PROLOG
NARASI DETEKTIF JOHAN
Kuhisap puting padatnya dengan lembut sambil tangan kiriku meremas
payudara kanannya. Istriku hari ini bernafsu sekali, mungkin karena
udara dingin di bulan Desember. Tak ada yang salah sebenarnya, tapi hal
ini akan membuatku terjaga sampai pagi. Aku baru saja menenggak segelas
espresso dan sekarang harus menuntaskan apa yang aku mulai. Dari ketika
aku menciumi lehernya, bibirnya, hingga kemudian dengan
pancingan-pancingan lembut itu dia mau bangun dan melayaniku.
Agaknya aku cukup terpuaskan dengan buah dada 34D miliknya. Memang
semenjak dia melahirkan anak pertama kami buah dadanya makin besar. Aku
makin gemas untuk menghisapi susunya. Ia menggeliat dengan mata
terpejam. Cahaya remang-remang dari luar jendela masuk memberikan sebuah
siluet badan istriku yang seksi. Aku terus menggoyang pinggulku,
menggeseki liang senggamanya yang udah basah oleh lendiran nafsu.
Tubuhku didorongnya, kini ia menjadi ratu memompa dan mengoyang
kemaluanku hingga setruman-setruman kenikmatan menggelora dari pinggang
sampai ke ubun-ubunku.
Istriku makin liar ketika orgasmenya sudah hampir sampai. Aku terus
remasi buah dadanya yang naik turun seiring naik turunnya pinggangnya
memompa batang kejantananku. Ponselku berbunyi. Itu adalah pemecah
konsetrasi yang tidak aku sukai. Aku punya dua ponsel, satu untuk
pribadi dan satu untuk kerja. Yang kali ini untuk kerja. Siapa
malam-malam begini berani mengganggu diriku yang sedang asyik indehoi
dengan istri?
"Mas, aku nyampe!" keluh istriku. AKu pun ikut menusuk-nusukkan
kejantananku makin dalam ke liang senggamanya. Dan kemaluannya pun
menjepit kuat batang kejantananku. Aku bisa merasakan susulan rasa
kedutan di ujung pionku yang menyemburkan gelombang kenikmatan dari
puncak persenggamaan kita yang hebat malam ini.
Bidadariku ini kemudian ambruk di atas dadaku. Ia menciumi dadaku sambil
memeluk erat tubuhku yang masih ada keringat walaupun malam sudah
memberikan efek dingin pada suhu kamar ini. Kugapai ponselku. Ada sebuah
nama yang membuatku sedikit bersemangat walaupun rasa lelah akibat
orgasme tadi. Kuangkat ponsel itu.
"Inspektur James?" sapaku.
"Ya, Piere. Maaf mengganggu tidurmu malam ini. Kami baru saja menemukan
mayat di dekat tempatmu. Mungkin kamu bisa datang ke sini," katanya.
Inspektur James Sukoco adalah teman baikku. Kalau dia butuh bantuanku
dalam suatu kasus dia pasti menghubungiku. Artinya ada kasus, ada uang.
Tapi untuk kasus kali ini, aku tidak beruntung. Aku langsung bangun dan
memberikan kecupan hangat untuk istriku yang masih terlena dengan
orgasme yang baru ia rasakan tadi. Tempatnya memang tak jauh dari
rumahku. Setelah berbenah dan memakai baju, aku pun pergi. Kulajukan
gerobak besi bernama Suzuki Ertiga menjauh dari rumahku. Tak berapa lama
kemudian aku sudah sampai. Benar-benar dekat. Hanya cukup mengitari
satu blok dan aku sudah disambut lampu sirine yang meliuk-liuk ke segala
penjuru. Beberapa mobil polisi dan sebuah mobil ambulance terparkir di
pinggir jalan. Lebih tepatnya di depan jembatan.
Kuparkir mobilku tak jauh dari mereka. Wajah seorang yang sangat aku
kenal segera menyambutku. Aku termasuk orang yang gemas dengan kumis
milik inspektur James ini. Dia sedikit gemuk tapi tidak tambun,
rambutnya botak dan kumisnya lebat seperti tokoh video game Mario Bross.
"Apa yang kamu temukan?" tanyaku.
"Maaf, tapi mungkin saja kamu tertarik dengan seorang mayat dengan
identitas William van Bosch," jawabnya sambil berjalan beriringan dengan
diriku.
"Orang asing?"
Inspektur tak menjawabku. Aku pun menyusuri samping jembatan dan turun
ke bibir sungai. Tampak garis polisi sudah melintang di sana. Beberapa
orang berkerumun di antaranya adalah tim ahli forensik. Sebuah senter
menyorot ke sebuah tubuh yang teronggok di atas rerumputan dengan bau
anyir darah.
"Yang menemukannya seorang gelandangan. Awalnya petugas mengira ia cuma
membual dan mabuk karena tercium bau alkohol di mulutnya. Tapi petugas
kita cepat tanggap dan melaporkan ini," kata Inspektur James. "Nah,
karena ini dekat rumahmu aku ajak saja kamu ke sini."
"William van Bosch?"
"Itu yang tertulis kartu identitasnya. Ini murni pembunuhan. Karena
barang korban masih ada di dalam celananya. Dompet lengkap dengan kartu
kredit, ATM, dan uang dua juta rupiah."
"Lukanya cukup parah. Wajahnya remuk. Apakah batu itu yang menyebabkan di tewas?"
"Iya."
"Kalau begitu Anda butuh test DNA untuk memastikan bahwa itu identitas aslinya."
"Iya, itu sudah aku pikirkan."
"Dan sepertinya ini perbuatan orang yang sangat dikenalnya."
"Kenapa bisa begitu?"
"Tak ada perlawanan. Dan kenapa orang ini mau turun ke bawah jembatan
seperti ini? Apalagi hari ini hujan dari pagi hingga malam. Apa tidak
bisa melihat kalau arus sungai sangat deras di bawah sana?" aku menunjuk
ke aliran sungai yang deras.
"Kesengajaan?"
"Terencana."
"Tapi dia hanya ada pasport turis, tak ada sanak familinya di sini."
"Kalau begitu tugas kita tambah berat. Siapa orang yang diangapnya sangat dekat di negara ini?"
"Itu yang harus kita cari."
Aku mencoba mendekat ke mayat tersebut sambil memasang sarung tangan.
Kuamati dengan seksama pakaiannya. Dia memakai jeans dan kaos berwarna
putih. Dan kucium aroma di dadanya. Walaupun hujan mengguyur mayat itu
aku masih bisa cium sesuatu seperti parfum wanita. Baunya sangat khas.
Unik, bahkan istriku tidak pernah mencium bau seperti ini. Baunya
seperti menusuk, tapi lembut dan menggoda. Apabila dihirup seolah-olah
hidungku sangat rileks.
"Bagaimana kalau aku putuskan sang pembunuh adalah wanita?" tanyaku.
"Terlalu cepat."
"Tidak, ada bau parfum wanita di sini. Walaupun sudah samar aku masih bisa menciumnya."
"Mana mungkin?"
Inspektur James mendekat. Ia melakukan sama yang seperti aku lakukan. "Kamu cuma membual. Tak ada baunya."
"Ah mungkin cuma perasaanku saja," Tapi aku yakin sekali baunya tadi
masih ada. Dan tak mungkin pria ini memakai parfum wanita. Kecuali
memang dia punya kelainan seksual.
"Inspektur, maaf," kata salah seorang petugas.
"Kenapa?" tanya Inspektur.
"Ada seseorang menitipkan bayi di panti asuhan. Sepertinya dibuang oleh orang tuanya," ujar petugas itu.
"Apa?"
Awalnya memang aku tak pernah mengetahui bahwa kedua kasus ini saling
berhubungan. Seorang turis tewas dan ditemukannya seorang bayi yang
dibuang. Karena seluruh bukti dan saksi-saksi yang minim. Kasus itu pun
tak aku hiraukan lagi. Hingga setelah tujuh belas tahun berlalu, kembali
lagi kasus aneh itu menyelimuti mimpi-mimpiku.
BAB I
Request from a Friend
NARASI DETEKTIF JOHAN
Hari ini dunia dihebohkan dengan pernikahan Faiz Hendrajaya, anak dari
pemilik Hendrajaya Group dengan seorang artis ternama bernama Iskha.
Sejujurnya anakku paling suka lagu-lagu dari artis ini. Bahkan sejak
awal Faiz Hendrajaya dan Iskha berpacaran Maria selalu mencari-cari
beritanya di infotainment. Menurutnya perjalanan kisah cinta mereka
sungguh romantis. Entahlah nak, ayahmu tak pernah membahas infotainment.
Ayahmu hanya membahas kasus dan karena itulah kamu bisa sekolah
sekarang ini.
Memang sih beberapa waktu lalu ketika siaran LIVE di stasiun tv aku dan
istriku menonton siarannya. Ketika Faiz melamar Iskha secara langsung di
hadapan penonton. Aku pun ikut terharu menontonnya. Terlebih istriku
sampai meneteskan air matanya. Ia pun bilang, "Cara Mas melamar aku
waktu itu nggak seheboh ini sih."
Iya, memang tak heboh. Aku melamar istriku dengan cara sederhana. Kuajak
makan malam dan kuberi cincin sebagai tanda lamaran. Maklumlah,
pekerjaan mendirikan biro detektif itu tak mudah. Gajinya juga tak
selalu besar. Tergantung kasus yang diminta. Untung saja istriku tak
meminta lebih. Ia sudah cukup bahagia dengan apa yang aku punya. Ia juga
membantuku dengan berjualan baju-baju lewat online.
Maria sekarang usianya tujuh belas tahun. Aku sudah menyiapkan kue ulang tahun untuknya.
Ketika dia turun dari kamarnya aku langsung sambut dia dengan kue itu. "Happy Birthday my heroine!"
"Aahhh....ayah, makasiiihh," ia langsung meniup lilinnya dan memelukku.
Lalu istriku memberikan dia sebuah hadiah. "Kalian emang the best!"
Disusul kemudian Justin yang langsung memberikan kado untuk kakaknya.
"Makasih ya bro," kata Maria.
"Buka saja!" kataku.
Kami lalu pergi ke ruang keluarga. Maria membuka hadiah dari kami dan ia
sangat senang sekali. "Ya ampuun, ayah aku sudah lama kepingin jam
tangan ini. Makasih yaa.."
Dia juga membuka hadiah dari Justin. Justin menghadiahi kakaknya sebuah
action figured Hello Kitty. Maria mengerutkan dahi. "Bro, aku bukan anak
kecil lagi ya. Dan aku sudah nggak suka lagi ama Hello Kitty."
"Sudah terima saja, toh Justin sudah berusaha," kataku.
Maria menghela nafas. Ia lalu memeluk adiknya yang masih SMP itu. "Thanks bro."
"Sama-sama kak," katanya.
"Kamu sudah tujuh belas tahun, kuharap kamu sudah banyak berubah sekarang. Nggak manja lagi dan lebih dewasa," kataku.
"Iya ayah, do'ain aku ya," katanya.
Setelah itu, Maria pergi ke sekolah. Pasti akan banyak kejutan nantinya
di sekolah. Aku orang yang cukup bahagia dengan momen-momen ini. Tapi
itu tak berlangsung lama.
NARASI MARIA
Kenalkan namaku Maria. Aku anak dari seorang detektif ternama bernama
Johan Maheswara. Hari ini aku berusia 17 tahun. Dan ayah memberikanku
kejutan yang luar biasa. Aku memang sudah lama ngebet ingin punya arloji
kinetik. Siapa sangka ayahku yang membelikanku sebagai hadiah ulang
tahunku. Arloji ini sangat cantik, karena ada untaian seperti kristal di
angka 12, 3, 6 dan 9. Lagipula jam ini tak memerlukan batteray. Itulah
yang aku suka.
Aku ke sekolah naik monorail. Setelah itu aku sambung dengan jalan kaki
tak jauh sih sekolahku dari tempat pemberhentian monorail portable. Aku
bisa menyapa teman-temanku yang memang naik monorail juga.
"Maria!?" sapa temanku.
"Hai, Retno. Pagi?" sapaku.
"Pagi, eh, ngomong-ngomong boleh dong minta contekan matematikanya, pliiiiss," ia mengiba.
"Kenapa emangnya? Belum ngerjain?" tanyaku.
"Aku lupa!" katanya.
"Yaelah, emangnya kemarin ngapain aja?"
"Ayolah Mar, ya ya ya?"
"Ya udah deh," kataku.
Aku segera masuk ke halaman sekolah dan masuk kelas. Seorang anak laki-laki menyapaku. "Hai Mar, happy birthday."
"Eh,..Andre?" sapaku. Aku terkejut ketika aku diberi sebuah kado kecil. Waduuh...apa isinya.
"Tenang aja, bukan cincin pertunangan koq," guraunya.
"Cieeee...ciee....," Retno menggodaku. "Yang inget ulang tahunnya."
"Ya iyalah inget, kalau nggak inget bisa kena bogem mentah nanti aku,"
kata Andre. Andre ini, pacarku. Kami barusan jadian beberapa minggu yang
lalu. So sweet dia masih ingat ulang tahunku.
"Hihihi, makasih ya," kataku.
Ketika aku masuk kelas langsung seluruh kelas mengucapkan selamat kepadaku. "Selamat Ulang Tahun Maria!"
"Makasiiiihhh...." ucapku.
Tak cuma murid-murid sekelas yang heboh, guru-guru juga heboh. Setiap
mereka mengajar ke kelasku selalu ngucapin selamat ulang tahun. Bahkan
teman-teman dari kelas lain juga mengucapkan selamat. Hihihihi, emang
pesonaku sebegitu dahsyatnya kah?
Dari semua murid cuma satu orang yang tidak mengucapkan selamat
kepadaku. Namanya Ray. Anaknya memang penyendiri. Tapi sekalipun itu dia
orangnya baik koq. Hanya saja dia tak pandai bergaul. Lebih disibukkan
dengan dunianya sendiri. Sekalipun dia begitu tapi seluruh pelajaran di
kelas bisa ia kuasai. Dan dia selalu mendapatkan ranking satu. Aku tak
begitu akrab sih dengan dia. Karena sorot matanya itu tajam sekali,
seolah-olah menusuk jantungku. Jadi sedikit mungkin aku menghindari
bicara dengan dirinya.
Ray emang tak pernah merayakan ulang tahun. Ia sendiri sebenarnya tak
tahu kapan dia dilahirkan, karena dia adalah anak yatim piatu. Dia
dititipkan di sebuah panti asuhan KASIH IBU. Jadi wajar saja sih kalau
dia tidak mengucapkan selamat kepadaku. Ray cuma menoleh ke arahku
ketika aku memotong kue ulang tahun pemberian teman-temanku. Dia
mengangguk kepadaku. Aku juga membalas anggukannya.
Sebenarnya Ray itu nggak jelek-jelek amat. Bahkan ia termasuk cowok yang
ganteng. Tapi karena ia suka menyendiri dan tak banyak bicara, ia
sering dijauhi. Pacar, sudah pasti ia tak punya. Aku tak pernah melihat
dia bareng dengan cewek. Atau jangan-jangan dia gay? Hihihihi. Bodo ah.
Tak terasa hari itu heboh pokoknya. Setelah pulang sekolah aku pun jadi
bulan-bulanan teman-temanku. Aku diikat dikursi pake selotip dan
disiksa. Dilempari tepung, telor. Trus diguyur lumpur. Haduuuuhhh...ini
tradisi macam gini siapa sih yang mulai. Bajuku kotor banget. Tapi
asyik. Hari itu aku diberlakukan seperti ratu pokoknya. Tapi yang agak
gila adalah...kenapa juga aku harus pulang dengan baju sekotor ini??
Huhuhuhu....tega ih mereka.
Di saat aku selesai membersihkan diri di kran yang berada di dekat toilet, aku melihat Ray. Dia memberikanku handuk.
"Eh, Ray. Makasih," kataku. Aku menerima handuk itu dan membersihkan rambut dan wajahku.
"Bajumu kotor banget, nih pake ini," dia mengulurkan jaketnya.
"Nggak usah Ray, aku bisa minta tolong Andre," kataku.
"Orangnya udah pergi. Nggak apa-apa aku nggak bakal ngusilin kamu
seperti mereka koq," katanya. Wah, jangan-jangan dia naksir lagi ama
aku. Woi, aku udah punya pacar!
"Makasih," sekali lagi aku bilang itu.
"Ayahmu seorang detektif terkenal bukan?" tanyanya.
"Iya, kenapa emangnya?" tanyaku.
"Aku ingin minta tolong. Ini menyangkut tentang diriku," jawabnya.
"Kenapa?"
"Aku ingin tahu siapa orang tuaku sebenarnya," jawabnya.
Singkat cerita aku dan Ray pulang bersama. Tentunya aku mencopot baju
seragamku dan aku taruh di sebuah tas plastik. Dan aku memakai jaket
pemberian Ray. Lagian, kemana juga itu si Andre koq nggak nolong
pacarnya. Mana aku hubungi ponselnya, BBMnya nggak nyala dibales lagi.
Awas ya nanti kalau ketemu. Mau kudamprat habis-habisan dia.
Setelah setengah jam perjalanan, kami pun sampai di rumahku. Tampak
sebuah papan "BIRO DETEKTIF JOHAN MAHESWARA" di atas pagar. Papan itu
seingatku sudah ada di saana semenjak aku masih balita. Dan tak pernah
berubah kecuali ayah menggantinya dengan cat baru. Bahkan paku-pakunya
pun masih tetap pada posisinya. Rumahku bukanlah sebuah rumah yang
besar. Ukurannya kecil koq. Tapi cukuplah untuk dibuat tempat tinggal.
"Kantor ayahku ada di pintu itu. Masuk saja, aku akan panggilkan beliau," kataku.
Ray tak bicara ia langsung membuka pintu yang bertuliskan "KANTOR
DETEKTIF". Kemudian dengan langkah tenang ia masuk. Aku segera masuk ke
pintu yang satunya. Kulepaskan sepatuku dan kaos kakiku yang basah.
Kemudian segera aku taruh di mesin cuci. Kulepaskan jaket milik Ray.
Ayah tampak sedang berada di dapur memasak sesuatu.
"Ayah ada temanku yang ingin meminta bantuan jasa detektifmu," kataku.
"Hah? Temanmu?" tanyanya.
"Iya. Katanya ingin tahu siapa orang tuanya gitu," jawabku.
"Oh, dia sudah masuk?" tanyanya.
"Iya, sudah masuk di kantor," jawabku.
"Kamu kenapa koq berantakan seperti itu?" tanyanya.
"Dikerjai teman-teman gara-gara ulang tahun hari ini," jawabku.
"Ya sudah, segera mandi kalau begitu!" kata ayah.
"OK dad."
Aku pun berangkat mandi biar nggak lengket-lengket ini. Ugghh... Aku tak
berlama-lama di kamar mandi karena penasaran dengan Ray tentu saja.
Anaknya memang tak banyak bicara dan misterius. Karena berhubungan
dengan orang tuanya aku jadi ikutan penasaran. Setelah mandi yang cepat
dengan air hangat di shower aku segera ganti baju di kamar dengan baju
casual yang biasa aku pakai di rumah. Sejurus kemudian aku masuk ke
kantor detektif ayahku.
Begitu aku masuk ke ruangan ayahku, Ray sudah mau pergi.
"Lho, koq udahan?" tanyaku.
"Iya, aku sudah bicarakan semua dengan ayahmu. Dia bisa membantuku," jawab Ray.
"Baiklah nanti aku akan kabari lagi ya Ray," kata ayah.
"Makasih Tuan Johan," katanya.
Ray kemudian membuka pintu.
"Eh, Ray jaketmu aku ambil sebentar!" kataku.
"Bawa besok saja nggak apa-apa," katanya.
"Oh, ya udah," kataku.
Setelah itu ia pun pergi.
Ayah bersandar di kursi kerjanya. Kulihat tatapan matanya sudah
menerawang jauh dan jari-jemarinya sudah disatukan. Kalau sudah begini
ia sedang sibuk berfikir. Apakah permintaan Ray serumit itu?
"Tadi Ray gimana ayah?" tanyaku.
"Temanmu itu meminta ayah untuk menyelidiki siapa orang tuanya sesungguhnya," jawab ayah.
"Jelasin dong, cerita!" kataku sambil duduk di kursi di depan meja kerja ayahku.
"Jadi begini. Ray ini kan yatim piatu. Ketika kecil ternyata ia dibuang
oleh orang tuanya. Kemudian dititipkan di sebuah panti asuhan KASIH IBU.
Sepertinya orang tuanya bukan dari kota ini. Karena ketika peristiwa
itu, tidak ada satupun orang di kota ini yang hamil dan melahirkan.
Hampir seluruh DNA wanita di kota ini diperiksa tapi tak ada kecocokan
semua. Artinya orang tua Ray tidak ada di kota ini. Ayah tahu siapa Ray
karena ketika dia dibuang ayah ada di sana mendapatkan laporan tentang
bayi yang dibuang.
"Kemudian Ray bercerita bahwa setiap sebulan sekali ia mendapatkan uang
dengan jumlah yang tidak sedikit. Bahkan panti asuhan tempat ia diasuh
pun mendapatkan uang yang tidak sedikit pula. Uang sebanyak itu
bagaimana bisa? Awalnya pihak panti asuhan diam saja. Menganggap mungkin
ada dermawan yang memang berbuat baik kepada Ray. Tapi kalau setiap
bulan uangnya makin bertambah dan terus menerus secara kontinu, maka
sudah pasti ini adalah keanehan. Memang, uang itu bisa menghidupi Ray
sampai sekarang. Dan agaknya Ray menjadi penasaran apakah uang-uang itu
dikirim oleh keluargnya ataukah tidak," jelas ayah.
"Wah, ternyata begitu ya kehidupannya Ray. Jadi kemungkinan besar orang tua Ray sangat kaya ya?" tanyaku.
"Bisa jadi, uang yang dikirim tiap bulan juga jumlahnya sangat besar.
Setiap bulan Ray mendapatkan uang 20 juta, luar biasa bukan? Dan dia tak
pernah menggunakan uang itu sampai sekarang. Totalnya sekarang ada 4
milyar lebih."
"Waaahhh...itu uang yah?"
"Bukan, itu daun. Ya jelaslah!"
Aku nyengir. Wah, diam-diam ternyata si Ray kaya juga ya. Setelah itu aku makin tertarik untuk mengetahui jati diri Ray.
BAB II
8 Miles
NARASI RAY
Namaku Ray. Aku anak yatim piatu. Sejak kecil orang tuaku sudah
membuangku ke sebuah panti asuhan KASIH IBU. Tak ada pesan apapun, hanya
sebuah sapu tangan bertuliskan Ray. Dan dengan itulah ku dinamai. Aku
tak punya marga, tak punya nama belakang. Sebab memang itulah aku. Orang
yang tidak dikenal.
Selain nama Ray, aku mendapatkan uang setiap bulan yang tidak sedikit.
20 juta. Dan belum pernah aku gunakan sampai sekarang. Ibu asuh
membantuku untuk menyimpan semua uang itu di rekening atas namaku.
Siapakah aku, siapakah kedua orang tuaku sebenarnya? Ini masih rahasia.
Aku cukup beruntung mempunyai teman anak seorang detektif terkenal Johan
Maheswara. Aku sudah membaca semua tentang kasus-kasus yang ia
pecahkan. Rata-rata kasus-kasus berat dan dia bisa menyelesaikan dengan
baik.
Bicara soal teman, aku tak punya banyak teman. Karena aku lebih suka
menyendiri. Membaca buku adalah kesukaanku. Aku pun tidak pernah
mendekati satu cewek pun tapi kalau ditanya apakah aku suka sama
seseorang sejujurnya aku suka sama Maria. Suka sejak dulu. Tapi aku
terlalu cuek, terlalu dingin, bahkan sampai dia jadian dengan Andre pun
aku hanya bisa melihat mereka.
Sebenarnya ia ulang tahun kemarin, tapi aku tak punya sesuatu untuk
diberikan sebagai hadiah. Karena aku benci dengan ulang tahun. Setiap
mengingat ulang tahun, aku selalu teringat tentang nasibku. Aku tak tahu
kapan hari ulang tahunku, kapan aku dilahirkan. Catatan tanggal
kelahiranku adalah hari di mana aku ditemukan. Sebenarnya boleh dibilang
aku adalah secret admirernya. Tak pernah bisa mengungkapkan perasaanku.
Tak pernah bisa punya keberanian seperti halnya Andre. Dan bahkan
mungkin Andre mampu mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Aku sudah cukup memendam lama perasaanku kepada Maria semenjak kita
kelas X. Aku selalu memperhatikan dia. Walaupun dia tak begitu
mengetahui diriku. Tapi aku mengetahui semua tentang dirinya. Apa
kesukaannya, warna favoritnya, buku yang ia baca, bahkan dia menempuh
rute mana untuk berangkat dan pulang sekolah aku tahu semuanya.
Aku sebenarnya kasihan kepada dia hari itu. Dia dikerjai teman-temannya
sampai bajunya kotor banget. Tepung, telur, dan entah air apa lagi yang
dilempar ke dirinya. Entah juga tradisi penghukuman seperti ini sejak
kapan dimulainya tak ada yang tahu. Sekali lagi, aku hanya melihatnya
dari jauh tanpa memberi dia selamat. Maaf ya Maria, tapi aku sangat
benci yang namanya ulang tahun.
Dan hari itu juga aku melihat Andre malah pergi terburu-buru. Ada sebuah telepon yang ia terima.
"Waah...masa' harus sekarang sih?" tanya Andre. Ia sedang menerima
telepon dan sepertinya darurat. "Cewek gua sedang ultah ini, nggak bisa
nunggu nanti gitu? Ya udah deh, tunggu! Iya, iya, segera...iya segera!"
Setelah itu Andre buru-buru pergi. Aku melihat Maria tampak gembira
tanpa menyadari pacarnya sudah pergi dari tempat itu. Ia pun
tengak-tengok kiri kanan sepertinya mencari Andre. Lalu ia buru-buru
pergi ke belakang untuk membasuh dirinya. Ia semprot kepalanya dengan
kran air. Aku sebenarnya sangat apa ya....punya rasa semriwing ketika
air membasahi rambutnya sampai buliran-buliran air jatuh ke tanah.
Kemudian ia mengibaskan rambutnya. Serpihan butiran-butiran air itu
melayang ke udara. Sebuah pemandangan yang membuatku menelan ludah. Dan
dia melanjutkan membersihkan baju seragamnya yang kotor dengan air. Aku
bisa melihat branya yang melekat di baju seragamnya. Sebuah bra berwarna
putih dengan tali berwarna pink. Menurutku apa yang baru saja aku lihat
bukan sekedar mimpi di siang bolong, bahkan itu adalah sebuah keseksian
yang lebih menggoda daripada gravure model yang membuat para lelaki
berfantasi.
Kuambil handuk di lockerku. Kemudian aku menghampirinya. Aku berencana
meminta bantuan ayahnya untuk mencari tahu keberadaan orang tuaku.
Semoga aku bisa lebih dekat dengan Maria dan sekaligus mengetahui
keberadaan kedua orang tuaku. Aku tak perlu bingung soal uang, kalau
perlu uang yang sudah berjumlah 4 milyar itu aku akan berikan semuanya
ke Detektif Johan.
Setelah mengambil handukku di loker, lalu kuberikan handukku kepadanya.
"Eh, Ray. Makasih," katanya. Dia membersihkan rambut dan wajahnya dengan handukku. Wah, bakal nggak aku cuci tuh handuk.
"Bajumu kotor banget, nih pake ini," aku melepaskan jaketku dan kuberikan kepadanya.
"Nggak usah Ray, aku bisa minta tolong Andre," katanya.
"Orangnya udah pergi. Nggak apa-apa aku nggak bakal ngusilin kamu seperti mereka koq," kataku.
"Makasih," kata Maria.
"Ayahmu seorang detektif terkenal bukan?" tanyaku.
"Iya, kenapa emangnya?" tanyanya.
"Aku ingin minta tolong. Ini menyangkut tentang diriku," jawabku.
"Kenapa?"
"Aku ingin tahu siapa orang tuaku sebenarnya," jawabku.
Hari itu pun aku pergi ke rumahnya. Kami berjalan beriringan, naik
monorail, dan aku dipersilakan masuk ke dalam kantor detektifnya. Kantor
detektifnya tak begitu besar menurutku, seperti sebuah ruang
konsultasi. Tapi jujur, ruangannya sangat nyaman untuk tempat klien.
Bahkan di sebuah mesin pembuat kopi aku melihat tulisan "Gratis untuk
Klien". Di dinding dekat meja kulihat jajaran rak buku berisi buku-buku
dari berbagai penulis. Juga ada almanak, kamus dan ensiklopedia.
Beberapa pengetahuan umum, juga beberapa buku tentang flora dan fauna.
Di sudut lain ada tumpukan kertas dan file-file yang ditata dengan rapi.
Untuk sebuah kantor detektif ruangan ini lebih rapi. Yang pasti ada
yang mau mengatur kantor ini sehingga nyaman untuk kerja maupun untuk
klien. Aku duduk di sebuah sofa yang sudah dipersiapkan untuk klien. Di
depanku ada sebuah meja kaca dengan sebuah asbak di tengahnya. Asbak itu
bersih, berarti belum banyak klien yang datang ke kantor ini. Atau
mungkin sebuah keberuntungan bahwa semua klien detektif ini tidak
merokok sama sekali.
Tak berapa lama kemudian ada seorang paruh baya berusia kira-kira empat
puluh tahun masuk dari sebuah pintu yang berada di belakang meja kerja
detektif yang bertuliskan "FOR STAF ONLY". Wajahnya cukup berwibawa,
sorot matanya serius ketika melihatku. Saat ini mungkin dia sedang
mendeteksi apapun tentang diriku, sebagaimana para penyidik lainnya yang
berusaha mencari informasi tentang diriku dari sekedar melihat.
"Ray? Katanya ingin bicara denganku?" tanyanya.
"Benar, Pak Detektif," jawabku. "Aku tahu bahwa Anda orang tua Maria,
oleh karena itu saya kira Anda bisa menolongku kali ini. Saya punya
persoalan yang belum bisa dipecahkan."
Wajah Detektif Johan menampakkan pancaran energi keingin tahuan yang sangat besar. Ia pun kemudian duduk di depanku.
"Baiklah, karena kamu teman putriku maka aku akan memberikan harga
khusus untuk masalah yang sedang kau hadapi. Coba jelaskan kepadaku!"
kata sang detektif.
Aku mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mulai bercerita.
"Aku adalah seorang anak yang dibuang di sebuah panti asuhan. Kurang
lebih tujuh belas tahun yang lalu aku dititipkan dengan sebuah keranjang
yang ada sapu tangan bertuliskan nama Ray. Ini sapu tangannya,"
kuserahkan sapu tangan berwarna biru langit itu kepada sang detektif.
"Aku juga tak tahu simbol apa yang ada di sana. Kenapa juga ada tulisan 8
Miles di sudutnya. Yang jelas hanya itulah satu-satunya benda yang aku
punyai. Dan ada yang aneh..."
"Aneh?"
"Sejak aku bayi aku selalu diberi uang sebesar dua puluh juta setiap
bulan. Bahkan panti asuhan pun mendapatkan uang yang tidak sedikit tiap
bulan. Kami pun bingung, siapa yang mengirim uang sebesar itu tiap
bulan. Bahkan siapa yang mengirim pun tidak bisa dilacak. Alamat
pengirimnya palsu dan selalu dikirim melalui cek. Sepertinya tak ingin
diketahui siapa yang mengirim. Aku tak pernah mengambil sepeser pun uang
itu dan ibu asuh sudah membantuku membuatkanku rekening sendiri di
bank," ceritaku.
"Hmm...menarik, 8 Miles ya....," gumam Detektif Johan.
"Bagaimana Pak Detektif, bisa bantu saya?" tanyaku.
"Aku akan usahakan. Tapi agak berat juga kalau hanya ini yang aku
punya," kata Detektif Johan sambil menimang-nimang sapu tangan
pemberianku.
"Kalau Anda tak keberatan silakan main-main ke panti asuhan dan bertanya
kepada Ibu asuhku, untuk soal biaya. Aku bisa berikan berapapun yang
Anda inginkan. Toh uang sebesar 4 milyar itu tak pernah aku gunakan,"
kataku.
Wajah Detektif Johan sedikit cerah. Mungkin menurut dia kata 4 milyar
itu sangat luar biasa kalau untuk dihabiskan oleh seorang anak remaja
seperti aku.
"Baiklah Ray, aku akan usahakan. Mungkin besok aku akan main ke panti asuhanmu. Kamu ada waktu bukan?"
"Aku ada di sana setiap pulang sekolah, jarang jalan-jalan."
"Anak baik. Beda dengan Maria. Baiklah, aku akan atur jadwalku besok. Berarti kita ketemuan jam lima sore?"
"Baiklah," jawabku.
Setelah itu aku pun berdiri dan menyalami sang detektif.
"Lho, koq udahan?" tanya Maria yang tiba-tiba masuk.
"Iya, aku sudah bicarakan semua dengan ayahmu. Dia bisa membantuku," jawabku.
"Baiklah nanti aku akan kabari lagi ya Ray," kata sang detektif.
"Makasih Tuan Johan," kataku.
Aku kemudian membuka pintu.
"Eh, Ray jaketmu aku ambil sebentar!" kata Maria.
"Bawa besok saja nggak apa-apa," kataku.
"Oh, ya udah," katanya.
Setelah itu aku pun pergi kembali ke panti asuhan.
BAB III
Kunjungan ke Panti Asuhan
NARASI DETEKTIF JOHAN
"Ayah, jelaskan kepadaku kenapa inspektur James selalu memanggilmu dengan sebutan Piere?" tanya Maria.
"Ceritanya panjang, aku dan dia dulu di satu kesatuan. Dan kami jadi
partner cukup lama. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Piere,"
jawabku.
"Dan, gara-gara nama Piere ayahmu sampai disebut sebagai orang hilang," kata istriku.
"Yang benar? Gimana kejadiannya?" tanya Maria.
"Kejadiannya adalah saat itu terjadi gempa bumi yang dahsyat di Jepang
dan ayahmu menjadi salah satu korban. Memang ketika itu ada tugas di
sana. Sang inspektur berkata Piere belum ditemukan alhasil dia
merepotkan satu regu tim SAR. Akhirnya setelah kujelaskan nama aslinya
adalah Johan, langsung tim SAR tidak bingung. Dan nama Piere itu adalah
gara-gara ayahmu memenangkan kejuaraan tinju dan disebut sebagai
kembaran Piere Zangief, petinju nomor satu dunia saat itu," jelas
istriku. Dia masih ingat saja kejadian itu. Ya, itu kejadian paling
menggelikan yang pernah terjadi dalam hidupku.
Ketika di kesatuan dulu ada kejuaraan tinju antar kepolisian. Aku salah
satu orang yang memenangkan pertandingan dan menjadi juara. Ketika muda
aku selalu mengidolakan Piere Zangief, salah seorang atlet tinju
kebangsaan Rusia yang sudah memenangi lima sabuk kejuaraan WBF dan WBC.
Style yang aku suka darinya adalah pukulan Hien. Yaitu sebuah pukulan
yang bisa berubah menjadi Upper Cut, Hook, maupun jab dalam satu
gerakan. Dan dengan Hien pula aku memenangkan kejuaraan itu. James
setelah itu memanggilku dengan sebutan Piere.
"Oh, begitu ceritanya," kata Maria.
"Kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku ke Maria.
"Jam seperti biasa, kenapa yah?" tanya Maria.
"Aku nanti akan mampir ke panti asuhan temanmu, Ray itu. Barangkali nanti sore kamu bisa ikut, lagipula dia temanmu bukan?"
"Tapi aku nggak dekat ama dia," keluh Maria.
"Ayolah Maria, sama teman sendiri koq begitu?"
Maria memutar bola matanya, "Baiklah."
"Ayah hari ini akan ke kantor catatan sipil dan menemui Inspektur James.
Sayang, aku nanti pulang terlambat sepertinya," kataku kepada istriku.
"Hati-hati di jalan. Oh ya, sekalian titip belikan Sauce Bolognaise, aku ingin membuat pasta untuk besok," kata istriku.
"Tak masalah, aku akan mampir swalayan pulang nanti," kataku.
"Ayah, aku berangkat!" Justin langsung keluar mengambil sepedanya.
"Justin! Tidak sarapan dulu?" tanya istriku.
"Sudah terlambat!" jawabnya.
"Aku juga berangkat yah, takut ketinggalan monorail," kata Maria.
"Hati-hati!" kataku.
Setelah kedua anakku pergi, aku langsung memeluk istriku dan mencium bibirnya.
"Hmmmm, kenapa ini?" tanyanya.
"Mumpung aku belum berangkat, ada waktu lima belas menit?" tanyaku.
Ia merangkul leherku diliriknya jam dinding, "Baiklah, lima belas menit."
Aku kemudian mencium bibirnya. Bibir kami pun saling menghisap. Walaupun
usia pernikahan kami sudah dibilang tidak muda lagi, tapi hal itu tetap
tak menyurutkan kehausan birahi kami. Aku masih belum memakai baju
formal, masih memakai kaos dan celana pendek. Istriku memakai celana
legging dan tank-top. Aku bisa melihat belahan dadanya yang sangat
menggiurkan. Aku pun meremas kedua buah dadanya itu.
Dia selalu ikut fitness hal itu membuat dia makin seksi saja. Dan yang
membuatku takjub lainnya adalah buah dadanya. Oh...aku tergila-gila
kepada istriku. Kuciumi lehernya, dia menggeliat seperti cacing
kepanasan. Aku lalu turun ke dadanya dan kuhisapi buah dadanya.
Kucupangi. Dan aku makin ke bawah, kuturunkan celana leggingnya berikut
celana dalamnya hingga terlepas dari tubuhnya bagian bawah.
Sebuah gundukan dengan rambut tak begitu lebat membuatku tergiur untuk
menciuminya. Kuciumilah mahkota istriku itu. Dia makin lama kucium dia
makin basah, rambutku pun sudah diacak-acaknya. Kujilati juga sebuah
tonjolan di bibir kemaluannya. Dia makin menggeliat dan menjambak-jambak
rambutku. Tak butuh waktu lama untukku untuk bisa menghisap cairan
kemaluannya yang sudah keluar. Awalnya sedikit tapi seiring aku
mempermainkan bibir liang senggamanya cairannya makin banyak yang
keluar. Lalu beralih aku ciumi pahanya pinggangnya, naik ke atas dan
kusibakkan tank-topnya ke atas. Tampaklah buah dada yang kulihat sebuah
puting yang sudah mengeras. Kuhisap pula itu benda berujung kencang itu.
Kunaikkan kedua pahanya, hingga kini bidadariku itu sudah naik di atas
meja dapur. Kuturunkan celanaku dan kutempatkan ujung pionku tepat di
lubang kemaluannya. Tak butuh waktu lama untukku harus mendorong
kejantananku ke dalam liang senggamanya. Dia langsung menjerit ketika
benda besar dan panjang menerobos masuk dengan mudah karena kebasahannya
yang sudah sangat.
Aku pun menggoyang pinggulku. Sebuah kehebohan di atas meja dapur, semua
barang-barang seperti panci, spatula, wajah bergoyang seperti gempa
bumi. Istriku melenguh, mendesis dan mendekapku erat. Pinggulku saling
menghantam dan saling menggesek, akibatnya pun sangat indah. Kemaluanku
pun serasa diremas-remas oleh kemaluannya.
"Sayang, memekmu enak banget. Kamu apain itu burungku?" rancauku sambil menciumi bibirnya.
"Aku berikan seperti biasanya sayang, gigit-gigit kecil," jawabnya.
Aku makin menggila bergoyang hingga panci-panci dan wajan berjatuhan.
Aku kemudian angkat tubuh istriku dan kuangkat kini kugendong dirinya.
Aku berjalan melewati dapur hingga kemudian sampai di atas karpet ruang
keluarga. Ia kuturunkan di sana. Kutindih dia dan kugenjot dengan irama
yang menggila.
"Ohh....Jooooo.....hhhhhaaaann.....aku sampaiiiii!" seru istriku.
Aku juga sudah ingin sampai. Aku percepat dan akhirnya aku pun keluar di
dalam. Cukup banyak aku keluar, bahkan ketika aku sudah berhenti
bergoyang masih ada saja yang berusaha keluar dari penisku. Ketika aku
cabut cairan putih kental itu pun keluar dengan mengalir ke pantatnya.
Istriku lalu meletakkan lengannya di dahinya. Nafasnya terengah-engah.
Aku lalu berdiri, masih dengan kemaluanku yang mengkilat akibat
lendirnya aku pun berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diriku.
Kubiarkan istriku menikmati orgasme yang baru saja diraihnya.
****
Aku pergi ke kantor catatan sipil menyelidiki tentang Ray. Dia terdaftar
di sana lahir pada tanggal 15 Desember, tapi itu adalah hari di mana
dia ditemukan di depan pintu Panti Asuhan. Di catatan sipil itu aku bisa
melihat banyak data mengenai Ray. Dia mempunyai darah A RH-. Artinya
orang yang mempunyai darah itu pasti bukan orang asli Indonesia.
Barangkali ini semua ada hubungannya dengan Sapu tangan 8 Miles yang dia
punyai.
Tak banyak yang aku gali lagi tentang Ray. Karena itu aku langsung
menuju ke tempat Inspektur James. Aku biasa saja sih masuk ke polda.
Mereka toh sudah tahu banyak tentang diriku. Sebagian pun rekan-rekan
kerjaku dulu sebelum aku pensiun dini dari kepolisian. Aku langsung
meminta ijin untuk menemui inspektur.
Melihatku yang sudah lama tak bertemu langsung dia bangun dan menyalamiku.
"Ahhh...Piere! Masuk masuk! Duduklah!" dia mempersilakanku duduk.
Aku pun duduk dengan santai.
"Ada apa gerangan, tak biasanya kamu datang kemari kalau tidak penting sekali," katanya.
"Kamu benar. Aku sedang menyelidiki orang tua bayi yang kita temukan
tujuh belas tahun yang lalu, kamu masih ingat setelah kita menemukan
mayat William van Bosch?"
"Sebentar...ah turis itu? Iya, aku ingat sang bayi."
"Sang bayi sudah besar sekarang dan dia menyewaku untuk menemukan orang tuanya."
"Wah, sudah setua itukah kita? Kukira itu masih tahun kemarin."
"Sudahlah akui saja kita sudah tua, kumis tebalmu itu sudah memutih, dan rambutku pun makin putih," aku mengusap-usap kepalaku.
"Hehehehe, setidaknya hiburlah aku biar tidak terlihat tua," Inspektur
James kemudian berdiri mengambil gelas dan menuangkan kopi di mesin
pembuat kopinya. Lalu kembali lagi dengan gelas penuh terisi kopi dan
menyerahkannya kepadaku. Aku menerimanya. "Jadi coba jelaskan kepadaku,
apa yang ingin kamu katakan?"
"Begini, kamu tahukah kalau sang anak mendapatkan uang dua puluh juta setiap bulan? Bahkan sampai hari ini?" tanyaku.
Hampir saja sang inspektur menyemburkan kopinya. "Sampai hari ini?"
"Kamu mungkin tak akan percaya, tapi sang anak itu tidak membual. Aku akan e tempatnya hari ini untuk membuktikannya," jelasku.
"What a damn...dan pengirimnya?"
"Tak ada yang tahu. Alamatnya palsu. Jadi bagaimana menurutmu?"
"Bukan money laundry?"
"Kita tak tahu, tapi besar kemungkinan itu dari orang tuanya bukan?
Hanya saja siapa orang tua yang punya kekayaan sampai bermilyar-milyar
itu. Siapa juga orang kaya selain pemilik Hendrajaya Group?"
"Banyak pastinya orang kaya di negeri ini. Ada lagi?"
"Ini, sapu tangan bertuliskan Ray. Dan sebuah simbol dengan tulisan 8 Miles."
"8 Miles? Sepertinya tak asing."
"Komunitas?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Aku tak yakin. Aku akan periksa file-file lama," kata Inspektur.
"Baiklah, terima kasih atas kopinya. Setelah ini aku akan ke panti asuhan itu dan membaca-baca di perpustakaan," kataku.
"Sering-seringlah mampir Piere!" katanya.
"Kalau ada kasus aku pasti mampir," ujarku.
Dari kantor polisi aku meluncur ke perpustakaan. Aku mencari-cari segala
hal tentang yang namanya 8 Miles. Pastinya tidak mudah. Aku mulai
mencari tentang tempat dan istilah-istilah yang menggunakan kata 8
Miles. Aku juga mengakses internet untuk mencari tahu tentang 8 Miles.
Tapi tak ada satupun yang cocok dengan simbol 8 Miles. Emang banyak
istilah, hanya saja tak ada yang cocok. Terlebih simbolnya. Seperti
sebuah lentera atau bangunan menara. Tapi sepertinya lentera. Aku tak
punya bakat seni untuk melihat hal-hal semendetail ini.
Aku pun ditelpon oleh putriku. Aku segera mengangkat.
"Ayah?! Ada di mana?" tanyanya.
"Di perpustakaan," jawabku.
"Aku ikut saja deh ke panti asuhannya. Bisa jemput aku?" tanyanya.
"Tentu saja. Oh, sudah jam segini rupanya. Oke deh," kataku. Aku segera meluncur ke sekolahnya Maria.
NARASI MARIA
Aku langsung mencari Andre ketika tiba di sekolah. Agak sebel soalnya dia kemarin ninggalin aku seenaknya.
"Andreeeeee!" panggilku ketika masuk kelas.
"Ada apa sayang?" tanya Andre dengan wajah tanpa dosa di tempat dia duduk.
"Kamu itu ya, tega banget ninggalin aku kemarin!?" kataku sewot.
"Maaf sayang maaf, kemarin soalnya ada urusan yang darurat sekali aku
harus pergi! Sorry ya?" tampak Andre memohon-mohon sambil mengatupkan
kedua telapak tangannya.
"Huh, benci aku! Lain kali kalau kamu lakukan lagi awas ya?!" kataku.
Aku segera ke bangkuku. Masih dengan wajah mendongkol. Aku menoleh ke
arah Ray. Dia memfokuskan pandangannya ke sebuah buku novel yang ia
baca. Novel apa sih itu jadi penasaran aku, tebel banget.
Andre menghampiriku, "Sayang, maaf dong ya maaf!"
"Iya aku maafkan, jangan ulangi lagi. Sebel tauk, udah bajuku kotor, eh kamunya malah ninggalin aku seenaknya," kataku.
"Ya tapikan kemarin emang darurat, aku nggak bisa ninggalin orang tuaku dong, mereka sedang butuh aku soalnya," kata Andre.
"Ya udah, sebagai permintaan maaf besok ajak aku nonton," kataku.
"Oke deeeh...deal. Besok ya, aku jemput," kata Andre.
Aku menyunggingkan senyumku.
"Naah, gitu dong senyum. Senyummu manis deh," kata Andre. Entah kenapa
aku selalu takluk ama kegombalan dia. Cara nembaknya dia juga bikin aku
tak bisa nolak. Pas hari valentine, ngasih coklat satu kardus dengan
hiasan I Love You. Trus habis itu dia bilang "kalau kamu ngambil coklat
itu berarti kamu nerima aku, kalau tidak maka kamu nggak nolak aku" Ya
gimana bisa bilang tidak. Hahahaha dasar dia ini.
Guru Fisika masuk ke kelas. Segera murid-murid kembali ke bangkunya
masing-masing. Aku menoleh ke arah Ray. Dia sudah menyimpan buku
novelnya tadi. Ia mengeluarkan bukunya dari tas dan menoleh ke arahku.
Ketika mata kami beradu aku pura-pura menoleh ke papan tulis. Sialan ini
anak tetep sok cool. Menurutku sih Ray ini nggak jelek-jelek amat,
mungki ada alasan kenapa dia selalu menyendiri. Tapi ketika kemarin
ayahku memberitahu tentang dirinya, rasanya aku ingin menyapa dia hari
ini. Gila apa selama kelas satu sampai sekarang jarang banget aku
menyapa dia.
Jam istirahat pun datang. Andre mengajakku ke kantin tapi aku tolak.
"Kenapa say, masih marah?" tanyanya.
"Nggak, nggak ada apa-apa. Aku mau ke perpustakaan sebentar," jawabku.
"Oh, OK," kata Andre.
Andre pun keluar kelas. Aku segera mengambil jaket milik Ray dari
ranselku. Kemudian aku ambil dan kuberikan kepada Ray. Ray menoleh ke
arahku.
"Makasih ya," kataku.
Ray hanya tersenyum sambil menerima jaketnya.
"Kudengar nanti ayahku akan ke panti asuhan tempatmu tinggal, aku ingin ke sana juga kalau kamu tak keberatan," kataku.
"Tak masalah, lagi pula tak pernah ada teman-teman yang ke sana
sebelumnya. Kamu bisa jadi orang pertama yang mengunjungiku," kata Ray.
"OK, aku akan telepon ayahku nanti biar kita berangkat bersama," kataku.
"Good idea," katanya.
Setelah itu aku pun beranjak pergi dan keluar dari kelas menuju ke
perpustakaan. Entah kenapa hari itu aku ke perpustakaan, memang tak
biasa aku ke sini. Tapi itulah yang terjadi. Dan aku iseng saja sih
baca-baca sesuatu buku di perpustakaan, buku tentang tata surya. Dan
ternyata nggak buruk. Aku cukup duduk selama sepuluh menit, aku bisa
tahu banyak tentang tata surya, gugusan bintang dan galaksi.
"Tumben ke perpustakaan," celetuk sebuah suara. Anjrit! Kaget aku. Ray! Sejak kapan dia ada di meja depanku.
"Yah, nggak apa-apa kan?" kataku.
"Buku yang bagus. Aku juga suka buku itu," kata Ray. "Buku itu yang pertama kali memberitahuku apa itu Intestellar."
"Oh ya?"
"Suka Disney?" tanya Ray.
"Suka dong, gila apa? Masa kecilku indah juga karena film-fim Disney. Kenapa?"
Ray beranjak dari kursinya. Pergi ke salah satu rak dan mengambil sebuah
buku yang lumyan tebal. Dia kemudian memberikannya kepadaku.
Ensiklopedia Disney?? Eh, ada buku seperti ini di perpustakaan kita?
Gileeee.
"Kereeeeennn! Aku baru tahu ada buku seperti ini di perpustakaan," kataku.
"Sebenarnya banyak buku-buku yang tidak pernah engkau sangka sebelumnya," katanya.
Aku tersenyum kepadanya. Ternyata ia tak sebodoh yang kukira. Aku
langsung membuka Ensiklopedia Disney itu. Aku membaca dari awal tentang
tokoh buatan Walt Disney yang pertama, kemudian cara mereka membuat film
kartun. Waaaahhh...keren, aku sampai terharu membaca buku itu. Ray
hanya tersenyum saja melihatku sangat tertarik dengan buku itu. Dia pun
duduk di seberangku sambil membuka bukunya lagi. Apa sih yang dia baca
itu? Eh, ada judulnya TIME LINE. Hmm...novel ya?
"Itu buku apa?" tanyaku.
"Ini novel sudah diangkat jadi film, judulnya Time Line. Cerita sci-fiction sih," jawabnya.
"Ohh...begitu," kataku manggut-manggut.
Trully, aku senang sekali hari itu. Entah kenapa, ada sesuatu yang tak
bisa aku ungkapkan. Dan baru kali ini aku bisa sedekat ini dengan Ray.
Akhirnya setelah mengikuti semua pelajaran aku pun pulang. Tapi kali ini
aku menelpon ayahku biar bisa barengan ke tempatnya Ray.
"Ayah?! Ada di mana?" tanyaku
"Di perpustakaan," jawab ayah.
"Aku ikut saja deh ke panti asuhannya. Bisa jemput aku?" tanyaku.
"Tentu saja. Oh, sudah jam segini rupanya. Oke deh," kata ayah. Setelah itu beliau menutup teleponnya.
Andre menyeletukku. "Hai, mau ikut?"
"OH nggak Ndre makasih, aku dijemput babe," kataku.
"Tumben babe jemput," katanya.
"Mumpung sejalan soalnya," kataku.
"Oh, begitu. Ya udah aku duluan ya," katanya. Ia sempat mencium pipiku.
Iiihh..genit amat nih cowok. Padahal juga udah biasa kali dicium ama
Andre. Grepe-grepe juga pernah padahal. Tapi entah kenapa hari ini koq
aku rasanya risih sih.
Andre pun pergi dengan sepeda motornya. Dengan sekejap dia sudah tak
kelihatan. Aku keluar dari gerbang sekolah. Dan tak jauh di sebelahku
tampak Ray sedang berdiri dengan kedua tangannya di saku celana. Ia
menoleh ke arahku. Arggghh...kenapa aku jadi gemetar gini sih ditatap
olehnya.
"Ayah sedang ke sini, tunggu saja ya," kataku untuk mengusir rasa tak enakku.
Dia mengangguk. Bener-bener deh si Ray ini, sok keren. Tapi ya emang
keren sih sebenarnya. Duh, inget diri udah punya cowok. Udah punya
cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya cowok, udah punya
cowok, udah punya cowok, udah punya cowok!
"HAI!" seseorang menepuk pundakku.
Aku kaget sampai latah, "Udah punya cowok! Udah punya cowok! Eh, Retno?!"
"Hah? Udah punya cowok? Siapa??" tanya Retno.
"Ah, nggak apa-apa," kataku.
"Kamu ngapain di sini?" tanyanya.
"Nunggu babe," kataku.
"Oh, tumben babemu jemput," katanya.
"Ya udah, aku duluan ya," katanya.
"Yo'i, hati-hati!" kataku.
Retno pun sudah berjalan menjauh. Sepuluh menit kemudian ayah datang dengan mobilnya.
"Maaf, nunggu lama?" tanyanya.
"Nggak koq yah," jawabku.
"Ya udah, masuk!" kata ayahku. "Ray, kamu duduk belakang!"
Ray melangkah membuka pintu mobil bagian belakang. Aku dan ayah duduk di
depan. Tak berapa lama kemudian mobil pun melaju mulus di atas aspal.
Matahari sore menyorot hingga masuk ke dalam jendela mobil. Selama di
dalam mobil Ray diam saja. Ia memang cowok yang tidak banyak bicara. Ia
juga lebih banyak membuang mukanya ke luar.
Kurang lebih setengah jam kemudian setelah terlibat kemacetan kami pun
sampai di panti asuhan KASIH IBU. Bangunannya lumayan tua. Terlihat ada
patung Bunda Maria berdiri di depan gedung. Setelah mobil di parkir di
tempat parkir, kami pun keluar. Seorang suster menyapa kami.
"Ray, kamu sama siapa?" tanyanya.
"Suster Elizabeth, kenalkan ini Detektif Johan dan putrinya," jawab Ray.
"Oh, Tuhan Memberkati kalian. Ada keperluan apa detektif pergi ke tempat ini?" tanya Suster Elizabeth.
"Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan tentang Ray, kalau boleh," jawab ayahku.
"Hmm..baiklah, mari ikut!" kata Suster Elizabeth.
"Saya akan ke kamar saya kalau begitu," kata Ray sambil beranjak dari tempat itu.
Aku dan ayah kemudian di antar oleh Suster Elizabeth menuju ke sebuah
ruangan. Di sana ternyata ada seorang suster yang sepertinya pimpinan di
tempat ini.
"Maaf, Matron. Ada yang ingin bertanya tentang Ray, detektif Johan," ujar Suster Elizabeth.
Ibu asuh ini sudah tua rupanya. Tampak wajahnya sudah berkerut-kerut, ia
memakai kacamata, namun matanya masih fokus melihat ke arah kami
berdua.
"Detektif Johan?" tanya sang Ibu asuh. "Baiklah, tinggalkan kami suster."
Suster Elizabeth kemudian mengundurkan diri. Suster kepala dan juga ibu asuh itu menatap kami berdua.
"Apa anak itu yang memintamu detektif?" tanyanya.
"Iya, Anda benar. Aku penasaran tentang Ray, bagaimana keadaan dia ketika itu?" tanya ayahku.
"Keadaannya, oh dia waktu itu bayi yang sangat mungil, sangat lucu.
Sebuah keranjang bayi dengan sapu tangan berbordir tulisan Ray. Itulah
yang kami dapatkan. Ray seperti anugrah dari Yang Kuasa. Itulah yang
bisa aku jelaskan kepadamu."
"Apa semenjak itu tidak pernah ada orang yang mengaku sebagai orang tuanya?"
"Tidak pernah ada."
"Lalu tentang uang yang selalu dikirim untuknya?"
"Oh itu, aku telah menyimpan potongan cek itu di sini, sebentar," suster
kepala kemudian membuka laci mejanya dan menaruh di atas meja potongan
cek. Ayahku segera mengambil potongan cek itu. "Semua alamatnya palsu.
Semua dari rekening yang berbeda-beda. Polisi sudah memeriksanya. Alamat
orang yang menulis cek yang terdapat di nomor serinya juga fiktif. Tapi
uangnya memang benar-benar ada. Seolah-olah memang sengaja orang yang
mengirimnya tidak ingin diketahui. Kami memang berinisiatif mengambil
uangnya karena kami punya prasangka baik untuk Ray. Apalagi mereka juga
mengirim uang untuk panti."
"Boleh aku bawa semua?" tanya ayahku.
"Silakan, kalau memang itu diperlukan detektif," jawab suster kepala.
"Selain cek apakah ada yang lain?"
"Kadang satu kardus berisi uang. Kadang juga wesel," jelas suster kepala.
"Apakah itu berkala? Atau acak?"
"Acak. Dan tidak selalu seperti itu. Engkau bakal terkejut ketika ada
anak penjual koran menitipkan sebuah bungkus plastik berisi uang dua
puluh juta dengan tulisan tangan berbunyi 'Untuk Ray'"
"Baiklah, apakah ada orang yang mencari Ray? Menghubungi dia atau siapapun yang Anda ketahui mengawasi Ray?"
"Tidak. Ray jarang keluar. Ia lebih suka tinggal menghabiskan waktunya
dengan membaca di kamarnya. Ia juga termasuk anak yang rajin," jelas
suster kepala.
"Apa kira-kira Anda tahu maksud simbol yang ada di dekat tulisan 8 Miles di sapu tangan itu?"
"Tidak detektif. Aku tidak begitu mengetahui hal-hal semacam itu."
"Baiklah, saya kira cukup suster kepala. Saya sudahi kunjungan ini," ujar ayahku.
Aku sebenarnya cukup senang berkunjung ke panti asuhan ini. Cukup besar,
aku bisa melihat ruangannya sangat besar. Aku juga melewati ruang makan
yang terdapat meja yang cukup besar dan panjang. Sepertinya di ruangan
ini seluruh anak yatim piatu makan. Dan sebelum aku dan ayahku kembali
ke mobil Ray tampak sudah menunggu kami. Dia sudah melepas seragamnya
diganti dengan baju biasa.
"Bagaimana Pak Detektif?" tanya Ray.
"Masih aku selidiki," kata ayahku.
"Kamu tak perlu khawatir Ray, prestasi ayahku sudah tak bisa diragukan lagi," kataku.
"Oh begitu, baiklah. Aku percayakan kepadamu Tuan Detektif. Oh iya.
Maria, aku ingin berikan ini ke dirimu," Ray menyerahkan sebuah box
kecil kepadaku. Seperti kotak kado.
"Apa ini?" tanyaku.
"Aku kemarin belum memberikannya kepadamu, tapi kukira sekarang saja aku berikan," kata Ray. "Selamat ulang tahun."
Wah, ini baru. Ray tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun kepada
siapapun. Dan dia mengucapkannya kepadaku. Di hadapan ayahku lagi. Ayah
mengusap kepalaku.
"Ya sudah, aku tunggu di mobil atau bagaimana?" tanya ayahku.
"Bentar aja ya yah," kataku.
Ayahku langsung pergi dan memberikan kesempatan kepada aku dan Ray berbicara.
"Makasih ya, tumben kamu ngucapin selamat ulang tahun kepadaku," kataku.
"Selalu ada yang pertama kurasa," katanya.
"Makasih, boleh aku buka?"
"Silakan."
Aku pun membuka kotak kado kecil itu. Cukup mudah membukanya, karena
cuma ditutup oleh pita. Dan, awww...sebuah bola kaca yang di dalamnya
berisi boneka salju yang kalau digoyang seolah-olah salju berasa turun.
Eh, dari mana dia tahu kalau aku suka banget ama bola ini? Ini adalah
benda yang sangat aku inginkan sejak aku kecil. Aku menoleh ke arah Ray,
dia masih terlihat sok cool. Duh anak ini, masa' nyerahin hadiah
seperti ini nggak pake senyum atau apa tanpa ekspresi gitu?
Justru...hal itu membuatku makin deg deg ser. Buset, aku sudah punya
cowok! aku sudah punya cowok! aku sudah punya cowok! berkali-kali aku
bisikkan itu ke hatiku. Tapi pesona dalam diri Ray benar-benar
menyentuhku saat ini. Bagaimana mungkin dalam waktu sekejap aku bisa
seperti ini di hadapan dia?
"Kamu nggak apa-apa? Nggak suka?" tanya Ray yang langsung membuyarkan lamunanku.
"Eh, suka koq, suka. Makasih ya. Baiklah. Aku akan menyimpannya. Sampai besok," kataku.
Ray tersenyum. "Sampai besok."
BAB IV
The Gift
NARASI MARIA
Hari ini aku nonton dengan Andre. Paling tidak sebagai penerimaan
maafnya. Aku sudah berdandan secantik mungkin sore itu. Ayahku sampai
mengerutkan dahi melihat penampilanku. Pakai celana pendek sepaha. Kaos
lengan panjang, jaket jeans dan syal. Aku juga pakai kaos kaki panjang
dan boots.
"Sayang, kamu akan keluar dengan baju seperti itu??" tanya ayah.
"Ayah, aku sedang kencan hari ini," jawabku.
"Udahlah biarin namanya juga anak muda," kata istriku.
"Nah, ibu membelaku," kataku.
"Jangan sampai saja nanti aku dapatkan kamu hamil di luar nikah dengan baju seperti itu," katanya.
"Ayolah ayah, siapa yang berani macam-macam sama putri detektif ini?" hiburku.
"Itu sama sekali tak menghiburku, siapa teman kencanmu itu?" tanyanya.
"Andre," jawabku. "Dia sudah jadi pacarku ayah."
"Andre anaknya yang pakai sepeda motor gedhe itu?"
"Iya," jawabku. "Kami sudah jadian enam bulan ini."
"Baru saja enam bulan," gerutu ayahku.
Aku cemberut.
"Pulang jam berapa?" tanya ayahku.
"Jam......," aku bingung mau jawab apa.
"Lihat arlojimu kalau bingung, gunakan arloji yang ayah belikan itu!" kata ayahku dengan tegas.
"Setengah sebelas malam, nggak lewat!" jawabku spontan.
"Jam sepuluh, tidak lewat," kata ayah. Itu gila, bagaimana mungkin?
"Ayah, filmnya selesai jam sepuluh!" kataku.
"Baiklah, setengah sebelas tak lebih. Kalau lebih silakan tidur di
luar," kata ayahku. "Dan jangan matikan ponselmu karena ayah akan
menghubungimu sewaktu-waktu. Mengerti?"
"Iya iya," kataku. Bawel banget ayah ini.
TING TONG! Bel berbunyi. Itu pasti Andre. Aku melintasi ruang tamu,
sepintas aku melirik ke bufet. Di sana ada hadiah pemberian Ray. Entah
kenapa aku tersenyum melihatnya. Seolah-olah boneka salju itu berbicara
kepadaku. "Hai Maria." Aku segera membuka pintu. Andre sudah ada di
depan.
"Andre!" panggil ayahku.
"Eh, iya om?" sapanya.
"Aku ingin Maria dipulangkan jam sebelum jam setengah sebelas,
mengerti?" kata ayahku. "Kalau sampai jam segitu belum pulang jangan
salahkan aku kalau kamu akan dikenai pasal penculikan."
"I...iya om," kata Andre dengan gemetar.
"Ayah ih...jahat!" kataku.
"Suka nggak suka, itu sudah keputusanku," kata ayah. Nah, kalau sudah begitu ndak ada yang bisa melawan ayah.
"Yuk Ndre!" ajakku sambil menggandeng Andre dan kubanting pintu rumah. Sebel sama ayah.
"Maria, kamu nggak apa-apa?" tanya Andre.
"Nggak apa-apa, maafin ayah ya. Emang dia agak bawel," kataku. "Yuk pergi!"
Akhirnya kami berdua pun meluncur di atas jalan raya dengan sepeda motor
milik Andre. Tentunya pake helm juga dong. Paling tidak kencan kami
nggak berantakan. Kuhabiskan malam itu dengan makan malam, jalan-jalan
dan nonton bioskop. Nah, seperti biasa kalau nonton bioskop aku dan
Andre pasti mengambil kesempatan. Kami pun mulai berciuman ketika film
sudah mulai dan lampu dimatikan. Sengaja kami pilih tempat duduk paling
pojok biar nggak ketahuan.
Setelah ciuman kegiatan Andre yang lainnya adalah grepe-grepe. Mulanya
setelah bibirku dilumat dan dihisap lidahku, tangannya mulai aktif
meremas-remas payudaraku dari luar kaos. Dia pun mulai menelusuri
leherku, kemudian telingaku digelitikinya. Oh...aku terangsang banget.
Apalagi aku kini ikut meremas-remas tangan Andre yang sudah mulai nakal
menggelitiki puting susuku. Tangannya pun sudah menelusup ke balik
kaosku.
"Tubuhmu hangat Mar," bisiknya. Tangan Andre yang satunya sudah mulai turun ke pahaku dan mengusap-usap di sana.
"Ini kursi B ya?" tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara itu. Aku kenal
suara ini. RAY! Dari tengah aku bisa lihat petugas sedang menyoroti
dengan lampu senter.
"Eh,...eh..Ndre ada yang datang!" bisikku.
Andre buru-buru menarik tangannya dan bersikap biasa. Dan petugas
bioskop menyorot lampunya ke arah kursi di sebelahku. Aku melihatnya.
Ray! Iya dia, lho koq bisa duduk di sebelahku sih?
"Lho, kalian nonton juga?" sapa Ray kepada aku dan Andre.
"Yaah, kentang goreng deh!" gumam Andre.
Aku sedikit ketawa.
"Hah? Kentang goreng?" Ray kebingungan.
"Udah ah, nonton aja," kataku.
Aneh saja sih Ray bisa duduk di sebelahku. Aku di nomor B2, Andre ada di
B1. Dan lucunya dia ada di B3. Aku sekarang diapit dua cowok yang
sama-sama keren tapi berbeda kepribadian. Dan seperti biasa, Ray tetap
cuek. Tangan Andre mulai meremas-remas tanganku. Aku pun merapat ke
bahunya. Total kami menikmati film itu sampai habis.
Setelah itu kami keluar dari gedung bioskop. Aku dan Andre jalan
bergandengan ke tempat parkir. Kulihat arloji pemberian ayahku. Sudah
jam sepuluh malam lebih lima belas.
"Udah malem nih, hampir setengah sebelas," kataku.
"Iya deh aku anter pulang. Koq bisa sih si culun itu duduk di sebelah kita? Sebel," gerutu Andre.
"Udah, lain kali aja ya say," kataku.
Kami pun langsung pulang setelah itu.
***
NARASI RAY
Secara kebetulan saja sebenarnya aku bisa berada di gedung bioskop dan
duduk di sebelah Maria. Awalnya aku hanya ingin berniat jalan-jalan saja
sambil nonton bioskop. Tak tahunya bisa duduk di sebelah cewek yang aku
suka. Tapi total, aku diam saja malam itu, tak bicara atau menyapa sama
sekali. Namun seperti biasanya getaran-getaran hatiku kucoba untuk
ingkari. Dia sudah punya cowok, kenapa aku masih menginginkan dan
mengharapkan dirinya?
Setelah nonton bioskop, aku pun keluar gedung. Kucoba tuk mengikuti
mereka walaupun dari jauh. Melihat mereka bergandengan, melihat mereka
berjalan bersama, benar-benar membuat dadaku sesak. Aku sudah merasakan
ini sebelumnya, ketika mereka jadian. Dan mereka juga memperlihatkan
kemesraan mereka di mana saja. Aku juga pernah melihat mereka berciuman.
Tapi masih saja di dalam ini ada perasaan bahwa aku masih harus
berharap dan tetap berusaha melindungi dirinya. Aku punya firasat
sesuatu akan terjadi kepada diri Maria.
Hari itu aku melepas kepergian mereka dari jauh dengan naik sepeda motor
milik Andre keduanya berboncengan pergi. Langit mulai hujan
rintik-rintik. Agaknya natal yang sebentar lagi ini mengingatkanku untuk
harus selalu memakai baju tebal. Karena aku bisa terserang flu kalau
tiap hari hujan.
Aku pasang headset dan kunyalakan music player di ponselku. Kutelusuri
jalanan kota yang ramai. Ini malam minggu, pantas saja banyak muda-mudi
berseliweran sambil bergandengan tangan. Aku melintasi taman dan
kudapati beberapa pasangan sedang french kiss di sana. Aku cuek dan
melanjutkan perjalananku. Aku mampir sebentar di pedagang kaki lima yang
menjual kebab. Aku baru sadar sejak dari siang perutku belum terisi
sama sekali.
Sambil menunggu kebab dimasak, aku membuka akun sosial media melalui
ponselku. Hal yang pertama kali aku lakukan adalah melihat status Maria.
Ada satu status yang dishare olehnya foto makanan sebelum ia nonton
bioskop. Kebiasaan anak jaman sekarang foto makanan mereka. Aku
tersenyum kecil. Aku pun melihat foto-foto Maria di akunnya, sebagian
besar sudah aku save sih di ponselku. Damn, nggak enak juga ya jadi
secret admirer gini. Tapi aku tahu diri koq, dia sudah punya cowok, dan
aku hanya bisa berharap saja. Sambil berfacebook ria dan mainin twitter
tak terasa kebab pun sudah selesai.
"Ini mas kebabnya sudah selesai," kata mas-mas penjual.
Aku memberikannya uang dan kuterima kebab itu. Aku duduk di sebuah
bangku yang terletak tak jauh dari tempat penjual kebab tadi. Hujan
masih gerimis dan untunglah ruko ini punya bagian atap yang bisa dibuat
teduh. Sambil kunikmati makanku ibu kepala panti menghubungiku. Aku
segera angkat.
"Ya, Halo?" sapaku.
"Ray? Kamu di mana sudah jam segini??!"
"Maaf bu, masih hujan. Aku sudah di jalan koq," kataku.
"Kamu sudah ibu beritahu untuk memberi kabar!" wah ngomel lagi nih sang Matron.
"Maafkan saya ibu. Sekali lagi maaf," kataku.
"Ya sudah, jangan mampir-mampir lagi, cepat pulang!" kata beliau. Aku
nggak enak juga sih sama beliau yang sudah sepuh. Setelah kebab aku
habiskan segera aku pergi lagi. Walaupun harus diguyur hujan gerimis.
Aku melewati gang kecil yang mengubungkanku dengan sebuah rel kereta
api. Jalanan ini jarang aku lewati kalau malam hari. Tapi hal ini aku
lakukan untuk biar lebih cepat saja sampai ke panti. Dan sudah aku
prediksikan, para preman yang sering mangkal di sini untuk memalak orang
bakal aku hadapi. Benar saja. Dari depan dan belakangku sudah ada tiga
orang berotot dengan tatto mereka di lengan serta wajah sangar mereka
melotot kepadaku.
Salah seorang dari mereka membawa tongkat baseball dan menghentikan
langkahku. Di bawah lampu remang-remang dan guyuran gerimis mereka
menahanku. Aku masih memasukkan tanganku di dalam saku celana. Aku
menatap wajah mereka satu per satu.
"Pajak, bayar pajak!" kata preman yang membawa tongkat baseball.
"Pajak apa bang?" tanyaku.
"Udahlah lu jangan belaga bego, duit! Kasih sekarang!" katanya.
"Oh, duit. Ada, tapi buat apa ngasih ke abang?" kataku.
"Lo mau dihajar, tewas di sini, atau ngasih duit?" ancamnya.
"Udah mas, kasih saja daripada keluar dari sini nggak selamat," kata teman-temannya yang lain.
"Maaf bang, bukannya saya sombong atau saya orang yang sok jago. Tapi abang nggak bakal bisa nyentuh saya," ujarku.
"Sombong lu!" kata sang preman. Dia langsung menyabetkan tongkat
baseball-nya. Aku membungkuk. Ayunan keras dari tongkat baseball itu
melintas di atas kepalaku. Kalau aku kena sudah pasti aku akan KO saat
itu juga.
"Wah, anak ini jagoan juga rupanya!" kata preman yang lain.
"Gini aja deh, kalau aku bisa mengeluarkan tanganku dari saku celana
untuk menghadapi kalian, aku akan berikan semua uangku. Aku punya uang 4
milyar di tabungan. Kalian bisa dapatkan semuanya," kataku.
"Banyak bacot lo, hajar bleh!" kata sang pimpinan.
Aku berkelit, kiri, kanan menghindari pukulan. Lalu berputar menghindari
tendangan. Sejujurnya mereka lambat semua. Aku dengan mudah bisa
menghindari pukulan mereka. Makin lama mereka makin lambat. Sang preman
bahkan susah payah untuk bisa memukulku. Aku hanya bergerak sedikit
menghindar, kiri, kanan, maju satu langkah, mundur satu langkah.
Tanganku masih berada di saku.
Para preman itu pun ngos-ngosan tanpa ada satu pun yang sanggup menyentuhku.
"Koq rasanya aku jadi berat gini ya?" ujar sang pemimpin.
"Iya, nggak kaya' biasanya," kata temannya.
"Kalian sudah lama mangkal di sini ya? Dosa kalian benar-benar kelewatan!" kataku.
"Hah? Emang, kami sudah mangkal di tempat ini. Mau apa kamu?" tanya sang pemimpin.
"Aku akan beritahukan sesuatu, tapi setelah ini kuharap kalian tak
melakukan lagi kejahatan di tempat ini. Kenalilah aku, kenalilah
wajahku, takutlah kepadaku. Sekarang kalian merasa berat, sangat berat.
Dan kalian merasa dingin bukan? Kalian akan terbebas dari hawa dingin
ini setelah kalian meminta maaf kepadaku dan bertekuk lutut. Dan jangan
sampai aku memaksa," kataku.
"Apa lo bilang? Kurrraangg....aajjjjaarrr...," suara sang preman makin melemah tubuhnya serasa berat untuk digerakkan.
"Aku sejak kecil mempunyai kekuatan yang tak bisa aku ungkapkan.
Kekuatan ini sangat besar. Aku baru menyadarinya ketika masih berusia
tujuh tahun. Aku bisa membuat salju, aku bisa membuat es, aku bisa
memperlambat gerak sebuah benda sehingga aku bisa bergerak lebih cepat,
aku bisa memasukkan ketakutan kepada diri manusia dan aku bisa membuat
orang memohon ampun kepadaku," kataku.
Sekarang para preman itu tiba-tiba bertekuk lutut semua. Ini adalah
kemampuanku. Memaksa orang untuk bertekuk lutut di hadapanku.
"A...aakk..apa ini!??" kata sang pimpinan preman.
"Aku sudah bilang, aku tak perlu mengeluarkan kedua tanganku untuk
menghadapi kalian. Kalian tahu apa itu hypothermia? Sebuah keadaan di
mana kalian akan mengalami hilang kesadaran akibat dari temperatur yang
rendah. Sehingga kalian akan diliputi rasa takut, yang sangat mencekam.
Rasa takut itu adalah kematian yang akan datang secara tiba-tiba. Aku
akan berikan kalian rasa takut itu, agar kalian sadar tidak berbuat
jahat seperti ini lagi. Sekarang aku akan mengeluarkan satu tanganku dan
aku akan menyentuh kalian semua," kataku.
Aku mengeluarkan tangan kananku. Tanganku sudah mengeluarkan pancaran
sinar berwarna biru dan mengeluarkan uap air. Kusentuh semua preman yang
berlutut itu. Mereka langsung ambruk ke tanah setelah mendapatkan
sentuhan dari jari telunjukku. Lalu mereka menggigil kedinginan, tubuh
mereka mengejang bahkan sebagian di antaranya menjerit. Suara gemertak
geligi mereka menimbulkan gaung di gang sempit ini.
"Jangan sampai aku melihat kalian lagi!" ancamku. Setelah itu aku memasukkan tangan kananku ke saku celana lagi.
Ini adalah anugrah yang diberikan tuhan kepadaku. Aku mampu
mengendalikan salju, air dan aku mampu bertahan di suhu beku.
Keistimewaan ini membuatku jadi berbeda dengan anak-anak seusiaku. Maka
dari itulah aku tak banyak bicara, tak banyak bergaul dengan mereka,
sampai aku yakin aku bisa mengendalikan kekuatanku ini.
Aku pun mendapatkan kabar baik esok hari ketika sang Detektif Johan menyuruhku datang ke rumahnya.
BAB V
DARK LANTERN
NARASI DETEKTIF JOHAN
Aku masih di meja kerjaku, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam
lewat lima belas menit. Aku mulai gusar dengan perilaku putriku yang
memakai pakaian seperti itu. Apalagi sekarang hujan gerimis. Mereka
masih muda, tentu saja hal itu bisa memancing ke arah yang lebih jauh.
Aku tak rela putriku yang cantik itu harus jalan dengan orang seperti
Andre. Dari wajah Andre sendiri aku bisa rasakan ia itu playboy kelas
kacang goreng. Dia mungkin melihat putriku yang cantik, dengan rambutnya
yang panjang, matanya yang sendu, kulitnya yang putih, bibirnya tipis,
siapa lelaki seusia Andre yang tak suka kepada putriku. Mungkin mata
mereka perlu dioperasi.
