Aku menembus jalan terjal mengendarai sepeda motor. Kakiku
berkali-kali harus memijak tanah untuk menjaga agar motor tetap stabil,
membuat sepatuku berdebu tebal. Terjal, berdebu, dan kadang-kadang harus
mendaki bukit berbatu kerikil yang licin. Seperti itulah medan jalan
yang harus kutempuh.
Desa yang kulalui ini cukup terpencil. Tapi karena sebuah tugas mulia, aku harus menyusurinya dengan sabar.
Kira-kira, setiap setengah jam sekali, aku harus berhenti sejenak, menyandarkan motor dan bertanya kepada penduduk sekitar.
“Pak, bisa tanya…Dimana SD Negeri * ya?”
“Apa masih jauh dari sini…”
“Nanti dari sini belok kemana…?”
Itu adalah deretan pertanyaan yang aku ulang-ulang setiap kali
berpapasan dengan penduduk sekitar. Petani, peternak bebek, dan ibu-ibu
yang menenteng rantang. Siapapun aku tanyai. Maklum, selain baru pertama
menjelajahi daerah itu, aku kesulitan menemukan
tempat yang harus kutuju karena sepanjang perjalanan, tidak banyak ancar-ancar yang bisa
aku jadikan patokan. Hanya sawah menghijau, kebun, dan rumah-rumah
penduduk yang tak banyak berbeda satu dengan lainnya. Karena takut
nyasar lebih jauh itulah, aku harus rajin-rajin bertanya kepada penduduk
sekitar yang berpapasan denganku.
“Oooh, Nanti bapak terus kira-kira 500 meter. Di situ ada poskamling,
belok kanan.”, jawab seorang petani yang sedang mengikat jerami.
“Berarti tidak jauh lagi”, gumamku.
“Terima kasih, Pak…”, balasku kepada petani ramah itu.
Sebenarnya rada gondok juga sewaktu petani tua itu memanggilku dengan
sebutan “bapak”. Aku masih 25 tahun, single, dan berperawakan seperti
anak muda lazimnya. Tak berkumis, dan rambutpun masih hitam tebal. Aku
sering melatih ototku ketika masih tinggal di kota.
Seminggu dua kali, aku angkat barbel dan lari di atas treadmill. Tak
heran, walaupun medannya berat, tenagaku tak terkuras. Aku masih kuat
mencari tempat yang harus kutuju.
Pukul 8.35, aku menemukan SD yang kumaksud.
Hmm, tipikal SD negeri di desa.
Halamannya tidak terlalu luas dengan tiang bendera di bagian
tengahnya, cukup untuk menampung belasan anak saat upacara. Gurunya pun
pasti juga tidak terlalu banyak, tebakku. Walaupun kecil, halamannya
cukup rapi. Bunga-bunga ditata di sekitar selasar sekolah. Aku tak
terlalu mengamati kompleks sekolah itu terlalu lama karena hari mulai
siang.
Buru-buru, di tengah kesunyian sekolah karena anak-anak sedang
menjalani ujian, aku mencari kantor kepala sekolah, mengetuk pintu, dan
menunggu siapapun yang keluar dari ruang bertuliskan “Kepala Sekolah”
itu.
Tak berapa lama, g****g pintu itu seperti ditekan ke bawah dan pintu
coklat yang terbuat dari kayu itupun serasa ditarik dari dalam.
“Maaf, saya mencari Bu Irda”, sapaku kepada seorang wanita yang membuka pintu itu.
Seorang wanita berpakaian dinas berwarna coklat, berdiri di
hadapanku. Wanita itu sepertinya belum terlalu tua. Mungkin berusia 30
tahunan. Tubuhnya mungil namun wajahnya manis.
“Oya, saya sendiri…”, jawabnya dengan intonasi yang cukup jelas.
“Anda Alfred kah…?”, tebaknya.
“Benar bu…Saya Alfred, utusan dari dinas kota”.
Tangannya yang halus menjabat tanganku. Bu Irda mengenakan kacamata
berbingkai tebal sehingga menambah aksen manisnya. Hidungnya mancung dan
ia memiliki alis yang lebat.
Setelah mempersilakan masuk, ia berbalik dan saya menguntitnya dari
belakang. Rambut hitamnya terurai hingga menutupi pundaknya. Benar-benar
terawat!
“Kita sudah menunggumu”, kata Bu Irda mengawali pembicaraan ketika
kami duduk. Ia memberi kode kepada seorang lelaki tua yang melintas di
luar ruangan. Orang itu berhenti sejenak dan langsung mengangguk.
“Kamu pasti haus…bentar lagi Pak Bardi bawain teh kok…”, ucapnya singkat.
“Oh, makasih bu…jadi ngrepotin…”, balasku pelan. Kami tertawa kecil berdua.
Suasana yang awalnya tegang, perlahan-lahan mencair. Aku membiarkan
Bu Irda membaca dengan penuh selidik dokumen-dokumen yang aku bawa. Satu
lembar berganti dengan lembar yang lain. Kadang-kadang, ia tersenyum
sendiri. Aku tak tahu, mungkin ia geli melihat foto ijazahku yang masih
tampak culun. Atau ia kagum dengan nilai-nilaiku yang bagus.
Ah, tak tahukah aku….
“Jadi intinya gini…”, bu Irda memecah keheningan. Wajahnya yang tirus menatapku tajam-tajam.
“Saya ucapkan terima kasih karena Mas Alfred mau kerja di sini, jauh dari kota…”.
Aku mengangguk-angguk.
“Beberapa guru yang mengabdi bertahun-tahun di sini sudah pensiun dan
Mas Alfred diharapkan bisa mengisi kekosongan mereka”, Bu Irda
menjelaskan.
Sambil ku seruput teh yang masih panas, Bu Irda menjelaskan panjang lebar tentang kondisi sekolah.
Aku mendengarkannya dengan nyaman. Bu Irda sebenarnya belum cocok
jadi kepala sekolah, kataku dalam hati. Ia bahkan terlalu manis untuk
menjadi seorang kepala sekolah. Tapi biarlah. Seragam coklatnya malah
membuatnya tampak anggun.
“Kita sudah siapin tempat tinggal buat kamu. Lokasinya dekat Umbul.
Agak jauh dari jalan, tapi tempatnya teduh…semoga kamu nyaman”, Bu Irda
berdiri dan menyalamiku.
Pembicaraan berakhir dan aku harus mencari tempat tinggal yang dimaksud.
“…Nanti sore saya pasti akan mampir ke rumahmu…”, katanya menutup pembicaraan.
Aku mengangguk kikuk dan mengucapkan terima kasih.
Dalam batinku, “mengapa Bu Irda yang kepala sekolah mau datang ke
rumahku sore-sore ya. Ah sudahlah…”, aku membiarkan
pertanyaan-pertanyaan itu lenyap dari benakku.
— UMBUL —
Di bawah gemerisik pohon-pohon bambu, aku memasuki rumah yang
dimaksud. Butuh waktu 30 menit untuk mencari rumah bercat putih itu.
Rute dari jalan utama hingga tepat berada di halaman kecil di depan
rumah itu memang tidak ramah untuk kendaraan roda empat. Sempit,
terjal, dan berbatu. Jadi, aku cukup kewalahan. Rumahnya tidak terlalu
besar, mungkin hanya satu kamar. Kumasukkan kunci pintu yang sudah
dititipkan olehku sejak dari kota dan hanya dengan sedikit putaran,
pintu itu terbuka. Aku menyusuri rumah sederhana itu.
Cukup asri namun lembab. Ada satu ruang tidur dan dapur…
Tunggu dulu! Ada yang aneh dari dalam tubuhku. Hasrat yang sudah aku
pendam sejak 2 jam perjalanan dari kota hingga berada di dalam rumah ini
tampaknya harus segera diakhiri.
Aku melepas tas dan menanggalkan jaketku yang berdebu dan mencari….kamar mandi!
Aku sudah menahan rasa ingin buang air kecil sepanjang perjalanan,
namun…astaga…setelah berkeliling rumah, keluar masuk halaman, aku
menyadari kalau rumah itu tak dilengkapi kamar mandi. Aku sangat
kebelet. Dengan jingkrak-jingkrak menuju halaman belakang, kubuka
retsleting celana, dan mengeluarkan penisku dari balik celana
dalamku…cuuurrrr…menyembur lah air pipisku di balik pohon pisang.
Legaaaa….kataku pada diri sendiri.
Sekarang sudah pukul 16.00.
Karena tak ada kamar mandi, badanku tetap lusuh sepanjang hari itu.
Wajahku berminyak habis dan hanya bisa diseka menggunakan tisu kering.
Sudahlah, hiburku. Mungkin nanti bisa numpang mandi di sekolahan…
Tok-tok-tok…
Tiba-tiba pintu rumah terasa diketuk dari luar. Aku menghampiri dan membukakan pintu.
“Sore Alfred…”,
Hah, Bu Irda. Aku sedikit kaget. Lupa diriku kalau Bu Irda berjanji
untuk mengunjungiku sore hari itu. Aku tampak gelagapan karena hanya
pakai celana pendek dan kaos oblong. Wah, pasti mau bicara kerjaan
nih…begitu isi pikiranku di tengah rasa panik ingin segera menyambar
baju resmiku.
Tapi Bu Irda segera mengusir rasa panikku. Ia menjawab, “sudah nggak usah repot-repot.
Kok blingsatan sendiri sih…”, sambil diiringi tawa kecil.
Rambutnya yang terurai itu dikucir dan diikat menggunakan pengikat
plastik. Bu Irda sendiri hanya memakai pakaian biasa. Celana panjang
kain dan kaos merah. Ia tampak menenteng tas plastik kecil transparan.
Sekilas terlihat ada peralatan mandi dan handuk kecil.
“Ayo kita ke Umbul untuk mandi…”, ajaknya.
Karena sudah lusuh dan membutuhkan kesegaran, aku pun menurutinya.
Aku minta waktu sebentar untuk menyiapkan peralatan mandiku. Ternyata,
dalam hatiku berbicara, penduduk di sini masih mandi menggunakan Umbul.
Ya sudah, apa boleh buat.
Kami berjalan berdua sambil mengobrol. Umbul itu jaraknya kira-kira
100 meter dari rumahku sehingga ada banyak yang kami obrolkan. Karena
berperawakan kecil dan tampak masih muda, Bu Irda tidak tampak
menyeramkan bagiku. Bahkan, suara lembutnya menggiringku ke dalam
obrolan yang sangat santai sore hari itu.
“Masyarakat di sini mandi di Umbul…Tak ada sumber mata air lain kecuali di Umbul itu…”
Aku mengangguk berkali-kali.
“Jadi, kalo mau mandi atau kebelet…ya terpaksa harus ke Umbul.”
Bu Irda melirikku yang sedang tersenyum simpul.
“Beda kan dibanding tinggal di kota. Apa-apa sudah ada…”, godanya.
Ah tidak apa-apa bu, asal ada ibu semuanya bisa diatur…batinku menggoda diriku sendiri.
Suara gemericik sudah mulai terdengar. Ah, umbul pasti sudah dekat.
Tapi, beberapa langkah aku mengayunkan kakiku, mataku terbelalak lebar…
“Hah…”
Kami berpapasan dengan rombongan ibu-ibu setengah baya, mungkin berusia
40 tahunan. Yang membuatku kaget dan terpaku adalah…payudara mereka!
Mereka berjalan berlawanan arah hanya mengenakan jarit yang menutupi
pinggang ke bawah. Sementara itu, payudara mereka dibiarkan terbuka
dengan jelas!
Menggantung seperti pepaya masak! Putingnya sudah hitam dan membesar seperti tutup gelas…
Mereka menunduk ramah ketika berpapasan dengan kami berdua. Beberapa di antaranya menyapa kami.
“Mari…”
Bu Irda pun membalas, “Mari…”
“Bu…kok…”,
“Oh…”, Bu Irda mendeteksi kekagetanku, “inikan di desa Fred…jadi wajar kalo kamu liat ibu-ibu bertelanjang dada…”
“Iya sih bu…masih tradisional ya…”, kataku tersipu sambil menggaruk-garuk kepala.
Umbul itu berbentuk kolam yang cukup luas. Ada air terjun kecil yang
digiring menggunakan pipa-pipa bambu. Teduh dan semriwing tempatnya. Di
situ ada ember-ember hitam dan Bu Irda mengambil satu. Ia pun memberiku
kode untuk membawa ember lainnya.
“Untuk meletakkan baju, biar nggak kotor dan basah…boleh kok diambil”, katanya diiringi suara merdu alam.
Aku menyadari kalo umbul itu tak memiliki sekat. Hanya kolam terbuka
yang dalamnya kira-kira sebetis orang dewasa. Mungkin Bu Irda hanya
membasuh wajah, kaki, dan tangannya saja. Atau, ia akan mengusirku
nanti kalau ia ingin mandi. Begitu dugaku.
“Yuk mandi..”,
Bu Irda berdiri di samping Umbul, dengan menyilangkan tangannya, ia
menarik pakaiannya ke atas. Tubuhnya yang mungil terlihat dengan jelas.
Perutnya rata dan Bu Irda mengenakan BH coklat dengan renda-renda
sederhana.
AKu mulai tersipu.
Tapi, belum hilang rasa tersipuku itu, lagi-lagi Bu Irda membuat
jantungku berdetak kencang. Ia melepaskan kaitan di celananya,
menurunkan retsliting, dan memelorotkan celana panjang coklatnya itu.
Tampaklah celana dalam satin berwarna biru dari balik celana panjangnya
itu. Ada pita kecil di bagian atas celana dalam itu.
Kaki Bu Irda jenjang dan mulus. Putih, lebih putih daripada lengannya. Tapi anehnya, Bu Irda sepertinya sangat cuek.
Dan…”OMG…”…jeritku dalam hati.
Seperti tak puas hanya dengan memamerkan pakaian dalamnya dan kakinya
yang jenjang, tangan Bu Irda diputar ke belakang, dan melepaskan kaitan
BH coklat yang ia kenakan. Setelah terlepas, BH itu ditarik keluar dan
tangan kanannya meraih serta meletakkannya ke dalam ember.
Gunung kembarnya mencuat keluar, seolah-olah ingin ikut merasakan semilirnya angin di sekitar umbul. Kencang dan padat.
Pemandangan yang benar-benar luar biasa…aku berusaha tak berkedip.
Jantungku berdetak sangat kencang, dua kali lebih kencang, dan
rahangku mengeras, membuat setetes ludah yang masuk ke tenggorokanku pun
mampu menjungkirbalikkan jakunku yang menonjol di dalam leherku.
Dan…mau tak mau penisku menegang sangat keras…
Bu Irda, kamu cantik sekali!
Setelah membenarkan ikatan rambutnya dan mengenakan kacamatanya kembali, Bu Irda menatapku yang berdiri kaku…
“Ayo, kok belum dibuka sih bajunya…”, katanya namun tanpa ada usaha
apapun untuk menutupi kedua payudaranya yang indah itu. Ia biarkan
dadanya yang menonjol itu tak dihalangi oleh apapun, baik menggunakan
tangan atau jari.
“Oya-ya bu, jawabku memecah kebekuanku…”. Aku pun melepas baju, menyisakan celana pendek yang kupakai dari rumah.
Bu Irda menungguku dan kami berdua melangkah masuk ke dalam umbul.
Kakinya yang lembut dan bersih menciptakan bunyi-bunyi gemericik di
dalam air. Aku melirik Bu Irda dari belakang. Lehernya putih mulus dan
pundaknya bersih serta lembut.
Ia melangkahkan kakinya menuju air terjun kecil dan membalikkan
badan, membiarkan punggungnya dipijat oleh air yang tumpah dari
pipa-pipa bambu itu. Payudaranya ia biarkan terbuka dan lagi-lagi, tanpa
ada usaha sedikitpun untuk menutupinya.
Payudara Bu Irda kencang dan mencuat. Ukurannya proporsional terhadap
tubuhnya. Dari depan tampak bundar tapi sesekali aku melihat dari
samping, putingnya membentuk siluet yang lancip. Payudara sebelah kanan
dihinggapi tahi lalat kecil, menambah keseksiannya.
Warna putingnya yang coklat muda, terbasuh air Umbul yang jernih, membuat bagian itu tampak mengkilat.
Aku harus berusaha keras untuk tidak membiarkan tanganku melayang
tepat di atas payudara ranum itu dan meremasnya. Tidak boleh, bentakku
pada kedua tanganku walaupun itu melanggar hasratku yang paling dalam.
Kamipun mandi berdua. Sembari mandi, kulirik Bu Irda yang tengah
asyik membasuh badannya seperti tak ada orang lain di dalam Umbul itu.
Begitu nyaman ia menikmati segarnya air di sore hari itu. Perutnya yang
rata ia bilas berkali-kali dengan air Umbul dengan sesekali membersihkan
pusarnya dengan cara menggosokkan jari telunjuknya.
Ah…rasanya ingin berlama-lama. Aku harus berendam dalam-dalam supaya
penisku tidak terlihat menonjol. Maklum, aku sudah tak bercelana dalam
lagi.
Bu Irda mengambil busa dan menuangkan sabun cair di atasnya. Ia
remas-remas busa itu hingga berbuih dan menggosokkannya ke payudaranya
secara bergantian.
Please bu, biarkan aku yang menjadi busa itu…rintihku dalam hati.
Dengan mengatupkan tangan, Bu Irda menjebak air dari dalam Umbul dan
mencipratkannya ke kedua belah puting susunya. Berusaha membasuh dadanya
hingga bersih.
Kami berdua tampak menikmati sore hari itu.
Tapi hari sudah mulai gelap dan Bu Irda memberi komando untuk segera mentas dari air.
“Supaya tidak masuk angin”, katanya.
Buru-buru, kami mengenakan pakaian kami kembali. Namun, rasa
penasaran masih menghinggapi benakku. “Mengapa bu Irda begitu tak peduli
payudaranya kulihat?”
Kami melangkah pulang. Bu Irda berjalan santai tapi aku begitu tegang.
“Ah…lebih baik kutanyakan saja”,
“Bu maaf…”, aku mulai bertanya. Bu Irda memalingkan wajahnya ke arahku tapi kami tetap berjalan santai.
“Kok ibu nggak malu ya….mandi bareng tapi setengah telanjang. Apa ibu
nggak takut aku apa-apain…atau kalo ada orang lewat di Umbul…?”
Bu Irda tertawa…menambah kekikukanku…
“Astaga Alfred…aku lupa kalo kamu orang baru di sini…”, katanya setelah menyelesaikan tawanya yang keras…
“Sejak dulu, di sini ada tradisi…siapapun yang mandi, harus bertelanjang dada”.
“Kok bisa bu…”, tanyaku seolah tak percaya.
“Ada legenda Fred…dulu masyarakat sekitar percaya lewat cerita turun
temurun. Kalau mau panennya selalu lancar, setiap wanita di sini harus
mandi tanpa penutup dada. Jika dilanggar, maka Penyu Putih, akan
mengganggu seluruh desa…”, jelas Bu Irda.
“Penyu putih Fred…penunggu Umbul tadi.”
Aku pun mengangguk dan mendengarkan dengan serius. “Sesekali, ada
lelaki yang mengaku melihat bidadari cantik duduk di sekitar umbul.
Mungkin jelmaan dari Penyu Putih tadi”, ucapnya.
“Apa ibu nggak malu…”, aku mengulang pertanyaan.
“Awalnya sih malu Fred…pertama kali ke sini. Bahkan waktu itu, kami
mandi bareng bapak-bapak pengajar di SD kita. Mereka juga kagum lho sama
payudara saya…” Bu Irda tertawa sendiri ketika mengingat masa lalunya
itu.
“Tapi lama-lama terbiasa kok Fred…iya loh, daripada dilihat orang lain, mending dilihat sama rekan kerja sendiri, kan?”
Kami masih bercerita panjang lebar sembari pulang. Intinya, cerita Bu
Irda, pantangan mandi di Umbul harus ditaati sampai sekarang. Mandi
tanpa mengenakan penutup dada.
Aku pun berpisah dengan Bu Irda ketika sampai di halaman rumah
“dinasku”. Setelah mengucapkan salam perpisahan, Bu Irda berjalan
menyusuri jalan setapak dan aku menunggunya sampai ia benar-benar tak
terlihat lagi.
Malam itu, menjelang tidur, aku masih membayangkan payudara Bu Irda
yang ranum. Wah, betapa beruntungnya aku. Bu Irda yang tampak gagah,
formal, dan disiplin ketika mengenakan seragam coklat, menjadi begitu
lain ketika di dalam Umbul tadi. Ia begitu polos, cantik, dan lugu. Aku
masih membayangkan wajahnya yang tirus, hidungnya yang mancung, dan
alisnya yang basah oleh air dari pancuran Umbul.
Oh, andaikan aku bisa melihat Bu Irda dalam ketelanjangan total…tapi
sayang, tradisi hanya mensyaratkan siapapun bertelanjang dada, dan bukan
bertelanjang bulat.
Tapi, aku masih ingin berharap…
Aku mengajar mulai pukul 7.00 pagi. Bahasa Indonesia adalah pelajaran
yang aku ampu. Tidak banyak memang murid di kelas 6. Hanya 11 anak
saja.
Aku pun sudah mulai bergaul dengan guru-guru. Ada Pak Darto yang
gemuk dan berkumis lebat. Atau Pak Marjo, guru matematika berambut jamur
yang begitu misterius.
Pak Darto cukup ekstrovert. Terbuka, blak-blakan. Pernah suatu hari,
kami para guru rapat evaluasi dalam ruang kepala sekolah. Sambil
menunggu Bu Irda masuk, Pak Darto, yang duduk tepat di sampingku, mulai
usil.
“Gimana….”,
sikunya menyenggolku ketika aku sedang menjumput lumpia rebung dari
kotak makanan yang disajikan. Hampir saja lumpia itu terpental.
“Bu Irda…manteb to?”
Belum sempat aku menjawab, Pak Darto sudah terkekeh. Perutnya yang
tambun bergetar hebat, mirip ikan buntal yang terancam oleh
musuh-musuhnya.
Aku tahu maksud Pak Darto. Ia pasti sedang menggodaku. Tepatnya,
ingin meminta pendapat bagaimana susu Bu Irda menurut penilaianku.
Pak Darto memang agak genit dibanding yang lain. Istrinya gendut,
anaknya sudah empat. Katanya, istrinya cerewet dan suka berkacak
pinggang. Makanya, menurut cerita-cerita yang beredar di kalangan para
guru, Pak Darto lebih sering mengungsi ke Umbul. Pamitnya rapat mendadak
di rumah Pak RT, tapi ia lebih suka kerayapan ke Umbul, menonton
atraksi payudara.
Ah, Darto-Darto…kamu pasti sudah menikmati ranumnya buah dada Bu Irda…
Kubiarkan saja ia terus menggodaku. Tawanya yang cekikikan masih menghiasi ruangan.
Beberapa guru berusaha menegur Pak Darto…Husss, kata mereka.
Orangnya memang sulit diduga, banyak tingkah dan alasan. Makanya, aku
hanya terus berulang-ulang menjawab “Ya-Ya-Ya”, kalau ia sedang
menerocos. Maksudku, supaya ia puas dan segera menghentikan cocotannya
itu.
— DI RUANG KELAS —
Ketika mengajar, murid-murid sepertinya menaruh hormat padaku. Siang
itu, di ruang kelas, aku duduk siaga seperti seekor elang yang sedang
mengintai mangsanya.
“Sinta, maju”, tunjukku pada perempuan berambut kucir ganda.
Yang aku tunjuk diam saja. Malah tampak celingukan.
“Santi kali, Pak…”,
seorang murid yang duduk di tengah mengingatkanku.”O iya Santi…”,
jawabku mengoreksi. Aku selalu lupa nama gadis ini. Padahal ia cukup
cemerlang dan cantik. Wajahnya memang tidak mulus karena beberapa
jerawat sudah menjajah bagian kening dan pipinya yang cukup berisi.
Ia bermata sipit, beralis tebal, dan berbibir sensual. Pipinya
tembel. Anak ini selalu merapikan rambutnya dengan gaya kucir ganda
seperti itu. Jika diurai, rambutnya hanya sebatas pundak.
“Buat kata berakhiran ‘wan'”, perintahku.
Sinta beringsut maju, memungut pelan kapur tulis yang aku sodorkan dan mulai menulis di papan tulis.
Sembari memperhatikan materi di dalam buku, aku mendengar anak-anak tertawa cekikikan.
“Ada apa sih”, pikirku.
Aku membaca apa yang ditulis oleh Santi….
“P-E-R-A-W-A-N”
“Kurang ajar nih…”, gue dikerjain, geramku dalam hati.
Tawa pun meledak di seluruh kelas. Rio, si rambut kribo, tergelak
seperti orang kesurupan. Ia membanting-bantingkan tubuhnya ke
kanan-kiri, sambil memegang perut, membuatku tampak lebih salah tingkah
siang itu.
Sssttt…aku mengacungkan jari dan dengan satu komando, seluruh kelas
kembali tenang meskipun masih terdengar cekikikan-cekikikan yang sayup.
Dengan senyum tersipu, Santi mengembalikan kapur itu kepadaku.
Sebenarnya, Santi itu pintar. Cuma pendiam dan suka usil. Berbeda
dengan gadis yang duduk tepat di sebelah kanannya, Iyuth, yang sama-sama
jahil tapi bercandanya tidak pernah cerdas.
Badan Iyuth lebih padat berisi. Dadanya sudah mulai tumbuh. Aku
sering meliriknya sewaktu pelajaran olah raga. Betisnya tebal dan suka
memakai sepatu semi-bot macam Dr. Martin jaman dulu. Ia tampak pede tapi
kesannya kurang sopan.
Pernah suatu hari ia menodongku, “Pak beliin pulsa dong”, wajahnya tak mau lepas dari ponselnya.
Karena niatnya usil, maka kujawab dengan tak kalah usilnya juga…”okey, tapi kasih dulu nomor ponselmu…”
“Nggak jadi!”, jawabnya ketus.
Ia melengos dan pergi membelakangiku. Rambutnya yang agak
bergelombang, ditata dengan jambul kecil di depannya, terhambur ke
arahku. Aku pun mengacuhkannya tanpa beban. Anak jahil kok dilayani,
batinku.
Ada satu lagi yang namanya aku hafal. Deva. Duduk di belakang Santi.
Wajahnya ayu tapi melas. Gara-gara wajahnya yang mellow itu, orang
sekaliber Pak Marjo pun sering dibuat mengalah. Padahal, dengan raut
muka seperti Angry Bird, Pak Marjo cukup disegani.
Ibaratnya, Pak Marjo datang, dunia tenang!
Pernah suatu ketika, Pak Marjo menghukum Deva yang langsing itu untuk
berdiri menghadap tiang bendera. Tuduhannya, terbukti secara sah
menyontek! Tapi dengan mudahnya ia membujuk Pak Darto agar
menyelamatkannya. Modus operandinya, ia pura-pura sakit dan minta
diantar pulang. Pak Marjo, yang merasa berhak menghakimi, blingsatan
karena tak menemukan tawanannya di lapangan sekolah.
Esok paginya, Pak Marjo tidak lagi mengungkit-ungkit hukumannya
kemarin. Mungkin karena Deva berhasil menunjukkan wajah memelasnya
sehingga Pak Marjo tidak tega untuk meneruskan perkaranya.
Sepertinya mereka bertiga satu gank. Kompak. Kalau jajan, suka makan
dengan tema yang sama. Tempura 2 tusuk. Minumannya juga serempak.
Hmmm…apakah mereka pakai daleman yang warnanya sama?
Aku menduga-duga dengan pikiran nakal.
— PRAMUKA YANG MENDEBARKAN —
Aku melirik sekilas ke arah arloji.
Pukul 3:00.
Aku duduk bersila dan menata baju yang telah selesai aku seterika.
Saatnya mengumpulkannya ke dalam lemari baju tua yang ada di hadapanku.
Aku beranjak naik diiringi suara gemerisik dari kertas koran yang
dijadikan alas duduk. Tempat itu memang berubin namun bukan keramik.
Apa-apa harus kukerjakan sendiri karena jauh dari orang tua.Sayup-sayup, lagu Linkin Park mengusir kesunyianku di dalam rumah.
Sambil menata-nata baju, secara tak sengaja aku melihat dari pantulan
cermin yang tergantung di kamar tidurku. Bayangan dua anak perempuan
sedang mengintip ke dalam rumah lewat jendela ruang tamu. Sebenarnya ada
tiga mahluk. Tapi yang terakhir hanya terlihat topinya saja yang
menyembul dari samping. Mereka tampak gaduh.
Aku pun buru-buru mengemasi sisa-sisa baju yang belum selesai
ditumpuk ke dalam lemari. Aku jejalkan baju-baju itu begitu saja dan
menutup lemari rapat-rapat.
Sewaktu membalikkan badanku, mahluk-mahluk itu, yang ternyata
kusadari adalah gadis-gadis yang tak asing di kelasku, buru-buru bubar
sambil heboh sendiri.
“Huss..ngapain kalian ke sini”, tanyaku dengan sorot tajam kepada mereka.
Setelah kubuka pintu, terlihat Anak usil and the gank itu datang ke
rumah sore hari lengkap dengan memakai baju dan atribut Pramuka.
Masing-masing dari mereka menggenggam tongkat bambu.
“Jelajah desa, Pak”, kata Iyuth sambil membetulkan posisi topi
bundarnya. Santi pura-pura tak menyimak dengan sibuk menengok
kanan-kiri. Deva memilih untuk menatapku sambil mengibas-ibaskan
tangannya memancing hembusan angin.
“Terus…?”, kejarku penuh selidik.
“…terus, kita kehilangan jejak deh Pak…”, jawab Iyuth kikuk yang
disambut dengan senggolan siku Deva. Mungkin Deva merasa tidak enak
denganku karena Iyuth terlalu keliatan bohongnya.
Di antara jengkel dan kesal, aku mempersilakan mereka masuk. Iyuth lebih dulu, dibuntuti Santi dan Deva.
AKu mendahului mereka pergi ke dapur dan sesampainya di sana, aku setengah berteriak.
“Minum apa nih…”,
“Terserah deh Pak, asal bukan air putih”, sahut Santi asal jawab dari ruang tamu.
Aku memutuskan untuk menyuguhi mereka sari jeruk. Segar pasti
siang-siang begini. Ketiga gelas itu aku tata rapi di atas nampan dan
kubawa masuk ke ruang tamu.
Glekk…Belum sempat kusodorkan gelas-gelas itu ke tengah meja, aku menelan ludah.
Iyuth sudah mengurai dasi Pramukanya dan melepas tiga buah kancing
dari atas. Ia tampak sibuk mengibas-ibaskan tangannya, menggiring angin
ke arah lehernya. Dagunya ia naikkan ke atas, ke bawah. Kadang kepalanya
ia miringkan. Lehernya bersih dan putih.
Mungkin aku harus berterima kasih kepada matahari sore ini karena,
ketika aku membungkuk untuk menaruh gelas-gelas itu, aku mengintip cepat
singlet putih dari balik baju pramuka Iyuth.
Belahan dadanya mulai tumbuh, tapi belum besar.
Mereka menyerbu minuman yang aku sodorkan. Deva begitu rakus. Mungkin
ia sangat kehausan, sampai-sampai sari jeruk itu meleleh di antara
bibirnya dan turun meluncur mengikuti dagu, leher, dan masuk ke dalam
balik bajunya.
Aku merasa kalau Deva sangat seksi.
Santi…bagaimana dengan Santi. Ia masih berpakaian rapi. Rambutnya
yang dikucir dua dan wajahnya yang oriental memang menggemaskanku. Tapi,
dalam hal berpakaian, ia cukup ketat menjaga penampilannya.
Aha!
….Tiba-tiba, bagaikan tersambar palu godam tepat di ubun-ubunku, aku
tersadar. Mengapa aku harus curi-curi pandang kalau aku bisa lihat
semuanya itu…di Umbul!
Dasar!! Betapa bodohnya aku!!!
Sekilas, aku berbinar. Tapi buru-buru kupadamkan rana muka girangku. Kembalilah aku ke raut muka ja’im.
Aku harus mainkan strategi agar bisa membujuk mereka tanpa terkesan
main tembak. Hmmm…aku punya strategi untuk menggiring mereka ke Umbul.
Otakku berputar.
“Udah gih…minumannya dihabisin terus kalian balik ke sekolah. Kalo nggak, nanti bapak laporin ke Pak Joko.”
“Ehh…jangan pak”, mereka sontak menolak kompak. Tangannya mengibas-ibas tepat di depan ku.
“Nanti kita kena hukuman deh Pak”, jawab Deva memelas. Gelasnya yang
sudah kosong cuma diputar-putar di pangkuannya. Wajahnya sayu membuatku
luruh. Tapi strategi harus berlanjut.
“Tuh kan…HP Bapak berbunyi. Entar nih, SMS dari siapa ya…?”. Tanganku merogoh ponsel yang kuselipkan di celana.
“Pak Joko…”, kataku dengan suara dibuat-buat, “katanya: pak Alfred,
kalo ketemu Iyuth, Santi, dan Deva, harap suruh mereka pulang. Hukuman
sudah siap menanti.”
Mereka bertiga membelalakkan matanya…”Ha…”
“Ampun deh pak, bilang kalo kita tersesat…”
Strategiku berhasil. Mereka panik dan mulai memohon. Aku memasukkan
lagi ponsel yang sengaja kubuat berdering itu. Tak ada SMS sebenarnya.
Yang ada hanya bualanku saja.
“Gini aja…gimana kalo kita sembunyi di Umbul. Takutnya, Pak Joko menyusul kemari”, tawarku.
Iyuth langsung beranjak dari kursinya bak ada aliran listrik yang menghujam pantatnya.
“Ayo-ayo-ayo”,burunya kepada Santi dan Deva.
“…tunggu sebentar. sekalian bapak ambil baju mandi. Mau mandi sekalian…”, jawabku.
Mereka menghabiskan minumannya dan menunggu di teras. Sepertinya tak sabaran, takut jika Pak Joko terlanjur menyusul mereka.
—- BIDADARI SESUNGGUHNYA —-
AKu menapaki rute menuju Umbul bersama ketiga bocah usil itu, persis
menyusuri jalan setapak yang kulalui bersama Bu Irda. Iyuth
berbisik-bisik tak jelas. Mulutnya dihadang oleh tangannya sehingga aku
tak bisa membaca gerakan bibirnya. Sepertinya, mereka sedang main
rahasia-rahasiaan.
Sementara Santi berjalan sok cuek sambil menikmati pemandangan
sekitar. Sesekali, ia mengibaskan tangannya, berusaha menyobek daun-daun
yang ia lalui.
“Loh…pak”, suara Iyuth menghentikan langkahku.
“Kok kita terus pak…? Bukannya kalo ke Umbul harus belok ke kanan?”
Aku bingung. Seingatku, Bu Irda menggiringku ke arah atas. Kita semua berhenti di pertigaan.
Kiri, menuju ke atas, tempat yang kuyakini benar. Tapi Iyuth
sepertinya protes. Menurutnya, kita harus ke kanan, menuruni tebing.
“Kamu yakin Yuth…?”, tanyaku.
“Yakin pak…”, jawabnya penuh keyakinan.
Sejenak berdiam diri. Aku pun mengiyakan rute yang diyakini benar oleh Iyuth. Lalu, kami menuruni jalan setapak.
Daerah ini benar-benar asing dan lebih terjal. Kami saling menolong
agar tidak terpeleset jatuh. Sesekali, aku bisa mencuri-curi pandang
paha mereka bertiga. Paha Iyuth paling besar karena kakinya memang
padat. Tapi yang paling langsat adalah paha Santi.
Sedangkan yang paling sensual mungkin hanya Deva karena permukaan
kulitnya penuh dengan rambut-rambut halus. Betisnya kuamati saat
menuruni bebatuan tadi. Ada banyak bulu-bulu lembut berwarna hitam di
situ.
Benar saja, lima belas menit kemudian, kami mendengar suara gemericik
air. Kami bersemangat pergi agar lebih cepat sampai di tujuan. Setelah
mendaki sedikit, kami melihat ada umbul.
Lebih jernih namun berdiameter lebih kecil. Tepi umbul itu lebih
berbatu, alami, dibanding Umbul yang aku pakai mandi bersama Bu Irda.
Sepertinya, tempat ini lebih privat.
“Betul kan pak…ini tempatnya…”, kata Iyuth penuh kemenangan.
“Lebih enak kayaknya nih…lebih adem”, kata Deva.
Mereka saling bercanda satu dengan lainnya. Iyuth menjorokkan tubuh
Santi tapi buru-buru ia pegangi kembali. Santi yang terkejut cuma bisa
menyumpah-nyumpah. Sekali dua kali, mereka juga saling menjerit sambil
mencipratkan air pakai ujung sepatu. Sepertinya, mereka bertiga mulai
menggila!
“Bapak mau puter dulu ke atas…lihat-lihat pemandangan. Kalian tunggu
aja di sini sambil mancing…”, gurauku. Tapi aku serius. Aku harus
mengamati sekeliling untuk memastikan tak ada orang yang lewat ke tempat
itu. Bisa berabe nanti kalau mereka benar-benar menuruti tradisi desa
ini…
Umbul itu terpencil dan seperti terkucil dari alam. Jika berjalan ke
arah atas, maka hanya didapati jurang. Di bawah jurang terdapat sawah
yang ditata secara terasering, berundak-undak. Air dari umbul yang
terbuang, akan jatuh ke bawah dan mengairi sawah itu.
Aku memutar kakiku untuk kembali ke umbul. Sepertinya steril!
“Pak…”, seru Iyuth setengah berteriak, “kita mau mandi…Bapak jagain baju kita ya…”
Aku mengangguk kencang.
Cewek memang suka mandi. Aku tertawa tertahan.
“Kalian tahu tradisi mandi di umbul kan?”, tanyaku mengingatkan.
Aku berharap, mereka menganggukkan kepala yang itu artinya, mereka harus melepas atasan saat mandi.
“Tahu dong Pak…tuh, si Santi sudah nggak sabaran”, goda Iyuth.
Yang digoda cuma cemberut kecut.
“Kita semua nggak mau didatengi penyu putih kok pak…mending malu dikit daripada satu desa repot semua”, kata Deva menerangkan.
Okelah kalau begitu.
Matahari mulai condong ke barat, memancarkan sinar yang tampak
berkilau-kilau seperti emas di atas umbul. Bintang-bintang di langit
bagaikan jatuh di atas air.
Sepi di sekitar umbul. Bambu-bambu saling bergesekan, berderit-derit
memainkan nada teratur, menimbulkan kesan asri sekaligus mistis.
Aku mencari batu yang besar untuk meletakkan pantatku sambil
mengambil sudut pandang ke arah umbul yang paling ideal. Ah, sedikit ke
timur ada batu yang kumaksud. Aku duduk di situ, menunggu apa yang akan
tersaji di hadapanku.
Santi beringsut maju, Iyuth di tengah, dan Deva ada di urutan belakang dari sudut pandangku.
Santi melongok sejenak ke dalam umbul lalu menarik badannya kembali.
Jari-jari lentiknya mengurai ikatan dasi pramukanya, dan membongkarnya
sehingga terlepas dari lehernya yang jenjang. Akhirnya, dicopotnya dasi
yang mengikat lehernya itu.
Di belakang Santi, Iyuth sedang memelorotkan rok coklat pramukanya ke
bawah. Namun dasar anak usil, ia masih mengenakan sepatunya saat celana
dalam putihnya terlihat jelas. Lucu dan menggemaskan. Betisnya
benar-benar padat dan agak gemuk. Terlebih-lebih pahanya. Cukup besar.
Tapi putih.
“Va…tolong gih”, pinta Santi, sambil berusaha mengotak-atik kaitan roknya.
Deva melangkah maju. Tangannya membantu menanggalkan kaitan rok yang
menutupi area pribadi Sinta. Deva masih berpakaian utuh. Begitu kaitan
rok itu saling tak terkait lagi, diturunkannyalah ritsliting rok itu.
“Butuh pelumas kali San…agak macet rits-nya”, kata Deva setelah menolong Santi membuka ritsliting rok itu.
Ia mundur lagi beberapa langkah, membiarkan Santi menanggalkan roknya
seorang diri. Kuamati paha jenjang Santi dari atas ke bawah. Seperti
tak ada cacat. Putih. Dan bahkan lututnya pun memiliki warna senada
dengan bagian kakinya yang lain.
Santi hanya melepas beberapa benik baju coklatnya dari bawah ke atas.
Begitu tiga buah benik sudah dilepas, ia langsung menarik baju itu ke
atas seperti sedang melepas kaos olah raga. Singlet putih pun
menggantikan baju coklat yang baru saja ia tanggalkan. Dadanya belum
terlihat jelas, tapi benih-benih menuju ke arah payudara montok, sudah
mulai
terlihat.
Aku mulai tegang. Penisku mengeras.
“Pak…kutaruh dimana bajunya…?”, tanya Santi yang hanya memakai
singlet dan celana dalam putih. Ia mengayun-ayunkan bajunya, hendak
melepaskannya di tanah.
“Taruh di situ aja San…”, jawabku, “Nanti bapak ambil…”
Setelah selesai melepas baju pramukanya, Iyuth jongkok sedikit,
mengurai tali sepatu bot-nya, dan mencopotnya satu demi satu. Kaos kaki
putihnya ia tarik ke luar, menggulungnya, dan menjejalkannya ke dalam
sepatu itu.
“Uhhh…bau apa nih??”, godaku.
“Pasti bau kaos kaki Iyuth tuh pak…”, balas Deva, “kan seminggu sekali kaos kakinya baru dicuci…”
Sinta tertawa lebar. Giginya yang rapi jelas terlihat.
“Ye…orang ini kaos baru…”, jawab Iyuth tak mau kalah.
Kuku kaki Iyuth terlihat mengkilat dan terawat. Lalu ia menegakkan
punggungnya, dan meminta Santi menarik pakaian dalamnya ke atas.
Santi menuruti.
“Hati-hati San…nanti anting-antingku malah copot semua nih…”
Perlahan-lahan, Santi menarik baju melewati kedua tangan Iyuth yang sudah menengadah ke atas.
Gila! Buah dada Iyuth sudah mulai tumbuh menyembul keluar. Putingnya
benar-benar kecil dan lingkaran coklat yang mengitari puting itu masih
berwarna pudar, seolah-olah menyatu dengan kulit tubuhnya yang mulus.
Karena masih kecil, payudara Iyuth tampak lancip.
Beberapa detik lamanya, Iyuth memeriksa daun telinganya. Pasti ia ingin memastikan kalau anting-antingnya tidak lepas, batinku.
Iyuth membelakangiku dan melakukan hal yang sama pada Santi, menarik
singlet putihnya ke atas. Buah dada Santi lebih kecil. Belum tumbuh.
Santi memang lebih kurus, tapi langsing.
Manisnya wajah Santi mampu menutupi kecilnya buah dada mini yang menggantung di dadanya.
Ternyata dugaanku benar. Untuk urusan pakaian dalam pun, mereka bersekutu.
Terus terang, aku suka dengan wajah imut seperti Santi walaupun tubuhnya masih belum ada apa-apanya dibanding Iyuth.
Santi bergidik sedikit…”Brrr…dingin…”, serunya. Matanya menyipit, membuat wajahnya semakin imut.
Dari arah belakang, Deva yang masih mengenakan singlet dan celana
dalam putih beringsut maju dan menjepitkan jarinya ke sela-sela celana
dalam Santi. Dengan sedikit tekanan ke arah bawah, ia pun
mempelorotkannya celana dalam itu. Santi tampak kikuk namun tak berusaha
mencegah.
Mataku membelalak dan penisku keras seperti tongkat…Apa yang telah Deva lakukan terhadap Santi…ia menelanjangi gadis itu!!!
Aku menahan kelopak mataku lama, tak berkedip, walaupun cukup pedih
menahan kering dari air mata. Santi teramat cantik tanpa sehelai benang
pun yang menutupi tubuhnya!
Aku tak sabar menunggu Iyuth dan Deva melakukan hal yang sama…
Santi melipat tangannya ke arah dada dan membiarkan kemaluannya tak
tertutupi. Sesekali ia melirikku sambil menggigit kecil ujung lidahnya.
Santi memiliki bulu kemaluan yang ringkas, seperti semak-semak yang
melebar ke bagian atas. Rambutnya tidak sampai melewati pangkal pahanya.
Dengan tubuh kurus seperti itu, daerah kemaluannya menjadi tampak
sempurna.
“San…besok makan yang banyak gih, biar montok mirip Iyuth”, kataku setengah teriak.
Suaraku jelas gemetar. Aku benar-benar tak biasa melihat gadis telanjang dengan penuh percaya diri seperti anak-anak itu.
“Jadi aku gendut ya pak…”, sindir Iyuth.
“Bukan gitu Yuth…kamu seksi kok”, hiburku.
Iyuth, masih membelakangiku, akhirnya menurunkan celana dalamnya
juga. Belahan pantatnya langsung kulihat sempurna. Pantatnya agak gemuk
namun sesuai dengan postur tubuhnya. Ia melipat-lipat pakaiannya dan
membungkuk ke bawah sekali dua kali.
Oh noooo…Iyuth yang usil itu ternyata montok menggemaskan.
Tinggal Deva yang belum telanjang. Dalam hitungan detik, ia
menurunkan celana dalamnya hingga sebatas lutut dan mundur beberapa
langkah, lalu jongkok.
Cuuurrr…air pipis kuning keemasan mengalir dari selangkangannya.
“Wuiihhh…air terjun baru nih…”, kata Santi sambil tersenyum geli.
“Sini, aku mandiin San…banyak nutrisi nih”, ujar Deva. Air kencing yang
keluar dari belahan kemaluannya cukup banyak. Sepertinya, Deva amat
menikmati momen ini.
Beberapa muncratan kecil mengakhiri pemandangan langka ini.
Setelah itu, Deva berdiri kembali, melorotkan celana dalam yang sudah turun setengah itu dan menarik kaosnya ke atas. Telanjang!
Sambil berjalan ke arah teman-temannya yang sudah berbugil ria, ia mengumpulkan baju-baju pramuka itu menjadi satu.
Santi dan Iyuth dengan ceria khas anak-anak, mencemplungkan dirinya
ke dalam Umbul. berbeda dengan Santi yang tetap melipat tangannya
menutupi dadanya, Iyuth tampak lebih riang. Ia mengangkat tangannya
seperti hendak melompat sambil melangkah-langkah kecil ke dalam Umbul.
“Hati-hati Yuth…”, pesanku.
Pandanganku tak jauh dari daerah kemaluannya yang plontos namun
berbintik-bintik. Tunas-tunas rambut sudah mulai terlihat di daerah
selangkangan Iyuth. Belahan vaginanya tak bisa disembunyikan sama sekali
karena tak ada rambut yang tumbuh.
Sesekali, mereka saling berpegangan supaya tidak terpeleset.
Sesampainya di tengah umbul, dua anak itu saling berhadapan, dan
memerciki air sambil tertawa-tawa riang. Badannya basah oleh bulir-bulir
air yang menciprat liar.
Apa yang mereka pikirkan? Apa mereka tidak malu, atau takut?
Mereka benar-benar seperti anak-anak. Telanjang dan bahagia.
Terdengar jeritan-jeritan kecil dari mulut keduanya. Mereka
benar-benar seperti berperang di tengah cipratan air. Santi, dengan
rambut yang masih terkucir ganda, seperti tak mau kalah. Ia menjebak air
di dalam tangannya yang mengatup dan menyemburkannya cepat-cepat ke
wajah Iyuth.
Rambut Iyuth yang sepundak terkebas-kebas mengikuti goyangan kepalanya.
Beberapa kali, aku menyentuh kain celanaku, tepat di posisi kepala
penis berada, dan menggosokkannya pelan-pelan ke arah testis. Enak
rasanya. Tapi kulakukan hanya sekali-dua kali. Aku tak mau tampak cabul
di depan anak-anak itu walaupun aliran darahku begitu deras tak
terbendung.
Deva sudah siap-siap menyusul masuk ke dalam air. Sebelum
menenggelamkan diri, ia memutar-mutar sendi lengannya beberapa kali.
Mungkin sendinya agak keseleo.
“Kenapa Va…”, tanyaku. AKu hendak beranjak berdiri, membantu Deva
mengatasi persendiannya. Mungkin, pijatan kecil bisa melegakan
otot-ototnya.
Tapi Deva menjawab singkat, “Ohh…cuma pegel dikit pak…Nggak pa-pa kok…”
Payudaranya yang kecil bergoyang-goyang mengikuti gerakan tangannya.
Putingnya lebih gelap dibanding dua anak lainnya. Kecil namun agak
menggantung.
Kakinya penuh bulu-bulu lembut yang menjalar ke atas.
Dugaanku tepat. Gadis yang dipenuhi bulu-bulu tipis di sekujur
tubuhnya, pasti memiliki rambut kemaluan yang lebat. Betul. Rambut
kemaluan Deva yang paling lebat di antara mereka bertiga. Tak teratur,
semrawut, tapi sungguh aku nikmati. Rambut paling bawah agak panjang,
menjulur ke bawah seperti sulur-sulur pohon beringin, menutupi belahan
vaginanya.
Di tepi umbul, Deva berjongkok dan setelah menceburkan kedua kakinya,
ia langsung merebahkan badannya ke dalam air. Ia menenggelamkan diri.
Hanya pantatnya saja yang menyembul keluar.Kepalanya keluar masuk air
berkal-kali sambil menyemburkan air ke permukaan. Berulang-ulang, Deva
mendayungkan tangannya ke belakang, dan tubuh telanjangnya maju ke
tengah umbul.
“Stop-stop-stop…”
Setelah puas guyur-guyuran air, Iyuth melepaskan diri dari Santi.
Tubuhnya sudah benar-benar basah. Licin dan mengkilap. Bulir-bulir air
meluncur liar di tubuhnya. Ia membalik badan, berjalan perlahan ke arah
pancuran. Tangannya agak dibentangkan untuk menjaga keseimbangan
langkahnya. Betul-betul perfect melihat tubuh telanjang seperti itu.
Sesampainya di pancuran, ia menengadahkan wajahnya ke atas dan
membiarkan kepalanya dijatuhi air terjun.
Santi menyusul dari belakang. Ia berhenti di belakang Iyuth dan kedua
tangannya memijat-mijat pundak Iyuth. Iyuth mendesah keenakan.
“Mantab San…aduh. Jangan keras-keras dong!”
Santi tertawa dan mengendurkan pijatannya.
Ketiga gadis itu membelakangiku, menampakkan tiga variasi pantat yang
berbeda. Iyuth memiliki pantat yang bulat dan gemuk. Santi, walaupun
kurus, punya pantat yang montok dan kencang. Deva, agak tepos tapi tetap
seksi. Mereka semua berkulit putih.
Great..!!!
Nafasku tersengal-sengal karena jantungku berdetak sangat cepat.
Kenyataan yang kulihat di depan mata kepalaku sendiri justru sangat
jauh, membumbung dari harapanku sejak awal. Iyuth, Santi, Deva…bapak
cuma mau melihat kalian mandi dengan payudara-payudara kecil kalian.
Tapi justru kalian, menunjukkan semuanya!!! Ahhh, sekarang tak ada lagi
yang bisa kalian sembunyikan…!!! pujiku dalam hati. Aku kagum kepada
mereka.
Belum selesai aku berpikir, tiba-tiba, mereka beringsut ke tengah
kolam. Sesekali, mereka melirik ke arahku. Di tengah umbul, mereka
membelakangiku dan membentuk formasi lingkaran.
Punggungnya dibengkokkan ke depan dan kepala mereka seolah-olah
saling menempel. Pantat mereka terdorong ke belakang, memancingku ingin
meremas pantat mereka satu demi satu.
Mereka sepertinya tengah berbisik. Gawat, sepertinya ada rencana jahat…pikirku.
Selesai berbisik-bisik, mereka pun saling menepukkan tangan. Tosss…
Deva maju mendekatiku. Tubuh bugilnya menghadapku secara frontal. Rambut-rambut kemaluannya layu terkena air.
Sepertinya, ia dipilih oleh kedua temannya untuk menjadi juru bicara.
“Pak…”, kata Deva dengan wajahnya yang mellow…
“kata Iyuth dan Santi…, mereka ingin lihat punya…” belum selesai Deva
berbicara, Iyuth langsung menghambur maju, mendekap mulut Deva. Sebentar
mereka bergumul, membuat payudara keduanya memantul-mantul. Santi tak
mau kalah, ia ikut memegangi tangan Deva.
“Nggak pak…bukan itu yang kami bicarakan tadi”, kata Iyuth menyela.
“Iya pak…”, kata Santi membenarkan sambil menjitak kepala Deva.
“Maksud kami…nggak seru juga nih kalo bapak nggak ikut mandi…masak cuma jadi penonton.”
Wah, mereka sudah berani protes rupanya.
“Terus mau kalian apa…”, gugatku.
“Nyebur pak…mandi bareng kami”.
Gawat!!!
“Tapi bapak nggak bawa baju ganti nih…”, jawabku mengelak. Padahal,
aku sudah ingin sekali terjun ke umbul, menyentuh kulit mereka yang
lembut dan bersih satu demi satu.
“Copot dong pak…ngapain pake baju segala. Ingat tradisi di sini lho”, kata Deva mengingatkanku.
Oke deh. Aku berdiri dan menyambut ajakan mereka.
Kaos aku lepas dan kakiku kuceburkan ke kolam.
“Loh pak…ponselnya kok ikut diajak nyebur? Nanti rusak lho…”, Iyuth menunjuk ke arah celanaku.
Deva menahan senyum. Tapi Santi penasaran dengan objek yang ditunjuk Iyuth itu.
Gawat dua kali!!!
Ini bukan ponsel….saking antusiasnya aku pada mereka bertiga, aku
sampai lupa kalo penisku sudah mengeras seperti batu, dan sekarang
tampak menonjol di balik celanaku!!!
Duh, malunya…
“Itu bukan ponsel Yuth…bego banget sih kamu”, bantah Deva.
“Terus apa donk…apaan itu pak. Punya bapak ya….?”, Iyuth bertanya serius.
“Ya udah deh…bapak jelasin”, kataku kepada mereka. Santi tetap menatap celanaku dengan sorot mata yang tajam.
Iyuth, karena kedinginan, melipat tangannya ke depan tubuhnya dan berjongkok. Deva membasuh tangannya sambil sesekali melihatku.
“Ini anunya bapak…burung…kalian nggak punya. Cuma laki-laki yang punya. Tau kan yang bapak maksud?”,
“Ooo…”, jawab Iyuth dan Santi serempak.
“Kok bisa besar sih pak”, tanya Iyuth setelah terdiam sesaat.
“Tuh pak…Iyuth sudah nggak sabaran deh…”, sindir Deva.
Aku harus menjawab apa. Terdiam sejenak, dan melangkah maju ke depan.
“Aslinya nggak sebesar ini terus-terusan. Tapi berhubung liat kalian
telanjang, jadinya seperti ini deh…tegang dan keras…”, jelasku.
“Jadi bapak senang ya liat kami bertiga telanjang…”, kata Santi cekikikan.
Tangannya diturunkan ke pinggulnya sambil setengah berkacak pinggang. Ia masih cekikikan sendiri sambil pura-pura sok cuek.
Ya benar lah San…bodoh banget sih kamu. Batinku dalam hati.
Hmmm, apa yang mesti kulakukan. Apa aku nekat saja ya mencopot
celanaku. Penisku sakit karena tertahan kain celana. Jadi kuputuskan
untuk mengakhiri saja penderitaanku itu.
“Oke deh…biar solider, bapak mau nyemplung seperti kalian. Bugil. Tapi kalian jangan kabur ya…”
Aku bersiap-siap menurunkan celanaku.
“Awas kalo sampe kabur. Nanti baju kalian aku lempar ke jurang biar kalian pada pulang telanjang”, ancamku.
Iyuth tersenyum sambil mengacungkan jempol. Santi memalingkan
wajahnya dalam-dalam ke arahku. Deva mengangguk pelan, tanda tampak
setuju.
Langsung aku luncurkan celana pendekku itu. Dalam sekejap, sama
seperti anak-anak itu, aku sudah bertelanjang bulat. Sekarang, penisku
mengacung tinggi.
Aku berdiri tegap, memamerkan semuanya kepada gadis-gadis itu tanpa
kecuali. Aku cukup percaya diri dengan badan berotot hasil latihan
kerasku selama ini. Oleh karena itu, tak ada rencana untuk menutupi
semilimeter bagian tubuhku sekalipun menggunakan tangan.
Kubiarkan penisku menantang gadis-gadis itu.
“Ihhh…pak. Kok sama seperti punya Deva sih…rimbun”, kata Santi.
Mereka bertiga tak mau melepaskan pandangan ke arah penisku dengan rana serba ingin tahu.
Aku berjalan mendekati mereka dan menceburkan diri.
“Iya San. Laki-laki juga punya banyak rambut kok…nanti kamu juga bakal banyak rambutnya
kalau sudah dewasa. Kamu juga Yuth…jangan khawatir. Bakal lebat tuh…”, balasku.
Iyuth tersenyum kecut dan membiarkanku mencipratkan air-air ke wajahnya.
Aku bersandar di batu Umbul. Ku suruh mereka mendekat. Mereka melangkah malu-malu.
Setelah Santi berada dalam jangkauan tanganku, kulingkarkan tangan ke
pinggulnya dan jari-jariku berhenti tepat di pantatnya. Kucubit di
dalam belahan pantatnya yang montok dan kenyal.
Santi agak kaget tapi tidak protes. Ia tersenyum kecil. Ingin kucium
pipinya karena wajahnya sudah begitu dekat. Tapi belum juga aku
mendorong bibirku…Deva sudah menginterupsi.
“Pak…katanya kalo dipegang enak ya…”
“Iya Va…penis bapak sensitif sekali. Belum dipegang aja sudah enak, apalagi kalau disentuh….”
“Kayak gini ya pak…”, jari telunjuk Iyuth mendarat tepat di lubang
kencingku, dan dengan gerakan halus ia menggesekkan jarinya itu ke arah
bawah, menuju ke testis.
Aku sedikit menggelinjang. Jepitan jariku semakin erat “menggigit”
pantat Santi. Kaget, Santi melihatku sejenak dan langsung memalingkan
wajahnya kembali. Ia melihat penisku yang sudah cenat-cenut ke atas dan
ke bawah.
“Ayo Yuth, lagi…”, kata Deva singkat memberi semangat,
“sepertinya Pak Alfred nggak protes tuh burungnya kamu gituin”.
Ayo… lagi Yuth…. rintihku dalam hati.
Deva mengguyurkan air dingin berkali-kali ke atas penis yang tegak.
Dan tiga jari Iyuth menggenggam bagian atas penisku dan jempolnya
menggosok bagian bawah seperti tadi.
Berkali-kali!!
Mantab! Aku mulai menggelinjang-gelinjang. Gara-gara getaran tubuhku,
Santi sampai harus melingkarkan tangannya dan memegang pundakku
erat-erat untuk menjaga kestabilan tubuhnya.
Jarak bibirku dan bibirnya sudah sangat dekat. Kuberanikan untuk
mencium dan mengulum bibirnya. Cup! Santi tidak protes. Ia diam saja,
seperti turut menikmati.
Tanganku yang satu menganggur tak mendapat pekerjaan. Karena seluruh
tubuhku sudah merasa keenakan, kuraba-raba perut Deva yang sudah
mendekat, dan dengan mata tertutup, kujelajahi payudaranya. Dengan
menggunakan jari-jariku, kumainkan puting Deva. Kujepit
lembut-kugosok-ku tekan-tekan.
Deva mendesah-desah kecil dan membalas perbuatanku dengan cara memlintir putingku lembut.
Tiba-tiba aku merasa penisku sangat lembab dan becek namun tetap seperti sedang digosok-gosok. Aku penasaran. Apa yang terjadi?
Kulepaskan cumbuanku dari bibir Santi untuk menengok sejenak apa yang Iyuth lakukan.
Astaga!!!!
Gadis usil itu sudah memasukkan penisku ke mulutnya tanpa minta
permisi. Santi, yang ciumannya sudah kulepaskan, ikut-ikutan melirik ke
arah penisku dan memelototkan matanya yang sipit sambil menutup mulutnya
yang terbuka lebar…
“Haaa…”, seru Santi tertahan.
Namun Deva, sambil masih keenakan, tak ingin terpancing. Ia menahan
punggung tanganku agar aku tak melepaskan jari-jariku. Ia ingin aku
tetap mencubit-cubit putingnya.
Karena sudah tidak merangkul Santi lagi,maka aku putuskan untuk
memainkan puting Santi juga. Santi tampak keenakan. Kepalanya maju
mendekati dadaku, dan Santi menjilat putingku dengan lembut. Lidahnya
kaku namun hangat.
Setelah beberapa saat, Iyuth membebaskan penisku dari mulutnya yang
lembut. Ia berdiri pelan. Lalu aku maju dan memeluk Iyuth serta
menciumnya erat-erat. Penisku menempel di perutnya. Aku menaik dan
menurunkan pantatku pelan-pelan agar penis tergesek ritmis. Enak
rasanya.
Kucabut bibirku dari bibir Iyuth yang basah karena sekilas kulihat
Santi sudah mau mentas dari Umbul. Ia sudah bersiap-siap naik ke
permukaan.
“Mau kemana San…?” tanyaku. Aku berharap Santi tidak ingin menyelesaikan permainan ini sesegera mungkin.
“Pipis bentar Pak…udah kebelet”, jawabnya. Ia berlari kecil ke arah
pohon pisang dan sambil membelakangiku, ia jongkok. Air kencing mengalir
di antara kedua kakinya.
Ah, biarlah nanti Santi pasti kembali lagi.
Aku beralih ke Deva. Kupegang tangannya, dan kutarik ke bawah. Aku
berbaring di dalam air sehingga Deva sedikit berlutut. Tanganku yang
satu mendorong pantatnya maju. Deva mendekatkan badannya ke arah wajah,
mengangkangiku.
“Maju lagi Va…Nah, cukup!”, perintahku ketika selangkangannya tepat
mendarat di atas bibirku. Kemaluannya merekah dan lubang vaginanya yang
berwarna coklat muda terbuka di hadapanku. Tanpa banyak komando, kujilat
bagian bibir vagina itu dengan liar. Deva menggelinjang hebat.
Kupegangi pinggangnya biar badan Deva tetap stabil menunggangiku.
Deva sangat menikmati jilatanku. Lidahku menari-nari semakin liar,
seluruh lubang dan bagian dalam vagina sudah kujilati. Agak asin. Pipiku
geli tertusuk-tusuk rambut kemaluannya yang lebat.
Iyuth merayap di sebelah kiriku. Mengamati seksama gerakan lidahku
yang liar menjilati memek Deva. Berkali-kali ia mengusapkan rambut yang
basah itu ke belakang telinganya.
Kulepas tangan kiriku dari pinggang Deva dan mengarahkan jari
telunjukku ke arah mulut Iyuth. Iyuth menanggapi tawaranku itu. Ia
mengulum kencang jari yang telah kusodorkan itu.
Lewat sela-sela kaki Deva, aku mengintip Santi sudah menceburkan dirinya lagi ke dalam Umbul.
Kudorong pelan pantatku berkali-kali ke atas permukaan air. Penisku
menyembul dan tenggelam, berusaha memancing Santi. Sepertinya Santi
memahami isyaratku. Ia jongkok di selangkanganku dan menjebak air
menggunakan kedua tangannya yang mengatup. Air pun dikucurkan ke atas
penisku.
Lalu, mulutnya mendekat. Sempat berhenti sejenak, ia membuka bibirnya
yang mengkilat, dan mengulum penisku. Awalnya, hanya kepala penisku
saja yang dikulumnya. Ia memutar-mutar bibirnya dan menggesekkan
lidahnya tepat di kepala penis. Setelah puas, ia menelan sampai pangkal
penis. Naik-turun kepala Santi menelan penisku. Aku berusaha menaikkan
pantatku agar penisku tak tenggelam. Takut hidung Santi kemasukan air.
Aku berusaha untuk merasakan semua sensasi ini satu demi satu.
Deva mendesah-desah hebat. Aku pun sebenarnya ingin mendesah, namun lidahku sibuk memanjakan memek Deva.
Iyuth memegang pergelangan tanganku dan menarik jariku keluar dari
mulutnya. Lalu dengan pelan, menuntun tangannya ke arah memeknya.
Lantas, ia memintaku menempelkan jari-jarinya ke memeknya yang botak
itu.
“Gesek pak…”, pintanya lirih.
AKu mainkan jariku ke lubang vaginanya yang lembab. Kogosok-gosok
tepinya dan sesekali, aku memasukkan sebagian ruas jariku ke dalam
kemaluannya. Aku menjaga agar sodokanku tak terlalu masuk. Takut merusak
keperawanan Iyuth.
Iyuth mendesah-desah dan berkali-kali menggigit bibir bawahnya.
“Mantab…belum pernah seenak ini…duh…”, Iyuth merintih kecil.
Pengalaman sore itu sungguh luar biasa. Semua gadis sudah tidak ada
yang menganggur. Mereka bersatu padu memanjakan gurunya yang ganteng
ini…hahaha…tawaku dalam hati.
“Pak-pak please…”, desah Deva…
ia mengeraskan cengkeraman tangannya ke pundakku. Agak sakit karena kuku Deva cukup panjang untuk menembus kulitku yang kencang.
Deva semakin menggelinjang. Sepertinya ia mau klimaks, batinku.
Kumainkan lidahku lebih liar. Tidak hanya tepi-tepi vagina saja yang kuhisap-hisap.
Kujulurkan lidahku panjang-panjang ke dalam lubang memeknya yang
semakin basah itu. Akibatnya, Deva semakin mendesah dan menjambak
rambutku.
Berkali-kali ia memanggilku…
“Pak, pak, enakkkk….uhhhh….ohhh”
Gelinjangannya makin kuat dan seperti mengedan, aku menjerumuskan
lidahku dalam-dalam. Deva seperti mengejan dan …. melemas. Nafasnya
tersengal-sengal. Lidah sudah kucabut dari memeknya.
Dengan masih mengatur nafasnya yang tak teratur, Deva berdiri dan
melangkahiku. Sekarang, Santi bisa kulihat dengan jelas menikmati
penisku. Aku ingin memuaskan Santi yang terakhir, karena ia yang paling
manis. Jadi, perlakuannya harus yang paling istimewa.
Walaupun kocokan Santi istimewa, tapi aku masih bisa menahannya agar tak puas terlebih dulu.
Giliran Iyuth. Aku pingin memuaskan Iyuth dulu. Dengan menggunakan
satu tangan, kugiring Iyuth ke atas wajahku, sama seperti yang kulakukan
terhadap Deva yang sekarang sudah duduk di tepi umbul.
Wajahnya tampak lelah tapi sepertinya ia begitu puas.
“Siap-siap ya Yuth…pegangan”, kataku sambil memberinya aba-aba.
Iyuth mengangguk kecil.
Kedua tanganku meremas dada Iyuth. Ia sudah menggeliat-geliat
walaupun lidahku belum kumainkan. Matanya terpejam, berusaha
mengonsentrasikan rasa enaknya dalam pikiran.
Karena tak tega melihat raut muka yang tak bisa menahan rasa enak
itu, aku langsung memainkan memeknya yang plontos itu dengan menggunakan
lidah. Karena lebih gemuk, memek Iyuth terasa lebih sempit. Jadi
kugoyangkan lidah ke kanan dan ke kiri, berusaha membuka lebar-lebar
memek Iyuth. Bau keringat gadis remaja menyeruak. Tidak wangi tapi
membuat sensasi tersendiri.
Lidah kugesekkan ke lubang kencingnya. Gara-gara aksiku itu, Iyuth
menaikkan pantatnya dan melakukan gerakan maju mundur. Memeknya menyapu
wajahku naik dan turun.
Gawat nih Iyuth…lebih agresif dibanding Deva. Maka aku menjilat
apapun yang bisa kuraih dengan lidahku. Tanganku memainkan putingnya.
Santi menghentikan sejenak kulumannya. Sekarang, ia melirik ke arah
bawah dan memegang testisku. Diremas-remasnya testisku itu. Wah, sungguh
luar biasa enaknya.
“Sabar Sin…sebentar lagi kamu bakal bapak service”, teriakku dalam hati.
Tak berapa lama, Iyuth menggelinjang hebat, seperti Deva yang hendak
orgasme. Satu tanganku kuturunkan dan melingkari pinggangnya. Kubelah
pantatnya menggunakan jari telunjukku sampai aku mendaratkan ujung
kukuku di lubang pantatnya. Kutusuk lubang itu sambil membayangkan
bagaimana guratan-guratan lubang pantat Iyuth.
Iyuth semakin menjadi-jadi. Dan, tak berapa lama kemudian, ia melenguh keras…
“Aahhhh….”, seperti jeritan yang tertahan.
Tubuh montoknya berhenti bergoyang. Ia terdiam beberapa saat.
Setelah itu, ia menungging sejenak dan payudaranya jatuh di wajahku.
Kucium puting payudara itu beberapa saat lamanya sampai Iyuth menarik
badannya dan berjalan ke tepi Umbul, bersandar di sana.
Matanya masih terpejam, berusaha menikmati sensasi yang baru saja ia alami.
Santi, sekarang giliranmu.
AKu bangun dan Santi melepaskan tangannya dari area kemaluanku. Ia
ikut berdiri dan tersenyum kecil. Tangannya menyilang di dadanya.
Mungkin ia kedinginan. Aku cium dia dulu dan mengurai tangannya supaya
aku bisa melihat payudara kecilnya.
Kucium payudara itu kanan dan kiri dengan liar. Santi terperanjat.
Gadis paling manis ini langsung menaikkan kakinya setengah, lututnya menempel pinggangku.
Kucegah lutut itu agar tidak jatuh ke bawah dengan menggenggamnya
erat-erat. Lidahku menjelajahi dada, turun ke perut, dan berhenti di
pusar sejenak. Kugoda Santi dengan cara menghisap-hisap lubang pusarnya.
Santi melenguh-lenguh.
Lalu, lidahku turun ke arah belahan vaginanya, melewati rambut
kemaluannya yang sedang bertumbuh. Kujilat memek itu naik dan turun.
Masuk dan keluar. Berkali-kali.
Santi mengaduh…
“Aduh…duh.duh.duh….hmmmm.. ..”
Setelah puas, kubiarkan kakinya turun.
Aku menyuruh ia membelakangiku. Kudorong pelan pundaknya ke bawah
agar ia menungging. Lalu aku berlutut agar wajahku tepat segaris dengan
pantatnya. Kedua tanganku meremas belahan pantatnya, kanan dan kiri. Dan
dengan menggunakan dua jempolku, kubelah pantat itu.
Lubang pantatnya merekah. Guratan-guratan otot menutup lubang itu rapat-rapat.
Karena gemas, aku jilat-jilat kecil lubang pantat itu. Santi
menggelinjang kecil setiap kali lidahku mendarat di lubang pantatnya.
Sensasinya luar biasa bisa menciumi pantat Santi yang paling montok
dibanding kedua anak yang lain. Otot lubangnya kerap berdenyut-denyut,
membalas rasa nikmat yang dirasakannya.
Lantas, aku berdiri dan memasukkan penisku ke belahan pantatnya.
Tangan kiriku meremas payudara kiri Santi dan tangan kananku menyusup ke
area kemaluannya. Rambut-rambut tipis yang menghiasi area pribadi
Santi, menuntunku untuk menemukan lubang kenikmatan gadis ini.
Kugesekkan penisku makin cepat. Santi merintih-rintih. Punggungku
kutekuk ke depan dan kucium leher gadis manis ini. Lubang kemaluan Santi
sudah mulai basah dan berlendir. Jadi, aku lebih bersemangat memainkan
jarinya. Pantatnya menjepit penisku erat-erat.
“Uhhh…Oh…”, desisku pelan.
Santi tak mau kalah, “ahhhhhhh….ahhhhhhh….hmmmf fpphhh…”
Iyuth dan Deva mengamati kami dengan serius. Wajah lelah mereka masih
terlihat tapi mereka tetap antusias menatapku yang sedang sibuk
melayani Santi.
Walaupun dikuasai rasa enak yang tak tertahankan, aku tetap ingat
satu hal. Aku tak mau memasukkan penisku ke lubang vagina mereka. Masa
depan mereka masih panjang dan aku tak mau merusaknya. Biarkan mereka
menikah dan membiarkan darah yang keluar dari lubang kemaluannya terjadi
karena ditusuk oleh penis-penis pria yang menjadi pilihan hidup mereka
sendiri.
Setelah puas memainkan pantatnya, kuputar badan Santi. Kusandarkan ke
batu dan pangkal pahanya kuangkat tinggi. Lubang memeknya sudah merekah
dan itu memancingku untuk menjilati bagian ini lagi. Kujilati hebat
memek Santi. Santi yang mengangkang tampak pasrah. Ia memutar kepalanya
berkali-kali. Kadang-kadang menatapku sambil terus-terusan menggigit
lidahnya dan melipat bibir bawahnya.
Vagina Santi ranum. Bibir vaginanya berbintik-bintik kecil, dan
semakin ke dalam, warnanya semakin memerah. Aku mendaratkan lidahku dari
lubang kencingnya, ke arah lubang kemaluannya. Tarian lidahku ini
membuatnya semakin menggelinjang.
Tiba-tiba, satu tangan Santi mendorong kepalaku.
AKibatnya, lidahku semakin menusuk lebih ke dalam. Kali ini Santi
ikut menggerakkan pantatnya naik dan turun. Ia begitu menikmati irama
permainanku. Semakin lama semakin kencang, dan akhirnya, sama seperti
dua gadis lainnya, ia berhenti sejenak dan otot-otot
tubuhnya mengeras. Rambutku pun dijambaknya erat-erat.
“Ahhhhhhhh….”, desahnya panjang.
“uuuhhhhh….”, ia menghembuskan nafas setelah menahannya beberapa detik.
Lalu, ia terkulai dan perlahan-lahan menurunkan kakinya yang mengangkang itu.
Tapi permainan belum selesai. Kudorong pundak Santi ke bawah dan
setelah penisku berada tepat di wajahnya, kudorong penis itu ke mulutnya
lagi. Santi, yang masih tersengal, menyanggupi permintaanku.
Ia mengulum lagi penis itu. Kali ini, aku menggerakkan penisku seperti jika aku melakukan penetrasi di lubang vagina.
“Aaaahhhh…”, desahku tiada henti. Gigi-gigi Santi mulai menggigiti
penisku. Berkali-kali, ia mencabut penisku dari mulutnya dan
memasukkannya lagi. Menambah kesan geli plus nikmat yang tiada tara.
Tak berapa lama, penisku menegang dan memanas.
“Santiii…”, ucapku lirih. “Enakkk…”, kataku bermanja.
Santi semakin semangat menjerumuskan penisku dalam-dalam. Aku tahu
sebentar lagi spermaku bakal memancar keluar, tapi kucegah, kutahan
sekuat tenaga.
Kulambaikan tanganku ke arah Iyuth dan Deva agar mereka merapat ke
tempat kami berdua sedang menggelinjang nikmat. Mereka berdua tahu
maksudku. Deva dan Iyuth berdiri di kanan kiriku sambil mengamati
penisku yang timbul tenggelam di balik bibir mengkilap Santi.
Mereka berinisiatif memainkan putingku. Satu anak memainkan satu putingku. Sepertinya, mereka menyemangatiku…
Aku semakin menggelinjang dan ahhhhh….aku mendesah panjang…
“hhmmmmpphhffff…”, nafasku tertahan. Jantungku berdetak kencang.
Kepala penisku merasakan semburan hebat. Kutarik penisku dan
kubiarkan spermaku yang putih kental melenting ke sana kemari tanpa
arah, menempel di wajah Santi yang imut.
Pipi Santi yang tembem menjadi begitu lucu karena tercecer tumpahan
sperma yang putih dan kental. Ia seperti bayi yang wajahnya tercurah
susu yang tumpah dari botolnya.
Santi memandang ke arahku yang masih mengatur nafas sambil tersenyum.
Ia menjentikkan jari telunjuknya. Sepertinya, ia merasa puas karena
berhasil membuatku klimaks.
Sedikit sperma masih ada di bibirnya, meleleh seperti susu putih. Ia
memainkan ekspresi imutnya dan berdiri pelan-pelan. Kucium bibirnya
untuk membersihkan sperma yang menempel di situ. Gara-gara keenakan, aku
tak sadar kalau beberapa milidetik pertama orgasme, spermaku masuk ke
mulut gadis manis ini.
Dari sela gigi-giginya, aku masih melihat lendir itu bermain-main di
lidahnya. Ia mengatupkan bibirnya dan telunjuknya menahan bibir itu.
Sepertinya, ia sedang menelan.
“Hhuuuhhfff Santi…kamu benar-benar sungguh istimewa.”
Kusapukan tanganku ke rambutnya yang basah dan berantakan, serta kucium keningnya.
Sisa-sisa sperma masih menetes dari ujung penis, menarik perhatian
Iyuth dan Deva. Tampak mereka ingin menangkap tetesan itu, tapi
ragu-ragu. Mungkin mereka geli.
Mereka memandang penisku beberapa saat lamanya dengan penuh rasa kagum.
Puas.
Aku menciumi mereka satu demi satu.
Aku bersandar lemas di dinding batu. Membiarkan rasa nikmat itu menjalar dan hilang perlahan-lahan.
Mereka bertiga membersihkan diri. Aku cuma mengamati dengan asyik.
Pada satu titik, aku berpikir bahwa bidadari yang dimaksud Bu Irda
adalah anak-anak gadis yang bertelanjang bulat di Umbul itu…bukan
bidadari mistis seperti yang dipercaya orang-orang.
Iyuth mengeramasi rambutnya menggunakan shampoo yang kubawa dari
rumah. Sesekali, ia menceburkan diri, mencemari umbul dengan busa
shampoo yang melimpah ruah. Santi menggosok badannya dengan busa yang
telah kusiapkan. Sabun cairnya membanjiri badannya yang bugil. Sesekali,
aku menelan ludah ketika busa itu menggosok dan menyelip ke sela-sela
pantatnya yang montok.
Kan kusimpan busa itu untuk kenang-kenangan, janjiku.
Deva menggosok lembut kemaluannya. Ia harus lebih memperhatikan area
pribadinya itu karena bulunya tumbuh lebat. Mereka sudah tidak bercanda
lagi satu dengan lainnya. Semuanya sibuk mengurusi diri. Mungkin karena
sudah terlalu lelah.
Mereka hanya mengoper sabun dan shampoo sambil tertawa-tawa.
Hari sudah semakin gelap. Aku mentas, dan kubagikan baju-baju coklat
itu kepada mereka satu demi satu. Tubuh-tubuh telanjang itu mentas dari
air, saling bergandengan, menyisakan bulir-bulir air, seperti embun yang
membasahi daun.
Ada handuk kecil yang kubawa. Setelah kutawarkan, mereka saling
menggosok satu dengan lain menggunakan handuk itu satu demi satu
bergiliran.
Kami pun berpakaian dan aku melihat mereka sudah tertutup rapi. Anggun seperti semula.
Tak ada lagi bayangan gadis-gadis yang kikuk dan ceria dalam ketelanjangan. Semua kembali seperti semula. Anggun dan formal.
Aku mengajak mereka pulang menyusuri jalan yang tadi telah kami tempuh bersama.
Di jalan, kami berbincang biasa. Entah masalah pelajaran, sekolah,
atau keseharian mereka. Seperti terasa lebih formal dibanding saat
pertama kali kami bersama siang tadi.
Di depan rumahku, kami berpisah. Wajah mereka lelah, tapi tetap genit dan imut.
“Udah ya pak…besok ketemu lagi di sekolah”, pamit Deva.
“Pak, jangan lupa ya…isi pulsaku”, todong Iyuth.
“Tapi bapak minta nomormu dulu ya…”, jawabku usil.
“Nggak mau…”, kata Iyuth sambil melengos…
“hahaha…iya deh…bapak belikan nanti. Kamu kan muridku yang paling usil”, balasku.
“San…”, kataku pada gadis yang paling imut diantara mereka bertiga.
Tanganku mendarat di pundaknya.
Santi cuma tersenyum manis. Matanya menciut tipis dibayang-bayangi alisnya yang tebal.
Pelan, kuangkat tanganku dari pundaknya dan mencubit pipinya yang tembem.
Ia tidak bicara. Hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Mereka
membalikkan badan dan berjalan pulang ke arah jalan utama.
Kadang-kadang, Santi masih menengok ke belakang. Iyuth tampak cuek
dengan ponselnya. Deva, ia seperti tak pernah mengalami apapun.
Mereka bertiga pergi di kegelapan sore. Tepat di tanjakan, mereka berbelok dan menghilang dari pandangan.
—-MALAM ITU————
Hmmm.
Malam sudah tiba dan aku sedang menikmati kopi hangat.
Teras begitu sejuk sehingga aku berbaring di kursi panjang. Di tanganku sudah ada surat berkop resmi.
Aku membaca ulang SK yang dikirim dari kantor dinas di kota. Di situ
terbubuh tanggal kadaluarsa tugasku. Dulu aku berpikir ingin cepat-cepat
mengakhiri m****g di desa ini karena aku tak bisa hidup tanpa keriuhan
kota dan kecanggihan teknologi.
Tapi, sembari berbaring di depan rumah menatap bintang-bintang, aku berubah pikiran.
Sepertinya aku ingin meminta waktu yang lebih lama lagi untuk tinggal di tempat ini.
Lebih lama lagi dan mengenal lebih banyak orang.
Gadis-gadis telanjang itu membayangi pikiranku.
Aku pun tersenyum simpul…mencium busa yang dipakai Sinta untuk membersihkan dirinya.
Wangi.
Sendirian, aku mengamati susunan rasi bintang yang menyerupai kemolekan gadis-gadis yang aku temui hari ini.
Aku meletakkan uang logam di punggung tanganku, melemparnya ke atas,
dan menangkapnya lagi bak menjerat seekor nyamuk. Kubuka kedua telapak
tangan sambil kuintip ke dalam. “Angka.” kataku dalam hati.
Pagi itu, Aku bertaruh dengan diriku sendiri. Kalau angka yang
kudapatkan, berarti ada banyak keberuntungan menimpaku hari ini. Aku
tersenyum senang dan melangkah keluar dari ruang guru dengan girang.
Tapi, belum sempat separuh badanku keluar melewati daun pintu, aku harus
berkelit seketika.
“Hati-hati…!” seruku.
Anak-anak yang membuatku kelimpungan itu berlarian liar di depanku,
berguling-guling, memuntahkan candanya satu dengan lainnya, namun acuh
terhadap orang lain yang hilir mudik di situ.
Tidak hanya aku yang repot oleh ulah anak-anak kelas 3 dan 4. Pak
Wiryo, si tukang kebun yang mengabdi 20 tahun di sekolahku, juga harus
berulang kali menyeimbangkan nampannya, berkelit dari anak-anak yang
menerobos ke sana kemari, agar teh-teh para guru yang ada di atas nampan
itu tidak tersenggol dan terpelanting ke bawah.
Aku mengontrol nafasku yang sempat terpicu kencang. Walaupun dongkol,
aku berusaha menghibur diri. Biarlah. Ini hari istimewaku. Harus
kunikmati.
Di depan ruang kelas 6. kakiku mengayun lambat. Aku melongok ke dalam
kelas lewat daun jendela yang terbuka. Di dalam kelas itu, anak-anak
asuhan Pak Darto ribut dengan urusannya masing-masing. Rio sedang pamer
gasingnya yang baru. Didit, yang bersila di depannya, sok mengomentari
gasing-gasing yang saling beradu kuat di lintasan darurat yang hanya
terbuat dari kardus bekas. Duduk di barisan depan menghadap ke arah meja
murid, ada Santi.
Santi menoleh ke arahku dan ketika mata kami saling beradu, ia kaget
dan membuang wajahnya, pura-pura mengacuhkan kehadiranku. Ia malah
memperhatikan dengan canggung balutan alat tensi yang mencengkeram
lengan kanannya. Matanya yang sipit berkedip-kedip kikuk. Di kanannya,
ada seorang anak muda bertampang serius sedang memegang stetoskop yang
ditekan di atas jalur pembuluh darah gadis paling manis di sekolah ini.
Di depannya, ada Deva yang sedang menenggelamkan wajahnya ke atas
meja. Tangannya terlipat. Ia sedang menunggu giliran seperti anak yang
tidak memiliki masa depan. Di depannya, Iyuth sedang sibuk memainkan
jari-jarinya di tombol ponsel. Ia duduk dengan kaki kiri dipangku.
Roknya agak tersibak sedikit dan untungnya, ia tak menyadari hal itu.
Aku beringsut mundur, dan sebelum wajahku benar-benar hilang dari
balik daun jendela, kuperhatikan Santi mencuri-curi pandang ke arahku.
Aku menyusuri selasar. Anak-anak kelas satu berbaris dengan wajah
tegang di muka pintu. Tegang dan ketakutan. Satu per satu, lengan mereka
disuntik. Vaksinasi, kata guru-guru. Setelah jarum suntik menggigit
lengan mereka sampai berdarah, tangis pecah pun terdengar membahana.
“Cup-cup-cup, sudah.” bujuk Bu Surti. “Anak jagoan kok. Rasanya
seperti digigit semut, kan?!” Guru keterampilan itu cukup berjasa
mengendalikan emosi anak-anak yang selalu takut jarum suntik.
Beberapa langkah ke arah timur, tepat di depan ke ruang UKS, aku
menengok ke arah dalam, melihat Pak Darto sedang dibaringkan di atas
dipan darurat. Aku tersenyum simpul mengamati badan gemuk itu seperti
seekor sapi yang hendak diinseminasi. Lengannya menutup dahinya seperti
orang yang baru siuman dari pingsan. Tangan kirinya dipasangi sebuah
selang yang menyedot darahnya, mengalir ke dalam kantong plastik khusus
yang telah disiapkan.
“Sudah sering donor darah, Pak?” tanya seorang pemuda ramah yang pagi
itu menunggui Pak Darto. Pak Darto tidak menjawab dari mulutnya. Ia
hanya mengacungkan dua jarinya ke atas.
Ruang UKS itu terbagi menjadi dua bilik yang lebih kecil, dipisahkan
oleh selembar kordin. Di balik kordin itu, si kembar Maya dan Mia sedang
diperiksa oleh seorang pemuda berjas putih. Berkacamata tebal dengan
rambut disisir klimis. Tangan kanan pemuda itu menyusup ke dalam pakaian
Maya sambil berusaha mendengarkan irama jantung yang keluar lembut dari
dada anak itu dengan serius. Mia, saudari kembarnya, berdiri tegak di
atas pengukur ketinggian badan sambil menghitung-hitung seberapa
jangkung dirinya.
Hari itu sungguh ramai dan riuh.
Udara pagi segar bak sedang membersihkan paru-paruku dan sinar
matahari cukup terang menyengat, membuat halaman sekolah bersinar
keemasan. Hari ini terasa beda. Yang membedakan hari itu dengan
hari-hari biasa adalah kedatangan anak-anak muda berjas putih yang hilir
mudik di selasar seperti gerombolan orang sok penting. Usia mereka
kira-kira 20 hingga 25 tahun. Sepertinya, pria lebih banyak dibanding
yang perempuan. Beberapa pemuda yang berpapasan denganku menganggukkan
kepala dengan hormat, “selamat pagi, Pak!”
Aku membalas mereka dengan senyuman.
Seperti pagi itu, ketika aku hendak beranjak dari pintu ruang UKS
menuju ruang Bu Irda, seorang gadis tinggi langsing berwajah blasteran
mengenakan jas putih bersih berpapasan di depanku. Ia menganggukkan
kepala dan senyumnya merekah, menampakkan gigi yang dibebat oleh kawat
(behel) warna-warni. Stetoskop menggantung angkuh di bawah lehernya yang
jenjang. Ia melangkahkan kaki agak cepat dan panjang, berjalan begitu
anggun, mirip seorang dokter sungguhan.
Seolah-olah tertarik oleh medan magnet, pandanganku bergerak
mengikuti kemana ia pergi. Rambutnya yang pirang bergoyang ke kanan dan
ke kiri. Dan, ketika ia sudah larut di tengah keriuhan, aku membalikkan
badan. Tiba-tiba saja, Bu Irda keluar dari ruang kepala sekolah dan
hendak menabrakku. Kami berdua kaget dan tersentak.
“Oh, Fred…” pekiknya.
“Eiiit… Hampir nabrak Bu Irda,” kami berdua tertawa kecil.
“Kamu sudah diperiksa, Fred?” tanya Bu Irda.
“Ah, belum, bu. Soalnya aku ingin diperiksa Bu Irda saja deh.” tawaku menggoda.
“Dasar! Eh, jangan lupa ya…” kata Bu Irda seperti mengingatkan
sesuatu. Sebelum menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba, seorang pemuda
berjas putih berdiri di belakang Bu Irda. Kepala sekolah kecil yang
manis ini lantas membalik badannya dan tangannya menerima sesuatu dari
tangan si pemuda bertampang serius itu. Sebuah map.
“Oh ya, terima kasih.” jawab Bu Irda singkat kepadanya. “Nanti kita
ke bukit, Fred, seperti yang sudah pernah saya bilang tempo lalu,” kata
Bu Irda mengakhiri pembicaraan.
“Iya, Bu, saya pasti tidak lupa.” jawabku.
Bu Irda melangkah menjauh dari pandanganku.
Tempat itu penuh dengan mahasiswa yang sedang menjalani Kerja Kuliah
Nyata. Mereka mahasiswa kedokteran dan sedang mengadakan penyuluhan dan
pemeriksaan gratis.
Hari itu sungguh sibuk. Tapi aku sungguh senang, menunggu keberuntungan yang mungkin akan datang hari itu.
***
Aku menunggu Bu Irda. Kami sepakat untuk pergi ke suatu tempat yang
belum pernah aku jelajahi. Bu Irda berjanji, jaraknya tidak terlalu jauh
dari rumahku. Kami sepakat untuk menghampiriku terlebih dulu ke rumah
pukul 8.00 malam. Tapi sekarang masih pukul 6.00 sore. Karena gerah di
dalam rumah, aku mencari angin di teras.
Angin menyentuh lembut tubuhku. Walaupun masih sore, tapi langit
sudah amat gelap. Mungkin karena berada di tengah desa yang sunyi dan
tak dilengkapi penerangan yang cukup. Beberapa kali terdengar suara
burung bangau sawah melintas di langit hitam pekat secara bergerombol.
Aku menarik nafas panjang-panjang untuk menghalau lelah. Belum sempat
semua nafas kuhembuskan kembali, di ujung jalan, aku melihat sesosok
perempuan. Berpakaian putih dan berjalan cukup cepat. Mendekatiku.
Kupikir ia adalah Bu Irda. Tapi buru-buru kutepis dugaanku itu karena
sosok ini bertubuh langsing dan tinggi.
Setelah lampu jalan menyorot remang-remang, baru aku melihat sosok
itu dengan jelas. Gadis berambut panjang dan berponi Cleopatra ini
mendekat. Indah, mahasiswi yang aku temui pagi tadi di dekat ruang UKS.
Aku tahu namanya dari Pak Darto yang baru saja dihisap darahnya.
“Kamu tahu nggak, Fred, itu cewek yang rambutnya pirang panjang
sepundak…” kata Pak Darto membuka pembicaraan. “…si Indah itu, Fred.
Wuiih… maknyus…” katanya terkekeh seperti ikan buntal.
Sepertinya Pak Darto memuji Indah, gadis putih berbadan langsing dan
bergigi behel yang berpapasan denganku di selasar. Gara-gara Pak Darto,
aku tahu nama mahasiswi berkulit putih itu sebelum aku menanyakannya ke
orang lain.
Hmm, kadang-kadang Pak Darto ada fungsinya juga, gumamku.
“Malam, Pak.” sapa gadis itu terlebih dulu sebelum aku sempat menyapu rasa heranku.
Mengapa gadis ini datang malam-malam? pikirku. “Loh, Indah… kok malam-malam sendirian ke sini? Ada apa?” tanyaku menyelidik.
“Gini, pak. Saya mau numpang mandi. Siang tadi group A sudah selesai
membangun satu bilik. Jadi kucoba untuk mandi di situ…” jawabnya sambil
tersenyum. Giginya yang terbebat behel tampak merekah ketika ia
tersenyum.
Bilik kamar mandi yang dimaksud berjarak kira-kira 500 meter dari
rumah. Agak naik dan gelap. Maka, aku tambah heran. “Lah, kok kamu ke
sini, kok nggak di dekat tempatmu menginap?”
“Mereka sudah pergi, pak. Katanya ke balai desa, mengadakan
penyuluhan. Aku ditinggal pergi dan aku tak tahu pasti dimana kamar
mandi terdekat dari tempat kami tinggal. Yang kutahu, dekat sini sudah
dibangun satu bilik. Jadi kuberanikan datang kemari.” jawabnya.
Aku mulai mengerti. Karena ia mengenakan behel, cara ia menggerakkan
bibirnya cukup menggemaskanku. Bibirnya agak tebal tapi sensual.
Berkali-kali ia berusaha melipat bibirnya ke dalam agar terbasuh oleh
air liurnya.
“Kamu tidak takut mandi sendirian? Hari sudah gelap.” saranku.
“Terpaksa, pak. Sudah keringatan dan gerah. Ada bapak kan. Lagian,
saya bawa lilin kok.” katanya setengah membujuk. Selain handuk dan
peralatan mandi, tangannya memegang sebatang lilin dan korek api.
Melihat keteguhan hatinya untuk mandi malam itu juga, aku mengiyakan.
Lagipula, wajahnya sudah begitu dibasahi oleh sisa-sisa keringat yang
mengkilat kotor di kulitnya yang putih. Matanya tajam di balik alisnya
yang hitam seperti semut berbaris. Walaupun berambut pirang, namun
alisnya hitam.
“Oke deh kalau begitu,” aku setuju menemaninya.
Kami berjalan berdua, beriringan. Indah mengenakan kaos putih dan
celana sebetis berwarna hitam. Ia tampak lebih tinggi karena selain
memang badannya jangkung, ia mengenakan sandal yang cukup tebal.
“Gelap ya, pak? Tapi ada bapak, nggak bakal ada apa-apa, kan?” tanyanya sedikit meragukanku.
“Aman kok, cuma dingin banget malam ini.” kataku bergidik.
Kami melewati jalan terjal dan kebun pisang. Sesekali, jari-jari
lentiknya berpegangan di pundakku untuk menjaga dirinya agar tidak
jatuh. Maklum, medan yang harus kami lalui cukup terjal.
Aku memperhatikan Indah dari segala sudut. Belakang, samping, dan
depan. Tergantung medan yang kulalui. Ia tetap cantik walaupun dilihat
dari sudut manapun. Dari samping, aku bisa melihat hidungnya yang
mancung sempurna seperti orang Eropa. Rambutnya disisir rapi sehingga
telinganya yang lancip, tampak eksotik. Mirip peri.
Akhirnya, kami melihat bilik itu di antara remang-remang malam.
“Semoga nggak ngrepotin, pak.” kata gadis manis ini begitu kami berada 5 meter di depan bilik yang tak berlampu itu.
Aku tersenyum kecil. Kutemani ia sampai di depan kamar mandi darurat
yang sempit itu. Bilik kamar mandi itu masih mengkilat karena baru
diplester siang tadi oleh para penduduk. Bak mandinya pun cukup kecil.
Hanya saja, di dalamnya tidak dilengkapi kloset. Katanya, kloset akan
dibangun terpisah.
“Saya tunggu di sini.” kataku. Aku menghentikan langkahku kira-kira
tiga meter dari kamar mandi. Dan, kududukkan diriku di sebuah cor-coran
semen yang akan menjadi semacam tugu monumen bagi para mahasiswa itu.
Indah melanjutkan langkahnya, mengontrol gerakan kakinya dengan
hati-hati. Sesekali ia tersandung, membuat rambutnya yang sepunggung,
tergerai tak beraturan. Ia harus membentangkan tangannya lebar-lebar
untuk menjaga keseimbangannya. Bajunya yang ketat membentuk garis tubuh
yang sempurna.
Akhirnya, ia berhasil masuk ke dalam kamar mandi kecil itu. Sebelum
menutup tirai, ia menyalakan lilin dengan korek yang sudah ia siapkan
dan meneteskan lelehan lilin cair ke atas bak kecil.
Aku mengamati dari belakang. Pantatnya yang kencang terbentuk di
balik celana ketatnya itu. Setelah lelehan itu cukup tinggi, ia
menancapkan lilin di atas bak mandi dan menarik tirai ke ujung pintu,
mencantolkannya ke paku kecil yang sudah disediakan.
“Pak, mandi dulu ya…” katanya sebelum tirai itu benar-benar
mencegahku melihat tubuh langsingnya bersembunyi di dalam bilik darurat
itu.
Kumemendam hasrat ingin melihatnya telanjang di Umbul. Indah adalah
mahasiswa. Nggak mungkin lah berani telanjang di tempat terbuka. Pikirku
kecewa.
Kumainkan nada dari bibirku yang aku bentuk menjadi huruf O. Siulan
bisa menghibur diriku sekaligus menghalau rasa takut di tengah kegelapan
malam itu. Bintang-bintang memancar terang di langit. Namun sepertinya
cahayanya tak sanggup menerobos daun-daun bambu yang berderit-derit
menghembuskan nada seram.
Aku menggosok-gosokkan telapak tanganku dengan cepat. Setelah terasa
panas, kutempelkan telapak tangan itu ke wajahku. Hangat sekaligus demi
mengusir kantuk.
Dengan nyala lilin yang memendar keemasan, kamar mandi itu menjadi
cukup terang dari dalam. Tapi Indah sepertinya tidak sadar. Cahaya lilin
itu justru memantulkan tubuh si Indah ke tirai kamar mandi, menjadi
semacam siluet yang menerawang ke permukaan tirai itu. Kain putih tipis
yang seharusnya berfungsi untuk menutup siapapun yang bersembunyi di
dalam kamar mandi itu justru menjadi semacam layar tancap.
Jadi, malahan aku bisa melihat dengan kentara kontur atau garis tubuh
Indah lewat siluet yang terpantul di atas permukaan kain putih itu.
Pendek kata, aku bisa menyaksikan dengan jelas semua gerakan yang
dilakukan Indah di dalam kamar mandi meskipun hanya berbentuk bayangan.
Kantukku hilang sekejap dan jantungku mulai berdetak kencang.
Pengalaman apa lagi yang akan aku dapatkan di desa ini? Ah, mungkin ini
gara-gara uang logam yang aku mainkan tadi pagi.
“Pak Alfred?” Indah menyeru dari dalam kamar mandi. Agak mengagetkanku.
“Yaa,” jawabku setengah berteriak. “Saya masih di sini kok, nggak kemana-mana.”
“Ohh,” balas Indah, “Kupikir udah pulang. Tadi lagunya bagus,
sekarang kok nggak bersiul lagi. Kesannya sepi gitu.” Indah memastikan
kalau aku masih duduk di situ.
Gara-gara tegang, aku tak menyadari kalau aku sudah berhenti bersiul.
Sepinya tempat itu tak mampu menakutiku. Sekarang, aku tegang karena
tontonan cuma-cuma di depan mataku.
Kamar mandi begitu hening. Sepertinya, Indah sedang sibuk melucuti
pakaiannya satu demi satu. Gadis ini menarik kaosnya ke atas dan
menggantungkannya ke paku yang sudah disiapkan di dalam. Lalu tak
seberapa kemudian, kedua tangannya mendorong pelan celana hitamnya ke
bawah. Aku tak bisa melihat tubuh Indah dengan sempurna. Hanya
gerakan-gerakan erotis saja yang bisa kunikmati.
Lalu tangannya terlipat ke belakang, berusaha meraih kaitan BH-nya,
dan melepasnya dengan lincah. BH itu pun meluncur di antara
tangan-tangannya, menunjukkan garis payudara yang besar dan sempurna.
Indah lalu mendorong celana dalamnya sebatas lutut dan mengangkat
kakinya satu demi satu.
Indah sudah telanjang. Pantatnya bulat dan tampak empuk. Kakinya
jenjang tinggi dengan betis yang ramping. Aku hanya bisa membayangkan
ketelanjangannya lewat tirai putih yang memantulkan tubuh Indah itu dari
luar. Nikmatnya malam itu, bisa mengintip tanpa perlu benar-benar
mengintip.
Sejurus kemudian, Indah mengguyur kepalanya dengan seciduk air.
Byuuurrrr… suara dari kamar mandi mulai terdengar, menghalau senyapnya
malam itu. Indah tampak bergidik, menahan dingin. Lantas, satu demi
satu, guyuran air mengairi tubuhnya yang telanjang. Kepala, pundak,
hingga area selangkangannya.
Ia mengambil botol sabun dan busa dari tas plastiknya. Sambil
memiringkan tubuhnya ke kiri, tangan kecilnya menunangkan sabun itu ke
atas busa, meremasnya, dan menggosok badannya. Posisi tubuhnya yang
menyamping itu membuat garis-garis payudaranya terlihat jelas. Kunikmati
momen-momen mandi itu dengan seksama, sambil menggosok pelan
jari-jariku ke kain celana yang seolah-olah tak mampu menahan tegangnya
burungku.
Indah menikmati mandinya di alam terbuka sambil sesekali berdendang.
“Auuuwww…” tiba-tiba Indah mengaduh keras. Sebentar kemudian, terdengar seperti ada dua benda yang diadu. Duk-duk-duk.
“Ada apa, In?” teriakku kaget, langsung melompat maju.
“Perih, pak. Duh!” rintihnya.
Aku maju tapi ragu-ragu. Takut mengganggu privasi Indah. “Memangnya
kenapa?” tanyaku memburunya. Aku panik. Jangan-jangan ada ular atau
hal-hal menakutkan lainnya. Bagaimana kalau Indah dipatuk ular? Walaupun
ia mahasiswi fakultas kedokteran, tetapi untuk urusan seperti ini,
pasti agak repot urusannya.
“Mataku pedih, pak.” kata Indah dari balik tirai. “…terkena shampoo.
Airnya di bak… duh, sudah habis.” Indah mengaduh. Suara keras itu muncul
akibat benturan antara gayung dan dasar bak mandi.
“Oke-oke, aku ambilkan air dulu di sumur. Nggak jauh kok, di bawah bukit…” sahutku setengah panik.
“Ja-jangan, pak. Nanti Indah sendirian.” melasnya.
“Terus?” tanyaku berusaha minta pendapat.
“Gini deh, pak. Aku ikut aja ke sumur. Bisa aku tahan kok sakitnya.” pinta Indah.
“Hah?!” jawabku setengah berteriak. “Kamu kan masih sabunan?”
“Nggak pa-pa, pak. Daripada sendirian.” jawabnya meyakinkanku, “Indah handukan dulu.”
“Serius, In?” tanyaku sekali lagi.
“Serius, pak.” jawabnya sambil mengulurkan tangan mengambil handuk
dan membebatkannya di tubuh telanjangnya. Praktis, ia seperti gadis yang
terbungkus kemben. Aku melihat bayangannya samar-samar dari balik
tirai.
Ia keluar pelan-pelan dari bilik kamar mandi. Aku berulang kali
mengingatkannya untuk hati-hati saat melangkah. Tanganku menerima
pakaiannya.
Tubuhnya masih licin oleh butir-butir sabun dari rambut hingga tangan
dan kakinya. Wajahnya penuh sisa-sisa shampoo yang belum sempat
terbilas. Matanya berkeriyip-keriyip menahan pedih sekaligus ingin
mengintip menembus ke dalam kegelapan malam. Kuraih tangannya yang masih
basah itu ke bawah.
“Aduh, Indah, kok kamu nggak liat airnya kalau mau habis sih?!” kataku sedikit menyalahkannya.
“Habis terlalu semangat mandinya.” jawab Indah yang berkali-kali berusaha menyeka buih-buih shampoo dari matanya.
Kami berjalan terburu-buru. Tapi tetap kusempatkan melirik bagian
belakang lehernya yang putih dan pundaknya yang mulus. Ingin kucium
lembut anak ini dari belakang. Namun buru-buru kuhilangkan hasratku itu.
Kalau aku jahat, sudah kutarik handuk itu!
“Cepet, pak. Udah perih nih.” dia mengeluh.
“Iya, sabar dikit. Bentar lagi.” jawabku dengan nafas tertahan.
Kami sudah tiba disumur lima menit kemudian. Dengan nafas
tersengal-sengal, aku menimba air dari sumur. Begitu ember sudah sejajar
dengan mulut sumur, kutarik dan kuletakkan di bibir sumur. Lalu,
kupegang tangan Indah dan kugiring meraih ember penuh air itu.
Karena sudah menahan pedih di matanya terlalu lama, Indah langsung
merebut ember itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan mengguyurkan seember
penuh air sekaligus ke atas kepalanya yang masih terbalut handuk.
Byuuuurrrr…
Aku terkaget-kaget. Cipratannya kemana-mana, sampai membasahi celanaku.
Kagetku ternyata belum usai. Aku lebih takjub lagi ketika melihat dan
menyadari, handuk yang membelit tubuh Indah yang basah terguyur air
yang datang tiba-tiba itu tak sanggup menempel erat-erat di tubuhnya
lagi dan…
Melorot ke bawah…!!!
Hanya diterangi cahaya bulan, aku melihat tubuh Indah yang berdiri telanjang di depanku!!!
Indah segera menyadari kecerobohannya itu, melempar embernya, dan memekik keras. “Astagaaaaa…!!!”
Tangannya refleks menutup dada dan kemaluannya. Dalam hitungan detik,
ia menutupi auratnya itu dengan berjongkok menghalangi pandanganku yang
mengagumi tubuhnya yang bugil tanpa ditutup sehelai benang pun itu.
Dug…!!! Jantungku berasa berhenti.
Walaupun hanya beberapa detik, aku bisa melihat dengan jelas payudara
ranumnya yang mencuat menantangku. Putingnya merah muda seperti buah
ceri yang baru mekar di musim semi, mempercantik payudaranya yang cukup
besar, kira-kira berukuran sekitar 34C dan kencang memikat. Baru kali
ini aku melihat puting merah muda dari seorang gadis.
Gadis ini benar-benar putih polos dari kening hingga kaki. Bahkan,
sebelum ia berjongkok menutupi badannya yang tak dibalut apapun, aku
sempat melirik daerah kewanitaannya yang tak ditumbuhi sehelai bulu pun.
Polos dan mulus.
“Eh, eh, sori-sori…” kataku buru-buru setelah sadar dengan apa yang telah terjadi.
Muka Indah yang memerah menatapku seperti tampak pasrah bagaikan
orang yang sudah memberikan segala-galanya padaku. “Duuuh… sial deh gue
hari ini.” katanya lirih kepadaku. Keningnya mengerut dan bibirnya
bergetar.
Aku berdiri seperti orang bodoh. Lalu aku mengibas-ibaskan tanganku. “Ehh… hmmm… aku nggak bakal bilang siapa-siapa kok.”
Wajah Indah mulai memanja, antara ingin teriak keras-keras, malu, dan tak sanggup berkata apapun. “Aku malu…” gumamnya.
“Ya udah, In, aku balik ke rumahku sebentar… aku ambil handuk,” pintaku. “Handukmu sudah basah kuyup.”
Indah yang masih berjongkok telanjang tak membalas usulku. Ia seperti
setengah menangis. Rasa malunya sudah sangat menguasainya sehingga
ketika aku meninggalkannya sebentar di tengah kegelapan malam, ia tak
mengeluarkan bantahan apapun.
Aku kembali ke sumur membawa handuk kering. Tapi… oh, tidak! Indah
malah sudah bangkit berdiri dan meneruskan mandi. Aku heran namun agak
takut mendekat. Pantatnya yang kencang memantulkan cahaya bulan dari
atas.
Antara serba salah, aku memberanikan diri maju ke depan. Indah
menyadari kehadiranku, menoleh sebentar dan berkata, “Sudah telanjur,
pak. Sudah basah, mandi sekalian. Lagian bapak sudah lihat semuanya…”
katanya lembut sambil menggosok kakinya. Ia tampak tabah walaupun
matanya terlihat sembab. Sebenarnya, Indah malah tampak lebih imut
dengan ekspresi seperti itu.
“Kamu nggak malu, In? Kalau kamu nggak keberatan, saya tunggu di rumah…” tanyaku.
“Sudah, pak. Cuma kecelakaan kok,” katanya datar. “Bapak di sini saja, nggak apa-apa.”
Byuurrr… air dari ember yang ditimbanya sendiri mengguyur badannya.
Tubuhnya yang telanjang memantulkan cahaya-cahaya eksotik dari bulan.
Berbeda dengan tiga gadis usil dari tempatku bekerja, Indah jelas jauh
lebih indah. Sesuai namanya. Ia gadis dewasa dengan badan yang sudah
matang sempurna. Pinggul yang meliuk seksi, menambah gairahku. Belum
terlihat kerutan-kerutan di sekitar pantat dan kakinya.
Ia mengambil sikat gigi yang diletakkan di lantai dengan menunduk
membelakangiku. Sekilas, meki merahnya terlihat dari balik belahan
pantatnya. Ingin kucubit pantat imut itu sama seperti yang kulakukan
terhadap Santi.
Tangan kanannya menggosok giginya yang lucu itu sementara tangan
kirinya mengurut pinggir perutnya. Otot-otot perutnya naik turun
mengikuti urutan tangannya, menggoyang-goyangkan pusarnya yang dangkal
menggemaskan.
Ia membiarkanku menjelajahi setiap jengkal tubuhnya seperti sudah
mengenalku seribu tahun. Aku heran dengan perubahan sikapnya. Tetapi,
aku tak mau terlalu berpikir keras. Malam itu, aku hanya menikmati
kepolosan gadis blasteran ini yang sepertinya susah aku tebak.
Lalu setelah berkumur dan memuntahkan kumurannya itu, ia memintaku
maju, meraih handuk yang kubawa. “Sudah, pak. Kita pulang ke rumah Pak
Alfred dulu, sepertinya Indah kedinginan.” imbuhnya.
Ia membentangkan handuk itu di depan tubuhnya dan mengikatnya ke
belakang. Menutup tubuhnya yang telanjang dari pandanganku. Setelah
memeras-meras rambutnya, ia mengemasi bawaannya. Aku membantu membawakan
bajunya yang kotor.
Dengan terbalut handuk putih, aku menemani Indah ke rumah dinasku. Kami tidak banyak mengobrol.
***
“Pak, bisa minta tolong?” tanya Indah sambil tangannya meremas-remas
gelas hangat yang telah terisi oleh air jeruk buatanku. “…sepertinya
Indah kedinginan. Pak Alfred punya minyak kayu putih?”
Kami telah sampai di rumah, kuminta Indah masuk ke kamarku. Lebih
hangat di situ daripada di ruang tamu. Aku iba dengan gadis ini.
Rambutnya masih basah dan ia menggigil. Indah pasti benar-benar
kedinginan setelah insiden di sumur. Karena merasa bersalah, aku
menawarinya sebuah pijatan untuk gadis cantik bertubuh indah ini.
Indah tak punya pilihan lain selain mengiyakan tawaranku. Mungkin ia
tak mau sakit di tengah desa yang serba jauh dari fasilitas umum.
Giginya menggertak keras saling beradu dan bibir manisnya pucat seperti
kekurangan darah. Dalam hati, aku kegirangan sekaligus was-was, khawatir
kalau Bu Irda muncul setiap saat.
Aku berjalan ke dapur meraih minyak kayu putih yang kusimpan di dalam
box obat. Minyak itu kutuangkan di atas sendok bebek yang biasa dipakai
untuk menciduk sayur soup. Kunyalakan kompor dan setelah api
menyala-nyala, kusambarkan minyak itu ke atas api. Api pun menari-nari
di atas permukaan sendok bebek itu, membakar minyak kayu putih yang ada
di atasnya. Aku meniupnya sebelum minyak itu dilahap habis oleh api.
Minyak itu menjadi hangat. Kutuangkannya di atas tatakan gelas.
Sambil membawa minyak dan serbet kecil, aku masuk ke dalam kamar dimana
Indah sudah menungguiku.
Indah menyambutku. Ia berdiri pelan dan membongkar handuknya, sekali
lagi menanggalkan satu-satunya penutup yang membalut kehormatannya. Di
bawah cahaya neon, aku memandang sejenak tubuh Indah yang berbugil ria
dari atas ke bawah.
Kedua tangan Indah dibiarkannya terkulai lemas di sisi-sisi tubuhnya.
Badannya yang langsing menonjolkan otot-otot perut yang terlihat
membentuk. Aku menduga, Indah sangat rajin berolah raga sehingga
perutnya sangat atletis.
Aku mencuri-curi pandang ke daerah paling pribadi yang oleh
pemiliknya sengaja tak ditutupi apapun. Aku tak bisa melepaskan
pandanganku dari kemaluannya yang tak ditumbuhi rambut itu. Belahan
memeknya terlihat menonjol.
Ia membalik badannya dan merebahkan dirinya ke atas tempat tidurku.
Punggung mulusnya dan pantatnya yang menyembul padat seperti
menantangku. Aku membenahi celanaku sekejap mumpung Indah tak
melihatnya. Batang kemaluanku begitu keras berdiri, seirama dengan nada
detak jantung yang berdetak dahsyat hampir mematahkan tulang rusukku.
Tatakan gelas itu kumiringkan sedikit, membiarkan beberapa tetes
minyak kayu putih mendarat lembut di punggung Indah yang putih. Lalu,
aku menungganginya dengan sedikit gemetar.
Indah hanya berbaring diam. Kepalanya menoleh ke kiri dan matanya
terpejam. Lalu aku mulai mengurutnya. Dua jempolku menyusuri tulang
belakangnya secara berirama, mulai dari tulang ekornya, naik, dan
sebelum berhenti di lehernya, kedua jempolku berpisah, menuju ke
persendian lengannya. Kuulangi lagi beberapa kali.
Indah mendesah-desah mengikuti gerakan jari jemariku. Beberapa kali
terdengar nafas yang ditahan dan dihembuskannya dengan perlahan.
“Kurang keras nggak, In?” tanyaku.
“Boleh lah, pak… cukup.” jawabnya sambil mengatur nafas.
Kuremas-remas pundaknya dan dengan menggunakan jempol, kuurut
lehernya yang jenjang. Berulang kali, rambutnya yang basah dan lebat
harus kusibakkan agar tidak mengganggu penglihatanku.
Puas dengan leher dan punggung, aku bergerilya ke daerah pantat.
Pantatnya kencang sekali. Kutekan-tekan telapak tanganku di situ dan
kususuri belahan pantatnya dengan menggunakan kedua jari telunjukku.
Kubelah pelan-pelan dan ahhhh… lubang pantatnya menggodaku.
Kutekan-tekan sedikit lubang pantat merah muda itu dan kupijat
dinding-dinding otot yang mengelilinginya.
Indah menggeram. Ia menaikkan pantatnya ke atas, seolah-olah ingin
agar aku mendorongnya lagi ke bawah dengan kuat. Lalu, tekanan mulai aku
tingkatkan, memainkan anus itu sampai puas. Lama aku memainkan daerah
itu, memijatnya dengan sentuhan jari yang kuputar-putar, sampai
kuputuskan untuk menjelajahi daerah kakinya.
Libido yang sempat meninggi saat aku memijit belahan pantatnya,
lambat laun mulai meredup dan Indah bisa menguasai dirinya lagi. Aku tak
mau buru-buru memicu gairahnya malam itu. Betisnya yang jenjang dan tak
berbulu itu kuremasnya perlahan-lahan. Hampir seluruh bagian belakang
Indah berkilau terkena minyak kayu putih yang hangat.
“In, boleh bagian depanmu dipijat juga?” kataku setelah yakin tak ada bagian belakangnya yang belum kupijat.
Indah mengangguk dan ia membalik badannya yang cantik ke atas,
menghadapku yang sudah siap menerkam. Kali ini, tubuh telanjangnya sudah
kutunggangi.
Pertama-tama, kuurut pundak dan daerah sekitar payudara. Indah
memilih untuk memejamkan matanya, menikmati dengan tekun segala
pijatanku.
Aku menyenggol payudaranya pelan. Menunggu reaksinya. Sepertinya,
Indah tak berkeberatan. Lalu, kedua telapak tanganku kuletakkan di atas
puting merah mudanya itu, menekannya ke bawah, dan memutar telapak
tangan searah jarum jam. Berkali-kali.
Indah melenguh agak keras. Kedua pahanya ia naikkan berirama. Aku
meremas payudara kenyal itu naik dan turun, membuat Indah semakin
bergairah. Berkali-kali ia menelan ludah dan menghisap bibir bawahnya.
Nafasnya yang mulai tak teratur membuatku semakin kencang meremas
payudara itu. Tangannya akhirnya mendarat di tanganku dan meremas kuat,
membalas remasanku terhadap payudaranya.
Indah memandangiku dengan tajam. Bibirnya bergerak-gerak terus mengikuti irama nafasnya.
Lalu, aku menuntun tanganku ke bawah, Kuurut belahan kemaluannya.
Indah mengijinkanku untuk memijat daerah itu. Selangkangannya ia belah
lebar-lebar. Meki merah merekah pun terlihat di depanku. Lembab dan
ranum seperti pepaya setengah matang. Kuusap-usapkan jariku ke dinding
vagina itu, naik dan turun. Sesekali, kututup lubang kemaluannya, dan
kubuka kembali. Indah menaik-turunkan pantatnya.
“Ooouuhhh…” desisnya mantab.
Dengan menggunakan jari telunjuk dan jempol, kurekahkan lubang itu
dan memainkan jariku yang lain masuk ke dalam kemaluan yang sudah basah
dan berlendir. Kugosok perlahan-lahan. Tangan Indah menyergap tanganku
dan membimbingnya dengan kasar ke atas payudaranya lagi. Ia ingin aku
memainkan payudara dan kemaluannya sekaligus.
Aku menjadi lebih bersemangat mendengar desahannya yang tak ada tanda-tanda mereda itu.
“Pak… Uuuuhhhh…” panggilnya dengan merintih. Matanya sayu
menggemaskan. Tangannya mencoba meraih ritsliting celanaku. Tak
kuhalangi usahanya itu. Satu tangan meremas payudaranya, dan satunya
lagi kumemainkan lubang kenikmatannya.
Indah meraih kepala ritsliting dan berusaha menariknya ke bawah.
Terpaksa, salah satu tanganku kulepas, meninggalkan payudaranya yang
mengeras, dan mendekap punggung tangan Indah. Aku membantunya melepas
ritslitingku ke bawah. Indah memiringkan tubuhnya dan dengan kedua
tangannya, mendorong celanaku. Celana jins itu melorot ke bawah.
Bulu-bulu pahaku terlihat jelas.
Aku tak bisa menyembunyikan keteganganku dari balik celana dalam
putihku. Indah meraih kepala penisku walaupun masih tersembunyi di balik
sempak. Aku maju mendekat. Tangannya memutari pinggangku dan berhenti
di pantat.
Lantas, jari jempolnya mengait di atas kolor celana dalamku dan
menolaknya ke bawah. Indah memelorotkan celana dalamku. Burungku keluar
dari sarangnya, menegang dan mengacung ke depan, menantang Indah yang
sudah sangat tidak sabaran. Kedua tangannya mengocok kepala penisku
pelan-pelan.
Lalu, aku berinisiatif mendorong pantatku agar batang kemaluanku
mendekat di wajahnya. Indah memahami isyaratku. Ia menutup mata dan
membuka mulutnya pelan. Air liur yang kental membasahi bibirnya dan
perlahan, ia menelan milikku yang paling pribadi. Mulutnya maju dan
mundur, berusaha menelan sampai ujung tenggorokan. Aku mendesah hebat.
“Aaaaahhhhh…” kataku sambil menarik nafas panjang-panjang mengikuti
gerakan mulutnya. Kulepas kaosku dan kami berdua bertelanjang bulat.
Sesekali, Indah menahan penisku dan menjaganya tetap di dalam. Tapi
kurasakan, lidahnya menari-nari, memainkan kepala penisku. Dan, setelah
aku menggelinjang hebat, ia menariknya lagi. Tanganku tak lepas
memainkan jari-jari ke dalam kemaluannya, menjaga agar Indah tetap
terangsang.
Lalu ia menjulurkan lidah dan menjilat pangkal kemaluanku. Lidahnya
mengayun-ayun membasahi penisku dengan sempurna. Aku mengaduh keenakan
ketika lidah itu mengusap dan memijit kepala burungku.
Puas dengan batang kemaluanku, Indah berbisik kecil. “Pak, boleh
dimasukin?” tanyanya. Justru ia yang meminta ijin. Aku mengangguk kecil
dan kuusap rambut basahnya itu pelan. Jarinya kulepas dan aku
memutarinya.
Ia mengangkang lebar-lebar, membuka pintu kenikmatan untukku. Dan aku
mendaki ke atas tempat tidur. Kupegang penisku dan kuarahkan tepat di
bibir vaginanya.
Satu dorongan membuat penisku yang keras menusuk ke dalam vagina yang
lembut dan basah, diiringi desahan kecil. Di dalam, penisku merasakan
hawa hangat yang lembab. Basah dan licin. Kutarik pelan-pelan dan
kumasukkan dengan lembut. Tubuhku kubaringkan dan dengan lidah, kugoda
puting payudaranya sambil mengatur irama gerakan penisku.
Indah menggelinjang-gelinjang. Kedua tangannya memeluk pundakku dan
mulai mencakar-cakar. Kuciumi payudaranya bergantian, kanan dan kiri.
Sesekali kutarik puting itu dengan mulutku. Lantas, kedua kakinya
menjepit betisku, membuatku mengangkang. Kedua paha kami mengangkang,
saling bertumpuk, dan memudahkanku untuk mempercepat gesekan penisku.
“Uuuuuh… Ooofffffpphhh… Enak, In…” rintihku berkali-kali.
“Iya… pak…” balasnya. Suaranya yang lembut meluncur pelan di sela nafasnya. “Auuuwww… Enakk…” dia menjerit.
Setelah itu, kupelankan iramaku, perlahan-lahan dan akhirnya
berhenti. Kucabut penisku dan berbaring di samping Indah. Sekarang
kusuruh ia menunggangiku, memasukkan penisku dari atas. Tubuh telanjang
itu kuamati, naik dan turun, mengocok batangku dengan lubangnya yang
nikmat.
Indah menurunkan badannya dan menawari payudaranya yang
bergoyang-goyang ke arah mulutku. Kusambut dengan sigap. Lidahku
kumainkan di putingnya yang sudah basah kuyup oleh air liurku,
membuatnya merintih-rintih.
“Hisap, pak…” desahnya pelan. Badan Indah yang dingin berubah menjadi
hangat, menerima panas dari tubuhku. Aku merasakan titik-titik keringat
di badannya. Mungkin, ia sudah tidak kedinginan lagi.
Lalu kutahan tengkuknya dan kuarahkan kepalanya agar sejajar dengan
wajahku. Setelah bibir kami berhadapan, kuciuminya dengan cepat.
Nafasnya jelas sekali kurasakan di permukaan wajahku. Tangannya gantian
memeluk pundaknya dan Indah mengelus rambutku.
Desahannya tertahan karena bibirnya kukulum dalam-dalam. Sesekali,
bibirku membentur behelnya. Namun, tak mengapa. Ada sensasi lain.
Puas dengan posisi Indah di atas, ia berdiri dan memintaku untuk
berputar. Setelah aku berdiri, Indah menahan badannya dengan kedua kaki
dan tangannya. Ia menungging dan menunggu tantanganku selanjutnya.
Aku membelakanginya dan memasukkan batangku lewat lubang vaginanya
yang terjepit kedua pahanya, membuat penisku terjepit erat. Aku
melakukan gerakan maju mundur, membasahi penisku menggunakan
lendir-lendir yang keluar kencang dari kemaluan Indah. Sesekali, kulihat
lubang pantatnya yang berdenyut-denyut.
“Oh… Oh… Oh…” aku menghujani ruangan dengan suara-suara desahan mantab.
Di saat menungging, Indah menggerak-gerakkan lehernya sehingga
kepalanya naik dan turun. Rambutnya yang sepundak itu ia jatuhkan ke
kanan sehingga lehernya yang jenjang bisa kulihat dengan jelas.
Membuatku lebih merasa terhormat bisa menikmati tubuh Indah yang
telanjang dan menggelinjang.
Sekilas, kulihat jam dinding. Waktu sudah semakin malam dan aku
khawatir kalau-kalau Bu Irda datang tanpa diduga. Oleh karena itu,
kuakhiri petualangku dengan gadis cantik ini. Indah pun sepertinya juga
sudah tampak lelah walaupun wajahnya begitu menggodaku.
Aku tindih dia dan kumasukkan lagi penisku. Kali ini, kugoncangkan
tubuhnya kuat-kuat lewat irama keluar-masuk batang kemaluanku. Basah
sekali Indah ini.
Indah menggeram kuat, “Oooooohhhh…” dan ia menyambar leherku,
mengulum bibirku dan seperti tak menginginkannya lepas dariku.
Kupercepat gerakku hingga kasurku berderit-derit keras. “Ooohhh… Indah
mau puas… Aaaaahhhh…” rintihnya tertahan.
Tangannya meremas punggungku dengan erat. Kukunya menancap, membuatku
merasa agak sakit. Tapi kubiarkan saja. Lalu dengan dekatan yang sangat
erat, Indah memelukku dan mengeram keras. “Aaaahhhhhhhhh…
Hhhhmmmmmffppppppp… Hhmmpppfffff…” Nafasnya memburu, semakin tinggi,
semakin cepat, dan menahannya sangat lama. Otot-ototnya menjepit seluruh
badanku.
Beberapa detik kemudian, ia mengendurkan semua cengkeramannya dan terkulai. “Aaaaaaaaahhhhh…” desisnya lega.
Aku tak melepaskan batang penisku. Tetap kumainkan maju dan mundur,
membuat Indah menikmati sisa-sisa kenikmatannya hingga tuntas. AKu
berhenti sejenak, memberi kesempatan Indah untuk merasakan dahsyatnya
permainanku. Dinding kemaluannya berdenyut-denyut seperti hendak memijat
penisku yang tegang.
Lantas, setelah semenit berlalu, setelah Indah terkulai, aku mainkan
lagi penisku ke dalam kemaluannya. Kali ini lebih kencang, sampai
menggetarkan tubuh Indah. Lantas, sedikit demi sedikit, batang penisku
mulai memanas.
Uhhh… Uhhhh… Aku merasakan sensasi hebat di ujung lubang kencingku.
Ingin meledak dalam kenikmatan. Aku tetap mengayunkannya keras-keras ke
dalam vagina Indah yang masih mengulum kemaluanku tanpa ampun.
Aku seperti tak tahan lagi. Sepertinya lubang kemaluanku tak bisa
lagi membendung cairan yang sudah mengumpul di kepala penisku, mendorong
ingin segera keluar dari testisku yang mengeras.
“Auuuhhhhh… In, sekarang giliranku…” Indah dengan wajah kelelahan,
melirikku sayu. Ia tampak menyemangatiku dalam lelahnya. Lalu, setelah
aku merasakan penisku yang mengeras dahsyat, kucabut cepat-cepat dan
kuarahkan senjataku itu langsung di wajah Indah.
Kukocok kepala penisku keras-keras dan akhirnya, “Oooooohhhhh…”
kemaluanku menyemburkan cairan kenikmatan yang putih dan kental. Indah
tampak kaget tapi bisa menguasai diri. Spermaku melenting jauh, hingga
ke dahi Indah, menyembur ke sana kemari. Aku tetap mengocoknya keras,
seperti tak rela jika masih ada setetes sperma yang masih tertahan di
tubuhku. Seluruh otot badanku mengeras. Semua cairan kumuntahkan tepat
di wajah Indah yang manis.
Indah seperti tenggelam dalam cairanku yang amat banyak, melumuri
hidung, bibir, dan pipinya. Indah tampak pasrah. Tak ada upaya untuk
mencegahku melakukan hal tersebut. Nafasku tak beraturan dan seiring
dengan tenggelamnya rintihanku di kesunyian malam itu, spermaku mulai
menetes-netes teratur.
Aku masih membiarkan penisku mengeluarkan tetesan kecil. Dengan
menggunakan telunjukku, kugiring sperma yang membasahi bibir Indah.
Kutekan jariku yang basah oleh sperma itu ke pintu bibirnya yang
terkatup. Indah membuka kecil mulutnya dan kubasuhkan jariku yang penuh
lendir itu di bibirnya. Indah menghisapnya pelan.
Lalu, aku pun merebahkan dirinya di sampingnya. Mengatur nafas.
Ubun-ubun kepalaku berdenyut-denyut. Sambil menelan ludah berkali-kali,
kunikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku memalingkan wajah ke samping dan mata kami saling beradu. Tak ada
kata yang terucap. Tapi mata kami seolah-olah saling berbicara. “Malam
yang indah…”
Indah mengambil tisu basah yang telah kusiapkan dan membasuh wajahnya sampai bersih. Aku melihat jam dan beranjak bangun.
Aku membantu Indah mengenakan kembali pakaiannya setelah ia selesai
mengusap dada dan kemaluannya menggunakan tisu basah. Kupakaikan celana
dalamnya dan sebelum kain itu menutupi kemaluannya, aku menciumnya
kecil. Indah bergidik geli. Lalu, kami berdua pun sudah berpakaian rapi.
Kudekapkan kedua telapak tanganku ke pipi Indah dan mencium bibirnya
untuk terakhir kalinya malam itu. Tak kusangka, calon bu dokter ini
memiliki gairah yang nakal…
Indah tersenyum simpul.
***
Aku menggiringnya keluar rumah karena hari telah malam, sampai
kubukakan pintu dan kutemukan, Bu Irda sudah tepat berdiri di teras.
“Oh, baru saja datang, Bu?” sapaku agak kaget.
“Iya, Fred. Saya terlambat karena harus ikut ke balai desa.”
jawabnya. “Lho, kamu disini Indah?” tanyanya kepada Indah yang berdiri
di sampingku.
“Iya, bu, tadi ngetes kamar mandinya. Ternyata sudah bisa dipakai,” katanya.
“Oow, kamu sudah pakai sumurnya?” tanya Bu Irda. “Sumur itu inisiatif
mahasiswa kedokteran ini, Fred.” wajah Bu Irda berpaling padaku. Ia
menjelaskan kalau para mahasiswa berinisiatif membangun sanitasi yang
lebih sehat, mulai dari tempat MCK hingga sumur. “Ingat map yang saya
terima tadi siang, waktu kita mengobrol di selasar? Itu proposal, Fred…
lokasi-lokasi MCK yang ingin dibangun.”
Ya, aku ingat siang tadi. Seorang mahasiswa menyodorkan map warna
hijau kepada Bu Irda. “Ayo, sekarang kita ke bukit dan melihat
tempat-tempat yang mereka bangun. Kamu mau ikut, Indah?” tanya Bu Irda.
“Hmm… sepertinya Indah mau istirahat saja, bu.” jawabnya kalem.
Wajah imut Indah berusaha menyembunyikan rahasia kami berdua di
hadapan Bu Irda. Aku melirik dan tersenyum sewaktu ia membalas
lirikanku.
“Oh, kalau begitu, kita nanti menghantarmu pulang. Kebetulan, rutenya
sama.” Bu Irda menjelaskan. Dia tampak tidak curiga. Sepertinya, ia
menganggapku orang yang profesional. “Okelah, ayo kita pergi. Keburu
malam.”
Kami bertiga pun mengekor Bu Irda, ke tempat yang telah disiapkannya
untukku. Bu Irda memimpin langkah kami. Aku menggandeng kecil tangan
Indah. Indah hanya tersenyum kecil dan mengikuti langkahnya.
Indah, di balik kewibaanmu ketika mengenakan jas dokter, ternyata
kamu nakal, geliku dalam hati. Aku melihat arloji. Pukul 8 malam.
Hmm, kejutan apa lagi yang akan aku terima? Sebelum pukul 24.00 malam, keberuntunganku pasti belum memudar.
Hatiku mulai menebak-nebak.
[TAMAT]