Warisan
Namaku Faiz. Boleh dibilang kehidupanku lumayan unik. Aku hidup dengan banyak saudara. Mereka adalah Putri, Icha dan Rendi. Aku anak nomor dua. Ayahku sendiri sangat kaya. Beliau menguasai bisnis toko waralaba bahkan sekarang pun menjadi pialang saham. Tidak hanya itu bisnisnya pun juga bergerak di bidang properti. Hampir semua gedung di kota ini perusahaannya yang membuat. Bahkan beberapa perumahan elit pun adalah dari perusahaannya. Jadi dengan kata lain, sangat tajir. Istrinya saja ada empat. Hebat kan?
Hanya saja dalam mendidik anak, dia tidak pernah pandang bulu. Walaupun punya istri empat dan juga masing-masing istrinya punya anak, bukan berarti salah satunya yang paling dimanja. Ayahku memegang prinsip keadilan. Well, di jaman segini ternyata masih ada yang punya rasa keadilan setinggi ayahku. Baiklah, ini adalah kisahku. Lebih tepatnya kisah perjalanan hidupku hingga aku mendapatkan cinta sejatiku. Hanya saja, untuk mendapatkannya tak semulus jalanku.
Cerita ini dimulai ketika aku masih duduk di bangku SMA. Di sekolah ini aku satu kelas dengan saudara tiriku Pandu. Dan kami semua tahu kalau Pandu ini anak yang paling disayang oleh ayahku. Bahkan kandidat terkuat untuk bisa mewarisi perusahaan ayahku sekarang ini. Kami tak iri bahkan kagum kepadanya. Sebab selain Pandu ini anaknya pintar, dapat beasiswa, dia adalah anak dari istri pertama ayahku. Makanya yang paling disayang, menurut beliau wajahnya selalu mengingatkan dia kepada mendiang istrinya yang telah tiada.
Sebenarnya Pandu ini orangnya baik, bahkan terlalu baik. Sekalipun di sekolahan dia dibully ia tetap mengalah. Akulah yang hampir setiap hari membela dia. Sekalipun dia kandidat terkuat mewarisi kerajaan ayahku, dia punya kelemahan yaitu penyakit asma. Penyakitnya ini sudah dideritanya sejak kecil. Sebagai anak kesayangan nomor dua, ayahku berpesan kepadaku untuk menjaga Pandu. Maka dari itulah aku dan Pandu selalu bersama, kami berbagi kenakalan bersama, kami juga berbagi kesenangan bersama, sedih juga bersama-sama. Lucunya juga dalam masalah cinta, kami juga mencintai orang yang sama. Bahkan tak jarang kami selalu bersaing untuk mendapatkan apapun. Termasuk juga cinta.
"Pan, masih ada ekskul?" tanyaku.
"Iya, kenapa?" tanyanya.
"Ya udah deh, aku tunggu aja kalau gitu," jawabku.
"Kalau ada acara tinggal pulang aja!" katanya.
"Ebuset, kita berangkat pake mobilmu monyong!" kataku.
Pandu ketawa, "Oiya lupa. Ya sudahlah tunggu aja, hari ini ada latihan soalnya."
"Ngomong-ngomong, kamu serius ya ama ekskul nyanyi ini? Mau jadi penyanyi?"
"Nggak taulah Iz, kamu tahu sendiri kalau aku ikut ekskul sepak bola misalnya, bisa mati aku cuma disuruh lari 100 meter aja."
"Bener juga sih. Oke deh, aku tunggu di perpus!"
"Nah, gitu dong, sekali-kali ke perpustakaan biar pinter. Nggak lihat bokep mulu."
"Halah, situ juga suka lihat."
Kami tertawa bersama lalu melakukan tos sebelum cabut ke tempat masing-masing.
Aku menuju ke perpustakaan. Perpustakaan sekolahan ini buka sampai sore. Setelah pulang sekolah memang beberapa orang anak masih duduk-duduk di bangku bahkan ada yang asyik bermain basket di lapangan basket. Beberapa di antaranya mengikuti ekskul. Pengunjung perpustakaan seperti biasa, sepi. Deretan rak buku memanjang seperti labirin berjejer buku-buku pelajaran, kamus, ensiklopedia dan buku-buku yang lain. Minus buku komik ataupun buku stensilan tentunya. Emang sekolah apaan?
Di perpustakaan pun aku iseng saja mencari buku sejarah. Entah kenapa kepengen banget baca buku sejarah. Maka aku ambil sebuah buku yang cukup tebal. Judulnya Di Bawah Bendera Revolusi. Eh, ini tulisannya Bung Karno. Lumayanlah untuk dibaca-baca. Tebel banget, mungkin ada sampai seribu halaman lebih. Aku pun mengambil tempat untuk membaca di sebuah meja yang kosong. Aku pun membuka bukunya dan ...... apa-apaan nih ejaan kuno semua. Jadi penulisannya masih memakai ejaan lama ternyata. Aku pun mulai menyesuaikan diri dengan membaca huruf "DJ" dibaca menjadi "J", huruf "J" dibaca menjadi "Y" ataupun "OE" menjadu "U".
Selagi asyik membaca saat itulah ada seorang cewek ikut mengambil tempat di mejaku. Cewek ini siapa yang tidak kenal. Dia ini cewek senior yang sama-sama disukai oleh aku dan Pandu. Namanya Vira. Rambutnya panjang, bau parfumnya itu sangat khas. Semacam parfum Perancis mungkin. Dan anaknya ini cukup kalem. Mungkin karena kalemnya ini kita jadi suka ama dia. Soal wajah, dia manis banget. Kulitnya putih. Waktu melihatku ada di perpustakaan dia nyeletuk.
"Tumben ada di perpustakaan," kata Vira.
Biarpun dikata dia seniorku, dia cukup kenal denganku. Ya iyalah, anak orang terkaya di kota ini masa' nggak dikenali. Dan Vira ini cukup kenal baik dengan aku. Aku pernah ngajak dia nonton bareng atau sekedar jalan bareng. Sama juga ama Pandu, ia juga diajak jalan bareng ama Pandu. Mungkin dia tahu kalau kita saingan merebutkan dia.
"Yah, nunggu Si Pandu tuh," kataku.
Dia tersenyum. Kumelirik buku yang diambilnya, buku Kamus bahasa Indonesia. Sepertinya ia sedang ada tugas. Ia mencatat sambil melihat kamus. Untuk beberapa menit lamanya ia tak melihatku karena sibuk menulis sedangkan aku sibuk melihat dia. Waduuh...pokoknya di dekat cewek ini rasanya aku bisa melihat taman-taman surga.
"Apaan?" tanyanya. Lamunanku pun langsung buyar.
"Eh, iya? Ada apa?" tanyaku.
"Kamu itu lho. Dari tadi melihatku terus, apa ada yang aneh ama mukaku" katanya.
"Oh tidak. Sama sekali tidak. Kau perfect koq," jawabku.
Ia menutup kamusnya. "Aku mau cabut, sampai besok yah."
"Eh, gitu aja?" tanyaku.
"Emang ada apa?"
"Ntar malem minggu kosong nggak? Boleh dong kita nonton bareng lagi. Ada film bagus lho."
Vira tersenyum sambil menggeleng-geleng. "Bilang aja mau ngajak kencan."
"Iya, emang mau ngajak kencan," jawabku.
"Sayangnya, aku sudah dibooking ama saudaramu besok Sabtu," katanya.
"Hah? Sialan. Keduluan deh," kataku.
Vira beranjak dari tempat duduknya, "Maaf ya, sampai nanti."
Aku memukul telapak tanganku sendiri. Sialan si Pandu, lebih gesit gerakannya daripada aku. Tapi aku ikhlas koq misalnya kalau Pandu bisa dapetin Vira. Kami sudah sepakat siapa pun yang dipilih oleh Vira maka dia harus menerimanya. Hanya saja aku tak pernah melihat mereka berdua jadian koq. Jadi ya tetep aja pe-de-ka-te dong.
"Tumben kamu di perpus?" celetuk seseorang. Dia adalah Bu Lina guru BP-ku.
"Eh, ibu. Belum pulang bu?"
"Justru aku yang harusnya tanya ama kamu, koq belum pulang?"
"Sedang nunggu Pandu bu."
"Oh, begitu," Bu Lina kemudian meninggalkanku. Beliau ini guru idolaku. Jilbabnya lebar, masih belum punya suami. Dia barusan lulus dua tahun yang lalu. Boleh dibilang dari semua guru di sekolahan beliaulah yang paling banyak ditaksir cowok-cowok. Dan kalau cowok konseling ama dia, lamaaaaa banget. Aku juga sering konseling ama beliau ini dan juga ikut-ikutan lamaaa banget kalau konseling. Hanya saja Si Pandu nggak suka ama Bu Lina ini. Mungkin dari sisi ini aku menang dari Pandu.
Aku lalu melanjutkan membacaku sampai entah berapa lama. Pokoknya ketika Pandu menelpon, aku segera cabut dari perpustakaan. Pandu keluar dari salah satu ruang ekskul bersama beberapa group vokalis lainnya. Setelah bertemu denganku kami pun pulang bersama memakai mobil Honda Jazz warna putih.
"Eh, gila kamu ya, udah ngajak si Vira jalan besok Sabtu, padahal aku mau ngajak dia," kataku.
Pandu tertawa. "Makanya siapa cepat dia dapat."
"Dasar, awas ya aku nggak mau kalah," kataku.
"Kamu bakalan kalah deh, besok Sabtu ini aku mau nembak dia," katanya.
"Buset, yang bener?"
"Lihat saja ntar!"
Aku lalu menengadahkan tangan dan mulutku komat-kamit.
"Ngapain?"
"Berdo'a biar kamu nggak diterima."
"Sialan lu!" Pandu memukul bahuku. Aku pun terkekeh-kekeh.
"Eh, hei lihat jalan! Lihat jalan!"
Agaknya jalanan macet membuat kami harus berjibaku dengan penuh kesabaran hingga sampai di rumah. Rumah kami ada di sebuah perumahan elit. Pandu tinggal bersama kami. Rumah dijaga oleh dua orang satpam yang berjaga bergiliran. Begitu mobil kami tiba sang satpam segera membuka pagar. Setelah mobil terparkir di dalam garasi, aku langsung melompat keluar dengan membawa ranselku.
Aku kemudian masuk ke rumah lebih dulu disusul Pandu. Di dalam aku melihat ibuku sedang menata meja makan.
"Udah makan Iz?" tanyanya.
"Belum bunda," jawabku.
"Ini masih tersisa banyak. Saudara-saudara kalian juga belum pulang koq, cuma Kak Putri saja yang sudah ada di rumah duluan," kata ibuku.
"Asyiik, mari makan!" kata Pandu.
"Pandu, hayo....ganti baju dulu!" kata ibuku sambil menjewer Pandu.
"Aduh duduh...iya Bunda Aula, iya!" kata Pandu. Ia mengambil sepotong lauk tempe yang ada di atas meja makan lalu berlari meninggalkan meja makan.
"Dasar Pandu!" gerutu ibuku.
Aku mencium tangan ibuku. Kemudian segera bergegas ke kamarku untuk mandi lalu ganti baju. Setelah wangi dan ganti baju aku menuju meja makan. Tampak Pandu sudah ada di sana. Aku kemudian menghabiskan nasi dengan sayur asem dan lauk tempe. Jangan dibayangkan orang tajir makannya spagheti atau pizza atau yang lain. Makanannya ya sama seperti penduduk lokal. Emang kita alien?
Setelah kenyang dan membereskan alat makan aku ke ruang keluarga. Di sini aku melihat Kak Putri ada di ruang tamu sedang menonton tv.
"Acaranya apa kak?" tanyaku.
"Lagi nonton film nih, Transformers," ujarnya. Ternyata dia sedang nonton HBO.
"Nggak kuliah?" tanyaku.
"Dosennya nggak masuk, makanya pulang duluan tadi," katanya.
"OH gitu ya?"
Aku melihat Pandu tampak sedang menelpon seseorang. Ia menjauh dariku, tapi aku bisa dengar jelas bagaimana dia mesra banget dengan lawan bicaranya. Arggh...sialan, itu pasti Vira.
"Iya dong, besok aku jemput yah? Si Faiz? Lagi nonton tv tuh ama kakaknya," kata Pandu sambil melirik ke arahku.
Aku lalu menggaruk-garuk rambutku padahal tidak gatal. Rambutku makin kusut.
"Ngapain?" tanya KAk Putri.
"Kalah deh ama Pandu," kataku.
"Soal cewek?" tanya Kak Putri.
"Ho-oh," jawabku.
"Hahahaha....kasihan deh lu."
"Ini kakak nggak belain malah ngejek, huuh..sini remotenya!" kataku sambil merebut remote dari tangan Kak Putri.
"Eits..nggak boleh! Enak aja aku yang pegang duluan koq."
"Sini!"
Aku dan Kak Putri pun bergelut berebut remote. Kak Putri ini memakai hotpants dan T-Shirt, jadi beberapa kali aku berebut remotenya hampir pasti aku juga memegang pahanya atau pun terkadang menyenggol payudaranya. Tapi karena kami saudara, apapun yang aku lakukan nggak ada efeknya. Aku juga begitu nggak ada rasa sebenarnya. Hanya saja, nanti perasaan itu pun muncul. Tapi belum sekarang.
Ketika kami berebut remote tiba-tiba ada tangan lain yang merebutnya. Kami berdua melihat Icha. Dengan tenang Icha memindah Channel ke Animax. Dan tampillah acara anime kesukaannya.
"Aaarrgghh...Ichaaaaa!" keluh kami berdua.
"Kalau kalian tak tahu cara gunain remote, biar aku aja!" katanya dengan nada datar lalu duduk di sofa dengan santai.
Satu hal kenapa kami tak berani merebut remote dari tangan Icha. Sebab kalau ia marah, maka ia akan menjerit dengan suara melengking yang akan mengakibatkan ibu marah besar dikira kami berbuat sesuatu kepadanya. Dan oleh karena itu, aku dan Kak Putri mengalah.
"Kamu sih!" Kak Putri memukulku dengan bantal sofa.
Icha ini masih SMP. Sama seperti Rendi mereka hanya terpaut satu tahun.
Begitulah hari-hari kami, keseruan di rumah. Berebut remote tv, bercanda, kadang juga kami musuhan antara satu sama yang lain. Bisa dibilang membuat bunda benar-benar naik pitam. Nggak ada yang salah kan? Normal bukan? Iya. Normal. Tapi hanya sesaat.
Hari ini ayah tidak ada di rumah, karena ia ke rumah istrinya yang lain. Biasalah, orang kalau sudah punya banyak istri harus menggilir istrinya dengan adil.
Hari sudah larut dan aku berada di kamarku. Iseng aku pun menelpon Vira. Awal mula aku dan Pandu suka ama Vira ini adalah ketika Masa Orientasi Sekolah. Vira jadi salah satu kakak seniornya. Dan dari situlah aku dan Pandu akhirnya berusaha untuk mencari perhatian dia, tanya nomor telepon dan seterusnya. Apalagi kita semua tahu ternyata Vira ini memang primadona di sekolah ini. Dan yang pasti dia ini jomblowati tulen berkualitas.
"Halo?!" sapa Vira.
"Halo Vir, lagi ngapain?" tanyaku.
"Lagi mau bobo', ada apa?" tanya Vira.
"Oh, sudah mau istirahat yah?"
"Iya nih, udah ngantuk. Takut besok nggak bisa bangun."
"Kalau nggak bisa bangun aku bangunin deh."
"Ih, emangnya situ jam beker?"
"Kamu kepengennya aku jadi jam beker? Boleh deh."
"Hahaha, ada ada saja. Ada apa nelpon jam segini. Udah jam sebelas nih."
"Oh, iya. Aku nggak lihat. Maklum biasanya nggak tidur waktu malem."
"Lho, emangnya kenapa? Insomnia."
"Aku ini sejenis batman. Keluarnya malem. Kalau siang tidur."
"Huuu...ngaco ah. Batman jadi-jadian kali."
"Masalah kalau malam aku itu sedang terbang mencari sesuatu."
"Emang cari apaan?"
"Mencari dirimu di hati aku."
"Adudududuh...rayuannya maut. Hihihihi."
"Sayang ya besok Malem Minggu kamu mau jalan ama Pandu. Padahal kepengen banget ngajak kamu nonton."
"Kenapa nggak besok aja? Kan besok hari Jum'at. Kalau kamu mau ngajak keluar, aku free koq"
"Yang bener?"
"Iya, lagian kalau hari Jum'at bioskopnya ada nonton hemat kan?"
"Betul betul betul."
"Ya sudah, aku mau bobo' nih."
"Besok habis pulang sekolah ya? Atau malemnya?"
"Malem dong, ntar aku nanti dicari nyak ama babe gara-gara nggak pulang habis sekolah."
"Asyiiikk...oke deh. Sampai besok yah. Dan jangan lupa!"
"Apaan?"
"Mimpiin aku dong."
"Huuu...emangnya bisa mimpi dipesen?"
"Bisa aja."
"Gimana caranya?"
"Sebut namaku tiga kali sebelum tidur, bayangin wajahku, ntar pasti bakal ketemu."
"Huu..emang apaan? Udah ah, bobo' dulu cowok cakep."
"Selamat tidur cewek cantik."
Aku pun menutup teleponnya. Yes...besok aku mau jalan ama Vira. Wooohooooo!
BAB II
Aku mencintai kalian
Hari esoknya aku merencanakan bakal nembak Vira duluan. Aku pun mempersiapkan semuanya hari itu. Mulai dari hadiah, bunga dan lain-lain. Pandu sama sekali tak tahu rencanaku. Sengaja hari itu aku bertingkah seperti biasa. Tapi ketika aku bertemu dengan Vira, pandangan mata kami mengisyaratkan sesuatu. Aku pun berdebar-debar hari itu.
Bagai seorang petinju. Aku sedang galau. Galau misalnya nanti Vira nolak aku. Tapi aku tetap yakin aku pasti bisa dapatin Si Vira ini. Aku meng-SMS Vira ke nomor ponselnya.
"Jangan lupa nanti aku jemput ya?"
Dia pun membalas
"Iya, jemput jam enam?"
"Oke."
Pandu sore itu tak pergi ke mana-mana, mobilnya bisa aku pakai malam itu. Karena jam sudah menunjukkan pukul lima aku pun berangkat. Dengan pakaian necis, parfum yang sangat wangi, khas parfum pria, setangkai mawar merah dan sebuah kotak perhiasan yang berisi kalung aku bawa. Melihat aku berdandan seperti itu Kak Putri keheranan.
"Mau kemana lu?" tanyanya.
"Mau kencan dong," jawabku. "Udah ya!"
"Eh..eit..tunggu! Kakak ikut!" katanya.
"Hah? Ikut? Ikut kencan? Ogah ah. Bisa rusak suasananya nanti!"
"Siapa mau ikut kencan? Dasar dodol!" Kak Putri menonyor kepalaku.
"Aduh!"
"Anterin kakak ke rumah temen!"
"Temen apa temen hayoo?"
"Rese', udah ah. Bentar tunggu kakak dulu!"
"Aku tinggal!"
"Kalau lu berangkat tanpa aku, awas aku laporin ama ayah kalau kamu gunain mobil buat kencan ama cewek!"
"Waduh, koq tega sih?"
"Makanya tunggu!"
"Ya sudah deh."
Aku pun menunggu Kak Putri berdandan. Kurang lebih sepuluh menit kemudian dia sudah memakai jilbab, celana casual, kemeja dan jaket jins. Aku garuk-garuk kepala. Pake Jilbab tapi seksi amat?
"Ayo berangkat!"
Aku pun berangkat bersama kakakku. Dalam hati aku pun menggerutu, kenapa nggak naik taksi aja sih? Rumah teman Kak Putri cukup jauh, sehingga aku menghabiskan waktu setengah jam sendiri sebelum sampai ke rumah Vira. Tapi aku agak aneh melihat bangunan rumah kost teman Kak Putri ini. Bukannya itu tempat kos cowok? Ah, whatever. Aku pun segera pergi ke rumah Vira setelah itu.
Tepat pukul enam petang aku tiba. Aku lalu turun dari mobil. Vira langsung muncul dari dalam rumah. Alamaaak...ini manusia apa bidadari sih? Cakep banget. Dia memakai gaun berwarna biru. Sepatu hak tinggi, dan rambutya dibiarkan tergerai. Sebuah tas kecil tampak ia bawa dengan tangan kanannya.
"Hai," sapaku.
"Hai. Lumayan, tepat waktu," katanya.
"Iya dong," kataku.
"Berangkat?" tanyanya.
"Oh, sebelumnya. Aku ingin ngasih sesuatu ama kamu," jawabku.
"Apa itu?" Vira tersenyum kepadaku.
Aku mengeluarkan setangkai bunga mawar berwarna merah. Vira tertawa geli.
"Apaan sih?"
"Ini aku nembak kamu, masa' kamu nggak sensitif sih?"
Dia menutup mulutnya sambil menahan tawa. "Aduuhh... Faiz, Faiz."
"Vir, aku suka ama kamu, sejak pertama kali ketemu di Orientasi sekolah itu, aku sudah suka ama kamu. Tahu nggak sih selama setahun lebih aku suka ama kamu?"
Vira terdiam. Ia mulai melihat kesungguhan dari sorot mataku.
"Sebentar, aku kira kita mau jalan. Koq malah jadi ajang penembakan gini sih?" kata Vira. Damn, cakep banget dia malam ini. Kamu kalah Pandu, kamu kalah. Aku yang menang!
"Terima aja deh bunganya. Udah aku siapin lho, sampe toko bunganya aku beli juga," gombalku.
"Gombal, tapi terima kasih bunganya!" Vira menerima bungaku. "Nggak beracun kan kalau aku hirup?"
"Beracun, ntar kamu bisa mati," kataku.
Vira tertawa manis. Alamak, kalau dia terus-terusan ketawa macem gini, aku bisa pingsan di tempat deh melihat wajahnya yang cute itu. Dia menghirup bunganya. Wangilah. Dia melirik ke arahku.
"Tapi aku belum bisa jawab sekarang, nggak apa-apa kan?"
Hah? Waduh....kenapa?
"Kenapa?" tanyaku.
"Ya, nggak apa-apa. Gimana bisa jawab. Ada dua orang tampan, kaya, yang sama-sama jatuh cinta ama aku. Dan sama-sama nembak aku," kata Vira.
Ebuset. Siapa?
"Siapa?"
"Pandu ama kamu, tapi aku tahu koq kalau kalian sudah ngejar aku dari dulu. Aku tetap menganggap kalian sahabatku. Kalian adalah teman-temanku. Pandu hari ini nembak aku di sekolah. Aku belum bisa jawab. Eh, malemnya kamu juga nembak aku. Kalian ini dua saudara yang kompak ternyata," kata Vira.
Sialan. Si Pandu udah nembak duluan ternyata. Kalah lagi. Aku pun menampakkan muka kecut.
"Jadi kita jalan?" tanya Vira.
"Ya jadi dong, kalau kamu tak keberatan," jawabku.
"Kalau keberatan aku biasanya naruh barangnya," celetuk VIra.
"Kalau kamu berat, sini aku angkat," balasku.
Kami pun tertawa lepas.
Selama kencan itu, tanganku tak terpisahkan dari tangan Vira. Aku begitu erat menggenggam tangannya. Pdahal dia belum ngasih jawaban mau nerima aku apa nggak. Kami nonton bioskop kemudian disusul makan malam. Kemudian saat jalan-jalan seseorang menelponku. Dari Danny.
Danny ini anak orang kaya juga, sering nantang aku balapan liar. Katanya dia barusan punya mobil baru, Lotus Elise Exige Roadster 2013.
"Hai Dan? Ada apa?" tanyaku.
"Kamu ada di luar kan? Aku telpon saudaramu katanya kamu sedang di luar," kata Danny.
"Iya, kenapa?" tanyaku.
"Aku tantangin balapan nih. Satu lap aja. Sekalian mau ngetes mobil baru. hehehehe."
"Mobil Lotus milikmu?"
"Iya dong. Gimana?"
"Taruhannya apa?" tanyaku.
"Sepuluh juta? Kecil kan?"
"Siapa takut, sekarang?"
"Iya dong. Aku tunggu di jalan tol."
Danny kemudian menutup telponnya.
"Vir, ikut dulu sebentar yuk. Kita mau balapan," kataku.
"Hah? Faiz, nggak bahaya tuh?"
"Udah tenang aja. Aku pasti menang koq," kataku.
Aku pun melajukan mobilku memecah udara malam. Tak lama sih, hingga akhirnya aku sampai di dekat jalan tol. Tempat di mana aku bertemu dengan Danny. Kami pun sampai. Di sana ternyata sudah menunggu banyak orang.
"Woii...datang juga," kata Danny.
"Hai, apa kabar?" aku melakukan tos dengan Danny.
"Wah, bawa gebetan lu?" tanya Henri. Dia ini bandar balapan liar.
"Sshh...Hari ini mau aku tembak," kataku.
"Ohh..belum resmi, I see," kata Henri.
"Gimana? siap?" tanya Danny.
"Siap, sudah full tank. Satu lap kan? Yakin bisa ngalahin aku satu lap?" tanyaku.
"Ayo buktikan saja!" kata Danny.
Aku segera masuk ke mobil. Danny pun juga masuk ke mobilnya. Mobil Lotus-nya cukup keren. Entah dia beli dengan harga berapa. Yang jelas pasti hampir nyentuh 1 M atau lebih mungkin. Kemudian kedua mobil bersiap untuk masuk ke jalan tol. Yang menjadi pemberi aba-aba adalah Si Henri.
"Oke, siapa yang sampai duluan di kilometer lima, maka dia yang menang. Kita sekarang ada di kilomoter dua puluh. Mengerti ya? Ayo!" kata Henri.
Dia mengangkat sapu tangannya. Aku sudah bersiap.
"Kamu yakin Iz?" tanya Vira.
"Udah nggak apa-apa, pasang sabuk pengaman! Kalau kamu takut, tutup mata aja. Aku akan melindungimu sampai garis finish," kataku.
Vira pun memasang sabuk pengaman. Aku kemudian memasukkan gigi satu. Bendera diturunkan oleh Henri, aku segera menancapkan gas sedalam-dalamnya. Mobil Danny dan aku pun sama-sama seperti melompat. Yup, kami sudah berpacu dalam kecepatan tinggi. Vira sepertinya agak ketakutan melihat betapa cepatnya mobil ini melaju. Kecepatannya sudah lebih dari 100km dan terus naik. Dia mencengkram lenganku.
"Izz...Faizzz!!!!" jeritnya. Aku melewati sebuah truk gandengan, kemudian langsung melesat ke belakang bis, lalu mengambil arah kiri, kanan lalu melesat mendekati mobil LOtus yang sudah ada di depanku. Paling tidak sekarang si Danny kebingungan karena aku dan mobilnya bisa seimbang.
Mobil ini sudah aku modif bersama Pandu. Kuberi mesin turbo. Dan tentu saja satu lagi aku memasang NOS. Aku membuka sebuah kotak yang ada di dekat kemudi dan aku tekan tombol itu. Seketika itu mobil langsung melaju lebih cepat. Aku melihat Vira memejamkan mata. Jantung kami berpacu lebih cepat. Sedangkan mobil Lotus sudah jauh di belakang. Singkatnya malam itu aku menang balapan. Kami berkumpul lagi di tempat semula. Danny berkacak pinggang sambil menggeleng-geleng.
"Kalau aku tahu kamu pake NOS nggak bakal aku tantang kamu pake ini, dasar," kata Danny.
"Oke, silakan transfer ke rekening biasa. Kau sudah tahu kan?" tanyaku.
"Iya, iya, lain kali aku akan balas," kata Danny.
"Silakan saja, anytime bro!" kataku.
Vira yang masih shock menyandarkan tubuhnya di mobil sambil minum air mineral botol. Aku menghampirinya.
"Malam yang hebat kan?" tanyaku.
"Gila, kalau tahu aku tadi bisa melacu 200km/jam, nggak bakal deh aku jalan ama kamu," kata Vira.
"Sorry, kalau aku membuatmu shock," kataku.
"Jangan ulangi lagi," katanya.
"Oke, aku janji," kataku.
"Tapi, itu tadi pengalaman yang paling mendebarkan dalam hidupku. Kapan-kapan kau boleh koq paksa aku lagi," Vira mengedipkan mata.
Aku tertawa geli. Menurutku itu adalah wajahnya yang paling kyut yang pernah aku lihat.
Pukul setengah sebelas aku nganter dia pulang. Acara malam itu kami habiskan dengan banyak bercerita dan bercanda. Dan tibalah kami akan berpisah.
"Vira, sebentar!" kataku.
Vira yang hendak masuk ke rumahnya itu berhenti dan berbalik. Aku mengeluarkan sbuah kotak yang aku hadiahkan untuk Vira. Kotak perhiasan berisi kalung.
"Apaan sih?" tanyanya.
"Ini buat kamu, buka aja!" kataku.
Ia menerima kotak itu. Dan ia sangat takjub. Tentu saja. Itu kalung perhiasan yang aku beli dari uang sakuku sendiri.
"Oh tidak, Faiz. Ini terlalu berharga. Aku tak bisa menerimanya, pasti mahal," katanya.
"Nggak apa-apa, terima aja!" kataku.
"Tapi...." jari telunjukku menyentuh bibirnya.
Sekelebat kemudian bibirku sudah menempel di bibirnya. Kedua pasang mata kami terpejam. Terus terang itu reflek. Entah kenapa aku bisa menciumnya malam itu. Dadaku berdebar-debar. Tentu saja. Saat bibir kami berpisah dengan perlahan-lahan, mata kami kembali terbuka. Aku kemudian membuka kotak perhiasan itu dan memakaikan kalung tersebut ke leher Vira. Setelah first Kiss kita itu, Vira tak berkata apapun.
"Sorry, kalau aku tak menciummu sekarang, aku tak tahu kapan lagi akan menciummu. Seandainya kau lebih memilih Pandu, aku rela koq. Memang kita selalu bersaing. Tapi, aku tetap berharap kau bisa menerimaku dan memilihku," kataku.
Vira mengusap pipiku.
"Makasih ya malam ini, sebenarnya aku mencintai kalian berdua. Dan sekarang kalian memberikan aku pilihan yang tersulit dalam hidupku. Tapi, kau bertindak lebih dulu menciumku. Ini first kiss kita, aku tak akan pernah melupakannya seumur hidupku. Aku sekarang bingung memilih siapa, Kalian jahat!" kata Vira.
Aku tersenyum hingga gigiku kelihatan.
"Sampai besok?" tanyaku.
"Mungkin malam ini aku mati saja deh," kata Vira.
"Lho, koq?"
"Ciuman tadi hampir bikin jantungku copot tahu?!"
"Mau lagi?"
"Ih, maunya. Kamu lakuin lagi aku tabok...!"
Aku dengan gerak cepat menciumnya lagi. Tentu saja Vira gelagapan. Tapi ia pun akhirnya menyerah. Kami akhirnya berciuman sambil berpelukan. Dan kali ini lidah kami yang bicara. Dari ciuman biasa hingga kemudian french kiss. Aku lalu melepaskannya.
"Udah, dibilang kalau kamu lakuin lagi bakal aku tabok. Nih!" Vira pun menamparku.
"Aww...!" sakit, panas terasa di pipi.
"Lain kali jangan lakuin lagi. Kalau mau nyium ngomong dong!" kata Vira.
"Boleh nyium lagi?" tanyaku.
"Ngga...hhhmmmhh..." belum sempat ia berkata, aku sudah menciumnya lagi. Tapi tak selama sebelumnya.
Wajah Vira memerah. "Ishh..udah ah, kalau tetep di sini ntar bibirku dibawa pergi ama kamu. Udah sana pergi, ntar ketahuan bokapku tau rasa kamu."
"Hihihihi, sekalian saja deh sini aku lamar kamu," kataku.
"Ogah....dibilang tunggu jawabannya koq udah nyosor duluan," kata Vira.
"Oh, jadi masih belum ada jawaban toh? kukira sudah. Koq tadi nggak menolak aku cium?"
"Soalnya, ciumanmu maut!" goda Vira.
Ia segera bergegas masuk ke rumah dengan wajah memerah.
Aku segera melompat-lompat, senang sekali hari itu. Berkali-kali aku berpose Yes, Yes Yes! Segera aku pulang.
Hari sudah larut ketika aku sampai di rumah. Dengan bersiul-siul aku masuk ke dalam rumah. Dengan wajah kemenangan aku pun segera masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri. Dan tentu saja. Wajah Vira yang baru saja kucium selalu terbayang hingga terbawa mimpi.
NARASI VIRA
Aduh......gimana ini...aku barusan dicium ama Faiz. Dia keren sih, ganteng, cakep, tajir, tapi saudaranya juga naksir aku. Sama-sama ganteng, cakep, tajir pula. Gimana dong? Moga aja tadi ciumannya nggak dilihat ama orang rumah, bisa berabe ntar.
"Siapa itu?" tanya ayah. Dia ternyata berdiri di jendela. Alamaaak, jadi ayah tahu semua. Mateng aku.
"T..temen koq yah," jawabku.
"Temen koq sampe pake ciuman segala?" tanyanya.
"Tadi nggak sengaja, itu kecelakaan," kataku.
"Kecelakaan? Koq sampe tiga kali?"
"Hush,...udah yah, kaya' nggak pernah muda saja. Beruntung toh, si Vira dapat cowok anaknya konglomerat," ternyata ibu juga ada di sebelah ayah. Jadi selama ini tadi mereka melihat.
"Tapi ya nggak bisa gitu dong bu, masa' ciuman di luar?" tanya ayah.
"Apa bapak mau lihat mereka berdua ciuman di rumah ini?" tanya ibu.
Ayah tampak menampakkan wajah nggak suka.
"Ayah, ibu, udah. Vira mau tidur dulu. Emang dikira apaan?" dengan wajah malu aku pun segera pergi ke kamar.
Aku lalu mencopot gaun yang kupilih malam ini. Sesekali aku melihat kalung pemberian Faiz. Agaknya aku lebih memilih Faiz daripada Pandu. Faiz romantis, tapi Pandu tidak begitu. Pandu bicara apa adanya, tapi Faiz lebih lembut. Tapi, aku dari dulu naksir ama Pandu, bukan ama Faiz. Namun apa yang dilakukan Faiz hari ini, membuatku menilai Faiz lebih baik daripada Pandu. Keduanya bukan orang yang playboy sih, walaupun banyak cewek yang naksir. Bibirku....masih serasa bagaimana lidah dia membasahi bibirku. Ohh...tuhan....kenapa aku jadi memikirkan Faiz???
Faiz....kamu mimpiin aku nggak? Maaf Pandu, sepertinya aku harus memilih Faiz.
Hari Sabtu. Rencananya malam ini aku akan diajak keluar oleh Pandu. Aku hari ini berencana untuk memberikan jawaban kepada Pandu yang kemarin sudah menembakku. Kemarin ketika pulang sekolah aku bertemu dengan dia. Cara nembaknya beda dikit ama Faiz. Dia sama memberikan bunga kepadaku dan dia memberikanku hadiah coklat. Tapi aku tak suka coklat. Aku menerima saja hadiah itu tapi setelah itu aku berikan kepada teman-temanku. Aku bilang jawabannya nunggu besok.
Memang aku banyak yang dekati. Nggak cuma Pandu sama Faiz saja. Anak-anak cowok seangkatanku juga banyak yang dekati, tapi aku jual mahal dan cuek. Mereka cuma mendekati aku tapi tak pernah nembak aku. Beda dengan Pandu ama Faiz. Mereka entah darimana berani nembak senior mereka sendiri.
Namun entah kenapa hari ini aku dikejutkan dengan kabar dari Pandu. Dia pingsan saat jam pelajaran sedang berlangsung. Kenapa? Sebagai orang yang juga mencintainya, aku pun segera bergegas ke ruang UKS ketika jam istirahat datang. Saat itulah aku melihat seseorang yang tak aku kenal. Rambutnya berwarna putih keabu-abuan, namun tercukur rapi. Badannya tegap dan dia sedang berbicara dengan Faiz. Dari baju kemejanya yang necis dan sepatu hitamnya yang mengkilat, aku yakin dia pasti ayahnya Faiz. Seorang konglomerat yang menjadi dua puluh besar konglomerat di negeri ini. Doni Hendrajaya. Tapi kenapa sampai datang ke sekolah?
Aku pun menguping pembicaraan mereka.
"Faiz, sepertinya ayah ingin mengubah keputusan ayah," kata ayahnya Faiz.
"Keputusan apa?" tanya Faiz.
"Ayah sebenarnya memang berpesan kepada pihak sekolah kalau-kalau Pandu pingsan secara tiba-tiba seperti ini. Sejak kecil Pandu menderita kelainan pada otaknya. Karena kelainan itulah dia selalu sakit-sakitan. Hilang keseimbangan dan seterusnya. Sebenrnya kita sudah menggunakan hampir semua cara untuk menyembuhkannya. Dokter dulu hanya mengatakan bahwa dia akan sehat-sehat saja sampai usia dua puluhan. Kalau misalnya kurang dari itu maka dia tak akan bisa ditolong lagi. Pandu sekarang ini sedang sekarat dan aku tak bisa menyerahkan perusahaan ini kepada dia. Aku ingin engkaulah yang memegangnya," kata ayahnya Faiz.
"Hah? Ayah, ini nggak salah? Aku? Kenapa harus aku? Pandu yang lebih berhak! Dia...dia...."
"Aku tahu, Pandu yang seharusnya memiliki semuanya, tapi aku tak mungkin menyerahkan semua ini kepada orang yang sakit, ketahuilah itu. Aku tak tahu berapa lama lagi Pandu akan bertahan dengan keadaannya ini. Aku sangat bersedih, Faiz."
Melihat ayahnya berkaca-kaca Faiz lalu memeluknya. Aku tak menyangka kalau Pandu sakit dan sedang sekarat.
"Tapi ini terlalu mendadak ayah, aku masih berharap setelah aku lulus aku bisa memikirkan hal ini, tapi..."
"Aku tahu, ini berat. Selesaikan saja sekolahmu, setelah itu kamu akan aku ajari untuk mengatur semuanya. Paling tidak, berikanlah kehidupan yang baik di saat-saat terakhirnya. Jangan tampakkan wajah sedih. Semuanya sudah aku beritahu tentang Pandu. Aku sebenarnya menyimpan hal ini sudah sangat lama. Hingga sekarang aku bisa mengatakannya. Ingat, berikanlah kebahagiaan kepada Pandu. Kau menyayangi saudaramu bukan?"
"Iya, tentu saja. Aku sangat menyayanginya."
"Ya sudah ayah tinggal dulu. Ingat, jangan pernah kau tampakkan kesedihan. Buatlah hari-hari Pandu penuh dengan kebahagiaan."
Setelah itu Pak Hendrajaya pergi dengan wajah murung. Aku hanya melihat Faiz sendirian berdiri merenung. Dan ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku terkejut. Melihatku berdiri di sini ia segera menghampiriku.
"Kau dengar semuanya?" tanya Faiz.
Aku mengangguk.
"Aku tak menyangka Pandu seperti itu keadaannya," kataku.
"Aku juga tak menyangka," kata Faiz.
"Aku sudah putuskan Faiz. Hari ini aku akan memberikan jawaban," kataku.
"Jawaban?"
"Iya, aku hari ini akan memberikan jawaban kepada Pandu kalau aku lebih memilihmu."
Tiba-tiba Faiz mencengkram pundakk hingga aku hampir saja terhuyung. "Vira, kamu tak tahu keadaan Pandu?"
"Iya, aku mengerti."
"Kalau kau mengerti, seharusnya kamu tahu kalau kau mengatakan itu kepada dia akan lebih membuatnya shock. Tahukah kamu ia sangat mencintaimu. Sama seperti aku. Aku takut kalau kau menolak cintanya ia akan tambah parah sakitnya."
"Tapi Faiz, aku mencintaimu. Aku sadar sekarang engkaulah cintaku. Dan aku sangat mencintaimu. Engkaulah yang aku pilih. Apa kamu ingin memaksaku mencintai Pandu sedangkan aku tak mencintainya?"
"Vira, aku juga mencintaimu sangat mencintaimu. Tapi aku tak tega melihat kondisi Pandu seperti ini. Kami bermain bersama, kami tumbuh bersama, kami melakukan kenakalan bersama. Aku tak tega kalau hatinya sampai rapuh karena dirimu."
"Tapi, engkau bilang kalian bersaing secara sehat? Kalau kamu menyerahkan kemenanganmu kepada dia, maka sia-sia saja perjuanganmu selama ini."
"Ini semua demi Pandu. Ia saudaraku. Apa yang harus aku lakukan kepada dia? Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan dia, Vira."
Aku langsung memeluk Faiz. Aku mendekap dia sangat erat. Faiz pun kemudian membalas pelukanku. Diusapnya rambutku dengan lembut.
"Maafkan aku Vira, maafkan aku. Tapi aku mohon, biarkan Pandu menang. Biarkan dia bisa merasakan kebahagiaan dengan cintamu," kata Faiz.
"Tapi, apa kamu tak memikirkan aku? Bagaimana aku bisa hidup dengan orang yang tidak aku cintai?" aku pun menangis. Faiz memegang wajahku. Kami bertatapan. Dan dia menciumku lagi. Ciuman bibirnya yang sangat lembut, ciuman yang penuh cinta yang berbeda dari tadi malam. Ciumannya kali ini seperti ciuman perpisahan. Lama dan aku tak ingin melepaskan bibirnya itu. Tapi....dia pun menyudahi ciumannya.
"Maafkan aku Vira. Sungguh aku sangat mencintaimu, tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?" kata Faiz.
Aku memegang wajah Faiz, mengusap pipinya dengan lembut. Dia pun mencium tanganku. Menghirup parfum yang ada di tanganku. Oh...aku sangat mencintainya. Kenapa ini semua bisa terjadi? Apakah memang aku dan Faiz tak ditakdirkan untuk bersama? Tapi...kalau memang Faiz yang aku cintai menginginkan ini, aku akan melakukannya.
"Kalau memang engkau menginginkan ini, maka aku akan melakukannya Faiz. Hanya saja, aku melakukan ini karena semata-mata aku mencintaimu. Maka setiap kali ketika aku mengatakan mencintai Pandu nantinya, sesungguhnya aku mengatakan itu untukmu. Setiap kali nanti dia menciumku aku akan menganggap engkaulah yang menciumku. Setiap pelukan dia nanti, aku akan menganggap engkaulah yang memelukku. Engkaulah hidupku Faiz. Engkau, bukan dia."
"Oh...Vira, maafkan aku!" kata Faiz.
Kami pun berpelukan. Sedih rasanya. Tapi inilah keputusanku.
BAB III
Curhat ke Kakak
NARASI FAIZ
Aku dan Vira masuk ke ruang UKS. Pandu masih belum sadar. Ada seorang dokter di dalam ruang UKS ini. Sekolah ini memang mempunyai dokter cewek yang bertugas kalau-kalau ada siswanya yang sakit. Namanya Dr. Dhana. Dia masih muda, berusia 27 tahun. Karena ini sekolahan elit jangan pernah tanya berapa honor sang dokter cantik ini. Pastinya tidak sedikit. Dan pasiennya jangan pernah tanya, pasti berebut. Dr. Dhana ini masih muda. Dan ia juga kadang sering menggoda anak-anak cowok di sekolahan ini.
Begitu aku masuk Dr. Dhana segera tahu.
"Selamat pagi pangeran mahkota, saudaramu sudah siuman," kata Dr. Dhana.
"Oh ya?" aku pun gembira.
Vira mengikutiku dari belakang. Kami kemudian sampai di ruang perawatan. Di sana tampak Pandu sedang main game di ponselnya.
"Hei kunyu! Udah sadar nggak kembali ke kelas malah main game," kataku.
"Rese' ah, suka-suka gua dong," katanya.
"Ayah tadi ke sini," kataku.
"Hah? Masa', trus dia kemana?"
"Udah pergi lagi."
Pandu melihat Vira. Ia buru-buru meletakkan ponselnya.
"Pandu, kau tak apa-apa?" tanyanya.
"Hai, Vir. Eh, maaf. Kusangka Si Jabrik ini sendirian," kata Pandu.
"Pan!" aku berkata sambil mengangkat tangan kananku untuk tos. Pandu pun membalasnya. Tapi aku tangkap tangannya. "Lu menang! Jaga dia baik-baik. Awas kalau lu sampai nyakitin dia!"
Aku meninju bahunya. Pandu nyengir. Ia tak mengerti maksudku. "Apaan sih?"
"Aku tinggal dulu," kataku.
"Woi, mau kemana?" tanya Pandu.
"Aku lagi sakit hati, jangan tanya kemana. Ya balik ke kelas-lah!" kataku.
Vira kemudian maju ke arah Pandu.
"Vira, kamu...?" kata Pandu.
"Iya, aku sudah bilang ke Faiz. Aku menerimamu, Aku mencintaimu Pandu," kata Vira.
Fuck....sakit hatiku mendengar itu. Dadaku bergemuruh.
"Faiz,...jadi...itu...," Pandu mulai mengerti.
Suasana ruang perawatan itu hening. Aku pun bergegas pergi meninggalkan ruang UKS. Tampak Dr. Dhana sedang membersihkan kukunya.
"Dasar, anak muda. Nggak di mana aja, kalau sedang ada masalah cinta hadeeeh," katanya.
"Faiz, makasih," kata Pandu.
Aku melambaikan tanganku.
"Faiz tak apa-apa?" tanya Vira. Dia tahu perasaanku sekarang sedang hancur.
"Ah, nggak apa-apa. Kami sudah berjanji koq. Siapapun yang dipilih olehmu, kami akan menerimanya walaupun sakit," kata Pandu.
Masalahnya, akulah yang memberikan Vira kepadamu Pandu. Karena aku terlalu sayang kepadamu.
***
Seminggu setelah kejadian itu, aku jadi jutek di rumah. Makan ndak nafsu, mau ngapa-ngapain bete. Tiap hari melihat Vira dan Pandu bersama, apalagi sambil gandengan tangan. Bikin aku ilfil. Tapi aku mencoba untuk senyum. Mungkin hanya Vira yang tahu arti dari senyumanku. Ia tahu aku sangat sakit. Tapi aku tak bisa berbuat banyak dengan ini semua. Kegembiraan di wajah Pandu pun membuatku makin bisa menerima nasib.
Ternyata kegundahanku selama ini diketahui oleh Kak Putri. Aku duduk di ruang keluarga nonton tv sendiri sampai larut. Nonton Masih Dunia Lain. Ngelihat orang-orang kesurupan. Heehh....nggak ada kerjaan emang. Saat itu rupanya Kak Putri terbangun dari tidurnya dan langsung duduk di sebelahku.
"Ngapain?" tanyanya. "Lagi galau ya?"
"Sok tahu," kataku.
"Udah deh, aku tahu kalau kamu lagi galau. Gebetan direbut orang? Kalah dari Pandu?" gila, langsung tepat dia.
Aku terdiam.
"Hahahaha, ternyata bener. Ceweknya yang mana sih? Kasih tahu dong!" pintanya.
Aku mengambil ponselku dan membuka gallery. Di sana ada foto Vira. Aku kasih ke Kak Putri.
"Cakep banget. Sialan kalian ini seleranya tinggi-tinggi ya?" puji Kak Putri.
"Iyalah," kataku.
"Udah deh. Jangan sedih gitu," katanya.
"Gimana lagi ya kak, dia cinta pertamaku. Aku sebenarnya nggak rela sih. Tapi, ketika ayah bilang Pandu kena penyakit itu, rasanya aku tak tega. Aku mengalah dari dia," kataku.
"Kamu sih bego!" kak Putri menoyor kepalaku.
"Lho?"
"Dalam kehidupan ini kau boleh mengalah kecuali tiga hal, pertama kamu nggak boleh mengalah dalam soal makanan, kalau kamu nggak makan bisa mati soalnya, kedua kamu nggak boleh mengalah dalam soal nyawa. Soalnya nyawamu cuma satu, dan yang terakhir, kamu nggak boleh mengalah dalam hal cinta. Sebab kalau kamu ngalah maka hati kamu yang mati!"
Aku menunduk.
"Ah, sialan. Pake pasang muka nggak berarti gitu. Udah dong ah. Udah terlanjur mau gimana lagi? Move on aja!"
"Enak kakak bilang move on, gampang banget. Sakitnya tuh di sini!" kataku sambil menunjuk ke dada.
Kak Putri tersenyum. Dia merebut remote tv dan mematikan tv. Tanganku lalu ditarik olehnya.
"Sini, ikut kakak!" katanya.
"Apaan sih?"
"Udah ikut aja!" katanya.
Aku digiring ke kamarnya. Setelah aku masuk, eh dianya langsung mengunci pintu, aku lalu didorong dan dipeluknya. Aku ambruk di atas ranjang dan bibirku pun dilumat olehnya. Kenapa kak Putri ini? Aku mendorongnya.
"Apaan sih kak?"
"Denger ya, aku ngelakuin ini biar kamu nggak sedih. Aku nggak pengen adikku ini sedih terus soal cewek. Biar aku menghiburmu," katanya.
"Maksudnya? Ini kakak mau ML ama aku?"
"Ah, cerewet, udah tahu nanya."
"Tapi, kita kan saudara!?"
"Persetan Iz, aku udah horni dari tadi."
Dan setelah itu....eng-ing-eng, terjadilah. Aku awalnya agak terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Kak Putri, tak tahu kalau dia seagresif itu melumat bibirku. Dalam sekejap pakaianku sudah dilucutinya. Hingga aku cuma tinggal pakai celana dalam saja. Kak Putri pun melepas T-Shirtnya. Kini dia cuma memakai bra dan CD.
Dengan lembut kak Putri mencium pipiku, bibirku, lalu ke leherku dadaku, dan dia menjilati putingku. Perutku diciuminya sampai ke celana dalamku. Ia usap-usap pusakaku itu.
"Gila Iz, punya lu. Gede amat ya?" katanya.
"Jangan ngaco ah, itu ukuran orang Indonesia. Standar!" kataku.
"Nggak, beneran. Apa pacarku yang impoten ya?" katanya.
"Kak Putri ngelakuin ini ama pacar? berarti udah nggak perawan dong?"
"Iya, kurang lebih setahun lalu," katanya enteng. "Aku buka ya?"
Tanpa mendapat persetujuanku ia sudah melepaskan celana dalamku.
"Anjir ini sih ukuran nggak normal Iz! Ukuran cowokku aja cuma sejari telunjuk. Ini lebih! Panjang banget! Gede lagi. Ini belum on beneran kan?" tanyanya.
"Belum," jawabku enteng.
Tiba-tiba ia menciumi dan menjilati ujung penisku. OWwwuhh....aku baru kali ini digituin perempuan. Biasanya cuma coli doang. Hap...kepala pusakaku sudah dikulum oleh Kak Putri. Kak Putri ini cukup seksi, kulitnya putih dan aku bisa tebak ukuran branya 34B. Ketika mengulum dan membiusku dengan oral sexnya ia membuka sendiri kaitan branya. Menggantunglah dua buah bongkahan susu bergizi itu. Ia meremas-remas telurku sekarang, membuatku makin keenakan. Sekarang punyaku benar-benar tegang.
"Duh, gemes aku ama kontolmu," katanya. Dia bisa juga bicara penis pake kata kontol.
Dia mengocok-kocok punyaku sambil sesekali menghisapnya. Aku hanya bisa melihat dia memperlakukan penisku seperti mainan. Kadang dia jilat, kadang ia ciumi dengan hidungnya. Ia kemudian berbaring di sampingku sambil melepaskan celana dalamnya.
"Gantian dong Iz!" kata kak Putri.
Aku kemudian mencium bibirnya lagi. Aku sebenarnya tak pernah membayangkan bisa ikut horni juga dengan kakak sendiri. Ciumannya juga cukup maut. Berkali-kali kami french kiss. Aku kemudian mencium lehernya. Apa yang aku lihat di film bokep aku praktekkin semuanya. Aku kemudian menyusu ke dia.
"Lu yakin nggak pernah ML?" tanyanya.
"Nggak lah, lihat bokep sih berkali-kali," kataku.
"Ohh...Izz...enak banget. Empengin aku...iya...gitu...ohhh....putingku gatel banget," katanya.
Aku menjilati dan mengenyotnya. Ia gelagapan sekarang. Ia ingin lagi dan lagi. Aku remas dadanya itu, entah apa yang ia rasakan. Tapi yang pasti dia keenakan. Aku kemudian menciumi perutnya, pusarnya, lalu ke selakangannya.
"Iiiizzz....ohhh...!!" ngeluhnya.
"Kakak nggak apa-apa?" tanyaku.
"nggak apa-apa, terusin! Terusin!" katanya.
Aku melihat bagian privasinya sekarang. Rambutnya sedikit, tapi memeknya sungguh sangat indah. Bibirnya berwarna pink, tak ada cacat. Aku mencium bau aneh. Sedikit amis. Dan di situ lendirnya banyak. Aku penasarn dengan rasanya. Aku pun menjilati bibir memeknya. Tiba-tiba pantat kakakku gemetar.
"Izz...kamu apain itu koq enak banget?" tanyanya.
"Aku cuma giniin koq kak," aku ulangi perbuatanku.
"OHHHH.....iizzz, aku keluaarrrr.....!!!" katanya.
Pahanya menekan kepalaku dan pantatnya terangkat ke atas. Bergetar tubuh Kak Putri untuk beberapa saat. Setelah itu aku duduk di sampingnya.
"Lakuin sekarang Iz!" pintanya.
"Kakak yakin?"
Kak Putri menatapku sayu dengan tampang memohon. Ia lalu mengangguk. Aku kemudian menekuk kakinya, aku berlutut, memposisikan senjataku tepat di lubang kemaluannya. Baru ujungnya yang bertemu Kak Putri sudah menjerit.
"Aaahhh....Izz...nikmat banget. Kontolmu itu diapain sih?? enak banget," katanya.
"Cuma disunat doang kak, nggak ada apa-apa," kataku.
Kedua kakinya kini berada di pinggangku. Aku kemudian mendorongnya perlahan-lahan. Aoouuuhhh..mulai masuk, memeknya udah becek. Gila baru setengahnya aja rapet banget. Kak Putri melengkungkan badannya. Aku kemudian menarik kemaluanku, kemudian kudorong lagi, tarik dorong, tariikk dorooong.....akhirnya semuanya masuk. Batang kemaluanku benar-benar seperti diremas-remas. Entah sengaja atau tidak kak Putri menggeliatkan badannya kiri atau kanan. Aku kemudian ambruk ke atas tubuh Kak Putri. Aku bertumpu dengan kedua tanganku sambil memeluknya. Tanganku kini ada di punggungnya.
"Iz...penis lo, uuhhh..penuh banget. Sampai nyentuh rahimku...ouuuhh!" katanya.
"Enak banget kak, seperti diremas-remas," kataku.
"He-eh, goyang dong. Yang lembut ya, aku ingin merasakan semuanya," katanya.
Entah kegilaan apa ini, yang jelas kami berdua bercinta dan benar-benar ingin merasakan kenikmatan bersama. Pantatku bergoyang naik turun. Dan pinggul Kak Putri berputar-putar seperti mengobok-obok penisku. Dan tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang sangat gatal di ujung penisku. Sesuatu yang ingin sekali menyeruak keluar.
"Kak, kayaknya aku mau sampe," kataku.
Tiba-tiba pinggangku dicubit dengan sangat keras.
"Aaaaahhh!" jeritku.
"Ntar dulu!" katanya. "Sedikit lagi"
Entah kenapa tiba-tiba pejuhku nggak jadi keluar. Kak Putri kembali memutar-mutar pinggulnya. Aku keenakan lagi. Segera aku goyang lagi. Makin cepat dan makin cepat.
"Iz, keluarin di dalem nggak apa-apa, aku kosong hari ini," katanya. "Sekarang kita keluar bareng yuk, aku mau nyampe nih."
"Kak....ohhh...,"
"Izz...Faizz....enaaaakk....terusss.....ssshhh "
"Ahhh...akhhh....aaaaakhhhh!!!"
"Faiiizzz...oooohhh,...adikku ngentotin mbaknya sendiri....oohhhh...keluar...pejumu....uuuhhhh...a nget Iizzz!!" rancau kakakku.
Spermaku menyembur di rahimnya. Entah berapa kali tembakan yang jelas aku benamkan sedalam-dalamnya penisku di kemaluannya. Tak kucabut hingga spermaku habis ditelan oleh kemaluan kakakku. Nafasku terengah-engah. Aku cium kakakku berkali-kali. Wajahnya terlihat puas. Perlahan-lahan aku mencabut penisku...PLOP, sebuah bunyi lucu terdengar ketika seluruh batangku keluar dari sarangnya. Spermaku meleleh dari lubang memek kakakku itu.
Dia meringkuk, menikmati sisa-sisa orgasme yang menyerangnya tadi. Aku berbaring di sampingnya. Kak Putri memejamkan matanya. Aku mendekat di samping tubuhnya dan memeluknya.
"Kak?!" panggilku.
"Ya, ada apa?" tanyanya lemas.
"Jangan kita ulangi lagi ya," kataku.
"Kenapa?"
"Aku takut kak, ini nggak bener, masa' kakak sendiri aku gituin? Ntar klo hamil gimana? berabe kan?"
"Biarin ajah, nggak usah dipikirkan!"
Kak Putri lalu memelukku, Kini kami berguling dan dia ada di atas tubuhku. Menyandarkan kepalanya di atas dadaku. Ia membelai dadaku. Setelah itu suasana hening sejenak. Aku hanya menatap langit-langit kamar. Sambil sesekali mencium kepala kakakku. Entah kenapa aku hari itu ada perasaan khusus kepadanya, seperti takut kehilangan dirinya. Sesuatu perasaan yang aneh. Kak Putri lalu beringsut ke atas, hingga kini kepalanya sejajar dengan kepalaku.
"Kamu marah ya?" tanyanya.
"Nggak, kenapa?"
"Habis, kamu diem. Nggak usah khawatir. Aku rela koq kalau kamu yang melakukannya. Aku sudah sejak dulu suka ama kamu Faiz. Aku mungkin juga cinta ama kamu. Memang ini kaya'nya aneh, kakak cinta ama adiknya sendiri tapi aku tak bisa menyembunyikannya. Awalnya aku menampik semua perasaanku. Aku pun punya pacar, tapi akhirnya ketika kemarin aku tahu dia selingkuh hilang sudah kepercayaanku ama cowok."
"Kemarin waktu aku anter ke tempat kost cowok itu?"
"Iya, waktu aku ke sana aku mergokin mereka berdua sedang empot-empotan di atas ranjang, bete' merasa dikhianati."
"Tapi, kak. Aku tak bisa mencintai kakak. Aku tetap menganggap kakak sebagai kakakku, sebagai saudara."
"Nggak apa-apa. Aku tak mengharapkan balasan dari cintamu Faiz. Aku sepertinya punya kelainan. Suka ama saudara sendiri. Terutama kamu."
Kak Putri mencium bibirku lagi. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Bingung. Senang sih punya kekasih seperti Kak Putri, tapi dia saudaraku sendiri. Apalagi apa yang kami lakukan ini tabu di masyarakat.
"Faiz, janji kepadaku!" katanya.
"Janji apa?" tanyaku.
"Kau jangan ceritakan ini kepada siapapun!" katanya.
"Iyalah, masa' aku ceritain? Gila apa?" kataku.
"Makasih, sama satu lagi!" katanya.
"Apa?"
"Kalau kamu kepengen, silakan aja bilang ke aku. Aku hari ini menganggapmu sebagai pacarku. Kan kamu baru patah hati, jadi nggak apa-apa kan? Anggap aja aku sebagai pacar."
"Nggak ah, kamu tetep kakakku!" kataku bersikeras.
"Udahlah pliiiss...kamu tak tahu rasanya dikhianati sih!" Kak Putri tiba-tiba menangis. "Sakit tahu. Plis ya, aku tak mau seperti ini terus. Kamu yang bisa bikin aku kuat Iz."
Aku tahu ini salah, tapi...kakakku butuh bantuan aku sekarang dan hanya aku yang bisa menenangkan dia. Jadi pacarnya? Rasanya sedikit absurd, tapi aku pun berkata, "Ya sudah, aku bersedia."
"Terima kasih adikku!" kak Putri menciumku lagi.
Aku menghela nafas. Kami tetap berpelukan. Malam kian dingin dan larut. Tak ada lagi suara di kamar Kak Putri. DIa pun mematikan lampunya, kami sekarang dalam kegelapan. Selimut tebal telah menutupi tubuh kami. Malam ini aku tidur di kamar Kak Putri. Kamarnya rapi, ada beberapa poster Hello Kity di dindingnya bisa kulihat poster itu menyala dalam gelap. Aneh anak ini. Aku tak bisa tidur. Dalam benakku selalu terbayang Vira. Kalau Vira tahu apa yang aku lakukan dengan Kak Putri hari ini ia pasti bakal marah.
Aku melihat ke arah Kak Putri, matanya masih terbuka. Ia juga tak bisa tidur rupanya.
"Kau tak bisa tidur?" tanyaku.
"Iya," katanya.
Aku entah kenapa iseng aja, memencet-mencet putingnya. Payudaranya yang montok itu aku remas-remas dengan lembut. Ternyata remponanku itu bereaksi. Suara keluhan mulai terdengar lagi.
"Faiz, kalau kau gituin enak banget, uuuhhhh....ssshhh," katanya.
Aku kemudian menyusu ke susunya lagi. Ronde dua pun dimulai. Lagian baru saja perjakaku hilang ama kakakku sendiri. Aku kemudian beranjak ke atas dan aku lumat bibirnya yang seksi itu. Lehernya yang jenjang pun aku hisap.
"Faiz, Jangan keras-keras. Aku tak mau kelihatan cupang besok pagi," katanya. Aku pun menurut. Kuhisap lembut lehernya. Kak Putri melenguh lagi. Ia meremas rambut kepalaku.
Tiba-tiba kak Putri langsung berguling di atas tubuhku.
"Ganti posisi yah," katanya.
Aku menurut saja. Dia lalu berjongkok di atas selakanganku. Penisku dikocok lembut, karena sudah tegang lagi dan keras. Ia pun menduduki penisku dan benda panjang besar itu meluncur masuk ke memeknya yang masih seret rupanya.
"OOhh...Faiz, enak banget!" katanya.
Kak Putri kemudian bergerak naik turun. Dia bertumpu kepada perutku dan sesekali mengusap dadaku. Tanganku bergerak ke atas, ke dadanya dan kuremas-remas dua bongkah payudara putih yang menggiurkan itu. Kak Putri goyangannya sangat pro, sesekali ia berputar-putar, mengakibatkan penisku seperti dikocok dan diobok-obok. Cukup lama Kak Putri ada di tas dengan posisi seperti itu. Hingga kemudian ia sedikit mengubah posisi.
Tanpa mencabut penisku, kak Putri memutar badannya sehingga membelakangiku. Penisku serasa dipelintir, tapi nikmat. Dan aku kini hanya melihat tubuh bagian belakangnya dari pantatnya hingga punggungnya. Rambutnya yang panjang tergerai. Dan Kak Putri pun bergoyang. Aku seperti menyetubuhinya dengan gaya doggy style. Aku pegang pantatnya dan sesekali memukulnya. Kak Putri menjerit.
"Nakal kamu Iz!"katanya.
"Kak, enak banget!" kataku.
"Kakak mau nyampe lagi," katanya.
Kak Putri menghentikan aktivitasnya dan beristirahat. Ia lalu mencabut penisku. Perlahan-lahan dengan merangkak ia berbaring di sebelahku. Aku kemudian bangkit. Aku menindihnya dari atas sedangkan dia tengkurap. Kuposisikan penisku ke memeknya dari belakang. SLEB!
"Aww...Faiz,....entotin kakak yah?" katanya.
"Iya kak, Faiz ngentot kakak sekarang," kataku.
Kugoyang pantat kakakku ini. Ohh...nikmat sekali. Aku naik turun memacu penisku dengan kecepatan tinggi. Penisku sudah ingin segera meledak keluar. Kak Putri sepertinya juga merasakannya.
"Terus Izzz.....keluarin! ayoo...aaaahhh!!!" katanya.
Dan spermaku pun keluar di memeknya. Kuhujamkan sedalam-dalamnya. Akhirnya aku pun lelah, ambruk di sebelahnya. Nafasku terengah-engah lagi. Kami lalu tidur sambil berpelukan setelah menghabiskan dua ronde dengan penuh kenikmatan.
***
"Putri??!!" panggil bunda.
Aku terbangun, kaget karena aku tak melihat kamarku. Aku baru tersadar kalau aku ada di kamar Kak Putri ketika aku melihat ia sedang tidur dan menggeliat di atas dadaku. Ia pun bangun. Matanya melihatku, lalu dengan ekspresi terkejut dia menutupkan telunjuk ke bibirnya.
"Putri!!? Ini sudah jam sembilan lho. Nggak pergi kuliah?"
"Iya bunda, aku kaya'nya di rumah aja deh. Lagi males pergi ke kampus," jawabnya.
"Lhoo, koq gitu. Kuliah itu bayarnya mahal nak. Nggak boleh seperti itu. Nanti kamu dimarahi ayah lho," kata bunda.
"Iya iya," kata Putri.
"Sarapannya ada di meja makan. Sebelum makan mandi dulu!" kata bunda.
"Iya bunda, iyaaa!" kata Putri.
Lalu terdengar suara langkah beliau meninggalkan pintu kamar.
"Gila, hampir copot jantungku!" kataku.
Kak Putri malah ketawa cekikikan. Ia kemudian bangun dan menuju ke kamar mandi yang memang ada di dalam kamar tidurnya. Aku bergegas menyusulnya. Entah mungkin karena melihat kesemokan pantatnya sehingga aku horni. Aku segera sergap kak Putri di kamar mandi. Ia pun mengerti maksudku.
"Ih, bangun tidur langsung nyosor," katanya.
"Biarin, mumpung gratis!" kataku.
Kepalaku digetok pake gayung.
"Biarpun gratis aku bukan cewek gampangan lho!" katanya.
Aku langsung menciumnya. Ternyata kak Putri itu lemah dengan ciuman. Ketika aku lumat bibirnya sudah lemas. Seolah-olah memasrahkan dirinya untukku. Aku kemudian memepet dirinya, kudorong tubuhnya hingga menempel ke tembok. Tangannya memeluk leherku. Kuangkat kaki kirinya dan aku memasukkan penisku yang sudah On. BLESS...nggak susah. Apa mungkin karena Kak PUtri juga horni? Segera aku genjot dia. Kami berpelukan erat.
"Ohh..Faiz...hmmhh...."
"Kaakk...ohhh...!"
Di kamar mandi itu pun aku akhirnya bercinta lagi dengan kakakku. Dengan posisi seperti itu saja aku sudah benar-benar bisa ejakulasi di dalam memeknya. Kami akhiri pagi itu dengan mandi bersama. Otomatis acara mandi kami penuh nafsu. Berisi belaian, ciuman, rabaan, setelah itu kami berpakaian. Aku pun kembali ke kamarku. Hari ini bolos sekolah ah.
BAB IV
Move On
Erik adalah teman baikku. Aku belum banyak memperkenalkannya tapi kalau ditanya teman baikku selain Pandu di sekolahan pasti Erik. Sebenarnya boleh dibilang aku dan Erik ini juga sahabat dekat. Bahkan dia adalah orang yang pertama kali aku beritahu tentang keadaan Pandu.
"Bro, aku turut berduka yah," katanya.
"Thanks," kataku.
"Btw, biar kamu nggak berduka terus. Mau aku ajak ke pergelaran musik?" tanyanya.
"Pergelaran musik? Di mana?"
"Di Srikandi Hall, yaelah itu kan punya bokap lu sendiri."
"Walaupun bokapku banyak bangun gedung, bukan berarti anaknya tahu gedung yang dijadiin acara kan? Emang pergelaran musik apaan?"
"Ya ampun, kamu ini nggak gaul! Hampir semua band terkenal ada di sana malam ini. Ada pendatang baru tuh, sebuah band personelnya cewek semua. Musiknya ngerock, dan yang jadi perhatian adalah ciri khas vokalisnya."
"Emang kenapa ama vokalisnya?"
"Kamu suka nonton Naruto kan?"
"Ya, trus apa hubungannya?"
"Tuh mata vokalisnya mirip Sharingan! Keren abis deh performnya."
"Kayaknya asyik tuh, boleh-boleh! Kujemput atau ketemu di sana langsung."
"Halah, ketemu saja langsung males aku dijemput. Emang gua pacar lu gitu?"
Aku ketawa keras. Akhirnya malam itu aku dan Erik menonton pergelaran musik. Ada banyak band yang manggung kelihatannya. Tapi mungkin yang bisa aku kenali cuma dua band ternama yaitu Kotak band ama Repvblik. Ini seperti parade sepertinya. Aku juga melihat tadi sepertinya untuk amal. Aku dan Erik langsung menuju ke depan panggung.
"Gila rame banget!" kataku.
"Yoi, hebat kan?" kata Erik menyetujui.
Aku memang sudah harus melakukan hal-hal seperti ini, biar bisa move on. Vira sekarang sudah bersama Pandu. Aku harus merelakan itu. Dan aku tak mungkin untuk merebut dia dari Pandu sekarang. Acara memang belum mulai tapi yang nonton sudah begini banyak. Bisa muat nggak nih Hall-nya?
MC pun muncul langsung disambut riuh tepuk tangan.
"Selamat malam semuanya, Apa kabaaaaar??" kata sang MC yang kemudian disambut riuh tepuk tangan. "Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselenggaranya acara ini. Kemudian juga kepada Hendrajaya Group yang telah memberikan izin untuk mengadakan parade Band Indonesia."
Aku kemudian melihat beberapa orang cewek yang bergerak berlari ke belakang panggung.
"Ayo Iskha! Cepetan!" seru seorang cewek yang paling depan.
Tak disangka sang cewek yang dipanggil Iskha menjatuhkan sesuatu. Sebuah kotak kecil. Aku beringsut ke arahnya mengambil kotak itu. Sepertinya ia tak sadar. Aku ambil kotak itu ternyata kardus kontak lens. Aku pun bergegas menuju ke belakang panggung untuk mengejarnya.
"Aduh...koq bisa jatuh sih? Kamu ini gimana? Padahal kita perfom pertama lho!" kata salah seorang cewek.
"Tadi aku taruh di saku koq. Jatuh mungkin," kata cewek yang dipanggil Iskha tadi.
"Maaf," kataku. "Jatuhin ini?"
Iskha langsung menjerit, "Iyaaaaa,....makasih ya mas."
"Syukurlah! makanya hati-hati!" seru temannya yang lain.
Cewek itu lumayan cakep. Gayanya imut. Dia menerima kardus kontak lens itu. Ia mengeluarkan isinya dan langsung memasangkannya ke matanya. Dan dalam sekejap, matanya langsung menyala merah. Alamak, dia vokalis yang diceritain ama Erik?? Entah kenapa saat itu juga dadaku berdebar-debar. Dadaku sampai sesak. Aku terpana sejenak. Kalau boleh dibilang Iskha ini cewek yang entah bagaimana bisa langsung menusuk jantungku. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Tonton aku ya mas!" katanya. Ia mengedipkan matanya.
"O...Ok, iya. Aku ada di depan koq," kataku.
"Dan inilah dia penampilan pertama kita dari band The Zombie Girls!" kata sang MC. Serentak seluruh penonton bersorak. Iskha tersenyum kepadaku lalu meninggalkanku naik ke panggung.
Aku kemudian segera kembali ke tempatku semula. Erik heran melihatku.
"Dari mana lu?" tanyanya.
"Dari...ah lupakan," kataku.
Saat itulah Iskha menyapa para penonton, "APA KABAR SEMUANYAAA??"
Sambutan riuh tepuk tangan menggelora di gedung itu. Keren. Dia bisa membuat seluruh penonton tergerak. Padahal dia bukan band papan atas. Aku yakin mereka pasti bisa jadi band besar suatu saat nanti. Mataku dan mata Iskha bertemu. Ia tersenyum kepadaku. Iya, ia tersenyum kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya.
Hentakan musik rock pun dimulai. Keren, peformanya keren. Aku suka ama band ini. Ama lagu-lagunya. Seluruh penonton bersorak sorai, melompat-lompat. Semuanya dibius oleh penampilan Iskha dan kawan-kawannya. Aku berada di sana sampai selesai. Menonton band-band papan atas pentas pun bukan sebuah hal yang sia-sia rupanya. Pertujunkannya keren. Ternyata parade band ini juga untuk amal. Dan terakhir ditutup oleh penampilan The Zombie Girls lagi. Setelah itu kami pulang.
"Gimana keren nggak?" tanya Erik.
"Keren bro, keren!" kataku.
"Ya udah, nggak nyesel kan aku ajak?"
"Nggak, sama sekali nggak."
"Baguslah kalau begitu," kata Erik. Kami pun berpisah malam itu.
Terus terang wajah Iskha terbayang-bayang terus di benakku. Aku tak bisa melupakannya. Apakah aku sekarang ini sudah move on?
***
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku sudah ada di sekolah. Hari ini dengan sangat terpaksa aku naik taksi. Mobilku mogok nggak bisa distarter. Sepertinya Akinya mati. Lagian aku juga lupa nggak ngecek. Aku punya mobil sendiri sih, Pandu juga punya mobil sendiri. Mobilku Honda City Type Z, tapi aku sudah modifikasi sampai mirip mobil sport. Beda dengan Pandu. Ia lebih milih selamat, mobilnya Honda Jazz, keluaran Pabrik. AKu nggak suka sih ama mobilnya.
Aku hari ini duduk di sebuah tempat duduk di pinggir lapangan basket. Nggak ada kerjaan, bel masuk juga belum bunyi koq. Dan biasanya juga kalau lagi suntuk aku duduk-duduk di sini. Aku mulai merenung tentang diriku, tentang Vira. Aku harus bisa melepaskan diri dari bayang-bayangnya. Aku sudah harus merelakannya. Karena dia memang sudah bukan lagi milikku. Ia milik Pandu. Hari ini saja aku melihat mereka bergandengan tangan dengan mesranya. Daripada sakit hati melihat mereka, aku selalu menghindar. Bahkan sekarang aku berangkat sekolah tidak bersama Pandu lagi. Pandu bisa mengerti keadaanku. Dia sengaja membiarkanku. Kami sudah sepakat memang siapapun yang dipilih oleh Vira harus ikhlas. Tapi aku tidak.
Move On aku harus bisa meninggalkan semua ini. Saat aku merenung itulah kumelihat seorang cewek dengan menuntun sepeda menuju tempat parkir. Rambutnya sebahu, dikuncir. Aku sepertinya tahu dia. Dia menoleh ke arahku. Tak salah lagi. Di Iskha. Eh, dia sekolah di sekolah ini?? Koq aku nggak pernah tahu ya?
Aku langsung beranjak menghampirinya.
"Iskha?" sapaku.
Dia menoleh ke arahku. Ia memicingkan mata dengan kacamata minusnya. Aku yakin dia Iskha. Dia memicingkan matanya mengamatiku.
"Ya mas?" sapanya balik.
"Kamu Iskha ya? vokalis band The Zombie Girls?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Aku yang kemarin menemukan kontak lens," kataku.
"Oh...ya ampuuun, itu ternyata mas ya? Aku nggak nyangka kita ternyata satu sekolah," katanya.
"I..iya, hehehe," kataku.
KRIIINNGGGG! bunyi bel masuk. Ah sial, kepingin ngomong banyak juga.
"Wah, bel masuk. Nanti disambung ya mas," katanya.
"Ok, sampai nanti. Eh, kamu kelas berap sih?" tanyaku.
"Aku kelas X-2", jawabnya.
"Oo...adik kelas rupanya," kataku.
Ia pun bergegas pergi ke tempat parkir dan segera masuk kelas. Aku juga demikian.
****
NARASI ISKHA
Nggak nyangka ketemu fans di sekolah ini. Eh, apa dia fansku? Paling juga cuma penonton biasa. Aku nggak pernah kenal dia. Apa mungkin karena nggak pernah masuk organisasi ya? Aku sudah ikut beberapa ekskul tapi nggak pernah lihat dia. Eh, namanya juga siapa sih dia? Aku belum sempat nanya. Tapi cakep juga.
"Iskha!" panggil Nailul.
"Eh, hai!" jawabku.
"Koq hai? Ngelamun aja. Ada apa sih?" tanyanya.
"Nggak apa-apa koq," jawabku.
"Biasanya cewek ngelamun sambil senyum-senyum sendiri itu lagi jatuh cinta," katanya.
"Sok tahu. Emangnya aku senyum-senyum sendiri?" tanyaku.
"Lha? Nggak sadar? aku sampai ngira kamu ini senewen tadi."
"Hush! Udah ah!"
Aku kemudian konsen lagi ke pelajaran yang dibawakan oleh Pak Andi, guru Matematika kami. Pelajaran itu berlangsung cukup lama menurutku, atau mungkin hanya perasaanku saja. Ketika jam istirahat tiba aku pun keluar mencari kantin. Karena kebiasaanku kalau pagi nggak pernah sarapan. Keluargaku dari keluarga biasa. Mendapatkan beasiswa untuk bisa di sekolah elit ini adalah sebuah kebanggaan bagi mereka. Aku pun membantu mereka dengan manggung di atas pentas. Ibuku bekerja di rumah sebagai seorang penjahit. Ayahku bekerja sebagai masinis kereta api. Jarang pulang kalau mudik. Fiyuuhh...sibuk bukan?
Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai di sebuah kantin. Langsung saja aku memesan nasi campur dan segelas air. Walaupun ini sekolah elit tapi menunya masih menu warteg. Enak lho. Saat pesananku sudah ada di nampan, Nailul memanggilku.
"Iskha, sini!!" katanya.
Aku pun segera menuju ke mejanya dan meletakkan nampanku di sana. Bersebalahn dengan nampan dia yang berisi frenchfriess dan hamburger, serta segelas minuman bersoda. Kontras memang, fast food dan nasi campur.
"Hihihi, belum sarapan ya tadi?" tanyanya.
"Iyalah, boro-boro sarapan. Telat iya," kataku.
"Kamu kapan naik panggung lagi?" tanya Nailul sambil memakan hamburgernya.
"Barusan kemarin malem naik panggung. Untuk berikutnya ya nunggu kontrak lagi," jawabku.
"Oh, enaknya jadi anak band. Honornya gede nggak sih?"
"Hmm...bayangin aja deh. Lima juta dibagi lima, berapa dapatnya?"
"Heh? Sedikit amat? Dibagi ama lima personel ya?"
"Maklumlah, kita masih band lokal. Belum seterkenal band papan atas. Mau gimana lagi?"
Saat itulah aku melihat cowok tadi pagi. Dia memesan sesuatu.
"Wah, itu Faiz," celetuk Nailul.
"Siapa Faiz?" tanyaku.
"Lho, kamu nggak tahu?"
Aku menggeleng.
"Kamu lihat cowok yang sedang memesan sesuatu itu?!" Nailul menunjuk ke cowok itu.
"Itu?"
"Iya, dia itu anak paling kaya di sekolah ini. Masa' kamu nggak tahu?"
Aku menggeleng.
"Ya ampun, kamu kemarin konser di gedung bapaknya tahu? Dia ini anak konglomerat. Bapaknya berada di peringkat dua puluh besar orang terkaya di Indonesia!" jelas NAilul.
Aku melongo. Nggak percaya. Dan yang lebih tak kupercaya lagi adalah dia pesen nasi pecel ama teh anget. Anjir itu anak konglomerat makan nasi pecel ama minum teh anget? Ah, tapi kan tidak setiap orang kaya punya selera luar negeri juga kale.
"Duh, Iskh. Kalau aku jadi pacarnya aku klepek-klepek deh," kata Nailul.
"Ah, lebay kamu," kataku.
OK, ini agak aneh, karena tiba-tiba Faiz berjalan melintas di meja kami dan menoleh ke arahku. "Lho, kamu?"
"Hai," kataku nyengir.
"Sarapan juga?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Boleh duduk di sini?" ia minta izin.
"Ya,...silakan!" kataku. Ngapain juga minta ijin? Udah tahu mejanya panjang koq. Bisa buat enam orang.
Dia duduk di hadapanku. OMG, koq aku berdebar-debar gini ya?
"Aku belum mengenalkan diri. Namaku Faiz. Kamu temannya Iskha?" katanya.
Nailul terbata-bata menjawab, "I...iya."
Aku dan Nailul benar-benar canggung. Anak konglomerat bo, di depanku. Ganteng, cakep, rendah hati lagi. Mimpi apa aku semalem bisa duduk di hadapannya. Koq bisa ya dia bikin aku deg-deg-ser? Ketemu aja baru sekali.
"Kalian nggak makan?" tanyanya yang sudah melahap nasi pecelnya.
"Eh...i...iya," kataku.
Aku pun melahap nasi campur yang aku pesan tadi. Entah kenapa sarapan itu terasa aneh. Aku selalu menudukkan wajahku. Takut melihat wajahnya. Nailul juga gitu. Aku buru-buru menghabiskan sarapanku sampai pipiku terlihat tembem. Dan buru-buru juga pergi. Nailul pun demikian. Melihatku buru-buru pergi Faiz tiba-tiba mencegahku.
"Tunggu!" katanya.
Mulutku masih penuh, hampir saja tersedak.
"Minum dululah, nggak baik makan buru-buru seperti itu. Minumanmu masih penuh!" katanya.
Aku berbalik lagi dan meminum air putih yang aku pesan tadi. Faiz menatap wajahku ketika minum. Oh tidak, ia bikin aku malu. Segera setelah itu aku pergi meninggalkannya.
Aku sudah sampai di kelas dan aku menjerit bersama Nailul.
"Gilaaaa!!! Apaan itu tadi?" tanyaku.
"Kamu sendiri apaaan? Koq ia bisa tahu kamu?"
"Kemarin ia nonton konserku. Aku nggak tahu siapa dia!"
"Keren kan? Cakep kan? Aduuuhhh..."
Kami berdua histeris pokoknya. Tapi satu hal yang aku catat adalah Faiz ini beda dengan cowok yang aku kenal sebelumnya. Ia tak jual mahal. Ia baik dan aku bisa lihat dari pertama kali kami bertemu di konser itu. Entah kenapa setelah itu aku jadi terbayang dia.
BAB V
Do you Need Love?
Narasi Faiz
Hari ini aku bersama ayahku berada di kantornya. Ia mengajariku tentang masalah logistik. Sebab dalam perusahaan ayah juga yang terpenting adalah logistik. Itulah kenapa ia bisa mensupplay banyak produk ke seluruh toko-toko waralabanya. Bahkan untuk mensuplaynya beliau mendirikan gudang-gudang di tiap-tiap kota. Sepertinya ayah benar-benar serius untuk menjadikanku sebagai putra mahkotanya. Aku pun diperkenalkan ke para direksi. Setidaknya setelah nanti lulus sekolah, aku tak bingung untuk cari pekerjaan.
Setelah seharian di kantor ayah, aku pun pulang. Capek juga yah belajar bisnis seperti ini. Dan ketika aku sampai di rumah aku disambut oleh saudaraku yang lain, Zahir dan Risma. Mereka adalah anak dari Bunda Vidia. Istri pertama ayahku. Aku juga melihat Bunda Vidia di ruang keluarga sedang ngobrol dengan bundaku.
"Eh, ini dia Faiz datang," kata bunda.
"Faiz, apa kabar?" sapa Bunda Vidia. Bunda Vidia ini cukup cantik. Wajahnya masih mulus dan kencang walaupun anaknya sudah sebaya denganku. Jilbabnya panjang. Walaupun sudah berumur dia masih kelihatan seksi.
"Halo sayangku, Dinda!?" ayah langsung mendatangi dan menyapa Bunda Vidia. Dia mencium kening istrinya itu. Sang istri lalu mencium tangan ayahku, begitu juga bunda. Zahir dan Risma mencium tangan ayah.
Aku langsung berjalan menuju kamarku. Aku tak melihat Pandu.
"Faiz? Lho, koq langsung ke kamar?" tanya bundaku.
"Mungkin capek dia mah, soalnya cukup melalahkan tadi dia belajarnya. Moga aja otaknya nggak meledak," canda ayahku.
Aku segera berganti pakaian. Setelah itu aku keluar kamar. Eh, di luar kamar aku bertemu dengan Pandu. Ia sepertinya mau keluar. Pakaiannya adalah kaos, jaket kulit dan jeans. Mau kemana si Pandu?
"Mau kemana, Pan?" tanyaku.
"Kencan dong, ini malem minggu!" jawabnya.
"Oh iya, ya sudah deh," kataku.
"Cabut dulu!" katanya.
Aku mengangguk. Sambil melihatnya pergi keluar dari rumah aku duduk di ruang keluarga di sebelah Zahir yang sibuk mainin game di ponsel smartphonenya.
"Ada acara apa nih?" tanyaku.
"Mau ada acara kondangan, kebetulan aja tempatnya dekat ama sini, jadi sekalian mampir," jawab Zahir.
"Eh, kak Faiz! Nggak malem mingguan?" tanya Risma.
"Ini ngeledek apa ngeledek?" tanyaku.
"Ya ngeledek, emangnya muji? hahaha," Risma ketawa.
"Dia barusan patah hati, jangan diejek. Ntar bisa gantung diri!" tiba-tiba Kak Putri datang langsung duduk bersandar ke diriku.
"Nah, kan. Ini penghinaan namanya. Perlu lapor KOMNAS HAM aku dibully ama semua saudara-saudaraku," gerutuku.
"Beneran? Kasihan dong," ujar Risma.
"Udah ah, ngeledek melulu," kataku.
Aku melirik ke arah Bunda VIdia yang masih ngobrol ama bunda. Mereka tampak santai ngobrolnya, entah apa yang mereka omongkan, seputar arisan atau baju. Kadang juga ngobrolin soal sekolah anak-anak.
Zahir menggerutu, "Ahh...susah banget ini."
Aku melirik ke ponselnya. Ia sedang main game Anggry Birds dan kalah. Ia pun menutup aplikasi game itu.
"Kamu rencana kuliah di mana?" tanyaku ke Zahir.
"Nggak tahu, biar saja nanti waktu yang memutuskan," kata Zahir.
"Ah, Kak Zahir mah, emang malas. Seharian maen game melulu di rumah," kata Risma.
"Biarin," kata Zahir.
"Nggak boleh gitu dong, maen game juga ada waktunya," kataku.
"Cieeh...sok bijak lu!" kak Putri memukulku pakai bantal.
Aku lalu beranjak.
"Eh, marah ya?" tanya Kak Putri.
"Nggak. Main tenis meja yuk?!" ajakku.
Kak Putri menyenggol Zahir. "Diajak tuh!"
"Aku kan mau pergi kondangan, nggak lucu kalau keringetan!" kata Zahir. "Mbak aja sanah!"
"Dasar, ya udah deh!" kak Putri pun menyusulku ke samping rumah. Di sana ada meja tenis yang biasanya kami gunakan untuk main tenis meja.
"Baiklah, berangkat sekarang?" tanya ayah.
"Ya sudah, aku pergi dulu ya dik," kata Bunda Vidia. Ia cipika-cipiki dengan ibuku. Mereka sekeluarga kemudian pamit.
Mumpung sore belum mandi juga, nggak ada salahnya kalau keringetan dikit. Aku dan Kak Putri pun main tenis meja. Seru juga mainnya. Kami sampai ribut sendiri di tempat itu. Icha dan Rendi pun ikut nonton pertandingan ini. Bahkan mereka pun akhirnya menggantikan kami ketika skor sudah game over.
"Sinih gantian, Icha kepengen maen ama Rendi," kata Icha.
Dan akhirnya aku menghabiskan sore itu bersama saudara-saudaraku main tenis meja sampai kami berkeringat semuanya. Cukup menyenangkan. Hingga bunda menyuruh kami untuk mandi semuanya. Icha dan Rendi tentu saja langsung berhamburan ke kamar mandi. Aku dan Kak Putri masih duduk-duduk di bangku yang ada di halaman samping rumah.
"Gimana? Sudah move on?" tanya Kak Putri.
"Entahlah kak, aku masih belum bisa melupakan Vira," kataku.
"Uuhh..kamu itu dasar," kak Putri tampaknya tak suka dengan kata-kataku. Ia segera beranjak pergi meninggalkanku dengan penuh emosi. Aku lal menyusulnya.
"Kak, Kak Putri?!" panggilku. "Koq kakak marah sih?"
Ia berbalik, "Iya jelas marah, kamu itu sudah kubilang suruh move on, kakakmu ini sangat sayang ama kamu, peduli ama kamu. Bahkan..." kak Putri mendekat ke arah telingaku dan berbisik. "....aku rela menyerahkan tubuhku untuk kamu!"
Kak Putri berbalik dan langsung menuju ke kamarnya. Aku menyusulnya. Begitu aku mau masuk kamarnya pintu langsung ditutup dan dikunci.
"Kak? Kak Putri??" panggilku. "Maafkan aku kak."
"Pergi sana!" katanya.
"Kaak? udah dong. Ntar bunda bingung lho," kataku.
"Peduli amat!"
"Oke kak, aku sorry. Tapi aku juga tak bisa mengendalikan ini. Aku sangat mencintai Vira. Ia cinta pertamaku. Kakak juga ngerti dong. Aku masih bau kencur soal cinta, nggak seperti kakak. Untuk move on itu susah!" kataku.
Pintu tiba-tiba terbuka dan aku ditarik masuk ke kamarnya. Kak Putri lalu menutup pintu kamarnya lagi. Aku pun didorong hingga bersandar di pintu.
"Faiz,...!" kata Kak Putri. Matanya berkaca-kaca, sekelebat kemudian ia memelukku.
"Kak, maafkan aku. Aku janji nggak bakal buat kakak menangis lagi. Aku janji. Sudah dong!" kataku.
"Lo mau kan jadi pacar kakak? Pliiss, kakak sudah nggak percaya lagi sama laki-laki. Kalau kamu mau jadi pacar kakak, kakak akan maafin kamu."
Aku terdiam sejenak. Kupeluk dia. Entahlah, kenapa aku punya masalah sister complex seperti ini. Kemudian wajahnya berhadap-hadapan denganku. Aku saat itu masih bersandar di pintu, jadi dia menahanku agar tidak bisa beranjak. Bibirnya pun kembali memanggutku. Kami berciuman lagi. Satu hal yang baru kusadari, ternyata Kak Putri tak memakai bra. Putingnya mengeras menempel di dadaku.
Aku menurunkan tanganku ke pinggangnya, kudorong hingga kedua kemaluan kami bergesekan di balik baju. Tangan Kak Putri mengusap dadaku. Ia menciumi dadaku. Padahal aku sedang berkeringat sekarang ini. Dia juga sih. Tapi aku suka bau keringat kakakku ini.
"Kakak sudah kepengen?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Berjanjilah, kamu harus move on! Kakak di sini siap untuk menjadi kekasihmu."
"Kenapa kakak mencintaiku?" tanyaku.
"Bukan kenapa, tapi bagaimana," jawabnya.
"Bagaimana?"
"Karena aku sudah mencintaimu sejak dulu Iz, sejak kecil kamu selalu melindungiku. Kamu selalu peduli kepadaku. Kita selalu bermain bersama. Aku sudah katakan kepadamu, aku ingin menghilangkan perasaan ini bahkan pacaran dengan lelaki lain, tapi mereka semua brengsek. Aku dikhianati berkali-kali, aku tak percaya lagi kepada lelaki lain. Aku cuma percaya kepadamu Iz."
"Kenapa percaya kepadaku?"
"Sama satu cewek saja kamu seperti ini setianya, bagaimana kalau kamu jadi pacarku pasti kamu akan setia selamanya."
Naif sekali pemikiran kakakku ini. Sebenarnya mungkin ia ingin kenyamanan. Ia ingin diperhatikan. Aku bisa merasakan itu. Ayah jarang menemuinya, iya. Bisa jadi. Banyak masalah yang menimpa kakakku ini sejak dari kecil. Ia ditinggalkan oleh ayah kandungnya. Ia anak tiri dari ayahku, bunda sebelumnya menikah dengan orang lain lalu ditinggal pergi begitu saja, hingga bertemu dengan ayah. Dia kesepian. Bodohnya aku. Aku seharusnya memperhatikan ini. Ayah memang lebih sayang aku dan Pandu, dan ia lupa kalau Kak Putri juga butuh perhatian.
Dia jujur bahwa telah dikhianati oleh sang pacar. Ia jujur telah melepaskan keperawanannya setahun yang lalu. Dan memang sakit rasanya dikhianati. Kak Putri kemudian menarikku, ia ambruk di ranjang dan aku menindihnya. Kami berciuman lagi dan kali ini lebih panas dari sebelumnya.
Aku mengangkat kaosnya. Payudaranya yang tak berbalut bra itu terpampang. Aku segera mengisap putingnya. Kak Putri melenguh keras. Ia mencopot kaosnya sekarang hingga bagian atas tubuhnya telanjang. Ia menarik kaosku juga. Bagian tubuh atas kami pun bersatu sekarang. Aku mencupangi kedua payudaranya, sebab aku sangat gemas sekali dengan dadanya yang sekal itu.
"Faiz, masukin langsung Faiz. Aku inginkan dirimu," katanya.
Aku lalu melepaskan celanaku dan ia sudah melepaskan hotpantsnya. Aku segera menggesek-gesekkan ujung kontiku di lubang memeknya. Perlahan-lahan kemudian aku dorong hingga masuk penuh. Kak Putri emang sudah horni. Keringat kami pun bercampur baur jadi satu. Bau memeknya yang semerbak pun menambah nafsu gairah.
Aku lalu menggoyangnya maju mundur perlahan. Kak Putri mengunci pinggangku dengan kedua kakinya. Ia menarik-nariknya seolah-olah ingin memasukkan penisku lebih dalam lagi. Aku tarik maju mundur, hingga kemudian makin lama makin cepat. Aku peluk tubuh Kak Putri.
"Faiizzz...oohhhh...entotin kakak ya," katanya.
"Iya kak, ini juga udah entotin kakak koq," katakku.
"Yang keras Faiz, yang keras! Jebolin memek kakak kalau perlu!" katanya.
Kak Putri makin binal. Lagi-lagi ia memutar-mutar pinggulnya dan aku makin cepat menggerakkan pantatku. Rasanya penisku sudah ingin keluar lagi kali ini. Ngilu sekali rasanya. Rasa gatal yang tak tertahankan itu pun mengumpul di ujung penisku.
"Kaaak..aku keluaarr...!!" kataku.
"Ohhh...kakak juga Izzzzz.....aaaaakhhhhhh!!" kak Putri mendekapku. Kami berpelukan erat ketika kemaluan kami sama-sama menyemprotkan cairan ejakulasi. Nikmat sekali,....nikmaaaattt.....Aku tak bisa melukiskan dengan kata-kata. Orgasme itu rasanya sangat lama.
Nafas kami terengah-engah dan Kak Putri lemas. Kakinya diturunkan dan aku pun mencabut penisku. Memek Kak Putri melelehkan air mani yang tadi aku keluarkan.
"Kak, kakak kosong nggak nih? Bisa berabe kalau nanti aku hamili," kataku.
"Oh iya, kakak nggak kosong. Masa subur!" Kak putri menepok jidatnya.
"Waduh, gimana dong?" tanyaku.
Kami berdua panik. Kak Putri langsung bergegas ke kamar mandi dan membersihkan miss v-nya. Aku panik sekali. Aku lalu menyusul ke kamar mandinya dan melihat ia kemudian kencing di closet. Ia memejamkan mata dan meringis.
"Kenapa kak?" tanyaku.
"Rasanya geli waktu kencing, tuh spermamu banyak banget nyemprotnya," katanya sambil memperlihatkan air kencingnya yang bercampur dengan lendir berwarna putih milikku.
Ia kemudian membersihkan kemaluannya. Aku pun berdoa, moga-moga nggak hamil, moga-moga nggak hamil.
"Udah, kamu nggak usah khawatir gitu dong," katanya.
"Ya jelas khawatirlah, apa kata bunda nanti? Apa kata ayah nanti?" tanyaku.
Kak Putri tersenyum, "Ya ngomong yang sesungguhnya dong."
Aku agak terkejut dengan perkataannya. Apa Kak Putri tak merasa khawatir?
"Kak, apa beneran kakak mencintaiku?" tanyaku.
"Iya, kenapa?" tanyanya.
"Kalau kakak mencintaiku apakah kakak membutuhkan cintaku?"
Kak Putri diam. Ia tahu itu pertanyaan yang sangat berat. Ia memang mencintaiku, tapi apakah ia butuh cintaku. Diamnya kak Putri itu membuatku sadar, cinta kami bertepuk sebelah tangan. Cinta kami hanya satu arah.
"Aku mencintai kakak sebagai saudaraku dan akan seperti itu selamanya," kataku.
Kak Putri lalu berdiri. Ia memelukku. "Maafkan aku ya Faiz,...maafkan aku."
"Aku sudah bilang, kalau kakak butuh apapun, minta apapun aku aka berikan. Karena aku sayang ama kakak," kataku.
Aku lalu melepaskan pelukannya, memakai pakaianku lagi dan keluar dari kamarnya. Kak Putri sedang dalam depresi kukira akibat dikhianati pacarnya. Ia hanya inginkan pelampiasan. Itulah yang aku simpulkan sekarang.
BAB VI
Pedekate
Aku di ruangan Bu Lina. Dia mau menerima konseling hari ini. Padahal biasanya yang ngantri banyak.
"Nak Faiz, mau konseling apa hari ini?" wajah Bu Lina yang cantik dan alim dengan kerudungnya itu menyejukkan hatiku. Jadinya nyaman banget untuk konseling. Apa emang semua psikolog seperti ini ya?
"Gimana sih bu untuk move on?" tanyaku.
"Kamu sedang gagal move on?" tanyanya. "Diputusin pacar?"
"Nggak juga sih, tapi boleh dibilang orang yang aku suka sekarang sama orang lain. Aku masih belum bisa melupakannya," kataku.
"Hmmm...susah nih, biasanya kalau orang yang seperti ini karena ia sangat cinta ama si cewek, bener nggak?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Sebenarnya kunci biar bisa move on itu adalah berpikir positif untuk masa depanmu. Gini saja deh Faiz, berapa sih penduduk di dunia ini?" tanyanya.
"Kurang lebih 2 milyar," jawabku.
"Ada dua milyar lebih, anggaplah presentasi cewek lebih banyak, misalnya 1,2 Milyar misalnya. Dan 100 jutanya ada di Indonesia. Masa' kamu harus menyia-nyiakan 100 juta itu hanya untuk satu orang cewek?" kata-kata Bu Lina ini langsung menusuk.
"Benar juga sih Bu," kataku.
"Nah, jangan sia-siakan waktumu hanya untuk satu hal yang sudah lalu," katanya.
"Tapi masalahnya aku masih suka ama dia bu, masih cinta," kataku.
"Kamu harus membuka diri dan jangan menutup diri seperti itu! Masa' kamu harus melakukan friendzone kepada yang lain? Kamu itu anak konglomerat, udah cakep, kaya lagi. Berapa banyak di sana cewek-cewek yang ngantri ama kamu?"
Aku mengangkat bahu, "Emang banyak?"
"Duuhh...ibu hampir pasti tiap minggu ada yang konseling ada yang naksir kamu tapi kamunya cuek," kata Bu Lina.
"Oh ya?"
"Iya, hampir tiap kelas ada yang naksir kamu. Kamu pernah buka lockermu nggak sih?"
Aku jarang membuka lokerku. Mungkin karena aku tiap hari membawa mobil sehingga rasanya nggak perlu sih untuk nyimpan sesuatu di loker. Tapi terkadang saja aku membuka lokerku kalau mau olahraga. Memang ada banyak surat-surat cinta di sana, tapi tak pernah aku baca satu pun.
"Jarang sih, tapi memang ada banyak surat cinta. Aku tak pernah baca," kataku.
"Nah, tuh. Masa' dari semua cewek yang kirim surat cinta itu tak ada satupun yang engkau pilih?" tanyanya.
Aku mengangguk-angguk. Memang aku harus membuka diri. Selama ini aku terlalu fokus kepada Vira. Sadar woi, Vira itu masa lalu, kataku dalam hati
"Kira-kira kamu punya pandangan sekarang siapa yang kamu suka?" tanya Bu Lina sambil memajukan wajahnya. Matanya yang tajam itu seperti menusukku.
Aku mengalihkan pandangan dan melihat ke luar jendela. Saat itulah dari luar aku melihat seseorang. Iskha. Ia sedang mengikuti pelajaran olahraga. Kelas X-2 sedang berlari-lari mengelilingi lapangan untuk pemanasan. Aku tersenyum, kemudian berdiri.
"Bu Lina, mungkin memang benar. Aku harus membuka diriku, terima kasih. Saya pergi dulu," kataku.
"Naah...gitu dong," kata Bu Lina. "Silakan!"
Mulai saat itu aku mulai mendekati Iskha. Aku ingin membuka diriku untuknya. Aku pun mulai mencari tahu dia ikut ekskul apa aja sih, apa saja kegiatannya, kapan dia akan manggung, dan apa saja lagu-lagu ciptaannya. Untuk hal ini sangat mudah bagiku. Tinggal suruh anak buah ayahku untuk melakukannya selesai. Besoknya aku bisa tahu semuanya. Di sekolahan juga sangat mudah untuk mengetahuinya. Aku tinggal mengikuti dirinya saja saat jam istirahat, juga ketika dia ikut ekskul. Iskha masih sendiri. Dia tidak punya cowok, lucunya adalah setiap cowok yang mendekati dia pasti kena tonjok dan besoknya nggak berani dekat dengan dia. Wah, tipe yang sulit ditaklukkan nih, ujarku dalam hati.
Setelah beberapa hari mengikuti Iskha, aku pun mulai menyukai cewek ini. Dia itu periang. Mungkin itu alasannya dia pakai lensa kontak ketika manggung karena ia memakai kacamata minus. Jadi bukan sekedar gaya-gayaan, tapi emang sih dia selalu memakai lensa kontak berwarna merah. Sebentar lagi ada acara perkemahan, dia ikut pramuka sih. Jadi pastinya dia akan ikut acara itu. Aku pun berniat untuk bisa ikut juga.
Aku yang sudah jarang membuka lokerku pun akhirnya kubuka. Langsung saja ratusan mungkin pucuk surat berhamburan keluar. Alamaaak,...sebanyak ini?? Aku pun memungutinya satu per satu dan memasukkannya ke ranselku. Hampir saja ranselku sendiri nggak muat.
"Ciee, yang dapet surat cinta," tiba-tiba Iskha menyeletukku
"Hai Is!" sapaku.
"Hai mas," balasnya.
"Koq sendirian?" tanyaku.
"Emang ngambil barang di loker harus ditemenin?" tanyanya.
"Nggak juga sih," jawabku.
Aku melihat lokerku dan lokernya berseberangan alias berhadap-hadapan. Ia lalu menutup lokernya dan menguncinya dengan memutar kombinasi sembarangan. Aku kemudian berlari-lari kecil mengejarnya.
"Masih naik sepeda?" tanyaku.
"Iya, kenapa?" tanyanya.
"Kalau boleh, kalau boleh lho. Aku ingin jemput kamu tiap hari," kataku.
"Nggak usah deh mas, makasih," katanya.
"Aku nggak keberatan lho," kataku.
"Aku yang keberatan. Ntar disangka yang nggak-nggak lagi sama temen-temen. Dianggap pacaran juga. Aku kan bukan siapa-siapanya mas," katanya.
"Mau jadi temenku kalau gitu?" tanyaku.
Ia tersenyum manis. Duh, manisnya senyuman itu.
"Mas emangnya ngapain sih? Kalau kepengen temenan ya temenan aja gitu kan?" katanya.
"Mau jawaban jujur apa jawaban tidak jujur?" tanyaku.
"Ya jujurlah, masa' bohong sih?"
"Aku jujur suka ama kamu, tapi karena aku belum mengenalmu aku paling tidak kepingin jadi temanmu. Kau bisa mengenalku aku bisa mengenalmu, terus terang selama ini aku tak pernah membuka diriku kepada orang lain," kataku.
Dia tertawa kecil. "Oh, begitu."
"Koq tertawa?"
"Aku ini orang kecil mas, bisa masuk ke sekola ini aja pake beasiswa. Mas enak orang kaya bisa bayar sekolah ini buat masuk. Aku nggak bisa mas. Apa mas yakin suka ama aku?" tanyanya.
"Aku tak masalah dengan itu semua," kataku.
"Trus, kalau misalnya mas suka sama aku nanti cewek-cewek yang lain gimana dong? Mereka patah hati semua dong? Tuh surat cintanya seabrek," katanya sambil menepuk-nepuk ranselku.
Aku berdiri di hadapannya. Aku tatap wajahnya lekat-lekat. Entah kenapa aku berdebar-debar. Tidak, tidak, tidak. Aku belum mengenal Iskha. Nggak mungkin aku menciumnya sekarang. Ia bukan Vira. Ia orang lain. Kalau Vira sudah aku kenal cukup lama, tapi ini bukan. Dia masih bersih, polos, kalau sampai aku melakukannya bisa timbul gosip yang nggak-nggak. Sabar aja.
Aku mengangkat jari kelingkingku. "Friends?"
Ia menatap ke langit. Lalu menatap wajahku, kemudian ia menyambut jari kelingkingku dengan jarinya. "Ok."
Kami lalu berjalan beriringan lagi.
"Kamu setelah ini konser di mana lagi?" tanyaku.
"Mungkin ngamen di kafe mas. Kafe Brontoseno," jawabnya. "Kami sering di sana sih, bawain lagu-lagu accoustik."
"Oh ya? Wah, bakal jadi tempat nongkron favoritku nih," kataku.
Iskha berhenti berjalan. Aku juga berhenti.
"Mas Faiz serius suka ama aku?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Kenapa?"
"Kalau kau tanya kenapa, aku tak punya alaasan yang tepat untuk mencintaimu. Kalau kau tanya bagaimana, maka aku bisa jawab. Aku percaya kepada cinta pada pandangan pertama. Dan aku telah menyukaimu sejak kamu manggung itu. Bundaku berkata, kalau aku sampai berdebar-debar hingga dadaku sesak karena melihat seorang gadis, maka aku telah menemukan cinta sejatiku," jawabku.
"Biasanya kalau orang yang baru kenal bilang cinta, itu gombal dan playboy," kata Iskha. Ia lalu bergegas meninggalkanku.
Aku membiarkannya pergi ke tempat parkir untuk mengambil sepeda kayuhnya. Benarkan apa yang aku bilang, dia sulit ditaklukkan.
Ternyata memang benar. Selain sulit ditaklukkan ada masalah lain yang ada pada diri Iskha. Dia ini tak mempedulikan kekayaan orang ataupun kedudukan orang. Di matanya semua orang itu sama. Maka dari itulah aku baru tahu dia bisa bergaul dengan banyak orang, tidak seperti aku. Kedudukanku sebagai anak seorang konglomerat malah menjauhkanku dari teman-temanku yang kehidupan ekonominya di bawahku. AKu pun mulai dekati mereka semua.
Aku pun mulai berubah. Aku mulai menyapa mereka, becanda bersama mereka. Bahkan yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya aku pun mengajak mereka main ke rumahku. Kami belajar bersama di rumahku. Kedatangan teman-temanku tentu saja merupakan hal yang baru di rumah. Selama ini jangankan satu orang, niat mengundang mereka saja tidak pernah.
Bundaku menyeletuk, "Faiz, tumben kamu ngajak temen-temenmu."
Aku hanya tersenyum. Perubahan kepada diriku itu pun dirasakan oleh seluruh anggota keluargaku. Aku sekarang lebih banyak membuka diri.
Dan setiap sore hingga malam aku selalu di Kafe Brontoseno, tempat di mana Iskha ngamen di sana. Hanya saja ia agak beda. Tak pakai lensa kontak, sangat natural dengan kacamatanya. Rambutnya diikat, pakaiannya casual. Santai sekali. Ia memetik gitarnya dan bernyanyi beberapa lagu kontemporer.
Melihatku ada di salah satu meja ia tersenyum kepadaku. Aku melambaikan tangan kepadanya. Ia pun menggeleng-geleng.
NARASI ISKHA
Apaan sih dia itu? Pertama kali bilang cinta aku. Trus ingin lebih kenal aku dengan menjadi teman. Dan ini malam ketiga dia selalu ada di kafe ini melihatku bernyanyi. Dia selalu menyapaku. Dan pasti duduk di sebelah sana. Kata pelayan di kafe ini tipsnya pasti gedhe kalau dari dia. Aku agak nggak enak sih karena selalu diperhatikan olehnya.
Tapi dia termasuk yang paling gigih ngejar aku. Bayangin aja nih, aku tak pernah ngasih tahu nomor ponselnya eh, tahu-tahu dia sudah SMS aku aja. Dapat dari mana pula? Dia tiap pagi sudah ada di pagar sekolah, cuma untuk say "Hai, selamat pagi?!"
Dia tahu kalau aku tiap pagi nggak pernah sarapan sehingga makan di kantin. Eh dia sudah ada di sana. Dan berusaha nemenin aku. Lama-lama hatiku lumer juga deh. Sudah hampir seminggu ini dia ada di kafe tiap malam. Memang nggak menyapaku, cuma melambaikan tangan saja. Duduk di sana sampai kafenya mau tutup. Dia berkali-kali nawari aku tumpangan, tapi selalu kutolak.
Hari ini dia memakai kemeja putih bergaris vertikal berwarna coklat. Dia memakai jas berwarna hitam. Sejak dia duduk selalu memperhatikan aku. Aku akhirnya takluk. Mataku tak bisa pergi dari dirinya. Duh, mas Faiz...kau bikin aku deg-deg-ser.
Hari ini selesai juga akhirnya aku ngamen di sini. Sang manajer pun memberikan kami amplop sebagai upah kami mengisi musik di kafe ini. Setelah itu di ruang belakang aku membagi uangnya bersama teman-temanku yang lain. Lumayanlah buat jajan. Tapi aku tetap akan memberikan uang ini buat ibu dan ayah. Setelah itu aku kembali ke ruang depan. Kulihat Faiz ada di luar kafe, berjalan mondar-mandir. Aku membawa gitarku di punggung.
"Mas Faiz? Masih di sini?" tanyaku.
"Iya, nunggu kamu," jawabnya.
"Nggak usah ditunggu mas," kataku.
"Anak gadis jalan sendiri itu nggak aman. Aku mau nemenin kamu," katanya.
"Aku naik sepeda lho mas, mas kan naik mobil," kataku.
"Nggak koq. Aku juga naik sepeda tuh!" katanya sambil menunjuk ke sebuah sepeda gunung yang terparkir di sebelah sepedaku.
Aku menggeleng-geleng. Hebat ya perjuangannya pedekate ke aku. Aku menghela nafas.
"Oke?" tanyanya.
"Yah, baiklah," kataku.
Kami pun mengambil sepeda kami masing-masing. Setelah itu kami mengayuhnya. Sepedaku ini satu-satunya kendaraanku untuk pergi ke mana-mana. Memangnya gimana lagi? Sepeda motor? Belum mampu kami beli. Sepeda motor itu pun dipakai ayah buat kerja. Aku jadi malu sendiri bersepeda begini ama Faiz. Agak aneh aja sih, bajunya senecis gitu, tapi naik sepeda ontel. Aduhhh...
"Kenapa?" tanyanya.
"Hah? Apa mas?" aku yang dari tadi melamun tersadar.
"Kenapa koq diem? Aneh ya melihat anak orang kaya naik sepeda?" tanyanya.
"Iya sih, mas ini kekeuh juga ya?"
"Kamu kenapa belum punya pacar? Padahal aku yakin pasti banyak yang naksir ke kamu. Aksi kamu di panggung luar biasa, pasti salah satu fansmu bakal tertarik."
"Nggak juga mas. Lha mas sendiri? Koq masih single? Apa jangan-jangan mas sudah punya pacar?"
"Aku ini biar pun anak orang kaya, menghargai perempuan lho. Aku ada sih dulu gebetan, tapi sudah lewat. Direbut ama Pandu."
"Oh, siapa itu Pandu?"
"Kakakku, saudaraku. Kami memang selalu banyak bersaing dalam segala hal. Bahkan sampai urusan cewek pun kami bersaing. Tapi kami bersaing secara fair, adil, nggak ada saling menjatuhkan."
Aku cukup kagum kepadanya. Dia bicara jujur apa adanya. Kemudian kami ngobrol ngalor ngidul soal sekolahan, soal temen, soal baju, sepatu, film, musik, hingga tak terasa aku sudah sampai di depan rumahku. Aku agak malu juga sih ketika Faiz melihat rumahku yang kecil. Halamannya kecil, berpagar besi yang dicat kuning. Tampak sebuah lampu neon menerangi halaman dan pagar. Pintu rumahku dicat warna coklat. Sebuah kaca besar ada di sebelahnya dan di terasnya ada kursi dan meja untuk menyambut tamu. Di halaman yang kecil itu banyak tumbuh bunga-bunga peliharaan ibu.
Faiz turun dari sepedanya. Aku juga.
"Makasih mas, udah nganter," kataku.
"Tidak, akulah yang berterima kasih, kau mau menunjukkan rumahmu," katanya.
"Aku sejujurnya malu. Kondisi rumahku seperti ini. Pasti rumah mas lebih gedhe dari ini kan? Lebih mewah." kataku.
Ia tersenyum. "Nggak juga. Kalau kamu ingin main ke rumahku. Pintu rumahku akan selalu terbuka."
"Anak cewek koq pergi ke rumah anak cowok? Nggak kebalik?"
"Yah, kalau kamu ingin main aja. Temen-temenku juga main ke rumahku koq. Nggak usah malu. Sudara-saudaraku pasti akan menerimamu nanti."
"Nggak ah mas, malu aku."
Kami terdam sebentar. Faiz mendekat kepadaku. Eh...mau apa dia? Nggak, tunggu...jangan...! Bagai slowmotion waktu serasa melambat. Tangannya memegang pundakku. Dan perlahan-lahan aku seperti dibius olehnya. Wajahnya mendekat kepadaku, lebih dekat-lebih dekat. Oh tidak...ini first kiss...jelas ia akan menciumku. Oh Tuhan....ini first kissku dengan seorang laki-laki. Kumohon tolaklah Iskha, tolaklah dia. Kamu yakin dia cinta sejatimu? Dorong dia! Dorong!
Tapi aku tak sanggup mendorongnya. Tubuhku seperti terkena paralysis. Dadaku naik turun. Dia sudah menempelkan bibirnya ke bibirku. Bau nafasnya yang harum aku hirup. Lidah kami bertemu. Ciuman ini, luar biasa. Aku tak bisa mengatakan apa-apa. Mataku terpejam. Aku resapi setiap sentuhan bibirnya di bibirku. Ia mengecupku menghisap salivaku. Lidahnya pun membasahi bibirku. Oh...tidak...Ya Tuhan, aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta ama dia.
Sialan kamu Faiz, kau telah mencuri hatiku, telah mencuri ciuman pertamaku. Ia pun melepaskan ciumannya setelah entah berapa lama kami berciuman. Mata kami saling bertatapan. Ia mengusap pipiku, aku memejamkan mataku merasakan belaian lembut tangannya. Baiklah saudara-saudara, aku Iskha, telah takluk kepada pemuda ini.
Sudah Faiz, pergilah. Aku tak mau mati berdiri di tempat ini. Cukup ciumanmu bisa buat pingsan diriku kalau kau lakukan lagi. Ya Tuhan tolong, sudahi ini. Iya, aku mengaku kalah. Aku suka dia, aku cinta dia. Faiz, aku cinta kamu.
"Ehm! Ehm...!" tiba-tiba sebuah deheman memecah keheningan. Arrgghh...itu ayah!!! Dia berdehem di dalam rumah dengan deheman yang keras sampai terdengar keluar.
Kami langsung salah tingkah. Faiz hampir saja menjatuhkan sepedanya, kalau ia tak cepat tanggap.
"Sebaiknya aku segera masuk," kataku dengan salah tingkah.
"Iya, sebaiknya aku juga pulang. Sudah malam," katanya.
"Sampai besok," kataku.
"I..iya, sampai besok," katanya.
Pintu terbuka tampak ayahku dengan baju kaos dan sarungnya keluar. Dia menatap Faiz dari jauh. Mungkin dalam hatinya mengumpat siapa beraninya deketin anak gue? Aku dengan wajah memerah langsung masuk ke dalam rumah. Dan karena salah tingkah gitar yang aku bawa dipunggungku pun membentur pintu sehinga menimbulkan suara gaduh. Faiz tampak mengangguk hormat kepada ayahku. Aku meletakkan gitar ke kursi sofa.
"Siapa itu?" tanya ayah menginterogasiku.
Aku tak menghiraukannya. Aku segera keluar lagi dan berteriak, "Mas Faiizz, AKU JUGA PADAMU!"
"YEEESSS!!!!" seru Faiz sambil melompat.
"Heh! Ini sudah malem koq teriak-teriak? Masuk sana!" aku ditempeleng ayahku.
"Aduh! Iya yah, iya," kataku.
Faiz tampak kegirangan ia segera mengayuh sepedanya sambil bersiul-siul. Aku langsung masuk ke kamarku. Aku sangat malu. Malu sekali mengatakannya. Faiz...aku cinta kamu.
BAB VII
Long Road for Love
Acara perkemahan Sabtu Minggu. Agak aneh saja karena entah bagaimaan Mas Faiz bisa ada di sana ikut sebagai panitia. Sebab aku tak pernah tahu kalau dia pernah ikutan ekskul pramuka. Perkemahan ini diselenggarakan di salah satu Bumi Perkemahan. Jangan harap deh seperti pegunungan atau hutan. Nggak. Ya namanya juga anak kota. Tapi memang ekskul kami setahun sekali mengadakan kemah ke salah satu pegunungan. Biasanya kemah akhir tahun. Karena ini perkemahan untuk anak kelas satu seperti aku yah, kemahnya ya di sini.