Aku makin gelisah kunyalakan rokokku dan kuseruput kopi yang sudah
dingin. Di depanku adalah layar monitor yang sedang mencari tahu tentang
8 Miles. Mungkin aku salah karena dari semua hasil pencarian tak ada
satupun yang bisa menjelaskan kepadaku tentang simbol ini. Apa
maksudnya? Simbol ini seperti menara atau sebuah lentera. Iya, mungkin
aku salah. Salah menganggap bahwa 8 Miles itu sesuatu benda, sesuatu
tempat. Bagaimana kalau 8 Miles ini dan simbol ini adalah sesuatu,
semacam lambang, emblem, atau semacam itu.
Aku pun mencoba memotret simbol yang ada di sapu tangan milik Ray itu.
Setelah itu aku cari di Google. Dan berhasil. Nggak dari tadi kek. Aku
langsung mendapatkan banyak artikel tentang Dark Lantern. Apa ini?
Dark Lantern adalah kelompok sekte tertua yang pernah ada di bumi. Sekte
ini dimulai sejak abad pertengahan. Mereka menganggap diri sebagai
pembawa kabar dari Mesiah. Kelompok penghukum siapa saja yang melenceng
dari kekuatan tuhan. Apa sih ini? Aku pun melanjutkan membaca.
Dark Lantern didirikan dan diprakarsai oleh Thomas van Bosch seorang
Defender dari perang salib yang kemudian mendirikan sekte ini. Mereka
akan mencari siapa saja yang mempunyai kekuatan iblis untuk kemudian
dihukum dengan hukuman seberat-beratnya. Kepala dipancung dan dipasung
atau usus yang ditarik dengan kawat atau digantung dengan isi perut
terburai.
Aku juga melihat gambar-gambar mengerikan penyiksaan yang mereka
lakukan. Sebentar koq jadi aneh, kekuatan iblis itu seperti apa? Aku pun
membaca lagi seperti apa gambaran kekuatan iblis itu. Ada yang membawa
api, ada yang membawa air, ada yang bisa pindah tempat dalam sekejap.
Ini bukan cerita fiksi horror kan? Mana mungkin orang bisa mengendalikan
api, air, bahkan bisa teleport? Teleport? What a freak. Ini pasti
bohong. Tapi kalau memang ini benar-benar Dark Lantern, lalu apa
hubungannya dengan Ray??
"Aku pulang!" terdengar suara Maria. Aku lihat jam dinding sudah
menunjukkan jam sepuluh lewat tiga puluh menit. Hmm...dia tepat waktu.
"Terima kasih sayang sudah pulang tepat waktu," kataku.
"Ya ayah," kata Maria.
Aku lalu beranjak dan menuju ke dapur. Kulihat Maria sedang minum air putih dengan rambut dan bajunya yang basah.
"Tak bawa mantel?" tanyaku.
"Nggak ada janjian dengan air hujan," jawabnya.
"Harusnya kamu tahu ini bulan Desember," kataku sambil menggetok kepalanya.
"Aoww!" Maria mengelus-elus kepalanya. "Sorry dad, I'm so sorry."
Aku lalu memeluknya dan mencium keningnya. "Sudah tidur sana!"
"Thank's dad," kata Maria lalu mencium pipiku dan beranjak pergi ke kamarnya.
"Oh iya, hubungi temanmu Ray, suruh datang ke sini besok! Ada yang ingin aku bicarakan," kataku.
"OK," kata Maria.
Maria langsung masuk kamarnya. Dia seperti ibunya dasar anak remaja.
"Sayang, sudah selesaikah?" tanya istriku. Wah, sepertinya minta jatah.
"I'm done honey. Comming!"
NARASI RAY
"Adudududuh!" aku meringis kesakitan saat ibu asuh menjewerku.
"Ini sudah jam berapa? Anak-anak lain saja tidak aku ijinkan untuk pergi
sampai selarut ini! Selesai kebaktian langsung pergi begitu saja," kata
Matron.
"Maaf, maaf," kataku sambil memegangi tangannya. Lalu Matron melepaskannya.
"Ray, ibu sangat khawatir kepadamu. Kamu bertemu orang-orang aneh tidak?" tanyanya. Apa maksudnya orang aneh?
"Tidak, cuma preman-preman yang ingin memalakku," jawabku.
"Trus? Kamu tidak terluka?" tanyanya.
"Tenang saja ibu, aku tidak apa-apa. Lihat, masih utuh," jawabku.
Beliau langsung memelukku. Aku tersenyum dalam pelukannya. Beliau sangat
menyayangiku sampai-sampai luka kecil saja bisa menghebohkan seluruh
penghuni panti. Tangannya yang sudah keriput itu mengusap rambutku.
"Sudah, keringkan tubuhmu sana. Dan segera tidur!" katanya.
"OK," kataku.
Kamarku bukan kamar pribadi. Kami anak-anak panti asuhan tidur dalam
satu ruangan besar. Ada kurang lebih dua puluh ranjang dalam satu
ruangan ini. Dan aku berada di ranjang paling ujung dekat jendela.
Mereka semua sudah tertidur. Aku menuju ke lemari bajuku, kemudian
berganti baju.
Sebelum aku naik ke ranjang ponselku berbunyi. Dari...Maria?
"Halo?" sapaku.
"Kamu besok diminta ayah ke kantornya," katanya.
"Baik, aku akan ke sana," kataku.
Kami lalu terdiam lama. Kenapa juga dia diam?
"Ngomong-ngomong aku baru kali ini melihat kamu keluar," kata Maria.
"Ya, sebenarnya aku juga keluar koq tapi lebih suka menyendiri," kataku.
"Kenapa kamu lebih suka menyendiri sih? Padahal sebenarnya kamu itu enak diajak bicara," kata Maria.
"Ada sesuatu yang aku tak ingin orang-orang didekatku melihat diriku yang sebenarnya," kataku.
"Apa itu? Kamu seorang kriminal?"
"Bukan."
"Pecandu narkoba."
"Apa lagi itu."
"Gay?"
"Aku masih normal, buktinya aku suka ama kamu. Ups..."
"Hah? Apa tadi yang kau bilang?"
"Ah, nggak. Maksudku aku suka cewek juga maksudnya. Normal gitu."
"Ohh..., besok datang ke rumah ya."
"Iya, habis ibadah minggu."
"Oke deh. Malem Ray."
"Malam Maria."
Pagi pun datang. Setelah ibadah hari minggu, segera aku ke tempat
Detektif Johan. Dan aku langsung disambut oleh Maria yang sedang
bersih-bersih rumahnya, terutama kantor detektif ayahnya.
"Pagi?!" sapaku.
"Pagi, Hei Ray," katanya.
"Hai, di mana ayahmu?"
"Sebentar lagi masuk, dia sedang membawa sesuatu dari perpustakaan. Banyak banget bukunya. Sekardus," kata Maria.
Dia hari itu memakai hotpants, kaos dan masker. Ia membersihkan debu.
Setelah itu dia lap meja kerja ayahnya dengan kain serbet setelah
disemprot dengan cairan pembersih.
Tak berapa lama kemudian sang detektif masuk ke ruangannya. Ia langsung
duduk di depanku. Dia memberikanku beberapa lembar kertas.
"Coba baca, kira-kira kamu tertarik ataukah tidak," kata Detektif Johan.
Aku menatap matanya. Dia tampaknya serius. Kulirik Maria yang juga
menoleh ke arahku dengan pandangan ingin tahu.
Aku membaca tentang sebuah sekte yang disebut Dark Lantern. Sekte yang
menganggap dirinya Messenger of Mesiah. Apa ini? Sekte ini sudah ada
sejak abad pertengahan dan memburu orang-orang yang dianggap sebagai
pembawa kekuatan iblis. Kekuatan iblis itu adalah pengendali api,
pengendali air, pengendali udara dan berbagai macam kemampuan yang tak
dimiliki oleh manusia biasa pada umumnya. Aku melihat simbol-simbol itu.
Sama seperti yang ada pada sapu tanganku.
"Ini, aku kembalikan milikmu," kata Detektif Johan sambil menyerahkan sapu tanganku.
"Ini bohong kan?" tanyaku.
"Kalau kamu bisa menjelaskan kepadaku ini bohong, maka itu aku anggap
selesai. Tapi ini sama saja dengan cerita fiksi aku tak percaya terhadap
semua ini. Bagaimana mungkin orang bisa mengendalikan unsur elemen? Ini
tak masuk akal. Selama ini aku bekerja sebagai detektif tidak pernah
aku bertemu dengan hal-hal semacam ini," kata Detektif Johan. "Dan juga,
potongan cek itu. Aku sudah periksa semuanya berasal dari satu orang
yang bernama Tina Einsburgh. Dia membuka rekening baru, setelah
mengirimkan cek dan cek diterima lalu diambil oleh ibu asuhmu, dia
langsung menutup rekeningnya. Jejaknya hilang, selalu seperti itu. Dia
melakukan gonta-ganti identitas tapi yang menjadi ciri yang sama adalah
Tina Einsburgh. Kamu tahu siapa Tina EInsburgh?"
"Aku tahu pengirimnya adalah Tina Einsburgh dan polisi juga sudah
melacak rumahnya tapi tak ada hasil karena semua alamatnya palsu,"
kataku.
"Tina Einsburgh ada ribuan nama dan dari namanya dia bukan warga negara
ini. Entah siapa, kemungkinan besar dia adalah ibumu," kata detektif
Johan.
"Aku juga sudah menduga itu, dan maaf detektif, lalu apakah kamu sudah menemukan Tina Einsburgh?" tanyaku.
"Tina Einsburgh ini tidak mudah ditemukan. Dia sangat licin. Aku sudah
meminta pihak kepolisian dan catatan sipil untuk melacak orang ini tapi
hasilnya nihil," kata detektif Johan. "Tapi aku akan terus berusaha.
Yang jelas kalau misalnya Dark Lantern ini adalah misteri di balik
identitas kedua orang tuamu, berarti selamat kita telah masuk ke dalam
dunia fiksi misteri."
"Detektif Johan. Aku tahu ini membuatmu frustasi. Aku akan bayar berapapun agar orang tuaku bisa ketemu," kataku.
"Anak muda, misteri adalah makananku setiap hari dan memang menjadikanku
frustasi. Aku masih berusaha. Paling tidak inilah hasil penyelidikanku
sementara ini. Jadi informasi ini sudah kamu ketahui kalau begitu?"
"Tina Einsburgh dan alamatnya yang tidak menentu aku sudah tahu, tapi Dark Lantern, aku baru mengetahuinya," kataku.
"Baiklah, itu saja yang ingin aku sampaikan," kata Detektif Johan.
Kulirik Maria. Dia menatapku. Aku mengangguk, "Baiklah, saya permisi dulu."
"Aku akan kabari secepatnya informasi tentang Tina Einsburgh," kata Detektif Johan.
"Terima kasih," kataku. "Sampai nanti Mar!"
"Hati-hati di jalan!" kata Maria.
Aku pun keluar dari kantor detektif itu. Sekte yang memburu orang yang
mempunyai kekuatan iblis? Seperti aku? Apakah ini kekuatan iblis? Aku
melihat ke telapak tanganku yang dengan mudah bisa menghasilkan es.
Kemudian dengan mudah juga bisa menguap. Kalau memang ini benar kekuatan
iblis, lalu kenapa aku masih dibiarkan hidup oleh mereka? Seperti
apakah sekte Dark Lantern itu?
BAB VI
Pembunuhan
NARASI DETEKTIF JOHAN
Dark Lantern. Makin aku menyelidikinya makin membuatku berada di dalam
kegelapan. Seberapun aku berfikir bahwa ini adalah cerita fiksi, semakin
aku tenggelam kepada realitas bahwa sekte ini benar adanya. Aku pun
jadi teringat dengan sebuah nama William van Bosch. Apa hubungannya
dengan Thomas van Bosch?
Aku pun kembali ke tempat Inspektur James. Dan sepertinya ia kembali senang melihatku ada di sana.
"Ah, Piere. Bagaimana kabarmu?" sapanya.
"Aku baik-baik saja. Aku ingin kembali membuka file tujuh belas tahun
yang lalu tentang mayat yang identitasnya bernama William van Bosch,"
kataku.
"Itu sudah lama sekali. Ada di ruang arsip. Kamu tahu sendiri kalau tiga
tahun kasus itu tidak disentuh lagi, bisa ditutup oleh pengadilan,"
kata James. "Jadi, kamu punya titik temu?"
"Sedikit, tapi aku sangka apa yang aku kejar kali ini lebih gelap. Aku
bisa merasakannya bahwa insting detektifku mendeteksi bahwa perkara yang
aku tangani kali ini tidak mudah," kataku.
"Tak usah banyak bicara, ayo ikut!" ajak James.
Aku pun diantarkan olehnya menuju ruang arsip. Ruang arsip ini ada di
lantai bawah. Di sana ada tumpukan arsip dari kasus-kasus dua puluh
tahun terakhir. Setiap kasus yang sudah kadaluwarsa file-filenya akan
dibakar. Semuanya akan disimpan ke dalam database sebagai arsip yang
akan tersimpan selama-lamanya. Databanknya lumayan besar, kami masih
bingung cara untuk bisa menyimpan data yang sangat banyak ini.
Kami akhirnya sampai ke sebuah rak. James kemudian mengambil sebuah
kardus dan memberikannya kepadaku. "Semua ada di sini. Silakan ambil
yang kamu butuhkan."
"Terima kasih," kataku.
"Tak perlu Piere, kita sudah teman akrab," katanya.
Aku akan berbalik ketika James mencegahku, "Piere, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan."
"Apa?" tanyaku.
"Tentang 8 Miles," jawabnya.
"Ya?"
"8 Miles yang aku ingat adalah sebuah pesta darah yang terjadi di sebuah
tempat bernama 8 Miles. Disebut 8 Miles karena di sini orang-orang
sering berkumpul untuk sebuah acara komunitas. Entah bagaimana akhirnya
mereka saling bunuh dan para pelakunya tak ditemukan. Pesta darah yang
mengerikan. Kasusnya jauh sebelum kita berada di kepolisian," kata
James.
"Di mana 8 Miles itu?"
"Aku akan BBM alamatnya. Tapi kuharap kamu hati-hati. Kalau yang kamu
selidiki ini saling berkaitan satu sama lainnya, bukan tak mungkin
nyawamu bisa celaka, apalagi keluargamu. Kalau kamu butuh apapun segera
hubungi aku!"
"Tentu saja James, tentu saja."
Kami pun kembali ke tempat semula. Aku menenteng kardus berisi
kertas-kertas arsip tentang pembunuhan Willian van Bosch. Saat itulah
ada seorang polisi langsung menemui James.
"Lapor pak!" katanya.
"Ada apa?"
"Ada enam preman menyerahkan diri," jawabnya.
"Hah? Mana mereka?" tanya James.
Aku jadi tertarik. Akhirnya ikut mereka ke ruang interogasi. Di dalamnya
ada enam orang preman yang badannya menggigil dan dibalut selimut.
James langsung masuk ke sana dan bertanya-tanya kepada mereka.
"Apa yang terjadi?" tanya James.
"Kami baru saja melihat iblis. Mengerikan. Kami semua dibuat beku.
Sekarang kami tobat, kami tak mau lagi untuk memalak orang. Tolong pak,
tangkap kami, tangkap kami! Hiiiii....brrrrr," ujar salah seorang preman
sambil menggigil.
Aneh memang, mereka sepertinya sangat ketakutan bahkan sampai menggigil.
Awalnya aku hanya menganggap mereka cuma akting agar diterima
permohonan maafnya sehingga hukumannya ringan. Tapi aku salah sangka.
Hingga aku lihat sendiri apa yang akan terjadi nanti dengan mata
kepalaku sendiri.
Hujan kembali turun kini makin deras daripada kemarin. Saat aku keluar
dari kantor polisi hingga ke mobil, aku bersusah payah memasukkan berkas
itu ke dalam mobilku. Setelah itu aku pun melajukan mobilku. Seperti
biasa, jalanan macet. Namun perhatianku beralih ketika melihat seseorang
dikejar oleh beberapa orang lainnya. Yang satu pakaiannya biasa, kaos
dan celana jeans. Sedangkan yang lainnya memakai jas, kemeja dan dasi.
Mirip agen rahasia saja. Eh, tapi buat apa mereka mengejar satu orang
itu?
Rasa penasarankulah yang mengakibatkan aku langsung membanting stir
mobilku menepi. Belasan bunyi klakson langsung menyerangku. "Persetan!"
pikirku. Aku tak pedulikan dan segera kuparkir mobilku. Dengan cepat aku
keluar dari mobil dan langsung mengejar kelima orang yang sedang
kejar-kejaran tersebut. Salah satunya kulihat membawa pistol. Ah, sial,
kenapa aku tak membawa senjata itu di saat begini. Tapi itu tak
menyurutkan lariku untuk mengejar mereka.
Mereka naik ke jembatan penyeberangan. Aku pun mengejar mereka.
Terjadilah kejar-kejaran yang seru. Dan orang yang dikejar pun larinya
lebih cepat dari kami semuanya. Kemudian setelah turun dari jembatan
penyeberangan ia langsung berbelok ke sebuah gang kecil. Dua orang
lainnya berpencar untuk mengepungnya sepertinya. Aku tetap mengejar
lurus sampai masuk gang.
Cepat sekali mereka larinya. Aku sudah tak melihat mereka lagi di ujung
gang. Aku terus berlari hingga akhirnya aku sudah menyusul mereka. Tapi,
pemandangan yang aku lihat setelah itu sungguh tak enak dilihat. Orang
yang dikejar tadi tampak sudah dikelilingi oleh empat orang yang
mengejarnya.
"Tolong! Tolong! Aku tidak bersalah! Tolong!" teriak orang itu.
"Hei tunggu!" kataku.
Mereka menoleh ke arahku. Tapi tiba-tiba ada orang lain yang sudah ada
di tempat itu. Sejak kapan? Dia sudah menghadang jalanku. Orangnya
memakai stelan hitam, dasi hitam dan memakai kacamata hitam.
"Maaf detektif, kurasa sebaiknya Anda tak perlu ikut campur dalam hal ini," kata orang itu.
"Siapa Anda? Apa yang kalian lakukan??" tanyaku.
Dia mengeluarkan kartu pengenal. Ada lambang kepolisian bhayangkara.
Divisi Khusus?? Orang itu bernama Robert Ghana Dewa. Aku melihat orang
yang dikejar itu tiba-tiba diberondong peluru. "HEI!"
DOR! DOR! DOR! DOR! entah berapa kali peluru bersarang di tubuhnya
sekarang. Keempat orang yang mengejarnya tadi sudah menghabisi dirinya.
"Tenang, tenang, detektif. Tenang, orang itu adalah orang berbahaya. Dia
sudah jadi buronan kepolisian sejak lama. Lihatlah!" Robert
mengeluarkan tabletnya dan memberikan visualisasi tentang DPO.
"Tapi kenapa harus dieksekusi seperti itu?" tanyaku.
"Temui aku besok detektif, kamu akan aku beritahu apa sebabnya. Untuk
sementara ini kamu tahan dirimu dan sabar. Aku akan menjelaskan semuanya
kepadamu," kata Robert. Aku mulai mengerti apa yang dibicarakannya
ketika dia memberikan sebuah kartu nama dan sebuah lambang yang tidak
asing. Dark Lantern. "Ini kartu namaku. Permisi."
Menyuruhku tenang setelah melihat pembunuhan di depan mataku?? Yang benar saja!
"Hei, hei tunggu!" kataku.
"Tenang saja, sebentar lagi polisi datang untuk membereskannya," katanya.
Aku lalu segera mendekati orang yang ditembak oleh keempat orang tadi.
Keempat orang tadi dengan tatapan dingin melihatku. Aku mendekat ke arah
mereka tapi mereka menghalangi. Aku melihat sesuatu yang tak semestinya
aku lihat. Orang yang ditembak tadi, kulitnya...kenapa kulitnya seperti
batu?? Bahkan wajahnya separuh manusia separuh batu. Apa-apaan ini???
Polisi datang tak lama setelah itu. Kulihat James juga ikut di TKP. Aku melabrak James.
"James, apa-apaan ini siapa mereka?" tanyaku. Ketika menunggu James di
TKP. Aku bisa melihat mayat orang yang di tembak oleh keempat orang
tadi, separuh tubuhnya berubah menjadi batu.
"Mereka divisi khusus. Namanya ATFIP (Asault Team For Inhuman
Phenomenon)," kata James. "Aku tak punya wewenang untuk menghalangi aksi
mereka."
"Tapi mereka membunuh tersangkanya!" kataku. "Tersangkanya tidak bersenjata James!"
"Kamu kira aku punya wewenang?! Aku juga tak suka dengan mereka Piere!" James balas membentakku.
Aku pun lesu. Tak percaya terhadap apa yang terjadi.
"Maaf, tapi sebaiknya kamu pulang saja, tenangkan dirimu, aku juga akan
melakukannya," kata James. Aku juga bisa melihat raut wajah ketidak
senangannya. Ia tentunya tak rela main hakim sendiri bisa ada di wilayah
kerjanya. Ini sama sekali tak bisa dibiarkan. Baiklah, aku akan menemui
Robert besok dan meminta penjelasannya.
***
Besoknya aku pun janjian dengan Robert bertemu di taman. Robert sudah
menungguku sambil menyeruput kopi. Dia juga mengunyah sepotong roti,
yang ia celupkan ke gelas kopinya. Melihatku datang ia mempersilakanku
duduk.
"Detektif Johan, maaf kalau kemarin sambutannya tidak menarik. Tapi inilah pekerjaan kami. Membunuh orang," ujarnya.
"Bagaimana kalian bisa berbuat seperti itu?" tanyaku.
"Sebenarnya divisi ini didirikan bersamaan dengan densus 88. Dan bedanya
adalah kalau Densus 88 mengurusi terorisme, kami mengurusi orang-orang
sinting," jawab Robert.
"Orang-orang sinting?"
"Ya, orang-orang dengan kemampuan khusus, mengendalikan elemen, unsur bumi dan lain-lain."
"Kalian gila, bagaimana mungkin ada orang-orang seperti itu?"
"Anda bisa bilang saya gila setelah engkau melihat mayat itu?? Detektif.
Mereka bukan manusia biasa, mereka berbahaya dan mereka akan menyakiti
siapa saja."
"Tapi mereka manusia."
"Manusia yang sudah terkontaminasi Detektif, kami menyebutnya
terkontaminasi oleh iblis. Mungkin Anda tak percaya, tapi suatu ketika
nanti saya akan mengajak Anda untuk meringkus salah satu dari mereka.
Dan anda akan lihat sendiri bagaimana mereka sebenarnya. Yang barusan
kami bunuh adalah Troya punya kekuatan elemen bumi. Dia bisa merubah
dirinya menjadi batu. Korbannya dua orang tua kakek nenek tidak berdosa,
seorang sopir truk, dan belasan anak-anak, karena dia menggunakan
kekuatannya. Apakah kamu ingin anak-anakmu terlukai oleh orang-orang
seperti mereka? Coba pahami ini baik-baik.
"Tindakan kami memang tidak mudah difahami oleh orang-orang pada
umumnya, tapi apa yang kami lakukan adalah tindakan pencegahan agar tak
terjadi hal yang lebih buruk. Bagaimana kalau orang-orang seperti mereka
terjun ke dunia politik hingga kemudian membunuh presiden? Tentunya
kita tak akan mau hal itu terjadi, benar bukan detektif?"
Aku menatapnya dengan pandangan tak mengerti.
"Kopi?" dia menawarkan secangkir kopi yang ada di bangku. "Maaf kalau sudah dingin."
Seorang dengan jas hitam datang sambil membisikkan sesuatu kepada
Robert. Wajah Robert yang sedikit tanpa ekspresi itu kini berubah
serius. Ia mengangguk. Diusap rambutnya yang sudah mulai jarang tumbuh
itu.
"Permisi detektif, ternyata perjumpaan kita singkat. Silakan dinikmati kopinya, aku ada urusan penting," kata Robert.
Setelah itu ia dan temannya melangkah pergi meninggalkanku seorang diri
di taman. Robert melewati tempat sampah dan membuang kopi dan rotinya ke
tempat itu. Aku melirik kopi yang ada di samping tempatku duduk. Aku
lalu menampar kopi itu hingga berhamburan di tanah. Fuck!
BAB VII
Not My Day
NARASI MARIA
Hari ini UAS. Siap nggak siap kami sudah menemui tengah semester.
Sebentar lagi liburan Natal dan Tahun Baru. Mungkin sudah banyak rencana
untuk natalan nanti. Aku? Entahlah. Yang jelas aku sudah berusaha
sekuat tenaga UAS ini. Kami semua di dalam ruangan benar-benar stress,
konsentrasi mengerjakan soal-soal. Tapi tidak dengan Ray. Dia tenang
sekali dan mengerjakan seolah-olah soal itu tak ada apa-apanya. Tapi
maklum sih, dia selalu juara satu. Dasar nerd.
Aku benci kalau ada orang yang lebih hebat dari aku. Baru juga setengah
jam mengerjakan soal dan Ray sudah mengumpulkannya ke depan kelas. Itu
bener semua nggak? Setelah Ray keluar kelas guru penjaga melihat hasil
pekerjaannya. Dia menegakkan alis. Gimana? Bener semua? Sang guru pun
tersenyum.
"Siapa anak tadi? Ray ya?" katanya.
"Iya bu, kenapa?" tanyaku.
"Pekerjaannya perfect, makanya kalian yang rajin belajar biar bisa seperti dia," jelasnya.
HAAAAHHH!??? Sintiiiiiinngg! Dasar si Ray, pake cari muka segala di
hadapan guru pengawas. Aku nggak boleh kalah, nggak boleh kalah.
AARRRGGHHH!
Dan akhirnya setelah bergelut dengan soal matematika di dalam kelas, aku
pun keluar dengan tampang kuyu. Rambutku berantakan. Mukaku kusut
seperti rambutku. Dan aku melihat Ray malah asyik membaca novel di
tempat duduk yang ada di sepanjang luar kelas. Dia membalik satu per
satu halaman novel itu, sialan, sok menikmati dia. Nggak lihat apa kita
teman sekelasnya berjuang mati-matian di dalam tadi.
Aku lihat Andre baru keluar kelas.
"Anjiirr...susah banget sih?" keluh Andre.
"Iya say, susah banget," kataku.
"Terutama nomor terakhir tuh, lupa rumusnya," katanya.
"Tapi tenang aja, habis ini kan bahasa Indonesia, jadi nggak perlu mikir seperti Mat," kataku.
"Iya, bener juga," katanya.
Tapi aku masih takjub kepada Ray. Walaupun dia anak yatim piatu tapi
otaknya encer banget. Aku kagum kepadanya. Dan setelah istirahat kami
masuk lagi untuk mengerjakan soal bahasa Indonesia. Nggak perlu
ditanyalah, apakah soalnya sulit atau nggak, emang bahasa kita ya harus
bisa dong. Paling tidak ini refreshing setelah pelajaran matematika
tadi. Dan....lagi-lagi Ray keluar duluan! Gila ini anak!
Dia melintasi tempatku duduk sambil bilang, "Tenang aja, ngerjain itu rileks, biar mudah dikerjakan."
Iya, rileks di elu, nggak di gue. Aku pun hanya menggerutu dalam hati.
Akhirnya ya emang aku harus rileks, kunikmati setiap soal dan akhirnya
aku kerjakan semuanya hingga selesai. Setelah itu aku rasanya
bebaaaaasss banget. Huh, entahla nanti nilainya UAS dapat berapa.
Andre pun keluar.
"Gimana?" tanyaku.
"Lumayanlah daripada tadi mikirin Mat, yang ini lebih enteng," katanya.
"Ndre, bareng yah pulangnya," kataku.
"Jaaah...nggak bisa Mar, aku ada janji sama nyokap," kata Andre.
"Yaelaaaaaahhh....ya udahlah, jalan kaki lagi," kataku.
"Jangan marah dong, kan ini janjian sama nyokap. Besok-besok deh. Kamu
kan tahu sendiri aku harus bantu nyokap jualan," kata Andre. Iya juga
sih, keluarganya buka rumah makan bakso. Aku pernah ditraktir dia di
tempat orang tuanya jualan. Menurutku baksonya enak koq. Aku malah
sampai nambah. Atau gara-gara karena aku ditraktir ya? hehehe.
"Iya udah," kataku.
"Nah, gitu. Aku pulang dulu yah," katanya.
"OK, sampai besok sayang," kataku.
"Sampai besok!" katanya.
Yah, pulang jalan kaki naik monorail lagi deh. Tapi nggak apa-apalah.
Udah terbiasa koq. Jalan kaki bersama teman-teman naik monorail. Yah,
apa yang nggak enak coba? Bisa bercanda ama temen-temen. Tapi hari ini
sedikit beda. Karena aku sendirian! Heran juga sih, mana temen-temen? Oh
mungkin karena yang lainnya masih UAS.
Terpaksa deh, aku sendirian. Entah kenapa hari itu aku melewati rute
berbeda dengan biasanya. Aku melewati gang kampung hingga sampai ke
sebuah gang yang memisahkan antara dua gedung. Tapi di situlah aku
melihat sesuatu yang tidak biasa. Seperti air es gitu, dingin. Dan di
tengah jalan aku lihat beberapa balok es. Siapa sih naroh balok es di
gang sempit kaya' gini? Mana baloknya gedhe-gedhe pula.
Aku coba pegang satu. Eh dingin. Hmm...sebentar, sepertinya balok ini
ada isinya deh, soalnya ada bayangan di dalamnya. Apa itu? Koq
gerak-gerak?
"Kyaaaaaa!" aku menjerit ketika aku sadari di dalam balok es itu ada
mata yang berkedip. Mana banyak banget balok-balok es itu. Aku berlari
sekencang-kencangnya hingga keluar gang. Nafasku ngos-ngosan. Gila, apa
itu tadi? Mana nggak ada orang lagi. Segera aku berlari menuju
pemberhentian monorail yang tak jauh dari tempat itu.
Nafasku masih ngos-ngosan ketika aku sudah sampai di sana dan membeli tiket. Aku menarik nafas panjang.
"Kenapa mbak? Kaya' dikejar hantu," kata mbak-mbak penjual tiket.
Aku cuma nyengir. Nggak mungkin dong aku ceritain ke mereka. Aku aja
ketakutan tadi. Aku mencoba menelan ludah, tapi sulitnya setengah mati.
Keringatku keluar banyak, entah mereka melihatku seperti apa sekarang
ini. Aku kacau. Habis UAS yang sulit, trus nggak dianter Andre, pulang
ketemu hal yang aneh gini. Makin stress aja aku perasaan.
Aku harus tenang, aku harus tenang, aku harus tenang. Aku terus membisikkan itu ke dalam hatiku. Harus tenang, harus tenang.
"Kamu tak apa-apa?" tanya seseorang. Aku kaget dan melihat Ray sudah ada di sampingku. Sejak kapan?
"Ray! Ray! Syukurlah, syukurlah! Ray tadi aku melihat, melihat.....melihat...," aku memegangi tangan Ray.
"Apaan sih?"
"I..itu di gang tadi aku melihat ada orang yang berada di dalam balok
es. Orangnya mengedipkan mata ke aku," kataku sambil gemetar.
"Mana ada?" tanyanya.
"Ayo deh lihat, ayo!" aku menggeret Ray. Ray nurut saja aku geret. Kami
berlari sampai ke tempat gang di mana aku tadi menemukan orang-orang di
dalam balok es itu. Eh, di mana mereka? Gang itu sepi, nggak ada orang.
"Mana?" tanya Ray.
"Tadi di sini, ada sekitar lima balok es gedhe gitu," kataku ngotot.
"Sudah, kamu habis UAS, mungkin kamu capek. Pulang aja sana. Aku anter?" dia menawarkan diri. Dia lalu memegang tanganku.
"I..iya deh, m..mm..makasih," kataku. Tangannya dingin tapi entah kenapa
hawa dingin tangan itu menusuk langsung ke hatiku. Cessss.....Aku
melirik ke wajahnya. Wajahnya masih saja dingin, sok cool, sok keren,
nggak noleh ke aku sama sekali. Entah kenapa di dalam dadaku ada
perasaan aneh yang sukar aku ungkapkan.
Akhirnya aku pun di antarnya pulang hari itu. Aku berkali-kali bilang
kalau apa yang aku lihat itu beneran kepada Ray. Ray hanya bilang, "Aku
percaya kepadamu." Tapi itu sama sekali tak meyakinkan aku. Dia hanya
ingin agar aku tenang. Oh, Andre di mana kamu? Kenapa yang menolongku
malah Ray? Entah reflek atau gimana di dalam monorail, aku bersandar ke
bahunya Ray. Saat itu aku hanya ingin mencari rasa aman dan nyaman. Dan
itu semua aku dapatkan pada diri Ray. Si anak yang sok cool, dingin yang
jarang sekali menyapaku.
Sampai tak terasa monorail sudah sampai tujuan.
"Sudah sampai tuh, aku antar sampai rumah ya," katanya. Aku langsung
gelagapan duduk tegap. Nafasku sudah teratur dan aku mulai berjalan
beriringan dengan Ray. Tapi...itu...itu...tangannya malah menggenggam
tanganku. Aduuuuhh....gimana nih. Masa' aku bilang lepasin gitu? Tapi
jujur antara ingin nolak atau ingin terusan seperti ini, aku lebih suka
terusan gandengan seperti ini.
Kami berjalan beriringan hingga sampai di depan rumahku.
"Nah, sudah sampai," kata Ray. "Nggak usah dipikirkan kejadian tadi.
Anggap saja itu cuma halusinasi. Habis ini mandi, bersih-bersih,
segarkan pikiran dengan ngeteh gitu. Soalnya besok masih UAS. Gimana
tadi UASnya?"
"Kacau, aku nggak nyangka soalnya sesulit itu tadi," gerutuku.
"Makanya belajar nggak pacaran melulu," sindirnya.
"Ihh...biarin suka-suka aku," kataku. Dan aku masih belum melepaskan
tanganku dari tangannya. Tidak, sekarang malah aku yang menggenggam erat
tangannya. Eh, sejak kapan? Aku buru-buru melepaskannya. Kulihat pagar
rumahku. Lalu ku menoleh ke arahnya.
"Thanks ya," kataku.
"Sama-sama, kalau kamu butuh sesuatu misalnya pelajaran tertentu, aku bisa menolongmu," kata Ray.
Hmm...dia pedekate nih, pasti. Sinyal-sinyal cowok suka ama cewek ya
seperti ini. Tapi koq aku nggak teganya bilang tidak. Ray tersenyum. Dia
berbalik.
"Sampai besok," katanya.
"Ray tunggu!" kenapa aku manggil dia? Kenapa coba? Udah deh, aku udah
punya cowok. Tapi.....aku nggak bisa. Entah kenapa dadaku sekarang
sesak. Sesaaaak sekali, kenapa aku tak ingin dia pergi? Kenapa dadaku
berdebar-debar. Kenapa telingaku tak bisa mendengar? Kenapa di mataku
hanya fokus kepada Ray sekarang? Dia menoleh ke arahku. Lalu berbalik.
"Ya, ada apa?" tanyaku.
Aku melangkah mendekati dirinya, "Kamu bisa temani aku sampai ayah dan ibuku pulang? Aku masih takut."
"Ke mana mereka?" tanyanya.
"Ayah masih pergi untuk urusan klien, ibu sedang berada di butik. Justin
belum pulang, mungkin langsung main dia. Jadi aku sendirian....Andre
juga sedang bantu orang tuanya....kalau kamu tak keberatan....kamu ada
acara nggak? Kalau ada acara ya nggak apa-apa sih aku ...." suaraku
makin merendah hingga hampir tak terdengar.
"OK, aku akan temani kamu sampai orang tuamu pulang," katanya.
Akhirnya aku menyuruh Ray masuk ke rumah. Dia sangat sopan. Bahkan tak
banyak bergerak dari kursi sofa di ruang tamu. Yah, kalau toh ini bukan
hariku setidaknya ini pertama kalinya Ray aku ajak ke rumahku.
NARASI RAY
Aku ada di rumah Maria. Dia sangat shock terhadap apa yang terjadi tadi.
Sebenarnya kejadiannya seperti ini. Aku pulang dari sekolah. Aku memang
pulang duluan. Karena aku sudah selesai lebih dulu daripada yang
lainnya. Sebenarnya pula aku baru saja membeli dua buah buku yang sudah
mengantri untuk aku baca. Dan rasanya ini waktu yang tepat. Besok
pelajaran Fisika dan Bahasa Inggris, nggak buruk sih. Mereka berdua
adalah mata pelajaran yang paling aku suka. Dengan fisika aku
mempelajari banyak hal dengan kekuatanku. Maka dari itulah aku bisa
membentuk banyak macam wujud dari es dan salju.
Hari itu aku berjalan seperti biasa, menuju ke tempat pemberhentian
monorail. Dan ini bukan hariku ternyata. Ketika aku melewati gang aku
sudah dikepung oleh lima orang.
"Siapa kalian?" tanyaku.
"Kami orang yang menghukum mereka yang membawa kekuatan iblis," kata salah seorang di antara mereka.
Dark Lantern?!
"Kami mendapati laporan para preman yang disentuh oleh kekuatanmu. Maka
kami pun melacak dan mengetahui bahwa engkau orangnya. Maaf, tapi kami
tak bisa mengampuni siapapun," kata orang itu.
Aku mengeluarkan kedua tanganku dari dalam saku celana. Mereka tampaknya
serius ingin menyerangku. Kulihat mereka semua membawa tongkat.
Sepertinya tongkat itu dialiri aliran listrik. Sama yang aku lihat
seperti yang dibawa oleh para polisi untuk melumpuhkan lawan mereka. Apa
mereka polisi?
"Kalian polisi?" tanyaku.
"Kami divisi khusus untuk melumpuhkan orang-orang sepertimu.....," belum
sempat ia bicara aku sudah membekukan dia dan semua rekan-rekannya
dengan gerakan berputar. Aku lalu menyentuh mereka semua dan seluruh
udara berkumpul mengurung mereka semua menjadi sebuah balok es.
"Maaf, tapi aku tak tertarik untuk kalah oleh orang-orang seperti kalian," kataku.
Saat itulah aku menoleh ke ujung gang kulihat Maria ada di sana. Aku
segera berlari dan bersembunyi. Dia keheranan melihat air yang mengalir
dari balok es itu, lalu mencolok-colok balok-balok es dan mengamatinya.
Ia kemudian menjerit dan berlari. Aku mengikutinya dari jauh. Ia segera
menuju ke pemberhentian monorail dan kami bertemu di sana.
Sebelum mengejarnya aku harus membereskan mereka semua. Karena mereka
sudah melihatku dan melihat Maria. Aku tak ingin gadis itu disakiti,
yang aku lakukan adalah aku uapkan mereka. Aku bekukan mereka hingga
mencapai titik nol yang sangat dingin. Setelah itu dengan bantuan panas
matahari dan kemampuanku mengendalikan air mereka pun menguap. Aku
gunakan kekuatanku untuk menghilangkan jejak seolah-olah tak pernah
terjadi apa-apa. Potongan-potongan tubuh mereka yang berupa
serpihan-serpihan kecil aku arahkan ke sebuah got pembuangan.
Aku pun kemudian berdo'a, "Maafkan aku, maafkan aku tuhan. Semoga dosaku dan dosa mereka engkau ampuni.
BAB VIII
Please Dont' Go
NARASI MARIA
Ayah menelponku.
"Maria, aku pulang agak malam. Ibu nanti aku jemput. Justin sudah pulang?" tanyanya.
"Sudah barusan," jawabku.
"OK, sampai nanti," kata ayah.
"Daaahh..!" kataku.
Justin baru saja datang. Tapi begitu masuk kamar ia sudah mau keluar lagi.
"Lho, mau ke mana?" tanyaku.
"Aku mau ke rumah teman kak, mau belajar bareng. Besok UASnya mata pelajarannya sulit," jawabnya.
"Yaaah...kakak sendirian dong," kataku.
"Lha? Kan ada pacar kakak itu," katanya.
Aku getok kepalanya. "Seenaknya saja, bukan pacar tauk!"
"Aduh!" dia memegangi kepalanya. "Sakit nih!"
"Ya udah, beliin kakak nasi goreng yah, ayah sama ibu pulangnya malem. Nih duit!" aku kasih dia uang.
"Kembaliannya buatku ya," kata Justin sambil tersenyum jahat.
"Ya sudah sana, cepetan pulang!" kataku.
"Iya, iya, rese' amat," Justin membenarkan ranselnya dan mengambil
mantel hujan lalu memakainya hingga ranselnya tertutupi oleh mantel
hujan itu.
"Emang hujan di luar?" tanyaku.
"Iya noh hujan," Justin menunjuk ke jendela. Buseet, hampir tiap hari
hujan. Tapi untunglah di tempat ini jarang banget terjadi banjir
walaupun sering hujan. Justin kemudian keluar dan naik sepedanya lagi.
Aku kembali melihat ke arah Ray. Dia duduk tenang di sana seolah tak
terjadi apa-apa sambil baca novel yang ia bawa tadi. Dasar anak ini.
Tapi, aneh juga sih, ngapain dia aku suruh nemenin aku ya? Duh, aku
galau sekarang. Aku hanya berdiri melihat dia saja. Tak berani mendekat,
juga tak berani beranjak. Kenapa aku berdebar-debar? Kenapa? Kami di
rumah sendirian. Kalau ada Andre dia pasti sudah mendekap aku, dan
menciumiku bahkan sampai petting segala.
Tak terasa aku sudah cukup lama berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Ray.
"Eh...enggak,..nggak apa-apa," jawabku.
"Koq nggak duduk? Aku sudah baca satu bab sampai selesai dari mulai
ketika adikmu pergi sampai sekarang kamu masih berdiri. Nggak capek di
situ teru?" tanya Ray.
"Ha..habis, kamu kaya'nya enak banget bacanya," kataku. Duh mukaku memerah.
"Yah, akukan ngira kamu masih sibuk sampai berdiri terus di situ," katanya. "Inikan rumahmu koq aku yang nyuruh kamu duduk sih?"
"Eh,,..iya..hihihi," aku lalu duduk di sofa. "Kamu mau minum apa?"
"Nah, setelah setengah jam lamanya akhirnya ditawarin juga," kata Ray.
"Iya, iya maaf, aku masih shock, jangan ketawain dong," kataku. Aku malu banget.
"Terserah deh, air putih boleh, teh boleh, asal bukan air cucian atau comberan aja," kata Ray mulai bergurau.
"Hihihi...ya deh iya," aku kemudian menuju ke dapur. Kuambilkan gelas
dan aku beri satu sachet tes instant kemudian kutuangkan air panas dari
dispenser ke gelas, lalu aku tambah air dingin sedikit. Setelah itu aku
aduk. Jadilah teh anget, cepet kan? Sekarang semuanya serba praktis. Uap
tehnya pun mengepul.
Aku kemudian mengambil nampan dan aku antarkan teh itu ke Ray. Dia sudah nggak membaca novel lagi. "Silakan!"
Ray mengembil gelas itu. Ia ciumi aroma tehnya.
"Teh instan ya?" katanya.
"Koq tahu?"
"Dari aromanya beda, gulanya lebih berasa di hidung karena memakai gula
dan pemanis buatan. Kalau diminum maka akan terasa di lidah. Lidah akan
mengeluarkan ludah berlebih. Kalau orang yang punya tenggorokan sensitif
akan terkena batuk."
"Sok tahu banget kamu."
"Ini namanya ilmu, bukan sok, sok'an."
"Iya deh, iya, dasar kutu buku."
Kulihat Ray mulai meminumnya sedikit-demi-sedikit.
"Kamu tadi nyuruh adikmu beliin makan ya? Kenapa nggak masak sendiri?" tanyanya.
"Aku nggak bisa masak," jawabku.
"Ah, bercanda. Anak cewek biasanya bisa masak."
"Beneran suer."
"Mau aku ajarin?"
"Emang bisa?"
"Di panti, aku diajari untuk mandiri. Kalau cuma masak sih aku sudah bisa sejak masih SD."
Aku melongo saja mendengar penjelasannya. Karena penasaran, akhirnya,
"Coba deh, kamu bisa masak apa. Tuh, sayuran-sayurannya ada di dapur,
semuanya ada di kulkas. Coba aku ingin tahu kamu bisa masak apa."
Ray kemudian melepaskan jaketnya. "Siapa takut."
Surprise. Aku tak pernah tahu bahwa cowok ini bisa memasak. Entah dia
masak apa yang jelas dia terampil banget motong sayuran. Motong wortel,
semua cara memotongnya profesional banget. Aku jadi malu sebagai seorang
wanita yang nggak bisa memasak. Dia potong tomat, ambil tepung kanji,
ambil garam, ambil gula, akhirnya dapur pun mengepul. Dia masak cap chay
sih, tapi dari baunya hhhmmm...bikin perut keroncongan.
Daaann....nggak lama kemudian tersajilah cap chay buatan Ray.
Gilaaaakk....beneran ini cowok bisa masak. Kami saat itu berdiri
berhadapan di meja dapur. Ray memberikanku garpu, aku kemudian
mencicipinya. HHmmmmmm........ ini sih masakan restoran.
"Gila kamu, bisa masak juga rupanya. Aku jadi iriiii," kataku.
Ray lalu mengambil garpu dan mencicipi masakannya sendiri. Aduh,
alamaaak... entah kenapa aku sekarang ini melihat Ray adalah sesosok
pria tampan yang menjadi penyelamatku. Tapi...hiks, koq ya aku sudah
punya cowok sih?? Kenapa nggak dia aja. Huhuhuhu.... Andai aku bisa
memilih, aku kepingin dia yang jadi cowokku. Bukannya si Andre. Udah ah,
hilangkan pikiran berharap itu.
Memang Ray orangnya sangat menarik. Tapi aku harus sadar diri dong.
Nggak mungkin aku mengkhianati Andre. Dan Ray, kalau kamu suka ama aku
maaf ya, aku tak bisa. Tapi apa dia suka ama aku? Jangan merasa Ge-er
dulu laaah.
Tangan Ray melambai-lambai di depan wajahku. Ngapain sih, orang pikiran sedang menerawang koq. Lho.....
"Hoi, koq malah ngelamun. Udah di makan sana," kata Ray.
"Eh...i...iya," kataku sambil mengumpat dalam hati. Ngapain ngelamun coba?
Kami akhirnya makan masakan yang dibuat oleh Ray sang koki terkenal
hahahaha. Pada saat makan itu pun kami mulai banyak bicara. Meja makan
di dapur itu menjadi saksi bahwa aku dan Ray banyak ngobrol sore itu. Ia
bercerita tentang pengalamannya ketika ada di panti. Tentang bagaimana
ibu asuh memperlakukan dia. Tentang anak-anak panti lainnya yang sangat
baik. Sebenarnya ia punya keinginan untuk bisa tinggal sendiri tapi ibu
kepala melarangnya karena tenaga Ray masih dibutuhkan.
Setelah perut kenyang dan banyak obrolan yang mengalir, kami lanjutkan
dengan belajar. Karena besok pelajaran Fisika. Gila deh si Ray ini. Dia
mampu mengajariku seperti seorang guru. Aku sedikit terbantu dengan dia
ada di sini. Mungkin karena dia kutu buku kali ya? Dia pintar banget
ngajari aku tentang Fisika, gravitasi, gaya, katrol. Dia emang the best.
Emang sih, pelajaran yang paling disukainya. Untuk bahasa Inggris sih
nggak masalah.
Dan tepat pukul delapan malam adikku datang membawa nasi goreng pesenanku.
"Ini kak!" katanya sambil membawa bungkusan nasi goreng.
"Waduh, kakak udah kenyang. Buat kamu aja deh," kataku.
"Lha, aku beli dua ini, satu buat kakak, satu buatku," kata Justin.
"Udah buat kamu aja, tuh di dapur masih ada cap chay buatan Kak Ray," kataku.
Justin beringsut pergi ke dapur. Kemudian dia berseru. "Kaaaaak, aku makan yaaaa?"
"Iya habisin aja, emang buat kamu koq," kataku.
Aku tertawa.
"Makasih ya Ray," kataku.
"Ya, sama-sama," katanya. "Kalau begitu aku pulang yah, adikmu udah di rumah."
Entah kenapa rasanya berat banget melepas Ray pergi. Aku hanya bisa
mengantarnya keluar. Ray, please jangan pergi. Please! Please!
Terdengar suara ringtone. Rupanya ponsel milik Ray, ia pun
mengangkatnya, "Oh, ibu. Iya, iya. Saya pulang. Ini dari rumah temen
belajar. Iya, segera."
Ray menutup teleponnya. "Maaf ya, aku harus kembali. Dicari ibu asuh. Malam Maria."
"Malam Ray," kataku.
Kenapa? Kenapa ketika aku sudah dapat pasangan aku malah merasa dia
adalah jodohku? Kenapa? Ray, jangan pergi! Kumohon! Aku sekarang
mengakui, aku mulai suka ama Ray. Aku suka ama dia. Tapi kenapa? Kenapa
harus di saat aku sudah bersama Andre. Sosok Ray pun menghilang. Aku
meneteskan air mataku lalu segera masuk ke dalam rumah.
BAB IX
Almost
NARASI DETEKTIF JOHAN
Robert menemuiku lagi. Kali ini wajahnya agak serius. Maksudku, dia tak
senang. Setelah aku pusing menyelidiki sebuah nama Tina Einsburgh tak
kunjung selesai dia datang langsung ke kantor detektifku. Dia memakai
jas warna putih dengan kemeja warna abu-abu. Dia langsung berdiri di
hadapanku saat aku ada di kursiku.
"Detektif, orang-orangku baru saja mati," kata Robert.
"Ya, terus?" tanyaku.
"Jangan tampilkan mimik seperti itu, aku serius."
"Aku juga serius dan apa yang harus aku lakukan? Kalian punya divisi sendiri, punya tim sendiri!" kataku.
"Masalahnya bukan itu, katakan kepadaku bagaimana putrimu bisa ada di
sana sewaktu orang-orangku tewas?" Robert menunjukkan tabletnya. Di
tablet itu aku melihat putriku sedang berlari keluar dari gang. Itu
sepertinya kamera cctv.
"Trus apa hubungannya?" tanyaku.
"Ketahuilah, seluruh orang-orangku yang tewas itu ada lima orang. Tubuh
mereka menguap, terpotong kecil-kecil dan masuk ke dalam selokan seperti
sampah, kami memunguti setiap bagian organ yang tersisa dan mengecek
DNA mereka untuk kemudian dikirimkan ke keluarganya, apakah itu bisa
kamu terima tuan detektif?"
Aku gemetar dengan kata-katanya. Tapi apa hubungannya putriku? Kenapa putriku bisa ada di sana?
"Aku akan bicara dengan putriku. Boleh aku copy filenya?" tanyaku.
Aku kemudian mengcopy filenya ke komputerku.
"Pak Detektif, ingatlah. Urusannya sekarang adalah nyawa. Anda tak bakal
mau kalau nyawa orang-orang yang tak bersalah jadi korban bukan? Coba
tanyakan ke putrimu, dia pasti punya teman yang punya kekuatan aneh
semacam ini. Dan Anda tak akan mungkin mau putri Anda jadi korbannya
juga bukan?"
****
NARASI MARIA
Akhirnya UTS hari ini selesai juga. Aku sangat berterima kasih kepada
Ray atas bantuannya kemarin. Benar-benar aku sekarang bisa menyelesaikan
soal Fisika dengan mudah. Andre tampak suntuk mengerjakan soal-soal
Fisika. Dia menggerutu berkali-kali.
"Gile aje, susah banget tadi," katanya.
"Ah biasa aja koq, aku bisa ngerjain semuanya," kataku.
"Iya dong, pacarku harus pinter," kata Andre memujiku.
"Ndre, ajak aku ke restoranmu dong, kepengen bakso nih habis UTS," kataku.
"OK, siapa takut," katanya. "Yuk!"
Terdengar suara ringtone ponselku. Wah, dari ayah. Aku segera mengangkat.
"Ya, ada apa yah?" tanyaku.
"Segera pulang, ayah mau ngomong penting banget," jawabnya.
"Soal apa?" tanyaku.
"Soal kemarin, sudah pokoknya pulang aja," katanya.
"I..iya deh," kataku lesu.
Soal kemarin? Maksudnya apa ya? Ahh! Soal kunjungan Ray di rumah??
Waduuuhh...kenapa ayah mempersoalkan itu? Apa ayah nggak suka kalau Ray
main ke rumahku? Hmm...gawat nih.
"Aduh Ndre, nggak jadi ya," kataku.
"Lho, katanya kepengen mampir?" tanyanya.
"Ayahku nyuruh pulang, kayaknya aku bakal dihukum deh," jawabku.
"Hah? Dihukum kenapa?"
"Nggak tahu, dari nada suaranya sih begitu. Aku anterin pulang ke rumah aja deh. Ya?? Please," kataku memohon.
"Ya...nggak masalah sih. Ayuk," kata Andre.
Aku langsung naik ke motornya Andre. Nggak lama kemudian aku sudah
melesat meninggalkan sekolah. Di jalan kulihat Ray menatapku pergi.
Beberapa menit kemudian aku sudah ada di rumah.
"Makasih ya Ndre," kataku sambil kukecup pipinya.
"Bye honey," katanya.
Aku segera masuk ke rumah. Kulepaskan sepatuku dan langsung menemui ayah di ruang kerjanya.
"Ada apa yah?" tanyaku.
"Sini sebentar!" ayah menyuruhku mendekat. Aku pun mendekat. Ada apa sih sebenarnya?
Beliau pun kemudian menunjukkan sesuatu. Sebuah rekaman kamera CCTV. Dan ada aku berlari keluar dari gang.
"Ini kamu bukan?"
"I..Iya..., ayah dapat dari mana?"
"Apa yang kamu lihat?"
Aku pun kemudian menceritakan apa yang terjadi, minus bagian Ray. Ayahku mengangguk-angguk.
"Ayah percaya ama aku kan?"
"Iya, tentu saja ayah percaya. Sama putri sendiri koq nggak percaaya."
Aku langsung memeluk ayahku. "Makasih ayaaah."
"Kalau begitu, apakah kamu bersama temanmu ketika kemarin di tempat ini?"
"Aku sendirian."
"Yakin sendirian?"
"Iya ayah, aku pulang sendirian. Seharusnya bersama Andre tapi Andre ada
keperluan. Aku juga nggak biasa lewat daerah situ tapi hari itu aneh
aja sih," kataku.
"Kemarin di tempat itu ditemukan potongan-potongan mayat yang sudah dimutilasi," kata ayah.
DEG! Aku jadi merinding, "Ayah serius?"
"Iya, makanya hari ini ayah diberi video ini. Berarti memang kamu secara
tidak langsung terlibat dengan hal ini Maria," jelas ayahku.
"Trus?" aku jadi takut.
"Tak perlu takut, ayah akan selalu melindungimu. Sudah sana ganti baju," kata ayah.
Fiyuh, untung ayah nggak tanya tentang Ray.
***
NARASI RAY
Aku melihat Maria pergi bersama Andre berboncengan. Nampak buru-buru
sekali. Sejujurnya aku sakit banget melihat mereka jalan berdua. Tapi
apa yang bisa aku lakukan. Dia sudah jadi milik orang. Aku juga hanya
bisa jadi secret admirernya.
Ngomong-ngomong tentang kejadian kemarin. Itu sudah kebeberapa kalinya
kau membunuh orang. Dan itu pun karena aku membela diri. Aku tak tahu
kalau Dark Lantern yang dikatakan oleh Detektif Johan itu ternyata
berhubungan dengan ini. Aku sudah ditarget oleh mereka. Artinya
keberadaanku sudah diketahui. Dan kelima orang kemarin itu adalah korban
pertamaku untuk Dark Lantern.
Ya, sebelumnya aku pernah membunuh orang. Itu pun karena aku tak
sengaja. Korban keduaku adalah karena aku harus duel dengan dia. Kami
berdua sama-sama pengguna kekuatan ini. Saat aku berjalan itulah ada
seseorang yang sangat aku kenal sedang berdiri tak jauh dari hadapanku
sambil memakan es krim. Dia memakai baju rompi hitam, tanpa kaos, celana
jeans dan dia bertatto di lengan dan tubuhnya.
"Alex?" sapaku.
"Yo, gimana kabarnya Ray?" sapanya balik.
"Ada apa?"
"Kamu keren dude, membunuh mereka. Hahahaha."
"Bukan urusanmu."
"Hei, begini sobat. Sebenarnya tawaranku masih berlaku. Bergabunglah bersama kami, kematian Troya harus dibalaskan!"
"Aku tak tertarik."
"Ayolah Ray, kita butuh bantuanmu. Kita masih empat sekawan bukan?"
"Empat sekawan? Aku sudah membunuh Agni, apakah itu tak cukup buatmu.
Aku tak mau mengorbankan rekan-rekanku lagi. Ini sudah cukup. Aku ingin
bekerja sendiri. Aku juga tak mau orang-orang yang aku cintai jadi
korban."
"Jadi, kamu masih mikirin cewek itu? Sudahlah dia udah punya pacar, mau sampai kapan kamu berharap?"
"Bukan urusanmu."
Aku melangkah meninggalkan Alex.
"Bagaimana dengan detektif itu? Dia sudah tahu kelompok apa mereka?"
"Ya, mereka menamakan dirinya Dark Lantern. Dan kita tidak sendirian,
orang-orang seperti kita banyak ternyata. Kamu bisa cari mereka, tapi
aku tidak mau. Aku ingin bekerja sendiri."
"Dark Lantern, Lentera Kegelapan. Kamu bisa jelaskan ke aku?"
Aku berhenti berjalan. "Temui aku nanti di panti asuhan. Kita bicara di sana."
Siapakah Alex dan bagaimana aku bisa bertemu dengannya? Semuanya berawal
dari kisah beberapa tahun yang lalu. Awal di mana aku bisa memiliki
kekuatan ini dan belajar mengendalikannya.
BAB X
Memories
NARASI RAY
Aku masih berusia tujuh tahun saat itu. Aku juga masih belum tahu
tentang sejatinya kekuatan yang ada pada diriku. Aku seperti anak gereja
lainnya, belajar menyanyi, ketika minggu aku menjadi pengisi suara. Aku
juga bermain bersama teman-temanku. Rasanya tak ada momen yang tidak
aku sukai ketika masa anak-anak.
Awal mula aku memakai kekuatanku adalah awal mula aku membunuh
seseorang. Dan itu tidak disengaja. Adalah Bapa Joseph, dia adalah orang
yang baik kepadaku. Bahkan aku sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
Bapa Joseph adalah mantan petinju yang kemudian mengambil jalan tuhan.
Dia mengabdikan hidupnya kepada gereja setelah itu dan mengambil sumpah
selibat.
Hari itu hujan badai. Aku takut. Suster Elizabeth memelukku erat karena aku menggigil.
"Ray demam!" serunya.
"Ayo beri dia kompres," kata ibu kepala.
Suster Elizabeth segera mempersiapkan baskom dan mengambil air panas.
Udara makin dingin tidak seperti biasanya dan petir menggelegar
berkali-kali. Sementara itu aku makin kedinginan, bahkan beberapa suster
pun ikut membantu memberikanku selimut tebalnya. Mataku mulai memutih
saat itu ketika suster Elizabeth sudah datang lagi membawa baskom berisi
air panas.
"Ray...Ray! Nak bertahanlah!" kata ibu kepala. Suster Elizabeth kemudian memelukku sambil memberikan kompres ke dahiku.
"Dingiiiinn.....dingiiin," kataku sambil gigiku gemertuk.
"Ini mengerikan, kita harus bawa dia ke rumah sakit," kata ibu kepala.
"Di tengah badai seperti ini??" tanya suster Elizabeth.
"Kamu punya ide yang lebih baik?"
Bapa Joseph kemudian masuk. Dia langsung memeriksa kondisiku. Dipegangnya dahiku.
"Ya Tuhan, dia dingin sekali. Kita harus membawanya ke rumah sakit," kata Bapa Joseph.
"Tapi itu tak mungkin dengan kondisi hujan badai seperti ini!" kata suster Elizabeth.
"Tidak apa-apa, aku akan membawanya. Yang penting Ray bisa selamat," kata Bapa Joseph.
Akhirnya malam itu Bapa Joseph nekad membawaku dengan memakai mobilnya. Di luar benar-benar hujan angin parah.
"Biarkan aku yang menemani," kata ibu kepala.
Akhirnya kami bertiga kemudian masuk ke mobil. Aku didekap oleh ibu
kepala. Sementara Bapa Joseph menyetir. Mobil pun melaju. Dari luar
mobil tampak angin sangat kencang bahkan ketika mobil melintasi sebuah
jalan terlihat sebuah pohon besar tumbang menindih beberapa mobil yang
terparkir di pinggir jalan. Mobil kami pun tetap maju menuju rumah
sakit. Namun sebuah petir tiba-tiba menghantam tiang listrik yang berada
di depan kami dan tiang listrik itu pun tumbang menghantam mesin mobil.
Mobil pun berhenti.
"Bagaimana ini?" tanya ibu kepala.
Saat itulah kekuatanku mulai pertama kali muncul. Aku entah bagaimana
bisa berbicara dengan air. Bukan dengan bahasa manusia, tapi bahasa
khusus. Aku sendiri tak tahu bagaimana aku bisa melakukannya. Angin dan
air menyapaku. Mereka bertanya apakah aku sakit? Kemudian aku katakan
iya aku sakit. Aku sedang menggigil demam. Kemudian mereka menawarkan
bantuan, apa yang bisa mereka bantu? Aku tak tahu, tapi aku hanya ingin
mereka bisa menolong Bapa Joseph.
Angin dan air pun membantuku. Bapa Joseph melihat keajaiban ini. Aku
tiba-tiba duduk. Dengan penuh kesadaran aku bisa melihat butir-butir air
mengeras dan mulai hidup, mereka semua mengikutiku untuk menyingkirkan
tiang listrik itu.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi?" Bapa Joseph seakan-akan tak percaya terhadap apa yang dilihatnya.
"Bapa, lihat Ray!" kata ibu kepala.
"Ray?? Kamukah yang melakukannya?"
Aku kemudian menurunkan tanganku dan tak sadarkan diri.
"Ray!? Ray!?" pangil ibu kepala.
Besoknya aku sudah berada di kamarku dan ibu kepala menggenggam jemariku. Tampak Bapa Joseph ada di sana juga.
"Puji tuhan kamu selamat nak," kata Bapa Joseph.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Ray, kamu benar-benar anugrah tuhan yang datang kepada kami," kata ibu kepala.
Aku melihat tanganku. Entah bagaimana aku bisa berbicara dengan udara
dan air. Mereka bisa berbicara denganku. Aku membentuk kristal salju di
tanganku semudah aku menggerakkan tanganku. Suster Elizabeth, Bapa
Joseph dan ibu kepala menciumi keningku. Kedua tanganku pun diciumi oleh
mereka. Sejak saat itulah aku jadi anak kesayangan mereka. Dan mereka
menjagaku agar aku tak menyalah gunakan kekuatanku.
***
"Ray, dengarlah nasehatku. Di luar sana ada banyak sekali hal yang tidak
kamu ketahui. Kamu harus bijak dalam menggunakan kekuatanmu. Ini adalah
pemberian tuhan yang tidak ternilai untukmu," kata Bapa Joseph.
Kata-kata beliau inilah yang selalu aku ingat. Namun itu adalah
kata-kata terakhirnya.
Aku saat itu diajak oleh beliau berkunjung ke sebuah kota. Beliau
mengisi khutbah di sana. Ceramah beliau memang banyak menarik perhatian
bahkan pesertanya pun tidak sedikit. Aku selalu duduk di depan
mendengarkan ceramahnya. Setelah ceramah beliau selesai, beliau
didatangi oleh tiga orang anak. Mereka sebaya denganku, tapi salah
satunya lebih tua dariku.
"Permisi Bapa, kenalkan namaku Agni. Dan dua orang ini kawanku yang
sudah aku anggap saudara. Sejujurnya kami tersentuh dengan semua
ceramahmu dan kami ingin konsultasi kepadamu," kata anak yang paling
tua.
"Agni? Iya, tentu saja katakan! Tapi kemana orang tua kalian?" tanya Bapa Joseph.
"Kami tak punya orang tua," jawab Agni.
"Siapa nama dua orang lagi?" tanya Bapa Joseph.
"Aku Alex," kata Alex kecil.
"Aku Troya," kata Troya kecil.
"Kalau kalian tidak punya orang tua, berarti kalian sama dengan Ray," kata Bapa Joseph sambil memegang pundakku.
"Tidak, Anda tidak mengerti Bapa. Kami lain. Akan kami tunjukkan," kata Agni.
Saat itulah Agni mengeluarkan api dari telapak tangannya. Bapa Joseph terkejut.
"Kami juga bisa," kata Alex.
Dia mampu membuat sebuah kursi melayang di udara. Aku bisa merasakan
desiran angin yang mengelilingi kursi yang terbang itu. Sedangkan Troya,
ia membuat tubuhnya bisa diselimuti tanah dan batu. Ia bisa
menggerakkan semua bebatuan yang dia injak.
"Ya tuhan, kalian???" Bapa Joseph terkejut tentu saja.
"Katakan kepadaku bapa, apa yang harus kita lakukan?" kata Agni.
"Sudah cukup hentikan!" perintah Bapa Joseph. "Aku sudah lihat semuanya."
"Bagaimana, kami berbeda dengan anak itu bukan?" kata Agni sambil menunjukku.
Aku kemudian membuka telapak tanganku dan aku perintahkan angin untuk
membeku di atas tanganku. Ketiga anak-anak itu terkejut tentu saja.
Mereka merasa gembira melihatku ada di sana.
"Kamu sama seperti kami?" tanya Agni. Matanya tampak berkaca-kaca.
"Kalian sudah berjodoh. Ya, Ray sama seperti kalian," kata Bapa Joseph. "Bagaimana kalau kalian ikut bersamaku."
Akhirnya kami berempat pun menjadi teman akrab di panti asuhan. Agni
terutama. Aku sangat akrab dengan Agni. Dia seorang cewek yang sangat
tangguh. Lebih tepatnya tomboy dan susah diatur. Troya lebih suka
menyendiri tapi dia sangat cekatan dalam membuat sesuatu. Alex, dia
orang yang sangat setia kawan. Kami pun dikenal sebagai empat sekawan.
Kami pun sering menggunakan kekuatan kami untuk bercanda dan
bermain-main. Dan kebersamaan kita pun berakhir tak berapa lama
kemudian.
****
Beberapa tahun setelah kebersamaan kami. Aku sudah masuk SMP, demikian
juga Agni, Alex dan Troya. Tapi Agni lebih tua dua tahun dariku.
Sejujurnya aku suka kepada Agni. Sekalipun cewek tomboy dan berapi-api
seperti sifatnya, tapi dia orangnya baik. Aku dan Agni sering jalan
bersama kalau pulang, apalagi aku dan dia di satu sekolah yang sama.
Beda ama Alex dan Troya. Mereka di satu sekolah yang sama.
"Hei Ray?!" sapa Agni. Aku sempat mencari-cari sumber suaranya ketika aku ketahui dia sudah ada di atas gapura gerbang sekolah.
"Woi, ngapain lo di atas sana?" tanyaku.
"Lihat nih, gue punya jurus baru!" katanya. Dia melompat tapi dengan
kakinya yang mengeluar api seperti roket. Dan dia turun dengan mudah
sampai ke tanah.
"Whoaaaa!" seruku. "Lo gila apa kalau ada yang lihat gimana?"
"Biarin," katanya sambil menjulurkan lidah. "Agak nggak nyaman juga sih."
"Apanya?"
"Sepatuku bisa kebakar habis kalau aku melakukan itu lagi," Agni menunjukkan sepatunya bagian bawah.
Memang Agni tidak takut untuk memamerkan kekuatannya. Tidak seperti aku. Aku terlalu malu. Tidak, atau mungkin aku takut.
"Kamu bisa apalagi sekarang?" tanya Agni.
"Nggak ah, kata Bapa Joseph aku nggak boleh gunain sembarangan," jawabku.
"Halah Ray, ayolah!" paksanya.
"Aku nggak bisa," kataku.
"Ayolah, sekali aja!" katanya.
Aku menghela nafas. "Baiklah, sekali ya."
Aku kemudian mengangkat tanganku ke atas. Dengan sekejap aku perintahkan
air dan udara untuk membentuk butiran-butiran salju. Seketika itu dalam
radius tiga meter di sekelilingku ada hujan salju.
"Waaaaaaaaaa.....Ray! Indah sekali!" seru Agni. Melihat wajahnya yang
sangat gembira aku senang sekali. Ia berputar-putar seperti tokoh kartun
Disney yang sedang menari. Aku tersenyum melihat dia seperti itu.
Karena jam pelajaran telah usai kami pun pulang bersama. Saat itulah ada
sesuatu yang tak terduga. Kami serasa diikuti oleh seseorang. Bukan
seseorang, tapi beberapa orang.
"Ray, kamu merasa diikuti nggak?" bisik Agni ketika kami sedang berjalan di trotoar.
"Iya, aku juga merasa gitu," kataku.
"Lari yuk!" katanya. Dia langsung mengambil langkah seribu.
"Hah?" aku terkejut. Segera aku susul Agni. Dan benar ada tiga orang yang langsung mengejar kami.
Aku dan Agni berlari secepat mungkin. Tiga orang memakai jas hitam,
berkaca mata. Siapa mereka? Kenapa mereka mengejar kami? Kami lalu
berbelok masuk ke sebuah blok pertokoan. Namun itu blok ternyata sepi
tak ada satupun toko yang buka.
"Kita lawan saja Ray!" kata Agni, ia tiba-tiba berhenti. Aku lucunya, ikut juga.
Tiga orang yang mengejar kami pun berhenti mengejar. Mereka kemudian
mengeluarkan sesuatu dari balik jas mereka. Pistol? Mereka membawa
pistol!?
"Ray, mereka bukan orang baik-baik, seraaang!" Agni berteriak. Dia
tiba-tiba sudah melompat ke udara dengan istilah yang dia sebut "kaki
roket". Tentu saja ketiga orang itu kaget.
Aku tak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku hanya bisa berbicara kepada
angin dan air yang ada di udara. Apa yang harus aku lakukan? Dan mereka
pun memberikan usulan untukku membekukan mereka bertiga. Ide yang bagus.
Aku pun mulai membuka kedua tanganku. Sebuah cahaya biru terbentuk di
atas telapak tanganku .Seluruh angin dan air yang ada di udara kompak
bersatu menyambut panggilanku, mereka bergerak ke arah tiga orang yang
sekarang sedang membidikku. Pistol mereka pun membeku. Ketiganya
terkejut, terlebih lagi ketika kaki mereka tak bisa digerakkan.
"Aahhhh...apa ini?!" seru mereka. Ketiganya melepaskan pistol mereka.
Dengan cepat Agni yang sudah ada diudara melepaskan bogem ke salah
seorang dari mereka. Satu orang langsung KO. Dia lepaskan bogem lagi ke
yang lainnya.
Setelah itu ia sangat senang sekali, "Yuhuuuuuu! Kita menang!"
Aku pun menurunkan tanganku. Cahaya biru di atas telapak tanganku menghilang. Agni langsung menggeretku.
"Ayo Ray, aku khawatir dengan yang lain," kata Agni.
Siapa ketiga orang itu dan kenapa mereka ingin membunuh kami aku tak
tahu. Tapi untunglah hanya Agni dan aku saja yang mendapatkan
petualangan kecil tadi. Alex dan Troya baik-baik saja. Tapi kami tak
menyadari bahaya yang lebih besar lagi akan datang lagi setelah itu.
BAB XI
Cinta Monyet atau Cinta Beneran?
Aku dan Agni mulai seperti sepasang kekasih. Kemana-mana selalu bersama.
Aku seperti kerbau yang dicokok hidungnya, kemana-mana nurut saja. Agni
mungkin lebih bisa dibilang cewek yang agresif. Mungkin dia adalah
cinta pertamaku atau mungkin juga cinta monyet. Aku sendiri tak yakin.
Tapi pada suatu malam dia pun mengatakannya kepadaku.
"Hei Ray! Kamu punya pacar nggak?" tanya Agni tiba-tiba. Kami sedang
duduk-duduk di atas atap panti. Di saat semuanya tidur aku dan Agni
berada di atas. Ini biasa kami lakukan kalau malam. Toh semuanya juga
sedang tidur. Bapa Joseph, ibu kepala, suster Elizabeth jarang bangun
malam, juga suster-suster yang lain.
"Koq nanya gitu?" tanyaku.
"Udah, jawab aja napa sih?"
"Blom punya, lagian masih kelas 1 SMP."
"Yee, ntar lagi kan kamu naik ke kelas 2. Aku udah masuk SMA. Cepet juga ya ternyata perjumpaan kita."
"Kamu nggak pernah cerita ke aku Ni, bagaimana masa lalumu sebelum bertemu denganku."
Agni memeluk kakinya. Dia sepertinya tak ingin menceritakannya.
"Oh, kalau tak ingin cerita nggak apa-apa, aku bisa memahami koq," kataku. Aku takut kalau dia marah.
"Nggak apa-apa. Sebenarnya, kami bertiga kabur dari sirkus."
"Hah? Koq aku nggak tahu?"
"Ya jelaslah. Aku hanya cerita ke Bapa Joseph."
"Oh, trus?"
"Kami anak yatim piatu sejak kecil. Kemudian kami baru sadar kami bisa
menggerakkan elemen. Bisa memerintahkan mereka, bisa bicara dengan
mereka. Seperti ada yang berbisik di hati nurani kami, tapi kami baru
sadar bahwa itu adalah elemen-elemen yang selalu bersama dengan kami."
"Iya, aku juga merasakannya."
"Awalnya pihak sirkus senang dengan keahlian kami bertiga. Tidak, tidak,
kami bukan bersaudara tapi nasiblah yang menghantarkan kami sampai
seperti ini. Kemudian ternyata pihak sirkus malah berlaku
sewenang-wenang kepada kami. Aku sendiri menyangka tuhan tak pernah
menolong kami. Setiap hari kami pasti menerima cambukan dan diancam
tidak akan diberi makan kalau tidak memberikan pertunjukan yang bagus.
Hingga akhirnya kami pun lari. Lalu kami bertemu dengan Bapa Joseph.
Beliau mengatakan bahwa tuhan tidak jahat, hanya kita yang terlalu
berputus asa kepada-Nya. Kami pun akhirnya bertemu denganmu."
Begitu ternyata ceritanya. Agni meluruskan kakinya.
"Ray, berjanjilah kepadaku!" kata Agni sambil menoleh kepadaku.
"Janji apa?"
"Berjanjilah kita selalu bersama-sama sampai nanti."
Aku melihat wajahnya. Eh...kenapa dia menangis? Dan entah bagaimana dia
memajukan wajahnya ke wajahku. Dan....bibirku pun bersentuhan lembut
dengan bibirnya. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang wanita. Seorang
yang aku kagumi dan aku cintai pertama kali. Agni.
***
Yup, setelah ciuman kami hari itu, aku makin mesra ama Agni. Dan...dia
sedikit feminim denganku, walaupun sebenarnya ketika bersama yang lain
tidak. Setelah aku naik kelas 2 dan dia masuk SMA rasa cinta kami makin
kuat. Yah, dia juga kan ada pertumbuhan. Wajahnya makin cantik. Walaupun
masih terkesan tomboy.
Alex dan Troya pun tahu hubungan dan kedekatanku dengan Agni. Mereka sih
bisa memaklumi. Sudah menganggap Agni sebagai kakak mereka. Kalau Agni
sudah mengatakan sesuatu maka ia tak akan bisa diubah. Sifat Agni yang
keras kepala mungkin juga menjadi suatu pertimbangan bagi mereka untuk
tidak melawan seniornya itu.
Suatu malam aku dan Agni melakukan petting untuk pertama kalinya. Kami
memilih tempat yang sedikit romantis di tepi pantai di atas perahu
nelayan yang tidak terpakai. Kami memang iseng saja sebenarnya
jalan-jalan ke Ancol, eh Agni malah ngajak.
Aku menciumnya, bibir kami menyatu seolah-olah sudah terkena lem kuat.
Kami saling menghisap, lidah kami bertemu dan memberikan
sentuhan-sentuhan birahi. Aku tak pernah tahu caranya untuk bercinta.
Tapi Agni dan aku tahu apapun yang kami sentuh semuanya adalah insting.
Ketika Aku cium bagian tubuhnya semisal leher, dan dia merasa enak, maka
aku teruskan di sana.
"Oh...Ray,..aku cinta kamu," itulah yang kudengar dari bibirnya.
Bisikan-bisikan cintanya kepadaku ibarat sebuah embun penyejuk di pagi
hari. Dan hari itu untuk pertamanya tangannya mengarahkan tanganku ke
dadanya. Dadanya sekal, bulet , empuk dan kenyal. Aku tak percaya aku
memegang dada wanita.
"Ni... aku cinta kamu," kataku.
Ciumanku sekarang menurun ke dadanya. Kuhirup aroma tubuhnya yang wangi.
Perlahan-lahan kubuka kancing bajunya, satu per satu. Kubisa lihat
dadanya yang cukuplah untuk anak seusia dia. Branya sepertinya cukup
pas menahan kantung susu itu. Nafas Agni naik turun. Ia bantu aku
melepaskan kancing branya. Aku bisa melihat dalam cahaya remang-remang
kulit putih susunya.
"Ni...aku boleh?" tanyaku.
"Iya, tentu saja," jawabnya.
Aku sentuh putingnya dengan bibirku. Dia meremas rambutku. "Ray...cintailah aku Ray!" katanya.
Ku usapkan lidahku di tonjolan dadanya itu. Putingnya makin mengeras.
Aku pun menghisapnya sebuah sentakan kecil kurasakan di punggungnya.
"Ray, rasanya geli," katanya. "Ohh...hisap terus. Aku senang kamu adalah lelaki yang melakukannya."
Tangan kananku sudah bergerak meremas-remas dadanya sebelah kiri.
Kemudian aku pun mencaplok putingnya sebelah kiri. Dengan lahap aku
gigiti, kukenyoti dan kuhisap buah dada Agni. Nikmat dan lembut. Dadanya
pun kini mengkilat karena air ludahku akibat jilatanku.
Tangan Agni mulai nakal mengelus-elus kemaluanku yang sudah mengeras.
"Ni, jangan!" bisikku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Aku...geli," kataku.
Ia tersenyum. Kemudian dilepaskannya kancing celanaku. Dia kemudian
membuka resletingnya dan merogoh isinya. Punyaku makin mengeras. Aku
sedikit malu ketika ia memegang dagingku yang berurat dan tegang sekali.
"Besar ya Ray," katanya.
"Aku malu Ni," kataku.
"Tak perlu malu, aku mencintaimu Ray," kata Agni. Ia menurunkan celanaku
selutut. Tampak kepala pionku mengeras karena sentuhannya.
"Aahhhhh.....Niii....aduh...jangaaann!" cegahku ketika Agni tersenyum kepadaku sambil meremas-remas.
"Enakkah?" tanyanya.
"Iya, padahal cuma kamu gituin ya?"
Dia lalu mencoba cara lain dikocoknya naik turun. Aku makin tak kuasa.
"Nii...enak banget!" kataku.
"Masa' sih? Aku cuma giniin lho," katanya.
"Bener, udah dong, aku rasanya nggak kuat kalau digituin. Tanganmu terlalu lembut, rasanya aku melayang Ni," kataku.
Tiba-tiba tangan satunya mengusap kepala pionku. Aduuuhhh.....nikmaattt bangeeeettt...
"Nii...aaahhhaakkk...kamu apain itu?" tanyaku.
"Aku cuma giniin aja koq, enak ya?" tanyanya.
AKu mengangguk.
"Ih, pria emang aneh. Kamu sendiri giniin gimana?"
"Nggak ada rasanya Ni, entahlah ketika kamu sentuh tadi serasa mengeras," kataku.
"Kalau inimu masuk ke punyaku kita bisa jadi anak ya?" katanya sambil menunjuk ke selakangannya.
"Jangan Ni...akukan masih sekolah, masa' punya anak sih?"
"Ih, siapa yang kepengen punya anak. Aku cuma tanya aja, kan kita cuman
dapat pelajaran biologi kalau ininya cowok masuk ke sini. Caranya gimana
kan nggak tau," katanya sambil masih terus melakukan kocokan lembut dan
mengusap-usap kepala penisku.
"Nii...kamu curang deh, masa' punyaku aja yang kamu gituin. Punyamu juga dong!" kataku.
Akhirnya Agni menaikkan roknya. Kemudian perlahan-lahan celana dalamnya dilepas, "Nih, sentuh aja!"
Tanganku pun menyentuhnya. Ada rambutnya. Jari telunjukku kemudian
bergerak ke sebuah tonjolan di belahan kemaluannya. Apakah itu namanya
klitoris? Agni menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Lalu tiba-tiba
kepalanya disandarkan ke dadaku.
Aku pun mengobel-kobel kemaluannya. Kugesek-gesek bibir kemaluannya.
Agni makin mempercepat kocokannya, seiring cepatnya kobelanku.
"Ray, aku enak banget Ray....," katanya.
"Aku juga Ni, enak banget kocokanmu," kataku.
"Ray, udah ya kocokannya. Tempelin itumu ke ini dong!" katanya.
"Nanti hamil gimana?" tanyaku.
"Nggak sampai masuk, gesek-gesekin gitu. Mungkin lebih enak Ray," katanya sambil menatapku dengan pendangan sayu.
Aku mengangguk. Kami berciuman hangat dulu sebelum melakukannya. Ia
merebahkan dirinya di atas perahu. Dadanya masih terekspos. Sehingga aku
makin terangsang. Agni melebarkan kakinya. Terlihatlah kakinya yang
mulus dalam cahaya remang-remang itu. Aku tak percaya bisa melihat
kemaluan wanita dari dekat seperti ini. Aku tak akan memasukkannya. Aku
sudah janji kepada diriku sendiri.
Aku menggesek-gesekkan pionku di bibir kemaluannya. Lendirnya menggelitiki kemaluanku. Geli-geli nikmat. Enak sekali.
"Ohh..Raay...hhhmmmmhh...cepetin Ray, cepetin!" katanya.
Aku pun menggesek-gesekkan kemaluanku di kemaluannya. Enak banget,
geli-geli nikmat. Ada sesuatu yang ingin keluar di ujung kemaluanku,
seperti kebelet kencing, tapi rasanya nggak di perut. Tapi di ujung
pionku. Seluruh otot-otonya tegang.
"Ray, punyamu keras banget, nikmat banget. Aku....aku...kepengen pipis Ray!" katanya.
"Nii....aku juga!" kataku.
Dan Agni pun menyemprot. Ia squirt. Mungkin itu squirt pertama kalinya.
Dan bersamaan dengan itu sebuah tembakan mani melesat ke dada dan perut
Agni. Nggak cuma itu mani itu juga sampai menyemprot ke wajahnya. Agni
tak mempedulikannya. Aku lalu memegangi penisku yang tegang itu. Rasanya
nikmat sekali. Apalagi setelah itu Agni membantuku mengocoknya.
Sisa-sisa sperma meleleh ke perutnya.
Setelah itu aku hanya bisa menatap wajahnya. Ada sebuah garis lurus dari
dahi ke hidungnya cairan putihku. Ia tersenyum kepadaku. Dibersihkannya
cairan itu. Ia lalu bangun dan mencium bibirku.
"Terima kasih Ray," katanya.
"Ni..., aku cinta kamu," kataku.
"Aku juga," jawabnya.
****
Yang terjadi selanjutnya. Aku sering bercumbu dengan Agni ketika di luar
panti. Hubungan kami menjadi lebih hot walaupun tak pernah melakukan
penetrasi, tapi apa yang terjadi dengan kami adalah kenangan indah.
Perasaan cinta. Aku pun sampai sekarang masih merindukan momen-momen
bersama dengan Agni. Hingga terjadilah peristiwa yang tak terlupakan
itu.
Saat itu, empat sekawan sedang diajak oleh Bapa Joseph pergi ke kota
lain untuk ceramah. Awalnya tidak ada firasat apapun. Semuanya berjalan
seperti biasa, seperti kunjungan-kunjungan pada umumnya. Setelah ceramah
selesai dan seluruh peserta pulang. Ada beberapa orang yang menemui
kami.
"Bapa Joseph?!" sapa orang itu.
Aku saat itu sedang ada di belakang panggung. Aku hanya melihat mereka
dari sana. Agni dan yang lainnya tampak sedang membantu Bapa Joseph
untuk beres-beres.
"Apa yang bisa aku bantu anakku?" tanya Bapa Joseph.
"Saya March, dari Divisi Khusus ATFIP kepolisian, saya ingin bapak
menyerahkan anak asuh bapak. Saya tahu apa yang mereka miliki," kata
orang itu.
"Siapa maksud Anda?" tanya Bapa Joseph.
"Anda tak perlu menyembunyikannya. Saya tahu semuanya. Dapat ijin atau
tidak saya akan mengambil anak-anak berkemampuan khusus itu," kata
March. "Permisi."
"Tunggu! Jangan ambil mereka! Aku yakin kamu pasti bermaksud jahat! Langkahi dulu mayatku!" kata Bapa Joseph.
"Maaf, tapi aku tak perlu berdebat denganmu," kata March. Sebelum March mendorong Bapa Joseph Agni menyerangnya.
"Agni! Jangan!" cegah Bapa Joseph. "Kamu tak boleh lakukan itu. Larilah!"
"Saya tak bisa lakukan itu!" kata Agni.
"PERGI!" bentak Bapa Joseph.
"Alex, ayo!" kata Agni agak tidak tega meninggalkan Bapa Joseph. Tapi
mereka sudah berjanji untuk tetap patuh kepada beliau. Aku masih berdiri
mematung di belakang panggung sambil menyaksikan Bapa Joseph dari celah
tirai. Nampaknya orang-orang berbaju hitam itu tidak mengetahui
keberadaanku.
Setelah Agni pergi Bapa Joseph berdiri menghadang March dan
teman-temannya. March lalu berusaha untuk mendorong Bapa Joseph tapi
pendeta itu memukul March dengan keras sampai terhuyung. March
menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku mantan petinju, jangan anggap remeh pukulanku," ujar Bapa Joseph.
Dua orang yang bersamanya lalu menyerang Bapa Joseph, tapi dengan mudah
keduanya ditumbangkan dengan satu pukulan. Ternyata kemampuan Bapa
Joseph sangat luar biasa. Ia masih ingat caranya bertinju.
March berdiri lagi. Ia lalu menyerang Bapa Joseph, memukulnya tapi Bapa
Joseph bisa berkelit lalu menghantam perut March. March pun roboh. Ia
tak menyangka bahwa orang sebesar dia bisa dirobohkan oleh Bapa Joseph.
"Ayo, masih mau lagi?" tanya Bapa Joseph.
Bapa Joseph naik ke panggung dan sebenarnya ingin menemuiku. Aku bisa
lihat ia tersenyum kepadaku karena tahu aku ada di balik panggung. Ia
bisa melihatku dari celah tirai, tapi....DOR! Bapa Joseph seperti
tersentak. Tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak!
tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak! tidak!
Aku tidak sadar beberapa saat. Aku hanya melihat tubuh Bapa Joseph
diseret oleh mereka lalu March menembak kepalanya. Sebelum menembak
beliau berkata, "Ray, dengarlah nasehatku. Di luar sana ada banyak
sekali hal yang tidak kamu ketahui. Kamu harus bijak dalam menggunakan
kekuatanmu. Ini adalah pemberian tuhan yang tidak ternilai untukmu."
Bapa Joseph, tidak! Jangan
"JANGAN KAU AMBIL BAPA JOSEPH DARIKU!" aku menjerit. Tiga orang itu
terkejut. Mereka tak jadi mengeksekusi Bapa Joseph. Mereka melihatku
keluar dari belakang panggung dengan kedua tanganku memancarkan cahaya
berwarna biru menyala.
Seluruh angin dan air merasakan kepedihanku, merasakan kemarahanku,
mereka bersedih, mereka juga marah. Air pun muncul dari bawah tanah,
angin pun masuk ke tenda kami. Ketiga orang itu kebingungan suhu
tiba-tiba menjadi dingin. Aku menjerit, menangis dan mengeluarkan
seluruh emosiku yang tak bisa dibendung lagi.
Bapa Joseph selama ini sudah aku anggap sebagai ayahku. Dia selalu
menyayangiku. Dia selalu membimbingku untuk jadi anak yang baik.
Mengajariku cara mengenal tuhan. Mengajariku cara untuk menjadi anak
yang berbakti. Tapi...kenapa mereka harus menyakitinya???
Angin mengamuklah!
Air bersedihlah!
Cukup satu detik. Cukup satu detik. Tempat yang luas itu membeku. Tenda
kami membeku, bahkan seluruh kainnya yang baru saja berkibar tertiup
angin pun membeku. Ketiga orang yang menyakiti Bapa Joseph membeku.
Mereka tak akan bergerak untuk selamanya. Tapi....kenapa Bapa Joseph
juga? Aku pun menangis. Kupeluk jasadnya yang membeku itu.
"Maafkan aku Bapa, maafkan aku!" tangisku.
Saat itulah dari arah lain kulihat Agni masuk ke tenda dengan energi
apinya. Ia, Alex dan Troya selamat karena dilindungi oleh api milik
Agni. Kami berempat bersedih hari itu. Mulai saat itulah aku takut
menggunakan kekuatanku sendiri. Ternyata inilah yang selalu di nasehati
oleh Bapa Joseph agar aku bijaksana dalam menggunakannya. Kekuatannya
sangat mengerikan.
BAB XII
I Hate When You Are Weak
Seminggu lamanya aku mengurung diri di kamar. Aku masih berduka atas
kepergian Bapa Joseph. Ibu kepala selalu menghiburku tiap hari. Agni,
Troya dan Alex bergantian menghiburku, tapi aku tak bisa. Rasa dukaku
makin dalam. Terlebih, akulah yang menyebabkan kematian beliau. Tapi
berkali-kali Agni bilang, "Itu bukan salahmu." Tetap saja itu salahku.
Kemampuanku ini mengerikan. Cukup satu detik aku sudah membekukan
seluruh kota hari itu. Tapi untunglah Agni bisa menormalkan lagi keadaan
dengan kemampuan apinya walaupun ia kehilangan banyak energi karena
melakukan itu. Untunglah penduduk kota tidak ikut membeku jadi tak ada
korban jiwa lagi.
Setelah seminggu aku pun keluar dari kamar. Para suster mulai senang
dengan kehadiranku. Mereka menganggap aku sudah tidak lagi berkabung dan
bersedih. Tapi sebenarnya tidak. Masih ada rasa berkabung.
Agni sedikit senang melihat aku sudah keluar dari kamar. Aku pun mulai
ikut makan bersama setelah sebelumnya tidak pernah sama sekali. Aku juga
ikut kebaktian walaupun terlihat pasif. Lambat laun aku tak bisa
membohongi perasaanku bahwa aku masih berkabung, aku masih bersedih.
Malam itu aku duduk di atap lagi. Agni menemaniku. Ia lalu memelukku.
"Sudahlah Ray, yang pergi biarkan pergi," katanya. "Relakanlah!"
"Bukan masalah seseorang pergi atau tidak. Tapi masalahnya adalah aku
yang membuatnya pergi," kataku sambil memperlihatkan kedua telapak
tanganku. "Lihatlah, kekuatan ini. Sampai kapan aku bisa mengontrolnya?
Aku ingin kekuatan ini hilang saja. Kenapa sampai aku mendapatkannya?"
"Aku juga punya pemikiran seperti itu Ray," kata Agni. "Tapi semuanya pasti ada hikmah. Kamu yakin saja."
"Aku takut kekuatan ini nantinya malah menyakitimu. Sekarang ini cuma kamu yang paling aku sayangi Ni," kataku.
"Oh, Ray!" Agni lalu memeluku lebih erat lagi. "Aku juga sayang kamu."
Rasanya pelukan Agni itu sedikit memberikan rasa nyaman kepadaku. Karena memang pelukannyalah yang saat itu aku perlukan.
***
Sudah selama sebulan ini aku tak menggunakan kekuatanku. Beda dengan
Agni yang masih bermain-main. Seperti bikin kembang api, atau membantu
ibu asuh ketika tak ada api gara-gara tabung gas habis. Aku masih takut
menggunakan kekuatanku. Sampai suatu ketika. Ada sekelompok preman yang
memalak diriku. Aku dihajar hingga babak belur gara-gara nggak
memberikan uang. Pulang dengan luka lebam membuat Agni marah.
"Siapa yang melakukannya? Bilang sama aku!" kata Agni.
"Sudahlah Ni, nggak usah," kataku.
"Kamu ini gimana sih Ray, kamu itu kuat. Punya kekuatan tapi kenapa kamu
lemah?!" ujar Agni. "Aku benci kamu Ray, aku benci. Mati saja sana!"
Agni marah kepadaku hari itu. Besok dan besoknya lagi. Kejadian pun
terulang lagi. Aku dipalak preman yang sama, tapi aku memberikan mereka
uang. Hal itu diketahui oleh Agni dan lagi-lagi ia marah kepadaku.
"Kamu itu lemah dan aku benci cowok lemah!" katanya.
Agni tidak lagi menyapaku. Tidak lagi memperlakukan aku seperti biasanya. Aku pun sedih.
"Ni,...maafkan aku!" kataku. "Aku tak ingin lagi memakai kekuatanku."
"Kamu pengecut Ray, kamu lemah!" kata Agni.
"Kamu harus tahu alasanku tidak memakainya, aku tak ingin menyakiti
orang lagi. Aku tak tahu bagaimana mengendalikannya!" kataku.
"Itu karena kamu lemah dan aku benci kamu yang lemah seperti ini! Jangan lagi memanggil namaku. Dasar lemah!" katanya.
"Agni, please!" kataku memohon.
Ribut-ribut itu membuat semua orang menonton. Seluruh penghuni panti
asuhan seperti mendapatkan tontonan gratis dari kami. Aku mencoba meraih
tangan Agni. Tapi dia mengeluarkan apinya dari tangannya. Segera aku
melepaskan peganganku. Kucoba mengendalikan suhu panas dengan
kekuatanku.
Agni menatapku tajam. "Katakan kamu mencintaiku!"
"Ni..aku..!" aku melihat semua orang. Mereka terkejut ketika Agni bicara seperti itu.
"Katakan!" bentaknya.
"Iya, aku cinta kamu!" kataku.
"Kalau begitu aku menantangmu bertarung!" katanya Agni.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kalau begitu kamu tak mencintaiku," katanya.
"Agni!" panggilku.
Tangannya kini sudah memancarkan api lagi. Dia melemparkan bola api ke
arahku. Aku menangkap bola api itu dan hancur dengan kekuatan esku.
"Tunggu Ni, jangan!" pintaku.
"Lawan aku! Dasar lemah, cowok lemah!" katanya. Ia melemparkan api lagi
kini aku menghindarinya malah terkena meja yang ada di pinggir ruangan.
Meja itu pun terbakar. Para penghuni panti langsung mengambil pemadam
kebakaran dan memadamkannya. "Lawan aku Ray! Lawan! Kamu tidak cinta
aku. Kamu tidak mencintaiku!"
Ibu kepala yang melihat ribut-ribut itu segera keluar. "Ada apa ini? Agni? Ray?"
Agni lalu berlari. Ia keluar dari panti.
"Tunggu Agni!" teriakku.
"Kalau kamu mencintaiku maka kejar aku!" katanya.
"Ada masalah apa ini?" tanya ibu kepala ke Alex.
"Masalah cinta," jawab Alex.
"Ray dan Agni?" tanya ibu kepala.
"Sejak kapan?"
"Sudah lama ibu," kata Troya.
Aku lalu berlari mengejar Agni. "Tunggu Agni! Jangan pergi!"
Aku terus mengejar Agni. Larinya cukup cepat hingga kami berhenti di sebuah jalanan sepi.
"Agni, jangan tinggalkan aku. Aku tak punya siapa-siapa lagi!" kataku.
"Kau kira aku juga punya?"
"Agni...aku...,"
"Aku tak ingin kamu lemah Ray. Lawan aku!"
"Tidak Agni, aku tak bisa!"
Agni berbalik menghadapku. Kini matanya menyala merah. Ia benar-benar
marah. Seluruh pakaiannya serasa terbakar. Dan dalam sekejap dari kedua
tangan dan seluruh tubuhnya mengeluarkan api. Seluruh bajunya terbakar.
Rambutnya menyala seperti api yang membara.
"Agni...jangan! Aku mohon bagaimana aku bisa melawan orang yang aku cintai?" kataku.
"Kamu lemah! Aku benci cowok lemah!" katanya. "Kalau kamu tak melawanku,
aku akan membakar semua yang ada di sini hingga tak tersisa. Kamu tak
tahu betapa kesepiannya diriku melihatmu berduka Ray? Kamu tak
mengertikah perasaanku? Kami selalu berusaha mengerti perasaanmu, tapi
kamu egois. Kamu tak tahu perasaanku."
"Ni, tak perlu seperti ini juga kan?"
"Perlu, sangat perlu. Padamkan apiku Ray, karena aku tak akan memadamkannya kecuali dengan kekuatanmu!"
Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Dia sungguh-sungguh. Aku seperti
melihat Human Torch dalam wujud seorang wanita yang membakar dirinya
tanpa busana. Air mataku pun meleleh.
Angin dan air bergetar. Mereka mengerti kesedihanku. Dan mereka pun
menghiburku. Walaupun mereka tak bicara tapi dengan bahasa hati aku bisa
mendengarkan mereka, bisa merasakan mereka. Kini seluruh kekuatan angin
dan air menyatu ke dalam tanganku. Mereka berkumpul semuanya memberikan
sebuah efek yang tidak biasa. Tubuhku seperti terbungkus oleh perisai
pelindung berlapis-lapis. Angin dan Air menyatu di dalam tubuhku,
tanganku pun kini berwarna putih, mulutku pun mengeluarkan uap air. Aku
membeku, tapi aku tak merasakan kebekuan itu.
Agni, maafkan aku. Bapa Joseph, maafkan aku. Tuhan, maafkan aku.
Aku berjalan mendekat ke Agni. Ia mulai tersenyum. Kedua telapak
tanganku mengeluarkan cahaya birunya dan cahayanya makin terang. Kedua
kekuatan saling menghantam sekarang. Di sisi Agni semua di sekelilingnya
terbakar, sedangkan di sisiku semuanya membeku. Aku makin mendekat dan
sekarang mendekapnya. Tangannya menyentuh pipiku.
"Aku mencintai dirimu yang seperti ini Ray," katanya sambil tersenyum.
"Jangan tinggalkan aku Ni," kataku.
"Maafkan aku, kalau tidak seperti ini kamu tidak akan jadi kuat. Karena
aku benci dirimu yang lemah Ray. Aku benci. Tapi yang seperti ini aku
suka, aku cinta," katanya.
"Hentikan ini Ni, hentikan!" kataku.
"Tidak bisa Ray. Aku sudah mengeluarkan seluruh kekuatanku sampai aku
membakar diriku sendiri. Tak ada yang bisa memadamkannya," katanya.
"Aku bisa aku akan padamkan!" kataku.
Ia menggeleng. "Aku tahu kamu bisa memadamkannya, tapi aku tak akan selamat. Kamu tak akan bisa menyelamatkanku."
Perlahan-lahan tubuhnya melepuh tangannya habis terbakar. Tidak! Jangan! Jangan lagi.
Saat itulah Alex dan Troya menyusulku. Melihat aku sedang beradu
kekuatan dengan Agni mereka tak berani mendekat. Ibu kepala juga
melihatku dan Agni. Ia berteriak, "Agniii! RAAY! Hentikan! Kumohon nak
hentikan!"
"Sampaikan maafku ke ibu kepala ya?! Kamu harus kuat Ray, kamu harus kuat!" katanya.
"Jangan lakukan ini Agni, bagaimana aku bisa hidup tanpamu?" tanyaku.
"Kamu pasti bisa. Akan ada seorang wanita yang akan mengisi hidupmu nanti. Dia pasti lebih baik dariku."
Api pun akhirnya membakar habis tubuh Agni. Aku pun mencoba menangkap
seluruh sisa-sisa abunya. Aku menangis di tempat itu. Kekuatanku pun
mulai aku padamkan hingga cahaya biru di kedua tanganku pun padam. Hari
itu kami semua bersedih lagi. Aku telah kehilangan cinta pertamaku untuk
selama-lamanya. Agni, maafkan aku. Bahkan dengan kekuatan sebesar ini
aku tak bisa menyelamatkan siapapun.
****
Itulah cerita masa laluku. Itulah sebabnya aku banyak menutup diri.
Menghabiskan waktuku dengan membaca. Takut dekat dengan perempuan.
Bahkan ketika aku tahu bahwa aku menyukai Maria, aku tak pernah bisa
dekat dengan dirinya. Alex dan Troya menyadari bahwa mereka akan
membahayakan yang lainnya kalau terus tinggal di panti asuhan. Alex
kemudian membuat kelompok sendiri bersama Troya. Empat sekawan pun pecah
dengan sendirinya setelah kematian Agni. Misteri tentang orang-orang
yang mengejar kami pun akhirnya terkuak. Mereka adalah sekte Dark
Lantern. Sekte Lentera Kegelapan yang memang ingin menghukum orang-orang
yang mempunyai kekuatan iblis.
Ya, kekuatan kami memang berbahaya. Kekuatan kami luar biasa. Kekuatan
kami bisa menghancurkan apapun. Pantas mereka ingin membunuh kami. Tapi
kami juga manusia, kami punya hati dan kami bukan hewan yang seenaknya
saja bisa diburu. Sampai sekarang pun aku tetap mengira perasaanku
kepada Agni bukanlah perasan jahat. Melainkan perasaan cinta. Perasaanku
kepada Bapa Joseph. Kepada teman-temanku.
Aku memang bersedih ketika Troya dibunuh oleh mereka. Karena memang kami
dulu pernah menjadi kawan. Misteriku selanjutnya adalah aku harus
menemukan kedua orang tuaku, dan atas alasan apa mereka membuangku. Dark
Lantern, aku sudah bersumpah aku akan menghancurkannya seorang diri.
Aku tak ingin membahayakan orang-orang yang aku cintai. Aku bukan lagi
orang yang lemah.
BAB XIII
The Woman
NARASI DETEKTIF JOHAN
Mengejar orang yang bernama Tina Einsburgh ini seperti mencari jarum di
tumpukan jerami. Aku mulai yakin bahwa apa yang aku selidiki juga
diselidiki oleh Divisi ATFIP. Mereka beberapa kali mengikuti jejakku
untuk menemukan wanita dengan identitas Tina Einsburgh. Siapa dia
sebenarnya, kenapa divisi semacam ATFIP juga mencarinya? Aku pun jadi
lebih yakin lagi bahwa ATFIP adalah kelompok sekte Dark Lantern. Tapi
bagaimana mungkin mereka bisa sampai berada di divisi kepolisian? Siapa
yang memasukkannya?
Kasusnya makin menarik. Aku tahu aku sangat bersemangat. Tapi aku harus
berpura-pura bahwa aku sedang suntuk menangani kasus ini agar tak
membuat setiap orang curiga kepadaku bahwa permainan nyawa sedang
berlangsung, dan bisa-bisa keluargaku juga terkena korbannya. Mereka
bisa mendapatkan rekaman CCTV itu udah cukup bagiku bahwa mereka punya
hak akses tak terbatas. Dan aku membencinya.
Aku pun mulai masuk ke dalam permainan gelap. Aku tak menyadari bahwa
aku makin masuk ke dalamnya hingga relung-relung jiwaku menyelami
kegelapan tanpa cahaya. Aku pun mulai takut, bagaimana aku bisa keluar
dari tempat ini? Aku sungguh tak menyangka urusan seorang anak tujuh
belas tahun bisa serumit ini.
Saat aku menggapai dalam kegelapan, aku pun menemukan sebuah titik
cahaya. Seseorang bernama Tina Einsburgh menghubungiku. Dan aku kira dia
cuma membual. Namun saat aku serius mencari kebenaran tentang dirinya,
dia mengatakan mengetahui apa yang aku cari. Emailnya memang misterius
dan menyuruhku untuk ketemu di sebuah hotel.
Aku tidak siap dengan semua ini, bagaimana kalau ini cuma jebakan?
Bagaimana kalau ini cuma tipuan? Siap atau tidak, inilah yang akan aku
lakukan. Aku sudah mempersiapkan senjataku, pistol Glock, dua magz. Hari
itu tanpa banyak cing-cong aku segera pergi ke hotel yang dimaksudkan.
Hari itu tanggal 20 Desember. Lima hari menjelang natal. Orang-orang
sudah sibuk memasang pohon natal dan pernak-perniknya. Pegawai tahunan
yang menyamar menjadi Sinterklas pun sudah menempati posisinya berpose
sebagai sinterklas. Aku belum mempersiapkannya, setidaknya dengan kasus
yang masih aku selidiki ini akan sulit merayakan natal.
Hotel itu cukup mewah. Entah apa yang akan aku hadapi di tempat ini. Aku
sudah masuk di tempat itu. Ia menyuruhku untuk pergi ke restoran dan
duduk di meja nomor 15. Cukup mudah aku menemukan meja nomor 15 karena
sudah bisa terlihat begitu aku masuk ke dalam restoran itu. Belum ada
orang. Dan aku pun duduk menunggu kira-kira apa yang akan terjadi?
Lima menit, lima belas menit, setengah jam, satu jam aku pun bosan
dengan anggur yang sudah aku pesan. Akhirnya aku merasa ini pasti cuma
gurauan orang-orang iseng. Hebat juga sampai memesankan meja untukku.
Tapi sebelum aku beranjak sang pelayan menyerahkan sebuah nampan yang
ditutup kepadaku.
"Maaf tuan, ada pesanan untuk Anda silakan di ambil," kata sang pelayan.
"Maksudnya?" tanyaku. Ia membuka nampan itu.
Aku langsung menyaksikan sebuah kertas bertuliskan sesuatu "Maaf, aku
harus melihatmu aman dulu. Kamu diikuti tapi aku sudah beresan mereka.
Sekarang pergi ke kamar 307." Apa-apaan ini? Baiklah aku coba ikuti
permainannya ia mau apa sebenarnya. Aku benci sekali misteri ini. Aku
mengeluarkan tip kepada pelayan namun ditolaknya. Katanya sudah dibayar.
What?
Aku makin gila dengan ini. Siapa yang mempermainkan aku sekarang ini?
Aku pun segera masuk ke dalam hotel. Di meja lobi aku bertanya letak
kamar nomor 307. Sang pegawai memberitahu bahwa letaknya ada di lantai
tiga. Aku pun segera masuk ke dalam lift. Setelah lift naik dan sampai
di lantai tiga aku keluar. Sepi sekali. Aku berjalan menelusuri karpet
berwarna merah bercorak. Ku perhatikan tulisan angka kamarnya. Adakah
yang bernomor 307? Aku pun mendapatinya.
"Hmm? Permisi?" sapaku sambil mengetuk pintunya.
Pintu pun dibuka. Seorang perempuan cantik berambut lurus dengan wajah oriental menyambutku. What the heck?
"Masuklah tuan detektif," katanya.
Dia tak salah. Dia memanggilku detektif. Akhirnya aku masuk. Tapi aku
lirik dirinya memberikan tag Do Not Distrub. Dia mengambil remote dan
musik pun dimainkan. Perempuan itu memakai baju yang seksi. Dia memakai
lingerie dan g-string. Bentar, apa-apaan ini? Dia langsung menciumku,
dasiku ditariknya.
"Nona apa yang...kamu lakukan?" tanyaku gelagapan.
"Ikuti saja!" katanya.
Aku kemudian didorongnya hingga terjerembab ke atas ranjang. Wanita ini
pun mulai berjoget seirama iringan musik. Dia lalu mulai melucuti
kancingku satu per satu. Dia mengambil senjataku, eh?? dia menjilati
senjataku (senjata beneran). Pistol glockku itu kemudian di lemparkan ke
lantai. Juga dengan kedua magz-nya. Ia mengambil ponselku, lalu ditaruh
di atas meja. Pakaianku dilepaskan semua, bahkan aku sekarang sudah
bugil dan dia memborgolku. Tak cukup itu ia pun mengusap-usapkan
payudaranya ke wajahku.
Dia membelai kepalaku kemudian menggigit-gigit kecil telingaku.
"Detektif, apa hubunganmu dengan Dark Lantern? Kenapa mereka mengikutimu?" bisik wanita itu.
"Aku tak tahu kalau mereka mengikutiku," bisikku.
"Jangan bodoh detektif, kamu bertemu dengan mereka beberapa kali. Aku
tahu siapa Robert!" bisik wanita itu. "Tenang aja, dia wanita suruhanku,
bukan diriku yang sebenarnya. Dia akan bicara seperti aku bicara. Dia
akan memberikanmu kepuasan jadi kamu nikmati saja. Yang menyaksikan aksi
stripease itu bukan saja aku, tapi mereka, jadi berlakulah natural!"
"Aku akan coba," bisikku.
Sang wanita kemudian mulai menciumiku, mulai dari bibirku, leher lalu
dia menjilati putingku. Lidahnya menari-nari di sana, merangsangku,
syaraf-syaraf birahiku pun mulai naik. Dia tahu saja kalau batangku
mulai mengeras. Kemudian dikocoknya lembut.
"Katakan kepadaku detektif, kenapa kamu sangat tertarik kepadaku?" tanya sang wanita.
"A..ada sss...seorang klien," jawabku.
"Klien? Siapa? Dari mana?" tanyanya.
"Seorang anak yatim dari ...ppanti asuhan...," kataku. Gila enak bener kocokan wanita ini ke penisku. "Ohhh...fuck!"
"Kamu bisa request mau diapakan, selama kamu bisa menjawab seluruh pertanyaanku," kata sang wanita.
"Suck me!" kataku.
Sang wanita langsung menurunkan kepalanya. Dalam sekejap dia sudah
mengulum penisku. Kepalanya sudah naik turun memberikan stimulus yang
memabukkan. Gilaaa enak banget.
"Detektif, jawab! Siapa?" kata sang wanita.
"Ray, seorang anak dari panti asuhan Kasih Ibu," jawabku.
"Apa dia pernah bertemu dengan Robert?" tanya sang wanita.
"Belum," kataku.
"Apakah kamu tahu tentang Ray?"
"Ohh...aku hanya tahu dia.....hmmm....teman putriku dan dia meminta
bantuanku. Dia juga mau mmm...mmemmbayar mahal untuk bertemu
deng...an...orang tuanya," kataku.
"Ray...," bisik sang wanita.
"Kamu tahu anak itu?" tanyaku.
"Aku ingin memintamu detektif, tolong lakukan satu hal untukku," kata sang wanita.
"Ohh...hhmmm...i...iya," kataku. Sang wanita itu sekarang menyedot-nyedot telurku. "Cukup...let's fuck right now!"
Sang wanita lalu menungging. Dia membelakangiku. Menurutku sudah
terlanjur makan saja sekalian. Lagian, aku tak bisa berbuat apa-apa
dengan kondisi terborgol seperti ini. Kepala penisku sekarang sudah
berada di bibir vagina pelacur ini. Aku agak ragu, dia bersih apa nggak
nih? Aku tak ingin kena AIDS juga dong.
"Tak perlu takut, dia bersih. Aku sengaja pilihkan wanita yang paling terbaik dan paling sehat. Dia aman," kata sang wanita.
Aku pun tak ragu-ragu lagi. Sang wanita membantuku menggesek-gesek
lubang kemaluannya. Lalu ia mundurkan pantatnya. Dan
SLEBBB...uuhggg...batangku meluncur. Seret sekali. Aku bisa merasakan
kemaluanku hangat sekali di dalamnya.
"Ohh...aahh...," desah sang wanita.
"Jadi, apa hubungamu dengan Ray? Kamu belum jawab," kataku.
"Aku...adalah...ibunya, aku...sss...senga...ja
menn...nitipkan...diri....nya ke pan....ti asuhan itu!" kata sang wanita
terbata-bata karena ia kerja dua kali. Menjadi penghubung tuannya dan
merasakan kenikmatan sex. Goyangannya makin liar. Enak juga pantat
pelacur ini.
"Jadi uang...itu....kamu yang mengghhirim?" tanyaku.
"I..iyaaa...sebbbaghii..aann...suamikkuu...," jawabnya.
"Jjjadi...kedua orang tuanya ....Rrrayy....mmmasss...ih...hidup?" tanyaku.
"I...iyyyyaaahh...ohhh...aahhh...aaaahhh....hh mm," ujar sang wanita.
Gila bokong wanita ini berputar-putar. Ingin matahin batangku??? Aku pun makin cepat menggoyang pantatku.
"Bbbaik...laah...detekkktiiifff...ccukuuuuppppppp! " kata sang wanita disusul dia menekan pantatnya kuat kuat ke penisku.
Aku pun mengeluarkan mani yang tidak sedikit menyemprotkan semuanya ke
dalam rahimnya. Sang wanita pun ambruk di depanku dan dari lubang
kemaluannya kulihat lendir hasil jerih payahku. Aku pun terkapar hari
itu di dalam kamar hotel. Tidur dalam keadaan terborgol.
Ketika bangun borgolku sudah terlepas dan aku terlentang di atas kasur.
Wanita itu tidur di sampingku sambil memelukku. Aku lalu bangun,
kemudian memunguti satu-per-satu pakaianku dan memakainya kembali.
Wanita itu kemudian terbangun, karena suara ributku.
"Tuan detektif, dia berkata akan menghubungimu secepatnya, pesan
terakhirnya tolong lindungi Ray," kata wanita itu. "Kau hebat tuan
detektif."
Aku menoleh ke arahnya. Dia sudah tertidur lagi. Dasar pelacur. Aku segera membenahi pakaianku dan keluar dari kamar.
BAB XIV
Di Ambang Perasaan
NARASI RAY
"Itulah mereka," kataku. Kutelah menceritakan semuanya tentang Dark Lantern kepada Alex.
"Bro, sebaiknya kita bergabung," kata Alex. "Kita tak mungkin melawan mereka sendirian!"
"Aku tak bisa Lex!" kataku. "Kamu sendiri tahu berapa banyak yang sudah aku korbankan?"
Alex menundukkan wajahnya. "Bukan kamu saja yang kehilangan Ray. Aku
juga. Agni sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Troya juga sudah
kuanggap sebagai adikku. Kamu juga sudah kuanggap sebagai saudaraku. Aku
tak mungkin tinggal diam Ray."
"Aku belum siap Lex, aku belum siap," kataku.
"Halah, benar kata Agni. Kamu itu lemah Ray, lemah!" kata Alex.
Ibu kepala panti muncul. Ia melihat Alex dan aku sedang berada di gerbang. "Alex?" panggilnya.
"Aku pergi Ray," kata Alex. "Makasih atas semuanya."
"Alex?!" panggil Ibu kepala.
"Ray, kenapa nggak mau ajak masuk?" tanya ibu kepala.
"Dia tidak mau," kataku singkat.
"Oh, Alex. Padahal ibu mau beri dia sesuatu," kata ibu kepala. "Bisa minta tolong?"
Aku menoleh ke arah beliau.
"Berikan ini ke Alex nanti kalau kalian ketemu," kata Ibu kepala. Sebuah kalung salib kecil beliau berikan kepadaku.
"Aku akan berikan," kataku.
"Aku tahu hubungan kalian erat, tolonglah jangan bertengkar. Kembalilah lagi ke sini," kata Ibu kepala.
"Ibu tahu kenapa ia pergi, kenapa kami harus berpisah. Karena kami
sangat menyayangi tempat ini. Kami takut kalau-kalau tempat ini akan
kena juga," kataku.
"Tapi yah,...," Ibu kepala menghela nafas.
"Saya tahu perasaan ibu, berat memang. Kita juga sama. Alex juga
merasakannya. Itu sebabnya ia tak mau lama-lama di sini," kataku.
"Semoga tuhan melindungi kalian," kata beliau sambil mengusap kepalaku
dengan mata berkaca-kaca. Wajah beliau yang sudah sepuh ini memberikan
keteduhan tersendiri.
****
Sang detektif menghubungiku lagi. Sebenarnya tak ada yang lebih
membuatku senang sekarang kecuali aku bertemu dengan Maria. Aku harus
mengakui bahwa aku makin menyukainya. Hujan masih turun saja. Hari-hari
menjelang natal. Aku memakai mantelku ketika pergi ke rumahnya.
Menurutku lebih praktis daripada membawa payung.
Aku melihat mobil ayahnya terparkir di luar. Kudekati rumahnya. Kemudian kuketuk pagarnya.
Tak berapa lama kemudian wajah Maria muncul, "Hai Ray. Masuk!"
Aku kemudian masuk, kutanggalkan mantelku dan kulepas sepatuku lalu
masuk ke ruang detektif yang berada di sebelah ruang keluarga. Di ruang
detektif tampak Detektif Johan sudah menunggu. Dia tampak benar-benar
suntuk sekarang. Apakah dia berhasil?
"Duduklah!" katanya.
Maria rupanya ikut masuk ke ruang detektif. Dia pun mengambil tempat di sebelah ayahnya. Aku pun duduk di sofa.
"Aku kemarin bertemu dengan ibumu walau tidak secara langsung," jawab Detektif Johan.
"Whaa...? Benarkah? Lalu bagaimana?" tanyaku.
"Dia belum bisa bertemu. Aku ingin tahu sekarang kenapa mereka mengejarmu?"
Detektif Johan rupanya sudah tahu.
"Aku bertemu mereka tiga kali. Dan aku tak suka melihat mayat-mayat
bergelimpangan sedangkan aku tak bisa berbuat banyak. Aku akan menemukan
kedua orang tuamu dan mempertemukan kalian. Bahkan sekarang ia
menyewaku untuk melindungimu dari mereka."
"Betulkah detektif?"
"Iya. Aku bahkan tak menyangka rekeningku bertambah ratusan juta hari ini sebagai biaya melindungimu."
Entahlah, aku bingung. Antara perasaan senang, bahagia, campur jadi
satu. Ternyata mereka masih hidup. Harapanku tidak sia-sia. Apalagi
harapan seorang anak yatim piatu kecuali bertemu dengan kedua orang tua
mereka? Dan aku harus jujur kepada Detektif Johan akan kekuatanku. Tapi
ada Maria di sini. Tak apa-apa deh. Aku juga mencintai Maria. Dia harus
tahu siapa diriku sebenarnya.
"Maaf detektif, aku akan tunjukkan kepadamu," kataku.
Aku mengulurkan tangan kananku. Aku disapa oleh angin dan air yang ada
di sekelilingku. Tanganku memancarkan cahaya biru sekarang. Telapak
tanganku menyala.
"Whaa...apa ini?" Detektif Johan terkejut. Hampir saja ia melompat. Maria juga.
"Ray, kamu..?" Maria terbelalak tak percaya.
"Jangan takut, lihatlah!" kataku.
Seluruh air hujan yang melekat di tubuh dan bajuku kemudian melayang
mendekat ke atas telapak tanganku, berkumpul di sana jadi satu, lalu
membeku membentuk kristal-kristal kecil lalu meledak menjadi
butiran-butiran salju. Detektif Johan seakan-akan tak percaya akan semua
yang baru saja dilihatnya.
"Inilah alasannya aku menjauh dari teman-temanku. Aku takut tak bisa
mengendalikan kekuatan ini," kataku. "Maafkan aku, aku bisa jujur
sekarang kepada kalian."
"Oh tidak, aku tak percaya. Tak sadarkah kamu Ray kalau mereka orang-orang berbahaya yang mengincarmu?" tanya Detektif Johan.
"Aku tahu. Mereka menganggap kekuatan ini adalah kekuatan iblis," kataku.
"Tidak! Itu bukan kekuatan Iblis!" tiba-tiba Maria menyanggahku. "Aku
tahu siapa kamu. Kamu orangnya lembut, bahkan dengan teman-temanmu kamu
sampai punya perasaan tak ingin menyakiti mereka. Aku yakin itu bukan
kekuatan iblis Ray."
"Dengan begini, aku sekarang tahu apa yang terjadi," kata Detektif
Johan. "Well, trust me, We are doomed. ATFIP mengunjungiku sudah tiga
kali. Dan yang terakhir mereka bisa mendapatkan video CCTV ketika
putriku lari di sebuah gang. Dan aku agak terkejut bagaimana mereka bisa
mendapatkannya."
"Detektif, Anda salah dengan satu hal," kataku.
"Apa?"
"Ibuku salah menyuruh Anda untuk melindungiku. Tapi akulah yang akan melindungi kalian," kataku.
Suasana setelah itu hening.
"Baiklah, mungkin itu saja. Kamu sudah dapatkan informasi bahwa orang
tuamu masih hidup. Dan aku yakin sebentar lagi kalian akan bertemu,"
kata Detektif Johan.
"Terima kasih banyak," kataku.
Aku kemudian beranjak.
"Mau kemana?" tanya Detektif. "Masih hujan deras di luar. Masuk saja ke
ruang keluarga. Tunggu sampai hujannya reda! Maria, temani dia!"
Aku pun menurut. Kuikuti Maria pergi ke pintu yang menghubungkan ruang
keluarga dan ruang kerja ayahnya. Aku belum pernah masuk ke ruang
keluarganya. Di sana ada sebuah sofa yang berbentuk seperti kacang.
Karpetnya juga cukup luas. Tampak kulihat seorang wanita sedang menonton
tv dengan serius.
"Duh, ada ibu. Ke kamarku aja yuk!" ajak Maria.
"Hah? Emangnya nggak apa-apa?" bisikku.
"Aku ajak Ray ke kamarku ya yah? Ibu sedang sibuk dengan acara tv!" kata Maria. Tak ada jawaban.
Aku digeret oleh Maria naik ke atas.
"Nggak apa-apa, kadang juga teman-temanku mampir ke sini ku bawa ke kamarku koq," katanya.
"Tapi aku temen lelaki Mar!", bisikku.
"Nggak apa-apa," katanya. "Toh di sebelah kamarku ada kamar adikku koq."
Aku melihat sebuah pintu kamar terbuka. Ada Justin yang sedang main
video game dengan dua orang temannya. Mereka tampak ramai sendiri. Aku
pun diajak oleh Maria masuk ke kamarnya. DEG! jantungku berdegup kencang
sekali. Apa yang akan terjadi setelah ini? Kamar Maria sangat rapi, di
dindingnya ada hiasan Hello Kity. Ada beberapa boneka di bawah dan di
atas kasur. Kulihat tumpukan buku tertata rapi di rak. Sebuah meja
belajar berwarna pink terlihat sangat mencolok dengan hiasan stiker
warna-warni.
Warna wallpapernya pink bergaris putih. Khas kamar khas cewek. Ada sebuah poster dari serial anime.
"Sejujurnya aku baru pertama kali ini masuk kamar cewek," kataku.
"Hihihihi. Duduk sini!" katanya.
Kami pun duduk di bawah. Pintu kamar sengaja dibiarkan terbuka. Aku
makin takjub dengan Maria. Dia makin terlihat sisi feminimnya. Aku tahu
dia udah punya cowok, tapi aku tak bisa membohongi perasaanku sendiri.
Biar bagaimana pun, aku tak ingin merusak hubungan dia dengan Andre. Dan
aku tahu itu dia tak akan mau.
"Hei, bengong aja!" katanya.
"Eh, iya," aku pun terlepas dari lamunanku.
"Ray, tunjukin lagi dong yang tadi. Aku pengen lihat!" katanya.
Dia ternyata suka dengan kemampuanku tadi. Aku tersenyum. Ku perlihatkan
sekali lagi. Telapak tangan kananku kujulurkan. Kemudian cahaya
berwarna biru muncul. Dengan mudah aku berbicara dengan angin dan air
agar membentuk sebuah boneka salju kecil. Maria tampak sangat antusias.
Matanya berbinar-binar.
"Kereeeennn...cantiknya!" katanya sambil tersenyum. Wajahnya itu wajah paling manis yang pernah aku lihat.
Dia menyentuh boneka salju kecil di telapak tanganku.
"Dingin ya?" katanya ketika mencolek boneka salju mini itu.
Kemudian boneka salju itu hancur menjadi serpihan-serpihan salju kecil.
"Ray?!" katanya.
"Ya?"
"Maafin aku ya."
"Kenapa?"
"Sebab aku tak tahu kalau kamu ternyata selama ini tak pernah dekat kami
karena menanggung beban segitu berat. Hanya karena ingin agar
kekuatanmu ini tak melukai kami kamu berbuat seperti ini."
"Tak apa-apa. Kalian tak salah koq."
"Tapi aku merasa bersalah. Aku tak pernah memperhatikanmu, kamu selalu
duduk di sana memperhatikan kami. Kamu habiskan waktumu untuk membaca
buku, aku bisa merasakan rasa kesepianmu Ray. Entah kenapa aku bisa. Dan
aku...aku merasa...."
"Merasa apa?"
"Merasa aku selama ini telah salah menilaimu. Kamu anak yang baik. Kamu
juga bisa jadi teman yang baik. Harusnya kamu berbagi dengan kami."
"Aku tak bisa Mar, kamu tahu kenapa."
Aku beranikan diri mengusap rambutnya. Ia tak menolak. Mata kami beradu pandang. Wajahku mendekat ke wajahnya.
"Maria, aku ingin jujur kepadamu. Aku sudah mencintaimu sejak lama,
sejak pertama kali kita bertemu di kelas itu. Sejak pertama kali kamu
tersenyum kepadaku dan aku berikan kamu sebuah permen lolipop."
Mata Maria terpejam. Dan dengan sedikit dorongan, kedua bibir kami
bertemu. Ciuman kami sangat lembut, selembut salju. Bibirnya basah.
Kedua mataku terpejam, menikmati momen yang langka ini. Akhirnya aku pun
mencium wanita yang aku puja ini. Secret admirer ini pun telah mencium
wanita pujaan hatinya.
Aku perlahan-lahan melepaskan ciumanku. Tapi Maria tidak ingin. Dia
mencari-cari bibirku lagi. Maka aku dekatkan bibirku, dia menciumku
lagi. Hingga akhirnya kening kami bertemu. Ia mengusap pipiku.
"Apa yang harus aku lakukan Ray? Aku juga jatuh cinta kepadamu. Tapi aku
tak mau menyakiti Andre. Kenapa kita harus bertemu di saat seperti
ini?"
Kami pun berciuman lagi beberapa saat. Setelah itu aku bersandar di
tepian ranjang. Dan Maria bersandar di bahuku. Kami membisku, namun
kedua tangan kami saling menggenggam erat. Menyimpan kegalauan tinggi
yang tak sukar diungkapkan dengan kata-kata.
NARASI MARIA
Hari ini Ray datang. Ayahku telah memberikan sebuah clue tentang orang
tua Ray yang masih hidup. Aku bisa melihat sinar kebahagiaan terpancar
dalam dirinya. Namun inilah hal yang terbodoh yang aku lakukan. Hujan
belum reda dan ayah menyuruh Ray tinggal sejenak. Awalnya aku mengajak
dia ke ruang keluarga. Tapi ada ibu di sana. Akhirnya aku ajak dia ke
kamarku.
Dan di sini ada sedikit kecelakaan. Hmm...bukan kecelakaan sih tepatnya.
Tapi unforgiven moment. Kami awalnya hanya duduk bersama di lantai
kamarku. Dan aku sama sekali tak pernah mengajak cowok masuk ke kamarku
bahkan Andre sekali pun. Hanya teman-teman cewekku saja yang pernah.
Aku suruh dia menunjukkan lagi kekuatannya tadi. Sungguh aku sangat
terpukau. Indahnya sinar biru yang keluar dari tangannya itu. Dan
lucunyaa ia bisa membuat boneka salju kecil. Aku sentuh boneka salju itu
dan booom....jadi salju beneran. Aku serasa masuk ke dalam alam fiksi,
tapi....dia masih ingat momen pertama kali kita bertemu waktu itu.
Ray berkata, "Maria, aku ingin jujur kepadamu. Aku sudah mencintaimu
sejak lama, sejak pertama kali kita bertemu di kelas itu. Sejak pertama
kali kamu tersenyum kepadaku dan aku berikan kamu sebuah permen
lolipop."
Dia usap rambutku. Dan wajahnya makin maju...maju...oh tidak Ray, jangan
cium aku. Aku sudah punya cowok. Tapi aku tak melawan kenapa aku ini?
Dan lucunya mataku terpejam membiarkan bibirku diciumnya.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkk....tidaaaaaaakkk! Aku diciumnya. Ray
sadar Ray...hoi sadar kamu Maria! Sadar! Bibirnya terasa lembut, dingin
seperti mint. Ia menghisap bibirku yang basah. Aduuuhhh....wajahku
memerah nih mau meledak. Waduuuhh....eh...dia menarik bibirnya. Sudahan?
Lho, lho, koq aku mencari bibirnya lagi. Ini reflek saudara-saudara
reflek. Siapa sih yang kepengen melewatkan ciuman cowok semacam Ray? Aku
ingin dicium lagi. Ayo Ray cium aku lagi. Nahh...bibirku diciumnya
lagi. Jantungku berdebar-debar. Rasa sesak didadaku makin terasa. Aku
tak pernah merasakan perasaan seperti ini ketika Andre menciumku. Aku
tak pernah merasa sesesak ini, senyaman ini, sehangat ini, sedingin ini.
Kenapa hangat dan dingin? Ah...aku tak bisa mengungkapkannya.
Ray, kamu jahat. Kamu jahat. Kalau kamu suka ama aku kenapa tidak dari
dulu kamu bilang? Mungkin aku akan menyukaimu sekarang. Mungkin kita
sekarang sudah jadian. Dan aku akan menghiburmu dari rasa kesepianmu
tiap hari. Aku bisa jadi orang yang akan selalu menghiburmu tiap hari.
Ray, kamu jahat. Kenapa baru sekang kamu bilang cinta ama aku? Kenapa
juga kamu masih ingat saja peristiwa pertama kali kita ketemu?
Aku masih ingat Ray, ingat dengan jelas. Betapa cakepnya dirimu waktu
itu. Cowok pertama kali yang berkenalan denganku. Saat itu masih dalam
masa orientasi sekolah, aku ingat kamu mengulurkan tanganku.
"Hai, namamu Maria?" tanyanya. Ia pasti melihat Tag Name-ku waktu itu.
"Iya, kamu...Ray?" tanyaku.
"Iya," jawabnya. "Kalau begitu boleh aku tahu apa yang kau inginkan sejak dulu dan sampai sekarang kamu belum dapatkan?"
Kami saat itu dapat tugas mencatat apa sih yang temanmu inginkan tapi
belum kesampaian. Dan ternyata ia masih mengingatnya waktu itu.
"Aku ingin sebuah bola kaca yang di dalamnya ada boneka saljunya. Aku
ngebet banget kepengen punya itu. Tapi di sini di mana ya yang jual?"
tanyaku waktu itu. Dan Ray pun mencatatnya. "Kalau kamu?"
"Aku....aku tak punya keinginan khusus sih," katanya.
"Bohong."
"Benar, sebab setiap keinginanku pasti aku akan mendapatkannya."
"Wah, trus masa' aku tulis kamu tak punya keinginan? Ya bikin sesuatu yang baru dong."
"Baiklah...hhhmmm.....," Ray berpikir keras. "Ya udah deh, aku ingin memberimu lolipop."
"Hah? Apaan itu? Masa' itu keinginan?"
"Yah, tulis aja kek."
"Hihihihi...ya udah," aku pun menulisnya.
"Nih!" tiba-tiba Ray memberiku lolipop. Lucu nggak tuh?
"Lho? Koq?"
"Terima aja, kan keinginanku tadi ingin ngasih kamu lolipop, sekarang
udah terkabul kan? Aku yakin suatu saat nanti keinginanmu akan terkabul
seperti aku memberikan lolipop ini ke kamu."
Dan iya, kamu masih ingat. Kamu berikan hadiah itu di hari ulang
tahunku. Aku mengusap pipinya. Ciuman itu menggelora dalam diriku.
Memberikan bekas di hatiku yang tak ingin hilang begitu saja.
"Apa yang harus aku lakukan Ray? Aku juga jatuh cinta kepadamu. Tapi aku
tak mau menyakiti Andre. Kenapa kita harus bertemu di saat seperti
ini?"
Kami berciuman lagi untuk ketiga kalinya. Aku bingung sekarang. Bingung.
Apa yang harus aku lakukan. Tapi aku sekarang jatuh cinta kepadanya.
Tapi aku juga ada Andre. Aku pun bersandar di bahunya. Please, tuhan,
kalau misalnya ini saat terakhir aku bersama Ray, kumohon biarkan aku
bersandar lebih lama lagi. Ray...tangan kami pun saling menggenggam.
Kami tunggu hujan sampai reda. Nyaman sekali aku bersandar di bahunya.
Sampai tak terasa aku pun tertidur.
Jangan pergi Ray!
Aku terbangun dan mendapati diriku sudah ada di ranjang dengan selimut.
Aku sendirian di kamar. Ray pasti sudah pulang. Aku lihat dari jendela
hari sudah gelap. Hujan telah reda. Aku pun merangkul guling. Aku ingin
menganggap itu adalah Ray. Aku peluk guling itu. Ya tuhan, aku jatuh
cinta kepadanya. Apa yang harus aku lakukan??
BAB XV
VALIANT
NARASI RAY
Maria bersandar di bahuku. Dia tertidur pulas. Aku tak tega untuk
membangunkannya. Dia mendengkur halus. Mungkin karena merasa nyaman di
bahuku akhirnya ia tertidur. Aku belai rambutnya, rambutnya agak
kemerahan dengan warna hitam yang lebih dominan mungkin karena terkena
matahari. Bau parfumnya yang harum akan aku ingat selalu. Parfum ini
sudah jadi ciri khasnya. Aku ingin melepaskan genggamannya tapi rasanya
tak bisa. Ia erat sekali menggenggamku.
Aku melihat Detektif Johan berada di pintu. Melihat Maria tidur di bahuku dia tersenyum. Kulihat hujan sudah mulai reda.
"Biar aku angkat tuan detektif," kataku. Dia mengijinkan aku.
Perlahan-lahan aku memaksa tangannya untuk melepaskan genggamanku. Lalu
aku menyandarkan tubuhnya ke dadaku. Kemudian aku angkat dia. Kubopong
perlahan hingga dengan lembut aku letakkan di atas ranjang. Setelah itu,
aku mengambil selimut dan menyelimutinya. Kubelai rambutnya dan kuusap
dahinya. Dia sangat cantik ketika tidur.
Aku lalu keluar kamarnya.
"Terima kasih tuan detektif. Maaf, tadi putrimu tertidur di bahuku," kataku.
"Ya, aku bisa lihat itu," kata Detektif Johan.
"Saya permisi," kataku.
"Ray, aku minta maaf kepadamu. Tapi...aku ingin bilang, sebaiknya jangan
terlalu dekat dengan Maria. Aku khawatir terjadi apa-apa dengan
dirinya. Kamu tahu sendiri bagaimana sikap mereka bukan?"
"Aku mengerti. Aku selama ini berusaha menjaga jarak agar mereka tak
menyakiti Maria. Aku juga menjaga jarak dengan seluruh teman-temanku."
"Tina Einsburgh baru saja menghubungiku. Kalau kamu ingin bertemu
dengannya dia ada di Syberia saat ini. Dia berpesan kepadamu gunakan
uang yang dia pakai untuk menemuinya."
"Rusia? Ibuku ada di sana?"
"Aku hanya menerima pesannya. Dan aku sudah sampaikan kepadamu."
Aku memeluk Detektif Johan. "Makasih tuan detektif. Setelah aku bertemu dengan ibuku, aku akan berikan bayaranmu."
"Tak perlu," katanya.
Aku melepaskan pelukanku. "Kenapa?"
"Setidaknya karena kamu teman putriku, lagi pula uang pemberian ibumu sudah lebih dari cukup."
"Sekali lagi terima kasih detektif."
"Ah, nggak usah dipikirkan."
"Boleh aku minta satu hal?"
"Silakan."
"Setelah ini mungkin aku tak akan bertemu lagi dengan Maria. Dan bisa
jadi ini adalah perjumpaan terakhirku. Aku ingin jujur kepada Anda, aku
sangat mencintai putri Anda. Kalau boleh, ijinkan aku menciumnya untuk
terakhir kali. Kumohon!"
Detektif Johan mengerutkan keningnya.
"Aku tak akan minta apa-apa lagi selain ini. Sekali saja."
Detektif Johan menghela nafas.
"Sekali!"
"Iya, sekali."
"Silakan!"
Aku segera berbalik menuju Maria yang sedang tertidur pulas. Detektif Johan melihatku.
"Sayang mana temannya Marr...," istri Detektif Johan kaget ketika
suaminya membekapnya. Setelah ia melihatku ada di dalam kamar Maria ia
pun diam.
Aku membungkukkan badan dan kucium bibir Maria untuk yang terakhir kali.
Apakah aku akan bisa menciumnya lagi suatu saat nanti? Maafkan aku
Maria, aku harus pergi. Ini adalah ciuman perpisahan kita. Aku harap aku
bisa kembali menemuimu. Setelah itu aku berdiri dan menuju keluar
kamar.
"Terima kasih detektif," kataku.
"Hati-hati, kamu tahu kamu berurusan dengan siapa bukan?"
"Ya, aku tahu."
"Ray jangan pergi!" tiba-tiba suara Maria terdengar. Aku menoleh ke
arahnya. Ternyata dia hanya mengigau. Ayah dan ibunya juga kaget tadi.
Aku harus pergi.
****
Setelah dari tempat Detektif Johan, Alex menghubungiku. Menyuruhku untuk
datang ke sebuah gedung yang tak terpakai. Dia ingin memperkenalkan
teman-temannya. Karena aku tak tahu harus kemana, maka aku pun menuruti
dia. Gedung itu terletak jauh dari keramaian. Aku ke sana menggunakan
taksi dan tentu saja jalan raya juga jauh dari tempat ini. Sepertinya
gedung itu terbengkalai. Ada dua puluh lantai tapi gedung itu mangkrak,
baru setengah jadi. Tiang-tiangnya saja sudah berkarat.
Aku masuk ke gedung itu. Di lantai pertama aku sudah disambut Alex.
"Yo, bro. Selamat datang! Kawan-kawan! Kenalkan, namanya Ray. Dia sama seperti kita," kata Alex.
"Hai, apa kabar?!" aku mendengar sebuah suara dari atas.
Ternyata Alex tak sendiri ada kurang lebih sepuluh orang di tempat ini.
Salah seorang dari mereka bermain kerikil tapi kerikil itu
melayang-layang di atas udara. Beberapa di antaranya ada yang merokok
tapi menyalakan api dengan jarinya.
Salah seorang turun. Dia seorang anak kecil, rambutnya berombak. Tampangnya sok jagoan.
"Bisa apa dia?" tanyanya.
"Ray, kenalkan. Timoti, panggilannya Tim," kata Alex. "Kamu jangan
menguji Ray, dia kalau marah bisa membekukan seluruh kota ini jadi es."
"Oh ya? Sama seperti aku dong. Aku juga bisa berbicara dengan air," kata Tim.
"Beda! Kamu hanya bisa bicara dengan air, dia bisa bicara dengan lebih dari satu elemen. Dia angin dan air," jelas Alex.
"Hah? Dua elemen? Kukira kita semua hanya bisa bicara dengan satu elemen," kata yang lainnya.
"Iya, bagaimana dia melakukannya? Aku juga mau," sahut yang lain lagi.
"Itu sudah bawaan dari lahir. Kalian juga bukan? Ray, coba tunjukkan kepada mereka!" pinta Alex.
Aku mengulurkan tanganku, cahaya biru keluar dari telapak tanganku.
Kuperintahkan angin dan air untuk membekukan kaki mereka sementara.
Kukibaskan tanganku ke udara, menyapu seluruh ruangan.
"Woi! Lo apain kaki gua?!" seru Tim.
"Tahu bukan perbedaannya?" tanya Alex. "Tapi Ray, kakiku juga ya jangan dong!"
Seluruh kaki mereka sekarang sedang tertanam di dalam balok es. Seorang
yang mempunyai kekuatan api mencairkan balok es itu. Ia lalu membantu
temannya yang lain. Kekuatannya seperti Agni. Dia seorang cowok kulitnya
gelap dan rambutnya ikal.
"Oh, untung kita ada Jack, Jack bisa membantu kalian. Jangan khawatir!" kata Alex.
"Tak usah bingung, aku hanya sementara memasang balok es itu di kaki kalian. Lima menit lagi juga mencair," kataku.
"Kereeen! Aku tak menyangka bisa bertemu dengan orang dengan dua elemen sekaligus," kata Tim.
"Jadi, ini kelompokmu?" tanyaku
"Iya, begitulah. Kami menamakan diri VALIANT," ujar Alex.
"Nama pasaran. Apa nggak ada nama yang lain?" tanyaku.
"Emang kamu mau ngusulin apa?" tanya Alex.
"Nggak tahu. Aku nggak ada ide," kataku. "Oh ya, aku ingin memberitahumu sesuatu Lex."
"Apa?"
"Aku ingin pergi ke Syberia, menemui ibuku," kataku.
"Kamu sudah ketemu dengan ibumu?"
"Iya, detektif itu sudah menemukan ibuku. Aku takut ibuku juga akan
diburu oleh mereka, aku mohon maaf tidak bisa membantu kalian di sini,"
kataku.
"Kamu bilang apa bro, kita saudara. Aku sudah menganggapmu sebagai
sudara, tak perlu begitu. Kami akan membantumu, karena tujuan dari
Valiant adalah kita bersatu, menyatukan kekuatan untuk menghadapi Dark
Lantern," kata Alex.
Aku sangat menghargai idenya. Tapi aku harus pergi.
"Aku harus pergi Lex, aku akan do'akan perjuangan kalian berhasil," kataku. "Ini ada sesuatu untukmu dari ibu kepala."
Aku mengulurkan kalung salib pemberian ibu kepala. Alex menerimanya.
"Dari Ibu kepala ya?" tanyanya.
"Selama aku pergi, jagalah beliau! Juga anak-anak panti lainnya," kataku.
Tangan Alex tampak gemetar. Ia mencium kalung salib itu lalu memelukku.
"Bro, aku nggak mau kamu pergi! Ayolah bro, aku sendirian di sini."
"Aku harus pergi. Aku ingin tahu semuanya, aku ingin tahu semua ini
berawal. Setelah ini mungkin aku tak akan kembali lagi. Tapi aku masih
berharap bisa kembali lagi," kataku.
Alex lebih erat lagi memelukku. "Jangan pergi bro! Setelah Agni, Troya,
masa' kamu juga harus pergi? Lagipula kamu masih lemah. Kamu belum
kuat."
Aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia lalu melepaskan pelukannya.
"Aku sudah berbeda dari sebelumnya," kataku. "Sampai jumpa kawan-kawan, semoga kita bertemu lagi. Sampai jumpa."
Aku lalu berbalik meninggalkan mereka.
"Ray! Ray!" Alex berkali-kali memanggilku. Tapi maaf kawan, aku harus pergi.
BAB XVI
Sorry, I Love Him
NARASI MARIA
UAS sudah berakhir dan kami sudah masuk liburan natal dan tahun baru.
Hiruk pikuk natal ada di mana-mana. Hari terakhir masuk sekolah Ray
tidak masuk. Hari sabtu itu aku pun bertanya-tanya "Di mana Ray?" tak
ada yang menjawab. Tak ada yang tahu. Entah kenapa hari itu aku merasa
kehilangan Ray.
Andre pun heran.
"Kamu kenapa Say?" tanyanya.
"Kamu tahu kemana Ray?" tanyaku.
"Yaelah, dia emang misterius. Datang nggak diundang, pergi nggak diantar."
"Yee emangnya jaelangkung?"
Hari itu pun aku suntuk sekali, nggak mau ngapa-ngapain. Sekolah pulang
cepat hari ini. Aku tidak bareng Andre. Aku bilang kepadanya aku jalan
saja.
"Beib, ada apa sih sebenarnya? Ada yang aneh deh," katanya.
"Ndre, aku mau sendiri sementara ini. Plis ya," kataku.
"Ada masalahkah? Bilang dong!"
"Ndre, kamu baik. Kamu pengertian ama aku, tapi aku tak bisa berbagi ini kepadamu."
"Oh, Ok. Take your time kalau gitu. Aku pergi dulu ya, ntar dicariin nyokap," Andre menstarter sepeda motornya.
"Hati-hati ya!" kataku. Setelah itu aku hanya bisa melihatnya pergi menghilang dari pandangan dengan sepeda motornya.
Ada sesuatu perasaan di dalam dada yang tak bisa aku ungkapkan. Aku
merasa rindu sekali dengan Ray. Kenapa aku ini? Aku merenung di
sepanjang jalan. Hingga aku punya ide ingin menemui Ray di panti asuhan.
Aku tidak langsung pulang hari itu. Segera aku pergi ke sana untuk
mencarinya.
Aku pun disambut oleh suster Elizabeth.
"Ray, sudah pergi. Dia tak bilang ke mana," katanya.
"Tidak mungkin apakah ada nomor yang bisa dihubungi?" tanyaku.
"Dia tak membawa barang-barangnya. Sepertinya ia tak ingin dihubungi oleh siapapun," jawab Suster Elizabeth.
Mataku berkaca-kaca. Kenapa dia pergi? Ray, kenapa kamu pergi? Aku
segera pulang ke rumah. Aku akan tanya ayah. Ia pasti tahu di mana Ray.
Pasti dia mengetahuinya. Ayahku detektif hebat, pasti dia tahu.
Singkatnya aku pun sampai di rumah. Aku langsung ke tempat kerja ayahku.
"Ayah, di mana Ray?"
"Hei hei! Datang-datang langsung tanya sesuatu. Ada apa sih?" tanya ayah.
"Ayah nggak usah menyembunyikan ini, aku ingin tahu di mana Ray? Ayah pasti menyembunyikan sesuatu."
"Ayah tak menyembunyikan apa-apa sayangku."
"Ayah bohong, tatap mata aku! Tatap mata aku kalau ayah bicara jujur!"
Ayah tak berani menatapku. Ayah lalu menundukkan wajahnya dan mengusap wajahnya.
"Ayah, tolonglah aku beritahu di mana Ray?"
"Kenapa? Dia sudah ada dunianya sendiri Maria, dan dunianya sangat berbahaya. Ayah tak mau kamu celaka."
"Ayah tak tahu perasaan putrinya. Ayah jahat! Aku butuh dia ayah."
"Jangan katakan kamu jatuh cinta kepada dia?"
"Iya, aku cinta dia. Aku cinta kepadanya. Aku ingin bertemu dia sekarang, katakan!"
"Oh my God."
Aku menangis aku merasa kehilangan. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan
sebelumnya. Dadaku serasa sakit, sesak sekali. Setiap aku memikirkan
Ray, rasanya sesak sekali. Inikah perasaan cinta? Aku tak pernah
merasakan perasaan seperti ini kepada Andre. Rasa ini membuatku tak bisa
bernafas.
"Ayah, tolong aku!" aku mulai ambruk.
Ayahku langsung cekatan berdiri dan menangkap tubuhku, "Mar, Maria?! Ibuuu! Ibuuu! Kesini!"
Ibuku langsung muncul dari pintu. "Maria?! Kenapa?"
"Ray...panggilkan Ray ayah! Panggilkan Ray!" bisikku. "Ray, jangan pergi!"
Aku susah bernafas. Nafasku sesak. Raayy...jangan pergi...
"Panggilkan dokter, panggilkan ambulan!" teriak ayahku.
Setelah itu aku tak sadarkan diri.
Semuanya jelas sekarang. Ada sesuatu yang aku lupakan selama ini. Dalam
ketidak sadaranku itu aku ingat semuanya. Aku ingat seluruh detail
kisahku dan Ray. Waktu itu awal-awal semester baru masuk sekolah. Raylah
yang sebenarnya lebih perhatian kepadaku. Memang dia orangnya terlalu
dingin, sok cool, pendiam, walaupun memang sebenarnya dia cakep. Aku tak
pernah tahu siapa Ray. Tapi ia ternyata lebih mengetahui siapa aku.
Aku punya kebiasaan tanganku sering keluar keringat. Walaupun dia tak
pernah bilang entah kenapa besoknya selalu ada tissue di bangkuku. Tak
ada yang pernah mengaku siapa yang menaruhnya. Aku anggap itu dari Andre
karena dia perhatian kepadaku. Tapi ternyata tidak. Andre tak tahu
kalau telapak tanganku selalu berkeringat.
Saat aku berulang tahun ke-16, sama juga sih aku diperlakukan seperti
ulang tahunku ke-17. Ray hanya melihatku dari jauh. Badanku kotor semua.
Lucunya sih dia malah menyemprot aku dengan selang air. Dia tak
mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Tapi, kenapa dia lakukan itu?
Dia benci ulang tahun. Ternyata hal itu aku baru sadari sekarang. Dia
ingin membersihkan tubuhku yang kotor waktu itu dengan menyemprot
diriku. Teman-teman menganggap dia mengerjaiku. Tidak ternyata.
Aku pernah pingsan dalam pelajaran olahraga. Asmaku kumat. Dan waktu itu
aku berada di gym. Entah bagaimana setelah itu aku terbangun di ruang
UKS. Aku kira juga Andre waktu itu yang membawaku. Tapi ternyata tidak.
Andre baru datang setelah diberi tahu teman-teman. Di kelas aku hanya
melihat Ray yang sok cuek. Dia hanya melihatku dalam tatapan lega dan
tersenyum. Itu dia. Dialah yang menolongku. Sebab tak ada satupun yang
tahu aku pingsan saat itu. Entah kenapa dia ada di sana.
Aku memang terkadang naik monorail kalau Andre tidak mengantarku. Selama
ini aku tak habis pikir, bukankah rute tempat panti asuhan Ray itu
lebih dekat tidak pakai monorail? Semua itu aku jadi tahu. Aku jadi
sadar, dia selalu mengikutiku. Dia selalu menemaniku dari jauh.
Apakah di tempat bioskop itu kebetulan? Entahlah. Mungkin tidak. Karena
Ray tak suka nonton bioskop. Jadi kemarin itu adalah benar-benar murni
karena kita memang dipertemukan.
Kenapa waktu pelajaran berlangsung Ray selalu menulis? Apakah dia
menulis? Aku tak pernah melihat apa yang dia tulis. Ketika guru bertanya
tentang apa yang diterangkannya Ray bisa menjawab, karena dia memang
pintar. Tapi tunggu dulu apa yang dia tulis sebenarnya? Aku tinggal
menoleh ke kanan aku bisa melihatnya melihat ke depan, tepat ke arahku.
Jawabannya adalah dia menggambar diriku. Dan aku tak tahu berapa banyak
kertas di bukunya yang dibuat untuk menggambar diriku.
Kenapa dia suka baca novel? Terlebih ketika aku sedang bicara, ketika
aku sedang berjalan bersama Andre. Karena ia tak ingin diperhatikan. Ia
yang ingin memperhatikan. Dia memperhatikan diriku dengan menyembunyikan
diri terhadap sikapnya.
UTS itu....dia menasehatiku untuk tenang. Dia tahu aku sedang kesulitan. Dan entah kenapa aku bisa tenang.
Ray, aku tahu kamu menyukaiku. Aku tahu kamu sering memperhatikanku.
Kamu sering melirik ke arahku. Aku sadar semuanya. Perhatianmu selama
ini ke aku. Membuat hatiku sadar. Kamu telah mencuri hatiku sejak awal.
Sebuah cinta yang tidak pernah aku sangka sebelumnya. Sebuah perasaan
yang sudah kamu tanam ke diriku sejak awal. Walaupun engkau terlambat
untuk jujur, tapi aku telah yakin Ray,...aku telah jatuh cinta kepadamu
sejak dulu.
NARASI DETEKTIF JOHAN
Putriku sedang dimabuk cinta. Dan kenapa dia sampai seperti itu? Apalagi
cintanya kepada Ray. Berbeda dengan Andre yang pernah ia katakan sudah
jadian dengan dia itu. Kali ini Maria seperti baru saja menemukan sebuah
oase di padang pasir. Ia tak pernah mencintai seseorang seperti ini
sebelumnya. Bahkan sampai membuat asmanya kambuh.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Dia sudah stabil setelah dibawa ke
rumah sakit. Tapi sekarang ia tak sadarkan diri. Dia selalu mengigau
"Ray jangan pergi".
"Ayah, putri kita ini sedang jatuh cinta. Obatnya ya cuma satu panggil Ray!" kata istriku.
"Aku tak bisa. Dia sudah pergi. Bahkan mungkin tak akan kembali," kataku.
"Lihat! Lihat putri kita! Kamu tega melihatnya seperti itu?" tanya istriku.
"Aku tahu tapi....arrghh!" aku tak bisa berpikir lagi.
Apa yang sekarang dipikirkan Maria. Mana mungkin aku harus menyusul Ray
ke Syberia. Itu jauh. Lagipula belum tentu ia ada di sana sekarang.
Sebentar, bukankah Ray bilang dia akan berurusan dengan Dark Lantern?
Itu dia, dia pasti akan mengobrak-abrik sekte itu. ATFIP, ya. Dia pasti
akan kembali untuk mereka. Jadi aku tak perlu khawatir. Aku tak perlu
mencari Ray sampai ke Syberia, karena dia akan datang kembali. Dan aku
akan menguak misteri di balik Dark Lantern. Ini demi putriku.
***
Natal sudah tiba. Tapi putriku tak bisa merayakannya. Dia masih berada
di kamarnya. Kondisinya drop. Aku juga sudah berusaha mencari Ray.
Menemui ibu kepala Panti, bertanya ke teman-temannya, tak ada yang bisa
tahu di mana Ray sekarang. Dan kulihat putriku terbaring lemah tak
berdaya di kamarnya membuatku bersedih.
Tapi malam natal ini teman-temannya datang. Mereka semua menjenguk
Maria. Mungkin Maria sedikit bahagia tapi tetap saja setelah
teman-temannya pergi keceriaannya kembali redup. Dia masih melihat
keluar jendela. Berharap ada sesuatu di sana yang menjadi keinginannya
saat ini. Maria, apa yang harus aku lakukan.
Pukul delapan malam ada yang mengetuk lagi. Aku pun membuka pintu. Saat itulah aku lihat wajah yang tidak asing, Andre.
"Misi om, Marianya bagaimana?" tanyanya.
"Masuk aja!" kataku.
Andre lalu kuantar sampai ke kamarnya Maria. Maria melihat Andre dengan tersenyum.
"Hai Mar, gimana keadaanmu?" tanya Andre.
Aku melihat mereka dari pintu.
"Ndre...makasih ya udah datang," kata Maria.
"Ya aku harus datang dong, gimana sih?"
"Aku tahu kamu baik sekali orangnya, walaupun kadang nyebelin."
Andre sedikit tertawa. "Ya ya ya, aku tahu."
"Ndre, ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Tapi kamu jangan marah ya?"
"Apaan sih?"
"Ndre...aku tahu kamu mencintaiku. Aku juga. Tapi....aku juga mencintai orang lain."
Andre terdiam. Raut mukanya berubah. Ia menunduk. Entah kecewa atau apa, pasti hatinya sakit sekarang.
"Kamu boleh koq marah ama aku sekarang, marahlah. Aku akan terima. Aku tahu aku mengecewakanmu. Aku yang salah."
Andre memegang tangan Maria, "Kenapa aku harus marah? Aku tak bisa marah
kepadamu Mar. Aku tak bisa memarahi orang yang kucintai. Aku tak bisa."
"Maafkan aku ya Ndre, tapi dadaku ini sakiit, aku sesak sekali
memikirkan dia, aku sekarang kehilangan dia, aku merindukan dia. Aku tak
tahu kalau aku tiba-tiba bisa mencintai dia. Maafkan aku Ndre..."
Maria menangis. Andre berusaha menenangkannya. Aku tahu sebagai cowok
yang mendapatkan kejujuran dari seorang yang dicintainya pasti sakit
sekali mendapatkan kata-kata itu.
"Mar, kenapa kamu melakukan ini? Kitakan sudah lama bersama."
"Maafkan aku Ndre, marahlah kepadaku! Marahlah!" Maria masih menangis sambil menciumi tangan Andre.
"Mar, siapa dia? Siapa lelaki itu?"
"Dia...dia Ray."
"Ray? Anak pendiam itu? Bagaimana bisa kamu....oh, iya. Kamu mencari-cari dia waktu itu. Aku tahu sekarang...."
"Ndre...aku minta maaf. Aku tak bisa lagi menahan perasaanku ini. Dadaku
sesak memikirkan dia. Dia sudah jadi nyawaku, setiap tarikan nafasku
aku selalu ingat dia. Debaran jantungku.....rasa ini....," tiba-tiba
Maria merasa sesak.
Aku segera masuk ke kamarnya. "Maria, Maria! Bertahanlah!"
Aku segera mengambil obat hirupnya. Kukocok alat itu, lalu kupasangkan
di mulut Maria dan ia menghirupnya. Ia lalu mengambil nafas dan mulai
lega lagi. Dari dekat aku bisa lihat mata Andre berkaca-kaca.
"Sebegitu besarkah cintamu kepadanya, Maria?" tanya Andre.
"Aku tak tahu Ndre, aku tak tahu. Tapi aku butuh dia, hatiku butuh dia," kata Maria.
"Mar, selama ini aku sudah memberikan cintaku kepadamu, masa' harus
sampai di sini? Pikirkanlah baik-baik Mar! Kenapa harus aku yang kamu
tinggalkan setelah lama kita bersama?"
"Aku tahu Ndre, aku tahu. Aku yang salah," Maria menyentuh dada Andre.
"Aku ingat semua kenangan indah kita, aku ingat semuanya. Tapi aku baru
sadar bahwa aku selama ini mencintai dia."
Maria menangis lagi. Rasa sedihnya ini bisa membuat dia makin sakit.
Ray, kau apakan sih anakku ini sampai seperti ini sakitnya.
Andre menggenggam erat tangan Maria. "Baiklah, aku akan berjanji
kepadamu. Aku akan cari Ray sampai ketemu. Aku akan pukul dia karena
meninggalkanmu seperti ini."
Maria hanya tersenyum. Ia mengusap pipi Andre. "Makasih ya Ndre, kamu
memang orang yang paling baik. Tolong jangan marah kepadanya. Marahlah
kepadaku Ndre."
Andre lalu mencium kening Maria. Ia agak berat melepaskan tangan Maria.
"Om, om tahu di mana dia?" tanya Andre.
Aku menggeleng, "Ikut aku sebentar!"
Aku menggeret Andre keluar kamar. Kemudian kami bicara di tempat
kerjaku. Aku jelaskan semuanya tentang Ray, tentang Dark Lantern,
tentang segala hal yang aku lihat. Andre shock. Tangannya gemetar dan
kakinya lemas.
"Anda tak bercanda?" tanyanya.
"Kamu kira apa yang terjadi dengan Maria itu bercanda?" tanyaku balik.
Kami hening. Hanya terdengar suara detik jam dinding. Andre benar-benar
tak percaya terhadap apa yang barusan aku ceritakan. Tapi ia pasti akan
menerima.
"Om, aku ingin menolong Maria. Tolong, apa yang harus aku lakukan?" tanya Andre.
"Aku takut kamu akan mati gara-gara ini. Ini bukan permainan anak-anak!" jawabku.
"Aku tahu, aku memang lemah. Tapi aku tidak mungkin berdiam diri saja
melihat Maria. Ijinkan aku membantu Om. Aku akan lakukan apa saja agar
Maria sembuh," katanya.
Dasar kalau sudah urusan cewek, anak laki-laki emang akan melakukan apa
saja untuk orang yang dicintainya. Yah, aku tak dapat memaksa. Lagipula
kerja dua orang lebih baik daripada kerja satu orang.
"Baiklah, tapi ini tidak akan mudah," kataku.
"Demi Maria aku akan lakukan apapun," kata Andre.
Dan dimulailah petualangan kami berdua setelah itu.
BAB XVII
The Hunting Party part I
NARASI ALEX
Namaku Alex. Alex saja. Hidup dari seorang anak yatim. Kemudian
dipekerjakan sebagai seorang penjual atraksi di sebuah sirkus dan
diberlakukan tidak adil. Tapi setelah itu kami lari. Aku, Agni dan
Troya. Kami lari dari mereka hingga mendengar khutbah Bapa Joseph. Kami
pun tertarik kepada beliau dan akhirnya beliau mau menerima kami.
Terlebih lagi kami mengenal seorang anak yang mempunyai kekuatan yang
sama dengan kami. Namanya Ray.
Anaknya pendiam. Tapi orangnya baik. Dia asyik saja sih kalau diajak
bicara. Hanya saja memang pendiam. Satu-satunya yang dekat dengan Ray
adalah Agni. Bahkan Agni sudah pacaran dengannya walaupun usia mereka
tidak seimbang. Agni lebih tua dua tahun dari Ray. Kedekatan mereka
sudah aku rasakan sejak pertama kali bertemu. Agni sudah suka dengan
Ray. Aku sih menghormati Agni sebagai kakakku. Dia adalah pemimpin kami.
Di panti asuhan kami adalah empat sekawan yang tak terpisahkan. Hingga
kemudian Agni harus pergi. Lalu Troya.
Semuanya karena Dark Lantern. Setidaknya itulah yang aku ketahui dari
Ray. Kelompok sekte sesat yang sekarang membuat sebuah divisi di
kepolisian dengan nama ATFIP. Sekarang kami diburu. Tidak, selama ini
orang-orang seperti kami diburu tanpa diketahui apa sebabnya. Pertama
Troya.
Kalau saja waktu itu aku bersama Troya, seharusnya tak terjadi seperti
ini. Salah apa Troya? Membunuh orang? Troya membunuh semut saja tidak
tega. Kalau toh ada orang yang meninggal gara-gara ia tak bisa
mengendalikan kekuatannya bukan salah dia tentunya. Memang ada beberapa
orang yang tewas akibat kekuatannya, tapi ia sama sekali tak sengaja.
Tapi itu sudah berlalu. Aku berinisiatif mengumpulkan semua orang dengan
kemampuan yang sama. Aku sudah dapat banyak orang. Ada Tim, Jack,
Purple, Jin, Mega, Andi, Yogi, Rama, Toni. Mereka semua adalah Valiant.
Kemampuan mereka berbeda-beda, tapi semuanya menguasai unsur-unsur yang
tidak biasa. Tim memang menguasai unsur air, Jack api, Purple tanah, Jin
udara sama seperti aku, Yogi dan Toni petir, Rama agak berbeda. Dia
menguasai unsur kegelapan. Kami dari keluarga yang berbeda-beda. Ada
yang memang anak yatim. Ada yang memang anaknya alim sekali seperti
Yogi. Ada yang berandalan seperti Jack.
Aku sudah bersama Valiant selama tiga bulan terakhir semenjak Ray pergi
mencari ibunya. Tugas kami adalah memburu. Kalau mereka memburu kami
para "elemental" (sebutan mereka kepada kami), maka kami juga bisa
memburu mereka. Lagipula jumlah kami makin banyak dari waktu ke waktu.
Kami satu pemikiran, satu perasaan dan perang terhadap Dark Lantern
telah dimulai.
****
Namanya adalah Powel Graham. Usianya 40 tahun. Dia orang yang terpilih
masuk ke divisi ATFIP. Dengan kepintaran Tim kami sudah melacak salah
satu komandan ATFIP tersebut. Tim berhasil masuk ke salah satu server
dengan kemampuan hacking yang dia punyai. Dan hari ini kami berencana
akan menghabisi orang ini.
Sehari-hari orangnya bertingkah seperti biasa. Punya keluarga seorang
istri dan anak. Pagi hari sebelum mengantar anaknya sekolah. Dia pasti
menghabiskan waktu ngopi, baca koran dan sarapan sepotong roti sandwich
bakar. Setelah itu ia akan menghabiskan waktu ke kantor ATFIP yang mana
merupakan sebuah gedung tinggi yang di dalamnya juga ada kantor untuk
divisi-divisi lain dari kepolisian. Kenapa dia jadi target kita? Karena
orang ini yang memimpin penyerbuan terhadap Troya. Kami sudah
menyelidikinya selama satu minggu. Dan sekarang adalah saatnya.
Sebenarnya mudah kalau orang ini adalah orang biasa yang aku bisa saja
memotong-motong dia dengan kekuatan elemen angin. Masalahnya bukan itu.
Masalahnya adalah ATFIP ini mempunyai sesuatu yang disebut Jolt. Jolt
adalah sebuah alat, seperti tongkat ukurannya kurang lebih 30 cm. Kalau
dilihat seperti sebuah tongkat yang ada lampu spiral di ujungnya. Lampu
tersebut berwarna warni. Ini adalah senjata milik ATFIP yang didiseain
untuk memerintahkan elemen, sehingga mereka bisa menggerakkan elemen
seperti kami. Kami cukup kewalahan melawan mereka kalau sendirian,
karena tongkat ini mampu menghadapi elemen apapun dan dalam kondisi
apapun. Tapi dalam kondisi keroyokan, mereka tak akan ada yang bisa
bertahan.
Aku, Tim dan Purple membuntuti dia. Tujuan kami hanya satu, serang
ketika dia lemah. Rencana kami cukup matang. Ini adalah perburuan kami
yang pertama. Kami selama ini hanya berlari dan bertahan tapi sekarang
kami tak boleh diam.
Pukul enam sore mobil Paul sudah melaju meninggalkan gedung. Jack
menghubungiku lewat ponsel, "Dia keluar!" aku segera memberi aba-aba
kepada Tim dan Purple.
"Seperti rencana," kataku.
Mobil Paul terus melaju melewati jalan raya yang macet karena banyak
orang pulang kerja. Baguslah dia berhenti. Aku segera memanggil Purple.
"Pure, giliranmu!" aku memanggil Purple dengan sebutan Pure.
Purple ini cewek tangguh. Dia tak memberitahukan nama aslinya siapa.
Dandannya sembarangan. Kadang pakai celana kombor, jaket dan kaos.
Kadang rambutnya direbonding, seminggu kemudian diblow. Ciri khas dia
adalah rambutnya berwarna ungu. Dia tidak seperti seorang cewek pada
umumnya. Ketika dia tahu gilirannya tiba, maka dia pun berlari mendekati
mobil Paul. Rencananya simpel. Dia harus membuat mobil itu melayang di
udara dengan cara menghantam mobil itu dari bawah.
Aku pun mendekat ke arah mobilnya. Karena macet, jadi aku tak perlu
repot untuk menyebrang jalan. Tim menyerang dari sisi kanan, aku dari
sisi kiri. Paul belum menyadari bahaya yang mengancamnya. Purple
langsung naik ke atas mobil yang ada di depan mobil Paul. Sopir mobil
yang dinaikinya marah-marah.
"Woi, turun lo dari mobil gue!" kata sang sopir. Purple tak
menghiraukannya. Ia melampai ke arah Paul. Menyadari bahaya Paul
bermaksud keluar mobil. Tapi Purple menghentakkan kakinya seketika itu
juga dari bawah mobil Paul tanah tiba-tiba naik membuat mobilnya
terangkat beberapa meter ke atas. Aku mengulurkan tanganku. Aku
berbicara kepada angin. Mereka menyapaku lagi. Kali ini memerintahkan
kepada angin untuk memotong mobil itu. CRASH! Mobil terbelah menjadi
dua. Paul tambah kaget, dan dia sudah mengeluarkan tongkat Jolt-nya. Ia
keluar dari mobil dari berdiri di atas tanah yang menjulang tinggi itu.
Semua orang panik. Mereka menghindar, kabur, lari. Paul masih shock, dan
karena itulah Tim membentuk pisau air dan menyerangnya. Kaget tentu
saja, karena tak diberi kesempatan berpikir Paul terjatuh dari
ketinggian lima meter. BRAK! Ia mendarat dengan tidak mulus di atas
sebuah mobil yang kosong ditinggalkan pemiliknya karena takut. Aku
berlari menuju ke arahnya, harus cepat sebelum ia menggunakan Jolt,
pikirku.
Belum sempat aku sampai ke arahnya ia mengayunkan Jolt yang lampunya
ujungnya berwarna kuning. Warna kuning? Warna kuning artinya dia
mengendalikan bumi. Dari bawahku tampak tanah bergetar. Ohh...tidak,
terlambat sudah. Tapi ada yang aneh. Tanah itu seperti terangkat tapi
dengan cepat turun lagi. Ternyata Purple tahu dan dengan cepat menahan
tanah agar tidak bergerak. Aku berlari ke arah Paul dan melayangkan
pisau angin ke arah tangan Paul yang memegang tongkat Jolt. SLASHH!
CURR! Terpotonglah lengannya. Disusul Tim dengan pisau airnya SLASH!
Dengan mudah ia sudah memutilasi kaki Paul.
Aku mendekat ke arah Paul yang mengerang kesakitan. Aku naik ke atas
mobil tempat ia jatuh tadi. Kuangkat lengannya yang membawa tongkat
Jolt. Kuambil tongkat itu dan kulempar potongan lengannya.
"Ini untuk Troya!" kataku. Aku memberi aba-aba ke Purple. Dari atas
mobil Purple memanggil tanah. Sekarang di tangannya terkumpul bebatuan
aspal yang menurut kepadanya membungkus tangannya menjadi sebuah palu
raksasa. Lalu Purple melompat menghantamkannya ke kepala Paul.
Tak perlu diceritakan bagaimana otaknya berhamburan dengan hantaman
sekeras itu. Misi kami selesai. Dengan ini maka Dark Lantern akan
ketakutan dengan sendirinya. Kami bersatu dan kami kuat. Cobalah lawan
kami. Setelah itu dengan tanpa dosa kami pun pergi dari tempat itu
sebelum bala bantuan datang.
****
Esoknya berita headline surat kabar menyebutkan sebuah kecelakaan.
Padahal kita tahu bahwa itu bukan kecelakaan. Seperti biasa mereka masih
menutupi keberadaan kami. Entah apa maksudnya.
"Lex, lihat!" kata Tim. "Anggota kita makin banyak. Jumlah kita yang
awalnya cuma sepuluh orang kini sudah puluhan. Nggak ada ide buat
membagi-bagi wilayah? Kalau kita cuma di sini terus maka mereka akan
dengan mudah menemukan kita."
Aku pun berpikir ada benarnya juga. Tiga bulan terakhir ini kucatat
mungkin sudah ada tujuh puluh orang yang ikut bersama kami. Mereka juga
para elemental. Kekuatan mereka juga tak bisa dianggap remeh. Ada yang
datang dari luar kota, bahkan dari lain dunia...maksudnya dari negeri
lain.
Keputusan pun aku ambil. Kita membagi wilayah kekuasaan. Kunamakan
dengan sebutan distrik. Kubagi menjadi 10 distrik, masing-masing distrik
dipimpin oleh para anggota senior dari Valiant. Dan dari sinilah
peperangan sebenarnya dimulai.
NARASI ANDRE
Anak penjual warung bakso. Itulah aku. Hampir tiap hari aku membantu
ibuku dan ayahku jualan bakso di warungnya. Entah beli bumbu, entah beli
ini beli itu. Walaupun mereka penjual bakso tapi tak ada niatku untuk
meneruskan usaha mereka. Entahlah.
Aku punya pacar sebenarnya namanya Maria. Anaknya cakep, cantiklah di
atas rata-rata. Kulitnya putih. Rambutnya lurus, hitam agak coklat gitu.
Bibirnya tipis, pokoknya gambaran wanita ideallah. Hanya saja, entah
kenapa dia akhirnya berkata jujur kepadaku bahwa dia cinta ama lelaki
lain. Dan itu bikin aku emosi, marah, nggak tahu harus bagaimana. Tapi
aku masih sayang ama Maria. Aku aja nggak tega buat nyakitin dia, marah
aja nggak tega. Aku justru benci sekali dengan Ray sekarang. Ya,
cowoknya itu bernama Ray.
Ray itu orangnya pendiam. Jarang banget dekat dengan kita-kita. Entah
kenapa Maria bisa deket dengan Ray. Bagaimana ceritanya aku juga tidak
tahu. Tapi aku akhirnya mulai menyelidiki. Hal pertama yang aku selidiki
adalah laci di bangkunya. Ada sebuah buku tulis yang tertinggal di
sana. Dari halaman depan sampai halaman akhir berisi gambaran wajah
Maria. Jadi anak ini dari dulu suka ama Maria. Aku marah dan aku
robek-robek itu buku tulis. Dan sekarang setelah liburan akhir tahun ia
tak menampakkan batang hidungnya sama sekali. Dan Maria? Dia tergolek
lemah di atas tempat tidur, menunggu dia.
Aku setiap hari pergi ke tempatnya. Menjenguknya. Tapi sebagaimana
hari-hari biasanya, dia selalu mengingau menyebutkan satu nama "Ray".
Aku benci, rasanya menusuk di hati. Sayang, tak tahukah kamu aku tak
pernah mengkhianatimu selama ini. Kamulah satu-satunya wanita dalam
hidupku, kenapa juga kamu harus menyukai cowok pendiam yang nggak pernah
ngasih kamu apa-apa. Aku tak habis pikir, apa yang engkau lihat dari
Ray. Tiba-tiba seenaknya saja kamu bilang kamu juga cinta ama dia. Tapi
aku masih berharap kamu melihat diriku Maria.
Mulai saat ini aku bekerja dengan Detektif Johan. Dia menjelaskan
kepadaku semua tentang Ray. Tentang para elemental, tentang Dark
Lantern. Apalagi peperangan antar keduanya telah dimulai. Dan baru saja
kemarin mayat seorang anggota ATFIP tergeletak di jalan raya dengan
sangat mengenaskan. Peperangan telah berlanjut ke level yang lebih
tinggi. Aku dan detektif Johan menyelidiki tentang kasus lama yang
terjadi tujuh belas tahun yang lalu yaitu penemuan mayat William van
Bosch. Kami pun mulai menyelidiki tentang keluar van Bosch.
Insting detektifnya mengatakan bahwa Ray akan bertemu dengan keluarga
van Bosch. Kalau misalnya tidak salah maka kami pasti akan bertemu Ray
suatu saat nanti dan aku akan menjadi orang pertama yang menghajar dia
karena telah membuat Maria seperti itu. Terus terang sampai sekarang aku
tetap berharap kepada Maria. Aku peduli kepadanya dan aku akan buktikan
bahwa aku lebih baik dari Ray.
"Pesta perburuan sudah dimulai rupanya," kata Detektif Johan.
Aku berada di kantor detektifnya. Di ruangan ini aku melihat papan
kerjanya dipenuhi dengan klipingan berita tentang pembunuhan. Walaupun
kebanyakan menyebutkan kecelakaan, tapi sebenarnya tidak. Semuanya
adalah pembunuhan yang dilakukan oleh ATFIP dan juga oleh Valiant nama
kelompok para elemental. Dari semua kejadian ini, sepertinya ATFIP tidak
menyentuh Ray sama sekali. Dan juga tak ada tanda-tanda Ray melakukan
penyerangan terhadap ATFIP.
"Apa yang harus kita lakukan terhadap peperangan ini? Ini seperti api dalam sekam, Om," kataku.
"Kita tetap fokus, cari tahu tentang van Bosch," katanya.
"Om yakin itu kunci jawaban dari semua ini?"
"Tentu saja yakin. Semuanya berawal dari sana."
"Korban makin banyak saja. Tapi heran, kenapa mereka memalsukan berita ya?"
"Itu karena divisi ATFIP tidak banyak diketahui. Dan kalau pun sampai
terekspos oleh media, polisi akan menjadi bulan-bulanan. Adanya Densus
88 saja membuat mereka jadi bulan-bulanan karena tindakannya yang main
tembak seenaknya. Apalagi ini yang lebih sadis, main bunuh seenaknya,"
jelas Detektif Johan.
Aku manggut-manggut. Ponsel Detektif Johan berbunyi ada SMS masuk.
"Ada panggilan klien. Ikut?" tanya sang detektif.
"OK aja deh," kataku.
Aku sudah bekerja sama dengan detektif Johan. Bukan saja untuk
menyelidiki tentang keluarga van Bosch, tapi juga untuk kasus-kasus yang
lain. Kali ini kami harus pergi ke tempat klien. Lebih tepatnya klien
kita ini adalah polisi sebenarnya. Dan tak jarang sang detektif dimintai
tolong oleh pihak kepolisian. Dan aku tahu siapa yang meminta tolong
ini, Inspektur James. Siapa lagi?
Kami tiba di sebuah apartemen. Langsung saja detektif naik ke lantai
tujuh. Di sini kami masuk ke sebuah apartemen yang banyak garis
polisinya di sana. Sebelu masuk Detektif memberiku sarung tangan yang
langsung aku pakai.
"Kamu nggak mual lihat darah kan?" tanya Detektif Johan. Sebenarnya iya.
Aku mual kalau lihat darah. Tapi untuk menjaga profesionalisme maka aku
menggeleng.
"Aahh...Piere, lama tidak bertemu," seorang berkumis tebal langsung
menyambut Detektif Johan dan memeluknya. Dia lalu melihat ke arahku,
"Siapa?"
"Asisten," jawab Detektif Johan.
"Tumben punya asisten," kata Inspektur Johan.
Aku lalu berbisik ke ayahnya Maria ini, "Koq dipanggil Piere?"
"Ceritanya panjang," jawabnya.
Aku masuk ke kamar apartemen itu. Beberapa tim penyidik ada di sana.
Kamar itu sangat berantakan. Dan....bau anyir darah. Aku mencoba menahan
sedapat mungkin agar tidak membuat malu dan mengotori TKP. Dan baru aku
masuk terdengar suara CROTT! Detektif Johan dan Inspektur James menoleh
ke arahku. Aku bingung, apaan sih? Aku lalu melihat ke bawah. Ada
sesuatu di bawah sana yang kuinjak. Aku melihat telapak sepatuku. Aku
baru saja menginjak sebuah bola mata. Ngapain juga ada bola mata
berwarna putih kekuningan dengan leleran darah di bawah sana. HOOOEEEKK!
Aku langsung berlari ke arah wastafel yang ada di dekat kamar. Muntah
sukses di sana.
"Ini bagaimana sih, tim forensik! Koq potongan tubuhnya nggak disatuin?" tanya inspektur James.
Setelah itu aku melihat di cermin terpantullah bayangan sebuah kepala
terlepas dari tubuhnya dengan kedua matanya sudah tidak ada di sana.
Badannya tercabik-cabik. Aku bahkan bisa melihat bagaimana isi dari
tubuhnya sebagian keluar. Aku pun makin mual. HOOEKKK!
"Dasar, katanya nggak bakal mual," kata Detektif Johan.
Aku mengangkat tangan tanda menyerah. Lalu aku membersihkan makan siangku yang keluar lagi itu di wastafel. Sialan.
Korban adalah salah seorang anggota ATFIP ternyata. Itu diketahui
setelah kami menemukan sebuah kartu identitas di laci kamarnya. Dan
bagaimana korban bisa tewas? Kepalanya dipenggal terlebih dulu, lalu
dicabik-cabik hingga isi tubuhnya berhamburan keluar. Kemudian dicongkel
matanya. Pembunuhan yang sangat sadis. Senjata yang digunakan, bukan
pisau, bukan pedang, bisa jadi para elemental itu menggunakan sesuatu
untuk membunuh orang ini.
"Ada yang aneh," kata Detektif Johan.
"Kamu merasakannya?" tanya Inspektur James.
"Kenapa korban tidak memakai baju?"
"Ini rumahnya kan ya semaunya dia dong," kataku.
"Hmm...bau apa ini? Parfum....," kata Detektif Johan sambil mengendus. "Aku ingat sekarang. Bau parfum ini..."
Detektif Johan mengendus-edus, hingga ia sampai di sebuah meja dekat
tempat tidur. Sebuah botol parfum tergeletak di sana. Ia mengambilnya.
"Inspektur James, cek sidik jarinya!" ia melemparkannya ke arah inspektur.
"Kenapa dengan parfum ini?" tanya Inspektur James.
"Aku yakin pemilik parfum ini adalah pelakunya. Dan, ini bukan ulah
seorang elemental biasa. Lihat bekas cabikannya, seperti kuku yang
panjang tahu kan? Lihat, seperti ada empat jari yang mengoyak, tapi ini
kuku atau...apa ya....hhhmmmm.....pernah tahu orang dengan kuku yang
terbuat dari pisau??" tanya detektif Johan.
"Manusia gunting?"
"Tepat, sekali. Tapi ini bukan gunting. Mungkin dalam cerita komik X-men
seperti Wolverine, tapi ini lebih seperti Lady Death Strike, dengan
kuku lebih besar dan panjang," jelas Detektif Johan.
"Sebentar, menurutmu bukan ulah elemental? Lalu siapa?"
Detektif Johan mengangkat bahu. "Yang jelas pelakunya pasti ada
hubungannya dengan parfum itu dan.....kasus kita 17 tahun yang lalu."
BAB XVIII
The Hunting Party Part II
NARASI BALANCER
Siapa yang takut kepadanya? Sudah pasti semuanya harus takut. Siapa yang
mengendus kehadirannya pasti harus takut. Diam mengawasi malam. Mencari
hausnya darah. Dahaga dengan rasa aroma psikopat yang menggelora. Telah
habis ratusan nyawa di tanganku. Telah hilang ratusan nyawa dengan
tangan ini. Aku seorang elemental. Aku penyendiri. Aku juga sudah lama
hidup, dengan kutukan yang tidak habis-habisnya.
Andai waktu itu aku tidak menghalangi Thomas meneguk cawan suci, pasti
permintaannya tak akan terkabulkan. Kini semuanya lebih parah. Seiring
berjalannya waktu, aku semakin sibuk. Sibuk menghabisi nyawa mereka satu
per satu. Baik elemental ataupun Dark Lantern. Para elemental sudah
menyadari keberadaan mereka dan mereka mulai bersatu membentuk aliansi.
Aku tahu mereka akan kuat suatu saat nanti.
Malam itu aku menggoda seorang Dark Lantern. Salah seorang yang penting.
Anak buah dari Robert. Namanya Marcus. Orangnya hidup sendiri di sebuah
apartemen. Dengan langkah yang menggoda aku pura-pura menabrak dia. Aku
tahu Dark Lantern punya alat untuk bisa mendeteksi seseorang itu
elemental ataukah tidak. Awalnya alat itu ada pada bros baju mereka
ketika di jaman pertengahan. Sebuah jimat yang akan memancarkan panas
ketika dekat dengan seorang elemental. Tapi ketika jaman telah modern.
Mereka memakai sebuah arloji. Mungkin itu alasannya mereka bisa memburu
para elemental itu.
Tapi tidak bagiku. Aku berbeda. Karena elemental yang aku pakai juga
berbeda. Aku bisa berbicara dengan logam. Setiap logam. Aku bisa bicara
dengan logam yang ada pada tubuh manusia. Dan aku tak pernah terdeteksi
dengan alat itu. Karena aku diberkati. Tak ada satupun yang tahu
keberadaanku.
Ketika aku pura-pura menabrak Marcus, ia tahu aku bukan elemental.
Kemudian aku minta tolong untuk diantarkan pulang. Tapi dengan sedikit
menggoda, aku pun menciumi dia. Dasar lelaki kalau sudah dicium dan
kemaluan mereka diremas, mereka pasti takluk. Dengan tak sabar ia pun
mengajakku ke apartemennya. Begitu masuk ia langsung nyosor. Bibirku
diciuminya dengan ganas, seolah-olah bibir ini adalah sesuatu yang tak
bisa disia-siakan. Ia juga meremas payudaraku dari luar blazer.
Aku melepaskan bajunya. Terpampanglah dada bidang berbulu. Kuciumi
dadanya dan kujilati putingnya. Ia makin bernafsu saja. Dia melepaskan
bajuku. Agaknya terkejut ketika melihat ukuran buah dadaku. Ia pun
berusaha menciumi payudaraku. Kudorong dia hingga berada di atas
ranjang. Aku mengeluarkan parfumku dan kusemprot di leherku. Aromanya
sangat menggoda para pria. Tentu saja.
Aku lepaskan semua bajuku dan hanya menyisakan g-stringku. Marcus sudah
menelan ludah berkali-kali. Apalagi kini ia tak memakai baju. Sebenarnya
aku bisa saja membunuhnya saat ini. Tapi itu terlalu menyakitkan.
Setidaknya aku biarkan ia melayang dulu. Aku pun merangkak, mengendusi
betisnya, pahanya lalu aku menangkap buah dzakarnya. Ia mengerang.
Lelaki mana yang bakal tahan buah pelernya ditangkap mulut wanita
sesensual aku?
Kujilati buah dzakarnya itu dengan lembut. Rasanya pasti menggelitik.
Geli dan itu membuat batangnya makin tegang. Kukocok lembut batang yang
sudah mengeras itu. Lalu kuciumi dan kuendus dengan hidungku. Aroma
laki-laki sangat khas. Lidahku sudah menjilatinya. Dia mengerang
berkali-kali. Apalagi setelah itu kicium pionnya dan kuemuti seperti
lolipop.
"Sudah sayang, aku nggak tahan kamu gituin," kata Marcus.
Aku tiba-tiba mengocoknya dengan cepat, pantatnya bergoyang tak karuan.
Kepala pionnya langsung aku lahap dengan mulutku. Enak banget ya?
Hihihhi. Dia benar-benar melayang. Apalagi lidahku memutar-mutar kepala
pionya. Efeknya pasti dahsyaat. Setelah itu kepalaku naik turun.
Kubenamkan sedalam-dalamnya batang kemaluannya itu. Pantatnya bergetar.
Ia memohon-mohon untuk diteruskan. Baiklah. Aku pun makin cepat
mengocoknya dengan mulut dan tangan. Sambil aku sedot kuat-kuat.
"Aaagghhh...sayang aku mau keluar, keluar..keluuuuaaaarr!" erangnya.
Penisnya mengeras dan mau keluar sepertinya. Tentu saja, aku seorang yan
sangat pintar menservis lelaki. Bahkan kekasihku sendiri tak akan kuat
kalau menahan cara bercintaku. Aku kocok dengan cepat hingga memancarlah
cairan putih kental miliknya.
"Enak?" tanyaku.
Marcus mengangguk. Aku kemudian bersihkan tanganku yang terkena
belepotan spermanya. Aku tersenyum dan kuciumi bibirnya. Tanganku ku
arahkan ke udara. Sebuah kabut gelap berwarna kelabu menyeliputi telapak
tanganku. Dalam hati aku berbicara, 'Hai besi, apa kabar? Kalian sudah
merindukan aku? Bagaimana kalau kalian bersatu dan memberiku jari jemari
yang terbuat dari pedang?'
Dalam sekejap tanganku ada sesuatu yang membungkusnya. ITu adalah
serpihan-serpihan besi. Dengan mudah juga serpihan itu bersatu. Kini
seluru jari tangank terlapisi besi dan kemudian lambat laun berubah
menjadi pedang panjang. Lebih tepatnya jemariku sekarang tidak berukuran
normal. Sangat panjang dan kuku-kukunya seperti pedang.
Aku pun mundur. Marcus kaget ketika kumelepaskan ciuman. Tangan kiriku
langsung menebas lehernya. Dia langsung memegangi lehernya. Darah segar
muncrat seperti air mancur dari lehernya yang cukup kekar. Setelah itu
aku putar dan jambak rambutnya kemudian aku cabik-cabik tubuhnya dengan
nafas memburu seperti orang gila. Iya, gila. GILA. Aku gila kepada orang
yang telah berani-beraninya menyakiti anakku. Berani-beraninya dia
menyerang anakku. Menugaskan lima orang ATFIP untuk menyakiti anakku.
Robert kuharap kamu melihat ini. Aku memang seorang Balancer, tapi aku
juga seorang ibu. Aku sudah bilang kepada kalian untuk menjauhi keluarga
van Bosch.
Aku pun menjilati darah yang keluar dari bibir Marcus. "Ooww...kasihan ya, sudah puas mati. Hihihihi...'
Kumelihat matanya masih terbelalak. Ia terkejut melihat perempuan seksi
dan menggoda ini menghabisi nyawanya begitu saja. Kucongkel kedua
matanya dan kubuang di lantai. Setelah itu kuletakkan kepalanya di atas
kasur. Aku pergi ke kamar mandi, kusempatkan membersihkan tubuhku di
sana. Dan tiba-tiba aku pun teringat dengan anakku. Sedang apa dia di
Syberia ya? Kuharap dia mendapatkan pelajaran yang sangat berarti hingga
nanti dia bertemu lagi denganku.
Aku memang termasuk keluarga van Bosch, tapi aku tidak mengikuti jalan mereka. Aku adalah aku. Aku, seorang Balancer.
NARASI ALEX
"Wow, siapa yang melakukan ini?" tanyaku kepada Purple.
"Apa? Pembunuhan?" tanyanya. Aku menyerahkan koran yang aku baca kepadanya.
"Gilaaaakkk, keren banget. Siapa ya?"
"Yang jelas ia ada di pihak kita. Tapi sepertinya ada yang memang masih
malu-malu untuk bergabung dengan kita dan bekerja sendirian," kataku.
"Bukan Ray?" tanya Purple.
"Tidak, Ray tidak akan sesadis itu membunuhnya. Dia lebih soft, makanya dia aku bilang lemah," kataku.
"Kamu masih marah ya sama Ray?"
"Iya, tentu saja. Sudah tiga bulan dan dia belum kembali, siapa yang
nggak marah? Aku jadi penasaran, Syberia itu seperti apa sih?"
Purple menepok jidatnya. "Kamu nggak tahu?"
Aku menggeleng.
"Makanya baca itu buku, baca! Dasar!" Purple lalu beranjak pergi.
"Kemana lu?" tanyaku.
"Aku ada urusan, kerja tauk! Emangnya aku cuma ngurusin ini aja tiap hari?"
"Oh, ok," kubiarkan dia pergi. Aku sekarang ada di distrik 7. Purple ada
di distrik 8. Dan pekerjaannya adalah sebagai seorang SPG. Itupun
didapatnya dengan tidak mudah, apalagi ia seorang yang tomboy, tapi
modis. Bagaimana menggambarkan tomboy tapi modis? Ibaratnya engkau
melihat Lara Croft dengan balutan busana lolita.
Lara Croft dengan balutan busana lolita? What the Fuck was that?
NARASI ANDRE
Setelah kemarin melihat-lihat mayat. Aku agaknya harus menyingkirkan
rasa mualku. Memang aku harus terbiasa dengan pola hidup yang tidak
sehat ini rasanya. Pagi makan, siang ke TKP muntah, malamnya harus makan
lagi. Tapi besok juga muntah lagi. Argh..kalau lihat darah hewan sih
nggak masalah. Ini darah manusia. Mana nginjak bola matanya lagi
kemarin. Ewww....
Hari ini hari Minggu dan aku membantu orang tua jualan bakso. Yah,
ngeladenin pembeli kalau bakso mah gampang. Yang susah itu bikinnya.
Hari itu sebenarnya sama sih seperti hari-hari biasa. Hanya saja ada
yang spesial kali ini. Ada seorang cewek, cakep sih. Rambutnya dicat
ungu. Aneh nggak tuh? Tiap hari minggu pas makan siang pasti ke warung
ini. Dia pakai pakaian seksi. Seorang SPG dan kadang ganti-ganti
perusahaan tempat ia memasarkan barangnya. Yang bikin aku tertarik ama
dia itu adalah sekalipun dia pakai baju seperti itu, tapi polahnya malah
mirip laki-laki.
Aku beberapa kali ngobrol ama dia. Kerja di mana, tinggal di mana.
Namanya Puri. Dia sudah lulus SMA dan sedang kerja banting tulang buat
keluarga. Dan kali ini dia datang lagi makan siang. Sekarang ia memakai
jeans ketat dan kaos T-Shirt bertuliskan merk rokok. Sekarang jadi SPG
rokok dia. Dia sendirian dan tampaknya tak ada temannya. Sama seperti
sebelum-sebelumnya.
"Hai Puri," sapaku.
"Hai Mas," sapanya. "Mas pesen satu ya, seperti biasa."
"Ok," kataku. Dia suka makan bakso dengan isi bakso besar satu, tahu
satu, siomay dan bihun. Ditaburi bawang goreng dan kuahnya banyak. Trus
dia tak suka saos dan sambel. Aneh, biasanya cewek-cewek demen banget
ama saos dan sambel. Tapi dia tidak. Pesanan pun aku antarkan langsung
ke tempat dia duduk.
"Makasih ya," katanya.
"Minumnya ambil sendiri ya, seperti biasa," kataku.
Ia lalu memakan baksonya. Karena pengunjung rada sepi, aku coba deh untuk ngobrol ama dia. Aku lalu duduk di depannya.
"Sekarang jadi SPG rokok nih," celetukku.
"Iya mas, ada yang nawarin. Lagian lumayan honornya," katanya. "Gimana sekolahnya mas?"
"Halah ya gini-gini aja."
"Nggak ada rencana kuliah?"
"Ada juga sih."
"Mau ngelanjutin usaha orang tua?"
"Nggak. Mau kerja yang lain ajah."
"Waah...nanti nggak bisa ketemuan sama mas dong."
"Jadi tiap kali makan bakso kepengen ketemuan ama aku?"
"Ihh...Ge-er!"
Kami pun tertawa.
"Itu rambutmu emang ungu gitu apa dicat sih?"
"Ya dicatlah mas, emangnya aku alien?"
"Ye, kirain beneran alien," kataku. "Aduh!" aku dicubit ama Puri.
"Ngomong-ngomong kamu udah punya pacar Ndre?" tanyanya.
"Punya sih....tapi...," aku tak melanjutkan. Bingung mau ngomong apa.
"Tapi kenapa? Cerita aja lagi gak papa," kata Puri sambil mengunyah potongan simoay.
"Ceritanya panjang sih. Sebenarnya aku sudah lama pacaran ama dia. Tapi
di tengah jalan dia bilang sebenarnya suka sama orang lain. Duh gimana
ya....,"
"OOhh...dikhianati begitu?"
"Bukan dikhianati, duh bingung aku ngomongnya. Intinya aku cinta banget
ama dia, cinta mati. Apapun aku lakukan demi dia. Tapi aku bingung juga
ketika dia minta maaf kepadaku bahwa ia juga mencintai orang lain."
"Ohh...cinta segitiga ya?"
"Iya sih."
"Trus? Kamu perhatian nggak sama dia?"
"Iya dong, aku perhatian banget sama dia."
"Bukan begitu maksudku. Kamu perhatian sama dia ketika dia butuh ataukah ketika dia tidak butuh."
"Maksudmu?"
"Gini Ndre, kadang itu cewek itu akan lebih mencintai orang yang lebih
memperhatikan dia disaat dia tidak bilang harus diperhatikan. Contoh nih
ya, misalnya dia sebenarnya kepengen banget suatu barang, eh...dianya
tiba-tiba ngasih. Atau gini, sebenarnya dia sakit eh tiba-tiba cowoknya
tahu keadaan dia kalau sakit. Kamu begitu nggak?"
Deg! Aku baru sadar. Aku selama ini tak pernah berbuat itu ke Maria. Dia
kesukaannya apa aku nggak tahu. Dia hanya tahu apa yang aku suka.
Bahkan dia kena asma aja aku baru tahu setelah dia sakit ini. Aku sadar
sekarang. Dia mendapatkan hadiah itu. Hadiah dari Ray, sebuah bola
kristal yang isinya boneka salju. Itu yang diinginkannya sejak dulu.
Kenapa aku bodoh? Kenapa aku tak tahu? Dan ketika dia pingsan di gym,
aku baru ke sana ketika dia sudah ada di ruang UKS. Sedangkan Ray tidak,
aku melihat Ray ada di luar ruang UKS dengan tampang seperti tak tahu
apa-apa sementara teman-temanku berlarian menuju ruang UKS. Dia sudah
ada di sana duluan. Dia yang menolong Maria.
Shit! Sialan....pantas saja selama ini seperti itu. Pantas Maria lebih
memilih Ray. Aku makin benci kepada Ray. Ingin kutonjok saja dia. Dan
buku-bukunya semuanya berisi tentang Maria, semua wajah Maria dia gambar
di bukunya hingga penuh. Aku kira selama pelajaran dia menulis apa yang
diterangkan guru, ternyata tidak. Lalu kenapa dia tidak mencoba merebut
Maria dari aku kalau memang dia jantan?
"Trus, apa cowok itu ngerebut dia dari lo?"
Aku menggeleng.
"Berarti pacar lo yang bilang?"
"Iya, dia bilang dia lebih cinta cowok itu daripada aku."
"Wah, susah tuh. Yang tabah aja ya. Kamu toh tak bisa apa-apa kalau itu sudah keputusannya."
"Tapi kan juga nggak segampang itu."
"Coba kamu pikir sendiri, selama ini cowok itu berusaha merebut pacarmu nggak?"
"Enggak."
"Nah, kan. Berarti emang itu keputusan dari pacarmu. Mungkin cowok itu
tahu kamu lagi jalan sama dia. Dan nggak mungkin merebut dia dari lo.
Dia gentle nggak mau ngerusak hubungan orang. Tapi akhirnya pacar lo
yang milih keputusan itu. Capek juga tahu jadi secret admirer"
"Emang mbaknya pernah jadi pengagum rahasia?"
"Pernah dong. Cuma bisa ngawasin dari jauh orang yang disuka jalan
dengan cewek lain. Duuuhh...nyeseknya di sini. Mungkin cowok itu juga
merasain hal yang sama, tiap kali kamu jalan ama pacarmu. Udah deh move
on aja!"
"Ya nggak bisa gitu dong mbak. Aku masih cinta ama dia. Masih berharap."
"Yah, terserah deh. Cewek di dunia inikan ada milyaran, masa' cuma ngejar satu itu aja?"
Ada beberapa pembeli datang.
"Eh bentar mbak ya, ada pelanggan!" kataku permisi.
Aku kemudian melayani pelanggan itu. Mereka pesan beberapa mangkok dan
sebagian di bungkus. Puri menghabiskan semangkok baksonya dan meminum
teh botol. Ia lalu berkata, "Uuufff...kenyaaaangg." sambil mengelus-elus
perutnya.
Setelah selesai meladeni pelanggan aku kemudian duduk lagi di meja Puri.
"Habis ini ke mana mbak?" tanyaku.
"Ya balik lagi ke mall, nih!" ia memberiku uang untuk baksonya.
"Bentar yah, kuambilkan kembaliannya," kataku.
"Nggak usah Ndre, nggak usah!" katanya. "Ambil aja!"
"Waduh, terima kasih mbak," kataku.
"Kamu ada waktu nggak besok?" tanyanya.
"Hmm...nggak tahu ya, kenapa?"
"Aku mau pindahan nggak ada yang bisa nolong. Yah, siapa tahu kek kamu bisa bantu. Ntar aku kasih ongkos deh," katanya.
Wah, lumayan nih.
"Oke deh mbak, besok yah?"
"Iya, eh, ini nomorku catet deh!"
Aku langsung mengeluarkan ponselku.
"081944122xxx," ujarnya.
Aku lalu mengulanginya, "081944122xxx? Bener?"
"Iya bener. Coba misscall!"
Aku kemudian menekan Yes untuk menelponnya. Ponselnya berbunyi.
"Makasih, ntar aku SMS deh alamatnya," katanya.
"Lho, emangnya mbak tinggal sendiri? Nggak ada orang tua?" tanyaku.
"Aku nggak punya orang tua. Sejak kecil udah mandiri," jawabnya.
"Waaahhh...hebat ya."
"Hebatan kamu dong, bisa bantu orang tua kaya' gini. Ini anugrah terbesar lho."
Benar juga sih.
"Sampai besok ya Ndre," katanya.
"Eh, iya mbak. Makasih lho ya."
Puri lalu pergi. Wah, mana uangnya gedhe lagi. Satu mangkok bakso
harganya cuma 10ribu dikasihnya 100ribu. Weleh-weleh. Aku hanya
terpesona dengan langkah cewek SPG itu meninggalkan warung baksoku.
Pantatnya goyang kiri kanan. Gila, emang SPG gitu semua ya nyarinya biar
pembeli minat? Tapi ngomong-ngomong cakep juga sih Puri ini. Awal
mulanya dulu dia emang sering makan di sini. Trus kenalan ama aku.
Akhirnya ya jadi akrab karena sering ketemu. Katanya bakso buatan orang
tuaku ini nggak ada yang ngalahin. Aku sih udah eneg makan hampir tiap
hari.
Akhirnya hari itu aku bantu-bantu jualan sampai sore. Sore harinya ibu
dan ayahku gantiin aku. Warung kami makin besar, bahkan sekarang ada dua
pekerja yang membantuku. Satu jadi pelayan, satunya tukang bikin
bumbu-bumbu. Sorenya aku ke tempat Detektif Johan. Niatnya sih kepengen
jenguk Maria.
Aku mengetuk pagar sore itu. Tampak di pintu sang ibu membuka.
"Hei Andre, masuk! masuk!" katanya.
Aku pun langsung membuka pagar dan masuk.
"Marianya gimana kondisinya, Tante?"
"Yah, masih seperti itu. Naik saja langsung!" katanya.
Aku memang sudah terbiasa ke rumah ini sekarang. Mereka sudah menganggap
aku seperti keluarga. Hanya saja sudah tiga bulan ini Maria seperti
itu. Masih terbaring lemah. Dan sampai sekarang aku belum menemukan
titik temu di mana keberadaan Ray. Ataupun bagaimana sebenarnya inti
dari permasalahan orang-orang elemental ini.
Aku naik ke kamar Maria. Kamarnya masih tertata rapi. Terlihat tak
pernah disentuh olehnya. Dia tertidur. Makin kurus saja kelihatannya.
Aku lalu duduk di sampingnya. Sampai tiga bulan seperti ini. Bener-bener
gila nih anak. Masa' sebegitu besar sih cintanya ama Ray? Dan memang
kalau dia bangun yang dicarinya pasti cowok itu. Sedih rasanya kalau
begini terus. Memang sih, cinta tak bisa dipaksa. Tapi...akukan sudah
jadian ama dia. Masa' dia memutuskanku begitu aja? Sigh...Maria Maria.
Tiba-tiba ia terbangun. Matanya terbelalak. Ia melihatku.
"Ndre? Kamu di sini?" tanyanya.
"Iya, seperti biasalah. Menjenguk orang yang paling disayang," jawabku.
"Kamu bisa dengar itu Ndre?" tanyanya.
"Apaan?"
Maria seperti mendengar sesuatu. Ia pasang telinganya.
"Aku bisa dengar. Iya....Ndre, masa' kamu ndak dengar?"
Aku juga memasang telingaku. Nggak ada suara apa-apa kecuali suara angin dan suara jam dinding di kamar ini. "Apaan sih?"
"Ndre...aku dengar suara Ray....," kata Maria. Lagi-lagi Ray, lagi-lagi Ray. Aku pun mendongkol.
"Udahlah Mar, dia sudah pergi. Kamu nggak boleh begini terus! Kasihan tuh kedua orang tuamu!" kataku.
"Nggak Ndre, aku nggak bohong...aku bisa dengar, suara itu...suara Ray.
Dia bilang, 'Aku akan kembali secepatnya Maria'. Begitu, iya aku
dengar," kata Maria. Tampak wajahnya bahagia. Apa dia berhalusinasi sih?
Ia melanjutkan lagi. "Iya Ray, aku akan menunggumu. Cepatlah kembali!
Cepatlah kembali!"
Nyonya Johan masuk ke kamar anakya.
"Maria?! Kenapa Maria?!" tanya ibunya.
"Ibu, Ray akan kembali. Dia bilang akan kembali," kata Maria.
"Oh....Maria," ibunya memeluk erat sang anak. "Iya, dia akan kembali sayang. Dia akan kembali."
Aku makin benci kepada Ray. Kenapa Maria sampai seperti ini? Ini semua gara-gara dia. Gara-gara dia.
***
Besoknya setelah sekolah aku ke tempat Puri yang sudah memberitahukanku
alamatnya lewat SMS. Ternyata rumahnya lumayan jauh sih. Hampir di
pinggiran kota. Untung aja aku punya motor jadi bisa cepat sampai ke
sana. Sesampainya di sana aku melihat kardus-kardus ada di depan
rumahnya.
"Wah, Andre! Masuk masuk!" katanya ketika melihatku datang. Anjir
meeeeennn...itu dia nggak salah pake baju? Pake tanktop, hotpants??
Mulus banget itu paha. Dan What the hell? Dia nggak pake bra
sampai-sampai putingnya kelihatan menonjol gitu, apalagi ia berkeringat.
Kesannya sensual banget. Aku menelan ludah. "Lho? koq bengong aja?!"
"I...iya," kataku.
"Eh, sorry ya kalau pakaianku terlalu seksi, habisnya gerah sih
angkat-angkat sendirian," katanya. "Bentar deh aku ganti baju dulu,
nggak enak ada kamu. Hihihihi."
Aku cuma mengangguk.
Akhirnya hari itu kubantu Puri masukin kardus-kardus itu. Sebagian
isinya perabotan dan pakaian. Rumah kontrakannya ini lumayan luas. Aku
bantu Puri dari menata perabotan, sampai menyapu. Total kami selesai
malam hari, semuanya akhirnya sudah tertata rapi dan kami capek banget.
Puri memang sudah ganti baju, tapi cuma ditambah Kaos. Yak apa sih?
tetep aja kelihatan seksi.
"Mau minum?" tanyanya.
"Ya iyalah, dari tadi kek," kataku.
"Hahahaha, bentar-bentar!" ia cepat pergi ke dapur mengambil air es
dingin yang ada di dalam botol gelas bekas sirup lalu kembali. "Nih,
cuma punya ini."
Aku lalu menuangkan air itu ke dalam gelas. Trus meminumnya. Waaahhhh....segerrrrr!
"Makasih ya Ndre," katanya.
"Sama-sama," kataku.
Kami pun hening. Bingung juga mau ngomong apa. Puri bersandar di kursi.
"Emangnya mbak selama ini tinggal sama siapa?" tanyaku. Aku menoleh.
Ealaaah...malah tidur. Gimana sih? Kecapekan mungkin. Ya sudahlah. Aku
bingung sekarang mau ditaruh di mana ini anak? Belum juga berdiri
tiba-tiba Pluk! kepalanya bersandar di bahuku. Waduh. Dadaku berdegup
kencang sekarang. Koq jadi gini?
"Mbak, mbak Puri?" aku menggoyang-goyang tubuhnya. Aku mendengar dengkuran kecilnya. Waduh pules banget yak?
Akhirnya ya udah deh. Aku tahan dengan posisi itu. Lagian aku juga
capek. Hingga akhirnya aku juga tertidur. Tapi tak lama kemudian aku
bangun. Aku sudah tak mendapatkan Puri di sana. Aku lalu berdiri.
Mungkin dia ada di kamarnya.
"Ndre?! Sudah bangun?" tanyanya. Ia keluar dari kamarnya memakai baju
youcansee. Apa cewek ini nggak ada baju yang normal ya? "Nih ongkosnya!"
Dia memberiku uang tiga ratus ribu. Walah. Ini nggak salah?
"Banyak banget mbak? Cuma angkat-angkat gitu aja," kataku.
"Nggak apa-apa kan?" tanyanya.
"Kalau mbak nggak keberatan sih ya nggak masalah," kataku.
Tiba-tiba Puri mendekat. Pipiku diciumnya. Eh, apaan ini?
"Maaf ya, sekali lagi makasih," katanya. Aku jadi canggung sekarang. Untuk apa coba ciuman tadi?
Aku pun keluar dari rumahnya. Dengan seribu pertanyaan yang tak terjawab
aku pun menyalakan sepeda motorku untuk pergi dari rumahnya. Apa dia
suka ama aku? Wah, gawat dong.
BAB XIX
The Hunting Party Part III
NARASI ALEX
"Lex, masalah Lex!" seru Tim.
"Apaan?" tanyaku.
"Jack, si Jack dikepung!" jawabnya.
"Di mana?"
"Di tempatnya. Distrik 1!"
"Ngapain di sini ayo ke sana bantu dia!" seruku.
Setelah itu aku dan kawan-kawan yang lain bergerak untuk ke distrik 1.
Pasti bukan perkara yang mudah untuk bisa mendekat ke sana. ATFIP
benar-benar melakukannya. Dalam radius 1 km tempat itu diblokir.
Bagaimana bisa masuk ke sana? Kalau kita menyerang dan menerobos masuk,
itu sama saja dengan bunuh diri. Apalagi yang ada di sana bukan saja
ATFIP. Tapi ratusan personil kepolisian dari tim Gegana juga tim Anti
Huru Hara. Mereka membawa pentungan dan sebagian sudah bersenjata
lengkap. Bagaimana dengan Jack?
"Mana yang lain?" tanyaku.
"Yang lain tak mungkin ke sini Lex, kamu tak lihat apa? Mereka bersenjata lengkap gitu," kata Tim.
"Sial, panggil Purple!" perintahku.
Tim segera mengambil ponsel. Ia pun menghubungi Purple. "Purple, Jack.
Di distrik satu sedang terjadi penggerebekan. Kamu bisa datang? OK!"
Aku tak tahu bagaimana bisa menyelamatkan Jack. Tapi yang jelas gedung
apartemen tempat Jack berada beserta kawan-kawan lainnya sudah terkepung
rapat. Tak ada lagi tempat mereka untuk lolos.
"Purple akan ke sini secepatnya. Kamu punya rencana Lex? Kita semua menunggu," kata Tim.
Aku menoleh ke arah semuanya. Ada kurang lebih dua puluh orang di sini
dan mereka semua menunggu instruksiku. Para elemental ini menunggu
komandoku. Entah mereka sudah siap mati atau tidak. Yang jelas, aku tak
ingin kehilangan orang lagi sebenarnya.
"Tim, kamu tunggu Purple di sini. Yang lain sebagian ikut aku. Coba cari
jalan memutar untuk bisa masuk ke apartemen itu. Misi kita adalah kecoh
perhatian musuh dan bunuh orang sebanyak-banyaknya. Kalian mengerti?!"
ujarku.
"Lex, itu sama saja dengan bunuh diri!" kata Tim.
"Kita cuma membuat jalan. Hubungi Jack, kita buat jalan agar dia bisa keluar," kataku.
"Oh, begitu," Tim mulai mengerti.
"Tahu yang kalian lakukan?" tanyaku kepada semuanya.
"Yaaa!" seru semua.
"Berpencar. Buat barikade mereka berantakan!" kataku.
Belasan orang mengikutiku kemudian berpencar. Kami mulai mendekat dan
membuat kekacauan. Elemen-elemen mulai digerakkan. Para aparat yang
berwajib itu kaget ketika terdengar ledakan dan melihat Air tiba-tiba
meluap di belakang mereka. Aku pun bergerak untuk menyerang beberapa
anggota polisi dengan kekuatan angin. Tembakan-tembakan pun berdesingan.
Mereka tak lagi memakai peluru karet, tapi benar-benar timah panas. Ini
serius. Benar-benar serius.
Kulihat di depan apartemen mereka pun bergerak masuk. Tunggu dulu! batinku.
Ketika aku sampai di dekat halaman apartemen, beberapa anggota polisi
melepaskan tembakannya ke arahku. Peluru-peluru itu aku alihkan dengan
kekuatan angin yang sudah melindungiku sejak tadi. Hasilnya tidak bagus,
hampir saja aku terkena peluru. Tapi aku masih bisa selamat. Kurang!
Angin lebih banyak lagi, aku ingin bisa menghancurkan barikade ini. Aku
bisa merasakan bisikan angin di seluruh tanganku. Walaupun tidak
terlihat, aku bisa melihat angin telah membentuk sebuah pedang yang
sangat besar sekarang. Pusaran angin kini berputar-putar di kedua
tanganku. Tanganku sekarang seperti bor yang siang menerjang apapun. Aku
langsung menghantam orang-orang bersenjata itu. Mereka pun terhempas.
Kulihat teman-temanku yang lainnya juga melakukan hal yang serupa. Ada
yang membentuk palu bumi dan menghantamkannya ke kerumunan polisi yang
memblokade tempat ini. Tapi karena mereka memakai senjata api, maka kami
harus benar-benar hati-hati.
Pertempuran benar-benar seru dan mencekam. Senjata ditembakkan. Peluru
melayang kemana-mana. Tempat itu benar-benar jadi ajang perang. Hingga
kami pun ditembaki oleh gas air mata. Tapi sebagai elemental angin aku
bisa menghalau gas air mata itu. Sadarlah aku ingin bisa bicara dengan
angin. Aku makin menggila. Aku bergerak cepat untuk menangkap salah
seorang polisi lalu ku hentakkan tanganku yang sudah ada spiral angin
hingga menembus dadanya. Darah segar pun menyembur seperti air mancur.
Lebih dari itu aku pun menangkap yang lainnya dan kulakukan serupa.
Namun itu tak berlangsung lama ketika semburan api tiba-tiba menghantam
dadaku. Aku terpelanting ke belakang beberapa meter. Di depan aku
melihat seorang dengan jas hitam dan membawa Jolt.
"Perkenalkan, namaku Ralph. Aku dari divisi ATFIP. Kalian menyingkirlah,
dia bukan lawan kalian," katanya. Ada yang lain dari dia. Di tangan
satunya ia juga membawa tongkat Jolt. Ada dua?? Tanpa bilang-bilang ia
sudah mengacungkan saja tongkat itu ke arahku. Ternyata tongkat yang
satunya adalah elemen petir. Segera saja kilatan cahayanya hampir saja
menyambarku kalau aku tidak segera beranjak dari tempatku berada.
Ralph tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku. Hah? Sejak kapan? Aku
pun ditendang dengan kakinya. Ugh, rahangku serasa mau copot. Aku
terjerembab di atas aspal. Aku pun gusar dan segera berdiri. Hah? kemana
dia. Belum sempat aku sadar ternyata dia sudah ada di atasku. Hei?? Dia
memakai Jolt apinya untuk melompat, apa yang dilakukannya sama persis
seperti Agni yang mengeluarkan api dari kakinya. Brengsek! pikirku.
Aku terdesak. Makin mundur dan menjauh dari barikade. Jack! Bertahanlah!
Kenapa dia bisa bergerak cepat? Apakah pengaruh dari Jolt yang dia bawa?
Tunggu dulu, berarti dia memakai elemen petir untuk mempercepat gerak
tubuhnya. Bukankah itu sama saja dia mengendalikan elemen petir? Kalau
memang demikian, gerakannya bakal lebih cepat dari sekedar ini.
Aku belum sempat menyadari semuanya ketika dia sudah memukul
diagfragmaku. Aku langsung mengaduh dan meringkuk di atas aspal.
Mengerang kesakitan. Aku tak bisa bernafas. Seolah-olah paru-paruku
ditekan. Kakinya pun menginjak kepalaku.
"Elemental, siapa namamu? Setidaknya aku ingin tahu orang yang aku bunuh bernama siapa," kata Ralph.
"Apa pedulimu tahu namaku segala?" kataku.
"Kamu tahu ini apa bukan?" dia menunjuk ke tongkat Jolt miliknya. "Ini
namanya Jolt. Manusia berubah, manusia berevolusi, pengetahuan mereka
pun berevolusi. Awal mula kami menghadapi kalian dengan menggunakan
pedang dan mesiu. Namun seiring berkembangnya jaman, kami mengetahui
bahwa setiap elemen baik air, udara, tanah, api semuanya mempunyai
frekuensi. Tentu kalian tahu bahwa batu yang besar saja bisa hancur
dengan frekuensi tertentu. Dan kami pun mengetahui hal itu.
"Dengan berbekal pengetahuan itulah tongkat Jolt diciptakan. Awalnya
hanya bisa menguraikan elemen. Tapi lambat laun, kami bisa memerintahkan
mereka sebagaimana kalian bisa memerintahkan elemen. Dan lebih daripada
itu kami juga bisa membuat diri kami memiliki sifat-sifat seperti
elemen itu. Sebagai contoh adalah gerakanku tadi. Kamu pasti
bertanya-tanya bagaimana gerakanku bisa secepat itu bukan? Ya, itu semua
dari pengaruh Jolt petir yang ada di tangan kiriku. Aku bisa
memerintahkan elemen petir untuk membuatku bergerak lebih cepat. Kalian
hanya bisa menggunakan satu elemen, tapi dengan diriku yang memiliki dua
unsur elemen sekaligus pada kedua tongkat Jolt ini, kalian tak akan
bertahan melawanku."
"Hahahahahahaha," aku tertawa. Ralph ini, dia bodoh. Dia bodoh. Sok tahu.
"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?" dia lagi-lagi menginjak-injak kepalaku. Sakit tahu, brengsek orang ini!
"Satu elemen? Berarti kamu tidak tahu orang yang bisa mengendalikan
lebih dari satu elemen bukan? Hahahahaha, kamu sok tahu," kataku.
"Oh, yang kamu maksudkan spesial target? Iya, kami sudah tahu itu. Dan
jumlah mereka sedikit, hampir semuanya sudah kami habisi. Satu saja yang
masih lolos. Namanya Ray, itukah yang kamu maksudkan? Dia memang kasus
spesial. Kekuatannya yang sampai membekukan satu kota dalam semalam
merupakan sebuah hal yang tidak biasa. Hal itu adalah keanehan yang
tidak pernah terjawab oleh sebagian orang kecuali kita. Kita tahu siapa
yang menyebabkan hal itu. Maka dari itulah ATFIP berusaha melacak
keberadaannya sampai sekarang. Kami juga tahu kalian tumbuh
bersama-sama, kalian sudah kami incar sejak lama. Kami tak pernah
menyerang kalian ketika berada di panti asuhan itu karena kami tidak
sembarangan membunuh orang. Dan ketika tahu kalian membentuk aliansi apa
namanya Valiant, kerjaan kami lebih gampang. Kami tinggal bersihkan
kalian dalam sebuah operasi yang bernama 'The Hunting Party'. Kami tahu
kalau satu di antara kalian diserbu, yang lainnya akan muncul. Sekarang
siapa yang tertawa anak muda? Hahahahahahaha."
"Brengsek!"
BUAK! Tiba-tiba dari arah yang tidak terduga Ralph terkena lemparan
batu. Langsung saja tubuhnya terhempas ke sebuah tumpukan sampah.
"Hah, ternyata tanpa bantuanku kamu tak bisa apa-apa," aku kenal suara
itu. Purple! "Aku kebetulan ada job di dekat sini, jadi segera datang ke
sini."
"Heheh, siapa yang butuh bantuan?" kataku sok. Aku pun bangkit dan
berusaha berdiri. Aku lihat Ralph terbaring di atas tumpukan sampah yang
ada di pinggir jalan. Kebetulan di dekat situ ada tempat sampah.
Ewwhh...bau dia pasti.
Purple tampak berkacak pinggang. What the hell? Bajunya seksi banget. Oh
iya, dia kerja sebagai SPG sih. Kulihat dia pake rok mini warna putih
dan baju lengan pendek warna putih juga. Sebuah logo perusahaan rokok
ada di bajunya.
"Pure, Kamu bisa bergerak dengan baju seseksi itu?" tanyaku.
"Bukan urusanmu," jawabnya. Dia menggerakkan tanah dan dengan santai menuju ke arah Ralph yang susah payah bangun.
Hei, dia bisa melakukan itu, harusnya aku juga bisa. Aku bertanya kepada
angin. Apakah kalian bisa membawaku berjalan di udara? Dan mereka pun
menjawabnya. Dari kakiku kubisa rasakan pusaran angin yang
menyelimutinya. Tak cuma itu, sang angin makin kencang mengelilingiku.
Aku sekarang melayang di udara. Baiklah, kali ini saatnya menyerang
balik.
NARASI DETEKTIF JOHAN
Aku menerima telepon dari Inspektur James. Kenapa petang ini ia
menelponku? Aku saat itu sedang menyuapi Maria untuk makan. Tumben hari
ini anakku itu mau makan. Akhir-akhir ini dia mengigau bahwa Ray
membisikinya agar ia harus sehat, ia harus kuat. Dan dia pun makan
dengan lahap hari ini. Aku senang tapi juga sedih. Ia mulai
berhalusinasi seperti itu. Sejak kapan Ray bisa membisiki dia? Katanya
dia mendengar suara Ray. Aku khawatir dia mulai terkena scizophrenia.
Tapi dia bilang, "Aku tak apa-apa ayah, aku tak gila. Aku masih waras."
Itu makin membuatku bersedih.
"Apa James?" tanyaku.
"Ada penggerebekan di jalan Hayam Wuruk," ujar James.
"Hah? Penggerebekan apa?" tanyaku.
"Tim gegana, pasukan anti huru-hara dan ATFIP. Mereka semua bersatu untuk menggerebek para elemental," jawab James.
"Sebanyak itu? Apa mereka mau perang?"
"Sudah terjadi perang. Kamu mau ikut?"
"Tentu saja!" kataku bersemangat.
"Bersiaplah, aku akan menjemputmu! Saat ini aku sedang ke tempatmu," katanya.
"Ada apa ayah?" tanya Maria.
"Ayah harus pergi, tugas memanggil," kataku. "Kamu bisa makan sendiri?"
Maria mengangguk.
"Baiklah, cepet sembuh ya?"
"Aku besok akan masuk ke sekolah lagi," katanya.
Sejenak aku tak percaya kata-katanya.
"Kamu yakin?" tanyaku.
Dia mengangguk mantab. "Ray bilang aku harus sehat, aku harus kuat, aku tak boleh lemah, dia akan kembali."
Lagi-lagi dia berkata seperti itu. Ray, apa yang sudah kamu perbuat
kepada putriku? Tapi sebaiknya aku biarkan dia. Karena entah bagaimana
halusinasinya itu menyuruh dia berbuat baik. Baiklah, tugas sudah
menunggu. Aku harus menitipkan dia kepada istriku. Aku segera
menghubungi Andre untuk ke tempatku segera.
Aku mempersiapkan semuanya, pistol, magazine, rompi anti peluru. Sejak
dari rumah aku sudah siapkan itu semua. Yang datang pertama adalah
Andre, baru kemudian James. Aku tak beri kesempatan Andre bertanya ini
itu langsung aku ajak masuk ke dalam mobil James.
"Kita nanti hanya melihat dari jauh, tidak diijinkan mendekat," kata James.
"Kenapa sampai seperti itu?" tanyaku.
"Sekarang tempat itu sudah banjir darah. Kita justru akan menggangu para aparat yang bekerja kalau sampai mendekat," katanya.
"Pasang ini Ndre!" aku memberikan rompi anti peluru kepadanya. Dan sebuah pistol.
"Apa ini Om?" tanyanya.
"Pasang saja. Kita pasti akan membutuhkannya nanti," jawabku.
Mobil pun melaju ke sebuah daerah yang tiba-tiba saja para polisi
memblokir tempat itu. James menunjukkan kartu pengenalnya, ia pun
dipersilakan masuk. Kami berusaha sedekat mungkin tapi mendengar
rentetan tembakan membuat kami langsung memarkirkan kendaraan kami jauh
dari medan pertempuran.
Seorang anggota Tim Gegana langsung menemui kami.
"Maaf inspektur, sampai di sini saja kita mengijinkan Anda masuk," katanya.
"Separah itukah?" tanya James.
"Iya, mereka sangat kuat. Kita telah kehilangan beberapa orang, tapi
mereka terus kita desak. Target sudah kita ketahui keberadaannya,
mungkin kita butuh tim bantuan," kata anggota Tim Gegana itu.
"Dari mana aku bisa melihat dengan jelas?" tanya James.
"Dari gedung ini bisa," katanya sambil menunjuk ke sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapan kami.
Tanpa banyak bicara, kami langsung masuk ke gedung itu dan naik dengan
elevator. Kami sampai di lantai sepuluh di atap gedung. Dari atas itu
memang kami bisa melihat ke bawah. Dan memang sedang terjadi sesuatu
yang tak pernah kami sangka sebelumnya, yaitu pertempuran dahsyat.
Beberapa mayat bergelimpangan, sedangkan yang lainnya kami melihat
pertempuran antara anggota ATFIP, Tim gegana dan kepolisian dengan para
elemental. Api meliuk-liuk membakar dan meledak. Tanah bergelombang
menghantam dan bertabrakan dengan kilatan cahaya petir. Suara gemuruh
dan jeritan rasa sakit terdengar sampai di lantai teratas gedung ini.
"Mengerikan," gumamku.
"Om, ini pertempuran model apa? Aku seperti melihat perang di dunia
sihir saja. Batu melayang, api menghantam, rentetan peluru, desingan
peluru, semuanya seperti mimpi!" kata Andre.
"Selamat datang di dunia nyata," kata James. "Kita tak mungkin mendekat ke sana."
Andre memicingkan mata dan tertarik kepada sesuatu di bawah sana. Ia sedikit terkejut.
"Maaf Om, aku terpaksa harus ke bawah," katanya.
"Mau apa kamu?" tanyaku.
"Ada yang penting!"
"Hei! Kamu tak boleh ke sana!"
NARASI ANDRE
Aku tak peduli terhadap apa yang dibicarakan oleh Detektif Johan. Aku
sudah turun saja melalui elevator. Tidak salah lagi. Aku melihat Puri.
Rambut ungunya, khas sekali. Apalagi pakai rok mini dengan baju SPG, itu
pasti dia. Tapi kenapa dia ada di sini? Apakah jangan-jangan dia juga
seorang elemental?
Dan bodohnya adalah kenapa juga aku turun? Kenapa juga aku nekat ke
sana? Woi, yang benar aja! Tapi aku sudah terlanjur melakukannya. Mau
tidak mau aku sudah berada di luar gedung dan berlari menuju ke
pertempuran itu.
Aku berlari melewati gang dan beberapa belokan. Semuanya lengang, sepi.
Kalau tak salah sebentar lagi aku bisa melihat dari dekat pertempuran
mereka dan benar saja. Aku baru keluar gang tiba-tiba ada bola api
melayang di atas kepalaku dan menghantam tembok. Sebuah percikan bunga
api berhamburan di sekitar kepalaku. Ugfhh,...untung hampir saja.
Aku menoleh ke kanan, dari arah timur itu aku melihat Puri menggerakkan
bebatuan, aspal dan tanah untuk dihantamkan ke seseorang yang sekarang
ini sedang dihadapinya. Dia ada teman, temannya entahlah aku tak melihat
apa yang dia kendalikan, kemungkinan itu adalah elemen angin.
"Puri?!" panggilku.
Puri langsung menoleh ke arahku. "Andre?! Ngapain kamu di sini?"
"Kamu sendiri ngapain di sini?" tanyaku.
Seorang dengan dua tongkat aneh tampak sedang menoleh ke arahku, dia
sepertinya agen ATFIP. "Siapa kamu? Detektorku tidak mendeteksi dirimu
sebagai elemental."
"Detektor? Detektor apa? Koq aku tidak pernah tahu?" tanya seseorang
elemental yang mempunyai tatto di tangannya. Tampaknya ia temannya Puri.
"Kalian memang bodoh, salah satu alasan kami selalu tepat sasaran adalah
kami punya alat detektor untuk mendeteksi apakah seseorang itu
elemental ataukah tidak," kata agen ATFIP. "Kalian tak akan mampu
mengalahkan kami. Jadi anak muda, siapa kamu?"
"Menyingkir dari mereka!" kataku sambil menodongkan pistol yang diberikan oleh Detektif Johan kepadaku.
"Hah? Kamu mau menembakku? Jangan bodoh!" kata sang agen ATFIP.
"Siapa lawanmu bodoh!" kata sang elemental bertatto sambil bergerak
seperti menebas sang agen. Namun Sang agen ATFIP lebih gesit dan
bergerak seperti kilat menghindar.
Puri berdiri di atas pijakan batu yang terbuat dari aspal. Batu itu
melayang di udara. Jadi ia seperti naik ke sebuah platform melayang di
udara dan bisa digerakkan seenaknya. Dia pun menghampiriku.
"Andre, tempat ini berbahaya, pergilah!" kata Puri.
"Aku tak bisa, aku datang dan melihatmu. Aku ingin menolongmu!" kataku.
"Kenapa? Ini berbahaya!" katanya.
"Nggak tahu, insting aja," kataku. Dan entah kenapa aku jadi bego begini.
"Kamu bisa menggunakan itu?" tanya Puri sambil menunjuk pistol yang aku pegang.
Aku jujur menggeleng. Puri memutar matanya.
"Lalu kenapa kamu ke sini?" tanyanya.
"Aku tak tahu," jawabku. "Insting saja."
"Jangan bilang kamu peduli kepadaku," katanya. Mungkinkah? "Kalau begitu tembak saja dia. Bantu aku, ayo!"
Aku pun menekan pelatuknya. DOR!
"WOI!" teriak seorang elemental temannya Puri. Ternyata aku hampir menembak dia. Ya sorry deh. "Kamu mau nembak siapa?!"
"Maaf!" kataku.
"Kamu di sini saja deh!" kata Puri. Dan dengan sekejap ia sudah melompat
seperti hendak menerkam agen ATFIP tadi. Sang agen bergerak seperti
kilat, menghindar dengan cepat.
"Alex, aku akan tangkap dia!" kata Puri.
"Menangkapku? Yang benar saja. Bagaimana cara kalian menangkapku?" tanya agen ATFIP.
"Kamu mau tahu caranya? Mudah sekali," kata Puri.
"Bagaimana?"
"Kamu orang yang bodoh!" kata Puri.
"Bodoh bagaimana?" tanya sang agen.
"Kamu sudah tertangkap bodoh!" kata Puri.
Sang agen melihat ke bawah. Ternyata kakinya sudah tertanam di tanah. "What the ff..."
Sayangnya sang agen tidak sempat bicara karena tiba-tiba kepalanya sudah
terpotong membujur menjadi dua. Temannya Puri yang dipanggil Alex tadi
tertawa puas.
"Hah, emang dua orang bekerja lebih baik daripada satu orang," kata Alex. "Siapa sekarang yang bodoh? Dasar agen ATFIP!"
Tubuh sang agen pun rubuh dengan kepala terpotong dan otaknya terburai.
Aku bisa melihat bagaimana lendir otaknya meleleh bersama darahnya.
Ugghhh...aku ingin muntah, tak bisa kutahan HOOOEEEEKK!
Puri menghampiriku. Ia menepuk-nepuk punggungku. "Kamu tak apa-apa?"
"Maaf, aku nggak tahan melihat otak terburai seperti itu," kataku.
"Hahahaha, kamu akan lebih sering melihat ini nanti kalau tetap di sini," kata Puri.
"Pure, si Jack!" kata Alex sambil menunjuk ke suatu arah.
Aku pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Alex. Sebuah apartemen. Tapi
di tingkat teratas. Tampak ada kepulan asap. Api??? Tapi api itu
meliuk-liuk aneh. Kemudian terdengar ledakan.
"Jaaaacckk!" seru Alex.
"Sudah Lex, kita tak bisa menolongnya," kata Puri.
"Fuck them! Fuck them! I'll kill ya all!" Alex ingin berlari ke arah
apartemen itu, tapi Puri mengurungnya dengan tanah dan batu. Hingga Alex
tak bisa bergerak. "Purple! Lepaskan aku, aku akan menolong Jack."
"Jangan bodoh! Kamu mau mati?" kata Puri.
Dari bawah, aku melihat sesuatu. Seseorang melayang di udara.
"Apa itu?" tanyaku sambil menunjuk ke atas.
"Itu Jack, kenapa dia bisa terbang?" tanya Puri.
Jack seorang lelaki berkulit gelap. Dia melayang di udara, kenapa bisa
melayang, kecuali....ada orang yang membuatnya melayang. Dan benar. Di
atas apartemen ada seseorang bertubuh tegap. Dia mengacungkan sebuah
tongkat ke arah Jack. Kemudian kepala Jack memutar dengan aneh ke
belakang lalu berputar 360 derajat. Lalu tubuhnya melemas.
Jack....dibunuh??? Tubuh Jack kemudian meluncur ke bawah. Terjun bebas,
dan terdengar suara bedebum. Sang pembunuh dengan santai melayang lalu
mendarat ke bawah.
"JAAAAACCKK!" teriak Alex. "AKU AKAN BUNUH KALIAN SEMUAAA!"
"Itu...Robert!" kata Puri.
"Brengsek kalian Dark Lantern! Aku akan habisi kalian semua! Kalian akan
membayar atas setiap darah yang kalian alirkan. AAAAAARRGGHHH!" Alex
tampak marah, emosi. Kehilangan seorang teman. Aku bisa mengerti itu,
apalagi dibunuh dihadapannya.
Dari arah lain tampak seorang anak kecil menghampiri kami. "Lari, lari! Mereka akan ke sini!"
"Tim?" kata Puri. Puri segera melepaskan Alex. Alex langsung ambruk berlutut.
"Alex, ayo pergi!" kata Tim.
Alex pun berdiri. Aku bisa melihat matanya memerah, air matanya
mengalir. Dia sangat bersedih. Puri lalu menggeret Alex. Mereka pun
kemudian pergi. Sebelum pergi Puri pun berkata, "Sampai nanti Ndre!
Makasih ya" dia mengedipkan matanya kepadaku.
Damn. Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini? Daripada nanti terjadi sesuatu, aku pun segera berlari pergi dari tempat itu.
NARASI BALANCER
Aku melihatnya dari jauh, betapa pengecutnya mereka semua. Menghabisi
satu orang dengan beberapa bataliyon. Benar-benar memalukan. Kalau saja
tidak ada manusia-manusia yang tidak berdosa aku akan membantu kalian
anak-anakku. Robert. Lama tidak bertemu. Aku akan buat kalian membayar
mahal terhadap anak-anakku.
BAB XX
8 Miles Part II
NARASI DETEKTIF JOHAN
Pagi sudah menjelang. Pertempuran telah selesai. Sirine ambulance
meraung-raung. Aku melihat kantong mayat tergeletak berjejer di
mana-mana. Bau anyir darah mulai menusuk hidup. Meskipun di sini ada
pemandangan yang tidak enak untuk dilihat, tetapi sang mentari tetap
dengan indahnya memancarkan sinarnya di pagi hari. Ironis memang. Aku,
James dan Andre melihat langsung dari dekat. Kami diperbolehkan masuk
sekarang. Apartemen itu tampak sedang disemprot oleh pemadam kebakaran.
Aku melihat seseorang yang sangat aku kenal membunuh sang Elemental,
Robert. Dia tampak menghadap ke jasad orang yang bernama Jack, sang
Elemental api. Kepala orang ini seperti diputar 360 derajat. Ekspresi
matanya mengerikan. Dan aku cukup senang karena Andre sekarang tidak
mengotori TKP lagi. Cukup jengah juga melihat dia muntah setiap kali
melihat darah atau isi perut yang keluar.
Namun perbuatannya tadi malam adalah sangat konyol. Kenapa juga dia
turun ke medan pertempuran hanya karena melihat temannya. Aku marah
sekali ke dia dan dia minta maaf berkali-kali. Ia juga tak tahu kenapa
bisa melakukan itu. Ia bilang, semua itu adalah insting. Kalau kubilang
sih itu sinting.
"Pagi detektif," sapa Robert.
"Pagi," kataku kecut.
"Kau tampak tak suka dengan kehadiranku di sini," kata Robert sambil
tersenyum. "Tapi aku bisa maklumi itu. Inilah pekerjaan kami detektif
memburu para elemental. Mereka juga akhir-akhir ini menyerang anggota
kami ketika lengah, kami akhirnya bisa membalas."
"Empat puluh dua mayat, dua puluh mayat dari pihak kepolisian, lima
mayat darimu, sisanya orang-orang yang kamu sebut elemental itu. Kau
bilang itu pembalasan? Ini sudah kategori perang," sanggahku.
"Nah, itu dia. Perang. Tepat sekali. Dalam perang apapun bisa terjadi
detektif, apapun bisa terjadi," kata Robert. Ia pun meninggalkan aku
melangkah menuju mobilnya dengan diikuti oleh beberapa orang.
James menepuk punggungku untuk menahan diriku agar tidak emosi.
Lagi-lagi pembunuhan terjadi di depanku tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa.
"Piere, ini seperti 8 Miles. Kamu sudah pergi ke alamat yang aku beritahukan dulu?" tanya James.
"Iya, tapi di sana tak ada apa-apa. Sepi. Bahkan tempatnya kini sudah jadi pemukiman. Kepana?" kataku
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Kejadian hari ini mengingatkanku
kepada 8 Miles. Mayat-mayat bergelimpangan, darah mengalir tanpa
mengetahui kenapa mereka bisa mati. Ayo, aku sudah muak berada di sini,"
katanya. Iya James, aku juga.
Kami pun pergi dari tempat itu. Andre masih tidak berbicara. Pikirannya pasti berkecamuk melihat ini semua.
"Bisa aku diantar ke rumah saja Om? Aku harus masuk sekolah hari ini," katanya.
James mengangguk. Kami melaju di atas jalanan yang makin padat dengan
aktivitas orang-orang di pagi hari. Mereka tak menyadari bahwa tadi
malam ada perang yang mengerikan. Mereka yang tidur nyenyak mungkin
bagai terbangun dari mimpi, entah mereka akan memberitakan apa lagi pagi
ini. Penggerebekan teroris? Atau apa?
James menurunkan Andre di rumahnya. Setelah itu kami melanjutkan
perjalanan. Perjalanan kali ini agak jauh. Kami bahkan sempat pergi ke
restoran fast food untuk membeli kopi dan sepotong burger agar tidak
mengantuk karena sepanjang malam kami tidak tidur. Kopi pun terasa pahit
di lidah, jantung mulai terpacu lebih kencang, sehingga membuat efek
vit kepada kami. Mata langsung terbuka seperti baru saja melihat
matahari.
Kurang lebih setelah dua jam kami berkendara, sampailah kami ke sebuah
tempat di pinggiran kota. Sebuah gedung apartemen tua yang sudah mau
roboh sepertinya. Sepertinya bangunan itu terbengkalai.
"Tempat apa ini?" tanyaku.
"Inilah tempat yang dinamakan 8 Miles kedua," jawab James.
"Maksudmu ada dua 8 Miles?"
"Tepat sekali. Ini tempat kedua di mana pembantaian itu berlangsung.
Sebenarnya ada satu tempat lagi, juga berada di pinggiran kota. Kenapa
kami menamakannya 8 Miles? Ada alasannya. Setiap pembantaian di tempat
itu selalu direkam oleh sebuah rol film. Dan anehnya diberikan kepada
pihak kepolisian," ujar James. "Akhirnya kami menganggap pasti ada
komunitas khusus yang melakukan ritual pembantian seperti ini. Awalnya
kami menganggap seperti itu. Tapi sepertinya tidak. Ditambah dengan
peperangan yang terjadi tadi malam. Artinya sudah ada empat tempat yang
dikategorikan sebagai 8 Miles."
"Empat tempat?" aku terkejut jelas. Dan ini gila.
"Ayo kita masuk ke dalam!" ajak James.
Kami pun mulai masuk ke apartemen yang tak terpakai itu. Bangunannya
sebenarnya bagus. Catnya pun masih terlihat bagus. Hanya saja dari luar
tampak bangunannya terbengkalai dan hampir roboh. Aku berjalan memasuki
lorong panjang, hingga kemudian sampai ke sebuah tangga memutar.
Beberapa temboknya terlihat berlubang, air tampak merembes dari atas
lalu menetes ke lantai memberikan satu-satunya efek musik natural di
tempat ini.
Langkah kakiku dan James satu-satunya suara yang bisa membahana di
apartemen ini. Beberapa pintu kamarnya pun terbuka. Tampak ruangannya
pun sudah usang, jaring laba-laba pun menghiasi beberapa sudut. Beberapa
eternit jebol dan kulihat binatang pengerat lari tunggang langgang
ketika mengetahui keberadaan kami. Nyamuk pun sepertinya berpesta
menyambut kedatangan kami, karena kudengar dengungan mereka sekarang.
Kami naik ke lantai atas. James menunjukkanku sebuah lorong di lantai
tiga.
"Dulu, di sepanjang lorong ini mayat-mayat bergelimpangan. Sepertinya
mereka semua adalah elemental. Tapi aku juga tak yakin. Karena bagiku
mereka juga sama seperti kita, manusia," ujar James.
"Kenapa kamu bisa berkata begitu?" tanyaku.
"Aku sukar mengungkapkannya. Perasaanku mengatakan yang dibantai di sini
bukan saja para elemental. Tapi juga manusia biasa. Korbannya selalu
banyak, puluhan. Seperti yang kamu lihat tadi malam, itu sungguh sesuatu
yang mengerikan pikirku."
"Jadi tempat terjadi hal yang sama?" gumamku. "Semuanya dilakukan oleh ATFIP? Kenapa pemerintah membiarkannya?"
"Tentu saja karena ATFIP punya alasan khusus dan wewenang khusus sehingga terjadi pembantaian seperti ini."
"Kenapa kita tak bisa memprotesnya? Ini sama saja dengan pembunuhan masal."
"Masalahnya tak semudah itu Piere. Bagaimana kamu bisa mengubah
undang-undang yang sudah dibuat pemerintah? ATFIP punya wewenang
langsung di bawah pemerintah. Kita tak bisa berbuat apa-apa."
"Kalau memang mereka punya wewenang langsung lalu kenapa berita-berita tentang pembunuhan ini tidak tersiar?"
"Itulah masalahnya! Aku tidak tahu kenapa mereka menyembunyikannya. Alasan politis mungkin atau alasan yang lain."
"Berapa korban di sini?"
"Enam puluh lima, lima orang dari ATFIP. Sisanya para penghuni apartemen."
"James, kamu punya berkas-berkasnya? Aku ingin mempelajari semuanya. Bisa jadi ini merupakan jalan terang kepada sesuatu."
"Sesuatu apa?"
"Entahlah, aku harus melihat dulu."
NARASI ANDRE
Aku masih ngantuk gara-gara tidak tidur semalaman. Akhirnya aku pun
nekat meminum kopi pahit. Ini baru pertama kalinya aku minum kopi
sepahit ini. Tapi efeknya aku melek. Aku masih shock mengetahui bahwa
Puri adalah seorang elemental. Dan aku merasa diriku sangat bodoh karena
entah kenapa aku turun ke bawah.
Dan hari ini ketika di sekolah aku dikejutkan dengan Maria. Dia masuk
hari ini setelah beberapa bulan nggak masuk. Aku langsung menyapanya.
"Mar?" sapaku.
"Hai Ndre," jawabnya.
"Kamu masuk?" tanyaku.
"Iya dong, udah lama nggak masuk nih. Ketinggalan banyak pelajaran," jawabnya enteng.
"Tapi...kamu yakin udah sehat?"
"Nggak sih, daripada di rumah terus. Lagipula tiap hari Ray menyemangatiku agar kuat dan harus sehat."
Lagi-lagi dia bicara dengan Ray. Aku pun sedikit emosi, "Mar, udahlah
Ray udah pergi. Kamu cuma berhalusinasi, Ray nggak ada Mar."
"Ada koq, tiap pagi dia berbisik kepadaku. Dia menyemangatiku untuk
terus kuat dan terus berusaha agar selalu sehat," kata Maria dengan
wajah ceria. Syukurlah ia bisa ceria tapi ya tidak begini juga kali.
"Mar, kamu ....," aku tak bisa melanjutkannya.
"Kenapa Ndre?" tanyanya.
"Udahlah Mar, lupakanlah dia! Dia sudah pergi, sudah tiga bulan ini dia
tidak kembali. Kamu terlalu berharap banyak ama dia. Aku selalu di
sampingmu Mar, ayolah kembalilah kepadaku. Kamu tahu kalau aku sangat
menyayangimu, aku cinta mati ama kamu Maria!" kataku.
Maria tersenyum, "Makasih ya Ndre, maaf. Sekali lagi maafkan aku."
Damn, aku tak bisa apa-apa. Sepertinya aku powerless melihat senyumannya
itu. "Mar, kenapa kamu seperti ini? Aku cinta ama kamu selama ini. Kita
sudah pacaran bukan selama ini?"
"Apakah kamu pernah merasakan sakit ketika mencintaiku Ndre?"
"Maksudmu?"
"Apa yang kamu rasakan ketika mencintaiku?"
"Ya...," aku tak tahu. Aku cuma senang saja ketika mencintai dia.
Rasanya nyaman dan sangat senang sekali bisa bersama Maria. Perasaan
yang berbunga-bunga, perasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. "Aku ...aku senang, nyaman, yang pasti kalau deket kamu aku
berbunga-bunga gitu."
Maria menggeleng. Dia masih sambil tersenyum, "Kalau kamu mencintai
seseorang jangan pernah memikirkan perasaanmu saja. Ketika aku sakit,
apakah kamu bisa merasakan sakit ini Ndre?"
Aku menggeleng.
"Itulah bedanya kamu dengan Ray. Sejak dulu Ray mengetahui semua tentang
diriku, perasaanku, cintaku. Aku tahu kalau dia setiap hari menggambar
wajahku, semua ekspresiku digambarnya. Dia tahu aku gembira, dia tahu
aku sedih. Selama ini demi melindungi diriku dan kalian semua dia
menjauhi aku dan kalian. Aku sekarang tahu rasanya sendirian. Aku
sekarang tahu bagaimana perasaan Ray. Dia sangat ingin dekat dengan
kalian, tapi kekuatannya memaksa dia tidak bisa mendekat kepada kalian.
Setiap saat dia selalu melindungiku, melihatku, walaupun dia bilang
bahwa dia mencintaiku dan terlambat, tapi aku sudah bisa merasakan
bagaimana perasaannya selama ini. Seolah-olah aku sudah mengetahui
dirinya selama ini. Dan dada ini sesak ketika mengerti perasaannya.
Sakit sekali Ndre...jantungku berdebar, tidak seperti biasanya."
Aku menghirup nafas dalam-dalam. "Maria, aku....aku tahu aku tak bisa
memaksamu mencintaiku. Tapi, aku akan tetap mencintaimu Mar. Walaupun
kamu sudah tidak mencintaiku lagi. Dan aku berjanji kepadamu. Aku akan
tonjok si Ray itu karena telah meninggalkanmu begitu saja sampai kamu
seperti ini."
Maria menggeleng, "Dia tidak meninggalkanku Ndre, sebentar lagi dia datang. Sebentar lagi dia datang koq."
Yakin sekali sih dia? Entah kenapa ia bisa seyakin itu. Aku nggak suka
dengan sikapnya Maria itu. Ray, brengsek kamu. Udah ngerebut cewek
orang, sekarang nyusahin orang lagi. Gue akan tonjok sekeras-kerasnya
mukanya nanti. Brengsek bener.
Pelajaran pun di mulai dan sang guru sudah masuk. Kali ini pelajarannya bahasa Inggris.
"Waahh...Ada Maria. Gimana Maria? Sudah sehat?" tanya bu Guru.
"Siap ngejar ketinggalan Bu," jawab Maria dengan ceria.
"Syukurlah, semangat ya," kata Bu Guru.
Maria tersenyum sambil mengepalkan tangannya ke atas. Aduh, kiyut banget
kalau dia begitu. Maria, maria, aku akan terus menjagamu Mar. Walaupun
kamu tak menganggapku lagi.
Jam pelajaran pun usai akhirnya. Aku menawarkan diri kepada Maria untuk
dianter pulang. Maksudku sekalian soalnya ayahnya nelpon aku untuk
segera ke kantor detektifnya.
"Kuanterin pulang yuk! Aku sekarang mau ke tempat ayahmu," kataku.
"OK," katanya.
Seneng banget dong diriku. Dengan semangat 45 aku pun menstarter
motorku. Tak berapa lama kuda besiku sudah meliuk-liuk di jalan raya.
Walaupun kami tak bicara tapi aku sudah senang bisa membonceng Maria
lagi. Orang yang aku cintai. Aku pun tiba di sana. Maria langsung turun.
"Makasih ya," katanya.
Aku segera memasukkan sepeda motorku ke dalam. Setelah itu masuk ke
kantor Detektif Johan. Di dalam kantor detektif kulihat ayahnya Maria
sedang bersama Inspektur James. Tampak sekali kalau mereka sama-sama
belum tidur. Apa yang mereka bahas sebenarnya.
"Oh, syukurlah kamu sudah datang Ndre. Ada tugas untukmu!" kata Detektif Johan.
"Tugas?" kataku.
"Iya, ini penting. Aku sudah tahu kenapa terjadi serangan kemarin malam
dan di mana serangan berikutnya akan berlangsung," katanya.
"Hah?"
BAB XXI
The Pentagram
"Jadi begini Ndre, aku jelaskan dulu dari awal sebelum melangkah ke
tugasmu. Pertama tentang pembunuhan yang terjadi beberapa tahun lalu.
Kita menyebutnya sebagai 8 Miles. Dan ternyata tidak hanya terjadi
sekali itu. Tapi berikutnya dan berikutnya lagi. Total sekarang sudah
ada empat kejadian yang serupa, hanya saja yang kemarin itu sedikit
berbeda karena diramu dengan penggerebekan oleh aparat kepolisian. Tapi
tetap saja sama, yaitu adanya pesta darah," kata Detektif Johan.
Baiklah ini menarik aku pun mendengarkan dengan seksama.
"James menjelaskan kepadaku tentang arsip-arsip ini," Detektif Johan
menunjukan berkas-berkas yang ada di mejanya. "Semuanya klop, semuanya
benar-benar cocok. Aku awalnya curiga kenapa tempatnya berbeda-beda.
Namun setelah aku cek dari peta akhirnya semuanya jelas."
"Sebentar. Aku belum mengerti tentang 8 Miles, jelaskan pelan-pelan!" kataku.
"8 Miles adalah julukan kami untuk sebuah komunitas berdarah.
Kejadiannya beberapa dekade lalu. Sebuah pesta darah pembunuhan terjadi
di sebuah apartemen. Seluruh penghuninya tewas, termasuk ada lima orang
agen ATFIP yang ada di sana. Besar kemungkinan ada pertarungan antara
mereka dengan elemental. Tapi sepertinya tidak begitu, karena
orang-orang yang tidak bersalah juga jadi korban. Kejadian kedua terjadi
beberapa tahun setelahnya. Sama, disebuah apartemen, banyak dari
penghuninya juga tewas. Termasuk lima orang agen ATFIP. Kejadian ketiga
juga demikian. Penghuninya tewas dan lima orang agen ATFIP juga tewas.
Ajaibnya adalah kemarin malam sedikit mirip tapi bentuknya berbeda.
Aparat kepolisian dan para elemental banyak yang tewas. Termasuk juga
lima anggota ATFIP. Kamu bisa mengerti hubungannya?"
Aku rada bego sih, tapi koq agen ATFIP selalu lima yang tewas kebetulan kah?
"Koq selalu lima agen yang tewas?" tanyaku.
"Tepat sekali!" kata Detektif Johan. "Awalnya aku tak percaya, tapi
setelah aku melakukan sesuatu yang iseng, akhirnya aku dapati sesuatu.
Lihat ke sini!"
Detektif Johan menunjukkanku ke sebuah peta. Peta Jakarta sih. Dan dia menandai keempat titik dengan spidol warna merah.
"Lihat! Keempat titik ini!" katanya. Setelah itu ia menandai satu titik
di bawah. Jadi ada lima titik. "Dan. Aku sekarang akan menggambar
sesuatu."
Detektif Johan kemudian menggambar garis lurus yang menghubungkan satu
dengan yang lainnya. Tunggu. Koq bikin pentagram sih? Maksudnya??
"Ngerti maksudnya?" tanya Detektif Johan.
"Nggak ngerti," jawabku yang otaknya agak dodol ini.
"Artinya kasus ini ada polanya. Dan polanya seperti ini. Berarti
kejadian berikutnya ada di titik terakhir ini!" kata Inspektur James
sambil menunjuk ke sana.
"Oooo...begitu?" kataku.
"Kamu kenapa punya partner koq bego gini?" gerutu Inspektur James.
"Trus, hubungannya dengan aku?" tanyaku.
"Aku ingin kamu menolongku untuk memperingatkan para elemental agar
jangan sampai ini terjadi lagi," jawabnya. "Kita tahu bagaimana Dark
Lantern sebenarnya. Mereka menyusup ke dalam ATFIP untuk kemudian
melakukan rencana ini. Kamu tahu apa berita yang disiarkan untuk kasus
kemarin?"
Aku kemudian berikan sebuah koran. Aku kemudian membaca headlinenya,
'Penggerebekan sarang teroris 60 orang tewas. Pihak kepolisian dipuji
oleh Presiden'. Aku menaikkan alis. Ini berita omong kosong!
"What the hell..??" gumamku.
"Kamu bilang kemarin ada temanmu di sana yang menjadi elemental bukan?
Peringatkan mereka. Sasarannya ada di titik ini!" kata Inspektur James.
"Kali ini kita harus gerak cepat."
"Kenapa yakin bahwa pembantaian akan ada di titik itu?" tanyaku.
"Karena, kalau titiknya terkahirnya ada di atas. Itu artinya di laut
partner! Pembantian di laut? Pembantaian ikan di lautan??" kata Detektif
Johan. sambil menggambar satu titik di atas, tepat di kepulauan seribu.
"Oh iya, bener juga," jawabku polos sambil nyengir.
"Jadi, kau bisa?" tanyanya.
"Aku akan coba," kataku.
Berarti yang harus aku lakukan adalah menemui Puri. Aku mengeluarkan ponselku. Kemudian kuhubungi Puri.
"Kamu punya nomor ponsel mereka?" tanya Detektif Johan.
"Bukan, ini nomor telepon cewek kemarin," jawabku. "Oh, halo. Puri??"
"Apa Ndre?" tanyanya di telepon.
"Bisa ketemuan hari ini?" tanyaku.
"Bisa aja sih, kenapa?"
"Pokoknya ketemuan aja, penting banget!" kataku.
"OK, kamu tahu kan harus ke mana, aku di rumah koq," jawabnya.
Singkat cerita, aku langsung melajukan partnerku ke tempat Puri.
Nguantuk banget sebenarnya gara-gara nggak tidur kemarin. Tapi apa boleh
buat?? Kalau memang yang dikatakan Detektif Johan benar, maka
pertempuran selanjutnya akan terjadi di titik yang dijelaskan. Aku saja
sampai membawa peta yang dicorat-coret Detektif Johan tadi di ranselku.
Setelah beberapa lama berjibaku dengan lalu lintas yang tidak bersahabat
aku pun sampai di tempat Puri.
Sebelum masuk aku menelpon ibuku. Aku mengabarkan aku akan telat pulang
sama seperti kemarin. Sebenarnya ibuku boleh-boleh saja sih aku bersama
dengan Detektif Johan ngurus kasus-kasusnya, apalagi Detektif Johan juga
membagi uang honor dari hasil jerih payahnya ke aku. Ibuku menganggap
aku jadi asisten detektif dan digaji. Dan gajinya cukup besar menurut
beliau. Setelah menghubungi ibuku, aku segera turun dari sepeda motor
dan kutuntun sepedaku masuk ke kontrakan Puri. Puri langsung
menyambutku.
"Hai Ndre! Masuk!" katanya.
Aku pun masuk. Rumahnya bersih, rapi. Gila apa cewek ini rajin banget
ya? Rumah kontrakan sebesar ini bisa dirapiin sendiri. Mana orangnya
tinggal sendiri lho.
"Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu," kataku.
"Oh ya? Apa?"
Aku pun mengeluarkan peta yang dicorat-coret oleh Detektif Johan.
Kemudian aku jelaskan semua yang aku dengar dari Detektif Johan. Puri
mendengarkanku dengan seksama.
"Aku tak tahu apa yang dimaksud tapi kalau memang targetnya di titik ini
aku tahu siapa yang akan jadi korban berikutnya," kata Puri.
"Kamu tahu?" tanyaku.
"Iya, aku tahu. Ini adalah tempat Yogi, distrik 5," jawabnya.
"Distrik?"
"Kami membagi wilayah kekuasaan. Valiant membagi wilayah kekuasaan
menjadi 10 distrik. Dan pemimpin distrik pertama baru saja dibunuh tadi
malam. Dan selamat deh, kami dikatakan teroris sekarang," kata Puri.
"Yah, aku cuma memberitahukanmu tentang hal ini. Cepat atau lambat mereka akan menyerang tempat itu berarti," kataku.
"True," katanya.
Kami pun terdiam sejenak. OK, tugas sudah selesai. Tapi rasanya koq aku enggan ya untuk pergi. Aku pun bersandar di sofanya.
"Oh iya, lupa. Belum nawarin minum. Mau minum apa?" tanyanya.
"Apa aja deh," jawabku.
Setelah itu ia pun beranjak. Entah karena nyaman atau emang aku terlalu
capek sehingga aku pun tertidur di sofa itu. Padahal niatku hanya
menyandarkan kepalaku di sofa. Tahu-tahu aku sudah tidak sadar. Aku baru
bangun ketika malam sudah larut. Sedikit kaget ketika aku terjaga.
Kulihat aku sudah memakai selimut. Oh, aku diberi selimut oleh Puri
ternyata. Aku lebih kaget ketika melihat Puri juga tidur di sofa.
Waduh...gimana nih? Masa' aku harus pulang tanpa permisi. Nggak enak
jadinya.
Aku lihat ia tak memakai selimut. Wah jangan-jangan selimutnya cuma ini.
Trus dipakaikan ke aku. Hadeeh... aku lalu beranjak mendekat ke cewek
berambut ungu ini. Dia pake kaos ama celana legging warna coklat. Hal
itu makin menampakkan lekukan tubuhnya. Ternyata dia kalau tidur cakep
juga ya. Aku lalu menyelimuti dia. Tiba-tiba matanya terbuka.
"Ndre?" katanya.
"Oh, kamu terbangun?" kataku.
"Hmm...kamu udah bangun ya? Tadi waktu aku bikinin minum eh, kamu tidur. Ya udah deh," katanya. Ia pun duduk.
"Kalau begitu aku pergi yah," kataku.
Puri memegang tanganku. "Kalau boleh temenin aku dong, tak ada orang di rumah ini. Jadi kalau kamu tak keberatan...."
Lha, diakan seorang elemental masa' ya ada rasa takut sih? Tapi melihat
dia takut seperti ini, aku jadi gemes. Apalagi wajahnya kiyut banget.
Entah kenapa aku pun duduk di sampingnya. Ia lalu memelukku. Wah, kenapa
ini anak?
"Ndre, gimana pacar kamu?" tanyanya.
"Yah, masih saja begitu. Sekarang ia berhalusinasi, katanya dibisiki oleh cowok itu," jawabku.
"Kenapa sih kamu nggak move on aja?"
"Nggak bisa Pur, aku...aku sudah cinta mati ama dia."
Puri makin memelukku lebih erat. Aku kemudian mengusap-usap rambutnya.
Hal itu jadi mengingatkanku ketika aku melakukan hal yang serupa ke
Maria. Aku perlahan-lahan meletakkan tanganku ke punggungnya, kini aku
juga memeluknya. Wajahnya mendongak ke arahku. Entah dorongan dari mana,
aku tiba-tiba saja bisa mencium dia malam itu. Ini adalah pertama
kalinya aku mencium cewek selain Maria. Apa yang aku lakukan ini? Makin
lama makin melekat bibir kami, seolah-olah tak mau dipisahkan. Aku
mendorongnya dan Puri pun merebahkan diri di sofa. Aku mengikutinya.
Wajah kami semakin mendekat dan berciuman lagi. Apa yang aku lakukan?
"Pur, kita ngapain ini?" tanyaku.
"Nggak apa-apa Ndre, lakukan aja. Ini instingmu bukan?" katanya.
"Tapi...aku..aku masih cinta ama Maria," kataku.
"Apa kata hatimu sekarang?"
Kata hatiku? Aku tak pernah bertanya tentang kata hati. Aku sangat
mencintai Maria. Tapi, kenapa aku tak menolak ketika Puri menciumku.
Kata hatiku? Kenapa aku kemarin harus turun gedung segala ketika melihat
Puri di sana? Kenapa? Apakah aku menyukai Puri sekarang? Aku lalu
memeluknya, aku tak bisa berpikir lagi. Aku hanya mengikuti instingku,
kata hatiku, dan kata hatiku sekarang adalah aku ingin memeluknya malam
ini. Menciumnya.
Puri menerima ciumanku lagi dan kini aku juga membalas pelukannya. Aku
merasa berdosa kepada Maria. Merasa telah mengkhianati cintanya. Tapi,
dia juga telah mengkhianati cintaku. Kenapa juga tiba-tiba dia
memutuskan hubungan kita hanya karena Ray? Secara de yure aku sudah tak
ada hubungan lagi dengan Maria, jadi kalau toh sekarang aku berhubungan
dengan Puri....ya tak masalah kan? Iya, tak masalah. Tak masalah sama
sekali.
Aku menciumi Puri, makin ganas. Puri pun menerimaku. Ciumanku kini ke
arah lehernya. Kuhisap lehernya yang jenjang itu. Puri menggelinjang.
Aku bisa merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang dari
biasanya. Payudaranya kupegang. Kubisa rasakan putingnya mengeras. Dia
ternyata tak memakai bra.
"Oh, Ndre...lakukan apa yang instingmu katakan!" katanya.
Iya, aku sudah melakukannya sekarang. Perlahan-lahan kaosnya pun aku
naikkan. Ia pun melepaskan kaosnya sekarang. Alamak baru kali ini aku
melihat dada cewek ini. Aku walaupun petting ama Maria, tapi aku tak
pernah melihat dadanya sepenuhnya. Ini untuk pertama kalinya aku
merasakan kulit buah dada seorang cewek, bahkan aku bisa melihat
putingnya yang coklat kemerahan mengacung, menantang, mengeras. Aku
gemas sekali ingin mengisapnya.
"Aku boleh mengisapnya?" tanyaku.
Dengan tatapan sayu, Puri mengangguk. Aku menundukkan kepalaku dan
mencium putingnya. Puri menggelinjang. Perlahan-lahan bagian dada
berujung kencang itu pun sudah terkurung dimulutku. Lidahku menyentuh
kulitnya yang lembut. Kuhisap, kukenyot. Seolah-olah merasa telah
menelan pil ektasi, Puri menggeliat keenakan. Tangannya menarik kaos
dari punggungku, lalu ditariknya kaosku hingga aku pun melepaskan
kaosku. Aku pun bertelanjang dada sekarang tubuh atasku terekspos
menampakkan lekukan badanku yang yah...nggak atletis-atletis amat sih.
Aku masih menikmati dua buah bukit kembar yang terpampang di depanku.
"Ndre, inilah instingmu bukan? Kamu kemarin turun ke gedung itu karena diriku bukan?" bisiknya.
AKu tak menjawabnya. Tanganku sudah turun ke celana leggingnya sekarang
dan masuk ke pantatnya yang hangat dan seksi itu. Puri makin menggeliat.
Ia pun membantuku untuk meloloskan celana leggingnya. Ahhhh
fuck....akhirnya aku pun melepas celanaku sendiri hingga telanjang
sekarang. Kami sekarang di atas sofa tanpa busana. Batang kemaluanku
sekarang sudah tegak mengacung. Menampakkan keperkasaanku. Dan ini juga
untuk pertama kalinya kemaluanku dilihat langsung oleh seorang Puri.
Dia menggenggam batangku di tangannya. Lembut sekali. Genggamannya
mantap dan dia mengocoknya. Uugghh...ahhhhh Puri mengocoknya lembut dan
eh...dia cium punyaku. Pur...anu...itu...ahhhh...enak banget. Mantab
banget gerakan lidahnya di kepala pionku. Dia pun mengulum kepala pionku
yang sudah mengeras. Ahh...dia hisap-hisap. Aku hanya mengeluh dan
mendesis merasakan kenikmatan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Iya, Maria saja tak pernah melakukan hal seperti ini kepadaku. Emang aku
awet-awet sih. Kepala Puri sudah maju mundur sekarang memberikan
sentuhan oral sex kepadaku. Bibirnya mengapit batang penisku.
Ahhh.....aku makin keras saja. Dia mengusap-usap perutku dan jemarinya
menggelitik pinggangku.
"Purr...udah Pur!" pintaku.
Ia pun melepaskan batangku. Batangku sudah mengkilat dengan air liurnya.
Dan sebuah garis panjang seperti benang terjulur di kepala pionku
dengan bibirnya yang seksi. Ahh...gilaaakk...itu pemandangan erotis yang
tak pernah aku lihat sebelumnya. Kalau dia bisa memberikan kenikmatan
kepadaku, aku juga bisa. Aku langsung turun ke pahanya. Langsung aja deh
aku sosor itu rambut yang ada di bawah perutnya. Puri seolah mengerti
apa yang aku inginkan. Dia langsung merebahkan diri dan membuka pahanya
lebar-lebar. Lidahku sudah langsung menyapu bibir kemaluannya. Aku buka
kemaluannya, sehingga hal itu membuatku bisa melihat betapa merahnya
kemaluan Puri. Apa dia masih perawan? Lidahku pun menari-nari disana
sambil kuhisap.
"Ndree...aahhhh...kamu apain itu?" kata Puri.
Aku gelitiki lubang kemaluannya dengan lidahku, kujilat-jilat dan
kuhisap-hisap. Ini pertama kalinya aku merasakan cairan kewanitaan
seorang wanita. Rasanya agak sepet, agak asin, tapi entah kenapa aku
merasa ini adalah rasa tergurih yang pernah aku rasakan. Bau
kewanitaannya malah membuatku makin bergairah. Dan iya, aku ingin sekali
menyedot semua cairannya. Hidungku menyentuh sesuatu yang menonjol
diujung bibir kemaluannya. Ini klitoris ya? bibirku lalu menangkap
tonjolan kecil itu.
"NDree...jangan di situ Ndre...aku...aku...nggak kuat," katanya.
Aku tak peduli lidahku sudah menggelitik lembut klitorisnya yang
sekarang memerah dan makin menonjol ketika kusentuh. Pantat Puri sudah
tidak bisa tenang lagi. Dia makin seperti cicak kesetrum, bergerak kiri
kanan dan menjepit kepalaku dengan kedua pahanya.
"Ndree....aku keluar Ndree...udah...udah..NDREEEEEEEEEEEE!
AAAAhhhkk....!" Puri seperti hampir menangis ketika tak henti-hentinya
kulakukan itu. Aku lalu menghentikannya. Cairan kewanitaannya aku
isap-isap. Aku lalu duduk melihat ia terkapar karena orgasme.
"Pur, boleh ya?" tanyaku.
Dia mengangguk.
Aku posisikan diriku berada di depannya. Kedua kakinya sedikit kuangkat.
Pionku kupasang di depan bibir kemaluannya. Ia memejamkan mata, Puri
sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Tangannya ia buka sambil
berpegangan kepada pinggir sofa. Sepertinya ia tak pernah melakukan ini
sebelumnya. Instingku berkata, perlahan-lahan. Aku mulai memasukkannya.
Kudorong sedikit. Puri menggigit bibirnya. Ngilu sekali rasanya. Kepala
pionku mulai masuk dan hilang ditelan liang senggama Puri. Kemaluannya
berkedut-kedut seperti menyedot-nyedot batangku.
Aku tarik sedikit, lalu aku dorong. Dan sesuatu mengejutkan.
"Aaahhhkkk....NDree...hhmmm!" keluhnya.
"Kamu? Masih perawan?" tanyaku.
Ia menatapku sambil mengangguk. Aku kemudian berhenti sejenak. Merasakan
penisku diremas-remas dengan kuat oleh liang senggama Puri. Ternyata ia
masih perawan. Apa yang sudah aku lakukan ini? Argghhh..udah terlanjur.
Lanjut deh.
Aku dorong lagi dan....SLEEBBBBBBBB SREEEETTTTT! Aku seolah-olah merobek
sesuatu yang sangat rapat di sana. Uuuuffffhh...nikmatnya tak
terkirakan. Kemaluanku ngilu sekali. Ngilu banget. Ingin rasanya aku
meledak saat itu juga. Tapi aku ingin mengimbangi Puri. Ia belum keluar
lagi. Paling tidak aku bisa menggoyangkan pinggangku. Tubuhku mulai
menindihnya. Aku peluk dirinya.
"Ndre...aku cinta kamu Ndre...aku cinta kamu," katanya.
Duh, apa yang harus aku katakan sekarang? Apa aku sudah move on ke
Puri?? Aku bingung. Ahh...ntar dulu deh mikirnya. Masa' harus kentang di
tengah jalan. Udah masuk ini. Udah tegang. Nggak lucu kalau tiba-tiba
sudah masuk semaput di tengah jalan. Akhirnya aku pun menggoyang
pinggulku.
"Ahhhsssshhh...," Puri mendesis. "Sakit Ndre...hhmmm."
Aku terus menggoyang pelan-pelan hingga akhirnya aku tidak lagi
mendengar rasa sakit keluar dari mulutnya. Dan kini ruang tamu itu jadi
saksi di mana aku bercinta dengan Puri. Di mana aku merenggut
keperawanan seorang gadis. Dan juga untuk pertama kalinya aku bercinta
dengan seorang wanita dewasa. Genjotanku makin keras, makin cepat, Puri
makin keenakan. Dia menggigit bibirnya, tangannya sudah dilingkarkan ke
leherku. Aku menghimpit tubuhnya, entah berat badanku makin membuat ia
keenakan atau kesakitan. Tapi ia juga mulai bergoyang kiri dan kanan.
Kakinya sekarang melingkar ke pinggangku.
Aku lalu mencium bibirnya. Bibir kami saling menghisap. Lidah kami
saling bertemu di langit-langit mulut kami. Sementara itu pinggangku
makin kencang sekali goyangannya.
"Ndree...aku nyampe lagi nih, barengan yuk!" bisiknya.
"Aku keluarkan di dalem?" tanyaku. "Nggak apa-apa Pur?"
"I...iyaa..nggak...apa-apa..ahhkk," Puri melengkung badannya. Bersamaan
dengan itu, aku pun genjot makin kencang. Penisku sudah mentok diujung,
gatal rasanya ingin menyemburkan milyaran sperma ke dalam rahimnya. Iya,
kemaluanku seperti ditelan semuanya oleh liang senggama Puri. Penisku
pun berkedut-kedut kencang dan keluarlah cairan itu ke dalam
kemaluannya. Bersamaan dengan itu ia pun mengeluarkan cairan yang tak
sedikit. Batangku rasanya hangat sekarang.
Peluh sudah membasahi dahiku. Gila, seperti inikah rasanya bercinta? Aku
baru kali ini merasakannya. Nikmatnya sampai ke ubun-ubun. Aku diamkan
batangku sampai menyusut dengan sendirinya. Lalu aku beralih berbaring
di sampingnya. Puri menarik selimut dan kami pun berada di dalam satu
selimut sekarang. Ia memelukku.
"Ndre...? Kamu menyesal?" tanyanya.
Menyesal? Kenapa ia bertanya seperti itu?
"Aku tahu kamu masih cinta ama dia, maafkan aku ya. Maafkan aku," kata Puri.
Kalau sudah begini gimana aku bilang "Kamu salah". Dia baru saja ngasih
keperawanannya ke aku. Aku deh yang serba salah sekarang. Benarkah
sekarang ini aku sudah move on? Maafkan aku Maria. Kami berdua pun
tertidur pulas sampai pagi.
BAB XXII
All for One
Hari itu aku tak masuk sekolah. Bukan berarti aku melakukan sesuatu yang
tidak ada artinya. Tapi aku berusaha menyelamatkan nyawa di sini.
Setelah kejadian itu, aku bangun langsung mandi di tempatnya Puri.
Setelah kami berdua membersihkan diri, segera meluncur ke distrik 5.
Puri menghubungi Alex agar ketemu di sana. Dan agaknya kami sedikit
terlambat.
Puluhan panser dan mobil lapis baja kami lihat mulai bergerak ketika hampir saja kami sampai di tempat yang dituju.
"Ndre, cepat Ndre! Kita terlambat!" kata Puri.
Aku makin cepat melajukan sepeda motorku mengambil jalan lain agar tak
berpapasan dengan panser-panser itu. Mau apa mereka sebenarnya? Mau
perang? Sampai ada sekompi polisi? Puri menunjukkan ke tempat pertemuan.
Kami masuk ke sebuah gang. Di sana ternyata sudah banyak yang menunggu.
Melihatku membonceng Puri, Alex sepertinya sedikit kaget.
"Hoi, orang yang hampir nembak aku kemarin. Katanya kamu punya kabar buruk," kata Alex.
"Iya, dan ini tidak baik," kataku.
Aku turun dari motorku, kemudian segera aku jelaskan kepada Alex apa
yang terjadi sebenarnya. Terutama tentang pola serangan Dark Lantern
juga tentang sebuah tanda Pentagram itu. Alex tampak menggertakkan
giginya.
"Kalau yang kamu katakan benar, kita benar-benar dalam masalah," katanya.
"Apa maksudmu Lex?" tanya Puri.
"Semua ini, lihatlah! Kita berada di sini semua. Dan aku tadi melihat
aparat yang berwajib sudah mulai mengepung tempat Yogi," kata Alex.
"Tapi, Yogi bisa memakai elemen petir bukan? Ia pasti baik-baik saja," ujar Puri.
"Baik-baik saja? Pure, setiap elemen punya kelemahan. Api bisa dilawan
dengan air, bumi bisa dilawan dengan udara, listrik? Bisa dikalahkan
dengan air! Kamu masa' nggak ngerti?" kata Alex.
"Udah, yang penting kita harus selamatkan Yogi. Di mana dia sekarang?" tanyaku.
"Yogi itu anaknya baik. Dia orang yang ta'at ibadah. Sekarang pasti ia
berada di mushola dekat dengan rumahnya," ujar seorang anak kecil yang
dipanggil Tim.
"Kita tak mungkin mendekat ke sana, mereka punya alat pendeteksi apakah
kita seorang elemental atau tidak. Kalau sampai mereka tahu. Kita bisa
celaka," kata Puri.
"Kau benar, semuanya akan kacau kalau sampai ini terjadi," kata Alex.
"Ah, kenapa kamu tak bantu kami saja?" tanya Tim ke aku.
"Aku?" aku menunjuk diriku sendiri.
"Iya, Ndre! Bener kamu! Kamu bukan elemental kan? Artinya mereka tak
akan menganggap kamu sebagai elemental. Kamu akan baik-baik saja.
Selamatkan Yogi, bawa dia keluar dari tempat itu! Kamu bisa Ndre!" kata
Puri.
"Bagaimana aku bisa?" tanyaku.
"Ayolah Ndre! Pliiiisss!" Puri memohon.
Akhirnya....ya udah deh. "OK, aku akan bantu. Di mana tempatnya?"
Singkat cerita Puri memberitahukanku di mana tempatnya. Aku pun melewati
trotoar. Para agen ATFIP itu tak akan mungkin mengira aku adalah
seorang elemental ya emang bukan sih. Dengan langkah santai, berjaket
hoodie aku berjalan menuju ke sebuah perkampungan. Mushola tempat Yogi
berada ada di tengah perkampungan. Aku bisa melihat kubahnya dari jauh.
Di atasnya pula ada pengeras suara. Ini masih pagi, belum waktunya
dzuhur. Pasti si Yogi ini ta'at dalam beragama.
Dari kejauhan para polisi sudah bersiaga. Apa mereka gila? Mau nyerbu
perkampungan ini? Aku menyusup ke gang-gang. Aku melihat orang-orang
masih melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Ada yang berprofesi
sebagai tukang jahit ada pula yang membuka warung. Mereka tak menyadari
bahaya yang mengancam. Di perkampungan itu aku juga melihat seorang anak
kecil berlari-larian. Mereka bermain-main sebagaimana biasanya. Ini
gila, kalau sampai tempat ini terjadi perang. Akan banyak korban yang
tidak bersalah. Tapi, inilah yang terjadi. Aku berada di titik terakhir.
Setelah berbelok-belok melewati gang dan rumah-rumah, aku pun sampai di depan mushola kampung itu.
"Yog??! YOGI!?" panggilku.
Dari dalam mushola muncullah seorang pemuda memakai peci warna putih. Ia keheranan melihatku.
"Siapa ya?" tanyanya.
"Yogi?" tanyaku.
"Iya, saya sendiri," jawabnya.
"Aku diutus oleh Alex dan Puri, kawan-kawan sesama elementalmu. Kamu harus pergi dari tempat ini!" kataku.
"Kenapa?" tanyanya.
"Mereka akan menyerbu tempat ini! Tak ada waktu lagi Yog, tempat ini
sebentar lagi akan dikepung kamu tak akan bisa keluar!" kataku.
"Sudah saatnya yah?" katanya. Ia menghirup nafas dalam-dalam. "Pergilah, aku tak akan pergi dari sini."
"Tapi Yog?! Teman-temanmu membutuhkanmu," kataku.
"Aku tahu, tapi siapa yang akan menolong penduduk kampung ini kalau mereka menyerang tempat ini?" tanyanya.
Benar kata dia. Siapa yang akan menjaga penduduk kampung ini?
"Kita ungsikan mereka semua. Kita kabarkan kalau tempat ini akan digerebek!" kataku.
"Jangan bodoh. Kamu ingin membuat satu kampung panik? Biarkan aku yang
akan menghadapi mereka sendirian," katanya. "Aku bisa menggunakan petir.
Aku tak selemah Jack. Mereka akan butuh banyak orang untuk
mengalahkanku."
"Yog, jangan bodoh! Walaupun aku bukan elemental, tapi aku berusaha agar
tak terjadi pertumpahan darah yang tidak berarti di sini," ujarku.
"Tenanglah, sebaiknya kamu pergi dari tempat ini!" perintahnya.
"Tapi...," sial, aku tak bisa apa-apa. Akhirnya aku nekat. Aku paksa dia. "Ayo kita pergi Yog!"
JRREEETTTTT! Aduh! Tiba-tiba tanganku seperti tersengat listrik.
"Nah, sudah kubilang kan? Tidak mudah untuk menangkapku," katanya.
Dia menggunakan elemen listriknya. Aku tersengat sedikit tadi. Dia ternyata kuat.
"Setidaknya katakanlah sesuatu kepada mereka!" kataku. Aku mengeluarkan
ponselku dan menghubungi Puri. "Pur, coba kamu bicara langsung dengan
Yogi!" Kutekan loudspeaker.
"Yog? Yogi?! Kamu di sana?" tanya Puri.
"Purple?" tanya Yogi.
"Syukurlah, cepat pergi Yog! Mereka datang!" kata Puri.
"Aku tak bisa," kata Yogi.
"Kenapa? Kamu jangan mati konyol. Sudah cukup Jack saja, jangan kamu juga."
"Tapi, siapa yang akan melindungi penduduk kampung ini Pur? Siapa?
Jelaskan kepadaku! Kalau aku tidak ada di sini melindungi mereka, apakah
mereka akan selamat?" tanya Yogi.
Puri terdiam. Lalu muncul suara Alex.
"Bro, kalau kamu tidak kesana dan kamu khawatir terhadap nyawa para
penduduk, fine! Kami akan paksa kamu untuk pergi dari sana.
TuuuT..tuuutt....tuuuttt!" Ehh? Alex menutup teleponnya.
"Dasar Alex, seperti biasa. Dia berbuat semaunya. Kamu bukan elemental
bukan? Pergilah. Kamu pasti tak ingin dirimu celaka," katanya.
Sial. Seandainya aku punya sesuatu untuk menolong mereka. Akhirnya
dengan langkah putus asa dan menyerah aku pun pergi meninggalkan Yogi.
Aku kembali ke tempat semula, tapi ternyata di depan sudah dikepung oleh
barisan polisi. Mereka juga sudah membuat barikade seolah-olah akan
menyerang kampung itu. Salah seorang penduduk kampung melihat itu
langsung memanggil para penduduk lainnya.
Dalam sekejap para penduduk kampung berkumpul di muka gang. Mereka bertanya-tanya, "Apa yang terjadi, ada apa ini?"
Para aparat yang berwajib ini sepertinya sudah disusupi oleh Dark
Lantern. Mereka sepertinya tak ada lagi rasa kasihan, iba atau
semacamnya. Bahkan tatapan mata mereka dingin sambil menodongkan senjata
mereka. Sial, aku tak bisa kembali kalau seperti ini caranya. Para
penduduk kampung mulai emosi. Mereka tak tahu salah apa, karena
tiba-tiba para polisi sudah siap untuk menyerbu. Mereka pun mengambil
senjata apa adanya untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Mana
wartawan? Mana mas media? Kenapa tak ada satupun yang meliput?
Aku menghubungi Puri lagi.
"Halo Pur?" sapaku.
"Kenapa Ndre?"
"Mereka sudah siap menyerang," kataku.
"No shit!"
"Beneran. Aku tak bisa keluar sekarang. Sebentar lagi kalau polisi maju,
para penduduk kampung akan menyerang mereka dan terjadilah pertumpahan
darah," kataku.
"OK, kami akan ke sana," kata Puri.
Para polisi yang memakai perisai pelindung mulai memukul-mukulkan
pentungan mereka ke pelindungnya. BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK! BRAK!
suara mereka menabuh perisai mereka ke aspal membikin para penduduk
kampung yang tak tahu apa-apa itu bersiaga. Dan mereka pun maju.
Pertempuran pun tak bisa dielakkan lagi. Dari kampung terlemparlah
batu-batuan ke arah polisi yang merangsek masuk.
Penduduk kampung dan para polisi ini saling pukul memukul. Sebagian
berlarian, sebagian berlindung. Aku tak sanggup melihatnya. Tiba-tiba
aku melihat nyala kilat berpijar membelah barisan para polisi.
Aku lihat Yogi sudah ada di sana. Hah? Sejak kapan ia ada di sana?
Kecepatan. Yogi menggunakan kecepatannya untuk menghancurkan barisan
polisi. Dia melumpuhkan mereka satu persatu dengan sengatan listriknya.
Aku menyaksikan pertempuran itu dari jauh. Perlahan-lahan dari kejauhan
aku juga mulai melihat panser-panser berdatangan. Mobil-mobil truk
pengangkut bataliyon pun mulai datang. Yogi berjuang sendiri menghadapi
para polisi itu. Para penduduk pun ikut membantunya. Sambaran kilat
besar tiba-tiba keluar dari kedua tangannya dan menghantam ratusan
polisi itu hingga mereka kejang-kejang di atas aspal.
Aku tidak bisa tinggal diam saja di sini. Dari arah lain, kudengar suara
orang-orang. Oh, mereka para elemental. Mereka mulai menyerang dari
arah yang tidak terduga. Bumi bergetar, tiba-tiba air bah datang dari
berbagai arah. Api menyambar ke mana-mana. Yup, pertempuran sudah
dimulai. Lalu disambut juga dari arah lain, pasukan ATFIP dengan tongkat
Joltnya sudah masuk juga. Pertempuran sengit ini tak bisa dielakkan
lagi. Pecahlah pertumpahan darah.
Aku pun menghubungi Detektif Johan. Ia harus tahu tentang hal ini.
"Halo?" sapaku.
"Ya, ada apa nak?" tanyanya.
"Sudah terjadi! Pertempurannya sudah terjadi!" kataku.
"Apa?"
"Iya, aku berada di tengah-tengahnya," kataku.
"Dasar, apa yang kamu lakukan di sana bodoh?!"
"Maaf Om, tapi aku berusaha menyelamatkan nyawa yang aku bisa!" kataku.
"Arrghh...tunggu di sana. Aku kan ke sana bersama James," kata Detektif Johan.
Setelah itu aku mencari cara agar bisa menyelamatkan para penduduk yang
lemah. Ya, aku memimpin mereka yang lemah seperti wanita dan anak-anak
untuk pergi dari perkampungan itu. Satu-satunya tempat untuk
menyelamatkan diri adalah dengan menyeberangi sungai. Tapi sayang
sekali, tak ada perahu, tak ada jembatan. Sebagian dari mereka nekat
berenang. Tapi arusnya terlalu kuat dan berbahaya apalagi untuk
anak-anak.
Damn. Apa yang harus aku lakukan?
Kalau saja aku bisa punya sesuatu, atau bisa mengendalikan elemen. Ah
itu dia, tongkat Jolt. Kenapa aku tak pernah berpikir ke sana? Aku harus
merebut tongkat Jolt dari salah seorang agen ATFIP. Tapi untuk ke
sana....bagaimana? Bisa-bisa aku kesambet ama pertarungan mereka.
Persetan, ini untuk kemanusiaan. Aku tak akan membiarkan timbul korban
jiwa lagi.
Aku berlari mencari jalan untuk bisa mendekat ke pertempuran. Para
polisi itu benar-benar brutal. Mereka menggebuki para penduduk kampung,
bahkan ketika terkapar di jalan raya pun mereka tetap memukul-mukulnya.
Apa mereka terhipnotis sampai bisa sebrutal itu? Aku melihat pertarungan
antara elemental dengan agen ATFIP sekarang. Aku melihat seorang agen
terkapar di tanah. Ada tongkat Jolt di tangannya. Wah, bisa aku ambil
nih. Aku berlari sambil menunduk dan bersembunyi di antara mobil-mobil
panser yang terpakir. Mungkin karena aku bukan elemental sehingga agen
ATFIP yang berpapasan denganku membiarkan aku begitu saja melewati
mereka. Aku ambil tongkat Jolt itu. Gimana ini cara gunainnya.
Aku tekan sebuah tombol di tongkat itu, lalu aku kibaskan. Ada warna
kuning. Kuning? Elemen tanah. Kalau tongkat ini bisa memerintahkan
elemen maka kucoba gerakkan tanah. Tanah, naik! Tiba-tiba tanah di
depanku naik ke atas. Seorang agen ATFIP yang sedang bertarung dengan
salah seorang elemntal kejedok batu yang tiba-tiba muncul dari tanah.
Dia pun jatuh. BRUK! Eh, dia bawa tongkat Jolt. Aku ambil aja. Kini aku
punya dua.
Teringat dengan penduduk kampung yang berada di tepi sungai. Aku segera
kembali masuk ke kampung. Salah seorang polisi membiarkanku ketika
mengetahui aku membawa tongkat Jolt. Eh? Mereka menganggap aku agen
ATFIP. Sebentar, tongkat Jolt yang satunya apa ya? Aku tekan tombolnya,
ada lampu berwarna biru. Biru?? Apa itu biru. Aku goyangkan tongkat itu.
Dan....tampak di atas tongkat itu bulir-bulir air melayang di atasnya.
Ohh..ini air ya? Oke deh.
Kakiku sudah berada di pinggir sungai sekarang, setelah melewati jalan
berkelok-kelok. Penduduk kampung masih berusaha mencari cara untuk bisa
menyeberang sungai. Bahkan aku melihat sebagian memakai ban dalam bekas.
Arus sungai itu cukup deras. Dan aku harus menolong mereka. Tongkat
Jolt ini satu-satunya cara. Elemen tanah! Aku bisa bikin jembatan! Tanah
naik! Aku acungkan tongkat Jolt itu ke depan seketika itu tanah dari
bahwa sungai pun menaik.
Orang-orang kampung itu terheran-heran terhadap apa yang terjadi.
Mungkin mereka mengira ini seperti mimpi. Aku bisa jadi dukun nih
tiba-tiba.
"Sudah ayo, segera lari menyebrang! Cepat cepat cepat!" kataku.
Para wanita dan anak-anak tak berpikir lagi. Mereka segera menyeberang
dengan jembatan buatanku. Aku jadi mengerti sekarang cara untuk
menggunakan tongkat Jolt ini. Begitu ya. Tapi, aku seperti membuat
bendungan bukan jembatan. Karena tanah yang ada menghalangi air sungai.
Aku bodoh, kalau membuat jembatankan harusnya ada jalan airnya.
Hadeeeh...aku pun menggerakkan tongkat Joltku untuk membuat lubang di
bawah jembatan itu agar air bisa mengalir. Air pun mengalir sekarang.
Yes....
Paling tidak, para penduduk desa sebagian sudah terselamatkan. Aku harus
mengabarkannya kepada Yogi, ia bisa pergi sekarang karena sebagian
besar penduduk kampung sudah menyelamatkan diri menyeberangi sungai. Aku
kembali ke jalan. Ke tempat bentrokan tadi. Setelah keluar dari gang,
aku melihat pemandangan yang menyedihkan. Para korban yang tidak selamat
terkapar di trotoar, di aspal, bersimbah darah. Aku jadi lebih terbiasa
sekarang melihat pemandangan ini. Ini terlalu menyedihkan.
Kali ini aku melihat lagi. Yogi. Dia tak bergerak. Kedua tangan dan
kakinya tertahan oleh bebatuan. Ia meronta-ronta tapi tak bisa
menggerakkan tubuhnya. Sementara itu di depannya ada seorang agen ATFIP.
Orang yang sama dengan yang membunuh Jack. Dia mengacungkan sebuah
pistol ke kepala Yogi.
Tunggu! Jangaaan!
DOR! Terlambat. Kepala pemuda itu sudah mengucurkan darah, tertembus
peluru sampai menjebol peci putihnya. Ini mengerikan. Lagi-lagi
pembunuhan terjadi di depan mataku. Dark Lantern! Kurang ajar. Tanganku
menggegam rapat. Kurasakan seluruh emosi berada di dalamnya. Dengan
wajah tanpa dosa orang yang pernah disebut Robert itu memasukkan
pistolnya dan meninggalkan Yogi begitu saja.
Brengsek! Kurang ajar. Aku tak akan mengampuni mereka.
Tiba-tiba saja dari arah yang tidak terduga ada sesuatu bayangan
berkelebat dengan cepat. Bayangan itu langsung menyerang para polisi
yang masih bentrok dengan para penduduk kampung. Dan, bukan hanya itu
saja, dengan kecepatan yang tak pernah aku lihat sebelumnya bayangan itu
menghantam tubuh Robert. Robert belum sempat berbalik, ia sudah
terpental beberapa meter ke depan.
Seorang wanita dengan rambut panjang sekaki. Memakai helm terbuat dari
besi dengan hidungnya yang mancung serta bajunya seperti baju zirah
berdiri di tengah medan pertempuran. Tampak para agen ATFIP sebagian
lari tunggang langgang. Mereka sepertinya mengenali wanita ini. Para
elemental pun terdiam. Pertempuran tiba-tiba berhenti begitu saja.
Siapa wanita ini?? Aku tak bisa melihat wajahnya karena tertutup oleh
helm, tapi dari ekspresi bibirnya ia menunjukkan ketidak sukaan.
BAB XXIII
Mother of Elemental
"Anak-anakku, pergilah!" kata sang wanita. "Aku akan menghadapi mereka
seorang diri. Aku sudah bersumpah, setiap darah anak-anakku yang kalian
tumpahkan aku akan mengambil darah juga dari kalian."
Robert yang terjatuh tadi kembali berdiri. Dia tampaknya juga terkejut.
"Balancer?! Lama tidak bertemu," kata Robert. "Kamu masih seksi seperti biasanya."
"Dan kamu masih haus darah seperti biasanya. Aku sudah bersumpah akan
menghabisi seluruh keluarga Van Bosch hingga tak akan ada lagi keluarga
Van Bosch, juga para pengikutnya. Kamu telah menyakiti anak-anakku. Aku
tak akan bisa memaafkan kalian," katanya.
"Siapa, kamu?" tanya Alex.
"Aku adalah ibu dari para elemental. Aku adalah Balancer. Apa kabar
anak-anakku semuanya? Akulah yang memberikan kalian kekuatan elemental.
Semuanya berasal dari aku, aku akan balaskan rasa sakit yang kalian
terima. Akan aku berikan kepada mereka pembalasan yang setimpal,"
katanya.
Aku berlari mendekat ke arah para elemental. Kulihat Puri di sana, ia
juga kebingungan. Melihatku datang, Puri langsung menggenggam lenganku.
Ia tampak ketakutan.
"Kenapa?" tanyaku.
"Tatapan matanya, mengerikan. Dia bukan wanita biasa," jawabnya.
"Perjanjiannya, apa kamu ingin melanggar sumpahmu Balancer?" tanya Robert.
"Aku sudah tak terikat dengan sumpah apapun, semenjak anakku kalian incar untuk dibunuh," jawab Balancer.
Robert menggertakkan giginya. "Kalau begitu tak ada yang bisa kita bicarakan lagi sepertinya."
Tangan kanan balancer diangkat. Aku bisa melihat tangannya yang tertutup
sarung tangan dari besi itu tiba-tiba jemarinya memanjang membentuk
kuku-kuku panjang seperti pedang dan pisau. Dia ini...elementalnya apa?
besi?
Robert mengeluarkan sebuah sarung tangan. Sarung tangan itu tidak biasa.
Kelima jarinya ada beberapa lampu indikator. Dia memakai sarung tangan
itu.
"Semuanya, bersiap! Brace your self!" komando Robert.
"Perasaanku tidak enak," kata Puri. "Dia, bukan orang biasa. Lex, ayo Lex! Kita pergi Lex!"
Alex tampak masih terbengong-bengong. Dia tak beranjak dari tempat dia berdiri.
"Kenapa kakiku tak bisa digerakkan?" kata Puri. Tak hanya Puri, aku juga. Apa ini???
"Aku juga, kenapa ini?" kataku.
Dari bawah Balancer, aku melihat sebuah retakan kecil terbentuk. Tanah
di bawahnya retak-retak kemudian muncullah darinya sebuah benda hitam
seperti debu, berputar-putar hingga kemudian mengeras membentuk sesuatu
di sekitar tangan Balancer. Tangan kirinya tampak ada sebuah kabut
berwarna hitam. Kabut itu terus berputar-putar. Aku tak pernah melihat
elemental yang seperti ini sebelumnya. Gumpalan-gumpalan hitam tadi
kemudian membentuk sesuatu di samping Balancer. Panah. Banyak panah,
ratusan mungkin siap mengarah ke arah para agen ATFIP.
"Rasakan!" kata Balancer.
Ratusan panah itu bergerak meluncur dengan cepat membelah udara.
Sebagian lainnya berlindung ke balik mobil panser. Agen-agen ATFIP yang
tidak mujur tertembus panah itu. Mereka bergelimpangan. Robet membuat
pertahanan dengan elemen tanah. Dia lalu menyerang Balancer dengan
elemen petir yang muncul dari sarung tangannya. Sebentar. Bagaimana dia
bisa mengendalikan dua elemen sekaligus tanpa tongkat Jolt.
Jangan-jangan sarung tangan itu??
Robert dan Balancer bergerak dengan cepat seperti kilat. Keduanya
berbenturan kekuatan. DUAR! DUAR! CLANG! DUAR! Ugghh...kekuatannya luar
biasa. Robet bergerak dengan elemen petir. Balancer bisa mengimbanginya.
Kuku-ukunya yang panjang itu mencoba menembus pertahanan Robert. Tapi
karena gerak mereka terlalu cepat, aku tak bisa mengtahui siapa yang
kena. Siapa yang terluka. Anehnya adalah kenapa kami semua tidak bisa
bergerak??
Kami sekarang hanya bisa melihat pertarungan antara Robert dan Balancer.
Ternyata hanya dengan sarung tangannya saja Robert bisa bertarung
dengan imbang dengan Balancer. Aku cukup takjub ketika Robert bisa
berjalan di tembok, mereka bertarung seperti menggunakan senjata saja.
Robert membuat pedang yang terbuat dari bebatuan yang ia bentuk dengan
sarung tangan yang berfungsi mirip seperti Jolt.
Agaknya aku melihat ini semua seperti mimpi. Persis seperti film-film ketika mereka semua bertarung.
Robert menyerang Balancer dengan unsur tanah. Dia menerbangkan banyak
bebatuan untuk menghantam Balancer tapi Balancer dengan pedang-pedangnya
tak bisa diremehkan begitu saja. Hanya menggerakkan kelima kukunya yang
panjang seperti pedang itu. Dia sudah membelah banyak hal.
"Ini efek ketakutan!" kata Alex.
"Maksudmu apa Lex?" tanya Tim.
"Efek ketakutan?" gumam Puri.
"Kalian tidak faham? Ini kemampuan dari wanita yang bernama Balancer ini
membuat kita tak bisa bergerak. Ini kemampuannya. Sama seperti Ray, Ray
mampu memberikan rasa takut ke semua orang dengan kehadirannya. Wanita
ini juga mempunyai kemampuan itu tapi ketakutan berasal dari kekuatan
elemen air dan angin yang dia punyai. Tapi wanita ini ketakutannya lebih
gelap. Kawan-kawan konsentrasi hilangkan rasa takut itu, kalau kalian
ingin bisa bergerak," kata Alex.
Alex tahu tentang Ray? Berarti mereka kenal dengan Ray?
"Kalian tahu Ray?" tanyaku.
"Iya, dia kawannya Alex. Satu-satunya kawan kami yang bisa mengendalikan dua unsur elemen," jawab Puri. "Kenapa? Kamu kenal?"
"Tentu saja aku kenal, dia yang merebut Maria dari aku," kataku. Aku pun
mulai emosi ketika mendengar nama Ray. Entah kenapa aku bisa
menggerakkan kakiku sekarang, walau sedikit.
"Oh, jadi Ray ya?" gumam Puri.
"Rasa takut, aku tak pernah takut kepada apapun!" Alex mulai bisa menggerakkan kakinya. "Ayo! cepat pergi!"
Aku sekarang bisa menggeser kakiku, makin lama makin lebar. Aku pun bisa
berjalan mundur. Puri sepertinya masih kesulitan. Mau tak mau dan
terpaksa aku pun menggendong dia. Kumasukkan tongkat Joltku ke sela-sela
ikat pinggang. Kemudian kuangkat Puri ke punggungku.
"Ndre?!" katanya.
"Jangan tanya! Ini insting!" kataku.
Dia tersenyum. "Iya, aku tahu."
Aku segera berlari meninggalkan tempat itu sambil menggendong Puri.
Pertarungan antara Balancer dan Robert benar-benar mengerikan. Mereka
tak melihat kalau kami berada dekat dengan mereka. Apalagi kekuatan
Balancer benar-benar mengerikan. Awalnya aku yang berlari, lalu Alex,
dan disusul yang lainnya. Aku sesaat menoleh ke arah Yogi yang sudah tak
bernyawa itu. Kulihat di dahinya sebuah lubang menganga dan dia
tersenyum. Tangan dan kakinya masih tertahan oleh bebatuan.
Dari kejauhan tampak sebuah mobil warna putih baru saja datang. Detektif
Johan! Aku segera berlari menuju ke arahnya. Dari dalam mobil keluarlah
dua orang pria yang sangat aku kenal. Detektif Johand dan Inspektur
James.
"Puri, Puri!? Engkau ikut mereka yah?!" kataku.
"Kamu?" tanyanya.
"Aku ambil sepeda motorku dulu, itu barang cicilan soalnya ibuku belum lunas bayar kreditnya," jawabku.
Puri tertawa geli. "Iya, sanah! Hati-hati!"
"Om, jagain dia!" kataku. Kuturunkan Puri di depan Detektif Johan.
"Hah? Ngapain? Kamu mau kemana?" tanyanya.
"Nggak tahu instingku saja yang bilang begitu. AKu mau ambil motorku dulu!" kataku.
"Siapa yang bertarung itu?" tanya Detektif Johan.
"Balancer dan Robert. Sebaiknya jangan mendekat! Kekuatan mereka mengerikan," kataku.
"Aku bisa lihat itu," kata Detektif Johan.
Entah pertarungan itu kapan berakhir. Yang jelas, aku sudah pergi ketika
Balancer dan Robert bertarung. Misi kita gagal. Pertumpahan darah tetap
berlangsung, tapi aku berhasil menyelamatkan penduduk kampung. Kampung
itu benar-benar diratakan oleh aparat. Bahkan sampai dibakar. Kenapa
aparat yang berwajib melakukan hal itu? Di mana rasa kemanusiaan mereka?
Ataukah karena pengaruh Dark Lantern? Kenapa Balancer mengatakan bahwa
para elemental adalah anak-anaknya?
Satu jam kemudian aku, Detektif Johan, Inspektur James dan Puri sudah
berada di kantor Detektif Johan. Kami semuanya terdiam. Aku bersandar di
sofa, Puri tampak duduk sambil memeluk dirinya sendiri. Inspektur James
duduk di seberangku. Dan Detektif Johan duduk di kursinya.
"Kalau saja aku tahu lebih awal hal ini tak akan terjadi," kata Detektif Johan.
"Sudahlah, ini sudah terjadi. Mereka telah melakukan apa yang mereka
perlukan. Kita harus tahu apa langkah selanjutnya," kata Inspektur
James.
"Siapa Balancer ini? Dia kuat sekali," kataku. "Kenapa dia menyebut para elemental sebagai anak-anaknya?"
"Aku harus ke kantor dulu, ada sesuatu yang ingin aku cek di sana. Mungkin kalian akan suka nantinya," ujar Inspektur James.
"Kamu, tak apa-apa?" tanya Detektif Johan ke Puri.
"Iya, Om. Aku baik-baik saja," jawabnya.
"Aku pulang!" terdengar suara Maria dari pintu sebelah. "Lho, ada Andre di sini?"
Tak berapa lama kemudian Maria muncul dari pintu belakang ruang detektif. Pandangannya menyapu kami semua.
"Oh, ada banyak tamu rupanya?" katanya. Wajahnya Maria sudah ceria.
Sepertinya tak ada apa-apa. "Koq belum dibuatin minum sih yah?"
"Oh iya, mau minum apa kalian?" tanya Detektif Johan.
"Terserah deh," kataku.
"Aku tak perlu, karena aku akan pergi," kata Inspektur James.
"Wah, Inspektur James. Keburu kemana?" tanya Maria.
"Ada berkas yang harus aku baca-baca, kamu makin cantik saja Maria. Sudah sehat?" tanya inspektur James.
"Iya, sudah sehat," jawabnya.
"Maria? Jadi itu?" bisik Puri. Aku mengangguk. "Cakep yah, pantes kamu tergila-gila ama dia."
"OK, pesanan segera tiba. Eh iya, Ndre! Kamu dicariin Pak Yunus guru
Kimia. Katanya 'Mana tugasnya' gitu," kata Maria sebelum pergi ke dapur.
"Aaarrghh!" aku menepok jidatku. "Aku lupa!"
"Ya sudah, aku pergi dulu Piere, sampai nanti!" kata Inspektur James. Ia
kemudian keluar dari kantor Detektif. Kami tinggal bertiga sekarang.
Lalu apa selanjutnya? Sebenarnya apa rencana Dark Lantern itu?
NARASI BALANCER
Aku berada di kegelapan kamar. Pertarungan dengan Robert menghabiskan
banyak tenaga. Ia cukup hebat walau menggunakan satu sarung tangan Jolt.
Levelnya sudah meningkat, tapi aku berhasil melukainya. Ketika aku tak
melihat anak-anakku lagi, aku pun lega. Kuputuskan untuk pergi dari
tempat itu. Ini tempat tinggalku. Sebuah rumah yang aku sewa dengan
identitas palsuku. Aku membersihkan diriku di shower. Tak ada satupun
luka di tubuhku, seperti biasa. Mereka tak akan mampu menembus baju
besiku.
Setelah aku selesai mengguyur badanku. Aku berjalan ke kamar. Dan
kulihat seseorang di sana sudah menungguku. Aku ingat dia. Tentu saja.
Selama ini aku menyuruhnya untuk bekerja di balik layar. Kumisnya, itu
sudah aku rindukan semenjak perjumpaan terakhir kita. James.
"Lili?" sapanya.
"James?" balasku.
Ia berdiri di hadapanku. Aku lalu memeluknya. Aku rindu dia.
"Kamu tak apa-apa tadi?" tanyanya.
"Tak apa-apa. Mereka tak akan sanggup melukaiku," jawabku. "Hanya saja kita gagal ya?"
"Iya. Satu langkah lagi Sang Penghancur akan dibangkitkan. Apakah anak kita sudah siap dengan ini semua?"
"Ia pasti siap. Dia memang sudah ditakdirkan untuk itu."
"Rambutmu makin panjang semenjak terakhir kali kita bertemu."
"Apa yang kamu perlukan sekarang James? Tak biasanya kamu menemuiku."
"Aku harus menceritakan hal yang sesungguhnya tentang Dark Lantern
kepada Johan. Juga tentang van Bosch kalau kamu tidak keberatan. Sebab
kita tak punya cara lain untuk menghentikan Azrael."
"Silakan, apapun keputusanmu aku tak akan menentangnya. Setiap tahun aku
melepaskan kekuatan elementalku untuk kuberikan kepada bayi-bayi yang
diberkati dengan harapan mereka akan mampu menghentikannya. Aku seorang
Balancer. Itu sudah tugasku. Hanya saja, aku tak tahu kalau Ray adalah
anak pilihan. Michele pasti senang melatih Ray sekarang."
"Tentu saja. Jarang sekali Mist mendapatkan kehormatan melatih seorang
Creator. Dia pasti akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk
melatih dia hingga siap menghadapi perang yang sesungguhnya."
Dadaku kemudian dipegang oleh tangannya yang kasar. Walaupun kasar,
entah kenapa ia selalu memperlakukanku dengan lembut. Aku diciumnya
lagi.
"James, sudahlah. Aku tak mau kita begini lagi. Aku sudah tua," kataku sambil mengusap pipinya.
"Walaupun kamu sudah tua, tapi aku tak peduli Lili. Kamu tetap terlihat muda di mataku," katanya.
"James,...merupakan takdir bahwa aku bisa mempunyai anak darimu. Selama
ribuan tahun aku tak pernah berpikir bahwa aku akan mendapatkan anak
darimu. Apakah kamu ingin punya anak lagi?"
"Kalau kamu mengijinkan sayang."
Aku hanya punya satu keturunan. Ray adalah anakku dengan James. Selama
ini dialah yang melindungi Ray, memberikan uang kepada Ray. Semuanya
dari keluarga van Bosch. Aku hidup selama ribuan tahun karena sebuah
kutukan. Dan aku setiap tahun harus melepaskan kekuatan elementalku
kepada bayi-bayi yang diberkati. Sehingga mereka bisa mempunyai
kemampuan elemental. Kalau aku tidak melakukannya, tubuhku akan terasa
sakit bahkan aku akan dihukum oleh elemental yang ada di dalam diriku
sampai aku mati. Maka dari itulah, setiap tahun aku melakukannya. Hal
ini karena, kekuatan jahat akan datang sebentar lagi. Kami sudah
terlambat menghadangnya.
James malam ini memanjakanku. Ia suka dengan rambutku yang panjang. Ia
rengkuh kenikmatan bersamaku malam ini. Dia tetap perkasa walaupun
usianya tidak muda lagi. Aku dipuaskannya malam ini, setiap hentakan
kemaluannya ke tubuhku menandakan ia masih mencintaiku. Dan ketika kami
sama-sama merengkuh puncak kenikmatan, perasaanku bahagia sekali. Aku
pun bisa tidur di dalam pelukannya.
BAB XXIV
The Training
NARASI RAY
Syberia. Butuh waktu selama dua hari setelah aku mendarat di Moskow.
Perjalanan ke tempat ini menggunakan sebuah kereta. Dan satu-satunya
kereta. Aku tak tahu bahasa yang digunakan orang Rusia. Komunikasiku
dengan mereka hanya memakai bahasa Inggris. Kereta ini kereta khusus.
Aku membayar mahal untuk bisa naik kereta ini. Syberia sendiri adalah
daerah yang berada di sebelah utara benua Asia. Mungkin di sini aku bisa
ketemu dengan orang-orang Eskimo. Mulutku sudah terbiasa mengeluarkan
kepulan asap. Dan aku harus terbiasa dengan menu daging yang kusantap
hampir tiap hari. Juga coklat panas tentunya.
Setelah hampir 24 jam berada di kereta. Aku pun tiba. Dingin sekali,
apalagi ini bulan Desember dan sebentar lagi Natal. Setelah sampai di
pemberhentian terakhir, aku tak tahu lagi harus ke mana. Total aku hanya
berdiri mematung sambil membawa ranselku yang berisi perbekalan dan
pakaian.
Aku tak takut dengan hawa dingin karena aku sudah terbiasa. Hanya saja
aku tak tahu harus kemana. Aku hanya diberitahu ke Syberia, tapi menemui
siapa, atau ke mana aku tak diberi tahu. Kemana sebenarnya ibuku
menyuruhku? Apakah aku akan bertemu dengan beliau di sini?
Dari jauh, aku melihat seorang wanita sedang naik kereta salju dengan
digeret oleh anjing-anjing. Eh, bukan anjing. Serigala! Serigala berbulu
tebal itu menyalak kepadaku. Sang wanita itu memakai jaket kulit tebal
berwarna kuning. Dia tersenyum sambil menatapku.
"Kamu Ray?" tanyanya.
Aku cukup terkejut ia tahu namaku. "Ya, aku."
"Ayo ikut!" katanya.
"Bagaimana kamu bisa tahu namaku?" tanyaku.
"Tak usah bingung. Aku tahu sebagian besar rahasia di dunia ini. Aku
juga tahu siapa ibumu dan ayahmu. Hanya saja ada hal penting yang harus
kita lakukan, ayo! Jangan takut!" katanya.
Aku pun berjalan menuju ke arahnya dan naik kereta saljunya. Aku duduk di tempat duduk yang ada.
"Kenalkan namaku Michele," ia mengulurkan tangannya. Aku menyalaminya. Ia masih muda, mungkin sebaya denganku.
"Ray," kataku.
"Aku tahu. Pegangan ya. Kita akan menembus badai salju sebentar lagi. Maklum ini sudah natal soalnya."
Kereta salju yang ditarik serigala-serigala itu berjalan lagi
meninggalkan stasiun Syberia. Aku tak banyak bicara. Dan ketika berjalan
ini aku disambut banyak sekali salju. Dan entah kenapa aku bisa
berkomunikasi dengan mereka. Mereka menyambutku, mengucapkan selamat
datang.
"Wah, mereka sudah menyambutmu ya?" kata Michele. Apa dia tahu?
"Maksudmu?"
"Aku tahu koq, aku juga bisa mendengar mereka. Kamu seorang elemental. Kamu bisa bicara dengan angin dan air," katanya.
"Jadi kamu tahu kemampuanku?" tanyaku.
"Iya, tentu saja. Dan aku adalah seorang Mist. Kamu tahu di dunia ini
ada banyak sekali ras. Aku akan jelaskan nanti kalau sudah sampai," kata
Michele.
"Kamu sepertinya tahu banyak hal," kataku.
"Ya, karena aku seorang Mist dan aku juga tahu kamu suka sama Maria bukan?"
Aku kaget tentu saja. Bagaimana dia bisa tahu?
"Tak perlu terkejut. Aku tahu banyak hal."
Setelah berkendara lebih kurang setengah jam, kami pun sampai di sebuah
pondok. Pondok terbuat dari kayu, seluruh atapnya tertimbun salju. Ada
cerobong asap di atapnya. Di sekelilingnya banyak pohon-pohon sepertinya
ini di tengah hutan. Michele kemudian melepas tali-tali yang mengekang
serigala-serigala itu. Entah bagaimana ia menggunakan isyarat.
Serigala-serigala itu mengangguk-angguk. Lalu dia berbicara dengan
bahasa yang sangat asing sekali. Serigala-serigala itu segera pergi.
"Kamu bisa bicara dengan mereka?" tanyaku.
"Iya, Mist bisa bicara dengan banyak hewan, tumbuhan dan elemen. Tapi
kami lemah. Kami tak punya kekuatan seperti kalian," katanya. "Kami
hanyalah seorang yang bisa berbicara dengan banyak hal, dari situlah
kami dapatkan pengetahuan. Dan dengan itulah kami melatih kalian."
"Melatihku? Apakah artinya aku tak akan bisa bertemu orang tuaku di sini?"
"Aku akan jelaskan kepadamu banyak hal. Tapi pertama kali yang harus
kamu lakukan adalah istirahat. Silakan, istirahatlah di dalam pondok.
Aku ada di luar. Kalau butuh apa-apa panggil saja!" katanya.
Aku pun masuk ke dalam pondok itu. Pintunya kubuka. Lumayan hangat. Aku
melihat perapian yang menyala. Aku pun menghangatkan diri di depannya.
Kuletakkan ranselku di lantai aku pun duduk di depan perapian. Mungkin
karena aku terlalu capek, akhirnya tak sengaja aku pun tertidur.
****
Maria tersenyum kepadaku. "Kamu nggak apa-apa Ray?"
"Nggak apa-apa," jawabku.
Bayangan Maria pun menghilang. Kemana dia?
Tiba-tiba aku berada di gym. Saat itu aku melihat sesosok seorang cewek
sedang menggelepar-gelepar di lantai. Itu Maria. Aku segera
menghampirinya. Tangannya menggegam erat. Dia kena asma! Aku berusaha
agar jemari tangannya tidak menggenggam terus, karena kalau sampai
terjadi dia bisa koma. Aku tekan jemari tangannya agar terbuka. Dia pun
pingsan. Tak ada nafas. Celaka.
Aku lalu membuka bibirnya. Itulah pertama kalinya bibirku dan bibir
Maria bersentuhan. Ketika ia pingsan dan tak bernafas. Aku memberikannya
CPR. Hal itu aku lakukan sebagaimana yang aku pelajari dari buku.
Setelah dua kali aku melakukannya ia terbatuk-batuk. Ia sudah bisa
bernafas sekarang. Aku segera membopong dia.
"Bertahanlah Maria! Bertahanlah!" aku terus mengulang-ulang kata-kata itu.
Ketika sampai di ruang UKS aku langsung masuk dan menaruhnya di ranjang
pasien. Dokter yang saat itu sedang piket langsung memeriksa keadaan
Maria. Ia lalu mengambil tabung oksigen dan memasangkannya ke mulut
Maria. Syukurlah selamat. Aku bernafas lega. Kemudian aku keluar dari
ruang UKS. Aku bersandar di dinding tampak beberapa teman sekelasku
datang ke UKS.
"Ada apa Ray?" tanyanya.
"Maria pingsan," jawabku.
"Panggilin Andre! Panggilin Andre!" katanya ke yang lain. Tak berapa
lama kemudian Andre datang. Ia tampak khawatir dengan keadaan Maria.
Semoga kamu baik-baik saja Maria.
Aku pun kembali ke kelas seperti tak terjadi apa-apa. Tak berapa lama
kemudian Maria kembali ke kelas. Tampak wajahnya sedikit pucat tapi dia
baik-baik saja. Aku sangat gembira ia bisa kembali ke kelas.
***
"Ray?! Ray??!" ada yang memanggilku. Aku pun terbangun.
"Oh,...maaf, aku tertidur di sini," kataku.
"Engkau mengigau. Mimpi tentang Maria?"
Aku mengangguk.
"Dia sekarang sedang sakit."
"Benarkah?" aku terkejut. "Sakit apa?"
"Sakit ini," Michele menunjuk ke dadanya. "Sakit cinta."
"Hah? Kamu serius?"
"Aku sudah bilang Ray, aku tahu banyak hal."
"Jadi dia??...."
"Dia merindukan kamu sampai sakit. Tiap hari manggil-manggil kamu terus. Kamu kasih apa sih dia?"
"Aku nggak ngasih apa-apa koq."
"Hahahaha, aku tahu. Ciuman terakhir kalian itu yang bikin dia seperti itu. Benar-benar anak muda. Hahahaha."
"Kamu tahu juga?"
"Duh, ini anak. Sudah aku bilang aku tahu semuanya."
Aku bangkit dari tidurku. Tampak hari masih malam.
"Tempat ini matahari terbit enam bulan sekali. Jangan heran yah. Ini sudah pagi sebenarnya," kata Michele.
"Ah, aku lupa," kataku.
"Sekarang, aku akan berikan pengetahuan kepadamu. Dengar baik-baik. Aku
adalah Mist. Sudah aku jelaskan kepadamu kemarin. Keberadaanku di sini
adalah untuk melatihmu agar kamu menjadi seseorang yang siap. Ibumu
melarangku untuk melepasmu sebelum engkau benar-benar siap. Kamu akan
bertemu dengan ibumu setelah ini, tapi kamu harus melewati latihan yang
tidak biasa."
"Kenapa harus begitu?"
"Ray, keberadaan Elemental, bukan saja kebetulan ada. Semuanya berawal dari beberapa abad yang lalu. Ayo ikut!"
Michele pun mengajakku untuk mengikutinya. Kami pun keluar pondok. Salju
cukup tebal. Tapi sepertinya ada yang aneh. Bagaimana Michele bisa
berjalan dengan enteng di atas salju? Aku saja langsung ambles kakiku
ketika menginjaknya. Akhirnya aku berkomunikasi dengan air dan udara
agar aku bisa mengangkat tubuhku di atas salju. Tanganku menyala dan
mengeluarkan cahaya biru. Dan aku pun terangkat dari bawah sehingga bisa
berjalan di atas salju.
"Kamu terlalu banyak menggunakan kekuatanmu!" kata Michele.
"Hah? Masa'?"
"Kamu hanya belum menyadarinya. Semakin banyak kamu menggunakan
kekuatanmu, kamu akan lemah. Kamu bukan seorang Elemental biasa Ray,
kamu ini seorang Creator."
"Creator? Apa pula itu?"
"Nanti akan aku jawab," lagi-lagi dia berkata nanti. Huh, aku jadi makin penasaran saja.
"Aku lanjutkan. Kami Mist bisa bicara dengan banyak elemen. Hampir semua elemen kecuali satu."
"Elemen apa?"
"Void."
"Void?"
"Di dunia ini banyak elemen Ray, kamu hanya mengetahui sebagian kecil
saja. Ada air, udara, tanah, api, listrik atau petir, besi, magma, Aura,
cahaya, kegelapan, Dark matter, Void dan lain-lain. Dari elemen-elemen
itu ada yang disebut elemen pembentuk dan ada yang disebut elemen
pengurai. Elemen pembentuk biasanya akan membuat unsur baru. Seperti air
dan udara akan membentuk es. Kamu sudah punya pengalaman seperti itu.
Elemen yang lain seperti api, maka dia adalah pengurai elemen. Ada juga
elemen yang bisa membentuk dan mengurai dia disebut Dark Matter. Juga
Void. Kedua elemen ini adalah elemen tertinggi yang bisa dikendalikan
manusia saat ini, sekalipun ada yang lebih tinggi lagi sebenarnya. Tapi
kebanyakan orang yang ingin mengendalikan lebih tinggi lagi akan
hancur.Kamu bisa berbicara dengan banyak elemen. Air misalnya. Bagaimana
caramu bicara dengan mereka?"
"Aku...tak bisa bicara dengan bahasa langsung, lebih bicara dengan bisikan dada."
"Ya, tentu saja. Tapi apakah kamu pernah bertanya siapa nama mereka?"
"Bagaimana bisa? Apa mereka punya nama?"
"Di dalam dunia ini semuanya adalah makhluk hidup Ray. Bebatuan,
tumbuhan, angin, air, api, semuanya adalah makhluk hidup. Semuanya bisa
bicara. Mereka pun memiliki kehidupan, hanya saja takdir mereka berbeda.
Coba kamu bicara dengan elemen yang sekarang ini menolongmu. Siapa
namanya?"
Aku tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Aku kira mereka tak punya
nama. Baiklah angin, kamu punya nama?? Aku merasa ada yang membisikiku
namanya Lotz. Hah? Beneran. Aku bisa tahu nama mereka. Apakah ada nama
lain? Dan aku dibisiki nama-nama yang lain, banyak sekali.
"Mereka banyak sekali," kataku.
"Tentu saja. Kamu sekarang sudah mengerti bukan?"
Aku mengangguk. "Ya, aku faham sekarang."
"Kalau kamu berteman baik dengan mereka, kamu hampir sudah pasti tak
akan menggunakan banyak tenaga dalam mengendalikan elemen. Lihatlah, aku
bukan elemental, tapi aku bisa bicara dengan mereka. Mereka menolongku
untuk tidak sampai masuk ke dalam salju. Cobalah!"
Aku melepaskan kekuatanku. Langsung saja aku ambles ke dalam salju.
Ughh...aku konsentrasi. Lotz, mana Lotz. Apakah dia bisa membantuku agar
bisa berjalan di atas salju? Apakah ada air? Siapa nama kalian? Aku
dibisiki beberapa nama. Mereka adalah Neirh, Meihr, Anrh, dan Era. Aku
berkomunikasi dengan mereka cukup lama, bahkan akhirnya aku bisa
berjalan di atas salju. Mereka memberikan kemudahan kepadaku untuk
berjalan di atas salju. Aku seperti menginjak sebuah jalan setapak yang
keras.
"Bagus, kemajuan," Michele tersenyum kepadaku.
Kami melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan aku bisa mendengar
banyak elemen-elemen lain yang menyapaku. Kenapa sekarang aku bisa
bicara dengan elemen lainnya? Ada yang bernama Mogne, dia adalah elemen
bumi. Dia mengatakan bahwa ingin jadi temanku. Michele menghentikan
langkahnya. Kami berhenti di sebuah sungai beku.
"Baiklah, stage pertama," katanya.
"Stage pertama?"
"Iya, ini adalah sungai beku. Kita bisa berjalan di atasnya tanpa
masalah. Tapi kalau cukup beku seperti ini juga nggak enak buat latihan.
Kamu bisa membuatnya cair?"
"Bagaimana caranya?"
"Bicaralah dengan elemen api."
"Tapi bagaimana caranya? Aku tak bisa."
"Api adalah pencitraan dari panas Ray. Panas tubuhmu itu juga ada api.
Di dalam tubuhku juga. Semua makhluk hidup di sekelilingmu punya api.
Coba kamu bicara dengannya."
"Apa aku bisa? Aku selama ini hanya bicara dengan air dan udara."
"Tapi kamu baru saja bicara dengan Mogne kan? Dia elemen bumi."
Gila ini Michele. Dia tahu juga.
Api...elemen api. Aku pun bicara dalam hati dan konsentrasi ke
sekelilingku. Api? Apakah ada elemen api? Di dalam diriku ada yang
berbisik. Namanya Salamander. Dia adalah hawa panas dalam tubuhku.
Salamander? Seperti nama seekor naga. Benar katanya. Dia dulu adalah
nafas dari naga api yang entah bagaimana bisa berada di tubuhku.
"Kamu mendengar Salamander?"
Aku mengangguk.
"Dulu dia adalah nafas raja naga Salamander. Tapi karena kalah
pertempuran ia pun meninggalkan sang naga. Saat itu ibumu menyerap
elemennya. Dan aku tak tahu ternyata bisa masuk ke dalam tubuhmu."
"Michele, kenapa kamu bisa tahu banyak hal? Jangan-jangan tubuhmu ini
juga menipu. Kau aku lihat seperti anak abege sebaya denganku."
"Hahahaahah," dia tertawa. "Maaf, maaf, kamu ini polos atau gimana sih Ray. Ya jelaslah. Usiaku sudah seribu tahun."
"Nggak mungkin."
"Pengetahuanku yang membuatku awet muda. Apalagi selalu berhubungan
dengan banyak makhluk dan elemen tentu saja. Mist kekuatannya adalah
salju. Selama aku ada di sini, maka inilah yang kamu lihat."
Dan aku mengulurkan tanganku. Cahaya biru mulai muncul di tanganku. Aku
pun meminta Salamander untuk berada di tanganku sekarang. Sebuah titik
kecil api muncul, dan lama-lama mulai besar hingga aku bisa melihat api
di tanganku menyala-nyala.
"Selamat, sekarang kamu bisa menggunakan api. Sekarang cairkan sungai beku ini!" kata Michele.
Aku lalu menghempaskan api itu ke atas sungai beku. Hanya sedikit saja yang menguap. Kenapa begini? Apakah apinya kurang?
"Kamu tahu Ray, api bisa besar karena apa?" tanya Michele.
"Dengan udara? Oh iya." Kemudian kupanggil udara. Siapapun yang ada di
sana. Kemudian ada yang menyahutku, angin yang bernama Axon. Aku meminta
bantuan dia untuk memperbesar api yang ada di tanganku. Ia pun mau dan
dalam sekejap api yang ada di tanganku berubah menjadi sangat besar. Aku
pun membakar sungai beku ini. Lambat laun mencair dan mencair, hingga
kemudian aku bisa melihat kepulan uap air yang sangat banyak menutupi
sungai.
"Bagus, seperti itu."
Setelah itu aku melepaskan kekuatanku. Aku cukup membuang energi ternyata.
"Sekarang kita masuk ke latihan yang selanjutnya."
BAB XXV
Sang Pewaris
Aku sudah berada di Syberia selama satu bulan. Rasa kerinduanku kepada
Maria makin besar. Dan latihanku makin sulit. Aku berusaha untuk membuat
objek dengan seluruh elemen yang aku kuasai. Aku bisa membuat pedang
dari batu, bisa membuat pedang dari api, aku bisa membuat macam-macam
beda dari air, aku bisa membuat boneka salju dan seterusnya. Aku juga
bisa bicara dengan petir. Aku bisa bicara dengan besi. Sejujurnya aku
tak mengerti bagaimana dengan cepat aku bisa bicara dengan banyak
elemen.
Hari ini, aku pun dijelaskan oleh Michele tentang sesuatu.
"Engkau mungkin ingin tahu tentang apa itu Elemental, Balancer dan
Creator," kata Michele. "Mist adalah aku. Sedikit orang yang tahu
tentang Mist dan jumlah mereka tidak banyak. Aku hidup tidak dengan
memakan makanan yang kalian makan. Aku hanya hidup dengan minum air Ray.
Karena itulah aku sangat bersahabat dengan banyak hewan."
Ah, itu menjelaskan kepadaku kenapa serigala-serigala yang dulu itu bisa bersahabat dengan dirinya.
"Elemental seperti yang kamu tahu, mereka adalah manusia yang mempunyai
kekuatan bisa bicara dan berkomunikasi dengan elemen-elemen yang sesuai
dengan yang mereka bisa rasakan. Dan mereka mendapatkan berkah ini dari
Balancer. Setiap tahun anak yang lahir akan terpilih untuk diberi berkah
ini. Itulah salah satu tugas dari Balancer. Dia mendapatkan
keistimewaan ini karena ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
sesuatu yang sangat besar nantinya. Kemudian Creator. Jenis ini lebih
bisa bicara dengan banyak elemen, seperti dirimu. Kamu adalah seorang
creator Ray.
"Perbedaan yang mendasar antara Elemental dan Creator adalah dari cara
mereka berbicara dengan unsur. Elemental hanya mengendalikan satu unsur
saja. Sedangkan Creator bisa lebih dari satu, dan mereka bisa
menciptakan unsur-unsur baru. Seperti kamu yang bisa membuat salju dan
es dari air dan udara. Kamu juga bisa membuat magma dari tanah dan api.
Tapi kamu lebih dari seorang Creator Ray. Lebih daripada itu.
"Kamu mempunyai sesuatu yang disebut cinta. Kamu masih ingat ketika kamu
mengeluarkan kekuatan terbesarmu saat Bapa Joseph meninggal?"
"Iya, aku masih ingat," jawabku.
"Sekarang keluarkan lagi kekuatanmu itu!"
"Di sini?"
"Iya, jangan takut."
"Tapi bagaimana denganmu?"
"Tenang saja, aku tak apa-apa."
Aku mengingat-ingat kembali bagaimana aku melakukannya. Saat itu aku
penuh emosi, marah, karena orang yang aku cintai disakiti oleh orang
lain. Iya, itu dia. Kemarahan. Tanganku sudah kembali memancarkan cahaya
berwana biru. Aku mengingat-ingat kembali orang-orang yang telah
menyakiti Bapa Joseph, yang telah menyakiti Agni, yang telah menyakiti
Maria. Angin dan Air mendengarkan kesedihanku. Mereka semua mendengarkan
bisikan hatiku. Dengan seluruh kekuatan itu aku merasakan sesuatu yang
bergetar di dalam dadaku. Ada sebuah energi yang tertahan di sana.
Kemudian ketika aku lepaskan energi yang tertahan itu. Aku bisa melihat
dengan mata kepalaku sendiri sebuah badai salju tiba-tiba berhembus
menjauh dari hadapanku. Michele tampak duduk dengan tenang di depanku.
Dia seolah-olah memakai sebuah pelindung yang tidak terlihat. Badai
salju itu tidak membekukan dirinya, sedangkan di sekitar tempat itu
semuanya sudah menjadi es.
"Luar biasa, tak ada yang bakal selamat dari ini," ujarnya. "Kecuali mereka yang mempunyai perlindungan api."
Aku tiba-tiba saja lemas. Energiku seperti terkuras habis.
"Duduklah Ray. Istirahatlah. Aku akan menceritakanmu tentang sesuatu," kata Michele.
Aku pun duduk di atas batu sambil mengatur nafasku.
"Tentang keluarga van Bosch," ujar Michele.
Michele kemudian bercerita tentang keluarga Van Bosch, asal mula kenapa para elemental sampai ada di dunia.
Pada jaman dulu dikenallah keluarga para ksatria. Mereka adalah keluarga
Van Bosch. Ada Thomas, William dan Lili. Mereka bertiga adalah para
ksatria yang disebut dengan Defender. Walaupun perempuan Lili sangat
tangguh, bahkan ia memiliki pasukan sendiri yang mana di seluruh wilayah
Eropa, ia tak terkalahkan. Demikian juga Thomas. Dia sangat kuat.
Pada zaman itu kegelapan masih menguasai manusia. Mereka masih sibuk
untuk melawan para tukang sihir dan makhluk-makhluk dari dunia
kegelapan. Sang raja akhirnya mengutus ketiga ksatria itu untuk
menaklukkan raja Iblis Azrael. Sebelum pergi mereka diberkati oleh
orang-orang suci untuk bisa mengendalikan elemen. Dari sinilah awal mula
seseorang disebut sebagai elemental.
Ketiga bersaudara itu pun akhirnya menjelajahi seluruh daratan untuk
menemukan keberadaan Azrael yang selalu mengirimkan makhluk-makhluk
kegelapan.
Ada sebuah sumpah yang diucapkan oleh keluarga Van Bosch, mereka akan
saling melindungi, saling percaya dan tidak boleh saling bunuh. Hal itu
menjadi komitmen mereka. Namun pada suatu misi ada persinggungan antara
Thomas dan Lili.
Suatu ketika mereka sedang menggempur benteng Azrael. Peperangan terjadi
10 hari 10 malam tanpa henti. Tapi pihak Thomas dan kawan-kawan
akhirnya menang walaupun dengan banyak pengorbanan. Di benteng Azrael
terakhir itu mereka menemukan sebuah harta yang tidak ternilai. Di
sinilah akhirnya Thomas terpengaruh oleh kekuatan gelap Azrael.
Azrael yang sangat membenci para elemental mempengaruhi Thomas untuk
menyerang para elemental balik. Lili terutama. Ia tentu saja tak bisa
melawan kakaknya karena telah bersumpah untuk tidak menyakiti kakaknya.
Akhirnya sejarah dimiliki oleh orang yang menang. Thomas yang
terpengaruh sisi gelap Azrael pun kemudian berbalik menyerang para
elemental tanpa ampun. Pembantaian terjadi di mana-mana, hingga Lili pun
putus asa untuk bisa mengalahkan kakaknya.
Dia dan William kemudian menghindar mencari tempat yang selamat.
Sementara itu Thomas mendirikan perkumpulan bernama Dark Lantern. Dia
memutar balikkan fakta bahwa elemental adalah kekuatan dari Iblis yang
harus ditumpas. Sedangkan dia sendiri perlahan-lahan, sedikit demi
sedikit membangun kekuatan untuk kebangkitan Azrael.
Lili dan William pun berdo'a di sebuah tempat suci. Mereka berdo'a
dengan tulus untuk diberikan kekuatan agar bisa mengalahkan Thomas dan
Dark Lantern. Akhirnya do'a mereka dikabulkan. Mereka berdua menjadi
Balancer. Mereka punya kekuatan untuk memberkati bayi-bayi agar menjadi
elemental. Berharap mereka akan menjadi generasi yang bisa menyelamatkan
dunia dari Azrael. Azrael belum bangkit karena ia menunggu saat yang
tepat. Saat yang tepat itu adalah ketika planet-planet, bulan, satelit
dan matahari berada dalam satu garis lurus. Saat itulah dengan lima
titik pentagram yang telah ditandai, dia akan bangkit.
Lili dan William berusaha untuk menghalangi kebangkitan Azrael walaupun
harus melanggar sumpah mereka. Keduanya bisa hidup lama karena kekuatan
elemental yang mereka punyai. Namun tidak ada yang abadi di dunia ini.
Lili bertemu dengan James dalam sebuah penandaan pertama yang dilakukan
oleh Thomas. Sebuah tempat yang disebut dengan 8 Miles. Di sanalah awal
mula Lili akhirnya berhubungan dengan James. Mereka berdua kemudian
menjadi kekasih dan akhirnya lahirlah seorang bayi bernama Ray. Namun
nahas. Kelahiran Ray diketahui oleh Thomas. Bayi itu pun diburu. William
sampai mengorbankan dirinya agar Ray selamat. Bayi itu kemudian
dititipkan oleh James ke panti asuhan. Untuk mengingat siapa Ray, maka
James dan Lili memberikan sapu tangan 8 Miles yang mereka dapatkan dari
perjumpaan mereka.
Selama ini Ray mendapatkan perlindungan dari James. Jameslah yang
mengirimnya uang, yang melindungi identitasnya dari Dark Lantern. Dan
sekarang sudah saatnya Ray bertemu dengan kedua orang tuanya. Tapi
sebelum itu ia harus kuat terlebih dulu menjadi seorang Creator. Ray
adalah orang yang ditakdirkan untuk mengalahkan Azrael.
Michele selesai bercerita.
Michele memegang pundakku, "Ray, menangislah kalau kamu ingin menangis.
Memang semuanya tak seperti apa yang kita duga. Kehidupan ini, semuanya
telah terjadi. Tinggal bagaimana kita menjalaninya. Kamu harus kuat,
kamulah harapan kami satu-satunya."
Aku lalu memeluk Michele. "Aku tak pernah meminta ini, aku hanya ingin bisa bertemu dengan ayah dan ibuku."
"Aku tahu, aku tahu," kata Michele.
Saat memelukku aku bisa merasakan banyak kebijaksanaan dari Michele. Dia
memang kelihatan seperti seorang anak remaja, tapi aku bisa merasakan
jiwanya telah mengarungi lautan asam dan garam melebihi aku. Mungkin
ratusan tahun aku tak akan sanggup melawan kebijaksanaan yang ada pada
dirinya.
***
Aku berada di dalam sungai glester. Suhunya jelas saja dingin. Dan aku
disuruh oleh Michele untuk berada di dalamnya. Ini memang gila. Tapi aku
harus bisa mengontrol kekuatanku. Bersahabat dengan seluruh elemen. Aku
harus konsentrasi, memang ini bukan ide yang bagus. Seorang anak
manusia yang masuk ke dalam sungai glester dalam waktu setengah jam bisa
terkena hypothermia. Tapi inilah yang aku lakukan. Dengan salamander
aku berusaha mengontrol suhu tubuhku. Tapi ini juga tak bisa berlangsung
lama. Karena aku sendiri yang tidak kuat.
Hari-hariku sebagai seorang creator dimulai. Aku lebih banyak membuat
objek dengan menggunakan elemen-elemen dan berlatih keras untuk itu. Apa
yang ada diimajinasiku maka itulah yang bisa aku buat. Seperti membuat
boneka salju dengan memerintahkan air dan udara. Lalu membuat bunga api
dengan memerintahkan salamander. Aku juga berlatih untuk bisa
menyembuhkan luka dengan elemen air. Membangun bangunan-bangunan dengan
elemen tanah. Membuat listrik dengan bantuan elemen listrik.
Dengan bantuan Michele aku makin dekat dengan para elemen. Dengan
serigala-serigala yang selalu bersamanya. Juga dengan
pepohonan-pepohonan, yang mana mereka bisa bicara juga denganku. Michele
cukup kagum denganku karena kemampuanku berbicara dengan alam melebihi
ekspetasi dirinya. Aku pun sekarang merasa lebih lembut, tapi lebih
keras, lebih kuat.
Michele pun mengajariku berkelahi. Dia mengajariku bagaimana caraku
bertarung dengan menggunakan elemen besi. Bagaimana bertarung dengan
menggunakan seluruh elemen. Hampir setiap hari aku mendapatkan ilmu
baru. Dan sampailah aku kepada sebuah pelajaran yang membuatku bisa
berkomunikasi dengan semua orang di seluruh dunia.
"Kamu ingin bisa berbicara dengan Maria?" tanyanya.
"Emang bisa?" tanyaku.
"Kalau memang bisa, apakah kamu mau bicara dengannya?"
"Tentu saja," kataku dengan wajah gembira.
"Kamu sebenarnya bisa melakukan ini. Kamu pernah dengar lagu yang
syairnya kurang lebih seperti ini, 'Wahai angin sampaikan cintaku
kepadanya'?"
"Hmm..mungkin."
"Kenapa kamu tak mita bantuan angin saja untuk bicara dengan kekasihmu itu?"
"Bisa?"
"Ayolah Ray, kamu seorang creator. Cobalah!"
Aku sekarang tak perlu lagi menggunakan kekuatanku hanya untuk bicara
dengan semua elemen. Aku pun bertanya kepada elemen angin. Apakah mereka
bisa membantuku. Mereka mendengarkanku. Mereka bisa membantuku.
"Angin, kabarkanlah kepada Maria, bahwa aku mencintai dia. Aku akan
kembali. Dan Maria kamu harus sehat, kamu jangan sakit. Aku akan bertemu
lagi denganmu wahai cintaku," kataku.
Beberapa elemen angin tampak saling berebut untuk mendapatkan mandat
dariku. Aku bisa melihat beberapa pusaran angin bertiup meninggalkanku.
"Seperti itu?" tanyaku.
"Iya, tampaknya mereka senang sekali," jawab Michele. "Selamat Ray. Kamu
sudah bisa masuk ke latihan berikutnya. Dan ini adalah latihan terakhir
untukmu."
******
"Ray, ini adalah ujian terakhir. Setelah ini sebagai seorang Mist ilmuku
sampai di sini untuk membimbingmu menjadi seorang Creator," ujar
Michele.
"Jadi, setelah ini....?"
"Iya, setelah ini kamu harus pergi dari tempat ini, kembali ke rumahmu.
Dan kamu siap menemui ibumu. Kamu sudah siap melakukan tugas terakhirmu
setelah ini."
Benarkah? Aku akan sangat merindukan tempat ini. Tempat yang sudah aku
tinggali selama kurang lebih tiga bulan. Selama itu pula aku sudah
bersahabat dengan banyak hal. Bersahabat dengan angin, sungai, api,
pepohonan, bebatuan. Rasanya waktu terlalu cepat untuk ini.
"Kamu siap?" tanya Michele.
"Aku siap," jawabku.
"Ikuti aku, kita akan pergi ke sebuah tempat," kata Michele.
Michele memejamkan matanya. Ia berbicara dengan sesuatu. Di kakinya aku
melihat sebuah percikan listrik. Dia berbicara dengan Spark nama elemen
listrik yang ada di alam ini. Dan aku melihat kilatan menjulang tinggi
ke langit namun membentuk sebuah lengkungan parabola ke suatu tempat
jauh di sana. Mau tak mau aku juga berbuat serupa. Ternyata Spark juga
berniat menolongku. Maka aku pun berjalan dengan elemen petir ini. ZAP!
aku sudah pergi jauh. Sebenarnya yang aku lihat adalah aku hanya
berjalan biasa di sebuah jembatan. Jembatan itu terbuat dari kilatan
cahaya listrik memanjang jauh ke depan. Di saat yang sama aku melihat
Michele, ia tersenyum kepadaku.
"Apa yang kamu rasakan Ray ketika semua yang ada di sekitarmu melambat?" tanyanya.
"Fantastis," jawabku.
"Kamu sekarang seribu kali lebih cepat dari apapun di dunia ini," katanya.
"Aku bisa merasakan itu," kataku.
Dalam waktu singkat kami sudah tiba di sebuah pulau. Di pulau ini ada
sebuah gunung berapi yang aktif. Michele tiba-tiba raut wajahnya
berubah.
"Di depan sana, kamu akan bertemu dengan banyak sekali makhluk-makhluk
yang tidak pernah engkau lihat sebelumnya. Tujuanmu cuma satu, temui dua
elemen yang berada di dalam gunung itu. Kalau kamu mujur, kamu akan
bertemu dengan keduanya. Tapi untuk bertemu dengan salah satu dari
keduanya tidak mudah. Yang pertama bernama Dark Matter, materi kegelapan
yang ada di dunia ini. Kalau kamu tidak kuat, maka dia akan menyerapmu.
Kalau kamu cukup beruntung maka kamu akan menjadi sahabatnya. Lalu
Void, aku yakin yang satu ini tidak mudah. Aku saja sampai sekarang
tidak bersahabat baik dengan Void. Dari seluruh elemen dialah yang
paling sombong, yang paling kuat dan yang paling menakutkan. Jika kamu
kembali dengan membawa dua elemen ini. Kamu lulus. Ingat-ingatlah apa
yang aku ajarkan kepadamu selama ini. Dan satu lagi. Jangan pernah putus
asa," Michele menasehatiku seolah-olah ini adalah saat-saat terakhir
kita bertemu.
"Baiklah, aku akan berjuang," kataku. Aku melakukan streching sejenak.
Pulau ini agak aneh. Bisa jadi juga tidak pernah ada di peta. Pulaunya
berada di kutub utara, tapi....kenapa seluruh tumbuhannya adalah
tumbuhan tropis?
Tanpa basa-basi lagi dan tanpa menunggu, aku segera pergi. Dan benar apa
yang dikatakan Michele. Baru beberapa puluh meter berlari di sini aku
langsung bertemu dengan sesosok makhluk besar matanya satu. Titan?? Ini
pulau apaan sih?
Raksasa bermata satu ini sudah menginjakkan kakinya seperti aku tidak
ada apa-apa baginya. Angin dan Air bekukan dia! Perintahku dan kusentuh
kaki Titan yang menginjakku itu. Tapi dia terlalu lambat. Aku saja bisa
dengan mudah menghindar dari injakan kakinya dengan bergeser dua langkah
ke kiri. Dan setelah aku sentuh kakinya ia langsung membeku tak
bergerak. Baiklah aku baru tahu kalau makhluk raksasa yang bernama Titan
itu emang ada. Aku sempat shock.
Aku makin masuk ke dalam pulau dan kali ini aku bisa melihat
monyet-monyet bergelantungan dengan posisi yang aneh. Tangan mereka?
Iya, tangan mereka ada empat dan kakinya ada dua. Mereka tampak senang
melihatku dan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain mengiringi
perjalananku.
Tak berapa lama kemudian aku dihentikan lagi oleh makhluk yang besar,
tingginya dua kali tinggiku. Dan dia gemuk, besar, wajahnya jelek.
Tampak taringnya diperlihatkan kepadaku. Troll?? Ada juga makhluk
seperti ini? Kukira cuma dongeng saja. Trollnya tidak cuma satu. Aku
melihat lima Troll.
Baiklah, Troll terkenal dengan makhluk paling dungu dalam sejarah dan
dalam cerita-cerita fiksi. Kalau memang mereka sama dungunya, maka
mereka akan dengan mudah ditaklukkan. Satu Troll tampak menunjuk ke
arahku, ia memanggil teman-temannya. Mereka langsung mengerumuniku. Aku
berkelit untuk bisa lepas dari cengkraman mereka. Mereka berjibaku untuk
menangkapku. Aku berlari dan menyelinap di antara pepohonan, akar dan
semak belukar. Para Troll itu jelas bodoh. Mereka benar-benar bodoh.
Belum sempat terhenti keterkejutanku aku sudah disambut lagi dengan
burung-burung besar yang hampir saja aku ditangkap oleh mereka. Aku
berguling-guling di atas tanah bersembunyi di sela-sela pepohonan
sebelum kemudian pohon itu malah bergerak. Hah? Ini seperti Elk? Manusia
pohon. Aku bisa melihat wajahnya tampaknya tak senang aku ada di
atasnya. Aku langsung turun dan berguling. Aku bersiap-siap untuk
menghadapi kejutan selanjutnya. Tidak hanya satu Elk, puluhan Elk
tiba-tiba bangkit. Ini apa-apaan sih? Sepertinya satu pulau ini tidak
ingin bersahabat denganku.
Salamander, kamu dengar aku? Jadilah pedangku. Dari tanganku muncul
sebuah api yang bisa aku pegang, api itu membesar membentuk sebuah golok
atau pedang ya? Para Elk itu mulai menyambarkan dahan mereka ke arahku.
Aku berkelit. Aku mulai meyerang dengan pedang apiku, aku dengan mudah
memotong dahan dan kaki-kaki akar mereka. Mereka murka kepadaku, hanya
saja gerakannya sangat lambat. Aku bahkan sekarang sudah pergi lagi
menjauhi tempat itu.
There's too many surprise here.
Pulau itu benar-benar penuh makhluk yang tak pernah aku sangka
sebelumnya. Tapi pertanyaannya adalah kenapa hanya di hutan ini
makhluk-makhluk ini ada? Ataukah mereka terisolasi di sini?
Aku sudah di kaki gunung. Ada sesuatu yang mendesak tapi aku hanya bisa
merasakannya di dalam dada. Perasaan aneh pun mulai menyelimutiku,
seperti rasa takut yang luar biasa, gelap, jahat.
Aku mulai naik, cukup terjal jalannya. Hingga aku menemukan sebuah jalan
masuk ke dalam gunung. Jalan masuk ini seperti sebuah jalan yang emang
sudah dibangun. Aku melihat bebatuan tertata rapi di sana. Aku berusaha
mengusir rasa takut itu. BRUK! Di depanku ada makhluk yang cukup aneh
dan mengerikan.
Kepalanya seekor singa, mempunyai sayap, dan ekornya adalah seekor ular.
Makhluk apaan ini?? Dia mengaum. Air liurnya menetes seolah-olah
menandakan bahwa dia lapar. Aku diibaratkan adalah makan malamnya yang
sangat lezat. Kenapa aku sekarang jadi gemetar? Aku pernah melihat
makhluk ini sepertinya di dalam buku-buku yang aku baca. Dia mirip
Grifon, tapi bukan. Ahh..iya...dia mirip Chimera. Makhluk ini
membentangkan sayapnya seolah-olah tak mengijinkanku lewat. Tiba-tiba
dari kedua sayapnya muncul sebuah bola air. Heh? Dia elemental juga?
Tidak cukup satu tapi banyak. Makin lama makin banyak bola-bola air yang
melayang di sayap Chimera. Bola-bola air itu kemudian meluncur ke
arahku. Dengan cepat aku membuat pertahanan dari balok Es. SPLAASHHH!
Bola air itu mengenai balok esku dan langsung mencair. Ini bukan bola
air biasa. Ini asam! Sial. Aku mundur dan menghindari lemparan bola-bola
air lebih tepatnya bola-bola asam. Bagaimana bisa makhluk ini
mengeluarkan bola-bola asam? Apakah dia punya kombinasi agar
melakukannya? Kemudian dari ekornya yang berbentuk seekor ular itu juga
menembakkan sesuatu ke arahku. Argghhh....hampir saja, kalau aku tak
segera membuat pertahanan dari tanah. Iya, tanah memang yang paling kuat
untuk menghadapi serangan zat asam ini.
Aku berpikir sekarang. Mengingat semua pelajaran yang pernah diajarkan
oleh Michele. Aku adalah seorang Creator. Dan Creator bisa membuat
sesuatu dari gabungan semua unsur. Baiklah. Sepertinya aku tahu poinnya.
Seluruh bola-bola asam tadi sepertinya sudah ditembakkan oleh sang
Chimera.
Aku keluar dari persembunyianku. Makhluk itu masih menampakkan wajah
ketidak sukaannya kepadaku. Kepala singanya itu menyeringai lebar.
Kakinya dihentakkan di tanah, suara bedebumnya menggetarkan sekitar
tempat itu.
Aku sang Creator. Berarti aku bisa membuat baju tempur sendiri. Tanah,
baju tempur dari batu dan tanah akan bisa menahan cairan asamnya. Siapa
yang ada di bawah sana? Aku diberitahu namanya adalah Por. Ia dengan
senang hati membuatkanku baju tempur. Dengan sekejap tanah-tanah dan
bebatuan yang ada di dekatku mengerubungiku. Dan kini aku sudah punya
baju tempur. Walaupun terkesan aneh dengan bentuk baju tempur ini.
Listrik, apakah aku bisa memakaimu Spark? Dia bersedia. Aku akan gunakan
Spark untuk membuatku cepat bergerak. Api, air, angin, jadilah
senjataku.
Kalau dilihat sekarang aku ini seperti golem. Di tangan kananku ada
pedang es, di tangan kiriku ada pedang api. So, you wanna try?
Chimera kembali mengembangkan sayapnya, tapi kali ini tidak menyerang
melainkan terbang. What? Dia melesat ke udara. Aku menoleh ke atas. Dan
tiba-tiba dia sudah menghantamku. Ughh...Aku seperti terhempas oleh
kekuatannya yang besar. Dia masih melayang lagi, kali ini dia menyerang
lagi dengan bola-bola asamnya. Aku berlindung dengan baju tempurku.
Bisa, berhasil, aku tak terluka. Sekarang rasakan ini! Kuayunkan pedang
esku. Chimera tampak terkejut ketika melihat pedang esku bertambah
panjang dan panjang. Makhluk itu berkelit ketika pedang esku makin
mengejar dia. Pedang es yang aku bayangkan adalah, sesuatu yang tumbuh
dan bisa mengejar makhluk aneh ini. Dan pedang api, dia bisa mengejar
sang Chimera seperti peluru homing. Aku lemparkan pedang api itu. Sang
Chimera sekarang dikejar dua elemen, dia tak bisa menghindar dan dari
arah kanan dia menancap di glester-glester es yang tumbuh mengejarnya
tadi, dari sisi kiri ia dihantam oleh pedang apiku. Kudengar aumannya.
Auman terakhirnya sebelum ia jatuh ke tanah dengan tubuh yang sudah
hancur.
"Terima kasih kalian!" kataku kepada seluruh elemen yang membantuku. Aku pun melepaskan baju tempurku yang kelihatan norak itu.
Perjalanan aku lanjutkan. Kuikuti jalan tadi. Kini aku masuk ke dalam
sebuah gerbang. Gerbang ini tinggi. Mungkin ada kalau sepuluh meter.
Tinggi sekali. Memangnya siapa yang akan masuk ke tempat ini? Di
dalamnya ada bangunan-bangunan besar, yang dipahat. Ukiran-ukiran kuno
tampak menghiasi dinding dan beberapa bangunan itu. Iya, semuanya serba
tinggi tak ada yang seukuranku di sini. Aku terus berjalan hingga
bertemu dengan magma panas yang menyala-nyala. Aku sudah sampai di dalam
gunung? Trus? Apa yang harus aku lakukan di sini.
BUM! BUM! BUM! BUM! Ada sesuatu yang datang. Aku bersiaga. Ini seperti
langkah kaki. Dan, benar aku melihat raksasa. Dia besar, badannya kekar.
Tapi kepalanya adalah kepala kerbau. Di tangannya dia membawa sebuah
palu raksasa. Minotaur? Makhluk ini ada juga? Tapi ini tingginya sekitar
sembilan meter. Matanya yang berwarna gelap itu menyorot ke arahku.
"Siapa kamu wahai manusia lancang masuk ke mari?" tanyanya. Suaranya sangat berat dan mengerikan.
Tiba-tiba aku pun merasa takut. Takut bukan karena bentuk tubuhnya,
takut karena suaranya. Suaranya saja bisa bikin aku ketakutan?
Tidak-tidak soal memberi rasa takut, aku juga bisa. Aku tidak takut!
"Aku Ray, datang kemari karena ingin mencari Dark Matter," kataku.
"Dark Matter? HAHAHAHAHAHAHAHAHA!" suara tawanya menggema ke seluruh
ruangan. Magma yang ada di belakangku tampak meliuk-liuk ketika sang
Minotaur tertawa. Getarannya sampai masuk ke dalam dadaku.
"Apanya yang lucu?" kataku.
"Kamu apa tidak salah tempat? Di sini tidak ada Dark Matter. Selama
ribuan tahun aku tinggal di tempat ini tak pernah aku temui Dark
Matter," katanya.
"Oh ya? Tapi Michele tak pernah salah. Dia pasti memberitahukanku yang
benar. Di sini ada Dark Matter. Ini sudah di dalam gunung bukan?"
"Iya, ini di dalam gunung. Sudahlah tak ada yang bisa kamu cari di
tempat ini. Pergilah sebelum aku melumatmu dengan paluku," Minotaur
mengancamku.
"Tidak, aku tak akan pergi," kataku.
"Dasar manusia, sudah masuk tanpa permisi pakai keras kepala juga," katanya. "Baiklah rasakan ini!"
Palu besar itu mengayun dan menghantam tepat ke arahku. Aku berjalan
beberapa langkah ke samping, karena aku lihat gerakan makhluk ini sangat
lambat. Dan ketika kusadari Spark sudah bersamaku. Dan benar, gerakan
Minotaur sangat lambat. Aku bahkan bisa naik ke atas palunya dan
berjalan menelusuri lengannya dan sampai di atas pundaknya.
"Ba..bagaimana kamu bisa?" ia heran karena aku sudah ada di pundaknya.
Dengan tangan kirinya ia mencoba menepisku. Spark membantuku lagi. Kini
aku kembali turun ke bawah dan berada di hadapannya.
Aku bisa memberikan rasa takut kepada semua orang. Aku sekarang sudah
memberikan rasa takut kepada monster ini. Semua karena kemampuan elemen
yang sudah aku pelajari selama ini.
"Kamu...bagaimana kamu bisa melakukan itu?" tanya Minotaur dengan tubuh yang menggigil.
"Aku seorang Creator," jawabku singkat. Berikutnya aku menahan tubuhnya
dengan elemen tanah. Bebatuan dan tanah yang ada di bawahna naik dan
mengurung separuh badannya. Dan aku tutup sekalian dengan es. Aku pun
berpikir, dengan kekuatanku yang sekarang aku bisa membuat apa saja. Aku
hanya perlu berimajinasi. Aku hanya perlu bicara dengan banyak elemen.
Sang Minotaur merintih-rintih karena tak bisa bergerak. Berisik. Ku acungkan tanganku ke arahnya lalu kubekukan dia. Selesai.
Aku berjalan ke pinggir kawah. Apa yang bisa aku cari di sini? Mana Dark
Matter? Apakah ia ada di dalam kawah? Hahaha...bodoh banget kalau aku
harus terjun ke sana. Mau cari mati? Aku hanya bisa duduk di atas tanah.
Aku pejamkan mata. Pasti ada, pasti ada yang bisa aku lakukan. Aku
hanya perlu bicara. Bicara. Semua elemen menyapaku. Aku bisa rasakan
bagaimana para elemen menyambutku sang Creator. Dari magma, bebatuan,
air, udara. Semuanya menyambutku. Sepertinya mereka senang dengan
kehadiranku di tempat ini. Tapi...aku bisa merasakan satu..tidak. Dua!
ya, ada dua. Dua yang tidak menyapaku.
Sebuah elemen gelap. Sangat gelap. Dia berjalan mendekat. Tunggu,
bagaimana sebuah elemen bisa berjalan? Aku membuka mataku. Dan di
hadapanku ada sebuah bola berbentuk hitam. Bukan bola biasa. Seperti
kegelapan yang hitam pekat. Di dalamnya kulihat bintik-bintik kecil
berputar-putar mengelilingi permukaannya. Percikan-percikan listrik
kecil mengelilingi bola gelap itu.
"Ada apa kamu mencariku?" tanya bola gelap itu.
"Kamu Dark Matter? Kamu bisa bicara?"
"Baiklah, aku pergi," bola gelap itu menyingkir.
"Tunggu!" kataku. Ih ini bola sewot amat sih? Bola gelap itu kembali kepadaku.
"Ada apa? Kalau memang penting katakan saja kepadaku!"
"Aku butuh bantuanmu."
"Hmm?? Kamu butuh bantuanku? Bantuan apa?"
"Aku ingin menyelamatkan dunia. Ada sebuah kekuatan besar yang akan bangkit."
"Kekuatan besar? Siapa?"
"Azrael."
"Lagi? Azrael lagi? Aku dulu pernah dipegang oleh seorang elemental, tapi dia tak bisa mengalahkan Azrael."
"Tapi aku bukan seorang elemental, aku seorang Creator!"
Tak ada jawaban. Bola gelap itu mengelilingiku. Dia sepertinya ingin melihatku dari dekat.
"Creator?" katanya. "Aku belum pernah dipakai oleh seorang Creator
sebelumnya. Karena kebanyakan mereka sombong. Bahkan karena jengkel aku
pun membakar salah satu dari mereka."
"Jadi, apakah kamu bisa menolongku?"
Dia terdiam.
"Siapa namamu? Aku ingin tahu," kataku.
"Kenapa nama itu penting?" tanyanya.
"Setiap elemen yang bekerja sama denganku, aku tahu siapa nama-nama
mereka. Dan mereka suka dipanggil namanya. Katakan siapa namamu!"
kataku.
"Hmmm...namaku....Ares."
"Ares, kamu mau membantuku? Di sana ada orang-orang yang aku cintai
sedang dalam bahaya. Aku yakin dengan bantuanmu aku akan jadi lebih kuat
untuk melindungi mereka."
Ares terdiam lagi.
"Sial, kamu bikin aku malu. Baru kali ini ada yang memanggil namaku. Sigh...aku tak bisa menolaknya. Baiklah, hei Vivi! Kemari!"
Ares sepertinya memanggil seseorang. Dari kejauhan kulihat cahaya putih
mendekat dengan cepat. Mereka berdua seperti menggambarkan kegelapan dan
terang. Apa cahaya putih ini?
"Dia Void, namanya Vivi. Kami berdua tercipta sejak jutaan tahun yang
lalu. Sejak semuanya diciptakan, sejak benturan-benturan antar planet,
sejak terjadinya alam semesta kami sudah ada. Kami dua elemen yang tidak
pernah dipakai oleh seorang creator manapun dan tidak pula diinginkan
oleh siapapun. Aku sungguh tersentuh olehmu Ray. Aku melihat kemurnian
hatimu. Kami akan ikut membantumu. Dan kamu akan mendapatkan kekuatan
yang tidak pernah kamu sangka sebelumnya."
"Terima kasih Ares, Vivi," kataku.
"Ahhh...kamu bikin malu kami lagi," kata Ares.
Ternyata itu sebabnya Michele mengajarkanku untuk memanggil nama-nama
elemen. Karena mereka suka dipanggil dengan nama mereka. Dan kedua
elemen itu lalu masuk ke dalam tubuhku. Uggghh....rasanya ada yang
hangat ada yang dingin. Tubuhku jadi lebih bertenaga. Tiba-tiba rasanya
panas. Tapi dalam sekejap tubuhku menggigil. Apa ini??
"Bertahanlah sebentar Ray, tubuhmu sedang menyesuaikan diri dengan kami. Hai Salamander, kamu ada di dalam sini ya?" kata Ares.
Ares berbicara dengan seluruh elemen yang ada di dalam tubuhku. Rasanya
aku seperti dipingpong. Dan kudengar keriuhan suara mereka. Seperti
pasar, tidak seperti pasar bursa saham yang orang-orangnya
bersorak-sorai ketika harga saham mereka naik. Kemudian aku merasa mual.
Kukeluarkan isi perutku saat itu juga. Uggh...aku mencoba berdiri
sekarang.
Ada yang aneh. Aku makin ringan. Tubuhku makin ringan. Dan seluruh panca
indraku sangat sensitif. Aku pun bisa mengetahui ada apa saja di
sekitarku. Panca indraku seperti sebuah radar yang mendeteksi ribuan
macam jenis makhluk yang ada di sekitarku. Kucoba berlari lagi. DaSH!
Aku bergerak lebih cepat dari biasanya. Spark? Iya, dia membantuku. Dia
sudah membuat sebuah jalur listrik sehingga aku tinggal berjalan di
atasnya. Jembatan itu menuju ke tempat tepat di sebelah Michele. Aku
melihat Michele dan secepatnya aku berlari ke arahnya.
Michele tampak kagum kepadaku. Dia senang.
"Selamat datang kembali," katanya.
"Iya, aku berhasil," kataku.
"Aku bisa lihat itu. Kamu gunakan seluruh pelajaran yang sudah aku berikan," kata Michele.
Aku melihat tubuhnya tiba-tiba berubah. Kulitnya tiba-tiba mengeriput.
"Michele? Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Kekuatan Mist melemah apabila terlalu lama di luar salju. Aku belum
mengatakannya kepadamu ya?" kata Michele. Rambutnya kini tiba-tiba
memutih dan ia dalam sekejap menjadi nenek-nenek.
"Ayo, aku akan menggendongmu. Kita akan kembali," kataku. Kugendong
Michele. Dan dengan bantuan Spark, aku kembali lagi ke Syberia.
Setelah sampai ke Syberia, tubuh Michele seperti mendapatkan energi
baru. Ia kembali lagi menjadi Michele yang sebelumnya. Seorang gadis
muda yang cantik.
"Jadi, ini alasannya kamu tidak pergi dari Syberia?" tanyaku.
"Iya, salah satu di antaranya adalah ini," ia tersenyum kepadaku.
"Jadi....setelah ini aku harus pergi?"
"Iya, kamu sudah dapatkan semua pelajaranku. Kamu sudah siap menghadapi
Azrael. Aku hanya bisa melihatmu dari sini," katanya. Ia mengusap rambut
dan pipiku.
"Aku...tak tahu harus bagaimana, bagaimana caraku berterima kasih?"
"Selamatkan dunia ini. Itu sudah cukup bagiku."
Aku langsung memeluknya. Ia menepuk-nepuk punggungku. Aku lalu menatap
wajahnya. Wajah ini akan aku rindukan. Pengetahuannya, pengajarannya,
kebijaksanaan dari seorang guru. Aku tak akan melupakannya. Dan sebagai
hadiah aku berikan ciumanku kepadanya. Ciuman yang dalam dan lembut.
Michele tidak menolaknya. Ia bahkan merangkulku. Setelah ciuman itu.
Kening kami bertemu. Ia masih mencari bibirku. Dan menciumku lagi
beberapa kali. Setelah itu, hanya kepulan uap air yang keluar dari kedua
mulut kami.
"Ray...jangan, kamu punya Maria," katanya.
"Aku tahu," kataku.
"Aku juga sudah tua, kamu lihat sendiri tubuh asliku seperti apa," katanya.
"Aku tahu, anggap saja ini hadiah dariku," kataku.
"Ray....," aku menciumnya lagi. Kali ini kuhisap salivanya. "Ray...hhmmmhh...."
Aku melepaskan baju tebal Michele. Ia menatapku sayu, sebagai seorang
wanita ia juga pasti merasakan birahi. Selama ini aku adalah
satu-satunya lelaki yang ia lihat. Satu-satunya lelaki yang bersamanya
hingga saat ini.
"Ray,..aku tak pernah disentuh lelaki sebelumnya," kata Michele.
Kucium lehernya. Tubuhnya dingin, tapi aku sudah biasa merasakan dingin,
bahkan kini tubuhnya menghangat. Michele, ini hadiah dariku, terimalah.
Aku buka pakaianku, hingga kini aku bertelanjang dada. Michele mengusap
dadaku, menciumi dadaku. Aku melucuti baju terakhir yang melekat di
tubuhnya. Dia benar-benar terlihat seperti gadis abege, tubuhnya polos
tak ada bulu.
Aku kemudian rebahkan dia di atas salju. Michele menatapku lekat-lekat.
Kembali kucium dia. Tangannya merangkulku, tubuh kami sudah tak
berbusana sehelai benang pun. Aku memerintahkan salju untuk menutupi
kami, sehingga sekarang aku seperti ditutupi oleh sebuah kubah. Hawa
dingin ini membuatku makin erat memeluk Michele.
"Rayy....ohhh...," Michele begidik ketika kusentuh telinganya.
Lidahku menjelejahi leher jenjangnya, lalu turun ke buah dadanya yang
sekal. Kuhisapi putingnya. Michele makin erat memelukku. Buah dadanya
kuciumi, kucupangi. Aku pun memijat-mijatnya, kuremas, dan kurengkuh
buah dada yang belum pernah disentuh lelaki ini. Berkali-kali Michele
memanggil namaku. Puas sekali aku mengelamuti dadanya itu. Benar-benar
seperti perawan.
"Ray...masukkan saja," katanya. "Kalau kamu yakin memberikan ini kepadaku. Masukkanlah!"
Aku mengangguk. Kuciumi dia lagi. Entah apakah nanti akan sempit atau
tidak ketika kemaluanku masuk ke sana. Aku gesekkan kepala pionku di
bibir kemaluan Michele. Ia sangat basah. Dia tadi benar-benar terangsang
oleh perlakuanku. Perlahan-lahan aku mendorong pinggangku ke depan.
"RRrraaayyyyyy......aaahhhkk!" pekiknya.
"Sakit?" tanyaku.
Ia mengangguk. "Tapi teruskan. Ray..teruskan!"
Aku tarik dan aku tekan lagi. Separuh mulai masuk.
"Raay...sakiitt...ehhhmm."
Aku tarik perlahan dan kudorong ke depan lagi.
"Aaahhhkk...Ray...aahh...aaahh....!"
Michele memelukku erat. Bersamaan dengan itu pinggulnya gemetar.
Kemaluanku serasa dijepit. Liang senggamanya menyiramkan kehangatan. Aku
seperti disedot-sedot oleh vacum. Kini seluruh kemaluanku masuk
sepenuhnya. Efek ektasi yang aku rasakan dari peristiwa ini sungguh tak
bisa aku bayangkan. Michele, inilah hadiah dariku. Aku pertama kali
masuk ke seorang wanita. Dan engkau adalah yang pertama. Kita sama-sama
pertama. Aku tahu setelah ini mungkin aku tak akan lagi bertemu
dengannya. Paling tidak inilah hadiahku yang paling berharga untuknya.
Aku tak bisa mencintai Michele. Bahkan hidup bersamanya juga tak
mungkin. Cintaku hanya kepada Maria. Michele adalah seorang Mist, tak
mungkin ia tinggal di luar tempat ini. Begitu juga aku, tak mungkin aku
selamanya tinggal di sini. Michele, mungkin setelah ini kita akan
sama-sama bersedih, tapi inilah yang terjadi. Jangan pikirkan dulu apa
yang akan terjadi ke depan. Rasakanlah sejenak apa yang bisa aku berikan
sekarang.
Aku mulai menggoyangkan pantatku. Michele mengeluh, ia sudah tak
merasakan sakit lagi. Dia mungkin menahan rasa sakit itu. Matanya
terpejam dan kami berciuman. Ciuman yang hangat. Aku bisa merasakan
kehangatan menjalar di tubuh kami. Gesekan itu membuat tubhu kami makin
hangat. Kemaluanku serasa ingin copot rasanya merasakan betapa sempitnya
rongga kemaluan sang wanita Mist ini. Aku tak kuat, terlalu nikmat,
terlalu enak. Ujung kemaluanku sepertinya mentok menyentuh rahimnya.
Ahh...aku akan keluar.
"Ray, jangan keluarkan di dalam!" katanya.
"Tak apa-apa, aku akan keluarkan di dalam," kataku.
"Tidak Ray, aku bisa hamil."
"Kalau misalnya hamil, jagalah anak kita. Ini adalah hadiahku untukmu."
"Ray, kamu sudah punya Maria. Harusnya kamu berikan ini untuk Maria."
"Maafkan aku Michele, terima kasih atas segalanya."
Aku makin cepat bergoyang. Aku sudah mentok, tak bisa lagi kutahan.
Michele makin erat memelukku. Dada kami makin berhimpit. Kaki Michele
makin dirapatkan, kemaluanku serasa dijepit kuat. Hinggaa....CROOOOTTTT!
keluarlah seluruh yang tertahan selama ini. Michele melenguh dan
menciumku. Kami berdua sama-sama orgasme. Kemaluanku terus berkedut di
dalam rahimnya. Agaknya sperma yang aku keluarkan ini sangat banyak. Aku
tak mencabutnya, kubiarkan batangku mengecil dengan sendirinya. Aku
lalu berguling ke samping Michele. Tubuhnya terlentang, lemas.
Entah apa yang baru saja aku lakukan. Tapi aku melihat keteduhan di
wajah Michele. Guruku, yang mengajariku semuanya, kini tenggelam dalam
kenikmatan orgasme. Aku bangkit dan kulihat dari lubang kemaluannya
keluar cairan putih yang menggumpal. Dan di bawahnya ada sebercak darah
segar. Aku baru saja memerawaninya. Michele tertidur. Salju adalah
kekuatannya, ia tak akan kedinginan di salju ini. Kuusap rambutnya.
Kuberikan ciuman terakhirku sebelum aku memakai bajuku. Aku
menggendongnya. Kuselimuti tubuhnya dengan bajunya, lalu kubawa ke
pondok.
Ketika kuturunkan di atas sofa. Dia terbangun.
"Aku akan merindukanmu Ray," katanya.
Aku mengusap perutnya, "Jagalah anak kita kalau memang jadi. Aku tak
tahu apakah aku akan kembali atau tidak. Aku harus kembali kepada
Maria."
"Aku tahu, terima kasih Ray," katanya.
"Tidak, akulah yang harus berterima kasih," kataku. Kucium kedua pipinya. Bibir dan keningnya. "Sampai jumpa guruku."
BAB XXVI
Elemental vs Elemental
NARASI ANDRE
Aku dan Puri berada di tempat Alex. Kami membahas tentang apa yang
terjadi beberapa hari yang lalu. Kalau para aparat bisa membantu ATFIP
sepeti itu, mengorbankan orang-orang yang tidak berdosa. Maka tinggal
menunggu waktu saja hingga itu terjadi kepada para elemental ini.
Mungkin memang ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Puri. Mungkin
karena rasa jengkelku kepada Maria, mungkin juga karena aku ingin
pelarian, aku jadi makin dekat dengan Puri. Dia memang memperlakukanku
dengan khusus, lebih tepatnya sangat spesial. Mungkin ibarat gayung
bersambut, aku pun tidak menolak perlakuannya. Gila apa? Udah ngasih
keperawanannya buat aku. Aku jadi nggak enak. Tapi berkali-kali ia
mengatakan bahwa ia sadar aku masih suka ama Maria.
Dan ada kejutan khusus hari itu. Aku mengajak Detektif Johan dan
Inspektur James ke tempat Alex. Ada yang ingin diberitahukan oleh
Inspektur James. Kedantangan keduanya tentu saja membuat para elemental
sedikit terkejut. Tapi mereka harus mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi.
Tempat Alex ini merupakan sebuah gedung tua yang tidak terurus. Tapi
karena para elemental tinggal di sini, akhirnya tempat ini pun sedikit
terawat. Inspektur James tampak tertarik dengan para elemental itu,
mungkin karena dia baru saja melihat hal ini. Atau mungkin saja tidak.
"Yo, detektif?! Apa kabar?" sapa Alex. Ia memang sedikit ugal-ugalan.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian?" tanya Detektif Johan balik.
"Seperti yang kalian ketahui, kita siap perang," ujar Alex.
"Inspektur James ingin menyampaikan sesuatu," kata Detektif Johan.
"Hmm??" Alex menoleh ke pria berkumis yang ada di samping Detektif Johan.
"Ada apa inspektur?" tanya Alex.
"Mungkin kalian sudah tahu bahwa selama ini ATFIP disusupi oleh Dark
Lantern. Sebuah sekte yang katanya sebagai pembawa kabar dari Mesiah.
Dan mereka berusaha untuk menghabisi para elemental. Sebenarnya
persoalannya tidak seperti itu, tapi lebih rumit," kata Inspektur James.
"Kami mendengarkannya inspektur," kata Alex.
"Ada sebuah ajaran bahwasannya barangsiapa yang bisa menumpahkan darah
di lima titik yang terbentuk dengan pentagram, maka dia bisa memanggil
Iblis. Itulah yang terjadi sekarang. Kalian memang tak pernah tahu atau
memang tahu tapi tidak mengerti, tapi itulah yang terjadi. Dulu ada 8
Miles. Di mana di sana ada pembantaian yang dilakukan oleh Dark Lantern
dengan berkedok untuk menghabisi para elemental. Tapi sebenarnya tidak
demikian. Yang terjadi justru para elemental berusaha melindungi
orang-orang yang tidak bersalah. Namun mereka semuanya dibantai dengan
sadis oleh Dark Lantern. Peristiwa itu dikenal dengan nama 8 Miles.
Polisi menandai kasus ini sebagai kasus yang tidak terpecahkan, karena
tak ada saksi mata, tak ada barang bukti, karena tiba-tiba satu
apartemen telah dibantai semua. Tidak tua, juga tidak muda, bahkan
anak-anak tewas di tempat ini.
"Peristiwa berikutnya adalah di titik kedua, kejadiannya sama persis
seperti 8 Miles. Kami menyebutnya 8 Miles kedua. Semuanya sama persis
korbannya pun sama. Dan kejadian ketiga memang tidak melibatkan para
elemental secara langsung, tetapi tetap sama adanya pertumpahan darah.
Kejadian keempat yaitu teman kalian, berkedok penggerebekan terhadap
teroris, kalian secara tak langsung terlibat di sana. Pertumpahan darah
terakhir terjadi baru-baru saja. Itu adalah titik terakhir sebelum
mereka akan menyambut sang Iblis."
"Jadi maksudmu Dark Lantern adalah kelompok yang ingin membangkitkan Iblis?" potong Alex.
"Dari semua peristiwa ini sebuah syarat yang harus dilakukan oleh Dark
Lantern adalah mengorbankan anggotanya paling tidak lima anggota agar
pesta darah itu bisa diterima oleh sang Iblis Azrael. Dulu kalian, para
elemental yang berjuang mengurung sang Iblis. Namun sekarang sejarah
adalah milik orang yang menang. Mereka sekarang di atas kemenangan.
Karena itu mereka akan menggunakan momen ini untuk memuluskan maksud
mereka memanggil sang Iblis, Azrael.
"Hari ini aku akan memperkenalkan kalian kepada orang yang disebut
sebagai ibu dari semua elemental. Dia adalah Lili van Bosch seorang
Balancer. Lilis, keluarlah!" kata Inspektur James.
Dari bawah bangunan, kami melihat seseorang wanita berambut panjang,
bahkan sampai menyentuh lututnya. Wanita itu bermata teduh, wajahnya
sangat cantik, gaunnya panjang sampai ia seret. Diakah wanita yang
muncul waktu itu?
"Wanita itu...aku bisa merasakannya, dia yang kemarin datang melawan Robert," kata Puri. Ia tiba-tiba saja menangis. Kenapa?
"Puri? kenapa kamu menangis?" tanyaku.
"Entahlah, tiba-tiba saja aku menangis, seolah-olah ada rasa kerinduan di dalam dadaku," jawab Puri.
"Anak-anakku, semoga kalian selalu diberkati," kata Balancer.
"Ke..kenapa aku menangis?" kata Alex.
Semua para elemental yang ada di ruangan itu juga ikut menangis.
"Aku adalah Lili van Bosch, seorang Balancer. Akulah yang memberikan
kekuatan elemental itu kepada kalian ketika kalian masih bayi. Aku
memberkati kepada kalian semua kekuatan itu agar kalian bisa bersatu
saat ini untuk mengalahkan Azrael. Aku terlambat untuk muncul, bukan
berarti aku tak ingin menolong kalian, tapi aku ingin kalian lebih kuat
lagi ketika bertemu denganku. Sekarang adalah saat yang tepat," kata
Balancer.
"James, kamu tak pernah bicarakan tentang hal ini," kata Detektif Johan.
"Ada banyak hal yang tidak bisa aku jelaskan Piere," kata Inspektur James.
"Anak-anakku, aku sangat senang sekali bisa bertemu dengan kalian sekarang ini. Alex, kemarilah nak!" kata Balancer.
Alex entah kenapa ia menangis dan langsung memeluk Balancer, "Ibuuuu....huaaaaaaaa...!"
Dan kemudian diikuti oleh para elemental lainnya. Balancer menyapa
mereka satu per satu. Puri juga ikut-ikutan, ada sebuah ikatan aneh di
antara Balancer dan para elemental ini yang tidak bisa aku jelaskan.
Tapi sungguh ini adalah pemandangan teraneh yang pernah aku lihat seumur
hidupku.
****
Balancer menjelaskan kepada kami bahwa kurang lebih seminggu lagi saat
planet-planet dan satelit-satelit sejajar saat itulah dimulainya
kebangkitan Azrael. Kami semua sekarang seperti bersiap untuk berperang.
Banyak dari kami berlatih, dan Balancer mengajari semua elemental untuk
menggunakan kekuatan elemental mereka secara maksimal. Puri pun
sekarang lebih kuat dari sebelumnya. Alex juga, aku bisa merasakan
kekuatan mereka. Dan aku?
Aku cukup tertarik dengan sarung tangan yang robet pakai kemarin itu.
Aku akhirnya mencoba membentuk sarung tangan sendiri seperti Robert.
Kuutak-atik tongkat jolt yang aku bawa dari tangan orang-orang ATFIP
itu, dan aku modif sendiri. Sekarang bentuknya aku modif seperti gelang
agar aku lebih mudah untuk menggunakan kekuatan elementalnya.
Hari itu perasaanku tidak enak, seolah-olah akan terjadi sesuatu.
"Kita pergi yuk," ajak Puri.
"Kemana?" tanyaku.
"Kemana kek gitu, agak bosan aja di sini," jawabnya.
Aku setuju. Kami pun akhirnya jalan-jalan keluar dari gedung. Kami
menyusuri halaman apartemen yang sudah tak terpakai itu. Halamannya
cukup luas, tapi sudah ditumbuhi semak belukar dan ilalang. Beberapa
orang elemental tampak sedang berlatih di luar gedung.
"Kamu kenapa sih?" tanya Puri. "Koq kaya'nya wajahnya suntuk?"
"Perasaanku nggak enak Pur," jawabku.
Puri mengangguk-angguk, "Aku juga. Sepertinya akan ada sesuatu yang datang."
Aku menggandeng tangannya sekarang. Puri tersenyum saja.
"Ndre, kamu punya wasiat nggak?" tanyanya.
"Wasiat?"
"Yah, kalau misalnya kamu tidak selamat dalam pertempuran terakhir kita nanti."
"Hmm...apa ya, mungkin wasiatku aku ingin minta maaf kepada ayah dan ibuku, karena aku terkadang membuat mereka susah."
"Itu saja?"
"Mungkin yang lainnya aku ingin bilang kalau aku suka ama Maria."
"Hmm..., kamu masih ada perasaan ama Maria?"
"Ya iyalah."
"Setelah semua yang dia lakukan kepadamu?"
Aku mengangguk.
"Setelah apa yang sudah kita lakukan?"
"I..itu..., soal lain."
"Dan yang kamu lakukan selama ini ke aku? Kamu masih mengingkarinya?"
"Mengingkari apa sih?" aku tak mengerti.
"Kenapa kamu menolongku waktu itu? Kenapa kita bercinta malam itu? Kenapa kamu memegang tanganku sekarang?"
Aku kaget dan melepaskan tangannya. Puri langsung memelukku.
"Sudahlah Ndre, fahamilah kalau kamu sekarang ini menyukaiku. Iya bukan?
Karena aku sekarang ini merasakannya. Rasanya di dadaku sesak Ndre.
Mungkin ini juga yang dirasakan oleh Maria kepada Ray sekarang.
Ndre...jangan pergi pliiss."
Aku tak tahu harus berbuat apa. Puri sangat erat memelukku sekarang ini.
Memang sih, ada yang aneh. Aku kenapa dulu menolong dia? Kenapa juga
aku bisa bercinta dengan dia. Dan kenapa aku reflek memegang tangannya.
Apa memang aku sekarang sudah menyukainya?
"Aku...mencintaimu Puri," kataku sambil membalas pelukannya.
"Aku juga Ndre, aku juga," katanya.
Kami berciuman hari itu, sungguh aku tak pernah merasakan ciuman seperti
ini sebelumnya. Walaupun aku pernah berciuman dengan Maria, tapi tidak
pernah sedalam ini, tidak pernah selembut ini. Rasanya nikmat, tak bisa
aku lukiskan dengan kata-kata. Bahkan rasanya manis. Apakah ini karena
kami sama-sama mencintai?
NARASI MARIA
"Maria, aku akan pulang," terdengar suaranya Ray.
"Iya Ray, aku tahu," kataku.
Semenjak sebulan terakhir ini aku mendengar bisikan Ray. Aku yakin itu
Ray. Suaranya sangat jelas. Mungkin orang-orang mengira aku
berhalusinasi, tidak ayahku, tidak juga Andre, sama saja semuanya. Tapi
aku benar-benar mendengarnya. Sangat jelas.
"Maria, kemarilah. Aku datang," kata suara Ray lagi.
"Iya Ray, aku ke sana!" aku pun berlari. Mengejar suara Ray. Aku tahu itu dia, dia datang.
NARASI ANDRE
Kami semua mendengar keributan di luar sana. Segera aku, Puri, Alex dan
Tim keluar, juga bersama beberapa elemental lainnya. Kami mendapati lima
orang berseragam ATFIP sedang berdiri di depan apartemen. Apa yang
terjadi? Mereka tak membawa tongkat Jolt, ataupun sarung tangan Jolt.
Tapi aku melihat salah seorang dari mereka bisa memainkan bebatuan
melayang-layang di tangannya.
"Siapa kalian?" tanya Alex.
"Kami dari ATFIP, namaku Fei," kata orang pertama.
"Namaku Black," kata orang kedua.
"Namaku Yuzak," kata orang ketiga yang bermain-main dengan batunya.
"Namaku Elena," kata orang keempat dia satu-satunya cewek.
"Namaku Mark," kata orang terakhir.
"Oh, dari ATFIP, punya nyali juga kalian hanya mengirim lima orang kemari," kata Alex.
"Sebenarnya kami tim penyapu ranjau. Anggap saja kami ini orang yang
bekerja di balik layar. Tim berikutnya seolah-olah yang akan jadi
pahlawan," kata Fei.
"Kalian ini tak memakai Jolt, apakah kalian elemental?" tanyaku.
"Wah wah, tepat sekali. Kamu siapa?" kata Black.
"Aku Andre," jawabku.
"Elemental? Elemental katamu? Bagaimana mungkin elemental bisa bergabung dengan ATFIP?? Kalian jangan bercanda!" kata Alex.
"Apakah ini tidak cukup?" tanya Black. Ia mengeluarkan kabut gelap di telapak tangan kanannya. "Elemenku adalah kegelapan."
"Lex, mereka sungguh-sungguh," kataku.
"Aku Fei, elemenku api," kata Fei. Dia mengibaskan tangannya, seketika
itu juga di depannya langsung menyala kobaran api yang besar.
"Aku Elena, elemenku cahaya. Kalian tak akan bisa mengalahkan kami. Bersiaplah menemui ajal," ujar Elena.
Tanpa disangka-sangka sebelumnya kelima orang ini pun akhirnya
mengeluarkan kekuatan elementalnya untuk menyerang kami. "Whoaaa!"
Puri dan aku langsung menghindar ketika sebuah bola batu raksasa
melayang ke arah kami. BLAAR! Suaranya membuat gaduh semua orang. Alex
sudah melompat ke udara dengan elemental anginnya. Aku memasang dua
gelang Joltku di lengan. Elemen tanah dan air. Apa yang akan terjadi
kalau aku memakai keduanya? Siapa tahu?
Tanpa disangka, di udara sudah ada orang di sana. Itu Mark. Ternyata dia
memiliki elemen petir, karena aku bisa melihat kilatan cahaya listrik
dari lompatan kakinya. Alex langsung disambut dengan pukulan keras ke
perutnya. Pemuda bertato itu pun terpental menghantam tembok apartemen
hingga remuklah tembok yang menahannya. Aku bingung sekarang harus
melawan siapa. Puri menarikku, dia sekarang berhadapan dengan Fei.
Oh baiklah, ini lawan yang tepat sepertinya.
"Dua orang melawan satu, tak masalah," kata Fei.
Karena dia berelemen api, maka kelemahannya sudah pasti air. Aku sudah
menyerap air dengan gelang Jolt di tangan kiriku. Kuputar-putar air itu
hingga membentuk piringan yang siap menghantam siapa saja.
Fei mengulurkan tangannya dan membentuk beberapa bola api, kemudian
melemparkannya kepada kami. Puri membentuk blokade dengan elemen
tanahnya, aku menyerang Fei dengan elemen air. Piringan air itu pun
bertabrakan dengan bola-bola api milik Fei, tapi bola-bola api itu lebih
kuat. Aku hampir saja kena kalau saja tidak tanggap membuat perisai
dengan tangan kananku yang punya elemen tanah. Sigh!
Puri melayang dengan tanah yang dia buat pijakan sekarang. Dia terbang
dengan platform tanah itu ke arah Fei sambil menembakkan peluru-peluru
dari kerikil ke arah Fei. Pemuda berelemen api itu menghirup nafas
dalam-dalam. Nggak mungkin, emang bisa? Ya, tentu saja dia bukan seorang
elemental biasa, dengan mulutnya ia menyemburkan nafas api yang sangat
besar. Puri hampir saja terpanggang kalau saja aku tidak cepat tanggap
menutupi tubuhnya dengan air. Alhasil, Puri terjatuh, segera ia
kutangkap. HUP!
Wajah kami saling bertatapan untuk sesaat. Ia tersenyum kepadaku.
Mungkin, saat itu boleh dibilang sesuatu yang paling romantis yang
pernah aku lakukan kepada seorang cewek. Tapi, kami tak boleh
bermelankolis ria. Itu di depan kami ada musuh. Segera Puri berdiri dan
siap dengan elementalnya.
"Ndre, musuh kita ini bukan elemental biasa. Elementalnya lebih kuat. Bahkan mungkin Tim bukan apa-apanya," kata Puri.
"Aku bisa melihat itu," kataku.
"Ndre, tolong ulur waktu. Aku ada rencana!" kata Puri.
"Maksudnya melindungimu? Oke."
Fei berlari menuju ke arahku. Aku sudah bersiaga kalau-kalau ia akan
mengeluarkan elemen apinya, ternyata aku keliru. Dia memukulku tanpa
elemen apinya. Hah? DUESSH! Ughh..rahangku serasa mau copot. Keras
sekali pukulannya. Kemudian perutku ditendangnya. Serangan ketiga
sikunya menghantam pelipisku. Aku langsung ambruk ke tanah. Gila, apa
orang ini jago kung fu juga? Pelipisku nyut-nyutan. Aku merabanya,
beneran ini darah. Dia nggak cuma jago elemental tapi juga jago kung fu!
Wadehel?
Puri sekarang yang diserang. Fei menghantamkan sikunya ke dada Puri.
Puri mundur ke belakang namun tangannya ditarik lagi dan sebuah hantaman
uppercut keras ke rahangnya membuat Puri harus ambruk ke tanah. Gila
ini orang, nggak sadar apa yang dihajarnya itu cewek?
Emosi? Ya jelaslah. Itu cewek gua woi!
Aku sudah tak menghiraukan rasa sakit. Segera aku bangkit dan melempar
batu ke arah Fei. Tanpa menoleh ke arahku, Fei memukul batu yang aku
lempar hingga hancur. Hah? Dia menoleh ke arahku dan dengan jurus kung
fu-nya dia menendangku. Aku bisa menghindar, tapi kaki yang satunya
meluncur ke perutku. Dengkulnya sukses menghantam perutku lagi. Aku lalu
menggerakkan tangan kananku untuk mengunci kakinya dengan kekuatan
elemen tanah. Fei terjerembab. Dan sebuah batu melayang menghantam
pipinya. DUASSHH!
Puri mengendalikan elemen tanah sambil sempoyongan.
"Arghh...aku bilang melindungiku, malah aku kena. Gimana sih?" katanya.
"Sorry, habis dia jago kung fu!" kataku. Aku masih meringis kesakitan.
"Hajar saja udah, kalau yang seperti ini susah berpikir strategi."
Puri membersihkan bibirnya yang berdarah. Di depan tampak Fei sudah
bangun lagi. Tiba-tiba dari bawah kakinya muncul api. Eh, mau apa dia?
Belum sempat aku berpikir dan bersiap ia sudah melesat ke arahku dan
menghadiahkan lututnya ke wajahku. Uh, sakit! Aku salto terkena hantaman
lutut si Fei ini. Kuat sekali dia.
Setelah itu aku merasa dunia ini berputar-putar. Pusing sekali kepalaku.
Entah apa yang terjadi, yang jelas aku hanya bisa mendengar dentuman
tanah, suara listrik, kobaran api dan entah suara apa lagi. Pusing
sekali soalnya. Aku perlu memulihkan diri beberapa saat hingga
pandanganku bisa fokus. Dan aku agak terkejut ketika melihat banyak para
elemental melawan lima orang elemental itu. Ternyata pertempurannya
sudah dimulai.
Aku hanya bisa melihat pertarungan ini. Puri tampak dibantu oleh
teman-temannya untuk menghadapi Fei. Si Fei ini cukup tangguh, dia
bahkan mampu melawan enam orang sekaligus, bahkan ia sedikit sekali
menggunakan elemen apinya. Sementara itu Alex dibantu oleh
rekan-rekannya melawan Mark dengan kekuatan petirnya. Tapi ia tak bisa
berbuat banyak karena kecepatan Mark sangat cepat. Dan Yuzak, orang ini
lebih gila. Dia bisa membentuk sebuah tangan raksasa dan menghantamkan
tangan raksasa itu ke lawan-lawannya seperti mengayunkan raket tenis.
Beberapa elemental yang dihantam tampak terluka parah. Dan orang ini
tertawa ketika melihat itu.
Elena dan Black, keduanya tampak hanya duduk bersantai sambil menikmati
pertarungan yang tersaji. Apa? Kenapa mereka tak bertarung. Salah
seorang elemental mencoba menyerangnya dan Black hanya menjentikkan
jarinya ke arah elemental itu dan aneh, sang elemental itu tiba-tiba
terjatuh. Ia meraung-raung memegangi matanya. Kenapa? Apa yang terjadi?
sang elemental itu meraba-raba sekarang seolah-olah ia tak bisa melihat.
Hah? Memangnya ada kemampuan seperti itu?
Dan, sesuatu yang tak kuduga terjadi. Di saat semuanya sibuk bertarung...tiba-tiba ada Maria di sana. Dia ...kenapa ada di sini?
"Ray?! Aku di sini Ray! Kamu di mana?!" kata Maria. Kenapa dia manggil-manggil Ray?
"Hoi cewek! Ngapain lo ada di sini??!" seru Alex. "Pergi! Ini bukan tempatmu!"
"MARIA PERGI!" seruku.
"MARIA! Jangan di situ!" seru sebuah suara. Itu Detektif Johan yang melihat pertarungan kami dari atas.
Lima orang elemental tadi menoleh ke arah Maria, terutama Black dan
Elena. Mereka sepertinya ingin melukai Maria. Yuzak sudah bersiap dengan
tangan raksasanya akan menghantam Maria.
"Celaka! Maria! Menghindar!" seru Balancer.
Sang Balancer tampak terkejut, dengan kekuatannya ia membentuk baju besi
ke seluruh tubuhnya dan pergi ke arah Maria. Alex dengan kecepatan
anginnya berusaha melindungi Maria. Puri juga membentuk tanah
perlindungan ke sekeliling Maria. Sekarang hampir seluruh orang berusaha
melindungi Maria. Tidak, sudah terlambat. Maria! TIDAAAAAKKKKK!
BAB XXVII
Hello My Love
NARASI ALEX
ZRRRTTT! ZRRTTT! suara elemen petir di kaki Mark.
Gerakan orang yang bernama Mark ini sungguh cepat. Dia berelemen petir,
tentu saja. Dengan gerakan kilatnya ia menghempaskanku ke dinding
apartemen. Sialan. Bertubi-tubi pukulannya mengenai tubuhku. Beberapa
orang membantuku seperti Tim. Tapi sama saja, dengan tubuhnya yang kecil
dia jadi bulan-bulanan, belum sempat mengeluarkan apinya ia sudah
dihajar sampai tidak bisa berdiri.
Dan, aku melihat pemandangan yang tidak biasa. Seorang cewek yang tak
asing ada di tengah pertarungan ini. Maria?? Ceweknya Ray. Ngapain dia
ada di sini??
"Ray?! Aku di sini Ray! Kamu di mana?!" kata Maria. Eh??? Di mana Ray??
"Hoi cewek! Ngapain lo ada di sini??!" seruku. "Pergi! Ini bukan tempatmu!"
"MARIA PERGI!" seru Andre yang kelihatannya masih sulit berdiri akibat dihajar oleh Fei.
"MARIA! Jangan di situ!" kulihat Detektif Johan berteriak dari atas gedung.
Yuzak menoleh ke arah Maria. Tidak, apa yang akan kamu lakukan brengsek?
Dia tak bisa bertarung. Yuzak dengan tangan raksasanya mencoba
menghantam Maria. Dia mengayunkan tangan raksasanya itu ke arah Maria.
Ibu kami sang Balancer pun turun dengan baju besinya. Mencoba
menyelamatkan Maria. Arrggh...shit! Aku juga dengan dorongan angin dari
kakiku berusaha menolong Maria. Terlambat. Tidak, ini tak mungkin
terjadi. AKu sudah bersumpah kepada Ray akan melindungi Maria. ARrrgghh!
ZAPP! ZAPP! Tiba-tiba sebuah petir menyambar-nyambar di sebelah Maria.
Tangan raksasa Yuzak tiba-tiba saja hancur menjadi debu. Aku terjerembab
di atas tanah. Anginku...hilang?? Elemen anginku hilang? Balancer juga
merasakan sesuatu yang sama. Baju besinya tiba-tiba lepas. Tiba-tiba
kami semua para elemental kehilangan kekuatan kami.
ZAP! ZAPP! Sekali lagi dua petir menyambar di tempat yang sama. Tepat di sebelah Maria.
"Mariaaa!" seru ayahnya.
"Ray, kamu datang!" kata Maria. Apakah itu Ray??
ZAP! ZAP! ZAPP! ZAP! Bagaimana mungkin petir menyambar di tempat yang
sama selama delapan kali?? Dan ZAP! Sekali lagi, tapi kali ini ada
seorang pemuda. Berdiri di dekat Maria. Brengsek! Ray!? Itu benar dia???
"Ray?!" sapa Maria.
"Hello My Love, you missed me?" tanyanya. Hah?
"Yes, off course!" Maria langsung memeluk Ray.
Hei, ada apa ini? Kenapa aku tidak bisa bicara dengan angin?? Kenapa ini??
"Ray, aku sangat merindukanmu. Aku dengar seluruh suaramu Ray. Aku dengar semuanya. Dengar seluruh pesanmu," kata Maria.
"Aku tahu kamu mendengarkan semuanya," kata Ray.
"Kenapa? Kenapa aku tak bisa bicara dengan elemenku!" kata Yuzak. "Siapa kau? Siapa kau ini?"
"Maria, pegangan sebentar ya!" kata Ray.
Maria langsung memeluk Ray dengan erat. Dari punggung Ray tiba-tiba
terbentuk sesuatu. Seluruh elemen air dan udara bersatu di punggungnya,
lambat laun di pungungnya tumbuh sepasang sayap. Ray mendekap kekasihnya
itu dan dia terbang ke atas. Hah? Bagaimana ia melakukannya? Ia terbang
ke atas atap apartemen. Dia....kuat sekali. Aku bisa merasakannya. Ray
benar-benar menjadi kuat sekarang.
"Kamu di sini saja, sekarang aku punya kekuatan untuk melindungimu," kata Ray.
Tampak sang ayah, Detektif Johan naik ke atap untuk menemui putrinya.
Tentu saja sebagai seorang ayah ia sangat khawatir sekarang.
"Aku akan di sini Ray, aku percaya kepadamu," kata Maria.
Ray kemudian terbang lagi dan turun ke bawah. Setelah itu sayapnya
menghilang menjadi kristal-kristal salju yang berterbangan di sekeliling
tempat pertarungan ini. Ia menghirup nafas dalam-dalam. Ia
membentangkan tangannya seolah-olah sudah lama tak pernah menghirup
nafas.
"Maaf, terpaksa aku menyuruh seluruh elemen melepaskan diri dari kalian.
Aku tak ingin Maria disakiti. Sekarang kalian bisa menggunakannya
lagi," kata Ray.
Apa dia bilang? Menyuruh elemen? Emang bisa seperti itu??? Dan benar.
Aku bisa merasakan, elemen angin kembali mengelilingi tubuhku. Ray,
kekuatanmu benar-benar mengerikan.
"Kamu ini siapa?" tanya Black.
Ray kemudian berjalan dengan tenang ke arah Balancer. Balancer dengan tatapan teduh tersenyum kepadanya.
"Ibu," Ray memeluk Balancer.
"Selamat datang kembali, Ray," kata Balancer.
"Ibu, aku merindukan ibu," kata Ray.
"Iya, ibu tahu," kata Balancer.
"Ibu pergi dulu ya, biar aku yang akan menghadapi mereka semua," kata Ray.
Balancer mengangguk. Ray melepaskan pelukannya. Dan Balancer dengan tenang berjalan meninggalkan Ray.
"Teman-teman, menyingkirlah. Mereka berlima akan menjadi lawanku," kata Ray.
"Ray, kau yakin?" tanya Purple.
"Sombong sekali kamu," kata Fei. Kini Fei, Yuzak, Mark mengepung Ray.
"Kawan-kawan! Mundur!" perintahku. "Ray kini lebih kuat dari pada yang dulu."
"Kau ini siapa?" tanya Mark.
"Aku seorang Creator," jawab Ray.
"Creator? Hahahahaha, kami telah membunuh empat orang Creator. Apakah kamu mau jadi yang kelima?" tanya Mark.
"Aku tahu, kalian membunuh mereka semua. Tapi kalian main keroyokan.
Seperti saat ini," ujar Ray. "Tapi sayang sekali, Creator yang kalian
bunuh belum tahu kekuatan mereka seperti apa. Sekarang kalian sedang
berhadapan dengan seorang Creator yang memahami kekuatan dirinya."
"Serang dia!" seru Elena.
Fei menghirup nafas dalam-dalam kemudian, menghembuskan nafas apinya ke
arah Ray. Mark melemparkan petirnya ke arah Ray, dan Yuzak membentuk
sebuah tangan raksasa lagi kemudian dia hantamkannya juga ke arah Ray.
DUARRR! Gabungan kekuatan itu mengenai Ray. Apakah Ray selamat? Aku pun
jadi ikut berdebar-debar. Dari tempat Ray berdiri hanya terlihat kepulan
debu. Dan setelah itu tak ada bayangan Ray di sana. Di mana dia?
"Kalian tak akan bisa melawanku," kata Ray. Dia tiba-tiba sudah berada di dekat Andre. Sejak kapan??
Semuanya terkejut. Dia menolong Andre berdiri.
"Kau tak apa-apa Andre?" tanya Ray.
Andre lalu melayangkan sebuah tinjunya ke arah Ray. BUAK! Ray bergeming.
"Sialan lo, itu buat Maria! Gara-gara lo pergi dia jadi senewen! Huh, puas gue sekarang," kata Andre.
Ray tersenyum, ia mengusap pipinya. "Terima kasih telah menjaga Maria selama ini."
"Sigh! Dasar, ngerebut cewek orang," kata Andre. "Awas, kalau sampai kamu nyakiti Maria lagi, gue nggak akan ngampunin lo."
Ray tersenyum. Dia menepuk pundak Andre, kemudian berjalan dengan tenang ke arah tiga orang elemental tadi.
"Fei, kamu tahu siapa nama elemen apimu?" tanya Ray.
Fei mengerutkan dahi.
"Kurasa tidak, elemen apimu bernama Fury. Dan dia sedang marah kepadamu,
karena kamu menggunakannya untuk kejahatan. Sama, kalian semua,
elemen-elemen yang kalian gunakan sekarang marah," kata Ray.
Tangan Ray menyala dan mengeluarkan cahay berwarna biru.
"Apa gunanya mengetahui nama elemen? Aku toh tetap bisa menggunakan mereka," kata Fei.
"Kamu ingin lihat kemarah elemenmu? Lihatlah tanganku," kata Ray sambil
mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan di atas tangan kanannya tampak
sebuah api meliuk-liuk. Apinya makin lama makin besar, nyalanya berkobar
dan sangat terang. Api itu kemudian membentuk sebuah bola. Makin lama
bola api itu makin besar, besar dan besar. Bahkan hawa panasnya sampai
terasa di kulitku.
Apa ini? Kekuatan api sebesar ini.
Fei tampak terkejut. Ia kebingungan, "Kenapa aku tak bisa mengeluarkan apiku? Kenapa?"
"Karena seluruh apimu ada di sini, dan mereka sangat marah kepadamu!" kata Ray. "Bersiaplah menerima kemarahan mereka."
Yuzak dan Mark segera berlari menjauh ketika Ray melemparkan api itu ke
arah Fei. Fei hanya melotot melihat elemennya sendiri menghantam
tubuhnya. BLAAAARRRRRR! Hangus sudah tubuhnya. Fei tampak meronta-ronta
dalam api itu. Benar-benar api itu membakar tubuhnya.
Ray, inikah kekuatanmu? Benar-benar mengerikan.
Melihat temannya hangus terbakar oleh elemennya sendiri, Yuzak kemudian
mengeluarkan seluruh kekuatannya. Ia membuat sebuah bola raksasa.
Sebagian besar tanah dan bebatuan yang ada di tempat itu ia satukan
seluruhnya, melayang di atas kepalanya. Terus ia timbun dan makin lama
makin besar makin besar. Bahkan sekarang tanah itu sudah sebesar
kendaraan bus.
"Siapapun kau, aku akan menghantammu dengan ini!" kata Yuzak.
"Stop! Gugu jangan lagi patuh kepadanya!" kata Ray.
Yuzak terkejut. Ia yang tadinya mengangkat tanah itu ke atas tiba-tiba
kebingungan sendiri. "Hei, aku...kau apakan aku? Kenapa elemenku tidak
bicara lagi denganku?"
"Karena aku menyuruh mereka untuk berhenti patuh kepadamu. Namanya Gugu, dan dia sangat ingin menimpamu sekarang," kata Ray.
Yuzak menoleh ke atas. Tanah dan bebatuan yang ada di atasnya pun terjun
bebas menimpanya. BUUUMMM! Dia terkubur sendiri oleh elemennya. Fuck!
RAY! YOU'RE AWESOME!
Mark yang mengetahui kekuatan Ray masih nekat saja melawan. Kini ia
memegan sebuah tombak yang terbuat dari petir. Dia tak takut kepada Ray.
"Aku tak takut kepadamu."
"Aku tahu Mark, engkau orang yang pemberani. Bahkan Kraz nama elemenmu
mengakuinya. Kamu orangnya sebenarnya baik, tapi karena kamu mengikuti
teman-temanmu akhirnya kamu seperti ini. Kraz...kemarilah!" kata Ray.
Lagi-lagi, Ray mengulurkan tangannya. Tiba-tiba tombak yang ada di
tangan Mark berpindah ke tangan Ray. Kemudian seluruh tubuhnya
mengeluarkan kilatan listrik dan kesemuanya menuju ke Ray. Semuanya
menyatu di tangan Ray. Ray kemudian membentuk sebuah busur dan anak
panah yang mengarah ke Mark.
"Tidak, tidak mungkin! Bagaimana bisa? Bagaimana bisa??!" Mark sekarang
menjadi ketakutan. Dia pasti terkejut karena tak bisa mengendalikan
elemennya lagi.
"Selamat tinggal Mark!" kata Ray. Dia pun melepaskan panah petirnya dan
dengan telak Mark merasakan panah itu. Tubuhnya tersengat listrik
berjuta-juta volt dan ia pun kalah dengan elemennya sendiri.
Tinggal Black dan Elena. Keduanya menelan ludah. Tak menyangka bertemu dengan Ray.
"Ray, aku pernah diberitahu bahwa ada seorang Creator bernama Ray. Tak
kusangka engkau orangya. Baiklah, kamu sudah menunjukkan kekuatanmu yang
sebenarnya. Aku sadari itu. Aku tak bisa melawanmu. Tapi....Aku bisa
menghancurkan apapun dengan kekuatan elemen kegelapanku," kata Black.
"Kuro," kata Ray.
"Apa?"
"Nama elemenmu, Kuro. Dia sedang bersedih," ujar Ray. "Dia sedang
bersedih karena kamu menggunakannya untuk menyakiti orang-orang yang
tidak bersalah."
"Hehehehe, kamu tahu apa? Baiklah, aku akan menghukummu Ray. Inilah
kekuatanku yang sesungguhnya. Lawanlah aku kalau kamu bisa," Black
mengangkat tangannya ke udara. Dari telapak tangannya muncul sebuah
kilat berwarna hitam. Makin lama dia pun membentuk sebuah bola yang
sangat besar.
"Black, kamu mau membunuh kita?" kata Elena. "Oh, tidak. Aku harus pergi dari sini."
Elena tampak segera berlari menjauh. Ray tetap tegak berdiri tak
bergeming. Ini tidak bagus. Bola hitam itu makin besar, bahkan sekarang
mungkin besarnya sudah separuh lapangan sepak bola. Ray, apa yang akan
kamu lakukan?
"Sejujurnya, aku tak pernah bicara dengan elemen kegelapan. Satupun
tidak pernah. Tapi...aku bisa merasakan kesedihan mereka sekarang.
Black, hentikanlah!" kata Ray.
"Aku tidak bisa berhenti Ray, ini adalah kekuatanku yang sesungguhnya!" kata Black.
Aku melihat Bola hitam raksasa itu hampir saja menghantam apartemenku.
Ray menaikkan tangannya, lalu ia seperti menyerap seluruh bola hitam
itu. Black tentu saja terkejut. Ray menyerap kekuatan elemen hitam itu
hingga bola yang besar tadi sekarang menjadi kecil di tangan Ray. Black
langsung lemas ketika bola hitam di atasnya tadi sudah hilang diserap
oleh Ray semuanya.
"Kamu....apa yang kamu lakukan?" tanya Black.
Ray berjalan ke arah Black.
"Tidak! Kamu mau apa?" tanyanya.
"Aku hanya mengembalikan kepunyaanmu," ujar Ray. Tangan kanannya yang
ada sebuah titik kecil energi elemen kegelapan tadi disentuhkan ke badan
Black.
Black tampak terkejut. Ray memasang pelindung dari elemen es. Dan sebuah
pemandangan yang membuat perut mual terjadi di hadapanku. Tubuh Black
meledak, semuanya tercerai berai. Ray dengan pelindung esnya sengaja
demikian agar tak terkena cipratan darahnya. Tubuh Black tak akan
mungkin bisa disatukan lagi. Ia telah tewas lagi-lagi dengan
kekuatannya.
Elena yang melihat itu semua jadi berang. Ia berlari ke arah Ray
melemparkan cahaya-cahaya putih ke arah Ray. Pemuda ini pun membuat
langkah Elena terhenti. Kakinya sudah dibekukan oleh Ray. Tangan
kanannya Ray menangkap cahaya putih itu.
"Aku tahu kemampuanmu mengerikan. Kamu bisa meledakkan satu kota dengan
cahaya sekecil ini. Sayangnya itu tak berlaku kepadaku. Seharusnya kamu
bisa memanfaatkan kekuatan ini untuk kebaikan. Maafkan aku," kata Ray.
Ray pun mengembalikan kekuatan elemen yang dia tangkap tadi ke wajah
Elena. Elena pun menjerit. Melengking. Lengkingannya sangat menyakitkan.
"Aarrghhh....Tidaaaaakkk...! Aku buta! Aku buta!" kata Elena. Sekarang
matanya berwarna putih semua, pupil hitamnya sudah tidak terlihat lagi.
Ini pertarungan yang tidak seimbang, benar-benar sinting. Ray telah jauh
lebih kuat. Jauh dari apa yang aku perkirakan sebelumnya.
NARASI RAY
Setelah aku menghabisi kelima elemental tadi. Aku kembali menemui Maria. Kali ini detektif Johan ada di sampingnya.
"Siang detektif," sapaku.
"Kamu....hrrgghhh!" Detektif Johan tampak gemas sekali lalu ia memelukku. Setelah itu ia melepaskanku.
"Piere!" panggil Inspektur James.
"Ya?"
"Biarkan mereka berdua," kata Inspektur James sambil memberikan kode.
"Oh iya," Detektif Johan mengerti. "Kamu sekarang udah bertemu dengan dia, sudah sana melepas rindu. Tapi jangan kelewatan!"
Detektif Johan mengedipkan mata ke arah Maria. Lalu dia dan Inspektur
James pergi meninggalkan kami berdua yang ada di atap gedung. Setelah
itu Maria langsung berlari memelukku. Ia memukul-mukul dadaku.
"Jahat! Jahat! Jahat!" katanya. "Kenapa kamu meninggalkanku begitu saja?"
"Aku sudah ada di sini. Aku tak akan meninggalkanmu lagi," kataku.
Kami saling berpandangan. Maria tersenyum kepadaku. Senyuman yang paling
manis yang pernah aku lihat. Kembali lagi aku mencium bibirnya. Maria
memanggutku, kami berciuman mesra sekali, seolah-olah dunia milik
berdua. Aku mencintainya, sangat mencintainya. Kami habiskan siang hari
itu dengan berciuman di atas atap. Bodo amat. Emang udah kangen koq.
BAB XXVIII
The Days Before The Doomsday Part I
Hari-hari menjelang kebangkitan Azrael. Aku sendiri tak tahu seperti apa
kekuatan Azrael itu. Michele sendiri tak memberitahkanku seperti apa
kekuatan Azrael. Tapi, katanya kekuatannya lebih dari sekedar Creator.
Apalagi Thomas van Bosch, kakak dari ibuku. Sudah pasti akan menyerap
seluruh kekuatan Azrael.
Apa yang kami lakukan menjelang akhir zaman ini? Semua orang tampaknya
tenang-tenang saja. Jelas, mereka tak tahu apa yang terjadi. Dari bentuk
Pentagramnya, lokasi yang mana tepat di tengah adalah Tugu Monas. Di
sanalah Azrael akan dibangkitkan. Siapa yang menyangka tempat itu
nantinya yang akan dipilih oleh Dark Lantern.
Aku akhirnya bertemu dengan ayah dan ibuku. Detektif Johan tampak shock
ketika mengetahui bahwa Inspektur James adalah ayahku dan Lili van Bosch
sang Balancer adalah ibuku. Tapi Detektif Johan pun berkata, "Semuanya
masuk akal sekarang"
"Masuk akal bau parfumnya Lili sama seperti bau parfum di mayat William
van Bosch. Dan kamu bilang tidak menciumnya sebenarnya kamu ingin
menghilangkan jejak istrimu bukan?" tanya Detektif Johan. "Pantas saja.
Dan disaat kami sibuk menyelidiki mayat itu, istrimu menitipkan bayinya
ke panti asuhan. Dan William van Bosch itu dibunuh oleh Thomas dan kamu
berada di sana menyaksikannya. Lalu kamu memanggilku untuk meyakinkan
diri bahwa ditemukan mayat orang yang tidak dikenal. Sialan kamu James.
Dan aku pun jadi tahu kenapa cek-cek itu tidak bisa diketahui alamatnya
oleh polisi, semuanya karena kamu yang memang tak ingin orang-orang tahu
siapa yang memberikan Ray uang. Arghh...James, kamu benar-benar
membuatku kesal."
"Maaf, Piere. Aku terpaksa melakukannya untuk melindungi dia dari Dark
Lantern," ujar ayahku, inspektur James sambil menepuk pundakku.
Kami semua sekarang berada di rumah Detektif Johan. Aku berbaring di
pangkuan ibuku. Ia membelai rambutku. Aku nyaman sekali dibelai seperti
itu. Karena sudah lama aku tak pernah mendapatkan belaian seorang ibu.
"Baiklah, kalau begitu hari ini sepertinya aku harus mentraktirmu Piere, sebagai permohonan maafku," kata ayahku.
"Hahahaha, siapa takut?" kata Detektif Johan. "Aku perlu mengajak istriku kalau begitu."
"Silakan saja!" kata ayahku.
"Sayang! Ayo kita pergi ditraktir oleh James!" katanya.
"Kamu ikut sayang?" tanya ayah ke ibuku.
Ibuku menggeleng. "Ray masih kangen dibelai seperti ini."
Aku lalu bangkit. "Nggak apa-apa ibu, kalau ibu ingin pergi dengan ayah. Aku akan di sini saja."
"Di sini?" gumam ibuku.
"Iya."
"Mau berduaan ama Maria?" goda ibuku.
"Tahu aja," aku nyengir.
"Ya sudah, ayo James, sepertinya anak kita tak ingin diganggu," kata ibuku.
"Hahahaha!" ayahku lalu berdiri menggandeng ibuku.
Mereka seperti tak menyadari bahwa sebentar lagi akan terjadi peristiwa
besar. Tapi paling tidak mungkin ini saat-saat terakhir mereka bisa
bergembira. Detektif Johan mengajak istri dan Justin. Aku dan Maria
berada di rumahnya. Hubunganku dengan Maria tampaknya direstui oleh
mereka, apalagi Detektif Johan dan ayahku sudah menjadi teman akrab
sejak lama. Aku dan Maria berada di kamarnya.
Rumah sangat sepi. Yah, mau bagaimana lagi. Emang semuanya keluar koq.
Dan kalau sepi seperti ini pasti akan terjadi hal-hal
yang....ehm..apalagi kita sama-sama muda, saling dimabuk cinta.
Saat itu aku duduk di lantai kamarnya memeluk Maria dari belakang. Tanganku kulingkarkan di perutnya. Dan ia memeluk lenganku.
"Kamu...selama di Syberia ngapain aja?" tanya Maria.
"Latihan, hampir tiap hari," jawabku.
"Ketemu wanita lain?"
"Iya, satu-satunya wanita itu cuma guruku."
"Ohh...cantik orangnya?"
"Cantik."
"Berapa usianya?"
"Seribu tahun kurang lebih."
"Hah? Bohong!"
"Nggak bohong."
"Hmm...."
"Kamu cemburu?"
Maria mengangguk.
"Nggak apa-apa kalau kamu cemburu. Aku makin yakin kamu cinta kepadaku."
"Ray, kenapa kamu kembali?"
"Karena ada kamu di sini dan ini adalah rumahku."
Aku menciumi rambut Maria yang wangi. Sambil sesekali kuciumi pundaknya.
Maria menoleh ke arahku. Kami lalu berciuman. Hangat. Tapi cuma dua
detik. Saat itu Maria memakai rok tipis selutut, dan kaos berwarna
putih. Ia pasti sudah merasakan sesuatu yang mengganjal di belakangnya.
"Aku koq merasa ada yang keras ya?" tanyanya.
"Kenapa? Kan ya wajar aku juga cowok," jawabku.
"Hihihihi, iya iya," katanya. "Aku ngerti koq. Ray, kamu cemburu nggak sih waktu aku jalan sama Andre?"
"Sangat, aku cemburu sekali."
"Oh ya?"
"Iya."
"Aku mengerti semuanya sekarang, kamu selama ini sangat perhatian
kepadaku. Kamu yang selalu menjagaku selama ini, peduli kepadaku. Aku
jadi mengerti semua perasaanmu ketika kamu sendiri, ketika kamu menjauhi
teman-temanmu lantaran kekuatan yang engkau punyai. Tapi aku sadar Ray,
kamu orang yang baik."
"Aku boleh menciummu lagi Mar?"
Maria mengangguk. Aku menciumnya lagi. Kali ini agak lama dan basah.
Masih dalam posisi membelakangiku. Maria sekarang bersandar di dadaku
sepenuhnya. Ciumanku beralih ke lehernya, Maria mendesah.
"Ray...oohhh," desahnya.
Aku belaikan jari telunjukku ke lehernya, lalu menurun ke dadanya. Aku
ciumi lehernya, lalu jakunnya, turun ke bawah. Lalu naik lagi ke
dagunya. Kembali lagi ke bibirnya. Maria lalu berbalik menghadapku.
Kedua kakinya ditaruh di atas pahaku dan kini selakangannya berada di
depan selakanganku. Ia merangkul leherku dan menciumiku.
"Ray...kalau memang besok akan jadi kiamat, aku ingin menghabiskan malam ini bersamamu," kata Maria.
"Kamu yakin?" tanyaku.
Dia mengangguk. "Aku sangat rindu kamu Ray, aku juga mencintaimu. Aku
tak akan menyesal melakukan ini denganmu. Aku juga tak takut kalau ayah
dan ibu tahu. Aku sudah cinta mati ama kamu. Kamu gunain pelet apa sih
sampai aku seperti ini?"
Aku mengangkat bahuku. Kening kami kembali bertemu. Maria mencari-cari
bibirku lagi. Kukecup manis bibirnya. Ia makin mepet ke tubuhku. Karena
roknya tipis, jadi tak begitu menghalangi dia untuk makin merapat ke
tubuhku. Punggungku menempel di ranjangnya sekarang. Didorongnya halus
diriku untuk bersandar. Ia mengusap-usap dadaku. Dan menciumiku. Ia
kemudian menarik kaos itu dari pinggangku ke atas dan melepaskannya. Aku
bantu dia untuk melepas kaosku. Ia benamkan wajahnya ke dadaku. Ia
ciumi dadaku. Dihirupnya aroma tubuhku.
"Aku suka baumu Ray," katanya.
"Aku juga suka baumu Mar," kataku.
"Aku siap bercinta denganmu malam ini," katanya.
"Maria," desahku. Maria memejamkan matanya. Kuciumi kedua kelopak
matanya, hidungnya, pipinya dan bibirnya. Aku perlahan-lahan menaikkan
kaosnya. Ia sudah faham, membantuku melepaskan kaosnya. Tangannya ke
atas. Kaos putih itu pun lolos dari tubuhnya. Kulihat sebuah bra
berwarna krem terpasang melindungi sebuah gundukan daging kenyal yang
kulitnya putih. Saking putihnya aku bisa melihat urat-uratnya yang
berwarna hijau kebiru-biruan di sana.
"Tubuhmu indah Mar, apakah kamu ini bidadari?" tanyaku.
"Aku bidadarimu Ray, peluklah aku!" katanya.
Aku pun memeluknya.
"Ohh...Ray..," desah Maria. Kami masih posisi duduk dan saling
berhimpit. Aku berciuman lagi dengannya. Hangat tubuhnya, terasa sangat
nyaman memeluk Maria. Kemudian aku mendorongnya sejenak. Kami kemudian
berdiri. Setelah itu dalam posisi berdiri kami berciuman lagi, sasaran
kami adalah merebahkan diri di atas ranjang. Dan kami pun berada di atas
ranjang. Ranjang tempat tidur Maria tepatnya.
Di atas ranjang aku mengusap-usap tubuhnya. Jari telunjukku menelusuri
dahinya, hidungnya, lalu bibirnya. Ia menghisapi jariku itu. Kemudian
jari telunjukku terus turun ke leher ke dada dan masuk ke belahan
toketnya yang sekal. Lalu jariku bergerak ke samping, mengintari buah
dadanya, menyentuh putingnya yang sedikit tercetak di branya yang
menutup rapat buah dadanya itu.
"Kamu ingin melihatnya?" tanyanya.
"Kalau diperbolehkan," jawabku.
"Tentu saja Ray, boleh," katanya.
Dia menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung, lalu terlepaslah
bra yang menutupi buah dadanya itu. Ia lalu membuang bra itu.
Ohh..sungguh indah buah dada Maria. Bentuknya bulat sempurna, putingnya
terlihat berwarna pink. Aku tak henti-hentinya melihat pemandangan indah
ini. Inilah buah dada orang yang aku cintai. Aku lalu menyentuhnya.
Maria memejamkan mata. Tanganku mulai meremasnya, putingnya pun aku
sentuh dengan seluruh jari-jariku. Ku usap dengan lembut. Maria
menggelinjang.
"Geli Ray," bisiknya.
Aku ulangi lagi mengusap putingnya, dan kali ini dengan pijatan-pijatan lembut di putingnya.
"Ahhkk....Rayyy....kamu nakal...ohh..," keluh Maria.
Aku kemudian menurunkan wajahku ke dadanya. Kupegang buah dadanya lalu
bibirku sudah mencium putingnya. Kuhembuskan nafasku melalui hidung ke
sekeliling putingnya.
"Raayy...hhhhmmmhhh...," desahnya.
Lalu kupegang puting itu dengan kedua bibirku. Lidahku mencolok-colok
putingnya yang sudah mengeras itu. Lalu mulutku kubuka sedikit,
kumasukkan puting susu itu ke dalam mulutku lalu kuhisap. Lidahku pun
menari-nari menyentil-nyentil puting susu itu di dalam mulutku.
"Aahhh....aahhh...Ray...enak...enak Ray, ohh..cintaku....aku sayang ama
kamu.....Terus Ray....hhhmmm....geli....tapi enak," kata Maria.
Aku gembira sekali. Dan makin bersemangat melakukannya. Aku pun
bergantian melakukannya kiri dan kanan. Maria mengeluh sambil meremas
kepalku. Kuhisap dan kucupangi buah dadanya itu. Dua sampai tiga
cupangan tampak membekas di buah dadanya.
"Rayy...itu tadi enak banget," katanya.
"Aku juga puas menikmati dadamu Mar," kataku.
"Oh...Ray, lepas yuk!" katanya.
Aku menurut. Aku melepaskan seluruh pakaianku yang tersisa. Maria juga.
Ia agak lama melihat kemaluanku. Sekarang kemaluanku sudah mengeras dan
tegak menantang. Kami duduk dan sama-sama saling melihat tubuh kami.
Maria perlahan-lahan memegang batangku. Ia mengelus-elusnya. Aku tentu
saja enak banget digituin. Ia tersenyum melihatku yang merem melek.
"Ray, enakkah?" tanyanya.
"He-eh," jawabku.
"Keras banget punyamu," katanya. Dia lalu menggenggam batangku dan
mengocoknya lembut. Buah pelerku tak luput pula dari remasannya.
"OHhhh...Marr enak!" kataku.
Ia menciumi dadaku lagi, lalu turun ke bawah dan ia menghentikan
kocokannya. Lidahnya sekarang diletakkan di kepala pionku. Iya, cuma
diletakkan begitu saja. Perlahan-lahan air liurnya menetes. Lalu
lidahnya mengitari kepala pionku, kemudian seluruh kepalaa pionku masuk
ke mulutnya.
"Ohh....Marrr....hhmmhh," keluhku.
"Enak Ray?" tanyanya sambil melirik ke arahku.
"Iya Mar, enak," kataku.
"Slluuuurrrppp.....Cruk! Cruk! CRuk...! Sluuurrrpp.....ahhh...batangmu manis Ray," ujarnya.
"Masa' sih?" tanyaku.
"Hm-hmm ...," ia mengangguk sambil mengulum pionku. Kepala Maria naik
turun kadang ia benamkan batangku sedalam-dalamnya ke mulutnya. Lalu ia
naik turun lagi. Kemudian ia cukupkan dengan mengulum kepala pionku
sambil mengocok batangku dengan jarinya yang lembut.
"Mar, kamu belajar di mana sih?" tanyaku.
Maria menyudahi sepongannya. "Ada deh."
Aku kemudian menciuminya lagi. Bibir kami berpanggut, kami
berfrench-kiss sebelum giliranku yang mengerjai dia. Aku mulai menghisap
dan menjilati kemaluannya yang berbulu tipis di atasnya itu. Liang
senggama Maria sangat merah. Rasanya pun manis. Entah kenapa rasanya
manis. Lidahku mulai menggelitik bibir vaginanya yang merekah itu.
Rongga vaginanya kucolok-colok dengan lidahku.
"Raayyy...hhhhmmmmhhh.., kamu apain itu? Enak gilaaak...ahhh...!" katanya.
Lidahku lalu menari-nari di klitorisnya, kemudian kuhisap tonjolan daging itu.
"Raaayy....udah Ray, aku nggak kuat,...ahhh...Rayy....udah...aku mau
pipis niih..ahh...Ray, koq dijilati terus sih....yahh..yaaahhh
ahahah....duuuhhh..enak Ray...hhmmm....Ray...Ray
udah...udah...pipis...aku pipisss.....Rayyy cintaku...hhmmm pipis aku
sayang enak bangeetttt.....aaahhkkk!" pantat Maria terangkat dan
bersamaan itu ada sesuatu yang keluar. Lendirnya yang menyemprot.
Kuhisap semua yang keluar dari tempat itu.
"Rayy...koq disedot sih...aduhhhh....udah Ray....jangaan!
HHmmm....aahhhkkk...aku tambah keenakan Ray! Masukin Ray, masukin!" kata
Maria mengiba.
Aku lalu menciumi pahanya, kuhisap-hisap lembut kedua pahanya. Aku
kemudian sudah berada di atasnya lagi. Kuposisikan batang pionku ke
belahan kemaluannya. Hal itu membuatku geli-geli nikmat. Tangan Maria
membantuku untuk memposisikannya dengan pas. Pahanya terbuka lebar. Ia
sudah siap dimasuki.
"Ray,...janji ya, jangan ninggalin aku lagi," katanya.
"Aku janji Maria. Aku tak akan meninggalkan kamu," kataku.
"Ohh...Ray, aku senang sekali. Aku ingin bisa menikah denganmu Ray. Aku
ingin bisa punya banyak anak denganmu. Aku ingin jadi ibu dari
anak-anakmu. Kamu mau kan Ray?"
"Tentu saja, aku mau. Aku akan berikan segalanya untukmu Maria. Segalanya."
"Ray, masukanlah! Aku akan tahan seluruh rasa sakitnya. Buatlah dirimu puas sayangku. Gagahi aku malam ini!"
"Aku cinta kamu Maria, aku akan selalu ada untukmu."
Aku dorong perlahan kemaluanku. Rongga vagina Maria sudah sangat becek,
membuatku sedikit mudah untuk masuk. Sekarang sudah seperempat. Seluruh
kepala pionku sudah masuk. Hhhgggkkk...sempitnya. Rasanya seperti
dijepit dengan kuat. Aaaghh...aku tarik perlahan, lalu aku dorong lagi.
"Raayy...ayo Ray! Aku akan tahan rasa sakkhh...aahhhgghh...periihh...Aahgghh....Heegghhh h!" keluh Maria.
Kemaluanku berusaha menerobos sesuatu yang sangat rapat. Aku tarik lalu
dorong perlahan, kutarik, dan kudorong perlahan. Dengan dorongan seluruh
tenaga pantatku pun akhirnya menerobosnya. SREEETTTT! Langsung seluruh
kemaluanku seperti tiba-tiba masuk ke sebuah lubang yang hangat, basah
dan nyaman. Kemaluanku semuanya tenggelam ke dalam lubang memeknya.
"Aaaggggkhhh...Rraayyy....Ohhhhh......rrrRraaayyyh h!" Maria memelukku eraaat sekali.
"Aku sudah merobeknya Maria," kataku.
"Ayo Ray, siramkan benih-benih cintamu. Ayo, jadilah ayah buat anak-anakku Ray!" kata Maria.
"Maria....aku goyang ya," kataku.
Kami lalu berciuman hangat sebelum aku menggenjotnya. Kutarik pantatku
perlahan, lalu kudorong, tarik perlahan, lalu dorong, teruss,,teruuuusss
dan teruuuss...makin lama aku makin cepat. Karena aku sudah tidak lagi
melihat Maria kesakitan. Ia sudah terbiasa menerima kemaluanku yang baru
saja merobek kemaluannya. Cepat dan makin cepat seperti ngedrill. CLEK!
CLEK! CLEK! CLEK! Suara kami sangat becek.
"Ray...basah sekali ya di bawah sana?" tanya Maria.
"Iya Mar, memekmu enak banget," kataku.
"Kamu juga Ray, batangmu gedhe...penuh banget rasanya. Tanggung jawab ya kalau aku ketagihan," katanya.
"Tentu saja sayang," kataku. "Sebab aku cinta kamu."
"Aku juga Ray. Ayo Ray...cepat!" katanya.
Aku pun menggenjotnya lebih cepat.
"Aaahh...ahhh...Mar...enak banget ...aahhh....aahhh,"
"Raaay...hhmmmm....terus....burungmu enak Ray.....menerobosku...aahhhkkk...!"
Aku bergoyang naik turun, mulai lama mulai cepat. Aku sudah hampir klimaks ternyata. Hal itu juga dirasakan oleh Maria.
"Rrray...batangmu makin keras....mau keluar ya?"
"Iya Mar...mau keluar."
"Ayo Ray, aku juga kaya'nya mau keluar, udah mentok....gatel banget!"
"Mar...Mar...ini Marr...sampe...sampe."
"Aku juga Ray...ahhh....sampe...aku nyampe...Ohhh...Ray....batangmu enak
Ray...menyodokku....aaahhh....Ahh...iyaaa....aahhh ...aku disemprot,
aaduuuhh....banyak banget Raayy..."
"Aaahhhkk.....Maarrriaaa....aaahhh...ohhh....penis ku berkedut-kedut,
enak. Memekmu juga meremasku. Aku keluar banyak Mar...uuuhhh!"
Aku kemudian menciumi Maria. Persenggamaan yang hebat. Aku lalu ambruk
di samping tubuhnya, tanpa kucabut kemaluanku. Sebab Maria tak ingin aku
mencabutnya dulu. Setelah ia puas, aku mencabutnya. Kemaluanku sekarang
bercampur cairan putih dan bercampur darah merah. Nafas Maria
ngos-ngosan. Matanya terpejam menikmati sisa-sisa orgasmenya. Aku lalu
menyelimuti tubuh kami berdua. Maria kemudian tidur di dalam pelukanku.
Bagaimana kalau nanti ayahnya datang? Ah masa bodoh.
****
NARASI DETEKTIF JOHAN
"Sebaiknya kita tak mengganggu mereka," kataku.
"Lho, koq begitu?" tanya istriku.
"Sudahlah, sayangku. Mereka sedang dimabuk cinta," jawabku.
"Jadi ayah sengaja ya membiarkan mereka?" tanya istriku.
"Iya. Asal itu membuat putriku bahagia, aku akan melakukan apa saja," kataku.
"Ya sudah deh, hari ini kita nginap di hotel," kata istriku.
"Aku setuju. Apalagi Justin sudah tidur di kursi belakang," kataku.
"Yuk," kata istriku sambil menciumku.
BAB XXIX
The Days Before The Doomsday Part II
NARASI MICHELE
Syberia merupakan tempat tinggalku. Apalagi salju adalah kehidupanku. Di
sini salju tak pernah mencair. Aku adalah seorang Mist. Bisa saja aku
jauh dari salju, tapi kekuatanku akan menurun. Aku sudah lama tinggal di
sini tanpa teman. Terus terang Ray merupakan temanku. Dan untuk pertama
kalinya Lili van Bosch memintaku untuk mengajarkan ilmu kepada anaknya.
Aku sangat senang sekali, selain untuk pertama kalinya aku akan
ditemani di Syberia ini, juga aku senang bisa membagi pengetahuanku.
Nasib dunia sekarang berada di tangan para elemental dan juga Ray. Aku
sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Kalau misalnya memang akan
terjadi kehancuran. Paling tidak aku mendapatkan kenangan yang paling
manis bersama Ray. Entah kenapa ketika dia pergi, aku merasa kehilangan.
Sangat kehilangan. Apakah Ray akan kembali lagi? Hadiah yang dia
berikan kepadaku sungguh berharga. Aku tak tahu harus bilang apa lagi.
Tapi sepertinya aku hamil. Aku bisa merasakan bagian dalam tubuhku
bereaksi. Ada sesuatu yang lain. Sebuah awal kehidupan baru.
Ray, kenapa kamu melakukan ini kepadaku? Apakah aku jatuh cinta? Aku
tahu apa itu cinta, tapi tak pernah merasakannya. Aku tak pernah menduga
Ray melakukanku sedemikian lembutnya. Tapi aku sudah tua, lagian....aku
tak tahu kapan aku akan menghabiskan usiaku. Aku memang awet muda, tapi
bukan berarti aku tak bisa mati. Aku lagi pula bukan highlander.
Setiap hari aku selalu disapa oleh para elemen. Berbicara dengan mereka.
Berbicara dengan pohon, batu, sungai, salju. Akankah Ray akan bisa
menyelamatkan semua ini. Dulu ketika aku diberitahu tentang Azrael, aku
sendiri ketakutan. Kekuatannya mengerikan. Dia tak terpengaruh oleh
semua hukum alam. Ia bisa menciptakan elemen sendiri. Dia lebih dari
seorang Creator. Dia menyebut dirinya The Almighty. Iblis yang
menganggap dirinya adalah dewa. Sombong dan angkuh.
Dulu sekali dia diusir dari bumi. Bertahun-tahun yang lalu sekelompok
creator mengurung dia dan mengusirnya dari bumi. Namun para pemujanya
masih saja ada di bumi. Namun ketika para pemujanya itu bangkit, Azrael
merasuki mereka. Azrael butuh orang kuat dan Thomas van Bosch
mendapatkan kehormatan untuk dirasuki olehnya.
Aku berharap Ray tidak melupakan semua pelajaran yang telah aku berikan.
Dia harus banyak bicara dengan alam. Dia harus banyak berbicara dengan
mereka. Karena kekuatan Azrael sangat mengerikan. Satu-satunya cara
untuk mengalahkan Azrael adalah Ray harus lebih cerdik dari dia.
Manusia, sekarang nasib kalian ditentukan oleh seorang Creator bernama
Ray. Sayang sekali keempat Creator lainnya telah tewas. Seharusnya
mereka bisa juga mendapatkan pelajaran seperti Ray.
Aku kembali menelusuri jalan bersama para serigala. Mereka semua
binatang yang baik sebenarnya. Hanya saja ketika lapar mereka sering
lupa diri. Tapi mereka bersahabat baik denganku. Setiap saat aku meminta
bantuan kepada mereka, maka mereka pasti datang. Setelah kereta saljuku
sampai di tepi pantai, aku kemudian duduk di sana melihat langit dari
kejauhan. Jauh di ujung laut sana, pasti Ray sedang berjuang. Aku tak
berharap banyak dia akan kembali. Tapi aku selalu berdo'a dan seluruh
penghuni Syberia berdo'a untuknya agar ia bisa selamat. Tapi khusus
untuknya aku berdo'a agar ia ingat kepadaku dan kembali ke Syberia.
Ohh...aku merindukanmu Ray. Tapi aku akan hargai keputusanmu. Kamu
memang mencintai Maria. Entah kenapa air mataku mengalir. Kembali
kuelus-elus perutku, aku akan menjaga hadiahmu Ray. Aku akan menjaganya.
Cepatlah lahir ya nak, cepatlah lahir.
NARASI ANDRE
Ray telah kembali. Aku harus merelakan Maria sekarang. Ia sangat bahagia
ketika Ray datang. Tapi brengsek, si Ray kuat sekali. Ketika aku pukul
kemarin sebenarnya tanganku terasa sakit. Tubuhnya sangat keras. Dia
mengalah. Sudahlah, yang penting Maria bahagia. Aku sudah merelakan
Maria bersama Ray. Mereka saling mencintai, aku tak perlu lagi
mengganggu mereka. Aku sekarang sudah punya Puri.
Hari-hari sebelum kiamat? Ngapain enaknya? Orang mau kiamat biasanya
banyak yang tobat. Banyak yang jadi mendadak alim. Tapi kami bingung mau
bagaimana. Mungkin seperti diriku yang sering-sering minta maaf ke ayah
dan ibuku. Karena aku pasti akan ikut dalam peperangan yang akan
terjadi sebentar lagi. Aku sudah putuskan itu.
Ayah dan ibuku heran, ngapain sih melankolis gitu? Mereka tak sadar
kalau bumi dalam bahaya. Iya, yang ada dipikiran mereka bagaimana bumbu
baksonya, bagaimana rasanya, bagaimana para pelanggannya.
Aku juga pernah punya salah kepada ibu karena salah dalam membuat
adonan. Hal itu membuat rasa baksonya jadi aneh. Aku pura-pura tidak
tahu dan ngotot bukan aku pelakunya. Hal itu membuat pelanggan sepi hari
itu. Aku sangat kacau dan akhirnya baru bisa minta maaf sekarang.
Beliau pun memaafkanku. Aku senang sekali entah kenapa aku bisa jadi
terharu saat itu. Mungkin ketika menyadari bahwa sebentar lagi tak ada
satupun dari kita yang akan selamat menyebabkan kita jadi lebih
melankolis.
Aneh memang ketika mengetahui seminggu lagi kiamat aku malah pergi ke
sekolah, bercanda dengan teman-teman sekolah. Aku hari ini melihat Ray
masuk sekolah lagi, juga Maria. Mungkin semuanya kaget melihat Ray dan
Maria bisa bersama. Kali ini Ray tidak lagi menutup dirinya. Dia lebih
banyak bicara dengan teman-teman. Dia berubah. Mungkin karena dia merasa
dirinya sekarang lebih kuat dan lebih bisa melindungi teman-temannya.
Aku baru kali ini melihat Maria bisa bercanda lepas bersama dia. Apakah
Ray melihat hal ini setiap hari? Meilhat bagaimana aku dan Maria dulu
bercanda, tertawa lepas, sedangkan aku tak pernah berani untuk menegur
mereka? Ya, seperti ini ya rasanya. Maria, engkau pernah mampir dalam
hidupku. Pernah mampir di dalam hatiku. Tapi, sepertinya kita memang
tidak ditakdirkan untuk bersama. Aku pun menghampiri mereka.
"Hei, masuk sekolah juga kamu rupanya?" sapaku ke Ray.
"Emang maunya gimana? Tidur?" tanya Ray balik.
"Ah, ngeledek ya?" kataku. Aku langsung merangkul Ray dan menoyor kepalanya. "Rasain nih!"
"Aduh!" kata Ray.
"Udah, udah ah, kalian ngapain sih?" kata Maria.
Aku dan Ray bisa tertawa bersama. Sial, kenapa aku malah terharu? Ini
baru pertama kalinya aku bisa tertawa bersama anak ini. Aku berusaha
menahan diri agar tak mengeluarkan air mata dan menyembunyikannya lewat
ketawa.
Setelah sekolah, aku langsung ke mall menjemput Puri. Ia hari ini ada
kerjaan dan aku berjanji untuk menjemputnya. Setelah memarkir sepeda
motor, aku langsung menuju ke dalam mall. Dia ada di lantai dua, menjual
alat-alat kosmetik. Ketika melihatku dari jauh. Dia langsung
menghampiriku. Rambut ungunya...udah berubah jadi hitam. Aku hampir
tidak mengenalinya.
"Kamu...," mulutku tercekat.
"Kenapa? Kaget?" tanyanya.
"Iyalah," kataku.
"Aku ingin menjadi diriku sendiri Ndre," katanya. "Kamu tak keberatan kan?"
"Sama sekali tidak, aku justru lebih senang melihatmu seperti ini. Kamu lebih cantik," kataku.
"Duuuhh...aku jadi malu nih," kata Puri. Ia jadi sedikit feminim sekarang. Biasanya agak tomboy.
"Serius koq, kamu lebih cantik," kataku.
"Makasih Ndre. Boleh aku minta sesuatu," katanya.
"Apaan?"
"Bilang lagi dong kalau kamu cinta ama aku."
Eh, ini cewek. Melankolis banget.
"Kan kemarin sudah," kataku.
"Aku kurang puas. Aku ingin kamu mengetakannya sekali lagi," katanya.
"Baiklah," kataku. Aku menghirup nafas dalam-dalam, kemudian dengan suara yang keras aku bilang, "PURI AKU CINTA KAMUU!"
Langsung deh seluruh penghuni mall menoleh ke arah kami.
"Ihhh...siapa yang bilang harus keras-keras, malu tauk!" Puri mencubit aku. Pipinya memerah. Ia pasti malu.
Beberapa pengunjung mall bertepuk tangan menyoraki kami.
"Naah, kaaaan. Kita jadi tontonan. Norak ih!" katanya.
"Pulang yuk!?" ajakku.
Ia mengulurkan tangannya dan aku pun menggandengnya. Selama di atas
motorku Puri merangkulku dengan erat. Ia bersandar di punggungku. Tak
pernah aku seperti ini sebelumnya. Perasaan yang nyaman, lembut, aku
bisa merasakan dari cara dia menyentuhku.
Setelah sampai di rumah kontrakannya. Puri langsung menciumku. Kami
berpanggutan panas. Saling membelai dan memeluk. Aku remas-remas
pantatnya.
"Kalau misalnya tidak ada hari esok, aku ingin sekarang bercinta denganmu Ndre," katanya.
"Aku juga Puri," kataku.
Kami berciuman panas, tak seperti ini sebelumnya. Aku langsung masuk ke
kamarnya. Aku melucuti pakaiannya satu persatu. Ia juga menuntunku
melucuti bajuku satu per satu. Aku tak malu-malu lagi merengkuh gundukan
daging yang ada di dadanya. Dadanya Puri memang menggairahkan, siapapun
mata pasti akan tertuju ke dadanya. Tubuh Puri sangat wangi, aku
benamkan wajahku di belahan toketnya.
"Ohh..Andre, hhmm...," desahnya.
Aku menciumi setiap lekukan kulitnya, kucupangi buah dadanya itu serasa
menggeser lidahku ke puting susunya. Aku kemudian meremas-remasnya. Dia
mendorongku untuk duduk di atas kasur. Dan kini Puri menaiki pahaku
dipasangkannya ujung kemaluanku di lubang senggamanya. Kemudian ia
menekan ke bawah. Ternyata Puri sudah becek, pelumasnya memulusan
batangku untuk bisa masuk ke dalam.
"Ahhh...Puri, hhhmmmmhhhh...," desahku.
Puri kini memutar-mutar pantatnya. Aku imbangi dengan mengisap puting susunya.
"Ndree....oohh...," Ia menaikkan wajahku dan kami berciuman. Puri gadis
yang kucintai. Sekarang dia berusaha mengobok-obok kemaluannya sendiri
dengan batangku. Gesekan kulit kami membuat dia makin kesetanan.
"Puri...aku cinta kamu Pur, mencintai semuanya yang ada pada dirimu," kataku.
"Aku juga Ndre, sejak pertama kali bertemu aku sudah
menyukaimu....Ndre...maukah kamu bersama denganku selamanya sampai maut
memisahkan kita?"
"Tentu saja Puri."
Puri pun melenguh, tubuhnya melengkung saat orgasme itu melanda. Kami
mengulangi berkali-kali seolah-olah ini adalah saat-saat terakhir kita.
Sebab kita tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Kalau toh
besok Kiamat, setidaknya kami berdua telah merasakan bagaimana mencintai
dan dicintai.
***
Aku terbangun dari mimpi. Mimpi buruk bahwa aku akan kehilangan Puri.
Kuterbangun dengan diriku memeluknya dari belakang. Kami tertidur dalam
satu selimut setelah bertempur di atas ranjang tadi malam. Mimpi itu
sepertinya terlihat nyata. Apakah ini adalah pertanda?
Di dalam mimpi itu aku melihat Puri diserang oleh banyak musuh. Dia
terus bertahan dengan elemen buminya. Aku berusaha menolongnya tapi
musuhku sendiri terlalu kuat sehingga aku tak bisa menggapainya.
Kemudian mereka mengeluarkan panah-panah yang terbuat dari elemen besi.
Sebuah panah mengenai tubuhnya dan dia tertembus panah itu. Aku tak mau
kehilangan dia. Kuciumi leher Puri.
"Kamu mimpi buruk?" bisik Puri.
"Sudah bangun?" tanyaku.
"Kamu tadi memanggil-manggil namaku."
"Iya, aku bermimpi kehilangan dirimu."
Aku makin erat mendekapnya. Dia mengusap-usap lenganku.
"Semua akan baik-baik saja Ndre, akan baik-baik saja," katanya. Mencoba memberikanku ketenangan.
"Aku tak akan membiarkanmu pergi Puri, tidak akan," kataku.
NARASI ALEX
Kalung pemberian Ray itu masih aku simpan. Kalung berliontin salib
pemberian suster kepala. Gila, tak terasa aku sudah lama tidak ke panti
asuhan. Ingin rasanya pergi saja tak usah kembali, tapi itu sama saja
dengan aku tidak berterima kasih kepada mereka yang selama ini sudah
mendidikku. Aku masih mencintai mereka, aku masih menyayangi mereka.
Mereka adalah keluargaku.
Sebentar lagi pertempuran dengan Azrael. Aku pun berdebar-debar.
Bingung. Karena aku tak tahu kalau aku nanti misalnya mati, siapa yang
akan menangisiku? Siapa yang akan peduli kepadaku? Ray? Ah, dia sudah
punya Maria. Purple? Dia sudah bersama Andre.
Aku pertama kali mentatto tubuhku setelah keluar dari panti asuhan.
Hidup di jalanan. Mengais rejeki dari orang-orang yang memberikannya.
Aku tak cocok kerja di kantoran, kerja di restoran atau pun kerja yang
ada shiftnya. Total aku habiskan kerja sebagai kuli dan tukang.
Penghasilannya cukuplah buat makan daripada tidak ada sama sekali. Tidur
beratapkan langit sudah biasa. Aku bahkan terkadang tidur di sebuah
bangku di taman. Terkadang juga tidur di emperan toko.
Semenjak kabur dari sirkus itu, aku sudah terbiasa hidup di jalanan.
Agni, kalau saja dia sekarang masih hidup, tentu kami akan sangat
bahagia sekali menghabiskan kenakalan kami setiap hari. Dia sudah aku
anggap sebagai kakak. Kalau saja Ray waktu itu lebih kuat seperti
sekarang, mungkin Agni tak perlu pergi, tak perlu mengorbankan dirinya.
Hari itu aku berjalan mengunjungi tempat terakhir di mana Agni membakar
dirinya. Semua kenangan tentang Agni mulai hadir lagi di dalam benakku.
Sesosok gadis yang bisa menjadi kakak bagi kami. Bagi aku, Troya dan
Ray. Kalau dia masih hidup tentangu dia dengan Ray akan bersama
sekarang. Mereka saling mencintai, mungkin sampai sekarang tak akan ada
yang bisa menggantikan posisi Agni di hati Ray. Ya, kami juga tak ada
yang bisa menggantikan posisi Agni di hati kami.
Lagi-lagi aku pegang liontin kalung itu. Bagaimana kabar suster kepala?
Bagaimana kabar suster Elizabeth? Aku malu untuk kembali. Apakah Ray
masih tinggal di sana? Pastinya iya. Aku melihat dia kemarin pergi ke
sekolah. Pastinya dia sekarang berada di panti. Aku masih malu. Akhirnya
kubiarkan kakiku melangkah tanpa tujuan. Dari satu gang ke gang lain.
Dari satu jalan ke jalan yang lain.
Ketika melintas ke sebuah taman, aku melihat seorang anak kecil sedang
bermain bersama ayahnya. Ayahnya meniup gelembung-gelembung sabun sang
anak mengejar gelembung-gelembung itu dengan riang gembira. Anak itu
sangat beruntung mempunyai orang tua. Tidak sepertiku. Beberapa hari
lagi sebelum gerhana. Di mana Azrael akan bangkit. Entah apa yang bisa
aku lakukan sekarang. Dan...aku pun tertawa ketika tahu aku sekarang
berdiri di mana.
Sebuah gerbang pagar. Di atas gerbangnya aku lihat papan nama bertuliskan Panti Asuhan Kasih Ibu. Kenapa aku sampai di sini?
Lama aku berputar-putar di depan pagar. Bingung mau menyapa siapa? Ingin
aku masuk saja ke dalam tanpa bicara. Tapi.....aku malu. Malu kalau
Suster Elizabeth melihat tattoku. Malu juga kepada Ibu kepala panti.
Aku pun masuk. Kuberanikan diriku melangkah ke dalam. Angin menerpa
wajahku, rasanya sejuk. Rambutku berkibar tertiup angin. Dan ketika aku
sudah masuk ke dalam, aku pun melihat seseorang yang sangat aku kenal.
"Alex?" seru suster Elizabeth.
"Sore suster," kataku.
Langsung suster Elizabeth berlari ke arahku. Lalu aku dijewernya. "ADudududududuh!"
"Kamu kemana saja? Kamu bikin kami khawatir tahu! Sama saja seperti Ray,
pergi tanpa permisi pulang juga tiba-tiba. Dasaaarrr!" suster Elizabeth
menjewer telingaku dengan gemas. Setelah itu tampak matanya
berkaca-kaca. Ia kemudian memelukku. "Dasar anak nakal. Kamu pasti akan
dihukum sama ibu kepala."
"Aku pulang suster, aku pulang," aku menangis dalam pelukannya.
Yah setidaknya si anak hilang ini telah kembali lagi. Dari dalam aku
melihat Ray. Dia melambai ke arahku. Terima kasih bro. Terima kasih
untuk segalanya.
BAB XXX
The Days Before The Doomsday Part III
NARASI BALANCER
Untuk pertama kalinya James dan aku berjalan bersama di taman. Banyak
orang-orang yang memperhatikanku, bisa jadi karena panjangnya rambutku,
bisa jadi karena penampilanku. Aku memang masih terlihat sangat muda,
karena memang ada kekuatan khusus yang menyebabkanku seperti ini.
Mungkin juga karena pasanganku, James. Tiga hari lagi gerhana akan
datang. Azrael akan datang ke bumi ketika seluruh planet-planet sejajar.
Dan tepat di Tugu Monas titik tergelap dari matahari. Apakah kita bisa
mengalahkannya?
Kami berdua duduk di sebuah bangku kosong. Aku menyandarkan kepalaku di
pundak James. Tangannya pun melingkar ke pundaku. Mungkin karena melihat
aku lebih banyak menerawang, maka ia pun penasaran terhadap apa yang
sedang aku pikirkan.
"Apa yang kamu pikirkan Lili?" tanya James.
"Banyak. Di antaranya apakah aku bisa tetap hidup setelah Azrael
dikalahkan? Karena aku tahu kekuatan elemental ini akan hilang seiring
Azrael kalah. Aku hanya takut berpisah denganmu James," jawabku.
"Setiap yang hidup pasti mati, itu sudah menjadi suratan takdir yang
tidak bisa diubah. Kamu juga harusnya mengerti. Kamu sekarang sudah bisa
bersama anakmu lagi, selama kalian bisa bersama apalagi ditambahkan
kekuatan Ray yang luar biasa. Tak akan ada yang berani mengganggumu."
"Aneh ya James, setelah kita bisa bersama malah kita harus berpisah sebentar lagi."
"Semuanya akan kita lihat sebentar lagi. Semoga Ray dan kawan-kawannya bisa mengatasi semua ini. Kamu akan ikut juga?"
"Aku harus mendampingi Ray, lagipula aku ada urusan dengan Robert."
"Orang yang membunuh William?"
"Iya."
Kami semua terdiam. Hanya terdengar suara desiran angin. Terlihat di
depanku pemandangan taman yang hijau. Beberapa orang lalu lalang
menikmati pagi ini. Udara sedikit basah. Namun aku sudah bisa melihat
tanda-tanda yang tidak baik. Beberapa burung tampak terbang meninggalkan
kota ini. Mereka terbang berkelompok. Mungkin kebanyakan orang senang
melihat burung-burung itu terbang karena merupakan pemandangan yang
tidak biasa. Tetapi bagiku itu adalah pertanda buruk.
Tentu saja, kabar buruk. Aku sejak dulu mengetahui kalau kawanan burung
terancam bahaya mereka akan pergi menuju ke tempat yang lebih aman. Yang
aku ketahui adalah, kota ini sudah tidak aman lagi bagi siapapun.
Semoga saja keadaan ini segera berakhir dan dunia bisa terselamatkan.
Aku ingin tahu apa yang akan dilakukan Ray untuk mengalahkan Azrael.
Kami semua tak tahu bagaimana kekuatan Azrael yang sesungguhnya, tapi
menurut mitos yang ada dia sangat kuat. Mampu menggerakkan planet-planet
dan bintang, bahkan mampu membuat materi sendiri yang tidak pernah ada
sebelumnya. Ketika ia turun maka dia akan menyelimuti dunia dengan
kegelapan hingga tak ada lagi satupun yang tersisa. Para elemental telah
mengurungnya lalu mengusirnya ribuan tahun yang lalu. Hanya gara-gara
satu kesalahan yang dilakukan oleh Thomas, semuanya menjadi kacau
seperti ini.
"Kamu mau pulang Lili?" tanya James membuyarkan lamunanku.
"Iya, sepertinya menikmati coklat panas lebih enak sekarang ini," kataku.
Kami pun beranjak dari taman itu. Moga setelah ini benar-benar kami bisa tidur dengan nyenyak.
NARASI DETEKTIF JOHAN
"Maria?! Dicari!" panggilku. Anakku yang cantik itu sekarang sudah
berpakaian rapi. Pakai jeans, kemeja, jaket. Aku melihat Ray sedang
duduk di ruang tamu setelah tadi aku ijinkan masuk.
"Pergi dulu ya yah," katanya.
"Hati-hati, jaga dia ya Ray," kataku.
"Siap om," kata Ray.
Maria masih berdiri saja di tempat. Kenapa?
"Ada apa?" tanyaku
"Tumben ayah nggak ngasih jam pulang," jawabnya. "Biasanya bawel banget
harus pulang jam segini, nggak boleh telat kalau telat tidur aja di
luar."
Aku tertawa. Iya, aku selalu memberitahukan dia seperti itu. "Ray pasti
bisa menjagamu. Aku percaya kepadanya. Lagipula dia anaknya James, kalau
ada apa-apa aku tinggal menghubungi James."
Maria tersenyum dan langsung mencium pipiku, "Makasih ya ayah."
Dia lalu berbalik dan langsung merangkul Ray. Mereka kemudian keluar
rumah. Hahhh...putriku sudah dewasa. Jagalah Maria Ray, aku tahu kamu
pasti bisa. Semoga kehancuran dunia bisa ditunda. Kasus ini hampir
berakhir. Semoga saja bisa segera berakhir dengan baik. Aku tak akan
mungkin mau mengorbankan semuanya. Maria, Justin dan istriku. Ada
baiknya mungkin sekarang ini aku mempersiapkan diri. Entah ngapain kek.
Lagipula kalau toh besok kiamat, paling tidak aku akan melakukan sesuatu
yang berguna.
Aku kembali melihat tumpukan berkas-berkas yang ada di mejaku.
Berkas-berkas tentang kasus-kasus yang telah kutangani. Kasus yang
kutangani sekarang ini sangat aneh, bahkan aku yang selalu berfikir
rasional saja tak pernah bermimpi akan menangani sesuatu yang berkaitan
dengan hal-hal yang berbau supranatural. Mungkin suatu saat aku akan
ceritakan salah satu dari kasus-kasus itu.
NARASI MARIA
Hari ini aku jalan-jalan dengan Ray. Bahagiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget.
Aku memeluk lengannya sepanjang perjalanan. Menggelayut manja gitu. Kami
awal mula beli eskrim di pinggir jalan. Trus saling menyuapi dan
seperti biasa, dia membentuk es krim itu seperti boneka salju dengan
kekuatannya. Hihihi, lucu.
"Hei Ray, menurutmu apakah kita semua akan selamat?" tanyaku.
"Aku tak tahu Maria, aku saja tidak pernah bertemu dengan Azrael seumur
hidupku. Aku pun bingung. sekuat apa dia. Aku pun berdebar-debar, kalau
misalnya aku tidak selamat nanti bagaimana? Apakah aku tidak akan
melihatmu lagi? Ataukah bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu
menghantuiku," kata Ray.
Aku terdiam. Ray sekarang ini sedang galau rupanya.
"Tapi kamu tak perlu khawatir Mar, aku akan menjagamu. Aku akan berjuang sampai titik darah terakhir," katanya.
Entah kenapa dia kadang membuatku terharu, juga membuatku gembira di saat yang bersamaan.
"Yuk, kesana!" kataku. Aku menunjuk ke seseorang yang menjual balon.
Kami pun membelinya selama berjalan-jalan, kami bercanda dan bercerita
banyak hal. Dan akhirnya kami pun sampai di taman. Dengan langkah santai
kami menikmati suasana taman ini.
"Ray, kamu punya pacar nggak sih sebelum aku?" tanyaku.
"Ada."
"Oh ya? Dia bagaimana? Lebih cantik dariku? Atau bagaimana?"
"Dia...yang jelas lebih dewasa. Dia lebih kuat. Dialah yang membuatku
sadar bahwa aku harus lebih kuat untuk melindungi orang-orang yang aku
cintai," jawab Ray.
"Siapa namanya?"
"Namanya Agni. Dia seorang elemental. Hanya saja....dia sudah tiada,"
aku bisa melihat raut kesedihan di mata Ray. Apakah dia seberarti itu
baginya?
"Maaf Ray," kataku.
"Tak apa-apa."
"Dia pasti sangat berarti bagimu ya?"
"Dia cinta pertamaku, darinya aku bisa mengerti arti cinta. Maka dari itu aku akan selalu mengingatnya."
Hmm...menarik sekali kehidupan Ray. Coba tanya lagi ah, "Ada yang lain?"
"Aku tak punya pacar lagi setelah dia," katanya.
"Bohong!"
"Beneran."
"Orang yang disuka ada?"
"Kamu."
"Masa' sih?"
"Iya."
"Kalau begitu aku tanya dan jawab dengan jujur. Kamu pernah ML?"
Ia mengangguk.
"Hmm...pantes dah, pengalaman banget kemarin." Aku menjulurkan lidah.
"Siapapun juga bisa melakukan itu," katanya.
"Nggak ih, aku aja nggak tahu koq."
"Masa', di bioskop saja petting ama Andre gitu koq."
"Ih, kamu tahu ya waktu itu?"
Ray bersiul-siul.
"Ihhh...jahaat!" aku cubit-cubit dan pukul dia.
"Benerkan? Semuanya karena insting," kata Ray sambil menangkis seranganku.
"Nggak juga kali," kataku.
Kami lalu lanjutkan perjalanan kami hingga sampai ke sebuah bangku. Dan
kami duduk di sana. Ray pun termenung. Dia kini tidak bicara. Aku juga
menunggu dia bicara. Akhirnya kami sama-sama diam. Terdengar olehku
berisiknya suara dedaunan di taman ini. Aku masih tak percaya bahwa
sebentar lagi dunia akan kiamat. Apakah semuanya akan hilang? Rumahku,
sekolah, taman ini. Ray...
Kenapa sampai sekarang pacaran dengan Ray dia masih terlihat sok cool
ya? Apa emang wataknya seperti ini. Dia sedikit bicara, aku yang paling
banyak bicara. Dan sekarang pikirannya sedang menerawang.
"Mikirin apa sih?" tanyaku.
Tatapan mata Ray berubah. Seorang lelaki rambutnya agak keabu-abuan
berdiri di hadapan kami. Pakaiannya tampak rapi dengan celana kain dan
jas berwarna abu-abu. Hah? Sejak kapan lelaki ini ada.
"Apa kabar Ray? Keponakanku?" sapa lelaki ini.
DEG! Keponakan?
"Thomas....," kata Ray. Dia berdiri. Walaupun menyebut Ray dengan
keponakan tapi Ray sama sekali tak bergeming. Ada sebuah pembicaraan
batin di antara mereka berdua.
"Aku hanya ingin menyapa saja," kata Thomas.
"Kenapa?"
"Wajar bukan seorang paman menyapa keponakannya. Apalagi kalau basa-basi
ini diperlukan sebelum kita bertemu lagi dalam pertempuran," kata
Thomas. Dia menoleh ke arahku, "Sore nona, pacarmu Ray?"
"Thomas, sudahi semua ini. Kamu tahu siapa Azrael bukan?"
"Aku tahu Ray, hanya saja aku lebih tertarik dengan kekuatannya."
"Kenapa kamu melakukan ini? Apakah kamu tidak memikirkan bumi ini? Bagaimana kalau dunia nanti dipenuhi dengan kegelapan?"
"Aku sudah tidak lagi memikirkan apakah bumi ini berharga atau tidak.
Aku bisa membentuk bumi sendiri dan kuisi dengan apa yang aku inginkan.
Aku tidak butuh ini semua. Dengan membuat dunia baru yang damai, tanpa
peperangan, tanpa kejahatan maka aku akan menjadi raja di dalamnya.
Semua itu bisa aku wujudkan dengan kekuatan Azrael."
"Kau sinting. Ingin menghancurkan semuanya demi membuat tatanan dunia baru?"
"Bukan tatanan dunia baru. Tapi benar-benar dunia baru. Semuanya akan
musnah, planet ini akan musnah dan galaksi ini pun akan aku hancurkan
dengan supernova."
"Aku akan menghalanginya."
"Coba saja. Apa kamu bisa menggerakkan menahan perputaran planet?
Sebentar lagi saat terjadi gerhana matahari total, saat itulah Azrael
akan bangkit, dia akan bangun dengan kekuatan penuhnya, tak ada yang
bisa menghalangi semua ini Ray. Aku juga tidak bisa."
"Aku akan berjuang untuk menghentikanmu!"
"Sudah kubilang tidak ada siapapun yang bisa menghentikannya. Kebangkitannya sudah pasti."
Ray hanya terpaku di tempat dia berdiri. Aku juga. Kenapa aku hanya
mematung? Apa yang terjadi? Aku mencoba untuk menggeser kakiku. Aku
ingin menggerakkan tanganku...tidak bisa. Tu..tunggu dulu. Aku melirik
ke taman. Orang-orang yang berjalan....mereka hanya mematung. Semuanya
berhenti. AKu melihat burung-burung yang terbang juga seperti terhenti.
Air mancur di taman, semuanya berhenti. KEadaan seperti sebuah video
yang sedang ditekan tombol pause. Apa yang terjadi?
Tangan Ray gemetar. Dia juga sepertinya tak bisa bergerak. Tapi ia berusaha untuk bergerak.
"Kamu sudah berubah menjadi kuat Ray. Selamatkanlah dunia kalau bisa.
Hahahahahaha..." Thomas berbalik berjalan meninggalkan kami dan dia
tiba-tiba menghilang dan menyisakan angin yang berhembus.
Ray tiba-tiba ambruk. Nafasnya terengah-engah. Ia seperti baru saja berlari.
"Ray? Kau tak apa-apa?" aku juga bisa bergerak sekarang. Dan aku melihat semuanya juga bisa bergerak.
"Dia...kk..kuat sekali. Aku saja tak bisa bergerak."
Aku membantunya untuk berdiri. Ray agak sempoyongan. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Dia Thomas," kata Ray. "Orang yang berada di balik semua ini. Makasih Maria aku tak apa-apa."
"Maksudmu dia yang ingin menghancurkan dunia?"
"Iya. Dan dia adalah pamanku sendiri."
Aku tak tahu harus bicara apa. Hanya terdiam mendengar Ray mengatur
nafasnya. Kalau benar Thomas ada dibalik semua ini, berarti dia sangat
kuat sampai bisa menghentikan waktu.
"Gerhana...sebentar lagi," gumam Ray. Ia kemudian mengulurkan tangannya.
Sebuah cahaya berwarna biru menyala di tangan kanannya. "Vivi aku butuh
bantuanmu."
Dari dalam dada Ray keluar sebuah bola cahaya kecil sebesar bola
pingpong. Bola cahaya itu ada bintik-bintik hitam dan kilatan-kilatan
listrik kecil. Apa ini?
"Kamu bisa bantu aku?" tanya Ray.
Ray bicara dengan benda itu? Sebenarnya kalau aku di kehidupan normal
pasti akan menganggap Ray ini orang yang senewen. Bicara sendiri,
ngomong sendiri, apalagi sekarang ngobrol dengan sesuatu yang aku tak
mengerti benda apa itu.
"Pergilah, tolong ya!" kata Ray.
Bola kecil itu tiba-tiba melesat pergi ke angkasa meninggalkan kami.
Cahaya di tangan Ray redup dan hilang. Dia menurunkan tangannya.
"Apa itu tadi?" tanyaku.
"Dia adalah Vivi, elemen Void. Aku meminta bantuannya semoga rencanaku berhasil," kata Ray. "Maria?"
"Ya?"
"Apapun yang terjadi, aku akan berjuang. Aku akan kembali. Kembali kepadamu. Karena aku mencintaimu."
"Aku tahu Ray. Aku akan menunggumu lagi."
Ray kemudian memelukku. Dia pun memberikan kecupan hangatnya untukku.
Aku merasa ini adalah saat-saat terakhir kami. Udara bergerak
menghembuskan dedaunan yang gugur. Aku bisa merasakan mereka menyapaku
dengan hangat. Dua insan yang sedang dimabuk cinta berciuman di suatu
sore yang indah. Ahh...aku ingin saat-saat seperti ini terus ada.
BAB XXXI
The Doomsday
Narasi Ray
Gempa bumi. Seluruh Jakarta digoncang gempa bumi yang dahsyat.
Orang-orang panik, kaca-kaca gedung pecah. Sudah saatnya. Sebuah
bangunan aneh muncul di tengah kota Jakarta. Bangunan itu besar,
terbentuk dari elemen-elemen tanah dan es. Sebuah istana besar tiba-tiba
saja terbentuk tepat di Senayan.
Seluruh televisi menyiarkan fenomena aneh ini. Aparat dari kepolisian
dan militer pun mensterilkan Senayan. Kami semua bisa melihat bangunan
itu dari jauh. Hawa pun berubah. Kota ini semakin diliputi kegelapan.
Hawanya kian terasa. Aku dan ibuku melihat itu semua dari atas gedung
apartemennya.
"Kamu sudah siap Ray? Inilah saat-saat terakhir," kata beliau.
"Emang ada cara lain?" tanyaku.
Ibuku tersenyum.
"Aku kemarin bertemu dengan Thomas," kataku.
Ibuku sedikit terkejut, "Lalu apa yang dia lakukan?"
"Ia menyapaku. Dia...sangat kuat, aku saja tak bergerak ketika
berhadapan dengan dia. Aku bahkan tak tahu apakah aku bisa
mengalahkannya atau tidak. Ini semua seperti mimpi."
"Ray, yakinlah kepada dirimu sendiri. Ingatlah semua yang telah diajarkan oleh Michele. Hanya itu senjata yang kita punyai."
Michele, bagaimana keadaan dia? Apakah dia baik-baik saja.
"Aku baik-baik saja Ray, kamu tak perlu khawatir, teruslah berjuang!"
aku dengar suara hembusan angin. Ini suara Michele. Aku melihat beberapa
elemen angin mengitariku. Mereka menyampaikan pesan dari Michele.
Kenapa aku malah merindukan Michele sekarang? Kenapa juga aku
meninggalkannya di sana? Apakah aku bisa kembali kepadanya suatu saat
nanti? Tapi,....di sini aku ada Maria. Aku bingung kenapa aku kemarin
melakukan itu kepadanya?
"Kamu tak perlu khawatirkan Michele, ibu sudah tahu semuanya," kata ibuku sambil menaruh tangannya di atas pundakku.
"Ibu??"
"Ya, aku tahu. Michele yang bilang semuanya kepadaku. Kamu jangan khawatirkan dia, dia akan baik-baik saja,"
"Entah kenapa saat ini wajahnyalah yang ingin aku lihat untuk terakhir kali," kataku.
"Dia berpesan kepadaku Ray, jagalah Maria. Kamu tak perlu mengkhawatirkannya."
"Andai aku bisa membawanya ke sini."
"Sudahlah," ibuku memelukku. Dia mengusap-usap kepalaku seperti anak
kecil. "Kamu telah memberikan hadiah yang tidak akan terlupakan baginya.
Dan dia sangat senang sekali dengan itu. Kita akan lihat saja nanti,
setelah ini. Ibu akan mendampingimu untuk masuk ke sana menemui Thomas."
Kami semuanya dari para elemental, termasuk Alex, Purple, Tim dan yang
lainnya berkumpul di sebuah jalan menuju senayan. Para elemental sudah
bertambah, semuanya berkumpul untuk momen ini. Kemungkinan ada dua
ratusan orang. Wajah-wajah mereka menunjukkan bahwa mereka siap mati
hari ini. Ibuku sudah berdiri di sebelahku sejak tadi. Dia menunggu
mereka. Di sudut lain kulihat Andre dia juga ikut? Kulihat dia dan
Purple bergandengan tangan. Apa mereka jadian? Di sudut lain, aku
melihat Maria yang berdiri di samping Detektif Johan.
Aku menghampiri Maria.
"Kau datang?" tanyaku.
"Setidaknya aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kali kalau dunia benar-benar kiamat hari ini," ujarnya.
Aku tanpa basa-basi menciumnya. Mungkin ciuman untuk yang terakhir kalinya sebelum aku berangkat bertempur.
"Aku akan kembali, aku akan kembali Maria. Kalau aku kembali, aku ingin
hidup bersamamu dan aku tak akan meninggalkanmu lagi," kataku.
Maria menggenggam tanganku erat. Seolah ia tak ingin melepaskannya.
"Kembalilah Ray, aku akan menunggumu di sini. Aku tahu, kamu
mencintaiku."
Ibuku kemudian berkata, "Wahai anak-anakku, di depan kita adalah masa
depan. Azrael sebentar lagi akan datang. Kalian adalah para elemental.
Satu-satunya harapan bumi ada pada kalian. Kalau kita tidak berhasil
hari ini untuk mengalahkannya, maka tidak akan ada lagi hari esok. Bumi
dipenuhi dengan kegelapan, kedukaan, kehancuran. Ingatlah orang-orang
yang kalian cintai untuk terakhir kali. Jadikan itu sebagai penyemangat
kalian untuk mengalahkan mereka."
Semua para elemental bersorak. Kita sudah melihat masa depan di depan sana.
"Detektif Johan, kutitipkan Maria kepadamu," kataku.
"Tentu saja, aku ayahnya," katanya.
Aku melihat inspektur James ayahku, dia mengepalkan tinjunya ke arahku.
Dan aku mengepalkan tinjuku. Kedua tinju kami bertemu lalu aku memeluk
dia.
"Jaga ibumu di dalam sana," katanya.
"Aku tak bisa berjanji," kataku.
"Yah, aku mengerti. Setidaknya, kalian harus saling bantu," katanya.
"Piere, kalau boleh habis ini kita bisa jadi besan. Hahahahahahahaha."
Ayahku dan detektif Johan tertawa terbahak-bahak. Maria tampak malu-malu. Aku hanya tersenyum saja dan meninggalkan mereka.
***
Kami sudah berada di depan bangunan aneh yang ada di sekeliling Tugu
Monas. Pukul dua belas nanti akan terjadi gerhana. Sebelum itu kita
harus bisa mengalahkan Thomas, paling tidak menghalangi dia. Tapi kami
rasa itu tidak akan mudah. Semua bangunan ini sudah dipersiapkan oleh
mereka. Membangun dengan elemen tanah dan besi.
"Kita harus bisa bertemu dengan Thomas sebelum gerhana matahari," kata Ibuku. "Kalau sampai terlambat, kita akan binasa."
Aku yang berada di depan masuk ke bangunan itu. Di dalamnya ada sebuah
ruangan yang sangat besar serta anak tangga yang menjulang sampai ke
atas. Aku bisa mengetahui bahwa puncaknya itu adalah tugu Monas. Azrael
sengaja membuat ini karena ia ingin dianggap yang paling tinggi. Baru
saja aku melangkah masuk dari bawah tanah, muncullah sesuatu. Tidak
hanya satu tapi banyak. Suara bedebum juga terdengar.
Baiklah, ini kejutan. Aku melihat makhluk-makhluk aneh yang pernah aku
lihat di pulau aneh itu di sini. Dari Elk, Troll, Minotaur, Chimera dan
Titan.
"Apaan ini?" gumam Alex.
"Kawan-kawan mereka makhluk-makhluk yang ada dalam mitos. Tak perlu
susah payah mengalahkan mereka, soalnya otak mereka kerdil koq. Aku
sudah pernah melawan mereka," kataku.
"Yang benar saja?!" kata Alex.
"Tenanglah, aku dan yang lainnya akan menghadapi mereka. Kalian dan yang lain naik saja!" kata Tim.
"OK!" kata Alex.
"Let's Rock!" kata Tim. Dia dan sebagian elemental sudah bergelut di bawah sana melawan monster-monster aneh itu.
Aku dan yang lain yang masih tersisa naik ke atas. Di lantai ini kami
bertemu dengan orang-orang dari Dark Lantern. Mereka ada tiga orang dan
sepertinya mereka anggota elit. Mereka memakai sarung tangan Jolt.
"Ohohoho, sepertinya ini bagian kami Ray," kata Alex.
"Yup, serahkan kepada kami!" kata Andre.
"Kalian yakin? Aku bisa dengan mudah mengalahkan mereka," kataku.
"Jangan sombong lu!" kepalaku digetok oleh Alex. "Udah sana ke atas!"
Aku dan ibuku berjalan melewati tiga orang itu. Soalnya tangganya ada di belakang mereka.
"Balancer, Robert sudah menunggu di atas," kata salah seorang dari mereka.
"Aku tahu," kata ibuku.
Kami berdua pun naik ke tangga. Terus ke atas hingga aku bertemu dengan
Robert di lantai selanjutnya. Dia tampak duduk dengan segelas anggur di
tangannya. Wajahnya tampak menunjukkan rasa ketidak sukaan.
"Well, well, well, anak dan ibu akhirnya bertemu. Tak kusangka keluarga
van Bosch akhirnya punya keturunan lagi setelah sekian lama," kata
Robert.
"Kita masih punya urusan yang belum selesai, Robert," kata Ibuku.
"Tentu saja Lili sang Balancer, tentu saja. Aku sudah menunggu saat-saat
seperti ini," ujar Robert. "Aku akan kembali membunuh seorang Balancer
lagi."
"Boleh jadi William saat itu lengah karena berusaha melindungiku dan
anakku. Tapi sekarang, aku sendirian yang akan membalaskan William,"
kata Ibuku.
"Aku pergi dulu ibu," kataku.
"Iya, temuilah Thomas!" kata ibuku.
Aku berjalan melintasi Robert.
"Hei Nak! Siapa bilang kamu boleh lewat?" tanya Robert, dia langsung berdiri dan mencengkram lenganku.
"Siapa yang memperbolehkanmu menyentuhku?" tanyaku.
Lengan Robert telah dipasang sarung tangan Jolt. Aku menatap mata
Robert. Kupegang pergelangan tangannya dan kutarik dari lenganku,
setelah itu ia kulempar semudah aku melempar bola hingga ia menghantam
dinding. Pasti sakit menghantam dinding sampai jebol seperti itu. Aku
melanjutkan langkahku menunju tangga.
Robert dengan angkuh masih bisa berdiri, "Si..sialan!"
"Robert, tak perlu mengganggu Ray, kamu adalah lawanku," kata ibuku.
"Kurang ajaaarr!" teriak Robert.
Aku tak menghiraukan mereka lagi. Aku sudah semakin naik ke atas. Dan
aku bisa sadari sekarang sudah berada di puncak monas. Di dekat bangunan
puncaknya itu kulihat seseorang sedang duduk di atas singgasananya. Dia
Thomas.
"Selamat datang keponakan! Apa kabar?" tanyanya.
Aku tak banyak bicara, langsung saja aku membentuk tombak terbuat dari
es dan melemparkannya ke arah Thomas. Thomas sedikit mengelak karena
kalau tidak maka kepalanya akan terkena tombak es itu.
"Tanpa basa-basi eh?" katanya.
"Aku tak punya waktu, karena sebentar lagi gerhana datang, maaf paman. Hari ini aku akan mengalahkanmu," kataku.
Thomas berdiri dan langsung bergerak dengan elemen petirnya. Di
tangannya ia membentuk sebilah pedang dengan elemen besi. Aku juga
demikian. Kedua pedang kami berbenturan. TRANG! Dan terjadilah
pertarungan pedang, kadang aku menyelinginya dengan menghantamkan api
Salamander ke arahnya, tapi ia bisa menangkisnya. Ada yang aneh. Aku tak
tahu apa.
Aku terus berkelit, ketika dia menyerangku bertubi-tubi dengan elemen
besinya. Kemudian ia aku balas juga dengan elemen-elemen besi, es dan
api. Thomas tetap bisa menangis semuanya. Ia tentu saja lebih
berpengalaman dalam menggunakan elemen dari pada aku. Hanya saja aku
tetap merasa ada yang aneh. Dan sampai aku bertarung dengan menggunakan
seluruh macam elemen tetap saja aku tak tahu apa yang aneh.
NARASI ANDRE
Kami sekarang berhadapan dengan tiga anggota ATFIP.
"Namaku John," kata orang pertama.
"Namaku Scarlet," kata orang kedua yang memang cewek.
"Namaku Hund," kata orang ketiga.
"Kami jumlahnya ada banyak, sanggup kalian melawan kami?" tanya Alex.
"Mau coba?" tanya John. "Sebanyak apapun kalian, tak akan mampu
melawanku. Terutama sarung tangan Jolt ini bisa mengeluarkan berapapun
elemen secara bersamaan."
"Kami juga punya banyak elemen, ayo teman-teman!" kata Alex.
Pecahlah pertempuran kami. Aku dan Puri sama-sama mengincar seseorang
Hund. Karena, menurut kami dia orang yang terlemah di antara mereka.
Potongan tubuhnya pendek dan tak meyakinkan sebagai seorang agen. Aku
langsung melemparkan serangan bebatuan ke arah Hund. Hund menahannya
juga dengan sebuah tembok yang ia bentuk dari elemen tanah. Puri bekerja
sama denganku kali ini ia menyerang dari atas. Satu dua batu berbentuk
panah dilemparkan ke Hund.
Hund bergerak dengan cepat pergi dari tempat itu. Dan tahu-tahu sudah
berada di belakangku. Aku yang sigap tak akan tertipu oleh trik ini.
Segera aku bentuk sebuah pisau besar dari elemen air. Puri melemparnya
dengan tombak dari bebatuan. Kena. Hund terdorong beberapa langkah ke
belakang. Oh, dia sudah memakai perisai dari...besi? What?? Aku melihat
warna ungu menyala di sarung tangan Joltnya. Elemen ungu, elemen besi.
"Kalian hanya bisa elemen tanah dan air. Aku punya banyak. Tanah, api,
listrik, besi. Empat elemen dalam satu sarung tangan Jolt. Hahahaahaha.
Kalian bisa melawan ini semua?" tanya Hund. "Kalian cukup beruntung aku
membawa empat elemen, kedua temanku yang lain hanya punya dua elemen.
Itu karena akulah yang paling kuat daripada mereka berdua."
Oh tidak, apakah kami salah mengambil lawan?
"Jangan takut Ndre, dia pasti bisa dikalahkan!" kata Puri.
"Hahahahaha, tahu apa kamu wanita jalang?!" kata Hund.
DUESSSHH! Aku sudah memukul Hund dengan tanganku saat ia lengah. "Jangan menghina cewek gua, brengsek!"
Hund sudah terkapar menerima pukulanku. Beberapa saat kemudian dia berdiri. "Pukulanmu boleh juga."
"Aku akan hajar dirimu sampai kamu menyesal telah berada di Dark Lantern, Hund!" kataku.
Pertarungan dimulai lagi. Kini Hund lebih banyak menggunakan elemen
besinya. Dia membentuk sebilah pedang. Aku juga dengan gelang Joltku,
membentuk sebilah pedang terbuat dari bebatuan yang ada di sekitar
tempat itu. Dan kami saling menghantam, saling menebas, aku menghindar,
berkelit. Kali seolah-olah sedang bermain anggar. Saat ia akan
menebaskku, aku sudah membentuk pertahanan dengan menggunakan elemen
tanah.
Puri pun juga membantuku, dia membentuk palu yang besar sekali kemudian
berusaha menghantam Hund dengan palu itu. Namun Hund membentuk sebuah
perisai yang tiba-tiba saja muncul dari tanah hingga palu besar itu tak
bisa menembusnya.
"Sepertinya kuduga, kalian tak akan bisa mengalahkanku. Dengan elemen
besiku aku bisa membuat sebuah pedang yang sangat tajam dan sanggup
memotong apa saja. Tak ada yang bisa yang tidak bisa aku potong dengan
pedang ini," Hund membentuk sebuah pedang dengan gagang yang sedikit
panjang. Kemudian dia menebas pedang batu yang aku bentuk dengan
tanganku tadi. Palu milik Puri pun bisa terpotong menjadi dua.
Dia kuat. Apa benar kami salah milih lawan?
Hund sekarang membentuk baju zirah ke seluruh badannya. Dia membawa
pedang di tangannya. Walaupun dengan pedang dan baju zirah kecepatannya
masih saja seperti tadi. Tapi dia tidak memakai kekuatan elemen
petirnya. Bagaimana aku bisa mengalahkan dia? Pedangnya benar-benar bisa
memotong pertahanan elemen tanahku. Puri juga demikian. Tidak tahu lagi
bagaimana caranya untuk mengalahkan Hund. Aku harus berpikir. Bukankah
selain kemampuan mengendalikan elemen, elemen-elemen itu juga bisa
digunakan untuk pertahanan dan kemampuan khusus. Kalau Ray bisa
memberikan rasa takut, demikian juga Balancer. Maka aku juga harusnya
bisa.
Tapi tunggu dulu. Ray bisa mengendalikan lebih dari dua elemen secara
bersamaan. Aku sekarang punya dua gelang bukan? AKu bisa mengendalikan
dua elemen. Harusnya kombinasinya pasti ada. Aku akan mencoba. Aku pun
gerakkan elemen air dan tanah, secara mengejutkan di hadapanku
muncul....pohon?? hah? Pohonnya kecil, dan merambat. Namun berhenti
ketika aku hentikan gerakannya. Kayu, elemen kayu. Dan kemampuan
khususnya....kalau aku bisa membuat elemen kayu, maka aku tahu sekarang
cara untuk mengalahkan Hund. Hund, bersiaplah!
Selama Puri menghadapi Hund, aku mencoba-coba kekuatan baruku. Aku bisa
menumbuhkan pohon dengan menyatukan kedua tanganku. Semudah itu? Aku
mencoba lagi berimajinasi sebuah bentuk. Aku pun terkejut ketika
mengetahuinya. Aku bisa membentuk pohon dengan bentuk yang sangat aneh.
Seperti manusia, raksasa. Whoaaa! Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi
tapi ini keren.
"Ndre?! Apa itu?" tanyanya.
"Entahlah, tapi sepertinya aku tahu cara untuk mengalahkan orang ini,"
kataku. "Dan aku tahu kelemahan dari sarung tangan itu. Setidaknya
demikian."
"Kamu membual anak muda!" kata Hund.
Hund melepaskan anak panah yang terbuat dari besi. Aku membentuk elemen
kayu lagi. Tiba-tiba beberapa puluh pohon menghadang panah itu sehingga
aku tidak terkena. Dengan elemen kayu juga aku membentuk makhluk-makhluk
aneh yang terbuat dari kayu. Hahaha, aku suka sekali kekuatan gabungan
elemen ini.
Hund kemudian menebas seluruh manusia pohon buatanku dengan pedangnya.
Kemudian dia melepaskan baju zirahnya dan menyembur seluruh kayuku
dengan elemen apinya. Pohon-pohon itu pun terbakar. Dengan cepat aku
menyiram api-api itu dengan air. Puri tak tinggal diam ia tetap
konsisten menyerang Hund. Hund menghentikan semburan apinya dan membuat
pertahanan dengan batu. BLEDUG! Suara bebatuan saling menghantam.
"Puri, tak usah takut ama dia!" kataku. "Kelemahan sarung tangan Jolt
adalah, dia tak bisa mengkombinasikan dua elemen sekaligus. Selalu
bergantian. Jadi kalau kamu mengeluarkan elemen tanah, sekarang aku bisa
menangkap kakimu."
Hund terkejut karena kakinya sudah aku tangkap dengan akar pohon. Dia
buru-buru memanggil elemen besi, belum sempat dia mengambil Puri sudah
menghantam tubuhnya dengan palu yang terbuat dari batu. Hund langsung
terhempas beberapa meter.
Di tempat yang agak jauh aku melihat Alex dan yang lain sedang kewalahan
menghadapi dua orang agen ATFIP itu. Aku pun berteriak kepadanya.
"LEX, MEREKA TAK BISA MENGGUNAKAN DUA ELEMEN SEKALIGUS! JANGAN TAKUT MEREKA TIDAK SEPERTI RAY!" teriakku.
Alex yang mendengar itu tiba-tiba bersemangat. Dia kemudian dengan
teman-temannya segera menghajar seorang agen ATFIP itu dengan kombinasi
elemen. Sementara itu Hund benar-benar kuat. Dia masih bisa berdiri
setelah dihantam palu besar tadi. Sekarang ia tertawa.
"Hahahahaahahahaha....bagus sekali, aku suka pertarungan ini. Jadi, kamu
tahu apa kelemahanku. Baiklah pertarungan kita akan jadi lebih menarik.
Aku lebih suka menggunakan elemen besi. Karena unsur ini adalah yang
terkuat yang pernah aku miliki. Aku tak suka dengan unsur api karena
bisa menghancurkan segalanya. Aku akan memotong-motong kalian!" kata
Hund.
BAB XXXII
Azrael
NARASI RAY
Thomas sangat kuat, aku akui itu. Dan pertarungan kami cukup berimbang.
Sebagai seorang creator aku bisa mengimbangi cara bertarung dia. Cara
bertarungnya sama seperti aku. Aku berdiri di atas platform yang terbuat
dari es ketika aku mengimbangi dia membentuk golem raksasa
bersenjatakan tombak bertarung dengan golem raksasa yang dia buat juga
dengan bersenjatakan pedang. Pertarungan kami aneh sekali, memang kami
tidak bersentuhan, saling melempar elemen. Membuat berbagai bentuk macam
benda. Berbagai macam seperti robot, meriam, tank, pesawat, dan
semuanya seperti bermain-main.
Aku bisa mengimbangi cara bertarung seperti itu. Kalau ada kesempatan
aku selalu melempar sesuatu kepada dia. Dan dia juga demikian. Sial.
Kuat sekali dia. Setelah itu ia menghentikan sejenak pertarungannya.
"Hahahaha, sudah aku duga. Kemampuanmu luar biasa Ray. Keluarga van
Bosch memang berdarah ksatria. Tak mudah ditaklukkan," kata Thomas.
"Sudah lama aku tidak bertarung seperti ini Ray, dan....wah...matahari
mulai redup."
Aku melihat di langit, bayangan bulan mulai mendekat ke matahari. Apakah
aku terlambat? Sigh. Aku harus mengalahkan orang ini. Kalau sampai
gerhana Azrael akan datang.
"Aku sebenarnya mengujimu Ray. Dan kamu punya sebuah kelemahan.
Kelemahan yang juga dimiliki oleh ibumu. Kelemahan itu bernama cinta,"
ujar Thomas.
"Kelemahanku?"
"Akulah yang mengirimkan lima orang elemental itu ke teman-temanmu, dari
situ aku tahu bahwa kelemahanmu adalah dia!" Thomas menunjuk ke sudut
ruangan. Dan aku sangat terkejut ketika di sana ada seorang gadis yang
sedang berdiri. Ia tampak linglung.
"Maria??"
"Lho, koq aku ada di sini?" gumam Maria.
"Thomas! Jangan libatkan dia dalam pertarungan ini. Lawan aku!" kataku.
"Ray??!" panggil Maria.
Tiba-tiba dari bawah tubuh Maria ada sebuah akar pohon yang merambat dengan cepat mengikat seluruh tubuhnya.
"Raaayyyy!" teriaknya.
"Thomas! Lepaskan dia!" kataku.
"Sudah kubilang bukan ini kelemahanmu. Dan satu lagi," kata Thomas. Satu lagi? Tidak, jangan! Jangan!
Sebuah kilatan petir tiba-tiba berada di sebelanya. ZAP! ZAP! ZAP!
Kemudian seorang gadis tampak juga kaget tiba-tiba ia bisa berada di
tempat ini. Michele!
"Thomas! Aku akan benar-benar membunuhmu kalau kamu menyakiti mereka," kataku.
"Ray?? Apa yang??! Thomas?!" Michele terkejut.
"Kita bertemu lagi Michele," kata Thomas.
Michele pun diberlakukan sama seperti Maria. Dari bawah tempat dia
berdiri tampak akar-akar pohon merambat dan mengikat kaki dan seluruh
tubuhnya.
"Aaaaahhkk!" jerit Michele.
"Tenang saja, sampai Azrael bangkit aku tak akan menyakiti mereka.
Apalagi dari mereka keturunan keluarga van Bosch juga akan diteruskan,"
kata Thomas.
"Keturunan?" gumamku. Aku melihat ke arah Maria dan Michele. Mereka berdua tampak terkejut.
"Yang satu dari Mist, yang satu manusia biasa. Hmm,...menarik," kata Thomas.
"Ray...? Kamu?" Maria melihat ke arahku. Kemudian Michele.
"Tidak Maria, tidak! Thomas berbohong. Dia berbohong!" kata Michele.
"Ray mencintaimu, dia mencintaimu. Thomas! Kamu teganya berkata seperti
ini. Apa yang kamu inginkan?"
"Aku tidak pernah berbohong Michele. Sebagai seorang ksatria aku tidak
pernah berbohong. Demikian juga Ray. Ray mencintai kalian. Aku bisa
melihat itu. Lihatlah sekarang dia! Kemarahannya benar-benar sudah
meledak," kata Thomas.
Ya, kemarahanku sudah meledak. Dan aku membuka kedua tanganku. Kalau
selama ini aku hanya menggunakan satu tangan, kini aku menggunakan kedua
tanganku. Kedua telapak tanganku mengeluarkan cahaya berwarna biru.
Seluruh elemen besi terkumpul di tangan kananku, seluruh elemen es ada
di tangan kiriku. "Aku bunuh kau Thomas!"
Aku serang Thomas dengan membabi buta. Dia aku tembakkan panah-panah
dari besi. Thomas dengan mudah membuat pelindung dari besi dan
menahannya. Dengan tangan kiriku aku memegang lempengan besi yang ia
buat untuk melindungi tubuhnya. Lempengan besi itu membeku dengan cepat
sehingga aku bisa menghancurkannya dengan membentuk palu besi yang
kuayunkan ke perisai itu.
"Ray! Ingat semua yang telah aku ajarkan! Ingatlah semua, jangan dengan emosi. Kamu akan kalah Ray!" teriak Michele.
Tiba-tiba setelah perisai buatan Thomas itu hancur, aku dikejutkan
dengan sebuah panah kecil yang meluncur menembus dadaku. Ugh! Sakitnya.
Perih. Nyeri. Panah itu benar-benar menembusku dan membuatku mundur
beberapa langkah. Darah segar mengucur deras di dadaku yang berlubang.
Lukanya untung tidak mengarah ke jantungku, tapi paru-paruku tembus.
Mulutku pun keluar darah.
Air, air aku butuh air. Siapa yang ada di sini. Ahh...Karbunkle, aku
butuh bantuanmu. Ya, aku mengarahkan elemen air Karbunkle ke lukaku
untuk penyembuhan tapi.....tiba-tiba Karbunkle....Karbunkle??
"Kamu tahu sekarang?" kata Thomas. "Kemampuanku bukan sekedar Creator,
Ray. Lebih dari itu, aku juga seorang Destroyer. Kamu tahu apa itu
destroyer? Aku bisa menghancurkan seluruh elemen. Elemen apapun. Air,
Udara, Api, Tanah, Besi, Kegelapan, Cahaya, semuanya bisa aku musnahkan.
Karbunkle? Hahahahaha....dia baru saja pergi. Musnah," kata Thomas.
Aku tengkurap. Merasakan sakit di dadaku, sedangkan darah terus mengucur
dari lukaku. Aku melihat matahari. Sedikit lagi akan terjadi gerhana.
Siaaaaaaaal!
"Ray! Bertahanlah Ray!" teriak Maria. "Ray, aku percaya kepadamu. Aku
percaya kepadamu. Aku tetap mencintaimu Ray, bertahanlah! Aku akan
berdo'a agar kamu menang, aku berdo'a untukmu!"
"Ray! Ingatlah semua yang pernah aku ajarkan. Kemampuanmu sebagai
seorang Creator tidak hanya begini saja. Lebih dari itu, lebih lagi,"
suara Michele berubah. Aku melihat ke arah Michele.
Wajahnya....dia...menjadi keriput. Rambutnya memutih. Iya, dia jauh dari
salju. Kekuatan Mist ada pada salju. Siapa lagi yang ada di sini? Air,
siapa yang ada di sini? Angin, siapa yang ada di sini. Aku sedikit demi
sedikit mencoba bangkit, menggerakkan badanku yang rasanya lumpuh. Aku
harus menolong Michele. Salju, aku harus membuat salju.
Ada elemen air yang menyapaku. Dia bernama Virion. Dia akan menolongku.
Tidak, ada lagi, Hum, Veiz, Ciz, Tro, mereka menyapaku. Dan angin aku
bertemu lagi dengan Windia, Gretz, Lotz, Bor, dan Koz. Aku memerintahkan
mereka untuk menolong Michele. Aku berbicara kepada mereka dengan
hatiku. Tolong Michele! Tolong Michele! Tolong Michele!
Namun, tiba-tiba suasanya gelap. AKu melihat ke arah matahari. Oh tidak. Matahari sudah seperti tertutup sempurna oleh bulan.
"WAHAHAHAHAHAHAHAHAHA, sudah saatnya. Ray, aku akan berikan ketakutan
yang tidak pernah engkau rasakan sebelumnya. Ketakutan yang menakutkan
bahkan bisa-bisa engkau tidak akan sanggup lagi untuk hidup. Ketakutan
yang menyebabkan engkau lebih memilih kematian daripada kehidupan.
Selamat datang Azrael, selamat datang!" kata Thomas dengan suara
lantangnya.
Planet-planet telah sejajar. Dan bumi dalam kegelapan total. Thomas
merapalkan mantranya dan seluruh tempat yang ditandai oleh pentagramnya
menyala. Langit berwarna hitam kemudian memerah seperti darah. Apa yang
akan terjadi dengan bumi ini? Kegelapan yang sempurna. Bahkan aku tak
bisa melihat siapapun sekarang. Tiba-tiba tepat dari tengah kegelapan
matahari sebuah kilat berwarna merah menyambar.
BLAARRR! BLARRR! BLAARRR! Tiga kali menghantam tepat ditubuh Thomas.
Mata Thomas kemudian berubah menjadi merah menyala. Dia pun diselimut
aura kegelapan. Aku melihat sebuah siluet di atas kami. Siluet yang
sangat besar, seperti seekor burung, pesawat? Tidak, lebih besar lagi.
Kemudian aku melihat sebuah cahaya yang menyala terang dari sosok itu.
Ketakutan. Itulah yang aku rasakan sekarang. Ketakutan yang sangat besar melebihi apapun.
"AZRAEL TELAH DATANG!" ucap Thomas.
Kulihat sesosok seperti burung raksasa sebesar lapangan istora senayan
mungkin dengan baju zirah berwarna emas dengan ukiran-ukiran di baju
zirahnya. Beberapa batu dan zamrud menghiasi leher burung raksasa itu.
Burung raksasa itu mempunyai empat pasang mata berwarna merah menyala.
Sayapnya besar. sangat besar seolah-olah melingkupi langit. Di ekornya
tampak nyala api berwarna biru, bentuknya seperti ekor burung Phoenix,
tapi lebih halus dan seperti seolah-olah membakar apapun yang
dilewatinya.
"Kemarilah Azrael, ambillah tubuh ini, ambillah!" kata Thomas.
Kemudian sosok Azrael yang sebesar itu menyusut, mengecil kemudian
disekeliling tubuhnya diselimuti kilat berwarna hitam. Kilat itu masuk
ke dalam mulut Thomas. Tubuh Thomas kejang-kejang. Dia seperti merasakan
hentakan yang sangat keras. Kekuatannya benar-benar meledak. Kubisa
merasakan energi yang dahsyat aku pun terdorong terseret hingga
menghantam tembok.
"Ray, bertahanlah!" lagi-lagi suara Maria.
"Ray, bertahanlah!" sekarang suara Michele.
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan sekarang?
NARASI BALANCER
Ray telah pergi ke atas. Sekarang aku kembali berhadapan dengan Robert.
Robert, lelaki yang telah membunuh William adikku, kemudian
melemparkannya ke bawah jembatan. Aku masih ingat saat-saat terakhir
William. Ia berusaha melindungiku dari orang ini. Ketika aku dan baru
saja melahirkan Ray ke dunia ini. Keberadaanku telah diketahui oleh
Thomas. Thomas akhirnya menyuruh orang ini untuk membunuhku.
"Balancer, akhirnya kita selesaikan sesuatu yang tertunda," kata Robert.
Aku memanggil kekuatan elemenku, besi. Seperti biasa, aku dengan
kuku-kuku besiku sudah siap mencabik-cabik Robert. Dia juga memakai
kekuatan elemen besinya. TRANG! Dua besi berbenturan.
Pertempuran kami berlangsung dengan cepat seperti biasa. BlAM! kepalan
tinju kami beradi. BLAM! BlAM! Aku tak menyangka dia bisa dengan mudah
mengimbangi pertarungan ini. Dia membentuk baju besi ke seluruh badannya
dan lagi-lagi benturan kekuatan kami. Sesaat membuat baju zirahku juga
bergetar hebat.
"Kamu masih kuat juga Lili," ujar Robert.
"Usia tak akan mengubah aku Robert," kataku.
"Aku mengerti. Kalau begitu aku sangat senang sekali bertarung dengan
cara yang lebih," kata Robert. "Aku menamakannya Rimba Besi"
Tiba-tiba lantai tempat aku berdiri bergetar hebat. Dan dari dalamnya
muncul satu, dua, banyak sekali tombak-tombak, bahkan pepohonan seperti
pohon pinus atau cemara tapi semuanya terbuat dari besi. Gila, kekuatan
apa yang dimiliki oleh Robert ini? Dia bisa membuat elemen besi sebanyak
ini.
Aku melompat, menghindar, dan mencari celah di antara tumbuhnya
pohon-pohon besi ini. Kalau saja aku terkena sedikit saja aku akan
tercabik-cabik. Aku pun sudah berada di tengah-tengah pepohonan rimba
yang terbuat dari besi.
"Bagus, sekarang kamu sudah masuk ke dalam perangkapku," kata Robert.
"Perangkap?"
Robert mengayunkan tangannya, segera kulihat pohon-pohon besi itu
membengkok ke arahku. Ujung-ujungnya yang runcing seolah-olah siap
menggilingku. Aku benar-benar terperangkap.
"Robert, kamu kira sebagai Balancer aku akan dikalahkan dengan cara
seperti ini? Aku akan berikan kepadamu kengerian yang tidak pernah kamu
bayangkan sebelumnya. Aku bukan hanya memakai elemen besi saja, kamu
perlu tahu itu ada sebuah elemen yang kamu tidak pernah mengetahuinya
sebelumnya. Kamu ingin mencobanya?"
"Kamu hanya membual Lili, coba saja," kata Robert dengan sombongnya.
Aku sebenarnya bisa mengendalikan satu elemen lagi. Tapi aku tak pernah
memakainya. Karena elemen ini hanya sekali digunakan. Apabila aku sudah
menggunakannya maka aku tidak akan pernah bisa menggunakannya lagi. Aku
menamakannya Spirit. Elemen ini tak mempunyai nama. Tidak seperti Dark
Matter ataupun Void. Spirit lebih mengerikan dari mereka. Dan aku pun
memanggilnya.
"Elza, keluarlah dan bantulah aku sekarang!" kataku.
"Kamu yakin? Kamu belum bertemu dengan Azrael, Lili," kata Elza yang berada di dalam tubuhku.
"Aku tahu. Tapi aku tak punya cara lain. Aku sekarang hanya bisa
berharap kepada Ray agar dia bisa mengalahkan Azrael dengan caranya
sendiri. Aku hanya menggunakanmu sekali saja bukan?" tanyaku.
"Iya, cukup sekali. Hmm...aku akan merindukanmu setelah ini Lili," katanya.
"Aku tidak akan pernah merindukanmu Elza, karena kekuatanmu sangat mengerikan," kataku.
"Hihihihihi, baiklah. Selamat tinggal Lili, apa boleh buat aku memang tak bisa disentuh oleh siapapun kecuali olehmu," katanya.
Aku memejamkan mata. Kubuka kedua tanganku. Kabut gelap mulai muncul di kedua tanganku.
"Ayo Lili, mana senjata terakhirmu? Mana?" tanya Robert.
"Kamu tidak mengerti Robert. Dia sudah aku keluarkan," jawabku.
"Mana? Aku tak melihat apa-apa," katanya.
"Kamu tidak mengerti Robert," aku membuka mataku. "Elemen ini bernama
Spirit. Tapi sebenarnya ia tak punya nama. Dia dipanggil Elza. Sekali
menggunakannya aku tak bisa menariknya, sekali aku mengeluarkannya aku
tak akan bisa menggunakannya lagi."
"Hoo? Trus? Apa yang terjadi?"
"Elza sudah bekerja, kamu masih tak sadar juga? Baiklah. Lihatlah besi-besimu!"
Robert mulai merasakan sekarang. Elemen-elemen besinya tiba-tiba saja
layu, kemudian sebagian menjadi abu. Serpihan-serpihannya sebagian
terbang, sebagian lagi jatuh ke tanah. Elza, dia elemen yang
mengendalikan inti dari materi. Sebagai seorang Balancer telah lama aku
dilarang menggunakannya kalau tidak benar-benar dibutuhkan. Aku memang
berencana untuk menggunakannya melawan Azrael. Tapi sepertinya hal itu
tidak mungkin. Setiap makhluk, setiap benda, punya inti dari materi.
Elza bisa mengurai semuanya, semuanya. Benar-benar semuanya. Ia bisa
mengurai planet, bisa mengurai udara, bisa mengurai sesuatu yang tak
terlihat sekalipun. Dan sebentar lagi dia akan mengurai Robert.
"Apa? Apa yang terjadi?" Robert mulai merasakan ia tak akan bisa mengendalikan elemen besinya.
"Kamu tak akan bisa mengendalikannya lagi Robert. Karena seluruh
elemenmu sudah terurai, dan sebentar lagi kamu akan terurai," kataku.
"Itu tidak mungkin!" Robert kemudian menggerakkan elemen tanah, namun
elemen tanah itu pun tiba-tiba menjadi debu. Ia mengeluarkan elemen api,
tiba-tiba api pun menghilang. Sarung tangan Joltnya sudah tak berfungsi
lagi sekarang. Dia mulai melihat tangannya sedikit demi sedikit menjadi
abu.
"APA YANG KAMU LAKUKAN WANITA JALANG!?!" teriak Robert.
Dengan langkah tenang aku melepas baju besiku. Kemudian aku melihat
keadaan menjadi gelap. Sudah terjadi kah? Kita terlambat. Azrael sudah
bangkit. Aku harus segera menemui Ray. Robert berusaha menggapaiku, tapi
tangannya hancur menjadi abu. Ia mencoba melangkah, tapi kakinya hancur
menjadi abu.
"Tidaak! Kurang ajar! Aku tidak terima ini! Kenapa ada elemen seperti
itu? Kenapaaaaaa???" itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia menjadi abu
sepenuhnya dan hilang tertiup angin.
Berakhir sudah riwayat Robert.
BAB XXXIII
Next Form
NARASI ANDRE
Saat kami bertarung dengan Hund. Tiba-tiba semuanya berubah gelap.
"Sudah saatnya kedatangan Azrael," kata Hund. "Kamu masih sanggup menerim kekalahan ini?"
"Heh, bodoh! Aku belum kalah!" kataku.
"Sudahlah, percuma saja kamu menyerangku dengan akar-akar pohon bodohmu
itu. Tetap akan aku tebas dengan pedang besiku. Tak ada yang bisa
mengalahkanku. Pertahanan elemen tanahmu pun tidak akan ada apa-apanya
bagiku," ujar Hund.
Aku tahu itu. Aku tahu. Besinya cukup kuat. Tapi....aku punya kemanpuan
yang lebih baik daripada ini. Kemampuan dari elemen kayu. Kemampuan ini
adalah.....
"Ndre, bagaimana sekarang?" tanya Puri.
"Jangan takut! Aku akan melindungimu sekarang," kataku sambil memegang tangan Puri.
Hund dengan baju besi dan seluruh senjatanya siap menyerang. Aku
menyatukan kedua tanganku. Kembali aku membuat akar-akar yang kuat
kemudian bersatu dengan elemen tanah sekarang membentuk seperti seekor
naga yang mulutnya terbuka lebar yang sudah siap untuk memakan
bulat-bulat Hund.
Tentu saja Hund dengan pedangnya menebas naga itu. Tapi aku tak
kehabisan akal. Kalau dia bisa menebasnya maka aku buat lagi, lagi, lagi
dan lagi. Puri pun membantuku, dia membentuk bebatuan menjadi seperti
tombak dan melemparnya ke arah Hund. Terus diserang tanpa henti, Hund
tidak merasa kewalahan bahkan seluruh serangan kami bisa dimentahkan.
KLANG! Terdengar suara dari baju besi Hund. Tampak baju besinya terbelah
dengan sendirinya. Ada bercak coklat yang ada di pecahannya itu.
"Apa ini?" gumamnya.
"Pelajaran biologi, kamu lupa satu hal, besi juga bisa berkarat. Dan karat itu karena apa?" tanyaku.
"Air?"
"Tetooot. Tidak hanya air, karat adalah bakteri. Kemampuanku bisa
menumbuhkan akar-akar pohon membuatku mendapatkan ide untuk bisa membuat
karat pada baju besimu. Dan berhasil. Sekarang bagaimana manusia
kaleng? Kita melangkah ke pelajaran selanjutnya?" kataku.
"Impresive. Menakjubkan. Kamu bisa melakukan hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya," katanya.
"Kalau begitu. Bagaimana kalau kita sekarang melangkah ke level selanjutnya. Kamu tahu kemampuan dari elemen kayu?"
"Membuat benda-benda aneh dari akar pohon seperti tadi?"
"Tidak, lebih dari itu. Kamu tak lihat ternyata. Kamu tak merasa mereka
tumbuh lebih cepat, tumbuh lebih besar dan tumbuh lebih kuat?"
Hund masih keras berpikir.
"Baiklah, aku tak tahu kamu pelajaran biologi dapat berapa. Tanaman bisa
tumbuh karena air, tanah dan mineral. Mineral-mineral yang berada dalam
tanah tidak selamanya dipunyai. Namun, itu berbeda kalau ketika mereka
tumbuh kemudian mati, maka bagian tubuh yang mati itu menjadi pupuk.
Pupuk bisa membuat tanaman kuat, tanaman lebih subur. Inilah
kemampuanku, REVERSE!"
Dari tanah, tumbulah sesosok ular raksasa lagi. Dan kini tidak memakan
Hund, tapi membelitnya. Bagus ia tak bergerak sekarang. Bahkan karena
belitannya sangat kuat baju besinya pun remuk. Aku melihat darah keluar
dari mulutnya. Ia tak bisa menggunakan sarung tangan Joltnya.
"Keparat! Brengsek!" umpatnya.
"Puri, bagianmu!" ujarku.
Puri pun melemparkan tombak batunya dan akhirnya tombak itu menembus
tubuh Hund. YES! Berakhirlah riwayat Hund. Aku pun melakukan tos bersama
Puri. Kulihat Hund matanya terbelalak dan kosong. Seperti inilah cara
menggunakan elemen. Tunggu rasanya ada yang aneh.
Suasana makin gelap entah apa yang terjadi. Tapi aku merasakan sesuatu yang tidak biasa di bangunan ini. Entah apa.
"Puri, kamu kenapa?" tanyaku ketika melihat ia tiba-tiba berdiri
mematung. Oh tidak, tidak, tidak! Sebuah panah menancap di tubuhnya.
Panah dari besi. Aku menoleh ke arah Hund. Ternyata di saat-saat
terakhirnya ia melemparkan panah besinya.
Apa yang harus aku lakukan? Puri pun lunglai. Aku segera menangkapnya.
"Puri! Puri! Tidak! Jangan!" aku memegangi tubuh Puri yang menatap kosong. Mimpiku. Mimpi itu, jadi kenyataan. Tidak mungkin.
NARASI RAY
Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri
sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang.
Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri.
"Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas.
"Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku.
"Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku
cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar
sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator
terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka
karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael.
"Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku
terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama.
Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
"Menakjubkan, aku tak pernah melihat seorang Creator seperti dirimu.
Tapi semuanya sudah terlambat. Kamu tahu perbedaan Creator dan diriku,
Ray?"
"Apa?"
"Creator dia bisa mengkombinasikan elemen-elemen kemudian menjadi
sesuatu yang baru. Sedangkan aku, aku tidak demikian. Aku bisa membuat
materi, aku bisa membuat elemen baru, aku bisa membuat planet. Aku
bahkan bisa menghentikan waktu, kamu ingin kembali ke zaman purba?"
dengan menjetikkan jari tiba-tiba aku melihat keadaan berubah.
Kami berada di sebuah padang rumput yang luas. Aku melihat seekor
Dinosaurus yang sangat besar ada di kejauhan. Azrael tersenyum melihatku
terkejut. Ia menjentikkan jarinya lagi. Tiba-tiba kami berada di dalam
air. Aku gelagapan karena tiba-tiba saja tenggelam di dalam air. AKu pun
menahan nafasku. Azrael menjentikkan jarinya lagi. Dan aku sekarang
sudah berada di padang pasir. Ini Sinting. Tubuhku basah oleh air dan
sekarang sudah berada di atas pasir, sampai-sampai bajuku terkena pasir.
Azrael menjentikkan jarinya lagi. Tiba-tiba aku sudah berada di luar
angkasa. Aku tak bisa bernafas, tubuhku serasa terbakar. HEEEGGGGKHHHH!
Tenggorokanku tercekat. Ia menjentikkan jarinya lagi aku pun kembali ke
tempat semua.
Aku langsung ambruk ke lantai. Kurang ajar. Apa yang barusan itu?
Bagaimana dia melakukannya? Aku....seperti melawan seseorang dengan
kekuatan dewa.
"Kamu sadar sekarang perbedaan kekuatan kita? HAhahahahahaha," Azrael tertawa puas.
Bagaimana aku mengalahkannya? Bagaimana aku mengalahkannya?
"Ray?!" panggil sebuah suara. Ibuku? Ibu?
Azrael menoleh ke arah ibuku. "Balancer?"
Ibuku segera berlari dan menolongku untuk berdiri. Dengan susah payah aku berdiri. Badanku rasanya sakit semua.
"Kamu tak apa-apa?" tanyanya.
"Dia kuat sekali," kataku.
"Aku tahu. Sayang sekali aku sudah menggunakan Elza, kalau tidak aku pasti sudah membantumu mengalahkan dia."
Azrael kemudian berdiri dengan sombongnya di hadapan kami. Keangkuhannya
benar-benar membuatku bergidik. Matanya menatap kami dengan tajam,
seolah-olah berusaha menusuk kami sampai ke jiwa.
"Balancer, aku pun bisa membebaskanmu dari tugasmu sekarang juga!" kata
Azrael. Dia menjentikkan jarinya. Tiba-tiba ibuku mengejang hebat dan
rambutnya sedikit demi sedikit memutih.
"HUaaaaaaaaaaaaaakkkhhhh!" jerit ibuku.
"Ibu?! Kau tak apa-apa?" tanyaku.
"Kekuatan Balancernya sudah hilang, dia sekarang hanya manusia biasa, Ray. Kamu pasti bahagia bukan begitu Lili?" tanya Azrael.
Ibuku gemetar. Aku berusaha menolongnya. Dia berdiri dengan tubuh yang bergetar hebat.
"Reuni antara anak, ibu dan calon-calon cucu. Mengharukan sekali.
Seorang Mist dan manusia, siapa yang akan kau pilih kira-kira Ray?"
tanya Azrael.
Aku menoleh ke arah Michele. Dia tertolong dengan salju yang aku buat
untuk menyelimuti tubuhnya. Tapi itu tak akan bertahan lama. Kemudian
aku menoleh ke Maria. Dia masih terus berdo'a sambil memejamkan matanya.
Azrael apa yang akan kamu lakukan?
"Sebenarnya percuma saja kamu memilih, karena kehancuran dunia ini sudah
pasti. Aku akan membuat seluruh manusia dan semua makhluk yang ada di
dunia ini bertekuk lutut di hadapanku. Aku adalah dewa kehancuran, aku
bahkan bisa membuat gravitasi yang ada sekarang bertambah berat," kata
Azrael.
Tiba-tiba tubuhku terasa berat. Aku dan ibuku langsung berlutut.
"Itulah yang terjadi ketika melawanku, berlutut!" kata Azrael. Aku
mencoba berdiri lagi walau susah payah. Tubuhku seolah-olah beratnya
hingga berton-ton. "Aku bahkan bisa membuat planet, ah bagaimana kalau
kita lihat sedikit demonstrasi Ray."
Tangan kanannya diulurkan dan telapak tangannya menghadap ke atas.
Tiba-tiba di atas tangannya muncul cahaya kekuningan seperti bola api
sebesar bola pingpong.
"Lihatlah! Aku bisa membuat matahari sendiri walaupun kecil. Dan....aku
bisa membuat merkurius, venus, bumi, mars dan planet-planet lainnya.
Lihatlah aku bisa membuat tata surya sendiri dalam bentuk yang kecil."
Aku terbelalak, kekuatannya bisa membuat ini? Ini konyol. Dia sudah menganggap dirinya sebagai tuhan.
"Katakan kepadaku Azrael, apa jadinya kalau misalnya kamu tidak datang ketika terjadi gerhana matahari?" tanyaku.
"Yah, aku akan kehilangan kekuatanku. Karena satu-satunya yang membuat
diriku kuat adalah kegelapan. Dengan aku muncul di saat gerhana matahari
aku pun muncul dengan kekuatan penuh," katanya.
"Begitukah?"
"Iya, tentu saja. Dan sekarang kalian terlambat. Seharusnya kamu bunuh
saja Thomas sejak dari awal. Tapi kalian bodoh semuanya. Sekarang tak
akan ada yang bisa menghalangiku."
"Ibu, sudah selesai," kataku.
"Iya, sudah selesai," kata Azrael.
"Maksudku, sudah selesai permainan konyol ini!" kataku.
"Permainan konyol?"
"Ares, Vivi!" aku memanggil Dark Matter dan Void.
"Ares dan Vivi?" gumam ibu. "Kamu bertemu mereka?"
"Iya, Michele yang mempertemukanku dengan mereka," kataku.
"Ares dan Vivi? Siapa?" tanya Azrael.
"Kamu tahu Azrael, sebelum kamu ada di dunia ini. Ada dua elemen yang
sudah ada terlebih dulu. Kamu memang bisa menguasai semua elemen, tapi
tidak dengan keduanya. Dan kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya? Oh
maaf, di bumi ini, ada yang namanya waktu. Kami selalu melihat jam untuk
melakukan aktivitas, itu sangat menolong kami. Aku menyuruh Vivi untuk
membuat sesuatu yang kamu tidak akan sangka-sangka sebelumnya," kataku.
"Apa?"
"Vivi, turunlah, biarkan dia melihat apa yang terjadi sesungguhnya!" kataku.
Dan, tiba-tiba langit menjadi terang benderang. Karena terangnya
sampai-sampai aku bisa melihat matahari yang berwarna kuning di ufuk
timur.
"Apa yang sebenarnya terjadi??" tanya Azrael.
"Aku menyuruh Vivi beberapa hari yang lalu untuk membuat matahari
tiruan. Dan aku menyuruh Ares untuk menutupi matahari yang asli. Aku
tahu aku tak akan bisa mencegah terjadinya gerhana matahari, tapi aku
bisa sedikit mempercepat seolah-olah terjadinya gerhana matahari
betulan," kataku.
"Apa? Jj..jadi????" Tiba-tiba Azrael melemah. Dia langsung berlutut dan muntah darah. "Ugghh..."
"Iya, benar. Ini masih jam tujuh pagi, bodoh! Sedangkan gerhana matahari akan terjadi pada pukul dua belas siang."
Aku bisa merasakan sekarang gravitasi kembali ke normal lagi. Aku dan
ibuku mulai bisa berdiri. Michele pun terlepas dari ikatannya, begitu
juga Maria.
"Ibu, tolonglah mereka!" kataku. "Karena sekarang aku akan menghajar dia."
Azrael menatap diriku dengan wajah yang ketakutan.
BAB XXXIV
Last Fight
Aku berlari ke arahya. Dan segera aku menerjang Azrael. DUESH! Ia
sekarang menjadi manusia yang tidak berdaya. Azrael terpelanting. Dia
mengeluarkan elemen tanah dan membentuk palu besar. Diayunkannya palu
itu ke arahku. Aku membentuk palu juga tapi lebih besar. Palunya pun
hancur ketika menghantam palu yang aku buat.
Dia bergerak secepat kilat dengan elemen petir. Aku pun mengejarnya. Dan
terjadilah kejar-kejaran antara aku dan Azrael. Tapi aku berhasil
menarik bajunya dan aku tonjok lagi wajahnya. Aku membentuk sebilah
pedang di tanganku dengan elemen besi. Aku pun mengayunkan pedang itu ke
arahnya. Azrael pun membuat pedang dan pedang kami saling membentur,
TRANG! TRING! Tangan kiriku kemudian membuat lantai yang ia pijak
berubah menjadi rantai dan mencengkram kakinya.
Dia sempat terkejut, tapi ketika melihatku mengayunkan pedang ke
arahnya. Dia tiba-tiba membuat tanah yang ada di bawahnya bisa bergerak
ke atas sehingga lolos sudah tebasanku. Dia cukup kuat walaupun dengan
kekuatannya yang sudah melemah.
Ada perubahan yang terjadi kepadanya, separuh matanya sudah redup menjadi mata seorang manusia biasa.
"Thomas, bantu aku!" kata Azrael kepada dirinya sendiri. "Aku tak bisa! Apa yang harus aku lakukan?!"
Aku membentuk tombak dari petir. Kali ini aku melemparkan tombak itu ke arahnya. ZRRRRRRTTT! Kena.
"GYAAAAAAHHHHHHHH!" jerit Azrael yang suaranya kini berkolaborasi dengan
suara Thomas. Bagaimana rasanya terkena sengatan listrik seperti itu?
Aku kemudian berlari ke arahnya dan kucengkram lengannya lalu aku lempar
dia. Azrael terbelalak, ia pun membuat sayap dari elemen angin. Dan
dengan elemen itu ia ingin melarikan diri. Tidak semudah itu. Aku
menggabungkan kekuatan tanah dan air. Muncullah akar-akar pohon yang
menjulang tinggi mengejar Azrael. Akar-akar pohon itu saling berebut
untuk tumbuh dan mengejarnya seperti ular derik yang bergerak cepat.
Akhirnya tertangkap. Azrael pun dihempaskan oleh akar-akar pohon itu ke
bawah. Aku pun mengeluarkan api Salamander. Kubakar akar-akar itu hingga
apinya pun membakar sampai ke arah Azrael. Azrael kembali membentuk
pedang dan memotong akar-akar pohon itu sehingga ia terlepas.
Kemudian aku menggunakan elemen api Salamander untuk kubuat sebagai
tenaga pendorong agar sampai ke tempat Azrael yang semakin terdesak.
Besi, api, aku menggabungkannya hingga membentuk sebuah pedang api.
Kuayunkan pedang itu ke arahnya. Pijaran apinya membakar ke sekeliling
tempat dia berdiri. Kuayunkan lagi, lagi, lagi dan lagi.
"Azrael, apa kamu tak pernah menyangka akan dikalahkan oleh manusia biasa sepertiku?" tanyaku.
"Thomas!" panggil Azrael. "Aku tak punya kekuatan lagi!"
"Semua elemen, menyingkirlah dari dia!" kataku.
Tiba-tiba pedang yang ada di tangannya pun menjadi abu. Menjadi serpihan-serpihan besi kecil yang tak berbentuk.
"TIDAAAAAAKKKK!" jerit Azrael.
Aku kemudian kembali menonjok Azrael. Dia sudah tak punya kekuatan lagi. Lagi, lagi, lagi!
"Ray! Terus! Hajar dia!" teriak Maria. Dia menyemangatiku.
"Ray, keluarkan seluruh kekuatanmu!" kata Michele.
Aku menoleh ke arah Maria dan Michele. Tampak keduanya sedang bersama
ibuku. Tiga wanita yang aku sayangi sekarang menyemangatiku.
"OKE, maaf Azrael, tapi....pertarungan harus berakhir, Ares!" kataku.
Dari kedua tanganku muncul cahaya biru. Sebuah bola hitam kecil keluar dari tubuhku.
"Ares, hancurkan dia sampai engkau yakin bahwa dia telah benar-benar hancur," kataku.
"Tentu saja kawanku," kata Ares.
Elemen Dark Matter pun kemudian membesar. Dia membentuk sesuatu yang
tidak penah aku sangka sebelumnya. Sebuah busur dan panahnya. Aku pun
memegang busur berwarna hitam itu. Anak panahnya memancarkan
kilatan-kilatan gelap dan ujungnya mengeluarkan cahaya putih yang
memijar.
"Azrael, kamu tidak akan ada lagi," kataku.
"AAAAARRRGGHH!" jeritnya.
Aku pun melepaskan anak panah itu dan dengan sukses anak panah itu
menancap di tubuhnya. Tubuhnya pun seperti meledak, pertama mulutnya
mengeluarkan kabut hitam. Dia adalah Azrael, ingin mencoba keluar, tapi
kekuatan Dark Matter terlalu kuat untuk dilawan. Dia pun terhisap ke
dalam tubuh Thomas. Tubuh Thomas lebih aneh lagi sekarang, tubuhnya
tertekuk, seperti sebuah mainan yang kemudian memutar seperti spiral,
kepalanya kini kebawah terlipat, kakinya pun sekarang seperti membungkus
seluruh tubuhnya lalu dengan cara yang aneh tubuhnya mengeluarkan
kegelapan yang amat pekat, kemudian menghilang begitu saja.
"Selesai," kata Ares.
Aku sekarang hanya melihat sebuah bola hitam berukuran kecil sedang
melayang-layang di sana. Dia pun kembali masuk ke dalam tubuhku. Riwayat
Azrael pun berakhir.
Setelah itu Maria datang berlari memelukku. Aku dipeluknya.
"Oh Ray, Ray, Ray!" katanya. Ia pun menciumi pipiku, bibirku, semua wajahku diciuminya. "Aku cinta kamu, aku cinta kamu."
Aku hanya melihat Michele yang sedang dipeluk oleh ibuku. Dari wajahnya
terlihat sendu. Maafkan aku Michele. Aku mencintai kalian, aku mencintai
kalian. Aku pun memeluk Maria. Kupejamkan mataku. Mereka berdua
sekarang mengandung anakku. Dan aku bingung sekarang.
*****
Pertarungan telah selesai. Aku turun ke bawah dan melihat Purple sedang
sekarat. Aku pun menolongnya. Ku cabut elemen besi yang menancap di
tubuhnya dan aku pun menyembuhkannya dengan elemen air. Dia pun akhirnya
tertolong. Andre memeluk Purple yang dipanggilnya Puri itu.
"Puri, aku akan selalu bersamamu. Aku tak ingin kehilanganmu," katanya.
Semua pertarungan telah selesai. Ketika kekuatan Azrael sudah lenyap
semua pertarungan pun berakhir. Kami menang. Para agen ATFIP yang
tersisa melarikan diri. Makhluk-makhluk aneh yang ada di lantai bawah
pun lenyap semuanya. Setelah kami keluar, aku menghancurkan bangunan
yang menutup Tugu Monas. Semuanya kembali ke normal lagi.
BAB XXXV
The Happinest
"Ray, aku bahagia, bahagiaaa sekali," kata Maria.
"Kamu benar-benar hamil," kataku.
Ia mengangguk. "Makasih Ray, tapi....bagaimana dengan Michele?"
Aku tak menjawabnya.
"Aku tahu kamu mencintaiku Ray, tapi....bagaimana dengan dia? Dia akan
tersiksa hidup selama ribuan tahun tanpa dirimu. Tapi aku juga tak ingin
melepaskanmu Ray," kata Maria.
"Kalau aku bisa mengumpulkan kalian berdua, aku akan melakukannya. Tapi
itu tidak mungkin. Michele butuh salju untuk tetap hidup. Dan kamu
dengan penyakit asmamu tak akan bisa hidup di salju. Kamu tak marah?"
Maria menggeleng. "Buat apa aku marah? Aku hanya tak tahu harus berbuat apa."
"Michele tidak akan apa-apa. Walaupun dia mungkin akan sangat merindukan
aku," kataku. "Maria, sekarang ini aku memilihmu. Dari Michele aku
mendapatkan banyak pengetahuan yang tidak akan bisa aku balas dengan
apapun. Dan dari dirimu, aku mendapatkan cinta sejati. Maria. Aku ingin
bersamamu di sini."
Maria memelukku lagi. Dia bersandar di dadaku. "Aku...aku tak tak tahu harus bilang apa Ray."
Michele menghampiri kami berdua. Salju tampak masih menyelimuti tubuhnya. Lalu dia menyentuh punggung Maria.
"Michele, aku..., akuu...," Maria ingin bicara tapi mulutnya sepeti tersekat.
"Aku mengerti Maria, aku mengerti. Tak perlu kamu risaukan diriku.
Salahku sendiri sepertinya yang mencintai muridku sendiri. Tapi, aku tak
apa-apa Maria, aku tak apa-apa. Ray sudah tahu keputusannya, dan ini
adalah keputusan terbaik," kata Michele.
"Tidak Michele, tidak. Aku, aku tak bisa membiarkanmu sendirian di
Syberia, biarkan Ray bersamamu, aku tak apa-apa. Ada banyak teman aku di
sini, ada ayah, ada ibu, ada Justin, ada Andre, ada kawan-kawan yang
lain," kata Maria.
"Tidak Maria, tidak. Aku tahu bagaimana keadaanmu ketika Ray tidak di
sampingmu. Hatimu sudah terkunci di hatinya. Kamu tak akan bisa melawan
ini. Kamu sangat mencintai Ray, melebihi cintaku kepadanya. Kalian harus
bersama," kata Michele.
"Tidak, Michele. Aku, aku merasa bersalah," kata Maria.
Telunjuk Michele diarakan ke bibir Maria agar Maria tak bicara. "Cukup
Maria, jagalah anak Ray. Aku yakin kalian akan bahagia di sini. Aku tak
akan mampu melihat Ray kehilangan dirimu lagi. Selama latihan dalam
tidurnya dia selalu memanggil namamu. Bagaimana mungkin aku bisa hidup
bahagia dengan dia terus menyebut namamu?"
Air mata Maria meleleh. "Aku...maafkan aku Michele, bolehkah aku memanggilmu Kak Michele?"
"Boleh, silakan! Silakan Maria," kata Michele. Dia ikut menangis.
"Kak Michele, maafkan aku. Maafkan aku," kata Maria sambil memeluk Michele.
Dua orang ini. Sama-sama mencintaiku. Dan aku tahu keduanya berharap kepadaku. Tapi aku tetap harus memilih satu pilihan.
Setelah itu aku mengantarkan Michele untuk pulang ke Syberia dengan
elemen Spark. Sebab dia tak punya kekuatan lagi. Sama seperti ketika dia
berada di pulau tropis itu. Kekuatannya adalah salju, kalau ia jauh
dari salju kekuatannya akan melemah. Setelah sampai di Syberia, Michele
memelukku erat.
"Maafkan aku Ray, maafkan aku," katanya.
"Akulah yang harus minta maaf kepadamu," kataku.
"Tapi, aku tidak pantas Ray. Aku seharusnya tidak malah mencintaimu.
Hadiah yang kamu berikan kepadaku ini sudah lebih dari cukup sebenarnya.
Tapi aku malah berharap kepadamu, aku malah mencintaimu, akulah yang
salah Ray. Maafkan aku," kata Michele dengan menangis.
Aku kemudian mencium bibirnya. Dia membalasku. Tangannya pun memegang
wajahku. Ciumanku dibalasnya dengan sangat dalam. Saat bibir kami
berpisah. Ia terus memegang wajahku. Aku sedikit lebih tinggi darinya
sehingga aku sedikit menunduk. Matanya menatapku dengan tatapan sayu.
"Ray, bercintalah denganku untuk terakhir kalinya kalau engkau memang
tak tinggal di sini lagi. Bercintalah denganku untuk yang terakhir kali.
Kumohon," katanya mengiba.
Aku menciumnya lagi. Kini aku menciumnya dengan lebih lembut dan penuh
perasaan. Perasaan cinta kah? Aku tak tahu. Tanganku mulai melolosi ikat
pinggangnya. Baju tebalnya pun sedikit demi sedikit longgar. Kemejaku
pun dilepasi kancingya satu persatu hingga ia bisa melihat dadaku.
"Ohh...Ray, aku akan merindukan dadamu," katanya. Dia menciumi dadaku,
masih ada bekas lukaku di sana akibat pertarunganku dengan Azrael. Tapi
dia menciuminya juga.
Tanganku merengkuh baju Michele, perlahan-lahan aku melepasnya. Aku
sentuh pundaknya, ia tak memakai bra. Putingnya yang berwarna merah muda
itu mengeras. Entah karena hawa dingin ataukah karena yang lain.
Tanganku pun menggeser mengelus-elus bahunya kemudian lengannya. Ku cium
keningnya. Tangan Michele beranjak ke bawah, dilepaskannya kancil
celanaku. Dia pun meloloskan semua penutup tubuhku bagian bawah. Aku pun
memasukkan telapak tanganku ke dalam celananya bagian belakang. Aku
bisa merasakan kekenyalan pantatnya yang bahenol.
Michele dengan tubuh remajanya ini benar-benar sempurna. Kutanggalkan
pula celananya yang mana ia tak memakai celana dalam pula itu. Kami
sudah telanjang bulat. Sama-sama saling memandang ketelanjangan. Dia
memegang kemaluanku.
"Aku akan sangat merindukan ini Ray, bercintalah dengan hebat denganku
sekarang. Rontokkanlah tulang-tulangku Ray. Aku ingin kamu berikan aku
beribu-ribu orgasme!"
"Aku tak akan kuat kalau sampai seribu kali."
Michele tertawa kecil, "Itu cuma majas, bodoh!"
Aku tersenyum. "Baiklah Michele, aku akan bercinta kepadamu sekarang. Aku akan berikan semuanya sampai aku kering."
Kami berciuman hebat, melakukan Fench Kiss, sambil kuremas-remas
payudaranya yang sekal itu. Kami pun ambruk di atas salju. Bercinta di
atas salju? Aku pernah melakukannya koq. Kurasa tak ada masalah.
Kemudian aku menciumi dan menghisap lehernya yang jenjang itu.
"Ohhh...Raaayyy....hhmm."
Aku kemudian beranjak dan mengarahkan batang kemaluanku ke mulutnya.
Michele sangat faham,ia lalu melahap dan mengulum kepala penisku.
Ouuuhhh...dia hebat. Dia menghisapnya, menggelitiki setiap sudut kepala
kemaluanku membuatku melayang. Kepalanya sudah maju mundur dan sesekali
berusaha menelan seluruh batangku membuatku serasa melayang. Ia sampai
tersedak.
"Michele, jangan terlalu dalam kalau kamu tersedak," kataku.
"Tidak apa-apa Ray," katanya. "Sebab aku akan merindukan benda ini lagi."
Dia melakukannya lagi. Kemudian dia mengulum lagi batangku. Lidahnya
kemudian membasahi kulit batangku. Tangannya aktif mengocok batangku
yang sudah mengeras seperti batu. Ia lalu menghisapi dan menjilati buah
dzakarku. Ohhh...nikmat sekali. Dia hisap kiri dulu, diemutnya buah itu,
lalu lidahnya menari-nari lagi di antara kedua buahnya. Setelah itu
buah satunya juga dihisap. Aku lemas, aku melayang. Apalagi ia sambil
melihat ke mataku. Ahh...bikin horni aja.
"Sudah Michele, aku bisa jebol kalau kamu gituin," kataku.
"Keluarkan saja sayangku, cintaku," katanya.
Ia pun mengocoknya dengan cepat. Tu..tunggu dulu. Aduh, selagi mengocok
dia meremas-remas buah pelerku. Ahhhhkkk....akhirnya keluar juga. Dia
membuka mulutnya semua sperma itu masuk ke mulutnya. Ia pun
menyedot-nyedot kemaluanku sampai kering spermanya. Aku lemas. Lemas
sekali.
"Hahh..hahh..hahh..enak banget Michele," kataku.
"Gantian Ray, aku juga ingin," katanya sambil mulutnya masih belepotan
air maniku. Ia mengecapnya dan menelan semuanya sampai habis. Kemaluanku
masih tegang. Sepertinya masih bisa sanggup main lagi.
Aku kemudian menuju ke bawah. Kuciumi dadanya dulu, kuhisap teteknya. Lidahku menjilat, menjilat, lalu menggelitiki putingnya.
"Aaaahhhh...Ray,...sudah dong, jilati yang bagian bawah sana!" katanya.
Aku tak pedulikan dia. Michele menggeliat ketika aku mengerjai puting
susunya. Lidahku menghisapnya lembut, menghisapnya penuh perasaan.
"Aaahhh....Ray,...aku melayang. Aku bisa merasakannya. Kamu menghisapnya
dengan cintamu bukan? AKu bisa merasakannya," kata Michele.
Aku kemudian menjilati pangkal susunya, lalu bergerak kesamping. Kucupangi dadanya. Hingga membekas cupangan itu di sana.
"Ohhh....ssshhhh....hhhhmmmm....," pantat Michele makin menggeliat.
Aku kemudian menjilati ketiaknya yang berwarna putih dan kuhisap.
"Aaahhh....Raaayy....aahhh...nikmat Ray...aahhh...geli!" katanya. Puas
di ketiak kanannya. Aku pun melakukannya di ketiak kirinya. "Sudah Ray,
jilatin dong! Kumohon!"
Aku tersenyum. Kucium dulu bibirnya, baru kemudian aku berangkat ke
bawah. Bibir vaginanya merekah sudah. Sejak terakhir aku memerawaninya
kemarin. Benar-benar berwarna merah, pink. Menggairahkan. Tampak ada
tonjolan sebesar kacang kecil ada di ujungnya. Ini klitorisnya pasti.
Aku sentil dengan lidahku.
"Aaaaaa....aaaaahhh...itu..itu....itu Ray!" katanya. Aku terus
menyentilnya dengan lidahku. Sambil aku masukkan lidahku ke dalam
vaginanya. Kemudian bibir kemaluannya aku sapu. Klitorisnya kemudian aku
kenyot. "aaaaahhhh....Ray, ray....sampe aku Ray....sampee....!"
Michele menyemprotkan cairan di kemaluannya. Pinggulnya mengejang. Dia
orgasme hebat. Pantat Michele terangkat sejenak lalu turun lagi. Aku
membuka pahanya dan kuposisikan pionku di depan liang senggamanya.
Kemudian kudorong. Uggghhh....rapet banget. Kemaluanku serasa
diremas-remas, padahal masih setengahnya. Kudorong lagi perlahan hingga
mentok.
"Raayy...penuh banget punyamu. Serasa mentok di dalam sana," katanya.
Aku mengangguk. Kemudian pinggulku pun bergoyang. Aku menarik tubuh
Michele agar duduk di pangkuanku. Sekarang wajah kami saling berhadapan.
Ia tersipu-sipu.
"Ray, aku sudah menjadi wanita jalang. Aku menjadi binal seperti ini kepada muridku sendiri," katanya.
"Tapi aku mencintaimu Michele," kataku. Kusodok kemaluannya. Michele pun
ikut bergoyang naik turun. Gesekan kemaluan kami menimbulkan suara
becek. Uhhh...menggairahkan sekali.
"Aku juga Ray, tapi ini kesempatan terakhir kita," kata Michle.
"Aku tahu, nikmatilah persetubuhan ini. Aku akan berikan segalanya untukmu saat ini," kataku.
"Ohhh..Raay. Aku malu melihat diriku sendiri menaiki muridku," katanya. "Apa nanti kata orang?"
"Tak perlu malu, aku mencintaimu Michele," kataku. "Aku juga akan
merindukan buah dada ini, bibir ini." Kusentuh bibirnya dan kukecup. Aku
juga akan merindukan semua tentang dirimu."
Aku kemudian merubah posisiku. Ia kusuruh menungging. Aku sodok Michele
dari belakang. Pantatnya yang padat itu benar-benar membuatku mabuk
kepayang. Aku memegangi pinggulnya dan kugoyang kiri kanan selagi aku
menyodoknya depan belakang. Aku menampar pantatnya.
"Aku akan merindukan pantatmu Michele," kataku.
"Aku juga akan merindukan sodokanmu ini Ray," katanya.
"Ohh...Michele, jagalah anak kita!" kataku.
"Iya RAy, pasti. Aku akan jadi ibu yang baik. Aku akan katakan kepadanya
bahwa engkau adalah ayah yang hebat, seorang ayah yang telah
menyelamatkan dunia...ohhhh....Rayy....batangmu enak sekali...penuh
rasanya," kata Michele.
Aku makin cepat menyodoknya.
"Raay...koq cepat Ray? Mau keluar?" tanya Michele.
Aku meraih dadanya dan kuremas-remas.
"Iya, aku mau keluar. Terima ya!?" kataku.
"Sebentar Ray!" katanya. Ia lalu mencabut penisku yang sudah hampir
keluar itu. Kemudian ia berbalik, terlentang. "Keluarkan sambil
menghadapku Ray. AKu ingin melihat matamu, melihat ekspresimu. Aku ingin
ekspresi cintamu tergambar selalu di dalam ingatanku."
Aku mengerti. Ku masukkan tanpa halangan ke kemaluannya. SLEEBB!
Aoouuhhh....nikmat banget memek peretnya. Aku bergoyang lagi kini sambil
menindihnya dan memeluknya. Aku tak serta merta menindihnya sih, karena
aku bertumpu dengan kedua lenganku di punggungnya, tapi benar-benar
menghimpitnya hingga kedua dadanya tertekan dengan dengan dadaku.
Pantatku naik turun, hingga....hingga...
"Michele, aku keluar," kataku.
"AKu juga Ray, yuuk..aaahhhh...ahhhh....AAHHH!" kami keluar bersama-sama
dengan ledakan orgasme yang dahsyat. Wajah Michele sangat cantik ketika
ekspresi orgasmenya muncul. Ia menatapku dalam-dalam, bibirnya terbuka
seperti bilang huruf O. Kedua mata kami saling menatap. Dan setelah itu
kami akhiri dengan ciuman hangat.
Aku mengulanginya berkali-kali dengan Michele, hingga ia benar-benar
menyerah dan tertidur. Aku bawa dia kepondok dan kuselimuti. Setelah itu
aku pun berpamitan. Kuelus-elus perutnya. Entah aku akan bisa melihatmu
atau tidak anakku. Tapi, aku tidak akan melupakan Syberia, juga
Michele.
Ending Alternate I
Aku dan Maria akhirnya menikah. Bagaimana sekolah kami? Yah, tetap
sekolah dong. Walaupun bagi sebagian orang agak aneh juga masih sekolah
udah menikah, tapi untungnya sekolah kami tidak mempermasalahkan hal
itu. Bahkan Maria bisa cuti hamil dan melahirkan anak kami. Aku bekerja
di sebuah kantor kontraktor. Aku tidak kuliah dan langsung bekerja.
Gimana harus kuliah kalau aku harus mengurusi anak dan istriku.
Awalnya kehidupan kami agak kacau juga sih. Tapi Maria tahu
pengorbananku. Dia selalu memberikanku semangat. Kami saling mendukung
satu sama lain. Lambat laun aku pun bisa mempunyai perusahaan sendiri,
walaupun tidak begitu besar.
"Sayang, hari ini pulang jam berapa?" tanya Maria di telepon.
"Hmmm....nggak tau deh. Ntar aja dilihat," jawabku.
"Jangan malem-malem lagi lho, kasihan dedeknya," katanya. Iya, dia telah mengandung anak keduaku.
"Iya sayang, kalau terlalu malem maaf ya, maaaaaf banget," kataku.
"Aku berdo'a supaya suamiku pulang cepet," katanya. "Sampai nanti suamiku chuby cumi mini manimu muuuuaachhh."
"MMmmuuaacchhh....sayangku," kataku.
Setelah pekerjaan yang melelahkan aku pun pulang. Ternyata di rumah
ramai sekali dengan orang-orang. Eh, ada apa ini? Ada ayah, ibu, kedua
mertuaku, Justin, Andre, Purple, Alex, Tim??
"Ada apa ini?" tanyaku.
"Surpriseee! Kejutan Ray, selamat ulang tahun ya," kata ibuku yang
sekarang tampak berbeda. Kecantikannya mulai memudar karena kekuatan
Balancernya telah diambil oleh Azrael. Tapi ayah tetap mendampinginya
sampai sekarang. Luar biasa.
"Kalian ingat ulang tahunku? Pasti diberi tahu Alex," kataku.
"Yah, bro. Siapa lagi kalau bukan aku. Istrimu saja nggak pernah tahu koq," kata Alex.
Andre tampak membawa seorang bayi juga. Wah, aku sudah lama tak bertemu dengannya.
"Wah, anakmu Ndre?" tanyaku.
"Iya dong, hebat kan? Kalian mau punya anak berapa? Ntar kita banyak-banyakan anak," kata Andre.
"Ih..papa, enak disitu nggak enak di sini," Purple mencubit pinggang Andre.
Kami pun tertawa. Setelah itu aku meniup kue ulang tahunku. Dan
harapanku? Apa ya??? Harapanku agar Michele hidup bahagia di Syberia
sana.
.....The End.....
Ending Alternate II
Setelah menikah dengan Maria, perasaanku makin tak menentu. Aku bingung
sekarang. Di sini aku punya keluarga yang bahagia. Tapi hati kecilku
mengatakan aku mencintai Michele. Hari-hari berlalu, tahun demi tahun.
Bagaimana kabar anakku di Syberia sana? Bagaimana kabar Michele? Aku
selalu mengirimkan pesan kepada angin untuk memberitahukan kabarku
baik-baik saja. Michele tidak bisa memberikan kabar kepadaku karena ia
tak cukup kuat untuk mengirimkan pesan. Ingin sekali aku menemuinya,
tapi tak bisa.
Kegalauanku tiap hari makin menjadi. Hal ini pun dirasakan oleh istriku, Maria.
"Kamu masih ingat kepada Michele?" tanyanya.
Aku mengangguk.
"Pergilah sayang, temuilah dia sekali-kali," katanya.
"Tapi, aku tak bisa Maria. Aku tak mau meninggalkanmu," kataku.
"Suamiku, bagaimana aku bisa bahagia kalau kamu tidak sepenuhnya berada
di sini? Pikiranmu selalu tertuju ke Syberia. Pergilah, jenguk dia!"
kata Maria.
"Maria, aku....,"
"Shhhh...," Maria menyentuhkan jari telunjuknya ke arahku. "Jangan ada
alasan khusus. Aku tahu kamu masih mencintai dia. Aku tahu Ray. Aku pun
demikian, mencintaimu. Tapi, aku akan lebih bahagia kalau kamu
sekali-kali pergi ke sana. Jenguklah dia. Atau kalau kamu mau tinggallah
bersama dia di sana."
"Lalu kamu?"
Maria tersenyum. "Di sini ada ibumu bukan? Ada ayahmu juga, ada ayah,
ibu dan yang lainnya. Aku akan baik-baik saja. Pergilah sambutlah
cintamu. Engkau memang ditakdirkan untuk bersamanya."
"Lalu anak kita?" tanyaku.
"Tak apa-apa, aku akan merawatnya. Kamu juga boleh koq mengunjungiku.
Kamu tetap suamiku Ray, tetap sebagai cintaku dan tak akan ada yang
mengubahnya," kata Maria.
Aku peluk dia. "Maria, terima kasih."
Setelah itu, aku menggunakan Spark untuk pergi ke Syberia. Berat rasanya
aku meninggalkan Maria, tapi...aku telah memilih Michele. Dan aku pun
tiba. Salju, sudah lama aku tak berada di sini. Aku pun berjalan menuju
ke pondok Maria. Dan...ia ada di sana. Ia terkejut ketika melihatku. Ia
menutup mulutnya. Dan segera ia berlari ke arahku. Dan langsung ia
terjun ke arahku. Mendekapku dengan erat, erat sekali.
"Ray....aku kira kamu tak akan pernah datang lagi," ia menangis.
"Aku datang Michele, aku sudah datang dan tak akan pergi lagi darimu," kataku.
"Ohh..Ray...," ia makin memelukku lebih erat lagi. Kami pun berciuman hangat dan lembut.
Aku pun tinggal di Syberia bersama Michele dan Yuki, anakku. Kami entah
sudah tinggal di sini berapa lama. Kami memang keluarga kecil, tapi kami
bahagia di sini. Michele sangat gembira sekali ada yang menemaninya
sekarang.
Aku masih menjenguk Maria setiap sebulan sekali. Lagipula, aku tetap
sebagai suaminya bukan? Sekalipun dalam hal cinta aku lebih memilih
Michele.
.....The End....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar