BAB XXVII

Maafkan Aku Faiz


NARASI HANI


Lupakanlah kejadian di hotel itu. Itu semua kecelakaan, pikirku. Bahkan dengan itu aku dan ayahku makin dekat sekarang. Semua keluarganya terkejut tentu saja ketika ayah mengatakan dengan jujur siapa aku ini. Ya, aku adalah putra dari Doni Hendrajaya. Pemimpin Hendrajaya Group. Awalnya aku ragu akan diterima baik. Tapi ternyata dugaanku salah, mereka sangat baik menerimaku.

Aku tidak bisa menerima perlakuan ayah yang terlalu baik. Aku cukup minta diakui aja sebagai putrinya dan ia pun mengakuinya. Tak berapa lama setelah Mas Faiz menikah, aku pun menikah dengan seorang anak konglomerat. Namanya Helmi Joyokusumo, anak pemilik Joyokusumo Group, rekan bisnis ayah.

Pacaran kami tergolong cukup singkat. Kami bertemu pada sebuah pesta. Aku tentu saja ada di sana karena aku adalah sekretarisnya. Aku sebetulnya tak menyandang nama Hendrajaya pada namaku. Dan karena itulah kami jadi akrab. Helmi sangat baik kepadaku. Pertemuan demi pertemuan pun berlanjut ke yang lebih dekat lagi. Yang aku sukai dari Helmi adalah dia menerimaku apa adanya. Aku berterus terang kalau aku adalah anak Pak Hendrajaya dan aku sudah tidak perawan lagi. Tapi ia tak mempermasalahkan. Begitu tahu aku anak dari Tuan Hendrajaya, tentu saja ia kaget.

Tidak lama kemudian dia melamarku dan menikah. Hmm...menurutku sih cowok yang ideal itu cuma Mas Faiz. Ideal tentunya, orangnya romantis, masih ingat bagaimana sikap dia kepada Mbak Iskha. Aku tak akan lupa itu semua. Walaupun Helmi tidak seperti Mas Faiz, tapi aku cukup bahagia karena dia menyempurnakan hidupku.

Berita menghebohkan itu pun datang. Ayah terkena serangan jantung. Akulah orang yang pertama kali berada di rumah sakit. Dokter sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya, tapi beliau tak bisa bertahan. Kematiannya adalah jam 14.15 pada hari Rabu. Saat itu beliau dikatakan sedang main golf sampai tiba-tiba ambruk. Aku sudah menasehati untuk makan teratur dan menjaga pola hidup sehat. Tapi sepertinya pekerjaannya lebih penting dari itu semua.

Orang kedua yang datang ke rumah sakit adalah Mas Faiz dan keluarganya. Lalu disusul Bunda Aula dan anak-anaknya. Mereka datang bersamaan sepertinya. Keluarga Hendrajaya berduka pada hari itu. Tapi aku tak melihat air mata setetes pun dari Mas Faiz. Padahal sebenarnya nggak begitu. Aku tahu bagaimana hubungan mereka. Mas Faiz masih menghormati ayahnya. Dia pasti juga kehilangan tapi dia tak ingin menunjukkannya kepada siapapun.

NARASI FAIZ

Sepuluh tahun kemudian semenjak aku menikah dengan Vira. Ayahku meninggal. Doni Hendrajaya meninggal dan di makamkan di sebelah makam Mas Pandu. Seluruh keluarga kami berkabung. Beliau meninggalkan empat orang istri dan sepuluh orang anak. Koq sepuluh? Kami ketambahan satu yaitu Hani. Hani tak kusangka ternyata ia adalah saudara kandungku beda ibu. Ayah menyembunyikan nama ibunya. Tapi memang itulah yang terjadi. Selama ini Hani memang mencari ayahku. Perjumpaan dia dengan ayahku cukup singkat tapi itu sudah menyenangkan dirinya. Dan dia sekarang sudah menikah dengan lelaki yang dicintainya, juga anak konglomerat yang merupakan rekanan bisnis ayah.

Saat pemakaman ayah. Kak Putri ada di sana. Dia membawa seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun. Wajahnya sangat mirip denganku. Apakah ia anak hasil dari hubunganku dengan dirinya? Bahkan namanya juga sama seperti aku, Faiz. Ketika bertemu lagi, ia tak berani menatapku, melirikku saja tak berani. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kerudungnya, menyembunyikan kesedihannya dan terharunya dengan isak tangis.

Aku bisa melihat Bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura saling merangkul. Mereka tentu saja sedih suami mereka meninggal. Aku masih punya dosa sebenarnya kepada Bunda Vidia dan Bunda Nur. Tapi mereka sudah memaafkanku. Sekalipun begitu aku tak berani lagi menatap wajah mereka. Walaupun mereka bilang sudah memaafkanku dan tahu bahwa itu bukan karena kesengajaan murni akibat pengaruh obat perangsang tetap saja aku sepertinya tak bisa dimaafkan. Aku sampai sekarang tidak pernah menemui mereka di rumah. Ketika bertemu pada acara keluarga pun aku tak berani menatap mereka lagi.

Tapi mungkin setelah ini aku akan lebih serig menemui mereka. Apalagi mereka sudah tua. Tak ada lagi yang bisa menemani. Kegilaan di masa muda sudah berakhir. Generasi sudah berganti. Aku tak mau masa lalu selalu membebaniku. Apalagi Iskha adalah istriku yang luar biasa. Bisa menyatukan keluargaku. Aku sudah ceritakan kepada dia dan Vira apa yang terjadi dengan keluarga ini. Ia mulai mengerti dan hebatnya semua istriku bisa mengerti keadaan kami. Iskha juga sudah memaafkan Kak Putri, tapi aku tidak. Aku masih belum bisa memaafkannya sepertinya.

Tentang anaknya Kak Putri, selama ini ayah dan bunda tak pernah cerita. Aku baru menyadari bahwa Faiz junior yang ada di pemakaman itu adalah anakku ketika bunda menyinggungnya.

"Dia adalah anakmu dengan Putri," kata bunda.

"Trus apa hubungannya denganku? Aku tetap tak akan memaafkan Kak Putri," kataku.

"Faiz, jangan keras seperti itu. Itu sudah masa lalu. Kak Putri menyesal seumur hidupnya," kata bunda.

"Tapi dia tetap tak bisa dimaafkan."

"Sudahlah Faiz, dia sekarang hidup sendirian dengan Faiz keci Selama ini ia tinggal dengan ayahnya Putri. Tapi tak lama karena setelah itu meninggal. Putri jadi buruh petani teh selama ini. Dia hidupnya sengsara. Ia bahkan menolak semua uang ayahmu. Dia sudah berubah sekarang. Ia sangat sayang kepada Faiz kecil, kamu mengertilah sekarang. Maafkanlah dia!"

"Aku tetap tak akan memaafkannya. Biarpun dia mati aku tak akan memaafkannya."

Iskha mendengarkan percakapanku dengan bunda.

"Nda,...?" kata istriku.

Ia memelukku. Wajahnya yang cantik itu tersenyum kepadaku. "Kasihan Kak Putri Nda. Dia sudah kehilangan ayahnya, ia sudah kehilangan ayahmu. Ia selama ini tak berani ke sini juga karena dirimu. Dia sudah menyesal seumur hidupnya. Aku sudah memaafkan dia Nda, Kanda juga harus begitu."

"Kenapa? Dia telah berbuat jahat, dosanya tak bisa dimaafkan!"

"Nda, setiap orang berbuat jahat. Dan setiap manusia yang masih hidup bisa dimaafkan. Kandaku, demi aku. Maafkanlah Kak Putri. Kanda mau Faiz kecil itu hidup sendirian? Kanda sudah banyak memberikan kehidupan untuk kita, berikanlah kehidupan lagi, satu kehidupan saja kepada orang yang Kanda anggap punya dosa. Suamiku, maafkan dia ya?"

Wajah Iskha, matanya oh tidak...aku tak bisa menolaknya. Dia terlalu cute, terlalu cantik. Aku pasti takluk dengan tatapan matanya itu. Hatiku pun meleleh. Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Aku akan pikirkan," kataku singkat. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Iskha dan Bunda tampaknya menyerah. Mereka hanya mendesah. Sepertinya mereka sudah putus asa atas pendirianku.

Setelah ayah dimakamkan, beberapa hari kemudian kami berkumpul di rumah ayah. Seorang pengacara kemudian membacakan sebuah keputusan pengadilan tentang warisan kami.

"Pak Hendrajaya mewariskan seluruh hartanya yang dibagi secara adil sesuai dengan aturan agama yang dianut. Untuk bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan, bagian istri adalah seperdelapan. Kemudian seluruh aset perusahaan dan kepemimpinan perusahaan diserahkan kepada pewaris yang telah ditunjuk, Faiz Hendrajaya. Demikian isi wasiat dari Doni Hendrajaya. Keputusan ini telah ditetapkan oleh pengadilan dan mengadung kekuatan hukum."

Warisan ayah sangat besar. Aku yakin istri dan anak-anaknya akan mendapatkan bagian yang tidak sedikit. Aku sama sekali tak mengeluarkan air mataku saat itu. Bagiku ayah sudah memberikan pelajaran bahwa kita kan menjadi kuat dengan segala ujian yang diberikan kepada kita.

Setelah pengumuman itu dan pengacara pergi, kak Putri menghampiriku. Aku tak menoleh sedikit pun kepadanya.

"Faiz, kamu masih tak memaafkanku?" tanyanya sambil terisak.

Aku hanya berdiri tak bergerak. Melihatnya saja tidak. Aku benar-benar tak memaafkannya sampai sekarang. Aku menoleh ke arah Iskha dan Vira. Mereka hanya melihatku dari jauh. Iskha menganggukan kepalanya, seolah-olah dia berkata, "Maafkan kak Putri kanda."

"Baiklah kalau kamu tidak memaafkan aku. Tapi paling tidak lihatlah Faiz kecilku. Itu adalah anak kita. Aku membesarkannya seorang diri. Semenjak kamu marah besar waktu itu, aku pergi dari kota ini. Aku menyendiri. Membesarkannya sendiri. Lihatlah, ia segagah dirimu, dia setampan dirimu. Aku sangat menyayanginya, aku ingin dia seperti dirimu. Dia juga anak yang berbakti. Dia sudah besar sekarang. Seandainya aku tak ada hari esok lagi, aku memohon kepadamu, tolong jagalah dia. Anggaplah dia bagian dari keluargamu. Aku akan terima nasibku mendapatkan penebusan dosa atas apa yang telah aku lakukan," sambil masih terisak Kak Putri menggeret Faiz kecil mendekat kepadaku.

"Aku selalu menjaganya siang malam. Lihatlah. Dia seperti dirimu. Aku tak bisa melupakanmu Faiz, aku tak bisa. Semakin aku mengasuhnya, melihat ia tumbuh dari hari ke hari, aku malah merasa makin berdosa. Aku malah makin bersalah kepadamu. Karena aku melihatmu di dalam dirinya. Tahukah kamu kata yang pertama kali diucapkannya ketika dia masih bayi? Ayah....iya, dia mengucapkan ayah padahal ia tak pernah melihat ayahnya.

"Faiz, siksalah aku sepuasmu. Jangan anakku, jangan dia. Dia tidak bersalah. Kumohon, sayangilah dia. Kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi. Iya, aku akan pergi. Ini memang sudah menjadi hukumanku. Ayah juga menghukumku. Aku memang pantas mendapatkannya. Lima belas tahun aku pergi dari keluarga ini Faiz. Selama itu pula aku mengasuh anak kita. Lihatlah dia! Lihat! Kalian seperti pinang dibelah dua. Mirip bukan? Nama kalian juga sama."

Anak lelaki itu melihat diriku. Aku menoleh ke arahnya. Benar-benar seperti aku. Mirip sekali. Aku seperti melihat diriku sendiri di dalam cermin. Apa yang telah aku lakukan? Faiz kecil. Dia tidak bersalah. Aku tak perlu menghukum dia juga. Kenapa ini semua harus terjadi?

"Ayo nak, cium tangan ayahmu!" perintah Kak Putri.

Aku mengulurkan tanganku. Faiz kecil mencium tanganku. Dia tersenyum kepadaku. "Aku bangga kepada ayah. Ibu selalu menceritakan tentang ayah. Ayah orang hebat. Aku selalu ditemani oleh foto ayah ketika tidur. Ibu selalu menunjukkan foto ayah, bahwa aku harus seperti ayah, harus rajin belajar. Tapi kata ibu, kalau aku berjumpa dengan ayah, aku tak boleh memarahi ayah. Sebab ibulah yang selama ini salah. Ibu sudah menyakiti ayah. Maka dari itulah ibu pergi. Ibu bilang sebelum ke sini, aku tak boleh mengecewakan ayahku. Aku harus berpenampilan sama seperti ayah. Ini adalah perjumpaan dengan ayah secara langsung untuk pertama kali.

"Aku selalu melihat berita tentang ayah. Aku bahkan sejak dulu menggunting koran mengkliping berita-berita tentang ayah, memajang foto-foto ayah, seluruh kamarku berisi foto ayah. Aku sangat mengidolakan ayah sejak dulu. Ayah telah memberikanku inspirasi, telah memberikanku semangat. Aku selalu membanggakan ayah di antara teman-temanku. Aku tak malu mengatakan bahwa aku adalah putra dari Faiz Hendrajaya, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan dirinya sejak aku masih kecil. Bagiku itu tak masalah, mungkin ayah memang sibuk, mungkin ayah memang tak bisa berjumpa denganku, karena ibu tak pernah memberitahu di mana ibu tinggal.

"Aku tak pernah ayah gendong ketika kecil, aku juga bahkan tak pernah ayah suapi ketika kecil. Bahkan aku belum pernah memeluk ayahku sejak dari kecil. Boleh aku memeluk ayah sekarang? Kakekku selalu menemaniku, dia berkata bahwa aku harus jadi anak berbakti kepada kedua orang tuaku, dan kalau nanti aku ketemu ayah, kakek berpesan agar ayah mau memaafkan ibu. Aku memohon kepada ayah, maafkanlah ibu. Aku tahu ayah mungkin tak mencintai ibu. Tapi, setidaknya ampunilah ibu, maafkanlah ibu. Kalau toh ayah tak menerimaku, setidaknya maafkanlah ibu. Karena selama ini hanya ibu yang aku punya."

Mataku berkaca-kaca tak mampu dibendung lagi. Air mataku meleleh. Aku terharu....Aku melihat kak Putri. Dia masih terisak. Iya, Faiz kecil tidak salah. Ia tak harus mendapatkan hukuman ini. Dia sama sekali tak berdosa. Ya tuhan, aku telah salah. Maafkan aku Faiz kecilku. Kemarilah nak, peluklah ayahmu.

"Sini Faiz, sini!" kataku. Aku seperti memanggil diriku sendiri. Faiz kecil segera memelukku dengan erat. Tangisnya pun pecah.

Kak Putri mulai bisa tersenyum, tapi masih sambil terisak. Aku melihat penyesalan mendalam di wajahnya. Kedua istriku yang melihat ini semua dari jauh juga tak bisa menahan haru. Mereka tahu semua yang terjadi dengan Kak Putri. Aku yang cerita. Memang itu hal yang pahit. Hal yang seharusnya tidak terjadi. Ini adalah pengampunan, ini adalah pemaafan.

"Kak Putri, sini!" kataku.

Kak Putri masih terisak ia menggeleng.

"Sini, aku memaafkan kakak, ke sinilah. Ke sini!" ajakku.

"Sungguh?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Iya, aku memaafkan kakak. Sudahlah, ayo sini!"

"Faiz...," Kak Putri langsung merangkulku dan Faiz kecil. Ini adalah momen yang paling mengharukan. Tangis Kami pecah bersama. Aku akhirnya bisa memaafkan Kak Putri. Walaupun dia dulu merampas nyawaku, tapi sekarang dia memberikan aku nyawa yang baru. Faiz kecilku. Dosa-dosanya aku ampuni, aku maafkan.

Kedua istriku pun berhamburan memeluk kami. Hari ini aku menggantikan ayahku menguasai perusahaannya, seluruh usahanya yang ratusan itu. Dan bahkan aku harus mengatur juga perusahaanku sendiri yang memang sudah besar sekarang. Entah nanti aku mengaturnya bagaimana.

Aku tidak seperti ayahku tentu saja. Aku berbeda. Aku akan tetap menganggap Kak Putri sebagai kakakku. Aku tak menikahinya dan ia harus menerima bahwa tak mungkin ia mencintaiku.

NARASI PUTRI

Anakku sudah besar sekarang. Ini sudah masuk ke usia 17 tahun. Ketika Faiz dan Faiz kecil berjalan bersama, aku seperti melihat pinang dibelah dua. Aku sudah mulai menerima nasibku. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi aku tak ingin menikah lagi. Prinsipku tetap menganggap semua laki-laki di dunia ini brengsek kecuali Faiz. Ayah kandungku sendiri meninggalkan ibuku, ayah tiriku sendiri kelakuannya juga bejat. Tapi Faiz tidak.

Aku sangat iri kepada kedua istrinya. Faiz mendapatkan mereka semua, para wanita yang dicintainya. Faiz telah memaafkan aku. Aku tinggal lagi bersama bunda. Beliau sekarang sudah tua. Aku mengisi hari-hari terakhirnya sebelum beliau menyusul ayah. Sebab siapa lagi yang bisa mengasuh beliau? Icha sudah menikah, Rendi sudah menikah. Aku tinggal sendirian di rumah bersama bunda. Setelah bunda meninggal, Faizlah yang mengubur bunda ke liang lahat yang berada di samping makam ayah. Mereka berdua memang tak terpisahkan.

Di makam itu, aku melihat tiga orang bersanding. Ayah, bunda dan Pandu. Tak ada yang abadi di dunia ini. Sebagaimana juga kerasnya hati Faiz yang tidak memaafkanku, toh akhirnya ia juga luluh setelah melihat Faiz kecil. Iskha telah memaafkan aku terhadap apa yang aku lakukan dulu. Pernikahannya dengan Faiz dikaruniai 4 orang anak. Vira dikaruniai 3 orang anak. Mereka sudah kuanggap sebagai anak-anakku sendiri. Karena di rumah sepi tak ada siapapun, kadang mereka mampir ke rumah.

Faiz memimpin perusahaan dengan tangan dinginnya. Perusahaannya makin besar dan menguasai industri Teknologi Mobile se-Asia. Perusahaan ayah kemudian sebagian diberikan kepada saudara-saudaranya. Faiz bukan orang yang royal. Sekali pun dia sebagai orang yang mampu memimpin banyak perusahaan, tapi ia tetap bersikap sederhana. Ia tidak malu beli makan di warung pinggir jalan. Tentu saja hal itu selalu menjadi heboh dan wartawan-wartawan yang lebay selalu memberitakannya.

Aku sudah cukup senang dengan kehidupanku ini. Aku hanya ingin menghabiskan usiaku dengan tenang dan damai. Sebab aku sudah mendapatkan pengampunan Faiz. Kebahagiaanku bukan berarti aku harus bersama Faiz. Aku sadar aku tak bisa memaksanya untuk mencintaiku. Kebahagiaanku adalah pengampunan dan pemaafan darinya. Itu sudah cukup bagiku. Sudah cukup.

End of Story