Agak lucu juga sih melihat Mas Faiz pakai baju pramuka dan menjadi seksi sibuk. Hihihi. Tapi semenjak jadian kita di malam itu, ia perhatiaaaaan banget. Sayaaaang banget ama aku. Dia saja bantuin aku bawa barang-barangku. Aku kemari nebeng dia pakai mobilnya. Dan selama perkemahan ini dia jagain aku ohhh...sooo sweeett.
Kegiatan perkemahan ini cukup padat sebenarnya. Ada permainan, games dan macam-macam. Pada malam harinya ada pesta api unggun. Semuanya mulai dari kelas satu dan panitia memberikan pertunjukan di sana. Intinya sih, acara itu cara yang menyenangkan. Setelah acara api unggun selesai, mas Faiz menemani aku di tenda panitia. Kami makan sebungkus nasi Padang berdua di sana.
"Cieee....makan sebungkus berdua...cieeee!" sindir beberapa orang panitia.
"Mau?" tanya Mas Faiz ke mereka.
"Oh, nikmati aja, kami tak mau merusak momen bahagia kalian," kata panitia yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang memotret kami, JEPRET! Lampu blitznya mengejutkan kami. Saat itu aku dan mas Faiz menoleh ke arah yang motret.
"Waduh, kita dipotret mas, malu aku," kataku.
"Udah...nggak apa-apa, tenang aja. Toh kalau dipublish juga nggak masalah," kata mas Faiz.
"Tapi, aku malu," kataku.
Ia memegang pundakku. "Nggak usah malu. Kau ini cewekku, udah resmi. Nggak perlu malu."
"Udah resmi? Kaya' orang nikah aja," kataku.
Kami tertawa. Setelah makan malam itu. Aku mengambil gitarku. Mas Faiz, memintaku untuk menghibur para panitia. Aku sih nggak keberatan. Musik memang sudah menjadi hidupku. Aku pun memetik gitar dan mulai bernyanyi salah satu dari lagu-laguku. Alunan melodi pun mengalir. Ada satu hal yang aku pasti lakukan ketika main pentas. Terlebih kalau bermain solo. Aku selalu memejamkan mataku. Menghayati setiap sya'ir yang aku mainkan.
Malam gelap
Bintangku temani aku.....
Genggam tanganku
Ucapkan kata cintamu.....
Duhai Sang pangeran
Mimpikan aku dalam tidurmu....
Anggap aku putri tidurmu
yang siap untuk ciumanmu
Agar bangun dari mimpiku
Setelah aku selesai lagu itu. Aku membuka mataku. Betapa terkejutnya aku melihat seluruh tenda panitia penuh orang. Nggak cuma panitia, tapi juga seluruh anak-anak kelas satu. Mereka pun bertepuk tangan kepadaku.
"Hebaat, keren Iskha! Keren!" seru mereka semua. Aku mengangguk dan membungkukkan badan.
Mas Faiz tersenyum dan bertepuk tangan kepadaku. Lagu ini kupersembahkan untukmu mas. Engkaulah pangeranku. Malam kian larut dan aku kembali ke tendaku setelah itu. Mas Faiz membawakan aku selimut.
"Nih, buatmu!" katanya.
"Mas, bagaimana?" tanyaku.
"Ah, aku gampang. Paling juga bakal tidur bergerombol ama para panitia yang lain mirip anak kucing," jawabnya.
Aku tertawa. "Dasar, ya udah. Emang harusnya kan gitu. Cowok ngasih sesuatu agar ceweknya nyaman."
Ia mengucel rambutku. Ih...ada kebiasaan aneh sih ama Mas Faiz ini. Dia suka banget berantakin rambutku kalau sedang gemes. Selain dipeluk juga sih. Tapi terus terang ia orang yang paling honest, paling humble yang pernah aku kenal. Aku lihat teman-temanku yang udah punya cowok, biasanya si cowok grepe-grepe gitu, tapi dia nggak. Menurutku dia ini sosok cowok yang perfect. Dia memang pernah menciumku dan itu cuma sekali itu doang. Pegang tanganku juga nggak pernah lama-lama. Walaupun begitu ia pria yang paling perhatian. Aku tiap hari makin jatuh cinta kepadanya.
Setelah aku menerima selimut itu, aku pun masuk ke tenda bersama teman-temanku yang lain. Selimut yang diberikan Mas Faiz cukup lebar sehingga banyak muat beberapa orang.
Nailul pun berbisik kepadaku, "Duh, Iskha. Kamu ini ya, bisa merebut hati Faiz. Aduuh..iri aku."
"Iya, ceritain dong, gimana dia nembak kamu?" pinta Ratna.
"Harus cerita? Ntar kalian tambah kepengen lho?" kataku.
"Cerita aja, kami denger koq. Anggap aja kamu lagi dongengin kami!" ujar Sulis.
Aku pun kemudian menceritakan bagaimana Mas Faiz berusaha mendekatiku dari awal. Awal pertemuan kita ketika aku manggung di parade band, kemudian juga bagaimana ia mulai mendekatiku, selalu datang di Kafe itu, kemudian menciumku malam itu sampai kepergok ayahku.
"Aduuuuhhh....Soooo Sweeeeettt!" seru semuanya.
"Aku jadi iri...hiks....nggak nyangka ya anak konglomerat bisa seromantis itu," kata Nailul.
"Eh, gosipnya gebetannya sekarang jalan ama saudaranya kan?" celetuk Ratna.
"Iya, Vira. Anak kelas XII itu. Denger-denger mereka dulu ngerebutin dia. Tapi kaya'nya Faiz kalah," kata Sulis.
"Vira, anak kelas XII? Senior dong," kataku.
"Iya, dia cukup cakep lho. Primadona di sekolah ini," kata Nailul.
Entah kenapa aku cemburu. Cemburu kepada masa lalu Faiz. Faiz juga pernah cerita tentang gebetannya yang direbut oleh Pandu. Tapi apakah memang dia sudah melupakan Vira? Apakah mendekatiku ini adalah salah satu pelarian dia? Tapi tidak. Ia sangat jujur kepadaku. Ia sangat mencintaiku.
"Udah ah, tidur. Ngantuk!" kataku.
"Cieee...cemburu nih yee," ejek Nailul.
"Ah kalian, udah ah nggak mau denger," kataku sambil menutup telingaku.
Semuanya ngikik. Kami pun mencoba tidur hingga pagi.
****
NARASI FAIZ
Acara perkemahan itu selesai. Kami kembali ke kehidupan normal. Cieh, normal. Apaan emangnya? Maksudnya kita masuk pagi, pulang siang, menikmati pelajaran di kelas. Hubunganku dengan Iskha mulus-mulus saja. Foto kami sedang makan di perkemahan itu jadi hot topic. Bahkan sempat masuk ke berita gosip. Aku maklum dan sadar, statusku sebagai anak orang konglomerat masih melekat, dan Iskha sebagai seorang musisi, tentunya juga dilirik.
Iskha dan aku makin dekat. Ia juga sudah tak malu-malu lagi jalan denganku. Ia tak peduli ada wartawan yang curi-curi foto saat kami bergandengan atau jalan bareng. Beritanya sih cukup heboh ketika aku dan dia bergandengan tangan di taman. Sampai di koran ada judul "ANAK KONGLOMERAT BERPACARAN DENGAN MUSISI" Aku dan Iskha tak menghiraukan tulisan tabloid remaja itu. Memang sih banyak yang patah hati pastinya. Aku juga masih ingat bagaimana itu surat-surat cinta aku baca semuanya. Yup semuanya. Total ada 345 surat yang aku baca. Semuanya menyatakan suka ama aku. Tapi maaf sekali aku sudah memilih Iskha.
Hari ini aku ingin main ke rumahnya. Tentu saja sekaligus berkenalan ama keluarganya.
Kalau pakai mobil rasanya terlalu berlebihan. Aku pun iseng aja sih hari MInggu pergi ke rumahnya pakai sepedaku. Sekalian olahragalah. Aku melihat seorang anak kecil laki-laki berkacak pinggang di pagar. Aku turun dari sepedaku.
"Pagi, kakakmu ada?" tanyaku.
"Kak Iskha sedang nggak bisa diganggu, mau apa kamu anak muda?" kata anak kecil ini. Anjrit, sombong banget. Pake logat wayang lagi. Tapi lucu juga.
Dari pintu muncul Iskha. Dia tampak memakai kaos dan celana legging. Dia membawa bak di pinggangnya. Oh, sedang nyuci-nyuci.
"Udah dek, sana main sana!" perintah Iskha kepada adiknya.
"Siap tuan putri!" kata adiknya. Ia segera berlari keluar pagar. Tampak teman-temannya yang lain sedang bermain bola. Jalanan di depan rumah Iskha memang sepi kalau hari minggu seperti ini. Melihatku yang datang Iskha langsung menyambut.
"Masuk mas, maaf lho aku sedang nyuci-nyuci," katanya.
"Rumahmu sepi?" tanyaku.
"Cuma ada ibu. Ayah sedang jadi masinis," katanya.
"Oh iya, ayahmu masinis ya?"
"Duduk deh, aku buatin minum dulu!"
"Ah nggak usah repot-repot!"
"Udah, duduk aja!"
Aku kemudian masuk ke halaman rumahnya. Kuparkir sepedaku di halamannya. Iskha menaruh bak yang berisi pakaian yang sudah dicucinya itu di halaman. Dia segera masuk ke dalam rumah. Aku kemudian duduk di kursi yang ada di teras.
Seorang ibu-ibu paruh baya muncul.
"Ehh...ada tamu," ibu-ibu ini aku salami. "Temennya Iskha?"
"Iya, bu," kataku. Iyalah, masa' temennya adeknya yang kecil itu? Eh, beliau kan udah tahu kalau aku kemarin ke rumahnya jemput Iskha pake mobil, masa' lupa?
"Temen atau pacar?" wuih, langsung to the point.
"Dua-duanya," jawabku nyengir.
Ibunya kemudian berbisik, "Koq nggak bawa mobil nak? Kemarin kan bawa mobil sepertinya?"
"Kepengen olah raga bu, lagian ribet kalau harus bawa mobil segala," jawabku.
Iskha pun kembali membawa nampan berisi minuman Nutrisari. Dia lalu menaruhnya di meja kecil di serambi. Iskha lalu duduk di kursi yang kosong. Sementara ibunya masih berdiri.
"Diminum mas!" kata Iskha.
Aku kemudian meminumnya.
"Kapan ngelamar Iskha?" tanya ibunya tiba-tiba sambil nyengir entah beliau bercanda atau tidak.
Aku pun nyembur dan tersedak. Uhukk!!
"Ih, ibuuu....koq tanya gitu? Udah sana ibu kan banyak kerjaan. Ntar pelanggannya pada kabur jahitannya belum selesai," kata Iskha yang sedikit malu ibunya tanya begitu.
"Ya ya ya," ibunya pun kembali masuk ke dalam rumah.
"Mas nggak apa-apa?" tanya Iskha. "Maafin ibu ya!"
"Ah, nggak apa-apa koq, mungkin ibumu cuma bercanda," kataku.
Tiba-tiba wajah beliau muncul lagi, "Aku nggak bercanda lho, beneran."
"Ibuuuuuu!" Iskha menjerit gemas. Sang ibu balik lagi ke dalam. Aku jadi ketawa melihat hal itu. Akhirnya aku nggak jadi canggung di rumah ini. Ibunya bisa menerima baik diriku. Iskha tersenyum kepadaku. Ia sedikit malu sih.
"Boleh aku bantu jemur pakaiannya?" tanyaku.
"Ah, nggak usah mas, nggak usah. Aku bisa sendiri koq," katanya.
"Udahlah, aku bantu yah?!" kataku menawarkan diri.
"Nggak usah mas beneran, nggak usah," katanya.
Aku berdiri dan beranjak ke bak jemuran tadi. Iskha mengejarku dan memegang tanganku. Oke, ini momen yang ehm...sebenarnya, tangannya memegang tanganku dan matanya dekat banget ama mataku. Yah, anggap saja seperti di sinetron-sinetron itu. Padahal kami sudah kurang lebih dua minggu pacaran, tapi masih saja seperti baru jadian kemarin.
"Aku bantu ya?" tanyaku lagi.
"Nggak usah mas!" jawabnya. Tapi tak ada penolakan. Aku pun mengambil sehelai baju dan meremasnya lalu menjemurnya. Iskha pun ikut-ikutan. Ia tak bisa mencegahku. AKhirnya jadi kami berdua menjemur baju-bajunya.
Dan....., "Eit, yang itu nggak usah!" kata Iskha sambil merebut sesuatu dari tanganku.
Wajahku memerah saat itu. Itu celana dalamnya. Hehehe. Aku mengambil lagi dari bak.
"Itu juga nggak usah! Aku bisa sendiri!" ia kembali merebut dari tanganku. Sebuah bra. Bra miliknya?
"34 C?" gumamku.
"Ih, dasar mata keranjang!" katanya sambil menjulurkan lidah. Ia lalu menjemur pakaian dalamnya tadi.
Setelah selesai menjemur ia lalu menemaniku duduk di serambi. AKu masih tersenyum-senyum mengingat peristiwa tadi.
"Ngapain ih senyum-senyum, senewen?" tanyanya.
"Lucu aja sih mengingat yang tadi," jawabku.
"Mas ini, udah ah. Aku malu lho," katanya.
Aku menatapnya lagi. Aku cuma ingin menatap wajahnya. Ini saja sudah membuatku senang. Aku bisa melihat wajah Iskha yang natural tanpa make-up. Ia cantiknya alami. Tak ada bedak, tak ada lipstik. Ia membetulkan kacamatanya.
"Apaan sih ngelihatin melulu," katanya.
"Seneng aja ngelihatin kamu," kataku.
"Udah ah, aku malu dilihatin terus. Aku tinggal lho," ancamnya.
Aku kemudian mulai berbicara ke yang lain, "Adikmu lucu juga yah."
"Masih SD ya lucu-lucunya, kalau sudah SMA ya udah nggak lucu lagi mas. Kaya' kita-kita ini, hehehe."
"Biasa aja kamu. Trus, kira-kira enaknya kapan yah?"
"Apanya?"
"Ngelamar kamu."
"Idiiih, masih sekolah juga koq. Aku aja belum 17 mas. Masih 16 tahun, bulan depan baru 17 tahun," katanya.
"Ah, I see. Kapan?"
"Aku ultahnya 20 September."
"Catet. Mau hadiah apa?"
"Hadiah? Entahlah, aku nggak pernah ngerayain ulang tahun soalnya. Pasti Mas Faiz sering ngerayain ultah."
"Yah, cuma dirayain ama saudara-saudara aja. Paling juga nraktir mereka, trus mereka bikin sureprise gitu."
"Hihihi, pasti seru ya punya banyak saudara gitu."
"Maybe. Tapi yang paling seru mungkin kalau seluruh saudaraku ngumpul semua, bisa rame itu rumah. Kami ngumpulnya setahun sekali sih. Pas lebaran gitu."
Kami kemudian diam. Terdengar suara mesin jahit yang bekerja di dalam rumah. Ibunya Iskha mulai menjahit baju-baju pesanan. Agak lama kami diam, hingga Iskha memulai pembicaraan lagi.
"Aku kemarin iseng sih mas, nyari orang yang bernama Vira," katanya.
Deg! Ngapain dia nyari Vira?
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Aku ingin tahu saja, seperti apa sih wanita yang mas suka sebelum aku. Ternyata kalau dilihat-lihat Vira itu cantik ya, aku aja kalah. Dia wanita yang ideal, sempurna, perfect. Aku juga tahu dia selalu dapat peringkat di kelas, cerdas dan luar biasa pokoknya. Aku jadi tahu selera mas Faiz itu tinggi banget. Aku sepertinya nggak ada apa-apa," katanya. Lho, koq dia jadi minder sih?
"Jangan gitu dong. Dia udah masa lalu, kamu sekarang masa depanku," kataku. Aku kemudian beranjak dan berlutut di depannya. "Iskha, jangan pikir yang aneh-aneh. Aku sudah memilihmu dan aku sudah jujur kepadamu tentang perasaanku."
"Iya, aku tahu. Mas baik, mas sangat pengertian, sayang, dan selalu melindungiku. Hanya saja aku takut!" Iskha menyatukan tangannya dan mendekap dadanya. "Aku takut dia akan merebut mas dari aku. Aku cemburu. Aku cemburu mas akan balik lagi ke dia suatu saat nanti."
Aku lalu mendekapnya. Kepalanya bersandar di pundakku. "Jangan begitu Iskha, kau adalah milikku sekarang. Dan akan begitu seterusnya. Kau cemburu, itu artinya kau juga sangat mencintaiku."
Iskha membalas pelukanku. Aku kemudian menempelkan dahiku ke keningnya. Dari apa yang ia utarakan, aku tahu sekarang. Bahwa perjalanan cinta kami masih panjang.
BAB VIII
Mencari Ayah yang Hilang
NARASI HANI
Aku sudah sampai di ibukota sekarang. Sebenarnya juga aku masih bingung dengan kota ini. Angkutan umumnya banyak, Selalu tanya kiri dan kanan. Tujuanku cuma satu, yaitu bertemu dengan Doni Hendrajaya. Dia ayah biologisku. Tujuh belas tahun yang lalu ibuku selingkuh dengan seseorang. Ibuku bernama Dian. Setelah kematian ayahku dialah yang mengurusiku sendirian. Namun akhirnya ibuku pun menyusul ayahku tak berapa lama kemudian. Sebelum beliau meninggal ia berwasiat kepadaku bahwa aku bukan anak kandung ayahku. Aku adalah anak seorang konglomerat. Namanya Doni Hendrajaya. Dulu ibuku berselingkuh dengan dia sehingga lahirlah aku. Dan ini tidak diketahui oleh ayahku. Tentu saja itu pukulan terberat bagiku. Aku tak menyangka ibuku melakukan tindakan seperti itu, mengkhianati ayahku sendiri.
Tapi aku sudah memaafkan ibu. Dan ibu menyesali semuanya. Aku sekarang hanya ingin menuntut pertanggung jawaban kepada Doni Hendrajaya.
Sudah seminggu ini aku berada di ibukota. Aku pun bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe. Gajinya sih lumayanlah buat hidup. Kafe Brontoseno namanya. Pekerjaan di sini cukup mudah, karena aku bagian kasir. Cuma ngitung uang, tapi juga kadang merangkap melayani pelanggan kalau pelayan yang lain lagi ribet. Kadang juga aku dapat tip.
Aku suka ama salah seorang pelanggan. Dia tipnya sangat besar. Entah siapa namanya aku tak mungkin menanyakan nama ke orangnya. Dia selalu duduk di sebuah meja, sendirian sampai kafe ini hampir tutup. Kudengar sih dia pacarnya salah satu musisi yang ngisi di kafe kami. Dia tiap malam selalu ada di sini. Cakep bangetlah pokoknya. Beruntung banget itu sang vokalis jadi pacarnya.
Ngomong-ngomong soal vokalis, aku kenal dengan vokalis The Zombie Girls ini. Namanya Iskha. Kenalnya juga ya gara-gara dia ngamen di kafe ini. Kalau nggak ya mana bakal kenal? Terkadang juga kalau libur aku diajak ke konser musiknya. Aku pun jadi akrab sama Iskha ini. Orangnya periang, supel, enak deh diajak gaul. Dia juga adalah temanku pertama kali ketika singgah di ibu kota ini. Aku dibantu mulai dari cari kos sampai ngajakin aku jalan bareng ama anggota bandnya. Mereka asyik semua.
"Malem mbak Hani?!" sapa Iskha.
"Malem mbak?! Apa kabar?" balasku.
"Baik," jawabnya.
Seperti biasa, ia membawa gitarnya dan mulai membuka pembungkusnya. Aku melihat seorang laki-laki duduk di meja yang kosong. Itu lelaki yang aku ceritakan. Iskha menatap ke dirinya penuh arti. Duh enaknya yang pacaran.
"Wah, setia banget sih mbak cowoknya?" kataku.
"Nggak tahu tuh, nempel terus kaya' perangko. Hihihi," jawabnya.
"Iya, tiap malam nemenin mbak. Apa nggak ada kegiatan lain dianya?"
"Nggak tahu, tanya aja!" katanya sambil nyengir.
Malam ini pengunjung kafe tak begitu ramai, maka dari itu aku bisa sedikit santai. Aku pun coba mendekati cowok itu. Tampangnya sih bukan dari keluarga biasa. Aku lihat dia memakai syal warna ungu, jaket warna hitam, celana jeans dan sepatu warna coklat. Aku membawa menu dan menanyakan pesanannya.
"Mau pesan apa mas?" tanyaku.
"Ah, seperti biasa aja, Cappucino," jawabnya.
"Ok," kataku. "Ada lagi?"
"Nggak tahu deh, udah aja. Nanti kalau tambah aku kasih tahu," katanya.
Aku pun segera ke dapur memberi tahu pesanan Cappucino. Tak berapa lama kemudian pesanan sudah jadi. Aku segera menuju ke mejanya cowok tersebut.
"Makasih," katanya.
Aku tak segera beranjak. Aku duduk di kursi di dekatnya.
"Mas cowoknya mbak Iskha ya?" tanyaku.
"Iya," jawabnya.
"Wah, beruntung ya mbak Iskha. Ditemenin terus kalau malem," kataku.
"Mau gimana lagi, kalau dia pulang sendirian bahaya kan. Cewek pula," katanya.
"Bener juga sih. Boleh tahu nama mas?"
"Aku Faiz. Kamu?"
"Aku Hani. Aku juga temennya mbak Iskha. Sering jalan bareng juga. Kami juga kadang curhat-curhatan gitu."
"Oh ya? Curhat apa saja?"
"Ada deh, itu rahasia cewek. Hehehe."
"Yaaah...oke deh."
"Aku tinggal ya mas," kataku sambil beranjak dan kembali ke tempatku.
"Oke, silakan. Makasih ya," katanya. Sopan banget.
"Iya, sama-sama," jawabku.
Malam itu pun berlalu dengan cepat. Bahkan tak terasa sudah selesai pertunjukannya mbak Iskha dan kawan-kawan. Mbak Iskha beres-beres alat musiknya, sama teman-temannya.
"Ok girls, sampai besok yah?" katanya ke teman-temannya.
"Ok, sampai besok," kata yang lain.
Aku juga sebenarnya udah mau pulang.
"Mau pulang juga Han?" tanyanya.
"Iya nih mbak, mau pulang juga?" tanyaku.
"Iya. Hmm...mau bareng ama aku?"
"Lho, mbak kan bawa sepeda. Aku naik angkot saja, seperti biasa," kataku.
"Nggak ah, bahaya juga lho angkot malem-malem. Sama mas Faiz aja. Dia bawa mobil koq. Aku tadi bareng sama dia koq. Nggak keberatanlah kalau nambah satu penumpang," katanya.
"Oke deh," kataku.
Akhirnya singkat cerita malam itu aku diantar oleh Iskha dan cowoknya. Aku duduk di belakang ditemani gitarnya. Iskha duduk di depan dong mendampingi kekasih tercinta. Selama di mobil ini entah kenapa aku nyaman ya? Apa pengaruh dari cowoknya mbak Iskha. Ah nggak mungkin. Masa' pesonanya sampai kaya' gitu. Tapi jujur aku akui cowoknya itu pesonanya luar biasa. Kalau dia punya mobil seperti ini pasti orang kaya.
Tak berapa lama kemudian aku sudah sampai di depan kosku. Aku keluar dari mobil.
"Hati-hati ya mbak!?" kata Iskha.
"OK, makasih banyak," kataku.
Setelah itu aku hanya melihatnya meninggalkan aku seorang diri di depan rumah kos. Capek rasanya. Aku masuk ke kamarku. Melepas sepatuku. Kukunci pintu kamar dan langsung merebahkan diri. Karena terlalu capek, aku pun terlelap. Tahu-tahu sudah pagi.
***
Hari itu aku libur, karena shift kerjaku. Ada sesuatu yang nggak biasa. Aku punya tamu. Wah, itu mas Faiz, cowoknya mbak Iskha, ada apa ya?
"Eh, Mas Faiz. Ada apa ya?" tanyaku.
"Aku mau minta bantuan nih. Bisa?" tanyanya.
"Bantuan apa ya mas?"
"Begini, sebentar lagi kan Iskha ulang tahun sweet seventeen. Aku ingin memberikan kejutan buat dia. Kira-kira tahu nggak hal yang paling disuka olehnya yang mungkin aku tidak diketahui. Atau mungkin sesuatu yang ia inginkan sejak lama tapi nggak pernah kesampaian?" tanyanya.
"Oh...koq mas tanyanya ke aku?"
"Dia cerita kalau dekat dengan kamu, yah....siapa tahu kamu tahu gitu."
Aku pun merenung. "Kalau soal apa yang paling diinginkannya dia punya beberapa sih. Diantaranya kepengen ciuman di atas Menara Eifel."
"Kejauhan woi, yang deket-deket aja," kata Mas Faiz.
"Hihihihi....hmmm iya. Dia ingin punya piano. Sangat ingin punya piano," kataku.
"Yang bener? Bukan yang lain? Sepeda motor atau apa gitu? Cincin mungkin? Kalung?"
Aku menggeleng. "Nggak mas. Dia ingin piano. Beneran, suwer. Soalnya dia pernah berkunjung ke mall. Kemudian ada piano di sana yang boleh dimainkan. Ia langsung maen piano di sana. Tentu saja semua orang kagum dong ama permainannya. Dan ia pun bilang kepadaku, kalau saja ia punya uang yang cukup, ia ingin sekali beli piano seperti itu."
Mas Faiz mengangguk-angguk. "Begitu yah. Oke deh. Besok ulang tahunnya. Aku ingin kalian yang ada di kafe ini kerja sama yah."
"Dua puluh september ya? Hmm....oke deh," kataku.
Setelah itu Faiz pergi. Lucu juga ya memberikan kejutan ultah kepada mbak Iskha. Aku pun jadi salah satu pemrakarsa jadinya.
NARASI DONI
Agak lucu ketika hari ini aku diberitahu oleh Faiz dia ingin memperkenalkanku dengan pacarnya. Tujuannya cuma satu yaitu ingin aku menyetujui dan merestui hubungan mereka. Aku berkali-kali sudah bilang, apapun pilihanmu aku ikut. Tapi ternyata Faiz ingin aku melihatnya secara langsung cewek yang menjadi pilihannya itu. Acaranya nanti malam di Kafe Brontoseno.
Aku kenal pemilik Kafe itu, namanya Pak Liem. Salah seorang wirausaha yang terkenal dengan bisnis waralaba Kafenya. Aku memberitahunya kalau aku nanti akan datang ke kafenya untuk ikut-ikut acara sureprise anakku. Pak Liem malah ketawa.
"Pak Doni, sepertinya itu anakmu jatuh cinta banget sama pacarnya sampai kepengen dikenalkan segala," kata Pak Liem. "Aku tadi juga ditelpon ama anakmu mau ngasih pesta kejutan katanya. Aku sih Ok, Ok saja, apalagi sudah kenal dekat dengan Pak Doni. Bukan begitu?"
"Iya sih Pak Liem. Yah, namanya juga anak-anak. Kita juga pernah muda," kataku. "Makasih kalau begitu, saya nanti akan mampir ke sana."
"Iya pak, silakan! Saya sudah menghubungi manajernya," kata Pak Liem. Pembicaraan kita pun berakhir.
Aku masih ada di kantor sampai malam. Aku pun segera cabut untuk ke tempat kafe itu sesuai janjiku kepada Faiz. Faiz pun menelponku.
"Ayah, sudah berangkat?" tanyanya.
"Iya, ini juga dalam perjalanan," jawabku.
"Makasih ya yah," katanya.
"Iya," kataku.
Setelah dari tempat parkir aku pun segera melajukan mobilku hingga aspal menimbulkan bunyi berdecit. Perjalanan ke kafenya cukup lama karena aku harus berjibaku dengan kemacetan yang luar biasa. Ada telepon masuk lagi. Dari istriku Laura.
"Halo Ma? Ada apa?" tanyaku.
"Papa lembur nggak?" tanyanya.
"Nggak, hanya saja ini si Faiz ingin aku ke pesta kejutan ceweknya. Ada apa ya?"
"Oh, nggak apa-apa. Kalau papa nggak bisa menjemput Juni yang saat ini sedang ada di tempat latihan nggak apa, aku akan telepon dia nanti," kata Laura.
"Oh, nggak apa-apa. Aku bisa koq. Dia ada di Dojo bukan?"
"Iya."
"Kebetulan Dojonya deket koq sama kafenya."
"Oh, syukurlah. Ya udah, hati-hati ya pa."
"Oke mah."
Aku pun mampir ke sebuah Dojo sebelum ke kafe itu. Ngajak Juni? Nggak apa-apalah. Dia juga jarang banget aku ajak keluar. Dia berlatih di Dojo beladiri Kendo. Sudah lama menggeluti olahraga ini, semenjak dia masih SMP tepatnya. Mobil aku parkir di luar Dojo. Ia ternyata belum keluar. Segera aku keluar dari mobil dan masuk ke Dojo. Eh, ternyata Juni sudah selesai. Ia berlari-lari kecil menuju ke arahku sambil membawa pedang bambunya.
Ia langsung mencium tanganku.
"Hai pa," sapanya.
"Hai, gimana latihannya?" tanyaku.
"Yah, seperti biasa," jawabnya.
Aku dan dia berjalan beriringan.
"Bulan depan mau ada kejuaraan, aku ikut," katanya.
"Oh ya? Wah, keren dong. Latihan yang keras kalau begitu," kataku.
"Papa bisa datang?" tanyanya.
Nah, ini. Susah juga jawabnya.
"Papa usahakan yah, kalau papa nggak terlalu sibuk pasti datang," kataku.
"Nggak bisa gitu dong pa. Sudah berkali-kali kejuaraan papa nggak dateng. Siapa yang bisa menyemangati aku? Sedangkan teman-temanku orang tuanya pasti datang," Juni ngambek.
"Kan ada kak Faiz kalau papa nggak bisa datang," kataku.
"Kak Faiz lagi, udahlah pa. Kalau emang papa nggak bisa ya bilang aja nggak bisa," ia menggerutu lalu masuk ke dalam mobil. Dilemparkan pedang bambunya ke kursi belakang. Aku menghela nafas.
"Baik deh, papa akan datang. Janji. Apapun urusan papa, papa pasti akan datang, tapi dengan satu syarat," kataku.
Tampak wajah Juni sumrigah. Ia senang sekali, "Apa pa?"
"Syaratnya kamu harus menang," kataku.
"Pasti dong pa, aku pasti akan menang. Makasih ya pa," katanya. Ia memelukku.
"Kamu laper kan? Aku ajak kamu ke kafe ya. Sudah lama aku nggak ngajak kamu makan malam. Kakakmu sedang ngasih kejutan buat pacarnya yang sedang ulang tahun," kataku.
"Oh ya? Ayo pa, ayo! Kita kesana!" katanya bersemangat.
"Iya, iya. Sabar ini juga mobil belum nyala," kataku.
Kami pun segera ke kafe yang dimaksud. Aku bisa melihat mobil milik Faiz, Honda City Type z yang ia modif terparkir di luar kafe. Aku pun memarkir mobilku di sebelahnya.
"Ah, mobilnya kak Faiz! Aku duluan pa!" Juni segera melompat keluar dari mobil. Ia masih pakai seragam kendonya. Langsung masuk ke dalam kafe. Dasar. Aku pun keluar dari mobil dan masuk ke kafe itu.
Di dalam kafe Faiz langsung menyambutku. Beberapa orang langsung matanya tertuju ke arahku.
"Makasih yah, sudah datang," kata Faiz.
NARASI HANI
Malam ini spesial tentunya. Faiz akan memberikan sureprise kepada Iskha. Mbak Iskha masih sibuk menghibur para pengunjung kafe yang cukup banyak karena kebanyakan memang undangan dari Faiz. Dia pun menyambut seseorang lelaki paruh baya. Sebelumnya ada seorang yang kira-kira masih remaja langsung masuk dan memeluk Faiz dari belakang. Ia terkejut dan langsung mencium pipi anak itu. Lalu memeluk orang tua tersebut.
"Alamaaak, mimpi apa aku semalam," kata Tanti rekan kerjaku. Dia salah satu pelayan dan baru saja mengantarkan pesanan seorang pelangan.
"Ada apa Tan?" tanyaku.
"Itu...dia konglomerat, Pak Hendrajaya!" bisik Tanti.
"Hah? Yang bener?" aku terkejut. "Doni Hendrajaya?"
"Iya, masa' kamu nggak tahu sih?" kata Tanti heran.
Apa-apaan ini? Tak mungkin. Itu Doni Hendrajaya? Ayah biologisku????
"Lho, jadi cowoknya mbak Iskha itu...???" aku bergumam.
"Iya, cowoknya itu putranya. Masa' kamu nggak tahu sih? Kan barusan muncul di koran-koran," kata Tanti lagi.
"Yee...jarang juga aku baca koran," kataku.
Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku bisa berhadapan dengan orang yang katanya ibuku adalah ayah biologisku. Pak Hendrajaya. Tapi...apa dia akan bisa menerimaku? Nggak mungkin. Dia begitu parlente. Aku tak mungkin langsung mengaku kalau aku sebenarnya adalah anaknya. Pantas saja kemarin aku merasa nyaman di mobilnya Mas Faiz. Karena dia adalah kakakku. Terang saja. Sekarang jelas sudah semuanya.
Lalu apa yang harus aku lakukan??
BAB IX
Horizon
NARASI HANI
Akhirnya kejutan itu pun tiba. Lampu tiba-tiba gelap. Tentu saja mbak Iskha agak bingung, tapi ia sangat senang ketika dari sudut ruangan ada lilin menyala bertuliskan angka 17, yang membawa tentu saja Mas Faiz. Dia menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Setelah itu mbak Iskha meniup lilinnya. Mas Faiz lalu mencium kening dan pipinya. Aduhhhh...sooo sweeeettt...
Mas Faiz meletakkan kue ulang tahu itu kemudian lalu mengambil mic.
"Kawan-kawan semua. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas kehadian kalian. Sekali lagi terima kasih. Dan tidak lupa untuk Iskha tercinta, aku do'akan semoga usia kamu dalam keberkahan selalu," kata mas Faiz yang kemudian disambut "Aamiin" oleh semua orang yang ada di sana. "Spesial juga, ayahku datang hari ini. Ingin melihatmu."
Mbak Iskha pasti terkejut. Ia tak menyangka bakal ketemu orang tuanya Mas Faiz. Tentu saja, orang sesibuk Hendrajaya sampai menyempatkan diri menemui mbak Iskha ini luar biasa. Mbak Iskha menundukkan wajahnya. Tapi dagunya kemudian diangkat oleh Pak Hendrajaya.
"Pantas saja, putraku memilihmu. Ada pancaran seperti ibunya di matamu. Kamu setuju Faiz?" tanya Pak Hendrajaya.
"Iya yah," jawab Faiz.
Iskha hanya tersenyum.
"Ada kejutan juga sebenarnya. Ini spesial buat kamu," kata Mas Faiz. "Silakan pak bawa masuk!"
Pintu kafe pun terbuka lebar. Iskha bingung ada apa sih sebenarnya? Dan begitu terkejutnya dia melihat sebuah piano besar masuk ke dalam kafe. Iskha menutup mulutnya yang menganga. Matanya berkaca-kaca.
"Yaaa ampuuun...mas Faiz, kau beri aku ini?" tanya Iskha.
Piano pun diletakkan di tengah ruangan kafe.
"Mas Faiz.....ini...oh tidak, aku tak percaya," kata Iskha berkali-kali.
"Ini nyata koq, sentuh saja!" katanya.
Masih tetap tak percaya Iskha pun menyentuh piano besar itu. "Beneran!"
Kemudian dia membuka penutup tutsnya. Ia pun menekan tombolnya. "Beneran juga!"
Iskha lalu melompat dan memeluk Mas Faiz. Mungkin saking gembiranya, karena memang Iskha sudah ngebet kepengen punya piano sendiri. Dan kini cowoknya ngasih hadiah itu. Dia mencium bibir Faiz, mereka berciuman di depan umum bo', bikin iri aja. Sekali dicium, kedua kali, ketiga kali.
"Mas, makasih. Makasih, makasih, makasih...hhhmmmmmuuaachh," Iskha tak henti-hentinya menciumi Faiz dan ia sangat terharu.
"Coba saja pianonya!" kata Mas Faiz. Ia lalu mengambil kursi dan mempersilakan Iskha untuk duduk di sana.
Iskha pun duduk. Aku bisa lihat sorot matanya yang bahagia. Lalu ia pun menekan piano itu, alunan kunci-kunci dan nada bersuara merdu memecah keheningan meluapkan kegembiraan. Aku melihat Pak Hendrajaya duduk di sebuah meja bersama anak remaja tadi. Mereka asyik menonton Iskha yang memainkan piano itu. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku langsung katakan siapa diriku?
Iya, harus. Aku harus mengatakannya. Aku harus punya cara bagaimana bisa bicara dengan dirinya.
Aku mencoba untuk mendekat ke Pak Hendrajaya. Ketika semua orang sedang melihat bagaimana Iskha memainkan piano itu, aku berjalan ke arah Hendrajaya. Ke arah ayah kandungku. Aku benar-benar gemetar. Orang yang ada di depanku ini....ayah kandungku. Entah kenapa aku lama sekali berjalan ke arahnya entah takut entah kenapa. Perasaanku campur aduk, antara senang, haru dan sedih.
Baiklah, aku dan dia hanya berjarak dua kaki. Dia dan anaknya sedang menikmati makanan yang ada di meja. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Speechlees. Entah kenapa aku seperti terkena paralysis. Bengong. Kenapa? Padahal hanya tinggal bilang, "Aku adalah anakmu!" AKu hanya berdiri mematung.
"Hai?!" aku dikejutkan oleh tepukan di pundak.
"Mas Faiz, kaget aku!" kataku.
"Ngapain koq bengong?" tanyanya.
"Nggak apa-apa mas," jawabku.
"Ayah, makasih sudah datang. Hai Jun? kelaperan ya?" tanya Mas Faiz.
"Iya mas, enak lho!" adiknya itu sedang makan kue dengan lahapnya.
"Jarang aku lihat kalian berdua jalan begini," kata Mas Faiz.
"Yah, sekali-kali boleh kan?" kata Pak Hendrajaya.
"Oh ya. Kenalin ini yah, ini temennya Iskha, namanya Hani," kata Mas Faiz.
"Hani?" kata Pak Hendrajaya.
Aku mengangguk.
"Sudah lama kerja di sini?" tanyanya.
"Baru beberapa bulan pak," jawabku.
"Ayah, kalau boleh ayah bantu dia. Dia ini putus sekolah, nah untuk menyambung hidupnya ia kerja di sini. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Kasihan lho yah," kata Mas Faiz.
"Ah, Mas Faiz. Nggak usah repot-repot!" kataku.
"Hmm...nggak boleh gitu!" kata Pak Hendrajaya. "Kamu nggak boleh merasa malu untuk dibantu kalau memang harus dibantu. Jangan begitu. Ya sudah, kamu mau sekolah di sekolahan yang sama dengan Faiz?"
Aku bingung sekarang. Mau menolak nggak enak, tapi kalau menerima juga rasanya nggak enak. Aku bingung.
"Nggak usah bingung, jawab saja!" desak Mas Faiz.
"I...iya deh," kataku.
"Nah, begitu. Nggak masalah, aku akan mengurus semuanya besok. Lagian sekolah itu juga sahamnya punyaku juga. Baju dan lain-lainnya kamu siapin. Sekali lagi, putus sekolah itu nggak baik!" ujar Pak Hendrajaya.
"Trus, pekerjaan saya?" tanyaku.
"Nggak usah khawatir. Aku dan Pak Liem itu kenal baik. Kalau cuma satu saja pegawainya minta ijin untuk masuk agak sore karena sekolah, ia pasti mengijinkan. Pasti ada kelonggaran buatmu!" ujar Pak Hendrajaya.
"Makasih pak, makasih!" aku langsung memeluk beliau. Oh, ayahku...makasih. Sementara ini biarlah seperti ini. Yang penting aku ingin bisa dekat dengan ayahku dulu. Ia menepuk punggungku.
"Wah, selamat ya Hani, kamu akhirnya bisa melanjutkan sekolah lagi," kata mbak Iskha.
Aduhh..aku jadi terharu. Ini merupakan momen yang tidak akan aku lupakan seumur hidupku.
****
NARASI VIRA
Faiz, satu kata itu yang selalu ada di hatiku. Baik aku ketika sendirian, ketika aku makan, ketika aku tidur, ketika aku di sekolah, kemanapun aku memandang, wajahnya selalu ada di benakku. Aku merindukan dirinya. Aku selama ini hanya menampakkan cinta palsu kepada Pandu. Sebenarnya aku sangat kasihan kepadanya. Rasa ibakulah yang membuatku bertahan kepadanya. Dia sebenarnya sangat sayang kepadaku, sangat mencintaiku. Dia juga lembut kepadaku. Sayangnya aku tak bisa mencintainya.
Aku sudah belajar untuk mencintainya. Menanggapnya adalah Faiz, tapi tak bisa. Dia memang lembut, tapi tidak selembut Faiz. Senyumnya juga manis, tapi tak semanis Faiz. Perlakuannya kepadaku mengingatkanku kepada Faiz. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Kalau seperti ini terus, aku bisa mati.
Apalagi sekarang ketika aku tahu Faiz sudah punya tambatan hati lagi, hatiku hancur sekali. Melihat foto-foto dia bersama Iskha. Aku hancur. Dia sangat mencintai Iskha. Dia sudah melupakanku. Oh, Faiz....kembalilah kepadaku. Aku membutuhkan dirimu. Peluklah aku, aku rindu pelukanmu. Aku rindu ciumanmu. Aku merindukan first kiss kita. Aku merindukan semuanya. Faizku.
Ponselku berdering. Dari Pandu. Aku segera menghapus air mataku. Aku kemudian berdehem membersihkan air mataku yang masuk ke kerongkongan dan berusaha agar suaraku tidak serak.
"Halo?" sapaku.
"Halo sayang, lagi ngapain?" tanyanya.
"Lagi istirahat, capek nih," jawabku.
"Oh, aku mengganggu?" tanyanya.
"Nggak juga sih. Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, cuma kepingin ganggu kamu aja."
"Selamat deh, kamu berhasil."
"Hehehe. Sorry ya malam-malam nelpon. Aku kangen sama kamu nih."
"Besok juga kan bisa ketemuan."
"Tapi aku inginnya sekarang."
"Emang bisa teleport ke sini?"
"Wah, sayangnya nggak bisa."
"Huuu..."
"Tapi kamu sudah masuk ke hati aku lho."
"Dasar gombal."
Pandu tertawa. Kami pun ngobrol panjang di telepon itu. Pandu sebenarnya orangnya asyik, terbukti dia bia membuatku nyaman. Ngobrol dengan dia malam ini bisa menenangkan hatiku yang sedang galau. Paling tidak, untuk sesaat aku yang kehilangan Faiz ini bisa terobati. Walaupun tidak sepenuhnya, tapi horizon kerinduanku bisa tertutupi oleh hiburan dari dirinya.
Pandu, maafkan aku. Maafkan kami. Aku masih mencintai Faiz. Aku tak bisa melupakannya. Dia adalah hidupku, nafasku, biarpun dia sudah bersama Iskha, aku tetap mecintainya.
BAB X
One Step Ahead
NARASI FAIZ
Oke ini agak gila, aku ditantang lagi oleh Danny untuk balapan. Gila apa, apa nggak kapok dia? Tapi memang dia begitu orangnya, kalau dia nggak menang nggak bakal nyerah. Aku sih ok ok aja. Dan kali ini kami balapan di track lurus. Siapa yang paling duluan sampai di garis finish, maka dia yang menang. Tempat yang kami gunakan balapan adalah sebuah jalanan yang memang sepi sih, bekas pabrik. Dan panjang jalan ini 1,5 km. Dan di tengah jalan itu cukup unik ada sebuah rel kereta api yang mana kereta api bisa lewat sewaktu-waktu. Gila bukan?
"Gimana Iz? berani ndak?" tanya Danny.
"Siapa takut. Oke, kapan?" tanyaku.
"Nanti malam?"
"Siap! AYo!"
"Taruhannya agak gedhe kali ini," tantang Danny lagi.
"Apalagi? Dua puluh juta?"
"Enak aja, siapa yang menang dapatkan mobil yang kalah!"
Wah, berat nih. Dia percaya diri banget. AKu pun menyetujuinya.
"Aku setuju," kataku.
Gara-gara itu, aku pun mulai memeriksa kondisi mobilku. Dan sejauh ini sih nggak ada masalah. Cek oli, minyak rem, NOS, aki, semuanya beres. Aku pun percaya diri malam nanti pasti menang.
Hari ini seperti biasa, sore itu aku menjemput Iskha di rumahnya. Keluarganya sudah mulai mengenalku. Dan hubungaku dengan Iskha pun sepertinya mereka restui. Dulu sih ayahnya agak galak, sekarang ketika tahu aku nggak seperti orang kaya kebanyakan, mau membuka diri dan bener-bener perhatian kepada putrinya dia pun mulai baik kepadaku. Dan setiap kali aku bertemu dengannya, pasti kami ngobrol panjang tentang masalah kereta api. Ya bagaimana lagi dia kan memang Masinis. Kerjaannya mengoperasikan kereta. Terutama kereta Gajayana. Kadang seminggu sekali baru pulang.
"Aku berangkat ya ayah, ibu," ujar Iskha.
"Hati-hati!" kata ibunya.
"Faiz, jangan malem-malem nganternya!" kata ayahnya.
"Beres deh," kataku. "Tapi mungkin agak malem nggak apa-apa ya?"
"Agak malem? Emang mau kemana?" taya ayahnya.
"Ada acara sih, aku mau ngajak Iskha sebentar saja," kataku.
"Baiklah, malemnya sampai jam berapa?"
"Mungkin jam dua belas, om."
"Oke, kalau sampai lebih jam dua belas, jangan pernah ngajak putriku keluar lagi."
"Siap," kataku.
Iskha membawa gitarnya dan menaruhnya di kursi belakang. Tak berapa lama kemudian mobil sudah membelah aspal.
"Emang mau ngajak aku kemana?" tanya Iskha.
"Sebenarnya, hari ini aku ditantang balapan," jawabku.
"Hah? Yang bener?" tanyanya.
"Iya."
"Wow, keren! Pakai mobil ini?"
"Iya."
"Wah oke oke, aku belum pernah ikut balapan liar. Aku ikut ya. Seru nih kayaknya," katanya. Ada yang beda dengan Iskha dan Vira. Kalau Vira nggak begitu suka, tapi si Iskha ini sangat semangat sekali. Yah, beda orang ya beda sifat.
Aku sudah mulai melupakan Vira sekarang. Hatiku benar-benar dipenuhi oleh Iskha. Dia selalu berenang-renang di dalam hatiku. Nyanyiannya, suaranya, semuanya. Kami sudah sampai di Kafe. Kami masuk ke sana. Seperti biasa juga ada Hani. Wajahnya lumayan cerah sekarang. Mungkin karena dia kami bantu untuk sekolah lagi. Kami tadi sempat bertemu di sekolah. Dia cukup senang. Bahkan berkali-kali ia bilang berterima kasih kepadaku.
Sebenarnya kepada Iskha harusnya dia berterima kasih. Dialah yang membujukku untuk membantu Hani. Aku tahu ayahku akan mengabulkan permohonanku sebab orangnya juga dermawan koq. Berkat ini juga, hubungan kami dengan Hani juga dekat. Hani dan Iskha selalu bersama-sama, seperti saudara. Entah kenapa rasanya Hani dan aku ini punya daya magnet khusus yang aku tak bisa menjelaskan semua ini. Dia seperti menganggapku seorang kakak. Selama sebulan ini malah ia sering mengikutiku, ingin mengenalku lebih dalam. Kadang pula minta aku ajari untuk beberapa pelajaran sekolah, walaupun sebenarnya harusnya tanya ke Iskha juga bisa. Iskha juga pintar koq, prestasinya di sekolah sangat menggembirakan. Nggak sia-sia sebenarnya dia dapat beasiswa masuk ke sekolah ini. Ia gunakan itu dengan sebaik-baiknya.
"Hai, Mas Faiz!" sapa Hani.
"Hai, juga," kataku.
"Hai, mbak Iskha," sapa Hani lagi.
"Hai Non!" Iskha langsung cipika-cipiki dengan Hani.
Yah, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menemani Iskha tanpa bosan. Duduk di salah satu meja yang kosong. Menikmati alunan musiknya. Tapi malam ini agak berbeda. Hani menemaniku di meja. Kuharap Iskha nggak bakal cemburu.
"Mas, boleh dong tanya-tanya," katanya.
"Boleh, ada apa?" tanyaku.
"Ayahnya mas itu orangnya sibuk banget yah? Usahanya apa aja sih?"
"Ya banyak. Mulai dari bisnis waralaba swalayan, properti, makanan dan sekarang sedang mencoba untuk bikin media masa."
"Woh, keren ya? Awalnya gimana sih bisa segedhe itu?"
"Awalnya ya? Hmmm....beliau nggak pernah cerita sih. Tapi yang jelas dulu ia mulai dari toko kecil, lalu berkembang-berkembang hingga seperti sekarang ini."
"Kereeenn....besok kalau sudah lulus kepengen deh kerja ke ayahnya Mas."
"Hahahaha, kamu ini. Ngapain tanya ayahku?"
"Yah, nggak apa-apa kan? Aku juga sudah menganggap mas sebagai kakakku. Dia sekarang jadi orang tua asuhku. Bahkan berani menandatangani surat perwalian, kalau dia jadi waliku. Agak nggak enak aja sih anak yatim piatu dapat orang tua wali seperti beliau."
"Kenapa nggak enak? Santai aja lagi."
Malam itu aku ngobrol banyak sama Hani. Tentang dirinya tentunya. Bagaimana kehidupannya selama ini, tentang ibunya, tentang ayahnya yang meninggal ketika dia masih kecil. Walaupun bicara banyak, sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan dari diriku. Entah apa. Tak terasa pertunjukan Iskha sudah selesai. Dia pun menghampiri kami.
"Wah, ngobrolnya seru ya? Aku koq nggak diajak?" ledeknya.
"Mbak Iskha cemburu ya?" tanya Hani.
"Nggak, siapa bilang?" elak Iskha.
"Iya, dia cemburu," kataku.
"Ish..., gak koq," kata Iskha bersikeras.
"Tenang aja mbak. Aku nggak bakal ngerebut Mas Faiz koq. Aku sudah nganggap dia seperti kakakku. Kalau sampai Mas Faiz naksir aku, aku tabok dia," kata Hani.
Aku tertawa. Iskha mencoba menahan senyum, tapi tak bisa.
"Pulang?" tanyaku.
"Yuk ah," kata Iskha.
Setelah membereskan semuanya, kami pun pulang. Iskha berpamitan kepada Hani juga kepada teman-teman bandnya.
"Hati-hati mas bawa barang alus," ledek temannya.
"Iya dong," kataku.
Iskha menaruh gitarnya ke dalam mobil. Aku langsung memeluknya dari belakang. Ia pun berbalik. Kening kami saling menempel. Aku agak menunduk dan dia agak mendongak karena aku lebih tinggi.
"Kamu cemburu kan?" tanyaku.
"Nggak usah dibahas ah," katanya.
"Cemburu juga nggak apa-apa koq. Itu tandanya kamu sayang ama aku," kataku.
"Mas Faiz, boleh tanya satu hal?" tanyanya.
"Iya?"
"Mas koq nggak pernah mengajak aku Made Love? Aku ingin tahu alasannya. Biasanya cowok-cowok itu kalau sama pacarnya pasti minta yang aneh-aneh."
"Emangnya kamu kepengen?"
Iskha nggak menjawab. Dia diam seribu bahasa.
"Ditanya koq diem?"
"Kalau mas menginginkannya aku siap koq. Aku mau melepaskan mahkotaku untuk mas."
Aku menggeleng. "Tidak Iskha, tidak. Hubungan ini bukan untuk siapa untuk siapa, bukan untuk sekedar melepas keperawanan atau keperjakaan. Engkau adalah orang yang aku cintai dan sebelum cinta kita terikat dalam pernikahan aku tak akan melakukannya kepadaku. Ini janjiku."
Tampak mata Iskha berkaca-kaca, "Oh mass....." dia memelukku. "Inilah sebabnya aku sangat mencintai mas. Mas itu sempurna di mataku. Nggak seperti cowok-cowok yang lain. Mereka pacaran kalau cuma ada maunya. Tapi nggak bagi mas. Mas lain, Oh Mas Faiz...."
Aku mencium kepalanya. Kudekap erat dia. Tapi memang benar dan aku jujur. Aku akan jaga dia jangan sampai aku ML ama dia sekarang. Aku ingin seluruh cintaku tercurahkan kepadanya nanti kepada ikatan pernikahan.
"Ngomong-ngomong, mas Faiz masih perjaka atau tidak?" tanyanya.
Wah, ini pertanyaan sulit. Apa aku jawab jujur aja ya?
"Iya, aku sudah tidak perjaka lagi," jawabku. WOi, aku belum sempat mikir. Mulutku tiba-tiba ngomong gitu saja.
Iskha melepaskan pelukanku. Ia memicingkan matanya menatapku. "Sama siapa?"
"Lebih baik aku tak ngomong. Yang jelas, aku sudah jujur kepadamu. Dan tolong jangan tanya siapa ceweknya!" kataku.
Iskha menghela nafas.
"Kamu menyesal pacaran denganku?" tanyaku.
Ia menggeleng. Lalu menatapku. "Aku cuma iri saja ama orang yang membuat mas tidak perjaka."
"Oh, koq bisa?"
"Ya iyalah, seharusnyakan itu untukku," kata Iskha. "Aku ingin mas sepenuhnya mencintaiku, tapi ternyata hal itu nggak bisa ya."
"Aku sudah bilang, cinta tidak dinilai dari perawannya seseorang atau perjakanya seseorang."
"Tapi tetap aja, ada yang kurang mas. Ya udah deh, mungkin sudah nasib," katanya sambil menjulurkan lidah. "Aku tahu koq dan mengerti, orang setampan dan sekaya mas ini, pasti banyak yang ngantri sebelum aku. AKu bisa mengerti itu. Dan aku tak menyesal."
"Oke, jadi kamu tadi cemburu nggak sih?" aku memancing dia lagi.
"Nggak, aku nggak cemburu. Aku tahu koq Hani, aku kenal baik ama dia. Aku cemburu cuma kepada satu orang," katanya.
"Oh, ya?? Siapa?" tanyaku penasaran.
"Sama Vira," jawabnya.
Aku terkejut mendengar nama itu.
"Koq bisa? Aku sudah bilang, dia masa lalu aku," kataku.
"Justru dia masa lalu mas, aku cemburu. Dan aku yakin dia pasti sekarang masih mencintai mas Faiz."
"Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Wanita itu punya feeling mas. Dan feelingku kuat. Orang sebaik mas, selembut mas, tak akan mungkin begitu saja bisa dilupakan dan tak akan begitu saja ditinggalkan. Secara tak langsung dia tak akan sanggup melupakan mas, aku yakin itu. Karena aku juga mencintai Mas Faiz. Dia pasti demikian."
Entah kenapa kata-kata Iskha itu menusuk. Aku jadi ingat kata-kata Vira. Dia akan berusaha mencintai Pandu sekalipun tidak cinta. Dan dia juga pernah berkata, akan menganggap Pandu sebagai diriku. Aku tak tahu apakah hal itu kan berhasil. Sebab, Pandu bukan diriku kami tak sama. Tapi, aku sekarang sudah ada Iskha.
"Sudahlah, aku tak mau mengingatnya lagi Isk," kataku.
"Maaf," katanya.
"Nggak apa-apa, it's OK," kataku.
"Jadi kapan kita balapan?" tanyanya tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Kamu sudah siap?" tanyaku.
"Siap dong, yuk?!" ajaknya.
***
Malam itu kami sudah tiba di track yang telah dipersiapkan. Banyak anak-anak muda berkumpul di sana. Musik-musik dari sound mobil berdentuman. Beberapa orang cewek berhot pants dan memakai tanktop berseliweran. Iskha benar-benar excited.
"Ini,...seperti di film-film ya?" katanya.
"Nggak juga sih. Yang di film-film itu terlalu berlebihan," kataku.
Mobilku pun berhenti di samping mobil Danny. Ia masih memakai Lotusnya.
"Woi, aku datang nih!" kataku. Kemudian aku keluar dari mobil.
"Wah wah, dulu pakai Honda Jazz, sekarang pakai Honda City," kata Danny. "Emang apa bedanya?"
"Bedalah, Jazz itu milik Pandu, ini milikku pribadi. Nih, surat-suratnya. Kamu menang kamu boleh deh ambil!" kataku sambil menyerahkan ke Henri yang saat itu ada di tengah kami.
"Oke, bagus, ayo Dan, gilirangmu!" kata Henri.
"Kali ini gua yang akan menang," sesumbar Danny. "Wah, ngomong-ngomong. Udah ganti cewekmu?"
"Kenapa? Kamu nggak bawa cewek?" tanyaku.
"Ikut di mobil juga?" tanyanya. Aku tak menjawab.
Danny mengeluarkan surat-surat mobilnya. Setelah diterima oleh Henri. Kami kembali ke mobil masing-masing.
"Ayo, ayo, ini bakal jadi balapan yang paling seru!" kata Henri.
Mobil kami berdua sudah bersiap di garis start. Henri memberikan instruksi.
"Peraturannya mudah, siapa yang lebih dulu masuk ke dalam pabrik, dialah yang menang. Lihat, ini jalannya lurus sampai ke sana. Kurang lebih 1,5 km. Hati-hati ada kereta api yang lewat tiba-tiba. Kalau kalian sampai ditabrak, ya tewas. Kuharap kalian sudah siap asuransi," kata Henri.
"Nggak usah khawatir!" kataku.
"Iya, nggak usah khawatir!" kata Danny.
"OK, kita mulai!" kata Henri.
Semua orang bersorak-sorai malam itu. Seorang cewek dengan jaket orange dan hot pants serta high heels maju ke depan. Ia yang akan memberi aba-aba. Mesin mobil kuhidupkan. Kami sudah siap. Sang cewek mengeluarkan sapu tangannya. Danny dan aku berkonsentrasi dengan aba-aba, karena begitu sang cewek menjatuhkan sapu tangan, kami sudah harus melaju cepat.
"Pasang sabuk pengaman Isk, kita akan membelah angin!" kataku.
Iskha mengencangkan sabuk pengamannya. Ia lalu mengusap lenganku. Aku tersenyum kepadanya. Kubelai pipinya, kemudian aku menatap ke depan lagi.
"Ayo, mas Faiz! Jangan kalah," katanya.
"Tentu saja," kataku.
Sang cewek pun menjatuhkan sapu tangannya. Aku menekan gas, seketika itu suara roda kami berdecit, seperti terkejut karena tiba-tiba dipaksa untuk melacu dengan kencang. Kedua mobil pun langsung melesat menjauh. Sorak-sorai penonton makin lama-makin hilang. Aku menyandarkan tubuhku ke kursi sambil tetap bersiaga dengan kopling dan tuas gigi. Tanganku hanya sesekali menyentuh kemudi, karena ini track lurus.
Mobil masih imbang, maju barengan beriringan sampai 500m. Danny tiba-tiba menyalakan sesuatu, aku bisa dengar itu, ledakan NOS. Dan bersamaan dengan itu dari arah kiri sebuah kereta api akan melintasi rel. Belum, belum...belummm...kataku dalam hati. Si Danny sudah melesat menjauh melewati rel. Aku terus menekan gas dan gigiku sudah pada top gear. Sementara itu kereta api sudah mulai mendekat. Aku tak yakin apakah kereta api itu akan menyentuhku atau tidak.
"Faiz, Faiz! Ada kereta!" seru Iskha. Ia memegang erat lenganku. Kuku-kukunya hampir saja merobek kulitku. Aku tahu ia tegang, aku juga tegang. Aku membuka sebuah kotak di dekat kemudi. Tombol NOS.
Iskha memejamkan matanya. Ia sudah pasrah, mobilku sampai di rel, bersamaan dengan itu kereta lewat. Suara klakson dari kereta itu terdengar panjang dan keras. Hampir saja mobilku dicium oleh hidung kereta api itu. Dan sesaat setelah melewati rel kereta aku tekan tombol NOS. Terdengar ledakan dari mobilku, seketika itu juga mobil langsung melesat ke depan meninggalkan rel kereta.
Dari depan kulihat mobil Lotus yang melambat. Itu karena Danny terlalu terburu-buru menekan NOS-nya. Sekarang aku pun sudah menyusulnya dan ia mengacungkan jari tengahnya kepadaku dari jendela. Ia tahu ia kalah sekarang. Mobilku pun masuk ke garis finish. Iskha lalu membuka matanya. Aku mengerem penuh, hingga roda mobil berdecit.
Dari kejauhan tampak Danny perlahan-lahan mengerem setelah masuk ke garis finish. Dia menoleh ke arahku. Ia menutup wajahnya. Aku tertawa penuh kemenangan.
"Kita menang mas? Kita menang! YEEEEEYYYY!!!" Iskha bersorak. Ia menggoyang-goyang tubuhku.
Kami kemudian bertemu lagi dengan Henri di tempat semula. Danny dengan wajah jutek menyerahkan kunci mobilnya kepadaku. Lotus men, Lotus!!!
"Sialaaan...mujur banget lo dapat Lotus!" kata Danny. "NOS gua ada gangguan tadi sampai tiba-tiba mobilku jalannya pelan."
"Lain kali cek dulu kondisi mobilnya dan jangan sembarangan nambahin NOS!" kataku. "Thank's yah, bokap lo nggak marah kan?"
"Nggak tau," katanya.
"Peduli amat, hahahaha," kataku.
"Sialan!" umpat Danny.
"Henri, bawa mobil itu ke rumahku besok. Awas, jangan sampai lecet!" kataku sambil melemparkan kunci kepadanya.
"OK, bro. serahkan saja padaku!" kata Henri.
"Dan, mau aku anter?" ledekku.
"Nggak, makasih, aku jalan kaki saja," jawabnya.
Aku tertawa.
****
Setelah malam yang panjang itu aku mengantar Iskha pulang ke rumah. Fiyuh....untung masih jam 23.30. Jadi masih bonus 30 menit dong. Aku menghentikan mobil di dekat rumahnya. Yah, tidak jauh-jauh amatlah. Aku ingin mengobrol sebentar ama dia. Tapi tempatnya koq agak gelap-gelap gimana gitu.
"Makasih ya mas, hari ini aku puas banget. Nggak pernah ngerasain balap liar sebelumnya," katanya.
"Sama-sama aku juga suka koq ditemani kamu," kataku.
"Ngomong-ngomong koq kita berhenti di sini? Mana gelap lagi?"
"Yah, aku ingin bermesraan sama kamu dululah, masa' nggak boleh?"
"Hayoo...katanya nanti setelah menikah."
"Iya, setelah menikah. Aku sudah janji koq. Ku akan tepati janjiku. Aku cuma ingin kita lebih dekat aja. Sini! Duduk di pangkuanku!"
"Tapi bagaimana dengan tongkat persenelengnya?"
"Mundurin saja kursinya," aku menggeser kursiku hingga mundur ke tengah. Iskha langsung menaikkan kakinya dan ambruk di pelukanku. Ia sekarang ada di pangkuanku. Kakinya ia selonjorkan ke samping. Kedua lengannya melingkar di leherku.
"Mas ingin dicium?" tanyanya.
"Very badly," jawabku.
Bibir kami bersentuhan lagi. Lalu lidah kami saling berpanggut. Cukup lama aku memanggutnya, melakukan french kiss hingga kedua bibir kami sangat basah. Aku kemudian sedikit memberanikan diri menyentuh perut dan pinggangnya. Lalu bergerak ke atas, menggelitiki punggungnya sehinga dadanya maju ke depan menempel di dadaku. Kursi aku miringkan. Iskha merangkak di atasku. Selakangannya sekarang berada di atas bagian tubuhku yang sekarang sudah menonjol.
Iskha masih menciumiku, aku pun mulai meletakkan tanganku di dadanya yang berukuran 34c itu. Ia melepaskan ciumannya dan mengerutkan dahinya.
"Koq sekarang meraba itu?" tanyanya.
"Kamu suka nggak?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Janji lho ya, setelah menikah."
"Iya, aku janji," kataku.
Aku meremas payudaranya dari luar bajunya. Ia saat itu memakai kaos dan blazer. Blazernya sudah dilepas olehnya, sehingga aku bisa merasakan branya. Nafasnya mulai berat. Aku kemudian menemukan sebuah tonjolan yang mengeras. Tonjolan itu tentu saja putingnya. Ia memejamkan mata menikmati perlakuanku. Selakangannya mulai menggeseki pusakaku. Ia sepertinya mendapatkan kepuasan dengan cara seperti itu.
"Mas Faizz....ohh...," keluhnya.
Aku menciumi lehernya yang jenjang. Kukecup lembut, lalu kujilati. Kaosnya aku angkat sehingga secara remang-remang aku bisa melihat payudaranya.
"Mas, kepengen lihat?" tanyanya.
"Kalau boleh sih," jawabku.
Ia lalu melepaskan kancing branya. Kemudian menaikkan branya, terlihatlah olehku dua buah bukit kembar yang sangat ranum. Bau parfum Iskha sungguh menggairahkan. Aku tak begitu ingat bau-bau parfum, tapi baunya sangat khas. Aku pegang kedua payudara itu. Hangat. Jantung Iskha berdebar kencang saat tanganku menyentuh dadanya.
"Berjanjilah kepadaku mas!" katanya.
"Iya?"
"Janjilah untuk setia kepadaku sampai nanti, sampai maut memisahkan kita," katanya.
"Aku berjanji," ucapku.
Aku menggelitiki puting susunya sambil meremas-remasnya. Aku menciuminya lagi. Kami bercumbu dengan hot. Terus terang, aku menikmati petting ini. Kemaluan kami sebenarnya sudah bertemu meskipun terpisah oleh kain. Itu saja membuat Iskha keenakan. Aku menaikkan kepalaku dan kuhisap putingnya.
"Ohh...Masku..," keluhnya.
Aku terus menghisapnya, ini adalah payudara orang yang aku cintai. Aku berusaha selembut mungkin memberikan sentuhan. Ketika bibirku menyentuh kerutan-kerutannya, kuberusaha selembut mungkin. Lidahku pun berusaha selembut mungkin memberikan stimulus di area sekitarnya. Saat aku menghisapnya juga kubasahi dulu puting itu dengan lidahku, baru setelah itu aku hisap, seolah-olah ada air susu keluar dari sana.
"Maasssss.....ooohhh...!" bisiknya.
Aku melakukan itu gantian kiri dan kanan. Iskha makin cepat menggesek-gesekkan kemaluannya. Ia sudah terangsang berat.
"Masss...aku mau nyampe," katanya.
Ia makin cepat dan ganas. Dan....Ia memelukku erat. Tubuhnya gemetar. Ia sudah orgasme hanya dengan itu. Ia ambruk di atas tubuhku. Nafas kami terengah-engah. Kami berciuman berkali-kali. Kemudian diam beberapa saat. Kubelai rambutnya, ia menatapku. Jarak kedua mata kami sangat dekat, walaupun dihalangi oleh kacamatanya sih.
"Mas belum keluar ya?" tanyanya.
"Iya," jawabku.
Tiba-tiba ia bangkit. MAu apa dia? Iskha membuka kancing celanaku, disusul membuka resletingku,
"Eh, mau apa?" tanyaku.
"Masa' aku aja yang keluar mas belum? Boleh ya?" tanyanya.
"Jangan..." cegahku. Terlambat dia sudah melihatnya. Pusakaku menyembul begitu ia menurunkan celana dalamku. Benda itu berdiri kokoh seperti Tugu Monas. Hehehe lebay.
"Ya ampun, gede banget mas?" katanya. "Pantes aku tadi sampai kerasa padahal cuma digesekin diluar.Aku apain nih?"
"Terserah deh," kataku.
Tangannya yang lembut mulai memegang pusakaku. Ouuwww...lembut sekali, penisku sampai berkedut hanya karena disentuh olehnya.
"Hihihihi, lucu. Berkedut!" katanya. Ia polos apa gimana ya?
"Kamu pernah lihat?" tanyaku.
Iskha menggeleng. "Jujur ini pengalaman pertama aku megang barang cowok."
"No way!" kataku.
"Dibilang koq," ujarnya. Ia lalu mengurut dan mengocok dengan lembut penisku.
"Tuh koq bisa ngocok? Belajar dari mana?"
"Yaelah mas, sekarang ini dari internet bisa didapat macem-macem. Kalau cuma ngocok aku juga bisa," kata Iskha. "Tapi jangan paksa aku untuk oral yah, aku belum siap."
"Siapa yang maksa?" kataku.
Ia tersenyum. Dikocoknyalah punyaku dengan lembut. Ia pun memijat-mijat buah pelerku, Ohh...nikmat banget. Ia lalu mempercepat kocokannya, lalu pelan. Kadang juga berhenti. Dia meludahi penisku. Di remas-remasnya kepala penisku dengan ludahnya yang banyak tadi. Aku pun kelonjotan, penisku makin tegang dan makin keras.
"Mau keluar?" tanyanya.
Aku mengangguk. Ia segera mengambil tissue yang ada di dashboard mobil. Ia mengocok sambil meremas-remas kepala penisku dan....Aku menaikkan pantatku, seketika itu ia menempelkan tissue ke lubang kencingku. Spermaku muncrat di sana semua. Iskha mengambil tissue lagi, sambil terus mengocok penisku hingga denyutannya hilang. Ia berhenti mengocok.
"Gila, banyak banget!" katanya.
"Kamu sih, pinter banget," kataku.
"Padahal aku baru melakukan ini kepada mas Faiz lho," katanya.
Dengan telaten ia membersihkan penisku yang basah dengan tissue. Setelah bersih aku membetulkan celanaku. Ia juga membetulkan bajunya yang acak-acakan. Ia sisir lagi rambutnya. Kulihat jam di mobil menunjukkan 23.50. Fiyuh, dua puluh menit ternyata aku petting di mobil.
"Makasih ya Iskh," kataku.
"Aku juga mas," katanya.
Kami lalu tertawa.
"Udah ah, aku anter ke rumah," kataku.
Kuhidupkan mesin mobilku lalu kuarahkan sampai di depan rumahnya yang tak jauh dari tempat aku parkir ini. Ia mengambil gitarnya dan keluar dari mobil. Aku mengikutinya. Kami berdiri di depan pagar.
"Makasih hari ini," kata Iskha.
Aku mencium keningnya. "Sampai besok."
Ia membelai pipiku. Kemudian ia segera masuk ke pagar, sesaat ia menoleh ke arahku. Dari dalam rumah tampak sang ayah sudah menunggu. Ia sempat melongok keluar. Aku menganggukkan kepalaku dan melambai ke arahnya.
"Malem om, tepat waktu kan?" kataku.
Ia mengangguk, "Iya. Makasih."
One step closer. Aku makin intim ama Iskha. Dan cintaku makin besar kepadanya.
BAB XI
Kenapa?
NARASI PUTRI
Aku bersalah kepada Faiz. Aku hanya memanfaatkannya saja. Itulah yang terjadi sebenarnya. Hanya karena aku diputusin pacar dan dikhianati aku teganya memanfaatkan adik sendiri. Ia pasti marah kepadaku. Dengar-dengar ia mulai move on sekarang dengan teman sekolahnya. Denger kabar sih seorang penyanyi, seorang anak band. Aku pun penasaran seperti apa sih cewek yang mampu menaklukkan hati adikku ini.
Tentu saja aku sudah tahu tentang Vira yang sekarang jalan ama Pandu. Well, boleh dibilang selera Faiz ini boleh juga ya. Vira itu ideal banget. Sayang sekali ia tak mendapatkannya. Beruntung si Pandu.
Aku sendiri tak terlalu dekat dengan Pandu sebenarnya. Aku lebih dekat dengan Faiz karena memang kami lahir dari rahim yang sama. Mungkin karena itulah aku nyaman dengan Faiz. Sejak kecil Faiz itu selalu melindungiku. Mungkin karena dia adalah anak laki-laki pertama. Sejak kecil ayah menasehati Faiz untuk melindungiku, karena dia adalah anak laki-laki. Dan nasehatnya itu berhasil. Dia pasti melindungiku, ketika aku sakit ia pasti merawatku dan aku jadi terlalu butuh kepadanya.
Faiz pun juga demikian. Ia sangat menyayangiku. Mungkin saja akulah yang terkena sindrom suka kepada saudara sendiri. Karena itulah aku tahu mencintai saudara sendiri itu tidak baik, itu hal yang tabu dalam masyarakat. Aku pun mulai membuka diriku untuk cowok-cowok yang mulai mendekatiku. Akhirnya aku pacaran. Satu orang, dua orang, tiga orang, dan yang ketiga inilah aku melepas keperawananku. Jangan dibandingin ama penisnya Faiz, dia mah kecil. Karena aku belum pernah pengalaman ngentot, maka aku kira ya penisnya normal. Tapi setelah itu aku putus. Pacaran berikutnya kami juga melakukan ML. Dan aku mulai lebih terpuaskan hanya saja. Dasar brengsek, dia mengkhianatiku. Hampir semua pacarku hanya memanfaatkanku. Pacar pertama hanya ingin uangku, pacar kedua hanya ingin namaku dan ia memanfaatkanku untuk maksud yang jelek. Pacar ketiga orangnya bodoh. Pacar keempat brengsek. AKhirnya aku kira semua laki-laki itu sama saja.
Tak ada yang seperhatian Faiz. Tak ada lelaki yang lebih baik daripada dia. Jadi, rasanya tak salah kalau aku menyukainya. Tak salah dong aku mencintainya. Ahhh...aku akhirnya mendapatkan keperjakaannya. Sejak saat itulah aku cinta ama Faiz. Aku nasehati dia untuk move on karena tidak bisa bersama Vira. Kan ada aku. Tapi ternyata dia punya pilihan lain. Iskha.
Dia selalu cerita kepadaku, Iskha, Iskha dan Iskha. Kalau dari arti nama berasal dari kata Isk bahasa India artinya cinta. Iseng saja aku cari di youtube seperti apa sih band The Zombie Girls itu? Dan aku cemburu. Sang vokalis itu, aksinya di panggung luar biasa. Aku saja yang nggak tahu tentang band lokal ini jadi tertarik ama lagu-lagunya.
Sore itu aku mengikuti Faiz. Dia menjemput pacarnya. Rumah pacarnya bukan rumah mewah. Biasa saja. Aku nggak menyangka Faiz bisa semesra itu dengan pacarnya. Aku masih mengikutinya, mereka masuk di sebuah Kafe. Oh, ini ya kafe yang sering dibicarakan Faiz. Dia memang cantik, pantas Faiz tergila-gila kepadanya, tapi aku juga cantik koq. Aku cantik. Siapa bilang aku jelek?
Tapi dia pintar bermain musik. Faiz sendiri di ponselnya menyimpan lagu-lagu pacarnya itu. Dia dengarkan setiap hari. Aku sempat melihat playlistnya. Semuanya adalah suara si Iskha. Dia benar-benar tergila-gila ama cewek ini. Aku pun masuk saja ke kafe itu. Diam di mobil juga nggak ada hasilnya. Aku menjauh dan mengamati Faiz dari jauh. Dia duduk dengan seorang pegawai dari kafe ini. Tampaknya mereka juga saling kenal. Setelah pertunjukan musik selesai, Faiz pun berpisah dengan pegawai kafe ini. Ia keluar bersama Iskha.
Aku mengamati mereka saja dari dalam kafe. Di luar mereka berpelukan. Duh...sakit hatiku. Faiz, apa nilai lebih dari Iskha? Apa yang tidak ada pada diriku tapi ada pada dirinya? Duh, mereka berciuman? Wajah mereka mendekat. Mereka berciuman? Tak berapa lama kemudian mereka pergi. Aku buru-buru menyusul mereka.
Ternyata Faiz tidak memulangkan pacarnya. Dia menuju ke sebuah tempat yang jauh dari jalan pulang. Di sini ternyata ada balapan liar. Aku melihat dari jauh, bagaimana Faiz berlomba malam itu. Ternyata Faiz suka balapan liar ya? Aku baru tahu. Sebab ia tak pernah cerita tentang hal ini. Dan dia menang malam itu. Aku masih mengikutinya setelah itu.
Dia menuju jalan pulang ke rumah Iskha. Tapi kenapa mobilnya diparkir agak jauh dari rumah? Mana gelap lagi? Aku tak jelas apa yang mereka lakukan di sana. Aku pun penasaran. Aku turun dari mobil dan mencoba mendekat ke mobil itu. Mungkin karena kegelapan inilah yang sedikit menguntungkanku. Mereka tak melihat aku mengintip mereka. Mereka....oh tidak, Faiz... kau membuat hatiku sakit. Kamu melakukan hal itu dengan dia?? Kamu bercinta dengan dia??
Air mataku meleleh. Aku segera berbalik dan meninggalkan mereka di dalam mobil. Aku masuk ke mobilku dan menangis. Faizku sekarang sudah punya tambatan hati. Dia sudah benar-benar move on. Faiz.... kenapa kita harus menjadi saudara? Aku mencintaimu. Kembalilah kepadaku. Kembalilah ke Kak Putrimu. Aku pun pulang setelah itu.
Setelah pagar dibuka oleh satpam aku segera memasukkan mobil ke garasi. Kemudian buru-buru masuk ke dalam kamar. Kukunci pintu kamarku dan aku menutup mukaku dengan bantal. Siapa lagi yang bisa menyayangiku sekarang? Satu-satunya orang yang bisa mencintaiku sekarang telah punya tambatan hati. Hancur hatiku. Ayahku sudah sibuk dengan dunianya, ibu juga sudah tidak perhatian lagi, dan kini Faiz. Kubenamkan wajahku dalam bantal dan aku berteriak keras. Suaraku tertahan di dalam bantal sehingga tak terdengar apapun.
Aku terbakar rasa cemburu. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku marah. Marah sekali. Faiz, adikku yang aku cintai. Yang aku sayangi.
Tunggu dulu....Tidak. Ini tak boleh terjadi. Aku tak akan ijinkan Faizku direbut olehnya. Tidak oleh siapapun. Sekarang saatnya aku harus memperoleh apa yang menjadi kebahagiaanku. Sejak aku kecil aku ditinggal oleh ayah kandungku. Aku dikhianati oleh pacarku. Masa' aku harus ditinggalkan oleh Faiz juga? Tidak. Kau boleh menang sekarang setan kecil. Tapi aku akan merebut Faiz darimu. Faiz hanya milikku. Milikku selamanya. Kalau aku tak bisa mendapatkan Faiz, maka kau juga tak akan bisa mendapatkannya. Itulah janjiku.
****
NARASI ISKHA
Ahhh...segarnya tubuhku pagi ini. Udaranya sejuk. Hari minggu, ngapain enaknya? Biasanya sih aku jalan-jalan buat olahraga. Aku mengambil ponselku. Eh, ada BBM dari Mas Faiz. Aku buka, ada foto dia barusan bangun tidur. "Aku mimpi basah nih tadi malam" katanya. Hihihi. Aku kemudian membalasnya, "Kalau mau beneran, sama guling aja". Dia lalu membalasnya dengan icon senyuman.
Aku ganti baju dengan training dan kaos. Tubuhku sudah kangen ingin digerakkan. Nanti aja deh mandinya setelah berkeringat. Kuambil sepatu kets. setelah itu segera keluar dari kamar. Kulihat piano yang ada di tengah ruangan. Satu-satunya benda berharga pemberian Mas Faiz. Aku selalu memainkannya tiap hari. Benda ini juga membantuku dalam membuat lagu-lagu atau sekedar meredakan emosiku. Ibu dan ayah juga senang koq. Bahkan ayah mulai nyoba-nyoba mainin. Hihihihi.
Aku masih ingat ketika beliau mergoki aku ciuman ama Mas Faiz. Kalau diingat-ingat aku malu sendiri. Habis olahraga, mandi, terus nyuci baju. Kerjaan hari minggu. Apalagi coba? Moga aja Mas Faiz nggak kemari lagi. Malu aku kalau dia ikutan jemurin bajuku. :P
Aku jadi teringat kejadian tadi malem. Itu pengalaman pertamaku petting. Dan untuk pertama kalinya Mas Faiz menyentuh payudaraku. Dan untuk pertama kalinya aku ngocokin punya cowok. Duh, emang ya yang namanya ngesek itu bikin ketagihan. Sekarang aja aku mikirin Mas Faiz terus. Aku makin sayang ama dia. Tapi aku sungguh bangga jadi pacarnya karena ia berkomitmen untuk tidak ML sampai kami menikah. Entahlah, dia jujur apa nggak. Tadi malem aja hampir saja aku dan dia begituan.
Sebenarnya aku heran. Dia kan katanya bilang Vira itu cinta pertamanya. Tapi koq dia bilang sudah tidak perjaka?? Trus setelah Vira katanya aku. Tapi dia bilang juga prinsipnya adalah nggak bakal ML ama orang yang dicintainya sampai nikah. Lha trus dia ngelakuin sama siapa dong? Duh, aku pusing sendiri mikirnya. Dia nggak mau cerita siapa wanita yang beruntung itu. Eh, beruntung apa nggak sih? Atau ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku? Tapi aku menyadari koq setiap orang punya masa lalu, ada sesuatu yang pasti disembunyikan, everybody has a secret. Aku tak punya hak untuk memaksanya untuk memberitahu.
Kulihat Bayu sedang nonton acara kartun di tv. Percuma gangguin dia, nggak bakal bergeming sampai acara tv itu selesai. Aku tak lihat ibu, pasti sedang pergi berbelanja. Kulihat ayah sedang ngelap sepeda motornya.
"Pergi dulu yah, lari pagi," ujarku.
"Hati-hati!" kata ayahku. Dia masih menggosok pelek sepeda motornya yang sebenarnya sudah mengkilap.
Ketika aku keluar ada sebuah kardus di sana. Apa ini?
"Yah, koq ada kardus?" tanyaku.
"Eh, masa'? Buat siapa?" tanya ayah.
Aku lihat ada namaku. To : ISKHA. Aku mengangkat kardus itu. Tak ada nama pengirimnya. Isinya juga tak begitu berat. Aku kocok-kocok, suaranya agak berisik. Gluduk-gluduk! Apaan sih? Jangan-jangan bom lagi. Tapi, ngapain juga aku di bom coba? Aku pun penasaran. Langsung aku buka bungkusnya. Satu lapis, dua lapis....dan aku mencium sesuatu yang aneh. Bau anyir. Ini apaan sih?
Dan ketika sudah terbuka, aku pun terkejut. Aku melompat dan menjerit. Ayah pun segera keluar rumah. Aku segera memeluk ayahku.
"Ada apa?" tanya ayahku.
"I..itu...kucing...kucing mati...!" kataku sambil tergagap-gagap.
Iseng sekali, ini keterlaluan. Siapa? Siapa yang melakukannya? Kenapa? Kenapa????
Segera aku langsung menelpon Mas Faiz.
"Mas Faiz, mas Faiz!" kataku begitu dia mengangkat telepon.
"Ya, ada apa ya?" tanyanya.
"Ke sini mas, cepet ke sini. Cepetan!!" kataku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Sudah, pokoknya ke sini. AKu butuh mas!" kataku sambil menangis.
"Iya, aku segera ke sana," katanya setelah itu.
Aku lalu ambruk, ayahkulah yang langsung menangkapku. Aku tak sadar setelah itu. Karena benar-benar shock. Dan ketika aku sadar. Ibu, ayah, adikku dan mas Faiz sudah ada di sana. Aku langsung merangkulnya. Aku pun merasa tenang setelah itu.
"Ibu, ayah, bisa tinggalin kami sebentar?" kataku.
Ayah dan ibu saling berpandangan. Kemudian mereka mengajak Bayu pergi. Aku dan mas Faiz berada di dalam kamar.
"Jangan ngelakuin yang aneh-aneh lho ya!" kata ayahnya.
"Tenang aja, aku percaya ama Mas Faiz koq. Aku ingin ngobrol empat mata saja," kata Iskha.
Setelah semuanya pergi aku lalu mulai menginterogasi mas Faiz.
"Siapa menurut mas yang melakukannya?" tanya
Mas Faiz menatap langit-langit. Ia lalu mengangkat bahu, "Aku tak tahu."
"Kalau misalnya Vira?" tanyaku.
"Nggak, nggak bakal Vira melakukan ini. Dia lihat darah aja pingsan koq," jawabnya.
"Siapa tahu menyuruh orang lain?"
"Aku tahu bagaimana Vira. Dia tak akan melakukannya. DIa sudah punya Pandu, buat apa ngejar aku? Kamu masih cemburu ama Vira?"
Aku mengangguk. Eh...dia malah tersenyum. Sebel. Aku langsung pasang muka cemberut.
"Sudah, yakinlah. Vira nggak bakal melakukan ini. Dia terlalu lugu dan polos. Waktu aku ajak balapan liar, dia malah ketakutan. Kamu nggak. Kalian itu beda," kata Mas Faiz sambil mengusap-usap kepalaku.
"Trus, orang yang pernah mas berikan keperjakaan mas itu? Jangan-jangan dia," kataku.
"Itu juga nggak bakal," katanya langsung ia percaya diri sekali bilang itu. AKu jadi curiga siapa orang itu.
"Kenapa? Mas koq tidak pernah cerita tentang dia? Cerita dong!"
"Begini Iskha. Yang satu itu dia tak akan pernah melakukan ini. Aku percaya," katanya sambil memegah wajahku.
"Alasannya?"
Mas Faiz diam sejenak.
"Kamu tak akan marah kalau aku bicara sejujurnya?" tanya Faiz.
Aku mengangguk. "Kejujuran mas lebih aku sukai, biarkanlah aku nggak penasaran lagi."
"Dan kamu masih tetap mencintaiku setelah aku berkata yang sejujurnya?"
"Aku janji. Mas benar-benar mencintaiku. Dan aku janji aku tak akan marah, aku tetap akan mencintai mas."
Mas Faiz mendesah. Mendekatkan wajahnya ke telingaku. Dia berbisik, "Aku melakukan pertama kali dengan Kakakku, Putri."
JDERRRR!! Aku kaget. Mas Faiz, ama kakaknya sendiri?? No way. Dia pernah melakukan incest...!! Aku terbengong.
"Jangan salah sangka. Aku saat itu melakukannya karena kakakku sedang depresi, ditinggal cowoknya, dikhianati. Dan aku melakukannya karena kasihan kepadanya, ini juga atas inisiatif kakakku sendiri," katanya lirih, takut ayah dan ibuku dengar. Sebab sudah pasti mereka menguping. Mana mungkin putrinya ditinggal sendirian di dalam kamar.
Aku menunuduk. Kalau dia begituan sama kakaknya ya memang nggak mungkin saudaranya itu berbuat begitu kejam ama aku. Lagian dari semua orang, mas Faiz tak pernah mengajak satupun anggota keluarganya ke sini.
"Lagian kakakku nggak tahu tempat tinggalmu, jadi mana mungkin dia melakukannya? Apalagi di rumah kami punya kucing koq. Dia sangat penyayang ama kucing. Jadi nggak mungkin," katanya lagi-lagi membela kakaknya. "Sekarang, kamu masih mencintaiku?"
Aku mengangguk pelan, "Sebenarnya aku masih shock. Ternyata orang itu adalah ... iya sih, dia mana mungkin melakukannya. Maafkan aku mas. Tapi, mas nggak ngelakuin lagi kan sama dia?"
Mas Faiz menggeleng, "Tidak"
"Syukurlah kalau begitu. Paling tidak, aku tak mau saingannya adalah Kak PUtri. Sebab kalau sainganku adalah dia. Aku pasti kalah. Dia lebih tahu mas, lebih kenal mas, lebih dekat sama mas,..." bibirku tiba-tiba sudah dibekap dengan bibirnya. Aku sedikit kaget.
"Sudah, aku tak mau membahas lagi. Yang jelas sekarang kau sabar, tenang," kata Mas Faiz setelah menciumku.
Aku mengangguk.
"Mungkin ini perbuatan fansmu yang nggak suka aku jalan bareng sama kamu," kata Mas Faiz. "Atau perbuatan orang-orang yang nggak suka aku jalan bareng sama kamu. Kamu tahu sendiri di lokerku ada 300 lebih surat cinta. Tersangkanya sangat banyak sekarang ini."
"Iya mas, benar."
BAB XII
Spark
NARASI DONI
Aku lagi-lagi mengunjungi sekolah anakku Faiz dan Pandu. Aku ingin tanya saja kabar keadaan Pandu kepada dokter yang aku pekerjakan di sekolah ini. Dr. Dhana. Sebenarnya boleh dibilang Dr. Dhana ini adalah dokter pribadiku dulu, tapi setelah itu aku memberikan dia pekerjaan di sekolah ini. Gajinya cukup besar untuk seorang dokter, karena ia selain jadi dokter untuk para siswa juga jadi "dokter" khusus. Ya, pakai tanda kutip.
Seperti hari ini, aku ada di ruangannya sedang berciuman dengan dia. Ciuman panas dan hot. Walaupun aku sudah beristri dan berkeluarga dengan wanita-wanita yang aku cintai. Tapi aku tetap tak bisa lepas dari statusku sebagai PK (Penjahat Kelamin). Entah mungkin emang sudah sifatku. Sifat jelek ini tak bisa lepas begitu saja. Saudara-saudaraku sendiri aku hamili semuanya, bahkan keponakanku sendiri juga demikian. Tapi, aku tidak pernah melakukannya kepada anak-anakku, jangan sampai deh. Cukup berhenti di aku saja penyakit family compo ini.
Kuhisap leher Dhana, kulepas kemejanya satu persatu. Jas dokternya kulepas. Wajah Dhana sudah pasrah. Kami sudah melakukannya berkali-kali setiap kali aku berkunjung di sini. Bahkan keperawanannya pun akulah yang merobeknya dua tahun lalu. Dalam sekejap tubuh bagian atasnya sudah terekspos. Payudaranya masih kencang, maklum belum turun onderdil. Ia mengeluh berkali-kali ketika lidahku sudah menjilati dadanya dan memainkan putingnya. Kuhisap puting berwarna coklat ini.
"Uuuggghh....Don...hmm....dasar, tua-tua keladi, teruss...!" katanya.
"Kamu juga suka kan?" tanyaku.
Ia meremas-remas senjataku dari luar celana. Punyaku sudah mengeras sekarang. "Aku suka yang ini, sangat membuatku ketagihan," katanya.
Ia lalu melepas ikat pinggangku. Celanku diturunkan dan kini tubuh bagian bawahku sudah tak ada penutup. Kulepas sepatuku. Dhana pun berlutut. Ia langsung melahap kepala penisku, dibasahinya benda lunak-lunak keras itu. Lebih dari itu dijilati dan kemudian dia hisap-hisap buah pelerku. Owwhh...enak banget. Aku perhatikan wajah Dhana. Ia memejamkan mata meresapi rasa penisku.
Walaupun usiaku hampir kepala empat tapi tetap aku masih sanggup untuk menggagahi para wanita seperti Dr. Dhana ini. Dhana sesekali mengapit penisku dengan payudaranya. Dia melakukan titfuck. Dan dia melakukannya sambil menjilati lubang kencingku. Karena aku makin bernafsu segera aku naikkan dia dan kurebahkan di atas meja kerjanya. Persetanlah dengan kertas-kertas yang ada di atasnya. kupelorotkan rok dan celana dalamnya hingga ia telanjang bulat.
"Nafsu banget?" tanyanya.
"Udah nggak tahan," kataku.
Dia mengakangkan kakinya. Aku siapkan pusakaku di depan lubang kenikmatan miliknya. Klitorisnya aku colok-colok dan kugeseki. Dhana menjerit kecil. Ia sudah basah di bawah sana. Bibirnya dia gigit, tangannya menggapai lenganku. Matanya memohonku untuk segera memasukkan punyaku ke dalam sarangnya. Aku lalu memasukkannya. SLEBBB!
"AAaahhh...sama seperti ketika pertama kali kau gagahi aku, masih keras dan panjang," kata Dhana.
Aku pun menggerakkan pinggulku maju mundur. Suara beceknya kemaluan kami serta rintihan Dhana membuat ruang UKS ini kian panas. Dhana sudah memejamkan matanya, merasakan tiap gesekan kulit kemaluan kami. Kedua tanganku pun aktif meremasi toketnya yang lumayan besar itu. Ukurannya cukup besar untuk wanita seusia dia, 36B. Mirip toketnya ibu hamil. Tapi ia tak pernah suntik silikon. Tentunya aku tahu mana yang suntik silikon ama yang tidak. Suntik silikon itu tak selembut ini, payudara dokter ini kenyal, lembut, enak diremas.
Puas dengan gaya misionari, aku balikkan tubuhnya. Kini ia tidur tengkurap di atas meja kerjanya. Kedua payudaranya menempel di atas meja. Kalau dari depan mungkin akan terlihat buah dadanya yang montok dan wajah mesumnya. Sangat wajar misalnya kalau aku bernafsu sekali kepada dia. Apalagi pantatnya bahenol dan menggoda untuk disodok. Dia lebih mirip Vidia, istriku. Maka dari itulah aku sama sekali tak kecewa dengan affair ini. Gaya doggy style ini adalah salah satu favoritku, karena aku bisa membelai punggung dan menyodok pantatnya.
Aku menggoyangnya hingga ia ampun-ampun. Suara decitan meja kerjanya makin membuat gaduh ruang UKS.
"Pak...enak paaakk....oooohhh....ohhh!" jeritnya. Mungkin bisa-bisa jeritannya terdengar sampai keluar ruangan.
Makin lama makin licin saja ini lubang memeknya. Aku terus bersemangat menggenjotnya, sementara memeknya terus memijat-mijat batangku. Aku tak takut ia mau hamil atau tidak, aku selalu mengeluarkan spermaku di dalam sana. Entah sudah berapa wanita yang aku hamili. Terus terang pesonaku tak hilang walaupun usiaku sudah tidak muda lagi. Buktinya masih banyak orang yang mengantri untukku. Dan, aku mau nyampe ini rasanya. Aku lalu menjambak rambutnya. Dhana menaikkan kepalanya. Ia tahu kalau aku akan keluar.
Dhana mulai menaikkan tubuhnya pantatnya ikut dia goyangkan. Payudara Dhana bergoyang-goyang. Menggairahkan sekali. Aku meremas-remasnya. Sementara itu penisku makin keras, keras, keras. Akhirnya meledaklah semburan lahar lendirku. Satu, dua, tiga, empat aaahhhh....nikmatnya. Penisku berkedut-kedut, entah berapa banyak yang tumpah di rahim Dhana. Setelah itu aku mencabut kemaluanku. Spermaku sebagian meleleh keluar.
"Aahhh....nikmat banget," kataku.
Dr. Dhana tampak lemas. Nafasnya terengah-engah. Dia mengambil kursi dan duduk di sana. Dia mengambil tissue di atas mejanya dan mengelap lelehan sperma agar tak mengotori kursi. Aku maju ke arahnya mengarahkan penisku ke wajahnya. Dhana segera melahap dan membersihkan penisku. Ouuhhh...nikmat sekali.
Setelah pertempuran itu aku pun membenahi bajuku, membetulkan dasiku. Sebentar lagi jam istirahat. Nggak lucu kalau murid-murid memergoki diriku sedang ngentot di dalam ruang UKS dengan dokter UKS sekolah. Dokter Dhana pun membuka pintu yang dikuncinya.
"Kau masih hebat, usia sudah tidak muda lagi lho," katanya.
"Tentu saja, punya istri empat nggak cukup bagiku," kataku.
"Dasar, tua-tua keladi," kata Dr. Dhana.
"Aku ingin tanya keadaan Pandu di sini. Apa dia baik-baik saja?"
"Semenjak dia pingsan, sementara ini sih belum ada lagi perkembangan yang signifikan."
"Apa dia pernah mengeluh di UKS, misalnya sakit atau apa?"
"Semenjak pingsan itu tidak."
Aku pun merenung. Dokter memang telah memvonis kelainan otak pada Pandu sudah lama. Aku yakin setelah ini efeknya akan terasa. Mulai pingsan, hilang keseimbangan, kaki lumpuh, tubuh lumpuh, tidak bisa menulis, dan terakhir fungsi otaknya terhenti. Dan itu saat-saat terakhirnya. Ketika aku memberitahukan kepada Pandu kondisi dirinya, ia sama sekali tak shock harus bagaimana. Ia malah dengan enteng berkata, "Trus aku harus mengasihani hidupku?"
Memang sebagai seorang ayah, aku serba salah. Mau gimana lagi? Dia adalah anak bundaku. Ya, hasil hubunganku dengan ibu kandungku sendiri. Memang keturunan dari incest pasti akan ada sebuah penyakit atau kelainan. Aku sudah menyadari akan hal ini. Awalnya aku kira aku akan memberikan perusahaanku kepada Pandu, tapi melihat kondisinya seperti ini, aku takut hal yang sama akan menimpa anak-anakku yang lain yang juga dari hubungan incest. Maka dari itu aku memilih Faiz. Dia dan adik-adiknya satu-satunya yang tidak ada hubungan incest.
Aula satu-satunya istriku yang bukan keluargaku. Dan memang diantara istri-istriku aku paling mencintainya. Dan itulah sebabnya aku pun mencintai anak-anaknya. Faiz mendapatkan kedudukan yang lain dimataku. Dia berbeda dari semua anak-anakku. Yang paling pintar, yang paling semangat, tidak pernah malas dan selalu menjadi juara kelas. Maka cocoklah kalau aku memilihnya daripada Pandu.
Tiba-tiba dari luar ada beberapa orang anak berlari ke UKS.
"Bu dokter, bu dokter!" seru mereka.
"Ada apa?" tanya Dr. Dhana.
"Pandu pingsan lagi!" katanya.
Tak berapa lama kemudian Pandu yang tak sadarkan diri dibawa ke ruang UKS dengan bantuan teman-teman mereka. Dia langsung ditaruh di atas ranjang pasien. Aku langsung menemaninya. Dr. Dhana memeriksanya.
"Nggak apa-apa, ia hanya kecapekan," kata Dr. Dhana.
"Syukurlah kalau begitu," kataku.
"Tunggu saja, sebentar lagi juga akan sadar koq," kata Dr. Dhana.
Aku pun menemani Pandu di ruang perawatan. Sampai ia sadar. Begitu ia sadar, ia agak kaget melihatku.
"Ayah?" kata-kata itulah yang keluar pertama kali dari mulutnya.
"Kau tak apa-apa?" tanyaku.
"Sepertinya begitu. Aku tadi seperti melihat kilat gitu setiap aku melangkahkan kaki. Tapi aku duga itu cuma perasaanku saja. Lambat laun makin terlihat dan tiba-tiba aku tak bisa merasakan kakiku. Lalu aku tak sadarkan diri," jelas Pandu.
"Trus?"
"Hei...mana kakiku?" tanya Pandu.
"Apa maksudmu? Itu kakimu," jawabku.
"Ayah,Ayah! Tidak, aku tidak bisa merasakan kakiku sendiri!" ujarnya.
"Kau tidak bercanda kan?"
"AKU TIDAK BERCANDA! AYAH! Tolong! Tolong kakiku. Aku tak bisa menggerakkannya. Ayah....aku tak bisa merasakan kakiku! Ayaaaahh! Kembalikan kakiku, kembalikan!" jerit Pandu.
Pandu berteriak histeris. Ia tak bisa lagi merasakan kakinya. Aku tak menduga secepat ini. Sungguh. Setelah itu aku pun memanggil ambulance dan langsung membawanya ke rumah sakit. Akhirnya, hari itu pun dinyatakan bahwa Pandu tidak bisa menggunakan kakinya lagi untuk selamanya dan harus naik kursi roda.
BAB XIII
I Hate You
NARASI ISKHA
Tentunya kabar mengejutkan tentang Mas Pandu ini membuatku juga shock. Pasti Faiz juga bersedih. Aku dan Faiz sedang jalan-jalan di lapangan sepak bola sambil membicarakan hal ini. Sekolah elit ini emang gedhe. Punya lapangan basket, sepak bola dan lapangan baseball. Mas Faiz tampak bersedih.
"Sebentar lagi kenaikan kelas," ujarku. "Mas udah punya rencana mau kuliah di mana?"
Mas Faiz mengangkat bahu.
"Koq nggak tahu sih?" tanyaku.
"Aku belum kepikiran sampai ke sana. Ingin menikmati masa putih abu-abu dulu deh," jawabnya. "Tapi aku kasihan ama Pandu, belum lulus tapi dia sudah harus pakai kursi roda. Di rumah ia shock banget, bahkan marah-marah. Salah sedikit marah, ini marah itu marah."
"Yah, mungkin dia sedang tertekan mas. Nggak banyak orang yang bisa menerima kenyataan nggak bisa jalan lagi," kataku.
"Tapi, aku lihat Vira selalu menyemangatinya. Mungkin karena alasan Vira akhirnya dia lambat laun mengerti dan bisa menerima," katanya.
"Mbak Vira setia banget ya sama Mas Pandu," kataku.
"Iya, tentu saja," katanya. "Vira adalah hidupnya Pandu, kalau tanpa Vira mungkin Pandu sekarang ini sudah tiada."
"Sebentar lagi kan dia lulus. Trus habis itu pisah dong sama mas Pandu?" tanyaku.
"Betul juga ya, sepertinya begitu. Tapi kalau dari apa yang aku lihat, dia tak mungkin begitu saja meninggalkan Mas Pandu. Terlebih lagi dia sudah memberikan banyak hal kepada Mas Pandu."
Aku melihat dari jauh seseorang yang didorong dengan menggunakan kursi roda. Itu mereka! Aku bisa melihat Mas Pandu didorong dengan menggunakan kursi roda. Seorang gadis cantik rambutnya panjang, matanya tampak bersinar, pupilnya sangat gelap, bibirnya tipis dia lebih tinggi dari aku. Itu adalah Vira.
"Itu mereka," kataku.
Faiz menggandeng tanganku dengan erat, entah kenapa. Seolah-olah ia tak ingin lepas dari aku. Atau mungkin ada alasan lain? Apakah karena Vira? Kami pun berpapasan.
"Hai, Mas Pandu, Vira?!" sapa Faiz.
"Hai Bro, mau kemana?" tanya Pandu.
"Mau pulanglah," jawabku.
"Oh, nggak bawa kendaraan?" tanya Pandu.
"Nyante aja, aku mau nemenin Iskha jalan-jalan dulu," jawab Faiz.
Mataku tak berkedip melihat Vira. Aku iri. Iri sekali. Dia lebih cantik dariku. Aku tahu sekarang kenapa Mas Faiz dulu memilihnya. Dan kalau aku merasa cemburu, maka itu wajar. Dia menyibakkan rambutnya yang menutup matanya. Aduuh...cakepnya, aku yang sesama wanita saja bisa iri. Dan aku bisa merasakan tangan Mas Faiz erat sekali menggenggam tanganku.
"Ya sudahlah, aku mau pergi. Hati-hati Vir, jangan dijatohin!" kata Faiz.
"Iya," jawab Vira singkat.
Vira tak banyak bicara. Tapi ia juga dari tadi menatapku. Seakan-akan berbicara, "Apakah kau yang sekarang jadi tambatan hati Faiz?" Dan tatapan mataku pun membalas dengan perkataan, "Iya, aku sekarang jadi tambatan hatinya." Kami pun berpisah. Kami berjalan beberapa meter menjauh dari mereka, lalu tangan Faiz mengendur. Kenapa?
"Kenapa tangan Mas tadi menggenggam tanganku erat?" tanyaku.
"Karena aku takut," jawabnya. Ia menghentikan langkahnya. Aku pun ikut berhenti. Aku menoleh kepadanya.
"Takut apa?"
"Aku takut aku kehilangan dirimu. Aku takut kalau aku melihat Vira lagi aku akan melupakan dirimu, aku tadi megenggam erat tanganmu karena aku tak ingin lari darimu," katanya sambil menatap mataku tanpa berkedip. Mas Faiz jujur kepadaku. Berat memang melupakan cinta pertama, aku bisa merasakanmo itu. Dan mungkin Mas Faiz adalah cinta pertamaku. Yang sebelumnya? Anggap aja cinta monyet.
***
Sebenarnya teror itu belum selesai. Setelah aku diberikan kardus berisi bangkai kucing. Beberapa minggu kemudian dikirimi bangkai tikus. Lalu dikirimi bangkai kepala anjing. Dan itu yang paling membuatku shock. Ayahku sampai marah dan menyuruh pihak kepolisian untuk menangani kasus ini. Awalnya dikirim tanpa kurir, tapi setelah itu dikirim pakai paket eskpedisi resmi. Hanya saja alamat pengirimnya palsu semua. Polisi pun sampai bingung menangani kasus ini. Akhirnya setiap paket yang datang kepada kami untuk sementara ini kalau dari orang yang tidak dikenal langsung kami buang.
Tak hanya itu saja. Ternyata ada juga surat. Seminggu ada dua kali surat. Isinya senada. Tulisan haters. Misalnya "AKu Benci Kamu", "PELACUR MURAHAN", "PERGI KAU DARI SINI!" Apa-apaan sih? Siapa juga yang mengirimi ini. Sebegitu bencinyakah dia kepadaku? Aku sampai tak habis pikir.
Akhirnya kami pun melaksanakan Ujian Akhir Semester. Aku tentu saja sangat percaya diri. Belajarku nggak bakal sia-sia. Singkat cerita ujianku memuaskan. Aku dapat nilai yang paling tinggi di kelas. Itu juga aku sangat terkejut. Aku naik kelas. Mas Faiz juga, iya dong. Dia peringkat pertama di sekolah ini. Dan mbak Vira sudah lulus. Akhirnya tak ada lagi penghalang hubunganku ama Mas Faiz. Setidaknya dengan tidak adanya mbak Vira di sekolah, aku tak perlu lagi merasa cemburu ketika kami berpapasan. Setelah kenaikan kelas ada libur panjang sebenarnya. Hanya saja ada kejadian yang sangat menyakitkan sampai aku tak pernah menduganya ini bakal terjadi.
Pada liburan sekolah ini jadwal manggungku padat. Aku tidak lagi mengisi di Kafe Brontoseno untuk beberapa waktu, karena ngisi di beberapa tempat. Kemudian juga ngisi jumpa fans, sampai capek rasanya. Ada salah satu event organizer yang mengontrakku untuk manggung di sebuah Konser salah satu band papan atas. Tentu saja kami sangat senang. Seminggu bisa tiga kali manggung. Dan aku butuh tenaga ekstra tentunya. Salah satu yang perlu dijaga adalah aku nggak boleh makan gorengan, harus banyak-banyak minum air putih.
Biar pun jadwal manggungku padat, Mas Faiz setia banget dampingi aku. Duh, udah kaya' suami istri aja. Hihihi, kemana-mana lengket kaya' perangko. Apalagi ketika aku manggung ia pasti ada di deretan paling depan. Dia bilang aksi panggungku selalu luar biasa. Makasih mas atas pujiannya. Tapi semenjak jadi pacarnya lagu-lagu ciptaanku kebanyakan selalu romance, teman-teman bandku saja sampai mengatakan ini itu "efek jatuh cinta". Aku ketawa aja mendengarnya.
Malam ini akhir dari manggungku. Semua kontrak udah selesai. Duit sudah dikantongi dong. Waktunya pulang. Sekali lagi aku dianter ama Mas Faizku yang cakep.
"Kamu bisa lihat nggak pake lensa kontak merah kaya' gitu?" tanyanya.
"Sebenarnya sih nggak, tapi berhubung aku konsen ama nyanyi jadinya ya nggak kerasa," jawabnya.
"Ohh, gitu."
Aku sudah melepas lensa kontakku dan memakai kacamata minusku lagi. Di mobil ini aku masih ingat bagaimana aku petting ama dia dulu. Aduhhh....kalau ingat itu lagi jadi gimana gitu. Untungnya energiku selalu aku arahkan untuk gerak dan latihan, sehingga kalau untuk masalah horni pasti aku bisa mengontrolnya. Nggak tahu Mas Faiz. Apa dia ingat ama kejadian itu atau nggak? Atau ia malah sering bayangin itu sampe "self service"? Aku sejujurnya nggak pernah melakukan "self service". Kalau lagi kepengen ya...itu tadi yang penting gerak sampe keringetan dan sampai nggak kepengen lagi.
Kami sebenarnya bercumbu sudah beberapa kali. Dan Mas Faiz termasuk lelaki yang kuat tidak mengajakku untuk melakukan ML. Dan lucunya setiap kali petting akulah yang selalu memintanya, kadang juga mancing. Trus dia sendiri yang nanggepin. Hihihi. Hari ini aku ingin ngasih dia sesuatu. Rencananya aku ingin melakukan oral sex ke dia. Tapi nggak tahu ia mau apa nggak. Aku beberapa kali ini melihat bokep lewat internet, gimana sih caranya blowjob. Aku juga sampai belajar buku Kamasutra. Iya, emang lebay, trus ngapain? Emang nggak pernah ML.
"Mas, berhenti di depan situ deh, sebentar!" kataku.
"Ok," katanya.
Mobil pun berhenti. Tempat itu lumayan sepi dan gelap. Sebenarnya tinggal satu blok lagi kami sudah sampai di rumahku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Matiin mesinnya dong!" kataku.
Ia memutar kunci kontak. Mobil pun berhenti. Ia juga mematikan lampu.
"Ada apa?" tanyanya.
Aku segera mengusap-usap dadanya. Kumundurkan kursinya sehingga aku dan dia sekarang bisa berpelukan. Ia rupanya tanggap dan segera melumat bibirku. Kami berciuman dengan ganas. "Hmmhhh....muachh...hhmmm," keluhku.
Hari ini aku sudah berniat untuk memberikan sesuatu yang spesial. Aku pun mengelus-elus batangnya yang besar itu. Besar banget dan panjang. Begitu aku elus-elus tambah keras saja. Aku pun berinisiatif.
"Aku buka ya?" tanyaku.
Ia mengangguk. Segera kubuka ikat pinggangnya. Kemudian kancing celananya, lalu resletingnya. Kuturunkan celananya dan menyembulah sebuah tongkat lunak hangat berurat. Gede banget. Sudah mengacung seperti Menara Eifel. Hihihi lebay ah...
"Hari ini, aku mau ngasih mas sesuatu, sudah siap?" tanyaku.
"Sesuatu apa?" tanyanya.
Aku mendekatkan wajahku ke penisnya itu. Kucium kepala penisnya. Ada bau khas pria di sana. Sesuatu yang sangat berbeda dengan bau milik wanita. Tapi aku baru tahu seperti ini bau Mas Faiz. Kutempelkan hidungku di kulit batang kemaluannya dan kuhirup dalam-dalam aromanya.
"Oohh..Iskhaaa....ahhh!"
Aku genggam batangnya lalu aku jilati. Ku remas-remas, kukocok lalu dengan perlahan kujilati di belahan kepalanya. Menurut buku Kamasutra itu salah satu tempat yang bisa menstimulus libido laki-laki. Kemudian aku ke buah dzakarnya. Mulutku sudah menangkap satu bola. Mas Faiz meremas rambutku, pinggulnya menggeliat.
"Ohh...Iskhaa..hhmmhh..." katanya dengan mata terpejam. Ia sangat menikmati ternyata. Aku lalu segera memasukkan ujung penis itu ke mulutku. HAP!
Rasanya seperti apa yaa...ya seperti kulit sih, rasanya seperti ketika aku mencium leher Mas Faiz. Ada rasa keringat. Ada rasa seperti agak asin, tapi lembut. Rasa seorang lelaki. Lidahku aku putar-putar di kepala penisnya. Mas Faiz keenakan lagi. Kugelitiki penisnya hingga ia melenguh berkali-kali. Menggeliat.
"Iskhaa...kamu apain itu....enak banget," ujarnya.
Hihihi. Aku lakuin lagi, sambil kepalaku aku majuin pelan-pelan, lalu aku mengulum batangnya. Kepalaku naik turun sambil kuhisap. Sesekali aku berhenti mengocok penisnya dengan tanganku, tapi lebih ke menghisapnya sampai pipiku kempot. Ketika itu aku pun meremas buah dzakarnya. Itu akan memberikan efek melayang kepadanya. Dan benar. Mas Faiz matanya terpejam dan pasrah. Ia pasti keenakan. Aku kemudian mengocok penisnya, lalu lidahku berputar-putar di kepala penisnya, sambil terus kuhisap.
"Isskhaa...jangan! Aarghh..aku mau keluar...!" katanya.
Aku tidak pernah merasakan rasa sperma laki-laki. Hari ini aku ingin merasakannya. Mas Faiz sudah jadi milikku. Aku ingin membuat dia tak pernah melupakanku. Aku ingin menampung spermanya di mulutku. Ini semata-mata untuk orang yang aku cintai. Aku pun makin cepat mengocok penisnya dan mulutku menahan kepala penisnya.
"Iskhh....uuuggghhh.....KELUARRRRR!" jeritnya.
Penisnya berkedut-kedut. Sebuah semburan cairan panas menyemprot mulutku. Rasanya asin, kental, gurih, amis...campur aduk jadi satu. Banyak sekali, entah berapa kali kedutan penis itu menyemprot. Aku tetap menahannya hingga benda itu tenang tidak menyemprot lagi. Pipiku sekarang tembem, menampung mungkin ada setengah gelas sperma. Kuambil tissue. Kemudian kumuntahkan di tissue itu hingga semua isinya tumpah di sana bersama ludahku. Tampak sperma Mas Faiz yang asin itu kental, berwarna putih dan sedikit berbusa. Mungkin itu karena campuran ludahku. Sebagian spermanya sudah masuk ke kerongkonganku tertelan. Agak gimana gitu rasanya. Tapi aku tak merasa jijik sama sekali. Karena ini aku lakukan demi cintaku kepadanya. Cintaku kepada Mas Faiz adalah seutuhnya.
"Iskha, kamu...," Mas Faiz tak melanjutkan kata-katanya.
Aku lalu membuka kaca jendela mobil dan membuang tissue yang penuh sperma tadi.
"Enak?" tanyaku.
Mas Faiz mengangguk.
"Mau lagi?" ledekku.
"Ya kalau boleh sih," ujarnya.
"Huuu...maunya," aku mencubit perutnya. "Ntar yah, kalau kita udah resmi suami istri. Mas Faiz minta kapanpun aku akan memberikannya. Anggap saja ini hadiah biar Mas Faiz nggak lupa kepadaku."
"Tidak kamu beri pun aku tak akan lupa padamu," kata Mas Faiz sambil mengusap pipiku.
Wajahku tiba-tiba memerah. Habis dioral eh dia malah tambah romantis. Aku jadi malu.
****
Tak berapa lama mobil sudah ada di depan rumah. Setelah mas Faiz menciumku ia pun pergi. Hmm, lampunya koq sudah mati sih? Padahal masih jam sepuluh malam. Aku membuka pintu rumah. Lho, nggak dikunci? Saat aku masuk tiba-tiba lampu menyala. Dan...ada yang aneh. Seluruh perabot yang ada di rumahku tidak ada. Pianoku, tidak ada. Lemariku, foto-foto yang ada di dinding, mesin jahit ibu, sepedaku juga. Ada apa ini? Kemana semuanya? Dan di sana ada seorang wanita duduk di sebuah kursi menghadapku.
"Selamat malam Iskha," sapanya.
"Siapa?" tanyaku. "Ayah? Ibu? Bayu??"
"Tak perlu khawatirkan mereka. Mereka semua sudah aku suruh pergi jauh beserta barang-barang mereka. Di depanmu ada sebuah rekomendasi pindah sekolah ke kota lain," kata wanita itu.
Aku melihat sebuah map yang berisi kertas-kertas. Aku pun mengambil map itu. Di dalamnya ada surat rekomendasi dari Diknas bahwa aku telah menyetujui untuk pindah ke sekolah lain. Apa-apaan ini? Siapa wanita ini?
"Maaf, membuatmu bingung. Aku Putri Hendrajaya, kakak Faiz. Hari ini, aku ingin kamu tidak ada lagi di kota ini," katanya.
Aku terkejut,"Apaa?? Ti...tidak bisa begitu!"
"Kenapa tidak? Semua kepindahanmu sudah selesai, hanya kamu saja yang belum pergi. Seluruh barang-barang semuanya sudah diangkut tadi siang. Aku sudah mentransfer ke rekenigmu uang sebesar 700 juta. Dengan uang sebesar itu kau bisa memulai kehidupan baru. Dan sekarang aku minta, jangan pernah menemui Faiz lagi, jangan pernah datang ke sekolah lagi, jangan pernah menghubungi dia lagi, dan jangan pernah mencintai dia lagi!"
"Apa-apaan ini? Kau kakaknya Mas Faiz? Kenapa? Kenapa mbak melakukan ini? Apa salahku?"
"Salahmu? Salahmu adalah karena engkau telah merebut Faiz dariku! Dan aku tak terima ini, aku tak terima. Faiz adalah milikku untuk selamanya!" kata Putri. Dia kemudin berdiri dan berjalan menghampiriku. Ia mencengkram leherku sambil menatap tajam mataku. "Ingatlah, kalau sekali lagi kamu mencoba menghubungi Faiz, menemuinya, atau masih di kota ini, ingatlah nyawa keluargamu ada ditanganku. Apa kamu ingin Bayu yang masih kecil itu aku hilangkan dari hadapanmu?"
"Jangan! Jangan mbak, jangan! Kumohon lepaskan mereka! Kenapa harus keluargaku? Mereka tak ada hubungannya ama masalah ini," kataku gemetar. Jelas sekali yang ada di hadapanku ini sekarang benar-benar wanita terjahat yang pernah aku kenal.
"Tentu saja ada hubungannya. Tanpa mereka, aku tak ada senjata untuk bisa mengusirmu. Ingat! Sekali kamu menghubungi Faiz...itu akhir dari keluargamu!" ancam Putri. Dia lalu melepaskan cengkramannya.
Dia mengeluarkan sebuah kertas dan pena. Ia menyerahkan dua benda itu kepadaku. Aku menerimanya.
"Tulislah pesan terakhirmu untuk Faiz. Aku bukan wania yang jahat sepenuhnya. Paling tidak hal itu akan membuatnya tenang dengan kepergianmu," katanya.
"Jangan mbak, kumohon. Aku tak bisa hidup tanpa Mas Faiz!" kataku memohon.
"Jadi apakah kira-kira hadiah-hadiah yang aku kirimkan dari bangkai kucing oh, sebenarnya itu kucingku sendiri yang aku bunuh. Lalu tikus, anjing apa nggak cukup? Kamu mau bangkai adikmu juga?" ancamnya.
"Tidak mbak, tidak! Baiklah, baiklah! Aku akan menurut. Aku akan menulis. surat buat Mas Faiz," kataku.
"Bagus, sebaiknya kamu cepat menulisnya. Karena sebentar lagi kamu akan dijemput oleh orang yang akan mengantarkanmu ke rumahmu yang baru. Aku sudah membelikan rumah buatmu, bahkan di sekolahmu yang baru nanti aku juga sudah mengurus semuanya. Aku tidak jahat-jahat amat kan?" katanya.
Putri kemudian pergi keluar rumah. Aku berbalik melihatnya yang dengan tenang berjalan keluar rumah. Tampak di luar sebuah mobil sedan hitam sedang menunggunya. Sebelum masuk ke mobil ia menatapku tajam sambil melambaikan tanganku dengan senyum penuh kemenangan.
BAB XIV
Pahit
NARASI FAIZ
Kemana Iskha? Aneh dan lucu. BBM tidak pernah dibalas, dibaca pun tidak. Nomornya tak bisa lagi dihubungi. SMS tak pernah sampai. Dan rumahnya tiba-tiba sepi, tak ada siapa-siapa. Apa yang sebenarnya terjadi? Beberapa kali ia curhat kepadaku tentang terror yang selalu menimpanya. Memang ini sangat tak bisa dimaafkan. Tapi kalau dia pergi juga, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa ia tak memberiku kabar? Apakah aku punya salah kepadanya?
Aku hanya menerima sebuah surat yang ia tulis. Dia menempelkan surat itu di pintu rumahnya. Aku membaca surat itu.
Mas Faiz yang sangat aku cintai,
Aku sekarang pergi mas. Maaf kalau mendadak dan tidak mengabarimu sebelumnya. Tapi ini adalah keputusanku. Aku tak bisa lagi menemui mas. Maafkan aku ya. Tidak ada kabar tidak ada apa-apa, tiba-tiba menghilang. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi mas. Aku bingung. Ini semua karena keluargaku.
Mas Faiz, jangan cari aku ya. Kumohon. Mungkin takdir cinta kita hanya sampai di sini. Tapi sungguh aku sangat mencintai Mas Faiz. Aku tak akan melupakan Mas Faiz. Semoga Mas Faiz mendapatkan wanita yang lebih baik lagi dari aku. Aku masih ingat tentang first kiss kita. Itu adalah kenangan yang tak akan aku bisa lupakan. Sejak saat itulah aku mencintaimu. Aku cinta Mas Faiz. Aku cinta Mas Faiz. Mas Faiz, maafkan aku. Tapi kita tak bisa bertemu lagi.
Tertanda
Iskha yang mencintaimu
Mataku pun berkaca-kaca. Tidak mungkin. Kenapa harus terjadi lagi. Dulu Vira sekarang Iskha. Iskha, kemana kamu? Kemana kamu?
Setelah hari itu aku pun galau tingkat tinggi. Aku tidak lagi bersemangat sekolah. Setiap pagi biasanya aku menunggu Iskha di pagar sekolah hanya untuk menyapa dia. Sekarang dia tidak ada. Bahkan sampai satpam menutup gerbang pun aku tak melihat lagi wajahnya. Aku pun bertanya ke pihak sekolahan ia sudah pindah tapi tak dijelaskan pindah ke mana. Aneh sekali.
Di Kafe tempat biasanya dia ngamen pun sudah tidak ada dia lagi. Hani sahabat dekatnya pun tidak tahu. Iskha seperti tiba-tiba lenyap. Iskha, kemana kamu?
Erik pun merasakan kegalauanku. Dia menyapaku, "Kenapa kamu?"
"Iskha menghilang, aku tak tahu kemana dia," jawabku.
"Lho, koq aneh? Perasaan kamu deket banget ama dia," katanya.
"Nah, itulah. Aku tak tahu apa yang terjadi tapi dia pergi begitu saja. Dia menghilang begitu saja," kataku.
"Nggak ninggalin pesan?" tanyanya.
"Ada sih, sepucuk surat," jawabku.
"Boleh lihat?" tanya Erik.
Aku memberikan surat itu kepada Erik. Erik memicingkan mata, mengerutkan dahinya.
"Hmm...parah nih," kata Erik.
"Kenapa?"
"Kamu punya musuh ya?"
"Kalau perasaanku sih nggak, tapi kalau ada yang nggak suka ama Iskha memang ada. Dia sering diterror."
"Nah, ini dia. Kira-kira kamu tahu pelakunya? Soalnya sepertinya suratnya ini terpaksa ditulis. Dia sepertinya takut sekali kepada orang yang menerornya."
"Aku khawatir sekali kepadanya. Takut kalau-kalau terjadi sesuatu kepada Iskha."
Erik menepuk pundakku, "Jangan khawatir bro. Aku akan bantu kamu. Aku punya kenalan yang bisa mengurus ini. Akan aku cari dia bersama kawan-kawanku."
"Yang bener Rik?" tanyaku sumringah
"Kau bisa percayakan ini kepadaku," jawabnya. "Tapi aku tak janji ini akan mudah."
"Tak masalah, yang penting bisa menemukannya," kataku.
"OK, no problem," kata Erik.
"Kau butuh apa aja tinggal bilang, aku akan dengan senang hati memberikannya kepadamu," kataku.
"Aku tak butuh duit, tenang aja. Aku melakukannya karena kamu temanku. Semenjak kamu mengenal Iskha, kamu berubah. Lebih banyak terbuka dengan teman-teman yang lain. Aku suka Faiz yang ini, jangan seperti yang dulu. Dan menemukan Iskha adalah hal yang paling aku ingin lakukan," kata Erik.
Aku langsung memeluk Erik, "Makasih Rik."
***
Aku pulang ke rumah. Rumahku sepi. Sepertinya tak ada orang. Bunda tak ada. Icha dan Rendi tak ada. Pandu ada di rumah. Tapi dia mengurung diri di kamar. Sama seperti sebelumnya. Aku hanya melihat Kak Putri di ruang keluarga sedang menonton tv. Dia pakai tanktop dan hotpants. Di pinggangnya aku sampai lihat G-String yang dia pakai. Pakaiannya menggoda banget.
"Hai Iz, baru pulang?" tanyanya.
"Iya, nonton apa?"
"Ah, cuma sinetron aja."
Aku langsung merebahkan diri di sofa. Capek banget. Suntuk, stress.
"Mana bunda dan yang lain?" tanyaku.
"Bunda sedang pergi sama Icha, Rendi ama ayah. Pandu ada di kamar," katanya.
"Oh begitu," kataku.
"Capek yah? Aku buatin minum ya?" kata Kak Putri menawarkan diri.
"Tumben baik," kataku.
"Halaah, emangnya selama ini nggak baik?"
"Hehehehe, nggak koq, bercanda. Boleh deh."
Kak Putri mengedipkan matanya kepadaku. Aku mulai malas-malasan di kursi. Iskha, lagi-lagi Iskha. Wajahnya terus terbayang dibenakku. Aku pun memasang earphone ke telingaku. Kuputar rekaman lagu-lagunya. Dan semua kenangan itu kembali ada di kepalaku. Kenangan tentang Iskha. Aku seolah-olah masih bisa merasakan sentuhan bibirnya, aku juga masih bisa merasakan ciumannya, halus kulitnya, bau rambutnya. Aku ingat semuanya. Iskha jangan pergi, kumohon. Engkau adalah nyaawaku, bagaimana aku bisa hidup tanpa dirimu???
"Hoi!" Kak Putri mengagetkanku. Earphoneku dilepasnya. "Dipanggil daritadi malah bengong."
"Sorry, nggak denger," kataku.
"Nih, minumannya. Jus mangga. Kesukaanmu," katanya.
"Siapa bilang aku suka jus mangga, jus sirsak kali," kataku.
"Jus Sirsaknya nggak ada, adanya jus mangga. Mau nggak nih? Kalau nggak aku minum lho," kata Kak Putri sambil bersiap meminum jus itu.
"Iya deh, iya deh!" aku merebut gelas berisi jus mangga itu.
Aku kemudian meminumnya. Seger dah, lumayan. Ia sepertinya senang aku meminum jus buatannya. Kak Putri tersenyum sambil menatapku.
"Apaan? Ngelihat terus, ada yang aneh ama mukaku?" tanyaku.
"Aku suka kalau kamu minum jus kaya' gitu. Jadi teringat waktu kamu kecil merengek minta jus mangga," jawabnya. "Kamu nangis ama bunda buat dibuatin jus mangga, trus aku yang buatin. Ekspresimu minum itu masih sama."
Melankolis banget sih Kak Putri. Tiba-tiba ia langsung duduk di sampingku dan memelukku. Aku meletakkan jus mangga ke meja. Kak Putri tiba-tiba langsung menciumku. Wah, dia mulai kepengen nih.
"Kak Putri kepengen?" tanyaku.
"Tahu aja," jawabnya.
"Kak, aku minta maaf. Tapi,...rasanya aku tidak ingin deh, meneruskan hal ini," kataku.
"Maksudnya?"
"Ini itu salah kak, kita itu melakukan hubungan incest. Ini nggak bener," kataku. "Kalau kakak sampai hamil gimana? Aku nggak mau keluarga ini hancur gara-gara ini."
"Ayolah Iz, kakak udah horni nih. Petting aja deh gak papa. Yang penting puasin kakak," katanya.
"Kak..???"
"Ke kamar yuk!" ajaknya. "Ssshhh...Jangan sampai Pandu tahu."
Aku pun ditarik olehnya menuju ke kamarnya. Entah kenapa aku tak menolak. Begitu kami sudah masuk kamar dan mengunci pintu Kak Putri langsung menciumiku dengan ganas. Ia melepas seragamku, lalu dia langsung melepas bajunya. Dalam sekejap kami sudah telanjang bulat. Kak Putri terus menciumiku dan menyuruhku untuk meremas dadanya. Petting aja? Dasar, nyatanya kepengen ngentot juga.
Kak Putri menciumi seluruh tubuhku, lalu ia berlutut di hadapanku. Dengan penuh nafsu dia melumat penisku. Dikulumnya penisku dengan mulutnya yang seksi itu. Ouuwwhhh...siapapun pasti bakal takluk dengan blowjob dari Kak Putri ini. Aku lemas, penisku seperti dipelintir-pelintir. Jelas saja ia sudah pengalaman banyak, kalau dibandingkan dengan Iskha, maka Iskha tak ada apa-apanya. Dia cepat sekali mengocok penisku dengan mulutnya itu. Ganas sekali. Penisku makin lama makin tegang. Hampir saja aku keluar tapi dengan cepat Kak Putri berdiri. Sehingga penisku berkedut-kedut karena hampir keluar.
Ladies and gentlemen, tiba-tiba saja libidoku naik. Tidak cuma itu, rasanya aku makin bernafsu saja. Iskha....lagi-lagi aku ingat dia. Entah kenapa tiba-tiba aku meliha Iskha ada di depanku, aku melihat Kak Putri sebagai Iskha. Aku merindukan dia. Aku langsung memeluk bayangan Iskha, aku menciumnya, kulumat bibirnya. Kuremas dadanya. Kami lalu bergumul di atas ranjang. Aku benar-benar bernafsu sekarang. Kuhisapi puting susunya, kuberikan rangsangan-rangsangan. Ohh...Iskha...aku rindu kamu. Biarlah aku curahkan rinduku ini sekarang.
"Ohhh...Faiz!" aku dengar suara erangan kakakku. Aku tiba-tiba tersadar. Ini bukan Iskha.
Aku terdiam dan melihat wajah Kakakku. Dia tersenyum kepadaku. Tapi kemudian berubah lagi menjadi Iskha. Aku kembali menciumnya, Kemudian tangannya mengarahkan penisku ke lubang memeknya. Gatal sekali rasanya ketika ujung penisku digesek-gesekkan di bibir vaginanya. Rasanya ingin saja kutusuk. Kakinya melingkar di pinggangku dan aku pun mendorongnya. BLESSS....
Wajah Iskha tiba-tiba berubah menjadi Kak Putri. Tidak, aku tidak akan ngentotin Iskha, karena aku sudah janji tak akan menyentuhnya sampai kita menikah. Ini Kak Putri. Ini Kak Putri. Tidak, aku tak mau melakukan ini. Aku memang tak ingin melakukannya tapi aku tak bisa menolaknya. Aku menggoyangkan pinggangku maju mundur secara otomatis. Menggesek-gesekkan kemaluanku di dinding kemaluan Kak Putri.
Fuck...fuck...fuccccckk! Yang terjadi biarlah terjadi. Aku percepat goyanganku.
"Aaahh...Faiz, robek memek kakak, ayo yang kencang, biar robek memek kakak!" kata Kak Putri.
"AAAAAAHHHHHHH......," aku pun keluar. Kak Putri melenguh panjang. Kami orgasme bersama-sama.
Walaupun sudah keluar anehnya aku tidak lemas. Aku masih bersemangat. Dan aku menggarap kakakku lagi dengan berbagai gaya. Entah apa yang terjadi kepadaku kenapa aku sampai kesetanan seperti ini. Yang jelas setelah aku menumpahkan spermaku lima kali ke dalam memeknya aku pun lemas. Kak Putri tampak terlihat puas.
Aku tak terasa hari sudah larut. Penisku ngilu sekali.
"Makasih ya Faiz, hari ini kamu luar biasa. Memek kakak sampe ngilu," katanya.
Aku tak menjawabnya. Aku segera ambil pakaianku. Kupakai lalu keluar kamarnya. Mungkin Kak Putri merasakannya, tapi aku sama sekali tidak. Rasa bercinta ini hambar. Atau mungkin malah pahit. Tak ada nikmatnya berciuman, tak ada rasa. Aku tak mencintai Kakakku. Itu mungkin sebabnya. Aku cuma berciuman dengan Iskha saja rasanya selangit, tapi tidak dengan kakakku.
BAB XV
When The Hatred Comes
NARASI PUTRI
Menang, aku menang. Puas sekali rasanya. Mengusir Iskha, dan kemarin aku memberikan obat perangsang ke Faiz. Gilaaaaa....aku sampai melayang. Faiz sampai lima kali orgasme non-stop. Gila...gila bener. Tapi dia melakukannya dengan membayangkan Iskha. Padahal aku nggak kepingin seperti itu. Ah, bodo amat. Yang penting sekarang Faiz pasti akan mencintaiku, aku akan memiliki dirinya selamanya. Dasar Iskha, ia tahu kan sekarang bagaimana kekuatan uang??
Seminggu ini aku hampir tiap hari bercinta dengannya. Entah deh, jadi hamil apa nggak. Tapi setiap sperma yang keluar darinya tak aku sia-siakan. Kalau nggak keluar dimulut, pasti nyembur di rahimku. Puas banget aku. Pacarku nggak pernah seperkasa Faiz. Kapanpun aku mau dia pasti siap. Hanya saja, berkali-kali ia selalu membayangkan bahwa aku adalah Iskha. Kenapa selalu Iskha? Kenapa selalu dia?
Sebenarnya tiap hari aku beri dia obat perangsang. Biar dia selalu bernafsu. Dan memang Faiz nafsu banget tiap hari. Seperti hari ini, aku memberikannya jus kesukaannya, kalau kemarin jus mangga, sekarang jus sirsak. Dia senang-senang aja sih tak ada curiga. Aku oral dia, ooh...aku kangen ama penisnya.
NARASI FAIZ
"Kak, sebaiknya kita nggak usah melakukannya lagi ya, aku mohon!" kataku.
Kak Putri kini ada di kamarku. Dan dia ada di atas ranjangku sedang mengoral penisku. Ia seolah-olah tak mempedulikan aku. Sudah seminggu ini dia begitu kepadaku. Ketika malam kadang dia sendiri yang masuk ke kamarku kalau aku tidak masuk ke kamarnya. Dia seperti haus sex. Apa emang nafsunya besar?
"Kenapa sih dek? Kamu katanya mau nolong kakak, nggak papa kalau kakak kepengn ama kamu?" katanya.
"Iya sih, tapi rasanya nggak enak aja. Aku sudah punya Iskha kak, aku tak ingin dia sampai ....," aku tak meneruskan.
"Sampai apa? Malu punya pacar yang ngentotin kakaknya sendiri?" sambung kakakku.
"Iya," jawabku jujur.
"Sudahlah Iz, nggak apa-apa. Toh keluarga kita juga melakukannya koq," katanya.
"Maksud kakak?"
"Oh, kamu belum tahu ya? Sayang sekali."
Aku tak mengerti apa yang dibicarakan olehnya.
"Ada sebuah rahasia, tapi kamu harus ngeluarin ini dulu ke mulut kakak yach?"
"Ayolah kak, bilang saja!"
"Nggak, keluarin dulu! Aku janji akan cerita tapi keluarin dulu pejuhnya di sini!"
Aku tak bisa apa-apa, akhirnya aku pun menikmati saja oralan kakakku. Dia benar-benar memaksaku untuk bisa ejakulasi. Aku pun mau tak mau harus bisa merasakan sesuatu yang membuatku bisa terangsang. Aku pun membayangkan Iskha yang melakukannya. Dan benar. Ketika membayangkan Iskha, penisku mengeras lebih dari biasanya. Kakakku makin bersemangat, dan setelah beberapa lama mem-blowjobku akhirnya keluar juga.
Kakakku menampung spermanya lalu menelannya. Gila....semuanya ditelan habis. Ia bahkan masih menjilati penisku dan membersihkan sampai tak ada setetes pun sperma tersisa di sana. Gila banget. Aku langsung lemas setelah itu. Entah kenapa kakakku jadi binal seperti ini.
"Nah, sudah kan? Sekarang aku tagih janji kakak. Katakan apa yang aku tidak tahu!" pintaku.
"Baiklah, sesuai janjiku. Sebenarnya bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura itu masih satu keluarga sama ayah," katanya dengan enteng. Seolah-olah hal itu bukan hal yang besar.
"Bullshit!" kataku.
"Kalau nggak percaya, tanya aja sama bunda. Bunda tahu koq. Dan Mas Pandu itu lebih pantas disebut pamanmu daripada kakak."
"What the fuck are you talking about sis?" kataku. "Ini omong kosog kan?"
"Iz, Faiz. Kamu itu tak tahu apa-apa. Ayah sengaja menyembunyikan hal ini dari kamu. Karena apa? Karena kamu pewaris tahtanya. Dia ingin terlihat semuanya tak seperti yang kau lihat. Ia ingin kamu merasa terhormat. Kamu ngerti nggak sih? Satu-satunya yang tidak ada hubungan sedarah itu ya cuma kita aja. Makanya ayah sangat menyayangi kita daripada keluarganya yang lain," jelas Kak Putri.
"Omong kosong, aku tak percaya ama kakak," kataku.
"Kau boleh tak percaya, buktinya sudah ada. Itu Pandu!"
"Kenapa dengan Pandu?"
"Kamu tahu, anak yang dihasilkan dari hubungan sedarah akan punya kelainan paling tidak satu dari enam anak akan mendapatkannya. Dan kamu mendapatinya bukan? Pandu punya kelainan otak. Ayah pasti membayar para dokter untuk tutup mulut, tapi yang jelas ibu pandu itu adalah nenekmu! Dan asal kamu tahu saja, aku sudah mengetahui semuanya. Pandu juga tahu. Hanya kamu saja yang tidak diberi tahu. Karena apa? Karena kamu kesayangan dia Faiz!"
Entah kenapa, aku tiba-tiba benci Kak Putri. Dia pasti bohong.
"Kakak pasti bohong."
"Buat apa aku bohong? Tenang aja, toh keluarga kita melakukannya sudah lama. Kalau aku dan kamu pun melakukannya juga tak apa-apa kan?"
"Aku benci kalian semua," kataku. Aku membenarkan celanaku dan segera keluar kamar.
"Faiz! Mau kemana?" tanya kakakku.
"Bukan urusanmu!" jawabku.
Aku segera menuju ke garasi. Di sana ada beberapa mobil. Salah satunya mobil Lotus milik Danny. Aku belum pernah sih mencobanya sejak pertama kali menang balapan itu. Aku sudah membawanya ke bengkel dan mengecek semua mesinnya. Dan sekarang aku ingin mencobanya. Tak ada salahnya kan?
Dengan mobil itu akupun pergi. Penjelasan Kak Putri tadi sungguh mengagetkanku.
***
Entahlah, antara pusing, galau, benci semuanya jadi satu. Aku muter-muter tanpa tujuan. Hingga aku melewati perumahan tempat Bunda Vidia tinggal. Aku pun mampir ke sana. Hari masih siang dan matahari masih terik. Aku mengetuk pintu rumahnya. Tak berapa lama kemudian wajah seorang wanita muncul. Dia Bunda Vidia.
"Ehh...Faiz, masuk masuk!" katanya.
Aku pun masuk.
"Silakan duduk Faiz, mau minum apa? Anak-anak sedang keluar," kata bunda Vidia.
"Aku hanya ingin tanya sesuatu hal," kataku.
"Tanya apa ya?"
"Apakah benar bunda Vidia ini saudaranya ayah? Dalam arti kalian punya hubungan sedarah?"
Kata-kataku mungkin membuatnya terkejut. Raut wajah bunda Vidia langsung berubah. Dia yang tadinya cerita sekarang berubah drastis menjadi orang yang ketakutan, sedih, entahlah. Yang jelas wajahnya tak mengenakkan. Kelihatan seperti orang yang sangat menyesal.
"Dari mana kamu punya pemikiran itu?" tanya Bunda Vidia.
"Jujur saja, katanya keluarga ini adalah tempatnya kejujuran. Sekarang aku ingin kejujuran dari Bunda Vidia," kataku.
Bunda Vidia tak langsung menjawab. Ia memejamkan matanya dan mengusap wajahnya. Sepertinya ia menyimpan sebuah jawaban yang berat.
"Kenapa kalian menyembunyikan ini semua dari aku? Kenapa? Kenapa hanya aku yang tidak tahu???"
"Itu...itu memang tak bisa kami lakukan!"
"Kenapa?"
"Karena ayahmu yang melarang. Ia tak ingin kamu jadi orang yang sama seperti dirinya Faiz..." jelas Bunda Vidia.
Dan tiba-tiba otakku pun serasa dipenuhi dengan seluruh kegelapan. Aku tak percaya keluargaku sendiri serusak ini. Aku marah, emosi, frustasi, depresi. Aku sudah kehilangan Vira, kehilangan Iskha. Kakakku sendiri jadi cewek binal. Pandu sakit. Persetan kalian, brengsek kalian. Kalau kalian memang sudah rusak kenapa tidak mengajak aku rusak sekalian. Kenapa kalian tak ingin aku menjadi ayahku sendiri? Arrgghh...
"Bunda jujur? SUngguh?" tanyaku. Nada suaraku berubah.
"Iya, maafkan kami nak, maafkan!"
Entah setan mana yang merasukiku sekarang ini. Aku benar-benar jijik terhadap keluarga ini. Jijik sekali. Orang yang ada di hadapanku ini sudah tidak aku anggap lagi sebagai seorang ibu. Tapi seorang pelacur.
"Bunda!?" panggilku.
"Iya?"
Aku langsung maju ke dirinya kulumat bibirnya. Bunda Vidia meronta.
"Nak Faiz, jangaaannn!"
"Kenapa? Kalau bunda dengan adik sendiri bisa ngentot, maka aku juga bisa kan? Aku sudah ngentot ama Kak Putri, kenapa tidak dengan bunda sendiri? Yang sebenarnya adalah bibiku? Hah?"
"Jangan Faiz, justru kami tak ingin ini terjadi ama kamu,"
"Terlambat, semuanya terlambat. Aku sudah kehilangan semuanya. Demi Pandu aku mengalah sehingga Vira pergi dariku, lalu Iskha pun pergi, dan kemudian aku punya kakak seorang wanita yang binal. Rasanya sudah klop. Kalian sama saja semuanya. Pelacur!"
Bunda Vidia menangis dalam pelukanku. Ia ketakutan melihat mataku. Entah bagaimana raut mukaku saat itu. Yang jelas aku sangat marah sekarang. Bunda Vidia terus meronta, ia pun berhasil mendorongku. Aku mundur beberapa langkah. Ia segera berlari ke kamarnya. Oh tidak semudah itu. Sebelum ia menutup pintunya aku menendang pintu itu sehingga ia terpental ke lantai. Aku sudah masuk sekarang.
"Faiz, jangaaan! AKu mohon! Aku bundamu!" katanya.
"Apakah ayah ketika melakukan ini juga seperti ini? Atau bagaimana?" tanyaku. "Apa bedanya aku dengan ayah? Toh kalian sudah melewati batas. Kalian melanggar hal-hal yang tabu, apa masalahnya denganku!"
"Hentikaaaaannn!" jeritnya.
Aku lalu merobek baju gamisnya. Tubuh bagian atasnya terekspos. Sebuah bra berwarna hitam yang menampung sebuah payudara besar mungkin seukuran ama bundaku terpampang di sana. Sudah turun sih. Tapi aku tak peduli, aku pun menariknya. Dan tiba-tiba payudara itu seperti melompat keluar. Ia mencoba menutupi miliknya itu. Sial, sok suci banget sih. Aku pun menampar bunda Vidia. Ia langsung tergeletak di lantai. Mungkin ia pusing sekarang.
Aku lalu melucuti baju bawahnya. Kutarik celana dalamnya sehingga aku bisa melihat kemaluan seorang wanita yang tercukur rapi. Aku entah kenapa tiba-tiba nafsuku sudah naik. Kepengen banget rasanya ngentot. Tiba-tiba terdengar suara hatiku.
"Jangan Faiz, jangaaaan!" suara itu menjerit di hatiku. Aku tak peduli, aku sudah terangsang sekali sekarang.
"Faiz, kalau kamu ingin lakukan ini sama bunda, silakan! Bunda pasrah. Ini memang salah bunda, lakukan sekarang Faiz!" bunda Vidia menangis. Tubuhnya sudah melemah.
Bagai kesetanan aku pun melepas seluruh pakaianku. AKu sudah telanjang. Melihat pemandangan seorang wanita paruh baya, masih memakai kerudung dengan baju gamis robek dan tubuh sudah terekspos membuatku makin terangsang. Aku menelan ludah berkali-kali. Tubuhnya pun aku angkat dan kubaringkan di atas ranjang. Bunda Vidia memejamkan mata. Ohh..kenapa aku bisa senafsu ini? Kenapa?
Brengsek ah! persetan. Pergi kau dari pikiranku. Jangan coba halangi aku.
Aku mengulum puting bundaku ini. Warnanya coklat cerah. Aku yakin ketika muda pasti warnanya pink. Kulumat puting itu. Bunda Vidia mendesah. Ia meremas sprei ranjang. Aku meremas dada sebelahya. Nikmat banget, aku rasanya ingin terus berlama-lama menikmati payudara itu.
"Faiizz...terus nak, lakukan saja pada bundamu ini. Bunda memang salah, bunda memang pelacur. Aku sudah janji kepada ayahmu, tak akan menyakitimu. Terus Faiz!" perintah Bunda Vidia.
"Tentu saja," kataku.
Aku menjilati ketiaknya yang terbuka. Bunda Vidia menggeliat kegelian. Tangan kananku lalu menuju ke memeknya. Kugesek-gesek dengan tanganku dan kubelai. Dia menggeliat lagi. Tapi dia masih memejamkan matanya. Tak berani menatapku. Persetan amat. Dasar pelacur. Aku nikmati seluruh lekuk tubuhnya. Harum sekali. Pantas ayah tergila-gila kepadanya. Kulitnya putih. Ohh...Bunda Vidia.
Dan hari itu pun menyetubuhi istri ayahku sendiri. Entah kenapa aku jadi sangat bernafsu seperti ini. Seolah-olah aku baru saja minum obat kuat atau obat perangsang. Aku gagahi bunda Vidia. Oh...nikmat sekali. Tubuhnya masih seksi walau usianya sudah 40 tahun. Aku terus menggoyang penisku keluar masuk memeknya yang sekarang sudah berlendir. Ini lebih tepatnya aku memperkosa. Aku menikmati tubuhnya yang masih berbalut kerudung. Aku menciumnya saat aku akan keluar. Dan...aku pun meledak hebat di rahimnya. Menumpahkan seluruh pejuhku di sana hingga benar-benar aku yakin penisku sudah kering aku baru mencabutnya.
"Kumohon Faiz, sudah. Keluar dari sini. Kumohon, Faiz!" rintih Bunda Vidia.
Aku belum puas sebenarnya. Tapi melihat dia menangis aku pun jadi iba. Bunda Vidia pun aku tinggalkan dengan tubuh telanjang dan spermaku meleleh di belahan memeknya. Aku memakai bajuku lagi lalu keluar dari rumahnya.
Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Aku tak bisa mengendalikan diriku. Aku seperti terhipnotis, ataukah aku sedang kesurupan? Yang jelas aku sudah berada di jalan raya lagi. Dan aku ingin menemui Bunda Nuraini.
Entah kenapa aku tiba-tiba teringat Bunda Nur. Dia juga termasuk istri ayah yang seksi. Entah kenapa aku nafsu sekali kepadanya. Jam segini, pasti ada di rumah. Aku sampai di rumahnya. Rumahnya sepi. Aku langsung masuk begitu saja, tanpa permisi. Rumahku juga kan?
Ternyata Bunda Nur ada di halaman sedang berkebun. Begitu melihatku masuk ia agak terkejut.
"Lho, Faiz? Nggak tahu tadi Bunda. Masuk aja deh, maaf ya tangan buda kotor," katanya. "Ada apa?"
"Kepengen ngobrol empat mata ama Bunda Nur," kataku.
"Oh begitu. Sebentar ya," katanya.
Dia mencuci tangannya di kran yang ada di halaman lalu mengusapkannya ke dasternya. Di rumah sepertinya tak ada orang. Sepi sekali.
"Kemana Laila dan yang lain Bunda?" tanyaku.
"Oh, yang lain sedang keluar. Bunda sendirian di rumah. Pembantu juga lagi mudik," ujarnya. "Aku ambilin minum ya?"
Bunda Nur beranjak ke dapur. Dan kembali lagi setan itu menguasaiku. Ketika Bunda Nur sedang berjalan lenggak-lenggok meninggalkanku segera saja aku dekap dia.
"Faiz??!" dia kaget tentu saja.
Bunda Nur meronta dengan perlakuanku ini.
"APa yang kamu lakukan? Faiz, lepaskan!" katanya.
"Kalau ayah bisa mendapatkan adiknya sendiri, kenapa aku tak bisa mendapatkan bibiku sendiri kalau begitu?" tanyaku.
"Faiz...kumohon jangan lakukan ini," dia memohon.
"Sudah terlambat, aku sudah melakukannya kepada Bunda Vidia. Dan aku inginkan Bunda Nur sekarang!" kataku.
"Faizzhhhhhmmmm...," mulutnya sudah aku cium. Aku memeluk erat tubuh Bunda Nur. Dia meronta kuat. Aku merobek dasternya dengan kasar. Dia meronta, terus meronta. Mendorongku, lagi dan lagi. Tapi tenagaku terlalu kuat. "Faiz, setan apa yang merasuki kamu?"
Aku menamparnya. Bunda Nur terhuyung dan ambruk. Mungkin terlalu keras tamparanku. Pipinya memerah. Dasternya yang robek membuatku makin bernafsu, segera ia aku angkat dan kuletakkan di sofa ruang tamu. Aku tak peduli dengan pintu rumah yang masih terbuka. Aku juga tak peduli kalau ada orang yang akan melihat kami nantinya, bahkan kalau Laila datang pun aku tak peduli. Aku lucuti seluruh pakaiannya hingga kini Bunda Nur telanjang. Tubuhnya nggak jauh beda ama Bunda Vidia. Bedanya mungkin Bunda Nur lebih kurus daripada Bunda Vidia yang montok.
Aku pelorotkan celanaku. Penisku yang sudah tegang sekarang mengarah ke mulutnya.
"Sepongin Faiz, ayo! Sepongin Faiz sebagaimana Bunda nyepongin ayah!" perintahku.
Bunda Nur masih pusing mungkin karena tamparanku. Ia membuka mulutnya perlahan dan membiarkan penisku masuk ke mulutnya. Ia tak menghisapnya, apalagi menjilatinya. Ia pasif. Aku pun menampar dia lagi.
"Dasar pelacur! Ayo sepong!" teriakku.
Dia sekarnag mengangguk-angguk memblowjobku. Ohhh..nikmat sekali. Aku tambah dengan mencubit puting susunya kuat-kuat. Nafas Bunda Nur memburu. Ia mencoba menampik tanganku. Aku lalu merebahkan diri dengan posisi terbalik. Aku buka selakangannya dan kuciumi memeknya. Karena tubuhnya pendek membuatku agak membungkuk.
"Faizz...jangan Faizzz...kumohon!" katanya memintaku.
"Kamu sepongin aku aja nggak usah banyak bacot. Aku ingin merasakan memekmu ini!" kataku.
Dia pun menurut. Aku kini menikmati memeknya yang berasa asin itu. Gurih juga sih. Kusapu bibir memeknya yang berwarna pink itu. Sudah turun onderdil dua tapi masih enak juga sepertinya. Legit. Lidahku sudah menari-nari di sana. Membuat Bunda dan sekaligus bibiku ini menjerit. Berkali-kali pantatnya terkejang-kejang. Aku menekan lidahku sampai masuk ke dalam memeknya. Bunda Nur tak kuasa lagi ia sudah tak menyepongku lagi tapi meremas rambutku. Lalu klitorisnya aku hisap dengan kuat.
"Bunda keluar Faaiiizz....aaaahhkk...!" keluhnya sambil mengangkat pahanya. Cairan ejakulasinya pun keluar. Bahkan ia squirt beberapa kali sampai membasahi wajahku.
"Dasar pelacur, sama ponakan sendiri doyan kan? Sama anak sendiri juga," kataku.
Aku lalu berbalik dan sudah siap menindihnya. Aku peluk Bunda Nur. Kuciumi bibirnya. Kuarahkan penisku ke sarangnya. Ia sudah pasrah. Kemudian sekali hentak penisku sudah tertelan oleh memeknya. Kulit kemaluanku merasakan kehangatan yang berbeda. Berbeda dari milik Kak Putri, berbeda dari milik Bunda Vidia, dan milik Bunda Nur juga berbeda. Hahahaha...entah kegilaan apa ini.
Aku menyetubuhi Bunda Nur seperti orang gila, aku bahkan tertawa penuh kemenangan ketika aku menyemburkan spermaku di dalam rahimnya. Tak puas satu ronde, Bunda Nur aku setubuhi sampai tiga kali dengan tanpa jeda. Dan produksi spermaku sudah mau habis ketika wajahnya aku semburkan sperma terakhirku. Kusuruh ia membersihkan penisku dengan mulutnya.
Aku lalu lemas dan ambruk di sofa. Aneh memang. Sekarang aku sudah merasa plong. Plong sekali. Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?? Seperti baru saja minum obat perangsang....
Apa??? Viagra...fuck! aku ingat sekarang. Aku dulu pernah mencoba obat perangsang. Coba-coba saja sih, perasaan seperti ini. Apa yang terjadi kepadaku, libido ini. Dari obat perangsang. Dulu aku melakukannya sekedar ingin tahu rasanya dan aku seharian coli melulu sampai kering. Ini...ini dia, tapi siapa yang melakukannya? Satu-satunya tersangka hanya satu Kak Putri.
Ketika aku melihat Bunda Nur menangis di atas sofa aku pun menyesal. Menyesal sekali. What the fuck????
"Bunda Nur, apa yang aku lakukan? Apa yang aku lakukan?" kataku gemetar.
"Faiz...pergilah, pulanglah! Aku tak ingin ayahmu tahu tentang hal ini!" kata Bunda Nur.
"Maafkan aku bunda, maafkan aku! Aku tak sadar melakukannya. Aku seperti dipengaruhi oleh sesuatu," kataku.
Dengan langkah gontai aku meninggalkan Bunda Nur yang tanpa sehelai benangpun terbaring di atas sofa.
BAB XVI
Pasrah
Aku dalam perjalanan pulang. Hari sudah gelap. Perbuatan Kak Putri ini pasti memberikaku obat perangsang. Hingga aku tak bisa mengendalikan diriku. Keluarga yang sudah rusak. Aku pun tambah rusak. Seharusnya hal itu tak boleh aku lakukan. Terdengar panggilan ponselku saat itu aku menepi sebentar ke SPBU karena bensinku sudah mau habis. Kuangkat.
"Halo Rik, ada apa?" tanyaku.
"Bro, kabar baik," katanya.
"Apa?"
"Iskha, ketemu," katanya.
Aku yang tadinya lesu, suntuk, bete, emosi sekarang tiba-tiba semuanya hilang. Aku sangat senang sekali, "Oh ya? Trus?"
"Aku akan BBM alamatnya, hanya saja ada satu hal yang sebenarnya aku tak mau mengatakannya kepadamu. Kuharap kamu jangan shock," kata Erik.
"Ada apa?"
"Dia diusir ke luar kota oleh kakakmu. Kakakmu mengancam akan menyakiti keluarganya kalau dia masih ada di kota ini. Dia juga yang memindahkan sekolahnya ke sana. Semua orang dibungkam, termasuk pihak sekolah. Bro, sepertinya kamu punya musuh dalam selimut."
Bagai tersambar geledek, aku tak kuasa lagi kali ini. Kemarahanku sudah pada puncaknya.
"Terima kasih Rik. Terima kasih banyak. Aku memang harus menyelesaikan ini semua. Kamu temanku yang paling baik," kataku.
"Sama-sama. Kuharap kau bisa bersama lagi dengan Iskha," katanya.
"Tentu saja," kataku.
Setelah mengisi bensin dengan pertamax tentunya, aku pun kembali ke rumah. Kemarahanku benar-benar meledak. Aku benar-benar tak menyangka kenapa Kak Putri melakukannya? Kenapa? Kakakku yang aku hormati, yang aku sayangi malah melakukannya. Persetan dengan keluarga ini. Persetan dengan kalian semua.
Aku sudah sampai di rumahku. Satpam yang menjaga gerbang buru-buru membuka pagar. Aku sedikit ngebut dan parkir sembarangan di sana, langsung aku menyerbu masuk. Di dalam rumah, aku melihat Pandu sedang di atas kursi rodanya sedang membaca buku. Dia ada tidak sendiri di ruang keluarga. Ada Bunda, ada Kak Putri, juga ada Bunda Laura ternyata sama si Juni kecil.
"Faiz, dari mana saja kamu?" tanya Bunda.
"Dengarkan baik-baik aku tak akan mengulanginya lagi," kataku.
Semuanya menoleh kepadaku.
"Mas Pandu, bawa Juni ke kamar dan usahakan jangan sampai mendengar apa yang aku ucapkan," kataku.
"Kenapa Iz?" tanyanya.
"LAKUKAN CEPAT!" bentakku.
Seketika itu ruangan itu jadi tegang. Juni kecil tampak ketakutan kepadaku. Pandu hanya bisa menurutiku. Dia tahu aku kalau marah tak ada yang bisa menghentikannya.
"Dia marah sekarang. Hati-hati kamu Put!" kata Pandu kepada Kak Putri.
Wajah Kak PUtri yang tadi cerah menyambutku datang sekarang berubah. Ia ketakutan. Juni dan Pandu masuk ke kamar. Setelah aku yakin mereka sudah masuk kamar dan Juni kecil tak akan mengintip keluar aku baru meledak.
"Aku benci kepada kalian," kataku.
"Ada apa FAiz?"
"Tanya kepada kak Putri apa yang dia katakan kepadaku tadi pagi!" kataku.
"Ada apa Put?" tanya bunda.
"I...itu...," dia tak melanjutkan.
"Aku tahu semuanya tentang keluarga ini. Aku tahu semuanya. Siapa istri-istri ayah itu. Kau Bunda Laura aku tahu hubunganmu dengan ayah. Aku tahu siapa Bunda Vidia, aku juga tahu siapa Bunda Nur. Aku tahu kenapa Pandu bisa sakit seperti itu. Keluarga yang luar biasa 'terhormat'," kataku.
Seketika itu wajah bunda berubah takut. Bunda Laura pun terlihat begitu. Yang lebih takut adalah Kak Putri.
"Faiz, kami sebenarnya tak ingin membicarakan hal ini denganmu agar kamu tak mengikuti jejak ayahmu," kata Bunda Laura.
"Terlambat, apa bunda tahu aku sudah tidur sama Kak Putri? APa bunda juga tahu kalau aku sudah tidur ama Bunda Vidia dan Bunda Nur?"
Mata bunda berkaca-kaca. Ia menutup mulutnya terlihat wajah sedihnya.
"Faiz?! Apa yang kamu lakukan?" bentak Bunda Laura. "Kau sadar apa yang kamu lakukan?"
"Ini semua gara-gara dia!" aku menunjuk Kak Putri.
Bunda dan Bunda Laura pun menoleh ke arah Kak Putri. Kak Putri menunduk dan tiba-tiba terisak.
"Ada apa ini Put?" tanya Bunda.
"Kak Putri, tak kuduga kau sejahat itu. Kau jahat, sangat jahat!" kataku. "Kenapa kau taruh obat perangsang ke minumanku?"
"Karena aku tak mau kamu pergi dariku Faiz, aku ingin kamu mencintaiku," kata Kak Putri.
"Putri, kamu sadarkah? Dia ini adikmu!" kata Bunda.
"Aku sadar. Justru itulah aku mencintainya. Aku ingin menjadi istrinya. Aku ingin hidup bersama Faiz bunda. Kalau ayah bisa hidup bersama kakak dan adiknya kenapa aku tidak?" kak Putri berdiri dan hampir saja memelukku. Tapi aku mendorongnya hingga ia jatuh.
"Aku tak butuh dirimu!" kataku.
Kak Putri terbelalak. Ia tak menyangka aku akan mengatakannya.
"Katakan kak, kau sayang kepadaku?" tanyaku
"Tentu saja, aku sayang kepadamu," jawabnya.
"Kalau kau sayang kepadaku, kalau kau cinta kepadaku, kenapa kau membunuhku?"
"Membunuhmu?"
"Kamu tahu, Iskha adalah nyawaku. Dia adalah hidupku, setiap detak jantungku ada dirinya. Setiap nafasku ada namanya. Jiwaku dan jiwanya sudah terikat satu dengan yang lain. Kenapa kau rusak? Kenapa kau menjauhkan aku dengan dia? Kenapa kau melakukan hal sejahat itu? Kau ini katanya kakak yang menyayangiku, tapi nyatanya kau malah menghancurkan hidupku. Aku tak akan memaafkanm seumur hidupku," kataku.
"Tidak, Faiz...jangan lakukan itu!" kata kak Putri mengiba.
"Aku akan menjemput Iskha dan satu hal lagi. Aku akan pergi dari rumah ini! AKu muak dengan keluarga Hendrajaya. Aku akan menyendiri, tanpa bantuan kalian aku bisa mandiri," kataku.
"Faiz, ini gila!" kata bunda.
Aku tak menghiraukannya. Aku segera masuk ke kamarku. Aku persiapkan koporku. Kumasukkan seluruh baju-bajuku, buku-bukuku. Paling tidak yang aku butuhkan saja. Sedangkan yang tidak aku butuhkan aku tinggalkan. Tekadku sudah bulat. Aku akan pergi dari rumah ini. Aku akan menjemput Iskha. Aku akan kembali kepadanya. Setelah mengepak barang-barang. Aku melihat kamarku sebentar. Aku akan merindukan ruangan ini. Tapi aku tak butuh melankolis seperti ini. Sudah semestinya aku pergi dari dulu.
Aku keluar kamar di ruang keluarga. Aku mendapati Kak Putri menangis tersedu-sedu di hadapan Bunda dan Bunda Laura. Mereka semua menoleh ke arahku ketika mendapati aku membawa kopor besar.
"Faiz...?? Tenang nak, bunda sudah tahu, Putri sudah cerita semuanya. Kumohon jangan lakukan ini!" pinta Bunda. Ia juga bersedih, matanya berurai air mata.
"Aku sudah katakan. Aku tak akan memaafkannya!" kataku.
"Faiz, aku akan menjemput Iskha, aku akan mengembalikan dia kepadamu tapi kau jangan pergi, aku mohon. Maafkan aku, maafkan aku Faiz!" Kak Putri menjerit sambil menangis.
"Aku sudah bilang aku tak akan memaafkanmu! Jangan pernah mengharapkan aku kembali lagi ke sini. Soal warisan, biar ayah berikan saja ke anaknya yang lain. Aku tak berminat, sejak dari dulu aku tak berminat. Kak Putri, aku muak melihatmu!" kataku.
Setelah itu aku melangkah pergi. Kak Putri menahan kakiku. Bunda juga menarik tanganku.
"Faiz, kumohon jangan pergi! Kumohon!" kak Putri dan Bunda melarangku.
Aku terus melangkah sambil menyeret mereka. Mereka berusaha mencegahku untuk pergi. Sudah cukup aku tak memaafkan mereka lagi.
"Demi Bunda Faiz, tolong jangan pergi! Aku akan menghukum kak Putri, tapi kau jangan pergi! Kumohon! Bunda akan bantu mencari Iskha, tapi jangan pergi! Apa yang harus bunda bilang ke ayahmu? Bunda tak tahu apa yang akan bunda katakan kepada ayahmu!" kata bunda.
"Faiz, tolonglah kasihanilah Bundamu. Bundamu tidak bersalah, jangan begini Faiz!" kata Bunda Laura.
Aku meronta sehingga tangan bunda terlepas dariku. Aku lalu menarik kakiku dengan kasar sehingga terlepas dari tangan Kak Putri. Aku lalu berjongkok di depan Kak Putri Wajahku mendekat ke wajahnya.
"Kak PUtri sekarang menangis? Kehilangan orang yang dicintai kan? Kehilangan orang yang disayangi kan? Kakak sekarang tahu bukan rasanya? Rasakan itu. Meneror Iskha, membuat dia takut, mengusir dia. Aku sama sekali tak memaafkan hal ini. Jangan pernah memaksaku lagi untuk pulang. Mau kakak mati kek, mau hidup, mau sakit, aku tak akan lagi peduli ama kakak. Sejak kecil aku melindungi kakak, selalu membela kakak, menyayangi kakak sekarang inikah balasannya?"
Setelah itu aku beranjak meninggalkan rumah ini. Rumah yang sudah aku tempati selama lebih dari sepuluh tahun. Aku ke mobil Lotusku hasil dari menang balap liar. Aku memilih mobil ini karena mobil ini aku dapatkan dengan perjuanganku. Sedangkan mobil Honda City itu adalah dari uang ayahku. Aku sudah bertekad tak ingin menerima uang dari ayahku lagi. Aku sengaja tak membawa ATM dan kartu kredit dari ayahku. Aku hanya membawa ATM dari uang tabunganku sendiri. Yang aku dapat dari hasil balap liarku. Entah nanti aku akan kerja apa di luar sana.
Aku membuang ponselku agar mereka tak menghubungi aku lagi. Aku mengambil uang yang ada di dompetku lalu aku sebar di halaman. Itu uang yang diberikan oleh ayahku. Aku buang semuanya.
Kak Putri masih menangis dan memanggil-manggil namaku. Aku pun pergi. Selamat tinggal keluarga Hendrajaya. Selamat tinggal Mas Pandu. Selamat tinggal masa kecilku.
NARASI PUTRI
"Faizzz...maafkan kakak, maafkan kakak!" aku menjerit sejadi-jadinya.
"Putri, sudah put!" Bunda mencoba menghiburku.
"Bunda, Faiz bunda. Maafkan Putri bunda, maafkan Putri...Faiz....!" aku hanya bisa memelas melihat Faiz pergi dengan mobilnya. Ia tak akan kembali lagi. Aku baru kali ini melihat kemarahan Faiz. Aku memang bersalah. Entah kenapa aku bisa melakukan itu. AKibat hal ini aku kehilangan Faiz untuk selamanya. Aku sudah merampas hidupnya. Aku menyesal. Menyesal sekali. Kini dia membenciku, pergi dari rumah.
Bunda lalu memapahku ke kamar. Kami berdua sama-sama bersedih. Aku masih menangis sambil memeluk bantal. Aku berbaring di kamarku. Bunda mencoba menenangkanku. Bunda Laura juga demikian. Kulihat Pandu dan Juni melongok dari pintu. Mereka keluar ketika Faiz pergi.
"Sudah kubilang, Faiz akan marah," kata Pandu.
"Kamu tahu ini semua kenapa tak bilang ke Bunda?" tanya Bunda.
"Itu dosanya Kak Putri, bukan dosaku," jawab Pandu. "Kalau aku di posisi Faiz, aku akan melakukan hal yang sama."
Pandu lalu pergi bersama Juni. Aku menangi lagi.
"Sudah put, sudah. Ibu juga bersedih," kata Bunda.
"Bunda, ...bunda jangan marahi Faiz ya, kumohon. Ini salahku, semua salahku," kataku.
"Iya, bunda tak akan memarahi Faiz. Bunda janji," kata Bunda.
"Satu lagi bunda...aku...sedang mengandung anaknya," kataku.
"Apa??!" Bunda dan Bunda Laura terkejut.
"Kamu yakin itu anaknya?" tanya Bunda Laura.
"Iya..., ini anaknya. Sebulan ini aku hanya melakukan dengan dia saja," jawabku.
"Lalu kenapa kau tak bilang ke Faiz biar dia tidak pergi. Mungkin dia bisa memaafkanmu!" kata bunda.
"Dia tak akan memaafkanku bunda. Bagaimana mungkin ia akan terpengaruh kepada anak ini? Bunda lihat sendiri bagaimana dia marah bahkan aku mati pun dia tak akan peduli."
"Trus bagaimana sekarang?" tanya bunda.
"Aku tak tahu bunda. Yang jelas, aku tak ingin menggugurkannya. Aku ingin merawatnya sebagai kenang-kenangan dari Faiz. Aku akan menyayanginya Bunda. Bantulah Putri melahirkan anak ini bunda. Bunda bisa kan?" tanyaku.
Bunda lalu memelukku. "Putri...kamu adalah anak bunda. Bunda pasti akan meyayangimu, bunda akan lakukan apa saja untukmu."
Perasaanku sedikit tenang sekarang. Aku mengusap-usap perutku. Anakku...maafkan ibu ya nak. Seharusnya semuanya tidak seperti ini. Tapi kalau kamu lahir nanti jangan marah sama ayahmu ya, marahlah sama ibumu nak. Ibumu yang salah.
BAB XVII
Kembalilah Kepadaku
NARASI ISKHA
Mas Faiz, aku tak bisa melupakanmu mas. Sudah sebulan ini aku berada di kota Malang. Malang dan Jakarta. Jauh sekali. Walaupun aku ada rekomendasi pindah ke sekolah yang baru, tapi aku tak masuk ke sana. Aku masih shock. Aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Keluar rumah pun jarang. Ibu dan ayah dengan sangat terpaksa mencari penghasilan baru. Ibu masih bisa menjahit sedangkan ayah, tiba-tiba saja mendapatkan surat PHK. Itu sungguh menyakitkan. Ayah sekarang membenci keluarga Hendrajaya. Tapi satu yang beda adalah ayah tak membenci Mas Faiz. Sebab ayah tahu Mas Faiz tak salah.
Faiz. Nama itu terus ada di dalam hatiku. Demi melindungi keluargaku sekarang aku berada di sini. Semua kontak dengan teman-temanku pun hilang. Aku minta maaf kepada mereka. Tapi rasanya tidak cukup.
"Iskha, udah nak. Kamu nggak boleh terus-terusan seperti ini," kata ibu. "Tuh lihat, matamu sembab. Kamu sedih koq tiap hari sih? Keluar yuk? bantu ibu belanja."
Aku hanya mengangguk pelan.
"Ibu tahu perasaan kamu kepada Faiz. Dia emang cowok yang baik, tapi keluarganya tak setuju. Ya mau gimana lagi? Ayo dong jangan sedih," kata ibu.
"Mas Faiz sudah jadi hidupku ibu. Aku tak bisa melupakannya, sakit rasanya rindu ini," kataku.
"Ibu tahu perasaanmu, ibu juga pernah muda," kata ibu. "Ibu juga kangen ketika ayahmu pergi jadi masinis. Apalagi keretanya jarak jauh semua. Lebaran tambah dia nggak pulang. Kangen dong pasti."
Aku tersenyum.
"Nah, begitu tersenyum. Ibu suka kalau kamu tersenyum gitu. Anak ibu yang paling cantik ini," ibu memelukku. Emang pelukan ibu itu menentramkan.
"Ayo bu, Iskha bantu berbelanja," kataku. Sambil menggandeng ibu.
Setelah itu aku berbelanja dengan ibuku di pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Uang yang diberikan oleh Kak Putri itu lebih dari cukup. Gila apa 700 juta. Tapi ini terlalu banyak. Kami malah berminat untuk mengembalikannya setelah ayah punya pekerjaan baru nantinya. Sebab kami tak punya penghasilan apa-apa dan tiba-tiba sudah tinggal di rumah baru.
Tiap hari aku memainkan piano pemberian Mas Faiz. Benda inilah yang bisa mengingatkanku kepada Mas Faiz. Aku bermain piano sampai terkadang aku menangis. Aku hancur rasanya, tak adakah yang bisa mengerti betapa aku sangat merindukannya? Mas Faiz, apakah engkau dengar kata hatiku? Aku mencintaimu Mas, aku tak akan bisa melupakanmu. Selamanya.
Malam hari ada yang lain hari itu. Saat aku memainkan piano tiba-tiba pintu diketuk.
"Ibu, ada tamu tuh!" kataku.
Tapi ibu tak muncul juga, mungkin sedang sibuk di dapur.
"Bayu!?" panggilku.
"Aku sedang main game nih, ganggu aja!" kata adikku.
Aku pun bete. Aku beranjak dari kursiku. Melodi-melodiku tadi langsung buyar semua meninggalkan suara fals yang aku tekan di tuts piano. Aku heran juga jam sudah menunjukkan pukul 20.00 tapi koq ada ya yang bertamu malam-malam begini. Siapa sih? Padahal kami juga belum lama pindah, mungkin Pak RT atau tetangga sebelah.
Aku pun membuka pintu.
"Ya??..", mulutku tercekat seketika itu juga saat aku melihat siapa yang ada di depan pintu.
"Siapa Iskha?" suara ibuku datang dari dapur. Ia membawa spatula dan ketika tahu siapa yang ada di depan pintu ia menjatuhkan spatulanya.
"Iskha, kembalilah kepadaku!" kata orang itu. Itu...Mas Faiz. Mas Faiz?? Aku tak bermimpi kan?
"Mas Faiz?" kataku dengan bibir gemetar.
"TIdak mas, kenapa? Kenapa? Kenapa mas ke sini?"
"Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah pergi dari rumah, aku tak akan menempati lagi rumah keluarga Hendrajaya. Rumah petaka itu sudah aku tinggalkan. Aku ingin bersamamu. Kembalilah kepadaku Iskha, engkau adalah nyawaku. Engkau adalah hidupku. Setiap detak jantungku, setiap tarikan nafasku ada dirimu. Iskha...," kata-kata Mas Faiz itu sangat manis.
Mas Faiz kau pernah membuatku klepek-klepek. Tapi kenapa hari ini kau buat aku klepek-klepek lagi? Aku tak tahu bagaimana wajahku saat itu, senang, gembira, ingin histeris. Tapi, bagaimana dengan keluarganya kalau tahu dia ada di sini? Bagaimana dengan kak Putri?
"Kamu tak usah memikirkan Kak Putri. Ia tak akan berani lagi menyentuh kalian. Aku janjikan itu kepadamu," kata Mas Faiz.
"Mas Faiz,...aa...aku..," aku tiba-tiba tak tahu harus berkata apa-apa.
Mas Faiz segera memelukku, tak cuma itu ia langsung menciumku begitu saja. Seketika itu aku seperti seorang yang kehausan di padang Pasir tiba-tiba saja menemukan sebuah oase. Aku memang ingin dicium olehmu Mas. Ciumlah aku, ciumlah aku, lumat bibirku. Peluklah aku karena engkaulah obat ini, engkaulah pelepas dahaga ini. Mas Faiz. Ohhh...aku rindu...
Mas Faiz melepaskan ciumannya dan berkata, "Jangan pergi lagi dariku."
"Aku tak akan pergi lagi mas. Oh...Mas Faizku," aku memeluknya lagi.
****
NARASI FAIZ
Setelah menjemput dia dari Malang, Iskha kembali ke rumahnya yang dulu dan kembali sekolah ke sekolahnya yang dulu. Semuanya kembali seperti semula. Aku sudah tak peduli lagi kepada keluargaku. Aku benar-benar mengancam pihak sekolah kalau tidak menerima Iskha lagi sekolah di sana maka akan berurusan dengan diriku. Mereka pun akhirnya mengijinkannya. Iskha tentu saja gembira. Ia bisa berkumpul lagi dengan teman-temannya. Dengan Nailul, dengan Hani, dengan anggota bandnya lagi dengan semuanya.
Hubunganku dengan Iskha kembali lagi. Ia kembali lagi kepadaku. Sesuatu yang tak akan bisa dibeli dengan apapun. Hubunganku dengan Iskha tamba erat kali ini. Aku bahkan tak malu-malu lagi menunjukkan kemesraanku bersamanya dimanapun. Mencium pipinya sekarang sudah tak semalu dulu lagi.
Aku tinggal di sebuah rumah kost. Lagi-lagi Eriklah yang membantuku. Ia memang temanku yang setia kawan. Ia juga membantuku untuk menjual mobil Lotusku di internet. Dan hasil uangnya aku belikan sepeda motor, sebagian lagi aku tabung. Mobil Lotus termasuk mobil sport, jadi harga cukup mahal, apalagi setelah dimodif. Aku menjualnya seharga 800jt. Lumayan juga sih. Ada anak seorang konglomerat yang memang kepingin mobil itu. Okelah.
Tak hanya itu. Untuk mandiri aku bersedia bekerja di Kafe Brontoseno. Hal ini aku lakukan agar aku dan Iskha selalu bersama kemana-mana. Dan tentu saja Iskha sangat menyukainya. Dari anak seorang milyarder menjadi seorang pelayan. Rasanya tak begitu jelek, toh ini juga keinginanku. Semenjak aku kenal Iskha, aku lebih menyukai kesederhanaan. Bagiku bekerja seperti ini bisa melatihku lebih lagi untuk menjadi orang besar suatu saat nanti.
Malam itu aku bekerja seperti biasa. Aku mencatat pesanan pelanggan. Semenjak aku bekerja di sini pengunjungnya lumayan ramai. Terutama cewek-cewek. Aku tahu sih sebagian mereka ingin tahu bagaiman putra Hendrajaya bisa kerja di kafe ini. Terkadang mereka pun menggoda aku.
"Ada lagi yang dipesan?" tanyaku.
"Cukup saja mas," katanya.
Aku segera meninggalkan meja itu dan ke dapur. Teman-teman yang lain segera membuat pesanan itu. Iskha tampak bernyanyi seperti biasanya. Sambil sesekali melihatku yang bekerja keras. Aku sudah mulai terbiasa kerja seperti ini, nggak jelek juga sih. Walaupun gajinya tak seberapa, paling tidak itu bisa membantuku survive.
Seorang lelaki dengan setelah hitam dan jas masuk ke kafe. Seketika aku kenal siapa dia. Dia ayahku. Aku tahu kenapa ia ada di sini. Ia ingin menemuiku. Ayahku menatapku dari jauh. Dia melambai ke arahku. Aku segera datang kepadanya. Semua orang melirik ke arahku, karena tahu ada Doni Hendrajaya di kafe ini.
"Duduklah!" perintah ayahku.
"Mau pesan apa?" tanyaku.
"Seperti itukah kamu bicara dengan ayahmu, duduklah!" katanya.
"Kalau kau mengambil jam kerjaku maka aku tak bisa melakukannya. Kalau kau ingin bicara maka tunggu aku selesai bekerja," jawabku.
"Kubilang duduk!" kata ayahku dengan suara datar dan sedikit meninggi.
Aku pun duduk.
Ayah menghela nafas. Ia mengambil rokok disakunya dan mulai menyalakannya. Dia tak bicara hanya menatapku.
"Ayolah, aku tak ada waktu untuk menemani ayah di sini," kataku.
"Aku kecewa, tapi juga menyesal," kata ayah. "Kau tak perlu memikirkan tentang pekerjaanmu. AKu bisa saja kataka kepada Pak Liem agar memecatmu, tapi aku tak melakukannya. Aku kecewa karena kau membuat ibumu bersedih. Juga membuat Putri bersedih. Aku sudah tahu semuanya. Dan aku menyesal, menyesal tak memberitahukan hal ini kepadamu."
"Ayah ingin apa sekarang?" tanyaku.
"Aku ingin kau kembali," jawabnya.
"Aku sudah bilang tidak mau," kataku.
"Faiz, dari semua anak-anakku kaulah yang paling aku sayangi. Ketahuilah itu," jelasnya. "Dan aku akan melakukan apa saja untuk membuatmu kembali."
"Ayah tak akan bisa, tekadku sudah bulat. Aku sudah tak akan kembali ke keluarga Hendrajaya dan jangan memaksaku."
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Bekerja seperti ini? Sedangkan masa depanmu cerah ketika di keluarga ini? Mendapatkan harta, kedudukan semuanya??"
"Aku sudah membulatkan tekad. Ayah tak akan bisa memaksaku."
Ayah menghisap rokoknya dalam-dalam. Setelah itu ia matikan di asbak yang tersedia di meja. "Tak ada kandidat yang pantas menggantikanku kecuali kau. Aku yakin kau akan kembali. Kalau kamu pulang dan benci dengan putri, tak usah khawatir. Putri sudah pergi dari rumah atas inisiatifnya sendiri. Dia sangat menyesal, mungkin seumur hidupnya akan penuh dengan penyesalan. Perusahaan ini adalah milikmu. Kalau aku tiada nanti, engkaulah yang akan menjalankannya. Kau cerdas, kau sangat berbakat dalam bidang bisnis. Dan keputusanku tidak bisa diubah."
Ayah berdiri. Aku juga. Tinggi kami sama, menurut orang di antara anak-anaknya akulah yang paling mirip. Dia menepuk pundakku. Sebelum pergi.
"Hari ini aku sudah memaafkanmu terhadap apa yang kau lakukan kepada bunda-bundamu. Mereka juga sudah memaafkanmu. Aku sudah tahu semuanya. Kalau kamu kembali, kami akan dengan senang hati menyambutmu," kata ayahku. Di pergi begitu saja. Meninggalkan aku sendiri.
Aku menoleh ke arah Iskha. Aku tak tahu kalau semua orang melihatku sekarang ini. Aku kembali ke tempatku dan melanjutkan pekerjaanku. Biarpun ayah berkata demikian. Aku tetap pada pendirianku, tak akan kembali ke sana.
BAB XVIII
Enough
NARASI VIRA
Aku sudah lulus sekarang. Dan aku kuliah ngambil jurusan D2 sekretaris. Memang aku ingin cepat kerja. Nggak mau lama-lama kuliah. Aku sudah mulai sedikit demi sedikit melupakan Faiz. Walaupun begitu, kalau saja ia saat ini ada di depanku aku pasti akan memeluknya, karena rasa cintaku kepadanya masih besar. Dan memory tentang dirinya akan tetap ada pada diriku.
Permasalahannya sekarang ada Pandu. Dia tetap menganggapku sebagai kekasihnya. Aku kasihan juga melihat dirinya mendapatkan senyuman palsuku, cinta palsu. Semuanya palsu. Mungkin dari semua orang dialah yang paling harus dikasihani. Aku yang tidak mencintainya, sakit yang dideritanya, semuanya tak mengenakkan bagi dia. Hari ini seperti biasanya, aku mendorong kursi rodanya semenjak ia tak bisa berjalan kurang lebih setahun lalu. Setiap sore aku mendorongnya, mengajaknya jalan-jalan. Hal itu bisa membuat Pandu sedikit terobati. Benar kata orang-orang aku adalah nyawa Pandu. Karena itu aku tak bisa meninggalkannya.
"Bagaimana kabarmu hari ini?" tanyaku sambil mendorongnya.
"Suntuk. Faiz sudah nggak ada di rumah lagi," jawab Pandu.
"Lho? Kenapa? Kemana?" aku baru tahu ini.
"Ceritanya panjang, tapi sebaiknya tak kuceritakan. Ia terlibat cekcok dengan keluarga kami. Dan, ia sudah tak mau lagi tinggal di rumah."
"Trus?"
"Ya begitulah, aku sendirian bersama ayah, Bunda, Icha dan Rendi. Bonus para pembantu dan sekuriti."
"Kemana Faiz sekarang?"
"Nggak tahu, dia nggak ngasih kabar. Ponselnya dibuang. Ia sudah ganti nomor, jadi aku tak bisa menghubunginya."
Aku merenung. Kenapa sampai Faiz seperti itu? Apa yang membuat ia seperti itu? Aku tak pernah melihat Faiz semarah ini kepada keluarganya.
"Nggak usah mengkhawatirkan Faiz, dia bisa menjaga dirinya. Sudah ada Iskha. Kamu nggak perlu khawatir."
Justru aku khawatir Pandu. Dia bersama Iskha. Dia pasti sudah melupakanku sekarang. Faiz, apakah dia melupakanku? Aku masih ingat bagaimana rasa bibirnya. First kiss itu tak akan pernah aku lupakan. Ah, lagi-lagi aku teringat dia. Aku hanya tersenyum saja biar Pandu tak bisa membaca pikiranku.
"Berhenti sebentar Vir, aku mau ngomong sesuatu," kata Pandu.
"Iya?" aku pun menghentikan mendorong kursi rodanya.
"Aku hari ini ingin mencukupkan diriku," katanya.
"Maksudnya?"
"Sebenarnya aku sangat bersalah kepadamu, kepada Faiz, kepada kalian berdua."
Apa sih maksud Pandu?
"Tapi aku ingin kamu jangan pergi dariku. Kumohon, sekalipun kamu tak mencintaiku tapi jangan pergi dariku."
"Apa sih? Aku akan tetap di sini aku mencin...."
"Sudah! Jangan ucapkan kata cinta kepadaku. Cukup! Aku tahu semuanya. Sebenarnya apa yang kalian bicarakan di luar ruang UKS aku mendengar semuanya. Semua sentuhan ini, semua perhatianmu, ini semua bukan cinta. Tapi rasa kasihan. Aku tak butuh perasaan itu Vir, aku tak butuh dikasihani. Kalau kamu cinta ama Faiz, bilang saja. Aku tak akan marah karena memang itu adalah pilihanmu. Aku tahu Faiz mengalah agar kau bisa bersamaku. Tapi itu sama saja membohongi perasaanmu. Aku tak bisa Vira, aku tak bisa menerima rasa iba dan kasihanmu itu."
Aku kaget karena Pandu tahu semuanya. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku membuang mukaku ke arah lain. Tiba-tiba mataku berkaca-kaca.
"Aku tahu perasaanmu, aku minta maaf. Tak perlu lagi kau tunjukkan cintamu kepadamu. Karena aku tahu itu semua palsu. Tapi berjanjilah dampingilah aku sampai akhir hidupku. Aku tak tahu kapan penyakit ini akan menggerogotiku. Aku sudah pasrah Vir. Aku pasrah akan kehidupanku. Tak ada lagi Faiz di rumah. Kami selalu bermain bersama, saling menyayangi tapi sekarang sudah tak ada lagi. Kaulah satu-satunya yang membuatku hidup. Vira..."
Aku langsung berada di depan Pandu. Aku pun mencium bibirnya. Aku tak sanggup lagi mendengarnya bicara. Itu semua adalah perasaannya selama ini. Ia kasihan kepadaku, ia minta maaf kepadaku. Kalau dia jujur dari dulu mungkin aku dan Faiz akan tetap bersama sampai sekarang. Aku berikan ciumanku kepadanya sekarang. Setelah memberikannya aku menunduk.
"Buat apa itu tadi?" tanya Pandu.
"Anggap itu hadiah dari aku," jawabku. "Aku memang mencintai Faiz sejak dulu. Tapi, aku sudah berjanji untuk menjagamu. Aku akan menjagamu karena ini janjiku kepada Faiz."
"Vira....hikss...!" Pandu tiba-tiba menangis. "Maafkan aku, seharusnya aku tak melakukan ini. Seharusnya aku tak mengambil kesempatan ini. Seharusnya kau dan Faiz bisa bersama. Kalau saja ini aku lakukan, dia tak akan pergi sekarang."
Pandu menangis dan memelukku. Ada sebuah rasa penyesalan yang mendalam padanya. Pandu, aku berjanji akan menjagamu sampai akhir nanti. Demi janjiku kepada Faiz. Demi janjiku kepada orang yang aku cintai.
****
NARASI ISKHA
Aku tak sengaja berada di taman ini. Dan aku tak sengaja bertemu dengan Vira dan Pandu. Kata-kata mereka, pembicaraan mereka. Langsung menyentuhku. Mereka tak tahu kalau aku sedari tadi berada di balik pohon. Dekat sekali dengan mereka. Mbak Vira masih mencintai Faiz sampai sekarang. Tidak, aku tak boleh mengalah. Aku akan memperjuangkan Mas Faiz. Dia milikku sekarang. Mbak Vira nggak boleh merebutnya dariku. Tapi...apakah Mas Faiz akan bertahan denganku, sedangkan mbak Vira adalah cinta pertamanya?
Setelah mereka pergi, aku pun segera pulang.
Hari-hariku berikutnya sungguh sedikit murung. Tentu saja percakapan Mbak Vira dan Mas Pandu kemarin itu membuatku galau. Benar sekali kalau misalnya mas Faiz tak mengalah, ia tak akan bertemu denganku. Ia tak akan mungkin pergi dari rumah. Dan semua ini tak perlu terjadi.
Aku sebenarnya akan berangkat ke Kafe sore itu. Tapi dijemput oleh Mas Faiz. Aku menunggu di luar. Hujan turun. Wah, alamat kehujanan nih, pikirku. Aku pun mempersiapkan mantel hujan, sebentar lagi pasti Mas Faiz akan datang. Tapi ada mobil sedan berwarna hitam yang baru saja berhenti dan terparkir di luar sana. Aku mengerutkan dahi. Siapa dia?
Sang Sopir keluar dari mobil sambil membawa payung besar berwarna hitam. Kemudian dia membuka pintu bagian belakang mobil sedan itu. Aku terkejut. Orang ini pak Hendrajaya. Dia memakai kacamata hitam memakai kemeja biru, dasi abu-abu dan jas berwarna hitam. Dia berjalan ke arah rumah kami. Melihatku ada di serambi dia pun segera masuk. Dibukanya pagar dan anak buahnya kerepotan berusaha agar bosnya tidak terkena hujan dengan payungnya.
"Sore?!" sapanya.
Aku terbata-bata, "Sss..sore...pak."
Kenapa ayahnya Mas Faiz sampai menemuiku? Dia segera berteduh di dalam teras.
"Sss..silakan duduk...pp..pak!" kataku.
"Terima kasih," kataya. Ia segera mengambil tempat duduk.
"Mau mm...minum apa?" tanyaku.
"Tak perlu repot-repot, aku hanya ingin ngobrol saja," jawabnya.
Aku pun ikut duduk. Sementara itu aku mengamati anak buahnya masih berdiri saja sambil stand by membawa payung. Aku jadi canggung sendiri, padahal ini rumahku. Nggak biasanya orang sekaya beliau datang ke rumahku seperti ini.
"Aku minta maaf dengan sangat, kepadamu dan juga kepada seluruh keluargamu. Yang dilakukan oleh putriku memang hal yang bodoh. Maafkan kami!" pak Hendrajaya menunduk hormat.
"Saya sudah memaafkan koq pak. Sungguh, saya sudah memaafkan," kataku.
"Saya yakin kamu orang yang baik. Faiz memilihmu bukan tanpa sebab. Dia sudah dewasa dan dia tahu siapa wanita yang pantas untuknya. Aku tak bisa membujuknya untuk pulang, aku mohon kepadamu agar bisa membujuknya untuk pulang. Ibunya, Pandu, dan adik-adiknya membutuhkan dia sekarang. Rumah kami terasa sepi tanpa kehadirannya. Aku akan berikan apapun untuk itu," katanya.
"Tapi Pak, saya juga tak bisa melakukannya," kataku.
"Aku tahu, ini sangat sulit. Faiz memang begitu kalau sedang marah. Dia tak bisa berfikir jernih. Tapi aku selalu berfikir positif, dia bisa jadi anak yang baik dengan mengenalmu. Aku bisa melihatnya sekarang. Tapi tolonglah bujuk dia untuk bisa pulang," ujarnya.
Aku termenung sekarang. Aku tak tahu harus bicara apa. Membujuk Mas Faiz untuk pulang itu berat.
"Iskha, kalau misalnya kamu tidak keberatan lakukanlah. Aku Doni Hendrajaya tak pernah memohon kepada orang lain. Baru kali ini aku memohon."
"Aku akan berusaha sebaik-baiknya Pak, tapi aku tak bisa janji."
Pak Hendrajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia menutup mukanya, mengusap wajahnya. Beliau kemudian berdiri lagi.
"Sampaikan permintaan maafku kepada kedua orang tuamu. Aku sebagai orang tua juga malu, terima kasih dan...jagalah Faiz, kalau kamu sampai menyakitinya aku tak akan memaafkanmu," katanya sambil tersenyum.
Entah kenapa aku juga tersenyum. Senyumannya sangat tulus. "Iya, Pak. Terima kasih. Aku akan berusaha membujuk Mas Faiz agar pulang."
Lagi-lagi Pak Hendrajaya tersenyum. Dia kemudian berjalan lagi meninggalkan rumah kami. Hujan masih mengguyurnya dan anak buahnya lagi-lagi disibukkan melindungi sang majikan dari hujan. Aku hanya bisa melihat mereka pergi dengan mobilnya setelah itu. Pak Hendrajaya menyerahkan Faiz kepadaku. Ohh..aku bahagia sekali. Tak berapa lama kemudian Faiz datang dengan motornya. Tampak ia memakai mantel hujan.
Mas Faiz memberi aba-aba kepadaku. Aku melambaikan tangan. Segera aku memakai mantel hujanku, gitarku pun aku lindungi pakai plastik agar tak basah. Ada pelindung khusus sih, seperti sebuah mantel hujan gitu. Setelah itu aku segera naik ke sadel belakang. Kami pun melaju kencang di atas aspal setelah itu.
***
NARASI VIRA
Faiz katanya kerja di Kafe Brontoseno. Aku penasaran, bagaimana keadaan dia sekarang. Malam itu pun aku beranikan diri untuk bisa menemuinya. Hujan makin deras saja saat mobil taksi berhenti di depan kafe itu. Kulihat pengunjungnya juga nggak begitu banyak, mungkin karena hujan. Berita-berita di tabloid sendiri agaknya lebay memberitakan anak keluarga Hendrajaya jadi pelayan kafe dengan judul "PUTRA MAHKOTA HENDRAJAYA MEMISAHKAN DIRI DARI KERAJAAN: Kemungkinan besar cintanya tak direstui sang ayah". Padahal aku yakin dia tak pernah diwawancarai.
Aku keluar dengan berhujan-hujan dan segera masuk ke sana. Ruangan kafe lumayan besar. Aku pun mengambil tempat duduk di dekat kaca biar bisa menikmati pemandangan hujan dari jauh. Lantunan musik mengalun dari musisi lokal. Oh, itu Iskha dia sedang bernyanyi dan memainkan gitarnya bersama teman-temannya. Pintar main musik, aku jadi iri. Ia all out. Seperti seorang musisi ternama.
Seorang pelayan menghampiriku. Dia ...Faiz???
"Sendirian?" tanyanya.
"I..iya," jawabku.
"Mau minum apa?" tanyanya.
"Yang anget-anget aja deh."
"Hmm..pilih dong ini ada daftar menunya kan?"
"Cappucino boleh."
"Oke, ada lagi?"
"Itu aja dulu."
"Segera hadir."
Faiz berjalan ke dapur. Ada yang beda dari dia. Dia lebih bersemangat. Lebih apa ya....hmmm...lebih seperti seorang laki-laki. Ah dia kan emang laki-laki. Beda pokoknya. Kalau dulu mungkin dia dimanja oleh keluarganya, tapi sekarang ia berusaha untuk bisa mandiri. Aku tak pernah dilayani oleh Faiz seperti ini. Hihihi.
Sambil menikmati musik. Aku menatap Iskha. Dia selesai satu lagu. Ketika mata kami beradu. Dia mengangguk kepadaku. Aku membalas senyumannya. Aku jarang bicara dengan dia. Tak pernah mungkin. Tapi kami mencintai orang yang sama. Apakah aku sudah terlambat untuk mencintai Faiz sekarang? Pasti sudah terlambat.
Faiz pun datang dengan nampan berisi secangkir Cappucino. "Ini dia pesanannya."
"Makasih," kataku. "Bisa temenin aku sebentar?"
Faiz lalu duduk di depanku. "Yap? Ada apa?"
"Kamu sudah banyak berubah ya?"
"Ah, biasa saja deh. Ada sesuatu yang penting kah?"
Aku mengangguk.
"Katakan saja!" katanya.
"Aku masih mencintaimu, Faiz," bisikku. Aku tak ingin kata-kataku didengar oleh Iskha dan orang lain.
Wajah Faiz berubah. Yang tadinya tersenyum sekarang datar.
"Maafkan aku, tapi aku tak bisa menyimpan ini. Pandu juga sudah tahu. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Bagaimana dia bisa tahu?"
"Dia...dia sebenarnya mendengar semuanya di UKS itu...dia dengar semuanya...hiks," aku tiba-tiba saja menangis. "Faiz.... aku masih mencintaimu. Dia bahkan tak ingin aku menunjukkan cinta palsuku kepadanya. Faiz...apa yang harus aku lakukan?"
Aku tak mampu membendung air mataku. Air mata itu pun turun menetes di punggung tanganku. Faiz terdiam. Aku tahu ia sekarang sedang galau mendengar curhatku. Apakah ia masih mencintaiku?
"Kau masih mencintaiku? Kamu masih mencintaiku bukan?" tanyaku.
Dia tak menjawab. Aku tak sanggup lagi. Aku pun segera beranjak. Aku menaruh uang lima puluh ribu rupiah di atas meja kemudian segera keluar dari kafe itu. Aku tak sanggup lagi menahan kesedihan ini.
"Vir, Vira tunggu!" panggil Faiz. Aku tak peduli aku keluar dari Kafe. Hujan langsung mengguyurku.
Faiz mengejarku. Ia ada di belakangku berusaha meraihku dan aku berbalik.
"Kenapa mengejarku? Kau sudah punya Iskha. Memang nasibku sudah seperti ini. Aku harusnya yang mencintaimu bukan dia. Aku yang harunya bersama denganmu bukan dia. Aku hanya ingin kau bersamaku Faiz. Lihatlah, aku sampai sekarang masih memenuhi janjiku untuk merawat Pandu. Itu semua karena engkau. Pergilah Faiz, temani Iskha. Dia orang yang tepat untukmu. Maafkan aku yang hanya menjadi fatamorgana bagimu," kataku.
Dari belakangnya tampak Iskha menyusul Faiz. Ia seakan tak mau kehilangan Faiz. Tapi langkahnya terhenti ketika melihatku. Aku berbalik dan menangis dengan guyuran air hujan di malam ini aku pun berjalan pulang ke rumah. Faiz....aku mencintaimu.....
BAB XIX
This is (Not) A Good Bye
NARASI ISKHA
Aku tak menyangka Mbak Vira masih mencintai Mas Faiz. Dari cerita yang dia sampaikan. Aku jadi serba salah sekarang. Seharusnya mereka bisa bersama. Aku hanya sebagai penghalang saja rasanya. Mas Faiz akhir-akhir ini diam. Apakah dia juga galau? Aku tak mau mengganggunya. Mungkin beban dia sekarang terlalu banyak. Apalagi sebentar lagi Ujian Akhir. Dia pasti sedang konsentrasi belajar.
Aku sudah membujuk dia untuk pulang ke rumahnya, tapi pendiriannya tetap keras. Ia tak mau. Dia bahkan tak sudi lagi membicarakan keluarganya sendiri. Aku tahu bagaimana perasaannya terhadap keluraganya sekarang ini. Itu sudah cukup bagiku sebagai bukti kalau dia sangat mencintaiku. Aku tidak sensitif, minder. Iya, khususnya kepada Mbak Vira dan Faiz. Sudah jelas mereka berdua masih saling mencintai. Aku seperti berada di tengah-tengah mereka. Aku seperti jurang pemisah hubungan mereka.
Mas Faiz diam lagi ketika hari ini menjemputku. Biasanya ia banyak bicara. Apa yang sebenarnya terjadi kepadanya? Aku pun makin galau. Takut kalau ia kembali ke Vira. Takut kalau ia ingin meninggalkanku. Ketika aku diboncengnya kudekap erat dirinya. Mas Faiz, aku tak ingin kamu pergi.
Kami sampai lagi di kafe. Setelah memarkir sepeda motor kami masuk. Teman-teman bandku sudah menunggu. Aku menyapa mereka dan sedikit ngobrol sebelum memulai bermain musik. Mas Faiz bekerja lagi. Ia memang mengambil waktu kerjanya hanya untuk menjemputku setiap hari. Ini pun sudah membuatku senang. Tapi nggak enak juga kalau tiap hari seperti ini. Tapi dia memaksa. Aku tak bisa apa-apa. Mas Faiz langsung menuju ke meja yang ada pelanggannya. Mencatat pesanan dan segera mengantarnya. Mungkin kafe ini tambah banyak pengunjungnya karena ada orang seterkenal Mas Faiz kerja di sini. Tak biasa memang anak konglomerat yang harusnya hidup enak, mewah malah memilih jalan seperti ini. Dan itu semua demi aku.
Malam itu ada yang beda. Mas Faiz ingin bernyanyi.
"Emang bisa mas?" tanyaku.
"Aku gini-gini belajar juga lho. Sudah sebulan. Moga aja kamu suka," katanya.
"Jadi ini...."
"Ini aku persembahkan untukmu. Moga aja manajer nggak marah aku ngisi lagu," katanya.
Aku sedikit tertawa.
"Ayo Mas Faiz, kamu bisa," tampak Hani berseru kepadanya.
Dan dia pun mulai memainkan keyboard. Dia mengubahnya menjadi piano. Awalnya fals. Tapi ia kemudian minta waktu sebentar untuk menandai tuts keyboard itu. Lalu ia mulai lagi. Lagu ini...dia bisa memainkan piano walaupun tangannya tak luwes. Dan ia mulai bernyanyi....Eh...lagu Jepang???
Takaku dono kurai tonde ittara
Haruka tooku no kimi ga mienaku naru no?
Hitomi soraseba raku ni naru no kamo shirenai
Demo itsumo dokoka de mitsumete itai
Wasureru koto nante deki wa shinai kara
Nasu sube mo naku, sora wo miageteru dake.
Maru de kago no naka no chiisana tori no you ni
Mado wo sagashite atemo naku, samayotte iru.
Ima sugu ni aitai kimi ga suki dakara
Kizutsuku koto ga kowakute nigetai kedo
Mienai shigarami ni tsubasa torawaretemo
Soredemo kimi wa kanashii hodo taisetsu na hito.
*** arti bhs Inggris ***
How high would I have to fly
To lose sight of you, so far away?
If I turn my eyes away, I might feel better.
But I want to always be looking at you from somewhere.
Because there's no way I could forget you.
At my wits' end, I simply keep staring up at the sky.
It's almost as if I were like a small bird inside a cage,
Searching for the window, aimlessly wandering around.
I want to see you right away, because I love you,
Even though I want to run away because I'm scared of being hurt.
If this unseen barrier around me should tear away my wings,
Still, you are so precious to me that it makes me sad.
[catatan: Ini lagu berjudul Cage Bird, OSt DN Angel.
Link Downloadnya silakan ke sini: http://66.90.91.26:777/ost/d.n.angel...caged-bird.mp3
Anggap aja itu yang nyanyi suaranya Faiz, kaya'nya pas deh.
]
Entah kenapa air mataku jatuh. Alunan musiknya...itu...membuatku menangis. Sepertinya ia ingin berpisah dariku. Mas Faiz...bicaralah kepadaku. APa yang ingin mas sampaikan???
Setelah itu disambut tepuk tangan oleh semua orang. Ia lalu menghampiriku yang menangis. Dia menghapus air mataku.
"Mas...mas ingin pergi?" tanyaku.
"Aku ingin kuliah di Havard. Aku dapat beasiswa kuliah di sana. Aku berat ingin menyampaikan ini kepadamu. Maka dari itulah aku diam. Aku persembahkan lagu ini untukmu, agar kau ingat kepadaku. Setelah ujian nanti aku akan pergi ke sana. Aku takut menyampaikan ini kamu jadi sedih," katanya.
Aku memeluknya. "Mas Faiz, katanya mas Faiz akan menemaniku terus. Kenapa Mas Faiz harus pergi?"
"Ini bukan perpisahan Iskha, aku pergi untuk kembali. Aku pasti kembali...," katanya.
Aku menangis di dalam pelukannya. Tak hanya itu aku mendekapnya lebih erat dari biasanya. Ia mungkin tahu perasaanku sekarang ini. Ia mengusap-usap rambutku. Ternyata ini yang membuat dia diam. Ia ingin belajar ke luar negeri. Mendapatkan beasiswa di Havard bukanlah hal yang mudah. Mas Faiz pasti belajar dengan keras untuk sampai seperti itu. Terus terang, aku terlalu berburuk sangka kepadanya. Ia masih mencintaiku.
"Janji mas tak akan melupakanku!" kataku.
"Aku janji, aku akan isi ponselku dengan lagu-lagumu. Agar aku ingat terus kepadamu," katanya.
***
Setelah ujian akhir nasional dan kelulusan. Hari itu pun tiba. Aku mengantar Mas Faiz ke bandara. Tak ada anggota keluarganya yang mengantar. Ia memang tak memberi kabar kepada mereka semua. Mas Faiz sudah bertekad untuk menempuh jalan hidupnya sendiri. Yang turut mengantarnya adalah aku, Erik temannya Mas Faiz dan Hani.
"Baik-baik di sana Bro, jaga diri. Moga sukses," kata Erik.
"Makasih Rik, lo emang sahabat gue yang paling baik," kata Mas Faiz. Mereka saling bersalaman dan berpelukan.
"Hati-hati ya mas," kata Hani.
"Jaga Iskha ya?!" katanya.
"Pasti, Mas sudah kuanggap sebagai kakakku," kata Hani.
Dia lalu berdiri di hadapanku. Dia menempelkan keningnya ke keningku. Hidung kami bertemu.
"Mas Faiz, aku akan sangat kangen sama mas," kataku.
"Harus dong, kamu kan pacarku," katanya menggodaku.
"Ihhh...malah digoda," gerutuku. "Serius nih."
Ia ketawa, "Iya, aku tahu. Sudah ya? Kalau lama-lama di sini aku nggak jadi berangkat."
"Bentar mas, yang lama," kataku manja.
Kalau bisa sih, adegan di film AADC ada juga dong. Cium aku mas. Cium...tak perlu dikomando sih, dia sudah menempelkan bibirnya ke bibirku. Kami berciuman. Sangat dalam. Mas Faiz menghisap bibirku. Seolah-olah ingin merasakan ciumanku untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu ia mengusap pipiku.
"Jaga diri baik-baik. Aku akan segera kembali. Sering kontak-kontak saja, toh kamu sudah tahu emailku," katanya. "Sampai nanti."
Aku mengangguk. Mas Faiz kemudian menggeret kopornya. Aku mematung. Hanya melihat punggungnya makin menjauh. Bahuku kemudian disenggol Hani.
"Mbak, katakan sesuatu kek, apa gitu. Sebelum ia masuk terminal!" katanya.
AKu pun tersadar. Aku segera berlari ke arahnya.
"Mas Faiiizzz! Aku akan menunggumu. Aku akan menunggumu! Berjanjilah! Kalau kamu pulang dari Amerika nikahi aku! Nikahi aku maas! I LOVE YOU!" teriakku.
Ia melambaikan tangannya kepadaku. Dan kami pun berpisah untuk waktu yang lama.
BAB XX
Rindu
NARASI ISKHA
Sudah tiga tahun ini Mas Faiz pergi keluar negeri. Ayahnya beberapa kali menemuiku. Aku menceritakan kalau Faiz sekarang berada di Havard atas usaha dan kerja kerasnya sendiri. Dia sangat bangga sekali. Terus terang hubunganku dengan ayahnya sangat dekat sekarang. Dia sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Ayahku pun mulai menjalin hubungan baik dengan Pak Hendrajaya. Kadang Pak Hendrajaya datang hanya untuk sekedar mampir minum. Beliau juga menawarkan diriku untuk membiayai kuliahku, tapi aku tolak. Bahkan uang 700 juta pemberian Kak Putri dulu aku kembalikan ke beliau. Tapi kata beliau itu untukku saja.
Karena aku juga menolak, akhirnya beliau berikan uang itu untuk orang-orang yang membutuhkan. Beliau pun menawarkan diri untuk menjadi orang tua asuhku. Bahkan karena saking terlalu baik, beliau tiba-tiba memberikanku kebebasan biaya kuliah. Padahal sudah mati-matian aku tolak. Aku hanya bisa menerima.
Di sini aku makin dekat dengan keluarga Hendrajaya. Aku pun terkadang pergi ke rumah mereka. Karena memang diminta Pak Hendrajaya untuk datang. Kadang diundang makan malam. Aku sekeluarga diundang makan malam.
"Oh ini Iskha ya??" sapa Bu Hendrajaya, suaminya Pak Hendrajaya. "Masuk nak!"
Aku hari itu memakai baju terbaik sih menurutku, gaun panjang berwarna gelap. Aku sebenarnya nggak suka pakai gaun. Aku cenderung tomboy. Menurutku celana panjang itu lebih aku sukai daripada rok ataupun gaun. Ayah dan ibuku menyalami Bu Hendrajaya dan juga suaminya. Aku melihat adik-adiknya Faiz di sana. Ada Icha dan Rendi. Di meja makan sudah menunggu dua orang. Ada Pandu dan Mbak Vira di sana.
"Silakan, silakan duduk!" perintah Pak Hendrajaya.
Kami pun segera duduk. Kami pun kemudian bicara banyak hal. Pak Hendrajaya orangnya ramah. Ayah dan ibuku senang bicara dengannya. Mas Pandu dan Mbak Vira hanya diam saja. Acara ramah tamah itu berlangsung agak kaku sebenarnya, tapi Pak Hendrajaya selalu memancing untuk bicara sehingga keadaannya sedikit lumer. Ada yang aneh sebenarnya, aku tak melihat Kak Putri. Di mana dia sekarang? Apa ia sudah tak tinggal di rumah ini lagi?
"Bagaimana kuliahmu Iskha?" tanya Pak Hendrajaya.
"Baik saja Pak, sudah mulai semester lima, semoga aja tepat waktu lulusnya," jawabku.
"Bagus itu, harus semangat. Jangan sia-siakan kesempatan ini," katanya.
"Bagaimana hubunganmu ama Faiz?" tanya istrinya.
"Kami masih sering kontak lewat email dan chatting," jawabku.
"Oh begitu, bagaimana kabar dia sekarang?" tanya Bu Hendrajaya.
"Baik bu, aku lihat dia sekarang agak gemukan. Katanya terlalu banyak protein, kepengen diet," jawabku.
"Oh ya? Hahaha. Ada foto terbarunya? Ibu ingin lihat," katanya.
Aku mengeluarkan ponselku. Kubuka gambar foto dia yang sedang bergaya di depan Havard. Kemudian kuserahkan ponselku kepada beliau. Bu Hendrajaya tampak terharu.
"Oh...Faiz," beliau mengusap-usap ponselku. Tampak kerinduan terpancar dari ibunya Mas Faiz ini. Mas Faiz benar-benar total tidak menghubungi keluarganya, putus hubungan. Dan akulah yang jadi perantara mereka. Mungkin karena itulah mereka sangat baik kepadaku. Seolah-olah aku adalah aset utama mereka.
"Kudengar kamu bikin album Iskha?" celetuk Mbak Vira.
"I..iya mbak," jawabku.
"Hmm...kapan terbitnya?" tanyanya.
"Secepatnya, sudah produksi, sudah rekaman koq,"jawabku.
"Wah, hebat yah," kata Bu Hendrajaya.
"Yah, mau gimana lagi. Sudah hobinya sejak kecil bermain musik," kata ayahku.
"Harus didukung itu. Bukan begitu?" kata Pak Hendrajaya.
Setelah itu acara dilanjut dengan makan malam, karena hidangan sudah disiapkan oleh para pelayan. Entah berapa pelayan yang dipunyai oleh Pak Hendrajaya ini. Mereka semuanya profesional. Masakannya enak-enak. Mas Pandu tampak dilayani oleh Mbak Vira. Dan terkadang disuapinya karena tangan Mas Pandu gemetar. Ia sepertinya sudah tak bisa lagi memegang sendok. Dengan telaten aku perhatikan Mbak Vira menyuapi Mas Pandu. Aku pun merasa iba kepada mereka.
Setelah makan malam itu aku pulang bersama keluargaku. Paling tidak malam itu Pak Hendrajaya menyambut baik kami. Keluarga mereka sangat merestui hubunganku dengan Mas Faiz. Wajah ibunya tentu saja sangat gembira melihat foto-foto anaknya itu. Aku masih penasaran di mana Mbak Putri? Walaupun memang perlakuannya tak bisa dimaafkan, tapi aku merasa kasihan kepadanya. Dia pasti sangat mencintai Mas Faiz.
NARASI VIRA
Aku menemui Iskha di kafe. Akhir-akhir ini aku dekat dengan dirinya. Kami juga jadi teman akrab sekarang. Sering curhat, sering berbagi perasaan. Iskha orangnya ramah, baik. Aku jadi iri dengannya. Dia orangnya rendah hati. Pantaslah Faiz nggak mau pisah dengan dia. Dia menurutku penyempurna hidup Faiz.
Albumnya sudah terbit dan isinya tentang cinta dan kerinduan. Apakah ini curahan hatinya? Dia bersolo karier. Walaupun kegiatannya dengan kelompok bandnya The Zombie Girls masih aktif tapi dia mencoba solo karier. Tak usah ditanya. Albumnya baru dua bulan sudah terjual 1 jt kopi. Rekor memang. Lagunya bagus-bagus. Aku bahkan menyimpan mp3nya.
Dia sekarang banyak manggung seminggu sekali. Kadang juga diundang di acara tv. Menemui dia di kafe seperti biasanya dengan anggota bandnya pun adalah hal yang sangat langka. Dia sudah jadi artis sekarang. Diwawancarai wartawan, dikuntit bahkan kehidupannya dengan Faiz pun mulai dibongkar.
"Hai Mbak?!" sapanya.
"Hai, masih ngisi di kafe aja? Kan kamu sudah banyak job sekarang," kataku.
"Aku memang berinisiatif koq mbak. Lagian, aku menawarkan diri. Kafe ini, adalah kafe kenanganku. Aku udah minta ama Direkturnya untuk mengijinkan aku mengisi di sini kapan pun aku mau. Mereka sangat senang. Aku bahkan tak ingin minta honor yang muluk, nggak dibayar pun aku mau."
"Oh begitu, wah. Aku jadi temannya artis nih, boleh minta tanda tangannya," candaku.
"Ah, mbak ini. Biasa ajalah!" katanya. "Kalau mau tanda tangan sini tangannya aku corat-coret!"
"Enak aja," kami pun tertawa lepas.
Aku banyak ngobrol dengan Iskha. Tapi satu hal yang kami selalu hindari dari setiap pembicaraan adalah tentang Faiz. Rasanya ia tak mau membicarakannya. Dan aku juga demikian.
"Gimana Mas Pandu mbak?" tanyanya.
"Dia....sudah tak bisa menggerakkan tangannya. Awalnya ia tak bisa menulis, membuat garis lurus saja nggak bisa. Tangannya gemetar hebat padahal hanya memegang pensil. Setelah itu hanya kepalanya saja yang bisa bergerak. Dia lumpuh total," jelasku.
"Aku turut berduka mbak."
"Makasih. Aku sendiri tak tahu apakah Pandu bisa bertahan berapa lama lagi."
Tiba-tiba kami pun hening. Aneh memang. Aku bisa berbagi perasaanku dengan Iskha. Tapi itulah yang terjadi. Iskha menggenggam tanganku memberikan ketenangan dan menepuk-nepuknya.
"Makasih Iskh," kataku.
"Besok kita jalan-jalan yuk, berdua aja," ajaknya.
"Kemana?"
"Terserah deh. Aku yang traktir."
"Siapa takut."
*****
NARASI PUTRI
Faiz sudah berusia 2 tahun. Dia aku gendong. Dia barusan menangis ketika suara guntur menggelegar sehingga terbangun. Di luar sepi dan gelap. PLN lagi-lagi mematikan aliran listrik di saat hujan deras seperti ini. Aku sekarang tinggal bersama ayah kandungku. Johnny Amartand. Ibuku tak ingin aku tinggal sendiri, maka dari itulah dia menghubungi ayah kandungku. Awalnya Ayah tiriku menolaknya tapi akhirnya tak ada pilihan lain. Satu-satunya yang membuatnya setuju adalah bahwa ayahku berjanji akan menjagaku, karena dia juga sudah merindukanku sejak dulu.
Kami tinggal di kebun teh. Jauh dari Jakarta. Di sini penghasilan ayah adalah sebagai buruh petani teh. Itu saja sudah cukup bagiku. Aku masih menyimpan foto Faiz. Aku selalu menunjukkan kepada Faiz, ini ayahmu. Kamu besok kalau sudah besar hormati dia ya? Entah kenapa Faiz setiap melihat foto itu selalu tenang. Ia seolah tahu kalau itu adalah ayahnya.
Ayah menyalakan lampu petromak. Ruangan pun kembali terang.
"Lagi-lagi listriknya mati kalau hujan," ujar ayahku.
"Mungkin takut terkena geledek yah," kataku.
"Tapi ya nggak gini juga kan? Hampir pasti kalau hujan mati," ujarnya. "Faiz masih nangis?"
"Sudah tenang," jawabku.
Sudah tiga tahun ini aku meninggalkan keluarga Hendrajaya. Ibu masih menghubungiku sekali-kali. Menanyakan kabarku dan anakku. Aku juga bertanya kabar Faiz, sekarang sudah kuliah di luar negeri. Sesuatu yang luar biasa menurutku. Aku selalu bilang ke Faiz kecil agar suatu saat nanti meniru ayahnya kuliah di sana. Dia mana mengerti? Tapi aku selalu bicara dengan dia. Dan yang membuatku terharu adalah dia pertama kali mengucapkan kata "ayah". Ingin rasanya aku bertemu dengan dia dan kutunjukkan kepadanya ini Faiz kecil, bisa bilang "ayah" untuk pertama kali walaupun aku hanya menunjukkan fotonya.
Kutidurkan dia ke tempat tidurnya lagi. Ia sudah lelap. Wajahnya benar-benar mirip ama Faiz. Aku ciumi dia berkali-kali. Cepatlah besar anakku. Ibu bangga ama kamu. Ibu sangat menyayangimu.
BAB XXI
Engkau adalah Hidupku
NARASI FAIZ
Kuliah di luar negeri, sebenarnya nggak beda jauh sih ama di Indonesia. Hanya saja di sini lebih terstruktur dan memang budayanya beda. Aku sendiri sudah menyesuaikan diri. Mulai banyak teman, nggak cuma dari Amrik saja tapi juga dari negara-negara lain. Dari Indonesia sendiri sebenarnya ada tiga orang, dari India ada banyak. Dengan beasiswa yang aku punya ini aku bisa menghemat uang saku, bahkan aku nyoba-nyoba juga kerja sambilan di kota Cambridge ini.
Sebenarnya tak sedikit cewek yang naksir aku di Havard University ini. Mereka kebanyakan searching google tentang diriku dan mendapati kalau aku putra dari konglomerat yang termasuk dua puluh orang terkaya di dunia. Tentu saja mereka mulai mendekatiku. Aku biasa diajak pesta, tapi aku selalu menolak. Aku benar-benar tak mau terlibat dengan pesta dan hura-hura seperti itu. Aku benar-benar fokus kuliah dan ingin tepat waktu menyelesaikan kuliahku.
Aku kerja sambilan di sebuah restoran fast food. Gajinya lumayanlah untuk menyambung hidup di negeri orang. Membagi waktu antara pekerjaan dan kuliah sudah terbiasa aku lakukan. Belajar dan belajar, setiap hari membawa buku, ke mana-mana berdiskusi dengan para mahasiswa yang lainnya. Aku pun menjadi asisten dosen di sekolah ini dan punya email faiz@havard.edu. Salah satu kebanggaan anak Indonesia adalah punya email dari kampusnya Bill Gates ini.
Hari Minggu waktunya liburan. Aku bersama Josh salah seorang teman yang tinggal satu apartemen denganku.
"Hello Faiz, wanna commin?" tanyanya.
"To where?" tanyaku balik.
"I wanna buy some movie, CD and Cassetes," jawabnya.
"Sure, I'm free right now," ujarku.
"Okay then," katanya.
Kami pun pergi ke sebuah toko kaset dvd, cd. Di sini dijual banyak macam kaset seperti film dan lagu-lagu mp3. Aku melihat banyak sekali album-album dari para artis seluruh dunia. Semuanya ada di sini bahkan aku tertarik dengan sebuah rak yang dipajang di sana. Sebuah Genre musik POP. Ada sebuah DVD yang terpampang di sana bertuliskan nama yang tidak asing bagiku. ISKHA, judulnya THE FIRST LOVE. Aku juga tak asing dengan foto yang ada di sampul album itu. Iskha!
Segera aku ambil. Di pojok ruangan itu ada tempat untuk mengetes dvdnya. Tak kusangka Iskha sudah bikin album. Kenapa dia tak cerita? Kenapa dia diam saja di email?? Aku pun mencoba menyetelnya. Kupasang headset. Lagu pertama.
Wahai Kasih, dengarkan diriku
Kutakkan mengulangi lagi
Wahai Kasih, peluklah aku
Karena ku takkan melepasmu lagi
Hati ini pun lelah tuk bersandar
Apa yang bisa aku lakukan
Kala jiwa ini membutuhkan kerinduan
Dari dirimu yang nun jauh di sana
[Reff:]
Wahai kasihku
Dengarkanlah kata rindu di hatiku
Kuingin kau rasakan rasa cintaku
Bahwa hati ini adalah untukmu....
Wahai kasih, maafkan aku
Yang tak bisa menahan rindu ini
Wahai kasih, ciumlah aku
Karena ciumanmu pelepas dahaga ini
Akankah aku bertemu lagi denganmu
Akankah aku mencintai dirimu lagi
Aku pun berjanji kau tak kan kulepas lagi
Hingga sampai akhir nanti
[back to reff 2x]
Aku tersentuh dengan lagu ini. Iskha, dia merindukanku. Tiba-tiba air mataku mengalir. Josh yang melihatku segera menepuk pundakku. Aku melepaskan headsetku.
"You're Okay man?" tanyanya. "What's up?"
"I..just...missing her," jawabku sambil menunjuk foto Iskha.
"Did you know her?" tanyanya.
"Sure, she is my girlfriend," jawabku.
"Bullshit, no way. You had a girlfriend? And she is a singer?"
"Is there any problem?"
"No, just I thought you're single man."
"No, I'm not. And I never mention it."
"So that the reason why you never hit any girl in here."
"You know it now."
"She is famous you know. Many people love her song. I just don't know the language, but I'm sure her voice was wonderfull."
"Thank's."
Ia menepuk pundakku lagi. "You're lucky man."
Setelah kejadian hari minggu itu, satu kampus langsung heboh. Josh ternyata juga penyebar gosip. Sampai-sampai dosen yang sering dekat denganku seperti Mr. Marcuss bertanya kepadaku, "Is that true that you had a girlfriend and she is a singer?"
"Yes, sir," jawabku tentu saja.
Bahkan lucu sekali media lokal sampai mewawancaraiku. Dalam sekejap aku sudah masuk koran. Jadi mahasiswa yang terkenal. Bahkan di media internet foto Iskha pun disandingkan denganku. Masuk lagi bahan gosip. Dasar infotainment. Sampai kemudian salah media massa Indonesia salah satu stasiun tv datang sendiri ke Havard untuk mencariku. Dan mereka mewawancaraiku langsung. Sebegitu hebohnya kah? Ternyata ini semua tak lain karena Iskha. Videonya di youtube ditonton lebih dari lima juga views. Wow tentu saja. Dia jadi artis terkenal sekarang. Aku pun makin tak sabar ingin kembali ke Indonesia. Aku sudah menangkap seluruh pesannya dalam lagu-lagunya itu.
NARASI ISKHA
Baru beberapa bulan meluncurkan album aku langsung jadi bahan gosip. Sampai-sampai di tv fotoku disandingkan ama Mas Faiz. Duh, malunyaaaa.... Mas Faiz, aku kangen ama kamu. Semoga kamu menangkap pesan-pesanku. Itulah perasaanku sekarang Mas.
Semakin terkenal semakin berubah kehidupan keluarga kami. Rumah kami makin besar. Semuanya dari hasilku manggung dan penjualan album. Makin banyak juga yang jahil kepadaku, curi-curi foto, minta tanda tangan dan lain-lain. Ngisi acara talkshow. Dah, pokoknya capek deh. Tapi aku dan bandku pun nggak kalah, kami juga baru saja meluncurkan album. Dan penjualannya pun tak kalah banyak. Bersaing malah. Kerjaku dua kali sekarang. Show dengan The Zombie Girls juga show karir soloku. Tapi untungnya teman-temanku sadar kalau aku nggak boleh capek-capek kerja. Kami mengeluarkan album di bawah label yang sama. Jadi semua kepengurusan terasa mudah.
Hampir setiap hari ada surat dari para penggemar. Dan hampir tiap hari juga ada wartawan yang singgah. Sekedar tanya koleksi sepatu, koleksi baju, (padahal nggak penting banget tanyanya) dan yang terakhir tanya hubunganku ama Mas Faiz. Ya aku jawab aja kalau aku dan Mas Faiz masih komunikasi walaupun jauh. Lalu gosip-gosip pun beredar kalau aku mulai dekat dengan lelaki lain. Hadeeeh...siapa coba? Nggak ada. Moga aja Mas Faiz nggak cemburu ama berita-berita miring itu.
Seperti hari itu aku diundang ke acara BUKAN EMPAT MATA tahu bukan dengan Tukul Arwana sebagai hostnya itu di Trans 7? Yup, dia mulai tanya yang aneh-aneh. Seperti aksi panggungku dengan The Zombie Girls yang heboh. Trus kemudian tanya tentang albumku itu.
"Oh ya mbak, ngomong-ngomong. Denger-denger katanya album itu dibuat dari curahan hati ya? Monggo," tanya Mas Tukul.
"Iya Mas, sebenarnya itu curahan hatiku, soalnya lagi kangen dengan someone," jawabku. Langsung disambut sorak-sorai penonton.
"Lho lho lho, someone itu apa yang sedang kuliah di luar negeri itu? Monggo cerita," tanyanya.
"Iya, kami sudah deket sejak SMA. Masih sering komunikasi juga sih walau lewat chatt atau email," jawabku.
"Nah ini, gini ini, cewek yang setia. Emangnya kuliah dimana itu someonenya?"
"Di Havard University."
"Whoaaa....aplause!" kata Mas Tukul. "Hebat ada orang Indonesia bisa kuliah di sana. Saya dulu waah...mau kuliah di sana, tapi karena ....Eaaa eeaaa eaaa eeaaaa,"
Gaya bercandanya Mas Tukul yang khas membuatku tertawa. Setelah itu aku diberikan kejutan.
"Sebentar ini kita sedang ada kejutan buat Mbak Iskha. Kita akan mencoba menghubungi kekasihnya," kata Mas Tukul.
"Hah?" aku terbengong tentu saja ini kejutan yang tak terduga.
"Monggo ini udah masuk. Hallo?" sapa Mas Tukul.
"Halo??" terdengar suara. Suara yang aku ingat. Itu suara Mas Faiz.
"Halo, ini Mas Faiz ya?" tanya Mas Tukul.
"OH iya, dengan saya sendiri," jawabnya.
Mataku langsung berkaca-kaca. Aku bisa melihat wajahku dilayar kaca dishoot close up. Mungkin sang kameramen tahu aku sedang terharu.
"Mas ini saya Tukul Arwana dengan acara Bukan Empat Mata. Ini di studio ada Iskha yang katanya emang kekasihnya," kata Mas Tukul.
"Oh,benarkah? Ada Iskha?" suara Mas Faiz tampak gembira.
"Mas Faiz?" sapaku.
"Iskha?? Hai."
"Apa kabar mas?" tanyaku sedikit terisak.
"Baik, kamu bagaimana?"
"Baik juga. Gimana kuliahnya?"
"Kuliahku alhamdulillah lancar."
"Mas jaga diri ya di sana, maem yang banyak. Jangan sampai kecapekan!"
"Iya, kamu juga."
"Makasih ya Mas Tukul sudah menghubungkan aku dengan Iskha. Saya dengan ngajar di sini, dapat panggilan yang katanya ada Iskha saya langsung keluar kelas sebentar."
"Oh..lagi ngajar ya?" tanya mas Tukul.
"Iya, saya jadi asisten dosen di sini. Kebetulan dosennya berhalangan hadir. Tapi nggak apa-apa," jawab Mas Faiz.
"Mas Faiz, aku kangen ama mas," kataku.
Langsung tiba-tiba semuanya hening. Hanya lantunan piano saja yang terdengar.
"Aku juga. Do'ain aja ya, biar segera selesai," katanya.
Setelah acara malam itu, besoknya langsung menjadi headline di acara gosip. Yah, nggak bisa apa-apa. Mau gimana lagi coba? Dan dalam waktu yang relatif singkat, kami pun dinobatkan jadi pasangan selebritis terbaik beberapa hari kemudian. Dan menurutku itu terlalu lebay. Dasar media.
BAB XXII
What The Fuck???
NARASI HANI
Aku senang sekali, ketika Pak Hendrajaya menawariku kerja di kantornya setelah aku lulus kuliah D2 Sekretaris. Beliau benar-benar memberikan posisi yang sangat penting bagiku. Selain aku senang karena aku bisa dekat dengan beliau yang notabenenya adalah ayah biologisku, aku juga senang karena gajinya cukup besar untuk seorang sekretaris. Terlebih beliau menganggap aku sebagai anaknya sendiri. Dia juga menghormatiku sebagai temannya Mas Faiz.
Pekerjaanku mulai dari mengatur jadwal meeting, mengatur siapa saja yang boleh menghubungi beliau, bahkan sampai laporan-laporan dari semua manajer pun ke akulah semuanya diserahkan. AKu pun memesan tiket untuk dia ketika ingin keluar kota. AKu juga yang mengatur presentasinya. Ke mana-mana aku pasti bersama beliau. Senang sekali menjadi orang yang sangat dekat dengan beliau. Bahkan aku pun jadi dekat dengan Ibu Aula istrinya. Melihat ketekunanku bekerja beliau pun sampai menjadi mata-mataku, kalau-kalau suaminya selingkuh. Hihihihi. Lucu memang, tapi ayahku ini tak pernah aku lihat jalan dengan wanita lain. Semuanya adalah mengurus pekerjaan dan keluarga.
Aku cuma heran bagaimana dia bisa mengenal ibuku dan selingkuh. Itulah yang aku tak habis pikir. Seperti apakah pesona dari Tuan Hendrajaya ini. Aku pun mulai mengerti pesonanya setelah kami harus bertemu dengan klien besar yang ingin mendirikan sebuah menara pencakar langit di Jakarta. Mega Projek ini akan membangun sebuah bangunan tinggi 75 lantai. Konsepnya adalah menara ini berisi apartemen, mall dan perkantoran. Juga ada tempat fitness, kolam renang, dan lain-lain. Karena nilai projek ini besar maka investornya pun lumayan besar juga.
Ada tiga perusahaan yang bekerja sama untuk membuatnya. Dan untuk itulah kami berdua harus ke Singapura. Aku mendampingi beliau untuk bertemu dengan orang-orang penting ini. Sejujurnya ini adalah untuk pertama kalinya aku keluar negeri, walaupun cuma ke Singapura saja sih. Tapi aku sungguh bersemangat. Andai ibu sekarang melihatku, tentu beliau akan sangat bangga kepadaku.
Kami pun bertemu dengan para klien itu. Pembahasannya cukup alot, terutama tentang kondisi Indonesia yang sedang tidak menentu akhir-akhir ini. Tapi ayah meyakinkan semua klien bahwa berinvestasi di sana bukanlah hal yang salah. Ayah bahkan menjamin dalam sepuluh tahun keuntungan yang didapat bisa sepuluh kali lipat dari modal awal. Tentunya dengan tingkat inflasi yang aman. Apa pula itu aku nggak faham, tapi paling tidak para klien itu cukup puas dan mau berinvestasi.
Aku tidak suka ketika ayah sudah mulai mabuk-mabukan. Ia terlalu banyak minum wishky dan tequila. Entah berapa gelas yang ia tenggak. Ia kemudian karaokean bersama para klien hingga larut. Setelah benar-benar mabuk, aku pun memapah ayahku ke kamarnya.
"Pak hati-hati!" kataku.
Bau alkohol dari mulutnya membuatku ingin muntah rasanya. Agak susah juga memapah beliau. Tapi meskipun sudah tua tubuh beliau masih tegap. Hanya ada sedikit lemak diperutnya, tapi tidak gemuk. Proporsional menurutku. Juga yang wajahnya juga masih berwibawa. Aku senang sekali bisa menolong ayahku sekarang ini. Inilah kesalahanku. Aku sudah menganggap dia ayahku, tapi dia tidak tahu kalau aku adalah anaknya.
"Aula...jangan tinggalin aku ya, temani!" ia mengigau memanggil nama istrinya.
Aku membukakan pintu kamarnya, lalu kami berdua pun masuk. Aku pun memapahnya sampai dia ambruk di atas ranjang. Setelah itu aku buka sepatunya dan menatanya hingga ia berbaring di atas ranjang. Lelah juga memapahnya. Aku baru saja mau beranjak, tiba-tiba dia mencengkramku.
"Aulaaa...jangan pergi!" katanya.
Tu...tunggu dulu, dia mendekapku dari belakang, ia meremas payudaraku. Aku agak meronta, tapi ia sangat kuat. Oh tidak, ini tidak boleh terjadi. Ia terus mendekapku sehingga ku tak bisa bergerak. Akhirnya aku mencoba membiarkannya aku ingin tahu apa yang ia lakukan.
Oh tidak, ini diluar kendaliku. Dia menciumi pantatku dari balik rok. Jangan, dia akan memperkosaku. Aku ingin pergi tapi dia terlalu kuat bahkan kemudian membantingku di atas ranjang, aku pun pusing. Bantingannya terlalu kuat. Untuk beberapa detik aku tak bisa apa-apa. Ia sudah berhasil menggeranyangi tubuhku. Aku baru sadar ia sudah membuka kemeja dan menghisap tetekku. Ohh...ayahh....
"Paak,..jangan!" aku mendorongnya.
"Aulaa...kamu ranum sekali," gumamnya. Ia tak sadar. Oh celaka, apa yang harus aku lakukan?
Pak Hendrajaya mencupangi buah dadaku. Dia mengenyotnya, meremasnya dan memberikan stimulus kepadaku. Tenaganya terlalu kuat. Aku bertubuh kecil, sehingga ia dengan mudah bisa menguasaiku. Ia kemudian melumat bibirku. Ia hisap salivaku. Ouuhh...bau alkoholnya membuatku pusing. Seketika itu aku pusing sekali. Baru kali ini aku mencium laki-laki dan ini ayah kandungku sendiri. Dan baru kali ini buah dadaku dicupangi dan ini oleh ayah kandungku sendiri.
Aku sesaat tak sadar karena pusing. Bau nafasnya benar-benar membuatku mabuk. Aku mencoba bangkit. Ingin pergi dari tempat ini sebelum terlambat, tapi dia sudah ada di depanku tanpa sehelai benang pun. Celaka. Mati aku. Penisnya sudah ada di depan wajahku. Dia menjambak rambutku sehingga mulutku terbuka dan penisnya dimasukkan ke mulutku yang kecil. Oh tidaaakk...HAP. Dia lalu memaju mundurkan pantatnya.Penisnya yang besar itu melesak masuk sampai menyentuh kerongkonganku. Aku tersedak. Hampir saja muntah.
"Ohh...Aula...nikmat banget," rancaunya. Aku terpaksa memblowjob ayahku sendiri. Ia memegangi kepalaku sehingga aku tak bisa apa-apa selain membiarkan dia memperkosa mulutku. Hingga kemudian ia menghenikan aktivitasnya disusul kedutan dari penisnya. Ia orgasme!
CRUUUTTT CRUUUTTT! Sebagian besar spermanya meledak di mulutku. Ahhkk...tertelan. Aku ingin muntah rasanya. Ia lalu melepaskanku. Aku ambruk di kasur. Badanku rasanya sakit semua. Ternyata belum selesai. Beberapa sperma yang meleleh di mulutku aku ludahkan ke lantai. Rasanya amis dan asin.
Belum sempat aku mengumpulkan tenaga, ia sudah memelorotkan rokku dan celana dalamku. Oh tidak...jangan!
"Pak, sudah pak. Sadar! Aku Hani!" jeritku.
Tapi Pak Hendrajaya sudah terlanjur mabuk. Ia tak ingat lagi siapa aku. Di depan wajahnya terpampang memekku dengan bulu halus rapi di atasnya. Pak Hendrajaya langsung melahap tonjolan kacang yang ada di pucuknya. Aku pun mengejang. Lidahnya menari-nari di sana dan menjilat seluruh bagian bibir memekku. AAarrgh...rasanya geli, nikmat bercampur jadi satu. Aku pun tak kuasa hanya bisa menggeliat di atas kasur sambil meremas sprei. "Ayah....kumohon!" rintihku.
"Aulaa..hhmm...memekmu nikmat banget,...!" gumamnya lagi. Dia masih mengira aku istrinya.
Aku pun jadi ragu. Ingin mendorongnya ataukah membiarkan dia memberikan kenikmatan ini padaku. Keputusan terakhirlah yang aku pilih. Membiarkan dia. Memekku dijamah oleh ayahku sendiri. Dia mengobok-obok memekku. Entah diapakan pokoknya nikmat sekali hingga aku pun orgasme dahsyat untuk pertama kali. Dan ini adalah pertama kalinya aku orgasme seumur hidupku. Setelah gelombang dahsyat itu pergi aku lemas. Pasrah....entah apa yang akan dilakukannya lagi. Aku cuma bergumam, "Jangan ayah...jangan!"
Pak Hendrajaya tiba-tiba menggesek-gesekkan kemaluannya yang besar tadi ke memekku. Ouuuhh...aku baru kali ini merasakan penis laki-laki menyentuhku. Tapi kenapa harus ayahku kandungku sendiri? Air mataku pun berderai. Aku tak bisa lari lagi. Dan dengan hentakan ia pun menerobos liang senggamaku. Aku pun robek. Aku menjerit. Ia memelukku.
"Ohhh...nikmat sekali Aula. Hhmmmmmhhh...memekmu sepit sekali malam ini!" katanya.
Dia memelukku sambil bergoyang naik turun. Memekku benar-benar menjepit kuat penisnya. Aku kesakitan. Perih, pedih. Tapi lambat laun, rasa itu hilang, hanya kurasakan geli dan nikmat. Pak Hendrajaya ini ternyata sangat terampil dalam bercinta. Ia menciumku saat aku merasakan sakit. Hal itu mengurangi rasa sakit ketika ia merobek memekku. Goyangannya pun makin cepat dan ia menyusu lagi kepadaku. Mungkin ia sangat terpesona dengan payudaraku yang naik turun seiring goyangannya. Dan akhirnya benar, ia akan orgasme. Aku juga sudah ingin nyampe.
Ajaibnya adalah kami bersama-sama keluar. Spermanya membasahi rahimku. Rahim yang seharusnya mengisi adalah suamiku sekarang diisi oleh ayah kandungku. Aku sesaat lupa akan sosok Pak Hendrajaya. Setelah puas mengeluarkan spermanya. Ia mencabut penisnya dan ambruk di sampingku. Aku rasanya tak bisa berjalan lagi. Tubuhku sepertinya remuk, sakit semua. Aku juga lelah. Dan akhirnya kami pun terlelap malam itu.
****
Hari sudah pagi. Dan aku mendapati Pak Hendrajaya sudah tak memelukku lagi. Dia ada di pinggir ranjang memakai pakaiannya. Aku terbangun dan duduk. Aku agak malu dan menutupi tubuhku dengan selimut.
"Maafkan aku," kata Pak Hendrajaya.
Aku hanya diam.
"Aku terkejut ketika bangun mendapatimu. Aku pasti melakukan hal-hal yang jelek tadi malam. Aku lihat bercak arah di kasur. Maafkan aku Hani. Aku seharusnya tak melakukan ini. Ini pasti gara-gara aku mabuk tadi malam," kata Pak Hendrajaya.
"Tidak apa-apa pak. Ini sudah terlanjur. Hani juga nggak tahu harus berbuat apa tadi malam," kataku.
"Itu tidak bisa! Harusnya kamu pukul aku tadi malam biar aku tak melakukan ini. Ohh..apa yang harus aku lakukan sekarang??" Pak Hendrajaya tampaknya merasa bersalah.
Aku menundukkan kepalaku. Aku pun malu sendiri melihat diriku.
"Aku tahu siapa kamu. Kamu anaknya Dian bukan? Aku menyelidiki kamu selama ini dan aku sekarang ingat siapa kamu. Engkau sudah lama aku cari. Dan sekarang aku malah melakukan hal ini kepadamu," jelasnya.
Jadi....dia sudah tahu kalau aku anaknya? Aku sangat senang sekali.
"Aku sudah tahu kamu adalah anakku, maka dari itulah aku memberikan kekhususan kepadamu. Beasiswa, pekerjaan, tempat tinggal, semuanya. Apa yang sudah aku lakukan sekarang ini?" Pak Hendrajaya pun menangis.
"Ayah, boleh aku panggil bapak sebagai ayah sekarang?" tanyaku.
"Aku tak pantas dipanggil ayah, ayah yang seharusnya melindungi putrinya malah berbuat tidak senonoh terhadap putri sendiri," ujarnya.
Aku langsung memeluknya.
"Aku minta maaf ayah, seharusnya ku sejak dari dulu berkata jujur. Tapi aku tak berani....akulah yang salah," kataku. Aku pun juga menangis. Kami berdua menangis di hotel itu. Menyesali apa yang sudah terjadi barusan.
BAB XXIII
Return of the Prince
NARASI ISKHA
Aku hari ini ada konser di Srikandi Hall. Bukan aku saja sih yang mengisi. Banyak. Dan semuanya artis-artis papan atas. Kalau dulu aku yang menyanyi menjadi pembuka panggung, sekarang aku jadi main character. Panggung sudah ditata sedemikian rupa. Bentunya seperti tanda X. Aku ada di tengah dan bisa berjalan ke sana kemari. Pagi harinya ada gladi resik. Event organizernya cukup keren mengarahkan. Aku suka sekali.
Ini termasuk rangkaian terakhir dari turku selama ini. Tawaranku manggung dan mengisi acara di stasiun tv bejibun. Sampai-sampai aku kewalahan. Aku pun terpaksa mencari manajer. Manajerku ini adalah teman sekelasku dulu. Siapa lagi kalau bukan Nailul. Hihihi. Kami emang kompak. Dia juga telaten mengurus semua jadwalku, sehingga tak berantakan. Kontrak demi kontrak selesaikan. Capek rasanya emang. Sehari aku bisa ngisi di tiga stasiun tv berbeda. Kadang juga jadi bintang tamu di acara komedi.
Mulai dari iklan kosmetik, sabun, minuman semua sekarang ngantri. Walaupun sekarang kehidupanku berubah, tapi aku selalu ada yang kurang. Yaitu Mas Faiz. Karena terlalu sibuk, aku sekarang jarang kontak dia lagi. Sudah setahun lamanya semenjak acara Bukan Empat Mata itu. Aku tak pernah kontak dia lagi. Aku pun tak ingat kapan ia akan pulang. Apakah dia sudah selesai kuliah atu belum?
Hari ini sebelum konser dimulai aku mencoba mengontak dia. Tapi tak aktif. BBM juga nggak dibales. Aneh. Aku pun mulai khawatir, jangan-jangan dia kenapa-napa lagi? Di ruang rias pun aku sempat bengong.
Nailul pun menyeletuk, "Kamu kenapa sih, bengong melulu? Nggak biasanya deh."
Lamunanku pun buyar, "Ah, nggak apa-apa koq. Cuma keingat ama Mas Faiz aja."
"Cieeeh...yang ditinggal jauh. Gimana kabarnya sekarang?"
"Entahlah. Udah lama nggak kabar-kabar. Aku sibuk, jadi jarang banget menghubungi," jelasku.
"Yah, nggak bisa gitu dong. Coba say HI gitu!"
"Udah, tapi nggak dibales. Aku mulai takut kenapa-napa ama dia."
"Sudah berpikir positif saja. Mungkin ponselnya hilang atau mungkin dia sedang ada di tempat yang tak bisa dihubungi. Apalagi di Amrik non, udah deh!"
"Hmm...yah, positif thinking."
"Ya udah, sana. Siap-siap! Habis artis-artis itu ngisi giliranmu lho," kata Nailul.
"Iya, iya," aku pun bergegas menuju ke back stage. Hari ini aku memakai baju gaun putih panjang seperti putri raja. Rambutku kubiarkan panjang sampai sepinggang sekarang. Aku sudah mencoba untuk feminim. Meninggalkan baju-bajuku yang tomboy. Mulai belajar menata rambut, merawat diri. Intinya aku sadar kalau aku cantik.
Setelah artis-artis itu selesai mengisi. Kini giliranku. Lampu pun dimatikan. Aku langsung masuk ke panggung. Skenarionya adalah ketika lampu nyala aku sudah di tengah panggung dengan piano. Aku masuk ke panggung dan penonton tak bisa melihatnya. Bagaimana aku bisa bejalan di dalam gelap? Sebenarnya di atas lantai panggung ada lampu-lampu yang menuntunku untuk menuju ke tengah panggung yang kalau dari atas berbentuk huruf X.
Aku kemudian duduk di atas kursi yang disediakan di depan piano. Aku lalu memainkan piano itu. Seluruh penonton langsung bersorak. Karena tahu aku sudah ada di tengah panggung. Lampu sorot pun menyala dan langsung memperlihatkan aku sudah ada di tengah panggung dengan pianoku. Para penonton histeris. Ada yang bilang, "Iskhaaa I Love You!"
Aku pun menyanyikan laguku. Lagu pertama yang disukai oleh semua penggemarku. Lagu yang paling banyak ditonton oleh orang-orang di youtube. Judulnya Rindu.
Wahai Kasih, dengarkan diriku
Kutakkan mengulangi lagi
Wahai Kasih, peluklah aku
Karena ku takkan melepasmu lagi
Hati ini pun lelah tuk bersandar
Apa yang bisa aku lakukan
Kala jiwa ini membutuhkan kerinduan
Dari dirimu yang nun jauh di sana
[Reff:]
Wahai kasihku
Dengarkanlah kata rindu di hatiku
Kuingin kau rasakan rasa cintaku
Bahwa hati ini adalah untukmu....
Wahai kasih, maafkan aku
Yang tak bisa menahan rindu ini
Wahai kasih, ciumlah aku
Karena ciumanmu pelepas dahaga ini
Akankah aku bertemu lagi denganmu
Akankah aku mencintai dirimu lagi
Aku pun berjanji kau tak kan kulepas lagi
Hingga sampai akhir nanti
[back to reff 2x]
Setelah aku selesai memainkannya para penonton bersorak. Tapi tunggu dulu. Ada yang aneh. Skenarionya seharusnya lampu sorotnya mati. Tapi kenapa masih nyala? Dan tiba-tiba dari ujung panggung aku mendengar sesuatu. Sebuah piano yang dimainkan. Tunggu dulu. Lagu ini....aku ingat....ini....Cage Bird. Dan suara itu....Mas FAIZ! Lampu sorot pun menyorot di ujung panggung. Seorang laki-laki yang aku kenal sedang memainkan piano dan bernyanyi. Dia mas Faiz!
Takaku dono kurai tonde ittara
Haruka tooku no kimi ga mienaku naru no?
Hitomi soraseba raku ni naru no kamo shirenai
Demo itsumo dokoka de mitsumete itai
Wasureru koto nante deki wa shinai kara
Nasu sube mo naku, sora wo miageteru dake.
Maru de kago no naka no chiisana tori no you ni
Mado wo sagashite atemo naku, samayotte iru.
Ima sugu ni aitai kimi ga suki dakara
Kizutsuku koto ga kowakute nigetai kedo
Mienai shigarami ni tsubasa torawaretemo
Soredemo kimi wa kanashii hodo taisetsu na hito.
Aku terharu. Aku menitikkan air mata. Ini pasti ulah EO. Aku diberi kejutan seperti ini. Wajahku yang terharu terpampang close up di layar besar. Sang kameramen memanfaatkan momen ini. Para penonton bersorak ketika Mas Faiz selesai menyanyikan lagu itu.
Mas Faiz mengambil mic. Kemudian ia berdiri. Berjalan dengan santai menuju ke arahku. Aku menutup mulut dan hidungku. Aku gembira, haru, semuanya jadi satu.
"Iskha, bagaimana kabarmu?" tanyanya.
"Baik," jawabku.
"Aku mohon maaf memberikanmu kejutan ini. Aku paksa EO-nya agar aku bisa naik ke sini. Ini diluar skenario. Kuharap kau tak keberatan," katanya.
"Aku keberatan!" kataku dengan menampilkan mimik ngambek. Disusul tawa seluruh penonton. Gila apa? Aku malu sekali.
"Kamu tahu, ketika di Amerika aku pergi ke toko kaset dan kudapati fotomu di sana. Aku dengarkan lagumu dan aku kemudian menangkap semua pesan kerinduanmu. Dan karena itulah aku berusaha dengan keras untuk bisa lulus tepat waktu dan akhirnya aku pun lulus," kini Mas Faiz sudah mendekat kepadaku. Ia ada di hadapanku. Ia makin tampan saja. Ada jenggot tipis yang tumbuh di pipi dan dagunya, ohh...itu makin bikin dia tampan.
"Kenapa kamu kembali?" tanyaku dengan nada ngambek.
"Karena aku harus kembali," katanya. "Di sini ada kehidupanku, di sini ada rumahku."
"Kamu jahat, kenapa lama sekali? Aku kangen kamu di sini," kataku.
Para penonton langsung menyorakiku. Tiba-tiba Mas Faiz berlutut di hadapanku. Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jas hitamnya. Sebuah kotak merah kecil. Ia buka kotak itu. Tampaklah sebuah cincin dengan berlian yang berkilauan berbentuk hati. Seluruh penonton langsung gaduh. Terlebih kameramen menyorot kotak itu dan ekspresiku. Hei, ini nggak disiarkan live kan? Bisa malu aku.
"Aku penuhi janjiku. Aku melamarmu sekarang. Untuk menjadi bidadariku. Sekarang dan selamanya. Maukah kamu menikah denganku? Menjadi istriku dalam kehidupan susah dan senang. Menjadi ibu dari anak-anak kita nantinya?" tanya Mas Faiz dengan wajah mengiba. Oh Mas Faiz....romantis sekali ...sooo...sweeeetttt....
"Terima! terima! terima!" entah kenapa para penonton bisa sekompak ini. Ini sungguh cara melamar yang sangat tidak biasa. Di depan umum, saat pentas, dan dilihat oleh ribuan mata. Bahkan mungkin saja sekarang ini acaranya live.
Aku terharu sekali. Tolong siapapun pegangi aku. Aku ingin pingsan. Aku belum bisa menjawab. Aku ingin penonton tenang dulu. Jantungku berdebar-debar. Mas Faiz memberi aba-aba agar para penonton tenang. Akhirnya semuanya pun tenang.
"Bagaimana?" tanyanya.
Aku mengangguk mantab. "Aku terima. Aku setuju. Jawabnya iya!"
Langsung para penonton gaduh semuanya. Aku jadi teringat pertandingan sepak bola ketika tim kesebelasan mereka baru saja menjebol gawang lawan. Seperti itulah suasananya sekarang. Aku bahagia sekali hari itu dilamar oleh Mas Faiz. Ia memilihku. Ia lebih memilihku. Terima kasih Mas Faiz. Pangeranku yang telah kembali.
NARASI VIRA
Aku melihat acara itu. Bagaimana Faiz melamar Iskha. Sakit rasanya. Aku pun menangis dan tak sanggup melihat acara itu. Seharusnya aku yang dilamar Faiz....seharusnya itu aku. Malam itu aku menangis, menangis sejadi-jadinya. Ternyata memang benar. Aku tak ditakdirkan bersama Faiz. Cintaku dengan Faiz cukup sampai di sini.
Selamat Iskha. Semoga kalian bahagia. Aku rela koq. Mas Faiz memang pantas dan cocok untukmu.
NARASI PUTRI
Aku baru saja menidurkan Faiz kecil di kamar. Ia capek sekali mungkin karena seharian main melulu dengan teman-temannya. Malam itu aku melihat acara tv. Aku melihat wanita yang dulu aku benci. Iskha. Aku sekarang jadi tidak bisa membencinya. Aku justru merasa sangat bersalah kepadanya. Dia sekarang sudah jadi artis terkenal. Sering muncul di tv. Gosipnya dengan Faiz pun berseliweran di berita gosip. Dan malam ini aku melihat sesuatu yang tidak biasa.
Faiz ada di layar kaca, dia berlutut dan melamar Iskha di depan umum. Sungguh itu sesuatu yang sangat romantis. Mataku berkaca-kaca. Aku menangis. Aku melihat adikku yang aku cintai melamar Iskha. Hancur hatiku. Sakiiiitt sekali. Faiz, maafkan aku ya. Maafkan aku Iskha. Faiz, ini anakmu. Aku akan berjanji merawatnya untukmu. Faizku...Aku pun menangis dan tak sanggup melihat tv. Aku pun mematikannya. Akhirnya aku pun tidur sambil mendekap Faiz kecilku. Aku menciumi dia hingga aku pun ikut terlelap.
BAB XXIV
Malam Pertama
NARASI FAIZ
KEMBALINYA SANG PANGERAN, itulah judul headline surat kabar. Sehari setelah aku melamar Iskha di depan umum dan disiarkan secara live sebuah stasiun tv swasta itu, langsung media masa heboh. Aku dan Iskha dinobatkan sebagai pasangan selebritis yang paling romantis. Aku pun serius dengan lamaran itu. Nggak usah ditanya deh, ayahnya Iskha sangat setuju pasti.
Setelah itu adalah minggu-minggu yang sibuk. Aku mencetak undangan, menyewa tempat untuk acara resepsi pernikahan, memilih baju pengantin, sewa catering dan lain-lain. Satu yang aku sukai dari Iskha adalah ia tak ingin muluk-muluk. Ia hanya ingin acaranya sederhana saja, nggak usah terlalu mewah. Dan ia lebih ingin mengundang orang-orang kecil. Biarkan mereka berbaur dngan para undangan lainnya, agar mereka tidak merasa kecil. Intinya ia ingin para tamu undangan itu orang-orangnya sejajar tak ada yang merasa lebih tinggi atau lebih rendah.
Tentunya ini konsep yang luar biasa. Undangan aku sebar ke beberapa panti asuhan. Dan juga para tetangga yang kurang mampu aku undang. Sedikit aku undang dari orang-orang kaya, terkecuali teman-teman sekolahku sewaktu SMA. Iskha sangat senang sekali. Ia bahkan menjadi seksi sibuk sekali. Sempat marah-marah juga ketika contoh undangannya salah. Aku pun menenangkannya.
"Udah dong, masa' salah dikit aja marah?" tanyaku.
"Gimana nggak marah coba Mas. ini udah ketiga kalinya lho," jawabnya.
"Iya, mbak. Maaf, orangnya soalnya baru. Setelah ini saya aja yang akan menghandle," ujar salah seorang karyawan yang mencetak undangan itu.
"Ya sudah, mohon segera ya mas. Kan kita juga butuh waktu untuk sebar undangan," ujarku.
Pemuda itu pun pergi. Iskha memegang kepalanya.
"Sudah dong, kamu pasti lagi capek, lagi PMS?" tanyaku.
"Iya kaya'nya," jawab Iskha. Ia lalu merebahkan diri di sofa.
Aku lalu mengambil ponselku dan menceklist sesuatu yang sudah aku lakukan. "Oke, gaun sudah, catering sudah, tempat resepsi sudah, penghulu sudah, tinggal undangan aja berarti."
"Mas Faiz," panggilnya.
"Ya? Ada apa?" tanyaku.
"Mas yakin nggak mau mengundang Pak Hendrajaya? Kan dia ayah mas??"
Aku terdiam. Aku sudah berjanji tak akan kembali ke sana lagi sebenarnya.
"Ayolah mas, kan cuma mengundang. Mas sudah berjanji tidak pergi ke rumah. Tapi bukan berarti mas janji tidak mengundang mereka, kan?" tanyanya.
Aku mendesah. Benar sih, bukan berarti aku tidak mau mengundang mereka. Baiklah. "Iya, aku akan megundang mereka."
"Sungguh?" tanyanya. Entah kenapa ia sangat gembira. Ia langsung bangkit dan memelukku. "Makasih ya mas."
****
"Saya terima nikahnya Iskha Kusumaningrum binti Sulaiman dengan mas kawin cincin emas 7 gram dan uang tunai sebesar Rp. 2.009.000,- dibayar tunai," kataku ketika ijab qabul.
"Gimana semuanya? Sah?" tanya pak penghulu.
"Saah..." seru semuanya.
"Alhamdulilah," jawabnya.
Akhirnya aku dan Iskha hari itu sah menjadi suami istri. Pesta pernikahan yang digelar cukup meriah. Tamu-tamu berdatangan mengucapkan selamat. Tamunya baik dari kalangan selebritis juga dari kalangan umum. Dari orang kaya sampai orang miskin. Yang membuatku takjub adalah mereka semua berbaur menjadi satu. Tertawa bersama, makan bersama. Iskha memang luar biasa membuat ide ini. Aku makin cinta ama dia. Dan dia sangat cantik hari itu. Memakai baju pengantin berwarna putih. Adatnya campuran adat sunda dan betawi.
Dan aku akhirnya melihat seseorang dengan rombongan keluarga mereka. Aku mengenali mereka. Ayahku, bunda, Icha, Rendi, dan juga bunda-bundaku yang lain. Bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura dan anak-anak mereka, minus Mas Pandu. Agak aneh memang, mereka menjadi tamu dalam acara ini, ini emang ideku. Aku memang tak akan kembali ke rumah mereka, tapi bukan berarti aku tidak mengijinkan mereka juga ke tempatku.
Yang paling pertama menyelamatiku adalah ayah. Ia memelukku dan menepuk pundaku.
"Selamat nak, semoga kalian langgeng, jaga istrimu baik-baik!" ujarnya. "Pandu berada di rumah sakit, maka dari itu dia tak bisa menemui kalian. Ia hanya titip salam"
Aku mengangguk. "Makasih ayah."
Kemudian ayah pindah ke Iskha. "Iskha?!"
"Pak Hendrajaya," sapa Iskha.
"Selamat ya nak, jaga Faiz. Jadi istri yang baik," kata ayahku.
Kemudian bunda. Aku mencium tangannya. Bunda mencium keningku. Ia lalu memelukku sambil menangis. "Faiz,...kamu sudah besar nak. Bunda bangga ama kamu. Jaga istrimu baik-baik yah??!"
"Iya bunda," jawabku.
"Iskha....kamu cantik sekali. Jadi istri yang baik ya!" kata bunda.
Iskha mengangguk.
"Ke mana Mas Pandu?" tanyaku.
Setelah salam-salaman dan ucapan selamat, acara pun selesai. Para tamu sudah pulang semua. Aku tak melihat Vira hadir. Ah tapi tak masalah. Hari itu aku berencana menginap di sebuah vila yang sudah aku sewa sebagai bulan madu kami. Dengan mobil yang aku pinjam dari Erik, aku pun berbulan madu dengan Iskha.
****
"Heh, bengong aja!" kata-kata Iskha membuyarkan lamunanku.
"Hihihi, aku bingung apa ini mimpi ya?" tanyaku.
"Enaknya mimpi atau nggak?" tanya Iskha.
Aku sudah berada di kamar villa. Hari sudah mulai sore. Iskha sudah menghapus make upnya. Cukup gerah kami hari itu sehingga kami sudah mandi. Sudah memakai baju santai. Iskha tiduran santai di atas ranjang pengantin kami. Total aku sewa villa ini seminggu penuh. Ini termasuk villa ayahku sih. Sebenarnya bisa saja aku dengan gratis menempatinya, tapi aku tetap berprinsip tak mau menerima bantuan ayahku. Aku ya merogoh kocek sendiri tentunya. Patungan ama Iskha.
Iskha tampak sibuk bermain ponselnya. Bermain facebook, twitter, instagram. Ia bahkan foto selfie dengan diriku.
"Mas, mas sini deh!" ia menarikku lalu selfie JEPRET!
"Buat apa?" tanyaku.
"Buat status 'Before first Night'!" guraunya. Aku ketawa.
"Ah, ada-ada saja!" kataku.
Dia menguploadnya ke facebook, twitter dan isntagram. Aku lalu duduk di sebelahnya.
"Eh, kayaknya aku mulai hari ini akan manggil kamu Dinda deh," kataku.
Iskha menoleh ke aku, ia tertawa, "Issh...dinda? Trus aku harus manggil kanda gitu?"
"Yah...terserah situ sih," kataku.
"Oke, kanda," katanya.
Aku terdiam lagi. Menatapnya. Inilah istriku. Wajahnya sekarang adalah wajah wanita yang paling cantik. Aku tak jemu-jemu memandangnya. Ia masih sibuk bermain ponsel. Setelah itu ia menoleh ke arahku. Ia memonyongkan bibirnya.
"Apaan sih? Ngelihat melulu," katanya.
"Nggak apa-apa kan? Melihat wajahmu saja adalah ketentraman bagiku," jawabku.
"Ih...lebay," ujarnya.
Aku lalu merebut ponselnya. Ia mencoba merebutnya.
"Eit,...nggak kena," kataku.
"Ihh...kanda...kasih dong!" pintanya.
Ia lalu ambruk di atas tubuhku saat merebut ponselnya. Wajah kami pun bertemu. Aku bisa rasakan detak jantungnya di dadaku. Perlahan lahan aku letakkan ponselnya di meja dekat ranjang. Aku lalu menciumnya. Ia mendorongku.
"Ini belum malam lho, ntar nggak bisa dong disebut malam pengantin," katanya.
"Peduli amat," jawabku.
Aku menciumnya, satu, dua, tiga. Bau tubuh kami sudah wangi karena barusan mandi. Bau sabunnya membuatku terangsang. Kuhisap salivanya. Iskha memelukku erat. Ia menggeliat. Aku ingin melampiaskan kerinduanku selama ini kepada dia. Dan aku bisa merasakannya bagaimana kerinduan yang dia rasakan kepadaku.
"Kanda...," bisiknya lirih saat aku memasukkan tanganku ke balik kaosnya dan menggelitik punggungnya. Ia tak pakai bra. Aku sudah tahu itu. Karena itulah aku bisa merasakan detak jantungnya. Aku pun menaikkan kaosnya ke atas. Kini tubuhnya bagian atas terlihat jelas. Putingnya berwarna pink kecoklatan terpampang dihadapanku.
Aku menciumnya lagi. Kini dialah yang menarik kaosku ke atas. Kami berdua sudah telanjang dada sekarang. Aku pun memasukkan tanganku ke baik celana pendeknya. Pantatnya sudah aku sentuh. Bongkahan pantatnya kuremas-remas. Dia menciumku lagi. Lalu dengan sedikit gerakan aku menurunkan celana pendeknya. Ia membantuku untuk melepaskannya. Aku kemudian berguling. Kini ia membantuku menurunkan celana pendekku. Dan saudara-saudara kita sudah telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
"Ohh...Dinda," aku menciumi pipinya, bergeser ke leher, telinga dan dada. Kuhirup aroma tubuhnya yang menggoda. Sensasional sekali rasanya. Aku baru kali ini melihat tubuh Iskha seutuhnya. Kuciumi puting susunya dan kujilati. Kuhisap.
"Kandaaaa....aahhckk..," lenguhnya.
Aku lalu menjilati ketiaknya yang putih. Sungguh tubuh yang sempurna. Iskha menggelinjang. Aku lalu bergeser ke bawah, ke pinggang, ke pinggul lalu ke pantatnya. Ke pahanya. Pahanya lalu aku peluk dan kujilati. Hisap, hisap. kecup, kecup. Buah adanya aku belai lagi,kuremas. Kedua tangannya memegang tanganku.
Wajahku sekarang sudah berada di depan liang surgawinya. Baunya sangat khas. Aku tak pernah melihat miliknya sebelumnya. Walaupun ia pernah mengoralku. Iskha melebarkan kakinya. Ia seolah-olah tahu bahwa aku sudah berada di depan miliknya yang paling berharga. Inikah milik istriku? Ada sedikit rambut di atasnya. Aku ciumi bibir memeknya.
"Aaaahh,....kandaaa!" panggilnya.
Aku mencolok-coloknya dengan bibirku. Lidahku lalu berbicara. Kusibakkan memeknya dengan tanganku, lalu lidaku menyapunya.
"Aaaaaaahhhhhhhkkk.....!" jeritnya.
Lalu lidahku sudah menari-nari di belahan memeknya. Iskha mengerang , menjambak dan mengapitku. Ia menggeliat seperti cacing di atas wajan penggorengan. Iya aku sedang menggoreng. Menggoreng nafsunya. Saat aku sibuk mengoral memeknya, tanganku mencubiti puting susunya. Kedua tangannya memegang tanganku.
"Kandaaa......aaahhhh....ahhh...sudah...dinda mau pipiss..," katanya dengan suara agak imut. Ia menggeliat makin menjadi dan badannya naik melengkung ke atas. Mulutnya menganga, matanya memutih. Ini orgasme pertamanya. Cairan asin yang keluar dari memeknya itu aku hisap.
Ia segera bangkit. Aku berbaring. Ia berinisiatif sekarang. Batangku sekarang digenggamnya. Dipijat-pijat, dikocoknya. Mulutnya sekarang menari-nari di pusarku. Ohhh...nikmatnya. Ia menstimulus libidoku sekarang. Lalu turun ke bawah. Dan lidahnya sekarang berputar-putar di kepala penisku. Dia melihat ke arahku sambil menjilati pusakaku itu. Membuatku benar-benar bernafsu. Mulutnya terbuka lebar dan memasukkan kepala penisku ke dalamnya. Dikulumnya benda lunak-lunak keras itu. Kepalanya kini naik turun.
"Aahhkkk...dinda...enak sekali...nikmaat....," kataku.
Tangan Iskha sekarang memijat-mijat buah pelerku. Yang satunya mengocok lembut. Diimbangi dengan permainan mulutnya yang maut. Ia benar-benar belajar banyak. Aku sekarang dioral lagi olehnya. Tapi kini rasanya lebih mantab. Lidahnya seperti biasa menggelitikku. Sedangkan kepala penisku sudah ada di dalam mulutnya. ENtah ia apakan itu sampai penisku serasa geli sekali. Bahkan kalau aku tidak mendorongnya mungkin aku bisa ejakulasi saat itu juga.
Kemaluanku sudah berkedut-kedut, ketika aku baringkan tubuhnya di bawahku. Ia sudah mengerti arah dari gerakan ini. Mengambil keperawanannya.
"Dinda siap?" tanyaku.
Sambil menganggukkan kepala ia memejamkan matanya. "Pelan-pelan kanda sayang!"
"Pasti dinda," kataku.
Penisku sudah ada di depan lubangnya. Aku gesek perlahan. Iskha memejamkan matanya meresapi seluruh sensasi penisku secara langsung. Ia selama ini merasakannya dari balik kain. Kini, ia menyentunya langsung. Punyaku benar-benar sudah tegang. Kaki Iskha makin melebar, ia memasrahkan mahkotanya kepadaku sekarang. Ia sudah rela. Tangannya diapitkan ke leherku, kedua tanganku berada di bawah punggungnya. Aku sudah menemukan lubangnya, karena ia sangat licin sekarang ini.
"Aku datang dinda," kataku.
BLESSS SREETT! Sempit, penisku seperti ditarik-tarik. Kepalanya seperti disedot-sedot dan diremas-remas.
"Aaaahhkkk....kandaaaa...sakiiit!" katanya.
Aku menciumi dia. Kuhisap lidahnya. Aku terus menciumnya tanpa menggoyangkan pantatku. Kubiarkan penisku menyesuaikan diri. Aku tarik perlahan dan kudorong lagi dengan tekanan. SREETTT! Aku bisa merasakan penisku mulai menerobos. Mungkin karena ukuran penisku yang panjang membuat dia sedikit kesakitan.
"Teruskan kanda, aku akan menahan rasa sakit ini. Semua ini untukmu!" Iskha menatapku lekat-lekat. Mata kami sudah beradu. Aku mencium dia. Aku tekan lagi pinggangku ke bawah. Batangku mulai masuk. Ia mencengkram punggungku, kakinya mengapit pinggulku.
"Ohh...Iskhaa....aaahaakk...nikmat sekali," kataku.
"Kandaa...ohhh...sakit kanda, tapi nikmat....," ujarnya.
Aku teruskan dorong hingga mentok. Kemaluan istriku berkedut-kedut sekarang. Ku sudah mentok. Tak bisa maju lagi. Aku pun merasakan menerobos sesuat yang sangat rapat, lalu setelah di dalam rasanya longgar. Tapi batangku masih serasa diremas-remas. Iskha menggigit bibirnya. Kami berciuman lagi. Setelah beberapa saat kemudian. Aku mulai menaik turunkan pinggangku. CLEK! CLEK! CLEK! Suara kemaluan kami benar-benar becek dan basah.
"Kanda! Terus kanda!" katanya. "Nikmat banget...! Oh,...aahh....!"
"Dinda....enak banget memekmu," kataku.
Aku bergerak naik turun. Begitu aku sudah ingin keluar aku berhenti, menahannya agar jangan keluar dulu. Saat itulah Iskha menjerit. Ia orgasme lagi.
"Aku barusan keluar kanda. Kanda belum?" tanyanya.
"Belum dinda. Kanda ingin merasakan dinda dulu. Kanda belum puas," jawabku.
"Iya kanda, teruskan...ohhh.....!" katanya.
Aku bergoyang lagi. Cukup gaya misionari saja menurutku. Ini saja sudah nikmat bukan kepalang. Orang yang ku cintai sekarang bercinta denganku. Kupeluk dia. Kuciumi. Aku juga menyusu kepadanya lagi. Paling tidak pertahananku tak jebol hingga ia sudah keluar sampai tiga kali. Aku pun akhirnya sudah mentok. Penisku serasa gatal sekali ingin keluar. Entah berapa banyak pejuku yang akan muncrat. Tapi aku bisa rasakan sangat banyak.
"Dinda, jadilah ibu dari anak-anakku!" kataku.
"Tentu kanda, semburkanlah manimu. Tanamkan benih-benihmu di rahimku. Aku akan menjadi ibu dari semua anak-anakmu," katanya.
Gerakanku makin cepat. Penisku sudah gatal sekali. Rasanya geli-geli di ujung.
"Kandaaa...aku bisa merasakannya, penis kanda keras banget!" katanya.
"Dinda, aku keluuuaaaaaaarrrr! AArrgghh...! Banyak dinda!" seruku.
Iya, aku keluar banyak sekali. Sperma hangatku membasahi rahim istriku. Kami berpelukan erat sekali. Orgasme itu serasa sangat panjang dan lama. Aku lalu ambruk di samping tubuhnya. Nafas kami terengah-engah. Penisku masih menancap, perlahan-lahan setelah tenang aku mencabutnya. Belum, pusaku belum tidur, baru setengah tidur.
Aku melihat banyak sekali lendir yang keluar di bawah sana. Bahkan aku bisa melihat bibir memeknya dipenuhi cairan berwarna putih pekat kental dengan bercak darah. Penisku juga ada bercak darahnya. Ia benar-benar menyerahkan keperawanannya kepadaku. Iskha terkapar penuh kepuasan. Aku lalu mengambil selimut dan menutupi tubuh kami berdua. Kurangkul dirinya yang kelelahan itu.
"Makasih dinda, telah memberikan apa yang paling berharga untukku," kataku.
"Iya kanda. Dinda senang sekali," ujarnya. Aku memeluknya.
Oke itu baru ronde pertama. Setelah Iskha pulih dari rasa lelahnya. Kami mengulanginya lagi. Kini dengan gaya berbeda. Hampir seluruh gaya kami lakukan. Seharian eh, semalaman itu kami gunakan hanya untuk bercinta dan bercinta. Sampai aku kering. Kami pun tertidur karena kelelahan hingga mentari suda naik.
****
Bangun tidur aku tak mendapati Iskha. Setelah aku bangkit aku melihat dia tampak sedang membawakan aku sesuatu di nampan. Ia tak memakai baju sama sekali.
"Sarapan," katanya.
"Hmm...kalau tiap hari dimasakin chef seksi seperti ini, mana tahan!" kataku.
"Huuu maunya," katanya.
Aku dan dia lalu makan roti bakar sandwich dan pancake yang ia barusan buat. Tubuh Iskha sangat cantik. Mulus, tak ada cacat. Bagai sang dewi turun dari kayangan. Terlebih ketika tersenyum. Kami lalu minum susu di gelas yang sama. Aku setengah gelas. Ia setengah gelas. Baiklah saudara-saudara, karena aku sudah kenyang, dan barusan minum susu. Melihat ia telanjang tanpa sehelai benang pun tahulah apa yang terjadi berikutnya. Aku nyosor aja. Toh kami sudah resmi jadi suami istri siapa yang ngelarang?
Seminggu di villa itu pikiran kami cuma sex dan sex. Semua dahaga terpuaskan di sana. Aku dan Iskha tak pernah pakai pakaian dalam. Semua itu agar untuk mempermudah, hehehe.... Tapi nggak melulu di kamar lho. Kami juga jalan-jalan di kebun dan melihat pemangan sekitar villa. Karena memang pemandangannya sangat indah. Kami sangat senang sekali. Bahkan mungkin saat itu dunia serasa milik kita berdua, yang lain ngontrak aje ye.
NARASI ISKHA
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa aaaaaaaaaa!
Mungkin itulah komentar kalau kamu bercinta dengan orang yang kamu cinta. Sekali ML akan ketagihan, pengennya gituuuuuu mulu. Huft. Lihat aja Mas Faiz. Di villa kemarin tempat kita bulan madu ...hhmm...mungkin nggak tepat ya disebut bulan madu, kita cuma seminggu koq. Soalnya Mas Faiz harus segera kerja. Jadi yaahh...kan bisa disambung di rumah. Hihihihi.... Dan yah begitulah, kepengeeeennnnn terus. Baru berhenti kalo udah bener-bener capek. Ngelayanin suamiku sampe hampir semua tulang-tulangku rontok. Selalu di KO ama dia. Dan kalau aku lagi capek, pasrah aja deh, terserah deh kanda, kamu apain aku. Eh tapi aku suka koq.
Lagian kami juga baru beli rumah. Patungan uangku ama uangnya Mas Faiz. Kerja jadi artis dengan job banyak boleh juga ya ternyata, tapi....aku suka deh ama prinsipnya Mas Faiz. Dia bener-bener nggak mau nguta-atik uangku kalau bukan aku yang ngasih. Hihihi, ibaratnya uang suami adalah uangku, uangku ya uangku sendiri
Oke kembali ke kehidupan kami. Semenjak kami menikah aku jadi tahu banyak tentang kebiasaan Mas Faiz. Dia itu kalau tidur, kalau capeeek banget pasti mendengkur. Trus orangnya sering berantakin lemari, jadinya aku yang harus ngerapiin, trus kalau sudah kepengen lupa segala-galanya. COntohnya waktu itu aku sedang sibuk di dapur nyiapin bekalnya atau sedang bersih-bersih rumah, awalnya dia peluk aku dari belakang, ciumin leherku. Naaah...kalau sudah begini lanjut deh. Aku emang orangnya gampangan horni kalau diciumi leherku.
Tapi meskipun begitu dia pinter masak lho. Aku aja ternyata kalah jago. Dia juga paling sebel kalau ada baju kotor. Pasti kerjanya laundry mulu. Satu hal yang baru aku tahu dari cowok adalah kalau di kamar mandi ada cermin dia pasti ngaca, bergaya gitu. Aneh kan??? Kadang aku heran ketika dia keramas. Eh rambutnya dibentuk mohawk gitu sambil ngaca. Pas aku lihatin dia salah tingkah. Hihihihi...Kadang juga begaya nyanyi-nyanyi gitu sambil pake gayung. Heran deh. Apa semua cowok gitu ya??
Nah, karena sering gituan, jadi ya wajarlah kalau setelah itu aku hamil. Sebulan pertama nggak kerasa. Nah, bulan kedua aku telat haidh. Trus aku test deh dan hasilnya positif. Aku elus-elus perutku pagi itu.
Tampak Mas Faiz sedang sarapan pagi itu. Hari itu aku mual banget, mau bikin sarapan pancake aja rasanya eneg lihat minyak goreng. Akhirnya Mas Faiz masak sendiri. Habis dari kamar mandi karena mual aku menemaninya di meja makan.
"Kenapa? Masuk angin?" tanyanya.
"Masa' masuk angin gara-gara lihat minyak goreng sih, nda?" kataku.
"Hmm??" ia menegakkan alisnya. "Positif?"
AKu mengangguk. Wajahnya langsung berubah.
"Serius?" tanyanya lagi.
Aku melemparkan hasil testpack dua strip yang aku cek tadi pagi setelah bangun tidur.
"YEEEESSSSSSSSSSSSSS!" tiba-tiba ia melompat sampai kursi meja makan jatuh. Kaget aku. [-_-]
"Mas, mas, udah. Biasa aja dong. Kaget aku," kataku. Lucu juga melihat suamiku seneng gitu.
"Aku jadi ayah, aku jadi ayah!" Mas Faiz muter-muter gak jelas gitu. Trus ia langsung berlutut di hadapanku sambil menciumi perutku. "Muuuachh....mmmuuuacchh! Cepet keluar ya dede kecil, biar ntar ayah gendongin siang malem."
Aku bahagia dan tambah bahagia dengan benih cinta yang dia tanam ini. Namun ternyata ujian cinta kami tidak berhenti sampai di sini. Dan yang ini aku harus mengalah demi Mas Faiz dan orang yang sangat mencintainya.
BAB XXV
Wasiat
Bicara mengenai menggebu-gebu dalam berhubungan, yup, kami benar-benar menggebu-gebu. Hampir tiap bahkan tak mengennal tempat. Hingga tak heran kalau dua bulan kemudian Iskha dinyatakan hamil. Aku senang sekali. Begitu tahu hamil aku langsung melompat-lompat, pokoknya senang banget. Mendapatkan anugrah yang tak terkira ini benar-benar membuatku bahagia. Iskha juga sangat senang, cinta kami akan bertambah lagi dengan kedatangan buah hati. Heran aja sih, begitu tahu kabar istriku hamil, eh media langsung minta konfirmasi. Dari mana juga tahu???
"Iya, aku sedang hamil 2 bulan pemirsa," ujar Iskha saat diwawancarai sebuah stasiun tv. "Do'ain aja agar kandunganku sehat dan lahir dengan selamat."
"Bapaknya seneng dong mbak pastinya?" tanya sang reporter.
"Ya iyalah, tahu aku hamil langsung melompat-lompat kaya' anak kecil dia," katanya sambil tertawa.
Sayangnya aku nggak diwawancarai. Ah, whateverlah. Yang penting aku senang banget. Kabar tentang hamilnya istriku mendapatkan sambutan yang baik dari keluargaku dan keluarga Iskha. Yang datang ke rumahku bergantian. Pertama ayahku, beliau mengucapkan selamat. Kemudian bunda. Ia sangat senang sekali. Bahkan mulai mengatur-ngatur agar istriku makan makanan yang sehat. Lalu mertuaku, sama aja sih. Lebih khawatir calon jabang bayinya daripada orang tuanya. Hihihi...aku bisa menyadari koq. Maklum cucu pertama.
Setelah lulus dari Havard aku mendirikan perusahaan sendiri di bidang Teknologi Informasi, khususnya di bidang mobile. Aku masih punya sisa uang di tabungan sekitar 200jt. Dengan modal segitu akun pun mendirikan software house kecil-kecilan. Yah, lumayanlah dapat penghasilan yang tak sedikit juga. Paling tidak aku sekarang sudah mandiri. Nggak butuh bantuan keluargaku lagi. Penghasilan Iskha juga banyak. Dan ia malah berinisiatif untuk gabungin saja penghasilannya. Tapi aku melarangnya. Uangku adalah untuk kita berdua, sedangkan uangmu untuk dirimu. Itulah prinsipku. Well, dia setuju aja sih. Aku hanya ingin bisa bertanggung jawab terhadap keluargaku.
Aku sudah lama tak melihat Mas Pandu. Bahkan setelah hari pernikahan pun tidak melihatnya. Aku tak tahu kabarnya. Hingga ayah menelponku untuk segera ke rumah sakit. Aku tiba di rumah sakit bersama Iskha. Dan di sana semua keluarga berkumpul. Dan...ada Vira. Ia menangis. Beberapa anggota keluarga juga menangis. Aku masuk ke kamar dan mendapati seseorang sudah terbujur kaku dengan ditutupi selimut di sekujur tubuhnya.
"Mas Pandu?" panggilku.
Aku sibakkan selimutnya. Tampaklah wajah Pandu yang sudah terbujur kaku. Tubuhnya sudah dingin. Ia sudah tak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Aku pun menangis saat itu, tiba-tiba tubuhku lemas.
"Mas Pandu, bangun! Ini nggak lucu, bangun mas! Ayah, tolong jangan bercanda. Bangunin Mas Pandu! Bangunin yah!" kataku sambil menarik tangan ayahku. "Ayo yah, bangunin! Ayah bisa melakukan apa saja. Ayah punya banyak uang, punya banyak kekayaan, gedung ayah ada di mana-mana. Kenapa ayah tak bisa membangunkan Mas Pandu? Ayaah, bangunin Mas Pandu yaaahh...."
Iskha lalu mendekapku dan mencoba menenangkan aku. Aku pegang tangan Mas Pandu. Tangannya dingin.
"Mas Pandu sudah tak bisa menulis lagi sejak lama Kanda. Dia sudah lumpuh, tak bisa apa-apa. Hanya bisa bicara," kata Iskha.
"Ini sudah terjadi Faiz, relakanlah!" kata ayahku.
"Mas Pandu....!" panggilku lagi.
"Awalnya kakinya, lalu organ-organ tubuh yang lain, kemudian tangan, saraf-saraf motoriknya mulai tak bekerja dengan normal, kelumpuhan total lalu inilah saatnya," kata ayahku. "Berterima kasihlah kepada Vira. Ia menjaga kakakmu sampai akhir hayatnya."
Kemudian ayah meninggalkanku. Bunda datang langsung memelukku. Ia sangat faham akan kesedihanku. Pandu yang selalu bersama denganku, bermain bersama, tumbuh bersama, sekarang sudah pergi duluan. Setelah semua anggota keluargaku pergi, kemudian Vira masuk ke ruangan. Ia tampak menangis. Iskha menghampiri Vira dan memeluknya.
"Aku sekarang tak ada tempat lagi untuk kembali Iskha, Pandu sudah pergi, huuhuuuu....," Vira menangis tersedu-sedu.
"Katanya di telepon ada sesuatu yang ingin kau tunjukkan kepadaku?! Mana?" tanya Iskha.
"Aku tak jadi. Aku tak mau menunjukkannya," ujar Vira.
"Tidak, ayo tunjukan. Itu pesan terakhir Mas Pandu bukan?" kata Iskha.
Vira menyembunyikan sesuatu sepertinya.
"Tidak Iskha, jangan paksa aku. Aku bahkan ingin menghapus ini. Kau tak boleh, kalian tak boleh melihatnya!" kata Vira.
"Apa? Apa yang kau sembunyikan dariku?" tanyaku.
"Kumohon jangan paksa aku. Aku lebih baik mati daripada kalian melihatnya," kata Vira.
Ia sepertinya melindungi tas yang ia bawa.
"Itu wasiat terakhir Pandu bukan? Tunjukkan kepada kami mbak, AYolah!" bujuk Iskha.
"Aku tak mau, aku akan membuangnya," kata Vira.
Aku lalu merebut tasnya. Kami terjadi aksi saling menarik. Tapi tenagaku lebih kuat. Di dalam tas itu ada sebuah ponsel. Ponsel milik Pandu. Aku masih ingat ponselnya. Inikah yang ingin disembunyikan oleh Vira. Aku lalu melihat folder Video. Ada sebuah file yang sepertinya baru dibuat beberapa waktu yang lalu.
"Kumohon jangan diputar! Kumohon. Kalian sudah bahagia aku tak mau merusaknya. Faiz, jangan lakukan itu kumohon! Jangan diputar! Kumohon!" Vira tiba-tiba bersimpuh di hadapanku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Aku pun memutar video itu. Ada wajah Pandu. Vira pun menangis meraung-raung. Iskha mencoba menenangkannya.
"Tenanglah mbak, semuanya akan baik-baik saja," hibur Iskha.
"Kalian tidak mengerti, kau tidak mengerti. Faiz, buang ponsel itu, kumohoonnn!"
"Hai Faiz, gimana kabarmu? Kamu sudah menikah ya? Selamat deh. Sayang aku nggak bisa datang bro, lu tahu sendirikan gimana keadaan gue," aku melihat Pandu terbaring lemah. Yang merekam pasti Vira. "Vira merekam video ini. Vira, ingat ya, apapun yang aku ucapkan kau tak boleh menangis, kau harus tegar dan ini sudah menjadi keputusanku. Dan bro, aku membuat video wasiat ini tanpa paksaan siapapun, Vira tolong sorot Pak Dokter! Dan orang-orang yang ada di sini!"
Vira lalu mengarahkan ponsel ke semua orang yang ada di ruangan itu. Aku melihat dokter, suster, ayah, dan dua orang yang aku tak kenal.
"Ada dokter rumah sakit, ia sudah memeriksaku bahwa aku nggak gila bro, tenang aja. Ada ayah, ada ibu, dan kedua orang tuanya Vira. Well, aku bangga punya saudara kuliah di Havard. Bangga sekali. Berharap kamu jadi Bill Gatesnya Indonesia. Hahahaha. Duh, sekarang buat tertawa saja aku susah. Andainya kaki ini masih bisa gerak, aku akan main futsal ama kamu. Kalau tanganku ini bisa gerak, aku akan meninjumu bro. Ya, aku akan tinju kamu sekuat tenaga sampai pingsan. Tahu kenapa? Karena kau membohongiku. Aku sebenarnya mendengarkan percakapanmu dengan Vira di ruang UKS itu. Kau mengalah demi aku, itu bukan tindakan ksatria. Bukankah kita sama-sama sudah sepakat kalau siapapun yang dipilih Vira pasti harus menerimanya? Kenapa kau tak lakukan itu? Kenapa Vira juga tak jujur kepadaku?
"Tapi tenang bro. Vira sudah mengakui koq. Akulah yang salah. Aku memanfaatkan keadaan ini. Sehingga aku merebut Vira darimu, aku tak tahu kalau kamu susah untuk move on, aku sedih bro. Apalagi Vira tak pernah mencintaiku selama ini. Di hatinya hanya ada kamu dan kamu. Faiz, Faiz, Faiz. Bagaimana kabar Faiz? Faiz baik-baik saja? Bagaimana Faiz ketika kecil? Suka apa dia? Dia selalu tanyakan itu kepadamu bro. Itu sakit bro, sakit! Vira...viraaa...kumohon jangan nangis. Aku tak mau videoku goyang-goyang! Oke, begitu....lanjut bro. Aku sakit bro. Sudah deh, daripada aku juga sakit hati. Mending Vira aku putusin aja. Aku suruh dia kembali ke elu. Tapi.....sayang sekali elu sudah punya Iskha.
"Jujur aku iri kepada kalian. Kalian mesra banget, pake pamer gandengan tangan segala. Aku saja tak pernah nyentuh VIra. Tenang aja, onderdilnya masih bagus, masih kinclong aku tak pernah menyentuhnya. Yeee...malah ketawa. Vira, jangan digoyangin. Sorry bro, gangguan teknis. Ini aku ingin ngasih wasiat terkahir buat lo. Dan elo harus melakukannya. Lo suka atau tidak, lo terima atau tidak. Di sana ada Iskha? Kalau ada bagus deh. Aku ingin dia dengar juga..."
VIra tiba-tiba berteriak, "Jangaaaannn! JAngaaan...! FAizzz matikaaan..kumohoooonn...!" Iskha memeluk Vira agar tenang.
"Ingat ya, lakukan wasiat terakhirku, kalau tidak aku akan bangkit dari kubur dan kumakan daging lo. Aku sumpahin sampe anak cucu lo hidup menderita tujuh turunan kala kamu nggak melakukan apa yang ingin aku sampaikan ini. OKe, sudah siap? Nah, aku ingin kamu nikahi Vira..."
Tiba-tiba ada suara Vira, "Pandu apa-apaan ini, sudah aah..ngaco kamu!"
Pandu melanjutkan, "Vira, ingat kamu sudah janji apapun yang aku sampaikan kau tetap merekam!"
"Pandu kamu ini mau apa?" tanya ayahku di rekaman itu.
"Ayah tenang aja, nggak usah ikut campur! Oke lanjut lagi. Kamu dengar Faiz? Nikahi Vira. Sebab ia tak punya tempat untuk kembali. Cintanya terlalu besar untukmu. Cintanya bukan untukku. Aku tahu kedengarannya ini konyol, tapi ini keputusanku. Dan...Iskha, maafkan kakak iparmu ini ya. Ini semua demi orang-orang yang aku cintai. Demi Faiz, demi Vira. Aku tak bisa hidup tanpa mereka. Kamu sudah mengambil Faizku, dan sekarang aku menyerahkan Vira kepada suamimu. Aku akan tidur tenang setelah ini. Kumohon ijinkan Faiz menikahi Vira, demi aku...demi aku......"
Video itu berakhir. Vira menangis dengan keras sekali. "Jangan lakukan itu! Aku mohon itu wasiat terbodoh yang pernah aku dengar. Aku tak mau melukai kalian. Aku hanya duri bagi hubungan kalian. Aku tak mau melakukannya."
NARASI ISKHA
Video itu benar-benar menggetarkan hatiku. Sampai segitunya Mas Pandu memikirkan Faiz dan Vira. Aku pun ikut menangis. Aku tahu bagaimana rasanya menjadi Vira. Menjadi perusak hubungan rumah tangga seseorang. Apa keputusan suamiku? Dadaku bergemuruh. Vira terus memelukku dan berkata "Jangan kalian dengarkan wasiat itu, aku mohon!"
Kenapa, kenapa suamiku tak bisa bicara sekarang? Bicaralah kumohon kandaa....Tidak,...ia tentu saja tak bisa bicara. Sebab Mas Pandu memohon kepadaku. Mas Pandu...Vira..., iya, Vira selama ini selalu menemani Mas Pandu, mengurusi mas Pandu. Padahal ia sama sekali tak mencintainya. Ia lakukan itu dengan tulus. Vira juga yang seharusnya selama ini jalan dengan Mas Faiz. Bukan diriku. Seharusnya dia sekarang sudah menikah dengan Mas Faiz, bukan diriku. Akulah duri terbesar dalam hubungan mereka.
Tapi....mas Faiz sudah memilihku. Memilih sesuatu yang menghalangi cinta Vira kepadanya. Oh Tuhaan...cobaanmu sungguh berat. Aku mencium kening Mbak Vira.
"Ayo berdiri mbak!" ajakku.
"TIdaak...aku tak mau berdiri! Aku memohon kepada kalian tolong jangan dengarkan Pandu, kumohon!" kata Vira dengan histeris.
Aku memaksanya untuk berdiri.
"Sudah, sudah! jangan menangis lagi! Baiklah kami tak akan melaksanakan wasiat Mas Pandu!" kataku.
"Sungguh?" katanya sambil menghentikan isak tangisnya. Matanya sembab, air matanya entah berapa banyak yang keluar.
"Tapi, ada wasiat Mas Pandu ataupun tidak aku inginkan hal yang sama seperti apa yang diinginkan oleh Mas Pandu," jawabku.
"Dinda, apa-apaan ini?!" kata suamiku.
"Iskha, tidak. Aku tidak mau menjadi penghancur rumah tangga kalian!" kata Vira.
"Mbak Vira, aku tahu mbak sangat mencintai Mas Faiz lebih dari siapapun. Lebih dari apapun. Hal ini cukup menjadi bukti betapa orang lain bisa tahu rasa cinta mbak kepada Mas Faiz sangat besar. Dan mungkin tak sebanding cintaku kepada Mas Faiz. Mbak cinta pertamanya, dan aku yakin dia cinta pertama mbak. Aku hanyalah sebuah taman bunga di antara pertemuan kalian. Aku tak menyesal kalau seandainya kalian bisa bersama. Aku ikhlas mbak, aku rela. Aku mendengarkan semua yang Mbak Vira dan Mas Pandu bicarakan di taman itu, aku tak sengaja ada di sana. Aku tahu bagaimana perasaan Mbak Vira kepada Mas Faiz. Sungguh aku tak akan bisa dan tak akan kuat seperti Mbak Vira. Mampu menahan cintanya sampai sebegitu dalamnya sampai sekarang. Mbak Vira....Kanda!"
Aku memegang tangan mereka berdua, lalu perlahan-lahan menyatukannya.
"Kanda,...nikahilah Mbak Vira, aku mengijinkannya. Aku bisa menjadi saudaranya," kataku.
Tiba-tiba mas Faiz merangkulku. "Kau tak perlu melakukan ini Dinda.....tak perlu..."
"Tapi aku perlu melakukannya. Karena aku mencintaimu," kataku.
BAB XXVI
Bersamamu
NARASI FAIZ
Video wasiat Mas Pandu itu mengubah semuanya. Ternyata ayahku tahu apa yang terjadi. Lalu kenapa dia diam saja? Inikah alasannya kenapa Vira tidak datang di acara pernikahanku. Inikah juga alasan kenapa mereka diam saja ketika aku tanya di mana Pandu? Mereka ingin agar tidak merusak acara pernikahanku. Maka dari itulah mereka melakukannya.
Semuanya sekarang berkumpul. Iya, aku mengundang mereka semua. Mulai dari ayah dan istri-istrinya, serta saudara-saudaraku dari Bunda-bundaku yang lain berkumpul semua. Iskha sangat senang ketika aku melakukan hal ini. Ia sejak dulu ingin melihatku bisa berkumpul bersama keluargaku lagi. Inisiatifku ini tentu saja membuat dia tak henti-hentinya memujiku.
Rumahku serasa ramai sekarang. Bukan rumah yang besar soalnya. Tak seperti rumah ayahku yang bisa menampung orang lebih banyak. Tapi bukan masalah muat atau tidak muat sekarang ini. Masalahnya adalah kebersamaan. Aku akan melamar Vira hari ini itulah sebabnya hari ini kami akan berangkat bersama. Setelah dari rumah sakit itu Vira tak ingin menemuiku lagi. Dan aku berencana aku beserta seluruh keluargaku untuk menjemputnya. Aku ingin melaksanakan wasiat Mas Pandu untuk terakhir kali. Walaupun menurut Vira itu adalah hal bodoh tapi aku akan melakukannya. Dia mengancamku kalau ia sampai melakukan wasiat Mas Pandu dia tak akan menganggap aku sebagai temannya lagi.
"Semuanya, terima kasih kalian repot-repot mau datang ke rumahku yang tak begitu besar ini," kataku.
Mereka semua menoleh ke arahku. Tampak wajah-wajah bahagia menoleh ke arahku.
"Hari ini, aku ingin minta maaf kepada kalian semuanya. Kuharap kalian tidak keberatan membantuku hari ini. Sebab apalagi yang aku punya? Apalagi yang aku bisa? Tanpa keluargaku, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa," kataku. "Hari ini, aku ingin ke rumah Vira. Aku tahu dia pasti akan marah besar kepadaku hari ini. Dia akan menolakku. Aku ingin kalian semua membantuku hari ini. Demi wasiat terakhir Mas Pandu."
Ini untuk pertama kalinya aku memohon kepada seluruh anggota keluargaku. Ya, aku memohon kepada mereka. Untuk pertama kalinya juga aku membungkukkan badan kepada mereka semua.
Ayah maju ke depan. Dia menoleh ke arah Iskha. Lalu mengangguk kepadanya, kemudian dia tersenyum kepadaku.
"Kami selalu ada untukmu anakku. Apapun yang kau inginkan hari ini, aku akan mendukungmu. Aku hari ini berterima kasih kepada Iskha, perjuangannya tidak sia-sia hingga hari ini aku bisa berdiri di sini. Selamat datang kembali nak. Kami sudah sangat lama menanti kamu untuk kembali kepada kami. Kamu nggak salah milih seorang istri," kata ayahku.
Ayahku, walaupun kata orang dia dingin, keras dan tegas tapi dia orang yang lembut kepada anak-anaknya. Aku sudah bersalah banyak kepadanya. Wajahnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih. Senyumnya tersungging di wajahnya. Dia selama ini orang yang melindungiku, menyayangiku, bahkan dia jugalah orang yang selama ini membantu Iskha. Ia juga meyayangi Iskha seperti anaknya sendiri.
Tak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan aku hanya bisa memeluk ayahku. Beliau menepuk-nepuk punggungku. Bunda sekarang menghampiriku. Ayah melepas pelukanku dan kemudian berkumpul bersama anggota keluarga lainnya.
"Ayo semua, kita bantu Faiz. Zahir, mohon siapkan kendaraan. Risma, kumpulkan apa saja yang harus dibawa. Ayo, kita buat agar Vira tak menolak Faiz," kata ayah.
"Ayo! Ayo!" seru mereka semuanya. Setelah itu mereka sibuk sendiri-sendiri.
"Faiz, bunda ingin bicara ama kamu," kata bunda. Beliau pun mengusap-usap pipiku. "Pada saat seperti ini, tak ada yang bisa bunda berikan kepadamu selain do'a. Kau sudah dewasa, kau sudah mandiri. Kau telah membuktikan bahwa tanpa ayahmu kau bisa jadi orang besar. Kau juga telah bekerja sekeras ini. Sejujurnya apa yang terjadi hari ini mengingatkan bunda kepada ayahmu dulu."
"Kenapa bunda?" tanyaku.
"Dulu ayahmu bertahun-tahun mencari bunda. Dia berjuang untuk mencari bunda. Dia memperjuangkan cintanya. Dan aku ingin kamu juga bisa memperjuangkan cintamu. Kamu masih mencintai Vira?"
"Aku tak tahu bunda."
"Jawab dengan jujur. Selama ini kamu melihat Vira bagaimana? Sebab sekali kita berangkat ke rumahnya kita tak bisa kembali lagi."
Memoriku dengan Vira pun kembali lagi. Aku ingat bagaimana dulu aku mengejar dia ketika masih di bangku putih abu-abu. Aku juga masih ingat first kiss kita. Aku ingin melihat hatiku sekarang. Aku memejamkan mataku. Apakah aku mencintai Vira? Tidak, aku sebenarnya sudah move on. Move on ke Iskha, istriku sekarang. Lalu kenapa aku harus mengejar Vira lagi?
Karena Mas Pandu. Itu mungkin alasan yang tepat. Tapi aku bisa saja menolak wasiat itu. Aku bisa saja menolaknya. Jadi bukan karena itu. Aku membuka mataku. Kulihat Iskha masih tersenyum kepadaku. Senyumannya benar-benar melumerkan hatiku. Aku mencintai dia. Aku sangat mencintainya. Mungkin juga terlalu mencintai dia. Iskha pun tahu itu.
Aku masih ingat ketika di Amerika, aku selalu ingat dia. Mendengarkan lagu-lagunya. Aku rela pergi dari keluargaku demi dia. Aku bahkan berjuang untuk mencari dia ketika dia diusir dari rumahnya. Bersusah payah untuk dia itulah kenapa aku sangat mencintai dia. Dan rasanya kalau aku tidak mencintainya aku tak akan bersusah-susah berlatih musik memainkan lagu Cage Bird itu. Dan kalau aku tidak sangat mencintainya aku tak akan bersusah payah melamar dia di hadapan ribuan penggemarnya waktu itu. Dan kalau aku tidak sangat mencintainya......aku tak akan melakukan ini.
Ya, inilah alasanku melamar Vira. Karena aku mencintai istriku. Karena aku mencintai Iskha. Karena Iskha yang menginginkannya.
"Aku melakukan ini karena aku sangat mencintai Iskha bunda. Karena dia aku melakukan ini. Dan kita berangkat ke sana juga karena dia. Dan kalau bukan karena Iskha, aku tak akan kembali kepada kalian," kataku.
Itu adalah alasan yang paling masuk akal. Iskha yang menginginkan ini. Dia ingin Vira menerimaku menjadi suaminya. Aku tak tahu bagaimana perasaannya sekarang ini. Tapi aku tahu orang yang sedih orang yang tidak sedih. Iskha adalah orang yang mengekspresikan kata hatinya dari raut wajahnya. Dan keputusannya ini justru membuat ia senang dan tidak sedih. Aku masih ingat kata-katanya kemarin.
"Walaupun kanda mengatakan tidak mencintai Vira, aku masih bisa merasakan perasaan kanda kepadanya. Dulu ketika kanda bertemu Vira saat bersama Mas Pandu, kanda menggenggam erat tanganku. Itu pertanda kanda masih ada perasaan ke Vira. Itulah juga sebabnya dulu kanda mengejar dia ketika keluar dari kafe. Dan Dinda juga tahu, kanda masih ingin bersama Vira. Dinda sangaaaat mencintai kanda. Dan dinda juga tahu kanda juga sangaaaat mencintai dinda. Tapi pertemuan di rumah sakit itu sudah menjelaskan semuanya. Kanda masih mencintai Vira. Kalau kanda tak mencintai dia, kanda pasti akan membiarkan semua ini. Tapi dinda sangat mengerti, sebab kanda adalah belahan jiwaku."
Bunda tersenyum kepadaku. Beliau lalu menghampiri Iskha. Lalu mencium pipi istriku. "Kamu tahu Iskha, bunda nggak pernah melihat Faiz sangat mencintai seorang wanita seperti ini sebelumnya. Kau memberikan kehidupan pada keluarga ini. Kau juga yang mengembalikan serpihan jiwaku. Faiz adalah segalanya bagi bunda. Dan bunda menerimanya dari dirimu nak. Terima kasih telah mendampingi Faiz."
Bunda pun memeluk istriku. Dia sangat bahagia. Setelah itu kami pun berangkat.
****
Perjalanan ini benar-benar mendebarkan. Bagaimana tidak? Aku tahu bagaimana marahnya Vira kemarin. Setelah dari rumah sakit ia benar-benar pergi. Bahkan dia pun tak hadir di pemakaman Pandu. Aku tahu perasaannya. Dan aku memang tidak memberitahu dia kalau kami semua akan datang. Setelah satu jam kemudian kami pun sampai. Rombongan kami cukup banyak, iring-iringan mobil memenuhi badan jalan bahkan kehadiran kami ke rumah Vira pun sampai-sampai banyak wartawan yang meliputnya. Tapi para bodyguard ayahku langsung membentuk pagar betis.
Orang-orang ribut dan sebagian mencoba melihat apa yang terjadi. Begitu aku keluar, juga ayahku dari mobil, semua orang langsung heboh. Wartawan langsung mengambil gambar, blitz kamera bersahut-sahutan di sana-sini. Seluruh anggota keluargaku sudah keluar semua dari mobil. Aku memberi aba-aba agar mereka menunggu.
NARASI VIRA
Aku benci kepada Faiz. Aku benci. Aku lebih benci lagi kepada Pandu. Kenapa juga dia sampai membuat wasiat seperti itu. Aku sudah melepaskan Faiz. Aku sudah ikhlas. Aku sudah rela ia bersama Iskha. Seminggu setelah Pandu tiada aku mengurung diri di kamar. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, ayah dan ibuku berusaha menghiburku. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin sendiri. Aku memegangi kalung pemberian Faiz yang aku pakai. Oh, Faiz....celaka, aku masih ingat Faiz. Aku harus melupakannya. Dia sudah jadi suami orang, kenapa aku harus mikirin dia?
Iya, aku dulu mencintainya. Tapi duluuuu. Semenjak dia jalan sama Iskha ya udah, selesai, finish. Aku sudah terima nasib. Buat apa aku harus mikirin dia lagi. Faiz....harusnya kamu sama aku. Harusnya sejak dulu. Nah, kan masih mikirin dia lagi. Sudaaahh...apa yang aku harus lakukan agar aku tak mikirin Faiz lagi??
"Faiz....," gumamku. "Aku bingung antara benci dan cinta. Saat aku membencimu aku justru makin cinta kepadamu. Saat aku mencintaimu aku tak bisa menyakiti Iskha. Faiz...kemarilah, kalau kamu memang cinta kepadaku datanglah kemari."
TOK! TOK! pintu kamarku diketuk. Ibu segera masuk.
"Vira! Vira! Faiz! Faiz ke sini!" kata ibuku.
Tak mungkin. Aku baru saja memikirkan dia. "Ibu pasti bercanda," kataku.
"Beneran! Ayo sini!" kata ibuku.
Entah kenapa aku segera beranjak. Padahal aku benci nama itu kan? Ibuku langsung menarikku sampai ke luar rumah. Di sana aku dapati Faiz. Dan di belakang dia tampak seluruh anggota keluarganya. Semuanya bahkan aku melihat Iskha di sana. Apa-apaan ini??
"Vira?" sapa Faiz.
"Ngapain kamu kemari?" tanyaku dengan sedikit sewot.
"Aku ingin menjemputmu."
"Faiz, aku sudah bilang kepadamu aku tak mau. Kenapa kamu masih saja menuruti wasiat itu? Kalian memang gila. Gila semuanya. Nggak Pandu, nggak kamu, kalian memang keluarga gila! Pergilah!"
Faiz melangkah maju dan kini dia berada persis di depanku.
"Aku tak akan pergi."
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini? Aku sudah tidak mencintaimu lagi Faiz, sudah. Hubungan kita sudah berakhir."
"Kau jujur atau bohong?"
"Jujur."
"Kalau begitu kenapa kamu mau menemuiku sekarang?"
"Aku tak bisa Faiz. Tolong, kumohon aku tak mau mengganggu hubunganmu dengan Iskha. Kalian sudah pantas bersama, aku tak mau Faiz. Kumohon," kataku sambil terisak.
"Kamu masih ingat kencan pertama kita?"
Oh tidak, dia mengingatkanku lagi saat itu. Kencan pertama dan sekaligus juga saat first kiss kita.
"Kamu memakai gaun biru, kamu terlihat sangat cantik malam itu. Dan malam itu juga adalah pertama kalinya aku mengenal apa itu cinta. Darimu. Kau cinta pertamaku. Sungguh sulit sekali move on darimu. Aku akui itu. Dan aku tak malu mengakuinya. Aku selalu menghindar ketika membicarakanmu, karena aku tak ingin kamu ada di dalam pikiranku. Tapi tidak semudah itu. Kamu akan tetap selalu ada di hatiku Vira. Melihatmu bersama Mas Pandu, sebenarnya membuatku sakit sangat sakit. Barangkali kamu juga merasakan hal yang sama ketika melihatku bersama Iskha bukan? Maafkan aku. Akulah yang memaksamu untuk bersama Mas Pandu. Kalau kamu mau menyalahkan orang, maka salahkan aku. Aku yang pantas untuk disalahkan. Aku memang pantas dihukum atas kesalahan-kesalahanku. Tapi biarlah aku mengisi hatimu yang selama ini kosong."
Oh...Faiz...aku sangat ingin, ingiiiin sekali. Tapi apakah harus dengan cara seperti ini??
"Vira, sekarang seluruh keluargaku membujukmu. Aku datang membawa mereka semua. LIhatlah!"
Ya Faiz, aku bisa melihat semuanya.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku. Kamu masih memakai kalung pemberianku. Apa yang kau rasakan ketika memegangnya?"
Aku menundukkan wajahku. Air mataku berderai.
"Jujurlah Vira, jujurlah! Keluargaku selalu menjunjung tinggi kejujuran!"
"Faiz...," kataku pelan.
"Iya?"
Faiz, aku mencintaimu. Aku jujur mencintaimu. "Aku mencintaimu Faiz. Sejak dulu sampai sekarang. Sampai saat ini. Aku mencoba untuk membencimu aku tak bisa. Aku tak bisa membencimu. Kenapa aku harus hidup seperti ini? Kenapa aku yang harus menerima semua kesedihan ini. Seandainya dulu kau tak memaksaku, aku tak perlu harus menangis seperti ini."
Aku pun menangis. Menangis karena harus berkata jujur. Perasaanku campur aduk semuanya. Aku dipeluk oleh Faiz. Ohh...inilah pelukan yang aku inginkan. Kenapa tidak dari dulu? Dia mencium ubun-ubunku. Oh Tuhan, inilah cintaku. Dia datang kepadaku. Walaupun dengan cara lain tapi dia datang.
"Faiz, aku bersedia," kataku.
****
Singkat cerita, akhirnya aku jadi istri keduanya. Aku makin dekat dengan Iskha. Menuju acara pernikahan yang kedua. Sungguh sesuatu yang tak pernah aku duga sebelumnya. Iskha membantuku memilihkan gaun pengantin. Dia juga yang membantuku untuk mengatur pernikahanku ini. Aduh, aku koq sepertinya dimanja gini. Aku nggak enak dengan Iskha. Tapi ia dengan senang hati melakukan itu. Tak ada raut kesedihan di wajahnya. Seolah-olah dia melakukan ini karena memang itu yang dia inginkan.
Akhirnya hari pernikahan tiba. Aku dan Faiz duduk di pelaminan, menerima para tamu dan undangan. Aku tak pernah datang di pesta pernikahan Faiz dan Iskha. Karena aku tak sanggup melihatnya, tapi....Iskha ada di sana. Aku jadi tak enak ama dia. Mungkin karena inilah aku menganggap dia sebagai adikku.
Setelah pesta selesai dan seluruh para undangan pulang. Aku digeret oleh Iskha. Ia mau ngomong sesuatu.
"Ada apa dek?" tanyaku.
"Aku mau ngasih tips buat kamu," jawabnya.
"Apa?"
"Hari inikan malam pertamamu. Aku ingin kamu bisa menservis Mas Faiz dengan servis yang luar biasa."
"Apaan sih?"
"Udah, gini mas Faiz itu demennya diginiin....(sensor)," Iskha berbisik kepadaku. Dia menjelaskan sesuatu yang agak vulgar.
"Yang bener dek?"
Ia mengangguk. Aku tak tahu kalau ia bisa bicara sevulgar itu. Aku jadi malu. Kututup mukaku.
"Nggak usah malu, dia sama-sama suami kita sekarang. Toh habis ini juga kamu akan merasakannya," katanya sambil tertawa geli.
Kami jadi sama-sama tertawa.
"Ngomongin apa sih?" celetuk Faiz dari arah yang tak terduga.
Kami tertawa lepas. Iskha meninggalkanku sambil mengedipkan mata. Aku mengangguk.
Faiz penasaran, "Apa?"
"Urusan cewek, mau tahu aja," kataku.
****
NARASI FAIZ
Vira sudah jadi istriku sekarang. Trus ngapain? Ngasih nafkah batin dong, emang ngapain lagi coba?
Tapi jujur aku tak menyangka bisa menjadi suaminya. Dan ini malam pertamaku. Sangat berbeda dengan Iskha. Vira ini entah dari mana dia sudah mempersiapkan madu, susu di meja dekat tempat tidur. Dia memakai kaos dan celana hotpants. Rambutnya ini lebih panjang dari Iskha. Hari sudah malam ....nggak sih baru jam 20.00. Lagian orang-orang di luar sana masih bercanda. Aku sekarang berada di rumah ayahku, rumahku dulu. Dan sekarang berada di kamarku. Setelah menghapus make upnya, Vira malah baca buku. Dasar.
Semenjak SMA sampai sekarang ia tak pernah melupakan hobinya membaca buku. Dia bersandar di ranjang. Kakinya yang jenjang diselonjorkan. Kaki kananya ditekuk sebagai tempat sandaran bukunya. Sehingga aku bisa melihat betapa mulus pahanya itu. Bahkan mungkin terkesannya menggoda. Entah untuk menutupi malu atau apa ia membaca buku malam itu.
Aku duduk di depannya.
"Belum ngantuk?" tanyaku.
Ia melirikku, lalu tersenyum. Ia lalu kembali mengarahkan matanya ke bukunya.
"Apa maksudnya itu? Kamu lagi malu?" tanyaku.
Ia menggeleng.
"Kalau nggak malu koq gitu?" tanyaku. Eh dia malah menjulurkan lidahnya.
"Sama suami sendiri koq malu?"
Aku lalu merebut bukunya. Ia terkejut dan mencoba merebutnya.
"Ih...mas Faiz balikin! Lagi baca nih," katanya.
"Oh, sekarang manggil aku mas?" tanyaku.
"Emang harus manggil apa?" tanyanya.
"Hmm...susah juga ya, kamu lebih tua dariku. Hmm....kalau panggilnya cinta aja gimana?"
Vira pura-pura berfikir, "Gombal"
Aku lalu melihat buku yang ia baca, judul buku itu PANDUAN BERHUBUNGAN INTIM. Aku menaikkan alis. Dia lalu merebutnya bukunya lagi.
"Apaan sih, dibilang lagi baca koq."
Aku tertawa.
"Koq ketawa?"
"Udahlah, daripada baca buku, sini praktek langsung."
"Huuu...maunya, ogah ah."
Aku jadi gemas ama Vira. Aku pun menggelitiki pinggangnya. Ia lalu menjerit kegelian. Ia tertawa lepas.
"Sudah, sudah mas. Sudah...aku nggak tahan. Geli...geli..hahahaha," katanya.
Buku itu terlepas dari tangannya. Dia sudah terlentang di ranjang, aku sudah di atasnya. Jarak pandang kami sangat dekat. Satu, dua, tiga bibirku menyentuh bibirnya. Kami berciuman. Dalam, lidah kami bertemu, saling menghisap. Tiba-tiba ia melepaskan ciuman ini.
"Matiin dong lampunya," bisiknya.
Aku menurut. Segera aku beranjak mematikan lampu dan mengganti dengan lampu tidur yang ada di dekat ranjang. Vira sudah pasrah. Ia tidur terlentang. Menatapku dengan pandangan sayu. Aku mendekat lagi kepadanya. Kubelai rambutnya. Kukecup lagi bibir tipisnya. Ciuman kami makin lama makin hot. Nafas kami makin memburu. Aku kemudian meraba payudaranya. Ia tak pakai bra. Kurasakan putingnya mulai mengeras.
"Mas...hhhmmmhh..," desahnya.
Aku mencium lehernya. Kuhisap lehernya yang jenjang itu. Aku pun menaikkan kaosnya dengan satu gerakan terlepaslah kaos itu. Aku juga melepaskan kaosku. Dadaku dan dadanya sekarang berhimpitan. Hangat terasa. Ciuman kami makin hot, apalagi sekarang ditambah tanganku sudah bergerilya di dadanya.
Kemudian aku menciumi dadanya, kucupangi dan aku hisap putingnya yang sudah mengeras itu. Vira menggeliat, tubuhnya gemetar ketika aku menggelitiki puting susunya. Aku menghisapnya bergantian kiri dan kanan. Payudaranya terlalu menggemaskan. Karena itulah aku suka meremasnya. Vira memejamkan matanya.
"Ohh...aahh...ahhh...," hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Aku lalu melepaskan celana pendekku. Pusakaku sudah mengeras. Siap untuk digunakan. Aku juga melepaskan hotpants istri keduaku ini. Eh, gila nggak pake CD dia. Bau kewanitaannya langsung menusuk hidungku. Aku melihat ia mencukur rapi tempat kewanitaannya itu. Sungguh pemandangan yang indah. Walaupun remang-remang dengan lampu tidur, tapi aku bisa melihat tembemnya itu liang kehormatannya.
Baunya semerbak sabun sirih. Apa ia sudah mempersiapkan semuanya untuk malam ini? Aku masih memandangi tempat yang indah itu. Aku kemudian beranikan diri untuk menciumnya.
NARASI VIRA
Mas Faiz ngapain itu? Dia melihat kepunyaanku di bawah sana. Ohhh...aku malu. Aku tak sanggup melihat. Baru kali ini kemaluanku dilihat oleh laki-laki lain. Aku menanti kejutan apa yang akan dia berikan kepadaku. Apa ini? Rasanya basah, kemaluanku basah dan seperti digelitiki. Eh, ini...dia mejilatinya. Menciumnya dan menghisapnya. Massss.....ohhh.
"Ohhh...Mas Faiz...masss...aaahhakkkk," keluhku.
Ini terlalu nikmat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya lenguhan dan desisan saja yang bisa aku keluarkan lewat mulutku. Sesekali aku menggigit bibirku. Perlakuan Mas Faiz ke liang kewanitaanku luar biasa. Aku terbuai, aku keenakan. Aku membuka lebar pahaku agar ia leluasa. Jilatannya makin cepat dan menggelitik. Lidahnya masuk dan menyapu vaginaku sampai ke klitku. "OOOOOOOHHHHH....Maaasss.....aahhh!"
Aku merasakan ledakan dahsyat di bawah sana. Aku orgasme! Gila! Yang bener ini?? Iya, ini orgasme tidak salah lagi. Dari kemaluanku aku seperti ingin pipis. Dan kurasakan ada yang keluar, setelah itu aku lemas. Aku mengatur nafasku. Duh....enak banget. Seperti inikah rasanya bercinta?? Capek rasanya. Kepengen tidur. Tunggu dulu. Aku belum memberikan Mas Faiz kepuasan. Aku kemudian duduk. Kudapati ia sudah mencopot celananya. Eh...dia telanjang bulat di depanku.
Aku malu....untung saja ia menuruti kata-kataku untuk mematikan lampu. Kalau tidak ia akan melihat betapa merahnya wajahku sekarang. Kemaluannya mengacung tepat di depan wajahku. Ia ingin "itu" ya? Aku mencoba mengamalkan apa yang Iskha bilang tadi. Kelemahan Mas Faiz dan bikin ia terbang adalah kalau lidahku menyapu bagian kepala penisnya sambil aku kulum. Baiklah. Aku akan mencobanya.
Aku baru pertama kali ini memegang batang seorang laki-laki. Aku genggam batang itu. Makin lama makin mengeras. Kukocok lembut sebagaimana yang aku baca tadi di buku PANDUAN BERHUBUNGAN INTIM. Lambat laun aku pun memberanikan diri mencium penisnya. Begininya baunya laki-laki. Aku pun baru tahu. Bibirku sudah menggeranyangi kulit batangnya. Lidahku mulai beraksi. Terkadang terkena rambut kemaluannya. Aku tak peduli. Aku sudah memasrahkan tubuhku kepadanya. Aku lalu memasukkan kepala penis itu ke mulutku.
"Ohhh....enak banget sayang," katanya.
Aku mengisapnya, sambil kupraktekkan apa yang diberitahukan Iskha kepadaku. Tiba-tiba Mas Faiz memegang kepalaku dengan kedua tangannya.
"Aarghhh....enak, terus...aahhhhhh....!" katanya.
Benar sekali. Ia mabuk kepayang sekarang. Penisnya aku putari-putari dengan lidahku sambil aku hisap. Aku juga masih mengocok miliknya sambil kuremas-remas buah dzakarnya. Kepalaku juga ikut maju mundur menyesuaikan irama oralku, Ini adalah pengalaman pertamu mengoral cowok. Aku akan serahkan apapun demi dia. Orang yang aku cintai. Aku tahu sekarang Mas Faiz pasti sudah melayang. Tak berapa lama kemudian dia lalu mendorongku.
"Uhhgghh...," katanya. "Kamu belajar dari siapa cara seperti itu?"
"Enak?" tanyaku.
"Iya, enak," jawabnya.
"Hihihi, rahasia," kataku.
Mas Faiz lalu menindihku lagi. Posisinya sekarang sudah seperti akan memerawaniku. Bagaimana rasanya diperawani ya? Aku agak takut. Aku takut Mas Faiz. Takut banget. Aku masih memejamkan mataku, takut melihat wajahnya.
"Sayang, bukalah matamu!" bisik Mas Faiz pelan.
Aku perlahan membuka mataku. Ya ampuuuun...wajahnya sedekat ini. Aku bisa merasakan sesuatu benda yang lunak sudah menyentuh memekku. Jantungku berdebar-debar sekarang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mas Faiz suamiku. Apa yang akan kamu lakukan? Tangannya menyentuh rambutku, mengusap-usap pipiku.
"Kamu sudah siap?" tanyanya lembut.
Aku bingung mau jawab gimana. Aku terlalu lugu untuk hal seperti ini. Bagaimana dengan Iskha? Apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti ini? Di hadapanku sekarang ada orang yang aku cintai. Orang yang aku cintai sejak SMA. Sejak dia mencuri first kissku. Sejak dia mencuri hatiku. Ohh...Faiz...Dia menciumku lagi. Kami frenchkiss lagi. Lagi dan lagi. Tapi ia tak memasukkan pusakanya ke liang senggamaku. Kenapa? Kenapa Mas Faiz?
Dia menciumi leherku sekarang, lalu dia menggigit telingaku. Oouww..aku makin banjir, memekku berkedut-kedut, minta dimasuki. Gatel banget. Aku melingkarkan tanganku di lehernya sekarang.
"Lakukan mas, aku siap!" kataku.
Dan......aaaahhhkk. Pusakanya didorong masuk. Belum terasa sakit. Tapi lebih ke nikmat. Apalagi di bawah sana aku banjir banget. Aku baru merasakan pedih ketika ia mendorong lebih kuat lagi. Ada sesuatu di dalam sana yang tak mau dibuka.
"Tenang sayangku, rileks!" katanya.
Iya, aku terlalu tegang. Aku harus rileks...."AAAAHHH!" aku menjerit. Ketika aku berusaha rileks tiba-tiba Mas Faiz mendorong hingga masuk semuanya. Aku sedikit kaget. Sekarang aku baru merasa perih, pedih...Memekku terus-menerus meremas-remas. Ohh...sakitnya. Seperti inikah rasanya? Mas Faiz menciumku lagi, dan kini memelukku. Ohh...aku emang ingin dipeluk.
Dadanya menghimpitku sekarang. Aku bisa merasakan detak jantung cintaku. Dadanya sedikit berbulu, ada sensasi tersendiri ketika dadanya menggesek dadaku. Sensasi geli, menggelitik. Sukar diungkapkan. Tubuhku sekarang sudah jadi miliknya. Ahhh...dia mulai menaik turunkan pantatnya. Batangnya menggeseki dinding kemaluanku sekarang. Nikmat sekali. Rasa sakitku berangsur-angsur hilang. Yang ada hanya kenikmatan. Semakin Mas Faiz memajumundurkan penisnya, semakin aku keenakan. Melayang aku rasanya. Aku memejamkan mataku. Pasrah. Oh, Mas Faiz lakukan apa yang Mas Faiz suka. Aku milikmu sekarang. Inilah yang aku inginkan sejak dulu. Bersamamu merengkuh cinta. Ayo ayah dari anak-anakku. Isi rahimku dengan spermamu.
"Mas Faiz...sirami rahimku dengan benihmu mas. Aku nggak mau kalah ama Iskha. Aku ingin memberikan Mas kebahagiaan juga. Ayo!" kataku.
Dan Mas Faiz makin cepat menggoyangnya. Aku hanya bisa menggeliat. Setiap aku menggoyangkan pinggulku Mas Faiz melenguh. Ia juga terasa nikmat. Kami berdua berusaha menuju puncak. Inikah rasanya bercinta? Tubuhku sudah menyatu dengannya. Seutuhnya menyatu. Ia tambahkan kenikmatan-kenikmatan ke tubuhku lagi, dihisapnya puting susuku. Ohh...sudah..aku tak kuat lagi. Desakan demi desakan di bawah sana sudah memancing orgasmeku untuk yang kedua kalinya. Vaginaku berkedut-kedut, cairannya makin banyak, gesekan demi gesekan itu bagai piston yang memompa nafsuku untuk sampai ke puncaknya.
"Maass....aku....mau nyampeeee....hheeeghhh....!"
"Ahhh...sayangku, cintaku...ahhh...aku juga...aahhhhhhhhhhhhhh!"
Kami hampir keluar bersamaan, sepertinya aku duluan yang keluar. Sebab aku mengapit pinggang Mas Faiz dengan kuat dan menyemprotkan cairan yang banyak, baru kemudian Mas Faiz keluar. Orgasme terdahsyat dalam hidupku. Baru kali ini aku merasakan seluruh tulang-tulangku serasa remuk semua. Otot-otot tubuhku menegang, pantatku bergetar hebat. Kami berciuman lamaaaa sekali, Kedua kemaluan kami seakan tak ingin berpisah, terus menempel. Aku bisa rasakan pejunya Mas Faiz menyembur hebat di dalam rahimku. Mungkin banyak, Aku sendiri tak tahu. Yang jelas memekku sekarang terasa sangat basah dan becek. Mas Faiz menindihku. Nafasnya terengah-engah.
Tiba-tiba penisnya menyusut sendiri. Ia lalu berguling ke sampingku. Kakiku masih terbuka. Aku bisa rasakan sesuatu meleleh di sana. Mas Faiz memelukku. Ohh...aku memang suka dipeluk olehnya. Rasanya nyaman sekali setelah bercinta aku dipeluk. Ia menciumku berkali-kali. Makasih Mas Faiz. Ini pengalaman yang tidak aku lupakan.
Dan....ladies and gentlemen. Aku sudah tidak perawan lagi. Selanjutnya? Setelah itu kami mengulanginya lagi. Terlalu panjang kalau diceritakan. Hihihihi Intinya Mas Faiz sangaaaat lembut. Aku dimanja banget malam itu. Sampai bangun kesiangan. Dan eh...diulang lagi paginya....Ohhh...suamiku. Lakukan aja deh, aku pasrah.
NARASI FAIZ
Vira mendesah lembut. Dia menungging saat aku menyodoknya dari belakang. Kami baru saja bangun tidur. Dan langsung saja aku tergoda dan melakukannya lagi. Aku pegang kedua payudaranya, kuremas-remas dan pinggulku bergoyang.
"Ohh...Mas Faizz...hhhmmmhh...cepetan, mau nyampe," katanya.
"Iya sayangku, Vira...aahhkkk...!" kataku.
Kemaluanku terus mengobok-obok liang senggamanya maju mundur dan lagi-lagi maniku menyembur di rahimnya. Aku tak peduli lagi mau ia hamil atau nggak. Hamil ya hamil aja. Toh dia udah jadi istriku.
Aku dan Vira akhirnya bersama, juga Iskha. Dua orang yang sama-sama aku cintai ini sekarang jadi istriku. Lengkap sudah semuanya. Tentunya kedua sifat istriku ini beda semuanya. Iskha lebih bawel daripada Vira. Kalau ada bajuku yang nggak rapi pasti bawel, kalau ada yang berantakan pasti bawel. Dia benar-benar menepati janjinya, akan berikan apapun yang aku inginkan kalau sudah nikah. Sedangkan Vira, aku tak menyangka kalau dia itu lugu banget, polos.
Ia mengaku kepadaku tak pernah tahu begituan. ML hanya ia ketahui dari buku, ia tak begitu tahu cara menstimulus, bagaimana teorinya, ia sama sekali tak tahu. Bahkan lihat barang lelaki saja ia baru tahu. Satu-satunya ilmu yang diberikan adalah dari Iskha. Iskha tahu kalau aku suka banget ama blowjobnya, entah diapain sih itu kepala otongku sampai rasanya enak banget. Nyatanya Iskha berbagi pengalamannya kepada Vira.
Jadi aku sangat beruntung mendapatkan Vira, ibaratnya dia adalah hutan yang masih hijau, benar-benar belum tersentuh. Bahkan ia sendiri bilang satu-satunya lelaki yang pernah menciumnya adalah aku, memang ia pernah mencium Mas Pandu, namun itu karena ia memberikan hadiah itu kepada Mas Pandu. Dialah yang memberikannya bukan dia yang menerimanya. Dan dia jujur.
Semenjak menikah dengan Vira, aku juga tahu kalau dia wanita yang paling lembut. Sementara ini Vira tinggal di rumah orang tuanya. Yah, mau gimana lagi blom punya duit buat beli rumah lagi. Tapi aku yakin pasti bisa beli setahun lagi. Nabung dong. Udah punya dua istri pengeluaran juga dobel. Apalagi kalau sampai keduanya sama-sama hamil. Tambah lagi kan? Untungnya perusahaanku terus berkembang beberapa bulan ini. Sip pokoknya.
Aku juga baru tahu kalau Iskha itu nggak suka makanan berminyak dan pedes. Ya maklum sih penyanyi. Beda ama Vira dia suka banget. Dan saudara-saudara kedua istriku nggak bisa masak Karena aku dulu pernah kerja di restoran ketika kuliah di Havard, jadinya paling tidak aku ngerti dengan ilmu memasak. Aku ngajari mereka untuk memasak. Praktis keduanya hanya masak yang instan macam sandwich, pancake dan mie instan. Tapi lambat laun aku ngajari mereka masak masakan Indonesia, entah itu rendang, sayur asem, sayur bening dan lain-lain. Kalau Iskha nggak bisa masak wajarlah, dia tomboy dulunya. Nggak pernah nyentuh dapur. Tapi aku salut ama usahanya belajar. Yang paling malu itu Vira.
Pernah dia suatu ketika masak sampai gosong semua. Goreng tempe saja wajannya sampai lengket. Dia pun akhirnya pasrah. Bilang ke aku, "Mas, aku nggak bisa masak." Sambil matanya berkaca-kaca gitu. Cute banget mirip kelinci yang mengiba. Duh....Ya sudah, habis itu aku ajarin masak.
Vira itu istriku yang paling mengirit. Beda dengan Iskha. Kalau Iskha sering belanja, tapi setelah belanja ia sering tanya ke aku, "Aku tadi beli ini buat apa ya?" Dia pernah beli selusin gelas plastik tanpa tahu kegunaannya. Kepengen aja gitu. -_-
Kalau Vira nggak. Uang belanja yang aku berikan kadang ia tabung. Dan yang aku suka adalah keduanya tak pernah menuntut aku. Mereka tahu kemampuanku. Mereka tahu kelemahanku. Perjuangan cinta Iskha selama ini, perjuangan cinta Vira selama ini telah terbayarkan. Iskha yang setia kepadaku, Vira yang sangat mencintaiku. Mereka akan menjadi dua bidadariku selamanya.
BAB XXVII
Maafkan Aku Faiz
NARASI HANI
Lupakanlah kejadian di hotel itu. Itu semua kecelakaan, pikirku. Bahkan dengan itu aku dan ayahku makin dekat sekarang. Semua keluarganya terkejut tentu saja ketika ayah mengatakan dengan jujur siapa aku ini. Ya, aku adalah putra dari Doni Hendrajaya. Pemimpin Hendrajaya Group. Awalnya aku ragu akan diterima baik. Tapi ternyata dugaanku salah, mereka sangat baik menerimaku.
Aku tidak bisa menerima perlakuan ayah yang terlalu baik. Aku cukup minta diakui aja sebagai putrinya dan ia pun mengakuinya. Tak berapa lama setelah Mas Faiz menikah, aku pun menikah dengan seorang anak konglomerat. Namanya Helmi Joyokusumo, anak pemilik Joyokusumo Group, rekan bisnis ayah.
Pacaran kami tergolong cukup singkat. Kami bertemu pada sebuah pesta. Aku tentu saja ada di sana karena aku adalah sekretarisnya. Aku sebetulnya tak menyandang nama Hendrajaya pada namaku. Dan karena itulah kami jadi akrab. Helmi sangat baik kepadaku. Pertemuan demi pertemuan pun berlanjut ke yang lebih dekat lagi. Yang aku sukai dari Helmi adalah dia menerimaku apa adanya. Aku berterus terang kalau aku adalah anak Pak Hendrajaya dan aku sudah tidak perawan lagi. Tapi ia tak mempermasalahkan. Begitu tahu aku anak dari Tuan Hendrajaya, tentu saja ia kaget.
Tidak lama kemudian dia melamarku dan menikah. Hmm...menurutku sih cowok yang ideal itu cuma Mas Faiz. Ideal tentunya, orangnya romantis, masih ingat bagaimana sikap dia kepada Mbak Iskha. Aku tak akan lupa itu semua. Walaupun Helmi tidak seperti Mas Faiz, tapi aku cukup bahagia karena dia menyempurnakan hidupku.
Berita menghebohkan itu pun datang. Ayah terkena serangan jantung. Akulah orang yang pertama kali berada di rumah sakit. Dokter sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya, tapi beliau tak bisa bertahan. Kematiannya adalah jam 14.15 pada hari Rabu. Saat itu beliau dikatakan sedang main golf sampai tiba-tiba ambruk. Aku sudah menasehati untuk makan teratur dan menjaga pola hidup sehat. Tapi sepertinya pekerjaannya lebih penting dari itu semua.
Orang kedua yang datang ke rumah sakit adalah Mas Faiz dan keluarganya. Lalu disusul Bunda Aula dan anak-anaknya. Mereka datang bersamaan sepertinya. Keluarga Hendrajaya berduka pada hari itu. Tapi aku tak melihat air mata setetes pun dari Mas Faiz. Padahal sebenarnya nggak begitu. Aku tahu bagaimana hubungan mereka. Mas Faiz masih menghormati ayahnya. Dia pasti juga kehilangan tapi dia tak ingin menunjukkannya kepada siapapun.
NARASI FAIZ
Sepuluh tahun kemudian semenjak aku menikah dengan Vira. Ayahku meninggal. Doni Hendrajaya meninggal dan di makamkan di sebelah makam Mas Pandu. Seluruh keluarga kami berkabung. Beliau meninggalkan empat orang istri dan sepuluh orang anak. Koq sepuluh? Kami ketambahan satu yaitu Hani. Hani tak kusangka ternyata ia adalah saudara kandungku beda ibu. Ayah menyembunyikan nama ibunya. Tapi memang itulah yang terjadi. Selama ini Hani memang mencari ayahku. Perjumpaan dia dengan ayahku cukup singkat tapi itu sudah menyenangkan dirinya. Dan dia sekarang sudah menikah dengan lelaki yang dicintainya, juga anak konglomerat yang merupakan rekanan bisnis ayah.
Saat pemakaman ayah. Kak Putri ada di sana. Dia membawa seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun. Wajahnya sangat mirip denganku. Apakah ia anak hasil dari hubunganku dengan dirinya? Bahkan namanya juga sama seperti aku, Faiz. Ketika bertemu lagi, ia tak berani menatapku, melirikku saja tak berani. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kerudungnya, menyembunyikan kesedihannya dan terharunya dengan isak tangis.
Aku bisa melihat Bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura saling merangkul. Mereka tentu saja sedih suami mereka meninggal. Aku masih punya dosa sebenarnya kepada Bunda Vidia dan Bunda Nur. Tapi mereka sudah memaafkanku. Sekalipun begitu aku tak berani lagi menatap wajah mereka. Walaupun mereka bilang sudah memaafkanku dan tahu bahwa itu bukan karena kesengajaan murni akibat pengaruh obat perangsang tetap saja aku sepertinya tak bisa dimaafkan. Aku sampai sekarang tidak pernah menemui mereka di rumah. Ketika bertemu pada acara keluarga pun aku tak berani menatap mereka lagi.
Tapi mungkin setelah ini aku akan lebih serig menemui mereka. Apalagi mereka sudah tua. Tak ada lagi yang bisa menemani. Kegilaan di masa muda sudah berakhir. Generasi sudah berganti. Aku tak mau masa lalu selalu membebaniku. Apalagi Iskha adalah istriku yang luar biasa. Bisa menyatukan keluargaku. Aku sudah ceritakan kepada dia dan Vira apa yang terjadi dengan keluarga ini. Ia mulai mengerti dan hebatnya semua istriku bisa mengerti keadaan kami. Iskha juga sudah memaafkan Kak Putri, tapi aku tidak. Aku masih belum bisa memaafkannya sepertinya.
Tentang anaknya Kak Putri, selama ini ayah dan bunda tak pernah cerita. Aku baru menyadari bahwa Faiz junior yang ada di pemakaman itu adalah anakku ketika bunda menyinggungnya.
"Dia adalah anakmu dengan Putri," kata bunda.
"Trus apa hubungannya denganku? Aku tetap tak akan memaafkan Kak Putri," kataku.
"Faiz, jangan keras seperti itu. Itu sudah masa lalu. Kak Putri menyesal seumur hidupnya," kata bunda.
"Tapi dia tetap tak bisa dimaafkan."
"Sudahlah Faiz, dia sekarang hidup sendirian dengan Faiz keci Selama ini ia tinggal dengan ayahnya Putri. Tapi tak lama karena setelah itu meninggal. Putri jadi buruh petani teh selama ini. Dia hidupnya sengsara. Ia bahkan menolak semua uang ayahmu. Dia sudah berubah sekarang. Ia sangat sayang kepada Faiz kecil, kamu mengertilah sekarang. Maafkanlah dia!"
"Aku tetap tak akan memaafkannya. Biarpun dia mati aku tak akan memaafkannya."
Iskha mendengarkan percakapanku dengan bunda.
"Nda,...?" kata istriku.
Ia memelukku. Wajahnya yang cantik itu tersenyum kepadaku. "Kasihan Kak Putri Nda. Dia sudah kehilangan ayahnya, ia sudah kehilangan ayahmu. Ia selama ini tak berani ke sini juga karena dirimu. Dia sudah menyesal seumur hidupnya. Aku sudah memaafkan dia Nda, Kanda juga harus begitu."
"Kenapa? Dia telah berbuat jahat, dosanya tak bisa dimaafkan!"
"Nda, setiap orang berbuat jahat. Dan setiap manusia yang masih hidup bisa dimaafkan. Kandaku, demi aku. Maafkanlah Kak Putri. Kanda mau Faiz kecil itu hidup sendirian? Kanda sudah banyak memberikan kehidupan untuk kita, berikanlah kehidupan lagi, satu kehidupan saja kepada orang yang Kanda anggap punya dosa. Suamiku, maafkan dia ya?"
Wajah Iskha, matanya oh tidak...aku tak bisa menolaknya. Dia terlalu cute, terlalu cantik. Aku pasti takluk dengan tatapan matanya itu. Hatiku pun meleleh. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Aku akan pikirkan," kataku singkat. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Iskha dan Bunda tampaknya menyerah. Mereka hanya mendesah. Sepertinya mereka sudah putus asa atas pendirianku.
Setelah ayah dimakamkan, beberapa hari kemudian kami berkumpul di rumah ayah. Seorang pengacara kemudian membacakan sebuah keputusan pengadilan tentang warisan kami.
"Pak Hendrajaya mewariskan seluruh hartanya yang dibagi secara adil sesuai dengan aturan agama yang dianut. Untuk bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan, bagian istri adalah seperdelapan. Kemudian seluruh aset perusahaan dan kepemimpinan perusahaan diserahkan kepada pewaris yang telah ditunjuk, Faiz Hendrajaya. Demikian isi wasiat dari Doni Hendrajaya. Keputusan ini telah ditetapkan oleh pengadilan dan mengadung kekuatan hukum."
Warisan ayah sangat besar. Aku yakin istri dan anak-anaknya akan mendapatkan bagian yang tidak sedikit. Aku sama sekali tak mengeluarkan air mataku saat itu. Bagiku ayah sudah memberikan pelajaran bahwa kita kan menjadi kuat dengan segala ujian yang diberikan kepada kita.
Setelah pengumuman itu dan pengacara pergi, kak Putri menghampiriku. Aku tak menoleh sedikit pun kepadanya.
"Faiz, kamu masih tak memaafkanku?" tanyanya sambil terisak.
Aku hanya berdiri tak bergerak. Melihatnya saja tidak. Aku benar-benar tak memaafkannya sampai sekarang. Aku menoleh ke arah Iskha dan Vira. Mereka hanya melihatku dari jauh. Iskha menganggukan kepalanya, seolah-olah dia berkata, "Maafkan kak Putri kanda."
"Baiklah kalau kamu tidak memaafkan aku. Tapi paling tidak lihatlah Faiz kecilku. Itu adalah anak kita. Aku membesarkannya seorang diri. Semenjak kamu marah besar waktu itu, aku pergi dari kota ini. Aku menyendiri. Membesarkannya sendiri. Lihatlah, ia segagah dirimu, dia setampan dirimu. Aku sangat menyayanginya, aku ingin dia seperti dirimu. Dia juga anak yang berbakti. Dia sudah besar sekarang. Seandainya aku tak ada hari esok lagi, aku memohon kepadamu, tolong jagalah dia. Anggaplah dia bagian dari keluargamu. Aku akan terima nasibku mendapatkan penebusan dosa atas apa yang telah aku lakukan," sambil masih terisak Kak Putri menggeret Faiz kecil mendekat kepadaku.
"Aku selalu menjaganya siang malam. Lihatlah. Dia seperti dirimu. Aku tak bisa melupakanmu Faiz, aku tak bisa. Semakin aku mengasuhnya, melihat ia tumbuh dari hari ke hari, aku malah merasa makin berdosa. Aku malah makin bersalah kepadamu. Karena aku melihatmu di dalam dirinya. Tahukah kamu kata yang pertama kali diucapkannya ketika dia masih bayi? Ayah....iya, dia mengucapkan ayah padahal ia tak pernah melihat ayahnya.
"Faiz, siksalah aku sepuasmu. Jangan anakku, jangan dia. Dia tidak bersalah. Kumohon, sayangilah dia. Kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi. Iya, aku akan pergi. Ini memang sudah menjadi hukumanku. Ayah juga menghukumku. Aku memang pantas mendapatkannya. Lima belas tahun aku pergi dari keluarga ini Faiz. Selama itu pula aku mengasuh anak kita. Lihatlah dia! Lihat! Kalian seperti pinang dibelah dua. Mirip bukan? Nama kalian juga sama."
Anak lelaki itu melihat diriku. Aku menoleh ke arahnya. Benar-benar seperti aku. Mirip sekali. Aku seperti melihat diriku sendiri di dalam cermin. Apa yang telah aku lakukan? Faiz kecil. Dia tidak bersalah. Aku tak perlu menghukum dia juga. Kenapa ini semua harus terjadi?
"Ayo nak, cium tangan ayahmu!" perintah Kak Putri.
Aku mengulurkan tanganku. Faiz kecil mencium tanganku. Dia tersenyum kepadaku. "Aku bangga kepada ayah. Ibu selalu menceritakan tentang ayah. Ayah orang hebat. Aku selalu ditemani oleh foto ayah ketika tidur. Ibu selalu menunjukkan foto ayah, bahwa aku harus seperti ayah, harus rajin belajar. Tapi kata ibu, kalau aku berjumpa dengan ayah, aku tak boleh memarahi ayah. Sebab ibulah yang selama ini salah. Ibu sudah menyakiti ayah. Maka dari itulah ibu pergi. Ibu bilang sebelum ke sini, aku tak boleh mengecewakan ayahku. Aku harus berpenampilan sama seperti ayah. Ini adalah perjumpaan dengan ayah secara langsung untuk pertama kali.
"Aku selalu melihat berita tentang ayah. Aku bahkan sejak dulu menggunting koran mengkliping berita-berita tentang ayah, memajang foto-foto ayah, seluruh kamarku berisi foto ayah. Aku sangat mengidolakan ayah sejak dulu. Ayah telah memberikanku inspirasi, telah memberikanku semangat. Aku selalu membanggakan ayah di antara teman-temanku. Aku tak malu mengatakan bahwa aku adalah putra dari Faiz Hendrajaya, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan dirinya sejak aku masih kecil. Bagiku itu tak masalah, mungkin ayah memang sibuk, mungkin ayah memang tak bisa berjumpa denganku, karena ibu tak pernah memberitahu di mana ibu tinggal.
"Aku tak pernah ayah gendong ketika kecil, aku juga bahkan tak pernah ayah suapi ketika kecil. Bahkan aku belum pernah memeluk ayahku sejak dari kecil. Boleh aku memeluk ayah sekarang? Kakekku selalu menemaniku, dia berkata bahwa aku harus jadi anak berbakti kepada kedua orang tuaku, dan kalau nanti aku ketemu ayah, kakek berpesan agar ayah mau memaafkan ibu. Aku memohon kepada ayah, maafkanlah ibu. Aku tahu ayah mungkin tak mencintai ibu. Tapi, setidaknya ampunilah ibu, maafkanlah ibu. Kalau toh ayah tak menerimaku, setidaknya maafkanlah ibu. Karena selama ini hanya ibu yang aku punya."
Mataku berkaca-kaca tak mampu dibendung lagi. Air mataku meleleh. Aku terharu....Aku melihat kak Putri. Dia masih terisak. Iya, Faiz kecil tidak salah. Ia tak harus mendapatkan hukuman ini. Dia sama sekali tak berdosa. Ya tuhan, aku telah salah. Maafkan aku Faiz kecilku. Kemarilah nak, peluklah ayahmu.
"Sini Faiz, sini!" kataku. Aku seperti memanggil diriku sendiri. Faiz kecil segera memelukku dengan erat. Tangisnya pun pecah.
Kak Putri mulai bisa tersenyum, tapi masih sambil terisak. Aku melihat penyesalan mendalam di wajahnya. Kedua istriku yang melihat ini semua dari jauh juga tak bisa menahan haru. Mereka tahu semua yang terjadi dengan Kak Putri. Aku yang cerita. Memang itu hal yang pahit. Hal yang seharusnya tidak terjadi. Ini adalah pengampunan, ini adalah pemaafan.
"Kak Putri, sini!" kataku.
Kak Putri masih terisak ia menggeleng.
"Sini, aku memaafkan kakak, ke sinilah. Ke sini!" ajakku.
"Sungguh?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya, aku memaafkan kakak. Sudahlah, ayo sini!"
"Faiz...," Kak Putri langsung merangkulku dan Faiz kecil. Ini adalah momen yang paling mengharukan. Tangis Kami pecah bersama. Aku akhirnya bisa memaafkan Kak Putri. Walaupun dia dulu merampas nyawaku, tapi sekarang dia memberikan aku nyawa yang baru. Faiz kecilku. Dosa-dosanya aku ampuni, aku maafkan.
Kedua istriku pun berhamburan memeluk kami. Hari ini aku menggantikan ayahku menguasai perusahaannya, seluruh usahanya yang ratusan itu. Dan bahkan aku harus mengatur juga perusahaanku sendiri yang memang sudah besar sekarang. Entah nanti aku mengaturnya bagaimana.
Aku tidak seperti ayahku tentu saja. Aku berbeda. Aku akan tetap menganggap Kak Putri sebagai kakakku. Aku tak menikahinya dan ia harus menerima bahwa tak mungkin ia mencintaiku.
NARASI PUTRI
Anakku sudah besar sekarang. Ini sudah masuk ke usia 17 tahun. Ketika Faiz dan Faiz kecil berjalan bersama, aku seperti melihat pinang dibelah dua. Aku sudah mulai menerima nasibku. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi aku tak ingin menikah lagi. Prinsipku tetap menganggap semua laki-laki di dunia ini brengsek kecuali Faiz. Ayah kandungku sendiri meninggalkan ibuku, ayah tiriku sendiri kelakuannya juga bejat. Tapi Faiz tidak.
Aku sangat iri kepada kedua istrinya. Faiz mendapatkan mereka semua, para wanita yang dicintainya. Faiz telah memaafkan aku. Aku tinggal lagi bersama bunda. Beliau sekarang sudah tua. Aku mengisi hari-hari terakhirnya sebelum beliau menyusul ayah. Sebab siapa lagi yang bisa mengasuh beliau? Icha sudah menikah, Rendi sudah menikah. Aku tinggal sendirian di rumah bersama bunda. Setelah bunda meninggal, Faizlah yang mengubur bunda ke liang lahat yang berada di samping makam ayah. Mereka berdua memang tak terpisahkan.
Di makam itu, aku melihat tiga orang bersanding. Ayah, bunda dan Pandu. Tak ada yang abadi di dunia ini. Sebagaimana juga kerasnya hati Faiz yang tidak memaafkanku, toh akhirnya ia juga luluh setelah melihat Faiz kecil. Iskha telah memaafkan aku terhadap apa yang aku lakukan dulu. Pernikahannya dengan Faiz dikaruniai 4 orang anak. Vira dikaruniai 3 orang anak. Mereka sudah kuanggap sebagai anak-anakku sendiri. Karena di rumah sepi tak ada siapapun, kadang mereka mampir ke rumah.
Faiz memimpin perusahaan dengan tangan dinginnya. Perusahaannya makin besar dan menguasai industri Teknologi Mobile se-Asia. Perusahaan ayah kemudian sebagian diberikan kepada saudara-saudaranya. Faiz bukan orang yang royal. Sekali pun dia sebagai orang yang mampu memimpin banyak perusahaan, tapi ia tetap bersikap sederhana. Ia tidak malu beli makan di warung pinggir jalan. Tentu saja hal itu selalu menjadi heboh dan wartawan-wartawan yang lebay selalu memberitakannya.
Aku sudah cukup senang dengan kehidupanku ini. Aku hanya ingin menghabiskan usiaku dengan tenang dan damai. Sebab aku sudah mendapatkan pengampunan Faiz. Kebahagiaanku bukan berarti aku harus bersama Faiz. Aku sadar aku tak bisa memaksanya untuk mencintaiku. Kebahagiaanku adalah pengampunan dan pemaafan darinya. Itu sudah cukup bagiku. Sudah cukup.
End of Story
Bonus Chapter
NARASI FAIZ
Aku duduk di sebuah ruangan presiden direktur. Usiaku sudah empat puluh tahun sekarang ini. Memimpin perusahaan sebesar sekarang ini tidaklah mudah. Di hadapanku pemandangan ibukota dengan banyak gedung pencakar langitnya. Aku sekarang ini seperti raja berada di sebuah istana megah yang tak boleh siapapun sembarangan masuk.
Ada telepon masuk. Kupakai Google Glassku. Kupilih menu Hangout. Sepertinya Faiz junior sedang menghubungiku. Dia ada di luar negeri kuliah di sana. Bukan di Havard seperti aku, tapi di Oxford University. Itu pilihannya.
"Hi Dad?!" sapanya.
"Hello Junior, ada apa?" tanyaku.
"Maaf, mengganggu. Aku lulus!" katanya.
"Wow, Congratulations!"
"Makasih ayah, semua berkat ayah. Ayah selalu menyemangatiku dan memberikan nasehat-nasehat terbaik. Aku tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini ke ibu," katanya.
"Iya, sampaikan saja."
"Bagaimana kabar yang lain? Bunda Iskha? Bunda Vira?"
"Mereka baik-baik saja. Saudara-saudaramu juga baik-baik saja. Hiro baru saja ulang tahun kemarin."
"Ah iya, Hiro ulang tahun. Oke, itu aja. Baik-baik ya yah. Aku akan pulang secepatnya."
"Iya, hati-hati."
Dia menutup hangoutnya. Aku kemudian meletakkan Google Glass ke meja, beranjak dari sana dan menuju ke luar ruangan. Di luar ruangan beberapa karyawan yang melintasi aku memberi hormat. Aku lalu masuk ke dalam lift menuju lantai satu. Hari ini aku akan meluncurkan produk baru bernama M-Tech. Sebuah alat kecil yang bisa dipakai sebagai telepon, video conference maupun digunakan untuk berbagai macam kebutuhan mengendalikan barang-barang elektronik portable lainnya. Cukup kecil sehingga bisa diletakkan ditelinga seperti headset. Google Glass adalah masa lalu. Dan kini perusahaanku mulai menguasai industri teknologi.
Setelah sampai di lantai satu, sudah banyak yang menyambutku. Orang-orang sudah berkumpul semua di sana. Aku menoleh di sebuah sudut ruangan. Kulihat ada kedua istriku. Mereka sedang bicara dengan Hiro, anak pertamaku dengan Iskha. Dia baru berusia 17 tahun kemarin. Kulihat ada seorang gadis yang asing sekali. Aku tak pernah tahu dia punya cewek. Wajahnya oriental, rambutnya panjang sebahu berwarna sangat hitam. Hiro saat itu memakai jas hitam kemeja biru dengan dasi berwarna perak, si cewek memakai sweater berwarna coklat dengan rok selutut.
Aku kemudian menghampiri mereka. Melihatku datang, Hiro langsung menyalamiku dan mencium tanganku. Kenapa anakku bernama Hiro. Ini gara-gara istriku ngefans berat ama Hiro Mizushina. Dia sampe mohon-mohon agar aku namain anak pertamaku Hiro. Whatever, baiklah. Saat itu aku setuju saja.
"Ayah!?" sapa Hiro.
"Siapa?" tanyaku sambil menoleh ke arah gadis itu.
"Oh, kenalkan ayah, temanku Jung Ji Moon," kata Hiro. "Please interduce this is my father."
"Bukan orang Indonesia?"
"Bukan, dia orang Korea."
"Oh, pacar?"
"Bbb..Bukan ayah bukan. Cuma teman. Kebetulan ia ada di Indo, jadi aku ajak dia ke sini."
"Glad to meet you, sir," kata Moon. Dia tersenyum manis.
Bahuku dipukul oleh Iskha. "Nda, jangan langsung main tonjok aja ama Hiro, barangkali masih pedekate."
"Biarin dek, dia aja waktu nembak aku langsung nyosor koq," gurau Vira.
Kedua istriku tertawa bersama. Moon tak tahu apa yang dibicarakan.
"Yes, indeed," gumamku. "So Moon, take your time. Take care Hiro. He is stubborn kid."
"Oh...come on Dad," kata Hiro.
Aku mengedipkan mata ke Hiro. Moon membungkukkan badan. Generasi telah berubah pikirku. Inilah era baru. Dunia baru. Aku naik ke podium dan seluruh orang bertepuk tangan kepadaku. Aku, Faiz Hendrajaya.
~ The End ~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar