Senin, 14 Desember 2015

Dark Secret-Book One Part 1

----------------------------------------------------------------------
Ketika semua terasa sempurna, ketika noda sudah dihapuskan oleh cinta.
Ketika harta tak lagi lagi bisa memuaskan kita.
Ketika bayang masa lalu menjadi kelu.
Ketika kehidupan nyata tak seindah hayalan.
Ketika rahasia menjadi pembeda.
Terkadang kematian menjadi jalan keluarnya.

Sliverpost proudly present:

Dark Secret : Book 1


Book II Dark Secret : REVENGE
----------------------------------------------------------------------


CHARACTER
ANDRI


LIDYA


EDY


FRANS


TONY FIRMANSYAH


RAISA


ERLINA


LISA
 


Chapter 1: PREPARATION.


“Apa dia masih menyelidiki hal itu?” Tanya seorang yang berjas hitam kepada beberapa orang di depannya.
“Masih boss, setiap hari dia semakin dekat ” Sahut si mata sipit.
“Apa yang harus kami lakukan?” Tanya si kemeja putih.
“Habisi dia” Sahut si jas hitam.
“Apa boss yakin?” Tanya si mata sipit.
“Tentu saja!”.

“Pagi boss…” Sapa Erlina. Sekretaris pribadiku.

Dengan tinggi 165cm, payudara yang besar dan pantat yang sekal, tentu dengan mudah aku bisa tertarik atau tidur dengannya. Namun, well, dia sekretarisku. Bisnis adalah bisnis, seks adalah seks.

Percayalah, sekretaris yang bagus susah ditemui. Setidaknya itu pengalamanku dengan beberapa senior Erlina. Mendapatkan kombinasi wajah cantik, tubuh yang bagus dan otak yang encer dan memahami tugasnya, sesuatu yang sulit. Beberapa pendahulu Erlina bahkan rela telentang diatas mejaku supaya bisa bertahan dengan pekerjaannya.

“Pagi Lina”. Lina, itu panggilanku untuknya.

“Jadwal hari ini hanya rapat dengan Pak Edy dan Frans, kemudian ini beberapa dokumen yang perlu anda tandatangani” Sahutnya sambil menyerahkan setumpuk dokumen.

Ketika menunduk, belahan dadanya terlihat dengan jelas, well 34D, cukup membuat menggeliat yang dibawah sana.

“Thanks Lin, tolong minta Edy dan Frans ke ruang rapat”

“Iya pak” Sahutnya sambil berlalu menuju keruangannya, menyisakan pemandangan pantat sekal berbalut rok mini yang bergoyang dengan gemulainya.

Huft, minggu yang melelahkan.

Oh ia, aku Andri, di usia ku yang 25 tahun ini, aku bekerja sebagai CEO di perusahaan yang kudirikan 3 tahun lalu. Perusahaan yang bergerak di bidang IT ini sekarang telah cukup mempunyai nama di bidangnya. Frans dan Edy adalah teman-teman sekaligus pemegang saham terbesar di perusahaan ini. Frans bekerja sebagai kepala marketing, well, sesuai dengan orangnya yang humoris, easygoing dan lady-killer. Edy di bagian keuangan. Dari tiga orang ini, hanya Edy yang sudah berkeluarga. Dan, benar, dia orang yang paling sabar dan teliti dari kami bertiga.

“Pak, sudah ditunggu di ruang rapat” Tegur Lina yang sekaligus membuyarkan lamunanku.

Roger that.” Sahutku sambil beranjak keruang rapat.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
“Woi Ndri,, cepet dikit lah, banyak acara hari ini boyyyyy….” Kicau Frans saat aku masuk keruang rapat.

“Acara? Paling dugem atau kelayapan” Sahut Edy sambil tersenyum.

“Harus, malam minggu man, saat nya melemaskan otot yang tegang” Sahut Frans sambil nyengir.

Roger that, melemaskan otot yang tegang, dan menegangkan otot yang lemas, ikutlah sekali-kali, Intan pasti tidak keberatan” Sahutku. Intan, istri Edy.

“Well, setidaknya, aku ada yang menunggu dirumah, bebas melemaskan yang tegang kapan pun yang ku mau, dan, gratis” Giliran Edy yang tersenyum lebar.

Skak

“Hmmmm, sebaiknya kita membahas proposal untuk Alfa Medika” Sahutku sebelum debat tentang melemaskan otot ini berkepanjangan.

“Roger that” Sahut Edy dan Frans bersamaan.

“Jadi, hari Senin, kita ada presentasi dengan Alfa Medika. Mereka perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Fokus kita kali ini membuat program untuk produksi, tranportasi dan karyawan. Kemungkinan nanti kalau deal, langsung dengan hardware nya juga. Data-data pendukung dan materi presentasi sudah ada di file yang kukirimkan lewat email. Ada saran?”

“Jadi seperti rapat sebelumnya, titik berat nya di GUI, buat sederhana dan user friendly. Kita fokuskan disana” Saran Frans.

“Ide yang bagus, namun kita masih kekurangan data untuk teknis produksi dan alur transportasinya. Untuk keamanan, standar 2 layer seperti di presentasimu sudah cukup. Namun kudengar, bukan hanya kita yang akan presentasi senin ini?” Timpal Edy.

“Yups, aku hanya diberitahu akan ada dua presentasi. Tapi aku belum tahu siapa atau perusahaan apa yang akan ada disana.”

“Well sebaiknya kau bersiap-siap hadapi segala kemungkinannya” Saran Edy.
“Dan boss, file tentang CEO Alfa Medika, sudah kukirmkan lewat email. Minggu yang sibuk boss!” Cengir Frans.

“Itu bisa kami kerjakan kalau kau mau Ndrii, kita juga punya staff khusus untuk mempersiapkan presentasi dan contoh dari GUI nya” Saran Edy mengenai presentasi hari Senin.

“Well, aku terbiasa melakukannya sendiri Di, tidak plong rasanya kalau mempresentasikan hal yang orang lain buat dan mempresentasikan hal yang kurang kau kuasai” Jawabku seperti biasa.

“Kalau begitu jangan kelayapan dan ngegame besok dan minggu” Saran Edy seperti biasa.

“Sialan, tidak bisa allnight party nih...” Gerutuku.

“Well, kudengar Bidadari Massage punya banyak terapis baru akhir-akhir ini, tertarik? ”

Finally, good news for today.

“Roger that.”

“Negative.”

Sudah bisa menduga yang bilang negative kan???
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
30 Menit kemudian. Bidadari Massage.

“Halo cantik, punya beberapa peri manis dan lugu untuk melemaskan otot yang tegang?” Sambil tersenyum mesum Frans bertanya kepada mami disana.

“Melemaskan aja nih mas?” Sambil tersenyum Nia, mami sekaligus resepsionis disini menyapa kami yang baru datang.

“Hmmm,, maunya sih keduanya, katanya ada beberapa peri baru ya?” Sahut Frans.

“Tau aja Mas Frans kita ada stok baru disini”

“Mana?” Tak sabar Frans bertanya.

“Ini koleksi baru hari ini” Sambung dia sambil menyerahkan album kecil berisi beberapa foto gadis full body dengan baju yang mini.

“Ini Ida, baru datang seminggu lalu, janda anak satu. Ini Intan....“ bla bla bla.

“Ini siapa?“ Sela ku sambil menunjuk seorang gadis di halaman terakhir album fotonya yang mengenakan blus putih dan rok hitam mini.

“Boss tau aja barang yang bagus, ini Sisca, baru dtg beberapa hari yang lalu. Sebelumnya dia kerja di panti pijat milik ibunya.“

“Panti pijat milik ibunya?“ Alisku berkerut mendengarnya.

“Iya boss, dia baru hari ini melayani tamu ++“ Cengirnya.

Well, setidaknya aku akan mendapatkan pijatan yang bagus hari ini.

“Aku pilih dia, longtime”.

“Yakin boss??, soalnya dia baru pertama layani tamu hari ini, pijatannya oke, tapi urusan ini” sambil mengelus penis ku dari balik celana yang kupakai.

“Kayaknya dia perlu training lebih boss ”. Katanya manja.

“Hmmm…. Nanti kalau perlu trainer lebih, aku panggil kamu” Sahutku sambil tersenyum.

“Oke, aku pilih Intan dan Nia, longtime!“ Cengir Frans tak mau kalah denganku.

Setelah selesai deal dengan sang mami, kami pun segera diantar ke ruang VIP.

Di pintu menunggu lah sang bidadari.

Mengenakan kimono berwarna ungu diatas lutut yang memperlihatkan paha mulus khas ABG nya. Rambut panjang sepinggang yang dibiarkan tergerai, membingkai wajah yang cantik dengan makeup yang minimalis. Dan penis ku mulai menggeliat dibawah sana.

“Sisca, ini Mas Andri, langganan kita disini, layani dengan baik ya, kalau perlu bantuan, teleponkedepan saja“ Saran Nia sambil menggoyangkan pantat nya yang besar kembali ke meja resepsionis.

“Mari mas, ke dalam dulu“ Ajak Sisca dengan ramah.

Sambil berjalan masuk, mataku mengikuti pantat kenyal Sisca yang sedikit terhalang oleh kimononya.


“Mari saya bantu buka pakainnya mas “ Tawar Sisca yang kujawab hanya dengan anggukan.

Dengan telaten tangannya yang mungil mulai dengan perlahan membuka satu demi satu kancing kemeja yang kupakai. Tangannya sedikit bergetar dan kulirik mukanya pun sedikit memerah.

“Hari pertama ya?“ Tanyaku.

“Ehh.. iya mas“ Sahutnya tersipu.

“Santai saja Sis“ Kataku sambil sedikit tersenyum.

Dengan sedikit menunduk dia membantu menurunkan celana panjang yang kupakai.

“Mas maw dipijit apanya dulu? “ Tanyanya dengan lembut.

“Penisku Sis “Ups.

“Ehh.. itu… anu….” Dengan tergagap Sisca berusaha menjawab.

“Hahaha... bercanda Sis,, itu nanti, pijit bahu dan punggunggu aja dulu“ Jawabku sambil merebahkan diri di kasur king size di sebelah jacuzzi berbentuk bulat. Selain jacuzzi juga tersedia shower dan wastafel.
Hmmmm,,, ruangan yang komplit.

“Mas mau minum apa? “ tanya Sisca sambil mengambil peralatan massage dari sebuah lemari kecil sebelah kasur. Hmmm,,, disebelah kotak massage ada kotak yang bisa membuat mu melayang sis...
Tangan-tangan lembut Sisca mulai memijat bahuku yang lumayan pegal. Dengan terampil jari jemarinya memijat urat-urat yang pegal di bahuku.

Good massage girl.
Well sebaiknya jarinya juga seahli itu di bagian tubuh yang lain. Pikiranku mulai membayangkan jemarinya yang lentik mengocok penisku.

Dan, junior dibawah sana pun mulai beraksi.

“Hmmm,,, pijetanmu enak sis, dah lama mijet?” Tanyaku mencairkan suasana.

“Sudah setahun lebih mas, bantu mijet di panti milik ibu dulu” Sahut Sisca.

“Asal mana Sis? Kok pindah? “

“Bandung mas, ingin cari pengalaman aja mas”

“Loh, katanya Nia kamu pindah karena ada masalah?” Sorry Nia, pinjem namanya bentar.

“Eh anu mas...”

“Bilang ja, santai aja sis”

“Aku pindah karena bertengkar dengan ibu“ Sahutnya lirih.

Shit.

“Pijat kebawah dikit sis“ Sahutku mencairkan suasana yang terasa sedikit kaku.
Tangan nya dengan lembut mulai memijat paha dan kakiku.

Bukan dibawah itu sayang.

“Mas bisa balik, Sisca mau pijat yang sebelahnya“ Kata Sisca setelah 30 menit lebih memijat kaki dan pahaku.
Tanpa menjawab aku membalikkan badan.

Oh my god!

Wajah Sisca sedikit memerah, butir keringat menempel di dahinya. Beberapa helai rambut menempel di dahi dan pipinya. Dan giginya menggigit bibir bawahnya.

Hmmm,,, bibir itu. Merah dan basah.
Uffttt,, ada yang mengeras!


Sambil mengoleskan minyak Sisca mulai memijat bahu dan tanganku.

Wangi parfumnya mengelus hidungku.

Si junior dibwah sana mulai sesak!

“Ah, Sisca curang, masa aku dah buka baju gini, kamu masih pakai kimononya?” Sambil pura-pura cemberut aku bertanya kepadanya.

“Sini aku bantu bukain” Tanpa menunggu persetujuannya, aku membuka tali kimono dibagian pinggangnya. Dengan perlahan kimono ungu nya jatuh kelantai.

Oh My God!

Tanpa bra!

Hanya mengenakan g-string mini warna hitam yang kontras dikulitnya yang putih. Putingnya berwarna kemerahan dan terlihat mengacung malu-malu!
Dengan perlahan dia melanjutkan pjatannya di bahu kananku.

Harum tubuhnya semakin jelas di hidungku. Boxerku mulai melengkung, menahan penisku ku yang sudah setengah tegang.

“Kok pake tangan ja mijetnya Sis?“ sambil kulirik nakal payudaranya yang sekal.

“Eh, iya mas“ Dengan canggung dia naik keatas tubuhku.

Dengan perlahan dia menekankan payudaranya ke dadaku.

Empuk.

Sekal.


Dan putingnya mengeras!

Well, bukan aku saja yang terangsang disini.
Dengan lembut payudaranya menggesek dadaku.
Pahanya menekan penisku dibalik boxer yang kukenakan.

Dari dada, payudara bergerak turun ke pinggang, melewati boxer ku, menuju paha kanan.

Wajahnya terlihat bersemu merah. Mungkin antara malu atau terangsang.
Aku tidak tahan lagi!

Dengan lembut kupegang tangannya ditepian boxerku, dengan perlahan tangannya kubimbing untuk menurunkannya.

Tuinggg...

Dengan sigap penisku yang sudah mengeras dari tadi keluar dari sarangnya.

“Ouwh,,,, “ tatapan kagumnya membuat darahku mengalir lebih deras.

“Sekarang giliranmu sayang“.

Sisca POV.

Aku bisa merasakan wajahku memanas saat melihat ukuran penis Andri. Walaupun belum menyentuhnya secara langsung, namun rasanya jauh lebih besar dari ukuran penis mantan pacarku.

Oke. Jujur ini penis kedua yang pernah kulihat selain penis mantan pacarku. Dan membayangkannya memasuki diriku, membuat vaginaku basah.

Dengan lembut dia mencium bibirku. Lidahnya yang basah menyeruak masuk. Mencoba membelit lidahku yang pasrah menerimanya. Tangannya yang terampil tanpa henti mengusap lembut payudaraku. Namun, putingku yang menegang keras belum disentuhnya. Ini membuat gairahku semakin tinggi.

Ciumannya perlahan turun kearah leher, menyusuri rahangku, kemudian dengan perlahan menelusuri kedua buah payudaraku. Tak bisa kutahan lagi tanganku dengan reflek mengarahkan wajah Mas Andri ke putingku yang geli ingin disentuh.

“Aaahh.. sshh.. sshh” aku tak bisa menahan desah kenikmatan ketika dengan rakus mulutnya mengulum putingku yang kecil kemerahan. Tak sadar aku mencengkram rambutnya dengan keras. Mencoba menekan kepalanya lebih dekat lagi.

Sambil tetap menciumi putingku yang membesar dengan rakus, dengan pelan dia merebahkan tubuhku yang hanya tinggal mengenakan g-string hitam mini. Sekarang aktivitas kulumannya berganti dengan remasan tangannya yang kasar. Sementara itu mulutnya dengan intens menciumi perutku, dia berhenti sebentar disana, dengan penasaran ku melihat kebawah untuk memandang dua buah mata yang gelap diselimuti birahi.

Sambil tersenyul simpul, dengan menggunakan giginya, perlahan dia menurunkan g-string ku sampai mata kaki. Gesekan antara dagunya yang kasar paha dalamku membuatku merinding geli.
“Wow... Nice... vagina yang sempurna. Dan basah“ Pujinya sambil memandang celah kecil diantara kedua pahaku yang polos.

Untungnya pagi ini aku sempat mencukur habis semua rambut kemaluanku, namun menyisakan segitiga kecil di atas clit-ku.
Ciumannya berlanjut, pahaku bagian dalam terus....

Please.. cium vaginaku....

Pacarku belum pernah mau mencium vaginaku, dan dari cerita dari teman-teman yang sudah lama disini membuatku penasaran bagaimana rasanya jika bagian itu dijilat dengan lidah yang kasar dan basah. Membayangkannya saja mulai membuat gairahku ke ubun-ubun. Dengan pandangan memohon aku menatap Mas Andri. Seolah mengerti Mas Andri mulai mengarahkan ciumannya ke vaginaku.

“Sshh.. sshh.. sshh….ahhhhhhhhhh…….” Tak bisa kutahan desahan keluar dari mulutku ketika akhirnya lidahnya yang panas dan ahli mulai menjilati bibir luar vaginaku.

“Mmmhhmmmmhhhhhh,,, mass.... terussss....“ Aku hanya bisa menjambak rambutnya dengan keras ketika ciumannya semakin intens.

“Owhhhh,,,, ahhhhh...“ Lidah nya menjulur masuk ke liang vaginaku yang basah. Tangannya tak berhenti memijat pelan payudaraku.

Dan akhirnya kenikmatan itu terlalu sulit untuk kutahan. Perasaan geli dan nikmat itu mulai berkumpul di satu titik.

“Sud....ddah henti..kan mas... aku mawwwww....pi....pisss....“

Tapi jawaban yang kudapat malah ciuman keras di clitoris yang menyembul malu-malu dari vaginaku.

“AAAHHHHHhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.....masss,,, aku piiiiii...pissssss!“

Jadi inikah yang namanya orgasme?.
Dan itu, sangat nikmat!


Orgasme yang panjang dan intens merasuki diriku, pinggulku terangkat menjepit kepalanya.
Kakiku bergetar dengan keras, lututku terasa copot.

“Hmmmmm,, manisssss,,,, gurih,,,“ Kudengar Mas Andri berkata sambil bangkit dari kasur.

“Mau lagi Sis?“ Senyumnya.

“HHHhhhh,,,hhhhhhhhhh,, nanti mas,,, masih lemas“ Sahutku malu.

“Oke.... mau minum apa sis?“ Tawar Mas Andri sambil beranjak menuju kulkas mini yang berisi berbagai macam softdrink.

“Air putih saja mas“.

Dengan tersenyum dia menyerahkan sebotol air putih kepadaku.

Sebelum selesai aku meminum air yang diberikannya, tubuhku sudah dibaringkan lagi keatas ranjang.
Dengan terampil tangannya membelai putting dan payudaraku. Gairahku yang sempat turun kembali naik dengan cepat.

“Mas,, sudah giliran mas sekarang”

“Hmmmm...hhmmmm“ Tanpa menjawab pertanyaanku, tangan kirinya membelai putingku, sementara mulut dan lidahnya yang panas dan ahli itu kembali menyeruak celah basah vaginaku.

“Ahhhhhhhhh masss... sudahhh,,, masss,,,,Ahhhhhhhhhh.....“ Suaraku diantara erangan yang tak bisa kutahan.

“Ahhhh,,, mass keatas lagi mas... please,,,, “ Tanpa malu-malu ku memintanya.

Lidah panas nya kembali bermain di klitoris ku, dan tunggu!, satu jarinya perlahan menerobos vaginaku yang basah dan ketat.

“HHmmmmmmm.. masss,,,, pelan-pelan,, dah lama gg dipkee…” Jeritku sambil menahan nafas.

“Hmmmmggmmmmhh...“ Hanya itu balasannya.

Jarinya perlahan semakin cepat keluar masuk liangku yang basah kuyup.

Dan tunggu, satu jari lagi!

Sekarang dua jarinya dengan cepat digerakkan keluar masuk vaginaku. Bisa kurasakan vaginaku semakin becek, bahkan terasa cairanku meleleh disepanjang pahaku.

“Mass,,, cepet..tttiiinnnnnnnnnn“ Pintaku.

“Uufffffftttttt massss,,,,ahhhhhhh,,,dikittttt lagiii masss,,,,, ahhhhhhhh...“ Ceracauku.

Paduan remasan di payudaraku, jilatan di klitoris dan kocokan dua jarinya benar-benar membuatku melayang. Vaginaku semakin basah. Rasa geli sekaligus nikmat yang tadi kualami serasa diulang kembali, namun lebih cepat dan nikmat. Kenikmatan ini mulai berkumpul di vaginaku.

“AAArrrrrrggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh h..... Mass,,, Sissssscaaaaaa nyammmmpeeeeeeehehhhhhhhhh,,,,,,,,,,“ Tanpa bisa kutahan aku berteriak ketika orgasme yang dahsyat mendera diriku.

Vaginaku berkedut dengan keras dan menjepit jari Mas Andri disana.
Kakiku menggigil dengan keras. Aku ambruk diatas ranjang.
Orgasme yang lebih dahsyat dari yang pertama.

“Hmmmm,,,,, lebih enak dari yang kuduga“ Guman Mas Andri.

Dengan penasaran kulihat kebawah. Ouwhh,,, dengan rakus kulihat Mas Andri menjilati jarinya yang berlumuran cairanku!

Wajahku terasa panas. Mungkin warnanya sekarang seperti buah tomat masak.

Dengan perlahan kuambil botol air mineral yang belum sempat kuhabiskan tadi. Kuteguk habis isinya.
Kupandangi wajah orang yang pertama memberikan dua orgasme berturut-turut kepadaku.
Pandanganku perlahan turuh kearah penisnya yang mengacung tegang.

Untung juga dulu si brengsek selalu minta oral. Pikirku.

Dengan perlahan kudekati Mas Andri, dengan lembut aku mencium bibirnya yang barusan memberikan kepuasan kepadaku. Rasa dari cairan vaginaku masih sedikit terasa di mulutnya. Namun tak kuhiraukan, dikalahkan oleh sisa gejolak birahi yang menyelimutiku.

Dengan perlahan ciumanku turun kebawah, ke perutnya yang rata dan akhirnya kerah penisnya.
Besar dan panjang. Jauh lebih besar dari milik sibrengsek-baca mantan pacarku.

Kupegang penis yang keras dan panas itu dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku mengelus kantong bolanya. Kukocok dengan pelan batangnya sambil kulihat empunya.

Matanya terpejam!

Kupercepat kocokanku padanya dan kulihat dia melirik kearahku ketika aku mulai mencium kepala penisnya yang berwarna merah dan panas.

“Uffffttttt.... terus sayang“ Bisiknya yang membuatku semakin bersemangat.

Dengan lembut aku memasukkan kepala penis nya dan mengulumnya dalam mulutku, tangan kanan ku mengocok batangnya dengan keras. Kuhentikan kocokan tanganku pada penisnya, dan kulanjutkan dengan menaikturunkan kepalaku disepanjang penisnya.

“Ahhhh,,, terus Sis,, “ Gumamnya sambil menarik rambutku.

Kulirik wajahnya yang memerah dan mata gelap terbakar nafsu, kuambil nafas panjang dan kucoba memasukkan penisnya sepanjang yang kubisa. Namun hanya bias masuk setengah nya saja.

Deepthroat.

“Ahhhh,,,, stop Sis!”.

Andri POV.

Uffffff. Hampir saja pertahananku jebol karena hisapannya. Bibirnya yang mungil itu seperti vacuum yang menyedot kepala penisku, serasa mau menguras cadangan sperma yang ada di kantong bolaku. Sialan Nia, dia bilang belum pengalaman. Hisapannya saja seperti ini!

Kurebahkan Sisca diranjang, dengan cepat kuciumi vagina dan klitoris mungilnya dengan lidahku. Vaginanya mulai basah. Klitorisnya yang semula malu-malu dengan pelan membengkak.

“Ahhhhhhhhhhhhh….. uffffttttttttttttttttttt….” Desahan mulai terdengar dari Sisca.

Kuhentikan jilatan di vaginanya, kuciumi bibirnya yang masih menyisakan aroma diriku. Kuambil kondom dari lemari disebelah ranjang, dan kupasangkan di penisku. Dengan perlahan kuposisikan di penisku yang sudah mengeras dengan sempurna ke belahan vagina basahnya.

“Pelan-pelan ya mas, punya mas jauh lebih besar dari mantan pacarku…” Seru Sisca dengan malu-malu..

“Ahhhh……ufffttttttttt” Sisca hanya bisa merintih pelan ketika ujung penisku kugesekkan di belahan vagina nya yang basah. Secara teratur ku gesek clitorisnya yang mulai membengkak dengan indah. Cairan vaginanya mulai membasahi ujung penisku. Dengan pelan kucoba memasukkan kepala penisku keliang vaginanya yang mulai merekah, merah dan basah.

“Huffftttt,,,,, hmmmmm…. Pelan-pelan mas,, ” Desahnya ketika kepala penisku mulai menyeruak masuk ke celah vagina mungilnya.

Shitttt! Sempit!

“Huffttttt….!” Akhirnya kepala penisku masuk keliang vaginanya, walaupun bukan perawan, liang vagina Sisca masih begitu sempit menjepit kepala penisku. Kulirik sebentar wajah Sisca, matanya sedikit mengernyit , entah menahan sakit atau nikmat, tanganya meremas seprai tanpa sadar.

Kudiamkan sebentar untuk menikmati sensasi jepitan vaginanya. Tanganku kugerakkan meremas payudara nya yang padat. Kuturunkan kepalaku dan kujilati puttingnya yang mengeras.

Kecil.

Merah.

Kulirik wajahnya dan terlihat dia mulai rileks, cengkraman tangannya di seprai mulai mengendur. Tangan kananku kutarik kebawah, membelai klitorisnya yang tersembul menantang. Desahan samar mulai terdengar dari mulut Sisca.
Kumasukkan penisku kedalam celah vaginanya yang mulai membuka. Cairan vaginanya yang banyak sedikit membantu penetrasiku. Ketika setengah penisku sudah masuk kedalam vaginanya, dengan satu hentakan keras kumasukkan penisku.

Jleeebbb,…..

“AHHHHHhhhhhhhhhhhhh… massssss,,,, aduuuhhhhh,,,” Desahan Sisca berganti dengan teriakan. Tangannya berganti memeluk punggunggu dengan erat, kurasakan sedikit perih, mungkin beberapa kukunya masuk kedalam kulitku.

Penisku belum seluruhnya masuk kedalam vagina nya, namun kurasakan sudah mentok didalam sana. Liang vaginanya serasa mencengkram dengan erat batang penisku. Selain sempit, liang vaginanya tidak terlalu dalam, sesuai dengan tubuhnya yang mungil.

“Mas jahatttt,,, sakit mas!” Protes Sisca sembari cemberut, yang nyatanya membuat
wajahnya semakin manis.

“Hehehe...Yang penting kan sudah masuk, vaginamu sempit sekali Sis” Pujiku.

“Bukan milikku yang sempit, punya mas yang kegedean” Sahutnya malu-malu.

“Apanya yang kegedean sis?” Desakku. Dirty talk, bicara kotor itu menyenangkan.

“Anu mas”

“Anu apa sis? Bilang namanya… ”

“Penis, penis mas,,, penuh banget di dalem vaginaku” Jawabnya dengan wajah merah.

Dengan perlahan dia mulai menggeliatkan pinggulnya, memutar-mutar, membuat si juniorku serasa dipijat dengan nikmat. Kuanggap itu tanda sudah bisa melakukan penetrasi lanjutan.

Dengan perlahan kumulai menaikturunkan tubuhku kedalam tubuhnya. Ketika penisku kutarik keluar terlihat bibir vaginanya ikut tertarik, begitu pula sebaliknya.

Sempit.

Menggigit.

Ritme kocokan penisku mulai kupercepat.

“Ummmhhhh….”

“Ahhhhh,,,,”

“Ufffff…..hufffftttt…” Desahan kami saling berganti. Kocokanku kuubah pelan.
Terasa sekali jepitan vaginanya dikepala penisku, hangat, basah menjepit dengan kuat. Lorong yang lembab itu terasa mau meremas isi penisku keluar.

Kutarik penisku sehingga hampir terlepas dari vaginanya, kemudian pelan-pelan kembali kuhentak masuk kedalam lorong yang hangat itu. Kuselingi dengan mengeluarkan penisku dan memasukkan hanya kepalanya saja. Kugesek dengan pelan. Kemudian kumasukkan hingga mentok diujung lorong sempitnya. Begitu berkali-kali berganti.
Wajah Sisca semakin memerah, kutahu orgasmenya sudah dekat, demikian juga aku.

Jepitannya membuatku melayang.

“Ssssshhhhhhh….ohhhhhhhhhh, cepetinnnn massss… Sisca dah mau nyampeee lagiiiiiii ” Erang Sisca pelan. Goyangan pinggulnya semakin cepat.

Kupercepat genjotanku ditubuhnya, penisku kunaikturunkan dengan cepat. Desahanku dan Sisca bercampur memenuhi ruangan.

“AHHhhhhh,,,,, uuffhhhhhhh….”

“AAhhhhh,,,, huuufftt..”

“Masssss,,, cepetinnnnnnnn,,, diiiikiittttt lagiiii”

Pompaanku kupercepat, wajah Sisca memerah seperti kepiting rebus, cengkraman tangannya di punggunggu semakin erat, pinggulnya mulai bergerak liar tak terkendali. Aku pun memompa dengan cepat, spermaku serasa sudah mengumpul manjadi satu.

“AHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH,,, masssssssssssssss,,,, Sisca dapetttttttttt lagiiiiiiiiiiiiiiiiii,,,ahhhhhhhhhhh…..”.

Dengan satu teriakan panjang. Punggung Sisca melengkung keatas, kepalanya bergoyang kekiri dan kekanan sembari cengkeraman tangannya dipunggungku semakin keras. Mulutnya menganga seperti kesulitan bernafas, wajahnya memerah dengan tetesan keringat yang menempel didahinya.

Sexy.

Hanya itu yang ada dipikiranku. Sementara cairan hangat kurasakan membasahi penisku dari balik kondom yang kupakai. Vaginanya berkontraksi seakan meremas semua bagian penisku. Ini terlalu nikmat untuk dapat kutahan. Kupercepat kocokanku hingga terasa sperma mulai mengumpul diujung penisku. Kutarik penisku dari vaginanya sambil melepaskan kondom yang kupakai.

Croottttt…croottttt..croootttt…..

“Hahhhhhhhh………hahhhhh…….hahhhhh.”. Desisan nafasku bercampur dengan desis nafas Sisca.

Aku rebah terlentang di samping tubuh seksinya, spermaku bisa kulihat disepanjang tubuhnya. Dari perut, leher, payudara dan bahkan semprotan terakhir mengenai wajahnya. Aku pun terlelap diatas ranjang yang baru saja menjadi saksi bisu persetubuhan kami.


 Chapter 2 : DOUBLE MASSAGE

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Boss, misi berhasil“ Lapor si mata sipit.

“Bagus! Apa ada yang curiga?“ Tanya sang boss.

“Sejauh ini tidak, tapi untuk jaga-jaga perlu saya hubungi teman kita dikepolisian?“ Jawab si mata sipit.

“Tidak perlu, bilang saja kepada rekan kita si pengacara, agar memantau semua pengacaranya!“

“Oke boss“
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andri POV

Aku terbangun ketika mendengar bunyi mengalir. Aku melihat sekeliling dan melihat Sisca dishower. Terilhat tubuh mudanya yang menyimpan sejuta kenikmatan dari belakang. Pantatnya yang tidak terlalu besar namun bulat dan padat sungguh menggoda. Paha yang mulus dialiri busa sabun cair, sungguh eksotis dan membuat penisku kembali mengeras.

Dengan pelan-pelan kudekati Sisca, dengan pelan kuusap pantat mulusnya...

“Aaawwwwwwwwwwww“ Dengan menjerit kaget Sisca membalikkan badannya.

“Mas Andri, membuat kaget Sisca aja...“ Tegurnya sambil memanyunkan bibirnya.

“Abis mandi gak ngajak-ngajak sih“ Sahutku sambil membelai kulit lembut disekitar putingnya yang masih tertidur.

“Abis mas kelihatan pulas sekali tidurnya sih...“ Sahutnya manja.

“Sini aku sabunin“ Sahutku sambil menuangkan sedikit sabun cair dan mulai mengusap bagian lehernya. Kulanjutkan kebawah, mengusap lembut disekitar buah payudaranya, kuusap lembut payudaranya tanpa menyentuh putingnya. Nafasnya mulai terdengar menderu.

Putingnya mengeras!!!

Seperti kebanyakan wanita, putingnya adalah bagian yang paling sensitif dari Sisca, selain klitoris of course, bisakah dia orgasme hanya lewat putingnya saja?

Objek yang menarik untuk lain kali.

Usapanku terus berlanjut kebawah, melingkari perutnya sampai ke pusar. Terus ke paha bagian dalam, kulewati dengan sengaja vaginanya. Usapanku berlanjut ke lutut, hingga belakang lutut pun tak lupa kuusap. Dengan pelan tanganku kembali keatas, meremas dengan lembut pantatnya yang sekal.

Wajah Sisca mulai memerah!

Air shower kembali kunyalakan untuk membilas tubuhnya dari busa sabun. Setelah bersih, kembali kuusap payudara dan kedua putingnya yang kembali mengeras! Dengan pelan kudorong tubuhnya hingga menempel kedinding tempat shower. Matanya memandang wajahku, seolah ingin mencari tahu apa yang akan kulakukan. Dengan tersenyum kudekati tubuhnya, penisku yang mengeras kugesekkan ke bagian atas vaginanya.

“Ahhhhhh...“ Desahnya pelan.

Desahan pertamanya setelah pertempuran tadi, kucium bibir merahnya yang merekah basah.

Lembut.

Itulah hal pertama yang kurasakan dari mulutnya. Lidahku mulai menyeruak masuk kerongga kecil mulutnya, mencari lidahnya. Kami saling memainkan lidah beberapa lama. Tangannya yang semula pasif menggantung disisi tubuhnya mulai bergerak meremas rambutku. Tangan kanannya secara otomatis mengocok lembut penisku. Tak lama, penisku ditekan-tekankannya ke klitorisnya yang mulai menonjol.

“Uuggffttttttt.....sssssstttt,,uufffgggtttt“

Desahannya tersumbat oleh mulutku. Tangan kiriku yang tadi hanya diam mulai meremas payudaranya. Remasan ku terkadang kuganti dengan cubitannya kecil pada putingnya yang dibalas dengan kocokan keras pada penisku. Dua jari tangan kananku kumasukkan keliang vaginanya yang mulai basah.

“Aahhhhhhhhhhh,,,,“

Ciuman kami terlepas ketika jariku mulai masuk kedalam lorong vaginanya. Sebagai gantinya, kucium dengan rakus putingnya, yang kutahu sangat sensitif. Jariku mulai mengocok dengan pelan vaginanya, yang kurasakan masih menjepit jariku dengan rapat.

“Masssss.... ennaakkkkkkkkk,,, teeerussss massss.....“ Desahnya sambil tangannya menjambak rambutku. Kutingkatkan kecepatan kocokan jari tanganku, hingga akhirnya tubuhnya melengkung dengan indah, pahanya menjepit kuat jariku yang kurasakan basah dan hangat oleh cairan kenikmatannya. Kakinya kurasakan gemetar dengan kuat, hingga mungkin jika tangannya tidak menarik keras rambutku, mungkin dia akan terjatuh.

Tunggu!!. Menarik keras rambutku?!

“Aaawwwww sis,,, kamu kalau orgasme pelanin dikit dong nyambaknya, sakit tau!“ Kataku sambil tersenyum.

“Eh... maaf masss,,, abis enak sih...hehehe..hah..hah“ Yaelah, malah ketawa dia.

“Punya mas mau dikeluarin juga gak??“ Tawarnya.

“Iya,,, tapi nanti,, isi jacuzzi nya dengan air hangat dulu ya, badanku pegel, maw berendam bentar“ Jawabku sambil mengambil kondom yang tergeletak di ranjang.

Hmmmm... Cuma sisa dua, pelit juga neh si Nia.

Kuambil satu bungkus kondom dan menuju kearah jacuzzi yang terletak di pojok kamar.

“Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah
Aku, dia dan mereka memang kita memang beda
Tak perlu berpura-pura, memang begini adanya
Dan kami disini
Akan terus bernyanyi“
Potongan lirik lagu SID dari handphoneku menunda langkahku ke jacuzzi, ketika kulihat layar Hpku terlihat:


Frans CALLING


Oke. Apa mau sibadung ini?.

“Hallo, kenapa Frans?“

“Aku mau ke Cafe Luwak ma Jack, habis tu , biasa, hang out bentar ke pub 666, mau ikut boss?“

“Ogah ah, besok banyak deadline untuk Senin, lu aja ma Jack kesana“ Jawabku sambil melirik ke Sisca.

Well, kayaknya aku tidak begitu menyesal tidak ikut Frans hari ini.

“Hahaha,,, jangan diabisin ikan baru nya boss, sisain buat minggu depan, hahaha“

“Baru dua ronde Frans, masih banyak waktu malam ini... “ Jawabku sambil nyengir kearah Sisca, yang dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya darinya.

“Gimana pelayannnya bos? Masih seret gak?“ Bisa kudengar rasa penasaran dalam nada suaranya.

“Yang jelas,, masih lebih seret dari si Nia,, mantap deh,, rugi lu Frans..“ Ledekku, dan sekali lagi, alis Sisca terangkat setelah mendengar perkataanku.

“Gilaaa,,, mantap... BTW, dikasi pintu belakang boss??“ Tanyanya antusias.

“Belum nyoba, mungkin nanti aja, mungkin ngajak Nia buat bantu hahaha“

“Wah,,, awas besok gak bisa bikin presentasi boss, hahaha,, oke,,bye boss“

“Roger that“ Sahutku sambil menutup panggilan.

Kuhampiri Sisca yang masih terheran-heran dengan pembicaraanku tadi. Kuletakkan bungkus kondom disandaran jacuzzi. Kucoba air hangat di jacuzzi dengan tanganku.

Hangatnya pas.

Dengan perlahan aku masuk kedalam jacuzzi, sementara Sisca masih memandangiku tanpa suara.

“Sis, sini masuk bareng“ Panggilku sambil melambaikan tanganku kearahnya.

“Ehh... iya mas,,,“ Dengan perlahan dia bergerak kerahku.

Kulihat dia sedikit ragu-ragu untuk masuk kedalam jacuzzi. Kubantu dengan memegang tanganya. Karena jacuzzi ini tidak terlalu besar, otomatis Sisca berada diatasku, dengan perlahan kutarik badannya karahku. Penisku lembali menegang, membayangkan seks didalam air dengannya. Kedua paha Sisca mengapit pahaku. Payudaranya tepat berada didepan hidungku. Tanpa menyia-nyiakan waktu, kuciumi payudaranya bergantian, putingnya yang semula kecil, pelan-pelan membesar.

“Aduh! Mas! Jangan keras-keras dong“ Tegur Sisca ketika aku dengan gemas menggigit putingnya sebelah kiri.

“Abis ngegemesin banget Sis“ Pujiku, yang sukses membuat wajahnya kembali memerah.

Kuciumi bibirnya dengan pelan, lidahnya mulai berani mencari lidahku. Tanganku dengan aktif meremas payudaranya yang sekal. Puas bermain di payudaranya, tanganku turun kebawah, kumasukkan dua jari ke celah vaginanya, dan kukocok dengan cepat.

Ciplak,,,ciplakkk,,,ciplak,,,

Bunyi kocokan tanganku dibawah sana,wajahnya yang semula bersemu merah, semakin kelam.

“Masss,,,, ahhhhhhh,,,,,ahhhhh“ Desisnya tak karuan. Wajah nya yang semakin merah mendekati orgasme, kupercepat kocokan jariku.

“Mass... ce...pee...tinnnn ahhhhhhhh“ Rupanya dia sudah dekat dengan orgasmenya. Liukan tubuhnya semakin keras, demikian juga dengan desahannya.

“Mass.... ahhhh,,, kok dilepas?“ Protesnya ketika kucabut jariku dari dalam vaginanya. Wajahnya terlihat penasaran dan nafasnya menderu dengan kencang.

Aku hanya tersenyum sambil dengan pelan mendorong tubuh Sisca dari atas tubuhku, aku bangkit keluar dari jacuzzi dan mengambil bungkus kondom yang tergeletak di sandaran jacuzzi.

Seolah bisa membaca pikiranku, Sisca bangkit dari jacuzzi serta mengambil bungkus kondom dari tanganku dan dengan cepat memasangkannya di penisku.

“Balik Sis“ Perintahku sambil mendorong tubuhnya mendekati sandaran jacuzzi. Tangannya memegang pinggiran jacuzzi sementara pantatnya menungging kearahku. Dengan cepat dia memposisikan penisku di pintu masuk vaginanya, dan bless!!

“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh“ Jeritnya ketika penisku masuk hanya dengan satu sentakan.

Seperti sebelumnya, kurasakan tubuhnya sedikit tegang. Dengan posisi ini, kurasakan penisku masuk semakin dalam ke vaginanya. Dengan sedikit menggigit bibirnya, Sisca mulai memajumundurkan tubuhnya kearah tubuhku.

“Ahhhhhhhhh...ahhhhhhh...ahhhhhhh massss“ Desahan nya semakin cepat. Kucium dengan gemas putingnya yang keras, terkadang kucubit dengan jariku. Bukkannya marah, dia malah mengambil kedua tanganku dan meremaskannya ke payudaranya dengan keras. Desisannya bertambah keras yang disusul dengan goyangan maju mundurnya yang semakin cepat.

“OOOOOOOOhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh hhhh, massssss........“ Teriaknya dengan keras ketika orgasme yang hebat melanda. Nafasnya tersengal dan wajahnya memucat. Namun tidak seperti sebelumnya, kali ini aku tidak membiarkannya istirahat, dengan cepat kutarik rambutnya hingga wajahnya mengarah kepadaku.

Kukocok vaginanya dengan cepat.

“Masss,,,ahhhh,,,,,,istira..hattt dulu...“ Erangnya.

“Tahan bentar ya sis, nanti juga enak kok“ Sahutku tanpa menghentikan kocokanku. Rintihannya semakin keras.

“Uda...hhh maw nyampe lagi mass,,,ahhhh“ Sahutnya sembari menggerakkan pinggulnya kedepan dan kebelakang.

Gerakan pantatnya mulai tak beraturan, desahannya semakin keras bergema di ruangan

“Massssssssssssssssss......ahhhhhhhhhhhhhhh hahh...hahhhhh..hahhhhh“

Nafas Sisca menderu dengan keras, vaginanya menjepit dengan erat penisku didalam sana. Tubuhnya mulai melemas. Hanya tanggannya yang berpegangan pada dinding jacuzzi yang menahannya. Dengan pelan kukocok penisku. Kupompa dengan tempo yang pelan dan teratur.

“Hmm,,haahhhhh,,, masss, “ Hanya desisan yang bisa keluar dari mulut Sisca. Mungkin multiorgasme yang pertama baginya.

Hampir 5 menit kukocok dengan tempo pelan, ketika desisannya berganti menjadi desahan yang pelan. Kutingkatkan tempo kocokanku. Desahannya pun mulai terdengar. Putingnya kuremas dengan sedikit keras. Pantatnya yang membulat sungguh membuat ku tak tahan

Plaaaaakkkkkkkkkk.....

“Aduhhhhhh,,, Mas!!!!“ Teriak Sisca kaget ketika kutampar pantatnya. Bisa terlihat cap telapak tanganku memerah di pantat mulusnya.

Plaaaaakkkkkkkkkk...

“Ahhhhhhh“ Kembali kutampar pantat mulusnya. Pantatnya yang semula putih sekarang terlihat kemerahan.

Kupercepat kocokanku, sembari tanganku meremas dengan keras payudaranya. Desahannya kembali terdengar.

Plaakkkkkkkkkk....plaakkkkkkkkkkkk....

Plooookkkkkk...plooookkk..plookkkkkk....

“Ahhhhh..hahhhhh....hahhhhhhh“

Paduan tamparan dipantat, remasan dipayudara, dan kocokan yang semakin cepat dan desahan bercampur menjadi satu diruangan. Sisca yang semula pasif, sekarang mulai menggerakkan pinggulnya dengan liar. Tubuhnyapun bergerak dengan liar, tamparanku kuubah menjadi remasan kuat pada pantatnya.

“Aah! Aah! Ahh“ Wajah sayu Sisca seperti orang kesakitan. Tangannya mencengkram pinggiran jacuzzi erat-erat.
Sisca semakin kencang menggoyangkan pinggulnya.

Memutar.

Menghentak.

Otot dalam vaginanya dikontraksikan dengan brutal.

“Masih jauh sis?“

“Bntar lagi mas!“ Sahutnya sambil semakin liar menggoyangkan pinggulnya.

“Klo gitu barengan Sis“ . Habis berkata seperti itu, kocokanku semakin kupercepat, tangan Sisca mencari tanganku dan meremasnya keras.

“Mass,, udahhhhh mauuuuu da...pettttttttttttttttttttttt“

Desahan Sisca terputus ketika orgasme itu melandanya, kepalanya mendongak keatas. Mulutnya megap-megap tanpa suara, matanya mendelik hingga hanya terlihat putihnya saja. Jepitan vaginanya begitu keras hingga membuatku tak tahan. Kucabut penisku dari dalam vaginanya, melepaskan kondom dan..

Crottttt..crrootttt..crootttt...

Beberapa kali semburan kuat sperma menimpa pantat dan punggung mulus Sisca. Tubuhnya merosot kebawah, masih bisa kulihat kakinya gemetar karena orgasme.

“Hahhh..hahhhhh...ahhhahhhh...“

“Hahhh..hahhhhh...ahhhahhhh...“

Suara nafas kami saling bersaut. Tanpa suara tubuh kami merosot kelantai yang dingin.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
10 menit kemudian.

“Gmn sis?“ Tanyaku sambil tersenyum.

“Massssss,,,,,“ Cubitnya sambil menunduk malu.

“Masih kuat sis?“ Cengirku.

“APA?? Mas mau lagi?“ Oke. Bisa kulihat tatapan panik dimatanya. Newbie, pengalaman pertama pasti yang paling sulit.

“Vaginaku perih mas, mungkin lecet, punya mas kegedean sih“ Sahutnya manja.

“Kan masih ada lubang yang lain Sis“ Kuberikan tatapan menggoda kepadanya.

“Sisca belum pernah nyobain anal mas, lagian punya mas gede gitu, pasti gak bisa masuk tuh“ Jawabnya sambil bergidik.

“Kan belum pernah dicoba Sis, pelan-pelan aja, nanti feenya tak double-in deh“ Rayuku.

“Kalau ragu, ajak aja Nia, dia pasti bisa bantu“ Sambungku. Kulihat dia ragu-ragu. Tetapi tawaran fee double kayaknya membuatnya bimbang.

“Hmmmmmmm“

“Telepon aja Nia, sekalian minta dia pesenin makanan dan jus“ Rayuku.

“Hmmmm,,, telp Mbak Nia dulu ya mas..“ Katanya sambil beranjak pelan dari jacuzzi.

Dengan langkah yang tertatih, Sisca beranjak ke telepon disamping ranjang. Tak terlalu kudengar apa yang dikatakannya ditelepon dengan Nia. Aku beranjak menuju shower untuk melanjutkan membersihkan badan.

“Makanannya masih dipesenin mas, bentar lagi Mbak Nia kesini“ Kata Sisca ketika aku sudah selesai membersihkan badan.

“Kalau gitu kamu mandi aja dulu sis“ Saranku melihat mukanya yang agak kelelahan.

“Iya mas“

Kukenakan kimono yang disediakan sebagai layanan massage. Sembari menunggu Sisca dan Nia, kuambil HP ku dari meja. Kuperiksa sebentar.


3 New Email

Terpangpang dilayar notifikasi.

Kuperiksa sebentar, semuanya dari Frans.

Email Pertama :

From : Frans@gteam.com

To : andri ; Edy;

Subject : Alfa Medika Background.

Terlampir file Background Alfa Medika,

Thanks.

Frans.

Marketing Manager

G-Team | www.gteam.com

1 Attachment--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Alfa Medika Background.PDF
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Email kedua:

From : Frans@gteam.com

To : andri ; Edy;

Subject : Alfa Medika CEO Detail.

Terlampir file CEO Alfa Medika,

Thanks.

Frans.

Marketing Manager

G-Team | www.gteam.com

1 Attachment--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Alfa Medika CEO Detail.PDF
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Email Ketiga :

From : Frans@gteam.com

To : andri ; Edy;

Subject : Kompetitor Detail.

Terlampir file competitor untuk Alfa Memdika,


Thanks.

Frans.

Marketing Manager

G-Team | www.gteam.com

1 Attachment--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Alfa Medika Kompetitor Detail.PDF
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kelihatannya Frans cukup sibuk mencari infomasi untuk pertemuan hari senin. Setidaknya sudah ada bahan untuk persiapan rapatnya. Tinggal mempelajari detail emailnya dan membuat presentasinya. Well, hari minggu yang sibuk besok.

Tok tok tok.

Ketukan di pintu mengalihkan perhatianku

Kubuka pintu dan kulihat Nia berdiri dengan menengteng kantong plastik berisi makanan. Dengan mengenakan kimono seperti yang dipakai Sisca, dengan langkah yang gemulai nan menggoda Nia masuk.

Dalam sekejap pandangannya sudah menyapu kesekeliling kamar, mulutnya tersenyum ketika melihat dua bungkus kosong kondom dilantai, jacuzzi yang airnya setengah, hingga shower dimana Sisca masih mandi.

“Kayaknya, ada yang habis ‘makan‘ besar neh boss?“ Sindirnya sambil tersenyum lebar.

“Cuma satu menu, mau nyoba menu yang ‘dibelakang‘, tapi perlu bantuan nih‘“ Sahutku sambil menekankan kata dibelakang.

“Tapi sebelumnya, makan dulu, perlu energi lebih neh“ Sambil mengambil makanan dari kantong plastik yang dibawa Nia. Makanan fast food dan jus, pasangan yang cukup aneh.

Sambil makan kuperhatikan tubuh sintal Nia. Walau sudah berusia 30 tahun, tubuhnya masih terlihat seperti gadis 20 tahunan. Payudaranya, ia, payudara merupakan aset terbesar yang dipunyainya. Tidak terlalu besar, namun bulat penuh, dengan puting merah agak kecoklatan. Pantatnya membulat penuh, khas wanita yang telah matang. Pantat yang sekarang tersaji didepan mataku, karena empunya sedang memperhatikan Sisca yang sedang mandi.

“Gimana boss? Puas dengan pelayanan Sisca? “Tanyanya penuh arti sambil berbalik menghadapku.

“Dengan latihan yang tepat, dia bisa jadi primadona disini“ Sahutku sambil meliriknya penuh arti.

“Hmmm,,,,, latihan apa boss?“ Sahutnya manja sambil mendekat kerahku.

“Bisa dimulai dari blowjob, kayaknya keahlianmu itu bisa diajarkan padanya“

Sambil melirik kearah Sisca yang sudah selesai mandi dan kini mendekat kearah kami, masih telanjang bulat seperti tadi. Walaupun sepertinya dia agak kikuk dengan kehadiran maminya disini. Selera makanku hilang ketika melihat tubuh setengah basah dan berkilat dari Sisca, apalagi membayangkan jika Nia dan Sisca menjilat penisku berdua.

Rasa ‘lapar‘ ku segera berganti. Penisku mulai menegang lagi.

“Sis, coba kesini“ Perintah Nia ke Sisca yang masih berdiri dengan agak kikuk.

Sambil melirik kearah maminya, Sisca mendekat kearah kami. Aku yang masih duduk dipinggir ranjang, dan Nia yang berdiri didepanku.

“Coba kamu kulum penis Mas Andri“ Perintah Nia
.
“Ehhhh,,, mbak,,ehh“ Dengan terbata Sisca mencoba menjawab, namun hanya gumam yang tak jelas yang keluar dari mulutnya.

Dengan tak sabar Nia menarik tangan Sisca hingga berlutut didepanku. Dengan pelan kubuka kimono yang kugunakan, penis setengah tegangku tepat didepan wajahnya. Sambil melirik kearah Nia, yang dibalas dengan anggukan kecil, perlahan mulut mungilnya membuka, penisku, dikulumnya dengan perlahan, tangannya mengocok pelan batang penisku. Kulumannya terasa menyentuh tenggorokkannya ketika dia berusaha memasukkan seluruh batang penisku ke mulutnya. Kocokan tanggannya di batang penisku semakin cepat.

Penisku menegang dengan cepat.

“Liat Sis!” Sambil menarik tubuh Sisca ke samping, gantian Nia yang mengoral penisku.

“Ufffttttttt…..”

Desisku tertahan ketika Nia memaju mundurkan mulutnya dengan cepat di batang penisku yang masih basah akibat ludah dari Sisca. Tangan kanannya membelai bolaku, sedangkan tangan kirinya membelai paha bagian dalam. Kulihat kebawah dan pandangan kami bertemu, kulihat matanya bersinar jahil, seirama dengan gerakan mulutnya yang semakin cepat.

Kupegang kepala Nia, dan kucabut penisku dari mulutnya. Penisku yang semakin tegang kuarahkan ke mulut Sisca, seolah mau membandingkan, kuluman siapa yang lebih hebat. Kurasakan sensasi berbeda dari kulumannya, lebih pelan dan lebih menghisap.

Nia rupanya tidak mau menganggur begitu saja, kaki jenjang yang dihiasi high heel perlahan menuju kebelakang Sisca, dengan gemas diremasnya payudara Sisca dari belakang.

“Ummhhhhh....uhhhhh....ummmmm,,“

Hanya itu yang terdengar dari mulut Sisca yang masih berisi penisku, wajahnya agak mengernyit menahan rangsangan yang diberikan Nia pada tubuhnya. Desahan tertahan dari mulutnya semakin keras ketika Nia memasukkan satu jarinya kedalam vagina Sisca, yang terkuak lebar kerena posisinya yang berlutut.

“Ughhhh!“ Aku sedikit tersentak ketika penisku tergigit pelan oleh Sisca, dan wajar, karena dua jari tangan kanan Nia sekarang dengan cepat dikocokkan ke vagina Sisca yang berkilat basah oleh cairan vaginanya. Sementara tangan kirinya dengan kasar meremas payudara Sisca yang kutahu sangat sensitif. Sepuluh menit kemudian kuluman Sisca semakin tidak karuan, pantatnya bergerak liar mencari kenikmatan dari jari tangan ahli Nia.

Plooppp....

“Ahhhhhhhhhhhhhhhh,,,, “

Bersamaan dengan terlepasnya penisku dari mulut Sisca, badannya bergetar dan pinggulnya meliuk dengan kencang, menjepit tangan Nia seolah ingin melampiaskan rasa melayang yang dialaminya kepada dua jari mungil nan ahli dari Nia.

Sisca terduduk sambil terengah menikmati orgasme yang kesekian kalinya hari ini. Disampingnya Nia dengan kimono yang awut-awutan, menampakkan kulit mulus payudara dan pahanya. Tangan kanannya menyelinap ke pangkal pahanya dan mengocok pelan. Sementara tangan kirinya meremas sendiri payudaranya.

Sambil tersenyum kupasang kondom terakhir hari ini, kuhampiri Nia, kubuka ikatan kimononya, yang menampakkan tubuh polos, putih mulus dan terawat. Payudara sekal yang sedikit kemerahan karena diremas dengan kasar oleh empunya yang menahan birahi. Kucari mulutnya yang membuka merah dengan mulutku, lembut, basah, menggoda.

Itulah kesan yang kurasakan saat menciumnya.

“Ahhhh... ayo mas,,,” Rengeknya ketika kucium pelan payudaranya yang menantang. Tangannya yang basah oleh cairannya memegang penisku dan diarahkan ke liang kenikmatannya.

Bleesssss.....

Dengan sekali hentakan penisku masuk kedalam vagina Nia. Berbeda dengan Sisca, Nia bisa dengan mudah melahap penisku.

“Ahhhhhhhhhhhhhhh“

“Ugghhhhhhhhh“

Walaupun tidak seseret dan sesempit punya Sisca, cengkraman vaginanya terasa ketat. Apalagi ketika otot kegelnya digerakkan, penisku serasa dipijat tangan yang kenyal, basah dan hangat. Kugenjot dengan ritme yang tinggi.

Desahan Niapun menggema didalam ruangan.


“Ahhh...ahhhh.ahhhhh“

Tidak seperti Sisca yang agak pasif ketika bercinta. Nia sangat aktif, pantatnya bergerak menyambut tusukanku di dalam liang vaginanya. Ketika penisku bergerak keluar, dibarengi dengan gerakan berlawanan. Ketika kutekan, pantatnya juga diayunkan kearahku. Rasanya sungguh nikmat, penisku yang tidak bisa masuk semua ke punya Sisca, bisa habis ditelan vagina Nia.

Plokkkk...plokkkk…plokkkkk

Bunyi benturan tubuh kami begitu serasi. Hampir sepuluh menit kukocok vaginanya ketika goyangan pantatnya semakin tidak beraturan, desahan nya semakin keras. Kuremas payudaranya dengan keras.

“Ahhhhhhhhh massssssss,,,,, Niaaaa dapet........!!!“ Teriaknya ketika orgasme melanda. Tubuhnya berkelojotan sesaat sebelum diam. Nafasnya memburu, dengan keringat kecil membasahi dahinya.

“Hah...hah...hah... Mas sama Sisca dulu ya, masih kerasa ngeganjel nih“ Serunya sambil mengerjapkan mata kearah Sisca yang berbaring disebelahnya.

Tunggu.

Sisca rupanya asik masturbasi sambil melihat kami. Wajahnya memerah ketika aku menggapainya dan menariknya keatas ranjang.

Sisca POV.

Woowwwwwwwww.

Mbak Nia sungguh hebat. Vaginaku masih kerasa ngilu setelah dihajar penis Mas Andri, namun Mbak Nia dengan sekali tusukan langsung bisa bergoyang dengan tempo yang tinggi.

Hanya membayangkan penis besar dan panjang itu dalam vaginaku saja membuat vaginaku meremang. Goyangan Mbak Nia liar sekali, pasti kerasa sampai keujung penisnya. Tanpa sadar dua jariku mengocok dengan pelan vaginaku yang kembali terasa gatal. Tapi jariku tak cukup panjang untuk menjangkau sudut-sudut gelap yang gatal.

“Ahhhhhhhhh massssssss,,,,, Niaaaa dapet........!!!“ Teriakan orgasme Mbak Nia mengembalikanku dari khayalan.

“Hah..hah..hah... Mas sama Sisca dulu ya, masih kerasa ngeganjel nih“ Samar kudengar kata-kata Mbak Nia.

Oh My God

Aku lupa tanganku masih mengocok pelan vaginaku. Senyum Mas Andri membuat wajahku terasa panas. Aku hanya bisa menunduk ketika tangannya terulur, mengundangku keatas ranjang. Mas Andri berbaring menghadap keatas, dengan penis besarnya mengacung keatas. Dengan menggigit bibir aku mengangkanginya, pelan-pelan kuturunkan pinggulku, mencari lubang yang pas.

“Ouwhhhh......“

Tak bisa kutahan mulutku mengerang ketika dengan perlahan kepala penis itu menerobos lliang vaginaku yang basah. Kutahan sebentar Mas Andri agar aku bisa beradaptasi dengan ukurannya.

Jleeebbbb..
..
“Ahhhhhhhhhhhhhhhh... massssssssssss.......!!!“

Dengan satu kali dorongan penis itu masuk sempurna kedalam vaginaku. Rasa penuh yang familiar serasa menggaruk dinding vaginaku yang gatal tadi. Tangan Mas Andri kuremas-remas tanpa sadar. Kunaikturunkan tubuhku dengan pelan, penis besar itu terasa begitu sempurna.

“Ahhhhh...ahhhhh..ahhhhh“

Desahanku tak bisa kutahan lagi. Pantatku bergerak naik turun, dari pelan menjadi cepat. Tak kuhiraukan Mbak Nia yang bangun dan munuju lemari disamping ranjang, mungkin mengambil minuman yang tersedia disana.

Plokkkk...plokkkkk...ploookkk....

Bunyi tubuh kami yang beradu semakin keras terdengar. Penis besar ini serasa membuatku melayang.

Begitu indah.

Begitu nikmat.

“Ehhh,,, mbakkk....“ Seruku ketika tangan Mbak Nia mendorong pelan bahuku kearah Mas Andri. Tangan Mas Andri memeluk erat tubuhku, hanya pantatnya yang bergerak mengocok pelan vaginaku. Dada Mas Andri yang bidang menekan erat payudaraku, membuat gairahku semakin naik.

“Rileks ya Sis“ Kata Mbak Nia belum bisa kucerna dengan baik, ketika benda yang dingin, basah dan licin perlahan masuk kedalam anusku!!!

“Auuwwww...ahhhhhh,,, mbakkkk“ Jeritku, lebih karena terkejut, ketika benda sebesar kelingking itu masuk ke anusku. Aku diam merasakan sensasi pertama benda asing didalam pantatku. Kulirik kebelakang dan melihat benda semacan dildo mini digerakkan dengan perlahan oleh Mbak Nia, sesekali tangannya mengoleskan semacam gel di permukaan benda itu.

“Ahhh..ahhhh..ahhhhh“

Desisku kembali ketika Mas Andri dan Mbak Nia bergerak bersamaan. Rasa takutku berganti menjadi penasaran, kugerakkan pantatku naik dan turun.

My First Anal

Perlahan aku mulai bisa menikmatinya, kocokan kami pun semakin cepat. Ketika tiba-tiba Mbak Nia mencabut dildo mini itu dari pantatku, aku terlalu malu untuk memintanya memasukkannya kembali.

Perlahan aku merasa Mbak Nia mengoleskan gel pelicin lagi ke pantatku, dan...

“Owhhhhhh...ahhhhh...uhhhhhhhh“ Benda yang sama, namun dengan ukuran yang berbeda kembali memasuki pantatku. Sekarang dildo mini sebesar ibu jari memamasuki anusku yang beberapa menit lalu masih perawan.

Dengan pelan kugerakkan pantatku maju menyambut penis Mas Andri, mundur menjepit dildo mini itu.

“Ahhhh...ahhhhh.ahhhhhhh...“ Desahanku semakin keras bergema didalam ruangan ini.

“Ouwhhhhh,,,,, cepetin mbak,,,ahhhhh“ Tanpa malu-malu lagi aku meminta Mbak Nia lebih cepat memasukan dildo itu ke pantatku. Nikmatnya mulai terasa, vaginaku semakin terasa gatal, kugerakkan pantatku dengan cepat, mengikuti gerakan pinggul Mas Andri yang semakin cepat juga.

Ploooppppppp....

“Kok dicabut?“ Protesku ketika mereka mencabut penis dan Dildo masing-masing dari lubang tubuhku.

“Gantian Sis, aku capek“ Sahut Mas Andri sambil bangkit.

Gantian? Maksudnya?

Kulihat Mbak Nia sedang memakai celana dalam yang aneh. Aneh karena celana dalam itu berisi dildo di kedua sisinya. Besarnya sedikit lebih kecil dari penis Mas Andri. Kulihat matanya sedikit mengernyit ketika memasukkan satu ujung dildo kedalam vaginanya.

Sambil tersenyum jahil Mbak Nia memintaku naik keranjang. Mbak Nia mengambil posisi tidur di atas ranjang. Ujung dildonya mengarah keatas, dengan pelan dia menggapaiku dan mengarahkanku ke atas tubuhnya. Perlahan dildo itu diarahkan ke vaginaku.

“Ahhhhhhhhh...“ Walaupun lebih kecil dari penis Mas Andri, batang dildo ini terasa lebih keras. Sensasi batang berurat yang seperti penis sungguhan ini sungguh memabukkan, dengan cepat kunaikturunkan tubuhku. Desahanku dan Mbak Nia bersahutan.

Mbak Nia menarik wajahku kebawah.

“Rileks aja Sis, nikmati saja” Ketika aku sedikit segan menyambut ciuman Mbak Nia.

Sepanjang hidupku aku belum pernah berciuman dengan wanita. Namun entah karena nafsuku yang sudah dipuncak, kuterima ciuman Mbak Nia. Ciumannya lembut dan menuntut. Kalau semula aku ragu, namun karena desakan nafsu, ciuman kami berubah menjadi liar. Kuberanikan diri meremas payudara Mbak Nia.

“Ouwhhhhhh....ahhhhhh...yang keras Sis“

Desisan Mbak Nia menambah keberanianku. Aku pun meremas payudaranya dengan keras, begitu juga sebaliknya.

“Ouwhhhhh,,,,ouuuu,,,ahhhhh....“

“Ahhhhh..hahhhhh..aahhhhhhhhhhhh“

Desahan kami saling bersahutan. Vaginaku semakin gatal, dildo itu menusuk vaginaku dengan keras. Kocokanku kupercepat.

Kurasakan Mas Andi menambah gel di pantatku, kemudian dildo sebesar ibu jari itu dikocok dengan cepat di pantatku. Sensasinya semakin membuatku melayang. Namun Mas Andri manarik lagi dildo itu dari pantatku, kemudian menambah gel lagi. Walaupun kurasakan masih licin dari sisa gel yang tadi.

“Ouwhhhh...ahhhhh,,, mbakkk,,, sakittt“

Protesku ketika Mbak Nia menggigit pelan payudaraku. Tangannya memeluk erat diriku, kakinya dilingkarkan di pahaku, otomatis aku hanya bisa menggoyangkan pantatku. Kini Mbak Nia yang bergoyang dengan cepat, membuat vaginaku semakin gatal. Dan…..

“Ahhhhhh,,, sakitttttttttttttttttttttttt!!!“

Jeritku ketika ada benda yang besar dan hangat mencoba menerobos masuk pintu anus ku yang sempit. Kulihat kebelakang dan disana Mas Andri berusaha memasukkan penisnya kedalam lobang pantatku.

“Tahan ya Sis!“ Sahutnya sambil mencabut keluar penisnya, lalu menambahkan gel kedalam anusku dan penisnya.

“Pelan-pelan mas....“ Seruku sambil mengambil nafas dalam-dalam.

“Pahanya jangan dikeraskan gitu Sis, lemaskan saja, kalau di gituin, nanti terasa sakit masuknya“ Saran Mbak Nia.

Sambil berkata seperti itu, Mbak Nia terus merangsang puting payudaraku dan menggerakkan pantatnya naik turun. Lidahnya yang lembut menelusuri lekukan leher dan menjilati pelan telingaku.

“Owuuhhhhh,,,, sempit sekali Sis“

Ceracau Mas Andri ketika mili demi mili penisnya masuk kedalam pantatku.

Rasanya sakit. Bohong kalau ada yang bilang anal seks tidak sakit.

“Pelan-pelan mas, sakit“ Pintaku memelas.

“Iya Sis, rileks ya“ Sahut Mas Andri sambil menarik penisnya. Kurasakan dingin ketika gel ditambahkan lagi keanusku. Dengan pelan Mas Andri kembali memasukkan penisnya.

“Uhhhh,,,, sempit sekali Sis“

“Mas, pelan-pelan, penis mas kegedean“ Pintaku ketika kurasa kepala penisnya berhasil masuk ke liang yang beberapa saaat lalu hanya bisa menelan dildo kecil.

“Rileks Sis, nikmati“ Seru Mbak Nia yang masih terus memompa vaginaku dengan dildonya. Remasan tangannya di payudaraku, kocokan dildo dan ciuman di leherku sedikit bisa mengalihkan perhatianku dari rasa sakit di pantatku.
Perlahan birahiku naik kembali, kupegang kepala Mbak Nia dan kucium bibirnya. Ingin kualihkan rasa sakit dipantatku dengan ciuman yang panas dengan Mbak Nia.

Melihat hal ini, Mas Andri mulai melakukan penetrasi di pintu belakangku. Bisa kurasakan penisnya masuk lebih dalam.

“Sempit sekali Sisca... Sama seperti milik Nia ketika pertama dulu!“ Seru Mas Andri.

Sambil berkata seperti itu Mas Andri mulai menggerakkan penisnya maju mundur.

“Mbak Nia, cepettinnnn….” Pintaku memelas kepada Mbak Nia. Rasa sakit dan ngilu pada anusku terobati oleh kocokan kasar Mbak Nia pada vaginaku.

“Ahhhhhh..sempit sekali pantatmu Sis“ Racau Mas Andri. Kocokannya semakin kencang di pantatku. Perlahan ditariknya penisnya keluar, ditambahkannya lagi gel pelicin di penisnya.

Jlebbbb...jleebbbb,,,jleebbb

Plokkkk...plokkkkk,plookkk

Bunyi persetubuhan kami. Pelan tapi pasti, rasa sakit di pantatku berkurang. Berganti dengan sensasi lain. Vaginaku serasa semakin penuh karena penis yang bersarang di anusku. Rasa gatal di vaginaku semakin menjadi. Kulirik Mbak Nia, wajahnya merah padam, mungkin menahan rasa nikmat yang mendekati puncak. Begitu pula Mas Andri.

Dan akhirnya.

“Masssss....Sisca maw nyampe lagiiiiiiiiiiiiiiii..ahhhhh ahhhh ahhh“ Jeritku ketika puncak kenikmatan itu semakin dekat. Tubuhku bergerak liar namun terhalang himpitan tubuh Mas Andri dan Mbak Nia, rasa yang hari ini mulai familiar itu serasa semakin dekat. Rasa gatal di vaginaku semakin keras, kucium dengan ganas mulut Mbak Nia yang membuka.

“Mas ju..gaaaa Siss..“

“Kalian duluannn,, nanti giliranku,,hah hah hah“ Timpal Mbak Nia.

“Ahhhhhhhhhhhh,,,, Sisca nyampeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee....“ Dengan tenaga terakhir kugoyang tubuhku dengan cepat, meresapi orgasme terbaik hari ini. Pandanganku serasa kabur. Tubuhku serasa lemas. Kakiku gemetaran.

“Ahhhh,,, sempit sekali pantatmu Sis“ Racau Mas Andri sambil mengocok pantatku dengan cepat.

“Keluarin dimulutku aja mas“ Tawar Mbak Nia. Sambil mendorong tubuhku kesamping, dilepasnya kondom di penis Mas Andri. Dengan cepat kepala Mbak Nia maju mundur dibatang penis Mas Andri. Gerakannya sungguh ahli, tangannya sibuk mengelus kantong bola dan paha Mas Andri.

Clepppp..clepppp.cleepppp

“Nia , aku mau keluar..rrrrrrrrrrr“ Teriak Mas Andri.

“Uhhhh,,uhhhhhh“ Dengan ahli Mbak Nia memasukkan seluruh batang penis Mas Andri kedalam mulutnya.

Deepthroat yang hebat.

Wajah Mbak Nia sedikit tegang.

“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh,,,Niaaaaaaaa!!!“

Badan Mas Andri mengejang dengan hebat ketika keluar. Tubuhnya berkelojotan beberapa kali ketika spermanya tersembur kedalam mulut Mbak Nia

Ploopppp

“Hahhh..hahhh...hahhhh“ Nafas Mbak Nia memburu, namun tak sedikitpun sperma yang tercecer.

“Gilirannmu Nia!“

Dengan sebelah tangan tubuh Mbak Nia ditelentangkan oleh Mas Andri, celana dalam dildonya diturunkan . Tiga jari sekaligus Mas Andri mengocok cepat vagina Mbak Nia.

Tiga jari.

Tak perlu waktu lama, sampai...
.
“Mas,,,,,,Niaaaa,, nyampaiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii“ Tubuh Mbak Nia meliuk indah sebelum badannya terhempas ke ranjang. Tangannya mencengkram seprai dengan erat, matanya membelalak keatas hingga hanya terlihat putihnya saja. Cairan vaginanya mengalir deras hingga meleleh ke pahanya. Raut wajah kepuasan dan kelelahan terlihat dari wajahnya. Mas Andri menarik tanganku, kami bertiga berpelukan dalam ranjang yang masih tercium bau sperma dan cairan vagina. Mataku semakin meredup sebelum akhirnya gelap menyelimuti.


 Chapter 3: A BAD DAY to WORK HARD.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
To : Hades

Subject : Cari

Cari semua hal yang berkaitan dengan dan atau berita atau kejadian penting pada tanggal
11 Agustus 2004

Thanks,

S.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“I've become so numb,
I can't feel you there
Become so tired,
So much more aware
I'm becoming this,
All I want to do
Is be more like me and be less like you”
Nada dering spesial untuk keluarga terdengar di handphoneku.

Menggangguku dari tidur yang masih terasa sangat kurang.

“Huaaahaammmmmmmmm”

Dengan malas kutekan tombol merah di handphoneku. Samar bisa kurasakan lembut sinar matahari menerobos dari celah jendela apartemenku.

Ya, apartemen. Antara malas dan belum siap mempunyai rumah tangga. Atau gabungan dari keduanya. Aku memilih menempati apartemen daripada membeli rumah sendiri.

Dengan mata setengah terpejam kulihat layar handphone.
11 new message, 7 missed call. Well, it’s busy day. Pikirku.

“I've become so numb,
I can't feel you there
Become so tired,
So much more aware…”
Oke! Aku tau dia tidak akan menyerah sebelum kujawab teleponnya.

“Halooo” Dengan malas kujawab panggilan di handphoneku.

“Andriiiiiiiiiiiiiiiiii…… Bangun! Jam berapa ini?” Suara cempreng dari kakakku, Anisa, terdengar naik beberapa oktaf.

“Masih pagi kak“

“Sudah pukul 10 dan masih pagi?“ Suara kakakku terdengar lebih rendah, bisa kubayangkan dia berbicara sambil menahan senyum diujung sana.

“Hari minggu kak,,, masih pagi menurut zona wak...“

“Edy telp kakak tadi, dia bilang pertemuanmu besok dimajukan ke pukul 9 pagi.“

Potongnya sebelum aku selesai berargumentasi.

“Ouwwhhh,,, iya kak, APA?!?!!? Jam 9 pagi???“ Nyawaku yang seolah setengah tadi tiba-tiba terkumpul menjadi satu dalam hitungan detik.

Oke, ini kabar buruk.

“Oke kak, thanks infonya, bye…“ Sahutku.

“Andriiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!!!!!!!”

Masih bisa terdengar suara kakakku yang kembali naik beberapa oktaf ketika kuputuskan telp nya.

Aku beranjak kekamar mandi dan mencuci muka. Panggilan dari kakakku tadi seolah menjadi suntikan andrenalin yang membuatku habis seperti berlari 10km.

Setelah selesai mencuci muka, ku cek handphone dan mulai membaca pesan.

From : Edy G-Team.

“Presentasi besok dimajukan pukul 09.00 am. Be ready”
From : Frans Gteam.

“Boss, Edy telephone, bilang besok jadi pukul 09.00
Dan sisanya dari

From : Nenek Sihir.

ANDRI BANGUN. EDY TELP. BLG BESOK PRESENTASI PKL 09.00. BANGUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUNNNNNNNNNNNNN!!!!!!!!!!!! !!!!!!!!!!!!!!
Kubayangkan wajah kesal kakakku ketika mengirimkan 9 pesan yang sama tanpa kubalas.

Well, its bad day to work.

Setelah kerja selama seminggu dan diakhiri dengan malam yang ‘panas‘, sungguh, bekerja bukan hal yang ingin kulakukan hari ini.
Sinar matahari pagi kurasakan dari sela-sela tirai yang terbuka. Melangkah pelan kubuka jendela dan kusibakkan tirai yang menutupinya. Sejenak sinar matahari membuatku silau. Dengan malas aku menuju ke meja kerja yang bisa dibilang minimalis. Dan mulai menghidupkan komputer.

Oke. Mungkin komputer bukan benda yang cocok disebuah apartemen. Tapi dengan luas yang lima kali dari ukuran apartemen biasa, dengan bangunan bertingkat dua yang dihubungkan sebuah anak tangga. Komputer bukanlah pilihan yang buruk.

Komputer tidak sesuai untuk seorang CEO!

Well, ini apartemenku.

Dan komputer jauh lebih sesuai menurutku. Kenapa?

Karena lebih bagus untuk digunakan main game! Seseorang perlu hobi, dan main game salah satu hobiku. Walaupun Frans dan Jack sering mengejek game yang kumainkan dengan kata jadul, gak level dan sebagainya. Kuhidupkan computer lalu kearah dapur untuk membuat segelas kopi dan mencari sisa makanan dikulkas.

Ketika kembali kuketikkan password BIOS di computer dan kembali menunggu proses booting. Kuketikkan lagi password untuk menuju ke desktop.

Kubuka browser dan login ke email accountku. Download attachment dari Frans. Kubaca latar belakang PT Alfa Medika:

Nama : PT Alfa Medika
Tahun Berdiri : 1990
Lokasi : Semarang, Jawa Tengah (pabrik), Jakarta (office)
Usaha : Farmasi
CEO : Tony Firmansyah.
Karyawan : 5.894 orang
Deal Object : Sistem Produksi, tranportasi, karyawan.
Future deal : Hardware dari system, security hardware.

Hmmmm, ada yang serasa aneh dari deal object nya. Tapi aku belum bisa melihatnya sekarang. Kubuka attachment kedua, biodata dari CEO Alfa Medika.

Nama :Tony Firmansyah.
Ttl : Semarang, 1 Januari 1964
Status : Menikah.
Sifat : Simple, perfectionis, tradisional.
Latar belakang : Dari keluarga pengusaha, drop out ketika kuliah, bekerja di perusahaan keluarganya sebelum berhasil mengembangkan bisnis farmasinya.

Oke.

Simple, perfectionis, tradisional.

Sifat yang sulit diterka nantinya seperti apa. Kuingat percakapan kemarin dikantor dan saran dari Frans dan Edy :

“Jadi, hari Senin, kita ada presentasi dengan Alfa Medika. Mereka perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Fokus kita kali ini membuat program untuk produksi, tranportasi dan karyawan. Kemungkinan nanti kalau deal, langsung dengan hardware nya juga. Data-data pendukung dan materi presentasi sudah ada di file yang kukirimkan lewat email. Ada saran?”

“Jadi seperti rapat sebelumnya, titik berat nya di GUI, buat sederhana dan user friendly. Kita fokuskan disana” Saran Frans.

“Ide yang bagus, namun kita masih kekurangan data untuk teknis produksi dan alur transportasinya. Untuk keamanan, standar 2 layer seperti di presentasimu sudah cukup. Namun kudengar, bukan hanya kita yang akan presentasi senin ini?” Timpal Edy


Sederhana dan user friendly.

Itu kuncinya.

Mulai kubuat presentasi untuk besok, dengan warna-warna yang simple dan tidak begitu kontras. Sambil mendesain desain untuk GUI nya.
Sederhana karena untuk pegawai pabrik yang notabene tidak semua mengerti komputer!

Berarti kurangi aktifitas keyboard dan mouse.

Touchscreen!

Oke, mungkin ini sesuai, dengan layar sentuh, antar muka yang sederhana, warna yang tidak begitu kontras, biru? putih?
Sejenak bayangan warna salah satu situs jejaring social yang sedang booming saat ini terlintas di benakku….

Tidak terasa jam di computer menunjukkan pukul 17.00. Hampir tujuh jam aku bekerja membuat presentasi untuk besok.

“Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah
Aku, dia dan mereka memang kita memang beda
Tak perlu berpura-pura, memang begini adanya
Dan kami disini
Akan terus bernyanyi“
Kuambil Handphoneku dan kulihat


Edy Calling…

“Halo Di”

Halo Ndri, gmn dengan presentasinya?” Tanya Edy to the point.

“Sudah selesai, untuk GUI aku rasa sudah cukup, untuk system tranportasi dan produksi masih kurang, data yang dikirim oleh Frans dan team nya belum cukup akurat untuk proses produksinya” Sahutku.

“Dan apakah kau tidak merasa aneh, kenapa kita diminta membuat presentasi tanpa mendapat data yang valid dari Alfa Medika?” Sambungku. Cukup aneh, karena biasanya client akan mengirimkan data dan merequest hal, program atau hardware seperti apa yang mereka inginkan. Namun Alfa Medika hanya meminta membuat presentasi mengenai system untuk karyawan ,system untuk produksi dan system tranportasi tanpa memberikan detail yang cukup.

“Aku juga merasa aneh, tapi ini permintaan langsung dari CEO-nya. Dan Alfa Medika merupakan klien yang potensial bagi kita” Terangnya, seperti keterangan yang sama seperti saat pertama dia membicarakannya.

“Oke, it’s done” Sahutku.

Ingat besok presentasi pukul 09.00, jangan kelayapan dan ngegame sampai malam hari ini” pintanya mengetahui kebiasaan burukku dan Frans CS.

Roger That, bye” Jawabku sambil menutup telephone.

Huffffttttt.

Hari yang melelahkan. Tapi setidaknya aku bisa bernafas lega, besok semua materi presentasinya sudah siap. Aku copy data presentasi dan kutaruh di flashdisk. Aku juga mengcopy nya di fasilitas Cloud perusahaan. Aku logout dari account email dan menutup browser. Saatnya untuk game!!!

Hmmm,, online apa tidak ya?

Seolah-olah ada evil dan angel yang berbicara di kepalaku.

Evil :Online ja boss, presentasi kan boss yang buat sendiri, tidak perlu dipelajari lagi lah…

Angel:Boss, kalau online, waktunya mepet, nanti keterusan gimana boss?

Evil:Kan besok jam 9 juga, paginya juga bisa kan?

Angel:Jadi kalau sampai pagi main gamenya, emang bisa paginya pelajari itu boss?

Evil:Lima jam saja cukup tidur untuk orang dewasa boss!

Angel:Ingat boss, ini klien kelas kakap, jangan karena main game ikannya lepas boss!

STOP kalian berdua! Perintahku pada dua mahluk yang seolah bertengkar di kepalaku.

Oke, offline.

Evil:Loser

Angel:Siiippp boss!


Dua jam kemudian…

Teroris win….

F*ck, untuk kesekian kalinya aku kalah. Gara-gara presentasi sialan. Konsentrasi jadi buyar.

“Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah
Aku, dia dan mereka memang kita memang beda“
Handphone ku berbunyi seakan menambah kesialanku hari ini.
Kulihat layar.


Frans calling...

“Halo!”

Hahaha boss, bad day?” Tawa Frans tanpa memperdulikan nada ketus dalam suaraku.

“Terbangun pukul sepuluh pagi, buat presentasi dalam waktu tujuh jam, kalah main game, menurutmu bagaimana?”

“Well, tidak seburuk yang aku duga boss, so, presentasi sudah siap?” Tanya Frans. Walaupun sikapnya terlihat cuek, tapi dia bertanggungjawab dalam hal pekerjaan.

“Aku rasa tidak terlalu buruk, menurutmu, touchscreen, simple GUI, warna biru dan putih, apa bisa dijadikan satu?” Sahutku meminta pendapatnya.

“Hmmm…… tergantung alur dari program yang kita buat, dan penggunanya tentu saja, kita masih kekurangan data untuk itu, jadi ,menurutku itu hal terbaik yang bisa kita buat” Sahutnya setelah terdiam cukup lama.

“Jadi mau ikut keluar boss?” Tanyanya kemudian.

“Mungkin lain kali saja” sahutku kurang bersemangat.

“Oke boss, bye” Sahutnya menutup telepon.

Terbayang hal-hal yang akan dilakukan Frans, dan itu sungguh membuatku ingin hari ini cepat berlalu.

Semoga ikan kakap itu tidak lepas besok!

Dengan malas kumatikan komputer dan beranjak ke kamar mandi. Selesai mandi aku memakai pakaian santai, kuambil handphone dan headset. Mencari udara segar mungkin bisa membantu pikirku.

Aku turun kelantai bawah dengan lift yang tersedia. Sambil mendengarkan lagu dari handphone, aku beranjak menuju ketaman yang ada disekitar apartemen. Matahari masih terlihat di ujung barat. Sinarnya lembut membelai wajahku.

Deggg....

Sinar matahari, rona merah, wajah...

Tanpa sadar mulutku menggumamkan sebuah sajak yang dulu selalu menghiasai hariku..

“Temaram merah merona wajah
Biaskan luka alirkan darah
Hatiku berteriak
Namun mulutku hanya bisa diam
Andai saja kau dan orang-orang itu tahu
Apa yang ada dihatiku
Mungkin...
Semuanya akan berbeda...“

“Om, ndang boanya“ Suara nyaring seorang anak lelaki yang masih berusia sekitar 2 atau 3 tahun menyadarkanku.

“Mas, tolong tendang bolanya kesini“ Suara berat dari seorang lelaki, yang kurasa adalah ayah dari anak tadi memintaku melakukan hal yang sama dengan anaknya.

Sambil tersenyum kutendang bolanya dengan pelan kerah mereka.

“Dukkk“

Dengan pelan bola itu meluncur kearah si anak. Dengan sigap tangan mungilnya meraih bola itu dan mendekatkannya kedadanya.

“Ayo, bilang apa sama omnya?“

Sura lembut seorang wanita, yang kuduga ibunya, membuat anak kecil yang sudah siap berlari itu berbalik.

“Maaci om“ Dan tak menunggu lama langsung berlari meninggalkan orang tuanya.

Keluarga yang bahagia.

Sebersit rasa iri tanpa bisa kucegah melanda hatiku.

Huffffftttt

Kuhela nafas untuk menghilangkan beban didadaku. Beban yang menghiasi hari-hari ku dulu.

Dengan langkah gontai aku kembali keapartemen.

Semoga besok lebih baik dari hari ini.


Chapter 4: TIME to WAR

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
From : Hades

Subject : Re Cari

Sampai sejauh ini, tidak ada kejadian penting selain yang sudah kau ketahui. Tapi aku menemukan beberapa kejadian yang cukup menghebohkan sebelum tanggal itu, akan kukirim detailnya jika aku sudah selesai menggalinya.

Thanks,

Hades
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“I bleed it out digging deeper
Just to throw it away
I bleed it out digging deeper
Just to throw it away
I bleed it out digging deeper
Just to throw it away
Just to throw it away
Just to throw it away
I bleed it out”

“Huffttttt…huaaaahmmmmmm”
Lagu Bleed It Out Linkin Park yang kusetel sebagai nada alarm sukses membangunkanku pagi ini.

Kutekan tombol merah untuk mengakhiri lagu dari Chester Benington itu.
Kumulai rutinitas harianku hari ini, mandi, sarapan, dan terkhir, mempelajari presentasi yang aku buat. PUkul 08.00 kuambil laptop dan perlengkapan lainnya dan turun ke garasi untuk mengambil mobilku. Jarak apartemenku dengan tempat rapat hanya sekitar 30 menit.
Tapi prinsipku.

Lebih baik lebih awal satu jam daripada telat satu menit.

45 menit kemudian.

“Hufttttt, untung aku berangkat lebih awal!”
Gumamku ketika melirik jam tangan yang menunjukkan pukul 08.45. Macet yang cukup parah di ruas jalan menuju kantor Alfa Medika membuatku harus mengambil jalan memutar.
Desain interior dari ruangan ini seolah menjelaskan kepribadian dari pemiliknya. Lantai yang bersih dan hanya satu warna, putih. Dinding yang hanya dihiasi dengan beberapa lukisan. Dan meja resepsionis yang terbuat dari keramik juga kursi dan sofa yang memiliki warna senada dengan meja resepsionisnya.

“Selamat pagi, selamat datang di Alfa Medika, ada yang bisa saya bantu?” Sapa resepsionis.

Hmm, pakaian karyawannya juga sopan dan simple. Rok hitam, blouse putih dengan rompi yang sayangnya menutupi lekak-lekuk pemakainya .

“Selamat pagi, saya ada janji meeting dengan Pak Tony pukul sembilan ini” Sahutku.

“Maaf dengan siapa saya sekarang berbicara?” Tanyanya dengan ramah

“Andri, dari G-Team” Jawabku sembari mengamati resepsionis ini.
Masih muda, mungkin umur 21 atau 22 tahun. Wajahnya bulat dengan lesung pipit dipipinya. Dan pakaiannya, terlihat sopan walaupun tidak bisa menutupi gundukan didadanya yang lumayan besar

“Oh Pak Andri, silahkan ke ruang rapat pak, nanti ikuti saja rekan saya ini” Sahutnya sambil menujuk rekannya.

“Iya, terimakasih Mbak…” Kulirik nametag didadanya yang terlihat membusung “Lisa…” Lanjutku sambil tersenyum. Aku berbalik dan

Brukk…..

Suara benturan terdengar saat aku menabrak seseorang dibelakangku.

Aku melihat kebawah dan pandangan kesal dari seorang gadis membalas pandanganku.

Deggg…

Karena posisi jatuhnya kebelakang, otomatis kakinya kedepan dan sialnya atau untungnya terbuka, rok hitamnya tertarik keatas dan memperlihatkan paha mulus yang terawat. Kakinya yang cukup terbuka juga membuatku bisa melihat sekilas warna putih di pangkal pahanya. Kualihkan pandangan keatas, hanya untuk melihat blouse putih yang sedikit terbuka sehingga menampakkan bra dengan warna senada yang membungkus payudara yang tidak terlalu besar dari pemiliknya

Sialan.

Aku bisa merasakan penisku mengeras.

“Kalau balik liat-liat dong pak!”

Suara kesal dari si empunya celana-dalam-putih membuatku mengalihkan pandangan keatas, hanya untuk menatap bibir merah basah yang mengkerucut karena kesal. Butuh upaya yang cukup keras agar aku bisa mengalihkan pandangan dari bibirnya yang menantang.
Kuamati wajahnya yang terlihat memerah, marah.

Mata hitamnya memandangku tajam.

Tersadar, kuulurkan tanganku untuk membantunya berdiri.

“Maaf mbak” Kataku sambil masih mengulurkan tangan. Tapi dia menolak tanganku kesamping dan bangkit. Sekilas dari pakaiannya aku menduga dia salah satu karyawan disini.

“Bisa sendiri kok!!” Sahutnya kesal sambil beranjak melewatiku menuju ke resepsionis.
Harum lebut bunga mawar tercium saat dia melewatiku. Dari belakang, tubuhnya terlihat sempurna. Pantatnya membulat padat dan besar, mungkin diciptakan untuk mengimbangi dadanya yang tidak terlalu besar.

“Iya, maaf mbak” kataku sambil mengikuti rekan Lisa yang telah menuju keruangan rapat.
Namun roman marah dan tatapan galak si-celana-dalam-putih mengusik pikiranku.

Sepanjang jalan menuju ruangan rapat, wajah si celana-dalam-putih terus terbayang. Bibirnya yang mengerucut kesal dan pantat itu. Bukan gambaran yang bisa kulupakan dengan cepat.

“Pak, ini ruangannya” Suara si pegawai yang mengantarku menyadarkanku dari lamunanku dari si-celana-dalam-putih.

“Iya, terimakasih mas” Sahutku sambil masuk keruangan rapat yang pintunya terbuka.
Tulisan meeting room terlihat pintu. Ruangan rapat ini terkesan mewah namun sederhana. Warna biru muda mendominasi dengan aksen warna perak. Meja dan kursi ditata membentuk huruf U. Dimana ujung huruf U itu sekarang duduk CEO dari Alfa Medika.

Tony Firmansyah.

Sekilas dilihat dari penampilannya yang sederhana, tidak akan ada yang menduga kalau lelaki yang duduk itu adalah seorang CEO dari perusahaan farmasi yang terbesar di Asia Tenggara. Kemeja putih dan celana kain hitam, tanpa dasi. Namun pandangan matanya, pandangan mata seseorang yang telah melalui banyak batu karang kehidupan. Kulihat pandangan menilai sebentar di pandangan itu sebelum berubah menjadi pandangan hangat.

Aku bergerak menghampiri beliau.

“Selamat pagi Dik Andri, selamat datang di Alfa Medika“ sapanya sebelum aku sempat membuka mulut.

“Selamat pagi pak, terimakasih atas kesempatannya“ Jawabku sambil menyambut uluran tangan beliau. Jabat tangannya kuat dan hangat. Ciri orang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi.

“Oh iya, kenalkan ini Raisa, anak sekaligus sekretaris saya“ Jawabnya sambil bergeser kesamping. Dibelakangnya terlihat seorang gadis awal 20an, dengan pakain yang hampir sama dengan resepsionis yang kutemui tadi, bedanya dia mengenakan stocking berwarna transparan dan kemeja putih.
Wajahnya terlihat segar, dengan bibir yang dipolesi lipstick berwarna merah muda.

“Raisa“

“Andri“

Kami berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Tangannya sedikit meremas tanganku dan jari telunjuknya perlahan digoreskan ke telapak tanganku.

Aku memandangnya untuk mendapatkan kedipan mata ringan darinya.

Hmmmm…. Gadis ini nakal juga rupanya…

“Oh iya mas, silahkan duduk dulu” Tawar Raisa sambil menarik sebuah kursi disebelah kanan dari ruangan, cukup dekat dengan tempat duduk Pak Tony.

“Iya, terimakasih mbak” Sahutku.

“Kok mbak sih? Panggil saja Raisa” Sahutnya ramah.

“Iya Mbak,,, eh Raisa”

“Silakan duduk dulu dik, sambil menunggu wakil dari Delta Company” Ajak pak Tony sambil menyebut nama perusahaan yang masih asing di telingaku.

“Selamat pagi” Ucapan salam dari pintu mengalihkan perhatianku dari Pak Tony. Beliau bangkit dan perlahan berjalan menuju pintu, dimana si empunya suara berada.

What??

Si-celana-dalam-putih.

Apa yang dilakukannya disini?

“Selamat pagi, dengan dik?” Sahut Pak Tony sambil menyalami si-celana-dalam-putih.

“Lidya pak, dari Delta Company” Sahut si-celana-dalam-putih sambil melirik-ketus-sekaligus-heran melihatku berada diruangan rapat ini. Kubalas pandangan herannya dengan anggukan dan senyuman kecil.

Sial, rupanya dia wakil dari tim lawan, pikirku.

“Dik Lidya, ini Dik Andri dari G-Team, Dik Andri ini Dik Lidya dari Delta Company” Terang Pak Tony memperkenalkan kami berdua.
Aku bangun dan menjabat tangan si-celana-dalam-putih.

“Andri”

“Lidya”

Kami menyebut nama masing-masing ketika berjabattangan. Telapak tangannya halus namun jabat tangannya bertenaga, kalau boleh dibilang keras.

Mungkin sengaja pikirku mengingat kejadian tadi.

Kubalas jabat tangannya dengan tak kalah kuat, yang dibalas dengan bola matanya yang sedikit membesar. Kulihat tatapan marah dan sedikit merendahkan disana.

“Dik Lidya ini Raisa, anak sekaligus sekretaris bapak” Seperti tadi Pak Tony juga memperkenalkan anaknya pada si-celana-dalam-putih (aku lebih suka memanggilnya begitu)

“Raisa”

“Lidya”

“Mbak Lidya, silahkan duduk disebelah sana” Tunjuk Raisa ke kursi yang bersebelahan denganku.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Mungkin adik berdua merasa sedikit heran dengan permintaan bapak mengenai system yang bapak ingin bangun di perusahaan ini” Papar Pak Tony kepada kami ketika si-celana-dalam-putih sudah duduk.

“Bapak hanya ingin mendapatkan orang yang terbaik untuk pekerjaan ini, dan kalian yang masuk kategori itu. Reputasi perusahaan Dik Andri sudah tentu tidak usah disangsikan lagi. Sedangkan perusahaan Dik Lidya memang fokus di system tranportasi dan penjadwalan, yang mana bapak perlukan untuk sistem bapak ” Terang Pak Tony.

Aku memandang wajah si-celana-dalam-putih. Dan yang kudapatkan pandangan menantang. Serta dagu kecil yang diangkat, menandakan pemiliknya tidak terintimidasi olehku.

Bibir itu, uffttt,,,, jaga konsentrasi! Andri!

“Bapak minta kalian presentasi hari ini, untuk melihat, bagaimana pandangan orang diluar perusahaan bapak mengenai system kerja dari perusahaan bapak ini. Sekaligus mencari solusi yang terbaik untuk permasalahan yang bapak ingin pecahkan nanti. Jadi, siapa yang ingin presentasi pertama?” Tanya Pak Tony, sambil melihat kami berdua.

“Lady’s first? ” Tanyaku sambil menaikkan satu alis kepada si-celana-dalam-putih.

“Saya pak” Sahut si-celana-dalam-putih tanpa melihatku.

Well, perang dimulai.

Kulihat si-celana-dalam-putih dengan sigap menyiapkan perlengkapan untuk presentasi. Payudaranya yang tidak terlalu besar terlihat sedikit bergoyang ketika sibuk menyiapkan bahan presentasinya.

“Selamat pagi semuanya, saya Lidya hari ini mewakili Delta Company. Pada kesempatan ini, kami ingin membagi bahasan presentasi saya hari ini menjadi tiga poin pokok, yaitu produksi, tranportasi dan HRM. Untuk bagian produksi, kami menyiapkan system yang menginventarisasi semua bahan, alat dan proses produksinya. Untuk tranportasi, kami menyiapkan algoritma khusus yang mencari jarak terpendek untuk suatu lintasan tranportasi. Sedangkan untuk HRM atau Human Resource Management, kami menyiapkan system yang terpisah dengan system produksi dan tranportasi”.

Sambil menjelaskan si-celana-dalam-putih memperlihatkan detail dari system yang akan dibuatnnya.

Sial. Dia bagus. Terlalu bagus malah.

Aku melirik kearah Pak Tony, beliau terlihat manggut-manggut melihat pemaparan dari si-celana-dalam-putih.

Double Sial!

Kualihkan pandangan kearah Raisa, dia tersenyum manis ketika aku melihatnya. Well, mungkin hanya Raisa yang tidak terlalu memperdulikan presentasi dari si-celana-dalam-putih.

“Ini tampilan dari system yang akan kami bangun” Perkataan si-celana-dalam-putih mengalihkan perhatianku dari Raisa. Di screen aku bisa melihat desain GUI dari programnya.
Dan untuk pertama kalinya aku tersenyum melihat presentasinya, kulirik Pak Tony, beliau juga terlihat mengkerutkan keningnya.

Tidak semua team bagus di semua hal. Setidaknya Delta Company tidak terlalu memperhatikan antarmuka. Warna-warna cerah, biru, hijau bajkan kuning dicampur dalam GUI nya. Tampilan depan yang terlalu banyak tombol dan teks keterangan.
Aku mencatat poin plus dan minus dari si-celana-dalam-putih. Data ini akan sangat kuperlukan kedepannya.

“Demikian presentasi dari team kami, terimakasih.” Dengan tenang si-celana-dalam-putih kembali ketempatnya. Senyum lega terlihat dari wajahnya. Walaupun ruangan ini ber-AC, namun bisa kulihat butir-butir keringat menempel didahinya.

Sexy.

Tanpa sadar pikiran itu masuk kedalam diriku.

“Baik, demikian tadi dari Dik Lidya, sekarang Dik Andri” Kata Pak Tony dengan lembut.

Dengan tenang aku maju. Tanpa tergesa-gesa aku siapkan materi presentasi hari ini.

“Terimakasih atas kesempatannya, saya Andri dari G-Team. Untuk presentasi hari ini, kami dari G-Team membaginya juga menjadi tiga bagian, yaitu, system produksi, system transportasi dan system manajemen karyawan. Semua system ini terkait menjadi satu. Sehingga terjadi kesinambungan data.” Terangku sambil melirik si-celana-dalam-putih.

“System produksi akan kami titik beratkan pada FIFO, jadi kami akan berupaya meminimalisasi kerusakan sumber daya karena proses penyimpanan. Selain itu kami membuat system ini terstruktur sedemikian rupa sehingga prosesnya akan lebih mudah. Untuk proses transportasi, kami membuat system dengan mapping. Sehingga user lebih mudah mencari rute dan kita bisa memantau keberadaan dari saran tranportasi dan status pengiriman barang. Untuk manajemen karyawan, menitik beratkan pada akses dan kontrol terhadap karyawan.”

Sambil jeda sejenak ku lirik Pak Tony, beliau terlihat membuat beberapa catatan di notesnya. Sedangkan si-celana-dalam-putih tersenyum melihat presentasiku tadi. Dan Raisa, dengan sengaja dia menjulurkan lidah mungilnya dan menjilat bibirnya saat kumeliriknya.

Sialan. Kalau saja bukan rapat.

“Untuk bagian GUI. Kami akan menggunakan touchscreen PC, dimana program kami juga akan bisa dijalankan di mobile device dan juga berbasic cloud. Warna yang kami gunakan dominan biru dan putih yang menyejukkan pandangan dan nyaman digunakan dalam waktu lama.” Sambil memberikan penjelasan aku juga mendemonstrasikan GUI yang akan kugunakan. Kulirik Pak Tony, dan beliau tersenyum lebar. Sedangkan si-celana-dalam-putih terlihat cemberut

Well , 1-1.

“Demikian presentasi dari timkami, terimakasih.” Aku kembali ketempat dudukku. Ketika aku lewat di dekat tempat duduk Raisa, dengan sengaja dia menjatuhkan penanya kelantai. Sambil tersenyum aku membungkuk dan mengambilnya.

Deggg…

Pandanganku terpaku pada dua paha mulus yang terbuka, paha mulus yang tertutup stocking transparan, dimana ujungnya bisa kulihat kain segitiga kecil berwarna merah. Yang terlalu kecil sehingga bisa kulihat rambut-rambut tipis mengintip keluar.
Dengan terpaksa aku bangkit, Raisa tersenyum ketika tahu aku mengambil kesempatan yang diberikannya.

What a view!

“Terimakasih kepada Dik Lidya dan Dik Andri atas presentasinya. Dari setiap presentasi ada kelebihan dan kekurangannya menurut bapak. ” Ujar Pak Tony ketika aku sudah duduk di kursiku.

“Kalau Dik Lidya, teori dan algoritma, terutama algoritma transportasinya lebih bagus, namun untuk antarmukanya bapak rasa terlalu banyak warna dan terlalu rumit bagi karyawan bapak” Papar Pak Tony sambil melirik si-celana-dalam-putih.

“Sedangkan Dik Andri, paparan mengenai cloud dan sinergi antar sistem bagus, namun untuk sistem tranportasi dan yang lain masih kalah daripada Dik Lidya“

Damn, it’s true.

“Sedangkan antarmukanya bapak suka, seperti itulah yang bapak inginkan.“ Lanjut Pak Tony sambil tersenyum.

“Raisa, berikan map penawaran dan konsep sistem yang kita inginkan“ Pinta Pak Tony kepada anaknya.

Dengan cekatan Raisa bangkit dan memberikan sebuah map merah kepada Lidya, ketika dia memberikan map itu kepadaku, dengan sengaja tubuhnya dicondongkan kearahku sehingga aku bisa melihat belahan dadanya.

Hufftt, penuh. Pikirku.

“Silahkan dipelajari dulu“ Saran Pak Tony mengalihkan pikiranku.

Kubaca dengan teliti poin-poin yang dinginkan Alfa Medika. Secara umum hampir sama dengan yang aku dan si-celana-dalam-putih presentasikan. Pandanganku menelusuri poin demi poin, sampai ke poin 15 yang sedikit menyita perhatianku.

15. Penghematan di bidang transportasi dengan membuat suatu sistem yang bisa mengetahui keberadaan sarana transportasi dan semua unit pendukungnya sehingga bisa mengetahui kondisi pengiriman dan mempersempit kemungkinan kehilangan.
Apakah selama ini terjadi kehilangan bahan atau obat di Alfa Medika?

Kuteruskan membaca poin-poin berikutnya. Poin 21 membuatku kembali merasa heran.
21. Membuat sistem yang berjalan dibawah sistem keamanan dari Alfa Medika.
Jadi Alfa Medika punya sistem keamanan tersendiri? Karena itu mereka tidak meminta kami membuat sistem keamanan.

“Untuk semua sistem ini, bapak hanya bisa memberikan waktu dua bulan untuk kalian menyelesaikannya dan bapak perlu demo produknya dalam 2 minggu ini“ Papar Pak Tony.

Dua minggu demo dan dua bulan finish? Dengan tingkat kompleksitas yang diminta aku rasa minimal perlu waktu tiga bulan untuk mengerjakan semuanya.

“Jadi, siapa yang bisa mengerjakannya dalam waktu dua bulan?“ Tanya Pak Tony kepada kami berdua.

Aku menatap si-celana-dalam-putih. Dan terlihat padangan penasaran dimatanya.

“Dik Lidya bagaimana?“ Tanya Pak Tony.

“Untuk sistem dan codingnya, dua bulan kami bisa pak, tapi untuk pengerjaan antarmuka dan cloudnya, minimal kami perlu waktu tiga bulan pak“ Sahut si-celana-dalam-putih sambil menarik nafas.

“Dik Andri bagaiamana?“

“Sama pak, minimal perlu tiga bulan juga, terutama untuk pengerjaan sistem transportasi dan produksinya pak“ Sahutku sambil menggelengkan kepala.

“Bagaimana kalau kalian berdua yang mengerjakannya bersama? Bapak rasa kalian bisa kalau bersama“.

Aku terdiam dan memandang Pak Tony dan si-celana-dalam-putih bergantian.

“Jadi, untuk proyek ini, bapak putuskan kalian berdua yang kerjakan, bersama, atau bapak cari perusahaan yang lain“

“Tapi pak...“

“Tapi pak...“

Aku dan si-celana-dalam-putih bersamaan bersuara dan bersamaan berhenti. Aku memandang si-celana-dalam-putih dan melihat pandangan bimbang disana. Sejujurnya join project semacam ini bukan yang pertama bagi perusahaanku. Namun, bekerja bersama si-celana-dalam-putih, berdua, beberapa pikiran mesum terlintas dibenakku.

“Apa tidak sebaiknya kami mengerjakan satu macan sistem terpisah pak? Dengan begitu kami lebih fokus mengerjakannya“ Tanyaku.

“Iya pak, kami mengerjakan sistem yang sesuai dengan keahlian kami, dengan begitu sistem nya akan menjadi lebih cepat selesai“ Sambung si-celana-dalam-putih.

Untuk pertama kalinya setuju denganku!

“Dan siapa nanti yang menggabungkan sistem yang kalian buat? Siapa yang mengorganisasinya? Bukannya nanti akan tambah sulit? Dan menurut bapak, kalian sangat serasi, bisa saling melengkapi nanti“ Lanjut Pak Tony.

“Maksud bapak, keahlian kalian, kalau digabungkan jadi satu, rasanya bapak akan mendapatkan sistem yang bapak mau.“
Sambung Pak Tony ketika melihat wajah si-celana-dalam-putih merona merah.

“Jadi deal?“ Tanya Pak Tony ketika kami berdua terdiam. Aku melirik sebentar kearah si-celana-dalam-putih. Pandangan kami bertemu, kudapat persetujuan di sinar matanya, walaupun ada bayangan kekhawatiran juga disana.

“Iya pak“ Sahut kami berdua.

“Baguslah kalau begitu, untuk detail sistem nya dapat kalian tanyakan pada Raisa. Untuk nilai kontrak dan penawarannya, bisa kalian kirimkan nanti. Kalau ada perlu apapun yang berhubungan dengan project ini, bisa kalian hubungi Raisa. Kalau dia tidak bisa menjawab pertanyaan kalian, hubungi bapak“ Tawar Pak Tony sambil menyerahkan kartu namanya kepadaku.

“Baik, bapak masih ada pertemuan di Bali nanti sore, bapak permisi dulu, kalian bisa memakai ruang rapat ini untuk membahas projectnya. Bapak tunggu presentasi kalian yang lebih lengkap, dua minggu dari sekarang“ Kata Pak Tony sebelum beliau menjabat tanganku dan si-celana-dalam-putih.

Setelah menjabat tangan si-celana-dalam-putih beliau keluar dari ruangan.

Sekarang tinggal aku, Raisa dan si-celana-dalam-putih.

Aku memandang Raisa dan si-celana-dalam-putih. Kalau kubandingkan antara mereka, Raisa menang muda dan putih, dadanya juga sedikit lebih besar, tapi si-celana-dalam-putih mempunyai bibir tipis yang sungguh membuatku menahan diri untuk tidak mendekati dan menciumnya. Pantatnya juga lebih membulat dan lebih besar dari Raisa. Kalau harus memilih, aku akan lebih memilih si-celana-dalam-putih.

“Mas Andri dan Mbak Lidya, kalau ada perlu bisa bilang kepada saya“ Kata Raisa sambil tersenyum.
“Oh iya, mau minum apa?“ Tawarnya lagi.

“Ada kopi?“ Pintaku

“Ada mas, kalau Mbak Lidya mau minum apa?“ Tanya Raisa.

“Teh aja“ Sahut si-celana-dalam-putih tenang.

“Oke, tunggu sebentar yah“ Kata Raisa sambil melangkah ke luar ruangan.

Jadi, tinggal aku dan si-celana-dalam-putih sekarang.

Well, karena ini joint project, bagaimana sekarang?“ Tanyaku pada Lidya.

“Yah, mau tidak mau kita harus bekerjasama, namun sebelumnya kita harus deal untuk pembagian job dan feenya, tentu saja, dan teknis pengerjaannya juga.“ Jawab Lidya.

“Feenya 50:50, bagaimana?“ Tawarku

Deal, pengerjaannya, team saya lebih fokus ke algortima dan coding, team anda ke desain antarmuka dan cloud sistemnya, bagaimana?“ Sambung Raisa.

“Well, waktu kita mepet, dua minggu untuk pengumpulan informasi dan desain antarmuka sudah cukup mepet, apalagi kita harus full presentasi untuk semuanya dua minggu lagi, jadi kupikir pembagian itu cukup adil, namun kita harus bekerja satu tempat, bagaimana?“ Kataku setelah berpikir sejenak.

“Satu tempat? Bukankah kita bisa bekerja di tempat yang terpisah sebelum menggabungkannya?“ Tanyanya dengan garis muka berkerut.

Tentu saja cantik, memang bisa seperti itu, tapi akan memakan waktu lama dan kurang efektif, dan aku tidak bisa melihat pantat bulatmu itu!

“Dalam waktu dua minggu? Data saja kita belum punya, desain antar muka untuk PC saja mungkin memakan waktu lebih dari satu minggu, sinkronisasinya dengan coding dari pihakmu, aku tidak yakin kita bisa dalam waktu dua bulan kalau harus bekerja terpisah“ Tegasku.

“Hmmmmm,,, kalau begitu kita bekerja disatu tempat yang sama, ditempat saya“ Sahutnya.

Pandangan dan senyum jahil keluar tanpa bisa kutahan. Lidya mengernyit bingung sebelum bisa menebak apa yang kupikirkan.

“Dasar mesum! Maksud saya kita bekerja di perusahaan saya, bukan di rumah saya!“ Jawabnya dengan wajah yang memerah.

“Kapan saya bilang kita bekerja dirumah anda? Walaupun kalau boleh dengan senang hati aku bersedia. Diranjang yang sama lebih baik lagi.“ Jawabku sambil menatap wajahnya yang memerah.Tentu saja kata yang dicetak miring hanya kuucapkan didalam hati.

“Berapa staff yang anda punya Nona Lidya?“ Tanyaku dengan mimik wajah yang kubuat serius.

“Sepuluh orang termasuk saya sendiri, kenapa?“

“Kalau begitu kita bekerja di tempat saya.“

“Kenapa? Apa karena perusahaan kami kecil anda merasa tidak pantas untuk bekerja di tempat kami?“ Tanyanya dengan marah.

“Bukan begitu, hanya saja, memindahkan 50 orang staff dan peralatannya ketempat anda rasanya lebih sulit daripada memindahkan 10 orang ke tempat saya“ Jawabku dengan tenang.

“Dan aku perlu server untuk menguji GUI dan Cloud sistemnya“ sambungku sambil melirik wajah Lidya. Pandangan matanya membara dan tak mau kalah.

“Kami juga punya server!“ Katanya tak mau kalah.

“Berapa buah?“

“Tentu saja satu, berapa lagi?“ Sambungnya. “Maksud saya baru satu!“ Sambungnya dengan cepat.

“Nona Lidya, kita perlu beberapa server untuk cloud, dengan platform yang berbeda!“ Terangku.

“Oke, kami ke tempat anda, hanya, dengan catatan hanya sampai sinkronasi data dan GUI, kalau sudah coding sistemnya, kami kembali ketempat kami!“ Katanya tegas stelah berpikir sejenak.

“Oke,as you wish..“

“Deal, kalau begitu sampai nanti“ Sahutnya sambil beranjak pergi.

Dengan langkah cepat dia beranjak kepintu.

Pantat bulatnya bergoyang dengan cepat ketika empunya melangkah dengan tergesa, marah?

Tunggu dulu, rasanya ada sesuatu yang kulupakan?

Oh, shit!

Pantat sialan!

Kuberlari kepintu, dan kulihat si-celana-dalam-putih telah berada di luar lobi.

Shit!

Kulari mengejarnya.

“Nona Lidya, tunggu dulu!“ Teriakku sambil menghampirinya. Tak kupedulikan pandangan heran dari orang-orang disekitar kami.

“Ada apalagi Pak Andri?“ Dengan tatapan heran dia menatapku yang terengah-engah.

“Sekarang....hah,,, kita perlu..hah...mengambil data dari Mbak Raisa“ Sahutku dengan terengah.

“Dan panggil aku Andri“

“Saya rasa anda bisa menangani itu bukan? “ Senyum licik dan mata nya bersinar dengan jahat.

“Dan saya perlu nomer handphone atau telp perusahaan anda beserta alamat email anda“

“Untuk apa?“

Untuk bahan sop! Sialan, untuk apa lagi?!

“Untuk sekedar mengetahui kapan kita memulai pekerjaan ini, dan untuk mengirimkan detail data yang saya dapat nanti, dan untuk mengirimkan lokasi kantor saya hingga nanti anda bisa datang tepat waktu“

Oh yeah, sarkasme sangat menyenangkan.

Untuk pertama kalinya wajahnya terlihat memerah karena malu.

“Kalau begitu berapa no telp anda, biar nanti saya yang menghubungi anda?“ Sahutnya.

Fuck yeah!

“Ini“ Sahutku sambil memberikan kartu namaku padanya.

“Ada lagi Pak Andri?“ Sahutnya sambil mengambil dan mengamati kartu namaku. Kernyit heran terlihat dari wajahnya sebelum dia memasukkannya ke tasnya.

Ada, apa aku boleh bercinta denganmu disini?

“Tidak, itu saja“

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak!“ sambil memutar pantatnya yang membuatku kehilangan konsentrasi.

Dengan menahan jengkel aku kembali ke keruangan rapat. Hari yang melelahkan.

Di pintu ruangan rapat aku bertemu dengan Raisa.

“Mbak Lidya kemana mas?“ Tanyanya heran.

“Hmmm tadi dia ditelp, kayaknya ada panggilan“ Bohongku menghindar.

