Senin, 07 Desember 2015

Cinta sejati

Bagian 1
Sabtu, 2 November 2013


Dengan mata yang masih sangat mengantuk, aku berusaha menjangkau handphone yang tergeletak di meja samping tempat tidur kamar kost ku. Ternyata getaran yang tadi sampai membangunkan tidurku karena masuknya tiga buah pesan singkat. Dengan masih berusaha untuk sadar sepenuhnya, aku tekan tombol handphone menuju menu pesan.

Degh.
Hentakan di jantungku membuat kesadaranku langsung pulih. 3 pesan beruntun dari pengirim yang sama. Nama sang pengirim yang membuat kantukku hilang lenyap. Sebuah nama yang begitu berarti buatku, sebuah nama yang selalu sangat aku nantikan akan menelponku atau pengirimkan pesan singkat kepadaku.

Dengan jari agak gemetar yang entah karena apa, mungkin firasat ya, aku memilih pesan yang paling bawah, yang merupakan pesan yang pertama masuk dari 3 rangkaian pesan tersebut. Loading messege yang sebenarnya hanya sedetik terasa sejam bagiku….


Assalamu’alaikum, Ka. Gimana kabarnya? Sebelumnya Pipit minta maaf, mungkin yg akan Pipit sampaikan ini akan membuat Kaka kecewa dan marah ama Pipit. Tapi Pipit percaya Kaka bisa memahami dan mau menerima ini semua.
Diterima : 04 : 55 : 19
Sehabis subuh, pikirku. Pipit pasti mengirim sms ini pasti sehabis sholat subuh. Sebelum membuka sms kedua, dalam pikiranku bertanya-tanya apa gerangan yang ingin di sampaikan Pipit padaku sepagi ini. Tiba-tiba sebuah perasaan takut begitu menyerangku, karena sebuah pemikiran yang terlintas dalam benak berdasarkan pada ingatan yang terekam saat terakhir kali aku berkomunikasi dengan Pipit.

Dengan perasaan gundah luar biasa, ditambah ketakutan yang sangat jelas asalnya, aku nekad membuka pesan kedua Pipit.

Ka, Insya Allah Pipit akan menikah, bulan depan. Pipit dan orang tua sudah menerima lamaran dari seorang ikhwan. Pipit tau ini akan membuat Kaka kecewa, tapi sesuai pesan Kaka kemarin, Pipit harus beritahu Kaka apabila sudah sampai di kondisi seperti ini.
Diterima : 04 : 59 : 28
Tanpa aku sadari, aku sampai jatuh terduduk di tempat tidurku. Kepalaku langsung sakit dan serasa mau pecah. Benar dugaanku, Pipit akan menikah. Teringat kembali pada kenangan dua bulan silam saat terakhir kali aku dan Pipit berbicara di telepon. Malam itu aku masih berusaha keras untuk memintanya bersedia menjadi istriku. Agak kurang pas bila di sebut melamar, karena aku sudah tau jawaban Pipit akan tetap mengatakan tidak untuk sebuah ajakan membina rumah tangga denganku. Saat itu, diakhir percakapan aku hanya bisa berpesan padanya, sebelum akhirnya telepon itu diputuskan oleh Pipit yang diikuti dengan diikuti oleh tangisanku semalaman. Terngiang di telingaku apa yang kami ucapkan malam itu….

“Pit, Kaka selalu berusaha menerima kenyataan kalo Pipit gak akan pernah bisa jadi milik Kaka. Ini permintaan Kaka yang terakhir ama Pipit. Kalo boleh Kaka ingin hadir saat Pipit menikah nanti. Tentu saja Pipit yang memutuskan apakah Pipit akan ngasih tau Kaka atau gak, apakah Pipit akan ngundang Kaka atau gak…”

dan jawaban Pipit adalah, “iya, Ka… Kita liat aja nanti…”

dengan gemetar dan sekuat tenaga menahan air mata yang mulai merembes di mataku, aku buka sms ketiga…
Insya Allah walimahnya di rumah Pipit, tgl 19 bulan depan. Pipit berharap Kaka mau hadir. Pipit bukan mau nyakitin Kaka, krn gmn pun jg Kaka berarti bgt buat Pipit. Pipit yakin Kaka akan ikut bahagia untuk kebahagiaan Pipit. Dateng ya Ka.
Diterima : 08 : 17 : 07
Dunia terasa runtuh bagiku. Harapanku langsung musnah. Mimpi untuk membina rumah tangga dengan Pipit punah karena tiga sms jahanam itu. Dan percakapan kami di telepon terakhir dua bulan yang lalu, kini menghantam telak di hatiku. Dan itu sangat sakit, karena ucapan yang aku sampaikan padanya agar mengundangku ke pernikahannya kini berbalik menghantamku dalam bentuk besi membara yang menghanguskan seluruh harapanku.

Damn, butuh 3 jam buat Pipit untuk memutuskan apakah akan mengundangku atau tidak. Pipit sangat tahu bahwa aku sangat mencintainya, dan aku yakin Pipit juga menyadari bahwa hadir dipernikahan orang yang sangat dicintai adalah sangat menyakitkan. Kini Pipit benar-benar mengharapkan kehadiranku, aku yakin karena Pipit sangat tahu kalau aku akan melakukan apa saja untuknya, termasuk jika sampai harus menyakiti diriku sendiri untuk membahagiakannya. Bisa dibilang, aku termakan oleh ucapanku sendiri.

Cinta.
Aku memang sangat mencintai Pipit.
Pipit adalah cinta pertamaku.
Dan harus aku akui, Pipit adalah segalanya buatku.


Bagian 2
Bertemu Bidadari


Desri Savitri Tresnanursari.
Mamanya memanggil dia Desi, kakak dan adik-adiknya memanggilnya Echi, atau mbak Echi.
Tapi panggilan sayang dari papanya lah yang membuat gadis itu di panggil Pipit di semua aspek kehidupannya selain di rumah. Anak kedua dari lima bersaudara, hanya abangnya yang tertua dan adiknya yang paling bungsu yang laki-laki, sisanya perempuan semua.

Aku mengenalnya pada tahun 2006 saat masih SMU dulu, tepatnya pada saat hari keempat masa orientasi siswa baru yang berlangsung seminggu penuh. Pada hari keempat itu, seluruh siswa baru diwajibkan mengumpulkan tanda tangan dari seluruh senior yang menjadi panitia kegiatan orientasi tersebut. Aku saat itu baru naik kelas 3, salah satu senior yang sejak kelas 1 sampai dengan hari itu masih menjomblo, seumur hidup belum pernah punya teman gadis yang bisa aku bilang sebagai “pacar”.

Mohon maaf aku beri penjelasan sebelum dituduh sebagai cowok tidak laku. Aku adalah tipe cowok yang tak mudah jatuh cinta. Sungguh. Bukan dibesar-besarkan atau mencari pembenaran. Saat kelas 1, aku jatuh cinta pada seorang gadis teman sekelasku. Namanya Rita, gadis imut (dari tinggi badannya memang imut) dengan spek body yang proporsional, cantik berkacamata, lembut dan cerdas. Saat aku sadari aku menyukai Rita, aku mulai dengan mengenal sosoknya terlebih dahulu. Aku cari tahu dulu bagaimana sifatnya, apa yang dia senangi dan apa yang tidak dia sukai. Ini memakan waktu 3 bulan, my friend…, sampai akhirnya aku menyatakan cintaku padanya pada saat pulang sekolah.

Rita membutuhkan waktu 24 jam sebelum dia menjawab permintaanku menjadikannya kekasihku. Rita tidak pernah mengatakan “gak mau” saat aku memintanya jadi pacarku. Dia bilang dia ingin konsentrasi pada pelajaran dulu, gak mau pacaran karena akan mengganggu pelajaran, apalagi aku sekelas dengan dia. Aku tau Rita memang senang membaca, nongkrongnya di perpustakaan saat istirahat. Rita memang kurang suka hangout sama teman-temannya, bahkan sekedar nongkrong di kantin saat istirahat, hanya sekedarnya saja. Aku tau apa yang dia sukai dan apa yang dia tidak sukai, tapi aku tak pernah menyangka jika itu yang dijadikannya alasan tak mau menerima ajakanku untuk pacaran. Sampai akhir kelas 1, aku terus berusaha membujuknya agar mau menjadi pacarku, menunjukkan seluruh perhatianku padanya. Tapi itu semua seakan gak ada pengaruhnya. Rita tetap Rita. Belajar dan belajar. Konsisten dia. Bahkan sampai kami kuliah, karena aku satu fakultas dengannya, aku gak pernah mendengar dia pacaran. Good girl, konsisten. Sebelum ujian kenaikan kelas, aku menenggelamkan bahtera cinta yang aku bangun untuk Rita. Cukup. Hampir setahun aku mengejar Rita dengan kesimpulan : Just wasting time.

Saat kelas 2, aku kembali jatuh cinta. Pada anak kelas 1 yang baru masuk. Boleh dong ngincer yang masih fresh. Aku jadi panitia orientasi karena keaktifanku di eksul Pramuka. Masa orientasi benar-benar aku pakai buat nyari pacar, hehe… dan aku bertemu dengan seorang gadis bernama Dwimarini. Yup. Dwimarini, tanpa spasi dan hanya Dwimarini tanpa embel-embel lain, panggilannya Dwi. Anaknya tinggi, putih, bodynya yahud punya. Kebalikan dengan Rita, Dwi anaknya rame, senang hangout bahkan ngabur dari pelajaran, walau masih menyisakan kemayu khas Jogja yang lembut. Dan dia walau asik diajak hangout, jangan harap bisa sembarangan menyentuhnya. Kembali 3 bulan aku pakai buat mengenal siapa Dwimarini, sampai aku putuskan untuk nembak dia karena aku sudah yakin aku benar-benar suka ama dia. Kembali tak ada penolakan yang aku terima. Dwimarini bilang, “Yaahh… kakak telat… minggu kemaren Dwi baru nerima kak Yos…”. Yos adalah sohibku di Pramuka, dan si binatang Yos ini bukannya gak tau kalo aku suka banget ama Dwi. Kejadian ini membuat aku meninju si Yos di parkiran motor, dan membuat aku bermusuhan dengan Yos dan Dwi, dan walau 4 bulan kemudian mereka putus, aku udah males buat ngedapatin Dwi. Harga diri, boss….

Begitulah.
Dan kembali ke awal lagi, masa orientasi saat aku kelas 3 dan bertemu dengan Pipit. Hari itu Kamis di pertengahan Juni 2006, adalah masa-masa dimana senior dengan niat yang tidak pernah tulus membantu dewan guru untuk memperkenalkan siswa baru pada lingkungan sekolah. Termasuk aku. Aku bertahan di Pramuka, bahkan ngotot masuk ke OSIS semata-mata untuk masa orientasi ini. Hanya yang jadi panitia yang punya akses pada siswa baru, termasuk memilih duluan mana siswi yang cantik yang akan di prospek buat jadi pacar.

Dan hari itu, Kamis itu, sekitar jam 2 siang… Aku sedang duduk disebuah batu di bawah pohon dekat lapangan basket, menikmati minum es the di siang yang terik. Saat itu aku benar-benar sudah lelah, karena sejak pagi aku dan beberapa teman berangkat survey untuk lokasi api unggun disaat malam penutupan orientasi.

Segerombolan siswi baru aku lihat dari jauh bisik-bisik sambil melihat kearahku. Ah, pasti mereka ingin meminta tandatanganku yang memang jadi tugas mereka, males aku jadinya. Mereka akan dapat tandatanganku, tapi gak gratis. Mereka akan aku kerjai jika sampai berani mendatangiku. Tapi rupanya mereka berani, atau malah takut pada hukuman bagi siswa yang tidak mengumpulkan tandatangan seniornya yang jadi panitia, namun yang jelas mereka menghampiriku, agak takut takut karena aku yakin wajah bete yang aku pasang.

5 orang gadis, yah nilai 5 sampai 6,5 semua lah. Standar. Rada males aku melayani permintaan mereka agar menandatangani buku yang mereka bawa. Mereka satu persatu hanya aku suruh bernyanyi. Dan selama 10 menit aku terpaksa mendengarkan orang gak niat nyanyi. Aku cut, mereka akhirnya diam, gak satu pun yang bersuara. Aku kumpulkan buku mereka, dan mulai aku tanda tangani.

Pada saat buku keempat selesai aku tandatangani, sebuah buku terulur ke arahku…
”Minta tandatangannya ya, kak…”
Sebuah suara merdu membuatku mengangkat muka, menatap si manusia kurang ajar yang berani-beraninya menyodorkan buku tambahan tanpa melalui casting bernyanyi dulu…

Degh.
Waktu seakan berhenti.
Aku memanfaatkan detik-demi-detik yang berlalu untuk menatap wajah si pemilik buku.
Seorang gadis, sambil menunduk meletakkan lututnya ke tanah di depanku yang sedang duduk disebongkah batu, berjongkok menyamakan tingginya denganku.

Sebelum sampai tanganku menyambut buku yang disodorkannya, aku menyadari bahwa diriku telah jatuh cinta.
Teramat dalam, seakan membuat jatuh cintaku yang sebelumnya terasa tak ada artinya.

Antara aku, dan gadis itu, ada sebuah jurang yang teramat dalam.
Dan aku terjatuh ke dalamnya, dengan penuh bahagia.

Aku yang sedang jatuh cinta…

Pada gadis yang membawa buku untuk minta tandatanganku. Tanganku menyambut bukunya, sambil menatap dalam ke arah matanya. Duh, dia berani membalas tatapanku, seniornya….

Dan kelak di kemudian hari, kelima gadis lain yang sebelumnya sudah aku kerjai untuk bernyanyi bilang, moment itu adalah moment yang paling orisinal yang pernah mereka lihat.
Hampir tiga menit aku memegang buku itu tanpa mengambil darinya. Hampir tiga menit aku menatap dalam ke matanya. Dua tangan, satu buku, dan dua pasang mata yang saling menatap, adalah moment yang sangat orisinal….

Orisinal noraknya.


“jatuh cinta ya gak harus bengong gitu juga kali kak…..” tawa mereka beberapa bulan kemudian. Kelima cewek centil itu akhirnya menjadi temanku juga karena mereka adalah sahabat dari gadis itu. Aku dan sang gadis hanya tersipu malu, dan kami kembali saling menatap….

Penuh rasa cinta. 


Bagian 3
Rasa Cinta Ini Bernama Pipit


“Heh, memang kamu tadi udah nyanyi…???” kataku jutek.
Bukan karena kelakukannya yang tiba-tiba main kasih buku aja tanpa aku kerjai, tapi untuk menutupi rasa malu tak terhingga yang tiba-tiba aku sadari setelah “siuman” dari bengong pegang-pegangan buku.

“Belum kak…” jawab sang gadis sambil buru-buru menunduk, tak berani lagi balas menatapku.

Aduh mak, lembut kali suaranya…

“Kamu berdiri dulu di belakang mereka, ya…” kataku masih jutek.
“Antri sana..!!!”
Langsung aku sesali ucapanku ini, karena aku malah membentaknya.

Si gadis itu lalu berjalan kearah belakang 5 cewek yang sedang menunggu buku mereka aku tanda tangani. Pura-pura cuek, aku melanjutkan menandatangani buku mereka, kecuali buku si gadis yang terakhir. Setelah selesai, aku serahkan buku-buku itu pada mereka.

“Kamu…!” kataku keras pada gadis terakhir tadi. Dia mengangkat wajahnya yang tertunduk. Jelas jika dia jadi ketakutan.
Astaga… Kembali aku merasa bersalah karena berkata kelewat keras…

Dia maju ke arahku, dan kembali bersimpuh dihadapanku seperti tadi baru pertama datang.
“Kak, kalau boleh kami permisi dulu, masih mau nyari tandatangan kakak-kakak yang lain…” seorang gadis dari rombongan pertama pamit kepadaku. Sepertinya mereka mau buru-buru pergi, mungkin karena gak tega melihat gadis terakhir aku hukum.

“Ya sudah, kalian boleh pergi…” jawabku yang langsung membuat kelimanya berbalik dan kabur secepat mungkin.

Tinggal aku dan sang gadis, yang bersimpuh di depanku.
Jelas sekali dia ketakutan. Sudah salah, dan sekarang ditinggal sendirian.

Posisi kami yang saling berhadapan membuatku bisa melihat langsung ke ubun-ubunnya. Sebenarnya ingin melihat wajahnya lagii… Tapi dia sedang menunduk ketakutan.

“Nama kamu siapa..?”
Sontak dia mengangkat wajahnya, matanya tepat menatapku. Jelas sekali dia terkejut.
Nada bicaraku berubah jadi sangat lembut. Aku juga gak tau kenapa.

“A..a..apa kak..?” keterkejutannya membuatnya terbata-bata.
Ya Tuhan, maafkan aku telah menakut-nakutinya…

“Nama kamu… Aku belum tau nama kamu…” kataku lagi sambil melihat ke bukunya, memang tak ada nama disitu. Lalu aku tatap lagi wajahnya, menanti dia menyebutkan namanya.

“Pipit, kak…” jawabnya
Lho, kok pipit sih, pikirku. Wajahnya sama sekali gak menunjukkan kecerewetan selayaknya burung pipit. Wajah itu terlalu lembut. Dan bibir itu juga terlalu indah jika harus jadi bibir yang cerewet.

“Nama lengkap kamu…” kataku lagi. “Kakak mau tau nama lengkap kamu..”
Sejenak dia terdiam, dan yang membuatku heran dia seperti menarik nafas untuk mengumpulkan sedikit kekuatan sebelum menyebutkan nama lengkapnya.

“DES[R]I SAVIT[R]I T[R]ESNANU[R]SA[R]I…” sebutnya cepat, tapi terdengar lirih. Aku saja hampir tak mendengar dan kurang tersimak benar…

“Siapa..?” aku kembali bertanya, emang kurang jelas kok.

Kembali dia terdiam, dan mengulangi menarik nafas dan menyebutkan nama lengkapnya dengan cepat walau sekarang lebih jelas terdengar olehku..

“DES[R]I SAVIT[R]I T[R]ESNANU[R]SA[R]I…”

Seketika itu juga meledaklah tertawaku, aku ngakak sejadi-jadinya walau sama sekali gak bermaksud mentertawakannya.


Bukan. Bukan karena namanya yang aneh atau lucu. Tapi cara Pipit mengucapkannya yang lucu. Ternyata, Pipit gak bisa melafazkan huruf [R] dengan sempurna. Jadi, anda-anda tidak salah membaca namanya, bukan salah ketik kok. Aku aja yang gak bisa menemukan huruf yang tepat untuk mewakili cara Pipit menyebutkan [R]. Kalo anak kecil yang cedal kan bilang [R] jadi huruf [L], tapi dia ini beda, huruf [R] nya itu bukan lidahnya yang bergetar, tapi seperti tertahan di tenggorokan. Ah, paham, kan..? kebayangkan gimana Pipit melafazkan [R]…?
Pipit langsung menunduk. Gak jelas antara malu atau kesal karena aku mentertawakan dia.

Susah payah aku menghentikan tawaku. Setelah aku bisa menenangkan diri, aku segera menandatangani bukunya. Lalu aku serahkan buku itu padanya. Saat menyerahkan buku itu gak langsung aku serahkan, aku tetap tahan dan Pipit kembali mengangkat wajahnya menatapku.


“Nah, sudah kakak tandatangani. Maaf ya tadi kakak tertawa…”
Pipit kembali menunduk, tak berusaha menarik bukunya dari peganganku.

“Pit…” panggilku, dan Pipit kembali menatapku. Aku melepaskan bukunya sambil bilang..
“Sepertinya tadi kamu susah banget mau nyebutin nama lengkap kamu… Apa karena gak bisa ngomong [R] itu, ya…?”

Ih si Pipit ini nunduk lagi. Hobi amat nunduk sih. Kan jadinya aku gak bisa menatap wajah lembut yang cantik itu…
“Nama kamu bagus..” aku berusaha mencairkan suasana yang jadi gak enak gitu.
“dan kamu gak perlu malu hanya karena kamu gak bisa ngomong [R]… bersyukurlah karena huruf yang lain bisa kamu ucapkan dengan sempurna…”

Pipit tetap diam dan menunduk.
Belakangan aku baru tau kalo ternyata Pipit gak sependiam yang aku sangka. Dia hanya memilih kalimat yang paling sedikit huruf [R]nya. Kalaupun terpaksa dia memilih diam, atau bicaranya itu dipersingkat dan dipelanin… Tapi kalo dengan orang-orangnya udah deket ama dia, dia bisa rame juga, walau tetap bicara dengan lembut.
“sekarang, Pipit nyanyi dulu ya…, temen-temennya tadi juga nyanyi…” kembali aku menunjukkan kekuasaanku sebagai senior.

Keliatan banget Pipit panik.
“Lagu apa kak..? Pipit gak bisa nyanyi..” kata Pipit lirih.
“Apa aja boleh, Pit… Yang mudah aja deh, lagu Balonku ya..” kataku lagi.

“gak mau, kak…”
“lho kenapa, emang gak hapal..? kan itu lagu mudah banget dari kecil kita udah tau..”

“pokoknya gak bisa, kak” Pipit masih usaha supaya gak disuruh nyanyi.
“alesannya apa..? wah saya rugi dong tandatangan tapi kamu gak mau nyanyi buat saya..” jelas aku gak mau rugi kalo gak ngerjain ni cewek cakep.

Lama Pipit terdiam, dan aku sudah mulai tak sabar. “Ayo cepet deh… atau kamu mau lari aja keliling lapangan basket 10 kali…?” saya mulai menyebar ancaman.

“maaf kak, Pipit malu… apalagi lagu itu banyak huruf [R] nya….” Kata Pipit, hampir nangis dia.

Antara mau ngakak dengan bisa memahami dia, akhirnya aku bilang ama Pipit “Ya udah deh, gak apa-apa kalo Pipit gak mau nyanyi…”
Aku bangkit dan berjalan ke arah kantin mau ngembaliin gelas teh.

“Kak…” Pipit memanggilku, tetap dengan suaranya yang lirih syahdu.
Aku berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Makasih ya….” Kata Pipit sambil tersenyum. Manis banget senyumnya.

“Iya, sama-sama…” dan aku berharap dia kembali tersenyum untukku. Tapi Pipit malah menunduk. Ya sudah, aku kembali berjalan ke arah kantin.

“Kak…” eh si Pipit manggil lagi…
“kenapa, Pit..?
“Nama kakak siapa…?” wah ngajak kenalan nih si Pipit.
“Namaku Raka….”
“Iya… tau. Nama lengkapnya kakak siapa, mau Pipit tulis di buku ini…” katanya sambil menunjukkan buku yang aku tandatangani tadi.

“Nama ku Raka. Raka Murdiantoro…”
“Waduh…” keluh Pipit.

“Lho, kok waduh…?”

“Huruf [R]nya banyak banget…” jawab Pipit sambil tersipu malu.
duh.. cantik banget dia saat tersipu begitu...
Sumpah cantiiiiiik banget..!!!

Saat itu aku hampir tertawa karena dia bilang huruf [R] di nama ku banyak banget. Tapi gimana mau ketawa, yang ada aku justru terpesona pada sikap tersipunya itu. Karena alasan huruf [R] inilah akhirnya setelah kami resmi jadian, Pipit tidak memanggilku dengan kebutan “kakak” lagi. Dia aku minta memanggilku dengan “Raka” saja, tanpa embel-embel “kakak”. Tapi Pipit ngotot gak mau manggil “Raka”, akhirnya dengan berat hati aku terima kekasihku memanggilku “Kaka”.
Bukan karena mau ngikutin nama pemain bola terbaik dunia atau vokalis band ngetop itu. Alasannya, karena kalo Pipit manggil “Kaka”, kan gak ada huruf [R]nya…….
Hadeeehhhh…
Hari itu diselesaikan dengan saling tukeran nomor HP.
Setidaknya, selendang sang Bidadari sudah aku pegang.


Bagian 4
Memikat si Burung Pipit


Selesai masa orientasi sekolah, akhirnya aku dan Pipit semakin jarang bertemu. Karena aku yang sudah kelas 3 masuk pagi, dan Pipit masuk siang. Sempat beberapa kali bertemu Pipit saat akan pulang sekolah, namun hanya tatapan mata dan senyuman yang ada antara kami. Bertegur sapa seperlunya. Aku belum berani melakukan lebih, mungkin karena kebiasaanku yang mencari tahu dulu siapa sebenarnya yang menjadi calon targetku.

Karena keaktifanku di organisasi kesiswaan, aku bisa mendapatkan biodata Pipit. Tahu sendiri biodata isian sekolah, hanya tanggal lahir dan alamat yang bisa aku manfaatkan. Berbekal data itu, menyelidiki rumah Pipit pun sudah aku lakukan. Bahkan di sebuah hari minggu, aku menyatroni rumah Pipit seharian, melihat dari sebuah warung apa aktivitas di rumahnya. Sampai aku melihat orang-orang yang aku perkirakan adalah ayah dan ibunya, serta kakak dan adiknya. Dan aku juga melihat Pipit yang saat itu mungkin sedang beres-beres rumah, keluar dengan menggunakan celana pendek dan kaos youcansee. Hehehe.. kakinya putih mulus dan bentuk tubuhnya bagus, juga body nya lumayan jelas terlihat dari ketatnya kaos yang dia pakai walau aku tak bisa menebak bagaimana spesifikasi detailnya.

Di sekolah, aktifitas sore yang kami lakukan sebagai wakil dari organisasi Pramuka sekolah adalah meminta waktu kepada guru yang sedang mengajar, untuk mempromosikan kegiatan kesiswaan diluar jam sekolah. Aku bersama teman-temanku mempromosikan kegiatan pramuka yang aku ikuti kepada siswa kelas 1 di seluruh kelas. Saat itulah aku kembali bertemu dengan Pipit yang merupakan siswa kelas 1.3. Aku hampir tak mengenalinya, karena ternyata Pipit menggunakan kacamata. Kacamata berbingkai tebal, jadul style, yang membuat aku tak mengenalinya. Aku sampai tersenyum geli saat kami saling bertatapmata, Pipit buru-buru melepas kacamatanya.


Belakangan, setelah kami pacaran baru Pipit menceritakan padaku bahwa kacamata itu sangat dia sayangi walau modelnya jadul begitu. Memang terkesan oldskool, tapi Pipit sayang sekali pada kacamata itu. Dan hanya saat belajar di kelas dia pakai, karena rabun jauhnya masih memungkinkan dia tidak memakai kacamata saat tidak sedang di kelas.
Setelah hari itu, waktu yang hanya sesaat antara sebelum aku pulang dengan sebelum Pipit masuk kelas, aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mendekati Pipit, memperbanyak ngobrol supaya makin kenal. Akhirnya bujukanku termakan olehnya, Pipit mau ikut jadi anggota Pramuka. Pada saat perkemahan sabtu minggu yang pertama bagi anggota baru, aku menyatakan cintaku pada Pipit.

Saat itu sedang acara api unggun, dan sudah memasuki acara bebas. Para anggota baru di daulat untuk mengisi acara dengan berbagai macam suguhan kesenian.

"Pit, aku mau minta tolong.. Kamu ikut aku sebentar ya.. kataku mengajak Pipit memisahkan diri dari acara api unggun. Pipit agak bingung, mungkin karena merasa gak enak meninggalkan acara dan takut terlihat pergi denganku.

"Aku tunggu di belakang tenda posko, ya... dekat tempat masak.. kataku lagi untuk memupus keraguannya.

Pipit mengangguk, dan aku segera melangkah meninggalkannya. Tugasku sebagai kepala seksi keamanan saat acara membuatku memiliki akses kemana saja dan bisa berkeliling kapan saja. Dengan agak memutar, aku melangkah ke arah belakang tenda posko yang besarnya bisa buat menampung pengungsi itu.

Lima belas menit aku menunggu Pipit, berusaha memohon kepada nyamuk hutan yang sok akrab denganku untuk pergi jauh-jauh. Sungguh sengsara rasanya menunggu dengan hati yang deg-degan sambil digigiti nyamuk seperti itu. Sampai akhirnya aku melihat sosok bayangan Pipit melangkah ke arahku, senyumku pun mengembang.

"Kita jalan ke arah desa aja ya Pit, nyari warung.." kataku saat Pipit sampai di depanku.

Pipit mengangguk, beriringan kami melangkah bersama ke arah desa terdekat yang jaraknya sekitar 1 km. Sepanjang jalan aku hanya terdiam, bingung bagaimana harus memulai mengutarakan isi hati ku pada Pipit.

all readers, untuk selanjutnya semua perkataan Pipit yang berhubungan dengan huruf [R] kita tulis biasa aja ya, biar gak ribet nubie nulisnya, hehehe..
"Katanya Kakak mau minta tolong Pipit.. Ada apa ya, kak..?" tanya Pipit memutus kesunyian antara kami.

Duh, agak grogi aku menjawab pertanyaan itu. Karena permintaan tolong tadi hanya jadi alasan aja supaya aku bisa jalan berdua dengan Pipit.

"ehhm.. gini, Pit.." jawabku nervous. Pipit terus menatapku sambil kami melangkah, menungguku melanjutkan omongan.

"kakak mau minta tolong Pipit, tolong kasih kakak saran.. Kakak lagi gak bisa mikir nih.."

"emang masalahnya apa..? Kalo Pipit bisa bantu nanti Pipit bantuin deh.." kata Pipit.

"Tapi bantuannya tetap saran yaaa.. Kalo bantuannya berupa dana harus ada izin dari Lurah dan RT/RW setempat lho.." candanya.

Aku tersenyum menatap Pipit. Bisa juga kamu bercanda, cantik.. kataku dalam hati. Seketika semua rasa gugupku hilang, berganti dengan rasa relax yang luar biasa. Kalo toh nanti aku sampai di tolak saat meminta Pipit jadi pacarku, aku yakin dia akan menolaknya dengan halus. Candanya barusan membuatku yakin gadis yang sedang berjalan bersamaku ini memiliki hati yang lembut. Aku yakin jika dia harus menolak maka akan dia lakukan tanpa melukai.

"Negini, Pit.." kataku dengan keberanian penuh.
"Kakak sedang jatuh cinta..."

" Oh ya..? wah asik tuh.. sama siapa, kak...?" sergap Pipit cepat. Aku yang jadi gelagapan langsung diserang begitu.

"Hhhmmm.. ini.. sama seorang gadis cantik, Pit..." jawabku.

"Wah, bagus itu.."

"Bagus gimana...?"

"Berarti Kakak masih normal.., hi..hi.."

Eh buset.
Ini anak gak peka banget, ya... Gak tau apa kalo sebentar lagi kalo yang mau di "ditembak" itu sebenarnya dia..
Memangnya gak sadar apa kalo kalo diajak pergi berdua seperti ini tentu ada tujuan tertentu, ya gak..?

"Alhamdulillah, Kakak masih normal senormal-normalnya, Pit..." kataku sambil tersenyum geli. "dan Kakak masih bisa membedakan kok, mana gadis cantik dan mana yang KW.."

Jawabanku membuat kami tertawa bersama. Duh Tuhan, seandainya Pipit gak mau jadi pacarku, izinkan aku selalu bisa menikmati tawa ini selamanya..

"Truz, masalahnya dimana, Kak..? Memangnya Kakak sebelumnya belum pernah suka sama cewek gitu, sampai kebingungan dan minta saran aku...? kata Pipit sambil senyum-senyum.

Sungguh, obrolan yang sangat indah. Mungkin karena hati ini penuh dengan cinta untuknya. Kekurangan Pipit yang gak bisa ngomong [R] justru membuat cara bicaranya terdengar sangat menggemaskan, bahkan terdengar seksi, lho.., dan biasanya Pipit canggung untuk ngobrol panjang lebar, takut huruf [R] nya terob[R]al kemana-mana. Boleh dong, rada ge-er. Kan pernah bilang kalo bukan orang dekat, burung mungil ini gak akan berani berceloteh. Berarti dia merasa dekat dong ama aku..? Gubbrraaakkk..!!!

"Masalahnyaaa... Kakak gak berani buat bilang ke dia kalo Kakak jatuh cinta padanya, Pit. Kakak takut dia nggak mau nerima cinta Kakak.."

"Lhooo.. kok cemen amat sih..? Kalo Kakak gak berani bilang ama dia, gimana Kakak bisa tau kalo dia akan menerima atau menolak Kakak..."

"Iya juga, seh.."

"Lagi pula, lebih baik sebuah cinta itu tersia-sia karena di tolak, Kak..., dari pada tersia-sia karena gak pernah terkatakan.."

Hmmm, boleh juga nih cara berfikirnya Pipit.

"Jadi Kakak harus berani bilang sama dia, sama seperti Kakak udah berani-beraninya jatuh cinta ama dia..." kata Pipit lagi. Benar-benar bisa berkicau nih, si Pipit kecil.

"Apa pun konsekuensinya, Kakak harus siap menerima. Harus berani menanggung semua resikonya. Jadi laki-laki harus begitu, Kak.." kata Pipit lagi, sekali ini terlihat semakin semangat banget gitu deh.

"jadi menurut kamu, Kakak harus jujur ama dia, gitu..?"

"Bukan itu juga sih.. Tapi menurut aku, kalo Kakak berani bilang, artinya Kakak jujur pada perasaan Kakak sendiri.. jawab Pipit. "Kan biasanya orang jujur itu lebih dihargai lho, kak.. dan rezekinya banyak.. Siapa tau Kakak di terima, kan rezeki juga itu.. ya, kan..?"

Pipit ku yang indah. Aku merasa beruntung jatuh cinta padanya. Sungguh, semuanya terlihat indah. Bahkan jika tanpa dasar rasa cinta sekali pun, sebenarnya Pipit adalah sosok gadis yang indah. Pola pikirnya membuatnya semakin seperti bidadari cantik dengan IQ di atas rata-rata.

Lama juga aku terdiam, kata-kata Pipit begitu merasuk hatiku. Rencana cara menyatakan cinta padanya yang sudah aku susun sebelumnya, bubar. Aku harus memikirkan cara baru karena aku baru tau kalo gadis ini bukan sembarangan. Pola pikirnya bagus. Jangan sampai caraku menyatakan cinta padanya malah membuatnya ilfil padaku. Wah, harus segera mikirin cara baru nih...

Mikir.. Mikir...

"Kok diem, Kak..?" tanya Pipit menatapku. Wah, cahaya lampu desa yang kami tuju sudah mulai kelihatan. Wah harus ngeles dulu nih, biar cukup waktu buat mikir strategi baru. Nanti aja saat jalan pulang kembali ke perkemahan aku nembak gadis cantik ini.

"ini nih, lagi nginget-nginget tadi anak-anak nitip belanjaan apa.. Wah masih ada warung yang buka gak ya..?" jawabku ngeles.

"hmmmmmm... Bisaan aja mengalihkan pembicaraan..!!!" omel Pipit cemberut yang justru membuatku terpesona. Aku sampai menghentikan langkahku. Pipit mau gak mau juga berenti melangkah.

"kenapa, Kak..?"

"Nanti ya, Pit.. Kita nyari warung dulu. Nanti saat jalan pulang Kakak lanjutin ceritanya.." kataku sambil memegang tangannya.

Pipit terdiam. Wajahnya menatapku dan menatap tangannya yang sedang aku pegang..

"ah.. Kakak gak asik ah..! Kalo gitu di warung harus jajanin Pipit. Enaknya ngedengerin orang cerita itu sambil ngemil tau, Kak..!!!" katanya sambil mengibaskan tanganku dan berjalan kembali.
Meninggalkan aku, yang masih terpana menatapnya.

Tinggi 160 cm, berat 50 kg, berkulit kuning langsat yang cerah jika tak bisa di katakan putih. Lingkar pinggul pas banget dengan ukuran jeans 28, dengan buah dada yang tumbuh subur hingga mencapai 34B. Informasi ini adalah hasil jelajahku setelah Pipit menjadi pacarku. Wajahnya cantik yang lembut. Mungkin lebih tepat bila di katakan ayu. Sarah McLachlan saat masih muda sangat mirip dengan wajah Pipit. Dan pemilik tubuh indah itu sedang berjalan disampingku sibuk dengan bungkusan keripik singkong yang dipilihnya saat di warung tadi. Jatah preman, kata dia saat memborong semua persediaan keripik singkong yang ada di warung itu. Sambil jalan dia sibuk makan keripik itu, setidaknya mengulur waktu untukku bisa mempersiapkan kata-kata terbaik untuk aku jadikan peluru.

"Kayaknya ada yang pura-pura lupa, deh..." Katanya cuek sambil krauk krauk makan kripik singkong.

"Lupa apaan..?"

"Hmm ya sudah kalo gak mau di terusin ceritanya.. btw makasih lho keripiknya kak..."

Aku terdiam, mati kutu dibuatnya.

Kira-kira seratus langkah sesudahnya, sekitar 3 menit kemudian...

"Pit..."

Langkah Pipit terhenti. Mulutnya yang penuh keripik singkong berhenti mengunyah, menatapku.

"Kakak jatuh cinta, Pit.., jatuh pada sebuah perasaan cinta yang sangat dalam..."

"Terus...?"

"kakak jatuh cinta pada kamu, Pit.."

sungguh lega rasanya bisa menyatakan cintaku pada Pipit.

Pipit terdiam. Melanjutkan mengunyah keripiknya sambil berjalan kesebuah batang pohon rubuh di pinggir jalan. Mengikat kantung plastik yang berisi keripik singkong dan meminum air putih dari botol air kemasan.

Lalu menunduk dan diam. Meninggalkan aku sendiri yang tiba-tiba punya firasat gak enak.

Aku duduk di sebelahnya. Mencoba mengartikan sikapnya.

"maafkan Kakak. Benar yang kamu bilang tadi, Kakak ungkapkan perasaan Kakak padamu agar hati ini jadi lega. Setidaknya apa yang Kakak rasakan sudah Kakak sampaikan padamu.." lirihku.

"Rasanya lega, Pit... Bisa menyampaikan apa yang Kakak rasakan pada Pipit sungguh membuat Kakak lega.."

Pipit tetap menunduk dan diam. Hilang sudah kicauannya. Digantikan suara serangga malam yang ternyata berisik sekali saat sang pipit terdiam.

Diam ini sungguh menyiksa. Apalagi berkali-kali aku mendengar Pipit menghela nafas.

"Pipit kira, Kakak selama ini baik sama Pipit karena Kakak memang baik, tanpa ada embel-embel perasaan cinta.."

Hatiku terasa di penggal. Aku sampai bisa menebak kemana arah pembicaraan Pipit akan menuju.

"kak.." lirih Pipit sambil menatapku. Aku tatap matanya, mencoba menyelam ke dalamnya.

"apa yang Kak Raka harapkan dari Pipit..?"

Sambil menatap matanya, berharap Pipit bisa merasakan ketulusanku melalui moment saling menatap ini, aku tersenyum.

"maafkan Kak Raka, Pit.. Dengan perasaan cinta yang begini besar, Kakak mohon Pipit bersedia menjadi pacar Kakak"

Pipit dengan berani tetap menatap mataku, tak lepas walau aku gak bisa mengartikan ekspresinya itu pertanda apa dalam hatinya.

"kak Raka jatuh cinta pada Pipit sejak pertama kali bertemu Pipit. Kak Raka gak langsung sampaikan padamu karena Kak Raka harus yakin dulu pada perasaan Kakak.."

"dan sekarang Kakak yakin, Kakak benar-benar mencintai kamu"

Pipit menunduk kembali. Meremas kantung plastik yang ada dalam genggamannya pertanda gundah hatinya. Dengan keberanian yang aku kumpulkan, aku menggenggam jemarinya, kemudian berlutut dihadapannya, dan membawa jemari itu ke bawah daguku dengan genggaman kedua tanganku.

"Pit.."

Pipit menatapku. Matanya berkaca-kaca dalam genangan air mata.
Hatiku hancur seketika.
Seketika itu pula dalam hati aku berjanji, seumur hidupku tak akan pernah lagi membuat mata itu sampai berkaca-kaca.

"Kak Raka sangat mencintai Pipit.. Kak Raka mohon jadilah kekasih Kak Raka, agar Kak Raka bisa membuktikan Kak Raka tulus mencintai Pipit.."

Ku kecup jemari itu.
Ku tatap matanya yang semakin berkaca-kaca, mencoba memberikannya sebuah keyakinan, dan membiarkannya langsung melihat kesungguhan dalam hatiku melalui jendela mata.

Pandanglah mataku
Masuklah hingga ke dalam hatiku
Disana tak ada yang bisa ditutupi
Disana tak ada yang aku sembunyikan
Jika kamu menemukan ketulusan, maka terimalah cinta ini
Dan buatlah aku menjadi lelaki yang paling beruntung di dunia

Atau kamu pun boleh meninggalnya
Tinggalkan dengan lambaian selamat tinggal, dengan gelengan kepala yang tersenyum
Agar aku tidak terluka terlalu dalam
Dan bisa segera sembuh dan bisa kembali mencinta

Sudah aku sampaikan cintaku
Dan aku janjikan bukti kesungguhanku
Sekarang semua terserah padamu
Aku percayakan sebuah nyawa bernama cinta
Padamu.. 
 
 
 
 Bagian 5
Hati-hati dengan Hati (1)


“Maafkan Pipit, kak…” bisiknya sambil melepaskan genggamanku. “Pipit gak bisa…”

Aku sadari hatiku terluka secara tiba-tiba dan terasa sangat sedih. Ucapan Pipit walau berbisik, terdengar sangat jelas ditengah keheningan malam. Aku tak salah mendengar. Pipit tidak menerima cintaku, tidak bersedia menjadi pacarku.

‘’Pit…” panggilku yang segera membuatnya menoleh menatapku dengan matanya yang masih berkaca-kaca.
“Gak apa-apa kok, kalo Pipit gak menerima cinta Kakak, bisa menyampaikan perasaan ini pada Pipit saja sudah membuat Kakak bahagia…” entah dari mana idenya sampai mulutku berkicau begini. Dikiranya aku gak sakit hati apa karena pernyataan cintaku di tolak, ini mulut malah bilang gak apa-apa. Eh malah ucapan selanjutnya makin ngawur, brother…
“Kakak hanya ingin Pipit mengetahui, kalo kak Raka jatuh cinta pada Pipit. Kakak ingin Pipit tau bahwa Kakak sungguh-sungguh mencintai Pipit. Kakak gak terlalu kecewa ternyata Pipit gak mau jadi pacar kak Raka…” lanjutku lagi.
“Setidaknya, rasa cinta ini sudah Kakak sampaikan padamu, supaya nanti jika kita ketemu lagi kamu bisa mengingat Kakak sebagai seorang yang sangat mencintai kamu. Kamu juga bisa bilang ‘eh itu ada orang yang cinta ama gue’ atau kamu juga bisa bilang ‘ini dia orang yang katanya sayang banget ama gue’ saat kita ketemu nanti. Boleh. Bahkan boleh banget….”

Aku kembali meraih tangannya dan menggenggam dengan sepenuh perasaaan.
“Pit, karena itu memang benar adanya. Kak Raka sangat mencintai Pipit, Kak Raka sangat menyayangi Pipit. Walau Pipit menolak kak Raka malam ini, itu gak akan mengubah kenyataan kalo kak Raka memang mencintai dan menyayangi Pipit…

Dengan kesedihan luarbiasa, aku tatap matanya. Memutuskan untuk mengucapkan kalimat terakhirku pada eposide menembak Pipit malam ini. Tatapan mata Pipit yang teduh walau berkaca-kaca menguatkanku untuk mengatakannya.
“Kak Raka sangat mencintai kamu, Pit…. Kak Raka mohon maaf karena gak bisa membuktikan perasaan ini pada Pipit karena Pipit gak mau ngasih kak Raka kesempatan buat kak Raka membuktikan kesungguhan ucapan Kakak…”

Pipit menunduk.
Menatap tanah sambil menggerakkan jarinya yang berada dalam genggamanku.
Tidak.
Aku tidak salah.
Jemarinya juga meremas jemariku.
Sungguh, aku terpana.
Gerakan jemarinya meremas jemariku, tak ada tendensi gerakan untuk melepas genggamanku.
Ini kejutan, sekaligus membuatku bingung ada apa sebenarnya.

Tetapi ini terlalu lama. Mungkin karena aku memaksakan yang belum mampu dia sampaikan.
Pipit masih terdiam, membiarkan aku mengartikan sendiri arti remasan jemarinya tanpa mampu aku terjemahkan.
Aku tak mau memaksamu, Pipit sayang… Biarlah waktu yang akan memberimu kekuatan, walau aku sungguh tak tau apa yang akan diperbuat oleh sang waktu padamu. Pada kita.

“Sudah yuk… Kita kembali ke perkemahan…” kataku sambil berdiri mengajak Pipit kembali ke perkemahan.
Tatapan Pipit tak bisa aku artikan, tapi dia menurut kembali berjalan bersamaku kembali ke perkemahan.

Aku memahami.
Mungkin jika aku bersabar sedetik lagi kamu akan membuat kembali sebuah keputusan lagi.
Tapi aku tak mau memaksamu, bidadariku…
Aku berhati-hati karena ini urusan hati.
Dan aku tak mau hati menjadi layu..
Entah itu hatimu, atau malah hatiku…



Bagian 5
Hati-hati dengan Hati (2)



Malam itu, tak ada kejadian yang berarti lagi antara aku dan Pipit. Acara api unggun yang sebenarnya seru dan heboh, terasa hambar buatku. Bagaimanapun, aku baru saja mengalami kejadian pahit.
Sepanjang acara, aku hanya menatap Pipit dari kejauhan, menatapnya yang juga terlihat gelisah dan serba salah. Berkali-kali aku melihatnya seperti sedang mencari sesuatu. Ah, mungkinkah dia mencari aku, hatiku galau sendiri.

Seminggu setelah perkemahan, aku merasa begitu canggung jika harus bertemu dengan Pipit. Berkali-kali dia sms menanyakan bagaimana kabarku, namun nyaliku begitu ciut untuk membalasnya. Aku menghindar, berusaha tidak bertemu dengan Pipit. Agak mudah aku lakukan karena aku masuk pagi dan Pipit masuk siang.
Namun hari itu, setelah seminggu aku berusaha menghindari Pipit, aku akhirnya tertangkap basah olehnya saat sedang melamun di sekretariat Pramuka. Saat itu aku benar-benar bad mood, sehingga memilih kabur dari pelajaran terakhir dan memilih nongkrong di sekretariat Pramuka. Ternyata hari itu Pipit datang cepat, dan nasib mempertemukan kami di sekretariat Pramuka.

“eh, Pipit… tumben udah dateng…” sapaku salah tingkah.
“Iya kak, hari ini Pipit naik angkot karena mobil antar jemputnya rusak” jawab Pipit.
Pipit memang pulang pergi sekolah dengan naik angkutan khusus bersama beberapa anak SMP dan SD yang menjadi penumpang tetap mobil itu, diantar jemput dari rumah ke sekolah setiap hari.

Lama juga kami terdiam, aku menyibukkan diri dengan komputer sementara Pipit memilih duduk di bangku rapat.

“Kak Raka sekarang berubah…” kata Pipit pelan. “Sombong sekarang ama Pipit…”

Aku terhenyak, walau sudah aku duga akan terjadi percakapan seperti ini namun tak ayal sempat membuatku tak mampu berkata apa-apa.

“Maafkan kakak, Pit… Kakak gak bermaksud begitu..” jawabku bingung “Tapi Pipit tau sendiri lah.. Kakak juga bingung harus gimana…”

“Iya Pipit paham, tapi ya gak harus gitu juga kali, Kak…” tukas Pipit.

“Salah Kakak, Pit… Maafkan Kakak ya…” aku menyerah tak mau berdebat dengan bidadari cerdas ini. “terus terang Kakak masih sedih di tolak ama Pipit, makanya jadi begitu… Maafkan Kakak ya…”

Kami saling menatap. Aku dengan tatapan rindu sementara Pipit dengan tatapan yang gak jelas antara marah ama kecewa.

“Padahal Pipit selalu berharap bisa bertemu Kak Raka…” katanya pelan. “Pipit nyariin tau, Kak..” tatapan matanya berkilat karena kecewa, dan aku dengan sukses jadi makin bingung dan serba salah.

Tak ada yang bisa aku lakukan lagi, hanya mampu membalas menatap matanya mencoba menyelami isi hatinya. Sampai akhirnya aku berdiri dan menghampiri Pipit, meraih tangannya mengajaknya berdiri dan dengan berpegangan tangan kami melangkah keruangan lain yang lebih private di sekretariat itu.

Diruangan itu, aku berdiri berhadapan dengan Pipit, kami saling bertatapan. Dengan hati-hati aku merengku bahunya, menariknya dalam dekapanku.
Tangan Pipit segera melingkar di pinggangku bersamaan dengan pelukanku merengkuh tubuhnya. Pipit menyandarkan pipinya di dadaku.

“Seandainya kamu tau… Aku sangat merindukan kamu, Pipit sayang…” bisikku lirih. Pipit semakin erat memelukku.
“Tapi kenapa Kakak malah menghindar dari Pipit…??” protesnya dengan nada manja menyentuh kalbu.
“Habis Kakak harus gimana dong… Pipit menolak kak Raka… Kak Raka kan sedih, Pit..” jawabku.

Pipit semakin erat memelukku.
Hangat tubuh mungilnya yang hanya setinggi daguku, mengalir menghangatkan aku sampai ke dalam hati, meningkatkan detak jantungku, membuatku merasa sangat nyaman hingga mempererat pelukanku sampai terasa ingin melebur jadi satu dalam raganya.
Tak ada lagi kata-kata, kami seperti berusaha menyampaikannya melalui debaran jantungku yang menempel di telinga Pipit dan melalui hangatnya tubuh Pipit yang ku rengkuh.
Ya Tuhan, aku ingin selamanya bisa memeluk Pipit seperti ini. Terasa sekali aku sangat mencintai Pipit, dan aku sampaikan dengan makin eratnya pelukanku. Kami mulai bergerak, bergoyang pelan selayaknya orang berdansa yang aku sendiri belum pernah berdansa sebelumnya. Semua begitu natural mengalir begitu saja.

Pipit mengangkat wajahnya menatapku. Mata kami bertemu. Perlahan senyum terkembang di wajahnya.
“Aku sangat mencintaimu…”bisikku, dan Pipit kembali menenggelamkan kepalanya di dadaku.
Semua sudah sangat jelas. Aku bisa mengerti semua bahasa tubuhnya. Aku kembali mempererat pelukanku menumpahkan seluruh rasa cintaku pada Pipit.

Namun apalah dayaku, aku hanya seorang lelaki muda berusia 17 tahun dengan seluruh rasa dan hasrat yang terpendam, dan aku lelaki normal yang senormal-normalnya. Aku bukan lelaki maho yang disorientasi, dan pelukan hangat yang begini lama dengan sukses membuatku perlahan-lahan berdiri.

Setengah mati aku bertahan, mengalihkan pikiranku dari rasa itu, mengultimatum otak bahwa ini adalah pelukan penuh cinta. Tapi tetap saja aku merasakan bagian bawahku perlahan-lahan berdiri… semakin tegak dan semakin keras menekan perut rata dan ramping milik Pipit.

Ya, penisku berdiri…
Mengeras dan tegak menikam perut rata dan ramping milik Pipit.



Bagian 5
Hati-hati dengan Hati (3)



Dan aku sangat malu, bagaimana mungkin saat hati dipenuhi cinta tapi penis kurang ajar ini malah berdiri dan menjadi pengganggu.

Aku memundurkan pantatku, berusaha menghindari tikaman penisku di perut Pipit. Tapi celana kain seragam SMA malah membuatnya semakin menunjuk ke depan. Ketika penisku sudah tidak menempel lagi, aku yakin pantatku sudah sepenuhnya ‘nungging’…

Sial…

Menyadari posisi kami mulai tak nyaman, Pipit perlahan menatapku. Matanya menatap heran, namun seketika tersenyum dan kemudian melepaskan pelukan kami sambil tertawa geli.

“Ih.. kak Raka porno ya…” katanya sambil tertawa yang langsung membuatku malu luarbiasa.
“Maaf Pit, gak sengaja… udah berusaha tapi gak mau nurut tuh…” kataku ngeles. Tengsin bo…
Sambil masih tertawa geli, Pipit malah membalikkan badan dan menyender di tubuhku. Tangannya meraih kedua tanganku dan membawanya melingkari pinggangnya. Posisi ini sukses membuat penisku yang masih berdiri keras, menempel erat di pantatnya.

“Pit…” ujarku mencoba mengingatkan Pipit pada kondisi gak nyaman ini.

“Gak apa-apa kak… Pipit pengen dipeluk dari belakang…” jawabnya sambil menyenderkan kepala di dadaku. Aku menghirup wangi samphoonya yang lembut, pasrah walau merasa gak nyaman karena aku gak mau dianggap berpikiran mesum.

“Kak…”
“Hmmm…”
“Nyaman banget dipeluk Kakak…”
“Masa sih..? Padahal kakak belum pernah memeluk cewek lho, Pit…”
“Bohong….”
“Sungguh… Ini pelukan pertama Kakak pada cewek yang kakak suka dan kakak sayangi…”
“Kalo kakak adalah lelaki kedua yang memeluk Pipit… Sama nyamannya, sama hangatnya…”
“Lho, emang siapa lagi yang pernah meluk kamu, Pit…?” Aku cemburu dong…
“Papa…” jawab Pipit sambil menoleh menatapku, tersenyum…
Aahh… kirain pacarnya… #tepokjidat
“Ini juga pelukan Pipit yang pertama, kak…” bisiknya sambil tersenyum padaku, dan aku memeluknya makin erat.
“Pit, jadilah pacar kak Raka… jadilah pacar pertama kak Raka… jadilah cinta pertamanya kak Raka… Kak Raka ingin Pipit juga yang menjadi cinta sejati kakak…” pintaku sambil memeluknya.
Ternyata ketulusan permintaan ini sukses membuat penisku tidur dan mengecil..

Pipit tetap menatapku sambil tersenyum, sama sekali tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Kemudian dia mendekap tanganku di dadanya dan kemudian memejamkan mata sambil mendekap tanganku erat.
Ini anak kok malah ngusel—ngusel kayak kucing…
Tapi sukses menyentuhku tepat di hati.

Tak ada keraguan lagi, mau dia jawab apa gak, apakah aku diterima jadi pacarnya atau gak, aku bersumpah akan selalu mencintai Pipit dengan setulus hatiku.


Aku jatuh cinta
‘tuk ke sekian kali
Baru kini kurasakan…
Cinta sesungguhnya…
Tak seperti dulu
 
 
 
 
Bagian 6
Ketika Papamu Bicara (1)


Oh iya, mungkin aku belum menceritakan siapa diriku. Siapa Raka Murdiantoro sebenarnya.
Aku adalah anak tertua dari 3 bersaudara. Ibuku yang lembut dan sederhana adalah seorang pedagang makanan di sebuah SD. Yup. Ibu Kantin kalo anak-anak SD itu bilang. Ayahku sendiri adalah seorang lelaki keras yang sehari-hari membuka sebuah bengkel specialis di rumah. Ya, ayahku seorang mekanik vespa tua.

Kalian tau berapa uang jajan yang aku bawa ke sekolah saat tahun 2006..?
Lima ribu rupiah.
Ya, goceng.
Rinciannya ongkos angkot anak sekolah boleh habis 3000 pulang pergi dan jajan 2000 perak, cukup buat 2 buah bakwan dan segelas es teh.
Sejak memiliki Pipit, aku jalan kaki pulang pergi ke sekolah sejauh 3 kilometer dan bela-belain gak jajan supaya uang lima ribu itu bisa aku simpan sampai hari sabtu agar aku punya uang 30 ribu untuk aku bisa mentraktir Pipit di kantin sekolah saat ekskul Pramuka.

Curcol ya…
Tapi itulah aku, yang dilahirkan dari keluarga sederhana –jika tak mau disebut miskin-, yang beruntung bisa sekolah di sekolah paling favorit di provinsi ini. Anugerah otak encer membuat orangtuaku membanting tulang agar aku dan adik-adikku tetap bisa sekolah. Badanku tinggi dan tegap, berkat latihan silat dan jalan kaki setiap hari ke sekolah (termasuk menimba air di sumur dan angkat embernya, hehe…). Sejak SD aku biasa berjalan kaki ke sekolah walau jarak yang aku tempuh tak bisa di bilang dekat. Latar belakangku ini harus aku ceritakan karena sebuah kejadian yang menimpaku saat aku bersama dengan Pipit, dan merenggut habis harga diriku dan mengubahku selamanya.

Siang itu, aku berjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang ke rumah. Pipit sudah masuk kelas sepuluh menit yang lalu, dan aku menghabiskan jeda waktu 45 menit antara aku keluar kelas sampai Pipit masuk kelas, dengan bercengkrama dengannya di kantin. Saat itu aku ditraktir Pipit. What a shame.
“Mas Raka…” pak Gito satpam sekolah memanggilku saat aku melintas pos satpam di gerbang sekolah.
“Iya pak…” aku berhenti dan menatap pak Gito.
“Ini ada bapak yang mau ketemu ama mas Raka…” kata pak Gito.
Aku menatap ke dalam pos satpam dan ada seorang bapak-bapak yang duduk di sana. Aku berjalan menghampiri pos satpam sambil bertanya pada pak Gito. “Siapa ya Pak..?”
“Temui saja mas, sepertinya beliau perlu penting ama sampeyan” jawab pak Gito.
Aku melangkah masuk ke Pos Satpam dan menemui si bapak. Kayaknya pernah kenal…
“Selamat siang, pak… Saya Raka… Bapak ada perlu dengan saya…?” kataku sopan.

Si Bapak tersenyum… Tidak… Tepatnya menyeringai.
“Hmm.. Sopan juga kamu…”katanya. “Ya, saya ada perlu dengan kamu. Kamu bisa ikut saya sebentar, kan…?”
Aku berusaha mengingat siapa si bapak ini sebenarnya, tapi tetap tak bisa aku kenali. Tapi bener, aku yakin aku pernah ketemu beliau sebelumnya. Dari seragamnya aku yakin beliau seorang pegawai negeri, dan nametag beliau tertera namanya, T. Agus Ilham.
“Boleh pak..” jawabku sambil mengikutinya keluar dan pamit pada pak Gito.
Kami menuju ke sebuah mobil kijang warna hijau tua yang parkir tak jauh dari gerbang sekolah. Begitu melihat mobil itu, aku langsung ingat siapa si bapak ini sebenarnya. Raka boleh lupa pada wajah orang, tapi Raka tak pernah lupa pada sebuah mobil. Ya, seorang Raka adalah orang yang tergila-gila pada otomotif, terutama mobil. Itu karena obsesiku bahwa aku harus punya mobil suatu hari nanti untuk membuat bangga orang tuaku.

Mobil Kijang warna hijau tua dengan plat BG itu adalah mobil yang diparkir disebuah rumah, sementara aku memperhatikan rumah itu dari sebuah warung. Dan si bapak yang sekarang berjalan disebelahku adalah bapak yang sama yang saat itu sedang mencuci mobil itu. Sementara aku, menunggu di warung itu karena ingin tau siapa gadis pujaanku sebenarnya.

Ya. Pak Agus ini adalah papanya Pipit. Dan Kijang hijau ini adalah mobil yang aku lihat waktu itu di rumah Pipit.
Aku sudah mulai menduga-duga apa yang sekiranya akan terjadi padaku dengan papanya Pipit nanti.

Beliau menyuruhku naik ke mobilnya dan kami menuju sebuah rumah makan tak jauh dari sekolahku, dan beliau mengajakku turun disitu.

“Kamu mau makan, Raka…?” tanya beliau.
“Terima kasih, pak… Saya masih belum lapar. Tapi silahkan kalau bapak mau makan…” jawabku.
“Hmm.. ya sudah kalo begitu” lalu beliau memesan 2 gelas es jeruk.
“Kamu tau siapa saya…?” tanya beliau. Nada bicaranya masih tak bersahabat.
“Sebelumnya, gak tau pak, karena kita belum pernah ketemu… Tapi saat melihat mobil bapak akhirnya saya tau siapa bapak…” jawabku. Walau orang tua ini nada bicaranya masih songong, tapi aku yang harus tetap sopan pada orang tua.
“oh, begitu ya…” katanya sambil tersenyum sinis. “ingat mobilnya tapi gak tau siapa orangnya”sindirnya penuh tendensi melecehkan.
Hey, apa sebenarnya maunya bapak ini..? nada bicaranya seperti takut mobilnya aku ambil. Aku cinta pada anakmu, pak… persetan bapak mau bawa mobil apa. Tanpa disadari rahangku mengeras.
“Ok, langsung saja” katanya. “Saya mau kamu menjauhi anak saya dan gak usah berurusan sama dia lagi”
“Gimana, kamu gak keberatan, kan..?” kata beliau lagi.
 
 
Bagian 6
Ketika Papamu Bicara (2)


Benar dugaanku. Aku menahan diri untuk tetap sopan pada beliau.
Aku berusaha tenang, aku gak mau terpancing emosi atau malah ketakutan pada bapak satu ini.
“Saya gak keberatan, pak…” jawabku tenang “Asal bapak bisa kasih saya alasan yang tepat kenapa saya harus menjauhi Pipit, saya akan dengan senang hati menuruti maunya Bapak…”

Papanya Pipit mendengus kesal. Matanya menatap tajam kepadaku. Tapi salah jika ‘’calon mertua’’ ku ini mengira aku akan gentar.
“Sudah, kamu gak usah banyak omong..’’ katanya gusar. ‘’Pokoknya saya gak suka kamu dekat dengan anak saya, titik..!!”

Aku mencoba tersenyum, agar beliau memahami jika sikap beliau sungguh gak bijaksana.
“kalau begitu, saya mohon maaf, Pak…” jawabku tenang. “Saya dekat dengan Pipit karena ada alasannya, dan saya gak akan mau jika bapak memerintahkan saya menjauhi Pipit tanpa alasan yang jelas…”
“sekalipun bapak adalah papanya Pipit…” tegasku dengan suara yang tetap aku usahakan tenang.
Namun ternyata jawabanku malah memancing emosi orang tua ini.
“Kamu jangan coba-coba melawan saya, ya..!!” bentaknya pelan. Rupanya beliau masih sadar jika ini rumah makan, tempat umum. “dan jangan memaksa saya untuk mengambil tindakan tegas padamu…!”

“Maaf pak, sekali lagi mohon maaf. Saya gak pernah bermaksud menentang Bapak…” kataku. “ tapi tadi saya sudah jelaskan, saya gak akan mau menjauhi Pipit tanpa alasan yang jelas dari Bapak”
“Kenapa kamu gak mau..??” sentaknya. “Saya ayahnya, saya berhak menentukan siapa yang boleh dekat dengan anak saya dan siapa yang gak boleh..!”

“Karena saya mencintai Pipit, Pak…” jawabanku meledakkan tawanya.
“Heh, anak kecil tau apa kamu tentang cinta..??” ejeknya. Aku hanya tersenyum.
“Saya gak mau tau, mulai sekarang kamu gak boleh berhubungan dengan Pipit lagi..!”
“Alasannya…?” tanyaku tenang tapi ngeyel.
“Jangan kurang ajar kamu, Raka…” desisnya marah.
“kalo gitu maaf pak, saya gak bisa…”

Mukanya merah padam mendengar jawabanku. Ditatapnya mataku dengan penuh kemarahan.
Kemudian beliau membayar minuman kami dan keluar dari warung makan itu.
“Raka, kamu ikut saya..!!” katanya tegas.

Aku menurut. Aku ikuti beliau naik ke mobil dan beliau melaju kencang menuju sebuah tempat yang agak sepi di pinggir kotaku. Aku kenal benar tempat ini, jalur awal jika ingin hiking ke Gunung Betung.
Disebuah tempat yang agak sepi, beliau menghentikan mobilnya.

“Turun..!” kata beliau sambil membuka pintu mobil dan turun duluan.
Aku mengikuti beliau turun, aku tetap membawa tasku apa pun mau si bapak dari tadi bersamaku.
Sampai di luar, aku dan beliau berdiri berhadap-hadapan. Aku tak takut menatap matanya, walau beliau menatapku penuh emosi dan terlihat sangat ingin menelanku hidup—hidup.

“Sekali lagi saya minta sama kamu ya, Raka… dan tolong ikuti apa yang saya mau mumpung saya masih memintanya baik-baik padamu…” katanya penuh emosi. “Kamu jangan dekati anak saya lagi. Paham kamu…??!!”

“Saya mencintai Pipit, pak…” belum selesaikan kalimatku, tamparannya mendarat di pipiku.
Plaakkkk...!!!!
Panas. Pedih.
“Rupanya kamu gak bisa diajak bicara baik-baik…” geramnya.

Aku mundur dua langkah, semata agar aku jauh dari jangkauan tangannya agar aku bisa menyelesaikan kalimatku.

“dan saya yakin Pipit juga cinta pada saya…” kataku agak keras. “Saya gak akan menuruti maunya bapak. Percuma bapak melarang saya…!”

“Kurang ajaarr….!!!” Geramnya sambil melangkah maju menghampiriku dengan tangan terkepal. Seketika aku melemparkan tas ku tanah dan mundur memasang kuda-kuda. Tindakanku ternyata berhasil membuatnya kaget dan terdiam.

“Jika itu mau kamu, jangan salahkan saya, anak kurang ajar…” ujarnya masih geram. “Jika kamu mau tau alasannya kenapa saya gak ingin anak saya dekat dengan kamu…!!”

Aku kembali berdiri normal, tetap bersikap sopan dan tenang menatap matanya.

“Saya tau siapa kamu, siapa orang tua kamu, dan dari keluarga macam apa kamu berasal…” katanya penuh penekanan. “dan saya gak mau anak saya pacaran dengan anak miskin gak jelas kayak kamu…!!!”

Ini lebih keras dari tamparannya tadi. Ini lebih panas dan lebih pedih, berjuta kali lipat. Terasa mataku mulai terasa panas.

“Jangan buat saya menghina kamu dan keluargamu lebih dari ini, Raka…” tukasnya. “dan jika kamu masih membangkang juga, jangan kamu kira saya gak bisa lebih kejam dari ini… Saya bisa buat keluargamu makin miskin…!” ancamnya. “Saya bisa buat kantin ibumu dan bengkel bapakmu ditutup..!!”

Cukup. Orang ini sudah keterlaluan.
“Saya akan jauhi Pipit…!” teriakku pada papanya Pipit.
“Bapak menghina saya dan keluarga saya, merendahkan saya dan keluarga saya, bahkan mengancam keluarga saya…” kata ku geram. Orang ini sudah gak layak untuk dihormati lagi.
“Saya akan jauhi Pipit jika itu yang Bapak mau…” geramku menatap langsung ke matanya. “Tapi bapak jangan pernah menghina orang tua saya…”

“Bagus kalo begitu..!! Berarti kamu sadar diri.” tukasnya. “Awas kalo kamu masih mendekati anak saya, saya gak main-main dengan ucapan saya tadi, Raka…!!”

Dan beliau pergi, meninggal debu dari roda mobilnya menerpa wajahku.
Aku, Raka Murdiantoro, memang anak orang tak mampu.
Tapi jangan pernah menghina kedua orangtuaku yang sudah menyabung nyawa demi kami anak-anaknya.

Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju pulang ke rumah yang kini semakin jauh dari seharusnya. Sepanjang perjalanan, aku sangat berduka. Kenapa bisa Pipit yang begitu lembut, ternyata punya papa yang demikian kejam dan sangat merendahkanku. Padahal Pipit sangat memuja papanya. Aku saja sempat berfikir kalo papanya adalah seorang ayah yang baik dan bijak, sampai pada kenyataan apa yang baru saja aku alami dengan beliau.

Hatiku penuh dengan dendam, tapi aku percaya roda nasib akan berputar.
Tungga saja, pak.. Suatu saat aku akan membuatmu menyesal karena menghina keadaanku yang miskin.
 
 
Bagian 7
Ria and Her Miracle Touch (1)


Lamunanku pada kejadian antara aku dan papanya Pipit mengembalikan aku kepada kesadaranku. Aku masih disini, dikamar kostku pada hari Sabtu, 2 November 2013. Hanya saja sekarang sudah jam 11 siang. Ah, sudah lebih 3 jam aku melamun…

SMS undangan Pipit.
Pernikahannya bulan depan di Palembang.
Aku akan bertemu Pipit yang akan jadi mempelai orang lain.
Aku akan bertemu kembali dengan papanya yang sudah menghina aku dan keluargaku.

Sial…!
Saat teringat pada orang tua itu, dendamku memuncak, ingin rasanya meninju mukanya saat pesta nanti.
Tapi, bagaimana nanti perasaan Pipit…?
Duh, Pipitku sayang… Seandainya kamu tau betapa rasa cinta ini selalu bersedia untuk dilukai asal kamu merasa bahagia…

Papanya seharusnya dan mungkin saja memang harus memperhitungkan aku yang sekarang. Raka Murdiantoro yang sekarang bukanlah Raka Murdiantoro yang dulu. Raka Murdiantoro yang sekarang bukanlah Raka Murdiantoro anak ibu kantin dan mekanik vespa lagi. Ayah dan Ibuku sudah aku minta pensiun dari usahanya masing-masing dan sekarang sudah pindah ke pinggiran kota setelah aku buatkan sebuah rumah baru diatas lahan seluas 2 hektar. Kini mereka menikmati hari tuanya dengan bertani sekedar mencari kesibukan, sambil membantu adikku yang aku modali membuka sebuah toko fotokopi dan alat tulis.
Raka Murdiantoro kini adalah seorang pegawai negeri yang kebetulan memiliki jabatan di sebuah instansi basah dan melaksanakan beberapa proyek bernilai milyaran.
Walau aku kost di kota kabupaten ini, tapi aku sukses merayu pemilik kost menjebol sebuah kamar untuk aku jadikan garasi bagi mobilku.
Maaf, bukannya sombong. Mobilku harganya 2 kali lipat lebih mahal dari mobil papanya pipit jika kini kijang hijau tua itu disebut sebagai innova.
Raka Murdiantoro kini, bukan Raka Murdiantoro yang dulu.
Bapak T. Agus Ilham harus memperhitungkan Raka Murdiantoro yang sekarang.

Teringat pada pak Agus membuatku lapar. Ya ampun, pantes aja udah siang begini…
Mau makan di luar, males banget lagi bad mood begini.

Ah, minta tolong Ria aja deh.. Minta tolong dia beliin nasi bungkus sekalian dianterin kemari.

Aku meraih hape dan mengirim bbm ke Ria.
Ria dimana? Beliin makan siang dong, trus kita makan dikost-an aku yuk.
Gak sampai semenit, balasannya Ria sampai…
Oke ciin..
Tunggu bentar yaa…
Truz mau makan Ria juga gak..? hehe
Aku tersenyum… Anak ini kalo sms berbau porno memang maunya banget. Padahal kesehariannya dia berbusana tertutup lho… alim banget deh kelihatannya. Nanti aku akan ceritakan siapa Ria dan bagaimana bisa jadi TTM aku.
Aku bales smsnya dulu ya…

Mau donk.. hehe
Makanya cepet kesini say..
Lima menit kemudian, balesan dari Ria pun sampai.
OTW nih say..
Hehe.. aku mandi dulu ya…

-oOo-

Mataku terpejam. Helaan nafas aku buat setenang mungkin agar kendali tetap terjaga.
Bagaimana pun juga, aku tak ingin sampai ejakulasi dimulutnya, walau harus aku akui blowjob yang diberikan Ria adalah yang terbaik.
Hisapannya kencang bagaikan vacuum cleaner. Sapuan lidahnya tak pernah berhenti mengiringi gerakan kepalanya yang naik turun…

Clop… clop… clop… ghlokh…ghlokh…
suara erotis dari basahnya bibir dan mulut Ria yang tak henti memberikan kenikmatan pada penisku, terkadang diselingi deepthroath mendadak yang melambungkan aku ke awang-awang. Aku sangat tahu service yang berikan Ria adalah yang terbaik karena Ria mencintaiku dan Ria selalu berusaha menyenangkan aku karena rasa cintanya padaku.

Semantara aku, sudah jujur padanya tak ada yang bisa aku janjikan, hanya perhatian karena aku juga sayang padanya.
Hanya rasa sayang.
Maaf Ria, hanya itu yang bisa aku berikan, karena aku tak mau sampai terjerat rasa cinta pada istri orang.

Yup.
Ria Nurdiana.
Stafku ini statusnya adalah istri orang.
Dirinya seakan diciptakan memang untuk jadi penghisap penis sejati bagiku.
Ria adalah stafku sekaligus temanku di kantor, wajahnya cantik, bodynya pun seksi. Jika kalian ingat wajah Iis Dahlia dan body seksi mirip Aura Kasih, begitulah Ria. Dengan tinggi 168 cm dan berat badan 50 kg, ditunjang pantat bulat menantang, serta gumpalan kenikmatan di dadanya disangga cup 34C. Usianya terpaut 2 tahun lebih muda dariku tapi tahun lalu dia sudah menikah. Hubungan gelap kami sudah berlangsung selama tujuh bulan, dimulai saat usia pernikahannya memasuki bulan kelima.

Klise. Alasannya karena suaminya workoholic dan berusia 35 tahun, dan kelebihan berat badan.
Kebutuhan Ria yang muda belia dan penuh gelora tak pernah tuntas tersalurkan oleh suaminya.
Suaminya sibuk dengan pekerjaan mengejar tender kesana kemari meninggalkan istrinya tanpa terpikir akan terpenuhi kebutuhan bathin sang istri.
Sialnya, atau untungnya, ada aku. Dan kemarin Ria cerita suaminya ke Jakarta sampai 10 hari ke depan. Sempurna.

Yang awalnya iseng menggodanya, ternyata sukses membakar cinta dan birahi Ria.

Aku masih ingat, saat iseng mengganggunya yang sedang mengetik di laptopnya. Posisi tangan Ria yang serius mengetik membuat sepasang payudara indah bulat besar kencang yang terbalut seragam dinasnya terekspose sempurna di mataku yang saat itu duduk di sampingnya.
Aku meraba payudara itu, dengan sangat hati-hati karena takut ketahuan Ria.
Niatku hanya ingin menempelkan jariku di payudaranya. Rupanya Ria sangat konsentrasi sehingga tidak menyadari jariku menempel di payudaranya.

Tapi makin lama, aku makin tak tahan. Jariku mulai bergerak mengusap… Dan disinilah kesalahan fatalku. Jariku menyentuh putingnya, walau sudah aku usahakan agar rabaanku tak terasa, tapi ternyata puting payudara adalah titik super sensitifnya Ria.

Matanya melotot menatapku. Aku menciut cengar cengir ketakutan, malu berat karena tertangkap basah grepe-grepe toket bini orang.

“Bang..!! Gila lo ya…” bentak Ria tertahan karena takut di dengar orang lain di kantor.
“Sorry, Ria.. abis abang gak tahan liatnya… Mantep banget…” kataku pelan sambil cengar cengir.

Lama matanya menatapku. Aku sampai salah tingkah.
“Raba lagi, bang…” bisik Ria. “Tapi hati-hati jangan sampe kelihatan orang ya…”

Aku kaget setengah mati dan hampir mengira kalo Ria sedang mempermainkan aku.

“di tempat tadi, bang… Itu kena putingnya…” desah Ria pelan sambil mengerjapkan mata “gelii banget bang…”

“Yang bener,ah…” kataku ragu. “emang boleh abang pegang lagi…?”

Ria dengan gak sabar menarik tanganku, sambil menoleh ke sekitar takut ada yang melihat kelakuan kami. Pelan-pelan dia meletakkan tangan kananku di payudara kirinya, lalu kemudian kembali pura-pura sibuk dengan laptopnya.

Walau posisi kami agak terlindung, tapi perbuatan asusila di kantor tak ayal membuatku sangat bedebar dan ekstra hati-hati. Aku mengusap halus bagian payudaranya yang aku perkirakan adalah putingnya dengan sangat halus, bahkan seperti setengah melayang namun sukses membuat Ria menunduk dan mendesah halus.

“Sshhh…. Tekan dikit, bang… agak diremas dong…” bisik Ria menahan desahannya.

Permintaannya aku turuti dengan gerakan seperti menggaruk, menekan dengan sedikit remasan di ujung jariku.
Mata Ria terpejam. Kepalanya menunduk dan mulutnya sedikit terbuka.
“Ooohhh… Ssshhh….” desahnya.

Intensitas rabaanku semakin tinggi. Kaki Ria tampak gemetar seperti menahan sesuatu, dan desahannya semakin sering dan semakin keras. Wah, bisa bahaya kalo diterusin disini. Aku menghentikan rabaanku dan butuh waktu sekian detik sampai Ria mengangkat wajahnya menatapku dengan pancaran birahi yang jelas sekali.

“Kita keluar aja yuk… Pake mobil gue…” kataku padanya.
Ria segera nyambung maksudku. Dengan segera dia membereskan berkas-berkasnya, mematikan laptop dan menyimpannya di laci mejanya.

“Abang duluan ya, abang tunggu di mobil..” kataku sambil melangkah pergi, Ria mengangguk tanda mengerti.
Dan kejadian di mobil bisa di tebak. Aku mengarahkan mobil menuju ke arah kostku dan sepanjang perjalanan Ria tak berhenti mendesah karena ciuman kami dan remasan tanganku di payudaranya yang menyembul dari 3 kancing seragamnya yang terbuka.

Kamar kostku menjadi saksi bisu bahwa siang itu aku meniduri istri orang, menyetubuhi rekan kerja sekantorku, dan 3 kali orgasme yang diperoleh Ria sampai sore saat kami harus kembali ke kantor untuk absen pulang.

Sejak itu, hubungan teman tapi mesra antara aku dan Ria berlanjut semakin panas. Kami saling menjaga dengan tidak mengumbar kemesraan di kantor, tapi tidak saat di kamar kost atau di kamar hotel yang kami sewa. Semua begitu indah dan panas.

Perhatianku semakin tercurah pada Ria, dan berakibat fatal.
Ria jatuh cinta padaku. Namun kami sama sama menyadari keadaan kami yang tak mungkin membuat hubungan ini sampai diketahui orang. Teman tapi mesra. TTM kata orang-orang, akhirnya menjadi kata sepakat antara aku dan Ria.

Dan kini, di saat aku galau karena sms undangan pernikahan Pipit, Ria hadir untuk mengobati luka hatiku dan mengalihkan pikiranku yang sedang kacau. Ria tahu cerita antara aku dan Pipit, karena selama ini seluruh upayaku pada Pipit aku ceritakan padanya. Dan tadi aku sudah cerita bahwa Pipit akan menikah dan Ria tahu aku sedang galau berat.

Permainan mulutnya yang luar biasa pada penisku adalah awal dari janji Ria setelah mendengar ceritaku tadi.
“Lo jangan galau, bang… Gue akan buat lo lupa kalo mantan lo mau nikah ama orang…” kata Ria sambil menurunkan celana pendekku dan menggenggam penisku yang mulai mengeras.
“Lupain dia, bang…” kata Ria sambil menjilat kepala penisku. Aku merinding geli dan nikmat.
Sebelum kepala penisku masuk dalam kuluman mulutnya, TTM ku yang pengertian banget ini masih sempet bilang : “Lo juga harus mulai move on ya, bang…”

Ssllllrrrppp… Clop… clop… clop…
Bibir basah, lidah yang pandai menari dan hisapan ala vacuum cleaner sukses membuatku mendesah nikmat.
“Ssshhhh…….. Nikmat banget, Ria… terussshhh….. Aaahhhh…. Aaaaahhhhhh….. Sssshhhhh….” Desahku mendadak saat Ria mulai mengoral ku.

Persetan dengan Pipit…!!!!

Tanganku mengelus kepala Ria yang masih dibalut oleh kerudungnya. Terkadang aku menahan kepalanya saat penisku habis di deepthroath oleh Ria. Desahan kami saling bersahutan, untung saja ini termasuk kost yang bebas dan kebetulan pula diakhir pekan penghuni kost lain sedang pergi semua.

Ria mendorongku sampai aku terduduk di tempat tidurku, dan sambil berjongkok kembali mengoral penisku. Saking tak kuat menahan nikmat, aku sampai rubuh di atas kasurku dengan kaki masih di lantai, mengangkang karena Ria sedang berlutut di selangkanganku.

Clop… clop… clop… ghlokh…ghlokh…
Nada-nada birahi dari mulut Ria yang berkolaborasi dengan penisku semakin membahana.

“Ssshhhh…….. Aaahhhh…” desahku mengiringi gerakan kepala Ria seirama.

Tanpa aku sadari Ria telah melepas celana panjang yang di kenakannya, lengkap dengan celana dalamnya. Tanpa melepas penisku dari mulutnya, Ria naik ke atas tempat tidur, berputar menyerahkan bagian bawah tubuhnya yang telah telanjang ke atas kepalaku.
Ria minta posisi 69…

Segera aku mendekap pantat bulat mulus dan pinggul seksi milik Ria, menariknya agar vagina indah tanpa bulu itu mendekat ke mulutku. Dengan sebuah sapuan lidah yang aku tekan habis, lidahku langsung membelai kejam mulai dari klitoris hingga mendekati anusnya, diikuti sebuah kecupan penuh tenaga di liang vaginanya. Ria terpekik lirih, mendesah mirip melenguh karena mulutnya penuh tersumpal penisku. Dengan intens aku menjilati, menghisap, dan membenamkan lidah, mulut dan hidungku di vagina Ria yang semakin basah. Kadang aku gelengkan kepalaku, sambil menggeram aku tekan vagina Ria agar getaran suara geramanku merambat memberikan nikmat dahsyat pada vagina Ria.

Aku dan Ria, sama-sama sudah tak bercelana. Aku masih memakai kaosku, Ria dengan kaos lengan panjang dan masih mengenakan penutup kepalanya, berposisi bolak balik memberikan kenikmatan oral pada alat genital kami. Posisi 69 ini bertahan hingga 15 menit, dan Ria orgasme dan kemudian menyerah melepaskan penisku dan berguling ke sisiku. Nafasnya memburu, terengah sambil menciumi wajahku.

“Duh, abang sayang… Nikmat banget meqi gw lo jilatin, bang…” desahnya sambil terus menciumiku. Jilatannya sampai ke telingaku. “Makasih ya… Nikmaaat bangeth…”

Aku segera melepas kaos yang aku pakai hingga kini aku telanjang bulat. Lalu aku dan kaos yang Ria pakai. Aku tak pernah berani melepas kerudungnya, biar nanti dia yang membukanya sendiri karena disana banyak peniti dan jarum pentul.

Kami sama-sama telanjang, walau aku sudah telanjang bulat tapi Ria masih telanjang lonjong
Menatap wanita cantik yang setia menjadi partnerku luar dan dalam kantor dalam keadaan telanjang walau masih menyisakan kerudungnya.

Aku balas menciumi wajahnya, mencium dan menjilati apa pun yang bisa aku raih dengan bibir dan lidahku. Sampai ke telinganya, aku ciumi kerudungnya dan berbisik…

“Say… makan dulu yuk… Laperrr…”

Ria tertawa, tapi menurut untuk kemudian bangun dan menuju ke dapur mempersiapkan makan siangku. Masih dengan tubuh telanjang berkerudung, dia kembali dengan membawa piring dan bungkusan nasi padang lengkap dengan lauk pauknya serta segelas besar es teh manis. Juga tak lupa sebungkus besar gorengan kentang…  
 
 
 
Bagian 7
Ria and Her Miracle Touch (2)


“Bang…”
“Hmm…”
“Kok bisa sih, lo nahan gak muncrat dulu malah milih makan…?”
“Kalo gue kelaperan gimana gue bisa maksimal main ama lo nanti…?”

Selesai makan, Aku dan Ria santai sejenak sambil nonton TV. Ria sudah melepas kerudungnya, berganti dengan kaos gombrong milikku yang menutupi tubuh mulusnya sampai ke bawah pantat, tanpa sehelai pun daleman yang dipakai. Sementara aku hanya mengenakan boxer dan bertelanjang dada.

Ria bersandar di bahuku, sementara aku menikmati sebatang mild. Nikmatnya seorang perokok adalah merokok setelah makan. Kami ngobrol tentang banyak hal, mulai dari suasana di kantor, omongan porno tentang hubungan kami, membahas apa yang disiarkan di tivi, tapi tak sedikit pun membicarakan tentang aku dan Pipit.

Ria mengambil rokok yang terselip di jariku, menghisapnya sekali dan mengembalikannya padaku.
“Udah…?”
“Udah…”
“Sehisap doang…?”
“Rokoknya kekecilan… gak enak gak ada jenggotnya…’’
Aku nyengir mendengarkan omongan Ria yang jelas menjurus porno. Lalu aku turunkan karet celana boxerku hingga penisku yang masih lemas itu terpampang jelas.
‘’Nih… rokok kesukaan lo… Hisap yang lama ya…’’ kataku menggodanya.

Ria menyentuh penisku. Membelainya lembut dari kepala hingga ke pangkalnya. Bulu kemaluanku dijambaknya lembut, dan testisku diremasnya perlahan. Tak lama kemudian, penisku pun sudah berdiri tegang sepenuhnya.

‘’Naaah… rokok kesukaan gue udah jadi cerutu bang… Mana tembakaunya berhamburan keluar begini, hihihi…’’ kikik Ria senang melihat penisku berdiri tegak.

‘’Ya udaaah… katanya mau dihisap… Komen mulu kapan dipakenya nih cerutu…’’ godaku lagi.

Sambil tersenyum melirikku, Ria menunduk mengarahkan bibirnya ke penisku. Dengan tetap menatapku, Ria mulai menjilati kepala penisku, membelai dengan lidahnya mulai dari lubang kencing hingga seluruh bagian kepala penisku basah oleh ludahnya. Lalu Ria mulai menjilati bagian batangnya, terus hingga menyentuh testisku. Aku mendesah nikmat, tanganku langsung merogoh ke bawah kaos yang dipakainya, membelai vagina Ria dengan jari-jariku.

Ria mengubah posisinya hingga dia dengan mudah mulai melahap penisku sekaligus membuat tanganku nyaman membelai dan mencucuki vaginanya dengan jariku. Jilatan dan hisapan mulut Ria tetap mantap, menderitaku dalam desahan penuh nikmat. Jariku semakin aktif mengerjai vaginanya yang mulai membanjirkan cairan kewanitaannya.

Jilatan Ria semakin dahsyat, hisapannya pun semakin kuat. Kepalanya terangguk-angguk mengerjai penisku dengan semangat. Mulut Ria terasa begitu basah dan hangat.

Begitu basah… Begitu hangat.
Begitu basah… Begitu hangat… Hangat… Hangat…
Semakin hangat… Semakin hangat…

Lho.. lho…
Kok ini rasanya penisku semakin panas ya…?
‘’Astagaaa… Ria.. Ria… udah dulu dong… Panas nih kontol gue…’’ jeritku tertahan sambil berupaya melepaskan mulut Ria dari penisku.
Seakan gak rela, Ria melepaskan penisku dan menatapku jutek.
‘’Apaan sih bang… lagi enak-enak juga… ganggu aja lo…’’ omelnya.

‘’Gile lo…. Panas neh barang gue. Lo sikat gigi dulu gih sono. Abis makan nasi padang maen sepong aja… Panas neh kontol gue karena lo makan yang pedes-pedes tadi…’’ kataku sambil kabur duluan ke kamar mandi untuk mencuci penisku.

Spontan Ria ketawa ngakak, dan mengikutiku ke kamar mandi…  
 
 
Bagian 8
Makasih Banget, Ria….


“Bilang bang… Duh ya ampun enaknya… Bilang apa rasanya, bang..” desah Ria sambil menatapku sayu.

“Rasanya… Oooh… Rasanya lembut dan basah banget, dek…” erangku meladeni ocehan Ria yang masih terus aku genjot dengan bertenaga. “Memek lo hangat… basah tapi hangat banget…”

Penisku masih terus menghentak vagina Ria dengan penuh tenaga. Ria ribut sekali ketika sedang bersetubuh, tak sekedar mendesah, mengerang atau menjerit. Ria makin bernafsu bila bercinta sambil ngobrol.

“Oohh.. Ria… Memek lo licin banget… kayak ada jus lengket di memek loo.. Enak banget rasanya ngejepit kontol gue…” racauku. “Makin dalem kontol gue dalam memek lo, rasanya makin ngejepit, kontol gue kayak diremes… Sshhh… Aaahhh…”

“Duh bang… Lo bikin gue makin nafsu…” Ria semakin giat menggoyangkan pantatnya. Posisi misionaris ini membuat kami berbicara sambil menatap, sesekali aku melumat bibirnya atau menjilat payudaranya sementara penisku masih berayun keluar masuk dalam vagina Ria.

“Memek gue rasanya penuh banget ama kontol lo… Oooh.. Aahhh.. Goyang terus yang kuat bang…” Ria sampai memekik lirih dan merangkul erat leherku, bibir kami saling melumat. “Ooohh enaaak baang… Hah.. haah… kalo gue giniin makin enak gak lo baang…” katanya sambil memaikan otot kegelnya.

Aku terus menekan pinggulku menyempurnakan persenggamaan kedua alat kelamin kami. Penyerahan diri yang total dari Ria membuatku berusaha keras untuk membuatnya puas.

Aku menghentak dengan pelan namun penuh tenaga, gaya menggoyang yang paling disukai Ria. Sesekali aku menekan begitu dalam dan lama, sambil aku menggoyangkan pinggulku berputar. Ria sampai melenguh hebat, dan turut menggoyangkan pinggulnya mengimbangiku. Ria akan segera mulai berbicara lagi, mengungkapkan perasaan nikmatnya.

“Ya Tuhan, enaknyaaaa… Gak apa-apa ya bang Ria ngomong terus. Ria makin horni baang… Yah… yah… Begitu tadi enak bang… Lagi.. Lagi… tekan yang daleeemmm…” racau Ria.

“Terus Riaaa… Makin banyak lo ngomong makin nafsu gue ama elo…” balasku meladeninya. “Gilaaa… memek lo ketat banget Riaaa… Hangat bangeeett…. Basah bangeeettt…”

“Gak enak ya bang… Becek banget ya bang…” tanya Ria khawatir lendirnya yang membanjir malah membuatku merasa gak nyaman.

“Malah enak tauuu…” jawabku. “Kontol gue rasanya dihisap ama memek loo…”

Buah dada kencang dan indah Ria berguncang teratur seiring irama hentakanku. Tak tahan aku mencaplok putingnyanya dengan bibirku, menghisap dan menjilatinya kiri dan kanan. Posisi ini bertahan sampai pada akhirnya Ria mendesah makin keras pertanda orgasmenya akan segera sampai.

“Terus baaanng… Dikit lagi gue nyampe… Duh enaknya ngentot ama lo bangg..” kata Ria hampir menjerit.

“Oooh…oooh… Iya.. iyah.. yah.. yah… ooohhh gue nyampe baaannggg…” pekiknya melepas orgasme. Badannya melengkung, matanya terbeliak hingga hanya tampak bagian putihnya saja. Kakinya erat melingkari pinggulku, menekan lebih dalam menyempurnakan orgasme Ria.

Aku semakin keras menekan, tidak lagi menaikturunkan pinggulku, hanya menekan sambil mencoba terus berputar. Ria sampai gemetar, orgasmenya yang panjang dan lama memberikan sensasi pijatan hebat di penisku.

Begitu belitan kakinya mengendur, aku segera menghentak penisku sekuat tenaga dan cepat mengejar orgasmeku yang sebentar lagi aku raih. Akibatnya Ria semakin tenggelam dalam orgasme susulan yang membuatnya hanya mampu membuka mulutnya tanpa mampu bersuara.

“Riaaa… gue nyampe Riaaaa….” Desahku sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Ria kembali membelit pinggulku dengan ketatnya.

Badai orgasme ini, melenakan diriku sesaat. Rasanya yang begitu nikmat membuatku seakan meleleh, mencair memasuki tubuh Ria. Setelah badai itu berlalu, kami saling menatap dan tersenyum.

“Makin heboh aja lo…” kataku menggodanya.

“Habiiisss… enak banget sih bang…” jawabnya manja sambil memeluk leherku dan membenamkan kepalanya di sana.

Tubuhku bergulir ke samping tubuh Ria, mengakibatkan lepasnya penisku dari himpitan vaginanya. Kami terus ngobrol sambil melepas lelah, bercanda dan tertawa pelan mengomentari persetubuhan kami barusan. Sungguh, bersama Ria dan seluruh kenikmatan yang dia berikan dari tubuhnya yang indah, benar-benar mampu sejenak melupakan kegalauan yang menderaku sejak pagi. Ria juga tampak sangat pengertian, saat aku sadari dia sama sekali tak pernah menyinggung lagi soal undangan pernikahan Pipit.

Lalu kami bergerak ke kamar mandi membersihkan diri, dan di kamar mandi kami pun mengulangi permainan cinta ini dengan penuh gelora. Aku menyetubuhinya di bawah siraman shower dengan posisi doggy. Kembali kami memperoleh orgasme yang hampir bersamaan.

Sampai akhirnya hari pun menjelang sore, aku mengantar Ria kembali ke rumahnya dengan mobilku. Sepanjang jalan aku dan Ria masih terus ngobrol, bercanda dan tertawa sambil tak lupa tangan kami yang sering iseng saling meraba bagian tubuh sensitif kami satu sama lain.

“Makasih banyak ya, Ria…” kataku saat kami sampai di depan pagar rumahnya.

“Sama-sama abangku sayang…” balasnya sambil memelukku.
Kaca mobil yang gelap membuat kami yakin akan tetap aman dari pandangan orang luar walau kami bercinta sekalipun.

Ria merangkul leherku erat, memberikan banyak ciuman di wajahku, sampai akhirnya kami terlibat dalam ciuman bibir yang lama dan begitu mesra.

“Kalo lo masih kepikiran soal Pipit, lo kabari aja gue bang…” kata Ria setelah ciuman kami terlepas. “Gue akan selalu ada buat nemenin lo..”

“Iya, Say… Makasih banget ya… Lo selalu ada buat gue, selalu baik ama gue…” jawabku tulus.
“Gue sayang banget ama lo, Ria…” kataku sambil memeluknya kembali, dan mencium kening Ria mesra. Perbuatanku itu ternyata mampu membuat Ria terlihat sangat bahagia.

“Gue juga bang… Gue sayaaaang banget ama lo…” katanya sambil tersenyum bahagia.
“Ya udah… Gue pulang ya bang…”

“iya, say…”

Ria membuka pintu mobil, dan bergerak keluar dari mobilku. Tanganku masih sempat mencolek belahan vaginanya dari belakang saat Ria turun dari mobilku. Ria sampai terlonjak kaget. Matanya mendelik lucu, gak terima dengan seranganku yang diam-diam dan tak sempat dia balas karena keburu turun dari mobilku.

“Iiih.. jahat banget sih lo, bang… Seenaknya aja nyolek-nyolek bini orang…” omelnya lucu. “awas lo ya.. gue bales nanti…”

Sambil melambaikan tangan pamit padanya, aku melajukan mobilku kembali ke kost.  


Bagian 9
Maafkan Aku, Membuatmu Menangis, Membuatmu Bersedih


Peristiwa yang terjadi antara aku dan papanya Pipit, sangat membekas dalam hatiku. Aku sangat tersinggung, terlebih lagi aku merasa sangat terluka pada apa yang dikatakannya. Perlakuan fisik yang dilakukannya tak pernah terasa sesakit luka yang aku rasakan dalam hati.

Aku memang sangat tersinggung, tetapi apakah harus aku tumpahkan pada Pipit yang tak tahu apa-apa? Bimbang. Aku merasa sangat bingung. Sampai aku menghindari bertemu Pipit setiap pulang sekolah. Hampir seminggu aku selalu menghindari bertemu Pipit. Ada saja alasan yang aku pakai, walau aku lebih banyak melompati pagar sekolah agar tak perlu melewati gerbang depan.

Namun hari Jumat itu, aku tak bisa lagi menghindar. Pipit sudah menunggu di depan kelasku saat kelas bubar pada pukul 11 siang. Rupanya Pipit sengaja datang lebih cepat dan menungguku, duduk di bangku taman yang ada di dekat kelasku. Kami berdua menuju kantin, setelah jajan sejenak kami kembali ke kelasku yang saat itu telah kosong dan siangnya tidak dipakai oleh murid yang sekolah siang. Pipit ingin berbicara denganku, dan akhirnya aku terpaksa tidak sholat Jumat.

Aku duduk di salah bangku di bagian belakang, dan melebarkan kaki agar Pipit dapat duduk di pangkuanku. Posisi duduk seperti ini memang menjadi kesukaan Pipit karena aku dapat memeluknya dari belakang sambil ngobrol.

“Sepertinya ada yang mencoba menghindar deh, akhir-akhir ini…” kata Pipit mulai masuk pada permasalahan.

Aku hanya terdiam sambil memeluk Pipit erat. Pipit bersandar pada diriku, sementara tanganku melingkar di perutnya dan pipi kami saling menempel. Sungguh, dalam hatiku sebenarnya aku tak ingin menghindar dari Pipit. Bagaimana aku mampu, sementara setiap detik aku sangat merindukannya, bahkan saat masih bertemu aku selalu merasakan rindu padanya. Tapi aku sudah seminggu ini menghindar, berusaha tidak bertemu. Tentu saja ini menjadi pertanyaan besar bagi Pipit, walau seandainya dia tahu yang aku rasakan justru lebih besar lagi. Aku sangat menderita mencoba lari darinya, menahan seluruh rasa rindu hanya karena aku belum bisa menghilangkan ingatanku dari kejamnya perlakuan papanya padaku.

“Maafkan Kaka, Pit…” jawabku akhirnya. “Bukan mau menghindar kok. Kaka sedang ada masalah sedikit, jadi harus Kaka selesaikan dulu…”

“Mau cerita…?”

“Gak usah deh… Lagian gak penting amat kok. Sudah beres, sudah Kaka telan sendiri masalahnya, hehe…”

“Masalah gak penting kok sampai gak mau ketemu Pipit…?” kejarnya lagi. “berarti Pipit gak penting dong…”

“Bukan gitu…” sungguh aku merasa terpojok dan bingung mau jawab apa. Bodohnya aku bisa lupa jika Pipit adalah anak yang cerdas.

“Makanya cerita geh…, ada apa…”

Pipit bangun dari pangkuanku, dan menarik sebuah kursi dan duduk mengahadap kepadaku. Aku langsung mati kutu dibuatnya. Jelas sudah Pipit memang meminta penjelasan yang sebenarnya atas sikapku yang menghindar darinya, walau harus aku akui cara yang dia pakai untuk menginterogasiku malah seperti orang yang siap menampung curhat. Duh, sungguh baik hati banget kekasihku ini.

Lama aku terdiam, bingung mau bilang apa dan harus mulai dari mana. Apakah aku harus ceritakan apa yang dilakukan papanya padaku…? Aku merasa tak tega, Pipit begitu memuja papanya sebagai sosok idola. Atau tidak cerita saja? Tapi apa alasan yang masuk akal untuk menjelaskan kenapa aku menghindar darinya?
Sementara Pipit tetap sabar menunggu penjelasanku, diam sambil menatap lekat padaku yang semakin dalam menundukkan kepala tak berani membalas tatapannya.

Akhirnya…
“Pit…”
“Iya, Ka…”
“Rasanya Kaka sudah gak bisa lagi meneruskan hubungan kita ini…” kataku yang rasanya seperti membelah hatiku sendiri dengan pisau. “Kaka ingin kita putus saja…”

Pipit terdiam, menatap tak percaya pada apa yang barusan aku katakan. Aku juga gak yakin pada ucapanku, sayang… Tapi papamu itu…

“Kenapa…? Kok tiba-tiba banget Kaka minta itu…? Pipit ada berbuat salah ya, Ka…?’’
“Gak ada kok, sayang… Kamu sama sekali gak punya salah….”
“Lha terus kenapa Kaka tiba-tiba minta putus…?”

Aku kembali terdiam. Aku semakin bingung, malah kini semakin sedih karena aku sangat sadar bahwa perkataanku sudah melukai hati Pipit. Melukai hati gadis yang sudah menyerahkan seluruh rasa percayanya padaku untuk mengisi hari-hari dengan mengkhususkan dirinya menjadi kekasihku.

Aku semakin tertunduk, benar-benar gak siap pada pembicaraan dengan topik seperti ini. Aku semakin bingung memilih kata-kata karena aku takut semakin melukai hatinya. Kepalaku mulai berdenyut, sakit sebelah karena rasa frustasi tak mampu memberikan jawaban terbaik yang tidak harus melukai hatinya.

”Kaka merasa gak pantas jadi pacar kamu, Pit…’’ jawabku pelan.
“Kaka merasa sangat gak pantas jadi pacar Pipit… Coba lihat, siapa sih Kaka ini…? Cuma cowok biasa aja yang gak punya apa-apa untuk bisa membahagiakan Pipit dan membuat Pipit bangga…”

“Pipit seharusnya bisa dapet cowok yang jauh lebih baik dari Kaka…” kataku semakin pelan. “Pipit bisa punya pacar yang jauh lebih kaya dan lebih ganteng dari Kaka…”

Tiba-tiba Pipit beranjak dari duduknya, kemudian berlutut di hadapanku yang masih duduk di kursi. Kedua tangannya memegang lututku dan menengadah langsung menatapku.

“Jangan, Ka….” bisiknya lirih. “Pipit gak mau putus dari Kaka… Pipit gak peduli pada semua alasan yang Kaka bilang barusan, karena Pipit gak pernah mempermasalahkan itu semua.
Yang Pipit tahu, Pipit sayang banget ama Kaka…, Pipit cinta banget ama Kaka karena Pipit merasakan Kaka juga sangat mencintai Pipit…”

“Apapun yang terjadi, Pipit mohon jangan tinggalin Pipit ya, Ka…’’

Pipit mengatakan itu sambil menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Bibirnya bergetar mengatakan itu semua. Segera aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat menumpahkan seluruh perasaanku. Ya Tuhan…, terkutuklah aku yang sudah membuat gadis sebaik Pipit sampai memohon padaku untuk tidak memutuskan hubungan ini.

Tak bisa aku ceritakan bagaimana perasaanku saat ini. Aku rasanya tiba-tiba merasa meledak, tapi tak tahu meledak karena apa. Detik itu juga aku sudah mengambil keputusan. Aku tak akan pernah meninggalkan Pipit...! Titik..!

Bayangkan, aku sudah minta putus darinya tanpa pernah mampu mengatakan alasan yang tepat untuknya. Tak mampu menjawab pada semua pertanyaannya. Jangankan marah atau berkata kasar karena kelakuanku itu, Pipit justru berlutut di hadapanku memohon untuk tidak diputusin.

Seorang pangeran tampan dan kaya raya saja, pasti akan tersentuh hatinya pada sikap mulia yang ditunjukkan Pipit saat ini. Apalagi aku si Raka Murdiantoro anak ibu kantin dan mekanik vespa yang mukanya pas-pasan dan duit yang selalu kekurangan…
Jujur, aku sangat bingung bagaimana harus bersikap, antara bangga karena perlakuan memohon yang ditunjukkan Pipit, atau harus malu karena sebenarnya aku gak pantas mendapatkan perlakuan itu dari gadis semulia Pipit…

Tapi semua sudah jelas, keputusan sudah aku ambil dengan seluruh keteguhan hati. Tidak seharusnya gadis seperti Pipit sampai memohon padaku. Aku merasa sangat tidak pantas mendapatkan kehormatan sebesar itu. Persetan dengan perintah Yang Mulia Bapak T. Agus Ilham, aku sama sekali gak peduli lagi. Turkutuklah engau wahai Yang Mulia Bapak T. Agus Ilham, karena perbuatanmu telah membuat putrimu sampai berlutut memohon padaku.
Bangsat…!!!

Lihat ini, anakmu mencintaiku. Persetan dengan semua perintahmu, aku tak akan pernah meninggalkan Pipit dan tak akan pernah melukai perasaannya lagi.

Aku menarik tangannya, membuat Pipit berdiri dan segera aku merengkuhnya dalam pelukanku. Aku benamkan wajahku di perutnya, memeluknya sambil tetap duduk. Tak mampu lagi aku menahan perasaanku, aku sesugukan di perutnya…

“Maafkan Kaka, Pit… Maafkan Kaka…”

Pipit memeluk kepalaku. Membelai rambutku dengan penuh sayang. Berkali-kali Pipit mengecup ubun-ubun kepalaku.

“Kaka gak akan ninggalin Pipit, kan…?” tanyanya sambil memeluk kepalaku erat.

Aku menggeleng keras dalam benaman lembut perutnya… Airmataku sampai membasahi baju seragamnya.

“Gak… Gak akan… Kaka gak akan ninggalin Pipit…” jawabku disela isakan. “Maafkan Kaka karena tadi udah minta putus… Sebenarnya Kaka juga sangat mencintai Pipit, tapi kadang Kaka merasa minder karena Pipit sebenarnya bisa dapat yang lebih baik dari Kaka…”

“Itu samasekali gak bisa dijadikan alasan, Ka… Pipit menerima Kaka jadi pacar Pipit karena rasa cinta Pipit pada Kaka. Pipit tulus, Ka… Pipit samasekali gak peduli pada itu semua… Yang Pipit tahu Pipit cinta sama Kaka dan Pipit juga yakin kalo Kaka tulus mencintai Pipit… Itu udah cukup buat Pipit merasa bahagia dan merasa beruntung…”

Tuhan… Betapa malunya aku mendapatkan jawaban seperti itu dari Pipit. Aku yang seharusnya merasa bahagia dan bersyukur, aku yang seharusnya merasa jadi manusia yang paling beruntung di dunia karena Engkau telah memberikan padaku cinta dari seorang gadis yang hatinya begitu tulus.
Aku menengadahkan kepalaku, menatap mata Pipit dengan mata masih penuh airmata. Ingin aku mengucapkan jutaan terimakasih padanya, pada cintanya, pada kasih sayangnya yang tulus.

“Pit…”

“Hmmm…..”

“Kaka janji… Mulai detik ini Pipit akan mendapatkan seluruh jiwa dan raga Kaka… Kaka akan selalu mencintai Pipit dengan cinta terbaik yang Kaka punya, Kaka akan berusaha membahagiakan Pipit dengan seluruh kemampuan Kaka… Kaka gak akan ninggalin Pipit, karena Pipit adalah yang terbaik yang Kaka miliki… Kaka akan selalu mencintai Pipit selamanya, seumur hidup Kaka…”

Ucapanku ini, bukan ucapan main-main.
Ucapanku ini sungguh keluar dari dalam hatiku, sebentuk janji yang lebih menjadi sumpah dalam sanubariku. Yang hingga detik ini saat aku menceritakan kisahku ini, cintaku pada Pipit tak pernah padam, justru semakin besar dari hari ke hari walau pun saat ini sudah bertahun-tahun Pipit meninggalkan aku.

Pipit kembali merengkuh kepalaku, memelukku dengan menenggelamkan kepalaku di tengah belahan dadanya.

“Janji ya, Ka…” bisiknya lirih. “Kaka harus buktikan semua ucapakan Kaka itu…”

“Kaka janji, Pit….” Hanya itu yang bisa aku ucapkan, mewakili seluruh janji tulus yang aku tanamkan dalam hati, dan aku sangat berharap Pipit bisa percaya padaku.

Lama kami berada dalam posisi ini, menumpahkan seluruh perasaan yang ada di hati kami. Mungkin aku tak menyadari saat itu, pelukan Pipit membuat wajahku terbenam di tengah belahan buah dada Pipit. Sampai sekarang, aku masih bisa mengingat betapa harum bagian tubuh Pipit yang satu itu, betapa lembut dan kenyal yang aku rasakan dari buah dada Pipit. Tapi saat itu, semua tak terpikirkan karena kami sangat hanyut pada rasa bahagia kami.

Aku sudah lupa pada sakit hatiku karena perbuatan papanya Pipit padaku. Aku sama sekali gak perduli pada permintaannya. Di otakku saat ini malah timbul pemikiran bagaimana cara terbaik untuk membahagiakan Pipit.

Pipit kembali duduk di pangkuanku, dan aku langsung memeluknya erat. Rasanya ingin meleburkan diriku menjadi satu dalam raga Pipit. Pipit juga semakin manja, terlihat sekali dia pun berusaha menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi pacar yang paling mesra untukku. Kami mulai ngobrol banyak, tentang kenapa aku menghilang seminggu ini tanpa pernah aku ceritakan kejadian antara aku dan papanya. Lalu kami mengungkapkan semua harapan dan impian kami, tentang cita-cita pribadi kami. Rasanya apa yang kami bicarakan saat ini menjadi sebuah moment di mana kami menjadi sangat terbuka dan jujur apa adanya.

Pipit memahami kondisiku dan keadaan keluarga. Tapi Pipit yakin dan selalu memberikan semangat kepadaku, dengan otak yang encer aku pasti bisa kuliah. Akan ada aja rezekinya, kata Pipit. Pipit bilang dengan menjadi sarjana akan lebih mudah menjadi sukses dari pada sekedar menjadi lulusan SMA. Aku membenarkan ucapannya, walau akan mengakibatkan aku dan orang tuaku harus berusaha lebih keras lagi.

“Tapi Pipit percaya ama Kaka…” katanya memberi semangat. “Kaka pasti bisa untuk kuliah…”

“Aamiiiin….” Jawabku sambil turut berdoa dalam hati.

“Kalo Pipit, pengen banget bisa kuliah di STAN…” katanya sumringah menceritakan impiannya. “Pipit pengen ngambil jurusan Perpajakan, supaya Pipit bisa kayak Papa…”

Papanya memang bekerja di Kantor Pajak. Memang gak bisa ditutupi kalo Pipit sangat mengagumi papanya.

“Kaka kuliah di STAN juga aja…” katanya sambil menatapku. “Supaya kita bisa kuliah bareng di Jakarta…”

Aku tersenyum mendengarkan permintaannya. Aku memang sangat ingin kuliah di tempat seperti itu, STAN, STPDN, STAIS atau apa pun yang begitu lulus bisa langsung kerja karena ada ikatan dinas. Tapi saat ini saja dari rumahku di Pahoman ke sekolah di Gotong Royong yang berjarak 5 kilometer aku harus berjalan kaki menghindari ongkos angkot. Aku cukup sadar diri tapi tak mau membuat Pipit kecewa…

“Aamiiin… Insya Allah, Pit… Kaka juga pengen banget bisa masuk STAN…”

Pipit kembali menerawang dan berkhayal dalam pelukanku.
“Kan asik tuh kuliah bareng… Kaka bisa selalu ada di dekat Pipit… Kita kuliah bareng, selesai kuliah kan kita bisa nikah… Trus hidup bahagia bersama anak-anak kita kelak dan awet sampe kakek nenek….”

Duh, khayalan yang indah sekali… Aku rela menukar nyawaku untuk menebus khayalan Pipit itu… Hidup bahagia bersama anak-anak kita kelak dan awet sampe kakek nenek, menjadi kata-kata penyemangat dalam perjuangan hidupku dan terpatri erat dalam otakku, menjadi tujuan dari semua usaha kerasku. Walau kini mengingat itu semua serasa melihat hantu, tak bisa aku ingkari inilah perkataan terbaik dari seorang Pipit. Bayangkan, Pipit masih kelas 1 SMA saat itu dan sudah berkhayal sampai kesitu… Dia sudah siap jika harus sampai menikah denganku…!!!

Tak ada lagi keraguan dalam hatiku, aku akan mencintai Pipit sampai mati.

Kami terus berbincang-bincang dalam rasa bahagia, hingga suatu saat Pipit menoleh dan menatap mataku sangat lekat. Mata yang bagaikan matahari itu bersinar sangat indah dan sukses membuatku terpesona. Perlahan, Pipit mendekatkan bibirnya ke bibirku, matanya perlahan mulai terpejam hingga akhirnya bibir kami bertemu…

“eehhhmmmm…” desah kami bersamaan, saat bibir kami bertemu dan saling mengecup.

Tak sampai 5 detik, Pipit melepaskan ciuman kami dan membuka matanya. Seutas senyum yang paling menawan yang pernah aku lihat menghiasi wajahnya. Aku begitu tersentuh melihatnya begitu bahagia. Inilah cara berciuman yang biasa kami lakukan, seingatku ini adalah ciuman bibir kami yang ke tujuh kalo gak salah.

Pipit merengkuh kepalaku, dengan gerakan yang sangat luwes namun cepat dan pasti, bibirnya kembali menyentuh bibirku. Sekali ini agak berbeda, bibirnya sedikit terbuka dan segera melumat saat bibir kami bertemu. Tak akan aku kecewakan kekasihku, aku pun membalas lumatannya dengan lumatan lembut yang penuh kasih sayang.

5 detik berlalu tanpa kami sadari, bibir kami masih terus saling melumat dan semakin lama semakin dalam. Ada sedikit gairah, namun aku lebih merasakan curahan penuh cinta yang dikemas dalam bentuk sebuah lumatan bibir yang disajikan Pipit. Aku berusaha mengimbanginya dengan baik dan sukses membuat kami terlena karena kami memang melakukannya karena kami saling mencintai.

Kami terus melakukan french kiss ini selama yang kami mampu, tak peduli nafas kami semakin memburu, pelukan kami malah semakin erat. Pipit bergerak mengubah posisi duduknya dari yang membelakangiku hingga akhirnya Pipit berbalik dan naik ke atas kakiku. Kini aku memangkunya berhadap-hadapan, memberikan pelukan yang semakin erat melingkari pinggangnya membalas rengkuhan eratnya di leherku demi menjaga bibir kami terus bersatu. Ciuman kami semakin dalam dan semakin bergelora.

Sekilas aku bisa melihat, karena posisi duduknya yang berpangkuan menghadap padaku, membuat rok seragam abu-abunya tersikap, memperlihatkan seluruh paha padat mulusnya bagi mataku. Rok seragam itu tersingkap begitu tinggi karena Pipit harus melangkahi kakiku, sehingga aku rasakan penisku yang sudah sedari tadi mengeras, dapat menempel ketat tepat di depan vagina Pipit yang saat itu masih terbalut celana dalam putihnya. Pipit tampak tak perduli, malah semakin erat merangkulku. Desahan Pipit semakin sering terdengar, semakin jelas walau tetap terdengar lembut.

Terasa Pipit mulai menekan pinggulnya, semakin lama semakin ketat membuat penisku yang masih terbungkus seragam sekolah menekan keras vagina Pipit yang terbalut celana dalam putih. Rasa nikmat pada penisku semakin menjadi karena perbuatannya itu, mungkin ini juga yang dirasakan Pipit, terbukti rasanya semakin nikmat saat Pipit mulai memutar pinggulnya dan bergoyang perlahan.

“Oohh… Hhhh… Hmmmmhhh…” desah kekasihku yang terdengar indah di telingaku. Goyangan pinggulnya semakin intens walau tetap perlahan dan lembut, tetapi menekan dengan mantap.

Aku dan Pipit mendesah berbarengan.

Secara naluriah, aku mulai menekan-nekan penisku ke atas agar semakin bergesekan dengan vagina Pipit. Pipit pun mulai menggoyangkan pinggulnya, membuat alat kelamin kami semakin intens bergesekan. Sementara ciuman kami semakin bergelora, sungguh tak terbayangkan betapa nikmatnya yang kami rasakan saat ini.

Aku mencoba menggeser ciumanku ke arah pipi, kening, mata, telinganya pun tak luput dari ciuman dan jilatan lidahku. Lalu aku mulai menelusuri leher Pipit yang putih jenjang. Pipit menengadahkan kepalanya, menyerahkan lehernya untuk aku nikmati sambil terus memeluk leherku, memberikan remasan lembut pada rambutku. Aku yang baru pertama kali memperlakukan wanita sampai sejauh ini, hanya mengikuti naluri berusaha memberikan kenikmatan terbaik kepada Pipit. Aku mengecup dan mencium leher putih itu, memberikan jilatan lembut di dekat telinganya, melumat batang tenggorokan Pipit, naik ke arah dagu dan turun ke arah dada, merambat ke samping menyusuri bahunya sejauh bibirku bisa menerobos seragamnya.

“Ooohhh… Kaaa…” desah Pipit lembut, matanya tetap terpejam dan tangannya tetap menjambak lembut rambutku. “Oohhh… Geli, Ka…, geli bangeett…”

Pinggul kami tetap bergerak, memberikan stimulus penuh gelora pada kelamin kami. Aku mencoba menciumi dadanya yang tidak tertutup baju, sejauh lidahku mampu mencapai. Kadang terasa di lidahku lembut kenyalnya pangkal payudara Pipit. Rupanya Pipit mengerti, atau mungkin juga ingin mendapatkan kenikmatan lebih hingga sebelah tangannya bergerak berusaha membuka sebuah kancing yang teratas. Dengan demikian jangkauan lidahku kini semakin luas, semakin banyak bagian atas dari payudara Pipit yang bisa aku ciumi dan aku jilati.

Pipit semakin sering mendesah, jambakan tangannya di rambutku pun semakin kuat, membuatku semakin semangat mengeksplorasi dadanya. Dorongan rasa ingin tahuku dan sensasi pengalaman pertama membuatku tak henti menciumi dadanya, bahkan kini sebelah tanganku mulai meremas payudaranya.

“Ooohhh… Ka…“ desah Pipit mengekspresikan perasaan nikmatnya. Pinggulnya semakin keras menekan penisku. “Dibuka aja, Kaaa….“

Aku meminta Pipit duduk di meja yang ada di depanku, sementara aku menggeser kursiku mendekatinya, menempatkan diriku di tengah pahanya yang sengaja ia lebarkam memberikan tempat padaku. Perlahan aku menarik keluar kemeja seragam Pipit dari himpitan roknya, dan mulai membuka satu per satu kancingnya hingga kemeja itu terbuka seutuhnya. Tanpa perlu melepaskannya, aku bergerak mengangkat kaos dalam yang dipakai Pipit, dan tampaklah perutnya yang mulus, ramping dan rata. Indah sekali. Aku segera menciumi perutnya, menjilati pusarnya. Pipit sampai melengkungkan badannya, menunduk memeluk erat kepalaku seakan semakin membenamkan ke perutnya. Kakinya bergerak gelisah, sekilas aku mencium aroma semerbak wangi dari arah kewanitaan Pipit yang tepat berada di bawah daguku karena roknya tersingkap demikian tinggi.

Aku begitu semangan menciumi sekujur perut Pipit hingga ke bagian bawah payudaranya yang masih disangga oleh bra berwarna putih. Tampak sedikit bagian bawah payudaranya terlihat, sebagai tanda bahwa sebenarnya bra itu kurang mampu menutupi ukuran payudara Pipit. Aku semakin semangat menciuminya dengan bibirku, menghirup wanginya dengan hidungku, dan menjilatinya dengan lidahku.

Sebelah tangan Pipit melepaskan pelukannya di kepalaku, bergerak ke belakang melepas pengait bra yang ada di punggungnya. Ctaass…. Seketika pengait bra itu terlepas, diikuti dengan pergerakan indah dari payudaranya yang terbebas. Segera aku meraihnya dengan kedua tanganku, mengelusnya penuh kelembutan, dan perlahan meremasnya ringan.

Aku menatap Pipit yang ternyata juga sedang memandangiku, menatapku sambil menggigit bibirnya. Sesekali matanya mengerjap kegelian, dan desahannya yang lembut kembali terdengar. Aku menatap matanya mengungkapkan rasa cintaku dan rasa rasa terimakasihku karena sudah diberikan kesempatan yang begitu indah menikmati payudaranya.

“Boleh, sayang….?“ tanyaku, meminta izin untuk menikmati sajian payudara indah di hadapanku.

Pipit hanya mengangguk, tetap menggigit bibirnya sambil menahan perasaan nikmat dan rasa penasaran karena sebentar lagi payudaranya untuk yang pertama kali akan merasakan sentuhan bibir seorang lelaki. Aku mendekatkan wajahku, mengecup perlahan buah dadanya satu per satu. Kemudian aku mulai mengecup, menciumi kedua buah dada indah itu. Buah dada Pipit sebenarnya tidak terlalu besar, agak lebih sedikit dari tangkupan telapak tanganku. Tapi bentuknya sangat indah, berdiri kencang tegak menantang dan sangat putih sekali, bahkan urat-uratnya berwarna kehijauan samar terlihat, dan lengkap dengan hiasan puting mungil runcing berwarna merah muda.

Setelah puas menciumi kedua buah dada itu, aku mulai melumat putingnya. Seketika sebuah desahan terlepas dari mulut Pipit.

“Aaahhhhh………“

Aku melumat putingnya lembut, membenamkannya sebisanya ke dalam mulutku sambil terus menjilatinya. Berpindah dari buah dada kiri ke kanan, menimbulkan desahan indah dari mulut Pipit hingga membuatnya tertengadah sambil tetap meremas rambutku dan semakin mempererat pelukannya di kepalaku hingga wajahku semakin terbenam di dadanya. Pipit membiarkan aku melumat payudaranya sepuasku, mungkin sekitar 15 menit aku menikmati indahnya payudara Pipit, hingga agak memerah dan basah karena jilatanku.
Aku melepaskan lumatanku dari dadanya, dan menatap wajah kekasihku yang sedang didera rasa geli dan nikmat. Pipit akhirnya menatapku juga, wajahnya merona merah dan nafasnya agak memburu.

“Kaka suka banget ya ama dada Pipit……?“ tanyanya mesra.
“Iya sayang… Baru sekali ini Kaka merasakan ini semua. Pipit adalah yang pertama buat Kaka…“ jawabku penuh kasih sayang.
“Pipit juga, Ka… Ini yang pertama buat Pipit… Pipit percaya ama Kaka, Pipit serahkan untuk Kaka…“ bisiknya lagi. “Sayangi Pipit terus ya, Ka… Jangan tinggalin Pipit ya…“

Aku merengkuh kepalanya dan mencium bibirnya.
“Terima kasih, sayangku… Kaka janji akan selalu mencintai Pipit, setia selamanya pada Pipit…“

Pipit kembali memelukku dengan mesra. Tubuhnya masih tetap terbuka, mengekspos buah dada indahnya di hadapanku. Kembali aku menciumi payudara Pipit dengan penuh semangat, apalagi terlihat dari bahasa tubuh Pipit dia mengarahkan lagi wajahku ke payudaranya untuk aku nikmati kembali. Sekali ini, aku menciumi seluruh bagian tubuhnya yang terbuka, dari dada hingga perutnya yang rata. Kembali aroma semerbak dari vagina Pipit yang terasangsang menggoda hidungku, membangkitkan rasa penasaranku.

Tanganku mulai mengelus pahanya yang mulus, begerak kesana kemari meresapi rasa lembut dan halus yang terpancar dari kulit pahanya. Perlahan aku mulai menciumi pahanya, mengelilingi hingga bagian dalam pahanya. Aroma semerbak itu semakin membuatku bernafsu, begitu wangi dan membangkitkan gairahku. Mengecupi dan menjilati lututnya hingga ke betisnya, naik lagi atas mengarah ke bagian dalam hingga ke tengah diantara kedua pahanya.

Pipit mengubah posisi duduknya, tubuhnya mundur dan kedua tangannya menopang tubuhnya yang kini condong ke belakang. Kedua kakinya bergerak memberikan ruang untukku menikmati celah di tengah pahanya. Kakinya kini terangkat dan aku sangga dengan lenganku sekaligus memeluknya, sementara lidah dan bibirku mulai menciumi bagian yang tidak tertutup celana dalamnya. Pinggul Pipit bergetar karena rasa geli yang teramat sangat.

“Oooohhh…. Ssshhh…. Aduh diapain itu Kaaa…’’ desahnya.

Aku tak menjawab, aku terlalu sibuk menikmati hidangan yang tersaji di depanku. Aku menciuminya bertubi-tubi, lidahku berusaha menerobos masuk ke celana dalam yang dikenakan Pipit. Pipit semakin menggelinjang, kadang kepalanya sampai mendongak dengan mulut terbuka dan mengerang penuh nikmat.

“Ooohhh… Hhhmmmm…. Aaahhh….”

Tangan Pipit bergerak, menyingkap celana dalamnya yang langsung aku sambut dengan gembira. Segera lidahku membelah vaginanya yang mulus tak berbulu, membelai lembut dengan penuh intimidasi pada bagian yang muncul sebesar kacang tanah.

“Aaaahhhh… Kaka……” Pipit mendesah tertahan. Kepalanya terlempar ke atas menengadah berupaya menghirup oksigen. Suara kenikmatan yang dibuat Pipit tidak terdengar keras, tetap terdengar lirih namun jelas di telingaku.

Sungguh luar biasa rasa yang kini aku rasakan saat mulai memberikan kenikmatan pada vagina Pipit. Aku sangat menyukai aktifitas ini, dan hingga kini memberikan sex oral selalu menjadi bagian yang aku suka saat bersetubuh. Semua ini pertama kali diperkenalkan oleh Pipit. Begitu banyak pengalaman pertama yang aku lalui bersama Pipit, yang pada akhirnya membuat aku tak pernah bisa melupakannya.

Pinggul Pipit berkali-kali bergetar, kadang terangkat, dan pahanya menjepit erat kepalaku. Desahan lirihnya terus terdengar, membuat aku semakin bersemangat memberikan kenikmatan maksimal padanya.

Saat itu aku sama sekali belum tahu bahwa wanita bisa orgasme hanya dengan sex oral. Aku hanya terus melakukannya karena aku suka melakukannya, karena aku ingin memberikan yang terbaik pada Pipit. Hanya itu. Hingga pada akhirnya aku kaget ketika paha Pipit menjepit kepalaku erat, betisnya melingkari leherku dan menekan wajahku semakin dalam ke vaginanya. Pinggulnya begetar hebat, memberikan efek mengusap seluruh permukaan wajahku dengan vaginanya. Kepalanya tertengadah, matanya membelalak namun hanya terlihat bagian putihnya, dan mulutnya terbuka menjerit lirih menyuarakan sebuah puncak kenikmatan.

“Oooohhh… Aduuuh… Aduuuh Kaaaaa…. Aaaahhhhhh…..!!!”

Aku merasakan sebentuk cairan melesat keluar dari vaginanya dan langsung dengan lahap aku telan. Rasanya seperti menelan bubur aci yang lembut dan sedikit asin. Aku menyedot cairan yang keluar dari vaginanya itu, dan ternyata sedotanku itu mampu menambah sensasi yang dirasakan Pipit. Tangannya tak mampu lagi menopang tubuhnya, dan rebah di atas meja kelas dengan kondisi baju terbuka memperlihatkan payudara indahnya. Tanganku bergerak meremas payudaranya sambil tak henti menjilati vagina Pipit. Pipit meraih tanganku, seakan mencari pegangan agar tak jauh terhanyut pada puncak nikmat yang seakan tak bertepi. Badannya terus bergetar dan kadang agak sedikit terlonjak.

Hari itu, di ruang kelasku. Aku pertama kali berkenalan dengan tubuh wanita. Langsung berkenalan dengan dalam hingga memberikannya sebuah hadiah orgasme.
Aku dan Pipit yang setengah telanjang dengan baju seragam yang kini acak-acakan, terbaring penuh nikmat di atas meja yang biasanya dipergunakan untuk belajar. Pelajaran ini pun kami jalani dengan sungguh-sungguh, karena begitu menarik dan sangat menyenangkan.

Aku tak pernah lupa pada peristiwa ini, terlalu dalam membekas dalam hatiku sebagai salah satu kenangan terbaikku dengan Pipit. Terbaik, karena hanya sekali itu dalam hubungan kami, Pipit memberikan kesempatan padaku begitu jauh memberikan tubuhnya. Setelah hari itu, semua serba terjaga. Kami saling menjaga agar cumbuan kami tak lagi melewati batas. Aku sangat mencintai Pipit, bisa memberikan kasih sayang yang terbaik dan dibalas dengan cinta yang tulus dari Pipit, sudah cukup bagiku untuk selalu merasa bahagia. Tak masalah tak pernah petting lagi, karena setelah hari itu kasih sayang Pipit semakin tercurah padaku.

Setelah orgasme Pipit berlalu, dengan nafas yang masih turun naik Pipit segera menghambur dalam pelukanku.

“Ooohhh… Kakaaaaa… tadi itu Pipit diapain siih…” katanya penuh rasa malu.

“Memangnya kenapa, Pit….” Tanyaku. Aku bukan pura-pura gak tahu ya, tapi beneran masih cupu bin nubie banget saat itu.

“Gak tauuu…. Tapi rasanya luar biasa banget, sayang…. Rasanya begitu dahsyat… Nikmaaat banget… Rasanya kayak terlempar ke surga….” Jawab Pipit semakin malu dan tersipu.

Tak bisa di pungkiri, aku dan Pipit sama-sama nubie dalam hal beginian. Kami sama sekali gak tahu pada apa yang sebenarnya terjadi, pada apa yang baru saja Pipit rasakan.

“Tapi Pipit suka, gak….?’’ Tanyaku polos.

Pipit semakin tersipu dan membenamkan wajah meronanya karena malu kedalam pelukanku. Suaranya yang mendengus jengah menandakan tak ada masalah, mungkin Pipit menyukai rasanya. Aku cukup merasa lega.

Kami kembali berpelukan erat, memberikan kesempatan bagi Pipit untuk beristirahat karena aku tadi melihat wajahnya berkeringat dan nafasnya masih memburu. Aku membelai punggungnya, rambutnya, sambil mendekapnya erat.

“Ka….”
“Hmmm….”
“Kaka mau ngerasain juga gak…” kata-kata Pipit terhenti.
“Maksudnya…?”
“Eh.. ehmm itu.. Kaka mau juga gak…” Pipit agak bingung memilih kata-kata. Nada suaranya terdengar jengah dan sangat malu untuk menyampaikan maksudnya.
“Mau apa…?” tanyaku dungu.
“iiiih… Kaka maah….’’ Pipit merajuk malu kembali mempererat pelukannya.

Oooo… Ya ampuun.. Aku baru paham maksudnya. Hehe….
“Gak usah, sayang… Gak apa-apa kok…” kataku lembut penuh kasih sayang. “Lagian Pipit kayaknya masih cape banget tuh… Gak apa-apa kok, sayang…”

Aku masih kasihan melihat Pipit yang begitu habis energinya setelah perbuatanku padanya tadi. Aku sungguh tak tega untuk menuntut dia memberikan balasan padaku. Tapi rupanya Pipit punya pikiran lain. Setelah terdiam sejenak, tubuhnya merosot hingga berjongkok di lantai. Tangannya bergerak cepat membuka ikat pinggangku dan berusaha membuka celana seragamku.

Aku berusaha mencegahnya. Sungguh, aku tak mempermasalahkan pada keadaanku yang kini dikenal dengan istilah “kentang”. Bagiku sudah puas bisa memberikan kenikmatan pada Pipit. Lagi pula, Pipit masih kelihatan cape banget…

“Sayang… beneran kok Kaka gak apa-apa. Pipit cape banget tuh… Udah istirahat aja, Kaka gak apa-apa kok… beneran…” kataku berusaha mencegahnya.

“yang beneeerrr…?” tanya Pipit dengan lirikannya yang menggoda.

“iya beneran… gak usah juga gak apa-apa kok, sayangku…”

“Tapi kalo Pipit mau lihat aja boleh kan, Ka…” rajuknya. “Kaka tadi udah lihat semua punya Pipit…”

Aku kehabisan kata-kata. Serba salah bener dah. Akhirnya aku menyender di kursi, tersenyum mempersilahkan Pipit melakukan apa saja sesukanya pada diriku. Pipit menatapku dan tersenyum senang. Segera dia melanjutkan membuka celanaku, dan dengan perlahan menggapai benda bulat panjang yang sudah sangat menegang yang tersembunyi di balik celana dalamku.

Penisku menggeliat keluar, menyerah dalam cengkeraman tangan lembut Pipit.
Mata Pipit terbelalak, antara kaget, malu, jengah, dan tak tau lagi apa namanya, karena ini adalah pertama kalinya ada sebuah penis dari lelaki yang sudah akil baliq yang tergenggam di tangannya. Satu lagi sebuah kejadian yang sama-sama menjadi kejadian yang pertama yang kami alami dalam hidup kami. Pipit pertama kali memegang penis cowok, dan aku baru pertama kali merasakan penisku di pegang cewek.

Seperti yang sudah aku bilang, apa kenangan yang tak pernah bisa dilupakan…?
Kita banyak melupakan hal-hal penting dalam hidup kita, tapi tidak pada yang pertama. Selalu saja ada tempat khusus yang membuat kita ingat pada apa yang pertama terjadi pada diri kita, dan dengan siapa…
Inilah mengapa aku tak pernah bisa melupakan Pipit karena begitu banyak kenangan yang pertama kali aku lalui bersama Pipit, dan semuanya adalah yang terbaik.
Gadis ini… Tak akan pernah hilang dari hatiku.

Kembali kepada Pipit yang sedang dengan penuh penasaran menatap penisku yang kini tak berdaya dalam genggamannya. Mimik mukanya menatap dengan khusuk, lucu sekali aku melihatnya. Penisku bukan penis ukuran filem bokep, guys. Standar saja untuk orang di kampungku. Hanya berlebih tiga jari dari genggaman Pipit sebelum helmnya yang membulat. Diameternya pun pas dengan genggaman Pipit, tidak membuat Pipit sampai harus berhimpitan jari. Pas laaahh…

Tapi cara menatapnya itu lho… Ah bukan kagum mungkin ya… Mungkin cuma karena ini penis pertama yang dia pegang…

Sambil melirik ke mataku, tiba-tiba Pipit mencium kepala penisku, tepat di lehernya dekat lubang kencingku. Tanpa melepasnya, Pipit terus mencium dan menghisap bagian itu.

“Aaaahhhh……” seketika kepalaku terlempar kebelakang dengan desahan kaget yang penuh nikmat. Rasanya geli sekali, sangat nikmat.

Pipit melepaskan ciumannya. Menatapku geli, gak nyangka efek ciumannya barusan begitu dahsyat bagiku. Aku menegakkan kembali padaku dan menatapnya, namun belum sempat aku mengatakan nikmat yang baru saja aku rasakan, bibir Pipit kembali menyerang. Kali ini bibirnya mencaplok dan melumat seluruh bagian helm penisku dan menjepitkan bibirnya tepat di leher penisku. Lidahnya segera memberikan belaian tepat di lubang kencingku.

Duhai, nikmatnya tak terbayangkan….
Kali ini bukan hanya kepalaku yang terlempar, tapi juga sukmaku seakan tercabut pada kenikmatan dahsyat yang baru pertama aku rasakan.
Lidah Pipit berputar memberikan belaian yang lembut dan terasa basah. Aku semakin terlena dalam kenikmatan yang tak terperi ini.

Pipit mulai menaikturunkan kepalanya, menghisap penisku dengan lembut tapi penuh ketelatenan. Tujuannya memberikan kenikmatan padaku, dapat aku rasakan dengan sempurna…

15 menit aku membiarkan Pipit berusaha memberikan kenikmatan padaku, tapi rasanya penisku tak mau juga menyerah. Wajah Pipit kembali berkeringat, pipinya sampai kempot berusaha memuaskan aku.

Aku jadi gak tega melihatnya begitu berusaha.

“Sudahlah, sayang,…. Gak apa-apa kok gak sampe selesai…” kataku sambil merengkuhnya kembali dalam pelukanku, agak memaksa karena aku tak tega membiarkannya kecapean.
Pipit tampak tak rela, tapi aku bersikeras bahwa tak masalah aku tak sampai ejakulasi. Bagiku sudah cukup pengorbanannya. Aku sudah merasa sangat bahagia.
Akhirnya kami berpelukan, saling mengucapkan kata cinta dan saling mengucapkan terima kasih. Kembali janji tulus dan setia terucap jujur dari bibir kami.

Aku membantu Pipit membenahi pakaiannya. Setelah semua rapih kembali, kami keluar dari kelas itu menuju ke arah kantin sambil berpegangan tangan. Tepat waktunya dengan orang-orang yang pulang dari sholat Jumat.

-oOo-

Siang itu, Pipit memilih membolos sekolah dan ikut aku pulang ke rumah. Walau baru pertama kali Pipit ke rumahku, segera saja dia mampu akrab dengan Ibu. Bersama adik perempuanku, bersama-sama menyiapkan makan siang untuk kami sekeluarga. Tampak ibu menyukai Pipit, mereka tampak riang bercanda di dapur. Sementara ayahku tidak berkomentar apa-apa, beliau hanya menatapku sambil menggelengkan kepala.

Jam 4 sore, dengan meminjam vespa super tahun 64 kesayangan ayah, aku mengantarkan Pipit pulang. Sepanjang jalan, lengannya melingkar mesra di pinggangku. Lumayan juga jarak yang kami tempuh dari daerah Pahoman ke daerah Way Halim. Sengaja aku melewati daerah Pasar Tugu agar jalan yang kami lalui tidak terlalu ramai.

Sampai akhirnya sebelum masuk ke komplek Pipit di BTN 3, kami berhenti sejenak di PKOR sambil minum es dugan. Kami berbincang dari hati ke hati, mengikhlaskan hati kami yang kini terikat semakin erat dan dalam. Sampai akhirnya aku benar-benar harus mengantarkan Pipit pulang, dan menurunkannya satu blok sebelum blok rumahnya.

Pipit menggenggam jemariku. Matanya menatapku sayu, seakan tak ingin hari ini segera berakhir dengan perpisahan kami di dekat pos ronda komplek perumahan itu.

’’Kaka sangat mencintai Pipit…’’
’’Pipit juga, Ka… Cintaaa banget ama Kaka…’’
’’Janji ya, sayang… Kamu akan selalu baik-baik saja…’’

Pipit mengangguk, aku hampir saja tak mampu menahan diriku untuk tidak memeluknya.
’’Eeiitss… Jangan aneh-aneh ya…’’ kata Pipit lucu. ’’Mau digebukin orang sekomplek…? Hehe…’’

’’Iya deeh… Ya udah sana, pulang… Lama-lama nanti Kaka peluk beneran nih…”

Pipit menggapai tanganku dan menciumnya tanda ia akan pamit pulang…

’’Jaga selalu ya, Ka…’’
’’Pasti… Sampai kakek nenek…?’’
’’Iya… bersama anak kita kelak…’’

Pipit pun melangkah pulang. Sebelum berbelok ke arah rumahnya, Pipit menoleh menatap ke arahku dan memberikanku sebuah senyuman yang indah, lalu melambaikan tangannya diam-diam.

Aku berjanji dalam hati, akan mencintai Pipit selamanya.
Cinta pertamaku, kini telah menjadi cinta sejatiku. 
 
 
Bagian 10
Kiamat Personal


Hari itu, di sebuah hari di bulai Mei tahun 2007. Seluruh siswa kelas 3 sekolahku bersorak gembira ketika Kepala Sekolah mengumumkan kelulusan 100% siswanya. Hari itu kami rayakan dengan saling mencoret baju seragam dan mewarnainya dengan pylox. Setelah kegembiraan di sekolah aku dan teman-temanku berencana keliling kota dengan motor. Di jalan, kami juga bertemu dengan rombongan sekolah lain yang juga merayakan kelulusan mereka.

Aku pun gembira dengan kelulusanku. Nilai yang aku peroleh cukup bagus. Aku biarkan diriku larut dalam kegembiraan bersama dengan teman-temanku. Aku sudah mengabari Pipit dengan sms memberitahukan kelulusanku, walau tak di balas olehnya. Walau aku masih belum tahu rencana apa ke depannya setelah lulus SMA, aku biarkan diriku ikut bersama eforia seluruh teman-temanku.

Siang itu kami berkeliling kota, membuat gaduh seluruh kota dengan kegembiraan kami. Sampai akhirnya tujuan akhir kami di sebuah mall di Jalan Kartini. Di sana, kami mulai berpencar sesuai dengan urusan masing-masing, karena sebenarnya perayaan kelulusan sudah selesai. Aku memilih bergerombol di lantai dasar dengan beberapa sahabatku.

Saat itu aku melihat sosok seorang gadis yang turun dari ekskalator yang menghampiri kami setelah seorang temanku memanggilnya. Ternyata dia adalah Ratna, teman sekelas Pipit. Yang memanggilnya tadi adalah temanku si Rusdi, pacarnya Ratna. Rupanya mereka janjian di sini. Rupanya hari ini anak kelas 1 yang masuk siang, tidak ada pelajaran karena pengumuman kelulusan kami sehingga mereka dipulangkan lebih cepat.

Sebelum Rusdi dan Anneke pamit, Anne masih sempat bilang padaku.
“Kak Raka, tadi Ratna ketemu Pipit lho, dia di lantai dua bersama Anneke…” katanya.

“Iya, Rat.. Makasih ya…” jawabku.

Segera aku pamit pada teman-temanku yang masih nongkrong di lantai dasar itu dan disambut dengan omelan dan celaan dari mereka. Aku segera naik ke lantai dua dan mencari Pipit. Aku harus ketemu Pipit, dan menyampaikan kabar kelulusanku langsung padanya. Syukur-syukur Pipit mau jalan denganku seperti tadi Rusdi pergi dengan Ratna.

Benar saja, aku melihat Pipit bersama sahabatnya Anneke sedang berada di salah satu counter sepatu. Aku segera menghampiri mereka.

“Pit…” sapaku. Pipit dan Anne menoleh dan tersenyum melihat penampilanku yang penuh coretan dan warna-warni pylox. Untung aku masih memakai jaket parasut ciri khas kelasku.

“Cieee… Yang baru lulus…’’ kata Anne padaku dan menyalamiku mengucapkan selamat.

’’Hehe… Makasih ya Ann…” jawabku lalu menoleh pada Pipit yang masih senyum-senyum melihatku.

’’Mau kuliah di mana, Kak…? Atau mau langsung nikah…’’ kata Anne menggodaku yang langsung diberi sebuah cubitan pedas oleh Pipit.

’’Wah belum tau nih… Terserah Pipit aja mau gimana…’’ candaku garing.

’’Selamat ya, Ka…’’ kata Pipit sambil menyalamiku dan mencium tanganku.
’’Makasih ya, Pit… Ini semua berkat Pipit kok… Kan Pipit yang selalu kasih semangat Kaka…’’ kataku tulus pada kekasihku.

Lalu aku mengikuti mereka melihat-lihat isi mall itu. Sampai suatu ketika saat Anne agak menjauh padaku, Pipit mengatakan sesuatu padaku.

’’Ka… Ada waktu gak…? Kalo boleh ada sesuatu yang ingin Pipit sampaikan pada Kaka…’’ kata Pipit.
’’Selalu ada waktu buat Pipit…’’ kataku penasaran. ’’Mau ngomongin apa sih…?’’

’’Hmmm… kita ngobrolnya di rumah Anne aja yuk…’’ ajak Pipit. ’’Kebeneran Pipit memang mau ke rumah Anne setelah dari sini…’’

Tak lama kemudian, kami bertiga sudah berada di angkot menuju rumah Anne di daerah Rawa Laut.

-oOo-

“Ka… sebelumnya maafkan Pipit…’’ kata Pipit serius.
Wajahnya tertunduk, tampak jelas jika yang akan di sampaikannya adalah hal yang sangat penting.

’’Kenapa harus minta maaf, sayangku…’’ tukasku sambil tersenyum. ’’Belum ngomong apa-apa kok udah minta maaf…’’

’’Ada hal yang harus Pipit sampaikan pada Kaka… dan ini sangat penting, Ka…’’ katanya sambil menatapku sungguh-sungguh.

Aku memperbaiki posisi dudukku dan menatap Pipit dalam-dalam, tanda aku akan serius mendengarkan apa yang ingin Pipit sampaikan.

Setelah menatapku lama, Pipit menghela nafasnya, berusaha melepaskan beban yang ada dalam hatinya. Demi Tuhan, aku mulai cemas pada apa yang akan disampaikan Pipit.

’’Sebelumnya Pipit mohon maaf pada Kaka… Karena selama ini Pipit sudah berbohong pada Kaka…’’ kata Pipit lirih. Matanya menatap tepat ke mataku, dan kini tampak mulai berkaca-kaca.

Perasaanku sungguh gak enak…

’’Sebenarnya selama ini, Pipit sudah ngebohongin Kaka kalau…’’ kata-katanya menggantung karena sebutir air mata mengalir di pipinya tanpa bisa dia cegah.

Aku semakin gelisah. Aku lihat Pipit mengambil sapu tangannya dan mengusap air matanya. Lalu dia kembali menatapku. Kini lebih dalam menembus ke jantungku.

’’Pipit sebenarnya selama ini….”
Kali ini kalimatnya terputus karena tangisan Pipit pecah. Pipit berusaha menahan perasaannya, setengah mati berusaha mencegah dirinya menangis. Sebenarnya aku sudah tak tahan ingin menghampirinya dan memeluknya. Tapi ini rumah orang bro, walau saat ini cuma ada kami bertiga. Tapi ini tetap bukan kelas kosong seperti biasa aku bebas menumpahkan perasaanku pada Pipit.

Setelah menguatkan hati, dia melanjutkan ucapannya.
’’Pipit sebenarnya selama ini sudah berbohong pada Kaka…’’ katanya di sela isakannya.
’’Pipit sebenarnya gak pernah mencintai Kaka…’’

Aku tersenyum. Pipit agak heran melihatku yang malah tersenyum, tapi sebenarnya dalam hatiku ingin berteriak, ada apa ini sebenarnya.

’’Pipit sungguh-sungguh, Ka…’’ katanya karena melihatku tersenyum. ’’Pipit minta maaf karena sebenarnya rasa cinta itu gak pernah ada…’’

Aku terdiam, senyum di wajahku seketika terhapus.

’’Pipit ingin kita gak pacaran lagi… Pipit gak mau lagi meneruskan hubungan kita. Karena sebenarnya rasa cinta itu gak pernah ada…’’

’’Kamu pasti bohong….’’

’’Gak Ka… Pipit gak bohong… Pipit beneran ingin putus dari Kaka… Kita gak bisa lagi melanjutkan hubungan kita ini…’’

’’Ini semua karena Papa kamu, kan…”

“Gak ada hubungannya dengan Papa…”

’’Bohong…’’

’’Sungguh…! Ini murni karena Pipit…’’

Aku bisa merasakan rahangku mengeras, aku bisa merasakan mukaku memanas. Aku yakin wajahku sudah semerah kepiting rebus saat ini. Aku mengenal Pipit dengan baik, seluruh sifat dan tabiatnya aku sangat paham. Aku sadar jika apa yang disampaikannya kini adalah sungguh-sungguh.

’’Pipit pasti bohong…’’ aku tak bisa menutupi nada suaraku yang sangat kecewa.
’’Karena selama ini Pipit yang paling sering bilang cinta pada Kaka… Pipit juga yang selalu bilang agar Kaka setia ama Pipit dan jangan pernah ninggalin Pipit…’’

Pipit menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku mengerti. Tapi aku belum puas menyampaikan isi hatiku.

’’Selama ini Pipit selalu mendorong Kaka supaya belajar yang tekun, Pipit juga yang minta Kaka kuliah agar setelah Kaka bekerja nanti kita bisa menikah dan hidup bahagia bersama anak kita kelak dan awet sampai kakek nenek…’’

Aku menyerang Pipit dengan kalimat yang biasa dipergunakan Pipit.
Tapi Pipit hanya menatapku dengan pandangan yang dalam yang sungguh aku tak mengerti maknanya…

’’Ka…’’ kata Pipit perlahan. ’’Cinta itu gak pernah ada…’’

Emosiku seketika meledak.

’’Pipit mau kita putus…??? Boleh…!’’ kataku agak membentak. ’’Tapi tolong cari alasan lain, jangan pake alasan karena kamu gak pernah cinta ama Kaka…!’’

Wajah Pipit berubah menjadi dingin. Aku paham biasanya jika sudah begini ekspresinya, biasanya karena lawan bicaranya itu tak juga memahami maksud Pipit yang sebenarnya. Ekspresi ini, adalah ekspresi Pipit dimana dia sudah sampai pada malas bicara lagi, dan tak akan ada yang bisa mengubah keputusan yang dia buat.

Ekspresi ini, mengerikan…

’’Gak ada alasan lain…’’ katanya dingin. ’’Pipit sudah bilang kita putus karena sebenarnya Pipit gak pernah cinta pada Kaka…’’

Aku terdiam.
Aku tatap matanya dalam-dalam, berharap ada kalimat tambahan yang membatalkan semua yang sudah dikatakan Pipit.

Tapi Pipit tetap diam.
Tak ada lagi airmata dan tangisnya.
Diam.
Tanpa ekspresi.

’’Bilang Pit….’’ Kataku memelas.
’’Pipit cuma bohong kan…? Pipit cuma ngebecandain Kaka, kan…?’’

’’Maafkan Pipit, Ka…’’

Lama aku menatap matanya, menatap eskpresi wajah dari gadis yang selama ini aku cintai sepenuh hati.
Selama ini Pipit selalu memintaku untuk mencintaiku sepenuh hati.
Selama ini Pipit selalu meyakinkan aku bahwa dia pun mencintaiku sepenuh hati.

’’Kamu sangat jahat…’’ desisku sangat kecewa.

Pipit sempat terkesiap dengan perkataanku, dengan nada bicaraku.

’’Kaka bener-bener gak nyangka…’’ kataku masih dengan nada penuh rasa kecewa.
Maaf, salah… bukan kecewa.
Aku terluka. Sangat terluka.

’’Ternyata selama ini kamu hanya mempermainkan perasaan Kaka… Kamu selalu meyakinkan Kaka kalo kamu gak akan pernah ninggalin Kaka… Kamu selalu meyakinkan Kaka kalo kamu cinta dan sayang ama Kaka… Tapi sekarang, lihat…’’

Pipit melengos, membuang muka menatap ke luar jendela.
Aku benar-benar terluka.

“Setelah kamu berhasil meyakinkan Kaka dan setelah kamu buat Kaka mencintai kamu setengah mati, sekarang kamu bilang kamu gak pernah mencintai Kaka…”

“Kamu sangat jahat, Pit…”

Pipit menoleh dan menatapku, seperti ada yang ingin dia katakan tapi tak jadi dikatakannya. Kini aku bisa melihat Pipit kembali menangis.

“Kamu telah melukai hati Kaka, Pipitku sayang…” desisku lagi.
“Lihatlah hasil perbuatan kamu. Kamu memang berniat menghancurkan Kaka, kan…? Sekarang lihat, Pit…! LIHAT….!”

Pipit benar-benar menangis, tapi aku sudah tak peduli lagi.

“Kamu berhasil, Pit…” lanjutku.
“Kamu berhasil menghancurkan Kaka…!. Kamu berhasil melukai hati dan perasaan Kaka…!. KAMU PUAS KAN SEKARANG…??!”

Aku berdiri. Tak ada gunanya lagi aku disini. Aku melangkah meninggalkan Pipit.

“Ka…” Pipit memanggilku.
Tapi hatiku terlalu sakit… Hatiku sangat terluka….

“Kaka…!” Pipit menjerit memanggilku dan aku tak mau lagi peduli.

Di teras, aku berpapasan dengan Anne, yang heran menatap ekspresi wajahku.

“Ann, aku permisi ya… Makasih banyak dan maaf udah merepotkan…” kataku lemas.

“Lho, kok buru-buru sih, Kak… Aku baru beli minuman nih… Jangan pulang dulu dong, minum dulu kek…”

“Gak usah deh, Ann… Makasih… Kayaknya aku lebih baik pamit sekarang aja…”

Anne melongok ke ruang tamu dan dia melihat Pipit sedang menangis.

“Ada apa sih, Kak…” katanya panik.

“Gak tau deh, Ann… Tanya aja ama Pipit…” kataku sambil melangkah ke pagar. “Aku permisi ya, Ann…, Assalamu’alaikum…”

“Wa’alaikumsalam…” Anne yang masih kebingungan masih sempat menjawab salamku.

Aku melangkah keluar pagar rumah Anne, menyeberang jalan kecil dan mulai menyusuri rel karena rumah Anne memang terletak di daerah pinggiran rel kereta api. Sepanjang kakiku melangkah, aku tertunduk untuk menyembunyikan mataku yang basah oleh airmata.

Aku melangkah menjauhi rumah Anne, meninggalkan tempat dimana di sana ada seorang gadis yang selama ini aku aku cintai yang baru saja menghancurkan hatiku. Aku melangkah dengan airmata membasahi wajahku, berharap aku tak berpapasan dengan orang lain. Pipit sudah menghancurkanku, hati dan jiwaku, bahkan juga menghancurkan seluruh mimpi dan harapanku. Meninggalkan Pipit yang kini sedang menangis di sana. Kenapa dia yang menangis sih..??? kan dia yang mutusin aku dan dia yang menghancurkan hatiku…???

Aku masih bisa mendengar teriakan Anne memanggilku.
“Kak Rakaaa…! Kembali dulu…!”

Tapi aku sudah tak peduli lagi…


Biar aku sampaikan saja disini, supaya ada hikmah dan manfaat yang bisa coba untuk kalian renungkan.
Bagiku, semua sudah terjadi dan ini menjadi pelajaran hidupku, dan menjadi sebuah penyesalan terbesar.

Begini ceritanya…
Beberapa tahun setelah kejadian itu, aku bertemu dengan Anne di sebuah tempat. Dari pembicaraan kami, Anne sampai mengatakan aku sangat bodoh dan egois yang meninggalkan Pipit yang menangis di rumahnya, dan terlebih lagi Anne menyesalkan tindakanku karena tidak menghiraukan panggilannya agar aku kembali ke rumahnya.

Demi menghormati sahabatnya, Anne tidak mau menceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi setelah aku meninggalkan rumahnya dahulu. Tapi saat itu, aku malah tidak peduli pada panggilan Pipit dan teriakan Anne yang menyuruhku kembali.

Anne hanya bilang, jika saat itu aku tidak meninggalkan Pipit dan mau kembali saat dia memanggilku, maka persoalannya mungkin saja bisa berubah, tak perlu sampai serumit ini.
Mengapa Anne bilang rumit…? Karena saat aku bertemu Anne, aku dalam kondisi kacau karena sedang berusaha menemukan Pipit yang menghilang tak aku ketahui dimana keberadaannya karena aku masih sangat mencintainya dan sangat berharap Pipit bisa aku miliki kembali.

Begitulah…
Anne malah menyalahkan aku karena terlalu terbawa emosi saat itu. Dia tidak ceritakan apa yang terjadi karena kata Anne, sekalipun dia ceritakan tetap tak akan ada yang bisa diubah. Semua sudah terjadi dan biarlah seperti itu. Malah jika aku diberitahu apa yang terjadi, Anne takut aku akan menyalahkan diriku sendiri.

Pelajaran hidup yang sangat mahal, aku peroleh setelah pembicaraan aku dengan Anne hari itu.

Seberat apa pun masalah itu, hadapi dan selesaikan dahulu. Jika semua sudah terjadi, tak ada gunanya lagi untuk disesali. Sekalipun masalah itu tidak kita tinggalkan namun tetap tak membuahkan hasil yang kita harapkan, setidaknya kita sudah berjuang dan berusaha.
Menyesali hal yang tidak pernah kita perjuangkan adalah perbuatan seorang pecundang.

”Jangan pernah meninggalkan pergi sebuah masalah, betapapun beratnya masalah itu”
 
 
Bagian 11
Ada Apa Denganmu...?


Aku melangkah turun dari bus, menjejakkan kakiku kembali di Terminal Bus Rajabasa setelah seminggu lalu aku pun berada di sini untuk berangkat menenangkan diri ke rumah kakekku di Bandarjaya. Setelah peristiwa aku diputusin Pipit, aku kabur kesana dan seminggu menghilang. Bagaimanapun, aku hanya manusia biasa. Peristiwa itu benar-benar menghancurkan aku. Setidaknya, setelah seminggu berada disana dan menyibukkan diri membantu kakekku di pasar, kini aku kembali dengan kondisi yang ”sedikit” lebih baik.

Sesampainya aku di rumah, aku sempat bertemu dengan ibu.
”Sudah pulang kamu, Raka…” kata ibu. ”Bagaimana kabar Kakekmu…?

”Sudah, Bu…” jawabku. ”Kakek sehat saja, beliau kirim salam buat ibu…”

Ibu kemudian menyiapkan makan siang untukku. Aku duduk di meja makan dan mulai menikmati makan siangku. Ibu kemudian duduk di hadapanku.

”Raka…” kata Ibu memulai percakapan. ”Pipit sudah dua kali kemari, dua hari setelah kamu berangkat dan kemarin dia kesini mencarimu…”

Suapan dan kunyahan di mulutku terhenti. Aku terdiam menatap piringku, tak berani menatap wajah Ibu.

”Ibu gak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian. Tapi jika itu adalah sebuah masalah, maka temuilah Pipit, selesaikan masalah di antara kalian…”

Aku mengangguk dan kembali meneruskan makanku. Ibu tidak meneruskan pembicaraannya, karena selama ini jika beliau sedang menasehati kami anak-anaknya, beliau hanya menyampaikan intinya saja, dan membiarkan kami mencerna dengan pikirannya sendiri dan membuat keputusan setelahnya.

Pipit dua kali ke rumahku, pikirku. Aku memang pergi ke rumah kakek hanya pamit pada ayah dan ibu, tanpa memberitahu Pipit. Lagi pula untuk apa lagi aku pamit padanya. Jika dia dua kali datang ke rumahku setelah peristiwa itu, mungkin ada yang ingin Pipit sampaikan atau ingin dijelaskan. Tapi apa…? Dan apa pula gunanya…?

Padahal saat berada di Bandarjaya aku sama sekali tidak mematikan handphone ku. Kenapa Pipit tidak menelpon atau sms saja aku? Malah memilih datang kemari, dan kedatangan kedua aku yakin Pipit pasti berharap aku sudah pulang. Pertanyaan demi pertanya berputar di kepalaku tanpa mampu aku jawab…

-oOo-

Kupejamkan mata ini
Mencoba tuk melupakan
Segala kenangan indah tentang dirimu
Tentang mimpiku

Semakin aku mencoba
Bayangmu semakin nyata
Merasuk hingga ke jiwa
Tuhan tolonglah diriku

Entah dimana dirimu berada
Hampa terasa hidupku tanpa dirimu
Apakah disana kau rindukan aku
Seperti diriku yang selalu merindukanmu
Selalu merindukanmu
Nada sambung pribadi yang terdengar saat aku menelpon Pipit sukses menghempaskan aku kembali dalam sebuah jurang rasa sedih yang sudah selama seminggu ini berusaha aku tinggalkan. Liriknya tepat sekali ya, Pit… Sangat tepat buatku. Mungkin juga tepat untuk kamu sehingga kamu memilih lagu ini.

’’Assalamu’alaikum…’’
Suara lembut Pipit terdengar menyapaku saat panggilanku di jawab oleh Pipit. Ya Tuhan, aku sangat merindukan suara lembut ini… Walau Pipit sudah sangat menyakitiku, tapi rasa cintaku padanya tak pernah musnah. Bahkan kini aku sangat merindukannya…

’’Wa’alaikumsalaam, Pipit…’’ jawabku bergetar penuh rasa rindu.

’’Kaka….’’ suara Pipit terdengar hampir mirip dengan suaraku, jika aku boleh merasa ge-er aku bisa merasakan nada suara Pipit yang terdengar lega dan, rasanya juga penuh dengan kerinduan.

’’Kaka apa kabar… Kemana aja seminggu ini menghilang…’’ kata Pipit lagi.

’’Kaka ke rumah kakek di Bandarjaya, Pit…’’ jawabku.

Lalu kami terdiam sejenak. Tak bisa dipungkiri peristiwa kemarin telah menjadi jurang yang memisahkan kami kini. Jurang dalam yang sama sekali belum terungkap kenapa harus ada di sana, yang memisahkan kami dalam kebisuan yang semakin lama semakin mengiris jiwa.

’’Kaka….’’ suara Pipit memanggilku dengan lembut. Aku semakin rindu…

’’Iya, Pit…’’ jawabku.

’’Pipit kemarin ke rumah Kaka…’’

’’Iya… Ibu cerita dua kali Pipit ke rumah… Ada apa, say.., eh.. Pit…?’’ Tuh kan aku keceplosan mau memanggil Pipit dengan kata ‘sayang…’

Terdengar lirih suara Pipit tertawa mendengarku salah ngomong barusan. Hatiku seketika mulai mengeras mendengarnya tertawa. Paranoid dalam hati mengingatkan aku pada kekejaman yang di perbuatnya minggu lalu.

’’Ka… Pipit sekarang di rumah Anne… Kaka ada waktu gak…, kalo bisa Kaka nyusul Pipit ke sini…’’

Mau ngapain lagi anak ini… Lagi pula kenapa harus di rumah Anne, sih… Terbayang peristiwa minggu lalu membuatku bergidik ngeri seakan rumah Anne adalah rumah hantu.

’’Memangnya mau ngapain sampai Kaka harus kesana…’’ kini aku menjawab dengan nada suara yang dingin. Tanpa aku sadari aku membentuk benteng pertahanan diri.

Lama Pipit terdiam.
’’Ada yang ingin sekali Pipit sampaikan pada Kaka…’’ jawab Pipit lirih. Nada suaranya terdengar sangat sedih.

’’Apa lagi….? Kamu belum puas menyakiti Kaka ya…?’’ tukasku tajam.

’’Bukan, Ka…’’ suara Pipit kini terdengar sumbang seperti menahan tangis. Seketika aku luluh, menyesali ucapanku dan nada bicaraku.

’’Pipit akui Pipit yang salah… Izinkan Pipit ketemu Kaka sekali ini saja… Setelah ini Kaka silahkan jika mau membenci Pipit…’’ kata Pipit. Kini terdengar dia terisak. ’’Tapi izinkan Pipit ketemu Kaka sekali ini… Ada hal penting yang harus Pipit sampaikan agar Kaka gak salah paham’’

Lama kami terdiam, berkubang dalam kecamuk pikiran kami masing-masing. Seberkas harapan terbit dalam hatiku, aku kini sangat berharap jika aku menemui Pipit saat ini, maka yang akan di sampaikannya adalah permohonan maafnya, menyesali apa yang terjadi minggu lalu dan memintaku kembali menjadi kekasihnya. Ah, seandainya saja memang begitu. Tapi itu pun belum tentu. Aku masih tetap belum berani berharap, aku sangat takut harus terluka lagi.

Semua bisa terjadi, sampai aku mendengarkan apa yang akan Pipit sampaikan. Bagaimana pun aku masih sangat mencintai Pipit. Aku masih belum bisa menghilangkan rasa bahwa Pipit adalah yang terbaik bagi hidupku.

’’Pit…’’

’’Iya, Ka…’’

’’Kaka akan kesana sekarang…’’

Terdengar helaan nafas lega Pipit di seberang sana. Kembali terdengar suaranya yang ceria penuh harap di sela sisa isakannya.

’’Makasih, Ka… Makasih…’’ kata Pipit dalam isakan bahagianya.

’’Tunggu sebentar ya, Pit…’’

’’Iya, Ka… Pipit akan nungguin Kaka…’’

’’Pit…’’

’’Iya…?’’

’’Kaka kangen banget ama Pipit…’’

Terdengar suara tawa lirih Pipit.

’’sembilan belas…?’’ tanyanya…

’’ sembilan belas banget…’’

Kutrima suratmu
`Tlah kubaca dan aku mengerti
Betapa merindunya dirimu
`Kan hadirnya diriku
Didalam hari-harimu
Bersama lagi

Kau bertanya padaku
Kapan aku akan kembali lagi
Katamu kau tak kuasa Melawan gejolak didalam dada
Yang membara menahan rasa
Pertemuan kita nanti
Saat kau ada disisiku

Semua kata rindumu semakin membuatku
`tak berdaya…
Menahan rasa ingin jumpa…
Percayalah padaku akupun rindu kamu
Ku akan pulang…
Melepas semua kerinduan
Yang terpendam.....
  
 
Bagian 12
Tetaplah Menjadi Bintang Di Langit


Hari ini, 2 bulan setelah pertemuan terakhirku dengan Pipit di rumah Anneke. Selama dua bulan ini aku menempa diriku mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku benar-benar serius mempersiapkan diri. Setelah mendapat restu dari kedua orang tuaku untuk meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi, aku belajar dengan sungguh-sungguh. Bagaimana pun karena kedua orangtuaku lah yang membuat aku sangat bersemangat mempersiapkan diri. Karena dengan restu itu, aku menyadari bahwa aku memberikan beban tambahan kepada kedua orangtuaku, ditambah lagi kedua adikku juga masih bersekolah. Aku akan memberikan yang terbaik untuk mereka, dan membuat mereka bangga.

Juga karena Pipit. Pipit sangat mengharapkan aku kuliah. Karena dengan menjadi sarjana, aku semakin memperbesar peluangku untuk memperoleh pekerjaan yang baik dibandingkan hanya menjadi lulusan SMA. Katanya, aku akan semakin mudah mengejar seluruh impianku untuk membahagiakan keluarga. Aku sangat setuju pada ucapannya, walau itu berarti akan membutuhkan perjuangan keras bagi keluargaku. Tapi ini menjadi harga yang harus dibayarkan untuk menebus impianku.

Pagi ini, tanpa terasa airmata haru menetes saat menyadari kenapa sejak jam 6 pagi ayah sudah menghilang sementara aku sibuk mempersiapkan dagangan ibu yang akan di bawa ke kantin sekolah. Jam 7 pagi ayah datang ke kantin, menenteng selembar koran yang berisi pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri.

Ya. Aku lulus.
Aku di terima di Fakultas Pertanian di universitas negeri di kotaku. Ini memang pilihan pertamaku, setelah aku mengubur impianku untuk ikut test penerimaan STAN, STPDN dan tempat-tempat lainnya di pulau Jawa sana. Aku cukup puas dengan pilihanku untuk memilih universitas yang ada di kotaku ini. Yang penting bisa kuliah, tak perlu memberikan beban tambahan pada orangtuaku dengan kuliah di Jawa sana. Lagi pula, dengan tetap ada disini aku akan selalu bisa membantu kedua orangtuaku. Hasil ini saja sudah sampai membuat ayah dan ibuku sampai bersujud syukur di kantin sekolah.

Maafkan aku, aku tak bisa menceritakan apa yang terjadi di rumah Anneke dua bulan yang lalu, saat Pipit memintaku bertemu. Apa yang bisa aku ceritakan pada kalian, jika selama 5 jam di sana kerjaku dan Pipit hanya saling berpelukan..?

Ya. 5 jam aku dan Pipit bersama di rumah Anneke yang sehari-harinya memang kosong karena orangtuanya bekerja dan pulang sore. Hari itu aku tiba di rumah Anne meminjam vespa super 64 milik ayah, dan di sana sudah ada Pipit, Anne bersama Harris pacarnya. Sejak pukul 11 pagi hingga jam 4 sore aku dan Pipit hanya duduk di paviliun rumah Anne yang dihiasi oleh seperangkat sofa panjang berbentuk huruf L, sementara Anne dan Harris berdua di ruang tamu. Pipit memuaskan dirinya dengan meminta aku memangku dan memeluknya dari belakang, kadang tiduran di pahaku, dengan sedikit dipotong saat kami makan mie goreng bersama Anne dan Harris. Kami hanya ngobrol, dan sama sekali tidak menyinggung kejadian seminggu sebelumnya di tempat yang sama, apalagi berbicara tentang cinta, samasekali gak ada. Tapi aku tidak mempermasalahkan itu, aku hanya menikmati kebersamaanku dengan Pipit, karena entah mengapa aku merasa itu semua akan menjadi yang terakhir. Aku tak mau merusak suasana dengan mulai membahas masalah mengapa dia memutuskan aku minggu lalu. Biarlah Pipit yang memegang kendali.

Kami hanya membicarakan hal-hal lain, tentang persiapan aku kuliah, tentang perguruan tinggi mana yang aku pilih, dan hal-hal lain yang sama sekali gak ada hubungannya dengan masalah kami kemarin. Jam 4 sore kami berpamitan pada Anne, dan Harris juga pulang bersama kami. Aku lihat Harris wajahnya agak suram, tapi aku malas bertanya. Belakangan aku baru tahu ternyata Harris juga diputusin oleh Anne. Aku sampai heran, kenapa dua sahabat ini sampai kompak mutusin pacarnya masing-masing.

Aku ingat, saat sampai di depan komplek perumahan Pipit, kami sempat makan bakso. Kemudian aku menitipkan vespaku di warung bakso itu dan mengantarkan Pipit dengan berjalan kaki. Biar bisa lebih lama, kata Pipit saat itu. Nah, saat kami berjalan kaki perlahan ke rumah Pipit itulah, Pipit mulai membahas masalah kami yang sebenarnya.

’’Ka…, mungkin hari ini adalah hari terakhir kita bertemu, dan semua yang terjadi pada kita tadi di rumah Anne juga adalah yang terakhir…’’ kata Pipit perlahan. ’’Setelah Kaka pulang nanti, anggap saja kita sudah resmi putus ya, Ka…’’

’’Lhoo… Kok gitu…?’’ tanyaku bingung. ’’Kaka kira tadi kita berpelukan terus itu karena Pipit menganggap kita gak jadi putus…’’

Pipit hanya tersenyum sambil menatapku. ’’Tapi tadi Kaka juga gak nanya, kan…?’’

’’Iya… Kaka pikir buat apa ditanya. Pipit tadi minta peluk terus, minta dimanja terus… Kaka pikir itu adalah tanda kita gak jadi putus…’’ kataku lirih. ’’Kaka bingung, Pit… Jadi yang tadi itu artinya apa…?’’

’’Pipit tadi gak membahas masalah itu, dan juga Pipit tadi manja banget ama Kaka, itu semua karena…’’ perkataan Pipit terputus, matanya tampak berkaca-kaca. ’’Itu semua karena mulai besok Pipit akan kehilangan itu semua… Kehilangan Kaka dan semua kasih sayang Kaka…’’

Sebutir airmata mengalir di pipinya. Aku berhenti dan menahan bahu Pipit dan memutar tubuhnya menghadap padaku. Aku memegang pipinya dengan kedua tanganku, aku usap airmata itu dengan jariku, walau semakin banyak butir airmata Pipit yang mengalir.

’’Jika ini semua membuat Pipit jadi sangat sedih, kenapa kita harus putus, Pit…? Jika Pipit izinkan, Kaka akan selalu ada buat Pipit, menjadi pacar Pipit yang akan selalu mencintai Pipit dengan seluruh jiwa dan raga Kaka…’’

’’Gak bisa, Ka…’’ jawab Pipit sambil tersedu. ’’Gak bisa… Gak boleh…’’

’’Kenapa gak bisa dan siapa yang bilang gak boleh, Pit…?’’

Untung saja saat itu suasana komplek perumahan sangat sepi, aku gak bisa membayangkan jika ada yang melihat keadaan kami saat ini. Pipit yang tetap terisak, sementara aku tetap memegang kedua pipinya berusaha mengusap airmatanya yang jatuh.

’’Gak bisa…, juga gak boleh… Pipit gak bisa menjelaskannya, tapi Pipit percaya ama Kaka, Kaka akan mengerti dan memahami Pipit…’’ kata Pipit disela isakannya.

’’Jangan buat Kaka semakin bertanya-tanya, Pit… Jelaskanlah… Kaka akan mencoba mengerti apa yang Pipit maksudkan…’’

Pipit menatapku dalam-dalam, seakan memohon pengertianku. Akhirnya aku menyerah, tak akan mungkin memaksa Pipit sekarang ini, disaat seperti ini.

’’Maafkan Pipit ya, Ka... ’’ katanya lirih sambil menatapku. ’’Kaka mau menolong Pipit, kan…? Pipit mohon ama Kaka, tolong luluskan permintaan Pipit ini… Asal Kaka tahu, ini juga sangat berat buat Pipit…’’

Aku terdiam, hanya mampu mengusap pipinya penuh kasih sayang. Dalam hati aku berkata, jangankan hanya minta putus, jika saat ini Pipit meminta nyawaku akan aku berikan asal bisa membuatnya bahagia.

’’Jadilah lelaki yang terbaik, Ka… Berjuanglah, berusahalah yang keras, jadilah seperti yang Kaka impikan selama ini…’’ kata Pipit lagi sambil menatapku. Tangannya bergerak menggenggam tanganku yang masih mendekap pipinya.

’’Pipit akan selalu mendoakan Kaka… Pipit sangat berharap Kaka bisa menjadi yang terbaik, agar kelak Kaka bisa menjadi pemimpin yang baik bagi wanita yang akan jadi istri Kaka…’’

’’Kaka inginnya Pipit yang jadi istri Kaka…’’

’’Itu nanti akan terjawab bila kita memang berjodoh, Ka… Sekarang Kaka harus berusaha mewujudkan semua impian Kaka… Jika kita berjodoh, maka Pipit berharap Kaka sudah menjadi lelaki terbaik bagi Pipit, yang akan menjadi pemimpin bagi Pipit, yang akan membawa Pipit pada kebahagiaan lahir bathin…’’ kata Pipit sambil mempererat genggamannya padaku.

Aku terdiam, berusa mencerna semua ucapan Pipit. Begitu dalam dan luas makna dari kalimat yang disampaikannya.

’’Pipit akan sangat kehilangan Kaka, itu pasti… Pipit sangat bersedih karena itu, Ka… Tapi Pipit percaya ini adalah yang terbaik bagi kita, suatu saat Kaka akan memahami dan mengerti…’’

’’Gak bisakah dengan Pipit selalu ada di samping Kaka untuk meraih semua impian itu, Pit…?’’

’’Pipit akan selalu mendoakan Kaka… Selalu berdoa agar yang terbaik selalu terjadi pada diri Kaka…’’

Kedua tangan Pipit mengusap pipiku, menatapku dalam-dalam dengan senyum berhias airmatanya.

’’Doa Pipit yang akan selalu mendampingi Kaka…’’ katanya lembut menatapku sambil tersenyum. ’’Sekarang berjanjilah pada Pipit, Ka… Berjanjilah Kaka akan selalu berusaha mewujudkan impian Kaka, berjanjilah akan selalu menjadi lelaki terbaik yang akan siap menjadi pemimpin bagi wanita yang akan menjadi istri Kaka dan juga panutan bagi anak-anak nanti….’’

Aku menatapnya, menyampaikan bahwa aku akan berjanji akan menjadi seperti yang dia minta dengan sepenuh hatiku, walau aku juga mencoba menyampaikan bahwa aku masih belum mengerti maksud semua ucapannya.

’’Kaka berjanji, Pit… Demi Pipit Kaka akan berjuang dengan seluruh kemampuan Kaka…’’

’’Salah… Bukan demi Pipit… Sementara ini demi Kaka sendiri dulu…’’

’’Tapi Pipit kan yang jadi istri Kaka nanti…’’

’’Kalau kita berjodoh…’’ potong Pipit sambil mengusap pipiku. ’’Pipit akan bersedia jadi istri Kaka bila Kaka sudah bisa memenuhi janji Kaka untuk mengejar semua impian Kaka…’’

Aku sampai gak bisa ngomong lagi.

’’Ingat, Ka… Wanita yang baik akan mendapat jodoh lelaki yang baik pula…’’ kata Pipit sungguh-sungguh sambil menatapku, mengusap pipiku.

’’Berusahalah menjadi lelaki terbaik, yang akan bisa menjadi panutan bagi Pipit…’’ katanya lagi seakan memohon padaku. ’’Berjanjila, Ka….’’

’’Kaka berjanji, sayang… Kaka berjanji…’’

Pipit tersenyum menatapku. Tangannya tetap mengelus pipiku dengan penuh kasih sayang.

’’Pipit percaya ama Kaka…’’ katanya sambil tersenyum padaku, mengguncangkan wajahku penuh harapan.

’’Yuk…’’ katanya mengajak melangkah lagi, melepaskan genggaman tangannya dari pipiku. Kami beriringan langkah menuju rumah Pipit yang tak jauh lagi, hanya tinggal satu belokan lagi.

Tangan Pipit meraih tanganku, menggenggamnya erat seakan menyerahkan seluruh harapannya pada genggamanku. Dengan bercanda, kami melangkah sambil berpegangan tangan, kadang mengayunkannya dengan riang.

’’Sekali ini, Kaka boleh anterin Pipit sampai rumah…’’ kata Pipit membuatku terkejut.

’’Nanti Pak Boss marah gak, Pit…’’ aku khawatir pada papanya.

’’Biar saja…’’ katanya tersenyum penuh arti. Wah, aku jadi pede nih, gak peduli mau papanya seribu kali lebih galak aku menyambut bahagia izin mengantarkan Pipit sampai ke rumah. Ini akan menjadi yang pertama aku mengantar Pipit sampai kerumah, Saudara-saudara…., hehe…

Kami berbelok di tikungan terakhir, dan melangkah ke rumah Pipit yang sudah tampak dari tempat kami saat ini.

’’Jadi, kita tetap putus ya, Pit…’’ tanyaku. Bodoh.

’’Iya…’’ jawab Pipit tersenyum. ’’Gak apa-apa kan, Ka…?’’

’’Rasanya akan sangat berat buat Kaka, Pit…’’

’’Buat Pipit juga, Ka…’’ kata Pipit. ’’Tapi Pipit percaya Kaka akan memahami… Kaka juga jangan pernah bersedih, Kaka ingat kan kalo Pipit akan selalu berdoa untuk Kaka…?

’’Iya deh… Kaka akan berusaha… Doakan Kaka agar selalu kuat ya, Pit…’’

’’Pasti, Ka…’’ kata Pipit sambil mempererat genggaman tangannya. Wajahnya terlihat bahagia walau baru saja memutuskan aku. Sekilas, aku melihat wajahnya menunjukkan betapa Pipit sangat berharap padaku, berharap aku akan bersungguh-sungguh mewujudkan semua impianku.

Juga impian bisa bersama Pipit dan membahagiakannya seumur hidupku, bisikku dalam hati.

Tak terasa, kami sampai di rumah Pipit, aku mengantarnya sampai Pipit masuk ke dalam pagar rumahnya. Kini, tiba saatnya bagiku untuk pamit. Pamit pada ’’mantan kekasihku’’, pamit untuk maju berjuang di kehidupan nyata.

’’Kaka pamit pulang ya, Pit…’’

’’Iya, makasih ya sudah nganterin Pipit. Kaka hati-hati di jalan ya…’’ jawab Pipit.

Wajahnya tersenyum. Terasa sekali kasih sayangnya, sama besarnya dengan harapannya yang seakan dipercayakannya padaku seutuhnya.

’’Kaka sangat mencintai Pipit…’’

Pipit tersenyum, dibelainya pipiku sebelum kemudian diraihnya tanganku dan menciumnya.

’’Percayalah, Ka… Ppit akan selalu mendoakan Kaka…’’ katanya lirih sambil menatapku dalam.

Aku tersenyum samar, sedih rasanya karena menyadari begitu aku melangkahkan kaki pulang dari rumah ini, maka resmilah usai hubungan cintaku dengan Pipit.

Akhirnya aku dan Pipit berpisah saat itu, aku kembali berjalan ke arah warung bakso tempat aku menitipkan vespaku. Saat itu lah aku menyadari, bahwa ada yang aneh seharian ini. Aku memang sudah seharian bersama Pipit, entah kenapa baru sekarang aku menyadari.

Seharian ini, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibir Pipit, kata cinta atau pun kata sayang. Walaupun seluruh sikap dan bahasa tubuhnya mengungkapkan itu semua, tapi yang aku tahu Pipit sangat sangat suka mengungkapkan perasaan cintanya dengan kata-kata. Tapi hari ini, semua lenyap. Walau Pipit masih aku peluk dan aku cium, dan tak terhitung juga berapa kali Pipit menciumku hari ini, tapi kata cinta dan sayang darinya telah hilang…

Dan sejak saat itu, hatiku bagai terombang ambing pada pahitnya kenyataan yang aku hadapi kini. Aku kehilangan Pipit dengan alasan bahwa selama ini dia berbohong padaku, sebenarnya tidak pernah mencintaiku. Kadang aku menjadi sangat marah setiap ingat hal itu, ditambah lagi kenyataan pada hari terakhir pertemuan kami tak sepatahkatapun terucap cinta darinya. Aku marah karena merasa Pipit benar-benar tidak mencintaiku. Tapi kadang aku menjadi ragu, mengingat sikap Pipit yang tetap penuh mesra saat itu.

Perasaan ini, perasaan terombang-ambing antara rasa marah dan benci pada Pipit, yang bisa sekejap berubah menjadi percaya sepenuhnya Pipit akan selalu mendampingiku dalam doanya, bertahun-tahun selalu menghantui diriku, bolak balik melemparkan aku pada dua sisi antara benci dan masih cinta. Seandainya bisa aku ceritakan betapa merusaknya perasaan seperti ini. Ditambah lagi, sejak saat itu Pipit sangat susah di hubungi, apalagi ditemui.

Dan hari ini disaat pengumuman aku lulus diterima di universitas negeri.
Aku berencana mengunjungi Pipit ke rumahnya, sekedar menyampaikan kabar gembira ini padanya.

-oOo-

Sore itu, aku duduk di ruang tamu rumahnya Pipit. Setelah dua bulan tak bertemu sejak mengantarnya pulang hingga sampai ke rumahnya itu, aku tak pernah bertemu Pipit lagi, telponku tak diangkat, sms ku tak di balas. Maka kini aku nekad datang, hanya untuk menyampaikan kabar gembira bahwa aku lulus diterima di universitas negeri padanya walau mungkin saja Pipit sudah tahu. Karena bagiku bagaimanapun, ini adalah langkah awal dalam aku mewujudkan impianku dan Pipit juga sangat terlibat dalam hal ini.

Maka di sinilah aku kini, duduk di ruang tamu menunggu Pipit menemuiku. Tadi saat datang, aku bertemu dengan mamanya Pipit dan aku dipersilahkan menunggu di ruang tamu. Sambil menunggu Pipit, mataku berkeliling menatap keadaan ruang tamu rumah Pipit, memperhatikan foto keluarganya yang terpampang besar di dinding.

’’Assalamu’alaikum, Ka…’’

Aku menoleh pada suara salam itu sambil tersenyum.
Ya Tuhan… Aku sangat merindukan suara itu.
Suara Pipit.

’’Waalaikum salam …’’

Namun aku terkejut setengah mati saat menatap si pemilik suara itu. Aku terkejut dan menatap tak percaya ke arah Pipit yang saat ini sudah berada di ruang tamu menemuiku, berdiri sambil wajahnya tertunduk dan tidak menatapku.

Pipit yang sangat aku cintai.
Pipit yang cantik dengan keteduhan tatapan matanya.
Pipit yang selalu ada dalam hatiku dan selalu aku rindukan disetiap detak jantungku.

Pipit berdiri dihadapanku, namun telah sangat berubah sejak terakhir aku bertemu dengannya dua bulan yang lalu.

Detik itu juga, aku mulai bisa mengurai semua, mulai bisa memahami dan mengerti, mengapa semuanya bisa terjadi… 
 
 
 Bagian 13
When Love and Hate Collide



Pipit keluar dari dalam rumahnya, sambil membawakan minuman untukku. Langkah dan geraknya begitu anggun, menyisakan aku dalam keterpanaan melihat penampilannya kini. Setelah menghidangkan minuman di meja, Pipit kemudian duduk di depanku di sisi bagian kanan, menatap ke arah kiriku lalu menunduk dan menyembunyikan telapak tangannya ke dalam jilbab lebar yang dikenakannya.

Ya.
Kini Pipit duduk di depanku dengan menggunakan gamis berwarna coklat muda, dengan jilbab lebar berwarna kuning gading yang tampak serasi secara keseluruhan. Pipit juga menggunakan manset dan kaus kaki. Dan kini hanya wajahnya saja yang bisa aku lihat.

’’Apa kabar, Ka…?’’ sapanya.

’’Kabar baik, Pit…’’ jawabku masih terpana pada penampilan Pipit.

’’Pipit sekarang berjilbab…?’’ tanyaku. ’’Sejak kapan, Pit…?’’

Pipit hanya menoleh sedikit tanpa menatap mataku, tetap dalam keadaan tertunduk.

’’Sudah hampir dua bulan ini…’’ jawab Pipit.

’’Gak lama dari terakhir kita ketemu, dong…?’’

’’Iya… sehari setelah kita terakhir bertemu, Pipit memutuskan mengenakan jilbab…’’

Sejujurnya, aku kini bingung mau bicara apa pada Pipit, apalagi melihat sikapnya yang selalu menunduk sejak tadi.

’’Pipit… Kaka diterima di Universitas Gedong Meneng …’’ kataku akhirnya.

’’Iya, Pipit sudah baca juga pengumumannya… Selamat ya, Ka…’’

’’Pit… Kaka merasa agak aneh deh ngobrol tanpa menatap begini…’’ protesku perlahan.

’’Sudah selayaknya seorang wanita menundukkan pandangannya, Ka…’’ jawab Pipit dengan suara lembut, namun penuh ketegasan.

’’Tapi Kaka merasa gak nyaman nih, biasanya kita ngobrol selalu saling menatap mata…’’

’’Kalo gitu mulai sekarang Kaka harus membiasakan diri untuk tidak berlama-lama menatap wanita yang bukan muhrim, ya…’’

Astagaaa… Ini sih kelewatan nih. Aku punya banyak teman yang sudah mengenakan hijab, tapi gak ada yang begitu keras seperti Pipit ini. Aku benar-benar merasa gak nyaman lagi.
Aku benar-benar kesal karena suasana yang terjadi saat ini sangat jauh dari harapanku.

Pipit mungkin menyadari perubahan raut wajahku. Kemudian dia menoleh lagi ke arahku, namun tetap tidak menatap mataku. Rasanya benar-benar janggal.

’’Ini adalah keputusan yang Pipit sudah pikirkan dengan masak-masak, Ka… Saat mengambil keputusan untuk berhijab, Pipit sudah siap dengan segala konsekuensinya…’’ kata Pipit dengan lembut kepadaku. ’’Pipit harap Kaka mau mengerti dan memahami…’’

’’Iya… Kamu yang siap…’’ tukasku kecewa. ’’Tapi kamu gak pernah menjelaskan pada Kaka dan gak mikirin Kaka akan siap atau gak’’

Pipit terkesiap mendengarkan perkataanku, sejenak wajahnya menoleh menatapku walau segera menunduk kembali.

’’Kamu memang berubah menjadi lebih baik…’’ kataku lagi, masih belum puas menumpahkan uneg-uneg dihatiku.

’’Tapi kamu seakan lupa ada Kaka di sisi kamu. Kamu mungkin siap meninggalkan Kaka, kamu mungkin kuat jika kita gak pacaran lagi. Tapi kamu lupa memikirkan perasaan Kaka yang kebingungan sebenarnya ada apa, apa salah Kaka sampai kamu mutusin Kaka… Kamu gak pernah cerita kamu sudah mempersiapkan ini semua. Mungkin jika kamu mau cerita dari awal, mungkin kamu gak perlu sampai menyakiti Kaka seperti ini. Kamu seakan gak peduli ama Kaka, Pit…’’

Pipit semakin menunduk mendengarkan ocehanku. Kini tampak Pipit mulai kebingungan, seakan ada yang baru terpikirkan olehnya setelah selama ini terlupa, dan itu mungkin membuatnya merasa bersalah.

’’Pipit takut Kaka gak akan bisa mengerti…’’ kata Pipit lirih, hampir tak terdengar.

’’Kamu jahat sekali, Pit… Pertama kamu sudah gak jujur cerita ama Kaka, lalu kamu juga membohongi Kaka dan gak mau berbagi apa yang kamu rasakan pada Kaka… Sekarang kamu malah menuduh Kaka gak akan pernah bisa mengerti kamu…’’ sergahku dengan perasaan terluka.

’’Kamu benar-benar tega ya, Pit…’’ desisku marah. ’’Kaka sungguh gak nyangka kamu tega mengorbankan Kaka… Sekarang semua sudah jelas, kamu meninggalkan Kaka karena kamu ingin bagus sendiri, kamu ingin menjadi baik sendiri… Kamu sebenarnya gak peduli ama Kaka, kan…?’’

’’Bukan begitu, Ka…’’ potong Pipit cepat. ’’Pipit gak pernah bermaksud begitu… Tolong maafkan Pipit, Pipit ngaku Pipit salah… Maafkan Pipit, Ka…’’

Aku terdiam. Aku menatap Pipit yang tertunduk dengan perasaan sangat terluka. Aku sungguh tak menyangka akan begini kenyataannya. Aku bisa melihat Pipit semakin menunduk, mencoba menundukkan matanya yang mulai berkaca-kaca.

’’Seandainya Pipit mau cerita dari awal tentang rencana Pipit ini, Kaka yakin akan mendukung Pipit dengan penuh. Pipit juga gak sampai harus mutusin Kaka dengan bilang Pipit gak pernah mencintai Kaka… Mungkin Kaka yang akan mundur agar bisa sepenuhnya mendukung keputusan Pipit untuk berhijab…’’ kataku menumpahkan perasaanku.

’’Tapi kamu malah memilih meninggalkan Kaka sendiri, kamu gak peduli Kaka merasa sendirian kebingungan dan terluka… Kamu menjadi sangat egois saat mengambil keputusan ini, Pit… Kamu hanya memikirkan kebaikan dirimu saja. Sekarang Kaka gak ragu lagi padamu, Kamu sudah menunjukkan kamu memang gak peduli ama Kaka, Kaka sekarang percaya kamu memang jujur saat bilang bahwa kamu gak pernah mencintai Kaka… Selamat ya, kamu sudah berhasil membohongi Kaka mentah-mentah…’’ tukasku keras. “Kamu sangat menyakiti Kaka, Pit…!”


Tangis Pipit pecah. Dia sesugukan sambil menatapku nanar. ’’Maafkan Pipit, Ka… Pipit yang salah… hikz… hikz…’’

’’Sudahlah, Pit…gak perlu Pipit memaksakan diri minta maaf sama Kaka…’’ ujarku lemas. ’’dari dulu Kaka udah bilang kan, Kaka ini memang gak pantas buat kamu…’’

Tangis Pipit semakin menjadi, aku sebenarnya sangat ingin memeluknya. Tapi sudahlah, tak ada gunanya lagi pikirku…

’’Kaka permisi pulang ya, Pit…’’ kataku sambil berdiri. Pipit menatapku dengan airmata berlinang, seakan dia tak ingin aku pergi sekarang.

’’Jangan, Ka…’’ pintanya kepadaku. ’’Jangan pulang dulu… Pipit mohon Kaka mau memaafkan Pipit… Pipit yang salah gak berpikir sejauh itu. Maafkan Pipit sudah menjadi begini egois pada Kaka…’’

Aku menatapnya dalam-dalam. Aku ingin Pipit merasakan betapa kecewanya aku pada perlakukannya padaku. Aku ingin menyampaikan seharusnya Pipit tak perlu meremehkan aku serendah itu, menganggap aku tak akan pernah mampu mengerti sehingga tidak mau mendiskusikan apa pun padaku. Aku sangat ingin Pipit tahu bahwa aku sangat kecewa kepadanya.

’’Pipit gak perlu minta maaf pada Kaka, sayangku…’’ kataku lirih.
’’Kaka sangat mencintai kamu, Pit… Rasa cinta Kaka pada Pipit selalu bisa memaafkan Pipit… Tak peduli betapa pun menyakitkannya perbuatan Pipit pada Kaka…”

“Pipit sungguh-sungguh memohon Kaka mau memaafkan Pipit…” kata Pipit sambil menangis.

“Sudahlah, Pit… Gak usah Pipit pikirin… Kaka gak marah kok. Yaahh sedikit siih… Cuma nanti pasti Kaka akan baik-baik aja…’’

Pipit mengambil sebuah buku kecil berwarna biru muda dari rak dibawah meja tamu dan menyerahkannya padaku. Aku menerima buku itu, berjudul ’’Manajemen Cinta’’ dengan hiasan kaligrafi tulisan arab di sampulnya. Aku buka halaman pertama buku itu. Disana tertulis namanya dengan tinta biru, ~desri s.t.~. Aku menatap Pipit dengan pandangan tak mengerti.

“Bacalah buku ini, Ka…” pintanya padaku. “Agar Kaka bisa memahami apa yang terjadi pada Pipit dan mau memaafkan Pipit…”

Aku mengangguk, dan rasanya sudah tak ada gunanya lagi aku berada di sini. Aku ingin buru-buru pergi. Aku sudah letih menjaga sikapku di depan Pipit. Aku sakit hati, dan aku sudah sangat lelah menutupi perasaan itu.

“Kaka permisi pulang dulu ya, Pit… Sampaikan salam Kaka pada orang tuamu…” pamitku sambil melangkah keluar. Pipit menyerah dan membiarkan aku pulang, dan mengantarkan aku sampai ke pagar rumahnya.

“Maafkan Pipit ya, Ka…” katanya lirih yang justru malah membangkitkan emosiku. Aku mendekatkan wajahku ke arah Pipit.

“Sudah Kaka bilang, buat apa minta maaf pada Kaka…?? Karena kamu sekarang memakai jilbab…?? Semua orang di dunia tahu jika berjilbab itu bertujuan baik…!” desisku marah.

Pipit terkejut menatapku. Tapi aku belum puas. Aku terus menyerang Pipit.

“Tapi coba kamu pikirkan, ya… Alangkah indahnya jika tujuan yang baik itu juga kamu sampaikan dengan cara yang baik pula…!”

Pipit terdiam, matanya nanar menatapku penuh penyesalan.

“Selamat ya, Pit… Kamu sudah menjadi wanita yang baik sekarang…!” kataku sambil menatapnya penuh dengan kemarahan, dan kemudian aku berbalik pergi meninggalkannya.

Aku masih sempat mendengar Pipit memanggilku lirih.

“Kaka…”

Tapi aku tetap melangkah meninggalkannya.
Aku sangat marah dan sangat membenci caranya meninggalkan aku.

-oOo-

Di sebuah pagi yang ramai dan jalanan agak macet karena banyaknya kendaraan yang sibuk memulai aktivitas hari itu, aku berdiri menunggu angkot di pinggir jalan dekat rumahku. Aku mengenakan kemeja putih dan celana kain hitam, lengkap dengan dasi hitam. Mirip sales. Tapi hari ini adalah hari pertama dimulainya masa orientasi pengenalan kampus, dan ini adalah pakaian yang diwajibkan untuk dikenakan mahasiswa baru selama seminggu ini.

Sebuah Kijang hijau tua melintas pelan di depanku. Seketika mataku bertemu pandang dengan seorang gadis berjilbab putih yang duduk di baris tengah dekat jendela sebelah kiri.

Mataku menatap lekat ke matanya, dan seketika rahangku mengeras penuh kebencian. Mobilnya yang melaju pelan membuatku mendapatkan kesempatan cukup untuk menyadari tatapan mata sang gadis yang berubah menjadi penuh kesedihan. Kami tetap saling menatap dengan perasaan kami masing-masing, sampai akhirnya mobilnya menjauh dan memisahkan tatapan kami.

Seketika itu aku merasakan nyeri yang teramat sangat di dadaku dan menjatuhkan kepalaku hingga tertunduk dalam. Ya Tuhan…, ternyata aku sangat merindukan tatapan itu…

Sebuah angkot berhenti di depanku, aku kembali menatap ke arah Kijang hijau tadi melaju dan sebelum menaiki angkot itu aku masih sempat membisikkan kata lirih di hatiku.

“Kaka berangkat kuliah dulu, Pit…”
 
 
Introducing My Green Campus and My Best Friends

Suprayogi a.k.a Yoyok

My best friend. Seandainya ane ditakdirkan jadi maho maka Yoyok akan ane pacari. Tipikal mahasiswa yang cuek dan jujur apa adanya, tapi dianugerahi otak yang pintar. Orangnya asik, di ajak apa aja enak. Yoyok ini walau cuek, tapi sebenarnya hatinya baik banget dan sangat setia kawan. Rambutnya dibiarkan gondrong dan jago main gitar. Kamar kost nya yang sederhana menjadi markas kami.

Sama seperti ane, Yoyok adalah anak dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Mungkin ini yang bikin ane ama Yoyok akrab banget, kami punya tujuan untuk menyelesaikan kuliah secepatnya agar tidak lama-lama menyusahkan orang tua, dan supaya adik-adik kami bisa tetap meneruskan sekolah. Ayahnya karyawan kelas bawah di sebuah pabrik pengolahan tebu di daerah Gunung Madu, sementara ibunya bekerja di sebuah rumah makan. Anak tertua dari 4 bersaudara.

Ahmad Rizaldi a.k.a Zaldi

Sohib ane yang satu ini, juga dari keluarga kurang mampu. Sifatnya jadi agak opurtunis, walau begitu sangat setia kawan. Walau badannya tergolong pendek, tapi anak ini jangan sekali-kali ditantang berkelahi. Keberaniannya jauh melebihi tinggi badannya. Zaldi sebenarnya anak yang pintar, walau kadang terganggu oleh aktivitasnya yang hobi mencari penghasilan dari berdagang membantu perekonomian orang tuanya. Zaldi bukan anak kost, dia tinggal bersama orangtua berserta kakak dan adik-adiknya.

Komoditas dagangan Zaldi yang utama adalah jualan contekan yang telah dibuat sedemikian rupa hingga bentuknya sangat kecil dan tidak terlihat seperti contekan. Dan hebatnya, isi materi contekan yang dibuat Zaldi sering jitu dan keluar saat ujian.

Yusuf Bachtiar a.k.a Ucup

Nah, kalo sohib ane yang satu ini bukan anak orang gak mampu. Sedang-sedang saja. Bapaknya pegawai BUMN, dan kebetulan Ucup anak bungsu. Efek bagusnya, Ucup termasuk sering bawa duit lebih sehingga sering jadi bandar rokok dan kopi saat nongkrong bareng di kampus atau saat di kostan Yoyok. Badannya juga gak gede-gede amat, otaknya juga rata-rata lah.

Kelebihan Ucup, anaknya pintar melawak. Nongkrong gak ada Ucup dijamin gak bakal seru.

Bangkit Putra Alfarizi a.k.a BangBang a.k.a Bambang

Sohib ane yang satu ini, adalah duet sempurna buat si Ucup. Baik latar belakang maupun sifat dan kemampuan otak, sebelas duabelas lah ama kayak Ucup. Kalo Bambang udah kolaborasi ama Ucup, dijamin akan sakit perut nahan ketawa.

Perbedaan Ucup dengan Bambang adalah, Bambang jago bawa motor dan mantan pembalap underbone, sementara Ucup bawa sepeda aja gak bisa. Bambang menjadi satu-satunya anggota genk kami yang bawa motor ke kampus.

Bagaskoro a.k.a Bagas

Sohib ane yang satu ini, lain dari pada yang lain. Body nya yang mencapai 185cm dan 110 kg itu membuat si Bagas jadi yang paling tinggi, paling gede dan bobot matinya paling besar, tapi wajahnya imut dan melankolis mirip abang ganteng anaknya si raja dangdut yang bewokan itu.

Tapi si Bagas punya body segede itu bukan karena dari kecil makan enak terus. Sejak kecil Bagas sudah harus tinggal bersama pamannya, dan bekerja membantu pamannya yang punya usaha toko pakaian di pasar Bambu Kuning. Jika tidak ada kuliah, maka mudah mencari Bagas. Tinggal ke pasar Bambu Kuning dan cari yang paling gede, dari jauh juga kelihatan. Bagas biasanya berkumpul bersama kami saat menunggu kuliah yang agak jauh waktunya dari kuliah sebelumnya. Selebihnya, maka Bagas akan bekerja membantu pamannya di pasar.

Bagas anak yang pintar, kemampuannya menganalisa setiap permasalahan sangat baik walau kadang terkesan jadi seperti lambat berpikir, padahal dia menganalisa hingga jauh ke depan sebelum mengambil keputusan. Bagas juga negosiator ulung, mungkin karena kelamaan hidup di pasar.

Aku, Yoyok, Ucup, Bambang dan Bagas.
Kami bersahabat karib, sangat akrab. Teman-teman yang lain sering menyebut kami Genk Lada, karena tempat kumpul kami di kostan Yoyok yang berada di Jl. Lada dekat kampus Gedung Meneng. Sama-sama sekelas di jurusan agrobisnis fakultas pertanian.

Eits, ada 2 anggota baru nih, yang mulai bergabung bersama kami saat hampir akhir Semester II.

Praditya Pratama a.k.a Didit

Fredy Baheram Jaya a.k.a Fredy

Gak ada hubungan saudara, apalagi kembar. Tapi Didit dan Fredy berbarengan hadir di kelompok kami, dan sebelum dengan kami pun mereka berdua ini sangat akrab dan selalu bersama. Kami menyebut mereka berdua seperti biji kiri dan biji kanan.

Kelebihan Didit dan Fredy, you name it aja deh.
Semua kelebihan cowok mereka punya. Mereka berdua ini ganteng-ganteng, sama-sama pandai bergaul terutama pada wanita. Sama-sama anak pejabat kaya raya. Ke kampus bawa mobil sport terbaru.

Gak ada kurangnya, kan…? Komposisi dan kombinasi yang mereka berdua miliki adalah impian setiap cowok di kampus kami. Apalagi mereka berdua mampu memanfaatkan semua kelebihannya dengan sangat baik.

Ganteng, pandai bergaul, dan kaya raya. Pas.
Hampir semua mahasiswi bermimpi dijadiin pacar, dijadiin selingkuhan, atau cuma sekedar diajak jalan atau ditraktir oleh Didit dan Fredy. Pada akhirnya bisa dipastikan mereka akan dengan senang hati mencopot bra dan celana dalam bila Didit dan Fredy meminta.

Ganteng, pandai bergaul, dan kaya raya, serta Penjahat Kelamin. Makin Pas, kan…?

Lalu apa yang membuat kedua cowok idola itu akhirnya bergabung dengan kelompok kami yang bisa dibilang kelompok mahasiswa susah lahir bathin dan materiil..? Jawabnya adalah Otak.
Yupz. Otak. Kemampuan Otak, tepatnya.

Isi kepala kedua penjahat kelamin ini rupanya ikut meleleh bersama dengan ceceran sperma yang mereka tumpahkan disana-sini. Bukan bego, sih… Cuma udah gak bisa lagi kalo untuk dipake belajar. Gimana mau belajar jika otak mereka hanya diisi pemikiran tentang cewek, toket, memek dan ngentot..? Yang mereka diskusikan juga gak jauh-jauh dari nyari cewek mana yang bisa di ajak three-some, quicky di toilet kampus, atau dibawa nginep di hotel.

Fathetic, or Fantastic…?

Mereka berdua, Didit dan Fredy mendatangi aku dan Yoyok di kostan Yoyok. Pada intinya, mereka meminta aku dan Yoyok ‘mengawal’ kuliah mereka, dalam arti mengerjakan semua tugas kuliah mereka dan memberikan contekan saat ujian. Sebagai imbalannya mereka siap menanggung semua biaya kuliah kami, lengkap dengan uang saku per bulannya. Bagi aku dan Yoyok ini jelas menjadi sebuah pekerjaan yang akan sangat membantu kami. Bisa dibilang, ini bisa menjadi semacam beasiswa bagi kami berdua. Akhirnya kesepakatan itu pun terjadi, aku dan Yoyok siap mengawal mereka berdua saat kuliah. Kami hanya meminta mereka untuk lebih sering berada di kelas, dan mengambil mata kuliah yang sama dengan kami.

Setelah kesepakatan itu terjadi, Didit dan Fredy malah menjadi semakin akrab dengan kami. Akhirnya terkumpullah aku, Yoyo, Zaldi, Ucup, Bambang, Bagas, Didit dan Fredy. Hingga kini kami tetap bersahabat walau telah terpencar ke berbagai daerah karena sekarang kami semua sudah bekerja. Hubunganku dan Yoyok pada Didit dan Fredy hanya serius saat pembayaran jasa kami di awal semester, dan ini berlangsung hingga Didit dan Fredy menjadi sarjana, bahkan skripsi mereka pun kami garap bersama-sama. Namun karena pada dasarnya Didit dan Fredy adalah orang yang baik dan sangat setia kawan, mereka berdua segera menjadi anggota kelompok kecil kami dan berbaur dengan baik. Bahkan berkat mereka berdua lah kami semua akhirnya bisa mengemudikan mobil. Didit dan Fredy begitu telaten mengajari kami hingga mahir mengemudi. Bahkan akhirnya Yoyok bisa pindah ke kost yang lebih layak dan lebih besar, dimana seluruh isinya disuplai penuh oleh Didit dan Fredy. Aku dan Yoyok juga dimodali laptop dan printer untuk kelancaran ‘tugas’ kami. Bahkan, aku dan Yoyok dipinjami motor plat merah yang banyak di rumah mereka. Maklumlah, anak pejabat.

Dari Didit dan Fredy juga lah kami bisa mengenal dunia lendir.
Walau sudah ada stok gudang dari pacar kami masing-masing, kami diajari mengenal kehidupan malam yang semuanya berbayar, tentu saja semua ditanggung Didit dan Fredy.
Tapi hanya sebatas itu. Kenakalan kami hanya di rokok, kopi dan wanita. Kami sama-sama sepakat untuk tidak lebih menghancurkan diri dengan minuman keras dan narkoba.
Saat itulah aku menyadari bahwa diriku begitu tergila-gila pada payudara. Ya, toket.
Aku akan betah berlama-lama memandangi payudara wanita walau secara diam-diam. Seluruh teman seangkatanku sudah aku perhatikan dengan seksama semua bentuk payudara mereka. Bahkan setiap mahasiswi yang kebelulan aku temui pasti payudaranya akan aku teliti dengan seksama, membayangkan bentuk dan keindahannya diam-diam sambil berusaha menutupi penisku yang langsung berdiri tegak.

Akibat terlalu sering memperhatikan payudara wanita inilah aku pernah beberapa kali terlibat affair sesaat dengan teman-teman cewek se-jurusanku, dan beberapa dari jurusan dan fakultas lain. Kadang aku bisa sangat malu saat tertangkap basah sedang memperhatikan payudara mereka, tapi malah ada juga yang berakhir pada kencan sesaat dengan mereka. Rupanya, cewek-cewek itu ada yang sampai menjadi horny saat aku menatap nanar pada payudara mereka. Berawal dari ngobrol ngalor ngidul sampai akhirnya obrolan sampai pada membahas bentuk payudaranya, biasanya si cewek akan bertanya kenapa tadi aku seakan meneliti payudara mereka. Biasanya aku akan menjawab dengan mengatakan aku mengagumi bentuk payudaranya yang bagiku sangat indah. Jika sudah begini, kadang beberapa di antara mereka ada yang pernah sampai mengajakku ke kostnya, ke bioskop, atau aku bawa ke kost Yoyok. Akhirnya aku bisa menikmati indahnya payudara mereka, ada yang cuma ngasil lihat aja, ada juga yang boleh megang-megang dan remas-remas, ada pula yang bisa sampai aku lumat habis-habisan, tapi hanya sedikit yang bisa sampai bercinta denganku. Sebagian besar hanya karena mereka ingin memuaskan rasa penasaranku pada payudara mereka, apalagi sebagian besar mereka masih perawan dan sudah punya pacar. Aneh ya…? Tapi itulah kenyataannya. Mungkin mereka lebih suka pada cowok yang jujur apa adanya daripada ama cowok yang diam-diam konak karena merhatiin toket mereka.

Inilah sebagian besar ceritaku sebagai mahasiswa, hidup bersama gengku siang dan malam selama kuliah. Ini adalah keluarga ku yang kedua, terdiri dari Yoyok, Zaldi, Ucup, Bambang, Bagas, Didit dan Fredy. Mereka adalah keluargaku. Kami saling membantu dan berbagi di semua hal agar kami bisa sukses bersama-sama. Tentunya kesepakatan antara aku dan Yoyok dengan Didit dan Fredy yang tidak diketahui oleh teman kami yang lain. Kami begitu akrab dan sehati, bahkan kami pun saling mengenal dengan semua orangtua kami dengan seringnya kami berkunjung ke rumah masing-masing, termasuk ke rumah Yoyok yang jauh di perkebunan tebu sana.

Pipit.
Dimana Pipit…?
Entahlah, terasa nyeri jika harus menceritakan sisi kehidupanku yang satu ini. Tapi salah besar jika mengira Pipit telah lenyap dari hidupku.

Pipit tak pernah bisa lenyap dari ingatanku. Pipit selalu ada dalam hatiku, menjadi debaran disetiap detak jantungku. Aku tetap mencintai Pipit. Aku selalu mencintai Pipit. Sekeras apa pun aku berusaha melenyapkannya dari ingatanku, hanya akan mengembalikanku pada kesadaran bahwa aku semakin mencintai Pipit dan semakin merindukannya.
Walau dia kini tak bisa aku temui, atau tepatnya tak mau lagi aku temui, bahkan sampai menukar nomor hapenya. Tujuannya jelas, semua itu untuk mencegah aku menghubunginya.

Setelah pertemuan terakhirku saat aku diterima di PTN dulu, hanya sekali aku bertemu Pipit. Saat Pipit ulang tahun di bulan Desember tahun 2008, saat aku masih semester I, dan Pipit kelas 2 SMA. Saat itu aku nekad menemuinya di rumahnya untuk mengucapkan selamat berulang tahun dan menyerahkan kado untuk Pipit. Aku memberikan sebuah Al-Quran dengan cetakan yang indah, serta seperangkat alat sholat untuk wanita.

Seperti Mas Kawin, ya…?

Ya… itulah yang aku tuliskan di kartu ucapannya ;

JIKA AKU TAK BISA MENYERAHKAN INI SEBAGAI MAS KAWIN, KENANGLAH INI SEBAGAI PEMBERIAN DARI LELAKI YANG SANGAT MENCINTAIMU DAN AKAN SELALU MENCINTAI KAMU.
SELAMANYA.

Begitulah yang aku tulis di kartu ucapan yang aku selipkan di dalam kado berbungkus kertas berwarna hijau yang aku serahkan pada Pipit di ulangtahunnya yang ke 17. Dan itulah pertemuan aku yang terakhir dengan Pipit.

Hanya sebegitu saja…? Tidak, kawan…

Awal kuliah di semester I, disaat seluruh isi otakku hanya di penuhi oleh Pipit dan Pipit lagi, aku tergerak untuk mengetahui apa sebenarnya kehidupan yang dirasakan Pipit. Menurutku, Pipit berubah semenjak dia ikut pengajian rutin di Rohis sekolah. Kalian tau siapa mentor mereka? Sebagian besar adalah para mahasiswa, selain yang telah menjadi ustad dan ustadzah senior yang statusnya sudah bekerja.
Dan para mahasiswa yang menjadi mentor seperti itu sangat banyak jumlahnya di kampusku, tergabung dalam sebuah kelompok yang rutin mengadakan kegiatan dan pelatihan keagamaan di masjid kampusku. Aku bergabung dengan mereka, mencoba mengikuti semua yang menjadi kebiasaan mereka. Aku akan betah berlama-lama duduk di masjid kampus mendengarkan ceramah-ceramah mereka, mengikuti pengajian-pengajian mereka, bahkan aku sempat mencoba menunjukkan diri sebagai bagian dari mereka dengan mengenakan celana kain cantung di atas mata kaki dan memelihara jenggot.

Semua itu aku lakukan agar aku lebih mengenal dunia seperti apa yang digeluti Pipit sekarang. Ingat kan Pipit pernah bilang bahwa wanita yang baik akan mendapat jodoh yang baik…? Aku berada di antara mahasiswa-mahasiswa agamis itu agar Pipit tahu bahwa aku sudah berubah, aku sudah sama seperti Pipit. Dalam otakku, wanita berjilbab lebar pasti suaminya berjanggut dan bercelana cantung…

Tapi aku seperti tertampar saat mendengarkan sebuah ceramah yang membahas tentang niat. Sang penceramah mengatakan, semua yang kita lakukan tergantung pada niat, jika niat kita ikhlas karena mencari ridho Yang Maha Kuasa, maka semua urusan duniawi akan dipermudah oleh-Nya. Tapi jika niat kita karena mencari perhatian dari sesama manusia, maka semua itu akan sia-sia.

Sementara aku duduk disini, bersila mendengarkan ceramah ini karena ingin terlihat sudah menjadi ‘lebih baik’ bagi Pipit. Aku menyadari semua ini karena Pipit. Aku belum tulus dan ikhlas meniatkan ini karena Yang Maha Kuasa.

Aku merasa telah salah langkah. Tak ada gunanya seperti ini jika niatku saja sudah salah. Lama aku terperangkap dalam perasaan galau. Aku jadi kacau begitu hampir satu semester lamanya.
Aku tidak pernah lagi mengikuti semua kegiatan di masjid kampus. Aku lebih banyak menghabiskan waktu luangku dengan nongkrong di warung langgananku atau di terminal kampus ditemani segelas kopi dan sebatang rokok.  


Bagian 14
Nova
Cintaku yang Baru atau Pelarianku…?


Hari itu hujan turun begitu deras membasahi kampus Gedong Meneng, dan aku sedang duduk santai di sebuah kios rokok di terminal kampus ditemani segelas kopi hitam. Saat sebuah angkot berhenti di depanku, tampak seorang gadis yang hendak turun itu terburu-buru keluar dari angkot untuk menghindari hujan, namun sayangnya dia terpeleset dan jatuh terduduk. Aku berlari mendekatinya dan membantunya berdiri, dan dengan tertatih karena rupanya pantatnya terasa nyeri dan sebagian celana jeans nya basah saat terjatuh tadi, dia aku papah dan aku dudukkan di tempat aku duduk tadi. Sambil menunggu rasa sakitnya hilang, kami berkenalan dan ngobrol di kios rokok itu, bahkan dia pun memesan segelas kopi hitam sama dengan minumanku. Semakin lama, kami ngobrol semakin akrab dan saling bertukar nomor handphone. Sampai akhirnya dia pamit menuju ke fakuktasnya setelah hujan reda.

Hari itulah aku bertemu dan berkenalan dengan Nova.

Kemudian semua mengalir dengan apa adanya, wajar tanpa rekayasa. Aku dan Nova mulai sering telpon-telponan, sms-an, dan bertemu di tempat umum di kampus. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengenal siapa Nova. Sebenarnya Nova saat itu masih punya pacar, tapi saat itu pacarnya tampak sedang menjauh, berusaha menghilang di kehidupan Nova.

Nova adalah mahasiswa seangkatan denganku, yang kuliah di Fakultas Teknik. Nova anak yang pintar pastinya. Di kota ini dia tinggal di sebuah rumah yang dibelikan oleh orangtuanya untuk Nova beserta adik dan kakaknya kuliah dan sekolah di kota ini. Kakaknya ada dua, dan adiknya satu, semuanya wanita. Dirumah itu mereka tinggal berempat dengan ditemani oleh seorang pembantu. Ayahnya adalah seorang juragan kopi di wilayah barat propinsi ini. Yup, Nova adalah orang yang cukup berada. Mereka semua dibelikan mobil satu satu oleh ayahnya untuk beraktivitas. Saat pertama bertemu dulu Nova naik angkot karena Jazz merahnya masih diservis di bengkel.

Walau berasal dari keluarga kaya, Nova orangnya sangat bersahaja. Dandanannya tak pernah mencolok, biasa saja khas mahasiswa fakultas teknik yang lebih mengutamakan otak dari pada penampilan. Nova juga ikut perkumpulan pecinta alam di kampus ini.

Aku menyukai Nova. Aku menyukai menatap wajahnya, aku menyukai caranya berbicara dan tertawa. Aku suka semua yang ada pada Nova, apa adanya. Aku tak peduli Nova anak orang kaya, dan Nova pun bisa dengan luwes mengimbangi aku yang tiap hari berganti mobil (mobil angkot maksudnya, hehe…). Itulah alasan yang paling mendasar kenapa aku sangat menyukai Nova, karena selain cantik, Novatak pernah mempermasalahkan keadaan finansial atau tampang semata. Dia pernah bilang, dia akan menyukai seseorang bila karakternya pas dengan Nova. Aku cukup beruntung saat Nova bilang dia merasa nyaman berteman denganku.

Seperti biasa, walau aku sangat menyukai Nova, aku tidak buru-buru menyatakan cinta dan memintanya jadi pacarku. Aku sangat menikmati saat dimana aku memperhatikan Nova dan mencoba mengenal kepribadiannya lebih dalam. Dan selama itu, Nova pun baik-baik saja dan semakin akrab denganku.

Hingga suatu saat, entah darimana ide itu muncul, Nova mengajakku nonton di bioskop. Saat itu kebetulan kami berdua tidak ada kuliah siang, berkeliling kota tak tentu arah dengan Jazz merah, Nova mengajak aku nonton film di bioskop. Kebetulan sore itu bioskop tidak terlalu ramai, dan film yang dipilih Nova adalah sebuah film barat yang bergenre romantis. Kami duduk di deret paling atas, walau tidak di pojok. Theatre itu cukup sepi, hanya beberapa orang saja yang duduknya pun berpencar di segala arah.

Setelah hampir setengah jam serius menatap layar lebar, sambil mengomentari adegan yang terpampang di depan kami, aku meraih bahu Nova dan membawa kepalanya bersandar di bahuku. Nova menurut saja, bahkan mengatur posisinya agar semakin nyaman bersandar di bahuku.

Satu saat tatapan kami bertemu. Nova tersenyum kepadaku. Saat itu aku merasakan sangat nyaman, ada desiran aneh dalam dadaku. Perlahan aku mengecup kening Nova, dan Nova tersenyum menatapku. Jemari kami kini bertaut, saling menggenggam dan kadang meremas.

“Cantik sekali…“ pujiku kepada Nova.

Nova tersenyum malu, kepalanya menelusup ke leherku dan tertunduk malu.

“Gombal….” bisiknya lirih dengan pipi merona.

Aku kembali mencium Nova, kali ini aku mencium rambutnya yang harum. Berkali-kali memberikan kecupan di ubun-ubun kepalanya. Nova mengangkat kepalanya menatapku.

“Raka…, rasanya nyaman banget dipeluk begini…”

“Va mau Raka peluk terus…?” Va adalah panggilan sayangku pada Nova.

“Mau…” jawabnya malu-malu. Duh pipinya merona lagi…

“Besok-besok masih tetap mau…?”

Nova mengangguk, dan dikecupnya pipiku. Aku menatap mata Nova dalam-dalam, mencoba berkomunikasi tentang apa yang aku rasakan dalam hatiku, begitu juga Nova membalas tatapanku.

Hingga akhirnya bibir kami bertemu, saling mengecup dengan lembut. Nova memejamkan matanya, terus mengecup bibirku dengan lembut. Aku berusaha mengimbanginya, bibir kami saling berpagutan cukup lama.

Sampai akhirnya kami menghentikan ciuman itu dengan nafas yang semakin memburu, Nova tampak sangat tersipu walau terpancar jelas bahagia di wajahnya. Aku semakin gemas dibuatnya, segera aku memagut kembali bibir pink yang merekah milik Nova. Kali ini ciuman kami semakin dalam, lidah kami mulai saling bertemu, kemudian saling membelit dan saling menghisap.

Tangan Nova merangkul leherku, sementara tanganku memeluknya dari bawah ketiaknya. Tanganku mengusap di punggung Nova, membelai dari tengkuk hingga ke pinggangnya. Perlahan belaianku semakin maju, mengusap bagian bawah ketiaknya, membelai sisi payudaranya. Tak ada penolakan dari Nova, malah tangannya semakin erat memelukku, kepalanya bergoyang mengikuti irama ciuman kami yang semakin dalam.

Perlahan tanganku mulai meremas payudara Nova, mulai dari pinggir lalu ke bagian bawah, mengusap sambil mengangkat lembut payudara Nova yang sekal. Nova mendesah, bibirnya membuka walau segera kembali aku pagut dengan bibirku. Tangan Nova mulai meremas rambutku, seiring dengan tanganku yang meremas payudaranya dari bawah ke atas, memberikan angkatan pada bagian bawah payudaranya untuk kemudian meremas pelan bagian puncaknya, terus ke atas hingga hampir mencapai pundaknya, lalu turun lagi dengan jari yang seakan menggaruk. Cara ini aku lakukan berulang-ulang, dan Nova semakin sering mendesah dan semakin lama semakin kuat desahannya.

Nova melepaskan pelukan kami, dengan menatap sayu padaku Nova mulai melepaskan 3 kancing teratasnya. Aku menunggu dengan berdebar, menatap lekat ke arah dada Nova yang ternyata sangat putih itu. Nova lalu melepaskan pengait branya yang ada di depan, dan membimbing tanganku ke arah buah dadanya. Kami kembali berpagutan, Nova kembali memelukku sementara tanganku kini meremas dengan penuh nafsu payudara Nova. Kadang aku memelintir putingnya dengan dua jariku. Ciuman Nova semakin ganas, memberikan sensasi saling melumat yang menggetarkan. Tangan Nova mulai mengusap pahaku, semakin lama semakin ke arah dalam menuju selangkanganku. Namun tangan itu tak pernah sampai, hanya mengusap dengan ragu. Aku jadi tak sabar, segera aku raih tangan Nova dan meletakkannya ke atas penisku yang sudah menegang keras.

’’Ooooohhhh…. Kaaa…..’’ desah Nova, sedangkan tangannya langsung meremas penisku yang terasa keras di balik celanaku.

Kegiatan kami berlanjut, saling mencium dengan aku meremas payudara Nova yang telah terbuka dan Nova meremas penisku dari luar celanaku. Aku mengeluarkan penisku dan tangan Nova langsung menggenggam dan mengocoknya lembut. Nikmat sekali rasanya sambil meremas payudara Nova sementara penisku sedang diurut mesra oleh Nova.

Setelah film yang kami tak mengerti ceritanya itu selesai, hari sudah mulai menjelang malam.
Kami melangkah keluar dari bioskop dengan lenganku merangkul Nova di pundaknya, sementara Nova memeluk mesra pinggangku.

’’Kita kayak orang pacaran, ya…’’ kata Nova sambil senyum-senyum.

’’Hehe… Iya juga, ya…’’ jawabku baru sadar bahwa kami belum resmi pacaran, padahal di dalam bioskop tadi sudah petting habis-habisan.

’’Jadi…’’ kataku sambil menatap Nova. ’’Kita sekarang gimana nih, Va…?’’

Nova membalas tatapanku, dan dengan tersipu Nova kemudian menunduk.

’’Gak tau…’’ jawabnya sambil tersenyum malu-malu. ’’Terserah Raka…’’

Aku kembali merengkuh bahu Nova dan kembali berjalan. Nova semakin manja bergelayut disampingku. Ini sepertinya harus segera diselesaikan, masa udah petting habis-habisan tapi masih tanpa status begini. Di dalam mobil kami kembali berpelukan dan berciuman, dan aku meminta Nova menjadi pacarku.

“Raka sayang banget ama Nova…” bisikku.

Nova kembali memelukku dan menyembunyikan wajahnya di dadaku. Tangannya meremas kuat bajuku, seakan menumpahkan semua perasaannya di sana.

“Nova juga sayang ama Raka…” jawabnya lirih.

“Nova mau kan, jadi pacar Raka…?” tanyaku. Nembak nih, ceritanya.

“Gak mau…” jawab Nova sambil kembali bersembunyi dalam dekapan dadaku.

“Harus mau…” kataku tersenyum, dan memeluk Nova lebih erat.

“Bodo…” jawab Nova. Aku mengangkat dagu Nova dan kembali memagut bibirnya. Lama kami berciuman, hingga akhirnya kami sudahi dengan nafas yang terengah-engah. Nova lalu mulai menjalankan Jazz merahnya keluar dari aera parkir. Terus terang, aku belum bisa nyupir mobil, jadi terpaksa Nova yang nyupir sendiri.

“Dari dulu ditungguin, udah kisah petting baru mau nembak…” kata Nova senyum-senyum menyindirku.

“Terpaksa…” candaku yang langsung diberikan hadiah sebuah cubitan yang paling menyakitkan di pahaku.

“Jadi gak iklas nih, nembaknya…” kata Nova sambil memelintir kulit pahaku.

“Tadi udah di tembak katanya gak mau….” Tawaku sambil berusaha melepaskan cubitan Nova.

“Ih, sebeeel…!” Nova cemberut.

“Salah…” kataku sambil menggenggam tangan Nova yang masih mencubitku.

“Kok salah…?”

“Harusnya kalo nyubit itu jangan bilang sebel…. Tapi bilang ‘Iiih sayang banget sih gue ama ni cowok’, gitu…”

“Norak…”

“Tapi cantik…”

“Lho kok jadi aku sih..? Kamu tuh yang norak…”

“Aku memang norak… tapi Nova cantik banget…”

Rayuan cap gayung itu sukses membuat Nova tersipu dan melepaskan cubitannya, kini Nova malah menggenggam tanganku sambil senyum-senyum. Wajahnya yang cantik tetap menatap ke jalan sambil mengemudi dengan satu tangan.

Aku mencium jemarinya yang ada dalam genggamanku.

“Hari ini aku punya pacar baru…” kataku sambil terus menciumi jarinya, kadang aku emut jarinya dalam bibirku. “Pacar baruku cantik banget…”

“Aku juga punya pacar baru…, dan pacar baruku ini norak banget dan tukang ngegombal…” balas Nova sambil tertawa.

“Biarin…” jawabku sambil terus mengemut jari Nova. “Biar norak tapi tadi dalam hati udah berjanji akan selalu sayang ama Nova”

Pas berhenti lampu merah, dan Nova menatapku.

“Janji…?” tanya Nova.

“Janji…” jawabku membalas menatapnya sambil tersenyum.

Nova balas tersenyum. Senyumnya tampak begitu bahagia. Diraihnya tanganku dan Nova menciumnya, lalu mendekapkannya di pipinya.

“Nova bahagia banget, Ka…”

“Raka juga, Va…”

“tapi Nova boleh minta sesuatu gak, dari Raka…?”

“Apa itu, Va…?”

“Mulai besok Raka harus mulai belajar nyupir, ya… Masa tega pacarnya yang cantik ini disuruh jadi supir terus…?”

Jleb.

Iya deeehhhh… Janji…….!
 
 
Bagian 15
Stay With Me, Nova…


Wajah Nova mendongak, bibirnya terbuka dan mendesah kuat. Tanganku dan tangan Nova saling menggenggam, mengunci posisi kami yang saat ini sudah telanjang bulat di kamar Nova. Nova terbaring terlentang, kedua pahanya menjepit kepalaku yang saat ini sedang memberikan jilatan penuh gairah pada vaginanya . Wajahnya terhempas ke kiri dan ke kanan, kadang tertengadah sambil tak henti mendesah. Kedua matanya kadang terpejam erat, kadang terbeliak hingga terlihat bagian putihnya saja. Kedua tangan kami saling menarik disisi pinggang Nova, membuatku dapat menahan tubuh Nova agar tidak semakin terdorong ke atas karena gelinjang pinggulnya yang meronta saat vaginanya menerima layanan dari jilatan lidah dan hisapan bibirku.

Vagina mulus tanpa bulu yang selalu di waxing itu begitu menggairahkanku, membuatku semakin semangat membelai klitorisnya yang menyembul sebesar biji jagung. Kadang aku menghisap liang vaginanya yang terus menerus mengeluarkan lendir agak asin tapi sama sekali tidak berbau. Sesekali aku mengejutkannya dengan menjilat cepat penuh tekanan mulai dari anusnya hingga ke klitorisnya, lidahku menekan keras memberikan sensasi seperti diamplas lembut pada Nova hingga tubuhnya melonjak kaget. Lalu aku menjulurkan lidahku memasuki liang vaginanya, dan menghisap cairan yang keluar dari sana. Aku gelengkan kepalaku menggesek seluruh permukaan vaginanya dengan hidungku dan bibirku.
Aku mulai merasakan liang vagina itu mulai berdenyut, sementara pinggul Nova sampai bergetar saking nikmatnya. Tiba-tiba Nova menarik tanganku, sehingga tubuhku ikut tertarik ke atas dan wajahku semakin terbenam di tengah selangkangannya. Pahanya menjepit kepalaku, bahkan kakinya saling bertaut menahan gelombang orgasme yang melandanya. Pinggulnya menggelinjang, sementara seluruh tubuhnya bergetar. Nova menjerit tertahan melepas orgasmenya dengan semburan kecil dari liang vaginanya yang langsung aku hisap kuat dan aku telan semua cairan orgasmenya yang menyembur keluar.

Dua menit berlalu, jepitan kaki dan pahanya mulai mengendur dan akhirnya terlepas, termasuk genggaman tangannya. Kini Nova terbaring dengan kedua kaki terkangkang lebar, terengah-engah sambil memejamkan mata. Dari arah selangkangannya, aku bisa menatap wajah Nova yang tersenyum penuh kepuasan.

Hari ini adalah hari ulang tahun Nova dan sudah delapan bulan kami jadian.

Sejak petting pertama di bioskop yang membuat aku jadian sama Nova, tiada kesempatan yang terbuang tanpa petting. Yupz, Nova bilang sendiri kalo dia sekarang jadi tergila-gila dengan aktivitas yang satu ini, sehingga setiap ada kesempatan aku dan Nova segera bertelanjang bulat dan petting habis-habisan. Apalagi rumah Nova sering dalam keadaan sepi.

Jangan salah, walau aku adalah pacar Nova yang kesekian, tapi aktivitas begini jauh baru dengan aku dilakukan Nova. Pacar-pacarnya dahulu paling cuma dikasih cium pipi. Bahkan setelah kami jadian dulu, Nova segera memutuskan hubungannya dengan pacarnya yang lama, yang menurutnya sudah tidak ada gunanya lagi, karena selalu menghilang dan menjauhi Nova, tidak ada tanggung jawabnya sama sekali.

Nova akan melayaniku dengan penuh totalitas, dan aku menyadari itu semua Nova berikan karena dia sangat mencintai aku. Nova akan segera menghidangkan suguhan kenikmatan kapan pun aku memintanya, dan melayaniku dengan penuh rasa cinta dan gairah. Walau seringkali tergoda, tapi aku tetap berhasil mempertahankan keperawanan Nova, setidaknya sampai saat ini.

Aku bukan bajingan walau aku masih belum berani bilang kalo aku sudah berhasil move on. Tapi semua pengorbanan Nova ini sangat aku hargai, dan aku pun berupaya membalasnya dengan penuh kesungguhan. Aku sangat menyayangi Nova, dan mungkin aku juga mencintainya. Maafkan aku, aku masih belum bisa melupakan Pipit seratus persen. Terkadang dalam kesendirianku, aku masih teringat Pipit dan masih merindukannya, walau setengah mati aku berusaha untuk tidak memikirkannya lagi.

Sudahlah, aku jalani saja hari-hariku bersama Nova saat ini. Aku nikmati kebersamaanku dengan Nova, aku bahagia karena Nova dan semua yang dia lakukan untukku. Sekarang aku sudah mahir mengemudikan mobil. Didit dan Fredy yang mengajari basicnya, dan aku melancarkannya bersama Nova. Jika jam berangkat kuliah kami bersamaan, maka Nova akan dengan senang hati menjemputku. Begitu juga saat pulang, jika aku tidak ada keperluan dengan sahabat-sahabatku maka Nova akan menungguku dan kami pun pulang bareng. Rumahku di Pahoman jaraknya lebih jauh dari kampus dibandingkan rumah Nova yang berada di Kedaton, kadang aku beradu argumen dengan Nova bahwa kegiatan bolak balik antar jemput ini hanya akan semakin membuat pengeluaran Nova semakin besar untuk beli bensin, tapi Nova tetap saja melakukannya dengan senang hati.Nova juga tidak menolak jika aku mengajaknya untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatku, walau dengan syarat sahabat-sahabatku juga harus bersama pacarnya masing-masing.

Intinya, Nova itu pacar yang sempurna untukku. Wajah yang cantik serta tubuhnya yang indah, otaknya pintar, anak orang kaya dengan uang jajan yang selalu berlebih, kemana-mana bawa mobil sendiri, dan yang paling utama selalu melayani hasrat birahiku kapan pun aku mau. Penampilanku kini juga sudah berubah jauh dibanding dulu. Nova sering membelikan aku pakaian dan semua perlengkapan seperti sepatu, jam tangan, dompet dan pernak-pernik lainnya, semuanya berharga mahal dan branded. Nova selalu tahu saat aku menyukai sebuah barang walau aku sadar tak akan mampu aku beli, dan tak lama kemudian Nova sudah menghadiahkan barang yang aku mau itu.

Suatu saat, aku pernah marah besar. Hanya karena mengomentari sebuah baliho launching sebuah gadget terbaru saat itu, tak sampai seminggu kemudian Nova sudah menghadiahi aku gadget itu. Harganya hampir setara harga motor second, bro… Aku yang sejak awal sudah merasa sangat malu dengan semua pemberiannya, marah karena menurutku Nova terlalu mudah menghambur-hamburkan uang. Nova sampai menangis karena penolakanku yang kasar itu, susah payah dia menjelaskan bahwa semua pemberiannya itu hanya semata ingin melihat aku senang, sama sekali tak ada maksud merendahkan aku. Akhirnya kami sepakat mulai saat itu semua kegiatan ‘memberi’ itu dihentikan, Nova harus bertanya padaku dahulu apakah aku mau jika Nova ingin membelikan aku sesuatu. Aku malu banget, bro… Nova terus yang ngasih aku dan beliin aku barang. Aku bukan cowok matre, setidaknya aku gak mau kalo sampe dituduh begitu ama orang-orang. Aku gak mau kalo sampe dibilang cowok mokondo, modal kontol doang…

Tapi itulah Nova… Dia seakan tak pernah mampu menahan hasrat ingin berbuat sesuatu yang menurutnya akan membuat aku senang. Setelah aku larang, kemudian malah keluargaku yang jadi sasaran pemberiannya. Apalagi buat adik-adikku, Kak Nova adalah seorang dermawan yang cantik jelita… Parah… Semua yang telah diperbuat Nova aku balas dengan segenap kemampuanku. Aku berusaha menjadi pacar yang baik buat Nova.

Tapi apa yang bisa aku berikan padanya…?

Bisa dibilang gak ada… Cuma kasih sayang… ret:

Modal kontol doang…? Iya juga sih… Tapi aku juga modal lidah, lho… lak:

Ya gitu deh… Setiap kali kami petting, aku mewajibkan diriku minimal aku harus membuat Nova 3 kali orgasme terlebih dahulu. baru kemudian aku yang muncrat kalo Nova belum lemes. Kalo Nova udah keburu lemes karena servisku, aku gak akan memaksanya membuat aku muncrat. Sadar diri dong, bro… Itung-itung itu sebagai pelayanan dan balas jasa, hehe…

Begitulah aku dan Nova selama 8 bulan ini kami jadian. Sudah puluhan kali kami petting, puluhan kali aku ejakulasi dan ratusan kali Nova orgasme, dan entah berapa juta uang yang Nova keluarkan untuk membelikan aku barang-barang.

Dan saat ini, hari dimana Nova berulang tahun yang ke-19.
Aku sudah mengumpulkan uang dari hasil pekerjaanku sebagai “konsultan” Didit dan Fredy, dan masih ditambah pemberian mereka karena tahu aku ingin membelikan sesuatu untuk Nova saat ulangtahunnya. Dan tadi saat aku dan Nova makan romantis berdua di sebuah rumah makan yang bernuansa kolam ikan, aku memberinya hadiah ulangtahun, aku pasangkan di jari manisnya sebuah cincin emas putih berhiaskan sebuah berlian kecil. Nova sampai menghambur ke dalam pelukanku dan menangis bahagia. Rasanya seperti dilamar, kata Nova. Aku hanya bisa tersenyum sambil mengusap kepalanya yang bersandar di dadaku.

Dan kini, di rumah Nova yang siang itu hanya ada kami berdua. Nova memintaku untuk mampir ke rumahnya terlebih dahulu sebelum dia mengantarkan aku pulang. Orgasme Nova yang aku ceritakan tadi, adalah orgasmenya yang kedua setelah yang pertama aku berhasil mengerjai buah dadanya dengan bibirku dan klitorisnya dengan jariku.

Nova masih terbaring dengan mata terpejam, buah dadanya bergerak turun naik seirama desah nafasnya. Biasanya memang Nova akan sangat lemas setelah orgasme, dan perlu waktu istirahat yang cukup bila ingin membuat birahinya bangkit kembali. Aku bergerak dan merebahkan tubuhku di sisi Nova, merengkuh kepala Nova dalam pelukanku, segera saja Nova memelukku erat dan meringkuk seperti anak kucing yang manja. Bibirnya mencaplok puting dadaku, mengemutnya sebentar dan tak lama kemudian sudah tertidur dan terdengar dengkur halusnya yang teratur. Hadeeeh… Ini anak kaya bayi aja, tidur sambil netek…
  


Side Story
Lilies
Di Dunia Ini Tak Ada Kebetulan, Yang Ada Hanyalah Keharusan Yang Tak Terelakkan


Aku duduk di pelataran belakang aula Gedung A, menanti kuliah Ekonomi Mikro yang akan dimulai setengah jam lagi. Aku sengaja memisahkan diri dari yang lain, karena ada tugas makalah yang masih aku pelajari.

Selintas wangi harum menerpa hidungku, saat aku mengangkat wajahku mencari sumber wangi harum tadi, tampak Lilies telah berdiri di hadapanku, tersenyum manis menyapaku. Lilies Fitryani, mojang priangan yang cantik teman kuliahku.

’’Rakaa… Ganggu gak nih…’’ sapanya sambil tersenyum manis. ’’Lilies minta tolong sebentar boleh…?’’

’’Boleeh… Ada apa Teh…?’’ Lilies memang dipanggil Teteh ama teman-teman kami, karena Lilies asli orang sunda.

’’Ini, makalah yang Lilies buat… Rasanya ada yang kurang gitu deh di pembahasannya…’’ katanya sambil membuka lembaran tugas makalahnya dan memberikannya padaku.

Sejenak aku membaca makalah yang Lilies buat. Aku bisa menemukan di bagian mana pembahasan yang dibuat Lilies terasa kurang mendalam. Saat aku mengangkat wajahku untuk menyampaikannya pada Lilies, tapi aku malah terpana.

Pose.

Yup, aku terpana oleh pose berdiri yang dibuat Lilies, yang mungkin tanpa disadarinya. Saat itu aku menatap Lilies yang sedang berdiri hanya satu meter di depanku, sedang menoleh ke arah kanan, membuat rambut panjang sepunggungnya itu berkibar tertiup angin yang berhembus.

Lehernya yang jenjang…
Kulitnya yang putih menawan…
Body yang tinggi dengan berat proporsional, pinggulnya membentuk siluet indah dengan bongkahan pantat yang aduhai…
Buah dadanya yang besar membulat dan tegak menantang…
Oh, buah dada…!

Kaos lengan panjang berwarna coklat yang dikenakan Lilies sepertinya dibuat dengan cara dirajut, membentuk lubang-lubang halus diseluruh bahannya. Sebagai daleman tampaknya Lilies menggunakan tanktop dengan warna senada.

Jangankan membahas makalah, yang ada mataku malah nanar menatap ke arah dada Lilies, menembus lubang halus rajutan kaosnya dan berhenti di kulit dadanya…

Kulit yang sangat putih bagai pualam, terlihat sangat mulus dengan dengan hiasan kehijauan urat dadanya. Lekukan gelap ditengah buah dadanya terlihat jelas menandakan boobs kiri dan kanannya yang menjulang indah. Luarbiasa menakjubkan buah dada mojang priangan yang satu ini.

Aku menatapnya lekat-lekat, seakan tak akan mungkin mendapatkan moment seperti ini lagi, takut rugi… Raka si boobs addict saat ini sedang terpana menatap keindahan payudara seorang Lilies.

’’Hey…! Raka kamu ngeliatin apaaa…!’’ Lilies memekik pelan seraya menutupi dadanya dengan tas yang dibawanya.

Raka si boobs addict pun terkejut mendengar pekikan tertahan Lilies. Seketika itu juga aku merasakan wajahku memanas dan aku yakin sudah sangat memerah, malu gak ketulungan karena tertangkap basah menatap lekat ke arah payudara seorang gadis dengan pandangan penuh kekaguman. Untung air liurku tidak sampai menetes atau hidungku sampai mimisan… :koplak:

’’Eh.. Hm.. Eh.. Anu… Eh.. Maaf Teh…’’ sumpah aku sangat malu sampai gelagapan.

Lilies mencondongkan wajahnya ke arahku, dan berkata pelan.

’’Kamu ngeliatin apa sih..?? ’’

’’Maaf banget, Teh… Maaaaaf banget… Gak sengaja…’’ jawabku yang jelas ngawur.

’’Gak sengaja kok sampe gitu amat ngeliatinnya, sampe aku panggil gak denger lagi…’’ kata Lilies lagi.

Mati aku…!
Segitu terpananya kah…?

’’Sekali lagi mohon maaf, Teh… Aku gak bermaksud kurang ajar… Maaf banget aku gak sengaja lihat itunya Teteh…’’ jawabku lirih penuh rasa malu.

’’Kamu ngeliat apa emangnya…? Baju ini menerawang banget ya, Ka…?’’ Lilies mungkin menyadari kalo kesalahan tidak sepenuhnya ada padaku.

’’I.. Iya Teh…’’ jawabku gugup. ’’Lubang-lubang di kaos Teteh itu….’’ Aku tak mampu meneruskan kalimatku.

’’Aduuuh… Keliatan banget ya, Kaaa…??’’ sekarang Lilies yang agak panik. ’’keliatan banget yah dada saya…?’’

’’I.. Iya Teh… Aku bisa lihat kulit dada Teteh dari sela lubang-lubang itu…’’

’’Aduuuhh… Iya taahh…? Aduh malu banget saya….’’ Lilies benar-benar panik dan jadi salah tingkah.

’’Gak gitu juga sih, Teh…. Kalo gak diperhatikan banget ya gak keliatan…’’ terangku.

’’Iiihhh… jadi tadi kamu teh merhatiin banget dong…’’

Jlebb…! Begonya aku ngomong begitu.

’’Eh.. Hm.. Eh.. Eng… Enggak koookk…’’ jawabku gelagapan lagi.
’’Iiih… Raka ini…. Matanya nakal banget ya ternyata…’’ Lilies memakiku sambil tersenyum manis banget, tangannya dengan keras memencet hidungku saking gemasnya.

Suasana segera mencair dengan sikap Lilies barusan, setidaknya aku tahu Lilies tidak marah karena pelecehan yang aku lakukan. Lalu kami kembali membahas makalah Lilies sampai selesai dan mulai ngobrol-ngobrol ringan.

’’Bener ya, Ka… Kalo baju ini gak terlalu menerawang…?’’ Lilies mulai membahas lagi insiden tadi.

’’Seperti yang aku bilang tadi… Kalo gak diperhatikan banget gak keliatan kok…’’ jawabku sambil menatap kembali ke dadanya, seakan dengan bodoh memberikan contoh maksud ucapanku.

’’Iihh.. mulai lagi deeeh… Lilies bilangin Budi nanti ya, biar dicuci dulu itu mata…’’ omelnya sambil mengancamku. Budi adalah pacarnya anak fakultas hukum dan aku juga mengenal si Budi.

’’Hehe… Maaf Teh… Maaf… Tapi gak apa-apa kok The... Gak usah malu… Memang indah banget siih…’’ jawabku agak merayunya sambil bercanda.

’’Yeee… gak juga kaleee… emang ini buat konsumsi publik apa…’’ omelnya lucu.

’’Aku gak bohong, lho… Emang indah banget…’’ jawabku sambil tersenyum pada Lilies. ’’Aku aja tadi sampai terpana gitu… Terpesona banget…’’

Lilies tersenyum malu dan menunduk, wajahnya bersemu merah saking malu aku sangat memuji keindahan dadanya..
’’Raka mah emang gelo…’’ katanya gemas campur tersipu sambil melangkah pergi meninggalkan aku, tentunya setelah memelintir keras kulit lenganku.

Aku yang manyun meringis merasakan betapa pedihnya cubitan seorang Lilies, dan kemudian melangkah juga menuju aula tempat kuliah akan berlangsung sebentar lagi..

oOo

Dddrrrrrtttt….

Hapeku bergetar, ada sms masuk yang sempat mengagetkan aku yang sedang konsen pada penjelasan dosen. Aku baca sms itu, dari Lilies.

Pulang kuliah ini saya mau ngomong ama kamu, penting bgt. Kamu yg cari tempatnya. Jangan kabur ya.
Waduh, ada apa ini…? Apa karena insiden tadi ya… Aku lalu membalas sms Lilies.

Iya, Teh.. tunggu di samping A.2, nanti aku jemput. Aku minjem motor Bambang ama kunci kost Yoyok dulu.
Ok. Kabari aja.
Segera aku sms Bambang dan Yoyok juga kuliah di ruangan ini tapi duduk agak belakang, dan setelah semuanya mengkonformasi bisa, aku sms lagi si Lilies.

Beres, samping A.2 ya Teh…
Iya…
Aman, kuliah berikutnya berjarak sejam setelah matakuliah ini. Aku sudah memastikan membawa Lilies ke kost Yoyok dan memaksa sehabat-sahabatku itu menunggu saja di terminal atau di kantin.

oOo

’’Sepanjang kuliah tadi, saya kepikiran ama omongan kamu…’’

Aku terdiam, menatap Lilies yang duduk lesehan di sebelahku dalam kamar kost Yoyok. Benar dugaanku, insiden menatap dada tadi yang dibahas Lilies saat ini.

’’Maafkan aku, Teh… Aku gak bermaksud untuk kurang ajar atau melecehkan. Aku benar-benar gak sengaja dan begonya langsung terpana gitu…’’ aku mencoba menjelaskan dan meminta maaf darinya.

’’Gak apa-apa kok, Ka… kamu gak perlu minta maaf terus gitu ah… Lagian juga saya juga yang salah make baju begini…’’ jawab Lilies perlahan. ’’Memangnya yang kamu lihat tadi, memang bagus banget ya, Ka…’’ matanya melirik kepadaku, menyiratkan rasa penasaran yang terbungkus dengan rasa malu yang luar biasa.

’’Sekilas yang aku lihat tadi, memang indah banget, Teh… Menurut aku, lho ya…’’ jawabku jujur. ’’Tapi itu pendapat aku karena aku cuma melihat dari lubang-lubang kecil itu ya, Teh… Kalo pendapat aku soal visual dari luar secara keseluruhan sih, memang yang Teteh miliki itu termasuk yang mempesona. Aku yakin banyak perempuan yang berharap memiliki seindah milik Teteh itu….’’

Aku gak bohong, payudara Lilies memang indah sekali bentuknya, pas banget proporsinya dengan tubuh Lilies keseluruhan menunjang penampilan Lilies.

’’Tuuh…. Kaan…’’ Lilies merajuk dan tersipu. Tampak sekali dia merasa gelisah. Aku sampai gak enak hati dibuatnya.

’’Maafkan Raka, Teh… Raka sungguh minta maaf karena sudah membuat Teteh jadi gak nyaman begini…’’ kataku tulus meminta maaf pada Lilies.

’’Bukan itu masalahnya, Ka….’’ Tukas Lilies gelisah.

’’Lalu apa masalah yang sebenarnya, Teh…?’’ kataku mulai khawatir.

’’Selama kuliah tadi, saya kepikiran sama omongan kamu. Saya sampai berpikir, begitu indahnya kah dada saya ini sampai membuat kamu jadi bengong begitu…’’ Lilies mulai menjelaskan perlahan. ’’semua ucapan kamu membuat saya berdebar, Raka…’’

Aku diam tak mengerti.

’’Kamu membuat saya jadi bangga dengan keadaan tubuh saya… Saya aja gak pernah kepikiran begitu sebelumnya, tapi ucapan kamu tadi…’’ Lilies terdiam sejenak, menatapku dengan ragu. Ragu dan malu.

Aku memilih untuk menantinya melanjutkan ucapannya.

’’Ucapan kamu tadi membuat saya jadi berdebar, ada perasaan senang dan bangga disanjung begitu tinggi ama kamu… Saya sampai merasa…’’ kembali Lilies berhenti bicara, lama Lilies menatap dalam kepadaku.

’’Kamu membuat saya jadi terbakar, Raka… Sepanjang kuliah saya merasa ingin membuka baju dan ingin memperhatikan dada saya yang kata kamu indah ini…. Apalagi saat mengingat cara kamu menatap dada saya tadi… membuat saya jadi panas dingin gak karuan…’’

Astagaaa…. Segitunya, kah…? Aku sampai bengong gak bisa berkata apa-apa.

’’Raka…’’

’’Iya, Teh…’’

’’Apakah kamu mau…’’ Lilies menghentikan ucapannya. ’’Eh, maksud saya, kamu mau gak kalo…’’
Lilies terlihat sangat ragu untuk melanjutkan ucapannya, bingung memilih kata.

’’Apa, Teh…?’’

’’Hmm.. Maksud saya, kamu mau gak kalo sekarang saya bilang saya ingin melihat ke saya lagi dengan cara seperti tadi….’’ Kata Lilies lirih. ’’tapi sekali ini saya ingin baju ini jangan sampai jadi penghalang buat kamu…’’

Dhuaaarrr…!

Aku sampai terlonjak karena kaget. Lilies terlihat semakin malu dan makin merah wajahnya.

’’Saya juga gak tau kenapa sampai bisa punya keinginan seperti ini, Raka… Saya rasanya benar-benar ingin, saya gak bisa menahan diri saking inginnya…’’

Kami terdiam…. Agak lama juga…

’’Saya kesannya jadi murahan gini ya, Ka…’’ lirih Lilies.

’’Maaf, Teh… Aku mengaku salah, aku sungguh-sungguh minta maaf. Kita gak perlu sampai begitu, sekali lagi maafkan aku, Teh…’’

’’Tapi saya benar-benar ingin kamu melakukannya lagi, Ka…’’

’’Kenapa harus begitu, Teh… Aduh aku jadi bener-bener gak enak banget nih… Aku salah banget tadi ya, Teh….’’

’’Sekali ini mah bukan salah Raka, atuh…’’ kata Lilies tersenyum menatapku. ’’Tapi ini mah karena saya yang kepengen…’’

’’……..’’

’’Kamu sih, tatapan kamu tadi bikin saya horny, tau…’’

Aduh, Mak…

’’Tapi nanti Budi gimana…?’’

’’Ya jangan sampe tau, dong…’’

’’Ada konsekuensinya gak…?’’

’’Tergantung kamu….’’

’’Lho kok gitu….’’

’’Iya dong, nanti kalo saya sampe jatuh cinta sama kamu gimana…? Kamu harus jadi pacar aku dong’’ ini jelas Lilies mulai menggoda aku. ’’tapi kalo tatapan kamu bikin saya ilfeel, ya saya gak mau berteman ama kamu lagi ah, si otak mesum…, hehe…’’

Wah ini sih keterlaluan. Jelas banget Lilies menantang kelakianku.

’’Fine then…’’ kataku pada Lilies. ’’Aku juga akan jujur pada Teteh. Tadi itu, aku benar-benar terpesona pada keindahan dada Teteh…’’

Aku meraih tangan Lilies dan menggenggamnya.
’’Please, Teh… Aku ingin lihat lagi keindahan itu… Izinkan aku menatap keindahan itu lagi…’’

Jika sudah sampai sejauh ini, aku yang harus pegang kendali. Aku memintanya dengan cara seperti itu dengan tujuan untuk menepis semua keraguannya, membangkitkan rasa percaya dirinya bahwa dia sangat aku hargai. :devilmode, on:

Wanita mana yang gak akan luluh jika sudah seperti itu, yakinku dalam hati.

Lilies tersenyum sangat manis padaku, nampak wajahnya lega setelah berhasil mengungkapkan perasaannya padaku dan lega karena tanggapan positif dariku.

’’Raka, saya minta tolong ama kamu, yah…’’

’’Apa itu, teh…’’

’’Ini hanya kita berdua yang tahu… Rahasia kita berdua ya…’’

’’Iya, Teh…, janji…’’

’’Kamu gak menganggap saya cewek gampangan, kan…?’’

’’Gak, Teh… Malah aku merasa sangat tersanjung Teteh memberikan kesempatan seperti ini… Aku sangat menghargai kejujuran Teteh walau aku masih merasa bersalah karena ini semua terjadi karena kelakuanku…’’

Lilies tersenyum, membelai pipiku dengan lembut.

’’Saya percaya ama kamu…’’

Lilies kemudian mengecup keningku lembut. Terus terang, hatiku sampai bergetar karenanya. Aduh, jangan sampai aku merasanya nyaman dan akhirnya jatuh cinta pada Lilies.
Lilies menatapku lembut, sambil terus membelai pipiku. Seutas senyum terhias di bibir merah jambunya. Lilies memang menawan. Harus aku akui mojang priangan memang sungguh mempesona. Lilies kemudian bergerak, naik ke atas pangkuanku yang saat itu masih selonjor lesehan di lantai kamar Yoyok.

’’Kamu tahu, gak… Sepanjang kuliah tadi buah dada saya ini rasanya semakin mengeras… Apalagi saat tersentuh, rasanya geli banget… Anehnya, saya malah ngebayangin kamu terus…’’ bisik Lilies lirih.
’’Apalagi saat saya teringat cara kamu menatap dada saya, Raka… Rasanya begitu….. mmmmhhh…’’ suaranya kini lebih mirip desahan tertahan.

Lilies mendekap kedua pipiku, kemudian mulai menciumi wajahku dengan lembut. Dimulai dari kening, alis, mata, hidung, pipi, dan bagian belakang telingaku. Lidahnya mulai menjilat lebut saat menciumi telingaku, dan terus turun ke leher. Semua itu Lilies lakukan dengan lembut, kecupan, jilatan, dan ciumannya begitu lembut sehingga aku meremang nikmat. Aku masih diam saja, memberikan kesempatan Lilies yang pegang kendali.

’’Ooohh… Rakaaa…..’’ desah Lilies kemudian menyergap bibirku lembut. Aku membalas ciumannya, mengimbangi ciuman Lilies yang tetap berlangsung dengan lembut.

Lama kami berpagutan, sampai akhirnya ciuman itu semakin menggelora, lidah kami mulai bertemu, saling menjilat dan menghisap, beradu layaknya dua ular yang sedang berkelahi. Kemudian Lilies melepaskan ciuman kami, wajahnya merona merah dan nafasnya memburu. Aku menatapnya, dan dibalasnya dengan tatapan lembut yang benar-benar membuatku hanyut.

Lilies memang luar biasa, perasaanku sungguh nyaman saat ini.

Tangan Lilies mulai bergerak ke bagian bawah kaos yang dikenakannya, dan menariknya ke atas hendak membuka penutup tubuhnya itu. Tanganku segera menahannya.

’’Biarin dulu, Teh… Jangan dibuka dulu….’’ Kataku sambil menatap lekat ke arah dadanya, mencoba melihat isi di dalam kaosnya itu melalui lubang-lubang halus di sela rajutannya.

Lilies tersadar dengan tindakanku, seketika Lilies memeluk leherku dan membenamkan wajahku di dadanya.

’’Duuuh… Raka…’’jerit Lilies lirih ’’Jangan dilihat seperti itu lagi, sayang…. Jantung Lilies kayak mau copot kalo diliatin seperti itu…’’

Dalam hati aku tersenyum, akhirnya aku bisa memahami apa yang di rasakan Lilies. Akhirnya aku putuskan untuk bersikap pasif, kembali membiarkan Lilies saja yang memegang kendali permainan ini. Lilies akhirnya melepaskan pelukannya, dengan gerakan anggun perlahan dia melepaskan kaosnya dan melemparkannya begitu saja.

Kini tepat di hadapanku, dengan jarak tak lebih dari 30 cm, tersaji jelas buah dada yang membusung bulat sempurna yang membuncah padat karena masih terlindungi oleh bra berwarna peach. Cukup besar, dan bentuknya begitu sempurna. Putih, bulat sempurna, dan terlihat sangat kenyal. Mataku menatap nanar ke arah dada Lilies, dengan mulut yang separuh terbuka. Buah dada yang luar biasa.

Lilies merasa jengah sendiri, tangannya segera menyilang di dadanya, melindungi dari tatapan nanarku. Aku menatap wajahnya, tersenyum sambil memandang kedua bola mata Lilies mulai terihat sayu. Lanjtkan, Lis… jangan malu-malu… bebaskan dirimu…, bisikku dalam hati dan kusampaikan melalui tatapanku padanya.

Perlahan Lilies mulai melepaskan tangannya yang melindungi buah dadanya itu, dan memegang kedua bahuku.

’’Mangga atuh, Ka…’’ bisiknya malu-malu menatapku. ’’Katanya mau lihat dada Lilies…’’

Aku tersenyum pada Lilies, mengucapkan terima kasih dalam hati, lalu mulai menurunkan pandanganku menatap buah dada Lilies yang benar-benar indah. Kadang aku sampai memiringkan wajahku, maju mendekati buah dadanya, seakan sangat serius menelitih buah dada indah itu.

Lilies semakin meremaskan tangannya yang menggenggam pundakku, menatapku yang sedang serius meneliti buah dadanya, sambil menggigit bibirnya. Perasaanya campur aduk, malu, jengah, sekaligus sangat bergairah melihat seorang laki-laki menatap penuh kagum pada payudaranya.

Sepertinya ada sisi eksebishionist dalam diri Lilies.

’’Teh…, boleh Raka buka bra nya…?’’ akhirnya aku bertanya setelah sekian lama menatap buah dadanya.
Lilies mengangguk sambil menggigit bibirnya. Terasa tangannya kembali meremas pundakku, seakan menanti apa yang akan aku perbuat.

Tanganku bergerak ke belakang, ke arah pengait bra di punggungnya. Dengan sekali sentil, 3 kawat pengait itu terlepas. Buah dada itu bergoyang dengan indahnya saat bra-nya mengendur, seakan terbebas dari dekapan bra yang memang sepertinya agak lebih kecil dari seharusnya. Tanganku bergerak melepaskan bra itu melalui tangan Lilies, yang segera menyilang di depan dadanya.

Aku meraih tangan Lilies, dan menyingkapkannya ke samping.

Kembali aku terpana dengan mulut terbuka menatap buah dada Lilies. Lilies sampai mendesah dan menunduk jengah. Aku menatap buah dada itu dengan takjub, lalu menatap Lilies yang sedang melirikku penuh rasa malu dalam gairahnya. Bolak balik antara menatap buah dada dan menatap wajah Lilies, menyampaikan kekagumanku.

’’Indah banget, Teh…’’ pujiku jujur. ’’Luar biasa…’’

Tiba-tiba Lilies menghambur memelukku, rupanya dia sudah tak mampu lagi menahan rasa malunya.

’’Yang bener sih, Ka…. Segitu bagusnya kah….?’’ Bisiknya lirih di telingaku. ’’Lilies malu, Kaa….’’

Aku membalas memeluk Lilies, dan membelai punggungnya yang telanjang.

’’Gak perlu malu, Teh… Karena memang indah banget… bagus banget… Seharusnya Teteh merasa bangga punya dada begini indah…’’ pujiku jujur. Buah dada Lilies memang harus diakui sangat indah, dan aku gak bisa bohong akan hal itu. ’’Raka sungguh kagum pada buah dada Teteh…’’

’’Terima kasih, Ka…’’ Lilies semakin erat memelukku. Buah dadanya yang indah terasa hangat dan padat menempel erat di dadaku. Aku nikmati setiap detik moment indah ini.

’’Kalo Raka mau… peganglah, Ka…’’ bisik Lilies.

’’Cium Raka, Teh….’’ Jawabku balas berbisik.

Lilies mengangkat wajahnya, dengan dekapan telapak tangannya di pipiku mulai melumat bibirku. Tetap dengan irama lembutnya, Lilies memberikan pengalaman berciuman terbaik kepadaku.
Tanganku mulai bergerak, mengelus buah dada itu dari samping, kemudian membelai lembut bagian bawah buah dada indah itu. Setelah posisi kedua telapak tanganku berada tepat, dengan gerakan ke atas aku meremas lembut buah dada Lilies, langsung memberikan puntiran kepada kedua putingnya.

Lilies langsung mendesah, lumatannya di bibirku semakin bergelora. Aku melakukan terus gerakan meremas itu dengan ritme yang sama, kadang bervariasi dengan gerakan melingkar namun dengan finishing yang sama di kedua puting buah dada Lilies. Akibatnya desahan Lilies semakin keras terdengar, bibirnya semakin melumat bibirku.

Lilies akhirnya melepaskan ciuman kami, menengadah ke atas sambil terengah menahan rasa. Segera aku menciumi dan menjilati lehernya yang jenjang hingga ke telinga Lilies. Remasanku pada buah dadanya aku lakukan dengan penuh kegemasan. Buah dada yang putih mulus itu kini mulai tampak kemerahan karena ulahku.

Tiba-tiba Lilies menepis tangan kiriku yang sedang meremas payudara kanannya, diangkatnya buah dada kanannya itu sambil mengarahkan wajahku kesana. Aku paham maksudnya, segera aku melumat putingnya yang mencuat menantang. Lilies pun memekik lirih.
’’Oooohhh… Rakaaa….’’ Tangannya kembali mendekap kepalaku. Kedua telapak tanganku kini aku pakai untuk menyangga kedua buah dadanya, dan bergantian bibirku melumat putingnya kiri dan kanan, menyedot buah dadanya sebanyak-banyaknya hingga masuk memenuhi mulutku, dan menariknya dan meninggalkan sebuah hisapan kuat pada putingnya. Seakan tak pernah puas aku melumati buah dada Lilies.

Lilies semakin keras menggelinjang, pinggulnya semakin ketat menempelkan pangkal paha kami. Lilies membuat gerakan menggesek kelamin kami yang sungguh nikmat. Pinggulnya bergerak maju mundur, kadang bergoyang berputar. Penisku terasa nikmat digesek seperti itu. Apalagi vagina Lilies juga terasa begitu hangat dan empuk.

Lilies menarik cepat kaos yang aku pakai, melolosinya melalui kepalaku. Begitu kaosku terlepas, segera aku memeluknya dan menempelkan dada kami dengan ketat. Lilies meraih wajahku dan kembali melumat bibirku. Kini kami sama-sama telanjang di bagian atas, kulit dada kami saling menempel dan bergesek erat. Nikmat sekali rasanya empuk buah dada Lilies di dadaku.

Ciumanku turun ke leher, menelusuri leher jenjang itu dengan bibir dan lidahku. Kadang Lilies yang tak sabar juga menciumi seluruh wajah dan leherku. Bergantian kami saling serang, sementara kedua tanganku bekerja memerah buah dada Lilies. Suara desah kami saling bersahutan tergantung pada siapa yang sedang menyerang. Ciumanku kini aku konsentrasikan pada buah dada Lilies, bergantian aku menikmati buah dada itu kiri dan kanan. Sungguh aku sangat menikmati kegiatanku saat ini, selain memuaskan hasratku pada buah dada Lilies, juga berusaha memberikan kenikmatan padanya.

Tiba-tiba Lilies bergetar, vaginanya yang masih digesekkan dengan penisku, membuat goyangan pinggul Lilies semakin cepat dan keras. Lilies memelukku erat, tubuhnya menegang kaku dan bergetar hebat.

’’Oooohhh… Rakaaa…. Hhhhmmmmm….. Aaaahhhh…..’’ Lilies menahan suara desahan dan jeritannya. Sejenak kemudian tubuh Lilies melemah, lunglai dalam dekapanku.

Aku memeluk tubuh Lilies yang telanjang dengan lembut, aku belai punggungnya agar Lilies merasa semakin nyaman. Aku tahu Lilies sudah mendapatkan orgasmenya karena gesekan kelamin kami dan cumbuanku pada buah dadanya.

’’Raka, nikmat banget….’’ bisik Lilies lirih.

’’Sudah sampai, Teh…?’’

’’Iyaaa… Duh Gusti…. Nikmat banget, Ka….’’

Aku tersenyum, lalu menyenderkan punggungku ke dinding kamar kost Yoyok. Lilies yang masih dalam pelukanku ikut terbawa dalam dekapanku. Aku biarkan Lilies istirahat setelah lemas karena orgasmenya.

oOo

Aku membonceng Lilies ke kantin fakultas hukum, karena tak lama setelah Lilies meraih orgasmenya tadi, dia di telpon oleh Budi dan mereka janjian untuk ketemu di kantin itu.

’’Raka… Maaf banget ya, saya tadi belum sempat bikin kamu enak…’’ kata Lilies saat aku memboncengnya. Telepon Budi tadi memang mengharuskan kami menyudahi aktivitas kami walau aku belum sempat merasakan ejakulasi. Ini rupanya membuat Lilies jadi tak enak hati, karena aku kentang banget jadinya.

’’Iyaa… Gak apa-apa kok Teh…’’ jawabku padanya.

’’Saya janji deh, nanti kalo ada kesempatan lagi saya yang akan bikin kamu enak…’’

Aku menoleh dan tersenyum pada Lilies.

’’Yang bener…? Berarti nanti kita masih bisa ketemu lagi ya, Teh…?

’’Iya dong… Kamu kan tadi udah bikin saya nikmat banget, say…’’ katanya mesra di telingaku. ’’Nanti saya akan bikin kamu keenakan deh. Janji saya pada kamu, sekarang sabar dulu ya, nanti kita cari waktu buat pergi berdua…’’ nada bicaranya begitu menggoda.

Aku berbelok ke arah fakultas hukum, dan mengarahkan motor si Bambang ini menuju samping kanan ke arah kantin. Sengaja aku berhenti agak jauh dari kantin, gak enak juga di lihat ama teman-temannya Budi walau aku yakin Budi gak akan masalah kalo aku yang nganterin Lilies.

’’Makasih banget ya, Kaaa…’’ bisik Lilies sebelum turun dari boncengan. Sempat-sempatnya dia menjilat telingaku dan mencolek penisku. Aku terkejut, namun belum sempat membalasnya Lilies sudah keburu turun dari boncengan.

’’Aduh Teeehhh… Tega amat sih, makin kentang neeh…!’’ kataku pelan, protes atas perbuatannya.
Lilies sudah melangkahkan kakinya kabur dariku, lalu menoleh dan menjulurkan lidahnya.

’’Daah Rakaaaa….’’ 


Bagian 16
Ah, Nova…


Aku terbangun karena merasakan geli yang teramat sangat di bawah sana. Beberapa jenak mataku mengerjap, mengumpulkan kesadaranku dan menatap ke arah penisku. Kepala Nova berada di tengah selangkanganku, terkadang naik turun dengan perlahan, mulut dan lidahnya melumat penisku dengan lembut.

Aku kembali memejamkan mata, kali ini karena rasa nikmat karena oral yang dilakukan Nova. Aku mencoba untuk terus pura-pura tidur, membiarkan Nova bisa menikmati ‘mainannya’ sepuasnya.

Nova sangat telaten bila mengoral penisku. Dia akan melakukannya dengan lembut. Tak pernah Nova menghisap penisku dengan penuh nafsu, namun Nova betah membenamkan penisku di dalam mulutnya, untuk kemudian Nova mengemut penisku lama-lama, dan berkonsentrasi pada lidahnya membelai penisku. Sesekali dia akan memajumundurkan kepalanya, saat itulah Nova agak menghisap penisku untuk kemudian kembali mengemutnya berlama-lama. Aku suka sekali cara Nova memberikan oralsex, geli dan nikmatnya akan bergerak perlahan namun pasti membawaku ke arah ejakulasi secara bertahap.

Mungkin karena sudah cukup lama mengoral penisku tapi tak juga membuatku terbangun, Nova kemudian menghentikan kegiatannya, dan beringsut ke sisiku dan merebahkan kembali tubuhnya. Nova memelukku seperti aku ini guling.

Aku membuka mataku, dan mata kami saling menatap. Rupanya Nova sedang menatapku. Seutas senyum manis menghiasi bibirnya yang indah.

’’Kok berhenti…?’’ tanyaku.

’’Iiiihh… Nakal…..’’ sergah Nova sambil mencubit putingku ’’Udah bangun dari tadi ya….’’

Aku hanya meringis karena cubitannya. Kemudian aku mencium kening Nova.

’’Makasih ya , sayang… Itu tadi nikmat banget…’’ kataku tulus.

Nova hanya tersenyum, lalu kembali memelukku erat. Tanganku membelai punggungnya yang telanjang, sementara tangan Nova terus membelai penisku yang tegak dengan penuh kelembutan. Sesekali jari-jarinya memijit dan menggelitiki penisku, menggaruk lembut dengan kukunya. Nikmat.

’’Ka…’’

“Hmmm….’’

’’Masih ngantuk, gak…?”

’’Kenapa emangnya…?’’

Nova menatapku tanpa menjawab, kemudia Nova bergerak menindihku. Tangannya yang masih membelai penisku tadi, bergerak mengatur posisi penisku agar tepat berada di belahan kewanitaannya yang ternyata telah basah, setelah posisinya tepat Nova mulai mendudukiku, membuat penisku menempel ketat di belahan vaginanya. Nova mulai bergoyak perlahan maju mundur, menggesekkan penisku pada vaginanya, menggesek klitorisnya dengan intens. Ini lah posisi akhir kami saat petting, saling menggesek tanpa pernah aku mencoba untuk memasuki Nova.

Nova mendesah karena goyangannya sendiri, karena merasakan nikmat saat penisku menggesek klitorisnya. Cairan kewanitaannya yang mengalir membuat penisku mudah untuk meluncur di sela lipatan vaginanya. Aku mengerang pelan, aku juga merasakan nikmat karena rasanya penisku seperti diurut. Tangan Nova menekan dadaku, menjadikannya tumpuan sementara vaginanya menggesek penisku.

Tanganku bergerak membelai kedua buah dada Nova, memberikan kenikmatan ganda padanya. Penisku yang tegak mengeras terus menggesek klitorisnya, membuat Nova semakin memuncak nafsunya karena kedua titik sensitifnya dirangsang terus menenus. Tanganku meraih telapak tangan Nova, jari-jari kami saling bertaut, saling perpegangan agar aku bisa membantu Nova mendapatkan tumpuan ideal mengimbangi gerakan goyang pinggul Nova.

Mataku menatap cincin emas putih yang tadi aku berikan sebagai hadiah ulangtahunnya.

’’Selamat ulang tahun, sayang…’’ ucapku sambil menatap Nova.

’’Makasih, sayangku…’’ balas Nova sambil tersenyum, sementara pinggulnya masih terus menari di atas penisku. ’’Makasih buat hadiahnya, Nova suka banget…’’ lanjutnya tersenyum manis sambil melirik cincin yang melingkar di jari manisnya.

Aku tersenyum, kemudian aku mengubah posisiku agak menyender di kepala ranjang, agar bisa merengkuh Nova dalam pelukanku. Posisi ini membuat Nova bisa merangkulku dan membuatnya semakin mudah bergoyang pinggul. Penisku semakin nikmat tergesek belahan vagina Nova, ditambah cairannya yang semakin membanjir.

’’Raka… Nova juga punya hadiah buat Raka…’’ bisik Nova di telingaku.

’’Oh ya…? Apa tuh…?’’ tanyaku.

Nova menghentikan goyangan pinggulnya, sehingga kini penisku menempel diam di lipatan vagina Nova.

’’Tutup mata dulu, dong…’’ bisiknya tersenyum menatapku.



Aku memejamkan mataku, tersenyum-senyum melihat tingkah Nova. Aku kemudian merasakan bibir Nova melumat bibirku dengan lembut, kemudian mulai menggesekkan kembali alat kelamin kami dengan perlahan.

Ssrrtttt…..

’’Ooohhh…. Aaahhhh….!’’ Nova memekik pelan, saat tiba-tiba dia dia menghentakkan pinggulnya dengan cepat.

Penisku menerobos liang vagina Nova dengan cepat, membuat rasa nyeri aku rasakan pada kulit penisku karena dihentakkan masuk ke dalam liang vagina Nova yang masih perawan dengan tiba-tiba.

’’Va…!’’ teriakku terkejut.

Aku berusaha menahan pinggul Nova, agar penisku tak masuk semakin dalam walau aku tahu hampir semua penisku terbenam dalam liang vagina Nova. Tampak Nova mengernyitkan dahinya sambil menggigit bibir, matanya terpejam erat, dan dari wajahnya tampak jelas kalau Nova sedang berusaha menahan rasa nyeri. Tapi Nova terus memaksa mendesakkan pinggulnya, sehingga tak sampai dua detik Nova berhasil menenggelamkan seluruh penisku dalam vaginanya.

’’Ini hadiahnya, Ka…’’ kata Nova sambil tersenggal diantara rasa perihnya, menatapku dalam-dalam. ’’Ambillah… Nova berikan buat Raka karena Nova cinta banget ama Raka…’’

Aku menatap Nova dalam-dalam, seakan tak percaya pada apa yang dilakukan Nova untukku. Nova baru saja sudah memberikan miliknya yang paling berharga. Keperawanannya.

Nova balas menatapku, senyum yang terukir di wajahnya tampak begitu tulus memberikan miliknya yang paling berharga buatku, dan tatap matanya tampak begitu bahagia.

Aku merengkuh Nova, membenamkannya erat ke dalam pelukanku.

Sementara kelamin kami masih bersatu, penisku yang tegak keras menancap dalam liang vagina Nova yang terasa begitu ketat, hangat dan terasa berdenyut. Tak ada gerakan, hanya denyut yang terasa di kedua kelamin kami yang bersatu.

Pipiku menempel di pipi Nova, sementara tanganku erat memeluk tubuhnya. Nova balas memelukku tak kalah eratnya.

’’Terimakasih, sayangku….’’ Bisikku lembut di telinganya. ’’I love you….’’

’’I love you too, Raka…’’ bisik Nova sambil mencium leherku.

Jujur, aku sungguh terharu saat ini. Terharu pada pengorbanan Nova. Terasa sekali apa yang dilakukan Nova saat ini dan apa yang baru saja diberikan olehnya adalah tanda bahwa Nova sangat mencintai aku. Aku begitu tersentuh, apa yang Nova lakukan ternyata sukses membelai hatiku sekaligus membuatnya terasa hangat. Aku bahagia.

Lama aku terpejam menikmati moment ini, merengkuh Nova yang balas memelukku erat. Sungguh aku masih tak menyangka pada apa yang dilakukan Nova, pada apa yang diberikannya.

Oh, bukan…

Aku masih terpana pada apa yang terjadi pada kami saat ini.

Tiba-tiba aku teringat Pipit, sekilas bayangannya melintas cepat di dalam benakku.

Matanya menatap dingin ke arahku….


Bagian 17
Life Is Like Rollercoaster Ride (1)


Suatu hari di bulan Februari 2011

Aku menatap keluar jendela bus patas AC yang melaju mulus di jalan tol Merak – Jakarta, memandang semua objek yang berlalu cepat saat aku melintasinya. Pikiranku menerawang kemana-mana, membunuh waktu selama perjananan ini. Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju kota Bogor, dengan tujuan ke kampus institut pertanian paling terkenal di negeri ini untuk mencari literatur terkait dengan penyusunan skripsiku. Wah, sedang nyusun skripsi, nih…? Ya… Tak terasa sudah tahun 2011, aku ngebut menyelesaikan kuliahku termasuk mengambil terus kuliah di semester pendek agar kuliah ini semakin cepat selasai.

Tak terasa, hampir 3 tahun berlalu sejak aku menceritakan kisahku dengan Nova kepada kalian. Oh iya, dimana Nova kini…? Entahlah… Aku saat ini masih terus berupaya melupakan Nova. Ya, kami telah berpisah.

Aku memutar kembali otakku ke beberapa bulan silam, saat aku mengakhiri hubunganku dengan Nova. Sebenarnya tak pernah terbayang olehku untuk berpisah dengannya, karena menurutku apa yang terjadi pada hubungan kami yang sudah berjalan hampir 3 tahun itu terlihat baik-baik saja. Semua berjalan normal, Nova selalu menunjukkan perhatiannya padaku dan aku pun membalasnya dengan hal yang sama. Aku sebenarnya sudah sangat siap jika aku tak pernah putus dari Nova, yang artinya hubungan kami akan terus berlangsung langgeng hingga kami menikah.

Ya, semua berlangsung normal, sampai suatu ketika di sebuah sore aku melihat Nova sedang berdua dengan lelaki lain, keluar dari sebuah hotel di daerah selatan Bandar Lampung. Saat itu aku sedang melintas dengan teman-temanku menumpang mobil Didit, dan melihat Nova keluar dari lobby hotel itu dengan bergandengan mesra. Didit yang pertama melihatnya, karena saat itu dia yang sedang berada di kursi penumpang depan sementara aku yang mengemudi. Kami berbalik arah, kemudian masuk ke hotel tersebut setelah yakin Nova pergi dari hotel tersebut. Hotel itu langganan Didit yang berpengalaman maksimal sebagai penjahat kelamin, banyak pegawai hotel itu yang dikenal Didit. Dengan mudah, kami mendapat informasi bahwa pasangan selingkuh itu sudah check in sejak pagi.

Aku sempat galau habis-habisan. Bahkan saat bertemu Nova setelah itu, semua baik-baik saja, tak ada yang berubah dari sikap dan prilaku Nova kepadaku. Aku tak berani bertanya padanya, tak berani menuduhnya. Bahkan karena sikapnya yang tampak tak ada perubahan itu membuatku tak percaya bahwa Nova selingkuh, dengan mudah aku berbaik sangka padanya.

Sampai beberapa hari kemudian, Fredy menjemputku dan mengajakku untuk menjemput Didit di sebuah hotel berbintang di dekat kantor gubernur. Setelah kami berkumpul, Didit mengatakan Nova berada di hotel tersebut dengan seorang pria yang dia yakin adalah pria yang sama yang dilihatnya di hotel yang kemarin. Setelah kami berdiskusi sebentar, akhirnya kami menuju ke kamar yang menurut Didit merupakan kamar yang disewa oleh Nova dan pasangan selingkuhnya.

Aku mengetuk kamar tersebut. Berkali-kali mengetuk tapi tak juga dibukakan oleh penghuni kamar itu.

’’Siapa…?!’’ akhirnya terdengar suara yang sepertinya terdengar kesal dari dalam sana.

’’Buka pintunya..!’’ tiba-tiba Fredy menjawab lantang dengan mengubah suaranya, ’’Kami dari Kepolisian…!’’

Terdengar suara agak gaduh dari kamar tersebut. Aku akhirnya bisa tersenyum melihat kelakuan teman-temanku ini. Bahkan aku agak mengalah saat Fredy meminta aku dan Didit agak bergeser sedikit ke samping, agar tak langsung terlihat jika nanti pintu kamar itu terbuka.

Akhirnya pintu kamar hotel itu terbuka, dan tampaklah seorang pria yang usianya jelas di atas kami semua, berdiri dengan heran menatap Fredy dan Didit yang tampangnya jelas bukan mirip polisi. Wajahnya cukup ganteng, tubuhnya juga tampak gagah, berdiri dengan mengenakan celana jeans dan polo shirt. Didit mencolek aku dan mengangguk, yang aku artikan sebagai ’’ini dia orangnya…’’.

’’Lorang mau apa…??’’ katanya tegas dan terdengar langsung emosi menatap Fredy, sepertinya dia sudah yakin kalo Fredy bukan polisi. Berdiri dengan wajah yang jelas terlihat tak senang karena kamarnya digedor seperti itu. Wajahnya menatap tajam ke arah Fredy dan kearah aku dan Didit yang berdiri agak menjauh.

’’Mana Nova…??’’ kata Fredy tak kalah gertak.

’’Nova siapa…??’’ sergahnya lagi.

’’Gak usah macem-macem lo…’’ desis Fredy maju selangkah dengan tatapan penuh ancaman. ’’Nova adek gua…! Suruh dia keluar, kalo gak gua pagas lo nanti…!’’

Tapi lelaki itu ternyata gak kalah nyali, dia ikut maju menghadang Fredy sehingga kini mereka berdiri berhadapan, saling tatap seakan siap bertarung.

’’Nova siapa…?? Lo gak usah macem-macem ya…! Nuduh sembarangan..! ’’ bentaknya tak kalah garang.

Didit yang sedari tadi diam, tiba-tiba bicara.

’’Van…’’

Lelaki itu menoleh ke arah Didit, agak kaget dia tak menyangka ternyata Didit tahu namanya.

’’Lo Evan, kan..? Evan anaknya Pak Hardin Marzuki …?’’ kata Didit tenang.

Lelaki yang ternyata bernama Evan itu menatap Didit dengan pandangan menyelidik, mengira-ngira siapa sebenarnya Didit yang mengenal dia lengkap dengan nama bapaknya.

’’Gua Didit, anaknya Herwansyah Dahlan…’’ Didit masih tenang nada suaranya. ’’Kalo gua manggil papa lo, Minak…’’

Sekedar memperjelas, istilah yang biasa digunakan di Lampung.
Lorang = Lu orang= Kalian
Kitorang = Kita orang = Kami
Pagas = Bacok
Minak = panggilan untuk Kakak atau Abang dalam adat Lampung
Demikian -red.
Evan kini terdiam, jelas dia terlihat ngedown karena merasa kalah level oleh Didit. Kalah dalam level garis keturunan dalam adat masyarakat Lampung. Panggilan Minak pada ayahnya yang berarti Abang atau Kakak, membuat dia menyadari jika anak muda yang bicara dengannya ini memiliki level ’’paman ’’ baginya.

’’Tolong lo suruh Nova keluar sekarang…’’ kata Didit tenang tapi penuh intimidasi. ’’Dia itu abangnya Nova…’’ kata Didit sambil menunjuk ke arah Fredy, yang memang sebenarnya masih ada hubungan famili jauh dengan Nova.

Didit lalu menatap ke arahku. ’’Kalo ini pacarnya Nova…’’

Terlihat si Evan kini tampak kebingungan, wajahnya terlihat agak panik mendengar perkataan Didit. Lalu dia berbalik ke dalam kamar.

’’Tunggu sebentar…’’ katanya melangkah masuk.

Tak lama kemudian, Evan keluar lagi menghampiri kami yang masih menunggu di depan pintu. Di belakangnya tampak Nova yang berjalan menunduk. Untungnya, Nova juga juga sudah berpakaian lengkap. Nova menatap Fredy dengan takut, dan kemudian terkejut saat menoleh dan menemukan aku berdiri di sana bersama Didit.

’’Raka….’’ Jeritnya tertahan saat melihatku.

Seketika Nova menghambur ke arahku, menubrukku dan langsung memeluk aku.

’’Maafkan, Nova, Ka…’’ kata Nova sambil menangis. Tubuhnya langsung melorot memeluk kakiku, seakan memohon maaf dengan berlutut di hadapanku.

’’Ssshhh….’’ Aku mencoba menenangkan Nova, aku tarik tubuhnya agar berdiri kembali. ’’Udah ah… gak perlu begitu…’’ kataku pada Nova. Nova semakin terisak menangis sambil tetap memegang tanganku yang baru saja membuatnya berdiri kembali.

’’Maafkan, Nova, Ka…’’ hanya itu kata yang bisa terucap dari bibir Nova. Sepertinya dia sampai kehabisan kata karena habis tertangkap basah seperti itu.

Sementara Evan hanya berdiri mematung, tak bisa berbicara apa-apa. Didit dan Fredy berdiri tegak di samping Evan, memberikan tatapan penuh intimidasi pada Evan. Lelaki gagah itu kini berdiri ketakutan layaknya bencong salon.

’’Sudah…’’ kataku masih tenang pada Nova. ’’Sekarang Nova beresin aja urusan Nova sama orang itu, ya…’’

Nova semakin menjadi tangisnya sambil tak henti-hentinya meminta maaf padaku. Tapi aku kini sungguh tak peduli lagi.

’’Sekarang Raka pulang dulu…’’ kataku pada Nova.

Nova tiba-tiba menjadi panik, dan mulai berteriak histeris.

’’Gak mau…! Nova gak mau…! Raka gak boleh pergi…! Raka jangan tinggalin Nova…!’’ teriaknya histeris.

’’Raka tolong maafin Novaa….!’’ Tangisan dan teriakan Nova membuat beberapa pintu kamar terbuka dan beberapa kepala melongok keluar ke arah kami.

’’Raka bilang Nova beresin dulu urusan Nova ama orang itu…!’’ kataku tegas. ’’Kalo Nova mau ngejelasin ama Raka, boleh… Tapi nanti…!’’

Nova terdiam, masih menangis tapi tindakan histerisnya seketika berhenti ketika aku berkata dengan tegas padanya.

’’Sekarang Raka pulang dulu, ya…’’ kataku sambil membelai rambut Nova. Perbuatanku langsung membuat Evan tertunduk. Nova menangis semakin menjadi tanpa mampu mencegahku lagi.

’’Raka tolong maafin Nova…’’ pintanya di sela isak tangisnya. ’’Nova mohon tolong maafin Nova….’’

Tapi aku sudah benar-benar tak peduli. Sekilas aku menatap Fredy dan Didit lalu berbalik melangkah pergi, meninggalkan Nova yang semakin keras tangisannya. Aku bahkan masih mendengar Fredy berkata penuh ancama pada Evan.

’’Lo inget, ya… Urusan ini belum selesai…!’’ bentak Fredy yang tak mampu dibantah oleh si Evan.

’’Lo jangan bikin malu keluarga lo, Van…’’ terdengar suara Didit tenang tapi penuh intimidasi. ’’Atau lo bakal berhadapan dengan keluarga besar kami…’’

Kami berbalik dan melangkah pergi dari hotel itu.

Terus terang, bukannya aku tak cinta ama Nova, tapi aku gak merasakan sakit hati karena perbuatan Nova yang jelas-jelas telah menikamku dari belakang itu. Tapi aku sangat merasa sedih, karena kini aku menyadari aku akan melepaskan Nova, aku akan kehilangan Nova. Tak ada rasa sakit hati, mungkin aku lebih merasa sadar diri. Nova bukan jodohku, ternyata. Mungkin Evan lebih baik untuk Nova di bandingkan dengan aku.

Urusan aku dengan Nova selesai dalam waktu satu minggu. Hubungan kami putus, aku tak mau menerima Nova lagi, yang sudah bermain api di belakangku. Nova sampai histeris saat aku memutuskan hubungan kami, walau akhirnya mau menerima keputusanku setelah aku menjelaskan bahwa aku tidak marah padanya. Aku memaafkan perbuatan Nova padaku dan berharap yang terbaik buat Nova.

Tapi tidak dengan Fredy dan Didit. Setelah yakin aku tak akan mau kembali pada Nova, kedua sahabatku itu memperpanjang urusan tertangkapnya Nova dan Evan di hotel hingga menjadi urusan keluarga besar mereka masing-masing. Kabar terakhir, aku dengar Evan dan Nova akan segera dinikahkan…

Masa bodoh.

Aku sungguh tak peduli lagi pada Nova. Selama menjadi pacarnya, aku begitu menjaga diriku untuk Nova, tak pernah aku membiarkan diriku tergoda wanita lain, aku berusaha setia. Begitu mengetahui Nova selingkuh, seluruh perasaanku padam bahkan tak pernah sempat merasakan sakit hati. Aku lebih menyadarkan diriku yang mungkin belum berjodoh karena aku bukan yang terbaik buat Nova.

Mungkin karena aku pernah mengalami rasa sakit hati yang sangat hebat saat Pipit meninggalkan aku, sehingga aku tak lagi merasakan sakit saat Nova berselingkuh. Aku cukup merasa bersyukur disini, karena ternyata kehilangan Nova tak sepenuhnya melukai hatiku. Aku pikir, luka yang dibuat Pipit sedemikian hebatnya, sehingga luka yang ditoreh Nova seakan tak ada artinya.

Duh Gusti….

Kenapa malah jadi teringat pada Pipit begini….

oOo

’’Kak Raka ya….?’’

Aku menoleh ketika mendengar suara seorang gadis menegurku, yang berdiri di sampingku sambil menatap ragu.

’’Heey… Githa, kan…’’ kataku gembira saat berhasil mengenali sosok gadis yang barusan menegurku.

’’Iyaaa kak… Apa kabar….? Lagi ngapain di Bogor…?’’ jawab Githa sambil tersenyum senang, bertemu orang dari masa SMAnya dulu di sebuah mall di pusat kota Bogor.

Githa adalah adik kelasku di SMA dulu, dia seangkatan dengan Pipit. Kalo gak salah, saat kelas 1 dulu mereka sekelas…

’’Kak Raka barusan dari IPB, cari literatur buat skripsi…’’ jawabku.

’’Cieee… yang udah skripsi… bentar lagi sarjana doong…’’ goda Githa sambil tertawa.

’’Githa emang tinggal di Bogor…?’’ tanyaku.

’’Gak kok, Kak… Githa kesini karena nenek kan orang Bogor…’’ jawabnya. ’’Ini lagi nengok nenek, papa ama mama dari Lampung nyusul Githa di Jakarta terus ngajak ke sini, nengok nenek…’’ jelasnya panjang lebar.

’’Oooh, jadi Githa kuliah di Jakarta…?’’

’’Iya….’’

’’Di UI…?’’

’’Bukan, Kak… Githa kan kuliah di STAN…’’

Dheg.

’’Githa kan seangkatan ama Pipit, Kak… Bahkan tempat kost Githa seberangan lho ama kost-nya Pipit…’’

Githa tersenyum-senyum menggodaku melihat perubahan mendadak raut wajahku saat dia menyebutkan nama Pipit.


Side Story
This is The Answer


PoV Didit

Aku meraih hape dan menekan nomor hape Fredy.

“Pet, lo dimana..?” Ipet adalah panggilan kecil si Fredy.

”Gw lagi makan siomay nih di stadion.. Knapa bro..?”

”Lo jemput Raka, bawa ke s#hid. Gua tunggu di parkiran…”

”Beuh, udah mau check in lagi lo ya…”

”Ngehe lo… Gua liat Nova ama cowok baru check in nih…”

”Yakin lo…?”

”Udah buruan lo cari si Raka… Bawa kesini sekalian gua cari info dulu…”

”Ok bro…”

Aku menutup telponku dan mencari nama lain di hapeku.

”Hallo bang boss…”

”Zul, lo kerja gak hari ini…? Izul adalah pegawai hotel yang aku kenal karena terlalu sering check in di sini.

”Kerja bang… Kenapa bang…? Abang mau masuk sekarang…? Biar Izul siapin…”

”Bukan, gua bukan mau masuk. Eh lo lagi di depan gak…?”

”Iya bang, lagi di depan…”

”Lo liat tadi ada cewek pake jaket levis masuk kan…? Ama cowok pake kemeja putih…”

”Iya bang, baru aja lewat nih…”

”Mereka check in apa gimana Zul..? ”

”Kayaknya check in, bang… Sekarang cowoknya masih di receptionist, ceweknya udah dianter si Andi ke kamar…”

”Tolong gua ya Zul, tolong cari mereka pake kamar mana. Yang cewek adeknya Ipet…”

”Waduh…” Nada suara Zul terdengar kaget. ”Oke siap bang… Nanti segera Izul kabarin…”

”Makasih Zul…”

Kembali aku menutup hapeku dan kembali termenung di dalam mobil. Niatku yang tadinya pengen check in dengan seorang kenalan baru yang bekerja jadi teller di sebuah bank, langsung lenyap. Aku baru masuk ke parkiran, ketika melihat Nova berjalan agak terburu-bersama seorang cowok yang mungkin sama dengan cowok yang kami lihat kemarin bersamanya keluar dari hotel. Sekarang mereka pasti check in lagi…

Hampir satu jam menunggu, aku melihat Jeep si Fredy sampai dan parkir di dekat mobilku. Aku beri klakson agar mereka tahu, dan Raka dan Fredy turun dan langsung menuju ke mobilku.

”Nova di dalem, bro…” kataku pada Raka. Aneh nih, si Raka tampaknya tenang banget. Gak tampak emosi atau gimana gitu selayaknya orang yang mau nge-gep pacarnya selingkuh.

Raka hanya diam, sementara Fredy yang tampak emosi langsung nyerocos.

”Kita samperin aja yok… Kita gebukin aja lakinya…”

”Sabar napa Pret… Nafsu amat sih lo…” makiku. ”Gimana bro…?”

”Terserah lah…”

Fredy yang gak sabar segera keluar dari mobilku dan melangkah ke dalam hotel. Buru-buru aku dan Raka mengikutinya. Aku melihat Izul bertugas di pintu masuk, dan menyapa hormat layaknya kami ini tamu hotel. Kami langsung mengikuti Izul menuju lift.

”306 bang…” kata Izul saat kami sampai di lantai 3.

”Makasih banyak, Zul…” kataku sambil salam tempel dengan si Izul.

”Makasih bang… Ada apa-apa kabari aja…”

Aku mengangguk. Sementara si Fredy udah langsung melangkah ke arah kamar 306. Aku dan Raka tergesa mengikutinya.

Aku buru-buru menahan Fredy yang tampaknya mau main tendang pintu, dan Raka langsung menarik Fredy agak mundur dari depan pintu kamar.

”Sabar napa si lo…” bentakku pelan pada Fredy. Wajahnya sudah memerah menahan emosi. Status Nova yang masih ada hubungan family dan sebagai pacar si Raka agaknya sudah membuat emosinya tersulut.

Lalu aku mengetuk pintu kamar 306, nada ketukanku aku buat sesopan mungkin layaknya room service.

Aku menunggu, tapi tak ada tanggapan dari dalam. Aku coba mengetuk lagi dan menunggu, masih gak ada jawaban. Aku menoleh ke arah Fredy dan Raka yang berdiri di belakangku. Keduanya juga masih menunggu.

Aku mengetuk pintu itu lagi….

”Siapa…!” akhirnya terdengar suara dari dalam, nada suaranya terdengar tak senang dengan gangguan ini.

Tiba-tiba Fredy maju dan menggebrak pintu kamar itu.

’’Buka pintunya..!’’ teriak Fredy lantang dengan mengubah suaranya, ’’Kami dari Kepolisian…!’’

-oOo-

Raka yang duduk di sebelahku tampak diam, wajahnya menatap keluar jendela mobil yang kini aku kemudikan dengan pelan. Sementara Fredy tadi langsung pamit tadi, katanya ada urusan. Aku tahu saat ini mungkin Raka masih merasa marah, merasa kecewa dengan kelakukan Nova. Tapi untuk ukuran orang yang sedang marah, sikap Raka ini terlalu tenang.

’’Lo gak apa-apa, bro…?’’ Stupid question.

Raka menoleh ke arahku, menatapku sejenak dan kembali membuang muka menatap ke jendela.

’’Gak apa-apa… Gua baek-baek aja…’’

’’Trus, rencana lo mau gimana…?’’

’’Gua akan segera mutusin si Nova…’’

Aku terdiam. Sejenak aku juga menyesali kejadian ini. Cewek seperti Nova udah jarang bisa di temui. Tapi mau apa lagi, aku juga gak nyangka ternyata jalan hidup Raka dan Nova harus melalui hal seperti ini.

Hubungan keluarga antara Fredy dan Nova memang cukup jauh, namun bagaimana pun yang namanya pacar sahabat sendiri akan sama sama kami jaga. Itu adalah peraturan tidak tertulis yang berlaku di kelompok kami. Apalagi Nova masih memiliki hubungan keluarga dengan Fredy.

Fredy tadi nampaknya menyimpan sebuah rencana, walau tadi dia gak bilang apa apa tapi aku bisa merasakan dia tak akan tinggal diam pada kejadian tadi. Aku bisa merasakan jika Fredy merasa tidak enak pada Raka, karena Nova statusnya masih kerabat Fredy. Ini juga yang membuat aku bingung, mau mendukung keputusan Raka karena perselingkuhan Nova, atau meminta Raka memaafkan Nova karena masih saudaranya si Fredy. Aku aja bingung banget, apalagi si Fredy.

’’Lo yakin…?’’

’’Kayaknya sih iya…’’

’’Gak bakal lo maapin si Nova…?’’

Raka terdiam lama, tak segera menjawab pertanyaanku. Aku pun akhirnya diam, tak ingin memaksa lagi.

’’Gua gak bisa nerima pacar gua selingkuh, bro… Apalagi jika dia sampe dipake ama orang lain. Seandainya dia belum dipake, mungkin gue masih bisa maapin…’’ kata Raka pelan.

’’Kita belum yakin kalo Nova emang udah dipake ama si Evan…’’

’’Ya, semoga begitu… Gua bakal lebih mudah maapin si Nova kalo emang kenyataannya emang dia belum ngapa-ngapain ama si Evan…’’

’’Kalo sampe udah di pake…? Gak bakal ada ampun buat Nova…?’’ tanyaku lagi.

’’Buat gua, punya pacar kayak Nova gitu rasanya kayak mimpi, bro… Lo tau sendiri keadaan gua gimana, dan Nova gimana. Sekarang gua Cuma bisa sadar diri aja, karena pada dasarnya gua memang gak sebanding ama Nova…’’

’’Lo gak perlu ngomong gitu juga, kaleee… Gak baek lah ngerasa rendah diri gitu…’’

’’Iyaa…, tapi gak bisa dipungkiri juga, kan… mungkin alasan Nova selingkuh karena si Evan emang lebih segalanya di banding gua…’’

Aku diam, akhirnya jadi malas ngomong lagi. Ini emang wataknya Raka, tak ada gunanya didebat lagi.

’’Buat gua, kalo perempuan udah selingkuh sekali, maka 90% akan diikuti oleh perselingkuhan selanjutnya, bro… Apalagi kalo dia udah pernah ngerasain barang cowok lain, gak ada ampun buat gua. Pada Nova gua berharap banyak, tapi setelah kejadian tadi, harapan gua ama dia langsung musnah, karena gua berharap dia menjadi yang terbaik buat gua. Gua gak mau nanti dia ngebanding-bandingin gua ama cowok lain, apalagi soal barang… Iya kalo barang gua lebih gede, kalo lebih kecil gimana coba…?’’ jelas Raka panjang lebar.

Penjelasan Raka masuk akal buatku, walau aku merasa itu pemikiran yang rada gemblung. Aku juga berharap suatu saat nanti punya istri yang setia, yang aku dapatkan sejak perawan dan hanya merasakan barang milikku saja seumur hidupnya. Bukannya mau menang sendiri, aku juga gak mau munafik kalau aku ini penjahat kelamin, tapi yang jelas aku gak bakal rela jika wanita milikku pernah merasakan barang lelaki lain.

Egoisme laki-laki.
Alasan yang masuk akal.

-oOo-

Malam harinya, kami berkumpul di rumahku, dimana aku dan Raka mendapat penjelasan dari Fredy. Rupanya sejak keluar dari hotel tadi dia menunggu Nova dan Evan untuk minta penjelasan dari mereka berdua.

Nova dan Evan baru sudah dua bulan ini berselingkuh. Semua dimulai saat Nova magang di perusahaan kontraktor milik keluarga Evan dimana Evan menjadi salah satu komisarisnya. Fredymenceritakan bahwa bahwa Evan jatuh cinta pada Nova, dan terus mengejar-ngejar Nova. Nova akhirnya luluh pada pesona si Evan, walau pada dasarnya Nova masih sangat mencintai Raka dan tak ingin berpisah dari Raka. Niatnya Nova dia hanya ingin bersenang-senang sejenak, sekaligus memperlancar praktek magangnya di perusahaan Evan. Hanya yang jadi masalah, Evan serius sementara Nova hanya have fun.

Nova juga mengakui dia sudah 5 kali bersetubuh dengan Evan. Yang pertama terjadi saat mereka pulang dari sebuah karaoke dalam keadaan mabuk, namun kembali terulang karena pintarnya si Evan merayu Nova.

Raka hanya terdiam mendengarkan cerita Fredy. Aku bisa melihat betapa hancurnya perasaan Raka, tapi aku menyadari bahwa Raka punya prinsip, dan juga watak. Aku bisa memastikan Raka akan melepaskan Nova. Emosinya samasekali tidak terpancing, bahkan tampak sangat pasrah. Aku membenci sifat Raka yang suka merasa rendah diri ini, dan aku menyadari tak akan pernah bisa mengubah Raka akan sifatnya yang satu itu. Yang ada malah emosiku dan Fredy yang menjadi terpancing.

’’Gua akan mutusin Nova, supaya dia bisa dapet cowok yang setara ama dia….’’ Kata Raka perlahan.

Aku dan Fredy hanya bisa diam.

-oOo-

Tiga hari kemudian, aku menerima telepon dari Nova. Dia menangis histeris, dia bilang Raka baru saja pergi setelah mereka berdua bertemu, dan Raka baru saja memutuskan hubungannya dengan Nova. Nova sampai memohon-mohon padaku sambil menangis, agar mau membantunya untuk mengubah keputusan Raka.

’’Maaf, Va… Bukannya gak mau ngebantu… Tapi lo tau sendiri sifatnya Raka…. Lagian ini semua salah lo sendiri, gua aja marah ama kelakuan lo udah menghianati sahabat gua… Jadi semuanya tergantung ama lo sekarang, tergantung ama usaha lo, gua gak berani mau ikut campur… Maaf ya, Va.. sekali ini gua gak bisa ngebantuin lo…’’

-oOo-

Aku mengangkat telepon si Fredy.

’’iya, Pet…’’

’’Nova barusan nelpon gua, Raka mutusin dia…’’

’’Gua juga tadi pagi di telpon ama Nova, nangis-nangis dia minta gua bantuin dia supaya Raka gak jadi mutusin dia…’’

’’Jadi gimana, bro…?’’

’’Gua gak ikut-ikutan deh, Pet… Lo tau sendiri si Raka sifatnya gimana…’’

’’Itu dia yang bikin gua pening… Gua gak enak nih ama sepupu gua yang nikah ama sepupunya Nova. Keluarga besarnya udah tau kalo Nova kita gerebek di hotel… Mereka sekarang ngotot suapaya si Evan tanggung jawab…’’

’’Trus gimana…?’’

’’Kalo si Evan agak ngeles gitu, lo tau sendiri kalo dia cuma dapet bekasnya Raka…’’

’’Gua potong lehernya kalo dia gak mau tanggung jawab…’’

’’Wakakakak…. Ya udah.. Kalo gitu gua yang masukin nanti ke dalam karung…’’

-oOo-

’’Tolong Nova, Dit… Keluarga Evan mau ngelamar Nova…’’

Aku terdiam sambil menatap langit-langit ruang tamu rumahku, tempat aku menerima Nova yang bertamu ke rumahku. Sejak datang tadi si Nova sudah nangis-nangis gak karuan.

’’Nova gak mau nikah ama Evan, Dit… Nova masih cinta ama Raka….’’

’’Salah lo sendiri, Va…. Salah lo sendiri….’’
 
 
Bagian 17
Life Is Like Rollercoaster Ride (2)


Di Sebuah Rumah Kost di Pondok Jaya, Bintaro

Sore itu, aku berdiri di depan sebuah rumah, yang menurut Githa adalah rumah kost Pipit. Rumah bercat putih dengan pagar berwarna coklat itu dihiasi oleh sebuah pohon jambu air yang cukup besar di halamannya. Rumah yang tenang, layak untuk jadi tempat kost mahasiswa yang ingin suasana mendukung untuk belajar. Aku membuka pagar rumah itu, dan mengetuk pintu.

Tok… tok… tok…

“Assalamu’alaikuuum….” Kataku agak keras memberi salam.

“Waalaikumussalaaam….” Terdengar sahutan dari dalam rumah.

Pintu rumah itu terbuka, pintunya terbuka setengah dan seorang wanita muda berjilbab melongokkan kepalanya keluar menatapku. Wah, kalo di Lampung ini sungguh gak sopan.

“Cari siapa, ya…?” tanyanya.

“Maaf mbak, apakah benar ini tempat kost-nya Pipit…? Mahasiswa STAN yang berasal dari Lampung…” jawabku sesopan mungkin.

“Pipit yang anak pajak…?” tanya memperjelas maksudku.

“Iya bener, mbak…” Jawabku lega, kemungkinan besar aku tidak salah alamat.

“Mas ini siapa…?”

“Saya saudaranya, mbak…, Nama saya Raka, saya baru datang dari Lampung…” jawabku agak berbohong.

Si mbak itu menatapku, seakan menyelidiki. Eh busyet, ini orang kok curigaan amat, ya… Akhirnya…

“Silakan duduk dulu, Mas… Saya lihat dulu orangnya ada apa gak…” katanya sambil menunjukkan sebuah bangku bambu di teras rumah itu dengan ayunan kepalanya, lalu menutup pintu dan menghilang.

Aku duduk di bangku bambu itu, yang teduh karena dinaungi oleh pohon jambu. Aku menatap sekeliling rumah itu, menunggu. Tak sengaja aku melihat tirai hordeng sebuah kamar agak tersingkap, samar aku melihat ada wajah yang menatap kepadaku. Aku pura-pura tidak melihat, aku pura-pura menatap pohon jambu itu, berharap ada buah yang bisa aku petik.

Tak lama kemudian, pintu rumah itu terbuka kembali. Sesosok gadis berkerudung putih dengan gamis biru muda tampak keluar dari dalam. Wajahnya tersenyum ramah, menambah cantik wajahnya yang berkacamata.

Aku terpana, menatap tak berkedip.

Dihadapanku kini, berdiri seorang gadis yang selama ini tak pernah hilang dari ingatanku. Gadis yang sering menghias mimpiku. Gadis yang selama ini menghilang dariku. Dari balik kacamatanya dia menatapku sejenak, untuk kemudian kembali menundukkan wajah, namun tetap tersenyum.

“Assalamu’alaikuuum, Ka….”

Ya Tuhan, aku sangat merindukan sapaan lembut itu…

“Pipit… Waalaikumussalaaam….”

-oOo-


Pipit duduk di hadapanku, di sebuah meja di teras terbuka gerai McD di sektor 9 Bintaro. Pipit sengaja mengajakku kesini, karena katanya gak enak jika ngobrol di kost-an. Tak biasa, alasannya, karena semua penghuni kost-an itu adalah mahasiswi berjilbab semua. Aku paham.

Aku memesan secangkir kopi hitam, setelah burger besar telah habis kami makan. Pipit memesan kembali cola ukuran medium untuk menemaniku ngobrol sambil makan kentang goreng.

“Apa kabar, Pit…?” tanyaku, berharap akan menjadi bahan pembuka obrolan karena sejak berangkat tadi Pipit lebih banyak diam.

“Alhamdulillah baik saja, Ka… Kaka sendiri gimana kabarnya…?”

“Alhamdulillah baik juga…, seperti yang Pipit lihat sekarang…”

“Kaka agak item nih, sekarang…”

“Namanya juga anak pertanian, Pit… Kebanyakan di sawah, ladang dan kebun…, hehe…”

“Untung Pipit diterima di STAN ya… kalo gak mungkin sekarang juga nambah item karena kelamaan di Lampung, hehe…”

“Kapan selesai, Ka…?” tanya Pipit menanyakan kapan aku lulus.

“Insya Allah gak lama lagi, Pit… Kaka udah tinggal menunggu ujian skripsi. Kemarin Kaka dari Bogor mencari bahan buat melengkapi literatur…”

“Bisa tahu Pipit ada disini dari siapa…?” pertanyaannya tiba-tiba berubah.

“Kaka nanya sama papa kamu…” jawabku bercanda, tapi dengan nada yang serius.

“Bohong banget…” sergahnya tersenyum karena samasekali itu tak mungkin. “Mana mungkin papa ngasih tahu… Lagian emang Kaka berani…, nanya ama Papa…?”

“Berani dong…” jawabku cepat. “Papa kamu kan papa aku juga…”

Sekilas Pipit melirik menatap mataku, bibirnya tersenyum lucu… Jawabanku rupanya menarik perhatiannya. Aku bisa bilang begitu karena sejak tadi Pipit lebih banyak menunduk, menghindari terlalu sering kontak mata denganku, kecuali ada ucapanku yang bisa menarik perhatiannya.

“Ngawur…” katanya sambil tersenyum.

“Amiiin… semoga kejadian walau pun ngawur…” kataku sambil tersenyum.

“Kalo gitu, sebentar lagi Kaka jadi sarjana dong, ya…”

“Iya, Insya Allah… Semoga Kaka bisa segera jadi sarjana… Supaya Kaka bisa memenuhi salah satu pesan Pipit dulu…”

Pipit terdiam, aku berusaha membuka semua kenangan kami, salah satunya dengan kenangan bagaimana dulu Pipit sangat berharap agar aku mau kuliah. Aku menatap gadis yang ada dihadapanku ini dalam-dalam, berharap dia mau membalas menatapku. Tapi Pipit tetap tertunduk, memainkan sedotan yang ada di gelas colanya. Agak lama kami terdiam…

Aku merogoh saku jaketku, dan mengeluarkan bungkus rokok lalu menghisapnya sebatang. Pipit menatapku.

“Kamu juga merokok sekarang…” ujarnya dingin.

“Perubahan, Pit…” jawabku sambil menghembuskan asap rokokku, berpaling menatap ke arah lain. “Mungkin gak sama dengan saat kamu mulai berjilbab, tapi konsepnya tetap sama, perubahan …”

Entah kenapa aku menjawab seperti itu, aku hanya gak suka ternyata Pipit masih bisa berpikir bisa mengatur aku sepenuhnya. Gak suka dengan nada komplainnya saat aku menyalakan rokok.

Pipit menghela nafas… “Pipit gak suka ngeliat Kaka ngerokok…” katanya dengan nada yang jelas terdengar kecewa.

“Kaka juga gak suka saat Pipit memutuskan hubungan kita…” jawabku sekenanya.

“Gak ada korelasinya…” sergah Pipit.

Terus terang, aku gak suka dengan perubahan suasana yang tiba-tiba ini. Aku dan Pipit tiba-tiba merasa canggung. Pembicaraan kami jelas menjadi tak enak. Aku mematikan rokok yang aku hisap itu di asbak, dan menghirup kopi hitamku. Kami kembali terdiam.

“Kaka akan berhenti merokok…” kataku sambil meremas kotak rokok yang masih terisi separuhnya itu. “Kamu gak suka Kaka merokok, fine. Demi kamu apa pun akan Kaka lakukan…”

Pipit hanya menatap semua perbuatanku tanpa berkomentar apa-apa.

“Sekarang, kapan kamu akan kembali pada Kaka…?”

Pipit terkejut atas pertanyaanku.

“Pipit gak nyuruh Kaka berhenti merokok…” tukasnya agak emosi. “Pipit hanya bilang Pipit gak suka ngelihat Kaka merokok… Itu aja…!”

“Kaka juga gak minta kamu melepas jilbab, kan…?” jawabku, juga agak emosi. “Kaka hanya bertanya kapan kamu kembali pada Kaka… Itu aja…!”

Kami saling menatap penuh emosi. Wajah Pipit tampak memerah karena ucapanku, tapi mungkin kini dia agak bingung mau berkata apa. Aku merasa sangat kecewa pada suasana yang terjadi saat ini. Aku merasakan betapa aku masih sangat mencintai Pipit walau kini kami saling menatap dengan penuh emosi.

“Maafkan Kaka…” kataku lemah, menyadari tak ada alasan untuk apa aku emosi. “Kaka masih gak bisa melupakan kamu, Pit… Kaka masih belum bisa menghilangkan harapan Kaka pada kamu…”

Aku tertunduk. Ribuan macam pikiran memenuhi otakku, tapi tersumbat semua karena aku tak ingin mengecewakan Pipit lagi saat ini.

“Segala macam cara sudah Kaka tempuh agar bisa melupakan kamu. Semua sudah Kaka lakukan agar bisa memahami cara berfikir kamu. Semua, mulai dari yang baik bahkan sampai ke hal yang paling buruk, sudah Kaka lakukan…” kataku pelan. “Tapi entah kenapa Kaka selalu gagal untuk melupakan kamu, setelah semua upaya itu Kaka lakukan malah membuat kamu semakin tak bisa Kaka lupakan…”

Pipit masih terdiam. Dia mengaduk-aduk gelas colanya dengan gelisah.

“Karena semua alasannya adalah tentang kamu… Bagaimana Kaka bisa melupakan kamu jika semua upaya yang Kaka lakukan itu alasannya selalu tentang kamu… Yang ada sekarang, malah kamu semakin kuat berada dalam hati Kaka… Maafkan Kaka, Pit…”

“Maaf untuk apa…? Untuk hal apa Kaka minta maaf sama Pipit…?”

“Kaka minta maaf karena tak bisa menjadi seperti yang kamu harapkan…”

Pipit terdiam. Aku pun terdiam. Kami sama-sama sibuk dengan isi otak kami masing-masing.

“Seandainya Kaka mau mengupayakan itu semua karena Yang Maha Kuasa, Pipit yakin Kaka akan bisa berhasil melupakan Pipit… Minimal Kaka akan bisa melupakan semua kenangan kita…” kata Pipit perlahan.

“Di situ salahnya… Kaka gak menyadari seharusnya itu yang menjadi alasanya, pada niat kita dan keikhlasan kita untuk melupakan itu semua…” jawabku.

“Iya… di situ lah letak kesalahannya hingga kenapa sekarang Kaka gagal…” kata Pipit. “Pipit juga dulu sangat susah untuk mulai melupakan Kaka… Tapi Pipit yakin Pipit pasti bisa karena Pipit ikhlas karena Yang Maha Kuasa…”

“Iya… Seharusnya dari dulu Pipit bilang itu saat mutusin Kaka…” jawabku perlahan. “Seharusnya Pipit menjelaskan itu pada Kaka, bukannya malah bilang Pipit gak pernah mencintai Kaka…”

Pipit terdiam, gerakannya yang memainkan gelas colanya seketika terhenti dan matanya menatap mataku dalam-dalam.

“Maafkan Pipit, Ka…” akhirnya Pipit berkata. “Itu kesalahan terbesar yang hingga saat ini selalu Pipit sesali… Maafkan Pipit karena Pipit dulu begitu egois dan naif hingga lupa memikirkan perasaan Kaka…”

“Makanya… Jangan melulu nyalahin Kaka karena gak pernah bisa ngelupain kamu dan selalu mengejar-ngejar kamu, Pit…” kataku pada Pipit dengan penuh duka. “Jika boleh memohon pada Pipit, masihkah ada harapan buat orang yang gagal move on seperti Kaka ini buat Pipit…?

Pipit menatapku bimbang, wajahnya terlihat sangat gundah karena pertanyaanku.

“Sebenarnya, Pipit sangat kecewa melihat keadaan Kaka sekarang…” katanya menatapku.

Aku mengangkat sebelah alisku karena heran.

“Pipit lihat Kaka gak ada perubahan sama sekali…”

“Yup… Malah makin hancur…” tukasku sekenanya. “Kaka sekarang jadi perokok, jadi tukang main perempuan…”

“Tukang main perempuan gimana…?” sergah Pipit cepat.

“Tukang main perempuan…! Bagian mana yang kamu gagal paham…?” kataku tak peduli sambil menatapnya. “Tukang. Main. Perempuan.”

Pipit membuang muka dan menggelengkan kepalanya dengan kesal.

“Setelah Kaka putus dari kamu hingga detik ini, Kaka sudah belasan kali pacaran lagi. Semua cewek itu Kaka buat jadi sangat mencintai Kaka dengan cara memberikan semua perhatian Kaka pada mereka… Jadinya mereka semua sangat mencintai Kaka…! Untuk kemudian satu per satu mereka Kaka putusin dengan alasan Kaka gak pernah cinta ama mereka…!”

Seketika Pipit menoleh menatapku. Wajahnya kaget dan tak percaya.

“Ternyata rasanya nikmat banget, Pit… Kaka gak pernah menyangka ternyata begitu nikmat rasanya menyakiti hati orang dengan alasan seperti itu… Nikmat banget melihat mereka semua menjadi patah hati karena alasan ‘gak pernah mencintai’ itu…”

Pipit menatapku sambil menggelengkan kepalanya.

“Kamu memang guru yang hebat, Pit…!” kataku sambil menunjuk Pipit tepat di wajahnya.
“Semua itu Kaka lakukan hanya mengulang pada apa yang pernah kamu lakukan pada Kaka… Dan Kaka gak pernah puas untuk menikmati saat-saat melihat mereka patah hati, Kaka akan segera cari pacar lagi untuk kemudian Kaka sakiti… Ternyata rasanya memang nikmat banget…! Gak kebayang betapa penuh sensasinya mengatakan ‘gak pernah mencintai’ pada orang yang sudah kita buat mencintai kita setengah mati…!”

Aku menatap Pipit dengan tatapan yang berapi-api.

“Semua Kaka lakukan agar Kaka bisa melupakan kamu…! Kaka menganggap itu sebagai balasan pada kamu…! Menyakiti hati gadis lain itu Kaka anggap sebagai pembalasan dendam Kaka pada kamu yang sudah menyakiti Kaka…!” kataku penuh geram.

Aku menghempaskan punggungku kembali ke sandaran kursi. Berusaha keras menurunkan emosiku saat ini. Sudah jelas apa yang aku katakan semua adalah bohong belaka, karena aku hanya punya pacar sekali setelah putus dari Pipit, yaitu dengan Nova dan itu pun aku kembali disakiti. Di tambah ada beberapa kali hubungan singkat yang tak diketahui orang banyak, dengan Lilies misalnya.
Tapi yang aku katakan pada Pipit tadi adalah isi otakku, saat aku kembali terluka ketika aku teringat pada Pipit, kemudian berkhayal bagaimana cara membalas dendam pada Pipit. Sekarang aku mengatakan itu semua pada Pipit seakan itu semua adalah nyata.

Aku sudah membuat diriku menjadi bajingan bagi Pipit.
Fuck…!

Pipit mengambil sapu tangan dari tasnya, lalu tangannya bergerak membuka kacamatanya. Dengan saputangan itu Pipit menyeka air matanya yang menggenang, tanpa pernah aku sadari sejak kapan Pipit mulai menangis.

Ya Tuhan… Aku sudah menyakiti lagi gadis yang sangat aku cintai, bahkan sekali ini dengan cerita fiktif hasil khayalan otak kotorku belaka.

Aku terdiam, menyesali apa yang sudah terjadi sambil menunggu Pipit.

Menit demi menit berlalu dalam diam yang menyesakkan.

“Padahal Pipit tak pernah bermaksud untuk menyakiti Kaka…” kata Pipit akhirnya, penuh sesal.

“Iya, Kaka percaya itu, Pit… Hanya saja kamu gak pernah cerita yang sebenarnya pada Kaka…”

“Pipit benar-benar gak menyangka akibatnya akan seperti ini, Ka…”

“Sama seperti Kaka saat kebingungan gak tau harus berbuat apa setelah kamu pergi…” jawabku lemah.

“Kenapa gak memilih jalan yang baik, Ka…? Seharusnya Kaka tahu, dari pada berbuat seperti itu seharusnya akan lebih baik jika Kaka mendalami agama…”

“Pernah, Pit..., Kaka pernah seperti itu…”

“Pernah…? Maksudnya…?”

Aku menatap jauh keluar, menerawang ke sebuah masa yang sangat malu untuk aku kenang lagi.

“Kaka pernah berusaha menjadi seperti kamu….”

Pipit kini sudah menatapku tanpa berkedip, menanti kelanjutan ceritaku.

“Pernah berusaha menjadi seseorang yang seperti kalian… Berusaha memahami apa yang kamu maksudkan dengan menjadi seperti kamu… Sebenarnya Kaka bisa menjalani itu semua selama beberapa bulan, lalu kemudian Kaka berhenti dan memilih cara Kaka sendiri untuk melupakan kamu…”

“Kenapa sampai harus berhenti…?” tanya Pipit ditengah pemahamannya tentang apa yang aku maksud.
“Karena kamu…” Aku menatapnya dalam-dalam. “Kaka masuk kesana dengan tujuan agar kamu bisa melihat kalo Kaka bisa menjadi seperti kamu, omongan kamu bahwa lelaki yang baik akan mendapatkan wanita yang baik malah justru menjadi racun buat Kaka…”

“Tak ada niat lain berada disana selain dengan tujuan agar kamu bisa menjadi jodoh Kaka… Dan niat itu membuat Kaka menjadi zombie di tengah kumpulan orang-orang itu, Pit… Kaka berbeda, karena Kaka berada disana tidak dengan niat yang sama dengan mereka, tidak sama dengan kamu saat ninggalin Kaka…”

“Sampai akhirnya Kaka menyerah, Kaka akhirnya bisa merasakan betapa susahnya kamu dulu bisa berada disana, sampai-sampai kamu harus mengorbankan Kaka… Kaka akhirnya meninggalkan itu semua, Pit…, dengan pengorbanan yang juga sama besarnya…”

“Keluar dari sana dan memilih cara Kaka sendiri…, dengan mengorbankan kesempatan untuk dilihat oleh kamu bahwa Kaka sudah berubah…, Kaka membuang kesempatan untuk kamu melihat Kaka sudah berjenggot dan bercelana cantung…, Kaka membuang semua harapan Kaka untuk bisa berjodoh dengan kamu saat itu, dan berharap akan ada keajaiban suatu saat nanti, saat dimana Kaka akan memperoleh hidayah yang sama dengan yang kamu peroleh dulu, saat dimana niat kita hanya untuk berbhakti mengharapkan ridho dari Yang Maha Kuasa…”

“Kaka dulu gak mampu ikhlas, Pit… Semua alasan pada apa pun yang Kaka lakukan, semua hanya tentang kamu…”

Ada rasa lega yang teramat sangat saat aku bisa menceritakan itu semua, seakan seluruh beban hatiku selama ini berhasil aku lepaskan.

Pipit terdiam menatapku, matanya tampak berkaca-kaca.

“Maafkan Kaka karena selalu menyalahkan Pipit karena sudah meninggalkan Kaka dan melukai Kaka… Maafkan Kaka karena tak pernah bisa mengerti apa yang terjadi pada kamu… Kaka yang sudah menjadi orang yang egois karena selalu menyalahkan kamu, selalu menuduh bahwa kamu adalah semua pangkal penyebab pada duka yang Kaka alami…”

“Seandainya waktu bisa diulang, Pipit akan kembali untuk memperbaiki itu semua, Ka…” kata Pipit lirih, sendu menatapku.

“Seandainya Kaka diberi kesempatan untuk memperoleh kembali sesuatu yang pernah hilang dari hidup Kaka, maka Kaka hanya akan meminta kamu untuk kembali menjadi milik Kaka, Pit…’’

Sebutir airmata jatuh di pipi gadis yang duduk dihadapanku ini, mengalir cepat sebelum hilang terserap jilbab yang melingkari wajahnya. Ingin rasanya aku merengkuh Pipit detik ini juga, membawanya ke dalam pelukanku agar dia tahu betapa aku sangat mencintainya, betapa aku ingin dia kembali ke dalam hidupku. Tanganku terkepal erat hingga gemetar, karena menahan diri untuk tidak menyentuh Pipit.

“Kaka masih sangat mencintai kamu, Pit… Apa pun yang terjadi dalam hidup Kaka, tak pernah sedetik pun Kaka berhenti mencintai kamu… Kaka gak tau, apakah harus bangga bisa menyampaikan kebenaran ini kepadamu atau malah seharusnya harus malu karena gagal move on…”

Pipit tersenyum menatapku, untuk kemudian mengusap jejak airmata yang ada di pipinya.

“Dulu Kaka selalu segera menghapus airmata Pipit jika Pipit menangis…” katanya lembut, sambil tersenyum menatapku. “Bahkan saat airmatanya masih belum mengalir pun, Kaka sudah mengusap mata Pipit…’’

“Kaka tadi hampir gak bisa menahan diri, Pit… Hampir maju untuk mengusap airmata kamu dan membawa kamu dalam pelukan Kaka…” jawabku getir. “Tapi setelah Kaka pikir-pikir, nanti saja Kaka lakukan itu lagi…., setelah kita menikah…”

Sebuah senyum tersipu segera terukir di wajah Pipit saat mendengar perkataanku, dan menundukkan wajahnya menutupi rasa jengah yang memerahkan wajahnya.
“Kamu belum memberikan jawaban, Pit…“

“Jawaban yang mana…?“

“Yang tadi, waktu Kaka bilang Kaka masih sangat mencintai kamu…, kamu belum menanggapi..“

Pipit hanya menggelengkan kepalanya, untuk kemudian menatapku sambil tersenyum dan menjawab.

“Kaka tahu Pipit gak akan pernah menanggapi hal seperti itu lagi…”

“Apakah Kaka masih boleh berharap kamu akan jadi istri Kaka kelak, Pit…? Dengan kondisi Kaka yang seperti sekarang ini…?” tanyaku galau.

“Jodoh manusia itu rahasia Tuhan, Ka… Kita gak akan pernah tahu… Wanita baik akan mendapatkan pria baik itu adalah harapan, bukan sesuatu yang pasti karena semua hal yang pasti itu adalah Hak dari Yang Maha Kuasa… Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa agar semua yang menjadi harapan kita bisa terkabul pada diri kita…’’

-oOo-


Sengaja kami turun dari taksi di ujung jalan, untuk kemudian berjalan kaki menuju kost Pipit yang berjarak kurang lebih 300 meter lagi. Kami menempuh perjalanan yang jaraknya dekat itu dengan berjalan perlahan, sambil ngobrol yang ringan-ringan saja, tak ada lagi omongan berat yang kami bahas, terutama tentang hubungan kami, tak kami singgung-singgung lagi. Obrolan seputar masalah kuliahku dan kuliah Pipit, tentang kelurga kami di Lampung dan hal lain yang ringan-ringan saja.

“Doakan skripsi Kaka segera selesai ya, Pit… Kaka berharap bisa wisuda bulan April ini…’’

’’Insya Allah akan selalu Pipit doakan, Ka… Kaka harus berusaha yang keras, ya…’’

’’Iya… Kasihan ayah dan ibu, adik-adik juga masih perlu biaya buat sekolah… Kaka harus segera selesai dan cari kerja buat meringankan beban mereka…’’

’’Aamiin… Niat anak yang baik Insya Allah akan selalu di kabulkan…’’

’’Nanti kalo Kaka udah kerja dan banyak duit, Kaka akan segera melamar Pipit…’’

’’Mulai lagi deeeh….’’ Protes Pipit mendengar ucapanku sambil tertawa.

’’Hehe… Namanya juga harapan, Pit… Masa cuma ngarep doang masih kamu larang juga…’’

’’Iya deeh… Terserah Kaka… Tapi Pipit gak janji apa-apa ya…’’

’’Iyaaa… semoga tadi ada malaikat lewat dan meng-amin-kan harapan Kaka tadi…’’ kataku sambil tersenyum.

Tak terasa kami sudah sampai di depan kost-an Pipit. Seperti yang sudah kami sepakati tadi, aku akan segera pamit dan langsung pulang.

’’Pit…, Kaka boleh bertanya sesuatu…?’’

Pipit yang sudah hampir masuk ke dalam pagar menoleh, dan kemudian berbalik dan berdiri berhadapan denganku dalam jarak satu langkah saja.

’’Kaka mau tanya apa…?’’ tanyanya lembut menatapku.

’’Pacar Pipit sekarang siapa…?’’ tanyaku menatapnya. ’’Tiga tahun kita berpisah mungkin sekarang Pipit udah punya pacar baru…’’


Pipit menatapku dengan tatapan teduhnya, seutas senyum tulus menghias wajahnya yang bersih bersinar sore itu.

’’Pertanyaan Kaka itu seperti Kaka gak mengenal Pipit aja…’’ katanya lembut, dan kemudian aku terkejut saat Pipit meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

’’Ka…, seandainya dalam Islam diperbolehkan dan dihalalkan pacaran sebelum menikah, yakinlah yang Pipit mau hanya Kaka yang jadi pacar Pipit…’’
  


Bagian 17
Life Is Like Rollercoaster Ride (3)


Bulan Maret tahun itu juga, aku berhasil lulus sidang skripsi, gelar sarjana pertanian kini sudah aku genggam, tinggal menunggu wisuda pada bulan April ini. Aku sangat bersyukur atas pencapaian ini, begitu pula dengan orang tuaku, dan sahabat-sahabatku. Aku adalah yang pertama diwisuda diantara sahabat-sahabatku.

Masih ada waktu sebulan sebelum acara wisuda, dan skripsi sudah selesai dicetak. Pada halaman persembahan aku menuliskan :

Aku persembahkan skripsiku ini kepada kedua orangtuaku,
kepada kedua adikku yang telah sabar menanti keberhasilanku menjadi sarjana.
Kepada sahabat-sahabat terbaikku untuk kebersamaan yang indah,
Serta kepada Desri Savitri Tresnanursariku tercinta

Halaman persembahan ini cukup membuat heboh teman-teman sejurusanku, karena mereka sama sekali tidak mengetahui siapa Desri Savitri Tresnanursari, mereka tidak pernah melihatku atau mendengarku berhubungan dengan orang yang bernama panggilan Pipit itu. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum, aku cuma bisa bilang, “Ada deh…”, kecuali para sahabatku yang langsung mencibir dan bilang “Ngarep…’’. Hehe… Bodo ah…

Hari-hari menunggu wisuda, dimana tak ada lagi kegiatan di kampus, aku pergunakan untuk semakin serius mengelola sebuah minimarket. Sebenarnya modal membuat minimarket ini dari Didit dan Fredy, dan kami semua mengelola sesuai dengan bidang masing-masing, dan dari usaha ini pula aku memperoleh penghasilan tambahan selain menjadi ‘’konsultan” bagi kedua pasien tetapku. Aku akan berada disana seharian, kecuali bila kami akan pergi bersama. Tugas-tugas kuliah Didit dan Fredy tetap aku kerjakan sambil mengelola minimarket ini bersama Yoyok. Hingga saat ini, aku sudah mempunyai tabungan yang lumayan jumlahnya, dan dalam hati aku tak henti-hentinya berterimakasih pada Didit dan Fredy.

Dua minggu sebelum wisuda, aku berangkat lagi ke Jakarta menemui Pipit. Tujuanku jelas, aku akan menyerahkan salah satu skripsi yang aku buat untuk aku serahkan padanya, karena namanya tertera disana sebagai persembahan bagiku, sebagai bukti bahwa aku sudah melaksanakan salah satu pesan yang pernah diberikan Pipit saat kami masih bersama dahulu.

Sayangnya, Pipit saat itu tak mau di temui. Dia sama sekali tak mau keluar menemuiku walau saat aku datang dia sedang berada di rumah kost-nya. Alasannya jelas, dia tak mau menemuiku lagi karena dia tak mau lagi sampai “terhanyut” jika bertemu denganku. Pipit bilang, jika dia menemui aku, dia takut tak akan bisa menahan diri seperti saat kemarin aku bertemu dengannya, dimana dia sampai memegang tanganku. Akhirnya aku mengalah, aku pulang kembali ke Lampung hari itu juga tanpa berhasil menemui Pipit. Skripsi yang aku bawa aku tinggalkan di meja tamu teras rumah kost-nya setelah Pipit berjanji akan mengambilnya setelah aku pulang dan akan menyimpannya.

Syukur kepada Tuhan, rupanya tahun itu merupakan tahun keberuntungan bagiku. Setelah aku wisuda, pada bulan Mei ada seleksi penerimaan calon pegawai negeri. Aku mencoba ikut test tersebut dan berhasil lulus. Pada bulan Juli aku sudah mulai bertugas menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di Kota Metro. Kedua orang tuaku sangat bahagia saat itu, terutama ayahku. Beliau sangat bangga pada anaknya yang menjadi abdi negara ini.

Seluruh sahabatku juga merasa bangga pada hasil yang aku raih, sehingga mereka saling berlomba untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Hanya perlu dua periode wisuda sejak kelulusanku, semua sahabatku lulus dan menjadi sarjana semua. Pada akhirnya kini, Yoyok, Fredy, dan Bambang juga menjadi pegawai negeri, sementara Ucup, Didit, Zaldi, dan Bagas menjadi pegawai swasta dan menjadi wirausahawan. So far, we are fine, Thanks God for this gift.

Setahun kemudian Pipit diwisuda. Sebenarnya aku lupa jika program yang diikuti Pipit adalah program diploma, sehingga dalam 3 tahun Pipit sudah selesai kuliah dan langsung ditempatkan di daerah karena memang terikat dengan ikatan dinas. Aku baru menyadari saat aku mendatangi Pipit di kostnya di Jakarta, pemilik rumah mengatakan Pipit sudah diwisuda dan sudah ditempatkan, sayangnya beliau tidak tahu pasti dimana Pipit di tempatkan.

Dari Githa aku mendapatkan penjelasan dimana Pipit di tempatkan.

Di Kota Palu, Sulawesi Tengah.

-oOo-

Bulan November 2013, Seminggu Setelah Menerima Undangan Pernikahan Pipit

Aku sampai meluruskan kaki kiriku hingga terasa tegang dan pegal, sementara kaki kananku berusaha mengatur tekanan pada pedal gas agar laju mobil yang aku kendarai ini bisa tetap melaju konstan. Tangan kananku memegang setir, sementara tangan kiriku menelusup ke dalam rok yang dikenakan Ria, meremas pantatnya dengan gemas.

“Kayaknya gue bakal pergi ke Palembang, Ria… Ssshhhh…. Aaahhh….”

Clop… clop… clop… ghlokh…ghlokh… Hhmmmmhh….

“Aaaahhhh…. Lo apain kontol gue itu, Riaaa…..” desahku tersengat kenikmatan yang diberikan oleh bibir dan lidah Ria pada penisku. Aku semakin dalam rogohanku pada balik roknya, menerobos belahan pantat bahenolnya Ria, berusaha mengilik anus dan liang vaginanya hingga banjir. Ria menggelinjang, dan semakin heboh mengoral penisku.

Sore itu adalah hari Jumat, aku dan Ria berangkat menuju Bandar Lampung dari Kota Metro berdua dengan mengendarai mobilku. Aku ingin menghabiskan akhir minggu ini di rumah orang tuaku, sementara Ria akan mengunjungi rumah mertuanya. Perjalanan sepanjang hampir 50 km itu kami isi dengan penuh kenikmatan. Sebenarnya Ria yang lebih aktif, karena aku sendiri sibuk menyetir. Sejak mulai keluar dari Kota Metro, Ria mengoral penisku. Dan kini sudah lewat dari simpang Tegineneng, aku sudah hampir ejakulasi karena di vacuum terus menerus oleh Ria.

Teknik oralsex Ria patut diancungi jempol. Kombinasi hisapan kuat, jepitan bibir dan sapuan lidahnya yang basah dalam gerakan naik turun dan terkadang deepthroath, membuatku selalu ketagihan pada servisnya yang satu ini. Aku kecanduan pada oralsexnya Ria, aku juga kecanduan bersenggama dengan Ria. Aku sungguh beruntung punya TTM dengan kemampuan olah kenikmatan sehebat Ria.

Ria masih menaikturunkan kepalanya, menjepit penisku kuat dengan bibirnya. Bunyi ludahnya yang membasahi penisku semakin kentara karena hisapannya yang begitu kuat.

“Gue mau nemuin Pipit… Sebelum dia nikah gua harus bisa ketemu lagi ama Pipit….” Kataku disela kenikmatan yang aku rasakan.

Ria melepaskan kulumannya pada penisku, menatapku gemas.

“Lo bisa-bisanya ya bang, lagi disepongin gini lo masih aja bisa ngomongin cewek laen…”

“Hehe… gak apa-apa sih… Kan enak tuh curhat sambil disepongin…”

“Huuu… enak di lo, pegel dimulut gue… Omongan lo bikin gue gak konstentrasi nih…” rajuk Ria.

“Hehe… Maf siiih… Gitu aja ngambek…” candaku sambil mengulik-ngulik liang anus dan vaginanya.

“Udahan, ah….” Ria ngambek beneran dan berusaha bangkit menjauh dariku. Segera tangan kananku yang melepaskan lingkar kemudi, meraih kepala Ria yang masih mengenakan kerudung seragamnya sambil mengangkat pantatku, menekan kepala Ria dan menyorongkan penisku ke mulutnya.
Penisku langsung terbenam kembali dalam mulut Ria.

“Duh..duh… Cayangku ngambek ya…. Cini jangan ngambek lagi donk cayang…“ kataku mencandai Ria. “Ini ayo dot-nya dicedot lagi…, nanti kalo ngambek telus gak di kacih dot lagi lhooo…“

Ria terkikik geli, “Dot kok jenggotan….” katanya sambil tertawa dan segera dia kembali memberikan kenikmatan pada penisku. Tangan kananku segera meraih kemudi, dan tangan kiri kembali mengulik-ngulik liang vaginanya, membenamkan jariku dijepitan liang vaginanya sudah membanjir sejak tadi. Syukurnya mobil ini bertransmisi otomatis.

Tak lama kemudian, aku mendesah keras. Pantatku sampai terangkat, berkejat-kejat karena kenikmatan yang tak mampu aku tahan. Ria semakin memperkuat hisapannya, bergerak naik turun dengan cepat hingga seluruh air maniku menyembur dalam mulutnya. Ria terus menghisap hingga tak lagi terasa penisku mengeluarkan air maninya, dan menampung semua dalam mulutnya.

Sentakan pantatku terhenti, aku hanya bisa mendesah sementara Ria terus menghisap penisku dan membelai lembut dengan lidahnya.

Top, mantap. Ria memang luar biasa, juga pada apa yang dia berikan padaku.

Kenikmatan yang sempurna.
 
 
Bagian 17
Life Is Like Rollercoaster Ride (4)


Dua bulan yang lalu, sekitar akhir bulan Agustus 2013, aku bertemu lagi dengan Githa di sebuah mall di Bandar Lampung. Dari Githa aku akhirnya memperoleh informasi, Pipit sudah dimutasi dari Palu, Sulawesi Tengah, ke Palembang, Sumatera Selatan. Tentu saja dengan koneksi papanya yang juga pegawai senior di kantor pajak, semua itu bisa terjadi. Dari Githa juga aku akhirnya memperoleh nomor hape Pipit yang baru.

Rupanya, setelah lulus Pipit memang menghapus semua jejak yang bisa mengarahkan aku kepadanya. Nomor hapenya diganti, dan sedikit orang kenalannya yang juga menjadi kenalanku yang tahu bagaimana caranya bisa menghubungi Pipit. Saat itu, Pipit memang seperti lenyap di telan bumi. Aku sudah berusaha mencarinya kemana-mana, termasuk nekad mendatangi rumahnya di Way Halim, tapi semua orang rumahnya bungkam, bahkan papanya sempat marah dan memaki-maki aku. Padahal, aku sudah katakan padanya, bahwa aku sekarang sudah siap menikah, dan aku sekarang sudah cukup modal untuk membahagiakan Pipit. Tapi tetap saja papanya meremehkan aku.

Aku memang masih mengejar Pipit, hatiku tak pernah bisa melupakan dia. Apalagi kini aku bisa dibilang sudah cukup umur untuk menikah, dan cukup mampu secara materi. Aku benar-benar sudah merasa siap. Aku memang masih belum bisa berubah menjadi orang alim seperti yang Pipit mau, tapi aku yakin aku masih bisa belajar. Aku sangat mencintai Pipit, dan aku siap untuk menjadi apa saja seperti yang dia inginkan. Tapi rupanya itu belum cukup, Pipit masih kecewa melihat keadaanku saat terakhir bertemu, dan dia memilih menghilang dari pada harus repot meladeni aku.

Untuk masalah satu ini, aku bukannya tak tahu malu. Aku sudah berupaya melenyapkan Pipit dari ingatanku, mencoba berfikir realistis bahwa Pipit benar-benar sudah menolakku. Tapi siapa yang mampu melawan kekuatan hati yang berkeras karena cinta.

Hatiku masih mencintai Pipit, dan mengarahkan aku untuk terus mengejar Pipit sampai dapat. What a shame.

Berbekal nomor telpon yang aku peroleh dari Githa, aku mencoba menghubungi Pipit, tentu saja dengan menggunakan sebuah nomor hape baru agar Pipit mau mengangkat teleponku.

“Halo….” suara Pipit mengangkat panggilanku. Aku sampai menarik nafas lega.

“Selamat siang, bu… Dengan ibu Desri Savitri…?” tanyaku.

“Iya betul… Ini dengan siapa saya berbicara…?”

“Ini Kaka, Pit….”

Pipit di sana terdiam. Agak lama juga dia terdiam. Aku pun ikut terdiam. Jujur, semua pembicaraan yang aku persiapkan tadi lenyap begitu saja dari ingatanku.

”Iya, Ka… Ada apa…?”

”Sepertinya menghilangkan diri udah jadi keahlian kamu ya, Pit…”

”Hehe… Gak juga sih…”

”Kamu gak ingin Kaka menghubungi kamu lagi ya…? Sampai menghilang begitu…”

“Bisa dibilang…. Gak sepenuhnya karena itu kok…”

“Boleh tahu alasannya…?”

“Kaka lebih tau alasannya…”

“Mungkin Kaka memang tahu alasannya… Tapi sekarang tolong kamu yang cerita apa yang jadi alasan kamu. Apakah alasan yang kamu pergunakan dengan alasan yang Kaka pikirkan itu sama atau gak…”

“Hufft… Sudahlah, Ka… Gak ada yang perlu dibahas lagi…”

“Yakin…?”

“Yakin…”

“Kamu gak takut kalo kejadian dulu karena kita gak bicara jujur dan terbuka, terulang lagi karena sekarang kamu malas membahasnya…?”

“Maksud Pipit, buat apalagi dibahas… Toh kita juga sudah sama-sama tahu kan…?”

“Iya deh, kalo begitu mau Pipit… Kaka gak mempermasalahkan itu lagi…”

“Syukurlah…”

Aku terdiam, suasana percakan ini sungguh gak menyenangkan. Pipit diseberang sana juga terdiam.

“Pit…?”

“Ya…?”

“Maukah kamu menikah dengan Kaka…?”

“Ya ampuun…”

“Kaka sekarang sudah siap lahir bathin, Pit… Hanya kamu yang Kaka cinta, hanya kamu yang Kaka harapkan menjadi ibu dari anak-anak Kaka…”

“Katanya gak mau membahas ini lagi…”

“Lho… Ini kan masalah yang berbeda…? Tadi kan yang dibahas kenapa kamu menghilang… Kalo yang ini Kaka meminta kamu mau menikah dengan Kaka… Kaka melamar kamu, Pit…”

“Ya sama aja, Kaa… Bahasan yang tadi itu beserta semua dampaknya pada akhirnya juga menuju kesini… Masa Kaka gak ngerti, Pipit udah berusaha menghilang dari Kaka itu menurut Kaka karena apa…?”

Ini menusuk. Sakit.

”Pit…, mohon mengertilah… Seandainya Kaka bisa menghilangkan perasaan cinta ini, pasti sudah Kaka lakukan… Kaka juga malu merepotkan kamu terus seperti ini…”

“…..” Pipit tidak berkomentar.

“Tapi tolong, mengertilah pada perasaan Kaka, mohon banget kamu mau mengerti pada apa yang terjadi pada Kaka… Masa iya Kaka harus bilang kalo semua ini terjadi sebagai akibat dari perbuatan kamu dan Kaka minta pertanggungjawaban kamu… Kan gak enak…”

“…..” lama Pipit tidak berkomentar.

“Niat Kaka tulus… Kaka melamar kamu karena Kaka sangat mencintai kamu… Hanya kamu yang Kaka harapkan menjadi istri Kaka…”

“Tadi kedengarannya seperti orang yang ingin balas dendam….” Kata Pipit.

“Itulah kenapa sekarang Kaka mohon banget ama kamu, Pit… Kaka mohon mengertilah keadaan Kaka… Kaka juga meminta kamu seperti ini kan bukan asal ngomong… Insya Allah Kaka sudah siap lahir bathin, makanya Kaka melamar kamu sekarang…”

“Kakaaa… Kaka… ada-ada aja sih… Masa melamar lewat telepon…” kata Pipit mencoba bercanda.

“Kalo gitu izinkan Kaka menemui kamu ya… Biar Kaka sampaikan langsung lamaran ini ama kamu…”

“Melamar anak gadis itu seharusnya pada orang tuanya, dong…”

“Iya kalo seperti itu malah lebih bagus… Keluarga kamu inginnya ditemui oleh keluarga Kaka dimana…? Mau di Lampung atau mau di Palembang gak masalah…”

“Tapi Papa kemarin cerita dia sudah ngomong sama Kaka…”

Luka karena dimaki-maki dan dihina Papanya Pipit terkuak lagi…

”Iya. Dia menolak Kaka mentah-mentah. Tapi Kaka bukan mau melamar Papa kamu. Kaka baru mau menerima keputusannya bila yang memutuskan itu kamu, bukan Papa kamu…”

”Hufft… Lihat nanti deh… Pipit lagi males mikirin itu….”

”Lho… Gimana sih…? Kayaknya tadi ada yang nantangin Kaka buat melamar ama orang tuanya deh…”

”Iya Kaa… Aduh, gimana ya cara ngomonginnya sama Kaka ini…” keluh Pipit.

”Jangan sampai jika nanti Kaka membawa keluarga Kaka ke keluarga kamu hanya untuk ditolak lamarannya ya, Pit… Itulah kenapa Kaka bertanya dulu padamu, karena Kaka gak mau jika sampai keluarga Kaka datang melamar hanya untuk mendengarkan penolakan… Lebih baik mati dari pada malu karena lamaran ditolak….”

”Kok seperti mengancam gini sih…?”

”Maafkan Kaka, Pit… Kaka gak bermaksud mengancam. Kamu tau tabiat orang Sumatera seperti apa… Maka dari itu saat ini Kaka meminta kesediaan kamu… Kalau kamu sudah bersedia, rintangan apa pun pasti Kaka akan berjuang, walau itu Papa kamu sekalipun… Makanya, tolong jawab Kaka…, bersediakah Pipit menjadi istri Kaka…? Kaka melamarmu karena Kaka sangat mencintai kamu…”

”Cinta saja gak cukup, Ka…”

”Materi pun sudah siap, Pit… Insya Allah cukup….”

”Bukan itu…”

”Kenapa bukan itu…? Kalo soal cinta, kamu tahu persis gimana rasa cinta Kaka padamu… Kalo soal harta yang sejak kita SMA sudah diributkan oleh Papa kamu juga sudah siap, Insya Allah keadaan Kaka bukan seperti dulu lagi jika itu yang Papa kamu khawatirkan…”

”Apa maksudnya Papa sudah meributkan soal harta sejak kita SMA…?” tukas Pipit tiba-tiba.

Ups….
Kelepasan ngomong…. :tepokjidat:

”Gak apa-apa… Maaf salah ngomong… Udah gak usah dipikirin, anggap aja Kaka gak pernah ngomong itu…”

”Kalo gak mau cerita, Pipit tutup nih telponnya, dan jangan pernah coba menghubungi Pipit lagi…” ancam Pipit.

”……” aku terdiam.

”Mau cerita gak…?? Kalo gak Pipit tutup nih…??” kata Pipit keras.

”Iyaaa…. Iya Kaka cerita….” kataku cepat, terpaksa…

Akhirnya aku ceritakan semua kejadian antara aku dan Papanya Pipit saat bertemu dahulu, saat aku masih pacaran di masa SMA. Semua aku ceritakan, alasan kenapa dulu aku pernah minta Pipit untuk meninggalkan aku saat kami baru jadian dulu, setelah Papanya membawa aku pergi dan kemudian memukulku, lalu meninggalkan aku begitu saja.

”Maafkan Kaka… Kaka gak pernah bermaksud untuk mengungkit kejadian ini lagi, bahkan sebenarnya Kaka tak ingin kamu tahu, Pit…” kataku akhirnya.

”Pipit gak nyangka Papa bertindak sejauh itu… Maafkan Papa ya, Ka…”

”Gak perlu dimintakan maaf Pit… Malah karena kejadian itu menjadi cambuk buat Kaka untuk merubah nasib. Ditambah lagi saat itu ada kamu yang selalu mendorong Kaka… Kaka seharusnya berterima kasih pada Pipit dan Papa, karena berandil besar bagi kesuksesan Kaka saat ini…”

”Tapi tetap saja gak bisa dibenarkan…”

”Itu karena rasa sayang ayah pada anaknya Pit…”

”Tapi Kaka hampir ninggalin Pipit waktu itu…”

”Pada akhirnya kan kamu yang ninggalin Kaka…, hehe…”

”Tapi perbuatan Papa itu tetap jahat, Ka… Kaka sampai dibawa pergi lalu ditinggalin begitu aja… Sempat dipukul lagi…”

”Sudahlah, Pit… Kaka paham banget kenapa dulu Papa bersikap seperti itu....”

”Pipit mohon Kaka mau memaafkan Papa, ya…”

”Iyaaa… Udah ah gak usah dipikirkan… Kaka sangat mencintai kamu, semua hal buruk yang terjadi hanya Kaka ambil sisi baiknya dan hikmahnya… Insya Allah Kaka akan bisa memaafkan dan tidak mendendam…”

”Makasih banyak ya, Ka…” kata Pipit pelan.

”Sama-sama, Pit… Sudah gak usah dipikirkan…”

Lalu kami terdiam agak lama. Aku juga bingung mau bilang apa.

”Ka….” panggil Pipit.

”Iya, Pit….”

”Pipit mau menyampaikan sesuatu pada Kaka…”

”Apa…?”

”Keputusan Pipit…. Boleh…?”

”It will be heaven, or hell….?” waaah…., ge-down ane brooo…

”Depending on your point of view…”

”Silakan, Pit…, You are the judge…”

”Tadi Kaka meminta Pipit mau menikah dengan Kaka, menjadi istri Kaka…”
”…… ” aku tetap diam, memberikan kesempatan Pipit untuk menyampaikan keputusannya.

”Kaka sudah bilang, jika Kaka sudah siap lahir bathin, juga materi… dan dari penjelasan tadi Pipit juga beranggapan keluarga besar Kaka sudah siap menerima Pipit jadi anggota mereka…”

”…… ” aku tetap diam, sang Hakim belum selesai membacakan keputusannya.

”Tapi mungkin Kaka lupa, yang paling mendasar buat Pipit memilih seorang suami, bukan berdasarkan kesiapan lahir bathin dan materi… Mungkin yang Kaka ingat adalah ancaman Papa, tapi Kaka lupa pada pesan Pipit…”

”…… ” aku sudah mulai bisa menduga….

”Pipit mencari lelaki terbaik, yang akan membawa Pipit pada kebaikan di dunia dan di akhirat, yang akan membimbing Pipit dan anak-anak nanti kepada jalan yang benar, yang akan menjadi pemimpin sekaligus pembimbing bagi Pipit dan anak-anak….”

”……. ” aku merasakan sebuah pisau berujung tajam, menempel di dadaku sebelah kiri….

”Pipit mencari lelaki yang bisa menjadi Imam bagi Pipit….”

”……. ” pisau itu mulai menembus kulit, darah mulai mengalir…

”….dan menurut Pipit… Kaka hanya akan mampu menjadi suami dan ayah, tapi belum bisa menjadi Imam….”

”……. ” pisau itu menembus jantungku, menghentikan nafasku…

”Maafkan Pipit, Ka…. Pipit tidak bisa menerima lamaran Kaka…..”

Sebuah rasa cinta….

Mati…….
 
 
Bagian 17
Life Is Like Rollercoaster Ride (4) ++


”Pipit mencari lelaki terbaik, yang akan membawa Pipit pada kebaikan di dunia dan di akhirat, yang akan membimbing Pipit dan anak-anak nanti kepada jalan yang benar, yang akan menjadi pemimpin sekaligus pembimbing bagi Pipit dan anak-anak….”

”Pipit mencari lelaki yang bisa menjadi Imam bagi Pipit….”

”….dan menurut Pipit… Kaka hanya akan mampu menjadi suami dan ayah, tapi belum bisa menjadi Imam….”

”Maafkan Pipit, Ka…. Pipit tidak bisa menerima lamaran Kaka…..”

Hanya desah nafas yang terdengar, ruangan tempatku duduk kini terasa semakin gelap, suram dan dingin menusuk. Ada yang menggelepar meregang nyawa dalam hatiku saat aku mendengar ucapan Pipit yang terakhir.

”Tak mungkin kah bisa diubah lagi keputusanmu itu, Pit…?”

”Maafkan Pipit, Ka…”

”Sama sekali gak ada kesempatan buat Kaka untuk membuktikan jika suatu saat bisa menjadi Imam seperti yang kamu harapkan…?”

”Kesempatan itu sudah diberikan, bahkan berkali-kali… Tapi tak satupun yang bisa Kaka manfaatkan…”

”Padahal alasan yang kamu pakai belum tentu benar untuk keputusanmu barusan…”

”Maksudnya…?”

”Baik atau tidaknya seseorang, akan bisa berubah atau tidaknya seseorang, itu sebenarnya adalah rahasia Tuhan…”

”Benar… Itu sepenuhnya benar. Jika Kaka saat ini hadir dalam keadaan seperti yang Pipit harapkan tentu akan mudah buat Pipit untuk bilang Ya pada lamaran Kaka… Nah, sama saja kan, bila saat ini Kaka hadir dalam keadaan tidak seperti yang Pipit harapkan maka Pipit akan bilan Tidak untuk lamaran Kaka…”

”Jadi kamu hanya memutuskan berdasarkan penilaian pada penampilan…?”

”Salah, Kaka…, jika itu yang ada dalam benakmu maka itu adalah salah besar. Jangan Kaka sangka Pipit gak berharap pada Kaka. Pipit sangat berharap, Ka… Pipit menanti Kaka berubah… Pipit berharap saat Kaka datang melamar Pipit itu dalam keadaan yang terbaik… Harapan Pipit pada Kaka sangat besar…, sangat besar…! Tapi Kaka membuat Pipit kecewa…, sangat kecewa… Tak ada perubahan sama sekali…”

Suara Pipit terdengar penuh emosi, aku bisa membayangkan semua ucapannya benar, rasa kecewanya karena harapannya padaku yang tak bisa aku penuhi. Ya Tuhan… Kenapa aku sama sekali tak menyadari ternyata Pipit berharap padaku…

”Pit….”

”Iya, Ka….”

”Mohon izin untuk meminta sesuatu padamu…”

”Insya Allah jika sekiranya Pipit mampu… Silahkan…”

”Kaka menerima keputusanmu kali ini… Kaka ikhlas saat ini kamu menolak ketika Kaka memintamu jadi istri Kaka.…”

”Maafkan Pipit, Ka… Saat ini hanya itu yang bisa Pipit sampaikan pada permintaan Kaka…”

”Gak apa-apa, Pit… Kaka memahami, Kaka mengerti… Kaka bisa merasakan rasa kecewa Pipit karena Kaka gak berhasil menjadi seorang lelaki seperti yang Pipit harapkan…”

”Sama-sama, Ka… Pipit juga minta maaf… Lalu Kaka tadi mau minta apa…?”

”Suatu saat nanti, tolong kabari Kaka jika kamu sudah menerima lamaran seseorang…”

”Maksudnya…?”

”Hati Kaka saat ini memang sedang terluka… Cinta Kaka padamu sekarang dalam keadaan sekarat tapi belum mati… Jika nanti kamu sudah menerima lamaran lelaki lain, tolong kabari Kaka…, agar Kaka bisa membunuh rasa cinta ini…”

Pipit terdiam…

”Tentu saja Kaka lebih mengharapkan saat kamu mengabari Kaka nanti, bukan karena kamu menerima lamaran lelaki lain…, tapi mengabari agar Kaka melamar kamu…, walau kemungkinan itu kecil….”

”Haruskah seperti itu…?”

“Pit, Kaka selalu berusaha menerima kenyataan kalo Pipit gak akan pernah bisa jadi milik Kaka. Ini permintaan Kaka yang terakhir ama Pipit. Kalo boleh Kaka ingin hadir saat Pipit menikah nanti. Tentu saja Pipit yang memutuskan apakah Pipit akan ngasih tau Kaka atau gak, apakah Pipit akan ngundang Kaka atau gak…”

dan jawaban Pipit adalah, “iya, Ka… Kita liat aja nanti…”

”Iya… Kaka mohon… Kabari Kaka… Jika kamu masih sayang pada Kaka, tolong kabari Kaka… Agar Kaka bisa menentukan langkah hidup Kaka mau kemana, dengan atau tanpa kamu…”

”Pipit gak yakin, Ka… Tapi akan Pipit pertimbangkan…”

”Terimakasih, Pit… Kaka percaya padamu… Kaka percaya kamu akan mengabari Kaka apa pun yang terjadi nanti… Inilah permintaan Kaka, titik dimana Kaka akan bisa menentukan langkah selanjutnya. Sementara ini karena Kaka masih sangat mencintai kamu, segala sesuatu yang Kaka lakukan semua demi kamu… Kamu mengerti maksud Kaka kan, Pit…”

”Iya Ka… Pipit mengerti… Tapi alangkah lebih baiknya jika Kaka mulai bisa move on dari sekarang, berhenti menghubungkan segala sesuatunya dengan Pipit agar Kaka bisa lebih bebas melangkah…”

”Jangan mengajari Kaka bagaimana Kaka harus mengatur rasa cinta ini, Pit… Jika Kaka mampu sudah dari dulu Kaka lakukan… Sudahlah, biarlah seperti ini… Kamu tinggal mengabari Kaka maka saat itulah rasa cinta ini akan mati… Lebih simpel begitu…”

”Susah ngomong ama Kaka…”

”Kamu yang membuat Kaka jadi begini…”

”Huuhffft… Mulai lagi deh…”

”Makanya… Kamu tinggal memenuhi permintaan Kaka ini aja kok…”

”Iya deh… Terserah Kaka saja… Tapi Pipit tetap gak bisa janji…”

”Kaka percaya padamu… Kamu sebenarnya gak setega itu, kok…”

”Ok jika itu yang Kaka mau… Pipit nanti akan mengabari Kaka. Kabar itu bisa meminta Kaka melamar Pipit, atau kabar yang memberitahu Kaka bahwa Pipit sudah menerima lamaran lelaki lain dan Kaka harus berhenti mencintai Pipit…”

”Iya… Benar seperti itu yang Kaka maksud… Kamu memang anak pintar…”

”Pinter mah dari dulu lagi, Ka….”

”Iya, pintar dan cantik… alasan kenapa Kaka bisa jatuh cinta padamu selain karena kamu gak bisa ngomong huruf [R]… ”

”Kaka….!” suara Pipit terdengar malu.

”Iya deh kalo gitu… Makasih banyak ya, Pit… Udah mau menerima telepon Kaka… Ini sangat berarti buat Kaka… Terimakasih banyak, Pit…”

”Sama-sama, Ka… Maafkan Pipit ya, Ka…”

“DES[R]I SAVIT[R]I T[R]ESNANU[R]SA[R]I…” panggilku padanya…

”Iiihhh… Kaka ini apaan sih…!”

”Kaka sangat mencintai kamu…. Kamu adalah cinta pertama Kaka, kamu adalah Cinta Sejati Kaka….”

”Ah udah ah… Kaka mulai ngaco lagi… Udah ya, Ka… Assalamu’alaikum….”

”Wa’alaikumussalam, sayangku…”


Tuut… Tuut… Tuut… Sambungan telepon itu pun terputus.
Dan bagaimana selanjutnya, aku sudah menceritakannya pada kalian di awal kisah ini, dimana dua bulan yang lalu Pipit mengirimkan SMS yang isinya dia sudah menerima lamaran lelaki lain dan akan menikah sebulan setelahnya.

Dan kenyataannya aku tak pernah mampu membunuh rasa cintaku pada Pipit saat aku menerima kabar itu.

Aku harus ke Palembang menemui Pipit…

Jika rasa cinta yang ada dalam hatiku ini memang harus mati, maka biarlah dia mati di hadapan Pipit…
  


Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (1)


Oh I can't fight this feeling any longer
And yet I'm still afraid to let it flow
What started out as friendship,
Has grown stronger
I only wish I had the strength to let it show

I tell myself that I can't hold out forever
I said there is no reason for my fear
'Cause I feel so secure when we're together
You give my life direction
You make everything so clear

And even as I wander
I'm keeping you in sight
You're a candle in the window
On a cold, dark winter's night
And I'm getting closer than I ever thought I might

And I can't fight this feeling anymore
I've forgotten what I started fighting for
It's time to bring this ship into the shore
And throw away the oars, forever

'Cause I can't fight this feeling anymore
I've forgotten what I started fighting for
And if I have to crawl upon the floor
Come crushing through your door
Baby, I can't fight this feeling anymore

My life has been such a whirlwind since I saw you
I've been running round in circles in my mind
And it always seems that I'm following you, girl
'Cause you take me to the places
That alone I'd never find
Alunan lagu Reo Speedwagon dari headset yang tersambung dengan android yang aku bawa, menemani perjalananku dengan KA. Limex Sriwijaya dari Stasiun Tanjungkarang menuju Stasiun Kertapati di Palembang. Sejak berangkat jam 8 malam tadi, kini aku sudah berada di daerah perbatasan Lampung Utara. Niat ingin beristirahat, tapi mataku tak bisa juga tertidur. Padahal kelas eksekutif kereta ini lumayan nyaman, dengan tempat duduk lebar seperti pesawat. Mataku terus menatap keluar jendela yang gelap, menyaksikan bayangan hitam pepohonan yang terasa berlari ke belakangku.

Aku berangkat malam minggu, dengan harapan besok pagi sudah berada di Palembang dan masih ada waktu untuk beristirahat menunggu hari Senin. Aku berencana menemui Pipit di kantornya, karena hanya itu informasi yang aku punya. Sebelum memutuskan berangkat ke Palembang ini, aku sempat menemui Anne, dan setelah aku memohon padanya, Anne memberikan informasi dimana Pipit berkantor. Aku tak tahu dimana dia tinggal di Palembang, tapi menurut Anne kabarnya Pipit tinggal di Palembang bersama mama dan dua adiknya di sana, sementara papanya masih berdinas di Lampung, tinggal di Way Halim bersama abangnya. Mamanya sering pulang ke Lampung, atau papanya yang datang ke Palembang dalam jangka waktu tertentu. Biarlah, setidaknya aku tak perlu lagi bertemu dengan papanya.

Cahaya gerbong yang dibuat temaram ternyata tak juga mampu melelapkan mataku. Otakku masih tetap berfikir, sudah benarkah perjalanan yang aku lakukan ini. Menemui Pipit itu tujuanku, tapi dengan niat apa aku menemuinya hingga kini belum ada ketetapan dalam hatiku. Pipit akan menikah, dan aku akan menemuinya. Jika dipikir, ini adalah sebuah tindakan yang sembrono, karena aku akan menemui gadis yang telah resmi dilamar orang.

Pipit sudah jelas-jelas menolakku, menolak ajakanku untuk menikah dan membina keluarga bersama. Dan kini, setelah Pipit memberitahukan padaku bahwa dia sudah dilamar orang dan akan menikah bulan depan, aku malah mendatanginya ke kotanya. Memang, masih ada waktu sekitar dua puluh harian lagi sampai Pipit benar-benar menikah, dan keberangkatanku kali ini seakan berkejaran dengan waktu sebelum Pipit benar-benar tak bisa aku temui lagi.

Tapi bukankah memang sudah tak ada gunanya lagi untuk ditemui…? Ah, biarlah… Toh masih belum benar-benar menikah, janur kuning belum berkibar, penghulu belum membacakan ikrar nikah, semua masih mungkin terjadi. Tetapi kenapa aku bisa begitu yakin, berharap ada keajaiban disana nanti. Ah, perjalanan ini sebenarnya pun sia-sia. Ditelepon saja Pipit sudah jelas semakin tak ramah, ini kenapa aku malah mendatanginya. Memang, aku tidak menceritakan kepergiaku ini padanya, tapi untuk apa…? Membuat kejutan…? Yakin Pipit masih mau kejutan dariku…?

Ribuan macam pemikiran memenuhi otakku, pertempuran antara pemikiran emosional dengan pemikiran logis memberikan dampak berat di kepalaku. Aku menghela nafas lelah, lelah dalam hati, lelah di otak…

Ya Tuhan… Semoga yang kali ini aku lakukan adalah benar…

Paling tidak, aku hanya ingin bertemu dengan Pipit untuk yang terakhir kali. Aku tak pernah berfikir akan datang saat pernikahannya nanti, walau pun kemarin Pipit sempat memintaku untuk hadir. Tapi aku belum gila… Aku yakin tak akan mampu melihat gadis yang selama ini aku cintai, menikah dengan orang lain di hadapanku.

Terakhir kali, Pit… Ini adalah terakhir kalinya Kaka ingin melihatmu sebelum nanti kamu sudah tak bisa Kaka lihat lagi, tak bisa lagi Kaka menatapmu dengan penuh cinta dan harapan. Kaka ingin bertemu denganmu untuk terakhir kali, untuk mengatakan bahwa hingga detik ini Kaka masih sangat mencintai kamu, masih sangat mengharapkan kamu… Tak masalah jika nanti kamu akan memaki Kaka atau mengatai Kaka bodoh, tak masalah… Setidaknya itu bisa menjadi alasan bagi Kaka untuk membunuh rasa cinta ini di hadapan kamu.

Rasa cinta yang terlahir karena kamu, yang tumbuh besar juga karena kamu. Kamu adalah pemilik rasa cinta ini, yang telah bersemayam begitu lama dalam hati Kaka. Kamu yang berhak memutuskan, apakah rasa cinta ini akan tetap hidup atau malah kamu hancurkan tak bersisa.

Pertemuan terakhir ini, Kaka harap bisa memberikan sesuatu buat Kaka, agar Kaka tahu hendak melangkah kemana setelah kamu menikah nanti.
Lagi-lagi aku menghela nafas berat, sesak memenuhi dada dan otakku. Aku memejamkan mataku yang kini terasa panas, tetap kebingungan dengan apa yang aku lakukan kini, dan tak tahu apa yang akan terjadi nanti setibanya aku di hadapan Pipit.

And I'd give up forever to touch you
'Cause I know that you feel me somehow
You're the closest to heaven that I'll ever be
And I don't wanna go home right now

And all I can taste is this moment
And all I can breathe is your life
When sooner or later it's over
I just don't wanna miss you tonight

And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am

And you can't fight the tears that ain't coming
Or the moment of truth in your lies
When everything feels like the movies
Yeah, you bleed just to know you're alive

And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am

And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am

And I don't want the world to see me
'Cause I don't think that they'd understand
When everything's made to be broken
I just want you to know who I am

I just want you to know who I am
I just want you to know who I am
I just want you to know who I am
Goo Goo Dolls sukses menambah berat kepalaku, dan aku pun jatuh tertidur…

-oOo-

Aku terbangun pada pukul 4.30 pagi, dan baru sampai di stasiun Kertapati hampir jam 6 pagi, terlambat sejam dari jadwal seharusnya. Dengan menggunakan taksi aku menuju Aryaduta yang sudah aku booking sejak dari Lampung. Setelah itu aku beristirahat sampai siang di hotel itu.

Saat makan siang, aku minta dicarikan mobil rental kepada petugas hotel. Akhirnya aku bertemu dengan Bang Nizam, seorang pria berumur 40an yang akhirnya sepakat denganku untuk aku pakai jasanya mengantarkanku keliling kota Palembang dengan harga yang cukup bersahabat menurutku, pada siang ini dan mulai besok pagi. Mobil yang dibawa Bang Nizam pun lumayan, sebuah sedan Altis.

Siang ini aku keliling kota Palembang. Sebenarnya aku tak ingin berwisata, hanya aku tak ingin duduk melamun seharian di hotel dan mengenang Pipit. Bang Nizam membawaku berputar-putar, mulai dari wisata sebenarnya melewati Jembatan Ampera, berkeliling Benteng Kuto Besak, makan di seputaran Taman Kambang Iwak, dan nongkrong sejenak di mall terbesar di Palembang. Bang Nizam juga membawaku ke sebuah rumah untuk makan pempek yang luar biasa enaknya di daerah Cinde, yang menurut bang Nizam pembuat pempek ini adalah pemasok toko pempek terkenal di Palembang.

Bang Nizam ini ternyata orangnya asyik banget, enjoy dan enak diajak ngobrol. Orangnya juga baik dan ramah, pandai melucu dengan logat wong kitonya yang membuatku terpingkal-pingkal. Dengan mudah aku akrab dengan Bang Nizam., dan dia cerita sebenarnya dia adalah seorang desersi TNI, yang dipecat dari kesatuannya karena berkelahi dengan komandannya. Kata Bang Nizam, komandannya itu sangat benci padanya, padahal karena alasan sepele, Bang Nizam pacaran dengan anak gadis komandannya itu.

Saat itu, aku sedang nongkrong sambil makan dengan bang Nizam di Taman Kambang Iwak, saat dia menceritakan kisahnya.

’’Jadi ceritonyo, aku dipanggil ke ruangan dio…’’ kata bang Nizam saat menceritakan kisahnya dengan komandannya.

’’Aku ditempelengi, dipukuli, lalu disuruhnyo aku menjauhi anak gadisnyo itu…’’ lanjut bang Nizam.

’’Abang laju diem bae…?’’ tanyaku.

’’Nian dek, abang ni lah cinto nian samo anaknyo itu… Abang piker dak apo-apo lah kalo cuma ditempelengi, dak ado teraso jugo samo abang… Tapi waktu dio nyabut senjato, di geletaknyo di meja, ujinyo kalo abang idak ninggali anaknyo, woy idak ado cerito lagi… Abang cabut pulo senjato. Uji abang, Bapak yang tembak saya atau saya yang tembak Bapak, saya tak akan mundur dari anak Bapak…’’

Mendengar cerita bang Nizam., aku merasa déjà vu…

’’Berani nian bang…’’ ujarku.

’’Idak ado lagi yang bisa abang piker, dek… Lah gelap mato abang itu.. Laju lah, dio emosi…, laju kami gelut di ruangannyo itu… Provost masuk, laju abang di sel…, sidang… payo lah, jadi supir abang sekarang…’’

’’Anaknyo cak mano bang…?’’ tanyaku penasaran.

’’Nah, galak ketemu kau dengan dio…? Lah jadi bini abang lah… Idak peduli dio bapaknya cak macan cak itu, dio lah cinto nian samo abang… Kawin lari kami dulu itu…’’ kata bang Nizam sambil tertawa.

’’Wah mantap nian bang…’’ pujiku tulus. Kini aku merasa nasib bang Nizam jauh lebih beruntung dari pada aku.

’’Tapi itu laaah… Kalo di piker sedih jugo abang jingok nasib dio itu… Kerno kawin samo abang ini pulo pacak dio dibuang samo bapaknyo, idak diaku anak lagi…’’ kata bang Nizam agak sedih. ’’Tapi ujinyo idak apo-apo, asak dio besamo abang, berejo jugo jadi…’’

’’Anak lah berapo bang…?’’

’’Anak abang duo… yang besak, lanang… Lah SMP dio… yang kecik baru kelas 3 SD…’’

’’Idak galak komendan abang itu nak betemu cucungnyo bang…’’

’’Idak jugo… ado bae perhatiannyo samo anak abang… Tapi tako’annyo itu yang idak pacak ilang… Tapi maknyo nemen jugo nengok ke rumah…’’ kata bang Nizam. ’’Alhamdulillah lah dek, abang besyukur bae… Yang penting ado bae rezeki buat anak istri abang… Cukup bae lah…’’ kata bang Nizam sambil tersenyum.

Aku jadi melamun mendengar omongan bang Nizam.

’’Kau ado urusan apo ke Palembang ini, dek…?’’ Bang Nizam membiasakan dirinya memanggilku adek, biasa di Palembang seperti itu dengan orang yang lebih muda.

’’Biaso bang… Urusan betino jugo…’’

’’Lha ngapo…? Jauh jugo kau nak ngurusi betino bae sampe ke Palembang cak ini…’’

’’Betino ini dio dulu pacar aku bang… Sekarang dio lah nak kawin samo orang…’’

’’Aih mak…’’ seru bang Nizam kaget.

’’Mak itu lah bang… Aku pengen bae ketemu dio sebelum dio di enjuk wong…’’

’’Dio masih cinto idak samo kau…?’’

’’Idak tau jugo, bang…’’

’’Lah, ngapo cak itu nian…? Ngapo dio dak galak samo kau…?’’

’’Panjang ceritonyo, bang… Ujinyo aku ini dak pacak diandalkan, kurang alim mak itu lah…’’

’’nah kalo calonnyo ini wong alim…?’’ tanya bang Nizam.

’’Idak tau jugo, bang…’’

’’Ah, jangan nyerah cak itu lah… Selamo dio belum akad, pacak bae kau rebut dio itu…’’ kata bang Nizam.

’’idak tau lah, bang…’’

’’Dek, kalo cak abang ini, lebih baek mati dek… Besaklah halangan abang dulu, tapi kalo lah cinto dak ado rumusnyo abang nak nyerah…’’ kata bang Nizam padaku.

’’Edop ini cuma sekali, amon idak kau perjuangke jangan pulo kau nyesel kagek…’’
 
 
Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (2)


Bang Nizam mengantarkan aku kembali ke hotel pada pukul tujuh malam, dan setelah berjanji untuk bertemu esoknya jam sembilan di lobby, aku berpisah dengan bang Nizam.

Aku melangkahkan kakiku menuju meja resepsionis untuk mengambil kunci kamarku. Saat itu ada 4 orang yang bertugas, 3 wanita dan 1 pria.

”Malam, mbak…” kataku pada resepsionis yang menyambutku.

”Selamat malam, Bapak… Ada yang bisa kami bantu…?” jawabnya ramah sambil tersenyum manis. Aku melihat nametagnya, Natasha. Hhmm.. Nama yang cantik, secantik orangnya.

”Saya mau ambil kunci kamar 819…” jawabku tersenyum.

”Baik… Maaf dengan bapak siapa…?” tanyanya.

”Raka…” jawabku.

”Mohon ditunggu sebentar Bapak Raka…” katanya sambil mengecek komputer di depannya dan kemudian menyerahkan kunci kamar kepadaku.

”Silahkan, Bapak… Selamat beristirahat…” katanya ramah.

”Terimakasih, mbak…” kataku sambil mengambil kunci dan melangkah pergi menuju lift.

Di kamar, aku segera mandi setelah penat juga keliling kota seharian. Setelah mandi aku bermaksud nongkrong sebentar di lounge. Setelah mengenakan pakaian yang pantas, aku bawa androidku lengkap dengan powerbank, aku bermaksud menghabiskan sisa malam ini di lounge sampai ngantuk.

Jam delapan malam aku turun kembali di lobby dan melangkah ke lounge, yang suasananya cukup baik menurutku. Sekilas aku menatap ke arah resepsionis, tampak Natasha masih berdiri disana bersama seorang rekan wanitanya dan tersenyum ramah padaku. Alunan musik jazz berirama lembut dari loudspeaker semakin mantap dengan cahaya kekuningan dari tatanan lampu. Aku duduk sendiri di meja agak pojok, menikmati secangkir kopi hitam dan beberapa potong kue.

Aku mulai memainkan androidku, browsing sana-sini. Tak terasa setengah jam berlalu.

”Selamat malam, Bapak Raka… Mohon maaf mengganggu waktu santainya… Boleh minta waktunya sebentar, pak…?” sapa seorang wanita padaku. Aku menoleh dan menatap sang penyapa yang tersenyum ramah padaku. Ah, rupanya salah satu resepsionis yang tadi aku lihat, wanita yang berdiri disamping Natasha.

”Iya, mbak…. Silakan… Gak apa-apa kok…” jawabku tersenyum menatapnya dan mempersilahkannya duduk.

Wanita ini, atau lebih tepatnya gadis ini bila aku melihat usianya dari penampilan wajahnya, mengangguk ramah mengucapkan terimakasih, dan menarik kursi di hadapanku dan duduk dengan anggunnya. Wajahnya cantik sekali, perpaduan kecantikan yang pas dengan usianya dan sisa keimutan masa remajanya, dan kulitnya putih bersih. Rambut berponi hitam lurusnya menyempurnakan penampilan wajahnya. Wajah yang sangat menyenangkan untuk ditatap berlama-lama. Aku melihat nametag yang terpasang rapi di dada kanannya yang cukup membusung walau posturnya tinggi langsing. Rossa.

Rossa yang cantik, pikirku tersenyum.

”Mohon maaf, Bapak Raka… Saya hanya ingin mengkonfirmasi…” katanya lembut, tersenyum menatapku. ”Pada awal booking Bapak memesan untuk menginap dua hari. Kami ingin menanyakan apakah Bapak akan menambah waktu menginap Bapak atau tetap dengan rencana Bapak untuk check-out besok…?”

”Tergantung kamu, Rossa…” jawabku tersenyum sambil menggodanya.

Rossa agak terkejut mendengar jawabanku. Aku jadi agak menyesal sendiri, jawabanku kesannya seperti ingin mengajak Rossa menginap. Godaan khas penjahat kelamin. Buru-buru aku melanjutkan ucapanku.

”Jika kamu mau memanggil saya dengan Raka saja gak sebutan Bapak, saya rencananya mau menginap satu malam lagi… Lagi pula sepertinya usia kita gak beda jauh deh, walau masih tua saya…” kataku berusaha seramah mungkin sambil menebarkan senyum menutupi kesalahan ucapanku sebelumnya. Syukurlah, Rossa kembali bisa menguasai dirinya dan tersenyum ramah.

”Kalo Mas, boleh…?” tanyanya dengan wajah yang tersenyum.

”Mas…. Boleh deh… dari pada bapak-bapak…” jawabku tertawa.

”Ocha…”

Aku agak mengerutkan kening, telat nyambung…

”Mas panggil saya Ocha. Kalo masih manggil Rossa, saya balik manggil Bapak lagi…”

Aku tertawa, baru nyambung…

”Oke… Ocha… Lebih enak memang kalo manggilnya Ocha…” kataku sambil tertawa.

”Mas Raka nginep di sini sendiri aja…?” Rossa tampak mulai bisa santai, cara duduknya pun sedikit lebih rileks.

”Iya nih, kebeneran jalan sendiri…” jawabku. ”Eh iya, Ocha mau minum…? Biar saya pesenin sekalian, temenin saya ngobrol… Bete juga sendirian terus…”

”Makasih, Mas… Ocha masih tugas….” Jawabnya ramah. ”Trus gimana, Mas masih mau nginep apa gimana…?” katanya kembali ke pokok permasalahan.

”Belum tahu juga, nih… Tergantung besok.. Kalo selesai urusannya mungkin langsung check-out…” jawabku.

”Check-outnya jam dua siang kok, mas…” kata Ocha.

”Kalo saya ngabarin sekitar jam satu siang, boleh…?”

”Kalo bisa lebih pagi, Mas… soalnya tadi ada rombongan yang mau booking kamar agak banyak buat besok sore, makanya Ocha lagi ngumpulin data kamar mana aja yang mungkin available…”

”Jam sepuluh…?”

”Kalo jam sepuluh masih oke Mas, bagus malah…”

”Saya kabarin Ocha deh nanti…” kataku.

”Tapi besok Ocha shiftnya jam segini lagi mas, dari jam satu siang sampe jam delapan malam…” kata Ocha.

Aku melirik jam tanganku, ”Wah, kalo gitu harusnya udah pulang, dong…” kataku menatapnya, ”tapi malah nyangkut disini nenemin Mas ngobrol…”

”Gak apa kok, Mas… Ini memang tugas Ocha terakhir hari ini, habis ini langsung pulang, kok…” katanya tersenyum. Aku senang aja ngeliatnya, Ocha kalo ngomong sambil senyum terus, makin cantik aja, hehe…
”Kalo gitu Mas akan kabari jam sepuluh pagi, Cha…” kataku memastikan.

”Kalo gak gini aja, deh.. Aku minta nomor hape Mas aja, biar nanti aku yang nelpon Mas Raka jam sepuluh pagi… Maaf lho ini, mas… gak apa apa kan Ocha minta nomor hape Mas…? Soalnya, yang mau pesen kamar ini rombongannya ramai, mas… anggota dewan dari propinsi manaaa gitu… Kamar yang mau di pakai juga lumayan banyak dan semua minta dari rates yang Mas Raka pakai… Ocha pengennya sih kalo bisa lebih cepat beres masalah pesanannya ini… Tau sendiri kan mas, kalo anggota dewan gitu rewelnya kayak apa…” cerocos Ocha panjang lebar yang herannya tetap aja cantik ngeliat bibirnya ngoceh gitu. Aku sampai tersenyum geli melihat kelakuan si Ocha.

”Iiih… Mas Raka ini kok malah ngetawain Ocha, sih…” karena melihat aku senyum senyum si Ocha sampai manyun sendiri, malu dia… haha…

”Habis lucu, sih… ada ya cewek yang lagi ngoceh tapi masih aja keliatan cakep…”

Wajah Ocha yang putih bersih, bersemu merah seketika. Tangannya bergerak cepat memberikan cubitan ke tanganku yang terjangkau oleh uluran tangannya dari atas meja.

”Iiih… Mas Raka ini… Gombal…!” Aku makin ngakak. ”Mana sini, Ocha minta nomor hape Mas…” katanya mengalihkan pembicaraan supaya aku berhenti tertawa.

Aku menyebutkan nomor hapeku, dan Ocha langsung misscall dari hapenya. Kami saling save nomor hape masing-masing.

”Kalo Mas udah dapet kepastian, Mas yang langsung ngabarin Ocha…” kataku setelah menyimpan nomor hape Ocha.

”Iya Mas… Makasih banyak, ya…” kata Ocha sambil tersenyum. ”Kalo gitu Ocha permisi dulu ya, Mas…” pamitnya.

”Sip…” jawabku sambil tersenyum.

Ocha kemudian berdiri, dan setelah pamit padaku kembali dia melangkah menuju meja resepsionis. Aku menatap tubuh jangkungnya melangkah meninggalkanku, yang ternyata begitu putih, betisnya yang berbentuk indah tampak putih mempesona, belum lagi goyangan pantatnya ketika melangkah. Mempesona.

Anak yang cantik, pikirku…

Tiba-tiba langkah Ocha yang baru separuh jalan dari mejaku ke meja resepsionis terhenti, tanganya merogoh saku blazernya, dan mengeluarkan hapenya dan mulai berbicara. Aku masih menatapnya ketika dari belakang aku melihat perubahan gesture tubuh Ocha, bahunya turun dan tampak lemas, kepalanya menunduk sambil terus berbicara di hape.

Pasti karena pembicaraannya, pikirku. Mungkin kabar yang gak baik, jika melihat dari bahasa bahasa tubuh Ocha.

Sambil masih berbicara di hape, Ocha melangkah perlahan ke arah meja resepsionis. Menyerahkan berkas yang dibawanya pada Natasha begitu saja, dan menghilang di ruangan yang berada di belakang mejanya itu.

Aku mengangkat bahu, dan kembali sibuk dengan androidku.
Segelas kopi sudah habis setengah, dua donat dan pastry telah masuk ke perutku. Setengah jam aku browsing tentang kota Palembang, termasuk rute dari hotel ke kantor Pipit yang ternyata tidak begitu jauh.

Aku masih belum bisa membayangkan, apa yang akan terjadi esok. Akankah aku tinggal lebih lama di Palembang ini, atau besok segera pulang.

Semua tergantung pada tanggapan yang akan diberikan Pipit jika besok kami sampai bertemu.
Aku melirik jam tanganku. Sudah setengah sepuluh malam….

Aku menghabiskan minumanku, dan melangkah menuju halaman depan untuk merokok barang sebatang. Aku melangkah perlahan memutari halaman hotel sekedar menghabiskan rokokku.

Sebuah SMS masuk ke hapeku. Ocha, ketika aku melihat nama pengirimnya.

Mas Raka masih di lounge…?
Aku tekan tombol dial, malas membalasnya dengan SMS juga. Dua kali nada sambung, Ocha mengangkat panggilanku.

”Iya Mas Raka…” jawab Ocha. Nada suaranya samasekali berubah, tidak ceria seperti tadi.

”Ada apa, Cha…”

”Mas masih lounge…?”

”Gak, Cha… Lagi di halaman depan, nih… Sekedar merokok sebatang sebelum balik ke kamar… Ada apa Cha…? Kamu belum pulang…? Udah selesai kan shiftnya…? Atau kamu mau nyuruh mas check out sekarang, ya…. Hehe…” candaku.

”Udah selesai, Mas… Ini udah mau pulang, kok….”jawab Ocha. ”Gak kok, Mas… Masa iya Ocha mau ngusir Mas Raka… hehe…” kekehnya, walau masih jelas banget terdengar gak ceria.

”Trus ada apa dong…?”

”Hhmmmmm… aduh, gimana ya… Ocha jadi gak enak nih…” katanya lirih. ”Mas… Mohon maaf sebelumnya… Hhmm… Gini… Aduh gimana ya ngomongnya….” katanya dengan nada bicara yang sangat ragu-ragu.

Aku diam menunggunya bicara lagi, sambil otakku menerka ada apa gerangan.

”Mas…”

”Iyaa….”

”Hhmmm…. Kalo Ocha pengen ketemu Mas, boleh gak…? Ngerepotin atau ngegganggu gak, Mas…” tanya masih dengan penuh keraguan. ”Ocha ada sesuatu yang ingin Ocha bicarakan sama Mas…, tapi ini tentang Ocha pribadi, Mas…, bukan masalah hotel… Ini juga kalo Mas gak keberatan, lho….”

Aku tidak berfikir lagi apa yang akan dibicarakan Ocha.

”Boleh… Gak apa-apa kok, samasekali gak masalah kalo Ocha mau ketemu, Mas juga lagi gak ngapa-ngapain nih… Cuma nunggu ngantuk aja…” jawabku.

”Makasih banyak sebelumnya, Mas… Ocha ngerasa gak enak banget nih… Pasti ngerepotin banget buat Mas…”

”Udah gak usah mikir gitu, ah…” jawabku mencoba menceriakannya. ”Sekarang Ocha dimana…? Mau ketemu ama Mas dimana…?”

”Ocha masih di parkiran staff, Mas… di belakang… tadinya udah mau pulang…” kata Ocha perlahan. ”Kalo di kamar Mas aja boleh, gak…?”

”Boleh, boleh aja kalo mau di kamar Mas… Tapi apa kamu yakin gak akan masalah kalo kita ketemunya di kamar Mas…?”

”Gak apa-apa kok, Mas… Asal jangan sampe ketemu karyawan lain yang bawel aja…” katanya pelan, agak ragu nada suaranya. ”Nanti Ocha pakai lift staff aja ke sananya, semoga gak ketemu ama staff lain…”

”Oke kalo gitu, Cha… Sekarang…?” tanyaku.

”Minta waktu sepuluh menit ya, Mas…” kata Ocha yang aku pahami maksudnya agar dia bisa berhati-hati untuk mencapai kamarku tanpa diketahui oleh staff hotel lainnya. Walau pun alasannya jelas, kunjungan staff wanita hotel ke kamar tamu di luar jam kerja pasti akan mengundang pertanyaan berbagai pihak.

”Oke, Cha… Mas langsung ke kamar sekarang, ya…”



-oOo-




Aku membuka pintu kamarku setelah mendengar suara ketukan halus. Begitu pintu aku buka, aku mempersilahkan Ocha masuk dan dia langsung menyelinap ke dalam kamarku dengan cepat. Aku menutup pintu kamarku dan menguncinya. Ketika aku berbalik, Ocha berdiri di depanku dengan wajah tertunduk.

Ocha masih mengenakan pakaian kerjanya, rok selutut yang agak ketat, dengan blouse warna cerahnya. Blazer kerjanya telah diganti dengan cardigan berwarna merah hati.

”Kita ngobrol di teras aja ya, Cha…” kataku.

”Boleh, Mas…” kata Ocha. Kemudian dia minta izin untuk mematikan semua lampu yang ada termasuk lampu teras, dan hanya menyisakan lampu di atas pintu masuk yang hidup. Kini kamarku jadi temaram, termasuk terasnya yang kini juga agak gelap, aman dari pandangan orang dari luar.

Aku duduk di bangku yang ada di teras, mengangkat kakiku santai ke railing dan menyalakan rokokku. Ocha pamit sebentar membuatkan minuman yang tersedia di pantry kecil fasilitas kamar. Tak lama kemudian, Ocha duduk di sebelahku setelah meletakkan minuman yang dibuatnya di atas meja, dua gelas teh panas.

”Silahkan diminum, Mas… Kalo rasanya kurang manis bilang aja biar Ocha tambah gulanya…”

”Makasih, Cha…” jawabku sambil mencicipi teh buatannya. ”Pas, kok…”

Ocha tersenyum, walau suasana temaram aku masih bisa melihat wajahnya yang tersenyum, dan aku bisa melihat ada raut gundah disana, berbeda jauh dengan ceria yang tunjukkannya tadi di lounge.

Kami terdiam beberapa saat, menatap langit kota Palembang yang malam itu tampak mendung walau masih menyisakan sedikit bintang. Khas langit di bulan November.

”Mas…” panggil Ocha sambil menatapku.

”Ya….” Aku menoleh, balas menatap Ocha.

”Apa yang ada dipikiran Mas saat ini, tentang Ocha yang malam-malam datang ke kamar Mas padahal kita baru aja kenal, tukeran nomer hape juga tadi karena masalah kerjaan…” katanya lirih. ”dan belum satu jam, sekarang sudah di kamar Mas…”

”Yang Mas pikirkan tentang Ocha…?” tanyaku. ”Gak ada, tuh… Biasa aja…”

”Mas pasti mikirnya Ocha ini perempuan gak bener, nyamperin tamu hotel malem-malem….”

Aku tersenyum sambil menatap Ocha ke dalam matanya. Aku bisa merasakan Ocha merasa sangat canggung saat ini. Mungkin ini adalah pengalaman pertama buat Ocha mendatangi tamu hotel tempatnya bekerja, malam hari pula, bahkan setelah jam kerja. Jika ini bukan pengalaman pertama, maka perbuatan ini bisa dibilang baru beberapa kali Ocha lakukan, atau bisa juga jarang dia lakukan, aku tak bisa menebak yang mana. Bisa jadi ada sebuah jasa yang ingin Ocha tawarkan padaku. Tapi rasa canggung dan ragu yang begitu terasa dari diri Ocha, membuatku tak mau gegabah menuduh Ocha sebagai player berkedok resepsionis. Aku ingin mendengarkan Ocha dulu, tak berani menuduhnya yang tidak-tidak. Bahkan rasanya, tak tega walau hanya sekedar berprasangka…

”Ceritalah… Mas akan dengarkan…” kataku padanya sambil tersenyum.

”Sebelumnya, Ocha benar-benar minta maaf, Mas…” kata Ocha perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca.

Kemudian dengan perlahan Ocha mulai menceritakan siapa dirinya sebenarnya. Ocha adalah perantau di Palembang ini, dan kost di sekitar perumahan Takeda. Asalnya dari ibukota Propinsi Bangka Belitung. Ayahnya sudah tiada, dan Ocha bersama seorang kakaknya menjadi tulang punggung keluarga menghidupi ibu dan dua orang adiknya. Setiap bulan Ocha rutin mengirimkan sebagian uang gajinya kepada ibunya.

Ocha sudah punya pacar, bekerja di Jakarta sebagai pegawai sebuah stasiun televisi swasta nasional. Mereka berencana akan menikah setahun lagi. Kedua keluarga besar sudah setuju dengan hubungan mereka, dan mereka juga saling mencintai.

Telepon yang diterima Ocha tadi, adalah dari pacarnya. Ocha menceritakan bahwa isi percakapannya tadi, intinya pacarnya meminta bantuan Ocha untuk mengirimkan uang sebesar lima juta rupiah. Pacarnya mengalami musibah, saat mengendarai mobil kantornya, dia menabrak seorang pengendara motor hingga terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Rupanya si korban sampai harus di operasi saat itu juga, dan seluruh uang pacarnya berikut pinjamannya sudah habis buat membiayai rumah sakit, namun masih kurang. Itu lah kenapa dia tadi sampai menelpon Ocha, jika sekiranya Ocha ada uang lebih.

Tapi Ocha bilang, dia baru saja gajian dan sudah mengirimkan kepada ibunya, sementara sisanya dia sudah gunakan buat bayar kost dan untuk akomodasinya sampai gajian berikutnya. Intinya, Ocha saat ini tak ada uang berlebih. Sementara untuk meminjam pada teman kerjanya, Ocha merasa malu untuk melakukannya. Karena beberapa kali temannya pernah mencoba meminjam uang Ocha, tapi karena pengeluaran Ocha sudah jelas kemana dan hanya pas saja untuk keperluannya sehari-hari, maka Ocha tak pernah bisa membantu temannya. Sebab ini pula yang membuat Ocha tak berani meminjam karena merasa tak pernah bisa membantu memberikan pinjaman pada temannya yang lain. Aku bisa memahami.

”Sekiranya Mas percaya sama Ocha, dan jika saat ini kebenaran Mas ada uang lebih sebesar lima juta, Ocha ingin pinjam dari Mas, karena jika bisa Ocha ingin mengirimkannya saat ini juga, dia sangat memerlukannya saat ini supaya keluarga korban tidak menuntutnya secara hukum karena ada itikad baik dari dia…. Besok Ocha akan jual motor Ocha dan ada sedikit perhiasan emas yang bisa Ocha jual, jadi besok sore Ocha sudah bisa mengembalikan uang Mas Raka…” kata Ocha sambil berlinang air mata.

Entah kenapa, aku merasa Ocha jujur. Aku sama sekali tak ada firasat Ocha bercerita bohong. Aku begitu tersentuh dengan pengakuannya pada masalah yang dihadapinya. Aku juga tidak berprasangka buruk Ocha akan menipuku. Aku sangat ingin bisa membantu Ocha.

”Bisa, Cha… Mas akan bantu… Mana rekening pacar Ocha…?”

Ocha tampak sangat terkejut. Tak menyangka aku akan begitu mudah percaya padanya.

”Mas Raka yakin…? Mas Raka percaya ama Ocha…?” tanyanya menatapku antara tak percaya bercampur senang karena begitu mudahnya dia mendapatkan solusi untuk masalahnya malam ini.

”Mas Raka percaya ama Ocha…” jawabku sambil tersenyum.

”Walau kita baru kenalan, Mas…?”

”Iya… Ocha juga baru kenal Mas Raka malam ini, tapi sudah percaya ama Mas untuk berbagi masalah yang sedang Ocha hadapi…”

”Makasih banyak, Mas… Makasih banyak… Ocha samasekali gak nyangka akan terbantu secepat ini, apalagi yang membantu adalah Mas yang baru Ocha kenal. Terus terang tadi Ocha kalut banget, bingung mau cari dimana uang sebanyak itu malam-malam begini. Tadi ragu banget mau menghubungi Mas Raka, takut banget Ocha ditertawai atau dibilang gak mikir… Tapi ternyata Tuhan membuat Ocha berani menghubungi Mas karena ternyata Mas lah yang menjadi penyelamat Ocha…”

Aku tersenyum menatap gadis cantik yang ada dihadapanku, yang berbicara sambil menatapku lekat, suaranya bergetar berlinang air mata. Aku semakin yakin dan percaya, Ocha tak akan menipuku.

”Haisshhh… Segitunya… Mas merasa senang jika Mas bisa bantu Ocha… Jangan tanya alasannya, Mas juga gak tau… Yang jelas, Mas percaya sama Ocha. Memang kita baru kenal, tapi gak tau kenapa Mas percaya banget ama Ocha… Semoga apa yang Mas lakukan ini benar, dan bisa mengeluarkan kamu dari kesulitanmu. Ada sebagian dari diri Mas yang kasih warning, tapi sudahlah… Mas lebih memilih untuk percaya padamu dan membantumu…” kataku pada Ocha.

Ocha bangkit dari kursinya, dan berlutut di depanku. Tangannya meraih telapak tanganku dan menciuminya. ”Makasih banyak Mas… Makasih banyak…”

Aku segera berdiri dan menarik Ocha agar segera berdiri. ”Heeeyyy… Kok jadi sungkeman gini… Emangnya lebaraaan….” Kataku bercanda sambil tertawa.

Ocha masih sesugukan walau dia tertawa juga karena candaanku. Lalu kami kembali duduk, dan Ocha bercerita banyak hal tentang dirinya.

”Mas, Ocha numpang mandi disini aja, boleh ya… Gerah juga nih, habis kerja belum sempat mandi…”

”Silakan Cha… Mas mau santai aja disini dulu…”

Ocha kemudian masuk ke kamar, dia tetap membiarkan cahaya kamar tetap temaram sebelum masuk ke kamar mandi. Sekitar setengah jam, Ocha sudah selesai mandi, segar sekali tampaknya dia. Dia mengenakan jubah mandi hotel yang bahannya kaos berbulu seperti handuk. Segar, dan terlihat seksi.

”Yang habis mandi seger banget keliatannya… Keluar cantiknya…” godaku dan langsung tangan dicubit oleh Ocha.

”Maaf ya mas, Ocha pake baju mandinya… Tapi tadi Ocha udah pesan ke bawah buat anterin satu lagi…”

”Sekalian telponin ke kitchen, Cha… Mas laper nih… Ocha makan juga, ya…”

”Boleh, Mas… Mas mau makan apa…?”

”Nasi goreng aja deh..,. Pilihin yang enak, ya…”

”Oke, Mas…” kata Ocha sambil beranjak ke dalam dan menelpon kitchen untuk memesan makanan. Lalu dia kembali lagi ke teras dan kami kembali ngobrol ngalor ngidul. Tak lama kemudian pesanan makanan datang bersamaan dengan tambahan baju mandi. Ocha terpaksa harus sembunyi ketika petugas room service mengantarkan itu semua. Kemudian kami makan bersama, dan setelah selesai Ocha kembali membuatkan teh panas buat teman kami ngobrol.

”Mas, Ocha nginep di sini aja boleh gak… Udah kemaleman tapi Ocha merasa betah banget nih ngobrol sama Mas…”

”Boleh aja, Cha… Tapi ranjangnya single bed gini, gimana…?”

”Kalo Mas gak keberatan, Ocha gak apa kok, Mas… Lagian Ocha tidurnya gak ngabisin tempat, kok… hehe…”

”Ya udah kalo gitu… Mas udah ngantuk, nih… Mas tidur duluan ya….”

”Iya Mas… Silakan duluan… Ocha mau ke kamar mandi dulu….”

Aku lalu masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah selesai, Ocha gantian masuk kamar mandi. Aku menyiapkan kaos dan celana pendek gombrong, sekiranya Ocha mau memakainya karena sejak tadi dia tetap memakai jubah mandi.

”Cha… Mau pake kaos dan celana pendek milik Mas, gak…? Buat kamu tidur…?” kataku padanya yang masih di kamar mandi.

”Boleh, Mas….” jawab Ocha dari dalam kamar mandi.

Tak lama kemudian Ocha keluar dari kamar mandi, masih mengenakan jubah mandi tadi. Aku menyerahkan kaos dan celana pendek itu padanya.

”Aduh jadi ngerepotin banget nih mas….” Katanya menerima kaos yang aku berikan.

Mata Ocha menatap lekat ke mataku. Tangan kami yang masih saling menjulur karena penyerahan kaos itu, terdiam sejenak. Aku menatap wajah cantik gadis berkulit putih dihadapanku ini, mengagumi kebersihan kulit wajahnya yang tanpa polesan make up, bersih karena baru cuci muka.

Tangan Ocha melepaskan kaos yang aku ulurkan, hingga jatuh ke lantai. Tangannya meraih tanganku, dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku.

”Mas….” Desahnya lirih sambil menatapku.

”Cha…” jawabku semakin mendekatkan diriku padanya.

Ocha dengan perlahan meraih pinggangku, dan memelukku erat. Tinggi kami yang hampir sama membuat aku dapat memeluk Ocha dengan sempurna. Ocha merebahkan kepalanya di pundakku.

”Ocha masih gak percaya bisa dibantu ama Mas Raka…” bisiknya tepat di telingaku, meninggalkan rona geli membuat bulu kudukku meremang. ”Sekali lagi makasih banyak ya, Mas…”

Aku membelai rambutnya, dan menempelkan pipiku di pipinya. ”Sama-sama, Cha… Mas juga bahagia bisa ngebantu Ocha…”

Tangan kananku membelai rambutnya, sementara tangan kiriku memeluk pinggangnya yang ramping. Wajah Ocha bersandar di pundak kiriku. Cukup lama kami berada di posisi ini.

Ocha kemudian menatapku, dan aku mendekatkan keningku hingga menempel ke kening Ocha. Mata kami masih lekat saling menatap, dan aku melihat mata Ocha semakin sayu, bibirnya sedikit terbuka. Pinggulnya bergerak semakin rapat padaku, membuatku yakin Ocha dapat merasakan kekerasanku di bawah sana. Aku semakin erat memeluk pinggangnya, melekatkan tubuh kami berdua.

Aku bergerak, memberikan sekilas kecupan di keningnya untuk kemudian menempelkan lagi keningku ke keningnya. Ocha sejenak terpejam merasakan kecupanku.

”Mas….” Bisiknya pelan.

Aku mengecup bibirnya dengan lembut, Ocha semakin menengadahkan kepalanya. Wajahnya kini agak miring ke kiri, memberi ruang bagi bibir kami untuk saling mencium. Bibirnya menggigit lembut bibirku, aku membalasnya dengan kecupan yang sama lembutnya. Tangan kananku hinggap di pinggulnya. entah dia sadar atau tidak, yang jelas Ocha diam saja. Desahan nafasnya bagai background music yang indah bagiku dan tanganku yang mulai meremas, dan meraba wilayah pinggul indah itu.

Ocha semakin erat memelukku.
”Mas... ” desahnya. Matanya semakin terpejam.

Aku tersenyum dan sambil terus meremas pinggulnya. Kali ini agak ke bawah, aku meremas lembut buah pantatnya yang sekal bulat menantang. Aku raih bagian belakang lehernya, agar aku semakin dapat melumat bibirnya semakin dalam. Kujejali mulutnya dengan lidahku, bergerak menyapu permukaan bibirnya, dan menerobos masuk menjilati gigi dan gusinya. Lidah Ocha bergerak menyambut gerakan lidahku, membelit dengan lembut. Nafas kami semakin memburu karena ciuman yang semakin bergairah. Aku kemudian mengusap punggungnya, dari leher ke arah pantat. Aku tak merasakan ada ganjalan dari pakaian dalam dibalik jubah mandi itu.

Ocha mulai bergerak, mendorong tubuhku dengan perlahan hingga akhirnya aku terjatuh telentang di atas kasur dengan tetap memeluk Ocha yang kini dengan sempurna menindihku. Kami lanjutkan ciuman bibir kami yang sempat terlepas saat aku terjerembab tadi.

Kedua tangan Ocha meremas rambutku penuh gairah, wajahnya bergerak memberikan ciuman terbaiknya. Sementara aku masih memeluknya erat, mengusap apa saja yang bisa aku raih dengan tanganku.

Ocha kemudian melepaskan lumatannya, menatapku sayu penuh gairah.

”Mas, miliki Ocha malam ini….” Desahnya sambil menatapku sayu. ”Ocha milik Mas malam ini…”

”Ocha yakin…?” tanyaku padanya. ”Kita gak harus seperti ini juga, Cha…, jika ini Ocha anggap sebagai balasan karena bantuan Mas…”

”Bukan, Mas… Ocha mau begini dengan Mas karena Ocha benar-benar tersentuh karena kebaikan Mas pada Ocha… Perbuatan Mas yang langsung percaya dan membantu Ocha benar-benar membuat Ocha tersanjung… Mas udah menunjukkan kalo Mas begitu baik, Ocha jadi merasa sayang ama Mas, seperti yang sudah kenal lama… Jadinya ingin bisa selalu dekat dan merasakan kebaikan Mas…” bisiknya lirih. ”Ocha beruntung banget bertemu dengan Mas…”

Ocha kemudian duduk di atas tubuhku, tangannya bergerak membuka ikatan jubah mandi yang dikenakannya. Tanganku bergerak ke bahunya, menyingkap jubah mandi itu dengan perlahan. Ikatannya sudah terurai, dan Ocha terdiam menantiku. Aku mengusapkan telapak tanganku disepanjang garis pundaknya, meremasnya pelan sambil menurunkan jubah mandi itu.

Tanganku kini sampai di dadanya, mengusapnya dengan lembut. Ocha menatapku sayu, dan dengan sedikit goyangan bahunya, jubah itu kini telah terhampar, berkumpul di pinggulnya. Kini mataku dimanjakan dengan sepasang payudara yang begitu putih, bulat menantang, dengan puting mungil berwarna merah muda. Amazing view.

Ocha mendesah ketika telapak tanganku menggenggam buah dadanya dari bawah, meremasnya ke arah atas dan langsung memijat putingnya. Aku meremas buah dada itu dengan lembut, dan Ocha semakin membara dibuatnya. Pinggulnya mulai bergoyang, menggesek penisku yang berada tepat dibawahnya. Tanganku lalu menyusuri perutnya, ke pinggangnya dan meremas pinggul aduhai itu. Ocha kemudian rebah ke arahku, bibirnya kembali memagut bibirku dengan penuh gelora. Ocha kemudian membuka jubah mandinya dan melemparkannya ke lantai, lalu membantuku melepas semua pakaian yang masih aku kenakan. Dalam sekejab kami berdua sudah telanjang bulat.

Aku balikkan tubuhnya, kini Ocha tengkurap dengan bertumpu pada siku lengannya. Tanganku menyusup ke bawah badannya menggapai payudaranya, meremas daging yang kini telah mengeras kenyal. Ocha kembali mendesah. Aku tekan penisku yang telah mengeras kaku ke belahan pinggulnya, dan kurapatkan dadaku ke punggungnya. terasa Ocha bergerak gerak, pinggulnya menggelinjang karena penisku menekan belahan pantatnya, dan kami kini telah saling bergesekan.

Aku mulai menciumi tengkuknya, menjilati hingga ke telinganya lalu aku ciumi seluruh pundak dan punggungnya. Ocha terus mendesah lembut sambil menggelinjang. Kini aku sudah menciumi pinggulnya menjilati sambil menyusupkan lidahku ke belahan pantatnya. Pinggul Ocha sampai terangkat, membuatku semakin bisa mengolah bagian itu dengan lidahku. Ciumanku terus ke arah pantatnya, lalu turun ke kaki sebelah kiri hingga ke betisnya, dan pindah ke kaki kanan, naik lagi hingga ke pantatnya. Dengan kedua tanganku, aku menarik Ocha hingga menungging.

Segera lidah dan bibirku menyerbu liang senggamanya dari belakang. Aku jilati vaginanya sambil aku cucuk liangnya dengan lidahku, kemudian menyapu dengan keras klitorisnya dan naik hingga menjilati anusnya. Begitu terus berulang ulang, Ocha semakin keras mendesah dan gelinjang pinggulnya semakin keras. Vaginanya kini membanjir, menyeruakkan wangi khas vagina yang sangat aku suka. Aku jilati vaginanya dengan penuh nafsu, hingga Ocha mengejang melepas orgasmenya hanya dari 30 menit aku oral vaginanya.

Tubuhnya kini terhempas dengan nafas memburu. Aku mendekapnya dari belakang, menciumi tengkuknya sambil membelai bagian depan tubuhnya, dari dada hingga ke perut. Jariku sampai di klitorisnya, dan mengusapnya dengan lembut. Ocha kembali melenguh keras, kepalanya menoleh ke arahku mencari bibirku dan melumatnya. Kini Ocha tidur telentang, aku tidur di sisinya dengan tangan terus membelai vaginanya.

”Ooh.. Mas Raka… Nikmat sekali….” desahnya lirih, dan kami beristirahat sejenak. Ocha kemudian bangkit dan mengambil air dingin dari kulkas, dan memberikannya padaku setelah dia meminum beberapa teguk.

”Sekarang…, giliran Ocha ya…” katanya sambil melirik nakal kepadaku.

Ocha merangkak ke atas tubuhku, memberikan ciuman pada bibirku dan melumatnya dengan lembut. Aku membalas pagutannya, sebelum kemudian Ocha mulai menciumi leherku, telingaku, dan kemudian melumat puting dadaku dengan lembut.

Ciuman Ocha semakin turun dan mendekati penisku yang sudah mengacung tegak. Digenggamnya penisku dan dikocoknya dengan lembut. Bibirnya membuka dan langsung menghisap buah zakarku. Dikulumnya dan dielus dengan lidahnya, berganti antara bola kiri dan kanan.

Dengan gerakan menjilat dari pangkal, lidah Ocha naik turun membelai batang penisku. Pada kesempatan terakhir bibirnya membuka dan melahap kepala penis, sambil melirikku yang terus menatapnya. Kepalaku terhempas ke belakang karena nikmatnya kuluman Ocha, hisapannya yang lembut namun mantap. Aku sampai meremas rambutnya dengan gemas.

Gerakan lidah Ocha yang membelai penisku yang berada dalam mulutnya, dikombinasikan dengan gerakan naik turun yang perlahan. Aku mendesah habis-habisan, tak terkira nikmat yang Ocha berikan. Sesekali Ocha membenamkan penisku dalam-dalam hingga ke tenggorokannya, menahannya lama untuk kemudian melepaskannya dengan hembusan nafas hangat yang keras. Aku kelojotan dibuatnya.

Tak tahan dengan kenikmatan oral yang diberikan Ocha, aku segera meraih tubuhnya, dan memposisikannya telentang di bawahku. Segera aku melumat bibirnya, sementara Ocha menyilangkan kakinya mengait dibelakang pantatku dan mulai menekan. Aku arahkan kepala penisku ke vaginanya, menggesek dan menekan klitoris dan sesekali menekan masuk ke liang vaginanya sedikit. Tindakanku ini membuat Ocha semakin terbakar birahinya, kakinya mulai menekan pinggulku, membelit makin erat berharap aku segera memaksimalkan penetrasi.

Aku menatap Ocha, dan Ocha membalasnya dengan senyuman.

”Lakukanlah, Mas… Milikilah Ocha malam ini…” desahnya sambil tersenyum menatapku.

Mata Ocha terpejam dan bibirnya mendesah penuh nikmat ketika kepala penisku mulai membelah liang vaginanya. Aku memasuki Ocha dengan perlahan, memberikan sensasi gesekan yang terasa panjang dan lama. Untunglah penisku memiliki ukuran yang dapat memberikan kenikmatan maksimal pada Ocha.

Akhirnya kepala penisku menabrak sebentuk dinding lembut, dan tak bisa aku tekan lebih dalam lagi. Semakin aku coba menekan, kepala Ocha akan terdongak kebelakang. Desahannya semakin keras terdengar.

”Oooh… Maaassss…. Mentoook….!” desahnya keras. Semakin aku menekan, semakin tertengadah Ocha di buatnya. Matanya membeliak hingga terlihat hanya bagian putih bola matanya saja.

Sambil menekan dengan lembut, aku menciumi leher Ocha. Ocha semakin memperdengarkan desahan penuh nikmatnya. Kakinya membelit erat bagian bawah pantatku, manarik dan melemaskannya berkali kali, hingga dengan sendirinya penisku maju mundur dalam vaginanya. Aku mulai menegakkan tubuhku, melepaskan belitan kaki Ocha dan mengangkatnya ke atas bahuku. Tanganku meraih payudaranya dan meremasnya dengan erat.

Pinggulku mulai aku hentakkan ke depan dan ke belakang. Ocha kini mulai terpekik lirih, melenguh pelan. Semakin lama kau memacunya dengan gerakan ini, semakin erat jepitan betisnya di kepalaku. Ocha tetap mengeluarkan suara lirih, rupanya dia tak suka dengan jeritan penuh nafsu seperti film porno.

Tanganku meraih kedua kaki Ocha dan meletakkannya di sisi kiri tubuhku, kini pinggul Ocha mulai menyamping, sehingga aku semakin bebas mendera vaginanya dengan penisku. Aku meraih pinggulnya dan agak mengangkatnya, kini posisi kami lebih mirip doggy style tapi masih menyamping, belum tegak lurus dari belakang. Posisi ini sungguh nikmat bagiku dan Ocha.

”Ooohhh… Maaasss… Nikmat banget Mas… Terus Maasss… Ahhh…. Ahhh…. Hhhmmmmmh….” Desah Ocha sambil berusaha menggoyangkan pinggulnya. Aku semakin mempercepat kocokanku.

Kaki Ocha berusaha menyelusup ke bawah tubuhku, aku mengatur posisinya hingga Ocha kini terbaring tengkurap, tanpa melepaskan tautan alat kelamin kami. Ocha sedikit agak menjengitkan pantatnya, dan aku kembali memacu penisku menghujam vaginanya dari belakang. Ocha sampai meremasi seprai dengan kuat, jeritannya dibenamkan ke bantal. Aku menggenggam buah pantatnya yang sekal, dan berpegangan di sana sebagai titik tumpu pacuan penisku.

Tak lama kemudian, aku menarik pinggul Ocha, dan memposisikannya pada posisi true doggy. Kembali Ocha melenguh keras, membalas goyangan pinggulku dengan arah berlawanan. Aku semakin cepat merojok vagina Ocha sampai bagian terdalam. Tanganku meraih payudaranya dan meremasnya. Ocha semakin sering mendesah, semakin keras melenguh.

”Mas, dikit lagi maasss… Ocha mau nyampeee….” desahnya padaku.

”Tetap begini atau ganti posisi, Cha…?” tanyaku pada posisi yang paling disukainya saat melepas orgasme.

Ocha begerak, menjulurkan kakinya hingga lurus ke belakangku. Badanku sampai terdorong ke belakang, dan akhirnya tubuhku terjerembab terlentang. Aku meluruskan kakiku ke sisi tubuh Ocha, untungnya panjang penisku memcukupi hingga gerakan kami ini tak sampai membuat penisku terlepas dari vagina Ocha. Kini posisi Ocha setengah merangkak, dengan cepat Ocha menggerakkan pantatnya menggerus penisku yang masih menancap dari bawah. Semakin lama semakin lama gerakannya semakin cepat, hingga akhirnya aku bisa menyaksikan pantat Ocha bergetar keras, dan aku juga bisa melihat cairan cintanya merembes membasahi batang penisku.



Penisku makin menegang, mendongkrak dengan keras dinding vagina Ocha di arah tulang punggungnya. Aku tadinya mengira GSpot Ocha berada di bagian vagina sebelah atas yang mengarah ke perutnya, ternyata lebih sensitif yang berada di sisi sebaliknya. Tampaknya, kenikmatan yang diperoleh Ocha berhasil diraihnya dengan sempurna. Ocha sampai tertelungkup dengan lemas di antara kangkangan kakiku. Aku duduk dan meraih buah pantatnya, dan meremasnya dengan lembut.

”Hhhmmmm…. Maaasss…. Hhhh….” desah Ocha penuh kenikmatan.

”Enak, Cha…?”

”Bangeeethhhh….”.

Malam itu kami meneruskan persutubuhan kami hingga jam 2 dini hari. Aku meraih dua kali orgasme, sementara Ocha entah berapa kali. Akhirnya kami tidur berpelukan dalam selimut, kelelahan dalam nikmat.




-oOo-



Aku terbangun ketika matahari sudah bergerak dari sisi terbitnya, terjaga dalam kenikmatan wangi kopi dan denting gelas yang sedang di aduk oleh Ocha. Dia kembali dalam balutan jubah mandi, tampak segar. Rupanya dia sudah terbangun lebih dahulu dan langsung mandi. Rambutnya tergelung handuk.

”Waah.. Sudah mandi besar, neh…” sapaku membuat Ocha menoleh dan tersenyum manis padaku.

Ocha membawa dua gelas kopi dan meletakkannya di nakas. Lalu dia duduk disisi ranjang dan mengecup bibirku.

”Pagi, mas…. Nyenyak tidurnya….?” Sapanya tersenyum.

”Nyenyak banget….”

Tangan Ocha menelusup ke dalam selimut dan meraih penisku. Rasa geli yang teramat nikmat segera menjalar karena penisku yang mengeras karena baru bangun dan menahan kencing.

”Chaaa… Mas nanti ngompol, lhooo…. Kalo mau nambah biarkan Mas pipis dulu ya…”

”Iiih siapa yang mau nambah… Ocha cuma mau menyapa aja kok… Menyapa si ganteng yang udah bikin Ocha kelojotan tadi malem…” katanya menggodaku, semakin cepat mengocok penisku dan membelai kepalanya dengan ibujarinya. Aku segera kabur ke kamar mandi.

Tak lama kemudian, aku selesai mandi dan mengenakan jubah mandi yang satu lagi. Ocha sudah duduk di teras, kedua gelas kopi sudah ada disana dan piring berisi roti tawar yang sudah dioles selai coklat. Aku duduk di sampingnya dan mulai menikmati kopiku.

”Ocha mau segera pamit, Mas… Biar ada waktu untuk mencari dana supaya bisa mulangin uang Mas Raka seandainya Mas jadi check out siang nanti….” katanya padaku.

”Santai aja, Cha… Gak usah buru-buru. Itu gak mendesak, kok… Nanti aja kalo Ocha udah ada gantinya, baru Ocha kirim ke Mas… Gak perlu sampai jual motor atau yang lainnya…”

Ocha menatapku lekat-lekat. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang seperti tak percaya.

”Tapi kan Ocha udah janji, Mas…”

”Udah gak usah di pikirin…” tukasku. ”Kapan Ocha ada uang lebih, baru ganti uang Mas…” kataku sambil tersenyum padanya.

Ocha bangkit, dan kemudian melangkahi kakiku dan duduk dipangkuanku. Segera dia memelukku.

”Makasih, Mas… Ocha semakin gak nyangka ternyata Mas Raka baik banget ama Ocha…”

Aku balas memeluknya, dan Ocha segera melumat bibirku. Tangannya membimbing tanganku untuk meremas payudaranya.

Pagi itu, kami melakukannya lagi, dan meraih orgasme bersama di kursi teras kamar hotel lantai 8 dalam posisi women on top.
 
 
Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (3)


Bang Nizam sudah menungguku sejak jam delapan pagi, sementara karena pertempuranku dengan Ocha, aku baru turun jam sepuluh pagi. Setelah sarapan dengan Bang Nizam, kami pun berangkat menuju kantor Pipit yang hanya berjarak kurang dari 3 Km dari hotel tempatku menginap. Sesampainya di kantor itu, aku melapor kepada security yang bertugas dan menjelaskan keperluan kedatanganku, aku kemudian menunggu di lobby kantor tersebut sementara sang security menjemput Pipit ke ruangannya.

Aku menunggu sekitar lima belas menit, kemudian sang security mempersilahkan aku untuk mengikutinya ke lantai 2. Dia mengantarkan aku menuju sebuah ruang rapat kecil yang berisi beberapa meja dan bangku, yang saat itu sedang kosong karena tidak dipergunakan. Menurut penjelasannya, Pipit akan menemuiku di ruangan ini.

Tak lama kemudian, Pipit masuk ke ruangan itu, dimana aku sudah menantinya dengan berdebar.

”Assalamu’alaikum, Ka….” Sapanya sambil tersenyum padaku.

”Waalaikumussalam, Pipit…” aku berdiri menyambutnya. Sungguh aku bahagia sekali bisa bertemu kembali dengan Pipit. Aku tak dapat menyembunyikan senyum bahagiaku.

”Silakan duduk, Ka…” kata Pipit sambil menarik kursi yang berada di depan meja tempatku duduk.

Kini aku dan belahan jiwaku, duduk berhadapan dengan hanya dipisahkan oleh sebuah meja.

”Kaka kapan sampai di Palembang…?”

”Kemarin, Pit… Minggu pagi, naik kereta…”

”Kebenaran mampir aja, kan…? Bukan khusus nyariin Pipit,,,? ”

”Gak… Memang datang untuk khusus nyariin Pipit, kok…”

Pipit tersenyum, menggelengkan kepalanya.

”Mau ngapain sampai khusus datang buat nemuin Pipit…? Bukannya nanti aja datengnya saat Pipit nikah…”

”Itu dia…, Kaka memang sengaja datang sebelum Pipit nikah… Malah saat nikah nanti Kaka yang gak tau akan datang atau gak…”

”Kok gitu…? Emang gak mau hadir saat Pipit nikah nanti…?”

”Menurut kamu, Kaka akan sanggup gak ngelihat kamu nikah ama orang lain…?”

”Kok gak ikhlas begitu…? Artinya Kaka gak suka dong ngelihat Pipit bahagia…”

”Iya… Jujur Kaka masih belum ikhlas… Makanya Kaka datang langsung menemui kamu, memang sudah sangat terlambat, tapi Kaka masih sangat berharap…”

Pipit terdiam, matanya kini lekat menatapku.

”Kaka masih berharap Pipit yang menjadi istri Kaka…” kataku lirih.

”Kaka tahu itu jelas sudah gak mungkin…”

”Kenapa gak…? Kamu masih belum menikah kan saat ini…? Kamu masih bebas belum ada yang memiliki, masih belum ada yang mengikat…”

”Tapi Pipit sudah bertunangan…”

”Setahu Kaka dalam Islam gak ada istilah pertunangan…”

Pipit terdiam.

”Kaka memintamu dengan kesungguhan hati, Pit… Menikahlah dengan Kaka… Jadilah istri Kaka…”

”Pipit gak bisa, Ka…” jawab Pipit lirih sambil menatapku. ”Kaka tahu Pipit gak bisa…”

”Karena orang yang melamar ini…” kataku sambil menunjuk diriku, ”… adalah Kaka…?”

”Iya… Karena Kaka… Pipit sudah mengubur semua harapan Pipit bisa bersatu dengan Kaka… Jangan tanya lagi alasannya kenapa jika sekarang Kaka gak sanggup untuk sakit hati lagi karena alasan Pipit…”

Aku menghela nafasku berat. Aku tersenyum pada Pipit yang masih tetap menatapku.

”Dari tadi kamu menatap Kaka terus, gak kayak biasanya…” kataku, seketika itu juga Pipit melengos membuang muka.

”Ah, Kaka ini….” Keluhnya jengah.

”Apakah sama alasannya…?” tanyaku.

”Alasan apa yang sama…?”

”Kaka dari tadi juga menatap kamu terus, itu semua karena Kaka kangen banget ama kamu….” kataku. ”Kalo kamu, karena alasan apa menatap Kaka terus dari tadi…?”

Pipit menatapku dalam-dalam, seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi tak jadi. Kemudian malah menunduk seraya menghembuskan nafas dengan gundah.

”Maafkan Pipit, Ka… Pipit juga masih manusia biasa…” katanya perlahan. ”Pipit juga gak mampu menahan diri…, maafkan Pipit…”

Aku mengerti maksudnya. Aku sangat mengenal Pipit. Perpisahan kami sekian tahun ternyata tak mengubah diri kami masing-masing.

Kami saling menatap. Sama-sama mengakui bahwa alasan kenapa kami saling menatap sejak tadi karena kami saling merindukan.

Sama-sama mengakui mungkin ini akan jadi yang terakhir, dan tak akan ada pernah kesempatan lagi.

Bisa jadi, ini adalah pertemuan kami yang terakhir. Jika saat disini masih ada rasa cinta dan kasih sayang di antara kami yang masih ada dan belum terungkap, biarlah semua terbuka jujur saat ini.

Masing-masing hati kami mungkin saat ini sama-sama berkata, ”Izinkan aku menatapmu untuk yang terakhir kali, rasakanlah cinta dan kasih sayangku, rasakanlah semua rinduku padamu…”

”Kenapa semua ini harus terjadi pada kisah kita, Pit…? Kenapa dua orang yang masih saling mencintai malah gak bisa bersatu…” keluhku, sungguh merana rasanya.

”Entahlah, Ka… Mungkin ini semua terjadi karena bukan hanya cinta yang bicara, karena yang namanya cinta kadang bertingkah gak masuk akal. Tapi semua yang terjadi ini memang sudah Pipit ikhlaskan terjadi pada Pipit… Ini yang sekarang masuk akal buat Pipit, paling logis yang bisa Pipit terima…”

”Tak inginkah kamu membela rasa cintamu pada Kaka…? Keinginan tersembunyi walau pun kecil, yang mungkin bisa menguatkan Kaka untuk merebutmu…?”

”Pipit gak akan jawab…” geleng Pipit sambil tersenyum padaku.

”Kaka akan lakukan apa saja jika Pipit memang ingin Kaka berjuang merebut Pipit terakhir kali ini…”

”Sudahlah, Ka… Kisah kita sudah berakhir, gak ada yang perlu kita paksakan lagi…”

”Tapi Kaka masih yakin kamu masih mencintai Kaka…”

”Mungkin…” kata Pipit sambil mengangkat bahu.

”Lalu kenapa kamu melarang Kaka untuk berjuang mendapatkan kamu…? Ini sudah genting sekali, Pit… Sebentar lagi kamu akan jadi milik orang…”

”Makanya Pipit tadi bilang ”mungkin”… Mungkin Pipit memang masih mencintai Kaka, tapi mungkin juga Pipit sudah gak cinta lagi, kan…?”

”Tapi tatap matamu gak bisa bohong, Pit…” desisku. ”Cintamu masih sama besarnya dengan Kaka mencintaimu saat ini…”

”Kaka memang bodoh…!” bentak Pipit tiba-tiba. ”Gimana bisa Pipit bisa melupakan Kaka…? Kaka kira Pipit akan mudah melupakan Kaka…? Gak, Ka… Susah sekali melupakan Kaka…!”

Aku terkejut melihat Pipit terlihat begitu emosi. Semua hal yang selama ini selalu ditahan oleh Pipit kini seakan tumpah bagaikan bendungan jebol. Pipit mengungkapkan seluruh isi hatinya.

”Kaka adalah yang pertama buat Pipit. Kaka adalah cinta pertama Pipit, segala yang terjadi pada Pipit pertama kali Pipit lakukan semuanya bersama Kaka…. Jika sudah begitu gimana bisa Kaka punya pikiran kalo Pipit mudah melupakan Kaka…? Pipit gak usah cerita deh, betapa Pipit selalu mendoakan Kaka, berharap Kaka bisa menjadi yang terbaik buat Pipit. Seandainya Kaka bisa mengerti betapa besar harapan Pipit pada Kaka, Kaka gak akan dengan mudah melakukan hal-hal yang malah menghancurkan hati Pipit… Tapi sekarang lihat, mana pengertian Kaka pada perasaan Pipit…? Ingat apa yang malah Kaka ceritakan pada Pipit…? Kalo ingat, sekarang jangan tanya kenapa Pipit gak memilih Kaka…”

Aku menatap Pipit dengan takjub. Sejak kami berpisah, baru sekali ini Pipit menumpahkan seluruh perasaannya padaku dengan jujur.

”Kenapa Kaka gak melupakan Pipit aja, Ka…? Kenapa cinta Kaka tidak musnah saja dulu saat kita berpisah…?” keluh Pipit padaku. ”Kenapa setelah sekian tahun kita berpisah, Kaka masih mengharapkan Pipit…? Kenapa Kaka gak cari saja perempuan lain, yang lebih baik dari Pipit banyak kok…”

”Pertanyaanmu itu sama dengan pertanyaan yang menghantui Kaka selama ini…” kataku lirih menatap Pipit. ”Kenapa Kaka saat ini masih mencintai kamu, Kaka gak tahu… Kenapa Kaka masih mengharapkan kamu yang menjadi istri Kaka, Kaka juga gak tahu… Kaka tanya padamu, apa yang sebenarnya terjadi pada kita, Pit…? Kenapa semua baru terungkap saat kita sudah hampir tak punya peluang lagi seperti ini…?”

Pipit terdiam. Aku pun terdiam….

”Kamu hanya tak pernah mau jujur dan terbuka pada Kaka… Kaka sekarang malah gak ngerti kenapa setelah semua menjadi tak mungkin lagi, kamu malah mengungkapkan semua yang ada di hatimu… Kaka gak nyalahin kamu, tapi seandainya kamu mau lebih jujur sejak dulu….”

Pipit menatapku, matanya menyimpan kesedihan yang sangat mendalam.

”Maafkan Pipit, Ka…” katanya lirih. ”Mungkin inilah semua yang menyebabkan kini kita gak berjodoh…”

Aku memberanikan diri menyentuh dan menggenggam tangan Pipit.

”Jadi, sekarang bisa Pipit pastikan peluang untuk Kaka sudah tak ada lagi…?” tanyaku padanya.

Pipit menatapku lekat. Lama aku tunggu, tak ada jawaban, tak ada tanda yang bisa dijadikan jawaban. Tak ada kata yang terucap, tak ada anggukan atau gelengan kepala. Pipit hanya menatapku, sambil membalas meremas tanganku yang menggenggam tangannya makin erat.

”Pit….” panggilku pada Pipit yang masih saja terdiam.

Sebutir airmata mengalir dari balik kacamata yang dikenakan Pipit, mengalir turun dengan cepat di pipinya, sebelum kemudian menghilang diserap kerudung yang dikenakannya.

Pipit menggelengkan kepalanya, suara isakannya kini bisa aku dengar. Hatiku merasakan hal yang sama pilunya.

Pipit masih menggelengkan kepalanya sambil menatapku. ”… walau dalam hati Pipit masih sangat mencintai Kaka…”

Aku bisa merasakan apa yang berkecamuk dalam hatimu, Pit… Gelengan kepalamu menandakan ketidakmampuanmu melawan perjalanan hidupmu yang sudah dipinang orang, walau jawabanmu mengatakan kamu masih mencintaiku. Aku kini bisa tersenyum, karena kamu memilih untuk bilang tidak dengan cara menggeleng, dan jujur saat mengatakan kamu masih mencintaiku.

”Terimakasih, Pit… Kaka berterimakasih sekali pada jawabanmu. Walau bukan jawaban yang Kaka harapkan, tapi kamu menjawabnya dengan cara yang membahagiakan Kaka…”

Pipit semakin erat menggenggam tanganku.

”Kaka juga masih sangat mencintai kamu, jika ini bisa membuat kamu kuat… Sangat mencintai kamu dan akan selalu mencintai kamu. Kamu tak akan pernah Kaka lupakan, cinta pertama Kaka, cinta terbaik Kaka…” kataku padanya. ”Kamu adalah cinta sejati bagi Kaka…”

Pipit langsung meledak tangisnya, kepalanya tertunduk dilengannya yang masih terjulur menggenggam tanganku yang duduk diseberang meja.

Aku biarkan Pipit menumpahkan isi hatinya. Aku juga sudah menangis sejak tadi walau di dalam hati.
  


Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (4)



Aku kini merasa bingung, sangat bingung.
Aku mulai menyadari, sebenarnya buat apa aku kemari.
Kemana niatku yang sejak awal sudah siap untuk hancur kembali?

Aku memang sudah hancur, tak perlu diragukan lagi.
Sebelum pertemuan ini saja, aku sudah datang dalam kondisi berkeping-keping.
Kini, aku merasa semakin hancur menjadi debu.
Bukan karena kekuatan dahsyat angkara yang menjadi penyebabnya,
Tapi justru ungkapan jujur pada sebuah rasa cinta yang masih bersemayam dalam dada.
Duhai, yang tercinta…
Mengapa baru kau katakan saat semua sudah terlambat.

Kini aku hanya bisa menatapmu yang tertunduk dalam tangis sambil menggenggam tanganku,
dengan hati yang terasa kosong dan hampa.
Benar seperti katamu, kenapa rasa cinta ini tidak musnah saja saat kita berpisah dulu…?
Aku sungguh tak tahu apa yang akan terjadi nanti, ada apa di balik semua ini.
Takdir telah memisahkan cinta kita, justru disaat kita sama-sama mengakui keberadaannya.

Setidaknya, aku bisa melangkah nanti di jalan gelapku sambil tersenyum.
Terimakasih, cinta sejatiku…


Pipit masih tertelungkup di atas meja, menangis dengan tangan masih menggenggam tanganku. Aku mengusap jarinya lembut, mencoba menenangkannya, walau terasa seperti justru aku yang sedang mencari kekuatan.

”Pit….”

Lama baru kemudian Pipit mengangkat wajahnya, menatapku dengan wajah memerah karena tangisnya, matanya mulai terlihat sembab di balik bingkai kacamatanya.

”Sungguh Pipit sudah merasa ikhlas pada apa yang akan terjadi nanti…?” tanyaku.

Pipit mengangguk. ”Iya… Pipit harus ikhlas. Itulah yang akan jadi jalan hidup Pipit…”

”Jika begitu…, ” aku tersenyum padanya, kini aku berusaha setulus mungkin. ”Kaka juga akan ikhlas…”

Aku melepaskan genggaman tangan Pipit, meraih wajahnya dan melepas kacamata yang dikenakan Pipit. Aku mengusap airmatanya yang masih membekas di pipi. Pipit terpejam membiarkan perbuatanku.

”Jangan pernah menangis lagi… Lupakanlah Kaka jika itu bisa membuat Pipit tak akan pernah menangis lagi… Kaka akan selalu mendoakan kebahagiaanmu setelah ini… Maafkan Kaka karena selalu menyusahkan kamu, selalu membuat kamu akhirnya menangis…, maafkan Kaka, Kaka gak pernah berniat membuat Pipit bersedih…”

Pipit mengangguk, kemudian menghapus airmatanya dengan sapu tangan. ”Tolong bantu Pipit ya, Ka… Tolong doakan agar Pipit bisa kuat melalui semua ini…”

”Iya… Kaka janji…”

Lalu kami kembali terdiam. Pipit tampak berusaha keras sekali untuk menstabilkan perasaannya, sampai akhirnya dia dapat tersenyum kembali.

”Astaghfirullah…” seru Pipit. ”Aduh kok Pipit jadi gak sopan begini ya… Ada tamu kok malah belum disuguhi apa-apa… Eh iya, Kaka mau minum apa…?”

”Ah sudahlah…” kataku sambil tersenyum. ”Gak usah repot-repot… Beneran…”

”Sebentar ya…” kata Pipit kemudian menelpon seseorang, minta tolong dibuatkan 2 gelas kopi.

”Calon suami kamu, orang mana Pit…?” tanyaku, berupaya bersikap biasa dan ingin ngobrol tentang hal yang juga ”biasa”, mungkin…

”Orang sini juga…, asli orang Palembang…”

”Kerja dimana dia…?”

”Kerja disini juga kok, Ka… Kebeneran kantor ini kan ada dua satuan kerja, yang ini Kantor Pelayanan, yang satu lagi Kantor Wilayah, yang gedung sebelah itu… Pipit di Kantor Pelayanan, dia di Kantor Wilayah…”

”Wah, cinta lokasi nih, sepertinya…” godaku.

”Ah, gak kok… Sebelumnya Pipit malah gak kenal ama dia. Cuma memang kemarin itu guru ngaji Pipit bilang ada pemuda yang ingin ta’aruf… Trus ya gitu deh… Akhirnya jadi, semua pihak keluarga sudah setuju…”

Aku hanya bisa termenung mendengar penjelasan Pipit.

”Umur berapa…?” tanyaku.

”Dia…? Dua tahun lebih tua dia dari Kaka…”

”Orang tuanya juga tinggal di Palembang sini…?”

”Iya, tapi sekarang lebih sering di Jakarta karena jadi salah satu anggota perwakilan daerah di DPR…”

”Yakin dia akan jadi imam yang baik buat Pipit…?”

”Insya Allah, Ka… Informasi yang Pipit dapat dari pengajian banyak menceritakan tentang dia. Insya Allah dia akan mampu membimbing Pipit… Lagi pula saat ta’aruf kemarin Pipit merasa cocok dengan dia…”

Aku hanya bisa menghela nafas mendengarkan jawaban Pipit.

”So… Akhirnya Kaka berkesimpulan bahwa tak ada yang perlu Kaka cemaskan lagi… Pipit akan jadi milik orang yang tepat, tak perlu Kaka khawatir…” kataku pelan.

”Kaka juga harus kuat, ya… Insya Allah Kaka juga akan menemukan wanita yang jauh lebih baik dari Pipit, yang akan membuat Kaka bahagia…” kata Pipit sambil tersenyum tulus menyemangatiku.

”Aaamiiiinnn…..”

Pipit hanya tersenyum melihat tingkahku. Kemudian terdengar pintu ruangan itu diketuk, lalu seorang wanita berseragam officegirl melangkah masuk membawakan dua cangkir kopi dan sepiring camilan, dan menghidangkannya di meja yang kami pergunakan, lalu kemudian dia keluar lagi sambil menutup pintu.

Tingtung…

Aku mengambil BB ku yang berbunyi, ada BBM dari Ocha rupanya yang menanyakan apakah aku akan lanjut menginap di hotel tempatnya bekerja. Aku memberitahukannya bahwa aku akan menginap sehari lagi, dan kemudian setelah itu aku meletakkan BB dan android yang masih ada di saku celanaku di atas meja.

”Minta pin BB Pipit, dong…” kataku.

Lalu kemudian aku dan Pipit saling invite di BBM.

Tak ada lagi hal penting yang aku obrolkan dengan Pipit, kami hanya saling bertanya tentang kondisi keluarga kami masing-masing sambil menikmati kopi dan camilan.

”Pestanya di rumah apa di gedung, Pit…?”

”Walimah…? Di rumah aja kok, Ka… Pipit memang ingin yang sederhana aja…”

”Tapi apa iya anak pejabat kayak dia gak mau pesta gede-gedean…? Bapaknya kan pasti punya banyak relasi…”

”Iya, sih… Keluarganya ngototnya begitu… Tapi gak tau deh… Kalo Pipit pribadi gak ingin pesta yang mewah begitu, mubazir aja…”

”Nanti kirimin Kaka foto nikah kalian, ya…”

”Lho, emang Kaka beneran gak mau dateng…?”

”Gak… Gak akan sanggup….”

”Iih, kok gitu….”

”Bisa di pastikan Kaka gak akan hadir, Pit… Kaka doakan dari Lampung aja, ya…”

”Pipit khusus lho ini, mengundang Kaka… Tamu istimewanya Pipit…”

”Terimakasih Pipitku sayang atas undangannya…” kataku sambil tersenyum.

”Iya deh… Doakan Pipit ya, Ka…”

”Pasti…”

Aku sms bang Nizam yang menunggu di bawah. Sebentar lagi kita pulang, bang… tulisku di sms.

”Pit….”

”Iya…”

”Kaka pamit pulang, ya…”

”Mau langsung pulang ke Lampung…?”

”Ke hotel dulu… belum mikirin nih mau pulang kapan… mungkin mau ngedinginin otak dulu…”

”Kaka nginep di mana, sih…?”

”Di Aryaduta…”

”Ka…”

”Hmmm…?”

”Maafkan Pipit ya, Ka… Kaka mungkin sekarang sedih dengan keputusan Pipit, Kaka mungkin juga sakit hati sama Pipit… Tapi tolong ya, Ka… jangan benci ama Pipit…”

”Kalo rasa sedih, itu pasti, Pit… Sangat sedih, malah…” kataku sambil menatapnya. ”Tapi bagaimana pun, kamu selalu mendapat tempat khusus dalam hati Kaka. Sebenci apa pun Kaka pada kamu, Kaka gak pernah bisa memungkiri kalo kamu adalah cinta sejati Kaka…”

”Maafkan Pipit, Ka…”

”Sama-sama, Pit… Kaka juga banyak berbuat salah pada kamu, Kaka juga minta maaf…”

Aku lalu bediri, Pipit juga ikut berdiri dan melangkah mendekatiku, meraih tanganku dan menciumnya. Aku mengusap kepalanya yang terbalut jilbab itu.

”Jaga dirimu baik-baik ya, Pit…”

”Iya, Ka…”

Aku dan Pipit saling menatap. Tak bisa dilukiskan apa yang ada dalam benak kami kini. Aku ingin sekali memeluknya, mungkin untuk yang terakhir kali. Tapi aku memutuskan untuk menahan diri, aku tak sanggup memperkirakan apa dampaknya bagi hatiku bila sampai memeluknya lagi.

”Mungkinkah kita akan punya kesempatan di kehidupan yang akan datang, Ka…?”

”Duh, Pit… Jangan bikin galau dong…”

”Gak tau nih, Ka… kenapa bisa begini…”

”Please, kuatkan hatimu…, supaya Kaka juga bisa ikut kuat… Kalo kamu malah galau begini, Kaka bisa bertindak gila, Pit…”

”Hehe… Iya… Maaf… Maaf kalo Pipit terbawa perasaan….” Kata Pipit sambil tersenyum, menyadari kelakuannya barusan bisa berdampak tak baik.

”Kamu ini… Kaka sedang berusaha tegar malah dipancing dengan omongan seperti itu…” kataku sambil mengusap kepalanya dengan gemas. ”Kita kawin lari aja, yuk…?”

Pipit langsung tertawa mendengar ucapanku.

”Udah… Udah… Makin lama kita melow begini takut nanti ada setan lewat…”

”Ya deh… Kaka pamit sekarang, ya…?”

”Iya, Ka… Kaka juga harus janji akan selalu baik-baik saja…” kata Pipit sambil menatapku penuh perasaan.

”Insya Allah, Pit… Kita saling mendoakan, ya…”

”Iya…”

Pipit maju selangkah mendekatiku, kepalanya tertengadah menatapku yang lebih tinggi darinya. Kini jarakku dengan Pipit hanya terpisah sepanjang lengan.

Apakah aku harus memeluknya kini, keluhku dalam hati. Isyarat dan bahasa tubuh Pipit jelas sekali, hanya aku yang masih tak berani untuk bertindak. Pipit masih terus menatapku.

Akhirnya, aku tak tahan lagi….

Aku meraih wajah Pipit, mendekap pipinya dengan kedua telapak tanganku, menariknya ke arahku, dan aku mencium kening Pipit.

”Kaka sangat mencintai kamu, Pit….” kataku sambil mengecup keningnya berkali-kali. ”Sangat mencintai kamu….”

Pipit menghambur ke dalam pelukanku. Tangannya melingkar di pinggangku dan memelukku erat sekali. Aku merengkuh kepalanya dan menyandarkannya di dadaku. Mataku terpejam, menikmati moment indah ini. Moment yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi.

Pipit kembali menangis. Airmatanya membanjir membasahi dadaku.

”Pipit juga sangat mencintai Kaka…” katanya disela isak tangisnya.

Aku hanya mampu mendekapnya, mengusap kepalanya tanpa mampu berkata apa-apa.

Akhirnya Pipit mereda, dan melepaskan pelukannya dariku.

”Sudah, ah… Kaka udah sana pulang…” usirnya sambil tersenyum padaku.

”Hehe… berat banget ya, perpisahan kita ini, Pit…” kataku mencoba bercanda.

”Tau, ah…” katanya tersenyum sambil mencubit perutku.

”Kaka pamit pulang, ya…” kataku sambil mengulurkan tangan ingin menjabat tangannya. ”Jaga dirimu baik-baik ya, Pit…”

Pipit meraih tanganku dan menciumnya. ”Iya… Kaka baik-baik selalu juga, ya…”

Aku kembali mengusap kepalanya. Tak kuasa aku menahan diri untuk tidak melakukan itu. Pipit tahu, jika aku sudah mengusap kepalanya, itu artinya ada perasaan sayang yang sangat besar yang tak mampu aku katakan lagi. Usapan di kepala adalah tanda aku sangat menyayanginya. Pipit menatapku sambil tersenyum, membiarkan aku berlama-lama mengusap kepalanya.

”Pipit juga sayang banget ama Kaka…” katanya lirih sambil menatapku, menjawab makna dari usapan tanganku di kepalanya.

”Pulang dari sini, Kaka gak akan pernah bisa lagi mengusap kepalamu begini, Pit…” kataku sambil tersenyum, Pipit tahu itu senyumnya orang galau.

Pipit tetap membiarkan perbuatanku, menatapku sambil terus tersenyum menandakan dia mengizinkan perbuatanku ini. Mungkin benar ini adalah yang terakhir dan tak akan pernah terjadi lagi.

Tiba-tiba pintu ruangan itu terhempas, langsung terbuka lebar karena dihempaskan dengan keras.

BRAAKKK….!

Aku dan Pipit terkejut dan menoleh ke arah pintu, seorang lelaki berpakaian rapi dan berdasi, berdiri tegang menatap kami. Menatap dengan mata penuh amarah karena posisi Pipit masih memegang tanganku, dan tanganku masih mengusap kepala Pipit.

”Ooooo…. Jadi cak ini kelakuan kau wong beduo, yo…” bentaknya keras. ”Lemak nian….!
 
 
Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (5)



”Bang Bram….” kata Pipit terkejut. Aku menatap Pipit dengan penuh pertanyaan, siapa Bang Bram…?

Seketika kami melepaskan pegangan kami.

”Bang, ini kenalin… Ini yang namanya Raka….” kata Pipit setelah berhasil menguasai diri, kepada lelaki yang baru datang itu.

Aku menatap si lelaki yang tampaknya masih marah itu, mencoba tersenyum sambil menanggukkan kepala.

”Ooo… jadi ini budak yang namonyo si Raka itu…” kata si lelaki sambil maju menghampiri kami.

Aku melihat wajah Pipit yang terlihat masih sangat khawatir itu, kemudian kembali menatap kepada lelaki yang kini sedang maju menghampiri kami dengan langkah lebar. Aku mengulurkan tanganku, mengajaknya bersalaman.

BUUGGGHH….!

Uluran tanganku ditepisnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya maju secepat kilat menghantam pipiku. Tinjunya bersarang telak di pipi kiriku, dan seketika aku terhuyung ke belakang.

”Bang Bram…!” jerit Pipit sambil menubruk si lelaki agar menjauhiku. ”Abang ini apa-apaan sih…??”

”Masih juga kamu bertanya abang mau ngapain…!” bentak si lelaki kepada Pipit, kemudian kembali menatapku dengan penuh kebencian.

”Sori, bro… gue bisa jelasin…” kataku mencoba meredakan emosinya, juga berusaha meredam emosiku. ”Pit, siapa orang ini..? ” tanyaku pada Pipit.

”Bang Bram ini calon suami Pipit, Ka…” jawab Pipit pelan. Oh, gitu….

Si Bram kembali maju menghampiriku,

”Lo mau ngejelasin apa, hah…??” katanya sambil mendorong bahuku dengan kedua tangannya.

Aku kembali terdorong mundur. Aku menatap Pipit, tapi Pipit malah menggeleng, menahanku untuk tidak ikut terpancing emosi.

”Lah, lo kenapa tiba-tiba malah mukul gue…?”

”Waah, masih belagak gak ngerti lo…! Gue gak terima lo megang-megang calon bini gue…!” katanya dengan kasar sambil terus mendorong bahuku. Aku semakin terdorong ke belakang.

Pipit maju dan berusaha menarik Bram, tapi Bram dengan kasar mengibaskan tangannya hingga tarikan Pipit terlepas.

”Bang Bram…! Sabar, bang…!” jerit Pipit. ”Abang ini kenapa sih malah ngamuk-ngamuk…?? Sabar sedikit kenapa…??? Pipit bisa jelasin semua ke Abang….”

Bram malah berbalik, dan langsung jari telunjuknya menunjuk tepat ke wajah Pipit.

”Kau diem bae…! Ini urusan wong lanang…!” bentaknya kasar.

Aku hampir maju untuk menyerang si Bram, namun ketika aku bertemu pandang dengan Pipit, aku tak jadi menyerang. Tatapan mata Pipit melarangku meladeni emosi si Bram. Sekilas aku mengangguk pada Pipit.

”Jangan kasar begitu sama calon istri sendiri, boss…” kataku sambil menepuk bahu Bram.

Tapi Bram malah berbalik, tangannya langsung melayang meninju wajahku. Aku mengelak, pukulannya melayang melawatiku. Rupanya itu memancing emosi Bram, dia kembali menyerangku dengan membabi-buta. Mulutnya memakiku dengan semua sumpah serapah, tangannya melayangkan pukulannya dari kanan dan kiri, bahkan kakinya juga berusaha menyerang dan menendang ke arahku. Aku hanya mencoba menghindar sebisaku, menangkis serangannya tanpa berusaha membalasnya. Beberapa pukulannya masuk ke tubuhku walau telah aku tangkis, tapi tak cukup untuk bisa merubuhkanku.

Serangan Bram semakin menggila, dia sudah sepenuhnya mengamuk dengan emosi tinggi karena tidak semua serangannya yang masuk ke tubuhku. Meja dan kursi di ruangan itu sampai bergeser dengan ributnya karena dorongan tubuh kami yang sedang berkelahi. Sementara Pipit hanya bisa menjerit-jerit mencoba melerai perkelahian kami.

Buaaaghhh…!

Sebuah tendangan Bram masuk telak ke perutku, rasanya lumayan juga. Aku sampai terhuyung kebelakang, menabrak meja yang tadi aku duduki berdua Pipit. Meja itu tergeser keras, seluruh benda yang ada di atasnya berhamburan ke lantai, menimbulkan suara hingar bingar dari gelas kopi dan piring yang pecah berantakan.

Melihatku yang terhuyung, Bram semakin kalap. Kakinya terangkat menendang wajahku. Untungnya kini aku sudah siap, aku hanya menggeser sedikit kepalaku, dan meraih kaki Bram yang sedang melayang itu untuk kemudian menghempaskannya kesamping. Bram terhuyung karena tenaga tendangannya sendiri.

”Anjiiinggg…!” bentaknya penuh amarah. ”Gue bunuh lo…!” katanya sambil meraih kursi lipat stainless yang berada di dekatnya. Di ayunkannya kursi itu ke tubuhku dengan keras.

Aku hanya mampu mengangkat tangan kiriku, mencoba melindungi kepalaku.

”Bang Braaam.…! Jangaaaannnn…!” terdengar jeritan Pipit yang ketakutan.

Bruaaakkk….!

Kursi itu menghantam telak tangan kiriku. Seketika rasa nyeri yang teramat sangat menjalar dari siku hingga ke bahuku. Kepalaku juga terasa pening karena tetap saja ada sedikit bagian kursi itu yang mengenai kepalaku. Aku sampai jatuh dengan sebelah lututku menyentuh lantai. Tangan kiriku semakin terasa nyeri. Aku melihat Bram sudah kembali mengangkat kursi yang dipegangnya, siap menghantamkannya kembali kepadaku yang kini sedang jatuh berlutut.

Aku hanya bisa pasrah. Mencoba mengangkat tanganku berusaha melindungi kepalaku.

Aku melihat Pipit memeluk Bram dari belakang, berusaha menahan Bram yang akan menyerangku. Bram memang tak jadi menghantamku dengan kursi, dia berusaha melepaskan Pipit terlebih dahulu. Sempat terjadi keributan di antara mereka, Pipit yang mencoba menahan Bram sementara Bram masih sibuk memaki dan ingin menghantamku.

Saat itulah dua orang sekuriti berlari masuk ke ruangan itu, sementara di pintu aku melihat ternyata telah ramai dengan pegawai kantor itu yang melihat keributan kami. Aku juga melihat bang Nizam menerobos masuk mengikuti kedua sekuriti yang kini telah memegang Bram, dan berusaha menariknya ke belakang.

”Lepaske…! Lepas…! Biar ku bunuh bae budak sikok itu…!” teriak Bram kasar sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan kedua sekuriti itu. Tangan dan kakinya menerjang membabi buta. Kedua sekuriti itu tampak kewalahan menghadapi Bram yang mengamuk. Suaranya semakin membuat suasana kantor itu semakin rusuh, pegawai yang menonton pun semakin gaduh.

Bang Nizam yang sudah hampir sampai menghampiriku, berbalik menatap Bram yang sedang mengamuk saat dipegangi kedua sekuriti itu. Dengan cepat bang Nizam menghampiri Bram, menarik kerah bajunya dan memutar tubuh Bram dengan kuat. Tangan Bram di pelintirnya keras ke punggung, Bram menjerit kesakitan, bang Nizam menahan puntiran tangan Bram sampai Bram lemas menahan sakit. Sebagai mantan anggota TNI tentu mudah bagi bang Nizam untuk membekuk Bram yang sedang kalap.

”Bawa dia keluar…!” kata bang Nizam setelah Bram lemas kehabisan tenaga. Kedua sekuriti itu segera menggiring Bram keluar setelah mengucapkan terimakasih atas bantuan bang Nizam. Pipit mengikuti mereka.

Kemudian bang Nizam menghampiriku.

”Kau dak apo-apo dek…? tanyanya.

”Idak, bang…” kataku sambil berusaha berdiri. Bang Nizam langsung membantuku dan memapahku. Aku mengernyit menahan sakit di bahu kiriku ketika bang Nizam memapahku.

”Siapo lawan kau tadi…?” tanya bang Nizam

”Itu calon lakinyo Pipit…” jawabku.

”Pipit…?”

”Pipit itu mantan aku yang ku ceritoke kemarin, bang…”

”Yang berjilbab tadi…? Yang nangis tadi…?” Aku mengangguk.

”Cantek nian dio itu…” kekeh bang Nizam. ”Pantaslah kau wong beduo laju gelut cak ini…”

”Aih, abang ini…”

”Apa kito langsung balek bae…?” tanya bang Nizam.

”Iyo bang…” jawabku lemas. ”Kito balek bae…”



-oOo-



Kami sampai di parkiran, Bang Nizam membukakan pintu kiri Altisnya, dan aku melangkah masuk dan menghempaskan tubuhku di jok mobil. Kemudian bang Nizam berputar dan masuk ke bangku pengemudi, menyalakan mesin dan menghidupkan AC.

”Bang, tolong aku bang…” kataku.

Bang Nizam menoleh padaku. ”Ngapo…?”

”Hape aku ketinggalan di ruangan tadi… Jatoh waktu kami berkelahi. Tolong ambekkan bang…”

”Iyo…” kata bang Nizam sambil membuka pintu. ”Kau tunggu bae disini…”

”BB sikok, bang… Sikoknyo lagi android…” kataku lagi.

”Iyo…” kata bang Nizam sambil melangkah pergi.

Selama bang Nizam pergi aku mencoba mengurut lengan dan bahu kiriku, tapi rasanya sakit sekali. Sepertinya ini terkilir. Lengan ini sekarang susah di gerakkan, semakin aku coba rasanya semakin sakit.
Akhirnya aku merebahkan diriku di kursi, menenangkan diri dengan sejuknya hembusan AC mobil ini.


-oOo-


Bang Nizam membuka pintu dan langsung masuk ke bagian pengemudi. Tangannya mengulurkan kedua hapeku.

”Yang sikok layarnyo pecah, dek…” katanya sambil memperlihatkan androidku.

”Lamo nian bang…” kataku pada bang Nizam. ”Apo hilang tadi…?”

”Idak jugo…” kata bang Nizam mulai mengemudikan mobilnya meninggalkan perkantoran tersebut.

”Tangan kau itu cak nyo terkilir…” kata bang Nizam.

”Nian, bang… Susah nian nak aku gerakke… Sakit…”

”Kito ke rumah abang bae cak itu…” kata bang Nizam. ”Umak di rumah pacak ngurut…”

Toyota Altis hitam itu kemudian melaju, menyeberangi jembatan sungai Musi menuju ke arah Plaju, ke rumah bang Nizam.


-oOo-


PoV Bang Nizam

Aku melangkah kembali memasuki kantor itu, menghampiri kedua sekuriti di meja kerjanya. Sejak menunggu Raka menemui mantan pacarnya tadi, aku sudah ngobrol akrab dengan kedua sekuriti itu. Yang satu bernama Sulaiman,dan yang satu lagi bernama Murad.

”Man…” sapaku pada Leman.

”Woy… ado bang Nizam.. Ngapo bang…?”

”Anterke ku balek ruangan tadi, Man… Hape boss ado tejatoh di situ tadi…” aku menyebutkan Raka sebagai ”boss” pada mereka.

”Payo bang… Melok aku…” kata Leman mengajakku ke lantai 2, ke ruang rapat tempat Raka tadi berkelahi.

”Man, lawannyo boss aku tadi siapo, Man…?” tanyako pada Leman.

”Oo itu namonyo Pak Bram Maulana, bang… Dio itu calon lakinyo betino yang di temui boss abang tadi…”

”Wongnyo cak mano dio itu…?”

”Biaso bae, bang… Anak wong kayo, jadi pacaklah sombong sedikit, apolagi samo kami wong kecik ini…”

”Ujinyo wong alim dio itu…” kataku mengingat Raka pernah bilang mantan pacarnya mencari calon suami yang alim dan bisa menjadi imam bagi keluarga.

”Hahaa.. Alim apo dio, bang…” Kata Leman sambil tertawa. ”Samo bae, lah… Biji nangko galo… Wong alim itu adonyo di masjid, bang… Kalo di kantor cak ini, yang icaknyo alim yang banyak, haha….”

Aku tertawa mendengar kelakar Leman. Memahami maksud ucapannya. Aku tertawa geli sendiri mendengar istilah Leman tentang ”Biji Nangko”… Teringat hikayat Si Nasi Rames. Parah. Ha..ha…

Akhirnya kami berdua sampai kembali ke ruangan rapat itu. Aku segera mencari hape Raka. Ada, memang tergeletak di lantai, bertaburan bersama pecahan piring dan gelas serta tumpahan kopi. Aku memunguti keduanya. Android layar 5 incinya pecah, sementara BB nya tampak tak masalah.

”Ado, Man… Ado keduonyo…” kataku kepada Leman.

”Baguslah, bang… belum ado yang beresi ruangan ini…” kata Leman padaku.

”Aku balek, Man… Mokase banyak…” kataku sambil menepuk bahu Leman.

”Samo-samo, bang…” jawab Leman. ”Amon ado apo-apo kabarke aku bae, bang…”

”Iyo…” jawabku sambil melambaikan tangan pada Leman.

Aku kemudian melangkah menyusuri koridor lantai 2 itu, menuju ke arah tangga untuk turun kembali. Di depan sebuah ruangan aku berpapasan dengan seorang gadis berjilbab yang baru keluar dari ruangan itu. Gadis itu menatapku, seperti mengingat-ingat siapa aku. Ah, gadis ini yang tadi ada di ruangan saat Raka berkelahi. Ini dia yang namanya Pipit, mantannya si Raka.

”Permisi, dek…” sapaku padanya.

”Bapak ini kan….” Kata Pipit sambil menatapku, dia masih agak ragu.

”Iya, saya tadi yang bersama dengan Pak Raka… Saya yang menyupiri Pak Raka selama beliau di Palembang…”

”Oh iya, saya baru ingat. Maaf ya Pak, tadi itu suasananya kacau banget…” keluh gadis itu.

”Gak apa, dek… Wajar lah itu…” kataku padanya.

”Oh iya, ada apa Bapak balik lagi…? Rakanya mana…?” tanya gadis itu lagi.

”Oh, ini… saya dari ruangan yang tadi, hapenya pak Raka ketinggalan di sana…” kataku sambil memperlihatkan kedua hape milik Raka pada gadis itu.

”Yaa ampuuunnn…” katanya sambil meraih android. ”Layarnya sampai pecah begini….”

”Ya, namanya juga orang berkelahi, dek… Orang lagi emosi…, wajarlah…”

Gadis itu terdiam, kemudian mengembalikan android itu kepadaku.

”Raka dimana, Pak…?” tanyanya.

”Sudah di mobil… Ini saya mau langsung permisi kalo begitu, saya mau membawa Pak Raka ke tukang urut dulu…”

”Memangnya Raka kenapa, Pak…?” kata sang gadis sambil menatapku dengan wajah penuh kecemasan.

”Sepertinya tangannya terkilir… Yah, semoga hanya terkilir, bukan patah tulang atau gimana…” jawabku jujur, karena memang belum tahu kondisi Raka sebenarnya.

”Astaghfirullah…” kata sang gadis sambil termenung, aku kasihan sekali melihat ekspresinya khawatir begitu.

”Sudahlah, dek… kalo Pak Raka biar saya yang mengurusnya. Kalo adek nanti ikut membantu, malah calon suami adek nanti bisa marah lagi…” kataku mencoba menenangkannya.

”Iya, pak.. Tolong saya untuk membantu Raka, ya… Jika sakitnya parah tolong antarkan ke rumah sakit saja, lalu tolong hubungi saya… Nomor hape saya ada sama Raka…” katanya dengan wajah yang sungguh-sungguh meminta bantuanku.

Gadis ini sama sekali tidak bisa menyembunyikan perasaannya, bahwa dia masih peduli pada Raka, bathinku.

”Saya masih mau menemui calon suami saya dulu…” kata sang gadis lagi, ”tadi dia masih mengamuk, Pak… Masih emosi dan marah-marah… Bukan cuma sama saya, tapi semua orang di kantor ini dimarahi semua sama dia…”

Aku bisa melihat sang gadis kini sangat kesusahan.

”Dek… Maaf kalo saya lancang bicara begini sama adek…” kataku padanya, sang gadis menatapku dengan penuh tanda tanya.

”Saya memang cuma sekedar supir yang kebetulan mobilnya disewa oleh Raka. Tapi saya merasa Raka itu anak yang baik, karena dengan saya saja yang hanya sekedar beberapa hari menjadi supirnya, dia bisa berlaku baik dan akrab sekali dengan saya… Dia menghormati saya yang lebih tua dari dia… Dia sama sekali tidak pernah merendahkan saya atau hanya menganggap saya hanya sekedar supir…”

Gadis itu terdiam menatapku, menanti apa yang akan aku katakan lagi.

”Kemarin saya sempat ngobrol lama dengan Raka, dimana dia menceritakan maksud tujuannya datang ke Palembang…” kataku lagi. ”Dia datang ke Palembang ini, karena dia sangat ingin bertemu dengan adek…”

”Raka cerita apa sama Bapak…?” tanya si gadis tak sabar.

”Dia bilang adek akan segera menikah, makanya dia datang kemari agar bisa bertemu adek, karena mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir dia dengan adek…” lanjutku. ”Raka bilang, dia sudah ikhlas adek jadi milik orang, padahal dia sendiri masih sangat berharap bisa mempersunting adek… Tapi dia mengalah, di ikhlaskan adek jadi milik orang lain….”

Gadis itu menghembuskan nafasnya dengan gundah.

”Dia bilang alasannya adalah karena dia sadar kalau dia belum layak buat adek, karena adek mencari seorang lelaki yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, yang bisa menjadi imam dalam keluarga yang akan adek bentuk… Dan Raka bilang adek sudah menemukan lelaki itu, yang menurut adek adalah yang terbaik, dan adek memilih dia untuk jadi suami adek… Karena adek sudah menemukannya, maka si Raka akhirnya mengalah… Dia sadar pada keadaan dirinya sendiri…”

Sang gadis menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

”Tapi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pada adek…” kataku pada si gadis, ”Maafkan saya karena sudah lancang menilai orang…”

Aku menghembuskan nafas, mencoba untuk tenang agar sang gadis tidak tersinggung dengan ucapanku ini.

”Orang yang saya lihat di ruangan tadi, sama sekali tidak mencerminkan sosok orang alim dan calon imam yang baik. Tapi yang saya lihat hanyalah seorang lelaki yang tak mampu mengendalikan diri, yang mengamuk membabi-buta, sama sekali tak mampu mengendalikan emosi…. Saya sendiri sampai bertanya-tanya…” kataku perlahan kepada si gadis.

”Inikah lelaki alim yang telah adek pilih untuk menjadi imam bagi keluarga adek nanti, seumur hidup…?”

Si gadis tampak terkejut, matanya menyala menatapku.

”Jika memang itu adalah lelaki alim yang adek pilih untuk menjadi imam bagi adek….”

Ku hentikan ucapanku sambil menggelengkan kepala. Aku tatap sang gadis dengan harapan agar dia segera menyadari.

”….maka kasihan si Raka, dek… Dia ikhlas melepaskan adek karena menyangka dia telah dikalahkan oleh orang yang lebih baik dari dirinya… Tapi ternyata…??” aku tak sampai hati meneruskan ucapanku. Aku sampai terdiam sendiri…

”Maafkan saya... Permisi…” kataku akhirnya, dan berbalik melangkah meninggalkan sang gadis yang masih berdiri terpaku menatapku.  

Bagian 18
I Just Can’t Stop This Feeling Anymore (6)


Kembali aku kini duduk menatap ke arah jendela kereta yang membelah malam, mencoba meresapi bayangan gelap diluar sana yang berlari ditinggalkan laju kereta.

Aku pulang.

Pulang ke Lampung, dengan sedikit membawa oleh-oleh lebam di beberapa tempat di tubuhku.

Lebam sampai ke dalam hati.

Aku hanya berpamitan pada Ocha, dan diantar oleh bang Nizam sampai ke stasiun Kertapati.

Aku bahkan tak sempat berpamitan pada Pipit. BB-ku error karena terjatuh saat aku berkelahi dengan Bram, calon suami Pipit. Sementara androidku layarnya pecah. Ya sudah, tak ada yang bisa aku hubungi. Di hape baru yang sempat aku beli hanya ada nomornya Ocha dan Bang Nizam.

After tonight, I never will be the same again
This time I'm sure that nothing means more
Than giving you all the love I can
After tonight I promise, I'm gonna be a better man
Just hold me tight, and I'll be all right
After tonight


Ya. Alunan nada di headset yang menempel di telingaku ini sepertinya benar.
Sepertinya setelah malam ini, aku bukan menjadi Raka yang dulu lagi.
Setelah malam ini, semua tak akan pernah sama lagi.

Aku kini kembali ke tempat asalku, membawa kekalahan yang sudah bisa dipastikan.
Aku meninggalkan kota Palembang, kota dimana beberapa hari lagi Pipit akan disunting orang.
Semoga aku bisa segera melupakan semua kenangan ini, melupakan semua yang telah terjadi antara aku dan Pipit. Bahkan jika bisa, aku ingin segera melupakan Pipit.

Menjalani hari yang baru, sebagai orang yang baru.
Orang yang sadar bahwa cinta yang selama ini dikejarnya sudah tak ada lagi.

Sejak awal bertemu saat SMA dulu, hingga kemarin saat Bram menghajarku, Pipit tak pernah benar benar bisa lenyap dari ingatanku. Selalu saja bayangan dan kenangan tentangnya hadir, tak hanya disaat hatiku sedang sedih merindukannya, bahkan saat bergoyang di atas perut seorang wanita pemijat pun aku sering teringat padanya.
Tak ada sedikitpun dari seluruh aspek kehidupanku yang benar-benar terbebas dari bayangan Pipit.

Entah kenapa aku bisa begitu bodoh, tak mampu untuk sekedar melenyapkan perasaanku pada gadis yang sempat sebentar menjadi pacarku, meninggalkan aku dengan penuh kekejaman.
Aku tak bisa melupakan Pipit. Selalu saja aku akan kembali mengenangnya, kembali merindukannya.

Dan kemudian kembali berharap bisa kembali padanya.

Pelukan yang diberikan Pipit, serta izinnya untuk aku mencium keningnya.
Tinju Bram di wajahku dan pukulannya dengan kursi lipat yang hampir mematahkan lenganku.
Bang Nizam yang baik hati serta keluarganya yang hangat, terutama ibunya yang mengurutku dengan telaten, serta si kecil Zahra yang menggemaskan.
Kasih sayang yang ditunjukkan Ocha, serta wajah paniknya saat melihat wajahku penuh dengan lebam.

Kenanganku yang terakhir di Palembang, saat aku menemui Pipit beberapa hari sebelum pernikahannya. Hanya inilah yang tersisa, kenangan.
Mungkin besok aku akan menghapus semua kenangan tentang Pipit dan segala hal yang berhubungan dengan dia, dan kemudian bersyukur karena memiliki saudara baru bernama Bang Nizam, serta adik cantik bernama Ocha yang berjanji akan menjengukku di Lampung suatu saat nanti.

Ada pahit, dan ada pula yang manis.

Bayangan gelap pepohonan itu seakan berlari ke belakang kereta.

After tonight, I never will be the same again
This time I'm sure that nothing means more
Than giving you all the love I can
After tonight I promise, I'm gonna be a better man
Just hold me tight, and I'll be all right
After tonight


Semoga setelah malam ini, semua akan berbeda. Menjadi lebih baik.

Aku ingin menjadi Raka yang baru, yang akan melangkah tanpa ada bayangan Pipit lagi, melepaskan semua kenangan tentangnya, menguburnya dalam ruang terdalam dari ingatanku.

Aku memejamkan mataku, membayangkan kota Palembang yang aku tinggalkan di belakang sana.


Selamat tinggal, Cinta Sejatiku…..
 
 
 Bagian 19
Cinta Kan Membawamu Kembali (Disini)




Halaman Pertama



Tanyakanlah padaku. Apa kabar, Raka?

Maka aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman. Menurut kalian, bagaimana kabar seorang lelaki yang baru saja mendapatkan kepastian bahwa wanita yang dicintainya akan menikah dengan orang lain, serta saat pertemuan terakhir malah digebuki oleh calon suaminya…?

Kalo kata orang sekarang, sakitnya tuh di sini…. #sambilnunjukselangkangan, hehehe…

Sakit, itu jawaban yang sebenarnya.

Dua minggu yang lalu, aku kembali dari Palembang, langsung ke tempatku kerja di Kota Metro. Aku sampai gak pulang ke rumah orang tuaku sampai dua minggu. Aku bilang, aku sedang banyak kerjaan dan orang tuaku maklum. Padahal, aku mengurung diri di Metro untuk menyembuhkan semua luka lebamku.

Lengan kiriku membiru karena hantaman kursi waktu itu. Belum lagi bekas pukulan di wajahku.

Untungnya, ada Ria yang dengan setia merawatku. Ria juga yang sangat membantuku melupakan kegalauan hatiku. Tak perlu lah aku ceritakan bagaimana cara Ria menghiburku. Yang jelas, dalam dua minggu aku semakin tegar saat teringat Pipit. Dalam dua minggu juga semua luka dalam yang aku derita berangsur hilang.

Ada juga yang menjadi hiburan bagi hatiku. Bang Nizam dan Ocha rutin berkomunikasi denganku. Mereka berdua adalah saksi hidup pada kisah hidupku selama 3 hari di Palembang. Berbincang dengan mereka senantiasa memberiku kekuatan, karena dengan kehilangan seorang Pipit, aku mendapatkan dua saudara baru yang sangat baik hatinya, bang Nizam dan Ocha.

Pipit.

Kemana Pipit…?

Hilang…

Sejak aku pulang, beberapa kali aku tak bisa menahan diri untuk tidak menghubungi Pipit. Aku beberapa kali mencoba menelponnya. Tapi nomor hape Pipit kini sudah tak aktif, kontak BBM pun sudah dihapus. Akun facebook juga nonaktif. Tapi akun facebook si Bram tetap aktif, beberapa kali aku melihat dia membuat status yang jelas menyindir diriku. Pernah dia buat status, “Mantan apes, sudah di tolak, di gebuki pula…”

Aku masih mengingat, keributan kami tak hanya di kantor Pipit. Bram dan beberapa orang rekannya bahkan sampai mendatangiku di hotel keesokan paginya. Kami hampir berkelahi di lobby, dan saat itu aku berniat tak akan lagi menahan diri. Aku akan bertarung sekuatku apabila Bram menyerangku. Untung saat itu keributan bisa di cegah, ada Bang Nizam yang langsung maju melindungi dan beberapa sekuriti hotel yang langsung bersiaga. Keributan bisa dihindari, tapi Bram pergi sambil tetap memaki dan menyumpah serapah padaku.

Mantap.

Tapi gak pengaruh sama sekali buat aku. Kini aku sudah mulai bisa menata diriku, dan itu harus. Perlahan aku bisa melenyapkan bayangan Pipit dan semua hal tentangnya. Perlahan, tapi progresnya baik.

Saat ini, minggu kedua bulan Desember. Aku sudah berada di rumah orang tuaku sejak hari Jumat kemarin. Kami sekeluarga menghadiri sebuah pesta pernikahan salah satu saudara pada hari Sabtu. Dan hari Minggu ini, aku manfaatkan untuk bersantai di rumah orang tuaku, apalagi ada pohon duku dan duren yang sedang panen di kebun.

Rumah orang tuaku ini berada di daerah Hanura. Jika dibandingkan dengan rumah lama kami di Pahoman, maka bisa dibilang wilayah Hanura ini jauh di pinggir kota, beda dengan Pahoman yang merupakan pusat pemukiman di Bandar Lampung. Tapi di sini suasananya masih alami, berdekatan dengan pantai dan dipagari oleh pegunungan yang masih termasuk gugus bukit barisan.

Rumah ini kami beli setahun yang lalu, setelah menjual rumah di Pahoman dan sedikit tambahan dariku, maka kami kini membangun rumah di atas tanah seluas dua hektar. Rumah yang di bangun kecil dan sederhana saja, asal kedua orangtuaku merasa nyaman. Dan tanah sisanya masih sangat luas, dan masih berupa kebun buah-buahan.

Hari minggu inilah aku manfaatkan bersama adik-adikku untuk memanen duku dan durian yang kebetulan sedang berbuah. Aku hari itu semangat sekali, ribut banget memanen duku dan durian, sampai kedua adikku dan dua tukang kebun terheran-heran melihat aku yang hari itu terkesan sangat lebay.

Gimana gak lebay, boss…

Hari ini, Minggu tanggal 15 Desember 2013.

Walimah Pipit tanggal 19 Desember 2013. Hari Kamis. Empat hari lagi.

Kemarin sih sempat lupa… Tapi entah kenapa sekarang aku galau lagi.
Mungkin rasanya mirip seperti menunggu eksekusi mati…
Empat hari lagi, peluru eksekutor akan berterbangan dari Palembang membidik tepat ke hatiku….

Semalam, Bang Nizam sempat menelponku. Pada Bang Nizam aku ceritakan betapa galaunya aku saat ini. Bang Nizam seperti biasa selalu mencoba menguatkan hatiku dengan kelakarnya yang khas, bahkan istrinya Kak Isna pun ikut bicara menyemangatiku.

”Om Raka gak boleh nangis lagi ya…” Eh, suara si Zahra… Teringat saat aku sampai menjerit-jerit saat ibu Bang Nizam mengurut lenganku yang terkilir.

”Om Raka gak nangis, kok…” belaku.

”Haalaah, Om Raka di urut nenek aja nangis, apalagi ditinggalin pacarnya….” Kata Zahra sambil tertawa.

Et, dah buset… Bang Nizaaaammmm…. Itu si Zahra digosipin apaaaa….?
Terdengar tertawa ngakak Bang Nizam dan Kak Isna.

”Raso lah kau…” kata kak Isna sambil tertawa. ”Zahra yang budak kecik bae, paham nian kelakuan kau…”

”Dek, betino masih banyaaak….” Kata bang Nizam. ”Kau njuk lah sikok… Langsung bae ajak kawin…”

”Amon kau dak pacak nyari dewek, apo kakak bae yang nyarike buat kau…?” timpal kak Isna.

”Aih idak galak aku, Kak… Kapok punya pacar wong palembang…” balasku. ”Betinonyo kejam, bapaknyo lebih kejam lagi, apolagi calon lakinyoooo… Abis bae aku di lantak…”

”Woooy… Itu si Pipit… Tapi kalo Isna aku ini idak lah kejam….” Protes bang Nizam.

”Niaaan… tapi Ubaknyo lah ngenjukke pestol cak itu….?” Sindirku yang langsung membuat mereka tertawa.

”Abang samo kakak maen lah ke Lampung…” kataku.

”Aih nak ngapo ke Lampung…. Dak ado apo-apo di Lampung tu…”

”Ini duku ama duren lagi panen bang… Bapak besok nak panen…”

”Ooo lagi pulang kau cak nyo…?”

”Iyoo bang… Dari jumat aku lah di rumah Bapak…”

”idak ke Metro kau…?”

”Kagek bang… Senin pagi bae…”

”Om Raka kirimin Zahra duit geh… Kagek kami ke Lampung….” Celetuk si Zahra kecil yang langsung dimarahi ibunya. Aku tertawa.

”Iyaaa…. Doain Om Raka banyak rezeki yaaa…. Nanti Om kirimin duit biar Zahra bisa main tempat Kakek di Lampung…”

”Bener ya Om… Ayah udah lama gak ngajak tempat Kakek di Baturaja… Padahal disana duku juga banyaaakk….” Kata si Zahra dengan centilnya.

”Oooy baaaang… Anak kau curhat tuuuh….” Kataku sambil tertawa.

”Iyo jugo, dek…. lah lamo jugo idak nengok ke Baturaja… kageklah mon ado rejeki biar laju ke Lampung sekali…”

Cukup lama kami ngobrol di telepon semalam. Dan kegembiraan dengan keluarga bang Nizam sejenak bisa membuat aku bisa melupakan kesedihanku karena mengingat Pipit yang akan menikah empat hari lagi….


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Hari Minggu ini, hampir tengah hari. Aku dan adikku yang bungsu sedang menghadapi sebakul besar duku yang masak pohon. Entah berapa banyak yang sudah masuk ke perut kami, sementara duren sedang belum beruntung, hanya menemukan dua butir yang jatuh masak dari pohon.

Aku mendengar Ibu memanggilku dari arah rumah.

”Raka….!” Teriak ibu karena jarak kami yang lumayan jauh, aku masih ditengah kebun.

”Iya buuuu….??”

”Pulang dulu…. Ada tamu nyariin kamu….”

”Iyaaaa….. Sebentaaar….”

”Lo beresin ya, mana yang udah masak, pisahin masukin bakul trus bawa pulang. Yang belum masak masukin karung biar di peram…” kataku pada adikku.

”Iyaaa….” Jawabnya.

Aku pun melangkah pulang ke arah rumah. Aku menyempatkan membersihkan diri di pancuran di belakang rumah. Lalu aku melangkah masuk melalui dapur. Aku melihat ibu sedang menyiapkan secangkir the dan secangkir kopi.

”Siapa bu…?” tanyaku.

”Gak tau… Ibu gak kenal…”

”Laki apa perempuan…?”

”Ibu-ibu….”

”Lho… siapa ya…?” tanyaku heran. Bingung juga ada ibu-ibu nyariin aku. Aku kan bukan penggemar MILF… Aku mencoba melihat ke arah depan, tapi sang tamu tak terlihat. Aku hanya bisa melihat sebuah taksi parkir di sebelah mobilku di halaman.

”Halah udah sana ganti dulu bajunya…” tukas ibu. ”Kalo gak sekalian mandi dulu… dekil banget…”

”Iya deh… Ibu temenin dulu ya…” jawabku. ”Raka mau mandi dulu sebentar…”

”Ya udah, sana cepat…” kata ibu sambil membawa nampan hidangan buat sang tamu.

Aku segera melesat ke kamar mandi.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Setelah keluar dari kamar berganti baju, aku kembali berpapasan dengan Ibu.

”Tamunya masih ada, bu…?” tanyaku.

”Ya masih laaah….” Kata ibu. ”kamu itu mandinya lama banget…”

”Hehe… di teras ya, bu…?”

”Iya…. Udah sana cepetan… Kasihan udah nunggu dari tadi…” kata ibu lagi. ”Kayak yang udah paling pentingnya aja kamu itu, sampai ditunggui tamu….”

Sambil cengengesan karena omelan ibu, aku melangkah ke teras rumahku. Teras ini lumayan luas, karena saat membangun rumah ini konsep yang aku pakai adalah teras yang luas agar bisa lebih leluasa menerima tamu. Mirip dengan rumah orang-orang di pedesaan jawa gitu deh bentuk bangunannya. Semoga bisa dibayangin.

Aku melongkok dari pintu. Tapi sang tamu duduk membelakangiku.

Seorang wanita.

Berkerudung.

Ibu-ibu siapa yaa…? Pikirku mengingat penjelasan ibu tentang siapa tamu ini.

”Assalamu’alaikum….” Sapaku dari arah belakang saat menghampiri sang tamu.

”Wa’alaikumussalam….” Jawab sang tamu sambil berdiri.

Dan membalikkan badan menatap ke arahku.

Seketika aku terkejut…..

”Kaka….” Sapa sang tamu sambil tersenyum.

”Astaghfirullahalaziim… PIPIT….??!”


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Ada dua ekspresi yang tak dapat aku sembunyikan saat itu. Terkejut dan Senang.

Terkejut karena tak menyangka kini Pipit berada di hadapanku, di rumah orang tuaku.
Empat hari sebelum menikah.

Senang karena jujur, aku masih sangat mencintainya, dan aku sangat merindukannya.
What a surprise.

Dan kedua ekspresiku itu dapat dilihat dengan jelas oleh Pipit, dan membuatnya tersenyum.

”Heran ya… Kenapa Pipit bisa disini…?” tanyanya tak bisa menahan senyum.

”Iyaaa… Kok bisa…? Maksud Kaka, Pipit kan empat hari lagi mau menikah… Ini kok malah bisa nongol disini…? Harusnya kan calon penganten itu di pingit…”

Raut wajah Pipit langsung berubah sedih, ”Itu dia, Ka…, yang mau Pipit ceritakan…”

Aku bisa menangkap raut wajah sedihnya, ditambah lagi wajah lelah Pipit.

”Kalo gitu, Pipit duduk dulu, ya… Kaka ke dalam sebentar.. ” kataku.

Setelah Pipit duduk kembali, aku segera masuk kembali ke dalam rumah. Saat itulah aku melihat Ibu dan adikku sedang kabur ke dalam.

”Hayooo… pada ngintip ya…” kataku pada mereka.

Ibu langsung berhenti dan meminta penjelasanku.

”Ada apa, nak…? Kenapa Pipit tiba-tiba bisa datang kesini….?” tanya Ibu.

”Ibu tadi gak ngobrol ama Pipit…?”

”Ya ngobrol… Tapi Ibu gak nanyain itu…”

”Trus, kenapa Ibu tadi gak bilang kalo yang datang itu Pipit…? Malah bilang tamunya ibu-ibu lagi….”

”Hehe… Ibu pengen ngagetin kamu… Seneng aja Ibu tadi ngeliat kamu kaget banget saat ketemu Pipit…”

”Ibu ini… Ya udah, nanti Raka jelaskan, sekalian Raka mau ngomong sama Ayah….”

”Masalahnya rumit banget ya, nak…?” tanya Ibu khawatir.

”Sepertinya begitu, bu… Raka curiga Pipit akan lama disini… Ibu tolong nanti kita makan siang sama-sama ya…”

”Iya… Ini Ibu sudah mau siapkan dulu…”

Ibu kemudian berlalu ke dapur. Sementara aku masuk ke kamar untuk mengambil dompet. Kemudian aku kembali menemui Pipit.

”Pit, taksinya di suruh pulang aja, ya… Nanti kalo mau kemana-mana biar Kaka yang nganter…”

”Iya, Ka…” jawab Pipit. Aku lalu membayar ongkos taksi yang dipakai Pipit tadi, lalu kembali duduk di sebelah Pipit.

”Apa kabar, Pit…”

”Yah, begini lah, Ka….” Jawab Pipit pelan.

”Kok bisa tahu sekarang rumah Kaka disini…?”

”Tahu, dong… Pipit kan punya mata-mata….” Jawabnya mencoba bercanda.

”Dari siapa, sih…? Perasaaan yang tahu rumah ini belum banyak, deh… Pipit nanya ama siapa…?” tanyaku penasaran.

Pipit tersenyum. ”sama Ocha…” jawabnya.

”Wah, si Ocha rupanya si mata-mata… Tapi kok bisa kenal ama Ocha, sih…?”

”Pipit sempet ke hotel mencari Kaka, tapi rupanya Kaka sudah check out….” Cerita Pipit lagi. ”Lalu ada resepsionisnya yang mengajak Pipit ngobrol, dia bilang dia kenal baik ama Kaka… Kami kenalan, dia bilang namanya Ocha dan dia juga cerita kalo Kaka membantunya saat dia kena musibah. Lalu kami ngobrol lama dan si Ocha cerita banyak, mulai dari tangan Kaka yang terkilir dan mukanya penuh lebam, lalu saat si Bram datang ke hotel nyariin Kaka dan kalian hampir berkelahi lagi….”

”Kok Pipit gak nelpon Kaka dulu sebelum ke hotel…?”

”Hape Pipit disita papa, Ka… sementara nomor hape Kaka kan ada disitu…”

”Segitunya…?” tanyaku heran mendengar perlakuan papanya.

”Iya gitu deh…” kata Pipit. ”Tapi Ocha memberikan nomor hape Kaka, kok… Lengkap sama alamat Kaka di Metro dan yang di Hanura sini… Pipit jadinya tau kalo keluarga Kaka sudah pindah rumah….”

Aku sampai terdiam, teringat aku memberikan alamatku pada Ocha dan Bang Nizam. Pipit melanjutkan ceritanya.

”Ocha juga yang mempertemukan lagi ama Bang Nizam. Akhirnya, diam-diam Pipit sering berkomunikasi dengan mereka, terutama curhat ama Ocha tentang kelakuan Bram yang semakin lama semakin nyebelin… Bahkan Pipit sampai dilarang keluar rumah oleh Papa, Pipit bukannya dipingit lagi, tapi ini dikurung….”

”Kok Papa bisa setega itu, Pit…?”

”Keluarga Bram rupanya komplain keras pada papa karena kejadian itu… Makanya, papa langsung mengurung Pipit. Papa rupanya takut banget kalo kita ketemu lagi…”

”Si Bram gimana sikapnya sama kamu…?”

”Itu dia yang bikin Pipit jengkel… Dia benar-benar menyalahkan Pipit, gak mau mengerti sama sekali. Karena Pipit membantahnya, jadinya papa yang jadi sasaran keluarga mereka. Papa itu pengen banget punya besan anggota DPR itu, Ka… Makanya semua mau mereka di turuti, termasuk mengurung Pipit…” kata Pipit semakin sedih.

”Maafkan Kaka, Pit… Gara-gara Kaka urusannya jadi runyam begini…”

”Gak kok, Ka… Malah Pipit bersyukur Kaka datang kemarin itu… Semua sifat asli Bram bisa ketahuan…”
Kata Pipit lagi. ”Ternyata, dia bukan calon imam yang baik…”

Aku terkejut. ”Maksudnya…?”

”Sejak saat itu, dia selalu emosi kalo bicara, juga lebih sering marah. Pipit benar-benar gak suka dengan sikap seperti itu. Dia ternyata sangat otoriter, bahkan di depan Pipit dia memperlakukan papa dengan semau dia sendiri, gak terlihat lagi sikap hormatnya pada orangtua…” kata Pipit dengan kesedihan mendalam. ”Pipit gak mau jika ternyata sikap aslinya seperti itu…. Pipit gak mau orang yang seperti itu yang akan menjadi panutan Pipit…”

”Wajar lah, Pit… Dia kan lagi emosi karena kedatangan Kaka kemarin…” kataku pada Pipit.

”Tapi kenapa dia gak bisa bersabar seperti Kaka…? Kaka yang diperlakukan semena-semena, bahkan sampai dipukuli saja masih bisa sabar.... ” kata Pipit penuh emosi.

”Kaka begitu karena memandang kamu… Dia kan calon suami kamu…”

”Itu dia maksud Pipit. Kaka saja yang sudah jelas Pipit tolak aja masih menghargai Pipit… Tapi kenapa dia gak…? Jangankan Pipit, sama papa aja dia gak menghargai sama sekali…”

Aku sampai tak bisa berkata lagi.

”Itulah sebabnya kenapa akhirnya Pipit mengambil keputusan ini, Ka… Kenapa akhirnya Pipit sampai disini….” kata Pipit sambil menatapku dengan penuh kesedihan. ”Pipit kabur dari rumah….”

”Hah…?? yang bener, Pit….???” Kagetku.

”Iya, Ka… Pipit gak mau punya suami seperti itu… Dulunya memang terlihat baik… Tapi begitu ketemu masalah sedikit, langsung emosi berkepanjangan, sampai gak tampak lagi sikap baiknya yang sebelumnya dia tunjukkan…”

”Gimana ceritanya sampai bisa kabur…? Katanya dikurung oleh papa…?”

”Pipit dibantu ama Ocha dan Bang Nizam, Ka… Karena Pipit curhat pada mereka sudah gak tahan sama sikap papa, apalagi sama si Bram dan keluarganya… Semalam Pipit berhasil keluar rumah karena dibantu Ocha, lalu kami diantar Bang Nizam ke stasiun. Niatnya Pipit mau nyari ke Metro, tapi semalam ngasih tau supaya Pipit langsung ke Hanura, karena bang Nizam abis telpon Kaka…” cerita Pipit lagi. Pantas saja wajahnya terlihat lelah, rupanya Pipit baru sampai dan langsung kemari.

”Tapi kalo kamu kabur begini, apa gak semakin runyam urusannya, Pit…?”

”Sebenarnya Pipit sudah berusaha menjelaskan pada papa, tapi Kaka tau sendiri…, papa gak bisa dibantah…, dia ngotot kalo si Bram itu calon yang terbaik…” kata Pipit lagi. ”Tapi Pipit merasa bukan karena itu, tapi karena Papa sudah silau dengan kedudukan keluarga Bram… Pipit semakin gak suka…”

”Ka…”

”Iya, Pit…”

”Kaka ingat kan, apa alasan kenapa Pipit selalu menolak Kaka…?”

”Iya… Kaka ingat…”

”Itulah kenapa Pipit kabur, Ka… Pipit gak mau menikah dengan Bram karena ternyata sifat aslinya menunjukkan kalau dia belum bisa diharapkan menjadi imam buat Pipit…” Pipit menatapku dalam-dalam. ”Tolong bantu Pipit ya, Ka… Tolong sembunyikan Pipit dari papa dan keluarga Bram… Setidaknya sampai hari pernikahan itu lewat…”

”Siap, Boss…” kataku sambil mengangkat tangan memberi hormat, ”Pipit tenang saja… Kaka akan carikan tempat yang gak akan bisa mereka temukan”

”Makasih banyak, ya Ka… Terus terang Pipit takut banget mereka akan menemukan dan memaksa Pipit pulang dan menikah sama si Bram itu…”

Aku menatap Pipit dalam-dalam.

”Gimana kalau kita segera menikah saja, Pit…?”

Pipit tampak terkejut.

”Setidaknya, jika mereka menemukan kamu, mereka sudah gak bisa apa-apa karena kamu sudah jadi milik Kaka…”

Pipit terdiam. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu.

”Astagaaa… Maafkan Kaka, Pit….” keluhku langsung tertunduk.

”Kenapa, Ka…?”

”Gila…!” tukasku lemah. ”Kaka memang sudah gila… Disaat kamu sedang susah begini Kaka malah mencoba mengambil kesempatan… Bukannya membantu kamu, tapi malah meminta yang tidak-tidak…”

Pipit tersenyum, kemudian mengusap tanganku yang berada di atas meja.

”Kaka gak bersalah, kok…” katanya lembut. ”Malah, seharusnya Pipit berterimakasih pada ajakan Kaka barusan…”

Aku mengangkat kepalaku dan menatap Pipit heran.

”Terasa banget Kaka ingin melindungi Pipit….” jawab Pipit pada tatapan keherananku. ”Pipit meminta Kaka untuk membantu Pipit, melindungi Pipit dari pencarian papa dan keluarga Bram, tapi Kaka malah mengajak menikah…”

Aku masih gak mengerti apa maksud ucapannya.

”Tadi Kaka mengajak menikah, kalo kita menikah artinya Kaka punya kewajiban untuk melindungi Pipit seumur hidup Kaka, lho… ” kata Pipit sambil tersenyum melihatku kebingungan. ”Padahal Pipit Cuma minta perlindungan sampai melewati hari Kamis aja, tapi Kaka malah menawari perlindungan seumur hidup…”

Oh, aku mulai nyambung… ”Maaf Pit, refleks…. Mungkin karena Kaka masih sangat mencintai kamu, masih berharap bisa menjadi suami kamu, makanya langsung aja ngajak Pipit menikah… Tadi kepikiran aja untuk mengajak menikah supaya si Bram gak bisa mengejar Pipit lagi…” kataku perlahan. ”Tapi sepertinya ajakan menikah itu terlalu berlebihan ya, Pit… Lha Pipit cuma minta bantu carikan tempat sembunyi aja malah diajak nikah… Sekali lagi maaf ya, gak tau nih kenapa Kaka masih aja berharap pada kamu…”

”Pipit gak tau lagi mau minta tolong pada siapa, Ka…” kata Pipit sambil menunduk. ”Juga Pipit gak tau harus percaya pada siapa… Saat sebelum berangkat dari Palembang semalam, Pipit masih berpikir mau ke rumah Anne saja… Untung bang Nizam dan Ocha meyakinkan Pipit untuk mencari Kaka…”

”Bang Nizam dan Ocha memang suka asal ngomong…”

”Justru sebaliknya, Ka… Bang Nizam dan Ocha memaksa Pipit untuk menemui Kaka karena mereka tahu hanya Kaka yang akan melindungi Pipit dengan sepenuh hati, yang akan membantu Pipit dengan sekuat tenaga…” kata Pipit sambil menunduk. ”Pipit sangat malu pada Kaka….”

”Lho… Kenapa malu…?”

”Pipit merasa gak pantas mendapatkan bantuan dari Kaka, walau Pipit tahu Kaka akan selalu baik pada Pipit, selalu membantu Pipit…” kata Pipit lirih. ”Padahal Pipit selalu menyakiti Kaka….”

”Lhoo… Kok ngomongnya gitu…” protesku sambil menggenggam jemarinya.

”Pipit selalu nyakitin hati Kaka… Pipit selalu menolak Kaka…, Pipit selalu jahat ama Kaka…” Pipit mulai menangis. ”Tapi Kaka selalu baik pada Pipit…”

”Itu semua karena Kaka sangat mencintai kamu, Pit… Apapun akan Kaka lakukan demi kamu…”

”Sebenarnya Pipit merasa, Pipit gak layak untuk mendapatkan kebaikan Kaka…” katanya sambil bercucuran air mata. ”Pipit memang gak tahu malu ya, Ka… Gak pernah membahagiakan Kaka tapi sekarang malah minta bantuan Kaka…”

”Kamu lupa…? Apa yang kamu bilang saat kita berada di ruang rapat di kantormu kemarin…?” kataku sambil meremas jemarinya dengan lembut. ”Kamu bilang, mungkinkah kita akan punya kesempatan di kehidupan yang akan datang.…?”

Pipit mengangguk sambil tetap terisak.

”Mungkin inilah kesempatan buat kita, Pit…” kataku lagi mencoba menguatkannya, mencoba meyakinkannya.

”Tapi apakah Pipit ini masih pantas buat Kaka….” Kata Pipit lirih.

”Husshhh… Gak boleh ngomong begitu… Kaka yang sebenernya masih belum layak jadi suami kamu, belum layak jadi imam buat kamu…, apalagi jika dibandingkan dengan Bram…”

”Jangan sebut lagi nama orang itu, Ka…” keluh Pipit sambil mengusap airmatanya. ”Kaka jauh lebih baik dibanding dia…, Kaka jauh lebih tulus dibandingkan dia…!”

”Makanya Kaka mohon padamu, izinkan Kaka meraih kesempatan ini…, Kaka akan berusaha menjadikan diri Kaka layak menjadi imam bagi kamu…” kataku sungguh-sungguh. ”Untuk saat ini, izinkan Kaka mendampingi kamu, melindungi kamu dari mereka… Kaka sangat mencintai kamu, Pit… Kaka akan lakukan apa saja dengan seluruh jiwa raga Kaka… Kaka ingin sekali bisa melakukan itu semua seumur hidup Kaka…”

Pipit tidak menjawab, ia masih menangis tersedu. Tangannya balas meremas jemariku dengan perasaan gundah.

”Menikahlah dengan Kaka, Pit….”

”Pipit akan jawab nanti, Ka…” katanya perlahan sambil menatapku. ” Setelah masalah Pipit dengan keluarga di Palembang beres, dan setelah Pipit bisa kembali berfikir dengan jernih, Pipit akan segera menjawab permintaan Kaka barusan…

Aku membalas tatapannya dengan tersenyum.

” Kaka jangan khawatir…. Pipit belum berani menjawabnya sekarang karena Pipit masih merasa belum pantas untuk mendapatkan kehormatan itu dari Kaka… Sungguh, gak ada alasan lain…” kata Pipit lagi.

Pipit menatapku dalam-dalam.

”Pipit selama ini telah buta, sampai tak bisa melihat kesungguhan dan ketulusan Kaka….” Katanya lirih sambil menggenggam tanganku erat sekali. ”Dan sekarang disaat Pipit bisa melihat itu semua, Pipit merasa sangat malu, Ka… Sangat malu sampai-sampai merasa diri ini tak pantas mendapatkan itu semua…”

Aku menatapnya dalam diamku…

”Kaka bisa memahami perasaan Pipit, kan…?”

”Iya, Pit… Kaka paham…”

”Kaka gak keberatan, kan… menunggu masalah ini selesai dulu…?”

”Ya gak, lah… Kaka sudah bertahun-tahun menunggu kamu… Kalo cuma nunggu sampai Kamis mah, keciiilll….”

Pipit langsung mencubit tanganku.

”Heyyy… Anak-anak….” Suara ibu memanggil kami dari pintu. ”Ayo masuk dulu, kita makan siang… Itu sudah di tunggu sama ayah….”

Bagian 19
Cinta Kan Membawamu Kembali (Disini)



Halaman Kedua(Disini)


Sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam, ayah tampaknya sedang berpikir keras. Selesai makan, aku dan ayah ngobrol di teras.

”Ayah hanya ingin kamu siap menghadapi segala sesuatunya…” kata beliau sambil menghembuskan asap ke udara. “Kamu tahu, jika sudah melarikan anak gadis orang, maka urusannya jadi lain, tidak semudah yang kamu kira…”

“Iya, yah… Raka paham…” jawabku. “Habis ini Raka mau tanya sama Pipit, apa yang dia inginkan. Nanti kita ambil jalan terbaiknya.”

“Apa rencanamu setelah ini…?”

“Pipit minta disembunyikan dulu, maksud Raka minta dicarikan tempat agar keluarganya tidak bisa menemukannya sampai acara pernikahannya dibatalkan…”

“Jika kamu sembunyikan di rumah ini, maka kita sama saja dengan melarikan Pipit, akan terkena hukum adat nanti…”

“Mungkin Pipit belum mau jika seperti itu, Yah… Tadi Raka sudah memintanya untuk menikah saja, tapi itu belum dipikirkan oleh Pipit saat ini…” jawabku lagi. “Sementara ini dia hanya ingin pernikahannya di Palembang bisa batal… Jadi setelah ini Raka akan mencarikan tempat dulu untuk Pipit”

“Ya sudah, Ayah sepenuhnya percaya padamu, Raka… Lakukanlah apa yang menurutmu yang terbaik…” kata Ayah lagi. “Tapi satu pesan Ayah padamu, jangan sampai membuat malu keluarga…”

“Iya, Yah… Raka paham. Terimakasih Ayah sudah mendukung Raka…”


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Pipit masih bercengkrama di ruang makan bersama Ibu dan adik perempuanku, sementara ayah kembali ke kebun mengawasi para tukang yang sedang memanen duku. Aku masih berada di teras.

Langkah pertama yang aku lakukan adalah aku harus menelpon seluruh sahabatku terlebih dahulu. Bagaimanapun, menghadapi masalah ini aku tak bisa sendiri, aku butuh pertolongan dan pertimbangan mereka, dan hanya mereka yang bisa aku percaya. Sahabat-sahabatku pada dasarnya memang tidak mengenal Pipit, tapi aku yakin mereka akan mau menerima dengan tangan terbuka, karena ini menyangkut aku, dan akhirnya jadi masalah bersama. Kami memang selalu begitu.

Pertama aku menelpon Didit, kebetulan dia sedang bersama Fredy. Percakapan kami diloudspeaker oleh Didit agar bisa ngobrol bertiga.

“Gila lo bro…” seru Didit terkejut setelah aku menceritakan apa yang terjadi, termasuk kepergianku ke Palembang beberapa minggu yang lalu. “Trus, rencana lo gimana…?”

“Gua harus nyari tempat tinggal sementara buat Pipit nih, bro…” jawabku.

“Kalo mau, lu bisa pake kamar di Pondok Annisa…” kata Fredy.

Orangtua Fredy memiliki rumah kost khusus mahasiswa putri di dekat kampus yang bernama Pondok Annisa. Tempat Kost ini merupakan tempat kost premium yang berharga mahal, fasilitasnya komplit dan mengutamakan ketenangan dan kenyamanan penghuni kostnya untuk belajar.

”Nah, bagus juga tuh….” Kata Didit.

”Kalo ada kamar yang kosong, boleh juga tuh, Pet…” kataku.

“Ada, terakhir gua cek masih ada dua kamar kosong, di lantai 1 ama lantai 3…” jawab Fredy.

“Kalo bisa yang di bawah aja bro… biar kalo mau kemana-mana bisa mudah, termasuk kalo mau kabur…”

“Beres… Lu jam berapa mau dateng…?”

“Abis maghrib gua berangkat, langsung ke Annisa…?”

“Ya udah, gua tunggu disana nanti. Abis ini gua mau suruh si Dodo buat nyiapin kamarnya…” kata Fredy. Dodo adalah orang yang ditugaskan oleh orangtua Fredy sebagai penjaga sekaligus mengurus Pondok Annisa.

“Lu udah dan ngasih tau yang laen…?” tanya Fredy lagi.

“Belum… Rencananya abis ini gua mau nelpon diorang…” jawabku.

“Udah biar gua aja yang nelponin diorang, biar nanti pas lu nyampe, kita langsung kumpul aja di Annisa…”

“Siip… Makasih banyak bro…” kataku senang. “Sampe ketemu nanti malem ya…”

“Oke…” jawab Didit dan Fredy.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Aku menatap gadis berkerudung putih yang sedang bersenda gurau dengan Ibu dan adik perempuanku dari balik lemari. Sesekali dia tertawa, kadan dia tampak serius saat mendengarkan Ibu berbicara, lalu tertawa lagi. Aku mencoba mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

Astaga.. Rupanya Ibu sedang menceritakan kelakuanku saat aku kecil…

“Ehm…” aku berdehem, tatapan mereka langsung tertuju padaku. Pipit menatapku sambil menahan tawanya.

“Lagi ngomongin apa nih… Kok perasaan aku gak enak ya…” kataku.

Mereka langsung tertawa. “Gak, ngobrol biasa aja kok…” jawab Pipit yang langsung diamini oleh ibu dan adikku.

“Pit, ke teras lagi yuk…” kataku mengajak Pipit. “Ada yang perlu Kaka bicarakan ama kamu…”

“Ya udah, sana ke depan dulu…” kata Ibu sambil menyentuh tangan Pipit. “Ibu mau bikin pisang goreng dulu…”

Pipit mengangguk dan tersenyum pada Ibu, lalu kami sama-sama melangkah ke arah teras.

Aku dan Pipit kembali duduk ke tempat tadi.

“Rencana Pipit setelah ini mau gimana…?” tanyaku membuka obrolan.

“Pipit belum tahu, Ka…” jawab Pipit pelan.

“Pipit percaya ama Kaka, kan…?”

“Iya.. Pipit percaya ama Kaka… Apa kata Kaka akan Pipit turuti…”

“Jadi begini…” kataku sambil memperbaiki posisi dudukku. Tanganku aku letakkan di meja, lalu menatap Pipit. “Kaka mau tanya dulu sama Pipit. Gak apa-apa kan…?”

“Iya…”

“Pipit tahu Sebambangan di adat Lampung, kan…? Posisi Pipit yang kabur dari rumah, seandainya Pipit diketahui oleh keluarga Pipit berada di rumah Kaka, maka bisa dipastikan Kaka akan dituduh melarikan Pipit…”

Pipit mengangguk, serius mendengarkan aku.

Dalam masyarakat adat Lampung, istilah “Sebambangan” adalah adat yang mengatur pelarian gadis oleh bujang ke rumah kepala adat untuk meminta persetujuan dari orang tua si gadis, melalui musyawarah adat antara kepala adat dengan kedua orang tua bujang dan gadis, sehingga diambil kesepakatan dan persetujuan antara kedua orang tua tersebut. Secara umum, adat Sebambangan ini sering di sebut dengan “Larian”.
“Logikanya, keluarga Pipit sudah tahu jika Pipit berada disini, dan kewajiban keluarga Kaka harus memberitahukan pada keluarga Pipit bahwa Pipit ada disini, bersama keluarga Kaka.”jelasku kepada Pipit. “Selanjutnya keluarga Kaka akan menemui keluarga Pipit untuk bermusyawarah sekaligus mengurus pernikahan kita…”

“Tapi disana kan mereka juga sedang mempersiapkan pernikahan Pipit dengan Bram, Ka…”

“Ini dia masalahnya, dalam kondisi seperti ini jika tiga keluarga ini sampai bertemu, pasti akan ribut…”

“Jadi baiknya gimana, Ka…” tanya Pipit kebingungan. “Maafkan Pipit ya, Ka… Pipit sebenarnya kabur dari rumah karena ingin menghindari pernikahan dengan Bram, dan jujur Pipit juga gak siap jika kita langsung dituduh larian…”

“Nah, jika begitu Kaka bisa menentukan kita harus bagaimana… Kita selesaikan satu per satu masalahnya, ya… Kaka minta Pipit percaya sepenuhnya pada Kaka, Pipit juga harus percaya bahwa apa yang akan Kaka lakukan adalah demi Pipit, agar apa yang Pipit mau bisa tercapai…”

“Iya, Ka… Pipit pasrah ama Kaka, mau gimana baiknya…” kata Pipit sambil tersenyum menatapku.

“Pipit kabur dari rumah karena ingin menghindari pernikahan dengan Bram, kan…? Jika memang begitu, Kaka akan menyembunyikan Pipit di tempat yang Kaka yakin gak akan bisa mereka menemukan Pipit…” kataku menjelaskan. “Kita akan terus bersembunyi sampai kita mendapat kepastian rencana pernikahan itu batal. Kebetulan, Kaka sudah menemukan tempatnya, semoga nanti Pipit setuju dan cocok dengan pilihan Kaka…”

“Lalu…?”

“Karena Pipit gak mau memakai Sebambangan, maka mohon maaf, jika terjadi sesuatu nanti Kaka minta pada Pipit, jangan sampai membawa nama Kaka dan keluarga Kaka… Bukannya Kaka gak mau bertanggung jawab, tapi Pipit tahu jika sampai ketahuan ada Kaka disini, maka keluarga Kaka yang akan mendapat malu…”

“Iya, Pipit paham…”

“Tapi pilihan kita tadi juga kendalanya, jika Pipit gak punya orang yang berpihak pada Pipit di Palembang sana. Karena dia nanti yang memberitahukan apakah pernikahan itu batal atau tidak….”

“Ada, Ka…” jawab Pipit. “Bang Haiqal tahu pelarian Pipit ini, dan dia mendukung Pipit. Sejak awal dia yang gak setuju dengan Pipit menikah dengan Bram… Bang Haiqal juga yang mengatur sampai Pipit bisa lepas dari pengawasan papa dan kabur dari rumah semalam.”

“Bang Haiqal tahu Pipit kabur kesini…?”

“Iya, Bang Haiqal tahu Pipit kabur ke Lampung dan menemui Kaka, juga Bang Nizam dan Ocha…” jawab Pipit. “Bang Haiqal berpesan agar Pipit bicara dulu dengan Kaka dan tahu dulu gimana tanggapan Kaka, baru diceritakan padanya. Setelah ini Pipit akan menelpon Bang Haiqal. Sementara ini dia yang pasang badan menghadapi Papa disana…”

Aku terdiam. Bang Haiqal adalah kakak Pipit yang tertua. Usianya 2 tahun di atas aku, dulu dia adalah seniorku saat aku masuk SMA, aku kelas 1 dan dia kelas 3. Aku tau dengan Bang Haiqal, walau belum pernah sekali pun bertemu lagi dengannya bahkan sejak aku pacaran dengan Pipit dulu. Mendengar penjelasan Pipit, aku bisa merasakan jika saat ini Bang Haiqal mempercayakan Pipit sepenuhnya padaku.

“Syukurlah…” kataku lega. Sungguh aku sangat lega mendengar kabar bahwa Bang Haiqal ada di pihak kami. “Kaka lega banget, Pit… Mendengar kalo Bang Haiqal yang membela kamu….”

Pipit tersenyum manis padaku. “Bang Haiqal dan Kaka sama berartinya buat Pipit saat ini…”

“Aduuuuhhh… Jadi tersanjung…. Sampai sempit nih baju Kaka…”

“Pipit nelpon Bang Haiqal dulu ya…” kata Pipit sambil mengeluarkan hape dari saku bajunya.

“Memangnya papa gak nelpon kamu sejak kamu kabur kemarin, Pit…?” tanyaku.

“Papa gak tahu sama nomor yang ini, hape Pipit yang lama kan disita ama papa…” jawab Pipit. “yang tahu nomor ini hanya Bang Haiqal, Bang Nizam ama Ocha….”

“Ooo.. Gitu…”

“Iya… Sebentar ya, Ka…”

“Silakan…”

Pipit lalu beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke halaman sambil menghubungi kakaknya. Lalu dia duduk di bale bambu di bawah pohon jambu yang rindang. Aku hanya menatapnya dari tempatku duduk ini, menatap gadis yang telah menyita seluruh hidupku selama ini.

Hampir setengah jam aku menatapnya yang sedang berbicara dengan kakaknya di telepon.

Pipit datang menghampiriku. “Ka, ini Bang Haiqal mau bicara…” katanya sambil duduk di sebelahku.

Aku meraih hape yang disodorkan Pipit. “Assalamu’alaikum, Bang…”

“Waalaikumusalaam, Raka…?”

“Iya, bang…”

“Raka, abang minta tolong banget ya ama kamu. Abang percayakan Pipit sama kamu. Tolong kamu bantu dia dan jaga dia, ya…”

“Siap, bang…”

“Raka… Kamu tahu kan gimana kerasnya watak Pipit…? Abang hanya bisa mendukung dia sampai sejauh ini… Abang disini juga sedang berusaha menjaga papa, sejak dia tahu Pipit kabur dia ngamuk-ngamuk terus…”

“Siap, bang… Insya Allah Raka akan menjaga Pipit sekuat tenaga…”

Pipit mencibirkan bibirnya dengan lucu ke arahku.

“Pipit juga sudah cerita sama abang, tentang kamu dan tentang bagaimana hubungan kalian. Makanya saat dia bilang dia mau kabur dari rumah dan dia bilang dia akan minta tolong padamu, abang setuju. Entah kenapa feeling abang bilang kalo kamu bisa dipercaya, abang yakin kamu akan menjaga Pipit dengan sungguh-sungguh…”

“Makasih, bang… Sudah percaya sama Raka. Insya Allah akan berusaha amanah, bang…”

“Syukurlah kalo begitu… Ya sudah, kamu aturlah gimana bagusnya. Nanti kamu minta nomor hape abang ama Pipit, supaya kita bisa saling kontak…”

“Iya bang, akan Raka lakukan… Sekalian minta tolong abang untuk terus mengabari kami, bagaimana situasi di Palembang.”

“Iya, itu memang yang abang mau…”

“Oh iya, bang… Kabar papa gimana…?”

“Wah, dari pagi saat tau Pipit kabur dari rumah, dia marah-marah terus… Lumayan juga abang sampai mabok ngeladenin dia…, hahaha… ”

“Trus ada kabar dari keluarga Bram, bang…?” tanyaku kepo.

“Nah, itu lagi yang bikin abang naik darah. Tadi pagi mereka langsung kemari begitu papa mengabari mereka. Orangtuanya marah-marah gak karuan tadi, bilang papa gak bisa menjaga si Pipitlah, bilang bikin malu karena undangan sudah di sebar lah, rugi banyak lah kalo pestanya gak jadi…. Kalo abang sih, gak peduli… Karena yang ngotot ingin pesta besar-besaran kan, mereka… Pipit hanya minta syukuran sederhana aja. Kalo sekarang sudah begini, salah siapa, coba…? Yang mau acara gede-gedean mereka sendiri kok, ya kalo malu memang semuanya malu… Tapi masa bodoh, lah…”

“Raka khawatir sama kondisi Papa, bang… Takutnya beliau sampai kenapa-napa karena tekanan yang begitu besar….”

“Sudahlah, itu tanggung jawab abang, Ka… Terimakasih kamu sudah khawatir pada beliau, abang hargai banget itu… Sekarang tugasmu abang minta untuk menjaga Pipit dengan sebaik-baiknya selama dia disana, ya… Sisanya biar jadi urusan abang, abang juga berdoa semoga tak sampai terjadi hal-hal yang diluar kemampuan kita…”

“Iya bang…”

“Ya sudah kalo begitu, abang serahkan keselamatan Pipit padamu selama di sana, ya… Abang percaya sama kamu… Lakukanlah apa yang menurut mu yang terbaik, dan jangan lupa untuk selalu kabari abang…”

“Siap bang, akan Raka kerjakan…”

“Oke, gitu dulu ya, Ka… Semoga suatu saat kita bisa ketemu, dalam keadaan yang lebih baik dan lebih menyenangkan, tentunya… Assalamu’alaikum…”

“Makasih, bang… Waalaikumussalam….”

Aku kembalikan hape itu pada Pipit.

“Wah, langsung akrab nih…” goda Pipit.

“Kalo sama abang ipar, Kaka memang akrab, Pit…” kataku balas menggodanya. “Tapi sama papa mertua ini…” kataku sambil menepuk jidat.

Wajah Pipit memerah karena malu mendengarkan candaanku. Tangannya langsung mencubitku dengan gemas.

“Aduuuh…. Ini cewek kok ya seneng amat nyubit ya sekarang… Perasaan dulu gak gini, deh…”

“Rasain…” katanya sambil mencibir kepadaku.

Aku menatap Pipit dalam-dalam. Aku tak bisa memungkiri, berada dekat dengannya sangat membuatku bahagia, walau dihadapan kami ada masalah yang teramat besar, tapi aku sangat bahagia bisa sedekat ini dengan Pipit, menikmati saat dimana Pipit menjadi tanggungjawabku.

Pipit balas menatapku, seutas senyum manis menghias bibirnya. Tubuhnya menyender di kursi, menatapku dengan penuh perasaan.

“Semoga masalah ini cepat selesai ya, Ka…”

“Iya… Kaka juga berharap begitu…”

“Terimakasih karena sudah mau membantu Pipit… Kaka memang baik banget sama Pipit…”

Aku hanya bisa tersenyum, berharap tatapan mataku ini bisa menyampaikan rasa cintaku pada Pipit.

“Sekarang, kamu istirahat, ya… Pasti perjalanan sejak semalam sangat melelahkan kamu…” kataku pada Pipit. “Usahakan tidur, biar nanti bisa segar lagi. Habis magrib kita berangkat ke tempat Pipit nanti akan tinggal sementara…”

“Dimana itu, Ka…?”

“Di Bandar Lampung, dekat Kampus Gedong Meneng… Sahabat Kaka punya rumah kost khusus putri disana, kebeneran ada kamar yang masih kosong…”

“Ooh, gitu…”

“Iya.. Kan kalo Pipit tinggal disana, Kaka pulang pergi kerja ke Metro pun mudah… Selama Pipit disana, biarlah Kaka kerja pulang pergi, gak nginep di Metro…”

“Pipit merepotkan Kaka, jadinya…”

“Gak masalah, Pit… Kaka akan lebih tenang dengan begitu…”

“Makasih banyak ya, Ka… Makasih banget…”

“Anything, my love…”

Pipit tersenyum lembut padaku. Aku merasa bagaikan di surga.

“Sudah, yuk… Sekarang kamu istirahat dulu… Kalo mau mandi, ya mandi dulu baru istirahat…”

“Iya, Ka…” jawab Pipit. Lalu kami bangkit. Aku menarik koper Pipit ke dalam rumah dan membawanya ke kamar tamu.

Sebelum menutup pintu kamar, Pipit berkata padaku.

“Rasanya Pipit bahagia banget, Ka… Bisa berada di dekat Kaka, bisa merasakan tanggung jawab yang Kaka tunjukkan pada Pipit… Rasanya menyentuh sekali…”

Aku hanya bisa tersenyum, tak tahu harus berkata apa.

Tapi aku juga merasakan bahagia yang sama, kekasihku… Semoga kamu bisa merasakannya…
 
 
Bagian 19
Cinta Kan Membawamu Kembali (Disini)



Halaman Ketiga


Mazda CX5 warna hitam milikku membelah malam di jalan antara Hanura menuju Bandar Lampung. Aku dan Pipit berangkat menuju ke Pondok Annisa milik Fredy. Sesampainya di Bandar Lampung, aku menyempatkan diri membelikan Pipit sebuah tablet, agar setidaknya Pipit ada hiburan selama masa persembunyiannya. Aku pun sudah mengontak Didit dan Fredy, dan kami janjian akan bertemu jam delapan malam.

Aku sudah menyimpan nomor hape Pipit dan Bang Haiqal, tetapi tidak aku save di hapeku, hanya aku hapalkan saja. Begitu pula Pipit, nomor hapeku hanya dihapalkan saja. Ini semua bertujuan agar tidak ada bukti bahwa kami pernah melakukan percakapan di hape apabila nanti di perlukan, dan semua catatan panggilan pun langsung di hapus setelah menelpon.

Sesampainya di Pondok Annisa di Gedong Meneng, sudah ada Didit, Fredy dan Bagas di sana. Tinggal menunggu Bagas dan Bambang, sementara Yoyok, Zaldi dan Ucup tidak bisa hadir karena mereka kini tidak menetap di Bandar Lampung. Yoyok kini dinas dan menetap di Way Kanan, sementara Zaldi dan Ucup bekerja di Jakarta.

”Apa kabar, bro…” kataku sambil menyalami mereka. ”Kenalkan, ini Pipit…, Pit, ini namanya Bang Didit, yang itu Bang Fredy, kalo yang badannya gede namanya Mas Bagas, dan yang itu Mas Bambang…”

Pipit mengangguk hormat pada mereka. ”Kenalkan, nama saya Pipit…”

”Selamat datang, Pit… Salam kenal ya…” kata mereka.

Kami semua kemudian berkumpul dan ngobrol di aula yang memang biasa dipergunakan untuk menerima tamu di pondokan ini. Untungnya, suasana sedang sepi karena ini malam Senin. Tak lama kemudian, Mas Dodo dan istrinya datang membawakan minuman dan camilan.

”Sudah siap semua, Mas…?” tanya Fredy pada Mas Dodo.

”Sudah, Mas…” sahut Mas Dodo.

” ”Pit, ayo kita lihat kamarnya dulu…” kata Fredy.

”Boleh, bang…” Sahut Pipit. ”Ka…?” Pipit menoleh ke arahku seakan minta persetujuanku dan minta ditemani sekalian.

”Ayo…” jawabku sambil membawa tas bawaan Pipit. Bagas dan Didit langsung tertawa.

”Wah, si Pipit gak berani kalo cuma ama lu doang Pet… Sampe ngajak si Raka dia…” ledek Bagas.

”Tau dia kalo lu itu penjahat… hahaha…” sahut Didit.

Pipit sampai memerah mukanya diganggu seperti itu. Kami semua jadi tertawa.

”Tenang coooy… Kalo permaisurinya kawan, gua gak bakal ganggu…” sahut Fredy sambil tertawa. ”Tenang aja Pit, gak usah diladenin mereka itu, orang sarap semua itu…”


Pipit hanya tersenyum malu, dia melangkah semakin mendekat ke arahku. Kami berjalan beriringan ke salah satu salah satu kamar di lantai 1. Mas Dodo membuka kunci pintu dan menyalakan lampu.

Kamar itu cukup luas, dimana terbagi menjadi 3 ruang, ada ruang tamu sekaligus ruang belajar, kamar, dan area dapur dan kamar mandi, dengan AC dan TV sebagai perlengkapan standar. Kami mengikuti Fredy yang menjelaskan isi kamar tersebut. Mantap, memang kelas premium.

”Silakan kalo kamu beberes dulu, Pit…” kataku pada Pipit. ”Kaka dan yang lain akan menunggu di aula…”

”Iya, Ka…” jawab Pipit. ”Abang-abang semua, makasih banyak ya…”

Kemudian aku dan teman-temanku menuju aula.

”Jadi itu yang namanya Pipit, pacar lu waktu SMA itu ya…?” tanya Bagas padaku.

”Iya…” jawabku. ”Jadi ceritanya begini…”

Aku kemudian menceritakan secara rinci dan berurutan, bagaimana kisahnya sampai Pipit ada di sini. Teman-temanku mendengarkan dengan serius.

”Nah, jadi gitu ceritanya…” kataku akhirnya.

”Artinya lu harus siap-siap, bro… Bahkan pada kemungkinan paling buruk kalo lu dilaporin ke polisi ama keluarganya…” kata Didit.

Kemudian kami berdiskusi, langkah apa yang akan kami lakukan. Pada intinya, semua sahabatku akan mendukung dan membantuku sepenuhnya. Harapan yang terbaik, aku akan menikah dengan Pipit, dan yang terburuk aku dipenjara karena melarikan anak gadis orang.

”Ya udah, sip kalo gitu… Kita tinggal nunggu aja apa yang bakal kejadian setelah ini…” kata Fredy. ”Laper nih, gua belum makan malam. Kita makan sate aja ya…?” kata Fredy.

Kemudian, dia menyuruh Mas Dodo membeli sate madura. Tak lama kemudian kami semua, termasuk Pipit, makan bersama di aula itu.

Tak terasa, hari sudah hampir jam sebelas malam. Kami kemudian bubar, aku rencananya akan langsung ke Metro setelah dari sini. Aku mengantarkan Pipit sampai ke kamarnya, sementara teman-temanku sudah pulang duluan.

”Jadi setelah ini Kaka langsung ke Metro…?” tanya Pipit. Dia sudah masuk ke dalam kamarnya, sementara aku hanya berdiri dan bersandar di pintu.

”Iya… Supaya besok Kaka bisa ikut apel pagi…” jawabku. ”Pipit gak apa apa kan sementara tinggal di sini…?”

”Gak apa kok, Ka… Tempatnya bagus, kok… dan kayaknya nyaman juga…” jawab Pipit sambil tersenyum. ”kayaknya Pipit bakal betah deh di sini…”

”Ya sudah… Kalo gitu Kaka pamit, ya…” kataku. ”Sekarang kamu istirahat. Kalo sampai perlu apa-apa, kamu tinggal bilang sama mas Dodo atau istrinya, Kaka sudah titipkan kamu secara khusus pada mereka… Jangan lupa kabari Kaka kalau Pipit ada perlu apa pun. Besok sore Kaka sudah di Bandar Lampung lagi, kok… sementara ada kamu di sini, Kaka akan kerja pulang pergi ke Metro setiap hari…”

Pipit meraih tanganku, dan menciumnya.

”Makasih banyak ya, Ka…” katanya kemudian, sambil tersenyum padaku.

”Sama-sama, sayangku….” Jawabku sambil tersenyum, dan mengusap kepalanya lembut. Pipit sampai terpejam menikmati usapanku di kepalanya yang masih terbalut jilbab.

”Kaka berangkat sekarang, ya…” kataku akhirnya. ”jaga dirimu baik-baik ya…”

”Iya, Ka… Hati-hati di jalan ya… Nanti setelah sampai di Metro jangan lupa kabari Pipit… Pipit gak akan tidur sebelum Kaka ngasih kabar kalo Kaka sudah sampai dengan selamat…” kata Pipit sambil menatapku.

”Iya, nanti akan Kaka telpon…” jawabku. ”Kaka pamit ya…”

”Hhmmmm… Gak cium Pipit dulu…?” tanya Pipit sambil menatapku malu-malu.

Aku langsung mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. ”Nanti saja, Kaka akan kumpulkan semua ciuman yang ingin Kaka berikan sejak tadi, dan akan Kaka berikan nanti setelah kita menikah….” Jawabku sambil tersenyum.

Mendengar jawabanku, Pipit semakin erat menggenggam tanganku. Aku menatap gadis yang sangat aku cintai ini dengan penuh kasih sayang. Sungguh, sangat susah sekali menahan hasrat agar tidak memeluk dan menciumnya saat ini.

”Kalo dipegangin terus, Kaka gak bisa berangkat nih…” kataku sambil tertawa geli melihat tingkah Pipit.

”Iyaaa….” Kata Pipit melepaskan genggamannya, tapi dia kemudian mengusap pipiku dengan lembut. ”Hati-hati di jalan ya, Ka…”

”Iya….” Jawabku sambil tersenyum. ”Kaka berangkat ya… Assalamualaikum…”

”Waalaikumussalam…” jawab Pipit sambil tersenyum manis.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Senin, 16 Desember 2013, 19.30 WIB.

Aku dan Pipit sedang makan malam di ruang tamu kamar kost Pipit ketika hape Pipit berbunyi menandakan ada sms masuk. Seketika kami berdua terdiam, dan Pipit membaca sms yang baru saja masuk itu.

”Duh, Ka….” Kata Pipit dengan wajah yang kini tampak sangat khawatir.

Aku membaca sms itu, dari Bang Haiqal.

Kami ke Lpg malam ini by Limex, papa mau cari Raka di ktrnya besok. Siap2. Jgn balas, aman.
Aku mengerutkan kening. Bang Haiqal dan papanya akan ke Lampung malam ini naik kereta dari Palembang, dan akan mencariku di kantor besok.

Bagaimana beliau bisa tau aku berkantor di mana…?

”Gimana ini, Ka…?” tanya Pipit dengan tatapan cemas. ”Papa mau datang dan nyariin Kaka….”

”Pipit tenang aja…” jawabku mencoba menenangkannya. ”Kan gak ada bukti kalo Pipit bersama Kaka saat ini… Lagi pula ada Bang Haiqal, pasti dia sudah punya rencana, dan dia pasti membela kita…”


Pipit terdiam, terlihat sekali dari wajahnya bahwa dia sangat gundah saat ini.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Selasa, 17 Desember 2013, 09.30 WIB.

Aku mendengar suara gaduh dari luar ruanganku. Tiba-tiba pintu ruanganku terbuka dengan kasar.

”Mana yang namanya Raka…??!” teriaknya begitu masuk ruanganku. Teman-teman seruanganku seketika terkejut dengan kehadirannya yang mengagetkan itu.

Aku menatap lelaki tua yang datang itu, aku masih bisa mengingat siapa dia. Dia adalah orang yang pernah menamparku dengan keras, dan meninggalkankan aku di pinggir kota.

Dia, Papanya Pipit.

Wajahnya tampak tegang, matanya menyapu seluruh ruangan dan akhirnya bertemu pandang denganku. Dengan segera dia langsung menghampiri mejaku. Sementara seorang lelaki muda berjalan mengikuti di belakangnya, berdiri gelisah karena sikap orang ini. Dia, Bang Haiqal.

Aku segera berdiri dari bangku, dan tersenyum pada mereka.

”Saya Raka, Pak. Silahkan duduk…” kataku mempersilahkan beliau sambil menarik kursi yang ada di depan mejaku.

”Gak usah banyak basa basi…!” bentaknya sambil menarik kerah bajuku. ”Dimana anak saya…??”

”Pa… Sabar, pa… Gak enak ini kantor orang…” kata lelaki muda yang berdiri di belakangnya. Tapi si lelaki tua tampak tak perduli.

”Sebentar, pak… Ada apa ini sebenarnya…??” tanyaku sambil berusaha menenangkannya.

”Jangan belagak gak tahu kamu, ya…! Dimana kamu sembunyikan anak saya…?? Saya laporkan ke polisi baru tahu, kamu…!” bentaknya lagi, cengkeramannya di bajuku semakin keras.

”Sebentar…, Bapak ini siapa…?? Dan yang Bapak maksud anak Bapak itu, anak yang mana…??” tanyaku.
Tentu saja pura pura tidak ingat.

”Kamu gak ingat sama saya, hah…?? Saya ayahnya Pipit….!” bentaknya lagi.

Aku memasang muka emosi. ”Oh, iya… Saya ingat sekarang. Anda Papanya Pipit… Maafkan saya, bagaimana saya bisa melupakan orang yang pernah menampar saya….” kataku dingin.

”Hoho… bagus jika kamu masih ingat peristiwa itu…! Sekarang cepat kamu bilang dimana Pipit, sebelum saya menghajar kamu lagi…!”

”Pa… Sudahlah… jangan bikin keributan di kantor orang…” kata lelaki muda yang berdiri di belakangnya. Tapi si lelaki tua tetap tak perduli.

”Silakan duduk dulu, pak… Kita bisa bicarakan baik baik…” kataku lagi.

”Gak perlu…!” bentaknya gusar, bahkan dia masih mencengkeram kerah bajuku, hampir membuatku tercekik. Aku terpaksa mengeraskan otot leherku, mukaku jadi memerah dibuatnya.

”Oooh.. Kamu mau melawan, ya…??? Mau saya hajar, hah…??” katanya semakin emosi melihat wajahku yang mengeras dan memerah.

Ya elah, Paaakkkk… siapa yang melawan….??? Tercekik, neeehhh…

Lelaki muda di belakangnya hanya bisa menggelengkan kepala.

Aku sudah tak sabar lagi. Aku pegang lengannya yang mencengkeram kerah bajuku dengan erat. ”Bapak tiba-tiba datang, marah-marah dan menyerang saya… Saya yang akan melaporkan ke polisi, saksinya banyak dan semua teman saya…” desisku kepadanya. ”Jika masih mau, saya masih menawarkan pada Bapak untuk bicara baik-baik…”

Papanya Pipit semakin emosi, tapi dia tidak berbuat apa-apa. Dengan satu sentakan keras penuh kekesalan, dia melepaskan kerah bajuku.

”Silakan duduk, pak…” kataku setelah beliau agak tenang. ”Silakan duduk, Mas…” kataku pada Bang Haiqal, tetap berpura-pura tidak kenal. Bang Haiqal memberikan kode kepadaku dengan gerakan matanya. Aku mengerti, aku diminta untuk meladeni papanya dengan sabar. Aku menganggukkan kepala perlahan.

”Sekarang kamu bilang, dimana kamu sembunyikan Pipit…!” kata papanya lagi, masih dengan nada marah.

”Maaf, tapi saya masih gak mengerti maksud Bapak.” Kataku dengan tenang. ”Memangnya Pipit kemana…? Kenapa saya disangka menyembunyikan Pipit…??”

”Karena kamu beberapa hari yang lalu menemui Pipit di Palembang, dan kamu juga ribut dengan calon suaminya… Sekarang Pipit kabur, pasti kamu yang sudah menghasut Pipit supaya mau kabur dari rumah, padahal dia sudah mau menikah besok…! Pasti kamu yang menghasutnya, pasti kamu yang ingin pernikahannya batal, kan…??!” kata papanya dengan penuh emosi. ”Kamu jangan coba-coba berbohong, ya…! Saya tahu kamu lah dalang dari semua ini….!”

”Saya memang ke Palembang dan menemui Pipit, tapi itu untuk bersilaturahmi, Pak…” kataku mencoba menjelaskan dengan nada sabar. ”Kalo masalah ribut dengan calon suaminya, itu semua karena dia salah paham saja saat melihat saya sedang ngobrol sama Pipit…”

Sekilas aku melihat Bang Haiqal tersenyum tipis. Makasih supportnya, Bang…

”Wajar calon suaminya marah, karena dia melihat kamu sampai memegang-megang Pipit…!” tukasnya lagi.

”Saya akui, saya memang salah dalam hal itu…” kataku lagi. ”Tapi kalo sampai masalah kaburnya Pipit dari rumah, saya benar-benar tidak tahu….”

”Kamu jangan coba-coba membohongi saya…! Karena kamu menemui Pipit, Pipit jadi berubah, tak mau menurut pada saya lagi…!”

”Kenapa Bapak tidak mencoba menelpon Pipit saja…?”

”Gak mungkin, hapenya ada pada saya, saya sita supaya kamu tidak menghubungi dia lagi…!”

”Kalo begitu, bukan salah saya jika sekarang Pipit tidak bisa dicari… Seandainya Bapak tidak mengambil hapenya, mungkin Pipit sekarang bisa diketuhui dimana dia berada…”

”Kamu jangan mencoba memutar balikkan fakta, ya…! Malah menyalahkan saya…! Sudah jelas kamu yang mempengaruhi Pipit sampai dia kabur dari rumah dan menghindari pernikahannya…!”

”Saya tidak memutarbalikkan fakta, Pak… Tapi saya benar-benar gak tahu Pipit dimana… Sejak pulang dari Palembang kemarin, saya sudah tidak pernah menghubunginya lagi. Saya juga gak mau dimarahi oleh calon suaminya, Pak… Mana calonnya itu galak bener, gak pake nanya langsung maen pukul… Jadi ngapain saya menghubungi Pipit…?? Saya gak mau dipukuli lagi, Pak… Sudah Bapak pernah memukuli saya, ini sekarang calon suaminya… Terus terang saya kapok berurusan dengan Pipit, Pak… Kapok… Saya digebukin terus setiap dekat dengan Pipit…”

Bang Haiqal sampai menunduk menahan tawa mendengar penjelasanku.

Aku berusaha setengah mati menahan ekspresi serius yang aku pasang sejak tadi, walau sudah hampir terbawa seperti kelakuan bang Haiqal.

Papanya Pipit terdiam, aku berharap dia termakan oleh ucapanku barusan.

”Saya mohon maaf, pak… Jika kedatangan Bapak bermaksud untuk mencari tahu dimana Pipit berada dari saya, saya mohon maaf… Saya benar-benar tidak tahu…” kataku lagi. ”Karena sejak pertemuan di Palembang kemarin, saya tidak pernah lagi menghubungi Pipit. Bapak bisa lihat di hapenya yang ada sama Bapak, apakah ada saya menghubungi Pipit…? Selain saya kapok dan takut, saya juga tahu kalo Pipit akan segera menikah.. Sekali lagi saya mohon maaf, saya gak bisa membantu Bapak mencari Pipit…. Saya sungguh-sungguh gak tahu Pipit dimana…”

Orangtua itu menghela nafas kesal, tapi kini tak berbuat apa-apa lagi.

”Saya mengenal beberapa orang teman akrab Pipit yang masih ada di Lampung, nanti saya akan coba membantu cari kabar dari mereka…” kataku lagi, mencoba meyakinkan beliau dengan niat akan membantu.

”Maksud kami sebenarnya juga begitu, Mas Raka…” kata bang Haiqal tiba-tiba menimpali. ”Oh, iya… Kenalkan, saya adalah kakak kandung Pipit… Jika Mas Raka bisa membantu kami dengan mencari kabar dari teman-temannya yang ada disini, kami akan sangat berterima kasih…”

Papanya menatap Bang Haiqal agak tidak setuju.

”Tentu saja, Mas… Saya akan berusaha semampu saya akan mencoba mencari Pipit juga… Semoga ada titik terang…”

”Terima kasih, Mas…”

”Kalo saudara yang masih ada di sini, sudah coba di lacak, Mas…?” tanyaku pada Bang Haiqal. Setidaknya dengan bicara dengan Bang Haiqal yang bersikap kooperatif, aku bisa menyadarkan papanya yang sejak tadi marah-marah.

”Setelah dari sini, kami akan mencoba mencari pada sanak saudara kami disini…”

”Kalo gitu saya minta nomor hapenya ya, mas… Biar kita bisa saling mengabari jika ada kabar tentang Pipit…”

Aku dan Bang Haiqal bertukar nomor hape. Papanya diam saja.

”Pak…” kataku pada papanya Pipit. ”Terus terang, kabar Pipit kabur dari rumah ini saja sudah membuat saya khawatir. Saya berjanji akan berusaha membantu untuk menemukan Pipit. Semoga saja upaya saya ada hasilnya…”

Papanya Pipit tetap terdiam. Kini tampak jelas beliau tampak kacau sekali.

”Mohon maaf, Pak… saya bisa merasakan peristiwa ini sangat berat buat kita semua. Saya bisa merasakan apa yang Bapak rasakan saat ini…” kataku padanya dengan lembut. ”Tapi sekali lagi mohon maaf, saya berharap Bapak mau sedikit bersabar, agar tidak berpengaruh buruk pada kesehatan Bapak… Sekali lagi saya mohon maaf…”

Papanya menatapku dengan pandangan yang menyala.

”Terimakasih atas sarannya, Mas… Saya juga takut karena terlalu emosi, berpengaruh pada kesehatan papa saya…” kata Bang Haiqal, lalu menatap Papanya. ”Kita pergi sekarang, Pa…? Haiqal rasa si Raka memang gak tau Pipit ada di mana…”

Papanya mengangguk, lalu beliau berdiri dan melangkah pergi begitu saja.

”Makasih banyak, Mas Raka… Mohon maaf pada kejadian tadi… Kami mohon permisi…” kata Bang Haiqal sambil menjabat tanganku. Bang Haiqal mengedipkan matanya padaku. ”Amaan…” katanya perlahan sambil tertawa pelan.

”Makasih banyak, bang…” bisikku pada Bang Haiqal, benar-benar berterima kasih. Lega sekali rasanya. ”Jagain papa, bang…”

Sambil berjalan mengejar Papanya yang sudah pergi duluan, Bang Haiqal mengangkat jempol, lalu memberi kode untuk menelpon dengan jarinya. Aku mengangguk, sambil mengawasi kalau saja komunikasi diam-diam kami diketahui oleh papanya Pipit.

Dan mereka pun pergi. Segera saja aku dikerubuti teman-teman sekantor yang ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”

Selasa, 17 Desember 2013, 19.30 WIB.

Saat makan malam, aku menceritakan semua kejadian yang aku alami saat di kantor kepada Pipit. Pipit terdiam, terlihat sekali wajahnya sangat berduka.

Aku bisa merasakan kesedihannya. Pipit selama ini memang sangat dekat dengan papanya.

Aku hanya bisa menghiburnya, meyakinkan Pipit bahwa ada Bang Haiqal yang akan selalu menjaga papanya. Pipit agak terhibur walau masih terlihat gurat duka di wajahnya.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Kamis, 19 Desember 2013, 16.30 WIB.

Sejak pagi ini aku sudah bersama dengan Pipit. Sejak pagi aku sudah menjemput Pipit di Pondok Annisa, dengan mengemudikan Civic milik Didit aku membawa Pipit jalan-jalan. Hari itu aku sengaja tidak masuk kantor, dan seharian kami keliling kota, bahkan sampai jauh ke pantai Elty di Kalianda.

Karena hari ini, adalah hari yang khusus. Seharusnya, Pipit hari ini menikah dengan Bram.

Aku berusaha mengurangi beban pikirannya, dengan membawanya jalan-jalan. Cukup sukses, Pipit tampak ceria hari ini. Walau tampak jelas dia berusaha tidak memikirkan masalah yang sedang dihadapinya.

Sementara hanya ini yang aku bisa, aku hanya diminta menjaganya. Seandainya Pipit kabur dari rumah ini dengan tujuan untuk kawin lari denganku, pasti akan lebih banyak hal yang bisa aku perbuat untuk Pipit.

Kami sampai di Pondok Annisa menjelang maghrib. Saat masih ngobrol dengan Pipit di ruang tamu, Bang Haiqal menelponku. Aku aktifkan loudspeaker agar Pipit juga bisa mendengarkan.

”Ka, abang sekarang sudah di Palembang lagi, tadi pagi sampai…” kata Bang Haiqal. ”dan tadi siang sudah ada pertemuan dengan keluarga Bram, akhirnya secara resmi pernikahan Pipit dan Bram sudah dibatalkan.”

”Lalu kondisi papa gimana bang..? ” tanyaku.

”Kalo kesehatannya, beliau baik-baik saja. Memang sih, masih marah-marah terus. Ini aja abang tinggalin, abang pusing juga mendengar dia ngoceh terus.” kata Bang Haiqal lagi.

”Syukurlah kalo begitu, bang… Pipit bersyukur Papa sehat-sehat saja…” kata Pipit menimpali.

”Iya, dek…” sahut Bang Haiqal. ”Sekarang abang tinggal mikirin bagaimana caranya supaya kamu bisa pulang… Kan gak mungkin kamu ngabur terus, bikin repot keluarga disini dan disana kamu bikin repot Raka…”

”Iya bang, itu yang masih jadi ganjalan buat Pipit…” keluh Pipit. ”Mana Pipit belum tau gimana caranya supaya bisa pulang, supaya papa gak sampai marah ama Pipit…”

”Begini, kalo kamu dan Raka setuju, abang punya rencana…” kata Bang Haiqal bersemangat.

”Rencananya begini…..”


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Jumat, 28 Desember 2013, 18.30 WIB.

”Assalamualaikum, bang…”

”Waalaikumussalam… Raka, apa kabar…?”

”Alhamdulillah baik, bang…” jawabku. ”Bang, saya dapat kabar Pipit ada dimana, dan setelah saya cek langsung, memang benar ada disitu…”

”Oh ya…? Trus gimana, ceritakan sama abang, kebeneran abang sedang sama papa dan mama nih…” terdengar suara latar orang ribut bertanya di belakang Bang Haiqal.

”Saya kan menghubungi semua teman Pipit yang saya tahu, kebetulan ada seorang teman saya adalah sepupu dari temannya Pipit ini…” jawabku lagi.

”Raka, ini Papa, nak…” terdengar suara Papanya di telpon, aku sampai terkejut. Suara beliau terdengar ramah walau tak bisa menyembunyikan nada khawatirnya. ”Gimana ceritanya…? Kamu sudah menemukan Pipit…?”

”Begini, pak… Saya kan menghubungi semua teman Pipit yang saya tahu, kebetulan ada seorang teman saya adalah sepupu dari temannya Pipit ini…”kataku mengulang penjelasanku. ”Rupanya, selama ini Pipit berada di rumah sepupunya itu, di Jakarta. Ini Raka sudah di Jakarta, mengawasi dari depan rumahnya. Pipit benar ada disini, Pak… Tadi Raka sudah melihat Pipit baru pulang dari sholat maghrib di masjid. Jika Bapak izinkan, saya akan menemui Pipit di rumah itu sekarang…”

”Alhamdulillah…” suara papanya terdengar lega. ”Temui Pipit, nak… Papa mohon tolong kamu temui dia… Bujuk dia pulang… Kalo bisa tolong nanti tolong telpon Papa lagi, biar Papa bicara dengan Pipit…”

”Baik, pak…” jawabku lagi. ”Tolong doakan agar Pipit mau menemui saya nanti, Pak…”

”Iya… iya… pasti… Papa berdoa semoga Pipit bisa kamu bujuk… Tolong bicara baik-baik padanya, ya… Bilang sama dia Papa yang bersalah, mintakan maaf Papa padanya… Sampaikan juga bahwa Papa yang meminta kamu mencari dia… Ajak dia pulang…, supaya Papa bisa ngomong sama dia, Papa akan turuti semua maunya Pipit, Papa gak akan memaksanya lagi…”

”Iya, Pak… Kalo begitu, sekarang saya akan menemui Pipit dulu…” jawabku pelan. ”Mohon dibantu doa ya, Pak…”

”Iya.. iya…. Segera kabari Papa, ya…”

”Baik, pak… Assalamualaikum…”

”Waalaikumussalam…”

Percakapan telepon itu aku tutup, lalu aku menatap Pipit yang duduk di sebelahku. Matanya tampak berkaca-kaca, sudah hampir tak mampu menahan tangis.

”Papa…. hikz…” isaknya lirih. ”Pipit gak nyangka Papa bisa berubah begitu, Ka…”

Aku menghela nafas, tak mampu berkata apa-apa lagi.

”Sudaaah… Jangan cengeng gitu, ah… Sekarang siap-siap, sebentar lagi telpon Papa kamu… Minta ampun sama beliau….” kata Anne.

Saat itu kami memang berada di rumah Anne, di daerah Puri Kembangan Jakarta Barat, duduk berempat bersama suami Anne. Ini memang bagian dari rencana yang disusun Bang Haiqal, dan kami bersyukur Anne dan suaminya berkenan membantu menjalankan rencana ini.

Kami menunggu hingga satu jam lamanya, sebelum aku menelpon bang Haiqal kembali. Kembali loudspeaker aku nyalakan agar semua yang hadir dapat mendengarkan percakapanku.

”Assalamualaikum…” sapa bang Haiqal saat mengangkat panggilanku.

”Waalaikumussalam… Bang, ini Raka sudah bertemu dengan Pipit…” jawabku.

”Gimana… Gimana…?” kata bang Haiqal cepat, seakan tak sabar ingin tahu bagaimana kabar adiknya. ”Pipit mau kan diajak pulang…”

”Itu dia masalahnya, bang… Pipit masih belum mau di ajak pulang…”

”Raka, ini Papa, nak… Kamu berhasil membujuk Pipit…?” Papanya Pipit langsung mengambil alih pembicaraan.

”Maaf pak, Pipit bersikeras belum mau pulang….” Kataku dengan nada suara dibuat lemas. ”Saya sudah berusaha membujuknya, tapi dia ngotot. Setelah saya tanya, alasannya gak akan pulang karena dia gak mau dinikahkan dengan Bram…”

”Mana, serahkan hapenya pada Pipit. Biar Papa yang bicara langsung padanya…” kata papanya cepat.
Aku menoleh menatap Pipit, dan mendapatkan isyarat anggukan kepalanya.

”Sebentar, pak… Saya cari lagi dia ke dalam… Ini saya menelpon dari luar rumahnya…” jawabku. ”Sebenarnya tadi saya sudah di usir oleh Pipit, Pak… Semoga dia mau menemui saya lagi…”

”Iya… Tolong kamu usahakannya… Papa benar-benar ingin bicara dengannya…”

”Baik, pak… Saya tutup dulu teleponnya, nanti akan saya telpon lagi…” kataku, kemudian aku menutup telepon itu.

”Nah, Pit… Sekarang teleponlah papa kamu… Jangan terlalu keras padanya…” kata Anne. ”Bagaimana pun, apa yang beliau lakukan niatnya adalah untuk kebahagiaa kamu. Kamu juga harus selalu berbaik sangka pada beliau, walau pun keinginan kamu dengan beliau berbeda, tapi yakinlah… kebahagiaanmu adalah yang terpenting buat beliau.…”

Pipit hanya bisa mengangguk. Aku menatap Pipit, mencoba memberikan kekuatan pada hatinya.

Lima menit kemudian, aku menelpon kembali.

”Assalamualaikum…” suara papanya langsung terdengar.

”Waalaikumussalam, papa…” kata Pipit pelan.

”Pipit… Ya ampun, nak… Kamu sekarang dimana…? Sehat kan…? Kamu baik-baik saja, kan….?” Kata papanya bertubi-tubi begitu mendengar suara Pipit.

”Alhamdulillah sehat, Pa… Pipit di Jakarta… Di rumah Anne…” jawab Pipit, kini dia berusaha menahan tangisnya.

”Syukurlah…, Papa khawatir sekali padamu…” kata papanya lagi. ”Pulanglah, nak… Papa sengsara sekali saat kamu pergi, setengah mati Papa mencarimu kemana-mana….”

Tangis Pipit meledak begitu mendengar perkataan papanya. Kami semua terdiam, terbawa haru oleh suasana ini.

”Papa minta maaf padamu, ampuni Papa… Mungkin Papa terlalu memaksakan kehendak Papa padamu… Tapi sekarang Papa sadar, kamu yang akan menjalani, maka seharusnya semua keputusan itu ada pada kamu, Papa hanya bisa merestuinya saja…”

Pipit semakin terisak. ”Pipit juga minta maaf sama Papa…”

”Pipit segera pulang ya, kasihani Papa dan Mama, kami semua sangat khawatir karena tak tahu bagaimana keadaanmu…”

”Pipit mau pulang, Pa… Tapi Pipit gak mau menikah dengan Bram… Setelah kejadian ribut dengan Raka kemarin, Bram menunjukkan sifat aslinya… Pipit gak suka… Bukan seperti itu suami idaman Pipit…”

”Sudah, jangan kamu pikirkan hal itu. Papa sudah mengerti semuanya. Yang paling penting buat Papa adalah kebahagiaanmu… Jika memang itu sudah keputusanmu, maka tenang saja, nak… Pernikahan kalian sudah Papa batalkan…. Mau seperti apa pun bagusnya menantu yang akan Papa dapatkan, tak akan ada gunanya bila anak papa malah tidak bahagia….”

”Papa sudah tidak peduli bagaimana tanggapan keluarga Bram… Bahkan jika nanti kamu pulang nanti mereka masih berusaha untuk mengusahakan pernikahan kalian lagi, jika kamu tidak mau maka Papa pun tidak akan mau. Papa akan mendukung semua keputusan kamu, nak…” kata Papanya lagi. ”Yang penting, kamu jangan tinggalin Papa lagi. Papa benar-benar tak mampu menahan kesedihan saat kamu pergi…”

Pipit semakin sedih. Tangisnya semakin menjadi.

”Pulanglah segera ya, nak… Papa kangen banget sama kamu…” kata papanya perlahan.

”Iya, Paa… Pipit besok segera pulang… Pipit besok pulang, Pa…” jawab Pipit dengan seluruh ledakan emosinya, airmata berlinang di pipinya.

”Terimakasih, nak… Papa sekarang bahagia sekali… Papa tunggu kedatanganmu besok ya…” suara papanya kini terdengar serak, beliau pun tak mampu menahan rasa haru.

”Iya, Pa… Maafkan Pipit ya, pa… Ampuni Pipit… Pipit juga sudah gak sabar ingin bersujud mohon ampun pada Papa…”

”Desiii… pulang ya, naakkk….” Terdengar suara mamanya yang menangis.

”Iya, Maa… Desi akan segera pulang besok… Desi kangen sama Mama….” Pipit menangis lagi begitu mendengar suara mamanya.

”Nak, mana Raka…? Papa mau bicara sama dia…” kata papanya lagi.

Pipit menoleh menatapku. Ingin rasanya aku segera mengusap airmata di pipinya. ”Sebentar, Pa… Pipit panggilkan dulu….” Jawab Pipit.

Kami saling menatap sejenak, aku meraih hape yang disodorkan Pipit. Pipit langsung memeluk Anne dan menumpahkan tangisnya di bahu Anne. Anne dengan sabar mengusap punggung sahabatnya itu. Sementara Iskandar, suami Anne, hanya mampu duduk sambil menatap langit-langit rumahnya. Suasananya memang sangat emosional.

”Saya, Pak…” kataku akhirnya pada papanya Pipit.

”Raka, Papa ingin minta tolong sekali lagi padamu…” kata papanya Pipit begitu mendengar suaraku.

”Insya Allah, pak… Sekiranya saya mampu…”

”Jika kamu tidak keberatan, tolong temani Pipit pulang ke Palembang… Tolong antarkan dia sampai kami bertemu kembali dengannya. Papa juga ingin bertemu dengan kamu, ada hal yang ingin Papa bicarakan…”

”Insya Allah saya siap, Pak… Saya akan mengantarkan Pipit ke Palembang, jika Pipit memang mengizinkan…”

”Bilang padanya, ini permohonan Papa…” kata papanya, Pipit sampai menoleh menatapku. ”Papa juga ingin sekali bertemu dengan kamu, Papa ingin minta maaf atas segala sikap buruk Papa selama ini padamu…”

”Baik, pak… Akan saya usahakan…” jawabku perlahan.

”Baiklah… Usahakan besok dapat pesawat biar cepat sampai, ya… Papa sudah tak sabar ingin bertemu dengan kalian…”

”Baik, pak…, nanti bagaimana perkembangannya akan segera saya kabari... ”

”Terimakasih, nak… Papa permisi dulu. Assalamualaikum…”

”Waalaikummussalam, Pak…”

Aku meletakkan hapeku di atas meja. Sejenak aku menatap Iskandar.

”Lo itu aneh, Ka… Beliau sudah menyebut dirinya Papa, lo masiiih aja manggil beliau ”Pak”… ” kata Iskandar sambil cengar cengir.

”Paling sebentar lagi juga manggil Papa itu, Mas…” goda Anne menambahkan, Pipit yang cemberut malu semakin mempererat pelukannya pada Anne dan menyembunyikan wajahnya. Iskandar dan Anne tertawa, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut.

Setelah mendapat persetujuan Pipit, aku dan Iskandar langsung sibuk menelpon sana sini mencari tiket pesawat ke Palembang. Akhirnya kami mendapatkan tiket untuk keberangkatan jam…

Aku segera mengabari bang Haiqal lewat sms tentang jadwal keberangkatan kami ke Palembang besok. Bang Haiqal membalas bahwa dia yang besok akan menjemput kami ke bandara.


“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”


Sabtu, 29 Desember 2013, 11.00 WIB.

Begitu keluar dari gerbang kedatangan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin Palembang, Pipit yang melihat keluarganya yang datang menjemput, langsung berlari dan bersujud di kaki papanya. Papanya langsung mengangkat Pipit dan memeluknya. Aku yang menatap dari jauh hanya bisa terharu, dan meraih travelbag Pipit dan menariknya bersama dengan dengan travelbag milikku, ikut menghampiri mereka.

Ada Papanya, Mamanya, Bang Haiqal, dan dua gadis berkerudung adiknya Pipit yang datang menjemput.
Kita aku sampai di dekat mereka, Pipit sedang memeluk Mamanya, dikerubuti oleh kedua adiknya.

Begitu melihatku, papanya langsung menghampiri dan menepuk pundakku berkali-kali sambil tersenyum.

”Raka….” katanya sambil tersenyum lebar. ”Apa kabar, nak…? Kamu mau kan memaafkan Papa…? Tidak dendam kan pada Papa…?”

”Saya juga mohon maaf, Pak… Saya banyak bikin kesal Bapak…”

”Ha.. ha.. ha… Sudahlah.. Kita lupakan semua yang sudah berlalu… Jadi kita saling memaafkan, kan…?” katanya sambil mengulurkan tangan mengajakku bersalaman. Aku segera mencium tangannya.

”Saling memaafkan, Pak… Lahir dan Bathin…” jawabku sambil tersenyum.

”Wah, lebaran sudah lewat bro…” celetuk bang Haiqal sambil tertawa. Aku segera menghampirinya, dan menyalaminya.

”Apa kabar bang…” salamku.

”Sehaaatt…” jawab bang Haiqal sambil tertawa.

”Makasih banyak, bang…” kataku perlahan, tulus berterimakasih atas seluruh bantuan bang Haiqal.

”Sama-sama, Ka… Abang juga banyak terima kasih karena kamu sudah susah payah menjaga Pipit…” jawab bang Haiqal sambil tersenyum padaku.

Selanjutnya aku menghampiri dan mencium tangan Mamanya Pipit, beliau langsung memelukku dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Kemudian kedua adikknya Pipit juga menyalamiku dan mencium tanganku.

Sungguh, hatiku sangat berbunga-bunga. Pipit yang sedang merangkul Papanya hanya menatapku sambil tersenyum. Kemudian papanya merangkul pundakku, dan membawa kami berdua berjalan dalam rangkulannya.

”Ayo kita pulaaang….” Kata beliau senang sambil tertawa-tawa.

”Wooooyyy… Kopernya…!” Teriak bang Haiqal mengingatkan travelbag kami yang masih tergeletak tak ada yang membawa.

Kami semua tertawa, aku yang akan berbalik mengambil travelbag itu malah semakin diseret Papanya Pipit yang masih merangkulku.

”Ya kamu aja yang bawa, Qal…” kata Mamanya sambil tersenyum, dan disambut dengan gerutuan bang Haiqal.
Bagian 19
Cinta Kan Membawamu Kembali (Disini)



Halaman Keempat(Disini)


Sesampainya di rumah Pipit, ternyata sudah ramai. Saat aku bersalaman dengan mereka semua, bang Haiqal memperkenalkan ada beberapa orang paman dan bibinya, bahkan ada Kakek dan Nenek orangtua papanya Pipit.

Kemudian kami berkumpul di ruang tengah menikmati hidangan khas Palembang… Pempek samo cukonyo yang lemak nian. Kami saling bercengkrama, sesekali bersenda gurau dan tertawa. Suasana yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya, bahkan tak pernah berani aku impikan.

Tapi kini, aku duduk di sebelah bang Haiqal yang bersebalah dengan Papanya. Di sekitar kami berkumpul para pria, para paman beserta sepupunya. Sementara Pipit masih melendot manja pada Mamanya, ditengah kumpulan para wanita.

Tiba-tiba, neneknya Pipit bertanya pada papanya Pipit.

”Gus… Siapo dio budak lanang yang datang besamo kau tadi…” tanya beliau pada papanya Pipit. Rupanya si nenek yang sudah setengah pikun ini belum nyambung siapa aku yang datang bersama rombongan papanya Pipit tadi.

”Ooohh… Uji si Pipit, kawannyo, Mak…” kata papanya Pipit sambil tertawa.

”Calon lakinyo Pipit itu, Nek…” teriak bang Haiqal sambil tertawa. Semua yang hadir pun ribut berkomentar dan menggoda kami.

Pipit yang mendengar itu langsung memeluk Mamanya karena sangat malu, ada firasat akan jadi bahan godaan di tengah keluarganya itu. Sementara aku, langsung menunduk ketakutan… Keringat dingin mulai muncul di wajahku.

”Ooh, calon lakinyo Pipit… Ngapo nenek idak dikasih tau ado acara lamaran… Nenek kiro ini makan-makan bae…” kata si Nenek masih dengan kepolosannya. Si Kakek langsung memarahi nenek yang menurutnya ngomong sembarangan karena membuat aku dan Pipit menjadi malu.

”Budak ini lah ado melamar Pipit ke aku, Mak…” kata papanya Pipit yang langsung membuat aku dan Pipit terkejut. Bahkan semua yang hadir pun terkejut dan terdiam.

Aku teringat, saat dulu mencari Pipit ke rumahnya di Lampung dan bertemu dengan papanya, saat aku mengutarakan niatku untuk menikahi Pipit dan saat itu langsung ditertawaikan dan ditolak mentah-mentah dengan makian oleh papanya.

Aku semakin basah oleh keringat dingin…

”Terus cak mano kelanjutannyo….?” tanya si nenek pada papanya Pipit.

”Yaaaa…. Idak tahu lagi aku…” kata papanya Pipit sambil tertawa menatapku. ”Kalo dio ado nyali bawa keluargonyo kemari, pacaklah kito sambut kagek….”

Aku terkejut, Pipit pun terkejut.

”Pit, kalo keluarganya Raka mau melamar kamu kemari, kamu mau menerima lamarannya gak…” goda bang Haiqal sambil tertawa cengengesan. Pipit langsung menghambur memeluk Mamanya sambil menyembunyikan wajahnya yang langsung merah karena menahan malu.

”Nyaahahahahaha…..” si Nenek langsung tertawa melihat tingkah Pipit. ”Lah udem… Lah galak dio itu…”

Kakeknya langsung menunjukku tepat di wajah. ”Nah, bujang… Kapan kau nak ngelamar si Pipit…?”

Aku kebingungan mendapat pertanyaan begitu. Aku menoleh menatap papanya Pipit. Beliau hanya tersenyum lebar, menatapku sambil mengangkat wajah menantangku.

”Kapan kira-kira keluargamu bisa kemari…? Papa sudah tidak sabar, kita segera saja resmikan hubungan ini…” kata beliau sambil tertawa lebar, lalu menoleh pada Pipit.

”Pit, menurutmu kapan sebaiknya keluarga Raka datang kesini…?”

Pipit yang masih bersembunyi di ketiak mamanya hanya bisa menggeleng tanpa berani menunjukkan wajahnya.

”Gak tauuu….” Katanya setengah menjerit.

Seisi rumah langsung tertawa.

”Tapi kamu setuju, kan… Kalo keluarga Raka datang melamar kamu…?” tanya papanya lagi.

”Gak tauuuuuuuuu….” Kata Pipit sampai menjerit. ”Mamaaaaaaaa…….” Pipit memeluk mamanya dan menangis, dia sungguh merasa malu.

Seisi rumah langsung riuh tertawa. Hanya aku dan Pipit yang tidak.
Ngenes.
Dikerjai di depan orang rame.
Tapi hatiku berbunga-bunga penuh bahagia.

Bang Haiqal yang berada disebelahku, langsung menepuk punggungku. Aku menoleh menatapnya yang sedang tersenyum padaku.

”Jagain adek gue…” katanya sambil menyeringai lebar. Aku hanya bisa balas dengan anggukan kepala.

”Sukses besar nih, rencana kita….” bisiknya pelan, sambil mengangkat alis matanya kemudian tertawa pelan. Aku hanya bisa menepuk lututnya yang bersila di sebelahku.

”Makasih banyak, bang…”




“«~๑ஜ★۞★ஜ๑~db~๑ஜ★۞★ஜ๑~»”




Minggu, 19 Januari 2014, 22.30 WIB.

”Saya terima nikahnya Desri Savitri Tresnanursari binti T. Agus Ilham dengan mas kawin tersebut di bayar Tunai…”

”Bagaimana, saksi…? Syah…?”

”Syaaaah…..”

Aku dan Pipit berbaring di ranjang pengantin kami, menatap android yang berisi rekaman video prosesi akad nikah kami.

Pipit rupanya sudah tertidur dalam dekapanku. Acara walimahan sederhana yang dilaksanakan sejak tadi pagi memang menguras tenaga kami.

Aku menatap pengantinku, wajahnya yang begitu cantik terlelap dalam damai di dekapanku.

Terbayang betapa keras perjuanganku mendapatkannya, berbagai rintangan yang harus aku lalui.

Lalu kemudian semua bergerak begitu cepat, hanya berselang tiga minggu sejak mengantarkan Pipit pulang ke Palembang, aku ngebut mengurus semua proses persiapan pernikahan, mulai dari lamaran sampai akhirnya tadi pagi akad nikah dan langsung acara syukuran pernikahan kami.

Sederhana saja, seperti maunya Pipit.

Seluruh sahabat dan sanak saudara kami berkenan hadir pada acara itu. Sungguh kebahagiaan bagi kami berdua. Mulai dari Yoyok, Didit, Fredy, Bagas, Ucup, Zaldi, Bambang, Bang Nizam, Ocha, Anne dan Iskandar, semua hadir. Bahkan seluruh teman sekantorku di Metro juga hadir semua, termasuk Ria tentunya. Belum lagi seluruh teman kantornya Pipit, bahkan Bram pun hadir dan memberikan selamat pada kami dengan sikapnya yang gentleman.

Aku dan Pipit sangat berbahagia hari ini.

Kini, dalam pelukanku, berbaring pengantinku yang terlelap dalam damai.
Seulas senyum cantik menghiasi wajahnya.
Aku tak pernah merasa bosan menatapnya, ingin rasanya selalu menceritakan betapa bahagianya aku saat ini.

Pipit kini telah syah menjadi istriku.

Aku mengecup keningnya lembut. Pipit menggeliat dan semakin erat memelukku.

Terimakasih, Tuhan… Engkau telah membuatku menjadi lelaki yang paling berbahagia di dunia saat ini.
Juga menjadikan aku lelaki yang paling beruntung…

Aku memeluk Pipit, dan mulai memejamkan mataku.
Tak henti-hentinya dalam hatiku mengucap syukur.

Lalu aku mulai terlelap sambil memeluk istriku, cinta sejatiku.


T A M A T
 
 
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar