. Aku berusaha menghindar tapi akibatnya tangan Mbak Ina malah menyentuh selangkanganku. Mukanya langsung merah merona, kami saling bertatapan dan aku hanya bisa tersenyum menggodanya. Beberapa detik tangan itu masih disitu, dia menarik tangannya ketika mendengar suara mendekati kamar itu.


 Chapter IX : Wonderful Tonight

Mas Aman dan Mbak Ita yang datang. Mereka berdua bisa menjaga Aida, karena anak mereka ikut orang tua Mbak Ita. Dan mempersilahkan Mbak Ina kalau mau pulang, biar bisa tidur lebih nyenyak karena tiga hari ini tampaknya kurang tidur. Mempertimbangkan keadaan Aida yang sudah dinyatakan hampir sembuh sehingga tidak mengkhawatirkan. Maka Mbak Ina setuju untuk tidur dirumah. Mas Aman mau mengantar Mbak Ina, tapi karena aku sekalian mau pulang maka aku bersedia mengantarkannya pulang.

Ketika hampir sampai rumah Mbak Ina memintaku untuk mencari makan malam dulu. Kulihat jam ditangan belum ada jam delapan malam. Masih ada waktu untuk ke Menteng. Maka aku pun mengantar Mbak Ina mencari makan. Sesudah makan aku antar dia pulang. Saat samapi rumahnya aku pamit pulang. Tapi saat aku akan meninggalkan tempat itu Mbak Ina memanggilku lagi. Dia bilang sekali lagi minta tolong padaku untuk mngatarkanku kembali ke Rumah sakit. Katanya Mas Aman dan istrinya harus segera pergi kerumah orang tua Mbak Ita, Karena orang tua Mbak Ita sakit keras.

Setelah aku menyetujuinya Mbak Ina minta waktu sebentar untuk ganti pakaian. Saat dia keluar dari rumahnya aku terpana melihat penampilannya. Dia berganti pakaian dengan baju ketat warna putih yang dilapis dengan sweater warna senada tapi belum sempat ditutup sweaternya ketika keluar dari rumah, sehingga aku dapat melihat kemontokan buah dadanya yang tampaknya sangat besar ukurannya.

Penampilannya sungguh berbeda ketika memakai seragam kerja dengan sekarang. Walau masih tetap memakai Ji*b*b tapi baju serta celana ketatnya benar-benar membuat penampilannya berubah menjadi seperti orang lain.

Kali ini saat diatas sepeda motor duduknya dekat dan tangannya berani melingkar dipinggangku dan terutama buah dadanya yang besar menempel erat dipunggungku. Untung jaraknya tidak terlalu jauh sehingga tidak lama kemudian kami sudah sampai.

Saat kami sampai di kamar inap yang di tempati Aida, Ternyata Mas Aman dan Mbak Ita istrinya sudah siap untuk pergi. Kemudian Mas Aman dan Istrinya segera pergi dari situ. Ruang inap ini di kelas VIP sehingga hanya satu orang yang tinggal didalannya. Ketika kami masuk tadi Aida sudah tertidur diatas ranjang inapnya.

Jam sudah sembilan malam lewat. Ingin Aku meninggalkan tempat ini,tapi kasihan kalau hanya dia yang jaga sendiri. Maka aku memutuskan untuk tinggal menemaninya. Setelah Mas Aman pergi, dan Aida tidur kini hanya aku dan Mbak Ina yang ada diruangan itu. Dan suasananya menjadi aneh, kami sama-sama diam dan kadang-kadang saling pandang dan kemudian kulihat rona merah dipipinya.

Ruangan itu ada pendingin udaranya. Tapi hawanya terasa panas. Maka aku melepaskan jaketku dan baju luarku. Kini aku hanya memakai baju dalam dan celana panjang. Kemudian aku mengambil laptop yang ada didakam tas ku dan mulai kembali menganalisa hal-hal yang telah kudapatkan.

Mbak Ina tampaknya juga kepanasan dengan suasana ini. Dia tampaknya ingin melepaskan sweaternya, tapi sepertinya malu karena ada aku diruangan itu. Tapi kemudian dia melepaskan sweaternya itu. Dan kini baju ketatnya betul-betul memperlihatkan lekuk indah tubuhnya.

Aku jadi tidak konsentrasi dengan apa yang kukerjakan, karena lebih sering mencuri pandang kearah tubuhnya. Aku memecah keheningan dengan berkata padanya, "Mbak kalau sudah mengantuk tidur dulu saja, biar aku yang jagain Aida".

Kulihat dia tampaknya masih ragu. Tidak tahu ragu karena apa, Apa karena ada aku atau tidak enak karena ditemani malah tidur."Mbak ragu-ragu karena ada aku ? kalau seperti itu biar saya berjaga didepan pintu saja. "Oh tidak Vin, Mbak tidak apa-apa kok. Kamu disitu saja tidak apa-apa".

Mbak Ina kemudian masuk kedalam kamar mandi yang juga ada diruangan itu. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada layar monitor. Sambil kudengarkan musik kesenanganku. Lagu cinta model evergreen, everlasting dan sejenisnya . Mbak Ina masih didalam kamar mandi dan aku tidak tahu apa yang dilakukannya hingga begitu lama. Sa'at pintu kamar mandi terbuka dan Mbak Ina hendak keluar dari kamar mandi aku dapat menyaksikan siluet tubuhnya karena terangnya lampu kamar mandi.

Dan dari dalam laptopku mengalun sebuah lagu :

It's late in the evening
She's wondering what clothes to wear
She puts on her make up
And brushes her long blond hair
And then she asks me
Do I look alright
And I say yes, you look wonderful tonight
We go to a party
And everyone turns to see
This beautiful ladyThat's walking around with me
And then she asks me
Do you feel alright
And I say yes, I feel wonderful tonight
I feel wonderful
Because I see the love light in your eyes
And the wonder of it all
Is that you just don't realize
How much I love you
It's time to go home now
And I've got an aching head
So I give her the car keys
She helps me to bed
And then I tell her
As I turn out the light
I say my darling, you were wonderful tonight
Oh my darling, you were wonderful tonight

(By : Eric Clapton )

Wonderful Tonight, lagu yang bisa sedikit mengambarkan suasana saat ini. Mbak Ina telah berganti pakaian. Bukan pakaian ke pesta, tiada riasan di mukanya, rambutnya pun tidak pirang tapi sama panjang. Walau tidak sama,tapi bila dia bertanya "Bagaimana penampilanku malam ini?". Maka akan kujawab sama seperti dalam lagu itu "And I say yes, you look wonderful tonight"

Mbak Ina tampak istimewa karena dia telah menganti pakaiannya dengan baju tidur dari sutra yang tipis. Sudah mendekati semacam lingerie. Baju tidur tanpa lengan, hanya ada tali kecil dikedua pundaknya, panjangnya sedikit diatas lutut. Pundak, lengan, dan paha putihnya yang biasa tertutup rapat kini terpampang didepanku. Begitu juga kepalanya yang biasa tertutup rapat kini tidak dipakainya. Menampakkan mahkotanya yang berwarna hitam, sedikit bergelombang dan dibiarkan tergerai dipundaknya.

Tampaknya dia juga tidak memakai Bra, Karena dipundaknya kuperhatiakn tidak ada tali Bra. Tak lama kemudian dia duduk di sebelahku dan tercium wangi yang menggoda . Kemudian melihat apa yng sedang kulakukan. Saat dia melihat ke layar badannya setengah menunduk dan aku yang duduk dismpingnya dapat melihat gundukan daging didadanya yang membuatku benar-benar menjadi gelisah dan serba salah.

Dan tampaknya Mbak Ina menyadari apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak tahu apakah dia sengaja berbuat seperti itu atau tidak sengaja. Tiba-tiba dia berguman lirih "Sepertinya aku pernah melihat orang ini" katanya menunjuk gambar yang ada dilayar monitor. Akupun terkejut dan berkata "Benarkah Mbak, kapan dan dimana?" Aku bertanya penuh harapan akan adanya titik terang.

"Mbak bilang sepertinya Vin. Tapi mbak sudah lupa, beri waktu pada Mbak untuk mengingatnya. Sepertinya sudah lama. Tapi mbak berjanji jika mengingatnya Mbak akan memberitahukan padamu.

Aku yang sudah senang akan melihat adanya titik terang menjadi lemas lagi. "Vin apa benar kamu ada hubungan dengan Rini?" tanyanya dengan nada seperti orang yang menginterogasi. Aku benar-benar kaget mendengar pertanyaannya itu.

"Kata siapa Mbak? Aku tidak ada hubungan dengan Rini".

"Kalau dengan Tina dan Rachma?"

"Mbak ini aneh-aneh saja, dari mana Mbak dengar hal seperti itu".

"Ya Mbak dengar dari mulut mereka sendirilah. Kalau tidak ada hubungannya kenapa tiap hari yang diomongin ya tentang kamu. Lagi pula Mbak lihat sering banget kamu jalan bareng dengan mereka".

"Ngak juga Mbak, paling hanya makan bareng atau nonton. Selain itu ya tidak ada apa-apa. Tampaknya Mbak perhatian banget sama aku. Sampai kegiatanku dengan siapa saja Mbak tahu. Jangan-jangan ...!!!"

"Jangan-jangan apaa...? Tanya Mbak Ina menatapku.

"Mbak cemburu ya melihat aku dekat dengan mereka" Kataku balas menatap Matanya. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Hanya kemudian mengalihkan pandangannya dari tatapanku. Kemudian setelah diam sejenak dia berkata dengan suara pelan "Apa Mbak ini masih pantas cemburu seperti anak muda, Mbak ini sudah tua, j*nd* lagi. Apa masih pantas mengharapkan cinta dari lelaki muda sepertimu. Ya ku akui ada sedikit rasa itu. Tapi Mbak hanya bisa mengagumi dirimu. Lagi pula apa mungkin kamu memilih wanita seperti Mbak. Sedang tiap hari ada gadis-gadis cantik yang siap mendampingimu kapan saja".

Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-katanya. Aku benar-benar tidak tahu kalau Mbak Ina begitu perhatian padaku. Ya aku kadang melihatnya sedang memandangku saat aku berbicara dengan Rini, Rachma, atau Tina yang satu bagian dengan Mbak Ina. Tapi tidak kusangka kalau arti pandangannya padaku dalam sekali maknanya.

"Mbak sudah mulai kagum denganmu sejak kamu masih di Almamater kita. Selain kecerdasanmu, sifatmu yang simpatik, sopan santun, tidak suka hura-hura, tidak merokok membuat orang lain respect dan kagum padamu, termasuk Mbak. Mbak sudah cukup senang bisa dekat denganmu seperti saat ini. Kalau saja Mbak punya kuasa atas waktu, maka waktu akan kuhentikan untuk berputar hingga bisa seperti ini selamanya. Kamu tahu Vin, seumur hidup baru sekali Mbak benar-benar kagum dan suka dengan seseorang. Dulu pernikahanku juga bukan karena cinta tapi pernikahan balas budi". Diapun mengakhiri ungkapan perasaannya dengan menghela nafas dalam-dalam.

Aku memandang wanita yang duduk disampingku. Kupandangi dia lekat-lekat dari atas kebawah. Wanita yang patut dikasihani. Melihat penampilan luarnya seharusnya dia tidak mengalami nasib seperti ini. Walau sudah 34 tahun tapi aku yakin lelaki manapun tidak akan menolak menjadi pendampingnya.

Wajahnya cantik, kulitnya putih mulus, belum tampak kerutan-kerutan pada kulitnya, badannya proporsional. Belum lagi kalau melihat gundukan didadanya, pasti membuat lelaki menelan ludah karenanya.

Kupegang bahunya dan kuhadapkan dia kearahku,dan kutatap matanya. Dan aku berkata padanya "Mbak aku tidak bisa berjanji akan hidup selamanya berdua dengan Mbak. Tapi selama Mbak membutuhkanku aku akan selalu ada untuk Mbak. Dan selama aku bisa aku akan menjaga dan melindungi Mbak serta berusaha untuk membuat Mbak selau tersenyum bahagia".

Dia membalas tatapku kemudian perlahan bibirnya tersenyum dan dia kemudian memelukku. Aku membalas memeluknya dan perlahan dia melepaskan pelukannya dan kembali menatapku. Kini wajah kami saling berhadapan dengan jarak begitu dekatnya. Hingga masing-masing dapat merasakan hembusan nafas lawan jenisnya.

Perlahan-lahan seperti ada medan magnet yang saling menarik maka wajah kami saling mendekat. Terlihat kerinduan dan hasrat yang bergelora dimata Mbak Ina. Dan bibirnya yang merah merekah basah mengundang untuk di kecup. Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibirnya yang sudah merekah pasrah itu. Aku tahu bahwa Mbak Ina haus akan sentuhan lelaki hingga begitu bernafsunya Mbak Ina membalas ciumanku.

Tangan Mbak Ina memegang belakang kepalaku dan menekannya agar ciuman kami semakin lekat melumat. Aku mengimbangi ciumannya dengan penuh gairah sambil kucoba merangsangnya lebih jauh. Tanganku mulai mengeksplorasi tubuh hangatnya. Kuraba paha mulusnya yang sedari tadi menarik perhatianku, kuusap secara perlahan mulai dari lutut yang halus lembut terus keatas menyusup kebalik baju tidurnya.

Mbak Ina bergetar ketika jemariku menyentuh semakin dekat daerah pangkal pahanya. Tanganku perlahan tapi pasti mulai merambah seputar selangkangan Mbak Ina yang masih terbungkus celana dalam. Dengan ujung jari kuusap-usap selangkangannya yang makin terbuka karena Mbak Ina mulai merenggangkan kedua pahanya. Rupanya Mbak Ina telah semakin larut hasratnya dan ingin lebih cepat merasakan sentuhan langsung pada selangkangannya.

Dengan perlahan dan sedikit ragu-ragu dilepaskannya celana dalam yang dipakainya. Dengan Masih malu kedua tangannya masih menutupi pangkal pahanya. Tapi dengan perlahan dibukalah tanagnnya yang menutupi pangkal pahanya, sehingga kini terbukalah lembah yang menyimpan lubang kenikmatan itu.

Segera saja tanganku kembali merambahi lembah hangat milik Mbak Ina yang kini terbuka. Kurasakan bulu-bulu yang tertata rapi melingkupi lembah sempit itu. Kubelai bulu-bulu halus itu dari bawah pusar terus ke arah bawah. Mbak Ina makin mendesah ketika jemariku mulai menyentuh bibir vaginanya.

"Ah..terus Vin..." desahnya membara. Seakan haus yang selama ini ada telah menemukan air yang dingin segar. Bibir kami terus saling bertaut, saling menjilat, berpilin mesra. Setelah beberapa saat kami menghentikan ciuman kami. Perlahan kulepas bibirku dari bibirnya, dan kini mulai kususuri leher jenjang Mbak Ina yang selama ini tertutup rapat. Kuciumi leher jenjangnya yang lembut itu beberapa saat.

Setelah bermain-main dengan lehernya kulepas ciumanku dan kini aku turun dari kursi. Kugeser meja kecil yang ada didepanku,sementara laptopku masih kubiarkan memutar musik instrumen milik KITARO. Dan kini aku bersimpuh dilantai sehingga mukaku berada diantara paha Mbak Ina yang mengangkang, sementara bibir vagina nya kuraba dengan lembut.

Kutundukkan kepala dan kucondongkan kedepan dan mulutku mulai mendekati selangkangannya yang terbuka. Terlihat bulu pubisnya yang menghitam tertata rapi menumbuhi lembah yang sempit diantara paha montok yang putih mulus. Labia mayoranya terlihat merekah basah, dihiasi bulu pubis menghitam ditepi dan atasnya. Kontras dan indah dipandang.

Kupegang kedua pahanya yang telah mengangkang. Kujulurkan lidahku menyentuh belahan kemerahan yang sudah terkuak itu. Tercium wangi harum dari lembah itu. Mungkin tadi Mbak Ina sudah membersihkan lubang kewanitaannya. "Ahhh.!" Mbak Ina mendesah dan pinggulnya bergetar ketika ujung lidahku menyentuh bibir vaginanya.

Desahannya semakin menjadi ketika lidahku mulai menjilati bibir vaginanya yang merekah basah. Dan dengan ujung lidah kugelitik clit Mbak Ina yang tersembunyi dibelahannya. Dan itu semakin membuat Mbak Ina blingsatan merasakan nikmat yang dirasakannya.

Mbak Ina menghentak-hentakkan pinggulnya keatas menikmati sentuhan dariku. Aku terus melakukan jilatan pada vaginanya dan dengan perlahan kugeser tanganku yang satu keatas meremasi buah dada Mbak Ina yang montok dan padat.

Tampaknya Mbak Ina merasa semakin panas meskipun pendingin udara diruangan itu masih bekerja dengan baik. Dengan perlahan diapun menamggalkan baju tidurnya satu-satunya benda yang masih melekat pda tubuhnya. Sehingga perempuan yang sehari-hari selalu berbaju tertutup ini kini duduk telanjang bulat disofa dengan kedua kakinya mengangkang dimana diriku masih menjilati Vaginanya,

Mata Mbak Ina merem melek menikmati jilatan lidah dan sentuhan tanganku. Jilatan dan rabaankui rupanya telah menaikkan nafsu Mbak Ina makin tinggi hingga dia semakin mendesah dan menggeliat dengan kencang. Rupanya dia akan segera mencapai puncak. Dengan cepat kepalaku ditariknya agar makin rapat keselangkangannya sementara dia menggerakkan pinggulnya naik turun.

Sehingga bukan hanya mulutku yang mengesek vaginanya tapi juga hidung dan daguku. "Ahhh..ah Vin! Ahhh! Nikmat Vin !" jeritnya tertahan ketika akhirnya orgasme itu datang juga. Mbak Ina merapatkan kedua pahanya menjepit kepalaku dan mukaku dibenamkan rapat keselangkangannya, membuatku susah bernafas untuk beberapa saat.

Beberapa saat Mbak Ina menyandarkan kepalanya disandaran sofa dengan mata terpejam menikmati orgasme yang baru dirasakannya. Mukaku basah bukan hanya oleh keringat tapi juga oleh cairan yang keluar dari lubang kenikmatan Mbak Ina. Aku kemudian berdiri dan kulepas celana serta pakaian dalamku. Kubersihkan mukaku yang belepotan cairan kenikmatan Mbak ina dengan pakaian yang baru saja kulepas.

Kupandangi tubuh telanjang itu. Baru kali ini dapat kuamati tubuh Mbak ina secara utuh. "Terima kasih Vin" kata Mbak Ina sambil membuka matanya sehabis meresapi kenikmatan yang baru diraihnya. Mbak Ina tampak terkejut dan juga malu ketika melihatku telah berdiri telanjang bulat dengan batang penisku yang telah mengacung keras. Mbak Ina mungkin kaget karena ini adalah untuk pertama kalinya dia melihat batang penis setelah perceraiannya delapan tahun yang lalu,

Kudekati Mbak Ina kuraih tangannya, dan mengajaknya berdiri. Kemudian kuamati tubuh telanjangnya lebih seksama.
"Kenapa Vin?" tanya Mbak Ina. "Tubuhku tidak enak dilihat dan sudah tidak menarik lagi ya" katanya lagi dengn suara perlahan.

"Bukan tidak menarik lagi Mbak. Tapi ini lebih dari kata menarik lagi. Tubuh Mbak sungguh masih indah dan hampir sempurna" jawabku. Tubuh Mbak Ina memang nyaris sempurna. Badannya tinggi semampai dengan wajah yang cantik dan lekuk setiap tubuhnya saling mendukung dan proposional. Buah dadanya besar padat berisi, pinggangnya ramping dengan pinggul dan pantat yang montok serta sepasang kaki jenjang dengan paha yang padat berisi. Semuanya dibalut dengan kulit yang putih mulus tanpa cela. Dan sesuatu yang berbulu kehitaman di pangkal pahanya menambah pesona dirinya.

Batang penisku menjadi semakin keras melihat tubuh indah dihadapanku. Mbak Ina pun tampaknya sudah terpesona melihat batang keras dan panjang yang ada dihadapanya. Mbak Ina dengan malu-malu meraih dan mengenggamnya. Mbak Ina kemudian kembali duduk sambil tetap menggengam batang penisku. Aku sudah mengerti apa yang akan dilakukannya, maka aku ikuti gerakannya.

Dipandanginya penis tegangku yang ada dalam genggaman tangannya. Dengan perlahan ujung lidahnya mulai menjilati kepala penisku yang mengkilap kecoklatan. Terus diulang lagi dan lagi. Kemudian dengan perlahan dibuka mulutnya sambil memasukan batang penisku yang telah basah dan dikulumnya.

Aku hanya bisa mendesah nikmat diperlakukan seperti itu. Apalagi ketika Mbak Ina mulai melumati batang penisku yang ada didalam mulutnya dengan semakin intensif. Aku semakin merasa semakin nikmat ketika Mbak Ina tidak hanya menggunakan lidahnya tapi menggaruk batang penisku dengam giginya, membuatku semakin meringis nikmat.

Kuluman mulut Mbak Ina meskipun baru untuk pertama kali melakukannya mampu membuatku mengelinjang nikmat. Sangat lain sensasinya. Hingga akhirnya aku merasa sudah tidak tahan batang penisku dialiri sensasi yang luar biasa. "Ahhh Mbak, Aku sudah mau keluar" desisku mencoba mengingatkan Mbak Ina.

Mbak Ina semakin menggiatkan kulumannya. Hingga akhirnya tanpa bisa ditahan lagi, "Crotz..crotz..crotz.." batang penisku menumpahkan cairan kenikmatan didalam mulut Mbak Ina. "oohhss..eshh.." Aku mengerang, lututku terasa goyah. Dan Mbak Ina semakin menguatkan sedotan bibirnya dibatang penisku. Tanpa ragu Mbak Ina dengan lahap menelan cairan yang muncrat dari lubang penisku, bahkan sampai tetes terakhir dengan menghisap batang kontol itu. Tanpa rasa jijik sedikitpun.

Kemudian kami berdua duduk diatas sofa mengatur nafas. Kemudian Mbak Ina bangkit. "Sebentar Vin, Mbak mau mengecek suhu tubuh Aida dulu" kata Mbak Ina sambil menuju kelemari kecil di samping ranjang mengambil Thermometer kemudian memeriksa suhu tubuh Aida. Aku sambil telanjang menuju ke kamar mandi membersihkan batang penisku.

Kuurungkan niatku sementara keluar dari kamar mandi. Karena saat itu ada dua suster yang melakukan pemeriksaan rutin pada pasien. Aku tidak tahu bagaimana reaksi dua orang suster itu saat melihat pakaian berserakan di ruangan itu. Aku baru keluar saat kudengar suara Mbak Ina mengucapkan terima kasih dan mengunci kembali pintu ruangan.

Kudekati Mbak Ina dari belakang dan mendekapnya sambil tanganku meremas sepasang bukit kembar yang menggantung bebas. Mbak Ina menggelinjang merasakan remasan di dadanya. Apalagi ketika tengkuknya kuciumi dia semakin menggelinjang. Perlahan kurasakan batang penisku mulai bangkit lagi mengganjal pantatnya. Saat tangan kananku meremas buah dadanya maka tanganku yang satunya mulai neraba selangkangannya.

"Kamu sudah tidak sabar ya, Vin" kata Mbak Ina Sambil membalikan tubuhnya. Kembali kami berciuman dengan sangat panas. Mbak Ina mendorong tubuhku keranjang kecil yang biasa digunakan untuk tidur orang yang menjaga pasien, hingga jatuh telentang. Mbak Ina juga segera menjatuhkan tubuhnya di ranjang menyusulku. Kami kembali berciuman dengan panas dan ganas.

Tidak lama kemudian Mbak Ina mendorong kepalaku kebawah. Rupanya dia ingin aku bermain dengan buahdadanya. Kuturuti kemauannya karena aku pun sudah ingin merasakan lembutnya sepasang bukit kembar yang montok berisi dan berukuran 36 D seperti yang tadi kulihat di nomer Bra nya yang dilepas di kamar mandi.

Mbak Ina mendesah dan meremas-remas rambutku, saat aku mulai mulai menjilat dan menghisap salah satu puting buah dadanya. Sedangkan buah dadanya yang satu kuremas dan kupilin putingnya dengan lembut. Kurasakan buah dadanya yang lembut dan kenyal perlahan terasa semakin menegang dengan putingnya yang mulai mengeras.

"Oh Vin! Geliii..terus akh!" Tanganku dengan perlahan mulai merambahi kembali selangkangan Mbak Ina. Mbak Ina menyambutnya dengan merenggangkan kedua kakinya. "Ahh..terus sayang!" desisnya ketika jemari tanganku mulai menyentuh kemaluannya. Jemariku dengan perlahan menyusuri lembah berbulu dimana didalamnya terdapat bibir lembut yang lembab.

Mbak Ina semakin menggelinjang ketika ujung jariku menyentuh Clitorisnya. Kini secara bersama mulut dan tanganku memberikan rangsangan kepada perempuan kesepian yang haus akan kasih sayang. Beberapa lama kemudian setelah puas menjilati sepasang bukit ranum itu, perlahan mulutku bergerak kebawah menyusuri perut mulus Mbak Ina dan berhenti di pusarnya.

Mbak Ina menggelinjang ketika pusarnya kujilat dengan lidahku. Mbak Ina tidak mau tinggal diam. Pinggulku ditarik kearah kepalanya. Aku tahu maksudnya. Dengan segera kukangkangi kepala Mbak Ina diantara kedua pahaku dan menempatkan batang penisku yang menegang keras diatas muka Mbak Ina. Yang segera disambut kuluman mulut Mbak Ina. Aku juga sudah menempatkan kepalaku diantara paha Mbak Ina yang mengangkang.

Mulut kani mulai merambahi kembali kamaluan pasangannya. Kami terus berusaha merangsang pasangan masing-masing. Mbak Ina yang kesepian dan bertahun-tahun menyimpan hasrat, sehingga sekarang seakan mempunyai nafsu yang sepertinya tak habis-habis untuk ditumpahkan. "Oh! Vin, lakukanlah" desah Mbak Ina mulai tak tahan menahan hasratnya.

Begitu mendengar permintaan Mbak Ina, maka aku segera menghentikan jilatanku dan mengatur posisi. Mbak Ina telentang pasrah dengan kedua paha terbuka lebar menantikan hujaman batang penisku pada lubang vaginanya yang tampaknya semakin berdenyut. Mbak Ina tampak tersentak ketika penis hangatku mulai menyentuh bibir vaginanya.

Dia merengkuh tubuhku ketika perlahan batang penisku yang keras itu mulai menyusuri lubang vaginanya. "Akh! enak Vin!" desisnya. Tangannya menekan pinggulku agar batang penisku masuk seluruhnya. Aku juga merasakan nikmat. Vagina Mbak Ina masih terasa sempit dan seret. Kugerakkan pinggulku secara perlahan naik-turun dan terus kupercepat, Dan Mbak Ina mengimbanginya dengan gerakan pinggul. Kami terus berpacu menggapai nikmat. "Ayo Vin goyang terusss!" desis Mbak Ina seperti hilang kendali merasakan nikmat, tampaknya dia lupa anaknya tertidur didekat situ dan bisa bangun mendengar desahannya.

Kugerakkan pinggulnya semakin cepat dan keras. Sesekali kusentakkan kedepan sehingga batang penisku masuk seluruhnya kedalam vagina Mbak Ina. "Oh..Vin..!" Mbak Ina menjerit nikmat setiap kali Aku melakukannya. Terasa batang penisku menyentuh dasar lubang vaginanya yang terdalam. Semakin sering aku melakukannya, sehingga pada hentakan yang kesekian kurasakan otot diseluruh tubuh Mbak Ina meregang. Dengan tangannya ditekan pantatku agar hujaman bantang penisku semakin dalam.

Dan terasa ada yang berdenyut-denyut didalam lubang vaginanya. "Ahk..! Aduh akhh!" teriaknya tertahan merasakan orgasme pertama kalinya saat bersanggama denganku. Aku yang belum keluar terus menggerakkan pinggulku semakin cepat. Menyebabkan Mbak Ina kembali berusaha mengimbangi. Diangkat kedua kakinya keatas dan dipegang dengan kedua tangannya, sehingga pinggulnya sedikit terangkat sehingga vaginanya semakin menonjol keatas. Menyebabkan hujaman penisku semakin dalam.

Posisi seperti ini membuatku merasa lebih nikmat. Mbak Ina mengangkat dan menumpangkan kakinya dipundakku, sehingga selangkangannya lebih terangkat lagi. Kupegang erat kedua kaki Mbak Ina, sehingga tubuhnya setengah berdiri. Kurasakan jepitan vagina Mbak Ina lebih terasa sehingga gesekan batang penisku menjadi semakin nikmat. Kuhentakkan pinggulku semakin keras dan cepat ketika kurasakan kenikmatan puncak sudah semakin dekat kurasakan.

Dan "Ahhh..sshh.." Aku mendesah nikmat ketika dari batang penisku menyembur cairan kenikmatan. Terus kukocok batang penisku untuk menuntaskan hasratku. Bersamaan dengan itu rupanya Mbak Ina juga merasakan kenikmatan yang kedua kalinya. "Akhh..Vin.. Mbak keluar lagi...shh..!!" jeritnya untuk kedua kali merasakan orgasme berturut-turut.

Tubuhku ambruk diatas tubuh Mbak Ina. Kami saling berdekapan. Kemaluan kami masih bertaut. Keringat mengucur dari tubuh kami, bersatu. Nafas kami saling memburu. "Terima kasih ya Vin, sudah lama Mbak menginginkan hal ini. Baru pertama kali ini Mbak merasakan nikmatnya bercinta" kata Mbak Ina mengucapkan terima kasih diantara nafasnya yang memburu dan pipinya yang merona merah. Seperti anak gadis yang malu-malu karena baru saja melepas keperawanannya. Tubuh kami yang panas berkeringat terus berdekapan mengatasi dinginnya malam ditambah dengan dinginnya penyejuk udara.

Tak sampai sepuluh menit kami saling berdekapan ketika kurasakan, batang penisku yang telah lepas dari lubang vagina Mbak Ina mulai dirabai dan diremas kembali oleh tangan Mbak Ina. Rupanya Mbak Ina sudah ingin lagi. Mungkin Mbak Ina ingin mengakumulasikan kenikmatan yang lama tidak dirasakannya. Aku tersenyum dalam hati. Sepertinya ia tidak ingin melepaskan kesempatan malam ini untuk bercinta sebanyak mungkin denganku sampai besok pagi. Dan tentu saja tantangannya kusambut dengan senang hati. Walau kadang kami harus hati-hati agar tidak membangunkan Aida yang tertidur, atau suster dan security yang lewat didepan ruangan ini. Dengan berbagai teknik dan posisi bercinta yang kukuasai maka kubuat Mbak Ina mengerang sepanjang malam. Dan kami melewati malam panjang dengan penuh keringat, cumbuan, rabaan, hentakan nafas dan desahan nikmat berkali-kali sampai pagi.

I say my darling, you were wonderful tonight
Oh my darling, you were wonderful tonight
( Original By Eric Clapton )


Chapter X : Showtime

Aku terbangun ketika hari menjelang fajar. Kurasakan pancaran hawa dingin dari pendingin udara menerpa tubuhku yang masih telanjang cuma ditutupi selimut. Aku masih terbaring diranjang tempat kami bercinta sepanjang malam. Dilihatnya jam sudah pukul empat pagi. Badanku terasa sedikit lemas karena sepanjang malam mengeluarkan tenaga untuk melayani dan mengimbangi nafsu Mbak Ina yang ternyata tak kunjung puas.

Aku masih berbaring lemas diranjang. Kucoba membayangkan apa yang telah terjadi tadi malam. Seperti mimpi tapi benar nyata terjadi. Mbak Ina yang terlihat lembut dan anggun ketika dikantor ternyata bisa sangat ganas di tempat tidur.

Pintu kamar mandi terbuka dan keluarlah Mbak Ina dengan rambut basah. Mbak Ina telah berganti pakaian dengan pakaian lebih tertutup walau masih termasuk baju tidur. "Sudah bangun Vin, mandi sana. Biasanya sebentar lagi akan ada suster yang kontrol, Tidak enak nanti kalau ranjangnya acak-acakan". katanya sambil tersenyum dan langsung merapikan ranjang.

Aku bangkit kemudian menuju kamar mandi. Aku menguyur tubuh untuk mengembalikan kesegaran tubuhku. Saat keluar dari kamar mandi, Aida ternyata sudah bangun. "Pagi Ai, sudah bangun ya. Apa Ai sudah merasa baikan," tanyaku pada Aida. "Pagi Om, Sepertinya Ai tidur nyenyak banget. Sampai tidak tahu Om Gavin ikut jaga Ai" jawab anak yang berumur tujuh tahun itu.

"Itu tandanya Ai sudah sehat, sehingga bisa tidur nyenyak" jawabku lagi. "Ya Om, makasih ya sudah menemani Ai." kemudian dia berkata pada Mbak Ina, "Ma, Ai boleh mandi tidak? Badan Ai terasa lengket semua" Mbak Ina mengagukan kepalanya. Kemudian menuntun Aida dan dibawa masuk kamar mandi.

Saat Mbak Ina memandikan Aida aku kembali menyalakan laptopku dan kemudian browsing diinternet mencari info tentang permata. Kukeluarkan permata yang kuambil dari safe deposit box milik Om Gian. Kucoba mencocokkan permata itu dengan gambar-gambar yang ada dilayar monitor.

Mungkin aku terlalu terpaku pada apa yang kucari. Sehingga tanpa kusadari Mbak Ina telah duduk disampingku. Dia ikut memperhatikan apa yang ada dilayar. Tiba-tiba dia berkata "Oh ya aku ingat!" .

"Ah Mbak bikin kaget aja, tapi maksud Mbak ingat apa?"

"Itu Vin, foto-foto yang ada dalam data mu. Yang menurutmu data penting" Kata Mbak Ina mengejutkanku. "Coba kamu kembali buka data-datamu". Aku segera membuka file yang berisi foto-foto yang aku dapat dar Om Anwar.

"Ya benar Vin, Orang ini adalah yang kumaksud" Mbak Ina menunjuk salah satu foto. "Orang ini yang pernah datang kerumah mantan suamiku. Aku ingat karena orang ini datang bersama orang asing. Dan orang asing itulah yang membawa permata seperti ini" kata Mbak Ina sambil memperhatikan permata yang sekarang ada ditangannya.

"Tolong kalau bisa Mbak jelaskan tentang orang ini" kataku. Mbak Ina kemudian bercerita suatu hari delapan tahun yang lalu suaminya menerima kedatangan tanu tiga orang. Yang pertama pemuda berumur sekitar dua puluh lima tahun yang dipanggil suaminya dengan 'Mister Raj', yang kedua sekitar empat puluh tahun dipanggil 'Mister Singh' kedua orang ini tampaknya berasal dari India. Dan yang ketiga orang yang ada difoto itu yang di panggil 'Xin' oleh suaminya. Orang inilah yang tampaknya memperkenalkan dua orang India itu pada suaminya. Karena dilain hari orang ini juga datang tapi dengan orang lain lagi. Dan orang India Itulah yang membawa permata seperti yang ada ditangannya.

"Apa mantan suami Mbak pedagang permata" tanyaku pada Mbak Ina.

"Tidak juga, Dia punya beberapa perusahaan tambang, beberapa perkebunan di Kalimantan. Kalauu permata mungkin kesukaan saja".

Aku jadi bingung, Apa hubungan Om Gian dengan pedagang permata. Mengapa dia membuntuti orang-orang ini. Aku berpikir paling tidak aku harus menemui mantan suaminya Mbak Ina untuk mengetahui tentang orang ini. Kemudian aku bertanya pada Mbak Ina "Mbak Kalau boleh tahu dimana alamat mantan suami Mbak dan siapa tahu Mbak tahu nomer telepon atau ponselnya".

Kemudian Mbak Ina memberikan alamat rumah dan nomer telepon mantan suaminya dulu yang Mbak Ina sendiri tidak tahu apa masih tetap alamat dan nomer teleponnya. Dan yang membuatku lebih terkejut saat Mbak Ina menyebutkan nomer telepon mantan suaminya seperti familiar. Setelah beberapa saat barulah aku sadari bahwa nomer telepon itu adalah milik teman Kang Jono yang memesan mobil yang dipergunakan untuk membunuh Om Gian.

"Eh Mbak benarkah ini nomer telepon punya mantan suami Mbak?" tanyaku memastikan.

"Benar Vin, Tapi Mbak tidak tahu apakah nomernya masih digunakan atau sudah ganti. Memang kenapa Vin?'

"Tidak kenapa-napa Mbak, Tapi apa dia juga orang dunia hitam. Maksud saya apa dia punya bisnis ilegal?"

"Kalau itu Mbak tidak tahu pasti Vin. Mbak memang pernah mendengar hal seperti itu. Tapi selama Mbak jadi istrinya belum pernah dia berurusan dengan pihak berwajib. Dia jarang berada dirumahnya, Kalau tidak kamu bisa ke kantornya yang ada di C Towers Menteng, Tapi dia juga jarang berada ditempat. Dia lebih banyak keluar. Maklum usahanya banyak. Orang tuanya merupakan salah satu orang terkaya dinegeri ini".

"Apakah 'Xin' ini termasuk tangan kanannya atau rekan kerja nya yang terpercaya".

"Mungkin saja, Tapi ..." Perkataan Mbak Ina terpotong karena masuknya dua orang suster untuk cek rutin pasien. setelah selesai merekapun keluar. Sementara Aida kembali keatas ranjang dann melihat siaran telavisi.

Mbak Ina kemudian melanjutkan kata-katnya yang tadi terputus. "Tapi ada dua orang lagi yang sering ketemu dengan 'Sony' (Nama mantam suaminya).

"Dua orang Mbak!" kataku. Aku jadi ingat dua orang yang diceritakan berada didalam mobil bersama Om Gian sebelum mobilnya tertabrak kereta. "Apakah mereka " pikirku dalam hati. "Mbak bisa ceritakan tentang mereka?"

"Mbak akan coba mengingatnya. Usia dua orang itu sebaya dengan Daud, mereka adalah teman sekolah dan kuliah. Tapi aku tidak tahu pasti nama mereka, karena setiap mereka datang Daud memanggilnya 'Jo' dan 'Pemenang'. Yang bernama Jo tubuhnya tinggi tapi agak kurus, putih, pendiam tampaknya. Karena jarang sekali aku mendengar suaranya ketika datang. Yang dipanggil pemenang juga sama tingginya, tapi kulitnya lebih gelap. Dia lebih banyak berbicara.

"Apakah mereka punya ciri khas Mbak?"

"Mbak tidak tahu Vin, karena kalau bertemu mereka paling dua tiga menit. Setelah itu Mbak disuruh pergi tidak boleh mendengarkan pembicaraan mereka."

Aku kembali berpikir, Apakah benar-benar mereka orangnya. Tampaknya untuk mengetahui secara pasti aku harus menemui 'Sony' mantan suami Mbak Ina. Mbak Ina kemudian meninggalkan aku larut dalam pikiranku. Dan dia mempersiapkan diri untuk berangkat kekantor. Aku kemudian kembali mencatat data-data yang kuanggap penting. Tidak lupa aku menghubungi Mas Bram bercerita tentang hal yang baru kutemukan. Aku minta Mas Bram mencari data tentang "Sony Danubrata'. Apakah dia punya catatan kriminal di kepolisian. Dan dia berjanji akan mengabari secepatnya, Tidak lupa dia mengingatkanku untuk hati-hati.

Setelah selesai mencatat aku segera menutup laptopku. Kemudian aku keluar dari ruangan itu untuk jalan-jalan sekedar olah raga ringan disekitar rumah sakit dan juga untuk mencari makan. Pukul Enam lebih sedikit Aku dan Mbak Ina berangkat kekantor setelah Aida ada yang menjaganya. Mbak Ina mengatakan nanti siang saat istirahat kantor dia akan membawa Aida pulang kerumah. Dia memintaku ikut kalau bisa. Aku menjawab akan berusaha ikut menjemput.

-=+=-

Saat sampai kantor aku segera mencari Fariz yang telah datang duluan. Jam Delapan pagi aku dan fariz berangkat ke kantor BNN bersama bapak kepala kantor. Jam Sembilan rapat koordinasi pun dimulai. Dimulai dengan pembentukan tim. Intinya akan dibuat tim gabungan rahasia, dan yang mengetahui adanya tim ini adalah pimpinan kantor dan koordinator di kantor masing masing, dan tentu saja anggota tim. Dan ketua tim gabungan adalah dari BNN pusat.

Dasar utama adalah adanya surat rahasia yang diterima BNN tentang akan adanya N*rk*t*ka dan sejenisnya yang akan masuk ke Indonesia dengan jumlah dan nilai yang luar biasa. Dan tujuan pembentukan tim ini adalah untuk pencegahan peredaran N*rk*t**a itu, Dan terutama saat ini yang sedang dicurigai adalah banyaknya barang itu yang beredar dikalangan Artis, Sosialita dan pesohor lainnya.

Angota tim diminta mengawasi dan kalau bisa bergaul dengan orang-orang yang dicurigai sebagai pemakai maupun pengedar. Dari Direktorat tempatku bekerja ada delapan orang termasuk aku. Baik itu dari kantor pusat, kantor wilayah dan kantor pelayanan. Dari Kepolisian ada dua belas orang, Baik dari Polresta, Polda Metro dan Mabes Polri. Dari BNN juga dua belas orang, Dan delapan lagi dari berbagai kalangan ada dari LSM, Artis dan lain lain yang concern terhadap masalah obat-obat terlarang. Jadi semua total empat puluh orang termasuk Ketua tim, Wakil Ketua dan Empat orang koordinator.

Aku masuk dalam tim dua. Berbeda dengan FariZ yang masuk tim satu. Termasuk dalam tim ku ada Mbak Lula Kamal. Ya Lula Kamal yang Do*t*r dan selebritis itu. Seperti diketahui dia memang concern terhadap masalah seperti ini. Ya sebagai selebritis Mbak Lula bisa memperkenalkan anggota tim kepada artis yang menjadi target operasi.

Setelah dibagi menjadi empat tim, Maka sekarang masing-masing tim melakukan briefing yang dipimpin oleh ketua koordinator. Brifieng berlangsung kurang lebih empat puluh lima menit. Dan meghasilkan kesimpulan antara lain. Kita bebas bergerak kemanapun baik dengan tim ataupun perorang. Dengan syarat setiap akan melakukan tindakan tertentu harus diketahui minimal satu anggota lainnya. Setiap hari memberi laporan kepada ketua koordinator atau wakilnya. Setiap minggu akan mengadakan briefing lagi untuk evaluasi kinerja. Dan setiap bulan akan kembali berkumpul bersama untuk mengevaluasi seluruh kegiatan dari semua tim.

Mbak Lula bertugas sebagai wakil koordinator kemudian menyampaikan bahwa nanti hari kamis dan jum'at dia mendapat undangan sebagai pembicara. Dan akan ada artis yang tampil sebagai bintang tamu. Dan saat itulah dia akan mengajak beberapa anggota tim untuk ikut dan diperkenalkan dengan para selebritis itu. Begitu juga nanti malam sabtu dan minggu dia juga akan membawa anggota tim saat menghadiri pesta kaum sosialita.

Setelah itu briefing selesai. Dengan adanya keputusan tadi, paling tidak aku punya waktu luang hari ini dan besok. Dan hal ini bisa kupergunakan untuk urusan pribadiku. Aku sudah berjanji pada Bunda Maia untuk datang ketempatnya, tapi itu bisa nanti jam satu atau dua siang. Kulihat jam ditangan sudah menunjukan pukul sebelas siang. Paling tidak aku punya waktu dua jam untuk mencari Sony Danubrata.



Chapter XI : Diamond


Saat kuhubungi Fariz dia menjawab belum selesai briefing dengan timnya, maka aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Saat samapi ditempat parkir tampak Mbak Lula juga mau keluar. "Mau pulang Mbak, ehh Bu?' tanyaku padanya.

"Tidak usah panggil Bu segala Vin, Panggil Mbak Juga tidak apa-apa. Benarkan namamu Gavin?" jawabnya.

"Benar Bu, Eee.. Mbak" Jawabku dengan sedikit grogi menghadapi wanita berusia Empat puluh tahunan yang masih cantik dan menarik ini.

"Kenapa grogi gitu Vin? santai saja sama Mbak. Mbak mau ke rumah sakit. Biasa kerjaan rutin. Sudah dulu ya, Mbak harus berangkat sekarang takut terlambat. Nanti kapan-kapan kita bisa berbicang-bincang lagi" kemudian dia segera menuju kearah mobilnya yang sudah siap dengan sopirnya. Aku segera menuju sepeda motorku. Tapi sebelum beranjak jauh Mbak Lula memanggilku.

Aku segera menghampiri mobilnya. Dan dia bertanya " Vin nomer telepon kamu berapa? Mbak tadi lupa mencatat nomer telepon anggota tim. Paling tidak Mbak bisa menghubungi kamu." Aku kemudian menyebutkan nomer teleponku. Dan diapun menyebutkan nomer teleponnya. Setelah mengucapkan salam diapun segera meninggalkan tempat itu dengan sopirnya.

-=+=-

Aku segera mengarahkan kendaraanku arah Menteng Dalam, Kebetulan arah kantor Sony Danubrata sama dengan apartemen milik Om Gian. Jadi bisa sekalian bisa melihat-lihat. Aku langsung masuk kegedung dan Segera naik kelantai Tiga belas dimana kantor Danubrata berada seperti yang dikatakan penjaga. Segera kutemui resepsionis. "Siang Mbak, bisa ketemu Pak Sony?" aku bertanya padanya.

"Maaf Mas ini siapa, dan ada keperluan apa menemui Pak Sony". katanya balik bertanya padaku.

"Nama Saya Gavin dan ada keperluan dengan Pak Sony, Tadi kami sudan berjanji". kataku sedikit berbohong.

"Mohon tunggu sebentar Pak, silakan duduk dulu". Dia kemudian menelepon seseorang. Setelah itu diapun berkata "Silakan Pak, Pak Sony bersedia bertemu dengan anda. Anda berjalan saja lurus kesana terus belok kanan dan ruangan paling ujung ruangannya Bos". Setelah mengucapkan terima kasih aku segera menuju ruangan yang ditunjukkan.

Setelah sampai depan pintu ruangannya aku segera mengetuk pintu ruanganya. Aku masuk setelah mendengar orang yang didalam mempersilahkan masuk. "Kamuuu!!!, Mau apa kamu kesini?" Orang didalam berseru kaget saat melihat orang yang masuk adalah aku.

"Maaf Pak sony, Saya tidak bermaksud menganggu anda. Saya hanya ingin bertanya sesuatu pada anda. Setelah itu aku akan segera pergi dari sini".

"Mengapa aku harus menjawab pertanyaanmu!"

"Ok, Anda bisnisman, jadi kita berbisnis saja. Biar kita bisa saling menguntungkan. Anda memberi informasi dan saya memberi anda ini" kataku sambil memperlihatkan butir permata yang kubawa.

Dia tamapk terkejut melihat permata yang ada ditanganku. "Bagamana Pak Sony, apa anda tertarik dengan tawaranku?" Dia masih terdiam sambil terus menatap permata yang ada ditanganku.

"Bagaimana Pak sony, Anda tertarik." Aku mengulangi pertanyaanku. "Baiklah Kalau anda tidak tertarik saya akan pergi dari sini" Aku segera beranjak untuk keluar dari ruangan itu.

Sebelum aku membuka pintu Dia mencegahku pergi "Tunggu!, Dari mana kamu dapat itu?"

"Itu bagian dari bisnis Pak. Kalau anda sudah setuju barulah kita saling tanya jawab". kataku.

"Ok aku setuju. Informasi apa yang anda perlukan?" katanya sambil mepersilahkanku duduk.

"Tak perlu panjang lebar Pak, Aku hanya ingin tahu apa anda mengenal orang-orang ini atau paling tidak dimana aku bisa bertemu dengannya?. sambil kuperlihatkan foto-foto yang kuperoleh dari CCTV Bank dan Om Anwar. Aku tahu yang kulakukan berbahaya bila orang kutuju tepat. Tapi aku memang berencana memancing mereka keluar.

Melihat foto-foto itu membuat dia berubah rona mukanya, tapi dia berusaha menyembuyikan hal itu. Dia masih berusaha untuk tenang. Kemudian ucapnya "Maaf anda salah alamat, saya tidak mengenal orang-orang itu. Silahkan anda pergi dari sini". Aku segera keluar dari ruangan itu. Aku percaya jika dugaanku benar mereka akan melakukan sesuatu.

Dan benar saja begitu aku masuk lift yang kebetulan kosong, Empat orang segera mengikutiku masuk. Aku tahu saatnya untuk siaga dan beraksi. Benar saja begitu pintu Lift tertutup mereka segera menyerangku dengan serempak. Dua orang dibelakngku mencoba menyergapku, tapi sebelum mereka bergerak aku lebih dulu menghidar dengan berjongkok dan sikutku menghajar bagian bawah tubuh mereka. Dan dengan cepat kulanjutkan dengan menendang bagian belakang lutut kedua orang yang ada didepanku. mereka langsung terjengkang kebelakang dan sebelum jatuh kepala mereka kkuhadiahi dengan tendangan yang membuat mereka hilang kesadaran.

Saat Lift berhenti dilantai dasar aku segera bersiap siaga untuk menjaga diri dari orang-orang itu. Dua orang kembali menghadang, tapi dengan mudah kulumpuhkan. Tampaknya anak buah Sony tidak bersiaga sehingga orang-orang yang mengeroyokku hanya beberapa orang saja. Begitu ada kesempatan aku berlari keluar menuju kendaraanku dan langsung tancap gas pergi dari tempat itu. Tapi rupanya dugaanku agak sedikit meleset, ternyata mereka sudah siap sedia. Begitu aku keluar dari parkir gedung itu ada dua mobil yang langsung mengejarku.

Tapi aku berusaha untuk tenang mengendarai sepeda motorku. Kupilih jalan yang rame dengan kendaraan. Dan aku bisa menghidari mereka dengan jalan menyelinap diantara mobil-mobil. Dengan kondisi rame dan macet seperti itu maka dengan perlahan aku bisa menjauh dari kejaran mereka yang terjebak macet.

-=+=-

Aku mengarahkan sepeda motorku kearah apartemen yang ada dalam surat wasiat Om Gian. Setelah melewati beberapa prosedur sampailah aku didepn pintu apartemen itu, aku segera masuk dan aku suka pada apartemen ini. Aku betul-betul kagum dan terharu pada Om Gian yang telah memberikan aparteman ini untukku. Rupanya Om Gian telah mempersiapkan semuanya. Aku segera melihat semua ruangan yang ada.

Setelah istirahat sejenak dan minum air mineral yang masih tersedia didalam lemari pendingin aku segera mencari sesuatu yang mungkin ditinggalkan Om Gian ditempat ini. Ada beberapa bon restoran dan hotel yang ditandai. Juga beberapa coretan yang aku belum tahu maknanya. Dan sebuah Badge atau lencana kecil berwarna Merah Putih Dengan tulisan 'ISF' dibagian tengahnya.

Aku kumpulkan benda-benda yang tadi kutemukan dan kuperisa satu persatu. Kucatat bila ada yang kurasa penting. Hampir jam dua siang ketika ponselku berbunyi. Kulihat Bunda Maia Yang menelepon kujawab panggilannya."Vin kamu jadi kesini tidak? Mbak lagi suntuk dan tidak ada kerjaan nih". Aku segera mengiyakan ajakannya untuk sedikit refreshing menyegarkan pikiran. "Baik Bund, saya segera meluncur ke tempat Bunda".

Saat aku mau mengambil kunci sepeda motorku, aku teringat akan mobil yang diberi Om Gian. Aku berpikir mengapa tidak mencoba memakai mobil itu. Selain mencoba juga untuk memenaskan mesin mobil yang pasti sudah lama tidak dipanaskan. Akupun kemudian meletakkan kembali kunci sepeda motorku dan mengambil kunci mobil itu.

Sampai di Basement ternyata banyak mobil yang terparkir juga. Yang rata-tara mobilnya kelas premium. Setelah menekan tombol kunci yang kesekian kali barulah terdenga suara mobil yang kurasa cocok dengan kunci mobil itu. Kuhampiri mobil itu yang berada dibagian pojok terbungkus penutupnya.

Kubuka penutup yang berdebu itu. Aku jadi terpana melihat mobil yang ada dibaliknya. Sebuah Mercedes Benz warna hitam metalik tipe Roadster, dua penumpang, seri SLK Class. Mobil seperti ini adalah mobil impianku sejak kecil. Dan rupanya Om Gian mewujudkan keinginanku seperti janjinya padaku. Aku tidak tahu dari mana Om Gian mendapatkan semua ini. Tapi yang pasti aku tahu betapa sayangnya Om Gian padaku.

Pertama kali dihidupkan agak susah juga. Mungkin karena lama tidak dihidupkan. setelah memanaskan mesin berapa lama maka aku segera meluncur ketempat Bunda Maia. Aku mengemudikannya tdak terlalu kencang karena keaadaan jalan yang cukup padat juga untuk menyesuakan diri karena stir kemudinya berada disebelah kiri. Setelah masuk jalan tol dan mulai terbiasa dengan kemudi disebelah kiri barulah aku mulai memacunya dengan kecepatan penuh.

-=+=-

Hampir jam tiga sore aku sampai ditempat Bunda Maia. Dia tampak kaget melihat aku memakai mobil sport. Aku hanya tersenyum saja. Dia tampak anggun dengan atasan putih dari bahan chiffon dan celana kain warna hitam dan rambut yang sudah berwarna hitam kembali. Berbeda dengan saat pertama kali kami bertemu.

Saat kuperhatikan dirinya tampak tersipu malu "Kenapa kamu memandang Bunda seperti itu?" tanyanya dengan nada manja.

"Bunda sepertinya tambah cantik" rayuku.

"Apakah kamu mengatakan ini pada setiap wanita yang kamu temui?"

"Tidak juga Bund, tergantung wanitanya"

"Maksudnya?"

"Kalau wanitanya memang cantik dan spesial di hatiku"

"Apakah Bunda termasuk?"

"Tidak perlu dijawab Bund, Bunda sendiri sudah tahu jawabannya".

Kemudian Bunda menyuruhku masuk kerumahnya. Kulihat rumahnya cukup besar dan asri. Ternyata didalam juga ada tamu lain. Akupun menyapanya " Sore Mbak Yuni" sapaku pada orang itu. "Sore juga Vin" jawab orang itu yang adalah Mbak Yuni Shara. Bunda Maia mempersilahkan aku duduk dan kemudian bertanya "Mau minum apa Vin?"

"Air mineral saja Bund" jawabku.

"Gaya hidupmu sehat banget ya Vin?" kata Mbak Yuni.

"Itu ajaran orang tua dari kecil Mbak, jadi terus kebawa sampai sekarang"

"Tapi itu bagus Vin, Daripada Bunda kadang suka minum walau sedikit. Apalagi dunia hiburan sangat dekat hal-hal seperti itu. Apalagi sekarang mulai banyak a*t*s yang juga pakai N*rk*ba. Untung Bunda masih kuat untuk menjaga jarak dengan benda-benda seperti itu".

"Apakah Bunda pernah ada yang menawari hal-hal macam itu?" Tanyaku untuk kupergunakan mencari informasi dari Bunda Maia.

"Ya pernah beberapa kali ada yang menawari untuk mempergunakan itu. Mereka bilang untuk stamina, Bagi orang yang sibuk. Tapi Bunda belum yakin dengan hal itu. Bunda lebih senang olahraga atau makan-makanan yang sehat untuk menjaga stamina. Kamu juga pernah ditawari seperti itu kan 'Yun'" Jelasnya panjang lebar. Mbak Yuni yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya.

Aku sebenarnya ingin bertanya siapa orang yang menawarinya. Tapi aku pikir Bunda Maia dan Mbak Yuni mungkin akan menjadi curiga. Jadi kuputuskan untuk menyimpan pertanyaan itu untuk sementara. Setelah mengambil minum Bunda Maia kemudian duduk disebelah Mbak Yuni.

"Kamu tidak kekantor?" tanyanya padaku.

Aku lalu menjelaskan padanya selama dua bulan ini aku tugas diluar kantor. jadi paling kekantor Satu minggu sekali. Tapi tentu saja tidak kukatakan tugas rahasiaku.

"Kebetulan Vin kalau kamu punya waktu luang seperti itu. Bunda dan teman-teman mau meminta bantuanmu".

"Bantuan apa Bund?, Kalau bisa aku pasti membantu".

Bunda Maia melihat sejenak pada Mbak Yuni. Setelah Mbak Yuni memberikan tanda setuju maka Bunda Maia pun menjelaskan masalah yang dihadapinya. Dia dan teman-temannya patungan modal untuk berbisnis batu permata dengan pengelola salah satu temannya yang bernama Tito yang biasa berbisnis perhiasan. Pada awalnya keuntungan berlimpah dan diketahui jumlahnya. Tapi mulai tiga bulan ini pembagian keuntungan sangat kecil. Dia dan teman-temannya merasa curiga bahwa Tito telah berbuat curang. Tapi mereka tidak punya bukti akas kecurigaannya itu.

Bunda Maia dan yang lain telah sepakat untuk mencari orang untuk mengawasi Tito. Dan Bunda Maia ditunjuk untuk memilih orang yang ditugaskan menyelidiki gerak-gerik Tito. Karena itu dia meminta tolong padaku yang pasti disetujui oleh yang lain karena telah mengenalku tapi belum dikenal oleh Tito.

Setelah mendengar penuturannya aku menyetujui permintaannya. "Baik Bund, tapi aku ingin data-data yang lengkap tentang hal ini".

"Baik, apa saja yang mau kamu ketahui"

"Siapa Tito ini, alamatnya, kegiatannya, teman-temannya dan data dari usaha patungan ini. Laporan keuangan, data jual beli, dengan siapa dia melakukan transaksi. Sementara itu saja Bund". Ucapku padanya.

"Kalau itu sudah kami siapkan Vin, Sebentar Bunda ambilkan data yang kamu perlukan itu" Kemudian Bunda masuk kesalah satu kamar dan kembali dengan membawa setumpuk map.

"Ini yang kamu minta, Didalam map-map ini ada laporan, data dan juga foto orang-orang yang jadi relasinya dan sering ditemui Tito" Katanya sambil menaruh map-map itu didepanku.

Aku segera memeriksa laporan-laporan yang ada di map itu. Sebagai orang yang lulus dari sekolah tinggi yang detail mempelajari masalah keuangan dapat kuketahui bahwa laporan ini asli. Tidak ada suatu laporan yang mencurigakan. Mungkin masalahnya bukan pada laporan ini. Tapi pada orangnya.

Maka mulai kulihat satu persatu foto yang ada didalm map itu. Tito, berusia empat puluhan, tidak ada tampang kriminal dimukanya. Aku terus melihat foto-foto yang cukup banyak itu. Tampaknya Tito ini orang yang banyak relasinya. Dan "Voila, I catch you" teriakku dalam hati saat kulihat foto Sony Danubrata ada daalm daftar relasinya.

"Bunda atau Mbak kenal orang ini" Kutunjukan Foto Sony Danubrata pada mereka berdua.

"Siapa tidak kenal pada Sony Danubrata, Kami pernah bertemu dengannya beberapa kali. Tito yang memperkenalkan ku padanya. Dia sering mengundang kami dalam pesta-pesta yang diadakannya". Jawab Mbak Yuni. "Memangnya kenapa Vin" Tanya Bunda Maia kemudian.

"Tidak kenapa-napa Bund" Jawabku.

Aku kemudian bertanya apa lagi yang kuperlukan dalam hal tugasku mematai Tito. setelah hal itu kami membicarakan hal lainnya hingga waktu menjelang sore. Dan berakhir saat Bunda Maia bangkit berdiri untuk pergi ke kamar mandi bermaksud membersihkan diri.

"Maaf Vin, Bunda harus bersiap-siap. Ada Job untuk Duo Maia. Sebebtar lagi sepertinya Mey dan Linda akan segera samapi. Kalau ada yang belum jelas kamu tanya sama Yuni" sambil meninggalkan kami berdua.

Benar saja tidak lama kemudian Mbak Linda datang dengan Mbak Mey Chan. "Halo Vin, pa kabar?' tanya mereka berdua. Kemudian mereka juga menyapa Mbak Yuni sambil saling cium pipi. Melihat itu aku menggoda mereka "Mbak, kok cuma Mbak Yuni yang dicium? Saya juga mau donk" kataku sambil menyorongkan mukaku kearah mereka.

"Oh minta dicium juga ya, siapa menolak mencium cowok cakep" Tanpa kuduga ternyata Mbak Mey langsung mencium kedua pipiku. Aku yaang tadinya cuma bercanda tentu saja langsung malu dan memerah mukaku. Melihat hal itu mereka bertiga tertawa dan mengolokku "Katanya minta dicium, habis dicium kok langsung memerah mukanya" kata Mbak Linda.

"Padahal sudah biasa berciuman" Mbak Yuni ikut menimpali.

"Mbak kok tahu Gavin sering ciuman sih, Hayooo" goda Mbak Mey pada Mbak Yuni sambil mengedipkan matanya.

"Sssttt" Mbak Yuni menempelkan jarinya didepan mulut menyuruh Mbak Mey diam.

Kami kemudian tertawa bersama-sama. Aku kemudian melanjutkan pertanyaanku tentang Tito pada Mbak Yuni dan Mbak Mey juga Ikut menambahkan hal-hal lain setelah mengetahui aku yang diminta tolong Bunda Maia untuk mematai Tito. Sementara Mbak Linda masuk menemui Bunda Maia.

Tidak lama kemudian Bunda Maia dan Mbak Linda keluar. "Yun, kamu mau menunggu disini apa mau pulang? Kalau mau pulang bisa bareng kami' Kata Bunda Maia.

"Tidak Usah Mai, Aku nanti mau kerumahnya Raffi. Aku nanti bisa minta dijemput Raffi atau naik taksi. jawab Mbak Yuni.

"Kamu bagaimana Vin" Dia bertanya padaku.

"Saya tidak ikut Bund, kapan-kapan saja saya ikut. Bagaimana kalau Mbak Yuni saya antar ketempatnya Mas Raffi, sekalian saya juga ingin tahu rumahnya presenter ngetop itu" tanyaku pada Bunda Maia dan Mbak Yuni.

"Baik, Kalau soal mengatar itu terserah Yuni. Bagaimana Yun, mau diantar Gavin" kata Bunda Maia.

"Ya sudah, begitu juga boleh" Kemudian setelah semua siap Bunda Maia dan rombongannya pun pergi. Tidak lama kemudian aku dan Mbak Yuni pun ikut meninggalkan tempat itu. Menuju kerumah Raffi Ahmad.

-=+=-

Didalam perjalanan kami berbicara banyak. Dimulai dari hal-hal umum sampai tentang pasangannya masing-masing. "Hubunganmu dengan Bunda bagaimana Vin?" tanyanya.

"Maksud Mbak?"

"Ya serius atau cuma teman biasa atau apalah namanya'

"Ya kalau itu tidak tahulah Mbak. Kami tidak ada janji atau komitmen apapun. Bunda Maia sendiri juga sudah bilang seperti itu. Kami dekat, tapi kalau yang lain ada yang menyukai seseorang lainnya juga tidak apa-apa,yang penting kami tidak saling menyakiti dan akan tetap saling dekat dan berteman"

"Jadi misalkan Mbak Mau dekat dengan kamu, Bunda tidak akan marah begitu"

"Ya sepertinya begitu. Tapi Mbak kan sudah ada yang punya, Mas Raffi mau dikemanain Mbak. Hehehe'

"Mbak tadi bilang kan misalnya Vin, Tapi sekali-kali punya cadangan kan tidak apa-apa Vin. Hihihi"

"Mbak bisa saja, Tapi boleh deh dijadikan ban serep, kalau Mbak Yuni yang minta. Hehehe'

"Maunya" kata Mbak Yuni sambil memencet hidungku.

Kamipun terus bercanda dalam perjalanan hingga sampai didepan rumahnya Mas Raffi.

Mbak Yuni segera turun dan mengucapkan terima kasih padaku. Kemudian dia segera masuk kedalam rumah itu. Saat aku mau meninggalkan tempat itu ponselku berbunyi. Kulihat nama Mas Bram dilayar, maka segera kuangkat telepon itu.

"Halo Mas, ya ada apa? Benarkah!!!, berarti kecurigaan kita benar. Yaa, Hemmm, Yaa, Ok, Baik Mas. Bye"

Mas Bram memberi kabar, Katanya ditemukan mayat disuatu tempat di Kota Pekalongan. Dan Mas Bram diberitahu temannya, bahwa mayat itu adalah orang yang didalam saksi kecelakaan Om Gian mengatakan 'Bahwa dia melihat dua orang keluar dari dalam mobil sebelum tertabrak kereta'. Selain itu kata teman Mas Bram, Bahwa dia telah menyelidiki dan diketahui bahwa terakhir kali orang itu pergi bersama dua orang yang tidak dikenal.

Mas Bram menduga bahwa dua orang itu juga yang telah melenyapkan nyawa Om Gian. Dan seperti biasa Mas Bram bilang padaku untuk selalu waspada. Karena tampaknya komplotan mereka itu adalah orang-orang yang pintar.

Aku masih termenung memikirkan kabar yang kuterima dari Mas Bram. Aku sedikit terkejut saat tiba-tiba ada orang yang membuka pintu mobil dan duduk disebelahku. Aku menjadi lega dan agak heran karena yang duduk disebelahku adalah Mbak yuni. Saat aku melihat wajahnya tampak rona kesedihan dimukanya.

"Mbak, Ken ..." sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku Mbak yuni sudah menyuruhku untuk menjalankan mobilnya.

"Jalan Vin" Katanya. Akupun menuruti perintahnya. Aku segera meninggalkan tempat itu. Setelah terdiam beberapa menit akupun kembali bertanya padanya kenapa dia begitu tergesa-gesa meninggalkan rumah itu. Mbak Yuni hanya menjawab tidak apa-apa. Tapi bisa kulihat diwajahnya ada kesedihan yang dipendamnya. Tapi bila dia tidak mau mengungkapkannya, aku tidak bisa memaksanya.

Dia kemudian mengambil smartphonenya dan menghubungi seseorang . Setelah beberapa saat diapun bertanya padaku apa bisa mengantarnya ke suatu tempat. Setelah aku mengatakan punya waktu bebas sampai besok siang, Mbak Yuni memintaku mengantarnya ke suatu tempat.




Chapter XII : Threesome


Menjelang malam kami tiba disuatu apartemen di kawasan Jakarta Selatan. Mbak Yuni memintaku ikut turun. Akupun mengikutinya masuk kedalam apartemen itu. Dia segera menekan bel begitu sampai didepan suatu kamar. Sebelumnya kukira aku diajak ketempatnya, ternyata ke apartemen temannya. Dan yang membuatku lebih terkejut saat aku tahu siapa yang membukakan pintu, dan dia tampaknya pemilik kamar yang kami tuju.

Orang yang menyambut kami adalah wanita yang memakai semacam daster berwarna merah muda. Dia langsung memeluk Mbak Yuni dan saling mencium pipi, Kemudian mempersilahkan kami masuk.

"Masuk Yun, kamu juga Vin. selamat datang ditempat Mbak" Katanya pada kami berdua. Setelah kami masuk dia segera menutup dan mengunci pintunya. sementara Mbak Yuni langsung menuju dapur dan mengambil minuman. Tampaknya dia sudah terbiasa berada ditempat ini.

"Cha, punya minuman ngak?" Tanya Mbak Yuni kepada pemilik rumah. Sementara aku melihat-lihat foto yang terpajang diruang tamu. Banyak fotonya, Ada yang dengan Pasha, tampaknya foto ketika mereka sedang berduet menyanyikan lagu 'Terlanjur Cinta'. Ada yang dengan Mbak Melly G, yang tampaknya akrab karena lagu-lagunya kebanyakan karya dari Melly G. Ada yang sedang di suting suatu iklan shampo. Wanita itu adalah Mbak Rossa. Ya, Rossa yang peny*ny* asal kota S*m*d*ng itu.

"Ada masalah Yun?, dengan Raffi lagi? Tumben mencari minuman. Kamu kan biasa seperti itu, kalau ada masalah mencari pelarian. Dibuat santai saja. Kalau memang sudah tidak bisa dipertahankan, ya sudah bubar saja. Kenapa kamu yang kerepotan". Kata Mbak Rossa panjang lebar sementara Mbak Yuni terdiam ditempatnya. Akupun ikut diam karena tidak tahu pasti apa masalahnya.

Mbak Rossa kemudian menyusul kedapur dan menawariku minuman. "Mau minum apa Vin?". Tanyanya padaku. Setelah itu dia mengambil minuman yang aku pinta dan menyerahkannya padaku, kemudian dia duduk disebelahku diruang tamu membiarkan Mbak Yuni sendirian didapur yang tampaknya masih termenung memikirkan kata-kata Mbak Rossa.

Aku dan Mbak Rossa pun kemudian berbincang-bincang berdua. Dia menanyakan kabarku, kegiatanku sampai kenapa aku bisa datang bersama Mbak Yuni ketempatnya. Akupun menjelaskan kepada Mbak Rossa kenapa aku bisa sampai ketempatnya. Saat aku berbicara dengannya dia terus menatapku, akupun balas menatapnya. Mungkin tadi belum kusadari sebelumnya, tapi kini saat aku menatap tubuhnya yang mungil namun padat itu lekat-lekat yang bersandar dikursi baru kusadari bahwa karena posisinya maka pada dadanya tercetak tonjolan puting. Akupun baru sadar bahwa dari tadi Mbak Rossa tidak memakai Bra.

Rupanya dia sadar kalau aku menatap kearah dadanya, diapun tersipu malu dan menutup bagian dadanya dengan batal kursi yang ada disebelahnya.

"Ihhh! Gavin matanya nakal ya"

"Kok aku Mbak, kan Mbak juga salah. Masa jam segini memakai pakaian mau tidur. Lagian Mbak memang cantik jadi wajar dong, kalau aku memandang Mbak. Memang tidak ada acara ya Mbak? kok sudah mau tidur" ucapku padanya.

"Bukannya mau tidur Vin. Tadi waktu Yuni menghubungiku, Mbak baru saja pulang . Mbak ganti baju ini sebenarnya mau mandi. Tapi keburu Yuni datang. Mbak kan tidak tahu kalau ada kamu bersama Yuni. Mbak pikir tidak perlu ganti pakaian. Tapi kamu memang nakal ya!, Mbak masih ingat hari minggu kemarin kamu ngapain sama Maia". Mbak Rossa menjelaskan.

"Tapi Banyak yang suka saya nakalin Mbak. Mbak mau saya nakalin" kataku meggodanya.

"Emang berani kamu nakalin Mbak, Ada Yuni tuh, bisa dibilangin sama Maia lho"

"Tidak apa-apa Mbak, Nanti Mbak Yuni sekalian saya nakalin biar tidak lapor sama Bunda Maia" Jawabku sambil tersenyum menggodanya.

"Ihhh, pintar juga ya kamu Vin. Sudah ah, Mbak mau mandi dulu. Mbak takut di nakalin sama kamu. Katanya sambil beranjak dari duduknya dan juga mengedipkan matanya membalas godaanku.

Melihat Mbak Rossa memberikan sinyal positif walau diluarnya mengatakan takut akan godaanku. Aku mencoba kembali untuk melihat reaksinya bagaimana seandainya dia benar benar kugoda. Maka sebelum dia berajak jauh, kupegang tangannya dan sedikit kutarik kearahku hingga terduduk kembali disofa. "Mau kemana Mbak" kataku dengan mulut lebih kudekatkan pada telinganya.

Mungkin karena takut didengar Mbak Yuni maka Mbak Rossa menjawab dengan suara lirih hingga mirip desahan. "Vin, ada Yuni ngak enak ah!".

"Tidak apa-apa Mbak, Mbak Yuni sudah tahu posisiku, Tadi juga dia sudah bertanya dan aku sudah menjelaskan padanya. Jadi tidak ada masalah dengan Bunda Maia" Kataku menjelaskan sambil terus berusaha merayunya. Mbak Rossa kemudian menatap mataku, mungkin untuk meyakinkan dirinya apakah aku berbohong apa tidak. Aku membalas menatap matanya dan kemudian aku menganggukkan kepalaku untuk meyakinkannya.

Perlahan kepalanya mendekat kearahku. Dan akupun mendekatkan mukaku kearahnya hingga jarak diantara kami hanya beberapa senti. Kami masih bertatapan hingga beberapa saat, kami dapat merasakan hembusan hangat dari nafas kami.

Perlahan mulutnya terbuka sedikit dan aku menyambut dengan menempelkan bibirku pada bibirnya. sedikit demi sedikit mulut kami mulai saling mengecup dan lidah kami mulai saling memilin. Tanganku mulai bergerilya pada tubuhnya, dan tubuhnya pun memberikan respon akan sentuhan tanganku. Mbak Rossa mulai menggelinjang kegelian saat tanganku sampai di tempat-tempat sensitif pada tubuhnya.

Dan perlahan diapun mulai mendesah. "uhh hmm ... ssshhh". Kami sudah sangat bernafsu ketika bibir kami terus beradu bersama-sama, kami berdua saling mengerang di mulut! Aku menggapai ke bawah dengan kedua tangan, memegang ujung baju tidurnya, dan menarik Baju tidur Mbak Rossa lebih tinggi melewati dadanya. Baju itu pelan-pelan tanggal dari tubuhnya yang terasa hangat. Mula-mula melewati payudaranya, putingnya yang mengeras, terus ke leher Mbak Rossa. Tampaklah kini dua payudaranya dan seakan mengundang aku untuk segera menyentuhnya.

Segera saja aku sergap payudaranya, membelai satu-persatu buah dada itu, hingga jari-jariku sampai ke putingnya. Ku pilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian. Mbak Rossa mengerang "EEEHHMMMMM"!. Aku menghentikan ciuman dan menundukkan kepala ke buah dada sebelah kiri dan menangkap puting dan areola dalam mulutku dan mulai membasahi dan merangsang
puting Mbak Rossa dengan lidahku.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, menariknya kearahku, mendorong lebih dalam buah dadanya
ke dalam mulutku dan mengisap putingnya lama-lama. Mulutnya tak henti-hentinya mengeluarkan erangan lemah. Tanpa menurunkan rangsangan di putingnya, aku menyambar daster yang masih melekat di lehernya dan menariknya lebih tinggi, membuat tangannya ikut naik dan membuat baju itu tanggal seluruhnya.

Akupun segera melepaskan kaos dan celana panjangku kini kami sama-sama setengah telanjang. Tanganku kembali menyelinap kepinggangnya, dan celana dalamnya kemudian kutarik secara pelan dan kini didepanku terpampang sebuah hutan yang tidak terlalu rimbun. Melihat hutan itu celanaku pun menjadi semakin sesak dan akupun kemudian membebaskan penisku dari siksaan celana yang semakin ketat.

Kini kami sudah sama-sama telanjang bulat diruang itu dan tidak menyadari keadaan karena nafsu yang menyelimuti kami. Saat aku akan memulai menempelkan penisku pada celah vagina Mbak Rossa kudengar suara mendesah dan aku segera menengok kearah itu. Dan barulah aku sadar bahwa kami tidak berdua. Entah sejak kapan Mbak Yuni berdiri tidak jauh dari tempat itu menyaksikan perbuatan kami.

Tampaknya Mbak Yuni sudah lama menyaksikan perbuatan kami. Karena diapun tampaknya sudah ikut terangsang. kulihat tangan kanannya berada didadanya dan dia meremas-remas dadanya sendiri. Sementara tangan kirinya berada dibagian bawah tubuhnya.

Mbak Rossa yang kemudian juga menyadari bahwa Mbak Yuni melihat perbuatan kami berusaha menutupi tubuh telanjangnya. Mbak Yuni yang melihat kami berhenti kemudian mendekat kearah kami dan berkata. "Kenapa berhenti Cha, tidak apa-apa teruskan saja. Tidak perlu malu, Kita sama-sama wanita dan punya status sama. Jadi kita pasti sudah sama-sama mengerti akan kebutuhan kita. Sebenarnya aku tidak mau mengganggu kalian. Tapi Melihat permainan kalian aku jadi ikut bernafsu"

Mendengar Mbak Yuni berkata seperti itu Mbak Rossa menjadi tidak terlalu canggung lagi dan yang membuatku lebih kaget adalah perkataan Mbak Rossa selanjutnya. "Yun, Kenapa kamu tidak ikut gabung kita sekalian. Kamu lihat senjatanya Gavin, aku takut menghadapi senjatanya sendirian. kenapa kita tidak bersama saja menghadapinya" Mbak Rossa tampaknya mengajak Mbak Yuni Untuk threesome.

"Baiklah kalau begitu, aku juga penasaran dengan cerita Mai. dan ingin membuktikan kebenarannya". sesudah berkata seperti itu Mbak Yuni kemudian ikut mencopot pakaiannya hingga telanjang bulat. Kini didepanku berdiri dua wanita bertelanjang bulat.

"Yun, Vin kita kekamar saja, biar permainan kita lebih nyaman". Kata Mbak Rossa sambil berjaan kearah kamar. Tanpa bersuara kami mengikuti Mbak Rossa ke kamar tidur. Hingga begitu masuk kamar kami bertiga langsung saling menyerang di atas tempat tidur yang berukuran besar itu. Dengan nafsu menggelora dan nafas yang terdengar turun naik, kami memulai permainan segitiga itu. Aku berbaring telentang menghadap ke atas lalu dengan cepat Mbak Yuni menyambar kemaluanku dan mempermainkan penisku yang telah setengah tegang itu dengan mulutnya. Dan mulai menjilat kepala penisku yang sebesar buah ketimun itu dengan penuh nafsu, sementara itu kutarik pinggul Mbak Rossa dan kukangkangkan tepat di atas wajahku sehingga daerah sekitar kemaluannya terjangkau oleh lidah dan bibirku yang bersiap menjilatinya. Kutarik belahan bibir vagina Mbak Rossa dan mulai kujilat dengan lembutnya.

Permainan segitiga kamipun dimulai, Mbak Yuni mengkaraoke penisku. Sementara aku memainkan lidah dan menyedoti daerah vagina Mbak Rossa. Suara desahan kami mulai terdengar memecah keheningan suasana malam. Decakan suara lidahku yang bermain dipermukaan vagina Mbak Rossa mengiringi desahannya yang menahan nikmat dari arah selangkangnya. Sementara aku mulai merasakan kenikmatan dari penisku yang keluar masuk mulut Mbak Yuni. Beberapa saat kemudian Mbak Yuni melepaskan sedotannya pada penisku, tak lama kemudian kurasakan dia memegang penisku dan dengan bernafsu mengambil posisi menunggang di atas tubuhku dan langsung memasukkan penisku ke dalam liang vaginanya. "Sreeep blesss", penisku yang besar dan panjang itu menerobos masuk ke dalam liang vagina Mbak Yuni.

"Aahhh..., Enaaak", desahnya. Saat kurasakan penisku membelah dan masuk seluruhnya kedalam liang vaginanya.

Sementara Mbak Rossa terus mendesah keras menahan kenikmatan yang kuberikan lewat permainan lidahku yang menjilati seluruh dinding dan detil-detil vaginanya. Bentuknya tampak lebih chubby dari milik Bunda Maia, belahan bibir vagina Mbak Rossa tampak lebih lebar hingga liangnya tampak lebih nikmat dan menggairahkan.

"Ooouuuhh Yuuun, nikmat sekali ternyata..., ooohh Maia benar Yun ooohh sedot terus vagina Mbak, Vin.., oooh enaak", erang Mbak Rossa.

"Kamu mau merasakan yang ini Cha? uuuh, kamu akan merasa ketagihan kalau sudah tersentuh buah penis ini", Kudengar Mbak Yuni menawarkan posisinya pada Mbak Rossa setelah beberapa saat dia berada diatas penisku. Mbak Rossa kemudian beranjak dari atas wajahku dan kemudian menuju arah bawah tubuhku. Mata Mbak Rossa tampak berbinar dengan perasaan setengah tak percaya saat dia memandangi penisku.

"Uhh besarnya penis ini Yun, benar seperti yang Maia ceritakan. Pantas Maia jadi gila seks saat bertemu Gavin. ooh", serunya keheranan.

"Ayolah segera coba..", kata Mbak Yuni sambil menuntun pinggul wanita itu menuju ke arah penisku yang sudah tegang dan keras.

"Iiihh..., Aku sudah tidak sabar nih" kata Mbak Rossa sambil menggenggam batang kemaluanku. Kemudian dengan gesit di tuntunnya penisku sampai permukaan vaginanya yang sudah basah oleh air liurku.

Dan.., "Sreeettt", "Auuuwwww Viiin..., vaginaku rasanya robek Yun aduuuh..", jeritnya tiba-tiba saat merasakan penisku menerobos masuk liang vaginanya. Lubang itu terasa sangat sempit hingga mungkin Mbak Rossa merasakan sedikit perih. Dia diam beberapa saat, mungkin untuk menyesuaikan penisku yang terlalu besar bagi liang kewanitaannya. Namun beberapa saat kemudian dia mulai bergoyang perlahan, mungkin rasa perihnya mulai berkurang dan telah berubah menjadi rasa nikmat.

"Uuuhh..., aahh..., ooohh enaakkk, Viiin ooohh Yun, baru pertama kali aku merasakan penis sebesar ini Yun, ooohh pantas Maia senang bercinta dengannya ..., oooh Yun..., aku bisa ketagihan kalau seperti ini nikmatnya..., ooohh", wanita itu mulai mengoceh saat menikmati penis besarku yang keluar masuk liang vaginanya.

Sementara kini Mbak Yuni menikmati permainan lidahku pada permukaan vaginanya yang kini telah berada tepat di atas wajahku. Sesekali kusedot keras clitoris Mbak Yuni yang merah sebesar biji kacang di celah vaginanya hingga wanita itu berteriak geli. Dua orang wanita itu tampaknya saling meremas buah dada. Keduanya dalam posisi berhadap-hadapan. Tanganku yang sebelah ikut meremas sebelah susu Mbak Yuni. Dengan bergantian kuraih payudara kedua wanita yang berada diatas tubuhku.

Penisku yang tegang terus keluar masuk oleh gerakan naik turun Mbak Rossa di atas pinggulku. Goyangan wanita itu tak kalah hebatnya dengan wanita-wanita yang pernah tidur denganku, Dia sesekali membuat putaran pada poros pertemuan kemaluannya dengan penisku sehingga kenikmatan itu semakin sensasional. Namun hal itu hanya dapat dia tahan selama sepuluh menit, ketika Aku ikut menekan pinggangku ke atas menghantam tubuh Mbak Rossa, wanita itu berteriak panjang dengan vagina yang berdenyut keras dan cairan kelamin yang tiba-tiba meluncur dari dasar liang rahimnya.

"Ooohh Viiin, Mbaaak keluaarr..., ooohh enaak, Yuun aku nggak kuat lagi ooohh..., nikmatnya penis ini..., ooh enaakkk", teriaknya panjang sebelum kemudian terkapar diatas tubuhku. Aku bangkit sejenak dan memberikan ciuman mesra pada Mbak Rossa, lalu kuatur posisi baru dengan Mbak Yuni.

"Ayo Mbak, kita lanjutkan mainnya..., Mbak istirahat dulu ya", kataku pada Mbak Rossa.

"Baiklah", jawabnya sembari kemudian berbaring. Sementara kini aku mulai menindih tubuh mungil Mbak Yuni. Perlahan kumasukkan penisku kedalam lubang vaginanya. Dia nampak mengerenyitkan dahinya, mungkin dia merasa sedikit nyeri pada vaginanya. Kumainkan buah dadanya untuk mengurangi rasa sakit pada dirinya.

Perlahan suara desah nafas yang saling memburu dan terpatah-patah terdengar dari mulut kami akibat menahan kenikmatan dari kedua kemaluan kami yang beradu keras saling membentur yang menimbulkan bunyi decakan becek. Daerah sekitar kemaluan kami telah basah oleh cairan kelamin yang terus mengalir dari liang vagina Mbak Yuni hingga semakin lama kurasakan dinding kemaluan Mbak Yuni semakin licin dan nikmat.

Perlahan kubalikkan tubuhku dibagian bawah. Kini dengan lincahnya pinggul wanita paruh baya itu bergoyang di atas tubuhku dengan penuh nafsu. Liang vagina Mbak Yuni yang sudah punya dua orang anak itu seperti tak cukup besar untuk menampung batang penisku yang keluar masuk bak rudal nuklir. Tidak lama kemudian Mbak Yuni sudah tampak tak dapat lagi menguasai jalannya permainan. Wanita itu kini mendongak sambil menarik rambutnya untuk menahan rasa nikmat yang dirasakannya dari liang vaginanya yang terdesak oleh penisku.

"Auuuhh..., ooohh..., mati aku Cha..., enaak..., ooohh..., Gavin sayaang..., oooh remas terus susu Mbak", teriak wanita itu sembari menggelengkan kepalanya liar kekiri dan kanan untuk berusaha menahan rasa klimaks yang diambang puncaknya itu.

Mbak Rossa tampak terpesona melihat gerakan Mbak Yuni yang begitu liar diatas tubuhku. Mbak Yuni tampak begitu menikmati sodokan batang penisku dengan maksimal. Menyaksikan hal itu nafsu Mbak Rossa tampak bangkit kembali, dia lalu bangkit dan mendekat kearah kami berdua. Aku menyambut Mbak Rossa dengan mengulurkan tanganku ke arah vaginanya. Langsung kuraba permukaannya yang masih basah oleh cairan kelamin, lalu dua jariku masuk ke liang itu dan mengocok-ngocoknya hingga membuat Mbak Rossa merasa nikmat.

Mbak Rossa membalas dengan kecupan ke arah mulutku hingga kami saling mengadu bibir dan menyedot lidah. Permainan kami menjadi lebih seru oleh teriakan nyaring Mbak Yuni yang kini terlihat sedang menanti puncak kenikmatannya. Goyang tubuhnya semakin liar dan tak karuan sampai kemudian ia berteriak panjang bersamaan dengan menyemburnya cairan hangat dan kental dari dalam rongga rahimnya.


"Oouuu..., aakuu keeeluaarr..., aahh enaak..., oooh..", jeritnya dengan tubuh yang tiba-tiba kejang kemudian lemas tak berdaya.

"Aduh Cha, aku kok cepat keluar kayak gini yah?", seru Mbak Yuni sambil melepas gigitan bibir vaginanya pada penis Andi yang masih keras dan perkasa itu.

"Memang kamu bener-bener jago Viiin..., beri Mbak kesempatan lagi buat menikmatinya..., ooohh, sekarang posisi mu yang di atas dong sayang", ajak Mbak Rossa setelah Mbak Yuni selesai dan menyamping.

Dia kemudian berbaring pasrah membiarkan tubuhku menindihnya dari arah atas. Aku pegang penisku yang masih tegang dan kemudian dengan perlahan kumasukkan lagi ke dalam liang vagina Mbak Rossa. Dia mengangkat sebelah kakinya agak ke atas dan menyamping hingga belahan vaginanya tampak jelas siap dimasuki penisku. Dia langsung terhenyak dan mendesah panjang saat dia kembali merasakan penisku menerobos masuk melewati dinding vaginanya yang terasa sempit.

"Ohh..., yang pelan saja Viiin...", pinta Mbak Rossa sambil meresapi setiap milimeter pergesekan dinding vaginanya dengan buah penisku. Aku mulai bergoyang dengan perlahan seperti yang diinginkan wanita itu. Mbak Rossa meremas sendiri buah dadanya yang ranum, sementara kedua kakinya kubentangkan ke arah kiri dan kanan sehingga membuka selangkangannya lebih lebar lagi. Tak ayal gaya itu membuat Mbak Rossa berteriak menahan nikmat karena penisku yang masuk lebih dalam dan membentur dasar liang vaginanya yang paling dalam.

"Aahh..., ooohh hebat kamu Viiin..., ooohh Yunnn nikmat sekali Yunnn..., ooouuuhh enaakk..., oooh genjotlah yang keras Vin..., oooh semakin nikmat ooohh pintaar..., ooohh yaahh..., mm..., lezaatt..., ooohh Gavin..., pantas kamu disenangi sama wanita Vinnn..., ooohh ampuuun enaknya..., oohh pintar sekali kamu Viiin..., ooohh", desah Mbak Rosss setengah berteriak. Pantatnya ikut bergoyang mengimbangi kenikmatan dari hempasan tubuhku yang menghantam keras ke arah tubuhnya. Penis besarku tampaknya benar-benar memberi sejuta sensasi rasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Kenikmatan dahsyat yang membuatnya lupa diri dan berteriak seperti orang gila.

Dia menjambak sendiri rambutnya yang tergerai indah seperti dalam iklan shampo yang dia bintangi. Mbak Rossa berguling dan menindih tubuhku dan menggoyang turun naik sambil berjongkok. Jari telunjuknya berusaha meraba daerah kemaluannya sendiri untuk membuat clitoris sebesar biji kacang di celah bibir kewanitaannya mendapat sentuhan lebih banyak lagi.

Hempasan dari tubuhku diimbanginya dengan berteriak menahan nikmatnya benturan penisku. Sesekali dia membalas dengan juga menghempaskan tubuh dan pantatnya dengan keras, namun gerakan itu justru semakin membuatnya tak dapat bertahan. Kenikmatan itu kembali membuatnya menggapai puncak permainan untuk yang kedua kalinya.

Dengan sepenuh tenaga ia berteriak keras sambil menghempaskan tubuhnya sekeras-kerasnya.
"Aooowww..., ooohh..., aku keluaar lagiii..., ooohh enaak Viiin..., ooohh, nikmat sekali ooohh..., aahh", teriaknya panjang.

Kurasakan denyutan keras pada vagina Mbak Rossa yang sekaligus menyemburkan cairan hangat dan memenuhi rongga vagina itu. Liang kemaluan itu berubah menjadi sangat licin dan nikmat hingga membuatku terangsang untuk terus menggoyang pinggulnya. Kurengkuh pinggulnya, kudekap erat sambil terus kugoyang memutar pantatku hingga penisku seperti mengaduk-aduk isi dalam vagina Mbak Rossa. Sepertinya dia merasakan rasa geli yang amat sangat, hingga seakan membuatnya ingin melepaskan penisku dari dalam vaginanya. Tidak kuhiraukan gerakan meronta Mbak Rossa yang berusaha melepaskan diri. Tubuhnya semakin kudekap kuat dan terus kugoyang pinggulku serta kuciumi sekujur tubuhnya dengan penuh nafsu.

"Aaww..., geeliii..., ampun sayang Mbak nyerah, lepasin Mbak Viiin..., geliii", teriaknya memohon padaku. Walau dengan sedikit terpaksa, kuhentikan gerakanku, dan kulepaskan pelukanku pada pinggul Mbak Rossa yang langsung saja terjatuh lemas.
"Ohh. Mbak nggak kuat lagi Viiin.., ooh hebatnya kamu, sudah dua kali Mbak kamu bikin keluar, gila kamu. Benar-benar jantan, ooohh nikmatnya", lanjutnya sambil membelai penisku yang masih saja tegak tak tergoyahkan. Dikecupnya kepala penisku dengan lembut lalu ia meraih batangnya dan tanpa kuminta dia mengkaraoke penisku. Sementara tanganku membelai rambut indahnya.

-=+=-

"Ohh Mbak..., sebentar lagi saya mau keluar", kataku saat Mbak Rossa memainkan mulutnya pada penisku untuk kesekian kalinya. Mbak Yuni baru saja mencapai puncak untuk ketiga kalinya, begitu juga Mbak Rossa yang sudah keluar tiga kali. Kini Mbak Rossa melepaskan penisku setelah mendengar perkataanku.

"Ohh kamu kuat sekali Vin, kalau tidak keluar sekarang mungkin Mbak dan Yuni tidak sanggup lagi, Mbak sudah kamu bikin keluar tiga kali, dan juga Yuni, sekarang keluarin yah sayang..", kata Mbak Rossa kepadaku.

"Baiklah Mbak, ayo kita mulai", ajakku sambil memeluk tubuh bugil Mbak Rossa dan langsung kutusukkan kemaluanku dalam liang vagina wanita itu yang sudah banjir karena sudah keluar tiga kali.

Kami kembali bermain, tapi kini Mbak Yuni juga ikut berbaring disamping Mbak Rossa, dengan gerakan pelan dan teratur bergantian kutusuk dua buah liang vagina yang kini terpampang didepanku. Diiringi kecupan dan remasan pada payudara mereka berdua yang masih cukup ranum itu Aku terus berusaha meraih kepuasan secara maksimal. Hingga beberapa puluh menit kemudian saat aku mulai merasa kedut di batang penisku maka kupercepat gerakanku secara bersamaan dengan kedua wanita yang ada didepanku yang tampaknya juga mengalami hal yang sama.

"Mbaaak..., saya mau keluar..., oooh goyang yang keras..., ooohh tekan terus Mbak..., ooohh Mbak jepit lagi..., ooohh nikmat sekali..., ooohh", Aku menjerit pelan meresapi kenikmatan dari kedua tubuh wanita itu.
"Mbak jugaa..., Viiin..., oooh penis kamu panjang sekali..., ooohh enaak nikmatnya..., ooohh remas yang keras susuku Viiin..., ooohh teruuus..., Mbak keluaarr lagiii..., ooohh enaak", jerit Mbak Yuni.
"Mbak juga keluaarr Viiin..., ooohh yeah..., ooohh enaknya...", jerit Mbak Rossa pada waktu bersamaan.
"Goyang terus Mbak ..., ooohh air mani saya mau nyemprot..., aahh", Teriakku menggerang .

"Cabut Vin sini semprot ke muka Mbak, Mbak pingin minum sperma kamu cepaat", teriak Mbak Yuni.
"Baik Mbak..., ooohh..., minum Mbak..., ooohh", teriakku sambil berdiri di hadapan mereka yang mendongak tepat di bawah penisku yang menyemprotkan cairan sperma itu. Lebih dari empatkali kusememprotkan cairan itu ke mulut Mbak Yuni yang menganga dan langsung ia telan, kemudian tak ketingggalan kutembakkan juga ke arah muka Mbak Rossa. Mbak Rossa pun menyambut dengan membuka lebar mulutnya, dia bahkan meraih batang penisku dan mengocokkannya dalam mulutnya sehingga seluruh sisa cairan spermaku dia telan habis.

Akhirnya dapat juga kugapai puncak kenikmatan yang begitu lama itu. Dengan diiringi teriakan panjang dari mulut Mbak Rossa, kami bertiga terkapar lemas dan tak sanggup lagi melanjutkan permainan itu. Kami kini saling bercanda ria setelah berhasil meraih kepuasan dari hubungan seks yang begitu seru, empat jam lebih kami mengumbar nafsu birahi itu sampai puas dan kemudian tertidur kelelahan tanpa seutas benangpun melapisi tubuh kami bertiga.




Chapter XIII : Mysterious Man


Aku terbangun sekitar jam tujuh pagi. Saat melihat sekeliling tinggal aku sedirian, Mbak Rossa dan Mbak Yuni tampaknya sudah terbangun. Sesaat aku masih berbaring untuk mengembalikan pikiran dan tenaga. Setelah merasa segar akupun bangkit dari tempat tidur , Setelah memakai celanaku yang sudah ada dikamar itu aku keluar dari kamar tidur menuju balkon. Aku menggerakkan badan melakukan gerakan senam ringan untuk melemaskan otot yang kaku. Setelah merasa bugar lalu aku melakukan sit up, push up dan melatih gerakan-gerakan karate.

Setelah berkeringat cukup banyak aku menghentikan latihanku. Tidak lama kemudian Mbak Rossa datang membawa secangkit kopi. "Sudah lama bangun Vin? Mbak Pikir tadi kamu belum bangun. Ini Mbak bawakan kopi, masih hangat. Kalau kurang manis nanti Mbak tambah gulanya". Kata Mbak Rossa sambil menyerahkan cangkir padaku.

Aku segera meminum kopi itu. "Sudah manis kok Mbak, apa lagi minumnya sambil memandang Mbak. Jadi tambah manis, Hehehe"

"Uhh, dasar tukang gombal" Jawabnya tersipu malu sambil memalingkan muka.

"Tapi masih ada yang kurang nih Mbak"

"Apa?" tanyanya menghadap kearahku lagi.

"Itu ..." Jawabku, memandang kearah dadanya dengan senyum mesum.

"Apaaa ...?" Tanyanya masih belum mengerti. Setelah dia melihat arah pandanganku barulah dia mengerti apa maksudku. "Huuuh dasar" Katanya sambil menonjok perutku yang six pack dan masih berkeringat.

Aku pun pura-pura meringis kesakitan dan dia tampaknya menjadi khawatir. Tapi setelah melihatku tertawa, diapun tahu aku hanya berpura-pura. Dia berusaha untuk mencoba mencubit perutku. Tapi aku berlari menghindar dan masuk kembali kekamar.

Sesampai diruang dalam tidak kulihat Mbak Yuni dimanapun. Setelah Mbak Rossa juga masuk keruang itu akupun bertanya padanya. "Mbak Yuni kemana Mbak?"

"Pulang...!"

"Pulang! Kapan? Sama siapa"

"Baru saja, sebelum tadi Mbak masuk membawa kopi. Sama Yanti, Tadi Yanti jalan-jalan sekitar sini sama Raul. Mampir sebentar ketempat ini, Yanti juga tidak tahu Yuni ditempat ini. Saat mau Yanti mau pulang Yuni ikut".

"Mbak Yanti tahu saya ada disini?"

"Sepertinya tidak, andai tahu juga tidak apa-apa. Yanti tahu Yuni bukan anak kecil, jadi Yuni pasti tahu apa yang dilakukannya. Dia pernah berkata seperti itu saat kutanyakan tentang hubungan Yuni dan Raffi. Sudah ah, Mbak mau mandi dulu. Gara-gara kamu Mbak belum mandi dari kemarin. Kalau kamu lapar itu Mbak sudah siapin roti dimeja". Katanya sambil beranjak kekamar Mandi.

"Mbaaak ..." Panggilku lagi menghentikan langkahnya.

"Apa lagi Sayaaang" Katanya dengan nada mesra.

"Mbak boleh ikut mandi?" tanyaku.

"Kamu masih berkeringat tuh, sudah makan dulu. Kamu tadi malam kan habis bekerja keras". jawabnya tanpa mengiyakan atau menolak permintaanku. Aku langsung menuju meja dapur dan ternyata Mbak Rossa sudah menyiapkan dua pasang roti bakar dan juga dua telur setengah matang. Hanya sekejap makanan-makanan itu sudah berpindah kedalam perutku dan kuakhiri dengan segelas susu hangat yang juga ada diatas meja itu. Lima belas menit kemudian aku belum melihat Mbak Rossa selasai mandi. Aku bangun dari tempatku dan menuju kekamar mandi.

Aku masih mendengar guyuran air dari dalam kamar mandi dan mencoba membuka pintunya. Ternyata tidak dikunci, Aku pun mendorong pintu kamar mandi. Dan aku kembali terkesima melihat Mbak Rossa yang telanjang bulat dengan rambut yang basah. Gairahku kembali bangkit, aku masuk dan langsung merangkul tubuh Mbak Rossa.

"Mandi dulu dong" Pinta Mbak Rossa manja. Akupun menuruti ajakannya. kulepas celanaku kemudian mengguyuri tubuhku dengan air. Beberapa saat setelah itu aku menyabuni tubuhku dengan sabun cair. Mbak Rossa turut membantu menyabuni tubuhku, dia juga menyabuni batang penisku yang kembali tegak, dia mengocok-ngocok batang kejantananku dengan lembut. Nikmat rasanya, dan pada saat hampir mencapai klimaksnya aku melepaskan tangan Mbak Rossa karena belum saatnya.

Gantian aku yang menyabuni Mbak Rossa, mula-mula kedua tangannya lalu kedua kakinya. Sampailah kedaerah yang vital, aku berdiri dibelakang Mbak Rossa terus merangkulnya dan menyabuni payudaranya dengan kedua telapak tanganku. Terdengar Mbak Rossa mendesah panjang. Usapanku kebawah melewati perutnya hingga sampai keliang vaginanya. Kembali aku mengusapnya dengan lembut. Busa sabun hampir menutupi liang vagina Mbak Rossa, kali ini Mbak Rossa merintih nikmat. Setelah puas aku mengguyur kedua tubuh kami yang masih berangkulan.

Aku membalikkan tubuhnya dan kami pun saling berhadapan. Mbak Rossa kemudian mencium bibirku, aku membalasnya dan kemudian terjadi french kiss yang dahsyat. Tangan kami pun tidak tinggal diam, aku menyentuh payudara Mbak Rossa dan ia menyentuh batang penisku yang masih perkasa berdiri. Tidak lama kemudian, Mbak Rossa membimbing batang penisku memasuki liang vaginanya. Dengan melebarkan kakinya batang penisku kembali memasuki liang vaginanya. Mbak Rossa merangkulkan tangannya ke leherku kemudian aku menggendong Mbak Rossa dan menyandarkannya ke dinding kamar mandi.

Setelah itu aku menggoyangkan pinggulku yang membuat penisku keluar masuk liang vagina Mbak Rossa. Akhirnya spermaku keluar dan membasahi seluruh dinding liang Vaginanya. Ternyata dia belum mencapai puncak, Aku menundukkan badan kemudian menjilati liang vagina Mbak Rossa. Mbak Rossa menjerit dengan apa yang kulakukan, Akhirnya Mbak Rossa mengeluarkan juga cairan dari liang vaginanya dan tepat menyemprot kemukaku. Mbak Rossa terkulai nikmat, aku kemudian mengguyuri kembali tubuh kami berdua.

Aku dan Mbak Rossa kemudian menyelesaikan mandi kami, Akupun kemudian memakai pakaianku lagi. Mbak Rossa bilang akan ada acara di salah satu stasiun TV hari ini, dan mungkin akan pulang malam. Dia mempersilahkan aku kalau mau tetap ditempatnya. Tapi aku bilang akan mulai menyelidiki masalah Tito. Jadi aku memutuskan untuk pulang dulu. Tapi kemudian aku memutuskan untuk mengantar Mbak Rossa lebih dult ke stasiun TV itu. Nanti pulangnya dia akan bersama managernya yang akan langsung menuju kesana.

Setelah sampai ditujuan dia tidak langsung keluar dari mobil. Dia mendekat kearah tubuhku kemudian menciumku untuk beberapa lama kemudian berkata "Lain kali... Mbak minta lagi ya sayang" Bisiknya sambil meremas lembut pangkal pahaku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kemudian Mbak Rossa segera keluar setelah melihat anggukkanku. Sesaat kemudian aku segera pergi dari tempat itu.

-=+=-

Aku sampai di apartemen sekitar jam sembilan pagi, Setelah memarkir aku segera menuju keapartemenku. Saat akan membuka pintu aku menjadi curiga, karena pintunya tidak terkunci. Dengan perasaan curiga dan tubuh waspada kudorong pintu pelan-pelan. Aku melihat kedalam, tapi tidak ada suara atau gerakan mencurigakan. Aku pun masuk dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.

Segera aku mencari pengisi daya untuk ponselku. Entah sejak kapan power dayanya habis. Pantas saja dari semalam tidak ada suara dari ponselku. Mungkin karena permainan semalam dengan Mbak Yuni dan Mbak Rossa aku jadi melupakan ponselku. Setelah itu aku segera menuju kamar untuk mencari baju ganti dan "Oh, D**m Sh*t" teriakku dalam hati setelah aku ingat, bahwa aku belum mengambil pakaianku dari rumah dinas yang selama ini aku huni bareng Fariz dan Dion.

Saat masih termenung, aku tiba-tiba kaget saat kulihat dari kaca lemari pakaian ada seseorang berusaha keluar dari kamar. Rupanya dari tadi dalam kamar tidur ada seseorang. Aku segera mengejar orang itu, sebelum orang itu keluar aku berusaha meloncat untuk menubruk orang itu. Tapi seperti orang itu sudah tahu apa yang akan kulakukan. Orang itu tidak lari keluar seperti yang kukira, setelah diruang tamu yang cukup luas orang itu berhenti berlari dan berbalik menghadap ke arahku.

Akupun berhenti dan memandang orang itu. Seorang laki-laki berumur empat puluhan, Tinggi tegap sekitar 180 cm, cambang menyatu dengan kumis yang mulai memutih, kulit kuning bersih, dan berpakaian jas lengkap bermerek Giorgio Armani warna hitam dan kemeja putih dan dasi warna merah dengan sepatu pantofel hitam berkilauan. Orang itu tidak berkata apa-apa hanya tersenyum, kemudian tangan melambai kearahku seolah menantang bertarung dan kemudian dia menggerakkan tangan seakan melakukan pemanasan untuk melakukan pertarungan.

Walau aku belum tahu apa masalahnya, tapi melihat orang itu menantangku. Akupun bersiap-siap dan waspada setelah melihat ketenangan orang itu. Melihat orang itu masih diam dan tersenyum saja seakan mengejekku, akupun menjadi marah dan mulai menyerangnya. Tapi sebelum aku menyerang orang itu, orang itu memberiku isyarat untuk berhenti. Masih dengan tanpa kata-kata orang itu seakan mengatakan jangan bertarung disitu. Diapun keluar dan berhenti dilorong kamar-kamar. Akupun mengikutinya. Dia kemudian bersiap lagi dan kali ini tanpa memberi aba-aba dia sudah menyerangku. Untung akupun sudah waspada sejak tadi.

Maka dilorong kamar itu kami saling serang. Sepertinya dia menguasai berbagai jenis ilmu bela diri. Tapi paling tidak sabuk hitam karate milikku masih bisa mengimbanginya. Kami saling tendang, saling pukul, sikut, banting. Dia menang pengalaman dalam pertarungan tapi aku unggul dalam hal tenaga karena usiaku lebih muda. Hampir tiga puluh menit kami bertarung, tenagaku juga mulai banyak berkurang karena tadi malam sudah bertarung habis-habisan dengan dua orang wanita. Saat kami sama-sama mulai kelelahan pengalamnya dalam bertarung mengalahkanku dan "Bughh", setelah itu aku tidak mendengar apa-apa lagi karena telah jatuh kelantai dan tidak sadarkan diri.

Aku membuka mata dan kulihat atap kamar tidur. Rupanya aku sudah berbaring ditemapt tidur, dan aku langsung memegangi bagian tengkukku yang terasa sakit. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, yang aku ingat terakhir kali adalah bagian tengkukku terasa sakit dan kemudian aku tidak sadar. Rupanya aku terpukul orang itu dan kemudian jatuh tidak sadarkan diri.

Tapi siapa yang membawaku ketempat tidur? Apakah orang itu, dan kemana orang itu. Apa yang dicarinya disini. Kemudian aku mencoba turun dari tempat tidur walau masih kurasakan sakit dibagian leher belakangku. Setelah beberapa saat meneliti, ternyata tidak ada barang apapun yang hilang. "Jadi pasti bukan harta tujuannya, terus apa yang dicarinya disini. Siapa orang itu? Apakah orangnya Sony Danubrata" pikirku dalam hati. Tambah ruwet saja masalah yang kuhadapi. Saat kulihat jam didinding hampir jam Dua Belas siang. Jadi aku tidak sadarkan diri hampir tiga jam. Sejenak aku berusaha melupakan orang itu. Kuambil ponselku dan kuhidupkan powernya. Aku mengambil minuman untuk menghilangkan haus yang kurasakan. Saat ponsel itu sudah menyala maka berbunyilah ponsel itu tanpa henti.

Saat kulihat ternyata ada lebih dari lima puluh pesan singkat dan juga ada sekitar seratus pemberitahuan panggilan tidak terjawab. Ada panggilan dari Ayah, dari Mbak Tika, dari Dion, dari Fariz, Mbak Ina, dari Mas Bram, juga dari Bunda Maia.

Aku kemudian menghubungi mereka satu persatu. Ayah menanyakan kabar juga bertanya apa bisa pulang untuk merayakan ulang tahun ibu minggu depan. Aku menjawab akan berusaha untuk bisa pulang, kalau tidak bisa aku akan menyiapkan hadiah untuk ibu.

Mbak Tika mengabari akan datang ke Jakarta bersama Mas Hendra, Dia minta aku menemani jalan-jalan kalau Mas Hendra tidak bisa menemaninya jalan-jalan. Aku menjawab akan mencari waktu untuk menemaninya.

Dion dan Fariz hampir sama pesannya. Mereka bertanya padaku kenapa dua hari tidak pulang. Juga mengatakn bahwa surat tugas ku sudah dibuat dan sudah ada dirumah dinas. Aku bilang pada mereka nanti sore aku akan kesana mengambil surat tugasku dan menceritakan masalahnya pada mereka.

Mbak Ina bertanya kenapa sejak kemarin pagi, setelah kami dari rumah sakit aku tidak menghubunginya. Juga Aida yang menanyakan tentang diriku. Aku membalas pesannya, nanti sore aku akan menemuinya.

Mas Bram memberi info soal Sony Danubrata, Dia mengatakan agar aku hati-hati terhadapnya. Dia orangnya licin, polisi sebenarnya sudah tahu tindakannya tapi belum cukup bukti untuk menangkapnya. Aku menjawab akan mematuhi permintaanya, juga meminta pada Mas Bram data tentang Sony Danubrata yang selengkap-lengkapnya.

Bunda Maia bertanya padaku kemana setelah mengantar Mbak Yuni kemarin. Kenapa aku tidak bisa dihubungi sesudahnya. Aku menjelaskan semuanya kepada Bunda Maia, dan tampaknya dia bisa menerima penjelasanku. Setelah semuanya kuhubungi aku mecoba kembali untuk istirahat walau satu atau dua jam. Sebenanya aku merasa lapar, tapi untuk pergi mencari makan atau memesan Fastfood aku merasa malas. maka aku hanya istirahat untuk mengembalikan stamina. Tampaknya aku harus belanja makanan untuk persediaan.

-=+=-

Pukul Tiga sore aku bangun dari tempat tidur. Sakit dileher belakangku akibat pukulan orang misterius itu sudah hilang. Setelah kekamar mandi dan minum, kemudian aku melakukan olah raga rutin dan kembali latihan beladiri. Aku kembali menyadari bahwa ada banyak orang hebat dalam bela diri. Seperti tadi aku dibuat K.O oleh orang itu.

Setelah latihan tiga puluh menit aku berhenti dan istirahat sejenak untuk menghilangkan keringat. Setelah itu aku mandi dan segera berangkat ke rumah dinas yang selama ini kutempati dan juga berada satu kawasan dengan kantorku bekerja.

Aku membenahi baju dan barang-barang yang akan kubawa sambil menunggu Dion dan Fariz pulang. Sekalian mengisi perut yang sudah lapar sejak tadi siang dengan persediaan makananku yang masih ada disini.

Jam lima lebih lima belas menit Dion sampai rumah. Dia bertanya mobil siapa didepan rumah. Akupun menjelaskan semuanya pada Dion, Dia turut bergembira atas apa yang kudapatkan. Saat kutanyakan dimana Fariz, dia menjawab bahwa Fariz pulang kerumah kakaknya. Walau kami tinggal hampir selama tiga tahun bersama,aku belum pernah bertemu kakaknya Fariz.

Selepas senja aku meninggalakan tempat itu. Aku segera meluncur ketempat Mbak Ina. Aku sudah berjanji untuk ketempatnya dan juga bertemu Aida. Mbak Ina masih ikut Mas Aman setelah perceraiannya. Bukan Dia tidak mempunyai rumah sendiri, tapi demi keamananya dari gangguan Sony Danubrata mantan suaminya.

Dia menyambutku dengan gembira, tapi karena banyak orang dia bersikap biasa seperti belum pernah terjadi apapun antara kami. Kami hanya sempat berciuman satu kali itupun terburu-buru takut ketahuan pembantunya. Aku mengatakan tugas rahasiaku pada Mbak Ina karena aku yakin dia bisa dipercaya. Setelah mendengar pejelasanku dia memintaku untuk hati-hati, tampak kekhawatiran diwajahnya. Tapi aku mengatakan padanya untuk tidak perlu khawatir. Tidak lebih dari satu jam aku dirumahnya. Setelah berjanji akan selalu memberinya kabar akupun segera pergi dari rumahnya.

-=+=-

Ada tidak enaknya punya mobil mewah dengan CC besar. Boros bahan bakar, saat sedang mengantri untuk mengisi bahan bakar. Aku melihat mobil disampingku, yang jendelanya terbuka dan saat aku melihat orang yang duduk disamping sopir itu aku merasa pernah melihat orang itu. Dan saat kulihat sopir yang turun dari mobil aku juga merasa pernah melihatnya.

Aku lalu berpikir untuk mengingat siapa mereka. Tidak berapa lama aku ingat siapa mereka. yang disamping sopir itu Tito dan yang jadi sopir adalah ornag yang mengirim uang untuk membayar Kang Jono, seperti yang terlihat di kamera CCTV Bank.

Untung mobilku lebih cepat diisi bahan bakar, sementara mereka masih menunggu satu mobil lagi. Maka ketika mobil mereka keluar dari SPBU aku mengikuti mereka dari belakang. Untuk menghidari kecurigaan mereka, aku membuntuti mereka dengan jarak satu mobil lain didepanku.

Mereka kearah sunter, lalu ke cempaka putih terus ke arah cipinang, membelok ke barat arah menteng terus ke senayan. Aku terus membuntuti mereka dengan menyesuaikan diri, kadang lambat kadang cepat. Kalau aku tahu pasti dijalan itu tidak ada cabang, aku mendahului mereka. Saat akan melewati cabang jalan aku mengurangi laju kecepatan sehingga mereka kembali didepanku.

Rupanya tujuan mereka adalah Plaza Senayan. Saat melihat baliho besar didepan pintu masuk orang akan tahu bahwa ditempat ini akan diadakan pameran perhiasan internasional. Dan Pameran ini akan dibuka besok pagi oleh salah seorang menteri. Begitu masuk ruang pameran akan diamati berpuluh pasang mata kamera CCTV dan tentu saja petugas keamanan.

Karena event internasional, otomatis peseta pameran juga dari luar negeri. Walau baru dibuka secara resmi besok pagi sudah banyak pengunjung yang datang. Entah membeli atau sekedar melihat sepertiku. Aku terus mengikuti mereka, ternyata mereka menuju stand khusus permata. Kemudian mereka masuk salah satu stand dan aku melihat tulisan 'DB DIAMOND'. Aku menduga 'D' adalah singkatan dari Danu Brata.

Tebakanku ternyata benar saat aku mendekat dan melihat Sony Danubrata ada did alam stand itu. Tentu saja aku tidak bisa diam saja ditempat seperti itu. Kalau aku melakukan hal itu tentu saja menumbulkan kecurigaan. Aku berkeliling melihat-lihat tapi kuusahan untuk tidak jauh dari pintu masuk stand. Agar aku bisa melihat andai salah satu dari mereka keluar.

Tapi saat itu bukan salah satu diantara mereka yang keluar, Aku melihat orang yang tadi siang bertarung denganku sedang berada diluar stand itu. Aku memutuskan untuk mengejar orang itu, dalam pikiranku Sony dan anak buahnya pasti akan ada ditempat itu besok. Saat aku mengejarnya, tampaknya orang itu tahu kalau kuikuti. Dia pun menyelinap dikeramaian pengunjung.

Dia sepertinya menuju kelantai khusus pakaian, Aku terus mengikutinya. Tapi saat dibagian pakaian-pakaian dalam wanita orang itu menghilang. Aku yang masuk ke tempat itu jelas mendapat perhatian pengunjung. Aku tidak mempedulikan tatapan aneh mereka, aku masih mencari-cari orang itu hingga kepaling ujung toko itu yang merupakan 'kamar pas'.

Aku jadi ragu, apa mungkin orang itu masuk kekamar 'Pas' khusus wanita. Tapi aku jelas-jelas melihat orang itu menuju kearah ini. Disitu ada tiga kamar'pas' yang semuanya tertutup. Aku masih ragu untuk untuk menunggu siapa yang didalam atau mencari di tempat lain. Saat aku masih ragu, salah satu pintu itu terbuka. Orang yang didalam itu tanpa melihat keluar dan hanya tangannya yang diangsurkan keluar menyerahkan dua set pakaian dalam sambil berkata "Mbak tolong pegang ini, aku mau mencoba yang lain dulu". Aku tentu saja menjadi bingung. Orang itu langsung menutup kembali pintunya tanpa memberi kesempatan untukku menjelaskan.

Mungkin tadi ada orang yang menunggu wanita itu mencoba pakaian-pakaian ini entah teman atau pegawai toko ini. Walau aku belum jelas melihat orang yang didalam itu, aku yakin dia adalah wanita yang menarik. Dari tangannya yang putih mulus dan sedikit punggungnya yang terlihat sekilas. Aku hanya berdiri mematung sambil melihat benda ditanganku. Dua set lingerie sutra bermerek Bordelle. dengan celana dalam G-string dan bra yang berukuran 'wow' berwarna merah hati dan hitam.

Pintu kembali terbuka dan wanita didalam itu kembali berkata "Mbak masuk sebentar bantu saya memasang ini" aku menjadi kaget mendengar hal itu. Merasa orang yang diajak bicara tidak merespon perintahnya, Dia kembali membuka pintu dan kali ini melongokkan kepala keluar. Walau hanya sedikit celah yang dibuka tapi karena pantulan cermin dan terangnya lampu yang menyinari aku dapat melihat bagian punggungnya karena bagian depannya terhalang pintu. Dia tentu saja kaget melihatku ada disitu dan bukan orang yang dia maksud.

Dia segera menutup pintu itu kembali. Aku juga masih kaget melihat siapa wanita yang ada didalam ruang itu. "Eh, bukankah dia artis ynag sekarang menjadi p*l*tikus, juga mantan putri Ind*n*s*a, yang jago menari salsa" aku berkata dalam hati.

Tidak lama wanita itu keluar dan kali ini sudah berpakaian lengkap tentu saja. Dia memakai blazer biru muda dilapis dengan baju putih dibagian dalam dan scarf yang juga berwarna putih biru. Membawa tas merek chanel, jam tangan gucci dan sepatu dengan merek louis vuitton. Ditangan yang satunya membawa lingerie juga. Dia menatapku sebentar kemudian berkata "Maaf Mas apa dari tadi anda yang berada disini, anda tidak melihat asisten saya yang tadi berdiri ditempat ini?"

"Maaf Mbak, Eh...Tante, Saat tadi saya sampai sini tidak ada orang. Ketika saya mau pergi Tante tiba-tiba menyerahkan pakaian ini ke saya. Saat saya mau menjelaskan Tante sudah menutup pintu kembali" Sanmbil berkata seperti itu aku menyerahkan pakaian dalam itu kepadanya. Dia sepertinya menjadi canggung mengetahui akulah yang dari tadi memegang pakaian dalam yang dipilihnya itu. Seorang wanita yang datang memecahkan kecanggungan kami. "Maaf Bu, tadi saya terburu ingin buang air jadi tidak sempat pamit pada Ibu" Kata wanita yang baru datang itu, sepertinya dia asisten wanita ini.

Kemudian Dia menyerahkan pakaian-pakaian yang ada ditangannya ke asistennya. Dia kemudian mengucapakan terima kasih sekaligus minta maaf padaku sebelum pergi dari hadapanku. Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala padanya. Dia sempat menoleh kearahku, dan dia tersipu malu saat bersamaan aku juga sedang memandang kearahnya. Karena pikiranku masih tertuju pada orang misterius yang tadi siang, Aku tidak memperhatikan wanita itu lagi.

Aku segera keluar dari counter pakaian itu. dan berharap kembali bertemu orang misterius itu. Setelah hampir setengah jam tidak menemukannya. Aku memutuskan untuk sekalian berbelanja untuk kebutuhanku. Selain makanan aku juga membeli pakaian dan celana, serta beberapa kaos dan celana dalam. Rupanya harapanku tadi terkabul, saat hendak masuk kedalam mobil aku melihat orang itu kembali. Rupanya Dia juga melihatku, orang itu segera masuk kedalam salah satu mobil dan langsung melesat keluar. Aku pun masuk ke dalam mobil dan segera mengejarnya.




Chapter XIV : Gian Notes

Rupanya orang itu tidak hanya jago beladiri tapi juga ahli mengemudi, Dari plaza senayan dia membelok ketimur dan terus memutar kesana kemari, baik jalan besar maupun kecil dilewatinya dengan mudah. Seolah dia sudah tahu dimana harus cepat, kapan lambat, kapan harus berbelok. Ternyata dia kembali kearah senayan. Saat sampai dilapangan parkir timur senayan dia berhenti. Tampaknya dia sengaja membawaku ketempat ini. Aku menjadi waspada dibuatnya. Dia tidak segera turun, aku tetap menunggu didalam mobil. Jarak antara mobil kami tidak ada tiga meter.

Saat dia membuka pintu mobil, aku turut membuka pintu mobilku. Diapun turun dari mobil, dan aku mengikutinya turun dari mobil. Tapi saat aku melihat kearahnya, aku merasa ada yang aneh. Aku belum bisa memastikan keanehan apa, karena dia masih membelakangiku. Dan saat dia membalikkan tubuh kerahku, barulah aku tahu apa keanehan yang kupikir sejak tadi.

Ya, Aku merasa orang yang didepanku ini lebih kecil bentuk tubuhnya. Dan kini baru aku tahu kenapa. Karena kini orang yang berdiri didepanku bukanlah orang yang tadi siang bertarung denganku. Orang yang berdiri didepanku adalah seorang wanita cantik, bukan hanya cantik. Tapi wanita didepanku ini wanita yang cantik luar biasa. Mungkin wanita tercantik yang pernah kutemui sampai saat ini.

Usianya sekitar dua puluh lima tahun, tinggi sekitar 173 cm, tubuhnya terlihat proposional dengan tingginya, lekuk tubuhnya sempurna tercetak jelas di pakaian dan celana ketatnya yang menyatu seperti pakaian mekanik terbuat dari bahan latex berwarna hitam. kulitnya putih, rambutnya hitam sepundak. Kecantikannya bukanlah khas orang Indonesia, aku menduga kalau dia bukan orang asing, pasti keturunan. Entah dia Indo mana, Kecantikannya perpaduan antara asian juga ada hispaniknya.

Aku masih terpesona melihat dirinya, saat dia bersuara untuk menyadarkanku. Dia sudah begitu dekat jaraknya dengan tempatku berdiri. Aku tidak tahu harus berkata apa. "Mengapa anda mengikuti saya dari tadi, anda petugas dan saya punya kesalahan" Katanya dengan bahasa Indonesia bercampur bahasa inggris.

Aku masih diam, selain terpana dengan kecantikannya. Baru kali ini aku merasa sulit berbicara saat berhadapan dengan wanita. Juga dalam hati aku berpikir. Apakah tadi aku salah melihat orang. Tapi aku yakin orang itu masuk kedalam mobil yang kuikuti.

"Well' kalau anda tidak ada perlu dengan saya. Saya akan pergi, Good Night" ujarnya sambil membalikan badan dan kembali menuju mobilnya.

"Tunggu sebentar" kataku menghentikan langkahnya.

Dia membalikkan badan, kemudian tersenyum dan bertanya lagi pdaku "Well, sekarang anda ada perlu dengan saya Tuan".

Aku yang sudah siap untuk bertanya tentang orang itu kembali merasa gagu saat melihat senyumnya. Lesung pipinya menambah pesona dirinya.

"Saya rasa anda tidak bisu, atau anda ingin mempermainkan saya" katanya dengan nada sedikit menegur.

Aku mengumpat diriku sendiri dalam hati, kenapa aku bisa berbuat konyol disaat seperti ini. Melihatku hanya masih diam saja, dia kembali menuju mobilnya. Tapi kali ini aku memantapkan hati.Sambil mengikutinya dari belakang aku berkata " Maaf nona, bisakah saya memeriksa mobil anda sebentar".

"Dengan alasan apa anda akan memeriksa mobilku, sepertinya anda hanya mencari-cari alasan entah untuk tujuan apa" ujarnya menyelidik.

"Bukan seperti itu nona, saya hanya sedang mencari seseorang. Dan sepertinya dia tadi masuk kemobil anda, mungkin anda sendiri tidak tahu" Aku menjelaskan alasanku.

"Oh yeah, memang ada orang didalam mobilku. tapi dia pamanku, saya melarang anda untuk mengganggunya"

"Saya tidak ingin mengganggu paman nona, Saya hanya ingin memastikan apakah orang yang didalam itu adalah orang yan saya maksud. Kalau saya salah silahkan anda pergi". aku mencoba ber negosiasi.

"Maaf, saya tidak bisa menerima laasan apapun dari anda. Tapi kalau anda benar-benar memaksa, saya akan mengijinkan anda bertemu paman saya. Tapi ada syaratnya. sepertinya dia mulai melunak.

"Baik, Apa syaratnya ?" Tanyaku cepat.-cepat sebelum dia berubah pikiran,

"Anda harus melewatiku" ucapnya.

"Maksudnya?" tanyaku untuk mengetahui lebih jelas syaratnya,

"Bukankah anda laki-laki, Laki-laki biasanya suka kekuatan. Kita bertarung disini. Kalau anda menang, anda boleh bertemu paman saya. Kalau anda kalah, anda harus meminta maaf dan memenuhi satu permintaanku". ucapnya dengan nada yang mantap.

"Bertarung !!!" Aku kaget dibuatnya.

"Ya, bertarung. Anda takut" katanya dengan nada sedikit mencela.

"Tidak, tapi anda wanita" kataku dengan nada masiih ragu.

"Tidak perlu banyak bicara, Kalau anda takut silahkan pergi dari sini" katanya sebelum kemudian dia mempersiapkan diri untuk bertarung.

Aku yang sudah dua kali dibilang takut menjadi panas juga. Akupun kemudian bersiap seperti dirinya. "Ayolah maju" kataku kemudian menantangnya.

Setelah itu dia benar-benar menyerangku. Dan kata-katanya bukanlah sesumbar karena dia benar-benar ahli beladiri. Orang yang melihat sendiri apalagi hanya mendengar, pasti tidak akan percaya melihat parasnya yang cantik bak bidadari bisa adu pukul dan tendang layaknya lelaki jalanan.

Dan aku sendiri yang sedang bertarung dengannya, masih merasa dalam mimpi. Tapi saat pukulanya mengenai diriku, baru aku sadar bahwa ini bukanlah mimpi. Aku benar-benar dibuat tidak berdaya menghadapinya. Bukan aku tidak bisa membalas pukulan dan tendangannya. Tapi saat pukulan atau tendanganku akan mengenai dirinya aku langsung menghentikan gerakanku, karena aku jadi tidak tega untuk melukainya. Jadilah aku hanya bisa menghindar atau menangkis bila terpaksa. Untuk menaklukannya tanpa melukai sangatlah sulit, karena dia juga sepertinya tahu maksudku.

Akhirnya setelah hampir setengah jam aku hanya menghindar dan menangkis serangannya, aku mempunyai kesempatan untuk menaklukannya. Saat pukulannya datang aku tidak menghindar lagi. Kutangkap tangannya dan saat dia hendak memukul dengan tangan satunya, kudekatkan tubuhku kearah tubuhnya sehingga dia tidak mempunyai ruang untuk memukul atau mempergunakan kakinya untuk mendepak diriku. Karena dia kaget aku begitu dekat dengannya dia menjadi panik, akupun dengan mudah menangkap tangannya yang masih bebas. Kini kedua tangannya berada dibelakang tubuhnya dan aku memeluk dirinya dari belakang. Orang yang tidak tahu, akan mengira kami sedang berpelukan dengan mesra.

Saat tubuhku menempel tubuhnya, aku dapat mencium harum aroma tubuhnya. Seperti wangi bunga lavender bercampur rempah-rempah. Dan tanpa kusadari bagian bawah tubuhku mengembang. Dan hal itu disadari olehnya, "Hei, Anda mau berbuat apa" katanya dengan sedikit cemas bercampur marah.

Aku kaget mendengar perkataannya, akupun langsung melepaskan pelukanku pada tubuhnya. Dia kemudian membalikan tubuhnya kembali kearahku. Tampaknya dia bertambah marah dan mencoba menyerangku kembali. Tapi sebelum dia bergerak ada suara yang menghentikan tindakkannya, "Stop it Sonia, Enough". Aku segera mencari asal suara itu. Dan saat itu aku tahu bahwa yang menghentikannya adalah lelaki misterius itu.

Orang itu menghampiri kami. Dan berkata kepada wanita itu yang tadi dipanggilnya dengan nama Sonia "Bagaimana" tanyanya. Aku hanya mendengarkan karena tidak mengerti maksudnya. "Not Bad" jawab wanita itu. Setelah itu Dia pergi meinggalkanku dan masuk kedalam mobilnya. Sementara lelaki yang disebutnya paman masih didepanku. Setelah terdiam sejenak dan mengambil nafas panjang dia berkata padaku "Maaf, Saya belum bisa menjelaskan semuanya padamu. Tapi percayalah maksud kami adalah demi kebaikan bersama" Setelah berkata seperti itu dia segera masuk kedalam mobilnya dan pergi meninggalkan tempat itu.

Aku diam tidak berusaha mengejar mereka lagi. Dikejarpun percuma pikirku. Aku masih mencerna kata-kata terakhir dari orang itu. Kebaikan apa yang dia maksud, mengapa tidak mengatakannya secara langsung. Tapi melihat dari roman mukanya dia sepertinya tidak berbohong. Akupunkemudian pulang kerumah, didalam perjalanan pulang aku merancang rencana apa saja yan akan kulakukan selanjutnya. Sementara bayangan wanita itu selalu muncul dibenakku.

-=+=-

Jam sebelas malam aku sampai apartemen Om Gian, yang sekarang menjadi tempat tingalku. Setelah mebereskan semua barang yang kubeli aku menyegarkan badan kembali, karena tubuhku kotor dan berkeringat akibat perterungan tadi. Setelah itu aku kembali membongkar semua data-data yang telah kudapatkan, dengan diiringi musik instrumen dari 'Kitaro'. Saat itu aku kembali berpikir apa yang dicari orang misterius itu. Apakah masih ada barang Om Gian yang tersimpan ditempat ini. Atau memang hanya ingin mencoba diriku.

Setelah berpikir tentang barang yang dicari orang itu, maka aku memutuskan untuk kembali memeriksa seluruh ruangan diaparteman ini. Aku memeriksa dari kamar tidur yang merupakan kemungkinan terbesar orang menyimpan barang pribadi. Untuk mendapatkan kemungkinan adanya suatu ruangan rahasia diapartemen yang dibeli sudah jadi tampaknya juga tidak mungkin. Maka ku geledah semua kemungkinan yang ada. Baik itu dibalik lukisan didinding, terselip diantara buku-buku yang ada di rak, bahkan sampai almari makan di dapur dan dudukan kloset di kamar mandi. Tapi hasilnya masih nihil.

Hanya ruang tamu yang belum kuperiksa. Aku kemudian keruang tamu,memperhatikan semua benda yang ada diruang itu yang bisa untuk menyembunyikan sesuatu. Semua kursi dan meja serta permadani yang melapisi lantai telah kugeledah masih tetap nihil. Sedikit lelah aku pun duduk dan saat melihat kepojok yang ada hiasan kucing akupun segera mengambilnya. Kucoba putar, geser, tapi tetap tidak ada perubahan. Ketika akan mengembalikan hiasan itu ditempatnya aku memperhatikan Aquarium kecil disebelahnya. Aku mengingat-ingat mengahadap kemana tadi hiasan kucing itu. Saat aku sadar bahwa hiasan kucing itu sengaja dihadapkan kearah Aquarium itu. Akupun jadi memperhatikan benda itu.

Kuperhatikan benda itu dari segala arah, saat aku mencoba untung-untungan untuk memasukan tanganku kearah aquarium itu. Ternyata didasar aquarium yang tertutup batu-batu kecil yang bercampur lumpur itu tanganku menyentuh sesuatu benda yang berbentuk kotak. Akupun segera mengambil benda itu, yang ternyata sebuah buku saku yang dilapis plastik. Sehingga buku itu menjadi kedap air.

Dengan tergesa-gesa kubuka lapisan plastik itu, dan setelah itu segera kubuka-buka buku itu. Ternyata catatan Om Gian, semacam buku diary. Saat aku sedang membuka halaman buku itu, terjatuh sesuatu dari salah satu halaman buku itu. Karena aku mengira itu salah satu halaman buku yang lepas, maka segera kuambil benda itu. Tapi ketika kutaruh kembali diatas meja yang terang, barulah aku tahu bahwa benda itu bukan bagian dari halaman buku itu. Melainkan sebuah foto. Kulihat dibagian belakng foto itu tertulis ' SEPTEMBER 1997 ', kubalik dan kulihat bagian sisi sebelahnya.

Saat kulihat foto itu, didalamnya terdapat gambar 'Lima Pemuda' yang ber foto bersama. Mereka berusia sekitar dua puluh tujuh atau dua puluh delapan tahun. Dua orang sedang duduk, dan tiga orang lain berdiri dibelakangnya. Satu orang segera kukenali gambarnya. Yang berdiri dibagian tengah adalah paman kesayanganku 'Om Gian'. Kemudian kukenali yang berdiri disamping kanan Om Gian adalah 'Om Anwar'. Aku kemudian mencoba mengenali lainnya, siapa tahu orang yang pernah datang kerumah menemui Om Gian. Beberapa saat kemudian aku mengenali lagi satu orang. Orang yang duduk disebelah kanan, walau mukanya mulus tanpa kumis dan cambang. Aku dapat mengenali bahwa dia adalah lelaki misterius yang pagi tadi datang kesini dan juga yang baru tadi kujumpai. Sedang yang dua orang aku tidak atau belum mengenalinya.

Setelah itu aku meletakkan foto itu dan mulai membaca buku itu. Bagian pertama mulai menceritakan bagaimana mereka berlima pertama kali bertemu. Kemudian berteman erat saling membantu dan menolong seperti saudara. Mereka direkrut bersama dalam suatu kesatuan khusus, semacam inteljen. Yang jadi pemimpin adalah 'Danadyaksa' panggilan 'Dans' yang tidak lain orang misterius itu. Dia dipilh karena kebijaksanaannya. Wakilnya Narendra 'Nard' karena otaknya yang cemerlang. Kemungkinan orang yang duduk disebelah Om Dans adalah orang yang dipanggil 'Nard' itu.

Ketiga Om Gian, adalah orang yang paling berani diantara mereka berlima. Keempat Om Anwar dan terakhir kelima Om Samuel. Mereka berdua bagian perlengkapan dan semacamnya. Terus kubaca buku itu, ada bagian pengalaman-pengalaman luar biasa mereka. berpetualang keseluruh penjuru bumi. Asia, Afrika, Eropa, America sampai Australia. Sampai hampir mendekati halaman-halaman akhir, saat kutemukan judul yang ditulis menggunakan tinta merah ' Harta Menghancurkan semuanya '. Melihat judul yang tampaknya istimewa itu aku kemudian membacanya dengan pelan-pelan, supaya mudah mengetahui maksudnya.

* Gian Side Story *

Oktober 2002, Kami Diminta bantuan suatu negara di Timur Tengah. Negara itu telah kehilangan suatu benda yang menjadi 'Simbol' negara mereka. Seorang pimpinan negara itu meminta bantuan temannya, yang adalah pimpinan tertinggi kami. Sang bos memerintahkan kami untuk membantu negara itu. Hampir tiga bulan akhirnya kami berhasil mengembalikan benda itu ke Negara tersebut. Karena keberhasilan itu kami memperoleh gelar kehormatan dari negara itu. Disamping itu tentu saja benda-benda yang luar biasa nilainya.

Kami diberi batangan emas dan butiran permata, yang kami taksir nilainya hampir Seratus Milyar rupiah, kami mencoba menolaknya. Tapi menurut mereka, benda yang kami kembalikan bernilai seratus kali lipat lebih berharga dari hadiah yang kami terima. Akhirnya kami terima hadiah itu. 'Nard' yang mempunyai pengetahuan luas tahu, bahwa butiran permata kami adalah permata langka yang berasal dari India. Menurutnya permata-permata ini akan berharga mahal kalau dijual disana, karena banyak kolektor permata dari penjuru dunia yang mencari permata jenis ini kesana.

Sebenarnya kami berempat' tanpa Nard, memutuskan untuk pulang lebih dulu. Karena Nard memaksa, maka kami berempat mengalah. Kamipun kemudian singgah di India. Tiga hari Dans dan Nard berkeliling ke tempat-tempat penjualan permata untuk mencari pembeli. Hari keempat mereka datang bersama seorang pemuda India yang sebaya kami yang mengaku bernama 'Singh'. Dia berkata ingin melihat permata-permata kami. Setelah melihatnya, dia berjanji akan membawakan pembeli untuk kami. Dia kemudian pergi dengan membawa dua butir untuk contoh.

Setelah dia pergi kami berunding. Waktu itu 'Sam' sudah memperingatkan kami untuk tidak mempercayai orang itu. Dia memang mempunyai semacam insting untuk membaca pikiran orang. Dia meminta lebih baik kami segera meninggalkan tepat ini. Tapi Nard bersikeras menolak untuk pergi. Aku mendukung Sam, Anwar abstain. Sementar Dans yang bijaksana tidak memihak. Tapi dia memutuskan untuk tinggal satu hari lagi melihat perkembangan. Nard tampak tidak puas dengan keputusan itu. Pada suatu kesempatan saat kami berdua, Sam membisikan padaku untuk hati-hati terhadap Nard. Dia merasa Nard telah merencanakan sesuatu. Sam tahu bahwa aku adalah yang paling keras kepala dan satu-satunya orang yang ditakuti Nard diantara kami. Sementara Dans masih bisa dibujuk karena kebaikkan hatinya.

Hari kelima saat kami memutuskan untuk berjalan-jalan sembari mencari oleh-oleh untuk keluarga kami. Sam memutuskan untuk tinggal dihotel sambil menjaga barang kami. Dia beralasan tidak punya keluarga, buat apa beli oleh-oleh. Sam memang yatim piatu semenjak lahir. Saat aku menatap matanya aku mengerti maksudnya. Kami tidak pergi terlalu jauh dari hotel. masih berada dikawasan hotel. Aku terus memperhatikan gerak-gerik Nard, tapi dia lolos dari pengawasanku saat Dans mengajakku berbicara. Saat itu aku sempat berpikir apakah Dans bekerja sama dengan Nard. Saat perasaanku menjadi tidak enak maka aku berpamit pada Dans untuk mencari toilet.

Aku langsung berlari secepatnya untuk kembali kehotel. Tapi aku terlambat sepersekian detik. Saat kubuka pintu, tampak kamar kacau balau. Dan Sam tergeletak dilantai dengan dada penuh darah. Ada dua orang lagi diruangan itu, dan salah satunya mengacungkan senjata padaku saat aku melangkah masuk. Tapi yang membuatku terkejut adalah Nard yang mengarahkan sejata ke Sam. Walau aku sudah menduga tapi, tapi tetap saja merasa syok. Kucoba mendekati Sam, tapi teriakan Nard menghentikanku "Gian, berhenti ditempat atau kau ingin nasib seperti Sam"

Aku berbalik dan menatap tajam pada Nard, "Apa maksud semua ini Nard, mengapa kamu melakukan ini ? Cepat panggil ambulance dan aku akan menganggap kejadian ini tidak pernah ada" Kataku tegas pada Nard.

"Tidak bisa Gian, Aku sudah tidak bisa menghentikan semua ini. Mari bergabung bersamaku. Kita bagi berdua sama rata harta itu" Katanya mencoba melunakkan hatiku. Aku yang melihat Sam sudah dalam keaadan berbahaya karena kehilangan banyak darah mencoba untuk memenuhi permintaannya, sambil mencari kesempatan mendekati Nard.

"Ok Nard, bagaimana dengan mereka" tanyaku sambil menunjuk kedua orang yang ada didepanku.

"Itu bisa diatur kawan, mereka anak buahku" katanya sambil menyuruh mereka menurunkan senjata yang menghadap kearahku. Dengan isyarat Nard menyuruh dua orang itu mendekat kearahnya, kemudian dia meminta senjata mereka berdua. Tapi "debs...debs" terdengar dua suara kecil letusan dari senjata berperedam. Tubuh dua orang itupun terjengkang dibelakang, dan dada mereka telah berlumuran darah. Aku terpana melihat apa yang dilakukan Nard pada dua orang itu. Aku benar-benar tidak percaya, benarkah orang yang kejam dihadapanku ini adalah teman yang selama ini bersamaku. Bukan karena soal membunuhnya, tapi alasannya membunuh. Sudah sering kali kami membunuh seseorang, tapi hal itu harus kami lakukan demi kebaikan banyak orang. Tapi tanpa alasan jelas kini dihadapanku, Nard dengan enaknya membunuh manusia.

"Bagaimana Gian, bukankah dengan begini semua menjadi aman. hanya kita berdua yang tahu kejadiannya" Dia berkata sambil tersenyum santai.

"Kamu gila Nard, aku benar-benar muak melihat tingkahmu. Kamu ternyata selama ini menipu dengan wajah manismu." Ucapku keras sambil berusaha mendekatinya.

"Debs" kembali pistol itu meletus, hanya beberapa senti disamping tubuhku.

"Berhenti Gian, atau kali ini peluruku akan menembus kepalamu. katanya menghardikku. Aku menghentikanku. Kini jarakku dengannya kurang dari dua meter. Aku sudah tahu akan resikonya, tapi aku berketetapan untuk menaklukannya. Saat pistol itu masih mengarah kekakiku, aku meloncat mencoba menerkamnya. "Debs" kembali suara itu menyalak dan dapat kurasakan kesakitan dikakiku. Tapi aku meneruskan aksiku sebelum pistol itu kembali menyalak. Berhasil kupegang pergelangan tangannya yang memegang pistol. Kami bergumul untuk mencoba saling merebut senjata itu. Dia tahu kakiku sudah terluka, dia memanfaatkan itu dengan menendang kakiku yang sudah terluka.

Aku merasakan kesakitan yang luar biasa, tapi aku mencoba tetap mempertahankan peganganku pada tangannya. Karena ini menentukan hidup matiku. Dalam satu kesempatan dia menarik pelatuknya, aku secara reflek dalam sepersekian detik membelokkan pergelangan tangannya. Dan "Debs...Debs' terdengar dua kali letusan kecil. "Apakah aku tertembak" pikirku dalam hati. Tapi saat tidak kurasakan suatu kesakitan pada diriku selain pada kakiku, aku mencoba untuk bangun. Tapi kakiku kini benar-benar terasa kaku suit dan sakit digerakkan. Aku berbaring disamping Nard, yang kini baju dibagian dadanya berlumuran darah.

Sekitar lima menit aku terbaring dilantai, saat aku akan bangkit duduk masuklah Dans dan Anwar,. Mereka sama-sama berteriak terkejut. "Apa yang terjadi Gian" tanya Anwar. Aku hanya menggeleng lemah dan memberi isyarat agar melihat Sam terlebih dulu. "Nard sudah meninggal, dia terkena tembakan duakali tepat dijantungnya" Kata Dans yang memeriksa Nard. Aku menghela nafas panjang. Berharap agar Sam masih bisa didselamatkan. Aku berpikir haruskah kukatakan sebenarnya. Tapi aku yakin jika Sam berada diposisiku dia akan melakukan hal yang sama.

Entah sikapku benar atau salah, Aku memutuskan untuk menyembunyikan hal yang sebenarnya. Aku mengatakan bahwa saat aku masuk Sam sudah tertembak, Saat kami berusaha merebut senjata dua orang itu kakiku tertembak, Tapi Nard berhasil merebut senjata mereka. Tapi saat berusaha melindungiku yang telah terluka kakinya, Nard tertembak karena menjadi tameng bagiku. Saat itulah aku berhasil mengambil senjata yang telah dirampas Nard dan berhasil menembak mereka berdua.

Walau awalnya tidak dipercaya, tapi akhirnya kepolisian India melepaskan kami. Dans sepertinya tidak percaya pada keteranganku, tapi aku tetap ngotot begitulah kejadian sebenarnya. Sementara Anwar walau juga meragukan pengakuanku, tapi dia mengatakan bahwa dia percaya yang kulakukan pasti demi kebaikan kita semua.

Sementara hadiah kami akhirnya dibagi empat., karena Sam benar-benar tidak punya saudara maka setelah kami melakukan penguburan terbaik untuknya juga memberikan dana yang besar untuk perawatan makamnya. setelah itu kami membaginya berempat, bagian Nard diberikan kepada Adiknya. Tapi setelah menerima bagian dari kakanya, adik Nard menghilang entah kemana.

Hampir satu tahun setelah kejadian itu aku tidak menjalankan tugas. Tapi setelah Anwar membujukku berulang kali akhirnya aku mau juga kembali melakukan tugas. Sementara Dans semakin cemerlang karirnya . Dia sudah lebih tinggi kedudukannya dibanding aku maupun Anwar yang masih setia menemaniku. Selain itu Dans juga mulai menjauh persaudaraannya dengan kami berdua.

Harta benar-benar telah membutakan mata Nard, atau entah dia punya alasan lainnya. juga telah merengut Sam dari kehidupan kami dan menjauhkan Dans dari persaudaraan. Harta memang berharga, tapi tetap saja tidak bisa menyamai berharganya persahabatn kami. Harta benar-benar telah menghancurkan semuanya.

Entah sampai kapan rahasia ini akan tersimpan. Entah diketahui oleh Dans, Anwar atau Gavin keponakanku yang akan mewarisi semua ini dariku. Yang pasti hal itu akan terjadi saat aku sudah tidak ada didunia ini. Entah keputusanku ini benar atau salah, yang pasti aku merasa inilah yang terbaik untuk kita. Untuk semua yang telah kulakukan aku meminta ma'af kepada keempat sahabatku.

GIAN
-=+=-

Aku terdiam setelah membaca catatan itu. Paling tidak kini aku tahu dari mana permata dan barang berharga lainnya yang ada di kotak deposit Om Gian. Juga tahu siapa orang misterius itu. Jadi dia temannya Om Gian, apakah benda ini yang dia cari.

Tapi aku belum melihat kaitan antara peristiwa yang ditulis dalam buku ini dengan kematian Om Gian, Kalau kematian Om Gian karena urusan balas dendam. siapa yang mendendamnya. Dalam hal ini yang menjadi kemungkinan adalah Om Nard. Oh ya, tadi dalam tulisan Om Gian dijelaskan bahwa Om Nard ini punya adik. Dan bagian Om Nard jatuh ketangannya. Tapi adik Om Nard ini telah menghilang. Mungkinkah dia tahu karena Om Gian kakaknya tewas.

Tapi hal itu sangat kecil kemungkinannya, hampir nol persen. Tapi walau hanya satu persen kemungkinannya memang harus diselidiki. Aku harus menemui Om Dans untuk bertanya tentang keluarga Om Nard. Itu kalau ada hubungannya dengan peristiwa itu. Bisa juga tidak ada hubungannya sama sekali. Kalau bukan hal itu yang menjadi pangkal permasalahan. Maka yang harus dicurigai adalah Sony Danubrata.

Aku harus ketempat pameran itu lagi untuk menemui orang yang mengirim uang. Dia pasti tahu siapa orang yang menyuruhnya. Atau jangan-jangan Sony Danubrata adalah adik Om Nard, tampaknya aku benar-benar harus bertemu Om Dans untuk mencari informasi.

Pukul satu lebih saat aku selesai membereskan semua benda yang tadi berserakan, hampir jam dua malam saat saya sudah berada diatas tempat tidur untuk bersiap-siap istirahat. Ketika itulah ponselku berbunyi, kulihat dilayar ternyata nomer tidak dikenal. Segera kuangkat "Hallo, selamat malam. Siapa disana?" berkali-kali aku mencoba berbicara dengan orang yang menelepon itu. Tapi tiada jawaban sama sekali. Saat aku akan menutup panggilan itu seseorang berbicara diseberang sana, "Viiin, besok jam sebelas, plaza senayan".

"Hallo, siapa ini. hallo...hallo" tapi percuma saja. Telepon itu sudah ditutup dari sana. Saat aku mencoba menelepon balik, telepon itu tidak aktif. "Siapa dia, apa maksud perkataannya. Besok jam sebelas di plaza senayan ada pembukaaan pameran perhiasan. Terus ada apa? apa akan terjadi sesuatu" pikirku dalam hati. Berbagai perasaan kini bercampur dalam pikiranku. Ada rasa gelisah, cemas, bingung, tegang, penasaran dan semua itu membuatku sedikit pening. Aku berusaha untuk beristirahat meredakan ketegangan dalam pikiranku.

Aku hampir terlelap, saat ponselku kenbali berbunyi. Tanpa melihat siapa yang menelepon segera kujawab panggilan itu. "Hallo , Siapa ini"

"Eeh, masa lupa sama Mbak. Emang nomer hp udah dihapus ya 'Vin" suara dari telepon itu malah bertanya. Setelah beberapa saat barulah aku mengenali suaranya. "Oh, Mbak Tika ya. Maaf Mbak, sudah ngatuk sih. jadi ga liat nama pemanggil. Lagian Mbak telepon jam segini, ada hal yang penting ya Mbak?" Aku berbalik tanya padanya.

"Ya, ga penting juga sih. Besok juga bisa , tapi bisa jadi penting juga"

"Emang apaan sih Mbak"

"Mbak cuma mau bilang. Mbak sekarang sudah ada di Jakarta, dan satu lagi Dita juga ada di Jakarta"

"Eh, benarkah Mbak. Memang Mbak ke Jakarta bareng Mbak Dita ya?"

"Ya tidak bareng sih, tapi tadi Mbak sudah ketemu. Kami kan menginap di satu hotel yang sama. Apa Dita tidak menghubungimu ?"

"Tidak tuch Mbak, Dari semenjak pindah ke Surabaya Mbak Dita belum pernah menghubungiku".

"Masa seperti itu Vin, Kenapa ya"

"Ya saya tidak tahu Mbak, kalau dengan Mbak masih saling kontak tidak"

"Pernah, tapi tidak sering. Tidak pasti satu minggu menghubungi Mbak. Mbak Pikir sih sibuk. Tapi Kalau sama kamu juga seperti itu, ya kelihatannya aneh juga. Apa dia marah ya"

"Marah pada siapa Mbak, terus kenapa dia musti marah"

"Ya kepada kamu lah, mungkin ke Mbak juga"

"Ah, itu hanya perasaan Mbak aja. Besok kalau ketemu akan kutanyakan Mbak. Terus ada apa nih ke Jakarta Mbak, masa sekedar jalan-jalan saja."

"Oh ya, Mbak mau ngomong soal itu. Kamu tahu kan di Plaza Senayan ada pameran perhiasan. Nah itu alasannya. Mas Pras dan Mas Erwin punya saham disuatu usaha pertambangan. Nah perusahaan mereka itu ikut pameran. Otomatis Mas Pras dan Mas Erwin harus datang donk. Nah karena itu kami di Jakarta" Kata Mbak Tika.

"Mbak tahu nama kawan Mas Pras dan Mas Erwin" Tanyaku,.

"Kalau itu Mbak tidak tahu, besok kamu datang saja kesana. Nanti kamu bisa cari tahu"

"Ok Mbak, kalau begitu kita ketemu disana. Bye, selamat beristirahat Mbak"

"Selamat beristirahat juga Vin, Bye"

Setelah itu aku pun tidur, Walaupun tidak terlalu nyenyak karena diganggu persoalan yang kuhadapi. Aku berusaha untuk mengembalikan stamina, tenaga dan pikiranku untuk menghadapi apa yang akan terjadi esok hari. Dan ada satu hal lagi yang mengganggu tidurku, gangguan itu bernama ' Sonia '.


Chapter XV : Xin and Mow

Jam lima pagi aku sudah terbangun. Setelah berolahraga dan makan pagi, aku segera mandi untuk menuju ketempat pameran. Sesudah mandi dan ketika sedang bersiap-siap, Aku teringat Mbak Ina megatakan bahwa keluarga mereka dekat dengan keluarga Sony Danubrata. Maka aku kemudian menghubungi Mbak Ina untuk menanyakan apakah dia mengetahui masa kecil Sony sampai mereka menikah dan bercerai.

Dia menceritakan bahwa sebenarnya meraka teman akrab sejak kecil hingga smp, tapi setelah sma meraka mulai jarang bertemu. Karena mulai beda sekolah, apalagi kemudian Sony kuliah diluar negeri. Mereka mulai bertemu kembali sejak dijodohkan. Mbak Ina juga mengatakan, ketika masih kecil sifat Sony itu baik. Karena itulah dia mau dijodohkan walau tidak cinta padanya. Tapi ketika sudah menikah, barulah dia tahu sifat Sony sudah berubah tidak seperti masa kecilnya.

Ketika aku bertanya kembali pada Mbak Ina, apakah dia mengenal teman-teman kuliah Sony.?. Mbak Ina mengatakan, bahwa seperti yang diceritakan padaku saat dirumah sakit, Sony tertutup kalau soal hubungannya dengan teman-temannya. Tapi kalau aku mau tahu bagaimana Sony dan teman-temannya masa kuliah. Dia akan mengenalkan aku pada temannya yang juga kuliah di Universitas yang sama dengan Sony, tapi beda jurusan. Setelah mendengar perkataannya Mbak Ina, aku berjanji akan menjemputnya nanti sore saat pulang kerja. Agar kami bisa langsung ketempat temannya itu. Setelah Mbak Ina setuju aku segera menutup pembicaraan kami, karena aku harus segera berangkat menuju ketempat pameran. Lagipula Mbak Ina juga sedang sibuk, Kalau aku berbicara lebih lama lagi takut mengganggu pekerjaannya.

-===-

Aku kemudian segera berangkat. Ketika ditengah perjalanan ponselku berbunyi, aku segera meminggirkan mobilku. Kulihat nama yang memanggil dilayar, ternyata dari Mbak Lula. Segera kujawab panggilannya " Hallo, selamat pagi." Sapaku.

"Gavin ya" Kata orang diseberang telepon.

Ya, Mbak Lula ya. Ada apa Mbak ? Jawabku kemudian bertanya balik padanya.

"Mbak cuma mau memberitahu. Seperti yang Mbak bilang hari selasa kemarin. Mbak ada acara seminar, nanti mau mengajak anggota tim untuk ikut." Kata Mbak Lula.

"Ya, ingat Mbak. Terus " Sebelum aku selesai bertanya Mbak Lula sudah menjawab lebih dulu.

"Itu masalahnya Vin !, Mbak cuma dapat membawa satu orang. Selain itu mungkin jamnya dimundurkan. Nanti kalau sudah pasti jam berapanya. Mbak akan hubungi kamu lagi. Sudah dulu ya, Mbak ada pasien. Bye"

"Bye juga Mbak" akupun mengakhiri percakapan. Saat aku hendak melanjutkan perjalanan, aku melihat didepan mobilku ada seseorang yang sedang berusaha melepas ban mobilnya. Melihat orang itu tampak kesulitan melepaskan ban mobilnya, aku urungkan niatku untuk melanjutkan perjalanan.
Aku turun dari mobilku dan kuhampiri orang itu. Setelah kami berdua berusaha bersama, akhirnya lepas juga ban mobil itu.

Ketika mau berdiri tiba-tiba pintu mobil itu bergeser dan terbuka. Otomatis mataku menengok kearah suara itu, dan ketika aku melihat kearah pintu yang bergeser. Mataku melihat pemandangan yang membuatku menelan ludah. Sepasang paha putih mulus yang dibalut rok biru selutut, yang ketika hendak turun dari mobil menampakkan celah diantara kedua pahanya. Aku yang posisinya sedang berjongkok didepannya, walau sekejap aku dapat melihat gundukan dipangkal pahanya. Yang ditutup dengan G-string warna senada dengan warna rok selututnya.

Pandanganku naik keatas, dia memakai blazer dilapis dengan baju warna putih dibagian dalamnya. Busungan dadanya tercetak jelas pada blazer ketatnya. Ketika melihat wajahnya aku sedikit terperangah. Ini wanita yang kujumpai semalam sedang mencoba pakaian dalam di plaza senayan. Yang berbeda hanya warna blazernya. Semalam warna biru muda, sekarang biru tua. Sementara dia tidak nampak terkejut melihatku.

"Selamat pagi Mbak" Aku mendahului menyapanya.

"Pagi juga, Mas ini yang semalam ketemu di plaza senayankan ? " Tanyanya.

"Iya Mbak, Gavin" Kataku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tanganku.

"Venna" Jawabnya, juga mengulurkan tangannya menjabat tanganku.

Ya, meski dia tidak memperkenalkan diri. Aku tahu bahwa dia adalah Venna Melinda, artis yang jago menari salsa dan sekarang menjadi p*l*tik*s. Dia juga pernah menjadi putri Ind*n*s*a.

Dia kemudian bercerita bahwa dia sedang menuju ke suatu tempat. Dan saat tiba di tempat ini, ban mobilnya bocor. Dan yang membuatnya sedikit marah adalah, sopirnya lupa membawa ban cadangan. Untung dia tidak sedang buru-buru. Saat dia hendak menyuruh sopirnya mencari taksi. Dia melihatku membantu sopirnya.

Mendengar hal itu aku lalu mencoba menawarkan bantuan untuk mengantarnya. "Kalau Mbak tidak keberatan, Saya akan antar Mbak ketempat tujuan. Kebetulan saya juga tidak terburu-buru." tawarku padanya.

"Benar tidak merepotkan kamu Vin" katanya dengan nada masih ragu-ragu.

"Benar Mbak, tapi sepertinya Mbak masih ragu-ragu begitu ? Kalau Mbak tidak percaya padaku juga tidak apa-apa." Kataku lagi.

"Bukan begitu Vin, Mbak cuma takut merepotkan saja".

"Benar Mbak, saya tidak merasa direpotkan kok. Saya malah senang bisa mengantar wanita secantik Mbak." kataku menegaskan sambil tersenyum padanya. Mbak Venna pun merona pipinya, kemudian tersenyum malu.

"Baiklah kalau tidak merepotkan". Kemudian dia mengambil tasnya, setelah itu memberi perintah pada sopirnya apa yang harus dilakukan. Baru kemudian dia menuju kearah mobilku, aku bersikap gentle dengan membukakan pintu mobil untuknya.

Kemudian aku segera menjalankan mobilku. Dia memintaku untuk menutup atap mobilku yang biasanya lebih senang kubiarkan terbuka. Mungkin Dia malu kalau dilihat orang lain yang mengenalnya. Ketika kutanya tujuannya, ternyata Mbak Venna juga mau pergi ke Plaza senayan untuk pembukaan pameran perhiasan. Setelah itu kami bercerita tentang berbagai hal, mulai yang umum sampai ke hal-hal pribadi.
Kemudian aku bertanya tentang tarian salsa dan bertanya padanya apakah dia mau mengajariku menari salsa. Sebenarnya aku hanya main-main saat bertanya mau belajar menari padanya. Tapi dia menjawabnya dengan serius. "Boleh, kapan mau belajar. Kamu boleh hubungi Mbak kapan saja, kalau ada waktu Mbak pasti mengajarimu." Katanya menjawab pertanyaanku. Kami kemudian saling menukar nomer telepon. Tidak terasa kamipun sampai ditempat tujuan.

Karena pembukaan pameran akan dilakukan seorang Menteri dan beberapa pejabat tinggi negara akan ikut serta, maka penjagaan dipintu masuk menjadi sangat ketat. Tapi dengan adanya undangan ditangan Mbak Venna kamipun bisa masuk dengan mudah. Aku mengikutinya masuk keruangan pameran, aku memisahkan diri setelah dia bertemu dengan teman-temannya. Sebelum memisahkan diri dia bertanya, apa pulangnya dia bisa ikut aku lagi kalau tidak ada yang menjemputnya. Dengan senang hati kuiyakan permintaannya.

Setelah memisahkan diri dengan Mbak Venna aku mencoba mencari Mbak Tika, sesuai perjanjian semalam. Tapi karena banyaknya orang sulit juga mencarinya. Tamu-tamu undangan tampaknya mulai berdatangan. Semuanya jelas kaum berduit, ada para pejabat dengan para istrinya. Tampak juga kaum sosialita tanah air, juga beberapa nama tenar yang sering nongol dilayar kaca. Dan tentu saja para peserta pameran yang datang dari beberapa negara.

Aku menduga mungkin Mbak Tika dan Mbak Dita serta suami mereka belum datang. Aku memutuskan daripada menunggu mereka tanpa kegiatan, maka aku segera menuju ke stand milik Sony. Aku melihat Sony sedang berbicara dengan tiga orang, pertama Tito, kedua si pengirim uang, yang ketiga aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi sepertinya aku pernah melihatnya , tapi dimana aku belum ingat. Setelah memperhatikan orang itu agak lama barulah aku dapat mengingatnya, orang itu adalah yang dibilang Mbak Ina bernama 'Xin'.

Melihat mereka seperti sedang membicarakan sesuatu yang serius, aku mencoba mendekat kearah mereka. Dengan perlahan aku mencoba mendekat, sambil berusaha menghindar dari pandangan Sony yang telah mengenalku. Aku kemudian tahu nama si pengirim uang ternyata 'Mow'. Aku mengetahi hal itu saat Sony memberi perintah pada orang itu. Saat aku sedang konsentrasi untuk mendengarkan apa lagi percakapan mereka. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan adanya tepukan pada pundakku.

Aku segera berbalik dengan sikap waspada untuk menghadapi segala sesuatunya. Tapi aku segera menarik nafas lega setelah mengetahui yang menepuk punggungku adalah Mbak Tika. "Lagi main petak umpet ya Vin" tanya Mbak Tika. Aku tidak menjawab pertanyaan Mbak Tika, Aku segera menyalami Mas Erwin dan Mas Pras. Dan seseorang yang berdiri disamping Mas Erwin, yang membuatku agak heran dengan sikapnya. Ya Mbak Dita, sikapnya benar-benar formal. Tidak seperti Kakak dengan Adik apalagi yang sudah lama tidak bertemu. Aku menduga mungkin dia merasa tidak enak hati kepada Mas Erwin kalau sikapnya terhadapku masih seperti dulu, sebelum menikah.

Mas Erwin kemudian bertanya bagaimana kabarku, Sementara Mas Pras seperti biasa berkata seperlunya saja. Sementara Mbak Tika mengajak Mbak Dita melihat-lihat ke stand Sony. Aku melihat Sony dan teman-temannya melihat kearahku, aku sudah bersiap andaikan Sony melakukan suatu tindakan. Tapi tampaknya Sony tahu situasi tidak mendukungnya. Dia hanya sempat melihat beberapa kali kearah Mas Erwin dan Mas Pras, mungkin untuk mengetahui hubunganku dengan mereka berdua. Sebenarnya aku ingin mencari waktu untuk bisa bertanya pada Mbak Dita tentang sikapnya yang aneh itu. Tapi aku juga ingin bertanya kepada Mas Erwin, siapakah rekan kerjanya. Tapi kalau bertanya langsung pasti akan kelihatan aneh.

Saat aku akan bertanya kepadanya, ternyata ada pengumuman bahwa acara pembukaan pameran segera dilakukan karena Bapak menteri sudah tiba. Para tamu undangan diharap segera berkumpul. Mas Erwin dan rombongan segera menuju ketempat, Mbak Tika mengajakku agar bersama mereka. Tapi aku menolaknya dengan alasan mau ketoilet dulu. Saat itulah aku melihat 'Mow' berjalan sendirian kearah luar, bukan menuju kearah tempat acara pembukaan. Aku segera mengikutinya. Ternyata dia menuju arah toilet. Aku menjadi kaget saat dia masuk ketoilet wanita, aku segera masuk mengikutinya takut tertipu seperti tadi malam.

Ketika aku masuk, ternyata dia sedang mencuci tangannya. Sebelum aku bertanya, dia sudah membuka mulutnya lebih dulu "Ada apa sobat, ada perlu denganku" tanyanya dengan nada santai.

"Ya, Sedikit" jawabku.

"Katakan saja, mungkin aku bisa membantu" jawabnya masih dengan nada yang sama.

"Satu pertanyaan saja. Siapa yang menyuruhmu mengirim uang ke Pekalongan, satu bulan yang lalu." Tanyaku.

"Baik, aku akan menjawab pertanyaanmu. Tapi kamu juga harus menjawab satu pertanyaanku. Bukankah adil" kata orang itu.

"Baik, aku setuju" kataku.

"Jangan asal setuju, kamu benar-benar belum dewasa seperti kata bos. Dengar dulu pertanyaanku, baru bilang setuju" kata orang itu, malah memberiku penilaian.

"Baik, apa pertanyaanmu" kataku mulai hilang kesabaran.

"Dari mana kamu tahu aku yang mengirim uang, apa dari Jono ? kalau benar dia yang membocorkannya. Maka habislah dia dan seluruh keluarganya." kata orang itu dengan nada yang membuatku bergidik. Mana ada orang normal mengatakan akan menghabisi seseorang beserta seluruh keluarganya dengan muka tersenyum.

"Gilaaa!!!" kataku berteriak marah.

"Kenapa marah, kalau kamu tidak mau menjawab juga tidak apa-apa. Berarti aku tidak perlu menjawab pertanyaanmu, bukankah begitu" katanya masih dengan muka tersenyum.

Aku segera mendekatinya, kutarik kerah bajunya. Tapi dia masih tenang saja. Saat tanganku kuangkat hendak menghantamnya, pintu toilet terbuka. Dan seseorang masuk, melihatnya aku jadi terkejut. Ternyata orang itu 'Xin' adanya. Sementara Mow segera melepaskan tanganku yang masih mencengkeram kerah bajunya. Kemudian dia berkata pada Xin, "Lama sekali kau Xin, hampir saja dia membunuhku."

Xin tidak menjawab, Masih tanpa suara dia melepaskan Jas lengkapnya. Dia kini hanya berpakaian dalam, tampak tubuhnya penuh dengan tato. Otot-ototnya yang kekar menambah kesangaran tubuhnya. "Serahkan dia padaku, kamu jaga diluar." katanya pada Mow. Tanpa bersuara Mow langsung keluar dari ruangan. Melihat dia melepaskan pakaiannya, akupun menjadi waspada dan juga bersiap mengadapi segala sesuatu yang akan terjadi.

Tanpa berbicara lagi dia segera melayangkan pukulan dan kedua tangannya membentuk cakar, kemudian melakukan serangan berbahaya. Akupun menghidari serangannya dengn bergerak kesana kemari. Tapi karena ruangan yang tidak begitu luas, aku tidak bisa selalu menghindar. Hingga suatu ketika, lengan bajuku robek oleh cakarannya. Tidak hanya melakukan serangan dengan tangan, Kakinya pun melakukan sapuan-sapuan kearah kakiku.

Aku benar-benar kesulitan menghadapinya. Baru kali ini aku menghadapi orang yang punya ilmu beladiri yang luar biasa. Tampaknya ilmu beladirinya berdasar dari Wushu, yang kemudian dicampur dengan beladiri lainnya. Saat aku lengah pukulannya berhasil menghajar dadaku, akupun merasa susah bernafas beberapa saat. Untung aku berhasil menjatuhkan diri, saat pululannya hendak menghantam perutku.

Saat kakinya gagal meghantam perutku, dengan secepat kilat aku membalas serangannya. Walau tidak terlalu keras tapi tendangan kakiku berhasil mendorongnya mundur untuk sementara. Kami sama- sama diam untuk mengatur nafas dan mengumpulkan kembali tenaga. Setelah lima menit kami kembali saling serang, pada suatu kesempatan aku berhasil mendesaknya. Tapi keberuntungan belum berpihak padaku, saat aku hendak menghantam perutnya dengan kaki kananku. Tiba-tiba kaki kiriku terpeleset, sementara kaki kananku masih diudara. Maka aku pun kehilangan keseimbangan dan "Buuughk" perutku kena hajar kaki Xin. Ditambah aku jatuh dilantai.

Aku merasakan kesakitan yang luar biasa. Tulangku rasanya remuk, dada terasa sesak, perut mulas, dan kepala pening luar biasa. "Matilah aku, kalau dia kembali menyerangku" pikirku dalam hati. Tapi aku tidak merasakan serangannya lagi, bahkan semakin lama aku tidak mendengar suara apa-apa lagi.

-===-

Entah berapa lama aku jatuh pingsan. "Vin..Vin.." Sayup-sayup kudengar suara memanggil namaku. Agak lama aku mendengar saura itu, perlahan kumencoba membuka mataku. Pertama-tama masih samar, tapi tidak berapa lama penglihatanlu menjadi normal. Ternyata aku masih berbaring ditempat terakhir aku jatuh tadi. Dan orang yang memanggil namaku ternyata Mbak Venna.

Melihat aku sudah sadar Mbak Venna segera memberiku minum. Kepalaku agak diangkat sedikit, kemudian badanku ditopang oleh bahu kirinya. Sehingga lengan kananku dapat merasakan gundukan dadanya yang sebelah kiri. Tapi dalam situasi seperti ini aku tidak terlalu menikmatinya,

Setelah aku betul-betul sadar barulah Mbak Venna bertanya padaku apa yang terjad. Tentu saja aku tidak mengatakan alasan sebenarnya. Aku kemudian bertanya padanya, dari mana dia tahu aku berada disini. Dia berkata, tadi sebelum acara pembukaan dimulai dia melihatku menuju kearah toilet.

Saat acara selesai, dan tamu undangan mulai pulang dia menghubungi sopirnya. Tapi mobilnya belum beres katanya. Dia berencana naik taksi, tapi saat dia melihat mobilku di tempat parkir dia berusaha menghubungiku. Tapi karena tiada jawanban maka dia mencariku kembali ketempat pameran. Saat itulah dia teringat tadi melihatku kearah toilet. Ketika masuk ke toilet cewek dia melihatku tergeletak dilantai pingsan.

Setelah aku merasa baikan, aku pun berusaha untuk bangun berdiri. Dengan bantuan Mbak Venna, akhirnya berhasil bangkit juga. Setelah itu aku berjalan keliling diruangan itu intuk mengetest, apakah aku benar- benar sehat dan tidak ada gangguan apa pun pada tubuhku.

Setelah benar-benar merasa vit aku segera keluar dari ruang toilet. Pertama aku menuju ketempat Sony. Tapi ternyata Sony dan orang kepercayaannya sudah pergi. Hanya ada pegawai biasa. Kemudian aku mencari Mbak Dita dan lainnya, tampaknya mereka pun sudah pulang.

Aku memutuskan untuk pulang dulu sementara, nanti bisa kembali lagi ketempat ini. Sebelum pulang dan mengantar Mbak Venna, dia bertanya apa aku masih sanggup membawa mobil. Kalau tidak dia akan memanggil taksi. Tapi setelah aku meyakinkannya, dia pun mau kuantar pulang.



Chapter XVI : Salsa Time

Satu jam kemudian kami sampai dirumah Mbak Venna, rumahnya berada di kawasan perumahan elit di Jakrta Timur. Saat sampai dirumahnya Mbak Venna menawariku untuk masuk. Pertama kali Mbak Venna menawariku, aku ragu. Merima tawarannya, atau menolaknya. Tapi setelah untuk kedua kalinya dia menawariku, dan mengatakan tidak ada orang lain selain pembantunya. Maka kuputuskan harus menerima tawarannya.

Saat kutanya dimana suami dan anak-anaknya, dia hanya mengatakan tinggal disini sendirian. Suami dan anak-anaknya tinggal dilain tempat. Aku mengikutinya masuk kedalam rumah. Setelah itu dia mempersilahkan aku duduk dirung tamu, sementara dia masuk kedalam. Tidak lama kemudian pembantunya keluar membawakan minuman dan makanan, setelah itu dia masuk kedalam dan kemudian keluar dari pintu garasi.

Walau ruangan itu berpendingin udara, aku masih merasa gerah. Maka kulepas pakaian luarku, kemeja panjangku yang telah sobek lengannya kugulung dan kancing atasnya kubuka untuk mengurangi hawa panas yang menyerangku. Setelah berganti pakaian Mbak Venna menemuiku, kali ini dia sudah berganti pakaian dengan baju santai warna merah muda dengan tali kecil dipundak. Hingga dapat kulihat tali bra nya yang berwarna biru dipundaknya.

Tadi waktu dalam perjalanan belum terasa, kini baru terasa kalau tubuhku agak pegal dan nyeri. Saat kuraba dari luar baju agak sakit juga, sehingga aku mengerenyitkan dahi. Rupanya reaksiku itu dilihat Mbak Venna, diapun bertanya. "Ada apa Vin ?"

Aku hanya menggelengkan kepala. Rupanya Mbak Venna tidak percaya begitu saja. "Coba sini Mbak lihat" katanya mendekatiku. Aku mencoba menolaknya, tapi akhirnya aku mengalah setelah dia memaksaku. Maka diapun membuka kemeja dan juga pakaian dalamku. Kini aku bertelanjang dada dihadapan Mbak Venna. Dilihat dari tatapan matanya, dia tampak kagum melihat bentuk tubuhku. "Badanmu bagus Vin, tapi kenapa pada lebam begini" Katanya.

Aku melihat tubuhku, memang ada beberapa lebam ditubuhku. Mungkin ini akibat pukulan dari Xin, waktu pertarungan tadi.

"Ini sepertinya harus dikompres Vin, Sebentar Mbak ambil kompres dulu" kata Mbak Venna, sambul beranjak pergi kedalam. Tidak lama kemudian Mbak Venna datang dengan alat kompres dan es yang ditaruh diember kecil.

"Tidak usah Mbak, tidak enak merepotkan Mbak. Nanti juga hilang sendiri lebamnya" aku mencoba menolaknya.

"Tidak usah gimana, lebam begini bisa berbahaya. Sudah kamu diam saja. Lagian merepotkan apa, Mbak juga dari pagi tadi sudah merepotkan kamu. Anggap saja kita saling merepotkan" ucapnya, sambil mulai menekan kompres itu pada lebam ditubuhku.

Selain rasa nyeri dari lebam yang di kompres, juga ada rasa lain yang kurasakan. Ya, tangan Mbak Venna yang sebelah kiri. Kurasakan tangan itu tidak sekedar memegang tubuhku, tapi juga seperti mengelus kulit tubuhku. Sehingga selain rasa nyeri juga rasa geli yang nyaman. Saat tubuh bagian atasku sedang merasakan sakit, bagian tubuhku tidak mau kompromi. Karena sentuhan kulit tangan Mbak Venna juga karena dekatnya tubuh kami, sehingga dapat kucium harum tubuhnya. Membuat tubuh bagian bawahku bangkit secara perlahan.

Aku mencoba agar Mbak Venna tidak mengetahui reaksi bagian bawah tubuhku. Tapi dia mengetahuinya juga, saat dia menyuruhku berbalik menghadap tubuhnya. Dan dia melihat tonjolan dicelanaku, ketika mengompres lebam dipinggangku. Apalagi saat itu posisinya sedikit menunduk, hingga aku dapat melihat jelas belahan dadanya yang masih montok diusianya yang sudah 41 tahun. Melihat pemandangan itu otomatis tonjolan di celanaku makin membesar.

Sebenarnya aku malu juga. Tapi karena Mbak Venna tenang saja, maka akupun menjadi cuek saja. "Badanmu bagus Vin. Perut rata dan six pack lagi, biasa nge gym ya ?" Tanya Mbak Venna.

"Kalau pergi ke tempat Gym, sudah jarang Mbak. Tapi aku usahakan untuk berolah raga sendiri tiap hari, walau cuma sit up, push up dan lari-lari kecil." Kataku menjelaskan.

"Melihat badan dan tampangmu, kamu sebenarnya cocok jadi model atau bintang film. Apa kamu tidak tertarik untuk hal itu Vin" tanya Mbak Venna.

"Tidak tertarik sama sekali Mbak. Selain memenuhi permintaan ayahku, aku juga orang yang tidak suka diekspos. Lebih enak jadi orang biasa Mbak, mau kemana-mana bebas. Tapi kadang ada rasa bosan jadi orang kantoran, karena rutinitas yang begitu-begitu saja. Solusinya, ya dinikmati saja Mbak."

Kami kemudian terdiam untuk beberapa saat. Tidak lama kemudian Mbak Venna selesai mengkompres lebam ditubuhku. Saat berjalan kedalam mengembalikan peralatan kompres, aku memperhatikan bulatan kedua pantatnya ynag bergoyang. "Benar-benar seksi wanita yang satu ini, bagaimana ya kalau dia menari salsa dengan telanjang" Pikiran mesumku mulai bekerja diotakku.

Untuk mendinginkan otakku yang mulai panas aku bangkit dari sofa di ruang tamu itu. Kemudian melihat ruang-ruang yang ada dirumah itu.
Aku sampai disuatu ruangan disamping ruang tamu, dilihat dari keadaannya ruang ini mungkin untuk Mbak Venna melakukan latihan salsa. Ada alat musik, juga Kaca besar yang menutupi salah satu sisi dindingnya. Aku masih memandang ruang itu, ketika tiba-tiba Mbak Venna berdiri dibelakangku dan menepuk pundakku. Aku berbalik dan tercium bau yang harum dari tubuhnya, lebih harum dari tadi saat pertama kali tubuh kami berdekatan.

"Kenapa Vin, kok memandang Mbak gitu ?" tanya Mbak Venna, melihatku menatapnya tanpa berkedip.

"Tidak apa-apa Mbak, Mbak harum baunya. Tubuh Mbak juga masih seksi dan montok, apa karena sering menari salsa ya Mbak ?" kataku mengeluarkan jurus rayuan maut, sekalian balik bertanya padanya.

Mbak Venna tersenyum, kemudian menjawab "Mungkin juga, tapi benarkah Mbak masih semok. Mungkin itu hanya kata-katamu untuk menghibur Mbak"

"Mbak wanita yang kesekian kalinya mengatakan hal itu, Mengatakan seolah-olah aku berbohong dan merayunya. Saat aku memuji wanita itu. Padahal yang kukatakan itu bukan kebohongan maupun untuk merayunya. Tapi benar-benar jujur kukatakan dari dalm hatiku."

"Baik Mbak percaya padamu. Jadi kamu jujur saat mengatakan mau belajar salsa" Tanya Mbak Venna.

"Benar, kalau Mbak mau mengajariku"

"Ok, Mbak mau mengajarimu. Kalau begitu sekarang saja kita mulai, mumpung Mbak ada waktu luang"

"Sekarang Mbak, Dimana"

"Ya, sekarang . Disini memang Mbak biasa berlatih"

Dia lalu masuk keruangan itu dan mulai memutar musik khas latin. "Kamu lihat Mbak dulu, nanti setelah itu Mbak akan mengajarimu." Kemudian dia mulai menari mengikuti irama musik. Pertama gerakan perlahan, kemudian semakin cepat. Aku yang melihat benar-benar kagum akan kemampuannya. Selain itu kadang-kadang dia melakukan gerakan erotis dalam tarian salsanya, sehingga membuat juniorku kembali berdiri. Bukan hanya gerakan itu, tapi juga karena roknya yang pendek saat dia melakukan gerakan melompat terlihatlah celana dalamnya.

Gerakan tariannya sungguh membagkitkan nafsu. Hingga aku tidak sadar kalau dia sudah berhenti bergerak. Keringat yang mulai membasahi tubuhnya membuat pakaiannya melekat pada kulitnya, sehingga menampilkan lekuk indah tubuhnya. "Gimana Vin ? siap" Katanya, membuyarkan lamunanku.

"Ya Mbak" jawabku.

"Badanmu santai saja, rileks. tidak usah tegang. ikuti saja gerakan Mbak. Kita berlatih gerakan dasar dulu" katanya memberiku petunjuk.

Dia mendekat kearah tubuhku. Tubuh kamipun saling menempel. Kemudian tangan kirinya memeluk pinggangku, sementara tangan kanannya memegang tanagn kiriku. Setelah itu dia memberi aba-aba dan melakukan gerakan-gerakan yang kucoba ikuti.

Gerakan tubuhnya membuat tubuh kami saling bergesekan. Sehingga menimbulkan reaksi pada kejantananku, yang tadi sudah mulai bangun. Kini bertambah membesar dan mengeras. Hal ini rupanya juga disadari Mbak Venna. sehingga gerakannya sedikit menjadi kacau, nafasnya tampak mulai memburu. akibat beradunya tubuh bawah kami.

Dia sekarang berhenti bergerak, hanya tubuhnya masih menempel erat pada tubuhku. Kini pandangannya sayu menatap diriku. Kaki kami masih bergerak perlahan, diiringi lagu ' I Want To Spend My Lifetime Loving You ' yang syahdu.

Perlahan bibirnya terbuka., seakan mengundang untuk di kecup. Perlahan kutempelkan bibirku ke bibir wanita cantik dihadapanku, kemudian kulumat. Mbak Venna Memejamkan matanya.

"Vin ... " Bisiknya lirih.

"Hmmm ... " Aku haya menggumam.

Mbak Venna berusaha membalas lumatanku, terasa hangat saat bibir kami bertemu. Aku terus melumat bibirnya, kuremas buah dadanya yang montok itu. Mbak Venna sampai terengah-engah merasakan lumatanku, matanya sayu, bibirnya basah oleh air liur kami.

Tanganku masih meremas lembut buah dadanya itu. Aku kembali melumat bibirnya, Mbak Venna kembali larut dalam lumatan demi lumatan kami. Kuelus-elus pahanya yang putih mulus, kunaikan rok itu ke atas. Kuraba selangkangannya ternyata sudah basah. Rambutnya yang panjang sampai ke bahu itu kini acak-acakan seiring pertarungan bibir kami. Dengan nafas memburu dan mata sayu, Mbak Venna menatapku.

"Sudah basah Mbak" bisikku lembut.

Dia tersipu malu. "Sudah lama Mbak tidak bercinta Vin" ucapnya lirih. Aku menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. Seakan mengerti arti pandanganku, dia melanjutkan ucapannya "Mbak tidak bisa mengatakan alasannya, Tapi saat melihatmu semalam, Mbak merasa tertarik padamu."

Kutarik tangannya dan kuarahkan ke selakanganku yang telah berdiri dan tegang, Mbak Venna terbelalak kaget merasakan tangannya menyentuh penisku. Aku kemudian mundur beberapa langkah, mata Mbak Venna tidak berkedip ketika aku membuka celanaku. Kutarik serta dengan celana dalamku, Mbak Venna sampai menutup mulutnya

"Oooooooooooh" seru Mbak Venna melihat penisku yang tegak berdiri menjulang keatas. Perlahan Mbak Venna maju dengan ragu ragu, namun kemudian tersenyum padaku. "Penismu besaaaaaaaaar" sahut Mbak Venna dengan memegang penisku. "Lepas bajunya ya Mbak. aku ingin melihat kesintalan tubuh Mbak" bisikku penuh nafsu.

Mbak Venna menjawab permintaanku dengan tindakan nyata. Perlahan Mbak Venna membuka bajunya, kemudian dihempaskan ke lantai. Setelah terlepas kulihat montoknya buah dadanya itu, kulitnya benar benar mulus sekali. Kulihat vaginanya benar-benar sempit dan basah serta rambut pubisnya rapi sekali.

Aku kemudian duduk di matras yang berada diruangan itu. Setelah itu Mbak Venna langsung menaikiku tubuhku. Penismu besar, sayaaaaaaaang" ucap Mbak Venna dengan menggodaku. Mbak Venna kemudian langsung menyerbu bibirku, kami saling melumat bibir dengan penuh nafsu. Hisapan demi hisapan bibir kami semakin membuat kami panas. Tubuh kami semakin penuh dengan keringat. Sementara bibir kami saling melumat, tangan Mbak Venna meremas-remas penisku dengan gemas.

Kami berdua benar-benar mabuk dalam lautan birahi tanpa mengenal tempat, kami terus saling menghisap dan bermain lidah dengan ganasnya. Tanganku nakal meremas pantat Mbak Venna yang sangat sekal itu, kurasakan kekenyalan pantatnya itu. Bukit kembarnya yang masih tertutup bra warna biru, masih kubiarkan bebas dari jamahan tanganku.


"Ssssss...hhh...hhh... kamu ahli dalam memuasakan wanita, sayaaang" ucap Mbak Venna dengan nafas memburu.

Kedua tangan Mbak Venna ke belakang, membuka kaitan bra nya. Mataku tak berkedip memandang buah dada yang besar itu, bongkahan dadanya yang kenyal itu membuatku menelan ludah. Mbak Venna tersenyum dibuatnya. "Ayoo ... hisap punting Mbak, sayaaang ... rasakan kekenyalan susu Mbak" kata Mbak Venna, sambil menyodorkan buah dadanya.

Aku tersenyum padanya, kepalaku ditarik kearahnya. Kuhisap puntingnya. "Oooh sayaaang ... hisaaap aaaaaah ... enaaaaaak ... sedoooooot" erang Mbak Venna merasakan hisapan bibirku pada puntingnya yang sebelah kiri. Kuhisap dengan kuat, sesekali kumainkan dengan lidahku. Mbak Venna sampai meremasi rambutku, memeluk kepalaku agar jangan sampai terlepas dari dadanya.

Tanganku naik, meremas buah dadanya yang sebelah kanan. "Oooh sayaaaaaang teruuuuuus ... enaaaknya...aaaaaauh ... hhhmmm ... uuuh ... kamu nakal sayaaang ... tapi Mbak suka " sahut Mbak Venna dengan nafas memburu. Aku sampai tidak bisa bernafas, Mbak Venna menarik kepalaku yang terengah-engah.

"Gimana rasanya susu Mbak, masih kenyal dan kencang kan" Kata Mbak Venna dengan gemas.

"Mbaaak aaah ... , Mbak juga nakal. Mbak mau ngak mainin punyaku" kataku sambil menunjuk penisku.

"Oh, siapa takut sayaaang. Mbak suka penismu. Punyamu lebih besar dari punya suami Mbak" Sahut Mbak Venna, sambil turun dari pangkuanku. Kemudian berjongkok, memandang penisku yang berada dalam pegangan tangannya. Dikocoknya penisku dengan gemas, Mbak Venna memberikan senyum nakalnya padaku.

"Hhhmmm... pasti nikmat penismu sayaaang" puji Mbak Venna dengan menatap ke arah penisku. Kepalanya kemudian mendekat dan bibirnya membuka, dan penisku pun ditelan bulat-bulat oleh bibirnya. Dengan penuh nafsu Mbak Venna mengulum penisku keluar masuk mulutnya
"Ooh Mbaaak aaaaaah teruuuuuus Mbaaak enaaaaaak aaaaaauh ... ssshhh" Akupun mengerang merasakan kuluman nakal wanita cantik dan seksi dihadapanku ini.

Kami mengabaikan dimana kami berada. Bisa saja tiba-tiba pembantunya masuk, karena ruangan tidak terkunci. Kami berdua sudah mabuk dalam lautan nafsu birahi, dan hanya ingin menuntaskan birahi kami. Masih dengan ganasnya Mbak Venna mengulum penisku, kulepas kepalanya yang kupegang. Mbak Venna kemudian berhenti mengulum dan mengeluarkan penisku, nafasnya memburu luar biasa.

"Penismu benar-benar luar biasa sayaaang ... Mbak bisa ketagihan bercinta sama kamuuu ..." ucap Mbak Venna, kemudian menjilati penisku naik turun dengan lidahnya. Jilatan demi jilatan itu berhenti, Kemudian Mbak Venna mengocok batang penisku dengan gemas. Permainan mulut dan tangan mantan p*tr* Ind*n*s*a ini benar-benar nikmat.
Kubiarkan Mbak Venna memainkan penisku sepuasnya, jilatan demi jilatan, kocokan demi kocokan.

"Aaah Mbaaak ... permainan Mbak sungguh luar biasa, penisku seperti diajak menari salsa oleh lidah Mbak" erangku dengan menyandarkan kepalaku ke belakang, kakiku mengangkang. Mbak Venna dengan bersimpuh bermain dengan penisku, setelah mengocok dengan cepat, penisku kembali dimasukan kemulutnya. Jilatan dan sedotan dilakukan oleh Mbak Venna dengan nafsunya. Suara bunyi jilatan itu membuatku merasakan sensasi yang luar biasa. Kurapikan rambut panjang milik Mbak Venna agar tidak menganggu permainan lidahnya pada penisku.

"Aaah Mbaaak ... sebentar lagi" erangku merasakan sedotan dan jilatannya itu. Penisku kemudian dikocok-kocok dengan gemas dan cepat, sampai gemetar kakiku. Aku merasa sudah tidak tahan.
"Aaaaaah, Mbaaak sekaraaang" erangku tak karuan. Kurasakan perutku panas dan menjalar dengan sangat cepat keseluruh tubuh, Mbak Venna kemudian memasukan kembali penisku dan disedotnya dengan kuat. Aku pun mencapai klimaks "Aaaaaaaaaaaaaah" erangku panjang mendapatkan orgasme. Mataku terpejam erat, aku merasakan seolah terbang melayang. Penisku menyemprotkan isinya masuk ke dalam tenggorokan Mbak Venna.

"Crooooootz ...crooooootz ...crooooootz ...crooooootz"
"Hhhmmm ... nyam nyaaam ... nikmat banget sayaaaaaang ..." ucap Mbak Venna dengan menyedot penisku. Kemudian dia mengeluarkan penisku, sisa-sisa sperma yang berceceran di selakanganku dijilati dengan nikmatnya. Batang penisku kembali di jilatinya.

Bibirnya belepotan lendir putih, kubuka mataku dan kulihat senyum kepuasan pada wajahnya. Kemudian dia meremas penisku yang loyo itu.
"Ayo jagoan, bangun dong. kamu mau masuk ke sarangmu tidak ?" tanya Mbak Venna pada penisku, penisku dikocoknya lagi. Seperti mengerti ucapan Mbak Venna, pelan-pelan penisku bangkit lagi. Mbak Venna menatapku dengan penuh arti.

Puas rasanya saat penisku di blowjob oleh wanita ini, kurasakan gairah birahi Mbak Venna semakin membara. Dengan nakal penisku diremas-remas supaya berdiri lagi. Mbak Venna kemudian beringsut menjauh dari dudukku, kemudian Mbak Venna duduk di matras yang lain dengan memamerkan kemaluannya yang sudah basah. Tangannya mencolek ke dalam memeknya, kemudian jarinya dibawa ke mulutnya kemudian dimasukan dan dihisap. Aku menjadi bernafsu melihat tingkahnya yang menggoda, dengan tubuh molek tanpa busana. Tangan Mbak Venna melambai-lambai padaku dengan muka sangat menggoda, tak tahan akan nafsu birahinya yang meletup-letup. Aku bangkit dari dudukku sambil memegang penisku, membuat Mbak Venna tersenyum gemas.

"Mari sayaaang ... ayoo ... jilati vagina Mbak ... rasakan Vagina Mbak ..." Mbak Venna menggodaku, hingga membuatku tidak tahan. Mbak Venna duduk dengan mengangkang kulihat Vaginanya sudah sangat basah. Dia meremas buah dadanya sendiri, kudorong tubuhnya agar Mbak Venna berbaring. Mbak Venna pun berbaring dengan memegang bukit kembarnya, diremasnya bukit kembar itu dengan kuat.
"Gaviiin sayaaang, apalagi yang kau tunggu. Ayo sayaaang, beri Mbak kenikmatan" ucap Mbak Venna seperti tidak sabar.

Tubuh molek wanita ini sudah tidak tahan lagi, tampaknya gelora nafsu birahinya memuncak sangat tinggi. Mungkin sudah lama tidak dijamah lelaki, Dengan pelan kunikmati elusan tanganku pada pahanya yang mulus itu. "Oooh sayaaang, jilat Vagina Mbak ... Vin. Mbak sudah tidah tahaaaaaan ... jilatin Viiin ..." sahut Mbak Venna tidak tahan ingin segera di blowjob. Kurasakan kehalusan dan kemulusan kulitnya, tanganku naik sampai ke perutnya. Kepalaku menunduk memandang ke arah selangkangannya yang sudah basah.

Elusan lembut pada tubuhnya membuat Mbak Venna terpejam merasakan gairah rangsangan itu. Sampai di perutnya aku naik dan memegang bukit kembarnya yang sebelah kanan, kuremas dengan pelan sehingga Mbak Venna langsung membuka matanya. "Remaaas Viiin ... remas ... ayo jilat vagina Mbak ... ayooo Viiin ... Mbak sudah tidak tahaaan" ajak Mbak Venna yang sudah terbakar birahi itu.

Kuremas buah dadanya dan kunikmati dengan memejamkan mataku, kenyal sekali buah dada Mbak Venna ini, kurasakan telapak tanganku tersentuh puntingnya. Kuremas sedikit keras sampai membuat Mbak Venna menggeliat, aku mendekat ke selangkangannya. Kujilat membuat Mbak Venna kemudian melenguh setelah aku berulang kali naik turun menjilatinya.

"Uuuuuuh aaaaaah sayaaang aaauh nikmaaat" seru Mbak Venna dengan melepaskan tangannya yang sedang meremas tanganku, tangan Mbak Venna kemudian memegang kepalaku. Menekan ke arah vaginanya, aku melakukan jilatan naik turun di lubang vaginanya yang basah. Mbak Venna menggeliat keenakan. "Viiin uuuh ... buat Mbak keenakan sayaaang ... buatlah Mbak penuh dengan kenikmataaan ssshhh hhh ... aaauh sayaaang aaah sedotanmu ..." erang Mbak Venna merasakan bibirku menempel dan menyedot pelan vaginanya. Kuremas buah dadanya dengan sedikit lebih kuat.

Mbak Venna menggeliat ke kanan dan kekiri merasakan jilatanku membuka lubang surganya, kujelajahi vaginanya dengan lidah dan bibirku. Geliat tubuh Mbak Venna semakin tidak terkendali. Saat tubuhnya hendak bangun, kutekan buah dadanya dengan kuat. Kuremas dengan kuat membuat Mbak Venna menggelinjang tidak karuan. Aku terus menjelajahi lubang surganya, lubang vaginanya memerah seiring jilatan dan sedotanku. Kepalanya menggeleng kesana-kemari.

"Teruuus Viiin ... buat Mbak klimaks, terus yaaang" celoteh Mbak Venna dengan kembali merebahan kepalanya, matanya memutih merasakan kenikmatan aku mainkan vaginanya berulang kali.

"Yaa aaaaaah, sentuh klitorisku ... sedot sayaaang ...jilat teruuus" lenguh Mbak Venna dengan tubuh semakin menggeliat tidak karuan. Kepalanya menggeleng-geleng sampai rambut yang panjang itu menutupi wajahnya, tubuhnya penuh dengan keringat, kurasakan kehangatan vaginanya yang masih sempit itu, tidak mudah menerobos masuk keliang vaginanya. Walau dia sudah mempunyai dua anak.
Pelan-pelan aku terus mengorek liang vaginanya agar membesar, kudengarkan setiap rintihan, erangan, lenguhan Mbak Venna yang aku mainkan vaginanya. Lidahku semakin menggila, selain bermain di lubangnya, aku juga menjilati bagian luar baik atas maupun bawah vaginanya.

Tangan kiriku meremas bukit kembarnya yang montok bergantian, sedang tangan kananku mengelus elus paha Mbak Venna. Kaki Mbak Venna gemetar tidak tahan merasakan cumbuanku yang menggila tanpa henti.
Perlahan-lahan Mbak Venna semakin tidak tahan, kepalanya menggeleng-geleng, kedua tangannya terentang memegang tepi matras dengan kuat.

"Teruuus aaah sayaaang enaaak. ssshhh ssshhh aaauh rasanyaaa aaah" erang Mbak Venna tidak karuan, tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri bak cacing kepanasan. Tubuhnya semakin mengkilap dengan keringat membanjiri tubuhnya. Lubang surganya mulai mengangga lebar, memerah dengan sangat merangsang, klitnya aku sentuh dengan lidahku membuat Mbak Venna menjerit keenakan.

"Viiinsss aaaauh ssshhh ... lagi ... lagi Viiinsss ... enaaak aaah" Mbak Venna terus mengerang merasakan klitorisnya kupermainkan dengan lidahku. Kujilati lagi klitnya lebih kuat sampai Mbak Venna terbangun, tapi kembali berbaring karena tanganku tetap meremas buah dadanya. Kanan kiri kuremas dengan kedua tanganku, Mbak Venna kembali menggeliat. Tubuhnya terus bergoyang kekiri dan kekanan.

"Terus Vin, sebentar lagi Mbak mau sampai. Ayo sayang buat Mbak Venna supaya merasakan puncak, sudah lama Mbak tidak merasakannya." Semakin keras desahan dan lengguhan Mbak Venna, saat kenikmatannya datang.

Kutelan cairannya masuk dalam tenggorokanku, Kulihat mata Mbak Venna terpejam erat. Kurasakan vaginanya berkedut-kedut, kurasakan lebih panas. Kembali kutempelkan bibirku menikmati vagina basah Mbak Venna, Tangannya memegang erat matras, kemudian bagian pinggangnya naik ke atas. Kini vaginanya menempel erat pada bibirku, kulepas buah dadanya dan tanganku berpindah memegang kedua pantatnya dan kuremas.

"Ouuugh ... hhhmm ... teruuus ... aaauh ssshhh aaah ... Viiin aaahh ... sssh ssshhh hhh" desis Mbak Venna yang menggeliat tak karuan. Tubuhnya semakin menggeliat dengan cepat dan kuat, kurasakan vaginanya semakin berkedut-kedut, kuremas pantatnya dengan kuat. Mbak Venna pun mengejan dengan hebat, tubuhnya melengkung ke atas bagian dadanya, selangkangannya maju merapat ke bibirku.

"Aaaaaaaaaah" Mbak Venna mengerang panjang, kulepas lidahku dan Mbak Venna memuntahkan cairan orgasmenya dengan mengejan beberapa kali. Tubuhnya yang tanpa busana penuh keringat, Mbak Venna berkelonjotan bak disetrum listrik ribuan volt. Tubuhnya ambruk ke bawah dan berkelonjotan tidak karuan, kemudian tubuhnya perlahan terdiam. Hanya bagian dadanya yang bergerak naik turun dengan nafas memburu, matanya terpejam erat. Tangan yang mencengkeram matras dilepaskannya, kemudian mengatur rambutnya yang panjang dan basah oleh keringat.

Kupandang wanita cantik nan seksi didepanku, perlahan kuarahkan penisku ke vaginanya. Saat kutekan penisku, Mbak Venna membuka mata dan mencegahku melakukan penetrasi.
"Gavin sayang tahan sebentar, beri Mbak waktu istirahat sebentar" Ucap Mbak Venna menahan penisku dengan tangannya.

Mendengar permintaannya, maka kutahan penisku yang hampir masuk. Kemudian aku berbaring disampingnya, Mbak Venna membalikan badannya menghadap kearah tubuhku dan diapun memeluk tubuhku. "Sabar ya Vin, Mbak benar-benar capek oleh permainan lidahmu. Beri Mbak waktu sebentar untuk mengembalikan tenaga, nanti Mbak akan memberikan goyang salsa spesial untukmu" ucap Mbak Venna dengan mengelus-elus punggungku.

Chapter XVII : Dance in the Bed

Setelah sama-sama terdiam sekitar lima menit, aku menengok kesamping. Rupanya Mbak Venna tertidur, mungkin kelelahan. Aku bangkit, kemudian melihat jam yang ada didinding. Hampir jam tiga sore, aku teringat akan janjiku dengan Mbak Lula. Kita boleh bersenang-senang tapi tidak boleh melupakan tugas yang sudah menjadi tanggung jawab kita. Aku selalu mengingat akan petuah ayahku itu. Mengingat tugasku, aku bangkit berdiri. Kemudian kupakai celanaku dan keluar dari ruangan itu, kutinggalkan Mbak Venna yang tertidur kelelahan.

Aku menuju ruang tamu tempat aku menaruh ponselku. Kuambil ponselku dan kulihat ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan masuk. Tenyata ada beberapa kali panggilan dari Mbak Lula dan Mas Bram. Segera aku menghubungi Mbak Lula, sebelumnya aku meminta maaf tidak menjawab panggilanya. Kemudian menanyakan bagaimana soal tugas tim kita, apakah sesuai seperti yang telah kita rencanakan.

Dia mengatakan tidak apa-apa, kemudian segera memintaku kalau bisa datang ke acara yang telah dibicarakan sebelunya. Dia menyebut suatu hotel tempat acara seminar itu dilaksanakan. Setelah mengatakan aku akan ketempat, aku memutuskan teleponnya. Kulihat pesan yang lainnya, ada pesan dari Mas Bram. Dia memintaku menghubunginya bila ada waktu. Merasa saat ini lebih penting untuk menemui Mbak Lula, aku menunda sementara keinginanku menghubungi Mas Bram.

Tanpa ijin empunya rumah, aku menumpang mandi. Aku memang sudah membawa pakaian ganti. Saat keluar dari kamar mandi Mbak Venna sudah menunggu didepan pintu. Melihatku sudah rapi nampak muka Mbak Venna menunjukkan rasa terkajut, dia segera memeluk tubuhku "Mau kemana sayang, kenapa sudah mau pergi ?" tanya dengan nada manja. "Maaf Mbak, saya ada tugas harus segera pergi. Nanti malam kalau Mbak mengijinkan saya akan kembali kesini, mau merasakan ini." kataku sambil meraba bagian bawah tubuhnya.

"Tapi benarkan, kamu nanti malam kemari lagi" tanyanya dengan nada khawatir.

"Benar Mbak, aku janji. Lagi pula aku mau menagih janji, goyangan salsa yang istimewa dari Mbak. Seperti yang Mbak katakan tadi" bisikku mesra.

Mendengarku berkata seperti itu dia tersenyum malu, kemudian berkata "Baik Mbak akan menunggu, Mbak akan marah dan tidak akan menemuimu lagi kalau kamu tidak datang."

Aku tersenyum mendengar perkataannya, saat itu ide nakalku muncul. Kemudian kubisikkan padanya apa yang ada dalam pikiranku "Mbak, nanti malam pakai lingerie yang tadi malam dibeli ya. Pasti Mbak kelihatan seksi sekali"

"Baik sayang, akan Mbak lakukan hal apapun untukmu" Jawabnya sambil memencet hidungku. Setelah itu kami berciuman sesaat, tidak lama kemudian aku segera meninggalkan rumah itu.

-=+=-

Untungnya hotel tempat acara berlangsung tidak jauh dari rumah Mbak Venna. Tidak lama akupun sampai di hotel itu. Aku segera masuk kehotel, tapi saat ingin memasuki ruang tempat acara berlangsung aku dicegah masuk. Dengan alasan tidak dapat menunjukkan undangan yang berlaku.

Aku segera menghubungi Mbak Lula, tidak diangkat. Tapi tidak lama kemudian ada pesan masuk, Mbak Lula memintaku untuk menunggu sebentar. Sambil menunggu aku duduk di kursi yang ada di sekitar tempat itu. Aku berpikir, sebenarnya aneh juga acara seminar di jam-jam seperti ini. Tapi hal itu tidak kupikirkan lebih lanjut saat ada telepon masuk. Aku pikir Mbak Lula, ternyata Mas Bram yang menghubungiku.

Kujawab panggilannya, Pertama-tama Mas Bram bertanya mengapa dari tadi aku tidak menjawab panggilannya. Kujawab dan kukatakan alasannya , tentu saja tanpa terperinci dengan hubungan sex nya. Setelah itu Mas Bram mengatakan alasannya menghubungiku. Dia mengatakan orang yang kecelakaan hari minggu kemarin, yang menurutku adalah Om Anwar akan dimakamkan atau menjadi rumah sakit bila tidak ada yang mengabilnya.

Mendengar itu aku berpikir, bukankah Om Anwar sudah berbaik hati mewariskan hartanya kepadaku walau tidak secara langsung. Mengapa Aku tidak mengurusi dan merawatnya saat dia sudah meninggal. Akupun mengatakan akan mengambilnya, dan akan mengurusi semua hal tentang pemakamannya. Mas Bram akan membantu, agar aku dapat mengambil mayat Om Anwar dan mengurusi pemakamannya.

Kemudian Mas Bram memberi kabar lainnya, dia mendengar dari salah satu rekannya di Pekalongan. Bahwa tadi pagi terjadi pengrusakan dan pembakaran rumah milik Jono oleh orang-orang yang tidak dikenal, Jono orang yang paling ditakuti. Semua orang tahu siapa dia. Belum diketahui apakan Jono dan keluarganya masih hidup atau ikut menjadi korban. Polisi sementara menduga telah terjadi saling serang antar preman, untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan. Mendengar itu aku jadi teringat ucapan 'Mow' tadi siang. Apakah mereka benar-benar melaksanakan ancamannya seperti yang diucapkannya padaku, ataukah cuma kebetulan waktunya hampir bersamaan.

Aku tidak mengatakan hal tentang Kang Jono untuk sementara. Aku kemudian bertanya, apa Mas Bram sudah mengetahui siapa orang yang dipanggil 'Xin' itu ? juga kutanyakan pula 'apa dia tahu tentang orang bernama 'Mow'. Setelah itu dia bertanya, kapan akan menemuinya. Aku menjawab besok akan menemuinya. Setelah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, akupun menutup percakapan kami. Setelah menutup telepon dari Mas Bram, aku menghubungi Mbak Ina. Aku meminta maaf padanya, karena tugas yang harus kulaksanakan, aku tidak bisa ketempatnya untuk pergi menjumpai teman Mbak Ina. Mbak Ina tampaknya mengerti dengan alasan yang kukemukakan. Aku mengatakan jika ada waktu luang, aku akan segera menemuinya. Setelah berbicara sebentar masalah lainnya, aku kemudian mengakhiri pembicaraan kami.

Akibat pertarunganku dengan Xin tadi siang nampaknya merusak ponselku, saat kulihat di bagian layarnya tampak goresan memanjang. Mungkin retak bagian layarnya, walau fungsi teleponnya masih berfngsi. "Tampaknya aku harus membeli ponsel baru" pikirku dalam hati. Tiga puluh menit kemudian, seminar itu berhenti sementara untuk istirahat. Lima belas menit kemudian akan kembali dimulai dengan tema lainnya. Mbak Lula keluar dari ruang seminar bersama beberapa nara sumber. Orang-orang itu kukenal dari berbagai media, disamping kanan Mbak Lula adalah psikolog Zoya Amirin, dan disebelah kiri adalah Dokter Sonia Wibisono.

Sementara dibelakang mereka adalah Lita Gading dan Maudy Koesnadi. Begitu melihatku Mbak Lula mendatangiku, kemudian mengenalku pada yang lainnya. Dia memperkenalkanku sebagai keponakannya yang belum lama datang ke Jakarta. Entah mereka percaya atau tidak, tapi kurasa sebagai psikolog handal tentu mereka tahu kebenarannya. Setelah itu Mbak Lula minta ijin kepada mereka untuk berbicara berdua denganku.

Kami kemudian mencari tempat yang agak sepi untuk berbicara. Mbak Lula kemudian menjelaskan tema seminar ini adalah 'Peran keluarga untuk mencegah pergaulan remaja dari hal-hal negatif, seperti : Sex Bebas, Alkohol dan Narkoba, serta Kekerasan dalam pergaulan. Peserta kebanyakan dari kalangan borjuis, merekalah yang dituju. Karena kesibukan, mereka jarang memperhatikan prilaku anak-anak mereka. Sehingga mereka gampang dimasuki hal-hal negatif. Untuk itulah dihadirkan Psikolog-psikolog handal.

Mbak Lula melanjutkan ceritanya. Dia mendengar selentingan kabar bahwa para sosialita itu saat berkumpul untuk mengadakan arisan ada juga yang mengadakan transaksi mencurigakan. Kemungkinan adalah barang-barang terlarang. Hal itu memang belum pasti, untuk itulah aku harus bisa masuk didalam lingkungan mereka untuk mencari tahu kebenarannya. Mbak Lula akan memperkenalkanku pada sosialita-sosialita yang dikenalnya, setelah itu aku harus mencari jalan sendiri untuk mengenal orang-orang yang dicurigai.

Mbak Lula menunjukku karena aku dirasa bisa masuk ke golongan mereka, selain penampilanku yang good looking juga aku gampang bergaul. Saat itu lewat dua orang wanita depan kami, berusia antara 40-45 tahun. Mbak Lula berkata "Dia salah satu orang yang kudengar sering mengadakan transaksi rahasia" kata mbak Lula menunjuk wanita yang berjalan disebelah kanan yang memakai gaun dan aksesorir brand ternama. "Mungkin ada temanku yang kenal dekat dengannya" kata Mbak Lula melajutkan ucapannya.

Setelah merasa pembicaraan kami cukup untuk sementara kami berdua bergabung kembali dengan Mbak Lita, Mbak Sonia, Mbak Zoya dan Mbak Maudy. Mbak Lula dan Mbak Maudy adalah Mc dan moderator, sementara yang lain adalah nara sumber. Aku sempat berbincang-bincang dengan mereka berempat dan meminta nomer telepon mereka, mereka juga mengudangku kerumah mereka. Entah serius atau main-main. Setelah itu mereka kembali masuk ruang seminar untuk sesi selanjutnya.

Acara itu benar-benar selesai sepenuhnya pada pukul tujuh malam. Mereka sebagian langsung pulang , tapi banyak juga yang langsung nongkrong di bar hotel. Sesuai janjinya Mbak Lula mengenalkanku pada seorang temannya. Dia adalah teman kuliah Mbak Lula, tapi sekarang sudah menjadi seorang istri pejabat tinggi disuatu departemen milik pemerintah. Kami tidak leluasa berbicara karena ada pengawal dan sopir yang menjemputnya. Tapi dia sempat memberiku kode untuk menghubunginya.

Sebenarnya aku masih ingin lebih lama berada ditempat ini, yang penuh dengan wanita yang masih menarik diusia yang tidak lagi muda. Tapi karena aku telah berjanji pada Mbak Venna, maka aku menerima ajakan pulang Mbak Lula yang juga memintaku untuk mengantarnya pulang. Aku kembali menolak ajakan Mbak Lula untuk mampir masuk kerumahnya, karena telah berjanji pada Mbak Venna. Aku mengatakan pada Mbak Lula bahwa aku telah berjanji untuk bertemu seseorang. Mbak Lula menerima alasanku, lagi pula besok kami juga akan bertemu untuk pergi kesuatu acara yang dihadiri banyak publik figur.

Kadang-kadang aku berpikir, apakah aku ini orang yang terlalu banyak mengobral janji. Tapi menurutku boleh saja mengobral banyak janji, yang penting bisa menepati janji-janji itu. Dan sepengetahuanku, aku belum pernah mengecewakan orang lain dengan mengingkari janjiku pada orang itu. Setelah menurunkan Mbak Lula, aku segera menuju kembali kerumah Mbak Venna. "Malam ini aku akan bersenang-senang dengan Mbak Venna, untuk yang lain bisa nanti menyusul." Pikirku dalam hati.

-=+=-

Pukul delapan lebih aku samapi dirumah Mbak Venna. Dia sudah menyambutku, saat aku masuk pintu rumahnya. Kteika pembantunya sudah masuk kedalam Mbak Venna langsung mendekatiku dan berkata manja " Kirain kamu tidak jadi datang Vin, Mbak sudah menunggu dari jam tujuh tadi" sambil memeluk diriku. Aku membalas memeluknya "Aku sudah berjanji, pasti kutepati Mbak. Lagi pula mau dikasih enak-enak mana mungkin ditolak" Kataku sambil kuremas kedua pantatnya.

"Ih, nakal. Sudah tidak sabar ya ? Makan dulu yuk, kamu sudah makan belum ?" ucapnya sambil menyeretku kearah meja makan.

Untuk menghormatinya aku pun ikut makan, walau tadi sudah makan waktu dihotel. "Yang banyak Vin, biar kuat dan semangat" katanya melihatku hanya mengambil sedikit makanan.

"Kuat apa Mbak ?" godaku.

"Kuat bergoyang salsa" ucapnya sambil tersenyum menggoda.

Setelah makan kami santai sejenak sambil menonton televisi. jam sebilan malam pembantunya minta ijin beristirahat, bila tenaganya sudah tidak diperlukan lagi malam ini. Setelah pembantunya menghilang kebelakang Mbak Venna berkata padaku "Vin kamu tidur disini ya, mobilmu masukan kegarasi saja." Setelah aku masuk kembali dia segera mengunci pintu depan. Kemudian dia berkata "Kamu tunggu disini, lima menit kemudian kamu susul Mbak kekemar ya. Mbak akan menyiapkan menu spesial pesananmu" Katanya sambil berjalan menuju kekamarnya.

Lima kemudian aku menyusulnya kekamar. Hatiku dag dig dug menanti apa yang akan terjadi. Aku membuka pintu kamar itu dan ..., kulihat Mbak Venna berdiri ditengah kamar yang luas itu dengan selimut menutupi seluruh tubuhnya. Setelah itu dia memberiku isyarat untuk menutup dan mengunci pintunya. Masih dengan iyarat dia memintaku untuk menekan tombol player yang berada dikamar itu.

Dan saat kutekan tombol play pada pemutar musik itu mengalun irama latin yang ngebeat tapi menggoda. Mbak Venna tampaknya menyesuaikan diri dengan irama musik itu, saat musik mulai mengalun dia melemparkan selimut yang menutupi tubuhnya. Aku terpana dibuatnya. Setelah selimut yang menutupi tubuhnya terbuka, maka tampaklah tubuhnya yang seksi dan montok itu kini hanya terbungkus lingerie seksi warna hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang berwarna putih. Aku ingat itu adalah lingerie kemarin malam yang meyebabkan aku bisa bertemu dan kenal dengannya.

Dengan lingerie itu dia benar-benar tampak menggairahkan. Lingerie jelas menampakkan lekuk tubuhnya yang montok. ditambah warnanya yang kontras dengan kulitnya. Apa lagi setelah itu Mbak Venna melakukan tarian salsa dengan gerakan yang erotis, mengikuti irama musik yang mengalun didalam kamar. Aku tidak mau berpikir, apakah pembantunya mendengarkan suara dari dalam kamar ini atau tidak. Aku benar-benar terpana dengan tarian dan gerakan Mbak Venna. Kadang-kadang dia menggesek-gesekkan bagian tubuhnya pada tubuhku. Aku menjadi nafsu dibuatnya. Tapi saat aku ingin menyentuh tubuhnya saat dia menggesekkan tubuhnya, Mbak Venna melarangnya. Dia menyuruhku diam dan memperhatikan saja apa yang dilakukannya.

Setelah beberapa lama masih dengan menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik, Mbak Venna mendekati tubuhku lagi. Tapi kali ini perlahan-lahan dia melepaskan kancing bajuku satu persatu, setelah pakaian luar kemudian diapun melepaskan pakaian dalamku. Kini aku tubuhku telanjang bagian atas. Kembali dia menggodaku, saat aku ingin menyentuhnya dia menjauh. Tapi kemudian dia mendekatiku lagi dan mengelus penisku dari bagian luar celana. Mendapat sentuhan dari seorang wanita otomatis penisku yang sudah mulai bangkit, bertambah tegang dan membesar.

Setelah bergerak lagi dengan memutari tubuhku, perlahan tangan Mbak Venna bergerak kearah zipper di celanaku. Diapun melaepaskan zipper yang melilit pinggangku. Setelah zipper terlapas dia melepaskan kancing celanaku, walau agak kesulitan akhirnya terlepas juga. Dan perlahan-lahan dia menarik celanaku kearah bawah, aku membantunya dengan mengangakat kakiku satu demi satu. Kini terlepas sudah celana yang kukenakan, penisku tampak mulai nongol keluar dari celana dalam yang kukenakan.

Lalu dengan perlahan dilepaskannya celana dalamku hingga sampai mata kaki, aku sedikit mengangkat kakiku hingga celana itu terlepas. Setelah memandang penisku dengan rasa takjub, lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya dengan penuh nafsu. Akupun menjadi semakin bernafsu, tapi kembali aku harus bersabar. Saat aku hendak menyentuh tubuhnya dia kembali menghindar kebelakang.

Rupanya Mbak Venna nafsunya juga mulai meninggi melihatku telanjang. Kini dengan gerakan perlahan dia melepas lingerienya, kemudian masih dengan gerakan nan erotis dia melepas bra dan celana dalamnya. Aku jadi teringat pernah melihat Demi Moore melakukan gerakan semacam itu, disuatu filmnya yang pernah kutonton waktu masih smp. Kini setelah tanpa penutup tubuh, aku dapat melihat tubuh Mbak Venna yang montok itu dengan jelas. Buah dadanya yang besar itu tegak menantang.

Mbak Venna kini memainkan tangannya di kedua buah dadanya, dengan kedipan mata nakal dia menggodaku. Aku yang sudah tidak tahan melihat pemandangan indah didepan mataku, dengan cepat kuraih tubuhnya yang hanya berjarak dua langkah didepanku. "Mmm... kamu sudah tidak sabar, sayang. Mbak mau kamu... " tanpa kuberi kesempatan dia untuk melanjutkan ucapannya, ku arahkan mulutku ke puncak bukit kembarnya. Dan, "Cruppp..." sedotanku terdengar begitu bibirku mendarat di permukaan puting susunya. "Aaahhh Viiins, ooohhh... sedooot teruuus aaahhh" tangannya semakin keras menggenggam batang penisku.

Sambil terus menikmati puting susunya satu persatu. Aku melirik wajah Mbak Venna, mulutnya sedikit terbuka dengan tatapan mata yang sayu menggoda. Batang kejantananku tak lagi hanya diremasnya, dia mulai mengocoknya dengan gerakan pelan naik turun. Tangannya yang satu lagi menekan kepalaku ke arah dadanya.

Mbak Venna tampaknya sudah tidak tahan, dia melepaskan dadanya dari mulutku. Dia menarik penisku kearah tempat tidur, otomatis tubuhku mengikutinya kearah tempat tidur. Mbak Venna langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur, aku langsung menindih tubuhnya. Dadaku menempel erat pada kedua buah payudaranya, kelembutan buah dada yang dulunya hanya kulihat dilayar kaca dan tertutup pakaian sekarang menempel ketat di dadaku. Mbak Venna yang kini menjadi agresif, saat bibir kami bertemu dia menyedot lidahku dengan lembut. "Uuuhh..." nikmatnya, tanganku menyusup diantara dada kami, meraba-raba dan meremas kedua belahan dadanya yang besar dan masih kenyal.

"Hmm... ooohh... Mbaaak aaahhh" geli bercampur nikmat kurasakan, saat Mbak Venna secara bersamaan mengecup leherku sambil menggesekkan selangkangannya yang basah pada batang kejantananku. Bibirku merayap ke arah dadanya berusaha meraih susunya dengan bibirku. Lidahku mulai bekerja liar menjelajahi kedua bukit nan kenyal itu satu demi satu.

"Hmm... teruuus Viiins... ooohhh..." Desahan Mbak Venna mulai terdengar, meski terdengar serak menahan nikmatnya jilatanku pada putingnya yang coklat kemerahan. "Sekarang teruskan ke bawah sayang, Mbaaak sudah pengen. Aku yang sudah terbawa nafsu berat itu menurut saja, lidahku merambat cepat ke arah pahanya. Mbak Venna membuka pahanya lebar dan semerbak aroma khas pada pangkal paha serta bercampur wewangian sabun semakin mengundang birahiku, aku jadi semakin bernafsu karenanya.

Liang kewanitaannya nampak sudah basah. Tanpa menunda-nunda lagi, lidahku menjulur lalu menjilati liang kewanitaannya. "Ooohhh, yaaahhh... enaaak, Viiins. Hebat kamu Viiins... ooohhh..." Mbak Venna mulai menjerit kecil merasakan sedotanku pada klitorisnya. Hampir lima menit kumainkan lidahku pada liang kewanitaannya, sampai kurasakan Mbak Venna tiba-tiba menjepit kepalaku dengan keras diantara pangkal pahanya, hingga membuatku menjadi susah bernafas.

"Aaahhh... Mbak nggak kuaat Viiins, Ooouch" teriaknya panjang seiring tubuhnya yang menegang, tangannya meremas sendiri kedua buah dadanya yang bergoyang-goyang mengikuti gerakan tubuhnya. Dari liang kewanitaannya mengalir cairan kental yang langsung bercampur air liur dalam mulutku. "Makasih ya Vin, kamu sudah memberi Mbak kepuasan... makasih Sayang. Sekarang beri Mbak kesempatan untuk istirahat sebentar, Mbak janji kali ini tidak akan mengecewakanmu seperti tadi siang." Dia lalu mengecupku dan beranjak ke arah meja, dan mengambil minuman yang sudah tersedia disitu.

Setelah memberikan minuman padaku Mbak Venna masuk kekamar mandi, tidak lama diapun keluar dan langsung naik ketempat tidur meendekatiku yang bersandar pada tepi ranjang bagian atas. Tangannya langsung meraih batang penisku yang tegang dan mengacung keatas.. "Mbak benar-benar kagum dengan penis punyamu ini, Viins." Dia merangkak di hadapanku dan secepat kilat Mbak Venna memasukkan batang penisku ke dalam mulutnya.

"Ouughhh sssttt... nikmat Mba ... ooohhh ooohhh ahhh..." geli bercampur nikmat membuatku seperti melayang. Batang penisku nampak semakin tegang, mulut Mbak Venna hampir tidak dapat menampungnya. Sementara tanganku ikut bergerak meremas kedua payudaranya.

"Wooouwww... punyamu sungguh luar biasa Vi ... Mbak benar-benar tidak sabar untuk merasakannya berada didalam vagina Mbak." Mbak Venna seperti melihat sesuatu yang begitu menakjubkan. Wanita setengah baya yang masih menarik ini kemudian melepaskan kuluman pada batang penisku. Kemudian dia langsung merebahkan diri, lalu membuka kedua pahanya ke arah yang berlawanan. Mataku melihat ke arah belahan liang vaginanya, hmmm... benar-benar belahan yang menggoda.

Sebelum menindih tubuhnya kusempatkan untuk menjilati vaginanya sebentar, lalu dengan pelan kumasukkan batang penisku ke dalam lubang kemaluannya. "Sleeeppp..." agak susah masuk juga, entah kemaluannya yang sempit karena lama tidak dimasuki penis seperti yang diucapkannya atau karena besarnya penisku. Tapi kemudian masuk juga penisku seluruhnya kedalam liang vaginanya, hingga sampai dasar rahim. Lalu dengan irama tertentu kupompa penisku naik turun. "Hmmm... ooohhh..." Mbak Venna kini mengikuti gerakanku. Pinggulnya seperti berdansa ke kiri dan ke kanan. Liang kewanitaannya bertambah basah dan licin.

Batang penisku kian lama kian lancar keluar masuk, kupercepat goyangan pinggulku hingga terdengar bunyi selangkangannya yang becek bertemu pangkal pahaku. "Plak... plak... plak... plak..." Sungguh nikmat tubuh wanita terhormat ini. Kupandangi wajah anggun mantan Putr* Ind*n*s*a ini, dengan mulut masih tersenyum menggoda. Nafsuku semakin memuncak, gerakanku yang tadinya santai kini tidak lagi berirama. Buah dadanya bergoyang kesana kemari mengikuti gerakan tubuhnya. Membuatku kembali mengulum putingnya.

"Ooohhh Sayang, kamu nakal sekali. Hmm... Mbak suka kenakalanmu, ooohhh... genjot terus..." katanya menggelinjang hebat.
"Uuuhhh... Mbak, nikmat Mbak... hmmm Mbak seksi sekali ooohhh" gumamku. "Kamu senang susu Mbak yah? ooohhh... sedooot teruuus susu Mbaaak aaahhh... panjang sekali penismu... ooohhh, Viiins aaahhh..." Jeritannya semakin keras dan panjang, denyutan liang vaginanya semakin terasa menjepit batang penisku yang semakin keras dan tegang.

"Viiins !" dengusan nafasnya naik turun.

"Kenapa... Mbaaak..."

"Kamu bener-bener hebat Sayang... ooowww... uuuhhh... Mbaaak mau keluar... aaahhh..." gerakan pinggulnya yang liar semakin tidak karuan. Entah sudah berapa lama kami saling menggoyangkan tubuh untuk mencapai puncak kenikmatan bersama. "Ooohhh memang nikmat Mbak, ooohhh... Mbak ooohhh... Mbak Vennaaa, ooohhh... nikmat sekali Mbak, ooohhh..." Tidak kuhiraukan tubuh Mbak Venna yang menegang keras, kuku-kuku tangannya mencengkeram punggungku, pahanya menjepit keras pinggangku yang sedang turun naik itu.

"Aaahhh... Viiins... Mbak ke.. luaarrr laaagiii... aaahhh..." liang senggama Mbak Venna terasa berdenyut keras sekali, seperti memijat batang penisku dan dia menggigit pundakku sampai kemerahan. Batang penisku seperti tersiram cairan hangat di dalam liang rahimnya, sesaat kemudian tubuhnya melemas. Batang penisku masih menancap erat di liang kemaluan Mbak Venna. "Sekarang Mbak mau puasin kamu, kasih Mbak yang di atas ya, Sayang... mmmhhh, pintar kamu Sayang..." Posisi kami berbalik. Kini Mbak Venna menunggangi tubuhku. Perlahan tangannya kembali menuntun batang penisku yang masih tegang memasuki liang vaginanya dan dengan posisi ini terasa lebih masuk.

Mbak Venna mulai bergoyang perlahan, payudaranya tampak lebih besar dan semakin menantang dalam posisi ini, aku segera meremasnya. Mbak Venna berjongkok di atas pinggangku menaik-turunkan pantatnya, terlihat jelas bagaimana batang penisku keluar masuk liang senggamanya yang terlihat penuh sesak, sampai bibir kemaluan itu terlihat sangat kencang. "Ooohhh enaaak Mbak... oooh Mbak... oooh Mbak Venna... oooh Mbak... hmmm, enaaak sekali... ooohhh..." kedua buah payudaranya berayun keras mengikuti irama turun naiknya tubuh Mbak Venna. "Remas yang keras susu Mbak sayang, ooohhh... yaaahhh... pintar kamu... ooohhh... Mbak hampir tidak percaya kamu bisa sehebat ini, ooohhh... pintar kamu Viiins ooohhh..." Mbak Venna memberiku bantal untuk menganjal kepalaku, akupun mengerti maksudnya. Dan "srup... srup..." mulutku menerkam puting susunya. "Yaahhh... sedot susu Mbak dengan kencang sayang... hmmm... yah begitu teruuus yang kiri sayang ooohhh..." Mbak Venna membungkukkan badan agar kedua buah dadanya bisa digapai mulutku. Cairan kewanitaan Mbak Venna yang meluber membasahi dinding vaginanya. Akhirnya dia menjerit panjang, "Ouuuhhhggg... Mbaaak keluuuaaar, lagiii." erangnya.

Aku yang belum mencapai puncak memintanya untuk menungging. Mbak Venna menuruti permintaanku, dia menungging tepat di depanku yang masih terduduk. Hmmm..., pantat Mbak Venna yang besar dan belahan bibir vaginanya yang memerah terpampang jelas didepan mataku, aku langsung mengambil posisi dan tanpa menunggu lama kumasukkan batang penisku dari belakang. Kupegangi pinggulnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku meraih buah dadanya yang besar menggantung. "Ooohhh... ngggh Kamu hebaaat Viiins ooohhh, tusuk yang cepat Sayang, ooohhh... tambah cepat lagi... uuuhhh..." desah Mbak Venna tidak beraturan.

"Ooohhh Mbak... Mbaaak ooohhh nikmat Mbak..." Kepalanya menggeleng keras kesana kemari, dan pinggulnya ikut bergerak dan bergoyang laksana menari salsa. Teriakannya pun makin keras. "Ooohhh... jangan lama-lama lagi Viiins, Mbak sudah mau keluar lagi oooh..." rintihnya. Akupun mempercepat gerakanku hingga terdengar bunyi kecepak-kecepok yang cukup keras, akibat banyaknya cairan kewanitaan Mbak Venna yang sudah keluar. Tidak lama kemudian akupun merasakan ada sesuatu yang mendesak ingin keluar, dari batang penisku.

"Aahh Mbak uuuhhh... nikmat sekali, ooohhh... Mbak sekarang... Mbak Venna, ooohhh... saya tidak tahan lagi Mbak... nikmat... ooohhh..." Akupun menceracau tidak karuan. "Mbak juga Viiins... ohhh... Gaviiin sayaaanggg, ooohhh... keluaaarkan bersama sayaaang, ooohhh..." Kami berdua berteriak panjang, badanku terasa bergetar dan, "Crooottt... crooottt... crooottt... crooottt..." entah berapa kali batang penisku menyemprotkan cairan kental ke dalam rahim Mbak Venna yang tampak juga mengalami hal yang sama, selangkangan kami saling menghujam keras. Tangan Mbak Venna meremas sprei dan menariknya keras, bibirnya dia gigit sendiri. Matanya terpejam seperti merasakan sensasi yang sangat dahsyat

Tubuh kami berduapun ambruk kebawah, dan tubuhku menindih tubuh Mbak Venna. Setelah beberapa saat diatas tubuhnya akupun menggulirkan tubuhku untuk berbaring disampingnya. Mbak Venna kemudian membalikkan tubuhnya menghadap kearahku, senyum kepuasan nampak terpancar dari mukanya. Kemudian tangannya memeluk tubuhku dan berbisik ditelingaku "Makasih sayang, Mbak merasa sangat puas sekali. Belum pernah Mbak merasakan kenikmatan seperti ini sebelumnya, kamu benar-benar jagoan. Mbak bisa ketagihan sama penismu."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya., entah sudah berapa wanita yang mengatakan hal seperti itu padaku. Aku membalas memeluk tubuhnya, kami sama-sama terdiam mengatur pernafasan kami yang masih terengah-engah. Lima belas menit kemudian kurasakan tangannya mulai lagi mengelus-elus batang penisku. Aku membalas memainkan puting susunya. Saat kulihat wajahnya nampak permoahonan pada mimik mukanya, akupun tersenyum mengerti apa yang diinginkannya. Dan akhirnya... entah berapa kali dia mengelepar kepuasan malam itu. Dia seperti seorang musafir yang menemukan padang oase ditengah gurun yang kering kerontang. Kami mengarungi lautan birahi hingga fajar menyingsing diufuk timur.




Chapter XVIII : Indonesian Super Force

Pukul Delapan aku meninggalkan rumah Mbak Venna, sebenarnya Mbak Venna maih ingin aku tetap dirumahnya. Tapi telepon dari anaknya membuyarkan keinginannya. Sebelum aku meninggalkan rumahnya dia berkata akan menghubungiku kalau ada waktu luang. Aku hanya mengiyakan perkataannya. Kini aku dijalan menuju rumah. Sialnya ponselku tidak bisa menyala waktu kuaktifkan. Entah karena daya powernya yang habis, atau rusak karena terbanting kemarin.

Ketika tiba disuatu jalan tiba-tiba sebuah mobil BMW X5 membarengi laju mobilku. Karena mobil itu terus melakukan hal itu, aku terpaksa memperlambat mobilku dan melihat kearah samping untuk melihat siapa pengemudinya. Orang didalam mobil itu membuka kaca jendelanya, hingga aku dapat mengetahui siapa dia. Orang itu tampak memberi isyarat padaku untuk mengikutinya. Setelah memberi isyarat, mobil itu langsung tancap gas. Aku segera mengikuti mobil itu.

Dia melajukan kendaraannya kearah selatan, terus keselatan kearah Depok. Dan masih terus keselatan kearah Bogor. Sampai disuatu rumah makan mobil itu membelok dan masuk ke tempat parkir. Dua orang turun dari mobil itu, kemudian masuk kedalam rumah makan. Aku mengikuti kedua orang itu sampai ke tempat makan yang bertipe saung. Dengan jarak antar saung yang cukup jauh, membuat orang merasa lebih privasi. "Silahkan duduk Vin" kata orang yang lebih muda, yang tdak lain adalah Om Dans.

Sementara yang satu lelaki berumur sekitar lima puluh tahunan. Dengan rambut dan jengot yang sudah memutih, tapi dengan tubuh yang masih gagah dan tegap. "Perkenalkan dia Mahasura, panggilannya Sora"
Setelah aku duduk, Om dans memperkenalkan orang yang duduk disebelahnya.

"Mungkin kamu bertanya dalam hati, mengapa aku mengajakmu kemari. Saat ini kamu boleh memanggilku Om, tapi setelah dari sini semuanya harus berubah. Tidak perlu Om menjelaskan hal yang tidak perlu dulu, Om hanya akan megatakan yang penting terlebih dulu." Om Dans berhenti sebentar mengambil nafas. Setelah diam sejenak diapun melanjutkan ucapannya.

"Aku percaya Gian tidak akan menceritakan hal ini padamu, tapi mungkin sedikit banyak kamu sudah tahu kami ini siapa. Om Dans lalu bercerita dari awal sampai tujuannya mengajakku kemari. Seperti yang tertulis dalam catatan Om Gian mereka adalah agen-agen rahasia milik Negara, tugas inti mereka adalah keamanan seluruh wilayah negara dan tetap berdirinya Negara ini. Hal apapun yang mengancam Negara ini harus dicegah. Bila perlu hal dimusnahkan, tapi tentu saja dengan rahasia. Badannya disebut 'Indonesian Super Force' disingkat IFS. Badan ini tidak masuk didalam atau dibawah komando Departeman maupun Lembaga negara lainnya. Badan ini lebih berdiri sendiri, walau dibiayai Negara.

"Anggota semuanya tidak lebih dari lima puluh orang. Dengan Agen lapangan yang bergerak hanya Lima orang. Dalam perekrutan agen lapangan benar-benar ketat dan selektif, tidak kalah dengan agen inteljen mossad yang terkenal paling hebat didunia. Sistem perekrutan tidak mengenal waktu, biasanya dalam masa satu dasawarsa hanya akan direkrut Lima orang Agen. Sora merupakan satu-satunya Agen yang masih tersisa dari generasi pertama. Sedang Om Dans adalah yang tersisa dari generasi kedua. Sementara ini Om Dans yang menjadi pimpinan dan dia bertanggung jawab langsung pada Pimpinan tertinggi.

Om Dans berhenti sebentar, kemudian mengeluarkan lima buah foto. Dia menyerahkan padaku, akupun melihat-lihat foto itu. Tiga orang lelaki dan Dua orang wanita. Umur mereka sekitar tiga puluh tahunan.
Aku melihat kearah Om Dans, diapun kemudian melanjutkan ceritanya. Mereka berlima adalah Agen generasi terakhir dalam waktu sepuluh tahun ini. Om Gian adalah salah satu agen terbaik yang pernah ada. Kematiannya jelas menimbulkan kerugian dampak yang tidak sedikit, apalagi kemudian disusul dengan kematian Om Anwar.

Kematian Dua orang Agen handal dalam waktu yang dekat jelas suatu keanehan, keanehan bertambah dengan adanya fakta bahwa kematian mereka bukan dalam tempat dan waktu yang berbahaya. Ditambah fakta-fakta yang menambah keanehan kematian Om Gian adalah kepulangan Om Gian tidak diketahui oleh siapapun kecuali Om Dans, Sora dan kelima agen generasi ketiga. Om Dans dan Sora mempunyai kecurigaan bahwa kematian Om Gian maupun Om Anwar karena adanya penghianatan dari dalam.

Mereka berdua mencurigai diantara Kelima Agen itulah terdapat adanya sang penghianat. Untuk menyelidiki mereka berlima tidak mungkin dilakukan sendiri oleh mereka berdua. Oleh karena itu mereka mencari agen baru untuk menyelidiki mereka. Dan pilihan mereka jatuh padaku. Memang untuk merekrut agen baru tidak lah mudah, ada prosedur panjang yang harus dilalui. Tapi kalau melakukan prosedur formal selain memakan waktu lama, para agen sebelumnya otomatis akan tahu akan adanya agen baru. Dan hal inilah yang ingin dihindari oleh mereka berdua.

Alasan mereka memilihku karena aku dinilai mempunyai dasar dan kemampuan untuk menjadi seorang agen rahasia. Sampai pada penjelasan itu Om Dans bertanya padaku, apakah aku bersedia menjadi agen rahasia generasi keempat. Sampai saat ini Om Dans belum tahu apakah hanya aku yang akan menjadi agen generasi keempat, atau akan mencari orang lagi untuk menjadi agen. Setelah diam beberapa saat untuk berpikir, maka aku memutuskan menyetujui permintaan mereka berdua dengan menanggung bebagai macam resiko yang harus kuhadapi.

Setelah aku menyetujui permintaannya, maka Om Dans bercerita detail tentang mereka berlima yang harus kuselidiki. Mereka masing-masing punya code name : Naga, Leon, Cobra, Merak, Walet. Kebetulan saat ini tidak ada tugas untuk mereka, sehingga bisa dipastikan mereka sering datang ke kantor pusat. Om Dans lalu menyebutkan suatu tempat yang menjadi kantor mereka. Untuk menemui mereka aku bisa menunggu disekitar tempat itu.

Setelah itu Om Dans menjelaskan semua prosedur yang harus kulakukan dan kujalankan. Bagaimana untuk menghubungi Om Dans atau sora, karena datang kekantor adalah hal yang tidak mungkin untuk saat ini. Setelah aku paham, Om Dans kemudian membuka koper kecil yang tadi dibawanya. Isinya ada sebuah pistol dan beberapa peralatan lainnya yang biasa kulihat dalam film detektif.

"Ini adalah senjatamu, Om minta kamu pakai sesuai prosedur yang berlaku. Om tahu kamu sudah punya lisensi untuk memegang senjata" kata Om Dans sambil menyerahkan senjata itu. Kemudian dia menjelaskan peralatan lainnya. Ada semacam kamera yang super mini, juga alat sadap, alat pemecah kode, bank data, dan bermacam lainnya.

"Ini adalah alat-alat dengan teknologi terbaru yang belum dipakai oleh agen terdahulu. Dan semua ini adalah karya anak bangsa yang tidak kalah dengan yang biasa dipakai agen-agen macam CIA, MI6, FSB, MOSSAD, MSS maupun agen negara lainnya." Kata Om Dans.

"Untuk selanjutnya kamu harus memanggilku Dans, karena kini kamu adalah bawahanku. Sementara kamu akan mempunyai Code Name : Puma. Setelah ini kamu harus benar-benar waspada, dan juga hati hati dalam menyimpan data. Tidak seperti ini" Kata Om Dans sambil menyerahkan buku kecil yang tidak lain adalah buku catatan milik Om Gian. Aku kini benar-benar kagum akan kinerja para agen rahasia, dan aku berjanji akan menjadi agen yang baik.

Kemudian Om Dans menyerahka sebuah ponsel, dan memintaku menggunakannya. Karena ponsel yang ini anti sadap dan juga punya sinyal yang langsung terhubung dengan Om Dans. Akhirnya sesudah menjelaskan semuanya Om dans pun berkata padaku "Sebelum kita berpisah, apa ada hal-hal yang ingin kamu tanyakan? " Tanya Om Dans.

Mendengar perkataan Om Dans, aku merasa inilah waktu yang tepat untuk mengetahui hal-hal yang menjadi rasa penasaran dihatiku. Aku segera bertanya padanya "Dari mana Om bisa mengetahui keberadaanku ?"

"Kalau itu karena badge ini, kamu pasti membawa benda seperti ini 'kan" jawab Om dans sambil mengeluarkan badge kecil, badge yang sejenis, seperti yang kutemukan dikamar Om Gian. "Badge ini selain sebagai 'Id' juga bisa untuk mengetahui posisi agent. Mungkin tanpa sengaja kamu mengaktifkannya, sehingga kami bisa tahu dimana posisimu. Apa perlu Om katakan, bahwa semalam kamu tidur dirumah artis VM, kemarin tidur di apartemen artis R, untuk meyakinkanmu atas kerja alat ini."

Mendengar perkataan Om Dans, mukaku jadi memerah. "Seorang agent tidak dilarang untuk bersenang-senang, asal hal itu tidak mengganggu misi dan membahayakan negara. Jadi masalah itu tidak perlu dibahas."

Aku kemudian bertanya lagi pada Om Dans. "Om pasti sudah membaca catatan Om Gian dalam buku ini. Bagaimana menurut Om, tentang tulisan yang dibuat oleh Om Gian ?" tanyaku sambil menunjuk buku yang diatas meja.

"Dulu sebenarnya kami semua sangat dekat. Tapi karena masalah itu, hubungan kami jadi renggang. Aku sudah membacanya, justru keterangan Gian lah yang ingin kuketahui. Aku tahu sebenarnya dia berbohong, tapi pasti ada alasannya. Dengan adanya buku ini, maka jelaslah peristiwa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Dan berarti hilang juga ganjalan diantara kau dan Gian. Suatu hari nanti aku akan kepusaranya, untuk meminta maaf padanya. Karena aku pernah berpikir jelek tentangnya."

"Bagaimana dengan Om Anwar ?"

"Aku sudah tahu rencanamu yang ingin merawat jenazahnya. Tapi Om sudah memesan tempat di pekuburan yang baik, demi menghormatinya. Nanti sesudah kamu mengambil jenazahnya, langsung saja bawa kesana. Om akan menunggu disana." kata Om Dans sambil menyebutkan satu nama pekuburan elit.

"Oh, ya ada hal yang ingin kuketahui, mungkin Om bisa memberiku info. Om bisa memberiku info tentang keluarga Om Nard ?" tanyaku.

Om Dans diam sejenak, kemudian diapun berkata "Sebenarnya setiap agent sangat menyembunyikan keberadaan keluarganya. Karena resikonya. Banyak agent memilih untuk tidak mempunyai keluarga, karena alasan itu. Pada saat peristiwa itu terjadi, Nard mempunyai satu adik. Dan dialah satu-satunya keluarga Nard. Saat itu dia sedang kuliah di Australia. Om pernah bertemu dengannya dua kali. Terakhir kali Om bertemu dengannya adalah saat memberikan surat wasiat dan harta peninggalan Nard. "

Om Dans kembali diam untuk sesaat, kemudian diapun melanjutkkan ucapannya. "Tapi yang menyedihkan adalah, satu tahun setelah peristiwa itu terjadi Om mendengar bahwa dia menghilang. Ada yang mengatakan dia mengalami kecelakaan, ada pula yang bilang dia hilang di satu gunung. Saat melakukan pendakian. Saat itu Om dan Gian juga ingin melakukan pencarian. Tapi pada saat itu situasi tidak mendukung kami untuk ikut mencari."

"Jadi tidak diketahui secara pasti kejadiannya Om ? Apakah benar seperti itu atau tidak, dia masih hidup atau sudah mati ?"

"Ya, seperti itulah. Walau memang mencurigakan, tapi karena dia tidak punya keluarga dan tidak ada yang meminta kasusnya untuk diselesaikan. Maka kepolisian pun menghentikan penyelidikannya. Sebenarnya kepolisian pernah menyelidiki hilangnya dia karena masalah harta. Tapi itu tidak bisa dilanjutkan, karena tidak ada data tentang hartanya di Bank manapun."

"Namanya siapa Om ?"

"Nirwan, semua data tentang dirinya ada. Dari lahir sampai terjadi peristiwa menghilangnya dia. Nanti Om akan berikan data-data itu bila kita ketemu lagi. Apa ada hal lain yang ingin kau tanyakan ?" tanya Om Dans.

"Satu pertanyaan terakhir Om. Apakah wanita yang kemarin malam bersama Om Dans, juga seorang agent ?"

"Benar, tapi bukan Agent kita. Dia agent RAW ."

"Agent India, ada apa mereka sampai sini Om ?"

"Dia datang kesini bukan untuk suatu pekerjaan. Tapi untuk menemui keluarganya. Dia keponakan Om."

"Keponakan Om ?"

"Ya, dia anak dari kakak perempuanku. Apa ada sesuatu hingga kamu bertanya tentangnya ?"

Mendengar pertanyaan itu aku merasa tersipu malu, dan hanya bisa tersenyum. "Tidak apa-apa Om, aku hanya ingin tahu saja."

Tapi Om Dans tampaknya faham apa yang ada dipikiranku. Dia kemudian berkata "Nanti suatu saat Om akan memperkenalkanmu padanya. Dia mungkin akan kesini lagi dalam waktu dekat untuk urusan pekerjaan. Kalau kamu sudah tidak ada kepentingan lagi Om harus segera pergi."

Karena untuk sementara ini aku sudah merasa cukup dengan informasi yang diberikannya, maka setelah Om Dans berkata seperti itu. Aku mempersilahkannya untuk meninggalkan tempat. Beberapa menit kemudian Om Dans dan Sora meninggalkan tempat itu, aku menyusul meninggalkan tempat itu lima belas menit kemudian.

-=+=-

Dari tempat itu aku segera mengarahkan mobilku ke Polda Metro Jaya untuk bertemu Mas Bram. Setelah semua prosedur kulalui akupun dapat menbawa jenazah Om Anwar untuk segera kukebumikan. Aku menuju ketempat pemakaman yang telah dipesan oleh Om Dans. Acara pemakaman dapat berlangsung dengan lancar walau cuma dihadiri beberapa orang. Setelah itu Om Dans menyerahkan data tentang Nirwan adik Om Nard, seperti yang telah dijanjikannya pada pagi hari. Setelah berbincang-bincang sejenak dan memberikan beberapa petunjuk tambahan Om Dnas Dan Sora segera meninggalkan tempat itu.

Tadi waktu mengambil jenazah Om Anwar, Mas Bram juga memberikan benda-benda yang dibawa dan menepel pada tubuh Om Anwar waktu dia ditemukan meninggal. Aku mengemudikan mobilku untuk kembali ke apartemenku. Setelah istirahat sejenak kemudian aku mandi supaya badan lebih segar. Dengan memutar musik kitaro kesukaanku dan segelas air mineral dingin ditangan aku mulai membuka file data yang kuterima dari Om Dans.

Nirwan Wijaya, Wonogiri, 23 Maret 1978. Tinggi/Berat : 180cm/78kg. Sejak kecil sudah yatim piatu, hidup hanya berdua dengan kakaknya. Sejak kecil sampai SMP di Wonogiri, setelah itu dia tinggal di Jakarta. Dan kemudian kuliah mengambil S1 di Australia. Setelah lulus dia langsung meneruskan ke jenjang S2. Saat meneruskan S2 itulah dia kabarkan hilang. Sudah dicari dengan jarak waktu satu tahun, tapi tidak ditemukan jejaknya sama sekali. Teman-teman nya juga sudah diperiksa satu-persatu, tapi tidak ada satupun yang bisa dicurigai.

Berhenti sampai disitu, kemudian aku melihat beberapa foto yang juga ada dalam file itu. Tentu saja foto dari Nirwan, tapi ada juga beberapa foto dirinya bersama beberapa temannya. Kulihat wajah nya tidak setampan Om Nard walau ada sedikit kemiripan, tubuhnya juga lebih kurus. Dan kaca mata minus yang menempel pada hidung dan telingnganya seperti menambah kekurangan penampilannya.

Saat aku melihat salah satu foto, aku merasa mengenal beberapa orang diantaranya. Saat aku perhatikan, ternyata itu adalah foto bersama ikatan mahasiswa indonesia yang kuliah di Universitas Melbourne. Yang membuatku cukup kaget adalah adanya wajah Sony Danubrata, juga Wajah Mas Pras yang terpampang didalam foto itu.

Aku jadi berpikir, "Apa Mas Pras kenal dengan Nirwan dan juga Sony. Atau bisa juga mereka hanya satu almamater tanpa saling mengenal. Tapi aku akan mencoba bertanya kepada Mas Pras, siapa tahu dia mengenalnya. Dan juga Sony, kenapa selalu ada dia dalam peristiwa ini. Apakah dia aktor dari semua ini ?" aku kemudian mencatat hal-hal yang kuanggap penting.

-=+=-

Setelah itu aku memejamkan mata sebentar untuk istirahat, sebelum aku berangkat untuk menjemput Mbak Lula untuk acara Charity selebriti. Begitu bangun, aku olah raga sebentar untuk melemaskan otot yang kaku. Setelah itu aku mandi dan segera berangkat menuju tempat Mbak Lula.

Saat dijalan aku teringat beberapa barang peninggalan Om Anwar. Aku teringat seperti ada kunci rumah atau apartement, aku tergerak untuk melihat kondisi apartement yang pernah kudatangi hari minggu kemarin. Mungkin saja kunci yang kubawa cocok dengan salah satu aparteman disana. Saat sampai aku segera menuju salah satu apartemen yang nomernya tertera dikunci. Saat kucoba ternyata berhasil. Aku segera masuk untuk melihat-lihat, mungkin ada suatu petunjuk yang bisa kudapatkan ditempatini.

Tapi ternyata hasilnya tetap nihil walau sudah mencari-cari hampir satu jam lamanya. Hanya ada kunci-kunci, kendaraan dan surat-suratnya. Karena tidak ada petunjuk seperti yang kuharapkan, aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Tapi seperti lazimnya anak muda yang lain, aku merasa penasaran dengan mobil milik Om Anwar. Aku segera menuju basement untuk mencari tempat parkir. Seperti saat mencari mobil Om Gian Untuk pertama kalinya, akupun mengulangi hal yang sama. Aku seperti mengalami Dejavu.

Setelah beberapa saat, berhasil juga aku menemukan mobil itu. Sebuah mobil yang tidak kalah mahalnya dari mobil Om Gian yang saat ini kupergunakan. Sebuah Porsche Carrera, kucoba untuk memanaskan mobilnya. Setelah itu aku meninggalkan tempat itu dengan berkata dalam hati "Suatu saat aku akan mempergunakan mobil itu, tapi kini belum saatnya." Kemudian aku pergi dari apartemen itu untuk menemui Mbak Lula.

Merasa waktu masih cukup lama, maka aku mengendarai mobilku dengan cukup santainya. Tapi hanya dalam sepersekian detik aku merasakan benturan pada mobilku dari arah belakang. "Duaaaks" Aku menjadi terlonjak kedepan, untung memakai sabuk pengaman, hingga masih bebas dari benturan dari arah depan. Aku mencoba menengok kebelakang untuk melihat apa yang terjadi. Tapi aku mengurungkan niat untuk menengok kebelakng lebih lama, karena ada sebuah mobil yang tiba-tiba mencoba untuk membenturkan mobilnya kearah mobilku.

Aku mencoba menghindar, tapi masih kena juga dan "Dueeers" kembali mobil itu membentur mobilku. Setelah berulang kali, barulah kusadari bahwa mereka sengaja untuk melakukan hal itu. Aku mencoba menghindar dari benturan-benturannya yang diarahkannya. Ternyata dia tidak melakukan aksi itu sendirian, kini dua kendaraan cukup besar berusaha menggencet mobilku pada kedua sisi.

Kini muncul mobil ketiga dan keempat, berusaha mengambil posisi didepan dan dibelakangku. Tampaknya mereka semua adalah orang yang ahli dalam soal mengemudi dan kendaraan. Maka dengan perlahan akupun mulai terjebak ditengah diantara mereka. Aku berusaha mati-matian untuk keluar dari kepungan mereka. Dan saat ada kesempatan langsung kupergunakan untuk lolos dari kepungan mereka. Tapi aku sedikit terlambat, sehingga bagian belakang mobilku kena seruduk mobil yang cukup besar.

Kini aku kehilanggan kendali, maka mobil itu pun kini berputar dan menuju sisi sebelah yang tidak lain adalah lembah yang cukup curam. Aku mencoba menghentikan mobilku, "Ciiitsss" dan berhentilah mobil itu ditepi lembah. Aku segera melepas sabuk pengaman, untuk menghadapi segala sesuatunya. Walau aku merasa cepat malakukan itu, ternyata kalah cepat dari gerakan orang itu. Dengan cepat salah satu mobil itu mendorong mobilku kearah lembah curam dibelakang mobilku.

Dan duaaar .... terjadi benturan antara mobil itu dan maobilku.




Chapter XIX : Eagle


Mobilku terdorong keluar dari jalan itu dan meluncur turun kebawah , saat itu kepalaku membentur sesuatu. Dan kurasakan sakit luar biasa pada kepala, perlahan pandanganku menjadi gelap dan tidak kurasakan apa-apa lagi setelah itu.

-=+=-

Aku merasa berjalan sangat panjang ditempat yang benar-benar gelap. Entah berapa lama aku berjalan ditempat itu, ketika kulihat setitik cahaya di ujung lorong sana. Aku terus berjalan, tapi kurasakan tetap berada ditempat karena jarak antara diriku dan cahaya itu tidak berubah.

Kurasakan putus asa yang sangat dalam, dan ingin rasanya tetap ditempat dan tidak ingin kemana-mana. Saat aku merasa benar-benar putus asa dan berhenti berjalan ditempat. Saat itu juga aku seperti mendengar suara memanggil namaku "Gavin... Viiin" Walau samar tapi seperti terdengar jelas ditelingaku, dan aku seperti mengenal suara itu. Suara itu kudengar terus memanggil namaku "Viiin... Gavinnn" Aku pun mencoba kembali bergerak untuk mendekat kearah suara itu, yang seperti datang dari setitik cahaya di ujung sana.

Suara itu kudengar semakin jelas dan dekat ditelingaku, juga seperti memberikan semangat. Sehingga aku mencoba untuk terus berjalan kearah cahaya dan suara itu. Kini kurasakan cahaya itu semakin dekat dan lebih terang. Kurasakan disekelilingku mulai berwarna kelabu, tidak seperti tadi hitam pekat. Entah berapa lama kemudian aku sampai juga di cahaya itu.

-=+=-

Saat pertama kulihat cahaya itu mataku terasa silau sekali, akupun kemudian memejamkan mata kembali. Selain itu kurasakan sakit pada seluruh tubuhku, kaki dan tanganku serasa kaku tidak bisa digerakkan.

Perlahan kucoba membuka kembali kedua mataku. Kali ini sudah tidak terlalu silau, tapi masih kurang jelas penglihatan mataku. Perlahan matakupun bisa melihat dengan jelas. Yang pertama kulihat adalah Dua wajah orang yang paling berharga bagiku, Ayah dan Ibuku. Wajah mereka menampakkan kesedihan yang sangat, sementara dikedua mata Ibuku berurai air mata. Ingin rasanya aku memanggil mereka. Tapi saat aku mencoba melakukan itu, kurasakan sakit dan perih ditenggorokanku. Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Saat aku ingin mencoba menyentuh mereka dengan tanganku, kurasakan hal yang sama. Tanganku serasa kaku dan tidak bisa digerakkan.

Ayah dan Ibu kemudian menciumiku dengan penuh kasih sayang. Kini mulai nampak senyum di bibir mereka. Aku hanya bisa memandang tanpa bisa membalas perlakuan maupun ucapan mereka. Tanpa kusadari mataku berkaca-kaca, dan air mata meleleh dikedua pipiku. Ibu dengan penuh kasih sayang menyapu air mata yang membasahi pipiku. Melihat wajah ayah dan ibu yamg penuh kedukaan, aku dapat merasakan betapa sedih dan khawatirnya Ayah dan Ibu melihat keadaanku seperti ini.

Aku masih ingat, betapa cemasnya mereka saat aku tidak mau makan, atau karena terjatuh karena berlarian. Apalagi melihat keadaanku seperti ini. Ingin aku mengatakan pada mereka agar tidak terlalu bersedih, tapi kurasakan tenggorokanku masih sakit dan perih. Kulihat Ayah keluar dari ruangan, dan tidak beberapa lama kemudian dia datang kembali bersama seorang Dokter dan dua orang lainnya.

Yang berjalan disamping dokter adalah Mas Bram, sementara lelaki yang berjalan dibelakang mereka aku belum mengenalnya. Dokter langsung memeriksa keadaanku, setelah selesai memeriksa kemudian dokter berbicara dengan Ayah. Sementara Mas Bram mendekatiku, dari raut mukanya tampaknya dia juga cukup bersedih melihat keadaanku. "Mas gembira melihatmu sudah sadar Vin. Menurut Dokter kamu perlu banyak istirahat, mungkin satu-dua hari kita baru bisa berbincang-bincang. Yang penting kamu sudah sadar."

"Oh ya, mungkin kamu belum bisa mengucapkan terima kasih kepada penolongmu. Tapi paling tidak kamu harus tahu siapa orang yang menolong dan membawamu kerumah sakit". Mas Bram lalu memanggil leleki yang tadi masuk bersamanya. "Perkenalkan Vin, Namanya Elang Mahija. Panggil saja Elang." Lelaki itu tersenyum dan mengangukkan kepalanya kepadaku.

Aku kemudian memperhatikannya. Lelaki yang masih muda, mungkin sekitar 24 atau 25 tahun sama sepertiku. Tubuhnya tinggi, mungkin 185 cm seperti Mas Bram. Tapi badannya lebih kekar dan tegap dari Mas Bram. Rambutnya dipotong pendek, dengan cambang dan kumis tipis yang menyatu. Wajahnya tampan, dengan tatapan mata tajam seperti elang. Benar-benar tipe pria jantan.

Setelah itu Mas Bram dan Elang keluar dari ruanganku. Setelah mereka keluar semua akupun istirahat kembali. Hanya Ibu yang ada diruangan itu, melayani kebutuhanku dan menjaga jika ada sesuatu. Aku berusaha untuk beristirahat dan melupakan dulu apa yang terjadi, seperti pesan dari Dokter. Baru kuketahui ternyata aku sudah pingsan tiga hari sejak kejadian waktu itu.

-=+=-

Dua hari kemudian barulah aku bisa bersuara. Saat kutanyakan kepada Dokter dia mengatakan karena leherku tergores kaca, sehingga mengenai pita suara. Untung tidak parah, jadi bisa sembuh dengan cepat. Selain sudah bisa bersuara, tanganku juga sudah bisa digerakkan. Walau belum bisa bergerak bebas.

Selama dua hari ini ada beberapa teman kerja yang datang. Ada yang datang sendiri, dengn keluarga, maupun dengan sesama teman kantor. Teman kantor yang datang lebih dari dua kali adalah MBak Ina, Rini, Tina, Rachma, Dion, dan Fariz. Bisa dibilang Dion dan Fariz ikut menjaga kalau malam. Mungkin sebagai rasa solidaritas diantara kami, yang telah tiga tahun tinggal bersama.

Sementara untuk Mbak Ina dan Rini bertiga, kedatangan mereka kadang membuatku merasa malu kepada Ayah dan Ibu. Karena setelah mereka pulang, maka Ayah dan Ibu akan bertanya tentang mereka. Mungkin naluri sebagai orang tua membuat mereka melihat adanya ketertarikan wanita-wanita itu pada anak laki-laki mereka.

Mbak Lula juga kadang menengok, Dia tahu karena menghubungi kantor. Mungkin ketika hari jum'at itu aku tidak bisa dihubungi, dan Mbak Lula kemudian menelepon kekantor dan mengetahui peristiwa yang menimpaku. Selain itu Mbak Lula juga kadang bertugas dirumah sakit ini. Jadi tidak menimbulkan pertanyaan pada Ayah dan Ibu.

Tentu saja selain mereka, yang sering menengok adalah Mas Bram. Bisa dibilang saat sedang tidak jam kerjanya, dia disini. Satu lagi yang membuatku penasaran adalah keberadaan Elang. Tampaknya dia tidak pernah meninggalkan tempat ini, Aku benar-benar tidak tahu maksud dan tujuannya. Aku memang belum sempat menanyakan tentang dirinya, selain mengetahui bahwa namanya Elang.

Siang itu saat Mas Bram datang aku bertanya padanya. "Mas, aku ingin tanya tentang Elang ?"

"Tentang Elang. Maksudnya ? tanya Mas Bram.

"Ya tentang dia, mengapa dia disini ikut menjagaku. Apa dia mempunyai sesuatu urusan denganku atau dengan rumah sakit ini ?"

"Oh itu' Kalau itu Mas yang minta dia tetap disini. Selain itu dia juga mempunyai misi tersendiri."

"Apakah dia seorang polisi ?"

"Ya benar"

"Apa tugasnya ada hubungannya denganku ?"

"Bisa ya, juga bisa tidak. Kamu tentu tahulah maksud Mas"

"Ya aku tahu Mas. Mas pasti khawatir orang-orang yang menyerangku akan kembali mengulangi perbuatannya. Tapi yang membuatku heran kenapa dia berada ditempat kejadian waktu itu, kebetulan atau ada hal lainnya."

"Kalau masalah itu kamu bisa tanyakan sendiri padanya, apa dia akan menceritakannya padamu atau tidak itu tidak bisa dipaksakan. Yang jelas, dia bukan pemuda sembarangan. Mungkin kamu bisa berteman dengannya."

"Baiklah, nanti aku akan berusaha berbincang-bincang dengannya." Setelah itu Mas Bram pamit pada Ayah dan Ibu.

Sore harinya beberapa orang yang datang menjengukku membuat heboh. Karena yang datang adalah beberapa orang selebritis tanah air. Ada Bunda Maia, Mbak Rossa, Mbak Yuni, Mbak kris dan Raul, dan beberapa seleb lainnya yang pernah kenal denganku. Ayah dan Ibu sampai kaget, mengetahui ternyata anaknya mempunyai banyak teman publik figur. Tentu saja aku mengatakan kepada mereka bahwa aku kecelakaan bukan karena serangan seseorang. Mereka tampaknya sangat sedih melihat keadaanku seperti ini, terutama yang pernah bercinta denganku.

Saat waktu untuk menjenguk habis, mereka sepertinya masih enggan meninggalkan ruanganku. Mereka semua menciumku sebelum meninggalkan ruangan. Hal mana yang membuat Ayah dan Ibu bertambah terkejut. Malam itu juga Mbak Venna juga datang menjenguk walau sebentar.

Dua hari kemudian aku sudah bisa menggerakan kaki, tapi belum boleh turun dari ranjang. Sampai saat itu, aku juga belum sempat berbicara serius dengan Elang. Karena Ayah maupun Ibu selalu berada didekatku. Dia juga sudah akrab dengan orang tuaku. Bahkan Ayah dan Ibu sudah menganggapnya seperti anak kedua. Hari ini adalah hari terakhir cuti kerja Ayahku. Dan Ayah diminta untuk segera kembali kekantor, tidak perlu menunggu hari senin.

Bagi Ayah, tanggung jawab adalah yang utama. Walau dia masih khawatir dengan keadaanku, tapi dia tetap berkeputusan untuk pulang. Sementara Ibu juga kemudian memutuskan untuk ikut pulang bersama Ayah, setelah mendapat jaminan dari Mas Bram bahwa dia akan menjagaku dan juga dari Dokter bahwa keadaanku tidak perlu dikhawatirkan.

Keesokan harinya, dengan diiringi tangis Ibu dan pesan Ayah mereka meninggalkan rumah sakit. Ayah dan Ibu pulang kekota Pekalongan. Jika selama ada Ayah dan Ibu aku tidak berani bertanya pada Elang tentang tugasnya, maka siang itu setelah aku menjalani pemeriksaan rutin dan minum obat. Aku mulai berbincang-bincang dengan Elang untuk mengenalnya lebih dalam dan juga tentang keberadaannya ditempat ini.

"Lang, Maaf boleh aku bertanya hal yang sifatnya pribadi ?" Tanyaku memulai percakapan.

"Sebenarnya aku tidak suka membicarakan masalah yang sifatnya pribadi kepada orang lain. Tapi kali ini mungkin pengecualian, entah mengapa aku percaya padamu dan meganggapmu saudara. Padahal belum lama kita saling mengenal. Tapi sejak aku melihatmu, aku punya feeling bahwa kamu orang yang baik dan bisa dipercaya. Hingga aku bersedia menerima perintah dari Pak Bram untuk menjagamu." Jawabnya.

"Apa hanya karena perintah Mas Bram, atau ada hal lainnya. Ujarku dengn nada ingin tahu.

Elang diam untuk beberapa saat, setelah itu diapun menjawab. "Baiklah, cepat atau lambat kamu juga akan tahu."

"Apa kamu tahu tentang orang yang bernama 'Kui', atau paling tidak pernah mendengar namanya." Tanya Elang.

Aku diam berpikir, berusaha mengingat nama yang disebut Elang. Tapi karena merasa belum pernah mendengarnya, akupun meggelengkan kepala.

"Ok, mungkin kamu belum tahu tentang dirinya. Bagaiman dengan 'Xin' dan 'Mow', kamu pasti mengenalnya kan. Mereka adalah satu kelompok, atau paling tidak saling mengenal." Kata Elang, menjelaskan.

"Eh, benarkah. Tapi kenapa selama ini aku belum pernah mendengar namanya ?" Ujarku terkejut mendengar hal itu.

"Tidak aneh kalau kamu belum pernah mendengarnya Vin. Dia merupakan orang yang paling misterius diantara tiga orang itu. Selain itu dia juga lebih sering berpindah tempat dari pada yang lain. Saya menduga dia adalah koordinator anggota mereka yang berada didaerah." Elang menjelaskan panjang lebar.

"Mengapa kau tidak datang ke sarang mereka untuk menangkapnya ?" Tanyaku.

"Tidak semudah itu Vin, selain kami belum mempunyai bukti. Juga tidak tahu dimana markas mereka."

"Bagaimana dengan Sony Danubrata, bukankah kalian bisa menangkapnya."

"Dengan tuduhan apa kita menangkap Sony ? Kamu salah jika menganggap Sony adalah bos mereka. Dia hanya salah satu dari mereka, masih ada orang yang bediri dibelakangnya dan mengendalikan semua tindakan Sony. Mungkin tugas Sony adalah menutupi bisnis ilegal mereka dengan bisnis legal yang dipegang Sony. Money laundry istilahnya."

"Terus apa hubungannya semua itu denganku" kataku masih penasaran.

"Aku tahu dari Pak Bram kamu sedang berusaha mencari pembunuh pamanmu. Dan tampaknya target kita sama, Mengapa kita tidak bekerja sama untuk menangkap mereka. Bukankah dua orang lebih kuat daripada satu orang, siapa tahu dengan bekerja sama kita bisa menangkap mereka."

Setelah berhenti sejenak, Elang melajutkan ucapannya. "Mereka adalah orang-orang yang kejam, mereka dengan mudahnya bisa menghilangkan nyawa seseorang. Bahkan anggota sendiri bila melakukan kesalahan akan menerima hukuman. Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa mereka masih membiarkanmu hidup. Padahal jelas-jelas kamu sudah mengganggu mereka. Mungkin baru peristiwa terakhir ini bisa dikecualikan. Sepertinya mereka sekarang sudah mengincar jiwamu. Dan percayalah padaku, mereka tidak akan berhenti sebelum berhasil mencapai tujuannya."

"Jadi menurutmu mereka pasti akan menyerangku lagi, dan salah satu tujuanmu disini adalah untuk menunggu mereka ?"

"Ya. benar seperti itu. Aku yakin akan hal itu. Walau tidak dalam satu atau dua hari, mereka pasti akan melakukannya. Untuk itu aku memintamu untuk bekerja sama." katanya smbil mengulurkan tangannya kedepan untuk meminta kesedianku.

Setelah berpikir sejenak, aku mengulurkan tangan menerima jabatan tangannya. Sebagai tanga persetujuan untuk menerima kerja sama ini. " Ok Lang, aku terima kerja sama ini." Setelah itu kami berbincang-bincang tentag hal umum lainnya.

Tiba-tiba Elang berkata "Vin bagaimana kalau kita saling bercerita tentang ruwayat hidup kita dari kecil sampai sekarang."

"Boleh juga, tapi kamu yang bercerita dulu ya. bukankah kamu sudah tahu sedikit banyak tentangku dari Ayah dan Ibu. Waktu mereka disini" kataku.

"Baiklah, sebenarnya riwayat hidupku tidak menarik. Tapi karena kita sudah seperti saudara, akan kuceritakan riwayat hidupku untukmu.

@@@@@

Elang Side's Story : It's My Life


Namaku Elang Mahija, tapi orang-orang cukup memanggilku Elang. Usiaku saat ini 25 tahun. Jangan tanyakan nama orang tuaku, karena aku sendiri tidak tahu. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan. Sama seperti kehidupan anak lainnya, ada senang dan susahnya. Tapi tentu saja karena kami hidup di panti, jadi cara hidup kami tidak seperti anak-anak biasa. Kami hidup lebih mandiri.

Tentang cita-cita dan rencana hidupku hampir seperti anak lainnya. Ingin kuliah , kemudian bekerja. Tapi rencana itu berubah seketika, saat satu kejadian yang menyedihkan itu terjadi. Andi, temanku sejak kecil. Kami sama-sama tumbuh dipanti, kami selalu berdua. Hingga berpisah selamanya, karena dia over dosis obat-obatan.

Hal yang tidak masuk diakal, karena aku mengenalnya luar dalam. Aku lalu berusaha mencari tahu kebenarannya. Dan akhirnya kuketahui penyebabnya. Andi dipaksa memakai barang itu oleh salah seorang teman kami. Dan dia adalah pengedar disekolah kami. Saat aku berusaha mengungkap hal itu, aku dihajar habis-habisan hingga nyawaku hampir malayang. Untung saat itu aku ditolong seseorang. Hingga akhirnya kuketahui bahwa orang itu seorang polisi yang sedang menyamar untuk menyelidiki kasus pengedaran narkoba disekolah-sekolah.

Kawanan itu berhasil ditangkap oleh orang itu. Tapi demi nama baik sekolah, berita itu tidak tersiar keluar sekolah. Karena peristiwa itulah, maka aku memutuskan untuk menjadi seorang anggota kepolisian. Agar tidak ada lagi Andi-Andi lainnya yang menjadi korban narkoba. Aku tidak pernah bertemu lagi dengan orang yang dulu pernah menyelamatkanku. Tapi aku tahu namanya 'Gian'.

-=+=-

Aku masih berbaring diranjang itu, ranjang yang sama seperti semalam. Sambil membayangkan kejadian semalam. Apakah ini mimpi atau kenyataan. Perempuan anggun yang terhormat dan terlihat lembut tapi ternyata sangat ganas dan liar di atas tempat tidur. Berbagai posisi bercinta telah kami lakukan semalam.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka membuyarkan lamunanku dan masuklah seorang wanita dengan pakaian lengkap dengan jilbab rapat menutup rambutnya membawa nampan berisi roti dan minuman. Dipta namanya, seorang wanita yang menyandang istri ketiga dari seorang pejabat tinggi. "Sudah bangun Lang, bagaimana tidurnya. nyenyak" katanya sambil tersenyum dan duduk ditepi ranjang. "Ayo makan dulu, nanti kta lanjut lagi" katanya sambil tersenyum menggoda. Disodorkannya gelas yang berisi susu yang dicampur telur dan madu kepadaku. Dipta juga memberikan setangkap roti bakar, yang terasa sangat nikmat bagi perutku yang lapar.

"Mau kemana Ta, kok sudah rapi" tanyaku. Menyelesaikan beberapa urusan. Biar kita bisa bersenang-senang sepanjang hari" kata Dipta kembali tersenyum nakal. Aku merasa senang mendengarnya, nafsuku yang semalam terasa bangkit kembali melihatnya, walau Dipta masih berpakaian lengkap. "Ta, kamu terlihat berbeda sekali saat memakai pakaian seperti itu. Kamu benar-benar pantas jadi ibu pejabat, Aku jadi takut mendekatimu, takut diburu anak buah suamimu" kataku, sambil pura-pura memalingkan wajahku dari hadapannya. "Dasar bad boy, pura-pura takut. Tapi istri atasan di sikat juga. Tapi salahnya juga, ngapain punya istri banyak bila tidak bisa memuaskan istrinya. Aku kan juga manusia biasa pengen kehangatan, pengen kenikmatan" jawabnya sambil menggelendot manja pada leherku.

Dia bangkit berdiri dan kemudian bersiap melepas pakaiannya. "Ta... jangan dilepas dulu. Ta mau ngga bergaya seperti penari striptease, membuka satu-persatu bajumu didepanku ?". "Apa sih yang tidak buatmu" jawab Dipta. Dipta kemudian bangkit dan dengan senyum menggoda dia mulai bergaya seperti penari erotis. Mengerakkan tangannya juga pinggulnya. Sambil berputar berusaha melepas jilbabnya.

"Jilbabnya jangan dilepas dulu Ta" kataku. Aku memperhatikan gerakannya sambil berbaring menyender di ranjang. Mataku benar-benar takjub menyaksikan gaya dan aktrasinya. Dengan masih bergoyang, Dipta mulai membuka kancing bajunya sehingga mencuatlah buah dada montoknya yang terbungkus Bra warna putih. Sambil terus menggoyangkan pinggulnya meluncurlah celana panjang yang dipakainya, hingga kini Dipta hanya mengenakan jilbab, Bra dan Celana dalam yang juga berwarna putih. Dalam keadaan setengah bugil itu goyangan Dipta semakin seronok dan menggoda. Kedua tangannya meremasi buah dadanya sendiri sambil pinggulnya bergoyang maju-mundur. Aku benar-benar terpesona memandangnya dimana didepan mataku seorang wanita berjilbab menari erotis hanya menggunakan Bra dan celana dalam. Menyaksikan tubuh bugil itu bergerak dengan erotisnya, perlahan batang penisku mulai tegang dan mengeras.

Dipta naik keatas ranjang. Tariannya kini semakin liar. Disorongkannya pangkal pahanya ke muka ku sambil menurunkan celana dalamnya sedikit, memperlihatkan bulu pubisnya. Kutanggapi aksinya dengan meraba paha Dipta dan membelainya. Kini selangkangannya tepat berada dimukaku. Dengan cepat kutarik kebawah celana dalam putihnya dan langsung kujilati rimbunan rambut menghitam yang dibaliknya terdapat lembah yang nikmat. Dia mengangkangkan kedua kakinya sambil sedikit menekuk lututnya. Tangannya memegang tembok.
Pinggulnya kini bergerak perlahan mengimbangi jilatan lidahku pada selangkangannya.

Dengan mulut dan lidah kujelajahi daerah kemaluannya dengan rakus. Dia pun mendesah nikmat diperlakukan seperti itu, satu tangannya kini meremasi buah dadanya yang telah terbuka. Dengan ujung lidah kujilati lubang vaginanya, kukuakkan lubang itu dengan jariku. Dan dengan penuh nafsu belahan lembut itu tidak hanya kujilat tapi juga kuhisap. Sangat eksotis sekali melihat pemandangan ini, seorang wanita yang sedang dalam keadaan terangsang berat dan kedua tangannya meremas buah dadanya sendiri.

Dipta merintih nikmat, saat satu jari tengahku kumasukkan kedalam lubang vaginanya yang semakin basah. Kugerakkan jariku keluar masuk di lubang vaginanya, dengan sesekali kukorek liang vaginanya seperti mencari sesuatu. Ditambah lidahku yang masih terus menjilati klitoris perempuan itu. Aksiku menyebabkan Dipta semakin menggelinjang liar. Dia semakin keras dan liar meremasi buah dadanya. Tubuhnya bergetar hebat menerima sentuhan pada lubang vaginanya. Kakinya tampaknya tidak cukup kuat menyangga tubuhnya, hingga diapun jatuh terduduk. Jariku masih tertancap dilubang vaginanya. Dipta membaringkan tubuhnya kebelakang sedangkan pinggulnya diangkat keatas sehingga posisinya melengkung seperti busur panah. Kemaluannya mendongak keatas disangga kedua kakinya yang terbuka. Hingga kini mulutku dapat merambahi lembah berbulu itu dengan bebasnya.

Entah kenapa, seputar vaginanya seperti punya daya tarik tersendiri. Selain berbau harum juga sangat indah bila dipandang, Hingga tanpa rasa bosan terus kujilati. Dan tentu dia juga sangat menyukai perlakuanku itu, sesuatu yang telah didambakannya selama ini. Seperti yang diucapkannya saat kami memulai perselingkuhan ini beberapa bulan yang lalu. Setelah beberapa lama, rupanya dia ingin segera disodok lubang vaginanya dengan batang penisku yang telah keras berdiri. Diturunkan tubuhnya dan mengarahkan selangkangannya kebatang penisku yang telah mengacung keatas. Aku membantunya dengan mengarahkan batang penisku kelubang yang telah basah merekah itu. Dipta mendesah ketika kepala penisku perlahan menyusup masuk kedalam lubang vaginanya yang sempit.

Lubang vaginanya masih terasa sempit dan peret, karena selain jarang dimasuki batang penis lelaki. Itu juga hasil dari rutinnya ia minum jamu. Sehingga selain lebih rapet juga vaginanya berbau harum. Kurasakan sentuhan batang penisku didalam lubang vaginanya yang kering tapi lembut. Sehingga sentuhan kepala penisku yang sensitif pada dinding liang vaginanya menjadi lebih nikmat. Dipta mulai menggerakkan tubuhnya naik turun perlahan dan semakin cepat diselingi hentakan-hentakan yang liar. Posisiku yang duduk menyandar di sandaran tempat tidur hanya bisa sedikit mengimbangi gerakannya yang semakin cepat. Tanganku kutaruh dipinggul montok perempuan itu, mengikuti gerakan naik turun tubuhnya.

Sepasang buah dadanya yang montok terguncang-guncang menggesek mukaku. Sesekali dia menghempaskan pingulnya kebawah sehingga batang penisku menghujam seluruhnya kedalam lubang vaginanya. Dan itu sepertinya mendatangkan nikmat yang sangat baginya ketika kepala penisku menghujam lubang vaginanya yang terdalam dan yang paling sensitif. Dipta terus mehentakkan pinggulnya semakin cepat dan keras, dan tanpa bisa dicegah tubuhnya mengejang ketika dia mencapai puncaknya. Kurasakan batang penisku seperti disiram suatu cairan.

"Achhh... !!!" jeritnya keras saat dia merasakan puncak kenikmatannya. Tubuhnya mendekap tubuhku dengan ketat. Aku yang belum mencapai puncaknya kemudian mendorong tubuh Dipta kebelakang hingga terlentang dengan tubuhku kini berada diatasnya. Batang penisku masih bertaut didalam lubang vaginanya. Segera kugerakkan pinggulku naik turun melanjutkan gerakan yang dibuat Dipta. Gerakanku langsung ku percepat karena aku ingin membuatnya merasakan orgasme dua kali berturut-turut, seperti yang selalu kulakukan untuk wanita yang bercinta denganku. Kali ini aku ingin mencoba membuat hatrick, yaitu membuat Dipta klimaks tiga kali berturut-turut.

Saat ini Aku merasa mampu untuk hal itu, karena tubuhku masih segar dan batang penisku masih masih sangat keras dan belum kurasakan untuk klimaks. Dan ternyata firasatku benar. Saat kuhentakkan batang penisku sedemikian rupa klimaks Dipta yang belum surut, kembali berkobar semakin tinggi. Dia mencoba mengimbangi goyangan pinggulku, tapi ternyata hanya sebentar ketika orgasme yang kedua kali melandanya. "Oooh Lang ...!ahhh...ohhh..." jeritnya nikmat.

Aku terus menggerakkan pinggulku tanpa perduli, kuingin memberikan yang terbaik untuk wanita ini. Aku kembali berusaha memacu hasrat Dipta yang baru saja mencapai klimaks keduanya, dan tak lebih dari tiga menit kembali tubuhnya terguncang oleh getaran yang paling nikmat. "Aaaarrggghh...!" desahnya kembali. Mungkin baru pertama kali dalam hidupnya dia merasakan orgasme tiga kali berturut-turut. Sehingga tubuhnya merasa melayang kelangit kenikmatan ketujuh.

Aku yang masih merasa segar belum menghentikan goyanganku, bahkan semakin kupercepat saat aku mulai merasakan nikmat pada batang penisku. Dipta yang telah KO tiga kali hanya bisa telentang pasrah, mungkin merasakan seluruh persendiannya lemas. Tapi tiba-tiba dia bangkit dan berkata "Lang, aku mau kulum punya kamu" pintanya kembali bersemangat.
Mendengar permintaannya itu akupun menghentikan goyanganku, Aku merasa rupanya dia sedang kehausan dan ingin minum. Minum air maniku.

Aku juga merasa senang, karena ada variasi lain dalam menikmati permainan ini. Permainan mulutnya sungguh luar biasa, entah sudah berapa kali aku menumpahkan air maniku didalam mulut wanita ini. Aku cabut batang penisku dari dalam lubang kenikmatannya. Dipta mengatur posisi. Kepalanya dia ganjal dengan bantal, sehingga tubuhnya menjadi setengah berbaring. Aku segera berlutut mengangkangi badannya dengan batang penisku mengacung tepat kemuka Dipta, tanpa menunggu lama dia langsung menyambar dan mengulumnya dengan ganas.

Kini tampak pemandangan yang penuh sensasi. Tampak seorang wanita terbaring telanjang bulat didepanku hanya dengan mengenakan jilbab, suatu paduan yang bertolak belakang apalagi mulut wanita ini membuka siap menerima batang penisku yang keras dan basah dengan lendir vaginanya. Aku menjadi semakin bernafsu, darahku seakan semakin terbakar melihat dan merasakan bibir wanita didepanku ini melahap dan mengulum batang penisku yang sedang tegang dan keras, dan sangat kunikmati sentuhannya. Kubiarkan dia memperlakukan penisku dengan semaunya.

Dipta dengan penuh nafsu mengulum dan menjilatinya. Cara perlakuannya semakin pintar dan terampil, hingga nikmat yang kurasakan semakin tinggi. Beberapa wanita yang kukencani sangat jarang mau mengulum batang penisku, apa lagi menelan air mani. Yang mau melakukan hal itu biasanya perempuan bayaran. Tapi kini perempuan baik-baik, seorang istri yang kesepian dengan rakus melakukannya. Aku merasa sangat beruntung bisa bertemu kembali dengan Dipta. Tidak terpikirkan bagaimana reaksi Pak Djoko bila tahu perbuatan kami. Aku merasa batang penisku semakin sensitif dikulum dan dilumati mulut Dipta yang semakin rakus. Dan tanpa dapat kutahan lagi muncratlah cairan kenikmatan hangat dari batang penisku, yang segera dilahap dengan nikmat oleh Dipta. Batang penisku dikulum hingga hampir sepenuhnya masuk kedalam mulutnya, sehingga airmani yang tercurah langsung masuk ketenggorokannya dan tertelan.

Kurasakan tubuhku meregang tersentak seiring dengan curahan cairan kenikmatanku yang dengan rakus ditelan olehnya. Dipta bahkan juga menjilati cairan yang meleleh dibatang penisku hingga tuntas dan bersih mengkilap. Dan tuntas juga ronde pertama kami dipagi ini, kami kemudian berbaring kelelahan dengan tubuh saling mendekap. Tak sampai sepuluh menit kami saling berdekapan, ketika kurasakan batang penisku yang masih cukup keras mulai dirabai dan diremas kembali oleh tangan Dipta. Rupanya dia sudah ingin lagi.

Kami kembali berciuman dengan buas. Tapi tidak lama karena Dipta mendorong kepalaku kebawah. Dia ingin aku memainkan buah dadanya. Kurasakan betapa lembutnya sepasang bukit kembar yang montok berisi dan belum pernah menyusui satu orang anak pun. Dipta mendesah sambil meremas rambutku, sementara aku mulai menjilati dan menghisapi salah satu puting buah dadanya. Sedangkan yang satu kuremas lembut dengan tanganku. Kurasakan buah dadanya yang lembut dan perlahan terasa semakin menegang dengan puting yang mengeras.

"Ohhh Lang ! Terushhh ... Lang..." Tanganku yang satu mulai merambahi kembali selangkangannya. Dipta menyambut tanganku dengan merenggangkan kedua kakinya. "Ahhh...terus Lang...!" desisnya ketika jariku mulai menyentuh kemaluannya. Jari tanganku dengan perlahan menyusuri lembah berbulu dimana didalamnya terdapat bibir lembut yang lembab. Dipta semakin menggelinjang ketika ujung jariku menyentuh klitorisnya. Kini mulut dan tanganku secara bersamaan memberikan rangsangan kepada wanita kesepian yang haus seks ini. Sementara dia juga tampak sangat menikmati jilatan dan rabaanku.

Beberapa lama kemudian setelah puas merambahi sepasang bukit ranum itu, perlahan mulutku mulai bergerak kebawah menyusuri perut mulusnya dan berhenti di pusarnya. Dipta menggelinjang ketika pusarnya kujilat dengan lidahku. "Ohhh! Lang, lakukanlah" desahnya mulai tak tahan menahan hasratnya. Aku segera menghentikan jilatanku dan mengatur posisi. Dipta telentang pasrah dengan kedua paha terbuka lebar menantikan hujaman batang penisku pada lubang vaginanya yang telah semakin berdenyut. Dipta sedikit tersentak ketika batang penisku menyentuh bibir vaginanya. Direngkuhnya tubuhku ketika perlahan batang penisku yang keras mulai menyusuri lubang vaginanya.

"Akhhh...! enak Lang...!" desisnya. Tangannya menekan pinggulku agar batang penisku masuk seluruhnya. Aku juga merasakan nikmat. Vagina Dipta masih sempit dan seret mungkin karena belum pernah melahirkan. Aku mulai menggerakkan pinggulku perlahan naik-turun dan terus kupercepat diimbangi dengan gerakan pinggulnya. Kami terus berpacu menggapai nikmat. "Ayo Lang, goyang terusss!" desis Dipta makin hilang kendali karena merasakan nikmat akibat aktifitas kami.
Kugerakkan pinggulku semakin cepat dan keras. Sesekali kusentakkan kedepan sehingga batang penisku tuntas masuk seluruhnya kedalam vaginanya. "Ohhh... Lang !" jeritnya, setiap kali Aku melakukannya. Terasa batang penisku menyodok dasar lubang vaginanya yang terdalam. Semakin sering kulakukan, semakin bertambah keras jerit kenikmatan yang dikeluarkannya. Hingga pada hentakan yang kesekian kalinya kurasakan otot diseluruh tubuh Dipta meregang. Dengan tangannya pantatku ditekannya agar hujaman bantang penisku semakin dalam.
Dan kini terasa ada yang berdenyut didalam lubang vaginanya. "Akhhh... Auuuh akhhh...!" teriaknya tertahan merasakan orgasmenya untuk kesekian kali. Seluruh tubuhnya bergetar seperti dialiri listrik berkekuatan rendah yang membuatnya berdesir. Aku yang belum mencapai puncak terus menggerakkan pinggulku semakin cepat. Membuat Dipta kembali berusaha mengimbangi gerakanku. Dia mengangkat kedua kakinya keatas dan dipegang dengan kedua tangannya, sehingga pinggulnya sedikit terangkat membuat vaginanya semakin mencuat. Menyebabkan hujaman penisku semakin dalam. Aku yang sedang berusaha untuk mencapai puncak kenikmatan, kurasakan lebih nikmat dengan posisi Dipta yang seperti itu.

Demikian juga yang tampaknya dirasakan Dipta, puncak kenikmatannya yang belum turun menjadi naik lagi. Dia mengangkat dan menumpangkan kedua kakinya pada pundakku, sehingga selangkangannya lebih terangkat. Kupeluk kedua kakinya, hingga posisi tubuhku menjadi setengah berdiri. Kurasakan jepitan vaginanya menjadi lebih terasa sehingga gesekan batang penisku menjadi semakin nikmat. Kuhentakkan pinggulku makin cepat dan keras, ketika kurasakan puncak kenikmatan itu sudah semakin dekat kurasakan.

"Ahhh...shhh...aaah" Aku mendesah nikmat ketika cairan kenikmatan itu menyembur dari batang penisku. Aku terus mengocok batang penisku untuk menuntaskan hasratku. Bersamaan dengan itu rupanya Dipta juga merasakan kenikmatan yang kedua kalinya. "Akhhh...!" jeritnya untuk kedua kali merasakan orgasme secara berturut-turut. Tubuhku ambruk diatas tubuhnya. Kami saling berpelukan sementara Kemaluan kami masih bertautan.
Keringat mengucur deras dari tubuh kami berdua, bersatu. Nafas kami saling memburu. Tuntas sudah hasrat kami. Dua tubuh yang panas berkeringat terus berdekapan menambah suasana hari yang makin memanas. Kami saling melepas pelukan dan berbaring kembali diatas ranjang.

Entah berapa lama kami sama-sama berbaring terdiam, saat tiba-tiba bunyi telepon menyadarkan kami. "Kriiing... kriiing..." Suara dari ponselku.

Segera kuangkat begitu kulihat nomer yang ada dilayar. "Ya, ada apa man ?"

"Hari ini Jam 2, mereka akan kesana" kata suara yang ada ditelepon,

"Ok, matur suwun Man" jawabku, setelah itu aku segera menutup teleponnya. "Tugas lagi ?" tanya Dipta, sambil memandang kearahku.

Aku hanya menganggukan kepala sebagai jawabannya. Kemudian aku segera menuju kamar mandi. Setelah selesai aku segera kembali kekamar, tidak kulihat Dipta diranjang. Saat aku sudah selesai berpakaian, dia masuk dengan membawa sebuah kunci dan menyerahkannya padaku.

Aku yang tidak mengerti maksudnya hanya diam saja. "Ambil dan pakailah mobilku" ucapnya.

"Apa maksudmu Ta ? Jangan memandangku serendah itu, kamu pikir aku meminta imbalan untuk semua ini" kataku dengan nada keras.

"Sudahlah Lang, jangan berpikir macam-macam. Aku tahu kamu sedang butuh kendaraan. Kamu sedang dilarang membawa kendaraan dinas karena beberapa kali kamu kamu menghancurkan mobil dinas kan ? Bawalah, kalau kamu tidak mau menerima pemberian ini. Anggap saja kamu meminjam dariku. Kalau bicara soal harga, Sebenarnya harga mobil ini pun belum sepadan untuk membayar hutang budiku kepadamu."

Mendengar alasannya itu akupun menerima kunci itu dari tangannya. "terima kasih Ta, nanti aku kembalikan kalau tugasku sudah selesai" ucapku.
Setelah itu beberapa saat kami berbicara.
-=+=-

Aku segera meninggalkan tempat itu saat waktu menunjukan pukul setengah dua siang. Dengan Mobil CRV itu aku segera menuju salah satu Universitas di kota bengawan ini. Bukan Universitas itu yang kutuju, tapi belakang tempat itu. Aku segera turun dari mobil saat sampai ditujuan.

Orang yang melihat penampilanku mungkin akan berpikir macam-macam. Jean belel, kaus tanpa lengan hingga menampakkan tato pada kedua lenganku, topi kupluk dan kaca mata hitam. Aku tidak menghiraukan pandangan mereka. Aku terus berjalan melewati tanah kosong dan saat sampai disatu pohon besar aku berhenti. Kemudian aku berdiri bersandar dipohon itu menunggu jam dua yang kurang berapa menit lagi.

Tidak lama kemudian seseorang datang menghampiriku. Dan ...




Chapter XX : Eagle II


Elang Side's Story : My Life My Adventure


Seseorang mendatangiku dan berkata, "David ?" tanya orang itu.

"Benar" jawabku.

"Kau punya apa ?" tanyanya.

"Aku punya ' Celana Jeans dengan ukuran L " kataku menjawab.

"Celana Jeans ukuran L" Ujarnya, tampak ragu dengan jawabanku.

"Ya, Kalau Kau mau silahkan ambil. Kalau tidak, silahkan pergi dari tempat ini"

"Baik, mana barangnya ?"

"Tidakkah kau mau tahu tarifnya, Ada uang ada barang"

"Tarif ! , Uang ! , Hahaha...hahaha..., Kau salah sobat, Aku bukan mau membeli. Tapi mengambil"

"Lihat Aku sebelum berbicara, Kau bukan mau meminta mainan dari anak kecil. Tapi dariku 'David'.

Setelah aku berkata seperti itu diapun bersiul, dan muncullah empat orang dari belakangku. Dan kemudian mengepung diriku.

"Apa kau masih bisa tertawa" Katanya padaku.

"Tidak, tapi aku marah ! " Setelah berkata seperti itu, secepat kilat aku menyerang mereka sebelum mereka bersiap.

Maka terjadi perkelahian antara aku dan mereka berlima. Aku lebih dulu menghadapi mereka yang membawa senjata tajam. Ada dua orang yang membawa pisau. Saat dia menusuk aku menghindar, dan kuhajar siku tangannya hingga lepas pisaunya. setelah itu kuhajar rahangnya dan diapun menggelesor ketanah. Hampir lambungku kena pisau kalau aku tidak segera menghindar. Setelah itu aku menangkap pergelangan tangannya, kupuntir dan kurampas pisaunya.

Aku segera melempar pisau yang kurampas pada orang ketiga yang membawa rantai besi, saat dia ingin menghantamku. Dia langsung melepas senjatanya saat pisau yang kulempar mengenai lengannya. Sesaat setelah aku melempar pisau itu, tubuhku nyaris terhajar balok kayu. Aku menangkis dengan lenganku, saat orang itu terkejut. Segera kutarik tubuhnya kearahku dan kuhantam dengan lututku, Dia segera terguling-guling kesakitan.

Kini hanya tinggal orang yang pertama berbicara denganku. Saat dia hendak lari kulemparkan balok kayu yang tadi menghantamku. Dia jatuh ketika balok itu mengenainya. Aku segera menghampirinya, dan menghajarnya hingga dia minta ampun dan berkata " Tolong berhenti, aku akan membawamu ketempat orang yang bisa membelinya." Mendengar hal itu aku segera menghentikan pukulanku. Orang itu kemudian memperkenalkan namanya 'Yan.

-=+=-

Sore harinya aku diajak Yan menemui seseorang, Namanya Zen.

"Zen, dia David. Dia punya barang bagus, mungkin kau minat membelinya." Kata Yan kepada Zen.

"Berapa jumlah kau punya barang ?" tanya Zen padaku.

"25 kilo" jawabku. Saat dia tahu berapa jumlah barangnya, dia nampak terkejut.

"Jumlah yang tidak sedikit. Terus terang aku tidak sanggup, tapi aku bisa membawamu menemui seorang anak buah bos besar." kata Zen kemudian.

Keesokan harinya aku menuju kesebuah Mal bersama Zen. Dia mengatakan tempat ini sering dipakai untuk bertransaksi. Setelah kurang lebih menunggu setengah jam, muncullah orang yang dimaksud Zen.

Dia lelaki setengah umur dengan pakaian rapi dan mahal. Dia memperkenalkan diri sebagai Toni. "Berapa berat dan tarifnya ?" dia langsung bertanya begitu kami duduk.

"25 kilo, Anda dapat diskon 10 % bila ambil semua." Kataku.

"Menarik, penawaran yang sangat menarik. Dari mana barang - barangnya ?"

"Segitiga Emas"

"Kesepakatan bisa berlangsung, tapi ada pemasok besar lainnya yang terpercaya. Jack, dia mungkin tidak akan terima lahannya kau ambil."

"Jack, Dimana aku bisa menemukannya ?"

"Jack, Dia orang yang berbahaya. Dia tidak akan segan-segan menembak seseorang ditempat umum." Toni kemudian menjelaskan ciri-ciri Jack dan dimana dia biasa nongkrong.

Malam harinya aku ke sebuah klub malam yang biasa didatangi Jack. Tapi malam itu dan besok malamnya aku tidak berhasil menemuinya. Baru malam ketiga orang itu muncul. Aku kemudian menunggu dia keluar di warung kecil dekat tempat itu. Lewat tengah malam dia keluar dari klub, kemudian menuju mobilnya.

Aku segera menyusulnya ketempat parkir. segera kedekati dia. Saat dia sudah membuka pintu dan hendak masuk, kuhantam lehernya dengan keras. Hingga diapun segera tersungkur jatuh pingsan. Aku langsung mengambil mobil dan membopong Jack memasukannya kedalam mobil. Setelah itu aku segera meninggalkan tempat itu.

Kubawa Jack kesuatu tempat. Kupaksa dia untuk mengatakan kapan akan ada pengiriman barang lagi untuknya. Dia cukup hebat dalam menutup mulutnya. Tapi setelah beberapa hari, akhirnya diapun menyerah. Dia mengatakan kapan barang itu akan datang, lewat mana dan kemana tujuannya.

Dua malam kemudian aku meminta bagian lantas untuk melakukan operasi lalu lintas untuk memeriksa setiap mobil yang lewat ditempat itu. Jalan itu adalah jalan yang akan dilalui mobil yang membawa barang milik Jack. Sementara aku menunggu didalam mobil, beberapa meter dibelakang mereka melakukan operasi lalu lintas.

Hampir tengah malam, tapi mereka belum menemukan barang yang mencurigakan pada mobil-mobil yang diperiksa. Aku keluar dari mobil, kuambil rokok untuk menghilangkan kegelisahan. Satu batang habis sudah. 'Mungkinkah mereka sudah tahu' pikirku dalam hati. Saat aku berniat menyuruh mereka untuk menghentikan operasi. Tiba-tiba terdengar suara "Bruuuak... Ngueeeng..."

Sebuah mobil melaju kencang menabrak bambu cone dan terus melaju. Hingga beberapa anggota segera menghindar takut tertabrak. Mobil agak oleng dan sedikit menyerempet mobil polisi didepannya, mobil itu agak melambat jadinya menuju kearahku. Aku segera mencabut pistol yang terselip dipinggangku. Kuarahkan kemobil itu dan "Dor.. dor.. dor.. dor.. dorrr..." Lima peluru meluncur kearah mobil itu.

"Ciiiiith..." Mobil itu berhenti 2 meter didepanku. Sementara aku masih mengacungkan senjataku kearah mobil itu.

-=+=-

Keesokan harinya berita di Televisi, salah satunya menayangkan tentang operasi lalu lintas disalah satu poltabes yang berhasil mengamankan mobil yang membawa 10 kg sabu-sabu. Salah satu jumlah yang besar. Tapi atas permintaanku nama dan wajahku tidak perlu ditampilkan dalam berita itu. Setelah melihat berita itu aku tidur untuk mengganti istirahat dan tidurku yang terganggu selama beberapa hari ini.

Begitulah tugasku. Media dan orang-orang hanya tahu setelah polisi selesai melakukan tugasnya. Mereka tidak tahu bagaimana beratnya melakukan tugas itu. Tapi aku menyukai tugasku yang penuh bahaya dan tantangan. It's my life.

Tapi kali ini dugaanku salah. Selain anggota kepolisian, ada orang lain yang tahu siapa diriku dan tugas yang kulakukan. Semuanya berawal dari telepon dan sms teman-temanku satu angkatan waktu di Akpol dulu. Tentu saja mereka yang kenal dekat dan megetahui nomer ponselku.

Mereka mengucapkan selamat atas keberhasilanku melakukan tugas menangkap pemasok dan pengedar obat-obatan terlarang. Sore itu setelah bangun tidur aku kemudian melakukan olah raga ringan. Sambil menunggu menghilangnya keringat yang mengucur, kuambil koran yang belum sempat kubaca tadi pagi.

Saat itulah ponselku berbunyi. "Tik..tik tik..tik" sebuah sms masuk. Saat kulihat ternyata ada beberapa panggilan tidak terjawab dan dua buah sms. Kubaca sms-sms itu, dari Tya "El, kalau bisa telepon balik ya. Secepatnya !" Setelah itu kubaca sms satunya, dari Intan. Isinya sama, memintaku menghubunginya atau Tya.

Tya dan Intan juga teman satu angkatan di Akpol. Kemudian aku menghubungi nomer Tya. Setelah menunggu sbeberapa saat maka terdengarlah suara dari seberang sana.

"Hallo, sore El. Tadi kemana waktu kutelepon ?" Ucapnya.

"Sore juga Tya, maaf tadi habis olah raga diluar. Ada apa nih, ada berita penting ya ? sampai Intan juga ikut-ikutan telepon."

"Maaf sebelumnya El. Secara tidak sengaja, aku dan Intan mengatakan kenal dekat denganmu kepada teman kami dari media. Oleh karena itu dia mendesak kami untuk mengenalkan dia kepadamu. Katanya dia ingin melakukan wawancara denganmu. Karena kami kenal dekat padanya, maka kami percaya padanya dia tidak akan membocorkan rahasiamu kepada publik. Oleh karena itu, kami memberikan alamatmu kepadanya. Mungkin satu-dua hari ini dia akan datang ketempatmu. Bila kamu keberatan untuk bertemu dengannya, tidak perlu kamu temui. Sekali lagi kami minta Maaf El."

"Hmmm..., tidak apa-apa Tya. Nanti aku akan mengatasinya." Kataku. Setelah itu kami membicarakan masalah lainnya, hingga hampir tiga puluh menit kemudian aku menutup teleponnya.

Bertemu seorang dari media, baik cetak ataupun elektronik. Sebenarnya adalah hal yang sangat tidak kusukai. Bukan karena aku membenci mereka. Tapi aku tipe orang yang tidak suka diekspose. Aku ingin kehidupanku lebih private, itu saja. Tapi karena Tya dan Intan sudah terlanjur mengatakan pada orang itu, ya apa boleh buat. Aku tidak mungkin marah kepada mereka berdua. Mengingat hubungan diantara kami. Setelah itu aku mandi dan segera berangkat tugas kembali.

Tiga hari berlalu, dan tidak ada seorangpun yang mencariku. 'Mungkin orang itu tidak jadi menemuiku, baguslah kalau begitu' pikirku dalam hati.

Tapi dihari keempat orang itu muncul juga. Sore itu sehabis menemui informanku, aku pulang kerumah. Saat aku masuk ruang tamu untuk para penghuni kos, ada seorang wanita cantik duduk disana. Melihat dia tersenyum, akupun membalas senyumnya. Karena dia tidak menyapa, aku segara menuju kekamarku untuk mandi dan istirahat barang sejenak. Karena Paiman (informanku) akan mengajakku untuk menemui informan baru. Sebenarnya tadi siang kami berdua sudah berrencana untuk menemuinya, tapi belum berhasil.

Saat sedang memakai celana habis mandi, pintu kamarku diketuk dari luar. Karena kupikir teman sesama kos atau ibu kos, dengan masih bertelanjang dada kubuka pintu kamar. Dan, ternyata berdiri wanita yang cantik, dengan celana jeans ketat warna hitam dipadu dengan kaos ketat warna merah yang dilapis dengan sweater warna putih. Kaos ketatnya yang berleher panjang nampak menonjolkan lekuk buah dadanya yang tampaknya cukup besar. Dan dia adalah wanita yang tadi kulihat diruang tamu.

Wanita itu juga nampak kaget begitu melihatku. Dia memandangku dari atas kepala hingga kebawah kaki. Hingga suaraku menyadarkannya "Maaf, Mbak.. eh Ibu ada keperluan apa ya, mengetuk kamar saya."

"Eh.. oh ya, Maaf apakah Mas ini yang bernama Elang ?" tanyanya, dengan muka memerah. Mungkin karena malu melihat keadaanku atau hal lain yang tidak kumengerti.

"Ya benar, saya Elang. Ada yang bisa saya bantu." Jawabku dengan cuek, tanpa mempedulikan tatapannya yang aneh memandang tubuhku.

"Saya Avi, temannya Tya dan Intan. Mungkin mereka sudah mengatakan perihal kedatanganku kepada Mas." Ujarnya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan diri.

"Oh, ya . Tya sudah mengatakannya padaku. Tapi karena beberapa hari Mbak tidak muncul, saya kira tidak jadi." kataku sambil menyambut uluran jabatan tangannya.

"Jadi kapan saya bisa berbincang-bincang dengan Mas ?" tanya dia.

"Sebentar saya ganti pakaian dulu, Mbak silahkan menunggu di ruang tamu." Aku mempersilahkan dia menunggu di ruang tamu. Sebelum melangkah pergi, dia sempat memandang kearahku lagi dan kemudian tersenyum malu.

Setelah memakai baju dan mengambil jaket aku segera keluar dan menemui Avi. "Maaf Mbak sudah menunggu lama, kapan Mbak tadi datang ?" kataku bertanya untuk membuka pembicaraan.

"Sudah dari siang Mas, tapi tidak apa-apa. Kami sudah biasa kalau harus menunggu untuk mendapat berita dari nara sumber."

"Maaf Mbak, panggil saja Elang. Tidak perlu pakai Mas" kataku.

"Baiklah Mas, Eh.. Lang. Kamu juga tidak perlu manggil Mbak. Saya jadi merasa tua dipanggil Mbak" Katanya dengan nada bercanda.

"Ok Avi, Aviani Malik kan. Siapa tidak mengenalmu. Pembaca berita yang cantik. Saya pernah berpikir, apakah orang yang melihat berita itu karena tertarik pada beritanya atau karena pembaca beritanya yang cantik." Kataku sambil tersenyum memandang wajahnya.

"Ah, bisa saja kamu Lang" katanya, tersipu malu karena pujianku.

"To the Point saja ya Vi, saya tidak punya banyak waktu saat ini. Ada tugas yang menantiku." kataku menjelaskan, tanpa merinci tugasku.

Avi melihat jam tangannya, kemudian berkata padaku "Kalau kita berbincang sambil makan sempat tidak Lang. Paling tidak agar suasana lebih santai dan nyaman." Ajaknya.

Aku yang sebenarnya juga bermaksud mencari makan, tentu saja menyetujui permintaannya. Karena dia tidak membawa kendaraan, maka kami naik mobil CRV hasil pinjaman Dipta. Kami mencari kafe yang suasananya tidak terlalu rame. Setelah sampai ditempat yang kami inginkan, kami segera masuk kemudian memesan makanan dan minuman.

Saat menunggu pesanan kami dia berkata "Sebenarnya aku masih sedikit kurang percaya padamu Lang" katanya sambil memandang padaku.

"Maksudmu ?"

"Ya, melihat tampang dan penampilanmu orang tidak akan percaya bahwa kamu itu seorang Polisi"

"Apa karena penampilanku yang seperti preman, dan juga karena tato dilenganku ini".

"Tidak, bukan seperti itu maksudku. Aku kenal beberapa polisi yang menjadi intel, tapi penampilannya tidak sepertimu. Mereka berambut gondrong dan wajah yang tidak sedap dipandang. Tapi lain dengan kamu, biar kamu punya kumis dan jenggot itu justru menambah kesan jantan pada wajahmu yang tampan. Kalau tidak bertemu sendiri, aku mungkin tidak akan percaya. Ada Polteng Samsul Bahri, tapi bila dibanding kamu dia pasti kalah. Mengapa kamu tidak yang menjadi ikon Polteng."

"Buat apa ? Aku menjadi polisi bukan untuk menjadi orang terkenal kok. Aku lebih senang menjadi orang dibelakang layar. Lebih tenang dan nyaman. Jujur saja, sebenarnya aku tidak suka wawancara macam ini. Tapi karena sudah berjanji, apa boleh buat. Satu pesanku, Aku minta agar wajahku tidak perlu di tampilkan. Tentu ada kode etik semacam itukan, di dunia pers."

Pembicaraan kami terhenti sementara karena datangnya pesanan kami.
Kemudian kami makan dan minum pesanan kami tanpa bersuara. Hingga tiada pembicaraan selama beberapa waktu.

"Boleh aku mulai wawancaranya ?" Kata Avi setelah kami selesai menyantap makanan yang ada diatas meja.

"Aku kira dari tadi kita sudah wawancara. Baiklah apa yang ingin kamu tanyakan, akan kujawab semampuku."

Setelah aku berkata seperti itu, maka diapun mengeluarkan peralatannya. Sebuah ponsel dan alat perekam. Kemudian dia berdiri sejenak dan melepas Sweaternya. Ditaruhnya dipunggung kursi yang kosong. Setelah sweaternya lepas, kini tonjolon didadanya tampak lebih jelas terlihat. Karena kaos ketatnya menampilkan lekukan tubuhnya, hingga membuatku menelan ludah.

Kemudian dia duduk kembali dan mulai bertanya padaku "Lang boleh tahu masa kecil kamu sampai sekarang ?"

"Buat apa, kurasa tidak ada hubungannya antara masa kecilku dan tugasku sekarang. Kurasa hal sepeti itu tidak penting."

"Ya memang tidak tidak terlalu penting sih, bila kamu tidak bersedia, tidak mengapa." Katanya dengan nada terdengar kecewa.

Melihat mukanya yang cantik itu menjadi sedikit muram, aku jadi merasa tidak enak hati. "Baik akan kuceritakan sedikit tentangku."

"Ok, aku siap mendengarkan." Katanya, dengan muka menjadi cerah lagi. Saat mendengar kesedianku.

Aku lalu menceritakan tentang diriku. Mulai dari masa kecil sampai sekarang kuceritakan kepadanya. Tentu saja ada hal-hal tertentu yang tidak kuceritakan kepadanya. Dia tampak serius mendengar ceritaku. Tapi dari mimik mukanya dapat kulihat bermacam perasaan berkecamuk didalam pikirannya. Kadang kaget, heran, sedih, dan senyum mengikuti suasana dalam ceritaku.

Saat aku selesai bercerita, dia masih termenung. Entah apa yang dipikirkannya. Kulihat jam yang ada ditangan, ternyata hampir sampai kewaktu yang dijanjikan Paiman.

"Maaf Vi, aku harus segera pergi. Kamu masih mau disini atau mau sekalian pulang. Kamu selama disini tinggal dimana. Kalau dekat tempat tujuanku biar sekalian kuantar." Dia tampak kaget mendengar suaraku.

Melihatku sudah bangkit berdiri, diapun kemudian ikut berdiri. dan memasukan kembali peralatannya kedalam tas. Sementara sweaternya tidak dipakai kembali, hanya disampirkan dilengan kirinya.

"Tidak usah, nanti biar aku naik taksi." kami kemudian berjalan kearah kasir. Saat aku akan membayar, dia sudah mendahuluiku dengan menyerahkan kartu kreditnya kepada kasir. "Biar aku saja Lang, aku yang mengajakmu. Itung-itung honor wawancara." katanya sambil tersenyum. Setelah itu kami melangkah keluar. Saat berjalan keluar, tampak semua pengunjung laki-laki menatap kearah Avi. Aku bisa mengerti perasaan mereka. Tidak mungkin wanita secantik dia dilewatkan untuk tidak melihatnya.

Tapi ketika sampai dijalan akan menghentikan taksi, dia berubah pikiran dan berkata "Lang aku ikut numpang ya." Aku hanya menganggukan kepala sebagai persetujuan.

Kami segera meninggalkan tempat itu. Tapi saat di jalan kata-katanya membuatku kaget, dan membuatku mengerem mendadak. Merasa kurang yakin dengan apa yang kudengar, aku bertanya kepadanya. "Maaf Vi, apa yang kamu katakan ?"

"Saya ingin merasakan pengalaman menjadi dirimu, jadi bolehkah aku mengikutimu bertugas selama 24 jam." Katanya dengan enteng.

"Tidak mungkin, itu melanggar peraturan."

"Mengapa tidak mungkin ?"

"Kalau kamu ikut, nanti bisa membahayakan dirimu. Dan hal itu dilarang, ada undang-undangnya."

"Kalau hanya itu alasannya, aku siap menerima konsekuensinya"

"Tapi hal itu benar-benar tidak diperbolehkan."

"Aku mohon Lang, aku siap menerima resiko dan siap menerima petunjuk maupun perintahmu." katanya dengan muka memelas.

'Damn' rutukku dalam hati. Dia benar-benar bisa memanfaatkan kelebihannya sebagai seorang wanita. Melihat parasnya yang begitu memohon, ingin rasanya aku menyetujui permintaannya. Tapi setelah berpikir ulang, maka akupun mengeraskan hati untuk menolak permintaannya.

"Maaf, tapi aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu." Kataku tegas.

"Benarkah tidak ada pengecualian untukku." Katanya masih berusaha untuk merayuku.

"Tidak ada pengecualian untuk hal yang seperti ini. Bahkan jika anak Jenderal sekalipun, bila kehadirannya akan menggangu. Aku akan menolaknya."

"Baik ! jadi aku mengganggumu. Kalau begitu aku turun disini saja. Tidak perlu kamu mengantar kehotel." Setelah berkata seperti itu dia langsung keluar. Saat aku akan mencegahnya, dia sudah menghentikan taksi dan segera masuk kedalam taksi. Dan meluncurlah taksi dari tempat itu.

Aku Ingin mengejarnya, tapi kupikir percuma saja. Apa lagi waktu yang dijanjikan Paiman padaku sudah hampir tiba. Tentu aku akan lebih mengutamakan tugas dari pada wanita. Aku segera meluncur ketempat tujuan yang sudah kusepakati dengan Paiman tanpa mempedulikan Avi lagi.

-=+=-

Sesampainya tiba ditempat tujuan. Aku segera turun dari mobil. Kemudian aku segera masuk kedalam salah satu gang yang ada ditempat itu, tanpa mempedulikan beberapa wanita yang memanggil dan menggodaku sepanjang lorong gang itu.

Sesampai disuatu warung yang terbesar ditempat ini, aku segera masuk. Warung itu dibuat semacam Bar dan kafe. Disuatu pojok duduk seseorang, aku segera mendekatinya. Pura-pura pinjam korek api, kemudian duduk disampingnya seolah tidak saling mengenal. Saat merasa keaadan aman aku segera bertanya padanya "Dia sudah datang ?"

"Belum, tidak disini. Ada rokok." Paiman memberi kode untuk meminta rokok. Aku segera menyerahkan rokok kepadanya. Dengan cepat tanpa diketahui orang lain. Paiman mengganti rokok yang kuberikan dengan rokok miliknya. Setelah itu Paiman keluar dari warung. Untuk tidak membuat orang lain curiga aku memesan minuman. Walau kemudian minuman itu tidak kuminum.

Sepuluh menit setelah Paiman pergi, barulah aku meninggalkan warung itu.
Sambil berjalan menuju mobil, kubuka rokok yang diberikan Paiman. Selain rokok terdapat gulungan kertas kecil. Kuambil dan kubuka gulungan itu, ternyata tiket bioskop untuk pertunjukan jam 9 malam ini. Kulihat Jam tangan, masih ada waktu satu jam sebelum pertunjukan dimulai.

Setelah memasukan tiket itu kekantong, aku bergegas kembali ke tempat memarkir mobil. Saat itu kulihat didekat mobil ada keributan, aku segera berjalan dengan setengah berlari, agar cepat sampai ketempat mobilku berada.".

Ternyata seseorang sedang digoda oleh empat orang preman. Dan ternyata wanita yang digoda itu Avi. Mereka bersikap kurang ajar dengan berusaha menyentuh tubuhnya. Avi tampak ketakuatn dan berjalan mundur, sambil berteriak-teriak meminta tolong dan memaki keempat preman itu. Tapi saat itu dia sudah tidak bisa bergerak mundur lagi, karena punggungnya sudah rapat dengan bodi mobil. Sementara ketiga preman itu sudah mengepungnya dari samping dan depan.

Saat itu tidak ada dalam pikiranku, kenapa dia bisa sampai ketempat ini. Aku bergerak cepat menangkap tangan orang yang berdiri didepannya, saat dia hendak merangkul Avi. Kuputar tangannya hingga dia menjerit kesakitan. Kutarik tubuhnya, kemudian kudorong ke salah seorang temannya. Mereka pun mengaduh kesakitan saat tubuh mereka saling beradu dan kemudian jatuh ke tanah.

Dua orang yang lain kemudian berusaha maju kearahku untuk menyerang. Tapi kemudian mereka berdua langsung berhenti bergerak dan meggigil ketakutan. Saat melihat dua moncong senjata yang ada ditanganku menghadap kearah mereka. "Am..am..ampun Bos, kami hanya bercanda. Kami tidak serius, ampuni kami." mereka berdua memohon dan berlutut didepanku.

Meraka semakin ketakutan saat aku mulai menarik pelatuk, mereka memejamkan mata dan "Kliiikh...Kliiikh" Tidak ada peluru pada kedua pistol itu. "Aku juga hanya bercanda, tapi kali ini saja. Lain kali kalian mengulanginya, maka pistol ini benar-benar akan menembak kalian. Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum aku berubah pikiran." Kataku memperingatkan mereka. Mereka pergi setelah menolong temannya yang tadi terjatuh.

Aku kemudian menghampiri Avi yang masih ketakutan. "Kamu tidak apa-apa ?"
Dia tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya. Saat kusentuh tubuhnya, tampaknya dia masih gemetar. Aku mencoba bertanya kembali padanya "Vi, kamu tidak apa-apa kan ?" Dia masih diam. Tapi kemudian dia menghambur kearahku dan memelukku. Lalu menangis didadaku, aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Sudah Vi, tidak apa-apa. Kamu sudah aman. Mari saya antar kembali kehotel." Aku kemudian menuntunnya masuk kedalam mobil. Setelah mengambil sweater dan tas miliknya yang tercecer jatuh. Aku segera meninggalkan tempat itu.

-=+=-

Ditengah jalan, saat dia sudah tenang. Akupun bertanya padanya apa yang telah terjadi, mengapa dia bisa sampai ditempat itu. Avi bercerita, setelah dia naik taksi dan berjalan belum jauh. Avi menyuruh sopir taksi berhenti sejenak dan menunggu mobilku lewat. Setelah mobilku lewat , dia menyuruh sopir taksi mengikuti mobilku.

Akhirnya Avi menemukan mobilku sedang parkir. Tapi aku tidak ada didalam mobil. Dia mencoba mencariku, tapi tidak ketemu. Karena tidak berhasil menemukanku, Avi memutuskan untuk pulang. Tapi sial baginya, saat sedang menunggu taksi datang empat orang. Mereka mencoba mengganggunya. Hingga Sweaternya sobek dan tas serta dompetnya tercecer.

Avi mencoba menghindar, hingga sampai ditempat aku memarkir mobil. Dia sudah hampir putus asa, Sampai aku datang menyelamatkannya. Dia berterima kasih padaku yang telah menyelamatkan dirinya. Dia bercerita sambil memandangku dengan tatapan yang tidak kumengerti.

Saat kulihat jam ditangan ternyata hampir jam sembilan. "Ciiith" Bunyi ban terdengar mencicit karena aku berhenti mendadak. "Ada apa Lang ?" Avi bertanya. Terjadi perang batin dalam hatiku. Kalau aku mengantar Avi sampai hotel, aku tidak akan bisa sampai kegedung bioskop tepat waktu. Karena arah Hotel dan Bioskop berlainan.

Tapi kalau aku tidak mengantarnya, selain aku merasa bersalah karena kejadian tadi juga ada rasa kasihan padanya. Dia juga bisa merasa aku tidak punya rasa tanggung jawab atas keselamatannya. Kalau dia menganggapku seperti itu tidak mengapa. Yang lebih menakutkanku adalah, jika dia menganggap Institusi Kepolisian seperti itu. Aku dibuat binggung jadinya. Setelah berpikir masak-masak, aku kembali menjalankan mobilku meninggalkan tempat itu. Diiringi tatapan wajah ingin tahu dari Avi.





Chapter XXI : Eagle III

Elang Side's Story : Confusion


ELANG

Sampai ditujuan aku segera keluar dari mobil, kemudian masuk kedalam gedung. Avi mengikutiku dari belakang. Sebelum masuk ruang Theatre seperti yang tertera pada tiket, Aku berkata pada Avi "Vi aku ada perlu didalam. Kamu mau ikut kedalam atau menunggu di Lobby itu terserah kamu".

Sebelum Dia menjawab aku segera meninggalkannya dan masuk kedalam pintu Theatre 3. Film sudah dimulai, tapi penonton hanya separuh dari kapasitas tempat duduk. setelah menemukan nomer kursi aku segera duduk.

Tidak lama setelah aku duduk orang disamping kananku bertanya, "David ?"

"Ya, aku David" jawabku. Sambil melihat orang yang duduk disampingku. Saat cahaya dari layar didepan memancar cukup terang, dapat kulihat seorang lelaki paruh baya memakai kacamata dengan rambut dan kumis yang mulai memutih.

"Aku Ardi, Aku punya informasi untukmu"

"Informasi tentang apa ?"

"Aku akan memberimu informasi tentang semuanya".

"Ya, aku mendengarkan".

"Kumulai dengan 'Acetic Anhydride' , lalu 'Halusinogen, Heroin, Mandrax dan Ketamine".

"Jumlahnya ?"

"Ons, Gram, Kilo. Kau bisa lupa jumlahnya. Ingat ini, semua pengiriman akan berhenti datang ke Solo dan tidak ada pengiriman yang akan keluar".

"Siapa pemainnya ?"

"Aku akan memberitahumu tentang empat geng. Yang pertama adalah Acetic Anhydride. Polisi lebih memilih mengawasi pabrik yang memproduksi bahan kimia ini. Padahal bukan pabriknya, itu pengalihan. Geng itu bersekongkol dengan sopir truk perusahaan. Mereka mencuri dalam jumlah yang kecil hingga mereka bisa mengirimnya dalam jumlah besar. Basis geng ini ada di Magelang. Gembongnya adalah Kuntoro"

"Acetic Anhydride bukan drug, itu semacam obat kimia. Digunakan untuk membuat Mandrax dan memisahkan Heroin dari Opium. Mungkid, Kuntoro memimpin bisnisnya dari sana"

"Kedua, Halusinogen pabriknya ada di Yogyakarta. Produsen, Pemasok, Penjual semuanya orang luar. Geng Ambon-lah yang mempunyai kuasa pada semua bisnis. Mereka tidak mempercayai orang lain. Pemimpinnya adalah Thomas"

"Ketiga, Sebagian besar Heroin disini berasal dari perbatasan Jatim. Seorang penyelundup narkoba sudah dikurung dipenjara Nusa Kambangan selama bertahun-tahun. Darto, anak buahnya membawa barang-barang keperbatasan Jatim dan Jabar. Heroinnya diselundupkan dari Tanjung Emas. Membantu dana operasi teroris di Indonesia"

"Tono dan Tino yang bertanggung jawab untuk mengambilnya dan membawa kesini. Keduanya sudah sangat berpengalaman. Pejabat, Petugas Pelabuhan, Bea Cukai, Polisi. Mereka mempunyai kontak dimana-mana"

"Yang ke Empat. Getasan, Salatiga. Berbaur dengan penduduk sekitar. Perusahaan farmasi disana sebenarnya adalah pabrik Mandrax. Sebagian Mandrax yang beredar di Jateng dipasok dari pabrik yang berlokasi disana. Dan pabriknya dikelola oleh Martono. Itu informasi yang bisa kuberikan padamu saat ini. Jika ada info lainnya, aku akan menghubungimu lagi". Setelah berkata seperti itu dia bangkit berdiri, kemudian keluar meninggalkan ruang bioskop.

-= =-

Saat keluar dari pintu Avi sudah menunggu. Sambil berjalan ketempat parkir aku bertanya "Kau menunggu dilobby atau ikut masuk kedalam ?"

"Aku ikut masuk kedalam, dan melihatmu berbicara dengan seseorang. Tapi takut mengganggu urusanmu, aku tetap duduk ditempatku dan menikmati film nya. Walau sudah pernah melihatnya"

Didalam perjalanan menuju hotel aku lebih banyak diam, menyusun rencana dan memikirkan tindakan yang akan kulakukan. Melihatku hanya diam saja, Avi berusaha mengajakku bicara. Tapi hanya kujawab dengan kata-kata yang singkat. Tampaknya sikapku membuatanya kesal, hingga dia mengatakan pikirannya. "Apakah sikapmu selalu begitu kepada wanita, atau hanya kepadaku ?" tanya dia.

"Maksudmu ?" tanyaku.

"Sikapmu yang dingin, cuek, seenaknya itu apa hanya ditunjukkan kepadaku, atau kepada kekasihmu juga sikapmu seperti ini. Sungguh kasihan sekali kekasihmu."

Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. Melihatku hanya tersenyum dan tidak menjawab pertanyaannya, dia berkata lagi. "Baru kali ini aku bertemu laki-laki sepertimu, entah seperti apa wanita yang menjadi kekasihmu."

"Itu pertanyaan atau pernyataan ?" kataku.

"Apa bedanya ?"

"Beda bagiku. Pertanyaan itu untuk sekarang, sedang pernyataan itu untuk masa depan"

"Maksudnya ?"

"Kalau pertanyaan berarti kamu bertanya siapa kekasihku, sedang aku tidak punya kekasih. Sementara kalau pernyataan berarti kalau nanti aku mencari kekasih harus bisa mengerti sikapku yang seperti ini"

"Kamu tidak punya kekasih ?"

"Ya, Memang kenapa ?"

"Ada dua kemungkinan. Yang pertama kamu bohong dan yang kedua kamu gay"

"Apa !"

"Lelaki biasanya berbohong kalau ditanya wanita, tentang sudah punya kekasih atau belum. Kalau kamu jujur belum punya kekasih, dengan wajah dan penampilanmu yang seperti itu aneh kalau belum punya kekasih. Maka orang akan menyimpulkan bahwa kamu tidak normal, alias gay"

Aku jadi tersenyum mendengar analisanya yang masuk akal. "Analisamu masuk akal, dan mungkin sebagian besar benar dan berlaku untuk orang lain tapi tidak untukku. Kamu salah kalau bilang aku berbohong, juga lebih salah kalau berpikir aku gay. Satu alasan yang tepat adalah, untuk saat ini aku tidak ingin mempunyai seseorang yang bisa menjadi kelemahanku"

"Aku belum paham, apa hubungan antara kekasih dan kelemahanmu ?"

"Kamu belum tahu bagaimana kerjaku yang sebenarnya. Aku sejak lahir sudah sendirian, hingga sekarang tetap sendiri. Kesendirianku yang membuatku kuat. Saat aku melakukan tugas, aku akan melakukan segala sesuatunya dengan resiko yang kutanggung sendiri. Karena tidak ada seseorang yang takut kutinggalkan. Kalau aku punya kekasih, kamu tentu paham akan maksudku"

"Hanya karena itu. Alasanmu tidak dapat diterima. Justru karena wanita lah lelaki bisa menjadi kuat."

Setelah berkata seperti itu Avi mengalihkan pandangannya kearah seberang. Sepertinya dia tidak terima dengan argumen yang kukemukakan. Aku hanya tersenyum memandangnya. Melihat Avi, setiap lelaki pasti akan mudah tertarik padanya. Tubuhnya benar-benar proposional, dengan rambut coklatnya yang panjang dan agak curly. Baju ketatnya menampakkan tonjolon dadanya, apalagi dilihat dari posisiku yang berada disampingnya.

Kami sama-sama terdiam dalam sisa perjalanan menuju hotel. Sesampainya di hotel, Avi memintaku turun. Untuk sekedar minum teh atau kopi. Aku menolaknya dengan alasan harus segera bertemu atasan untuk membicarakan masalah pekerjaan.

Mendengar aku menolaknya dia tampaknya benar-benar kecewa. Setelah mengucapkan selamat malam, dia langsung berjalan masuk ke hotel tanpa menoleh kerahku lagi.

Mugkin karena dia tergesa-gesa, hingga jalannya menjadi kurang hati-hati. Hak sepatunya terjepit besi penutup saluran pembuangan air. Dia pun terjatuh dan mengaduh. Aku yang belum menjalankan mobil keluar dari tempat itu segera menghampirinya.

"Kamu tidak apa-apa Vi ?" tanyaku. Sambil berusaha membantunya untuk berdiri. Dia menggeleng lemah. Tapi saat berdiri, dia kembali mengaduh dan duduk kembali dibawah. Sambil memegang pergelangan kakinya.

Saat kulihat tampaknya kakinya terkilir. Dan sepertinya dia akan kesulitan berjalan untuk beberapa saat. Tanpa berpikir panjang, aku segera berjongkok. Kutempatkan tangan kiriku dipunggugnya dan tangan kananku berada di kedua lutut kakinya. Aku berdiri dan membopongnya. Pertama-tama dia protes. Tapi setelah mendekati lobby hotel diapun diam, hanya pipinya yang kini nampak merona kemerahan.

Melihat pipinya yang chubby dan memerah itu, ingin rasanya menciumnya. Tapi aku segera mengusir pikiran itu, lagi pula kini orang-orang yang masih berada dilobby nampak memperhatikan kami. Aku bersikap cuek saja, sementara Avi tampak memalingkan mukanya kearah dadaku. hingga dadanya kini menempel ketat pada dadaku. Aku berbisik lirih ditelinganya, menanyakan kamarnya ada dilantai dan nomer berapa. Saat aku berbisik, tampaknya dia kegelian. Dia mengelinjang dan sedikit mendesah.

Orang-orang tampaknya mengira kami sedang bercumbu ditempat umum. Tapi setelah aku melihat kearah mereka, mereka seperti berpura-pura tidak melihat. Aku segera menuju lift. Akhirnya sampai juga didepan kamarnya.

Setelah didalam kamar kurebahkan Avi di kasur. Kemudian kubuka sepatunya. pergelangan kakinya tampak bengkak, Avi meringis saat kusentuh dibagian itu. Kemudian aku beranjak kekamar mandi dan mengabil air hangat dan handuk yang disediakan hotel. Kukompres kakinya yang bengkak.

"Tidak apa-apa, nanti bengkak ini akan mengecil sendiri dalam beberapa jam" Kataku setelah selesai mengompresnya.

"Terima kasih Lang, kamu sudah menolongku dua kali malam ini"

"Tidak perlu, itu sudah tugasku. Apakah ada yang perlu kulakukan lagi, sebelum aku kembali kekantor. Ngomong-ngomong apa kamu tugas kesini sendiri ? Biasanya ada juru kamera atau lainnya"

"Ada juru kamera, tapi dia tidak tinggal dihotel ini. Karena dia asli kota ini, jadi dia tinggal dirumahnya"

"Kalau begitu aku pamit pulang dulu" kataku, sambil melangkah kearah pintu. Tapi saat itu kupikir kasihan juga dia. Saat aku menengok kebelakang kulihat matanya penuh dengan permohonan. Aku tahu arti pandangannya itu. Hatiku mulai berperang. Antara tetap tinggal ditempat atau segera kembali kekantor.

Ternyata kali ini pikiran yang pertama yang menang. Aku putuskan untuk tetap tinggal, kupikir sekali ini tidak mengapa menunda waktu selama sepuluh jam.

"Aku akan disini, sampai temanmu datang. Tenang saja, aku akan tidur di kursi. Silahkan kamu tidur diranjang. Jika perlu sesuatu bilang saja padaku"

Setelah menggosok gigi dan mencuci muka Avi segera naik ketempat tidur tanpa mengganti pakaian. Entah karena malu minta tolong padaku atau alasan lainnya.

Setelah mengambil minuman kaleng yang ada di lemari es kecil, aku menuju sofa yang terdapat dikamar itu. Mencoba untuk santai sejenak demi menjaga kebugaran dan mengistirahatkan pikiran. Tapi hampir satu jam, mata ini tidak terpejam juga. Kulihat kearah ranjang, tidak ada suara yang terdengar. Tampaknya Avi sudah tertidur.

Saat melihat kearahnya, seakan ada suatu dorongan yang menyuruhku untuk mendekat kearah ranjang. Hingga kini tanpa sadar aku telah berdiri disamping ranjang. Kulihat wajah cantiknya tampak tersenyum dalam tidurnya. Aku semakin dekat dengannya saat aku berlutut sisamping ranjang sehingga wajahnya kini hanya beberapa centi dari wajahku.

Wajahnya yang cantik menimbulkan suatu perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Tanpa sadar kini tanganku mengelus rambutnya. Bibirnya yang berwarna merah seakan mengundangku untuk mengecupnya. Aku bukan lelaki baik-baik yang tidak pernah bercinta dengan wanita. Tapi dihadapan wanita ini, perasaan itu seakan tertahan. Aku tidak tahu apa itu.

Saat mataku sedang memandangnya, tiba-tiba matanya terbuka dan membalas tatapanku. Kini kami saling bertatapan tanpa bersuara. Aku yang takut dia marah segera bangkit berdiri, dan berusaha kembali kesofa. Tapi tanganku ada yang mencekalnya. Ternyata Avi telah duduk setengah berbaring sambil memegang erat tanganku. Diwajahnya tidak ada rona kemarahan. Dia menatapku sambil tersenyum, kemudian menarikku kearahnya.

"Lang, tidur disini ya, temani aku", sebuah kalimat meluncur dari bibir Avi sambil memeluk tubuhku. Aku hanya diam bagai patung yang bernapas. Sedikit demi sedikit kepala kami saling berdekatan dan saling bersentuhan. Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka, menunggu reaksiku. Dengan perlahan kudekati bibir indah itu. Sampai aku merasa menyentuh bibir itu dan kemudian bibir kami merapat dengan lembutnya, ciuman pertama kami. Gelombang asmara menyapu rasio kesadaran kami berdua. Kuluman demi kuluman datang silih berganti baik dari bibirku maupun bibirnya.

Pertautan dua bibir menghasilkan pergumulan lidah dalam kurungan asmara dan nafsu. Sebuah persamaan yang tidak ada bandingannya dengan rumusan matematis yang ada sampai saat ini. Kami saling memeluk tubuh masing-masing tanpa kami sadari. Gesekan tubuh dengan tubuh terasa nikmat bagai buaian mimpi walau masih terhalang oleh pakaian yang masih kami kenakan. Irama halus yang menjadi awal berubah seiring dengan tubuh kami yang saling menindih pada satu sama lainnya. Rotasi posisi kami lakukan sambil berciuman bibir tanpa ada habisnya.

Sesaat kemudian, Avi menghentikan ciumannya pada bibirku. Sentuhan tangan Avi yang lembut mengusap wajahku. Hal itu membangkitkan kembali kesadaran emosi dan nafsuku. Aku menjadi bingung dengan apa yang sedang kualami hingga tak mampu mengeluarkan sepatah kata maupun berbuat sesuatu. Aku hanya diam sambil memandang wajahnya. "Ada apa Lang?", tanya Avi berbisik.

Suaranya yang berbisik lirih itu justru bagai bunyi ledakan bom ditelinggaku. Suara itu seakan membangunkan kesadaranku yang masih dikuasai nafsu. Dengan cepat aku segera bangkit dari tempat tidur, dan beranjak kembali kesofa. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiran Avi sekarang. Aku kemudian duduk terpekur didepan sebuah acara TV, walau pandanganku kedepan Tv tapi pikiranku masih kosong dan hanya terisi oleh bayang-bayang wanita berwajah lonjong agak oval dengan alis tebal, mata bersinar, berhidung mancung, berpipi chubby dan berbibir mungil. Bayang-bayang itu tak lain adalah Avi. Pikiranku berusaha berontak dan menaklukan hatiku agar tidak terus memikirkannya, tapi semua itu sia-sia belaka.

Sebenarnya ada perasaan itu dihatiku, tapi begitu teringat akan tugasku. Disatu sisi ingin membiarkan hatiku menikmati perasaan itu, tapi disatu sisi lainnya rasanya hati dan pikiranku menentang adanya perasaan itu. Aku benar-benar merasa pening dan lelah karena pertarungan hati dan pikiranku. Hanya rasa kantuk yang kemudian akhirnya menyapu kesadaranku hingga pulas.

Keesokan harinya aku terbangun oleh suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Aku bangkit dengan perasaan agak bingung, aku merasa seakan-akan ingatanku hilang sebagian. Lalu kedengar pintu kamar mandi terbuka. Sedikit demi sedikit ingatanku kembali dan akhirnya aku ingat akan semua kejadian kemarin hingga saat ini.

"Lang, aku sudah pesan nasi goreng untuk kita sarapan", ujar Avi sambil mengenakan celana blue jeansnya sementara bagian atas masih mengenakan piyamanya. Lalu Dia memutar badannya dan mengganti piyamanya dengan kaos ketat warna putih berkerah. Celana dalam dan Bra warna biru yang dikenakannya sempat kulihat walau tanpa sengaja. Tapi pemandangan Avi berganti pakaian itu justru mengingatkanku pada kejadian semalam. Hingga membuat ereksi pagi hari yang biasa kualami menjadi semakin kuat. Aku segera beranjak menuju ke kamar mandi untuk menghalau pikiran itu.

Dalam guyuran air shower, ternyata pikiran itu tidak ikut jatuh terguyur. Perasaan yang telah kucoba tepiskan dari hati dan pikiranku, ternyata tetap hinggap dihatiku. "Kenapa aku sangat tertarik pada Avi? Apakah ini bukan sekedar nafsu belaka? Apakah hal ini benar-benar kata hatiku? Apakah aku harus mengikuti kata hatiku? Ataukah harus kuhalau semua perasaan ini? Tapi bagaimana caranya? Bagaimana dengan Avi? Apakah dia mengetahui perasaanku padanya?", pertanyaan itu terus mucul dalam benakku selama dikamar mandi.

Pada waktu makan, kami berdua hampir tidak mengeluarkan suara. Sikap Avi yang seperti biasa justru membuatku menjadi serba salah, dan aku menjadi tidak mengerti apa yang harus kuperbuat menanggapi sikap Avi tersebut. Berbagai pembicaraan dan pertanyaan Avi padaku hanya kujawab dengan beberapa patah kata. Dengan segera kuhabiskan sarapan yang telah dipesan Avi. Dan setelah itu semua selesai, hanya dengan mengucapkan kata perpisahan pendek aku lalu meninggalkan kamar itu.

Didalam mobil, menuju perjalanan pulang. Jalan yang biasa kutempuh dengan cepat dan menyenangkan, terasa lama dan membosankan saat ini. Pikiranku berkecamuk, bingung dan ragu akan apa yang harus kulakukan terhadap Avi selanjutnya. Disatu sisi aku merasa takut akan perasaanku terhadap Avi. Tapi disisi yang lain aku menyesal telah bersikap dingin padanya.

Baru kali ini aku merasakan kecocokan ketika berhubungan dengan wanita. Tidak hanya oleh paras cantiknya yang telah mempesona diriku tapi juga oleh kecerdasan, dan semua sikapnya yang mampu merebut simpatiku. Hatiku seakan berat melepas Avi, tapi wanita yang ada dalam hatiku ini bisa berada didalam bahaya jika berada bersamaku. Dalam pikiranku, aku harus bisa memposisikan Avi bukan sebagai kekasihku, walau itu bisa menyakiti hatinya bila melihat dari pancaran sinar matanya.




Chapter XXII : Doctor Shameless

Gavin Side's Story : The Doctor

Sore itu, di kamar dimana aku dirawat.

"Ternyata perjalanan hidupmu sangat menarik Lang ..., " ujarku menanggapi cerita Elang.

"Tidak semuanya menarik, Vin. Namanya juga hidup ! , pasti ada suka dukanya..., Aku hanya mencoba untuk menikmatinya," kata Elang dengan mata menerawang jauh, entah kemana.

Seperti kemarin, karena asyiknya cerita Elang, tanpa kami sadari waktu sudah beranjak sore. Dan selama dua hari ini terhitung sejak aku masuk rumah sakit akibat kejadian kecelakaan mobil yang hampir saja merenggut nyawaku satu-satunya, Elang menceritakan pengalamannya, dan selama itu pula belum juga selesai semuanya, entah berapa banyak cerita ataupun catatan hidup yang di alami Elang, namun aku yakin kesemuanya itu banyak memberikan pengalaman yang sangat berharga untuk dia.

Sungguh! Aku sangat beruntung bisa berkenalan sekaligus akhirnya dalam tanda kutip mempunyai saudara seperti dia, dan semakin lama, aku makin juga mengenal pribadi dan sifat Elang dari ceritanya.

Saat Elang hendak melanjutkan ceritanya, muncul dua orang suster yang akan melakukan pemeriksaan rutin seperti biasanya. Dan setelah semuanya selesai dilakukan, kedua suster itu segera meninggalkan ruang rawatku.

Dan selamaproses pemeriksaan tadi, Elang meminta ijin untuk sekedar membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, setelah selesai dan mengganti pakaian, dia berkata akan keluar karena ada sedikit urusan.

Namun dia tidak juga beranjak keluar ruangan, beberapa saat dia masih tetap ditempat, hanya beberapa kali dia melihat jam tangannya. Melihat hal itu aku bertanya padanya "Kenapa Lang ? apa ada sesuatu.?, Kenapa belum berangkat? "

"Sebentar lagi, Vin" katanya, tanpa menyebut alasannya.

"Lang, aku dapat menduga kenapa kamu menunda kepergianmu. Kamu khawatir meninggalkanku sendirian. Aku tidak perluterus-terusan dijaga, tampaknya mereka juga tidak tahu dimana keberadaanku. Kalau perlu sesuatu aku bisa panggil suster. Biasanya sebentar lagi Mas Bram atau teman-teman yang lain juga akan datang menjenguk" Aku mencoba membuat Elang tidak khawatir akan keadaanku."

"Tapi aku sudah berjanji pada Ayah, Ibu dan Mas Bram untuk menjagamu. Kalau aku pergi meninggalkanmu tanpa ada yang menjaga, bagaimana pertanggung jawabanku pada mereka."

"Tidak apa-apa, nanti aku yang akan bertanggung jawab pada mereka. Kamu juga punya urusan sendiri, jadi selesaikanlah urusanmu. Masalah disini percayakanlah padaku. Apa kamu tidak percaya padaku ? "

Setelah mendengar hal itu, tampaknya dia merasa sedikit tenang. Sesaat kemudian dia menatapku. Setelah melihatku tersenyum dan mengacungkan jempol padanya, maka diapun keluar dari kamarku.

Tapi, belum genap satu menit dia kembali lagi. "Ada apa Lang ? Kok sudah kembali, ada yang ketinggalan ? "

"Tidak ada apa-apa Vin. Hanya ingin tanya. Apa kamu perlu sesuatu, atau pesan apa ? "

Aku diam sejenak, saat itu aku teringat akan sepeda motor kesayanganku, sudah hampir tiga minggu dia tidak diperhatikan. Mengingat hal itu aku berkata kepada Elang "Lang kamu benar-benar mau menolongku ? " Setelah Elang menganggukan kepalanya, aku melanjutkan ucapanku "Tolong ambilkan motorku, pakailah untuk sementara. Daripada tidak ada yang memakai, itu kalau kamu mau" Aku kemudian menyebutkan tempat dimana dia bisa menemukan motorku.

Setelah Elang pergi, aku menjadi merasa bosan juga bengong sendirian di ruangan ini. Mau melihat televisi, tidak ada acara yang menarik. Mau membaca buku dan majalah, semuanya sudah saya baca. Dari pada bengong sendirian dikamar, timbul niatku untuk berjalan-jalan disekitar melihat suasana diluar kamar sambil menghirup udara segar. Yang dua minggu lebih tidak kurasakan.

Sudah dua hari ini aku merasa tidak ada masalah dengan kedua kakiku. Aku berjalan kearah pintu. Aku berhenti didepan pintu karena datangnya seseorang yang masuk kedalam ruangan. "Eh Vin !!! Mau kemana ? " Tanya sesosok wanita yang mengenakan seragam dokter itu.

Aku tersenyum, kemudian berkata "Tidak kemana-mana Mbak, cuma mau jalan-jalan sebentar diluar."

"Kakimu itu baru saja sembuh, jangan jauh-jauh dulu. Berjalan-jalan didalam kamar saja " Kata dia sambil membantuku berjalan menuju ranjang. Tangannya memeluk pinggangku hingga posisi tubuhnya merapat kearahku. Payudaranya yang besar menempel erat dibagian kiri tubuhku. Setelah sampai ditepi ranjang, Mbak Lula membantuku naik.

Saat Mbak Lula menghadap kerahku. Mataku mengamati tubuh yang ada didepanku ini lebih lekat lagi. Dengan rambut disanggul ke belakang, Mbak Lula terlihat sangat cantik dan seksi. Kulitnya putih bersih. Meski tubuhnya terlihat chubby, tapi karena tinggi tubuhnya yang keturunan arab itu, maka membuat dia terlihat montok dan berisi.

Dia mengenakan blouse lengan panjang yang ketat dari bahan kaos berwarna merah, dengan seragam putih khas dokter yang tidak dikancingkan dibagian luar. Pakaian yang dikenakannya itu mempertegas keindahan bentuk sepasang payudaranya. Dipadu dengan rok yang berwarna hitam, membuat sepasang kakinya yang putih mulus makin memancarkan keseksiannya. Yang paling mencolok dan menarik darinya adalah dadanya yang begitu menonjol ke depan, membulat tegak.

Akibat melihat dada Mbak Lula yang montok dan berpikir yang aneh-aneh, membuat penisku yang tadinya hanya sedikit bangun kini bertambah tegang dan membuatnya tercetak jelas pada seragam pasienku.

Mbak Lula sepertinya melihat perubahan pada penisku, Hal itu menimbulkan senyum dan pertanyaan pada Mbak Lula "Kamu itu sedang berpikir apa ? Kok sampai tegang begitu. Tampaknya kamu benar-benar sudah sehat, sudah bisa berpikir kearah sana," kata Mbak Lula sambil tersenyum.

Aku kemudian duduk ditepi ranjang, sementara Mbak Lula duduk dikursi yang ada didepanku. "Mbak, ini kan sudah sore. kok belum pulang ?" Aku bertanya untuk mencoba mengalihkan perhatianku dari dadanya.

"Masih ada acara, tapi ditunda nanti jam tujuh. Mau pulang malas dan capek, lagi pula dirumah sedang tidak ada orang. Suami sedang ada tugas, dan si kembar berada dirumah eyangnya" Jawab Mbak Lula sambil menyandarkan badannya kebelakang. Lagi-lagi mataku tidak berkedip saat melihatnya. Tubuh montoknya makin terlihat menggiurkan saat itu. Bukan main indahnya tubuh dokter yang satu ini. Perut Mbak Lula yang masih langsing dan blouse ketatnya seakan menekan payudaranya untuk keluar.

Walau mataku tertuju kearah dadanya, tapi pikiranku berpikir tentang suatu hal. Aku teringat perkataan yang diucapkan Mbak Lula beberapa hari yang lalu. Entah dia sadar atau tidak saat mengucapkannya, tapi aku masih ingat. Dia mengatakan setelah melahirkan, suaminya jarang mengajak berhubungan. Saat itu aku sempat berpikir dalam hati 'Kok ada ya, seorang lelaki yang tidak mau menyentuh wanita secantik dan semontok dia'.

Teringat itu aku berpikir ; 1. Mbak Lula sudah lama tidak disentuh suaminya, 2. Menunggu rapat mengapa tidak diruangannya ? dia memang sering menengokku, tapi saat suasana seperti ini ? 3. Dia membantuku dengan memeluk erat, seakan ingin menyentuhkan dadanya dengan sengaja.

Oleh fakta-fakta tersebut, maka aku berpikir dan mencoba mengambil kesimpulan ' Apakah mungkin saat ini dia sedang butuh sentuhan dan perhatian seorang lelaki. Hingga sikap, penampilan dan tindakannya seakan-akan memancingku. Memikirkan hal itu, hati dan pikiranku menjadi tegang.

Aku sadar dari pikiranku, saat mendengar kursi bergeser. Mbak Lula bangkit dan menuju pintu. Kupikir Mbak Lula akan keluar dari ruangan. Tapi dugaanku salah, setelah melihat keadaan diluar dia segera menutup pintu dan menguncinya.

Kemudian dia menuju ranjang kecil yang disediakan untuk keluarga pasien yang menjaga, "Mbak numpang istirahat disini ya Vin. Kalau diruangan Dokter nanti ada yang mengganggu," kata Mbak Lula. Dia kemudian melepas seragam dokternya dan berbaring santai dengan enaknya, tidak mempedulikan bahwa tindakannya itu membuatku bertambah pening. Aku jadi bertambah bingung dengan apa yang dilakukan Mbak Lula.

"Mbak mungkin tidak terganggu disini, tapi ada yang merasa terganggu," kataku.

"Eh, jadi kamu merasa terganggu ? " kata Mbak Lula menoleh kearahku.

"Tentu bukan Mbak, kalau aku malah senang ada teman ngobrol, " kataku, memotong ucapannya.

"Elang ? , tidak mungkin dia "

"Mbak kok yakin bukan Elang ? "

"Mbak tadi ketemu dia waktu mau keluar, selain itu dia juga titip buat jagain kamu. Bram juga pasti tidak mungkin, " Ujar Mbak Lula dengan yakinnya.

Melihatku heran dengan ucapannya. Mbak Lula bangkit dan menjelaskan maksudnya. "Mbak ketemu Elang, saat sedang berbincang dengan Bram. Mereka berdua pergi berbarengan. Maka itu Mbak yakin bukan mereka berdua yang kamu maksud, Apa fans-fans mu itu ya ? "

"Ha..ha.. Mbak bisa saja, memangnya saya artis. Ada fans nya "

"Mbak sebenarnya juga heran. Biasanya artis yang punya banyak fans. Eh kamu !, bukan artis malah punya banyak fans. Hebatnya lagi artis-artis lah yang jadi fans mu. Sudah jadi rahasia umum. Semenjak kamu dirawat disini beberapa artis tenar bolak-balik kesini. "

"Sudah Mbak tidak usah dibahas. Aku jadi tidak enak. Lagi pula bukan mereka " kataku sambil senyam-senyum. Membuat Mbak Lula menjadi heran.

"Kamu ini suka bikin orang heran. Yang tadi belum dijawab, sekarang bilang tidak enak. Tidak enak sama siapa ? "

"Sama Mbak, ga enak membicarakan wanita didepan wanita. Apa lagi wanita secantik dan semontok Mbak. " ucapku dengan nada memuji.

"Kamu pintar merayu ya Vin, entah berapa wanita yang telah kena rayuanmu. Terus yang kamu bilang tadi ada yang terganggu, karena Mbak disini siapa? "

"He..he..he.. , kalau itu sih bukan aku Mbak. Tapi itu ... " tanpa menyebutkan nama, hanya mataku yang mengarah ke bagian bawah tubuhku.

Mbak Lula mengikuti arah pandanganku, dan "Huh... dasar !!! kirain apa. Ternyata juniormu yang terganggu ya ? Memang dengan cara apa Mbak menganggu dia ? " Tanya dia, dengan muka menggoda.

"Mbak berpura-pura atau memang tidak sadar sih. Mbak itu cantik, seksi dan sangat menarik bagi laki-laki. Apalagi melihat penampilan Mbak saat ini. Hanya lelaki yang tidak normal, yang tidak tergoda, " kataku memberi alasan dengan menyanjungnya.

"Memang Mbak masih menarik ya ' Vin ? Mbak sendiri merasa sekarang gemuk, jadi tidak menarik lagi."

"Bukan gemuk Mbak, tapi semok. Apa lagi bagian itu Mbak, wooooow !!! Aku juga mau kalau diberi " kataku menunjuk bagian dadanya.

"Eh, jadi dari tadi kamu lihatin dada Mbak ya ?"

"Iya Mbak, memandangnya aja bikin junior tegang. Apa lagi kalau ... "

"Kalau apa ? "

"Eee..eee, kalau boleh nenen . hehehe ... " ucapku. Terlanjur basah pikirku.

"Punya Mbak ini sudah kendor, jadi tidak menarik lagi. Bisa-bisanya kamu bilang masih menarik dan membangkitkan junior. Yang dirumah saja, tidak bangun juniornya waktu melihatnya."

"Menurutku masih sangat menarik Mbak, aneh kalau ada yang bilang tidak menarik."

"Kamu pandai menyanjung dan menyenangkan hati wanita. Mungkin hal ini yang menyebabkan kamu banyak disukai wanita. Dan ada satu rahasia lagi yang ingin Mbak ketahui, sehingga banyak wanita bertekuk lutut dihadapanmu. "

"Maksudnya Mbak ? " tanyaku.

"Mbak sudah dengar tentang dirimu. Mbak juga wanita, jadi mengerti tentang perasaan dan keinginan mereka. Jujur saja, Mbak merasakan perasaan tertarik padamu semenjak pertama kita bertemu. Padangan matamu lain dengan pandangan mata lelaki yang biasa Mbak temui. Kamu punya sex apeal dan sisi romantis yang sama besar. Hal itu membuat wanita merasa diinginkan, dihargai dan dicintai. "

"So ... ? "

"Kita sama-sama mengerti apa yang kita mau. Kamu pasti lebih paham apa yang Mbak maksud. Kecuali kalau memang kamu tidak tertarik kepada Mbak ? " kata Mbak Lula. Dia bangkit dari ranjang itu, kemudian melangkah kearahku.

"Sebelumnya Mbak akan bilang padamu. Mbak ini manusia biasa yang masih punya hasrat dan nafsu. Tapi karena suatu hal, Mbak tidak mendapatkan hal itu. Untuk beberapa waktu Mbak masih bisa menahan hasrat dan nafsu yang datang. Tapi makin lama ditekan makin sering juga keinginan itu muncul. Apalagi semenjak mengenalmu, keinginan itu semakin kuat. Yang Mbak ingin tekankan padamu adalah : Kamu jangan berpikir, Mbak wanita murahan yang gampang bercinta dengan sembarang lelaki. Kamu adalah lelaki pertama dan terakhir yang menyentuh Mbak. Selain suami Mbak."

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakannya. Kupandang wajah Mbak Lula, yang kini hanya berjarak sejengkal dari wajahku. Kutatap matanya dengan tajam, ingin kujenguk hatinya untuk mengetahui isinya. Apakah benar yang dikatakannya, dia menginginkan aku. Tampaknya yang dikatakannya benar. Aku melihat pandangan itu seperti tatap mata wanita-wanita yang kukenal selama ini. Tatapan mata wanita yang kesepian.

Kami berpandangan beberapa lama, kemudian aku beranikan diri mendekatkan bibirku ke bibir Mbak Lula. Mbak Lula menyambut bibirku dengan penuh nafsu, tangannya memelukku dan direbahkannya badanku. Dia kemudian menyusulku naik keatas ranjang dan menindihku, sementara kedua tanganku melingkar di pinggang Mbak Lula. Kami kembali berciuman penuh nafsu, seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Kami saling bertukar ciuman, saling berebutan memainkan lidah.

Dibimbingnya tanganku untuk meremas payudaranya yang besar. Kusentuh dan kuremas dengan pelan dari luar blousenya, sementara tangan kiriku meremas pantatnya yang seksi.

Setelah kami saling berciuman dengan panasnya sampai susah bernafas, Mbak Lula melepaskan ciumannya. "Kamu tahu Vin, hal ini yang telah lama Mbak inginkan. Sejak pertama kali kita bertemu. Saat itu Mbak belum yakin akan dirimu, dan kamu kurang responnya.(baca chapter XVII) Tapi mungkin inilah saatnya."

Bertumpu pada lututnya, Mbak Lula bangkit dan kemudian mengulung blousenya keatas. Tanpa melepas blouse dari badan Mbak Lula membuka kait bra nya yang berada dibagian depan. Kini didepanku tampak tubuh mulus Mbak Lula, dengan dua buah bola daging besar yang mengantung indah didadanya. Membuatku tanpa sadar menelan ludah berulang kali. "Kamu siap Vin? Mbak tahu kamu baru sehat. Tapi sudah lama Mbak menanti untuk hal ini."

"Untuk hal seperti ini aku selalu siap Mbak. Tapi apa Mbak yakin akan melakukannya sekarang dan disini? "

"Kita manfaatkan saja waktu yang ada Vin, walau hanya sesaat."

Aku langsung menyetujui permintaannya, jika tidak sekarang mungkin Mbak Lula akan membatalkan semuanya. Now or Never !!!.

Tanpa menunggu lama dua payudaranya yang besar itu menjadi sasaranku, kuhisap putingnya bergantian, tangannya pun langsung meraih kepalaku dan menekan kedadanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis-desis bagai ular kepanasan "Esstt.. Ssstt.. Sedot yang kuat Vin" Desah Mbak Lula semakin tenggelam dalam nafsu birahinya. "Yaahh.. Begitu isep.. Kamu suka kan.. buah dada Mbak.. Ooohh" rintih Mbak Lula dengan binal.

Aku tidak menjawab karena mulutku sedang sibuk menghisap, menyedot layaknya bayi yang seharian belum menetek pada ibunya. Kedua tanganku tidak tinggal diam. Tangan kiri meremas pantat besarnya, sementara tangan kananku mengelus-elus paha mulusnya yang masih terbungkus rok ketatnya. Mungkin Mbak Lula Paham tanganku sulit menjangkau miliknya karena rok nya, maka tanpa diminta dia menarik roknya keatas. Perlahan tanganku naik keatas dan sampailah di pangkal pahanya. Dan astaga !!! ... tanganku langsung menyentuh daging berbulu dipangkal pahanya. Ternyata Mbak Lula sudah tidak memakai celana dalam, rupanya dia memang sudah merencanakan semua ini.

Mungkin karena capek Mbak Lula melepas mulutku yang masih menempel didadanya. Kini Mbak Lula berbaring dengan kaki mengangkang. Kudekati tubuh montok yang telah pasrah itu. Tanganku mengusap-usap vaginanya yang sedikit berbulu. Dengan kedua tanganku kusibakkan bibir vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah mengkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau wanginya membuat sensari yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal. Dengan hidung kugesek-gesekkan belahan vagina Mbak Lula sambil menikmati aromanya. Erangannya dan gelinjang tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan. Kedua tangannya meremas-remas sendiri payudaranya.

"Aakhhk.. Eekh.. Nikmat sekali sayang. Terus sayang.." Rintih Mbak Lula.

Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai ke atas kujulurkan lidahku, menjilati belahan vaginanya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksinya. "Akkhh.. Aachh.. Aakkhh.." Mbak Lula terus merintih nikmat, tangannya mencari tanganku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke buah dadanya. Sepertinya dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, kedua tanganku meremas-remas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya.

"Teruuuuussss.....mmmmmmhhhmmm.... teruuuss...." Mbak Lula menggumam. Setelah berapa lama, dan setelah beberapa sedotan tiba2 paha Mbak Lula membekap kepalaku erat di antara selangkanganku, dan Crrroooooottt......... keluar cairan hangat dari vagina Mbak Lula. Ternyata Mbak Lula sudah mencapai orgasmenya yang pertama. "AaaaaaaaaaAAAAAAAAAAAaaahhhhhhh.......hhhhhhh hhhh ........" Mbak Lula tampak gemetar menahan orgasmenya. Setelah menghela nafas panjang Mbak Lula bangkit, kemudian mencium mesra bibirku. Melihat mukanya tampak berbinar aku jadi merasa senang, karena mampu membuat Mbak Lula puas. "Bagaimana Mbak dengan pelayananku ? Mbak puas atau .."

"Ouuuwhhh iyaaaah.... sudah lama Mbak tidak merasakan Orgasme seperti ini, bahkan penismu belum masuk ke vagina Mbak" Mbak Lula kembali mencium bibirku, tangannya yang lembut mengelus-elus pipiku. AKu merasakan rasa sayang dari belaiannya.

Mbak Lula kembali menciumiku. Sungguh sulit dipercaya Mbak Lula terus-terusan menggodaku dengan body seksinya. Sambil menciumiku, Mbak Lula menggeliat-geliat dan menggesek-gesekan tubuhnya ke tubuhku. Hal itu semakin memanaskan tubuh kami, wajahnya yang sensual semakin menambah nafsuku kepadanya. Geliatan Mbak Lula semakin menjadi, pelan dan halus namun tahu bagaimana cara menaikkan birahi. Hingga sampailah kepala Mbak Lula di depan celanaku. "Boleh Mbak buka Vin ?"

"Terserah Mbak saja, saat ini milik Mbak" Mbak Lula membuka celanaku secara pelan, aku mengangkat pantatku untuk memudahkannya. Sampai dilutut celanaku berhenti. Mbak Lula kemudian menatap penisku "Besar sekali Vin ... Mbak sudah membayangkannya, tapi tidak mengira sebesar ini. Mbak suka ini..." Katanya sambil memegang penisku. Untuk beberapa lama dia mengelus-elusnya. Kemudian Mbak Lula bangun dan menunggangiku lagi.

"Langsung saja ya ' Vin, Takut ada orang datang kalau lama-lama."

Aku pikir benar juga yang dibilang Mbak Lula. Mbak Lula berjongkok diatas pinggangku, berupaya untuk memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Namun sudah beberapa detik sepertinya dia kesulitan memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Vagina Mbak Lula sepertinya masih sempit, aku tak mengerti. Mungkin karena sudah lama tidak pernah dimasuki penis, tapi harusnya dengan beberapa anak yang sudah lewat sana seharusnya bisa dengan mudah ditembus.

Apa karena liang vaginanya yang terlalu kecil dan penisku yang kebesaran, atau memang keduanya. Setelah berusaha cukup keras. Ahkirnya dengan perlahan penisku bisa menembus liang vagina Mbak Lula. "AAAAAAaaaakkkkkhhhh...." Mbak Lula berusaha menahan jeritannya agar tidak terdengar sampai luar dengan menggigit bibirnya.

Setelah diam sesaat, menikmati penuhnya penisku mengisi vaginanya, Mbak Lula mulai memompa penisku dengan berirama. Matanya mulai merem melek, nafasnya tidak beraturan. Payudaranya yang besar dan kenyal berayun-ayun seiring dengan goyangannya. Sesekali dia melenguh dan menghela nafas panjang. Sa'at merasa lelah Mbak Lula berhenti bergoyang dan memelukku, atau duduk diam sambil membusungkan payudaranya yang besar. Tangannya membimbing tanganku untuk meremas payudaranya dan memainkan putingnya. Sesekali kumainkan putingnya dengan lidahku. Sungguh senang rasanya dapat melihat wanita seperti Mbak Lula sedang menikmati bercinta denganku.

Tiba-tiba goyangan Mbak Lula semakin kencang. "Oooh Viiin ... Yeeeah ... aaaaaaaaakh ..." Kedua kaki Mbak Lula menjepit erat pinggangku dan tubuhnya ambruk kearahku. Mbak Lula menyerang bibirku dengan ciuman yang penuh nafsu. Rupanya Mbak Lula orgasme kedua kalinya.

Nafsuku semakin menggila melihat Mbak Lula demikian menikmati orgasmenya. Kubalikkan tubuh Mbak Lula hingga posisinya telentang. "Sebentar Vin... hhhh... Istirahat sebentar hhhh..." Ujar Mbak Lula.

"Nanggung Mbak, keburu ada orang." Tanpa menunggu jawabannya aku langsung menusukan penisku kedalam vaginanya. Tidak tanggung-tanggung aku langsung menggenjotnya dengan kecepatan tinggi dan konstan, Mbak Lula semakin menceracau tidak karuan. Sesekali aku mencumbu bibirnya, menjilati putingnya, menciumi lehernya, menjilati kupingnya. Diperlakukan seperti itu Mbak Lula mengimbangi dengan goyangan tubuh yang tidak kalah ganasnya.

Merasa kalau dalam posisi konvesional aku akan lama mencapai puncak, maka kutarik tubuh Mbak Lula dan kubalik badannya sampai posisi menungging hadapanku. Tanpa menunggu lama aku langsung masukkan penisku ke dalam vaginanya dari belakang. Ku remas dua buah pantat seksinya. Rasanya dengan posisi ini aku akan cepat keluar. Kugenjot tubuhnya dengan cepat dan kuat "Mbaaak.... aku mau keluarrrr...."

"Iyyyaaa Viiinnnnn.... keluarin ajaaaa, Mbaaak jugaaa mau keluar lagi..." genjotanku kulanjutkan. Mbak Lula sepertinya sudah kelelahan dan menyerah. Akhirnya tubuhnya ambruk ke kasur, dengan posisi menindih tubuh Mbak Lula tanganku melingkar ke depan meraih kedua payudaranya. Tidak ketinggalan kuciumi tengkuk dan leher belakangnya. Mbak Lula merespon dengan lengguhannya.

Hingga akhirnya, ledakan itu datang juga "Mbaaakhhh.....AAAaaaaaaahhhhhhh......" Kutembakkan semua cairan spermaku ke dalam liang vagina Mbak Lula. "Crrroooooottt.....crrrrrrtttttttt crrrrrrtttttt...." aku bisa merasakan denyutan vagina Mbak Lula menyambut datangnya spermaku.

"Enaaak Vinnn"

"Nikmat sekali Mbak ..."

"Bukan, bukan itu maksud Mbak. Mbak tidak bertanya padamu, Mbak mau bilang ke kamu. Bercinta denganmu nikmat banget. Mbak beruntung mengenalmu, setelah lama puasa mbak mendapatkan apa yang Mbak impikan" Posisiku masih menindih Mbak Lula dari belakang dengan penis masih terhujam di dalam, akhirnya aku bergulir kesamping. Kuciumi pundak Mbak Lula, kubelai dengan lembut punggungnya dan rambutnya yang telah lepas sanggul.

Kami masih diam mengatur nafas. Saat terdengar suara orang berbicara didepan pintu, dan handle pintu ditarik. Tampaknya mereka ingin masuk kedalam. Kami berdua berpandangan, dan serentak bangkit. Tanpa bersuara kami bergegas membetulkan pakaian kami. Aku yang hanya melepas celana dengan cepat selesai. Mbak Lula yang tampaknya sudah mengantisipasi hal ini dengan cepat memasang branya, menurunkan blousenya dan juga rok ketatnya. Yang semuanya memang tidak dilepas.

Kemudian dia turun mengambil seragam Dokternya dan menuju kamar mandi. Sementara tangannya memberi kode memintaku untuk membuka pintu. Sementara suara-suara diluar makin ramai. Aku bergegas menuju pintu dan setelah melihat siapa yang diluar, aku segera membuka pintunya. Didepanku berdiri tiga orang wanita. Saat melihatku membuka pintu, dua diantara mereka serentak bertanya "Viiin... kamu tidak apa-apa ????? " Dan salah satunya langsung memeluk tubuhku.

"Tidak apa-apa Mbak. Kapan datang, sama siapa ?" tanyaku sambil berusaha melepas pelukan Mbak Tika. Kalau tidak ada orang lain tidak masalah. Tapi ada Mbak Ina dan seorang lagi didepanku.

"Kamu tidak kenapa-kenapa kan Vin ? Tadi Mbak panggil-panggil kamu tidak dijawab, Mbak takut terjadi sesuatu sama kamu." kata Mbak Tika sambil melepas pelukannya.

"Tadi sedang diperiksa Mbak. Oh ya, pertanyaanku belum dijawab. Kok bisa bareng Mbak Ina" ujarku sambil menyapa Mbak Ina dan temannya.

Sejenak Mbak Tika berpandangan dengan Mbak Ina. Seolah bingung siapa yang mau menjawab. "Masuk dulu Mbak, kita berbicara didalam saja. Tidak enak sama pengunjung yang lain" aku mempersilahkan mereka bertiga untuk masuk. Saat kami masuk, Mbak Lula keluar dari kamar mandi. Mereka menatap Mbak Lula, kemudian beralih kearahku. Entah apa yang ada dibenak mereka melihat Mbak Lula didalam, walau tadi aku memberi alasan sedang diperiksa.

"Selamat sore semua" sapa Mbak Lula santai dan dengan senyum dibibirnya. Tidak ada kesan gugup atau salah tingkah pada dirinya. Aku yang tadinya khawatir menjadi sedikit lega melihat ketenangan Mbak Lula.

"Selamat sore Dok..." mereka menjawab walau dengan muka penuh rasa penasaran. Suasana menjadi hening dan kaku untuk sesaat. "Ayo Mbak duduk, biar enak bicaranya" kataku mencoba mencairkan suasana. Melihat roman mukanya Mbak tika, sepertinya dia masih penasaran. Tapi melihat Mbak Lula masih ada ditempat, dia tampaknya merasa tidak enak hati mau bertanya padaku.

Mbak Tika menaruh buah dan roti yang dibawanya. Setelah itu duduk disampingku. Sebelum dia berkata, aku mendahuluinya berbicara, "Mimpi apa aku semalam dikunjungi tiga wanita cantik" Mbak Tika, Mbak Ina dan Mbak Lula tersenyum mencibir. Seolah berkata ,, dasar playboy, ada wanita cantik langsung keluar gombalnya ,,. Aku tidak mempedulikan cibiran tiga wanita didepanku, "Sebelum Mbak bercerita. Aku punya satu pertanyaan, siapa Mbak cantik yang satu ini" Tanyaku kepada mereka berdua.

"Oh ya, kenalkan Vin, ini Mbak Rani. Teman Mbak Ina tapi juga saudara Mbak" kata Mbak Tika. Dia mengulurkan tangannya, "Rani" katanya. Aku menyambut uluran tangannya "Gavin" sambil memandang wanita didepanku. Seorang wanita berumur sebaya dengan Mbak Ina dan Mbak Tika. Tinggi sekitar 160cm, berat proposional, berwajah cantik dan anggun, hidung mancung, bibir kecil merah merekah. Dan blazer merah ketatnya menampilkan lekuk tubuhnya yang sempurna.

"Aduuuh..." aku berteriak saat tangan Mbak Tika mencubit pinggangku. Aku segera melepaskan tangan Mbak Rani. "Kenapa sih Mbak ? Sakit tahu " kataku sambil meringis.

"Tangan dan matamu " gerutu Mbak Tika. Sementara yang lain hanya tertawa kecil.

"Bilang aja Mbak cemburu. Tenang saja Mbak, bagiku kalian semua cantik. Hehehe..." Mbak Tika bertambah manyun mendengarnya.

"Sudah ah Mbak becandanya, kita mulai bicara yang serius. Tadi Mbak Tika belum jawab, kapan dan sama siapa Mbak Datang. Terus sudah tiga Minggu aku disini Mbak kok baru datang ? Mbak Dita mana ? Yang terakhir kenapa Mbak bisa datang bersama Mbak Ina dan Mbak Rani ? "




Chapter XXIII : 3some Again

Gavin side's story : 3some Again

Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Aku masih mondar-mandir di depan pintu kamar rawatku. Mbak Tika masih membeli makan sekalian mengantar Mbak Ina Dan Mbak Rani pulang. Sementara Mbak Lula pergi ikut rapat. Aku masih memikirkan apa yang tadi kami perbincangkan, terutama apa yang tadi diceritakan Mbak Rani.

Selain itu aku juga masih memikirkan Elang, kenapa dia belum kembali dan tiada kabar darinya. Aku sudah mencoba untuk menghubunginya berkali-kali, tapi tidak menyambung. Aku jadi khawatir, apa terjadi sesuatu padanya ?. Sampai Mbak Tika pulang membeli makanan, aku masih mondar-mandir. Sampai Mbak Tika bertanya padaku.

"Vin, kamu kenapa sih ? dari tadi mondar-mandir saja. Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan."

"Tidak apa-apa Mbak. Aku hanya masih memikirkan hal yang tadi kita bicarakan. Selain itu aku masih menunggu Elang. Dia orang yang telah menolongku yang kini telah aku anggap sebagai saudara. Dia belum kembali dari tadi sore. Bahkan teleponku tidak diangkat. Aku takut terjadi sesuatu padanya."

"Sudah makan dulu, habis itu minum obatnya. Mbak yakin dia tidak apa-apa. Kamu harus banyak istirahat, agar kebugaranmu pulih sepenuhnya."

Akupun menuruti saran Mbak tika untuk makan dan minum obat. Sebenarnya aku merasa sudah sehat sepenuhnya. Tapi aku ingin benar-benar fit agar segera bertindak untuk kembali menyelidiki kematian Om Gian. Sambil makan kami mengobrol dan menonton tv.

Saat itu jam sembilan malam, salah satu tv sedang menayangkan berita. Saat itu aku merasa tidak asing dengan wajah pembaca berita di tv itu. "Mbak, apa mbak tidak merasa bahwa pembaca berita itu mirip Mbak Rani ?" tanyaku pada Mbak Tika.

"Lho..! Diakan memang Rani, Vin. Kamu baru tahu ya ? Tadi dari sini dia langsung berangkat ke Stasiun tv. Di jalan tadi dia bilang, kalau tidak ada kerjaan dia mau menemaniku di sini"

"Pantes.., tadi waktu dia di sini aku merasa pernah melihatnya. Tapi aslinya lebih cantik dari yang di tv ya. Di tv kelihatan jauh lebih tua dari aslinya. Jadi wajar aku tidak mengenalinya."

"Ya iyalah. Waktu bekerja dia dituntut untuk selalu kelihatan sopan, formal dan serius. Hingga terlihat lebih tua. Sedang di luar pekerjaan, ya bebas. Seperti tadi, penampilannya seperti masih remaja."

Aku hanya mengangguk mendengar penjelasan Mbak Tika. Mataku masih memandang ke layar tv yang masih menayangkan berita yang dibawakan Mbak Rani. Aku tidak menyangka bahwa pembaca berita itu Mbak Rani. Orang yang beberapa jam lalu bercanda denganku.

Setelah acara itu berakhir pikiranku kembali ke masalah Elang yang belum menghubungiku sampai saat ini. Jarum jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih. Bahkan Mbak Tika yang berusaha mengalihkan perhatianku dari masalah itu juga tidak berhasil. Dia sudah berganti pakaian tidur yang disaat suasana normal pasti akan menarik perhatianku.

Dia coba menggodaku, tapi aku diam saja yang membuat dia sedikit cemberut hingga tidak menggangguku lagi beberapa saat. Sampai ketika kekhawatiranku menjadi sirna saat Elang menghubungiku. "Maaf, Vin. Aku ada urusan penting, hingga tidak sempat menghubungimu. Kini urusannya sudah selesai. Tapi aku tidak bisa kembali ke rumah sakit malam ini. Apa semuanya baik-baik saja di sana." tanyanya.

"Ya, tidak apa-apa Lang. Disini tidak ada masalah. Kau tidak perlu khawatirkan aku. Disini ada saudara yang menemaniku."

"Ok, Selamat malam. Oh ya, satu dua hari kita mungkin bisa santai."

"Ya, Selamat malam juga. Maksudnya..." Aku belum sempat melanjutkan pertanyaanku, karena saat itu Elang sudah menutup teleponnya.

Aku menghampiri Mbak Tika yang masih melihat Tv. "Belum tidur Mbak ?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

"Memang kamu lihat Mbak sedang apa ?" jawabnya ketus.

"Wah...! Ngambek ya ?" godaku.

"Ngaaak !"

"Kok cemberut gitu. hati-hati lho Mbak !"

"Memang kenapa ?"

"Nanti cantiknya bisa hilang ."

"Biariiin... !"

"Benar ?"

"Yaaa..., buat apa cantik kalau tidak ada yang perhatian !"

"Siapa bilang tidak ada yang perhatian ? Ini buktinya saya memperhatikan Mbak. Saya minta maaf, kalau tadi saya tidak terlalu perhatian pada Mbak"

Mbak Tika diam membisu, seolah tidak mendengar permintaan maafku. Tampaknya dia benar-benar marah. Aku lalu memegangi kepalaku dan pura-pura mengaduh, "Aduuuh... ah.. ah.."

"Kenapa Viiin..?" tanya Mbak Tika dengan khawatir.

"Tidak apa-apa Mbak, aku merasa sakit kalau Mbak marah padaku." kataku menggoda.

"Huh.. dasar kamu ini, bikin Mbak sport jantung saja. Ya sudah, Mbak maafkan. Tapi.."

"Tapi apa Mbak ...!" jawabku cepat.

Mulutnya tersenyum kemudian berkata, "Sudah lama kita kan tidak bertemu, kamu pasti tahukan maksud Mbak ?"

"Ehh..., sekarang Mbak, disini ?"

"Iya, kenapa ? kamu pikir Mbak tidak tahu apa yang dilakukan Bu Dokter itu disini !"

Aku hanya bisa tersenyum malu. "Mbak kok bisa tahu, memangnya dia mengatakannya pada Mbak ?"

"Ya ngaklah Gavin sayaaang..! Ini hanya naluri wanita. Dan Mbak juga berani taruhan, Ina juga pasti sudah pernah merasakan senjatamu. Mbak rasa Ina dan Dokter Lula juga pasti sama tahu apa yang terjadi pada kita."

"Mbak tidak marah dengan semua ini ?"

"Kalau bisa sih Mbak mau marah, tapi apa Mbak punya hak untuk hal itu. Lagi pula orang sepertimu itu tidak bisa dilarang. Nanti biar kamu sendiri yang menghentikannya. satu lagi, wanita yang kamu kencani juga pasti orang sembarangan. Jadi kita semuanya aman."

"Iya Mbak, aku sadar bahwa aku ini orang yang belum bisa setia kepada satu wanita. Tapi aku yakin suatu saat aku pasti bisa melakukannya."

"Vin, bagaimana permainan Bu Dokter itu ?" tanya Mbak Tika tiba-tiba.

"Gimana ya, Mbak !"

"Sudah ceritakan saja, pakai malu-malu lagi. Mbak hanya ingin tahu."

"Bukan begitu Mbak, aku baru kali ini melakukannya dengan Mbak Lula. Lagi pula tadi buru-buru Mbak jadi aku belum tahu keistimewaannya."

"Pertama kali ya, pasti saat ini dia sedang gelisah ingin merasakannya lagi."

"Dari mana Mbak tahu ?"

"Pengalaman, Vin." jawab Mbak Tika tanpa menyebutkan maksudnya. Mbak Tika kemudian menggelendot manja di pelukanku. untuk beberapa saat kami sama-sama diam. Sesaat kemudian Mbak Tika berkata, "Vin, Mbak jadi horny. Karena membayangkan pertempuranmu dengan dokter itu Mbak jadi ingin melihat langsung. Kamu mau mengabulkan permintaan Mbak ?"

"Maksud Mbak ! Mbak ingin melihat kami bercinta di depan Mbak, atau kita bermain bertiga ?"

"Ya itu maksudnya ?"

Aku memandang Mbak Tika untuk memastikan keseriusannya. "Tapi apa dia mau Mbak ?" ujarku ragu.

"Mungkin pertama dia akan menolaknya, tapi nanti setelah terjadi dia akan menerimanya. Sudah telepon dia, bilang padanya kamu minta ditemanai. Dia pasti akan mau. Percayalah pada Mbak."

Akupun menuruti permintaan Mbak Tika. Tapi saat aku meneleponya ternyata tidak dijawab. Tiga kali juga tidak dijawab. Mungkin dia sudah pulang pikirku. Mbak Tika hanya mengangkat bahunya, saat aku utarakan pikiranku. Tapi sebelum aku meletakkan kembali ponsel itu, tiba-tiba ada panggilan masuk. Tertera nama Mbak Lula dilayar ponsel. Aku segera menjawab panggilan itu.

Mbak Lula minta maaf karena tadi masih di ruang rapat, kemudian bertanya ada apa aku menelepo. Kujawab sesuai dengan apa yang tadi kami rencanakan. Tanpa berpikir lama Mbak Lula menyetujui permintaaanku. Dia akan segera ketempatku begitu rapat selesai.

Begitu aku menutup telepon Mbak Tika berkata "Benarkan apa yang Mbak bilang. Ayo kita bersiap-siap" Setelah itu Mbak Tika mengatakan rencananya. Aku hanya tersenyum mndengar rencana jahil dari Mbak Tika.

@@@@@

Jam sebelas malam kurang lima menit saat kudengar suara pintu diketuk. Aku segera memberi kode Mbak Tika, ketika tahu bahwa yang datang adalah Mbak Lula. Setelah Mbak Tika berpura-pura tidur, aku segera membuka pintu.

Mbak Lula telah menganti pakaiannya. Sekarang dia memakai blouse ketat lengan panjang berwarna biru muda, dengan kancing dibagian depan. Tercium bau harum yang membangkitkan gairah saat dia melangkah masuk. Aku segera menutup pintu dan menguncinya. Sementara Mbak Lula berhenti melangkah saat melihat Mbak Tika berbaring di tempat tidur. Dia menoleh ke arahku dan berkata, "Mbak pikir kamu minta ditemani karena tidak ada orang, itu ada Mbak Tika," Ucapnya setengah berbisik.

"Tapi aku ingin ditemani Mbak juga." Sambil berkata seperti itu aku memeluknya dari belakang kemudian kucium pipi Mbak Lula. Mbak Lula mungkin mengira aku hanya akan mengecup pipinya saja, namun tanganku segera membalikkan badannya kearahku dan kembali memeluknya erat, menciumi bibirnya. Mbak Lula mencoba menghindar, tapi aku cuek saja, tanganku juga mulai meremas payudaranya.

"Vin..., apa-apaan sih kamu ...?"

"Mbak, Gavin mau lagi. Tadi belum puas karena terburu-buru."

"Iya... Mbak ngerti, Mbak juga belum merasa puas dan ingin lagi. Tapi ga enaklah, kan ada Mbak Tika mu..."

"Ahh... tidak apa-apa Mbak, Mbak Tika sudah tidur. Lagi pula kalau dia tahu juga tidak mengapa. Tidak ada yang perlu dirahasiakan, kita sudah sama-sama tahu semuanya."

Walau Mbak Lula sedikit menolak karena merasa sungkan ada Mbak Tika, aku tidak menyerah. Aku mulai menciumi lehernya, tanganku mulai menerobos bajunya dan meremas-remas payudaranya di balik Bra nya dengan gemas. Saat merasakan penolakan Mbak Lula mulai melemah, maka tanganku yang satu lagi mulai membuka kancing bajunya, kini tampaklah payudara besarnya yang terbungkus Bra warna merah muda.

Walau sudah pernah melihatnya, tapi pemandangan ini tetap mempesona diriku. Biar lebih leluasa, maka segera kubuka bajunya, kini dia hanya mengenakan Bra di bagian atas tubuhnya. Aku remas dan mainkan payudaranya dengan gemas, tanganku menyusup ke balik Bra nya, memilin dan mengelus putingnya. Putingnya kurasakan mulai membesar dan mengeras, pertanda Mbak Lula juga mulai terangsang.

Aku menjadi semakin bersemangat, kucari kaitan Bra nya, kulepas dan kini Mbak Lula sudah bertelanjang dada. Kudorong badan Mbak Lula agak menyandar ke sofa, segera payudara besar itu kulumat habis dengan mulutku dan lidahku. Kini tanganku mulai bergerilya di balik roknya, kurasakan dari balik celana dalamnya, vagina Mbak Lula mulai basah. Sedikit kuturunkan celana dalam itu sampai ke paha Mbak Lula. Kini jariku segera memainkan vagina Mbak Lula.

Cepat sekali kurasakan vagina Mbak Lula basah, rupanya Mbak Lula juga sudah horny. Dan dia menginginkan lagi permainan ini. Tampaknya apa yang dikatakan Mbak Tika adalah suatu kebenaran. Jariku mulai memainkan klitorisnya sesekali juga menusuk lobang vaginanya. Bibirku dengan rakus menciumi wajah, leher, dan payudara Mbak Lula, lalu lengan Mbak Lula agak aku angkat, aku ciumi ketiaknya. Mbak Lula yang tampaknya baru membersihkan diri menjadikan aroma parfum dan sabun bercampur, sehingga menimbulkan aroma tubuh yang enak sekali, menambah naik nafsuku.

Tangan Mbak Lula menurunkan celanaku. Kemudian mulai mengurut-urut penisku, jemari halusnya terasa nyaman saat memainkan penisku. Dengan jari jempolnya mengelus kepala penisku, dan empat jari lainnya mengocok batangku, nikmat sekali. Puas menggerayangi dan menciumi Mbak Lula, akupun segera melepaskan rok dan celana dalam Mbak Lula. Mbak Lula duduk di sofa, kakinya dilebarkan.

Aku segera berjongkok dan mengarahkan mulutku ke vaginanya, lidahku langsung membombardir vagina Mbak Lula, lubang vaginanya kujilat dan kusodok-sodok dengan ujung lidahku, klitorisnya menerima jilatanku yang penuh nafsu, Mbak Lula hanya bisa meremas-remas rambutku dan mendesah penuh kenikmatan. Aku terus saja memainkan klitoris Mbak Lula, belum lagi jariku dengan aktif menyodok-nyodok lubang vaginanya, makin kelojotan saja Mbak Lula dengan aksiku. Tak lama Mbak Lula mengejang, lalu orgasme.

Baru saja aku melepas lidahku dari klitorisnya, Mbak Lula segera menarikku, dan menyuruhku berbaring di sofa. Tanpa basa-basi lagi, dia langsung melumat penisku dengan mulutnya, tampak bernafsu sekali, habis penis dan bijiku, dijilat, dihisap dan dikulumnya, sepertinya Mbak Lula dahaga sekali dengan penisku ini.

Aku biarkan Mbak Lula memainkan penisku, sementara mataku menatap ke ranjang. Mbak Tika kulihat sedang duduk menyaksikan kami, dia nampak bermain dengan dirinya sendiri. Jari tangannya sibuk memainkan vagina dan klitorisnya, membuat nafsuku jadi ikut naik.
Sabar dulu Mbak Tika, aku tahu Mbak sudah lama menginginkan permainan ini, tapi sekarang jatah buat Mbak Lula dahulu.

Segera kuhentikan kegiatan Mbak Lula mengoral penisku, kubaringkan Mbak Lula di sofa. Kemudian aku segera menindihnya, Mbak Lula melebarkan kakinya, memberi kemudahan bagi penisku saat menerobos lubang vaginanya yang sudah sangat basah karena nafsu. Kupompa penisku dengan cepat, dan sedalam mungkin, mulutku tidak ada hentinya menciumi bibir, payudara dan puting Mbak Lula bergantian. Kami berdua bermain dengan panas memenuhi nafsu yang membuncah.

Mbak Lula mendesah dan mengerang dengan penuh kenikmatan, tangannya yang memeluk punggungku, kurasakan sangat kuat. Pompaan penisku terdengar sangat jelas di dalam lobang vagina Mbak Lula, semakin menambah sensasi dan kenikmatan kami. Mbak Lula mulai mengerang dan mengejang, cairan hangat menyembur dari vaginanya, tapi tak menghentikan gerakanku, justru semakin menambah gairahku.

Tiba-tiba kurasakan ada lidah yang bermain di biji dan lubang pantatku, nampaknya Mbak Tika juga sudah gerah melihat permainan kami, dan ikut bergabung. "Gila.... enak sekali rasanya," saat aku memompa vagina Mbak Lula, biji dan lubang pantatku dijilati dengan ganas dan bergairah oleh Mbak Tika, wow ... Nampaknya karena kenikmatan yang bertubi-tubi menghampiri, peniskupun mendekati klimaksnya, segera kukerahkan sodokan terakhirku sepenuh tenaga dan, "Crootttt..... croooott........" spermaku menyembur kuat dalam lobang vagina Mbak Lula. Aku terkulai lemas .....mencabut penisku, dengan badan masih menindih Mbak Lula.

"Kamu ganas sekali, Vin..."

"Iya, soalnya tadi sore aku belum puas menikmati vagina Mbak...."

"Iya, Mbak juga...."

Nampaknya kini Mbak Lula menyadari, Mbak Tika ada di dekatku dan sedang menjilati sisa sperma di penisku. Mbak Lula agak kaget, dan sepertinya merasa tidak nyaman. Mbak Lula kemudian berkata...

"Vin, Mbak Lula mandi dulu yah..."

"Jangan dong Mbak, Gavin masih belum puas..."

"Kan ada Mbak Tika, kamu kan bisa puasin sama dia. Kalau kamu kurang sama Mbak, kita bisa lanjut kapan-kapan."

"Nggak ah... Gavin mau Mbak Lula tetap di sini, juga Mbak Tika, kita bisa main bertiga ..."

"Kamu ini aneh-aneh saja ah, Vin. Mbak nggak mau..."

"Kenapa... Mbak ???"

"Malu, Vin ..."

"Malu ...??? Yang ada di sini cuma kita bertiga, malu sama siapa ...??? Mbak Tika... Mbak malu nggak ...???" tanyaku pada Mbak Tika.

"Nggak Vin, malah sebenarnya Mbak memang sudah lama berfantasi melakukan seks bertiga seperti ini. Cuma bingung mau main sama siapa, kalau sama kamu dan satu wanita yang kamu mau, Mbak mau dan nggak merasa risih ..."

"Tuh Mbak Lula dengar kan ..."

"Iya Vin, tapi Mbak ..."

"Sudah ah, Mbak Lula ikutin dan bikin santai saja. Nanti lama-lama Mbak juga bakalan menikmatinya."

Baru saja aku selesai bicara, kulihat Mbak Lula agak mendesah. Rupanya Mbak Tika, sedang menggarap klitoris Mbak Lula. Aku segera berdiri dan mengarahkan penisku yang sudah kembali mengeras ke mulut Mbak Lula, minta dikulum lagi. Mbak Lula nampaknya tidak bisa menolak lagi dengan situasi yang ada, mulutnya segera mengulum penisku yang berdiri di sampingnya. Sementara Mbak Tika menjilati klitoris Mbak Lula. Aku sangat terangsang melihat pemandangan ini, kurasakan penisku sangat keras dalam mulut Mbak Lula. Tanganku kini sibuk meremas-remas dan memainkan payudara besar Mbak Lula.

"Aghhh.... awwww... aduhhhhh... teruuush..."

"Oooohhh..... ughh... yesss... yesss...."

"Tikh... Tiikhaa... ennaaakkkk.... ughh... ssshhhh..."

Mbak Lula nampaknya sangat menikmati permainan lidah Mbak Tika pada klitorisnya, dan benar saja... tak lama kemudian Mbak Lulapun orgasme. Aku segera melepas penisku dari mulut Mbak Lula... dan memberi kode Mbak Tika supaya berdiri, Mbak Lula masih telentang di sofa, kakinya mengangkang dengan vagina yang sudah merah karena menerima hantaman kenikmatan, namun aku berniat menambahnya, toh Mbak Lula sudah lama menginginkan permainan ini.

Maka tanpa banyak komentar kembali kuhantamkan penisku ke vagina Mbak Lula, Mbak Lula mendesah nikmat. Sementara Mbak Tika berjalan ke ujung sofa, naik dan berdiri tepat di atas muka Mbak Lula, kemudian menungging, kini vaginanya di atas muka Mbak Lula, sementara wajahnya berhadapan denganku. Mungkin Mbak Lula masih bingung dengan apa yang harus dilakukan..., karena belum pernah melakukan permainan threesome.

"Mbak, jilat klitorisku juga dong..."

Mbak Tika segera merendahkan pinggulnya, mengarahkan vaginanya ke mulut Mbak Lula, kulihat Mbak Lula mulai menjilat vagina Mbak Tika dan memainkannya. Aku segera mencium bibir Mbak Tika, dengan tanganku meremas-remas payudara Mbak Tika. Kini gantian Mbak Tika yang juga mendesah keenakan, sementara Mbak Lula terus memainkan klitoris Mbak Tika.

Ciuman Mbak Tika semakin panas seiring dengan makin intensifnya jilatan Mbak Lula pada klitorisnya. Aku semakin semangat memompa penisku dalam vagina Mbak Lula. Tubuh kami bertiga sudah berkeringat, namun semangat dan gairah kami sudah terbakar dengan sempurna. Tak berapa lama Mbak Tika juga mengejang dan orgasme.

Aku segera mencabut penisku dari lobang vagina Mbak Lula, kemudian Mbak Lula dan Mbak Tika kusuruh duduk di sofa panjang berdampingan, pasrah dengan kaki mengangkang siap menerima sodokan penisku pada vagina mereka. Kali ini gilirannya Mbak Tika, segera kuhujamkan penisku ke lubang vaginanya. Mbak Tika menjerit nikmat. Segera aku beraksi memulai memompa, sementara tanganku bergantian meremas-remas payudara besar milik Mbak Lula dan Mbak Tika.

Mbak Tika juga memulai inisiatif mencium Mbak Lula, Ugh... panas sekali melihatnya saat Mbak Lula berciuman dengan Mbak Tika, saling memainkan bibir dan lidah. Kadang-kadang aku juga ikut mencium mereka bergantian. Mulutku juga sesekali menciumi payudara mereka berdua, sensasional sekali nikmatnya, pompaanku dalam vagina Mbak Tika semakin kuat, rupanya Mbak Tika tidak tahan lagi dan menyemburkan orgasmenya.

Kucabut penisku dan segera kuarahkan ke vagina Mbak Lula, kini gantian aku memompa Mbak Lula. Sementara tangan Mbak Tika kembali memainkan klitorisnya sendiri. Mbak Lula membantu dengan meremas-remas payudara Mbak Tika, rupanya Mbak Lula mulai pandai berthreesome. Aku mencium Mbak Lula sambil meneruskan memompa penisku, gairah kami bertiga saat itu benar-benar amat tinggi.

"Yesss... yess... ahhhhh...."

"Teruuusss... Vin...."

"Oooohhh...... ooohh.... auuwwww ..."

Mbak Lula ribut sekali, Tampaknya dia benar-benar kehausan selama ini. Membuat vaginanya sangat kangen saat bertemu dengan penisku, akupun tidak mau setengah-setengah memompakan penisku. Pinggul Mbak Lula ikut bergoyang mengimbangi dan menambah rasa enak. Tangannya terangkat ke atas meremas payudaranya sendiri, yang menambah rangsangan. Sodokanku makin kuat saja. Tidak lama Mbak Lula mulai menunjukkan gejala mau orgasme lagi, aku menjadi semakin bernafsu, dan akhirnya Mbak Lula orgasme diiringi desahan kuat. Sementara kulihat Mbak Tika masih sibuk bermain dengan klitorisnya.

"Sudah Vin, sana kamu ke Mbak Tika, Mbak Lula sudah capek, dari tadi kamu hajar habis-habisan, itu kasihan Mbak Tika, kamu selesaikan sama Mbak Tika ya... !!!"

Mbak Lula lalu hanya menyelonjor di sofa, aku segera menuju Mbak Tika. Kubuat posisinya menungging, dan aku sodok vaginanya dari belakang, kali ini aku bergerak dangan amat cepat, karena aku juga sudah mulai lelah, sambil menungging, kedua tangan Mbak Tika kutarik ke belakang, tapi tidak kuat, hanya sebagai pegangan. vaginanya sudah sangat basah, entah berapa banyak kenikmatan yang dia dapat, tapi tetap saja mau lagi dan lagi.

Penisku kini sudah mendekati batas maksimum, segera kulepas tangan Mbak Tika, kutinggikan tubuhnya sedikit, kini tanganku memeluk erat payudaranya, dan dengan desahan kuat aku lakukan sodokan terakhirku, keluarlah spermaku dengan kuat membasahi liang vaginanya. Kami terdiam sesaat. Lalu aku segera mencabut penisku. Puas, nikmat, dan lelah menjadi satu.

"Aghh... nikmat dan puas banget, Vin."

"Kamu hebat Vin, Mbak senag sekali."

"Mbak... bagaimana dengan Mbak Lula..."

"Kan kamu bisa lihat, Mbak sampai kehabisan tenaga..."

"Bagaimana, enak kan main bertiga... ?"

"Iya sih... tapi Mbak melakukan semuanya cuma demi kamu. Dan hanya sesekali saja ya... !"

"Jadi ceritanya Mbak Lula suka juga nih... ?"

"Ahhh, dasar nakal kamu, Vin..."

"Mbak juga sama Vin, cuma demi kamu. Tapi sebenarnya keuntungan juga buat kita-kita. Kita jadi mampu menahan seranganmu yang seperti tidak habis-habis. Ya, ngak Mbak," ucap Mbak Tika, sambil memandang ke arah Mbak Lula.

"Oke... Gavin senang karena bisa main bersama Mbak Lula dan Mbak Tika, dan juga memuaskan Mbak berdua. Mungkin kapan-kapan kita perlu ajak Mbak Ina dan Mbak Rani, biar tugas Mbak berdua lebih ringan lagi...," Ujarku, sambil tersenyum, mengoda mereka. Yang langsung disambut dengan senyum cemberut dari dua orang wanita di depanku.




Chapter XXIV : Eraser

Pagi itu di kamar aku dirawat...

Setelah melakukan pemeriksaan pada seluruh tubuhku, Dokter memperbolehkan aku untuk pulang. Aku segera memberi tahu Ayah, Ibu, Elang, Mas Bram dan teman-teman yang lainnya. Sementara Mbak Tika mengurus administrasinya.

Saat kutelepon, Elang mengatakan akan segera ke Rumah Sakit. Aku sudah bersiap untuk pulang dan tinggal menunggu surat jalan yang sedang diurus Mbak Tika, saat Elang datang dengan seorang wanita.

Dia segera memperkenalkan wanita itu padaku. "Avi," ucap wanita itu memperkenalkan diri.

"Gavin," balasku.

Sebenarnya tanpa dia tidak menyebut nama, aku sudah tahu siapa dia. Avianai Malik, ya Elang sudah mengatakan di dalam ceritanya. Avi sempat bertanya bagaimana keadaanku dan juga minta maaf tidak sempat datang sebelumnya, dikarenakan sibuk. Kami lalu berbincang sambil menunggu Mbak Tika datang.

Tidak lama kemudian Mas Bram datang bersama Mbak Rara, dia adalah calon istrinya Mas Bram. Indhira Purnaningtyas lengkapnya, tapi biasa dipanggil Rara. Dia bekerja di Kemenlu. Yang aku ketahui saat ini dia ditempatkan di Kedutaan Besar Indonesia yang ada di India.

"Gimana kabarnya, Vin ?" tanya Mbak Rara.

"Baik Mbak, kapan pulang ?" tanyaku.

"Dua hari yang lalu. Kemarin masih sibuk mengurus kepindahan Mbak, jadi tidak sempat kesini."

"Mutasi lagi Mbak, kemana ?"

"Sudah cukup Mbak melalang buana, Mbak mau disini saja. Ini juga permintaan Mas mu, ya kan ?" kata Mbak Rara sambil menoleh ke arah Mas Bram. Mas Bram hanya tersenyum mendengar perkataan itu.

Kemudian Mbak Rara berkenalan dengan Elang dan Avi. Sementara Mas Bram tampaknya sudah lama kenal dengan Avi.

@@@@@

Setelah Mbak Tika selesai mengurus surat jalan. Aku dan lainnya segera meninggalkan Rumah Sakit yang kudiami hampir satu bulan. Aku dan Mbak Tika ikut naik mobil Toyota Harier Mas Bram, sementara Elang dan Avi Naik sepeda motor mengikuti kami di belakang.

Aku meminta Mas Bram mengarahkan mobilnya ke apartemen Om Anwar. Saat di suatu jalan yang agak lenggang Elang mendekati mobil dan mengetuk jendela seakan ingin berkata sesuatu. Mas Bram sedikit memperlambat laju mobilnya, aku segera membuka jendela. Tapi sebelum aku bertanya Elang lebih dulu berkata, "Bmw X5 di belakang mengikuti kita semenjak keluar dari Rumah Sakit," ujarnya.

Aku segera menengok ke belakang sesuai apa kata Elang. Benar saja, sebuah BMW X5 mengikuti kami dari belakang. Tapi kemudian aku ingat bahwa mobil itu adalah kendaraan yang biasa di pakai Om Dans, "Tidak apa-apa Lang, dia teman." ucapku memberi penjelasan.
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan, hingga sampai tujuan dengan aman.

Kami terpaksa bergotong-royong membersihkan aparteman yang kotor karena lama tidak ditempati. Sore harinya Mas Bram pulang sekalian mengantar Mbak Rara. Elang juga keluar mengantar Avi pulang. Sore itu juga banyak teman-teman dan wanita-wanitaku yang datang, merayakan kesembuhanku. Hampir tengah malam, ketika satu-persatu pulang.

Sampai keesokan harinya. Pagi itu Mbak Tika sedang keluar dengan Mbak Rani. Sementara aku memang masih cuti. Elang juga berkata akan ada tugas nanti sore, sementara ini dia bisa bersantai. Kami kembali bercakap-cakap santai seperti saat di Rumah Sakit.

"Lang aku masih penasaran dengan kisahmu waktu itu. Terakhir kamu bercerita, kamu masih bingung dengan perasaanmu kepada Avi. Apakah kemudian saat itu kamu memutuskan untuk menerima cintanya dan menyusul dia ke Jakarta ?" tanyaku pada Elang.

Dia tersenyum kemudian berkata, "Aku bukan sepertimu Vin, mungkin kalau kamu akan bertindak seperti itu, tapi aku tidak, bukan aku tidak cinta pada Avi, tapi aku tidak akan melakukan sesuatu hanya karena Wanita." mendengar itu aku merasa tersindir juga, akupun hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Elang kemudian melanjutkan ucapannya. "Baiklah aku akan menceritakan kenapa aku bisa sampai ke kota ini." Elang lalu menceritakan kelanjutan cerita hidupnya yang sempat terpotong ketika di Rumah Sakit.

@@@@@

Elang Side's story : Eraser

Sesampainya di kantor aku segera menuju ke ruangan Pak Kapolresta. Tapi saat itu sedang ada tamu di ruangan Pak Kapolresta. Tampaknya orang yang cukup penting, karena semua kasat ikut menemuinya. Terpaksa aku menunggu di depan ruangan itu sambil bercakap-cakap dengan teman kerja lainnya.

Tidak lama kemudian pintu ruangan itu terbuka, keluarlah Pak Kapolres mengiringi tamu. Aku langsung bangkit dan memberi hormat. "Bram, ini Elang yang kita bicarakan tadi," kata Pak Kapolres. Dia kemudian mengulurkan tangannya dan berkata "Bram," ucapnya memperkenalkan diri.

Aku pun kemudian menyambut uluran tangannya, "Elang," balasku. Orang itu memandang ke arahku, kemudian tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Usianya masih muda, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dariku. Kami kemudian berbincang beberapa saat. Baru kuketahui pangkatnya sudah AKBP, tugasnya saat ini sedang di Polda Metro Jaya. Tapi tampaknya tidak lama lagi dia akan segera ditarik ke Mabes.

Setelah Pak Bram pulang aku segera menghadap Pak Kapolres dan menceritakan pertemuanku dengan Ardi. Dia termenung beberapa saat kemudian berkata, "Aku mau kita bertindak cepat dan rahasia dalam urusan ini. Aku tidak mau ada anggota kita yang bermain dalam urusan ini. Atau kejadian dua tahun lalu berulang kembali." Ujarnya.

Aku hanya terdiam mendengar Pak Kapolres menyinggung kejadian dua tahun yang lalu. Aku tentu ingat dengan jelas peristiwa itu. Karena aku terlibat di dalamnya. "Lang, aku ingin hanya kita berdua yang tahu masalah ini. Kita masing-masing buat satu tim rahasia. Tim yang kamu pimpin yang akan bergerak ke lapangan. Sementara tim ku akan mem back up dari belakang dan membantu dalam urusan ijin dan yang lainnya. Bagaimana menurutmu ?" tanya Pak Kapolres.

"Siap laksanakan semua perintah Pak, aku setuju dengan rencana Bapak."

"Baik, kamu siapkan orang yang kira-kira bisa masuk ke dalam tim. Kalau kamu kesulitan mendapatkan orang itu, kamu hubungi aku langsung ke nomer pribadiku. Aku harap kita sudah bisa mendapatkan orang-orang itu, saat kita bertemu nanti malam."

"Siap Pak !!!" kataku.

@@@@@

Setelah itu aku segera keluar dari ruangan dan menuju ke tempat orang-orang yang akan kumasukkan ke dalam tim. Aku harus kesana-kemari untuk menemui orang-orang yang kuperlukan. Malamnya kemudian aku mengajak beberapa orang yang menurutku layak untuk masuk ke dalam tim.

Aku memperkenalkan orang-orangku kepada Pak Kapolres. Orang pertama adalah Jaka Warsito, dia adalah kakak dari sahabatku yang telah tiada. Dia tahu undang-undang narkotika dan psikotropika dengan baik. Dia akan mempersiapkan tuntutan perkara untuk membantu kita mendapatkan keyakinan di pengadilan narkotika. Dia juga bukan orang baru dalam hal ini. Sudah beberapa kali aku meminta bantuannya.

Orang kedua Andika, dia orang baru dalam dunia ini. Tapi pengetahuannya tentang psikotropika mungkin berguna bagi tim.

Yang ketiga mungkin tidak layak. Tapi dia punya jaringan kuat dan pengetahuan mendalam tentang pemakai narkotika. Orangnya kasar, jujur dan apa adanya. Namanya Imran.

Setelah aku memperkenalkan anggota tim ku maka Pak Kapolres memulai rapat untuk merencanakan segala sesuatunya. "Teman-teman, pimpinan operasi ini adalah Elang. Kalian akan melaporkan segala sesuatunya kepada Elang. Aku hanya akan memberi dukungan dari belakang dan bila ada sesuatu yang terjadi aku yang akan bertanggung jawab, Elang silahkan kau mulai paparkan rencananya."

"Terima kasih Pak," kataku kemudian maju ke depan. "Kita akan menangani empat kelompok utama, tugas kita adalah memusnahkan empat geng ini. Kita mulai bergerak malam ini, kalau sudah pasti kita akan langsung bertindak. Kita namakan operasi ini 'Eraser'. Ada pertanyaan ?" tanyaku.

Melihat tidak ada yang bertanya, aku segera menjelaskan rencana-rencanaku dan tindakan apa yang akan kami lakukan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Setelah itu kami segera mempersiapkan diri, baik persenjataan maupun hal teknis lainnya yang di perlukan.

@@@@@

Begitu pagi menjelang, kami dua belas orang anggota tim segera berangkat dengan menggunakan tiga buah mobil. Pertama kami menuju tempat yang terdekat. Arah barat laut, Salatiga. Sesampai di kota Salatiga, kami kemudian segera membelok ke arah barat daya. Tidak lama kami sampai di Getasan.

Tanpa menunggu lama kami menuju sasaran. Karena semua penduduk sekitar tahu pabrik yang kami maksud, maka tanpa kesulitan kami menemukan pabrik farmasi yang di jadikan kedok untuk memproduksi Mandrax itu. Dari luar memang seperti pabrik biasa.

Setelah melihat situasi dan kondisi, kami segera bergerak. Empat orang penjaga tidak bisa bergerak saat senjata kami menodong mereka. Kami kemudian memaksa mereka untuk membuka pintu, dengan cepat kami melakukan penggeledahan dan pemeriksaan. Setelah yakin bahwa benar-benar tempat ini adalah pabrik untuk memproduksi Mandrax. Kami memaksa Martono sang pengelola untuk datang.

Dengan cepat dan mudah satu geng kami bekuk tanpa ada perlawanan. Kami menitipkan mereka dan barang buktinya di kantor polisi terdekat. Dengan pesan jangan ada berita yang keluar.

@@@@@

Setelah istirahat barang sejenak, kami melanjutkan perjalanan menuju Magelang. Dan terus menuju arah Mungkid. Siang itu kami menyusuri semua pangkalan truk, mencari dimana biasanya sopir pabrik Acetic Anhydride itu memindahkan barang yang dibawanya. Dari informasi yang didapat, mereka biasanya masuk ke pangkalan itu pada tengah malam.

Kami berpencar duduk di warung yang berada di sekitar tempat itu. Hampir jam satu malam, saat dua buah truk masuk pangkalan. Dua truk itu mengambil parkir salin berdekatan. Kami masih belum begerak, hanya memperhatikan gerak-gerik sang sopir.

Dari tempatku mereka memindahkan sesuatu dari drum-drum besar yang ada di dalam truk dan di pindah ke jirigen kecil. Setelah penuh mereka membawa jirigen kecil itu ke sebuah truk lain yang sudah menunggu. Saat kedua kalinya mereka akan memindah jirigen kecil itu, aku memberi kode kepada Imran yang duduk denganku. Aku bergerak cepat mendekati dua orang itu. Di ikuti yang lain mengepung dua orang itu.

Tanpa basa-basi aku langsung bertanya pada salah satu dari mereka. "Karman, aku tidak membutuhkanmu atau barang yang ada di tanganmu itu. Aku ingin Kuntoro, di mana dia ?"

"Siapa Kuntoro, Bos ?" jawabnya.

Aku menoleh kepada Imran dan memberikan kode kepadanya. Imran mengangguk, "Itu jawaban yang salah sobat !" kata Imran, sambil mengangkat pistolnya. Dan "Dooor..." dia menembak kaki karman. Karman langsung menjerit kesakitan sambil memegangi kakinya.

Saat pistol Imran kembali di angkat, Karman tanpa di minta dua kali langsung membuka mulutnya. "Pak, 13 kilometer ke timur dari sini ada desa kecil. Disana anda dapat menemukan Kuntoro."

Tanpa menunggu lama kami bergerak ke arah yang di tunjukan Karma. Cahaya matahari mulai menyinari bumi ketika kami memasuki areal persawahan di suatu desa kecil di Mungkid. Untuk memastikan kami bertanya kepada penduduk sekitar. Matahari benar-benar tampak saat kami mulai mengepung markas Kuntoro. Markas yang sangat strategis, karena terpencil dan tidak ada orang yang menyangka, bahwa rumah di tengah ladang sawah akan dijadikan gudang obat-obatan terlarang.

Kami mengepung tempat itu dari empat penjuru. Sambil melihat situasi dan kondisi aku perintahkan mereka untuk mempersiapkan diri. "Dueeers...," Detik-detik menegangkan dipecahkan bunyi tembakan yang mengarah ke arah kami. Aku segera menghindar, malang satu anggota tim tertembak. Aku memerintahkan untuk membalas serangan mereka.

Maka terjadilah Baku tembak di pagi hari itu. Bunyi tembakan dan rintihan kesakitan terdengar, saling susul menyusul. Kulempar beberapa botol bensin kecil yang kutemukan ke atas atap rumah yang dipakai gerombolan mereka untuk bersembunyi dan menyerang. Saat botol itu melayang di atas atap yang terbuat dari rumbia, kutembak botol itu. "Dooorss... Bummms..." api segera membakar atap dan dengan cepat merambat ke segala arah karena efek bensin dari botol itu.

Beberapa kali kulakukan hal itu, hingga seluruh rumah nyaris tertutup api. Maka anggota gerombolan itu berhamburan keluar dari dalam rumah. Dengan mudah mereka kami kuasai. Ada beberapa yang mencoba untuk kabur, dengan terpaksa kami lumpuhkan mereka. Termasuk Kuntoro berusaha untuk lari, dia yang paham daerah sekitar untuk beberapa lama dapat berlari jauh. Tapi aku terus mengejarnya, hingga dia akhirnya menyerah karena kehabisan tenaga.

@@@@@

Dua target berhasil kami habisi, walau memakan korban beberapa orang anggota tim. Kami terpaksa meninggalkan mereka di Magelang. Tanpa istirahat kami langsung melanjutkan perjalanan. Tengah hari kami memasuki kota Yogyakarta. Kami bagi dua kelompok, satu kelompok mencari informasi dan satu kelompok beristirahat untuk memulihkan stamina sambil menyusun rencana selanjutnya.

Setelah seluruh anggota tim merasa fit, kami mulai bergerak kembali. Menuju tempat yang menjadi target selanjutnya. Geng pimpinan Thomas berada di daerah dekat pantai Parangtritis. Markasnya berada di daerah yang terpencil jauh dari keramaian. Menjelang sore kami mengepung tempat itu.

Markasnya adalah rumah kuno peninggalan Belanda. Agar tidak sampai terjebak gelapnya malam, aku memberi perintah untuk bergerak. Perlahan kami semakin dekat dari rumah itu. Dari luar tampak sepi, seperti tiada kehidupan. Kami masuk dengan berpencar melewati berbagai jalan. Aku masuk ke dalam salah satu kamar yang jendelanya terbuka.

Dari ruangan itu aku dapat melihat suasana di dalam rumah. Kulihat ada beberapa orang berbicara, ada yang bersantai, ada yang menelepon, juga ada yang sedang menikmati obat-obatan. Serius mengintai, membuatku sedikit lengah. Hingga tidak sadar tiba-tiba di belakangku muncul seseorang.

Saat aku menengok ke belakang, seseorang menodongkan pistolnya ke arahku. Aku mencoba untuk tenang, kuangkat kedua tanganku ke atas. Tapi dengan cepat tanpa diduga orang di depanku. "Plaaak... !!! duaaak... !!! praaang... !!!" Tanganku bergerak menyilang menghantam pergelangan tangan orang itu. Begitu senjata lepas dari tangannya, kakiku bergerak naik menghantam dadanya. Orang itu terlempar dan menghantam lemari kaca di belakangnya.

Sebelum mereka sadar aku sudah menyerang mereka lebih dulu. Beberapa teman melempar bom asap ke dalam ruangan. Maka terjadilah baku tembak, di rumah besar peninggalan Belanda itu. Karena mereka tanpa persiapan, kami yang menyerang dengan senjata lebih lengkap dan terencana dapat mengusai mereka. Walau jumlah kami jauh lebih kecil.

@@@@@

Sebenarnya kami ingin langsung menyelesaikan geng yang terakhir. Tapi terpaksa kami tunda keinginan itu. Hal ini disebabkan surat ijin untuk membawa Darto dari penjara belum keluar. Kami di perintah untuk tidak perlu kembali ke Markas. Untuk menjaga tugas kami tetap rahasia, kami tidak menghubungi kepolisian setempat. Kami menginap di losmen kecil untuk tidak menarik perhatian.

Dalam masa tugas seperti ini biasanya pikiranku fokus untuk segera menyelesaikannya. Tapi semenjak pertemuanku dengan Avi, pikiranku kadang-kadang menjadi tidak fokus. Apa lagi malam ini aku sendirian di kamar, anggota tim yang lain aku bebaskan untuk bersantai dan bersenang-senang. Dalam kesendirian, bayangan wajah Avi bermain di dalam pikiranku.

Ada keinginan dalam hati untuk menghubunginya. Tapi perasaan itu kutekan kuat-kuat. Hal seperti ini baru kurasakan dua kali. Dulu aku juga pernah merasakan hal seperti ini. Chantal, ya nama itu pernah terpatri dalam hatiku. Perasaan yang sama pernah kurasakan pada Chantal. Tapi waktu itu aku paksakan juga untuk tidak menanggapi isi hatiku. Aku masih takut akan keselamatan orang di sekitarku.

Avi mungkin belum pernah mengalami bahaya seperti yang di alami Chantal. Tapi siapa tahu bahaya akan mengancamnya bila Avi dekat denganku. Bila dulu aku bisa menekan perasaanku pada Chantal, maka aku ingin mengulanginya lagi pada Avi. Tapi semakin aku berusaha untuk tidak memikirkannya, bayangannya selalu muncul dalam ingatanku.

Akhirnya sampai jauh malam aku tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku kemudian tidak terpaku pada Avi. Muncul bayangan Chantal, kemudian di ikuti orang-orang dari masa laluku. Munculnya bayangan Chantal, mengingatkan aku kepada Rudi, adik dari Mas Jaka. Dia adalah sahabatku semenjak sekolah. Tapi dia telah tiada karena peristiwa itu. Rudi meninggal karena di tembak Andi, rekan kerja kami berdua. Andi dinyatakan meninggal jatuh ke dalam jurang. Dan tentu saja Pak Yudi, mantan atasanku yang juga dinyatakan meninggal di dasar jurang.

Walau hal itu sudah dinyatakan secara resmi dari tim dokter dan keluarga mereka, tapi aku merasa masih ada yang janggal dengan kematian Pak Yudi dan Andi. Dari bayangan Pak Yudi dan Andi, pikiranku beralih kepada Kakek dan Nenek. Ya karena kata-kata rahasia dari kakek ketika aku menceritakan tentang peristiwa itu kepadanya. Ada satu hal yang kakek rahasiakan dariku. Tentang kematian anak kandungnya. Sementara aku hanya cucu angkat mereka. Dari dulu kakek tidak mau menceritakan penyebab kematian anak, menantu dan cucunya. Tapi saat aku menceritakan kematian Pak Yudi, dia tampak termenung dan tanpa sadar mengucapkan kata-kata "Tampaknya ini merupakan karma atas apa yang telah dilakukannya, termasuk yang telah dilakukannya pada putraku."

Saat aku bertanya, apa Pak Yudi yang bertanggung jawab akan kematian putranya, kakek kembali menutup mulutnya. Hingga saat meninggalnya aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya. "Truntung...truntung...," Lamunanku di buyarkan oleh bunyi telepon yang masuk. Kulihat nama Avi muncul di layar. Muncul kebimbangan dalam hatiku, antara menerima panggilan itu atau menolaknya.

Untuk beberapa lama tanganku berada di atas tombol panggil. Tapi jari ini terasa berat untuk menekannya, hingga suara panggilan itu berhenti. Ada perasaan lega yang disertai rasa menyesal karena tidak menjawab panggilan Avi. Maka begitu suara telepon kembali berbunyi untuk kedua kalinya, segera kujawab panggilan itu, "Halo Avi, maaf tadi aku sedang di kamar man..."

"Hei Elang, saya bukan Avi. Saya Arman, dan saya masih cowok tulen, hahaha...." Ucapanku langsug terputus dan darah serasa mengalir deras ke seluruh wajah, karena malu. Begitu mendengar suara dari seberang. Karena suara itu bukan suara Avi, melainkan Pak Kapolres.
"Ma... ma...af pak. Bukan maksud saya. Saya kira tadi teman saya yang menelepon," kataku menjelaskan pada orang yang di seberang. "A...da apa pak?" Bapak Kapolres tertawa dan menerima permintaan maafku sebelum beliau menjelaskan maksud dan tujuan beliau menghubungiku.

Pak Kapolres mengatakan surat izin yang kita perlukan sudah keluar, dan akan di antar salah satu teman malam ini juga ke Yogya. jadi besok kami bisa bertindak. Sebelum menutup telepon Pak Kapolres sempat menggodaku dengan menanyakan, siapa yang aku panggil Avi ?

Mendengar berita tentang surat ijin yang telah keluar, membuat pikiranku tentang Avi menjadi berkurang. Niatku yang sebelumnya ingin menghubungi dia, menjadi batal. Aku lalu menghubungi salah satu teman yang berjaga dan berpesan padanya, jika teman yang membawa surat sudah datang aku segera dibangunkan.

Setelah pikiranku tenang kembali, maka aku berusaha kembali untuk dapat memejamkan mata barang sejenak, untuk sedikit memulihkan tenaga.

@@@@@

Pagi buta kami sudah meninggalkan penginapan. Mobil melaju menuju arah barat. Melawati Kutoarjo, Kebumen, Gombong, Kroya dan terus berlanjut ke Cilacap. Kami hanya beristirahat dalam perjalanan menyeberang ke Pulau Nusa Kambangan.

Tanpa kesulitan kami di izinkan untuk masuk ke dalam menemui Darto. Saat itu dia sedang santainya duduk dan bercakap-cakap dengan seorang sipir di ruangan yang nyaman. Dia sedang berkata pada sipir itu, "Kamu hanya membawa heroin itu ke Solo, nanti akan ada orangku yang akan menerimanya."

Tanpa permisi aku langsung masuk, Sipir yang sedang bersama Darto berusaha menghalangi. Tapi tanpa basa-basi aku dorong tubuh sipir itu ke samping dan kuraih kerah baju Darto hingga tubuhnya terangkat, "Siapa yang akan menerima heroin itu di Solo ?" tanyaku.

"Heroin apa Pak ?" kata Darto, pura-pura tidak mengerti.

"Aku punya surat izin untuk membawamu keluar dari sini. Jadi kamu tinggal pilih, mau mati tanpa kubur di luar, atau mengatakannya dan tetap hidup nyaman di sini ?" kataku dengan mengacungkan pistol ke arahnya.

Wajah Darto langsung berubah mendengar perkataan dan juga senjata di tanganku. "Aku akan menghitung sampai tiga atau aku akan ...?" kata-kataku belum selesai, saat Darto berkata, "Aku akan berkata dimana Tono dan Tino berada."

Setelah berhasil membuka mulut Darto, kami segera kembali ke kota Solo. Menjelang sore sampai di kota Solo. Aku beserta Jaka, Andika dan Imran segera menuju alamat yang di berikan Darto. Sementara anggota yang lain aku tugaskan untuk menjemput orang dan barang yang berhasil kita dapatkan.

Menjelang malam kami menemukan tempat yang kami cari. Saat kami masuk ke dalam, rumah itu kosong tidak ada orang. Tapi dari bekas-bekas yang terlihat, tempat itu ada penghuninya. Aku kemudian membagi tugas menjadi dua kelompok untuk mengawasi rumah ini secara bergantian.

Jaka dan Andika mendapat giliran pertama untuk berjaga dan mengawasi rumah itu. Dua hari kami mengawasi rumah itu, tapi tidak ada tanda-tanda munculnya Tono dan Tino. Tapi di hari ke tiga target kami muncul juga. Saat itu aku dan Imran yang berjaga. Untuk memanggil dan menunggu yang lain, aku khawatir mereka berdua kembali menghilang.

Setelah mereka masuk ke dalam, aku memberi kode kepada Imran Untuk bergerak. Aku dari depan dan Imran menghadang dari belakang. Aku masuk ke dalam dengan senjata di tangan. Saat itu terdengar suara dari arah belakang rumah, kulihat Imran sedang berkelahi dengan seseorang.

Saat aku akan membantunya, terdengar suara motor di depan rumah. "Treeeng... teng... teng...teng..." Aku segera sadar apa yang terjadi, aku berlari kembali ke depan rumah. Aku melakukan pengejaran. Tidak ingin dia menghilang di keramaian kota, aku mempercepat laju mobil dan ku senggol sepeda motornya. Sepeda motor itu oleng ke kiri, dan "Gubraaak !!!" menabrak warung di pinggir jalan.

Dengan mudah dia kutangkap, dan aku kembali ke rumah persembunyian mereka sambil membawa Tono. Imran pun tampaknya berhasil menyelesaikan tugasnya. Kulihat Tino menggelosor di tanah, dengan wajah bengkak di tubuhnya. Dengan tertangkapnya Tono dan Tino, maka selesai juga tugas kami kali ini.

@@@@@

Keesokan harinya, selesai melaporkan semua yang terjadi, kami diizinkan untuk beristirahat dua hari. Dengan catatan bisa dipanggil bila dibutuhkan. Saat sampai di tempat kost, teman sebelah menyampaikan berita padaku. Bahwa selama aku pergi aku dicari seorang wanita. Setelah mengucapkan terima kasih aku segera masuk ke kamar untuk beristirahat.

Aku sudah bisa menduga siapa yang mencariku. Mungkin karena ponselku jarang aktif, maka Avi datang ke sini. Di dalam kamar aku kembali diliputi perasaan gelisah, antara menghindar atau menemuinya. Di satu sisi aku mencoba menghindarinya karena takut perasaanku semakin dalam padanya. Di sisi lain aku ingin menemuinya dan mengungkapkan apa yang kurasakan.

Setelah berpikir lama akhirnya aku memutuskan untuk menemuinya. Aku segera membersihkan diri, kemudian aku mencoba menghubunginya. Tapi sebelum aku sempat memencet tombol, ternyata Avi lebih dulu menghubungiku. "Halo, Lang ada yang perlu kukatakan kepadamu."

"Ya, kamu di mana ?' tanyaku.

"Masih di hotel."

"Baik, aku ke sana sekarang ." ucapku. Setelah berganti pakaian, aku segera meluncur menuju hotel tempat Avi menginap. Kurang dari setengah jam sudah sampai di depan pintu kamarnya. Saat hendak mengetuk pintu kamarnya, terbayang peristiwa enam hari yang lalu. Aku mencoba menepis bayangan itu, kuketuk pintu kamar itu.

Pintu terbuka, di depanku berdiri wanita cantik yang beberapa hari ini menghantui pikiranku. Aviani Malik, dia memakai tank top warna merah muda dan bawahan memakai rok span hitam selutut. Dalam pandanganku, hanya dalam enam hari aku merasa dia semakin cantik dan menarik.

"Masuk Lang," kata Avi, membuyarkan lamunanku.

Aku masuk ke dalam kemudian duduk di sofa yang ada di kamar itu. Menghadapi penjahat tidak akan membuatku tunduk kepala. Tapi di hadapan Avi, kepalaku seperti berat untuk diangkat, tatapan matanya benar-benar membuatku tidak berdaya. Ucapan yang akan ku keluarkan, seperti tertelan kembali.

Kami diam untuk beberapa saat, kesunyian kamar dipecahkan oleh suara Avi, "Lang, aku akan pulang ke Jakarta nanti malam," Katanya.

Aku mengangkat wajahku dan memandang ke arahnya yang duduk di depanku. Pandangan mata dan ucapannya pernah kulihat dan kudengar. Aku seperti mengalami Dejavu. Apakah akhirnya akan sama seperti waktu itu ? pikirku. Tidak, aku tidak akan melakukan hal yang sama. Tapi, apakah aku siap dengan konsekuensinya ?

"Vi, aap.. apakah kita akan bertemu kembali ? tanyaku tanpa sadar.

"Itu bukan aku yang memutuskan, Lang. Semua itu tergantung pada dirimu. Kita sudah sama-sama dewasa, kamu pasti tahu akan perasaanku. Tapi aku tidak bisa menunggu lama Lang. Jadi semuanya terserah padamu."

Mendengar kata-katanya ada sedikit kelegaan di hatiku. Aku pindah duduk di sebelahnya, kini kami saling berdampingan. Mata kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka.

Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat, pikiranku berkecamuk. Apakah dia akan kuperlakukan sama dengan wanita lainnya. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya. "Ada apa, Lang ?"

"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."

"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."

Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss.

Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.

Tapi ketika tanganku hampir menyentuh payudaranya, tiba-tiba ... "Tok.. tok.. tok..," tiga ketukan di pintu membuat kami terperanjak. Semua gerakan kami terhenti seketika. "Mbak Avi.., ini Risma," terdengar suara dari luar kamar.

Mendengar suara itu Avi mendorong tubuhku menjauh. Sambil tersenyum dia berkata, "Maaf sayang..," Avi kemudian bangkit dan merapikan diri sejenak, sebelum kemudian membuka pintu.

"Masuk Ris," kata Avi pada seseorng.

Masuklah seorang wanita berumur sekitar 28 tahun. Dia sedikit terkejut melihatku ada di dalam kamar. "Ris, ini teman Mbak. Namanya Elang," kata Avi memperkenalkan aku pada temannya. Kami kemudian berkenalan, namanya Risma. Dia jurnalis dan bekerja di televisi yang sama dengan Avi. Tapi dia di tempatkan di Biro Surakarta.

"Lang, Risma mau mengantarku beli oleh-oleh untuk teman-teman di Jakarta. Kamu mau ikut ?" tanya Avi.

Sebenarnya aku lelah karena kurang istirahat satu minggu ini. Tapi aku takut mengecewakannya. Lagi pula ini terakhir kali kami bersama, entah kapan bisa bertemu dengannya lagi. "Baiklah aku antar," jawabku.

"Lang, aku tahu kamu lelah. Aku tidak mau kamu memaksakan diri," kata Avi, dengan penuh perhatian.

"Tidak apa-apa, Vi. Besok masih ada waktu untuk istirahat. Ayo berangkat," kataku sambil bangkit berdiri.

Seharian itu kami keliling pasar, membeli berbagai macam barang. Akhirnya sampai juga waktu perpisahan. Dia akan pulang menggunakan Kereta Api dari Stasiun Balapan. Kami masih di dalam mobil, menunggu jadwal kedatangan kereta. Masih ada waktu sekitar setengah jam, sebelum kereta itu datang.

"Lang apakah kamu akan datang ke Jakarta ?" tanya Avi.

"Ya, aku pasti ke Jakarta," jawabku.

"Kita sama saling mengerti isi hati kita masing--masing, walau kita tidak pernah mengetakannya. Tapi aku tidak mau hal itu membebanimu dan akhirnya kamu memaksakan diri. Aku tidak mau kamu ke Jakarta karena terpaksa memenuhi janjimu, tapi karena betul-betul keinginanmu."

Aku terdiam mendengar kata-katanya, Avi mungkin benar. Apakah aku akan ke Jakarta hanya untuk menemui dia. Atau haruskah aku meminta kepada atasan untuk memindahkanku ke Jakarta. Ya mungkin seperti itu. Tapi aku harus menyelesaikan semua tugas-tugasku di sini lebih dulu.

Kami masih sama-sama terdiam, hanya mata kami yang saling berpandangan. Dia memiringkan badannya ke arahku kemudian mengecup dahi, kedua pipi kemudian mengecup lembut bibirku. Setelah melepas kecupan pada bibirku dia berkata. "Bertemu lagi atau tidak, kamu selalu ada dalam hatiku." Dia kemudian membuka pintu mobil, karena suara kedatangan kereta sudah terdengar.

Aku ikut turun dan membawakan barang-barang miliknya. Aku ikut masuk ke dalam kereta dan keluar setelah ada pengumuman keberangkatan. Ada keinginan dalam hati untuk memeluknya terakhir kali sebelum berpisah. Tapi hanya lambaian tangan yang memisahkan kami berdua di malam itu.

@@@@@

Tiga hari kemudian...

Walau masih ada rasa lelah lahir maupun batin, akibat pekerjaan dan masalah hubunganku dengan Avi tapi aku paksakan diri untuk datang ke kantor. Beberapa malam yang lalu aku berketetapan untuk mencoba berbicara kepada Pak Kapolres untuk memindahkanku ke Jakarta. Tapi pikiran itu kembali goyah.

Aku kembali mencoba berpikir jernih kembali, sebelum mengambil keputusan. Untuk itu aku mecoba masuk ke kantor, mungkin dengan berkumpul dengan rekan-rekan pikiranku agak sedikit berkurang memikirkan tentang Avi.
Saat itu di ruangan ada Mas Jaka, aku memang sudah biasa memanggilnya Mas walau didalam pekerjaan. "Lang..., tampaknya Ardi menjadi informan yang bisa diandalkan" ucapnya.

"Benar Mas, aku juga sebenarnya terkejut dengan informasinya yang demikian mendetail."

"Sejak pertama kali kamu menyebut namanya aku sudah mencari namanya di bagian intel. Kemarin temanku memberi informasi tentangnya. Ardi tidak punya kenalan jaringan narkoba. Dia bekerja di suatu perusahaan software dan jaringan di kota Surabaya. Ardi biasanya ditugaskan di Kalimantan, Sumatera, Malaysia, Singapura dan sekitarnya. Anaknya mati di Vietnam, dan tidak diketahui penyebabnya."

"Dia berkata padaku, Anaknya mati karena disebabkan oleh narkoba. Karena itu dia benci dengan pengedar-pengedar narkoba."

"Bagaimana bisa orang luar mempunyai banyak informasi mendalam tentang orang-orang itu ?"

"Aku harap motifnya adalah untuk membalas dendam pribadi, bukan karena motif lainnya. Aku akan cari tahu tentang ini," kataku mengakhiri pembicaraan dengan Mas Jaka.

@@@@@

Setelah pembicaraan itu, aku keluar untuk bertemu Paiman. Kurang dari tiga puluh menit aku sampai ke tempat di mana dia biasa nongkrong. Tapi ternyata dia tidak berada di sana. Hampir satu jam dia belum muncul juga. Akhirnya kuputuskan untuk menuju tempat tinggalnya.

Ternyata dia juga tidak ada di rumahnya. Tetangga sekitar mengatakan sejak kemarin sore dia belum pulang. Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan penuh tanda tanya. Aku kemudian berkeliling ke tempat-tempat lain yang biasa di kunjunginya, tapi nihil juga.

Saat dalam perjalanan kembali ke kantor Imran meneleponku. Imran mengatakan, ditemukan sesosok mayat di sebuah gudang tua di timur kota. Penyebabnya mungkin pembunuhan. Aku segera membelokkan mobilku ke arah timur, dan menuju tempat yang di bilang Imran.

Imran dan Andika menyambutku saat aku tiba di tempat. Mereka membawaku ke tempat mayat itu ditemukan. Saat aku membuka kain yang menutupi mayat itu aku terkejut. "Diaaa..."


Chapter XXV : Enemy From the Past

"Paimaaan..."

Mayat yang ditutupi kain itu adalah Paiman. Orang yang telah menjadi sahabat dan informanku dalam dua tahun ini. Mayatnya tampak penuh dengan luka, bukan luka karena pertarungan, tampaknya luka karena siksaan. Entah karena apa dan siapa pelakunya.

Ada rasa sedih dan marah dalam hatiku. Tapi aku bisa menyembunyikannya, karena ini bukanlah hal pertama yang kualami. Sudah berkali-kali aku menyaksikan orang-orang dekatku terbujur kaku di depanku. "Mran, suruh petugas membawa mayatnya untuk di autopsi," kataku.

Setelah mayat itu dibawa, Aku, Imran dan Andika kembali melakukan olah TKP. Siapa tahu kami menemukan suatu petunjuk. Tapi hampir satu jam kami di tempat itu tidak menemukan apapun. Apakah yang melakukannya profesional, hingga tidak meninggalkan jejak sama sekali. Atau apakah ini ada hubungannya dengan Ardi ? karena dari Paimanlah aku bisa berketemu Ardi.

@@@@@

Kami kembali ke kantor dengan tangan hampa. Aku minta teman-teman mencari di mana keberadaan Ardi. Satu minggu berlalu tanpa ada kabar berita soal Ardi, hanya kini kota kembali marak dengan drugs. Dan kini harganya melambung tinggi, karena sedikitnya pasokan yang masuk ke kota.

Dengan adanya fenomena ini, pikiranku tentang Avi untuk sementara menghilang. Aku kini fokus untuk menyelidiki masalah ini. Beberapa orang yang berhasil di tangkap tidak tahu berasal dari mana datangnya barang-barang ini.

Siang itu aku kembali berdiskusi dengan Mas Jaka, soal obat-obatan yang kembali marak beredar. "Bagaimana menurut Mas, soal hal ini ?" tanyaku pada Mas Jaka.

"Lang, kalau menurut firasatku hal ini berhubungan dengan Ardi. Bisa saja Ardi sengaja memberi informasi tentang geng-geng itu supaya kita menghancurkannya, dan dia bisa menguasai kota ini sendirian. Jadi menurutku, kuncinya adalah kita harus mendapatkan Ardi terlebih dahulu," ujar Mas Jaka.

"Baiklah Mas, kita akan cari Ardi sambil mencari siapa orang-orang yang kali ini bermain dengan semua ..."

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba Andika datang, "Lang, Ardi sudah berhasil ditemukan," kata Andika.

"Dimana... ?"

"Sebuah gedung dekat Bandara."

Tanpa membuang waktu, kami segera meluncur ke tempat kejadian. "Dimana ?" tanyaku pada Imran begitu sampai ke tempat itu.

Imran tidak menjawab, hanya menunjuk arah belakang tubuhnya. Aku menuju arah yang di tunjuk Imran, sesosok tubuh terbungkus kain putih, dan begitu kulihat, Ardi. Dia telah menjadi mayat, tanpa siksaan seperti Paiman, tapi jelas merupakan suatu pembunuhan.

Dari ekspresi wajahnya dia menunjukan mimik terkejut. Tampaknya dia tidak menyangka akan terjadi hal ini padanya. "Sepertinya dia mengenali siapa pembunuhnya !" kata Mas Jaka.

"Ya, dan sepertinya Si pembunuh juga mengenali kita," kata Imran menimpali.

"Maksudnya ?" tanya Andika.

"Ini maksud Imran," kataku, sambil menyerahkan sehelai kertas yang bertuliskan 'Agenda selanjutnya adalah berburu BURUNG liar yang langka' kepada Andika.

"Maksud tulisan ini apa ? aku belum paham," kata Andika.

"Makanya, itu otak jangan buat berpikir tentang cewek saja. Coba untuk berpikir yang lebih serius," sindir Imran kepada Andika.

"Setelah Paiman dan Ardi, tampaknya dia mengincarmu Lang. Apa kira-kira kau bisa menduga, dia siapa ?" tanya Mas Jaka.

"Sulit, terlalu banyak penjahat yang dendam kepadaku."

Kami kemudian kembali melakukan pemeriksaan kepada tubuh Ardi. Beberapa benda yang kami temukan adalah dua tiket pesawat ke Selandia Baru, pasport, kartu kredit dan surat identitas lainnya.

Setelah kami rasa cukup, maka kuperintahkan Ambulance membawa mayatnya ke Rumah Sakit untuk otopsi.

Kami kembali ke markas untuk mendiskusikan hal ini, dan juga soal ancamannya itu. Mereka bertiga ingin salah satunya mengawalku. Tapi dengan segera kutolak ide itu. Aku masih bisa menjaga diri, alasanku menolak ide mereka.

@@@@@

Tiga hari berlalu, dan tiada perkembangan yang berarti. Baik soal kematian Paiman dan Ardi maupun peredaran drugs yang semakin menggila. Tampaknya orang yang berada dibalik semua ini adalah orang yang cerdas. Semuanya menggunakan sandi khusus, bahkan beberapa petugas yang turun juga berhasil mereka kelabuhi.

Kegagalam kami menyelesaikan persoalan ini benar-benar menjengkelkan hatiku dan tidak bisa membuatku tidur. Aku merasa dipermainkan penjahat itu dan aku tidak bisa berbuat apapun untuk menghentikannya. Mas Jaka menyuruhku berlibur satu atau dua hari, untuk mendinginkan pikiranku yang sedang panas.

Saran Mas Jaka kuterima. Maka setelah meminta izin kepada Bapak Kapolres, aku segera pergi ke rumah kakek. Sebenarnya masih satu kota. Tapi lebih kearah luar kota dan di sebuah desa yang tenang dan tentram. Tepat untuk menyegarkan pikiran. Rumah ini menimbulkan kenangan manis, dan juga rumah yang penuh kasih sayang.

Tapi orang-orang itu telah pergi satu tahun yang lalu. Karena itulah aku lalu memutuskan untuk tinggal di tempat kost. Rumah ini hanya kutempati bila aku mendapat waktu senggang.

Sore itu aku masih jalan-jalan di sekitar rumah. Muncul juga bayangan di pikiranku. Apakah Avi mau tinggal di tempat seperti ini, andai kata kelak kami bersama. Hal itu yang masih menganjal di hatiku dalam hubungan kami.

Tapi aku sedang tidak mau memikirkan hal itu saat ini. Aku kembali meneruskan langkahku hingga sampai ke ujung desa. Untuk beberapa lama aku berdiam di gubuk yang berada di tengah persawahan. Hingga karena semilirnya angin, aku menjadi tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun, Matahari sudah berada di ufuk barat dan orang-orang mulai meninggalkan area persawahan. Aku kemudian bangkit dan sedikit menggerakkam badan melemaskan otot, sebelum beranjak pulang.

Aku berjalan pulang dengan beberapa kawan masa remaja yang bertemu di jalan. Kami berpisah di persimpangan jalan, rumah kakek memang agak jauh dari yang lain, sehingga terasa lebih tenang.

Desa ini merupakan tempat yang aman. Belum pernah ada peristiwa pencurian, perampokan dan kejahatan lainnya. Sehingga orang-orang dapat meninggalkan rumah tanpa dijaga atau dikunci. Tapi saat masuk ke dalam rumah, instingku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Aku pikir itu hanyalah perasaanku, hingga aku pun berusaha mengabaikan firasatku itu.

Ternyata kelengahanku kali ini harus dibayar teramat mahal. Dan saat aku menyadarinya..., semuanya terlambat. Duaaakh, kurasakan sakit di leherku. Pandanganku menjadi gelap dan aku tersungkur ke depan. Setelah itu aku tidak tahu apa lagi yang terjadi.

@@@@@

Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Ketika sadar dan membuka mata, pandanganku masih kabur, leherku dan kepala terasa sakit. Saat hendak menggerakkan tangan terasa ada yang menahannya. Mataku kembali normal, dan aku menyadari bahwa kedua tanganku terborgol dibagian belakang tubuh dengan tiang yang ada di dalam kamarku.

Aku arahkan pandanganku berkeliling. Pertama ke arah tempat tidurku yang tepat berada di depanku. Di atas ranjang itu terdapat sesosok tubuh yang ditutup mulutnya, diikat kedua tangannya di atas kepala dan kaki yang juga diikat. Hingga membentuk huruf x. Yang membuatku terkejut wanita itu adalah Mbak Wulan, istri Mas Jaka. Aku berusaha mengalihkan pandanganku saat menyadari bahwa tubuh itu telanjang di bawah selimut.

Bergeser kesamping kulihat Mas Jaka dan Imran yang terikat di kursi dengan tubuh penuh luka. Aku berusaha mencari Andika, ternyata dia tidak ada di ruangan ini. Tapi yang membuatku lebih terkejut adalah suara yang menyapaku dari belakang, "Sudah sadar, Lang !!!" kata orang itu yang melangkah ke depanku. Aku memang belum melihat wajahnya secara jelas, tapi aku sudah menduga siapa dia.

Dan ternyata tepat dugaanku, saat orang itu menghadap ke arahku, "Ann..an..di, kauuuuu !!!" aku memang sudah menduga dia, tapi tetap saja aku terkejut melihatnya berdiri di hadapanku.

"Apa kabar kawan," tanyanya sambil menepuk-nepuk pipiku. Aku masih tidak percaya sepenuhnya, bahwa lelaki di hadapanku ini Andi. Andi, rekan kerjaku yang dinyatakan meninggal dua tahun yang lalu.

"Kau masih hidup, An, lalu apa semua ini ?"

"Haa... haa... haa..., Elang yang cerdas, masa tidak bisa menebak apa yang terjadi..., sebenarnya aku ingin bermain lebih lama lagi, tapi aku masih punya pekerjaan yang lebih besar, untuk itu terpaksa aku harus mengakhiri permainan denganmu."

"Jadi kau yang berada di balik semua ini ...!"

"Ya, untuk permainan kali ini aku yang mengendalikannya. Tapi untuk yang lebih besar, tentu ada orang lain yang lebih hebat dari aku. Kau tentu bisa menduganyakan."

"Tapi untuk apa kau melakukan semua ini An ?" tanyaku untuk mengulur waktu. Siapa tahu ada bantuan yang datang.

"Aku tahu maksudmu yang terus mengajakku bicara, Lang. Tapi kalau kau berharap bantuan akan datang, maka percuma saja. Andika dan kekasihnya sudah mati, jadi tidak ada lagi yang tahu bahwa kamu berada disini. Karena aku baik hati, maka aku akan menghilangkan rasa penasaran di hatimu. Kamu mau tahu kenapa aku membunuh Rudi ?' tanya Andi, dengan nada datar.

Aku hanya diam mendengar pertanyaannya. Dulu keluarga Andi sebenarnya masih saudara jauh dengan Rudi dan Mas Jaka, hal ini yang menimbulkan rasa penasaran di hatiku, kenapa Andi tega membunuh Rudi.

Andi berjalan mendekati ranjang, dan tiba-tiba menarik selimut yang menutupi tubuh Mbak Wulan. Dan benar seperti dugaanku, di balik selimut itu Mbak Wulan telanjang bulan. Aku melihatnya, sebelum sempat memalingkan muka. "Kenapa memalingkan muka, Lang ? Apa kamu bukan lelaki normal, tidak mau memandang tubuh mulus ini." Aku masih memalingkan muka, saat Andi melanjutkan bicaranya, "wanita inilah yang membuatku, membunuh Rudi." Kata-kata Andi membuatku menoleh kearahnya.

"Apa hubungannya dengan Mbak Wulan ?" tanyaku tidak mengerti.

"Tanyakan kepadanya secara langsung, atau kepada dia," ucap Andi sambil menuding ke arah Mas Jaka.

Aku bergantian memandang ke arah Mas Jaka dan Mbak Wulan. Tentu saja mereka tidak bisa menjawab, karena mulutnya tertutup kain.

Andi duduk di tepi ranjang menghadap ke arahku. Sesaat kemudian dia mulai bercerita. "Dulu, waktu kecil aku mempunyai teman bermain. Namanya Intan, ketika besar kami kembali bertemu. Saat itu aku mulai jatuh cinta kepadanya, tapi cintaku bertepuk sebelah tangan, tapi kami masih berteman. Suatu saat Intan bertemu dengan Jaka, dan cinta kepadanya. Beberapa bulan kemudian Intan bercerita padaku, bahwa dia hamil."

Andi berhenti sesaat, kemudian melanjutkan ceritanya. "Tapi saat itu Intan di tolak keluarga Jaka. Jaka tidak membelanya, karena saat itu dia sedang dekat dengan Wulan yang dikenalkan oleh Rudi. Aku yang merasa kasihan kepada Intan lalu menemui mereka bertiga. Tapi..., jawaban mereka bertiga sungguh membuatku muak dan ingin membunuh mereka rasanya."

Andi kembali diam, hingga suasana yang mulai beranjak malam bertambah sunyi. Hanya suara serangga dan burung malam yang terdengar. "Kau tahu ! apa jawaban mereka ? Jaka ternyata seorang lelaki pengecut yang tidak mau bertanggung jawab. Dia meminta Intan untuk menggugurkan kandungannya. Rudi sama saja seperti orang tuanya, dia menganggap Intan hanyalah wanita murahan yang mau masuk ke keluarganya. Dan wanita ini, dia berkata wanita baik-baik selalu menjaga kehormatannya, kenapa Intan mau menyerahkan begitu saja kehormatannya. Mereka semua menghukum Intan, seolah-olah dialah yang bersalah."

Andi menghela nafas panjang, kemudian dia kembali bercerita "Saat itu aku tidak berani menceritakan pertemuanku dengan mereka kepada Intan. Semalaman itu pula aku berpikir, dan pada saat itu aku menemukan jalan keluar yang menurutku baik bagi Intan. Tapi semuanya terlambat, karena saat keesokan harinya aku ke tempat Intan, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Aku betul-betul terpukul saat itu. Ingin rasanya membunuh mereka semua dan kemudian membunuh diri mengikuti Intan. Tapi saat itu aku benar-benar pengecut, yang hanya berani di dalam hati. Mulai saat itu muncul dendamku kepada mereka yang telah menyebabkan Intan mati. Tapi akhirnya kesempatan itu datang juga, termasuk malam ini. Bagaimana Lang ? apa tindakanku salah ?" tanya Andi mengakhiri ceritanya dengan bertanya padaku.

Aku hanya diam sambil berpikir mendengar cerita dari Andi. Sungguh cerita yang sulit diterima akal sehat. Aku mengenal Rudi, Mas Jaka, Mbak Wulan sejak lama. Apakah mereka benar melakukan hal yang dikatakan Andi, tapi buat apa Andi berbohong dalam hal ini. Sambil berpikir aku juga berusaha melepaskan borgol yang membelengu kedua tanganku. Tapi itu nampaknya percuma saja.

Apakah hidupku akan berakhir disini. Tidak, selama masih bisa bernafas aku harus ber usaha, pikirku dalam hati. "An, apakah Pak Yudi masih hidup ?" aku bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

Andi menatapku, "Benar apa yang dikatakan Yudi, kau memang cerdas dan berbahaya Lang. Dia bilang kau adalah orang paling berbahaya baginya. Sekarang aku percaya ucapannya. Benar dia memang masih hidup, tapi mungkin kau tidak sempat bertemu dengannya lagi, karena ini adalah malam terakhir kamu hidup."

"Apakah dulu, juga telah di rencanakan sebelumnya oleh Yudi ?"

"Yeah, dia sudah merencanakan semuanya. Bahkan kejadian ini sudah ada dalam rancangannya, begitu tahu kamu lolos dalam peristiwa itu."

Sungguh mengerikan jika benar apa yang dikatakan Andi jika semuanya benar. Pasti Yudi punya rencana yang sangat besar.

"Dimana Yudi sekarang, An ?"

"Pertanyaanmu seperti anak kecil, Lang. Tapi biarlah kujawab, dia ada di dekat sini, tapi kau mungkin tidak akan mengenalinya lagi, bahkan jika dia berada di depanmu."

"Bagaimana kalau kau lepaskan mereka semua, dan kau bisa membawaku ke tempat Yudi ?"

"Haa.. haa.. haa..., bukankah aku sudah mendapatkanmu, kenapa aku harus melepaskan mereka !!!"

Saat Andi hendak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. "Ada apa ?" teriak Andi.

"Ada telepon dari markas, Bos." kata suara di balik pintu.

"Bawa kesini !" perintah Andi.

Seseorang masuk, kemudian menyerahkan telepon kepada kepada Andi. Walau berbicara kepada Andi, tapi matanya memandang ke arah tubuh telanjang Mbak Wulan yang berada di atas ranjang, dengan tatapan penuh nafsu. Andi hanya tersenyum melihat kelakuan anak buahnya.

Hanya sebentar Andi berbicara di telepon, setelah menyerahkan telepon itu, dia menyuruh anak buahnya untuk keluar lagi. Orang itu keluar tanpa berbicara, walau tampak kekecewaan di wajahnya.

Andi mendekat ke arahku. "Masih ada waktu dua jan, sebelum aku meninggalkan tempat ini. untuk itu marilah kita mulai mengakhiri semua ini secara perlahan."

Andi kemudian berbalik menuju kearah Mas Jaka dan Imran. Dia mendekati Imran dari arah belakang, "Maaf teman, salahmu sendiri berteman dengan mereka," Setelah berkata seperti itu tangan Andi bergerak dan 'kreeek' tangannya memuntir kepala Imran, tanpa mengeluarka suara kepala Imran terkulai, mati.

"Imraaan !!!" teriakku. Aku berusaha untuk meronta dan berharap bisa lepas dari borgol, tapi tetap sia-sia. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatiku, marah, sedih, kecewa bersatu.

"Untukmu terlalu enak bila mati begitu saja, kau harus merasakan dulu bagaimana wanita yang kau cintai di permainkan," kata Andi kepada Mas Jaka. Dia berbalik mendekati ranjang, Mbak Wulan berusaha meronta seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi padanya, namun ikatan tangan dan kakinya terlalu kuat baginya.

Dia melepas kain yang menutup mulut Mbak Wulan, "Aku ingin mendengar suaramu saat merintih, haa.. haa.. haa.."

"Jangan ! jangan ! jangan, An ! Tolong...!"

"Tolong ? Kenapa suamimu tidak mau menolong ? Karena suamimu pengecut, tahu !!! Minta tolong sama Elang, dia si pemberani !" seru Andi sambil menampar pipi Wulan sampai wanita itu memekik kesakitan.

Andi semakin beringas melihat tubuh Wulan yang montok telanjang bulat. Kedua paha wanita cantik itu terentang lebar mempertontonkan bibir kemaluannya.

"Diam sayang ! Aku mau malam ini kau merasakan rasa malu yang sama seperti yang dirasakan Intan. Kalau kau tidak mau diam, aku akan panggilkan seluruh anak buahku yang berada di luar untuk memperkosamu," ancam Andi.

Mbak Wulan diam seketika mendengar ancaman dari Andi. Dia hanya menjerit lirih saat Andi meremas buah dadanya dengan keras.

"Wajah dan tubuhmu memang menarik sampai sekarang, pantas Jaka berani melepaskan Intan demi dirimu," kata Andi sambil meraba seluruh tubuh Mbak Wulan. Mas Jaka tidak berani memandang ke arah ranjang. Sedang aku yang berada tepat di depan ranjang, berusaha untuk tidak melihat.

"Tii.. tidak An, jangan.. lakukan ini, aku mohon ..."

"Siapa suruh tawar-menawar denganku, huuuh... !!!" kata Andi dengan suara keras dan tangan menjabak rambut Mbak Wulan. "Mengapa kita tidak melakukannya dengan suka sama suka, seperti yang kau lakukan dengan Rudi. Sudah dua tahun Rudi mati, pasti kau kesepian selama ini, bukankah begitu ...?"

"Please An.., hentikan..." kata Mbak Wulan dengan panik.

"Kenapa ? malu ! tapi aku akan membuatmu lebih malu lagi, kau pikir aku tidak tahu hal itu. Bukankah setelah kecelakaan itu Jaka menjadi cacat ! Haa.. haa.., yang tidak tahu itu Jaka. Bukankah di belakangnya kau bermain-main dengan Rudi. Sungguh kasihan Jaka, haa.. haa..."

Aku hanya diam mendengar semua apa yang di katakan Andi. Ternyata ada banyak liku-liku dalam kehidupan ini. Kehidupan Mas Jaka yang kukira bahagia, ternyata menyimpan sekam di dalamnya. Kulihat Mas Jaka, wajahnya benar-benar kosong. Dari wajahnya yang tidak terkejut, tampaknya dia tahu apa yang dilakukan Mbak Wulan di belakangnya. Aku merasa sedih dan kasihan dengan keadaannya, aku dapat merasakan, bagaimana rasanya melihat wanita yang kita cintai, istri kita, bercinta dengan orang lain. Dan orang lain itu adalah adik kandungnya sendiri.

Aku tidak bisa menyalahkan Rudi begitu saja. Biar sudah memasuki usia 30 tahun Mbak Wulan masih menarik. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, namun Mbak Wulan memiliki tubuh yang montok dan padat, buah dadanya membusung kencang dengan puting mencuat kemerahan, ditunjang dengan kulitnya yang kuning langsat mulus dan rambut sebahu, wajahnya yang cantik manis membuat rekan kerja Mas Jaka dan Mbak Wulan, juga pemuda sekitar tempat tinggal mereka terpaku dan menelan ludah saat Mbak Wulan lewat dengan goyangan pinggulnya. Pantatnya yang montok selalu menonjol di balik rok seragam kerjanya, biarpun tidak terlalu pendek, tapi ketatnya memperlihatkan garis celana dalam wanita ini. Jujur sebagai lelaki normal aku juga kadang-kadang menelan ludah saat datang ketempat Mas Jaka, dan Mbak Wulan hanya memakai tanktop dan bercelana pendek di rumah. Apalagi bagi Rudi yang satu atap dengan mereka, siapa yang kuat menahan godaan dari Mbak Wulan.

"Ma...ma..afkan..aa..khuuu.., aa..kuu memang egois waktu ituuu."

”Untuk apa minta maaf, setelah sekian lama Intan tiada, baru minta maaf. Sudahlah, jangan menambahku muak. Simpan maafmu, dan katakan saat bertemu Intan nanti di akhirat. Sekarang aku akan mengakhiri semuanya. Jangan salahkan aku, sama seperti yang kau katakan waktu itu, Inilah jalan hidup. Jadi nikmatilah hidupmu...!!!"

"Kauuu lepaskan dia dan bunuhlah akhuuu...”

"Melepaskannya ! Jangan mimpi ! Aku akan melepaskannya setelah bersenang-senang dengannya. Haa.. haa.."

Tanpa basa-basi lagi Andi segera membuka pakaiannya sendiri, lalu melompat ke atas ranjang. Mbak Wulan dengan sia-sia meronta dan menjerit saat Andi menindih tubuhnya yang telanjang bulat tanpa sehelai benang pun. Mbak Wulan bahkan tidak bisa untuk sekedar merapatkan pahanya yang terkangkang lebar.

Pekikan Mbak Wulan tertahan mulut Andi, saat tangan Andi meremas buah dadanya dengan keras. Rontaan dan pekikan wanita cantik itu sama sekali tidak digubris. Andi kemudian menempatkan kejantanannya tepat di depan bibir kemaluan Mbak Wulan.

"Diam Sayang ! Jangan takut, aku akan melakukannya lebih baik dari Rudi, hingga kau akan merasa keenakan! Nanti pasti kamu ketagihan. Sekarang biar aku mencicipi kemaluanmu..." sambil berkata begitu Andi menghujamkan kejantanannya memasuki hangatnya vagina Mbak Wulan.

Awalnya Andi kesulitan memasukan penisnya ke dalam vagina Mbak Wulan, karena rontaan dari Mbak Wulan terasa sedikit menghalangi. Namun bukan tandingan bagi kekuatan Andi yang bertubuh jauh lebih besar, perlahan kejantanan Andi menerobos masuk.

"Haaanggkkk...! Aahhhkkk...!" Napas Mbak Wulan terputus-putus dan matanya yang bulat indah terbeliak lebar saat dia merasakan penis Andi tiba-tiba memasuki selangkangannya.

Tubuh montok wanita itu tergeliat-geliat merangsang dengan napas tersengal-sengal sambil terpekik tertahan-tahan ketika Andi dengan cepatnya menggenjotkan kejantanannya menikmati hangatnya kemaluan Mbak Wulan yang tampaknya masih sempit, karena belum pernah melahirkan.

"Aahh... enak sekali vaginamu... Wulaaanh, masih terasa menggigith... punyaku juga enak kan Wulan..? Tidak kalah dengan yang lain kan..?" Andi mendesah kenikmatan.

Mbak Wulan sambil merintih tidak jelas menggelengkan kepala dan meronta berusaha menolak, namun semua usahanya sia-sia, dan wanita itu kembali terpekik dan tersentak karena Andi kini dengan kuat meremasi kedua payudaranya yang kencang menantang. Sepertinya benar kata orang, wanita seperti Mbak Wulan memang sangat memuaskan, wajahnya yang cantik, buah dadanya yang tegak menantang bergerak naik turun seirama napasnya yang tersengal-sengal, tubuhnya yang montok telanjang bersimbah keringat, kedua pahanya yang mulus bagai pualam tersentak terkangkang-kangkang, bibir kemaluannya tampak megap-megap dijejali kejantanan Andi yang besar.

Mbak Wulan dengan airmata berlinang merintih memohon ampun, namun
tusukan demi tusukan terus menghajar selangkangannya yang semakin memerah. Payudaranya yang besar kini diremas-remas tanpa ampun. Mungkin Mbak Wulan merasakan betapa malunya dia, diikat dan ditelanjangi di depan suaminya, lalu diperkosa tanpa mampu melawan sedikitpun.

"Hhh... ! Wulanh... ! Wulaann... ! Sekarang aku akan membikin kamu hamil, biar kau merasakan malu seumur hidup, sayangghh..! Aah... ambil nih ! Nih ! Nih ! Niih... !"

Tanpa dapat ditahan lagi Andi menyemburkan spermanya dalam hangatnya kemaluan Mbak Wulan sambil sekuat tenaga meremas kedua payudara wanita itu, membuat Mbak Wulan tergeliat-geliat dan terpekik-pekik tertahan sumpalan bibir Andi di mulutnya. Perlahan kepala Mbak Wulan terkulai dan matanya tertutup. Tampaknya Mbak Wulan jatuh pingsan.

Andi kemudian membetulkan celananya, dan tanpa mempedulikan Mbak Wulan kini dia menghampiri Mas Jaka. "Nikmat sekali tubuh istrimu Jak, kenapa tidak dari dulu aku melakukan ini ...! Bagaimana rasanya kini...? Saat melihat orang lain menyetubuhi istrimu...??? Dan kau hanya bisa melihat tanpa pernah merasakannya ! Ha..ha..ha.., tampaknya hukum karma mengenaimu, ha.. ha.. ha..," Andi tertawa gembira.

"Ka...kamu..pu..as..bi.sa mem..balas..???"

"Aku menunggu lama untuk membalas semua perbuatanmu yang meninggalkan Intan. Aku puas bisa membuatmu yang tidak berdaya, kini menyaksikan pembalasanku."

"Ka..ka..mu.. be..beg..gitu.. benci.. kepa..da.. kel..luu..aar..gaa kaa miii..???

"Jangan becanda, setelah perbuatanmu selama ini, apa yang kamu harapkan..?? Pakai otak Jaka. Aku benci dan menganggap kau dan seluruh keluargamu tidak lebih daripada sampah. Aku tidak pernah peduli, walau kamu adalah saudaraku. Hubungan kekeluargaan kita putus setelah kau dan keluargamu menghina dan mempermalukan Intan. Bagiku kau adalah musuhku, aku tidak akan pernah merasa menyesal...??? Seperti kau yang tidak menyesal meninggalkan Intan."

Kulihat dari matanya Mas Jaka mengeluarkan air mata, tampaknya dia benar-benar tertekan akan keadaan ini. Mas jaka yang biasanya berwibawa, dewasa dan berpikiran matang, kini seperti anak kecil yang hanya bisa menangis. Sementara aku hanya bisa marah kepada diri sendiri, karena tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi semua ini.

"Kau benar-benar sampah tidak berguna, kalau kau laki-laki mari kita selesaikan secara laki-laki, jangan hanya bisa menangis saja. Aku beri satu kesempatan padamu. Jika kau bisa keluar dari kamar ini aku akan bebaskan kalian semua," kata Andi, sambil melepaskan ikatan pada tubuh Mas Jaka.

Perlahan Mas Jaka bangkit dari kursi, melihat ke arahku dan berkata, "Lang, tolong jaga Wulan." Dia menghampiri Andi, dan tanpa bicara langsung menyerang Andi. Sebelum Andi bersiap, pukulan Mas Jaka sudah mendarat telak di wajah Andi, Duaaakh...

Tapi ternyata pukulan itu tiada pengaruhnya apapun bagi Andi, dia masih berdiri tegak di tempat dengan bibir tersenyum sinis memandang Mas Jaka. "Ternyata, kau betul-betul sampah tidak berguna. Hanya memukul saja tidak becus. Ayo pukul lagi yang ker..." Duaaakh... Sebelum Andi menyelesaikan kata-katanya, pukulan Mas Jaka kembali mendarat di wajahnya.

Kembali hanya senyum yang muncul di mulut Andi, hal itu berulang sampai tiga kali. Saat Mas Jaka memukul yang keempat kalinya, Andi tidak membiarkan pukulan itu mengenainya lagi. Sambil menghindar dia berkata, "Sudah cukup Jak, sekarang giliranku yang akan mengajarimu cara memukul yang benar."

Andi kemudian menghajar Mas Jaka habis-habisan, tubuhnya yang sudah luka, tampaknya bertambah parah. "Andi... hentikan An.., kalau berani ayo lepaskan aku dan kita berdua bertarung sampai ada yang mati di sini," teriakku. Tapi tentu saja hal itu tidak di tanggapi oleh Andi. Pukulan Andi baru berhenti saat ada tangan lain yang memukuli dirinya. Ternyata Mbak Wulan, yang entah kapan dia sadar dari pingsannya, dan kini berusaha membantu suaminya yang di hajar Andi.

Dengan mudah Andi menangkap tangan Mbak Wulan, dan tanpa belas kasihan seperti tadi, Andi mendorong Mbak Wulan hingga menabrak Almari yang ada di kamar ini. Tanpa mengeluarkan jeritan, Mbak Wulan langsung jatuh ke lantai, entah pingsan atau mati karena kerasnya benturan. Tanpa mempedulikan Mak Wulan, Andi kembali menghajar Mas Jaka habis-habisan. Dia baru berhenti saat Mas Jaka sudah tidak bergerak lagi. Tampaknya kebencian Andi kepada Mas Jaka benar-benar mendalam.

Setelah mengebutkan bajunya, Andi berjalan menghampiriku, berjongkok di depanku, menjambak rambut dan menarik kepalku kebelakang. "Kita akan segera memasuki akhir dari segalanya kawan," kata Andi, sambil menatapku tajam.

Aku balas menatapnya tanpa berkedip, hingga membuat dia gusar. "Kurang ajaaar !!! Kau masih berani, haahhh... !" Plaaak.. plaaakh.. plaaakh.. plaaakh..., kata Andi, sambil menamparku berulang kali. Walau sakit tamparannya, tapi aku masih nekat tetap menatap matanya.

"Kau memang gila, And... !"

"Kurang ajaaar," Plak.. plaakh.. plaaakh.. plaaakhhh.., dia kembali menampar mukaku berulang kali hingga berhenti karena kelelahan. Kurasakan panas, perih, sakit dan pening pada kepalaku, juga terasa hidung dan bibirku mengalir darah.

"Kau memang hebat dan lain dari pada yang lain. Pantas Yudi begitu mewaspadaimu, tapi sekarang kehebatanmu tidak berguna. Mungkin kau bisa tahan akan siksaan, tapi jika peluruku menembus kepalamu, apa kau masih tidak takut," kata Andi sambil menodongkan pistol di keningku.

"Rasa takut tidak ada dalam kamusku, hanya penyesalan yang ada dalam hatiku, kenapa aku tidak dapat menyelesaikan tugasku," ucapku acuh.

"Kau memang orang yang langka, tapi sayang sekali orang sepertimu harus disingkirkan karena membahayakan kami. Untuk menghormati keberanianmu, aku berjanji akan memenuhi satu permintaanmu, katakan apa permintaan terakhirmu ?" tanya Andi.

"Dalam bukti rekaman dulu tidak ada hal apapun yang menyebut keterlibatan Yudi. Mengapa Yudi harus melakukan semua itu, termasuk juga membunuh Frans, Reni, dan Simon. Hal apakah sebenarnya yang ingin disembunyikan Yudi ?"

Andi terdiam mendengar pertanyaanku. Kutatap wajahnya, tampak parasnya berubah mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian mukanya berangsur normal kembali. "Maaf, Lang untuk pertanyaanmu itu aku tidak bisa menjawabnya. Karena hanya Yudi yang tahu semuanya. Silahkan ajukan permintaan yang lain," kata Andi.

Sebelum sempat aku membuka mulut, pintu kamar kembali di ketuk dari luar. "Masuk...!" bentak Andi. Seseorang membuka pintu kemudian memberi kode kepada Andi. Melihat kde dari orang itu Andi segera keluar mengikuti orang itu.

Tidak lama kemudian terdengar suara Andi memberi perintah, "Jaga dan awasi dia baik-baik, kalau terjadi sesuatu segera hubungi aku." Tidak lama kemudian terdengar beberapa orang bergerak dan suara mobil menjauh. Tampaknya Andi dan beberapa anak buahnya meninggalkan rumah ini, setelah menerima pesan dari seseorang.

@@@@@

Aku menghela nafas panjang, bersyukur karena untuk saat ini nyawaku masih selamat. Aku tidak tahu beberapa lama Andi pergi, tapi aku pikir inilah saat yang tepat untuk mencoba meloloskan diri. Aku mencoba untuk berpikir tenang, sambil mencari-cari adakah benda atau alat apapun yang bisa membantuku lolos dari borgol yang membelenggu.

Hampir setengah jam aku mencari tapi hasilnya nihil, begitu juga harapanku agar ada anak buah Andi yang datang mendekat agar dapat kusergap, ternyata tidak ada yang berani mendekat, tampaknya Andi sudah menyuruh anak buahnya agar tidak mendekatiku.

Akhirnya aku mencoba untuk melupakan semuanya dengan berusaha untuk mengistirahatkan badan, walau wajah bekas tamparan Andi masih terasa sakit. Beberapa saat kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara orang berbicara, orang berkelahi, barang-barang pecah, suara tembakan.

Tapi suara-suara itu tidak berlangsung lama. Kurang lebih lima menit sampai suara-suara itu menghilang dan kembali berganti kesunyian. Kemudian aku mendengar bunyi langkah yang tampaknya menuju kearah tempatku berada. Aku masih memejamkan mata, tapi seluruh tubuhku siap menghadapi segala sesuatunya.

Kudengar suara langkah itu perlahan makin dekat ke arahku. Dia sudah berada dalam jangkauan seranganku dan akupun sudah siap mengambil ancang-ancang untuk menyerangnya, saat suara itu membuatku mengurungkan niatku, "Lang, kau tidak apa-apa kan ?" tanya orang itu. Aku segera memandang orang yang berdiri di depanku dan aku menjadi senang sekaligus terkejut melihat orang itu.

"Om Gian...," sapaku. Dia adalah Om Gian, orang yang pertama kali membawaku ke rumah ini sepuluh tahun yang lalu. "Kenapa Om bisa tahu aku di sini ?" tanyaku.

"Sudah nanti ceritanya," kata Om Gian sambil membuka borgol di tanganku dengan alat yang di ambil dari saku celananya. Aku masih belum bisa berdiri, karena kakiku masih terasa kaku. Sementara Om Giam memeriksa Mas Jaka dan Mbak Wulan. Sesaat kemudian Om Gian menelepon seseorang.

Lima menit kemudian aku baru bisa berdiri, aku ikut memeriksa keadaan Mas Jaka dan Mbak Wulan. Mereka ternyata masih hidup, entah bagaimana kondisinya. Aku keluar kamar, di ruang tamu barang-barang hancur berantakan, ada beberapa tubuh yang tergeletak di ruang itu. Aku mencoba mencari Andika dan kekasihnya. Kutemukan tubuh mereka berdua di kamar belakang, Andika dengan bermacam luka di tubuhnya terbaring di dekat almari, sementara Tari, kekasihnya dengan tubuh telanjang tergeletak di atas ranjang.

Aku kembali terdiam, perasaan bersalah dan sedih menghinggapi hatiku. Andai saja mereka tidak menjadi temanku, mereka pasti tidak akan jadi korban Andi, dan nyawa mereka tidak akan melayang sia-sia karenaku.

Aku kembali ke ruang tamu, duduk di kursi. Om gian tampaknya mengerti apa yang kurasakan, hingga dia membiarkan aku sementara larut dalam pikiranku. Tidak lama kemudian terdengar beberapa bunyi sirene mobil, ternyata Om Gian memanggil polisi untuk meminta bantuan.

Entah beberapa lama aku tenggelam dalam pikiranku, aku sadar saat Om Gian mengajakku pergi ke Rumah Sakit. Ternyata Ambulance sudah siap membawa Mas Jaka, Mbak Wulan, Andika, Tari dan Imran. Sementara rumah sudah di pasang garis polisi. Aku hanya ikut saat Om Gian menggandengku masuk ke dalam mobil, sesaat kemudian aku tidak sadar apa yang terjadi setelah itu.


Chapter XXVI : Elang side's story : Come to The Jungle City

Aku tersadar pagi harinya, dan berada di Rumah Sakit. Tubuhku memang tidak ada luka yang parah, hanya luka luar yang akan sembuh dalam satu-dua hari. Tapi menurut Dokter, yang harus diistirahatkan dariku adalah jiwaku yang mungkin sedikit terguncang. Untuk itu Dokter meminta aku untuk cuti dari pekerjaan, untuk sementara waktu menenangkan pikiran dan jiwaku yang sedang kacau. Ditambah lagi aku mengetahui nasib Mas Jaka dan Mbak Wulan yang tidak tertolong menyusul Imran, Andika dan Tari. Aku menjadi seperti orang yang telah kehilangan gairah hidup.

Melihat kondisiku, Om Gian menyarankan hal yang sama dengan Dokter. Om Gian menceritakan alasannya kenapa dia bisa sampai ke rumah kakek. Dia baru pulang dari luar negeri untuk suatu urusan, lama tidak datang, Om gian bermaksud berkunjung ke makam kakek. Sore itu dia bermaksud menemuiku, tapi Pak Arman memberitahu kepada Om Gian, bahwa aku berada di rumah kakek, maka dia segera menuju ke rumah kakek dan menjumpai peristiwa penyanderaanku. Dan dengan kemampuannya, dia melumpuhkan orang-orang yang berjaga di rumah itu.

Sepertinya Om Gian ingin mengatakan sesuatu hal kepadaku. Tapi melihat keadaanku, Om Gian tidak mengatakan hal apa yang menjadi pikirannya. Om Gian hanya berusaha untuk mengembalikan semangatku, dia juga berpesan kepadaku untuk pindah ke Mabes, karena ilmu dan tenagaku akan lebih berguna bila di sana. Dia juga bercerita tentang keponakannya, dia berpesan kepadaku untuk menemui keponakannya yang bekerja di Kemenkeu. Siapa tahu kami bisa berteman karena usia kami sebaya. Dua hari kemudian Om Gian pulang ke kota Pekalongan, untuk menghadiri pesta pernikahan dari saudara jauhnya.

Aku terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan hingga satu minggu, tapi setelah aku merenung dan mengingat semua pesan dan petuah dari Kakek, Om Gian dan lain-lain, maka aku berusaha untuk bangkit dari keterpurukanku. Dua minggu setelah kejadian itu, aku kembali menjalankan tugas.

Surat keputusan mutasiku ke Mabes sudah keluar, dan aku harus secepatnya melaporkan diri ke Mabes. Tapi aku meminta dispensasi kepada Pak Arman, untuk sedikit memberi waktu agar dapat menyelesaikan tugasku yang belum selesai. Setelah menerima dispensasi itu, dalam beberapa hari aku menyusuri seluruh kawasan hitam yang ada di kota dan sekitarnya, untuk mencari keberadaan Andi ataupun anak buahnya.

Tapi Andi bagai hilang di telan bumi, atau mungkin dia sudah meninggalkan kota ini. Beberapa hari kemudian aku menemui titik terang, aku mulai bisa mengendus dari mana datangnya dan kemana perginya obat-obatan itu. Tapi anehnya tidak ada nama Andi yang di sebut dalam hal ini. Hanya ada nama 'Kui', yang sering di sebut oleh para pengedar itu.

Aku berusaha mencari tahu apa atau siapa yang di maksud dengan 'Kui'. Dari mantan anggota kelompok itu, akhirnya aku tahu siapa yang di maksud dengan 'Kui'. Dia bukan lain adalah Andi, selain nama 'Kui' muncul juga nama 'Mow' dan 'Xin' dalam daftar nama pimpinan gerombolan itu. Mereka bertiga juga bukan aktor utamanya, masih ada orang yang menjadi pimpinan dari tiga orang itu.

Tapi sayangnya informanku itu tidak tahu, siapa dan seperti apakah bos besar mereka. Jangankan bos mereka, yang namanya Xin dan Mow, dia juga belum pernah bertemu. Nama itu hanya pernah dia dengar dari Andi atau Kui. Aku sempat berpikir, apakah Bos besar mereka itu Yudi, atau salah satu dari Mow atau Xin yang merupakan nama lain dari Yudi.

Masih dari orang yang sama, aku mendapat sedikit informasi tentang apa yang sedang di lakukan oleh gerombolan itu. Mereka bekerja sama dengan jaringan Narkoba Internasional, Transaksi mereka tidak selalu melibatkan Narkoba dan uang, mereka bisa mengantinya dengan barang berharga atau senjata. Kui, saat ini berada di Jakarta karena akan mengurus suatu transaksi besar dengan suatu bandar Internasional.

Salah satu kemungkinannya mereka akan memanfaatkan Pameran Perhiasan Internasional, untuk mengelabuhi aparat. Karena dalam pameran itu akan beredar jumlah uang yang cukup besar, maka tidak akan mencurigakan bila mereka melakukan transaksi dalam jumlah besar. Pameran itu akan diadakan di Plaza Senayan Jakarta, dalam beberapa hari ke depan.

Setelah mengetahui keberadaan Kui atau Andi, aku memutuskan untuk segera mengejar ke Jakarta. Dalam tiga hari aku melimpahkan tugasku kepada teman dan juga mengadakan persiapan untuk pindah tugas ke Jakarta. Setelah semua urusan beres aku segera meluncur menuju kota Jakarta, menggunakan mobil Dipta yang masih berada di tanganku. Sebenarnya aku sudah berusaha mengembalikan mobil ini, tapi dia menolaknya.

@@@@@

Karena reputasiku dalam masalah Narkoba, aku ditugaskan di BNN. Saat itu BNN sedang membuat tim gabungan dari berbagai instansi terkait untuk melakukan pencegahan dan penyelidikan peredaran narkoba di kalangan pesohor negeri ini. Pada waktu pembentukan tim itu aku memang tidak hadir, tapi aku telah dimasukan dalam salah satu tim.
Sebenarnya ada satu nama dalam daftar anggota tim dua yang menarik perhatianku. Gavindra Aryasatya, nama itu seperti nama keponakan Om Gian yang dikatakan padaku waktu itu, Gavin juga berasal dari salah satu Kementerian Keuangan. Kemungkinan besar dia adalah keponakan Om Gian. Tapi aku belum punya waktu untuk menemui dia dan memastikan dugaanku.

Sampai beberapa hari ini aku juga belum menghubungi Avi, dan memberitahu kepadanya, bahwa aku sudah dimutasikan ke Jakarta. Aku masih sibuk dalam mencari info tentang Andi atau Kui. Di dalam file kepolisian, juga tidak ditemukan data tentangnya. Aku lalu mencoba untuk datang ke pameran perhiasan yang rencananya akan di buka besok oleh salah seorang menteri. Siapa tahu berita yang kudapatkan tetang transaksi itu benar.

Aku mencoba melihat stand-stand yang berdiri di tempat itu, tapi aku sama sekali belum punya dugaan, stand manakah yang merupakan milik kelompok Andi. Saat melihat berbagai perhiasan yang mahal itu aku jadi membayangkan, bagaimana seandainya aku membelikan perhiasan untuk Avi. Tapi pikiran itu segera aku buang jauh-jauh. Aku harus berpikir realistis, dari mana punya uang untuk membeli barang semahal itu.

Sampai di salah satu stand aku berhenti, saat seseorang menyebut kata Mow dan Tito. Aku segera menyingkir saat dua orang di dalam stand itu melihat ke arahku. Aku pergi jauh untuk beberapa lama, kemudian kembali mendekati stand itu. Aku tidak berhenti, hanya sekejap melihat nama stand dan wajah-wajah yang berada di dalamnya.

Setelah itu aku pergi dari tempat itu untuk mencari tahu tentang 'DB DIAMOND'. Sony Danubrata pemiliknya, seorang pengusaha dengan berbagai bidang, salah satu orang terkaya di negeri ini. Tidak ada catatan kejahatan atau hal buruk dalam perjalanan bisnisnya. Tapi mengapa ada nama Mow yang disebut olehnya, apakah dia orang yang akan bertransaksi dengan Andi.

@@@@@

Keesokan harinya aku segera meluncur kembali ke tempat pameran itu, dan segera menuju ke stand DB Diamond. Tapi yang membuatku terkejut aku melihat seseorang berada di depan stand itu berbincang dengan dua orang lelaki lain, sementara tidak jauh dari mereka ada dua orang wanita yang melihat-lihat di dalam stand itu. Bukankah dia Gavin, anggota tim dua dalam tim gabungan, untuk apa dia berada disini.

Beberapa kali orang yang berada di stand itu melihat ke arah Gavin bertiga, aku mencoba mendekat ingin mengetahui apa yang sedang mereka bicarakan. Dari percakapan mereka aku sedikit dapat menyimpulkan, lelaki yang menghadap keluar adalah Sony Danubrata, Sang pemilik stand, yang paling tua ternyata adalah orang yang bernama Xin, yang kedua pemuda yang berwajah dingin adalah Mow dan yang terakhir ternyata bernama Tito.

Saat itu ada pengumuman bahwa acara pembukaan akan segera dimulai. Saat itu aku melihat orang yang bernama Mow berjalan menuju ke arah toilet, yang di ikuti oleh Gavin. Timbul keinginanku untuk menyusul mereka, saat aku hendak menyusul mereka tiba-tiba ada anak kecil yang menabrakku, anak perempuan itu terjatuh, untung dia tidak apa-apa. Aku mencoba membangunkan anak kecil itu, saat bersamaan ada juga seorang wanita yang menghampiri anak perempuan kecil itu, dan berkata, "Mazel, tidak apa-apa ? tanya wanita itu.

Hal mana suara wanita itu membuatku terkejut dan segera memandang ke arah wanita itu. Tapi ternyata aku tidak mengenalnya, hanya suaranya yang mirip seseorang. Aku mengangukkan kepala ke arahnya yang juga dibalas oleh dia.

"Maaf," kataku.

"Tidak apa-apa, saya yang harus minta maaf karena keponakan saya, akibatnya celana anda menjadi kotor," kata wanita itu.

"Oh, tidak masalah, biasa anak kecil," kataku, sambil melihat celanaku yang belepotan ice cream.

"Terima kasih atas pengertiannya, saya Marischka, anda ?" ucap dia sambil mengulurkan tangannya.

"Elang," jawabku.

"Elang...!"

"Ya, ada yang aneh dengan namaku ?"

"Oh, tidak apa-apa, hanya saja aku pernah mendengar nama itu tapi lupa dimana."

"Kalau begitu saya permisi dulu," kataku, beranjak meninggalkan wanita itu yang masih diam di tempat.

Aku segera kembali mencari Gavin dan Mow yang tadi kulihat berjalan ke arah toilet. Tapi tidak kulihat satu orangpun di tempat itu. Aku segera mencari ke tempat lain, di lantai atas juga tidak kutemukan mereka. Aku kembali ke lantai bawah tempat ruang pameran ternyata acara pembukaan sudah selesai.

Kulihat Xin dan Mow berjalan keluar di belakang Sony dan Tito, aku ikuti mereka menuju tempat parkir. Saat aku berlari ingin mengejar, mereka sudah masuk ke dalam mobil. Sialnya parkir mobilku jauh dari tempat ini. Aku kembali masuk ke tempat pameran. Aku masih mencoba untuk mencari Gavin. Dalam hati aku berpikir, apa hubungan Gavin dengan mereka ?

Aku kembali ke arah toilet, mereka jelas tadi ke tempat ini, kalau mereka kembali ke ruang pameran, tentu aku melihat mereka. Aku kembali masuk ke toilet, melihat segala sesuatu di tempat itu, tapi tidak kutemukan hal yang aneh. Saat aku ingin keluar dari tempat itu, segera kuhentikan langkahku, karena aku melihat Gavin keluar dari toilet wanita bersama seseorang yang tidak asing.

Kulihat keadaan Gavin seperti orang tidak sehat, jalannya agak kaku, seperti orang yang terluka, lengan bajunya tampak robek. Apa sebenarnya yang terjadi. Aku mengikuti mereka dari belakang. Dia berjalan menuju ruang pameran, melihat ke stand milik Sony, kemudian berkeliling sekitar tempat itu seperti mencari sesuatu.

Setelah itu mereka keluar menuju tempat parkir, kali ini aku beruntung karena tempat parkir mobilnya searah dengan aku memarkir mobil itu. Kulihat mereka memasuki mobil Mercedes Benz warna hitam metalik. Setelah yakin itu mobil mereka aku segera menuju mobilku.

Saat aku membuka pintu mobil, mobil di sebelah kananku terbuka dan seseorang yang keluar dari mobil itu menghentikan langkahku yang hendak masuk ke dalam mobil. "Lang...,!" suara panggilan itu terasa tidak asing bagiku.

Aku menengok ke belakang, ternyata orang itu adalah Marischka, wanita yang tadi bertemu di dalam. Sebelum aku menjawab sapaannya, aku kembali terpana saat seorang wanita keluar dari pintu kemudi dan memanggil namaku.

"Lang...," sapanya, sambil berjalan ke arahku.

"Chantal... !" desisku lirih tanpa sadar menyebut nama wanita yang kini berada di depanku.

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat, tidak tahu apa yang harus kami katakan atau lakukan setelah dua tahun tidak bertemu, kekakuan itu bertambah karena adanya Marischka. Kebisuan kami di pecahkan oleh suara Marischka, "Hallo, kalian lupa ada aku di tempat ini," ucapnya menggoda.

Kami berdua menjadi salah tingkah, "Pru, ini Elang temanku," kata Chantal memperkenalkan aku untuk menutupi kegugupannya.

"Aku sudah kenal Chan. Bukankah tadi aku bercerita, Mazel mengotori celana seseorang, ya, dia ini orangnya," Kata Marischka.

"Marischka adikmu dan Mazel anakmu ?"

"Ya, benar. Bagaimana kabarmu, Lang ? Kapan datang ke Jakarta, sampai kapan di sini ?" tanya Chantal.

"Baik, baru beberapa hari ini aku di Jakarta, sampai kapan aku tidak tahu, karena saat ini aku di mutasikan ke Mabes," jawabku.

"Sudah beberapa hari ! Tapi tidak memberi kabar !" kata Chantal dengan nada menegur.

Sebelum aku sempat membalas perkataan Chantal, Marischka sudah berkata lebih dulu, "Jadi kamu Elang yang bulan lalu di Iterview sama Avi,"

"Aviani Malik," tanya Chantal.

"Ya, benar, beberapa minggu yang lalu aku pernah di minta untuk interview seseorang. Tapi saat itu posisiku diambil alih oleh Avi, karena saat itu aku tidak bisa. Kau ingatkan acara keluarga kita bulan lalu," jawab Marisckha.

Chantal memandang ke arahku, "Benar, Lang..?" tanya dia.

"Benar, beberapa minggu yang lalu ada wanita yang minta interview denganku," jawabku tanpa merinci kejadian maupun hubunganku dengan Avi.

"Lang, kamu punya waktu saat ini ? Kalau ada waktu, kita berbincang di tempat lain saja."

Aku berpikir sejenak, mau mengikuti Gavin sudah tidak mungkin, menolak permintaannya juga sepertinya juga tidak enak. Maka aku mengiyakan permintaan Chantal.

Chantal dan Mazel pindah ke dalam mobilku. Kami berpisah dengan Marisckha yang akan berangkat ke tempat kerja menggunakan mobil milik Chantal.

Kini kami melaju membelah kemacetan Ibu Kota yang panas. "Kemana kita ?" tanyaku memecah kebisuan di antara kami. Sementara Mazel sudah kembali terlelap dalam tidurnya.

Setelah Chantal mengatakan suatu tempat, kami kembali sama-sama diam untuk beberapa saat. "Ternyata sudah hampir dua tahun semenjak kejadian itu, tampaknya banyak terjadi perubahan pada dirimu," kata Chantal.

Melihatku diam saja, dia melanjutkan kata-katanya, "Kau terlihat lebih dewasa dengan penampilan seperti saat ini, apa kau telah menikah ?"

Aku tersenyum mendengar kata-kata Chantal. "Tidak ada yang berubah pada diriku, aku masih tetap Elang yang dulu," jawabku.

"Bagaimana perasaanmu padaku, apa masih seperti yang dulu ?" tanya Chantal. Sebuah pertanyaan yang tidak ingin kudengar. Aku jadi diam memikirkan pertanyaannya.

Melihatku hanya diam saja, dia kembali bertanya, "Apakah ada wanita lain yang telah mengisi tempat itu ?'

Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab. Ingin menjawab tidak, ada Avi yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku saat ini. Menjawab ya, itu juga tidak benar 100%. Karena di hatiku yang paling dalam masih ada sedikit tempat untuk wanita di sebelahku ini. Apakah keraguan sikapku terhadap Avi, karena belum hilangnya perasaanku pada Chantal.

@@@@@

Kami berhenti di depan gerbang suatu sekolah yang elit. Chantal keluar kemudian masuk ke dalam sekolah itu, sementara aku berada di dalam mobil menjaga Mazel yang sedang tidur. Hampir sepuluh menit Chantal belum keluar juga, untuk mengusir rasa bosan aku keluar dari dalam mobil.

Tidak lama kemudian anak-anak kecil berumur antara delapan tahun mulai keluar dari gerbang seolah itu. Aku melihat mereka sambil bersandar di bagian depan mobil. Tampaknya benar-benar sekolah elit, dilihat dari mobil yang mejemput anak-anak itu. Kulihat juga tampak beberapa pesohor negeri ini menjemput anak-anak mereka.

Setelah suasana agak sepi, barulah kulihat Chantal keluar dari gerbang sekolah dengan anak lelaki berjalan di sampingnya. Sepertinya dia anak pertama Chantal yang bernama Nathan. Jalan ini cukup ramai, hingga mereka butuh waktu cukup lama untuk meyeberang. Ketika mereka akan menyeberang, bersamaan itu kudengar raungan sepeda motor yang melaju kencang dari arah Timur.

Chantal dan Nathan tampaknya tidak tahu ada sepeda motor yang melaju ke arah mereka, aku yang melihat itu segera berlari ke arah mereka berdua. Tanpa berpikir panjang aku langsung menubruk mereka berdua, sementara sepeda motor itu melesat kencang, nyaris mengenai belakang tubuhku. Aku segera bangun dan mencoba mengejar sepeda motor itu, tapi terlambat. Sepeda motor itu sudah menghilang di kejauhan sana.

Setelah membangunkan Chantal dan Nathan yang hanya luka lecet kecil aku segera menelepon temanku, untuk mencari tahu siapa pemilik sepeda motor tadi. Ada beberapa orang yang mendekati kami mencoba bertanya bagaimana keadaan mereka. Tapi Chantal berkata mereka tidak apa-apa dan segera menuju mobil, aku mengikutinya.

"Kalian tidak apa-apa, mau ke Rumah Sakit ?" tanyaku pada Chantal.

"Tidak perlu, antar kami pulang saja. nanti periksa di klinik dekat rumah saja," jawab Chantal.

Kurang dari setengah jam, kami sudah sampai di klinik yang di maksud Chantal. Chantal dan Nathan masuk sementara aku kembali menjaga Mazel yang masih tidur. Hanya sebentar, mereka sudah keluar. Kami segera meninggalkan tempat itu. Tidak sampai tiga ratus meter, kami sampai di depan rumahnya.

Setelah membantu menggendong Mazel ke dalam kamarnya aku duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian Chantal keluar dengan membawa minuman dan makanan. "Chan, aku rasa pengendara motor itu sengaja hendak mencelakai kalian, apa akhir-akhir ini kau punya urusan atau masalah yang menyebabkan orang lain tidak suka kepadamu ?" tanyaku, begitu dia duduk di sampingku.

"Benarkah ?" tanya Chantal.

"Ya, kalau dia tidak sengaja melakukan itu, dia tidak akan mempercepat laju kendaraannya saat melihat orang menyeberang jalan. Dengan kata lain, dari jauh dia berjalan pelan, dan saat melihat kalian akan menyeberang jalan dia baru mempercepat laju sepeda motornya."

Setelah dia sejenak, Chantal kemudian berkata, "Tapi aku rasa akhir-akhir ini aku tidak mempunyai masalah dengan orang lain."

"Bagaimana dengan Nathan."

"Apa hubungannya dengan Nathan ?"

"Mungkin saja dia melihat, mendengar atau melakukan sesuatu yang tidak disukai orang lain."

"Baiklah aku akan mencoba bertanya kepadanya," kata Chantal sambil beranjak bangun.

"Tidak perlu dipaksakan, biar dia mengatakannya sendiri, mungkin dia takut."

Saat Chantal sedang berbicara dengan Nathan, aku mencoba menghubungi kembali temanku, untuk menanyakan bagaimana hasil pencariannya tentang pemilik kendaraan itu. Tapi belum ada hasil, karena tampaknya nomer yang dipakai adalah nomer palsu.

Karena sampai sore Chantal belum berhasil membujuk Nathan. Aku diminta untuk tetap di rumahnya, Chantal mempersilahkan aku untuk mandi dan beristirahat, rupanya dia telah mepersiapkan kamar tamu untuk kutempati. Setelah mandi aku bermain dengan Mazel yang sudah bangun dan mandi, dia mengajakku bermain di halaman depan. Orang yang tidak tahu mungkin akan mengira bahwa kami dan anak bercanda dengan akrabnya.

Sebenarnya aku merasa tidak enak untuk tetap tinggal di rumah itu. Tapi aku juga punya rasa takut, seandainya orang yang tadi datang kembali untuk mencelakai keluarga ini. Maka aku singkirkan rasa sungkanku untuk sementara ini. Sehabis makan malam, aku berkata pada Chantal, "Biar aku yang mencoba berbicara dengannya."

Setelah berusaha lama akhirnya aku berhasil membujuk Nathan untuk mengatakan apa yang terjadi. Aku lalu mengatakan apa yang terjadi pada Chantal. Dia tampak cemas setelah mendengar ceritaku, tapi setelah aku berkata akan menjamin keselamatannya dia kembali tenang.

"Aku akan bertanya soal kejadian itu pada temanku, dan menceritakan apa yang di ketahui Nathan, semoga hal ini akan cepat terselesaikan." Setelah itu aku menelepon temanku.

"Aku tidak menyangka kau bisa mengajak bicara Nathan !"

"Memangnya kenapa ?"

"Tidak apa-apa, tapi dia itu anak yang pendiam dan jarang berbicara, apalagi denganmu yang baru dikenalnya. Tampaknya dia merasa nyaman dengan dirimu."

Kami kemudian sama-sama terdiam untuk beberapa lama. Sementara jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam. Saat aku ingin pamit untuk meninggalkan tempat itu, Chantal berkata, "Lang, mengapa pertanyaan yang tadi siang tidak kau jawab ! Aku tahu siapa kau, kau bersikap ragu-ragu seperti itu pasti ada sesuatu. Bukankah benar, kau telah punya seseorang, dan karena tidak ingin menyakitiku, maka kau tidak menjawab pertanyaanku."

"Tidak ada yang perlu kusembunyikan, benar aku sedang dekat dengan seseorang. Tapi, aku juga belum berani mengungkapkan dan yakin dengan perasaanku. Aku malah merasa takut akan kedekatan kami, aku merasa orang yang dekat denganku selalu akan mengalami celaka, kau tahu beberapa minggu lalu aku baru saja kehilangan beberapa orang teman, dan benar atau tidak semua itu ada hubungannya denganku."

"Jadi kau juga menggantung hubunganmu dengannya ?"

"Benar, aku mungkin sebenarnya lelaki pengecut yang bersembunyi di balik topeng keberanian. Sementara biarlah seperti ini hubungan kami, sampai saatnya nanti, biar waktu yang akan memutuskan."

"Kalau boleh tahu, siapa dia ?"

"Kau mungkin kenal dengannya, kami baru kenal beberapa minggu yang lalu."

"Apa yang kau maksud itu Avi ?"

"Ya, tapi sepertinya, aku sendiri tidak yakin dalam hubungan ini."

"Aku sejak dulu tidak mengerti akan sikapmu yang tidak pernah yakin dalam suatu hubungan dengan wanita, sebenarnya apa yang membuatmu bersikap seperti itu, apa soal status. aku rasa tidak juga, kau masih muda dan punya prospek cerah di kepolisian, wajahmu tampan, tingkah laku dan sifat, tidak ada yang meragukan tindakan dan kebaikan hatimu ?"

"Aku sendiri tidak tahu apa masalahku."

Kami berdua terdiam untuk beberapa lama. "Sudah kita lupakan pembicaraan ini untuk sementara. Kamu beristirahatlah," kata Chantal, sambil beranjak bangkit.
"Chant," panggilku.

Chantal berbalik dan memandangku dengan tatapan penuh rasa kasih dan iba kepadaku, aku yang tadinya ingin mengucapkan sesuatu, mengurungkan niatku. "Tidak apa-apa Lang, semuanya akan baik-baik saja," katanya sambil meninggalkanku yang masih duduk diruang itu. Sementara aku sendiri tidak berdaya untuk menahannya agar tetap di sini.

@@@@@

Dentang jam di ruang tamu sudah berbunyi dua belas kali, tapi di dalam kamar aku masih belum bisa memejamkan mata. Walau kamar itu mempunyai pendingin udara, tapi hati dan pikiranku masih terasa panas.

Aku yang datang ke kota ini untuk mencoba menyelesaikan masalah, tidak menyangka akan terlibat lagi dengan masalah yang tidak kalah peliknya. Aku merasa sudah mengecewakan Chantal dengan pembicaraan tadi. Masih kulihat pancaran sinar matanya sama seperti terakhir dulu kami berpisah di hotel itu, sinar pengharapan.

Aku berpikir, kenapa aku bisa terlibat dalam pusaran perasaan ini. Tadi sebelum Chantal melangkah pergi, ingin aku mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan. Tapi apa dia bisa menerima penjelasan dariku.

Setengah Jam kembali berlalu, aku beranjak ke kamar mandi, kemudian mengusur seluruh tubuhku dengan air dingin. Setelah merasa segar aku keluar dari kamar mandi, dan setelah memakai celana tanpa memakai baju, aku keluar dari kamar.

Aku menuju balkon, setelah mengambil minuman ringan di dalam lemari es. Aku melihat sekeliling tempat itu, kemudian memandang ke atas melihat bintang-bintang yang berkelip jauh di sana. Entah berapa lama aku termenung, hingga tidak sadar seseorang berdiri di sampingku.

Chantal, hanya dengan pakaian tidur yang tipis berdiri di sampingku. Untuk beberapa lama kami hanya diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Lang...," ucapnya lirih.

Aku menoleh ke arahnya tanpa menjawab, menunggu apa yang hendak di katakan selanjutnya.

"Kau masih ingat apa yang kita bicarakan waktu itu, saat kali kita betemu untuk terakhir kalinya. Awalnya aku berpikir, akhirnya kau mau merubah pikiranmu untuk pidah ke sini. Aku merasa mimpiku akan menjadi kenyataan, tapi aku serasa jatuh dari tempat yang tinggi, saat kau mengatakan yang sebenarnya. Tapi setelah aku kembali berpikir, akhirnya aku sadar, kau juga punya hak untuk menentukan pilihan. Aku hanya bisa mendukungmu, dan mengharap kau bahagia bersamanya."

Dia menghela nafas panjang, kemudian menatapku dengan mulut tersenyum. Tapi masih dapat kulihat di matanya, sinar kesedihan dan kekecewaan. Saat dia hendak masuk kembali ke dalam, kuhentikan langkahnya. Dia kembali berbalik menghadap ke arahku.

"Chan, apa kau juga ingat apa yang kukatakan tadi siang ? Aku masih Elang yang seperti dulu, tidak ada yang bisa merubah pikiranku, termasuk juga Avi. Bukan karena dia, maka aku pindah ke sini. Satu lagi, walau aku sudah beberapa hari di sini, tapi aku belum satu kalipun menghubunginya."

Chantal maju ke arahku, kemudian memelukku. "Entah apakah ada laki-laki lain yang sejujur kamu, Lang ? Entah kau akan memilih siapa di antara kami, aku akan tetap menganggapmu bagian dari hidupku. Andaikan aku harus berbagi kau dengan wanita yang lain, aku akan menerimanya, karena aku yakin kau adalah yang terbaik." Aku biarkan dia memeluk tubuhku, sementara tanpa sadar, tanganku mengelus kepalanya yang bersandar di dadaku.

@@@@@

Keesokan harinya, matahari pagi telah bersinar menembus masuk ke kamar, jendela kamar sudah terbuka, hingga udara segar menyelimuti kamar ini. Tidak lama kemudian pintu kamar di ketuk, Chantal masuk, tampak dia sudah mandi dan berpakaian rapi.

Harus diakui bahwa tubuh dan paras wanita ini sangat sempurna, layaknya bidadari yang menjelma jadi wanita yang cantik, anggun dan seksi. Seperti dalam salah satu iklan parfum yang di bintanginya. Jantungku berdecak kencang, kembali kebimbangan menyelimutiku. Avi atau Chantal yang sebenarnya kucintai, apa ini hanya efek sesaat, atau memang aku yang telah menjadi laki-laki plin-plan. Harus, aku harus memutuskan siapa yang menjadi pilihanku.

"Tadi ada telepon yang masuk ke ponselmu, aku tidak sempat mengangkatnya karena sudah terputus. Itu aku sengaja menaruh di sampingmu, siapa tahu ada telepon lagi untukmu," kata Chantal, membuyarkan lamunanku.

Kuambil dan kulihat ponselku, ada tiga panggilan tidak terjawab. Aku segera menghubungi balik nomer telepon itu, dari temanku yang memberi kabar tentang orang yang kemarin hampir mencelakai chantal dan Nathan. Dia mengatakan telah menangkap dua orang yang memakai sepeda motor seperti yang kujelaskan kemarin, dia tertangkap saat diadakan operasi dini hari tadi, dia ditangkap karena kedapatan membawa narkoba.

Setelah menutup telepon aku menceritakan hal itu pada Chantal, kujelaskan juga nanti aku akan menemui orang itu untuk megetahui secara pasti alasannya ingin mencelaki Nathan.

"Terima kasih, Lang," kata Chantal. "Aku sudah menyiapkan kopi di bawah, segeralah turun," ucapnya.

Saat aku turun, di ruang makan sudah ada Marischka. Dia tidak tampak terkejut melihatku bermalam di rumah kakaknya. Setelah menyapa Marischka, Mazel dan Nathan aku segera mengambil tempat duduk. Tidak banyak pembicaraan yang kami lakukan di meja makan itu. Setelah itu kami bergegas untuk melakukan aktifitas harian masing-masing.

Tapi saat aku hendak berangkat menuju Mapolda, Nathan dan Mazel merengek ingin di antar olehku. Setelah sampai mereka berdua turun, kini hanya aku dan Chantal yang ada di dalam mobil. Sesampainya di tempat dia bekerja, Chantal tidak segera turun. "Lang, ucapanku ini sudah terlalu sering kau dengar. Tapi demi anak, aku kembali akan mengatakannya padamu. Kalau kau mau dan kami berharap, kami ingin nanti sore atau setelah tugasmu selesai kau kembali ke rumah. Aku berkata bukan hanya untuk diriku, tapi juga anak-anakku yang tampaknya senang kau berada bersama kami. Ini bukan tuntutan, tapi hanya sekedar permohonan."

Sebelum aku sempat menjawab, Chantal sudah membuka pintu dan beranjak turun. Sebelum masuk ke dalam gedung, dia kembali melangkah kearahku, mencium pipiku dan kemudian melangkah cepat ke dalam, tidak memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Untunglah ada telepon yang masuk, yang membuatku kembali fokus ke pekerjaan. Setelah itu aku segera melaju ke arah Polda Metro.

@@@@@

Di Mapolda aku bertemu beberapa teman satu angkatan di Akpol, termasuk tentu saja Eka Frestya dan Dara Intan. Dengan ijin dari atasan, aku menemui orang itu dan menginterogasinya. Terungkap hal yang sebenarnya. Tiga hari berselang di satu jalan, dia menabrak seseorang dan orang itu meninggal. Saat itu Nathan dan dua orang temannya berada di tempat kejadian. Orang itu takut, kalau rahasianya di ketahui orang lain atau polisi. Untuk itu dia mencoba menakuti Nathan dan dua temannya.

Setelah urusan di Mapolda selesai, aku berrencana kembali ke tempat pameran untuk mencari Andi dan anak buahnya. Ketika sampai di tempat parkir, aku melihat Gavin sedang berbincang dengan Pak Bram di samping mobilnya. Ada keinginan untuk menemui mereka berdua, tapi aku merasa tidak ada alasan yang tepat untuk aku menemui mereka saat ini. Tidak lama kemudian dia meninggalkan tempat ini dengan iringan mobil jenazah di belakangnya.

Aku hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, siapa yang berada di dalam mobil jenazah itu. Rasa penasaranku akhirnya terjawab, saat Pak Bram melihat dan memanggilku. Setelah saling menanyakan kabar dan berbicara soal tugas masing-masing, tiba-tiba Pak Bram berkata, "Aku benar-benar khawatir padanya !"

"Siapa Pak ?" tanyaku.

"Orang yang tadi berbicara denganku, yang tadi keluar dari sini dengan iringan mobil jenazah."

"Mengapa Pak Bram harus khawatir dengannya ?"

"Sebentar Lang, sebelum aku menjelaskan, aku punya satu permintaan padamu ! Jangan panggil aku Pak, bila tidak ada orang lain. Cukup panggil Mas, Ok !"

"Ta.. tapi Pak..."

"Tidak ada tapi-tapian, kalau kau tidak mau aku akan marah," kata Pak Bram dengan becanda.

"Baik Pak.., eh Mas," jawabku akhirnya.

"Kau tahu siapa yang tadi berbincang denganku ?"

"Mana saya tahu, Mas."

"Dia adikku. Benar, memang bukan adik kandung, tapi aku sudah menganggapnya demikian," ujarnya menjelaskan, setelah melihatku seakan tidak percaya ucapannya.

"Jadi yang di dalam mobil jenazah masih keluarga Mas Bram ?"

"Bukan, dia teman dari Om kami, tapi karena dia tidak punya keluarga, maka Adikku yang mengurusnya.

"Siapa namanya ?"

"Gavin !"

"Gavindra Aryasatya !" sebutku tanpa sadar.

"Benar, dari mana kau tahu itu namanya ?" tanya Mas Bram dengan heran.

"Aku pernah mendengar nama itu dari seseorang yang paling aku hormati setelah kakekku, Om Gian, namanya."

"Eh ! kau kenal Om Gian," kata Mas Bram makin heran.

"Ya, bukankah Gavin itu keponakan dari Om Gian, dan kalau Gavin adik Mas Bram, berarti Mas Bram juga keponakan Om Gian," kataku.

"Benar seperti itu, di mana kau bertemu Om Gian ?"

Aku lalu menjelaskan awal pertemuanku dengan Om Gian. Budi baik, dukungan, ajaran dan semua hal yang telah di lakukannya untukku, sampai terakhir kalinya pertemuanku dengannya kurang lebih satu-setengah bulan yang lalu.

"Satu-setengah bulan yang lalu, itu adalah waktu meninggalnya Om Gian."

"Apaaa...! Om Gian sudah meninggal !" teriakku, hingga membuat Mas Bram cukup kaget.

"Benar, dia sudah meninggal."

"Kapan, kenapa ?"

"Itu masih ada hubungannya dengan yang kukatakan tadi. Mari kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol."

Kami lalu menuju kantin yang tidak jauh dari tempat itu. Sebelum bercerita dia memintaku untuk tidak menceritakan hal ini kepada rang lain. Setelah minum, Mas Bram diam sejenak, kemudian dia mulai bercerita. Mulai dari penemuan mayat di salah satu sudut kota Pekalongan, berlanjut dengan keinginan Gavin untuk mencari pelaku pembunuhan pamannya, kematian Om Anwar, sampai ke khawatiran Mas Bram kepada Gavin.

"Aku tahu Gavin cerdas dan sedikit banyak punya ilmu bela diri yang lumayan. Tapi dia masih muda, belum dewasa, kadang malah masih bersikap kekanakan. Dia masih suka bermain-main, hal itulah yang membuatku khawatir," ucap Mas Bram, mengakhiri ceritanya.

"Mengapa Mas Bram menceritakan hal ini padaku ?"

"Tampaknya kau sudah menduga kemana arah tujuan pembicaraan ini. Jadi aku juga akan langsung ke pokok masalahnya. Aku minta tolong kepadamu untuk mengawasi dan menjaga Gavin. Tentu bukan dalam arti seperti mejaga anak kecil. Mungkin kau merasa tidak ada gunanya melakukan hal ini, tapi bisa juga berguna untukmu, dengan informasi yang di milikinya. Dia punya banyak akses dan jaringan dari orang yang di kenalnya. juga bisa bekerja sama dengannya."

Aku diam mendengar semua penjelasan Mas Bram. Dalam hati aku berpikir, biasanya aku bertindak sendiri, kini harus ber partner dengan seseorang. Aku memang belum sempat bertemu dan berbicara dengan Gavin, tapi dari penuturan Mas Bram, sedikit banyak aku dapat menduga sifat dan kemampuan Gavin. Dan satu lagi yang membuatku harus mempertimbangkannya adalah Gavin keponakan Om Gian.

"Bagaimana, Lang ? tanya Mas Bram melihatku diam saja. "Kalau kau keberatan juga tidak apa-apa, katakan saja," lanjutnya.

"Bail, aku menyetujui usul Mas," jawabku , setelah berpikir kembali, apa salahnya aku mencoba.

"Terima kasih, Lang. Aku tahu kau bisa diandalkan," ucap Mas Bram.

Mas Bram lalu mengatakan akan secepatnya memngenalkan Gavin kepadaku. Setelah itu kami membicarakan hal-hal yang sedang terjadi saat ini dan masalah lainnya. Setelah selesai pembicaraan kami, aku segera meninggalkan tempat itu. Mas Bram sempat mengatakan di mana kantor, tempat tinggal, dan kemungkinan di mana saat ini Gavin berada.

@@@@@

Pada saat berhenti di sebuah persimpangan jalan, aku terkejut saat sebuah truk melaju dari arah utara menuju selatan, karena yang menjadi sopir truk itu adalah Andi. Tanpa membuang waktu, begitu lampu berwarna hijau, aku segera membelok ke kiri dan mengejarnya. Karena tertahan lampu merah, maka jarak antara mobilku dan mobil Andi terpisah jarak cukup jauh.

Mobil itu terus melaju ke arah luar kota, dan ternyata truk itu tidak hanya satu. Saat memasuki jalan yang menuju luar kota ada empat buah truk yang sama persis melaju di jalan itu. Melihat hal itu, aku jadi tidak tahu pasti, di truk yang mana, adanya Andi.

Di satu tempat mereka berbelok arah dan berhenti. Aku ikut berhenti, kemudian kudekati mereka. Tapi saat kulihat, ternyata tidak ada Andi diantara mereka. Aku berpikir, apa aku salah melihat. Saat aku sedang binggung ke empat buah truk itu bergerak kembali, aku jadi ragu, mengikuti mereka atau tidak. Aku bergegas masuk ke dalam mobil, saat melihat sebuah Land Cruiser melaju kearah yang sama dengan ke empat buah truk itu. Karena di dalam mobil itu kulihat wajah Xin dan Tito.

Baru saja aku melaju, tiba-tiba terdengar bunyi benturan yang keras dari arah depan. Duaaaks... tidak lama kembali terdengar Dueeers.....

Aku berusaha untuk merangsek kedepan, tapi hal itu sia-sia karena ada empat buah mobil besaryang menghalangi niatku, apalagi kemudian empat mobil itu seperti menggepung sebuah mobil Mercy berwarna metalik, dan berusaha menabrak mobil itu, dan 'astaga !!!' teriakku dalam hati, setelah aku ingat itu adalah miobil milik Gavin.

Dan aku terlambat saat mobil mercy itu berputar dan nyaris jatuh ke bawah karena berada di tepian jalan tol yang tinggi. Aku turun dari mobil berusaha lari untuk menolong Gavin yang masih berada di dalam mobil. Kukeluarkan senjataku dan berusaha untuk menghentikan mobil itu dengan menembakinya, tapi malah mobil lainnya yang berada di belakangku mengincarku, aku melompat menghindar, akibatnya mobil milikku hancur berantakan di terjang mobil itu.

Pada saat bersamaan mobil Gavin terlempar ke bawah, dari atas bibir jalan tol yang cukup dalam. Tanpa mempedulikan Andi yang ada di depan mataku, aku segera turun ke bawah dan berusaha menolong Gavin. Dia tidak bergerak, entah pingsan atau mati. aku segera menyeret tubuhnya menjauh dari mobilnya yang sudah terbakar. Dan benar dugaanku, tidak lama kemudian terdengar bunyi ledakan, hancur lebur mobil berharga milyaran itu.

Saat aku mencoba melihat ke atas, kulihat Andi memandang ke arahku dengan senyum Iblisnya. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk turun ke bawah. Aku sudah bersiap siaga menghadapi segala sesuatunya, saat terdengar bunyi suara sirene mendekat. Mendengar suara itu, Andi memerintahkan anak buah untuk membatalkan menyerang . Dalam sekejap, mereka sudah meninggalkan tempat itu. Sementara aku masih berusaha untuk menggendong Gavin, mencari jalan naik dari tempat itu.

Dengan susah payah, akhirnya aku bisa membawanya naik. Dan ambulance sudah siap di tempat itu. Gavin segera di periksa, dia masih masih hidup, tapi pingsan. Aku segera membawanya ke rumah sakit. Di dalam perjalanan, aku berpikir ada hubungan apakah, hingga Andi mau menghabisi Gavin. Disisi lain aku merasa punya tanggung jawab untuk menjaganya, karena janjiku kepada Om Gian.



Chapter XXVII : Lets Do It

"Begitulah kisah hidupku, hingga aku sampai ke Jakarta dan bertemu denganmu," kata Elang, mengakhiri ceritanya dengan menghela nafas panjang.

"Sangat menarik dan penuh liku kehidupan, tampaknya hal itulah yang membentuk dirimu menjadi manusia yang kuat, keras, tegas dan dingin dalam menghadapi kerasnya hidup. walau kadang kau juga merasa rapuh dan lemah seperti ceritamu, tapi itu merupakan hal yang sangat manusiawi."

"Bagaimana dengan kau sendiri, Vin? Tentu hidupmu lebih mulus dari kehidupanku. Maukah kau sedikit bercerita tentang dirimu, walau sedikit banyak aku sudah tahu dari Ayah, Ibu dan Mas Bram. Tapi tentu ada cerita tentang dirimu yang tidak di ketahui oleh mereka."

"Baiklah aku akan menceritakan tentang diriku." Aku lalu bercerita tentang riwayat hidupku, mulai dari kecil, remaja, dewasa, bekerja sampai datangnya masalah tentang kematian Om Gian. Tentang penyelidikanku hingga aku sampai di celakai oleh mereka.

Setelah usai ceritaku, kami kemudian tenggelam dalam pikiran masing-masing untuk beberapa saat, "Vin, apa yang kau pikirkan sama seperti apa yang kupikirkan?" tanya Elang, memecahkan kediaman kami.

"Ya, aku pikir seperti itu, Lang. Kalau Andi atau Kui itu merupakan teman atau komplotan dari Xin dan Mow, maka kita mempunyai tujuan dan musuh yang sama. Yang jadi persoalan adalah, kalau menurutmu Kui itu anak buah Yudi, maka Xin dan Mow juga anak buah Yudi. Dan kalau benar dugaanku yang membunuh Om Gian adalah Xin dan Mow, maka mereka pasti di suruh oleh Yudi. Pertanyaannya adalah ada urusan dan hubungan apa antara Om Gian dengan Yudi."

"Itulah yang harus kita cari tahu, Vin. Kalau kita dapat menangkap Yudi, mungkin semuanya akan selesai. Tapi kemudian yang jadi persoalan, di mana adanya Yudi?"

"Apa kau punya foto Yudi? Mungkin aku pernah melihatnya atau mengenalnya!"

"Sayang sekali aku tidak membawanya, Vin. Nanti malam saat kembali dari kantor aku akan membawa berkas dan file tentang Yudi dan Andi."

"Baiklah, kalau begitu kita putuskan nanti malam kita akan bahas masalah ini sampai selesai. Aku juga akan mengambil laptopku yang berisi informasi yang telah berhasil aku kumpulkan dari berbagai sumber. Oh ya, Lang. Kamu tidak keberatankan seandainya kita membahas masalah ini bersama-sama orang lain, siapa tahu mereka masih punya informasi atau petunjuk yang belum kita ketahui?"

"Itu terserah kepadamu, Vin. Tapi kalau memang informasi mereka berguna untuk tugas kita, kenapa tidak!"

"Terima kasih, Lang. Aku akan segera menghubungi mereka. Kapan kau akan berangkat?"

"Sebentar lagi, ada apa?"

"Tidak apa-apa, siapa tahu kita bisa berangkat bersama. Tapi kalau kau mau berangkat sekarang tidak apa-apa, aku nanti menunggu Mbak Tika dan Mbak Rani."

Setelah pembicaraan selesai, Elang membersihkan diri, tidak lama kemudian diapun berangkat ke tempat tugasnya. Sementara sambil menunggu Mbak Tika dan Mbak Rani datang, aku mencatat apa yang baru saja selesai di ceritakan oleh Elang. Siapa tahu dalam ceritanya ada petunjuk yang bermanfaat.

@@@@@

Tidak lama kemudian Mbak Tika dan Mbak Rani datang, mereka datang dengan barang belanjaan cukup banyak. tampaknya mereka tahu bahwa akan di butuhkan banyak makanan untuk para tamu. Sementara mereka sibuk di dapur, aku pamit pada Mbak Tika dan Mbak Rani untuk keluar sebentar, karena ada yang perlu kulakukan. Mereka berpesan untuk hati-hati, karena aku baru saja sembuh. Senang sekali mengendarai mobil, setelah satu bulan lebih tidak melakukannya. Apa lagi ini juga untuk pertama kalinya mengendarai mobil milik Om Anwar, sebuah Super Cars, Porsche Carrera Gt.

Tanpa membuang waktu aku segera menuju apartemen milik Om Gian. Setelah mengambil semua yang kuperlukan aku segera meninggalkan tempat itu. Aku yang lama terkurung di Rumah Sakit, merasa ingin santai sejenak dengan jalan-jalan mengelilingi kota yang sudah lama tidak kunikmati. Saat berada di depan salah satu Resto dan Caffe, aku melihat Fariz masuk ke tempat itu. Yang membuatku terkejut dia masuk bersama seorang wanita, yang tidak sempat kulihat wajahnya. Selama ini dia selalu menyembunyikan pacarnya. Hal itulah yang membuatku penasaran ingin mengikuti dia.

Aku segera masuk ke dalam, yang aku ketahui Resto ini biasa di jadikan tempat kumpul kalangan jet set tanah air. Dan ternyata hal itu benar adanya, banyak orang terkemal yang jadi pengunjung di sore ini. Aku mencari tempat duduk sambil mataku mencoba melihat suasana sekitar, ternyata tidak ada bayangan Fariz di sekitar tempat itu. Mungkin dia berada di lantai atas Resto ini. Saat aku hendak melangkah ke atas, ada seseorang yang memanggil namaku. Aku menengok ke asal suara itu, seorang wanita di satu meja melambaikan tangannya, Mbak Venna. Kulihat di meja itu ada beberapa orang, yang ke semuanya adalah seleb wanita. Beberapa di antaranya sudah aku kenal, sebenarnya aku agak sungkan, tapi setelah kupikir apa salahnya sekedar say hello, aku dekati meja itu.

Selain Mbak Venna, ada Mbak Maudy, Mbak Sarah, Mbak Alya, Mbak Diah dan beberapa seleb wanita yang semuanya berusia di atas tiga puluh tahun. Setelah itu aku berkenalan dengan mereka semua, begitu juga sebaliknya. Mereka semua berkumpul karena sedang mengadakan arisan. Takut menggangu acara mereka, aku pun meninggalkan meja mereka walau mereka berkata tidak merasa terganggu dengan kehadiranku.

"Baiklah, nanti aku kembali ke meja ini kalau acara utama sudah selesai," kataku sambil meninggalkan meja mereka.

Aku naik ke lantai dua, tapi tetap saja tidak kutemukan Fariz. Apa aku salah melihat, pikirku dalam hati. Tidak enak hanya mondar-mandir naik turun, aku lalu duduk di salah satu meja dan memesan makanan. Mau turun ke tempat Mbak Venna dan lainnya juga sungkan. Saat sedang menunggu makanan ada seseorang yang menepuk pundakku sambil berkata, "Hallo ganteng, sombong nih, pura-pura tidak kenal !" Aku segera menengok ke asal suara itu. Seorang wanita berusia empat puluh tahunan, cantik, berkulit putih, tinggi dan berat badan sekitar 170 cm/ 58 kg. Berpenampilan anggun, menarik dan tampak berkelas. Aku ingat dia adalah teman dari Mbak Lula yang pernah kutemui waktu seminar di sebuah hotel. Tante Mala, istri pejabat tinggi salah satu perusahaan Plat merah.

"Tante Mala, apa kabar?"

"Baik, kirain lupa sama tante. Tadi melihat tante diam saja."

"Oh, maaf tante. Tadi saya tidak melihat tante."

"Tidak apa-apa, kamu sendiri bagaimana kabarnya? Tante dengar dari Lula kamu kecelakaan Vin? Maaf, tante tidak sempat nengok. Waktu di kabari Lula, Tante sudah di Belanda. Baru kembali tiga hari yang lalu."

"Tidak apa-apa, Tan. Ini juga sudah sehat. Tante sendirian atau bareng suami? Tidak enak kalau mengganggu acara keluarga." sambil mencoba melihat sekeliling.

"Tidak, tante sendirian. Lagi nunggu teman, biasa acara kumpul. Boleh Tante duduk di sini, dari pada duduk sendirian," kata Tante Mala.

"Dengan senang hati. Mana mungkin ada yang menolak di temanai bidadari," ujarku.

Pipi Tante Mala nampak merona merah mendengar ucapanku. "Bisa saja kamu, Vin," kata Tante Mala, sambil duduk. Setelah itu kami saling bercerita tentang masing-masing sambil makan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Tante Mala, mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil berkata lirih, "Vin, kamu ada janji bertemu dengan seseorang?"

"Tidak, memangnya kenapa, Tan?"

"Dari tadi tante lihat orang-orang yang duduk di meja no.6 itu terus melihat ke arahmu."

Mendengar hal itu, aku menjadi lebih waspada, setelah kejadian yang menimpaku. Di samping timbul rasa penasaran siapa orang yang di maksud Tante Mala. Tapi untuk menghindari kecurigaan mereka untuk sementara aku berpura-pura untuk tidak tahu. Dengan memanfaatkan ponsel, aku mencoba melihat siapa orang-orang yang di maksud Tante Mala. Akhirnya aku berhasil melihat siapa mereka. Lima orang, dua wanita dan tiga laki-laki. Aku berusaha mengingat siapa mereka, akhirnya aku dapat mengingatnya, baru satu orang yang pernah kutemui diantara mereka, yaitu wanita yang lebih tua dengan tampilan mewah. Dia tidak lain adalah wanita yang pernah kulihat di acara seminar waktu itu.

Kemudian dua orang lagi yang kukenali adalah dua orang yang lebih muda di antara mereka berlima. Dua orang itu memang belum pernah kutemui, tapi aku ingat, mereka adalah dua diantara lima orang yang pernah di tunjukan fotonya padaku oleh Om Dans, mereka anak buah Om Dans, yang di curigai terlibat dalam pembunuhan Om Gian dan Om Anwar. Mereka mempunyai Code Name ; Cobra dan Walet.
Sementara dua orang lagi, belum pernah kutemui maupun kulihat. Tapi di lihat dari wajahnya mereka tampaknya orang asing. Aku mencoba untuk bersikap normal seolah tidak tahu bahwa aku di perhatikan, "Tante mengenal wanita yang memakai baju biru itu?" tanyaku pada Tante Mala.

"Mengenal secara pribadi tidak, tapi Tante tahu dia salah satu istri pengusaha, yang punya pengaruh besar."

"Hanya itu yang Tante ketahui tentangnya?" tanyaku menyelidik.

"Eh, kenapa kau bertanya seperti itu, Vin? Tampaknya kau juga dengar kabar selentingan tentang dirinya ya? Atau ini ada hubungannya dengan pembicaraan kita waktu itu?" Tanpa menunggu jawaban dariku, Tante Mala melanjutkan ucapannya. "Yang tante dengar dari orang dekatnya dia punya bisnis barter barang apapun."

"Maksudnya barang apapun itu, apakah semua barang bisa ditukarkan kepadanya?"

"Ya, bukan hanya barang, jasa, bahkan nyawa juga bisa. Dia akan melakukan apapun asal harganya cocok."

"Hebat juga dia!"

"Tidak juga, masih ada beberapa orang yang lebih hebat di belakangnya. Dia hanya di jadikan pengalih perhatian, agar pihak berwajib tidak mencurigainya."

"Tante tahu, siapa yang berada di belakangnya?"

"Kau tahu atau pernah membaca sejarah jaman kekaisaran Tiongkok kuno? Dalam jaman itu Kaisar adalah orang paling berkuasa, kemudian ada Jenderal, Perdana Menteri, Panglima dan lain-lain. Nah, wanita itu kabarnya merupakan salah satu panglima dalam kelompok itu, dia biasa di panggil Xian di dalam kelompoknya. Sayangnya Tante hanya pernah mendengar nama-nama itu, tanpa tahu siapa orang-orang yang di maksud itu."

"Tapi tante lebih hebat karena bisa tahu tentang semua ini," ucapku.

"Inilah hasil rumpian dari ibu-ibu yang gak punya kerjaan," ujarnya dengan tersenyum.

Kami kemudian diam kembali sambil menikmati hidangan di depan kami. Dalam hati aku berpikir, tampaknya mereka mempunyai hubungan dengan Xin, Mow, Kui. Bukankah nama-nama itu juga penyebutan dalam bahasa Madarin untuk, Malaikat, Iblis dan Setan. Terus ada hubungan apa Agen ISF dengan kelompok Kaisar itu? Tampaknya kecurigaan Om Dans beralasan. Setelah temannya datang, aku meninggalkan tempat itu. Tante Mala berusaha mencegahku, tapi aku beralasan masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan dan dia mengijinkan aku meninggalkan tempat itu setelah berjanji akan menghubunginya nanti. Aku sempat melirik mereka saat berjalan keluar. Aku melupakan tujuanku ke tempat itu untuk mencari Fariz. Tiba di lantai bawah, aku di panggil oleh Mbak Venna. Setelah beberapa lama, aku kemudian pamit dengan alasan ada pekerjaan. Tapi sebelum pergi, mereka kompak mengundangku untuk datang ke suatu acara yang akan di adakan yang waktu dan tampatnya belum di tentukan. Agar cepat lepas dari situasi ini, aku langsung menyetujui permintaan mereka.

@@@@@

Cukup lama aku menunggu di dalam mobil, hingga kulihat mereka berlima keluar. Mereka meninggalkan tempat itu dengan menggunakan tiga mobil yang berbeda. Aku mengikuti mereka dari jarak cukup jauh. Hingga saat di persimpangan mereka saling memisahkan diri. Si Putri dengan Toyota Alphard bersama sopir dan pengawalnya membelok ke Barat. Dua orang agen ISF dengan Grand Vitara lurus ke Utara, dan dua orang asing lainnya dengan Civic ke arah Timur. Tanpa berpikir lama aku memutuskan untuk mengejar dua agen ISF.

Karena jalanan mulai padat, mereka tidak bisa melaju dengan cepat. Hingga aku dapat membayangi mereka dari jarak yang aman. Tapi ketika memasuki jalan yang lenggang mereka melaju dengan cepat. Aku terus membayangi mereka, semakin lama mereka melaju semakin cepat. Entah mereka tahu sedang di ikuti atau memang prosedur dari seorang agen ISF, perjalanan mereka berputar-putar, ada dua, tiga tempat yang di lalui lebih dari satu kali. Hingga tiba di suatu jalan tidak kuduga, ternyata mobil Alphard Si Putri telah berada di depan mereka, begitu juga mobil dua orang asing itu. Tidak lama ketiga mobil itu berjalan beriringan, hingga sampai di suatu rumah mewah dua lantai berpagar tinggi mereka masuk. Aku mencoba memutari rumah itu, sambil melihat keadaan sekeliling rumah itu. Hanya satu tempat yang memungkinkan untuk memasuki rumah itu selain dari depan. Di sebelah kiri rumah ada sebuah pohon besar, yang salah satu dahannya ada yang sedikit menjulur keluar.

Aku keluar dari mobil, kudekati bagian dinding yang ada dahan menjulur itu. Jalanan mulai sepi karena menjelang senja, saat aku hendak melompat ke atas, aku mendengar suara ribut di bagian dalam dinding. Seperti suara orang berkelahi, lalu terdengar suara tembakan. Saat itu tiba-tiba ada orang yang jatuh dari atas. Lalu terdengar teriakan "Kejaaar... kejaaar...!!!" Aku mencoba menangkap orang yang jatuh dari dinding itu. Akibatnya kami jatuh berdua, saat kurasakan empuk dan kenyal di bagian dadaku, barulah aku sadari dia wanita.

"Lari! pergi dari sini!" ucapnya cepat.

Aku sadar apa yang akan terjadi kalau kami tetap berada di sini. Aku cepat memapahnya menuju mobil, sementara kulihat ada beberapa mobil yang menuju ke arah kami. Begitu di dalam aku langsung tancap gas meninggalkan tempat itu, di ikuti beberapa buah mobil yang mengejar kami. Ketika mulai menjauh dari kejaran mereka, barulah kau berani melirik siapa wanita di sampingku, "Kau... Sonia!" teriakku saat tahu siapa dia. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku, saat melihat dia memegangi lengannya.

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil," jawabnya, dengan bahasa indonesia yang kaku.

"Kenapa kau bisa sampai berada di tempat itu?"

"Nanti saja ceritanya, lebih baik kau pikirkan orang-orang yang berada di belakang kita."

Benar juga, tampaknya mereka belum menyerah untuk mengejar dan serius ingin menangkap kami. Mereka semakin dekat, hanya dua buah mobil yang masih bisa membuntuti kami, sebuah Mitsubishi Lacer Evo merah dan Nissan GTR hitam. "Ooo.. shit," ucapku, sambil membanting kemudi ke arah kiri, saat menghindari mobil yang tiba-tiba muncul di depan. Kini aku harus menghindari mobil-mobil yang melaju baik yang searah maupun yang berlawanan. Lalu lintas Ibu Kota yang sedikit santai menjelang senja, tiba-tiba menjadi sedikit kacau dengan aksi kejar mengejar antara mobil kami. Salah seorang dari mereka mengeluarkan separuh badan dari mobilnya, tangannya menggengam Revolver. Dia mencoba membidik mobilku yang berwarna putih susu.

JDAR..JDER..JDAR..JDER..JDAR..JDER..!!!

Peluru meluncur keluar dari Hand Gun buatan Austria itu. Entah dari mana mendapatkannya, karena itu tidak di pakai di Indonesia. Aku yang tidak mau mobilku menjadi cacat, melakukan zig-zag untuk menghindari tembakan itu. "Sialan! Awas saja kalau sampai mereka merusak mobilku untuk kedua kalinya, aku akan meminta ganti berkali lipat."

Tampaknya aku harus membalas perbuatan mereka. Kucari waktu yang tepat, dan saat itu tiba dengan cepat kutarik tuas handbrake kemudian kubanting kemudi ke sebelah kiri. Membuat mobil terbanting ke kiri, berbelok tajam sembilan puluh derajat. Ban mobil menggesek aspal, dan berdecit akibat gesekan itu. Mereka kaget karena sebuah truk melaju dari arah depan, mencoba membanting kemudi tapi terlambat, truk sudah menghantam bagian belakang mobil mereka.

"Nice drift," kata wanita di sampingku.

"Keep calm, Senora," kupasang wajah tenang dan keren, "and look at behind us!"

Mobil yang mengejar tinggal satu, mereka kembali berakselerasi mengejar kami. Mereka kembali berusaha menembak kami. Dengan cepat aku meliuk menghindar, mobil kembali melaju di jalan yang semakin temaram, diiringi suara klakson dan bunyi ban yang mendecit dipaksa bekerja berkelok-kelok di atas aspal jalanan Ibu kota.

"Kau punya senjata untuk membalas serangan mereka," tanyaku.

"Tidak ada, senjataku tadi jatuh saat memanjat pohon," jawabnya.

"Bagus sekali, seorang agen rahasia hanya membawa satu senjata," ucapku.

"Sebetulnya ada satu lagi, tapi..."

"Tapi apa! Apa kau tidak bisa mengambilnya karena tanganmu luka, sini biar aku yang mengambilkan."

"Iya sebentar, tapi jangan melihat ke arah sini dulu!"

"Ken...a.." Aku jadi melonggo dan hampir saja celaka andai dia tidak berteriak memperingatkan.

"Lihat depan, Tuan yang nakal!!!"

Dan aku harus kembali membanting kemudi, mobil kembali berkelok kilat ke kiri, tubuh sintalnya terhuyung menubruk tubuhku di kursi kemudi. Aku dorong kembali tubuhnya yang wangi dan mengganggu konsentrasiku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

"Yeah, terima kasih," ucapnya sambil membetulkan pakaiannya yang terbuka di bagian dada saat mengambil Derringers ( pistol kecil ) yang kini di genggamnya.

Dia melongokkan kepalanya, mencoba membidik mobil yang kini berjarak kira-kira tiga mobil di belakang kami. Mobil kami melaju ke kawasan perkantoran, lalu lintas kota semakin padat, karena aktifitas pulang kerja.

"Shit," Umpatku saat melihat antrian mobil di depan kami. Kuputar kemudi ke kiri, menuju jalan yang lebih lega, dan jalanan itu ternyata jalan satu arah. Dengan arah yang berlawanan dengan laju Porsche Carrera.

Mobil buatan jerman ini berayun lincah melawan arus lalu lintas, sementara GTR masih mengikuti sama lincahnya dari belakang. Sonia mencoba membidik pengejar kami, namun luka di lengannya, mengurangi akurasi tembakan yang di lepaskannya. Lalu lintas semakin kacau, sebagian pengemudi mobil memilih menepi lebih dulu. Ada juga yang memilih berlari kalang kabut dan meninggalkan mobilnya begitu saja.

"Tembak bannya," ucapku.

"Iya aku tahu, tapi sulit dalam jarak ini," jawabnya.

"Polisi, kita dapat bantuan," ucapku saat mendengar sirine polisi mendekat.

"Aku tidak mau berurusan dengan Polisi, hindari mereka."

"Hentikan mobil kalian," suara polisi menggunakan pengeras suara dari dalam mobil. Mendengar peringatannya di acuhkan, mobil polisi itu mengejar kami yang telah melanggar lalu lintas, juga telah membuat kekacauan dan membahayakan masyarakat.

"Tidak jauh lagi ada pertigaan, aku akan berhenti beberapa detik, kau harus memanfaatkan situasi itu."

Laju mobil tiba di pertigaan tepat di depan sekolah Setia Budi. Kubanting kemudi dan menarik tuas rem, membuat mobilku berayun dan berhenti di tengah pertigaan. Sonia segera membidik ban mobil BMW pengejar. Mobil mereka pun berayun tak terkendali setelah bannya terkena tembakan Sonia.

Aku yang tidak mau mobil mereka yang hilang kendali itu menghantam mobil kesayangaku segera menginjak pedal gas dan melepas tuas rem. Mobil kami melaju mulus, sementara sedan yang mengejar kami terayun dan menghantam pagar sekolah. Salah seorang dari mereka terlontar keluar dari jendela mobil. Kulihat Polisi sudah tidak melakukan pengejaran terhadap kami lagi. Setelah yakin aman, aku membawa mobilku menuju Aparteman Om Anwar yang tidak jauh dari tempat itu.

@@@@@

"Kau mau membawaku kemana?" tanya Sonia saat aku menghentikan mobil di basement apartemen.

"Ke tempatku."

"Kenapa membawaku ke tempat ini, apa yang akan kau perbuat?"

"Memangnya aku mau berbuat apa?"

"Awas kalau macam-macam!"

"Dasar wanita!"

"Apa kau bilang!"

"Tidak apa-apa. Aku hanya bermaksud menolongmu, tapi sikapmu kenapa seperti itu!"

"Aku ini wanita, jadi harus hati-hati kepada lelaki. Apa lagi lelaki semacammu!"

"Memangnya aku lelaki macam apa?" dan aku hanya terbengong, tidak mengerti.



Chapter XXVIII : Meeting and Foursome

"Apa perlu aku katakan ? Kau ini perayu wanita, sudah berapa wanita jatuh karena mulut manismu itu."

Aku terdiam mendengar perkataannya. Tapi karena tidak mau kalah aku pun berkata padanya, "Aku merasa tersanjung karenanya."

"Kenapa ?" tanya Sonia heran.

"Ya, tersanjung karena diperhatikan oleh wanita secantik kamu. Kalau kau tidak perhatian, buat apa kau mencari tahu tentang diriku. Sampai berapa wanita yang pernah kukencani, kau juga tahu."

"Dasar tidak tahu malu," ucapnya.

"Baiklah, kita lupakan masalah itu. Sepertinya kita mempunyai masalah dan tujuan yang sama. Mungkin kita belum bisa menjadi teman, tapi mungkin kita bisa bekerja sama dalam masalah ini," kataku.

"Baiklah, kita lihat dulu. Masalah bekerja sama bisa kita putuskan nanti."

Setelah itu kami segera naik, menuju lantai di mana apartemenku berada.

"Aku masih heran dengan dirimu!"

"Apa yang kau herankan?"

"Orang sepertimu di jadikan Agen Rahasia. Kadang-kadang aku berpikir, Om Dans mungkin sudah pikun. Jadi dia menjadikanmu Agen Rahasia."

"Apakah aku ini benar-benar tidak layak jadi Agen Rahasia?" tanyaku, mencoba ingin tahu argumen dari Sonia.

"Dari penampilan luar, kau sudah sangat layak. Bela diri juga lumayan, kalau soal menembak aku belum pernah melihat kemampuanmu. Tapi yang jadi persoalan adalah sifatmu, kau terlalu flamboyan. James Bond pun mungkin kalah flamboyan darimu. Tapi justru itulah yang jadi kelemahanmu. Kau seolah menganggap Agen rahasia itu suatu permainan."

"Jadi seperti itu menurutmu, ada lagi yang ingin kau katakan?"

"Ya, satu lagi. Sampai saat ini aku belum percaya bahwa kau adalah keponakan Om Gian."

"Kau pernah bertemu Om Gian!" kataku.

"Ya, beberapa kali, tapi sudah lama. Terakhir kali bertemu sekitar sepuluh tahun yang lalu. Walau sudah lama, tapi aku masih ingat wajah dan kepribadiannya. Dia tidak setampan kau, tapi menurutku dialah Agen Rahasia terbaik yang pernah kutemui. Dan hal itu berkebalikan denganmu."

"Sepuluh tahun yang lalu! Kau sudah tahu Om Gian seorang Agen Rahasia?"

"Bukan sejak itu, bahkan jauh sebelum aku bertemu dengannya aku sudah tahu." katanya berteka-teki.

Aku yang penasaran dengan apa yang di ucapkannya, berusaha untuk mendesaknya. Tapi hal itu tidak dapat kulakukan, karena kami sudah sampai di depan pintu Apartement.

@@@@@

"Siapa, Vin?" tanya Mbak Tika saat melihatku datang bersama Sonia.

Aku menjelaskan apa yang terjadi, kemudian minta tolong sama Mbak dan Mbak Rani untuk memeriksa tangannya. Sementara menunggu Elang dan yang lainnya yang belum datang, aku mandi. Kemudian menghubungi Mas Bram untuk menceritakan tentang hal yang baru saja terjadi, siapa tahu dia bisa mendapatkan info dari orang-orang tadi.

Setelah itu aku menghubungi Elang dan yang lainnya. Kemudian mengecek data apa saja yang kami perlukan sebentar lagi. Sementara kulihat Mbak Tika, Mbak Rani dan Sonia tampak berbincang dengan akrabnya, seolah mereka sudah kenal lama. Beberapa kali mereka tertawa bersama, entah apa yang mereka bicarakan.

Jam delapan malam, Mas Bram datang bersama Mbak Rara. Disusul Mbak Ina, kemudian Dion dan Fariz yang juga aku undang, dan terakhir Elang. Dia membawa beberapa dokumen yang mungkin berguna. Selesai makan malam bersama, kami berkumpul di ruang tamu. Sebenarnya ada beberapa orang yang kuharapkan hadir. Tapi mungkin mereka tidak bisa datang.

Setelah sedikit berbasa-basi sebagai pembukaan, aku langsung menjelaskan pokok pertemuan ini. "Pertama kita harus mengenali siapa-siapa orang yang menjadi target dari masalah ini. Mungkin ada yang kenal atau paling tidak tahu dengan orang-orang yang ada di dalam foto-foto ini," kataku sambil menyerahkan delapan set foto kepada masing-masing orang :

1. Foto 3 orang yang di berikan Om Anwar.
2. Foto Mow, Sony, Tito dan relasinya.
3. Foto yang berada di dalam Note Om Gian.
4. Foto 5 Agent ISF.
5. Foto-foto Nirwan dan teman-temannya.
6. Foto Kui atau Andi, Yudi dan relasinya.
7. Foto Xian dan relasinya.
8. Foto-foto yang di berikan oleh Sonia.

Untuk beberapa lama suasana sepi, karena mereka semua sedang melihat-lihat foto itu. "Ada yang sudah mengenali orang-orang dalam foto itu?" tanyaku kepada sembilan orang yang ada di depanku. "Kita mulai dari Mbak Rani, silahkan Mbak!" kataku kepada Mbak Rani yang kebetulan duduk tepat di sebelah kananku.

Mbak Rani lalu mulai menjelaskan hal-hal yang di ketahuinya dari foto-foto itu. Foto yang pertama, dia tidak tahu sama sekali. Foto kedua dia hanya kenal dengan Sony, sedang yang lain tidak tahu. Foto ketiga dan ke empat Mbak Rani sama sekali tidak tahu.

Foto ke lima dia tahu dengan detail, karena dia juga ikut foto saat itu. Mbak Rani lalu bercerita, itu foto 10 tahun yang lalu saat acara wisuda. Dia kenal dengan Nirwan sejak di smu, sementara kenal Sony dan Hendra ( suami Mbak Tika ) karena mereka teman Nirwan. Nirwan pemuda yang pemalu dan baik. Tapi entah kenapa bisa akrab dengan pemuda yang nakal seperti Sony. Kedekatan Mbak Rani dengannya bertambah karena saat itu Nirwan minta tolong di kenalkan dengan teman Mbak Rani. Usaha Mbak Rani berhasil, mereka menjadi sepasang kekasih. Tapi pada saat liburan pulang ke Indonesia, Nirwan menghilang dan sampai sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya .

"Apa sekarang kekasih Nirwan masih hidup, siapa dan di mana dia sekarang?" tanyaku.

"Namanya Reni, dia sudah meninggal, dan mungkin jodoh, Reni meninggal di daerah di mana Nirwan menghilang," jawabnya.

"Kapan dan di mana kejadiannya, Mbak?" tanya Elang, yang tampaknya tertarik dengan cerita Mbak Rani.

"Dua tahun yang lalu, di sekitar Gunung Lawu, Nirwan juga mennghilang saat pendakian ke puncak Lawu!"

"Reni, Gunung Lawu, dua tahun lalu!!!" Elang menggumam lirih dan berulang sambil mencari sesuatu dari Map yang tadi dibawanya. "Apa dia ini yang namanya Reni?" tanya Elang sambil menyerahkan sebuah foto.

"Benar...!"

Kemudian Elang juga mengeluarkan foto laki-laki, "Bagaimana dengan ini Mbak?"

"Ini Frans, dia temanku dan Nirwan, dia orang yang paling dekat dengan Nirwan waktu SMU," terang Mbak Rani. Sementara Elang tampak membuat catatan pada buku yang ada di depannya.

"Ada lagi yang akan kau tanyakan, Lang? Kalau tidak ada silahkan Mbak Rani melanjutkan, jika masih ada yang ingin Mbak katakan!"

"Untuk sementara cukup, nanti kalau ada yang terlewati, Mbak akan beritahu!"

Setelah diam beberapa saat, aku lalu melanjutkan pembicaraan. "Sekarang giliran Mbak Tika, mungkin Mbak mengetahui sesuatu hal yang tidak kami ketahui atau sekedar menambahkan sesuatu info yang berguna?" tanyaku, memandang ke arah Mbak Tika yang duduk di sebelah Mbak Rani.

"Mbak mungkin sama sekali tidak tahu tentang semua ini, tapi Mbak ingin sedikit mengatakan sesuatu, entah berguna atau tidak. Mbak pernah bertemu sekali dengan Nirwan dan bertemu dua kali dengan Frans dan Reni!"

"Mbak pernah bertemu dengan mereka, kapan?"

"Pertama kali bertemu mereka sepuluh tahun yang lalu, saat itu mereka singgah di tempat Mbak, bersama Mas Pras. Mereka berencana naik ke puncak Lawu, sebenarnya Mas Pras mengajakku, tapi aku tidak bisa ikut. Yang kedua sekitar dua tahun yang lalu, Frans dan Reni mampir ke tempat kami. Tapi saat itu hanya singgah sebentar, karena Mas Pras buru-buru mau berangkat ke luar negeri, ada urusan bisnis."

Kami semua jadi terdiam karena masalah yang semakin berkembang dan berkaitan di luar dugaanku maupun Elang.
"Kita semua di sini sepertinya memang sudah di takdirkan untuk bertemu. Mau tidak mau ternyata kita semua ada saling keterkaitan. Sebelum kita lanjutkan, apa ada yang ingin di kau tanyakan, Lang?"

Setelah melihat Elang menggeleng, maka aku mempersilahkan kepada Mbak Ina untuk memberikan informasi yang di ketahuinya. Mbak Ina lalu bercerita, dia pernah bertemu beberapa kali dengan Xin, Yudi dan Hendra, sementara itu dia juga pernah bertemu sekali dengan dua orang India yang menurut Sonia bernama Rajs dan Singh.

"Mas Hendra dan Yudi datang bersama!" kataku sedikit kaget dengan hal ini. Kulihat Elang dan Mbak Tika juga tampak terkejut mendengarnya.

"Kalau Sony dan Hendra saling bertemu wajar, karena mereka satu Universitas. Tapi mengapa Yudi bisa berkumpul dengan mereka."

"Apa Hendra asli Solo, Mbak?" tanya Elang kepada Mbak Tika. Tanpa bersuara, Mbak Tika menganggukan kepalanya. "Kalau Sony, Mbak?" Elang mengalihkan pertanyaannya pada Mbak Ina.

"Dia asli dan besar di Jakarta. Tapi kalau tidak salah waktu SMU dia bersekolah di Solo."

"Fakta-fakta yang semakin menarik," kata Elang sambil kembali menuliskan sesuatu di catatannya.

Setelah Mbak Ina maka sekarng gilirannya Sonia, "Aku tidak tahu kau ada urusannya dengan ini atau tidak. Tapi siapa tahu kau mau membagi informasi yang kau punyai dan sebaliknya mungkin kami bisa memberikan bantuan kepadamu," ucapku kepada Sonia.

Dia memandangku sebentar, setelah diam sejenak dia berkata, "Baik, mungkin kita bisa saling berbagi informasi. Salah satu di antara dua orang ini biasa di panggil, Pangeran kecil," kata Sonia sambil menunjuk foto pertama.

"Siapa yang di panggil Pangeran kecil, yang di tengah apa yang di sebelah kiri?" tanyaku.

"Belum ada yang tahu, entah yang mana Pangeran kecil dan yang mana pengawalnya! mereka selalu muncul berdua. Dia yang membawahi wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan!"

"Bisa kau beri penjelasan siapa mereka ini?" tanyaku.

"Memangnya Om Dans belum mengatakan tentang mereka kepadamu?" ucapnya dengan ekspresi tidak percaya.

"Belum!"

"Bagus sekali!" katanya, sambil menghela nafas panjang.

Setelah diam sesaat, Sonia kemudian mulai bercerita. Di Dunia ini banyak kelompok penjahat. Salah satu yang terbesar adalah Kelompok Gerbang Naga, mereka berpusat di China. Dan di ketuai oleh seorang yang mengaku dirinya seorang Kaisar. Di setiap wilayah ada seorang yang di sebut Pangeran yang memimpin, dan di bawahnya lagi ada seorang Jenderal yang membawahi satu negara. Dia salah seorang di antara Pangeran, yang membawahi wilayah Asia Tenggara dan Asia Selatan. Seorang Pangeran membawahi beberapa Jenderal yang berada di setiap negara. Dan Rajh, yang pernah di temui Mbak Ina merupakan, seorang Jenderal yang menguasai wilayah India. Tujuan Sonia datang ke Indonesia juga sedang dalam tugas untuk mencari keberadaan Rajh, yang di kabarkan saat ini berada di Indonesia.

"Jadi, dia berada di rumah itu?"

"Belum pasti, karena itu aku mencoba masuk ke rumah itu. Yang aku ketahui, orang-orangnya sering keluar-masuk ke rumah itu."

"Ok, nanti kita bahas dan cari kesimpulan apa yang telah kita bicarakan. Sebaiknya kita rehat sejenak untuk merefresh pikiran," kataku.

@@@@@

Jam dua belas sudah lewat beberapa menit yang lalu. Kami berenam masih tetap berada di ruang tamu. Sementara Mbak Tika, Mbak Rani, Mbak Ina dan Mbak Rara sudah beristirahat di kamar, setelah menyediakan makanan dan minuman untuk kami. Sonia sudah kupersilahkan untuk ikut beristirahat, tapi dia menolaknya dan tetap ikut berdiskusi dengan Aku, Elang, Dion, Fariz dan Mas Bram.

Sebelum membuat kesimpulan. Kami mencoba untuk membuat runutan peristiwa mulai dari awal yang berhasil kami kumpulkan :
1. Oktober 2002 : Kematian Narendra Wijaya, Samuel Joseph.
2. November 2002 : Pembagian hadiah dari tugas Om Gian dan kawan-kawan.
3. 30 Desember 2002 : Nirwan, Hendra, Frans, Reni menuju ke Solo.
4. 1 Januari 2003 : Rahman ( Anak kandung dari Kakek Elang ) dan keluarganya liburan ke Tawangmangu.
5. 2 Januari 2003 : A. Nirwan dinyatakan hilang saat pendakian ke Puncak Lawu. B. Yang berada di rombongan Nirwan saat itu : Nirwan, Hendra, Sony, Frans, Simon, Tito, Reni, x, x, x. C. Petugas kepolisian yang memimpin pencarian adalah Akp Yudi.
6. 3 - 4 Januari 2003 : Melakukan Interogasi kepada anggota pendaki yang selamat. Pada hari yang sama, Rahman datang menemui Akp Yudi.
7. 12 Januari 2003 : Rahman beserta anak dan istrinya meninggal karena kecelakaan, akibat rem mobilnya mengalami gangguan.
8. 22 Januari 2003 : Pencarian terhadap Nirwan dihentikan dan dinyatakan meninggal.
9. 23 Maret 2011 : Frans dan Reni meninggal, Hendra dan Sony keluar Negeri.
10. 24 Maret 2011 : Simon tewas, Yudi dan Andi menghilang.

Dari semua data itu kami mengambil kesimpulan :
1. Nirwan dihabisi karena hartanya.
2. Yudi, Hendra, Sony, Tito adalah pelakunya.
3. Simon, Reni, Frans dan Rahman sekeluarga dihabisi karena sepertinya tahu masalah tersebut.
4. Om Gian dan Om Anwar sepertinya mencurigai mereka.
5. Yudi cs berkomplot dengan sindikat Internasional.
6. Pimpinan diantara mereka adalah Yudi atau Sony. Untuk dapat menyelesaikan masalah ini, hal yang harus kami lakukan adalah menemukan dan menangkap Yudi atau Sony.

Setelah merencanakan apa saja yang akan kami lakukan untuk menghadapi mereka maka aku menutup pertemuan kami. Waktu sudah pukul Tiga pagi saat kami bangkit dari tempat duduk. Dion dan Fariz memutuskan untuk pulang tidak lama setelah itu.

Sonia memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menunggu pagi, dia masuk ke kamar yang di tempati Mbak Tika dan Mbak Rani. Sementara aku, Elang dan Mas Bram masih berbincang masalah lain. Tidak lama Mas Bram memutuskan untuk beristirahat juga, karena besok dia masuk kantor pagi-pagi.

@@@@@

Sebelum jam Enam, Mas Bram mengantar Mbak Rara pulang, sekalian berangkat kerja. Karena hari ini aku harus mengantar Mbak Tika, Mbak Ina, Mbak Rani dan juga Sonia, Maka aku meminta Mas Bram untuk memakai mobilku dan aku memakai mobilnya.

Jam Tujuh, aku jadi sopir bagi Sonia, Mbak Tika, Mbak Rani dan Mbak Ina. Saat sampai di hotel tempat dia menginap dan hendak turun dari mobil Sonia menatapku sejenak, mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia membatalkannya sesaat setelah melihat ke arah tempat duduk belakang.

"Terima kasih," ucapnya. Kemudian keluar dari mobil dan segera lenyap di dalam hotel.

"Vin, sepertinya Sonia ingin berbicara denganmu!" kata Mbak Tika dan Mbak Rani berbarengan.

"Mengapa dia tidak mengatakannya?" tanyaku, dengan santainya.

"Kau ini bodoh atau pura-pura bodoh!" kata Mbak Tika sambil menjewer telingaku.

"Sudah, kejar dia!" ujar Mbak Rani menimpali.

"Ada tiga wanita cantik dan sexy di sini, mengapa aku harus mengejar dia!" kataku tersenyum mesum.

"Bocah tengil ini memang pandai merayu, kalau di depan Sonia aku yakin dia pasti akan mengatakan sebaliknya!" kata Mbak Tika.

"Bukan begitu Mbak, hari ini Mbak mau pulang ke Pekalongan, entah kapan bisa bertemu lagi. Jadi hari ini aku akan menemani Mbak Tika sampai pulang nanti. Kalau dengan Sonia, aku bisa berbicara dengannya nanti."

"Benar kamu mau menemani Mbak seharian?"

"Kapan aku pernah membohongi Mbak!"

"Apa kalian mau ikut?" tanya Mbak Tika, melihat ke arah Mbak Rani dan Mbak Ina.

"Apa tidak akan mengganggu kalian?" tanya Mbak Ina dan Mbak Rani serentak.

"Tidak perlu sungkan atau malu-malu. Sebelumnya aku mau berkata, aku kenal Gavin sejak dia kecil hingga tahu semua tentangnya. Aku tahu dia suka bercinta, dengan banyak wanita. Tapi selama itu membuat dia bahagia, aku tidak akan melarangnya. Aku juga tidak akan cemburu, karena aku tahu pasti bahwa dia tidak akan mengecewakan siapapun. Intinya Gavin adalah milik kita bersama, dan kita cukup saling mengerti saja," ujar Mbak Tika panjang lebar, yang membuatku tersanjung sekaligus terharu atas rasa sayang Mbak Tika yang begitu besarnya.

"Mbak mungkin belum selama Tika mengenalmu, tapi Mbak setuju dengan pendapatnya," lanjut Mbak Ina.

"Baik aku ikut, kebetulan aku juga ada waktu luang hari ini," Mbak Rani ikut menyetujui.

"Kemana kita Mbak?" tanyaku, memandang Mbak Tika.

Mbak Tika tidak menjawab, dia turun dari mobil kemudian pindah duduk di depan di sebelahku. Dia tersenyum kemudian berbisik di telingaku. Aku melihat ke arahnya untuk memastikan. Tapi setelah melihat Mbak Tika meggangguk, aku segera menuju tempat yang di katakan Mbak Tika.

@@@@@

Mbak Tika memintaku membawa kami ke Apartement milik Om Gian. Setelah sampai di dalam apartement Mbak Tika langsung menarikku ke arah kamar dan mendorongku duduk di ranjang dan belum sempat sadar apa yang akan di lakukannya, tiba-tiba Mbak Tika sudah duduk di atas pangkuanku.

"Seperti perkataanmu tadi, nanti sore Mbak akan pulang dan tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Jadi Mbak minta hadiah perpisahan darimu," kata Mbak Tika.

Aku sempat memutar otak dengan keadaan ini dan bertanya dalam hati, bagaimana tanggapan Mbak Rani dan Mbak Ina terhadap kelakuan Mbak Tika. Kulihat mereka tampak jengah dan mukanya memerah, tapi dengan mata tetap melihat ke arah kami. Tampaknya mereka belum pernah melihat hal seperti ini sebelumnya.

"Vin, buktikan omongan kamu tadi," pinta Mbak Tika sambil menempelkan dadanya ke wajahku. Aroma parfumnya yang begitu membangkitkan gairah, mengusik adik kecilku yang menghentak-hentak di dalam celana.

"Mbak..!" belum sempat aku selesaikan ucapanku, bibir Mbak Tika yang tipis segera melumat bibirku. Aku sedikit gugup menerima serangan yang mendadak ini. Tetapi aku berusaha mengontrol keadaan. Disaat bibir Mbak Tika sedang asyik menikmati bibirku, tanganku yang nakal mulai mengelus punggung wanita yang ada di pangkuanku.

Dengan kemahiran gigiku, aku melepas kancing blus belahan rendah yang ada pada dada Mbak Tika. Sampai akhirnya 4 kancing atas blus Mbak Tika terbuka, dan mulailah aku bisa menguasai keadaan. Dengan belaian yang halus dan penuh perasaan, jari-jemariku mulai membuka pengait kancing BH Mbak Tika.

Dengan sedikit sentuhan, 'tess' Bra Mbak Tika yang berwarna hitam terbuka. Dan muncullah 2 bukit yang masih kencang dan berwarna putih di depan mukaku lengkap dengan sepasang puntingnya yang memerah. Aku bisa membaca apa yang sedang terjadi pada diri Mbak Tika, dengan jilatan maut lidahku membuatnya merintih, "Ughhh, geli sayang!"

Jilatan lidahku yang mendarat di puting Mbak Tika, membuat wanita itu menggeliat tidak beraturan. Karena Mbak Tika menggunakan rok mini, hal itu memudahkan tanganku menjelajah pahanya yang putih mulus. Sesekali tubuhnya yang sintal bergoyang dipangkuanku dan sekitar 10 menit aku di posisi itu, semua inderaku bekerja sesuai fungsi masing-masing.

Tadi saat aku sedang melakukan foreplay, Mbak Rani dan Mbak Ina masih duduk dengan tenang di tempatnya. Akan tetapi sekarang mereka berdua nampak gelisah, sesekali mereka tampak menggigit bibir masing-masing. Kedua kaki Mbak Rani dibuka lebar sedangkan tangannya meremas buah dadanya sendiri. Sementara Mbak Ina saling merapatkan kedua kakinya seolah menahan sesuatu.

"Mmh..." sesekali Mbak Rani dan Mbak Ina merintih, mendesah melihat adegan antara Mbak Tika dan aku.

Setelah 15 menit, aku mencoba menyandarkan tubuh Mbak Tika ke dinding kamar. Posisi ini sangat menguntungkan aku untuk mulai menikmati setiap centi tubuh Mbak Tika. Aku lumat bibir Mbak Tika, kemudian turun ke lehernya dan berlanjut ke buah dadanya yang jumbo. Setelah itu aku menjongkokkan tubuhku untuk menjilati pusar Mbak Tika.

"Akhhh... Vin, teruskan sayang... Ughhh!" lidahku mulai nakal menjelajahi perut Mbak Tika. Sampai akhirnya aku mencium aroma bunga di lubang surga Mbak Tika. Tanpa melepas celana dalam yang dipakainya, aku segera memainkan lidahku di atas kemaluannya. Dan bersamaan dengan itu kepala Mbak Tika menggeleng kekanan-kekiri. Dengan sentuhan perlahan, kutarik celana dalam Mbak Tika, karena posisinya berdiri sangat mudah sekali melepas celana dalam warna hitam berenda yang dikenakannya.

Tanganku berusaha membuka kedua kaki Mbak Tika yang masih menggunakan sepatu hak tingginya. Sehingga memudahkan lidahku untuk bermain-main di lubang kewanitaannya.

"Srupp... Srupp, crek.. Crek!" lidahku mulai menghujam vagina Mbak Tika.

"Vin, kamu memang hebat.. Geli sekali.. Ooohhh...!" Mbak Tika merintih panjang saat lidahku mulai, mengulum, menjilat dan menghisap clitorisnya yang sudah mulai membesar dan berwarna merah.

Tidak lama kemudian aku mulai merasakan sesuatu akan meletup dalam diri Mbak Tika. Dengan segala pengetahuanku dalam ilmu bercinta, aku angkat satu kaki Mbak Tika ke atas pangkuan pundakku sehingga lidahku bisa lebih leluasa menikmati cairan yang mulai meleleh di lubang surgawinya.

Dengan posisi berdiri kaki satu, aku semakin mempercepat jilatan lidahku, sampai akhirnya Mbak Tika tidak kuasa membendung orgasmenya.
"Vin, Mbak keluar... Aakkhh...!" bersamaan dengan itu pula cairan kental muncrat ke wajahku.

Di saat aku masih menikmati cairan kewanitaan Mbak Tika, tiba-tiba dari belakang Mbak Rani mengangkatku sambil berkata, "Vin, sekarang giliran Mbak!"

Kulihat Mbak Rani tidak lagi menggunakan celana dalam yang tadi dikenakannya. Rupanya Mbak Rani dari awal sudah memainkan jarinya di atas clitorisnya sambil menonton adegan antara aku dengan Mbak Tika. Mbak Rani membungkukkan badannya ke bibir meja, sehingga belahan merah pada selangkangannya terlihat jelas dari belakang. Bagaikan musafir di padang pasir yang melihat air, lidahku langsung menari-nari di lubang kemaluan Mbak Rani.

"Vin, enakh sekali sayangh... Akhhh...!" Mbak Rani merintih.

Dengan posisiku duduk di lantai menghadap selangkangan Mbak Rani, yang membuka lebar pahanya. Memudahkan aku beroperasi secara maksimal untuk menekan lidahku lebih dalam, sedangkan tanganku meremas pantat Mbak Rani yang sexy.

Disaat aku sedang asyik menikmati lubang vagina Mbak Rani, tiba-tiba Mbak Tika sudah mempereteli celanaku. Sehingga adikku yang berukuran besar menyembul keluar setelah sekian menit terpenjara di celana dalam ketatku.

"Vin, benda ini benar-benar membuat Mbak ketagihan sayang... Mmmm...!" selanjutnya tidak ada suara lagi karena penisku sudah dilahap oleh mulut Mbak Tika yang rakus. Kurasakan betapa lihainya lidah Mbak Tika menari di batang kemaluanku. Sesekali aku melepas kulumanku di vagina Mbak Rani, karena merasakan kenikmatan permainan oral dari mulut Mbak Tika.

Mbak Rani sudah mulai bocor pertahanannya dan berkata sambil mendesah, "Vin... Mbak... mau... kelu... arrr... Aahhh...!" tangan Mbak Rani yang tadinya beroperasi di buah dadanya sekarang menekan kepalaku dalam-dalam pada selangkangannya, seolah memohon agar aku tidak melepas hisapan fantastis itu. Untuk yang kedua kalinya wajahku belepotan oleh cairan wanita sebaya yang keluar dari lubang surgawi mereka. Disaat aku sedang membasuh wajahku yang penuh cairan, tiba-tiba Mbak Tika menarik lenganku, hingga badanku berdiri.

"Vin, Mbak ingin style berdiri!" ajak Mbak Tika sambil menarik tanganku untuk mengikuti dia berdiri.

Sambil bersandar di dinding, aku langsung mengarahkan penisku dari bawah. Sehingga posisi berdiri tersebut sempurna sekali, dan itupun ditambah posisi Mbak Tika yang masih belum melepas sepatu hak tingginya. Karena dengan demikian posisi Mbak Tika lebih tinggi dari posisi aku berdiri.

'Bless' suara penisku menembus belahan kecil di selangkangan Mbak Tika, "Vin, enakkh bangett... punyamu!" erang Mbak Tika.

Gerakan maju mundurku semakin mentok di pangkal vagina Mbak Tika, hal itu disebabkan karena pantat Mbak Tika ditahan oleh dinding.

'Crekk... Crekk... Sslleepp...' suara penisku menghujam keluar masuk dalam lubang vagina Mbak Tika. Buatku, Mbak Tika termasuk orang yang bisa megimbangi permainan sex ku, dengan posisi sulit seperti itu, dia juga sedikit mendoyongkan tubuhnya ke dinding sehingga batang penisku benar-benar masuk semua.

Keadaan ini berlangsung sampai akhirnya di menit ke 15, Mbak Tika berteriak, "Vin... ampun... Mbak... mau... kelu... aarrr lagi... gila...!" rintih Mbak Tika.

Tubuh Mbak Tika mendekapku erat-erat seolah tidak mau lepas dari batang penisku yang masih menancap di lubang surgawinya. Dan sedetik kemudian tubuh Mbak Tika merosot ke bawah dengan lunglai.

Kulihat yang masih bertahan Mbak Ina, dia masih duduk di tempat dan pakaian masih lengkap, mungkin dia benar-benar merasa malu untuk melakukan hal seperti ini dan di lihat orang lain. Aku tidak mau mengusik Mbak Ina, nanti kalau dia mau biarlah dia melakukannya secara suka rela.

Aku berjalan menghampiri Mbak Rani yang sedang menyandarkan tangannya untuk melihat keluar jendela. Kesempatan itu tidak aku sia-siakan, sambil memeluk dia dari belakang, penisku yang masih kencang menerobos liang vagina Mbak Rani sehingga membuat dia terpekik.

"Aao www... Vin, kamu nakal sayang, Mbak masih capek.. Uuughhh!" aku tidak mempedulikan erangannya.

Seraya meremas buah dadanya yang kencang dari belakang, pinggulku mulai bergerak maju mundur. Posisi seperti ini benar-benar membuat aku melayang, lubang Mbak Rani yang sedikit sempit dan seret dibanding punya Mbak Tika. Dan hal itu membuat aku lebih bernafsu untuk menyetubuhinya. Itu wajar karena Mbak Rani belum punya anak walaupun sudah menikah beberapa tahun.

Selang beberapa menit, "Vin.. Mbak tidak tahannn... gila banget punya kamu terasa masuk sampai ulu hatiku... Aaugghhh...!" rintih Mbak Rani panjang, sambil tetap menggoyang pinggulnya. Dengan posisi setengah menungging dengan berdiri, memudahkan aku untuk memasukan penisku secara maksimal.

"Ughh... Mbak..., nikmat banget punya Mbak!" desahku untuk memuji wanita di depanku.

"Vin..., ampunn... Mbak... Akkhhh...!" Mbak Rani merintih panjang.

Mbak Rani merapatkan pahanya sehingga penisku terasa tersedot ke dalam semua. Gila, terasa copot penisku dibuatnya. Karena hebatnya permainan itu hingga tak terasa dinginnya AC yang ada di dalam kamar. Aku coba mengambil segelas air es di kulkas, Mbak Tika yang tadi terkulai kembali menarik tanganku.

Tapi kali ini kami kembali memulainya dari awal. Sambil memulihkan tenaga yang tadi terkuras, aku memulai dengan ciuman-ciuman ringan yang romantis. Mata Mbak Tika terbelalak menerima ciuman penuh perasaan dariku, tapi kemudian Mbak Tika memejamkan mata, dan menikmati sentuhan lembut bibirku di bibirnya, dia kemudian merangkul leherku.

Aku melirik Mbak Ina yang masih terpaku terdiam, sementara Mbak Rani masih mengeletak kelelahan. Aku melambaikan tangan, mencoba mengajak Mbak Ina untuk bergabung. Awalnya mulanya Mbak Ina menggeleng, namun beberapa detik kemudian, dengan sedikit ragu-ragu Mbak Ina berdiri dari tempat duduknya. Melepas kacamatanya dan berjalan perlahan dia naik ke tempat tidur, merangkak menghampiriku yang tengah sibuk menjelajahi tubuh Mbak Tika. Ciumanku kini beralih ke bibir Mbak Ina. Sementara tangan Mbak Tika masih bergelayut di leherku, dia menciumi dada dan menghisap putingku.

Kini Mbak Tika berpindah posisi di kananku dan melepaskan pelukannya di leherku. Mungkin dia memberi kesempatan kepada Mba Ina yang baru bergabung untuk lebih aktif. Sementara aku mulai sibuk dengan Mbak Ina di samping kiriku. Kami berciuman, sambil tanganku berusaha membuka pakaian dan kerudung Mbak Ina. Sementara di bawah sana Mbak Tika mulai menggenggam erat kemaluanku, mulutnya bergerak mendekati kepala penisku yang seperti topi baja. Tidak lama kemudian kurasakan lidah Mbak Tika menari-nari di kepala penisku.

Helai demi helai pakaian Mbak Ina tanggal sudah, tinggal menyisakan celana dalam satin coklat menggoda. Kini aku berbaring, Kepalaku persis di bawah kemaluan Mbak Ina yang masih terbungkus celana dalam coklat, dengan noda basah di sekitar kemaluannya. Dengan jari, aku membuat jalan dengan menyingkapkan celana dalam Mbak Ina, membuat bibir kemaluan Mbak Ina terlihat. Merah, basah, dan segar kelihatannya.

"Ahh... Vin..., eehhmm... sst... ahhh...!" Mbak Ina mendesah, sambil meramas-remas bongkahan gunung kembarnya sendiri.

Sementara Mbak Tika masih sibuk menenggelamkan menaraku di dalam mulutnya, turun naik. Suara kecipak terdengar nyaring memberi tambahan rangsangan di jantung kami. Sesaat kemudian kain penutup itu lepas sudah dari selangkangan Mbak Ina. Mbak Ina ikut membungkukkan badannya mendekati Mbak Tika yang masih asyik dengan batangku. Mbak Ina turut bergabung dengan Mbak Tika, silih berganti menjilati batang kemaluanku. Terkadang merekapun saling menjilat lidah. Sementara aku masih tetap melakukan penetrasi dengan lidahku di lubang kemaluan Mbak Ina.

Himpitan paha Mbak Ina kurasakan semakin kuat dikepala, dan beberapa detik kemudian terdengar desahan berulang dengan irama yang semakin cepat dan nada yang meninggi, diakhiri teriakan namun tertahan, tanda puncak kepuasan telah diraih Mbak Ina. Mbak Ina terkulai dan menjatuhkan diri di ranjang. Butir-butir keringat di wajahnya menambah manis wajah Mbak Ina yang masih didera kenikmatan tiada tara.

Aku bangkit, kurebahkan tubuh Mbak Tika dan Mbak Rani berjejer dengan Mbak Ina. Kulepas pengait bra Mbak Ina, kubenamkan mukaku di antara dua gundukan daging milik Mbak Ina. Begitu kenyal dan kencang, putingnya yang sudah berdiri, kugigit perlahan, membuat Mbak Ina menggelinjang ke kiri dan ke kanan tak karuan.

"Vin..., ahhh... gigit lagi yang kuat Vinn...!" ratap Mbak Ina. Aku tidak membiarkan Mbak Tika dan Mbak Rani begitu saja. Sementara mulutku memainkan puting Mbak Ina, kedua tanganku yang masih bebas meremas buah dada Mbak Tika dan Mbak Rani yang berada di samping Mbak Ina.

Beberapa saat kemudian, setelah puas bermain dengan puting Mbak Ina, aku bangkit dan kini batang penisku bagai pedang terhunus siap menusuk kemaluan Mbak Ina. Perlahan kudekatkan batang penisku di kemaluan Mbak Ina. Sentuhan pertama membuat Mbak Ina tengadah. Sedikit demi sedikit disertai tekanan, batangku pun tenggelam dilumat kemaluan Mbak Ina. Mbak Ina semakin tengadah, sambil mendesah keenakan.

"Aah... ahh... ahh... Viiins..., aah... jangan siksa Mbakkkhhh...!" desahnya seirama dengan keluar masuknya batang penisku di kemaluannya. Aku berusaha tenang sambil mengatur tempo supaya bisa melayani tiga wanita di depanku. Walau tenang dan pelan tapi genjotan pantatku kubuat semantap mungkin, sesekali kuputar pinggangku. Kaki Mbak Ina pun melingkar di pinggangku, memberi tekanan lebih pada penetrasi batang penisku.

Beberapa saat kemudian, kami berpindah posisi. Kami saling berhadap-hadapan menyamping. Kaki Mbak Ina masih melingkar di pinggangku sementara satunya lurus. Pahaku menyilang sehingga berada di selangkangan Mbak Ina. Kami berdua saling neggerakkan pantat, goyangan pantat Mbak Ina semakin liar. Untuk sementara aku melupakan Mbak Tika dan Mbak Rani yang masih berbaring di samping sambil melihat permainanku dengan Mbak Ina.

"Vin..., aahh... akkhuu... akkhhuu... ngakhh khhuatt... ehmmm...!" dengan badan mengejang Mbak Ina meraih puncak kenikmatannya, disertai muka yang menyeringai.

Aku yang belum keluar, kemudian bergeser ke samping. Kuraih tubuh Mbak Rani dan kubalikan tubuhnya, sehingga pantat seksi Mbak Rani berada di atas. Sedikit kuangkat pantat Mbak Rani, kemudian kuarahkan batang penisku yang masih berdiri tegak itu ke kemaluan Mbak Rani.

'Bless...' batang penisku pun keluar masuk sangkarnya.
Mbak Rani menjadi menceracau tidak karuan, menerima hujaman penisku. Kondisi fisikku yang prima membuatku dapat mengendalikan permaian dan menahan laju sperma untuk dimuntahkan di liang kemaluan Mbak Rani lebih lama.

Tampaknya Mbak Tika belum merasa puas, saat aku masih mengenjot lubang kemaluan Mbak Rani, dia mendekat ke arah Mbak Rani. Mbak Tika mulai meremas buah dada Mbak Rani. Mbak Rani diam saja tidak protes, tangan Mbak Tika mulai memilin putingnya yang sudah mengacung, tidak lama mulutnya mulai menghisap puting Mbak Rani, menjilati dan menggoyang puting itu dengan lidahnya. Mbak Rani makin kelojotan, dan tampaknya dia juga tidak mau kalah, tangannya menarik lembut pantat Mbak Ina, mengarahkan vagina Mbak Ina ke mulutnya, awalnya Mbak Ina seperti sungkan, tapi tampaknya nafsu sudah menghilangkan akal sehat semua orang di ruangan ini.

Lidah Mbak Rani mulai menyapu vagina Mbak Ina, vagina Mbak Ina masih tampak kemerahan karena hasil sodokanku tadi, juga belahannya dalam posisi mekar. Lidahnya mulai menjilati klitoris Mbak Ina, awalnya tampak kaku dan canggung, tapi makin lama makin terbiasa, Mbak Ina pun mulai mendesah.

Sementara sambil memompa Vagina Mbak Rani, aku condongkan tubuhku, dan mulai menjilati vagina Mbak Tika. Buseeet.... benar-benar dahsyat permainan foursome kami, kataku dalam hati. Aku makin cepat saja menyodok vagina Mbak Rani, membuat Mbak Rani mengimbangi dengan ikut menggoyangkan pantatnya.
Sementara lidahnya makin asik saja menjilati klitoris Mbak Ina, bahkan jari tengahnya sudah mulai menyodok lubang vagina Mbak Ina.

Lidahnya menggoyangkan dan menghisap pelan klitoris Mbak Ina. Mbak Tika yang tadinya asik dengan buah dada Mbak Rani, kali ini ikut menyerbu Mbak Ina dengan menjilati puting Mbak Ina. Mendapat serangan dari dua sisi tampaknya membuat Mbak Ina mulai kewalahan. Pinggulnya bergoyang liar, tubuhnya mengejang dan orgasme, terkapar, berbaring, kecapekan.

Setelah Mbak Ina orgasme, Mbak rani menghentikan kegiatannya, Mbak Tika juga berhenti menjilati puting Mbak Ina dan kembali mengalihkan serangannya ke puting Mbak Rani. Mbak Rani yang masih konsentrasi pada sodokan penisku yang makin cepat langsung mendesah hebat saat Mbak Tika menghisap kuat putingnya, menikmati serbuan nikmat.

Aku yang terpesona melihat permainan mereka berdua, menjadi semakin terbakar dengan ganas sodokan penisku kupercepat, membuat Mbak Rani makin kewalahan.

"Aaahh... pelaaaaannn... dikiiitttt..., oooh... jangaaannn dipelaniiinnn..., Ughhhh... ampuuunnn... aawww...!"

Mbak Rani menggelepar penuh kenikmatan...ternyata keponakannya sungguh hebat. Saat Mbak Tika melepas ciumannya pada puting Mbak Rani, aku menggantikannya dengan menciumi bibir Mbak Rani dengan ganas dan panas, Mbak Rani tanpa sungkan meladeni, lidah kami saling beradu, dia menyedot lidahku, membuatku serasa melayang, nyaris lepas kendali, untung tak lama kemudian Mbak Rani melepas ciumannya.

Aku bertekad membalas, sodokanku kini sudah amat sangat cepat, membuat Mbak Rani kelojotan dan meminta ampun.
Saat sedang gencarnya menyerang Mbak Rani, tiba-tiba ada yang merenggangkan kakiku, ternyata Mbak Tika yang belum puas kembali berjongkok di bawah selangkanganku, yang sedang berdiri sambil menyodok Mbak Rani.

Mbak Tika mulai menghisap dan menyedot biji pelerku, tampaknya dia menyesuaikan dengan ritme gerakan pompaan dan sodokan penisku. 'Shiiithhh...' enaknya tidak terkira, sambil tetap asik menyodok, bijiku dikulum sama Mbak Tika, aku merasa menjadi manusia paling berbahagia di bumi saat ini. Tapi kenikmatan itu harus dibayar dengan runtuhnya ketahanan tubuhku. Seiring sodokanku yang makin kuat, kurasakan denyut nikmat mulai melanda penisku, kuhujamkan sedalam mungkin penisku. Mbak Rani juga nampaknya sadar aku akan segera orgasme. "Di dalam saja... di dalam saja, Vin...!" ucap Mbak Rani.

Mbak Rani bergetar kuat saat spermaku menyemprot berkali-kali di dalam rahimnya, selesai... dan melelahkan.... Mbak Tika masih asik menghisap biji pelerku, membuat lututku makin lemas seakan mau lepas. Setelah mendiamkan beberapa detik di dalam vagina Mbak Rani, aku mencabut penisku. Mbak Tika dengan rakus segera memburu penisku, menjilati sisa sperma yang menempel.

Setelah Mbak Tika menuntaskan jilatannya yang terakhir. Aku segera menghempaskan diri di atas kasur. Sangat lelah saat ini, hanya bisa berdiam diri. Mbak Tika juga bergabung tiduran di atas ranjang. 4 orang tanpa busana tergeletak lemas penuh kepuasan. Aku masih diam mengembalikan stamina, sambil mendengarkan mereka bertiga yang mulai bercakap-cakap.

@@@@@

Seharian itu kami melakukannya berkali-kali dan menyudahi permainan kami ketika waktu mendekati tengah hari. Setelah itu kami beristirahat dan membersihkan diri, kami keluar dari apartement satu jam sebelum kedatangan kereta yang akan membawa Mbak Tika pulang ke Pekalongan. Sebelum masuk kereta, aku sempat berkata pada Mbak Tika untuk mengawasi Mas Pras ( Hendra ) dan memberi kabar jika ada sesuatu hal.

Dari stasiun aku mengantar Mbak Ina pulang, hanya mampir sebentar di rumahnya karena harus segera mengantar Mbak Rani ke tempat kerja. 'Biiip... biiip...' sebuah pesan masuk di ponselku, saat aku hendak ke tempat Mas Bram. Kulihat pesan itu, hanya tiga kata : ' Datang ke Pagupon '. Setelah membaca pesan itu, aku langsung memutar arah dan membatalkan tujuanku ke tempat Mas Bram.

Setelah beberapa lama aku sampai di suatu jalan dan berhenti di depan sebuah pintu gerbang. Dengan menyebut Code Name dan Nomer, aku dapat masuk ke sebuah tempat yang tidak akan di duga orang bahwa tempat itu adalah masrkas dari ISF (Indonesia Super Force).

Baru pertama aku datang ke tempat ini, dan tempat ini membuatku kagum. Mungkin aku sering lewat di jalan depan tempat ini. Dan sebelumnya aku tidak menduga jika di dalamnya terdapat ruangan-ruangan yang hanya pernah kulihat di dalam film spionase.

Begitu aku keluar dari mobil Om Sora sudah menungguku. Tanpa banyak bicara dia membawaku ke suatu ruangan. Di dalam ruangan yang tampaknya tempat pertemuan itu sudah duduk 5 orang. Begitu aku masuk Om Dans langsung berdiri di ikuti 4 orang lainnya.

"Selamat datang di markas, Puma!" kata Om Dans. "Perkenalkan Naga, Leon dan Merak," Om dans memperkenalkan tiga orang yang ada di samping kanannya. Aku menyalami mereka sambil melihat bagaimana mereka.

Pertama : Naga, laki-laki, 35 tahun, tinggi tegap berkulit sawo matang, berwajah jantan, rambut pendek rapi, dengan sorot mata tajam.

Leon, laki-laki, 35 tahun, tinggi kekar berkulit agak kekuningan, cukup tampan, rambut panjang pirang, mata agak sipit tapi juga tatapannya tajam.

Merak, wanita, 34 tahun, tinggi langsing tapi juga sexy, berkulit putih, cantik, rambut hitam sepundak, mata bulat dan tatapannya bisa membuat laki-laki tidak akan berani menggodanya.

Di sebelah kiri Om Dans adalah Sonia, tapi dia tampak cuek terhadapku. "Kita tunggu dua orang lagi sebelum memulai pertemuan ini," kata Om Dans. Sesaat ruangan sepi, hingga pintu kembali terbuka dan masuklah Om Sora bersama seorang laki-laki yang tidak asing bagiku, Elang.

Aku terkejut melihat Elang berada di tempat ini. Saat aku bertanya padanya, dia juga belum tahu apa tujuannya di undang ke tempat ini. Saat aku ingin bertanya pada Om Dans, dia menyuruhku untuk menunggu penjelasannya nanti. Sambil menunggu orang terakhir, aku berbincang-bincang dengan Elang. Sonia tampaknya tidak mau berbicara denganku, entah apa masalahnya.

Tidak lama kemudian Om Sora kembali masuk bersama seorang laki-laki. Aku memandang orang itu, seorang laki-laki, usia sekitar 27 tahun, tinggi sekitar 182cm, berat ideal, tubuh tegap, berkulit kuning mendekati putih, tampan, rambut pendek rapi dengan sedikit jambul di bagian depannya, walau sorot matanya tajam bak mata seekor naga, tapi di baliknya juga terpancar kehangatan di dalamnya.

Om Dans bangkit berdiri, "Perkenalkan, dia adalah Taksaka!"




Chapter XXIX : Face/Off

"Perkenalkan, namanya Taksaka!" kata Om dans memeprkenalkan orang berdiri di depan kami.

Setelah kami semua duduk kembali Om Dans mulai pertemuan itu. "Pertama-tama saya ucapkan selamat datang kepada orang-orang yang baru datang pertama kali ke tempat ini. Entah ini suatu kesalahan atau bukan, tapi kalian semua telah berada di sini. Dan hal ini terpaksa kulakukan karena keadaan sudah genting. Biar kita bisa saling bekerja sama dan percaya, maka akan aku perkenalkan masing-masing orang yang ada di sini."

On Dans lalu memperkenalkan semua yang ada di ruangan itu, mulai dirinya dan Sora, terus tiga agent ISF (Naga, Leon, Merak) juga Sonia dan Taksaka. Kemudian aku dan Elang di perkenalkan kepada semuanya. Setelah selesai perkenalan itu, Om Dans memulai menuju inti pertemuan itu.

"Seperti sudah kita ketahui, ada sekelompok orang yang melakukan kejahatan besar dengan berbagai tindakannya yang melanggar hukum. Dan sekarang mereka sedang merencanakan suatu tindakan yang akan mengancam Negara ini. Kita tidak bisa mencegah hal ini melalui jalur resmi, karena kita belum punya bukti. Dan satu lagi, mereka punya orang-orang kuat yang membekengi mereka. Jadi satu-satunya jalan adalah, kita harus menghancurkan mereka sebelum mereka bergerak."

"Karena kelengahan kita ada dua orang agent musuh yang berhasil masuk kemari. Mungkin selama ini mereka belum bergerak karena sedang menunggu waktu dan juga mengambil informasi dari tempat ini. Aku yakin suatu hari nanti mereka akan menghancurkan tempat ini. Karena itu, ini mungkin pertemuan terakhir kita di tempat ini. Untuk selanjutnya biar Taksaka yang menjelaskan semuanya," kata Om Dans menoleh ke arah Taksaka.

Taksaka bangkit berdiri, setelah basa-basi sejenak dia kemudian berkata. "Kalian di sini pernah mendengar istilah Face/Off, atau pernah juga melihat film yang berjudul sama? Operasi pengantian wajah seperti dalam film tersebut bukanlah hal yang mustahil di lakukan di saat ini. Mari kita lihat yang ini dulu," katanya sambil mengutak-atik laptop yang ada di depannya.

Untuk beberapa lama kami semua terdiam melihat tayangan yang ada di depan kami. Sesekali Taksaka memberitahukan hal-hal yang muncul di layar monitor. Beberapa hal membuat kami terkejut dan juga kagum. Sekitar 15 menit tayangan itu berlangsung, setelah menghentikan tayangan itu Taksaka bertanya, "Bagaimana menurut kalian?"

"Luar biasa!" Om Dans memberi komentar.

"Laboratorium seperti itu hanya ada tiga di seluruh dunia. Di Swiss, China dan yang satu berada di kawasan Amerika Selatan. Yang di Swiss di pegunungan Alpen berbatasan dengan Italia, yang ini sudah hancur. Yang di China, berada di kawasan barat daya China, termasuk wilayah pegunungan Himalaya. Yang ketiga belum di ketahui pasti, tapi di sekitar Pegunungan Andes. Yang kita lihat tadi merupakan laboratorium yang berada di Swiss. Dan menurut informasi, yang di Swiss merupakan Laboratorium terkecil dengan fasilitas kurang. Jadi bisa kita bayangkan bagaimana dengan dua tempat lainnya."

Taksaka diam sejenak untuk mengambil nafas. Setelah itu dia melanjutkan ucapannya. "Ada tiga orang yang telah melakukan operasi Face/Off yang 99% sempurna itu dan mereka berada di negara ini. Dua diantaranya pasti kalian sudah mengetahuinya, sementara yang satu lagi adalah seorang buronan Interpol," kata Taksaka, sambil menampilkan tiga foto di layar monitor. Dua orang aku belum tahu identitasnya, sementara yang satu adalah Yudi.

"Untuk Yudi, aku rasa tidak perlu di jelaskan. Yang wanita ini adalah rekan Yudi, dia blasteran China-Indonesia, namanya Amanda Liu. Dia orang yang cerdas dan berbahaya, untuk profil lengkapnya bisa kalian baca sendiri. Yang satu adalah Daniel Yan Daisuke, blasteran China-Jepang-Indonesia. Jangan tanya otaknya, kecerdasannya dikatakan hanya kalah dari seorang Einstein. Dia ini suka bermain dengan bahaya. Bisa dianggap bocah nakal yang cerdas yang didukung oleh kekayaannya."

"Bagaimanakah wajah baru mereka setelah melakukan operasi itu?" tanya Elang.

"Pertanyaan yang bagus! Si bocah nakal sudah di ketahui keberadaannya, dia biar menjadi urusanku. Tinggal dua orang yang menjadi masalah, karena dua orang ini tidak di ketahui secara pasti bagaimana wajah baru mereka. Tapi dari hasil penyelidikan yang berhasil dikumpulkan ada sedikit petunjuk. Mereka berdua ada di antara tujuh belas orang ini," kata Taksaka, sambil menampilkan foto orang-orang yang dimaksud. "Terus terang, untuk menyelidiki semua orang ini aku tidak bisa sendiri. Bisa kita lihat dan ketahui, sebagaian dari mereka bukanlah orang biasa. Profil dan data mereka semua ada di dalam file ini!" lanjut Taksaka.

Kami semua dapat melihat dan memahami apa yang di katakan Taksaka. Diantara tujuh belas orang itu, delapan diantaranya adalah orang yang sudah dikenal di negeri ini. Saat melihat dan membaca file yang ada di tanganku aku merasa ada yang aneh dengan daftar itu, tapi aku belum tahu apa hal yang aneh itu. "Data-data ini tentu saja tidak di buat secara sembarangan, ada hal-hal tertentu yang membuat kami yakin bahwa dua orang itu ada diantara mereka. Saya yakin kita semua dapat melakukan tugas ini dengan sebaik-baiknya, untuk detail tugasnya bisa di bicarakan lagi. Karena harus mengejar Si bocah nakal, untuk sementara masalah di sini saya serahkan kepada Om Dans. Tapi aku akan selalu memantau tugas kita ini, dan secepatnya aku akan bergabung dengan kalian. Untuk semuanya saya mohon kerja samanya," kata Taksaka menutup pembicaraannya.

@@@@@

"Gavin!" Taksaka memanggilku.

"Ya," jawabku.

"Sebenarnya aku ingin lebih lama berbincang denganmu, baik soal kematian pamanmu maupun tugas ini. Tapi tampaknya saat ini waktu tidak mengijinkan. Hanya sedikit pesan untukmu. Kau jangan hanya berpikir orang jauh yang membunuh pamanmu. Berpikirlah bahwa mungkin saja dia orang yang dekat dengan pamanmu. Satu lagi, jika kau ingin jadi agen yang hebat. Jika suatu masalah belum benar-benar terang, jangan pernah menganggap bahwa putih itu pasti putih dan hitam itu pasti hitam. Pikirkanlah apa yang kukatakan dan kau akan menemukan jawaban yang sebenarnya," ucap Taksaka, sambil berjalan meninggalkanku.

"Apa yang dia katakan?" tanya Elang, yang tanpa sepengetahuanku telah berdiri di belakangku.

"Oh, hanya sedikit pesan. Bagaimana menurutmu dengan masalah ini, Lang?"

"Aku sudah tahu apa yang di maksud oleh Taksaka. Tapi untuk tindakan selanjutnya kita lihat dulu perkembangannya."

Setelah Om Dans kembali dari mengantar Taksaka, kami semua kembali membicarakan masalah itu dengan dipimpin oleh Om Dans. Sampai dua jam kemudian, Om Dans memutuskan langkah dan tindakan apa yang harus kami lakukan. "Mereka semua dapat kita bagi dalam beberapa kelompok : Artis, politikus, bisnisman, dan aparat/pejabat negara. Sebelum aku memutuskan apa tindakan kita, apa kalian punya pendapat?" tanya Om Dans. Melihat kami semua diam, Om Dans melanjutkan ucapannya, "Kalian berlima, sementara mereka ada tujuh belas orang. Mau tidak mau, aku dan Sora harus ikut membantu. Baiklah sudah aku putuskan, Aku dan Sora akan menangani kelompok aparat/pejabat negara. Kelompok bisnis diurus Elang di bantu Merak. Naga dan Leon akan menangani kelompok politikus. Dan terakhir, kelompok artis tentu saja adalah urusan Puma ( Gavin ). Ada yang ingin ditanyakan sebelum kita mulai bergerak?" tanya Om Dans.

Aku bangkit dan berkata, "Maaf, Dans. Ada sedikit hal yang ingin kukatakan. Ada beberapa orang yang kukenal, bagaimana kalau dia juga ikut bagianku. Bukankah itu akan mempercepat tugas kita?" ucapku.

"Masuk akal. Baik, sebutkan orang-orang yang bisa kau tangani. Biar sisanya akan diurus yang lain," ucap Om Dans.

Aku segera memberikan daftar, siapa saja orang-orang yang mungkin bisa kutangani. Dan Sonia menatapku dengan pandangan aneh, saat mengetahui daftar orang yang telah kubuat. Karena sebagian besar dalam daftar itu adalah wanita. Akupun pura-pura tidak melihat tatapannya itu. Setelah selesai, aku tidak pulang bersama Elang, karena aku akan ke tempat Mas Bram dulu dan nanti langsung memulai penyelidikan kami. Aku belum sempat berbicara dengan Sonia, karena begitu meeting selesai dia segera keluar, dan saat aku ingin mengejar dia, Om Dans lebih dulu memanggilku.

@@@@@

Aku tidak berada di tempat Mas Bram, hanya sedikit membicarakan tentang kasus yang kami tangani. Setelah itu aku memutuskan untuk pulang dulu, sebelum memulai penyelidikan. Ternyata Elang juga belum memulai tugasnya karena dia sedang menunggu kedatangan Merak. Sambil menunggu kedatangan Merak, aku dan Elang kembali berdiskusi tentang tugas kami. Kami kembali melihat daftar orang-orang yang jadi target. "Lang, apa kamu tidak melihat keanehan pada daftar ini?" tanyaku.

"Apanya yang aneh," jawabnya.

"Sebenarnya bukan aneh, tapi luar biasa. Lihat daftar orang yang harus kita selidiki! Ada Baby Margaretha, Roro Fitria, Wiwid Gunawan dan lain-lain dalam satu pesawat, apa tidak luar biasa!"

"Jangan sama ratakan mereka semua, Vin. Tidak semua orang mengenal mereka. Aku juga mungkin tidak akan mnegenali mereka di jalan andai tidak kau jelaskan siapa-siapa mereka. Lagi pula sepertinya, waktu itu mereka semua belum setenar sekarang. Atau bisa juga mereka tidak dalam satu pesawat atau satu waktu. Misal, Taksaka memasukan mereka karena saat itu mereka berada di sekitar tempat itu. Yang pasti, seperti yang dikatakannya, dia mengambil data ini bukan asal-asalan. Sayang Taksaka belum sempat memberikan alasannya. Yang sebenarnya membuatku heran adalah, mengapa kau bisa kenal mereka semua. Dan satu lagi, kenapa kau bisa kenal seorang pejabat seperti Airin, dan dua istri pejabat seperti Nirmala dan Erin ini?"

"Ceritanya panjang Lang, kalau di ceritakan. Kita lupakan dulu yang itu. Aku punya pemikiran dan ingin minta pendapatmu. Coba kau lihat data-data tiga orang yang telah melakukan operasi Face/Off ini, dalam hal ini soal fisik. Lihat Yudi, dia tinggi dan tegap. Pasti dia merubah/menganti wajahnya dengan orang yang mempunyai kemiripan fisik dengan dia. Tidak mungkin dia yang bertinggi 185 akan mengambil wajah dari orang yang hanya mempunyai tinggi 165. Selain hal itu akan aneh, juga pasti akan menimbulkan kecurigaan pada keluarga mereka yang di ambil wajahnya. Kedua, kau lihat apa persamaan diantara delapan wanita ini? Dada, mereka semua mempunyai dada yang besar. Jadi kesimpulannya, Taksaka membuat data ini berdasarkan persamaan fisik. Bagaimana menurutmu, lang?" tanyaku.

"Masuk akal juga analisamu, Vin!"

"Mungkin, tapi ada satu lagi yang jadi pikiranku, Lang."

"Apa?"

"Entahlah, saat aku melihat daftar orang-orang ini, aku seperti merasa ada sesuatu yang tidak asing, tetapi itu sepertinya sesuatu yang tidak masuk akal!"

"Baiklah, kita bisa bicarakan hal ini besok pagi. Mungkin kamu hanya terlalu lelah, dan perlu istirahat. Sebenrat lagi aku akan berangkat, jaga dirimu baik-baik," kata Elang sambil melangkah keluar.

Sementara aku masih ragu ingin memulai dari mana, ada delapan nama yang berada di daftarku dan semuanya wanita. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menghubungi mereka satu persatu. Dan akan memulai dari orang yang bisa di hubungi. Pertama, kuhubungi Mbak Baby, ternyata dia masih ada pekerjaan di Makasar. Kedua, Mbak Roro, tapi saat kuhubungi, ponselnya tidak aktif. Ketiga, Mbak Airin. Ajudannya yang menerima, dia tidak bisa diganggu karena ada rapat dengar pendapat dengan anggota dewan setempat.

Keempat adalah Mbak Wiwid, tapi dia sedang berada di Bandung. Kelima, Mbak Kiki, sedang ada syuting. Keenam, Tante Mala, kali ini aku beruntung karena dia sendiri yang mengangkat teleponnya. Aku lalu menanyakan apa dia ada waktu untuk bertemu denganku. Dengan senang dia menerima permintaanku dan menyuruhku datang ke suatu tempat di mana saat ini dia berada. Begitu menutup telepon aku segera meluncur ke tempat Tante Mala, menunda untuk menghubungi dua orang yang lain.

@@@@@

Dua jam kemudian aku sampai di depan pintu gerbang rumah mewahnya, yang berada di kawasan elit Bukit Golf Sentul. Tante Mala membawaku ke ruang santai yang berada di lantai dua rumahnya.

"Kok sepi, Tan?" tanyaku, berbasa-basi.

"Ya beginilah setiap harinya, dua orang anak Tante kuliah di luar negeri semua. Si Om lagi ikut Pak Menteri melakukan kunjungan keluar negeri, baru tadi pagi berangkat. Untung tadi tante tidak jadi ikut, kalau ikut bukankah tante akan meyesal karena batal di kunjungi oleh Arjuna!"

"Ha..ha.., Tante bisa saja."

"Mau minum apa, Vin?" tanya Tante Mala, beranjak menuju mini bar yang ada di ruangan itu.

"Apa saja Tante, asal jangan Alkohol dan racun!"

Dia memandangku sejenak, seolah salah mendengar. Tapi setelah aku mengulangi permintaanku, dia mulai percaya.

"Kamu tidak suka minuman beralkohol, Vin?'

"Tidak suka dan belum pernah Tante, memang kenapa?" tanyaku.

"Tidak apa-apa, Tante hanya heran, ternyata masih ada pemuda sepertimu. Anak-anak muda yang Tante kenal, rata-rata suka minum. Tapi itu bagus, Tante juga sebenarnya tidak suka. Oh ya, ada keperluan apa menemui Tante malam-malam begini?" tanya tante Mala sambil menyerahkan minuman kepadaku.

Sesaat aku ragu, tetapi kemudian aku bertanya padanya tentang penerbangan yang dilakukannya dari Swiss sekitar dua tahun yang lalu. Mulanya aku tidak berharap banyak mendapat informasi darinya. Tapi di luar dugaanku, ternyata Tante Mala mempunyai ingatan yang kuat sekali. Dia bisa ingat berapa keseluruhan jumlah penumpang termasuk seluruh kru pesawatnya, dan dimana masing-masing orang itu duduk selama di perjalanan. Sepertinya Tante Mala punya ingatan Fotografis. Setelah aku merasa info yang kudapat cukup untuk sementara, aku lalu mengalihkan pembicaraan pada masalah yang lain. Mulai dari hal biasa hingga ke urusan pribadi.

"Pasti Om bahagia punya istri seperti Tante!" kataku.

"Kenapa kau berpikir seperti itu?"

"Ya karena selain cantik, sepertinya tante juga istri yang baik dan pandai melayani suami!" kataku. Kupikir dia akan senang mendengar pujianku, tapi kulihat dia malah menghela nafas panjang.

"Seandainya benar apa yang kaukatakan, tante akan bahagia sekali. Dia tentu tidak akan macam-macam di luar . tapi kenyataan tidak selalu seperti yang terlihat," ucapnya dengan nada sedih dan tampak kekecewaan di matanya.

"Maaf, kalau ucapan saya membikin tante sedih!"

"Tidak apa-apa, Vin. Itu memang suatu kenyataan yang harus di hadapi."

"Maksud tante, apa suami tante punya wanita lain?" tanyaku untuk memastikan arah pembicaraannya.

"Ya, seperti kebanyakan pejabat pada umumnya," jawab wanita itu sambil kemudian mulai menceritakan masalah pribadi dalam keluarganya. Ia yang kini sudah memiliki dua anak yang bersekolah di Luar negeri itu sedang mengalami masalah yang cukup berat dalam rumah tangganya. Dengan penuh emosi ia menceritakan masalahnya dengan suaminya yang seorang pejabat pemerintah.

"Berkali-kali dia mengkhianatiku, memohon maaf lalu mengulanginya lagi, dan itu dilakukannya berulang-ulang. kau tahu keprgian Tante ke luar negeri yang lalu bukan sekedar untuk menemani anak tante. Tapi lebih utama untuk menyembuhkan hati tante. Dan kembalinya tante kesini adalah atas permintaannya. Tapi ternyata baru tadi siang tante ketahui, bahwa selama tante tidak berada dirumah, suami tante berkali-kali memasukan wanita lain ke rumah ini," cerita Tante Mala dengan nada tinggi penuh kekecewaan.

"Sekarang dia sudah berhubungan lagi dengan seorang wanita pengusaha di luar negeri. Baru tadi aku siang aku mendengar dari anak buahnya," lanjut wanita itu dengan raut muka yang sedih.

"Sabar, Tante. Mungkin suatu saat dia akan sadar. Masa sih dia tidak sadar kalau memiliki istri secantik tante," ujarku mencoba menghiburnya.

"Aku sudah bosan bersabar terus, hatiku hancur, Vin. Kamu belum tahu kan bagaimana rasanya dikhianati? Dibohongi?" ucapnya sengit sambil menatapku dengan tatapan aneh. Tante Mala seperti ingin mengatakan sesuatu padaku.

Beberapa menit keadaan menjadi hening. Kami saling menatap, dan sebagai lelaki yang biasa menghadapi wanita kesepian aku dapat memahami apa arti pandangan Tante Mala. Dalam hati aku berpikir, apakah aku harus melayani wanita di depanku ini. Namun belum sempat aku berpikir jauh, tanganku tiba-tiba merasakan sesuatu yang lembut menyentuh. Dan kembali belum sempat aku bereaksi atas semua itu, tangan Tante Mala telah meremas telapak tanganku dengan mesra. Kini aku menatapnya, Tante Mala membalasnya dengan senyuman, senyum yang penuh dengan undangan dan tantangan.

@@@@@

"Dalam 20 tahun usia perkawinanku, hanya 2 tahun awal aku merasakan kebahagiaan, selebihnya derita. Aku ingin kejantanan sejati dan perhatian dari seorang pria. Dan pria itu adalah kamu, Vin!" lalu dia beranjak dari tempat duduknya mendekatiku. Dengan mesra Tante Mala memberiku sebuah kecupan. Aku masih diam tidak bereaksi, menunggu tindakan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

"Mengapa Tante mau melakukannya denganku?"

"Karena kaulah laki-laki yang tante cari, dan janganlah berpura-pura. Karena tante sudah tahu siapa dirimu!" Kami kembali terpaku lama, sesekali saling menatap. Pikiranku berkecamuk keras, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sebenarnya bodoh sekali lelaki yang menyia-nyiakan wanita secantik ini, biarpun usianya sudah 43 tahun, tapi oh tubuh dan wajahnya begitu menggiurkan, sudah sejak pertama kali bertemu, aku menginginkan bercinta dengannya. Tapi.... Sementara suasana hening kembali berlangsung. Kini kami duduk dalam posisi saling bersentuhan.

"Vin, kalau kamu mau menerima permintaan Tante, datang ke kamar yang berada di ujung sana lima menit lagi," katanya sambil menunjuk kamar yang dimaksud. "Tapi kalau kamu menolak permintaan Tante, silahkan tinggalkan tempat ini. Maaf Tante tidak bisa mengantarmu keluar," lanjutnya. Kemudian dia berlalu meninggalkan aku yang masih terpaku.

Kini aku jadi ragu, apakah akan meladeninya atau meninggalkan tempat ini dan melanjutkan tugasku. Tapi tampaknya nafsu yang lebih menang dari pada pikiran. Setelah lima menit aku melangkah menuju ke kamar yang dia tunjuk tadi, kini aku sudah sampai di depan pintu kamar. Tampaknya Tante Mala sudah menduga aku akan datang ke kamarnya, sebelum aku sempat mengetuk pintu dia sudah berkata dari dalam kamar, "Masuk, Vin!"

Aku masuk dan langsung menatap Tante Mala yang kini telah mengenakan gaun tidur sutra yang tipis dan transparan. Dia melangkah mendekatiku, "Vin, terima kasih sudah mau datang ke sini," kata Tante Mala membuka pembicaraan. "Tante tahu, kamu tidak akan mengecewakan wanita yang kesepian seperti tante. Kamu sendiri juga menginginkanhal ini kan ?" lanjut wanita itu, kemudian dia menarik dan mendudukkanku di pinggir tempat tidur luas itu. Aku mulai aktif membalas saat Tante Mala mengecup bibirku.

"Oh..., Tan...!" desahku sambil kemudian kudekap tubuh bongsor Tante Mala. Tangan Tante Mala bergerak liar di seluruh tubuhku, kemudian tangannya berhenti di pundak dan melucuti pakaianku. Dengan perlahan dan penuh kelembutan aku juga mulai melepas ikatan tali gaun tidur sutra yang menutupi tubuhnya. Begitu tampak buah dadanya yang besar dan ranum itu, aku jadi terhenyak.

Indahnya buah dada wanita ini, seperti bukan buah dada wanita 43 tahun. gumamku dalam hati sambil lalu meraba payudara besar yang masih dilapisi Bra itu. Tangan kiriku melingkar kebelakang berusaha melepaskan kancing Bra di punggungnya. Aku semakin kagum saat melihat bentuk buah dada yang kini telah tak berlapis lagi. Tanpa menunggu lama, segera kuraih buah dada itu dan kukecup bergantian. Kurasakan kelembutan buah dada wanita cantik paruh baya ini dengan penuh perasaan, setelah puas mengecupinya, kini bibirku mulai menyedot puting susunya.

"Ooohh..., Vin..., nikmat sayang...., mm sedot terus sayang ooohh, Tante sayang kamu, Vin..., ooohh!" desah Tante Mala yang kini mendongak merasakan sentuhan lidah dan mulutku yang menggilir kedua puting susunya. Tangan wanita itu mulai meraih batang kemaluanku yang sudah tegang sedari tadi, dia terhenyak merasakan besar dan panjangnya penisku.

"Ohh..., besarnya punyamu, Vin. Tanganku sampai tidak cukup menggenggamnya," ucapnya kegirangan. Dia kemudian mengocok-ngocok penisku dengan tangannya sambil menikmati permainan lidahku di sekitar payudara dan lehernya. Kemaluanku yang besar dan panjang itu kini tegak berdiri bagai roket yang siap meluncur ke angkasa. Aku membiarkan sentuhan lembut tangan Tante Mala pada penisku yang kini tegang. Karena aku masih asyik mengecupi sekujur tubuhnya, sentuhan-sentuhan lembut dari lidahku membuatnya semakin terlena.

Dengan mesra dan penuh kelembutan kunikmati sekujur tubuhnya yang putih mulus itu. Setelah puas membelai lembut buah dadanya, tanganku lalu bergerak ke bawah menuju perutnya dan berakhir di permukaan kemaluan wanita itu. Kurasakan sesuatu yang lembut dan berbulu halus dengan belahan di tengahnya. Kubelai-belai lembut sampai kurasakan cairan licin membasahi permukaan kemaluannya. Tante Mala menghentikan kocokannya pada batang penisku, lalu dengan perlahan dia membaringkan tubuh dan membuka pahanya lebar hingga daerah kemaluannya yang basah terlihat menantang.

Kunikmati sejenak pemandangan dihadapanku, sebelum kemudian lidahku bergerak menciumi daerah itu, jari tangan Tante Mala menarik bibir kemaluannya menjadi semakin terbuka hingga menampakkan semua isi dalam dinding vaginanya. Hal itu membuatku menelan ludah, dan dengan segera kujilati semua yang ada di hadapanku, sebuah benda sebesar biji kacang di antara dinding vaginanya tidak lupa kumainkan dalam mulutku. Hal itu tentu saja membuat Tante Mala mengerang kenikmatan.

"Ohh..., hmm..., Vin, sayang, ooohh...!" desahnya mengiringi bunyi kecipak bibirku yang bermain di permukaan vaginanya.

Dengan ganas kujilati kemaluan itu, sementara Tante Mala hanya bisa menjerit kecil menahan nikmat belaian lidahku. Dia hanya bisa meremas-remas sendiri payudaranya yang besar itu sambil sesekali menarik kecil rambutku.

"Aduuuh sayang, ooohh nikmaat..., sayang..., oooh Vin..., ooohh pintarnya kamu sayang..., ooohh nikmatnya... , ooohh sedooot teruuusss... , ooohh enaakkk..., hmm..., ooohh...!" jeritnya terpatah-patah.

Puas menikmati vaginanya, aku kembali ke atas mengarahkan bibirku kembali ke puting susu Tante Mala. Dia tampak pasrah, dan membiarkan dirinya menikmati permainanku yang semakin buas saja. Daerah sekitar puting susunya tampak sudah kemerahan akibat sedotan mulutku.

"Ooohh, Gavin sayang. Berikan penismu pada tante sayang, tante ingin menikmatinyanya," pinta wanita itu sambil beranjak bangun, kemudian menggenggam kemaluanku. Tangannya seperti tidak cukup untuk menggenggamnya, ukurannya yang besar dan panjang membuat Tante Mala seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Tidak lama kemudian dia mulai mengulum penisku, mulutnya penuh sesak oleh penisku yang besar, hanya sebagian kecil saja penisku yang bisa masuk ke mulutnya sementara sisanya ia kocok-kocok dengan telapak tangan yang ia lumuri dengan air liurnya. Akupun kini menikmati permainan mulut, lidah dan tangannya.

"Auuuhh..., Tan.., ooohh..., enaakk aahh Tan..., oooh nikmat sekali..., mm..., oooh enaknya..., ooohh..., ssstt..., aahh..!" desahku mulai menikmatinya.

Sesaat kemudian, Tante Mala melepaskan penisku, lalu dia kembali membaringkan dirinya di tepi ranjang. Kuraih kedua kakinya dan langsung kutemempatkan diriku tepat di depan selangkangan Tante Mala yang terbuka lebar. Dengan sangat perlahan kuarahkan penisku menuju liang vagina yang menganga itu dan, "Sreett.., bleeesss."

"Aduuuhh..., aauuu Viiin..., sa.., sa.., sakiiittt... , vaginaku robeeek aahh..., sakiiit", teriak Tante Mala merasakan vaginanya yang ternyata terlalu kecil untuk penisku yang besar. "Gavin sayang, punya kamu besar sekali. Vaginaku rasanya robek, main yang pelan saja ya, sayang!" pintanya.

"Ouuuhh..., ba.., ba.., baik, Tante," jawabku.

Kubelai rambut Tante Mala sambil kuciumi pipinya yang halus dengan mesra. Dan dengan pelan kugerakkan penisku keluar masuk vagina Tante Mala dengan perlahan sekali, agar rasa sakit yang ada dalam vaginanya berkurang dan berubah menjadi nikmat, setelah itu barulah aku mulai bergerak menggenjot tubuhnya dengan agak cepat. Gerakan tubuh kami saling membentur mempertemukan kemaluan kami. Nafsu birahi kami semakin membara dan gerakan kami semakin lama semakin menggairahkan, teriakan kecil kini telah berubah menjadi desah keras menahan nikmatnya hubungan badan ini.

Kami semakin bersemangat, saling menindih bergilir menggenjot untuk meraih tahap demi tahap kenikmatan hubungan ini. Aku benar-benar menikmati keluar masuknya penisku ke dalam liang vaginanya yang semakin lama menjadi semakin licin akibat cairan kelamin yang mulai melumasi dindingnya. Demikian pula halnya dengan Tante Mala. Dia nampak begitu menikmati goyangan tubuh kami berdua. Dia berteriak sejadi-jadinya, namun bukan lagi karena merasa sakit tapi untuk mengimbangi dahsyatnya kenikmatan yang kami rasakan.

Desahan kami karena menahan kenikmatan, semakin memacu gerakan kami menjadi kian liar. "Ooohh..., ooohh..., ooohh..., enaak..., oooh..., enaknya Tan..., ooohh nikmat sekali ooohh," desahku.

"Mm..., aahh..., goyang terus, Vin..., Tante suka sama punya kamu, ooohh..., enaknya, sayang ooohh..., Tante sayang kamu Vin..., ooohh," balas Tante Mala sambil terus mengimbangi genjotan tubuhku dengan menggoyang pinggulnya.

Setelah lima belas menit lebih kami melakukannya dengan posisi misionaris, dimana aku menindih tubuh Tante Mala yang mengapit tubuhku dengan pahanya. Kini Tante Mala memintaku untuk mengganti gaya.

"Ouuuhh Gavin sayang, kita ganti gaya!" ucap Tante Mala sambil menghentikan gerakannya.
"Woman on Top, sayang!" katanya sambil menghentikan gerakan tubuhku. Aku menurutinya, dengan perlahan kulepaskan penisku dari jepitan vagina Tante Mala. Aku duduk, sejenak mengambil nafas sambil memandangi tubuhnya.

Uuuh, cantiknya wanita ini, dan tubuhnya juga sangat indah, terlalu sempurna untuk wanita seusianya. Pikiran itu hanya kusimpan dalam hati, aku lalu berbaring menunggu Tante Mala yang sudah siap menunggangi tubuhku. Kini Tante Mala berjongkok tepat di atas pinggangku, dia sejenak menggenggam penisku sebelum kemudian memasukkannya kembali ke dalam liang vaginanya dengan perlahan dan santai. Kembali Tante Mala mendesah saat penisku masuk menembus dinding kemaluannya dan menerobos masuk sampai dasar liang vagina yang kurasakan masih sempit.

"Ooouuuhh...!" desahnya memulai gerakan menaik-turunkan pinggangnya di atas tubuhku. Aku tidak mau diam saja, kuraih payudara montok yang bergantungan di dada Tante Mala, sesekali kuraih puting susunya dengan mulutku dan kusedot-sedot hingga dia menggerang kenikmatan.

Kami kembali terlibat dalam pergumulan yang lebih seru lagi, dengan liar Tante Mala menggoyang tubuh sesuka hati, dia tampak seperti kuda betina yang benar-benar haus seks. Dia seperti orang yang baru pertama kali ini melakukan hubungan seks hingga benar-benar tampak bergairah dan senang. Dengan sepenuh hati dia raih kenikmatan itu detik demi detik, tidak semili meterpun dia lewatkan kenikmatan penisku yang menggesek dinding dalam kemaluannya. Dia semakin berteriak sejadi-jadinya.

"Aahh..., ooohh..., aahh..., ooohh..., ooohh..., enaak..., ooohh..., nikmaatt..., sekali..., Gavin sayaanngg..., ooohh Vin..., enaak sayang ooohh...!" teriaknya tidak karuan dengan gerakan liar di atas tubuhku sembari menyebut namaku.

"Ooohh Tante..., ooohh..., tante juga pintar mainnya..., ooohh...!"

"Remas susu tante, Vin. ooohh..., sedot putingnya sayang..., ooohh pintarnya kamu, oooh..., tante senang sama punya kamu, ooohh..., nikmatnya sayang, ooohh..., panjang sekali, ooohh..., enaak!" lanjut Tante Mala dengan gerakan yang semakin liar. Kuimbangi gerakannya dengan mengangkat-angkat pantatku ke arah pangkal paha Tante Mala yang mengapit tubuhku. Sementara mulut dan lidahku terus menghujani daerah dada Tante Mala yang begitu mempesona, puting susunya menjadi kemerahan akibat sedotan mulutku yang bertubi-tubi.

Hingga beberapa saat kemudian Tante Mala tampaknya tidak dapat lagi menahan rasa nikmat yang menderanya. Dia yang selama dua puluh menit menikmati permainan kami dengan garang, sepertinya mengalami ejakulasi yang begitu hebat. Gerakannya berubah semakin cepat dan liar, diremasnya sendiri buah dada montoknya sambil lebih keras lagi menghempaskan tubuhnya ke arah penisku, hingga sekitar dua menit kemudian dia berteriak panjang sebelum kemudian menghentikan gerakannya dan memeluk tubuhku.

"Ooohh..., ooohh..., aauu, aku keluarr..., Vin..., aahh..., aah..., aku, nggak kuat lagi aku..., Vin..., ooohh..., enaaknya..., sayang, ooohh..., Gavin sayang..., hhuuuh..., tante tidak tahan lagi!" jeritnya panjang sambil memeluk erat tubuhku, cairan kelamin dalam rahimnya muncrat memenuhi liang vagina di mana penisku masih tegang dan keras di dalamnya.

"Ooohh nikmat..., ooohh nikmat..., aauuuhh..., ssshh nikmat...!" desahku, saat merasakan kenikmatan dalam liang vagina Tante Mala yang tengah mengalami ejakulasi, vaginanya terasa memijat dan menghisap penisku yang masih terus kugesekkan pada dinding vaginanya. Kurasakan cairan hangat menyembur dan menyiram penisku, membuat liang vagina Tante Mala terasa semakin nikmat dan licin.

Aku membalas memeluk Tante Mala yang tampaknya sudah tidak sanggup lagi menggoyang tubuhnya di atas tubuhku. Gerakan kami terhenti, meski itu menimbulkan sedikit kekecewaan padaku, karena saat itu aku sedang merasakan vagina Tante Mala sedang memberikan rasa nikmat yang luar biasa. Aku berusaha menahan nafsu birahiku yang masih sangat membara, dengan memberi ciuman mesra pada Tante Mala.

"Oh sayang, permainanmu sungguh hebat, bisa membuatku puas sekali, Tante betul-betul merasa seperti berada di tempat yang paling indah dengan sejuta kenikmatan cinta. Kamu betul-betul Pejantan Tangguh," katanya, sambil memandang wajahku yang tepat berada di depan matanya, dia kemudian memeluk erat pinggangku, untuk menahan goyangan penisku yang mulai bergerak-gerak.

Sejenak Tante Mala beristirahat di pelukanku, dia terus memuji kekuatan dan kejantananku yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan sekalipun dari suaminya. Matanya melirik ke arah jam dinding di kamar itu.

"Vin...," sapanya memecah keheningan sesaat itu.

"Ya,? jawabku sambil terus memberi kecupan pada pipi dan muka Tante Mala.

@@@@@

Beberapa menit kami ngobrol diselingi canda dan cumbuan mesra yang membuat birahi Tante Mala bangkit kembali meminta mengulangi permainan. Kurasakan dinding vagina Tante Mala yang tadinya tenang, kini berdenyut kembali. Kulepaskan pelukanku, lalu aku berdiri tepat di belakang punggung Tante Mala, tanganku nenuntun penisku ke arah permukaan lubang kemaluan Tante Mala yang hanya pasrah membiarkan aku mengatur gaya sesuka hati. Kini aku berada tepat di belakang menempel di punggung Tante Mala, lalu dengan perlahan kumasukkan penisku ke dalam liang vaginana dari arah belakang pantatnya.

"Ooohh, pintarnya kamu Vin..., oooh tante suka gaya ini, mm..., goyang teruuuss..., aahh, nikmat Vin, ooohh..., sampai pangkalnya terusss, ooohh..., enaak..tarik lagi sayang ooohh, masukin lagii ooohh, sampai pangkal nya Vin..., ooohh, sayang nikmat sekali, ooohh..., oohh Vin..., ooohh..., mm..., Gavin..., sayang," desah Tante Mala begitu merasakan penisku bergerak keluar masuk di kemaluannya.

Tanganku ikut bekerja, dengan jalan meremas susunya sementara penisku tetap konstan keluar masuk liang vaginanya. Kami kembali bergoyang mesra meraih detik demi detik kenikmatan dari setiap gerakan yang kami lakukan. Demikian juga denganku yang menggoyang dari arah belakang, juga tangan yang terus meremas payudara montok Tate Mala, sambil memandang wajah cantiknya yang membuatku semakin bergairah.

Kecantikan Tante Mala yang merupakan perpaduan Lebanon-Turki-Indonesia, menjadikannya sangat menawan, dan itu benar-benar membuat gairah bercintaku semakin membara. Dengan sepenuh hati kugoyang tubuh semok dan putih mulus itu sampai-sampai suara decakan pertemuan antara pangkal pahaku dan pantat besarnya terdengar keras mengiringi desahan mulut kami yang terus mengoceh tidak karuan menikmati hebatnya permainan kami.

Setelah dua puluh menit berlalu, aku merasa sudah tidak akan dapat menahan lagi rasa nikmat dari permainan kami, tampaknya Tante Mala juga merasakan hal yang sama, hingga desahan kami menjadi semakin keras. Kami merasa ingin sesepatnya menyelesaikan permainan kami secara bersamaan.

"Huuuh..., ooohh..., ooohh..., aahh..., ooohh..., nikmat sekali Vin, goyang lagi sayang, ooohh..., tante mau keluar sebentar lagi sayang, ooohh..., goyang yang keras lagi sayang, ooohh..., enaknya penis kamu, ooohh..., tante nggak kuat lagi, oooh...!" jerit Tante Mala.

"Uuuhh..., aahh..., ooohh, saya juga mau keluar Tante, ooohh..., ooohh..., enaakk sekali, ooohh..., ooohh, vagina tante juga nikmat sekali, oooh!" desahku juga.

"Ooohh enaknya sayang, ooohh..., pintar kamu sanyang, ooohh..., kocok terus, oooh..., genjot yang keraass, ooohh!"

"Ooohh Tante, susunya..., ooohh," kuraih susu Tante Mala lalu menyedotnya dari arah samping.

"Oooh Vin, pintarnya kamu sayang, ooohh..., nikmatnya, ooohh..., tante sebentar lagi keluar sayang, ooohh..., keluarin bersama yah, ooohh," ajaknya.

"Saya juga mau keluar tante, yah kita keluarkan bersama, ooohh..., vagina tante nikmat sekali, ooohh..., mm..., enaknya, ooohh," teriakku sambil mempercepat lagi gerakanku. Namun beberapa saat kemudian Tante Mala berteriak panjang mengakhiri permainannya.

"Aauuuwww..., ooohh..., Viiin, tante tidak tahan lagiii..., keluaar..., aauhh nikmatnya sayang, ooohh...!" jeritnya panjang sambil membiarkan cairan kelaminnya kembali menyembur ke arah penisku yang masih menggenjot dalam liang kemaluannya. Aku juga sudah merasakan gejala itu, aku lalu berusaha sekuat tenaga untuk membuat diriku keluar juga, beberapa saat kurasakan vagina Tante Mala menjepit penisku keras di iringi semburan cairan mani yang deras ke arah penisku. Dan beberapa saat kemudian, akhirnya akupun berteriak panjang meraih puncak permainan.

"Ooohh..., aahh..., oooww..., oooh..., enaak sekalii..., ooohh saya juga keluaarrr...!" jeritku.

"Gavin sayang, ooohh..., jangan di dalam sayang, ooohh..., tante tidak pakai alat kontrasepsi, ooohh..., keluarkan di luar Vin, berikan pada tante," pintanya.

Aku mencabut penisku dengan tergesa-gesa dari liang kemaluan Tante Mala dan, "Cropp bresss..., crooottt.., crooott.., creeess", cairan kelaminku menyembur ke arah wajah Tante Mala. Aku berdiri mengangkang di atas tubuhnya dan menyemburkan air maniku yang sangat deras dan banyak ke arah badan dan mukanya. Sebagian cairan itu bahkan masuk ke mulutnya.

"Ohh..., berikan padaku, ooohh..., hmm..., nyam..., enaknya, ooohh..., tante ingin meminumnya Vin, ooohh..., enaakkknya sayang, oooh..., lezat sekali," jerit wanita itu kegirangan sambil menelan habis cairan spermaku ke dalam mulutnya, bahkan belum puas dengan itu dia kembali meraih batang penisku dan menyedot keras batang kemaluanku dan menelan habis sisa-sisa cairan itu hingga semua cairannya habis, dan penisku bersih kembali.

"Ooohh, tante hebat juga," kataku sembari merangkul tubuhnya dan kembali berbaring berdampingan di tempat tidur.

"Kamu hebat Vin, sanggup membuatku keluar sampai dua kali, belum pernah sebelumnya kurasakan kenikmatan seperti ini," ucapnya, sambil mencium dadaku.

"Tante juga hebat dan luar biasa," jawabku sekenanya sambil membalas ciuman Tante Mala. Sementara tanganku membelai halus permukaan buah dada Tante Mala dan memilin-milin putingnya yang lembut. "Dengan tubuh dan wajah Tante yang cantik, Tante bisa mendapatkan semua yang Tante inginkan, apalagi dengan permaian Tante yang begitu dahsyat," lanjutku.

"Seperti yang tante dengar, kamu memang pandai memuji, Vin. Tante kan sudah tidak muda lagi, mana mungkin masih menarik buat laki-laki."

"Aku tidak memuji Tante, tapi hanya mengatakan hal yang sebenarnya saja. Tapi terus terang saja saya lebih senang bercinta dengan wanita dewasa seperti Tante," ucapku lebih lanjut, sambil memberikan ciuman di pipi Tanta Mala.

"Kamu benar-benar suka sama Tante?".

"Benar," ucapku, kemudian mengecup bibir wanita itu.

"Oh Gavin sayang, Tante juga suka sekali denganmu sejak kita pertama bertemu. semoga saja kamu tidak akan pernah melupakan Tante!"

"Tidak akan, selama tante membutuhkanku. Lagi pula tante begitu cantik dan molek, mana mungkin saya bosan dan melupakan tante!"

"Benarkah! apa pun yang terjadi, kamu tidak akan melupakan tante, walau tante bersalah padamu?" ucap Tante Mala.

"Pasti, Tante," jawabku, walau ada sesuatu hal yang tidak kumengerti makna perkataannya.

"Mulai sekarang kamu boleh menghubungi tante kapanpun kau butuh bantuan, tante. Tante akan melakukan hal apapun yang kamu mau, Vin," jawab Tante Mala sambil meraba kemaluanku yang semntara tampak tertidur.

"Terima kasih, Tante. Tante juga boleh memanggilku jika ada perlu, kapan saja Tante suka,"

"Tante sayang kamu, Vin," ucap Tante Mala. Sesaat kemudian kurasakan penisku kembali diremas-remas oleh tangannya. Kembali kami saling berangkulan mesra, dan tangan kami meraih kemaluan masing-masing dan berusaha membangkitkan nafsu untuk kembali bercinta. Kuraih pantat Tante Mala dengan tangan kiriku, sementara mulutku menyedot bibir merah Sang tante.

"Oooh Tante Mala, sayang..., ooohh...!" desahku saat penisku yang mulai bangkit lagi merasakan remasan dan belaian lembut tangan Tante Mala. Sementara tanganku sendiri kini meraba permukaan kemaluan Tante Mala yang mulai terasa basah lagi.

"Ooohh..., uuuhh, Viiin..., nikmat...sayang, ooohh Vin..., ooohh..., kita main lagi sayang, ooohh!" desah manja dan menggairahkan terdengar dari mulut Tante Mala.

"Uuuhh..., saya juga mau lagi, ooohh..., oooh..., Tante, ooohh..., ooohh!"

"Tante suka penismu Vin, bentuknya panjang dan besar sekali. ooouuuhh..., baru pertama ini ibu merasakan penis seperti ini," suara desah Tante Mala memuji kemaluanku.

Karena nafsu sudah terlanjur bangun, kami menjadi tidak tahan lagi. Maka setelah melakukan pemanasan selama lima belas menit, kami kembali terlibat pertarungan panas yang berlangsung lama. Bermacam gaya bercinta kami lakukan demi menggapai puncak kenikmatan tertinggi 'doggie style' sampai 69 kulakukan dengan penuh nafsu. Kami benar-benar mengumbar nafsu birahi kami dengan bebas. Tidak satupun tempat di ruangan itu yang terlewat, dari tempat tidur, kamar mandi, bathtub, meja kerja, toilet sampai meja makan dan sofa di ruangan itu menjadi tempat pelampiasan nafsu seks kami yang membara.

Akhirnya setelah melewati ronde demi ronde permainan, Akhirnya kami terkulai lemas saling mendekap setelah kami mengalami ejakulasi bersamaan dengan orgasme Tante Mala yang sudah empat kali itu. Dengan saling berpelukan mesra dan kemaluanku yang masih berada dalam liang vagina Tante Mala, kami tertidur pulas.

"Maafkan aku...!" hanya itu suara terakhir yang kudengar sebelum aku benar-benar jatuh terlelap.

@@@@@

Entah berapa lama aku tidur, saat aku terbangun dan membuka kedua mataku, hanya kegelapan yang terlihat disekelilingku, bahkan telapak tanganku pun tidak terlihat. Apa listrik sedang padam? Aku mencoba untuk meraba di sekitarku, tapi tidak kutemukan tubuh Tante Mala yang tadi tertidur pulas di sampingku. Apa jangan-jangan mataku telah buta!

Aku pernah merasakan kegelapan seperti ini, waktu aku mengalami koma beberapa minggu yang lalu. Apa aku mengalami koma lagi, "Aduuuh!" tapi kenapa aku merasa sakit waktu kucubit tanganku, berarti ini bukan mimpi atau aku sedang koma. Tapi dimana kini aku berada, juga Tante Mala menghilang kemana?

Samar-samar aku ingat perkataan terakhir Tante Mala sebelum aku tertidur, dia meminta maaf, apa maksudnya semua ini? Aku benar-benar menjadi bingung dan gelisah. Tapi itu hanya sebentar, setelah menenangkan diri, dengan pelan dan hati-hati aku turun dari atas ranjang. Dengan berjalan perlahan dan tangan menggapai ke depan seperti orang buta aku mencoba melangkah maju kedepan. Aku mencoba menghitung langkah, supaya kalau aku ingin kembali ke arah ranjang aku bisa tahu berapa langkah aku harus berjalan.

Ternyata tidak jauh aku melangkah tanganku sudah menyentuh dinding atau semacamnya. Setelah yakin itu dinding yang tidak berbahaya, aku mencoba melangkah kesamping. Saat itulah aku menyentuh semancam handel pintu. Aku kemudian yakin bahwa aku berada disuatu ruangan atau kamar yang kedap cahaya, setelah aku memutari tempat itu.

Setelah yakin di mana aku berada, aku mencoba melangkah kembali ke arah ranjang. Aku kemudian duduk dan berusaha tenang sambil beristirahat, aku yakin entah nanti atau sebentar lagi pasti ada orang yang akan datng kemari. Karena aku yakin pasti ada orang yang membawaku kemari dan mempunyai tujuan tertentu denganku.

Dalam kegelapan aku mencoba berpikir. Mengapa aku harus di masukkan ke dalam ruang ini. Adakah tindakan atau perkataanku yang telah membuat mereka harus melakukan ini. Aku mencoba memulai untuk berpikir kira-kira apa penyebabnya. Dimulai dari aku keluar dari rumah sakit, diskusi-diskusi selama ini, pertemuan dengan Taksaka, pembicaraanku dengan Elang, kemudian dengan Tante Mala. Kalu benar Tante Mala yang menyekapku di sini apa tujuannya.

Tunggu, apa Tante Mala itu Amanda Liu! Kalau itu benar, bukankah dia lebih baik diam-diam saja, dan tetap dengan penyamarannya? Bukankah aku tidak pernah mencurigainya! Lalu apa yang menyebabkab dia melakukan tindakan ini? Apa yang telah kukatakan kepadanya? Tadi aku telah mengatakan hal yang sama kepada Tante Mala, seperti yang kukatakan kepada Elang. Ya, soal daftar itu. Aku mengatakan seperti mengenali seseorang dari daftar itu, tapi itu berarti apa-apa, andai saja dia bukan teman Mas Pras, Mas pras adalah temannya dan juga teman dari Sony, Tito, Frans, Simon dan lainnya.


Keringat dingin langsung menyelimuti tubuhku, saat aku mulai merangkai kepingan-kepingan itu. Ya, wajahnya adalah wajah salah satu orang yang berada di dalam daftar itu. Andai saja kumis dalam wajah itu di hilangkan maka pasti akan tampak wajah aslinya. Rupanya kumis itulah yang menyamarkan pandanganku. Aku kemudian teringat kata-kata Taksaka, benar dia adalah salah satu orang yang berada dekat dengan tempat kejadian saat meninggalnya Om Gian.

Oh, bodohnya aku. Kenapa aku tidak menyadarinya saat Mbak Tika mengatakan Mas Pras mengenal Yudi dan kelompok mereka dan juga saat Mbak Ina mengatakan Mas Pras datang bersama Yudi bertemu Sony. Yudi tidak pernah sembunyi atau menghilang, dia selalu ada bersama dengan Mas Pras. Jadi Yudi adalah...?



Chapter XXX : Finally I : Revealed

Entah berapa lama aku berada di kegelapan, hingga cahaya menerangi ruangan itu. Cahaya yang tiba-tiba muncul membuat mataku silau, hingga memaksaku memejamkan mata sejenak untuk beradaptasi. Setelah beberapa saat barulah aku membuka mata. Kulihat sekelilingku, ternyata aku berada di suatu ruang segi empat, yang seluruhnya dilapis kaca.

Aku masih mencoba menebak dimana kira-kira pintunya berada, saat dinding kaca di pojok kanan bergeser dan terbuka. Masuk tiga orang, yang di depan adalah lelaki yang sudah sangat kukenal, walaupun aku sudah menduga dia orang di balik semua ini tapi tetap saja membuatku terkejut. Di samping kirinya adalah Tante Mala, tapi wajahnya tampak seperti lebih muda. Sementara yang terakhir, berjalan paling adalah orang yang pernah menghajarku, Xin.

"Tampaknya kau sudah tahu semuanya, Vin! Hingga tidak terkejut melihatku di sini." kata lelaki itu setelah tiba di depanku.

Aku memandang lelaki di depanku dengan tatapan penuh amarah, ingin rasanya menghajarnya. Tapi aku tahu, saat ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. "Ya, aku tahu, bahwa kau sebenarnya adalah Yudi. Tapi siapapun kau, aku tidak peduli andai kau tidak membunuh Om Gian?" ucapku, sambil memandangnya tajam.

"Ya, aku yang membunuhnya. Lalu kenapa?" ujarnya santai.

"Mengapa!!!" kataku, sambil mencengkeram kerah bajunya.

Melihat hal itu, Xin segera maju mencoba menyerangku. Tapi sebelum serangannya sampai, Yudi atau Mas Erwin mencegah tindakan Xin. "Biarkan saja Xin!" katanya.

"Kau gila dan tidak punya perasaan!"

"Kalau aku gila dan tidak punya perasaan, kau sudah lama mati," ujarnya dingin. "Kau pikir, aku tidak membunuhmu karena apa? Karena perasaan sayangku pada Dita. Kalau bukan karenanya, kau sudah mati saat di pameran waktu itu!" lanjutnya.

"Apa yang kau lakukan pada Mbak Dita?"

"Kau pikir aku akan mencelakainya? Semua yang kulakukan ini juga untuknya! Termasuk membunuh Gian, dan semuanya sebenarnya selesai, andai kau tidak terus-terusan mengganggu. Tapi kali ini semuanya akan benar-benar selesai. Dan kau akan tetap di sini, tentu dengan wajah baru. Kau tentu mengerti maksudku! Ha..ha..ha...," ujarnya sambil melangkah pergi. Sementara aku hanya bisa menatapnya dengan penuh amarah di dada.

"Tunggu...!" teriakku. "Aku tahu kau bukan manusia yang bertindak tanpa tujuan dan pemikiran yang dalam. Apa alasanmu membunuh Om Gian?" tanyaku, sambil menatap matanya dengan tajam.

Dia berhenti melangkah, kemudian berbalik menghadap ke arahku. "Tampaknya kau belum sepenuhnya mengetahui siapa aku ini. Aku hanya bisa mengatakan, semua ini ada hubungannya dengan keluarga 'Wijaya'. Untuk lainnya kau sendiri yang harus memikirkannya! Aku pikir kau akan mampu memecahkan persoalan ini, jika penilaianku salah, maka kau hanya anak kemarin sore yang sedang bermain-main dan berlagak jadi detektif," katanya sambil melangkah keluar dari ruangan itu.

Aku mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Wijaya.. gumamku, sambil berusaha mengingat nama itu. Bukankah itu nama belakang dari Nirwan dan juga Narendra! "Apa hubunganmu dengan Narendra dan juga Nirwan Wijaya!" kataku, sambil berusaha mengejar Yudi. Tapi aku terlambat, karena dia sudah berada diluar ruangan dengan pintu yang kembali menutup.

Pikiranku kembali berkecamuk. Aku benar-benar bingung dengan apa yang dikatakan Yudi. Apakah yang dikatakannya benar atau salah! kalu benar dia juga bernama Wijaya, lalu apa hubungannya dengan Om Nard? Apakah dia saudara atau keluarga dari Om Nard. Tapi kalau seperti itu kenapa dia membunuh Nirwan? Apakah dia berbohong? Tapi buat apa? dia bukan tipe orang seperti itu. Kemungkinan yang besar adalah itu cuma kebetulan belaka. Tapi kebetulan inilah yang aneh. Kalau seperti ini halnya, mau tidak mau aku harus memikirkan semua persoalan ini dari awal sampai saat ini dengan segala kemungkinannya.

@@@@@

Untuk beberapa saat aku tenggelam dalam pikiranku, hingga aku tersadar saat pintu itu kembali terbuka. Aku berharap Yudi yang kembali masuk menemuiku, tapi itu hanya harapan yang sia-sia. Tante Mala yang masuk, sikapnya tampak aneh dan gelisah. sebelum aku membuka suara, dia lebih dulu berkata. "Vin, maafkan aku! Aku melakukan ini karena terpaksa oleh keadaan."

Dia diam sejenak sambil memandangku. Mungkin ingin mengetahui bagaimana reaksiku. Melihatku diam saja, dia melanjutkan ucapannya. "Akulah sebenarnya orang yang dipanggil Xian," ucapnya. Hal mana yang membuatku terkejut dan kaget. Aku memandangnya semakin lekat untuk melihat kebenaran diwajahnya. Dan tampaknya hal itu serius.

"Kau mungkin tidak akan percaya seratus persen. Tapi akan kuceritakan yang sebenarnya, semoga kau mempercayainya. Kau tentu ingat pembicaraan kita beberapa hari yang lalu!" ucapnya.

"Ya, aku ingat," jawabku pendek.

"Dulu ayahku adalah salah satu panglima dalam kelompok itu. Suatu saat ayah keluar dari kelompok itu karena permintaan ibuku. Beberapa lama kami dapat menyembunyikan diri. Tapi saat aku berumur 15 tahun, mereka berhasil menemukan kami dan membunuh ayah dan ibu. Aku selamat karena saat itu tidak bersama mereka. Tapi adik kembarku berhasil di tangkap oleh mereka. Tujuanku masuk kelompok mereka hanya ingin mencari adikku."

Tante Mala berhenti sejenak, mengambil nafas, kemudian melanjutkan ceritanya. "Beberapa bulan yang lalu aku mendengar kabar adikku berada di negara ini. Dan kebetulan pimpinan pusat memerintahkanku untuk membantu Yudi. Seperti yang kau ketahui, aku diminta menjadi Tante Mala yang juga secara kebetulan mirip denganku, dan dengan sedikit operasi maka jadilah aku Tante Mala."

Dia kemudian menceritakan semuanya, hingga kemudian dia berkata, "Tidak lama tugas Yudi akan selesai dan dia akan pergi meninggalkan negara ini. Dan mungkin saat itu nyawamu terancam! Sebenarnya aku tidak akan mencampuri urusan Yudi. Tapi entah mengapa sejak mengenalmu, aku merasa tidak rela Yudi melakukan hal ini kepadamu. Untuk menebus kesalahanku aku akan berusaha menolongmu. Mungkin aku tidak akan bisa membawamu keluar dari tempat ini! Tapi mungkin aku bisa melakukan sesuatu untukmu," Ucapnya dengan serius.

Melihat keseriusannya, tanpa sungkan aku meminta dia untuk menyampaikan pesan kepada seseorang.

"Baiklah, aku akan berusaha menghubungi orang yang kau maksud.

@@@@@

Karena semua barang yang ada padaku disita kecuali pakaian, membuatku benar-benar bosan. Bahkan waktu saat inipun aku tidak tahu, entah Pagi, Siang, Sore atau Malam hari. Menunggu sesuatu yang tidak pasti adalah pekerjaan yang menyiksa. Demikian juga denganku saat ini, aku menunggu kabar dari Tante Mala dengan hati yang gelisah, walau aku sudah mencoba untuk bersikap tenang. Mungkin bukan hanya hal itu yang membuatku gelisah. Tapi juga kekecewaanku yang masih belum bisa membuka tabir misteri yang menyelimuti Yudi.

Kegelisahanku hilang saat mendengar pintu terbuka dan melihat Tante Mala masuk. Tapi itu hanya sesaat, hal mana bertambah dengan rasa heran saat melihat dia ditodong senjata oleh orang yang mengawalnya. Pengawal itu kemudian mendorongnya masuk. Aku mecoba menolong Tante Mala yang hampir jatuh tersungkur. Pintu kembali tertutup, sementara aku hanya bisa memandang Tante Mala dengan pandangan tidak mengerti.

Tanpa menunggu aku bertanya, Tante Mala segera menceritakan apa yang telah terjadi, hingga dia ikut dimasukan kedalam ruangan ini. "Yudi tampaknya mencoba untuk berkhianat terhadap kelompok kami, dan dia mencurigai ada anak buahnya yang akan melaporkannya ke markas pusat, dan dia mencurigaiku," kata Tante Mala mengakhiri ceritanya.

"Apakah Tante sempat menyampaikan pesanku?"

"Maaf, Vin, aku berharap orang yang kusuruh berhasil menyampaikan pesanmu. Tapi kalau dia anak buah Yudi, atau tertangkap Yudi, maka habislah kita!"

Kami kemudian sama-sama terdiam untuk beberapa saat. Setelah berpikir sejenak, aku berkata pada Tante Mala, "Tan, apakah sama sekali tidak ada kemungkinan untuk kita keluar dari tempat ini?" tanyaku.

"Sulit, Vin. Kau tahukan, kalau Yudi itu orangnya sangat hati-hati dan perfeksionis, dia pasti sudah menjaga segala kemungkinan. Tapi, tunggu dulu! andai kita bisa masuk ke ruang sebelah, ada kemungkinan kita bisa keluar dari tempat ini," ujar Tante Mala dengan muka berbinar.

"Memangnya disebelah ruang apa?"

"Sebelah adalah kamarku, dan ada jalan rahasia yang berujung di sebelah luar tembok belakang."

"Apa jalan itu tidak dijaga atau ditutup oleh Yudi?"

"Aku rasa tidak Vin, karena tampaknya dia tidak tahu jalan itu. Aku juga tanpa sengaja menemukan jalan rahasia itu belum lama ini."

"Baiklah, ayo kita lakukan. Dari pada kita menunggu dalam ketidakpastian, kita tinggal mencari bagaimana caranya," kataku.

Kita kemudian sama-sama terdiam untuk beberapa lama, hingga Tante Mala berkata padaku, "Aku tahu caranya Vin."

Dia lalu mengatakan rencananya padaku. "Tante serius dan benar-benar mau melakukan rencana ini?" tanyaku, terkejut mendengar rencananya.

"Iya, aku serius. Tapi kita harus bersungguh-sungguh melakukannya, dan harus sekali langsung berhasil. Bagaimana, kau siap?" katanya.

"Baiklah," jawabku.

"Ok, kita bersiap. kurasa sebentar lagi mereka akan mengontrol tempat ini dan juga mengantar makanan," kata Tante Mala setelah melihat jam yang melingkar di tangannya.

@@@@@

Begitu mendengar pintu akan terbuka Tante Mala segera mendekatiku, memeluk dan mencium bibirku. Aku melirik kearah pintu, anak buah Yudi nampak terpana, untuk lebih kelihatan lebih sungguh-sungguh aku menjalankan rencana yang telah kami sepakati. Aku membalas ciuman Tante Mala tidak kalah ganasnya.

Tanganku menjelajah tubuhnya, dan seolah tidak sadar ada orang aku mempreteli kancing baju Tante Mala, hingga terlihat tubuh montoknya yang terbungkus pakaian dalam.

Sambil mencumbu Tante Mala, aku terus mengawasi gerak-gerik tiga orang itu. Mungkin karena keasyikan melihat pemandangan dihadapannya, mereka tidak sadar bahwa tubuh kami semakin dekat ke arah mereka.

Setelah yakin akan keberhasilannya, secepat kilat aku bergerak. Dua orang yang bersenjata adalah incaranku. Mereka tidak siap akan tindakanku, maka dengan mudah dua orang itu jatuh ke tanah. Sementara seorang lagi juga sudah mengeletak di tanah terkena hantaman Tante Mala.

Aku bergerak mengikuti langkah Tante Mala, setelah sebelumnya mengambil senjata milik dua orang itu. Dengan cepat Tante Mala bergerak menuju ke ruangan yang kami tuju, karena pengenalannya akan tempat ini maka dengan mudah dia menghindari tempat-tempat yang dijaga.

Tapi itu tidak berlangsung lama, tampaknya mereka sadar siapa yang mereka kejar. Suara derap langkah dengan cepat bergerak mendekat ke arah kami. Sambil bergerak aku berusaha untuk memperlambat gerakan mereka. Terdengar beberapa kali tembakan, tampaknya mereka mulai mempergunakan senjatanya.

Untungnya tidak lama kemudian kami sudah sampai ke ruangan yang kami tuju. Setelah masuk kami berusaha menghalangi pintu dengan benda-benda yang bisa memeperlambat gerakan mereka. Mereka berusaha untuk masuk ke dalam, dan tampaknya usaha mereka tidak lama lagi akan segera berhasil. "Cepat Tante, mereka akan segera masuk!" teriakku pada Tante Mala.

"Sebentar, Vin. Tahan mereka," jawabnya.

Tidak mau menanggung resiko aku segera mengarahkan senjata di tanganku ke arah pintu, dan Dor... dor... dor... dor... dor... mereka terkejut dan segera menyingkir untuk menghindari tembakanku.

Suasana hening sejenak, "Cepat Vin, masuk!" kata Tante Mala di belakangku.

Aku segera mengikuti tindakan Tante Mala yang masuk ke salah satu pintu yang berada di pojok ruangan, tanpa sempat memperhatikan ruangan itu. Begitu aku di dalam, Tante Mala segera menutup pintu itu. Untung di atas ada penerangan hingga tempat ini tidak gelap gulita. Ruangan ini berbentuk memanjang membentuk semacam lorong. Tante Mala memberikan isyarat padaku untuk mengikutinya dari belakang. Dia melangkah dengan cepat, hingga tidak mempedulikan pakaiannya yang masih terbuka di bagian dada.

Tidak lama kemudian, kami sampai juga di ujung lorong. Tapi aku jadi heran melihat Tante Mala tiba-tiba diam mematung, aku segera mendekatinya untuk mengetahui apa yang membuatnya terpaku di tempat.

@@@@@

Ada dua orang yang menghentikan langkah kami, mereka tidak menghadang kami. Karena posisi mereka berdua saling berhadapan dengan tangan terangkat saling menodongkan senjata. Sementara di sekeliling mereka tampak beberapa orang mengeletak. "Hallo Vin, mau ikut bergabung?" kata mereka berdua nyaris berbarengan.

Aku hanya diam sambil mengawasi keadaan sekitar. Tampaknya sebelum kami sampai tempat ini ada pertempuran. Sementara mereka berdua kembali bercakap-cakap tanpa menghiraukan aku dan Tante Mala, orang akan menyangka mereka teman baik andai kata tangan mereka tidak memegang senjata.

"Hebat juga kau bisa menemukanku secepat ini," kata Yudi kepada orang di depannya.

"Ha..ha..ha.., terima kasih atas pujiannya. Aku juga tidak menyangka kau akan berani melakukan tindakan ini," jawab Taksaka yang berada di depan Yudi. "Jadi kau mau menyerah atau bertempur sampai mati?" lanjut Taksaka.

"Apa kau bisa bertempur, ha..ha..ha.., aku tahu siapa kau," jawab Yudi cepat.

Wajah Taksaka memerah, tampaknya dia tidak suka dengan apa yang dikatakan Yudi. "Baik mari kita bertarung," kata Taksaka, sambil melepas Tuxedonya. "Vin, kau jangan ikut urusan ini sebelum kuperintahkan," lanjutnya.

Aku hanya mengiyakan permintaannya. Sesaat kemudian mereka mulai bertempur, saling pukul dan tendang. Awalnya mereka berimbang, tapi tidak lama kemudian aku tahu bahwa Taksaka akan kalah, dan dugaanku tepat sesaaat kemudian, saat Taksaka terjungkal kebelakang terkena tendangan Yudi. Aku tidak tahu, apakah Yudi yang hebat, atau Taksaka yang terlalu lemah.

Taksaka mengusap darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya. Aku bergerak mendekatiya dan berusaha menolongnya berdiri. Aku hanya bisa bengong saat dia menampik uluran tanganku. Dia berdiri, kemudian menghampiri Yudi yang tersenyum sinis ke arahnya. Taksaka kembali menyerang Yudi, tapi kembali dia terjengkang oleh sodokan lutut Yudi yang menghajar perutnya. Aku yang kasihan segera maju menolongnya, kali ini dia menerima bantuanku. Setelah mendudukannya, aku berdiri dan kini berhadapan dengan Yudi.

"Tampaknya urusan di antara kita harus di selesaikan saat ini juga," kataku pada Yudi.

"Bagus, jadi kau sudah tahu semuanya?" kata Yudi.

"Belum, tapi aku akan memaksamu untuk mengatakannya," jawabku.

"Bagus, aku suka semangatmu. Sebenarnya aku akan benar-benar senang andai kau adalah adikku dan kita bisa berjalan bersama,"

"Sudahlah, jangan banyak bicara karena itu tidak akan pernah terjadi," kataku, kemudian segera menyerangnya.

Dengan segala kemampuan ilmu karate yang kumiliki aku berusaha untuk menaklukannya. Tapi hal itu sulit dilakukan, karena Yudi juga menguasai ilmu bela diri, bahkan bukan hanya mahir dalam satu ilmu bela diri, dilihat dari gerakannya, paling tidak dia menguasai empat ilmu bela diri yang sama mahirnya. Selain Karate dan Wushu, dia juga menguasai Taekwondo dan Thaiboxing.

Untuk beberapa lama aku bisa mengimbanginya. Tapi saat dia meningkatkan serangannya, aku menjadi kewalahan. Hingga, beghk... Tangannya berhasil menghantam pinggangku. Aku terjajar ke samping, hingga nyaris tersungkur. Mengira Yudi akan melanjutkan serangannya, aku melangkah mundur. Hingga aku merasa tubuhku membentur seseorang yang berdiri di belakangku. Aku segera memutar badan dan bersikap waspada, menghadapi bahaya di belakangku. Tapi aku segera menghela nafas lega, saat tahu siapa orang yang berdiri di depanku.

@@@@@

Seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, berkaos ketat warna hitam dan rompi anti peluru menempel pada tubuhnya, juga kaca mata dan topi kupluk warna senada, wajahnya dihias cambang dan kumis. Siapa lagi kalau bukan Elang.

"Kau tidak apa-apa, Vin?" tanya Elang, dengan tatapan yang tidak lepas dari sosok Yudi.

"Ya," jawabku singkat.

"Kau istirahatlah. Biar aku yang akan meladeni dia," katanya sambil melangkah mendekati Yudi.

Mereka kini saling berhadapan, bak dua raja memperebutkan kekuasaan. Untuk beberapa lama mereka hanya saling pandang.

"Elang, akhirnya kita bertemu kembali. Andi sudah bercerita tentangmu, dia berkata kau bukan Elang yang dulu lagi. Benarkah? Ha..ha..ha.., hebat.. Aku ingin membuktikan apa benar yang dikatakan Andi," ucap Yudi.

"Kau sudah keterlaluan, Yud! Aku akan menghajarmu, setelah itu aku akan mengirimmu kepejara," kata Elang, dia kemudian melepas rompi dan kacamatanya. Kini jarak mereka tidak lebih dari dua langkah.

"Baik, kita akan selesaikan semua utang piutang di antara kita berdua. Sebelumnya aku akan mengatakan beberapa rahasia kepadamu, agar kau mengerahkan segala kemampuanmu dan kalau kau mati, tidak jadi arwah penasaran," ujar Yudi tenang.

Elang diam tidak bereaksi mendengar kata-kata Yudi. Hanya saja, sorot matanya kini bertambah tajam menatap Yudi. "Lumayan juga. Tapi bagaimana kalau aku bilang, bahwa yang memaksa Andi Seto memakai Narkoba adalah aku," lanjutnya.

Mendengar itu muka Elang berubah semakin garang, "Kaau..kau..,' ucapnya dengan mengepalkan kedua tangannya.

"Tenang, masih ada satu hal lagi yang ingin kukatakan kepadamu. Rahman Dharmaputra dan keluarganya, tanpa kuteruskan, kau tentu tahu apa yang kumaksudkan," kata Yudi masih bicara dengan santai. Seolah urusan membunuh adalah perkara sepele.

Sementara Elang menundukan kepalanya dengan tangan yang semakin mengepal kuat dan tubuh bergetar keras.

"Sebenarnya masih ada satu orang yang ingin kubunuh dengan tanganku sendiri, sialnya dia sudah keburu mati. Kau pasti sudah menduga siapa dia, kan! Benar, Sur..," Plaaakh...Belum sampai Yudi menyelesaikan ucapannya, tangan Elang sudah melayang menampar pipi Yudi.

Mendapat tamparan itu, Yudi hanya diam saja, tampaknya dia sudah menduga hal itu. Dia hanya menyeka darah yang mengalir di sela pipinya. "Lumayan, tapi kurang bertenaga," kata Yudi, kemudian melepas jas dan kemejanya. Kini dia hanya berpakaian dalam dibagian atasnya. Baru kusadari tubuh Yudi tidak kalah kekar dari tubuh Elang, mengapa sewaktu dia menjadi Mas Erwin aku tidak memperhatikan hal itu.

Kini mereka benar-benar sudah siap bertarung. Tanpa banyak bicara lagi, mereka langsung saling bergerak. Elang melakukan serangan ke arah Yudi, tapi dengan ilmu bela dirinya, Yudi melayani Elang dengan tidak kalah garangnya. Elang mendesak Yudi dengan pukulan-pukulan yang keras, dan dibalas Yudi dengan tidak kalah kerasnya.

Dalam pertarungan seperti itu, ketenangan pikiran diperlukan. Tapi hal itu tampaknya dilupakan Elang, karena kulihat dia menyerang musuhnya tidak dengan perhitungan. Tampaknya ucapan-ucapan Yudi tadi bermaksud memanaskan hati Elang, hingga Elang kehilangan akal sehatnya. dan tampaknya usaha Yudi berhasil sampai saat ini. Karena serangan yang dilakukan Elang tidak sebagaimana mestinya. Dan Elang harus menanggung akibat dari keteledorannya. Dalam keadaan lengah, tiba-tiba tangan Yudi bergerak cepat mencengkeram dadanya. Elang menggeser kaki kirinya, mencoba berkelit dari cengkeraman Yudi. Tapi dia terlambat bereaksi akan datangnya tangan kiri Yudi yang menghantam ulu hatinya. "Ouuuch...!" Tanpa ampun lagi dia jatuh terkulai.

Elang berguling menghindari serangan susulan. Dengan menahan rasa sakit dia bengkit kembali. Tampaknya dia juga mulai sadar akan kesalahannya, dia kembali mencoba untuk menyerang dengan Yudi. Tapi kali ini serangannya lebih terarah dan tenang. Mereka kembali saling serang dalam pertarungan seru, jual beli pukulan dan tendangan tidak terelakkan. Mereka berdua bergantian jatuh bangun.

Hingga saat itu Yudi kembali menyerang dengan gerakan-gerakannya yang cepat, Tampaknya Yudi bermaksud mengakhiri pertarungan. Tapi kali ini Elang sudah siap, dan dengan tenang menghadapi serangan dahsyat itu. Menunggu sampai serangan Yudi datang, dia merangkap kedua tangannya. Lalu memajukannya ke depan, menyelusup diantara dua tangan Yudi, dan dengan cepat merentangkan tangannya, hingga dua tangan Yudi yang hendak mencengkeram dapat ditolak menyamping.

Melihat serangannya gagal, Yudi bergerak cepat menganti serangannya. Tubuhnya berputar ke belakang tubuh Elang. Tangannya yang kanan kembali diulur, mencengkeram ke arah pinggang Elang untuk membikin remuk tulang iganya. Tapi sebelum serangan itu sampai, Elang sudah mengelak dengan gesit sambil melompat satu langkah ke depan. Tapi belum sempat Elang memutar tubuhnya, Yudi sudah maju merangsak, dia menyerang kepala Elang dengan pukulan yang dahsyat. Tapi Yudi salah perhitungan. Ketika Elang melompat berkelit dari serangan Yudi yang menggunakan cengkeraman, tampaknya Elang melihat satu celah pada pertahanan Yudi. Dengan cepat Elang berhenti, sambil memutar tubuhnya ke kanan.

Dalam posisi itu, secara tiba-tiba Elang menghantam pinggang Yudi sekuat tenaga, dengan kaki kirinya. Saat Yudi terhuyung ke belakang, Elang tidak menyia-nyiakan kesempatan lagi. Elang menghajar rahang Yudi dengan kaki kanannya. Kontan saja Yudi terjengkang kebelakang roboh. Tapi dengan cepat Yudi kembali berdiri, seolah tidak merasakan sakit. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah, tapi dia tidak menghiraukan itu. Pandangannya kini menjadi menakutkan. Tampaknya amarah mulai menyelimutinya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Yudi lantas menerjang ke arah Elang, sambil berkata, "Setan, akan aku balas berkali lipat hal ini!"

"Kau yang akan merasakan kekalahan kali ini, dan semuanya akan berakhir!" kata Elang membakar emosi Yudi, sambil berkelit dari serangan Yudi yang menggunakan jurus/gerakan yang semakin cepat dan keras. Dan kali ini tampaknya Yudi yang tidak bisa mengendalikan emosinya, serangannya walau masih cepat dan ganas. Elang tampaknya mampu menghadapinya, dan dia semakin di atas angin. Ketika sambaran dua tangan Yudi menderu keras mencengkeram bagian atas perutnya, dia mundur ke belakang tapi Yudi terus mengejarnya dengan mengganti menggempur bagian pinggangnya. Elang kembali menghindar dengan melompat ke samping.

Tidak sampai menanti kaki Elang menginjak tanah. Tangan Yudi diulur saling susul untuk mencengkeram kaki kanan Elang yang masih dalam keadaan terapung. Tapi tampaknya Elang sudah menduga akan hal itu, dengan tidak kalah gesitnya, dia mengelak, turun sebentar lantas kembali melompat menendang ke arah dahi Yudi. Yudi berusaha memundurkan kepalanya untuk menghindar dari serangan itu. Tapi Elang masih terus saja mengejarnya, Elang memutar tubuhnya dan kaki yang sebelumnya mengincar dahi Yudi, berbalik menghantam lengannya. Tepat menghantam siku Yudi, hingga seketika itu Yudi meringis kesakitan.

"Sudah hentikan semua ini, Yud. Menyerahlah...!" kata Elang.

"Tidak akan pernah, dan tidak akan mungkin!" Yudi memotong ucapan Elang. Yudi tampaknya menjadi semakin panas atas kata-kata Elang, sikapnya sudah hendak menyerang kembali.

"Jangan sombong, Yud! Sebaiknya kau menyerahkan diri dan bekerja sama. Tempat ini sudah di kepung, kau tidak mungkin lolos lagi. Bagaimana?"

Begitu kata bagaimana meluncur dari mulut Elang, Yudi lantas menerjang Elang dengan gerakan yang cepat dan ganas. "Bukan aku, tapi kalian semua yang akan terkubur di tempat ini!" bentak Yudi dengan suara menggelegar, karena marahnya dia.

"Mengapa kau tidak mau menyerah," Kata Elang, seraya mengelak sana-sini menghindari serangan Yudi yang menjadi membabi buta, seperti orang yang sudah kerasukan setan. Setelah beberapa kali menghindar, Elang mulai membalas serangan dari Yudi.

Saat Yudi kembali menyerang untuk kesekian kalinya, Elang tidak berusaha menghindar lagi. Saat Yudi merasa senang karena serangannya akan berhasil, tiba-tiba dalam sepersekian detik keadaan berubah. Saat itu Elang merunduk menghindari serangan, tapi dengan cepat tinjunya menghajar ulu hati Yudi.

Deeesssshhh,"Huueksss," bruuukh... tubuh Yudi terjengkang ke belakang, untuk beberapa saat dia terkapar di tanah. Dan saat mencoba bangkit dia muntah darah.

Suasana hening untuk beberapa lama. Aku dan Elang masih diam di tempat memandang Yudi. Elang kemudian melangkah mendekati Yudi, tapi baru beberapa langkah, dia segera berhenti. Karena terdengar beberapa langkah mendekati tempat itu. Tiga orang laki-laki muncul sambil menyeret 3 orang wanita.

Aku dan Elang saling memandang kemudian menghela nafas panjang melihat siapa mereka...?


Chapter XXXI : Finnally II : Nirwan Wijaya

Tiga orang yang datang adalah Andi, Hendra dan Sony. Mereka datang sambil menggiring Avi, Mbak Tika dan Mbak Dita. Melihat hal itu, aku dan Elang hanya bisa menghela nafas panjang. Sementara Yudi menampakkan senyum kemenangan pada wajahnya.

"Haha..haha..haha..., bagus! Kalian datang tepat pada waktunya," kata Yudi, mendekati mereka. Dia kemudian menatap tajam wajah Mbak Dita, mendapat tatapan seperti itu Mbak Dita hanya menundukkan kepalanya. Sesaat Yudi mengalihkan pandangannya padaku. Tanpa berkata-kata dia meminta pistol yang dipegang Sony. Kemudian berjalan ke arahku.

"Seharusnya semua sudah selesai, kalau tidak ada manusia sepertimu!" Kata Yudi, sambil menempelkan ujung pistol itu di pelipisku. "Aku benar-benar benci dan muak pada keluargamu!" Nadanya semakin meninggi. "Dulu karena Gian, kakakku meninggal! Dan sekarang...," Yudi tampak sangat emosi hingga tidak dapat melanjutkan ucapannya.

Aku sudah pasrah menerima apa yang akan terjadi padaku. Jadi aku hanya diam saja. Tapi kata-kata tentang kakaknya dan Om Gian membuatku tertarik. Tapi sebelum aku membuka mulut untuk bertanya, Mbak Dita telah mendahuluiku, dan kata-katanya membuatku lebih terkejut. "Hentikan semua ini Yud! Kau dulu telah berjanji padaku untuk tidak mengganggu Gavin, kalau aku membantumu," katanya, dengan sedikit terisak.

"Iya, aku telah berjanji seperti itu. Dan aku mengingkarinya! Kau mau tahu kenapa? Karena kau juga telah mengingkari janjimu, dan yang lebih membuatku kecewa kau juga telah berbohong padaku!" Kata Yudi dengan emosi semakin meninggi.

Untuk beberapa saat semuanya diam, hanya terdengar isak Mbak Dita. "Sudahlah, hentikan semua sandiwara ini. Mari kita selesaikan semuanya," kata Yudi, dengan suara yang sedikit melembut.

Dia memandangku tajam, kemudian berkata dengan nada lembut tapi dingin. "Vin, aku akan menceritakan sebuah dongeng. Maukah kau mendengarkannya? Anggap saja sebuah dongeng pengantar kematian untukmu."

Tanpa menunggu jawaban dariku, Yudi mulai bercerita. "Ini adalah kisah tentang dua orang kakak beradik, yang dalam usia 10 tahun Sang Kakak telah menjadi orang tua, kakak, sahabat, guru dan panutan bagi adiknya yang baru berusia 2 tahun. Dia berusaha bertahan hidup tanpa ada bantuan dari orang lain, walau ada keluarga yang berusaha menolongnya. Dengan kecerdasan otaknya dia sekolah tanpa biaya. Saat Si Adik berusia 10 tahun semuanya berubah." Yudi terdiam sejenak.

"Kau tahu siapa yang kumaksud kakak adik disini?" tanya Yudi, padaku.

"Narendra Wijaya dan Nirwan Wijaya," jawabku.

"Benar, Sang kakak adalah Narendra Wijaya. Orang yang telah di bunuh Gian, pamanmu!"

"Darimana kau tahu yang membunuh adalah pamanku?" tanyaku.

"Itu tidak penting untukmu. Yang harus kau tahu, Nirwan Wijayalah yang telah membunuh Gian," katanya dengan dingin.

"Ba... bagaimana mungkin? Bukankah Nirwan Wijaya telah mati 10 tahun yang lalu."

"Kau salah. Dia bukan Nirwan Wijaya, tapi Erwin wijaya."

"Kalau dia bukan Nirwan Wijaya, lalu dimana Dia sekarang berada?"

"Menurutmu, dimana?" tanya Yudi, dengan sinis.

"Apakah Nirwan itu..." melihat senyum dan raut muka Yudi. Tampaknya aku tidak perlu melanjutkan ucapanku. Dan terjawablah sudah siapa orang yang berada dibalik semua ini. Tapi ada beberapa hal yang masih menjadi tanda tanya besar dalam hatiku.

Tapi belum sempat aku membuka mulut untuk menanyakan hal itu, Yudi lebih dulu berkata. "Saat aku berusia 10 tahun aku dititipkan pada pamanku, di rumah itulah aku bertemu dengan Erwin Wijaya. Ya, dia sepupuku dan umurnya sepantar denganku. Kami hidup bersama hingga umur 15 tahun, saat kakak datang ke rumah paman dan membawaku keluar. Saat mendaftar sekolah SMU namaku dirubah menjadi Yudi, aku tidak pernah bertanya pada kakak kenapa namaku berubah. Karena aku yakin, apa yang dilakukannya pasti untuk kebaikanku."

Setelah diam sejenak, Yudi melanjutkan ceritanya. "Sejak saat itu kehidupanku berubah. Aku yang sejak kecil kekurangan, menjadi kelebihan. Apa yang aku inginkan, semuanya dipenuhi oleh kakak. Aku tidak tahu apa pekerjaannya, dia kadang pergi hingga berminggu-minggu. Tapi saat itu aku tidak memikirkannya, karena aku sibuk dengan kehidupan anak sekolah. Di sekolah itu aku bertemu dengan Hendra dan Sony, yang dikemudian hari menjadi sahabatku."

"Lulus SMU, kedua temanku melanjutkan kuliah di Australia. Sementara aku masuk ke Akpol ( Akademi Kepolisian ) atas permintaan kakakku. Kami masih saling berkomunikasi, hingga aku menjadi tahu, bahwa Erwin juga kuliah di tempat yang sama dengan mereka. Kehidupan terus berlalu, aku lulus dari Akpol dengan memuaskan. Semua sepertinya akan sempurna bagiku, sampai saat itu datang."

Yudi diam, padangannya menerawang entah jauh kemana. Untuk sesaat suasana menjadi hening. Seakan semua orang larut dalam cerita Yudi. Setelah menghela nafas beberapa kali, Yudi melanjutkan ceritanya. "Saat itu dua hari setelah ulang tahunku yang ke 24, entah ada angin apa kakak mengajakku berbicara serius. Dia membuka semua raahasia yang selama ini disimpan olehnya. Mulai dari pekerjaannya yang bukan lain adalah seorang Agen Inteljen/ Rahasia. Sahabat-sahabatnya, mengapa dia merubah namaku, dan lain-lainnya."

"Selain menjadi Agen ISF, ternyata dia juga menjadi seorang anggota organisasi rahasia dari China, yang sedang berusaha mengembangkan sayap kekuasaannya kepenjuru Asia, bahkan Dunia. Dia merubah namaku bertujuan untuk menghindarkanku dari hal-hal yang tidak baik. Dia merubah nama Erwin Wijaya menjadi Nirwan Wijaya, beberapa saat setelah kematian paman, dan juga membiayai kuliahnya. Pada sat itu dia mengatakan mungkin itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Dia tidak mengatakan alasannya, hanya memintaku untuk selalu menjaga diri dan jadi orang yang kuat."

"Dan ternyata apa yang dikatakannya menjadi kenyataan. Hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Aku tidak tahu bagaimana kejadiannya. Hal itu juga kuketahui satu bulan setelah pemakamannya. Aku marah kepada Erwin, kenapa dia tidak memberi kabar padaku. Dan yang lebih membuatku marah, adalah Erwin tidak ingin aku tahu kematian Narendra, agar dia yang mendapatkan semua warisan dari kakak. Baru aku tahu, bahwa kakak mendapatkan bagian yang banyak dari hadiah pekerjaan terakhirnya."

"Saat itu aku tidak mempersoalkan hadiah itu, apa lagi Erwin berjanji akan memberikan bagian untukku bila aku membutuhkan. Tapi hal itu hanya bertahan satu minggu. Usaha sampinganku mengalami kehancuran, dan aku memerlukan jumlah uang yang cukup besar saat itu. Tapi saat aku menemui Erwin, dia menghinaku yang membuatku ingin membunuhnya saat itu. Tapi aku mencoba untuk bertahan dari hinaannya."

"Sepulang dari tempat Erwin, aku menemui Hendra dan Sony. Kami lalu merundingkan suatu rencana yang akan segera kami laksanakan. Akhir bulan Desember saat libur akhir semester, Hendra dan Sony mengajak teman-temannya untuk berlibur bersama di Indonesia. Erwin ikut bersama kekasihnya Reni. Sebenarnya dia bukan kekasihnya Erwin, tapi karena kami meminta Reni untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Rupanya Erwin masuk ke dalam perangkap Reni, sehingga mau memenuhi apa saja permintaan Reni. Termasuk pendakian gunung di akhir tahun itu."

Yudi kembali diam, dan suasana kembali hening untuk sesaat. Setelah beberapa lama diam, Yudi melanjutkan ceritanya. "Semuanya sebenarnya akan berakhir saat itu, tapi ada beberapa hal yang membuatnya harus terus berlanjut. Kami semua sebenarnya ingin Erwin tetap hidup, tapi tak disangka ada salah satu diantara kami yang begitu membencinya, hingga dia membunuh Erwin. Kau pasti mengira yang membunuh Erwin, adalah aku!" kata Yudi sambil memandang ke arahku.

"Kalau bukan kau, lalu siapa lagi?" ucapku acuh.

"Kau salah, bukan aku orangnya. Walau bagaimanapun dia adalah saudaraku. Aku mungkin akan menghajarnya, tapi tidak membunuhnya." ucap Yudi, dengan pasti.

"Lalu siapa?" tanyaku.

"Aku rasa itu tidak penting. Seperti aku bilang, seandainya Erwin mati saat itu juga tidak masalah. Semuanya akan berakhir, karena kami semua akan saling menutupi hal itu. Masalah kembali muncul, karena kami tidak menyadari ada orang lain yang tahu hal itu. Untungnya orang lain itu justru melaporkan kecurigaannya padaku. Kau tentu tahu, siapa orang itu kan, Lang?" ucapan Yudi kali ini ditunjukkan pada Elang.

Aku memandang ke arah Elang. Elang tampak emosi mendengar ucapan itu, matanya memerah menahan amarah. "Jadi benar dugaan kakek, bahwa kau yang membunuh Kak Rahman dan keluarganya?" ucap Elang, dengan suara gemetar.

"Ya, benar. Akulah yang membunuh mereka. Dia datang memberikan kesaksian, tapi dia datang ke tempat yang salah. Tapi itu hanya sebagian hal kecil yang menambah rasa benciku padanya, karena sejak dulu aku sudah benci pada Rahman. Bukan, bukan hanya padanya, tapi juga seluruh keluarga Surya Dharma! Kau tahu kenapa? Kau pasti tidak tahu, karena Surya Dharma tidak mungkin menceritakan aib yang ada di keluarganya." ujar Yudi, dengan sinisnya.

"Kau jangan pernah menghina keluarga kakek!" teriak Elang.

"Ha..ha..haa..., siapa yang menghina keluarga Surya Dharma. Orang yang pernah menjadi ajudan Jenderal Hoegeng, seseorang yang disebut sebagai polisi terbaik yang pernah ada di negara ini. Memang dedikasi Surya Dharma mendekati atasannya itu. Tapi apa kau pikir dia tidak punya aib? Aku tahu pasti hal itu, karena akulah penyebabnya." ungkap Yudi.

"Apa yang terjadi?" tanya Elang, dengan nada yang sedikit melunak.

"Rahmi Dharmaputri, seorang gadis yang malang. Baru dua puluh satu tahun usianya, saat meninggalkan dunia ini," ucap Yudi lirih, dengan mata menerawang entah kemana.

"Meninggal karena apa?" tanyaku tanpa sadar.

"Kecelakaan," ucap Yudi singkat.

"Apakah dia putri dari Surya Dharma?" tanyaku kembali.

Yudi diam sesaat, kemudian menjawab. "Ya, dan karena orang itu juga dia mengalami kecelakaan."

Kami semua diam berusaha mencerna maksud dari perkataan Yudi. Karena tidak juga mengerti, akhirnya aku bertanya juga. "Maksudnya?"

"Rahmi kecelakaan saat hendak kabur dari rumah untuk menemui kekasihnya, karena dia tidak mau dijodohkan."

"Dan kekasihnya adalah kau," tebakku.

"Benar, dia adalah cinta pertamaku."

"Dan karena kecelakaan itu kau menyalahkan serta membenci kakek, bukankah dia juga kehilangan anaknya!" ujar Elang dengan suara keras.

"Ya, aku membencinya. Andai dia tidak memaksakan kehendaknya pada Rahmi, bukankah aku akan hidup bahagia dengannya! Dan lebih lagi dia juga membunuh anakku, karena saat itu Rahmi sedang mengandung. Apa kau bisa merasakan apa yang kurasakan saat itu, dan.. mengapa aku tidak boleh membenci karenanya," ujar Yudi dengan tersengal, menahan amarah dan emosi kesedihan.

Meski aku tidak bisa membenarkan apa yang dilakukan Yudi, tapi aku juga merasa berempati terhadap nasib yang menimpanya. Elang juga tampak diam, tidak seemosi sebelumnya.

"Rahman juga tampaknya mencurigai aku, karena itulah aku membunuh dia dan keluarganya. Kubuat itu seolah-olah sebuah kecelakaan, dan hilanglah segala ganjalan yang menghalangi perbuatan kami. Erwin yang disangka Nirwan dinyatakan hilang. Dengan bantuan teman, semua harta atas nama Nirwan kupindahkan ke rekeningku. Dengan sedikit ancaman dan uang. Reni, Frans, Tito dan Simon kubuat diam. Sementara sisa uangnya sebagian besar aku buat untuk usaha pertambangan, properti dan lainnya, bersama dengan Hendra dan Sony." lanjut Yudi dengan nada kembali datar.

"Lalu apa hubungannya dengan Om Gian apa? Kenapa kau membunuhnya?" tanyaku.

"Gian. Aku mengenal namanya dari kakakku, tapi tentu saja dia tidak tahu, bahwa aku adik dari Narendra Wijaya. Pertama kali bertemu dengannya saat dia menyelesaikan kasus peredaran Narkoba di sebuah sekolah. Dan baru kemudian kuketahui bahwa dia berkawan baik dengan Surya Dharma. Aku juga tahu bahwa dialah yang membawa Elang ke rumah Surya. Surya meminta Gian untuk menyelidiki kematian Rahman. Itu aku ketahui karena Gian pernah menemuiku untuk menanyakan tentang kecelakaan yang menimpa Rahman. Saat itu aku belum tahu bahwa yang membunuh kakakku adalah Gian."

"Darimana kau tahu Om Gian yang membunuh Narendra Wijaya?" tanyaku penasaran.

"Hal itu baru kuketahui bertahun-tahun kemudian. Selain berbisnis dengan Hendra dan Sony, aku punya bisnis lain dengan Simon dan Frans. Narkoba adalah bisnis yang menggiurkan, dengan kata lain aku jadi bandar dan menjadi backing bila ada masalah. Andi adalah tangan kananku dalam bisnis ini, semua terkendali sampai kemudian aku dan Simon berebut wilayah yang lebih besar. Frans juga mulai ikut bermain dalam hal ini. Masalah bertambah rumit saat aku tahu bahwa tindak-tandukku mulai dicium para petinggi di Trunojoyo dan mereka mulai mengawasiku. Aku menghubungi Sony dan Hendra untuk membantuku. Saat itu Hendra yang baru pulang dari liburan di Swiss memberiku jalan keluar. Aku mencoba berpikir bagaimana menyelesaikan semua masalah dengan ide yang diberikan Hendra. Dan, Voilaaa.. Sekali timpuk semua masalah terselesaikan. Bukankah begitu Lang," ujar Yudi.

"Jadi semua itu sudah kau rencanakan semuanya? Membunuh Frans, Reni, Rudi dan Simon, kemudian menghilang agar dianggap mati?" kata Elang.

"Ya, bukankah hebat rencanaku. Aku bebas dari orang pusat, Simon dan Frans mati, saingan bisnis tak ada, harta Simon dan Frans kembali padaku, aku berubah dan tidak ada yang mengenali dan yang membuatku lebih senang adalah aku tahu kejadian yang menimpa kakakku waktu itu," ucap Yudi, dengan bangganya.

"Apakah waktu itu kau bertemu dengan Om Gian, dan dia menceritakan semuanya padamu?" tanyaku, bodoh.

"Ha..ha..haa..haa.., rupanya kau pandai melucu juga, Vin." kata Yudi sambil terbahak-bahak. Setelah tertawa, dia diam sejenak. Kemudian melanjutkan ceritanya, "Beberapa bulan aku disana, aku berkenalan dengan seorang turis dari India yang bernama Sinha. Aku yang mengaku pedagang permata rupanya menarik perhatiannya, dia seorang kolektor permata, setelah itu kami menjadi rekan bisnis. Suatu hari Hendra dan Sony datang mengunjungiku. Mereka membawa Permata Hitam yang menarik perhatian Sinha. Dia lalu bercerita tentang permata itu, permata yang sangat langka, dulu dia hampir mendapatkan permata seperti itu, dari orang Indonesia juga. Saat Sinha menyebutkan siapa mereka, aku sangat terkejut, karena mereka adalah kakak dan teman-temannya. Aku menjadi tertarik, dan meminta Sinha menceritakan hal itu secara detail dari awal hingga akhir. Dari Sinha-lah aku tahu bahwa yang membunuh kakakku adalah Gian." Yudi mengakhiri ceritanya dengan memandang tajam ke arahku.

Aku membalas tatapan mata Yudi. Dalam hati aku berpikir, apakah kejadiannya sama seperti yang tertulis dalam catatan Om Gian. Supaya tidak penasaran, aku lalu berkata pada Yudi. "Bagaimana kejadian yang diceritakan orang India itu?"

Yudi memandangku, kemudian menundukan mukanya, setelah diam sesaat dia berkata, "Kau pasti sudah tahu sebelumnya, tentang peristiwa yang terjadi saat itu. Apa kau akan menyangkal bahwa penyebab kematian kakakku adalah Gian!"

"Tidak, aku tidak akan menyangkal hal itu. Tapi kau juga tidak bisa menyangkal, bahwa sebab-akibat kejadian itu karena salah Narendra," kataku tidak mau kalah.

"Aku akan menyangkal hal itu, bisa saja semua itu sudah direncanakan Gian." ucap Yudi, dengan sinis.

"Maksudmu..., Om Gian memang sengaja membunuh Narendra?" tanyaku.

"Ya,"

"Tidak mungkin!" bantahku.

Yudi memandangku, menghela nafas panjang, kemudian berkata, "Kau dengan mudah mendapatkan wanita dan berganti sesukamu. Tapi tidak semua lelaki sama sepertimu dan seberuntung dirimu. Kau pikir dalam peristiwa itu hanya masalah Harta? Salah, tapi ada masalah wanita di dalamnya. Mereka berebut wanita, dan kau tahu sendiri akhirnya."

Aku terdiam mendengar hal itu, benarkah apa yang diucapkan Yudi. Tapi masih ada yang janggal, mengapa sesudah sepuluh tahun, Om Gian tidak pernah bersama wanita itu. Om Gian sangat menyayangi kakek dan nenek, tidak mungkin dia menikah diam-diam dan tidak memberitahu kakek dan nenek. Apakah wanita itu nyata, atau hanya karangan Yudi.

Saat aku masih tenggelam dalam pikiranku, suara Yudi menyadarkanku, "Kau pikir aku berbohong soal wanita itu? Wanita itu belum mati."

"Darimana Sinha itu tahu tentang kisah cinta mereka? Dan kau menemukan Om Gian atas bantuan wanita itu?"

"Dia tahu pasti, karena Sinha sepupu dari wanita itu, Megnha Sinha namanya. Atas bantuan Sinha aku mencoba menemui wanita itu, tapi sia-sia. Karena dia sudah koma bertahun-tahun. Aku hampir putus asa, tapi suatu hari Sinha mengenalkanku pada seseorang, dia adalah anak dari majikannya. Namanya, Rajh." Yudi berhenti untuk mengambil nafas.

Sementara aku berfikir, apakah Rajh itu yang disebut Sonia beberapa hari lalu. Belum sempat berfikir lama, Yudi sudah melanjutkan ucapannya, "Rajh adalah pimpinan regional dari suatu organisasi Internasional. Dia mencoba membantuku untuk menjadi pimpinan regional kawasan ini, dan dia juga akan membantuku mencari Gian. Aku menyetujui rencana Rajh. Informasi yang kutunggu itu akhirnya datang juga. Rupanya Gian memang hebat, tidak banyak informasi mengenainya. Hanya kota asal yang dapat di ketahui, dan dia sering berada di kota itu. Selain itu tidak ada informasi lainnya. Kota itu ternyata tempat tinggal Hendra, maka aku memutuskan untuk menetap di kota itu. Kota yang kecil dan tenang, hingga aku dapat mengendalikan semua bisnisku dari kota ini tanpa ada yang menganggu."

"Apakah kau mengetahui Mbak Dita masih saudara dengan Om Gian. Dan kau memanfaatkannya untuk mendekati Om Gian," ucapku.

"Kau salah besar tentang hal itu!" ucap Yudi, dengan lantang. Matanya menatap marah kearahku, "Cintaku pada Dita adalah perasaan yang tulus dan murni, seperti cintaku pada Rahmi. Tapi justru Dita yang memanfaatkan aku untuk pelarian cintanya. Dia mencintai orang seperti kau, lelaki petualang cinta, pengobral janji manis pada wanita. Entah apa yang dilihat wanita-wanita itu darimu," ujarnya.

Setelah diam sejenak, Yudi melanjutkan kata-katanya, "Saat pertama bertemu dengan Dita, aku sama sekali tidak tahu hubungannya dengan Gian. Aku betul-betul mencintai dan ingin menikahinya. Awalnya dia tidak menerima niat baikku, tapi akhirnya dia luluh juga, walau dalam hatinya yang paling dalam masih ada orang lain. Dari Hendra aku tahu, kamu adalah orang yang paling dekat dengan Dita. Aku mencoba mencari tahu tentangmu, tapi anehnya Dita tidak mau aku tahu terlalu banyak tentangmu. Aku akhirnya tahu semua tentangmu, dan yang tak kuduga, kau adalah keponakan Gian. Sebenarnya aku ingin menghancurkan keluarga Gian, tapi aku juga tak ingin target utamaku kembali hilang. Akhirnya aku memaksa Dita untuk mempercepat pernikahan kami, agar aku lebih dekat dengan keluargamu dan bisa tahu kedatangan Gian sewaktu-waktu." katanya.

"Darimana kau tahu Om Gian akan datang malam itu?" tanyaku.

"Beberapa hari sebelum hari pernikahan, aku menerima kabar dari anak buahku yang menjadi agen ISF. Dia memberitahu Gian kembali ke markas ISF, dan mengajukan cuti untuk beberapa hari. Jadi ada kemungkinan dia akan pulang menemui keluarganya, walau tidak pasti waktunya. Aku lalu mencari cara, bagaimana dapat membunuh Gian tapi tidak membuat curiga ISF. Aku memaksa Dita untuk mengawasimu dan semua telepon atau pesan kepadamu. Akhirnya saat itu datang, Gian menghubungimu tapi yang menerima telepon itu Dita. Aku, Hendra dan Dita segera meluncur menemui Gian, dia curiga dan kami nyaris terbunuh saat itu. Tapi saat dia lengah Dita berhasil melumpuhkannya. Kami mengikatnya dalam mobil yang kami tempatkan di atas rel, dan meninggalkannya saat kereta lewat. Akhirnya aku dapat membunuh orang yang telah membunuh kakakku." Yudi mengakhiri ceritanya dengan senyum kemenangan.

Aku terdiam mendengar cerita itu. Apa yang dikatakan Yudi adalah hal yang masuk akal. Hal itu sesuai kronologis yang diceritakan Mas Bram. Tapi kalau keterlibatan Mbak Dita, apakah dia terlibat sejauh itu. Apakah karena itu Mbak Dita merasa bersalah dan tidak mau menghubungiku. Aku mencoba melihat mata Mbak Dita, mencoba melihat kebenaran di sana. Tapi saat tahu aku menatapnya, Mbak Dita langsung memalingkan muka.

Saat aku hendak bertanya, Yudi lebih dulu membuka mulut, "Bagaimana, Vin? Apa kau lega, sudah tahu semua rahasia tentang masalah pamanmu? Kau harus berterima kasih padaku, karena dapat mati dengan tenang. Ucapkan selamat tinggal pada yang lain." ucap Yudi, sambil mengarahkan pistol ke arahku.

Yudi mulai menarik kokang pistolnya, saat aku sudah pasrah, Hendra yang dari tadi hanya diam, tiba-tiba berkata, "Yud, sebelum kau membunuhnya, aku ingin menghajar anak ini untuk terakhir kalinya."

Yudi yang mendengar permintaan itu hanya tersenyum, memandang Hendra, menepuk bahunya, tubuhnya sedikit bergeser, dan tangannya mempersilahkan Hendra untuk maju kehadapanku. Hendra menatapku tajam, matanya membara, seakan ada rasa benci yang sangat mendalam. Walau sudah kenal bertahun-tahun dengannya, tapi kepribadiannya aku betul-betul tidak tahu. Karena setiap bertemu, aku tidak pernah berbicara lama dengannya. Selain segan, Hendra juga orang yang tidak akan berbicara jika tidak perlu.

"Sudah lama aku ingin melakukan ini, tapi baru kali ini aku dapat melakukannya. Aku akan menghajarmu dan kau tidak boleh melawan," kata Hendra, sambil mencengkeram bajuku.

Saat aku ingin melepaskan tangannya, dia kembali berkata, "Jangan kau mencoba menghindar, aku cukup memperingatkanmu sekali. Ingat! Sekali kau menghindari pukulan atau tendanganku, maka Tika akan menerima dua kali lipat!" ancam Hendra, yang membuatku bergidik mendengarnya. Bukan ancaman pukulan yang menakutkanku, tapi ancamannya terhadap Mbak Tika. Apakah dia akan melaksanakan ancaman itu.

Belum sempat berpikir lama, tiba-tiba Hendra melayangkan tangannya mencoba menamparku. Aku yang sudah terbiasa, tanpa sadar reflek menghindar. Tamparan itu memang meleset dari pipiku, tapi hal itu yang kusesali kemudian. Tanpa berbicara, Hendra melangkah ke tempat Mbak Tika berdiri, dan belum sempat aku berkata, plaak-plaak, bunyi dari tamparan Hendra di pipi Mbak Tika. Mbak Tika meringis, tapi sama sekali tidak mengaduh. Di sudut bibirnya tampak darah mengalir.

Sementara aku hanya terpana, tak menyangka Hendra benar-benar melaksanakan ancamannya. Hendra kembali ke hadapanku, "Kau sudah percaya ancamanku," katanya.

Aku hanya bisa menatapnya dengan menahan amarah. "Kau menantangku!" ucapnya. Dan belum lama kata-katanya berhenti, tangannya sudah kembali melayang ke arahku. Plaak..plaak.. Kali ini aku tidak mau mengambil resiko, aku menerima tamparan itu. Kurasakan panas di pipiku. Tapi itu hanya permulaan, seperti orang kesurupan Hendra kemudian memukul dan menendangiku sesukanya. Aku hanya bisa pasrah, dan berusaha serangannya tidak mengenai bagian vital pada tubuhku.

Beberapa lama serangan itu pada tubuhku, tiba-tiba Mbak Tika maju berusaha melindungiku, sehingga serangan itu mengenai tubuhnya. Aku berusaha menggeser tubuhku agar serangan itu tidak mengenainya. Entah puas, kelelahan atau kasihan, tidak lama kemudian Hendra menghentikan serangannya.

Nafas Hendra terburu-buru, rupanya dia kelelahan. Aku berusaha bangkit, kemudian menolong Mbak Tika untuk berdiri. Luka Mbak Tika tidak separah aku, tapi tetap saja aku merasa kasihan. Saat aku bertanya padanya, dia berkata baik-baik saja.

"Sungguh romantis sekali, entah mengapa dia tidak bisa berlaku seromantis itu padaku," kata Hendra, dengan nada getir. "Aku tahu perkawinanku dengannya bukanlah atas dasar suka sama suka, aku berharap sikap kami akan berubah. Tapi ternyata sampai saat ini, aku dan dia tidak pernah saling menyinta," lanjutnya. "Paling tidak aku sudah puas bisa menghajarnya, ha..ha..haa.." katanya sambil berjalan menjauh.

Tapi belum lama berjalan Hendra berhenti, kemudian berjalan kembali ke arahku. Dia tersenyum, menyeringai licik, kemudian membisikkan sesuatu padaku. Hal mana yang membuatku ternganga seakan ingin mati saat itu juga. Hingga aku sadar, saat Hendra kembali tertawa iblis, "Ha..ha..ha..haaaa..."

"Ti..dak, kau.. kau tidak boleh melakukan itu," kataku berusaha mengejar Hendra. Todongan pistol Yudi tidak menghalangiku untuk mengejar Hendra. Tapi baru dua langkah, 'door' kurasakan kakiku sakit sekali, hingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh tersungkur. Rupanya kaki kananku menjadi korban peluru Yudi. Mbak Tika berlari ke arahku, dengan bantuannya aku berusaha berdiri. Dengan menopang pada tubuh Mbak Tika, aku berusaha berjalan ke arah Hendra berdiri.

"Berhenti, Vin!" bentak Yudi.

Aku tidak menghiraukan ancamannya dan tetap melangkah ke arah Hendra yang tinggal berapa langkah di depanku. Hendra tampak ketakutan melihat kenekatanku.

"Berhenti sekarang atau aku akan menembakmu," Yudi kembali mengancamku.

Aku tetap melangkah.

"Satu!" Yudi mulai menghitung.

Aku tidak mempedulikan hal itu. Sementara Hendra ketakutan, karena aku tinggal selangkah di depannya.

"Dua!"

Aku cengkeram leher Hendra, dia kesakitan.

"Ti...," Door... door... doorrr...

Belum selesai suara itu, tiba-tiba terdengar beberapa kali suara letusan pistol. Saat aku menengok ke belakang, dua sosok tubuh telah terkapar di tanah. Aku hanya bisa tertegun melihat hal itu.


Chapter XXXII : End of Beginning I

Dua bulan kemudian...

Dua bulan sudah berlalu sejak peristiwa itu, tapi serasa baru kemarin kejadiannya. Aku tidak tahu pasti bagaimana kejadiannya saat itu. Tapi menurut Elang, saat Yudi menghitung angka tiga. Tiba-tiba Mbak Dita menembak Yudi, dan Andi yang berdiri dekat Yudi menembak Mbak Dita. Sesaat setelah kejadian itu, dipimpin Om Dans, anggota ISF mengepung tempat itu. Sempat terjadi baku tembak, tapi itu tidak berlangsung lama.

Mbak Dita meninggal saat itu juga, sementara Yudi walau sempat dilarikan ke Rumah Sakit, nyawanya tidak tertolong. Hendra, Andi ( Kui ), Mow tewas di tempat. Sony, Tito dan anggota/ agen ISF berhasil di tangkap. Sementara Xin dan Xian ( Tante Mala ) menghilang entah kemana. Atas info yang keluar dari mulut Tito, Kepolisian melakukan pengerebekan di beberapa kota yang merupakan jaringan dari bisnis hitam Yudi, dan mendapatkan hasil yang cukup lumayan. Dari Tito juga didapatkan info tentang organisasi Gerbang Naga. Tapi saat kepolisian menyerbu beberapa markas mereka, hasilnya nihil. Rupanya mereka bergerak lebih cepat.

Selain itu, saat Elang melakukan interogasi pada Tito ditemukan fakta menarik lainnya. Soal Hendra yang ternyata biseksual, dan Erwin adalah mantan kekasih Hendra. Tentang beberapa pejabat dan artis yang menjadi anggota organisasi Gerbang Naga. Tapi dia tidak bisa membuktikan ucapannya. Itu adalah info terakhir darinya, karena sebelum Tito berbicara lebih banyak. Keesokan harinya, dia diketemukan tewas di balik jeruji. Sementara Sony dengan kekayaan dan pengaruh orang tuanya, mengajukan penangguhan penahanan. Dan sampai dua bulan ini, tidak ada perkataan yang keluar dari mulutnya, hanya pernyataan-pernyataan formal yang keluar dari mulut pengacaranya.

Mbak Dita dimakamkan berdampingan dengan Yudi, sebagaimana yang diinginkannya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Hendra dimakamkan di pemakaman keluarganya di Solo. Semua aset Yudi disita, termasuk yang atas nama Mbak Dita, Hendra dan komplotannya.

Lukaku sudah tidak meninggalkan bekas sama sekali. Demikian juga luka Mbak Tika dan Elang. Mbak Tika sudah kembali hidup normal walau kini menjadi single parent, dan dia mengatakan bahwa kini justru lebih bahagia. Pertemuan terakhirku dengannya adalah dua minggu yang lalu, saat perayaan empat puluh hari meninggalnya Mbak Dita. Dia mungkin akan mengunjungiku sewaktu-waktu. Sebenarnya aku ingin menanyakan tentang apa yang dikatakan Hendra saat itu, tapi aku belum punya keberanian.

Beberapa kali Mbak Rani, Mbak Ina, Mbak Lula, Bunda Maia, dan lainnya datang mengunjungiku. Tapi aku belum berselera untuk menyentuh mereka, karena aku telah berjanji untuk tidak bersenang-senang sampai empat puluh hari, untuk menghormati Mbak Dita. Hanya beberapa yang mengerti perasaanku saat ini. Mbak Rani dan Mbak Ina adalah yang paling sering datang, selain Fariz dan Dion.

Om Dans hanya sekali datang, dan dua kali menghubungiku. Dia memang memintaku untuk istirahat, dan akan menghubungiku bila ada sesuatu. Selain itu dia memberitahu bahwa saat ini dia sedang melakukan pembersihan agen-agen ISF dari pengaruh luar.

#####

Sehabis pulang kantor, sambil memandang indahnya sinar matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat aku, Fariz, dan Dion berbincang santai. Kami sedang membahas surat keputusan dari kantor yang membahas soal tugas belajarku. Dalam waktu dua bulan aku harus siap berangkat ke Inggris.

Aku sebenarnya sedih dan senang. Sedih karena Fariz dan Dion tidak jadi ikut tugas belajar. Sebelumnya, kami bertiga akan dikirim bersama. Tapi karena adanya sesuatu hal, maka sementara hanya aku yang akan berangkat. Senangnya karena itu adalah hal yang sudah lama kuimpikan. Dion dan Fariz juga memberi semangat padaku, dan mereka mengucapkan selamat atas hal ini.

Aku belum sempat memberi kabar soal ini pada Ayah dan Ibu. Elang, Mas Bram, Mbak Tika juga belum kuberi tahu. Yang sudah tahu pasti adalah Mbak Ina, karena dia juga satu kantor. Dia sudah memberi selamat padaku, tapi tentu saja secara formal. Secara pribadi belum, karena tadi dia banyak tugas jadi tidak bisa berbincang lama.

"Vin, sepertinya kita harus buat pesta perpisahan, sebelum keberangkatanmu," kata Fariz.

"Baguuus! Aku juga setuju," timpal Dion.

"Tak perlulah, kantor juga sudah menyiapkan itu," tolakku.

"Tapi ini pesta khusus, Vin. Buat teman-teman dekat kita aja," kata Fariz kembali.

"Atau kita undang teman seangkatan saja," Dion melanjutkan.

"Okelah kalau itu keinginan kalian, tapi aku tidak mau merepotkan kalian," ujarku mengalah.

"Sip, kau terima beres aja Vin. Biar aku dan Dion yang mengatur semuanya. Ya, ga Yon," ucap Fariz.

Dion tidak menjawab, tapi hanya mengedipkan mata dan mengacungkan jempolnya, tanda setuju.

"Ok, aku setuju. Tapi syaratnya kalian harus membawa cewek kalian, saat acara itu," aku mengajukan syarat.

"Aku belum punya, jadi aku tidak bisa menjanjikan. Dion itu yang sudah punya cewek," ucap Fariz.

"Aku sudah tahu Dion punya cewek. Yang aku maksud kau, Riz," ujarku.

"Aku? Aku belum punya cewek, Vin," bantah Fariz.

"Serius? Dua kali aku melihatmu jalan sama cewek. Kalau bukan cewekmu lalu siapa?" tanyaku.

"Kapan? Kau salah lihat mungkin," elaknya.

"Kita ini sudah berteman tujuh tahun, jadi tak mungkin aku salah mengenalimu. Pertama sekitar dua bulan yang lalu, kau masuk ke Cafe xxx, saat itu cewek itu pakai baju putih. Yang ke dua, minggu lalu kau di antar olehnya ke kantor. Benar tidak?" cercaku.

"Baiklah aku mengaku. Saat ini aku memang sedang berusaha mendekati seorang wanita. Tapi bukan wanita itu Vin. Kalau wanita yang kau maksud itu kakakku. Kapan-kapan aku akan mengenalkan kakakku padamu. Kalau Dion sudah kenal." jelas Fariz.

"Kau sendiri bagaimana Vin?" tanya Dion.

"Bagaimana apanya?" ucapku.

"Ya cewekmu. Siapa yang akan kau jadikan pacar? Bukankah kau punya banyak kandidat." tanya Dion kembali.

"Entahlah, aku sendiri masih bingung," ujarku.

"Kau memang aneh Vin. Padahal kau tinggal tunjuk siapa yang kau mau. Di kantor ada Rini, Tina, Rachma atau Mbak Ina. Terus ada teman-teman selebritismu." lanjut Fariz.

"Justru karena itu. Aku tidak bisa menyakiti hati siapapun!" ungkapku.

"Tapi mau tidak mau, suka tidak suka, itu pasti terjadi, Vin." kata Dion.

"Ya aku mengerti. Sudahlah kita tidak usah bicara hal itu dulu. Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya," Elakku.

Dion dan Fariz memahami permintaanku. Maka obrolan dilanjutkan dengan topik yang lain. Hingga jam sembilan malam mereka meninggalkan Apartemenku.

#####

Hampir jam sebelas malam aku belum bisa memejamkan mata. Padahal hampir satu jam aku sudah naik ke tempat tidurku. Obrolan tadi sore dengan Fariz dan Dion membuatku gelisah. Aku sadar apa yang dikatakan mereka benar. Usiaku sudah hampir 25 tahun, apakah aku akan terus begini. Bermain dan gonta-ganti wanita sesukanya. Memang aku belum ada ikatan, dan semuanya tidak ada yang merasa tersakiti. Tapi apakah benar seperti itu terus-menerus? Apakah aku harus mulai memikirkan untuk memilih salah satu dari mereka untuk jadi istriku.

Pikiranku semakin mengembara ke mana-mana. Kalau memang harus memilih salah satunya, lalu siapa yang harus kupilih? Terlalu banyak wanita yang pernah berkencan denganku. Mereka dari bermacam profesi dan status, baik lajang, bersuami, atau janda. Tanpa sadar pikiranku mulai memilah-milah, yang bersuami jelas tidak mungkin. Dari kalangan orang beken juga tidak mungkin. Jujur aku tidak mau punya istri dari kalangan artis atau publik figur.

Rini, Tina, Rachma juga tidak. Aku hanya menganggap mereka sebagai teman. Mbak Ina, entah aku cinta atau kasihan, tapi dia bisa jadi kandidat. Mbak Tika sudah pasti, aku sudah tahu pasti betapa dalam cintanya padaku. Sonia, entah kenapa nama itu masuk ke dalam pikiranku. Ya, aku merasa sudah mencintainya sejak pandangan pertama. Tapi di mana dia kini?

Memikirkan itu, aku jadi ingat pembicaraan terakhirku dengannya. "Tampaknya buruanku menghilang saat terjadi kekacauan itu. Aku harus mengejarnya, jadi tugasku di sini sudah selesai. Aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu selama ini. Selamat tinggal," ucapnya singkat, padat dan jelas.

"Apakah kita akan bertemu lagi?" tanyaku saat itu.

"Aku tidak berharap bertemu denganmu. Tapi kalau kau datang ke rumahku, tidak mungkin aku mengusirmu," ucapnya, dengan rona muka yang tak ku mengerti.

Saat itu aku masih dirawat di Rumah Sakit. Kini sudah dua bulan, apakah dia masih mengejar Rajh. Atau sudah kembali ke rumahnya. Apakah ucapannya waktu itu adalah undangan tersembunyi, agar aku datang ke rumahnya. Rumahnya...! Kenapa aku tidak tanya Om Dans. Sudah tentu dia tahu dimana rumah Sonia. Senang dengan pemikiran itu, aku buru-buru mengambil ponselku.

Saat aku hendak menghubungi Om Dans, ponselku lebih dulu berbunyi. Melihat nama yang menelepon aku langsung menjawab panggilan itu.

"Ya Mas, ada apa?" tanyaku.

"Belum tidur, Vin? Cepat benar ngangkatnya," ujar orang yang meneleponku.

"Belum, Mas. Kebetulan mau telpon seseorang. Ada apa Mas, kok telpon malam-malam begini. Di rumah apa masih di kantor?" balasku.

Mas Bram adalah orang yang meneleponku, kemudian dia menjelaskan alasannya menghubungiku malam itu juga. Ternyata hal itu masih ada urusannya dengan Mas Yudi dan Mbak Dita. Mas Bram mengatakan ada transaksi mencurigakan dari rekening atas nama Mbak Dita. Diketahui dari rekaman transaksi, rekening itu pernah melakukan transfer beberapa kali ke sebuah bank di Swiss, hingga berjumlah hampir 60 milyar rupiah.

Entah itu atas perintah Yudi atau tidak. Yang jadi masalah, setelah di telusuri hingga ke bank itu. Uang itu lenyap begitu saja. Untuk itu Mas Bram memberitahuku. Mungkin aku tahu atau dapat mengira, siapa orang yang menerima transfer uang itu. Aku akan berusaha membantu, itu adalah jawabanku. Selain itu aku juga memberi tahu kepada Mas Bram, tentang keberangkatanku ke Inggris.

Tentu saja Mas Bram merasa senang mendengar kabar itu. Setelah mengucapkan selamat dan berbicara sedikit tentang pesta dan lain hal, dia menutup teleponnya. Kuurungkan rencanaku untuk menelepon Om Dans, karena pikiranku sudah teralihkan dengan berita yang baru kudengar dari Mas Bram. Aku memikirkan hal itu hingga jatuh tertidur.

#####

Pukul lima pagi aku bangun. Mandi, kemudian ganti pakaian olah raga dan memakai sepatu. Setelah itu turun ke bawah dan mulai lari. Hari sabtu udara pagi masih segar, karena lalu lalang kendaraan tidak seramai hari kerja. Tujuanku adalah taman yang dekat dengan apartemen. Sampai tujuan, sudah lumayan banyak orang yang datang. Baik lari-lari, jalan, senam atau sekedar duduk-duduk di bangku yang banyak bertebaran di sudut taman.

Setelah berlari keliling sepuluh kali, aku berjalan mencari bangku yang kosong. Setelah mendapatkan tempat duduk aku istirahat sejenak. Sepuluh menit kemudian aku melanjutkan dengan senam ringan, termasuk sit up dan push up. Saat itu aku merasa ada sepasang mata yang memperhatikanku. Aku cuek saja dan tetap meneruskan kegiatanku.

Aku baru menoleh saat mendengar suara yang menegurku. "Maaf Mas, boleh saya numpang duduk di sini?" tanya suara itu. Suara paling merdu dan lembut yang pernah kudengar. Dan saat aku menengok ke arah suara itu. Ya, Tuhan. Wajahnya luar biasa cantiknya, berbanding lurus dengan suaranya. Aku menatapnya hingga tidak berkedip, sampai dia mengulangi kembali pertanyaannya, aku baru sadar.

"Oh, silahkan Mbak," jawabku masih menikmati kecantikan wajahnya. Usianya antara 26 atau 27 tahun, tinggi dan berat tubuhnya proposional. Wajahnya bulat, matanya hitam bersih dan tajam, hidungnya mancung. Dia duduk, kemudian mengusap keringat yang membasahi mukanya. Setelah itu membuka botol mineral yang dibawanya, sungguh beruntung botol itu hingga bisa bersentuhan dengan bibirnya yang merah merekah. Giginya terlihat putih bersih dan berderet rapi, saat dia tersenyum padaku.

"Ada yang aneh dengan wajahku," tanya dia, tiba-tiba.

Aku menjadi salah tingkah, dan hanya bisa menggelengkan kepala. Aku diam beberapa lama, sambil berusaha menenangkan diri. Setelah merasa siap, aku mulai menyapanya. "Sendirian saja, Mbak?"

"Seperti yang anda lihat!" jawabnya singkat.

"Biasa ke sini?"

"Apa itu berpengaruh untuk anda?" jawabnya.

Mendengar jawaban seperti itu, membuatku sedikit keki juga. Baru kali ini ada wanita yang bersikap seperti itu saat berhadapan denganku, kecuali Sonia. Tapi sikapnya itu justru yang membuatku tertarik untuk mengenalnya lebih dekat.

"Namaku Gavin," ucapku sambil mengulurkan tangan.

Namun kali ini aku bertemu batunya. Dia tidak membalas uluran tanganku. Dia bangkit berdiri, "Maaf, aku tidak berkenalan dengan sembarang lelaki, apa lagi di jalan. Kalau menghormati wanita, datanglah ke rumahnya." ucapnya, sambil berlalu dari hadapanku.

Aku hanya bisa terbengong mendengar ucapannya itu. Rasa penasaran membuatku mengikutinya, dengan jarak cukup jauh. Entah tahu atau tidak, tapi beberapa kali dia menengok ke belakang. Walau begitu dia tetap jalan dengan santainya menuju tempat parkir. Aku hanya sempat melihatnya tersenyum padaku sebelum dia menutup pintu mobilnya, dan kemudian meninggalkan tempat itu.

#####

Aku masih memandang ke mana arah mobil itu melaju, walau bayangannya sudah menghilang lama. Aku baru sadar berdiri di tengah jalan, saat ada mobil yang memberi klakson ke arahku. Tapi saat aku sudah menepi ke pinggir jalan, mobil itu tetap saja memberi klakson beberapa kali. Aku memberi tanda pada mobil itu untuk lewat. Tapi untuk ketiga kalinya, suara klakson itu berulang.

Aku terpaksa memperhatikan mobil itu. Sebuah mobil yang masuk kategori mewah. Saat aku melihat ke arah mobil itu, pengemudi itu menyalakan lampu dim beberapa kali, seakan memberi tanda padaku. Aku segera mendekati mobil itu. Saat tanganku hendak mengetuk. Orang di dalam mobil itu lebih dulu membuka jendelanya. Hingga aku dapat melihat siapa orang yang berada di balik kemudi.

"Halo jagoan!" wanita itu lebih dulu menyapaku.

"Halo juga Bu Waa....,"

"Sssst....," wanita berkaca-mata itu memberi tanda padaku untuk menutup mulut, sebelum aku sempat menyelesaikan omonganku.

"Masuk aja Vin," ucapnya lirih, sambil membuka pintu.

Dia bergeser ke samping, memintaku duduk di kursi kemudi. Setelah itu dia segera memintaku untuk berlalu dari tempat itu.

"Kemana Mbak?" tanyaku, sambil melihat ke arahnya.

"Terserah kamu." jawabnya, dengan senyum menggoda.

Mendengar jawaban dan melihat senyumannya, aku mengerti maksudnya. Tanpa berpikir panjang, ku arahkan mobil sedan ini menuju apartemenku. Setelah sampai, aku persilahkan dia untuk masuk. Sambil menengok kanan-kiri, akhirnya dia masuk juga. Aku memahami apa yang dikhawatirkannya. Apa jadinya jika seorang wanita terhormat yang memimpin suatu kota, masuk ke apartemen seorang lelaki, dan hanya berdua.

"Disini aman, Mbak," ucapku, mengurangi ke khawatirannya.

"Tempat siapa, Vin?" tanyanya, masih ada nada cemas.

"Ini tempatku, dan hanya aku yang tinggal di sini. Jadi Mbak santai saja," ujarku.

"Baiklah, Mbak percaya padamu," ucapnya, sambil menaruh pantatnya di sofa.

"Ya harus percayalah! Namaku boleh tercemar, tapi tak mungkin aku mencemarkan nama baik Airin Rachmi Diany," ucapku sambil bertingkah konyol, hingga Mbak Airin tersenyum.

"Kau bisa saja, Vin," ucapnya, sambil melepas kacamata dan sweaternya.

"Aku memang serba bisa Mbak," ucapku, dengan mengedipkan mata menggodanya.

"Dasar perayu," ledeknya sambil menjulurkan lidah.

"Kalau aku bukan perayu, tidak akan kenal sama Mbak yang cantik," bantahku, tak mau kalah.

"Gombal," ucapnya, sambil melemparkan sweaternya ke arahku.

"Weks, tidak kena!" ledekku sambil menghindar. "Minum apa Mbak?" teriakku dari dapur.

"Apa aja," jawab Mbak Airin.

"Silahkan diminum Mbak," kataku, setelah menaruh secangkir minuman di hadapannya. "Aku mau mandi dulu, terserah Mbak Airin mau apa, anggap rumah sendiri," ucapku beranjak ke kamar mandi. Sebelum masuk kamar mandi aku berkata padanya, "Jangan ngintip ya, Mbak!" candaku. Yang membuat sebuah bantal melayang ke arahku. Aku segera masuk, dan tertawa terbahak-bahak di kamar mandi.

Selesai mandi dan memakai parfum, masih dengan bertelanjang dada aku keluar kamar. Di ruang tamu, Mbak Airin sudah melepas jilbabnya, dia sedang melihat acara tv, tubuhnya tiduran di sofa dengan santainya.

"Kok bisa sampai sini Mbak? Tidak di cari rakyatnya?" tanyaku, sambil duduk di depannya.

"Lagi ingin santai, Vin. Sudah lama tidak ambil libur." ucapnya. Dia kemudian bangkit dan duduk menghadap ke arahku. "Maaf, saat kamu menghubungi, waktu itu Mbak lagi sibuk sekali. Tidak sempat menghubungimu kembali. Maka dari itu, begitu ada waktu luang, Mbak datang ke sini menemuimu" lanjutnya.

"Menemuiku? Kangen ya?" godaku.

"Kalau iya, kenapa?" balasnya, sambil menggodaku dengan menggigit bibirnya, tangan kanan memainkan rambutnya yang panjangnya sedikit di bawah bahu, sementara tangan kiri memberi kode padaku untuk mendekatinya.

Melihat hal itu aku jadi tergoda juga. Apa lagi hampir dua bulan aku tidak bercinta. Kudekati tubuh Mbak Airin dan tanpa menunggu lama, aku menindihnya di atas sofa. Wajahku hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. "Aku juga kangen Mbak Airin," bisikku.

Sesaat kami hanya berpandangan, desahan hangat nafasnya kurasakan menerpa wajahku. Kutatap matanya, kulihat bibirnya merekah merah begitu indah sehingga membuatku tak tahan untuk tidak menikmati bibir indah tersebut. Kukecup lembut bibirnya dan kurasakan dia menyambut kecupanku, tetapi itu hanya sebentar karena Mbak Airin melepaskan bibirnya dan mendorong badanku.

Beberapa saat kami kembali hanya berpandangan, kupandang matanya dengan tajam dan kusimpulkan lewat bahasa matanya, bahwa dia merindukan dan menginginkanku. Tanpa ragu lagi aku langsung melumat bibirnya kuat-kuat dan dia juga membalasnya dengan penuh nafsu dan terjadilah ciuman panas yang penuh dengan gairah. Tubuhnya kusandarkan di sofa. Beberapa saat lamanya kami saling melumat bibir dan beradu lidah, nafas kami mulai terengah-engah.

Tanganku kuarahkan ke dadanya lalu kuremas buah dadanya dari balik gamisnya. Badannya mulai menggelinjang terbakar gairah. Mbak Airin melepas ciumannya, lalu dia lepaskan gamis dan BH yang dikenakannya. Sepasang payudara putih yang sangat indah berukuran besar yang masih kencang di usianya yang ke 36, kini terpampang di hadapanku. Walau bukan yang pertama kalinya melihat payudara Mbak Airin, tapi payudara itu tetap saja mempesonaku. Hingga tak sabar langsung kuserang payudaranya. Dengan penuh nafsu aku jilati, kulumat, dan kuhisap kedua payudaranya bergantian.

"Ooh.. Vin.. terus Vin.. nikmat.. sedot terusssh...," kata Mbak Airin sambil menggelinjang kesana kemari. Payudaranya makin keras dan kenyal kurasakan, hingga membuatku makin gemas untuk menikmatinya. Tanganku mengelus-elus pahanya, lalu dengan perlahan kuarahkan ke pangkal pahanya, kubuka resliting celananya, kumasukkan tanganku ke arah vaginanya yang ternyata telah basah, kuusap lembut vaginanya di atas celana dalamnya.

Menyadari Elang bisa datang kapan saja, aku bopong Mbak Airin dan membawanya ke kamar tidur. Aku rebahkan tubuh wanita cantik ini di atas ranjang lalu aku lepas celana yang masih menutupi sebagian tubuhnya dan kini dia telah benar-benar telanjang.

Aku terpana melihatnya. Seperti pertama aku melihatnya, satu tahun yang lalu. Mbak Airin nyaris sempurna sebagai seorang wanita. Pintar, kaya, terhormat dan memiliki kedudukan, badannya sexy, putih, mulus, dan sepasang payudara juga mengantung indah di dadanya.

Apalagi posisinya sekarang yang sangat menantang. Tubuh mulusnya telentang tanpa ditutupi sehelai benang pun. Posisinya di ranjang agak mengangkang, memperlihatkan bagian paling pribadinya tanpa malu-malu. Payudaranya yang indah, dengan putingnya yang mengacung membuatku semakin tak kuasa menahan nafsu. Hingga membuatku menelan ludah beberapa kali.

"Kok malah bengong, Vin? Sini jagoan, tunjukkan kejantananmu," kata Mbak Airin dengan genit.

Aku sadar dari kekagumanku dan segera kulepas celanaku, dan kini aku juga sudah telanjang bulat. Kurasakan penisku sudah tegang, keras dan berdenyut-denyut seperti biasanya. Segera aku naik ke atas ranjang, lalu aku berbaring di sebelah tubuhnya. Aku belai rambutnya, dia tersenyum manja. Kupandangi wajahnya, betapa cantik wanita ini, lalu aku kecup bibirnya. Mulutku mengecup dan mengulum bibir Mbak Airin yang hangat dan basah. Dia membalas dengan ganasnya. Dia menjulurkan lidahnya, dengan segera aku kulum lidahnya, terasa nikmat sekali.

"Ohh.. Vin..." desahnya dengan mata yang sayu.

Kini bibir merahnya yang indah penuh dengan air liurku. Setelah puas melumat bibir merahnya, aku ciumi lehernya lalu beranjak ke arah dadanya. Sesaat aku pandangi payudara milik wanita cantik ini. Benda bulat yang berukuran besar, yang membuat banyak orang mengkhayalkannya, dan aku tidak seperti orang lain yang hanya bisa mengkhayalkan, kini aku sedang menikmatinya.
Kuremas dengan gemas kedua payudaranya dengan kedua tanganku, terasa kenyal menggemaskan dan tidak membosankan untuk mempermainkannya. Ukurannya besar, indah bentuknya dan terawat, meski sudah pernah menyusui dua orang anak.

"Oouuffss.. ahh.. auwww...," erang Mbak Airin terus menerus.

Setelah tangan, kini mulutku yang mempermainkan payudaranya, aku kecup dan sedot puting payudara sebelah kanan dan kiri secara bergantian membuat Mbak Airin semakin terbakar gairahnya. Kuhisap kuat-kuat payudaranya sambil sesekali kugigit puting susunya. Dia mendesah-desah erotis sambil meremas-remas rambutku, menikmati sensasi permainan mulutku di dadanya.

"Auww.. Oh my god.. Ohh.. Auww...," Mbak Airin berteriak-teriak penuh kenikmatan, membuatku semakin bersemangat untuk terus menghisap dan mengulum payudara ibu walikota ini. Payudaranya terus kukulum, kuhisap, kujilati, dan kupelintir berulang kali membuatnya semakin terbakar gairah. Sejenak aku lepaskan mulutku dari payudaranya. Aku pandangi wajahnya yang terlihat sayu, wajahnya penuh dengan peluh, bibir merahnya bergetar.

Aku kembali melahap payudaranya sambil mempermainkan vaginanya. Kumasukkan jariku ke dalam lubang yang semakin licin karena cairan kewanitaannya yang mengalir deras. Klitorisnya kugesek-gesek hingga membuat tubuhnya menggelinjang tidak karuan kesana kemari.

"Sayang.. teruss.. sedot terus Vin.. aahh.. auww.. aahh...," erang Mbak Airin, penuh rasa nikmat.

Setelah puas bermain dengan payudaranya, kepalaku kini bergeser ke selangkangannya. Kupandangi vagina merah yang mengkilat karena basah oleh cairan kewanitaannya. Rumput hitam yang tumbuh di sekitarnya, terpotong rapi, pemandangan yang sangat menggiurkan. Kudekatkan mulutku dan tercium aroma khas wanita yang membuat nafsuku meningkat tinggi.

Setelah puas menikmati pemandangan itu, aku mulai menjilati vagina Mbak Airin, kujulurkan lidahku dalam-dalam sambil sesekali kusedot kuat-kuat. Setiap kali lidahku menggelitik klitorisnya, dia mengerang keras penuh kenikmatan.

Pinggulnya bergerak tidak karuan sehingga membuatku harus memegang pahanya agar aku tetap dapat menikmati vaginanya. Cairannya semakin deras mengalir, membuatku mau tak mau menghisapnya, terasa hangat dan gurih.

"Oh my God.. aahh.. terus.. enak Vin.. aauuww.. aaww...," Mbak Airin menjerit tidak karuan, apalagi ketika lidahku menyentuh klitorisnya, dia menjerit keras sambil menggelinjang kuat.

Aku benar-benar puas melihatnya seperti ini. Sesekali kulepas mulutku dari jepitan pahanya untuk mengambil nafas sejenak, lalu aku ulang lagi hal yang sama. Mbak Airin semakin keras mendesah, gerakan tubuhnya juga semakin tidak terkendali. Tampaknya dia akan segera mencapai puncak. Aku semakin mempercepat sedotan, kecupan, jilatan mulut dan lidahku di vaginanya.

"Ayo sayang.. aku mo kel.. luar nih.. ahh.. yang cepaat.. oohh.. sshh.. oohh...," katanya sambil menjerit-jerit kenikmatan. Aku percepat gerakan lidahku dan tak lama kemudian Mbak Airin orgasme, dia mengangkat pinggulnya, kedua pahanya mengapit kuat kepalaku, dan kurasakan cairan yang sangat banyak menyiram mulutku.

"Ohh.. yeaahh.. Oh my God.. oohh.. oohh..." Mbak Airin mendesah panjang ketika berhasil mencapai puncak kenikmatan.

Kuhisap cairan yang keluar. Badannya bergetar hebat beberapa saat. Mulutku tetap di pangkal pahanya, membiarkan dia menikmati apa yang baru saja diraihnya. Kukecup lembut bibir vaginanya yang masih berdenyut-denyut mengeluarkan sisa-sisa cairan.

Aku lalu berbaring di sebelahnya sambil membelai rambutnya. Kulihat wajahnya penuh dengan keringat, telihat kepuasan terpancar dari wajah cantiknya. Kukecup lembut bibirnya.

"Thanks Vin.. Mbak puas banget...," kata Mbak Airin.

"Mau dilanjut atau sudah Mbak?" tanyaku menggoda.

"Iya, tapi Mbak juga ingin menikmati punya kamu dulu," katanya sambil menggenggam penisku.

Aku mengerti apa yang diinginkannya, aku lalu telentang dan dia mengarahkan mulutnya ke arah penisku. Tangannya menggenggam batang penisku lalu dikecupnya ujung penisku, dia mulai menjilati kepala dan batang penisku sambil dikocok-kocok dengan tangan lembutnya.

Kemudian dimasukkannya penisku ke dalam mulutnya dan dapat kurasakan dia begitu pintar memainkan lidahnya menggelitik penisku. Disapunya semua permukaan penisku mulai dari bawah hingga ke atas, permainan lidahnya dengan lincah menggelitik setiap mili bagian penisku. Aku bagai melayang ke awang-awang, aku hanya bisa mendesah meresapi betapa pintarnya Mbak Airin memainkan penisku. Kalau ini berlangsung lama, bisa-bisa jebol pertahananku.

Setelah beberapa lama Mbak Airin puas menikmati penisku, dia melepaskan mulutnya. "Vin, puasin Mbak sekarang yaah...," katanya sambil telentang di sampingku.

Aku segera mengarahkan penisku ke arah vaginanya. Kini penisku telah sampai di mulut vaginanya, kepala penisku menempel di bibir vaginanya yang merah basah. Aku mulai melesakkan penisku ke dalam vaginanya dengan perlahan, sambil kunikmati nikmatnya gesekan batang penisku dengan dinding vaginanya.

Penisku tidak mengalami kesulitan membelah vaginanya yang sudah sangat basah. Kulihat Mbak Airin juga menikmati hal ini, matanya terpejam meresapi sensasi gesekan alat kelamin kami sambil menggigit-gigit sendiri bibirnya. Aku mulai menggerakkan pinggulku pelan-pelan. Kurasakan gesekan penisku dengan vaginanya begitu nikmat, mungkin karena lama aku tidak merasakannya. Mbak Airin seperti biasa, dia mendesah-desah, matanya merem melek menikmati dan pinggulnya digoyangkan mengimbangi permainanku.

"Ouffss.. yaah.. lebihh.. cepat Vin, aahh...," desah Mbak Airin.

Tapi aku tidak menggubris permintaannya. Gerakan pinggangku masih tetap pelan, karena aku memang benar-benar ingin menikmati momen bercinta dengan wanita cantik ini. "Oohh.. please.. yang cepat Vinn.. ahh.. Mbak mohon...," kata Mbak Airin merengek.

"Kenapa Mbak? Sudah tidak tahan ya...?" godaku.

"Kamu nakal Vin.. Ohh.. Please...," desah Mbak Airin sambil mencubit pinggangku, tapi aku tetap tidak mempedulikan permintaannya.

Tiba-tiba Mbak Airin membalikkan badan sehingga kini dia yang berada di atas. Lalu dia bangkit dan duduk di atas pahaku. Rupanya wanita cantik ini benar-benar sudah tidak tahan. "Kamu nakal Vin...," katanya sambil mengarahkan vaginanya ke arah penisku. Digenggamnya penisku dengan tangannya, lalu dengan perlahan dia menurunku pinggulnya, dan tak lama kemudian penisku telah amblas ditelan bibir vaginanya. Dengan posisi agak membungkuk, tangannya berpegangan di atas dadaku untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

Ini adalah salah satu posisi favoritku, seperti halnya ketika aku bercinta dengan yang lain. Dengan posisi ini aku bisa melihat dengan leluasa ekspresi seorang wanita yang sedang dikuasai nafsu birahi dan sedang menaiki tangga nafsu untuk meraih puncak kenikmatan.

Mbak Airin menggerakkan pinggulnya naik turun sampai sebatas leher penisku dengan tempo yang cepat. Karena terlalu cepat, kadang-kadang penisku lepas dari jepitan vaginanya, sehingga dia terpaksa memasukkanya lagi. Mulutnya mendesis-desis sambil menggigit bibir bawahnya dengan giginya yang putih bersih.

Matanya yang sayu sesekali melirik ke arahku. Wajahnya dipenuhi keringat. Sungguh sexy! Sepasang payudaranya yang indah dengan puting coklat kemerahan yang mengacung ke depan terguncang menggemaskan, membuatku tidak tahan untuk tidak menjamahnya. Kuremas lembut kedua payudara yang kenyal itu, sambil sesekali kupuntir puting susunya.

"Ohh.. aagghh.. sshh.. aahh.. Enak tidak, Vin...," jeritnya nikmat.

"Ohhh.. iya Mbak.. teruss...," kataku yang juga dilanda rasa nikmat.

Sepuluh menit kemudian kurasakan ada gejolak dalam diriku yang mencari jalan keluar. Kulihat Mbak Airin juga semakin dikuasai nafsu birahi. Keringat semakin mengucur deras dari seluruh tubuhnya. Dia menghentikan gerakan pinggulnya sambil merebahkan tubuhnya di atasku.

"Mbak tidak kuat lagi Vin..., bikin Mbak puas sekarang ya...," katanya penuh harap.

Aku lalu membalikkan badannya, kini dia kembali berada dibawah. Aku mulai memompa vaginanya dengan cepat, karena aku juga ingin segera mencapai puncak kenikmatan itu. Terdengar bunyi berkecipak dari gesekan antara penis dan vaginanya, terdengar indah, dan menggairahkan.

"Aahh.. sshhh.. aarghh.. ayoo Vin.. yaah.. lebih cepat...," rintihnya sambil mempercepat gerakan pinggulnya mengimbangi gerakan pinggulku.

Setelah berjuang beberapa lama, akhirnya Mbak Airin mendapatkan apa yang diinginkannya. Senang rasanya melihat Mbak Airin orgasme sambil menggelepar-gelepar seperti ikan kekurangan air. Dia menghentak-hentakkan kakinya seperti ingin melepaskan sesuatu yang seakan teramat berat. Dia juga menjerit-jerit dan mengerang-ngerang keras melampiaskan kepuasan yang baru saja diraihnya. Hingga pundakku menjadi korban gigitan gemasnya. Pinggulnya terangkat ke atas, tangannya mencengkeram pantatku, kemudian ditekannya ke arah bawah.

"Oh my God.. oh my God.. oggh.. yeah.. aaww.. ssshh.. aaahh..." Mbak Airin mengerang kenikmatan dan menjerit panjang.

Kurasakan cairan orgasmenya menyiram batang penisku yang terjepit di dalamnya. Kuhentikan sejenak gerakan pinggulku untuk memberikan kesempatan dia menikmati hasil perjuangannya. Beberapa detik lamanya dia dilanda puncak birahi, kurasakan jepitan vaginanya kuat seakan-akan meremas-remas penisku. Setelah badai kenikmatan yang melandanya mulai reda, kucumbu bibirnya yang masih mendesis-desis merasakan sisa-sisa kenikmatan.

Aku yang juga ingin segera mendapatkan seperti apa yang baru diraih Mbak Airin, apalagi ditambah dengan jepitan liang vaginanya membuatku tidak kuat lagi untuk menahannya. Aku mulai menggerakkan pinggulku lagi dengan perlahan lalu kupercepat dan tidak lama kemudian akupun merasa tak kuasa lagi untuk menahannya.

"Aku mau keluar Mbak.. ahh.. sshh...," desahku.

"Keluarin di dalam saja Vin.. ayo sayangg...," Katanya sambil menggoyangkan pinggulnya. Akhirnya spermaku keluar dengan deras menyembur ke dalam rahimnya. Cret.. Cret.. Creeet... Kurasakan beberapa kali dan liang vagina itupun semakin banjir, terasa hangat. Kurasakan penisku tegang-setegangnya, serasa memenuhi lubang vagina Mbak Airin. Nikmat luar biasa kurasakan, bagai terbang di angkasa.

Aku terbaring lemas di atas tubuh Mbak Airin. Aku cumbu bibirnya sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang baru saja kami raih. Kubelai rambutnya sambil kuusap pipi halusnya yang penuh dengan keringat. Penisku terasa mengecil di dalam liang vaginanya. Kurasakan dua buah dadanya menekan lembut dadaku.

Beberapa saat kemudian aku turunkan badanku dan tidur di samping badan wanita cantik ini. Mataku menerawang ke langit-langit kamar meresapi kenikmatan yang baru saja kudapatkan.

"Terima kasih Vin, kamu telah memberi Mbak kepuasan," ucapnya tersenyum manja, sementara tangannya mengusap-usap pipiku dengan mesra.

"Sama-sama Mbak, aku juga sangat menikmati hal ini. Lebih-lebih lagi kalau Mbak merasa puas," jawabku sambil membelai rambutnya.

"Vin, masih ingat kapan pertama kali kita bertemu?" tanya Mbak Airin.

"Ingat, 364 hari yang lalu," ucapku pasti.

Suasana kembali hening untuk beberapa saat. Sampai kemudian dia kembali bertanya, "Kita sudah berapa kali ketemu?"

"Enam kali dengan hari ini, memang kenapa Mbak?" ucapku.

"Tidak kenapa-kenapa," jawabnya. Matanya menatap langit-langit kamar. "Kau memang lelaki istimewa Vin. Tidak heran kalau banyak wanita ingin dekat dan mendapatkanmu," lanjutnya. Sementara aku hanya diam, tidak tahu arah pembicaraannya.

"Mbak mau memberi hadiah padamu, kamu mau menerima pemberian Mbak?" tanya Mbak Airin tiba-tiba.

"Tidak perlu Mbak, aku ini Pecinta Wanita, aku melakukannya berdasarkan kesukaan. Jadi bukan karena ingin mendapatkan hadiah atau bayaran." jawabku dengan nada kurang senang.

"Mbak mengerti Vin. Tapi bukan itu yang Mbak maksud. Anggap saja ini karena kekaguman Mbak padamu, karena kebaikan dan perhatianmu. Atau anggap hadiah ulang tahun dari teman, kakak, atau apalah menurutmu. Mbak tidak tahu kapan lagi kita bertemu, maka dari itu Mbak memberikan hadiah ini sebelum ulang tahunmu. Mbak berharap kau mau menerimanya, kalau tidak Mbak akan marah padamu," ucapnya dengan muka sedih.

Dan seperti biasa, aku tidak bisa melihat wanita sedih di depanku. Maka dengan terpaksa aku menjawab, "Baiklah, aku terima pemberian Mbak Airin. Tapi aku harap Mbak jangan berpikiran negatif padaku," ujarku.

"Pasti Vin," jawab Mbak Airin, tersenyum lebar. "Tapi nanti sore ya, Mbak masih kangen sama kamu," ucapnya dengan manja.

"Mbak masih mau lagi," tanyaku menggoda.

"Mau, tapi nanti ya, kita istirahat dan makan dulu. Kamu pesan makanan, Mbak mau mandi dulu," ujarnya beranjak ke kamar mandi.

Saat aku keluar dari kamar, ternyata Elang ada di ruang tamu. Dia hanya tersenyum melihat tampilanku, "Siapa?" tanya Elang saat aku duduk di hadapannya.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum, sambil membuka botol air mineral yang baru kuambil dari lemari pendingin. "Mbak Tika, Mbak Ina, Mbak Rani, Bu Dokter, Ibu Politikus atau Bunda Artis," tanya Elang, dengan mata masih tertuju ke layar laptop.

"Bukan," jawabku. "Kau sudah lama pulang?" balasku.

"Korban baru? Sudah setengah jam, kau yang sedang asyik di kamar pasti tidak dengar aku datang. Tapi aku yang berada di luar mendengar semuanya, sampai merinding mendengarnya," jawab Elang sambil menutup laptopnya.

Aku hanya tersenyum, kuangkat hp, kemudian menekan nomer untuk pesan makanan. "Kau mau makan pakai apa Lang?" tanyaku.

"Tidak usah Vin, baru saja aku makan. Ini juga mau pergi lagi. Sebenarnya aku mau ngomong sesuatu. Tapi besok juga tidak masalah. Selamat bersenang-senang saja," ujarnya tersenyum, kemudian beranjak menuju pintu. Tapi sebelum sampai pintu, Elang berhenti, memutar tubuhnya, kemudian bertanya, "Ngomong-ngomong siapa Mbak yang ada di dalam, mendadak aku jadi penasaran, haa..haa..," ucapnya, kemudian tertawa.

"Ibu Wali kota," jawabku lirih.

Elang diam sejenak, kemudian "ARD," ucapnya tidak yakin. Setelah aku membenarkan, barulah dia manggut-mangut. Kemudian mengacungkan jempolnya padaku. Setelah itu dia keluar.

"Pesanannya sudah datang, Vin?" tanya Mbak Airin keluar dari kamar. Badannya yang terbungkus handuk ketat, membuat dadanya tertekan seakan mau tumpah, sehingga membuatku tertegun dan menelan ludah. Sampai Mbak Airin menegurku, "Ditanya malah bengong."

Mbak Airin berjalan menuju sofa, mengambil pakaiannya yang berserakan. Melihat goyang pinggulnya saat berjalan, membuatku bernafsu lagi. Kudekati Mbak Airin dan kupeluk erat tubuhnya dari belakang. Kuciumi tengkuknya hingga dia menggelinjang. "Ahh... Sabar dulu Vin.. Achh...," desahnya.

Mbak Airin berusaha lepas dari pelukanku. Tapi tak kubiarkan. Kubalikkan tubuhnya dan kulumat bibirnya. Awalnya Mbak Airin menolak, tapi akhirnya membalas lumatan bibirku dengan pagutan-pagutan yang tidak kalah panasnya. Cukup lama kami bercumbu, dan mulut kami saling lepas, saat terdengar ketukan di pintu. Kami saling berpandangan untuk beberapa saat dengan nafas terengah-engah. Mbak Airin memberi kode untuk membuka pintu. Ternyata orang mengantarkan pesanan makanan.

Setelah orang itu pergi, tanpa mempedulikan makanan yang sudah datang, Mbak Airin mendekatiku, menarik aku untuk duduk disofa. Menarik celanaku, kemudian berjongkok dihadapanku. Diraihnya batang penisku yang belum terlalu keras. Dielus-elusnya lembut kemudian dikocok-kocok dengan tangannya. Setelah penisku mengeras Mbak Airin menyudahi kocokannya, dia mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Lidahnya dijulurkan dan mulai menjilati kepala penisku. Lidahnya berputar-putar di kepala penisku, kemudian turun ke pangkalnya.

"Oohh.. terus.. Mbak.. Yaah... Oh..," desahku. "Isappp.. Mbak.. Isapp oh yaaah...," pintaku.

Mbak Airin menuruti kemauanku. Dimasukkannya penisku ke mulutnya. Hampir sepertiga batang penisku masuk ke mulutnya. Sambil tersenyum padaku, dia mulai memaju-mundurkan mulutnya, membuat penisku keluar masuk di mulutnya.

"Mbak.. Akhu.. Takh.. Tahann," seruku.

Mbak Airin melepas handuknya, kemudian naik ke pangkuanku. Vaginanya tepat berada di atas selangkanganku. Diraihnya penisku dan dibimbingnya ke lubang vaginanya. Mbak Airin kemudian menurunkan pantatnya, sedikit demi sedikit batang penisku masuk ke lubang vaginanya semakin lama semakin dalam. Hingga seluruh batang penisku masuk ke lubang vaginanya. "Oughhh....," lengguhnya.

Mbak Airin diam beberapa lama, menikmati penisku yang menganjal lubang vaginanya. Sesaat kemudian Mbak Airin mulai menaik-turunkan pantatnya. Payudaranya yang besar ikut berguncang ke sana-kemari mengikuti gerakan naik-turun tubuhnya.

Kumasukkan puting susunya yang tepat berada di depan mulutku. Kusedot-sedot hingga dia pun menggerang kenikmatan. "Ohh.. aagghh.. sshh.. aahh...," jeritnya. Digoyang-goyangkan pantatnya ke kanan dan ke kiri. Aku tak mau kalah, kusodok-sodokkan pantatku ke atas seirama dengan goyangan pantatnya.

"Ohh.. Vin.. Aku.. Mauu.. Ke.. luarrr," teriaknya setelah hampir sepuluh menit menggoyang tubuhku. Dan kurasakan otot-otot vaginanya menegang. Tangannya mencengkeram dadaku dengan keras. "Oh.. oggh.. yeah.. aaww.. ssshh.. aaahh..." Mbak Airin mengerang kenikmatan. Sesaat kemudian kurasakan cairan hangat merembes di lubang vaginanya.

"Kau belum selesai sayang," ucapnya sambil mengecup keningku. "Aku tahu kesukaanmu," ucapnya tersenyum. Dia bangkit dari posisinya hingga penisku keluar dari lubang vaginanya, kemudian berjongkok kembali dihadapanku. Mbak Airin memainkan penisku sebentar, kemudian menjepit batang penisku diantara kedua payudaranya yang besar. Perlahan Mbak Airin mulai menaik turunkan payudaranya. Gesekan penisku diantara kedua payudaranya membuatku merasakan nikmat yang tiada taranya.

Cukup lama Mbak Airin menggoyang-goyangkan payudaranya, sampai dia kelelahan. Kemudian kami berganti posisi. Aku minta dia menungging membelakangiku dengan tangan bertumpu pada sofa. Kugenggam penisku dan ku arahkan tepat ke lubang vaginanya. Kudorong sedikit demi sedikit, sampai seluruhnya amblas tertelan lubang vaginanya.

Lalu kudorong pantatku maju mundur. Kurasakan nikmatnya lubang vagina Mbak Airin. Sambil kumainkan klitorisnya yang menyembul dengan jari-jariku. Membuat nafsu birahi Mbak Airin menggila. "Auuuhh... ahhh.... yaah.... ohhhh....," erangnya. Mbak Airin mengimbangi gerakanku dengan mendorong-dorong pantatnya seirama gerakan pantatku.

Aku semakin mempercepat gerakan pantatku, ketika kurasakan akan mencapai orgasme. Demikian juga jari-jariku semakin cepat memilin klitorisnya. "Ya, terus Vin... ouhhh shhss...," erang Mbak Airin.

"Mbak.. Mbak.. Akuu.. Mau.. Keluar," seruku.

"Mbak.. Juga.. Vin," sahutnya.

Cratt.. Craatt... Crreeetss... dalam waktu yang hampir bersamaan, kami mencapai orgasme. Tubuh kami rubuh ke sofa. Setelah diam sebentar, aku bangun dari atas tubuhnya kemudian duduk di sofa. Saat itulah terdengar bunyi telepon. Mbak Airin mengambil handphone yang ada di dalam tasnya. Sebelum menjawab panggilan itu dia memberi kode padaku untuk diam.

Tidak ingin mengganggunya aku bangun dan melangkah ke dapur. "Ada apa Mbak?" tanyaku sekembalinya dari dapur.

"Tidak ada apa-apa. Tapi sepertinya waktu kita tidak banyak lagi. Nanti kita makan di luar saja ya, sekalian mengambil hadiahmu," ucapnya. Dia kemudian mengambil kembali handuk yang tadi dipakainya. Aku menyusul dia ke kamar mandi. Kami mandi bersama, saling menyabuni hingga nafsu kami kembali timbul dan melakukan quickie seks di dalam kamar mandi.

Satu jam kemudian kami sudah sama-sama rapi. Mbak Airin membuka tas kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. "Mbak hanya bisa memberi ini, semoga kau mau menerimanya," ujarnya sambil menyerahkan benda itu. Surat kendaraan bermotor lengkap atas namaku.

"Apa ini tidak terlalu mahal Mbak?" tanyaku, melihat merk dan tipe kendaraan yang tertera di surat itu.

"Tidak, Vin. Harga itu terlalu murah untuk dirimu. Tapi saat ini hanya itu yang bisa Mbak berikan. Terimalah," ucapnya memohon.

"Ta.. Tapi Mbak!"

"Sudahlah, tidak ada tapi-tapian. Mari kita berangkat ambil barangnya," ucapnya memotong perkataanku.

Tanpa memberi kesempatan padaku untuk membantah Mbak Airin sudah melangkah keluar. Aku terpaksa mengikutinya. Sampai di tempat parkir, dia memintaku untuk menyopirinya membawa ke sebuah dealer motor. Dalam perjalanan dia menjelaskan, sejak awal dia memang mau memberikan hadiah untukku. Tiga bulan lalu, dia memesan sepeda motor itu, tapi tiga hari berselang motor pesanannya baru tersedia. Dengan koneksinya mudah saja bagi dia untuk mengurus segala sesuatunya.

Setelah sampai dealer yang dituju, Mbak Airin keluar dan masuk ke dealer itu. 10 menit kemudian seorang montir memanggilku. Dia membawaku untuk mengecek sepeda motor itu. Setelah segala sesuatunya beres, aku kembali ke depan. Sebelum berpisah Mbak Airin mengajakku berbicara di dalam mobil. Hampir tiga puluh menit kami berbicara, dan diakhiri dengan ciuman bibir yang panas menggelora. Mungkin akan lama bila tidak ingat bahwa itu di tempat umum. Kami akhirnya berpisah. Mbak Airin pulang membawa kepuasan, sementara aku membawa pulang sebuah sepeda motor Kawasaki Ninja ZX14r.
 


Chapter XXXIII : End of Beginning II

Tiga minggu berlalu sejak pertemuanku dengan Mbak Airin. Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku kantor yang menjadi tanggung jawabku. Aku juga sudah mengajari apa yang harus dilakukan penggantiku. Acara perpisahan di kantor juga sudah dilaksanakan. Begitu dokumen dan barang-barang yang kuperlukan semua sudah siap. Aku putuskan untuk pulang dulu ke rumah orang tuaku di Pekalongan.

Sepuluh hari aku berada di Pekalongan. Berkunjung ke rumah kakek-nenek, pakde-bude, paman-bibi, semua saudara dan teman-teman. Berkunjung ke makam Om Gian dan Mbak Dita dua kali. Tentu tidak lupa ke rumah Mbak Tika. Dia tampak sedih saat aku memberitahu tentang tugas belajarku yang akan memakan waktu 1 atau 2 tahun. Walau sedih tapi Mbak Tika tetap mendukungku, karena itu demi masa depanku.

Sehari sebelum kembali ke Jakarta, aku bercinta habis-habisan dengannya. Ayah, Ibu dan Mbak Tika sebetulnya memintaku untuk menunda kepulanganku ke Jakarta. Apalagi beberapa hari lagi adalah ulang tahunku, dan mereka berharap aku merayakannya di Pekalongan. Tapi dengan adanya sesuatu hal, terpaksa aku tidak bisa menundanya.

Hari ini aku pulang kantor sendiri, Dion dan Fariz yang biasanya pulang bareng, masih ada tugas. Tadi sebelum pulang mereka memberitahu, bahwa acara perpisahanku dengan teman-teman akan dilaksanakan besok malam, dan tempatnya akan diberitahu besok pagi. Seperti biasa, jam pulang kantor adalah waktu yang menyebalkan, macet dimana-mana. Tapi tidak terlalu menyebalkan bagiku, karena dengan sepeda motor lebih mudah bermanuver untuk mencari jalan yang tidak terlalu macet. Ya, ZX14R pemberian Mbak Airin kini jadi tungganganku sehari-hari.

Saat berhenti di lampu merah, sebuah pengendara motor Ducati berhenti di sampingku. Aku melirik sejenak, tidak terlihat wajahnya, karena memakai helm full face. Setelah beberapa belokan ternyata pengendara itu masih berada di belakangku. Aku berfikir mungkin dia menuju arah yang sama. Kecurigaanku timbul saat dia mengikuti tindakanku. Saat aku mengisi bahan bakar, dia ikut masuk SPBU, walau tidak mengisi bahan bakar. Saat keluar dari SPBU, aku coba untuk menggeber gas, ternyata dia ikut tarik gas.

Ketika berhenti lagi di lampu lalu-lintas, dia mengambil tempat di depanku. Saat itulah dia memainkan gas, tampaknya dia tidak peduli jadi perhatian pengendara lain. Saat beberapa detik menjelang lampu hijau dia menoleh kearahku, menunjukku, kemudian mengacungkan jari tengahnya ke arahku, setelah itu dia segera menarik gas dan melaju cepat.

Tampaknya dia memang sengaja ingin menarik perhatianku, dan dia berhasil. Aku segera mengejarnya. Ternyata dia adalah pengendara yang sangat handal. Mengerem dan menarik gas selalu tepat di lakukannya. Aku sendiri belum tentu bisa melakukan hal seperti itu. Dia seperti mengajakku bermain-main, dan harus kuakui, bahwa saat ini aku kalah. Hingga jarak di antara kami tidak berubah.

Aku pikir percuma mengejarnya, maka aku putuskan untuk pulang. Setelah istirahat sejenak, aku ganti baju, kemudian turun menuju taman apartement. Aku menuju lapangan basket yang baru dibuat dua minggu lalu. Walau cuma setengah lapangan, tapi lumayan bisa untuk bermain. Setelah pemanasan, aku lalu ikut bermain. Tidak banyak yang ikut bermain, karena cuacanya mendung.

Dan benar saja, saat permainan berlangsung seru, tiba-tiba hujan turun, walau tidak deras tapi tetap saja menghentikan permainan. Dengan alasan hujan, akhirnya mereka semua pulang. Kini tinggallah aku meneruskan permainan sendiri. Hal ini mengingatkan aku pada masa lalu. Ya, dulu aku sering bermain bola basket sendiri di belakang rumah, kalau ada Om Gian aku akan bermain dengannya. Aku ingat, yang membuat ring basket adalah Om Gian. Kalau ayah tidak suka bola basket, jadi aku jarang bermain dengannya.

Kenanganku pada masa lalu terusik saat kudengar suara kendaraan yang mendekati lapangan. Aku segera menoleh untuk melihat siapa orang itu. Ternyata pengendara yang tadi berkejaran denganku. Dia mematikan mesin motor Ducati Panigale 1199 nya, kemudian turun dan mendekatiku.

Saat itu aku baru sadar, tubuhnya tidak sebesar motor tunggangannya. Tingginya sekitar 173 cm, tubuhnya langsing dan bagian dadanya menonjol. Apakah dia wanita, pikirku. Aku jadi ingat Sonia, apakah dia Sonia? Dan itu terjawab saat dia membuka helmnya.

Tampaknya dia bukan Sonia, walau aku belum jelas melihat wajahnya karena hari sudah senja dan mendung. Sinar lampu juga terhalang tubuhku. Aku bergeser sedikit, saat itulah aku dapat melihat wajahnya dengan sejelas-jelasnya. "Ya, Tuhan," gumamku melihat kecantikan wanita di depanku. Wajahnya seperti bidadari dalam lukisan. Apalagi wajahnya juga khas Oriental. Kulit putih, matanya jernih, hidung dan mulutnya kecil, tapi pas di wajahnya. Kecantikannya tidak berada di bawah Sonia maupun wanita yang kutemui dua minggu yang lalu.

Aku tersadar saat dia mengambil bola dari tanganku. Dia melempar bola, kemudian berlari dan melompat menangkap bola yang terpantul oleh papan ring dan langsung memasukkan bola itu. Sebuah gerakan Alley Loop yang indah dilakukannya.

Dia kembali mengambil bola, mengangsurkannya padaku. Saat aku akan mengambilnya, dia mengecohku dengan memutar tubuhnya, kemudian men-drible sebentar dan melempar bola itu 'Plaash' bola itu masuk dengan mudahnya dari jarak cukup jauh.

Cewek itu kembali mengambil bola. Kemudian melemparkannya padaku."One on One, 10 point. Yang menang boleh bertanya," ucapnya menggunakan bahasa Inggris. "Deal," lanjutnya, sambil mengulurkan tangan.

Untuk mengetahui apa maksud dan tujuannya, mau tidak mau aku harus setuju. Maka aku menyambut tangannya, "Deal," ucapku.

Setelah melepaskan tangannya, dia membuka jaket kulitnya dan melemparkannya kebelakang. Dia melepas scarf yang melilit lehernya, kemudian mengikat rambutnya dengan scarf itu. Kini berdiri di hadapanku seorang wanita memakai tanktop hitam, kontras dengan kulitnya yang putih mulus.

Di bawah siraman air hujan. Kami bersiap, aku lalu menghitung "One, Two, Three." Setelah angka tiga aku melempar bola itu ke atas. Aku juga langsung melompat untuk menangkap kembali bola itu, tapi aku kalah satu langkah. Dia lebih dulu merebut bola itu, dan dengan cepat men-drible ke depan. 1 - 0.

Dia ternyata jago juga bermain bola basket. Beberapa menit kemudian kedudukan sudah berubah menjadi 8 - 0. Tinggal dua bola lagi, dan aku akan kalah. Kelelakianku akhirnya terusik juga. Aku tidak mau kalah, apalagi dengan skor telak seperti ini. Aku harus serius dan konsentrasi, pikirku dalam hati. Kuakui sejak awal aku kurang serius. Perhatianku lebih tertuju pada wajah dan gerak-geriknya, bukan bola. Gerak-geriknya memang menarik, bukan seperti orang bermain basket, tapi lebih mirip orang menari. Hal itulah yang membuatku kurang konsentrasi, hingga dia mudah memperdayaku.

Aku mulai men-drible sambil maju, dia menghadangku. Aku tidak membiarkan dia untuk merebut bola lagi. Semua kemampuanku aku kerahkan, dulu waktu SMP-SMA aku pernah ikut kejuaraan basket hingga tingkat nasional. Jadi paling tidak, kemampuanku tidak memalukan. Aku segera mengejar ketinggalanku. Kedudukan berubah 9 - 9.

Bola terakhir, dia yang memegang bola. Dia maju, aku menghadang, dia mendesakku dengan punggungnya hingga aku dapat mencium keharuman bau tubuhnya. Hal inilah yang dilakukan sejak tadi. Untuk mendesak tubuhnya tentu aku tidak enak hati, karena dia wanita.

Saat aku lengah dia segega melepaskan diri melewati lenganku. Dia segera menuju ring, tapi aku tidak membiarkannya. Saat dia melakukan Lay up, aku melompat dan berhasil mengeblok tembakannya. Bola terlempar dan aku berhasil mengejarnya. Dengan cepat aku berlari menghindari hadangannya, dan 'plaassh' permainan berakhir dengan 9 - 10, nilai terakhir kuperoleh dengan Dunk.

Kami berdiri dengan nafas terengah-engah. Sementara hujan sudah reda. Setelah diam beberapa lama, akhirnya dia membuka suara, "Kau menang, besok aku akan menemuimu lagi," ucapnya. Dia melangkah ke arah motornya, memakai kembali jaketnya, naik kemotornya, kemudian menyalakan mesinnya.

"Tunggu!" kataku sebelum dia memakai helmnya.

"Kau tidak percaya padaku!" ucapnya dengan tersenyum.

"Aku percaya, aku hanya ingin tahu namamu," ujarku tetap tenang.

"Namaku Megan Reis," jawabnya singkat. Setelah itu dia segera meninggalkan tempat itu.

#####

Megan Reis, pikiranku masih tertuju padanya. Siapa dia dan apa tujuannya? Itu yang menjadi pertanyaanku. Melihat tata bahasanya sepertinya orang luar, tampilannya juga bukan wanita sembarangan. Tujuannya pasti bukan hal yang sepele. Hingga tengah malam aku belum bisa memejamkan mata karenanya. Saat aku hampir terlelap, ponselku berbunyi. Jam di dinding menunjukan waktu, 12 malam lebih 1 menit. Kulihat nama pemanggil di layar, Mbak Tika. "Malam Mbak," sapaku.

Lima menit kemudian dia baru mengakhiri pembicaraannya. Mbak Tika mengucapkan Selamat Ulang Tahun, kemudian bertanya mau hadiah apa? Dia ingin merayakan ulang tahunku di sini, tapi tidak tahu bisa atau tidak.

Baru saja aku meletakkan ponselku, benda itu kembali berbunyi, Mbak Ina yang menelepon. Dan kejadian itu terus berulang. Setelah Mbak Ina, dilanjut Mbak Rani, Mbak Lula, Mbak Airin, Mbak Venna, Bunda Maia dan disambung lainnya, hingga jam 2 malam, ponselku baru berhenti. Itu yang panggilan suara, belum yang kirim pesan baik lewat SMS, media sosial, maupun email.

Entah aku tertidur jam berapa, saat terbangun sinar matahari sudah cukup tinggi. Dengan agak sedikit malas aku bangun dari tempat tidur. Gerak badan sebentar, cuci muka, ambil koran, lalu membuat minuman. Setelah minum secangkir teh hangat, aku keluar untuk sekedar olah raga ringan. Satu jam kemudian aku sudah kembali ke dalam apartemen.

Kulihat ponsel, ada beberapa pesan dan email yang masuk. Kubaca satu-persatu, masih sama pesannya, banyak yang mengucapkan selamat ulang tahun. Dari Dion dan Fariz sama, mereka berdua memberitahu tempat pesta perpisahan yang akan dilaksanakan nanti sore.

Ada dua Email yang menarik perhatianku. Pertama dari India, email dengan nama Sonia Sinha, dia mengucapkan ulang tahun. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, tapi nama keluarganya. Sinha, nama keluarga yang sama dengan Megha Sinha, wanita yang menurut Yudi adalah sumber permusuhan antara Om Gian dan Narendra Wijaya.

'Apakah aku harus menanyakannya pada Sonia? Tapi kalau lewat email sepertinya kurang pantas. Apakah aku harus menemuinya biar jadi jelas? Baiklah aku akan menemuinya, sebelum aku memulai tugas belajarku.' ucapku dalam hati.

Email yang kedua membuatku menarik dahi. Sebuah email dari Bolognese, Italia. Walau dari Italia, untungnya emailnya memakai bahasa Inggris, jadi aku tahu apa isi emailnya. Awal kalimat adalah sebuah ucapan selamat ulang tahun. 'Apa lagi ini maksudnya? Dalam pengetahuanku, aku tidak punya saudara atau teman orang Italia ataupun yang tinggal di sana!' ucapku dalam hati.

Untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku putuskan untuk membacanya sampai akhir, dan aku baca sampai dua kali hingga aku paham benar maksud emailnya. Tapi sampai tiga kali membaca, hanya sebagian kecil yang kumengerti. Selain ucapan selamat ulang tahun, email itu memberitahukan bahwa mobil pesananku sudah jadi. Bisa di ambil atau di kirimkan dan pemberitahuan lainnya soal mobil itu.

Aku termenung sambil berpikir, apakah itu valid, atau penipuan seperti yang biasa kuterima, kalau ini bukan penipuan, apa mereka salah kirim? Tapi tak mungkin, selain mereka perusahaan yang sangat besar, nama lengkapku juga tertulis jelas, dan semua data tentangku juga benar.'

Aku jadi bingung sendiri. Kenapa menjelang tugas belajarku banyak muncul persoalan. Memang hal itu bisa saja tidak kupikirkan, tapi kalau seperti itu bukanlah aku. Sejak dulu rasa ingin tahuku besar, jadi kalau ada sesuatu hal, walau kecil dan tidak pentingpun, aku akan memikirkannya.

Dulu saat kecil kalau ada masalah/ pelajaran yang tidak kumengerti aku biasa bertanya pada Mas Pras, Mbak Dita, atau Mbak Tika. Tapi, sekarang semuanya sudah berubah. Entah kenapa aku rindu masa kecil dulu, juga Mbak Dita. Ya, ulang tahun kali ini tidak ada ucapan selamat dari Mbak Dita.

Teringat Mbak Dita, aku jadi ingat transaksi yang dilakukannya. Bodohnya aku, mengapa saat Mas Bram dan Elang bercerita soal transaksi yang dilakukan Mbak Dita, aku tidak berusaha melihat emailnya. Siapa tahu dia melakukan transaksi lewat email. Email yang biasa digunakan untuk pekerjaan mungkin sudah diperiksa kepolisian, tapi email pribadi pasti belum/ tidak diketahui.

Aku segera log-out, kemudian sign-in ke email Mbak Dita. Dan setelah aku lihat dan baca semua yang ada di foldernya, apa yang kucari, akhirnya kutemukan juga. Dan semua itu membuatku senang, sedih dan terharu, hingga tanpa sadar air mataku menetes turun. Tanpa melihat benar atau salah, perbuatan/ tindakan yang dilakukan Mbak Dita semuanya memang untukku.

#####

Aku tenggelam dalam kenangan dan kesedihan. Mungkin kalau bukan karena ingat janjiku pada Megan aku tidak akan keluar sampai sore hari. Setelah merencanakan dan memutuskan apa yang harus kulakukan, aku segera mandi kemudian turun dan keluar dari apartemen. Karena aku tidak tahu di mana Megan akan menemuiku, aku putuskan untuk mencari makan dulu, aku yakin dia akan menemukanku juga.

Dan benar dugaanku, saat aku sedang menikmati makan tiba-tiba dia sudah ada di depanku. Tanpa permisi dia duduk di hadapanku. Penampilannya masih seperti kemarin sore, yang berbeda cuma warnanya. Celana kulit, sepatu boot, kaos merah dilapis dengan jaket kulit, scarf di leher dan kaca mata di atas kepalanya.

Banyak pengunjung tempat itu yang tidak berkedip saat memandangnya, apa lagi saat dia melepas jaketnya. Banyak wanita yang mencubit pasangannya karena banyak lelaki yang terkesima atas penampilan Megan. Kami sama-sama diam hingga selesai makan.

"Kau pasti bertanya-tanya, siapa aku dan apa tujuanku menemuimu?" Megan membuka percakapan.

"Terus terang, iya. Dan aku pikir kau pasti tidak hanya sekedar iseng untuk menemuiku-kan?" jawabku.

Untuk beberapa saat dia hanya diam sambil mengotak-atik ponselnya. "Kau kenal orang ini?" tanya dia memperlihatkan foto seseorang di ponselnya.

Aku coba memperhatikan foto orang itu. "Aku belum pernah bertemu dengannya, siapa dia?" jawabku setelah yakin aku tidak mengenalnya.

"Karena orang inilah aku datang ke sini. Kami menemukan dia sedang sekarat di suatu tempat di pedalaman China. Saat ini dia sedang koma, dan hanya ada satu hal yang dikatakannya sebelum koma, sebuah kode. Yang berhasil kami terjemahkan menjadi sebuah lokasi, yaitu apartementmu."

Megan berhenti sejenak, kemudian meneruskan perkataannya. "Awalnya kami tidak concern terhadap perkataannya, tapi setelah kami pikirkan lagi, buat apa dia menyebut suatu kode, kalau dia orang biasa. Jadi kami berpikir kemungkinan dia seorang agent. Sebenarnya kami memutuskan untuk menutupi hal ini. Jadi kedatanganku ke sini juga atas kemauan sendiri. Maaf sebelumnya, aku sudah mematai tempatmu sejak dua minggu terakhir, tapi aku tidak menemukan hal apapun yang aneh dan berhubungan dengan orang itu. Untuk itu, sebelum kembali ke tempatku, aku meminta maaf padamu dan mohon agar tidak membocorkan pembicaraan ini kalau tidak, aku tidak bisa menanggung akibatnya. Aku akan memberimu kontak, siapa tahu kau mempunyai petunjuk. Aku pergi, dan jangan coba-coba untuk mengikutiku. Terima kasih." setelah berkata seperti itu, dia mengambil jaketnya dan pergi dari tempat itu dengan diiringi tatapan terpesona para lelaki dan tatapan cemburu kaum wanita.

Aku hanya diam di tempat sambil memikirkan apa yang baru saja dia katakan. Aku memang tidak berminat untuk mengejarnya, bukan karena takut ancamannya. Tapi karena aku yakin masih bisa menemuinya jika dia atau aku inginkan.

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Megan, kalau orang yang koma itu orang biasa, tidak mungkin dia menggunakan kode atau sandi untuk memberitahu orang lain. Tapi dalam daftar yang kuterima dari Om Dans, aku yakin tidak ada orang itu sebagai agent ISF. Apa aku harus bertanya dengan Om Dans? Terus apa hubungan Megan dengan hal ini, dia juga pasti bukan orang biasa saja, orang yang tahu tentang hal-hal yang berhubungan dengan kode, kalau bukan kepolisian, militer atau dinas rahasia China. Aku yakin Megan salah satu dari bagian itu. Entah militer, kepolisian, atau bahkan agent rahasia China, MMS.

Saat akan meninggalkan tempat itu, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk, cuma ada sebuah gambar, foto yang tadi diperlihatkan Megan. Tanpa berpikirpun aku tahu siapa yang mengirim foto itu. Setelah menyimpannya, aku segera meneruskan gambar itu ke nomer Elang dan Mas Bram, dan aku bertanya pada mereka, siapa tahu ada data tentang orang itu.

Tidak lama kemudian Mas Bram membalas pesanku, dia akan membawa data orang itu jika ada, saat merayakan pesta ulang tahunku nanti malam. Beberapa menit kemudian Elang juga membalas pesanku, dengan isi kurang lebih sama dengan pesan Mas Bram.

#####

Setelah itu aku pulang dan beristirahat, agar lebih segar saat acara nanti malam. Jam empat sore aku bangun, kemudian olah raga, setelah itu mandi dan jam enam, aku siap berangkat menuju tempat acara. Melihat cuaca agak mendung, aku putuskan untuk memakai mobil peninggalan Om Anwar.

Sampai tempat acara sudah banyak teman yang datang, Dion yang menjadi panitia sudah mewakili aku menyambut teman, Fariz belum tampak, saat kutanyakan, Dion mengatakan Fariz sedang menjemput seseorang. Tina, Rini, Rahma sudah hadir, Mbak Ina yang aku telpon mengatakan tidak bisa datang.

Teman yang datang adalah banyak gang satu almamater, walau ada juga yang bukan. Mereka datang membawa pasangannya masing-masing, terkecuali yang masih jomblo. Tidak lama kemudian Mas Bram datang dengan Mbak Rara, disusul Elang dengan Avi.

Penampilan Elang agak sedikit beda dari biasanya. Dia yang biasanya pakai topi kupluk, kaca mata hitam, kaos hitam ketat, celana jins belel, jengot dan kumis. Kini tampak bersih dan rapi, Elang memakai jas, mukanya klimis, rambutnya juga klimis, tato di tubuhnya tidak tampak sama sekali. Aku dan Mas Bram hampir tertawa dibuatnya.

Saat Avi dan Mbak Rara asik ngobrol, aku bertanya kepada Mas Bram dan Elang soal foto yang tadi siang aku kirim. Hasilnya nihil, tapi Mas Bram berjanji akan mencari tahu ke sumber lain, termasuk Interpol. Karena suasana tidak mendukung, kami tidak berbicara lama.

Selesai berbicara dengan Mas Bram dan Elang aku berjalan ke depan, Fariz ternyata sudah datang, dia menghampiriku, "Maaf Vin, terlambat," ucapnya sambil menjabat tanganku.

"Santai saja, Riz. Oh ya, katanya kau menjemput seseorang. Siapa? Mana orangnya?" tanyaku.

"Ya, dia ada di taman samping. Sebenarnya dia kurang suka dengan acara seperti ini, ini juga aku sedikit memaksanya. Ayo aku kenalkan," kata Fariz sambil melangkah ke pintu samping. Aku mengikutinya, tampak di pojok taman seorang wanita berdiri membelakangi kami.

Fariz lalu berbicara pada wanita itu, kemudian wanita itu membalikan badannya hingga aku dapat melihat wajahnya. Saat itulah aku dan wanita itu sama-sama bengong, saling pandang. Hingga sadar saat Fariz menegur kami, "Hai, kenapa kalian bengong? Apa kalian sudah saling kenal?"

Bagaimana aku tidak bengong dan terkejut melihat wanita itu. Karena dia adalah wanita cantik yang kutemui di taman tempo hari, sebelum bertemu Mbak Airin. Dan malam ini, wanita ini terlihat lebih cantik dari waktu itu. Pakaiannya yang menutup dirinya dari atas sampai mata kaki tidak dapat menyembunyikan kecantikannya.

Saat Fariz ingin mengucapkan sesuatu aku lebih dulu mendekatinya, dan berbisik di telingganya, "Riz, apakah dia pacarmu?" tanyaku.

Fariz tersenyum kecut, memandang wanita itu sebentar, kemudian dia berkata, "Se..seb benarnya dia adalah kakakku, pacarku sedang ke luar negeri, ta..tapi.. maafkan aku Vin," ujarnya menunduk malu.

"Kenapa minta maaf Riz? Santai saja, kau ini seperti tidak mengenal aku. Hal ini sih bukan masalah besar. Aku tahu maksudmu."

"Terima kasih Vin, oh ya kenalkan ini kakakku Zulfa. Zulfa noor Ihsan lengkapnya," Fariz memperkenalkan kakaknya.

"Zulfa," ucapnya pendek.

"Gavin," balasku menatapnya.

"Sepertinya kalian sudah pernah bertemu ya?" tanya Fariz.

"Ya, pernah satu kali. Sekitar du..."

"Vin, acaranya mau dimulai," teriak Dion memutus ucapanku.

Aku terpaksa masuk dan meminta Fariz untuk mengajak Zulfa masuk. Acara lalu dimulai, aku yang tidak tahu apa susunan acaranya, hanya mengikuti arahan panitia acara. Acara berlangsung ramai, lancar, aman dan dan tertib. Maklum pesta anak-anak muda, takut terjadi keributan walau semua yang datang adalah teman. Pesta berlangsung hingga pukul sebelas malam. Sayang sampai Zulfa pulang, aku belum sempat berbicara lagi dengannya. Tapi dalam hati aku berjanji, pasti akan ke tempat Fariz entah besok atau lusa.

Setengah dua belas aku keluar dari kafe itu setelah menyelesaikan semua pembayaran. Awalnya Dion dan Fariz memaksa mereka yang akan membayar semuanya, karena menurutnya acara ini adalah ide mereka. Tapi aku akhirnya yang berhasil memaksa mereka untuk menyimpan kembali uang mereka.

Aku pulang sendiri, karena Elang mengantar Avi pulang, dan Mas Bram jelas mengantar Mbak Rara. Yang lain tentu mengantar pasangannya masing-masing. Setengah perjalanan dari apartement, ponselku berbunyi, Mbak Tika. "Hallo ada apa Mbak?" tanyaku.

"Tidak apa-apa. Sudah selesai acaranya? Jangan malam-malam pulangnya!"

"Sudah selesai kok Mbak. Ini dalam perjalanan pulang."

"Ya sudah kalau sudah pulang. Nanti dilanjut di rumah saja. Selamat malam," ucapnya mengakhiri percakapan.

#####

Tengah malam kurang lima menit aku sampai di apartement. Setelah melepas jas dan sepatu aku beranjak ke dapur. Mengambil air mineral kemudian kembali ke ruang tamu, menyalakan televisi, saat itulah aku merasakan ada sesuatu hal yang aneh.

Aku coba melihat sekitar apa ada yang berubah di ruang ini. Tidak ada yang berubah, tapi aku merasa ada sesuatu entah apa. Tiba-tiba hidungku mengendus sesuatu, bau harum yang..? Aku langsung beranjak menuju kamar, benar saja harumnya semakin kuat. Pintunya tidak menutup rapat, aku ingat terakhir keluar kamar aku menutupnya dengan rapat.

Dengan sikap waspada aku dorong pintu dengan perlahan, gelap di dalam, dengan perlahan aku masuk dan menekan saklar lampu, 'ctik' dan aku bengong melihat apa yang ada di dalam kamar. "Surprise....!" teriak mereka serempak.

Pemandangan di dalam kamar membuatku serasa berada di jaman kerajaan. Bagaimana tidak, saat ini di dalam kamarku ada lima orang wanita cantik dengan pakaian minim, aku bagaikan Kaisar dan selir-selirnya. Tubuh mereka yang semuanya montok dan berisi hanya di tutupi lingerie sexy.

"Selamat ulang tahun sayang," kata Mbak Tika mencium kemudian memelukku. Dia hanya memakai lingerie Baby Doll, warna merah hati, kontras dengan kulitnya, dadanya yang membusung besar kini menempel ketat di dadaku, membuat bagian bawah tubuhku menggeliat.

"Terima kasih, Mbak," ucapku sambil meremas pantatnya yang montok.
Hal itu membuat Mbak Tika kaget dan mencubit pinggangku. "Uhh, dasar jail."

Aku semakin mempererat pelukanku saat dia hendak melepaskan diri. "Kangen," ucapku manja di telinganya hingga Mbak Tika kegelian.

"Sudah dulu, nanti yang lain iri," ucapnya melepaskan pelukanku.

Setelah itu Mbak Ina, Mbak Lula, Mbak Rani dan Mbak Erin bergantian mengucapkan selamat ulang tahun serta mencium dan memelukku. Saat giliran Mbak Erin, kami berpelukan cukup lama. Mbak Erin adalah istri mantan atasanku yang sekarang menjadi seorang Atase. Satu tahun lebih aku tidak bertemu dengannya. Yang membuatku heran, mengapa dia bisa berada di sini bersama Mbak Tika dan yang lain.

"Bagaimana kabarnya Mbak?" tanyaku.

"Sehat, Vin. Kau sendiri bagaimana, Mbak sangat khawatir waktu mendengar berita tentangmu waktu itu. Mbak minta maaf tidak bisa datang menengokmu," ucap Mbak Erin dengan nada sedih dan bersalah.

"Tidak apa-apa, aku mengerti keadaan Mbak. Mbak tidak usah merasa bersalah. Kebaikan Mbak selama ini saja aku belum bisa membalasnya," ucapku sambil memeluknya makin erat.

"Terima kasih, Vin," balasnya.

"Yah kita cuma disuruh melihat reuni dari sepasang manusia," sindir Mbak Tika.

Segera kulepas pelukanku dan bertanya padanya, "Mbak kok bisa sampai sini?"

"Sudah nanti ceritanya, itu kue tartnya kasihan menunggu!" ucap Mbak Tika dengan galak.

Mbak Ina dan Mbak Rani membawa kue tart itu ke hadapanku. Tart coklat yang cukup besar, dengan lilin angka 25 di atasnya. "Yah, telat Mbak, sudah lewat harinya," ucapku pura-pura kecewa.

"Dasar bawel, siapa suruh pulangnya malam sekali. Sudah duduk dan potong kue-nya," omel Mbak Tika. Dia menarikku duduk di ranjang dan menyerahkan pisau pemotong kue.

Aku hanya menggelengkan kepala. "Benar tidak mau!" ancam Mbak Tika.

Aku tetap diam, sambil berusaha menahan tawa melihat Mbak Tika yang mengomel-ngomel. Sementara yang lain hanya tersenyum melihat tingkah kami.

"Baiklah kalau tidak mau memotong kue-nya. Aku punya yang lebih menarik. Bagaimana kalau aku potong sosismu anak nakal? Hmm.." ucapnya mengedikan mata kemudian melirik ke arah selangkanganku.

"Ampun Mbak, jangan. Aku turuti permintaan Mbak," ucapku pura-pura takut yang di sambut tawa semuanya.

Setelah itu aku berdo'a, kemudian memotong kue-nya. Pertama aku sodorkan pada Mbak Tika, dia hanya menggigit sedikit. Dengan isyarat mata dia mengerling ke sampingnya. Aku tahu maksudnya, maka bergantian potongan kue itu di makan lima orang wanita.

Aku memotong lagi, tapi kali ini tidak kusuapkan, melainkan kuoleskan ke muka Mbak Tika, hingga belepotan kue. Dia mencoba membalas, tapi aku menghindar dan mengenai Mbak Erin. Mbak Erin dan yang lainnya mengikuti apa yang dilakukan Mbak Tika, hingga muka semuanya belepotan kue tart.

Kami bercanda dan tertawa, hingga semuanya berbaring kelelahan di tempat tidur walau saling berhimpitan. Cukup lama kami berbaring, sampai Mbak Erin bangun dan beranjak ke meja mengambil tisu. Saat dia mau memberihkan mukanya dengan tisu aku mencegahnya.

"Sini Mbak, biar Gavin yang bersihkan," aku mengambil tisu yang ada di tangannya. "Tutup mata Mbak," lanjutku. Mbak Erin menutup matanya. Aku tarik bahunya, kini mukanya hanya berjarak sepuluh senti dari wajahku. Aku menunduk, kubuka mulut dan kukeluarkan lidahku. Lalu kujilati mukanya yang belepotan kue.

Sesaat dia membuka matanya, tapi segera menutupnya kembali. Pertama kujilati bagian dahinya, terus berlanjut ke telingga yang membuat dia mendesah, "Achh...!" kemudian pipi, hidung, dagu dan bibir yang kembali membuat dia mendesah "Achh.. Vinh..." Karena bibir adalah bagian terakhir, maka aku berlama-lama di tempat. Kini aku bukan lagi membersihkan, tapi sudah benar-benar menciumnya. Awalnya Mbak Erin pasif, tidak lama kemudian aktif membalas ciumanku.

Kepala kami bergerak perlahan ke atas dan ke bawah, hingga kami menyentuh bibir masing-masing secara bersama. Saat permainan bibir menjadi lebih panas Mbak Erin mengerang lembut, "Uhh..hmm." . Setelah beberapa saat, dia berhenti dan perlahan-lahan melepaskan bibirnya. Matanya terbuka dan menatapku.

Aku balas memandang ke arahnya dan menatap bibir berkilaunya. Aku perlahan maju lagi, menatapnya. Tampaknya dia terus menatap bibirku yang semakin dekat dengan wajahnya. Kemudian matanya menyipit dan dia sedikit mengangkat dan memiringkan kepalanya menunggu. Bibir kami yang masih terbuka saling menanti dan ketika aku melanjutkan gerakan ke arahnya, dia bergerak maju untuk melekatkan bibirnya dengan bibirku dalam kehangatan ciuman.

Kupeluk erat pinggangnya dan dia membalas merangkul leherku. Kuelus punggungnya, hangat dan lembut serasa bagai sutra di telapak tanganku. Naik turun kujelajahi seluruh bagian belakang tubuhnya, "Achh... ssshhh," dia mulai mendesah lagi. Kulepaskan ciuman di bibir secara perlahan dan kuarahkan ciumanku ke leher jenjangnya. Kubalikan badannya secara pelan dengan bibir masih menyusuri lehernya, kemudian kuarahkan tanganku ke bagian depan tubuhnya. Kuselusuri perut datarnya dengan lembut, kunikmati kehalusan kulitnya. Dan perlahan-lahan tanganku pun naik ke atas ke bagian payudaranya.

"Ooohh Vin!" Mbak Erin mengerang saat kusentuh bagian bawah payudaranya dan perlahan-lahan bergeser ke atas, membelai satu-persatu payudaranya dari luar bra hijau muda yang dipakainya. Bra itu tampak tidak muat menampung payudara besarnya. Kuselusupkan tanganku memasuki bra-nya hingga jari-jariku menyentuh putingnya. Kupilin dengan lembut masing-masing puting secara bergantian. Mbak Erin semakin mengerang, "Ohhh ssshhh..." dia semakin mendorong payudaranya ke tanganku, masing-masing buah dada itu bergerak setiap jariku memilin putingnya seolah-olah bergembira bertemu teman lama yang tidak menjamahnya.

Kulepaskan ciumanku di lehernya mencoba mengambil nafas sejenak. Kuhentikan juga tanganku yang memilin putingnya. Kami sama-sama terdiam, hanya terdengar deru nafas kami yang terengah-engah. Setelah beberapa saat, aku seperti tersadar bahwa di ruang ini bukan hanya ada kami berdua, tapi masih ada empat orang lainnya. Mbak Erin juga tampak malu setelahnya.

"Maaf Mbak," ucapku pada yang lain.

"Tidak apa-apa sayang, kami ini mengerti dan pengertian. Tapi jangan lupakan kami juga dong!" kata Mbak Tika menarikku ke arah ranjang.

Setelah aku telentang, tanpa malu-malu Mbak Tika membuka Baby Doll, diikuti oleh Mbak Rani yang membuka Bra-set coklatnya. Walaupun sudah puluhan atau ratusan kali melihatnya, besaran payudara Mbak Tika tetap menarik buatku bahkan terlihat semakin montok saja, demikian pula dengan payudara Mbak Rani. Mbak Tika mendekatiku yang sedang bengong, membuka celanaku, dan menariknya, sedang Mbak Tika membuka kaosku.

Mereka berdua tampak liar memandang penisku. "Ck ck ck ck .. makin besar saja nih penis," ujar Mbak Tika dengan tersenyum, dia kemudian memeluk dan menindihku. Mbak Tika langung melumat bibirku dengan liar, sedang Mbak Rani membelai penisku, kemudian menjilati buah dan batang penisku dengan pelan-pelan, hingga membuatku geli.

Mbak Rani semakin bersemangat menjilati dan akhirnya mengulum penisku dengan penuh nafsu. Sementara aku masih saling melumat dengan Mbak Tika. Pergumulan kami semakin panas, aku suka dengan tingkah liar mereka berdua. Mbak Tika sering melakukan pagutan-pagutan lama, membuat tanganku semakin nakal meremas payudara Mbak Tika dan membuat dia melenguh melepaskan lumatan pada bibirku.

"Aaaauh .. nikmaatnya ..," ucapnya dengan tersenyum dan menahan tanganku.

Mbak Tika menindihku dengan menduduki perutku, sementara Mbak Rani mengerjai penisku. Tidak lama Mbak Tika membalikan badan dan berhadapan dengan Mbak Rani.

"Gantian Ran," pinta Mbak Tika mencolek bahu Mbak Rani. Mbak Tika lalu mengangkat pantatnya dan diletakkan tepat pada mukaku sehingga aku langsung melakukan oral seks, vagina Mbak Tika wangi seperti biasanya.

"Aaaaaaauch...," pekikku ketika dengan gemas, mulut Mbak Tika mengulum penisku dan menyedotnya, membuatku meremas kuat pantat Mbak Tika.

Permainan yang panas itu membuat kami berkeringat, saat Mbak Tika melepas penisku dan turun dari tubuhku, aku bangun dan duduk memandang Mbak Lula, Mbak Ina dan Mbak Erin. "Kenapa kalian tidak bergabung? sekalian main berenam? Ayoo lepas bajunya, giliran kalian menghajarku!"

"Iyaaa... dia milik kita bersama, bukankah kalau kita satu lawan satu dengan dia pasti kalah? Jadi, ayo keroyok dia rame-rame," sahut Mbak Tika dengan turun dari ranjang dan langsung menarik tangan Mbak Erin, Mbak Rani juga turun dan menarik tangan Mbak Lula. Dengan malu-malu akhirnya Mbak Lula melepas camisol birunya, dan Mbak Erin melepas g-string hijaunya. Sementara Mbak Ina tampaknya masih malu dan enggan bergabung bersama kami. Mbak Tika dan yang lain juga tidak memaksanya.

"Ayo kita berjejer biar nanti ditusuk bergantian sampai puas," canda Mbak Tika dengan tersenyum dan langsung menjilati payudara Mbak Erin.

Mereka berempat semuanya memiliki payudara yang montok, mereka serempak maju ke arahku, Mbak Erin langsung menindihku dan melumat bibirku. Sedang Mbak Lula dan Mbak Rani berada di selakanganku bergantian menjilati penisku. Mbak Tika tidak kalah nakal, menjilati vagina Mbak Lula.

Kami berlima melakukan pesta seks, hawa dari AC semakin dingin, namun di kamar itu semakin panas. Aku tidak tahu, suasana makin ramai dengan lenguhan dan erangan kami. Mbak Tika mengoral Mbak Lula, sedang Mbak Erin mengoral Mbak Rani, serta vagina Mbak Erin aku sendiri yang mengoralnya, vagina mereka semua sudah basah.

Entah kapan waktunya, ternyata Mbak Ina sudah melepas peignoir putihnya dan sudah berada di sampingku. Tangannya mulai membelai penisku yang bebas, dan perlahan mengocoknya. Aku lepaskan mulutku dari vagina Mbak Erin, dan menarik kepala Mbak Ina. Aku kecup bibirnya, dan diapun membalas dengan liar, hingga nafasnya tersegal-segal.

Aku lepaskan ciumanku. Dan diam sejenak berusaha mengontrol semuanya. Kalau begini terus aku bisa kalah, maka aku mengajukan saran, "Bagaimana kalau kalian aku gilir satu-satu," ajakku.

"Tidak mau! Giliran buat babak ke dua saja. Babak pertama kami ingin kamu kalah, bukankah biasanya kamu menang selalu, jadi sekali-kali kalah tidak apa-apa. Lagi pula kalau bukan sekarang kapan lagi kami bisa mengalahkanmu, sayang!" ejek Mbak Tika dengan tertawa dan disambut tawa oleh yang lainnya.

Berlima mereka mau mengeroyokku. Threesome atau foursome pernah, tapi kali ini sixsome, apa aku sanggup? Tapi aku adalah manusia yang suka mencoba, kalau belum pernah mencoba kenapa harus takut. Walau bagaimanapun aku harus siap melayani mereka berlima yang sedang kehausan.

Situasi memang tidak menguntungkan bagiku. Sehingga aku harus berusaha mencari alternatif, agar aku tetap bisa menjaga stamina dan tenaga agar tidak terkuras habis saat melayani lima wanita yang sangat haus akan belaian seks. Mereka lalu kembali mengerubutiku, penisku dikulum dengan gemas oleh Mbak Tika dengan rakus.

"Aauuuchhhh...," erangku dengan menggelinjangkan kedua kakiku. Mbak Erin mengangkangiku dan mencekal kakiku agar tidak bergerak. Posisi mengangkang Mbak Erin tepat di mukaku. Vaginanya langsung kujilati dan kusedot dengan gemas. Sedang Mbak Ina, Mbak Lula dan Mbak Rani kini bermain bertiga, Mbak Rani dan Mbak Lula menjilati vagina Mbak Ina. Membuat Mbak Ina sampai menggelinjang dan meronta-ronta karena jilatan Mbak Rani dan Mbak Lula cepat dan keras.

Penisku dijilati oleh Mbak Tika, posisi Mbak Tika membungkuk di antara kedua kakiku, Mbak Tika terus melakukan oral ke penisku. Dipermainkan batangku di mulutnya. Lalu dengan gemas lidahnya menyusuri batangku, membuatku semakin ngilu.

"Sudaaah Mbak, aku ingin menusuk kalian sekarang," erangku dengan meremas pantat Mbak Erin, kemudian mendorongnya pelan.

"Mbak pengen oral penismu, sayang," ucap Mbak Erin.

"Nanti ya Mbak, babak ke dua," ujarku. Mbak Erin mengalah dengan mengangkat tubuhnya.

"Aku kangen jepitan vagina Mbak Erin, aku mau tusuk dia dulu," ujarku sambil mendorong bahu Mbak Tika agar melepas kulumannya.

Di sampingku Mbak Ina masih dioral oleh Mbak Rani dan Mbak Lula. Ketika aku bangun, Mbak Lula langsung memelukku dan memberikan lumatan yang ganas dan kubalas dengan sama ganasnya.

Setelah itu aku lepas ciumanku, kudorong Mbak Lula dan langsung turun dari ranjang. Aku peluk Mbak Erin dan mendorongnya agar tengkurap dengan pantat menungging. Mbak Lula dan Mbk Tika berada di kedua sisi Mbak Erin, aku langsung naik dan berlutut di ranjang, kuposisikan batangku agar tepat di lubang vaginanya, pelan-pelan aku tekan, ketika batangku sudah mulai masuk, aku menekan lebih keras hingga membuat Mbak Erin meringis.

"Aaaaaaaauuh, sloowly Vin, aaach.. yaaa.. enaaak pushhh.. yaaa pushhh meee.. haarder," erang Mbak Erin dengan meremas kuat sprei. Penisku pelan-pelan masuk sampai amblas, diperas dan diremas dalam vagina Mbak Erin. Aku langsung menggenjotnya, Mbak Erin langsung melenguh keenakan.

"Viiin.. yeahh.. more.. push.. nikhmath..!" cercau Mbak Erin dengan berteriak dengan bahasa campur. Mbak Lula menyodorkan payudaranya untuk kukulum sehingga Mbak Lula sampai meringis dan merintih, sementara Mbak Tika aku remas payudaranya dengan keras membuat dia menggelinjang, pantatku terus menghujam maju mundur, batangku menghajar vagina Mbak Erin. Tusukanku kupercepat membuat Mbak Erin menahan badannya agar tidak tergoncang, kedua tangannya meremas sprei.

Mbak Ina bangun dan berdiri dengan lutut di samping Mbak Tika, menarik tanganku agar juga meremas payudaranya. Posisiku kini jadi susah, pantatku maju mundur menusuk Mbak Erin, tangan kiriku meremas payudara Mbak Tika, tangan kanan meremas payudara Mbak Ina, sedang mulutku mengulum punting susu Mbak Lula, yang mana kepalaku dipegang oleh Mbak Lula agar tidak melepaskan kulumanku.

Kami semakin panas, di belakangku Mbak Rani dengan pelan merunduk di bawah selakanganku, ketika penisku keluar, Mbak Rani menjilati batangku walau sangat susah namun dengan nakal MbaknRani berganti dengan meremas pantatku lalu memberikan dorongan ketika pantatku maju dan menarik kembali ketika batangku keluar.

Aku berhenti mengulum ketika Mbak Lula melepaskan kepalaku, sementara tanganku masih saja meremas payudara Mbak Ina dan Mbak Tika. Mbak Erin tampaknya mulai kepayahan dan hendak mencapai puncaknya.

"Vin..., Mbak mau sampai nihc... ohhh...," erang Mbak Erin dengan keras, aku mempercepat hujaman batangku pada vaginanya dan akhirnya Mbak Erin mencapai orgasmenya. Mbak Erin melolong dengan suara keras, menegang dengan kaku dan akhirnya berkelonjotan. Kurasakan penisku disiram cairan panas.

Aku biarkan beberapa saat penisku berada di dalam vagina Mbak Erin. Saat kedutan vagina Mbak Erin berhenti, aku langsung mencabut penisku, kulepas remasan payudara pada Mbak Tika dan Mbak Ina. Kemudian berbaring dan menarik tangan Mbak Tika, dia langsung paham apa yang kumaksud. Mbak Tika lalu mengangkangi aku, dia menggenggam penisku dan mengarahkan tepat di vaginanya. Setelah tepat dia menurunkan pinggangnya hingga batangku perlahan masuk ke vaginanya, terasa sesak sekali, namun dengan perlahan, batangku akhirnya amblas juga dalam lubang vagina Mbak Tika.

"Duuuh.. enaknya," teriak Mbak Tika yang kemudian dengan gemas menggoyangkan pinggulnya dengan keras membuatku merem-melek keenakan.

"Remes susu Mbak, Vin," pinta Mbak Ina dengan menarik tanganku, aku memenuhi permintaannya, kuremas payudara Mbak Ina, dia menggelinjang saat aku memilin putingnya berulang kali. Goyangan Mbak Tika terasa beda, apalagi badannya paling semok sehingga penisku terasa sakit digoyang sedemikian keras dan liar.

Mbak Ina kemudian membungkuk di sampingku, melumat bibirku dengan memegang kepalaku, aku melayani pagutan dan lumatannya, sementara Mbak Rani kini berada di depan Mbak Ina, berbaring tiduran menggeser posisi Mbak Erin yang masih menikmati orgasmenya, tanganku ditarik Mbak Rani agar aku meremas payudaranya.

Permainan seks yang luar biasa, ke empat wanita dengan sangat buasnya menghajarku, Mbak Tika bergerak dengan liar dan cepat. Goyangan Mbak Tika makin berat, jepitan vaginanya kian menyempit, tampaknya dia akan segera mencapai puncaknya. Tanganku masih asik meremas payudara dan memilin puting Mbak Rani.

"Aku sampai... aku sampai...," teriak Mbak Tika dengan keras. Badannya menegang dengan kaku melengkung ke depan, Mbak Ina meremas payudara Mbak Tika, membantunya agar lebih menikmati orgasmenya. Mbak Tika menegang dan akhirnya berkelojotan, tubuhnya melemas dan hampir rubuh kedepan. Mbak Ina menolong Mbak Tika agar tidak rubuh dan membantunya untuk berbaring.

"Giliran siapa sekarang," ujar Mbak Ina malu-malu.

"Aku dulu ya, In, Ran," pinta Mbak Lula.

Mbak Ina dan Mbak Rani mengalah, Mbak Lula langsung menindihku, menggenggan penisku mengepaskan di lubang vaginanya dan menekan pinggangnya ke bawah. Lubang vagina Mbak Lula sudah membengkak besar, namun tidak mudah batangku masuk ke dalamnya. Mbak Lula dengan tenaga besar pelan-pelan menekan dan 'Bleshh' batangku sudah amblas separo, terlihat Mbak Lula meringis ngilu dengan memejamkan mata dan menggigit bibir, kuremas payudaranya dan kupilin putingnya, membantu mengurangi rasa sakitnya.

Batangku kembali dipilin dengan hebat dan remasan vagina Mbak Lula seakan menyedot dengan keras. Batangku semakin amblas dalam lubang vagina Mbak Lula. Aku lalu bangun dan duduk, kupegang bahu Mbak Lula, kulumat bibirnya, kuremas dadanya dan aku pilin putingnya membuat Mbak Lula bergoyang tidak karuan.

Setelah puas dengan posisi woman on top, kurangkul dia lalu aku menggulingkan Mbak Lula. Kini posisi Mbak Lula di bawahku dan siap kuhujami. Kurangkul Mbak Ina dan Mbak Rani yang ada di samping Mbak Lula, kedua tanganku melingkar, sebelah kiri memeluk Mbak Ina dan tanganku meremas payudara sebelah kirinya, di sebelah kanan Mbak Rani, aku juga melingkarkan dan meremas payudara sebelah kanannya, keduanya menggelinjang.

Saat Mbak Rani sibuk melumat bibir Mbak Ina dengan liar.
Aku hujami vagina Mbak Lula dengan keras dan cepat, karena aku sudah tidak tahan, aku sudah merasa akan orgasme, namun aku coba tahan. Hujaman penisku yang keras membuat tubuh Mbak Lula terguncang-guncang. Kedua tangan Mbak Lula meremas pantat Mbak Rani dan Mbak Ina untuk sedikit meredam guncangan itu.

Tusukan penisku membuat suara kecipak bunyi gesekan alat kelamin. Aku ikut bermain bibir dengan Mbak Rani dan Mbak Ina, kulumat bibir keduanya bergantian dan tanganku meremas payudara mereka. Sementara penisku terus menusuk cepat vagina Mbak Lula.

"Terus Vin, Mbak hampir sampai, Ayoo... ahhh...uhhh...," erang Mbak Lula dengan keras dan menggelinjang.

Kuluman bibirku dengan Mbak Rani semakin liar, tanganku masih meremasi payudara Mbak Ina, yang tangannya ikut membantu meremasi payudara Mbak Rani. Walau lelah aku terus bertahan dengan sisa-sisa kekuatan untuk melayani wanita-wanita ini. Aku mencoba mengatur pernafasan dengan tetap menghujami vagina Mbak Lula dengan cepat dan keras, sampai membuat Mbak Lula merem-melek keenakan.

"Iyaaa... mantap sayang... ayoooh aaach... aaauh... hhhsss...," desah Mbak Lula membuatku makin semangat.

Lumatanku yang ganas membuat Mbak Rani memegang kepalaku dan melepaskan bibirnya. Aku berpindah ke bibir Mbak Ina, dia menyambut lumatanku dengan tidak kalah ganasnya, bibirku disedotnya hingga terasa nyeri. Sementara Mbak Erin dan Mbak Tika kini beristirahat duduk di kursi dalam kamar sambil menonton kami yang sedang berlomba-lomba mencapai puncak kenikmatan.

Lima menit kembali berlalu dan kurasakan rasa kedut dan gatal di penisku, sepertinya aku tidak bisa menahan lebih lama lagi. Aku pegang paha Mbak Lula dan aku langsung hujamkan penisku keluar-masuk secepat dan sekerasnya, membuat Mbak Lula menjerit histeris.

"Mbak sampai, aaachhh... uuuhhh... ooooohhssshhh...," erang Mbak Lula.

"Iyaaah Mbakh... Akhuuu juuughaaa...," erangku dengan menghujamkan batangku sedalam-dalam ke liang vaginanya, aku menegang dan menyemprotkan air maniku di dalam vagina Mbak Lula.

"Cret... creet... creeet... creeeet... creeeeet..." lebih dari lima kali aku menghamburkan isi penisku.

Aku berkelonjotan dan melemas dengan cepat, sepersekian detik kemudian kurasakan penisku disiram cairan panas dari vagina Mbak Lula. Setelah diam beberapa saat, aku menarik tubuhku sehingga penisku lepas dan vagina Mbak Lula. Penisku masih penuh dengan cairan putih kental, Mbak Rani membungkuk dan langsung menjilati penisku, Mbak Ina awalnya hanya melihat Mbak Rani, mungkin karena penasaran akhirnya Mbak Ina ikut menjilati penisku sampai bersih dan mengkilap lagi.

"Gimana, In? Nikmatkan!" tanya Mbak Rani pada Mbak Ina yang disambut dengan senyuman. "Tinggal kita berdua, kau atau aku dulu?" lanjut Mbak Rani.

"Terserah Gavin, Ran," jawab Mbak Ina.

"Ok, biar nanti Gavin yang memutuskan. Yang penting bangunkan ini dulu," canda Mbak Rani sambil menggenggam penisku yang sedikit loyo. Mbak Rani dan Mbak Ina lalu bergantian mengocok, menjilat dan mengulum penisku. Hingga tidak lama kemudian penisku bangkit kembali, mengacung tegak, tegang dan keras siap menghadapi pertarungan selanjutnya.

"Mbak Rani dan Mbak Ina sekarang pintar," ujarku dengan tersenyum.

"Ini semua karena belajar dari kamu, lagi pula demi kita semua kan," jawab Mbak Rani.

Aku mengacungkan jempol, kemudian bangun. "Mbak, aku mau Mbak Rani dulu, Mbak Ina terakhir ya!" pintaku.

Mbak Rani dan Mbak Ina berpandangan. Setelah sama-sama setuju. "Doggy ya, Vin!" kata Mbak Rani sambil pasang posisi menunging. Aku berlutut di belakang Mbak Rani, tanpa menunggu lama aku langsung menekan penisku ke vagina Mbak Rani, membuat batangku pelan-pelan masuk, kutarik dan kutekan lagi. Mbak Ina ikut berlutut di sampingku, kemudian dengan manja mendorong payudaranya ke arahku.

Mbak Lula ikut beristirahat bersama dengan Mbak Tika dan Mbak Erin. Pantatku maju-mundur dengan keras menghujam ke pantat Mbak Rani, Membuat badan Mbak Rani terguncang-guncang.

"Nikmat Vins.. yaaah teruuussshhh... nikmaaat dan enaaakhhh... ayo percepat sayang ya teruuussshhh... ohhh yaaa... ssshhh...," desah Mbak Rani dengan suara manja, membuatku lebih semangat dalam menggoyangnya.

Tanganku asyik meremas payudara Mbak Ina dan mulut kami saling berpagut. Menit demi menit kami saling berpagut, sementara penisku tetap keluar-masuk ke vagina Mbak Rani.

"Ohhh... Vin, Mbak nggak kuat lagih... ayooo percepat dan lebih-lebih dalam laagi... uuuhhh...," erang Mbak Rani.

Mendengar erangan itu, aku melepaskan pagutanku di bibir Mbak Ina, payudara Mbak Ina juga kulepaskan. Ku pegang pinggang Mbak Rani dengan erat, kugenjot sekeras-keras vaginanya, membuat Mbak Rani meronta-ronta. Aku tidak peduli, hujamanku kupercepat membuat Mbak Rani semakin menggelinjang. Mbak Ina ikut membantu Mbak Rani lebih-lebih histeris saat dia meremas payudara Mbak Rani dengan keras.

"Oohhh nikmatnya... aaah... aaah... aaauuuhhh..." Mbak Rani mengerang dengan keras. Tanpa mempedulikan erangannya aku terus menghajarnya dengan hujaman-hujaman keras dan liar. Akibatnya Mbak Rani-pun mencapai puncaknya. Vaginanya menyempit dan berkedut dengan cepat, tubuhnya menegang kaku. Remasan tangan Mbak Ina di payudaranya membantu mempercepat orgasmenya.

Kurasakan penisku tersiram cairan panas dari vagina Mbak Rani. Mbak Rani menegang dengan meremas sprei, tubuhnya melemas lalu ambruk di atas ranjang. Aku merasa sangat lelah, tapi saat ingin istirahat sejenak Mbak Ina sudah maju memelukku.

Walau aku sudah kelelahan, tapi aku tidak ingin mengecewakan Mbak Ina. Aku harus membuat Mbak Ina cepat orgasme agar aku bisa beristirahat sesudahnya. Berpikir seperti itu, aku balas pelukan Mbak Ina, aku baringkan tubuhnya dan langsung menindihnya sementara bibirku melumat bibirnya yang tipis.

"Siap Mbak," kataku nakal dengan memilin putingnya.

Mbak Ina tidak menjawab, hanya memandangku dengan tatapan mesra. Tatapan itu sudah menjawab pertanyaanku apalagi saat dia memegang penisku dan diarahkan ke lubang vaginanya. Kutekan penis dengan keras membuat Mbak Ina tersentak. Batangku masuk ke lubang vagina Mbak Ina hingga setengahnya, kusentakkan lagi pantatku hingga membuat penisku masuk sepenuhnya.

Aku diamkan penisku sesaat di dalam vaginanya untuk penyesuaian. Setelah itu aku langsung menggejotnya dengan pelan namun perlahan kupercepat. Tanganku tidak mau kalah dengan meremas payudaranya kemudian memilin putingnya bergantian kanan dan kiri.

"Oooh Vin...," desah Mbak Ina.

Aku kembali melumat bibir Mbak Ina dengan bibirku, dan kami saling melumat dan memeluk dengan erat. Sementara penisku dengan ganas tetap keluar-masuk vagina Mbak Ina. Mbak Ina melingkarkan kakinya di pinggangnya, sehingga memperketat jarak kami.

"Aku mau keluar Mbak!" ucapku saat mulai merasakan rasa gatal di ujung penisku

"Mbak juga, Vin. Bareng yaaa...," teriaknya dengan memelukku dan mengencangkan jepitan kakinya yang melingkar di pinggangku.

Kupercepat tusukanku, kuhujamkan dalam-dalam penisku saat terakhir dan aku melolong dengan keras menyemprotkan air maniku dengan keras ke dalam rahim Mbak Ina. Saat bersamaan Mbak Ina juga mendapatkan orgasmenya. Dengan menegang aku menyemprotkan spermaku.

"Aku sampaaaiii Mbakhs...," erangku dengan berkelojotan. Saat itu juga tubuh Mbak Ina menegang dan batangku tersiram cairan panas, kami berkelonjotan bersama. Tubuhku serasa ringan dan plong, dan kurasakan lelah yang amat sangat, mataku terasa berat hingga aku putuskan untuk memejamkan mata untuk beberapa saat.

Kurasakan penisku terasa geli dan basah. Saat aku sedikit membuka mata, ternyata Mbak Tika dan Mbak Erin sedang menjilati sperma yang masih menempel di batang penisku. Melihat itu aku biarkan saja, dan kuputuskan untuk istirahat sejenak.

"Gimana sayang?" bisik Mbak Tika di telingaku.

"Caaapekkk...," jawabku dengan lemas.

"Terima kasih sayang," ucap Mbak Tika menciumku, kemudian diikuti yang lainnya.

"Masih kuat Vin? Mbak belum puas," bisik Mbak Erin.

"Iya Mbak. Tapi beri waktu aku setengah jam untuk mengembalikan stamina. Nanti aku gilir kalian semua satu-satu sepuas kalian," ucapku dengan memejamkan mata.

Satu jam kemudian aku menggilir mereka satu-persatu sampai mereka puas dan aku lemas. Aku baru benar-benar beristirahat jam 5 pagi, saat itu aku tertidur dan tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.


Chapter XXXIV : End of Beginning III A : See You Again

Aku terbangun saat matahari sudah tinggi. Saat kulihat jam, ternyata sudah pukul setengah sebelas siang. Kamar sudah rapi kembali, seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Tidak kulihat seorangpun di dalam kamar. Aku melangkah keluar, di dapur Mbak Tika sedang berbincang dengan Mbak Erin.

Mereka tersenyum melihatku kusut. Aku mengambil susu cair dari lemari pendingin kemudian duduk di depan mereka. "Yang lain kemana Mbak?" tanyaku sehabis minum.

"Sudah pulang! Sengaja tidak bilang padamu, agar tidak mengganggu istirahatmu. Kau terlihat lelah sekali," jawab Mbak Tika dengan tersenyum.

"Ada makanan Mbak? Aku lapar," ucapku.

"Dasar! Inikan rumahmu, kok tanya ada makanan apa? Untung kemarin, Mbak belanja. Sudah kamu mandi dulu, nanti Mbak buatin makanan," ujar Mbak Tika.

"Terima kasih, Mbak," ucapku beranjak dari dapur.

Satu jam kemudian dua piring nasi cumi sudah masuk ke dalam perutku. Mbak Tika tetap ingat, bahwa cumi adalah makanan kesukaanku. Setelah itu kami bertiga ngobrol santai. Mulai dari soal yang semalam dan yang lainnya.

Semua ini awalnya adalah ide Mbak Tika yang ingin memberikan kejutan padaku. Dia tidak tahu darimana datangnya ide nakal itu. Tapi saat dia menghubungi Mbak Rani, Mbak Tika ingat permainan kita berempat waktu itu. Maka muncullah ide itu, dia lalu menghubungi Mbak Lula dan Mbak Ina.

Setelah semua setuju, mereka lalu menghubungi siapa lagi yang kira-kira bisa diajak. Sebenarnya ada beberapa lagi yang mau ikut, tapi batal saat terakhir. Aku jadi meringis membayangkan, bagaimana seandainya banyak lagi yang ikut pesta semalam.

Soal Mbak Erin bisa ikut, bukan lain karena dia adalah teman Mbak Lula semenjak remaja. Sebelum Mbak Lula mengenalku, dia sudah lebih dulu tahu tentangku dari Mbak Erin. Kebetulan Mbak Erin sedang pulang ke Indonesia untuk beberapa waktu, maka kebetulan baginya saat Mbak Lula menawarinya untuk ikut.

#####

Sehabis tengah hari Mbak Erin pulang, karena ada sesuatu hal yang harus dia kerjakan. Dia berjanji akan menghubungiku lagi setelah urusannya selesai. Setelah Mbak Erin pergi, giliran Mbak Tika yang bersiap untuk pulang.

Sebenarnya aku ingin Mbak Tika lebih lama di sini. Tapi dia hanya mengajukan cuti dua hari. Jadi nanti sore dia sudah harus kembali ke Pekalongan. Sambil menunggu waktu kepulangan Mbak Tika, kami putuskan untuk jalan-jalan keliling kota.

Jam tujuh malam aku mengantar Mbak Tika ke Stasiun. Sebelum turun dari dalam mobil, kami sempat berciuman cukup lama. Seperti biasa, Mbak Tika memberiku pesan-pesan. Dan sebelum masuk kereta, kami kembali berpelukan cukup lama, tidak mempedulikan pandangan orang di sekitar. Aku meninggalkan stasiun, ketika kereta sudah berangkat.

Dalam perjalanan pulang, aku teringat dengan Zulfa kakaknya Fariz. Semalam aku tidak bisa berbicara banyak dengannya. Mengapa aku tidak mencoba main ke rumah Fariz, siapa tahu aku bisa mengenal Zulfa lebih dekat. Yang aku heran, kenapa aku tidak tahu Fariz punya kakak secantik Zulfa.

Sudah hampir tujuh tahun aku berteman dengan Fariz dan beberapa kali ke rumahnya, kenapa aku tidak pernah melihatnya di rumah itu. Berpikir seperti itu, aku putar kemudi. Aku arahkan mobilku ke rumah orang tua Fariz.

Tapi nasib baik belum menyapaku karena Fariz tidak pulang ke rumah orang tuanya, tapi ke rumah dinas yang pernah kutempati juga. Dan bodohnya aku adalah tidak menelpon Fariz terlebih dahulu. Kepalang tanggung sudah sampai rumah itu, aku bertanya tentang Zulfa. Tapi ternyata Zulfa juga masih keluar.

Dengan sedikit kecewa aku tinggalkan rumah megah itu. Tanpa punya tujuan pasti aku putuskan untuk pulang. Di sebuah SPBU aku masuk, antrian cukup panjang. Dua mobil sebelum giliranku, tanpa di sangka aku menoleh ke samping kiri, dan aku mendapatkan apa yang aku cari.

Saat itu kulihat Zulfa sedang berbicara kepada sopirnya yang sedang membayar kepada petugas SPBU. Setelah itu mobilnya segera meluncur pergi dari tempat itu, aku mau mengejar tapi terjepit, karena di belakangku juga ada mobil. Sementara di depan mobilku masih ada satu mobil lagi. Akhirnya giliran mobilku, begitu selesai membayar, aku segera mengejar mobil Zulfa. Tanpa mempedulikan ramainya lalu-lintas aku injak gas sedalamnya, hingga banyak yang mengklakson mobilku.

Karena perkiraanku Zulfa akan pulang, maka aku mengejar ke arah rumahnya. Benar saja, satu kilometer kemudian kulihat mobilnya berada di depanku. Tiba-tiba ada sebuah mobil yang memotong laju mobilnya. Hingga dia berhenti mendadak. Aku belum melihat jelas apa yang terjadi. Aku berhenti, beberapa meter di belakangnya.

Aku segera turun dan berlari ke arah mobilnya. Seseorang sedang menyeretnya keluar dari mobil.

"Hai...! Apa yang kalian lakukan!" teriakku sambil maju.

Seseorang menghentikan langkahku. Tanpa bicara dia segera memukulku. Dengan mudah aku menghindar, saat dia memukul lagi, aku tangkap tangannya, lalu kupuntir dan kakiku menyapu bagian belakang kakinya, dan mendorong badannya. 'Bugh...!' tubuh besarnya terjengkang.

Aku segera berlari menuju mobil mereka, Saat orang yang tadi menyeret Zulfa hendak masuk mobil, kutarik bajunya hingga dia jatuh kebelakang. Aku tarik Zulfa sebelum sopir mobil itu menginjak gas, hingga aku dan Zulfa terjengkang. Aku segera bangkit berdiri siap untuk menghadapi apa yang terjadi.

Tapi tampaknya orang-orang itu tidak berniat melanjutkan usahanya. Dua orang yang tadi jatuh segera berlari mengejar mobil yang sudah melaju cukup jauh. Akupun tidak punya niat mengejarnya.

Aku membantu Zulfa bangkit berdiri, "Kau tidak apa-apa?" tanyaku.

Dia menggeleng, "Terima kasih," ucapnya tampak masih syok.

"Maaf Mbak!" ucap sopirnya. Jidatnya tampak benjol dan sudut bibirnya mengalir darah.

"Tidak apa-apa, Pak. Pak Das sendiri gimana lukanya?" Zulfa balik tanya kepada sopirnya.

"Tidak apa-apa, Mbak," jawabnya.

"Fa, sebaiknya kita pergi dari sini dulu. Siapa tahu nanti mereka datang lagi," ucapku menyela. "Pak Das berangkat dulu, biar Zulfa sama saya," lanjutku. Pak Das melihat ke arah Zulfa, setelah Zulfa mengangguk dia segera menuju mobil Honda City itu.

"Ayo," ucapku berjalan menuju mobil.

Aku buka pintu untuknya, setelah dia naik aku tutup pintunya. Hal itu membuat dia tersenyum. Tanpa mempedulikan hal itu, aku jalankan mobil meninggalkan tempat itu. "Kamu mengenal siapa mereka?" tanyaku memecah kebisuan di antara kami.

"Saya rasa tidak! Lebih enak tidak perlu saya dan kamu, cukup aku dan kau," ujarnya.

"Ok. Tapi maksudnya kau rasa, jadi mungkin," kejarku.

"Bukan begitu maksudku. Aku sudah lama tinggal di luar negeri, teman di sini saja sudah lupa semua. Apa lagi musuh!" jelasnya.

"Jadi murni kriminal."

"Sepertinya."

Kami kembali diam sampai tiba di rumahnya. Seperti tadi, aku membukakan pintunya. "Masuk dulu, Vin," pintanya.

Tanpa diminta akupun berencana untuk masuk dulu. Sebelum masuk aku temui Pak Das, Dasuki lengkapnya. Aku jumpai dia ada di garasi. Garasi yang besar, cukup untuk menampung delapan mobil. Selain Honda City yang sedang di periksa Pad Das dan temannya, masih ada Toyota Camry, Toyota Alphard dan Honda Freed di garasi itu.

Melihatku masuk, Pak Das menyalamiku. "Terima kasih Mas. Bapak tidak tahu gimana nasib Mbak Zulfa, kalau tidak ada Mas Gavin," ucapnya dengan tersenyum.

"Biasa sajalah, pak. Yang rusak apa, Pak?" tanyaku sambil ikut melihat mobil itu. Bemper depan sedikit penyok, kaca samping kanan pecah.

"Besok bawa saja ke bengkel langgganan, Pak," ucap Zulfa yang baru saja masuk. Dia sudah ganti pakaian, namun tetap tertutup pakaiannya.

"Siap Mbak," jawab Pak Das, Dasuki lengkapnya.

Aku dan Zulfa lalu meninggalkan garasi menuju gazebo yang ada di taman depan. Sudah ada minuman dan makanan kecil di atas meja. Tempat ini tidak asing bagiku. Karena Aku dan Dion sering kongkow di gazebo ini dengan Fariz.

"Sekali lagi terima kasih, Vin. Untuk pertolonganmu tadi," ucapnya setelah kami duduk.

"Tidak masalah. Yang jadi masalah bagiku adalah, kenapa selama ini aku tidak tahu kalau Fariz punya kakak secantik kau," ucapku memuji sambil memandangnya. Sekilas pipinya memerah, dan tersenyum. Tapi saat tahu aku memandangnya dia membuang muka ke arah lain.

"Sepertinya Fariz belajar darimu, dia dulu pendiam dan sedikit kuper. Tapi sekarang pintar ngomong," sindirnya.

"Sejak kapan tinggal di luar negri? Di mana?" tanyaku.

"Kata Fariz kau akan belajar di Inggris ya?" Zulfa tidak menjawab, malah balik bertanya.

"Ya," jawabku, kemudian mengulang pertanyaan tadi.

Belum sempat Zulfa menjawab, sebuah mobil memasuki gerbang rumah dan berhenti di depan garasi. Setelah keluar dari mobil dia segera menuju ke arah kami.

"Kakak tidak apa-apa?" tanya orang yang baru datang, yang bukan lain adalah Fariz.

"Tidak apa-apa, sudah duduk dulu," jawabnya santai.

Setelah itu Fariz berterima kasih padaku karena menolong kakaknya. Kemudian kami bercerita panjang lebar, hingga aku tahu semua tentang kehidupan Zulfa dan dia juga tahu tentangku, tentu saja tidak termasuk kesukaanku bercinta. Lulus SMU Zulfa sudah tinggal di luar negeri, kuliah di salah satu universitas tertua dan ternama di dunia, Oxford University.

Di usia yang mendekati 27 tahun, Zulfa hampir menyelesaikan program Masternya. Selain itu dia juga menjadi salah satu asisten dosen di universitas yang sama. Kami berbincang lama hingga suasana cair, seperti teman lama. Tidak terasa jam 11 malam, Fariz menawariku untuk tidur di rumahnya tapi aku tolak.

Tidak tahu kenapa aku seperti tidak ingin meninggalkan kesan buruk di mata Zulfa. Apakah aku cinta kepadanya? Entahlah, aku tidak bisa menjawabnya. Dengan enggan aku beranjak dari rumah itu, tapi sebelumnya aku beranikan diri untuk minta no ponsel dan pin BBnya.

Tanpa diduga ternyata dia mau memberikan itu. Maka dengan hati senang aku meninggalkan rumah itu, diiringi tatapan heran dari Fariz.

#####

Tengah malam, saat aku hampir terlelap ponselku berbunyi. Aku pikir dari Zulfa, karena beberapa menit sebelumnya aku mengirim pesan ke ponsel BBnya. Tapi ternyata bukan, aku segera mengangkat panggilan itu. Ternyata Om Dans.

"Ada apa, Om?"

"Besok temui aku di xxx. Masih ingat tempatnya-kan?"

"Baik," jawabku.

Belum sempat aku bertanya apa tujuannya, dia sudah menutup teleponnya. Aku mencoba berpikir apa yang akan dibicarakan Om Dans. Sampai bunyi hp kembali terdengar, sebuah pesan yang membuatku melupakan sejenak pikiranku soal Om Dans. Balasan ucapan selamat malam dan selamat tidur dari Zulfa, dengan ikon smile menyertai pesan itu. Aku senyum-senyum sendiri hingga terlelap.

Keesokan harinya aku terbangun saat alarm berbunyi jam 5 pagi. Seperti rutinitas biasanya, aku turun ke bawah terus lari, jogging, bermain basket sebentar, sedikit latihan beladiri hingga jam 7 aku kembali ke Apartemen. Setelah mandi aku bersiap-siap menuju tempat yang disebut Om Dans.

Pukul sembilan kurang lima belas menit aku sampai di rumah makan itu. Aku segera menuju ke belakang dimana aku pernah bertemu Om Dans waktu itu. Ternyata Om Dans belum datang, aku menunggu di meja yang telah disiapkan oleh pelayan. Jam 9 kurang 1 menit, Om Dans datang dengan Sora.

Aku bangkit menyambut Om Dans dan Sora. Sambil menunggu makanan, Om Dans mulai membuka percakapan. "Situasinya lebih rumit dari yang diperkirakan. Karena kejadian itu ISF di evaluasi besar-besaran, bahkan ada wacana untuk dibubarkan. Walau akhirnya hanya dibekukan untuk sementara sampai batas waktu yang belum ditentukan. Aku tahu pembekuan ini karena ada tekanan dari pihak yang tidak senang dengan keberadaan ISF. Beberapa orang ini sudah lama kita curigai ada hubungan dengan sindikat kriminal Internasional, tapi kita belum punya buktinya. Gian dan Anwar yang ditugaskan untuk menyelidiki hal ini. Dan orang yang kemarin kau kirim fotonya adalah informan Gian. Kalau menurut ceritamu, berarti orang itu berusaha menghubungi gian. Mungkin dia punya suatu informasi yang ingin di sampaikan. Untuk itu aku memintamu untuk menemui orang itu. Karena hanya kau Agent yang bebas bergerak saat ini."

Om Dans diam sejenak, karena ada pelayan yang mengantarkan makanan. Setelah pelayan itu pergi dia lalu meneruskan ucapannya, "Sebelumnya aku harus bilang padamu. Tugas ini bisa sangat berbahaya bagimu. Kau bisa terbunuh dan kalau tertangkap aku mungkin tidak bisa menolongmu. Jadi tugas ini kau benar-benar sendiri. Sementara jika kau berhasil, maka kau telah menyelamatkan negaramu, dan ISF bisa mengembalikan nama baiknya. Aku tidak akan memaksamu, semua keputusan ada padamu. Kau kuberi waktu dua hari untuk memikirkan hal ini. Jika kau setuju aku akan mempersiapkan keberangkatanmu."

Setelah itu tidak ada pembicaraan karena kami menyantap hidangan yang telah dipesan. Tidak lama setelah selesai makan Om Dans dan Sora pergi, karena ada pertemuan penting. Mereka hanya berpesan padaku, untuk benar-benar memikirkan hal yang tadi kami bicarakan.

#####

Tidak lama kemudian aku juga meninggalkan tempat itu, dengan berbagai hal berkecamuk di dalam pikiranku. Ini benar-benar menjadi dilema bagiku, jalan mana yang harus kuambil. Aku harus minta pertimbangan kepada siapa? Tidak mungkin hal ini kukatakan kepada Ayah dan Ibu. Minta pertimbangan Mbak Tika juga tidak mungkin. Aku berhenti, kemudian menghubungi Mas Bram dan Elang. Kebetulan juga Elang juga ingin berbicara sesuatu kepadaku. Sementara Mas Bram mengatakan akan meluangkan waktu nanti sore untuk menemuiku.

Saat hendak melanjutkan perjalanan, kulihat Pak Das sedang berdiri di pingir jalan sedang memanggil Taxi. Aku segera memanggilnya. Melihatku, dia segera berjalan ke arahku. "Mau kemana, Pak?" tanyaku.

"Mau pulang, Mas" jawabnya.

"Ayo masuk, saya antar."

"Tapi..."

"Sudah, tidak usah sungkan. Kebetulan aku juga mau kesana," ucapku sedikit berbohong.

Setelah itu Pak Das masuk. Dalam perjalanan dia bercerita, dia baru saja mengantarkan mobil yang semalam rusak ke bengkel. "Sebenarnya ada yang ingin bapak sampaikan kepada Mas Gavin. Taaapi...," ucapnya ragu.

"Ada apa, Pak? Bilang saja." ucapku.

"Sebenarnya ini soal Mbak Zulfa."

"Ada apa dengan Zulfa?" ujarku penasaran.

"Tapi Mas Gavin harus janji ya, jangan bilang kalau cerita ini dari saya."

"Baik, aku janji."

"Sebenarnya peristiwa yang semalam itu bukan yang pertama kali."

"Maksudnya?" tanyaku makin penasaran.

Pak Dasuki lalu menceritakan bahwa sebelum kejadian semalam gerombolan itu sudah dua kali mencegatnya. Tapi mereka cuma memeriksa mobil yang dikendarainya. Semalam Pak Das baru menyadari bahwa gerombolan itu ternyata mencari Zulfa. Selain itu dari kamera cctv juga diketahui bahwa mereka berkali-kali mengawasi rumah keluarga Ihsan.

"Saya sudah mencoba bicara kepada Mbak Zulfa. Tapi dia bilang pada saya untuk tidak perlu khawatir dan meminta hal ini agar tidak diceritakan kepada Mas Fariz. Sementara Tuan baru pulang minggu depan. Menurut Mas Gavin, apa yang harus saya lakukan? Saya betul-betul merasa khawatir."

Mendengar hal itu, aku juga sependapat dengan Pak Das. Tapi apa yang mereka cari dari Zulfa. Setelah berpikir sejenak aku berkata kepada Pak Das, "Baiklah pak, nanti biar aku coba bicara dengan Zulfa. Dan aku akan minta temanku untuk menyelidiki hal ini."

Mendengar ucapanku, Pak Das menjadi cerah mukanya. "Terima kasih, Mas," ucapnya tersenyum.

Tapi saat sampai di rumah itu, ternyata Zulfa sedang keluar. Aku batalkan rencanaku untuk mampir di rumah itu. Aku pamit pada Pak Das, tapi aku berjanji padanya akan segera menghubungi Zulfa.

#####

Sampai di rumah aku segera menghubungi Zulfa, tapi nomernya sedang tidak aktif. Aku menyalakan televisi, walau kemudian aku melihat tidak dengan konsen. Mataku ke arah televisi, tapi otakku sibuk memikirkan persoalan-persoalan yang ada di depanku. Hingga aku tidak sadar terlelap di sofa ruang tamu itu.

Entah berapa lama aku tertidur. Saat aku bangun tidur, ternyata sudah ada orang lain di ruangan itu. "Sudah lama Lang?" tanyaku bangkit duduk.

"Sekitar satu jam," jawab Elang yang duduk di kursi sebelah kiriku. "Tampaknya kau sangat lelah, Vin," lanjut Elang.

"Mungkin," ucapku beranjak ke dapur.

"Ada masalah apa?" tanya Elang, sekembalinya aku dari dapur.

Setelah minum, aku diam sejenak. Kemudian aku menceritakan semua apa yang kuhadapi saat ini. "Bagaimana menurutmu Lang?" Aku meminta pendapatnya, setelah semua ceritaku selesai.

"Aku tidak tahu harus bicara apa? Aku bukan orang yang mudah terbawa emosi, dan mungkin itu pembawaanku sejak lahir. Kita walau baru bertemu, kenal, berteman dan kemudian mengangkat saudara. Tapi aku merasa kau benar-benar saudaraku sejak dulu. Hingga aku dapat merasakan apa yang kau rasakan."

"Aku mungkin dulu tidak akan merasa dilema kalau menghadapi apa yang kau hadapi saat ini. Karena tidak ada keterikatanku dengan orang lain. Apa yang ingin kulakukan akan kulakukan selama tidak melanggar hak orang lain."

"Dalam hal ini sebenarnya mudah saja penyelesaiannya. Semua tergantung padamu. Kau tanyalah pada hatimu, apa yang kau inginkan. Kau dulu pernah berkata, pada awalnya kau tidak menyetujui keputusan Ayah, saat dia mendaftarkanmu sekolah untuk menjadi pegawai negeri. Jadi kini hal itu kembali berulang, tapi saat ini keputusannya ada pada dirimu sendiri, bukan orang lain."

Aku berpikir apa yang Elang katakan memang benar. Aku sekarang sudah dewasa, jadi harus bisa memikirkan dan memutuskan apa yang harus kulakukan. Setelah berpikir matang maka aku membuat keputusan. "Aku mengerti apa yang kau maksud Lang. Baiklah aku akan terima tawaran Om Dans. Segala resiko biarlah aku tanggung. Lagi pula aku ini lelaki tipe petualang. Jika ada petualangan di depan mataku, kenapa aku tidak ambil. Selain itu, jika aku bisa menyelesaikan tugasku lebih cepat, aku masih punya waktu untuk menuju tempat tugas. Terima kasih Lang atas saran dan dukunganmu," ucapku sambil memeluknya.

"Hai, aku bukan tante-tante. Tidak usah lama memelukku," gurau Elang.

"Haa... Haa... Haa... Haa..." kami kemudian tertawa bersama.

"Oh ya, kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan juga," ujarku setelah tawa kami reda.

Elang diam sejenak, kemudian berkata, "Sebenarnya aku juga dapat kesempatan belajar sepertimu."

"Maksudnnya?" tanyaku.

"Ya, seperti kau. Aku tadi pagi di panggil Pak Kapolda. Dia mengatakan, Mabes akan mengirim lima orang ke Amerika untuk menambah ilmu. Dan salah satunya aku," ujar Elang.

"Benarkah? Selamat Lang. Kau memang pantas mendapat kesempatan itu. Karena kau adalah yang terbaik," ucapku, sembari memeluknya kembali. Dan kami kembali tertawa bersama.

"Kapan dan berapa lama?" tanyaku.

"Dalam satu bulan ini aku harus sudah berangkat. Di sana sekitar 6 - 12 bulan."

Kami lalu berbicara mengenai bermacam hal, tidak lupa aku meminta Elang untuk menyelidiki orang-orang yang berusaha menculik Zulfa.

"Vin, selama kita mengangkat saudara hampir satu tahun ini tanpa kita sadari, ternyata kita ini jarang seperti ini. Entah karena kesibukanmu atau kesibukanku. Bagaimana kalau sebelum kau berangkat, kita luangkan waktu untuk bersama."

"Boleh, kita mau kemana?"

"Tidak perlu kemana-mana. Kita lakukan saja kegiatan barian bersama."

"Contohnya?"

"Misal: Basket, Renang, Menembak, Outbound, dan lain-lain. Bagaimana?"

"Ok, kita berdua atau mau ngajak Mas Bram, Fariz dan Dion?"

"Boleh juga ajak mereka. Yang penting no Tante ya,"

"Deal, ayo mumpung masih sore kita mulai saja sekarang. Sambil nunggu Mas Bram."

Aku dan Elang lalu berganti pakaian. Setelah itu kami pergi ke tempat fitnes yang tidak jauh. Banyak yang kagum dengan bodi Elang, tapi dia cuek saja. Sementara Elang hanya bisa geleng-geleng kepala, saat aku tebar pesona di tempat itu.

Tidak lama di tempat itu, kami lalu pulang. Saat lewat lapangan basket yang biasa ternyata cukup ramai. Aku lalu mengajak Elang untuk bergabung. Dan tidak kusangka sebelumnya, ternyata Elang cukup jago bermain basket. Apalagi di tunjang dengan tubuh tinggi besarnya. Dengan mudahnya dia melakukan Rebound dan Dunk.

Kami mengakhiri pertandingan itu dengan sama-sama kelelahan, tapi hati senang. Elang bercerita pernah ikut klub basket di sekolahnya. Tapi saat sekolahnya akan ikut kejuaran nasional antar SMU, terjadi kasus di sekolahnya. Jadi, diapun gagal tampil di kejuaraan itu.

Malam harinya Mas Bram datang bareng dengan Mbak Rara. Setelah mendengar ceritaku, akhirnya dia mendukungku. Dan berjanji akan membantuku berbicara dengan Ayah dan Ibu. Kami kemudian berbincang hingga larut malam. Sambil menunggu telepon dari Om Dans, dalam dua hari ini aku pergunakan waktu untuk melakukan kegiatan bersama teman-teman. Tidak lupa sesuai janjiku, aku mengatakan persoalan Zulfa kepada Elang, dan meminta dia untuk menyelidiki masalah ini.

Tepat empat puluh delapan jam kemudian dari saat terakhir dia menemuiku, Om Dans menelepon menanyakan keputusanku. Setelah mendengar keputusanku, Om Dans memintaku untuk bersiap-siap. Karena dia akan memberangkatku dalam dua puluh empat jam ini.

Setelah menerima telepon itu aku tidak bisa tidur. Mau menghubungi Ayah dan Ibu tapi aku takut mereka terganggu dan khawatir. Apa lagi ini sudah tengah malam. Akhirnya aku membuka laptop dan berselancar di dunia maya. Membuka berbagai macam akun media sosial, mencoba mencari teman yang masih online.

Saat asyik tenggelam dalam dunia maya, telepon kembali berbunyi. Om Dans lagi, dia hanya bicara singkat. Aku berangkat ke negeri Tiongkok hari jam 17.00 Wib. Semua sudah diurus ISF, aku tinggal berangkat. Jam 5 sore, berarti lima belas jam lagi dari sekarang.

Setelah Om Dans menutup telponnya. Aku segera menghubungi temanku yang bekerja di stasiun Pekalongan. Meminta dia untuk menyediakan tiket kereta api ke Jakarta untuk beberapa orang. Setelah itu aku berusaha untuk beristirahat untuk satu-dua jam, menunggu pagi hari.

Setengah lima aku bangun, kemudian kegiatan rutin pagi hari. Jam lima aku telepon Ayah dan Ibu. Mereka tentu kaget mendengar hal itu, tapi setelah aku memberi penjelasan, akhirnya mereka mengerti. Aku juga berkata sudah memesan tiket kereta untuk Ayah dan Ibu agar bisa ke Jakarta, sebelum keberangkatanku.

Kemudian kukabari juga Mas Bram, Mbak Tika, Elang, Mbak Ina, Dion, Fariz serta yang lainnya. Sama seperti ayah dan ibu, mereka juga kaget. Mbak Tika jelas yang paling sedih, karena dia tidak bisa mengantarku. Setelah itu seperti biasa menggerakkan badan walau sebentar. Setelah mandi aku mempersiapkan apa saja yang akan kubawa, hanya benar-benar barang yang kubutuhkan saja. Soal barang yang lain, yang harus kubawa ke Inggris aku tinggal, biar nanti dikirim lewat paket.

Setelah semua siap aku beristirahat, selain untuk menyegarkan jasmani juga berusaha untuk sejenak membebaskan pikiran dari hal-hal yang membebaniku. Hampir tengah hari saat aku terbangun karena bunyi telepon. Ayah dan ibu sudah sampai, dan menelponku bisa menjemput atau tidak. Aku minta mereka untuk naik Taksi. Empat puluh menit kemudian mereka sampai. Setelah istirahat sebentar, Ayah dan Ibu mengajakku bicara.

Maklum ini adalah pertama kalinya aku akan berpisah jauh dengan mereka. Memang selama tujuh tahun ini kami berpisah juga, aku di Jakarta dan mereka di Pekalongan. Dan itu jarak yang masih bisa di capai dengan 6 - 8 jam perjalanan. Tapi kalau di luar negeri, tentu jauh lebih sulit untuk bertemu. Apalagi pendidikanku bisa sampai dua tahun.

Mereka lalu memberiku pesan agar aku selalu menjaga kesehatan dan lain sebagainya. Menjelang sore hari Elang datang, dan tidak lama kemudian diikuti Mas Bram bersama Mbak Rara. Karena Ayah dan Ibu menghendaki, maka aku menitipkan apartemen dan kendaraan pada Mas Bram dan Elang.

Tidak lama kemudian aku berangkat ke bandara di antar oleh mereka. Ayah dan ibu di mobil Mas Bram, sementara aku dan Elang satu mobil. Banyak teman-teman yang mengirim pesan, tapi aku tidak bisa membalas semuanya. Dalam perjalanan ke bandara Om Dans meneleponku. Dia mengatakan akan ada orang yang menemuiku di restoran bandara.

Setengah lima kami sampai di bandara. Aku segera menuju restoran untuk menemui orang yang di maksud Om Dans. Orang itu memberiku tiket dan satu koper kecil. Karena waktu keberangkatan sudah di umumkan, aku segera berpamitan pada mereka semua. Ibu adalah orang terakhir dan yang paling lama memelukku. Air matanya menetes membasahi pipinya. Dia menggenggam erat tanganku, seakan enggan melepas kepergianku. Ayah menenangkan hatinya, hingga ibu mau melepaskan tanganku.

Setelah kembali memeluk ayah dan ibu untuk terakhir kalinya, aku kemudian melangkah ke pintu masuk keberangkatan. Dan kini, aku sudah di atas pesawat yang baru saja tinggal landas. Sekali lagi aku menengok ke bawah, melihat bandara yang baru saja kutinggalkan.

Mentari senja menyinariku yang duduk di sebelah jendela. "Selamat tinggal Ayah, Ibu, Elang, Mas Bram, Mbak Rara. Semoga kita bisa bertemu lagi, secepatnya!" bisikku dalam hati. Karena aku merasa ini hanyalah sebuah akhir dari awal perjalanan panjangku yang baru.

##### 


End of Beginning III B : Elang

Dalam perjalanan pulang dari Bandara sehabis mengantar Gavin, aku memisahkan diri dari rombongan Mas Bram. Aku memang bisa memberi nasihat pada Gavin. Tapi pada kenyataannya aku sendiri masih bingung dengan keputusanku. Bukan soal tugas belajarku. Soal itu aku sudah mengambil keputusan, aku akan mengambil tawaran dari Mabes itu. Kapan lagi, kalau bukan sekarang. Lagi pula pendidikan ini juga menambah pengetahuan dan keahlianku dalam menjalankan tugas-tugasku di masa depan.

Yang kupikirkan adalah bagaimana hubunganku dengan Avi dan Chantal, dan bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada mereka. Aku memang belum mengatakan hal ini pada mereka. Avi sedang ada tugas peliputan di luar kota selama seminggu. Sementara Chantal juga ada urusan selama tiga hari di luar kota. Tadi pagi dia sudah memberi tahu bahwa dia sudah kembali. Tadi aku sudah memberi tahu Ayah dan Ibu ( Gavin ) bahwa aku akan pulang terlambat. Sebelum aku menuju rumah Chantal, aku sempatkan untuk ke kantor.

Seorang kawanku telah mengirimkan data-data yang kuminta. Berdasarkan foto dan rekaman cctv yang diberikan Gavin. Orang-orang yang mengawasi rumah Fariz tidak mempunyai riwayat kejahatan. Sementara mobil yang mereka gunakan adalah milik salah seorang pengusaha besar. Apakah ini ada hubungan dengan persaingan antar pengusaha atau hal lainnya, aku belum tahu. Mungkin besok aku akan mulai menyelidikinya, sesuai janjiku kepada Gavin.

#####

Jam delapan malam aku sampai di rumah Chantal. Mazel sudah tidur, sementara Nathan masih belajar. Chantal sedang ngobrol dengan Prudence di ruang makan. Melihatku datang, Chantal menawariku makan malam. Aku yang kebetulan makan, dengan senang hati menerimanya. Chantal melayaniku seperti melayani suaminya yang baru pulang kerja. Hal itu membuatku merasa tidak enak hati. Apalagi ada Prudence di tempat ini.

Tidak lama kemudian Prudence pulang, dijemput temannya. Saat Chantal membersihkan peralatan makan, aku ke kamar Nathan dan berbicara sebentar dengannya. Setelah dia bersiap tidur aku keluar dari kamarnya sambil mengucapkan selamat malam.

Aku menuju ke ruang keluarga, kemudian menyalakan televisi. Tidak lama kemudian Chantal datang dan duduk di sebelahku. Untuk beberapa saat kami hanya diam. "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Avi?" tanya Chantal tiba-tiba.

"Masih jalan di tempat," ucapku setelah diam lama.

Kembali kami saling diam. Hanya suara televisi yang terdengar di ruang itu. "Chant, aku ingin berbicara tentang sesuatu," kataku.

Dia menengok ke arahku. Menatap mataku, melihatku serius dia kemudian mematikan televisi. Setelah mengambil nafas panjang aku berkata, "Entah hal ini ada hubungan denganmu atau tidak. Aku hanya ingin kau mengetahuinya. Aku akan di kirim ke Amerika untuk pendidikan selama 6 - 18 bulan."

Aku tatap matanya, ada keterkejutan dan kesedihan di mata itu. "Selama itu?" desisnya.

"Ya," anggukku.

"Bagaimana dengan Avi?"

"Dia belum tahu."

Chantal menatapku tidak percaya. "Dia masih di luar kota," jelasku.

"Aku tidak berhak untuk melarangmu. Lagi pula aku tahu sifatmu, aku larangpun kau pasti akan tetap berangkat. Benarkan?"

"Ya. Aku tidak minta kau melarangku. Tapi kau pasti mengerti, kau adalah salah satu wanita yang spesial bagiku. Aku hanya minta dukunganmu. Kalau aku tidak menganggapmu, aku pasti tidak akan mengatakan hal ini padamu. Aku tidak tahu apa nama dari hubungan kita ini, tapi kau mengerti apa yang kumaksud bukan?"

"Ya, aku selalu tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hal itu adalah kelemahanmu sekaligus suatu kelebihan juga bagimu."

"Terima kasih, Chant. Kau memang wanita yang spesial. Karena hal itulah..." aku tidak melanjutkan ucapanku, saat kulihat dia tampak sedih.

"Sudahlah Lang, jangan ucapkan hal seperti itu lagi." dia mengusap ujung matanya.

"Kalau begitu aku pulang dulu." aku bangkit berdiri.

"Lang." Chantal menahan tanganku.

Aku berbalik, kulihat matanya berkaca-kaca. Dia bangkit lalu memelukku dan menangis di dadaku. Aku biarkan itu berlangsung untuk beberapa lama. Setelah hampir lima menit chantal mengangkat mukanya dari dadaku, dia memandangku. "Lang, maukah kau tidur di sini untuk terakhir kalinya?"

Pertama ada kebimbangan dalam hatiku. Tapi saat dia bertanya untuk kedua kalinya, aku hanya bisa mengiyakan permintaannya. Untuk beberapa lama kami hanya saling berpandangan. Chantal menarik kepalaku hingga aku menunduk, dia mencium keningku, kemudian mengecup kedua pipiku, dan mengecup bibirku. Aku masih diam dengan apa yang dilakukannya.

Tapi aroma tubuh Chantal yang tajam memasuki hidungku hingga memenuhi benakku dan membangkitkan nafsuku. Tanpa sadar aku mulai membalas ciumannya saat bibirnya bertambah liar di bibirku. Saat dia memasukkan lidahnya ke mulutku, aku sambut dengan liar, kubalas dengan menghisap lidahnya hingga dia mengerang lirih.

Chantal melepas ciumannya, kemudian melingkarkan tangannya pada leherku. "Bawa aku ke kamar Lang," bisiknya. Tanpa berpikir panjang aku membopong tubuhnya ke arah kamar tidurnya. Sesampainya di kamar kuturunkan tubuhnya. Kami berhadapan sejenak, lalu Chantal tersenyum dan kembali bibirnya mengecup bibir bawah dan atasku bergantian dan berusaha membangkitkan gairahku lagi. Aku tidak mau kalah, aku membalas ciuman bibirnya dengan sama buasnya.

Kami kembali dengan permainan lidah kami. Kumainkan lidahku di antara kedua bibirnya, kukorek-korek lidahnya agar keluar. Dengan perlahan lidahnya keluar dan dengan malu-malu mengikuti gerakan kemana lidahku pergi. Dan ketika dengan perlahan lidahnya menjulur memasuki mulutku, kusambut dengan lembut dan perlahan kujepit dan kuhisap lidahnya didalam mulutku.

"Uhmmpp..." dia mendesah dan tubuhnya menggeliat menahan nikmat yang menyerangnya.

Sementara, tanganku mulai menyusup dari bawah gaunnya dan merayap ke atas. Tangan kananku menemukan payudara kanan Chantal setelah menyusup dan membuat gaun itu terangkat sampai ke tengah tubuhnya. Chantal juga membantu dengan sedikit mengangkat tangannya sehingga gaun tidurnya secara mudah tertarik ke atas sampai terbuka.

Tubuhnya kini telanjang di depanku, tubuh yang putih mulus dengan beberapa buah tato di tubuhnya. Setelah itu dia segera melepas baju dan juga celanaku. Kini kami sama-sama telanjang. Chantal beranjak menuju ranjang dan menata bantal yang ukurannya besar di ujung ranjang kemudian dia bersandar di situ dengan pose menantang. Dia membuka lebar kakinya hingga aku dapat melihat jelas vaginanya. Aku beranjak ke ranjang dan mendekatinya.

Setelah sejenak saling raba dan sentuh, Aku kembali menciumnya sambil meremas payudaranya yang besar dan kenyal itu. Sesekali kucium pipi dan menjilati lehernya hingga membuat dia bergetar dan mengerang. Ciuman kuturunkan ke arah payudara kanannya. Perlahan-lahan aku kecup sekitar payudaranya. Kemudian kujilat memutar mengelilingi payudaranya hingga akhirnya sampai ke putingnya.

Aku hisap sesaat kemudian aku pindah ke payudara kiri untuk memperlakukan hal yang sama. Sepertinya Chantal tidak sabar, dia menarik tanganku dan menekan telapak tanganku kearah payudaranya yang bebas. Aku mengerti, kemudian kuremas perlahan payudaranya sambil memutar-mutar putingnya sehingga dia menggeliat dan menggelinjang. Kulihat mata Chantal sangat redup, dia memagut-magut bibirnya sendiri, mulutnya mengeluarkan desahan erotis.

"Oohh.. aarghh.. en.. ennak Lang, emmh.." Kata Chantal mendesah.

Tiba-tiba tangannya memegang tanganku yang sedang meremas-remas payudaranya dan menyeret ke selangkangannya. Aku mengerti apa yang diinginkannya, dia ingin agar aku segera mempermainkan liang vaginanya. Jari-jariku pun segera bergerilya di vaginanya. Kugerakkan jariku keluar masuk dan kuelus-elus klitorisnya yang membuat Chantal semakin menggelinjang tak karuan.

"Ya.. terruss.. argghh.. eemmh.. enak.. oohh.." Mulut Chantal meracau.

Setiap kali Chantal terasa mau mencapai klimaks, aku hentikan jariku menusuk vaginanya, setelah dia agak tenang, aku permainkan lagi liang vaginanya, kulakukan beberapa kali.

"Emhh Lang.. ayo dong jangan gitu.. kau jahat oohh.." Kata Chantal memohon.

Mendengarnya membuatku merasa kasihan juga, tapi aku tidak akan membuatnya klimaks dengan jariku tapi dengan mulutku. Segera ku arahkan mulutku ke vaginanya. Kusibakkan rambut pubis tipis yang mengelilingi vaginanya dan terlihatlah liang senggamanya yang merah dan mengkilap basah, sungguh indah. Segera aku jilati lubang itu, lidahku kujulurkan keluar masuk.

"Lang... arghh.. oh.. emhh.." desahnya.

Aku tak perdulikan kata-katanya, lidahku terus menari-nari di dalam liang senggamanya bahkan menjadi semakin liar tak karuan Ketika lidahku menyentuh klitorisnya, dia mendesah panjang dan tubuhnya menggeliat tak karuan dan tak lama tubuhnya bergetar beberapa kali, tangannya mencengkram sprei dan mulutku dipenuhi cairan yang keluar dari liang kewanitaannya.

"Ohmm.. emhh.. ennak Lang.. aahh.." Kata Chantal ketika dia mencapai klimaks.

Setelah Chantal selesai menikmati kenikmatan yang diperolehnya, aku mencumbunya lagi karena aku juga ingin mencapai kenikmatan. Kali ini posisiku di bawah tubuh Chantal. Aku tidur telentang dan Chantal melangkah di atas batang penisku. Tangannya memegang batang kejantananku yang tegak perkasa, setelah menjilatinya lalu perlahan-lahan pinggangnya diturunkan dan vaginanya di arahkan ke batang penisku dan dalam sekejap bless burungku hilang ditelan liang kewanitaannya.

Chantal lalu mulai melakukan gerakan naik turun, dia angkat pinggannya dan ketika sampai di kepala penisku dia turunkan lagi. Semula pelan-pelan tapi kini dia mempercepat gerakannya. Kulihat wajahnya penuh dengan keringat, matanya sayu sambil merem-melek dan sesekali ia melihat ke arahku. Mulutnya mendesis-desis, sungguh seksi wajah wanita yang sedang dikuasai nafsu birahi dan sedang berusaha mencapai puncak kenikmatan.

Wajah Chantal terlihat sangat cantik seperti itu ditambah lagi rambutnya yang terlihat acak-acakan terombang ambing gerakan kepalanya. Payudaranya terguncang-guncang, lalu tanganku meremas-remasnya. Desahannya bertambah keras ketika jari-jariku memelintir puting susunya.

"Oh emhh yaah.. oohh..., Aku tidak kuat lagi, Lang..!" Kata Chantal sambil berhenti menggerakkan badannya. Tampaknya dia segera mencapai klimaks, lalu aku rebahkan tubuh Chantal dan kupompa liang senggamanya, tak lama Chantal mencapai klimaks.

Kuhentikan gerakanku untuk membiarkan Chantal menikmati orgasme yang kedua kalinya. Setelah itu kucabut batang penisku dan kuminta Chantal menungging, lalu kumasukkan batang penisku dari belakang. Chantal terlihat hanya pasrah saja terhadap apa yang kulakukan padanya. Dia hanya mendesah kenikmatan. Setelah beberapa lama dan puas dengan posisi ini, aku minta Chantal kembali ke posisi semula.


Kembali kumasukkan batang kejantananku dan memompa vaginanya lagi, karena aku ingin mengakhirinya. Beberapa saat kemudian Chantal ingin klimaks lagi, wajahnya memerah dan tubuhnya menggelinjang kesana-kemari.

"Ahh.. oh.. aku mau sampai lagi, Lang !. arrghh ahh.." kata Chantal.

"Tunggu Chant, ki.. kita barengan.. aku juga sedikit lagi.." desahku.

"Aku sudah tidak tahan Lang.. ahh.." kata Chantal mendesah panjang. Lalu tubuhnya bergetar hebat, pinggulnya terangkat naik. Cairan hangat membasahi dan menyirami batang penisku.

Kurasakan dinding vaginanya seakan akan menyedot penisku begitu kuat dan akhirnya aku pun tidak kuat "Crott... croot... croot..." aku juga mencapai klimaks. Kenikmatan yang luar biasa. Lalu kami saling berpelukan erat meresapi kenikmatan yang merasuki kami berdua.

#####

Mungkin karena lelah setelah pertarungan kami, Chantal tertidur. Setelah menyelimutinya, aku memakai celanaku kembali dan beranjak keluar. Setelah mengambil minuman aku kembali ke kamar dan duduk di tempat tidur sambil menonton televisi yang memang ada di dalam kamarnya tersebut. Mataku memang menatap layar televisi, tapi pikiranku mengelana entah kemana.

Entah berapa lama aku tenggelam dalam lamunan, aku sadar karena tiba-tiba Chantal memelukku dari belakang, kemudian menggelayut di punggungku.

"Maaf kalau kau terbangun karena suara televisi," ucapku

Dia tidak menjawab, tapi tetap memelukku erat. "Maaf ya Lang.." katanya manja.

"Maaf kenapa?" tanyaku, sambil mengelus tangannya yang melingkar ke dadaku.

"Maaf karena aku, kau mungkin merasa menghianati Avi,"

"Tidak apa-apa Chant. Aku tidak merasa seperti itu. Avi juga belum resmi menjadi milikku. Jadi kita semua masih bebas, lagipula kita semua sudah dewasa. Ini adalah hal yang wajar terjadi, walau bukan berarti aku membenarkan tindakanku," jawabku sambil memutar badanku. Kemudian aku memeluk tubuhnya erat. Harus kuakui, masih ada rasa sayang dengan wanita ini. Aku kecup keningnya sekali kemudian aku peluk erat lagi.

Tidak ada kata-kata yang terucap untuk waktu yang lama. Seolah tanpa perlu bicara kami sudah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing. Aku duduk bersandar di bagian atas ranjang. Sementara Chantal menyandarkan tubuhnya ke dadaku, sambil aku memeluknya dari belakang.

Selama menonton televisi, kami seperti pasangan yang sedang dimabuk kasmaran. Chantal bersikap sangat manja kepadaku sedang akupun memanjakannya dengan senang hati, mungkin ini adalah kesempatan terakhir untukku memanjakannya. Sambil memeluknya dari belakang, sesekali aku membelai rambutnya dan mencium tengkuknya yang putih bersih. Chantal cuma melenguh pelan sambil sekali-sekali mencium tanganku yang memeluknya.

Perlahan aku mulai mengelus-elus payudaranya, Chantal mulai duduk dengan gelisah. Apalagi saat aku meremas payudaranya, tubuhnya menegang dan melemas seirama dengan remasanku. Tangan kananku perlahan mengelus garis vaginanya, terasa perlahan cairan vaginanya mulai membanjir.

Tangan kiriku meremas payudaranya yang sebelah kiri, sementara jari tengah tangan kananku mulai menusuk vaginanya, terasa vaginanya berdenyut-denyut hebat. Chantal tidak sabar kemudian membalikkan badannya, kemudian dia menciumku dengan ganas, sedangkan tangannya menyerbu celanaku berusaha untuk mengeluarkan penisku, aku buka ikat pinggang dan resletingku sehingga Chantal bisa menarik penisku keluar dan mulai mengelus-elusnya.

Aku menelentangkannya ditengah tempat tidur, kemudian aku melepaskan celanaku sehingga akupun telanjang bulat. Perlahan aku merangkak di atas tubuhnya untuk memposisikan tubuhku di antara selangkangannya. Kemudian aku mencium bibirnya perlahan, turun ke arah lehernya, sesekali aku jilat lehernya. Kemudian aku turunkan ke payudaranya. Di situ aku menyedot puting dan meremas-remas payudaranya. Sesekali putingnya aku gigit kecil untuk memberinya sensasi.

Ciuman aku turunkan lagi ke perutnya yang rata tersebut. Aku cium pinggulnya kemudian paha dalamnya. Aku sengaja melewatkan vaginanya untuk sasaran akhir. Dari pahanya aku cium betisnya sampai aku cium ujung kakinya. Selanjutnya gerakan aku balik, aku cium betisnya, kemudian aku cium pahanya, selanjutnya, perlahan aku kecup vaginanya.
Aku tatap wajah Chantal dari antara selangkangannya, wajahnya terlihat tegang menunggu hal selanjutnya yang aku kerjakan.

Kemudian aku kecup vagina itu sekali lagi. Dengan menggunakan jariku, aku sibak bulu pubisnya sehingga vaginannya terlihat jelas, perlahan aku jilat bibir vagina kiri dan kanannya perlahan. Selanjutnya dengan gerakan pasti jilatan aku arahkan ke klitorisnya. Klitorisnya yang cukup besar dengan mudah kujilat kemudian aku hisap perlahan.

Pinggul Chantal semakin tidak tenang, dia seakan menghindari jilatannku tapi tangganya menekan kepalaku untuk terus menjilati klitorisnya. Cairan vaginanya keluar semakin banyak. Kemudian aku sejajarkan tubuhku dengan tubuhnya, dia mengerti kalau aku ingin penetrasi ke vaginanya. Tapi aku tunda sebentar, aku cuma menggosok-gosokkan kepala penisku ke bibir vaginanya.

Dia meringis seperti protes karena aku berlama-lama, aku cuma membalasnya dengan seyum kecil. Dia mencoba menekan pantatku, tapi aku tahan. Dia menatapku dengan wajah protes, dia terlihat frustasi. Dia mencoba menekannya sekali lagi, tapi tetap aku tahan, dia semakin frustasi. Kemudian aku kecup bibirnya sekali dan aku masukkan penisku sampai mentok.

"Kamu jahat sayang.. kamu jahat.." bisik Chantal saat aku memeluknya erat setelah memasukkan penisku.

Aku pompa penisku ke vaginanya perlahan, dan Chantal meresponnya dengan mengikuti gerakanku. Walaupun sebenarnya ini posisi yang konvensional, tapi entah kenapa terasa begitu nikmat. Aku bangkit dan berlutut diantara selangkangannya dengan penisku masih didalam vaginanya. Aku taruh jari tengahku ke mulutnya, dan aku hentikan gerakan penisku. Pertama-tama dia bingung, tapi kemudian dia menghisap perlahan jariku. Saat dia menghisap jariku, gerakan penisku aku selaraskan dengan gerakan hisapannya.

Dia tersenyum lebar, Chantal mengerti permainan ini, kemudian dia mulai menghisap mengikuti bagian mana dari vaginanya yang ingin ditusuk oleh penisku. Lama-lama gerakan hisapnya makin cepat sehingga aku makin susah menyelaraskan gerakannya dengan penisku, sepertinya dia sedikit lagi orgasme. Aku tarik jariku dan aku menindihnya dengan gaya konvensional. Perlahan aku pompa vaginanya kadang pelan, kadang cepat. Chantal terlihat makin dekat dengan orgasmenya, badannya makin tegang.

Tak lama tubuh Chantal melengkung sambil dia terpekik kecil, vaginanya terasa licin sekali. Aku percepat pompaanku dan akupun menekan penisku dalam-dalam sambil menyemprotkan spermaku ke rahimnya. Kemudian dia memelukku erat sambil berbisik, "Aku cinta kamu Lang, entah kamu menerima atau tidak."

Aku hanya tersenyum. "Aku akan menunggumu sampai batas maksimal kesabaranku." Chantal kemudian memelukku erat seperti tidak mau dilepaskan.

#####

Keesokan harinya. Walau dengan berat hati, Chantal melepas kepergianku. Matanya berkaca-kaca saat aku meninggalkan rumahnya. Dari rumah Chantal aku segera pulang. Ayah dan Ibu akan pulang ke Pekalongan siang ini. Aku sudah berjanji pada Mas Bram untuk mengantar mereka saat mau pulang.

Sebelum mereka pulang aku meminta restu mereka untuk keberangkatanku ke Amerika. Mereka benar-benar menganggap aku seperti anak mereka sendiri. Dengan setulus hati mereka mendo'akan aku sama seperti apa yang mereka do'akan untuk Gavin.

Sepulang dari mengantar Ayah dan Ibu aku menuju ke kantor. Belum ada kabar baru soal orang-orang yang mengawasi rumah Fariz. Aku mencoba mencari tahu tentang pengusaha yang punya mobil, yang di gunakan oleh mereka dalam beroperasi. Seorang pengusaha yang masuk dalam daftar 25 orang terkaya di negeri ini.

Dilihat dari rekam jejak semua perusahaannya belum pernah tersandung masalah hukum. Dia juga dermawan, sering menyumbang koleksi benda kuno ke museum, karena dia memang kolektor bermacam benda kuno dan antik. Atau rencana penculikan itu sama sekali tidak ada hubungan dengannya.

Perhatianku terganggu, saat tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. "Ya, hallo. Ada apa Vi? Kapan? Ok, sebelum jam tujuh aku akan sampai sana."

Telepon dari Avi. Dia sudah pulang dari luar kota semalam. Avi ingin berbicara denganku, dia memintaku untuk menjemputnya jam 7. Jam lima lebih sepuluh aku bersiap untuk pulang. Tapi baru saja keluar dari ruangan ajudan Bapak Kapolda memanggilku. Dia berkata aku di panggil oleh Pak Kapolda. Segera aku mengikuti ajudan itu menuju ruangan Kapolda.

Hampir jam Enam saat aku keluar dari ruangan itu. Setelah itu aku segera meluncur ke tempat kerja Avi. Tujuh kurang lima aku sampai di tempat kerja Avi. Aku menunggu di tempat parkir hingga dua puluh menit kemudian dia muncul. Satu minggu aku tidak bertemu dengannya, dan dia terlihat makin menarik.

"Kemana kita?" tanyaku setelah dia masuk mobil.

"Jalan dulu aja," kata Avi.

"Tidak biasanya kau seperti ini? Kau sehatkan?" tanyaku, melihat Avi tidak seriang biasanya.

"Aku baik-baik saja. Kau sudah makan?"

"Belum."

"Kita cari makan dulu. Cari tempat yang enak buat ngobrol. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan."

Nada bicaranya yang tegas seperti itu membuatku yakin bahwa ada sesuatu yang terjadi padanya. Sesampainya di warung langganan aku minta di bungkus saja makanannya. Setelah pesanan jadi aku lalu mengarahkan mobil ke apartemen yang selama ini kutinggali bersama Gavin. "Apa tidak mengganggu Gavin?" tanya Avi, melihat arah tujuanku.

"Tidak, Gavin sudah berangkat ke London." ucapku.

Setelah sampai kami segera makan dan satu jam kemudian kami sudah duduk di ruang tamu. Suasana memang lain dari biasanya. Karena biasanya Avi-lah yang menghidupkan suasana saat kami berdua. Entah dengan cerita maupun candaannya. Tapi karena kini Avi banyak diam, maka suasananya jadi sedikit kaku.

Hampir sepuluh menit kami hanya saling diam. Aku sendiri tidak tahu harus mulai dari mana mengatakan tentang rencana keberangkatanku ke Amerika.

"Lang!" suara Avi memecah kebisuan di antara kami.

Aku menoleh ke arahnya. Rona kesedihan menghiasi mukanya, membuatku menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi. "Ada apa? Bicaralah," ucapku menggenggam tangannya.

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

Pertanyaan sederhana, namun bagiku laksana palu godam yang menghantam sanubariku. Hingga membuatku gelagapan jadinya, tanpa sadar melepas genggaman tanganku. Melihatku hanya bengong, Avi mengulangi pertanyaannya.

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

"Lang, katakan yang sejujurnya, kau menganggap aku sebagai apa bagimu?"

"Vi, bukankah kau tahu aa..aku sayang padamu."

"Iya aku tahu itu Lang. Tapi bukan itu yang kutanyakan. Aku tahu kau sayang padaku. Tapi sayangmu kepadaku sebagai apa? Apa karena aku sahabatmu, saudaramu atau lainnya!"

"Aak..akuu..."

"Aku apa Lang? Ayo jawab, mana ketegasan, kejantanan dan keperkasaanmu?" cecarnya dengan nada menahan kesedihan.

Aku pandangi dia, kesedihan mendalam sangat jelas terpancar dari pandangannya. Matanya mulai berkaca-kaca, dan isak tangisnya mulai terdengar. Melihat hal itu, terasa teriris hatiku. Aku baru menyadari betapa besarnya salahku pada wanita di hadapanku ini. Hampir satu tahun aku mengenalnya dan dekat dengannya. Tapi belum sekalipun aku mengucapkan cinta padanya. Aku juga jadi sadar betapa menderitanya dia selama ini menunggu pernyataanku. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, kareana mengantung perasaannya. Seharusnya aku memutuskan hal ini secara hitam-putih.

Mungkin Gavin lebih benar dalam hal ini. Biar dia bergonta-ganti pasangan tapi tidak pernah ada hati yang tersakiti karenanya. Aku benar-benar kalah telak dari gavin dalam hal memahami perasaan wanita. Chantal sedikit-banyak, sengaja-tidak sengaja pasti telah tersakiti juga hatinya oleh sikapku.

Isak tangisnya semakin menjadi. Aku menjadi tidak tahan lagi. Aku rengkuh bahunya kemudian memeluknya, sambil berucap "Maafkan aku, selama ini aku telah menyakiti hatimu Vi. Aku menganggapmu lebih dari sekedar teman. Sebenarnya aku cinta padamu. Tapi aku takut untuk mengatakannya. Kau sudah tahu siapa diriku. Aku takut kau akan kecewa padaku, karena tugasku tidak mengenal waktu, penuh bahaya dan lain sebagainya. Tapi aku tidak sadar, ternyata dengan sikapku selama ini kau tetap saja tersakiti. Maafkan aku, mulai sekarang aku tidak akan lari lagi dari kenyataan. Aku cinta padamu, Vi.Selalu dan selamanya."

"Be..benarkah Lang?"

"Tentu sayang," bisikku di telinganya.

"Baik aku percaya padamu. Kapan kau akan melamarku?" tanya Avi sambil melepas pelukanya dan mengusap air mata di pipi chubbinya.

"Me.. melamar...?"

"Iya, melamar. Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"

"Ii..Itu..."

"Kau masih ragu, atau kau tidak serius?" kata Avi menatapku tajam.

"Bukan begitu, Vi. Tentu aku serius dan ingin menjadikan istriku. Tapi kalau soal menikah, bagaimana kalau kita tunda sampai tugas belajarku selesai."

"Tugas belajar apa?"

"Hal itulah yang ingin kukatakan kepadamu malam ini. Aku dapat tugas pendidikan di Amerika selama 6-18 bulan."

"Lama sekali. Bagaimana aku harus mengatakan hal ini pada keluargaku."

"Kenapa, Vi?"

"Sebenarnya tugas kemarin cuma dua hari. Sisanya aku di rumah orang-tuaku. Mereka memintaku untuk segera menikah. Mereka akan memaksaku menikah jika dalam tahun ini aku belum menikah juga."

"Baiklah aku akan menemui orang-tuamu. Aku akan minta ijin pada mereka agar memberiku waktu."

"Bagaimana jika mereka menolak?"

"Itu bisa dipikirkan nanti," ujarku.

"Terima kasih, Lang. Aku bahagia mendengarnya," Avi memelukku.

"Aku juga bahagia dan lega sudah bisa mengutarakan apa yang ada di hatiku." aku balas memeluk dia.

"Kapan kau akan ke rumah orang-tuaku?"

"Secepatnya. Besok juga tidak apa-apa."

"Besok?"

"Ya, karena minggu depan aku harus sudah berangkat ke Amerika."

"Baiklah," kata Avi menyandarkan kepalanya di dadaku.

Aku membelai rambut Avi dengan lembut. Avi mengangkat kepalanya kemudian memandangku. Aku balas menatapnya hingga kami saling berpandangan kemudian sama-sama tersenyum, tanpa perlu mengatakan apapun kami seolah sudah saling mengerti isi hati masing-masing. Aku dekati wajahnya, Avi memejamkan mata dengan bibir sedikit terbuka. Kupandangi wajahnya yang cantik untuk beberapa saat. Merasa tidak ada tindakan lanjut dariku, Avi membuka matanya.

"Ada apa, Lang?"

"Tidak apa-apa, aku hanya sedang menikmati wajah cantikmu."

"Bisa juga kamu merayu, aku kira hanya mahir berkelahi dan mempergunakan senjaa.., Huuumps."

Sebelum dia menyelesaikan ucapannya bibirku sudah mengecup bibirnya. Untuk beberapa saat dia kaget. Mungkin tidak mengira akan ke agresifanku. Tidak lama kemudian diapun membalas kecupanku dengan ganas dan tangannya merangkul leherku. Cukup lama kami melakukan french kiss. Kulepas ciumanku pada bibirnya, kini bibirku menciumi leher Avi. Desah nafas Avi semakin terdengar kuat. Tangan kanan Avi bergerak meremas rambutku, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggungku. Sambil menciumi leher Avi, tanganku bergerak menuju payudaranya yang besar.

Sebelum sempat menyentuh payudaranya, Avi berbisik di telingaku, "Bawa aku ke kamar, Lang!"

Tanpa menunggu lama aku membawa tubuh Avi ke dalam kamar. Sesampainya di kamar Avi memejamkan matanya. Kutempel bibirku di bibirnya. Tanpa ragu Avi menyambutnya. Aku memeluknya dan dia balas memelukku. Kini dua insan mulai dibakar asmara yang telah lama terpendam. Pelukan Avi semakin kuat, seiring dengan ciuman yang berubah menjadi tarian lidah di rongga mulutku. Tampaknya Avi memang merindukan saat-saat seperti ini.

Aku merebahkan Avi tanpa melepas ciuman di bibirnya. Desahan nafas Avi terdengar tidak teratur. Kini kami telah berada di atas ranjang. Kami berguling ke kiri dan ke kanan. Gairah cinta telah membakar kami berdua.

Aku mulai melepaskan kancing blouse Avi. Begitu juga Avi, balas melepaskan kancing bajuku, sambil sesekali berpandangan untuk kemudian berciuman lagi. Aku telah bertelanjang dada, sementara Avi masih terbungkus bra hitam model push up tanpa jahitan di cup-nya, yang membuat dadanya semakin montok menonjol. Kami masih bergulingan dan saling mencium.

Kini Avi berada di atas tubuhku. Sesekali Avi menciumi dada dan leherku. Pinggulnya bergerak-gerak seperti sedang bersenggama, mencari sensasi gesekan pada batangku yang memang telah tegak menonjol di balik celanaku. Aku tidak tinggal diam, kubuka kaitan bra Avi. Tampaklah dua gundukan daging kenyal yang tak kusia-siakan, kuremas kedua payudaranya.

"Aah...," Avi mendesah.

Kami berganti posisi. Kini Aku berada di atas tubuh Avi. Kuciumi payudara Avi, sesekali kugigit putingnya. Avi makin menggelinjang tak karuan, sambil meremas-remas kepalaku. Puas dengan yang kiri, aku pindah ke kanan, dan begitu juga seterusnya.

Kepalaku perlahan turun ke bagian bawah Avi. Lidahku menari-nari di perut Avi hingga terhenti di tepian rok yang masih menutupi bagian bawah Avi. Aku bangkit dan kusingkapkan rok Avi ke atas. Tampak CD hitam berenda yang masih tertutupi stocking hitam transparan. Perlahan kujilati daerah kemaluan Avi yang masih tertutup itu, dengan gerakan memutar di sekitar vagina. Sesekali selangkanagn Avi kujilati pula. Avi melengguh merasakan sensasi lidahku, walaupun masih terhalang kain tipis di vaginanya.

Aku kemudian menggigit stocking Avi tepat di bagain vaginanya. Kini stocking itu robek dan terbentuklah lubang yang menampakkan CD hitam berenda yang telah basah oleh carian vagina Avi. Aku mengendus-endus bagian itu. Kusingkapkan CD hitam Avi. Tampaklah labia mayora yang merah merekah, mengkilat terkena sinar lampu kamar. Lidahku langsung menyapu daerah vagina Avi mulai dari perineum, hingga mencapai klitorisnya.

"Akuhh.. Akhuu.. cinttaahh.. ahh.. ahh.. aiihh...," desah Avi.

Aku tidak menghiraukan desahan Avi yang semakin cepat temponya karena aku terlalu sibuk dengan vaginanya. Sesekali lidahku membuat penetrasi lebih dalam di lubang vagina Avi, dan terutama di klitorisnya. Hingga akhirnya teriakan kenikmatan tiada tara Avi meledak.

"Nnnggaahh.. Akhuu ohh.. aaaahh!" Avi berteriak, merasakan puncak yang di raihnya.

Bibirku belepotan cairan kenikmatan Avi. Kini Avi bangkit walau tubuh masih tampak kelelahan. Nafsunya seperti memberi energi untuk meraih puncak demi puncak yang diidamkannya. Dia mencium bibirku dan mendorongku hingga rebah ke ranjang. Dengan buas Avi membuka ikat pinggangku. Celana panjangku dipelorotkan, dengan sigap CD ku pun dilucuti hingga Aku benar-benar bugil. Batangku yang menjulang diraihnya dan langsung amblas di lahap oleh bibir sensual Avi.
Dikombinasikan dengan kocokan tangan, mulut Avi pun menyedot batangku. Aku merasa geli, manakala Avi sesekali menjilati zakarku. Ditengah kegelian yang mendera, Aku menarik paha Avi supaya bergerak mendekati mukaku. Aku ingin melakukan 69. Ketika vagina Avi tepat berada di atas mulutku, kembali aku menyobek stocking hingga lubangnya tampak lebih lebar. Penampang vagina Avi terbuka lebih lebar. Aku tak menunggu lebih lama untuk menyapukan lidahku ke bagian yang paling pribadi dari Avi. Mendapat sensasi nikmat dariku sesekali Avi tengadah dan mendesah sambil tangannya tak lepas mengocok batang kemaluanku, dan melanjutkan lagi kuluman, hisapan dan sedotan kuat.

Tak lama Avi mengejang lagi, puncak kedua telah diraihnya, hingga kepalanya ambruk terkulai lemas di samping kemaluanku. Tangannya masih mengocok batang kemaluanku namun sudah tidak begitu kuat. Melihat kesempatan itu, aku berganti posisi. Aku minta Avi untuk menungging dengan pipi masih menempel di kasur, karena dia masih kelelahan didera kenikmatan tiada tara. Aku pegang kemaluanku dan mengarahkannya ke vagina Avi yang masih basah, dihiasi leleran cairan kenikmatan di sekitarnya.

"Lakukanlah.. Lang. Akuhh.. Oouucchh...!" Avi mengerang ketika batang kemaluanku amblas sedikit demi sedikit di vaginanya. Aku bergerak maju mundur, diselingi goyangan pinggul memutar, untuk mendapatkan sensasi gelitik di vagina Avi.

"Vi.. ohh.. ahh.. ah.. Viii. Aku cinta.. Ouhh.. aaaahhh," kalimat cinta meluncur dari mulutku.

Begitu pun Avi. Kontrol kesadarannya telah hilang diganti rasa cinta dan kenikmatan yang dalam terhadapku. "Ouu.. god.. Akuh.. cinnntaaah kaammuuh.. oohh.. ahh.. uahh.. ahhhh."

Puas dengan posisi doggy style, Aku merebahkan Avi. Avi menyamping ke kiri. Kaki kanannya kuangkat ke atas. Aku kembali menusukkan batangku dan menggenjotnya.

"Sayang... I love this.. ouhh.. ouhh.. aahh.. Akuhh.. c'mon.. don't stop love mehh.. ngghh.. ngghh."

Kini Aku duduk di ranjang dan menggendong Avi. Avi bergerak turun naik dan sesekali maju-mundur. Aku melepaskan rok Avi yang telah tersingkap lewat atas tubuh Avi. Kini kami telanjang sudah, walau stocking sobek Avi masih menempel. Avi memelukku, namun Aku menahannya, karena ingin menikmati payudaranya yang ranum bergerak-gerak.

Avi makin buas. Didorongnya tubuhku hingga rebah ke ranjang. Kini Avi berkuasa atasku. Pantat Avi turun naik dan semakin cepat gerakannya. Keringat kami bercucuran.

"Vi.. hh.. hhehh.. aku janji.. hh.. hh..hheehh, akhuuhh akhan sellalhuu.. bheersamahmuuu.. Vihh.. hh.. hh."

"A.. a. aahkhuu.. janjhiihh.. hihh.. hiahh.. aah.. chumahh.. khamuhh yanghh.. a.. aah.. aahh.. da di hhaatikuhh.. uhh.. aah.. Akuohh..."

"Viii.. Viih.. aku mau sampaiii.. ouhh..."

"Meh.. thooh.. ouhh.. hangh onhh.. ahh.. aahh aaahhh..."

"Viii...."

"Laaaaaaanngggghhh....."

Lama sekali kami mengejang bersama, spermaku muncrat membasahi vagina Avi. Aku pun merasakan semburan hangat dari lorong vaginanya. Avi mencakar dadaku hingga meninggalkan bekas. Tanganku pun tidak lepas dari bukit kembarnya Avi, hingga akhirnya Avi Ambruk di dadaku.

Keheningan terjadi di ruangan ini. Semilir angin malam dari jendela yang terbuka terasa dingin menusuk kulit, tak kami rasakan. Kehangatan yang menjalar di sekujur tubuh mampu mengusir dinginnya malam yang indah ini. Aku mencium lembut bibir Avi dan Avi pun membalasnya.

"Aku akan melamarmu, Vi."

"Itu yang ingin kudengar darimu Lang... hanya kau yang kuinginkan, bukan orang lain. You're the best!"

Kami berpelukan mesra. Batangku masih menancap di vagina Avi. Hingga pagi menyambut, kami berulang kali melakukan percintaan tanpa henti.

#####

Satu minggu kemudian...

Hari ini aku akan berangkat ke Amerika. Pendidikan di sana awalnya di rencanakan selama enam bulan. Tapi dengan kondisi tertentu bisa sampai dua belas atau delapan belas bulan.

Lima menit lagi aku harus masuk ke dalam pesawat. Tapi di hadapanku masih ada seorang wanita yang sepertinya masih berat melepas kepergianku. Dia masih menggenggam erat tanganku. Wajahnya menatapku, "Lang, aku akan menunggumu. Dan selama kepergianmu aku akan berusaha membujuk orang-tuaku agar bisa menerimamu."

Ya, ternyata kenyataan yang menimpa kami tidak seindah dan semudah yang kami khayalkan. Entah dengan alasan apa, orang-tua Avi tidak merestui hubunganku dengannya. Walau hal itu menyakitkan, tapi aku sadar diri. Siapa aku ini? Aku hanya anak yatim piatu yang tidak mengenal siapa orang-tuanya.

Sementara Avi, siapa yang tidak mengenal dia. Seorang Anchor Woman, yang cantik, cerdas dan dari keluarga terhormat.

Pemberitahuan dari pengeras suara menyadarkanku, sudah waktunya aku harus naik pesawat. Aku lepas tangan Avi yang memegangiku. Aku peluk dia, dan berbisik, "Selamat tinggal, Vi. Entah kita berjodoh atau tidak, kau akan selalu ada di hatiku."

"Selamat jalan, Lang. Semoga kau sukses. Aku juga cinta padamu. Selalu dan selamanya, sampai maut memisahkan kita." dia balas memelukku.

Hampir setengah menit kami berpelukan. Setelah itu aku melepaskan pelukannya. Sekali lagi kami berpandangan, kemudian aku berbalik dan berjalan menuju pintu keberangkatan. Sebelum masuk, sekali lagi aku menengok ke arahnya. Dia melambaikan tangan, aku membalasnya. Dan akhirnya kami benar-benar berpisah.

THE END













1 komentar:

  1. The best thebest thebest...saya suka bngt cerita cerita anda..aku sampai terbawa alur dan sensasi dalam cerita anda..jika brkenan saya ingin mengenal anda yg mnurut saya bgtu pintar dan cerdas..5e3e8e23..ini pin saya

    BalasHapus