“Iya mas, kalau begitu silahkan diminum kopinya dulu“ Tawarnya.

“Terimakasih mbak“

“Panggil Raisa atau Is saja mas“ Senyumnya ketika aku lupa memanggil namanya.

“Ehhh, iya Raisa, eh Is“Ralatku.

Rasanya ada yang aneh dengan pakaiannya, tapi apa?

Shit!!!

Kancing kemejanya terlepas satu. Dan dari celah yang ada aku bisa melihat sebagian payudaranya yang lumayan besar ditopang bra warna putih.

Namun pandangan itu berganti dengan goyang gemulai pantat sekalnya ketika empunya berbalik dan menuju kedalam ruangan rapat.

Mungkin secangkir kopi bisa menghilangkan bayangan itu.

“Jadi apa saja yang mas perlukan untuk materi sistem yang diminta?“ Tanya Raisa ketika pantat sekalnya sudah didudukkan di kursi didepanku.

“Struktur organisasi perusahaan, dan hak akses setiap karyawan dalam perusahaan untuk sistem HRM-nya, alur produksi dan jenis-jenis barang produksi beserta detailnya. Daftar supplier dan partner. Peta distribusi dan alur distribusi produk. Secara garis besarnya seperti itu “ Terangku panjang lebar sementara Raisa sibuk mencatat apa yang kuperlukan.

“Hanya itu mas?”

“Kalau bisa kunjungan ke pabrik atau tempat produksi lainnya, serta kunjungan ke tempat distribusi produk, untuk mengetahui secara langsung proses dari masing-masing kegiatan” Lanjutku.

“Apalagi Mas?” Senyum Raisa sungguh menggodaku.

Berhubungan seks denganmu disini apakah termasuk yang bisa kausediakan?.

Well. Tentu saja kata yang dicetak miring diatas tidak kusebutkan.

“Sementara itu dulu, nanti aku beri detailnya besok“

“Struktur organisasi dan hak akses karyawan hanya ada hard copy nya mas, di ruangan CEO. Mas mau mengambilnya sekarang? “ Tawarnya.

“Hmmm,, boleh juga Is“ sahutku sambil menghabiskan kopi yang disediakan Raisa tadi.

“Ikut saya ya Mas“ Saran Raisa sambil bangkit dan melangkah keluar ruangan.

Gemulai goyangan pantat Raisa didepanku membuat perjalanan keruangan direktur terasa begitu cepat. Tak terasa kami sudah berada didepan ruangan direktur.

Tringggg....

“Upssss..!“ Kunci untuk masuk keruangan direktur tak sengaja dijatuhkan Raisa. Aku dipaksa menelan ludah ketika pantatnya yang bulat terlihat semakin membulat ketika Raisa menunduk untuk mengambil kunci pintu.

Ada yang aneh pikirku, namun aku tidak bisa menemukan apa keanehan itu.

Kami berjalan masuk dan kupikir ini ruangan Raisa karena kesannya yang feminim. Dan tebakanku benar karena kulihat nama Raisa di meja ini. Ruangan ini kecil, hanya ada satu meja dan beberapa kursi dan meja kecil untuk tamu, di ujung ruangan sebelah kiri ada pintu kecil, mungkin kamar mandi pikirku. Sementara langkah Raisa membawa kami ke ujung ruangan lainnya.

Ruangan CEO Alfa Medika hampir sama dengan ruangan rapat. Hampir sulit kupercaya kalau ruangan CEO perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara hampir sama dengan ruangan sekretaris di kantorku. Hanya ada meja sederhana dan sebuah lemari. Beberapa kursi terletak disebalah dinding ruangan. Di pojok ruangan ada sebuah pintu.

“Duduk dulu mas” tawar Raisa sambil beranjak kelemari disebelah meja.

Setelah beberapa saat Raisa kembali dengan membawa map biru, ketika dia menunduk aku bisa melihat buah dadanya dari dua kancing kemejanya yang terlepas.

Tunggu!

Dua kancing? Sejak kapan dua kancingnya terlepas?

Pandanganku tak bisa lepas dari belahan dadanya. Setelah seharian disuguhi dua pantat yang bulat, satu menggoda yang satunya keras kepala. Pikiranku tak bisa jernih lagi.

“Idih,,, mas liatin apa sih?“ Seru Raisa sambil ‘pura-pura‘ menutupi dadanya.

“Ada didepan mata masa gak lihat?”

“Ah mas bisa saja, keruangan saya mas” Sahutnya sambil menuju keruangannya.

Sampai disana, dia menju kemejanya dan mencari sesuatu dilacinya. Sementara itu aku meuju kursi yang disediakan untuk tamu. Setelah beberapa lama dia bangkit sambil membawa map berwarna merah dan hijau.

“Mas, map merah ini berisi data-data mengenai proses produksi dari perusahaan sedangkan yang ini berisi alur tranportasi dan data-data klien serta supplier kami“ Tanya sambil menunjuk map warna hijau.

“Idih mas koq bengong sih?“ Tanyanya ketika aku hanya diam memandang buah dadanya yang tersembul dari celah-celah baju yang dia kenakan.

“Abis kamu ngegemesin si IS“ Cengirku. Sementara Andri junior sudah menegang dibawah sana.

“Hihihi,, masa si mas? Idih, yang dibawah kenapa tu mas?“ Sahutnya sambil menunjuk tonjolan di celanaku.

“Gara-gara kamu ni, tanggung jawab donk“ Pintaku sambil tersenyum mesum.

“Nidurin aja kan mas?“ Sahutnya sambil mendorong pelan tubuhku ke belakang, dengan pelan tangannya mendorong pahaku membuka.

Dengan cekatan dibukanya resleting celanaku dan mengeluarkan si junior dari kurungannya.

“Wow, besar juga mas!“ Suaranya terkagum dengan ukuran penisku. Dengan cepat dikulumnya penisku kedalam mulut mungilnya.

“Ufgghhtt,, Isss,, terus“ Caracauku.

Sambil menatap mataku Raisa menaikturunkan kepalanya dengan cepat di penisku.

Tangannya tak tinggal diam, yang satu mengocok cepat batang penisku, serasi dengan gerakan kepalanya, sedangkan yang satunya mengelus bolaku.

“Isss, pintunya!“ Seruku teringat dengan pintu yang tidak terkunci.

“uhhh...ugghhtt“ Hanya itu yang terdengar ketika dia meneruskan kulumannya sekaligus membuatku semakin mendekati puncak.
Panduan antara godaannya dari pagi, goyangan pantat si-celana-dalam-putih yang menggangguku serta takut ketahuan menyebabkan puncakku datang dengan cepat.

“Kring..kringg...kringg“ Suara telepon mengejutkanku.,

Ploooppppp.

Suara ketika mulut mungil Raisa keluar dai penisku yang sudah memerah, tanda sudah mendekati puncak.

“Kok udahan Is?“ Tanyaku karena tanggung.

“Bentar mas, siapa tahu penting“ Sahutnya sambil beranjak mendekati mejanya meninggalkanku dengan nafsu yang sudah diubun-ubun.

“Selamat Siang, dengan Raisa ada yang bisa saya bantu?“ Terdengar suaranya mengangkat telepon.
“Bisa Lis, bawa saja kesini“ Sahutnya pendek dan mentutup telepon.

“Lisa mas, dia mau kesini bawa dokumen“ Katanya seraya menuju kearahku dan meraih penisku.

“Jangan Is, nant...“ belum sempat aku menyelesaikan ucapanku ketika dengan sangat cepat Raisa memajumundurkan kepalanya di penisku.

“Ahhhh,, Is, keburu Lisa datang!“ Seruku dengan nafas tersengal. Paduan antara nafsu yang sudah dipuncak dan rasa takut ketahuan menyebabkan puncak kenikmatanku semakin dekat.

Bukannya berhenti, kuluman Rasia semakin ganas, seolah berlomba dengan waktu sebelum Lisa datang.

“Tok.tok.tok..“

“Ahhhhhh...Issss!!!“ Seruku ketika terdengar suara ketukan dipintu. Berbarengan dengan semprotan spermaku di tenggorokan Raisa.

“Crotttt..croottt..croottt“

Aku meremas pinggiran kursi ketika puncak kenikmatan itu datang, menahan desahan yang hendak keluar dari mulutku.

Semprotan kuat spermaku semuanya ditelan Raisa. Dengan ujung tangannya ia menyeka peluh didahinya dan mengancingkan kemejanya dengan tergesa.

“Tok.tok.tok...“ Kembali terdengar ketukan di pintu.

“Iya sebentar“ Sahutnya sambil melangkah kepintu.

Dengan tergesa aku memasukkan penisku ke sarangnya, dan menaikkan resletingku. Bertepatan dengan itu Raisa membuka pintu.

“Mbak ini filenya“ Kata Lisa sambil menyerahkan map kepada Raisa.

“Thanks ya Lis“

“Sama-sama mbak, saya kedepan dulu“ Sahut Lisa sambil berjalan ke lobi.

“Hahhhhhhh“ Aku bernafas dengan lega ketika Lisa sudah menjauh dan pintu sudah tertutup.

“Nekat kamu Is“ Tegurku ketika Raisa berbalik kearahku.

“Tapi mas suka kan?“ Katanya dengan manja.

“Sekarang giliranmu Is“

“Gag usah mas, aku ada meeting sebentar lagi, nanti saja mas” Senyumnya seolah bisa menebak apa yang ada dalam pikiranku.

Nanti?

“Mas, untuk kontraknya, nanti akan diberikan saat presentasi programnya dua minggu lagi. Data-data yang mas pinta akan ku kirimkan lewat email. Oh ia, untuk proses produksi dan tranportasinya, rasanya mas harus lihat sendiri ke pabrik.” Terangnya seolah tidak terjadi apa-apa diantara kami.

“Hmm,,, untuk kontraknya nanti temanku yang akan mengurus, aku tidak begitu paham urusan kontrak. Kapan kami bisa ke pabrik Is?” Tanyaku kurang fokus.

“Kapan saja yang mas mau, nanti aku antar” Sahutnya sambil tersenyum jahil.

“Ini kartu namaku mas, kalau ada perlu bisa menghubungiku disini” Sahutnya sambil memberikan sebuah kartu nama .

Raisa Firmansyah
Sekretaris
Email : raisa@alfamedika.com
Mobile : 0123 4567 8911

“Ini kartu namaku Is” Sahutku sambil memberikan kartu namaku.

“Oh ia, kalau yang dibawah perlu, hubungi kemana Is?” Tanyaku sambil tersenyum lebar.

“Ahh,,, mas!” Serunya sambil memukul ringan tanganku.

“Kalau yang dibawah perlu, nanti Is yang hubungi mas!” Serunya dengan mata bersinar jahil.

“Oke, kalau begitu aku pamit dulu Is”

“Iya mas, nanti perlu apa-apa, hubungi aku”

Aku melangkah kepintu keluar, kubuka daun pintu dan bersiap untuk keluar.

“Mas. Nanti kalau ke pabrik, ajak Mbak Lidya, siapa tahu kita bisa main bertiga” Serunya sambil terkikik.

“Eh,,, maksudnya?”

“Alah, jangan sok muna mas, aku bisa lihat pandangan mas yang penuh nafsu kearah Mbak Lidya, apalagi pas mas lihat pantatnya Mbak Lidya” Paparnya blak-blakan.

Owhh,, shit!

“Ehh,, ya begitulah” Sahutku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal

“Sampai jumpa nanti Is” Seruku sambil berjalan kearah parkiran untuk mengambil mobilku.

Pikiranku menerawang ketika mengemudi menuju kantor. Peristiwa pagi ini berkelebat satu demi satu dalam benakku.

Hari yang melelahkan.

Sekaligus menyenangkan

Pikirku sambil tersenyum sendiri ketika kendaraan yang berada didepanku tidak bisa maju.

Huftt,, Jakarta, Jakarta.

Tiada hari tanpa macet.

“Ting…ting..ting..”

Suara handphoneku yang menandakan ada pesan masuk. Dengan malas aku buka pesan yang masuk.

From : 0123 4567 8911

Mas, buka mapnya sebelum sampai dikantor ya , Raisa.
Hmm,,,,Apa yang ada didalam map?

Dengan tangan kiriku kubuka map merah yang diberikan Raisa.

Oh shit!

Selembar G-string mini berwarna merah dengan rapinya terselip didalam map!


 Chapter 5: EVERYTHING HAVE a START
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Dasar wanita sialan! Uang segitu aja gag becus nyarinya”
Plak.
Suara tamparan masih bisa kudengar dari tempatku bersembunyi.
“Maaf mas, pelanggan sepi belakangan ini” Jawab wanita itu dengan air mata yang mengalir dipipinya.
“Dasar tak berguna, hanya bisa menangis saja, sekarang layani aku” Perintah lelaki itu.
“Di..kamar saja mas..”
“Aku mau disini, atau kau mau dihalaman hah? ” Teriak lelaki itu sambil membuka paksa gaun yang dikenakan sang wanita.
Brekkkkkk…. Suara robekan kain itu terdengar begitu mengerikan ditelingaku.
“Cuuhhhh” Lelaki itu meludah entah kemana dan
“Arrghhhhhhhhhhhhhhhhh,, jangan disana mas!” Jerit wanita itu sambil menangis terisak.
“Siapa yang mau pake memek mu yang longgar itu hah?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Halooo bos, gimana presentasinya?” Sapa Frans ketika aku tiba dikantorku.

“It’s complicated” Sahutku sambil masuk keruangan.
Frans mengikuti dibelakangku.

“Siang Lin, tolong buatkan teh dan bawakan sedikit cemilan ya” Pintaku pada Lina.

“Buat jadi dua, cemilannya yang banyak ya” Cengir Frans.

“Siip boss” Sahut Lina sambil beranjak keluar.

“Jadi bagaimana Ndrii?” Tanya Frans dengan nada yang lebih serius.

“Kita dapatkan dealnya, tapi ini Joint Project” Jawabku.

“Dan mitra kita Delta Company” sambungku.

“Delta Company? Aku belum pernah mendengar tentang perusahaan itu?” Seru Frans sambil menyilangan tangannya didepan dada, pose khasnya jika sedang berpikir.

“Aku juga baru mendengarnya sekarang, mereka perusahaan yang bergerak di bidang transportasi dan penjadwalan, dan percayalah, mereka jauh lebih mengerti tentang teori yang akan kita buat nanti” sahutku sambil menghembuskan nafas panjang.

“Well, kalau begitu kita bisa lebih mudah nanti kan?” Tanya Frans, belum mengerti dimana permasalahannya.

“Waktu kita cuma dua minggu untuk mempersiapkan demo project” Jawabku sambil menatap Frans.

“Dua minggu? Memangnya kita pesulap? Data saja kita belum punya” Seru Frans dengan nada-marah-tapi-tak-percaya.

“Ini datamu Frans” Sahutku sambil menyerahkan map-map yang diberikan Raisa

Raisa.Untung aku membaca sms mu sebelum sampai dikantor. Kalau tidak, entah bagaimana tanggapan Frans melihat hadiah yang kau berikan kepadaku.
Pikirku sambil tersenyum.

Kuambil pesawat telepon dari meja dan menekan no 102, ekstensi ruangan Edy.
Dia mengangkat telepon nya sebelum dering ketiga

“Halo, selamat siang, Edy disini” Suara nyaring Edy terdengar diujung sana

“Edy, ini Andri, keruanganku sekarang, ASAP” pintaku.

Roger that

Hanya itu suara yang kudengar sebelum sambungan diputus.

Tok..tok..tok..

“Pak, ini tehnya” Suara Lina dipintu.

“Bawa kesini Lin, sekalian kamu ikut duduk disini, ada beberapa hal yang perlu kita bahas.”

“Baik pak, saya ambil alat tulis dulu” sahutnya sambil berlalu untuk mengambil perlengkapannya.

“Well, kita tidak mendapatkan data yang terlalu banyak dari sini” Seru Frans sambil menunjuk map yang kuberikan.

“Disini hanya ada garis besar dari sistem yang akan kita buat, kita tidak bisa membuat suatu sistem yang baik jika data yang kita punya hanya ini saja” Lanjutnya.

“Data apa saja yang kita punya?” Tanya Edy yang baru muncul. Tampaknya dia mendengar potongan pembicaraan kami tadi.

“Ini saja data yang kita punya Dy” Sahut Frans mendahuluiku sambil menyerahkan map ditangannya.

Kuhirup teh buatan Lina sambil menikmati cemilan. Sementara itu Frans juga mengikuti jejakku. Hanya Edy yang masih sibuk membaca detail di map yang diberikan Frans tadi. Sedangkan Lina duduk agak jauh sambil membawa perlengkapannya.

“Hmmm,,, terlalu sedikit memang, ada berita lain yang kulewatkan?” Tanya Edy sambil memandang Frans dan aku bergantian.

“Tidak banyak, Cuma kita mendapatkan dealnya, tapi ini Joint Project, dengan Delta Company yang entah apa dan siapa, dan kita punya dua minggu untuk menyiapkan demo projectnya, itu saja” sahut Frans sebelum aku bisa membuka mulut.

“Ouwhh,, itu buruk” sahut Edy setelah beberapa saat.

“Sangat buruk” Sambung Frans.

So? ” Tanya Edy sambil menatapku.

“Hufffffftttttt…..” Kutarik nafas panjang sebelum melanjutkan.
“Lina, panggil semua kepala bagian, dalam waktu 15 menit agar berkumpul di ruangan rapat.” Pintaku pada Lina.

“Baik pak” Sahutnya sanbil berlalu dari ruangan.

“Frans, cari info tentang Delta Company, dalam waktu 15 menit datang keruang rapat”

Roger that” sahut Frans sambil menuju keruangannya.

“Dy, tutup pintunya”

“Kenapa Ndri?” Tanya Edy ketika pintu telah tertutup.

“Pihak Delta Company belum tentu menerima dengan baik joint project ini” Paparku.

“Kenapa Ndri?”

“Aku berargumen dengan entah CEO, direktur atau marketingnya, dia minta kita sebenarnya kesana, dan terus terang, mereka jauh mengetahui tentang sistem yang akan kita buat.” Jawabku.

Good point kita apa?”

“Kita unggul didesain antarmuka, HRM sistem dan juga sistem berbasis cloud, aku ragu kita bisa membuat demo project dalam waktu dua minggu” Keluhku melihat rumitnya sistem yang akan kami buat.

“Well, tak ada yang tak mungkin Ndri, aku rasa kita bisa lembur, seperti masa kuliah dulu” Hibur Edy, mengingatkanku akan masa kuliah kami dahulu.

“Saatnya kita tidur di mess lagi Dy” Senyumku.

“Mengapa tidak?” Sahutnya.

“Aku mau buat perhitungan kasar pengeluaran dan yang lainnya dulu”Lanjutnya

“Oke Dy, aku juga mau buat presentasi agar kita ada bayangan nanti”Sahutku.

Kuhidupkan laptopku dan mulai membuat presentasi ringan untuk menjelaskan kepada semua kepala bagian tentang apa yang akan kami buat.

10 menit kemudian aku beranjak menuju ruangan rapat. Yang paling berat dari menyelesaikan suatu pekerjaan yang sulit adalah awalnya.

Dan, aku akan menuju awal itu.


“Ndrii, ini detailnya” Kata Frans sambil menyerahkan kertas berisi print out sebuah document. Ketika aku sedang berjalan menuju keruangan rapat.

Delta Company
Berdiri : 11 September 2010
CEO : Lidya Herlambang.
Karyawan : 9 orang.
Alamat : Bandung.
Bidang usaha : Software house, terutama bergerak di bidang sistem transportasi dan penjadwalan.

Garis besar dari Delta Company kubaca dengan cepat sebelum memasuki ruangan rapat. Sesampainya di pintu aku bertemu dengan Edy.

“Minimal profit kita bisa mencapai 1 M Ndri” Terangnya tanpa kuminta.

“Kita bisa mendouble salary staff selama proses ini juga” Tambahnya.

“Oke, thanks Dy” Sahutku pendek.

Didalam ruangan telah berkumpul semua Kepala Bagian di kantorku. Wajah mereka terlihat bingung sekaligus excited dengan apa yang akan aku beritahukan. Aku memasukkan flashdisk yang kubawa kedalam port USB computer diruangan rapat. Dan memulai presentasiku.

“Selamat siang semuanya, terimakasih sudah datang dengan pemberitahuan yang singkat ini. Hari ini kita akan membicarakan tentang Alfa Medika, klien baru kita. Alfa Medika adalah perusahaan farmasi yang terbesar di Asia Tenggara. Kita membuat kesepakatan dengan mereka” Terangku sambil melihat kesekeliling.

“Adapun inti dari kesepakatan itu adalah, kita akan membuat tiga sistem, yaitu sistem produksi, tranportasi dan HRM yang terintegrasi menjadi satu. Kita membuatnya bersama dengan perusahaan lain, yaitu Delta Company, jadi ini semacam join project ” Lanjutku sambil menunjuk ke screen.

“Permasalahannya sekarang, kita belum memperoleh banyak data mengenai project yang akan kita buat. Kita baru mendapatkan detail untuk HRM saja. Untuk produksi dan transportasi kita harus survey langsung kelapangan. Masalah kedua, waktu kita cuma dua minggu untuk menyiapkan demo”

“Delta Company? Ada yang pernah dengar?”

Join Project? Sistemnya bagaimana nanti?”

“Dua minggu? Untuk demo saja?”

“Dua minggu?”

“Kapan kita mulai?”

Terdengar beberapa gumaman ketika aku selesai dengan penjelasanku. Wajah bingung juga terlihat jelas. Hanya Frans dan Edy yang terlihat tenang,sedangkan Lina sibuk mencatat di notesnya.

“Ini detail untuk Delta Company” Terangku ketika gumaman itu sudah berhenti sambil menunjuk kelayar.

Delta Company
Berdiri : 11 September 2010
CEO : Lidya Herlambang.
Karyawan : 9 orang.
Alamat : Bandung.
Bidang usaha : Software house, terutama bergerak di bidang sistem transportasi dan penjadwalan.

“Rekan-rekan kita dari Delta Company akan kesini, mungkin besok atau lusa, jadi kuminta kalian menyiapkan semua perlengkapan untuk project ini, termasuk perlengkapan untuk team Delta Company, kalau ada yang kurang atau perlu kita beli, minta saja sama Pak Edy” Jelasku sambil melirik Edy yang terlihat menganggukkan kepalanya. Namun tiba-tia dia berhenti seolah teringat sesuatu.

“Ndri, mereka dari Bandung, apakah tidak sebaiknya mereka tinggal di mess perusahaan selama project ini?”

Oh iya, jarak Jakarta-Bandung cukup lumayan kalau ditempuh setiap hari, apalagi dengan jadwal kami yang padat, kalau mereka tinggal di mess kami, ini akan lebih mudah.

Dan aku bisa melihat si-celana-dalam-putih lebih lama.

“Ide bagus Dy, Lin, masih ada mess yang kosong sekarang?” Tolehku pada Lina yang masih sibuk mencatat dinotesnya.

“Ada 4 yang kosong pak” Jawabnya. See. Sekretaris seperti dia sulit didapat.

Hmmmm, berarti kalau berdua dalam satu mess, masih kurang lagi satu.

“Minta staff cleaning service memindahkan barangku ke mess nya Frans”

Mereka nanti bisa berdua dalam satu mess. Dan aku bersama Frans, pikirku.

Seandainya saja si-celana-dalam-putih mau satu mess denganku.

“Baik pak” Sahut Lina sambil mencatat di notesnya.

“Untuk detail sistemnya akan dijelaskan nanti oleh Frans, ada pertanyaan untuk nanti?” Tanyaku sambil menoleh ke semua orang.

“Pak, untuk detail sistem tranportasi dan produksinya, siapa yang akan mencari datanya dan kapan datanya akan kami dapat?” Tanya Ade, kepala bagian programmerku.

“Nanti aku sendiri yang akan berangkat mencari datanya, kalau besok aku berangkat, mungkin dua atau tiga hari lagi kita bisa mendapatkan datanya, untuk sementara kita siapkan perlengkapannya saja dulu” Terangku.

“Kita pakai ruang utama untuk pengerjaannya pak? Apakah sistemnya nanti perlu clous storage atau bagaimana?”Guzur, kepala bagian hardwareku bertanya.

“Kita pakai ruang utama, job lain untuk sementara kita kerjakan di sebelah ruang utama. Kita perlu dedicated dan cloud server. Full akses internet dan mobile service, siapkan juga beberapa laptop untuk di mess, sambungkan data di ruang utama dengan di mess” Jawabku. Kulihat Guzur menganggukkan kepalanya.

“Kita fokus dimana saja pak? Di GUI atau di coding atau bagaimana pak?” Surya, kepala bagaian desain dan web bertanya.

“HUffttt,, ini belum jelas Sur, tapi dari meeting tadi, kita unggul di bidang desain, bidangmu, tetapai untuk algoritmanya, mereka lebih menguasainya, maaf De, mereka lebih berpengalaman di bidang itu” Jawabku sambil melihat wajah Surya yang tersenyum dan wajah Ade yang sedikit masam.

“Mungkin nanti kita bekerja sebagai tim dengan unit yang terpisah atau full bekerjasama sebagai teamwork, masih perlu kubicarakan dengan pimpinan mereka nantinya”

“Ada pertanyaan lain?” Tanyaku sambil menoleh kepada mereka semua.

“Oh iya, karena ini projek penting. Seperti biasa, yang punya kesibukan lain atau tidak bisa bekerja harus menginformasikan kepada Lina langsung, dan untuk fee lembur, akan double dari biasanya” Jelasku.

“Huhuiii…”

“Yess….”

“Siiippp…”

Kuperhatikan ekspresi kegembiraan mereka sebelum melanjutkan.

“Jadi untuk sekarang, silahkan kembali ketempat masing-masing dan siapkan semua perlengkapan yang diperlukan” Pintaku mengakhiri rapat hari ini.

Setelah semua kepala bagian keluar dari ruangan. Edy mendekat dan bertanya.

“Ndrii, apa kita tidak sebaiknya kita menghubungi Delta Company dan merumuskan kerjasama kita dengan mereka secara resmi?”

“Aku juga ingin seperti itu Dy, tapi masalahnya si-ce, eh, maksudku Lidya, tidak memberiku nomer yang bisa kuhubungi” Jawabku dengan masam.

“Lidya? Jadi kau rapat dengan CEOnya?” Tanya Edy.

“Begitulah Dy”

“Terus kenapa dia tidak memberimu nomer teleponnya?”

“Dia bilang dia yang akan menghubungiku nanti” Dengan menghela nafas aku mencoba menghilangkan sedikit penat dalam benakku.

“Hmmm,, wanita yang keras kepala?” Tanya Edy.

“Seperti itulah“

“Oke, ada yang ingin makan siang? Aku lapaaaaarrrrrrrrrr“ Seru Frans dari pintu.

“Ayo Ndri, aku yang traktir“ Ajak Edy.

“Ayok“Seruku sambil berjalan kepintu.

“Asik, ada yang nraktir!“ Seru Frans dengan gembira,

“Aku cuma nraktir Andri saja, bukan kamu Frans“ Sahut Edy sambil tersenyum.

“Jiaaaaahhhhhhhhhhhh!!!“
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lidya POV

“Huftttttt,, sial, kenapa aku harus berpartner dengan lelaki mata keranjang seperti itu?“

“Dan kenapa aku mau mengalah mengerjakan projectnya disana!“

Beban perusahaan yang semakin tinggi membuatku harus berupaya agar project ini bisa kami dapatkan. Kalau tidak dengan terpaksa kami harus menjual beberapa aset perusahaan yang baru saja kami beli.

“Huftttttttttttttttt“ Kuhembuskan nafas kesal ketika mengingat pertemuan kami tadi pagi.
---
Brukk…..

Suara benturan terdengar saat aku ditabrak seseorang didepanku.

“Awwwwww“ jeritku.

Aku melihat keatas dan pandangan terpesona dan nafsu dari seorang pria membalas pandanganku.

Karena posisi jatuhku kebelakang, otomatis pantat besarku mencium lantai yang dingin.
Kakiku terbuka dan lututku mengahadap keatas, rok hitamku tertarik keatas dan memperlihatkan sebagian paha dan mungkin celana dalamku!

Sialan, sudah nabrak, orang ini malah diam dan bengong lagi. Dan pandangan matanya! Pandangan mata yang seolah mau memperkosaku.

“Kalau balik liat-liat dong pak!”

Dengan kesal aku berkata pada dirinya.

Seolah tersadar, lelaki itu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

“Maaf mbak” katanya sambil masih mengulurkan tangan.

Kesal, marah dan malu, aku menolak tangannya kesamping.

“Bisa sendiri kok!!” Sahutku kesal sambil beranjak melewatinya menuju ke resepsionis. Harum samar seperti pohon pinus menerpa hidungku ketika melewatinya.

“Iya, maaf mbak” katanya sambil berlalu.

“Dasar lelaki, semuanya mata keranjang, lihat celana dalam saja sudah segitunya, apalagi kalau melihat wanita telanjang” Umpatku didalam mobil tua yang berjalan menyusuri jalan menuju perusahaanku.

Namun setidaknya aku terhibur dengan pembagian fee yang 50%-50%. Kalau project ini selesai akan sangat membantu perusahaanku. Perusahaan yang kurintis dari bawah empat tahun lalu.

Panas terik matahari serasa menembus kedalam mobilku yang tanpa AC. Apalagik ketika macet seperti ini. Kulihat sejenak kartu nama yang diberikannya kepadaku.

Andri Kusuma
CEO
G-TEAM COMPANY
Phone 021 123456
Email : andri@gteam.com
Mobile : 0813 3812 1234

Kenapa semua CEO yang kukenal mata keranjang? Pikirku mengingat beberapa kejadian dulu.
Kuambil handphoneku dan kusimpan namanya di buku telepon.
Hmmm,,,, nama apa yang cocok buatnya ya?

Hmmm, itu saja!

Nama : Mata Keranjang
Phone : 0813 3812 1234

Cancel || Done


Kuklik tombol Done, dan sambil tersenyum kusimpan kembali hanphoneku.

“Tiinnnnnnn…Tiiiinnnn…tinnnnnnnnn” Suara klakson dari kendaraan dibelakangku menyadarkanku.

“Iya-iya,,, sabar dikit napa” gerutuku sambil menekan pedal gas dan mobil tuakupun melaju membelah panasnya udara.

Setelah kurang lebih satu jam, mobilku sampai dihalaman gedung kantorku. Kantor yang kubeli dengan susah payah setelah menabung lebih dari lima tahun. Walaupun sederhana yang penting dari usahaku sendiri pikirku.

Dengan langkah perkahan aku keluar mobil dan berjalan dihalaman kantorku, kubuka pintu depan dan melihat Sinta, sekretaris sekaligus akunting sekaligus customer service dikantorku.

“Siang Mbak“ Sapanya ketika aku lewat dari pintu masuk.

“Siang Sin“ Sapaku.

“Gimana rapatnya mbak? Tanyanya ketika aku duduk di lobby sekaligus ruang rapat ini.

“Baik Sin, tolong panggil teman-teman kesini ya, ada beberapa hal yang mbak mau bicarakan“ Pintaku sambil mengambil perlengkapan menulis.

“Iya mbak“ sahutnya sambil menelpon ke belakang, iya, ruangan tempat kami mengerjakan project berada disebelah belakang ruangan ini.

Tak berapa lama kudengar langkah kaki mendekat. Tak berapa lama, semua anggota timku sudah berada diruangan ini. Mereka duduk disekeliling meja yang berada ditengah ruangan.

“Teman-teman, ada kabar baik dan buruk, mau dengar yang mana ?“ Tanyaku. Kulihat sekeliling, wajah-wajah yang penuh harapan dan antusias terlihat memandangku balik.

“Baikkkkkkkkkkkkkk......“ Dengan serempak mereka menjawab.

“Kabar baiknya...“ Kupandang kesekeliling.

“Kita mendapat deal dengan Alfa Medika“

“Yeessssssssss“

“Horeeeee......“

“Akhirnya.....“

Desah lega dan senyum bahagia bisa terlihat dari wajah semua staff sekaligus teman-teman bagiku. Walaupun berkedudukan sebagai pemilik dan CEO perusahaan ini, aku selalu berterus terang mengenai keadaan perusahaan kepada mereka, sehingga ekspressi kepuasan mereka terasa wajar bagiku.

“Dan kabar buruknya.....“

Keadaan yang tadi gembira berubah menjadi tegang. Raut wajah cemas terlihat di wajah-wajah yang balik memandangku.

“Pada projek ini kita akan bekerjasama dengan G-Team, jadi ini adalah projek bersama“ Kulihat kesekeliling untuk mengetahui reaksi mereka mendengar berita ini.

“Bukan hal yang terlalu buruk“ Sahut Andik, programmer senior di perusahaanku.

“Kita mengerjakan project ini di kantor G-Team, di Jakarta“ Lanjutku.

“Tidak begitu buruk juga“ Sahut Rina, analis algoritmaku.

“Tapi kita tinggal disana atau pulang pergi kesana?“ Tanya Sinta.

Kualihkan pandangan kearah Sinta, dan dari sinar matanya dia seolah mengatakan kalau kita tinggal disana berarti menambah biaya akomodasi, kalau pulang pergi menyita waktu dan juga menambah biaya transportasi.

“Kurasa lebih baik kita tinggal disana“ Sahutku pelan.

“Kenapa“?

“Kita hanya punya waktu dua minggu untuk memberi demo project ke Alfa Medika“ Sahutku tanpa berani melihat kearah mereka.

“Dua minggu?“

“Yang benar saja?“

“Demo full project atau bagaimana?“

Beberapa gumaman terdengar, dan aku tidak bisa menyalahkan mereka. Dua minggu, untuk sistem sekompleks yang diminta Pak Tony bukan hal yang mudah, sama sekali tidak mudah.

“Demonya bukan full project, tapi setidaknya mencangkup beberapa detail yang diminta, nanti aku akan bertanya pada G-Team dan pihak Alfa Medika mengenai detail tambahannya, nanti aku beri kabar lagi setelah makan siang“ Kataku sambil memberi isyarat untuk makan siang.

“Sin, keruanganku sebentar ya, aku bawa bekal lebih“ Pintaku kepada Sinta.

“Apa menu hari ini mbak?“ Tanya Sinta ketika sudah sampai diruanganku.

“Ayam goreng, sayurnya kangkung“ Sahutku sambil memberikan satu kotak lauk kepada Sinta.

“Wow, mantap neh“ Sahut Sinta sambil mulai menyantap makanannya.

“Mbak, gimana deal kita dengan Alfa Medika? Dan G-Team juga“ Tanyanya disela makan siang kami.

“Kita akan membahasnya dengan G-Team dulu, baru kita lanjut dengan Alfa Medika“Sahutku.

“Yang mbak bingung, urusan akomodasi kita disana, kamu tahu sendiri bagaimana kondisi keuangan kita sekarang“ Lanjutku. Potongan paha ayam ini seolah terasa hambar kalau aku memikirkan masalah ini.

“Kenapa mbak tidak coba tanyakan dengan orang di G-Team, mungkin mereka tahu akomodasi yang murah dan dekat dengan lokasi perusahaan mereka“ Saran Sinta sambil terus melanjutkan makan siangnya.

“Hmmmm,,, itu.....“ Kataku ragu.

“Kenapa mbak?“

“Mbak tidak begitu suka dengan CEO-nya“ Akhirnya keluar pernyataanku.

“Kenapa mbak? Orangnya jelek ya? Gendut? Bau? Atau rese?“

Jelek?
Sebaliknya Sin, jujur, orangnya tampan. Tapi ketika teringat pandangan matanya ketika melihatku yang jatuh...

“Mata keranjang Sin, matanya itu seperti mau memperkosaku!“ Sahutku kesal.

“Hahaha... salah mbak sendiri yang cantik“ Sahut Sinta yang sukses membuat pipiku memerah.

“Kalau saran Sinta si, mbak hubungi saja dia, atau kalau mbak mau, biar Sinta yang menghubunginya“.

“Hmmm, gak usah deh Sin, mbak hanya yang menghubunginya habis makan“

Kami melannjutkan makan dalam diam, pikiranku menerawang dengan beberapa kemungkinan skenario untuk kerjasama dengan G-Team.

Sepuluh menit kemudian aku selesai makan. Setelah berpikir beberapa saat, aku mengambil handphone dan mencari nama si Mata Keranjang sebelum menekan tombol panggil.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andri POV
“Jika kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah
Aku, dia dan mereka memang kita memang beda
Tak perlu berpura-pura, memang begini adanya
Dan kami disini
Akan terus bernyanyi“
Kuambil handphoneku sebelum nada deringnya membuat kami diusir satpam. Iya, aku masih makan siang di fi cafe dekat kantorku bersama Frans dan Edy.

Kulihat nomer tak dikenal ada di layar handphoneku

0857 3812 3456 calling....
Reject || Answer.

Kutekan tombol answer ketika kudengar suara wanita yang rasanya tidak asing...

“Selamat siang, dengan Pak Andri, CEO dari G-Team“ Suara wanita yang tegas dan lugas terdengar di speaker telephoneku.

“Iya, dengan saya sendiri, dengan siapa saya berbicara?“ Tanyaku

“Ini Lidya, dari Delta Company“

“Tunggu sebentar mbak“ Kataku sambil menutup permukaan telephone ku dengan tangan.

“Ssstttt, Lidya, CEO Delta Company“ Terangku melihat pandangan bertanya dari Edy dan Frans. Mereka pun diam dan memasang telinga mendengar percakapan kami.

“Iya kenapa Nona Lidya?“ Tanyaku pada Lidya.

“Kapan kami bisa mulai kerja bersama dengan tim bapak?“

“Kalau nona mau, sore ini kami sudah selesai set up perlengkapan dan sarana lainnya, besok pagi sudah bisa kita mulai project kita“

“Kalau begitu besok kami jam berapa bisa kesana?“

“Jam 10 saja kalau bisa“

“Kalau begitu kami kesana jam 10 pagi, untuk rumusan kontraknya bagaimana?“

“Kontrak dari Alfa Medika sudah berada ditangan saya, kalau nona perlu merevisinya, besok kita bicarakan.“

“Baik pak, hmmm,,ehhhh,, pak“ Kudengar suara ragu dari ujung sana.

“Iya, ada yang bisa saya bantu?“

“Eh,, rencananya kami mau mencari akomodasi disekitar kantor bapak, bapak bisa merekomendasikan beberapa tempat yang cocok?“

“Ouwww, untuk itu sebenarnya kami disini ada mess yang masih kosong, 5 buah, rasanya bisa untuk tempat tinggal team anda disini, kalau anda tidak keberatan. Dan kalau nanti tidak sesuai, ada beberapa tempat yang bisa saya rekomendasikan“

Hening beberapa saat.

Apakah dia marah atau tersinggung dengan tawaranku?

“Kalau begitu saya akan cek sore ini, kalau anda tidak keberatan.“

“Boleh saja“ Sahutku.

“Kalu begitu sampai jumpa nanti, selamat siang“

Aku meletakkan handphoneku di saku dan menatap Edy serta Frans.

“Bagaimana Ndrii?“ Tanya Edy ketika aku selesai menelephone.

“CEO Delta Company akan kesini nanti sore, dia mau ngecek mess untuk timnya“ Sahutku.

“Wow, berapa kali dia mau bolak-balik Jakarta-Bandung?“ Tanya Frans dengan heran.

“Entahlah, aku juga tidak tahu“

“Tipe wanita yang keras kepala, gigih dan tak mau kalah“ Gumamku pelan.

“Mengingatkanku pada seseorang“ Kata Frans dengan pelan.

“Frans!“ Tegur Edy kepada Frans.

“Tidak apa-apa Dy, itu sudah berlalu“ Kataku pada Edy.

“Maaf Ndri“ ucap Frans dengan pelan.

“Ayo kita habiskan makanannya dan kembali ke kantor sebelum hujan“ Ajakku sembari menunjuk langit yang mulai gelap dan untuk mengalihkan pembicaraan dari hal yang kurang mengenakkan ini.


 Chapter 6: A WET JOURNEY and MEMORY of THE PAST

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Mas dimana Sherly” Tanya wanita itu ketika tak melihat siapapun disamping lelaki itu.
“Sudah kujual” sahut si lelaki pendek.
“Apa? Mas jual?! Dasar bajingan”
Plakkkk….
Kudengar suara tamparan ketika si wanita melayangkan tangannya ke si lelaki.
“Dasar pelacur!!!” Teriak si lelaki sambil menendang si wanita.
Bukkk…
Berikutnya yang kudengar hanya suara pukulan dan tendangan, sumpah serapah dan cacian.
Kututup telingaku dengan bantal. Berusaha tidak mendengarkannya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lidya POV

“Gimana mbak?” Tanya Lisa ketika aku selesai menelepon si mata keranjang.

“Hmmmm…” Aku ragu sejenak sebelum melanjutkan.

“Perusahaannya dia punya mess Lis, dia nawarin kita pakai itu selama kita disana”. Terangku.

“Wah, bagus itu mbak, kita bisa menghemat lumayan banyak kalau begitu“. Sahut Lisa, terlihat senang dengan kemungkinan penghematan di bidang akomodasi kami.

“Tapi Lis,,“ Seruku ragu.

“Kenapa mbak?“

“Mbak ngerasa gak enak saja kalau kita terlalu banyak memberatkan mereka“.
“Hufttt....“.
Kuhembuskan nafas untuk mengurangi beban dan perasaan tak enak yang menghampiri.

“Terus bagaimana mbak?“ Tanya Lisa setelah beberapa lama.

“Mbak bilang akan kesana sekarang untuk ngecek messnya“ Sahutku.

“Sekarang mbak? Sendirian?“

“Iya Lis, sekarang“.

“Wah, aku ikut ya mbak. Biar aku yang nyetir. Kasihan mbak bolak-balik nanti“. Tawar Lisa.

“Hmmm, boleh Lis“.

“Kalau begitu aku kasi tau yang lain dulu mbak. Biar mereka bisa bersiap-siap untuk besok“.

“Iya Lis“. Sahutku.

Kami menyelesaikan makan siang dalam diam.

“Mbak, gimana kalau kita langsung bawa perlengkapan sekarang mbak. Kita bisa menghemat sekalian sekarang berangkat“. Tawar Lisa.

“Boleh juga Lis, cuma mbak nanti mau cek perlengkapan di belakang dulu“.

“Iya mbak, aku juga mau cek perlengkapan teman-teman nanti“.

“Mbak, kita perlu bawa komputer dan hardware lain nanti? Atau cukup laptop saja?” Tanya Lisa.
Hufttttt.
Terlalu banyak yang belum kami diskusikan, pikirku.

“Rasanya mbak pikir lebih baik kita tanya ke G-Team dulu. Biar tidak terlalu banyak barang yang kita bawa nanti”

“Kalau begitu biar aku yang telepon mbak“ Kata Lisa. Sembari meletakkan peralatan makannya dan menuju pesawat telepon.

“Nanti saja Lis, masih jam makan siang”. Senyum mengembang diwajahku melihat semangat Lisa.

“Oh iya mbak, sampai lupa”. Sahut Lisa.

“Kalau begitu aku lihat persiapan teman-teman dulu ya mbak“

Tanpa menunggu persetujuanku Lisa beranjak ke kebelakang, keruangan multifungsi kami.

Semoga ini bisa berjalan dengan baik.

Pikirku.

Semoga.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andri POV.

Kupandangi langit yang mulai gelap. Awan-awan hitam mulai berkumpul. Membuat sinar matahari yang terik mulai terhalang.

Apakah dia jadi kesini nanti?

Pikiranku masih belum bisa terlepas dari si-celana-dalam-putih. Dagu kecil yang terangkat dan pandangan mata yang menantang itu serta pantat yang bulat itu terus membayangiku.

“Ndri“
“Andri...“
“Andriiiiiiii..!!!“

“Sialan lu frans, aku gak budek tau“ Sahutku. Suara keras Frans membuyarkan lamunanku.

“Budek engga, tuli iya“ Ledek Frans.

“Iya-iya, knp?“

“Jiaahh, ne anak, kita sudah selesai makan. Mau sampai kapan disini?“

Shit.

Konsentrasiku benar-benar hilang hari ini.

“Ayo Ndri, banyak yang perlu kita kerjakan hari ini“. Ajak Edy sambil tersenyum.

“Roger that”.

Dalam perjalanan ke kantor, pikiranku terus membayangkan kerjasama kami.

G-Team dan Delta Company.

“Ndrii, aku dan Frans mau membuat perjanjian kerjasama kita dengan Delta Company.” Kata Edy setelah kami sampai diruanganku.

“Oke Dy, mungkin kita perlu meeting besok untuk pembagian tugas dan pengenalan tim”.

“Tentu Ndri. Lebih bagus lagi kalau kalau semua tim, baik dari kita atau Delta Company bisa hadir”. Saran Edy.

“Tentu Dy, aku siapkan materinya dulu”. Sahutku sambil menuju kekamar mandi.
Panggilan alam.

“Kring...Kring..Kring...“

Bunyi telephone menggangguku menyelesaikan panggilan alam.

“Frans, angkat telepon nya“Teriakku ke Frans.

“Halo selamat siang“.

“Andri masih dikamar mandi, dari mana Lin?

“Lisa? Delta Company?“

“Tunggu sebentar Lin“.

“Ndri, dari Lisa, Delta Company“ Teriak Frans dari ruanganku.

“Terima saja dulu Frans, speaker.” Balasku.

“Halo selamat siang. Dengan Frans, bisa dibantu?“

“Selamat siang, saya Lisa, dari Delta Company.“ Kudengar suara Lisa dari speaker.

Lisa? Bukan si-celana-dalam-putih berarti. Pikirku, sambil keluar dari kamar mandi dan memberi isyarat kepada Frans untuk melanjutkan berbicara.

“Ada yang bisa saya bantu mbak Lisa?”

“Begini mas, untuk perlengkapan selama kami disana, seperti computer dan yang lain, kami bawa dari sini juga atau bagaimana?”

“Tunggu sebentar mbak” Sahut Frans.

“Gimana Ndrrii?” Tanyanya meminta persetujuanku.

“Kita sediakan perlengkapannya disini, tapi kalau mereka mau membawa perlengkapan sendiri silahkan, toh nanti juga masih bisa ambil lagi” Bisikku.

“Halo mbak” lanjut Frans

“Iya mas?”
“Kami sediakan perlengkapannya disini, tapi kalau mbak mau membawa perlengkapan sendiri silahkan”

“Baik mas, thanks infonya ya, selamat siang.”

“Selamat siang mbak” Jawab Frans.

“Oke kalau begitu, aku buat perjanjian kita dengan Delta Company” Kata Edy.

“Ayo Frans” Lanjutnya sambil menarik tangan Frans.

Akhirnya, tinggal aku sendiri diruangan ini. Aku tekan ekstensi 101 di telepon.

Halo, selamat siang, dengan Frida ada yang bisa saya bantu” Suara Frida, resepsionisku terdengar ditelepon.

“Halo Frid, ini Andri, nanti kalau ada orang dari Delta Company, suruh keatas untuk bertemu denganku ya” Pintaku.

“Iya pak, itu saja pak?”

“Iya, thanks ya” Sahutku sambil menutup telepon.

Sebaiknya aku buat presentasi untuk besok, pikirku. Sambil membuka data-data yang diberikan Raisa.
Time to work.
...
Dua jam kemudian.

“Huuuaaahhhhhhh, akhirnya selesai juga”

Akhirnya presentasi buat besok bisa kuselesaikan juga. Kulirik keluar dari kaca jendela, rintik-rintik hujan mulai turun. Tak lama kemudian rintik-rintik itu berganti dengan butiran-butiran air yang lumayan besar. Setelah sekian lama, akhirnya ada hujan lebat turun juga di ibukota ini.

Apakah si-celana-dalam-putih jadi datang juga di cuaca seperti ini?

Melihat dari sikapnya, rasanya dia pasti datang.

Kuberjalan mendekati jendela, memandang kebawah, ke jalanan yang mulai dipenuhi dengan genangan air hujan. Sebuah mobil jenis minibus memasuki halaman parkir dengan pelan. Kulihat security mendatangi pengemudinya sambil membawakan payung. Terlihat mereka berbicara sebentar sebelum si security menuju lobi dan kembali dengan membawa payung yang lain. Kemudian dia beranjak ke kursi penumpang dan memayungi seseorang yang terlihat membawa tumpukan kertas. Mungkin klien pikirku. Pandanganku kemudian terpaku pada sebuah mobil sedan yang memasuki parkir perusahaan dengan tersendat, mungkin mengalami masalah dengan mesinnya. Pikirku.
Setelah beberapa lama, tidak ada yang keluar dari mobil itu. Mungkin menunggu security yang masih mengantar tamu tadi.

Mungkinkah?

Setelah beberapa lama sebuah tangan kecil keluar dari kursi penumpang, dan akhirnya aku bisa melihatnya.

Si-celana-dalam-putih.

Dengan tergesa dia berlari menuju lobi. Ditengah hujan deras seperti ini, dengan menggunakan sandal berhak tinggi, dengan dipayungi sebuah map tipis.

Dasar tidak sabaran. Pikirku.

Sebuah ingatan dari masa yang ingin kulupakan berkebat dalam benakku.
Ingatan ketika…

“Kring..kring…kring…” Suara telepon membuyarkan ingatanku yang baru saja mau piknik ke masa lalu.

“Halo”

“Halo Pak, Frida dari lobi mau bicara pak” Suara Erlina terdengar diujung sana.

“Iya, sambungkan Lin”

Hening sejenak sebelum kudengar suara Frida.

“Selamat sore pak, ada Mbak Lidya dari Delta Company mau bertemu bapak” Kata Frida diujung sana.

“Oke, kalau begitu, antar keatas ya” Pintaku.

“Hmm, pak, Mbak Lidya sedikit basah pak, eh, maksudnya, pakaiannya basah pak, bagaimana pak?” Terang Frida dengan sedikit pelan.

“Kalau begitu, minta tunggu sebentar di lobi ya, aku yang kesana”

“Iya pak” Sahut Frida sebelum menutup teleponnya.

Si-celana-dalam-putih basah? Eh,, pakaiannya basah?

Dengan beberapa gambaran menyenangkan yang mucul dikepalaku, aku menuju kelantai bawah. Sampai dilobi, kulihat si-celana-dalam-putih sedang berbicara dengan Frida.

“Selamat datang di G-Team” Sapaku sambil melihat kearah si-celana-dalam-putih.

Pemandangan didepanku melebihi apa yang kubayangkan tadi. Disana dia berdiri dengan rambut yang basah, blouse putih yang dia kenakan basah, membuat bra putihnya menerawang. Menampakkan payudara yang tidak terlalu besar namun terlihat membulat dengan indah.
Tak sadar aku menelan ludah ketika memandangnya.

Dengan refleks si-celana-dalam-putih mengangkat map yang dibawanya untuk melindungi dadanya yang ‘telanjang’.

Well, kalau mau menyalahkan, salahkanlah sang hujan pikirku. Dan sepertinya sang hujan berpihak kepadaku, karena sekarang hanya tersisa gerimis saja.

“Selamat sore Pak Andri, maaf sudah menggangu bapak, tapi bisakah saya meminjam satu payung? Teman saya masih dimobil” Pintanya dengan nada yang sedikit ketus.

Mungkin dia tahu kalau aku memandang dadanya tadi.

Jangan salahkan mata yang memandang, salahkan dada yang mengundang…

“Frid, ada payung?” Pintaku kearah Frida.

“Maaf pak, payungnya dipinjam security tadi, eh itu securitynya pak” Katanya seraya menunjuk kebelakangku.

“Kebetulan pak, tolong payungnya” Pintaku kepada security.

Kuterima payung dari security dan mengangsurkannya ke si-celana-dalam-putih.

“Ini payungnya Nona Lidya”

“Terimakasih” Sahutnya sambil berbalik kearah mobilnya.

Kupandangi pantatnya ketika bergoyang menuju mobilnya. Disana dia terlihat berbicara dengan seseorang dikursi pengemudi. Ketika lawan bicaranya keluar -yang ternyata seorang gadis-, dia langsung menuju ke bagasi mobil dan mengambil sebuah koper.

Sebuah koper?

Mungkin dia mau mengganti pakainnya,pikirku.
Tunggu, artinya pemandangan indah itu akan segera berakhir.

God Damn It!

Sambil membawa payung si-celana-dalam-putih berjalan disamping temannya.
Kuamati temannya sejenak, cantik namun mungil, seperti bertolak belakang dengan si-celana-dalam-putih. Terlihat wajahnya lebih ceria dan lebih muda. Tinggi badannya cuma sampai ditelinga si-celana-dalam-putih.

And well, itu karena high hell yang…
Berapa cm kah itu? 10?15?
Ketika pandanganku terpaku pada high heel itu, terjadi beberapa kejadian yang bisa dibilang cepat namun bergerak seperti slow motion bagiku.
Diawali dengan tersangkutnya high heel itu di lantai parkir yang tidak jauh dari tempatku berdiri, kemudian…

Brakkk…

Bruuukkkkk….

“Aduh!” Samar kudengar si mungil berseru ketika high heelnya patah dan diikuti dengan tubuh yang sempoyongan memeluk si-celana-dalam-putih.

Andai saja aku yang ada di posisi si mungil itu.

Sementara itu, si koper naas dengan sukses menghamburkan isinya di lantai parkir yang masih tergenang air cukup tinggi.

Dengan refleks aku melangkah mendekati mereka dan membantu mengumpulkan pakain yang berserakan.
Beberapa rok dan blouse tercecer cukup jauh dan walaupun aku berusaha mengumpulkan mereka secepat yang aku bisa, tampaknya usahaku sia-sia. Genangan air yang masih cukup tinggi membuat sebagian besar atau mungkin semua pakaian yang aku ambil basah.
Diantara rok dan blouse yang tercecer, sebagian besar berwarna putih dan hitam. Termasuk juga beberapa pakaian dalam mini yang menyembul malu-malu dari bawah tumpukan roknya.

Oh My God…

Pikiranku seketika mengingat kejadian saat pertama kali kami bertemu.

Kupandang wajah si-celana-dalam-putih, yang saat ini sangat merah. Setelah sempat terpaku sejenak dia dengan cepat memunguti pakaiannya yang tercecer.
Aku curiga dia memungut pakaian dalamnya sebagai prioritas!

“Aduh, maaf mbak, pakainnya mbak jadi basah semua” Seru si mungil ketika membantu memasukkan pakaiannya kedalam koper.

“Gak apa-apa Lis” Sahut si-celana-dalam-putih sambil tetap memunguti pakaiannya yang berserakan.

“Mbak bisa pakai rok dan blouseku dulu mbak” Kata si mungil sambil berbalik menuju ke bagasi mobil mereka. Ketika kembali dia membawa koper yang hampir sama dengan punya si-celana-dalam-putih.

“Ini Nona Lidya” Kataku sambil menyerahkan pakaian yang berhasil ku kumpulkan.

Perlu semangat dan tekad yang keras bagiku untuk tidak memungut pakaian dalamnya!

“Silahkan berganti di kamar mandi dulu Nona Lidya dan…” Sengaja aku menahan kataku sambil menoleh kearah si mungil.

“Lisa Pak” Sahut si mungil sambil mengajak berjabattangan.

“Andri” Sahutku.

“Mari mbak” Ajak simungil ke si-celana-dalam-putih.

“Mbak naruh ini dulu di mobil Lis” Kata si-celana-dalam-putih.

Kemudian dia berjalan sedikit cepat kearah mobil ketika benda itu mengusik perhantianku.

Putih.

Dengan tali di kedua ujungnya.

Celana dalam! Celana dalam yang mini dan bertali.

Aku hanya bisa meneguk ludah, dan memanggil.

“Nona Lidya” Suaraku terdengar lebih serak dari yang biasanya.

Si-celana-dalam-putih menoleh dengan terpaksa. Dengan pandangan mata apa-lagi-yang-mau-kau-katakan dia berkata.

“Ada apa Pak Andri?”

“Eh,, itu nona… eh itu ketinggalan lagi satu” Kataku sambil menunjuk kearah benda putih bertali itu.
...

Lidya POV

Malu.

Sangat malu.

Sangat malu sekali.

Teramat sangat malu sekali.

Ingin rasanya aku masuk kedalam tanah dan tak keluar lagi.
Dengan wajah yang panas, dan kurasa pasti berwarna merah, aku mengambil celana dalam kesayanganku yang terletak tak jauh dari si-mata-keranjang.

Tanpa mengucapkan terimakasih aku memasukkan celana dalam putihku kedalam koper, mengunci koper, dengan benar kali ini, dan berbalik, lalu berjalan menuju mobil.

Setelah menaruh koper ke dalam bagasi mobil. Aku mengampiri Lisa dan si-mata-keranjang.

“Ayo Lis, mari Pak” Kataku sambil berjalan mendahului mereka kearah lobi.

Baru aku mau bertanya dimana letak kamar mandinya ketika kudengar suara si-mata-keranjang.

“Frid, tolong antar Nona Lidya ke kamar mandi ya”

“Iya pak” Kudengar suara gadis, yang kuduga Frida.

“Mari mbak” Kata Frida dengan ramah sambil berjalan mendahului kami.

Sambil berjalan mengikuti Frida, aku memperhatikan sekeliling ruangan yang kami lewati.

HUfffttttt.

Tak bisa kutahan ada rasa iri yang muncul dihatiku. Dengan aksen biru muda, warna putih mendominasi ruangan yang kami lewati.

Elegan.

Itu kata yang muncul di pikiranku ketika melihatnya.
Kapan aku bisa memiliki kantor seperti ini?
Suara Frida memutus hayalanku.

“Mbak, ini kamar mandinya, ada perlu yang lain mbak?” Tanyanya dengan ramah.

“Tidak mbak, terimakasih” Sahutku sambil tersenyum dan masuk kedalam kamar mandi.

“Mbak, pakai blouseku yang ini saja ya?” Suara Lisa terdengar ketika kami sudah sampai didalam kamar mandi.

“Gak apa-apa ni Lis?”

“Gak apa-apa kok mbak, size kita rasanya sama” Katanya sambil memberikan satu buah blouse kepadaku.

“Kalau untuk roknya….”

“Gak usah Lis, gak terlalu basah kok” Kataku jujur, setidaknya celana dalamku tidak sampai basah.

“Ah mbak ini, gak enak kalau nanti duduk mbak, walaupun gak basah sampai dalam sih,hihihi” Kata Lisa yang tak urung membuatku tersenyum

“Ah, kamu bisa aja” Jawabku dengan wajah yang memerah.

“Pakai yang ini saja deh mbak” Kata Lisa sambil menyerahkan sebuah rok hitam yang berpotongan sederhana. Namun beberapa centi lebih pendek dari rok yang biasa aku pakai.

“Gak ada yang lebih panjang Lis”

“Ituyang paling panjang punya Lisa mbak, paling besar juga”

“Ya udah kalau gitu, mbak ganti dulu ya” Kataku sambil masuk kesalah satu bilik kamar mandi.

Dengan perlahan kubuka blouse dan rokku.

Untung bra dan celana dalamku tidak sampai basah.

Dengan perlahan kupakai rok yang diberikan Lisa. Dan seperti yang kuduga. Rok ini beberapa centi diatas lutut, dan sangat ketat!
Kupandangi dengan pasrah pantatku yang membulat terbalut dengan sangat ketat. Membusung dengan beraninya kebelakang.
Kemudian aku gunakan blouse yang diberikan Lisa. Dan aku bersukur karena ukurannya hampir sama dengan punyaku.

Namun setidaknya pantatku lebih besar.

Tak kuasa kucegah ketika senyum menghiasai bibirku. Setelah merapikan pakaian lamaku yang basah, aku berjalan keluar.

“Wow, mbak cocok sekali pakai rok seperti itu” Puji Lisa sambil mengitari tubuhku.

“Wah, andai aku punya pantat seperti yang mbak punya” Kata Lisa, bisa kudengar sedikit nada iri dari suaranya.

“Ah kamu bisa aja Lis” Kataku.

“Dijamin deh, si-mata-keranjang melotot ntar mbak, hihihi” Sahut Lisa.

Ah, si mesum itu.

PIkirku ketika mau tak mau bayangan ketika pertama kali kami bertemu muncul dalam benakku.

“Ayo kita kedepan Lis” Seruku kepada Lisa sambil perlahan keluar dari kamar mandi.

“Mbak, mana bajunya yang basah, aku sekalian bawa ke mobil“Pinta Lisa.

“Ah gag usah Lis, mbak saja yang bawa” Gag enak juga kalau Lisa yang membawakan pakainku, aplagi masih basah.

“Gak apa-apa koq mbak, sini mbak”

Dengan sedikit berat aku berikan pakaianku yang masih basah ke tangan Lisa.
Sesampai di Lobi Lisa langsung berjalan menuju mobil sementara itu aku menghampiri si-mata-keranjang yang terlihat sedang menelepon membelakangiku.

Kupanggil namanya ketika dia selesai menelepon.


 Chapter 7 : An UNLUCKY DAY FOR SOMEONE

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kenyataan selalu lebih menakutkan.
Tapi itu harus kuhadapi.
Sedikit demi sedikit aku bisa mulai mengerti penyebab semua ini.
Benang merahnya mulai terjalin.
Namun mengungkapkan semua ini.
Terselip bahaya yang akan mengintai.
Aku dan keluargaku.
Sebuah kata bijak terlintas dibenakku.
Siapa yang akan mengawasi sang pengawas?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andri POV
“Pak Andri“ Suara si-celana-dalam-putih terdengar memanggilku dari belakang.

Dengan refleks aku berbalik.

Wowww....

Dengan blouse yang menempel ketat di badannya, ditambah lagi dengan...

Oh my god!

Rok hitam pendek!

Rok hitam yang beberapa cm diatas lutut dan sangat ketat!
Tak terasa aku menelan ludah ketika memandangnya.

“Iya Mbak Lidya?“

Sengaja kuganti panggilanku menjadi mbak, dia saja memanggilku dengan pak! Padahal usiaku kurasa tak jauh dari usianya.
Kulirik si-celana-dalam- putih.

Dan bisa kulihat dia kurang nyaman dengan pakaiannya sekarang. Beberapa kali kulihat dia berusaha menurunkan roknya.Dan tentu saja tidak terlalu berhasil!

Setidaknya aku bisa melihat pahanya lebih lama. Pikirku.

“Bisa sekarang kita melihat messnya pak? “Tanyanya ketika si mungil sudah disampingnya.

“Bisa mbak, mari ikut saya”

Dengan langkah santai aku melangkah menuju kebelakang perusahaan dimana mess perusahaan kami terletak. Mess kami bertingkat 3, dengan lantai 1 berukuran 2x3 m, kamar mandi diluar, khusus untuk yang belum berkeluarga. Lantai dua dan tiga hampir sama, dengan luas 3x4, dengan kamar mandi didalam. Sedangkan mess untuk eksekutif terletak ditempat yang sedikit terpisah.
Menurut informasi dari Erlina yang kutelepon tadi, mess yang kosong terletak paling utara.

“Mbak, itu mess yang bisa mbak dan tim gunakan nanti”. Kataku sambil menunjuk mess yang kosong di lantai dua.

“Bisa kami lihat kesana mas?“ Tanya si mungil.

“Ohh... Boleh mbak“ Sahutku sambil melangkah menuju ke lantai dua. Setelah sampai didepan pintu, kulihat kunci pintu ditinggalkan di lobangnya oleh tim cleaning service.

“Lumayan luas juga mbak“ Kata si mungil sambil berjalan mengitari mess.

Sementara itu si-celana-dalam-putih dengan perlahan membuka tirai jendela.

Ketika dari depan rok pendek yang dikenakannya tidak memperlihatkan pantatnya.

Tapi dari belakang…

Pantat yang membulat penuh dan tercetak jelas di balik rok yang dikenakannya sehingga garis celana dalamnyapun terlihat.

Pasti putih lagi, dan mini. Pikirku sambil membayangkan celana dalam yang terapung di parkiran tadi.

“Ehemm” Suara dehemen pelan dari si mungil membuyarkan lamunanku.

Kupandang wajahnya untuk melihat senyuman jahil dan pandangan aku-tahu-apa-yang-kau-lihat-dan-yang-kau-bayangkan.

Aku hanya bisa nyengir memandangnya.

“Kurasa kita bisa tinggal disini Lis“ kata si-celana-dalam-putih sambil menuju kekamar mandi.

“Kamar mandinya juga lumayan luas“ Sambungnya.

“Mess yang lain disebelah mana mas?“ Tanya si-celana-dalam-putih.

Tunggu.

Ada yang salah rasanya?


Apa baru saja dia bilang mas? Well, ada progress juga pikirku.

“Mess yang lain di sebelah mbak, berderet empat ke utara dari mess ini” sahutku.

“Empat? Kalau tidak salah mas bilang ada lima tadi ditelepon?” Tanya si-celana-dalam-putih sambil menaikkan alisnya.

“Semuanya lima mbak, yang lagi satu agak terpisah. Mess karyawannya tinggal empat, jadi mbak dan tim pakai mess eksekutif lagi satu mbak” Terangku.

“Nggak apa-apa nih kami memakai mess eksekutif?” Tanya si-mungil.

“Nggak apa-apa kok mbak” sahutku sambil tersenyum. Sementara si-celana-dalam-putih terlihat termenung.

“Mari mbak, saya antar melihat yang lain” Kataku sambil melangkah keluar ruangan.

Kami melihat ruangan yang lain dengan cepat karena model bangunan yang sama.

“Mari saya antar melihat mess yang lagi satu” Saranku ketika kami sudah selesai melihat mess yang keempat.

Kami berjalan dalam diam, mess eksekutif terletak sedikit kearah utara. Dengan luas 10x6 m setiap kamar. Interior nya lumayan berbeda dari mess staff. Ada sofa dan TV di setiap kamar, juga ada shower dan bathub dikamar mandi yang jadi satu dengan ruang tidur. Juga ada beranda di depan masing ruangan. Sedangkan untuk akses turun dan naik ada sebuah lift khusus. Selama ini aku, Frans, Edy menempati mess yang terpisah dari total 3 mess eksekutif yang ada.

“Ini mess eksekutif nya mbak, untuk ruangan mbak ada paling atas“ kataku seraya menuju lift.

“Mas Andri tinggal di mess sini ya?“ Tanya si-mungil Lisa.

“Kadang-kadang saja mbak, lebih banyak di apartemen mbak”

“Siapa aja yang tinggal di mess ini mas?” Lanjut si mungil.

“Saya, Frans dan Edy, kami bertiga, walaupun jarang berada disini” sahutku sambil keluar dari lift dan menuju messku.

Kukeluarkan kunci pintu mess.

Eh, tunggu dulu, ada barang-barang “terlarang” di dalam apa tidak ya? Aku berpikir sebelum membuka pintu.
Semoga saja tidak ada.

“Mari mbak, silahkan masuk” Seruku kepada mereka berdua.

“Wah, ruangannya luas juga ya mbak” Kata si mungil kepada si-celana-dalam-putih.

“Ada berandanya juga” Serunya ketika melihat kedepan.

Kulihat sekeliling dan melihat si-celana-dalam-putih sedang melihat koleksi buku bacaanku.

“Kalau mau baca silahkan” Tegurku.

“Eh,, iya,,mas“ Serunya sedikit gugup.

“Mbak, ada shower dan bathubnya juga mbak, asikkk…“ Seru si-mungil dari dalam kamar mandi.

Gadis yang ceria, pikirku.

“Maaf mas, Lisa memang aktif“ Bisik si-celana-dalam-putih.

“Gag apa-apa kok mbak“ Sahutku sambil tersenyum.

Kulihat kesamping dan untuk pertama kalinya aku melihat senyum lepas di wajahnya. Senyum yang hanya sekian detik sebelum berganti dengan raut wajah datar.

Senyum yang indah.

“Mas, untuk perjanjian kerjasama dengan perusahan kami bagaimana?“ Tanya si-mungil yang entah muncul dari mana.

“Team kami sedang mempersiapkannya sekarang, kalau mbak mau melihatnya sekarang, boleh juga?“ jawabku.

“Bagaimana mbak?“ Tanya si-mungil kepada si-celana-dalam-putih.

“Kalau tidak merepotkan boleh juga” Jawab si-celana-dalam-putih.

“Mau mengerjakannya disini atau di ruangan saya?” Saranku, sambil melihat mereka berdua.

“Kalau boleh, disini saja mas“
“Oke, tunggu sebentar ya“ sahutku sambil menuju telepon.

“Halo selamat sore, Erlina G-Team bisa dibantu?“ Suara Erlina terdengar diujung telepon.

“Sore lin, bisa bicara dengan Frans dan Edy?“

Pak Edy sedang keluar pak, ada meeting dengan klien. Pak Frans ada pak, saya sambungkan sekarang?“

“Boleh Lin“.

“Tunggu sebentar pak“.

Setelah hening sejenak, terdengar suara Frans diujung sana.

“Halo Ndrii, ada apa?“

“Kontrak kerjasama dengan Delta gimana Frans?“ Tanyaku.

“Sudah selesai Ndrii, kau mau membacanya sekarang?“

“Tim Delta disini, mereka mau lihat perjanjiannya, bisa kau bawakan kemari?“

“Roger that, eh bawa kemana nih?“

“Ke mess ku“ Jawabku.

Roger that“ Sahut Frans sambil menutup telepon.

“Rekan saya akan membawa filenya kemari, sambil menunggu, mbak-mbak mau minum apa?“ Tawarku.

“Eh, silahkan duduk dulu?“ Kataku melihat mereka masih berdiri di ruang tamu.

“Gak usah mas“ Sahut si-celana-dalam-putih.

“Teh aja deh mas“ Si mungil berkata sambil tersenyum.

“Tunggu sebentar ya“Sahutku sambil tersenyum.

Aku melangkah menuju dapur mini yang tersedia.

By the way... Tehnya dimana ya?
...
Beberapa saat kemudian aku membawa teh untuk kami ke ruang tamu.
Kulihat mereka sedang asyik berbisik-bisik sambil berdiri.

Kenapa mereka tidak duduk???

“Ini tehnya mbak, kok masih berdiri saja?“ Tanyaku heran.

“Ini mas, eh... “ Si-celana-dalam-putih mejawab dengan bingung.

“Hihihi,, mas, Mbak Lidya gak berani duduk, takut itunya..hihihihi“ Jawab simungil sambil cekikikan.

“Lisa!“ Tegur si-celana-dalam-putih dengan wajah bersemu merah.

“Mas tahu laundry dekat sini?“ Tanya si-celana-dalam-putih.

“Yang paling dekat sekitar dua kilometer dari sini mbak, kenapa mbak?“ Tanyaku.

“Mbak Lidya mau ngeringin pakaiannya mas, biar besok bisa duduk,hihihi“ Serobot si mungil.

Kulihat wajah si-celana-dalam-putih semakin merah.

“Kalau mbak mau, nanti bisa saya antar kesana“ Tawarku.

Please. Accept.

“Sekarang aja bawa kelaundry mbak, sekalian nyari bengkel“ Kata simungil sambil tersenyum jahil.

“Memang mobilnya kenapa mbak?“ Tanyaku sambil menoleh ke si-celana-dalam-putih.

“Mogok mas, tadi hampir mati dijalan“ Dan lagi-lagi si-mungil yang rasanya sudah memproklamirkan dirinya sebagai jubir sementara menjawab.

“Boleh juga mbak, nanti sehabis dari laundry kita bicarakan kontraknya“ Ajakku.

“Untuk kontrak, sebenarnya Frans lebih mengerti dibanding saya.“ Sambungku.

“Kalau begitu, mas antar Mbak Lidya ke laundry dulu, sekalian ke mall atau butik“ Cengir si mungil.

“Tidak perlu mas, masih bisa besok kok“ Kata si-celana-dalam-putih, dengan wajah yang memerah.

Suasana menjadi kaku.
Aku terdiam memandang si-celana-dalam-putih yang terlihat termenung.
Sementara si-mungil memandang kami berdua dengan tatapan bingung.

"Tok-tok-tok"

Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunanku.
Dengan sigap aku berjalan ke pintu.

"Tok-tok-tok"

“Sebentar“Sahutku.

Kubuka pintu untuk melihat Frans yang membawa map. Yang kuduga map tentang kerjasama kami dengan Delta Company.

“Halo boss“sapanya.

“Ayo masuk Frans, tutup pintunya“Pintaku.

Aku berjalan didepan Frans dan menuju ke ruang tamu.

“Frans kenalkan ini ce, eh Mbak Lidya, CEO Delta Company dan Mbak Lisa. Mbak Lidya dan Lisa, ini Frans, marketing dan CO-founder G-Team“ Hampir aku menyebut panggilan kesayanganku ke Frans!

“Lidya”

“Frans”

“Lisa”

“Frans”

Mereka saling berjabatangan. Kulihat Frans sedikit lama menjabat tangan Lisa.

“Jadi, silahkan minum dulu, habis itu kita bisa lanjut ke pembahasan kontraknya?” Tanyaku.

“Untuk kontraknya, rasanya aku dan Mas Frans bisa membahasnya berdua, Mas Andri antar saja mbak Lidya ke Laundry dan mall dulu, betul kan mas Frans?“ Tanya si-mungil sambil melirik dan tersenyum manis kearah Frans yang sedang memandang si-mungil.

“Eh,, apa? Eh..iya maksudku. Biar nanti aku yang membahasnya bersama Mbak Lisa“ Dengan tergagap Frans menjawab.

Aku pandang wajah si-celana-dalam-putih, terdapat keraguan dan penolakan di matanya.

“Iya mbak, kalau dibawa sekarang kan pakaiannya bisa kering besok“ sambung si-mungil memberi penjelasan.

“Hm, apa gak merepotkan mas?“ Tanya si-celana-dalam-putih sambil memandangku. Kulihat masih ada pandangan ragu dan takut?

Pandangan takut?

“Kalau tidak merepotkan mas,...“

“Kalau begitu mari kita berangkat sekarang, Frans, yakin bisa sendiri?“ Kataku menyelanya.

“Beres boss, iya kan Mbak Lisa?“ Tanya Frans sambil tersenyum kearah si-mungil.

“Oke, kalau begitu kami berangkat dulu“ Kataku kepada Frans dan si-mungil.

“Mari Mbak“ Kataku kepada si-celana-dalam-putih.

Kami berjalan dalam dian, sampai dilobi aku berkata pada si-celana-dalam-putih.

“Tunggu sebentar disini mbak, parkir untuk staff disini ada di basement”.

“Iya mas, saya ambil kopernya dulu” Sahut si-celana-dalam-putih sambil melangkah ke mobilnya.

Aku mengambil mobilku dari basement dan menuju kearah lobi. Kulihat si-celana-dalam-putih menunggu dengan koper ditangan.
Aku turun dari mobil dan melangkah mendekatinya.

“Sini kopernya mbak” Pintaku sambil mengambil koper dari tangannya.

“Kopernya masih basah mas, tidak apa-apa nanti?” Tanyanya kuatir.

“Gak apa-apa kok mbak” Sahutku sambil membawa kopernya ke bagasi.

Sehabis menaruh koper dibagasi aku menuju ke pintu penumpang dan membukanya.

“Silahkan mbak”

“Terimakasih mas” Katanya sambil tersenyum.

Berdua dengannyanya dalam satu mobil.
Situasi kembali menjadi kaku.
Dengan setengah mati aku berusaha agar tidak menoleh kesamping bawah, kearah rok pendek yang rasanya tidak mampu menutupi paha jenjangnya.

Apakah celana dalamnya, yang kuduga putih, bisa terlihat? Hayalku.
Masih dalam diam akhirnya kami sampai di laundry.

“Biar saya saja yang turun mas” Kata si-celana-dalam-putih sambil membuka pintu dan beranjak kebagasi untuk mengambil kopernya.

As you wish.

Kutatap langkah gemulai si-celana-dalam-putih.
Terlihat dia berdiskusi sejenak dengan petugas laundry.
Cukup lama dia berdiskusi sebelum kembali kemobil. Kulihat wajahnya tidak terlalu cerah.

“Kenapa mbak?” Tanyaku setelah dia duduk disampingku.

And, jackpot!

Ketika dia duduk, roknya otomatis terangkat keatas. Kulihat paha jenjang dan putih mulus, sungguh kontras dengan rok hitamnya!
Uftt,, kupaksakan mataku memandang kearah lain.

“Mereka banyak order hari ini, jadi besok sore baru selesai, hufttt..” Katanya kesal.

Ketika menghembuskan nafas, dadanya terangkat naik, gumpalan kenyalnyapun bergerak dengan pelan.

Sexy…

“Kalau begitu kita ke mall dulu” Kataku dan tanpa persetujuannya aku arahkan mobil kemall terdekat.

Lidya POV.

Hari yang kurang baik.
Sangat kurang baik.
Kuambil nafas dalam dan kuhembuskan dengan pelan.

Suasana bisa kurasakan sedikit kaku, moodku sedang tidak begitu bagus untuk berbincang saat ini. Waluapun kurasa sedikit kurang sopan dengan si-mata-keranjang yang telah begitu banyak membantuku.
Dinginnya AC terasa di pahaku yang…

Pahaku?

Siallll..

Dengan wajah yang terasa panas aku menaruh tanganku dipaha, hanya bisa sedikit menutupinya.

Apa dia melihatnya?

Kulirik kesamping dan melihat si-mata-keranjang menelan ludah.

Huffttt..
Dia mungkin sudah melihatnya.
Dia pasti sudah melihatnya.

Aku bergerak dengan sedikit tak nyaman. Untungnya kami sudah tiba di parkiran mall.
Setelah mobil diparkir, aku turun.

“Eh mas, tunggu saja di mobil” Tak enak rasanya kalau berbelanja dengannya.

Apalagi sambil membeli pakaian dalam. Pikirku.

“Gak apa-apa kok mbak, bosan juga nanti diam di mobil” Sahutnya sambil tersenyum.

“Kalau begitu, jangan bosan menunggu lama nanti” Kataku sambil meuju stand pakaian.

Blouse, rok, pakain tidur, celana dalam dan bra.
Aku mencatat dalam hati apa yang perlu aku beli.

Di stand pakaian kerja aku memilih rok yang lebih panjang dari yang aku pakai. Untuk blouse aku pilih yang lebih tipis dari yang biasa aku beli mengingat suhu udara di Jakarta lebih panas daripada di Bandung. Kulihat si-mata-keranjang sedang asyik mengobrol dengan salah satu SPG di dekat kasir.

Well,
Dasar mata keranjang! Tidak bisa melihat gadis nganggur sedikit saja!

Tapi setidaknya aku bisa memilih pakain dengan lebih tenang.

Sekarang pakaian tidur.
Cukup banyak pilihan pakaian tidur disini, setelah memilih sebentar, aku putuskan memilih model babydoll dengan lengan panjang.
Pandanganku mencari si-mata-keranjang. Dan tidak kulihat dia.

Aman!. Pikirku.

Aku menuju ke stand pakaian dalam dan mulai mencari pakaian dalam kesukaanku.

Putih dan mini.

Wow, banyak pilihan disini.

Model kesukaanku juga banyak.

Dan banyak model G-String dan T-String juga. Apa aku beli satu ya? Ganti model sekali-sekali mungkin bagus juga. Aku ambil sebuah G-String dan mengamatinya sebentar. Terlalu kecil pikirku.

Kuletakkan lagi.

Tapi, siapa yang akan melihatnya?
Kuambil lagi G-String warna putih tadi.

Kulihat harganya.

Lumayan mahal juga. Aku letakkan lagi.

“Kok ditaruh lagi?” Sebuah suara mengejutkanku.
Aku berbalik dan melihat si-mata-keranjang berdiri sambil tersenyum dipojok.

Sejak kapan dia berdiri disana?
Malu.
Malu yang kesekian kalinya hari ini!

Kurasakan wajahku memanas. Dengan cepat aku menuju ke tempat bra dan tanpa memilih aku mengambil sebuah bra yang sesuai dengan ukuranku.
Dengan cepat aku menuju kasir, terlalu malu untuk menoleh kebelakang.

Hufttt, belanja lagi. Akan cukup menguras isi dompetku.

Tunggu!

Dompet!

Dengan panik aku mengingat.

Dompetku berada didalam tas, dan tasku tertinggal di mobilku.

Mobilku terparkir di G-Team!

“Mbak, semuanya lima ratus sembilan puluh ribu rupiah” Kata kasir dengan ramah.

“Ehmm,, mbak”Kataku dengan sedikit bingung.

“Pakai ini saja mbak” Suara si-mata-keranjang mengejutkanku.

Kulihat dia memberikan sebuah credit card ke kasir.

Setelah beberapa saat kasir mengembalikan credit card nya kepada si-mata-keranjang.
Tanpa berani melihat wajahnya aku mengambil dua kantong belanjaan yang diberikan kasir dan melangkah menuju keparkiran.
Sesampainya diparkiran kami masuk kedalam mobil dalam diam.
Aku letakkan kantong belanjaanku di jok belakang.

“Terimakasih mas, nanti aku ganti uangnya” Kataku setelah beberapa saat.

“Gak usah mbak” Jawabnya sambil tersenyum dan melirik kearahku.

Dan kulihat dia menelan ludahnya ketika melihat pahaku.

Yang lagi-lagi terbuka dengan bebasnya!

Dasar mata keranjang!

Sesampainya di parkiran aku mengambil kantong belanjaanku dan melangkah keluar dari mobil.

“Terimakasih mas, sudah repot mengantar” Tak enak telah merepotkannya begitu banyak.

“Oh ia, saya ambil ganti uangnya dulu mas” Lanjutku teringat belum mengembailkan uangnya.

“Tidak usah mbak”

“Tidak mas, saya sudah terlalu banyak merepotkan” Sahutku sambil hendak beranjak ke mobilku.

“Kalau begitu gantinya dengan yang lain saja mbak” Katanya menghentikan langkahku.

“Misalnya?” Tanyaku penasaran.

“Makan malam hari ini misalnya?” Katanya sambil tersenyum.

Kembali kurasakan wajahku memanas.

“Hmmm, boleh mas” Kataku, kulirik wajahnya dan kulihat senyumnya mengembang.
“Tapi tidak sekarang ya mas” Sahutku, balas tersenyum kepadanya.

Kulihat dia sedikit terkejut, namun segera senyum kembali diwajahnya.

“Oke” Jawabnya singkat.

Kami menuju mess dalam diam. Ketika sampai dipintu mes, kuketuk pintu mess.

“Tok.tok.tok”

“Masuk” Kudengar suara Lisa dari dalam.

Aku membuka pintu dan kulihat Lisa dan Mas Frans sedang duduk dan mengobrol dengan santainya.

“Wah, ada yang jadi belanja nih” Goda Lisa.

“Gimana kontraknya Lis?” Kataku mengalihkan perhatiannya.

“Beres mbak, ini Mas Frans dah mau balik tadi” Jawab Lisa.

“Oke, kalau begitu kami balik dulu mbak” Kudengar suara si-mata-keranjang dari belakangku.

“Ayo Frans” Lanjutnya.

Roger that” Jawab mas Frans.

“Mari ladies” Sahutnya sambil melangkah keluar dan menutup pintu.

“Mbak mau mandi sebentar ya Lis” Kataku kepada Lisa sambil beranjak kekamar mandi.

Beban kerja dan kesialan hari ini mungkin bisa teratasi dengan mandi dan berendam pikirku.
Sesampainya dikamar mandi aku buka semua pakaianku dan menyalakan air dibathub.
Setelah hangatya terasa pas, aku masuk kedalam bathub.

“Huft, segarnya” Gumamku.

Hampir dua puluh menit aku berendam. Aku mulai mandi.

Setelah selesai mandi aku hendak mengeringkan badan.

Sial.
Kenapa hari ini aku selalu sial.Pikirku.

Handukku basah dan aku lupa membeli handuk tadi.
Mungkin aku bisa meminjam handuk Lisa dulu, pikirku.

“Lis, boleh pinjam handuknya? ” Teriakku dari kamar.

“Ambil aja di koper mbak”Jawabnya dari ruang tamu.

Aku menuju kopernya yang masih tergeletak diujung tempat tidur.
Aku ambil handuk dari kopernya dan..

Takkkk…Dukk…

Dua buah benda jatuh dari lipatan handuknya.

Sebuah vibrator dan dildo!

Dengan wajah merah aku hendak mengambilnya dari lantai.

“Biar aku saja mbak” Kudengar suara Lisa.

Kupandangi wajahnya, kulihat senyum malu dan jahil ada disana.

“Wah. Tubuh mbak bagus banget! Apalagi yang dibelakang ini” Katanya sambil mengelilingiku.

“Ah, kamu bisa aja Lis” Sahutku sambil mencoba menutup vagina dan dadaku.

“Untung kamu yang lihat Lis,kalau si-mata-keranjang..iihhhh” Memikirkan si-mata-keranjang melihat tubuh telanjangku membuat badanku bergidik.

Namun, desir pelan melintas divaginaku.

“Hehehe, iya si mbak, tapi aku boleh bilang sesuatu gak mbak? Tapi mbak jangan takut atau bilang ke yang lain ya?” Katanya misterius.

“Apa Lis?” Tanyaku penasaran.

“Aku biseksual lo mbak!”


 Chapter 8 : A SWEET LONG NIGHT.

--------------------------------------------


Apa yang kutakutkan akan segera terjadi.
Akan siapkah aku menghadapi?
Kejujuran yang mungkin berbuah tragedi.
Pasrah atau tidakpun akan berujung mati.
Namun ku tak kan hanya diam menanti.
Walau ku mati.
Masih ada generasi lain menanti.

---------------------------------------------


Biseksual.

Biseksual!!!

Sejenak otakku merasa bingung dengan fakta yang kudengar.

Sekilas aku merasa ragu dengan kebenaran dari perkataan Lisa.

Kutatap matanya dan kulihat kejujuran disana. Mata yang mulai mengelam dan kulihat api birahi mulai muncul disana.

“Ehhhh… Lis, jangan bercanda” Kataku sedikit gemetar.

“Mau bukti mbak?” Katanya sambil mendekat.

Aku terhuyung kebelakang, sampai pantatku menyentuh dinding pembatas ruang tidur dan kamar mandi. Perasaan malu, tegang dan bingung bercampur menjadi satu.

“Hihihi, wajah mbak lucu banget deh kalau lagi bingung gitu” Kata Lisa sambil melangkah mundur.

“Cuma becanda kok mbak” Lanjutnya.

“Huffttt, kamu bikin mbak jantungan aja Lis” Tegurku sedikit ragu.

“Hihihi, habis mbak tegang banget dari pagi, rileks aja mbak” Kata Lisa.

Benar juga, hari ini sudah terlalu banyak kejadian yang menguras tenaga dan membuatku lapar.

Lapar.

“Eh, kamu lapar ndak Lis? Mbak mau pesan makanan cepat saji dulu”Tanyaku pada Lisa.

“Aku sudah pesan mbak, untuk mbak juga, mbak keasikan berendam tadi, gak nyahut waktu kupanggil-panggil tadi” Terang Lisa yang membuatku malu.

“Giliran Lisa yang mandi dulu ya mbak” Lanjutnya

“Iya Lis, thanks ya” Kataku sambil memakai baju tidur babydoll yang baru kubeli.

Tanpa pakaian dalam.

Semoga tidak ada tamu hari ini.

Baju tidur ini cukup tipis, sehingga putting payudaraku terlihat menerawang.
Untung aku sempat mencukur rambut kemaluanku sehingga tidak tersisa.

Kalau tidak pasti akan terlihat dari balik baju tidur ini. Pikirku.

Aku menuju ruang tamu dan melihat bungkus pizza dimeja. Kubuka dan bisa kulihat beberapa slice pizza tersisa. Kuambil satu dan mulai makan malam.

Aku menuju pintu dan menguncinya.
Untung si-mata-keranjang meninggalkan kunci pintu mess, pikirku.

Kuteringat koleksi buku bacaan si-mata-keranjang.

Aku beranjak menuju lemari bukunya dengan koleksi yang cukup aneh. Karena berjejer buku detektif seperti Sherlock Holmes karya Sir Arthur Conan Doyle, seri Poirot-nya Agatha Christie, namun ada juga Novel Harlequin juga serta beberapa komik Detective Conan dan Dragon Ball.

Koleksi yang aneh!

Aku ambil sebuah novel Harlequin, sepotong pizza dan mulai menikmati keduanya di sofa ruang tamu.
Lima belas menit berlalu dan paduan antara kekenyangan dan membaca buku membuat mataku mengantuk.
Aku hanya bertahan lima menit lagi sebelum terbang kealam mimpi…


Aku merasa geli di puting payudaraku.

Dan pelan rasa itu berpindah ke bawah, menyusuri lekukan perutku, berpindah kedaerah dalam paha…

Rasa geli itu kemudian berganti rasa hangat basah ketika mendekati belahan vaginaku.

Pelan tapi pasti, rasa itu mendekati bagian sensitif di vaginaku.

Please..

Daerah itu…

Namun seolah tak mau mengerti, rasa hangat dan basah itu hanya memainkan bagian luar vaginaku dan sesekali beralih ke bagian perut dan bermain-main ke paha bagian dalam.

Pelan tapi pasti api birahi mulai menggelitik kedalam diriku, vaginaku terasa semakin lembab.
Rasa hangat dan basah itu kembali menuju ke vaginaku dan berlama-lama di bibir luar vaginaku yang terasa begitu sensitif sekarang.

Please.

Sekarang rasa itu dengan lembut mencium daerah sensitif dilipatan atas vaginaku.

Rasa gatal yang sedari tadi ada semakin memuncak!

Perasaan nikmat mulai menjalar kesetiap bagian saraf ditubuhku sebelum rasanya berkumpul didaerah klitoris yang kurasakan mulai membesar.

Rasa gatal didinding vaginaku semakin menjadi.

Kugerakkan pahaku supaya klitorisku bisa bergesekan dan akhirnya rasa itu tak bisa kutahan.



“Hah..hah..hah” Aku terbangun dengan nanar.

Antara sadar dan tidak kuraba badanku.

Pakaianku masih menempel di badan.

Apakah yang tadi mimpi? Pikirku.

Kalau mimpi kenapa terasa begitu intens?

Kuraba bagian bawah tubuhku dan bisa kurasakan vaginaku terasa basah.

Apakah aku mimpi basah?

Setelah sekian lama?

Dengan kepala sedikit pening, api birahi yang masih tersisa aku beranjak menuju beranda. Namun sebelum sampai beranda aku dengar suara desisan pelan yang bercampur dengan suara air yang mengalir dari kamar mandi.

Apa Lisa masih mandi?

Dengan perlahan aku menuju kamar tidur lalu dengan sedikit berjingkat aku melangkah kekamar mandi. Suara itu perlahan semakin keras terdengar.

“Ughhtt..ahh”

“Nggguunnngggg”

Suara desahan bercampur dengan suara dengungan mekanik terdengar dari balik pintu kamar mandi.

Aku teringat dengan dua buah benda yang terjatuh dari handuk Lisa dan seketika aku mengerti apa yang ada dibalik pintu itu.

Dengan wajah memanas aku melangkah keluar dari kamar dan berjalan keberanda.

Dinginnya malam pertama di ibukota negara ini menyambutku.

Bisa kulihat lampu-lampu dari gedung-gedung seperti ribuan kunang-kunang yang menghiasi malam.
Aku duduk disalah satu kursi yang ada diberanda. Dari sini aku bisa melihat bangunan perusahaan G-Team.

Apakah si-mata-keranjang ada dibawah? Pikirku.

Aduh!

Kenapa malah aku berpikir tentang dia?!

Pasti gara-gara novel harlequin yang aku baca tadi.

Mbak Lidya, mbak” Samar aku dengar suara Lisa dari kamar mandi.

“Iya Lis” Sahutku sambil melangkah kekamar mandi.

“Bisa ambilin handuknya mbak? ” Kata Lisa dari pintu kamar mandi yang setengah terbuka.

“Iya Lis” Kataku sambil mengambil handuk yang tadi kuletakkan di dekat ruag tamu.

“Ini Lis” Kataku sambil menyerahkan handuk kearah Lisa yang telanjang.

Iya, telanjang bulat.

Kuamati tubuh sekretarisku ini.

Mungil.

Hanya itu definisi yang bisa aku dapatkan untuk dirinya.

Payudaranya mungil, mungkin hanya sebesar buah apel. Namun membulat dengan indah dan terlihat begitu indah menggantung di dadanya.
Kulihat kebawah dah..

Woww…

Bisa kulihat rambut kemaluannya dicukur rapi, sangat indah.

“Wah, badanmu juga bagus sekali Lis” Pujiku dengan jujur.

“Ah, masih bagusan punya mbak kok…Eh, jangan lama-lama diliatin mbak, nanti kepengen lho,hihihihi” Lanjutnya jahil.

“Yeee,,,, sapa juga” Elakku sambil melangkah keluar dari kamar mandi.

Kembali aku menuju keruang tamu, kuambil novel yang tergeletak disamping sofa dan melanjutkan membaca.

“Baca apa mbak?” Tanya Lisa.

Kulihat dia mengenakan kimono tipis berwarna putih.

“Novel Harlequin Lis, koleksinya si-mata-keranjang” Jawabku.

“Hah, Harlequin? Gak salah tuh mbak?” Katanya sambil duduk disampingku dan menyalakan televisi.

“Iya, koleksi antara detektif dan romantis, entah punya dia atau siapa” Jawabku.

“Mungkin punya pacarnya kali mbak” Jawab Lisa.

Pacar?

Entah kenapa bayangan si-mata-keranjang bersama seorang wanita membuatku sedikit merasa aneh.

“Gimana kontraknya tadi Lis?” Tanyaku, mengalihkan pikiranku dari si-mata-keranjang.

“Sudah selesai bahasnya mbak, tinggal mbak baca ulang nanti, ada beberpa poin yang aku minta sedikit diubah, kalau sudah selesai diubah Mas Frans, mungkin
besok bisa ditandatangani mbak” Sahutnya.

“Bagus deh kalau begitu, berarti besok kita sudah bisa fokus memulai proyeknya” Jawabku.

“Untuk besok, tranportasi rekan-rekan sudah kamu siapkan Lis?”

“Sudah mbak, besok pagi-pagi mereka akan berangkat kesini“ Terang Lisa.

Kami lanjut membaca dan menonton dalam diam.

Hampir satu jam lamanya sebelum Lisa mematikan TV dan beranjak menuju kamar.

“Aku tidur duluan ya mbak, gak ada acara yang bagus” Katanya

“Iya Lis, mbak juga mau istrahat nanti, masih nanggung baca ini”

“Duluan ya mbak” Katanya sambil melangkah ke kamar tidur.

Aku lanjutkan membaca novel sampai selesai.

“Huahmmm…HUffttt, hari yang melelahkan”

Kuletakkan novel yang baru selesai aku baca ditempatnya.

Lumayan banyak juga koleksi si-mata-keranjang. Pikirku sambil mematikan lampu diruangan tamu.

Waktunya istirahat.

Kulihat diranjang Lisa meringkuk sambil memeluk guling.

Kimono yang melekat ditubuhnya tersingkap kemana-mana, sehingga memperlihatkan lekuk tubuh mungilnya.

Mungil dan cantik.

Paduan yang akan membuat setiap laki-laki menolah kepadanya.

Dari belakang bisa kulihat vagina merah mudanya terpangpang karena empunya sedang memeluk guling.

Sebagai wanita pun aku merasa bergairah melihat vaginanya. Apalagi pria!

Membayangkan dia bercinta dengan seorang gadis membuatku tercekat.

Apa benar dia biseksual?

Pikirku sambil mengambil tempat disebelahnya.

Perlahan kupejamkan mata dan menuju kealam mimpi.



Lagi!

Rasa itu datang lagi.

Sekarang rasanya semakin intens!

Perlahan rasa itu menuju ke putingku, bermain-main disana.

Turun menuju perutku dan bermain-main sebentar dipusarku. Kemudian rasa hangat itu berganti menjadi basah ketika turun kepaha bagian dalamku, sebelum berlabuh di vagina.

Pelan.

Sungguh pelan.

Hangat dan basah.

Rasa itu bermain-main di bibir vaginaku, sesekali bisa kurasakan perasaan hangat pelan dibagian klitoris.

Nikmat.

Sungguh Nikmat.

Pelan tapi pasti perasaan nikmat itu berkumpul menjadi satu.

Tapi..

Rasa itu berhenti ketika sedetik lagi aku mendapat puncak kenikmatan itu!

“Hah..hah...hah....“ Dengan terengah aku bangun.

Orgasme yang tertunda ini membuat seluruh tubuhku dilanda nafsu birahi yang tinggi.

Kulirik kebawah dan dua buah mata yang penuh gairah balik memandangku.

Lisa!


“Lis...kita..ufggtt“ Suaraku dihentikan dengan ciuman pelannya ke bagian atas vaginaku.

Aku berusaha mencegah kepalanya menciumi bagian intimku.

Tapi itu terlalu lemah.

Sangat lemah.

“Hhhmmpp… Lis…sstt…hhmmpp…”, desisku.

Lisa terus mencium bagian atas vaginaku dengan hangat. Jari-jari Lisa yang lentik bermain menyusuri paha bagian dalamku. Sentuhan Lisa lembut, namun begitu terasa. Hal itu membuat gairahku naik dengan cepat.

Tak kupedulikan lagi rasa malu yang tadi sempat timbul dalam benakku.

Tak kupedulikan lagi aku melakukannya dengan seorang wanita!

Semua itu kulupakan. Rasa malu itu. Kini berganti dengan tuntutan naluri alamai seorang wanita yang menginginkan kepuasan seksual.

Tanganku yang tadi berusaha menjauhkan kepalanya, malah berusaha mendekatkan kepalanya ke vaginaku.

“Lis… mmmm….aahhhh……”, desisku saat Lisa kembali memainkan lidah dan bibirnya dengan lebih cepat. Permainan Lisa benar-benar memberikan kenikmatan yang lain buatku. Sembari tangan kanannya membelai paha dalamku, lidahnya dengan ahli menjilati vagina dan klitorisku yang mulai membengkak. Kulihat tangan kirinya diselipkan kebagian bawah perutnya.

Lisa menjilati vaginaku sambil bermasturbasi!

Permainan lidah Lisa kali ini benar-benar memberiku kenikmatan yang lain. Lisa seakan-akan tahu bagian dari vaginaku yang perlu dimainkan dan kapan memainkannya. Mungkin karena Lisa juga seorang wanita hingga ia tahu persis apa yang kuinginkan.

Kupandangi wajah Lisa yang juga kelihatan begitu menikmati keadaan ini. Gadis cantik bertubuh mungil ini begitu telaten mencium vaginaku.

“Sllurrpp…..mmm…..”, Lisa masih terus asyik bermain di vaginaku.

Hingga aku merasa puncak kenikmatanku sudah semakin dekat.

“Aaaagghh…. Lisa… mbak …..aahhhhh……” Jeritku ketika kenikmatan ini mulai mendekati puncaknya.

“Ehmm.. iya mbak?“ Sahut Lisa dengan nakal sambil menajuhkan mulutnya dari vaginaku.

Tangannya kemudia membuka tali kimononya sehingga terpangpanglah tubuh mungil dan seksinya. Aku hanya dapat menelan ludah menunggu apa yang akan dilakukannya.

Malu.

Aku malu untuk memintanya melakukan apa yang sedari tadi dilakukannya padaku.

“Hmmm,,, mbak,, lanjut?“ Tanyanya dengan pelan.

Aku terlalu malu untuk menjawab.

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku sambil memandang kebawah.

Dengan pelan Lisa menghampiri tubuhku.

Tangannya mengangkat paha kananku dan meletakkannya diatas paha kirinya. Sementara paha kanannya diletakkan diantara perut dan kaki kiriku. Perlahan dia mendekatkan pantatnya mendekati bagian bawah tubuhku.



“Ahhhhhh, Liss....“ Seruku ketika vagina kami bertemu.

Hangat dan basah....

“Ehmmmm mbak... “Serunya tertahan.

“Mbak, tangannya mbak“ Pintanya sambil mengulurkan tangan.

Kusambut tangan mungil Lisa dan menggenggamnya erat.

Scissor position.

Pikirku mengingat nama posisi seperti ini.

“Mbak gerakin sama-sama ya“ Pinta Lisa dengan wajah memerah menahan nafsu.

Kujawab pertanyaan Lisa dengan menggerakan pantatku sehingga otomatis vagina kami bergesekan.

“Ahhhh....Lis“
“Mmm...mbak“

Aku menggerakkan vaginaku lebih cepat. Yang dijawab dengan desahan nikmat dari Lisa.

Peluh mulai mengalir dari tubuhku seperti menjelaskan betapa panasnya persetubuhan sesama jenis yang kami lakukan.

“Mbak.hah...hah..hah...lebih cepat, Lisa mau nyampe...“ Kata Lisa bercampur dengan desahannya yang semakin keras.

Aku juga merasakan orgasmeku yang tertunda mulai datang lagi. Kami menggerakkan pantat kami dengan liar, seolah berlomba mendaki puncak kenikmatan.

“Lis… mmmm….aahhhh……cepertin Lis!”Pintaku sambil juga mempercepat goyangan pantatku.

Lisa mulai bergerak tak karuan, pantatnya bergerak dengan liar, puncak kenikmatanku juga semakin dekat.

“Aaaagghh…. Lisa… aku uggh…dapet…..aahhhhh……”, jeritku saat orgasme itu datang.

Tanganku menggengam tangan Lisa dengan erat sementara pantatku terangkat keatas.

“Hhmmpp…hhmmmppp…..Lisa juga mbak..aaggghhhhhh” Jerit Lisa dengan keras.

Kami ambruk dengan nafas yang tidak beraturan.

“Hah..hah..hah…”

“Hahh..hahh…hah”

Suara nafas kami bersahutan di pagi hari ini.

Aku memandang wajah Lisa yang dipenuhi dengan titik-titik keringat.

Lisa balik memandangku dan tersenyum.

“Wah, mbak hot banget pas dapet,hihihi“ Kata Lisa sambil tertawa ringan.

“Tau gini dari dulu aku ngajak mbak main” Lanjutnya sambil nyengir dengan lebar.

“Jangan kapok ntar ya mbak” Lanjutnya tanpa memberikan waktu bicara kepadaku.

“Lis…” Ragu aku untuk mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.

“Iya mbak?”

“Aku juga suka cewek lho”.


 Chapter 9: Project: START.

-------------------------------
“Ibu….” Hanya itu yang bisa aku katakan ketika lelaki itu menarikku.
Kulihat air mata mengalir dari mata beningnya ketika mobil kami perlahan menjauh.
“Ibu...ibuu... aku gak mau pergi, aku mau ibu,huhuhu...“ Ratapku kepada lelaki yang menarikku tadi.
“Sudahlah nak, tak ada gunanya kau menangisi ibumu, mulai saat ini kami keluargamu“ Kata seorang wanita cantik yang duduk didepanku.
“Ini untukmu...“ Katanya seraya memberikan sebatang coklat padaku.
Wajahnya yang cantik dengan pakaian sederhana.
Aku ragu.
“Tidak usah ragu, ini ada temanmu“ Katanya seraya menunjuk seorang anak kecil.
Anak kecil dengan mata hitam dan lesung pipit dipipinya.
--------------------------------
Andri POV
“Huaaaaaaahhhmmmmmmm” Dengan malas kurentangkan tangan di apartemen.

Iya, apartemenku.

Aku belum sempat membawa perlengkapanku kemessnya Frans. Jadinya untuk sementara aku tetap tinggal diapartemen.

Kulihat keluar dari sela-sela jendela dan matahari belum menampakkan dirinya. Belum ada sinarnya yang biasanya membangunkanku dari tidur. Dengan malas aku bangun dan duduk diranjang.

Kuingat percakapanku kemarin dengan Frans.



“Gimana kontraknya Frans?” Tanyaku ketika baru saja aku melangkah dari messnya si-celana-dalam-putih.

“Sudah beres boss, cuma ada beberapa revisi kecil saja, nanti kucek sama Edy, mungkin besok sudah bisa ditandatangani.”

Good, besok setelah meeting aku mau ke Semarang Frans” Terangku.

“Ngapain Ndrii?

“Mau ngecek lokasi pabrik, alur produksi dan sistem kerja disana, biar kita punya data untuk sistem yang akan kita buat”

“Sama siapa? Mbak Lidya?” Tanya Frans sambil tersenyum penuh arti.

“Belum tahu, mungkin aku akan tanya dia besok, ngapain lu senyum-senyum?” Kataku heran melihat Frans tersenyum dari tadi.

“Hehehe… ada aja boss, kalau pergi jangan ajak Lisa ya?” Katanya lagi.

“Sialan lu, ada mulus sedikit aja lu embat” Kataku sambil menekan tombol lift.

“Eh, mau ke mess apa ke kantor lu Frans?”

“Kantor aja boss, kerjain ini dulu” Katanya sambil menunjukkan map kontrak kami dengan Delta Company.

Aku menekan tombol kelantai satu.

“Ehhhh,,, Lisa jadi target lu Frans? ” Tanyaku.

“Hehehe,,, kayaknya boss” Jawabnya sambil nyengir.

Roger that, be professional saja nanti” Lanjutku.

Roger that” Jawab Frans.

Kami berjalan dalam diam sampai di lobi.

“Frans aku mau pulang lebih awal hari ini. Besok biar bisa fit kalau jadi berangkat ke Semarang.”

“Siippp boss, nanti aku sms atau telepon kalau ada something urgent” Kata Frans sambil melangkah kekantornya.

Huffttt,,, hari yang melelahkan.

Pikirku sambil melangkah menuju basement.

Kuambil mobilku dan menuju ke apartemen.
Sesampainya di apartemen aku langsung menuju keparkir. Kubuka pintu mobil ketika sebuah tas mungil terlihat teronggok di tempat duduk belakang.

Dengan penasaran kuambil tas itu dan kulihat isinya.

Sebuah celana dalam putih mini dan sebuah bra putih!

Dengan penasaran kulihat size di bra itu.

32 B

Tidak terlalu kecil juga pikirku.

Pasti milik si-celana-dalam-putih yang baru dibeli tadi pikirku sambil melangkah masuk kedalam mobil untuk mengantar tas ini kemessnya.

Tunggu dulu.

Kalau tidak kuantar sekarang, berarti besok pagi dia gak punya ganti?

Beberapa pikiran mesum melintas diotakku yang sayangnya terisi dengan sel-sel abu-abu yang ditakdirkan mesum.
Tapi kalau tidak kuantar, mungkin dia tidak bisa ikut rapat!
Antar sekarang saja pikirku.

Tunggu dulu!

Kalau kuantar besok pagi, ada kemungkinan melihatnya dalam keadaan baru bangun!

Dan seperti biasa, keinginan buruk-baca mesum-ku menang.

Kuantar besok pagi-pagi sekali pikirku sambil berbalik menuju apartemenku.



Senyum tak kuasa menghiasi wajahku ketika membayangkan kejadian kemarin. Kulirik kemeja dan terlihat tas yang kemarin aku ambil dari jok belakang mobil.

Dengan senyum dibibir akau menuju kamar mandi dan memulai rutinitas pagi hari ini.

Pukul tujuh kurang aku berangkat menuju kantor dengan tas mungil dijok samping tempat dudukku. Pemikiran melihat si-celana-dalam-putih tanpa makeup dan mukanya dipagi hari membuatku bersemangat. Tak terasa aku sudah sampai di kantor. Kuparkir mobil dibasement dan menuju kemess si-celana-dalam-putih.

Aku ketuk pintu mess si-celana-dalam-putih dengan sedikit berdebar-debar membayangkan penampilan si-celana-dalam-putih atau si-mungil dipagi hari.

“Tok.tok.tok..”

Kutunggu sebentar namun belum juga ada jawaban. Kuketuk pintunya, kali ini dengan lebih keras.

“Tokkk..tokkk..tokkk..”

“Tokkk..tokkk..tokkk..”.

Krieetttt…..

Pintu terbuka dengan pelan.
Pemandangan didepanku membuatku terperangah.

Si-celana-dalam-putih!

Dengan rambut basah yang tergerai bebas dipundaknya. Tangannya masih menyeka sebagian rambutnya yang basah. Badannya terbungkus oleh selimut!

Selimut?

Dan…

Oh shit!

Dan belahan dadanya mengintip dengan malu-malu dari bagian atas selimut yang tidak secara sempurna melilit tubuhnya.

Untuk kesekian kalinya aku menelan ludah melihat penampilannya.



Kulihat matanya dan sepeti biasa pandangan marah dan malu terlihat disana.

“Mbak,.. Eh... Cuma mau nganter ini“ Kataku sambil menunjuk ke tas kecil yang kubawa.

Sejenak kulihat ekspresi bingung dimatanya sebelum berganti dengan ekspresi malu.

Wajahnya perlahan merona merah.

“Eh, makasi mas, tapi...“ Dia melihat kebelakang dan kearahku. Kurasa dia bingung mau menyilahkanku masuk atau tidak.

“Silahkan masuk dulu mas“ Katanya, ragu.

“Gak usah mbak, saya mau ke kantor dulu, siapin bahan presentasi buat nanti“ Sahutku sambil tersenyum.

Sopan santun oh sopan santun.

“Mari mbak“ Lanjutku sambil berjalan menuju lift.

Kutarik nafas dalam-dalam sambil berjalan.

Moment yang bagus untuk mengawali hari, pikirku.

Lidya POV.

Lagi.

Lagi dan lagi.

Kenapa si-mata-keranjang selalu berada disaat yang tidak tepat. Dengan melihat atau membawa sesuatu yang memalukan. Kenangku mengingat dari awal pertemuan kami begitu banyak kejadian yang ‘memalukan’ terjadi.

Pandangan matanya tadi membuatku merinding. Seperti pandangan mata pemangsa melihat hewan buruannya.

“Hihihi, ngapain mbak pake selimut?” Tegur Lisa dari belakangku.

Kuberbalik dan melihat Lisa yang telanjang. Tubuhnya terlihat segar sehabis mandi.

“Ada tamu tadi Lis“ Kataku sambil meletakkan tas pakain dalamku dimeja dan membuka selimut yang membungkus tubuhku.

“Siapa mbak?“ Tanya Lisa sambil mengoleskan lotion di badannya.

“Si-mata-keranjang“ jawabku pendek.

“Ngapain dia kesini pagi-pagi mbak?“ Tanya Lisa sambil tersenyum jahil. Tangannya masih sibuk mengoleskan lotion ke seluruh badannya.

“Eh, bawain pakain dalam mbak yang mbak beli kemarin dengannya, ketinggalan di mobilnya“ Sahutku dengan sedikit pelan.

“Hah? Hahaha, pasti ngiler dia dengan pilihan pakain dalam mbak, berani taruhan dia dah tahu size mbak sekarang, hahaha“ Tawa lepas Lisa tak urung membuatku malu.

Benar juga!

Sialan, dia pasti tertawa melihat ukuran dadaku.

Dengan refleks aku melihat dadaku yang tidak terlalu besar.

“Hihihi, dada mbak bagus kok, dia pasti ngiler kalau tahu gimana bagusnya tubuh mbak“ Puji Lisa sambil memandangku penuh arti.

Kupandangi Lisa yang sedang berdiri.

Kupandangi bagian bawah tubuhnya yang tadi memberikan kenikmatan bagiku.

“Eh, kamu punya tatto Lis?“ Seruku melihat tatto mungil di bagian atas vaginanya.

“Hihihi,, iya mbak, iseng dulu“ Katanya sambil memakai sebuah G-string berwarna merah menyala.

Seksi.

Dipadu dengan bra putih. Lisa masih terlihat seperti anak SMA saja.

“Mbak, di kulkas ada roti tawar, kayanya G-Team nyediain buat kita yang kelaparan“ Seru Lisa.

“Mbak ambil dulu ya“ Kataku sambil mengambil sarapan kami hari itu.

Masih telanjang tentu saja.

“Teman-teman dah diperjalanan mbak, mungkin lagi setengah jam sudah nyampe“ Kata Lisa ketika kami sarapan.

“Berarti kita bisa langsung meeting dengan G-Team nanti, sekalian bagi tugas“ Kataku.

“Oh iya mbak, siapa yang akan melihat proses produksi dan meninjau pabrik Alfa Medika“

“Mbak belum tau Lis, rasanya antara mbak dan si-mata-keranjang“ Jawabku. Aku membawa perlengkapan sarapan kami dan mulai memakai pakain.

Kupakai celana dalam putih mini yang baru aku beli. Terlihat pas ditubuhku, menutup dengan sempurna vaginaku.

Bra yang kubeli dengan terburu-buru pun terasa pas didadaku.

Blouse dan rok sebagai pakaian kerja hari ini pun kupakai.

Kuperhatikan Lisa, dia mengenakan pakain yang hampir sama denganku, cuma bedanya dia mengenakan rok mini yang beberapa cm diatas lutut.

“Dah siap Lis? Mbak mau berangkat sekarang?“ Ujarku.

“Oke, ayo mbak“.

Andri POV.

Bayangan si-celana-dalam-putih masih menghantuiku sampai diruanganku.

Huft...

Lets begin!

“Lin, bisa bawakan schedule untuk hari ini?“ Pintaku pada Erlina via telepon.

“Iya pak, saya antar sekarang keruangan bapak“ Katanya.

“Ada perlu yang lain pak?“ Lanjutnya.

“Tidak Lin, itu saja“ Sahutku sambil meletakkan telepon.

“Pak ini schedule hari ini dan dua hari kedepan“ Kata Erlina sambil menyerahkan sebuah map.

Kuterima map yang diberikan Erlina dan mulai membacanya.

“Well, tidak ada kegiatan yang mndesak untuk besok dan lagi dua hari?“ Kataku setelah selesai membaca schedule yang diberikan Erlina.

“Tidak ada pak“ Sahut Erlina.

“Mungkin aku besok dan lusa mau ke Semarang Lin, lihat pabrik dari Alfa Medika“ Terangku pada Erlina.
“Kalau ada meeting atau hal lain, pindahkan ke hari yang lain ya?“

“Baik pak, kalau tidak ada lagi saya balik dulu pak“ Tanyanya.

“Gak ada Lin, thanks ya“.

Hmmm, sekarang saatnya menghubungi Raisa, pikirku.

Kulihat kartu nama Raisa sebentar :

Raisa Firmansyah
Sekretaris
Email : raisa@alfamedika.com
Mobile : 0123 4567 8911

Kuketik sebuah sms kepadanya.
To : Raisa Firmansyah
Is, nanti siang bisa kepabrik? Sorry pemberitahuannya mendadak.
Thanks,
Andri
Beberapa menit kemudian, sebuah sms masuk.

From : Raisa Firmansyah
Bisa mas, cuma lokasinya agak jauh mas, kalau satu hari mungkin kurang cukup waktunya, mau nginep mas?
Raisa
Hmmm, kalau pakai pesawat mungkin bisa sampai Semarang sebelum malam. Tapi kalau sekalian ngetes jalur tranportasinya, sekitar 8 jam perlu waktu lewat darat.

Dan tawaran menginap dari Raisa rasanya sayang untuk dilewatkan.

To : Raisa Firmansyah
Kalau pakai mobil bagaimana Is? Sekalian aku mau ngetes rute tranportasi dari Jakarta-Semarang dan sebaliknya. Tapi kalau Is keberatan, Is berangkat lewat udara, aku lewat darat. Gimana?
Thanks,
Andri
Kalau sendirian, lumayan juga kalau harus ke Semarang.
Hmm, kalau si-celana-dalam-putih mau bareng gak ya?

From : Raisa Firmansyah
Lewat darat aja mas, sekalian lihat pemandangan. Mas sendirian aja ne?
Jam berapa mau berangkat mas?
Raisa
Not bad.

Berduaan dengan Raisa, dalam satu mobil!

To : Raisa Firmansyah
Berdua sama Is saja. Hmm,, mas masih ada rapat hari ini. Nanti mas hubungi? Bagaimana?
Thanks,
Andri
From : Raisa Firmansyah
Oke mas, jangan lama-lama rapatnya ya..
Raisa
Oke, satu masalah selesai. Sekarang persiapan rapat dengan Delta Company.

Tapi apakah tim mereka sudah datang? Jam di handphoneku sudah menunjukkan pukul 09.00

“Tok.tok.tok“

Terdengar ketukan dipintu.

“Masuk“

“Pagi Ndrii“ Sapa Edy sambil tersenyum

“Pagi Dy, duduk dulu“ Sahutku sambil menunjuk ke kursi didepan meja kerjaku.

“Kudengar dari Frans, kontrak kita dengan Delta Company sudah hampir rampung, dia masih keruangannya tadi, ngambil map“ Terangnya.

“Dan dari pandanganku, kontrak itu sudah beres“ Lanjutnya.

“Baguslah Dy, kalau itu sudah selesai kita bisa mulai mengerjakan proyek ini. Oh ia, mungkin sore ini aku berangkat ke Semarang, mau ngetes jarak tranportasi dari sini kepabrik Alfa Medika “

“Sama siapa berangkat Ndri?“ Tanya Edy.

“Sendiri, mungkin nanti sama sekretaris Pak Tony“ Jawabku.

“Kring...kring...kring“ Telepon dimejaku berbunyi.

“Halo, selamat pagi“.

“Selamat pagi pak, Ini Erlina, ada telepon dari Frida di Front Office“

“Sambungkan Lin“

Hening sejenak sebelum terdengar suara Frida di telepon.

“Selamat pagi pak, tim dari Delta Company sudah datang, bagaimana pak?“

“Minta security dan CS untuk membantu menurunkan barang mereka, aku turun sekarang“.

“Baik pak“ Jawab Frida sambil menutup telepon.

“Dy, aku kebawah dulu ya”

“Oke Ndrii, aku tunggu diruang rapat” Sahut Edy sambil berjalan menuju ruang rapat.

“Lin, siapin ruang rapat ya, konsumsi untuk rapat sekarang sudah ada?” Tanyaku pada Erlina.

“Sudah pak, saya cek lagi sekarang pak?”

“Iya, tolong ya Lin”

Aku berjalan menuju lobi, disana kulihat si-celana-dalam-putih dan si-mungil sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang, yang kuduga, anggota dari Delta Company.

“Mas, bisa langsung bawa barang-barang nya ke mess?” Tanya si-mungil, sebelum aku bisa menyapa mereka.

“Boleh Mbak, barang-barang pribadi bisa langsung dibawa ke mess, kalau perlengkapan komputer dan yang lain,
bisa langsung dibawa ke ruang kerja“

“Sebentar mbak“ Kataku sambil mendekat ke lobi.

“Frid, minta Guzur dan tim kesini, bilang teman-teman dari Delta Company sudah datang, biar dia bisa bantu
setting perlengkapan untuk mereka“ Pintaku pada Frida.

“Baik pak“ Jawab Frida sebelum mengambil pesawat telepon.

Kulihat tim security dan cleaning service sudah berada diparkiran.

“Rekan-rekan semua, tolong bantu bawa barang mereka kemess dulu ya, nanti tunggu komando pak Guzur untuk perlengkapan komputernya.” Pintaku pada staff security dan cleaning service.

Hampir satu jam lamanya kami perlu waktu untuk memindahkan semua perlengkapan tim Delta.
Hari sudah beranjak siang dan panas mentari sudah semakin terasa.

Kulihat si-celana-dalam-putih sedikit berkeringat, rambut-rambut halus menempel didahinya.

Kutahan keinginan kuat untuk mengusap rambut-rambut itu.

Kuhampiri si-celana-dalam-putih yang sedang berbincang dengan si-mungil.

“Mbak Lidya, mau keruangan rapat sekarang sakalian beristirahat atau bagaimana?“

“Boleh mas“ Sahutnya sambil menyeka keringat didahinya.

“Kalau begitu mari mbak“ Ajakku sambil menuju keruangan rapat.

Sesampai diruang rapat, kulihat Edy dan Frans sudah ada disana. Juga Erlina, dan semua kepala bagian masing-masing.

“Teman-teman dari Delta, silahkan istirahat dulu, kita mulai meeting 30menit lagi” Terangku pada semuanya.

“Mbak Lidya, bisa keluar sebentar?” Pintaku yang dijawab dengan pandangan bingung darinya.

Tapi dengan perlahan dia mengikutiku keluar.

“Mbak, aku nanti siang atau sore mau ke Semarang, ke pabriknya Alfa Medika, mbak yang handle disini sementara aku pergi ya?“

“Hmmm, boleh mas, tapi tim yang lain bagaimana?“

“Timku nanti dihandle Edy, untuk setiap bagian nanti ada kepala bagian masing-masing yang bisa bekerja secara terpisah atau dalam satu tim” Terangku.

“Untuk tim kerja, bagaiamana kalau kita serahkan kepada rekan-rekan saja? Biar mereka yang menentukan bagaimana baiknya. Biar tidak tertekan nanti”.

“Kalau itu tidak bisa, kita tentukan bagaiamana cara kerja mereka nanti” Lanjutku.

“Hmm, rasanya bisa, kalau tidak bisa, aku yang handle nanti?” Jawab si-celana-dalam-putih.

“Boleh juga mbak, kalau begitu deal, nanti kita jelaskan semua kepada mereka”

“Oke mas, ayo kita masuk dulu” Katanya, seolah takut berduaan denganku.

“Mari mbak” Sahutku sambil mengikutinya dari belakang.

And well, pantat itu masih terlihat menantang!

Satu jam kemudian…

“Jadi untuk rapat hari ini kita akhiri sampai disini, dari sekarang, proyek ini akan saya dan Mbak Lidya handle bersama, dibantu Pak Edy, Frans dan Mbak Lisa, kalau ada pertanyaan atau keluhan, jangan ragu menyampaikannya, sekarang saatnya untuk makan siang” Tutupku mengakhiri rapat hari ini.

“Lin, antar teman-teman ke kantin ya”

“Baik pak“ Sahut Erlina.

Sekarang hanya tersisa aku, Frans, Edy, si-celana-dalam-putih dan si-mungil.

“Seperti pembicaraan kita sebelumnya, Mbak Lidya nanti handle disini selama aku berangkat ke Semarang, kalau perlu bantuan ada Edy Dan Frans yang bisa membantu“ Kataku sambil menoleh kearah si-celana-dalam-putih, yang dijawab dengan anggukan kepalanya.

“Kalau begitu, saatnya makan siang“ Dan kami semuapun menuju kantin dengan Edy sebagai penunjuk jalan.
Kudekati Frans dan bertanya.

“Frans, pinjam mobilmu ya, buat ke Semarang nanti, hujan-hujan biar aman dijalan“

“Beres boss, yang penting pulang isi bensin full ya” Cengirnya.

“Eh, bersihin dulu, masih ada perlengkapan camping adikku disana” Lanjutnya.

“Iya-iya” sahutku sambil berjalan.

Kulihat kantin masih full.
Hanya dua meja yang kosong, itupun disatu meja sudah ada Guzur yang menempati.


It’s lunch time.

Ku mengantri dibelakang si-celana-dalam-putih.

Sengaja..

Dan hasilnya segera, dimana aku bisa melihat dengan jelas pantat sekalnya yang sedari awal sudah menggodaku.

Selesai mendapatkan porsi makan siang hari ini, aku mencari-cari meja yang kosong. Dan kulihat hanya satu meja yang kosong.

And well, it’s my lucky day.

Si-celana-dalam-putih yang duduk disana.


 Chapter 10: TRIP To SEMARANG
Part 1

---------------------------------------------
Hari berganti.
Minggu terlewati.
Bulan datang silih berganti.
Tahunpun menghampiri.
Hampir setahun sejak terakhir aku melihat ibu.
Rinduku kepadanya perlahan terobati dengan kehadiran si gadis kecil berlesung pipit.
Sedari awal dia telah menghiasi hari-hariku disini. Ditengah kerasnya latihan. Ditengah keramaian ini.
Gadis kecilku yang setia menemani.
Gadis kecilku.
---------------------------------------------
Andri POV.

Huft, makan siang yang kaku.

Pikirku ketika menuju basement. Ketempat mobil jeep frans terparkir.

Kami hanya makan dalam diam walaupun sekali-kali aku mencuri lihat belahan yang mengintip di sela-sela blouse yang digunakannya.

Selalu, yang kelihatan sedikit lebih menarik dari full.

Sampai di parkir kulihat mobil Frans terparkir di sebelah mobil ku.

Well, mobil yang sesuai untuk medan yang sulit sekalipun.

Wrangler Rubicon!


Hmmmm, nyaman juga, ketika kududuk dikursi pengemudi.

Dibelakang terlihat lapang karena Frans memodifikasinya. Jok dihilangkan sehingga terhampar satu ruangan yang cukup luas. Sedangkan dibagian atap, terpasang semacam atap yang bisa ditarik kesamping. Sehingga mobil ini bisa dikatakan seperti sebuah mini tent.

Perlengkapan camping terhampar disudut. Bersama beberapa bungkus mie instant dan smart stove. Terdapat sebuah kasur matras tipis yang menjadi alas.

Wah, lengkap juga peralatannya.
Boleh nih dipinjam sekali-kali.

Drrrtttt...drtttttt

Sebuah sms masuk ke handphoneku
From : Raisa Firmansyah
Jadi mas?
Raisa
Sambil tersenyum kubalas smsnya :

To : Raisa Firmansyah
Jadi Is, aku kesana 1 jam lagi, bisa?
Andri
Beberapa detik kemudian ada balasan darinya.

From : Raisa Firmansyah
Oke mas, jemput aku dikantor ya.
Raisa
Well, perlu ambil beberapa perlengkapan dan pakaian untuk ke Semarang nanti. Dan tentu saja perlengkapan untuk mengambil gambar serta video di Semarang nanti.

Hmmm, pakai google map untuk pemetaan lokasi kesana secara langsung. Jadi perlu bawa powerbank dan embel-embelnya.

Oke, dan sedikit cemilan selama diperjalanan!

Eh,, mungkin ide bagus membawa beberapa perlengkapan “extra” buat Raisa nanti….
Limabelas menit lebih yang kuperlukan untuk mempersiapkan semuanya.

Time to go.



Matahari siang ini tampaknya harus meyerah kepada sang awan yang sedari pagi mulai bergerilya menutupi sinarnya. Kota Jakarta yang biasanya selalu identik dengan panas, hari ini sedikit berubah. Bahkan rintik hujan mulai jatuh ketika aku menuju ke lobi dari Alfa Medika.

Di bagian resepsionis aku berhenti.

“Mbak, saya ada janji dengan Mbak Raisa, bisa bertemu dengan beliau“ Tanyaku ke mbak yang berjaga di resepsionis.

“Maaf pak, dengan siapa saya berbicara?“

“Dengan Andri, dari G-Team“

“Tunggu sebentar ya pak“ Sahut si resepsionis sambil mengambil pesawat telepon.

“Selamat siang mbak, ada Pak Andri dari G-Team ingin bertemu“ Kata si resepsionis di telepon.

“Baik mbak, iya mbak“

“Pak, silahkan duduk dulu ya, Mbak Raisa sedang dalam perjalanan kesini“ Katanya sambil menunjuk deretan kursi yang tersedia untuk tamu.

“Oke mbak, thanks ya“ sahutku sambil duduk di kursi yang ditunjukkannya.

Tak berapa lama Raisa datang sambil menjingjing tas yang lumayan besar.
Mungkin pakaian ganti, pikirku.

“Mari mas, sebelum keburu hujan” Katanya sambil tersenyum. Dengan blouse putih dan rok hitam yang ketat, rambut hitamnya dibiarkan tergerai, hanya sebuah bando kecil yang menghiasai mukanya yang putih.

“Ayo“ Seruku sambil melangkah ke mobil.

“Wah, mau perang apa mau kemana ne mas?“ Senyumnya melihat mobil yang kupakai.

“Yah,,, biar aman dijalan Is, lumayan jauh, lagian hujan-hujan , so, siap berangkat?“

“Ayo mas” Jawabnya sambil menghempaskan pantat bulatnya ke jok.

Kustarter mobil dan mulai membelah macetnya jalan di ibukota.

“Gimana projectnya mas?”

“Baru mulai hari ini Is, teman-teman mau bikin design dan draft awal nya, sambil nunggu data dariku”

“Ada kendala mas?”“Waktunya saja terlalu singkat Is“

“Hmmm,, kalau mas ada kendala?“ Tanyanya sambil tersenyum

“Eh, maksudnya“

“Kerja sama Mbak Lidya yang hot itu, ada masalah mas” Lanjutnya masih dengan tersenyum lebar.

“Eh, itu..” Tergagap kudibuat dengan pernyataan Raisa yang to the point.

Kami melanjutkan perjalanan dalam diam, beberapa saat kemudian kami masuk jalan tol Jakarta-Cikampek.

“Mas” Lirih suara Raisa kudengar.

Kulihat wajah Raisa sedikit berubah, raut wajah ceria yang biasanya selalu ada di wajahnya berubah menjadi serius dan sedih.
Sedih?

“Iya Is?”

“Menurut mas aku tipe orang yang gimana?”

“Ceria, easygoing, simple?” Kataku spontan. Nakal?

“Jujur mas” Katanya sambil memandangku dengan tajam.

“Iya Is, ceria, easygoing, simple dan, ehmm,, sedikit nakal?” Kataku ragu.

“Pelacur kan mas?” Katanya tajam dan memandangku dengan lekat.

“Gak kok Is, mungkin nakal lebih tepatnya“

“Gadis apa yang langsung memblowjob pria yang baru dikenalnya pertama kali mas?”

“Eh, kalau ketertarikan seksual, baru pertama langsung bisa kan Is?” Jawabku diplomatis.

“Seperti mas melihat Mbak Lidya ya?“

Alamak. Skak.

“Ehh,, Is, mungkin bisa dibilang seperti itu“

“Terus kalau mas melihatku bagaimana? Tertarik secara seksual juga atau?“ Tanyanya mengambang.
Huffftttt.... Jujur saja dah...

“Kalau secara seksual, pasti Is, lelaki normal mana yang gak tertarik sama kamu?“

“Bagus deh mas“ Jawabnya sambil tersenyum lebar.

Eh... Maksudnya? ??

Sebuah petikan dari film romantis teringat dikepalaku

A women heart is Deep Ocean of secret

“Bingung ya mas?” Tanyanya melihat ekspresi diwajahku.

Seperti anak SD yang dimarahi ibunya aku hanya bisa mengangguk-angguk saja.

“Hihihi, mas pria yang paling jujur yang Is temuin” Katanya renyah.

“Mas, boleh minta satu hal gak?”

“Iya Is?”

“Bisa singgah ke Pertamina bentar mas? Is kebelet..”

“Oke Is”

Sambil mengemudi kuamati pinggir jalan untuk mencari pertamina. Tak sampai sepuluh menit sebuah pertamina ada di sebelah kiri jalan.

Kuarahkan mobil kami kesana.

“Tunggu bentar ya mas” Pesan Raisa sambil berjalan menuju toilet.

Sambil menunggu Raisa ke toilet, aku mengisi bahan bakar untuk jeep yang kami pakai.

Beberapa menit setelah selesai mengisi bahan bakar Raisa belum juga kelihatan.

“Ne anak kebelet apa kebelet, lama amat di toilet“.

Tik..tik..tik…

“Jiah, isi hujan lagi”

Rupanya awan-awan yang membayangi perjalanan kami dari pagi memutuskan mengeluarkan airnya saat ini. Sinar matahari yang tadi masih sering terlihat mulai tenggelam dalam pelukan sang awan.

“Tok.tok.tok, Mas buka pintunya” Terdengar Raisa disebelah kiri mobil.

Kubuka pintu tepat saat hujan semakin deras.

“Maaf lama mas” Kata Raisa sambil tersenyum simpul.

Matanya bersinar nakal.

Sinar yang sama ketika kami bertemu pertama kali di Alfa Medika.

“Mas, idupin musiknya dong, biar gak boring“

“Iya Is“

Kuhidupkan audio yang ada didalam mobil.

Sebuah lagu dari Ke$ha terdengar diantara hujan...


“Mas, hmm,,, Is punya hadiah buat mas” Seru Raisa sambil tersenyum jahil.

“Apa Is?”

“Ini mas” Kata Raisa sambil menyerahkan sebuah benda hitam, kecil dan berisi tombol.

“Apa ini Is?” Tanyaku keheranan.

Remote control mas”

"Remote control apa Is?"

Remote control butterfly vibrator mas”


Terpaksa aku menelan ludah yang mulai mengumpul ditenggorokanku.

“Mas, aku juga gak pake cd lhoo….”

Shit….

Bayangan bibir vagina yang diisi dengan vibrator berbentuk kupu-kupu samar-samar terbentuk.

Vibratornya isi penis, tapi kecil mas, sebesar jari telunjuk”

Gleeekk….

“Warnanya silver gelap, talinya ngelilit dipahaku mas…”

Gleekkk. Huffftttt…

“Penisnya kekecilan mas, kurang berasa, pengen punya mas yang ada disini..”

“Kepala kupu-kupunya pas di clitku lho mas….”

Seandainya tidak di jalan tol.
Seandainya aku tidak nyetir.
Seandainya…

“Hihihi…mas, ada yang bangun…” Katanya pelan sambil mengelus tonjolan di celanaku.

Digoda seperti ini.
Gak normal kalau Andri junior tidak memberontak disarangnya!

“Hihihi, makin keras aja mas…hmmmm” Pelan-pelan tangan Raisa memijat pelan penisku dari balik celana yang kupakai.

Hujan masih turun rintik-rintik, jalan tol sudah kami lewati tanpa terasa. Jalanan sedikit terasa lengang.

Mungkin karena hujan.

Srrrttttt…

“Eh, ngapain Is?”

“Hmmm, kasian kekurung didalam mas” Sahut Raisa sambil menurunkan resletingku. Tangannya yang mungil perlahan mengeluarkan penisku dari celah resleting.
“Is, nanti kelihatan yang lain”

“Sepi kok mas, lagian hujan, sulit lihat dari luar” Sambil tersenyum jahil Raisa mengocok pelan penisku yang sudah mengeras.

“Lagian Is dah kangen ma ini…cup..” Sambil menurunkan badannya, bibir mungil Raisa mengecup pelan kepala penisku yang sudah mengeras.

“Ufffttttt…huufhhhh…”tak bisa kutahan desisan pelan keluar dari mulutku ketika penisku dengan pelan masuk kedalam mulutnya.

Dengan cepat kepala Raisa naik turun di penisku. Semakin lama semakin cepat.

Tangan kananku memegang kemudi sedangkan tangan kiriku memegang kepala Raisa, menekannya sehingga mengulum penisku lebih dalam.

“Is, stop dulu, traffic light” Bisikku sambil menarik pelan kepala Raisa dari penisku.

Kumasukkan penisku tanpa menutup resleting celanaku.

It’s my time.

Ceklek…

Kutekan tombol on pada remote control yang tadi diberikan Raisa kepadaku.

“Ihhh, mas jahat” Kata Raisa sambil mencubit pelan lenganku.

Nguuunngggg…

Suara dengungan vibratornya sangat pelan, walau tanpa musik yang hidup didalam mobilpun tidak akan terdengar dari luar.

Tek…

Kutambah satu bar lagi kekuatan getarnya.

“Sttttttss, mas” Pandangan sayu Raisa semakin membuatku bersemangat.

Kutekan pedal gas ketika lampu berubah menjadi hijau.

“Sini mas” Sambil berkata seperti itu, kepala Raisa dengan cepat menunduk, mulutnya dengan cepat kembali mengemut penisku.

Tek…

Satu bar lagi.

“Ughhtttt,,,huuffgttt” Seiring dengan bertambahnya getaran vibratornya, hisapan Raisa juga semakin cepat dan kuat.

Hampir lima menit dia mengoral penisku ketika kunikmatan itu akan mendekati puncaknya.

“Is, cepetin,,,” Pintaku.

Plooppp…

“Kok?” Kataku sambil menatap bingung wajah Raisa ketika dia mengangkat kepalanya.

“Simpan buat nanti mas” Katanya sambil tersenyum jahil.

Ampun DJ.

Kumatikan vibrator yang dipakai Raisa. Rasanya gak adil kalau nanti dia mendapatkan orgasme dari benda itu.

“Eh mas, berhenti sebentar didepan, Is mau beli minum” Pinta Raisa ketika sebuah mini market terlihat tidak jauh didepan.

Hujan sudah berhenti sedari tadi, namun sinar matahari rupanya masih enggan menunjukkan dirinya.
Kumasukkan mobil kami ke area parkir dari minimarket itu.

“Mas tunggu disini ya, Is gak lama koq” Kata Raisa sambil membuka pintu dan turun menuju ke minimarket.

Kuambil handphoneku dan mulai mencatat dimana, pukul berapa kami sekarang.

Hmmmm, baru seperlima perjalanan pikirku.

Pandanganku terbentur kepada remote control vibrator yang diberikan Raisa tadi.

Sebuah ide muncul dibenakku.

Dengan tergesa au buka pintu mobil dan dengan langkah cepat masuk kedalam minimarket.

Kulihat Raisa masih mencari beberapa minuman kaleng yang tersedia.

Ceklek…

Kunyalakan vibratornya dari remote yang kubawa.

Bisa kulihat Raisa sedikit tersentak ketika getaran tiba-tiba melanda vaginanya.
Kepalanya menoleh kesana kemari, dan melotot galak ketika melihatku memegang remote controlnya.

Wajahnya terlihat antara marah, nafsu dan takut.

Tek…

Kutambah satu bar lagi.

Raisa mendelikkan matanya kepadaku.

1-1.
Biar adil.

Kuhampiri Raisa yang wajahnya terlihat mulai memerah.

“Kenapa Is?”

“Mas jahat, matiin mas, Is udah gak tahan” Katanya sambil menggigit pelan bibirnya yang merah.

“Yakin is?”

“Ihh mas” Dengan langkah yang sedikit kaku Raisa melangkah menuju kasir. Aku melangkah dibelakangnya dan ikut mengantri disampingnya.

“Ini semua mbak?” Tanya kasir dengan ramah.

“Iya mbak”Sahut Raisa sambil mengambil dompetnya. Kulihat tangannya sedikit gemetar. Samar aku bisa mendengar dengung dari vibrator di vagina Raisa.

Kupanggil handphone Raisa dari HP ku. Raisa mengambil HPnya dan menoleh keheranan kearahku.

Suara getaran HPnya mengaburkan suara dengungan vibrator di vaginanya.

Tek.tek.tek…

Kutambah frekuensi getaran vibratornya ke frekuensi maksimal. Kulihat Raisa terkejut dan sedikit terhuyung.

“Mbak nggak apa-apa?” Tanya kasir dengan cemas.

“Owh, teman saya sedikit kurang enak badan mbak” Jawabku sebelum Raisa sempat berbicara.

Kulihat tangan Raisa meremas roknya dengan keras.

“Ini kembaliannya mbak” Kata kasir sambil memandang kami dengan sedikit heran.

Raisa melangkah dengan cepat ke mobil.

Aku ikut dibelakangnya dan membukakan pintu mobil untuknya.
Sambil tersenyum aku melangkah ke kursi pengemudi.

“Ahhhhh,,, mas jahat” Kata Raisa sambil memukul lenganku.

“Tapi enak kan Is?”

“Banget”

“Mas, dikit lagi, kerasin mas…” Pinta Raisa sambil meremas tanganku.

Ceklek.

Kumatikan vibratornya dan tersenyum kearah Raisa.

“Buat nanti Is”.


Chapter 10: TRIP To SEMARANG
Part 3

“Kenapa Is?” Tanyaku ketika melihat Raisa diam saja ketika kami sampai daerah Pekalongan.

“Sebel”

“Sebel kenapa Is?”

Hehehe,, emang enak kentang?

“Ih, Mas Andri rese ah.. udah tau nanya lagi” Sahut Raisa sambil mencubit tanganku.
“Kok gak ada lagu yang bagus ya mas?” Lanjutnya sambil memindahkan list lagu di audio mobil.

Raisa terdiam ketika sebuah lagu dari Rocket Rockers mengalun pelan, sedikit memecah suara hujan diluar mobil yang terdengar cukup deras.


Tak sadar kami ikut bernyanyi. Mengikuti lirik demi lirik lagu yang mengalun pelan. Kulihat Raisa begitu tenggelam dalam nyanyiannya, wajahnya yang biasanya ceria terlihat begitu sendu. Bibirnya bergerak mengikuti bait demi bait lagu yang mengalun.

Letih disini...
kuingin hilang ingatan
Letih Disini.....
Kuingin hilang ingatan

Huftttt….

Perlahan kepingan ingatan masa lalu membanjiri pikiranku.
Masa-masa yang ingin kulupakan.
Masa-masa dimana lagu ini hampir tiap malam kuputar di komputerku.

Kenangan yang lama tak pernah kuingat lagi.

Kenangan yang kusisihkan di pojok tersembunyi dikepalaku.

Kenangan di..

“Mas…”

Lirih suara Raisa mengalihkan piknikku ke masa lalu.

Ku lihat kesamping.

Raisa memandangku dengan pandangan yang kulihat memandangku dari cermin beberapa tahun yang lalu.

Kulihat kepedihan disana.

Kehilangan.

Ketakpastian.

Kesepian.

“Mau ganti lagunya Is?”

“Biarin aja mas, lagu ini dulu sering Is dengerin”

“Sama Is” Kataku lirih.

“Mas pernah kehilangan juga?”

“Semua pernah kehilangan Is” Kataku diplomatis.

Hujan semakin deras, suhu udara mulai berubah dingin.

“Is,ada jaket dan selimut di belakang, kalau mau pake itu aja” Kataku mengalihkan pikiran dari kenangan masa lalu dan mengalihkan pikiran Raisa.

“Selimut mas?” Tanyanya heran.

“Iya, punya adik temenku yang punya mobil ini, orangnya seneng camping Is”

“Wah, boleh tu camping kapan-kapan mas” Kata Raisa sambil tersenyum.

Senyum pertamanya setelah mendengar lagu itu.

“Gak takut ne camping sama mas?”

“Takut apaan? Paling-paling diajak main kuda-kudaan”

“Hehehe” Tawaku, kehilangan kata-kata.

Asem.

Ne orang to the point bener.

Kendaraan didepan kami semakin lama semakin banyak.

Dan semakin lambat.

Akhirnya tidak berjalan sama sekali.

Macet.

Lagi!

“Kira-kira ada apa ya mas?” Tanya Raisa ketika mobil didepan kami tidak juga bergerak setelah sepuluh menit.

“Kurang tau Is, mungkin kecelakaan”

“Wah, keburu malem ntar mas”

“Eh, udah jalan Is” Kataku melihat mobil didepanku mulai bergerak.

Namun didepan terlihat mobil-mobil dialihkan kejalur lain.

“Wah, dialihkan kejalur lain Is, mas kurang tau jalannya lagi, Is tau?”

“Tau mas, setelah ini ada dua jalur, yang kekiri muter, lumayan jauh mas, yang kanan lebih deket, tapi jalannya rusak mas, dan agak terpencil mas”

“Hmm, kanan aja gimana? ”

“Boleh mas, lagian Is dah kebelet banget ne mas” Katanya sambil tersenyum.

Kayaknya bakalan dapet daging segar neh.

Dan pikiran-pikiran mesum mulai bermunculan dikepalaku.

“Aduuhhhh, belum juga nyampe, pikiran mas dah kesana mulu”

Shit.

Kena lagi.

Baru kusadari kendaraan sudah jarang terlihat, begitu juga pemukiman penduduk.
Dan akhirnya hanya kami sendirian yang membelah malam yang pekat.
Hujan masih turun walupun tidak sederas tadi.
Suasana terasa begitu mencekam. Suara-suara hewan malam bisa kudengar di sela-sela bunyi mesin mobil .

Dikiri jalan kulihat tanda rawan longsor, dan melihat dari keadaan jalan yang berada di bawah tebing-tebing yang cukup tinggi, sangat berbahaya kalau ada longsor disini.

Dan benar seperti yang dikatakan Raisa, medan berubah menjadi lebih sulit.
Jalan tidak semulus tadi, bahkan dibeberapa bagian mulai terlihat genangan air yang dalam walupun hujan telah berhenti.

Beberapa menit kemudian, jalan yang rusak jauh lebih banyak.
Terpaksa kami melaju dengan pelan. Walaupun begitu, tetap saja berkali-kali mobil berguncang ketika melewati jalan yang berlubang.

“Nanti ada jembatan mas, habis itu jalannya lebih baik kok” Kata Raisa sambil mendesah dengan pelan.

Mendesah?

“Kenapa Is” Tanyaku melihat wajahnya yang sedikit memerah.

“Itunya mas, mobilnya goyang-goyang jadi sering nyelip mas”.

Really?

Aku lupa kalau Raisa belum melepas vibratornya!

Dan goyangan mobil yang lumayan keras, tentu saja penis buatan di vibratornya, walaupun kecil, akan terasa!

Kuambil remote control yang diberikan Raisa.
Kupandang wajahnya yang mengharap sebelum..

Ceklek.

Kutekan tombol on di remote controlnya.

“Sssssttttttss…Mas…”

Tek…

Sedikit lebih keras.

Tek…Tek…

“Ahhhhhhh….masss, kerasin mas…” Pinta Raisa dengan wajah yang merona merah.

Baru aku mau menaikkan kekuatan getarannya ketika sebuah kendaraan muncul dari depan, ketika mendekat ternyata sebuah motor polisi.

Motor itu berhenti tak jauh dari mobil kami dan pengendaranya memberi isyarat untuk kami supaya berhenti.

Kuhentikan mobilku dipinggir jalan, kutoleh kearah Raisa.

“Matiin dulu mas, please” Pintanya memelas.

Dengan malas kutekan tombol off.

Saat kumenoleh kedepan, pengendara motor tadi sudah berada dekat mobilku. Kubuka jendela mobil.

“Selamat malam pak” Suara merdu memberi salam kepadaku.

“Selamat malam mbak, bisa saya bantu?”

“Jembatan di depan roboh mas, jadi sebaiknya mas putar balik dulu sekarang” Terangnya sambil tersenyum.

Manis.

Ditambah dengan lesung pipit dipipinya yang sedikit terlihat walaupun terhalang oleh helm yang dikenakannya.

“Waduh, tidak ada jalan pintas lain mbak? Saya mau ke Semarang dengan teman saya”

“Ada mas, tapi harus balik dulu, sekitar 10 Km lagi mas” Sahutnya, sembari masih tersenyum.

“Terimakasih mbak” Jawabku.

“Sama-sama mas, mari mas, mbak” Sahutnya sambil kembali ke motornya. Dengan pelan motornya melaju melewati kami.

“Wah Is, kita harus balik lagi nih”

“Iya mas, semoga tidak kemalaman nanti”.

Kuputar mobilku, cukup sulit karena jalan yang cukup sempit.

“Mas jangan jalan dulu” Pinta Raisa.

“Kenapa Is” Tanyaku sambil meminggirkan mobil.

“Kebelet mas” Sahutnya sambil melepaskan sabuk pengaman, kemudian tangannya menjulur kebawah, beberapa detik kemudian, sebuah vibrator berbentuk kupu-kupu sudah ada di dasbord mobil!

Tangannya kemudian dengan cekatan membuka resleting celanaku.

“Is, kita dijalan, nanti ada orang” Kataku dengan cemas.

Namun Andri junior malah mulai menegang mengetahui kemungkinan ada orang yang lewat.

“Kan gak mungkin mas, di belakang jembatannya sudah rusak, kalau dari depan pasti mbak polwan yang tadi mencegahnya” Katanya sambil mulai menghisap penisku dari tempat duduknya.

Benar juga!

“Ufffttt, pelan Is” Kataku ketika Raisa mulai menggerakkan kepalanya di penisku.

“Ugghtt…ugghttt” Hanya itu jawaban yang kudengar.

Kupegang kepala Raisa dengan tangan kananku, kutekan sehingga bisa kurasakan penisku masuk lebih dalam kemulutnya.

“Ugghhhhh aamass” Lirih suara Raisa ketika tangan kiriku mulai bermain di payudaranya.

Kucari putingnya yang terasa keras, kupijit dengan pelan.

“Ugghhhttt” Suara Raisa tidak jelas terdengar karena terhalang oleh penisku yang berada dimulutnya.

Seolah membalas perlakuanku, kepala Raisa semakin cepat bergerak dipenisku.

Hampir sepuluh menit Raisa mengulum penisku sebelum dia mengangkat kepalanya.

Wajahnya terlihat semakin merah.

Dengan pelan tangannya menaikkan roknya, kemudian dengan gerakan yang lebih pelan di mendekati tempat dudukku.

“Eh, Is”

Walaupun dengan sedikit sulit, Raisa berhasil pindah kepangkuanku. Dengan membelakangiku tangannya mencari penisku dan dengan pelan digosokkan ke klitorisnya.

“Is, gak pake pengaman?”

“Gak usah mas, Is tiga hari lagi jadwal dapet” Katanya sambil terus menggosok klitorisnya dengan penisku yang sudah menegang dengan sempurna.

“Masukkin is” Pintaku tak tahan.

“Iya mas, gede banget mas, pelan-pelan ya mas” sahutnya sambil memposisikan penisku di lobang yang tepat.

“Ufffftttt,,”

“Ahhhh mas..”

Desah kami berbarengan ketika kepala Andri junior berhasil masuk ke lobang Raisa yang sempit.

Sempit, hangat dan menggigit.

Ketika aku hendak memasukkan penisku lebih dalam, tangan Raisa menggenggam lenganku dan dengan panik dia berkata.

“Mas, ada motor dari depan!”


Chapter 10: TRIP To SEMARANG
Part 4

Shit!

Dengan terburu-buru kami merapikan diri.

Andri junior yang masih tegang dengan terpaksa masuk kandangnya.

Sementara Raisa bangkit dari pangkuanku dan menurunkan roknya tangannya sambil dengan cepat menyambar vibrator dan memasukkannya kedalam tas.

Kuambil botol minuman dijok belakang dan menenggaknya, sekedar untuk menurunkan nafsu yang sudah diujung tanduk.

“Uffttt“ Aku mengernyit ketika silau lampu kendaraan bermotor itu mengenai wajahku.

Setelah dekat terlihat sipengandara kendaraan bermotor.

Si polwan cantik!

Ada apa gerangan?

Seperti tadi, sipolwan turun dari motornya, sambil melangkah, pinggulnya digoyangkan dengan gemulai dilatari dengan sinar lampu dari motornya.

Kali ini tanpa diketuk aku menurunkan kaca jendela mobil.

“Selamat malam pak, maaf mengganggu lagi“ Katanya sambil tersenyum.

“Iya, ada apa ya mbak? “

“Bisa pinjam ponselnya pak? Alat komunikasi saya baterainya habis, handphone tidak ada sinyalnya”

“Ouwh, bisa mbak, tapi buat apa mbak?”

Sambil mengambil handphone dari saku celana, kuperhatikan wajahnya yang sedikit kelihatan bingung.

“Didepan ada tanah longsor pak, jalan tertutup sekitar 10 meter” Terangnya.

Kulihat handphoneku dan bar sinyal menghilang, digantikan dengan dengan tanda silang berwarna merah.

“Wah, sama mbak, handphone saya juga tidak ada sinyalnya“

“Is, hpmu ada sinyalnya?” Tanyaku pada Raisa yang sedang minum air.

“Sebentar mas” Kata Raisa sambil mengambil handphonenya.

“Wah, sama ne, gak ada sinyal juga mas” Kata Raisa.

“Wah, gak ada sinyal juga mbak, gimana mbak?” Kutoleh mbak polwan dengan bingung.

“Wah, artinya kita gak bisa kemana-mana sekarang pak, jalan buntu dikedua ujungnya. Jalur disini sudah dialihkan ke tempat lain karena jembatan yang rusak“

“Waduh, artinya kita harus nunggu sampai pagi mbak?“

Well, that’s bad.

“Iya mas, tadi saya lihat disana ada tanah yang sedikit lapang, mungkin bisa untuk tempat beristirahat, kalau mau ikut, mari kesana mas” Ajaknya sambil menuju kemotornya.

Kulihat kearah Raisa dan kulihat dia mengganggukkan kepalanya.

Kukemudikan mobil dibelakang sipolwan cantik.

Dengan perlahan kami menuju ketempat yang dikatakannya tadi.

“Mas, baru tadi siang Is minta camping, eh sekarang jadi camping“ Kata Raisa sambil terseyum.

“Iya nih Is, untung masih ada sisa mie instant di belakang, air minum juga masih banyak stocknya”

“Is juga bawa cemilan mas, jadi gag kelaparan entar, Cuma…”

“Cuma apa Is?” Kulihat Raisa menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya yang tipis.

“Is belum mandi mas, dibawah juga masih basah, hihihi” Tawanya sambil tersenyum penuh arti.

Owwww….

Kami tiba ditempat yang dikatakan sipolwan cantik, tempat ini cukup luas, namun terkesan sedikit angker karena ada beberapa pohon besar yang tumbuh disekelilingnya.

Kulihat mbak polwan menaruh motornya didekat sebuah pohon, kemudian dia meletakkan jas hujannya di sadel motor.

“Hmm, jadi kemah Is?” Tantangku pada Raisa.

“Ayo, siapa takut?” Katanya sambil turun dari mobil.

“Oh iya mbak, kenalan dulu“ Kudengar sipolwan cantik berkata pada Raisa ketika kumendekat kearah mereka.

“Megatri“

“Raisa“

“Mbak Megatri, ini Andri, TTM saya“ Kata Raisa sambil tersenyum jahil.

Buset dah ne anak.

“Megatri”

“Andri”

“Mbak Megatri namanya unik, jadi inget karakter di film robot-robot itu,hihihi”
Raisa cekikikan ketika aku menjabat tangan Megatri.

“Iya mbak, nama sebenarnya nya Mega Tri Wulandari, tapi di akte salah ketik jadi Megatri Wulandari, yah, jadi dipanggil Megatri terus sampai sekarang mbak” Sambil tersenyum Megatri menjelaskan.

“Kalau kepanjangan bisa panggil Tri aja” Lanjutnya.

“Kok gak dipanggil Megan aja mbak? Kan dari wajah mirip tuh“ Kataku, sambil mengingat wajah salah saru pemeran wanita di film robot di televisi.

“Ah mas bisa aja” Sahut Tri dengan wajah yang bersemu merah.

Cantik.

Segar.

Seperti bunga mawar yang indah namun penuh duri.

“Mbak Tri, kalau mau, nanti bisa gabung sama kita, Mas Andri mau bikin kemah katanya” Kata Raisa sambil mengedipkan sebelah matanya.

“Hmm, boleh juga mbak, tapi…” Ragu Tri melanjutkan perkataannya dan memandang kami dengan pandangan bingung.

“Tenang aja mbak, mbak gak ganggu kami kok, lagian kalau ada mbak, Mas Andri malah seneng tuh, hihihi“ Kata Raisa.

God Damn It!

Ne anak ngomong to the point bener.

Tapi apa yang dikatakannya benar juga, kupandang wajah Tri dan dia terlihat semakin manis ketika wajahnya bersemu merah seperti sekarang, tubuhnya terlihat ramping walaupun terbungkus pakaian seragamnya yang sedikit basah terkena hujan.
Rambut poninya mengelilingi wajah oval yang dihiasi lesung pipit ketika tersenyum. Matanya jernih dan kelihatan cerdik.
“Jangan didengerin mbak, Raisa memang suka ceplas-ceplos kok”

Sambil tersenyum aku mengambil dua tiang yang ada diatas kap mobil dan memasangnya ditanah samping mobil. Aku tarik dan rentangkan atap seperti terpal yang ada diatas mobil, kupasang ke tiang yang baru saja kudirikan. Sekarang mobil kami sudah mirip seperti tenda mini.

“Wah, kalau seperti ini tendanya, dimana tidurnya mas?” Kata Raisa bingung.

“Didalam mobil lah Is“

“Terus ini buat apa mas?“ Lanjut Raisa sambil berdiri bingung.

“Buat masak Is”

“Masak, pake apa mas? Kayu bakar?”

“Pake kompor is”

“Hah, dimana nyari kompor mas?” Tanya Raisa, kelihatan linglung.

“Pake ini Is” Sambil menunjukkan sebuah smart stove pada Raisa.


“Ouwhh,, pake itu, panci untuk ngerebusnya dimana mas? Biar aku sama Mbak Tri yang masak” kata Raisa bersemangat.

“Didalam mobil Is, yakin bisa masak neh?”

“Yeee,, jangan salah, iya kan mbak?” Tantang Raisa sambil menoleh kearah Tri.

“Iya Mbak Raisa” Kata Megan sambil tersenyum.

“Panggil Is aja mbak”

“Kalau begitu panggil saya Tri saja”

Sambil memperhatikan kedua gadis itu berbicara, kumasuk kedalam mobil dan melihat perlengkapan yang bisa dimanfaatkan ditas adiknya Frans.

Oke, mari kita lihat apa yang bisa dimanfaatkan.

Senter.

Tali.

Panci.

Nesting.

Sendok.

Garpu.

Lampu tenda.

6 bungkus mie instant.

Air mineral 1 dus.

Garam.

Not bad pikirku, setidaknya sampai besok siang kami masih bisa bertahan.
Kuambil panci dan garam lalu menuju kearah Raisa dan Tri.

“Is, ini pancinya“

Sambil menyerahkan pancinya kearah Raisa, aku melihat kearah Tri.

“Mbak Tri bisa pakai kompornya?”

“Bisa kok mas, pemantiknya dimana mas?” Tanyanya setelah melihat kompornya.

“Didalam mobil Tri, sama Is nanti ambilnya, saya mau nyebarin garam dulu ya”

Sambil berkata seperti itu aku melangkah mengelilingi mobil dam tenda darurat kami sambil menyebarkan garam.

Kulihat Raisa dan Tri asik berbincang-bincang sambil membuat mie rebus.
Namun Raisa terlihat malu untuk duduk.

Oh iya, dia tidak pakai celana dalam!

Seperti biasa, sel abu-abu dikepalaku langsung bereaksi.

“Is, kok berdiri terus? Duduk aja bareng Tri sekalian istirahat“ Kataku sambil tersenyum.

“Takut ada ularnya mas, ihhh.....“

Ular apa ular Is? Pikirku.

“Udah mas sebarin garam Is, ularnya gak akan berani deket-deket kok”

Kulihat Raisa memandangku dengan tatapan mas-jahat-sudah-tahu-aku-gak-pakai-celana-dalam.
Namun hanya sebentar, sebelum matanya berubah ceria.

“Tri, aku ganti rok dulu ya, gak enak pakai rok disini” Katanya sambil menuju kebagian depan mobil dan membuka pintunya lalu mengambil tas yang dibawanya.

Raisa kemudian masuk kebagian belakang mobil, mungkin biar lebih leluasa mengganti pakaiannya.

“Sudah matang mie nya Tri?” Tanyaku memulai pembicaraan dengan Megatri.

“Baru dua bungkus mas, ini yang ketiga”Katanya sambil melihat mengambil mie yang ketiga.

“Yang sudah matang Tri taruh di nestingnya mas, kalau mas mau makan duluan silahkan”
Katanya sambil menunjukan nesting atau rantang bertingkat.

“Nanti saja sekalian Tri, nunggu Is selesai ganti baju dulu” Jawabku.

Tri…Tri…sini bentar..” Panggil Raisa dari dalam mobil.

“Tri kesana dulu ya mas“ Katanya sambil beranjak menuju mobil.

Hufttt…malam yang dingin.

Angin malam mulai berhembus, walaupun tidak keras, namun tetap saja menusuk ketulang. Sinar rembulan sedikit menerangi tempat kami.

Sepi, dingin, sendiri.

Eh, si-celana-dalam-putih bagaimana sekarang disana ya?

Lidya POV.

“Akhirnya, selesai juga..”

“Sudah selesai mbak?” Tanya Lisa dari balik meja ruang rapat.

Yups, ruang rapat.

Pukul delapan malam dan kami masih berada dikantor G-Team. Ruang rapat tepatnya.

“Sudah Lis, draft tugas untuk masing-masing staff sudah selesai, tinggal kita bagikan besok“ Kataku sambil sedikit menekuk kepalaku yang terasa pegal.

“Thanks ya Mas Frans dan Mbak Erlina, sampai malam begini“ Sambil memandang Mas Frans dan Mbak Erlina yang berada didepanku.

“Sama-sama mbak“ Kata Frans.

“Mbak Lidya, saya belum bisa menghubungi Pak Andri, dari tadi sore handphonenya diluar jangkauan, mungkin berada di daerah yang tidak ada sinyalnya“ Kata Erlina sambil mengutak-atik handphonenya.

“Hmmm, mungkin kita bisa hubungi besok mbak, apa saja yang kita perlukan dari Mas Andri?“

“Untuk sekarang, perkiraan rute yang digunakan, alur produksi dan alur transportasi serta akses ke sistem keamanan dari Alfa Medika agar kita bisa membuat sistem yang bekerja dibawahnya“ Terang Erlina.

“Saya sudah mengirim email ke Pak Andri tentang hasil meeting hari ini dan apa saja yang kita perlukan kedepannya mbak“ lanjutnya.

Pintar.

Efisien.

Cantik.

Seksi.

Pantas si-mata-keranjang menjadikannya sekretaris.

Apa dia dan si-mata-keranjang ada hubungan spesial?

Aduh!
Kenapa aku memikirkan si-mata-keranjang?
Pasti gara-gara pekerjaan.

Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku berulangkali.

“Mbak Lidya, mbak kenapa?“ Nada suara Lisa terdengar kuatir.

“Owh, nggak apa-apa Lis, cuma merasa sedikit penat aja“

“Istirahat aja dulu mbak, besok kita lanjutkan” Untuk pertama kalainya kudengar Frans membuka suara sore ini.

“Oke, kalau begitu besok kita lanjutkan lagi ya, thanks kerja kerasnya hari ini”

Sambil beres-beres kulirik kearah Erlina.

Belahan dadanya cukup terlihat.

Dan dadanya, semua wanita pasti ingin punya dada sepertinya.

Dibandingkan aku yang punya dada minimalis seperti ini.

Huffffttt.

“Mari mbak saya duluan “ Kata Erlina sambil beranjak keluar ruangan rapat.

“Silahkan mbak” Kataku.

“Mbak, aku sama Mas Frans mau nyari makan di deket sini, mbak mau ikut?” Tawar Lisa.

“Enggak is, mbak nitip beli roti sama buah aja ya?“

“Oke mbak, kalau begitu kami duluan ya” Kata Lisa.

“Mari mbak“ Lanjut Mas Frans.

Hmmmm…

Kelihatannya Mas Frans dan Lisa semakin dekat saja.

Kupandangi mereka yang beranjak kepintu sambil mengambil tas tanganku.

Saatnya pulang dan beristirahat.

Dengan perlahan aku melangkah keluar ruangan dan menuju kemessku.

Mess si-mata-keranjang tepatnya.

Sampai dimess kuletakkan barang bawaanku dan bersandar sejenak di sofa ruang tamu.

“Huftt, hari yang melelahkan“

Namun aku merasa puas, walaupun tanpa kehadiran si-mata-keranjang, aku bisa mengatasinya dengan baik. Setidaknya aku bisa menjalakan tugasku dengan baik hari ini.

Well.

Dengan dukungan Mas Frans, Lisa dan tentu saja si-sekretaris-seksi, Erlina.

“Tok.Tok.tok“.

Siapa yang datang kemari?

Pikirku dengan heran.

“Iya sebentar“ Sahutku sambil beranjak ke pintu.

Kriieeeettt...

Kulihat seorang staff dari G-Team berdiri didepan pintu sambil membawa sebuah koper dan sekeranjang buah-buahan.

Koperku.

Koperku?

“Maaf mbak, saya diminta Mbak Frida mengantarkan koper ini ke mbak, sekalian dengan kunci ini mbak“ Katanya sambil menyerahkan koper dan sebuah kunci.

Kunci mobilku.

Ya tuhan, aku sama sekali lupa dengan pakaian dan mobilku!

“Waduh, terimakasih sudah repot mengantarkannya kesini mas“ Sahutku malu.

“Sama-sama mbak, oh iya, untuk kamarnya mau dibersihkan setiap hari atau bagaimana mbak? Kalau mau dibersihkan, tolong titip kuncinya di FO ya mbak, soalnya kuncinya cuma dua, yang satu masih Pak Andri yang bawa.“ Terangnya.

“Hmmm, mungkin gak usah saja mas, biar nanti saya saja yang membersihkan“

“Kalau begitu mari mbak“ Katanya sambil beranjak pergi.

Hufffttt, lagi-lagi aku merasa malu dengan si-mata-keranjang yang telah mengingat koper dan mobilku.

Dan aku disini mencurigainya macam-macam.

Tapi, dia bertemu dengan sekretaris dari Alfa Medika, dan sekarang berduaan dengannya, mungkin masih.
Apa yang dilakukannya sekarang ya?

Andri POV.

Huft, kenapa aku memikirkannya sekarang.

Padahal ada dua orang gadis cantik disini.

Kulihat kedalam mobil dari celah-celah jendela. Kulihat tangan seseorang terangkat keatas. Kemudian sebuah blouse terangkat melewati tangan yang terangkat itu.

Perlahan tangan itu menekuk kebelakang dan sebuah bra terlihat menyusuri tangan itu.

Glek..

Dari belakang, terlihat sebuah tubuh mulus yang terawat, walaupun tidak secara jelas karena gelapnya malam.

Tubuh mulus Raisa.

Sekarang tangan itu terlihat menggenggam sebuah tank top hitam, yang kemudian melewati tangan yang kecil itu. Terus lewat kepala dan meluncur turun, melewati kepala dan akhirnya terlihat kontras dengan kulit tubuh putihnya.

Oh well, berarti...

Tanpa bra!

Gleekkk…

Kemudian tubuh itu perlahan bangun sehingga bisa terlihat pantat yang masih tertutup oleh rok hitam. Kemudian pelan-pelan tangan itu memasang sebuah kain yang mirip kain pantai disekeliling pinggul yang ranum.

Dan perlahan pantat itu menungging dan tangan itu meluncur kebawah, melepaskan rok dan terangkat keatas.

Raisa go commando!

Malam yang menegangkan!

Eh, apakah Tri ganti baju juga?

Sudut dalam mobil begitu gelap, sehingga hanya bisa kulihat silhuetnya saja. Tidak terlalu jelas.
Beberapa lama kemudian kulihat Raisa turun dari mobil.

Oh

My

God.

Dengan sedikit sinar dari lampu tenda, terlihat samar kaki jenjang Raisa dari kain pantai tipis yang dipakainya. Kulihat sedikit keatas, terlihat samar rambut kemaluan yang cukup lebat.

Wow, Raisa tidak mencukur rambut yang tumbuh disana.

Keatas lagi, tank top hitam itu cukup ketat membalut tubuh indah dari Raisa dan terlihat puting kecilnya tercetak indah.

Perlahan Andri junior menegang dibawah.

Dan belum cukup sampai disitu, dibelakang Raisa terlihat Tri berjalan malu-malu.

Dengan celana pendek hitam dan tank top dengan warna senada. Paha mulus Tri terpangpang jelas, karena celana yang dikenakannya cukup pendek. Kulit Tri terlihat kontras dengan warna pakain yang digunakannya, dan itu semakin membuatnya terlihat menantang. Wajahnya terlihat segar kemerahan.

Malu? Mungkin.

“Ihh,, Mas Andri, awas meloncat tu mata, segitunya ngeliat, ckckckc” Ledek Raisa ketika aku tak berkedip melihatnya dan Tri.

“Ada bidadari turun dari mobil, gimana gak liat” sahutku memuji penampilan mereka.

“Tri yang bidadarinya kali, kalau aku dayangnya aja” Sahut Raisa.

“Kalau seperti Mbak Is dayangnya, rajanya pada ngiler lihat deh” Timpal Tri.

“Iya-iya, terserah bidadari atau dayang, yang jelas, ada yang mau makan malam?”

“Mauuuuuu….”Dengan kompak Raisa dan Tri menjawab.

Dingin, sepi dan ditengah malam seperti ini.

Perut dengan cepat terasa lapar.

Aku bagikan rantang satu persatu kepada Raisa dan Tri.

Garpu plastik sekali pakai juga tidak ketinggalan.

“Mari makan” Seruku sambil mulai menyendok mie.

“Hmmmmm, sedapnya..” Tak sadar aku bergumam.

“Benar kata orang-orang. Lauk terbaik adalah rasa lapar“ Kata Tri.

“Wah, gak nyangka mie bisa terasa enak seperti ini“ Puji Raisa.

“Tri asli sini“ Lanjut Raisa sambil makan.

“Iya Is, kira-kira 10 km dari sini. Kalu Is sama Mas Andri?” Tanya Tri.

“Aku dan Mas Andri dari Jakarta”

“Mau kemana Is?“ Lanjut Tri.

“Semarang Tri, ngambil gambar pabrikku untuk programnya Mas Andri nanti” Jawab Raisa dengan mulut yang penuh dengan mie.

“Wah, asyik ne Is, kerja sama pacarnya” Senyum Tri sambil melihat kearahku.

“Belum pacaran Tri, masih TTM-an” Jawabku.

“Iyah ne Tri, pacaran belum, mesumnya udah“ Kata Raisa blak-blakan.

“Ughttt...uhuuukkk...uhuuukkkk.....“

“Aduh mas, kalau makan pelan-pelan biar gak keselek“ Kata Raisa sambil memberikan sebuah air mineral gelas dari dalam mobil.

Dia juga mengambil beberapa dan diletakkan diatas tanah.

Sialan, Is.

Itu mulut mending dipake buat ciuman aja deh, kalau ngomong seringan blak-blakan.
Pikirku.

“Jangan didengerin Tri, Raisa suka ngawur kalau ngomong“ Kataku sambil minum.

“Iya mas“ Jawab Tri dengan pelan, namun bisa kulihat wajahnya memerah.

“Ih, siapa bilang ngawur, tadi aja mau main, tapi keburu Tri datang,hihihi“

Gubraakkkkkkkk.

Raiiiiiisssssaaaaaaaaaaaaaaa!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

“Uuhhukkkk..uhuuukkkkk..uggghttt“ Sekarang giliran Tri yang terbatuk.

“Ini Tri“ Sambil kuserahkan air minum kemasan kepadanya.

Bisa kulihat wajahnya merah padam.

Karena tersedakkah atau malu?

Entahlah.

“Oh iya, Tri sudah punya pacar“ Tanya Raisa seolah tidak terjadi apa-apa.

“Udah nikah mbak, baru sebulan“ Jawan Tri sambil tersenyum malu-malu.

“Wah, pengantin baru nih, selamat-selamat, gak ditungguin entar dirumah ne?“ kataku sambil memandang Tri.

Sejenak wajah Tri berubah sebelum dia menjawab.

“Gak mas, suami Tri sedang ke Jepang sekarang“ Katanya pelan.

“Wah, kok pengantin baru sudah ditinggal Tri?“ tanya Raisa.

“Iya Is, soalnya sedang study S2 disana, tidak dapat libur terlalu lama Is”

“Orang Jepang Tri?” lanjut Raisa.

“Iya Is”

Kulihat Raisa tersenyum kecil.

Apa lagi yang dipikirkan ne anak?

“Huaahhh, sedapnya, full rasanya“ Kata Raisa setelah selesai makan.

Setelah itu Raisa mendekatiku sambil berbisik.

“Mas, mau makanan penutup?“


 Chapter 10: TRIP To SEMARANG
Part 5

Lidya POV.

Aku bangkit dari sofa dan menuju ke kamar tidur.

Mending mandi dulu sebelum nanti keburu Lisa datang pikirku.

Dengan malas kubuka satu persatu pakaian yang kukenakan, dimulai dari blouse putih dan sekarang rok hitam yang kukenakan meluncur turun.
Tanganku meraih kebelakang dan membuka kaitan braku. Setelah itu, payudara miniku terbebas menghirup udara segar. Terakhir, celana dalam putih miniku tersampir di ranjang.



Dengan perlahan aku melangkah kekamar mandi.

Mungkin berendam sejenak dibathub bisa menghilangkan penat. Kuisi air di bathub sampai terasa hangat. Dengan perlahan aku masuk kedalam.

“Uffggttt..hangat“

Hangat air yang pas serasa memijat tubuhku yang penat, sungguh, hal yang menyenangkan.

Perlahan tanganku memijat tubuhku dengan pelan, mulai dari pelipis, pundak turun keleher. Berhenti sebentar ditengkuk,memijat pelan disana, sebelum turun kedada.

Terasa sedikit nikmat ketika tanganku menyentuh dua gunung kembar, mungkin bukit tepatnya. Putingku perlahan mengeras ketika tanganku menyusuri lembah yang membentang diantara dua buah bukit itu.

Tanganku terus turun kebawah, memijat pelan bagian pinggul kemudian berlanjut kebagian pinggang. Terasa sedikit geli ketika tanganku mencoba menyusuri perutku yang rata, sebelum bermain-main sebentar dibagian pusar.

“Eehmmm...“

Desisku pelan ketika tanganku turun kebagian paha dalam, memijat pelan disana sebelum turun kebagian pantatku yang membusung padat.

Setidaknya aku punya bagian tubuh yang bisa aku banggakan, pikirku.

Dengan perlahan tanganku memijat pantatku yang sedikit terasa kebas karen terlalu lama duduk. Dari pantat tanganku menuju bagian paling sensitifku.

Klitoris.

Aku merasa sering terangsang akhir-akhir ini.

Mungkin karena memasuki masa subur.

Dengan pelan tangan kananku menggesek pelan, bagian kecil yang mulai tersembul malu-malu dibawah sana.

“Ahhhh...“Desisku pelan ketika tanganku mengusap dengan pelan daging kecil itu.

Perlahan tanganku menggesek dengan semakin keras.

Dan semakin cepat.

Tangan kiriku kuusapkan keatas.

Kebagian dua buah bukit yang mulai mengencang, dengan puting yang semakin keras.
Dari mengusap, tangan kiriku meremas pelan bukit yang sebelah kanan.

“Ssssttt...ahhhh......“

Tak tahan aku mulai mendesis pelan.

Paduan remasan tangan kiri dibukitku, gesekan cepat dan keras diklitorisku mulai membuahkan hasil.

Namun.

Terasa kurang.

Aku perlu lebih!

Kulirik kesamping, entah mengapa tangkai shower itu begitu menggodaku.

Aku bangkit dari bathub dan perlahan bangkit kepojok, ketempat shower itu berada.

Tangkai shower ini berbentuk tabung.

Dan besarnya sempurna.

Seandainya benda ini memasuki diriku.

Aku merasa semakin basah dibawah sana.

Kuhidupkan keran shower, air memancur pelan dari shower.

Air shower yang mengalir perlahan aku arahkan ke bagian atas vaginaku.

“Ssttt...“ Dinginnya air shower memberikan sensasi tersendiri disana. Putingku terasa semakin mengeras, antara dingin dan birahi yang mulai melanda. Kuputar keran shower, sehingga air shower mengalir lebih deras.
Dan lebih keras.
Dengan air yang lebih keras memancar, kuarahkan kebagian atas vaginaku.
Kedaging kecil sebesar kacang yang semakin terasa membesar sekarang.
“Aahhh…ahhh…sstt…aahhh……”, tak bisa kutahan desahan dari mulutku, merasakan nikmatnya dibawah sana.

Tangan kiriku semakin keras meremas payudaraku, putingku sudah mengeras dengan sempurna.

“HHmmmm,,,,,ssttttt,,,ahhhhh“ Rasa itu terasa semakin dekat.

Sedikit lagi.

“Mbak Lidya, mbak...“ Kudengar suara Lisa diruang tamu.

Aduh!

Air shower semakin kudekatkan ke arah klitorisku, sementara tangan kiriku semakin keras meremas payudaraku. Orgasme itu terasa begitu dekat sekarang.

“Mbak Lidya, mbak...“ Suara Lisa terdengar sudah di kamar tidur.

Ah, sudahlah.

“Iya Lis, mbak lagi mandi“ Semoga Lisa tidak mendengar gemetar di suaraku.

“Lisa kebelet ne mbak, masih lama“ Tanya Lisa seperti menahan sesuatu.

“Ini dah selesai kok Lis“ Kataku sambil mengambil handuk dari gantungannya.

Huffftt.

Lagi dikit aja Lis. Dikit lagi.

Aku membuka pintu kamar mandi dan melihat Lisa berdiri didepannya.

“Loh.. kok wajah mbak merah gitu?“

Andri POV.

Makanan penutup?

Memangnya kita punya?

Pikirku, masih bingung dengan apa yang dikatakan Raisa.

“Makanan penutup apa Is?“ Tanyaku dengan heran.

“Aduh mas, masa nggak ngerti? Itu yang dibawah, yang mas mau masukin tadi“ Gerutu Raisa.

“Emang mau kentang?“ lanjutnya

Owwuuhhh.

Kalau itu, dengan senang hati.

Kulihat Tri sedikit menguap, rupanya dia sudah sedikit mengantuk.

Atau sengaja pura-pura mengantuk?

“Tri kalau sudah ngantuk, tidur aja dulu, ada selimut ditas ranselnya. Tapi nanti mungkin tidurnya harus berdesakan ya?“ Kataku kepada Tri.

“Iya mas, gak apa-apa kok, masih mending daripada begadang sampai pagi atau tidur di jalan“ sahut Tri sambil beranjak ke mobil.

“Mas, anterin Is pipis ya, kebelet neh“ Kata Raisa sambil mengedipkan sebelah matanya.

Dengan santai aku mengikuti langkah Raisa menuju kebalik pepohonan yang ada di sebelah tempat kami camping.

“Mas, sini“ Kata Raisa dari balik sebuah pohon yang terlihat paling besar.

“Kenapa Is?“ Katakaku sambil mendekat.

“Ughtt“ Kataku terkejut, ketika dengan tiba-tiba Raisa memeluk dan mencium bibirku dengan ganas. Tangannya langsung meraba Andri junior dari balik celana yang aku kenakan.

Hmmm, sudah horny habis rupanya.

Dengan tak kalah panas, aku mulai meladeni permainan lidah Raisa yang ganas. Air liur perlahan menetes dari sela-sela bibir kami.

“Ugghhttt...ahh...massss...“

Desah Raisa ketika dengan nakal tanganku mengangkat kaosnya keatas sehingga aku bisa meremas payudaranya.

“Mas, kerasin!“ Pinta Raisa disela-sela ciuman kami.

Tanpa disuruhpun aku akan melakukannya, dengan kerasa aku remas payudaranya, bergantian dari kiri terus kekanan. Sementara mulut kami terus berciuman dengan panasnya, saling bersilat lidah didalam sana.

Sementara itu, tangan kananku turun, menyibakkan kain pantai yang dikenakannya, keantara pangkal pahanya dan mencari celah kenikmatan diantara rimbunnya rambut kemaluan Raisa.

“Uhhh,,,, masss... masukinnnn....“ Rengek Raisa ketiika aku bermain-main didepan liang kenikmatannya.

Basah!

“Ahhh...masss...stttt....“ Desah Raisa ketika satu jariku menerobos masuk liang kenikmatannya yang sudah basah kuyup.

Penisku terasa sakit didalam sana.

Kugesekkan penisku yang tegang ke perut sekal Raisa.

Seolah mengerti, perlahan tangan Raisa membuka resleting celanaku sehingga Andri junior bisa terbebas dari kurungannya.

“Hhmmpp…hhmmmppp…ahhh..mas” Desah Raisa semakin menjadi ketika dua jariku dengan cepat kugerakkan diliang
kenikmatannya.

Menjepit.

Menggigit.

Terasa sekali jepitan vagina Raisa di jariku.

Dijari saja sensainya seperti ini, bagaimana dengan penisku?

Memikirkan hal itu, penisku menegang dengan maksimal.

“Ughhh, Is” Kali ini giliran ku yang mendesah ketika Raisa berlutut dan menjilat penisku dengan ahlinya. Dengan telaten dia menjilat seluruh bagian penisku sebelum memasukkannya kedalam mulut mungilnya.

“Ahhh,, Is!”

Dengan cepat Raisa menggerakkan mulutnya maju mundur, seolah berlomba dengan waktu.

Plooppp…

Bunyi penisku ketika terlepas dari kulumannnya Raisa.

“Mas, jadi minta makanan penutupnya?” Tanya Raisa nakal.

Kujawab pertanyannya dengan membalikkan tubuhnya menghadap kebatang pohon. Kunaikkan kain pantai yang menutupi paha dan pantat sekal Raisa. Tangan Raisa bertumpu pada batang pohon.

“Plaakkkkk” Kutampar pantat yang menggodaku sedari pagi ini.

“Ihh.. mas nakal, masukin mas, keburu curiga Tri nanti mas” Kata Raisa mengingatkanku.
Dengan tak sabar tangannya meraih penisku yang telah menegang dengan sempurna dan menempatkkannya dilobang yang pas.

Kudorong pelan-pelan penisku memasuki celah yang sempit, hangat dan menggigit itu.

“Uggffftttt…”

“Ahhhh….mas, tahan bentar, punya pas terasa penuh di vaginaku” Ceracau Raisa sambil menahan pahaku dengan tangannya, padahal baru kepala penisku yang masuk kedalam vaginanya.

Dengan perlahan aku gerakkan penisku kedepan dan kebelakang, begitu berulang kali supaya Raisa bisa terbiasa dengan ukuranku. Sekarang hampir setengah penisku masuk kedalam vagina Raisa.

Basah.

Hangat.

Dinding vagina terasa begitu nyaman menjepit penisku didalam sana.

“Bleesssss….”

“Ahhhhhh…..ssttt…”

“Ahhhhh,,, masssss,, sakit!” Teriak Raisa ketika dengan tiba-tiba aku memasukkan penisku yang tersisa kedalam vagina Raisa yang menganga menanti.
“Diem bentar mas, kerasa penuh banget didalam” Seru Raisa sambil menikmati tegangnya penisku didalam vaginanya. Tangannya mencengkram pinggulku, menahan ku bergerak lebih lanjut.

Dengan perlahan, pantat Raisa yang semula pasif saja, digerakkan seperti meremas penisku. Itu kuartikan sebagai tanda bahwa aku boleh bergerak.

“Is sukanya yang pelan apa yang keras?” Tanyaku sambil terus menggerakkan penisku maju dan mundur dengan perlahan.

“Keduanya mas, tapi lebih enak yang cepet dan kasar mas” Tantang Raisa.

Oke, you deserved it.

Kutingkatkan tempo kocokanku, ditambah dengan mempercepat frekuensi remasan tanganku pada payudara yang dihiasi dengan putting yang menonjol karena birahi yang menggelora.

“Plokk..plok…plokkk…” Suara benturan tubuh kami semakin keras terdengar.

Sementara itu, terasa cairan Raisa semakin banyak mengalir dari celah-celah vaginanya.

“Plakkk…plak,….plakkkk…” Sekali-kali kutampar pantat yang mulus dan sekal itu dengan bernafsu. Sementara itu Raisa semakin liar menggerakkan pantatnya, diikuti dengan mengencangkan otot kegelnya yang sukses membuatku merasa melayang.

“Mas, Is,, udah mau nyampe” Kata Raisa dengan suara yang bergetar.

“Sama is, barengan ya” Kataku sambil mempercepat kocokanku.

Kocokanku semakin kupercepat, peluh sudah membasahi tubuh kami dimalam yang dingin ini.

“Mas Andri, Mbak Raisa…. Tri kebelet nih, kalian dimana?” Suara Tri terdengar cukup dekat dari kami berada. Cahaya bulan sedikit terhalang oleh awan sehingga kami tidak jelas terlihat.

Owh, shit.

“Mas, cepetin mas, sebelum Tri nyampe sini” Pinta Raisa sambil menggoyangkan pantatnya dengan liar.

Mas, Mbak Is, tri kesana ya” Suara Tri terdengar sangat dekat, bahkan aku bisa melihat bayangan tubuhnya.

Kugerakkan penisku semakin cepat, demikian juga Raisa yang memutar pantatnya seperti kesurupan.

“Ahhhhhhhh..massss,, dikit lagi” Bisik Raisa dengan nafas yang terengah.

“Is, Tri bisa lihat kita nanti!” Kataku, sedikit mengendurkan seranganku pada Raisa.

“Tanggung mas, kalau dilihat pun, paling dia minta“ Kata Raisa, tanpa menghentikan goyangan pantatnya.

Mas, ngapain disana?” Kata Tri ketika tinggal tiga meter dari tempat kami berada.

Mungkin dia bisa melihat aku berada dibelakang Raisa yang menunggingkan pantatnya.

Kulihat dari gerakan tubuhnya Tri, dia melihat persetubuhan kami.

Tapi kenapa dia hanya diam?

Apakah...

Ah, persetan!

Sensasi bercinta dengan dilihat orang lain, membuat birahiku semakin tinggi. Testosterone seperti berlomba dengan andrenalin dalam aliran darahku.

Kugerakkan pantatku semakin keras, tangan kananku terus manampar pantat Raisa yang menungging dengan indah. Suara tamparan dan hentakan pinggulku pasti sekarang bisa terdengar oleh Tri.

Ditengah malam.

Dengan sedikit penerangan.

Bercinta dengan dilihat orang lain, yang baru saja kau kenal.

Sensasinya sungguh sulit aku utarakan!

“Yesss, lebih keras mas!” Jerit Raisa memecah malam.

Perlahan cahaya bulan semakin terang, rupanya sang awan bergeser sejenak.

Shit.

Aku bisa dengan jelas melihat Tri, dan begitu juga sebaliknya!

Terlihat dia sedikit termangu melihat aku sedang menggenjot Raisa dengan keras.

“Mas,, lebih keras, Is dah mau nyampe mas!” Pinta Raisa dengan suara keras.

“Plakkk..plak,,plak,,,” Kutampar paha Raisa dengan keras.

“Lebih keras mas..agghhhh…”

“Plokk..plokkk.plokk….”

Kulihat kearah Tri, dia termangu melihat persetubuhan kami. Kakinya digesek-gesekkan dengan gelisah.

Rupanya dia terangsang juga!

Melihat pemandangan Tri itu membuat nafsuku diubun-ubun. Penisku terasa semakin gatal.

Sekitar lima menit-an aku terus memompa vagina Raisa, sampai akhirnya tubuh Raisa mulai menggeliat tak beraturan. Goyangan pantatnya semakin keras.

Dan akhirnya…

“Aaaagghh…. Mas… aku uggh…dapet…..aahhhhh……”, jerit Raisa saat orgasme itu datang. Vaginanya terasa meremas penisku didalam sana yang membuatku akhirnya menyerah.

“Mas juga Is!” Seruku sambil memandang Tri yang juga sedang melihatku.

“Crott..croottt.crroott” Beberapa kali penisku menyemprotkan sperma didalam sana. Perlahan tubuh Raisa ambruk ke tanah.
Kulihat kearah Tri dan kulihat dia sudah tidak ada ditempatnya tadi.

“Ouwh…!” Kataku terkejut ketika sepasang tangan yang mungil membelai penisku yang setengah tegang dari belakang.


Chapter 10: TRIP To SEMARANG
Part 6
Lidya POV.

Kurasakan mukaku kembali memanas.

Kali ini bukan karena nafsu, namun malu.

“Ouwh, tadi habis berendam, airnya kepanesan Lis” Jawabku sambil melangkah keluar kamar mandi.

Huffttt.
Semoga saja Lisa tidak tahu.

Aku menuju ke kamar tidur dan mulai mencari daleman untuk kugunakan.

Rasanya aku harus berterimakasih pada si-mata-keranjang. Kalau dia tidak ingat menyuruh orang untuk mengambil pakaianku dari laundry, mungkin aku tak menggunakan pakaian dalam besok.

Memikirkan kemungkinan berbicara didepan orang banyak tanpa pakain dalam membuat vaginaku kembali meremang.

Kukenakan sepasang pakaian dalam putih mini. Kemudian kembali baju tidur babydoll itu menemani malamku.

Kulihat keranjang berisi buah, roti tawar dan selai diruang tamu.
Dan sekali lagi aku merasa malu atas banyaknya fasilitas yang aku terima dari si-mata-keranjang.

Kuambil sebuah apel dan menuju koleksi bacaan si-mata-keranjang.
Kuteliti satu persatu buku-buku yang ada disana ketika sebuah buku tulis tipis menyita perhatianku.

Buku apa ini?

Diarykah?

Terlalu tipis rasanya untuk sebuah diary.
Pasti ini milik si-mata-keranjang.
Baca apa tidak ya?

Rasanya sedikit bersalah juga jika aku membaca buku pribadinya.

Tapi si-mata-keranjang bahkan telah melihat pakain dalamku!

Game set.

Aku bawa buku tulis itu kesofa dan mulai membuka halaman pertama.

“Ehhhh…” Tak sadar aku bersuara ketika melihat halaman pertama.

Terlihat gambar yinyang disana.

Kulewati gambar itu.

Dihalaman berikutnya terlihat sebuah puisi.

Kalau tidak salah, ini kan puisi Chairil anwar?

Pikirku.

Kubaca dengan pelan puisi itu :


Aku

“Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi”
Aku mulai ragu apakah buku ini milik si-mata-keranjang. Puisi, rasanya terlalu bertentangan dengan jiwanya. Namun, ada sesuatu yang rasanya sesuai dengan dirinya dari puisi ini.

Tapi apa?

Kubuka halaman tiga.
Puisi lagi. Puisi atau sajak? Entahlah. Kembali kubaca dengan pelan sajak yang ditulisnya disini:

Sajak Cinta Buat Sahabat

Andai saja kau dan orang-orang itu tahu!
Apa yang ada dihatiku…
Mungkin…
Semuanya akan berbeda!

Andai saja kau dan orang-orang itu tahu…
Bagaimana pedih..perih hati ini..
Saat kau berkata…
Sahabat….

Saat temaram merah merona wajah..
Biaskan luka alirkan darah…
Hatiku berteriak…
Tapi…
Mulutku hanya bisa diam!

Aku sadar dalam cadar!
Aku tak pantas untukmu!
Aku……..
Hanyalah ……..
Seorang………..
Sahabat……..
Sejenak aku termenung dengan isi sajak ini. Apakah si-mata-keranjang pernah mencintai seseorang, namun orang itu tidak tahu? Pakah dia begitu menderitanya sehingga membuat sajak yang rasanya penuh dengan kepedihan ini.

Semakin penasaran aku dengan isi buku ini.
Kubuka halaman berikutnya.

Kali ini sebuah lirik lagu. Samar aku merasa pernah mendengar lagu ini. Lagu yang cukup lama rasanya.

Numb

I'm tired of being what you want me to be
Feeling so faithless, lost under the surface,
Don't know what you're expecting of me
Put under the pressure of walking in your shoes
Caught in the undertow, just caught in the undertow
Every step that I take is another mistake to you
Caught in the undertow, just caught in the undertow

I've become so numb
I can't feel you there
I've become so tired,
So much more aware
I'm becoming this
All I want to do,
Is be more like me,
And be less like you

Can't you see that you're smothering me?
Holding too tightly, afraid to lose control
'Cause everything that you thought I would be,
Has fallen apart right in front of you
Caught in the undertow, just caught in the undertow
Every step that I take is another mistake to you
Caught in the undertow, just caught in the undertow
And every second I waste is more than I can take

I've become so numb
I can't feel you there
I've become so tired,
So much more aware
I'm becoming this
All I want to do,
Is be more like me,
And be less like you
And I know
I may end up failing too
But I know
You were just like me with someone disappointed in you

I've become so numb
I can't feel you there
I've become so tired,
So much more aware
I'm becoming this
All I want to do,
Is be more like me,
And be less like you

I've become so numb
I can't feel you there
I'm tired of being what you want me to be
I've become so numb
I can't feel you there
I'm tired of being what you want me to be
Hmmmm…
Aku ambil laptop dari kamar tidur. Setelah hidup aku lihat ada akses wifi. Kucoba login, dan berhasil.

Tanpa password?

Kubuka browser dan mengetikkan, makna lagu numb.
Beberapa hasil muncul, salah satunya menyita perhatianku.


Sebenarnya lirik lagu ini menggambarkan situasi yang sangat tidak nyaman.

Lirik lagu ini menceritakan seseorang yang merasa begitu tertekan oleh berbagai tuntutan dari lingkungan sekitarnya, sehingga pada suatu titik ia bahkan menjadi mati rasa. Hidupnya hampa dan sangat melelahkan. Mungkin kita pun sering mengalami situasi kondisi seperti demikian, tak mampu menjadi diri sendiri karena begitu besarnya tekanan dari orang-orang di sekitar yang mengharapkan kita menjadi seperti ini/itu, padahal kita memiliki jati diri masing-masing yang tak mungkin bisa menyenangkan semua orang.
Si-mata-keranjang tertekan?
Dia?

Memikirkan ada yang bisa menekannya membuatku penasaran dan juga bingung. Pakah hidupnya begitu kompleks? Apakah..

Uffftthhh, kenapa aku malah harus memikirkannya...

Tak sadar aku menggelengkan kepala berkali-kali.

“Mbak Lidya kenapa? Tadi senyum-senyum sendiri, terus kelihatan bingung, sekarang malah geleng-geleng terus, hihihi“ Kata Lisa di depan pintu kamar tidur.

“Eh, lagi pusing aja Lis“ Jawabku cepat.

“Kemana tadi jalan-jalan Lis?” Tanyaku, mengalihkan perhatian.

“Gak jalan-jalan kok mbak, cuma beli makan dan buah-buahan, tapi kok mbak beli lagi?” Tanyanya melihat keranjang buah-buahan diatas meja.

“Tadi ada mas yang nganterin Lis, dari G-Team kayaknya” Jelasku.

“Wah, full service ne mbak“ Katanya sambil duduk disampingku.

“Mbak gak hubungin Mas Andri? Mungkin sudah sampai sekarang di Semarang” Kata Lisa mengingatkanku.

“Besok pagi saja Lis, kalau sudah nyampe biar dia istirahat dulu“

“Wah, mulai perhatian nih mbak,hihihi“ Goda Lisa, yang suksen membuat pipiku panas lagi.

Lagi.

“Mbak mau tidur duluan ya Lis, lumayan capek hari ini“ Kataku sambil menaruh buku tipis yang barusan kuambil ketempatnya.

“Iya mbak, Lisa mau nonton dulu ya”

“Oke Lis, mbak duluan ya” Kataku sambil mematikan laptop dan menuju kekamar tidur.

“Huhhhhhhh”

Saatnya istirahat.

Dengan pelan kututup mataku dan mulai bersiap menuju mimpi.

Semoga mimpi indah.

Andri POV

keesokan harinya

“Mas, kok diam saja?“ Tanya Raisa ketika aku memegang kemudi mobil.

“Capek dan kurang tidur ne Is“

“Hihihi, tapi seneng kan mas?”

“Hmmm......“ Kulirik Raisa, dan seperti biasa dia cemberut ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.

“Bukan seneng lagi Is...“ Kutahan jawabanku dan seperti biasa disambar Raisa.

“Lalu apa mas?“

“Seperti disurga…..ditemani bidadari cantik-cantik…” Kataku sambil tersenyum.

“Ihhh,,,, emang sudah pernah kesurga?”

“Sudah, kan kemarin“ Jawabku sambil tersenyum.

“Idih, mas tu edan tau..!“

Kulihat Raisa sedikit cemberut.

Uffgtttttt, bibir itu. Semakin menantang kalau cemberut. Kuingat bagaimana rasanya ketika bibir itu kukulum.

“Edan? Kok edan?”

“Habis, itunya gak cukup sekali, capek tau mas!“

“Capek tapi kalau dikasi lagi mau kan?“

“Boleh, tapi sekarang ya mas?“

 Chapter 11: RAISA SECRET
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Kenapa tidak bangun juga?
Padahal didepan, seorang kupu-kupu malam sudah telanjang menanti.
Malu.
Hanya itu yang bisa kurasakan.
“Mas, koq belum bangun juga sih?”
“Aku emut ya?”
Dengan telaten dia menciumi penisku. Namun penisku belum bangun juga.
Apakah aku…
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buset.

Ekspresi Raisa!

Gleekkkkk.

Lagi dan lagi. Raisa sukses membuat Andri junior berontak dikandangnya.

“Ihhh,,,, segitu aja dah bangun, apalagi dikasi ini“ Sahut Raisa sambil menaikkan rok yang dipakainya.

Glekkkk.

OMG!

Terlihat celah kecil diantara rimbunnya semak-semak yang mengelilinginya.

Tanpa celana dalam lagi.

Huft, kapan aku bisa kerja kalau begini?

“Hihihi.. awas keluar matanya mas“ Tawa pelan Raisa ketika aku melotot memandangi bagian tubuhnya yang kemarin kunikmati itu.

Huftttt.

“Eh Is, handphonenya sudah ada sinyal?”

Kataku mengalihkan pikiran-pikiran mesum yang mulai bermunculan bagai jamur dimusim hujan.

“Belum ada mas” Jawab Raisa sambil memperlihatkan handphonenya.

“Waduh, takutnya nanti ada email atau telepon penting”

“Ehheemm, bilang aja takut ada panggilan dari Mbak Lidya” Kata Raisa sambil tersenyum.

“Yee… Kami kan partner sekarang Is”

"Partner ranjang maksudnya mas?"

Alamak!

“Eh mas, kelihatannya ada warung lesehan didepan, mampir sebentar yuk, Is laper nih“ Kata Raisa sambil menatap dengan wajah memelas.

“Ayo Is, mas juga laper, padahal kemarin habis makan besar, hehehe“

“Idih, dasar mesum!“

“Mas, tunggu dulu!“ Kata Raisa ketika aku hendak turun.

“Kenapa is?“ Tanyaku heran.

“Jangan disini makannya ya mas?“ Katanya terlihat sedikit malu.

“Emang kenapa Is?“

“Ini kan warung lesehan, Is kan gak pake celana dalam mas, gak enak duduknya“ Kata Raisa.

Benar juga.

Sebuah ide muncul dibenakku.

“Pakai kain pantainya aja Is“ Kataku sambil tersenyum.

Senyum mesum.

“Gimana ya mas?“

“Daripada keliatan Is“

“Iya deh mas”Katanya sambil mengambil kain pantai dan mulai mengenakannya dengan sensual.

Gleekkkk.

Lagi.

Dan lagi.

Raisa membuatku panas-dingin.

Kuingat malam sebelumnya.

Malam yang panas.

“Ayo mas” Ajak Raisa sambil turun dari mobil.

Warung lesehan ini terlihat cukup luas. Dari jalan, warung ini dibatasi dengan pagar dari bambu yang tersusun rapi. Sebuah meja panjang terlihat dimasing-masing bilik yang tersedia.

Antar bilik dipisahkan dengan sebuah anyaman bambu setinggi satu meter. Sementara kasir dipojok bangunan. Jadi bisa dikatakan kalau makan kita tidak akan terganggu oleh yang lain.
Kami menuju bilik yang paling pojok dan melihat menu yang tersedia. Tak berapa lama terlihat, seorang gadis pramusaji menghampiri kami.

“Mbak, mas, mau pesan apa?” Tanyanya ramah.

“Nasi goreng satu, jeruk hangat satu, Is mau pesan apa?” Tanyaku pada Raisa.

“Hmmmm, sama aja deh mas”

“Jadi nasi goreng dua, jeruk hangat dua ya mas?“ Tanya sigadis pramusaji.

“Iya mbak“ sahutku.

“Mas, mau langsung kepabrik atau gimana mas?” Tanya Raisa ketika si pramusaji telah menghilang.

“Kalau mas pengennya langsung aj Is, sudah lumayan telat neh“

“Ihhh, mas tega, masa aku gak pake daleman kekantor?“ Jawab Raisa sambil merenggut.

“Kan udah gak kelihatan juga Is“

“Iya deh mas, tapi jangan sampai sore ya?“ Tawar Raisa.

“Siiiipppp bosss“

Drrrrtttt.....drrrrttttttt...drrrttttt

Drrttttt...drrrttttttt...drrtttttttt.....

Beberapa kali getaran terasa di kantongku. Kulihat handphone sebentar dan terlihat beberapa notifikasi.

Oh iya, aku belum memberi laporan kepada teamku!

“Is, masih jauh jarak dari sini ke pabrik?“

“Paling lagi 10 menitan mas, kenapa mas?“

“Mau buat laporan, dan peta jalur kita dari Jakarta sampai dipabrik, biar timku bisa buat rancangan programnya“ Jelasku pada Raisa.

Kulihat ada beberapa sms dari Frans dan Edy, semuanya menanyakan statusku sekarang. Kubalas satu persatu.

Tidak ada sms dari si-celana-dalam-putih.

Kenapa aku mengharapkannya?

Sudahlah!

Setelah selesai mengecek sms, aku cek email. Ada beberapa email, email dari Erlina menyita perhatianku.

From :erlina@gteam.com
To : Pak Andri ;
Subject : Alfa Medika Security Akses.

Selamat Sore pak,

Ade dari bagian programming minta akses untuk security dari Alfa Medika, karena dari draft yang bapak kasi, ada security yang mengawasi alur system yang diminta nantinya. Jadi kalau bisa Ade minta user name dan password level admin dan atau installer dari security filenya. Biar nanti bisa running test di server kita,

Terimakasih..

Erlina.

Sekretaris
Gteam | www.gteam.com

Hmmmm, as always, Erlina selalu bisa diandalkan. Mungkin aku perlu menaikkan gajinya.

“Is, aku dapat email dari sekretarisku, untuk security program di Alfa Medika, siapa yang pegang?“

“Ada admin nya dikantor mas, untuk perusahaannya dipegang Troy Company, kenapa mas?“ Tanya Raisa.

“Bisa minta username dan password untuk level admin, atau, sample security programnya? Untuk running testnya aja Is”

“Wah, untuk user dibatasi sekali yang bisa akses mas, aku aja gak punya” Terang Raisa.

“Tapi kalau untuk sekedar sample, dulu ada demo project yang diberikan Troy Company, kalau gak salah, aku masih ada detailnya, tunggu bentar ya
mas“ Lanjut Raisa sambil membuka handphonenya.

Kuperhatikan Raisa.

Cantik.

Energik.

Manja.

Menggairahkan.

Namun dibalik itu semua, rasanya tersimpan sesuatu yang lain. Suatu kepedihan yang dalam, yang coba disembunyikannya. Namun saat-saat tertentu, itu tak bisa disembunyikannya lagi. Saat..

“Mas, detailnya ketemu! Aku kirim lewat email ya, email mas apa ya?”

andri@gteam.com, itu Is”

“Oke mas, detailnya aku kirim via email ya, duh, kok lama ya mas? Dah laper nih” Keluh Raisa sambil memegang perutnya.

Kulihat kearah kasir dan tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.

“Mungkin masih disiapkan is, kitanya aja yang kepagian ne is” Terangku.

Kulihat handphoneku dan kulihat email dari Raisa sudah masuk.

Kuforward email Raisa ke Erlina.

Dan akhirnya, sarapan kami datang.

“Maaf lama nunggunya“ Kata pramusaji sambil meletakkan pesanan kami diatas meja.

“Mari makan“ Kata Raisa, dan langsung melahap makanannya.

Saatnya berperang dengan seporsi nasi goreng!

...

“Uhhhhh,,, penuhhhhhhh“

Aku hanya bisa tersenyum melihat ekspresi kegirangan dari Raisa.

“Wah, gak nyangka, kecil-kecil makannya banyak juga ya?“

“Salah mas juga tau, diajak main kuda-kudaan, eh , gak dikasi makan,,huhuhu“ Cibir Raisa.

“Eh, mas tidur ngorok tau,hahahha“ Tawa polos Raisa terlihat begitu lepas.

“Daripada kamu Is, tidurnya ngigo terus“

Kulihat wajah Raisa yang tadi begitu ceria tiba-tiba berubah pucat. Bibirnya sedikit gemetar, terlihat begitu kontras perubahan wajah Raisa.
“Aku gak bilang yang macem-macem kan mas?” Tanya Raisa, tidak bisa menyembunyikan nada khawatir dari suaranya.

Kupandang mata Raisa, terlihat kepanikan disana.

Perlahan, berubah menjadi kesedihan.

“Siapa Hendra Is?“ Tanyaku pelan.

Hening setelah aku menanyakannya pada Raisa. Terlihat dia memainkan sendok dipiringnya yang kosong. Beberapa saat berlalu, Raisa masih terdiam, belum menjawab apa yang kutanyakan.

Mata itu.

Mata yang memancarkan kesedihan.

Mata yang memancarkan ketakberdayaan.

Mata yang memandangku, dengan sendu.

“Panjang ceritanya mas“ Jawab Raisa sambil menoleh kesamping.

“Kita punya banyak waktu Is“

“Hendra, pacar Is mas“ Jawab Raisa pelan.

“Tepatnya pacar yang terpaksa meninggalkan Is“ Lirih suaranya, membayangkan kesedihan yang mendalam.

“Karena terhimpit masalah keuangan yang diakibatkan oleh hutang-hutang ayahnya, Mas Hendra terpaksa meminjam banyak uang dari rentenir. Bahkan rumahnya terpaksa dijual. Untuk membayar hutangnya, Mas Hendra bekerja keras dari pagi sampai malam“

Raisa diam beberapa lama.

“Kerja sebagai apa dia Is?“ Tanyaku, tak bisa menahan pertanyaan meluncur dari mulutku.

“Pengacara mas. Dan dengan kerja kerasnya, hampir sebagian dari hutang ayahnya berhasil dilunasi. Hubungan kami berjalan harmonis, namun itu tak berjalan lama, sampai ayah Is mengetahui hubungan kami.“ Raisa terdiam dan menarik nafas panjang.

“Ayah takut kalau Mas Hendra mendekati Is untuk mendapatkan uang Is saja. Jadi ayah mengajukan syarat, Mas Hendra harus punya rumah sendiri jika ingin berhubungan dengan Is, dan itu dalam waktu enam bulan. Mas Hendra bekerja seperti gila, namun itu terbayar lunas “

Raisa terdiam lagi, sebelum mulai melanjutkan.

“Is masih ingat ekspresi gembira Mas Hendra ketika memberitahu Is, kalau dia sudah bisa mencicil sebuah rumah yang sederhana. Dan masih terngiang bagaimana senangnya kami ketika Mas Hendra pindah kerumah barunya. Dan....“

Raisa tersipu sebentar kemudian melanjutkan.

“Dan Is masih ingat saat pertama kali menginap dirumahnya dan...dan kehilangan keperawanan Is.“ Rona merah muncul dipipi Raisa, senyumnya begitu tulus.

Rasa cintanya masih terlihat.

Walau hanya baru sebentar mengenalnya, aku tahu dia sangat mengingat kenangan bersama pacarnya.

“Dan besoknya, Mas Hendra ditembak orang tak dikenal saat berangkat kerja dan meninggal saat dalam perjalanan kerumah sakit. Hanya sehari setelah dia berhasil memenuhi syarat ayah, hanya sehari!“

Sebutir air mata mengalir turun dari sudut mata Raisa.

Namun dia menangis tak bersuara.

Sedikitpun tak terdengar isaknya.

Dan dia tersenyum!

“Yang Is sesalkan, pelaku penembakan sampai saat ini belum bisa ditangkap pihak yang berwajib. Bahkan kasusnya ditutup karena kurangnya bukti dan saksi. Dan kemudian ayah mulai memaksa Is untuk berkencan dengan orang pilihannya!
Ketika Is menolak, ayah meminta Is bekerja dikantornya sehingga bisa mengawasi Is“ Sambung Raisa.

“Dan beginilah mas, Is jadi suka bercinta dengan klien ayah, tentu saja yang Is suka, hanya untuk sekedar membalas perlakuan ayah yang melarang Is mempunyai pacar dan selalu mengatur hidup Is!“ Katanya dengan datar.

“Menyedihkan kan mas?“ Tanya Raisa sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya.

“Sebaliknya Is, kamu begitu tegar menghadapinya, walaupun, mas rasa revenge mu kurang tepat sasaran“ Jawabku spontan.

“Hufffffttt,,,Is juga tau mas, tapi....

“Tapi apa Is?“ Potongku tak sabaran.

“Habis Is bingung mas, kalau lagi pengen ma siapa men maennya? Hihihi“

Buset!

Ne anak, cepet banget berubah dari sedih jadi seneng.

“Mas, ayo kepabrik, biar tidak terlalu malam nanti selesainya.“Ajak Raisa.

“Ayo“ Jawabku sambil beranjak bangun dan menuju kasir.

Setelah selesai membayar dikasir, kami menuju mobil dan bersiap melanjutkan perjalanan. Setelah sepuluh menit kami sampai di pabrik dari Alfa Medika.

“Eh, Mbak Raisa, tumben kesini mbak? “ Tanya security yang menjaga dipintu gerbang.

“Iya nih pak, nganter Pak Andri ini, mau ngambail gambar disini, minta ID level 1 dong pak, mau survey pabrik hari ini“ Jelas Raisa.

“Iya mbak, tunggu sebentar mbak“ Sahut sisecurity sambil menginput data dikomputernya. Tak berapa lama, dia memberikan dua buah ID kepada kami.

“Ini mbak, silahkan“ Katanya sambil membuak pintu pagar.

“Thanks ya pak“ Sahut Raisa.

Kami menuju keparkiran. Setelah selesai memarkir mobil dan hendak keluar, Raisa menghentikanku.

“Tunggu sebentar mas, Raisa pake make up dulu“

Aduh. Dasar cewek!

Kulihat Raisa perlahan merapikan make upnya. Dengan pelan tangannya mengusapkan lipstik tipis kebibirnya yang tipis.

Bibir itu.

Bibir yang kemarin begitu ahli mengeroyok Andri junior dengan Tri.

Perlahan ingatanku melayang saat malam kemarin, ketika tangan mungil itu membelai penisku...

Ketika...



Chapter 12: FACTORY.
Part 1

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Entah mengapa, aku selalu tertarik dengan yang lebih muda.
Entah itu siswi SMP bahkan SD.
Apakah ini suatu kelainan?
Yang jelas, aku ingin menikmati gadis-gadis muda itu.
Gadis-gadis yang baru berkembang.
Membayangkan saja sudah membuatku meneteskan air liur.
Membayangkan menikmati lubang mereka yang sempit.
Teriakan kesakitan yang dipadu dengan kenikmatan mereka yang bersahutan.
Teriakan itu, bagai simfoni yang begitu merdu ditelingaku.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ketika...

“Ouwh…!” Kataku terkejut ketika sepasang tangan yang mungil membelai penisku yang setengah tegang dari belakang.

Kemudian kurasakan nafas halus perlahan disekitar paha, naik ke pinggang.

Tangan mungil itu perlahan mengelus bola dibawah sana.

Perlahan.

Lembut.

Kemudian sesuatu yang hangat dan basah menciumi kepala penisku.

Kulihat kebawah dan tatapan menggoda Tri memandangku.

“Tri, ayo kita bikin Andri junior mabuk malam ini,hihihi“ Kata Is sambil perlahan bangkit dari duduknya.

“Uffftttttt...terus Tri“ Racauku.

Perlahan penisku yang setengah tegang mulai mengeras.

Lagi.

Raisa menghampiriku dengan langkah sensualnya, tangannya membelai bahuku dengan perlahan. Dia melangkah kebelakang tubuhku dan perlahan memelukku dengan mesra. Gundukan kenyal didadanya menekan erat punggungku, bibirnya yang tipis dan basah menciumi tengkuk dan telinga, sementara tangannya memilin pelan putingku.

Sementara dibawah sana ,Tri masih asik mencium penisku yang telah menegang dengan sempurna. Tangannya dengan aktif mengelus bola-bola yang menggantung pasrah. Perlahan penisku dikulum oleh Tri, bisa kurasakan Tri belum begitu berpengalaman.

Giginya masih menyentuh penisku.

Terasa ngilu.

Kuminta Raisa untuk berjongkok didepanku, ingin kubandingkan, kuluman siapa yang lebih enak. Sambil tersenyum mesum, Raisa mendekatkan mulutnya kearah Tri yang masih asik dengan penisku. Sambil melirikku dengan tatapan menggoda, Raisa mulai menjulurkan lidahnya, men...

...

“Mas, Mas Andri“ Raisa menggoyangkan tangannya didepan mataku.

“Ayooo, pasti ngelamunin yang kemarin ya? Ckckkckc, gak usah dilamunin mas, nanti Is kasih lagi kok, hihihi“ Suara Raisa membawaku kembali kealam nyata.

“Abis enak, ngapain gak diinget Is, hehehe. Dah siap?“ Tanyaku ketika dia memasukkan alat kosmetiknya kembali ketas.
Kuambil semua perlengkapanku dan memasukkannya kedalam tas yang kubawa.

“Sudah mas, ayo“ Ajak Raisa sambil melangkah kedalam pabrik.

“Wah, Mbak Raisa, tumben mbak?“ Tanya petugas security di pintu masuk.

“Iya mas, nganter mas ini, mau ambil gambar dan detail produksi disini“ Jelas Raisa sambil menunjuk kearahku.

“Ouwhh, bisa saya lihat ID nya mas?“ Tanya security dengan ramah.

“Ini pak“ Kataku sambil memberikan ID ku yang tadi tergantung dileher.

Setelah dia mencocokannya diposnya, dia mengembalikannya padaku.

“Ini mas, silahkan masuk“ Katanya sambil membukakan pintu.

“Mari pak“ Kataku kepadanya sambil melangkah mendekati Raisa yang sudah berjalan duluan.

Kami menuju bagian dalam pabrik.

Dan, oh yeah!

Luas.

Sangat luas.

Beraneka ragam mesin dan ruangan ada disini. Dengan ratusan mungkin ribuan orang yang bekerja.

“Siap mas?“ Tanya Raisa melihatku sedikit tertegun dengan suasana pabrik.

“Let’s go!“

Selama dua jam berikutnya, kami berkutat dengan pengambilan gambar. Pencatatatan data, pembuatan alur produksi, dan beberapa rekaman dengan staff produksi. Secara garis besar, alur pembuatan obat-obatan sudah berhasil kucatat. Bagian detailnya ternyata ada berupa semacam e-books dan bagan.

“Wah Is, nanti tinggal aku ambil gambar dan video sesuai alur ini, jadinya detail yang mas dapet lebih full“ Kataku pada Raisa.

“Iya mas, tapi pegel nih, istirahat dulu yu mas? Sambil ngopi“ Ajak Raisa.

Kopi.

Good idea.

“Ayo Is, mas juga pengen kopi, plus susu tapi, hehehe“ Godaku pada Raisa.

“Ihhh, dasar maniak, ayo mas“ Ajak Raisa.

Kami menuju kebagian resepsionis, disana Raisa meminta kopi.

“Mbak, minta dua kopi, antarkan ke ruang kerja bapak yang dulu ya“ Pinta Raisa.

“Iya mbak Raisa, ada lagi mbak?“ Tanyanya dengan ramah.

“Kalau ada cemilan boleh juga ya, tapi jangan yang kentang ya, bosen nih ma kentang dari kemarin“ Kata Raisa sambil melirikku.

“Ayo mas“ Ajaknya sambil tersenyum.

Aku mengikuti langkah Raisa.

Dan baru aku mngerti apa makna senyumnya tadi.

Langkah Raisa perlahan didepanku, pantatnya yang tertutup dengan rok hitam dibalut kain pantai digoyangkan dengan gemulai. Terpaksa lagi dan lagi aku menelan ludah.

Ruangan yang dikatakan Raisa terletak sedikit terpisah dari ruangan pabrik dan berada di gedung bertingkat. Terlihat beberapa staff diruangan bawah.

“Wah, Mbak Raisa, tumbeh ni mbak“ Sapa seorang staff.

“Iya neh mbak, mau ngambil gambar sama mas ini” Katanya sambil menunjuk kearahku, yang hanya bisa tersenyum kepadanya.

“Mbak mau keruang atas?” Tanyanya kepada Raisa.

“Iya, kuncinya ada?” Tanya Raisa.

“Ada mbak, ini kuncinya” Katanya sambil mengambil sebuah kunci dari laci dan memberikannya pada Raisa.

Kami naik kelantai dua dengan menggunakan tangga. Sampai di lantai dua, hanya ada sebuah ruangan disini. Raisa membuka pintu dan terlihatlah sebuah ruangan kecil yang nyaman. Aku menutup pintu yang berayun pelan dibelakangku.

Terdapat sebuah meja panjang berwarna coklat yang dilengkapi dengan kursi putih yang sederhana. Didinding terlihat berjejer lemari yang berisi buku-buku. Dibelakan meja, terdapat kaca yang ditutupi tirai berwarna putih. Dari kaca itu terhampar pemandangan pabrik yang berada diluar ruangan.
“Duduk dulu mas“ Kata Raisa, sementara dia melepaskan kain pantainya dan bersandar dimeja.

“Huftftttt, lumayan capek juga“ Kataku.

“Mau dipijet mas?“ Tawar Raisa dengan senyum khasnya.

“Pijet pakai apa Is?“

“Mas maunya pake apa?” Sambil berkata seperti itu Raisa mencondongkan tubuhnya.

“Yang dua ini?” Sambil menunjuk dadanya.

“Atau yang dibawah sini?” Katanya sambil membuka kakinya dan perlahan menaikkan rok hitamnya.

Kembali aku menelan ludah melihat apa yang dilakukan Raisa.

Sebelum aku bisa menjawab, terdengar ketukan dipintu.

Tok.tok.tok..

“Iya” Sahut Raisa sambil menurunkan roknya dengan tergesa dan melangkah kepintu.

“Mbak, ini kopinya” Kata si resepsionis yang kami jumpai tadi.

“Thanks ya mbak”

“Sama-sama mbak” Kudengar jawaban pelan dari si resepsionis sebelum berlalu.

“Mas, ini kopinya“ Sambil menyerahkan kopinya, Raisa menunduk, terlalu menunduk, sehingga terlihat belahan dadanya yang kemarin aku puas cicipi.

Hufftttt.

Fokus kerja ndri!

Kuambil cangkir kopi dari Raisa, dan tanpa melihatnya, aku mengambil laptop, menyalakannya. Setelah laptop menyala, aku transfer gambar-gambar yang aku ambil tadi.

Kulirik Raisa.

Dia tersenyum memandangku sambil menghirup kopinya.

Well, ada lain kali untuk menikmati tubuh mulusnya.

Setelah selesai mentransfer gambar, aku melirik lagi kearah Raisa.

Dan…

Raisa menaikkan roknya sampai kepangkal paha!

Sementara itu paha mulusnya dibiarkan terbuka sehingga belahan kecil yang berada di pangkal paha itu terlihat samar karena dipenuhi dengan semak-semak yang rimbun.

Tak bisa kucegah lagi, Andri junior berontak bangkit dan terasa sesak dicelanaku.

“Hihihi, mas cepet banget banget tu bangunnya, tapi sekali bangun, sulit bobonya hihihi” Goda Raisa.

Andri, fokus!

“Is, apa password wifinya?” Tanyaku melihat ada wifi tersedia.

“Hmmm,,,Is Tanya dulu mas, tapi yakin ndak mau ini mas?” Kata Raisa sambil menyibakkan rambut-rambut yang ada dipangkal pahanya.

Gleeekkkkk.

Penisku terasa sakit dibawah sana.

Kutatap belahan sempit yang terlihat disana, sangat indah dan merangsang.

“Oh iya, password wifinya ya mas?” Kata Raisa sambil berbalik dan mengambil telepon yang ada di meja.

Pantat itu, membulat dengan indah.

Konsentrasiku semakin buyar.

Tidak bisa kudengar dengan jelas apa yang dikatakan Raisa ditelepon.

Pantat itu terasa lebih penting untuk dilihat sekarang.

“Mas passwordnya empiris ”

“Hah klitoris?” Kataku tak percaya.

“Hihihi, mesum mulu mas, EMPIRIS, huruf besar semua ya” Kata Raisa, menikmati situasiku yang serba salah.

Ayo Andri, konsentrasi!

Kutaruh semua file gambar yang berhasil aku ambil sampai saat ini di fasilitas cloud perusahaan, ebook dan bagan yang kudapat juga aku upload, hanya video saja yang tidak aku upload karena sizenya yang terlalu besar.

Kuhirup kopi yang sudah terasa agak dingin, hanya untuk meredakan nafsu yang sudah dititik kritis.

Oke, email beres, tinggal menunggu semua file terupload.


Oh iya, dimana Raisa?

Pertanyaanku terjawab ketika benda yang hangat dan lunak terasa di punggungku.

Perlahan benda itu bergerak kesamping dan akhirnya kulihat Raisa.

Kancing blousenya terbuka. Memperlihatkan daging putih yang mengintip malu-malu.

“Is…”

“Uhuh…”

Raisa menarik tanganku kearah meja. Dengan satu tangan dia mendorongku hingga terduduk diatas meja. Tangan yang satunya dengan ahli membuka resleting celanaku.

Andri junior terbebas dari sangkarnya.

“Ahhhh, is….” Hanya itu yang bisa kukatakan ketika lidah Raisa mulai menjilati kepala penisku. Lidah itu kemudian dengan lincah menyusuri batang dan bola-bolaku yang tergantung dengan pasrah.

Drrttttttt..drrrttttttt…

Drrttttttt.drrrrtttttttttt…

Getar handphoneku yang terus menerus membuatku tersadar.

“Is, ada telepon, tunggu dulu…”

“Angkat aja mas” jawab Raisa, sekarang tangan lentiknya ikut mengocok pelan batang penisku.

Kulihat layar handphone dan nama si-celana-dalam-putih terlihat disana.

“Is, Lidya, berhenti dulu..ughhttt…”

“Uhuh… ” Yang kudapat malah jilatan pelan di kepala penisku.

Terpaksa kuangkat telepon dengan keadaan batang penis yang dikocok pelan, dan kepala penis dihisap oleh mulut mungil Raisa.

Lidya POV.

“Halo, selamat pagi” Kudengar suara si-mata-keranjang diujung sana.

“Halo Mas Andri, Mas dimana sekarang? ” Tanyaku to the point.

Di pabrik Alfa Medika mbak, kenapa mbak?”

“Untuk detail alur produksinya bagaimana mas?”

“Link gambar awal sudah aku kirim lewat email, gambarnya masih aku upload via cloud perusahaanku, nanti minta filenya di Erlina atau Frans”

“Itu sudah semua filenya mas?”

“Belum mbak” Suara si-mata-keranjang sedikit tersendat.


Dan seperti kesakitan?

“Halo, mas baik-baik saja?”

“Baik-baik saja kok mbak, cuma ada lebah yang masuk ke ruangan sini” Terangnya.

Ouuwwhhh.

“Mbak, mungkin file lengkapnya nanti sore sudah bisa aku kirimkan, ada detail lain yang mbak perlukan, ah..?” Kata si-mata-keranjang, sedikit terengah.

Terengah?

“Sementara ini belum mas, detail security yang mas kirimkan sudah aku terima, kepala programmer mas sedang running test sekarang. ” Terangku.

Jadi besok si-mata-keranjang sudah ada disini.

Bagaimana dengan kerja tim kita mbak? ” Tanya si-mata-keranjang.

“Sampai saat ini lancar mas” Jawabku pelan.

“Ughhhh,, aku m..au keluar…” Kudengar suara pelan si-mata-keranjang disebelah sana.

Keluar???

 Chapter 12: FACTORY.
Part 2.

Keluar???

“Maksudnya mas?”

“Hah..hah..hah, ada sarang lebah didekat sini mbak, gak sengaja aku ganggu kayaknya” katanya dengan terengah.

“Ne lagi lari mbak” Sahutnya, masih dengan nafas terengah.

Senyum tak bisa kutahan muncul diwajahku ketika membayangkan si-mata-keranjang dikejar sekumpulan lebah.

“Wah, hati-hati mas, kalau begitu sampai nanti mas” Kataku sambil menutup telepon.

Tak sadar aku senyum sendiri ketika selesai menelepon.

“Mbak kenapa? Kok senyum-senyum sendiri?” Tanya Lisa, heran dengan keadaanku.

“Ini, si-ma, eh maksudku Mas Andri, dikejar lebah pas mbak telepon” Jelasku.

Hampir aku memanggilnya dengan si-mata-keranjang.

“Wah, ngapain Andri sampai dikejar lebah? Memang di pabrik ada lebah?” Timpal Mas Edy sambil mengerutkan keningnya.

“Mungkin di laboratorium Dy, dia kan dipabrik obat-obatan” Jawab Mas Frans santai.

“Oke, jadi bagaimana mbak? Untuk data-data projectnya sudah diberikan oleh Andri?” Tanya Mas Edy, seperti biasa, serius.

Terlalu serius.

“Mas Andri sudah menguploadnya ke clous storage perusahaannya mas, jadi nanti tinggal kita download saja mas, untuk yang lebih detail akan dikirimkan nanti sore” Jawabku.

“Bagaimana dengan detail security system yang diminta Mas Ade, sudah ada kabarnya?” Lanjutku sambil menoleh kearah Mas Frans dan Erlina.

“Untuk detail security systemnya sudah diberikan mbak, sudah saya forward ke email nya Ade, untuk sementara dia masih ngeceknya, mungkin

besok atau nanti sore dia bisa memberikan penjelasan apakah datanya sudah lengkap atau tidak” Jelas Erlina detail.

Sekretaris yang bisa diandalkan, dengan otak dan tubuh seperti itu, setiap bos yang memmpunyainya pasti akan tertarik.

Apakah si-mata-keranjang juga?

“Hmm, untuk algoritmanya ada masalah mbak?” Tanya Mas Edy.

“Sampai sejauh ini belum ada kendala, masih nunggu data dari Mas Andri saja sekarang.”

“Kalau begitu, kita bisa memberitahukan kepada semua staff tentang data yang sudah masuk, sehingga nanti bisa kita proses lebih lanjut.” Lanjut Mas Edy.

“Oke, kalau begitu aku akan kasi tau mereka sekarang, sekaligus menanyakan apa saja data yang masih kurang”

“Silahkan mbak, kalau ada yang perlu lagi dari G-Team, jangan ragu menghubungi kami” Saran Mas Frans.

“Oke mas” Jawabku sambil menuju tempat kami membuat software untuk Alfa Medika.

Suasanya ruang kerja di G-Team dibuat semaksimal mungkin untuk kenyamanan staff. Staff bisa dengan bebas mendekorasi tempat kerjanya asal tidak menyebabkan kerusakan atau modifikasi permanen. Ruangan terasa nyaman, dengan kualitas standar yang tinggi. Setiap bagian mempunyai ruangan yang terpisah. Dari sekian bnayak ruangan yang ada, yang paling malas aku masuki adalah ruangan programmer.

Well.

Karena semua anggotanya laki-laki dan bau rokok!

Ruangan ini sedikit terasa pekat, karena kurangnya ventilasi, ruangannya juga sunyi, nyaris tak ada musik atau hiburan sejenisnya.

Namun ruangan itu harus yang pertama aku kunjungi.

“Halo, selamat pagi semuanya” sapaku ketika sampai diruangan programmer. Terlihat beberapa staff G-Team sedang asyik berkutat di depan computer masing-masing. Anggota timku juga terlihat sibuk dikomputernya.

“Pagi mbak” Sapa mereka, beberapa mengucapkan salam tanpa melihat kearahku.

Well, sudah biasa.

“Untuk hari ini, data dari pabrik Alfa Medika telah diupload Mas Andri di cloud G-Team, jadi teman-teman bisa mengunduhnya disana, sudah punya akunnya kan?” Tanyaku sambil melihat sekeliling.

“Sudah mbak. Untuk detail lengkapnya kapan bisa kami peroleh mbak?” Tanya Ade, kepala programmer dari G-Team.

“Kata Mas Andri, mungkin nanti sore, nanti seperti biasa akan diupload lewat cloud juga, ada data yang mas perlukan lagi?” Tanyaku sambil mengamati Ade.

Tubuhnya kurus dan agak pendek, mungkin lebih pendek dariku. Dari ayng kudengar dari Lisa-yang mendengarnya dari Mas Frans. Ade memiliki sedikit masalah jantung dan tekanan darah tinggi.

Tidak aneh, melihat pola hidup dan makanannya. Minuman bersoda dan rokok menjadi teman sehari-harinya. Disamping makanan cepat saji yang menjadi pilihan menu makan malamnya.

Dan suka ‘jajan’.

Well, itu bukan urusanku. Namun dibalik semua ‘kekurangan ’itu tersimpan otak yang cemerlang, yang bisa menganalisa sebuah permasalahan dengan cepat dan mempunyai segudang akal untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Tidak salah kalau Mas Andri memilihnya sebagai ketua tim programmer.

“Untuk masalah securitynya ada perkembangan?”

“Masih running test mbak, nanti saya info kalau ada perkembangan” Sahutnya sambil kembali fokus ke depan computer.

Well done.

Aku keluar dari ruangan itu, sedikit bisa bernafas lega karena asap rokok yang tadi lumayan pekat.

“Hehehe, mbak pasti gak tahan dengan bau asapnya ya?” Tawa Lisa pelan dibelakangku.

“Iya Lis, mbak heran kenapa mereka bisa tahan.”

“Hanya mereka yang tahu jawabannya mbak” Sahut Lisa sambil mengangkat bahunya.

Sekarang kami menuju kebagian design grafis. Disini ruangannya berkebalikan dengan ruangan para programmer. Dentum music dan hingar bingar percakapan menyambutku dan Lisa.

“Selamat pagi”

“Selamat pagi mbak” Sahut mereka dengan gaya masing-masing.

“Wah, ada gerangan apakah sehingga ruangan kami dikunjungi bidadari pagi-pagi seperti ini?” Goda seseorang dari antara mereka.

“Wah, untung sudah mandi pagi ini,hehehe” Temannya menimpali.

“Eh, ketekku bau ndak?” Tanya salah seorang dari mereka kepada temannya.

Tak bisa kutahan wajahku sedikit memanas mendengar komentar mereka.

“Ada yang bisa dibantu mbak?” Tanya Surya, kepala bagian desain grafis. Kuamati dia sebentar.

Tinggi. Dengan wajah yang maskulin serta senyum yang menggoda.

Seperti si-mata-keranjang.

Tak tahan aku membandingkan mereka berdua.

“Cuma mau nanya mas, untuk masalah desain antarmuka dari sistemnya, mas perlu apa untuk buatnya? Kalau ada yang kurang, biar bisa saya carikan atau konsultasikan nanti”

“Kalau bisa, minta logo Alfa Medika yang high res, serta foto semua karyawan yang uptodate mbak, jadi bisa kami mulai dengan antarmuka system manajemen karyawannya mbak” Jawab Mas Surya.

“Oke mas, nanti saya info kalau sudah ada perkembangannya ya, mari mas” Jawabku sambil emlangkah menuju keruangan berikutnya.
Ruangan terakhir adalah ruangan yang penuh dengan perangkat keras computer.

Iya, ruangan server dan pusat pusat prangkat keras.

Semua perangkat yang diperlukan tim dan klien, dibuat atau dirakit disini.

Kulihat Mas Guzur, ketua tim perangkat keras sedang merakit sebuah computer atau sejenisnya.

“Selamat pagi mas” Sapaku.

“Selamat pagi mbak, ada yang bisa saya bantu mbak?” Tanyanya dengan ramah.

Berbeda dengan ketua tim yang lain. Mas Guzur berbadan besar kalau tidak dibilang gendut, diantara yang lain, Mas Guzur yang paling humoris dan santai.

“Cuma mau nanya, untuk hardwarenya mas ada masalah atau bagiamana? ”

“Sementara ini masih belum ada kendala mbak” Jawabnya sambil tersenyum.

“Satu-satunya kendala, berat badan saya yang semakin naik neh mbak hehehe” Lanjutnya sambil tertawa.

“Ya udah kalau begitu mas, nanti kalau ada yang perlu, hubungi saya ya mas” Kataku sambil melangkah keluar.

Satu agenda selesai, pikirku sambil menuju kembali keruangan rapat, yang sementara ini menjadi ruanganku. Sesampainya disana, kami duduk dan mulai membahas hal yang tadi.

“Lis, sudah kamu catat semua hal yang perlu tadi?”

“Sudah mbak, apa kita perlu menghubungi Mas Andri lagi mbak?” Tanya Lisa.

“Hmmm, coba kita hubungi saja Alfa Medika, Mas Andri pasti sibuk dengan pengambilan gambarnya.”

“Iya mbak, kalau begitu nanti aku coba hubungi pihak Alfa Medikanya mbak”

“Iya, thanks ya Lis” Sahutku.

Hmmmm, semoga si-mata-keranjang bisa tepat waktu mengirimkan datanya.

Masih mengambil gambar kah dia disana?

Andri POV.

“Hihihi, mas kalau lagi jutek lucu juga, hihihi” Gelak tawa Raisa membuatku semakin uring-uringan.

Tanya kenapa?

Ketika tadi spermaku sudah tinggal meluncur keluar, malah dia menghentikan aksinya.

“Buat nanti malam mas” Katanya sambil merapikan rok dan blousenya.

Huffffttttttt, kepalaku pusing karena nanggung.

“Mas Andri, jadi ngambil gambarnya sekarang?”

Busettt dah!

“Ayo Is” Mungkin dengan bekerja, gairahku bisa turun.

Hampir seharian kami sibuk mengambil gambar dan merekam pembicaraan dengan staff dipabrik. Hari sudah menjelang malam ketika kami selesai.

“Mas, nanti istrahat di villaku saja ya mas?” Tawar Raisa ketika kami sudah selesai mengambil foto dan video.

“Boleh Is, tempatnya masih jauh? ”

“Gak kok mas, dekat dari sini, mau sekarang kesana?” Tanya Raisa.

“Gak makan dulu Is?”

“Hmmm, coba Is telepon dulu Bi Ijah yang jaga di villa, biasanya Bibi Ijah yang masak mas” kata Raisa sambil mengambil handphonenya dan menelepon.

Setelah berbicara beberapa lama Raisa menaruh hanphonenya dan berkata.

“Mas, Is telepon Bi Ijah tadi, Bi Ijah dan suaminya yang biasa jaga villas sedang kondangan ke luar kota, besok baru datang, divilla ada keponakannya yang jaga sekarang, pinter masak juga katanya mas, gimana mas?”

Keponakannya?

Hmm, mangsa baru.

Seperti biasa pikiran mesum kembali bekerja.

“Hmmmm…. Ke villa aja deh Is, capek nih”

“Ayo kalau begitu mas”.

Kami menuju kemobil dan perlahan keluar dari pabrik.

“Eh, divilla ada internetnya Is? Mas perlu upload datanya sekarang”

“Ada kok mas, villanya biasanya dipakai bapak kalau lagi kesini” Jawab Raisa.

Lima menit kemudian kami tiba di villanya Raisa.

“Loh, kok pagarnya terbuka?” Seru Raisa melihat pintu pagar yang memang sedikit terbuka.

“Mungkin lupa ditutup Is”

“Mungkin saja mas”

Aku turun dan membuka pintu pagar lebih lebar sehingga mobil bisa masuk.

“Mungkin ada tamu Is” Seruku sambil menunjuk dua pasang alas kaki di pintu masuk.

“Mungkin saja mas” Sahut Raisa sambil mengetuk pintu villa.

“Tok..tok..tok…”

“Tok..tok…tok” Tidak ada sahutan dari dalam. Samar terdengar music dari lantai atas.

“Wah, kemana yang jaga nih?” Kata Raisa penasaran.

Kucoba membuka pintu dan ternyata bisa!

“Wah, pintunya gak dikunci Is? Beneran ada yang jaga? Jangan-jangan ada pencuri” Seruku dengan khawatir.

“Mundur dulu Is, biar aku yang masuk duluan, Is ikut dari belakang saja”

Dengan langkah pelan aku masuk dan melihat sekeliling, namun tidak ada orang. Hanya music yang mengalun keras dari lantai atas.

“Sssttt, Is, keatas” Bisikku pada Raisa.

Kuambil pisau yang terletak diatas meja dan perlahan menaiki tangga menuju kelantai atas. Suara music terdengar dari salah satu kamar dilantai atas. Kuminta Raisa mengikutiku dari belakang dengan isyarat.

Suara music terdengar keras dari balik pintu yang tidak tertutup dengan baik. Dengan pelan aku menuju kepintu, dengan satu tangan kupegang daun pintu dan membukanya lebar.

Pemandangan yang ada didalam kamar membuatku terkesiap!


 Chapter 12: FACTORY.
Part 3

Bukan sepasang kekasih yang sedang memadu asmara.

Bukan pula sepasang pencuri yang sedang melaksanakan aksinya.

Tapi dua orang remaja laki-laki mendengarkan musik sambil bernyanyi dengan suara fals!

Huffftttt, kena deh.

Apes!

Kedua remaja itu terlihat kaget dengan kedatangan kami, apalagi dengan pisau yang ada ditanganku.

Sontak mereka menjerit dan minta ampun

“Ampun pak, kami tidak punya barang-barang berharga, kami hanya menjaga villa ini sementara saja pak” Ujar yang lebih tinggi. Sementara temannya merapat kedinding.

Ampunnnnnnnnnn!!!

“Hihihi, tampang mas kaya maling, pantas mereka takut mas” Ledek Raisa yang muncul dibelakangku.

Asem dah, ne anak malah ikut ngeledekin!

“Eh, mbak kan…Mbak Marisa kan? Yang punya villa ini? ” Kata anak yang lebih tinggi dengan takut-takut.

“Bukan, ini Mbak Arisan, pembantunya” Jawabku sewot.

“Hihihi, ada yang sewot… Aku R-A-I-S-A, anak yang punya villa ini tepatnya, siapa yang keponakannya Bi Ijah?”

“Saya mbak, jawab anak yang lebih tinggi”

“Kamu tahu apa yang kamu lakukan sekarang salah?” Kata Raisa dengan tajam.

“I..iya mbak, Maafkan saya mbak”

“Sekarang mbak maafkan, lain kali jangan diulangi lagi ya” Tegur Raisa.

“Nama kamu siapa?” Lanjutnya.

“Andri mbak”

Buset dah.

“Hihihi, namanya juga sama,hihihi” Tawa Raisa sekarang benar-benar membuatku sewot.

“Andri, kata Bi Ijah kamu bisa masak?” Tanya Raisa sambil melirik kearahku.

“Bisa sedikit mbak” Jawab Andri.

“Kalau begitu, sekarang kamu beli bahan masakan, ini uangnya” Pinta Raisa sambil menyerahkan dua lembar uang berwarna merah kepada Andri.

“Mbak, saya boleh pulang?” Anak yang mepet ke dinding bertanya dengan takut-takut.

“Hmmm, boleh kok, tapi, anterin dulu Andri beli bahan masakan, nanti kalau ada sisa uangnya, boleh kalian pakai jajan” Kata Raisa dengan lembut.

“Iya mbak, saya berangkat sekarang” Kata Andri sambil mengajak temannya.

“Eh tunggu dulu” Kata Raisa sambil mendekat dan berbisik kepada Andri.

Terlihat muka Andri memerah ketika Raisa selesai berbisik.

Aku memandangnya dengan pandangan curiga, yang dibalasnya hanya dengan mengangkat bahunya saja.

“Mas sini aja langsung kerjanya ya, kebetulan ini kamarnya Raisa” Kata Raisa, yang kujawab dengan anggukan.

“Mas, Is mau mandi, mas mau ikut?” Tawar Raisa.

Tawaran Raisa sangat menggiurkan, tapi aku harus mengupload foto-foto yang kuambil ke cloud storage perusahaan, sekaligus memberi keterangan untuk masing-masing foto, yang mana kurasa memerlukan waktu yang tidak sedikit.

“Hmmmm, mas harus upload fotonya Is, ada internet kan?” kataku dengan berat.

“Ada mas, gak isi password kok, tapi, mas yakin tidak ikut mandi?” Tawar Raisa, kali ini sambil mengangkat rok mininya keatas, lebih keatas dan keatas lagi, sehingga terlihat rambut-rambut lebat yang menutupi celah sempitnya.

Glekkk.

Untuk kesekian kalinya aku harus menelan ludah melihat aksi nakal yang dilakukan Raisa.

“Yakin Is” Aku harus yakin.

“Ya udah kalau gitu, aku mandi dulu ya mas” Jawab Raisa sambil menggoyangkan pantatnya dengan sengaja.

Perlahan, dengan sangat perlahan Raisa berjalankearah kamar mandi yang ada disebelah kamar.

Kumenuju sound system dan mematikannya
.
Ruangan yang tadi hingar bingar perlahan menjadi sepi.

“Mas nitip ini ya” Kata Risa di pintu sambil melemparkan branya kearahku.

Alamak.

Huft, Andri Fokus.

F-O-K-U-S!

Kuambil laptop dan menyalakannya, satu persatu foto yang kuambil dari pagi kukelompokan sesuai dengan tahapan produksi. Setengah jam kemudian Raisa keluar dari kamar mandi, tanpa pakaian.

“Mas, tubuh Is bagus ndak?” Tanya Raisa sambil memutar-mutar badannya.

Tubuh telanjang yang putih dan mulus.

Terawat dengan sangat baik.

Dan bongkahan pantat yang membulat.

Walaupun tidak bisa mengalahkan bulat pantatnya si-celana-dalam-putih, well, setidaknya dari yang kuhayalkan.

“Kok malah bengong si? Jawab donk mas” Kata Raisa sambil merenggut manja.

“Bagus Is, bagus banget malah” Kataku jujur.

“Ah mas bohong, apa buktinya mas?” Tuntutnya.

“Buktinya, Andri junior mulai bangun sekarang ” Kataku seraya menunjuk tonjolan di celanaku.

“Hihihi, jangan sekarang ya mas, Is laper, ntar gak kuat kuda-kudaannya” Kata Raisa sambil menuju salah lemari yang ada dipojok ruangan.

Ketika tubuhnya menungging untuk mengambil pakaian, terlihat celah kecil dipangkal pahanya yang berwarna merah muda.

Pantat bulatnya semakin bulat.

Pantat itu.

Pantat itu…

Andri. Kerjaan masih banyak.

Perlu usaha yang keras agar aku bisa mengalihkan pandanganku dari suguhan bulatnya pantat Raisa.

“Mas, Is kebawah dulu ya” Kata Raisa beberapa menit kemudian.

“I….ya Is” Kataku terbata melihat pakain yang dikenakan Raisa.

Tanktop hitam yang ketat serta celana jeans yang super pendek.
Tanpa bra! Bisa kulihat dari putingnya yang tercetak dipermukaan tanktop yang dikenakannya. Sementara celana yang dikenakannya super pendek sehingga memperlihatkan paha mulusnya .

“Is, Andri kecil bisa mimisan lihat kamu pake baju kayak gitu” Seruku.

“Hihihi, biarin mas, emang sengaja, hihihi” Katanya sambil berlalu dari kamar.

Dasar nakal.

“Saatnya bekerja Ndri! Semangat!” Kataku sebagai penyemangat untuk melanjutkan pekerjaan ini. Tinggal edit beberapa ratus gambar lagi, setelah itu tinggal menguploadnya.

…satu jam kemudian…

Finally! Done!”

Setelah berkutat sekian lama, akhirnya aku bisa menyelesaikan mengedit gambar, sekarang tinggal menguploadnya.

“Beres, sekarang tinggal menunggu prose upload selesai!”

“Kriiuuukkkkkkkk” Bunyi protes dari perutku yang kelaparan member isyarat untuk segera mencari makanan kebawah.

“Raisa…Raisa..Is…” Panggilku ketika sudah sampai di bawah.

“Iya mas” Sahut Raisa dari arah belakang. Mungkin dapur.

Kuikuti arah suara Raisa dan melihatnya sedang duduk disalah satu kursi didapur.

Didepannya terlihat beranekaragam masakan yang terlihat lezat.

“Andri kecil kemana Is?” Ketika disekeliling tidak terlihat batang hidung anak itu.

“Sudah kusuruh pulang kerumahnya mas, masakannya juga sudah siap kok” Lanjutnya.

“Ayo makan mas” Ajaknya, yang tentu saja aku turuti dengan senang hati.

Kami makan seperti berlomba, dan harus kuakui, masakannya Andri kecil enak. Ditambah lagi dengan perut yang kelaparan, jadilah hidangan yang sekian banyak, habis dalam waktu yang tidak terlalu lama.

“Wah Is, kalau terus makan seperti ini, bisa-bisa semua bajuku tidak muat nih”

“Sama mas, perut Raisa rasanya penuh banget nih” Katanya sambil menepuk perutnya yang terlihat membuncit.

“Hahaha, kayak lagi hamil aja Is” Ledekku.

“Ih, mas ini…Besok jam berapa balik mas?”

“Mungkin pukul delapan pagi Is, biar gak kemaleman sampai di Jakarta” Usulku.

“Oke deh mas, jobnya mas sudah selesai?”

“Tinggal nunggu uploadnya selesai ja Is”

“Kalau gitu temenin nonton dong mas, ada film yang serem, Is gak berani nontonnya sendiri” Pinta Raisa dengan wajah memelas.

Shit.

Kukira mau ngasi dessert seperti waktu sama Tri.

Ternyata oh ternyata.

“Ayo Is, eh, dimana nontonnya?”

“Diatas mas, dikamarnya Is” Katanya sambil menarikku.

“Film apa Is?” Tanyaku ketika kami tiba diatas.

“Pulau Hantu mas” jawab Raisa sambil beranjak menghidupkan televisi dan VCD player. Tak berapa lama kemudian film pun dimulai. Raisa dengan manjanya tiduran dipangkuanku, dengan posisi aku bersandar di dinding ranjang.

Dan filmpun diputar.

Ini film hantu atau apa sih? Pikirku. Ketika adegan gadis-gadis dengan bikini terlihat dilayar.

Seksi.

Wajah salah satunya seperti Lisa, yang lagi satu seperti si-celana-dalam-putih, terasa pas, karena didalam film juga mengenakan daleman warna putih.

Apakah si-celana-dalam-putih akan terlihat seperti itu ketika memakai bikini?

Hayalan mesum sel-sel kelabu diotakku direspon dengan baik oleh Andri junior, yang mulai menggeliat dibawah sana.

“Idih, Mas Andri, baru lihat segitu aja sudah bangun, apalagi kalau lihat ini” Kata Raisa sambil menaikkan tangktopnya.

Payudara mungilnya kembali terpangpang bebas.

AKU TIDAk TAHAN LAGI!!!

“Mas Andriiiiii!!!” Pekik Raisa ketika dengan tak sabar tangan dan mulutku mencium payudaranya

“Uhuhhh” Jawabku sambil terus mencium, sesekali mengulum putting kemerahan yang berdiri dengan tegak.

“Mas udah…”

“Uhuhh,,” Tak kuhiraukan perkataan Raisa, tanganku dengan sedikit kasar meremas payudaranya, sementara lidahku menciumi telinganya bergantian.

“Ahhh,, mas,, udah….” Lagi Raisa menolak namun hanya kuanggap angin lalu.

Perlahan tanganku turun, meraih celana jeansnya, ketika Raisa dengan lirih berkata.

“Mas, aku lagi dapet sekarang!”

Perlu beberapa lama sebelum aku bisa mengerti perkataan Raisa.

Dan…

Shit!

Shit!Shit!
Shit!Shit!Shit!
Dari pagi dia menggodaku, dan sekarang, dia dapet!

Kenapa hari ini aku tidak beruntung sekali?

“Aduh Is, Andri junior dah pengen dimasukin ke lubangnya nih” Kataku seraya menunjuk tonjolan dicelanaku yang semakin membesar dan terasa sakit.

“Sini mas” Kata Raisa sambil menurunkan celana yang kupakai.

Andri junior yang sudah tersiksa dari pagi akhirnya bisa menghirup udara segar.

Tanpa basa-basi Raisa langsung mengulum penisku dan mengocoknya dengan kecepatan tinggi. Namun, sampai sepuluh menit kemudian belum ada tanda-tanda aku akan keluar.

“Mass..hah.. pegel mulutnya Is” Katanya sambil agak terengah.

“Bandel banget sih mas” Katanya sambil memandang dengan cemberut. Namun segera berganti menjadi sebuah senyuman.

“Mas, coba bayangin pas main bertiga ma Tri, pasti bisa nyampe ntar,hihihi” Katanya sambil mendekatkan payudaranya kewajahku.

Membayangkan saat main bertiga dengan Tri?

Usul yang bagus…

Saat itu….



………..Raisa menghampiriku dengan langkah sensualnya, tangannya membelai bahuku dengan perlahan. Dia melangkah kebelakang tubuhku dan perlahan memelukku dengan mesra. Gundukan kenyal didadanya menekan erat punggungku, bibirnya yang tipis dan basah menciumi tengkuk dan telinga, sementara tangannya memilin pelan putingku.

Sementara dibawah sana ,Tri masih asik mencium penisku yang telah menegang dengan sempurna. Tangannya dengan aktif mengelus bola-bola yang menggantung pasrah. Perlahan penisku dikulum oleh Tri, bisa kurasakan Tri belum begitu berpengalaman.

Giginya masih menyentuh penisku.

Terasa ngilu.

Kuminta Raisa untuk berjongkok didepanku, ingin kubandingkan, kuluman siapa yang lebih enak. Sambil tersenyum mesum, Raisa mendekatkan mulutnya kearah Tri yang masih asik dengan penisku. Sambil melirikku dengan tatapan menggoda, Raisa mulai menjulurkan lidahnya menjilat bolaku dengan pelan.

“Ahh…” Tak bisa kutahan untuk tidak mendesah nikmat. Dikulum dan dijilat oleh dua orang wanita cantik seperti ini. Rasanya aku seperti melayang.
Dengan pelan kugenggam tangan Tri dan memintanya untuk berdiri. Tangktop hitamnya yang ketat perlahan aku tarik keatas, lewat tangannya sebelum aku lepaskan. Begitu juga celana pendek warna hitamnya yang begitu kontras dengan kulit pahanya yang putih dan mulus.

Mungil.

Putih.

Mulus.

Kutarik Raisa berdiri, dengan pelan kubisikkan sesuatu ditelinganya.

“Is, pernah main sama cewek?”

“Belum mas, tapi bisa dicoba” Jawabnya sambil tersenyum simpul.

Perhatianku sekarang beralih ke Tri.

Terlihat dia sedikit gugup dengan tangan mendekap payudara dan satunya lagi ditaruh didepan celana dalamnya, seolah untuk melindungi dirinya.
Sambil tersenyum, kuangkat sedikit dagunya, kupandang matanya dan perlahan kukecup bibirnya yang menggoda.

Bisa kurasakan tubuh Tri tegang ketika aku menciumnya, namun perlahan, desakan birahi membuatnya rileks. Ciuman yang semula ringan, semakin lama semakin panas dan lama. Lidahku mencari lidahnya yang menyambutnya dengan tak kalah panas. Tangannya yang semula menghalangi bagian-bagian intim ditubuhnya, perlahan terangkat memeluk pinggangku.

Kulirik dengan sudut mataku, Raisa melangkah pelan ke belakang Tri, tangan mungilnya kemudian membuka kaitan bra Tri. Dengan kaitan yang sudah terbuka, aku bisa dengan mudah membukanya. Kulepaskan sebentar ciumanku pada Tri. Kupandangi payudaranya.

Kecil.

Bulat.

Dan terasa kenyal ketika kusentuh.


“Mas, pindah ketenda saja yu? Banyak nyamuk nih” Pinta Raisa.

“Ayo” Jawabku sambil menarik tangan Tri.

Sampai ditenda kuamati tubuh Tri dengan lebih jelas. Dan harus kuakui, payudara Tri sangat menggoda, dengan putting yang berwarna kemerahan. Tanda belum terlalu sering menerima sentuhan lelaki.

“Mas, jangan dilihat seperti itu” Kata Tri pelan. Kata-kata pertamanya sejak tadi.

“Terus, kalau tidak boleh dilihat, diapain Tri?” Godaku.

“Diginiin aja mas” Sahut Raisa dari belakang tubuh Tri. Tangannya dengan nakal meremas payudara Tri yang pasti sangat sensitif, melihat dari kerasnya putting merah mudanya itu.

“Ahh,, mbak Is…” Kata Tri sambil memejamkan matanya.

Perlahan Raisa menciumi leher jenjang Tri, kemudian berpindah ke telinganya.

“Ahhhhh,,,” Desah pelan Tri dengan dagu terangkat keatas, perlahan kepalanya disandarkan dibahu Raisa.

Wow…

Kunikmati adegan sesame jenis yang dilakukan Raisa. Walaupun katanya ini pengalaman pertamanya, namun terlihat dia menikmatinya.

Kudekati Tri, g-string putihnya terlihat tidak bisa menutupi semua rambut kemaluannya yang sangat lebat! Sebagian rambut itu keluar dari celana dalamnya yang mini. Perlahan kuelus bagian depan dari g-string itu, dan…

Basah!

Bisa kurasakan lengketnya cairan vagina Tri yang merembes keluar. Rupanya Tri sangat terangsang dengan apa yang kami lakukan. Kutarik kebawah G-string itu, dan benar!

Rambut kemaluan Tri sangat lebat. Jauh lebih lebat dari punya Raisa!

Kalau rambut kemaluan Raisa lebat, namun terawat.

Kalau rambut kemaluan Tri lebat, tak beraturan, menutupi celah vaginanya yang mulai mengeluarkan cairan kenikmatan.

Kuberi tanda kepada Raisa yang sedang asyik mencium Tri.

Mencium Tri???

Well, tampaknya tidak hanya aku saja yang terangsang saat ini. Ciuman mereka terlihat basah, panas dan lama. Dengan tak sabar kutarik tangan Tri dan kubawa kebagian belakang jeep. Kuminta dia naik keatas jeep dengan kaki menjuntai kebawah.

Pelan-pelan kusibakkan rambut kemaluan Tri sehingga bisa terlihat vaginanya yang masih sempit.

Kupandang mata Tri yang terlihat kelam karena gairah. Lalu perlahan kudekati vaginanya.

Setelah tau apa yang ingin kulakukan, Tri merapatkan pahanya dan berkata.

“Jangan mas, punya Tri basah” Katanya dengan wajah memerah.

“Hihihi. Yang basah itu yang lebih nikmat Tri, sudah, nikmati aja Tri” Kata Raisa sambil naik keatas jeep dan kembali mengulum payudara Tri.

Kusibakkan kaki Tri sehingga celah itu bisa terlihat, kudekatkan kepalaku kevaginanya. Aroma khas vaginanya membuatku semakin terangsang.
Kulihat keatas, mata Tri semakin berkabut oleh gairahnya.

“Masss….ssttt”Desah Tri ketika lidahku menelusuri lapisan luar vaginanya. Kucium dengan pelan vaginanya tanpa menyentuh klitoris atau lubang vaginanya.

“Uughh… hisap terus mass ssttt……remas yang kuat aaghhh Is……”,racau Tri menerima serangan dari aku dan Raisa.

Perlahan kurasakan tangan tri menekan kepalaku, mencoba mengarahkan lidahku kedaging kecil sebesar kacang yang ada dibagian atas vaginanya.

“Uhhhhh..masssssss” Teriaknya ketika akhirnya lidahku mencium klitorisnya. Cairan vagina Tri semakin banyak keluar, tanda dia begitu terangsang.

Pantat Tri diangkat, mencoba mendapatkan kenikmatan yang lebih dariku. Tangannya menekan kepalaku dengan kuat.

Beberapa saat kemudian pantat Tri bergerak tak menentu, remasan tangannya di rambutku semakin keras.

“Aaaagghh…. Mas… aku uggh…mau…..aahhhhh……”, ceracau Tri ketika puncak kenikmatan itu segera tiba.

“Masss!!!” Protesnya ketika aku mengangkat kepalaku dari vaginanya. Kulihat protes dari pandangannya.

Sementara itu kulihat Raisa.

Sambil mencium payudara Tri,satu tangannya menggosok klitorisnya sendiri!

Kurasakan penisku menegang dengan sangat keras ketika melihatnya.

“Sayang kalau cuma dicium aja Tri, mending pake ini” Kataku sambil menunjuk Andri junior.

“Tapi mas, punya mas…” Katanya ragu.

“Kenapa Tri?”

“Hihihi,, ,mas kayak gag tau aja” Kata Raisa sambil tertawa pelan.

“Emang kenapa Is?”

“Penis orang Jepang kan katanya kecil-kecil mas, lebih pendek lagi dari orang Indonesia, lah, punya mas gede gitu, aku ja masih ngerasa ngilu, apalagi untuk Tri,hihihi” Jelas Raisa yang membuat Tri memalingkan wajahnya.

Wajah Tri merah padam.

Malu?

Maybe.


“Hmm, kalau begitu, kita start slow aja ya Tri, Is bantu bikin Tri rileks ya” kataku sambil mengedipkan mata kepada Raisa.

Raisa bergeser kesebelah kiri Tri. Kemudian dia dengan lembut mencium bibir Tri, tangannya tak lupa meremas pelan payudara dan putting Tri yang berdiri menantang.

Kubelai perlahan klitoris Tri yang mulai membesar dengan indah, perlahan kumasukkan satu jari ke liang vaginanya yang sangat sempit.

“Mass… mmmm….aahhhh……”, Tri mulai meracau ketika satu jariku kumasukkan. Dan bisa kurasakan vaginanya menjepit erat jariku.

Satu jari.

Hanya satu jari dan jepitannya sangat terasa.


Bisa kubayangkan bagaimana rasanya jika penisku yang masuk menggantikan jariku.

Pelan-pelan kugerakkan jariku keluar masuk liang vagina Tri yang sangat sempit. Cairan vagina Tri mulai mengalir disela-sela jariku dan diantara pahanya.

“Arrgghhhh,, mass, pelanin..sakitttt..” Rintih Tri ketika dua jariku menerobos masuk kedalam celah vaginanya.

Tangan Tri memegang tanganku, berusaha menghentikan tanganku memasuki vaginanya. Kulirik mata Tri, terlihat matanya semakin sayu menahan gairah.

Melihat keadaanku, Raisa semakin ganas mencium Tri, sekarang Raisa menggesekan dadanya ke payudara Raisa, mencoba mencari sensasi kenikmatan dari gesekan dua pasang benda bulat nan kenyal itu. Perlahan genggaman tangan Tri di tanganku mengendur, kumanfaatkan kesempatan ini untuk memajumundurkan tanganku, cairan vagina Tri yang semakin banyak membuatku lebih mudah melakukannya.

Beberapa menit kemudian, dua jariku sudah bisa keluar masuk vagina Tri dengan mudah.

It’s time…

Kuberi tanda pada Raisa untuk berganti posisi. Sekarang Raisa ,mengangkang di depanku dan Tri, tubuh Tri kubalikkan sehingga menungging. Dengan pelan kuusapkan penisku divagina Tri.

Kulihat kedepan, Tri tampak agak ragu ketika Raisa memintanya untuk mencium vaginanya. Namun nafsu mengalahkan segalanya, Raisa mendesah lirih ketika lidah hangat dan basah Tri mulai menjilati vaginanya.

Dengan pelan kucoba memasukkan penisku ke vagina Tri.

Sulit.

Sangat sempit.

Namun dengan bantuan cairan vaginanya yang sudah sangat banyak. Perlahan kepala penisku mulai memasuki celah hangat milik Tri.

“Aaauuuggh…peellaann mas.”, pinta Tri , bisa kurasakan badannya menegang ketika kepala Andri junior sudah menyeruak masuk kedalam vaginanya.

“Ssstt…sempit banget Tri ….”, pujiku merasakan lebut permukaan vaginanya meremas kepala penisku.

Kudengar rintihan Tri ketika dengan pelan aku berusaha mamajukan penisku kedalam vaginanya.

“Aaagghh…mas sstt….aaaah…..”, desis ketika aku mulai memasukinya dengan perlahan. Kepala penisku terasa sedikit perih.

Luar biasa, seperti perawan saja!

Aku mundurkan lagi penisku, sehingga hampir terlepas dari vaginanya. Kemudian aku masukkan setengah. Begitu berkali-kali sampai rintihan Tri berubah menjadi desahan nikmat.

“Aaahh, mas, masukin lagi, tapi pelan-pelan ya mas” Katanya memberi lampu hijau kepadaku unutk memasukkan penisku lebih dalam lagi.

“Tri, terus..aahhh… keatas lagi dikit Tri” Kudengar rintihan Raisa ketika Tri semakin cepat menjilati vaginanya.

Dengan perlahan kucoba memasukkan semua penisku kevagina mungil Tri.

Hangat.

Basah.

Dan bisa kurasakan dinding vagina Tri menjepit dan memijat penisku.

Sedikit lagi.


Dan.. blesss…

“Aaaahhhhh massss!” Teriak Tri ketika dengan sekali hentakan aku memasukkan penisku.

Luar biasa!

Sempitnya seperti vagina perawan saja!


Kudiamkan sesaat penisku didalam sana supaya Tri terbiasa dengan ukuran penisku. Raisa juga membantu dengan meremas payudara Tri dengan kuatnya. Setelah beberapa saat, bisa kurasakan tubuh Tri mulai rileks, pahanya tidak dikencangkan seperti tadi.

“Tahan bentar ya Tri, nanti terasa enaknya kok…” Bisikku sambil mulai memaju mundurkan penisku.

“Aaaaaghh…mmpphh…mmmpphh….stttt……massssss…..”,Desi s Tri ketika penisku maju mundur dengan perlahan.

“Ahhh,,, lebih keras Tri” Pinta Raisa sambil meremas payudaranya sendiri.

Genjotanku semakin kupercepat, cairan kenikmatan yang keluar dari vagina Tri sangat membantu penetrasiku.

“Ugghh…uugghh,, enak banget punyamu Tri” Pujiku disela-sela persetubuhan kami.

“Punya mas besar dan lebih nikmat masss” sahut Tri.

Kami terus berpacu dalam gairah, berusaha mendapatkan puncak kenikmatan yang kami dambakan. Hampir sepuluh menit kami bergelut dengan birahi saat aku mulai merasakan gelombang kenikmatan berkumpul di penisku.

“Aaaghhh…mas…. Tri dapet aagghhh…..”, jerit Tri saat orgasme. Tubuhnya bergetar dan menggeliat liar. Tangannya memegang paha Raisa yang juga mulai meracau tak jelas. Raisa lalu mendekatkan vaginanya ke muka Tri, berusaha mendapatkan orgasme yang didepan mata.

Dan…

“Aaahhhh….ugghh..ugghh…Is mau dapett……aaagghh….”, Kata Raisa ketika tak mampu lagi bertahan. Vaginanya digerakkan dengan cepat kearah lidah Tri yang menjulur.Dan…

“Aahhhhhhhh….Is nyampe….aaaggghhh!”

Pemandangan orgasme Tri dan Raisa membuatku semakin tak tahan.Vagina Tri bagaikan bisa mengempot-empot dan menghisap kuat penisku. Aku pun mengocok penisku dengan cepat dan akhirnya..

“Crotttt..croottt..crootttt”

Beberapa kali semprotan kuat spermaku didalam vagina Tri. Disatu sisi bisa kurasakan cairan orgasme Tri begitu hangat menyiram batang penisku……….



“Is, mas mau nyampe!” Kataku pada Raisa, ingatan bercinta dengan Tri dan Raisa malam kemarin membuatku akan mencapai orgasme saat ini.

“Uhuhhhh…” Sebagai jawabannya, Raisa memaju mundurkan penisku dengan cepat, dan akhirnya…

“Crottt..crottt.crottt..” Beberapa semprotan kuat spermaku didalam mulut Raisa.

Sebagian meleleh keluar.

Dengan gaya yang menggoda, Raisa mengusapkan spermaku diwajahnya.

“Masker alami neh mas hihihi” Katanya.

Kurebahkan badanku di ranjang. Pertempuran yang melelahkan. Beberapa menit kemudian akupun menyerah pada rasa kantuk yang menyerang.

...|||…

Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….
Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….
Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….

“Huh… ”Nada getar handphoneku membangunkan paksa aku dari tidur. Kuingat dimana kuberada.

Dikamarnya Raisa.

Itu bisa kuketahui dari si empunya kamar yang berada di lengan kiriku.

Setengah telanjang!

Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….
Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….
Drrtttt….drrttttt….drrrttttt….

Kuambil handphoneku dan terlihat



Celana-dalam-putih calling…


Halo

“Mas, Ade meninggal!” Kata si-celana-dalam-putih dengan sedikit bergetar.

Ade siapa?Tanyaku, masih mengantuk.

“Ade, kepala programmernya mas!”

 Chapter 13: TO FAST TO DIE
--------------------------------

Membosankan!
Berpura-pura menjadi orang lain itu memang tidak menyenangkan.

Apalagi ditempat seperti ini.
Apalagi aku tidak dapat jatah lagi.
Huft.
Andai aku bisa mendapatkannya.
Andai saja.....
--------------------------------
Lidya POV

“Serius Lid?” Tanya si-mata-keranjang, bisa kudengar nada tak percayanya.

“Serius mas, bagaimana sekarang mas?” Tak bisa kutahan nada panik dalam suaraku.

“Aku sekarang berangkat kesana!” Kudengar nada tegas dalam suaranya.

Aku menutup telepon. Dan sejenak merasa gamang.

Ya tuhan, kenapa semua terjadi begitu tiba-tiba.

Baru kemarin aku berbincang dengannya.

“Mbak, mbak baik-baik saja?” Tanya Lisa dengan khawatir.

“Mbak baik-baik saja kok Lis” kataku sambil tersenyum.

Tidak.

Aku tidak baik-baik saja.

Secara pribadi aku belum mengenal Ade, namun kehilangannya terasa begitu cepat.

Dan lagi dia lead programmer G-Team. Kehilangannya merupakan kerugian yang besar bagi proyek kami.

Ahhhh. Teganya diriku, hanya memikirkan proyek disaat seperti ini!.

“Mbak, sebaiknya kita ke G-Team sekarang, mungkin kita bisa mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai hal ini“ Saran
Lisa.

“Ayo Lis“

Kami berjalan menuju ruang rapat G-Team dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ruang rapat hari ini terasa sedikit berbeda. Ruangan yang biasanya ramai dengan candanya Mas Frans, celetukan Mas Edy, serta percakapan hangat Lisa, aku dan Si-sekretaris-seksi, Erlina, hari ini terasa sepi.

Hanya ada Mas Edy disana, ditemani oleh si-sekretaris-seksi.

“Pagi Mas Edy, Mbak Erlina..“

“Pagi Mbak Lidya“ sahut Mas Edy sambil tersenyum.

“Pagi Mbak Lidya” Jawab si-sekretaris-seksi, Erlina.

“Sudah dengar beritanya mbak?” Tanya Mbak Erlina.

“Sudah mbak, dari Mas Frans”.

“Terus bagaimana sekarang mbak?“ Tanyaku menanyakan perkembangan terbaru.

“Pak Frans sedang di kantor polisi sekarang, mungkin sudah mau balik sekarang“

“Kekantor polisi? Kenapa?“

“Pemeriksaan rutin mbak“ Jawab Mas Edy.

“Sama siapa mas?” Tanya Lisa, terlihat nada khawatir dalam suaranya.

“Sendirian Lis” Jawab seseorang dari pintu.

Mas Frans.

“Kenapa mas? Gimana hasil pemeriksaannya? Sudah ada kejelasan dari polisi?” Cerocos Lisa.

“Mas jawab yang mana neh Lis?“ Kata Mas Frans sambil sedikit tersenyum.

“Lin, tolong bikinin kopi satu ya?” Kata Mas Frans.

“Huffftttt… ” Desah Mas Frans sambil duduk dikursi, terlihat kelelahan terpancar diwajahnya. Wajah yang biasanya ceria itu sekarang berubah menjadi serius.

Perlahan tangannya terangkat dan memijat kepala dan tengkuknya.

Kami hanya menanti dalam diam apa yang hendak dikatakan olehnya.

“Pak, ini kopinya“ Kata Erlina. Terlihat dia juga membawa kopi untuk yang lain.

“Mbak, mau kopi atau teh?“ Katanya memperlihatkan kopi dan teh yang dibawanya dengan nampan.

Kuambil secangkir kopi sambil mengucapkan terimakasih.

Harus aku akui kreatifitas dari si-sekretaris-seksi ini.

Calon istri yang akan diidamkan oleh setiap suami.

Apakah si-ma..

“Gimana Frans?“ Tanya Mas Edy membuyarkan lamunanku.

“Biar jelas buat semua, tadi pagi, pukul 06.00 aku menerima telepon dari kepolisian, menanyakan apa benar ada karyawan yang bernama Ade Mahendra disini” Mas Frans berhenti untuk meminum kopinya.

“Aku jawab ada, lalu polisi memintaku ke rumah sakit, untuk mengkonfirmasi bahwa mayat yang ditemukan dihotel benar Ade” Lanjut Mas Frans.

“Dihotel mas? Kenapa Ade bisa ada dihotel?” Tanya Lisa tak sabaran.

“Itu juga jadi pertanyaan mas dan pihak kepolisian. Namun ada dugaan dia kesana untuk ‘jajan‘ “ .

“Darimana dugaan itu berasal mas?“ Akhirnya ku membuka suara.

“Karena dia ditemukan dalam keadaan telanjang dan ketika pihak hotel dikonfirmasi, Ade check in dengan seorang wanita“ Jelas Mas Frans.

“Apa sudah diketahui identitas wanita yang bersama Ade? Dan penyebab kematiannya Frans?“ Tanya Mas Edy.

Simpel, tapi mengena, seperti biasa.

Itu. Itu yang jadi masalahnya, mereka check in memakai identitas Ade, sedangkan pasangannya memakai pakaian yang tertutup, serta memakai topi dan kacamata. Jadi sulit untuk menggambarkan identitasnya. Penyebab kematian kemungkinan serangan jantung karena overdosis Viagra.” Jelas Mas Frans.

Overdosis Viagra.

Kubayangkan kembali deskripsi Lisa mengenai Ade :

Tubuhnya kurus dan agak pendek, mungkin lebih pendek dariku. Dari yang kudengar dari Lisa-yang mendengarnya dari Mas Frans. Ade memiliki sedikit masalah jantung dan tekanan darah tinggi.
Tidak aneh, melihat pola hidup dan makanannya. Minuman bersoda dan rokok menjadi teman sehari-harinya. Disamping makanan cepat saji yang menjadi pilihan menu makan malamnya.
Dan suka ‘jajan’.
Mungkinkah?

“Tapi Frans, kenapa polisi malah menghubungi kita? Bukan keluarganya?“ Tanya Mas Edy membuyarkan lamunanku.

Benar juga! Polisi harusnya menghubungi keluarganya dulu.

“Mas Ade tidak punya sanak keluarga lagi“ Lirih suara Mbak Erlina menjawab.

“Well, itu menjelaskannya” Sahut Mas Edy.

“Dan kemungkinan polisi akan kesini sebentar lagi, mungkin akan menanyakan sesuatu kepada kalian, jadi, yah.. siap-siap saja” Kata Mas Frans.

“Sudah ada yang menghubungi Andri?“ Lanjutnya.

“Sudah mas, Mbak Lidya tadi “ Jawab Lisa.

Kami terdiam setelah mendengar jawaban Lisa. Hening terasa diruangan rapat ini. Kulihat semuanya merenung, mungkin memikirkan kehilangan Ade yang begitu cepat terasa.

Atau memikirkan kelanjutan proyek ini.

Andai si-mata-keranjang ada disini.

“Kring...Kring..kringg....“ Suara telepon mengejutkan kami.

“Halo, selamat pagi, dengan Erlina bisa dibantu?“ Kudengar Mbak Erlina menjawab telepon.

“Oke, antar mereka keruang rapat ya“

“Polisi sedang menuju kesini“ Terang Mbak Erlina setelah menutup telepon.

“Hmm, cepat juga“ Gumam Mas Edy.

Tok..tok..tok…

Aku menoleh kepintu, dan disana berdiri Frida, resepsionis, sambil mengantar dua orang lelaki.

“Mas, bapak-bapak ini dari kepolisian” Kata Frida sambil menunjuk dua lelaki dibelakangnya.

“Iya Frid, thanks ya” Jawab Mas Frans sambil melangkah mendekati kedua orang itu, sementara Frida kembali ketempatnya.

“Selamat pagi pak, kami dari kepolisian, saya AIPTU Herman, ini rekan saya Galang” Kata polisi yang lebih pendek.

Umurnya sekitar 40 tahun, dengan tubuh yang sedikit gemuk. Wajahnya kebapakan dan terlihat sabar. Sedangkan rekannya, beberapa senti lebih tinggi, dan kurus.

Namun pandangan matanya.

Pandangan matanya jernih dan tajam. Pandangan mata orang yeng diterpa kerasnya hidup dan juga cerdik. Aku merasa sedikit bergidik melihat pandangan matanya ketika melihat kearahku.

“Ada yang bisa kami bantu pak?“ Tanya Mas Frans.

“Maaf pak, siapa pimpinan di perusahaan ini?“ Tanya polisi yang lebih pendek.

“Pak Andri pak, rekan saya, tapi kebetulan dia sedang di kuar kota, mungkin nanti sore baru balik.“

“Kalau begitu, siapa yang berwenang disini sekarang pak?

“Bisa bicara dengan saya sendiri, atau dengan Pak Edy disana“ Kata Mas Frans sambil menunjuk kearah Mas Edy.

“Begini Pak Frans, menurut keterangan yang saya dapat dari anak buah saya, korban, dalam hal ini Ade Mahendra, tinggal disini?“ Tanya polisi gendut.

“Iya pak, dia tinggal disalah satu mess yang disediakan disini” Jawab Mas Frans.

“Boleh kami melihat kedalam messnya?” .

“Bisa pak, mari ikut saya pak“ Ajak Mas Frans dengan ramah.

“Mari pak, bu” Kata sipolisi gendut sambil melangkah keluar ruangan.

Apa yang dicari mereka diruangannya Ade? Pikirku.

Galang POV.

Tinggal di mess?

Hmm.. Perusahaan yang memperhatikan kesejahteraan karyawannya.

Pikirku ketika kami mengikuti Pak Frans menuju mess korban.

“Frid, minta kunci cadangan kamarnya Ade ya.?“ Kudengan Pak Frans meminta kepada resepsionis.

“Ini pak” Si resepsionis mengangsurkan sebuah kunci pintu setelah mencari beberapa lama.

“Thanks Frid“

Kami melangkah menuju kebagian belakang perusahaan. Disana terletak sebuah bangunan bertingkat tiga, memanjang ke utara dan selatan. Pak Frans menuju mess yang terletak paling selatan, di lantai bawah.

“Bapak-bapak, ini mess nya Ade”Katanya sambil menunjuk kekamar yang terletak paling selatan. Dan memberikan kunci kamar pada Herman.

“Terimakasih pak, nanti kalau kami perlu bantuan lagi, kami akan hubungi bapak” Kata Herman.

“Iya pak, mari” Katanya sambil tersenyum padaku.

Klik…

Pintu ruangan kamar Ade terbuka.

“Uhhhhhhh......hukk.hukk..hukk...“ Herman terbatuk ketika baru mau masuk.

Bau apek dari asap rokok menyambut kami ketika masuk.

“Ada sainganmu rupanya Lang“ Katanya sambil nyengir kearahku.

“Dan bisakah kau ceritakan alasanmu mengajakku kemari?“ Tanyanya tak sabar.

“Sederhana saja, aku ingin mengenal lebih dekat korban kita, dan siapa saja teman-temannya.“ Jawabku singkat sambil mengambil sarung tangan latex dari celanaku. Herman juga melakukan hal yang sama.

“Hufffttt, dari kamarnya saja aku bisa menebak, orang ini jarang mengajak temannya kesini“ Kata Herman melihat keadaan kamar yang berantakan.

“Kalau dia punya teman“ Sahutku.

Hampir tak ada tempat yang kosong disini. Buku-buku bertebaran, selain pakaian yang juga mendominasi ranjangnya. Satu set komputer terpasang dimeja, dipojok ruangan. Dipojok lain ruangan terletak sebuah lemari. Aku melangkah kesana dan memeriksa satu persatu laci-lacinya. Namun hanya berisi pakaian dan buku-buku. Bukunya kebanyakan mengenai komputer.

Aku melihat sekeliling namun belum bisa menemukan apa yang aku cari.

“Apa yang sebenarnya kau cari Lang?“ Tanya Herman, seperti biasa tak sabaran.

“Barang yang tidak ada dikamar kejadian, dan barang yang seharusnya ada disini“.

“Dan barang apakah itu?“ Tanyanya tak sabar.

“Apa kau sudah membaca hasil visum Ana?” Kataku menyebut salah satu dokter yang memvisum korban.

Herman mengeluarkan satu gulungan kertas dari dalam sakunya, dan membacanya sekilas.

“Meninggal karena serangan jantung, ditemukan zat sildenafil yang cukup banyak dalam tubuhnya. Selain itu terdapat zat isosorbide mononitrate, walupun dalam dosis yang sangat kecil. Itu saja penyebab utamanya“. Jawab Herman.

“Kau tau apa yang aneh?“ Tanyaku sambil tersenyum.

“Bisa-bisa aku mati penasaran gara-gara dirimu Lang!“ Jawab Herman sambil memperhatikanku yang sedang mencari disekitar meja komputer.

Sebuah kotak diatas CPU menarik perhatianku.

Tekk....

Suatu benda terjatuh ketika aku membuka kotak itu.

Sebungkus obat.

Sambil tersenyum aku memperlihatkan bungkus obat itu pada Herman.

“Ini yang aku cari Her....“

Sambil memandang bingung Herman mengambil bungkus obat itu dari tanganku.

“Obat apa ini Lang?“

“Obat untuk mencegah serangan jantung“ Jawabku.

“Jadi ini yang kau cari?“

“Iya...“

“Ah, aku tau, jadi korban meninggal karena lupa meminum obatnya?“ Seru Herman dengan gembira.

“Bukan, justru karena obat ini dia meninggal“

“Apa....? Maksudmu?“

“Tidak ada orang yang mengkonsumsi Viagra, ketika dia pada saat yang sama meminum obat pencegah serangan jantung!”


Chapter 14: INVESTIGATION
--------------------------------

‘Ping!’

Kuambil handphoneku dan kulihat ada ping dan BBM baru.
Dari Rose, gadis yang baru aku kenal beberapa hari lalu.
“Mas, sibuk sekarang? Rose di Jakarta nih, bingung nyari hotel buat menginap.“
Wah, kesempatan!
Kubalas pesannya.
“Mas kerja sampai pukul 5 sore, kalau Rose mau nunggu sebentar lagi…”
Beberapa saat kemudian, ada balasan dari Rose.
Dengan gambar.
“Iya mas, tapi gerah nih…”
Gleeekkkkk. Sebuah gambar aku terima.
Gambar wanita dengan kemeja, dua kancing bagian atasnya terlepas!
--------------------------------
Galang POV

Herman memandangku dengan ekspresi bingung.

“Jadi menurutmu ini bukan kasus kecelakaan penggunaan obat kuat saja Lang?“

“Dan menurutmu, wanita yang bersamanya itu yang membunuhnya?“ lanjut Herman.

“Kalau benar yang diajaknya seorang wanita“.

“Tapi bukanlah menurut catatan anak buahku, korban check in dengan seorang wanita,“ bantah Herman.

“Menurut catatan anak buahmu, Ade check in dengan seseorang yang pakaiannya tertutup, menggunakan topi dan kacamata, tidak jelas itu seorang wanita,“ jawab ku.

“Jadi bagaimana sekarang?“ tanya Herman dengan ekspresi bingung diwajahnya.

“Hmmm, cuma ini petunjuk yang bisa kutemukan disini,“ Jawabku sambil memasukkan bungkus obat itu kedalam plastik yang biasa digunakan untuk membungkus barang bukti.

“Jadi, apa yang ingin kau lakukan sekarang?“

“Aku ingin berbicara dengan teman-temannya disini, kalau dia punya teman,“ sahutku sambil beranjak keluar dari kamar yang sedikit sumpek ini.

“Kalau begitu kita kembali ketempat yang tadi?“ Tanya Herman sambil mengunci pintu mess.

“Iya.”

Kami berjalan menuju ruangan pertama yang kami datangi hari ini. Matahari sudah beranjak naik. Matahari yang tidak sempat dilihat Ade hari ini.
Diruangan tadi, tidak terlihat Pak Frans serta Pak Edy yang tadi ada disini, hanya ada tiga orang wanita yang tadi pagi ada disini.

“Maaf mbak, Pak Frans danPak Edy kemana ya?” tanya Herman.

“Pak Frans sedang ganti baju ke mess nya pak?” kata wanita yang mengenakan blazer hitam.”Sedangkan Pak Edy ada meeting diluar sekarang pak” lanjutnya.

“Ada yang bisa kami bantu pak?” tanya wanita yang menggunakan blouse putih dan rok hitam.

Kuamati sejenak, terlihat kesan bingung, namun disisi lain terlihat kepercayaan dirinya dan keras kepala. Terlihat dari dagu runcingnya yang sekarang sedikit terangkat keatas.

Dia tidak terintimidasi dengan keberadaan kami.

“Kami ingin berbicara dengan teman korban, apakah disini ada yang menjadi teman dekat dari korban?” tanya Herman lebih lanjut.

Si blouse putih memandang si blazer hitam.

“Mungkin anda bisa berbicara dengan Anton, kalau Ade punya teman dekat, mungkin orang itu adalah Anton,” jawab si blazer hitam.

“Bisa minta tolong panggilkan Pak Anton itu? Dan dimana kiranya kami bisa berbicara dengan beliau?“ kata Herman.

“Saya hubungi sekarang pak, untuk tempatnya, mungkin bisa disini, nanti kalau ada perlu apa, hubungi saja extensi 101 dari telepon ini,“ jawab siblazer hitam sambil menunjuk telepon. Sambil berkata seperti itu, dia mengambil telepon dan terlihat berbicara sejenak.

“Pak, Anton akan kesini sekarang, kami tinggal dulu ya,“ katanya sambil memberi isyarat kepada wanita yang lain untuk meninggalkan ruangan.

“Bagaimana menurutmu wanita yang memakai blazer hitam Her?“ Tanyaku pada Herman ketika wanita-wanita itu sudah meninggalkan ruangan.

“Tegas dan cekatan,” sahutnya.

“Kenapa Lang?” balik dia bertanya.

“Tidak apa-apa Her dan kayaknya yang kita tunggu sudah datang,“ sahutku sambil memberi isyarat kepada Herman.

Seorang pria dikisaran umur 25 tahun berjalan dengan langkah yang ragu. Matanya memandang dengan sedikit takut kearah kami.

Tok.tok.tok

Dengan ragu dia mengetuk pintu ruangan ini.

“Mari masuk mas,“ ajak Herman sambil membukakan pintu.

“Ehh, iya pak,” sahutnya. Terlihat kegugupan diwajahnya, tangannya tak berhenti saling meremas.

“Duduk dulu, ehm, dengan Mas Anton?” tanya Herman.

Seperti biasa, aku lebih suka mengamati ekspresi dan mendengarkan jawaban dari yang kami tanya, dibandingkan dengan memberi pertanyaan langsung. Banyak hal yang bisa aku ketahui dengan memperhatikan dan membandingkan jawaban dari saksi atau tersangka dalam suatu kasus.

“Begini Mas Anton, saya Herman dan ini rekan saya Galang,“ Jelas Herman sambil menunjuk kearahku.

Aku mengangguk sedikit kearahnya.

“Kami dari kepolisian, mungkin mas sudah mendengar kabar kalau salah satu teman mas meninggal?“ tanya Herman.

“Eh, iya pak, tadi teman-teman membicarakannya di belakang,“ sahut Anton, dan terlihat kepercayaan dirinya sudah mulai pulih.

“Dari siapa mas mendengarnya?“

“Wah, kurang tau pak, pas saya datang, teman-teman sudah membicarakannya“

“Mas tinggal di mess disini? Disebelah mana?“ cecar Herman.

“Iya pak, saya tinggal di mess sini, disebelah utara dari mess nya…, messnya Ade pak,“ sahutnya, terlihat ekspresi sedikit ngeri diwajahnya.

“Apakah mas teman dekatnya Ade?” tanya Herman sambil sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Anton.

“Eh, bisa dibilang begitu pak.”

“Apakah Ade ini mempunyai banyak teman?“

“Ade orangnya sedikit tertutup pak, temannya, kalau yang bisa dibilang dekat mungkin hanya saya saja,“ sahut Anton.

“Kalau musuh?“

“Kalau soal itu saya kurang tau pak.“

“Apakah Ade pernah bertengkar dengan sesama karyawan disini?“ tanya Herman, sambil menulis jawaban Anton di notesnya.

“Setau saya jarang pak, Ade lebih suka bermain gadgetnya daripada mengurusi urusan orang lain.”

Herman menoleh kepadaku, matanya seolah berkata, sekarang giliranmu.

“Apakah saudara Ade ini punya pacar?“ tanyaku.

“Kalau setahu saya, belum pak, seperti saya bilang tadi, dia lebih suka bermain dengan gadgetnya daripada jalan-jalan keluar atau ngobrol dengan yang lain,” jawab Anton dengan sedikit tersenyum.

“Apakah mas tahu kalau saudara Ade suka ‘jajan’?”

Kulihat sedikit kepanikan diwajahnya.

“Ehh, tahu mas...,“ jawabnya dengan pelan.

“Dan apakah anda sendiri sering ikut bersamanya kalau lagi kepingin ‘jajan‘?“ tanyaku sambil menatap matanya dalam-dalam.

“Eh..pak,,itu...,“ katanya terbata.

“Mohon dijawab saudara Anton,“ kataku tegas.

“I…ya Pak. Saya sering ikut. Ta..pi yang terakhir saya tidak diajaknya pak…,“ katanya cepat.

“Yang terakhir? Berarti anda tahu kalau pada saat terakhir saudara Ade pergi dengan siapa?” tanyaku sambil mengamati wajahnya.

“Tidak pak, untuk yang terakhir, saya tidak tahu dia pergi dengan siapa, karena Ade juga baru mengenalnya beberapa hari,“ Katanya tegas.

Sepertinya dia berkata jujur atau dia seorang aktor yang sangat baik.

“Biasanya bagaimana cara anda dan Ade dalam jajan?“

“Biasanya kami mencari lewat online pak,” jawabnya.

“Lewat internet? Memang bisa pesan perempuan lewat internet?” Tanya Herman dengan heran.

“Bisa pak, bahkan kita bisa memilih sesuai selera kita,” jawab Anton sambil tersenyum.

“Edan!” seru Herman.

“Jadi, apakah yang terakhir ini, Ade juga ‘memesan’ lewat internet?” tanyaku memastikan.

“Tidak pak, yang terakhir ini…, ” dia ragu sejenak sebelum melanjutkan. ”Dia kenalan lewat BBM pak.”

Hmmmm... kasus ini semakin menjadi aneh.

“Saudara Anton, kalau Ade diharuskan memilih, antara anda dan gadgetnya, mana yang akan dipiilihnya?“ tanyaku pelan.

“Sudah pasti gadgetnya pak!“ jawabnya tegas.

Hhhmmmm, rasanya korban ini lebih mementingkan pekerjaan dan gadgetnya. Pikirku.

“Mungkin Mas Anton tahu, apakah Saudara Ade ini punya pekerjaan sampingan? Selain di perusahaan ini?” tanyaku.


“Satahu saya tidak pak, pekerjaan disini dari pagi sampai sore, jadi kami tidak punya banyak waktu untuk bersantai.”

“Apakah anda senang bekerja disini?”

“Tentu saja, boss kami baik kepada karyawan, selain itu kami disediakan fasilitas yang lebih dari cukup. Saya rasa semua karyawan senang bekerja disini, termasuk Ade,“ jawabnya mantap.

“Bagaimana dengan pekerjaan? Ada sesuatu yang mengecewakan atau yang kiranya bermasalah dengan anda atau Saudara Ade?” tanyaku lebih jauh.

“Pekerjaan disini menyenangkan pak, apalagi bisa dikatakan sekarang kami punya mega proyek,” jelasnya lebih lanjut.

Mega proyek? Sebuah motif!

“Bisa anda jelaskan mega proyek ini?” desakku lebih lanjut.

“Wah, itu saya tidak berani pak, mungkin bapak tanya boss saya atau Mbak Lidya,“ katanya diplomatis.

“Mbak Lidya ini siapa?“

“Dia boss dari rekanan kami di proyek ini pak,“ jelasnya.

Hmmmm..., mungkinkah?

Aku memandang kearah Herman dan memberikan isyarat kalau sudah cukup.

“Kalau begitu terimakasih atas kerjasamanya,“ kata Herman sambil menjabat tangannya.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Satu pertanyaan lagi. Siapa saja disini yang tahu kalau Ade punya masalah jantung?“

“Semua juga tahu pak, Ade pernah kena serangan jantung ringan disini,” jawabnya.

“Terimakasih,“ sahutku sambil menjabat tangannya. Kupandang Anton sampai dia menghilang dari pandangan.

“Jadi bagaimana menurutmu Lang?“

“Kasus ini semakin pelik saja Her.“

“Maksudmu? Bukan sudah jelas kalau Ade tidak punya musuh disini,” debat Herman.

“Apa kau lupa Her? Musuh terberatmu adalah teman terbaikmu dan teman terbaikmu mungkin saja adalah musuhmu,” kataku yang dijawab dengan garukan tangan Herman dikepalanya.

“Ah sudahlah, terus sekarang bagaimana?“ tanya Herman.

“Aku ingin berbicara dengan bossnya Ade, kalau tidak ada mungkin dengan wanita-wanita tadi.”

“Kenapa?”

“Kalau ini bukan murni karena kecelakaan, aku ingin tau, apa yang diketahui Ade, apa yang dipunyainya, yang membuat sesorang harus
melenyapkannya!”

Aku menuju telepon dan menekan ekstensi 101.

Selamat pagi, dengan Frida G-Team, ada yang bisa saya bantu?“

”Selamat pagi, saya Galang, dari kepolisian yang tadi bertemu dengan Pak Frans,” terangku “Saya ada diruang rapat, bisa berbicara dengan pimpinan yang ada sekarang di sini?“

Pak Frans dan pak Edy sedang tidak berada ditempat, begitu juga Mbak Erlina, sekretaris direktur yang sekarang ada rapat diluar, jadi saya rasa tidak ada pimpinan sekarang disini pak,“ jawabnya “Eh, tunggu pak, mungkin bapak bisa bicara dengan Mbak Lidya?“ Katanya dengan ragu.

“Mbak Lidya ini siapa mbak?“ tanyaku mendengar nada ragu dalam suaranya.

Mbak Lidya, CEO dari Delta Company, perusahaan yang sekarang menjadi partner dari mega proyek kami,” Terangnya.

“Boleh juga mbak, bisa minta keruang rapat sekarang mbak?” tanyaku.

“Iya pak, itu saja pak?”

“Iya, terimakasih mbak,” sahutku sambil menutup telepon.

“Gimana Lang?”

“Kita tunggu dulu disini Her,” jawabku sambil duduk dan mengumpulkan potongan-potongan data yang kami dapatkan hari ini.

Lidya POV.

HUffftttt.

Polisi.

Perasaan ini selalu ada kalau aku berada didekat polisi. Pdahal sudah itu sudah lama. Huffffft.

Apakah kematian Ade ini bukan karena kecelakaan? Apakah ini mungkin sabotase proyek yang kami sedang kerjakan? Kalau sabotase, dari siapa dan mengapa? Bukannya tender ini hanya antara perusahaanku dan G-Team?

Ahhhhhh. Semakin lama semakin tak karuan!

Bingunggggg…..

Kring…kringg…kringg…

Suara telepon menyadarkanku dari lamunan.

“Halo selamat pagi, dengan Lisa, ada yang bisa dibantu?”

Jawab Lisa mengangkat telepon.

“Oh iya Frid, nanti mbak minta kesana ya”

“Iya, thanks ya Frid”.

“Kenapa Lis?” tanyaku ketika Lisa menutup teleponnya.

“Ada tepon dari Frida mbak, mbak diminta keruang rapat oleh polisi yang datang kemari tadi,” jawab Lisa.

“Ouwh, iya Lis, mbak kesana dulu ya.”

Apa yang ingin mereka tanyakan?

Sambil bertanya-tanya didalam hati aku melangkah menuju ruangan rapat.

Entah mengapa lorong-lorong ini terasa sedikit mencekam, setelah kejadian ini, semoga semua berjalan dengan lancar.

Diruangan rapat kulihat polisi yang tadi duduk dengan santai.

“Huuupp.....huuuuuhhhhh.“ Kuambil nafas panjang dan membuka pintu.

“Selamat pagi mbak, silahkan duduk dulu.“ Sambut polisi yang lebih gemuk dengan ramah, kalau tidak salah Pak Herman. Sikurus disebelahnya menganggukan kepalanya.

Tatapan itu.

Aku duduk dikursi yang ada didepan mereka.

“Sebelumnya kita belum berkenalan secara resmi, saya Herman, ini rekan saya Galang,“ lanjutnya.

“Saya Lidya, CEO dari Delta Company,“ jawabku.

“Sebelumnya, kami dengar bahwa anda adalah boss dari rekanan perusahaan ini dalam suatu mega proyek, kalau boleh saya tau, mega proyek apa ini?“ Tanya Pak Herman, to the point.

“Ini semacam join proyek pak, jadi perusahaan saya dan perusahaan Mas Andri bekerjasama membuat suatu program,” sahutku dengan tenang.

Setidaknya aku berusaha tenang.

“Kalau boleh tau, proyek milik siapa dan jenis programnya apa mbak?”

“Program produksi, tranportasi dan kepegawaian, dari Perusahaan Alfa Medika pak,“ jawabku.

“Terus apa peran Ade dalam proyek ini?“ lanjutnya.

“Ade adalah lead programmer dari G-Team, perusahaan Mas Andri,” jelasku lebih lanjut.

“Apa efek dari kehilangan Ade ini?”

“Cukup besar, mungkin kami harus mencari programmer tambahan, yang cukup sulit dalam waktu yang mepet ini.”

Pak Herman menoleh pada rekannya, seolah memberitahu kalau gilirannya bertanya.

“Apakah ada yang akan dirugikan jika proyek ini gagal selain perusahaan anda dan Pak Andri?” Tanya sikurus dengan tatapan mata yang tajam.

Tajam.

Menyelidik.


“Setahu saya tidak,” jawabku diplomatis.

“Kalau perusahaan lain yang diuntungkan?”

“Setahu saya juga tidak,” jawabku sambil tersenyum.

“Apa proses pemilihan perusahaan untuk ini tidak dilakukan secara tender?” Tanya sikurus lebih lanjut.

“Tidak pak, perusahaan saya dan Mas Andri yang dipilih untuk program ini,” jawablu singkat.

“Kenapa?” terlihat nada heran dari sikurus.

“Karena perusahaan Mas Andri terbaik dalam bidang IT di Jakarta, dan perusahaan saya bergerak di bidang tranportasi, yang mana bisa melengkapi perusahaan Mas Andri dalam membuat proyeknya,“ jawabku dengan tegas.

“Apakah anda mengenal korban secara pribadi?“ tanya sikurus, mengalihkan pertanyaannya.

“Belum, kami baru bertemu mungkin dua kali, jadi kalau dibilang mengenal secara pribadi, belum, “ sahutku.

“Apakah anda tau kalau korban mempunyai masalah dengan jantungnya?“

“Saya tahu, saya dengar dari Lisa, sekretaris saya, yang mendengarnya dari Mas Frans.“

“Pak Andri, kapan kira-kira beliau akan ada disini?“

“Tadi saya hubungi sudah mau berangkat, sekarang kemungkinan masih dijalan, mungkin nanti malam sudah ada disini pak, “ kataku.

Sikurus memandang temannya.

Kulihat polisi yang gemuk menganggukan kepalanya.

“Baik mbak, terimakasih atas bantuannya, saya kira cukup sampai disini, kami permisi dulu mbak, “ kata sikurus sambil berdiri dan menjabat tanganku.

Tegas.

Itulah kesan yang aku dapatkan ketiika menjabat tangannya.

Kupandangi punggung mereka sampai menghilang dari pandangan.

“Huffffffftttttttttttt...“

Kuhembuskan nafas lega setelah kepergian mereka.

Sekarang, tinggal menunggu si-mata-keranjang datang, dimanakah dia sekarang?

Andri POV.

“Ada apa mas, kok buru-buru balik?“ tanya Raisa dari sampingku. Ketika kami sedang dalam perjalan kembali ke Jakarta. Matahari sudah lumayan tinggi, panasnya mulai terasa di udara yang kami lewati.

“Ada kejadian yang cukup penting di perusahaanku Is, “ kataku dengan pelan.

“Ada apas mas?“ tanya Raisa penasaran.

“Kepala programmerku meninggal Is, “ jawabku.

“Huh!? Meninggal kenapa mas?“

Kulirik kesamping, mata Raisa sedikit terbelelalak, heran, terkejut, itu kudapati disana.

“Belum tau is, Si-ce-, eh maksudku Lidya tidak menjelaskannya secara detail tadi, “ jawabku.

“Wah, terus gimana dengan proyek mas nantinya?“ tanya Raisa, tersirat nada prihatin disuaranya.

“Entahlah Is, mas juga masih bingung, “ sahutku.

Semoga

Semoga nanti lebih baik.



Chapter 15: TRANSITION
---------------------------------------

Uuufffhhhhhh...
Pekerjaan yang mudah.
Terlalu mudah, tidak ada tantangannya sama sekali.
Kubersihkan ranjang dan sekeliling tempat ini dari bekas-bekasku. Sekarang saatnya membersihkan diri.
Ufftttt..
Pantatku terasa sedikit perih.
Dasar, tidak bilang-bilang kalau ngemasukin. Belum siap juga.
Tapi lebih mudah kalau seperti ini, kalau sudah nafsu, rasa viagrapun tak akan bisa dibedakannya dari yang lain.
Selesai membersihkan diri, aku memakai seragam yang disediakan.
Hotel yang payah, keamanannya juga parah.
Kumelangkah kepintu, sebelum keluar kupandangi wajahnya yang sedikit mengernyit menahan sakit. Wajah yang sudah tak berisi kehidupan lagi.
---------------------------------------
Lidya POV.

Hari yang melelahkan.

Dari pagi sampai sore ini aku disibukkan dengan pertanyaan dari anggota staff yang lain mengenai kematian Ade. Sebagian menyatakan belasungkawanya. Sebagian lagi bertanya mengenai kelanjutan dari proyeknya. Yang membuatku kesal, seharian aku berusaha menghubungi si-mata-keranjang, namun hanya tersambung dengan mailbox saja.


Dengan kesal aku menuju kemess.


Mungkin sebaiknya aku beristirhat dulu.


Perlahan kuregangkan badanku yang terasa sedikit penat. Mataku tak sengaja terbentur dengan lemari yang berisi buku-buku si-mata-keranjang.
Kuteringat hal yang kubaca terakhir kali. Dengan penasaran kuambil lagi buku tipis itu dan mulai membacanya.
Kalau diawal berisi puisi dan lirik lagu, halaman berikutnya berisi semacam pesan.


Pesan?

Pepatah?

Entahlah.

Kubaca lagi hal yang tertulis disitu :


Jika kita berbuat baik kepada orang lain dan
orang lain pun berbuat baik kepada kita,
itu adalah hal yang biasa.

Jika kita berbuat baik kepada orang lain tapi
orang lain membalas tidak baik kepada kita,
itu adalah takdir.

Jika kita berbuat tidak baik kepada orang lain tapi
orang lain masih berbuat baik kepada kita,
itu adalah anugerah.

Jika kita berbuat tidak baik kepada orang lain dan
orang lain pun berbuat tidak baik kepada kita,
itu adalah karma.

Jika orang lain berbuat baik kepada kita dan
kita pun berbuat baik kepada orang lain,
itu adalah balas budi.

Jika orang lain berbuak baik kepada kita tapi
kita membalas tidak baik kepada orang lain,
itu adalah tidak tahu diri.

Jika orang lain berbuak tidak baik kepada kita dan
kita membalas tidak baik kepada orang lain,
itu adalah dendam.

Jika orang lain berbuak tidak baik kepada kita dan
kita tetap berbuat baik kepada orang lain,
itu adalah kasih sayang.

Sedikit tertegun ketika kubaca kata-kata yang tertulis dibuku ini. Maknanya dalam.


Sangat dalam.

Apakah yang dipikirkan si-mata-keranjang ketika menulis ini?

Kulihat halaman berikutnya, dan tulisan tangan yang berbeda terlihat dihalaman ini.


“An eye for an eye will only make the whole world blind.”
― Mahatma Gandhi

Hmmm...

Tulisan tangan siapakah ini?

Rapi, kuat dan jelas. Kemungkinan seorang wanita?

Pacarnyakah?

Sebuah desiran aneh kurasakan.


“Ahh.. bodow amat!“ gumamku.


Aku berdiri dan meletakkan buku ini di meja ruang tamu. Dengan langkah yang pelan aku menuju ke kamar tidur dan berbaring dikasur yang empuk.


“Ehhhmmmm...“


Kurasakan nyamannya berbaring di ranjang setelah seharian duduk.


“Kalau terus seperti ini, bisa-bisa pantatku jadi tipis, “ gumamku sambil bangun. Kupandangi tubuhku yang terbalut blouse dan rok dicermin yang berada disudut ruangan.


“Mending mandi dulu, biar segeran ah...,“ gumamku sambil menuju ke kamar mandi.


Selesai mandi, hanya dengan mengenakan jubah mandi warna merah marun aku berjalan keruang tidur. Sambil mengeringkan rambut yang sedikit basah. Kupandangi wajahku dicermin.


“Hmmm..., sedikit lebih segar sekarang,“ gumamku sambil memutar-mutar tubuhku. Jubah mandi yang kukenakan sedikit pendek, sehingga pahaku terpangpang dengan jelas.


Ting..ting..ting

Kudengar suara handphoneku dari tas yang kutaruh diatas meja ruang tamu.


Kuambil dan kubaca sebuah pesan yang masuk.


Dari : Lisa
Mbak, aku telat dikit datengnya, diajak jalan sebentar sama Mas Frans, jadi nitip bli makan mbak?
Hmm. .. semakin dekat saja mereka. Mau tak mau timbul perasaan iri dalam hatiku. Kubalas sms Lisa.
Kepada : Lisa
Iya Lis, gak usah Lis, mbak makan buahnya aja, lagian mau diet juga nih J
Jangan sampai pagi ya...

Sambil tersenyum aku menekan tombol kirim.

Well.


Sendirian lagi.


Apa yang bisa kulakukan sekarang?

Mungkin berbaring sejenak ide yang bagus. Pikirku.


“Aduh!“ jeritku ketika tak sengaja aku berbaring didekat bantal.


Dengan penasaran aku menarik benda yang mengganjal disana.


Sebuah vibrator?

Atau benda apakah ini?

Kecil.

Sepertinya pas dijari.



Salah satu ‘mainan‘ Lisa kah?

Dengan penasaran kupasang dijari tengah tangan kanan, kutekan tombol diujungnya dan benda ini berdengung dengan pelan.


Bisa kurasakan getarannya dijariku.


Dan tiba-tiba aku mengerti apa yang harus kulakukan.


Aku berjalan kearah ruang tamu, kuhidupkan televisi.


Dengan pelan aku baringkan pantatku di karpet yang empuk. Kusibak celana dalam putih miniku kesamping.



Terlihat kemaluanku yang ditumbuhi rambut-rambut pendek.


Harus cukur lagi nih... pikirku sambil mulai meraba klitorisku dengan vibrator jari ini.


“Emhhhhhhh.....,“ desahan pertama keluar dari mulutku ketika getaran ringan dari vibrator ini mulai menyentuh saraf sensitif dibagian atas vaginaku.


“Nguuunngggg...,“ bunyi nguung pelan hampir tak terdengar dari vibrator ini tersamarkan oleh suara televisi, yang padahal sangat pelan.


Pelan tapi pasti, daging kecil yang sensitif dibagian atas vaginaku semakin membesar. Cairan kenikmatan mulai merembes pelan divaginaku.


Kuusapkan cairan vaginaku di vibrator mini ini dan dengan pelan kuusap daging kecil yang sekarang menyembul malu-malu.


“Akkhhh.....ahhhh,“ desahanku bertambah ketika vibrator yang basah oleh cairan kenikmatanku bergesekan dengan klitoris yang sudah mengeras.


Kurang.

Aku merasa kurang.

Tangan kiriku yang daritadi diam saja, perlahan mengelus payudaraku dari luar jubah mandi yang aku pakai. Perlahan, melingkar diputingku yang mulai mengeras. Puting yang sekarang samar terlihat mengacung dari balik jubah.


“Ssstttttt......uuhmhmmm..., “ tak bisa kutahan bibirku mulai mendesah ketika putingku yang mulai sensitif teraba dari luar. Ketika rasanya belum terasa cukup, kumasukkan tangan kiri kedalam jubah mandi, langsung memijit pelan putingku yang tak terlindungi bra.


“Ahhhhh.......stttt...,“ desahanku semakin keras ketika putingku yang telah mengeras kuplintir dengan pelan, sedangkan dibawah. Vaginaku mulai banyak mengeluarkan cairan kenikmatan yang menetes ke paha putih mulusku.


“Agghhhhhh...ahhhhh...hmmm...hmmmm., “ bibirku kugigit pelan agar suara desahanku tidak terdengar sampai keluar. Rasa gatal yang familiar itu akan segera datang.


Sebentar lagi...

Sedikit lagi...

‘Tok.tok.tok.‘


Suara ketukan dipintu mengagetkanku.


Tunggu...

Sedikit lagi...

‘Tok.tok.tok.‘


Suara ketukan sekarang semakin keras.


Uuugggggggggghhhhhhhhhhhh!!!

Kubangkit dengan terpaksa, kurapikan jubahku yang rasanya berantakan.


Bisa kurasakan wajahku masih terasa panas. Ingin rasanya kuabaikan saja ketukan dipintu itu.

Klik.


Kuputar kunci pintu dan bersiap mengomel ketika raut wajah yang menemaniku selama lima tahun belakangan ini terlihat memandangku sambil tersenyum.



Chapter 16 : BOYFRIEND?
---------------------------------
Ctarrrrr...!
“Ahhhhh...,“ dengusku ketika rasa sakit itu mendera punggungku.
“Sayang, tahan ya,“ katanya ketika dengan perlahan, sebuah dildo berukuran jumbo dimasukkan kedalam vaginaku yang masih becek, sisa sperma dan cairanku tadi.
“Ahhhh, sayang... pelan...,“ bisikku ketika mili demi mili dildo itu masuk ke dalam vaginaku.
Plaaakkkk....
Pantatku terasa perih, ketika telapak tangannya menampar pantatku yang menungging.
Perlahan, sebuah benda kecil dimasukkannya kedalam celah pantatku.
“Ughhh..., sayang...udah...“ desahku tak berdaya ketika benda yang dimasukkannya tadi perlahan bergetar ringan dipantatku.
Perlahan, sangat perlahan... tangannye menggelitik paha dalamku.
Aku tak berdaya!
Dengan tangan terentang dan terikat dikedua sisi, rasa yang kutunggu itu semakin dekat.
Semakin kasar.
Semakin dekat.
Semakin nikmat.
---------------------------------
Lidya POV.

Omelan yang sudah siap kusemprotkan tertahan diujung lidahku.

“Nick?“

“Terkejut sayang?“ tanyanya sambil tersenyum.

Pandangan matanya menyapu pakaianku yang memperlihatkan sekilas puting payudaraku yang sedikit tercetak dipermukaan jubah mandi ini.

“Eh, masuk dulu Nick,“ jawabku sambil sedikit menepi, sehingga dia bisa masuk.

“Darimana kamu tahu kalau aku ada disini sekarang?“ tanyaku penasaran .

“Sedikit bertanya kepada security di perusahaanmu, kemudian mencari tahu alamat G-Team –yang lumayan mudah- di Google,“ jawabnya. Masih dengan senyuman khasnya.

“Maaf, aku lupa ngasi tau kalau aku sekarang disini sementara waktu, “ kataku pelan.

Nafsuku sirna ketika rasa penyesalan mendera. Satu-satunya orang yang mau mendampingiku selama ini. Aku lupa memberi tahu kalau pindah!

“Mau minum apa Nick? “ tawarku.

“Apa yang kau punya?“ tanyanya sambil tersenyum jahil.

“Air putih, teh, kopi?“

“Kalau begitu aku pilih kopi,“ katanya sambil memperhatikanku.

Dengan rasa bersalah masih menghantui, aku pergi kedapur. Masih ada sisa air hangat. Kuseduh segelas kopi dan segelas teh.

“Ini Nick,“ seruku. Sambil memberikan kopi yang baru kubuat kepadanya.

“Ada apa Lid? Ada masalah? “ tanyanya. Seperti biasa, dia selalu tahu kalau aku ada masalah atau bagaimana.

“Lumayan Nick, “ jawabku lesu.

“Oke, ada apa?“ tanyanya, tidak menuntut, namun aku tahu. Dia tidak akan berhenti sebelun aku menjawabnya.
.
“Perusahaanku dan G-Team, sedang membuat suatu program untuk Alfa Medika, “ kataku, sambil melihat wajah Nick.

“Alfa Medika? Perusahaan obat-obatan itu?“ tanyanya memastikan.

“Iya Nick,“ jawabku. “Kami sedang membuat program itu, ketika leading programmer dari G-Team, meninggal, kemarin, “ kataku pelan.

“Meninggal? Meninggal karena apa?“ tanyanya sambil menyesap kopi yang aku buatkan.

“Itu yang menjadi permasalahannya, polisi bahkan pagi ini sudah bertanya-tanya kesini, “ jawabku sambil menunduk.

“Sekarang aku bingung, siapa yang akan memimpin programmer-programmer itu? Sedangkan CEO dari G-Team sedang ke Semarang mencari data, mungkin sekarang baru akan nyampe.“

“Mengapa tidak kau saja Lid?“ katanya sambil menatap kearahku.

Tatapan yang selalu bisa menyejukkanku.

“Aku ragu Nick, sebagian besar anggotanya bukan dari perusahaanku dan sebagian besar cowok Nick!“ seruku, ragu.

“Tidak masalah kan? Kalian bekerja secara profesional kan?“ saran Nick, seperti biasa. Menjadi sumber inspirasiku.

“Benar juga Nick, thanks, selalu memberikanku saran yang berguna,“ katu sambil mengacungkan jempol kearahnya.

Huftttttt..., benar juga, kenapa tidak aku saja yang jadi leading programmernya?

Bodoh!

Pikirku, sambil memijat pelan tengkukku yang terasa sakit.

“Hmmmm, upahnya apa?“ sambil nyengir Nick mendekatiku.

Oh no!

Andri POV.

Akhirnya!

Sampai juga.


Pikirku. Ketika terlihat bangunan perusahaanku dikejauhan.

Pinggang ini terasa mau copot. Perlu dipijat nih.

Sekilas terbayang pijatan Sisca dan pelayanannya diranjang. Sungguh ingin rasanya aku memutar mobil dan menuju Bidadari Massage.

Andri! Ada yang lebih penting kau lakukan sekarang!

Lebih penting memberikan flashdisk yang berisi data yang berhasil aku kumpulkan di Semarang daripada pijat.

Dan bisa melihat si-celana-dalam-putih.

Aku masuk dan menuruh mobil Frans di parkiran. Setelah itu menuju resepsionis.

“Frid, Edy atau Frans ada di messnya atau dikantor?“ tanyaku pada Frida, resepsionis.

“Pak Frans keluar sama Mbak Lisa pak, kalau Pak Edy, baru saja pulang pak,“ jawabnya.

“Waduh, Erlina atau Lidya ada?“ tanyaku lagi.

“Mbak Erlina rasanya sudah pulang pak, kalau Mbak Lidya, rasanya dikamarnya pak,“ terang Frida.

Oke.Mungkin aku bisa berbicara dengan si-celana-dalam-putih dulu.

“Thanks Frid,“ Katak u ambil melangkah ke arah messnya si-celana-dalam-putih.

“Eh..., pak,“ tegur Frida.

“Iya Frid?“ tanyaku.

Terlihat Frida ragu sejenak.

“Maaf pak, tidak jadi,“ katanya setelah berpikir sejenak.

Ada-ada saja. Pikirku. Sambil menuju ke mess.

Sambil naik di lift, aku membayangkan pertemuan terakhirku dengan si-celana-dalam-putih di messnya.

Sel-sel kelabu yang terbiasa dengan pikiran mesum pun berfantasi ria.

Semakin dekat dengan messnya, entah kenapa aku semakin berdebar.

Tapi, tunggu!

Suara apa itu?


Kudengar suara pelan, seperti suara si-celana-dalam-putih, namun, terdengar juga suara lelaki!

Penasaran aku melangkah dengan pelan.

Suara itu semakin jelas...!

“Udah Nick, cukup!“ suara lirih suara si-celana-dalam-putih.

“Masih belum Lid, tanggung nih...“ suara seorang lelaki menimpali.

“Jangan dimasukin ....... Nick, aku...,“

Tak kusadari jantungku berdebar lebihkencang dengan tangan yang mengepal.

Andri, dia bukan siapa-siapamu!

Namun rasa penasaran dan marah lebih mendominasi.

Dengan sengaja aku keraskan langkah kakiku, tiga meter dari pintu aku pura-pura batuk.

“Uhuukkkk...uhuuukkk...uhukkk....“

Dan akhirnya aku sampai dipintu yang terbuka!

Dan kulihat si-celana-dalam-putih, sedang..

Sedang...

Sedang dipijat!

Namun pakainnya saat ini.

Hanya sebuah jubah mandi merah marun yang pendek, paha putihnya bisa kulihat mengintip dari bawah jubah itu!

“Eh, Mas Andri, “ seru si-celana-dalam-putih. Terlihat kejut diwajahnya. Tangannya terburu-buru merapikan jubah mandinya.

Sejenak keadan menjadi kaku diantara kami.

Lelaki yang berada dibelakang si-celana-dalam-putih, bergantian memandangi aku dan si-celana-dalam-putih.

“Eh... Kalau masih sibuk, aku balik entar, “ kataku sambil berbalik.

Bodoh!

Bodoh...!Bodoh...!Bodoh...!!!

“Mas, tunggu!“

Bisa kudengar panggilan Lidya dari belakangku.

Namun kukertakan gigi dan berjalan lebih cepat. Ingin sekali rasanya aku menoleh dan melihatnya, namun harga diri dan gengsi mengalahkan segalanya. Kupercepat langkahku dan menuju mess Frans, tepatnya, messku dan mess Frans sementara ini.

Sampai dimess Frans aku membuka gagang pintu. Namun terkunci. dan aku belum meinta kuncinya dari Frans!

“Sialan!!!”

Sungguh hari yang menyebalkan. Tunggu!

Aku lupa memberikan flashdisknya kepadanya.

Be profesional Ndri!

Dengan langkah malas aku kembali melangkah ke mess si-celana-dalam-putih.

LIDYA POV

“Siapa Lid?“ tanya Nick dibelakangku, tangannya dengan lembut memegang pundakku.

“Mas Andri, CEO perusahaan partnerku Nick, “ jawabku pelan.

“Ouwhhhh, perlu aku jelaskan hubungan kita?“ tanya Nick, memberikan solusi, seperti biasa.

“Tidak perlu, ini urusan pribadiku Nick, urusanku dengannya urusan profesional. Tidak ada hubungannya dengan ini,“ sahutku ringan.

Semoga.

“Ada masalah lagi Lid?“ Tanya Nick, terlihat pandangan khawatir diwajahnya.

“Tidak Nick, aku baik-baik saja kok,” jawabku sambil tersenyum.

Tidak, aku tidak baik-baik saja Nick.

Tapi ini masalahku, bukan masalahmu.

Kulihat senyum pengertian diwajahnya.

“Lama di Jakarta Nick?“ tanyaku.

“Gak Lid, aku mau balik sekarang,“ jawabnya lembut.

“Sekarang? “ tanyaku heran.

“Iya, aku ada pesta besok malam? Mau ikut Lid?“ katanya sambil tersenyum jahil.

“Sementara ini tidak, “ jawabku sambil balas tersenyum.

“Oke, and remember, aku selalu siap untukmu, ”

Nick perlahan melangkah melewati pintu.

Perlahan dia berbalik dan merentangkan tangannya. Seperti biasa aku lari kedalam pelukan hangatnya. Dengan tersenyum kupandang matanya yang menatapku.

Kulihat kasih sayang disana.

Sama, seperti sebelum-sebelumnya.

Perlahan Nick menurunkan kepalanya dan memberikan ciuman ringan didahiku.

Aku lepaskan pelukanku dibadannya yang terasa nyaman dan menoleh kearah lift.

Dan disana.

Terlihat si-mata-keranjang menatapku dengan pandangan mata yang sukar ditebak!

Sejenak aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Ingin rasanya berbalik dan melanjutkan kegiatanku yang tertunda tadi.

Tidak...

Ouwhhh tidakkk....

Si-mata-keranjang melangkah mendekatiku. Kulihat Nick berjalan dan mengangguk kepada si-mata-keranjang. Yang dibalas dengan enggan oleh si-mata-keranjang.

Dan tatapan mata si-mata-keranjang terlihat marah.

Tatapan matanya marah?

Marah?

Kami bertatapan sejenak.

Lidahku terasa kelu.

“Ehhh, a..ada yang bisa Lid bantu mas?“ tanyaku dengan gugup.

“Cuma mau ngasi data yang aku dapat di Semarang, kalau tidak mengganggu,“ jawabnya. Kudengar nada sinis dalam suaranya.

“Tidak mengganggu kok mas,“ jawabku.

“Eh, masuk dulu mas,“ ajakku.

Sejenak kurasakan badannya menegang sebelum dia berjalan masuk.

Kucium bau keringat yang khas ketika dia lewat didepanku. Perlahan putingku mengeras membayangkan apa yang menimbulkan aroma itu.

Pasti karena efek nanggung tadi, pikirku.

Kulihat Mas Andri duduk dikursi ruang tamu.

“Data apa mas?“ tanyaku sambil duduk didepannya.

“Data mengenai alur produksi dan semua file foto dan video yang aku ambil di Semarang Lid…,” sahutnya lirih.

Kurasa ada yang aneh.

Apa ya?

Dia memanggil namaku untuk pertama kalinya tanpa embel-embel mbak!

“Tunggu sebentar mas, aku ambil laptop dulu,“ jawabku sambil mengambil laptop yang ada di kamar tidur. Sampai di kamar kuambil laptop dan menuju keruang tamu.

Hmmm, apa perlu kuganti pakaian dulu?

Sudahlah,cuma sebentar juga.

Kuberikan laptopku kepada Mas Andri dalam posisi aku masih berdiri.

“Mas, ini laptopnya, “ kataku kepada Mas Andri.

“Iya Lid...ya,“

Laptop yang kuberikan belum juga diambil oleh Mas Andri.

Sejenak aku bingung kenapa Mas Andri diam saja.

Tatapan matanya terfokus kesatu titik.

Sialan!

Dadaku terbuka lebar dari sela-sela jubah mandi yang kupakai.

Dengan wajah panas aku duduk dan meletakkan laptopnya dimeja.

Sejenak Mas Andri masih tertegun.

Perlahan wajahnya dialihkan dariku, tangannya sedidkit bergetar ketika membuka laptopku dan menghidupkannya.

Dengan wajah panas kulirik kearahnya.

Huffffttt, dulu melihat celana dalamku, sekarang melihat dadaku!

Curaaaanggggg....

Aku belum melihat punyanya...

“Ahhhh...ahhh...“

“Harder..!!“

“Ahhhh....,“

Adduduuuuuududuuuhhhhhhh!!!

Aku lupa laptop ku dari kemarin standby dan terakhir aku sedang menonton salah satu film public pickup di laptop!

“Mas!!!“ tegurku dengan wajah merah padam. Bisa kurasakan aliran darah terasa mengumpul diwajahku.

Sambil tersenyum mesum si-mata-keranjang mematikan video yang kuputar.

Dan...

Oh my god!

Kulihat tonjolan yang cukup besar dicelananya!

Itu pasti karena menonton film yang tadi, pasti.

Hening ketika kami menunggu transfer data selesai.

“Lid, bawa chargernya? Baterainya hampir habis,” kata si-mata-keranjang sambil menunjuk lampu indikator baterai yang mulai berkedip.

“Ada Mas,” sahutku. Sambil dengan agak melayang menuju ke kamar dan mengambil charger.

Aku pasangkan charger dicolokan dinding, namun kabelnya ternyata tidak cukup panjang.

“Mas, kabelnya tidak cukup, ”kataku ketika kabel charger tidak sampai di laptop.

“Itu ada kabel roll didinding, ” sahut si-mata-keranjang sambil menunjuk ke rak didinding.

Aku menuju dinding yang ditunjuknya, namun sialnya, rak yang dimaksud cukup tinggi.

Kucoba meraihnya namun tidak bisa.

Kumenoleh kearah si-mata-keranjang dan melihat matanya tak berkedip memandang pahaku yang terbuka karena berusaha mengambil kabel rollnya.

Dasar mata keranjang!

Uggghhhhh, kenapa juga menaruh kabel roll ditempat yang tinggi seperti ini.

Kucium aroma keringat seperti tadi dan sebelum kubisa berbalik, sebuah tangan melewati bahuku dan mengambil kabel roll yang terletak di rak.

Deggggg….!!!

Bisa kurasakan aroma keringat itu memenuhi udara disekelilingku. Tangan yang keras melintas pelan diatas bahuku. Dan dada yang bidang , kurasa, menggesek pelan punggungku. Putingku mengeras merasakan aura intim yang semakin intens.

Dug...bisa kudengar kabel roll itu sekarang diletakkan dilantai. Hening sejenak, sampai-sampai aku bisa merasakan bunyi nafasku yang semakin tak beraturan.

“Lid...,“ bisa kurasakan getar dalam suara si-mata-keranjang, sebeblum tangannya memutar pelan bahuku.

Matanya kelam berkabut gairah!

Tek...

Tak sadar aku mundur sampai menempel didinding.

Namun dia tak berhenti.

Perlahan tubuhnya yang lebih besar dariku merangsek maju hingga nyaris tak ada jarak diantara kami.

Tangan kanannya sekarang diletakkan disebelah kepalaku, nafasku semakin tak beraturan!!!

Perlahan...

Perlahan bibirnya mendekat...

Jari tengah dan telunjuknya dengan lembut mengangkat daguku.

Tak sadar mataku terpejam.

Lidya, ini salah!

Lidya, ini tak boleh!

Lidya, dia bukan apa-apamu!
Disatu sisi aku ingin menolak.

Bisa kurasakan nafasnya dipipiku.

Ayooo….

Cium aku!!!

Disisi lain aku mendambakan sentuhannya!

Nafas itu semakin dekat, tak sadar kubuka pelan bibirku, mengundangnya...

Sedikit lagi...


“Mbak, kok pintunya gak ditu..tup..?“

 Chapter 17 : MASSAGE AND ACCIDENT?
-----------------------

“Bagaimana hasil pemeriksaanmu?” Tanya sang atasan kepada bawahannya.
“Sepertinya ini kecelakaan pak, cuma ada sedikit keanehan pak,” jawab bawahannya dengan lambat.
“Keanehan apa?” selidik sang atasan.
“Didalam perut korban, ditemukan flashdisk yang terbalut dengan kondom pak,“ jawab si bawahan dengan ragu.
“Hanya itu?“
“Iya pak,“ jawab bawahannya dengan pelan. “Tapi pak, sekarang ada masalah lain lagi,” katanya dengan takut.
“Masalah apa lagi?“
“Flashdisk itu sekarang hilang pak, tidak ada diruang barang bukti!“
“APA?“
-----------------------
Andri POV.

“Mbak, kok pintunya gak ditu..tup..?“

“Upsssss…!”

Dengan malas aku menjauh dari si-celana-dalam-putih, yang sekarang terlihat sangat menantang dengan wajah yang merona merah, bibir terbuka dan nafas yang terengah.

“Halo Lis, ” sapaku pada Lisa yang berdiri bengong di pintu.

“Eh, pintunya kebuka, jadi Lis masuk, eh itu. Lis gak tau.eh itu…,” dengan terbata Lisa menjawab pertanyaanku.

“Gak apa-apa kok Lis, ”sahutku sambil memasang kabel roll didinding dan menyambungkannya ke charger.

“Jangan salah paham Lis, ini…, ini gak seperti yang kamu lihat,” kata si-celana-dalam-putih, memberi penjelasan. Dia lalu beranjak ke sofa dan duduk, mukanya yang memerah, memandang kebawah.

“Eh, kalau mas masih mau ngobrol sama Mbak Lidya…,” kata Lisa. Menunggu reaksiku dan si-celana-dalam-putih.

“Gak apa-apa”, jawab si-celana-dalam-putih.

“Gak apa-apa kok Lis,” Jawabku sambil tersenyum.

Aku melangkah kearah laptop.

Untung tidak sampai mati, pikirku melihat indikator baterai yang terus berkedip.

“Gak jadi pergi ma Mas Frans Lis?” Tanya si-celana-dalam-putih. Mengalihkan perhatian.

Seolah ingin Lisa tidak ada disini, atau hanya perasaanku saja?

“Jadi mbak, ” jawab Lisa dengan malu-malu.

Hmmmm, jadi Lisa dengan Frans?

Oke, transfer finish.

“Lid, aku pulang dulu, semua data sudah ada di drive D,” kataku sambil beranjak dari pintu.

“Iya mas,” sahutnya pelan.

Kupandang wajahnya, namun dia tidak mengangkat mukanya.

“Kok cepat mas?” Tanya Lisa. Sedikit bingung dengan keadaan kami.

“Cuma copy data saja kok Lis,duluan ya” kataku sambil beranjak keluar.

Semoga dia tidak melihat tonjolan didepan celanaku.

Kulihat wajah si-celana-dalam-putih masih terus memerah.

Malu atau mau?

Aku melangkah ke lift dengan badan yang pegal dan tonjolan di celana dan nafsu yang butuh pelampiasan!

Terbayang wajah Sisca dan Nia, aku melangkah ke mobil, saatnya melemaskan yang tegang, dan menegangkan yang lemas.

Tak berapa lama kemudian aku sudah berada dibelakang kemudi. Next stop, Bidadari Massage.

Ahhh.. Hari yang penuh dengan masalah. Kematian Ade. Email aneh dari Ade.

Email itu, aku teringat email Ade:

From : Ade@gteam.com
Subject : Alfa Medika Security
Sore Boss,
Terlampir detail running test yang saya lakukan. File berupa image dan text serta video.
Note : ada hal unik yang saya temukan, saya kirim dengan video.
Thanks,
Ade
3 Attachment------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alfa Medika Security Report.pdf

Alfa Medika Running Test.rar
Trojan.avi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hmmmm, email yang ‘unik’, tapi videonya.

Entah harus tertawa atau marah, mungkin ne anak salah kirim video. Yang dikirim ternyata salah satu video x-art!

Membayangkan isi video itu, yang dengan senangnya aku copy ke cloud pribadiku, membuat Andri junior membengkak dengan parah.

Oke, Nia, wait me there!

Beberapa menit kemudian aku sampai di Bidadari Massage. Parkir terlihat penuh, terpaksa aku parkir agak diluar.

Hmmm, mungkin perlu security atau petugas parkir khusus, pikirku melihat banyaknya kendaraan yang sedang terparkir. Aku menuruni tangga yang mengantarkanku ke resepsionis.

Heran, padahal bukan hari libur kenapa banyak mobil disini?

“Tumben mas?” sapa Nia sambil tersenyum.

“Kan sudah sering aku kemari, kok dibilang tumben?”

“Maksudnya, tumben hari kerja kemari, ada yang tegang?” katanya sambil melirik kearah celanaku.

“Tau aja kamu Nia, kok ramai sekali, ada apa?” tanyaku.

“Ini ada bookingan dari club mobil mas, lumayanlah,” katanya sambil tersenyum manis.

“Wah, gak ada yang free dong nih?”

Please, bilang ada. Sudah cukup kesialanku hari ini.

“Hmmm, semua nemenin tamu mas, kecuali…,” kata Nia membuatku penasaran.

“Kecuali aku mas, ”katanya sambil tersenyum lebar.

Well. Satu kabar baik hari ini.

“Wah, kebetulan nih, lama gak ngerasain sedotan mautmu,” kataku ambil tersenyum jahil.

“Ih, mas ini, bentar mas, mau masang tanda tutup dulu, biar gak ada yang ganggu nanti,hihihi” katanya sambil beranjak kedepan.

“Tapi ada satu masalah lagi,” serunya saat kembali sambil memanyunkan bibirnya yang tipis dan basah.

“Apa Nia?” tanyaku, tak sabaran.

“Kamarnya full mas,” Jawabnya. “Ada tempat yang bagus si mas, cuma agak terbuka,” katanya sambil melirikku dengan pandangan yang menantang.

Penisku yang dari tadi terkurung terasa sesak!

“Ayo Nia,” desakku sambil menarik Nia.

“Eh, mas tau tempatnya?” selanya sambil tersenyum jahil.

Shit!!!

“Dimana?”

“Disini mas,” kata Nia, sambil mengangkat rok hitamnya yang pendek.

Kaki jenjangnya terbungkus stocking warna hitam yang serasi dengan garter belt yang hitam. Kemaluan Nia terbungkus oleh celana dalam hitam berenda yang transparan sehingga vaginanya yang mulus terbayang.


Wow.

Pemandangan yang membuat Andri junior semakin tertekan disarangnya.

“Mas sini,” pinta Nia ketika aku hanya diam memandang bagian bawah tubuhnya yang begitu seksi.

Dengan nafsu yang meninggi aku mendekati Nia. Tangannya dengan cepat membuka kancing celanaku dan menurunkannya sampai lutut.

Plok….Handphoneku terjatuh saking terburu-burunya.

“Eh, maaf mas,” kata Nia sambil menaruh handphoneku dimeja resepsionis.

Akhirnya, Andri junior bisa menghirup udara segar!

“Uhhhhh, udah keras gini mas, pasti habis kentang ya?” tanya Nia sambil berjongkok. Bibirnya yang tipis dan basah itu mulai menciumi kepala penisku yang berwarna merah, terangsang dan mengeras dengan sempurna.

“Ahhhhh, ” tak kuasa aku untuk tak mendesah ketika kepalanya dengan cepat maju mundur dibatang penisku. Sesekali Nia memandang keatas, seolah menikmati ekspresiku yang keenakan atas sedotan mautnya.

“Ahhhh, terus Niaaaa….,” ceracauku ketika penisku terus dimasukkan sampai ke tenggorokannya. Bisa kurasakan ketika kepala penisku menggesek ujung dari tenggorokannya.

Jepitan hangat rongga kerongkongannya begitu nikmat.

Sangat nikmat.

Deep throat yang sangat handal.

Kepala Nia mendongak keatas, ekspressi wajahnya yang terselimuti nafsu membuat penisku semakin keras. Aku tak tahan lagi!

“Ploooopppp…” bunyi penisku yang kutarik dari mulut Nia.

Terlalu sayang jika aku orgasme dalam mulutnya, sebelum bisa merasakan bagian tubuhnya yang lain.

“Berdiri Nia,”pintaku sambil memegang tangannya dengan lembut. Dengan perlahan, kusibakkan celana dalamnya kesamping, Kujelajahi vaginanya yang polos dengan jariku, sebelum berhenti dibagian atas vaginanya.

Iya, klitorisnya!

“Ahhhhh mas, sssttttttttt, jangan dimainin dong,” serunya ketika tanganku dengan jahil mengusap-usap lembut klitorisnya yang sudah menegang dengan sempurna.

“Sssttttt, mas…,” desisan pelan mulai keluar dari bibir sicantik yang kini bersandar dibahuku. Sementara itu, aku bisa merasakan cairan vagina semakin banyak keluar dan membasahi ujung-ujung jariku.

Giliranku!

Aku berlutut diatas lantai keramik yang dingin, kaki kanan Nia kuangkat sedikit, sehingga vaginanya lebih jelas terlihat. Bibir luar vaginanya masih terlihat berwarna merah.

Sedikit aneh mengingat berapa jenis dan banyak penis yang memasukinya.

Perlahan kudekati daging kecil yang berwarna merah muda, yang sekarang membesar.

“Ahhhhhhhh, mas. Terus, hisep disana mas, i..yaaaahhhh, disa...na, tepat disana......,” racau Nia, tak kuasa menahan kenikmatan yang kuberikan kepadanya.

Sambil lidahku menjilat klitorisnya, kumasukkan jariku kedalam vagina mulusnya, satu, dua dan akhirnya tiga jari!

“Massssss, pee..la…nin,” desah Nia semakin tak terkontrol.

Degg…

Entah kenapa aku merasa kami diawasi.

“Nia, sepertinya ada yang ngawasin kita,” kataku pada Nia.

“Gak ada kok mas, kalaupun ada, biarin aja, beramal sekali-sekali mas….ahhh!” kata Nia tak peduli.

As you wish…

“Ahhhh… mas sudah,,, masukin massss,,please…,”wajah Nia yang terangsang berat membuatku tak tahan.

Kuajak Nia kearah kursi, aku duduk dikursi dan memandang Nia sambil tersenyum…

Seolah mengerti, Nia berjalan dengan pelan kearahku, rok mininya diangkat dengan sensual, jari-jemarinya dengan pelan membuka dua kancing kemeja yang dikenakannya dan berjalan kearahku, perlahan jari itu mengarah kebelakang punggungnya dan melepas kaitan bra. Akhirnya branya yang kekecilan dilepaskan dari sela-sela kancing yang terbuka.

Perlahan…

Dengan perlahan branya yang terlihat tidak mampu menampung ukuran payudaranya diletakkan diatas meja resepsionis.

Penisku semakin mengeras melihat live show yang diperlihatkan Nia.

“Nia, sini.. entar keburu ada yang lihat,” pintaku tak tahan.

“Hihihi, gak sabaran banget mas, pake ini dulu,” jawabnya. Sambil mengambil kondom dari laci mejanya.

“Yah, tinggal dua,” desahnya, sebelum menghampiriku.

Dengan gaya manja, Nia memasangkan kondom dengan mulutnya di penisku!

Ufffhhtttttt, seksi.

Dengan sangat pelan, Nia menyibakkan celana dalamnya kesamping. Terlihat lagi vagina mulusnya.

Masih dengan gaya yang sama, Nia melangkah mendekat, perlahan, vagina itu didekatkan dengan penisku yang pasrah menunggu.

“Emmmmhhh...,“ desisku pelan ketika ujung penisku mulai menyeruak masuk kedalam lembah basah Nia.

“Sssssstttttttt….ahhhhhhh, massss!” desisnya. Menambah tensi persetubuhan kami.

“Uffffggttttt, besar dan panjang mas!” Desisnya ketika seluruh batang penisku berhasil masuk lorong sempit, basah yang terasa memijat batang penisku dengan pelan.

“Jangan dulu mas!” pinta Nia ketika aku hendak menggerakkan penisku.

“Seminggu lebih gak dipake mas, dapet jatah pertama langsung yang jumbo gini,”katanya sambil meremas payudaranya sendiri.

“Ehhmmm massss nakal,” serunya ketika aku mulai menggerakkan penisku, jepitan vaginanya sangat terasa.

“Massss, kuluminnnn,” kata Nia sambil mengarahkan putting payudaranya yang terlihat menonjol.

“Ahhhhh masssssss, nikmattttt.ahhhhh,” sekarang, desisan Nia berubah menjadi teriakan-teriakan kecil yang dibarengi dengan hentakan pantatnya yang semakin cepat dipenisku.

“Sssttttt massss, kerasinnnnnn……,” pinta Nia, setengah mendesah, setengah menjerit nikmat. Vaginanya terasa menyedot sperma keluar dari penisku.

“Plok…plok…plok…”

Suara pertemuan vagina dan penisku.

Suara itu semakin cepat dan cepat. Bisa kurasakan cairan vagina nia merembes pelan membasahi pahaku. Vaginanya yang tadi terasa sempit, perlahan mulai lancar menerima penisku. Desahanku yang terhalang puting payudaranya bersahutan dengan desahannya yang semakin keras.

“Sedi..kit la..gi mas,, hah..hah.hah….” nafas Nia semakin cepat. Goyangan pinggulnya semakin cepat dan kasar menghajar penisku!

Dan akhirnya…

“Sssttt,,,,ooouuuwghhhh masssss, Nia,,, da…pettttt,,,,,ahhhhh…,” seiring dengan dengan teriakannya. Vaginanya kurasakan meremas penisku dengan keras. Batang penisku terasa hangat disiram cairan kenikmatan Nia yang meluber hingga keluar. Pinggul Nia mengejang kaku beberapa saat sebelum yang punya terkulai lemas dipangkuanku.

“Hah..hah…hah…,jangan dulu mas, ngilu,” pinta Nia memelas ketika aku ingin menggerakkan penisku lagi.

“Plooppp,” suara pelan ketika Nia bangkit, yang menyebabkan penisku terlepas dari vaginanya.

“Yah, nanggung Nia,” gumamku ketika Nia bangkit dan mengambil minum dimejanya.

“Bentar mas, ngilu banget nih,“ katanya. Sambil menunjuk vaginanya yang berwarna semakin merah.

“Lagi bentar nih Nia, ” pintaku memelas.

“Hmmmm, lewat belakang mau?” tanya Nia dengan tatapan yang menggoda.

***
Lidya POV.

“Mbak, maaf ya ganggu, abis mbak gak tutup pintu sih,hihihi“ kata Lisa sambil tersenyum menggoda.

“Sudah cinlok nih sama si-mata-keranjang?“ lanjutnya penasaran.

“Gak gitu gitu kok Lis, tadi itu hanya terbawa keadaan saja“ elakku sambil mengunci pintu.

“Keadaan apa mbak?“ tanya Lisa sambil mengerutkan keningnya.

Sambil duduk disofa kuceritakan dari awal aku masturbasi yang ‘kentang‘, kedatangan Nick dan adegan ketika Nick memijat dan menciumku.

“Hahaha, berani taruhan, Mas Andri pasti sekarang lagi tegangan tinggi, repot dah tu nyari penyalurannya, hihihi“ tawa Lisa mendengar ceritaku. Dia sekarang hanya mengenakan bra dan celana dalam pink. Terlihat manis ditubuhnya yang mungil. Tak terasa vaginaku kembali melembab.

“Gak si-mata-keranjang saja Lis,” kataku dengan menerawang sambil menoleh kedepan, pemandangan Lisa membuat birahiku naik kembali.

“Perlu bantuan mbak?“ tanya Lisa sambil melangkah pelan dibelakangku.

Sebelum aku sempat menjawab, Lisa menarikku pelan kesamping sofa, tangan kanan Lisa terasa menyelusup masuk kedalam jubah mandiku dan memilin pelan putingku yang sudah sedikit mengeras. Tangan kirinya menyibak pelan jubah mandiku diantara pangkal paha dan menemukan gundukan yang sudah terasa basah oleh cairan birahi.

“Hhmmmmm, mbak, sudah basah dibawah…..,” gumam Lisa sambil menggigit pelan daun telingaku sebelum berubah menjadi jilatan yang basah di leher jenjangku.



“Lis,” gumamku.

Terlalu malu untuk meminta lebih.

“Hmmm, nikmatin saja mbak,“ kata Lisa sambil dengan terampil lidahnya membelai leherku yang terasa sensitif untuk disentuh.

“Ssstttt... ahhh Lis!“ teriakku ketika jarinya dengan nakal menjepit klitorisku yang sudah mengeras. Bisa kurasakan vaginaku semakin basah dibawah sana. Jari Lisa dengan terampil menjepit, mengusap dan membelai klitorisku yang sudah sangat sensitif. Kakiku terasa lemas merasakan kenikmatan yang diberikan Lisa.

Perlahan tanganku yang dari tadi hanya membelai kepala Lisa, kuarahkan kecelana dalamnya. Bisa kurasakan lembab dibagian tengahnya.

Rupanya Lisa juga sudah terangsang!

Kuselipkan jariku ketengah celana dalamnya, untuk mendapatkan sebuah lubang yang terasa basah.

Ini saatnya pembalasan, pikirku, mengingat apa yang telah dilakukan Lisa sebelumnya.

Dengan pelan, aku masukkan tiga jariku kedalam vaginanya yang cukup basah.

“Ahhhhhh,,,mbak!“ serunya, lebih karena terkejut.

“Ehmm,“ sahutku sambil mempercepat kocokan jariku. Bisa kurasakan vagina Lisa menjepit erat jariku, rupanya belum bisa menyesuaikan terlalu cepat.

“Stttttt,,,,ahhhhh,Liss..!“ sekarang giliranku yang berteriak ketika Lisa merespon kocokan kasarku divaginanya dengan menggesek kuat klitorisku dan meremas keras kedua payudaraku bergantian.

“Ahhhh... Liss...“

“Sssttt,, ahh mbak, cepetin!“

Desah dan jeritan kami saling bersahutan menghiasai ruangan.

Dengan bernafsu aku mencari bibir Lisa dan melumatnya dalam suatu cumbuan yang panas. Lidah kami saling membelit dan tak terasa air liur kami menetes. Ciumana kami panjang, basah dan menggoda. Bisa kurasakan Lisa sama bernafsunya denganku. Kami bagaikan pasangan yang lama tak bertemu dan hanya ada waktu sebentar untuk melampiaskan birahi yang tersimpan.

Nafasku dan nafas Lisa semakin cepat dan bersahutan. Bisa kurasakan tubuhku dan tubuh Lisa mulai menegang. Vagina dan klitorisku terasa semakin panas!

Dan akkhirnya....

“Lis! Mbak da..pettt..stttttttttttt,“

“Lisa juga mbak!aaaahhhhhhhhhh....hah.hah.hah“

Pinggulku dan pinggul Lisa bergerak tak terkendali ketika orgasme itu mendera. Cairan hangat bisa kurasakan dijemariku yang saat ini masih berada di vagina Lisa. Begitu juga kurasakan vaginaku mengeluarkan cairan yang membasahi tangannya.

“Ahhh Lis,“ desisku pelan ketika puncak orgasme itu terlewati. Lututku terasa lemas.

Dengan tangan masih mengeluarkan bau khas kewanitaan masing-masing, kami berpelukan disofa sebelum gelap datang menyelimuti.


***

Galang POV.

“Apa yang kaucari disini Lang?“ tanya Herman ketika kami berada di hotel yang menjadi saksi bisu tewasnya Ade Mahendra.

“Benda yang harusnya ada disini namun tidak ada disini dan benda yang harusnya tidak ada disini namun ada disini,“ jawabku pelan.

“Bisa kau mengatakannya dalam bahasa yang bisa dicerna otakku yang sudah tua ini?“ tanya Herman sambil menggaruk kepalanya.

“Intinya aku mencari apa yang seharusnya ada disini, yang harusnya dimiliki oleh korban, tapi tidak ada disini,“ jawabku pelan. “Coba kau cek list barang-barang yang ditemukan oleh anak buahmu,“ kataku lebih lanjut.

Herman mengeluarkan notesnya, dengan perlahan dia membaca barang-barang yang ditemukan di TKP.


  1. Dompet kulit (berisi kartu identitas, uang tiga ratus ribu rupiah).
  2. Satu bungkus rokok, sisa 7
  3. Satu buah korek api.
  4. Tas kecil
  5. Pakaian (celana panjang, kemeja, celana dalam)
  6. 1 bungkus kondom (sisa 1)

“Itu saja Lang,” kata Herman.

“Tidak kau temukan barang yang seharusnya ada disini, namun tidak ada?“ tanyaku, sedikit geli dengan ekspresi Herman.

“Sudahlah, katakan saja Lang,“ kata Herman setelah berpikir sejenak.

“Handpone,“ kataku singkat. “Kau dengar bagaimana maniak gadgetnya korban, namun tidak kutemukan satu buah handpone atau gadget sejenisnya, disini atau di kamar korban,“ kataku pelan.

Ekspressi Herman berubah dari keheranan menjadi pengertian.

“Jadi maksudmu, korban tidak bunuh diri, kecelakaan, atau meninggal secara wajar?“ tanya Herman mencari kepastian.

“Kemungkinan besar tidak,“ jawabku.“Dan satu hal lagi yang tidak ada disini, viagra,“ kataku setelah diam sejenak.

Kulihat tampang penasaran di wajah Herman.

“Jadi menurutmu, korban dibunuh?“ tanya Herman, berubah serius.

“Kemungkinan, iya“

“Oleh siapa? Dan motifnya apa?“ tanya Herman.

“Pelakunya masih belum jelas, untuk motifnya mungkin besok kita bisa tanyakan,” jawabku sambil menghela nafas.

“Tanyakan ke siapa?”

“Andri CEO G-Team”

***

Andri POV

“Hmmmm, lewat belakang mau?” tanya Nia dengan tatapan yang menggoda.

“Pasti,“ sahutku dengan senyum lebar.

“Bentar mas,“ sahut Nia sambil menungging mencari sesuatu dilaci mejanya..

Belahan vaginanya yang baru saja kuhajar terlihat merah, sementara itu, lobang sempit diatas vaginanya terasa menantang untuk segera dimasuki.

“Ah, ini dia mas,” seru Nia, sambil tangannya memegang sebuah botol pelumas dan dildo.

“Pelan-pelan ya mas, dah lama gak main belakang nih,” katanya sambil mengoleskan pelumas dibelahan pantatnya, tangannya juga dengan cekatan mengoleskan pelumas di batang penisku.

Dengan posisi aku yang duduk, pelan-pelan pantat Nia bergerak turun, turun..turun.

“Ugghhhtttt, Nia, sempit!” seruku ketika penisku terasa dijepit dengan kuat.

“Ouwhhh,,hoh..hoh…Mas diemin bntar, sakit,” lirih suara Nia. Tangannya kemudian memasukkan dildo yang dbawanya kevaginanya dan mengocoknya pelan.

Perlahan, pantat Nia semakin turun, hingga setengah penisku tenggelam dalam lobang pantatnya.

“Gilaaaaa! Besar banget mas, ahhhh......sttt,“ racau Nia ketika tangannya tanpa henti menggerakan dildo itu divaginanya.

Tanganku tak tinggal diam, kuremas dan kupilin puting dan payudara Nia bergantian.

Pelan tapi pasti Nia menggerakkan pantatnya naik dan turun.

“Ahhh, mas, berhenti dulu,“ kata Nia sambil kembali mengoleskan pelumas di pantatnya dan penisku.

“Plooopppp,“

Berbeda dengan tadi, sekarang penisku relatif lebih mudah masuk ke pantat Nia. Dengan gerakan sedikit cepat dan keras, aku hentak pantat Nia dari belakang.

Plaakkkkk....


“Masssss! Sakit,“ rintih Nia ketika kutampar pantat mulusnya dengan keras.

Wajah Nia memerah menahan nafsu yang mendera.

Penisku terasa dipijat dengan sangat nikmat oleh pantat Nia.

“Ahhh,, massss,,, penuh sekali rasanya,“ dengus Nia ketika tangannya sibuk memaju mundurkan dildo divaginanya, sedangkan tangan satunya menggesek klitorisnya.

Tok.tok.tok...

Kudengar suara sepatu dari arah belakang.

“Nia, ada orang,“ katakau ketika suara itu semakin mendekat.

“Biarin aja mas, tanggung,hah..hah...hah...“ jawab Nia dengan nafas yang menderu.

“Mbak, bi...sa,“ suara pria membuatku menoleh.

Seorang anak muda di batas usia 18 tahun terlihat terpaku melihat kegilaan yang kami lakukan.

“Minta kon…dom,” katanya setelah sempat terpaku beberapa saat.

“Cuma sisa lagi satu...sssttttt, aahhhh, nanti aku beliinnn...ahhhhhh,“ desah Nia ketika pantatnya terus kuterjang.

“Eh... i...ya mbak,“ terlihat nafsunya naik melihat yang kami lakukan.

Kukedipkan sebelah mataku sambil memberi isyarat mengajaknya bergabung.

Kulihat mulutnya membentuk kata, ‘boleh?‘ dan ‘sekarang?‘

Kubalas dengan anggukan kecil. Ingin kuberikan pengalaman yang berharga kepada anak ini.

Dengan tergesa dia menurunkan celananya. Terlihat penisnya yang tidak terlalu besar sudah mengacung tegak. Dengan langkah pelan dia mendekati kami.

Kupegang tubuh Nia sehingga menempel kearahku. Tangannku meremas payudaranya bergantian.

“Ehh, mau apa?“ kata Nia, tersadar kalau ada orang lain yang mendekatinya.

“Nikmatin aja Nia,“ bisikku sambil menarik dildo dari vaginanya.

“Ih, masss nakal,“ gerutu Nia dengan wajah yang memerah.

Namun aku tahu dia juga menikmatinya.

“Namamu siapa?“ tanya Nia ketika dengan pelan mulutnya menghisap penis yang tersaji didepannya.

“Eh,,,sttttttt....Tomi, tante,“ jawabnya pelan, seiring dengan penisnya yang dikulum dengan ganas oleh Nia.

“Ugghhhhh, sakit tan,“ rintihnya ketika Nia dengan gemas mencubit bolanya.

“Tante...tante, panggil mbak,“ kata Nia gemas.

“Iya mbak,sudah hisepnya mbak, Tomi gak tahan,“ pinta Tomi dengan wajah yang merah padam.

“Sini,“ kata Nia sambil memasangkan kondom kepenis Tomi yang sudah menegang dengan keras.

Perlahan penis Tomi membelah celah diantara paha Nia.

Plaaakkkkkk...plaaakkkkkk.....

“Aduh, mas nakal,“ seru Nia ketika dengan gemas aku menampar pantatnya.

“Ssssttt,,,, aduuhhh, pelan-pelan mas, kegencet nih,aahhhhh....,“desah Nia ketika dengan keras aku dan Tomi menghentak penis kami dilobang masing-masing.

“Tambah sempit Nia, “ bisikku sambil tetap mengocok pelan pantat Nia.

“Enak banget mass,sssttttt,“ desis Nia ketika gerakanku dan Tomi saling melengkapi. Penis Tomi membuat lubang pantat Nia serasa menyempit.

Plok..plok..plok...

Bunyi pantat kami saling beradu, dengan Nia berada ditengah.

Tanganku terus meremas payudara Nia.

“Sssttt,,, masssss, cepe...tin...,“rengek Nia ketika orgasme itu semakin dekat dengannya.

Penisku terasa dipijat oleh pantat Nia. Perlahan kurasakan spermaku mulai mengumpul menjadi satu.

“Niaaa, mas mau nyampe,“ bisikku ditelinga Nia.

“Niaaa juga masss,,,ssstttttttt,“

Plok..plok...plokk...

Aku semakin cepat menggerakkan penisku. Spermaku sudah diujung!

Dan akhirnya...

Crroottttt...crroootttt...crrrootttt...

“Aaaaaaaahhhhhh, Niaaaaa,hah...hah..hah,“ teriakku.

“Nia nyam...peee...massss,,ahhhhhhhhhh,“ jerit Nia tak kalah keras. Pinggulnya bergerak dengan liar sebelum berhenti dan kepalanya terkulai dipundakku.

“Mbaakkkk, Tomi gak kuattt.....“ teriak Tomi.

“Hah...hah..hah...“

“Hosshhhh...hoshhh.hoshhh“

“Hah...hah...hah...“

Deru nafas kami menjadi satu. Aroma persetubuhan kami menjadi satu. Begitu jelas. Begitu merangsang.

Setelah itu kami membersihkan diri di toilet yang sempit dan kecil.

Sempit!

Mungkin itu alasan Nia ML di depan denganku tadi.

“Eh, tadi Tomi minta apa?“ Tanya Nia ketika kami sudah kembali ke resepsionis.

“Kondom mbak, didalem kondomnya habis,” kata Tomi sambil menunduk.

"Perlu berapa Mi?" tanya Lisa.

“Wah, perlu banyak mbak, ”kata Tomi bingung.

Whats? Gak ada kalau segitu, harus beli dulu, “ terang Nia.

“Mobil Tomi gak bisa keluar mbak, boleh pinjam mobilnya mbak?“ Tanya Tomi.

“Pakai mobilku saja,” kataku sambil memberikan kunci mobilku.

“Jeep Rubicon hitam, yang berada didepan,” kataku padanya.

“Wah, thanks mas,” serunya kepadaku seraya mengambil kunci dari tanganku dan segera berlalu kedepan.

“Gimana Nia? Puas?” tanyaku kepada Nia yang sedikit gelisah duduknya.

“Mas nakal, sakit tau mas, ne duduknya sulit,” omel Nia sambil mencubit tanganku dengan ringan.

“Tapi kalau dikasi lagi mau kan?” Tanyaku dengan senyum mesum.

“Kalau bertiga lagi ogah deh mas, Nia...,“ kata Nia sambil diam dan memandangku dengan mata yang dipenuhi dengan nafsu. “Maunya berempat mas,“ senyum diwajah Nia membuatku terpana.

Berempat?

Oh yes!


DUUUUAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRRRR!!!

Suara ledakan yang keras mengejutkanku dan Nia. Api terlihat dari tempatku memarkir mobil.

Mungkinkah?

Kuambil sebuah tabung pemadam di dinding dan melangkah keluar. Nia ikut dibelakangku. Bisa kudengar suara-suara lain disekeliling kami. Rupanya suara ledakan itu membuat orang-orang menghentikan kegiatan syahwat mereka dan berlari keluar kamar.

Pemandangan didepanku membuat sejenak nafasku berhenti. Mobilku terbakar dikursi penumpang, bisa kulihat sebuah tubuh terkulai. Sadar, aku berlari dan menyemprotkan fire extinguishers kebagian mobil yang terbakar. Aku berusaha menyeret tubuh yang sebagian mukanya sudah hancur itu keluar, menjauhi api yang berkobar menuju ketangga.

“Hah..hah..hah,“nafasku menderu ketika berhasil sedikit menyeret tubuh yang terkulai itu. Sebuah benda berkilau menarik perhatianku, dan tepat ketika aku menaiki anak tangga, hendak mengambil benda itu, sebuah desisan samar terdengar, dan rasa sakit menghantamku.

“Mas. Mas kenapa?“ teriak Nia ketika aku terjatuh.

Dan kemudian gelap.

 Chapter 18 : HUNTER AND PREY
-----------------------

“Hmmmm, meleset, dengan jarak sedekat itu dan meleset?”
“Dia menembak di keramaian, itu sudah cukup bagus,“ laki-laki itu berkata dengan pelan.
“Huh, anak emasmu, kau selalu membelanya! “
“Ini kesalahan pertamanya, dan walapun target tidak berhasil dihilangkan, semua barang bukti sudah berhasil dihanguskan,“ jawab sang lelaki dengan pelan.
“Kau lupa, bukti digital, mudah digandakan dan disebarkan!“ sang wanita berkata tegas, dadanya yang besar naik turun dengan manja.
“Sudahlah, sebaiknya tenaga dan mulutmu digunakan untuk yang lain saja,“ senyum mesum si lelaki terlihat.
“Contohnya?“ tanya siwanita, walaupun pertanyaan itu tak perlu dijawab.
-----------------------
Lidya POV

Drrrtttt....drrrrtttt....drrrtttt

Drrrtttt....drrrrtttt....drrrtttt

Drrrtttt....drrrrtttt....drrrtttt


“Ugghhhhhhtttt....,uahheeemmmm,“ gumamku.

Suara getaran dari handpone berhasil membangunkanku dari tidur yang cukup lelap.

Aku masih bisa merasakan kulit telanjang dan empuknya dua buah daging lunak di punggungku.

Payudara Lisa!

Dengan malas kulihat layar handphone.

Sebuah nomer yang tidak dikenal terlihat memanggilku.

“Selamat malam, dengan Lidya bisa dibantu,“ sahutku.

“Selamat malam, benar dengan nona Lidya?“ suara seorang wanita terdengar diujung sana.

“Benar, dengan saya sendiri, ada apa ya mbak?“ tanyaku.

“Saya dari RS Sari Husada, ada pasien bernama Andri Kusuma sekarang disini, apa anda mengenalnya?“ tanyanya lebih lanjut.

Andri Kusuma?

Andri!

Si-mata-keranjang!

“Benar mbak, dia rekan saya? Kenapa mbak?“ tanyaku khawatir.

Berbagai pikiran negatif muncul dikepalaku.

Jangan-jangan...

“Saudara Andri berada dirumah sakit sekarang, kami tidak menemukan nomer lain yang bisa dihubungi selain nomer mbak, tolong hubungi keluarganya mbak karena saudara Andri perlu dioperasi segera“ kata suara wanita tadi dengan tegas.

Operasi?

Ya tuhan!

“Iya mbak, saya hubungi keluarganya dan kesana sekarang,“ kataku sambil menutup telepon.

Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhku.

Kuingat kata-kata Lisa tadi.

“Hahaha, berani taruhan, Mas Andri pasti sekarang lagi tegangan tinggi, repot dah tu nyari penyalurannya, hihihi.“
Gelombang rasa bersalah menerpaku.

“Kenapa mbak?“ tanya Lisa yang juga terbangun.

“Mas Andri dirumah sakit Lis, mbak mau kesana sekarang,“ jawabku sambil mengambil baju kaos dan celana panjang.

“Aku ikut mbak,“ kata Lisa yang juga sedang mengenakan pakaiannya.

Aku mengambil telepon dan memutar nomer handphone Mas Frans.

“Nomer yang anda hubungi sedang tidak aktif atatu berada diluar jangkauan“

“Aduh, nomernya tidak aktif lagi!“

Kucoba menghubungi Mas Edy.

Tapi jawaban yang sama kembali terdengar.

“Aduh, gimana ini Lis, Mas Frans atau Edy gak ada yang jawab telepon mbak,“ seruku kepada Lisa yang sekarang mengenakan jeans dan kaos, sama sepertiku.

“Langsung aja ke rumah sakit dulu mbak, nanti kita telepon dari sana,“ saran Lisa sambil melangkah kepintu.

“Ayo Lis, eh, tau dimana RS Sari Husada dimana?“

“Hmmmm,,,pake taksi aja mbak, ” saran Lisa.

“Ayo Lis,” ajakku.

Kami berjalan dengan tergesa kearah jalan. Untung ada taksi yang kebetulan lewat sehingga kami tidak perlu menunggu lama.

“Ke rumah sakit Sari Husada pak,“ seruku kepada pak sopir.

“Ngebut dikit pak,”kataku ketika taksi dijalankan dengan pelan.

Entah mengapa, perasaan tidak enak terus mendera hatiku. Semoga Mas Andri baik-baik saja. Laju taksi terasa begitu lambat.

Dan sekarang bahkan berhenti!

“Pak, kok berhenti?“ tanyaku tak sabar.

“Macet mbak, kayaknya ada kecelakaan didepan mbak,“ terang pak sopir.

Aduhhhhh... Kenapa isi macet lagi?

Semoga si-mata-keranjang baik-baik saja.

Sepuluh menit kemudian kami sampai dirumah sakit. Sepuluh menit yang terasa satu jam.

Sambil berlari kecil aku berlari kebagian informasi.

“Selamat malam mbak, ada yang bisa kami bantu?“ kata seorang suster.

“Malam mbak, saya teman dari pasien yang bernama Andri Kusuma, dimana dia sekarang?“ tanyaku tak sabar.

“Sebentar mbak, “ sahutnya sambil melihat layar komputer didepannya.

“Saudara Andri sedang di ICU mbak, menunggu konfirmasi untuk operasi segera, ada anggota keluarganya mbak?“ tanyanya lebih lanjut.

“Tadi saya coba hubungi tidak ada yang aktif mbak,“ jawabku.

“Sebentar mbak, “ katanya sambil menelepon.

Tak kudengar apa yang dikatan suster itu, pikiranku penuh dengan pikiran tentang si-mata-keranjang. Semoga dia tidak apa-apa.

“Mbak, mbak,“

Kurasakan tepukan dipundakku.

“Eh kenapa Lis?” tanyaku bingung.

“Ditanya sama mbak susternya mbak,” kata Lisa sambil tersenyum.

“Kenapa mbak?” tanyaku.

“Dokter bilang keadaan pasien semakin kritis. Kami akan segera melakukan operasi, tapi kami kekurangan darah golongan B, kalau bisa tolong carikan donornya mbak,” terangnya.

“Eh, saya golongan darah B mbak, bisa pakai darah saya saja?“

“Kebetulan kalau begitu, mari saya antar untuk cek kondisi mbak dulu,“ katanya.

“Lis, coba hubungi keluarga Mas Andri dulu ya, dan juga hubungin Mas Frans dan Mas Edy,“ pintaku pada lisa.

“Iya mbak,” sahut Lisa.

Aku mengikuti langkah suster dengan pikiran hampa, mengingat keadaan si-mata-keranjang dan juga keadaan proyek kami yang terlihat berantakan sekarang.

Ujian yang berat.

Sangat berat.

Masih dengan keadaan yang bingung aku menyelesaikan donor darahku, suster memberitahu kalau operasi akan segera dimulai. Aku diberi tempat untuk beristirahat namun kutolak.

Dengan perasaan yang campur aduk aku menunggu diluar ruang operasi. Kulihat seorang wanita diujung tempat dudukku, wajahnya terlihat cemas.

Mungkin ada anggota keluarganya yang dioperasi
, pikirku, karena rumah sakit ini mempunyai beberapa ruang operasi yang letaknya menjadi satu.

Semoga semua berjalan dengan lancar.

Semoga.

Satu jam….

Dua jam…

Akhirnya setelah dua jam, dokter keluar dari ruangan operasi.

Dengan cepat aku mendekati dokter dan bertanya

“Dokter, bagaimana hasilnya?“
“Operasi berjalan sukses, sekarang tinggal menunggu pasien sadar mbak,“ terangnya dengan sabar.

“Boleh saya melihatnya pak?“ tanyaku dengan cemas.

“Pasien akan dipindahkan dulu keruang ICU, nanti disana saja pacarnya dilihat mbak” senyum pak dokter melihat kegelisahanku.

Bisa kurasakan wajahku memanas.

“Oh iya, apa mbak sudah dihubungi polisi?” tanyanya yang membuatku terkejut.

“Polisi? Kenapa pak?” tanyaku dengan terkejut.

“Luka di badan pasien berasal dari peluru mbak,“ katanya, kali ini kulihat nada serius dalam ucapannya.

“Dalam hal ini, pihak rumah sakit sudah menghubungi polisi, mungkin sebentar lagi akan tiba disini“ katanya.

“Mungkin mbak bisa menyelesaikan administrasinya dulu” saran pak dokter. “Mari mbak,“ serunya sambil melangkah menjauh.

“Iya pak, terimakasih pak,” kataku sambil melangkah tempat administrasi. Tidak kulihat Lisa, mungkin dia menghubungi keluarga Mas Andri seperti
permintaanku.

Diruangan administrasi aku bertanya mengenai keadaan si-mata-keranjang.

“Mbak, saya temannya Andri Kusuma, mau ngurus administrasinya mbak,“ kataku.

“Iya mbak, ini semua detailnya, tolong tandatangan ditempat yang disediakan ya mbak,” terangnya.

Kulihat sejenak berkas Mas Andri dan menandatanganinya.

“Mbak, pasien ini siapa yang bawa kemari,“ tanyaku kepada suster.

“Tadi ada ada beberapa orang yang datang kemari, satu wanita, sisanya lelaki, yang laki-laki sudah pulang semua, yang wanita ngurus pendaftarannya mbak, tadi saya lihat wanita itu masih didepan ruang operasi mbak,” terangnya.

‘’Terimakasih mbak,” sahutku dan berjalan menuju ruang operasi.

Seorang wanita? Kuteringat wanita yang tadi duduk di ujung ruang tunggu.

Mungkinkah?

Tapi siapakah dia?

Jangan-jangan?

Dengan pikiran yang dipenuhi spekulasi aku menuju ruang operasi.

Wanita yang tadi masih duduk dalam diam disana, bisa kulihat rona kecemasan diwajahnya.

Siapakah dia?

“Malam mbak, mbak yang tadi ngantar pasien didalam kesini ya?” tanyaku sambil melihat dirinya.

Cantik dan seksi.

Mungkin usianya diantara 25 atau 30 tahun.

Dengan kemeja putih dan rok hitam yang mini, kakinya yang jenjang tertutupi stocking hitam yang seksi.

Tak sadar aku merasa iri dengan penampilannya yang terkesan matang.

“Eh iya mbak, bagaimana kondisinya mbak?” tanyanya dengan sedikit gelisah.

Gelisah?

“Sudah membaik mbak, sekarang akan dipindahkan keruang ICU atau kalau kondisinya sudah membaik, akan dipindahkan ke kamar mbak” terangku.

“Oh iya, saya Lidya” kataku sambil mengulurkan tangan.

“Saya Nia,” katanya. ”Mbak pacarnya Mas Andri?” tanyanya menyelidik.

Wajahku kembali memanas.

Ini kali kedua malam ini dua orang menyangka aku pacar si-mata-keranjang.

“Bukan mbak, saya partner bisnisnya,”sahutku. Dengan ragu aku kemudian bertanya, “Kalau mbak sendiri?”

“Eh, mbak, itu, sa…ya,” kulihat keragu-raguan diwajahnya.

“Iya mbak?”

“Ehhmmm, saya bekerja di Bidadadari Massage mbak,” jawabnya lirih.

Sejenak aku bingung dengan maksudnya.

“Saya pemilik sekaligus terapis disana mbak,“ lanjutnya, kali ini keragu-raguannya menghilang.

Dan ketika aku mengerti maksudnya.

DASAR MATA KERANJANG! Teriakku dalam hati.

“Mbak, kalau boleh saya mau pulang dulu, ganti pakaian, kalau mbak perlu bantuan atau nanti polisi perlu saya, hubungi saya disini mbak, “ katanya sambil menyerahkan kartu nama.

“Baik mbak,“ jawabku sambil menerima kartu nama yang disodorkannya padaku.

“Mari mbak,“ katanya sambil melangkah pergi.

Aku kembali keruang administrasi untuk menanyakan dimana si-mata-keranjang, apa sudah pindah keruang ICU apa belum.

“Pasien masih di ruang ICU mbak, mungkin besok baru dipindahkan ke kamar kalau kondisinya sudah membaik,“ terang suster dengan ramah.

“Boleh saya masuk mbak?“ tanyaku.

“Boleh mbak, tapi cuma satu orang saja yang boleh masuk ya,” jelasnya.

“Iya mbak, terimakasih.”

Dengan sedikit tenang aku menuju ruang ICU, disana si-mata-keranjang terbaring dengan jarum infus dan masker oksigen. Tubuhnya terlihat lemas dengan perban melingkari disekeliling tubuhnya.

Perlahan kudekati dia.

Wajahnya terlihat tenang dan tampan!

Terlihat dia masih belum sadar, mungkin pengaruh bius.

Tok..tok..tok...
Tok..tok..tok...

Samar bisa kudengar ketukan di pintu.

Kulihat Lisa berdiri didepan pintu dengan beberapa bungkusan ditangannya.

“Mbak, makan dan ganti pakaian dulu,“ katanya dengan lembut.

Galang POV.

“Lang, kau harus singgah, Marni masak besar hari ini,“ kata Herman.

“Emang ada apa Her?“

“Rian ulangtahun hari ini, Marni buat syukuran kecil-kecilan,“ jawab Herman sambil fokus mengemudi.

Rian, anak Herman.

Kami masih didalam mobil sehabis pulang dari hotel tempat terbunuhnya Ade Mahendra.

“Eh..., nanti aku malah ganggu,“ sahutku pelan.

“Siapa bilang? Justru aku yang bakalan dimarahi Marni kalau tidak ngajak kau,“ kata Herman sambil memelankan mobilnya.

Kami sampai didepan rumah Herman, rumah yang bisa dibilang sederhana.

Sebuah tempat yang bisa dibilang rumah keduaku.

Kami turun dari mobil, kulihat Herman membawa sebuh bungkusan ditangannya.

Kapan dia membelinya?

“Horeeeee, bapak sudah pulang!“ bisa kudengar teriak kegembiran Rian. Dia yang sekarang , kalau tidak salah, berusia 7 tahun. Terpisah cukup jauh dari kakaknya yang lahir 13 tahun lebih dulu.

“Ehhh, ada om Galang, hadiahnya mana om?” katanya dengan polos sambil menengadahkan tangannya didepanku.

“Sudah-sudah, ini kado buatmu, Om Galang gak bawa kado, hanya bawa perut lapar yang minta diisi, hahaha, ” kata Herman yang membuatku malu.

“Horeeee…,” kata Rian sambil berlari kedalam rumah.

“Eh, ada Dik Galang, sini masuk, mbak banyak masak lo hari ini, ” suara seorang wanita keibuan memanggilku dari dalam, dia Marni istri Herman.

“Iya mbak,” sahutku sambil melangkah kedalam.

Sebuah rumah sederhana, dengan perabotan yang sederhana, namun, aura keramahan yang mempunyai rumah membuatku merasa betah disini.

Kecuali…

“Eh, Mas Galang, sudah lama mas?” sapa seorang perempuan berumur kurang lebih 30 tahun dari balik tubuhku.

“Baru saja Mir, “ sahutku sambil berbalik.

Seorang wanita yang sudah dewasa dan matang berdiri didepanku. Hanya dengan mengenakan sebuah daster yang walaupun membalut semua tubuhnya, namun cukup tipis, sehingga terbayang apa yang ada didalamnya. Sebagai lelaki normal kontan saja aku merasakan geliat samar dibawah sana.

Mirna.

Adik dari Marni, istri Herman. Sudah menikah namun suaminya meninggal karena kecelakaan. Dia tinggal dengan anaknya, Tasya, di rumah sebelah.

Namun kadang-kadang dia menginap disini, terutama ketika aku dan Herman sedang dinas keluar kota.

Dan Mirna serta Tasya lah yang membuat hari-hariku yang damai dirumah Herman menjadi kacau.

“Kapan potong tumpengnya bu?“ protes Rian sambil cemberut. Tampaknya si bungsu sudah tak sabar ingin menikmati sajian yang disediakan ibunya.

“Masih nunggu Tasya, sabar Rian, ” kata ibunya sambil mengusap-usap kepala Rian.

“Tasya kemana si Mir?” tanya kakaknya.

“Masih berhias katanya Mir, biasa ABG jaman sekarang, malu katanya kalau kelihatan kucel,“ kata Mirna, sambil melirik pelan kearahku.

“Lah?? Malu sama siapa?“ Tanya Herman bingung.

“Malu sama dik Rian, hihihi,“ terdengar suara centil dari pintu, dan munculah Tasya, dan mau tak mau aku menelan ludah melihat penampilannya. Dengan kaos ketat yang membungkus payudaranya yang masih berkembang. Dan bawahannya, nawahannya memakai celana hotpants pendek yang memperlihatkan paha mulus tanpa cacatnya.
“Ada om Galang juga, asyiikkkkk!” seru Tasya sambil merangkulku dengan mesra.

Sejak kematian ayahnya, aku yang dianggapnya sebagai ayah.

Hal yang semakin sulit aku lakukan ketika Tasya beranjak dewasa dan matang.

“Eh, Mbak Dessy kemana?“ tanya Tasya sambil mencari-cari kakak sepupunya.

“Masih kuliah Sya, ”kata ibunya sambil menariknya dan menjewer telinga Tasya.

“Pulang sana, ganti celana!“perintah ibunya.

“Ihhhh,,,ibu, apaaan siiii…. Tasya kan dah gede, masa gak bole pake celana begini,uuuuufffhfhhhhh” jawab Tasya sambil menarik tangan ibunya dari telinganya.

“Lagian ibu juga pake baju tipis gitu,” seru Tasya sambil berlari dan berlindung dibelakangku.

“Udah-udah, biarin aja sekarang Mir, nanti kalau gak mau ganti, jangan kasi uang jajan aja,” kata kakaknya sambil membawa tumpeng dari dapur ke meja makan.

“Horeeee, potong tumpeng, ”seru Rian dengan gembira.

“Ayo, sini kumpul semua,” Kata Herman. Mengajak anggota keluarganya berkumpul dimeja makan. Terkadang aku iri dengan keadaaan anggota keluarganya yang selalau ramai dan akur.

Iri karena aku tidak punya sanak saudara sendiri.

“Ayo Lang, ” ajak Herman. “Sebelum potong tumpeng, kita berdoa dulu, berdoa mulai,” kata Herman.

“Berdoa selesai,”

“Sekarang nyanyi lagu selamat ulang tahun semua ya,” kata Mbak Marni.

Selamat ulang tahun,
Kami ucapkan.
Selamat panjang umur!
Kita 'kan doakan.
Selamat sejahtera, sehat sentosa!!
Selamat panjang umur
dan bahagia!
potong tumpengnya , potong tumpengnya
potong tumpengnya sekarang juga , sekarang juga , sekarang juga....
“Yeeeee…,” teriak Rian ketika dia sudah memotong tumpengnya.

Potongan pertama diberikan kepada Herman.

Kemudian Marni membagikan piring dan sendok, dan akhirnya kami semua menikmati tumpeng yang lezat hari ini.

“Kok tidak nunggu Desy om? “ Tanya Tasya kepada herman ketika kami menikmati nasi tumpeng.

“Desy masih ada ujian sekarang, makanya tidak bisa ikut,“ terang Herman.

“Wah, masakan tante makin enak aja nih, pantes aja om Her makin subur, hihihi,“ canda Tasya.

“Hushhh, bukannya karena makanannya tu Sya, tapi karena sibuk malemnya,” sahut ibunya sambil tertawa.

Kulihat wajah Mbak Marni sedikit memerah.

“Hussshhhhh, Mir, kamu itu ngajarin anakmu yang gak bener!” Sahut Herman.

“Tapi bener juga sih, kebanyakan malamnya neh,hahhaha“ sambung Herman, yang sukses membuat pinggangnya dicubit oleh Mbak Marni.

“Aduh, mas ini, ada anak kecil disini,“ kata Mbak Marni.

“Aduh, ampun...ampunn...,“ sahut Herman.

Kring...kring..kring..
Kring...kring..kring..
Kring...kring..kring..

Nada dering handphone Herman yang disetting mirip dengan telepon terdengar.

Sambil melangkah keluar, Herman mengangkat teleponnya.

“Om Galang nginep sekarang?“ tanya Tasya mengalihkan perhatianku.

“Gak Sya, om bentar lagi pulang,“ jawabku.

“Huhuhu, gak ada yang bacain cerita buat Tasya nanti,“ katanya dengan manja.

“Aduh, udah gede gini masih mau dibacain cerita,” sahutku dengan geli.

“Huhuhu, apanya yang gede, dada aja masih rata gini om,“ jawabnya polos.

“Husshhh, jangan ganggu Om Galang,“ kata ibunya.

“Ihhhhh, mama sewot aja deh....,“ sahut Tasya dengan manja.

Sebelum aku menjawab, Herman masuk, terlihat ketegangan diwajahnya.

“Lang, ada kasus penembakan, kita diminta menanganinya,“ katanya dengan tegas.

“Kok? Kasus Ade belum selesai Her, “ jawabku sambil mengerutkan kening.

“Ini ada hubungannya dengan kasus Ade Lang,” sahutnya sambil menatap wajahku.

“Siapa korbannya Her?“ kataku sambil bangkit dari dudukku.

“Andri, CEO G-Team,“ sahutnya pelan.


 Chapter 19 : LOVE?!? BEGIN?!?
-----------------------

“Siapa yang mengusut kasus itu?“ tanya seorang lelaki sambil merokok.
“AIPTU Herman,“ jawab wanita yang berbaring disebelahnya. Tanpa busana.
“Hmmmm, orang itu, dia lawan yang berbahaya,“ Lanjut silelaki.
“Huh, biasa saja, track recordnya biasa saja, baru beberapa tahun ini namanya mentereng,” sahut siwanita sambil mengelap ceceran sperma di perutnya.
“Bukan dia saja, tapi rekannya,” sahut silelaki.
“Siapa? Lelaki kurus yang doyan perempuan itu? Huh, bisa apa dia, setiap minggu selalu nyari PSK!” sahut si wanita yang sekarang menjilat kemaluan silelaki.
“Kau lihat luka di perutku ini?” tanya silelaki.
“Dari dulu aku ingin bertanya? Siapa yang bisa menyentuhmu? Siapa yang bisa melukaimu seperti itu?”
“Siapa? Lelaki kurus yang doyan perempuan yang setiap minggu selalu nyari PSK itu!”
-----------------------
Lidya POV.

Aku terbangun dengan perasaan bingung. Dimana ini?

Perlahan kepingan ingatan muncul, kulihat kedepan.

Si-mata-keranjang ada di ranjang putih, dengan selimut sampai didada. Masker oksigen masih menempel dimukanya, sedangkan selang infus membentang dari tanganya ke penyangga. Mukanya terlihat tenang.

Tanpa beban.

Kuteringat sebuah kata-kata yang dikatakan Nick padaku,
Kebanyakan dari kita baru merasa memiliki, saat kita telah kehilangan
Keberadaan si-mata-keranjang yang biasanya tidak kuperhatikan. Sekarang baru terasa perbedaannya. Harus kuakui, perbedaan yang besar terjadi ketika dia tidak ada. Manajemen proyek ini kewalahan tanpa keberadaannya. Dan aku…

Ruangan ICU terasa begitu sunyi, begitu dingin. Ingin kupergi dan menuju keruang rapat G-Team yang biasanya dipenuhi canda tawa. Dimanakah sekarang Mas Frans, Mas Edy, Lisa, si-sekretaris-seksi?

“Ughhhhtttt,” kurentangkan tangan dan meregangkan badan sejenak.

Berdua dengan si-mata-keranjang disini, kalau dalam keadaan normal pasti kutolak mentah-mentah. Belum pernah aku berada berduaan didalam kamar seperti ini dengan seorang lelaki, kecuali dengan Nick.

Kembali mukaku memerah mengingat kejadian itu.

Tok.tok.tok.

Aku menuju kepintu dan membukanya dan terlihat anggota polisi yang dari kemarin menjaga diluar.

“Belum sadar mbak?” tanyanya sambil melihat si-mata-keranjang.

“Belum mas, dokter bilang mungkin lagi 30 menit atau satu jam mas,” sahutku sambil tersenyum.

“Iya mbak, terimakasih,” katanya ramah dan beranjak dari depan pintu.

“Uffffttttt,” seruku ketika merasakan badanku sedikit lengket. Dan baru teringat aku belum mandi dari kemarin malam! Kuambil handuk yang dibawakan Lisa kemarin dan menuju pintu.

“Mas, saya mandi dulu, nitip Mas Andri bentar ya,” kataku kepada petugas polisi yang menjaga didepan pintu.

“Silahkan mbak,” sahutnya ramah.

Dengan perasaan yang sedikit tenang aku menuju kamar mandi yang terletak cukup jauh dari ruang ICU. Sesampainya dikamar mandi,kubuka satu persatu pakaian yang melekat dibadanku hingga tubuhku polos tak mengenakan sehelai benang pun.

“Ugggghtttt, dingin!” seruku ketika air yang dingin mengguyur badanku.

Putingku ikut mengeras merasakan dinginnya air bak mandi.

Aku mandi dengan cepat. Selesai mandi aku mengambil pakain ganti yang dibawakan Lisa.

OMG.

Tidak ada pakaian dalam!

Sejenak aku bingung, namun kuputuskan untuk memakai celana jeans dipadu dengan kaos yang dibawakan oleh Lisa. Dengan pasrah aku melihat putingku yang tercetak dari balik kaos yang kupakai. Namun rasanya tertutupi oleh jaket yang dibawakan oleh Lisa.

Namun...

Aku sedikit risih dibagian bawah karena bisa kurasakan permukaan vaginaku langsung tergesek oleh permukaan celana yang sedikit kasar.

Dengan wajah dan perasaan yang lebih segar, aku melangkah menuju ruang ICU. Kuanggukan kepalaku kepada polisi yang menjaga didepan kamar si-mata-keranjang.

Seperti tadi, si-mata-keranjang masih belum sadar.

Wajahnya yang biasanya terlihat serius atau mesum, sekarang terlihat damai.

Sungguh berbeda.

Bibir itu terlihat sedikit kering.

Bibir yang hampir menciumku waktu ini.

Teringat hal itu tak terasa pipiku kembali memanas.

Tanpa terasa aku menyentuh bibirku, kejadian kemarin menyisakan kenangan tersendiri.

Kenangan yang mungkin sulit aku lupakan.

Dengan perlahan kupegang tangannya yang masih terisi selang infus. Tangannya terasa dingin. Selimut yang menutupi tubuhnya kurapikan sehingga kuharap dia lebih nyaman.

Wajahnya begitu damai.

Begitu tenang.


Tanpa sadar aku membelai pipinya yang tidak tertutup masker dan perlahan matanya terbuka.

Andri POV.

Kurasakan sentuhan pelan di pipiku. Aku mencoba membuka mataku namun terasa begitu berat.

Kepalaku juga terasa berat, aku mencoba menggerakkan kakiku dan terasa sedikit kaku.

Rasa nyeri samar terasa dibagian perut kiriku.

Nyeri dan sakit.

Dengan perlahan kubuka mataku dan terlihat wajah seseorang sedang tersenyum memandangku.

Wajah yang mulai sering kulihat.

Si-celana-dalam-putih!

Dimana ini dan kenapa aku ada disini?

Kupejamkan mata dan mencoba mengingat kejadian yang terjadi sebelumnya.

Terbayang Bidadari Massage, Nia, stoking hitam, double penetration Nia, Tomi, mobil yang meledak, memadamkan api, menyeret Tomi, benda berkilau dan rasa sakit yang menyengat, kemudian gelap.

Kupaksa mataku membuka lagi dan kulihat si-celana-dalam-putih memandangku dengan pandangan yang aneh.

Kucoba menggerakkan tangan kananku, terasa berat.

Bibirku terasa kering.

“Air, haus…,”tak sadar aku meminta air.

“Eh, mas sudah bangun?” tanyanya. Bisa kudengar nada lega dalam suaranya.

“Lid, ha..us, air,” pintaku.

“Eh, Lidya panggilin dokter dulu ya mas, mas habis dioperasi, takutnya tidak boleh minum dulu mas,” katanya sambil melangkah keluar ruangan.
Bisa kudengar suaranya didepan pintu berbincang dengan seseorang.

Seorang lelaki.

Kulihat seorang dengan seragam polisi terlihat berdiri dipintu.

Polisi? Disini? Kenapa?

Dengan bingung aku memejamkan mataku yang kembali terasa berat.

Tidak berapa lama si-celana-dalam-putih datang dengan seorang dokter dan suster.

Si dokter memeriksaku beberapa lama, terlihat dia puas dengan apa yang dilihatnya dan memberikan pengarahan singkat kepada si-celana-dalam-putih. Dia melepaskan masker oksigen dan memberikan pengarahan kepada suster.

“Jangan dikasi minum dulu ya mbak, nanti kalau sudah buang angin baru boleh minum, kalau haus sekali, bisa kasi minum cuma 2 tetes dan itu satu jam dari sekarang, panggil suster aja nanti ya mbak,” kata dokter dengan ramah.

WTF!

Cuma dua tetes!

“Oh, ia, kalau kondisinya sudah stabil, mungkin nanti siang sudah boleh pindah ke kamar biasa, nanti urus dibagian administrasi ya mbak,” lanjut dokter sambil berjalan keluar kamar.

Bisa kudengar dokter berbicara dengan polisi yang ada dibagian depan.

“Mas, belum boleh minum dulu ya, ”terang si-celana-dalam-putih.

Uffghhht.

“Haus Lid,” kataku lemah.

“Tahan bentar mas, sampai bisa…, ” senyum terlihat diwajahnya. “Sampai bisa buang angin mas,” katanya. Dan senyum itu semakin lebar.

“Lid, kenapa aku bisa ada disini?” tanyaku.

“Aku juga belum tau mas, tau-tau aku sudah dihubungi pihak rumah sakit kemarin malam,” terangnya.

“Aduh!” seruku ketika kucoba menggerakkan badan dan merasakan sakit yang menyengat di bagian kiri perutku.

“Mas! Jangan bergerak dulu, nanti lukanya terbuka!” seru si-celana-dalam-putih dengan nada galak.

Luka?

“Aku kenapa Lid?” tanyaku dengan bingung.

“Mas baru dioperasi tau!” jawabnya dengan sedikit jengkel.

“Operasi? Operasi kenapa Lid?”

“Kata dokter, ada peluru ditubuh mas, jadi kemungkinan mas kena tembak,” sahutnya.

Kejadian kemarin kembali berputar dikepalaku. Rupanya rasa sakit itu karena tembakan!

Kuruba perutku dan bisa kurasakan ada perban disana.

Tok..tok..tok..

Si-celana-dalam-putih beranjak kedepan pintu dan membukanya.

Seorang suster masuk dan tersenyum kearah kami.

“Cek tekanan darahnya dulu ya mas,” katanya sambil tersenyum.

Cantik juga.

“Sudah lumayan stabil mas, tapi belum boleh minum atau makan dulu ya, ”katanya sambil merapikan alat-alatnya.

“Mas beruntung deh, punya pacar kayak mbak ini, mbak ini lo yang donor darah untuk operasi mas, dan dari kemarin nemenin mas disini,” katanya sambil mengerling kearah si-celana-dalam-putih.

“Iya mbak, calon istri yang baik,” kataku dengan pelan.

“Mari mas, mbak,” katanya sambil beranjak keluar.

Aku melirik si-celana-dalam-putih, wajahnya terlihat bersemu merah.

“Maaf Lid, kamu dikira jadi pacarku,”kataku sambil tersenyum.

“Gak apa-apa kok mas,” sahutnya. Namun wajah itu tetap saja bersemu merah.

“Ouwh, berarti, jadi pacar beneran ya?” tanyaku dengan mimik muka kubuat serius.

Dengan tenang si-celana-dalam-putih meraba dahiku.

“Hmmmm, demam, pantes saja omongannya ngaco,” katanya sambil merapikan jaketnya.

Aseemmmmmmm!

Aku mencoba menggerakkan tanganku untuk membenahi bantal yang sedikit salah posisi.

“Eh, jangan bergerak dulu mas,” kata si-celana-dalam-putih sambil menghampiriku. Harum sabun samar tercium dari tubuhnya ketika tangannya membenahi bantal yang ada dikepalaku.

Dan…

Dan aku bisa melihat payudaranya yang tak tertutup apa-apa dari sela-sela kaos yang dipakainya!

Kupandangi wajahnya yang terlihat serius. Wajah yang kemarin begitu menggodaku untuk menciumnya.

Bibir yang begitu menantang.

“Aduhhh!” teriakku ketika tak sengaja rambut si-celana-dalam-putih yang dibiarkan tergerai mengenai mataku.

“Aduh, maaf mas!” katanya ketika mengetahui rambutnya mengenai mataku.

Cukup pedih.

“Sini aku lihat dulu mas,” kata si-celana-dalam-putih dengan sedikit panik.

Wajahnya begitu dekat dengan wajahku.

Bibir itu.

“Eh mas,” dia terdiam ketika aku melihatnya dengan tatapan yang intens.

Bibir itu semakin dekat.

Semakin dekat....

Kriiekkk…

Suara pintu terbuka dan terdengar suara.

“Andri, kena..pa?”

As always...

Selalu saja ada pengganggu!

Dan penggangu itu kali ini berwujud seorang wanita umur 30 tahun dengan wajah yang manis dan mata yang galak! Satu-satunya wanita yang tidak bisa dan tidak ingin kujadikan pacar didunia ini!

Galang POV

“Lang…Lang…Galang,” kudengar samar suara sesorang memanggilku.

“Ugghhtttt,“ dengan malas aku membuka mata.

Sosok sahabat baikku beberapa tahun belakangan ini terlihat dipinggir ranjang.

“Ayo berangkat Lang, kau yang ngajak berangkat pagi-pagi, malah masih molor karang!“ katanya sedikit jengkel.

Andai kau tau apa yang terjadi tadi malam.
Kau tidak akan ngomong gini Her.

Pikirku dalam hati.

“Masih ngantuk Her,” sahutku dengan malas.

“Ngantuk? Sudah jam delapan? Memang kau ngapain kemarin?“ tanyanya sambil mengerutkan kening.

“Bacain cerita buat sepupumu itu!” kataku singkat.

Dan beberapa hal lainnya bersama ibu dan anak itu Her.

“Emang sampai pagi? Bangun dulu, sudah dibuatin kopi sama Marni,” lanjut Herman sambil keluar.

Dengan malas aku melangkah keluar, di meja makan sudah ada segelas kopi dan beberapa potong pisang goreng. Herman duduk dikursi, sambil meminum segelas kopi dan membaca koran.

“Gimana perkembangannya Her?“ tanyaku sambil menyesap kopi buatan istrinya.

Hmmmm, sedikit rasa iri muncul ke sahabatku ini. Punya istri yang setia melayaninya, anak-anak yang manis.

Keluarga kecil yang bahagia pikirku.

“Sekarang kita tinggal menunggu kabar dari rumah sakit, kalau CEO G-Team sekarang sadar, kita meluncur kesana,” jawab Herman sambil tetap membaca koran.

“Bagaimana kondisinya Her?”

“Kata anak buahku yang menjaga disana, saat kritisnya sudah lewat, tinggal menuju siuman saja, kau tahu siapa yang menjaganya di ICU dari kemarin?” Tanya Herman.

“Siapa?”

“CEO Delta Company,” sahutnya dengan nada yang sedikit aneh.

“Apa tidak ada keluarganya yang bisa datang?” tanyaku sedikit heran.

“Ibu dan saudara perempuannya masih di Bali, hari ini mereka datang kesini Lang.”

“Aku sebenarnya kasihan kepada CEO Delta itu Lang,” celetuk Herman.

“Kenapa?“

“Apa kau tidak ingat apa yang dikatakan oleh saksi, siapa itu namanya, Nia, di TKP?”

Apa yang dikatakan Nia? Ingatanku melayang ke malam kejadian, saat kami di TKP.

22.00. Bidadari Massage. Malam kejadian…

“Bagaimana menurutmu Lang, ” Tanya Herman ketika kami selesai melihat kondisi TKP.

“Hmmm, sepertinya sebuah alat peledak Her,” sahutku,

“Maksudmu?”

“Lihat radius kebakaran dan kondisi mobilnya Her, kalau cuma kebakaran biasa, rasanya pecahan-pecahan yang ditemukan tim forensik tidak akan sejauh ini,” kataku.

“Kita tanya mereka saja Lang,” sahut Herman sambil menunjuk dua orang forensik yang sedang asyik meneliti bekas-bekas mobil.

“Ayo,” ajakku.

“Halo kawan-kawan, apa yang sudah kalian temukan?” tanya Herman kepada dua orang anggota tim forensik, Bram dan Aiko.

“Kenapa selalu aku yang harus bertemu kalian?” Bram balik bertanya. Bram, 30 tahun. Seorang anggota forensik yang cukup senior. Dengan badan yang tidak terlalu tinggi namun punya dedikasi dan loyalitas terhadap pekerjaan yang cukup tinggi. Walaupun terkadang dia mengomel ketika harus bekerjasama dengan kami.

“Mungkin sudah takdir Bram,” sahutku sambil tersenyum.

“Takdir yang baik atau tidak kalau begitu mas?“ sahut Aiko. Aiko Sawamura. Gadis keturunan Jepang-Indonesia. Satu dari sedikit wanita yang ada dibagian forensik. Dengan wajah oriental dan tubuh yang putih mulus, tentu saja Aiko menjadi primadona di satuannya. Namun bukan karena kecantikan atau kemolekan tubuhnya saja, namun juga karena kemampuan analisisnya yang mengagumkan.

“Boleh baik atau buruk terserah, yang penting aku ingin tahu penyebab kenapa mobil ini bisa terbakar seperti ini?” sahut Herman, seperti biasa tak sabaran.

“Hmmmm, aku rasa ini karena bom plastik,” sahut Bram pelan. Hilang sudah ekspresi jengkelnya tadi, berganti dengan ekspresi serius.

“Dan dilihat dari radius ledakannya, mungkin C-4 atau sejenisnya,“ sahut Aiko.

“Dengan remote atau trigger?“ tanyaku.

“Satu pertanyaan dulu, korban harusnya bukan yang sekarang kan? Tapi yang tertembak?” tanya Bram.

“Kemungkinannya seperti itu,” jawabHerman.

“Kalau begitu kemungkinan besar trigger, mungkin sensor diletakkan di pintu, jadi saat korban membuka pintu, buuuuuummmmm!” jelas Bram.

“Ada hal yang lain?”tanyaku.

“Untuk korban kedua, yang terkena tembakan, kemungkinan dia ditembak dari belakang, aku sempat berbicara dengan dokter yang menangani korban, dia bilang luka itu memanjang dari punggung kearah perut. Peluru tidak keluar dari tubuh korban, jadi bisa kuasumsikan dia ditembak dari jarak 10 meter atau lebih, dari belakang,” jelas Bram panjang lebar.

“Kira-kira senjata jenis apa yang yang digunakan?” tanyaku.

“Pelurunya kaliber .45, mungkin jenis handgun atau pistol, kemungkinan berisi silencer juga,“sahut Aiko.

“Silencer?“ tanya Herman dengan kening berkerut.

“Kalau jaraknya 10 sampai 20 meter dibelakang korban, berarti saat itu pelaku berada diantara orang-orang yang berdiri disana,” kataku sambil menunjuk kearah belakang, dekat dengan tempat penerima tamu. “Jadi dia perlu silencer biar suara tembakannya tidak terlalu terdengar,” jelasku.

“Jadi, dia menaruh bom dimobil, masuk kedalam seolah tak terjadi apa-apa, kemudian menembak korban, lalu keluar dari sini?”kata Herman dengan nada marah.

“Mungkin seperti itu, atau dia menunggu korban disini dan menaruh bom, bersembunyi di dekat sini dan menembak korban ketika tahu salah sasaran,” seru Aiko.

“Aduh, kasus ini semakin rumit,” kata Herman sambil menggaruk kepalanya.

“Oke, itu saja dulu, kami bawa dulu barang-barang itu ke lab, siapa tahu ada petunjuk yang kami bisa dapatkan“ terang Bram sambil beranjak pergi.

“Jadi?“ tanya Herman dengan mimik wajah penasaran.

“Kukira kita perlu bertanya kepada orang-orang yang berada disini saat kejadian,“ sahutku sambil menuju kearah Bidadari Massage.

“Tunggu Lang,“ jawab Herman sambil berjalan disampingku.

Kami menuju keresepsionis. Disana terlihat dua orang wanita sedang duduk bersisian dengan tatapan mata kosong.

“Selamat malam, kami dari kepolisian, bisa bicara dengan penanggung jawab tempat ini?“ tanya Herman kemereka.

Kuamati satu persatu keduan orang ini. Yang lebih muda, terlihat berusia antara 17 sampai 23 tahun, dengan rambut panjang sepinggang yang dibiarkan tergerai, membingkai wajah yang yang sedikit tirus. Make up tipis terlihat diwajahnya. Sedangkan yang lebih tua, mungkin usia 30 tahun dengan wajah yang berkerut. Tatapan matanya menyiratkan beban hidup yang harus dijalaninya.

Mata itu, mata yang menyimpan kepedihan dan sekarang terlihat ekspresi kesedihan disana.

Sedih?
Sedih karena apa?

“Saya sendiri pak,” sahut wanita yang lebih tua.

“Saya Herman dan ini rekan saya Galang,” kata Herman sambil menunjuk kearahku.

Aku mengangguk kearah mereka.

“Ada yang bisa saya bantu pak, saya Nia?” Tanya yang lebih tua yang bernama Nia.

“Bisa kita berbicara ditempat yang lebih tertutup mbak?“ saran Herman.

“Eh, mari ikut saya pak,“ katanya sambil melangkah ke salah satu ruangan yang berada ditempat ini. Sebuah ruangan yang cukup besar untuk sebuah tempat pijat. Ada shower, jacuzzi, sebuah ranjang dan lemari kecil disudut. Sebuah kursi kecil ada di ujung ranjang.

“Maaf pak, semua ruangan disini seperti ini,” kata Nia sambil duduk diranjang.

Aku bersandar didinding sementara Herman meraih kursi kecil diujung ranjang dan duduk dekat dengan Nia.

“Mbak Nia, menurut keterangan anak buah saya, mbak yang membawa saudara Andri menuju rumah sakit, tadi sekitar pukul sembilan malam?“ tanya Herman tanpa basa-basi.

“Iya pak, saya yang mengantarnya,“ jawab Nia singkat.

“Dengan siapa?“ lanjut Herman bertanya.

“Dengan beberapa orang pelangan saya mas.“

“Oke, lalu apa hubungan anda dengan saudara Andri?“ tanya Herman lebih lanjut.

“Mas Andri pelanggan disini, itu saja pak,“ sahutnya dengan datar.

“Anda mengenal saudara Andri secara pribadi?“

“Tidak terlalu pak, cuma karena Mas Andri sering kesini, bisa dibilang hubungan kami lebih akrab daripada yang lain,“ jawabnya.

“Yang lain? Yang lain itu siapa?“ Tanya Herman.

“Anak buah saya, tukang pijat disini mas,” sahutnya.

“Sebelum kejadian, apakah saudara Andri juga pijat disini atau tidak,” Tanya Herman sambil mencatat apa yang dikatan Nia dalam notesnya.

“Mas Andri maunya dipijiat juga, namun karena semua pemijat penuh, saya yang ngambil Mas Andri,” sahut Nia dengan sedikit tersipu.

Herman menoleh kepadaku, rupanya dia buntu.

“Mbak Nia, dimana anda memijat Pak Andri? Dan berapa lama?” tanyaku sambil memperhatikan perubahan ekspresi diwajah Nia.

“Eh, didepan, dimeja resepsionis pak,” kulihat wajah Nia semakin merona merah, tangannya secara tak sengajar meremas ujung kemeja yang dipakainya.

“Diresepsionis, bagaimana cara anda memijatnya disana?” tanyaku.

“Eh, mas…. Itu..,” wajah Nia semakin merah. Mulutnya sedikit bergetar.

Malu?

Apakah dia dan Andri?

“Mbak Nia, tolong jawab dengan jujur, apakah anda dan Pak Andri berhubungan seks didepan?“ tanyaku mengutarakan kecurigaanku.

Terlihat Herman dengan wajah bengong memandangku. Terlihat dia tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

“Ehhhh, pak...itu....“ Kulihat dia seperti mengumpulkan kepercayaan dirinya sebelum menjawab. “Iya pak, ka..mi berhubungan seks di...depan,“ sahutnya sambil memalingkan wajahnya.

Kulihat rona kepercayaan diri mulai muncul diwajahnya.

Sementara kulihat ekspresi Herman terlihat seperti orang yang mendengar kambing bisa mengeong!

“Anda tahu pukul berapa Pak Andri datang kesini?”

“Sekitar pukul delapan pak, “ sahutnya dengan nada yang lebih tenang.

“Berapa lama anda berhubungan badan dengan Pak Andri?” tanyaku lagi.

“Berdua sekitar duapuluh menit, setelah itu kira-kira lagi 20 menit, “jawabnya dengan tenang.

“Apa maksud anda setelah itu duapuluh menit?“ tanyaku sedikit bingung dengan kata-katanya.

“Pas kami masih melakukannya, eh, ada remaja, yang terbakar dimobil itu keluar dan, eh, melihat kami pak, dan eh, dan kami main bertiga pak,“ katanya sambil tersenyum malu-malu.

Kulihat Herman semakin membelalakan matanya. Mukanya terlihat heran, kikuk, tak percaya dan bingung!

“Terus bagaimana mbak?” tanyaku.

“Remaja yang terbakar itu, kalau tidak salah namanya Tomi, mau minta kondom awalnya kesaya, tapi karena sudah habis, makanya dia mau beli” jawabnya “Karena mobilnya berada didalam dan tidak bisa keluar, Mas Andri memberikan kunci mobilnya untuk dibawa, dan..dan….,” kulihat dia sedikit sulit mengatakan apa yang terjadi selanjutnya.

“Dan bagaimana mbak?” tanya Herman tak sabar.

“Dan ketika saya dan Mas Andri masih mengobrol, terdengar ledakan dan terlihat ada api, Mas Andri langsung menyambar tabung pemadam kebakaran dan mencoba memadamkan api yang membakar mobilnya pak, setelah api sedikit mereda, Mas Andri menarik Tomi, Tomi yang ter..bakar hangus, Mas Andri berdiri dan kemudian terjatuh pak, saya mendekat dan melihat ada darah di baju Mas Andri,” jelasnya dengan sedikit terbata.

“Kemudian anda mengantarnya kerumah sakit?” tanyaku memastikan.

“Iya pak, saya mengantarkannya kerumah sakit,“ jawab Nia. Terlihat dia menarik nafas lega ketika mengakhiri pernyataannya.

“Mbak, saya dengar dari anak buah saya, pas kejadian disini keadaanya ramai, ada event? Atau memang selalu ramai?“

“Kebetulan ada booking dari club mobil pak, “jawabnya.

“Berapa orang kira-kira yang datang?

“Mungkin 20 orang pak, tapi mereka ada yang mengajak pasangan masing-masing, jadi bisa sekitar 30 orang pak atau lebih” jelasnya.

“Hmm, bisa kami dapatkan list dari staff yang bekerja disini mbak?” tanyaku.

“Bisa Pak, ini pak,” katanya sambil mengambil sebuah album kecil dari laci meja.

Kulihat sejenak album ini, dan well, foto gadis-gadis yang mengundang selera terlihat. Lengkap dengan nama dan ukuran!

“Terimakasih mbak, bisa album ini saya pinjam dulu?” tanyaku.

“Bisa pak, saya masih ada stoknya,” sahutnya sambil tersenyum.

Kuberi tanda kearah Herman.

“Kalau begitu kami permisi dulu mbak, selamat malam.“

***

“Maksudmu kalau korban ini suka main perempuan?“ tanyaku memastikan.

“Iya, hufft, sudah punya pacar seperti itu, masih saja suka jajan sembarangan,“ katanya dengan gemas.

“Apa kau yakin dia pacarnya?“ tanyaku.

“Lalu apanya? Dia menunggui dari kemarin malam lo!” jawab Herman tak mau kalah.

“Kalau begitu, kita tanyakan saja nanti,“ sahutku sambil menghirup kopi dan mengambil sebuah pisang goreng.

Lidya POV.

Kriiekkk…

Suara pintu terbuka dan terdengar suara.

“Andri, kena..pa?”

Kuangkat wajahku yang terlalu dekat dengan wajah si-mata-keranjang. Kalau dari belakang pasti akan terlihat aku sedang mencium si-mata-keranjang. Dan melihat ekspresi wanita yang baru datang, kuyakin pikiran mereka seperti itu.

“Anisa, kapan-kapan belajarlah mengetuk pintu,“ kata seorang wanita yang terlihat berumur sekitar 50 tahun dibelakang wanita yang dipanggil Anisa.

Kami semua terdiam sejenak sebelum suara si-mata-keranjang memecah keheningan diantara kami.

“Nenek lampir memang tidak tahu sopan santun,“ gerutunya.

“Eh, apa kau bilang?” kata mbak yang dipanggil Anisa mendekati kami.

Dengan perlahan aku menepi dan memberikan jalan kepadanya untuk lewat.

“Mentang-mentang ditemani bidadari cantik,“ katanya sambil mencubit pipi si-mata-keranjang.

“Aduh, ibu, bilangin nenek sihir ini,“sahut si-mata-keranjang.

Ibu? Berarti ibu ini ibunya si-mata-keranjang.

“Mbak-mbak, ini ICU, hanya satu orang yang boleh menjaga pasien, ” kudengar nada marah seorang suster didepan pintu. Suster-suster itu kemudian mendekati ranjang tempat si-mata-keranjang berada. Dengan perlahan aku menuju didepan pintu. Bingung apa yang harus kulakukan sekarang.

“Maaf ya dik, Anisa memang seperti itu, sulit akur dengan Andri,“ tegur ibu si-mata-keranjang ketika kami sudah berada di luar ruangan.

“Eh, gak apa-apa kok bu,“ sahutku dengan sedikit malu.

“Oh iya, ibu Riyanti, ibunya Andri, wah, Andri memang tidak salah memilih pacar,“ katanya sambil mengulurkan tangan.

“Saya Lidya bu,“ sejenak aku bingung apa harus memberitahu mereka kalau kami bukanlah sepasang kekasih!

“Yang ada pasti mbak ini dibohongin Andri ma!“ kata seorang wanita dibelakangku. Mbak Anisa!

“Maaf mbak, tadi lupa ngetuk pintu,hihihi,“ kata Mbak Anisa polos.“Eh, saya Anisa, kakaknya Andri,“ katanya sambil mengulurkan tangannya.

“Lidya mbak,“ jawabku sambil menyambut uluran tangannya. “Yang tadi, gak apa-apa kok mbak,“ sahutku dengan tersipu.

“Suster katanya mau mindahin Andri sekarang ma, eh tu anak ngotot mau kamar yang bisa makai handphone dan ada akses internetnya,“ celetuk Mbak Anisa.“Dasar orang aneh,“sambung Mbak Anisa.

“Nisa, ajak dulu Lidya sarapan, Dik Lidya belum sarapan kan,“ tanya BuRiyanti.

“Eh, belum bu, tapi gak usah bu,“ sahutku, tak enak kalau merepotkan Mbak Anisa.

“Wah, ayo kita kekantin,“ ajak Mbak Anisa sambil menarik tanganku. Mau tak mau aku mengikuti Mbak Anisa kekantin.

Ditengah jalan Mbak Anisa berhenti.

“Eh, kantinnya sebelah mana ya?“

Gubrakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk!

“Sebelah sana rasanya mbak,“ kataku sambil menunjuk arah yang berlawanan.

“Ayo Lid, mbak juga udah laper nih, belum sempat makan dari Bali tadi,“ terang Mbak Anisa sambil berjalan dengan cedikit cepat kearah yang kutunjukan tadi.

“Uhhhhh, laparnya,“ seru Mbak Anisa ketika kami sudah sampai di kantin.

Kami memesan sarapan masing-masing, sambil menunggu makanan kami siap, Mbak Anisa mengajak aku ngobrol mengenai keadaan si-mata-keranjang.

“Eh, Lidya, maaf soal yang tadi ya,“ kata Mbak Anisa, yang kembali, sukses membuat wajahku memanas.

“Gak apa-apa kok mbak, “jawabku.

“Lidya tau kenapa Andri bisa sampai tertembak?“

“Soal itu saya juga belum tau mbak, polisi masih belum mau memberi penjelasan,“ sahutku sambil menunduk.

“Huffttt, semoga semua baik-baik saja,“ kata Mbak Anisa, bisa kulihat senyum getir terlihat diwajahnya yang tadi ceria.

“Kenapa mbak?“ tanyaku, sedikit bingung dengan perubahan suasana hati Mbak Anisa.

“Eh, mbak Cuma berharap Andri baik-baik saja, mendengar Andri kecelakaan, ibu langsung gelisah dan mau sesegera mungkin kesini,“ terang Mbak Anisa.

“Kami tidak ingin kejadian seperti ayahnya Andri dan saudara kembarnya terulang lagi,“ jelas Mbak Anisa. Terlihat rona kepedihan di mata Mbak Anisa.

Saudara kembar?

“Yah, sekarang setidaknya Mas Andri sudah baik-baik saja mbak,“ kataku, mencoba menghibur Mbak Anisa.

“Iya, yang kasihan ibu, semoga saja dia tidak kehilangan anak lagi, setelah kehilangan suami dan satu anak, sudah cukup rasanya penderitaan yang dialaminya,“ jawab Mbak Anisa.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan saudara kembar Andri dan ayahnya?

Mbak Anisa tersenyum.

“Pasti Andri belum pernah cerita mengenai ayah dan saudaranya ya?“ tanya Mbak Anisa.

“Eh,mbak, itu... kami,“ sahutku dengan tergagap.

Bagaimana aku menjelaskan kalau kami hanya partner bisnis biasa?

“Tidak usah khawatir, dia memang sensitif mengenai masalah itu, jadi wajar saja dia belum memberitahu Lidya,“kata Mbak Anisa.

“Maaf mbak, sebenarnya, apa yang terjadi dengan saudara dan ayah Mas Andri?“ tanyaku penasaran.

“Hmmm, begini Lid...,“


CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
------------------------------------------
“Apa kita beritahu saja kalau penyelidik untuk kasus ini berbahaya?” tanya si wanita dengan tatapan cemas.
“Tidak usah, kita hanya melakukan pekerjaan yang mereka suruh, ” jawab si lelaki pelan.
“Dan sebaiknya kau berhati-hati, urusan ini semakin berbahaya,” kata silelaki sambil meremas pantat bulat siwanita.
“Huhhhh, aku bosan! Hanya kadang-kadang aku bisa seperti ini denganmu!” kata siwanita dengan nada marah.
“Hahaha, mau lagi sayang?“ tanya si lelaki dengan senyum mesum.
Dan jawaban siwanita hanya memasukkan penis tegang silelaki kedalam vaginanya yang basah.
Dan hentakan pantat serta lenguhan nikmat mulai terdengar diruangan itu…
------------------------------------------
Lidya POV.

“Hmmm, begini Lid...,“

“Sepuluh tahun lalu, ayah dah saudara kembar Andri, berlibur di villa kami didaerah Puncak , sedangkan mbak, mama dan Andri akan menyusul kemudian karena mbak ada ujian waktu itu“ kata Mbak Anisa dengan wajah menerawang.

“Ketika kami sampai divilla keesokan harinya, kami melihat mobil bapak dikejauhan menuruni bukit dengan kecepatan tinggi, dan...,“ kata Mbak Anisa. Terlihat kesedihan diwajahnya.“Dan mobil bapak masuk jurang, terbakar. Kami mencoba mencari kejurang, namun yang tersisa hanya tumpukan abu dan puing,“ Terang Mbak Anisa. Kali ini matanya sedikit berkaca-kaca. Kusentuh dengan ringan tangan Mbak Anisa dan dia sedikit tersenyum.

“Dan saudara kembarnya Mas Andri bagaimana mbak?“ tanyaku penasaran.

“Saat mobil bapak melintas, penjaga villa kami melihat bapak dan seorang anak kecil dikursi pengemudi, kemungkinan besar bersama,...bersa...ma saudara kembar Andri,“ lanjut Mbak Anisa.

“Terus apa penyebab kecelakaan itu mbak?“

“Bunuh diri! Itu yang dikatakan polisi kepada kami, “ kata Mbak Anisa dengan marah.

“Kok bisa polisi menyimpulkan seperti itu?“ tanyaku.

“Divilla kami tidak ada barang-barang yang hilang ataupun tanda kekerasan, dan ada pesan dari bapak kalau bapak meminta maaf kepada kami, “ jawab Mbak Anisa. “Yang membuat mbak dan mama tidak percaya, ayah tak punya dendam, musuh ataupun masalah, jadi tiba-tiba bunuh diri itu membuat kami tak percaya,“lanjut Mbak Anisa, nada tak percaya dan marah terdengar disuaranya.

“Terus bagaimana mbak?“

“Tapi kesaksian dari penjaga villa kami begitu kuat, dia melihat sendiri kalau bapak yang berada diposisi kemudi dan yang menyetir sampai kebawah bukit, walaupun pada saat itu menjelang malam,“ lanjut Mbak Anisa.

“Karena kurangnya bukti dan saksi, kejadian itupun dianggap bunuh diri dan ditutup,“ lanjut Mbak Anisa.

“Dan sejak itu, Andri berubah, dia yang biasanya ceria, tiba-tiba menjadi murung, tertutup dan tidak bersemangat, namun kemudian dia bertemu Frans saat sma, dan seiring waktu, dia kembali mendaparkan keceriaannya, walaupun mbak merasa terkadang dia menjadi seperti orang lain,“ kata Mbak Anisa.

“Entah mengapa, dia memilih kuliah di Bali, jauh dari kami, mungkin untuk melupakan kejadian pedih yang ada disini,“ lanjut Mbak Anisa.

“Setelah kuliah di Bali, dia kembali menjadi seperti Andri yang kami kenal dan itu membuat kami menjadi senang.“ Mbak Anisa terdiam cukup lama.

“Wah bagus itu mbak!“ seruku.

Jadi si-mata-keranjang ini pernah kuliah di Bali?

“Iya Lid, namun itu hanya sampai akhir semester saja, entah apa yang terjadi, setelah lulus dia malah suka mabuk-mabukan dan berubah menjadi pendiam,“ seru Mbak Anisa, terlihat sedikit senyum diujung bibirnya ketika dia menceritakan hal itu.

“Tapi kenapa Mas Andri bisa sukses seperti sekarang?“ tanyaku, sedikit heran dengan kisah hidupnya.

Walaupun masih jauh lebih baik daripada keadaaanku.

“Entahlah, suatu hari dia pergi kevilla kami di Puncak dan setelah pulang dia penuh dengan semangat, menghubungi temannya si amburadul Frans dan si robot Edy dan mendirikan perusahaannya yang sekarang. Dan entah bagaimana, kombinasi ketiga orang aneh itu malah membuat perusahaannya menjadi sukses. Mbak sendiri gak habis pikir,“ seru Mbak Anisa sambil menggelengkan kepalanya.

“Semoga aja Mas Andri tetap seperti ini,“ sahutku sambil tersenyum.

“Yah, semoga saja bisa tetap seperti ini, eh, udah tahu kebiasaan buruk Andri kan?“ tanya Mbak Anisa dengan nada sedikit khawatir.

“Eh, apa mbak?“ tanyaku.

Bagaimana aku bisa tahu? Baru juga kenal seminggu!

“Eh, itu... Andri suka...“

“Mbak ini pesanannya,“kata seorang pramusaji sambil membawakan seporsi nasi goreng untukku dan ayam goreng untuk Mbak Anisa. Tepat saat Mbak Anisa mau mengatakan kebiasaan buruk si-mata-keranjang.

“Sekarang mari makan dulu deh yang tadi nanti aja lanjut, hihihi,“seru Mbak Anisa.

Wajahnya yang tadi terlihat sedih, sekarang berubah menjadi gembira.

Aduuuhhhhh....penasaran sungguh mati aku penasaran....

Kembali aku dibuat heran dengan perubahan suasana hati Mbak Anisa yang begitu cepat.

“Gak makan Lid? Apa lagi diet?“ kata Mbak Anisa membuatku tersipu.

“Gak usah diet untuk si kunyuk Andri tu, biarin aja, ngapain repot-repot,“ saran Mbak Anisa.

Aku bukan pacarnya mbak.

“Kamu udah seksi gini, pasti ngiler terus dah si Andri kalau lagi sama kamu,“ kata Mbak Anisa blak-blakan yang kembali membuat pipiku memerah.

“Hihihi. Kalau Andri macem-macem, jangan aja dikasi jatah, entar pusing sendiri dah dia, hihihi..,“ ujar Mbak Anisa blak-blakan yang membuatku tersedak.

“Uhukkk...uhuuukkk...,“

“Waduh, kalau makan pelan-pelan Lid, ini minum dulu, “kata Mbak Anisa sambil menyerahkan segelas air minum.

Mbak, aku tersedak gara-gara mbak nih....


Andri POV.

“Mbak, saya ingin kamar yang ada internetnya, “kataku kepada suster yang akan membawaku kekamar.

“Wah, ini rumah sakit mas, mana ada internetnya?“ kata si suster dengan geli.

“Wah, kalau begitu kamar yang ada mbak yang mana?“ tanyaku yang membuat suster yang berambut pendek sebahu wajahnya memerah.

“Semua kamar nanti ada saya mas,“ sahutnya diplomatis.

“Kalau begitu, saya minta kamar yang tenang, dan bisa menggunakan handphone saja mbak,“ pintaku kepada suster yang bertugas mengurus transferku dari ruang ICU.

“Hmmm, ada ruangan VIP yang kosong mas, “sahutnya sambil menoleh kepadaku.

“Kami ambil yang itu saja,“ terdengar suara ibuku dari samping ranjang.

“Kalau begitu silahkan ibu mengurus administrasinya dulu, nanti kami segera pindahkan pasien,“sahut suster berambut pendek sebahu sambil tersenyum.

“Baik sus,” sahut ibu dan berlalu keluar dari kamar, begitu pula dengan para suster.

Akhirnya aku bisa sendirian juga.

Kupejamkan mata dan membayangkan kejadian yang terjadi.

Bukan!

Itu bukan kecelakaan biasa! Siapapun yang berada dibelakang semua ini, mereka tidak sendirian dan bukan amatiran. Ledakan di mobil, api ledakan yang berwarna putih kekuningan.

Bom?

Dan luka tembakan ini.

Bukan, ini bukan kecelakaan. Tapi mengapa dan kenapa?

Dan kenapa Ade, kemudian aku yang menjadi korbannya?

Pikiranku menerawang, dari saat di Semarang, kemudian mendapat kabar Ade meninggal, email Ade, ledakan, tembakan!

Tunggu.

Email Ade, itu kuncinya! Dan bila semua yang terjadi saat ini hanyalah sebuah:

Missdirection!

Hmmm, semua begitu nyambung sekarang, tapi, buktinya?

Kenapa mereka bersusah payah meledakkan mobil, kemudian menembakku? Pasti ada sesuatu yang mereka ingin hilangkan.

Tapi apa?

Sebuah kutipan tiba-tiba teringat dikepalaku;

How often have I said to you that when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth?
‘Seberapa sering aku katakan padamu ,jika kau telah menyingkirkan hal yang mustahil, apapun yang tersisa, betapapun mustahilnya, adalah sebuah kebenaran’

Tapi pertama-tama, aku perlu data yang cukup. Fakta, bukan retorika semata.

Krieeettttt….

Pintu perlahan terbuka, dan kulihat wanita yang melahirkanku ada diambang pintu. Wajahnya terlihat lebih tua beberapa tahun sejak terakhir kali aku melihatnya. Persaaan bersalah menghampiriku, mengingat bisa dihitung dengan jari aku menemuinya akhir-akhir ini.

“Bagaimana nak? Sudah baikan?“ tanyanya dengan lembut. Nada dan sikap yang tak pernah berubah. Pandangan matanya teduh, seperti menembus kerelung hatiku.Bisa kurasakan perasaan hangat mengembang didadaku.

“Sudah baikan kok bu,“ jawabku pelan. Menahan gelora dihatiku.

Tangannya yang dulu menyuapiku sekarang perlahan membelai rambutku dengan lembut. Tangan yang dulu memandikanku dan mencubitku jika aku berbuat nakal.

“Demammu sudah turun, kata dokter kamu harus istirahat minimal satu minggu di rumah sakit,“ terangnya.

“Tapi bu, aku ada deadline lagi 10 hari,“ jawabku.

“Uang masih bisa dicari nanti, kesehatanmu lebih penting, nanti ibu dan kakak serta pacarmu akan bergantian menjagamu,“ katanya sambil tersenyum. Senyum yang selalu bisa meluluhkan egoku.

“Ya sudah, sekarang istirahat dulu, pacarmu disita sama kakakmu,“ kata ibu sambil tersenyum simpul.

Pacar? Eh?

Oh iya! Maksudnya pasti si-celana-dalam-putih.

“Kalau dia, ibu setuju kok,“ sambungnya.

Alamak... makin ruwet nih....

“Bu, dimana jadi dapet kamar?“ tanyaku mengalihkan perhatian.

“Dikamar VIP, seperti permintaanmu, disana kamu bisa pakai handphone, tapi istrahat dulu Ndri, nanti saja kerja kalau sudah mendingan,“ saran ibu seperti biasa.

“Iya bu, “ jawabku sambil menunduk.

“Permisi bu, kami mau mindahin pasien ke kamar dulu,“ seorang suster didepan pintu. Terlihat 3 orang suster dipintu, mungkin mereka mau membantuku untuk pindah kamar.

“Ohhh, silahkan,“ sahut ibu dan keluar dari kamar.

Suster-suster cantik itu lalu dengan cekatan mempersiapkan kepindahanku.

“Mas, ini pakaiannya mau dibawa juga?“ tanya si-rambut-poni.

“Eh, pakaian apa mbak?“ tanyaku.

“Ini mas,“ kata si-rambut-poni sambil memperlihatkan sebuah tas yang berisi pakain wanita.

Pakaian si-celana-dalam-putih.

“Iya mbak, taruh disini saja,“ kataku sambil menunjuk arak kakiku.

“Ayo, satu, dua, tiga!“

Pada hitungan ketiga perlahan tempat tidurku didorong menuju keluar dan menuju kekamar. Rasanya sedikit lega setelah keluar dari ruangan ICU yang dipenuhi dengan instrument-instrument kesehatan.

Ibu dengan tersenyum ikut berjalan disampingku. Keberadaannya membuatku menjadi lebih nyaman. Sementara itu dibelakangku bisa kurasakan si polisi yang dari tadi menjaga didepan pintu turut ikut.

Akhirnya kami sampai diruangan VIP. Kamar ini cukup luas, dengan AC dan televisi, dan juga ada satu sofa disamping ranjang. Ada juga jendela yang membuat bisa melihat keadaan diluar. Dan pemandangan kota Jakarta terlihat dari celah tirai yang sedikit terbuka. Seperti yang kuminta, ruangan ini berada dipojok dari wing kanan rumah sakit. Otomatis berada dipojok. Mungkin supaya aktifitas disini tidak mengganggu ruangan yang lain dan begitu sebaliknya.

“Bu, pasien belum boleh minum atau makan dulu ya sebelum buang angin,“ kata si-rambut-poni.

“Iya dik,“ sahut ibu sambil tersenyum.

“Bu, dimana nenek lampir?“ tanyaku, aku takut jangan-jangan dia nanya yang macam-macam sama si-celana-dalam-putih.

“Tadi masih ngajak pacarmu sarapan, kasihan, wajahnya sudah pucat tadi,“ kata ibu.

Dan kembali perasaan bersalah menderaku.

Suatu saat aku harus membalas apa yang telah dilakukan si-celana-dalam-putih.

Tok…tok…tok…

“Selamat pagi,” sapa seorang lelaki didepan pintu kamar kami. Dari pakaiannya aku bisa menduga kalau mereka adalah polisi.

“Selamat pagi,” sahut ibu.”Ada yang bisa kami bantu pak?” tanya ibu melihat pakaian yang dikenakan mereka.

“Selamat pagi bu, kami dari kepolisian, saya Herman dan ini rekan saya Galang,” sahut polisi yang lebih gendut sambil menjabat tangan ibu.

“Benar ini saudara Andri?” tanyanya sambil menunjuk kearahku.

“Benar pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku.

“Begini, kami ingin menanyai Saudara Andri terkait dengan kematian Ade Mahendra, karyawan anda, dan mengenai kasus penembakan yang anda alami sendiri,” terang sipolisi gendut. Terlihat tidak sabaran.

“Andri baru saja sadar pak, tidak bisa pemeriksaannya diundur?” tanya ibu dengan nada melindungi. Terlihat kerut diwajahnya mengetahui kalau pemeriksaan akan dilakukan sekarang juga.

“Kami juga tidak ingin mengganggu saudara Andri, tapi dengan data yang lebih cepat dari kesaksian yang saudara Andri berikan, mungkin kami bisa menangkap pelaku,“ sahut sipolisi gendut. Sedangkan rekannya yang lebih kurus hanya diam.

“Baiklah pak, tapi tidak lebih dari 30 menit!“ kata ibu dengan nada tegas. Ketegasan yang dulu membuatku tidak bisa berkutik.

“Iya bu, kami usahakan,“ kata si polisi gendut dengan senyum diwajahnya.

“Kalau begitu saya permisi dulu,“ sahut ibu.“Ndrii, ibu kekantin dulu, jangan dipaksa, kalau sudah gak kuat, istirahat saja ya,“ kata ibu sambil keluar ruangan.

Si polisi kurus dengan langkah tenang menutup pintu.

“Jadi bisa kita mulai?“ tanya si polisi gemuk sambil memandang kearahku.

Aku hanya mengangguk ringan menanggapi pertanyaannya.

Kulihat si polisi gemuk mengambil catatan dari kantong kemejanya dan memandang kearahku.

“Apa anda mengenal Saudara Ade Mahendra?“ tanyanya.

“Tentu saja, dia kepala programmer di perusahaan saya,“ sahutku tenang.

“Apa anda mengenalnya secara pribadi?“

“Mungkin hanya sebatas teman tukar pikiran di bidang programming,“ sahutku.

“Apa anda tahu hobi Ade Mahendra?“ tanyanya, sambil memandangku lekat-lekat.

“Hobi yang mana? Setahu saya Ade mempunyai banyak hobi,“ jawabku diplomatis.

“Bisa anda sebutkan?” tanyanya lebih lanjut.

“Merokok, minum-minuman bersoda, nyari wanita teman kencan, nonton film xxx, programming dan hacking,” sebutku.

“Jadi anda tahu kalau Ade suka ‘jajan’?” tanyanya sambil mencatat di catatannya.

“Tentu saja, mungkin semua orang di perusahaan saya tahu hobinya itu,” sahutku sambil balik memandangnya.

“Dan anda tidak melarangnya?” tanyanya dengan wajah yang sedikit jijik.

“Dan kenapa saya harus melarangnya? Selama itu tidak menurunkan kinerja staff saya, saya tidak akan terlalu mengatur kehidupan pribadi mereka,” jawabku.

“Ehhmm, dimana anda waktu Ade terbunuh?”

“Dan kapan tepatnya Ade terbunuh? Berdasarkan telepon yang saya peroleh, kejadiannya saat saya berada di Semarang,” sahutku.
Si polisi gemuk menoleh kepada temannya yang lebih kurus.

“Saudara Ade meninggal hari Selasa malam, bisakah saya tahu anda berada dimana saat itu, dan bersama siapa?“ tanya polisi kurus.

Tenang, lugas, intonasi yang datar.

Lawan yang berat, pikirku.

“Hari Selasa saya berada di Semarang, bersama Raisa, sekretaris dari Alfa Medika, perusahaan dimana saya mengerjakan proyek saat ini,“ sahutku.

“Selalu?“ tanya si polisi kurus.

Singkat.

Mengena.

“Dari pagi sampai siang kami ada dipabrik Alfa Medika di Semarang, kalau sore sampai pagi harinya saya ada di villa nya Raisa,“ jawabku terus terang.

“Apa ada orang yang bersama anda?“

“Ada, Raisa,“ jawabku sambil tersenyum.

“Apa yang anda minta saudara Ade kerjakan ketika anda berada di Semarang?” tanya si polisi kurus sambil memandang kearahku.

“Perusahaan saya dan Delta Company sedang membuat satu joint project untuk Alfa Medika, Ade memimpin di programmingnya, ” jawabku.

“Jadi tidak ada request khusus?”

Hmmmm, sikurus ini detail sekali, pandangan matanya, sangat hati-hati, jauh lebih berpengalaman dari yang gemuk. Apa kedudukannya dikepolisian? Pikirku.

“Sampai saat ini tidak ada.”

“Satu pertanyaan lagi untuk masalah Ade, apa anda pernah ‘jajan’ bersama Ade, dan tahukah anda kalau Ade suka menggunakan obat kuat saat berhubungan?” tanya si polisi kurus sambil memandangku dengan tajam.

“Bersamanya? Sampai saat ini belum, untuk masalah obat kuat, Ade punya penyakit jantung, jadi hal yang bodoh jika dia menggunakan obat kuat kan?” jawabku singkat.

“Oke, untuk kasus penembakan anda, apakah anda tahu atau mencurigai siapa yang menembak anda? Tunggu, saya ganti, apakah anda tahu anda ditembak?” tanya sikurus dengan ekspresi santai.

Hmmmm, orang yang licin.

“Terus terang saya tidak tahu, saya tahu saya ditembak ketika si-ce, eh, maksudnya Lidya memberitahu saya kalau saya dioperasi karena luka tembak,” jawabku terus terang.

“Jadi anda tidak melihat pelaku atau anda mempunyai kecurigaan siapa yang melakukannya?” tanyanya lebih lanjut.

“Tidak keduanya,” sahutku singkat.

“Hmmm, apa anda mengenal saudara Tomi?”

“Saya baru saja mengenalnya pas hari kejadian.”

“Tapi mengapa anda memberinya mobil anda untuk dibawa pergi?” tanya sikurus dengan tajam.

“Karena mobilnya ada didalam dan tidak bisa keluar, “sahutku pelan.

“Anda tidak takut mobil anda dicuri?“ tanya si gemuk sedikit sinis.

“Tomi ini juga punya mobil yang mungkin lebih mahal dari mobil saya, eh, mobil Frans, jadi tinggal tukar saja nantinya kan?” sahutku sambil tersenyum kearah sigendut.

“Darimana anda tahu?“ tanya sikurus dengan tajam.

“Dia kan termasuk salah satu anggota klub mobil yang menyewa Bidadari Massage,“ kataku sedikit ragu.

“Tapi anda belum pasti bukan?“ tanyanya lebih lanjut.

Aku terdiam.

Kalau kupikir dia memang belum pasti punya mobil.

“Dan mobil yang terbakar itu punya Saudara Frans?“ tanya polisi kurus sambil menaikkan alisnya.

“Eh, iya...“

“Apakah benar anda berhubungan seks dengan saudari Nia di meja resepsionis?“ tanya si polisi kurus dengan datar.

Sorot matanya membuatku sadar.

Percuma berbohong dengan orang seperti ini.

“Benar,“ sahutku singkat.

“Dan benarkah jika saudara Tomi datang ketika anda berdua masih melakukannya?“

“Benar.“

“Dan benarkan dugaan saya, kalau anda memberikan kunci mobil anda agar anda bisa melanjutkan lagi ‘kegiatan‘ anda secepat mungkin?“ tanyanya dengan terseyum.

Aku hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaannya.

“Apakah anda mempunyai kecurigaan siapa yang melakukan ini semua?” tanya lebih lanjut.

“Sampai saat ini belum pak,” jawabku dengan pelan. Rasa sakit mulai terasa diperut sebelah kiri.

Tak sadar aku mengernyit pelan.

Melihat keadaanku, sikurus lalu memberi isyrat kepada si gemuk untuk keluar.

“Kalau begitu terimakasih atas keterangannya, kami permisi dulu,” kata sikurus sambil melangkah keluar.

Kuamati kepergian mereka dengan pikiran yang bercabang.

Belum, belum saatnya memberitahu mereka, pikirku.


Galang POV

“Lang, apa kau tidak merasa dia menyembunyikan sesuatu?” tanya Herman ketika kami keluar dari ruangannya Andri.

“Hmmmmm,” dehemku singkat.

“Aku jadi semakin bingung, jangan-jangan kasus ini tidak ada hubungannya dengan kematian Ade?” lanjut Herman tak sabaran.

“Terlalu kebetulan kalau kejadian ini tak berhubungan Her,” tanyaku singkat.

“Sekarang kita kemana?“

“Pulang dulu, aku mau mandi dulu,“ sahutku pelan.

“Dasar orang aneh? Kenapa tidak tadi saja mandi hah?“ tanya Herman dengan nada kesal.

Tadi masih ada iparmu itu, aku takut kejadian seperti kemarin terulang kembali.

Dan perlahan, kejadian malam kemarin mulai terlintas dikepalaku,

Saat Mirna dan Tasya...
CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 2

Tadi masih ada iparmu itu, aku takut kejadian seperti kemarin terulang kembali.

Dan perlahan, kejadian malam kemarin mulai terlintas dikepalaku,

Saat Mirna dan Tasya...

Pukul 22.00 Malam, habis ulang tahun Rian.

“Rian! Tidur dulu, sudah malam!” teriak Mbak Marni dari ruang tamu.

“Yah ibu, baru pukul 10, masih main sama Kak Tasya nih,“ sahut Rian.

“Iya nih tante, lagi dikit aja,” kata Tasya dengan nada manja.

“Besok kan mesti sekolah, Kak Tasya juga mau tidur nanti,” kata Marni dengan lembut.

“Lagi dikit aja bu, tanggung,” rayu Rian.

“Iya deh, cuma besok gak dapet uang jajan ya?” jawab Mbak Marni sambil tersenyum.

Hahaha, senyum yang menyakitkan untukmu nak…nak… Kataku dalam hati.

“Yah ibu, gak seru,” jawab Rian. “Kapan-kapan lagi mainnya yah Kak Tasya,“ katanya dengan lesu.
Dengan malas dia beranjak pergi dari ruang tamu dan melangkah kekamarnya.

“Mbak tidur duluan ya, dik Galang sama Mirna, kamarnya seperti biasa dibelakang ya, “ kata Mbak Marni sambil beranjak ke kamarnya.

Sekarang tinggal aku, Tasya dan Mirna diruang tamu. Herman dari tadi sudah masuk kekamarnya.
“Ugghhhttt, gag ada acara yang bagus nih, “ kata Mirna sambil bangkit. Daster tipisnya tersingkap, sehingga untuk sementara, paha mulusnya terlihat.

“Iiihhhhh, mama, pahanya kelihatan tuh,“ kata Tasya sambil menunjuk kearah ibunya.

“Biarin, Tasya juga dibilangin ganti celana juga gak mau,“jawab ibunya.

Hmmmm, kalau begini, wajar saja jika Tasya seperti ini, pikirku.
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya kan?

“Iiiihhh, gak malu apa kalau dilihat Om Galang?“ tanya Tasya lugu.

“Kamu sendiri gimana?“ balik Mirna bertanya.

“Ihhhhhh, mama! Tasya kan masih kecil, gak apa-apa juga kalau kelihatan, betul kan om?“ tanya Tasya tiba-tiba, membuatku gelagapan sejenak.

“Ehh, itu...itu..., sebaiknya kamu pakai yang lebih panjang si Sya, “ kataku netral.

“Ihhh, om, gak bantuin Tasya, hufffttt...,“ kata Tasya.

Ngambek
Alamak, anak dan ibu ini kompak sekali.

“Om tidur duluan ya Sya, ngantuk nih,“ kataku sembari melangkah kekamarku.

Kabur tepatnya.

“Eh om, bacain Tasya cerita dong,“ katanya sambil memegang tanganku.

Aduh, badan saja besar, namun kelakuannya masih seperti anak kecil.

“Tasya, kamu itu sudah SMP, masa masih minta dibacain cerita lagi?” tanya ibunya dengan alis berkerut.

“Emang kenapa kalau sudah SMP ma? Ayo om,” kata Tasya sambil menarik tanganku kearah kamar yang biasa dipakai Tasya dan ibunya jika menginap disini.
Kamar ini terletak dibagian belakang, cukup terpisah dari kamar tamu dan dapur. Ada dua kamar disini, keduanya dihubungkan dengan sebuah pintu tembus. Kami masuk kekamar yang disebelah timur. Dibelakangku Mirna mengikuti dengan senyum dikulum.

Waduh!

“Om, bacain yang ini ya?“ katanya sambil mengambil sebuah buku dari balik bajunya.

“Eh, darimana kamu dapat buku ginian?“ tanyaku, terkejut dengan buku yang dibawanya.

“Buku apaan mas?“ tanya Mirna sambil mengambil buku yang ada dipeganganku.

Sejenak Mirna bingung dengan buku yang dibawa Tasya, namun setelah membaca beberapa halaman dengan cepat. Raut pengertian ada di wajahnya.

“Sya, siapa yang memberikanmu buku seperti ini?“ tanya Mirna, lebih karena penasaran daripada marah.

“Emang kenapa ma? Pacar Tasya, dia bilang, isinya bagus, tapi kalau baca harus sama dia atau cowok ma, makanya Tasya minta om bacain,“ jawabnya dengan lugu.

“Eh, sejak kapan kamu punya pacar?“ dengan terkejut Mirna bertanya pada Tasya.

“Mama sih, selalu sibuk dibutik, Tasya punya pacar saja mama tidak tahu,“ kata Tasya sambil merenggut.

Sejenak Mirna terpaku.

Kulihat rasa penyesalan dimatanya.

Namun hanya sejenak.

“Eh, jadi pacarmu ngasi buku ini kekamu?” tanya Mirna, sekarang dengan nada penasaran dan marah.

“Iya ma, “sahut Tasya.

“Buku kaya gini, belum boleh kamu baca Sya, apalagi sama cowok, lebih tidak boleh lagi,“ terang Mirna.

“Buku seperti ini, berisi hubungan antara pria dan wanita, kamu belum boleh baca,“ jelas Mirna lagi.

“Kalau mama sudah boleh baca?“

“Kalau mama sudah, “jawab Mirna.

“Ihhhh, mama curang, oh ya om, Tasya boleh nanya?“ tanyanya kepadaku. Matanya yang polos menatapku dengan penuh harap.

“Nanya apa Sya?“

“Orgasme itu apa om?“ tanyanya dengan mata penuh harap.

Glekkkkk.....

Sejenak aku terkejut dengan pertanyaan Tasya. Dengan bingung aku menatap Mirna yang juga terlihat sama bingungnya denganku.

“Darimana kamu tahu tentang itu Sya?“ tanya Mirna. Terdengar lagi dan lagi, nada penyesalan didalam suaranya.

“Temen-temen Tasya disekolah selalu cerita tentang itu ma, mainin clitnya biar gitu, ada juga pake tangan, Tasya gak ngerti jadinya ma,“ rajuk Tasya. “Lagi satu ma, masturbasi itu apa ma? Bener enak ma? Temen-temen bilang suka masturbasi sih,,, ada yang sama pacarnya juga ma....,“ kata Tasya yang membuatku pusing tujuh keliling.

Beginikah anak muda jaman sekarang?

Begitu terbuka.

Begitu bebas.

Pikirku mengenang masa mudaku dulu.

“Eh itu, itu..., “ terbata Mirna mencoba menjawab apa yang ditanyakan anaknya.

“Sebaiknya aku pergi dulu Mir, biar kamu bebas jawab pertanyaannya,“ kataku sambil mngerling kearah Tasya.

“Gak mau! Tasya mau om disini!“ sedikit terkejut aku dengan kata-kata tegas Tasya.

“Tasya! Kasi Om Galang istirahat dulu!“ dengan emosi Mirna membentak anaknya.

“Gak mau! Kalau om gak mau bilang, nanti Tasya kasi tau Om Herman dan Tante Marni, kalau om suka nyiksa mama!“ kata Tasya yang membuat aku dan Mirna terkejut.

“Tasya! Kapan Om Galang pernah nyiksa mama? Jangan ngaco kamu!“ kata Mirna sama-sama emosi.

“Waktu Tasya ultah dulu, mama sama Om Galang di kamarnya mama, Tasya denger sendiri kalau Om Galang nampar mama, mama sampai menjerit-jerit waktu itu!“ jawab Tasya tak kalah keras, yang membuatku dan Mirna terpaku ditempat kami masing-masing.

“Waktu itu mama gak ditampar sama Om Galang, waktu itu mama...mama...waktu itu ma..ma...,“ tidak sanggup Mirna melanjutkan perkataanya. Dia memandangku dengan tatapan meminta pertolongan.
Aku hanya bisa mengangkat bahu, bingung.

Dan apa yang harus kukatakan kepada seorang remaja wanita yang ingin mngetahui tentang hubungan antara wanita dan pria???

“Hufffttttt...,“ kehembuskan nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Tasya.

“Om membantu ibumu meraih orgasme, Sya,“ kataku singkat.

Sejenak tatapan bingung terlihat di wajah Tasya.

“Tapi mengapa mama teriak-teriak kesakitan seperti itu?“ tanya Tasya dengan lugu.

Kupandangi wajah Mirna, dan terlihat wajahnya memerah.

“Itu bukan sakit Sya, tapi...tapi sakit nikmat,“ jawab Mirna sambil menundukan wajahnya.

“Iiiihhhh, mama bohong lagi, mana ada sakit nikmat?“ tanya Tasya ngotot.

Aku dan Mirna saling pandang. Terlihat ekspresi bingung diwajah Mirna, dan kurasa hal yang sama juga terlihat diwajahku.

“Jadi, orgasme itu apa om?“ tanya Tasya ketika kami tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

Sambil menarik nafas panjang, Mirna menarik Tasya kesudut kamar dan berbisik ditelinganya. Kulihat ekspresi Tasya berubah-ubah, dari tegang, malu, ingin tahu dan, ekspresi terakhirnya.

Terangsang.

Entah apa yang telah dikatakan Mirna, namun bisa kulihat Tasya memandangku dengan pandangan aneh.

Matanya yang semula polos sekarang berkabut gairah. Pahanya dirapatkan dan saling digesekkan.

Tanda itu....

Tanda.........

Kulihat Mirna, setali tiga uang!

“Om, sekarang ajarin Tasya ya, orgasme itu seperti apa,“ kata Tasya dengan senyum polosnya.

“Lang, apapun yang terjadi, jangan sentuh Tasya!“ kata Mirna dibalik gairahnya yang membara.“Tasya, kamu hanya boleh lihat saja, tidak boleh ikut apa yang akan mama lakukan,“ sambungnya lagi.

Perlahan Mirna mendekat dengan langkah yang menggoda, jemarinya perlahan menelusuri sekitar bukit yang membusung tegak didadanya. Kemudian turun kebawah, keujung daster putihnya.

“Mir! Apa yang kau lakukan?“ tegurku.

Bukan. Bukannya aku sok munafik atau apa.

Aku hanya tak ingin gadis semuda Tasya melihat adegan yang sepantasnya dilakukan orang yang sudah menikah!

“Sudahlah mas, semua salahku, daripada Tasya melihat dan mencari sendiri apa yang ditanyakannya, yang kemungkinan membahayakan dan merugikan dirinya sendiri, mungkin ini jalan yang terbaik, lagipula, aku telah lama menantikan ini mas,“ sahut Mirna. Kulihat tekad dimatanya, Tekad yang sama saat pertama kami melakukannya.

Daster putih yang dikenakannya perlahan terangkat keatas, memperlihatkan paha putih yang tanpa noda dan membulat padat. Celana dalam putihnya mengintip malu-malu dari ujung daster yang sekarang mulai tersingkap.

Daster itu sekarang melewati pusarnya, kearah perut yang cukup rata. Dah akhirnya, bukit kembar yang membusung menantang itu terlihat, walaupun masih terhalang oleh bra putih yang terasa tidak cukup menampung keduanya.

Daster itu sekarang teronggok dilantai yang dingin,diantara dua kaki Mirna. Perlahan Mirna melangkah melewatinya. Kulihat wajah Mirna, ada gairah yang panas membara. Walaupun tertutupi dengan sedikit rasa malu dengan anaknya.
Kemanakah hal ini akan berujung?

Kulihat Tasya, wajahnya semakin mengelam oleh gairah. Namun terlihat keingintahuan disana.

Tekkkk....

Suara benda jatuh mengalihkan perhatianku.

Dan ketika kulihat sumber suara, sebuh benda putih terhampar dilantai.

Sebuah bra!

Jika benar dugaanku, maka...

Tak perlu menunggu lama, dengan lengan kanan menututpi bukit kembar itu, Mirna berdiri menantang. Sekarang tangan kirinya turun kebawah, ke tepian celana dalam yang terlihat sudah sedikit ada bercak dibagian tengahnya!

Perlahan.

Celana dalam itu turun, dan terlihat sebuah vagina yang hanya berisi rambut berbentuk segitiga kecil diatasnya.

Tubuh wanita yang matang tersaji didepan mataku.

Bisa kurasakan penisku membesar dan terasa sesak dibawah sana.

“Hihihi, rambut punya mama lucu, segitiga, hihihi,“tawa Tasya melihat rambut kemaluan mamanya yang tercukur rapi.
Tak mempedulikan perkataan anaknya, Mirna menuju keranjang disebelahku. Pantat bulatnya perlahan menyentuh ranjang. Kakinya dibiarkan mengangkang, sehingga bisa terlihat celah diantara kakinya yang siap menawarkan kenikmatan bagi semua laki-laki.

“Tasya, sini,“ panggil Mirna kepada anaknya yang bengong.

Dengan malu-malu Tasya mendekat dan duduk didepan mamanya yang masih mengangkang.

“Ini namanya klitoris,“jelas Mirna sambil menyentuh klitorisnya yang masih sembunyi malu-malu.

“Ini namanya masturbasi,“ jelas Mirna sambil menghisap jari telunjuknya dengan mulutnya yang seksi. Kemudian jari yang berlumur dengan air liur itu digesekkan kebagian klitorisnya.

“Bisa dengan gesekin tanganmu ke klitoris seperti ini,“ kata Mirna sambil mempraktekannya.

“Ahhh, digesekkan seperti ini, atau bisa juga dimasukin begini, “ lanjut Mirna sambil memasukkan satu jari kevaginanya yang mulai terlihat basah.

“Terus, kata temen-temen Tasya, enakan ma cowok, emang diapain ma cowok ma?“ tanya Tasya lagi.

“Itu...itu..., biar om saja yang tunjukin Sya,“ kata Mirna sambil menoleh kearahku.

“Ayo om, tunjuin dong, masa Tasya aja yang gak tau, temen-temen Tasya bilang enak loh kalau sama cowok, “ kata Tasya dengan pandangan memelas.

“Mir, disini?“ tanyaku, sedikit ragu.

“Iya mas, “ kata Mirna dengan wajah yang merah padam menahan nafsu yang sudah mendekati puncaknya.

Dengan perasaan ragu aku mendekat kearah Mirna yang masih mengangkang didepan Tasya.

Vagina merah Mirna tersaji didepanku, cairan bening mulai terlihat mengalir turun, kepaha putih mulus dan bulat itu. Kupandang sekali lagi wajah Mirna, dan kulihat dia mengangguk dan berkata.

“Sya, ini namanya blowjob atau Cunnilingus, lihat yang bener, “ kata Mirna sambil menarik kepalaku kevaginanya yang basah. Tercium bau khas wanita yang sedang terangsang. Dengan pelan, aku ciumi daerah diluar bibir vaginanya.

“Aahhhhh, massss,” perlahan desahan mulai keluar dari bibir Mirna.

Ciumanku beralih ke klitorisnya yang sudah membesar, daging kecil yang sensitif ini mulai kucium dengan pelan.

“Mas! Ahhhhh….,” desahan Mirna makin menjadi saat klitorisnya kuhisap dengan pelan. Cairan bening semakin banyak keluar dari celah vaginanya.

Tangannya semakin kuat menekan kepalaku divaginanya.

Satu jariku kumasukkan ke dalam vaginanya.

Terasa hangat dan sempit.

Tanda kalau vagina Mirna jarang dipakai.

“Ahhhh,,,,stttt, mas, lebih keras!“ kata Mirna ketika tanganku masuk dan mengocok pelan dinding bagian dalam vaginanya. Jariku kutekuk sedikit kebagian atas dan mencari bintik-bintik kecil didinding vaginanya.

Jackpot!

Kurasakan tubuh Mirna menegang ketika kusentuh bagian G-spotnya!
Kugerakkan jariku seperti menggaruk dengan pelan.

“Ah mas, sttttt....cepetin!!!“ kata Mirna dengan sedikit keras.

Bisa-bisa ketahuan kalau seperti ini, pikirku.

Kugeser tubuhku sedikit keatas sehingga tangan kiriku bisa mencapai bibirnya yang tak hentinya mendesah. Kututup mulutnya dengan tangan kiriku, sementara jari tangan kananku masih dengan setia menggaruk vagina Mirna yang semakin basah, cairan vaginanya mengalir dipahanya yang mulus, sebagian menetes diranjang.

“Ughht,,hmm,,,,,“ desisan Mirna tidak jelas karena tanganku masih menutup mulutnya.

Sleppp..slepp..sleppp...

Bunyi jariku yang semakin asyik mengocok cepat dan keras vagina Mirna.

“Ugghghttttt,,,,,,hhhmmmmmm..uhhmhmmmmm,” desisan Mirna ketika mencapai orgasme pertamanya. Tubuhnya menegang kaku beberapa saat. Vaginanya terasa berkedut dengan keras dan menjepit jariku yang basah kuyup didalam. Kulihat keatas, mata Mirna membelalak hingga hanya bagian putihnya saja yang kelihatan.

Tak lama kemudian, tubuh Mirna melemas, remasan tangannya yang semula dirambutku sekarang berhenti. Desisannya yang tadi keras sekarang berganti dengan dengus nafas yang panjang ketika tanganku sudah tak menutup mulutnya lagi.

“Ahhh,,,ahhhh,,ahhhh, i..tu na..ma…nya or..gas..me Sya,” kata Mirna dengan nafas memburu.

“Iya Sya, itu yang tadi namanya orgas…me,” kataku dengan pandangan mata yang terpaku pada Tasya yang….

***

“Lang! Bengong saja?” tegur Herman membuyarkan lamunanku dari kejadian kemarin malam.

“Eh, kenapa Her?” tanyaku dengan sedikit bingung.

“Sudah nyampe,“ katanya dengan sedikttersenyum.

Lidya POV.

“Uh kenyangnya!” seru Mbak Anisa ketika kami selesai makan.

“Iya nih mbak, masakannya enak, atau perut yang lapar ya?“ tanyaku.

“Mungkin keduanya,hihihi,“ kata Mbak Anisa. “Lumayan sepi yah Lid?“ tanya Mbak Anisa sambil menoleh kesekeliling kantin.

“Mungkin karena waktu sarapan sudah lewat mbak, ”kataku sambil melihat ruangan kantin yang cukup kosong. Hanya satu orang lelaki yang makan dibelakang kami dan beberapa suster yang terlihat asyik mengobrol disudut kantin.

“Mungkin saja Lid, eh, sudah berapa lama pacaran sama Andri?” tanya Mbak Anisa.

“Eh, itu, sebenarnya kami,, eh...,“ kataku sedikit tersendat.

“Jangan bilang kalian sudah mau nikah?“ tebak Mbak Anisa dengan wajah tegang.

Gubraakkkkkkkk....

“Bukan gitu mbak, tapi aku...aku sudah…,“ aku terdiam. Bingung dengan apa yang harus kukatakan kepada Mbak Anisa.

“Jangan-jangan...jangan-jangan!, jangan bilang kamu hamil? Ya tuhan.... Andri..Andrii,, tu anak harus dikasi pelajaran! “ kata Mbak Anisa dengan cemas.

Mbak, gimana bisa hamil coba?

Ciuman saja gak pernah!

Pikirku.

Dan aku bisa merasakan wajahku memanas ketika teringat ciuman kami yang selalu gagal.

“Jadi benar kamu hamil?“ tanya Mbak Anisa dengan histeris ketika melihat wajahku yang memerah.

“Siapa yang hamil Nisa?“ kudengar suara seseorang dari belakang Mbak Anisa.

Ibunya si-mata-keranjang!

“Lidya bu!“ kata Mbak Anisa dengan bergairah.

“Eh,,bu...bu..kan seperti itu,“ kataku terbata sambil melihat wajah ibunya si-mata-keranjang.

Deg.....

Wajah itu.

Wajah bahagia seorang ibu.

Ekspresi yang sama seperti kulihat beberapa tahun lalu.

Ekspresi wajah ketika melihat Sherly dan aku bersama. Ekspresi yang menghilang ketika Sherly pergi bersama bapak dari rumah seperti kata ibu.

Ekspresi yang kurindukan.

Ekspresi yang tak kulihat lagi sampai maut memisahkan kami...

Perlahan kurasakan mataku memanas, dan akhirnya tak bisa kutahan ketika air mataku mulai mengalir, turun disepanjang wajahku.
Kudengar suara langkah mendekat dan tarikan pelan yang mengangkat tubuhku. Bu Riyanti dengan pelan sekaligus tegas mengangkat tubuhku dan memelukku dengan hangat.

Seperti pelukan ibu.

Seperti pelukan yang telah lama tak pernah kurasakan.

Kulihat mata Bu Riyanti dan terlihat pandangan pemahaman dimata yang balik memandangku.

Oh tidak, salah paham ini semakin jauh!.

“Jangan menangis, sudah wajar, kalian sudah sama-sama dewasa, ” hiburnya.

Air mataku semakin deras mengalir mendengar suara lembutnya.
Sama persis seperti suara ibu dulu.

Sama persis...

“Sudah Lid, nanti mbak yang ngomong sama kunyuk satu itu,” hibur Mbak Anisa.

“Oh iya Nisa, tadi ada polisi yang interogasi Andri, coba kamu lihat sana dulu,” kata Bu Riyanti.

“Masih di ICU bu?”tanya Mbak Anisa.

“Sudah diruangan VIP Mawar 101”

“Iya bu, Lid, mbak kesana dulu ya,” kata Mbak Anisa sambil berjalan menjauh.

“Iya mbak,” balasku dengan suara yang sedikit serak.

“Mbak, ada jus wortel?” tanya Bu Riyanti ke penjaga kantin.

“Ada bu,” sahut penjaga warung.

“Pesan satu ya, untuk calon mantu saya,“ kata Bu Riyanti sambil tersenyum manis.

Aduh, gara-gara satu ciuman gagal, urusannya jadi panjang begini!

Andri POV.

“Anddriiii”

Pura-pura tidak dengar.

“Andriiiiiiiii!” kali ini dengan volume yang naik setengah kali lipat.

Pura-pura tidak dengar. Lagi.

“Andriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!” Dengan volume yang naik beberapa tingkat serta cubitan di tanganku.

Oke, I lose…

“Ugghhhtttt, kakak ini, baru juga dapat merem bentar,” kataku sewot.

“Ckckckckc. Ternyata kamu nakal juga Ndriiii,“ kata si-nenek-lampir sambil berkacak pinggang.

“Aduh, gak ada petir gak ada angin, langsung bilang nakal, kakak kesambet ya?“

“Pura-pura lagi, apa yang sudah kamu lakuin ke Lidya?“ tanyanya dengan ekpresi yang sukar ditebak.

“Kalau mau marah-marah, nanti saja, ngantuk nih,“ kataku sambil memejamkan mata.

“Andriiiiiiiiiiii!“

“Kenapa lagi si kak?” tanyaku masih dengan mata terpejam.

“Kamu apain Lidya?“ tanyanya, sekarang dengan nada marah.

Belum sempat ngapa-ngapain kak, ciuman aja selalu gagal, entah yang diatas gak merestui niat baikku atau bagaimana. Cuma baru tahu kalau dia suka celana dalam putih dan ukuran dadanya sekitar 32b, itu saja, belum sempat yang macem-macem kak.

“Kakak marah-marah saja, belum juga dapet ngapain, udah kaya aku ngehamilin anak orang aja!“ gerutuku.

Dan sungguh diluar dugaanku, ekpresi si-nenek-lampir berubah 180 derajat.

“Nah, gitu dong! Jadi cowok harus gentle!“

Hah???

Tok..tok..tok…

Terdengar ketukan dipintu.

Dengan senyum lebar, si-nenek-lampir menuju pintu dan membukanya.

“Eh, Mbak Anisa,“ suara besar dari Frans terdengar dipintu.

“Aduh, satu pengacau datang lagi, “ sungut si-nenek-lampir.

“Eh, bukan adik ya, maksudnya cuma sama kunyuk ini, “ kudengar kakakku berbicara sama seseorang. Mungkin Lisa tebakku.

“Eh iya mbak, “ suara seorang wanita terdengar. Lisa.

“Ndrii, masih hidup? hahaha” tanya Frans sambil tertawa.

“Kepalamu Frans, teman kecelakaan, lu baru nongol!”

“Hahaha, handphoneku dari kemarin mati, nih baru dikasi tau Lisa makanya baru tahu kau kecelakaan,“ katanya sambil tersenyum.

“Ada makanan Ndri? Laper nih...,“ tanya Frans sambil celingukan mencari-cari makanan.

“Gila lu, harusnya yang jenguk yang bawain makanan!”

Deg…

Serasa seperti deja-vu.

Kata-kata ini, beberapa tahun lalu juga pernah kuucapkan. Dengan kondisi yang nyaris sama, namun dengan…

“Ngelamun aja Ndrii,“ kata Frans, Kelihatannya dia tahu apa yang aku pikirkan. “Gimana? Udah baikan Ndri?“ tanya Frans lebih lanjut.

“Lumayanlah, gimana proyek Frans?“ tanyaku.

“Hmmm, lumayan baiklah, tapi kehilangan Ade dan sekarang kehilanganmu, lumayan terasa,” sahut Frans lirih. Kulihat dia seperti menyembunyikan sesuatu.

Huffftttttt...

Proyek tinggal 11 hari lagi.

Kehilangan lead programmer.

Sekarang keadaanku seperti ini.

Kenapa semua harus seperti ini? Bagaimana sekarang?

“Frans, ambil laptop di apartemenku, rasanya sambil berbaring disini, aku bisa berbuat sesuatu,“ pintaku pada Frans.

“Eh, Ndri...itu...,itu…,“ sedikit tergagap Frans menjawab pertanyaanku.

“Kenapa Frans?“

“Hmmmm, apartemenmu kemalingan, laptopmu termasuk barang yang hilang,“ kata Frans pelan. 
 CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 4

Galang POV.

“Lang, Galang…, bangun…,” samar kudengar suara seseorang di telingaku.

“Lang bangun, ada kasus lagi,“ lagi kudengar samar.

Dengan malas kurentangkan tangan dan membuka mata.

“Kenapa lagi Her? Belum ada sejam aku tidur,“ keluhku kepada Herman ketika melihat siapa yang membangunkanku.
Mataku masih terasa sangat mengantuk karena kurang tidur kemarin. Dan sekarang Herman membangunkanku dengan terburu-buru.

“Ada kasus pencurian Lang!” seru Herman sedikit keras.

“Kalau pencurian kan bukan bagian kita Her,“ gerutuku sambil membalikkan badan, hendak melanjutkan tidurku yang terganggu tadi.

“Memang, tapi pencurian ini, terjadi di apartemennya Andri!“ kata Herman dengan tegas.

“Andri? Andri G-Team?” tanyaku memastikan.

“Iya Lang, kebetulan bukan?” kata Herman sambil tersenyum.

“Tidak ada kebetulan yang seperti ini Her, apa ada barang yang hilang?“ tanyaku.

“Hanya sebuah laptop,” jawab Herman.

Hmmmm, menarik. Laptop. Barang yang mungkin tidak terlalu penting bagi orang lain, namun bagi orang seperti Andri, pasti sangat berharga. Dan lebih berharga lagi, apa yang ada didalam laptopnya itu. Dan mungkin isi dari laptop itu akan membuat penyelidikan kami lebih mudah, seandainya kami mendapatkannya.

“Ayo Her, ”ajakku sambil mengambil jaket yang terletak tidak jauh dari ranjang.

Andri POV.

“Kenapa Ndri?” tanya Frans melihat ekspresi wajahku.

“Frans, Lisa, bisa mendekat sebentar?” pintaku kepada mereka berdua.

Dengan wajah yang bingung, keduanya mendekat kearahku. Samar bisa kurasakan sesuatu yang berbeda dari sikap mereka.

“Frans, Lis, mulai sekarang, stop semua komunikasi yang menggunakan email dan cloud perusahaan, “ kataku sambil memberi isyarat biar aku bicara dulu, kepada Frans. “Kemudian, stop semua akses internet dan wifi yang tidak terpakai di ruang coding dan perusahaan serta minta Guzur untuk mengecek ulang semua device kita, kemungkinan ada orang yang menyusup kedalam jaringan kita,“ kataku sambil memandang tajam kepada Frans dan Lisa untuk melihat ekspresi mereka.

“Kau yakin?“ tanya Frans dengan ekspresi wajah yang sedikit terkejut.

“Yakin sekali, minta juga semua security untuk bekerja lebih awas lagi serta cek kondisi semua CCTV, aku ingin CCTV dicek full 24 jam sekarang!“ perintahku kepada Frans.

“Dan Lisa, tolong minta semua staff menggunakan BBM dalam komunikasi sekarang, rasanya masih cukup aman menggunakannya ketimbang email perusahaan,“ kataku kepada Lisa.

“Baik mas,“ sahut Lisa singkat.

“Sebaiknya kalian berangkat ke G-Team sekarang, oh ya Frans, bisa belikan aku laptop dan handphone? laptop dicuri dan yang handphone ku belum tentu rimbanya,“ terangku.

Roger that, aku berangkat beli perlengkapan untukmu sekarang, eh, aku nganter Lisa dulu, ”jawab Frans dengan sedikit bingung.

“Mbak aja nanti yang ngantar, mbak mau pulang dulu ngambil baju sama ibu, Andri biar sama pacarnya saja disini,“ kata si-nenek-lampir spontan.

Pacar?“ dengan terkejut Frans dan Lisa menoleh kearahku.

Dengan tampang pasrah aku hanya mengangkat bahuku dan memasang ekspresi apa boleh buat.

“Kalau begitu, aku berangkat sekarang Ndri, “ kata Frans sambil melangkah kearah pintu, wajahnya masih terlihat sedikit surprise mendengar aku punya pacar.

“Kalau begitu, mbak nyari ibu dulu ya Dik Lisa, biar tidak terlalu lama nunggu,“ kata si-nenek-lampir sambil menuju kepintu.

Dan sekarang hanya ada aku dan Lisa saja disini.

Baru pertama kalinya kami seruangan seperti ini, kurasakan sedikit kikuk bersamanya. Kuperhatikan sejenak Lisa. Badannya mungil dan terkesan rapuh, jauh lebih mungil daripada si-celana-dalam-putih. Tonjolan didadanya juga tidak terlalu besar, begitu pula tonjolan dibelakang.

Mungil.

Kata orang, wanita yang tubuhnya mungil, vaginanya juga dangkal? Benar gak ya? Tak sengaja aku malah melamun membayangkan itu.

“Lis, Edy sama Erlina ada kekantor?“ tanyaku.

“Kemarin Mas Edy dan Mbak Erlina pergi meeting dengan Pak Tony mas, ada beberapa perubahan yang ingin dibicarakan Pak Tony,” jelas Lisa.

“Perubahan apa Lis?” tanyaku penasaran.

“Belum tahu mas, Mas Edy belum ada kelihatan dari kemarin, mungkin meetingnya lama, soalnya diminta ke villanya Pak Tony,”terang Lisa.

“Eh, mas, gak bilang-bilang kalau sudah punya pacar, ” lamjut Lisa sambil tersenyum simpul.

“Justru aku baru tahu kalau aku punya pacar sekarang, Lis,“ kataku kepada Lisa.

“Eh, maksud mas?“ tanya Lisa dengan bingung.

“Tanya Lidya saja nanti, eh, gimana kamu sama Frans? Sudah sempat ngapain saja?“ tanyaku sambil tersenyum jahil.

“Ah mas, belum ada ngapa-ngapain mas, ” jawab Lisa dengan nada malu.

“Well, jadi mau diapa-apain neh? Hahaha” kataku sembari tertawa.

“Ckckkckc,, masih sakit aja bisa kaya gini mas, ntar aku bilangin Mbak Lidya lho,“ jawabnya.

“Bilangin aja, “seruku.

“Bilangin apa?“ suara si-celana-dalam-putih terdengar di belakang Lisa.

“Bilangin kalau ada yang kangen mbak,“ sahut Lisa yang sukses membuat pipi si-celana-dalam-putih memerah.

“Cie-cie.. baru saja ditinggal sebentar, sudah kangen,“ sahut si-nenek-lampir.

“Ya udah, minta tolong jagain si kunyuk ini biar gak rewel ya Lid, nanti mbak kesini lagi sama ibu,“ kata si-nenek-lampir.“Lis, ayo mbak antar ke kantor,“ ajak si-nenek-lampir sambil mengajak Lisa.

Dan, sekali lagi, aku berduaan dengan si-celana-dalam-putih.

“Lid...,“
“Mas…,”

Kami menyapa barengan dan berhenti juga barengan.

“Kamu duluan,“
“Mas duluan“

Dan lagi, kami berhenti barengan.

“Masalah yang tadi,“
“Masalah yang tadi“

Ehmmm....

“Bicarain apa saja sama mak lampir tadi Lid?“ tanyaku kemudian. Untuk pertama kalinya tidak sama.

“Ngobrol-ngobrol aja mas, ”sahutnya sambil melihat kesamping.

Wajahnya terlihat sedikit merona. Hmmm, bukan pembohong yang baik. Terlihat sekarang dia menunduk sambil matanya sesekali melirik kearahku. Mata yang bening namun terlihat sedikit merah.

Apa dia baru saja menangis?

Tapi kenapa?

Apa yang dibicarakannya dengan ibu dan si-nenek-lampir?

“Mas, gimana dengan proyek kita?“ tanya si-celana-dalam-putih.

Mengalihkan perhatian. Kulihat pandangannya tidak fokus.

Andai saja aku tidak seperti ini…

Lebih baik aku tidak mengatakan mengenai kecurigaanku mengenai adanya kebocoran data dan kemungkinan hacking di perusahaan.

“Aku sudah mengaturnya dengan Frans, jadi santai saja Lid,” kataku.

Dan tenangkan dirimu, aku ingin melihat sinar mata yang bersemangat dan tak kenal menyerah lagi dimatamu itu.
Mata yang begitu memancarkan aroma percaya diri dan persaingan!

Mata yang membuatku tertarik...

Galang POV

Kami menuju ke apartemen dari Andri, CEO G-Team, yang entah nasib buruk atau kejahatan yang teroganisir sedang terjadi padanya. Dari kematian salah satu staff terbaiknya, ledakan mobil, tembakan di perut dan sekarang, pencurian diapartemennya.

Segala sesuatu itu mempunyai pola, bahkan benang kusut sekalipun.

Semua kejadian ini pasti ada hubungannya.

Tugasku sekarang mencari hubungan itu!

“Lang, kenapa kau diam saja?“, tanya Herman ketika kami menuju kearah

“Hanya sedikit berpikir mengenai apa hubungan antara kejadian ini dengan kejadian-kejadian sebelumnya yang terjadi dengannya,“ jawabku.

“Aku rasa ini kebetulan saja,“ kata Herman singkat.

Kebetulan?

Bukan, terlalu mudah kalau hanya kebetulan.

Kami tiba di apartemen Andri, terlihat satu pos satpam didepan pintu masuk kompleks apartemen. Seorang anggota polisi terlihat berjaga disana. Dia bangkit dan memberi hormat ketika melihat Herman. Sipolisi tadi lalu berbicara sebentar dengan security yang ada didalam,pagar terbuka dan mobil kami masuk ketempat parkir yang terletak di basement.

Aku keluar dari mobil dan melihat kesekeliling.

Terlihat beberapa CCTV ada dibeberapa tempat yang strategis di parkir, walaupun parkir sedikit gelap, namun kurasa masih bisa memantau keadaan.

Kami melangkah menuju ruangan Andri seperti yang diberitahu oleh anggota polisi tadi, di pintu lift kami berhenti dan aku melihat kalau untuk menggunakan lift, harus menggunakan access card.

Gate, CCTV, access card, bagaimana sipencuri melewati semua ini?
“Eh, bagaimana cara pakainya ini? ” Kata Herman setelah beberapa kali memencet tombol namun lift belum terbuka.

“Kita perlu access card,“kataku pelan. ”Sebaiknya, kita mulai penyelidikan ini dari depan,” kataku sambil berjalan pelan ke pos satpam.

“Eh, tunggu Lang,”seru herman sambil mengejarku dari belakang.

“Selamat pagi pak, ada apa pak?“ sapa polisi yang berjaga dipos satpam.

“Selamat pagi, ” sahut aku dan Herman serentak.

“Ada security yang bertugas?“ tanyaku.

“Ada pak,” katanya sambil memanggil seseorang yang berada didalam pos.

“Selamat pagi pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang petugas security. Berusia kurang lebih 40 tahun, namun tubuhnya terlihat tegap dan berisi.

“Selamat pagi pak, saya Galang, “ kataku sambil menjabat tangannya.

Kuat dan tegas.

Itu kesanku saat menjabat tangannya.

“Tadi saya lihat ada CCTV pak, darimana diawasinya ya pak?” tanyaku.

“CCTV diawasi dari sini pak,” katanya sambil menunjuk kearah posnya. ”Kalau mau, bapak bisa lihat,” tawarnya dengan ramah.

“Boleh pak,”sahutku.

“Kalau begitu mari pak,” katanya sambil berbalik dan menuju keruangannya.

Hmmmm, lumayan banyak CCTV.

Dan pengawasnya apakah hanya satu orang? Monitor-monitor pengawas berderet dengan rapi. Lebih dari sepuluh monitor, dengan masing-masing monitor berisi tampilan 6 buah CCTV. Jadi total ada 60 CCTV?

“Siapa saja yang mengawasi CCTV disini?” tanya Herman.

“Biasanya kalau malam ada 3 security pak, kalau siang, cuma dua, rekan saya sekarang kebetulan lagi ronda keliling pak,”sahutnya.

“Apakah ada rekaman untuk setiap harinya pak?” tanyaku.

“Rekamannya ada pak, biasanya rekaman yang belum satu minggu, disimpan dikomputer sini, sedangkan yang sudah lebih dari satu minggu, biasanya dibackup ke tempat lain pak,” jelasnya.

“Bisa saya lihat rekaman kejadian pas kemarin pak? Kemarin malam tepatnya,” kataku.

“Oh, bisa pak,” katanya.

Dengan cekatan dia membuka komputer dan mulai mencari file yang kuminta. Folder demi folder dibukanya, hingga berapa lama dia masih melakukannya. Perlahan kerut mulai muncul dikeningnya.

“Aneh,”gumamnya.

Kulihat kerut dikeningnya semakin banyak ketika beberapa saat kemudian dia masih berkutat dengan folder-folder di komputernya.

“Aneh,” gumamnya sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa pak?” tanyaku melihat kebingungannya.

“File rekaman kemarin tidak ada pak, semuanya!” katanya sambil memandang kearahku.

“Semuanya? Satupun tak ada yang tersisa pak?” tanyaku menegaskan.

“Iya pak, satupun tak ada, ”jawabnya.”Mungkin kena virus pak, dulu juga pernah seperti ini,”jelasnya lagi.

Virus? Terlalu kebetulan.

Terlalu kebetulan kalau file rekaman yang bisa menjadi bukti itu semuanya terhapus. Kasus ini semakin rumit saja, seperti benang kusut.

Segala sesuatu itu mempunyai pola, bahkan benang kusut sekalipun.

Sekarang tinggal mengurai ujung dari benang kusut ini.

Pertanyaannya.

Darimana bisa aku memulainya?

“Pak, kalau mau masuk ke apartemen kan harus lewat sini? Siapa yang kemarin berjaga disini pak?” tanyaku.

“Jajang pak, dia baru sebulan bekerja disini, ”sahutnya dengan cepat.

“Bisa saya bertemu dengannya pak?” tanyaku.

“Bisa pak, kebetulan dia memang dipanggil oleh manajemen, karena lalai pak,” sahutnya dengan nada pelan.

“Lalai? Lalai kenapa pak?” tanyaku penasaran.

“Nanti bapak tanya sendiri pak, saya panggil dia sekarang kesini,” katanya.

“Kalau tidak merepotkan, silahkan pak,” sahut Herman.

“Terlalu kebetulan bukan Lang?” tanya Herman ketika sisecurity pergi untuk memanggil security yang bertugas kemarin. Aku hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan Herman.

Aku mencoba mencari ujung dari benang kusut yang coba aku urai saat ini. Satu ujungnya ada pada CEO G-Team. Pertanyaannya sekarang, ujung satunya ada dimana?

Atau dipegang siapa?

Hmmmm, harus bertemu dengan Andri lagi nanti. Rahasia apa yang ada dibalik semua ini, salah satu kunci menyelesaikan kasus ini, pasti ada pada dia.

“Pak, ini Jajang,” kata security tadi sambil mengantar seorang security berusia 25 tahunan. Terlihat wajahnya sedikit takut-takut ketika masuk keruangan.”Saya keliling dulu pak,” lanjut security yang tadi sambil melangkah pergi.

“Selamat pagi, kami dari kepolisian, saya Herman dan ini rekan saya Galang, ”kata Herman memperkenalkan kami sambil menunjuk kearahku. “Silahkan duduk,” kata Herman sambil menunjuk kearah salah satu kursi yang ada disini.

“Eh, i...ya pak,” sahutnya, masih dengan pandangan takut seperti tadi.

“Santai saja dik Jajang, kami hanya ingin bertanya sedikit saja kepada dik Jajang, jadi jangan takut,” seru Herman mendinginkan suasana.

Kuperhatikan Jajang ini. Seorang pemuda diambang usia 25tahun, wajahnya tampan, namun terlihat ketakutan dan tertekan. Tubuhnya cukup padat dan berisi. Namun pandangan matanya sedikit licik? Dia duduk dengan gelisah. Jari tangannya saling meremas satu dengan yang lain.

“Benar dik Jajang yang bertugas jaga disini kemarin?” tanya Herman.

“Benar pak, ” sahutnya pelan.

“Bisa anda ceritakan, apa yang terjadi kemarin malam? Tanpa ditambah atau dikurangi! ” kataku sambil melihat kedalam matanya. Mata yang semula bimbang dan ragu, sekarang perlahan bisa kulihat ketakutan disana.

“Kalau anda berbohong dan nanti kami mengetahuinya, mungkin bukan hanya anda akan kehilangan pekerjaan anda, namun kebebasan anda,” kataku dengan pelan.

Terlihat ketakutan yang ada dimatanya semakin bertambah. Dan kulihat pandangan lain disana.

Heran? Bingung?

“Eh, kema..rin itu, begini pak,” katanya, dan mulailah Jajang bercerita tentang kejadian kemarin.

***...***

Rabu, 22.00, Apartemen Chapista.

Jajang POV.

“Ahhhhh, harder, make me cum! Ah…, more!”
“Two in the pussy, can you handle this baby?”
“Yes, I want your cock in my pussy!”
“Take this baby!”
“Hush…hush.hushh…,slowly! OMG, two cock in my pussy! My wet fucking pussy ripped!”
“How about one in your ass? Can you take it?”
“Ahhh.ahh.ahhh, yes, but be gentle, spit on it!”


Gila!!! Dua kontol di memeknya, ne bule emang hobi ngentot kali. Pikir gue melihat adegan demi adegan di HP baru gue.

Lumayan nih HP, gambarnya jernih coyyy!

Jari gue meremas kontol kesayangan yang sudah menegang dibalik kolor yang gue pake.

Tiinnnnnn...tiiinnnnnn...tiiinnnnn....

Suara klakson mobil terdengar dari depan pos gue.

“Sialan, nanggung banget.“

“Eh, ne mobil siapa lagi? Tumben gue lihat?“

Gue lihat kedepan, seorang wanita turun dari mobil, dengan kacamata hitam dan dress pendek. Dress pendek yang terlihat menerawang ketika tersorot lampu mobil.

“Mas, bisa bukain pagarnya?” sapa sigadis dengan dress pendek.

Wow, sexy!

“Maaf mbak, bisa lihat ID nya?” tanya gue.

“ID apa mas?” tanyanya.

“ID penghuni didalam mbak, kalau gak access card nya,” tanya gue sambil liatin nih cewek.

Cantik, putih mulus, sayang toketnya kecil.

Dressnya pendek berwarna hitam, dengan bahan kain yang tipis, terlihat menerawang dan itu…

“Ehhmmm, begini mas, saya dan teman saya mau ke apartemen pacar teman saya, mau ngasi surprise ulang tahun, tapi gak punya access cardnya, boleh pinjam gak mas?” tanyanya dengan nada yang genit.

“Waduh, gak boleh mbak, kalau ada apa-apa saya nanti yang disalahkan, saya baru kerja disini mbak, gak ingin kehilangan pekerjaan saya mbak, ” kata gue sambil ngelihatin toketnya yang terlihat dari belahan dressnya yang rendah.

Wow, tanpa bra.

Putingnya terlihat tercetak didressnya.

Tak sadar gue menelan ludah melihat toketnya yang gak begitu besar, tapi sekal!

“Kalau begitu antar saya kesana ya mas?” katanya sambil mendekatkan toketnya kearah gue.

Gila, wangi bener! Pasti parfum mahal neh, dari luar aja sudah begini wanginya, apalagi kalau bisa ngenyot tuh toket! Kepala gue jadi pusing ciumnya.

“Wah, gak boleh ngajak orang yang tidak dikenal kedalam mbak, eh, saya kerja sendiri mbak,” jawab gue dengan dahi yang mulai berkeringat. Celana gue terasa sesak melihat tonjolan toket yang terlihat begitu ketat didressnya!. Putingnya tercetak jelas di permukaan dress tipis itu. Sebagian toketnya kelihatan ketika dia mendekat.

Putih mulus!

“Ehmmm, kalau saya yang temenin mas disini, sekarang, temen saya aja yang naik ke apartemen bagaimana mas? Kan saya jaminannya, nanti saya kasi ini deh, ”katanya sambil menunjuk kearah selangkanganya.

Tangannya seolah tak sengaja mengangkat sedikit dress yang dikenakannya dan terlihat paha putih mulus bulat dan menantang. Toketnya yang terlihat begitu bulat dan padat sedikit ditekankan kedepan sehingga terlihat seakan mau meloncat keluar.

“Ehmm, mbak itu, itu…, saya gak berani mbak,” kata gue.

Antara ragu dan nafsu!

Kontol gue sudah mengeras dicelana gue.

“Ehmmmm, cuma sebentar aja mas, gak sampai 30 menit, mas tahan segitu?” tanyanya sambil meraba tonjolan kontol gue dari balik celana gue.

“Tahan apa mbak,” tanya gue dengan nafas yang mulai mengeras.

Gila neh cewek! Lagi sange apa make neh?

“Tahan ini,” katanya sambil membuka resleting celana gue. ”Access cardnya mana mas?” rayu siwanita dengan tangan yang membelai penis gue yang sudah membengkak. Matanya terlihat sange abis!

“Ak…ses card kamar be..rapa mbak?” kata gue tak tahan.

Cuma sebentar! Gue bakal keluarin pejuh gue didalam memeknya yang pasti sempit.

Kapan lagi gue bisa ngentot ama cewek kaya gini? Pikir gue.

“903” jawabnya sambil membelai kantong bola gue dengan lembut.

Gila, pro neh ce!

“Sebentar mbak, ”kata gue sambil mengambil access card cadangan buat kamar 903.

“Ini mbak,” kata gue sambil ngasi access card kedia.

“Tunggu bentar ya mas, itu dikerasin aja dulu, biar bisa langsung masuk nanti, hihihi,” katanya sambil menunjuk kekontolku lalu berbalik dan berjalan menuju kemobil. Dengan pantat yang menungging, gue bisa lihat dia ngasi access card ketemennya. Sayang, karena suasana yang gelap, gue gak bisa lihat muka dari temennya. Gue buka gerbang pagar dengan menekan remote control yang ada dipos security. Remote yang setiap penghuni apartemen punya.

Setelah mobil melaju, bidadari sexy ini kemudian menuju ke pos gue lagi.

Dengan tak sabar, celana udah gue pelorotin sampai kemata kaki, tangan gue dengan santai mulai mengocok kontol gue yang sudah berdiri tegang.

“Ehmmm, sudah main berdiri aja mas? Sudah siap masukin kesini?” tanyanya sambil menaikkan dressnya sampai keperut.

Mata gue serasa mau meloncat keluar melihat pemandangan yang ada didepan gue, paha mulus, putih dan padat hingga kepangkal. Dan pangkal paha itu, demikian mulus, tanpa celana dalam dan tanpa rambut kemaluan! Celah sempitnya menyerupai garis lurus dan berwarna kemerahan.

Belum begitu sering dipakai!

Lagi, gue terpaksa nelen ludah melihat begitu sempurnanya pemandangan didepan mata gue.
Dengan langkah pelan dia menghampiri gue dan berlutut didepan. Pandangan matanya penuh nafsu, tangannya dengan pelan mulai mengocok batang kontol gue. Gak tahan dengan itu gue pegang kepalanya dan membuatnya mengulum kontol gue!

“Ahhhh, ”gak tahan gue gak mendesah, sepongannya mantap, beda dengan perek-perek jalanan yang gue pake.

“Terus sayang, eh, nama lu siapa?” kata gue sambil menarik kepalanya dari kontol gue.

“Panggil saja Angel mas,” katanya sambil mau memasukkan kontol gue kedalam mulutnya.

“Gak usah, gue pengen ngerasain memek lo karang,“ kata gue sambil menarik dia berdiri.

Dressnya gue turunin hingga kelihatan toketnya yang kecil namun padat dan membulat dengan indah, dengan tak sabar gue kenyot toketnya, sesekali pentilnya juga gue isep dengan rakus.

“Sssttt,, mass,,,“ desahan kecil mulai keluar dari mulutnya. Suasana diluar semakin gelap. Gerimis mulai turun, udara berubah jadi sedikit dingin.

Pas banget neh buat ngentot, pikir gue sambil memasukkan jari gue ke dalam memek Angel yang seperti gue duga masih sempit dan menjepit!. Jari gue mengocok pelan memek Angel yang mulai sedikit basah.

“Ahhh...sstttttt mas, “ desahan mulai lancar keluar dari mulut Angel.

Kocokan gue semakin cepat dimemek Angel. Desahannya pun semakin keras. Kucabut jari gue dari dalam memeknya yang sempit, terlihat lendir dan cairan kenikmatan membasahi jari gue. Kuarahkan jari gue yang berlumur cairan Angel ke mulutnya, dan dihisapnya jari gue dengan rakus!

Emang dasarnya perek neh cewek!

“Sini, gue pengen ngentot lo sekarang!” perintah gue kedia.

“Pakai kondom dulu mas,” pintanya.

Sialan! Mau gak mau gue ambil dompet dikantong celana, semoga masih ada sisa kondom dari ngentot gue waktu ini. Dan syukurnya masih, dengan cepat gue robek bungkus kondom dan gue pasang dikontol gue yang sudah memerah karena nafsu.

“Nungging Ngel!” perintah gue. Angel kemudian nungging dengan tangan berpegangan ditepi meja.
Dengan posisi nungging kayak gini, pantat Angel terlihat begitu menantang, putih, mulus dan padat. Kalah ne semua perek-perek yang pernah gue entot.Pikir gue.

Hujan yang semakin deras membuat udara cukup dingin. Semoga kagak ada mobil lain yang datang, pikir gue. Dingin-dingin gini, memang paling enak ngentot ama cewek cantik kayak gini.

Gratis lagi!

Pelan-pelan gue arahin kontol gue yang sudah keras kememeknya.

“Uhhhh, sempit banget Ngel, belum sering dipake ya?” tanya gue kedia.

“Ahh, masukin yang dalem mas, iyahh,,, belum sering Angel pake ngen...toot!” jerit Angel ketika gue dengan sekali dorong ngemasukin kontol gue kedalam memeknya.

“Ssttttt,,,mas, ja..hattt, gak bilang-bilang masuknya!” omel Angel .

Gile!

Cantik, sexy, memeknya empot ayam lagi! Ne baru high class, pikir gue ketika memeknya terasa menyedot pelan kontol gue.

Dengan pelan gue gerakin kontol gue maju mundur di memek Angel. Sempitnya lobang memeknya terasa nyedot penis gue didalem.

Plok..plok...plok...

Bunyi pertemuan paha gue dan pantat Angel. Desahan Angel, suara hujan, bunyi masuknya kontol gue ke memek Angel.

Rasanya seperti diawang-awang. Atau mungkin surga?

“Ahhhhh, mas! Tampar pantat Angel!” pinta Angel ditengah desahannya.

Mantap! Pikirku.

Plakkk.plakkk..plakkk,,,

Bunyi tamparanku di pantat Angel.

“Sstttt...ssttttt....ahhhhhh!” suara Angel ketika aku menampar pantatnya.

“Mas, ganti posisi, mentok nih, ” pinta Angel.

Gue lihat keliling, ada sofa tempat security istirahat nganggur. Dengan kontol masih mengacung tegak gue menuju kesofa dan duduk dengan kontol mengacung keatas. Dengan gaya yang centil, Angel berjalan kearah gue, badannya yang putih mulus hanya dihiasai dress yang melilit dipinggangnya. Sementara itu, beberapa rambut kecil menghiasai keningnya yang berkeringat. Sementara itu kacamata hitam tetap menghiasi wajahnya.

Dengan lembut, Angel naik keatas tubuh gue, kakinya mengangkang sehingga memeknya membuka dan siap ditusuk kontol gue yang tegang. Tangannya memegang sandaran sofa dibelakang gue. Dengan gaya yang sangat menantang, jarinya dimasukkan kemulutnya yang kecil lalu jari itu perlahan turun ke bawah, menggesek daging kecil dibagian atas memeknya. Sementara itu, toketnya yang kecil namun bulat padat diarahkan kemulut gue. Ini yang gue mau dari tadi! Dengan pelan putingnya yang kecil dan berwarna kemerahan gue hisep dengan kuat.

“Ahhhhhh mas!” desisnya ketika tubuhnya turun sehingga kontol gue masuk seluruhnya kememek Angel yang basah kuyup.

Pelan-pelan tubuhnya naik turun diatas tubuh gue.

“Sssttt, mas,,, remes toket Angel,” pintanya sambil pantatnya naik turun tanpa henti ditubuh gue.

Gue remes toket Angel yang bulat kecil. Pentilnya gue cubit karena gemes.

Plok...plok...plok...

Suara beradunya kontol dan memeknya terdengar diseluruh ruangan. Tubuh Angel naik turun dengan cepat, dan sekarang diputar kekanan dan kekiri dengan tak beraturan. Memeknya digoyangkan dengan keras, membuat penis gue sedikit ngilu.

“Ugghhttt,Ngel! Mantap,” kata gue merasakan goyangan pantatnya yang semakin mengulek kontol gue.

“Ahhhh,,,ahhhhh,, mas,,,, Angel mau nyampe!” desis Angel, sementara itu bisa gue rasaain memeknya semakin menyempit dan basah.Kontol gue serasa diremes-remes didalam sana, rasanya sungguh nikmat

“Barengan Ngel,”kataku sambil memegang pantat Angel agar berhenti bergerak. Sekarang gue yang ngocok
memek Angel dari bawah.

Plok...plok...plokkk...

Plak...plak...plak....

“Ahhhhh,,,,ssssttttttt, mas, cepetin...”

Desis Angel, pantatnya yang gue pegang sekarang melawan tangan gue dengan kuat. Tangannya yang tadi memegang sandaran sofa sekarang meremas rambut gue dengan kuat.

“Cepetin mas, cium toket Angel!, ahhhh,,ahh,ahhh,”desis Angel dengan kuat. Goyangan pantatnya semakin liar yang membuat gue berhenti ngocok memeknya dari bawah.

Luar biasa!

Dengan keringat yang mulai terlihat diwajahnya yang memerah, mata sayu menahan gairah, Angel bagaikan bidadari yang sedang muasin nafsunya dengan manusia jelata.

“Ahhhhhhhh,,,,masssssss, Angel nyampheeeeee....”kata Angel, memeknya menjepit kontol gue dengan ketat, gue juga bisa rasain kontol gue seperti kesiram cairan hangat dari balik kondom yang gue pake.
Tubuh Angel kaku beberapa saat sebelum lemas. Tubuhnya diam menindih badan gue, toketnya empuk menggencet mulut gue.

Gak sabar gue kocok memeknya yang basah kuyup.

“Mas, hah…hah..berhenti dulu, ”katanya terputus sambil mengangkat badannya dari kontol gue.

“Nanggung neh Ngel!“ kataku sedikit kecewa.

“Bentar mas, pegel banget, “ katanya sambil duduk disofa dengan paha yang mengangkang. Bisa gue lihat cairan memeknya mengalir, pelan, dipahanya yang putih. Wajahnya yang sayu terlihat sedikit kelelahan.

“Mas, Angel haus, ada air minum gak mas?” katanya seperti mendesah.

Gue ambilin air minum dari dispenser dan langsung gue kasi Angel yang langsung menyesapnya sampai habis. Gue juga minum, itung-itung buat nambah nafas. Gue taruh gelas didispenser dan ketika gue balik terlihat pemandangan yang membuat kontol gue kembali tegang.

Angel tiduran diujung sofa, kaki kanannya diangkat keatas sandaran sofa. Sementara kaki kirinya menjuntai kebawah. Memeknya yang kemerahan habis gue entot tadi terlihat memerah. Memek yang bagian atasnya terlihat sedang digesek dengan lembut oleh yang punya. Gue lihat tangan kiri Angel meremas toketnya yang bulat.

“Mas, masukin kesini dong,“ kata Angel sambil tangan kanannya digerakkan dilobang memeknya yang merekah, merah dan indah.

Kontol gue merespon ajakan Angel. Dengan tak sabar gue menuju kearah Angel, gue remas toketnya yang terlihat begitu bulat dan kemerahan sekarang.

“Ssssttt, mas, masukin aja, keburu dateng temannya Angel, “ pinta Angel sambil bibirnya menggigit jari telunjuknya dangan pelan.

Gue pura-pura gak denger perkataan Angel, gue tetep gesekin kontol gue ke lobang memek Angel, tapi belum gue masukin, sementara tangan gue masih meremas-remas toket Angel.

“Mas, masukin!“ kata Angel, sedikit frustasi karena hanya kepala kontol saja yang menowel-nowel lubang memeknya. Perlahan gue cium bibir Angel yang setengah membuka, tak gue sangka dibalas dengan sangat ganas, Jadinya sekarang kami saling belit, saling hisap dengan sama-sama bernafsu.

“Hah.hah.hah,“ nafas kami terdengar ketika ciuman kami lepaskan karena kehabisan nafas. Perlahan gue condongin badan seolah mau menciumnya, yang disambut dengan mata yang terpejam oleh Angel, tapi gue malah ciumin telinganya, yang gue rasa pasti jadi titik sensitif sebagian besar cewek.

“Hmmm, massss....“ desah Angel ketika gue mulai mencium telinga dan lehernya yang wangi.

“Aaaahhhhhh massssssssss!“ teriak Angel ketika dengan sekali hentakan gue masukin kontol tegang gue
kedalam memeknya yang basah kuyup dan tanpa memberi waktu gue langsung genjot dengan kecepatan tinggi.

“Sssttttt, mas.... terussssinnn,hah.hah.hah...“ desah Angel semakin menjadi ketika memeknya sudah terbiasa dengan ritme genjotan gue.

“Mass,,, remes toket Angel mas!“ desah Angel.

Plok...plok...plok

“Ssstttt, masss... cepetinnn....,“ pinta Angel dengan wajah berkeringat. Kulihat kontol gue masuk dicelah memek Angel yang sempit. Cairan kenikmatan yang keluar semakin menambah licin memek Angel, yang membuat kocokanku semakin cepat.

Gue cabut kontol gue dari memek Angel, tak gue peduliin protes dari Angel. Kaki Angel yang semula mengangkang gue angkat keatas, kearah toket Angel. Kakinya gue rapetin dan gue tekuk kearah toketnya yang sekarang terhimpit oleh kaki Angel sendiri.

Gue masukin kontol gue yang tegang. Dan benar!

Memek Angel semakin terasa menjepit kontol gue, rasanya jauh lebih nikmat dari tadi. Pelan tapi pasti gue genjot lagi.

“Sttttt,,, mass, cepetin, Angel dah mau dapet lagi....!!!“ pinta Angel dengan wajah memelas.

Wajah Angel yang semakin terangsang hebat membuat nafsu gue semakin tinggi. Kocokan gue semakin percepat.Tangan Angel mulai memegang tangan gue yang meremes toketnya.

Sudah mau nyampe rupanya.

Perlahan, tangan gue mengelus toketnya, terus keleher jenjangnya.

Pengen nyobaain yang gue lihat di bokep.

Tangan gue mencekik pelan leher Angel yang nafasnya mulai memburu.

“Mas, lepa..sin..,” pinta Angel ketika cengkraman dileher putihnya semakin keras.

“Ugghhh,, massss,,,” desah angel mulai tak jelas. Gue genjot memek Angel dengan kuat seiring dengan cengkraman dilehernya yang juga semakin kencang. Gue bisa lihat wajah Angel mulai merah padam, berusaha bernafas dan mencari celah orgasmenya!

Dan akhirnya, diiringin kocokan gue yang semakin cepat, gue lepas cengkraman dilehernya...

“Hah..hah..hah...ahhhhhhhhhh, masssss, A...ngelll da...pet...,“ teriak Angel ketika orgasme itu menderanya.

Tubuhnya berkelojotan beberapa saat sebelum terdiam dengan nafas yang memburu.

Gue cabut kontol gue dari dalam vaginanya yang banjir, gue lepas kondom dan...

Croootttt..croootttt…croottttt….

Beberapa kali semprotan kuat sperma gue di toket kenyal Angel, beberapa mengenai muka dan rambutnya.

“Hah...hah...hah.....,“ suara nafas kami yang terengah bersahutan dalam ruangan security yang terasa sedikit pengap walaupun hujan masih menyisakan gerimis diluar sana.

“Gimana Ngel? “ tanya gue.

“Mas jahat, sakit tau lehernya Angel, tapi nikmat banget mas, hah..hah.hah...,“ jawab Angel dengan nafas yang masih terengah.

“Ada tisu mas?” tanya Angel .

Dengan malas gue rapiin celana dan mencari dilaci meja, selalu ada stok tisu bagi yang mau coli di laci security.
“Ini Ngel,” kata gue sambil ngasi tisu kearahnya. Kuperhatiin Angel membersihkan memeknya yang terlihat penuh dengan cairan orgasmenya. Dengan santai Angel juga mengelap badan,leher dan mukanya dengan tisu.

Dressnya yang semula melilit dileher, sekarang dipasang seperti semula,

Hmmm, dia semakin seksi kalau pake dress kayak gini, pikir gue.

Gue lihat jam, 23.00, berarti hampir 50 menit gue main sama Angel. Tapi puasnya ngalahin main satu hari sama perek-perek jalanan yang biasa gue pake.

Hujan yang tadi deras, perlahan berubah menjadi gerimis saja.

Tak lama setelah Angel memakai dress nya, terlihat sebuah mobil keluar dari halaman parkir.

Mobilnya Angel.

“Mas, udah dulu ya, kapan-kapan lagi, ”kata Angel sambil berlari kecil menerobos hujan menuju mobilnya.

Pantatnya terlihat bergoyang dari balik dress tipis yang dikenakannya.

Gue pandangin mobilnya sampai tak kelihatan, dan gue baru sadar…

Access cardnya belum dikembalikan!


***...******...***

Galang POV.

“Jadi anda membiarkan seseorang yang tidak anda kenal, meminjam access card menuju salah satu kamar diapartemen yang anda jaga, sementara anda sibuk berbuat mesum disini? ” tanya Herman dengan nada marah.

“Eh, iya pak,” sahut Jajang tanpa berani melihat kearah Herman.

“Hmmm, kalau begini, pekerjaan anda tidak akan tahan lama,” gerutu Herman.

Kulihat Jajang sedikit terdiam ketika mendengar perkataan Herman.

Aku tatap mata Jajang dan bertanya padanya.

“Apa anda tidak merasa heran? Kenapa orang yang mau membuat kejutan untuk pacarnya, malah pergi sebelum pacarnya datang?“ tanyaku dengan pelan.

Kulihat pandangan keterkejutan dimatanya, pemahaman dan kemudian ketakutan.

Andri POV.

“Mas! Jangan pakai laptop dulu!” kata si-celana-dalam-putih marah ketika aku mau menggunakan laptop yang baru dibelikan dan diantarkan Frans, sementara Frans aku minta menanyakan keberadaan handphoneku di Bidadari Massage..

“Hanya untuk memeriksa email dan file-file untuk perusahaan Lid,“ kataku sambil menyalakan laptop.

“Tidak baik bekerja dengan laptop dipangkuan mas!” katanya dengan marah.

“Lalu apa yang baik dipangkuan Lid?“ tanyaku sambil tersenyum.

Bagaimana kalau kamu yang dipangkuanku Lid? Pikirku, lagi, mesum.

“Apa saja boleh kecuali laptop,” sahutnya dengan agak jutek.

“Yakin apa saja boleh?” kataku sambil memandangnya dengan tatapan aku-ingin-kamu.

Kulihat pandangan marah sebelum berubah menjadi pandangan yang jahil.

Jahil?

“Boleh kok mas, tapi sekarang ya?” katanya sambil tangannya ditekankan dibagian perutku.

“Aduhhh!“ jeritku ketika tangannya dengan sukses meraba bagian perutku yang dioperasi.

“Bentar aja Lid, mau ganti password email dan cloud saja,“ seringaiku sambil membuka browser.

“Kok ganti password mas?“ tanyanya dengan curiga.

“Laptopku dicuri kemarin, sedangkan handphoneku belum tau rimbanya Lid,“ kataku sambil mengetikkan
username dan password emailku.

Kuperiksa dan hanya email dari ade yang hilang. Mungkinkah?

Kubuka tab baru dan memasukkan username dan password cloud perusahaan. Dan seperti yang aku duga, semua fileku yang ada dicloud dihapus.

Hmmm…

Kuganti semua password email dan cloud, sekarang tinggal satu lagi. Kubuka tab baru dan memasukkan username dan password cloud pribadiku. Akhirnya, satu kabar baik untuk hari ini. Video Trojan.avi yang kusimpan dahulu masih ada. Segera kubuat satu duplikat dan membackupnya di tempat yang biasanya

Kubuka file trojan.avi yang dikirimkan ade, dan video adegan blowjob dari salah satu produk x-art terlihat dilayar.

Apa maksud semua ini? Apakah ini kesalahan attach file? Atau Ade mau bercanda? Ataukah ada sesuatu dibalik semua ini?

Trojan. Kuingat salah satu cerita kuno mengenai awal mula penamaan trojan house, kuda troya. Perang Troya

Spoiler for ”Perang Troya”:


Dan kemudian sebuah ide muncul dikepalaku. Mungkinkah itu yang dimaksud Ade? Kalau begitu, sedari awal Ade sudah yakin ada penyusup diperusahaan. Sedari awal dia sudah mempersiapkannya. Sedari awal dia sudah tahu ada bahaya yang mengintai.

Dan dia kehilangan nyawa karena menyampaikannya padaku.

“Mas!” sebuah panggilan mengejutkanku.

“Eh, iya Lid,” kataku sambil melihat sebuah mata yang sedikit khawatir.

“Lihat tas isi pakaian gak tadi?“ tanyanya dengan sedikit malu.

“Ouwh, lihat kok, tadi ibu bawa, mau di cuci dirumah katanya,” kataku.

Ingin kulihat bagaimana reaksi si-celana-dalam-putih mengetahui itu.

“Aduh mas, tas itu kan isi, kan isi...,” katanya tergagap.

“Apa Lid? “ tanyaku sambil mengawasi wajahnya yang sekali lagi bersemu merah.

Seperti saat pertama kali kami bertemu...Bedanya saat itu bersemu merah karena marah.

“Hmmm,,, isi, pakaian........,“ katanya pelan, tak bisa jelas kudengar.

“Pakaian apa si Lid?“ kataku pura-pura tak tahu.

“Pakaian dalam mas!” katanya sambil mengangkat dagunya yang runcing.

Seperti biasa. Inilah Lidya yang kukenal.

“Ouwh, itu, tak kira apa, yang warna putih itu ya?“ kataku sambil tersenyum.

“Mas!“ teriaknya, warna merah semakin kentara di mukanya.

“Gak apa kok Lid, biar sekalian dicuciin, tapi takut juga, ntar bisa ilang kalau pakai mesin cuci, habis, mini gitu,“ godaku lagi.

“Ihhhh, mas ini, masih sakit gini sukanya urusin daleman aja!“ katanya dengan wajah kesal.

“Berarti beneran warna putih dan mini ya Lid? Itu tadi suster masukin tas kelemari sana,“ kataku sambil
menunjuk kearah pojok.

“Mas!“ serunya dengan wajah marah. Dengan tangan terkepal, dia menuju kepojok dan menunduk mencari bungkusan pakaiannya.

Tidak terlihat garis celana dalam ketika dia menunduk, jangan-jangan?

“Lid, kamu gak pake cd ya?“ tanyaku ketika dia berbalik kearahku.

CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 5

Lidya POV.

Sejenak aku terdiam mendengar perkataan si-mata-keranjang. Namun kemudian rasa panas terasa diwajahku.

Darimana dia tahu?

Aku menoleh untuk memastikan celana pendek yang aku kenakan tidak robek atau semacamnya.

Celanaku baik-baik saja, tidak ada yang robek atau sebagainya.

Kupandang lagi si-mata-keranjang, dan senyum jahil terlihat diwajahnya.

“Mas!“ kataku dengan sedikit kesal.

“Jadi bener ya Lid?“ tanyanya dengan senyum yang terlihat begitu puas.

Orang seperti ini harus dilawan dengan cara yang sama, pikirku.

“Iya mas, memang mau ngapain kalau Lidya gak pake?” kataku sambil berusaha menampilkan senyum sebinal mungkin.

Kulihat pandangan terkejut dari si-mata-keranjang. Kemudian wajahnya terlihat memerah.

Rasain!

“Uhh, dingin ne mas!“ seruku kepada si-mata-keranjang, sambil menggeliat sesensual yang aku bisa. Dan kulihat si-mata-keranjang menelan ludahnya. Wajahnya memerah.

Emang enak! Kataku sambil tertawa dalam hati.

Kuambil bungkusan pakaian yang ada didalam lemari. Mungkin bisa kubawa kelaundry nanti, pikirku.

Sekarang Kamis, deadline demo proyek sebentar lagi berarti.

Kupandang si-mata-keranjang dan bertanya kepadanya.
“Mas, kalau untuk sementara, aku yang koordinasi teman-teman dibagian coding bagaimana?“ kataku dengan serius.

“Hmmmm, mungkin kita perlu cari programmer tambahan lagi Lid,“ katanya, juga dengan serius.

“Tapi kenapa mas? Kan aku juga bisa mengawasi mereka dicoding, dan akupun bisa dibidang transportasi!“ tukasku.

“Ego Lid, ego. Bagian coding semuanya pria, bagaiamana menurutmu jika mereka dipinpin wanita?“ jawabnya.

“Tapi aku kan termasuk leader disini, mereka pasti lebih bisa mengerti,” kataku berargumen.

Terlihat si-mata-keranjang berpikir sebentar. Wajahnya yang serius terlihat begitu berbeda dibanding dia yang sedang mesum. Seperti bumi dan langit, kenapa hanya dalam hitungan detik saja, si-mata-keranjang bisa terlihat seperti oran yang jauh berbeda?

“Kalau kamu bekerja disana, siapa yang akan menjagaku disini?“ katanya, dengan wajah memelas.

“Kan masih ada Mbak Anisa dan ibu, eh, kenapa harus aku yang menjaga mas?“ kataku sewot.

“Entahlah, tapi kakakku menuyuruhku bertanggungjawab entah atas hal apa dan mereka bilang aku juga sudah punya pacar, yang entah siapa, aku juga bingung jadinya?“ tanya sambil memasang wajah polos.

“Eh, mas, itu cuma kesalahpahaman saja,“ kataku sambil menunduk. Terlalu malu untuk melihat si-mata-keranjang.

“Kesalahpahaman apa?” tanya si-mata-keranjang dengan alis yang berkerut ketika aku berani memandang wajahnya.

“Itu…”

Dan akupun menceritakan kejadian tadi, saat aku dan Mbak Anisa, serta ibunya si-mata-keranjang berbincang-bincang…, saat aku dikira hamil oleh Mbak Anisa…

“Hahahahahahahaha…,” tawa si-mata-keranjang ketika aku selesai menceritakan kesalahpahaman kami.

Wajahnya terlihat begitu ceria. Begitu muda. Senyum jahil lagi terlihat diwajahnya.

Aku hanya bisa memasang wajah masam ketika melihat wajah ceria dari si-mata-keranjang.

“Hahaha, pantas saja si-nenek-sihir menyuruhku bertanggung jawab tadi, itu toh penyebabnya, hahaha,” kata si-mata-keranjang sambil terus tertawa.

“Mas!” seruku ketika melihat wajah si-mata-keranjang yang saat ini terus memandangku dengan mata dan mulut yang terus tersenyum.

“Iya sayang,” katanya sambil menatapku dengan jahil.

“Mas, aku serius!“ kataku dengan nada yang mulai marah.

“Aku juga serius, sayang,“ katanya, lagi, dengan mimik wajah yang membuatku gemas sekaligus kesal.

“Sayang-sayang lagi, PDKT aja belum udah mau sayang-sayangan, “jawabku asal.

“Berarti boleh PDKT nih?“ tanyanya, entah serius atau tidak.

Sejenak aku terdiam.

Kupandang wajah si-mata-keranjang yang saat ini juga tengah memandangku.

Pandangan kami bertemu, dan sulit aku lukiskan apa yang ada dimatanya. Suasana hening sejenak. Seolah kami sedang meresapi perasaan masing-masing.

Dan...

“Brrruuuuutttttttttt,” suara nyaring dari gas yang keluar dari dalam tubuh terdengar.

Kulihat wajah si-mata-keranjang dan terlihat wajahnya merah seperti kepiting rebus.

Dan….

“Hahahhahaa,” aku tertawa puas melihat si-mata-keranjang yang salah tingkah.


Galang POV.

Wajah Jajang semakin menunduk, ketika dia mulai menyadari kesalahan dan kelalaiannya.

“Kata bapak yang tadi, kalau malam ada tiga security, dimana teman anda saat kejadian itu?” tanyaku.

“Teman-teman masih keliling pak, biasanya kami memang berpencar, dalam waktu satu jam, yang mendapat tugas keliling, kembali ke pos sini, untuk digantikan berkeliling pak,” jawab Jajang dengan wajah yang terus menunduk.

Kulihat penyesalan diwajahnya.

Mungkin penyesalan yang sudah jauh terlambat. Pikirku.

“Bagaimana dengan rekan anda, apakah tidak melihat sesuatu yang mencurigakan?” tanyaku lebih lanjut.
“Kebetulan salah satunya memang melihat gerak-gerik yang mencurigakan di lantai 9 pak, cuma, ” kata Jajang dengan sedikit tertegun.

“Cuma apa?” tanya Herman dengan tak sabaran.

“Sekarang dia masih dirumah sakit pak, ” kata Jajang dengan lemah.

“Rumah sakit? Kenapa?“ tanyaku.

“Dia kena pukul pak, oleh orang yang terlihat mencurigakan di lantai 9,“ jawab Jajang.

“Bagaimana kondisinya? Apakah anda tahu?“ tanya Herman.

“Itu, saya kurang jelas pak,” kata Jajang.

“Her, coba cari tahu, dimana korban dirawat,“ pintaku pada Herman.

Semakin pelik. Kasus yang semula kelihatan sederhana ini semakin hari semakin pelik saja.

Apa motif dari semua ini?
Biasanya ada tersangka yang dengan mudah bisa kita gali. Tapi ini. Tersangka belum ada sama sekali.

“Oh ya, apakah anda melihat siapa yang mengemudikan mobil yang ditumpangi Angel?” tanyaku.

“Ehmm, tidak pak, saat itu gelap, dan saya, dan saya fokus pada Angel pak,“ jawabnya sambil menundukan wajah.

Jalan buntu.
Lagi.

Kenapa semua petunjuk yang ada tidak bisa kami telusuri. Kami berdua terdiam sampai Herman masuk kedalam ruangan dan berkata.

“Dirawat dirumah sakit yang sama seperti Andri, Lang,“ katanya singkat.

“Nanti kita cek kesana Her, sekarang kita lihat dulu TKPnya,” jawabku.

“Mas Jajang, bisa panggilkan bapak yang tadi ada disini?” pintaku kepada Jajang.

“Iya pak,” sahutnya pelan sambil berjalan keluar.

Kasihan.

Gara-gara kenikmatan sesaat, berujung panjang. Kupandangi sekeliling ruangan, sebuah ruangan security yang cukup komplit. Selain monitor pengawas untuk CCTV. Ada sofa, mungkin untuk istirahat security, ada dispenser dan lemari pakaian. Cukup nyaman. Dengan kaca riben, memang agak sulit bagi orang luar untuk melihat kedalam. Pantas Jajang bisa ‘main‘ dengan nyaman.

Tak berapa lama, bapak yang tadi masuk, tanpa diantar Jajang.

“Ada yang bisa saya bantu lagi pak?“ Tanyanya ramah.

“Bisa pinjam akses card liftnya pak? Kami mau ngecek ke TKP,” balasku.

“Ouwh, bisa pak,” katanya sambil berbalik dan mengambil sebuah akses card yang ada di laci, lalu memberikannya kepadaku. ”Ini pak, ini akses card security, jadi bisa langsung digunakan untuk membuka pintu ruangan TKP” katanya.

“Terimakasih atas kerjasamanya pak,” kataku sambil berbalik menuju kearah gedung Apartemen Chapista.

Kami naik lift menuju ruangan 903. Kamar Andri. Dalam hal ini, korban.

Garis polisi masih ada di pintu ruangan korban, kubuka pintu menggunakan akses card yang diberikan security tadi.

Pintu terbuka dan sebuah ruangan yang elegan menyambut kami.
Dengan warna putih yang mendominasi, diselingi warna biru. Apartemen ini berkesan tenang dan nyaman. Diruang tamu ada meja dan kursi, sebuah sofa, lemari dan satu set televisi beserta play station dan audio. Aku melangkah melewati ruang tamu, kearah kamar tidur yang terasa begitu lega. Seperti ruang tamu, kamar tidur dihiasi ranjang berukuran kingsize. Disisi ranjang, ada meja berisi buku dan perlengkapan menulis, disisi yang lainnya, ada sebuah meja kecil, yang terlihat kosong.

Mungkin disana tempat laptop dari Andri.

Warna biru dan putih mendominasi ruangan, ruang tidur ini berdampingan dengan kamar mandi. Disebelah timur, terdapat kaca jendela yang menghadap ke pos satpam yang tadi. Tirai masih tertutup, namun sinar matahari terlihat melejit dari sela-sela tirai yang tersingkap.

“Her, darimana kau tahu yang hilang hanya sebuah laptop saja?“ tanyaku kepada Herman, melihat ruangan yang begini luas.

“Ada petugas cleaning service yang biasanya bertugas disini bilang kepada anak buahku,“ jawab Herman sambil melihat-lihat sekeliling ruangan.”Andri katanya selalu menaruh laptop disini, ”jelas Herman.

Hmmmm, selalu? Kenapa dia tidak bawa laptop saat kerja.

“Aneh,“ gumamku tak sadar.

“Apa yang aneh Lang?“ tanya Herman.

“Kenapa dia tidak membawa laptop saat kerja?“ sanggahku.

“Mungkin dia punya beberapa laptop,“jawab Herman.

Hmmmm, mungkin saja. Pikirku.

Kami melangkah kekamar mandi. Tidak ada sesuatu yang menonjol disana, hanya bathub dan shower yang terbuat dari kaca, cukup mewah. Selanjutnya kami menuju kedapur. Disana ada sebuah tangga melingkar yang menuju kebawah. Aku dan Herman saling pandang. Seperti sudah sepakat, kami melangkah menuju kebawah.

Dan wow....

Buku-buku dengan rapi ada diruangan ini, disusun dalam beberapa lemari besar,yang membentuk persegi dengan ruangan yang cukup besar ditengahnya. Sementara itu, dipojok lain, ada sebuah komputer yang lengkap dengan peralatan games dan didinding, berderet dengan rapi puluhan atau mungkin ratusan atau mungkin juga ribuan DVD film.

“Ada kolektor film rupanya?” kata Herman sambil melihat satu persatu DVD yang ada didinding.
“Semuanya asli Lang!“ seru Herman, sedikit terdengar nada kagum dalam suaranya.

“Uhuh...,” kataku, lebih tertarik dengan buku-buku yang ada dilemari. Segala jenis buku ada disini, namun sebagian besar didominasi buku bergenre detektif, komputer dan seks!

Sedikit heran aku dengan koleksi CEO G-Team ini. Orang seperti apakah sebenarnya dia? Kuteringat sesuatu dan menuju meja komputer yang ada disudut ruangan. Kucoba menyalakan dan terdapat pesan kalau tidak ada drive yang terpasang.

“Tidak hanya laptop yang hilang,” kataku kepada Herman.

“Maksudmu apa Lang?” Tanya Herman dengan penasaran.

Kutunjukan kepadanya pesan tidak ada drive yang terpasang dikomputernya.

“Artinya apa Lang?” tanya Herman dengan bingung.

“Artinya, ada orang atau orang-orang yang ingin menghilangkan apapun yang ada di laptop dan atau komputer kepunyaan Andri,” sahutku.

Hmmm, apa yang mereka mau?

“Rasanya sudah cukup Her, mari kita kerumah sakit sekarang,“ kataku sambil melangkah menaiki tangga. Kulihat lagi koleksi buku yang banyak dari Andri, ketika aku melihatnya.

Sebuah benda yang terletak diatas salah satu lemari. Benda yang menghadap kearah meja komputer.

Andri POV.

Aduhhhhhh,,,, ne gas keluar disaat yang tidak tepat. Pikirku.

Kulihat si-celana-dalam-putih tertawa dengan bebasnya.

Dan sejenak dia terlihat begitu berbeda. Dia yang biasanya seperti menjaga jarak, dia yang punya beban berat dipundaknya, dia yang marah karena kelakuanku. Sekarang terlihat begitu bebas, begitu lepas.

Sisi lain yang baru kutemui sekarang.
Sisi lain yang ingin kutemui lebih sering dan lebih lama lagi.

“Lid, ambilin minum dong, haus neh, ”kataku sambil memasang wajah memelas.

“Oh iya, sudah boleh minum ya mas?” katanya menggodaku.

Sejak kapan dia mulai bisa menggodaku?

“Ciuman aja udah boleh, apalagi yang lain,” kataku dengan wajah yang kucoba buat menjadi tanpa ekspresi.

“Huftttt,dasar mesum,” katanya sambil melangkah keluar.

“Lidya beli minum dulu ya mas, sekalian cemilan,” katanya sambil melangkah keluar dalam balutan celana pendek tanpa daleman itu!.

Kuperhatikan si-celana-dalam-putih sampai menghilang dari pandangan.
Sekarang saatnya.

Kuambil handphone yang tadi dibelikan Frans dan mulai memanggil nomer handphone lamaku. Seperti kecurigaanku.
Nomer yang anda hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan, cobalah menghubungi beberapa menit lagi...
Hanya itu yang kudengar. Kuambil laptop yang tadi kuletakkan. Kubuka file Trojan.avi yang dikirimkan Ade. Kalau dugaanku tepat. Ini adalah steganografi. Tapi apa dan bagaimana?

Spoiler for ”Pengertian Steganografi”:


Hanya ada video seorang gadis yang sedang memblowjob seorang pria, video biasa. Berdurasi 3 menit 33 detik dan berasal dari X-Art. Namun sizenyanya mencapai 50 mb. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan didalamnya.

Tunggu, X-Art!

Kenapa aku begitu bodoh. Tapi apakah begitu sederhana? Dengan modem yang masih terhubung kelaptop. Aku mencoba mencari beberapa tool untuk mengekstrak video ini dengan kata kunci tools, X.

Ada beberapa pilihan, aku mencoba yang pertama. Dan dengan mudah aku bisa mengekstrak sebuah file .rar dari dalam video ini.

Oke, satu masalah sudah selesai, sekarang tinggal membuka file ini, dan...

“Mas, mau minum sekarang?” kata si-celana-dalam putih yang baru datang dengan sebotol air mineral dan beberapa buah cemilan.

“Boleh Lid, ”kataku sambil menyembunyikan file yang kutemukan dilaptop.

“Aduh mas, baru saja baikan sudah pakai laptop lagi,” katanya sambil merebut laptop dari tanganku.

“Mas! Kenapa si cowok gak bosan-bosannya lihat film beginian?” katanya dengan nada marah.

Waduh!!! Aku lupa menutup file video yang dikirimkan Ade. Mati aku!

“Eh, itu bukan film, eh, itu bukan film seperti yang kamu kira,” kataku sedikit gugup.

“Lalu apa mas? Aku sudah cukup besar untuk tahu film apaan yang mas tonton ini, ” katanya dengan mata yang masih marah. Wajahnya, lagi, kelihatan begitu menantang kalau lagi marah.

“Iya Lid, bahkan sudah cukup besar untuk ngelakuin itu,” gumamku.

“Apa mas?” tanyanya sambil mendekat dan menghendaki aku untuk mengulang apa yang kukatakan tadi.

“Eh, gak ada kok, eh, mana minumannya?” kataku mengalihkan perhatin.

“Gak boleh minum, siapa suruh nonton gituan,” katanya dengan marah.

“Yah Lid, apa salahnya nonton gituan?” kataku bingung.

“Salahnya gak ngajak-ngajak aku?” katanya sambil tersenyum.

Gubraakkkkkk.....

Dengan wajah bengong aku memperhatikan si-celana-dalam-putih. Apa aku tidak salah dengar? Dan kenapa si-celana-dalam-putih bisa akrab begini denganku. Bukan, bukannya aku tidak suka, namun hanya terasa begitu cepat dan aneh.

“Ini minumnya mas, ” katanya dengan lembut. Dengan cekatan dia menyerahkan sebotol air mineral yang sudah diisi sedotan.

Kuminum air yang diberikannya, tidak berani terlalu banyak. Aku pandang lagi si-celana-dalam-putih. Sekarang dia mengambil sapu tangan dari celananya dan menyeka keringatku.

Tunggu. Ada yang salah.

“Mas, nanti boleh aku yang mimpin bagian codingnya ya?” katanya sambil tersenyum manis.

Alamak ini rupanya penyebabnya.

“Eh, iya deh,” kataku. Sudah kalah dari awal.

Dengan senyum dikulum, si-celana-dalam-putih menyeka lagi keringat yang ada di wajahku. Wajahnya begitu dekat, senyumnya begitu menggoda.

Aku tak tahan lagi.

Kuraih wajahnya mendekat dengan tangan kananku, kurasakan sedikit penolakan. Kutambah lagi tekanan dikepalanya, sekarang, bibir kami hanya berjarak satu dua centimeter.
Dekat, semakin dekat.

Kau ikat diriku Dengan indahmu
Yang berharga bagi Kita semua
Ini indahmu Tak jauh hilang
Terkubur dalamnya lara
Dalam luka dalam duka


Aku bukan malaikatmu
Yang akan selalu ada
Disampingmu sepanjang waktu
Ingin bebas
“Eh, sebentar mas,” kata si-celana-dalam-putih.
Wajahnya berubah serius ketika nada dering lagu malaikatmu itu terdengar nyaring dari handphonenya.

Dia melangkah ke pojok ruangan lalu mengangkat teleponnya.

Samar-samar bisa kudengar percakapannya.

“Kenapa Shin?, ... tidak ketemu?,...sindikat..., ....Sherly...,sekarang? Kesini?”

Hanya itu beberapa potongan kata yang bisa kudengar. Wajah si-celana-dalam-putih berubah menjadi pucat, marah, sedih dan entah perasaan apa. Kulihat dia menutup panggilan dan menarik nafas panjang. Apapun yang didengarnya itu, pasti sangat penting baginya. Dia mendekat, dengan wajah yang sulit kutebak.

“Mas, nanti ada anggotaku lagi satu mau kesini ya?” katanya dengan lembut.

“Kenapa Lid? Kalau ada masalah, ceritakan saja, jangan dipendam,” kataku.

Iya, ceritakan, jangan sepertiku, yang selalu memendamnya.

“Aku baik-baik saja mas, i’m fine,”katanya dengan pandangan menatap keluar dari jendela.

No, you’re not.

“Siapa Sherly?” kataku, tak bisa menahan rasa penasaranku. Kulihat tubuhnya tersentak ketika aku menyebut nama itu.

“Bukan siapa-siapa mas,” jawabnya sambil melangkah mendekatiku dan duduk dikursi yang ada disamping ranjang. Tangannya sekarang lagi menyeka dahiku yang memang sedikit berkeringat. Kulihat matanya sedikit merah, menahan gejolak dihatinya.

Sialan.

Kutarik wajahnya mendekat, dan bibir itu, bibir yang terlalu lama menggodaku akhirnya menempel dibibirku.

Hangat, basah.

Bisa kurasakan si-celana-dalam-putih menegang ketika bibirnya bersentuhan dengan bibirku. Namun dengan lenguhan pelan dari bibirnya, perlahan kurasakan tubuhnya melembut. Bibir itu terasa begitu lembut. Begitu menggoda. Tanganku yang semula dikepalanya, perlahan kulingkarkan di pundaknya, menariknya mendekat.

Namun tiba-tiba dia menarik kepalanya menjauh.

Raut bingung, marah, dan entah ekpresi apalagi menghiasi wajahnya, wajah yang sekarang bersemu merah. Kulihat matanya memancarkan gejolak dihatinya.

“Mas,” katanya lirih sebelum wajahnya mendekat.

Sekarang giliranku yang terkejut dengan ciumannya yang begitu tiba-tiba. Bisa kurasakan dia mencoba menyalurkan semua perasaannya dalam ciuman ini.

Bibirnya yang tadi begitu lembut, sekarang menuntut, menagih.

Kuimbangi ciumannya yang ganas, lidahku menyeruak masuk kedalam bibirnya yang terbuka. Lidahnya menyambut dengan sama menununtutnya, saling belit, saling meminta. Bisa kurasakan semua perasaanya saat ini ingin dituangkannya dalam ciuman yang panjang dan basah ini.

“Uhhhh, mas,” lenguhnya lembut.

Satu lenguhan yang cukup membuat aliran darahku meningkat dan detak jantungku semakin cepat. Tak bisa kutahan lagi tanganku yang semula melingkar dipundaknya, turun kebalik baju yang dikenakannya dan menyeruak keatas, menuju payudara yang mengintip dari sela-sela pakaiannya yang terbuka. Kulit perutnya terasa begitu lembut, begitu halus. Dan sedikit lagi...

Kriiieeekkkk, suara pintu terbuka dan.

“Siaang, su..dah ma..kan,” suara si-nenek-lampir mengagetkan kami.

“Eh, harusnya aku ngetuk pintu dulu ya?” katanya tanpa merasa bersalah.

...
“Mbak, bagaimana sekarang?” tanya seorang gadis kepada rekannya yang lebih tua.

“Kita lihat saja dulu, belum ada intruksi lebih lanjut dari dia,” jawab rekannya.

“Tapi polisi sudah sempat kemari, apa tidak berbahaya tetap melakukan kegiatan mbak?” tanya sigadis dengan wajah yang takut.

“Tidak apa-apa, justru kalau kita berhenti, mereka akan curiga” jawab gadis yang lebih tua.

“Kalau begitu, kasi aku melakukan yang mbak lakukan,” pinta gadis yang lebih muda.

“Kamu baru mulai, masih perlu waktu,” jawab yang lebih tua dengan sabar.

“Bagaimana dengan handphonenya?” tanya seorang lelaki ditelepon.

“Sudah diurus,” kata siwanita singkat.

“Laptop dan komputernya?”

“Sudah juga,” kata siwanita dengan tak sabar.

“Bagus, untuk sekarang, kembali ketempatmu seperti biasa, tunggu panggilan nanti,” suara ditelepon itu
terputus. Dan siwanitapun melangkah kepintu.

“Eh, bagaimana denganku?” tanya seorang lelaki yang bersama siwanita tadi.

“Terserah, aku mau pulang dulu, mandi,” kata siwanita sambil beranjak pergi.

“Aduh, kentang lagi,” gerutu silelaki.
..
 CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 6


Lidya POV

Dengan wajah yang memanas, kupaksakan diriku berbalik.

Dan di pintu, Mbak Anisa terlihat tersenyum simpul melihat keadaan kami. Aku hanya bisa tersenyum malu melihatnya.

“Nenek lampir, disekolah gak pernah diajarin ngetok pintu?“ kata Mas Andri dengan raut wajah yang sukar dibaca.

“Siapa yang tahu kalau masih sakit gitu udah bisa ciuman?” kata Mbak Anisa yang membuat pipiku terasa semakin panas.”Eh, bukan maksudnya gak boleh sih, seru juga ya kalau ciuman saat gini?” lanjut Mbak Anisa sambil melihat kearahku.

Aduh, rasanya aku mengerti, darimana si-mata-keranjang punya bakat berbicaranya. Pikirku mendengar rentetan kata-kata Mbak Anisa.

“Dimana ibu mbak?” tanyaku mengalihkan perhatian dari perihal ciuman ini.

“Ibu masih istrahat, mungkin nanti malam mau jenguk anaknya yang nakal ini,” kata Mbak Anisa sambil melirik si-mata-keranjang.

Kulihat si-mata-keranjang melotot kearah kakaknya. Keluarga yang akur dan bahagia, pikirku.
Dan aku merasa sedikit sedih melihatnya.

Berbanding terbalik dengan keadaan keluargaku. Sherly, kalau dia ada disini, pasti akan jadi lawan yang tangguh buat Mbak Anisa untuk berdebat. Pikirku sambil tersenyum.

Kulihat Mbak Anisa membawa sebuah kantong kertas, yang, kalau melihat dari labelnya, dari toko pakaian.

Mbak Anisa mendekat kearahku dan berbisik.

“Lid, mbak bawain pakaian, ehmmm, sekalian dalemannya juga, kamu gak pake daleman kan?“ bisik Mbak Anisa yang sukses membuatku malu bukan kepalang.

Darimana Mbak Anisa tahu?

Rasanya kakak adik kompak urusan beginian.

“Eh, iya mbak, tapi ..mbak,“ kataku mencoba mengelak dari tawaran Mbak Anisa.

“Gak apa-apa kok, tadi mumpung mampir di butik, ini Lid, pakai dulu sana, biar Si Andri gak ngiler ngeliatin badan kamu terus,hihihi,“ tawa Mbak Anisa sambil menyerahkan kantong pakaian yang dibawanya. “Eh, kalau lagi hamil. Gak boleh pakai pakaian yang ketat kayak jeans ya,” lanjutnya sambil mengedipkan matanya.

Dengan sedikit enggan aku menerimanya, kulihat Mbak Anisa, senyum pengertian terlihat diwajahnya.

Dengan tersenyum malu aku masuk kedalam kamar mandi dan melihat isi kantong yang dibawakan Mbak Anisa.

Oh tidakkk...

Sebuah g-string hitam mini, sebuah push up bra, legging hitam serta kaos warna putih.

Semuanya serba mini dan ukurannya lebih kecil dari ukuran yang biasanya aku pakai. Dengan wajah yang memanas kalau membayangkan lekuk tubuhku yang mungkin terlihat dari pakaian ini,

Dengan ragu aku membuka jaket, baju dan celana yang aku pakai. Kuambil g-string mini yang ada didalam kantong dan dengan ragu memakainya. Sangat mini, mungkin kalau rambut kemaluanku tidak kucukur bersih, pasti banyak yang akan mengintip keluar.

Kuamati sebentar tubuhku di cermin yang ada.

Hmmm, lumayan juga. Biasanya aku hanya memakai yang berwarna putih, sekarang melihat pangkal pahaku dibalut warna hitam, terasa sedikit aneh. Kuambil bra yang ada di dalam tas dan kulihat ukurannya.

Hmmmm, pas.

Namun dengan model push up seperti ini payudaraku sedikit terangkat keatas dan terlihat lebih besar serta menonjol daripada ukuran aslinya. Bukannya lebih santai, rasanya si-mata-keranjang akan lebih sering melotot kalau seperti ini.

Kuambil legging yang dibawakan Mbak Anisa dan mulai mengenakannya.

Dan seperti dugaanku, pantatku terlihat menonjol dibalut legging ketat yang satu ukuran lebih kecil daripada legging yang aku pakai. Terakhir, aku kenakan kaos putih yang ada di dalam tas. Dan sekali lagi, ukurannya lebih kecil dari nomer yang biasa aku pakai.

Huffft, walaupun ketat, namun dengan ukuran payudara seperti ini, tidak akan bisa mengalahkan si-sekretaris-seksi di kantor si-mata-keranjang.

Eh? Tapi kenapa aku malah memikirkan sekretaris si-mata-keranjang.

Ah, sudahlah.

Kumasukkan jaket, celana dan bajuku kedalam kantong bekas pakaian yang melekat di badanku.
Dengan pelan, kubuka sedikit pintu kamar mandi, namun kudengar si-mata-keranjang sedang berbicara dengan Mbak Anisa.

Keluar.

Tidak.

Keluar.

Tidak.

Keluar.

Dan baru akan kubuka lebih lebar pintunya ketika aku dengar namaku disebut. Kutarik lagi pintu kamar mandi, dan kudengarkan pembicaraan si-mata-keranjang dengan Mbak Anisa.

“Kapan kau mau menikahi Lidya Ndri?” tanya Mbak Anisa, dan untuk pertama kalinya aku mendengar nada yang begitu serius dalam suaranya.

“Kapan-kapan saja,” sahut si-mata-keranjang dan kudengar nada geli dalam suaranya.

“Jadi lelaki kau harus bertanggungjawab, bukan seperti itu kalau membahas pernikahan Ndrii,” seru Mbak Anisa dengan nada yang mulai meninggi.

“Bertanggungjawab gimana? Kami belum...”

“Ya bertanggungjawab, nikahi Lidya, segera! Jangan mau enaknya saja kalau jadi cowok!” kata Mbak Anisa, dengan nada suara yang semakin tinggi.

“Enak apaan? Belum dapat enaknya nih, aduuuhhhhhhhh!” seru si-mata-keranjang. Kutebak Mbak Anisa melakukan sesuatu yang membuat si-mata-keranjang mengaduh kesakitan.

“Apaan si mbak? Tanya aja si-ce, eh, Lidya, ” sungut si-mata-keranjang.

Hmmmm, mungkin sekarang saatnya aku meluruskan semua kesalahpahaman ini, sebelum terlalu jauh. Kutarik nafas dalam dan keluar dari pintu kamar mandi.

“Nah, ini Lidya, ayo Lid, masa Andri gak mau nikahin kamu nih,” cerocos Mbak Anisa. Mbak Anisa berdiri tepat diantara aku dan si-mata-keranjang sehingga aku tidak bisa melihat ekspresi si-mata-keranjang saat ini.

“Bener kan Lid, kita belum.....,”kata si-mata-keranjang, sejenak terputus ketika melihatku. Iya, Mbak Anisa bergeser sehingga aku bisa melihat ekspresi si-mata-keranjang.”Pacaran,” sambung si-mata-keranjang.

“Iya Mbak, kami belum paca, eh, pacaran???” kataku, setelah menyadari ucapan yang dikeluarkan si-mata-keranjang.

“Mas! Jelasin ke Mbak Anisa!” kataku dengan nada yang tinggi.

Namun tunggu! Si-mata-keranjang sekarang terlihat seperti orang linglung.

Dasar mesum!

“Ni anak, matanya gak bisa gak melotot lihat cewek cakep” kata Mbak Anisa sambil menggelengkan kepalanya.

“Eh, iya, kami belum sempat macem-macem, suer!” kata si-mata-keranjang sambil mengangkat jarinya seperti membentuk huruf V.

“Cuma satu macem kan??? Dan satu macem itu buat Lidya hamil!!” cerocos Mbak Anisa.

Aduh, gimana jelasinnya kalau seperti ini?

Kulihat si-mata-keranjang yang kebetulan memandangku juga. Terlihat dia mengangkat bahu dan mengedipkan matanya.

Ni orang! Bukannya membantu menyelesaikan kesalahpahaman ini, malah bersikap santai seperti itu!

“Mbak, kami gak pacaran dan...,”

“Dan tidak saling cinta? Tidak masalah, seiring waktu, pasti bisa kok, nanti kalau sudah menikah pasti bisa lebih dekat dan cinta itu akan datang dengan sendirinya, percaya deh sama mbak,” kata Mbak Anisa memotong pembicaraanku.

“Eh, ngomong-ngomong, kamu semakin cantik dan bulet pakai baju gini, bener gak Ndri?” tanya Mbak Anisa kearah si-mata-keranjang.

“Iya, apalagi kalau lagi gak pake baju,” kata Mas Andri dengan santai.

Aduuuuhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh...


Galang POV

“Rasanya sudah cukup Her, mari kita kerumah sakit sekarang,“ kataku sambil melangkah menaiki tangga. Kulihat lagi koleksi buku yang banyak dari Andri, ketika aku melihatnya!.

Sebuah benda yang terletak diatas salah satu lemari. Benda yang menghadap kearah meja komputer.

“Tunggu Her,” kataku kepada Herman.

Aku menuruni tangga dan mencoba melihat keatas lemari. Sangat sulit untuk melihat benda itu dari sini. Kuambil kursi yang ada didepan meja komputer dan naik keatasnya. Aku lihat sebuah kotak hitam namun berisi seperti sebuah kamera dipasang diatas lemari. Dan dari posisinya, sepertinya mengawasi meja komputer.

“Apa yang kau cari Lang?” tanya Herman dibelakangku.

“Petunjuk,“ kataku singkat sambil mengawasi benda yang ada diatas lemari, letaknya cukup tersembunyi, tadi hanya sekilas aku melihat lampu indikatornya yang berkedip. Kalau tidak, mungkin aku juga melewatkannya. Kuperhatikan lebih dekat benda yang aku yakin sebuah portabel CCTV, seperti yang terpasang didalam mobil.

Kuambil dengan perlahan benda itu dari tempatnya lalu kutunjukan pada Herman.

“Ini Her,“ kataku singkat.

“Apa ini Lang?“ tanya Herman sambil mengambil benda yang kubawa.

“CCTV Her, dan rasanya kita akan mendapatkan sebuah petunjuk dari benda ini,“ kataku.

“Tapi dimana tempat penyimpanan datanya?“ kata Herman sambil mencari kesekeliling.

“Itu kemungkinan seperti kamera yang ada di mobil, jadi tidak perlu kabel Her, sekarang mari kita cari Bram dulu, mungkin dia bisa membaca alat ini,” kataku sambil melangkah keluar. Herman mengikutiku dalam diam.

Kami menuju lift dalam diam, sesampainya di pos satpam, aku kembalikan akses card security yang kami pinjam.

“Jadi ke Bram?” tanya Herman.

“Ayo, ” kataku sambil menuju mobil kami terparkir.

Didalam mobil, seperti biasa Herman yang mengemudi, sedangkan aku lebih suka sebagai penumpang saja. Jalanan di Jakarta, selalu macet di jam seperti ini. Udara panas sudah mulai menyengat, padahal hari belum terlalu siang. Kendaran dari berbagai macam jenis dan tipe terlihat saling mencari celah untuk mendahului.

“Habis kasus ini, aku ingin cuti, capek ngurusin kasus yang gak jelas kayak gini,“ kata Herman sambil mengemudi.

“Hahaha, bilang saja, tubuh tuamu itu dak kuat lagi seperti dulu,“ ejekku ringan.

“Mending aku, daripada kau, sudah umur segitu, pacar saja kagak punya, kerjaanmu hanya nyari wanita penghibur saja, kalau yang lain tau, habislah dirimu, ckckckc,“ kata Herman sambil menggelengkan kepalanya.

“Lang, ingat umur, cari pacar kek, abis itu nikah,“ lanjut Herman lagi.

“Ah, siapa juga yang mau sama aku Her,“ kataku sambil tersenyum.

“Nyari aja gak pernah, gimana mau ada yang dapet? Memang kau kira pacar bisa jatuh dari langit?Hahaha,“ kata Herman sambil tertawa.

“Nanti saja Her,“ kataku singkat.

Hufffttttt... percakapan yang selalu sama dari waktu kewaktu.
Herman, Herman, selalu bersemangat mencarikan pacar untukku, padahal...

Andai kau tau alasan semua ini...

Ahhh sudahlah, lebih baik memikirkan kasus yang semakin rumit ini. Motif. Itu yang belum aku ketemukan, seandainya ada motif yang bisa kami gali.

“Lang, kau pikir siapa yang paling mungkin menjadi pelaku dari semua ini?“ tanya Herman memecah lamunanku.

Kugelengkan kepalaku.“Belum tau Her, masih gelap, menurutmu?“ Aku balik bertanya.

“Antara Frans dan Edy, hanya mereka berdua yang mempunyai motif, “ kata Herman.

“Darimana kau tahu Her?“ tanya sambil tersenyum geli.

“Motif lama, iri hati atau balas dendam, kalau tidak, dari tiga macam hal yang menghancurkan kaum kita, tahta, harta dan wanita,“ kata Herman panjang lebar.

Aku berpikir sejenak mendengar apa yang dikatan Herman.

Tahta, harta dan wanita.

Tiga hal yang selalu membuat lelaki terjatuh.

Kadang oleh satu diantara ketiga itu, namun juga bisa oleh ketiganya.

“Hmmm, apa menurutmu kita harus melakukan background check kepada mereka?“ tanyaku pada Herman.

“Sudah kulakukan, tinggal nunggu hasilnya saja sekarang,” kata Herman sambil tersenyum.


Andri POV.

“Ndriii,”

“Andriii,”

“Andriiii!!!, bangun!!!”

Uhhhhh,, masih ngantuk.

Dasar nenek lampir.

“Andri, kalau tidak mau bangun juga, mbak siram pake kecap!“ kembali suara si-nenek-lampir terdengar dengan nada yang semakin tinggi.

Kecap??? Alamak! Bisa-bisa kayak bakso jadinya. Pikirku, mengenang beberapa kejadian memalukan dimasa lalu, dimana si-nenek-lampir membuktikan ucapannya, tanpa peduli dimana dan dengan siapa aku berada.

“Iya, iya, sudah bangun ni,“ kataku sambil mengucek mataku yang masih mengantuk dengan tanganku yang tak berisi infus.

“Ini,Edy jenguk, bangun!“ teriak si-nenek-lampir.

Kalau saja bukan kakakku, dah tak jitak ne anak, pikirku,

“Kenapa bengong? Ngayalin mau ngerjain mbak ya?” kata si-nenek-lampir dengan nada yang semakin tinggi.

Aduuuhhhh, punya indra keenamkah ini orang?

“Ye, siapa juga? Ngantuk tau,“ kataku sambil melihat kebelakang si-nenek-lampir.

Disana berdiri Edy dan Erlina. Erlina terlihat membawa parcel yang cukup besar.

“Hai Ndri, gimana?“ tanya Edy. Singkat seperti biasa.

“Lumayanlah, gimana proyek kita?” tanyaku.

“Aku dari kemarin rapat dengan Pak Tony, beliau minta beberapa perubahan, yang kurasa sedikit sulit,” kata Edy dengan pelan.

“Perubahan apa Dy?” tanyaku. Dengan keadaan kami yang seperti ini, dengan keadaanku yang seperti ini, membuat perubahan detail pada proyek, bukan hal yang mudah.

Sama sekali tidak mudah.

“Masalah waktu, Pak Tony minta waktunya dimajukan, jadi hari Rabu minggu depan kita sudah demo, bukan hari senin dua minggu lagi,” kata Edy.

“Terus?” tanyaku.

“Mereka minta kalau design nya berbasis web dan mempunyai responsive design,” terang Edy.

“Hmmm, demo dimajukan dan responsive design, hal yang lumayan sulit, terus bagaimana dengan feenya? Kau sempat nego?” tanyaku.

“Sudah kuatur,” kata Edy sambil tersenyum.

Seperti biasa, selalu bisa diandalkan. Punya teman dan partner seperti Edy dan Frans, rasanya pekerjaan akan lebih cepat selesai.

”Baguslah, kalau begitu, aku kerja dari sini, kau dan Frans awasi pengerjaannya di kantor, hmmm, Lina, tolong nanti kabari kalau ada hal-hal yang kurang jelas, atau teman-teman perlukan di kantor ya?” pintaku pada Edy dan Erlina.

“Tenang aja Ndrii, jangan dipaksa, nanti aku dan Lina kabarin kalau ada perkembangan lagi, oh ia, ini ada titipan dari teman-teman di G-Team,” kata Edy sambil memberi isyarat kepada Erlina untuk memberikan parcel yang dibawanya.

“Ini pak, cepat sembuh ya pak,” sapa Erlina sambil tersenyum.

“Maaf baru bisa jenguk sekarang ya, dari kemarin handphoneku mati, tadi baru ketemu Frans dan dia kasi tau keadaanmu.Kami balik kekantor dulu, cepet sembuh Ndrii, Mbak, kami balik dulu,” kata Edy sambil menuju pintu.

“Loh?! Kok cepet? Gak minum dulu? Cuma ada air putih saja sih,” kata si-nenek-lampir blak-blakan.

Ne anak memang perlu kursus liat situasi, kondisi dan toleransi. Kalau disingkat jadi...

“Hahaha, kapan-kapan saja mbak, mari mbak,” sahut Edy dari pintu.

“Lidya kemana mbak?” tanyaku kepada si-nenek-lampir ketika Edy sudah tidak kelihatan.

“Masih nyari obat keapotek .Ndriii, mbak tidak tahu apa yang terjadi diantara kalian, tapi mbak ingin, kamu segera menikahi Lidya, dia anak yang baik, dan ibu, sudah gatal ingin punya cucu,” kata si-nenek-lampir dengan pelan.

Baru kali ini kudengar nada suara si-nenek-lampir bisa serendah ini dan wajahnya murung. Terlihat rona penyesalan diwajahnya. Dan kusadar, itu karena dari perkawinannya, dia belum punya momongan. Bisa kulihat matanya terlihat sedikit memerah, menahan air mata yang hendak tumpah.

“Ndri, apa kau tidak mau menikah dengan Lidya gara-gara wanita yang dulu?” tanya si-nenek-lampir sambil menatapku dalam-dalam.

“Bukan mbak,” kataku dengan tenang. “Itu sudah masa lalu, biarlah itu menjadi kenangan saja,” lanjutku.

Mau tak mau pikiranku menerawang kemasa itu, masa dimana aku dan Frans masih duduk di bangku kuliah. Masih mengikuti darah muda yang bergejolak, masih mengutamakan emosi daripada logika. Masa dimana seorang wanita membuat hidupku lebih berwarna.

“Bagaimana dengan proyek kalian? Belum berhasil juga?” tanyaku. Proyek yang kumaksud, proyek membuat momongan si-nenek-lampir.

“Sampai saat ini belum ada hasilnya, mbak sudah periksa, dari mbak tidak ada masalah, tapi kakak iparmu itu, tidak mau ngecek keadaannya, dan dia terus terang kepada mbak, belum ingin punya momongan dulu, ingin mengejar karir dulu katanya,” jawab si-nenek-lampir dengan senyum hampa diwajahnya.

“Eh, mungkin kurang keras itu usahanya, hahaha” kataku sambil tertawa.

“Dasar, kau ini!” kata si-nenek-lampir sambil mengucek rambutku.

“Harusnya tiga kali sehari mbak, bukan tiga hari sekali, hahaha” kataku meledek si-nenek-lampir.

“Apanya yang tiga kali sehari?” tanya seseorang dari pintu yang terbuka.

Si-celana-dalam-putih!

By the way, mungkin didepan pintu harus diisi tulisan, ‘ketuk pintu sebelum masuk!’, pikirku.

“Proyeknya Lid,” kataku yang disusul dengan sebuah cubitan dari si-nenek-lampir.

“Proyek apa mbak?” tanya si-celana-dalam-putih dengan ekspresi bingung.

“Proyek buat, aduuhh!” seruku ketika dengan sukses si-nenek-lampir menjitak kepalaku.

“Jangan didengerin Lid, dia lagi kumat nih,” kata si-nenek-lampir sambil menunjuk kearahku. “Gimana, obatnya dapet?” tanya si-nenek-lampir.

“Dapet kok mbak, ” kata si-celana-dalam-putih sambil menunjuk tas plastik yang kuduga berisi obat. Kulihat raut wajahnya sedikit lelah, keringat terlihat menempel didahinya. Wajahnya bersemu merah, terlihat segar dan merangsang.

Merangsang.

Dengan kaos ketat yang dibelikan si-nenek-lampir, legging hitam ketat yang membungkus dengan indah pantat bulatnya. Pemandangan yang dihasilkan keduanya cukup membuatku terpana. Punya bakat jadi tukang beli pakaian juga si-nenek-lampir.

“Wah, ampe keringetan gitu, istrahat dulu Lid, gak baik buat bayinya kalau ibunya kecapean, Andri, jaga calon istrimu baik-baik, mbak ada urusan bentar, nanti mbak balik sambil bawa makan siang untuk Lidya,” kata si-nenek-lampir sambil beranjak menuju pintu.

“Oh iya, kalau mau gituan, katanya gak baik juga terlalu sering kalau lagi hamil muda, hihihi” kata si-nenek-lampir sambil tertawa dan menutup pintu.

Kulihat si-celana-dalam-putih tersenyum kikuk mendengar perkataan si-nenek-lampir. Pandangan mata si-celana-dalam putih sekarang terlihat mengarah padaku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, terlihat wajahnya sedikit sayu.

“Lid, kalau capek, istirahat saja dulu,” kataku melihat wajahnya yang sedikit sayu.

“Gak apa-apa kok mas,” sahutnya.

Gak apa-apa? Namun terlihat dari wajahnya dia seperti mempunyai banyak pikiran. Lid, apa yang kau sedang pikirkan? Apa yang sedang kau khawatirkan?

“Oh iya mas, tadi seperti Mas Edy dan Mbak Erlina kesini ya?” tanyanya.

“Iya Lid, tadi mereka kesini, tapi segera balik lagi, ada sedikit perkembangan untuk proyeknya,” kataku pelan.

“Apa mas?”

“Waktu presentasi demo dimajukan jadi hari Rabu dan mereka minta responsive design,” jawabku.

Sejenak kulihat si-celana-dalam-putih termangu. Kemudian terlihat dia menarik nafas panjang dan menunduk. Kabar yang tidak menyenangkan disituasi seperti ini.

Kuambil laptopku dan menyalakannya. Kumasukkan modem dan mencoba untuk mendapatkan akses internet. Oke, sekarang saatnya bekerja. Kudownload teamviewer dan mensettingnya. Oke, persiapan dilaptop selesai, sekarang tinggal dihandphone, download BBM di app store dan memasukkan email da passwordku yang dulu. Oke, done, sekarang...

“Mas, dibilangin gak baik kalau laptopnya langsung ditaruh dipangkuan!” suara si-celana-dalam-putih terasa sedikit keras ditelingaku. Dengan cemberut dia mengambil meja yang biasa digunakan untuk makan oleh pasien, mengambil laptop dari tanganku dan meletakkannya diatas meja. Semua itu dilakukannya dengan wajah cemberut.

Tapi entah kenapa semakin terlihat menantang didepanku.

Eh, kenapa terlihat itu sedikit membesar ya? Kucuba melihat sedikit lebih dekat dan...

“Aduh,”seruku ketika jari kecil dari tangan lentik si-celana-dalam-putih dengan gemas memcubit pahaku ketika dia mengetahui kemana arah pandanganku.

“Dasar mesum,” katanya sambil cemberut.

“Hehehe,” tawaku pelan. Ketauan deh. “Oh iya Lid, untuk masalah bagian codingnya, gimana kalau kita berdua yang terjun langsung? Maksudku, kita bisa dari sini kerja,” tanyaku penuh harap.

Kulihat dia sedikit bingung dan tidak yakin dengan usul yang aku ajukan. Terlihat keningnya berkerut sejenak sebelum dia melihat kearahku dan menganggukan kepalanya.

Yesssssssss....


Galang POV.
“Gimana Bram?” tanyaku ketika si ahli forensik sedang memeriksa benda yang kuduga CCTV itu.

“Hmmmm, memang seperti CCTV, sekarang tinggal mengcopy data yang kau mau,” kata Bram. “Tunggu dulu sebentar Lang,” katanya sembari memulai proses mengcopy datanya.

“Darimana kau memperoleh CCTV ini Lang? Lumayan kualitas dan harganya,” tanya Bram dengan penasaran.

“Dari atas lemari korban pencurian kita, Andri, CEO G-Team,” terang Herman sebelum aku sempat menjawab.

Terlihat wajah Bram sedikit terkejut mendengar kabar itu. Sepertinya dia mengharapkan kami menyebut nama yang lebih besar daripada seorang CEO perusahaan.

“Oke, done!” kata Bram sambil memperlihatkan beberapa rekaman video.

“Bisa kita lihat rekaman pada hari Rabu ini?“ tanyaku penuh harap.

“Hmmmm, bisa, rekamannya dibagi perhari, jadi bisa kita lihat sesuai dengan yang kau mau,“ jelas Bram sambil mulai mencari hari yang seperti kami minta.

“Ini Lang, kalau kau mau memajukannya, tinggal tekan panah kanan saja, kalau mau lebih cepat, tinggal klik panah kanan yang dobel“ kata Bram sambil memberikan mouse kepadaku.

Kuambil mouse dari tangan Bram dan mulai memajukan rekaman video ini. Kalau tidak salah pencurian diduga sekitar pukul sembilan malam. Kumajukan sampai pukul sembilan dan kuamati dengan seksama. Kira-kira pukul sembilan lewat limabelas menit, seseorang terlihat memasuki ruangan tempat kami menyelidiki tadi.

“Lang, bukannya itu mirip dengannya?“ kata Herman sambil menunjuk kearah sesorang yang ada di layar.

Orang yang sekarang terlihat menuju meja komputer, mengambil obeng dari sakunya dan terlihat membuka casing komputer. Terlihat ahli! Setelah casing terbuka, orang itu dengan mudahnya membuka hardisk dan memasukkannya kedalam saku celana dan bajunya. Kemudian memasang casing kembali. Sayangnya selama proses itu dia menghadap kearah lain sehingga mukanya terhalang. Saat dia bangun, tak sengaja obeng yang dibawanya terjatuh, dengan sigap dia menangkapnya dengan tangan kanan, sekilas, mukanya terlihat. Namun sayangnya, mukanya tertutup masker, kacamata serta topi yang menutupi kepalanya.

Dari postur, pakaian, sepertinya aku pernah melihatnya.

Aku memandang wajah Herman, terlihat gairah disana.

“Mungkin memang dia Her,“ kataku.

...


Kucoba membuka file rar yang ada didalam video trojan.avi.
Siallll! Ada paswordnya.
Kira-kira, apa yang digunakan Ade sebagai passwordnya?
...



CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 7

Lidya POV

Kuamati si-mata-keranjang yang sekarang tertidur dengan tenang. Seperti biasa wajahnya terlihat begitu berbeda ketika sedang tertidur. Wajah yang begitu tenang, begitu nyaman.

Seperti wajah bayi.

Kualihkan pandanganku dari si-mata-keranjang, pemandangan kota jakarta disiang hari terlihat dari celah tirai jendela yang terbuka. Seperti biasa, hanya kemacetan dan iringan kendaraan yang mengular dijalan raya terlihat.

Tok.tok.tok

Suara ketukan ringan di pintu memecah lamunanku.

"Iya, tunggu sebentar," kataku sambil melangkah ke pintu.

Kubuka pintu dengan perlahan.

"Mbak Lidya," kata seseorang yang menjadi teman dekatku selama ini.

"Shinta?" seruku sambil memeluknya dengan erat. "Kapan datang Shin?“ tanyaku sambil memandang juga Lisa yang ada disamping Shinta.

"Barusan mbak," jawab Shinta sambil tersenyum. Kulihat wajahnya sedikit letih, namun senyumnya selalu menghiasi bibir tipisnya. Kualihkan perhatianku pada Lisa yang berdiri disamping Shinta.

"Pesanan mbak gimana Lis?" tanyaku.

"Sudah kok mbak, ini," katanya sambil menunjuk kearah tas yang dibawanya. "Eh, pakaian mbak seksi sekali hari ini, hihihi," katanya.

"Iy nih mbak, tumben pakai legging?", tanya Shinta sambil tersenyum.

"Eh, ini..., tadi dibeliin sama kakaknya Mas Andri, mbak gak bawa ganti tadi," jawabku dengan pipi yang sedikit memanas. "Yuk masuk dulu, Mas Andri lagi tidur," kataku sambil melangkah kesamping. Memberikan ruang untuk Shinta dan Lisa untuk lewat.

"Mbak, ini ditaruh dimana?" tanya Lisa sambil menunjuk tasnya.

"Sini Lis," kataku sambil mengambil tas dari tangannya."Gimana di kantor Lis?" tanyaku sambil meletakkan tas di sebelah sofa.

"Masih perlu sedikit penyesuaian mbak, tapi sudah dihandle Mas Frans dan tadi Mas Edy serta Mbak Erlina juga sudah ada dikantor," terang Lisa panjang lebar.

"Bagus deh kalau begitu, ehmmm, mbak mungkin kerja dari sini nanti, " kataku pelan.

"Loh, kok gitu mbak?" tanya Shinta sambil menaikkan alisnya.

"Ehmmm, soalnya bagian coding mbak dan Mas Andri yang akan menghandle, jadi sampai Mas Andri sembuh, kantor mbak disini saja," kataku sambil berusaha membuat suaraku sebiasa mungkin.

Terlihat Lisa dan Shinta saling pandang. Keduanya terlihat sedikit ragu dengan apa yang kukatakan.

"Mbak, yakin? Dengan si-mata-keranjang?" tanya Lisa dengan suara yang rendah, sambil menoleh kearah si-mata-keranjang.

Untungnya, yang dibicarakan masih terlihat pulas tertidur. Mungkin.

"Iya Lis, mbak sama kakaknya Mas Andri kok disini," jelasku melihat keraguan diwajah mereka.

Kulihat raut heran diwajah Lisa dan Shinta. Dan kuanggap wajar, karena untuk pertama kalinya aku bersedia bersama seorang lelaki sedekat ini. Kecuali Nick tentunya…

"Mbak, kekamar mandi dulu ya, kebelet nih," kata Lisa sambil menuju kekamar mandi.

Kulihat Shinta, wajahnya terlihat sedikit lelah.

"Gimana Shin?" tanyaku. Dengan harap-harap cemas aku menunggu jawaban dari Shinta. Shinta mendekat kearahku, dengan suara yang pelan, Shinta berbisik kepadaku.

"Mengenai Sherly, sulit melacak keberadaannya mbak, aku sudah berusaha untuk mencarinya, tapi selalu saja ada penghalangnya mbak," terang Shinta dengan pelan.

"Apa menurutmu Sherly..., Sherly masih hidup?" tanyaku dengan berat.
"Ehhmm, kemungkinannya besar mbak, cuma Shinta gak tau, dimana dia sekarang mbak," katanya dengan nada menyesal.

"Tidak apa-apa Shin," kataku. "Oh iya, nanti tidurnya di mess mbak aja ya Shin, bareng sama Lisa juga," saranku.

"Iya mbak," katanya sambil tersenyum.

"Hayo ngobrolin apa serius gitu? " tanya Lisa yang baru keluar dari kamar mandi.

"Ini, untuk tempat istirahat Shinta nanti, jadi bareng sama kamu, gak apa-apa kan Lis?" tanyaku pada Lisa.

"Boleh saja mbak, bagus malah, nanti Lisa ada temen malemnya, pengganti mbak," kata Lisa sambil mengedipkan matanya
dan tersenyum simpul. "Kalau begitu, kami balik dulu ke kantor ya mbak," kata Lisa sambil melangkah mendekat.

Kulihat Shinta sudah berjalan melewati pintu. Ketika Lisa sampai disampingku dia melambatkan langkahnya dan berbisik.

"Mbak, Shinta sama kayak mbak nggak? Hihihi" tanyanya sambil tertawa kecil.

Kurasakan mukaku memanas. Dengan pelan kujawab pertanyaan Lisa.

"Kenapa tidak coba dulu Lis? " tanyaku balik sambil tersenyum simpul.

Dengan tersenyum Lisa balik berkata.

"Punya mbak jaga baik-baik ya, ada predator ulung dekat mbak, " katanya sambil menuju kepintu. Senyum jahil terlihat diwajahnya sebelum terhalang oleh daun pintu yang menutup dibelakang punggungnya.

Hufffttttt
Sherly, dimanakah kau sekarang?
Bagaimana keadaanmu?

Dengan pikiran yang dipenuhi dengan kenangan masa kecil kami, aku membuka tas yang dibawakan oleh Lisa tadi. Kuambil laptop yang ada didalam tas dan meletakkannya dimeja kecil yang ada dekat sofa tempat penunggu pasien istirahat. Selain laptop, tadi sempat kuminta Lisa mengambilkan pakaianku di mess. Tapi sayangnya sepertinya dia lupa mengambil pakaian dalam.

Kelupaan apa sengaja? Pikirku sambil mengingat bagaimana binalnya Lisa.

Dan memikirkan dia sekamar dengan Shinta, membuat bagian bawah tubuhku meremang.

Apalagi kalau kami....


Galang POV.

"Lang, kenapa kita tidak langsung saja menuju ke G-Team? Kita bisa sekalian ngecek alibinya!" seru Herman, seperti biasa, tak sabaran.

"Dan buktinya? Hanya rekaman yang belum bisa dikonfirmasikan, apakah orang yang di video itu dia!?" aku balik bertanya kepada Herman.

"Tapi jenis pakaian, tinggi serta posturnya sesuai dengan ciri-cirinya!" kata German tak mau kalah.

"Pakaian mudah dicari, postur bukan hanya dia yang posturnya segitu, kalau ditangan pengacara yang ahli, dengan mudah dia akan dibebaskan, dan setelah itu apa?" tanyaku kepada Herman yang sekarang sedikit tergagap.

Kami sekarang sedang menelusuri lorong rumah sakit tempat Andri dan security yang mengalami nasib naas itu. Bau obat, suster dan dokter yang berlalu-lalang manjadi pandangan yang biasa ditempat seperti ini.

“Nomer berapa kamarnya Her?“ tanyaku pada Herman yang berada disampingku.

“113,“ kata Herman singkat. Kulirik wajahnya dan terlihat dia cemberut karena argumennya kupatahkan. Sambil tersenyum, aku mencari dimana ruangan dengan nomer 113 berada. Dan akhirnya, kulihat pintu dengan nomer itu di sudut lorong ini. Dengan langkah yang sedikit lebih cepat aku menuju kesana. Herman juga mengikutiku dengan lebih cepat.

Sesampai didepan pintu, keketuk dengan sedikit keras.

Tok..tok...tok…

“Sebentar,“ sebuah suara yang wanita menjawab dari balik pintu.

Kriieetttt....

Dengan suara pelan pintu membuka dan seorang wanita diambang usia 23 tahun berdiri dengan wajah bingung melihat keberadaan kami.

“Selamat siang mbak, ada Mas Paijonya? Kami dari kepolisian,“ kata Herman memecah keheningan diantara kami.

“Siang pak, ada, Mas Paijo didalam pak, silahkan masuk,“ katanya sambil melangkah kesamping sehingga kami bisa lewat.

Diatas ranjang bisa kami lihat seorang lelaki dikisaran usia 25 tahun sedang terbaring dengan perban dikepalanya. Dia tersenyum kecil ketika kami masuk.

“Siang pak,“ sapanya sambil berusaha untuk duduk.

“Santai aja mas, gak usah duduk, sambil berbaring saja,” kata Herman sambil mengambil tempat duduk yang ditawarkan oleh wanita yang membuka pintu tadi.

Kami duduk disisi sebelah kanan dari Paijo. Kamar kelas dua dari rumah sakit ini hanya berisi empat ranjang, yang berarti bisa menampung empat pasien. Sekarang hanya berisi dua buah pasien, yang kebetulan berada agak jauh dari tempat kami berada sehingga rasanya wawancara kami bisa berlangsung dengan lebih tenang. Kulihat Herman sudah mengeluarkan catatannya dan bersiap untuk memulai wawancara. Dia menoleh kepadaku yang kujawab dengan anggukan, sebagai syarat dia bisa memulai wawancaranya.

“Mas Paijo, benar mas saat ini berprofesi sebagai salah satu security di Apartemen Chapista?“ tanya Herman memulai wawancaranya.

“Benar pak,” sahut Paijo dengan pelan.

“Benar anda bertugas pada hari Rabu ini?” lanjut Herman.

“Benar pak,“ jawab Paijo.

“Bisa anda ceritakan bagaimana kejadiannya sampai anda bisa terluka seperti ini?“ lanjut Herman.

Lalu Paijo mulai bercerita bagaimana saat hari Rabu dia bekerja bersama Jajang dan seorang rekannya.

“Saat itu saya dan rekan saya bertugas keliling di kompleks apartemen, sedangkan Jajang jaga di pos. Sekitar pukul sembilan lebih, saya sedang di lantai sembilan, ketika saya melihat seorang lelaki keluar dari salah satu kamar. Awalnya saya biasa saja, tapi saat orang itu memasukkan akses cardnya, ketika tangannya keluar dari kantong, saya lihat saputangannya terjatuh.

Dia tidak sadar kalau saputangannya terjatuh, jadi saya kejar dan mau mengembalikan saputangannya yang saya pungut, tapi dia tidak dengar, jadi saya dekati dia. Ketika saya sudah dibelakangnya, tiba-tiba dia berbalik dan wutttt, saya merasa sakit dikepala dan kemudian gelap. Ketika saya sadar, saya sudah berada disini pak,” kata Paijo panjang lebar.

“Apa anda melihat wajahnya?” tanya Herman.

“Hanya sekilas pak, lagian sepertinya dia memakai masker dan kacamata, jadi agak sulit pak,” jawab Paijo.

Herman menoleh kepadaku, sepertinya dia sudah kehabisan bahan pertanyaan. Aku memandang kearah Paijo dan mulai bertanya.

“Dibagian mana anda dipukul?” tanyaku.

“Disini pak, ” Kata Paijo sambil menunjuk kepala bagian kirinya.

Hmmmm, aku mencoba membayangkan kejadian itu, jika Paijo berada dibelakang tersangka, kemudian tersangka berbalik dan memukul yang mengenai bagian kiri kepalanya, berarti kemungkinan tersangka menggunakan tangan kanan. Sesuai dengan divideo.

“Menurut anda, yang memukul anda, pria atau wanita?” tanyaku lagi.

Terlihat Paijo sejenak berpikir.

“Kalau dari postur dan cara berjalannya, kemungkinan besar pria pak, ” jawab Paijo.

“Apa ada hal lain yang anda ingat mengenai orang yang memukul anda?” tanyaku lebih lanjut, mencoba mencari sesuatu yang bisa kugunakan nanti.

“Maaf pak, rasanya itu saja,” jawab Paijo singkat.

Hmmmmm, jalan buntu lagi. Kupandang Herman, yang kebetulan juga sedang melihat kearahku. Kuanggukan kepala, memberi isyarat kalau aku juga sudah selesai.

“Kalau begitu, terimakasih kerjasamanya mas, kami permisi dulu, ” kata Herman sambil bangkit dan menuju kearah pintu. Kujabat tangan Paijo dan mengangguk singkat kearah wanita yang membuka pintu tadi lalu menyusul Herman yang sudah berada diluar ruangan.

“Ke Andri?” tanyanya singkat yang kujawab dengan anggukan kepala ringan.


Andri POV

“Huftttt,” pegal juga rasanya terlalu lama berbaring di ranjang rumah sakit. Mana si-celana-dalam-putih keluar beli obat. Duhh… kemana tu anak, sepi sekali disini.

Hmmmm, lebih baik aku mulai bekerja saja, daripada bengong seperti ini.

Kuambil laptop dan menghidupkannya. Tak berapa lama, kuperiksa email dan ada beberapa email masuk. Beberapa dari Frans, Edy, Erlina dan sisanya dari Raisa.

Kuperiksa email dari Frans dan yang lain, isinya sebagian besar menanyakan tentang keberadaanku.
Hmmm, berarti email ini sebelum aku sampai disini.

Raisa?

Kubuka email Raisa satu persatu.

From : raisa@alfamedika.com
Subject : Materi Pendukung

Sore Mas,

Kalau nanti perlu materi pendukung untuk proyeknya, hubungi saya saja ya,

Thanks,

Raisa

Sekretaris || Alfa Medika
Kubuka emailnya yang kedua:

From : raisa@alfamedika.com
Subject : Rapat

Malem Mas,

Kok nomer mas gak bisa dihubungi? Ada rapat sekarang dengan bapak, katanya ada beberapa yang perlu dibahas, reply ya mas.

Thanks,

Raisa

Sekretaris || Alfa Medika
From : raisa@alfamedika.com
Subject : Rapat

Malem Mas,

Mas, tadi Is diminta hubungi perusahaan mas, yang jawab Mbak Erlina, untuk rapatnya nanti Mas Edy dan Mbak Erlina yang akan ngewakilin mas,

Note : Handphone mas kok gak aktif terus?

Thanks,

Raisa

Sekretaris || Alfa Medika
Hmmm, berarti rapat yang dihadiri oleh Edy dan Erlina. Kubalas email Raisa.


To: raisa@alfamedika.com
Subject : Rapat dan No Handphone baru.

Siang Is,

Mas kecelakaan kemarin malam, sekarang masih dirawat di Rumah Sakit Sari Husada,
Handphone mas hilang, untuk sementara bisa hubungi mas di nomer : 081 999 333 333

Iya untuk rapat sudah diwakilkan oleh Edy, sementara ini belum ada yang perlu, mas belum bisa bekerja full sekarang,
mungkin besok baru bisa mulai Is.

Thanks,

Andri

CEO|| G-Team.


Sebaiknya istirahat dulu sebentar, sebelum besok mulai bekerja lagi.
Huft, capek juga.

Eh, si-celana-dalam-putih pergi kemana ya?

Ting…

Suara email masuk di laptop membuatku menoleh kelayar laptop lagi. Dilayar terdapat notifikasi :

1 new email.

Ku klik balon notifikasi dan sebuah email dari Raisa kelihatan.

From : raisa@alfamedika.com
Subject : RE : Rapat dan No Handphone baru.

Siang Mas,

Waduh, men sekarang gimana mas? Udah baikan?
Is masih ada meeting sampai malam, belum bisa jenguk mas sekarang.

Nanti Is kabarin lagi,

Get well soon ya mas,


Raisa

Sekretaris || Alfa Medika
Sambil tersenyum aku baca email dari Raisa. Raisa...Raisa... Dan kenangan melewati malam dengannya bergulir lagi.

Aduuuhhhhh!

Andri junior malah bangun lagi.

Tok..tok..tok…

Pintu diketuk dari luar.

“Masuk,” kataku dengan sedikit keras dan dengan terburu-buru meletakkan laptop dimeja kecil yang diambilkan oleh si-celana-dalam-putih.

Kriieettt….

Pintu terbuka dan terlihat dua orang polisi yang tadi pagi datang.

“Selamat sore Mas Andri, maaf kami mengganggu lagi,” kata polisi yang lebih gendut. Kalau tidak salah namanya Herman.

“Tidak apa-apa pak, silahkan duduk, maaf saya belum bisa bebas bergerak,” kataku sambil menunjuk kursi kecil yang biasa digunakan untuk menunggui pasien.

Hmmmm, apa lagi yang mereka inginkan?

“Kami yang harus minta maaf Mas, ” kata polisi gendut sambil duduk dekat denganku.

Sejenak kulihat dia memandang polisi yang lebih kurus, sikurus yang lebih tenang.

Tenang.

Menghanyutkan.


“Ehhmmm, Mas Andri,” kata sikurus yang sekarang mendekat kearahku. Ekspresi wajahnya sukar dibaca. Pandangan matanya, tenang, tajam dan menyelidik.

Pandangan mata yang membuatku kesulitan untuk tetap memandanya lebih lama lagi!

“Singkat saja,” kata sikurus. “Apa yang perlu kami ketahui tapi tidak anda katakan?” tanyanya dengan pandangan yang seolah-olah mau menjenguk isi hatiku. Pandangan yang seolah menelanjangi kebohonganku.

Kupandang wajah dari sikurus.

Pandang matanya.

Sejenak aku menimbang-nimbang, apa perlu melanjutkan kebohongan ini atau bagaimana. Kulihat lagi…

Hufftttt, sudahlah.

Kuraih laptop, menghidupkannya dan memperlihatkan file yang dikirim Ade kepadaku.

“Sebelum meninggal, Ade mengirimkan ini kepada saya, bersama dengan sebuah email, namun sayangnya, emailnya telah didelete, kemungkinan dari handphone saya yang hilang,” kataku memberi penjelasan.

Terlihat polisi gemuk memandang tak percaya file yang kuperlihatkan. Mungkin dia menganggap kubercanda memperlihatkan film xxx sebagai sebuah petunjuk.

“Dan menurut anda ini sebuah petunjuk? Atau anda sudah mendapatkan petunjuk dari ini?” tanya sipolisi kurus.

Lagi.

Analisa yang tajam dari polisi kurus.


“Saya rasa, itu tugas anda bukan?” tanyaku tajam sambil mengawasi sipolisi kurus yang sekarang terlihat serius mengamati file yang kuperlihatkan.

“Bisa kami copy file ini?” tanya sipolisi kurus singkat.

“Bisa pak,” kataku sambil menerima flash disk yang diuulurkannya.

“Mungkin anda juga berminat mengecek file video yang ada di flash disk itu?” katanya datar.

Setelah mengcopy file video yang kumaksud, aku melihat ada sebuah file video lain yang ada di flash disk yang diserahkannya. Kulihat kearah sipolisi kurus dan terlihat dia menganggukan kepalanya.

Kubuka file video yang ada dan sejenak aku terkejut.

Pemandangan familiar ruangan di perpustakaan pribadi diapartemenku terlihat!

Kulihat ekspresi senang diwajah sipolisi kurus saat merasakan keterkejutanku, namun hanya sekejap, kemudian berganti lagi menjadi ekspresi datar.

“Terus?” tanyaku melihat ekspresi sipolisi kurus yang datar

“Anda bisa memajukannya sampai kira-kira pertengahan video itu,” katanya datar.

Kuikuti saran dari si polisi kurus.

Kembali aku dibuat terkejut ketika video menunjukkan seorang lelaki memasuki ruang perpustakaan dan terlihat mengambil hard drive computerku dan meninggalkan ruangan dalam waktu yang relatif singkat.

Ketika masih didalam ruangan dan tak sengaja wajahnya menoleh kearah kamera. Sosok yang familiar denganku terlihat.
Aku pandang sipolisi kurus, tatapan matanya sekarang meperlihatkan keingintahuan.

“Saudara Andri, apa anda mengenal orang yang memasuki apartemen anda?” katanya sambil menatap tajam.

“Dengan pakaian seperti itu, sulit bagi saya untuk mengenalnya,” jawabku datar.

“Tapi dari ciri-cirinya, dia kan seperti..”

“Seperti teman anda bukan?” kata sipolisi kurus menyela perkataan si polisi gemuk.

“Mungkin,” jawabku pelan.

Terlihat si polisi kurus saling pandang dengan si polisi gemuk.

“Kalau begitu kami permisi dulu mas, kalau ada hal yang anda ingat lagi, hubungi saya di sini,” kata si polisi gemuk sambil memberikan sebuah kartu nama. “Mari mas,” lanjut si polisi gemuk sambil melangkah keluar yang diikuti rekannya.

Setelah kepergian mereka aku termangu sejenak. Semua terasa seperti mimpi, namun video tadi begitu nyata!
Tapi, orang itu, mirip sekali dengannya. Sangat mirip.
Hanya saja..

Tok...tok...tok…

Suara ketukan di pintu menyadarkanku dari lamunan.

“Masuk,”seruku.

Si-celana-dalam-putih berdiri dengan wajah berkeringat di pintu. Terlihat letih dan merangsang. Ouwh tidak, kenapa sel-sel kelabu diotakku ini selalu berpikir mesum???


CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 8


Lidya POV

Huft, panasnya….

Hari sudah menjelang sore, namun panasnya udara Jakarta masih terasa. Walau hanya berjalan dari apotek yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah sakit, keringat sudah membasahi tubuhku.

Huft...Mbak Anisa. Dengan keringat seperti ini, daleman ku pasti tercetak jelas dari luar. Dan...terasa sedikit lengket ketika aku bergerak.

Tak bisa kutahan senyum, ketika membayangkan reaksi si-mata-keranjang ketika melihatku dengan pakaian dan kondisi seperti ini.

Dengan sedikit berdebar kuketuk pintu.

Tok..tok...tok…

“Masuk,” kudengar suara si-mata-keranjang menyilahkanku masuk.

Kriiieeetttt…

Kubuka pintu dengan pelan. Dan terlihat disana si-mata-keranjang memandangku dengan pandangan yang sudah kuduga.

Pandangan mesum!

Dasar lelaki!

“Mas, ini obatnya,” kataku sambil menunjukkan plastik tempat obat yang kubawa. “Kata dokter, mulai diminun besok pagi,” kataku.

“Iya Lid, eh, kamu sudah makan?” tanyanya.

Dan seakan menjawab pertanyaannya, perutku yang kelaparan menjawab dengan suara yang cukup nyaring.

Kriiuuuukkkk....kriiuuukkkk....

“Hahaha,” tawa si-mata-keranjang ketika mendengar suara perutku yang keroncongan.

Dengan wajah panas, karena malu dan marah, aku pandangi si-mata-keranjang yang tertawa dengan bebasnya.

“Maaf Lid, sebentar lagi nenek lampir akan datang, dia sudah beli makan katanya, tahan bentar masih bisa kan?” tanyanya dengan senyum dikulum.

Aku hanya bisa cemberut mendengar perkataannya.

Tok...tok..tokk…

Suara ketukan dipintu menyadarkanku.

“Masuk,” seruku.

Wajah Mbak Anisa yang sedikit berkeringat terlihat dari pintu yang membuka.

“Mbak gak ganggu sekarang kan?” tanyanya dengan nada ceria..

“Justru sedang ditunggu, tuh Lidya kelaperan nungguin mbak,” kata si-mata-keranjang dengan cuek.

Kulihat Mbak Anisa membawa beberapa bungkusan ditanganya.

“Waduh, maaf Lid, mbak ada beberapa urusan tadi, sini, mbak dah bawain makanan dan cemilan,” kata Mbak Anisa sambil meletakkan bungkusan yang dibawanya dimeja.

Dengan wajah yang sedikit memanas, aku melangkah mendekati meja. Ada berbagai jenis masakan dan beberapa cemilan disana.

Air liurku serasa ingin menetes mengendus bau sedap dari masakan itu. Mbak Anisa menarikku mendekat dan berbisik.

“Lid, mbak gak bisa lama sekarang ya, maaf ne, kamu temenin Andri dulu ya, mbak lagi bikin proyeknya nih, ” kata Mbak Anisa.

Dengan bingung kupandang Mbak Anisa.

“Proyek apa mbak?” tanyaku dengan pelan.

“Proyek bikin momongan, hihihi, suami mbak semangat 45 baru dengar calon iparnya sudah isi, tadi aja disempetin quickie, nih masih kerasa lemes lututnya mbak,” kata Mbak Anisa blak-blakan yang membuat mukaku terasa sangat panas. Pasti warna mukaku sangat merah sekarang.

“Oh iya Lid, kamu pas jadinya itu, pagi, siang apa malem kuda-kudaanya?hihihi,” tanya Mbak Anisa lagi.

Aduuuhhhhh! Gituan aja belum pernah ama Andri mbak! Gimana mau tahu kapan baiknya yang bikin isi?

Addduuuuhhhh....


“Wah, kurang tau mbak...,” kataku, keburu dipotong Mbak Anisa.

“Pasti kebanyakan gaya ya ampe lupa? Hihihi, ada panduannya gak Lid? Pinjem dong... buat entar malem,hihihi” tanya Mbak Anisa to the point.

“Eh, ngapain bisik-bisik sana? Tu ada yang sudah kelaparan, entar pingsan lagi,” kata si-mata-keranjang usil.

Dan untuk pertama kalinya aku merasa senang dengan keusilannya!

“Iya...iya..., tahu kok yang perhatian banget sama calon istrinya, ” ledek Mbak Anisa, yang kembali, untuk kesekian kalinya hari ini membuat pipiku memanas.

“Ini makan dulu Lid, udah mbak minta gak diisi sambal terlalu banyak, ini, mbak juga banyakin sayurnya, biar sehat ya,” kata Mbak Anisa sambil tersenyum.

Kembali aku merasa bersalah dengan kesalahpahaman ini. Kupandang kearah si-mata-keranjang, dan senyum simpulnya yang kudapatkan. Mungkin sudah saatnya mengakhiri kesalahpahaman
ini.

“Mbak, sebenarnya,” ragu sejenak, kulihat kearah si-mata-keranjang dan terlihat dia mengerutkan alisnya.”Sebenarnya aku..”

“Sebenarnya dia sudah kelaparan, bisa langsung makan gak? Itu...itu yang mau dikatakannya dari tadi, gak ngerti banget sih mbak!” sela si-mata-keranjang
.
“Mas!!!” seruku dengan nada sedikit marah, bisa-bisa aku pingsan neh gara-gara kesal dan lapar! Ne anak perlu rasanya diberi pelajaran tambahan, pikirku.

Kriiuuuukkkk....kriiuuukkkk....

Aduhhhhhhhhhhhh........

“Hahaha, bener kan mbak, ampe sini kedengeran bunyinya tuh,” kata si-mata-keranjang sambil tertawa, benar-benar membuatku habis kesabaran.

“Eh, maaf Lid, sini, makan dulu,” kata Mbak Anisa, membuyarkan rencana balas dendam yang mulai tersusun dikepalaku. Kupandang si-mata-keranjang dengan pandangan dan senyum menggoda.

Awas kau nanti mas!

Kulihat si-mata-keranjang memandangku dengan bingung, melihat perubahan ekpresiku.

Ah sudahlah. Mending isi perut dulu, kuhampiri Mbak Anisa dan wow…

Di meja terhampar berbagai macam masakan dan cemilan, yang membuatku tertegun, porsinya mungkin cukup untuk tiga orang!

“Mbak, gak kebanyakan nih?” kataku sambil memandang masakan diatas meja.

“Gak kok Lid, rencananya mbak mau makan disini, tapi karena berhubung yang mbak ceritain tadi, gak jadi, kalau masih baik, untuk nanti malam aja sekalian Lid, kamu kan disini nginep, biar gak capek keluar Lid, eh, berani sendirian kan Lid? Mbak rencananya mau lanjutin proyeknya nanti,hihihi” kata Mbak Anisa.

“Eh, kalau itu, gak masalah kok mbak, ” jawabku.

Hufttt, mungkin kalau Lisa ada disini....

“Kalau gitu mbak tinggal dulu ya Lid,” kata Mbak Anisa sambil mengahampiri si-mata-keranjang dan berbisik ditelinganya. Kulihat si-mata-keranjang cemberut ketika mendengar bisikan Mbak Anisa.

“Ayo Ndri, Lid, mbak duluan ya,” kata Mbak Anisa sambil melangkah kepintu. “Oh iya, ibu mau buat acara pertunangan katanya, so, be ready,” kata Mbak Anisa sebelum menghilang dibalik pintu.
What!?!?!?!

Pertunangan?!?!?!?


Andri POV

Kuperhatikan wajah si-celana-dalam-putih, terlihat ekspresi heran, terkejut, malu, marah dan entah ekspresi apalagi. Dari satu ekpresi ke ekpresi yang lain, begitu cepat berganti, mungkin hanya dalam hitungan detik saja. Sekarang terlihat terlihat dia termangu, makanan yang dibukanya masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Sejenak aku merasa sesuatu dalam hatiku mencelos. Sesuatu yang lama sekali tidak pernah lagi kurasakan.

“Lid, makan dulu, Mbak Anisa hanya bercanda kok,” kataku kepada si-celana-dalam-putih.

Terlihat si-celana-dalam-putih memandang hampa kearahku, pandangan yang bingung, pandangan yang penuh dengan beban pikiran.

Andai saja aku bisa bangun...andai saja…

“Lid, makan dulu, nanti sakit juga, siapa yang jagain aku nanti?” kataku, sambil berusaha membuat suaraku seceria mungkin.

Dan berhasil!

Terlihat mulut mungilnya cemberut, pandangan matanya juga ikut cemberut, sebelum akhirnya makan dengan lahap.

Gubraaakkkkkkkkk…

Akhirnya, lapar juga yang mengalahkannya.

Kuamati mulut mungil itu, dan ampun, kenapa saat makanpun mulut itu bisa terlihat seksi?

Kugelengkan kepalaku untuk mengusir bayangan-bayangan mesum yang mulai tersimulasi saat melihat mulut yang mungil itu. Ouwhh tidak…

Pasti karena lama tidak dapat jatah, jadinya Andri junior merespon setiap gerakan seksi yang terlihat dimata.

Eh, kan baru kemarin aku dapat jatah?

Sialll....

Huft, stay focus Andri.
Stay focus....

Sambil menunggu si-celana-dalam-putih selesai makan, sebaiknya aku memeriksa apa yang ada di file rar itu.
Kubuka laptop, kulihat file rar yang berhasil aku ekstrak dari video Trojan.avi. Ku coba mengekstrak file rar itu, namun ada passwordnya.

Hmmm….

Kira-kira apa yang digunakan Ade sebagai passwordnya?

Kuamati lagi file rar itu.

googlxxDGNo.rar
Sesuatu yang mengganggu terasa saat aku melihat file rar itu, tapi apa?
Sesuatu yang familiar, sesuatu yang sering kulihat saat berinternet ria. Sesuatu itu…

Ah, lebih baik kucoba saja, cara bodoh…

Kucuba satu persatu hal yang bisa kiranya menjadi password yang digunakan Ade.

Rokok, miras, wanita, psk, seks, oral, vagina, penis, doggystyle, massage, blowjob, komputer, programming, php, java, oracle, mysql, visualbasic, pascal.

Ah, seperti mencari tumpukan jarum dalam jerami. Sulit.

“Sulit, apa yang kira-kira menjadi passwordnya?” gumamku.

“Password apa mas?” terdengar suara si-celana-dalam-putih didekatku.

“Eh, filenya Ade Lid, ” kataku sambil menoleh kearah Lidya.

Dan…

Terlihat muka Lidya yang masih terlihat letih dan ada sisa makanan di ujung bibirnya.

“Eh Lid, itu..” kataku sambil menunjuk kearah mukanya.

“Apa mas?” kata Lidya bingung sambil menyeka mukanya.

Dengan tangan kananku, kuusap sisa makanan yang ada disudut bibirnya, wajah Lidya merona merah.

Semakin manis…

Tanganku yang masih ada dibibirnya, perlahan kugunakan untuk mengusap permukaan bibirnya, terasa basah dan lembut. Begitu menggoda untuk dicium.

Andri,,, dia salah satu rekan bisnismu...

Setitik kesadaran menggangguku, tapi hanya sebentar, sebelum aku berusaha bangun dan mencium bibir itu.

“Mas, jangan, nanti lukanya terbuka, ”kata Lidya. “Dan satu lagi mas, aku mau menemani mas disini, dengan satu syarat,” katanya dengan nada serius.

“Syarat? Syarat apa Lid?” kataku bingung.

“Selama aku disini, mas tidak boleh macam-macam atau satu macam kepadaku, termasuk mencium juga, kalau mas gak mau, aku gak mau jaga mas disini,” katanya tegas.

“Eh itu,” kataku ragu.

“Ya atau tidak?” kata Lidya, dagunya yang runcing sekarang sedikit terangkat keatas.

Dasar keras kepala!

“Hmmm, oke deh, tapi hanya diruangan ini ya?” kataku mencoba menawar.

Sejenak dia berpikir, namun akhirnya senyum terukir dibibirnya, dan kuanggap itu ia…

“Oke, kalau begitu, bagaimana kalau sekarang kita bahas proyeknya?” kataku sambil melirik laptopku yang masih menyala.

“Oke mas, mulai darimana?” tanya si-celana-dalam-putih.

“Kita setting meeting dengan Skype dulu Lid, biar jelas pembagian tugasnya,” kataku.

“Oke mas, oh iya, tadi ada temenku Shinta, dia salah satu staff di Delta, baru aja gabung, untuk sementara, dia tinggal di mess ku, eh maksudnya, messnya mas,” kata si-celana-dalam-putih.

“Oh, boleh saja Lid, untuk sementara, itu kan jadi messmu dan kalau anak kita lahir, kan jadi messmu juga,” kataku sambil nyengir dengan lebar.

“Masss!!!” kata si-celana-dalam-putih sambil mencubit pelan lenganku.

“Aduh, itu jari apa apa capit Lid, ” kataku sambil berpura-pura sakit.

Dan akhirnya kami melewati sore itu dengan mensetting virtual meeting dengan rekan-rekan di G-Team. Sedikit demi sedikit, team kami kembali lagi kejalur proyek kami yang sempat tertunda.


~ ~ ~ * * * ~ ~ ~


Senin, 09.00.
Rumah Sakit Sari Husada


Andri POV.

“Jadi saya sudah boleh pulang sekarang dok?” tanyaku pada dokter yang memeriksaku hari ini.

“Iya mas, tapi nanti bed rest lagi dua hari dirumah ya dan belum boleh bergerak yang terlalu banyak,” jawabnya. Dengan senyum yang mengembang, Dokter Franda terlihat menarik.

“Wah, bergerak apa saja yang tidak boleh dok?” tanyaku sambil tersenyum jahil serta menoleh kepada si-celana-dalam-putih yang sekarang berada di ujung ranjang. Dokter Franda melihat arah lirikan mataku dan kembali tersenyum.

“Kalau yang itu boleh, cuma pelan-pelan ya mas dan mbak,” katanya sambil tersenyum maklum melihat kearah si-celana-dalam-putih yang kembali, wajahnya merona merah.

Entah merona yang keberapa puluh atau ratus kalinya semenjak di rumah sakit ini, dan kalau kupikir, mukanya sangat mudah merona, jangan-jangan…

“Mas...mas…,” panggilan dari Dokter Franda mengembalikanku kealam nyata.

“Ngelamun aja mas, pasti dah kangen berduaan nih sama tunangannya,” katanya sambil mendekati si-celana-dalam-putih. Oh iya, ibu dan si-nenek-lampir dengan bangganya mempublikasikan hubungan kami sebagai sebuah pertunangan, yang sialnya, membuatku tidak leluasa bercanda dengan suster-suster yang ada disini.

Terlihat Dokter Franda berbisik kepada si-celana-dalam-putih. Sekali-sekali mereka menoleh kearahku dan tertawa geli. Kulihat wajah si-celana-dalam-putih memerah.

Dan sel-sel kelabu yang terbiasa berpikir mesum di kepalakupun mulai berandai-andai, bagaimana jika dia hanya mengenakan daleman putih dan wajahnya merona seperti sekarang. Andri juniorpun bereaksi atas visualisasi kreatif yang terjadi.

“Mari mas, saya kepasien yang lain dulu,” kata Dokter Franda sambil berjalan ke pintu.

Dan sekarang, hanya kami berdua yang ada diruangan ini.

“Mas, mau balik sekarang?” tanya si-celana-dalam-putih.“Ke mess atau bagaimana mas?” lanjutnya.

Ehmmm, bagaimana sebaiknya? Pikirku. Kalau keapartemen, terlalu jauh kalau ke kantor, kalau ke mess, berarti harus bersama Frans. Kalau saja…

“Bagaimana mas?” tanya si-celana-dalam-putih.

“Aku hubungi nenek lampir dulu ya Lid, sekalian untuk urusan administrasinya,” kataku kepada si-celana-dalam-putih.

Kuambil handphone dan menekan no si-nenek-lampir.

“Kenapa Ndrii? kudengar suara si-nenek-lampir pada deringan ketiga.

“Sudah boleh pulang sekarang, aku langsung ke mess aja ya? Banyak job yang belum selesai,” kataku sambil menoleh kearah si-celana-dalam-putih.

“Yakin karena job? Apa mau berduaan sama Lidya?” tanya si-nenek-lampir. Bisa kudengar nada geli dalam suaranya.

“Keduanya, ” kataku sambil melirik si-celana-dalam-putih yang yang kebetulan juga sedang memandangku. Kulihat dia sedikit mengerutkan keningnya ketika melihatku memandangnya seperti itu.

“Oke, apa mbak perlu kesana lagi? Ini masih di Bandung, nganter ibu check up rutin di dokter spesialis jantung, ” kata si-nenek-lampir. Dan perasaan bersalah menerpaku, kenapa aku tidak pernah bisa mengantar ibu periksa rutin. Apalagi kondisi jantungnya yang sudah semakin lemah.

“Gak usah mbak, nanti aku bisa sendiri, lagian juga sudah ada Lidya,” terangku.

“Oke deh, kalau bagitu bye…,” kata si-nenek-lampir mengakhiri panggilan.
Kupandang si-celana-dalam-putih dan terlihat pandangan bertanya darinya.

“Aku langsung ke mess aja Lid, ” kataku singkat.

“Oke mas, kalau begitu aku ngurus pembayarannya dulu ya,” katanya sambil mau keluar. “Tunggu dulu Lid, pakai ini,” kataku sambil mengambil kartu kredit dari dompet, serta memberikan detailnya.

Dengan langkah pelan si-celana-dalam-putih pergi keluar ruangan. Pantatnya yang dari awal kami bertemu begitu menggodaku terlihat bergoyang ke kiri dan ke kanan dengan lembut. Garis celana dalamnya tercetak dengan jelas di balik legging hitam yang dikenakannya.

Ufff, fokus Ndrii...
Saatnya kembali kehabitat asli. Pikirku.

Dengan pelan kucoba untuk duduk dan rasa sakit di bekas operasi tidak terasa lagi. Seperti kata Dokter Franda, kemungkinan baru dua hari lagi aku bisa bergerak dengan bebas. Dan dua hari lagi, waktunya demo project dan untungnya, semua persiapan sudah hampir selesai. Tinggal mengecek secara langsung dan membuat presentasinya. Aku melangkah turun dari ranjang dan perlahan menuju ke jendela.

Lembut sinar matahari pagi yang menerobos masuk dari jendela menyambutku. Pemandangan kendaraan yang beriringan , padat merayap di jalanan ibukota ini. Kuberdiri beberapa saat di depan jendela sampai kakiku terasa sedikit pegal.

“Huaaanmmmmm,”

Duh, ngantuknya. Begadang membuat program bersama si-celana-dalam-putih, membuatku tidak bisa begitu fokus tadi malam. Bagaimana mau fokus kalau yang ada dikepalamu, bagaimana rasanya memeluk pinggang yang ramping itu, atau bagaimana reaksinya ketika leher jenjangnya dicium? Ah sudahlah, mending cuci muka dulu. Menghilangkan kantuk yang mulai mendera.

Dengan langkah yang perlahan aku menuju kekamar mandi. Pintu kamar mandi dan kubuka dan sebuah celana dalam g-string mini warna putih yang tergantung dengan indahnya di dinding menyambut kehadiranku.

“Mas, jangan masuk dulu!!!,” kudengar suara si-celana-dalam-putih dari arah belakang yang diikuti dengan suara langkah kakinya yang cepat, namun kalah cepat dengan aku yang masuk dan melihat dari dekat celana dalam itu.

“Mas!!!” kata si-celana-dalam-putih sambil berusaha mengambil celana dalam yang tergantung itu. Namun karena aku berdiri di pintu, maka badan kami bersentuhan ketika dia lewat didepanku. Dan sesuatu yang kenyal terasa didadaku.

Dengan wajah yang memerah, kulihat bibirnya cemberut ketika melihat ku memandangnya. Kudekati dia dengan perlahan dan seperti bisa menebak apa yang ingin kulakukan, dia mundur sampai menyentuh bak kamar mandi.

“Mas, mas sudah janji…, ” katanya dengan nada yang sedikit bergetar.

“Janji apa?” tanyaku sambil mendekat, hingga bisa kurasakan badanku menyentuh tangannya yang terulur. mencoba mendorong pelan tubuhku. Pelan, sangat pelan.

Perlahan kudekatkan kepalaku kebawah, kearah bibir yang sedikit bergetar. Dan bisa kulihat kepanikan di matanya.

“Cuma mau ngambil daun ini kok Lid,” kataku sambil menunjukkan daun yang tadi terselip di rambutnya.

Bisa kulihat pandangan kesal muncul di wajahnya.

“Memang kamu pikir mau apa?” tanyaku dengan geli.

“Mas!!!, dasar ya, baru juga baikan, sudah suka jahil, seneng bener ya bikin orang jantungan, bikin...”

Kuhentikan bicaranya dengan sebuah ciuman ringan dibibirnya. Kurasakan sedikit penolakan dan keterkejutan. Namun dengan tenang kuraih punggungnya dan menariknya mendekat. Tubuh kami sekarang menempel , dan sesuatu yang lembut itu sekarang menekan dadaku.

Perlahan, ciuman kami semakin dalam, semakin basah.

“Ughhh…,” lenguhan ringan terdengar ketika aku meremas pelan tonjolan yang dibalut legging ketat. Tonjolan yang dengan bangganya mengantung dengan indah dibelakang tubuh yang sekarang sedang menempel dengan erat dibadanku.

“Hmmmm, mas, jangan…,” pelan suaranya terdengar ketika aku meraba tonjolan yang berada didepan. Tangannya dengan pelan menyingkirkan tanganku dan dengan protektif diletakkan didepan dadanya.

“Hmm, yakin? ” tanyaku dengan pelan, sambil mencium daun telinganya, bisa kurasakan tubuhnya tersentak ketika lidahku menyentuh ujung daun telinganya. Ciumanku terus menuju ke leher jenjangnya, sedikit meninggalkan bekas merah disana.

“Mas, jangan…,” katanya lirih ketika tanganku berusaha masuk ke celana leggingnya. Tangannya bisa kurasakan memegang tanganku. Kuhentikan ciumanku ditelinganya dan kupandang wajahnya. Wajahnya terlihat memerah dan deru nafasnya terdengar sedikit menderu.

Hmmmm, mungkin aku bukan lelaki yang baik. Namun yang aku tidak suka memaksa wanita. apalagi wanita yang...

Tok...tok...tok…

Ketukan di pintu seolah menyadarkan si-celana-dalam-putih. Dengan menarik nafas panjang dia menuju ke pintu.

Eh!???

“Lid, tunggu,” kataku padanya. Bekasnya masih….

Namun terlambat, si-celana-dalam-putih sudah terlanjur membuka pintu.

“Halo mbak, eh, itu kenapa?” kata si-centil Lisa sambi menunjuk kearah leher si-celana-dalam-putih.

Lisa memandangku yang berada dibelakang si-celana-dalam-putih dengan pandangan aku-tahu-apa-yang-kau-lakukan-tadi.

“Halo boss,” kata Frans yang berada di belakang si-centil. “Halo mbak,” katanya kepada si-celana-dalam-putih dan tersenyum lebar ketika dia melihat leher si-celana-dalam-putih yang kemerahan.

“Halo Lis, Frans, eh, kenapa kalian tersenyum?” tanya si-celana-dalam-putih sambil melihat Lisa dan Frans bergantian.

Aduh, ne anak pura-pura gak tahu atau bagaimana?

Sambil tersenyum Lisa menarik si-celana-dalam-putih menuju ke kamar mandi.

Frans, dengan senyum lebar memandangku.

“Sudah ada kemajuan boss?” tanyanya dengan senyum lebar.

“Rasanya belum semaju kau Frans,” jawabku santai. ”Oh iya, maaf soal mobilmu Frans,” kataku mengingat mobilnya yang terbakar.

“Tidak masalah boss, masih ada asuransi, ” jawab Frans sambil tersenyum. ”Sekarang mau balik ke apartemen atau ke mes Ndri?” tanya Frans lebih lanjut.

“Ke mess Frans, waktu demo sudah dekat, mungkin nanti kita bakalan banyak lembur,” sahutku.

“Eh, kalau ke mess...” kata Frans sedikit ragu.

“Kenapa Frans?” tanyaku heran.

“Tanya Lisa saja nanti, ” jawab Frans ragu.

“Tanya apa mas?” suara si centil Lisa terdengar dari belakangku. Kulihat si-celana-dalam-putih melotot kepadaku, yang kubalas dengan cengiran.

“Eh, ini Andri mau ke mess sekarang, eh, di mess kan…,” Frans berkata ragu.

“Ouwh, itu,” kata Lisa, dengan wajah yang sedikit memerah. “Mbak Anisa kemarin ke mess dan memindahkan barang-barang Mas Andri ke mess yang paling atas, dari kemarin, aku dan Mbak Shinta di mess tengah, sedangkan Mas Frans di mess yang paling bawah,” terang Lisa sambil tersenyum lebar.

“Mess atas?” tanyaku, sementara si-celana-dalam-putih mengertukan alisnya.

“Maksudnya?” tanya si-celana-dalam-putih.

“Maksudnya kita sekamar, Lid, ” kataku sambil nyengir lebar.

“Sekamar? Tidak!” serunya sambil cemberut.

“Hahaha, itu nanti saja kita bahas, oke? Sekarang aku sudah pengen meninggalkan kamar ini, bisa?” kataku sambil memandang kesekeliling.

“Roger that,” sahut Frans sambil menuju ke pintu.



~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

Lidya POV.

“Mas, aku mau sama Lisa dibawah! ” kataku dengan nada yang tinggi.

Iya, kami sudah sampai di mess G-Team, dan seperti yang dikatakan oleh Lisa, barang-barang si-mata-keranjang sudah dipindahkan ke mess ku. Dan sekarang, kami sedang berargumen mengenai dimana aku tidur.

“Tunggu sebentar Lid, sampai ibu datang, habis itu, terserah kamu,” kata si-mata-keranjang..

“Memang ibu mau kesini? ” tanyaku dengan ragu.

Jangan-jangan hanya akal-akalannya saja.

“Iya Lid, habis periksa ibu katanya mau kesini, mungkin agak malam baru sampai, ” katanya dengan datar. Ekspressi serius terlihat diwajahnya. Ekspresi yang sama ketika dia sedang bekerja.

Bagaimana ini sebaiknya?

“Sampai ibu pulang saja Lid, setelah itu terserah kamu, ” lanjut si-mata-keranjang.

“Oke, kalau begitu sampai ibu pulang saja, ” sahutku. Akhirnya tidak tega juga.

“Thanks Lid, bisa kita bekerja sekarang, deadline sudah didepan mata, ” katanya.

Dan, siang pun dilewatkan dengan skype meeting, buat draft presentasi dan coding, coding dan coding. Kuamati si-mata-keranjang yang sekarang sedang ber-skype dengan staff bagian interface di G-Team. Terlihat wajahnya serius memberikan pengarahan mengenai desain antarmuka dan desain aplikasi yang kami buat. Begitu berbeda dengan dia yang menciumku di kamar mandi, begitu panas dan yah, tampan.

Yah, jujur.
Dia CEO tertampan yang pernah aku temui sekaligus yang termesum, teringat bagaimana ketika dia baru dirumah sakit, yang menungguinya malah salah satu staff panti pijat.

Kurasakan wajahku memanas ketika tahu dia memberikan bekas merah dileherku, yang baru kusadari ketika Lisa memberitahuku! Bekas yang sekarang masih kelihatan kalau kerah bajuku agak kesamping.

Dasar mesum!

Kulihat jam di laptop, 17.00. Sudah sore ternyata.

Tok...tok...tok…

Terdengar ketukan di pintu.

Apa mungkin ibu si-mata-keranjang sudah datang?

“Masuk, ” seruku.

Pintu terbuka dan seorang petugas cleaning service terlihat dengan dua bungkusan di tangannya.

“Pak Andri, ini pesanannya,” katanya sambil memperlihatkan bungkusan ditangannya.

Kuhampiri petugas itu dan mengambil bungkusan ditangannya. “Mari mbak, mari pak, ” kata si cleaning service lalu berlalu

Kuiintip kedalam bungkusan untuk melihat isinya, terlihat beberapa jenis sayuran, daging dan bumbu dapur.

Untuk apa semua ini? Pikirku.

Dengan pandangan bertanya aku menoleh ke-simata-keranjang.

“Eh, aku lupa ngasi tau, kamu bisa masak kan Lid?” katanya dengan tersenyum. “Ibu mau datang dan sekalian mau makan malam disini, jadi nanti tolong masakin ya?” katanya sambil tersenyum.

“Eh mas, aku…, ” jawabku terbata. Bagaimana ini? Aku kan tidak begitu bisa masak.

“Jangan bilang kalau kamu tidak bisa masak?” kata si-mata-keranjang sambil menaikkan alisnya.

Pandangan itu, pandangan yang meremehkan. Pandangan yang paling aku benci.

“Siapa bilang mas, cuma disini kan peralatan masaknya gak ada, mana bisa aku masak dengan baik, ” kataku mencari alasan. Semoga peralatannya memang tidak ada, semoga.

“Cuma masak nasi goreng, omelet, sop, perlu peralatan apa Lid, rasanya semua sudah ada didapur?” kata si-mata-keranjang.

Apes…

Dengan langkah tegap aku melangkah kedapur. Aduh, gimana sekarang? Kalau kubilang aku tidak bisa masak omelet dan sup, pasti si-mata-keranjang akan menertawaiku. Begini nih, kalau cuma bisa masak kangkung dan ayam goreng. Menu harianku dari dulu.

Ingin rasanya aku bilang tidak mood masak, tapi harga diri yang dipertaruhkan disini, membuatku mau tak mau mengambil pisau dapur dan mulai mengupas bawang.

Kira-kira, cara masak omelet seperti apa ya?

Kulihat si-mata-keranjang masih sibuk dengan laptopnya, dengan pelan aku mengambil handphone dari dalam tas dan kembali kedapur. Syukurlah, masih ada mbah google disaat seperti ini.

Saatnya mencari resep membuat omelet dan sup tahu.

5 menit berlalu...

10 menit berlalu...

15 menit berlalu...

Ternyata sulit juga, tapi tidak ada salahnya mencoba.

Kamu pasti bisa Lid!!!


Andri POV.

Huft, akhirnya selesai juga briefing desain antarmuka proyek ini. Dengan waktu yang cukup terbatas, hasil yang kami peroleh sekarang sudah cukup baik. Tapi sulit juga kalau terus bekerja lewat online meeting seperti ini.

Eh, bau apa ini?

Seperti bau terbakar, jangan-jangan...

Dengan tergesa aku menuju kedapur dan disana kulihat si-celana-dalam-putih sedang berjuang mengeluarkan omelet atau entah apa nama masakan yang sudah berwarna kehitaman itu dari wajan. Terlihat dia kesulitan ketika berusaha mengeluarkan omelet itu dari dalam wajan.

"Sial!!!" kudengar suara makian dari si-celana-dalam-putih ketika tidak berhasil mengeluarkan omelet itu dari wajan.

Tapi tunggu dulu, pantat bulat itu bergoyang dengan indahnya ketika empunya sedang berusaha mengeluarkan omelet nakal itu dari wajan. Dua buah bulatan indah yang begitu empuk ketika aku pegang dulu, empuk dan padat.

Praannggggggggg......bruaakkkk....

"Aduhhhh!!!"

Suara benda terjatuh yang diikuti jerit kesakitan menyadarkanku dari lamunan jorokku. Dengan terburu-buru aku hampiri si-celana-dalam-putih yang memegangi tangannya yang berwarna merah.

"Eh, mas!" serunya terkejut ketika aku memegang tangannya dan menariknya kearah keran air. Kuguyur tangannya dengan air yang mengalir dari keran untuk meredakan rasa sakit dan mengobati panasnya.

"Ayo Lid," kataku sambil menariknya menuju kekamar mandi. Dengan tergesa aku mengambil gel pengurang panas dan mengoleskannya di tangannya yang berwarna kemerahan.

"Stttttt, aduhhh," keluh pelan si-celana-dalam-putih ketika aku mengoleskan gel itu dibagian tangannya yang berwarna merah. Mukanya mengernyit menahan sakit ketika aku selesai mengoleskan gel itu.

"Maaf mas, udah ngerepotin," katanya sambil menunduk.

Bulir keringat terlihat di wajahnya yang memerah, entah kerana panas atau apa.


"Harusnya mas yang minta maaf Lid, "sahutku. "Istirahat dulu Lid, " kataku sambil melangkah menuju dapur.

Dan melihat kekacauan ini, apa si-celana-dalam-putih tidak bisa memasak? Akhirnya, ada satu kelemahannya yang kutahu, selain titik sensitif di ujung telingannya. Kulihat dia menuju ruang tamu dan ampun, pantat itu sangat menantang...


Kulihat sisa telur dan sayuran masih cukup untuk membuat omelet dan nasi goreng. Tahu dan daging ayam belum tersentuh, Saatnya membuat sop tahu dan ayam goreng, pikirku.

Oke, mari kita memasak!


...

1 jam kemudian....

Tok..tok...tok...

Kudengar sayup suara ketukan dipintu dan langkah kaki si-celana-dalam-putih yang membuka pintu.

"Lid, kenapa tanganmu?" suara cempreng dari si-nenek-lampir terdengar.

"Tadi kena omelet mbak, "jawab si-celana-dalam-putih.

"Aduh, pasti Andri yang minta masak ya? Dimana sekarang tu anak?" tanya si-nenek-lampir.

"Eh, didapur mbak," jawab si-celana-dalam-putih.

Kudengar suara langkah kaki pelan menuju kedapur. Dan tak lama kemudian si-nenek-lampir sudah berkacakpinggang di depanku.

"Dasar kau ini, pacar hamil muda disuruh masak, " katanya, yang kujawab dengan cengiran saja.

"Bantuin bawa ini kedepan," kataku sambil menunjuk kearah beberapa menu masakan yang kubuat.

"Eh, masak apa?" tanyanya dan sebelum sempat kujawab dia sudah mencomot satu ayam goreng.

"Enak juga, " katanya sambil menuju ke ruang tamu sambil membawa piring berisi ayam goreng dan omelet. Aku mengikuti dari belakang dengan membawa sup tahu dan nasi goreng.

"Bu, Andri masak besar nih baru ada Lidya, coba kalau aku nyuruh masak, gak bakalan mau, " sungutnya.

"Sudah-sudah, kalian ini bertengkar terus, gak malu apa dilihat Lidya," kata ibu dengan tenang.

"Biarin ja Bu, toh ntar Lidya jadi keluarga kita juga, ngomong-ngomong, piringnya dimana ya?" kata si-nenek-lampir sambil nyengir.

"Bilang aja kalau kelaparan, "sindirku sambil menuju kedapur. Kuambil piring dan perlengkapan lainnya dan membawanya keruang tamu.

"Mari makan!"

"Wah, siapa yang bikin omeletnya?" tanya si-nenek-lampir.

"Mas Andri mbak," jawab si-celana-dalam-putih.

"Wah, makin enak aja omelutmu Ndri," kata si-nenek-lampir.

Kami makan sambil bercakap-cakap ringan. Terlihat senyum mengmbang dibibir ibu, senyum yang terlalu lama tidak kulihat.

Selesai makan kami bercakap-cakap sebentar sampai sekitar pukul sembilan malam. Ditengah percakapan kami, Mbak Anisa menarik tangan si-celana-dalam putih menuju kekamar mandi. Mereka didalam beberapa lama, ketika keluar, terlihat ekspresi Mbak Anisa menahan tawa. Sementara si-celana-dalam-putih terlihat seperti berpikir tentang sesuatu.

Apa yang mereka bicarakan?

"Ndri, ibu pulang dulu, jangan bekerja sampai larut malam, Nak Lidya, kasi tau Andri jangan bekerja sampai malam ya," kata ibu sambil menuju kepintu.

"I know your secret," hanya itu yang dikatakan si-nenek-lampir sambil menutup pintu.

Sekarang tinggal aku dan si-celana-dalam-putih.

"Apa yang dibilang nenek lampir tadi Lid?" tanyaku penasaran.

"Aku sudah bilang kalau aku tidak hamil mas," kata si-celana-dalam-putih pelan.

Sejenak aku terdiam mendengar perkataannya. Sebuah rasa kehilangan muncul dihatiku, kehilangan yang terlalu dini.

"Baguslah kalau begitu, " kataku lirih. "Kita bisa konsentrasi ke proyek kita sekarang dan kau tak perlu pusing mengenai rencana pertunangan ibuku" lanjutku, tak mampu memandangnya lebih lama lagi.

Kulihat kelelahan terpancar dimatanya. Mungkin kelelahan yang sama yang ada dimataku. Tak sadar tanganku mengelus lembut kepalanya sebelum bibirku mendekat, mencium pelan dahinya. Sekarang, tidak terlihat penolakan dimatanya ketika aku memeluk dirinya dengan pelan.

Namun...

Tonjolan empuk yang menekan dadaku membuatku menginginkan lebih. Dengan perlahan kepalaku turun kebawah, kearah bibir tipisnya yang merah dan basah.

Kami berciuman lama dan basah. Lidahku mencoba menerobos masuk kedalam mulutnya, yang disambut dengan liar olehnya. Kami berciuman seolah tidak ada hari esok. Kurasakan penisku mulai mengeras dibawah sana. Dan hal itu dirasakan juga oleh si-celana-dalam-putih.

Tangan kananku menyusup kedalam kaos yang dipakai si-celana-dalam-putih dan melepaskan kait bra yang dipakainya. Sejenak dia tersentak ketika tangan kiriku berhasil menyusup kebalik bra yang dipakainya dan meraba pelan putingnya yang kecil dan mengeras.

"Ssstttsss, mas...," desisan pertama keluar dari mulut mungilnya.

Tangan kananku kuarahkan kebawah, kelapisan celana legging yang dipakainya, sebelum meraba celah yang masih terhalang oleh sebuah celana dalam tipis.

Mulus, tanpa rambut kemaluan. Dan terasa lembab! Nafas kami sudah menderu ketika tangan lentik si-celana-dalam-putih meraba tonjolan yang mengeras dibalik celanaku dan meremasnya pelan.

Jari tangan kananku menyusup kedalam celana dalamnya yang basah dan mencari celah diantara kedua pahanya. Si-celana-dalam-putih tersentak ketika aku berusaha memasukkan jariku kecelahnya.

"Mas! Kita tidak boleh," kata si-celana-dalam-putih sambil mendorong tubuhku dengan agak keras. Tanpa berkata dia melepaskan pelukanku dan berlari menuju pintu. Pantatnya bergoyang ketika dia berlari. Pantat yang hanya bisa kuamati menghilang dari pintu.

Saat sadar aku mencoba berjalan menuju kepintu dan berharap dia belum jauh.

Kubuka pintu dan seorang gadis berdiri didepanku.

"Mas, kok Mbak Lidya kulihat berlari tadi, ada apa mas?" tanyanya heran. "Eh, itu kok bangun? hihihi" lanjutnya sambil tertawa.


Dia. Raisa.


CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 9


Lidya POV

Dengan langkah cepat aku berlari menuju kepintu dan berlari dilorong yang sepi.

Tidak, tidak sepi.

Seorang wanita terlihat berjalan kearahku ketika aku berlari pelan menuju ke lift. Setelah dekat aku baru tahu kalau dia Raisa, sekretaris di Alfa Medika. Sambil tersenyum aku meneruskan berlari menuju ke lift. Bisa kulihat ekpresi keheranan darinya ketika aku lewat disampingnya.

Kubuka pintu lift dan masuk. Dengan nafas terengah aku bersandar dipintu lift. Hampir saja, hampir saja aku tidak bisa mengendalikannya. Lembab masih bisa terasa di antara kedua pahaku. Hufftttt. Ini hanya karena hormon kewanitaanku saja. Tidak lebih.

Ting.

Pintu lift terbuka dan udara segar dari lantai dua ini membuatku sedikit lebih baik.

Sedikit.

Kuambil nafas dalam dan mencoba menenangkan debur diantara dadaku. Dan menenangkan rasa gatal yang tadi membuatku terhanyut.

Dengan pipi yang masih terasa sedikit panas aku melangkah menuju pintu dan mengetuknya pelan.

Tok...tok..tok...

Kutunggu beberapa saat dan belum juga ada jawaban. Kuulangi lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Tok...tok...tok...

Tidak juga ada jawaban. Apa mereka sedang keluar?
Kucoba memutar knop pintu dan dengan pelan pintu terbuka. Mungkin mereka sedang tidur, tapi ceroboh sekali membiarkan pintu terbuka seperti ini. Baru aku mau memanggil Shinta dan Lisa ketika aku mendengarnya.

Suara itu.

Suara lenguhan dari seorang wanita yang sedang terangsang dengan hebatnya. Kumelangkah dengan pelan, berusaha mencari sumber suara itu. Dan kembali, lenguhan itu terdengar dari arah kamar tidur. Dengan sedikit berjinjit aku melangkah mendekat kearah kamar tidur. Dengan desain ruangan yang sama dengan mess di lantai tiga, berarti kemungkinan suara itu berasal dari kamar tidur atau kamar mandi.

"Ughhh...,"

"Ssttttt...,"


Suara desisan dan lenguhan samar mulai terdengar lebih keras. Kuiintip perlahan dari balik pintu kamar tidur dan hanya ranjang kosong yang terlihat. Tapi tunggu!

Diatas lantai kamar tidur terlihat pakaian berserakan bahkan sepasang celana dalam warna pink dan ungu terlihat di pinggir ranjang. Sebuah koper terdampar ditengah kekacauan itu, seolah menjadi pertanda akan ketergesaan pemiliknya. Kalau disini kosong...

Berarti...

Kulihat pintu kamar mandi yang terbuka, suara itu terdengar dari sana.Dengan langkah yang semakin pelan aku menghampiri pintu kamar mandi yang sedikit terbuka.

Pemandangan yang ada didalam kamar mandi membuat pangkal pahaku terasa gatal. Nafasku semakin menderu dan bisa kurasakan wajahku memanas.

Didalam kamar mandi, terlihat Lisa berbaring dilantai mengahadap keatas. Wajahnya tertutupi oleh pantat lebar milik Shinta, yang mengangkang diatasnya dengan vagina yang dijilati dengan telaten oleh Lisa. Posisi 69 yang mereka lakukan membuat kehadiranku tidak dirasakannya.

Rasa gatal di pangkal pahaku semakin menghebat, bisa kurasakan sedikit cairan sudah mulai mengalir diantara pahaku, turun ke bagian kaki. Dengan nafas yang mulai memburu kulangkahkan kakiku mundur menjauhi pintu kamar mandi.

Dan...

Gubraakkkkk....


"Aduhhhhhh!" seruku tak sengaja, ketika pantatku menyentuh lantai setelah menabrak koper yang terletak ditengah ruangan. Dengan kesal aku menoleh kebelakang, kearah koper yang sekarang isinya berantakan keluar. Beberapa koleksi pakaian dalam berwarna cerah menyita perhatianku.

Punya Shintakah?

Dan ketika berbalik, dua pasang kaki yang jenjang terlihat didepanku dan ketika aku melihat keatas, Lisa dan Shinta memandangku dengan pandangan 'lapar'.

Ohhhh, tidakkk....


Andri POV.

Dengan malu aku berusaha menutupi tonjolan diselangkanganku.

"Ngapain ditutupin mas? Kan Is dah pernah lihat bahkan pernah rasain juga,hihihi" kata Raisa dengan centil.

Benar juga.

"Eh, masuk dulu Is," kataku sambil menyilahkan Raisa untuk masuk.

Dengan tersenyum simpul Raisa masuk dan ketika dia lewat didepanku, tangan kirinya menutup pintu sedangkan tangan kananya meremas kejantananku dengan pelan.

"Makin besar aja nih mas, Is kangen banget nih, "katanya sambil meremas-remas penisku dengan lembut. Nafsuku yang tadi sempat turun sekarang dengan cepat naik kembali."Mas, udah boleh main belum?" tanya Raisa sambil membuka kancing kemejaku.

"Boleh si Is, tapi gak boleh gerak yang banyak," jawabku dengan serak.

"Hmmmmm, kalau begitu, kesini mas, "katanya sambil menarikku kesofa. Dengan pelan dia membuka semua kancing kemejaku. Sekarang, tangannya membuka kancing celana kain yang kupakai dan dengan perlahan celana dan boxerku melorot kebawah.

"Ini nih yang bikin punya Is kerasa keganjel, sekarang muat gak ya? Dari pas M belum pernah yang masukin punya Is lagi," kata Raisa sambil berlutut dan kepalanya dengan cepat maju mundur dipenisku yang telah menegang dengan sempurna sekarang.

"Ahhh Is, " seruku ketika mulut Raisa yang ahli mengulum dan menjilati seluruh penisku. ketika mulutnya bekerja, tangannya tak tinggal diam, mengelus bola-bola yang menggantung itu dengan lembut. Membuat nafasku semakin cepat dan keras.

Sialll, tehniknya jempolan!

"Is, udah, nanti keburu keluar," kataku sambil memegang kepalanya dan duduk di sofa.

Dengan tersenyum puas Raisa berdiri. Dan sekarang, tangannya membuka kancing blouse yang dipakainya sehingga terlihat bra warna krem yang digunakannya. Tangan Raisa sekarang terulur kebelakang punggungnya dan akhirnya bra itupun terjatuh kelantai. Namun aku belum bisa melihat payudaranya karena tangannya menghalangi.

Dengan menelan ludah aku melihat Raisa berputar ditempat dengan pelan, pantatnya yang sekal terlihat bulat dibalik rok kain yang digunakannya. Dan semakin membulat ketika dia menunduk dan menggoyangkan pantatnya dengan pelan. Ketika dia bangun dan berjalan mendekat kearahku, Payudara Raisa yang membulat putih dan terlihat begitu menggoda tersaji didepan mataku.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku mengulum putingnya yang berwarna merah kecoklatan, tanda sudah lumayan sering menerima kuluman lelaki. Tanganku meraba naik kepaha Raisa yang putih dan berlabuh di celah sempit yang sudah menganga basah.

Tunggu, tanpa celana dalam, lagi?

Aku pandang Raisa yang tersenyum menggoda, seolah tahu apa ayang ada dipikiranku. Celah yang basah itu sungguh menggodaku.

"Jangan mas," seru Raisa ketika aku hendak memasukkan jariku kedalam celah yang sempit itu. Kupandang Raisa dengan pandangan bertanya. "Langsung masukin aja mas, keburu malam nanti," kata Raisa sambil menaikkan roknya sebatas perut dan naik kepangkuanku.

Jika Kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah..
Aku, dia dan mereka memang gila memang beda,,
Tak perlu berpura-pura,, memang begini adanya..

Dan kami di sini,,, akan terus bernyanyi…
Petikan lagu SID dari handphoneku membuatku ragu, antara...

"Mas, ambil saja dulu HPnya," kata Raisa sambil tersenyum jahil.

Aduhhhh,apa yang akan dilakukannya???

Chapter 20
Part 10



Galang POV

Apa benar ini tempatnya?

Sepintas, tidak seperti tempat yang sering aku kunjungi. Dari luar, tidak ada papan nama atau security berbadan kekar yang menjaga. Tidak juga ada mobil-mobil yang biasanya berderet di sepanjang parkirnya. Memang, aku juga berjalan kaki menuju tempat ini.

Tapi, apakah yang lain juga mau begitu?

Dengan sedikit ragu aku menuju kepintu rumah yang bergaya victorian ini.Dari pintu pagar yang terbuka menuju kepintu, sebuah jalan setapak membelah padang rumput yang terhampar. Pintu rumah dalam keadaan yang terbuka. Kembali rasa ragu menghampiri.



Dengan memantapkan hati, aku melewati pintu dengan pelan dan seorang gadis menyambutku dari belakang meja setinggi pinggul.

"Selamat datang di Victorian Club, ada yang bisa saya bantu mas?" tanyanya dengan ramah. Kuamati sebentar dirinya.

Pakaiannya seperti gadis kantoran dengan blouse yang rapi dan ketat. Wajahnya manis, dihiasi dengan lesung pipit. Gaya bicaranya halus dan tenang, seperti gadis yang terpelajar. Tidak seharusnya dia berada ditempat seperti ini...

"Hmmm, apa perlu ditanya lagi keperluan saya?" jawabku dengan tenang.

Sigadis resepsionis tersenyum, bibirnya yang merah membentuk garis lengkung yang menawan.

"Kalau begitu, pertanyaannya sama ubah, cari gadis yang seperti apa?" tanyanya dengan menggoda.

Ini baru benar!

"Yang anda rekomendasikan siapa?" tanyaku balik.

Kembali dia tersenyum. Dengan tenang dia mengambil sebuah tablet phone dan menunjukkan koleksi gadis-gadis yang ada disana.

Semakin canggih rasanya, bisnis seperti inipun sudah menggunakan tekhnologi seperti ini. Kuambil tablet yang diberikannya, foto gadis-gadis seksi dengan keterangan lingkar dada, ukuran payudara, tinggi, berat serta feenyapun ada. Ada juga pilihan tempat serta ruangan yang diinginkan beserta fee per jamnya atau perhari jika memilih long time.

Benar-benar beda dengan biasa yang kugunakan, dan semoga yang aku caripun ada disini.

"Sudah ada pilihan mas?" tanya sigadis resepsionis dengan tersenyum.

"Hmmm, bisa bantu yang mana yang bagus?" kataku diplomatis.

"Hmmmm, kalau suka yang 'baru' dan belum pengalaman, ini pilihan yang bagus," katanya sambil menunjuk foto seorang gadis yang terlihat lugu."Yang ini bisa depan, belakang, atas atau bawah, yang ini suka blowjob," terangnya sambil menunjuk setiap foto yang dimaksudkannya.

"Hmmm, yang ini paling 'ganas' diantara semuanya mas, bisa diajak semua gaya, tapi untuk pintu belakang ada fee khusus dan harus pake pengaman," terangnya sambil menunjuk seorang gadis yang terlihat manis dengan rambut sebahu. Matanya terlihat tajam dengan payudara yang sedang. Pantatnya terlihat lumayan menonjol kebelakang.

"Oke, yang ini saja, long time," kataku sambil tersenyum.

"Baik mas, oh iya, disini bayarnya langsung disini, dan jumlahnya ini," katanya sambil menunjukkan tabletnya, yang sekarang berisi angka.

Lumayan, 8 digit. Pikirku.

Setelah menyelesaikan pembayaran, sigadis resepsionis memberikannya satu buah kunci yang bertuliskan nomer kamar.

No 3.

"Mari saya antar mas," katanya ramah sambil melangkah ketangga. Dan, tunggu!

Kucabut pernyataan kalau pakaiannya rapi seperti gadis kantoran. Karena ternyata dibagian bawahnya dia tidak mengenakan apapun kecuali thong warna putih dengan garter belt dan stocking warna hitam. Kontras dan seksi dikulitnya yang putih dan pantat yang lumayan membulat.Pantat yang sekarang berlenggok dengan pelan didepanku.

Kami menuju ke lantai dua rumah yang luas ini. "Ada berapa kamar disini mbak?" tanyaku penasaran.

"Dilantai dua ada 10 kamar mas, kalau lantai dasar ada 5 kamar, jadi totalnya ada 15 kamar," sahutnya dengan lugas.
"Dan ini kamar mas,"katanya ketika kami tiba di kamar yang terletak tidak jauh dari lorong. "Semoga berkenan ya mas," katanya sambil tersenyum.

"Mau ikut mbak?" godaku sambil memandangnya dengan serius.

"Ah mas bisa aja, saya tugasnya kan didepan sekarang," katanya dengan wajah memerah.

"Habis tugas kan bisa," godaku lagi.

"Lihat nanti mas, itupun kalau kantong mas yang ada dibawah masih ada sisanya, " katanya sambil melangkah menjauh. Pantatnya terlihat sengaja digerakkan dengan lebih keras ketika berjalan menjauh.

Kupandang daun pintu yang menjadi pemisahku dengan bidadariku malam ini.

Semoga aku bisa menemukan apa yang kucari malam ini, semoga.

Keketuk pintu dengan pelan.

Tok..tok...tok...

Tak lama kemudian pintu terbuka, dan seorang gadis yang lebih cantik dari difoto terlihat di ambang pintu.

"Mari masuk mas," katanya sambil melangkah kesamping hingga aku bisa melangkah kedalam.

Kuamati kamar bergaya victorian ini, sebuah ranjang kingsize dengan ranjang yang cukup tinggi serta meja kecil diujung ranjang. Sebuah sofa terletak didekat dinding yang berhiaskan sebuah lukisan abstrak. Diujung kamar terlihat sebuah kamar mandi yang hanya dibatasi dengan kaca transparan. Sungguh bernuansa seksi dan menantang.

Dan sekarang, kualihkan perhatianku kepada bidadari yang akan menemaiku melewati malam ini. Dengan dress hitam ketat warna hitam yang begitu kontras dengan kulit putihnya. Sebuah highhell berwarna senada dengan dress yang dikenakannya menambah kesan eksotiknya. Make up minimalis serta anting sederhana yang menghiasi wajahnya terlihat menonjolkan kecantikannya.

"Mau minum apa mas?" tawarnya dengan ramah.

"Sooft drink aja," kataku sambil duduk disofa.

Kuamati dirinya ketika mengambil soft drink di mibar yang terletak disebelah meja kecil disamping ranjang. Pantatnya yang lumayan besar terlihat membulat ketika yang punya membungkuk ketika mengambil minuman. Tak terasa sesuatu yang dibawah mulai menggeliat pelan.

"Ini mas minumannya," katanya sambil membungkuk, memberikan kaleng minuman ketanganku. Sebuah pemandangan yang indah tersaji didepanku ketika dia membungkuk, pemandangan sebuah lembah yang diapit dua buah bukit yang membulat indah yang tak dibungkus apa-apa kecuali dress hitam.

Aku tersenyum atas minuman yang diberikannya kepadaku dan pemandangan indah yang tersaji tadi. Dia juga terlihat tersenyum ketika tahu aku memperhatikan tubuhnya.

"Oh iya, Listia, panggil aja Tia mas," katanya sambil mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya.

"Galang," sahutku singkat sambil menyambut uluran tangannya.

Halus dan hangat. Pikirku ketika tanganku menjabat tangannya.

Tia duduk disampingku disofa, samar, harum bunga mawar tercium dari tubuhnya. Kuminum soft drink yang diberikannya kepadaku. Kugelengkan sedikit kepalaku yang terasa sedikit kaku.

"Mau Tia pijet bahunya mas?" tanyanya dengan ramah.

"Boleh Tia," jawabku spontan.

Kuletakkan kaleng soft drink yang kuminum dilantai, kugeser tubuhku sehingga punggungku menghadap kearah Tia. Dengan perlahan Tia memijit bahuku dari balik kemeja yang kukenakan. "Tia buka ya mas," katanya sambil membuka kemejaku dari belakang. Otomatis dadanya menekan punggung, rasa hangat dan kenyal dari dua buah bukit dipunggungku membuat penisku mulai menggeliat dibawah sana.

Tangan lentik Tia mulai memijat pelan bahu dan kepalaku, untuk seorang dengan profesi sepertinya, pijatannya lumayan enak. Setelah lewat sepuluh menit, perlahan, tangan itu turun kebawah, kearah pinggang dan menuju kedepan. Tangan lentik itu mulai mengelus tonjolan yang ada didepan tubuhku.

"Mas, Tia mau mandi dulu ya," kata Tia setelah sekitar 15 menit memijat bahuku. Kuamati ketika dia berbalik dan menuju ke kamar mandi yang terletak disudut ruangan. Tangannya sekarang terulur kebelakang melewati kepalanya, membuka simpul gaun dibelakang lehernya. Perlahan, gaun hitam ketat itu terjatuh kelantai yang dingin, menyisakan pinggul yang membulat dan tonjolan pantat yang padat sempurna.

Dengan langkah anggun Tia melangkah menuju kekamar mandi, pantatnya bergoyang dengan pelan, seolah tau, ada mata yang memandang dengan kagum.

Suara keran shower menandakan ritual mandi Tia dimulai. Dari balik kaca yang semi transparan, gerakan gemulai Tia membuat nafsuku naik. Sambil tetap memperhatikan kaca yang sekarang sedikit buram karena terkena air, celana panjang dan dalam kuturunkan. Sebagai gantinya, sebuah handuk kulilitkan dipinggang.

Tak berapa lama, Tia keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang menutupi sebagian payudaranya. Dengan tersenyum dia mendekatiku yang sekarang duduk diranjang yang cukup tinggi. Dengan gaya menggoda, handuk yang menutupi tubuhnya terjatuh kelantai, hingga tubuh indahnya yang putih mulus sekarang terhidang didepanku.

Payudara yang tidak terlalu besar namun dengan puting yang masih kemerahan dan tergantung dengan indah. Perut yang rata, pinggang yang kecil. Pandanganku turun kebawah, kearah vaginanya yang bersih dan garis lurus yang memanjang menandakan masih jarang digunakan.

Hmmmm, sekali lagi bukan yang kucari...

Dengan tersenyum kutarik tubuhnya mendekat dan seolah mengerti yang kumau, Tia menciumiku dengan lembut dan pelan. Seolah waktu menjadi milik kami berdua sekarang. Perlahan tangan Tia membuka handuk yang kukenakan dan membelai penisku yang sudah menegang dengan sempurna.

"Hmmmpphhh," suara Tia pelan ketika tangannya mencoba mengukur penisku. Bisa kurasakan sedikit kekagetan diwajahnya ketika dia memegang penisku, yang tidak terlalu panjang namun cukup besar. Kulepaskan ciuman Tia dan mulutku menyusuri pinggiran payudaranya yang padat.

"Sssttt...mas...," desisan keluar perlahan dari bibir Tia ketika lidahku bermain di putingnya yang mulai mengeras. Tangannya beralih dari penisku dan meremas rambutku dengan pelan. Tangan kiriku sekarang meremas pelan pantatnya yang membulat sedangkan jari tangan kananku turun kebawah, bermain-main di lipatan vaginanya yang sudah mengeluarkan cairan pelumas.

"Aaahhhh, mas...," desis Tia ketika jariku menggosok klitorisnya yang masih tersembunyi. Tangannya semakin keras meremas rambutku dan sekarang pinggulnya bergerak-gerak seolah ingin kenikmatan lebih dari jariku.
Dan...

"Massssssss!!!" jeritnya ketika pinggulnya bergerak liar dan menjepit tanganku, punggungnya melengkung dengan indah yang diikuti dengan nafas yang memburu. Kurasakan cairan menyembur dari vaginanya yang sekarang terlihat berkilat.

Squirt? Secepat ini?

Dengan pandangan bertanya dan kagum aku pandangi wajah Tia yang berkeringat dan berwarna kemerahan setelah squirting orgasme yang cepat. Terlihat dia sedikit malu dengan pandanganku.

"Maaf mas, tangannya jadi basah," kata Tia dengan nafas yang sedikit memburu. Dia kemudian memegang tanganku yang basah dengan cairannya dan mengulumnya dengan sensual. Setelah jariku bersih, dengan sedikit terengah Tia berlutut dan menciumi perlahan penisku sambil memandang keatas, kearahku yang menikmati perlakuannya.

Ting..ting...ting...
Ting..ting...ting...
Ting..ting...ting...


Suara nada dering dari handphoneku terasa sangat mengganggu.

Sial. Herman, semoga ada berita bagus kali ini. Pikirku.

Kuambil handphoneku dan memberi isyarat Tia untuk tetap melanjutkan ciumannya.

"Halo Her...," sapaku.

"Lang, dimana kau sekarang?" tanya Herman tak sabaran.

"Biasa," jawabku singkat. Sementara Tia sudah memasukkan penisku kedalam mulutnya dan mulai mengulumnya. Terlihat dia sedikit kesulitan mengulum semua penisku.

"Dasar! Bagaimana kalau yang lain tahu? Sudahlah, ada kabar baru dari Bram, dia berhasil mendapatkan sesuatu dari file video itu dan meminta kita kesana sekarang," kata Herman dengan tegas.

"Hmmm, baiklah, tunggu aku ditempatnya Bram," kataku sambil menutup telepon. Sementara dibawah sana, Tia menguum penisku dengan cepat.

Kupegang kepalanya dan kulepas penisku dari mulutnya. "Kita quickie saja dulu ya, nanti habis kerjaan mas kesini lagi," kataku pada Tia yang dijawab anggukan. Tia berdiri dan menuju salah satu meja yang di samping ranjang dan mengambil sebuah kondom!

Dengan langkah menggoda Tia menuju kearahku dan menunduk. Dia memasangkan kondom dengan menggunakan mulutnya!

Aku bangkit dari ranjang dan meminta Tia berpegangan disisi ranjang, sementara pantatnya diarahkan padaku. Kumasukkan jariku kedalam vaginanya yang sempit.

"Ssstt,,, mas," desis Tia manja ketika satu jariku kugerakkan di vaginanya. Nafas Tia semakin memburu ketika dua jariku sekarang mengocok keras dan cepat vaginanya yang sudah basah kuyup.

"Mas, cepetin!!!" pinta Tia dengan nafas yang memburu. Kukocok dengan cepat vaginanya dan...

Syuurrrrrr.....

Cairan orgasmenya kembali memancar dengan deras, terlihat Tia melengkungkan tubuhnya dengan indah, jariku terasa dicepit dengan kuat divaginanya yang memerah dan basah. Nafasnya semakin memburu dan kulihat tungkainya sedikit gemetar.

"Tia, mas masukin ya?" tanyaku sambil mengarahkan penisku ke depan vaginanya yang masih mengeluarkan sedikit cairan.

"Pelan-pelan ya mas," kata Tia sambil melebarkan kakinya dan menoleh kearahku dengan mata yang sayu dan menggigit bibirnya yang ranum.

Dengan pelan kucoba memasukkan penisku ke vaginanya yang sempit. Walaupun sudah sangat basah, aku cukup kesulitan memasukkannya.

"Ughhhh, mas, tunggu,, perih...," desah Tia ketika kepala penisku berhasil menyeruak kedalam celah sempitnya. Kudiamkan sebentar kepala penisku disana. Payudaranya yang menggantung bebas kuraih dan kuremas, sambil mulutku menciumi punggungnya yang sedikit berkeringat. Perlahan, kepala penisku kucabut dan kumasukkan dengan perlahan. Rintihan Tia pelan tapi pasti berubah menjadi desahan ringan.

"Ehhmmm...mas...pelanin...," desis Tia ketika aku memasukkan sedikit lebih dalam dan dalam. Tangan Tia menahan pinggulku maju lebih dalam lagi. Dengan sabar kutarik mundur sampai hampir terlepas dan masuk lagi sampai Tia menahannya. Begitu beberapa kali sampai hampir semua penisku berhasil menyeruak kedalam liangnya yang sangat ketat.

"Mas, Tia diatas ya?" pintanya yang kujawab dengan mencabut penisku dan melangkah keatas ranjang lalu berbaring dengan penis menghadap keatas.

Tia naik keatas tubuhku dan menggigit bibirnya ketika berusaha memasukkan penisku kedalam liangnya. Payudaranya yang menggantung sekarang bebas kuremas.

"Sstttt...ahhh, mas, kerasin," pinta Tia yang tentu saja kuturuti dengan senang hati. Tia sekarang menggerakkan pinggulnya melingkar dan menggerakkan otot kegelnya sehingga penisku serasa diremas-remas didalam. Nafas Tia mulai memburu, itu artinya orgasmenya semakin dekat.

"Ahhhhhhhhhh....masssssss... Tia udah maauuu dappheetttt... lagi," kata Tia terbata-bata. Gerakan pantatnya semakin liar dan cepat. Remasanku di payudaranya juga semakin keras. Dan akhirnya kurasakan tubuhnya bergetar sesaat dan punggungnya melengkung kedepan. Matanya sedikit mendelik hingga hanya putihnya saja yang kelihatan. Vaginanya meremas penisku dengan kuat sehingga akupun tak tahan lagi.

"Masssssss, Tia....Tiaaaaa nyampeeeeeee!!!" teriak Tia dengan keras sehingga mengejutkanku. Cairan vaginanya kurasakan mengalir disepanjang batang penisku. Terasa hangat. Basah.

Kucium mulut Tia sehingga desahannya sedikit teredam. Sekarang kugerakkan penisku dari bawah dengan cepat dan keras.

"Ughhhh,,mahss," desah Tia sedikit kurang jelas karena mulutnya yang kucium dan payudaranya yang kuremas dengan keras. Terasa Tia sedikit meronta ketika penisku masuk sampai pangkalnya dan mengocok dnegan keras dan cepat.


"Massssssssssss!!!" teriak Tia ketika ciumanku terlepas dan tubuhnya diangkat dan....

Syurrrrrrrrr...

Cairan orgasmenya menyemprot dengan keras, membasahi perut dan ranjang. Aku yang sudah dekat dengan orgasme membalikkan tubuh Tia sehingga aku berada diatas dan Tia dibawah. Kulepas kondom dan kukocok penisku didepan wajahnya. Diluar dugaannku, Tia bangun dan mengulum penisku sampai kepangkalnya. Terlihat matanya sedikit mendelik ketika penisku menyentuh kerongkongannya.

"Ahhh, Tia!!!" desisku ketika spermaku menyembur kedalam mulut Tia, mungkin langsung tertelan olehnya.

"Ugghhh,,uhukkk.uhukk.uhukk...," Tia terbatuk ketika penisku sudah keluar dari mulutnya. Wlaupun terbatuk, hebatnya tak ada lelehan sperma yang terlihat dari mulutnya. Semua tertelan olehnya!

Kami terbaring dengan nafas yang menderu beberap lamanya. Sebelum dengan malas aku melangkah kekamar mandi dan mulai mandi.

Bisa ngamuk si Herman kalau mencium bau wanita dari tubuhku, pikirku dengan geli.

Sehabis mandi aku kembali keranjang dan terlihat Tia tidur dengan lelap. Kelelahan, mungkin.

Aku beranjak kepintu.

Saatnya bekerja.


~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

"Halo Her...,".

"Lang, dimana kau sekarang?".

"Biasa,".

"Dasar! Bagaimana kalau yang lain tahu? Sudahlah, ada kabar baru dari Bram, dia berhasil mendapatkan sesuatu dari file video itu dan meminta kita kesana sekarang,".

"Hmmm, baiklah, tunggu aku ditempatnya Bram,"


Rekaman itu berhenti ketika seorang wanita menekan tombol pause di sebuah alat yang ada di sampingnya.

"Bagaimana sekarang bos?" tanyanya.

"KIta tunggu dulu perkembangannya," kata lawan bicaranya sambil berjalan keluar. "Kau awasi saja kedua orang itu, aku ada sesuatu untuk dikerjakan sekarang," serunya.

"Oke boss, "sahut si wanita sambil mengambil sebuah alat perekam lain dari sebuah laci.

Saatnya memasang alat yang lain, pikir siwanita sambil melangkah kepintu.
~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

Lidya POV

Dua pasang kaki yang jenjang terlihat didepanku dan ketika aku melihat keatas, Lisa dan Shinta memandangku dengan pandangan 'lapar'.

Ohhhh, tidakkk....

Berhadapan dengan dua orang yang biseks seperti mereka, rasanya malam ini akan menjadi malam yang panjang.

"Lis, apa nih hukumannya orang yang masuk tanpa ijin dan ngintip?" tanya Shinta kearah Lisa yang wajahnya masih memerah.

"Gimana kalau kita telanjangin aja?" jawab Lisa sambil tersenyum jahil.

"Cuma ditelanjangin aja?" tanya Shinta sambil mengelus vaginanya yang sama seperti milikku, polos, tanpa sehelai rambut yang menutupinya.

"Hmmmm, kalau disuruh untuk puasin kita berdua, sanggup gak ya?" Kata Lisa dengan jahil.

"Eh, kalian lanjutin aja lagi, aku mau keluar aja," elakku. Bukannya tak mau, tapi besok hari yang berat, dimana aku harus melanjutkan kerjasama dengan si-mata-keranjang untuk proyek yang deadline demo lagi dua hari. Dan kalau harus seruangan dengan dua macan betina yang lagi dimabuk birahi, aku takut besok tak akan bisa bangun pagi.

Kulihat Lisa dan Shinta saling pandang. Wajah mereka sama-sama dihiasi senyuman mesum dan seolah sudah diatur sebelumnya, mereka maju dan membuatku bangun dari dudukku dilantai. Mereka terus menghampiri sampai aku terdesak diranjang.

"Eh, kalian kenapa?" tanyaku dengan bingung melihat mereka menghampiriku dengan wajah yang kelabu berselimut gairah. Dengan serempak mereka memegang tanganku, bedanya, Lisa memegang tanganku sambil menaikkan kaos yang kupakai dan menciumku, sedangkan Shinta memegang tanganku sambil meloloskan celana legging yang kupakai.

"Ughhh, Shin...," desisku ketika celana dalamku terlepas dan bisa kurasakan tangan Shinta menggesek pelan klitorisku. Sejenak mereka melepaskan tanganku dan sama-sama memandangku dengan heran.

Dengan nafas yang terengah-engah aku memandang bingung kearah mereka.

"Lis, tau gak, ternyata Mbak Lidya sudah basah, hihihi,"
kata Shinta kepada Lisa yang tak urung membuatku merasa malu.

"Iya nih, kaitan bra nya juga terlepas, rasanya ada yang baru kabur dari kandang macan,hihihi, "tawa Lisa mengetahui keadaanku. Wajahku kembali memanas, tertangkap basah dengan keaadaan seperti ini.

Kembali mereka memandangku dengan bernafsu dan sekarang mereka mendorongku hingga jatuh keranjang. Yang baru kusadari adalah kesalahan yang fatal karena dengan mudah Lisa mencium bibirku dan meloloskan kaos serta bra yang kupakai, sedangkan dibawah, Shinta memegang kakiku dan lidahnya yang panas kurasakan menelusui pahaku, menuju keatas, keatas lagi dan...

"Shinnnn!!!" teriakku ketika ciumanku dengan Lisa terlepas dan lidah Shinta menciumi bibir vaginaku dengan rakus. Ciuman yang bergerak keatas, kearah klitorisku yang sensitif. Dan penderitaan, atau lenih tepatnya, kenikmatan, itu bertambah dengan hisapan Lisa di putingku yang sudah membengkak sedari kamar si-mata-keranjang dan pilinan jarinya diputing yang satu lagi.

"Ssstttt, Shin, Lis, sudah...," tolakku, hanya untuk menjaga wibawaku sebagai atasan mereka.

Wibawa yang hancur ketika aku malah menekan kepala mereka lebih dekat dan lebih keras dengan bagian sensitif ditubuhku yang semakin sensitif dibakar birahi ketika rasa itu semakin dekat!

"Ssstttt..ahhhh," teriakku sedikit keras ketika Shinta mencium dengan intens klitorisku sedangkan Lisa mencium putingku dengan rakus. Tubuhku terasa mulai ringan, rasa itu mulai berkumpul di seluruh sel-sel tubuhku sebelum berkumpul menjadji satu di vaginaku.

"Aaahhhhhhhh, Mbak nyampeee!!!" teriakku ketika rasa itu meledak dibawah sana. Tubuhku melengekung namun tertahan oleh ciuman Lisa di payudaraku. Sesaat tulangku rasanya mau copot dan tubuhku melemas. Mengtahui aku sudah orgasme hebat, bukannya berhenti, Lisa malah semakin keras mencium payudaraku yang sudah memerah, sedangkan Shinta mencium klitorisku dengan semakin keras.

Lisa kembali menciumiku dengan ganas, tanganku yang bebas, sekarang gantian meremas payudara Lisa. Putingnya kupencet dengan keras, mengekpresikan kenikmatan yang aku dapat dari ulahnya dan Shinta. Dikeroyok seperti ini membuat nafsuku kembali naik dan tak perlu waktu lama ketika aku kembali berteriak histeris ketika orgasme yang tak kalah hebatnya menerpa diriku.

Kami sekarang terbaring bersama di ranjang ini, nafasku masih terengah akibat orgasme yang bertubi-tubi aku dapatkan.

Lisa bangkit dan memandangku dengan menggoda.

"Mbak, siap untuk ronde berikutnya?" tanyanya sambil memperlihatkan sebuah dildo dan vibrator yang diambilnya dari koper yang masih terjatuh dilantai.

"Iya nih mbak, sudah siap?" tanya Shinta. Ditangannya kulihat ada tali pramuka dan lakban hitam. Entah darimana dia mendapatkan benda-benda itu. Dan entah untuk apa benda-benda itu.


Ouwh tidak...Jangan-jangan...

"Hmmm, mbak mandi dulu ya," kataku pelan.

"Yakin gak mau sekarang mbak?" tanya Lisa sambil mulai memainkan vibrator yang ada ditanganya ke celah diantara paha Shinta.

Dengan tersenyum aku memandang mereka yang sudah saling belit diranjang. Desahan nikmat mulai terdengar saling bersahutan.

Dengan berjingkat aku memakai leggingku, kali ini tanpa daleman, demikian juga dengan kaosku. Sambil berjingkat aku berjalan kepintu.

"Eh, Mbak Lidya, jangan lari," kata Lisa sambil berusaha mengejarku yang sudah ada didepan pintu.

"Lain kali ya Lis," kataku sambil membuka pintu dan berlari menuju lift!

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

Andri POV

Dengan ragu kuambil handphoneku, dari Edy. Raisa tersenyum manis dan naik keatas sofa dengan posisi vagina yang merekah basah menempel di penisku yang sudah tegang.

"Halo Dy?" kataku.

"Halo Ndrii, gimana perkembangan demo proyeknya?" tanyanya, seperti biasa, langsung ke permasalahan.

"Sudah hampir selesai Dy, tinggal membuat presentasi dan menyempurnakan desain antarmukanya saja," kataku senormal mungkin. Raisa dengan senyum menggoda menurunkun badannya dengan pelan. Vaginanya yang sempit serasa memilin penisku disana, apalagi otot kegelnya yang digerakkan dengan kuat. Pijitan vaginanya serasa hendak memeras penisku didalam sana.

Baguslah kalau begitu, siapa yang akan demo nanti?tanyanya dengan pelan.

"Aku sama Lidya Dy," kataku singkat, menahan desahan akibat pijatan otot kegel Raisa dibawah sana.

Oke Ndri, keep up the good job, kata Edy sambil menutup telepon.

"Ugghhhh," desisku pelan.

"Gimana mas? Enak?" tanya Raisa dengan pelan.

"Sangat, " sahutku jujur sambil berusaha mengeluarkan payudaranya.

"Jangan mas, nanti kusut," tolak Raisa sambil menggerakkan tubuhnya naik turun dengan cepat di penisku. Gerakan naik turun yang sekali-sekali berganti dengan gerakan memutar. Rasanya sukar dilukiskan.

"Ahhhh, masss, penis mas besar sekali, Is kangen dari waktu ni," ceracau Raisa dengan gerakan pantat yang semakin cepat.
Nafsuku yang sudah naik dari pagi melihat pakaian si-celana-dalam-putih mendapat pelampiasan.

"Masssss, Is dah mau dapet, mas masih lama?" tanyanya dengan suara yang mendesah. Serak dan basah.

"Udah deket Is, berengan ya," sahutku sambil meremas pantatnya yang bulat. Gerakan pantat Raisa semakin cepat dan kacau, tanda dia sudah dekat mencapai orgasme.

"Ssstttttttt ahhhh, mas!!! Is dapetttttt....ahhhhh," teriak Raisa kektika oragasme itu melandanya. Tubuhnya kaku sejenak dan punggungnya melengkung kebelakang. Vaginanya menyedot begitu kuat hingga akupun tak tahan, dan...

"Is, mas juga nyampeee," kataku dengan terbata. Beberapa kali semprotan sperma didalam rahimnya membuat Raisa melenguh nikmat. Dengan cepat dia bangkit dan mengulum penisku yang mulai menyusut.

"Ahhhh, Is!" seruku ketika dia menyedot kuat penisku, serasa sedikit ngilu. Kulihat sedikit lelehan sperma dipaha dan mulutnya. Dia mengambil tissu basah dari tasnya dan mengelap lelehan sperma di paha dan mulutnya.Untungnya, bau omelet agak menyamarkan bau persetubuhan kami.

Tok..tok..tok...

Ketukan di pintu terdengar dengan agak keras. Aku dan Raisa saling pandang. Dengan terburu-buru kami merapikan diri masing-masing.

"Masuk!" seruku ketika merasa kami sudah sedikit lebih rapi.

Di pintu, sicelana-dalam-putih terlihat dengan keadaan yang sedikit awut-awutan.

"Eh, Mbak Raisa,mas, aku mau beli sesuatu keluar dulu ya," katanya sambil menuju kemeja dan mengambil handphonenya. Terlihat sedikit noda basah dibagian pahanya.

Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?

Kulihat dia mengambil jaket dan tasnya dari dalam koper yang ada diruang tidur. Pantatnya yang bulat terlihat begitu indah ketika tersorot cahaya lampu yang temaram di kamar tidur. Alis Raisa sedikit terangkat melihat kejadian ini. Aku hanya bisa tersenyum melihat ekspresi keheranan dari Raisa.

"Mas, ini dokumen yang aku maksud, kalau sudah selesai, nanti dikembalikan ya, aku juga mau balik sekarang," kata Raisa sambil tersenyum. "Hihihi mas, yang panjang dipendekan saja lagi, biar gak ribet, alihkan perhatian mas dari tu pantat,hihihi" bisiknya sambil melirik kearah selangkanganku yang masih sedikit terlihat membengkak.

"Mas, aku balik dulu ya, sekalian sama Lidya," kata Raisa ketika melihat Lidya sudah bersiap untuk keluar.

"Iya mas, Lidya keluar sebentar ya," kata Lidya sambil melangkah kepintu.

Dan sekarang hanya tersisa aku yang memandang bengong pintu yang menutup.

Aduhhhhhh....

Si-celana-dalam-putih yang sulit ditebak, Raisa yang nakal. Hari yang berat.Aku tersenyum ketika mendengar perkataan Raisa, memendekkan yang panjang, memang semudah itu? Untung sudah sempat keluar tadi, kalau tidak, bisa sakit nih kepala.

Memendekkan yang panjang.hahaha, ada-ada saja Raisa. Tapi tunggu, memendekkan yang panjang? Sekelebat bayangan sebuah file terlintas dibenakku.

Jangan-jangan..

Kuambil laptop dan membuka file hasil ekstrak dari video trojan.avi.

Ternyata, itu artinya!


CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 11



Andri POV

Ternyata.
Nama file ini sendiri merupakan sebuah petunjuk.

Kulihat kembali file yang kudapat dari video Trojan.avi.

googlxxDGNo.rar
Pantas aku merasa sesuatu yang familiar ketika melihat nama filenya. Itu salah satu fasiitas dari Google. Url shortener!

Spoiler for URL Shortener:


Dan dilihat dari formatnya menggunakan google, hmmm, tinggal menguraikannya saja.

googlxxDGNo.rar >> googlxxDGNo

Format umum Google adalah g00.gl/karakter acak. Jadi file ini :

googlxxDGNo >> g00.gl/xxDGNo

Sekarang, tinggal membuktikan teoriku. Kucopy paste url itu di browser dan sebuah alamat website terbuka!

http://www.imagebam.com/image/7f8179366215627

Sebuah gambar? Apakah passwordnya ada dalam gambar ini?



Gambar sebuah mejakah? Ada sebuah buku, kaca pembesar, topeng, asbak berisi beberapa potong puntung rokok, sebuah gelas berisi es batu dan teh? Ah... Semakin ruwet saja. Kenapa Ade tidak langsung menulis pesan atau mengirim email ke email pribadiku? Atau jangan-jangan dia sudah curiga ada yang tidak beres?

Tapi tunggu, kalau tidak beres itu, berarti termasuk di G-Team!

Apakah...


~ ~ ~ * * * ~ ~ ~


Lidya POV

Aku berjalan dengan cepat, tak ingin Mbak Raisa melihat noda basah pada celana leggingku atau tahu aku tidak mengenakan daleman hari ini. Dengan cepat aku menuju ke parkir dan menuju mobilku.

Braaakkkkk....

Kututup pintu dengan sedikit keras. Parkiran terlihat sedikit menyeramkan ketika malam, sinar lampu tidak bisa mengenai tempatku memarkir mobil. Aku ganti disini saja dulu.

Kulihat kesekeliling dan tidak terlihat ada orang lain disini. Dengan cepat kuturunkan legging yang kupakai dan memakai celana dalam yang sempat tadi aku ambil dari dalam koper. Dengan tergesa aku mengenakan kembali legging tadi. Sayangnya aku tidak sempat mengambil bra, jadinya putingku sedikit tercetak di kaos yang kupakai.

Jadi, sekarang kemana?

Ke mess Shinta dan Lisa tidak mungkin apalagi kalau ke mess si-mata-keranjang. Aku juga tidak punya kenalan disini. Tunggu dulu, Nick!

Kuambil handphone dan mencoba menghubungi Nick. Dia mengangkatnya pada dering kelima.

"Halo sayang, tumben nelpon?" tanyanya langsung.

"Nick, dimana kau sekarang?" tanyaku dengan harap-harap cemas.

"Di Jakarta, tepatnya di apartemenku," katanya dengan lembut."Ada apa sayang? Suaramu kedengaran sedikit bergetar?" tanya Nick.

"Nanti saja aku jelaskan, bisa aku kesana?" tanyaku lagi.

"Tentu saja, anything for you dear...," katanya dengan lembut.

Kututup telepon dan bersiap menuju ke tempat Nick.

Semoga semua baik-baik saja.

Semoga.
 CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 12



Andri POV

Kulihat lagi gambar yang muncul di browser.

Apakah ini seperti dugaanku?

Kusimpan file gambar yang terbuka dan melihat propertiesnya.Hmmmm, sepertinya ada sesuatu didalamnya dan kalau melihat polanya, ini juga sebuah steganografi, yang paling sederhana, bahkan anak smp yang sudah mengenal command prompt dan winrar bisa melakukannya.

Kuklik kanan fie gambar yang kusimpan, kupilih open with>> Winrar.

Sebuah file text muncul dilayar. Secret.txt!

Kubuka file itu dan sebuah list muncul.

Composition

sildenafil citrate 150-200 mg
microcrystalline cellulose,
anhydrous dibasic calcium phosphate,
croscarmellose sodium,
magnesium stearate,
hypromellose,
titanium dioxide,
lactose,
triacetin,
FD & C Blue #2 aluminum lake.


composition 2

L-Arginine
Theobromine
Indole-3-Carbinol (I3C)
Ginseng
Ginkgo biloba
Damiana Leaf
Black Cohosh Root
Red Raspberry
Licorice Root
Ginger Root
Valerian Root
Kudzu
Vitamin A
Vitamin C
Vitamin E
B-Complex Vitamins
Folic Acid
Biotin
Calcium
Carbonate
Iron Zinc


In MD5
b4de12cb51d20942e5e7074f17b600fa

Out MD5
4bf5d8869c993f4cf5dc8d7b7a39fc0e

see boss?


Apa ini? Ini kalau tidak salah list obat kuat, kalau list ini punya Alfa Medika, tidak ada yang salah, tapi, MD5 ini, apa maksudnya?

Hmmmm, inti permasalahannya ada pada file rar itu, sekarang tinggal mencari passwordnya...

Hufttttt, semua makin jelas sekaligus semakin gelap...

[spoiler]
Jika Kami bersama, nyalakan tanda bahaya
Jika kami berpesta, hening akan terpecah..
Aku, dia dan mereka memang gila memang beda,,
Tak perlu berpura-pura,, memang begini adanya..

Dan kami di sini,,, akan terus bernyanyi…
[/spoiler]

Lagu Jika Kami Bersama dari SID membuyarkan lamunanku, kulihat handphone dan terlihat nama Lisa G-team disana.

"Halo, kenapa Lis?" tanyaku.

"Mas, Mbak Lidya ada disana?"tanyanya dengan ragu.

Apa? Jadi si-celana-dalam-putih tidak disana? Lalu kemana dia?

"Loh, bukannya dia disana?" tanyaku balik.

"Eh, tidak ada mas, tadi sempat kesini, tapi keluar lagi, menuju ke tempatnya mas," jawab Lisa. Nada kuatir mulai terdengar dalam suaranya.

"Oke Lis, nanti mas yang akan hubungi dia,bye...," kataku sambil menutup telepon.

Kemana dia?

Kucari namanya di contact dan menghubunginya.

Tersambung! Kutunggu beberapa saat dan belum ada jawaban.

Kucoba menghubunginya sekali lagi dan suara seorang pria menjawab di dering ketujuh.

"Halo, selamat malam?" sapa suara pria yang rasanya tidak asing bagiku.

"Halo, Lidya ada?" tanyaku tak sabar.

Membayangkan teleponnya diangkat oleh orang lain membuatku merasakan sesuatu yang lama tidak pernah lagi kurasakan.

"Lidya lagi mandi, ini siapa?" tanya pria itu lagi.

"Ini Andri, partnernya Lidya dan maaf anda siapa?" tanyaku memastikan.

"Ohh, Mas Andri, ini Nick yang waktu ini sempat bertemu mas di messnya Lidya," jawab pria diseberang sana.

Nick? Sialan! Pria yang memijat si-celana-dalam-putih waktu ini! Dan sekarang sedang berada satu ruangan dengannya yang lagi mandi! Sialan! Sialan! Sialan!


"Bisa saya berbicara dengannya sebentar?" tanyaku, berusaha agar suaraku terdengar normal.

"Tunggu sebentar mas," katanya. Samar terdengar suaranya berjalan, mungkin, kekamar mandi. Kekamar mandi? Sialan!
Kembali bisa kudengar suara Nick memanggil si-celana-dalam-putih.

Lid, ada telepon! seru Nick di ujung sana.

"Tunggu sebentar mas," jawab si celana dalam putih.

Krieeetttt...

Samar bisa kudengar suara pintu terbuka.

"Mas, bisa pinjam handuknya? Lidya lupa bawa handuknya, buru-buru tadi," kudengar suara si-celana-dalam-putih.

Dasar, handuk aja masih minjam. Eh, minjam? Jadi dia membuka pintu tanpa pakaian sama sekali? Sel-sel kelabu diotakku memvisualisasikan bayangan erotis yang muncul.
Tapi, dia bugil didepan seorang lelaki?

Lagi.

Perasaan yang lama tak pernah kurasakan itu kembali lagi.

"Siapa yang nelpon mas?" kata si-celana-dalam-putih ringan.

Lihat saja sendiri, kata Nick.

"Halo mas, ada apa?" tanya si-celana-dalam-putih ringan.

"Lisa tadi nyariin, aku bilang apa ke dia?" kataku sedikit ketus.

"Aku lagi dengan Nick, Shinta pasti ngerti," jawabnya pendek.

"Oke, ingat besok waktu terakhir kita untuk membuat demo projectnya,bye," kataku mengakhiri panggilan.

Sialan!

Dengan sedikit kesal aku mengirim sms ke Lisa.


To : Lisa G-Team.

Lis, Lidya di tempatnya Nick. Shinta tau dimana.
Kutekan tombol sent dan mencoba mengalihkan pikiranku dari bayangan si-celana-dalam-putih yang sedang berduaan dengan lelaki lain tanpa pakaian dan dalam satu kamar.

Kuambil laptop dan mencoba membuat presentasi yang sempat tertunda. Namun bayangan itu tak mau berhenti menghantuiku.

Sialan. Ini akan menjadi malam yang panjang.

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

Selasa, 09.00

Lidya POV.


Dengan ragu aku menaiki lift menuju lantai tiga di mess eksekutif G-Team. Entah bagaimana tanggapan si-mata-keranjang atas kejadian kemarin. Semoga saja kami bisa bekerjasama, setidaknya hari ini dan besok.

Ting.

Pintu lift terbuka. Dan dengan perlahan aku menuju kepintu mess. Langkahku terasa semakin berat ketika mendekati ruangan si-mata-keranjang.

Dengan ragu aku berdiri di depan pintu mess.

Tok..tok...tok...

Kuketuk pintu mess. Sampai beberapa saat kemudian belum juga ada jawaban.

Tok..tok...tok...

Kembali kuketuk pintu, kali ini lebih keras. Namun belum juga ada jawaban. Dengan sedikit ragu aku memegang handle pintu dan membukanya.

Tidak terkunci?

Jangan-jangan...

Kubuka pintu dengan tergesa dan pemandangan yang ada didepanku membuat nafasku berhenti sejenak...
 CHAPTER 20 : LOST IN THE ECHO
Part 13


Lidya POV.

Tidak terkunci?

Jangan-jangan...

Kubuka pintu dengan tergesa dan pemandangan yang ada didepanku membuat nafasku berhenti sejenak...

Ini kamar apa kapal pecah? Perasaan kemarin ketika terkahir aku disini, kamar ini masih rapi.

Tapi sekarang...

Buku-buku dan laptop tersebar di meja, dibawahnya bungkus cemilan dan kaleng soda tersebar dilantai. Kuarahkan pandanganku kearah sofa, kemeja dan celana panjang tersampir disandaran sofa. Beberapa VCD film juga terlihat di depan televisi.

Sebenarnyaa, apa yang terjadi? Dengan siapa si-mata-keranjang kemarin disini. Kalau dilihat dari kaleng soda yang tersebar, mungkin dia mengajak beberapa temannya berpesta disini.

Dan perasaan marah perlahan muncul dalam hatiku membayangkan dia berpesta bersama teman-temannya dan bahkan mungkin dengan 'wanita-wanitanya'.

Aduh, kenapa aku harus memikirkan tentang dia, terserah dengan siapa dia mau berpesta, itu bukan urusanku, kata hatiku, walau dengan sedikit ragu...


"Mas Andri...., Mas...," panggilku dengan pelan.

Tidak ada jawaban.

"Mas Andri...., Mas Andri..., Mas...," panggilku, kali ini dengan lebih keras.

Juga tidak ada jawaban. Dengan sedikit ragu aku melangkah keruang tidur. Perlahan aku melihat kedalam dan disana terbaring si-mata-keranjang dengan selimut menutupi bagian perut kebawah.

Hufffttttt...

Kuhembuskan nafas lega melihat dia yang baik-baik saja. Dan seperti biasa, wajahnya terlihat begitu damai kalau seperti ini. Sejenak aku terpaku memandangnya yang masih tertidur lelap. Dengan wajah yang memanas aku memandang dadanya yang bidang turun kearah perutnya yang terlihat rata.

Sayang selimut itu menutupi bagian tubuhnya yang lain...

Dan pikiran itu membuat wajahku kembali terasa panas. Dengan malas aku keluar dari kamar tidur dan menuju ke ruang tamu. Dasar lelaki, dimana-mana sama. Jarang ada yang peduli pada kebersihan.

Sebisanya kubersihkan meja dan lantai dari sampah yang ada. Kemeja dan celana panjangnya kubawa ke kamar mandi dan kutaruh di tempat cucian yang ada disana. Kembali aku menuju ke ruang tamu dan melihat laptop dari si-mata-keranjang di atas meja.

Kuhidupkan laptopnya dan sedikit heran aku melihat laptopnya tanpa password. Mungkin karena laptop baru, belum terisi data jadi dia tidak mengisi password. Pikirku.

Kubuka file presentasi yang akan kami buat. Ternyata sudah hampir setengah presentasinya selesai! Apa mungkin dari kemarin si-mata-keranjang membuat presentasi ini?

Kubaca poin-poin presentasi yang dibuatnya...

...

Huffftttt...

Selesai juga akhirnya, kulirik jam di laptop. Pukul 10.00 dan si-mata-keranjang belum bangun juga.

Apa sebaiknya aku membangunkannya sekarang? Pikirku dengan sedikit ragu.

Drrrrtttt...drrrrttttt....drrrrrttttt....

Kuambil handphoneku yang bergetar didalam tas yang kubawa.

Ada sms dari Shinta.

Dari : Shinta

Mbak dimana sekarang? Untuk desain antarmuka programnya, ada beberapa perubahan. Mbak bisa skype meeting sebentar? Nanti biar aku bisa lebih detail jelasinnya.
Kukoneksikan leptop ke wifi yang ada dan membuka skype dan mulai meeting dengan Shinta. Ketika selesai, jam dilaptop menunjukkan 10.30.

Hmmmmm, si-mata-keranjang harus dibangunkan sekarang kalau mau presentasi dan demo proyek ini berjalan lancar. Dengan malas aku berdiri dan menuju kamar tidur dari si-mata-keranjang.

Dan...aduuhhhhhh.....

Pemandangan didepan mataku sejenak membuat jantungku berdetak lebih keras. Hamparan selimut yang sebelumnya menutupi bagian bawah tubuh si-mata-keranjang, sekarang tergelatak disebelah tubuhnya. Dan hanya sebuah boxer saja yang menghalangi pandanganku dari bagian tubuhnya yang paling intim. Bagian tubuh yang sekarang terlihat mengacung dari balik boxer yang dikenakannya. Dan dari luar terlihat begitu..

Dengan wajah yang panas aku berusaha mengalihkan pandanganku pada bagian boxernya itu. Aku memandang keatas, kearah matanya yang terbuka dan mulut yang tersenyum kearahku.

Owwwhhhhh... tidakkkkkk.....


Andri POV.

Mata itu!

Mata si-celana-dalam-putih yang berkabut dengan gairah dan dengan wajah merahnya yang khas, aku tidak bisa menahan senyumku ketika pandangan kami bertemu.

Kulihat dia salah tingkah karena ketahuan memandangi penisku yang bisa kurasakan menegang dibalik boxer yang aku kenakan.

"Mas, eh, ada pesan dari Shinta, dia minta kita merevisi lagi desain antarmuka untuk demo projectnya karena ada beberapa perubahan, " katanya dengan terbata, dengan mata yang memandang lantai.

"Oke Lid," kataku
beranjak turun, hanya dengan mengenakan boxer saja, toh dia sudah melihatnya dari tadi.

"Eh, aku kedepan dulu mas," katanya sambil melangkah dengan sedikit cepat menuju ruang tamu. Dengan tersenyum kuamati bongkahan pantatnya yang bergoyang seirama dengan langkah kakinya.

Well, bukan hal yang jelek mengawali hari dengan pandangan birahi dari seorang wanita bukan?

Sambil sedikit bernyanyi kecil aku menju kamar mandi dan bersiap melakukan ritual pagi hariku.

Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, kaos dan celana pendek, aku menuju keruang tamu. Dimana si-celana-dalam-putih sedang terlihat serius mengerjakan sesuatu dilaptopku.

"Buat apa Lid?" tanyaku.

"Ini mas, buat presentasinya, tadi sudah sempat meeting dengan tim desain antarmukanya, mereka mau mengirim screenshot untuk antarmukanya sore ini mas," jawab si-celana-dalam-putih.

"Ouwh, eh, kamu pakai wifi ya?" tanyaku melihat tak ada modem yang tersambung ke laptop.

"Iya mas, memang kenapa mas?" tanya si-celana-dalam-putih melihat rona gelisah di wajahku.

"Pinjam sebentar laptopnya Lid," kataku sambil duduk disebelahnya dan menonaktifkan wifi yang sebelumnya terhubung dengan jaringan perusahaan.

Semoga tidak ada yang menyusup tadi...

Kupandangi si-celana-dalam-putih yang terlihat bingung dengan apa yang kulakukan. Mungkin sudah saatnya dia tahu.

"Begini Lid..."

...

Butuh beberapa saat sebelum si-celana-dalam-putih bisa menerima yang aku katakan. Dan kata pertamanya setelah mendengar penjelasanku adalah.

"Mas, ajarin cara buat steganografi itu ya?" katanya dengan pandangan yang memelas.

"Dapet apa kalau ngajarin?" tanyaku dengan jahil.

"Uhhh, gak usah deh, mending fokus ke demo besok mas," kata si-celana-dalam-putih sambil mulai melihat presentasi yang kubuat.

"Oke...," sahutku sambil duduk disampingnya. Harum rambutnya tercium dengan jelas ketika aku duduk dekat dengannya. Samar, parfumnya juga tercium, membuatku menghayalkan isi dibalik baju yang dikenakannya.

Kriiuuuuuukkkkkkkkkkkkk...

"Hahahaha, ada yang kelaparan ya mas?" tawa riang si-celana-dalam-putih mendengar suara perutku.

Sialan...

"Iya nih, mau masakin?" kataku sambil tersenyum.

Kena kau!

Perubahan wajahnya begitu terlihat. Sekarang dengan wajah cemberut dia memandangku.

"Sudah minta diantarkan kesini makan siangnya mas," katanya sambil menunjuk handphonenya. Wajah cemberutnya berganti dengan senyum ketika dia melakukan itu.Dan matanya, bisa kulihat sinar kemenangan disana...

Aduhhhhhh....


Galang POV

Angin sepoi-sepoi berhembus, membuat mata ini sulit rasanya untuk tidak tertutup. Dengan mata yang mengantuk aku memandang keluar dari celah jendela ruang tamu ini. Iya, aku berada dirumah Herman sekarang. Setelah penyelidikan beberapa hari, tapi belum ada kemajuan berarti untuk kasus di G-Team.

"Dik Galang, ini kopinya," sapa Mbak Marni sambil meletakkan segelas kopi diatas meja kayu jati, yang sudah tua namun terlihat masih kuat.

"Wah, jadi ngerepotin Mbakyu saja," kataku, sedikit sungkan selalu merepotkan keluarga ini.

"Ngomong apa to dik, mbak kebelakang dulu ya, Mas Herman masih ganti baju, nanti juga kesini," katanya sambil melangkah kebelakang.

Kuambil kopi yang ada diatas meja dan meneguknya dengan pelan. Rasa panas dari kopi yang mengalir di tenggorokanku, membuat mataku sedikit terbuka. Sayangnya, kasus ini masih belum juga ada titik terangnya. Biasanya semakin banyak petunjuk, semakin jelas suatu kasus. Namun tidak kali ini, semakin banyak petunjuk,justru semakin membuat kami bingung.

Kuteguk lagi kopi yang disediakan oleh Mbak Marni hingga habis setengah, saat pintu ruang tamu terbuka dan sesosok gadis berseragam SMA muncul dari balik pintu dan menyapaku dengan riang.

"Eh, ada Om Galang, sendirian aja om?" tanyanya dengan riang.

"Memang harus dengan siapa?" sahutku geli mendengar pertanyaannya.

"Ye, siapa tahu sama pacar atau selingkuhannya, hihihi, " kata Tasya sambil tertawa dengan riang. Masih sambil tersenyum lebar dia melangkah mendekat dan duduk disebelahku. Roknya yang cukup mini, terangkat keatas ketika dia duduk, memperlihatkan paha mulus dan putihnya. Paha anak gadis yang sedang padat-padatnya! Tak terasa penisku mulai menggeliat dibawah sana.

"Hush, masih kecil udah ngomongin selingkuhan, eh, kok jam segini sudah pulang?" kataku sambil melirik jam didinding yang baru menunjukkan pukul 12.00.

"Udah 17 tahun neh om, bentar lagi ulang tahun tahu," katanya sambil cemberut. "Gak ada guru om, jadi daripada diem gak ngapa-ngapain di kelas, kan mendingan pulang," katanya dengan santai.

"Jadi, ceritanya sekarang bolos, makanya ngumpet disini?" kataku sambil tersenyum. "Ketahuan ibumu, bisa benjol tu kepalamu dijitaknya," lanjutku santai.

"Ye, kalau om tidak cerita, kan tidak mungkin ketahuan?" katanya manja sambil dengan santainya menyilangkan kakinya. "Uugghhh, panas banget disini," katanya sambil tangannya membuka dua kancing atas kemeja seragamnya. Mau tak mau aku menoleh kearah celah yang terbuka dari kemejanya, hanya untuk melihat gundukan kenyal yang terbungkus bra berwarna putih.

"Ckkckkck, yang begini nih, buat kita kalah jauh dari negara lain, kalau dari kecil saja sudah bolos, kalau besar gimana tuh?" kataku sambil menggelengkan kepala.

"Uhhhh, masa segini dibilang kecil lagi sih? Udah ada tonjolannya nih om, mau bukti?" katanya sambil membusungkan dadanya yang memang rasanya lebih montok dari gadis seusianya. Tak terasa aku sedikit menelan ludah melihat tonjolan yang membusung diantara baju seragamnya.

"Bukti apa?" suara berat Herman membuyarkan hayalanku. Kulihat Tasya mengancingkan kemejanya dan menurunkan kakinya dengan sedikit terburu-buru dengan masih membelakangi omnya.

"Bukti kalau Om Galang sudah punya pacar om, hihihi," tawa Tasya sambil melirik dengan kearahku. Hilang sudah gadis yang menggoda itu, sekarang berganti dengan gadis yang kekanakan dan suka bercanda.

"Huh, Galang tu punya pacar yang berganti, bahkan setiap minggu!" ejek Herman sambil duduk di kursi, berhadapan dengan tempat dudukku dan Tasya. Dengan santai dia mengambil koran dan membacanya.

"Wah, ternyata om Galang! Tapi kok gak pernah diajak kesini om?" tanya Tasya.

Apa aku mendengar nada cemburu dalam suaranya? Ah..., pasti aku cuma berhayal saja.

"Mana bisa dia ngajak kesini, wong tidak ada yang bertahan lama," ejek Herman. Lagi.

Kupandang Tasya, dan lagi, aku bisa melihat pandangan heran dan cemburu diwajahnya.

"Uhhh, gak ngerti, mending nyolong makanan dulu," kata Tasya sambil melangkah pergi kedapur. Pantatnya yang lumayan bulat bergoyang dengan pelan ketika yang punya melangkah.

Hening sejenak ketika Tasya sudah berlalu. Tinggal aku dengan segelas kopi yang mulai dingin dan Herman yang masih dengan rajin membolak-balik halaman koran yang dipegangnya.

"Jadi, belum nemu petunjuk lagi Lang?" tanya Herman memecah kesunyian diantara kami. Koran yang sedari tadi dipegangnya sudah kembali ditaruh dimeja.

"Sampai saat ini belum Her, mungkin saatnya kita melihat kembali data apa saja yang telah kita dapatkan," kataku pelan. "Fokus pada kejadian Andri tertembak, karena kurasa itu yang menjadi point utamanya," lanjutku.

Herman melangkah kedalam kamarnya. Ketika keluar, dia membawa buku catatannya, yang biasa digunakannya untuk mencatat hal-hal dalam penyelidikan kami.

"Hmmmm, kita bisa mulai dari alibi tersangka, " kata Herman sambil mebolak-balik catatannya. Udara semakin panas diruangan ini, angin yang tadi sempat berhembus, sekarang entah menghilang kemana.

"Kita mulai dari Frans," kataku pelan.

"Frans..Frans...Frans," kata Herman sambil melihat dicatatannya. "Pada saat hari kejadian, paginya dia mengaku berada di Bandung, mengunjungi panti asuhan tempatnya berasal, kemudian check in disebuah hotel dan pada saat waktu kejadian dia tidak mempunyai alibi yang pasti, hanya mengaku berjalan-jalan didaerah Puncak," kata Herman membaca catatannya.

"Dan dari penelusuran kita, paginya dia memang mengunjungi panti asuhannya, siang sampai sore berada di hotel, berdasarkan kesaksian dari resepsionis dan juga satpam. Hanya saja aku merasa heran, kenapa dia seharian berada di kamar hotel?" kata Herman dengan ekspresi bingung.

Aku hanya bisa tersenyum memandang Herman. Dibesarkan di keluarga yang terbilang tradisional dan masih memegang teguh adat ketimuran. Dan masa mudanya dilewati dengan belajar dan belajar. Tidak heran, dia tidak bisa menebak apa yang dilakukan Frans di hotel seharian.

"Mungkin sama dengan yang kulakukan rutin setiap minggunya," kataku datar. "Dan kalau kita bisa menemukan pasangannya, kita bisa membuktikan alibinya," lanjutku.

Herman memandangku dengan pandangan yang sulit kukatakan. entah marah, kesal atau kagum.

"Tapi dia disana sampai pukul 7 malam, masih cukup waktu untuk kembali kesini dan menembak Andri," kata Herman mengungkapkan analisisnya.

"kalau begitu, darimana dia tahu kalau Andri ada di Bidadari Massage? Memang dia dan Andri sering kesana, tapi kebetulan sekali dia tau Andri berada dimana pada saat itu tanpa menghubunginya," jawabku.

Dan keheningan kembali diantara kami. Terlalu banyak kebetulan dan asumsi yang ada dalam kasus ini. Terlalu banyak kemungkinan yang ada.

"Tersangka berikutnya, Edy," kataku.

"Edy...Edy...Edy...," kata Herman sambil melihat catatannya. "Pada saat kejadian, dia punya alibi tak terbantahkan. Saat itu dia rapat dengan... Tony Firmansyah, CEO Alfa Medika, client utama G-Team. Dia bersama Erlina, sekretarisnya. Dan ada sekitar 7 saksi mata yang bersedia bersaksi untuknya," jelas Edy.

"Hmmm, kalau begitu, tidak ada lagi yang bisa kita ragukan dari alibinya," sahutku pelan. Dua tersangka utama untuk kasus ini, yang satu punya alibi yang sempurna, yang satu juga punya alibi walaupun masih ada celahnya. Sekarang, siapa lagi tersangka yang tersisa?

"Bagaimana dengan Lidya dan siapa namanya, temannya yang lagi satu," kataku berusaha mengingat rekannya Lidya yang bertubuh lebih mungil dari Lidya.

"Temannya Lidya,...dia..., Lisa," kata Herman setelah melihat catatannya. "Kalau untuk Lidya, pada saat kejadian dia sedang berada di mess dengan Lisa, jadi alibinya pun kuat," kata Herman sambil memandang kearahku.

Semua tersangka utama mempunyai alibi masing-masing. Kasus yang rumit. Dengan malas aku mengalihkan pandangan keluar. Dari sela-sela jendela aku bisa melihat anak-anak dengan seragam biru dan abu-abu berjalan disepanjang jalan yang berdebu.

Seorang wanita terlihat membuka pagar dan menuju kearah pintu ruang tamu, wanita itu, Mirna!

Tok...tok...tok...

"Sebentar," sahut Herman sambil menuju kepintu dan membukanya. "Eh, Mir, ada apa? Masuk dulu," kata Herman sambil menyilahkan Mira masuk. Dengan kaos ketat dan celana leggingnya, Mira terlihat seperti gadis belasan tahun dibandingkan dengan seorang ibu yang sudah mempunyai anak remaja.

"Eh ada Mas Galang, kebetulan neh, mau minta tolong benerin keran kamar mandi, bocor neh mas," katanya sambil tersenyum kearahku.

Senyum yang mengandung berjuta makna.

"Kalau begitu sana dulu Lang, aku tidur dulu kalau begitu hahaha," tawa Herman sambil beranjak kekamarnya. Dengan usia sepertinya, berhari-hari mencari petunjuk untuk sebuah kasus memang bukan hal yang mudah. Mungkin memang saatnya dia dapat istirahat lebih hari ini. Kualihkan pandangan kearah Mirna, yang sekarang tersenyum mesum kearahku.

Rasanya bukan hanya keran yang bocor jadi masalahnya ini...

"Ayo mas," katanya sambil melangkah menuju kerumahnya. Pantatnya yang bahenol dan tentu saja lebih besar dan bulat dari punya Tasya sekarang terlihat bergoyang dengan aduhainya didepan mataku. Aku melngkah pelan mengikutinya.

Didalam rumah, Mirna mengajakku masuk kesebuah kamar tidur yang cukup besar. Didalamnya terdapat kamar mandi dengan shower dan wastafel. Ternyata bukan keran yang bocor, namun pipa wastafelnya yang tersumbat.

"Ada tang dan kunci inggris?" tanyaku pada Mirna yang dijawab dengan anggukan. Kulihat dia menuju keluar dan tidak lama kemudian kembali dengan kotak peralatan yang cukup lengkap.

Kupandang dia dengan sedikit heran.

"Milik almarhum suamiku," katanya dengan datar.

Dengan senyum maklum aku mengambil kotak peralatan dari tangannya dan mulai mencoba mengatasi kebocoran yang terjadi. Beberapa saat aku fokus pada usahaku mengatasi kebocoran itu hingga tak sadar kalau Mirna tidak berada didepanku lagi.

Mungkin kebelakang, pikirku sambil melanjutkan mengatasi kebocoran di wastafelnya.

"Akhirnya selesai juga," kataku setelah beberapa lama.

"Kalau sudah selesai, sekarang tinggal ambil upahnya mas," suara Mirna terdengar dekat dan ketika aku mendongak, pemandangan didepanku membuat sesuatu dibawah sana menggeliat...


Andri POV

"Aku yang presentasi besok!" kata si-celana-dalam-putih tegas.

"Tapi Lid,"

"Mas kan lagi sakit, untuk besok serahkan padaku!" katanya lagi, sekarang dengan dagu yang sudah terangkat keatas. Ekpresi khasnya jika dia sedang tidak mau mengalah atau menginginkan sesuatu.

"Sakitnya mas kan tidak terlalu parah Lid, lagian dokter sendiri bilang kalau aku sudah bisa kerja Lid," bantahku padanya.

"Pokoknya besok aku yang presentasi! Titik!" katanya dengan mata yang bersinar keras.

Dasar keras kepala!


"Tapi apa kamu sudah hapal semua materinya? Dan mengerti bagaimana alur antarmukanya?" tanyaku dengan tersenyum.

Sejenak si-celana-dalam-putih terdiam. Mulutnya hendak terbuka beberapa kali, namun tertutup kembali. Tangannya yang kecil terlihat terkepal. Wajahnya yang menahan amarah terlihat begitu bersinar, begitu hidup.

"Akuu...aku..., aku akan hapalkan mulai sekarang, jadi besok sudah bisa langsung presentasi!" katanya dengan mantap.

"Tapi Lid, kalau kita bagi tugas, kita bisa melakukannya dengan lebih baik dan lebih mudah, kita kan partner," jelasku.

"Tidak! Kali ini aku sendiri mas!"

"Kenapa?!" tanyaku tak bisa menahan kata-kata itu keluar dari mulutku.

"Kenapa? Mas tanya kenapa? Lihat mas, saat ini kita buat semuanya di perusahaan mas, dengan sumber daya yang sebagian besar dari perusahaan mas, perusahaanku hanya sebagai penggenap, tidak ada artinya dengan perusahaan mas!" katanya sambil berdiri, raut marah dan tertekan terlihat diwajahnya.

Hmmm, jadi itu alasannya.

"Lid, kita partner, sudah seharusnya kita mengeluarkan semua kemampuan dan sumberdaya yang kita miliki untuk mencapai tujuan yang kita inginkan," kataku sambil berdiri, dan mencoba mengajaknya duduk. Yang tentu saja, ditolaknya.

"Mas bisa berkata seperti itu karena mas tidak ada di situasiku, aku gak enak, terus-menerus merepotkan G-Team dan mas!" jawabnya sambil mendekat kearahku dengan dagu runcingnya yang terangkat keatas.

Jarak diantara kami semakin dekat, bisa kurasakan hembusan nafasnya di mukaku. Matanya yang kecil terbuka dan sinar amarah dan penasaran terlihat disana.

"Mas, mbak, aku gak mengganggu kan?" sebuah suara terdengar dipintu. Bersamaan kami menoleh kesumber suara, dan terlihat Shinta berdiri dengan canggung di ambang pintu, sebuah bungkusan terlihat ditangannya. Dengan tergesa si-celana-dalam-putih melangkah mundur dan menyapa Shinta.

"Eh, gak kok Shin, kami cuma berdebat masalah besok," sahut si-celana-dalam-putih sambil duduk. Terlihat rona merah diwajahnya.

"Mbak, ini cuma mau nganterin makanan yang mbak pesan," kata Shinta sambil melangkah mendekat dan menaruh bungkusan yang dibawanya dimeja. "Makan dulu mbak, mas," katanya kepada kami.

"Mbak belum lapar Shin," sahut si-celana-dalam-putih sambil terus mengetik di laptopku. Harum bau masakna yang tercium dari bungkusan yang dibawa Shinta sungguh menggoda, dan...

Kriiiiuuuuuukkkkk.....

Kriiiiuuuuuukkkkk.....Kriiiiuuuuuukkkkk.....


Suara nyaring perutku dan si-celana-dalam-putih terdengar bersahutan.

"Hahahahaha....."

"Hahahahahahha....," tawaku dan Shinta terdengar bersamaan, bersamaan dengan wajah si-celana-dalam-putih yang memerah. Sangat merah kali ini.

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~
"Lid, kita partner, sudah seharusnya kita mengeluarkan semua kemampuan dan sumberdaya yang kita miliki untuk mencapai tujuan yang kita inginkan," suara lelaki terdengar dari sebuah perangkat elektronik yang ada dimeja, didepan seorang lelaki yang terlihat asyik mendengarkannya. Di layar terlihat, live feed seorang lelaki dan wanita yang sedang duduk.

"Mas bisa berkata seperti itu karena mas tidak ada di situasiku, aku gak enak, terus-menerus merepotkan G-Team dan mas!" sekarang suara seorang wanita menimpali.

"Mas, mbak, aku gak mengganggu kan?" suara lain terdengar sedikit pelan, mungkin jaraknya jauh dengan dua suara pertama.

"Eh, gak kok Shin, kami cuma berdebat masalah besok," suara wanita pertama terdengar kembali.

"Mbak, ini cuma mau nganterin makanan yang mbak pesan," Suara yang lebih pelan kembali terdengar "Makan dulu mbak, mas," lanjutnya.
"Mbak belum lapar Shin," Sahut suara wanita pertama.

Kriiiiuuuuuukkkkk.....

Kriiiiuuuuuukkkkk.....Kriiiiuuuuuukkkkk.....


Bunyi perut yang perlu diisi terdengar nyaring.

"Hahahahaha....."

"Hahahahahahha....," dan dua buah tawa terdengar kembali.

Live feed itu terhenti sampai disitu.

"Ah, sial, pasti tidak dicharge," suara lelaki yang dari tadi asik mendengarkan live feed yang diterimanya.

"Sudah cukup banyak informasi yang kita peroleh, aku cukup kuatir dengan file yang berhasil mereka dapat, kita harus mendapatkannya kembali," suara seorang wanita dari belakang si lelaki.

"Dan satu lagi, tidak hanya bukti, tapi semua saksi juga harus dihilangkan," kata si lelaki dengan datar. Sedatar mukanya yang melihat peralatan elektronik yang ada didepannya.

"Tentu saja, siapa yang akan melakukannya?" tanya si wanita yang sekarang berdiri disamping si lelaki.

"Siapa lagi?" tanya silelaki sambil tersenyum.

Senyum kematian...

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~


Galang POV

"Akhirnya selesai juga," kataku setelah beberapa lama.

"Kalau sudah selesai, sekarang tinggal ambil upahnya mas," suara Mirna terdengar dekat dan ketika aku mendongak, pemandangan didepanku membuat sesuatu dibawah sana menggeliat...


Disana, Mirna, tanpa sehelai benangpun menempel dibadannya. Payudaranya terlihat begitu menggoda. Terlihat wajahnya merona merah, sungguh menantang. Dengan sedikit bingung aku berdiri.

Dengan cepat Mirna menuju kearahku, tangannya langsung membuka celana dan celana dalamku dan menurunkannya kebawah. Penisku yang sudah sedikit tegang terbebas dari sarangnya.

"Mir, sebentar lagi Tasya pulang," bisikku.

"30 menit lagi, sudah lebih dari cukup kan mas?" sahutnya sambil berlutut didekat kakiku dan mulai mengulum kepala penisku. Sambil mulutnya memberikan kenikmatan, matanya memandang ekspresi keenakan diwajahku, tangannya juga tak tinggal diam, ikut memberi rangsangan di kakiku. Tak perlu waktu lama,penisku sudah sampai ke ukuran maksimalnya. Bukannya berhenti, Mirna semakin cepat memaju mundurkan kepalanya di penisku.

Dan bahkan sekarang...

"Ughghhh,,,uhhh...," suara teredam terdengar dari mulut Mirna yang berusaha mengulum penisku sampai dengan kepangkal. Sebuah deepthroat!

"Ughhhhh, Mir," lenguhku, merasakan hangatnya tenggorokannya menggesek pelan kepala penisku. Kutekan kepalanya lebih dekat, dan lebih dalam.

"Ugghhhh,,,ugghhh,,,huhhhh..," suara tertahan dari Mirna, tangannya mmenggapai tanganku dan menariknya menjauh dari kepalanya.

"Hah...hah...hah..., mas jahat!" katanya dengan nafas yang menderu, bisa kulihat keringat membasahi wajahnya yang bersemu merah. Sambil tersenyum dia bangkit dan membalikkan badannya sehingga pantatnya yang bulat menghadap kearahku. Sambil tersenyum mesum dia menjulurkan lidahnya, membasahi bibir bawahnya. Dengan gerakan yang sensual, dia berpegangan pada westafel dan perlahan pantatnya semakin menungging...

Dengan tak sabar aku melangkah mendekatinya, kuraba sejenak pantatnya yang bulat dan meraba celah diantara pahanya.

Sangat basah...

Dengan tersenyum aku memasukkan satu jari kedalam vaginanya dan mulai mengocok dengan cepat.

"Ahhh, mas!" desahnya pelan.

Kutambah satu jari lagi dan bisa kurasakan otot vaginanya menjepit jariku.

"Ehhhmmm, tambah lagi mass!" katanya sambil tangan kirinya menggesek klitoris dan tangan kanannya meremas payudaranya sendiri.

Satu jari lagi dan vaginanya memijat pelan jariku didalam sana. Sambil tersenyum aku mennggerakkan jariku dengan cepat.

"Massss, cepetinnnn!" desis Mirna, tangannya kulihat semakin cepat menggosok klitorisnya, demikian pula dengan deru nafasnya.

"Massss!" teriak Mirna ketika orgasme itu melandanya. Punggungnya melengkung keatas dan vaginanya menjepit erat jariku.

Srrrrrr.....ssrrrrrr....srrrrrr.

Cairan vagina Mirna mengalir dengan deras keluar, membasahi tangan dan pahanya.
Badannya terus bergetar merasakan kenikmatan yang bersumber dipangkal pahanya.

Dengan tak sabar aku mengarahkan penisku kedalam celah vaginanya...

"Mas, jangan du...AHHHHHHhhhhhhhhhhhhhh," teriak Mirna ketika dengan sekali hentak penisku menerobos masuk kedalam vaginanya yang masih basah akibat cairan orgasmenya.

"Ssstttt, mas! Jangan digerakin dulu, masih kerasa ngeganjel didalam," pinta Mirna sambil menahan tubuhku. Vaginanya terasa sangat mencengkeram didalam sana.

Hmmmmmmm, mungkin karena jarang dipakai.

Pikirku.

Tapi, kalau vagina Mirna saja seperti ini, bagaimana dengan...

Lamunanku terhenti karena remasan pelan di penisku, kulihat kebawah dan Mirna tersenyum ketika tahu aku merasakan remasan nakalnya dibawah sana. Dan itu kuartikan sebagai tanda dia sudah siap.

Dengan pelan aku mulai memajumundurkan penisku di vaginanya yang masih terasa sempit.

"Sttt, pelan-pelan mas," pinta Mira sambil menggigit bibir bawahnya, begitu panas, seksi dan berpengalaman. Bisa kurasakan vaginanya semakin licin seirign gerakan penisku yang semakin cepat. Mirna mengimbangi gerakanku dengan memainkan otot kegelnya, sesekali diselingi dengan pantatnya yang bergoyang memutar, serasa meremas pelan penisku.

"Ahhh, mas.... ssttttsss, cepetin mas!" pinta Mirna ketika sudah sepuluh menit lebih kami berpacu. Dengan senang hati aku menurutinya.

Plakkk...plak...

"Aahhhh, mas!" jerit Mirna ketika kutampar pantatnya ang sedikit berkeringat.

"Lebih keras mas! Lebih Ke"

Plakkkk...plakkkk...

"Sttttt,,,ahhhhhhh,massssss! Mirna udah mau nyampe laghi!" teriak Mirna ditengah tamparan dan kocokan penisku. Bisa kurasakan liangnya semakin basah dan semakin menjepit. Pantatnya bergoyang dengan liar, mengikuti liarnya kocokan penisku di vaginanya.

Penisku terasa dipijit dan diplintir didalam sana, walaupun sudah mempunyai anak, pijatan vaginanya begitu kencang, mungkin karena Mirna rajin melatih otot kegelnya dan juga vaginanya jarang dipakai.

Vagina Mirna semakin keras menjepit penisku, mungkin sebentar lagi dia akan mencapai orgasme yang kedua. Ketika aku merasakan seolah kami diawasi dan ketika aku melihat kesamping, sorot mata yang penuh nafsu memandang kami.

Tasya!

Aku menghentikan kocokanku pada liang sempit Mirna, dengan bingung aku memandang Mirna dan Tasya, ragu apa yang harus aku katakan. Tidak ada jalan menghindar lagi.

"Ahhhhh, mas kok di...em..." kata Mirna berhenti ditengah jalan ketika sambil mengatakan itu dia menoleh kearahku dan pandangannya bertemu dengan pandangan Tasya.

"Ta...sya? Eh, mama...," dengan terbata Mirna mencoba menjelaskan yang kami lakukan, namun, tubuhnya masih tetap bergoyang dengan hebatnya.

Nafsu telah mengalahkan logikanya.

"Mama! Om! Kok gak ngajak-ngajak Tasya sih?" kata Tasya dengan nada yang merajuk.

"Eh, Tasya, ini..., ini... kami bukan seperti yang kamu duga...," elak Mirna. Namun kenyataan kalau penisku masih menancap divaginanya dan pinggulnya yang terus bergoyang mematahkan semua alasan yang coba di katakannya.

"Ah mama, Tasya bukan anak kecil lagi! Kalau mama boleh sama Om Galang, berarti Tasya juga boleh kan?" tanya Tasya, pertanyaan yang rasanya tidak memerlukan jawaban. Sambil mendekat, Tasya membuka kemeja yang digunakannya hingga hanya menyisakan sebuah bra putih yang terlihat tak mampu menampung bukitnya yang penuh. "Boleh kan ma?" tanya Tasya sambil tangannya dengan nakalnya meremas payudara Mirna!

"Aaahhhhhhh, Tasya! Sssttttttt.....uuuuhhhhhh....., Tasya! Ja...ngan...!" kata Mirna.

"Jangan apa ma?" goda Tasya, tangannya semakin keras meremas payudara ibunya, kali ini, bahkan jempol dan telunjuknya dengan ahli memilin puting ibunya yang sudah mengeras. Bisa kurasakan goyangan Mirna semakin keras dan liar.

"Jangan ber..hen...ti!" teriak Mirna sambil menangkupkan tangannya di tangan Tasya dan meremamasnya dengan keras. Goyangan Mirna semakin liar yang dibarengi dengan cairan pelumas yang semakin banyak keluar, sebagian bahkan menetes kelantai kamar mandi yang dingin.

"Massss....ahhhhhh,,,, Mirna,,,nyam...peeeeee!" teriak Mirna ketika orgasme itu melandanya.

Plooopppp....

Penisku terlepas dari vaginanya dan...

Srrrrrr...srrrrr....sssrrrrrrrrrr...........

Cairan vaginanya keluar dengan deras, dengan kaki yang bergetar hebat, Mirna terduduk dilantai. Masih bisa kulihat cairan vagina meleleh keluar dari sela-sela lipatan vagina yang masih bisa menjepit dengan erat itu.

Kualihkan pandanganku kearah Tasya yang kebetulan juga memandangku, dan pandangannya itu. Pandangan betina yang kelaparan...

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

Mess G-Team.
Lantai 3
24.00

Lidya POV

"Mas, bagianku sudah selesai, punya mas bagaimana?" tanyaku kepada si-mata-keranjang yang sedang serius mengetik dilaptopnya.

"Bentar lagi Lid," katanya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop yang digunakannya.

Kulirik jam dilaptopku. 24.05. Huffftttt..., hari yang melelahkan. Karena keterlambatan demo project yang kami dapatkan, baru sedari 3 jam lalu kami bisa membuat presentasi dan mempelajari demo yang disiapkan. Terpaksa kami bagi tugas, aku membuat presentasinya sedangkan si-mata-keranjang mempelajari demo proyeknya, mencari bug yang ada.

Kulihat si-mata-keranjang. Sungguh berbeda, orang yang ku lihat serius serius sekarang, dibandingkan dengan orang yang kulihat tertidur lelap saat dirumah sakit atau orang yang memandangku dengan pandangan yang penuh nafsu. sebenarnya, tipe orang seperti apakah dia?

"Huaaahhhmmmnnnn...," tak kuasa aku menahan kantuk. Dengan deadline yang padat seperti ini, waktu istrirahat yang terbatas, membuat daya tahan tubuhku rasanya semakin lemah saja. Kupejamkan mata sejenak dan kepalaku rasanya semakin berat saja. Kubuka mata dan sambil memandang si-mata-keranjang yang masih sibuk mempelajari demo proyeknya, aku rebahkan kepalaku diatas meja. Perlahan, mataku semakin tertutup dan ...


Andri POV.

Hmmmmmnnn, sedikit lagi. Dan demo ini rasanya sudah tidak ada bug yang begitu penting. Sudah cukup rasanya untuk demo besok. Kulihat jam di laptop. 01.15. Sudah hampir pagi.

Kulihat si-celana-dalam-putih. Tak kuasa aku menahan senyum ketika melihat dia tertidur diatas meja. begitu tenang dan damai.

"Lid...Lid, bangun..., " coba kugoyangkan pundaknya untuk membangunkannnya, namun tidak ada respon.

Andai saja kondisiku sudah lebih baik, mungkin aku bisa menggendongnya ke kamar tidur, tapi dengan kondisiku sekarang...

Dengan perlahan aku berdiri dan mengambil bantal dan selimut dari kamar. Dengan perlahan aku meletakkan bantal di meja dan berusaha memindahkan kepalanya keatas bantal.

"Uuuuhhhhh...," si-celana-dalam-putih sedikit menggeliat dan kepalanya berada di pundakku.

Bagaimana sekarang?

Wajahnya yang tertidur begitu tenang, sangat berbeda dengan wajah galak yang tidak mau mengalah yang biasa ditunjukannya. Dengan sedikit ragu kuelus kepalanya. Samar tercium wangi shampo dari rambutnya. Rambut yang menutupi pundaknya yang...

Tunggu dulu!

Apa ini? Bekas seperti luka yang memanjang terlihat dipunggungnya. Kucoba menyibakkan kaos yang dipakainya dan beberapa bekas luka lain terlihat. Seperti...

Kulihat juga bekas luka lain, tapi yang ini bundar, kecil. Seperti bekas...

Jangan-jangan...
 CHAPTER 21 : One Step Closer



Lidya POV

Gelap.

Kupandang kesekeliling dan hanya kegelapan yang terlihat.
Ingin ku berteriak, tapi tidak ada suara yang bisa keluar dari mulutku.

Peluh bisa kurasakan mulai muncul didahiku.

Ssssrrrtttt.....srrrttttt..srrrtttt....

Suara seperti sandal yang diseret perlahan terdengar mendekat.

"Uh...ah..uh..." hanya suara yang tidak jelas bisa kudengar keluar dari mulutku. Ingin kuberlari menjauh, namun kakiku terasa lumpuh, tidak bisa kugerakkan. Berdiri ditengah kegelapan seperti ini, bulu kudukku mulai meremang.

Dimana aku? Kenapa? Bagaimana?

Bermacam pertanyaan muncul dibenakku. Sejenak aku lupa dengan suara yang kudengar. Tapi tidak lama kemudian suara itu muncul lagi...

Ssssrrrtttt.....srrrttttt..srrrtttt....

Suara itu semakin mendekat.

"Lidya..., kalau kau melawan lagi..., kau tau apa hukumannnya kan?"

Deggggg.

Suara itu!

Suara yang ingin kulupakan. Suara yang ingin kuhilangkan dari ingatanku.

"Lidya..., kalau kau melawan lagi..., kau tau apa hukumannnya kan?" Kembali suara itu terdengar, sekarang lebih dekat.

"Uh...ah..uh..." kembali hanya gumaman tak jelas yang terdengar dari bibirku. Keringat semakin deras mengalir di tubuhku. Perlahan...sangat perlahan... sesuatu terasa menyentuh pundakku, turun ke arah lenganku. Ingin kuberlari dan berteriak, namun apa daya, lidahku terasa kelu dan kaki seperti dipaku.

Sesuatu itu naik kemukaku, membelai pelan bibir dan dagu sebelum menggenggam rambutku.

"Uhhhhhh!" jeritku, namun yang terdengar hanya suara tak jelas ketika sesuatu yang ternyata sebuah tangan itu menarik kepalaku kebawah, kearah sebuah benda bulat, panjang dan panas.

Tidak!

Aku tidak mau lagi!

Tidaaaaaakkkkkkkkkkkkkkkkk!


"Tidaaaaakkkkkkk!" jeritku tak sadar.

"Hah...hah...hah....," desah nafasku masih terasa memburu dengan keringat yang kurasakan membasahi punggungku.

"Kenapa Lid?" sebuah suara mengagetkanku. Kutoleh kesamping dan terlihat si-mata-keranjang memandangku dengan bingung. Terlihat mukanya sedikit pucat dan kacau, seperti habis bangun tidur.

Seperti bangun tidur?

Dengan cepat kejadian kemarin berkelebat dibenakku. Kulihat kesekeliling dan kesadaran menghampiriku. Dengan malu aku bangun dan melepaskan tubuhku dari pelukan si-mata-keranjang.

Aduuhhhh,,, jangan-jangan aku tidur sambil meluk dia lagi?

"Eh, gak apa-apa kok mas, cuma mimpi buruk mas," jawabku sambil merapikan pakaianku yang sedikit berantakan. Kucoba bangun dan melemaskan badanku yang terasa sedikit kaku karena tidur dalam posisi duduk.

"Yakin Lid? Tadi kamu mengigau lumayan lama, kalau mimpi buruk, mimpi apa sampai seperti itu?" katanya menyelidik. Bisa kurasakan tatapan tak percaya dari matanya ketika mendengar jawabanku.

"Iya mas, cuma mimpi buruk tadi," jawabku. Memang mimpi buruk mas, cuma mimpi buruk yang datang dari masa lalu, masa yang tak ingin kuceritakan kepada siapapun, masa ketika aku kehilangan... Ahh..., sudahlah... "Jam berapa mas?" tanyaku, mengalihkan perhatian.

"8.15," sahut si-mata-keranjang singkat.

"8.15!?" kata kami bersamaan.

"Mas. demonya pukul 9!" kataku dengan nada panik. Bisa kulihat hal yang sama di mata si-mata-keranjang.

"Kamu mandi dulu Lid, aku siapin perlengkapan dan sarapan sebentar," katanya sambil merapikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Tanpa menunggu lagi aku melangkah ke kamar dan mengambil handuk serta pakaian dalam dan mulai mandi.

Pintu kamar mandi menutup dibelakang tubuhku, dengan cepat aku lepaskan pakaian dan pakaian dalam. Kuhidupkan shower, dinginnya air membuat kesadaranku kembali. Itu cuma mimpi Lid, cuma mimpi. Pikirku menyemangati diri sendiri.

Ayo Lid, kamu bisa!

Aku mandi dengan lumayan cepat, mungkin terlalu cepat. Kukeringkan tubuhku dari sisa air yang tersisa dan mengenakan bra serta celana dalam, warna putih tentu saja, ketika itu aku sadar kalau hanya membawa pakaian dalam dan handuk saja kekamar mandi. Kuintip keluar dan tidak terlihat si-mata-keranjang di kamar.

Aman!

Tanpa menoleh aku berjalan ke kamar dan...

Brukkk...

"Aduh!" sambil mengelus pantatku yang lumayan sakit saat mencium lantai, aku melihat si-mata-keranjang yang berdiri sambil memegangi perutnya.

Aduuhhhh...Semoga bukan yang luka! Pikirku sambil melangkah mendekatinya.

"Mas, gak apa-apa?" tanyaku dengan khawatir.

"Eh, gak apa-apa kok Lid," katanya sambil menatapku dengan pandangan terpana!

Ketika kusadari pandangannya, wajahnku terasa panas, gara-gara terjatuh handukku terlepas dan bodohnya aku baru menyadarinya sekarang, saat si-mata-keranjang memandangku dengan seolah ingin menelanku. Ah sudahlah, sudah terlanjur dilihat juga, pikirku.

"Mas, mandi dulu sana, biar gak telat," kataku sambil berjalan santai menuju kekoperku dan mencari baju disana, kulihat si-mata-keranjang sedikit malas untuk melangkah kekamar mandi. Dasar mesum!

"Ehhhh....iya Lid," sahut si-mata-keranjang dengan sedikit malas. Bisa kurasakan pandangan matanya menelusuri tubuhku ketika dia menuju kekamar mandi. Kukenakan sebuah kemeja putih dengan blazer dan rok hitam, tidak ketinggalan stocking putih juga kupakai hari ini.

Sinar matahari terlihat menerobos dari celah tirai yang menutupi kaca jendela. Kulihat handphone dan pukul 8.30. Semoga tidak macet hari ini.

"Lid, ada roti dan susu diruang tamu, sarapam saja dulu, biar konsen nanti, aku sudah sarapan tadi," kata si-mata-keranjang dari dalam kamar mandi.

"Iya mas," sahutku sambil menuju ke ruang tamu. Diatas meja terlihat roti dan susu diatas piring. Juga ada print out dari materi presentasi yang akan kami jelaskan hari ini.

Kapan si-mata-keranjang menyiapkan ini semua? Apakah tadi?

Sambil sarapan, aku mempelajari bahan presentasi yang di siapakn si-mata-keranjang. Dan harus kuakui, apa yang disiapkannya begitu mudah kupahami. Bahkan dia sudah memberi tanda siapa yang akan menjelaskan materi yang mana di dalam print out ini.

Huffffftttt.....

Dia, Untuk pertama kalinya aku baru sadar, kenapa dia bisa memimpin perusahaan sebesar G-Team ini, bukan, bukan itu saja, bahkan dia yang merintisnya dari awal.

"Ayo Lid," suara si-mata-keranjang mengagetkanku.

"Mari mas," sahutku sambil melihat kearahnya.

Dan sejenak aku tertegun melihat penampilannya.


Andri POV

Hmmmmmm...

Terkejut?

Jadi itu kesanmu melihatku memakai pakaian seperti ini?
. Dengan sepatu pantofel hitam dan jas hitam yang membalut kemeja putihku, kesan formal memang ingin kutonjolkan hari ini. Karena demo ini sangat penting untuk memberi kesan positif kepada Alfa Medika, dalam hal ini, Tony Firmansyah.

Dan pandangan terkejut dari si-celana-dlaam-putih cukup membuatku yakin, kalau pakaian ini akan membawa kesan yang bagus nantinya. Dengan pikiran seperti itu, aku membawa laptop dan print out presentasi hari ini dan berjalan dibelakang si-celana-dalan-putih. Dan, tentu saja, pantat itu bergoyang dengan lembut didepanku!

Sampai di bawah, terlihat Frans sudah menunggu. Sambil tersenyum dia menyapa kami.

"Pagi boss, pagi mbak," katanya sambil melihat pakaianku. "Not bad, katanya sambil tersenyum jahil.

"Ayo Frans, time is running fast," kataku sambil berjalan menuju parkiran. Kulihat pandangan bertanya dari si-celana-dalam-putih ketika Frans mengikuti kami.

"Frans sekarang punya kerjaan sampingan Lid, sebagai sopir pribadiku, hahaha" kataku sambil tertawa. Sementara Frans hanya menyeringai saja mendengar kelakarku.

Sampai diparkir aku menuju ke mobilku yang terletak diujung, dengan remote control yang dibawanya Frans membuka pintu belakang mobil. Sambil menyilahkan si-celana-dalam-putih untuk masuk, aku juga masuk dari pintu yang disebelah.

Mobil melaju pelan membelah padatnya jalan ibukita dipagi hari. Bunyi klakson serta sepeda motor dan mobil yang menderu lewat disebalah kami menjadi suasana yang tak terelakkan. Frans mengemudi dengan cukup cepat, dia tahu kami harus sampai sebelum pukul 9 di Alfa Medika. Kulirik si-celana-dalam-putih dan dia terlihat serius membaca print out presentasinya.

"Lid, untuk presentasi nanti, kamu sudah mempelajari print out yang kubuat?" tanyaku kepada si-celana-dalam-putih.

"Sudah mas, kita lakukan seperti yang ada disana, tapi aku yang membuka presentasinya nanti," katanya tegas.

Dasar keras kepala!

"Hmmmmm, baiklah, tapi dibagian demonya, aku yang mempresentasikan," kataku, mencoba setegas mungkin. Kulihat si-celana-dalam-putih dan seperti yang aku duga, mulut tipisnya cemberut dan memandangku dengan pandangan kesal.

Well, take it or leave it...

Sejenak kami hanya saling tatap dan akhirnya kami seperti bertanding, siapa yang paling lama tidak berkedip. Aku tahan selama mungkin sampai mata ini terasa sedikit perih...

"Uhuhkkkk...uhukkkk..uhuuukkkk....,"

Suara batuk dari Frans yang sepertinya sengaja, mengembalikan kami ke dunia nyata.

"Ladies and gentlemen, kita sudah sampai, mau pandang-pandangan terus atau turun dulu, " kata Frans sambil memandang kami dengan geli.

Ditengah seriusnya pertandinganitu, sampai kami tak sadar kalau mobil telah berhenti di depan lobi Alfa Medika. Dengan wajah bersemu merah, si-celana-dalam-putih turun dan melangkah pelan menuju ke lobi.

"Frans, mau ikut atau gimana?" tanyaku kepada Frans.

"Nanti aku susul boss, mau parkir dulu, eh, mungkin aku tunggu di lobi saja, rasanya lebih menarik disana, " jawabnya sambil matanya memandang kearah lobi. Dimana si-celana-dalam-putih terlihat sedang berbincang dengan seorang wanita.

Kususul si-celana-dalam-putih yang berada di lobi. Sesampainya disana, kami langsung dipersilahkan menuju ruang rapat.

"Siap Lid?" tanyaku sebelum kami masuk kedalam ruang rapat.

"Siap Mas?" sahutnya sambil masuk kedalam.

Suasana ruang rapat yang serba putih menyambut kami, terlihat tiga orang sudah berada diruang rapat, satunya Pak Tony, yang dua lagi belum aku kenal.

"Ah, Pak Andri dan Mbak Lidya, selamat datang," kata Pak Tony sambil mendekat dan menjabat tangan kami berdua."Saya dengar anda mengalami kecelakaan, sudah baikan?" tanyanya dengan ramah.

"Sudah pak, cuma belum bisa bergerak atau beraktifitas yang terlalu berat saja dulu," jawabku.

"Baguslah kalau begitu, mari saya perkenalkan dengan rekan bisnis saya," katanya sambil mengajakku dan si-celana-dalam-putih ke dekat tempat duduknya tadi, dimana terlihat seorang lelaki setengah baya dan seorang wanita yang mungkin lebih muda dari si-celana-dalam-putih duduk. Mereka berdiri ketika kami sudah dekat dan Pak Tony memperkenalkan kami.

"Pak Andri dan Mbak Lidya, ini Pak Roy, CEO dari Troy Company, perusahaan yang mengurus security untuk Alfa Medika dan ini dik Vian, anak Pak Roy ini, sekaligus manajer operasional dari Troy Company," kata pak Tony.

Kujabat tangan Pak Roy, genggaman tangannya terasa erat dan tegas. "Saya sudah banyak mendengar tentang Pak Andri, rasanya apa yang saya dengar tidak jauh berbeda dengan kenyataanya," kata Pak Roy.

"Wah, saya harap yang anda dengar yang baik-baik saja," kataku yang disambut gelak tawa yang hadir. Kualihkan perhatianku kepada wanita yang berdiri disamping Pak Roy, cantik, tapi terkesan dingin. Dan ketika kujabat tangannya, senyum yang ada diwajahnyapun terlihat dingin dan terpaksa. Berbeda jauh dengan ayahnya. Ah, mungkin itu semua hanya perasaanku saja.

Kulihat kearah si-celana-dalam-putih dan terlihat dia memandang kearah Vian dengan pandangan cemburu?

Cemburu???


Lidya POV

Huftttt.... Dasar mesum, liat cewek cantik dikit saja tidak bisa, matanya pasti langsung kayak mau melompat keluar.

Kuamati lagi Vian, gadis yang dikenalkan Pak Tony sebagai anak sekaligus manajer operasional dari Troy Company. Muda, cantik dan berkelas. Setidaknya itu yang bisa aku lihat. Dengan sedikit iri aku lihat pakaian dan aksesoris yang dikenakannya. Sekilas kulihat tatapan kagum dari matanya ketika melihat kearah si-mata-keranjang saat si-mata-keranjang sedang berbincang dengan Pak Roy, sebelum, kembali lagi pandangan matanya terkesan dingin.

Aku hanya bisa melihat mereka saling pandang dengan sedikit marah dan kesal.

Lid, kau bukan siapa-siapanya si-mata-keranjang dan mereka juga baru bertemu!

Kucoba mengabaikan perasaan ini, namun selalu saja menggangguku. "Oh iya, ini Lidya, partner saya dalam proyek kali ini," kata si-mata-keranjang.

"Roy,"

"Lidya," kataku sambil menyalami Pak Roy. Jabat tangannya terkesan hangat dan tegas. Khas seseorang yang telah merasakan asam garam kehidupan.

"Vian,"

"Lidya," kataku sambil menjabat tangan anak dari Pak Roy. Hanya sekilas kami berjabat tangan. Dan pandangan hampa kulihat dari sinar matanya.

Hmmm..., dia meremehkanku!

"Kalau begitu, mari kita mulai saja demo kali ini?" tanya Pak Tony kepada kami semua.

"Baik pak, " kudengar si-mata-keranjang menyahut dan menuju ketempat yang telah disediakan. Sebelum sampai ditempat yang disediakn, pintu terbuka dan Raisa terlihat masuk sambil membawa air mineral dan cemilan. Aku mengangguk ringan ketika dia meletakkan air mineral didepanku, yang dibalas dengan senyum manis.

Si-mata-keranjang mengeluarkan laptop dan menyiapkan materi presentasi. Dia mengangguk ringan ketika sudah siap. Kutarik nafas panjang dan memandang kesekeliling ruangan.

Kamu bisa Lidya! Pikirku menyemangati diri sendiri.

"Selamat pagi, terima kasih atas perhatiannya, pada kesempatan ini, saya Lidya mewakili Delta Company, partner dari G-Team dalam proyek ini, akan mempresentasikan demo proyek yang sudah kami buat dalam waktu 10 hari ini," kataku sambil melihat kesekeliling. Pandangan penuh perhatian dari sebagian besar hadirin membalas tatapanku, iya, sebagian besar kecuali Vian dan Raisa yang terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

"Demo proyek ini, dibagi menjadi tiga buah sub bagian, yaitu produksi, transportasi dan manajemen karyawan. Adapun yang pertama yaitu..."

...

20 menit lebih aku gunakan untuk memberikan gambaran dan penjelasan mengenai konsep dan teori dari sistem yang kami buat. Terlihat senyum puas dari Pak Tony dan Pak Roy melihat pemaparanku. Kupandang si-mata-keranjang yang mengangkat jempolnya kearahku.

"Dan sekarang mengenai desain antarmuka dan demo sistemnya secara detail akan dijelaskan oleh partner saya, Mas Andri," kataku mengakhiri pemaparanku.

Sekarang, saatnya melihat kemampuan si-mata-keranjang.


Andri POV.

Sambil tersenyum aku berdiri dan mengambil tempat dimana si-celana-dalam-putih tadi berada. Si-celana-dalam-putih mengawali presentasi dengan baik, data dan detail yang dijelaskannya begitu rinci dan lancar, seolah telah dihapalnya diluar kepala saja.

Awal yang bagus

"Selamat pagi semuanya, tadi rekan saya Lidya sudah memberikan pemaparan mengenai teori dan bagaimana alur dari sistem yang kami kembangkan, sekarang saya akan menjelaskan mengenai desain antarmuka serta live demo dari sistem yang kami buat." kataku sambil memperlihatkan tampilan dari sistem yang kami kembangkan.

"Sistem yang kami buat berupa web based system, sehingga bisa diakses menggunakan PC maupun moblie phone, tampilannya seperti ini, " kataku sambil memperagakan dan menjelaskan setiap fungsi dari antarmuka yang terlihat. Hampi 20 menit aku menjelaskan ketika sampai pada bagian keamanan.

"Untuk bagian keamanan, kami sedikit mengalami kendala karena sebelumnya kami diberi link contoh dari sistem keamanan Troy Company, tapi terakhir tim kami coba mengaksesnya, link tersebut sudah tidak aktif, mungkin nanti Pak Roy bisa memberi masukan untuk masalah ini," kataku sambil melihat kearah Pak Roy. Terlihat beliau menganggukan kepalanya.

"Jadi demikian demo proyek yang bisa kami sampaikan, jika ada kritik saran atau tambahan, saya persilahkan," kataku megakhiri sesi ini dan duduk disebelah si-celana-dalam-putih.

"Minum dulu mas," katanya sambil memberikan sebotol air mineral kepadaku. Sejenak aku merasa tertegun dengan perhatiannya. Sambil tersenyum aku menerima botol air mineral yang diberikannya dan meneguknya. Dingin air mengalir turun melewati tenggorokanku mengiringi tatapanku kearah Pak Tony dan Pak Roy.

Kulihat mereka sedang berdiskusi ringan dan sesekali menunjuk kearah kami.

Semoga saja semuanya berjalan lancar.

Kualihkan pandanganku kesamping, dimana si-celana-dalam-putih sedang memandang kedepan. Terlihat kegelisahan di rona wajahnya. Kupegang pelan tangannya dan mengangguk kearahnya, yang dibalas dengan senyum dan helaan nafas ringan.

"Pak Andri, saya rasa untuk demo ini, terus terang melebihi ekpetasi kami," kata Pak Tony. Bisa kudengar tarikan nafas lega dari si-celana-dalam-putih disampingku."Masalah keamanannya, Pak Roy bilang kalau sistem mereka seperti antivirus, jadi tidak masalah nanti seperti apa program yang anda buat, karena toh juga berbasis web, cuma," Pak Tony berhenti sejenak dan bisa kurasakan helaan nafas yang berhenti disebelahku.

"Cuma kami perlu programnya dalam waktu yang lebih cepat, sebulan lagi tepatnya, entah Pak Andri bisa atau tidak, tentu saja ini diluar perjanjian kita sebelumnya dan diluar fee yang kita bahas, tapi seandainya Pak Andri bisa, tentu saja feenya nati kita bisa bahas lagi," saran Pak Tony.

Kupandang si-celana-dalam-putih dan terlihat keraguan dimatanya.

"Hmmmm, begini pak, untuk masalah ini, kami perlu bahas lagi dengan tim kami, apakah bisa saya hubungi nanti?" tawarku.

Terlihat Pak Roy berbicara sebentar dengan Pak Tony. Sejenak mereka berdiskusi ringan sebelum Pak Roy memandangku dan berbicara.

"Pak Andri, untuk sistemnya, dari masalah kemanan memang tidak masalah karena sudah berbasis web, namun kalau ada hal yang Pak Andri atau Mbak Lidya belum yakin, bisa nanti dengan Vian," katanya sambil menunjuk putrinya. "Bisa dengan Vian nanti berkomunikasi," kata Pak Roy dengan tenang.

Aku tersenyum kearah Vian yang hanya terlihat menarik bibirnya sedikit.

Seperti es saja, dingin. Pikirku melihat ekpresi Vian.

"Oke, kalau begitu semua sudah clear?" tanya Pak Tony sambil memandang aku dan si-celana-dalam-putih bergantian.

Kulihat si-celana-dalam-putih, dan terlihat dia menggelengkan kepalanya.

"Saya rasa, semua sudah jelas saat ini pak," sahutku.

"kalau begitu, terimakasih atas kerjasamanya Pak Andri," kata Pak Tony sambil menjabat tanganku, yang dikuti Pak Roy serta Vian. Nama terakhir tertegun sejenak sebelum mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah kartu nama.

"Kalau ada pertanyaan mengenai keamanan, bisa hubungi saya disini mas," katanya datar sambil menyerahkan kartu namanya.

"Baik mbak," jawabku singkat sambil melangkah menuju pintu keluar. Si-celana-dalam-putih terlihat syudah berada diambang pintu ketika Raisa mengacungkan jempolnya kearahku, yang kubalas dengan kedipan mata ringan.

Aku melangkah keluar ruangan rapat yang nyaman dan elegan, menuju kelorong lobi yang udaranya terasa lebih segar. Eh, si-celana-dalam-putih kemana?

Kulihat keujung lorong dan ternyata dia disana. Kenapa dia?

Dengan langkah cepat aku coba mengejarnya dan ketika sampai di parkir baru aku bisa menyusulnya. Kulihat wajahnya cemberut.

Kenapa, lagi?. Pikirku dengan bingung.

"Ada apa Lid?" tanyaku dengan sedikit ragu.

Bukan jawaban yang kudapat tapi bibir yang cemberut semakin lebar dan pandangan mata yang tidak terima. Kutunggu beberapa saat dan belum juga ada jawaban. Kugaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. Si-celana-dalam-putih membalik badan dan memunggungiku. Bisa kulihat kepalanya yang tegak.

Sebuah ide jahil muncul dari sel kelabu otakku, yang entah kenapa, selalu didominasi ide yang mesum atau jahil.

"Eh, awas, ada ular...ada ular..ulaarrr!" teriakku sambil menunjuk kebawah.

Dan yang terjadi melebihi harapanku, si-celana-dalam-putih memekik dengan keras sebelum melompat-lompat ditempat kemudian berlari kebelakang tubuhku dan memelukku dengan erat.

"Hah...hah...hah...Mas, di...mana ular...nya...," kata si-celana-dalam-putih dengan nafas yang menderu. Bisa kurasakan tangannya memegang erat bahuku dan nafasnye berhembus dengan keras ditengkukku.

"Ada, tapi gak tau dimana," kataku sambil tersenyum lebar.

Sejenak aku bisa merasakan pegangannya dibahuku mengencang sebelum berganti dengan cubitan-cubitan pedas diseluruh tubuhku.

"Aaawww...aaawww...sakit Lid, aaww...," teriakku sambil berusaha menjauhi tangannya yang seolah berubah menjadi dua capit baja yang memburu bagian tubuhku tanpa mengenal pri kekulitan.

"Biarin, siapa suruh usil?" katanya dengan campuran ekpresi kesal, cemberut dan marah bercampur menjadi satu. Ingin kutertawa melihat ekpresinya itu, namun kutahan dengan susah payah karena tak ingin merasakan capit bajanya lagi.

Kualihkan pandanganku ke sekeliling, tidak terlihat Frans di tempat parkir ini.
Kuliaht kedalam mobil, juga tidak ada. Si-celana-dalam-putih melihat kearahku, masih dengan pandangan jengkelnya, cuma sekarang berisi rasa penasaran.

Kuambil telepon dan menghubungi si playboy kambuhan ini. Cukup lama aku menghubunginya ketika akhirnya dia mengangkatnya.

"Frans, dimana ini? Aku dan Lidya sudah diparkiran, demonya sudah selesai," tanyaku langsung. Bisa kudengar hening sejenak namun samar terdengar nafas yang menderu dan lenguhan pelan. Sel-sel kelabu otakku dengan cepat bisa menyimpulkan apa dilakukan si playboy ini. Cuma, dengan siapa dan dimana? Jangan bilang...

"Wait a moment boss, let's me finish this...," jawab Frans dengan sedikit tercekat. Samar, lenguhan pelan dari seorang wanita terdengar, lenguhan panjang seorang wanita yang sedang mendapatkan puncak kenikmatannya!

Tutt..tuttt.tuttt...., sambungan terputus. Dan aku tahu apa yang menyebabkannya. Kulihat kearah si-celana-dalam-putih yang memandangku dengan pandangan heran melihatku yang tersenyum sendiri.

"Frans masih sibuk Lid, mungkin sepuluh menit lagi baru akan datang kesini, " kataku memberi penjelasan."Lid boleh nanya, tapi jangan marah ya?" kataku sambil memandangnya dengan tenang.

"Apa?" jawabnya singkat. Masih terdengar nada marah dalam suaranya.

"Tapi jangan marah ya?" kataku lagi.

Sejenak kulihat si-celana-dalam-putih memandangku dengan pandangan penasaran, namun dengan cepat berganti menjadi pandangan dinginnya. Suasana parkir yang lumayan sepi membuat keheningan diantara kami semakin bertambah.

"Nanya apa mas?" akhirnya dia berkata, tak sabar rupanya dengan keheningan yang tercipta. Hening sejenak. Bisa kurasakan angin sepoi berhembus membelai kemeja si-celana-dalam-putih yang berkibar pelan.

"Punggungmu..., punggungmu luka kenapa Lid?" tanyaku pelan. 
 CHAPTER 22 : High Voltage
Part 1



Lidya POV

"Nanya apa mas?" tak sabar aku bertanya. Hening sejenak. Bisa kurasakan angin sepoi berhembus membelai kemejaku, yang membuatnya berkibar pelan.

"Punggungmu..., punggungmu luka kenapa Lid?" tanyanya pelan.

Sejenak aku bingung dengan pertanyaannya, kuraba punggungku untuk melihat ada noda atau tidak. Kulihat si-mata-keranjang.

Tidak ada pandangan usil sekarang!

"Maksud mas?" tanyaku ragu.

Terlihat si-mata-keranjang terdiam sebelum dengan ragu dia bertanya.

"Kemarin, pas kita tidur di ruang tamu, aku, eh..., aku tak sengaja melihat luka memanjang dipunggungmu, maksudku, bekas luka yang samar," tanyanya sambil melihat dengan tajam kearahku.

Aku terdiam mendengar pertanyaannya. Tidak mungkin aku mengatakan alasan sebenarnya luka ini, tidak mungkin dan tidak bisa.

"Eh, luka jatuh pas masih kecil mas," sahutku sambil melihat kebawah, takut melihat kearahnya.

Takut kebohonganku terbuka...

"Wah, jatuh dimana Lid?" tanyanya santai.

Kulihat kearahnya, pandangan matanya tajam, seolah mau menjenguk kedalam hatiku. Kukuatkan tekadku dan memandang kearahnya. Dia yang berdiri tegak disana, seperti batang pohon yang tak goyah oleh hembusan angin. Pohon!

"Jatuh dari pohon mas, waktu itu manjat pohon sama temen-temen mas, pas turunnya jatuh, jadi..., " perkataanku terhenti ketika melihat kearahnya.

Kulihat si-mata-keranjang mengerutkan alisnya. Dengan pelan dia mendekatiku. Bisa kurasakan bau samar parfumnya di hidungku. Perlahan aku melangkah mundur sampai menyentuh mobil yang terparkir.

Tapi dia dengan tenang maju dan meletakkan tangannya dibahuku.

"Kenapa kalau jatuh dari pohon, lukamu justru di punggung," katanya sambil mendekatkan mukanya kearahku. Bisa kurasakan nafasnya pelan menggelitik pipiku."Dan luka itu memanjang, tidak beraturan?" katanya.

Dekat. Sangat dekat.

Sejenak aku melupakan pertanyaannya, ketika nafasnya dengan pelan menggelitik telingaku. Matanya memandang kearahku dengan tajam. Mencari kebenaran dari mataku.

Tidak, tidak bisa! Tidak bisa aku mengatakannya!

"Mas...," kataku pelan dengan nafas yang memburu.

Mulutnya sekarang mendekat kearahku, dekat..., dan...

"Ehem.....," suara deheman pelan membuat kami melompat menjauh. Dengan wajah memanas kuarahkan pandanganku kearah Mas Frans yang memandang kearah kami dengan wajah yang tersenyum lebar. "Rasanya aku mengganggu ya?" lanjutnya sambil bergantian memandang kearahku dan si-mata-keranjang.

"Selalu datang disaat yang tepat Frans," kata si-mata-keranjang sambil tersenyum. "Tapi setidaknya, resletingku terpasang dengan benar," kata si-mata-keranjang sambil nyengir. Sejenak aku menatap bingung kearahnya. Yang dibalas dengan pandangan matanya yang menuju kearah celana Mas Frans.

Kulihat kearah Mas Frans yang terlihat sedikit kebingungan dan menoleh kearahku.

"Mas Frans, resletingnya," kataku sambil menahan tawa, ketika menyadari arti kata-kata si-mata-keranjang.

"Hahahahaha...," si-mata-keranjang tertawa dengan bebasnya.

Kulihat dengan ujung mataku Mas Frans berbalik dan terlihat menaikkan resletingnya. Dengan muka yang merah dan cengiran menghiasi wajahnya, dia membuka pintu mobil dan masuk kedalamnya.

Dengan masih tertawa kulihat si-mata-keranjang masuk kedalam mobil dan melambai kearahku. Dengan senyum lega karena terhindar dari pertanyaannya, aku masuk kedalam mobil dan duduk disamping si-mata-keranjang.


Andri POV

Ápa yang kau rahasiakan?. Pikirku sambil menoleh kearah si-celana-dalam-putih. Apapun itu, pasti akan kucari tahu.

Dengan tenang mobil membelah jalanan Jakarta yang padat. Udara panas sedikit terobati dengan hidupnya AC didalam mobil ini. Kulihat si-celana-dalam-putih menoleh keluar jendela. Rambutnya sedikit berantakan menghiasi wajahnya yang tampak sedang memikirkan sesuatu.

"Jadi, gimana hasilnya boss?" tanya Frans memecah lamunanku.

"Lumayan sukses Frans, cuma Pak Tony minta waktu pengerjaan proyeknya maju menjadi satu bulan saja," jawabku.

"Terus bagaimana?" tanya Frans lebih lanjut.

"Sekarang aku mau ngadain rapat dulu dengan yang lain, kita lihat apa rekan-rekan bisa," jawabku sambil mengambil handphone dan menekan nomer handphone Erlina.

"Halo, selamat siang pak, ada yang bisa saya bantu?" Suara Erlina terdengar menyahuti panggilanku.

"Halo Lin, bisa ngadain rapat dengan semua staff G-Team dan Delta Company sekarang?" tanyaku.

"Bisa pak, kalau semua staff, bagaimana kalau dikantin rapatnya pak?" Kata Erlina memberikan masukan. Saran yang bagus, seperti biasa.

"Oke Lin, thanks ya," sahutku sambil menutup telepon.

"Rapat untuk kepastian pengerjaannya ya mas?" tanya si-celana-dalam-putih sambil memandang kearahku. Raut wajahnya sekarang terlihat bersemangat.

"Iya Lid, menurutmu bagaimana?" tanyaku memastikan.

Terlihat dia mengerutkan keningnya sejenak dan bibir itu! Bibir itu terlihat begitu menantang ketika digigit pelan seperti itu.

Andai saja Frans tidak ada...

Detik demi detik berlalu, antara keinginan untuk mendengar jawaban dan menciumnya sekarang semakin besar. Tinggal sebentar lagi sebelum sampai di perusahaan. Oh, cepatlah!

"Rasanya bisa mas, tapi mending kita tanyakan ke rekan-rekan dulu, sekalian lihat reaksi mereka," sahutnya mantap.

Tak terasa kami sudah sampai di perusahaanku. Dengan pelan Frans mengemudikan mobil menuju keparkiran. Si-celana-dalam-putih terlihat diam saja ketika kami keluar dari parkir dan menuju ke kantin. Dari jauh sudah terdengar hiruk pikuk dan canda tawa berbaur menjadi satu di area kantin.

Sejenak suasana menjadi sedikit lebih hening ketika kami sampai di kantin. Si-celana-dalam-putih memberi isyarat agar aku mengumumkan hasil demo kami tadi ke rekan-rekan yang terlihat penasaran menunggu hasil demo kami.

Huuuuufffffftttttt...

Kuhembuskan nafas panjang sebelum menoleh kesekeliling.

"Rekan-rekan semua, demo tadi...," kulihat kesekeliling dan wajah-wajah yang terlihat tegang membalas tatapanku. "Demo tadi berjalan lancar," kataku sambil tersenyum.

"Yessss!"

"Horeeeee!"

"Siiipppp!"

Beraneka ragam ekpresi lega terlihat dari wajah yang memandangku. Kuamati mereka sejenak dan menunggu sampai euforia kegembiraan mereka mereda.

"Namun...," kataku setelah suasana kembali hening."Namun, pihak Alfa Medika minta agar sistem ini selesai sebulan lagi, bagaimana?" tanyaku sambil melihat ekpresi mereka.

"Satu bulan?" tanya Shinta dan Lisa berbarengan, terlihat mereka sedikit ragu. Namun rekan-rekan di bagian coding, yang tepat dibelakang mereka, terlihat menganggukan kepala. Salah seorang staff coding mendekat dan berbisik kearah Shinta. Terlihat Shinta sedikit berdebat dengannya namun akhirnya dia terlihat menerimanya.

Kulihat kearah bagian desain, kulihat sambutan positif disana. Begitu juga dengan Edy dan Frans, keduanya terlihat menganggukan kepalanya.

"Bagaimana?" tanyaku sambil melihat bagian coding.

"Selama tidak ada penambahan lagi dari Alfa Medika, saya rasa bisa," jawab Shinta mewakili bagian coding. Kulihat kearah bagian desain dan mereka menganggukan kepalanya.

"Oke, kalau semuanya sudah siap, mulai besok kita akan bekerja keras untuk membuat software ini, dan hari ini..., " kulihat kesekeliling dan pandangan tegang kembali terlihat "Hari ini LIBUR!" kataku sambil tersenyum yang disambut dengan sorakan gembira dari semuanya. Perlu beberapa waktu sampai suasana kembali hening.

"Oke, hari ini libur, tapi besok kita mulai bekerja seperti biasa dan ingat, job masih panjang, jadi besok saya harap semua sudah bisa bekerja dengan maksimal, detail job akan saya kirimkan nanti. Dan sekarang, mari kita makan siang, setelah itu acara bebas," kataku yang disambut dengan sorakan gembira.

Aku menoleh kearah si-celana-dalam-putih yang terlihat bersemangat, sejenak pandangan kami bertemu.

Mata yang indah, namun terkadang berisi rahasia. Sejenak aku terbuai dengan pandangannya.

"Bos, ada acara nanti malam?" tanya Frans dari sampingku.

Aku menoleh kearahnya dan terlihat dia tersenyum memandangku.

"Tidak, kenapa Frans?" tanyaku balik.

"Ayo ke 666," tawarnya "Ajak Mbak Lidya juga," katanya sambil memandang si-celana-dalam-putih.

"Ayo, ikut ya Lid?" ajakku penuh harap.

"Ikut kemana nih?" sela si-centil Lisa dari sampingku. Dengan pandangan bertanya dia berdiri disamping si-celana-dalam-putih dan Shinta.

"Club," kata Frans singkat sambil tersenyum.

"Ayo, sudah lama gak refreshing, iya kan mbak?" tanya si-centil sambil memandang penuh harap kearah si-celana-dalam-putih.


Lidya POV

Sejenak aku tergagap mendengar pertanyaan Lisa. Wajahnya yang penuh harap itu...

"Iya," sahutku pelan.

"Asyik, kalau begitu kita barengan kesana ya? Mbak Shinta ikut juga kan?" tanya Lisa sambil melirik kearah Shinta dan Mas Frans. Terlihat Mas Frans tersenyum lebar dan Shinta menganggukan kepalanya. Kutarik Lisa menjauh dan berbisik ditelinganya.

"Lis, mbak gak punya baju ke club," bisikku pelan ketelinga Lisa.

"Hihihi, tenang aja mbak, Lisa juga gak bawa, sekarang beli yuk?" katanya sambil tersenyum jahil. Lisa memanggil Shinta mendekat dan berbisik ditelinganya.

"Mbak Shinta, shopping yuk? Beli dress buat nanti malam," ajak Lisa yang disambut dengan anggukan oleh Shinta.

"Sekarang?" tanya Shinta pelan.

"Ayo, gimana mbak?" tanya Lisa sambil menoleh kearahku. Kulihat kearah si-mata-keranjang dan terlihat ekpresi ingin tahu disana.

"Ayo," jawabku, mungkin dengan shopping, bisa mengurangi tingkat stress dan bisa menghindari pertanyaan dari si-mata-keranjang.

Sambil tersenyum Lisa menghampiri si-mata-keranjang dan berbisik didekatnya. Kulihat si-mata-keranjang memandangku dengan pandangan mesum! Dasar mesum! Si-mata-keranjang terlihat berkata kepada Mas Frans dan kulihat Mas Frans memberikan sesuatu kepada Lisa.

"Ayo mbak-mbak, saatnya jalan-jalan," kata Lisa sambil melangkah keluar kantin, diikuti pandangan si-mata-keranjang yang menatap kami dengan penuh arti.

Lisa melangkah dengan cepat menuju ke parkir dan bisa kulihat dia melangkah ke mobilnya si-mata-keranjang.

Jadi kunci yang tadi diberikan Mas Frans kepadanya.

Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di sebuah mall yang cukup terkenal di ibukota ini. Dengan riang kami berjalan menyusuri satu persatu gerai pakaian yang ada. Disalah satu gerai kami memilih gaun yang akan kami gunakan nanti malam. Berbagai macam gaun terlihat tergantung dengan anggun. Dari strapless, one-shoulder, sweetheart, v-neck, scoop, halter dan masih banyak jenis yang lain. Walau berbeda jenis, ada persamaannya. Gaun-gaun itu pendek dan mahal!

Seorang penjaga stand pria membantu kami memilih pakaian, walau tepatnya bisa kukatakan dia lebih banyak memelototi dada Lisa yang sedikit terlihat karena dua kancing bagian atas kemejanya dibiarkan terbuka.

"Mbak, yang ini bagus buat mbak," kata Lisa sambil menunjukkan sebuah gaun one-shoulder warna hitam yang terlihat pendek.

Sangat pendek...

"Hmmmm, rasanya kependekan Lis," kataku sambil mengamatinya lebih dekat. Bahannya lembut dan berleher rendah.

Huffftttt...., kalau saja dadaku...

"Coba aja yu mbak," kata Lisa sambil menarik tanganku menuju ruang ganti yang pintunya sedikit terbuka. Dan ternyata didalam sana Shinta sedang menurunkan roknya yang membuat pantatnya hanya tertutupi sebuah celana dalam warna merah.

"Sudah dapat Shin?" tanyaku dengan wajah sedikit memerah, mengingat hal terakhir yang kami lakukan dengan keadaan tanpa busana. Dan itu bukan hal yang tidak menyenangkan...

"Sudah mbak, dipilihin Lisa juga," katanya sambil menoleh kearah Lisa yang juga sedang menurunkan roknya. Bagian pribadinya tertutup oleh sebuah g-string hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang putih. Badan Lisa terlihat paling mungil dari kami semua, namun terasa begitu pas dengan kepribadiannya yang ceria.

"Eh, mbak buka dong bajunya," tegur Lisa ketika aku masih mengenakan pakaian lengkap. Dengan sedikit segan aku membuka satu persatu kancing kemeja yang kugunakan. Setelah kemeja terlepas dari tubuhku, kini giliran rok hitamku yang meluncur kebawah. Hingga kini tubuhku hanya terbungkus daleman warna putih.

"Wah, pantes aja Mas Andri betah mandangin mbak, ini toh yang disembunyiin terus," kata Lisa sambil mencubit pelan bulatan pantatku.

Dengan wajah memanas aku mencoba mengenakan gaun yang dipilihkan Lisa dan seperti dugaanku, gaun ini sangat pendek. Pantatku hampir kelihatan jika aku menunduk. Bukan hanya pantat, namun selangkanganku...

"Wah, Mas Andri pasti melotot nih melihat mbak kayak gini," kata Shinta sambil memandangku dengan sorot mata kagum, yang membuatku semakin malu. Dan entah kenapa sedikit terangsang, bisa kurasakan vaginaku sedikit meremang...

"Iya nih mbak, dijamin jadi pusat perhatian deh, kalau saja aku yang punya nih pantat," kata Lisa sambil mengelus pantatku dengan pelan, yang membuat bulu kudukku sedikit merinding dibuatnya. Apalagi ketika dengan berpura-pura merapikan gaunku dibagian depan, Shinta meremas-remas dadaku dengan jarinya.

Kutepis tangan Shinta dan dengan perlahan aku melepaskan gaun yang aku kenakan. Saat aku menyadari, ada dua betina yang memandangku dengan pandangan liar.

Ouwhhhhh....

Belum sempat aku berpikir untuk kabur ketika Shinta mencium bibirku dan meremas payudaraku dari balik bra yang aku kenakan. Sementara itu, bisa kurasakan tangan-tangan yang lain menurunkan celana dalam yang kupakai dan sebuah benda yang hangat dan basah mencium pelan belahan...

"Ughhhhh.....," erangan pelanku tertutup oleh ciuman Shinta yang semakin ganas. Sementara ciuman Lisa sekarang berpindah ke klitorisku. Ouwhh..., jangan bagian itu, aku tak akan kuat..!

"Rileks aja mbak, penghilang stress...," bisik Shinta sambil menciumi telingaku.
Ouwh, bukannya aku tidak mau, tapi ini kan... Birahiku naik dengan cepat, bisa kurasakan vaginaku semakin basah, entah karena ludah Lisa atau cairan vaginaku yang mulai keluar. Ouwh, rasanya sungguh aneh, antara rasa malu, nafsu dan perasaan takut ketahuan ini membuat puncak itu semakin cepat datang...

Tak sadar aku meremas kepala Lisa, merasakan nikmat dunia yang sedikit lagi aku dapatkan...

"Aaahhhhh, Lis..." erangku pelan ketika ciumannya semakin cepat didaerah sensitifku. Sedikit lagi...Sedikit lagi...

"Eh..., kok?" Tanyaku ragu ketika Lisa dan Shinta menghentikan ciuman mereka. Kupandangi mereka dengan pandangan mengharap, hilang sudah perasaan maluku, berganti dengan kebutuhan yang minta dipuaskan.

Sambil tersenyum Lisa berkata.

"Simpan buat nanti malam ya mbak..., hihihi," katanya sambil menyeka vaginaku dengan celana dalamku lalu dia mengenakan pakaiannya kembali, begitu juga dengan Shinta.

Dengan nafas yang sedikit terengah aku merapikan braku dan mengenakan kemeja, ketika aku sadar, celana dalamku tidak ada! Dan ketika aku menoleh kedepan, Lisa dan Shinta sudah berdiri didepan pintu. Lisa memegang celana dalamku!

"Lisa, siniin, " kataku sambil mengenakan rok. Belum habis rasanya kata-kataku ketika Lisa membuka pintu dan keluar. Meninggalkanku dengan rok yang belum terpasang dengan benar. Dengan tergesa aku merapikan rok dan rambutku yang sedikit berantakan, mukaku masih bersemu kemerahan ketika kuputuskan keluar. Rasanya sedikit aneh, ketika dinginnya AC terasa langsung dibagian bawah sana...

"Ayo mbak, sudah kubayar gaunnya," kata Lisa sambil mengacungkan tas belanjaan. Kulihat sipenjaga stand memamandangku dengan sedikit aneh. Apa dia tahu yang kami lakukan didalam, pikirku jengah. Dengan linglung aku mengikuti Lisa dan Shinta keluar.

"Lis, kembaliin daleman mbak," bisikku pelan ditelinga Lisa.

"Tu, minta sama penjaga disana mbak," kata Lisa sambil menunjuk kearah gerai yang kami masuki tadi.Bisa kulihat penjaga tadi sedang memegang celana dalamku dan menciuminya. Dia tersenyum ketika aku memandang kearahnya!

Ouuuuwwhhhh tidakkkkk...

Dengan wajah yang panas aku mengikuti Lisa dan Shinta yang berjalan didepanku.

"Eh, kesana yuk?" kata Lisa sambil menunjuk salah satu toko yang terlihat menjual lingerie dan perlengkapan seks! Waduh...!

"Gak ah, " jawabku sambil melangkahmenjauh.

"Eh, ke salon yuk, ada yang perlu diwaxing nih," seru Shinta dibelakangku. Dan belum sempat aku membantah ketika dia dan Lisa menyeretku keluar, entah kemana dan mau apa lagi!

~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

"Eh Shin, apa itu?" tanya Lisa ketika dia melihat Shinta menuangkan cairan kedalam minuman Lidya. Mereka berdua sedang berada didalam mess, ketika itu Lidya sedang mengambil perlengkapan mandi dan pakain dari kamar Andri.

"Sssstttt....ini cuma obat pencahar," kata Shinta sambil mengedipkan matanya.

Terlihat Lisa sedikit bingung, sebelum perlahan sinar pengertian terlihat dimatanya.

"Wah, biar Mbak Lidya siap ya?" kata Lisa dengan ekpresi mesum."Ehhhmmmm, berarti kita juga harus minum dong?" lanjutnya sambil memainkan rambutnya dengan jari.

"Iya, tapi gantian, biar nanti gak berebut kekamar mandi,hihihi" jawab Shinta sambil mengaduk minuman Lidya.

"Tapi yakin Mbak Lidya mau dengan kita nanti? Jangan-jangan disikat Mas Andri?" tanya Lisa lagi.

Sejenak terlihat Shinta termenung sebelum tersenyum jahil.

"Kalau Mas Andri rebut Mbak Lidya, kita ikut juga, kalau tidak, kan masih ada Mas Frans," sahut Shinta sambil menatap Lisa penuh arti. Yang ditatap sendiri tergagap sejenak sebelum balik tersenyum .Senyum mesum...

"Eh, lihat nanti saja mbak, aku juga punya hadiah buat Mbak Lidya," sahut Lisa sambil memperlihatkan sesuatu di tasnya.

Dan Shinta pun tersenyum lebar melihat benda-benda yang ada di dalam tas Lisa!


~ ~ ~ * * * ~ ~ ~

G-Team Mess
22.00



Andri POV

Tak sabar kulirik jam yang yang tergantung di dinding.

Akhirnya, jam 10 juga..., Pikirku dengan sedikit geli. Seperti anak SMA yang akan berangkat kencan pertama saja aku ini.

Dengan langkah lebar aku melangkah keluar dan menuju ke lantai dua, kekamar si-celana-dalam-putih. Yang entah kenapa tidak mau berganti pakain dikamar kami. Rasa hangat terasa ketika aku memikirkan kata kamar kami.

Ah biarlah mengalir seperti air saja...

Kutekan tombol lift dan masuk kedalam. Didalam aku menebak-nebak, pakaian apa yang dibeli si-celana-dalam-putih and the gank???

Keluar dari lift dengan tak sabar aku menuju ke pintu masuk dan mengetuknya.

Tok...tok...tok...

"Sebentar..."

Suara Lisa terdengar dari balik pintu. Perlahan, suara kakinya sedikit terdengar dan akhirnya...

Degggg.....

Nafasku terasa sedikit berhenti ketika melihat gaun yang dipakainya.


Dengan menggunakan gaun strapless, tubuhnya yang mungil terlihat sedikit lebih tinggi. Gaun hitam yang membungkus payudaraya yang mungil dan dibagian bawah, berpotongan oval kedepan sehingga pahanya yang mulus terlihat jelas. Tak terasa aku menelan ludah melihat penampilannya yang begitu berbeda dari biasanya.

"Hihihi, kenapa mas? Seksi ya?" kata Lisa blak-blakan.

"Iya nih, biasanya gak kelihatan, sekarang kelihatan tuh," kataku sambil melirik pahanya yang terbuka.

"Ih, ini belum seberapa mas, mau yang lebih hot?" tantangnya sambil menaikkan kakinya sedikit, sehingga otomatis pahanya lebih terbuka.

Putih, mulus dan terawat...Entah bagaimana rasanya jika aku bisa membelainya, pikirku dengan berjuta fantasi yang mulai muncul. Dan belum selesai aku berfantasi ria ketika Shinta muncul dengan gaun leopard print yang juga memperlihatkan paha empunya. Dan bukan itu saja, bagian belakangnya berbentuk V yang cukup rendah, sehingga bra warna hitamnya terlihat jelas, begitu kontras dengan kulit punggungnya.


Aduuuuuhhhhh.... Andri junior sedikit berontak disarangnya...

"Eh, Mas Andri, masuk dulu mas," tawarnya sambil menunduk, membetulkan highheels yang dikenakannya sehingga belahan dadanya terbuka! Kulihat Lisa memandang kearah selangkanganku yang untungnya tidak terlalu terlihat mengembung.

"Eh, Lidya ada?" tanyaku mengalihkan fokus pandanganku pada belahan dada yang begitu menggoda, hanya untuk melihat paha yang begitu dekat.

Paha Lisa...!

"Siapa Lis?" suara pelan Lidya terdengar dari belakang Lisa. Dan ketika aku mengalihkan pandangan dari paha Lisa untuk mendapatkan kejutan lainnya.

Kalau tadi aku bisa berpura-pura tidak begitu terpukau dengan gaun yang dikenakan Lisa dan Shinta, semua itu tak berlaku ketika aku melihat si-celana-dalam-putih.

Dia yang mengenakan.... 

CHAPTER 22 : High Voltage
Part 2


Andri POV

"Siapa Lis?" suara pelan Lidya terdengar dari belakang Lisa. Dan ketika aku mengalihkan pandangan dari paha Lisa hanya untuk mendapatkan kejutan lainnya.

Kalau tadi aku bisa berpura-pura tidak begitu terpukau dengan gaun yang dikenakan Lisa dan Shinta, semua itu tak berlaku ketika aku melihat si-celana-dalam-putih.

Dia yang mengenakan one-shoulder-sheath-nightclub-dress yang memperlihatkan pundaknya yang putih. Namun bukan itu saja, kalau selama ini aku hanya biasa melihatnya tanpa make up, kali ini wajahnya dihiasi dengan make up minimalis yang menonjolkan bentuk matanya. Bibirnya yang tipis dan merah semakin merah dengan pulasan lipstik tipis. Rambutnya terlihat sedikit bergelombang, entah apa nama mode yang digunakannnya.

Yang jelas dia terlihat berbeda dan aku suka...

Kejutan itu tak berhenti sampai disana. Ketika dia berhadapan denganku, bisa kulihat dua buah titik kecil yang menonjol dari balik gaunnya yang cukup ketat.

Itu artinya...

Gleekkkkk.... Tak terasa aku menelan ludah menyadari si-celana-dalam-putih sekarang tidak mengenakan bra!


Dan kejutan terakhir, gaun itu pendek, sangat pendek dan ketat. Lekukan tubuh bagian belakangnya terlihat begitu indah, dari pinggang yang ramping, turun kepinggul yang bulat dan terakhir. Pantatnya terlihat menonjol kebelakang dan bulat. Sangat bulat...

Tapi tunggu dulu! Tidak terlihat garis celana dalam disana! Apa dia go commando? Ah, mungkin dia menggunakan celana dalam yang tipis sehingga nyaris tidak kelihatan. Dan sel abu-abu diotakku mulai membayangkan, apa yang ada dibalik gaun tipis itu...

Tapi jika dia benar-benar...

Bisa kurasakan Andri junior mulai bangun dari tidurnya dan sialnya, si-celana-dalam-putih kulihat memandang tonjolan dicelanaku. Dan mata kami bertemu ketika dia mengangkat wajahnya.

Entah wajah siapa sekarang yang lebih merah, wajahku atau wajahnya.

Sementara itu Lisa dan Shinta terlihat berbisik-bisik dan memandang bergantian antara aku dan si-celana-dalam-putih. Senyum muncul diwajah mereka, apalagi ketika mereka melihat tonjolan dicelanaku.

"Sudah siap berangkat?" Tanyaku mengalihkan perhatian.

"Eh, mas," terlihat si-celana-dalam-putih ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi. Ekpresi yang sulit kuduga kembali terlihat diwajahnya.

"Ayo mas, Mbak Lidya cuma sedikit belum terbiasa dengan gaun yang digunakannya" kata Lisa sambil menarik tangan Lidya dan berjalan didepan kami sementara Shinta mengunci pintu.

Kalau dari depan si-celana-dalam-putih terlihat menggoda, dari belakang dia semakin sempurna. Pantat itu! Masih teringat bagaimana empuknya ketika tanganku ini meremasnya. Ketika...

"Mas, ayo, jangan bengong saja," kata Shinta. Bisa kulihat senyumnya mengembang melihat kelakuanku. Dengan sedikit malu aku mengikutinya kelantai satu dimana Frans sudah menunggu.

Dan seperti yang aku duga, ekpresi Frans sama sepertiku. Mungkin lebih parah, hanya bedanya fokusnya pada si-centil, Lisa.

"Ayo, sudah waktunya," kataku sambil tersenyum kearah Frans. Dengan muka yang masih shock, Frans mengikuti kami keparkiran. Sebelum tiba diparkiran dia menarikku sedikit kebelakang dan berbisik.

"Boss, ini," katanya sambil memberikan kunci mobilku. Kulihat dia dengan pandangan bingung. "Aku pinjam mobil Edy, biar boss sama Mbak Lidya saja nanti," lanjutnya sambil mengedipkan matanya.

Sampai di parkir, Shinta dan Lisa mengikuti Frans menuju mobil Edy, sementara si-celana-dalam-putih terlihat sedikit bingung melihat Lisa dan Shinta mengikuti Frans.

"Sini Lid," kataku sambil membukakan pintu mobilku.

Kulihat dia sedikit enggan untuk duduk didepan bersamaku dan ketika aku duduk dibelakang kemudi, baru aku tahu apa alasannya.

Ketika dia berdiri, gaun yang dikenakannya hanya beberapa senti dibawah bulatan pantatnya. Ketika dia duduk, gaunnya tertarik keatas beberapa senti dan itu membuatnya kelabakan menutupi pahanya yang putih dengan tangan. Sepanjang perjalanan kami hanya diam, aku sibuk menebak nebak apa yang ada dibalik gaun itu dan sibuk melihat paha mulus yang mengintip dari jari-jari si-celana-dalam-putih. Sedangkan dia sibuk menutupi pahanya dengan tangan.

Bisa kudengar tarikan nafas lega ketika kami sampai ditempat tujuan. Kulihat Frans menggenggam tangan Lisa, sedangkan Shinta terlihat mengikuti dibelakang mereka. Kubantu si-celana-dalam-putih turun dari mobil dan sambil menggenggam tangannya kami menuju kedalam club.

Hingar bingar suara musik menyambut kedatangan kami, namun bukan itu yang menggangguku. Tatapan kelaparan dari pengunjung lelaki yang memandang kearah si-celana-dalam-putih yang terlihat begitu menawan malam inilah yang mebuatku mengertakkan gigi dan menggenggam erat tanganya sepanjang perjalanan menuju salah satu meja dipojok ruangan.

Meja ini masih terlihat kosong, hanya rombongan kami saja yang duduk disana. Dan seperti tadi, si-celana-dalam-putih terlihat bingung ketika hendak duduk. Aku duduk disebelahnya sementara Frans diapit Lisa dan Shinta. Suasana sedikit temaram di pojok ini dan itu rasanya sedikit membuat si-celana-dalam-putih tidak terlalu sibuk menutupi pahanya.

"Boss, mau pesan minuman?" tanya Frans. Tepatnya teriaknya.

"Kau saja yang pesan, " kataku sambil memandang kesekeliling. Musik masih menghentak dengan keras sehingga suasana cukup meriah. Banyak pasangan yang asik melantai. Kulihat Frans memesan minuman pada salah satu waitress yang mendekati meja kami. Tak lama kemudian waitress itu kembali dengan membawa minuman dalam gelas dan sebotol minuman pesanan Frans.

"Boss, ini buat boss, seperti biasa, sedangkan Mbak Lidya, coba minum ini, biar lebih rileks," kata Frans sambil memberikan minuman kepadaku dan si-celana-dalam-putih. Terlihat keraguan terpancar dari si-celana-dalam-putih ketika dia menerima minuman yang disodorkan Frans.

"Coba sedikit dulu Lid, rasakan dulu, kalau terlalu keras, nanti mas cariin soda saja," kataku ditelinganya. Dan lagi, aku mendapatkan kejutan lainnya hari ini. Harum parfum yang baru pertama kali aku cium ditelinganya membuatku terangsang. Entah apa saja yang sudah dilakukannya tadi siang bersama Lisa dan Shinta. Tapi apapun itu, harus kuakui itu membuatku terkejut hari ini.

Kulihat tatapan keraguan dimatanya. Kuanggukan kepalaku dan tersenyum padanya.Rasa hangat kembali kurasakan didadaku.Mungkin, sudah saatnya...


Lidya POV

Addduuhhhhhhh...

Aku belum pernah minum yang seperti ini sebelumnya, dan baunya, uffftttt, menyengat!


Pandangan si-mata-keranjang yang tenang dan terlihat hangat memberi sedikit keberanian, apalagi, ketika kulihat Lisa dan Shinta bisa meminum minuman yang sama dengan mudah.

Masa aku nggak bisa?

Dengan menarik nafas aku mencoba meminum minuman yang diberikan Mas Frans.

"Uhukk..uhukkkk...,"

"Pelan-pelan Lid," kata si-mata-keranjang sambil mengurut pelan punggungku yang terbuka. Dan sensasi rasa panas ditenggorokanku dan elusan tangannya membuatku wajahku memanas. "Mau mas pesenin soda aja?" tanyanya dengan wajah yang khawatir. Dan sesuatu yang telah lama hilang itu perlahan terasa hangat dan bersemi kembali...

"Gak usah mas, bisa kok," kataku sambil menyesap kembali minumanku dan rasa panas kembali mengalir ditenggorokanku.

"Yeee, Mbak Lidya bisa juga minum...," kata Lisa sambil tersenyum.

Aduhhhh... kok panas gini ya?

Kulihat si-mata-keranjang meneguk minumannya dan tidak seperti aku, dia melakukannya dalam sekali tegukan.

Hmmmmm, sudah biasa...Pikirku sambil melihat Lisa dan Shinta yang juga sedang menyesap minuman masing-masing. Waitress yang tadi datang kembali dengan membawa minuman yang sama.

Aduh, minum lagi???

Satu jam lebih kami habiskan untuk ngobrol dan minum saja. Kepalaku sudah terasa pusing padahal baru gelas ketiga yang bisa kuhabiskan. Si-mata-keranjang memijit tengkukku dengan pelan dan rasa pusing serta mual sedikit berkurang. Mas Frans, Lisa dan Shinta sudah turun dan terlihat mereka menikmati dentuman musik sambil meliukkan tubuh mereka. Tak kusangka Shinta yang terlihat alim ternyata bisa bergoyang dengan liarnya. Dan entah sudah yang kebeberapa kali dia berganti pasangan ketika musik berubah menjadi pelan.

"Lid, ayo!" kata si-mata-keranjang sambil menarik pelan tanganku. Dengan kepala yang sedikit pusing dan rasa ragu aku turun kelantai. Bisa kulihat senyum Lisa dan Mas Frans ketika kami masuk kelantai dansa.

Aduh, harusnya aku gak mau saja, gimana nih caranya?

Pikirku kalut ketika si-mata-keranjang memegang tangan kananku sedangkan tangan kanannya memeluk pinggangku dengan erat. Wajahnya perlahan mendekat dan berbisik ditelingaku. "Rileks aja Lid, ikuti saja aku," katanya sambil melangkah pelan.

Tubuh kami menempel begitu erat, bisa kurasakan dadanya yang bidang menggesek dadaku yang hanya tertutup oleh gaun saja. Dua buah putingku yang sensitif mengeras seiring gesekan antara dada kami. Musik terus mengalun dengan pelan seiring dengan gerakan dansa kami.

Tiba-tiba kurasakan bulu kudukku merinding ketika nafasnya mengelus pelan telingaku. Sebelum satu bisikan terdengar ditelingaku. "Lid, mau jadi pacarku?" katanya dengan suara bergetar.

Ouwhh...jadi begini rasanya mabuk. Apa yang kita hayalkan bisa terdengar nyata. Eh, aku..Pasti mabuk. Aku pasti mabuk.

Tak kujawab pertanyaannya. Yang rasanya hanya hayalanku saja...

"Gimana Lid?"

Kudengar lagi suaranya. Kugelengkan kepalaku. Sedikit rasa pusing menyerangku. Kulihat keatas dan kulihat mata si-mata-keranjang memandangku dengan mesra.

Dengan mesra?

"Eh, aku mabuk ya mas?" tanyaku ragu. Seragu aku mendengar pertanyaannya. Bisa kurasakan dia berhenti berdansa dan kembali mengulangi pertanyaannya.

"Lidya, kamu mau jadi pacarku?"

Kali ini pertanyaan itu terdengar jelas ditelingaku. Sejenak perasaan bahagia mengembang didadaku. Namun itu semua tersapu ingatan masa laluku yang kelabu. Perlahan air mata bisa kurasakan mengalir dipipiku...

Aku tak pantas untuk orang sepertimu mas, aku tak pantas, tak pantas...

Si-mata-keranjang terlihat terkejut dan terpaku ditempatnya berdiri. Kulepaskan pelukannya dan berjalan dengan terhuyung menuju kemeja tempat kami tadi. Kulihat masih ada sisa di botol minuman yang dipesan Mas Frans, kuambil gelas dan menuangkan isinya kedalam gelas. Dengan sekali tegukan kuhabiskan minuman itu dan rasa panas yang membakar mengalir ditenggorokanku.

Rasa pusing dan panas melanda tubuhku, pikiranku rasanya lebih plong dari tadi. Kutarik nafas panjang dan berusaha mengambil keputusan ketika kulihat dia berdiri didepanku dan kemudian duduk disampingku.

Perasaanku campur aduk sekarang, bingung entah menjawab pertanyaannya atau tidak. Kutuang kembali minuman Mas Frans kedalam gelas dan hendak meminumnya ketika tangan si-mata-keranjang memegang tanganku.

Dengan marah kulihat kearahnya, namun, yang terlihat pandangan malah pandangan khawatir disana.

"Segelas lagi mas," kataku sambil berusaha meminum minuman yang tak jauh dari mulutku.

"Lidya, kamu kenapa?!" tanyanya. Bisa kudengar lagi nada marah dan khawatir dari suaranya. Tangannye merebut gelas dari tanganku dan meletakkannya di meja.

"Tidak apa-apa mas, tidak apa-apa," sahutku sambil memalingkan wajahku, tak ingin dia melihat air mata yang masih mengalir di wajahku. Kurasakan tangannya menarik tubuhku mendekat, sedikit memaksa dan memelukku dengan erat.

"Mas," kataku lirih yang dijawab dengan pelukan yang semakin erat dan sebuah bisikan.

"Biarkan mengalir Lid," bisiknya dengan pelan sambil melonggarkan pelukan dan mencium keningku dengan pelan.

Entah karena pengaruh alkohol dalam darahku atau perasaan senang atas pengakuan dan sikapnya. Kurasakan dadaku mengembang dan tubuhku ringan, seperti terbang, melayang.

Kulepaskan pelukannya dan mengambil gelas minuman dari meja. Kulihat pandangan khawatir darinya namun kujawab dengan senyuman sebelum meminumnya. Rasa panas yang membakar yang mulai familiar terasa ditenggorokanku. Dan sebuah keputusan akhirnya bisa kuambil. Mungkin ini salah, tapi aku tidak bisa menahannya lagi.

The truth is in the bottle. Akhirnya aku mengerti maknanya.

Kugeser tubuhku mendekat kearahnya dan merengkuh kepalanya sebelum bibir kami bertemu dalam sebuah ciuman yang panas.
Sejenak kurasakan dia diam sebelum tangan kirinya meraih kebelakang punggung dan manarik tubuhku merapat sebelum tangan kanannya meremas pelan pantatku.

Tubuhku terasa panas dan dan detak jantungku serasa lebih cepat seiring dengan ciuman kami yang semakin panas dan basah. Perlahan lidah kami bertemu dan saling membelit dengan liarnya.

"Uhhhhhh....,"suara lenguhan pelan keluar dari mulutku ketika tangan kirinya dengan nakal meremas pelan payudaraku dari balik gaun yang aku kenakan. Tak sadar tanganku berpindah kekepalanya dan meremas rambutnya dengan gemas. Ciuman kami terlepas ketika tangannya menelusuri pahaku yang telanjang dan merayap keatas.

"Mas..., jangan disini...," kataku. Yang segera dijawabnya dengan ciuman yang panas dan remasan di dadaku. Bisa kurasakan tangannya berusaha menyelinap kebalik gaun yang kupakai dan...

"Ehemmmm..., sebaiknya kalian segera mencari kamar atau akan ada tontonan panas disini," sebuah suara mengagetkan aku yang segera menjauh dari si-mata-keranjang. Sedangkan si-mata-keranjang sendiri dengan malas berbalik dan melihat kearah Mas Frans serta Lisa dan Shinta yang memandang kami dengan seyum lebar. Dengan malu kurapikan gaunku yang berantakan.

"Ah, kalian mengganggu saja," kata si-mata-keranjang sambil menuang minuman dan menenggaknya dengan sekali tegukan. Kulihat sambil berbisik-bisik Lisa dan Shinta duduk mengapit Mas Frans.

"Bagaimana kalau kita main games?" kata Sinta sambil mengedip kearahku. Aku memandangnya dengan heran sementara tubuhku masih terasa panas dan dengan malu aku baru menyadari kalau si-mata-keranjang masih memegang pahaku!

"Games apa?" tanya si-mata-keranjang sambil memandangku dengan lembut. Namun tangannya masih dengan jahilnya tak mau dilepaskan dari pahaku. Sekarang malah mengelusnya dengan pelan. Kulihat Lisa mengedipkan matanya kearahku dan mengelus pahanya sambil memasang wajah yang merangsang.

"Truth or Dare!" kata Shinta dengan senyum misterius diwajahnya.

Apa lagi yang direncanakannya?

"Sebaiknya kita menuju ruang VIP saja, bagaimana?" kata Mas Frans sambil memandangku dan si-mata-keranjang.

Apa perasaanku saja atau memang ada sesuatu yang lain dimatanya...

"Boleh," jawab si-mata-keranjang sambil memanggil seorang waitress dan menanyakan jika ada ruang VIP yang kosong.

"Wah, full mas, tapi...," kata si waitress dengan ragu.

"Tapi apa?" kataku cepat. Tak bisa mengontrol pertanyaan itu yang meluncur begitu saja dari mulutku.

"Ada satu ruang VIP yang isinya cuma seorang wanita saja, mungkin kalau mau gabung dengannya, bisa saya tanyakan," jawabnya.

"Boleh mbak," jawab Mas Frans sambil tersenyum lebar. Dasar lelaki, kalau nambah ceweknya pasti tambah senang saja!

Beberapa menit kemudian si waitress kembali dan sambil tersenyum dia menginformasikan kalau wanita itu mau bergabung dengan kami. Sambil tersenyum lebar kami semua melangkah mengikuti si waitress menuju ruangan VIP yang terletak dibagian belakang klub. Cukup terpisah dengan tempat kami tadi. Bisa kudengar bisik-bisik dari Lisa dan Shinta yang berjalan dibelakang aku dan si-mata-keranjang ketika melihat si-mata-keranjang berjalan sambil memluk pinggangku dengan mesra.

"Disini mas," tunjuk si waitress sambil menunjuk kearah sebuah pintu ruangan. Ruang VIP.

"Thanks ya mbak," kata Shinta sambil memberikan tips kepada waitress itu.

Mas Frans membuka pintu dan cahaya lampu yang temaram menyambut kami. Ruangan ini cukup besar, mungkin sekitar 4x6 m. Di dinding sebuah televisi layar lebar terpasang lengkap dengan peralatan karaoke didekatnya. Tiga buah sofa lebar mengelilingi sebuah meja ditengahnya. Dan diujung sebuah sofa duduk seorang wanita sambil menyilangkan kakinya yang ramping.

Eh, dia kan...

CHAPTER 22
High Voltage

Part 3



Lidya POV

Mas Frans membuka pintu dan cahaya lampu yang temaram menyambut kami. Ruangan ini cukup besar, mungkin sekitar 4x6 m. Di dinding sebuah televisi layar lebar terpasang lengkap dengan peralatan karaoke didekatnya. Tiga buah sofa lebar mengelilingi sebuah meja ditengahnya. Dan diujung sebuah sofa duduk seorang wanita sambil menyilangkan kakinya yang ramping.

Eh, dia kan...


Mbak Raisa!

Kulihat ekpresi terkejut diwajahnya, namun itu hanya sebentar sebelum dia berdiri dan merapikan gaunnya. Sebuah gaun ungu yang hampir sependek gaunku namun dengan belahan V yang rendah didepan sehingga sebagian payudaranya terlihat. Mungkin, jika dia sedikit salah bergerak, maka putingnya pun akan terlihat.


Dengan anting-anting bulat dan gelang ditangan, serta lipstik merah muda membuat penampilannya terlihat semakin muda. Kulihat ekpresi kagum dimata Mas Frans dan bahkan di mata Shinta dan Lisa. Namun, si-mata-keranjang hanya tersenyum simpul saja. Ekspresinya sulit kutebak.

"Wah, kebetulan nih, Mbak Lidya beda banget, sampe Is gak bisa kenalin," katanya sambil memandang gaunku yang semoga saja tidak terlihat basah dibagian pribadiku.

"Bisa aja Is," kataku sambil tersenyum."Oh iya, kenalin, Lisa dan Shinta," kataku sambil mengenalkan Shinta dan Lisa kepada Raisa. Kulihat Shinta tersenyum kearah Lisa, senyum yang mencurigakan. Dan baru kusadar, kalau Shinta membawa tas yang lumayan besar dan terlihat berat, entah apa isinya...

"Ayo mari kita mulai!" kata Mas Frans yang tak sabar sambil meletakkan sebuah botol kosong di tengah meja.

"Mulai apa?" tanya Raisa dengan bingung.

"Games truth or dare Mbak Raisa, mau ikut?" tanya Shinta sambil tersenyum.

"Boleh," kata Raisa sambil berjalan menuju sofa. Dari belakang, punggungnya terlihat begitu putih karena gaunnya terbuka sampai sedikit diatas pantatnya. Tali-tali kecil menjuntai dari punggung, sedikit menutupi kemulusan punggungnya. Apa dia....

Namun tidak sepertiku, Raisa tidak terlihat malu ketika duduk walaupun gaunnya sama pendeknya denganku. Bahkan dengan anggunnya kakinya disilangkan dengan pelan sehingga sesaat aku bisa melihat warna hitam samar diujung sana...

Aku duduk disebelah si-mata-keranjang yang sudah melangkah duluan. Sementara Raisa duduk disebelah Shinta. Sedangkan Lisa disebelah Mas Frans. Kami duduk melingkari meja yang terlihat kosong ditengah kami.

"Kita tentuin yang mutar botol pertama pakai hompipa ya?" tanya Mas Frans yang disetujui semuanya.

"Hompimpa alaium gambreng,"

Enam tangan yang berbeda mengacung kedepan. Namun cuma satu yang menghadap keatas. Tangan Mas Frans.

"Yups, aku yang mutar pertama!" seru Mas Frans dengan tersenyum lebar dan hendak memutar botolnya.

"Tunggu dulu Frans, gimana nih rulenya?" tanya si-mata-keranjang memastikan. Habis dia berkata seperti itu, terdengar ketukan dipintu dan waitress yang tadi masuk sambil membawa tiga botol minuman dan gelas. Mas Frans terlihat memberi isyarat agar meletakkan minumannya di ujung meja. Sambil mengantar waitress itu keluar kulihat Mas Frans berbisik sesuatu kepada waitress itu sambil menyelipkan tips ke belahan dadanya. Si waitress terlihat memberikan beberapa kertas kecil ketangan Mas Frans. Mas Frans melihat-lihat kertas yang ada ditangannya dan tersenyum sendiri sebelum mengunci pintu dan kembali ke samping Lisa.

"Oke, aturan mainnya begini, siapa yang dapet giliran muter botol, bisa ngajuin truth or dare ke pihak siapa mulut botol mengarah setelah selesai diputer. Bila pihak yang ditantang tidak bisa melakukan truth or dare, hukumannya minum segelas minuman itu!" kata Mas Frans sambil menunjuk kearah minuman ayng tadi diletakkan waitress. "Dan bila tiga kali tidak bisa memenuhi tantangan, maka akan dihukum sesuai dengan ada yang dikertas ini," Katanya sambil menujuk kertas yang ada ditanganya", "dan tidak boleh menolak. Yang terakhir, yang ditantang berhak memutar botol, walaupun tidak bisa memenuhi truth or darenya" kata Mas Frans sambil tersenyum lebar.

Waduuhhhhhh..... bakalan 'panas' nih...

"Oke, ayo mulai!" kata Mas Frans sambil memutar botol. Semua pandangan tertuju ke arah botol yang berputar dengan kencang sebelum melambat. Suasana menjadi hening, hanya suara botol yang berputar yang terdengar sekarang.

Tak...

Botol berhenti berputar dan mulutnya mengarah ke arah Raisa!

Sambil tersenyum lebar Mas Frans berkata kepada Raisa.

"Truth or dare?" tanyanya.

Terlihat Raisa berpikir sejenak sejenak sebelum berkata ringan "Kamu pake daleman warna apa Raisa?" kata Mas Frans sambil tersenyum mesum.

Dasar cowok!

Kulihat Lisa mendelik kearah Mas Frans yang hanya dijawab dengan mengankat dua jarinya yang berbentuk huruf V.

Sekarang semua mata memandang kearah Raisa yang terlihat tenang saja. Sambil tersenyum dia memandang kearah Mas Frans.

"Sayangnya aku gak pake daleman hari ini mas, jadi aku gak bisa jawab deh," jawab Raisa pelan. Bisa kulihat ekpresi terkejut dari Mas Frans dan yang lain. Kecuali si-mata-keranjang. Apa dia sudah tahu kalau Raisa tidak pake daleman hari ini? Pikirku penasaran.

"Jadi giliranku sekarang ya?" kata Raisa sambil memutar botol. Kembali suasana hening menyelimuti kami sebelum akhirnya mulut botol itu berhenti didepan Lisa!

"Yah aku yang kena!" kata Lisa sambil menatap Raisa.

"Truth or Dare?" tanya Raisa.

Lisa berpikir sejenak sebelum memutuskan. "Dare!" katanya mantap.

Kulihat senyum Raisa sebelum dia berkata pelan. "Hmmmmm, kasi lap dance ke Mas Frans selama lima menit."

"Yah, Mbak Raisa! Masa lap dance si, kan keenakan tu Mas Frans," renggut Lisa. Namun kutahu itu hanya pura-pura saja. Mas Frans sendiri tersenyum sangat lebar, tentu saja, yang enak kan dia.

"Ayo, dance...dance...," seru si-mata-keranjang dan Shinta. Rasanya mereka kompak sekali kalau urusan begini! Terlihat si-mata-keranjang menuju ke televisi dan sesaat kemudia alunan house musik terdengar.

"Ya, mulai," kata si-mata-keranjang sambil menyalakan stopwatch di handphonenya.

Dengan wajah yang memerah namun dengan pandangan menggoda, Lisa berdiri dan mendorong tubuh Mas Frans ke belekang. Dengan gaya yang sensual dia naik keatas sofa dan tangannya menyingkapkan gaunnya keatas. Paha putih dan mulusnya terpampang semakin banyak, paha yang kontras dengan gaun hitamnya. Sungguh menggoda.

Perlahan Lisa meliukkan badannya seiring dengan musik yang mengalun. Garis celana dalamnya terlihat jelas ketika pantat itu menungging indahnya kebelakang. Bisa kulihat si-mata-keranjang menelan ludahnya. Hmmm, dia terangsang juga!

"Tidak boleh megang-megang!" kudengar Raisa berkata ketika Mas Frans tak tahan dan meraba pantat Lisa.

"Yah Raisa!" protes Mas Frans. Namun tak lama, karena sekarang dengan bagian depan tubuhnya, Lisa memberikan pijatan ke mukanya dengan payudaranya. Sayang terhalang gaunnya..... Goyangan Lisa semakin lama semakin cepat dan dekat dengan Mas Frans. Bahkan sekarang, Lisa membuat gerakan menaikturunkan tubuhnya diatas pangkuan Mas Frans. Tangan Mas Frans dengan pasrahnya bergerak disamping badan Lisa, kadang terbuka dan tertutup. Terlihat sekali kalau dia sangat terpengaruh dengan tarian Lisa.

"Sudah lima menit, " kata si-mata-keranjang dengan suara sedikit serak.

Seperti saat naik tadi, saat turunpun Lisa membuat gerakan yang sangat sensual. Dan tak heran, kalau sekarang gundukan dicelana Mas Frans semakin mengacung kedepan. Shinta melangkah kearah televisi dan mematikan musik yang mengalun.

"Oke, sekarang giliranku," kata Lisa ketika musik sudah berhenti dengan wajah yang sedikit memerah. Antara terangsang atau kelelahan, sulit kubedakan.

Lisa kemudian memutar botol dengan kencang. Senyum liciknya bertolak belakang dengan raut muka tegang dari peserta yang lain.

Tak...

Huftttt... kutarik nafas panjang ketika ujung botol mengarah tepat kearah si-mata-keranjang. Kulihat si-mata-keranjang yang kebetulan juga melihat kearahku.


Andri POV

"Truth...," kataku cepat tanpa ditanya.

"Hmmmmmm...., boleh nanya tentang itu kan,hihihi..," kata Lisa sambil tertawa.

"Tentang apa?" kudengar pertanyaan dari si-celana-dalam-putih. Aneh. Tidak biasanya dia blak-blakan seperti ini. Pengaruh alkoholkah?

"Hmmmm, masalah pribadi si, berarti boleh ya. Gini, posisi apa yang mas paling suka kalau lagi ML?" tanya Lisa sambil tersenyum jahil. Kulihat si-celana-dalam-putih tersipu malu mendengar pertanyaan Lisa. Sedangkan yang lain hanya tersenyum saja.

"Spooning dan doggy style...," jawabku spontan.

"Wah, morning sex nih, " celetuk Shinta. Yang disambut dengan gelak tawa yang lain, kecuali si-celana-dalam-putih yang terlihat bingung. Dan melihat pandangan bingung darinya, Frans langsung nyeletuk. "Kayaknya ada yang bingung neh, perlu praktek rasanya,hahaha...," tawa Frans yang disambut tawa semuanya. Suasana menjadi cair karenanya.

"Oke. My turn," kataku sambil memutar pelan botol itu. Semua bersorak ketika ujungnya mengarah ke si-celana-dalam-putih.

"Truth or dare?" tanyaku sambil menatap tajam kearahnya.

"Truth!" katanya cepat.

"Apa jawaban pertanyaanku yang tadi?" tanyaku tanpa pikir panjang. Damn! Seharusnya bukan itu, namun sudah terlambat!. Semua sekarang memandang kearahnya. Suasana menjadi hening.

Si-celana-dalam-putih terlihat bingung sejenak dan perlahan berdiri serta mengambil botol minuman lalu menungkannya kedalam gelas. Dengan cepat dia meminumnya.

"Wah, gak seru nih Mbak Lidya, padahal udah ngebet tuh Mas Andri mendengar jawabannya," kata Raisa yang membuatku hanya bisa tersenyum getir. Tanpa menjawab sindiran Raisa dan menghindari tatapan mataku, si-celana-dalam-putih memutar botol yang ada ditangannya.

"Ah, kena juga! Dare!" seru Frans ketika ujung botol mengarah kedirinya.

Si-celana-dalam-putih terlihat tersenyum simpul. "Cium Lisa dibibir, deep kiss, selama lima menit!" serunya yang membuatku ternganga tak percaya. Bahkan Franspun sampai memandangnya dengan tak berkedip. "Ayo Mas," pinta si-celana-dalam-putih dengan bersemangat.

"Ayo Frans," seruku sambil bertepuk tangan.

"Ayo mas," seru Raisa tak kalah bersemangat.

"Wah, Mas Frans keenakan dung kalo gini," protes Lisa, namun bisa kurasakan itu tidak serius.

"Oke, start!" kataku sambil menstart stopwatch di hpku.

Dengan semangat 45 Frans menghadap kearah Lisa dan dengan raut wajah yang serius dia mendekati Lisa. Perlahan dia menurunkan wajahnya mendekati wajah Lisa yang merah padam. Hmmmm, beruntung kau Frans, pikirku sedikit iri ketika akhirnya bibir mereka bertemu. Terlihat tubuh Lisa sedikit tersentak ketika dengan nakal tangan kanan Frans meraba kebawah, kearah pantat Lisa yang sekal. Sedangkan tangan yang lainnya meremas pelan payudara Lisa dari balik gaunnya.

"Ugghhh...," suara lenguhan pelan keluar dari mulut Lisa ketika tangan nakal Frans meremas dadanya dengan sedikit keras. Tangan Lisa perlahan turun kebawah, mencari sesuatu yang tegang dibawah sana.

"HHhhhmmm..., " bisa kudengar suara teredam Frans ketika dengan nakal Lisa mengelus penisnya dari luar celananya. Ciuman mereka semakin panas, tangan Frans sekarang mencoba menurunkan gaun Lisa sehingga dia bisa menyentuh payudara Lia. Namun tampaknya Lisa masih sedikit malu, tangannya yang mengelus penis Frans memegang tangan Frans.

"Sudah lima menit...," suara si-celana-dalam-putih sedikit bergetar. Kulihat kearahnya dan wajahnya terlihat merona merah.

Dilatari suara nafas yang memburu, Frans dan lisa dengan malas memisahkan diri. Bisa kurasakan aroma persetubuhan semakin menguat diruangan ini. Tonjolan di celana Frans semakin mengembung saja. Dan itu wajar, karena bisa kurasakan penisku sendiri mulai mengeras.

"Oke, sudah siap jadi yang berikutnya?" tanya Frans kesekeliling ruangan sebelum memutar botol.

Tak...

Mulut botol berhenti kearah Raisa! Lagi!

"Aduh, aku salah apa ya sama Mas Frans, kok aku terus yang kena?" kata Raisa sambil berpura-pura takut kepada Frans. Tease yang menggoda...

"Pilih truth apa dare?" tanya Frans tak sabar.

"Ehhhmmmm," gumam Raisa sambil memainkan rambutnya serta menggigit bibir bawahnya. So sexy!. "Dare," sahut Raisa, yang disambut senyum mesum Frans.

"Sekarang, kamu coba berperan sebagai istri Andri, yang sedang horny, kamu rayu Andri agar mau ML sama kamu," kata Frans tenang.Gila!.

Semua pandangan sekarang terfokus pada Raisa. Terlihat dia berpikir sebentar sebelum bangkit dari sofa dan menuju kearah meja. Pandangan terkejut kulihat dari wajah yang lain menyaksikan Raisa. Apa dia akan memenuhi tantangan Frans?

"Bisa dimulai Mas Frans?" toleh Raisa kearah Frans. Dengan sedikit terkejut Frans menganggukan kepalanya.

Dengan gemulai Raisa berpaling kearahku. Kakinya perlahan disilangkan sehingga pahanya semakin terlihat dengan jelas. Rambutnya yang semula menutupi dadanya disibakkan kebelakang. Sekarang aku bisa melihat putingnya tercetak dengan jelas di gaun ungu tipis yang dikenakannya.

"Mas..., " panggilnya dengan nada menggoda.

"Iya Is," sahutku tak sadar.

"Hari ini Is gak pake bra, lihat nih mas, puting Is sampe kecetak gini," katanya sambil menunjuk titik kecil yang terlihat semakin nyata di balik gaunnya.

Gleekkkk...

"Tau gak mas, Is juga gak pake cd lhoo...., dinginnya kerasa nih mas, mana udah basah lagi, nih buktinya....," kata Raisa sambil menyelipkan satu jari di celah antara pahanya. Ketika dia melakukan itu, pahanya semakin terlihat jelas, bahkan aku bisa melihat bulatan pantatnya!

Ketika dia mengangkat jari tangannya, terlihat mengkilap karena basah!

Penisku sudah mengeras dengan maksimal dibawah sana!

"Mas, vaginaku gatel nih, pengen banget digarukin, tapi jariku kekecilan nih mas, gak kerasa, bisa bantuin gak?" rayu Raisa dengan wajah yang honry serta pandangan yang binal.

Gleekkkk.....

"Mas, gatel banget nih, garukin dong mas...," tawar Raisa sambil menggesekkan pahanya. "Kalo yang ini," katanya sambil menujuk kepayudaranya yang sebagian besar kelihatan "enak banget kalo diteken gini mas," lanjutnya sammbil meremas pelan payudaranya dari balik gaunnya.

"Aahhhhh....masss..., enak banget...," desah Raisa sambil tangan kanannya meremas payudara sedangkan yang kiri, terlihat menekan-nekan vaginanya dari balik gaun yang dikenakannya. Payudara Raisa sekarang terekpos dengan lebih jelas. Seperti terkhir kali aku melihatnya, masih terlihat kenyal, bulat dan menantang.

"Cccuuu...cu...kuppp Raisa," kata Frans dengan suara yang bergetar. Bisa kudengar nafasnya yang mulai menderu melihat godaan yang dilakukan Raisa.

"Yakin mas, padahal baru mulai ini," goda Raisa.

"Ya...kin...," sahut Frans tergagap.

"Kalau begitu, siap-siap ya mas," kata Raisa sambil memutar botol dengan kuat.

"Hmmm, truth apa dare, Mbak Shinta?" tanya Raisa ketika mulut botol mengarah pada Shinta.

"Dare," sahut Shinta singkat. Namun terlihat kalau wajahnya memerah dengan paha yang saling digesekkan.

"Buka bra dan celana dalam mbak, dan kasi ke Mas Andri," kata Raisa. Semua yang mendengar perkataan Raisa terkesiap.

"Cuma itu?" tantang Shinta sambil tangannya dengan perlahan menuju kebelakang punggunganya, dan tak lama kemudian terlihat sebuah bra hitam tipis teracung kedepan. Kemudian dengan gaya yang sensual, Shinta kemudian menarik lepas celana dalamnya yang berwarna hijau menyala kemudian menjadikannya satu dengan bra yang tadi dilepasnya.

Setelah itu terlepas, Shinta mendekatiku dan memberikan kedua benda itu. Dengan berbisik dia berkata "Maaf Mas, celananya agak basah, habis, gak tahan sih liat Lisa tadi."

Dan itu sukses membuat penisku kembali menegang dibawah!

Dengan sedikit ternganga aku meletakkan bra dan celana dalam, yang seperti dikatakan Shinta -terlihat basah dibagian tengah serta mengeluarkan aroma khas vagina- disampingku.

"Oke, giliranku ya," kata Shinta.

Dan botol itu sekarang tepat mengarah pada si-celana-dalam-putih. Dengan tersenyum simpul Shinta berkata "Truth or dare?"

Terlihat si-celana-dalam-putih berpikir sejenak. Pilih truth, pilih truth, batinku,

"Dare," jawabnya yang mebuatku sedikit kecewa.

Namun raut kekecewaanku berganti dengan penasaran ketika melihat senyuman Shinta.

"Oke, mau pilih yang warna pink, putih, ungu atau yang bening?" kata Shinta misterius. Dan sepertinya si-celana-dalam-putih juga sedikit kebingungan namun kulihat Shinta memberi isyarat ketasnya. Dan wajah si-celana-dalam-putih sekarang terlihat merah padam!

Kulihat dia hendak mengambil minuman lagi ketika langkahnya terhenti dan berbalik kearah Shinta dan berkata dengan nyaring.

"Yang ungu!" katanya tegas. Walaupun bisa kulihat tangannya bergetar.

Setelah mendengar jawaban si-celana-dalam-putih. Kulihat Shinta melangkah ke tasnya dan mengambil sesuatu dari sana.
Dan ketika dia dekat, bisa kudengar gumaman senang dari Raisa dan Frans.

Ditangan Shinta terlihat sebuah gel pelumas danbutt plug berukuran kecil, namun dari modelnya, bisa kutebak itu sebuah vibrator. Jadi vibrator di bagian belakang si-celana-dalam-putih! Dan membayangkannya membuat penisku semakin tegang dibawah!


Aku pandangi si-celana-dalam-putih yang terlihat gugup. Wajahnya merah padam dengan tangan yang terlihat gemetar. Berlawanan dengan Shinta yang tersenyum senang.

"Ayo mbak, mau aku yang pasangin atau Mas Andri?" katanya mengggoda.

"Tidak! Kamu yang pasang!," katanya tegas.

Sambil melirik kearahku, Shinta berjongkok didepan si-celana-dalam-putih dan mengoleskan gel pelumas di setiap bagian dari butt plug itu. Setelah semua bagian terkena pelumas, Shinta sedikit berdiri dan perlahan tangannya merayap kebagian atas, sedikit menaikkan gaunnya sehingga bagian intim si-celana-dalam-putih hampir terekpos jelas.

Si-celana-dalam-putih terlihat sibuk menutupi bagian pribadinya dengan tangan. Wajahnya sekarang sangat merah, namun itu justru membuatku semakin terangsang. Tangan Shinta sekarang hilang di dadalam gaun si-celana-dalam-putih yang hanya bisa menutupi bagian vaginanya saja.

Shinta merayap keatas dan mencium si-celana-dalam-putih dengan bernafsu! Yang dibalas dengan sama bernafsunya!

Gleeeekkkk....

Semua sekarang memandang adegan yang ada didepan kami. Tangan Raisa bahkan telah menelusup kedalam gaunnya dan tangannya sibuk meremas sesuatu yang ada disana. Sedangkan Frans meremas tangan Lisa, terlihat mereka sesekali saling pandang dengan pandangan yang sama, pandangan bernafsu!

"Uhhhh.....," lenguhan pelan si-celana-dalam-putih mengalihkan perhatianku dari Lisa dan Frans.

Terlihat Shinta dan si-celana-dalam-putih masih saling belit, namun dengan tangan Shinta yang semakin menghilang di gaun hitam si-celana-dalam-putih.

"Ssttttt....,ah...," desis pelan si-celana-dalam-putih semakin menjadi. Kulihat pandangan si-celana-dalam-putih semakin sayu ketika Shinta menarik tangannya dari dalam gaunnya. Tangan yang tampak berkilat karena cairan. Dengan gaya menggoda Shinta mengulum jari-jemarinya yang basah oleh cairan. Setelah puas menggoda dengan aksinya, Shinta sekarang membawa but plugg itu menghilang kedalam gaun si-celana-dalam-putih.

"Ahhhh...," suara desisan samar kembali terdengar ketika tangan Shinta terlihat melakukan sesuatu didalam gaun si-celana-dalam-putih. Wajahnya sekarang terlihat sedikit meringis, seperti menahan sakit, tapi, itu hanya sebentar saja.

Shinta menarik tangannya dari dalam gaun si-celana-dalam-putih dan perlahan menuju ke tasnya sambil tersenyum. Dia mendekat kearahku sambil memberikan sesuatu.

"Simpan buat nanti mas," bisiknya sambil kembali ke tempat duduknya. Ketika kulihat apa yang diberikannya, nafasku sedikit tercekat!

Sebuah remote control dan aku tahu untuk apa!

"Ayo putar botolnya!" teriak Frans tiba-tiba. Kami semua seolah terbuai oleh live show yang dilakukan Shinta dan si-celana-dalam-putih tadi sehingga lupa kalau sekarang giliran si-celana-dalam-putih untuk memutar botol.

Dengan sedikit pelan kulihat dia memutar botol dan ketika mulut botol berhenti didepan Frans, aku ingan tahu apa yang akan dilakukannya.

"Truth, " pilih Frans cepat!

"Diantara, yang ada disini dan semua staff di G-Team serta Delta Company, mas sudah pernah ML sama siapa saja?" tanya si-celana-dalam-putih. Wajahnya terlihat serius kali ini.

"Eh...," Frans sedikit bingung dengan pertanyaan yang diberikan kepadanya. Tak sadar dia menggaruk kepalanya dengan tangan.

Pertanyaan yang menarik..., pikirku.

"Aku pass ya," kata Frans akhirnya sambil menuang minuman kedalam gelasnya dan langsung meminumnya. Terlihat kelegaan didalam wajahnya.

"Yah...," bisa kudengar suara kecewa dari Lisa. Langkah yang tepat Frans!

Botol diputar dan sekarang ujungnya mengarah ke Shinta.

"Dare," kata Shinta sebelum ditanya.

Senyum puas Frans membuatku yakin, kalau dia akan menyuruh Shinta melakukan sesuatu yang jauh lebih nakal. Sambil memandang Lisa, Shinta dan Raisa bergantian, Frans terlihat berpikir apa yang akan dilakukan dan siapa yang akan melakukannya.

"Beri Raisa blowjob selama 5 menit!" kata Frans alkhirnya.

Terlihat Lisa sedikit kecewa dengan tantangan Frans. Mungkinkah....

"Ayo Shin!" kata si-celana-dalam-putih memberi semangat. Mungkin lebih tepatnya membalas dendam atas tantangan yang telah diberikan Shinta kepada dirinya.

"Siapa takut," kata Shinta sambil menoleh kearah Raisa yang ada disebelahnya."Maaf ya Raisa," kata Shinta sambil hendak membuka kaki Raisa.

"Tunggu dulu, tadi kan hanya memberikan blowjob kepadaku, tapi kan tidak ada peraturan yang mengharuskan aku untuk diam kan?" tanya Raisa sambil menoleh kepada kami semua.

"Eh, tidak ada, " sahutku ketika tak ada yang menjawab pertanyaan Raisa.

Raisa terlihat senang ketika mendengar jawabanku. Sekarang dia berbisik ketelinga Shinta yang dijawab dengan anggukan antusias.

"Eh, ayo cepetan, keburu pagi entar," kata Frans tak sabar.

"Keburu pagi apa keburu lemes yang dibawah mas?" tanya Raisa yang membuat Frans hanya bisa nyengir saja.

Eh, kenapa mereka sekarang membersihkan meja?

Dengan bingung aku menoleh ke si-celana-dalam-putih untuk melihat wajah yang sama bingungnya denganku. Tunggu, apa dia sedikit berkeringat?

Dan kebingungan kami akhirnya terjawab ketika Shinta dengan wajah yang merah tidur terlentang diatas meja dengan gaun yang terangkat keatas. Bisa kulihat vaginanya yang mulus tanpa rambut kemaluan, vagina yang sekarang terlihat basah dan mengkilap terkena cahaya lampu.

Raisa sekarang berdiri didepanku dan perlahan gaunnya disingkapnya keatas sehingga pantatnya bisa terlihat jelas dari tempatku. Perlahan dia menungging untuk melepaskan high heels yang digunakannya. Selama itu, vaginanya bisa kulihat dari belakang, sama indah dan polosnya dengan milik Shinta. Bedanya, vagina Raisa sekarang sangat dekat dengan mukaku, bisa kucium aroma vagina yang basah dari depanku.

Tahan Ndri, tahan..

Hanya perlu maju sepuluh senti saja dan lidahku akan bisa mencapainya, belahan itu!

Siallllll!

Penisku terasa sakit terkurung didalam celanaku.

"Hihihi," bisa kudengar tawa si-celana-dalam-putih melihat aku yang tersiksa.

Plaaaakkkkk.....

"Aduuuhhhhh!" terika Raisa ketika kutampar pantatnya yang sengaja dipamerkan didepanku.

"Cepat Is, keburu pagi entar," kataku beralasan. Pantat Raisa yang putih sekarang bersemu merah karena tamparanku yang sialnya semakin terlihat menggoda.

Huffffttttt....

Akhirnya bisa kuhembuskan nafas lega ketika Raisa akhirnya naik keatas meja dan mengambil posisi 69 dengan Shinta. Dua orang wanita. Dua orang yang sudah terangsang. Dua orang yang tanpa celana dalam dan dua buah vagina yang basah. Sekarang terhidang dimeja, siap saling menyantap.


"Ayo mulai," kata Lisa. Sedikit serak.

Dengan gaya yang pelan, Raisa mulai mencium paha dan perut Shinta dengan telaten. Shinta juga melakukan hal yang sama hanya saja, kulihat Shinta memasukkan satu jari kelubang vagina Raisa yang basah.

"Uuhhhh...,"

"Sssshhhhhhh...,"

Suara desahan dan lenguhan mulai bersahutan didalam ruangan VIP ini. Apalagi sekarang Raisa mulai menjilati bagian luar vagina Shinta dan seolah tak mau kalah dengan Shinta, satu jarinya sekarang dimasukkan kedalam lubang basah Shinta.

"Ahhhh, Raisa! " desahan Shinta begitu keras terdengar ketika Raisa menjilati bagian atas vaginanya, dimana, clitoris mungilnya sekarang sudah menyembul dengan indahnya. Ciuman Shinta terlepas ketika dia menganga merasakan kocokan cepat jari Raisa.

"Time," kataku serak ketika stopwatch di hp ku bahkan sudah menunjukkan 6 menit!

"Jangan berhenti! Please, sedikit lagi...," teriak Shinta dengan wajah memerah menahan orgasme yang akan menderanya sebentar lagi.

"Eh," tolehku terkejut ketika sesuatu merayap dipermukaan celanaku. Si-celana-dalam-putih!

Dengan wajah terangsang dan butir-butir keringat yang menghiasi dahinya dan gaun yang sedikit tersingkap dibagian dadanya yang memperlihatkan bulatan atas yang menggoda, dia mengelus penisku dari luar celana, sedangkan tangan satunya tersembunyi di balik gaun yang dikenakannya.

"Eh Lid, " kataku sambil menoleh kearah Frans. Dan pemandangan disana membuatku tersnyum. Frans dan Lisa sedang berciuman dengan panasnya.

"Aaahhhhhhh......Raisa!"

Dengan terkejut aku menoleh kearah Shinta dan Raisa. Disana kulihat tubuh Shinta bergetar dan mengejang dengan hebatnya. Pahanya menjepit dengan erat kepala Raisa yang terlah memberikan kenikmatan kepadanya.

Tok..tok..tok...

Suara ketukan terdengar samar dipintu. Munkin hanya hayalanku saja, pikirku sambil menoleh kepada si-celana-dalam-putih yang terlihat begitu menggoda sekarang.

Bugggg.buggggg.bugggg...

Suara ketukan itu sekarang berubah menjadi gedoran.

"Mas, dengar suara gedoran?" tanya si-celana-dalam-putih.

"Iya Lid, aku cek dulu," kataku sambil melangkah malas kepintu.

Cleekk...

Kubuka kunci pintu dan kulihat waitress tadi berdiri dengan didepan kami.

"Maaf mas, katanya akan ada razia disini nanti, hanya mau info saja ya mas," katanya sambil bergegas ke ruang VIP yang lain.

Razia? Polisi?
Well, dimana-mana, razia kebanyakan sudah bocor sebelum dilakukan, pantas saja jarang ada yang tertangkap saat make di club.
Pikirku.

Dengan bergegas aku menuju kedalam.

"Guys..., bad news, katanya akan ada razia sebentar lagi, so?" tanyaku kepada semuanya. Namun semua masih sibuk dengan pasangan masing-masing kecuali si-celana-dalam-putih yang sibuk dengan dirinya sendiri!

"Guys, ada polisi!" kataku lebih keras. Dan akhirnya mereka tersadar ketika mendengar ada kata-kata polisi.

Raisa dan Shinta turun dari meja dengan terburu-buru, Frans dan Lisa menghentikan ciuman mereka sedangkan si-celana-dalam-putih menarik tangannya yang terlihat basah dari dalam gaunnya.

"Ada razia Ndrii?" tanya Frans.

"Iya, lanjut nih atau gimana?" tanyaku memastikan.

"Mending pulang dulu mas, biar safe aja," saran Raisa dengan wajah yang berkeringat. Apa dia sudah...

"Kita lanjut besok saja ya? Ditempatku," kataku spontan.

"Boleh mas, " kata Shinta dan Lisa bersamaan sedangkan Raisa hanya menganggukan kepalanya. Frans? Seperti biasa tersenyum mesum. Hanya si-celana-dalam-putih yang terlihat bingung.

"Oke, mari kita pulang dulu," kataku sambil melangkah keluar. Setelah mengurus pembayaran kami menuju ke parkiran. Disepanjang perjalanan kulihat si-celana-dalam-putih berjalan dengan agak mengangkang.

Shiiiittttt!

Vibratornya belum dilepaskan!


"Besok Raisa boleh ikut kan?" tanya Raisa diparkiran.

"Tentu saja," kata si-celana-dalam-putih sambil tersenyum. She's naughty now...

"Okey, kalau begitu see you tomorrow," kata Raisa sambil melangkah menuju kemobilnya sambil menyapa Shinta dan Lisa yang mengapit Frans.

"Ayo balik dulu, " kataku pada semua dan masuk kedalam mobil. Kulihat Sinta memberikan sesuatu kepadanya yang disambut dengan wajah memerah.

Hmmm....

"Ayo mas," kata si-celana-dalam-putih ketika dia sudah masuk kedalam mobil. Bisa kulihat dia tidak begitu nyaman saat duduk.

Wajar saja, dengan vibrator terpasang di bagian sensitifnya..., tunggu! Vibrator! Sambil tersenyum aku meraba remote control yang masih tersimpan dikantong celanaku. Berbagai ide mesum terlintas dibenakku memikirkan apa yang bisa aku lakukan dengan remote ini.

Kulirik si-celana-dalam-putih, namun dia hanya diam saja, walau kadang pahanya digesekkan dengan pelan.

Suasana sedikit menjadi canggung diantara kami ketika akhirnya kami sampai di apartemenku.

Eh??? Kenapa kesini?
Siaalll! Gara-gara hilang fokus aku malah mengemudi ke apartemenku.


"Eh, maaf Lid," kataku sambil berhenti.

"Kenapa mas?" tanyanya dengan bingung. Apa dia tidak sadar diaman dia berada?

"Ehhh, gara-gara melamun, aku malah kesini, balik dulu sekarang," kataku sambil melihat kaca spion, jika ada mobil dibelakang.

"Dimana ini mas?" tanyanya baru sadar kalau kami tidak di mess G-Team.

"Apartemenku Lid," jawabku pelan.


Lidya POV

Apartemennya?

Aduh, pasti kami sama-sama hilang fokus sehingga tidak ada yang sadar kalau kami bukan ke mess G-Team.

Tapi sebuah ide gila muncul dibenakku..

"Mas, jangan ke mess, disini saja," kataku tak sadar. Dan aku hanya bisa menunduk malu ketika sadar arti dari kata-kataku.

"Eh, beneran Lid?" kudengar nada terkejut dari si-mata-keranjang.

"Iya mas," kataku sambil menunduk, tak berani melihat kearahnya.

Mobil kami perlahan bergerak ke dalam kompleks apartemen sebelum berhenti di parkiran.

"Ayo Lid," ajak si-mata-keranjang sambil meraih tanganku. Dengan malu aku berjalan dengan si-mata-keranjang memegang tanganku.

Aku hanya bisa menunduk ketika dia memegang tanganku sampai dilift. Di dalam lift hanya ada seorang wanita dengan headset dikepalanya.

Vibrator sialan, rasanya begitu mengganjal...

"Awwwwwww...," desisku perlahan sambil memegang tangan si-mata-keranjang.

"Mas!" kataku sambil menoleh kearah si-mata-keranjang yang tersenyum jahil.

Uuugghhhhh.... Vibrator itu.. Bergetar dengan pelan dibawah sana. Rasanya sulit untuk dilukiskan.


Ting...

Pintu lift terbuka dan si-mata-keranjang beranjak keluar.

"Ayo Lid," katanya ringan.

Sambil bersikap sebiasa mungkin, aku mencoba berjalan dengan normal. Tapi dengan vibrator yang bergetar ringan dibawah sana, rasanya cukup sulit aku lakukan.

Awas ya mas!

Dengan mengertakkan gigi aku berjalan mengikuti si-mata-keranjang. Dengan sedikit pening karena pengaruh alkohol dan tubuh yang panas karena terbakar birahi, akhirnya kami sampai didepan pintu kamar si-mata-keranjang.

"Mari masuk Lid," kata si-mata-keranjang ketika aku hanya diam di depan kamarnya. Kamar yang bersih, teratur dan berkesan mewah.

"Mau minum atau ada perlu apa Lid?" tanya si-mata-keranjang dengan ramah."Ayo, jangan malu-malu Lid...," lanjutnya.

"Boleh minta yang lain mas?" tanyaku sambil merasakan cairan dari bagian pribadiku mulai mengalir disepanjang pahaku.

"Apa Lid?" tanyanya bingung.

Kudorong tubuhnya ke sofa yang ada diruangan ini sebelum berkata

"Fuck me please!"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar