THE WITNESS OF OUR LOVE (PART 3)

Sejak kejadian beberapa bulan yang lalu itu, aku selalu teringat Catherine. Aku selalu teringat senyumnya. Aku selalu teringat akan matanya yang tenang itu. Seolah-olah Catherine adalah jelmaan Ira dalam versi Russia. Namun aku tidak dapat melakukan apapun…Catherine selalu dikelilingi cowok-cowok macho dan kaya dari berbagai negara. Aku bisa apa? Aku ini apa? Bisa berkenalan dengannya saja sudah merupakan suatu mujizat.

”Haaahh…capeekk…” aku menghela nafas ketika dosen meninggalkan ruangan

”Pulang yuk? Aku sama Setyo dan yang lainnya mau liat-liat galeri…ikut?” Rangga menepuk bahuku

”Nggak deh makasih…aku ngerjain tugas dulu deh disini…hehehe” aku menolak dengan halus

”Oh..oke…titip apa?” ia mengangguk-angguk.

”Wine! Hahahaha” aku menjawab sekenanya

”Ah! Dasar…! Yaudah deh ntar kalo sempat nyari…” Rangga tersenyum kemudian meninggalkanku sendiri.

Aku menunduk dan mencorat-coret buku tulisku, asyik mengerjakan tugas. Tiba-tiba pintu terbuka dan Anna masuk. Aku menatapnya berjalan, dia tidak melihatku.

Ah…dari ratusan atau bahkan ribuan orang disini, kenapa harus dia yang masuk?
Aku kembali sibuk mengerjakan tugas.

”Aku nggak bisa nemuin buku itu! Dimana sih?!” Anna agak berteriak dengan kesal

”Kenapa Anna? Ada yang hilang?” sebuah suara lain terdengar

”Oh…kamu ngagetin aja Cath!”

Telingaku berdiri mendengar nama yang baru saja disebut. Otomatis aku mengangkat kepala dan tampak Catherine sedang berdiri disamping Anna.

Catherine tampak cantik dengan pakaian yang dikenakannya. Ia mengenakan kaos berwarna abu-abu cerah dan kemeja berwarna biru yang tidak dikancingkan, rambutnya yang pirang tampak bergelombang menuruni punggungnya. Aku terpaku menatap Catherine .

”Nyari apaan sih?” Catherine bertanya

”Buku tugas…! Tadi aku taruh dimeja, dan sialnya ketinggalan, sekarang hilang. Hebat.”

Aku sekilas melihat buku itu di meja dosen, dan ternyata memang masih disana. Kuberanikan diri mengangkat suara.

”Anna…” aku menyebut namanya

Catherine dan Anna terlonjak kaget dan buru-buru menoleh kearahku.

“Buku kamu—“

“Oh hebat! Bukuku hilang dan orang udik ini mengajakku berbicara! Hari yang indah!” ucapnya pedas

“Itu—“

“Nih orang udik, denger yaa, kamu tuh nggak pantes bicara sama aku! Kamu cuma pantes bicara sama orang-orang jalanan dan gelandangan! Sekarang aku tanya, kamu punya rumah disini?” ia nyerocos panjang lebar

“Tidak…”

“Alasan pertama kamu nggak pantes ngomong sama aku! Kamu punya mobil sport?”

“Nggak…” aku tertunduk

“Itu alasan kedua! Kamu orang kaya?” ia bertanya lagi, lebih pedas

“Bukan…” aku tertunduk semakin dalam. Hatiku pedih dihina seperti itu.

“Udah jelas kan?? Kita tuh beda level, jadi jangan sok!” Anna menghentak-hentakkan kakinya dengan marah dan keluar ruangan dengan kesal.

Catherine menatapku dengan iba kemudian berjalan pelan kearahku. Ia menarik kursi kosong disebelah kiriku dan duduk.

“Are you okay?” ia bertanya pelan

“Yeah…mungkin…” aku menghela nafas

“Maafin Anna ya, dia memang begitu” Catherine tersenyum

“Iya…” jawabku singkat. Aku tiba-tiba teringat Ira…mataku terasa panas

Sunyi. Tidak ada yang berbicara.

BRAAAKK!!

“Oh Tuhan…Catherine! Aku mencarimu kemana-mana!” seorang cowok keren masuk dengan menjeblakkan pintu.

Cowok itu berjalan terburu-buru kearah kami. Aku tidak mengangkat wajah untuk menatapnya.

“Catherine, ayo kita pulang!” cowok itu berkata tegas tapi kasar sambil menarik tangan Catherine menjauhi aku

“Cowokmu Cath?” aku bertanya tanpa menoleh

Catherine hendak menjawab ketika cowok itu langsung nyerocos
“Iya! Aku pacarnya! Kenapa?! Nggak terima?” matanya nyalang

“Tom! Sudah! Jangan mancing keributan!” Catherine berkata tidak setuju

Ah…Catherine sudah punya pacar…tiba-tiba hatiku terasa sesak.

“Maaf? Siapa yang bertanya dengan anda? Jelas-jelas tadi saya menyebutkan ‘Cath’ “ ucapku pelan dengan nada sopan yang dibuat-buat. Aku jengkel dengan perlakuan cowok itu.

“Sok amat kamu?! Heh orang udik, kamu tuh minoritas disini!” bentak cowok yang ternyata bernama Tom itu. Dia orang Amerika.

“Hha! Yankee…” aku mendengus. ‘yankee’ adalah panggilan bagi orang-orang Amerika.

BUAAAAKKK!!

Tom menghantam pipi kiriku. Aku terpelanting, punggungku terbentur meja kayu.
Sakit sekali. Catherine tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menutupi mulutnya dengan tangan.

“Jadiin itu buat pelajaran, udik!” bentak Tom lagi kemudian ia menarik Catherine keluar ruangan.