Senin, 14 Desember 2015

Hope

PROLOG

Seakan tak ada tanah untuk dipijak, tak ada udara untuk dihirup.
Nyawa, entah apa yang masih menahannya melekat pada tubuhnya. Secercah harapankah? Sayangnya bukan itu yang terbesit dalam pikirannya saat ini.

Matahari terik mempertontonkan kegagahannya menyinari jalan-jalan diantara tingginya gedung yang menjulang. Tembok abu-abu pekat itu kini menggantikan rimbunnya pepohonan hijau yang “dulu” sempat ada di tanah ini. Rerumputan telah berganti menjadi aspal hitam sejauh mata memandang.

Yah… apa mau dikata. Kota ini sudah dikuasai oleh orang-orang ‘berkantung tebal’. Entah sampai kapan mereka akan puas menyingkirkan warna hijau dari tempat yang dulunya dikenal sebagai lembah yang subur itu.

Sungai yang mengalir beriak, kini telah berubah menjadi kubangan hitam tak mengalir.

Ironis memang, perubahan besar itu diperuntukkan demi kenyamanan penduduk kota yang bergelimang harta. Namun, apa nyamannya hidup dengan pemandangan abu-abu setiap kali kau mengejapkan mata?.

Tomi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ia duduk di bawah naungan bayang-bayang jembatan penyebrangan. Kepada siapa ia bisa mengeluh? Ia hanya seorang rakyat jelata dimata para konglomerat itu.

Angin bertiup, menerbangkan debu pekat kearah orang-orang yang berlalu lalang. Hanya sedikit dari mereka yang tak mengenakan menutup hidung dan mulut berwarna putih. Yah…. Tomi adalah salah satu dari sedikit orang tersebut.

Tomi masih menikmati sepotong roti yang digenggamnya, sekalipun debu yang berterbangan itu tak sedikit yang hinggap pada roti itu.

Tak ada bedanya, pikirnya. Toh ia mendapatkan roti itu dengan memungutnya dari tempat sampah. Well… kamu gak salah baca kok. Tomi memang memungut roti yang dibuang oleh seorang anak ke tempat sampah di samping tempatnya duduk.

Sorot mata penuh rasa jijik tak hentinya memandang Tomi. Pemuda setinggi 180cm itu benar-benar kumal. Yang ia kenakan dibadannya hampir tak dapat disebut sebagai sebuah pakaian. Kaus putih itu telah terkena banyak sekali noda sehingga warnanya berubah menjadi cokelat tua keabu-abuan.

Mungkin hanya nasib yang bisa menjawab. Mengapa seorang sarjana teknik seperti dirinya harus berkubang pada hidup yang serba kekurangan. Hanya sebuah telepon selulerlah harta satu-satunya. Ia tak punya uang sepeserpun, tak punya tempat berteduh, tak punya arah tujuan, tak punya teman… yah setidaknya sampai dua bulan yang lalu.


*Two months ago…

Matahari sudah kembali ke peraduannya tiga jam lalu. Kini udara dingin malam sudah merebak. Kegelapan menyelimuti langit malam yang bertabur bintang.
Malam itu sungguh cerah, dengan bulan sabit yang bersinar temaram.

Sesosok pemuda sedang menghisap rokok dipelataran sebuah mall. Ia sendirian, hanya berteman telepon seluler yang sedari tadi digenggamnya.

“Tom… makan malem dulu yuk sebelum pulang” seorang gadis berparas cantik itu menyapa Tomi dengan akrab ketika ia melangkah mendekati pemuda itu.

“telat lu… gue uda makan tadi sama Soni...”jawabnya.
“hmm…. Awas tu anak. Mentang-mentang gw telat sebentar udah ditinggal makan. Ayo dong… temenin gue makan…”
“yaudah.. tapi gw gak makan, cuma nemenin lu doang…”
“hehehe….. yawdah gapapa..”

Gadis ceria itu melambaikan tangannya. Tak lama seorang pelayan restoran menghampiri mereka dan menyerahkan selembar kertas beserta alat tulis.
Gadis itu menandai beberapa menu yang ada di secarik kertas itu kemudian menyerahkannya kembali kepada sang pelayan.

“si Soni kemana?” tanya gadis itu.
“uda pulang, tadi cewenya bbm… paling-paling ngajakin check-in”
“hooooo….. emang dasar muka mesum tu anak… dikasi lobang sedikit aja langsung di samber”
“lha…. Namanya juga Soni… kalo gak begitu namanya berubah jadi Sonia”

Gadis itu tertawa kecil.

“kirain lu ikut sama dia Tom….”
“ngapain? Mau ikutan threesome sama cewe cablak itu? Idih… sorry”
“emang ga cape nungguin gue?”
“ya cape lah…. Tapi ya masa mau ditinggal… ntar lu pulang naek apaan?”
“uhhh so sweet…. Kirain tega ninggalin gue…”

“kata siapa ga tega…” bantah Tomi.
“ohh jadi lu tega? Jahat banget si…….”
“hehehh… asal ada imbalannya…..”
“dasar omes….. iya-iya… ngerti gue….”

Setengah jam berlalu, sebuah piring makan datar berwarna putih tergeletak di meja. Gadis itu menyisakan beberapa potong kentang goreng yang tak dimakannya.
Mereka bangkit dan mengambil barang bawaan masing-masing.
Berjalan ke arah lahan parkir mobil, gadis itu menggandeng tangan Tomi bak seorang pasangan yang dimabuk cinta.

Sayangnya cinta sama sekali tak terbesit dalam pikiran mereka. Yang ada hanya nafsu yang memburu. Hanya birahi yang memuncak. Efek dari hormon libido yang telah bergejolak dalam nadi mereka.

Mobil BMW silver itu melaju. Menembus kemacetan yang nyaris tak terurai. Dua orang polisi “cepek” berteriak bersahutan, membukakan jalan bagi siapapun yang memberi mereka selembar uang.

Tak terkecuali Tomi. Ia membuka sedikit jendela mobil yang ia kendarai dan menyerahkan selembar uang kertas berwarna hijau kepada mereka agar ia dapat lepas dari jerat kemacetan itu.

Tak lama mobil yang ia pacu telah menggulirkan rodanya di jalan bebas hambatan.
“Des… ayo dong dimulai shownya….”
“sekarang… ihh ga sabaran banget si say…..”

Dalam kabin mobil tertutup itu, gadis bernama Desi mulai merubah posisi duduknya.
Bangku kedua di bagian depan itu ia mundurkan beberapa senti untuk memperluas ruang geraknya.

Lalu ia mulai membuka kancing kemejanya satu persatu.
“kalo disini kan ga bisa full job say….” Ujar Desi.
“yah…. Pemanasan dulu gapapa lah….”

Kemeja oranye itu telah terbuka sepenuhnya, namun Desi tak melepaskan semuanya. Hanya memperlihatkan dua buah payudara besar yang mengacung seakan menantang.

Tomi menjulurkan tangan kirinya menggapai kedua bongkahan daging kenyal itu dan mulai merabanya.

“remes dikit dong say…. Biar tambah enak nih…”

Sorot mata Tomi tetap terpaku lurus kedepan, namun jemari tangannya telah menyelusup dibalik bra berenda yang dikenakan oleh Desi.

Mobil itu kini melaju pelan di lajur paling kiri. Dua ratus meter di depannya terlihat sebuah truk kontainer juga berjalan sama pelannya.

“mmmhhh…. Toket lu makin lama kok makin gede Des….” Ucap Tomi seraya memainkan puting yang telah mengeras itu.

Deru nafas Desi masih teratur. Ia hanya tersenyum sambil memejamkan mata. Menikmati tiap detik rangsangan yang ia rasakan pada payudaranya.

Jemari gadis itu kini meraba selangkangan Tomi. Berusaha membebaskan penis yang mulai mengeras itu dari belenggu celana jeans berwarna biru tua yang Tomi kenakan.
Penis itu kini berdiri bebas.

“ayo Des... udah siap di kenyot nih kontol gua....”

Gadis itu menarik sabuk pengaman yang ia kenakan agar dapat mencondongkan tubuhnya mendekati penis Tomi yang sudah mengacung tegak.

“Sssslluuurrrp....”
Sapuan lidah itu mendarat di kepala penis Tomi.

Seketika itu Tomi merasakan darah yang mengalir di kepalanya mulai menghangat.
Jilatan dan kuluman itu kini berubah menjadi sedotan kuat.

Kepala gadis itu bergerak naik turun. Melayani gejolak birahi Tomi yang tersalur pada sebatang tugu keperkasaannya yang tegak menantang.

Payudara ranum yang menggantung itu berayun seirama dengan gerakan gadis itu mengulum penis Tomi. Rabaan jemari Tomi pada payudara itu kini berubah menjadi remasan kuat.

Sesekali ia mencubit dan menarik puting yang mengeras itu kuat-kuat. Menyebabkan terdengarnya gumaman dan desahan sang gadis di sela-sela bibirnya.

“mmmpphhh.... Tom..... Remes yang kuat sayang..... toket gue udah lama gak di peres-peres...”
Gadis itu melepaskan kuluman pada penis Tomi. Digantikan dengan jemari tangannya yang dengan lincah mengocok penis yang telah berlumuran liur itu.

Jemari tangan yang lainnya kini bergesekan dengan organ intimnya sendiri. Ia tak ingin kehilangan momen ketika libidonya juga semakin meninggi.

“di isep lagi dong Des... kurang enak nih kalo cuma dikocokin....”
Gadis itu segera mencondongkan kembali tubuhnya kearah Tomi. Ia mulai melahap penis yang mengacung tegak itu.

“mmhhh...Ahhhhh... gila enak banget seponganlu des.....”
“mmmm....slurp...slurpppp......” gadis itu hanya bergumam.

Kuluman dan hisapan itu menjalar dari batang penis kini sampai di testisnya.
“Anjjriiiittt...... enak gilaaa......”

Jemari Tomi hampir tak kuasa menggenggam kemudi. Mobil itu kini ia hentikan di bahu jalan tol yang sudah mulai sepi.

Jok mobilnya kini ia rebahkan sepenuhnya.
Dengan sebelah tangan ia menarik gadis itu untuk merebah di atasnya.

Desah nafas keduanya sudah memburu. Mereka berpagutan. Lidah mereka saling menyapu.
Gadis itu menghisap lidah Tomi dengan rakus sementara jemari Tomi kini meremas bongkahan pantatnya. Rok pendek yang dikenakan gadis itu kini tak mampu menutupi bagian intimnya ketika Tomi menyibakkannya ke arah pinggang gadis itu.

Yang tersisa hanya selembar celana dalam tipis yang sudah basah oleh cairan kewanitaanya.
“mmmmhh... Tom..... isepin toket gue Tom.... Ahhh.....”

Gadis itu merangkak naik. Meletakkan kedua payudaranya yang sintal di wajah Tomi. Dengan sebelah tangan ia mengarahkan puting payudaranya kearah bibir Tomi.

“Aaaaaaaaaaaahhhhhh....Tom....Ahahhhhhh...aahh.... ”
Ia melenguh ketika Tomi mulai menikmati putingnya yang berwarna kemerahan.

Lidah Tomi kini berdansa bersama tonjolan yang mengeras itu. sesekali ia menggigit puting itu yang menyebabkan gadis itu menggeliang tak tentu arah.
Sebelah tangan gadis itu tetap menekan bongkahan payudaranya sementara yang lainnya mencengkeram kepala Tomi. Seakan tak ingin melepaskan kenikmatan yang ia rasakan.

Jemari Tomi dengan kasar menarik celana dalam yang menghalangi penisnya untuk masuk kedalam liang kenikmatan itu.

“bbreeeekkk”
Celana dalam tipis itu robek.

“aaaauuu.... pelan-pelan sayangku.... Ahhhhhhh.....Ahhh...”

Penis yang menegang itu kini mencari-cari pasangannya. Mencari letak lubang kenikmatan yang sudah menjadi miliknya.

Gadis itu mengendurkan pegangannya. Pinggulnya meliuk-liuk, berusaha mengarahkan penis yang telah tegak berdiri itu ke lubang vaginanya.

Tomi tetap menghisap puting itu kuat-kuat sementara gadis itu bergerak meliuk-liuk.
“mmmmhhh.....Tom.... jangan keras-keras sayang....Aaaahhh”

Lengugan pendek itu menjadi pertanda bahwa lubang kenikmatan sudah berada tepat di ujung tombak kejantanan Tomi.
Dengan sekali tekanan kuat, gadis itu menyarangkan penis Tomi kedalam vaginanya.

“mmmmmmmmmmhhhhhhh.......Tom...”
Tomi tak bergeming, membiarkan gadis itu bergerak melayani nafsunya.

“crrrreek...cceeekkk...ceeekk...”
Suara himpitan itu seakan bergema berulang-ulang.

Vagina gadis itu menari dengan liar. Menelan bulat-bulat penis sepanjang 18cm milik Tomi.
“NNNnngghhh....Ahhhhhhhh......gilaaa..... kontollu emang paling enak Tom.....”
“SSssshhhh Aaahhhh.....Aaahh....” Tomi tak kuasa lagi menahan desahan itu ketika penisnya kini dilumat oleh sedotan demi sedotan yang dilancarkan oleh vagina Desi.

“Anjjriiitttt.... enak banget memek lu Des...... keseeettt...Aaaahhh...”
Jemari Tomi kini meremas payudara yang berayun-ayun. Puting berwarna merah muda itu ia putar dengan dua jari, menyebabkan sensasi liar yang tak mungkin ditolak oleh wanita manapun.

“NNngggggghhhh.....Tom... gue mau keluaaaaarrr.......”
Cairan hangat kini terasa membasahi penisnya. Membuat gesekan-gesekan nikmat itu mulai berkurang.

Gadis itu terkulai lemas di atas tubuh Tomi, sementara Tomi kini menggerakkan pinggulnya.
Hujaman penis itu tidak berhenti sampai disitu.

“pp..pelan...pelan To..mm.... gue lemess....Ahhh...Aaaahhh...Aaaahhh....”
Sisa-sisa orgasme membuat kenikmatan yang dirasakan Desi begitu hebat. Ia menggengam wajah Tomi dan mulai melumat bibirnya.

Deru nafas mereka beradu. Air liur mereka sudah menetes di sela-sela bibir mereka yang berpagutan.
“Aaaaa........AaaaAAhhhh..... gua...mau.... keluarrr.....” Penis Tomi sudah berkedut kencang, siap memuntahkan benih-benih cinta itu dalam rahim sang gadis
“Tooommm....gue.....AaaAAAAAaaaaaaaaaahhhhh”

Desi memperoleh orgasmenya sedetik sebelum sperma itu memancar
“Crrrooottt....Crooooott...Crrroooottt......”

Gerakan mereka terhenti. Mereka kini tenggelam dalam kenikmatan orgasme yang panjang.
Penis itu masih menancap dalam. Cairan kental berwarna putih mulai meleleh dari sela-sela bagian intim mereka.

Setelah mengatur nafas, mereka mengatur posisi untuk kembali berjalan.
“Tom.... kapan-kapan lagi ya...... jangan kapok ngentot sama gue....”
“tenang aja tuan puteri..... kontol gue selalu siap melayani....”

Mobil itu kembali melaju. Jemari lembut sang gadis kini mendekap erat tangan Tomi yang memegang persneling.

Deru suara angin terdengar ketika mobil itu melaju meninggalkan jalan tol.
Menuju rumah Desi di pinggiran kota.

Sesampainya di depan rumah Desi, mereka mengakhiri pertemuan itu dengan sebuah ciuman hangat. Tomi menunggu sampai Desi memasuki pintu rumahnya, kemudian ia kembali memacu mobilnya. Tak langsung kembali pulang, ia singgah di sebuah hotel untuk bermalam dan minum-minum di sebuah bar kecil dalam hotel itu.

Perjalanan panjang penuh kenikmatan itu berujung pada kepulangan Tomi ke rumahnya pada pagi hari. Gerbang rumah itu membuka dengan sendirinya tanpa ada seorang pun disana.

Roda mobil itu bergulir menyusuri halaman indah yang tertata rapi. Sebaris semak rimbun berbunga putih seakan menjadi pagar ayu yang menyambut kedatangan tuannya. Batu-batu koral berwarna-warni pucat menjadi tempat berpijak ketika Tomi melangkah keluar dari mobil itu.

Ia mulai melangkah mendekati pintu besar berwarna cokelat natural dengan handle pintu berwarna emas. Sesosok perempuan terlihat ketika pintu besar itu perlahan membuka.

“selamat datang mas Tomi, mau Indah buatkan minuman apa?” tanya perempuan yang bernama indah itu. Ia adalah salah satu dari tiga pembantu yang melayani keluarga Sudrajat.

“Ahh ngak usah mbak... nanti kalo saya haus biar saya ambil sendiri..”
“baik kalau begitu mas... kalau perlu apa-apa mas panggil aja”

Tomi hanya mengangguk dua kali, ia segera melangkah menuju lantai kedua di rumah itu.
Dirumah mewah nan megah itu, Tomi tinggal bersama saudarinya Naya, Ayahnya, dan seorang ibu tiri.

Keluarga Sudrajat memang bisa disebut sebagai keluarga yang serba berkecukupan, namun limpahan materi tidak menjadi jaminan akan sebuah kebahagiaan. Yahh... setidaknya sampai dua tahun lalu keluarga itu masih dapat mengecap apa yang disebut dengan kebahagiaan.

Walaupun dalam keadaan ibu Tomi yang sakit keras, namun keluarga itu benar-benar mampu menghadirkan suasana utuh sebuah keluarga. Mereka saling membantu, berbagi, dan mengerti satu sama lain.

Namun saat kepergian ibundanya tercinta, keluarga Sudrajat bagai sebuah kapal yang kehilangan nahkodanya. Naya mulai hanyut dalam gemerlapnya dunia malam, tak ubahnya dengan Tomi yang hanya menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya. Ia memang tak mempunyai aktivitas rutin semejak hari dimana ia mengenakan topi wisuda yang kini tergantung di dinding kamarnya itu.

Sementara sang ayah, semenjak kepergian separuh nafasnya. Ia menjadi pribadi yang menyendiri. Ia banyak menghabiskan waktu menyibukkan diri dengan pekerjaan yang seharusnya dapat ia percayakan kepada pada staffnya.

Ayah Tomi adalah seorang pengusaha ternama yang memiliki banyak sekali perusahaan, baik besar maupun kecil. Usahanya yang sedang maju pesat saat ini adalah perusahaan importir alat telekomunikasi.

Empat bulan berselang, ayah Tomi tampak tak sanggup lagi menghadapi kesendiriannya. Ia memutuskan menikah dengan seorang wanita yang tak lain adalah sekertaris pribadinya.

Namun, ia membuat keputusan yang salah.

Tomi sedang berjalan menyusuri koridor yang dihiasi dengan banyak lukisan serta foto-foto keluarganya. Sesaat terbesit kenangan tentang masa-masa indah. Ketika ia bisa tertawa, bercanda, dan bercengkerama dengan ayah, ibu, serta kakaknya.

Khayalan sesaat itu kini tercerai-berai ketika takdir menuntunnya untuk mendengar apa yang dikatakan oleh seseorang di dalam kamar ayahnya.

Veni, ibu tirinya sedang bercengkerama dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Sesaat ia mengira bahwa ibu tirinya itu sedang berbicara dengan ayahandanya. Kata-kata itu begitu lembut terdengar. Romantis dengan canda tawa nakal yang tidak asing lagi di dengar oleh telinganya.

“ihh.... mas nakal ahh.... kan semalem udah di kasih....”
Suara itu terdengar sayup-sayup, terhalang oleh tebalnya daun pintu cokelat tua yang terbuat dari kayu jati.

Tomi menempelkan telinganya lekat-lekat, berusaha menangkap apa yang dibicarakan.
Tidak umum memang, jika seorang anak memata-matai anggota keluarganya. Namun jika ibu tiri tersebut bersikap layaknya ibu tiri dalam dongeng ‘cinderella’ apa yang bisa menahan gejolak keinginan itu.

Ibu tiri Tomi bagai bermuka dua. Jika ayahandanya sedang ada di rumah, sikapnya berubah bak seorang dewi pelindung keluarga. Namun ketika ayahnya sedang tak ada disana, dewi pelindung itu seakan bagai siluman.

Kata-kata cacian sudah tak terhitung yang terlontar dari bibirnya yang berkilat. Bukan hanya Tomi yang mengalami nasib seperti itu. Naya, kakaknya semata wayang juga tak luput dari caci maki iblis betina itu. Namun mereka memutuskan untuk tidak mengatakan apapun kepada ayah mereka. Pertimbangan akan kebahagiaan sang ayah menjadi satu-satunya alasan mengapa hal tersebut masih mereka tutupi.

“iya-iya..... nanti deh aku kesana, suamiku lagi gak pulang juga kok... udah gatel nih pengen ngerasain yang enak-enak...”

‘huh.... pelacur itu mulai lagi’ pikir Tomi.
Bukan sekali atau dua kali ia memergoki ibunya diantar pulang oleh lelaki tak dikenal. Ia pernah bercerita kepada ayahnya satu kali. Yang lebih mengejutkan dirinya saat itu adalah kenyataan bahwa ayahnya mengenal sang lelaki itu.
Lelaki yang mengantar ibu tirinya itu adalah partner bisnis sang ayah. Ayahnya mengatakan bahwa kepergian ibunya dengan temannya adalah untuk melobby hubungan kerjasama yang terjalin antara kedua perusahaan itu.

Tentu saja Tomi tak percaya begitu saja. ‘alasan klasik’ begitu pikirnya.
‘liat aja nanti, bakal gua bongkar kebusukan iblis betina itu’ umpat Tomi dalam hati.

“terus rencara kita gimana mas? Jadi nyingkirin dia?”
Jantung Tomi berdegub cepat. Dentuman itu bergema sampai ke telinganya, menyulitkan ia mendengarkan percakapan selanjutnya.

“ya terserah mas lah... aku sih ikut aja... ntar aku kabarin tanggalnya...”
‘apa yang si bangsat itu rencanain... anjing... awas aja kalo sampai ada apa-apa sama bokap gua...’ debar jantungnya semakin kencang. Amarahnya mulai memuncak.

Terdengar langkah kaki mendekati pintu.
Tomi cepat-cepat berpaling tanpa suara untuk menjauh. Ia segera memasuki kamarnya. Pintunya sengaja tidak ia tutup rapat-rapat.

Ia mulai mengintip pada celah kecil yang dibuatnya.
Tampak ibu tirinya sedang berjalan melalui koridor menuju tangga. Sebuah tas putih kecil ia sandang di lengan kanannya.

‘mau kemana si bangsat itu...’
Ketika ibu tirinya menghilang dari pandangan ia segera mengawasi keluar jendelanya.

Sebuah mobil mercedes-benz silver terparkir di sebelah mobilnya. Ibu tirinya mendekati mobil itu.

Lampu sign mobil itu berkedip sekali sambil mengeluarkan bunyi klakson yang terdengar khas. Rupanya ibu tirinya itu akan pergi.

‘harus gimana ini, kalo bener ayah mau di celakain, gua harus bertindak’ ucap Tomi dalam hati. Ia segera meraih telepon selulernya dan menghubungi Naya yang memang sudah tiga hari tidak pulang kerumah.

Naya kakak kandung Tomi sudah pergi tiga hari lalu. Selepas pertengkaran hebat dengan ibu tirinya ia segera pergi mengendarai mobilnya dan tidak kembali lagi.

Namun Tomi tau, kakaknya kini tinggal di sebuah hotel ditemani oleh pacarnya. Ia tak terlalu khawatir akan itu. Setidaknya ia tau Naya berada di tempat yang aman.

‘tuuuttt..... tuuuuttt”
Nada panggil itu terdengar dari lubang kecil yang di tempelkan pada telinganya.

“halooo...”
“halo kak..... ada berita serius... aku mau kesana sekarang...”
“ada apa emangnya? Si brengsek itu ngapain lagi...??”
“udah ntar aja ceritanya, aku kesana sekarang...”

Tanpa menunggu jawaban dari kakaknya, Tomi segera menutup telepon dan bergegas memacu mobilnya.

Kini ia sampai di sebuah hotel mewah, deretan mobil-mobil yang diparkir itu seakan bagai labirin ketika ia mencari celah untuk memarkirkan mobilnnya.

Akhirnya ia menemukan tempat di sebelah mobil sedan berwarna merah.
Ia melangkah keluar dari mobilnya dengan perasaan yang tak karuan. Ia berharap dapat sedikit meluapkan emosinya dengan berbicara dengan kakaknya.

Koridor hotel itu dihiasi dengan karpet berwarna merah maroon. Ia segera menyusuri pintu demi pintu mencari kamar kakaknya.

“214....214....214.... nahh itu dia...” gumamnya pelan.
Ini adalah pertama kalinya ia menemui kakaknya di hotel itu. Sesampainya di depan pintu ia segera meraih telepon selulernya kembali.

“kak... gue uda di depan...”
“ya elahhh..... lagi nanggung gini... yawdah sebentar... TUUUUTTT TUUTTT”

‘hmmm...... lagi bersenang-senang mereka di dalam....’ pikirnya.

Tak lama pintu kamar itu terbuka.
Naya hanya menutupi tubuhnya yang tak terbalut busana dengan sebuah seprei. Selembar kain tipis berwarna krem tua itu tak sanggup menutupi keindahan lekuk tubuh Naya dengan sempurna, membuat bongkahan payudara berukuran 36C itu nyaris melompat dari dekapan gadis 25 tahun itu.

“ihhhh..... kerjaannya ngewe melulu lu kak...”
“sssttt.... jangan keras-keras.. udah sini masuk.....”

Tomi melangkah masuk kedalam kamar hotel itu.
Sesosok laki-laki kemudian berjalan kearah mereka dengan hanya mengenakan celana pendek.

“ya elah lu Tom..... lagi nanggung nih....” kata lelaki itu.
“halahh...... dasar... pa kabar mas Andre....” Tomi mendekati lelaki itu dengan senyum tipis. Ia mengulurkan tangan kanan yang segera disambut oleh lawan bicaranya.
“selalu baik....” jawabnya.

“kak.. ada makanan ga?”
“ada tuh di lemari es... ada buah doang tapi...”
Tomi mengangguk. ia membuka lemari es kecil berwarna krem itu.

Naya masih berdiri dengan sehelai kain yang digenggamnya. Sebelah tangannya kini menyibak rambut cokelatnya yang panjang sebahu, berusaha merapikan rambut yang berantakan itu.
Tomi menoleh ke arahnya.

“kalo masi nanggung sana lanjutin dulu lah.... itu pentil sampe nyeplak gitu...” kata Tomi.

Seketika Naya meraba dadanya.
“ihhh.... jelalatan aja matalu.... yuk sayang kita lanjut lagi... masi nanggung nih....”
Pacarnya mengangguk dan tersenyum lebar. Seringainya itu sungguh seperti orang yang sedang haus sex.

Tomi merebahkan dirinya di sofa dekat pintu masuk kamar itu dan menikmati buah apel yang digenggamnya. Sementara Naya dan Andre mulai mengeluarkan desahan dan lenguhan dari arah tempat tidur yang terhalang oleh kamar mandi.

Lima menit berlalu...
Derit per yang menyangga dua insan itu bergema diruangan, saling bersahutan dengan lenguhan dan desahan Naya dan Andre.
“Aaaakkhhhhhhhh.......aku....saamm..peee...aahhhhh hh.........” terdengar lenguhan panjang, itu adalah suara Naya.
“aaaahhh....Ahhhh....Ahhhh.... aku...juga...Aaaaaaaahhhhhhh.....”

‘ck ck ck... cepet amat...baru juga lima menit’ pikir Tomi.

Tak lama Naya dan Andre menghampirinya. Andre kini sudah berpakaian lengkap, sementara Naya hanya mengenakan handuk kimono saja.

“nahhh.... sekarang gue tinggal dulu ya Tom... mau balik kerja dulu nih...” kata Andre.
“sip lah..... ati-ati dijalan mas...”

Mereka kembali berjabat tangan, kemudian Andre menghilang bersamaan dengan pintu kamar yang ditutup.

“mau ngobrol di sini apa di dalem?” tanya Naya.
“dalem aja ahh... mau rebahan... pejunya berceceran ga?”
“ngak kok.. dia mah kalo keluar sedikit....”

‘pppffftt.....’ Tomi menahan tawanya sesaat lalu merebahkan diri di ranjang yang berantakan.

“jadi ada kabar apa?” tanya Naya.
Tomi diam sesaat. Suasana hening saat itu, kemudian ia mulai menceritakan apa yang terjadi di rumah mereka.

“gila....... kita ga bisa diem aja Tom... gimana kalo sampe kejadian apa-apa sama ayah?”
“ya itu dia... tapi kan belom ada bukti bahwa yang mau di singkirin itu ayah, kalo emang bener ayah, kita juga ga tau apa maksudnya nyingkirin... kalo kita juga tau apa maksudnya dari kata ‘nyingkirin’ kita juga belom tau gimana caranya, jadi gimana nyegahnya?”

Mereka kembali diam sesaat. Pikiran mereka kini terbang di awang-awang. Memikirkan segala kemungkinan yang dapat terjadi pada ayah mereka.
Namun setelah berpikir keras, mereka belum juga dapat menemukan cara untuk mencegah sesuatu terjadi... kecuali...

“mau gak mau, kita mesti kasi tau ayah....” kata Naya.
“lu kan tau sendiri kak.... di depan ayah, iblis itu udah kaya bidadari aja.... mana mungkin ayah percaya...”
“walaupun gak percaya, seenggaknya kan ayah bisa waspada...”

Logika itu tampak bisa diterima oleh Tomi. Walaupun sulit, namun hanya pilihan itu yang ia miliki.

“oke lah... nanti gue kasi tau sama ayah... doain aja supaya ayah percaya sama gue...” kata Tomi.
Naya mendekati tubuh Tomi dan memeluk erat.

Hangat tubuh Naya kini dirasakan oleh Tomi. Wajahnya berada dibawah dagu Naya.
Tomi balas memeluknya dengan merangkulkan tangannya di pinggang Naya.

“kak.....”
“hmm??”
“toket lu tambah gede aja.....”

Naya langsung melepaskan pelukannya pada Tomi.
“hus...... mesum aja pikiran lu.....” ia menutupi dadanya dengan menyilangkan tangan disana.

“hahahah...... tuh pentilnya jadi keras lagi....” Tomi menunjuk tonjolan kecil di sela lengan Naya.
“hushh..... udah sana telpon ayah... ngeres aja pikirannya...”

Tomi bangkit dari ranjang sambil mecibir kearah Naya yang wajahnya sudah bersemu merah. Ia meraih telepon selulernya dan menghubungi ayahnya.

“halo Tom... tumben nelpon, ada apa?”
“halo yah.... emm..... gak sibuk kan? Tomi mau ngomong sebentar....”
“yahh ngak terlalu sibuk kok....mau ngomong apa?”
“emmh.... gimana ya.. Tomi bingung mau ngomong dari mana.... gini yah.........”

Tomi kemudian menceritakan tentang apa yang di dengarnya.
“Tom..... oke ayah ngerti apa maksud kamu... tapi tolong Tom....jangan berpikir negatif sama orang lain kalau kita ga punya bukti...oke...”
“yaaahh.... Tomi ngerti, bukan juga maksudnya ngejelekin orang lain yah.. Tomi Cuma mau ayah hati-hati, jangan terlalu percaya sama orang... please yah... sekali ini aja percaya sama Tomi...”
“iya-iyaTom.... ayah paham kamu khawatir sama ayah.... tapi ayah pastiin ayah akan baik di sini... ngak ada yang perlu di khawatirin, ayah akan pulang dua hari lagi...nanti kita bicarain masalah ini, gak enak ngomong hal seperti ini lewat telfon...”
Hening sesaat.

“ayah gak percaya kan sama Tomi?”
“bukannya ayah gak percaya nak....ayah tau kamu gak bohong... tapi kita gak bisa menaruh curiga sebelum punya bukti...”
“jadi ayah mau hal itu kejadian baru percaya sama Tomi?”
“ya ngak gitu Tom.... oke-oke... ayah akan hati-hati... tapi kamu mesti janji sama ayah, jangan bertindak sembrono... salah-salah bisa dituntut pencemaran nama baik....”
“mmmm......” Tomi menjawab perkataan ayahnya hanya dengan gumaman.
“kok cuma mmmmmmm??”
“iya Tomi ngerti yah.....”
“nah itu baru anak ayah.....”

Pembicaraan itu berakhir. Dengan lesu, Tomi menceritakan apa yang dikatakan oleh ayahnya kepada Naya.

“yaudah... yang penting kita udah usaha.... sekarang mendingan lu pulang... awasin keadaan dirumah... kalo ada apa-apa kamu telfon kakak... biar kakak sama mas Andre kesana...”
“yawdah kak... gue pulang dulu...”

Pertemuan mereka diakhiri dengan peluk cium diantara mereka.
Tomi bergegas pulang, memacu mobilnya.

Sesampainya dirumah, betapa terkejutnya ia ketika mendapati ada mobil lain yang terparkir disana. Ia merasakan firasat tidak baik tentang apa yang akan terjadi.

Benar saja, ketika ia menanyakan tentang mobil itu kepada seorang pembantu disana, ia mendapati bahwa ibu tirinya sedang berduaan didalam kamarnya dengan seorang lelaki.
Lelaki yang sama, yang tak lain adalah partner bisnis ayahnya.

Degub jantungnya berpacu ketika ia melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua.
Sayup-sayup terdengar suara desahan dan rintihan seseorang di dalam kamar itu.

‘ini gak bisa dibiarin’ pikirnya.
Ia segera mengetuk pelan pintu kamar itu.

Desahan dan rintihan itu terhenti.
Derap langkah kaki mendekat. Jantungnya semakin berdebar.

‘kriiieekkkkkkkk’ pintu itu terbuka.
Ibu tirinya berdiri di ambang pintu dengan busana seadanya.

Apa yang harus dikatakannya. Ia tak bisa membuat ibu tirinya curiga bahwa ia sedang memata-matai.
“ayah udah pulang......” tanya Tomi singkat.
“bukan urusanmu... kembali ke kamarmu dasar anak ngak tau diuntung.....”

Darah dikepalanya mulai mendidih.
“ohh... jadi ini kelakuan seorang istri waktu suaminya lagi ngak dirumah ya... i see...i see...”

“plaaaaakkk......”
Sebuah tamparan mendarat dipipinya.

“awas... berani kamu ngadu ke ayahmu....”
“atau apa? Mau nampar lagi?”

Wajah ibu tirinya kembali masam. Ia mengayunkan tangan kanannya sekali lagi, namun kali ini dapat ditangkap oleh Tomi.
“ho..hoo... sorry ya... yang kedua kali gak akan terjadi tuh....”
“ada apa ini?” tanya seorang pria dari dalam ruangan.
“gak usah ikut campur ya..... lebih baik anda keluar sebelum anda saya hajar....”

Dengan percaya diri Tomi mengucapkan kata-kata itu. sejak dulu ia tak pernah takut dengan perkelahian. Ia adalah pemegang juara bertahan untuk kejuaraan karate antar sekolah, mengatasi pria tua ini bukanlah apa-apa baginya.

“hehhh........” pria itu menghela napas panjang.
“oke-oke.... saya pergi.... sampai nanti ya sayang....” ia memandang kepada ibu tiri Tomi.

Pria paruh baya itu melangkah meninggalkan mereka. Ibu tiri Tomi menarik lengannya dengan tiba-tiba lalu kembali masuk kedalam kamarnya sambil membanting pintu.

“huh.... murahan.......” Tomi mengumpat.
Ia segera berpaling dari pintu itu dan berjalan menuju kamarnya.

Apa yang terjadi segera ia kabarkan kepada ayah dan kakaknya. Mereka begitu terkejut, sampai-sampai ayah Tomi memutuskan untuk pulang hari itu juga.

Puas dengan hasil yang ia dapat, pikiran Tomi bisa sedikit tenang. Tak lama lagi iblis betina itu akan diusir dari rumah ini, pikirnya.
Ia segera turun ke bawah untuk makan malam.

Disana hanya ada ia seorang dengan ditemani oleh seorang pelayan.
Ketika sedang asyik menyantap makanannya, ia melihat ibu tirinya berjalan menuruni tangga.

“nikmatilah saat-saat terakhir berada dirumah ini.... ayah sedang di perjalanan pulang...” ucapnya.
Ibu tirinya sama sekali tidak menjawab. Melainkan segera pergi keluar rumah.

‘mau apa dia tiba-tiba pergi’ pikir Tomi.
Makanan yang masih tersisa di piringnya segera ia tinggalkan.

Ia berjalan mendekati jendela rumahnya. Dari celah gorden ia melihat ibu tirinya pergi menggunakan mobil.

Tanpa membuang waktu, ia segera meraih kunci mobil dari sakunya dan bergegas mengejar mobil ibu tirinya yang barusaja menikung dari gerbang rumah.

‘kemana dia?’ pertayaan itu terngiang di benaknya.
Ia mengambil jarak aman untuk mengikuti mobil ibu tirinya yang kini melaju di jalan raya. Hiruk pikuk lalu lintas tidak menyulitkan ia melakukan pengejaran. Ibu tirinya bukanlah pengemudi mobil yang handal. Dalam setahun terakhir ini mobil itu sudah masuk bengkel dua kali karena menabrak bagian belakang truk dan sebatang pohon di ujung jalan.

Jalan yang ia lalui mulai menunjukkan kemana ia akan pergi. Ternyata ibu tirinya berusaha mendahului ia untuk bertemu dengan ayahnya dibandara.

‘hahaha.... kita liat aja nanti’ pikirnya.

Tiba-tiba, mobil yang ia buntuti berubah arah. Ia menepi di sebuah mini market. Tomi menjaga jarak agar kehadirnnya tidak di ketahui.

Tak lama berselang mobil ibunya kembali meninggalkan tempat itu. namun ada yang aneh.
Ada dua mobil lain yang mengikutinya. Salah satu mobil itu sudah pernah ia lihat sebelumnya.

Ya... mobil itu kepunyaan partner bisnis ayahnya. Namun yang satu lagi belum pernah ia lihat. Sebuah mobil land cruiser berwarna hitam metalik juga mengikutinya.

‘ada apa ini?’ Tomi kembali menangkap firasat buruk.
Ketiga mobil itu kini memasuki daerah bandara. Tomi mengawasi dari jarak yang cukup jauh. Mengingat tidak begitu banyak mobil yang berada di jalan itu saat ini. Ia khawatir kegiatannya diketahui.

Ketiga mobil itu kini sudah memasuki area parkir, namun tak ada satupun diantara mereka yang meninggalkan mobil.

Ketiga mobil itu berjalan pelan menyusuri pelataran parkir. Padahal banyak sekali tempat parkir yang sudah mereka lewati.
‘mau apa mereka?’ tanya Tomi dalam hati.

‘astaga.... itu mobil ayah.... jadi mereka mencari mobil ayah....’
Jantungnya kembali berdebar. Tapi ia menetapkan hati untuk tetap tenang. Ia tak boleh panik. Ia harus mempertahankan logikanya untuk tetap berpikir jernih pada saat seperti ini.

Ia mengambil tempat parkir yang tak begitu jauh dari mobil ayahnya. Misinya saat ini hanyalah mengawasi dan menjamin keselamatan ayahnya.

Satu jam berlalu, akhirnya sosok ayahnya terlihat.
Ayah Tomi berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya. Tas koper yang besar itu ia hempaskan di kursi belakang lalu bergegas pergi.

Tomi mulai beranjak. Ia segera membuntuti mobil ayahnya.
Ketika ia meninggalkan lahan parkir, ia melihat ketiga mobil itu sudah berada di luar.

Mobil ayah Tomi melesat cepat, Tomi tak mau ketinggalan. Ia segera mengejarnya.
Ketika mobil ayahnya melewati tempat ketiga mobil itu berhenti, mobil SUV hitam itu mengikutinya. Namun kenapa ibutiri dan partner bisnis ayahnya tidak ikut.

Jantungnya berdebar lebih cepat. Rasa panik mulai menjalar.
Apakah seorang di mobil hitam itu adalah orang suruhan yang diutus untuk mencelakakan ayahnya. Pikiran itu berkecamuk.

Ia terus membuntuti kedua mobil yang melesat di depannya pada jarak seratus meter.
Kini mereka telah melaju di jalan bebas hambatan.

‘mau apa dia?’ pikir Tomi.
‘jangan-jangan ayah mau di tembak dijalan...’

Kedua mobil itu terlihat jelas di pandangannya.
Detik selanjutnya ia melihat pemandangan paling mengerikan yang pernah ia saksikan.

Mobil hitam itu berbelok tiba-tiba, menghantam pintu kanan mobil ayahnya. Di lajur paling kiri terdapat sebuah mobil kontainer besar dengan muatan penuh berjalan pelan.
Hantaman itu membuat mobil ayahnya oleng seketika. Mercedes-bens e200 itu masuk kedalam kolong mobil kontainer itu dan tergilas oleh roda belakangnya.

“AAAAAYYYAAAAAAAAAAAAAHHHHHHH.........” Tomi berteriak sejadi-jadinya ketika mobil ayahnya kini hancur tergilas oleh truk kontainer itu. sementara mobil SUV hitam itu melesat jauh meninggalkan dirinya.
waktu seakan berhenti seketika. adegan itu berlangsung sangat cepat. namun dimata Tomi, ia dapat melihat dengan jelas, saat-saat dimana roda belakang kontainer itu melindas tubuh ayah kandungnya didalam mobil. saat dimana percikan darah menyiprat kaca mobil itu. saat dimana bensin mulai mengucur dan mulai tersulut.

Ia segera membanting setir kekiri untuk menepi.
Tomi melompat keluar dari mobil yang ia parkir sembarangan dan berlari menuju mobil ayahnya yang telah hancur.

api dengan cepat menyelimuti mobil itu. entah apakah ayahnya masih hidup didalamnya, Tomi berlari sekuat tenaga untuk memastikan.
‘sedikit lagi.... sedikit lagi....’ nafasnya terengah-engah ketika ia mendekati mobil itu.
Namun sepuluh meter sebelum ia mencapai mobil ayahnya.

“Duuuuaaarrrrr.........”
Letusan keras terdengar. Mobil ayahnya meledak, membuat ia terpental satu meter ke belakang.

Ia jatuh terjerembab di aspal panas.
Air matanya menetes tak terbendung menyaksikan orang tuanya meninggal dengan cara yang begitu naas. Ia mencoba bangkit dan mendekati mobil yang sedang menyala itu. namun tangan-tangan yang meraih tubuhnya kini menahannya.

Ia meronta sejadi-jadinya berusaha melepaskan diri. Namun ia sadar, ia sudah tak mampu berbuat apa-apa. Yang ia mampu lakukan saat ini hanya menangis.

Tak lama Polisi segera datang. Tomi segera di giring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Disana ia dijemput oleh kakaknya Naya.

Ia memeluk tubuh kakaknya erat-erat. Satu-satunya yang dapat meringankan bebannya saat ini.

Polisi segera membuat surat penangkapan kepada ibu tiri Tomi dan partner bisnis ayahnya yang kini buron.

Ditemani oleh Naya, Tomi kembali kerumah. Dalam perjalanan pulang, Tomi singgah di toko kimia milik temannya.
Tomi segera turun dari mobil, Naya menunggu di dalam.
“Der.. gua mau beli potasium, urea, belerang dan lain-lain... lu ga usa tanya-tanya buat apa.........” kata Tomi
“gila lu..... kalo sampe lu bikin tu barang trus ketauan lu beli di gua... gua bisa ditangkep polisi....”
“gua gak akan buka mulut.... udah lu tenang aja... ayo lah Der.... sekali ini aja gua minta tolong sama lu.. gua kan sering bantu lu, bukanya gua mau ungkit kebaikan gua.. tapi tolongin gua kali ini aja... gak akan gua minta tolong lagi sama lu...”

Hening sejenak....
Pilihan itu begitu sulit dicerna oleh sahabat Tomi. Namun mengingat apa yang telah dilakukan Tomi dimasa lalu, akhirnya membuat pendirian sahabatnya goyah.

“oke.. kali ini aja.... lu mau seberapa parah?” Tanya Derry
“untuk satu kamar aja cukup....kalo terlalu banyak bisa dicurigain juga”

Teman Tomi segera masuk kedalam.tak lama, tanpa berbicara sepatah katapun ia menyerahkan bungkusan kepada Tomi.

“thanks.... berapa?” tanya Tomi.
Temannya hanya mengangkat sebelah tangan.

“udah lu bawa aja... tapi inget... jangan bawa-bawa nama gua...”
Tomi mendekati sahabatnya itu dan merangkul bahunya.

“makasi banyak bro.... sorry kalo gua ada salah... tapi gua gak akan nemuin lu lagi... gua akan pastiin lu aman....”
“hati-hati ya bro... gua ga tau lu mau pake buat ngapain.... pesen gua.. hati-hati aja...”
Mereka saling menepuk bahu.

Tomi berpaling dan kembali ke mobilnya. Meninggalkan sahabatnya yang berdiri terpaku menyaksikan kepergiannya.
“apaan tu Tom?” tanya Naya datar.
“ntar juga tau.....”

Sesampainya dirumah, Tomi tak melihat tanda-tanda kehadiran ibu tirinya maupun partner bisnis ayahnya. Mereka disambut oleh para pelayan dirumah itu.

Saat itu juga Tomi memanggil mereka semua untuk berkumpul.
“mbak semuanya... aku mau kasi kabar buruk.....”

Hening..... kesunyian itu merebak bagai suhu dingin tiba-tiba menyelimuti ruangan itu.
“ayah udah meninggal.....” lanjut Tomi.
Berita itu begitu mengagetkan ketiga pelayan yang semuanya berusia dibawah 25 tahun. Sebagian ada yang menutup mulut mereka. Ada yang tiba-tiba menitikkan air mata.

Tak heran. Para pelayan itu sudah bekerja sangat lama sehingga begitu dekat dengan majikannya. Terlebih karena keluarga Sudrajat tidak pernah memperlakukan mereka layaknya pekerja rendahan, mereka saling menghormati satu sama lain.
“jadi..... ada baiknya mbak semua ngak kerja lagi di sini”
“Tom..... kamu apa-apaan sih?” tanya Naya.
“ssstttt... udah kak diem aja....”

Para pelayan belum mengucapkan sepatah katapun.

“maaf sebelumnya.... bukannya aku berniat mau pecat kalian semua... sama sekali ngak.... tapi..”
Perhatian seluruh orang kini tertuju pada Tomi.

“aku gak mau ada kejadian buruk yang nimpa kalian.... kalian kan tau ibu kaya gimana.... nanti gaji sama pesangon akan kita transfer sore ini....”
Tiba-tiba seorang pelayan angkat bicara.

“mas.... kita semua gak apa-apa walau di perlakukan kasar sama ibu. Tapi yang penting kita bisa layanin mas Tomi sama mbak Naya....”
“aku ngerti mbak.... tapi ini situasinya lain... mungkin kalau keadaan sudah berubah kita akan panggil mbak lagi... tapi ngak sekarang... rumah ini gak boleh dihuni sama siapapun sampai semuanya selesai....”

Pembicaraan panjang itu berlanjut hingga jam dinding menunjukkan pukul tiga sore.
Para pelayan kini telah setuju dengan permintaan Tomi. Mereka segera mengemasi barang milik masing-masing dan bergegas meninggalkan rumah itu satu-persatu.

Perpisahan itu begitu berat, tak hanya bagi Tomi dan Naya, namun juga bagi seluruh pelayan yang bekerja disana. Mereka sudah seperti sebuah keluarga besar.

Setelah keadaan rumah itu tenang, Tomi segera masuk ke kamarnya sendiri.

Keesokan paginya, Tomi masuk kedalam ruang tidur ayah dan ibunya sambil menggenggam sebuah benda berbentuk silinder dengan sebuah telepon seluler terikat kuat dengan selotip di benda itu.

Ia menaruh benda itu tepat dibawah ranjang milik ayahnya.
“kamu bikin apa Tom?” tanya Naya.

Sepertinya ia sudah sangat penasaran tentang apa yang dibuat oleh adiknya.
“bakal gua bunuh iblis betina itu kak......”

Naya tertegun mendengar apa yang dikatakan oleh adiknya, namun ia tak punya niat untuk menghalangi.
“sekarang kakak pulang aja ke hotel. Kemasin barang-barang. Pindah ke tempat lain. Jangan hubungin gue atau cari gue apapun alasannya. Kalo keadaan udah tenang nanti biar gue yang hubungin kakak.......lu harus pura-pura ngak tau yang gw lakuin kak.... satu lagi, kalo gue miscall, lu telpon balik pake nomer lain... jangan nomer yang biasa.”
“kenapa?”
“karena polisi pasti nyari gue kalo iblis itu mati.... nomor telepon lu pasti disadap, mereka pasti tau gue bakal hubungin lu”

Kata-kata itu menusuk dalam di dada Naya. Seakan orang yang baru bicara dengannya ini bukanlah adikknya yang selama ini ia kenal. Tomi terdengar lebih mirip dengan pembunuh berantai yang sedang merencanakan sebuah skenario pembunuhan.
Namun, ia tak kuasa melarang apa yang akan dilakukan oleh Tomi. Dendam membara juga berkobar di dalam hatinya. Ingin rasanya ia ikut ambil bagian dalam proses melenyapkan iblis itu, namun ia tak bisa apa-apa.

Kini mereka berpisah. Tomi tetap tinggal dirumah itu sendirian. Sedangkan Naya kembali kehotel. Ia menunggu waktu yang tepat. Waktu yang ia siapkan untuk melenyapkan iblis yang merusak keluarga mereka.

Keesokan harinya, benar saja. Ibu tirinya datang bersama dengan partner bisnis ayahnya.
“jadi..... kalian bebas?” Tomi berpura-pura kaget
“hahaha..........” ibu tirinya tertawa sinis.

“bagaimana bisa laporan dari seorang bocah membuktikan bahwa kami bersalah....??” tanya wanita itu.
“sekarang kamu ngak bisa berbuat apa-apa kan?? Hahaha.... tinggal tunggu waktu aja sampai seluruh kekayaan ayahmu jatuh ketanganku... ayo mas, tinggalin aja bocah tolol ini... kita sekarang senang-senang.. hahahahahahahaha........”

Laki-laki paruh baya itu menyuguhkan senyum paling menjijikkan yang pernah dilihat oleh Tomi.

‘hahaha.... kita lihat aja sebentar lagi.. dasar pelacur tolol....’ batin Tomi.
Kedua orang itu kini menaiki tangga dan masuk kedalam kamar ayahnya. Persis seperti yang direncanakan oleh Tomi.

Ia segera bergegas ke kamarnya. Mengambil barang-barangnya yang sudah disiapkan sebelumnya dan bergegas keluar rumah.
Melewati pintu kamar ayahnya ia kembali mendengar percakapan penuh kemenangan dari iblis itu.

“ayo mas.... memekku udah kepingin digenjot lagi nih.....”
“sabar sayang..... kita main sepuasnya hari ini..... merayakan kemenangan kita”

‘haha... kemenangan???? Kita lihat siapa yang tertawa paling akhir nanti’ batin Tomi kembali berbicara. Ia melangkah menuruni tangga dan keluar dari rumahnya.

Mobilnya ia tinggalkan di pelataran rumah itu. ia tau, setelah apa yang direncanakan olehnya, pergi menggunakan mobil pribadi bukanlah pilihan yang cerdas.
Ia bejalan menyusuri jalan perumahan yang jarang sekali ia lalui tanpa menggunakan mobil. Tak lama lagi ia akan merindukan tempat ini.
Diujung jalan sebelum ia berbelok, ia kembali memandang ke arah rumahnya di kejauhan. Telepon seluler di sakunya ia raih dengan sebelah tangan, lalu ia menelepon.

“DDUUUUAAAAAAARRRRRRR.........”
Sebuah ledakan hebat terlihat dari kejauhan. Tak lain dari arah rumah Tomi.

Kaca jendela berhamburan kesegala arah, menciptakan bunyi berdenting ketika pecahan itu menghantam tanah dan bebatuan. Asap hitam mulai membumbung tinggi. Hasil dari nyala api berwarna oranye kehitaman.
Dinding putih yang menghiasi rumah itu kini berubah warna. Seakan menghapus seluruh kenangan manis yang pernah terjadi disana.

Dua buah pilar besar hiasan kini mulai rubuh.
Bebatuan seberat 20 ton itu perlahan condong ke arah mobil yang Tomi tinggalkan. Dengan bunyi memekakkan telinga, pilar itu rubuh menimpa badan mobil itu.

“DUUUAAARRRRRR.....”
Kembali satu ledakan besar mengiringi kepergian Tomi. Mobil kesayangannya itu, yang sudah menjadi saksi bisu kematian ayahnya, kini hancur lebur.

Dengan senyum tipis yang dingin ia kembali melangkah. Mengawali perjalanannya yang entah kemana. Perjalanan tanpa arah tujuan...


PROLOG - END

BAB 1
ESCAPE

Perjalanan Tomi sudah dimulai.
Tak butuh waktu lama hingga kabar mengenai kebakaran yang terjadi di rumahnya tersiar di TV. Ia mendengar sekilas siaran itu ketika sedang duduk menanti kedatangan kereta yang akan membawanya pergi menjauh.

Ia kini sedang berada di dalam gerbong kereta yang melaju.
Tomi membeli tiket ke tujuan paling jauh yang dapat ia temukan di stasiun terdekat.

Dalam hatinya ia senang, dapat membalaskan dendam kepada orang yang sudah membunuh ayahandanya tercinta. Namun kenjataan bahwa ia tak mengetahui dimana ayahnya dimakamkan membuatnya gundah.

Ia menghela napas panjang. ‘Naya pasti udah ngurus semuanya’ pikirnya.
Satu persatu stasiun ia lewati menjauhi ibukota. Ruang gerbong yang tadinya sesak dijejali ratusan orang, kini perlahan mulai lengang. Hanya beberapa orang yang terlihat bersamanya di gerbong itu. seorang pedagang buah yang tertidur, pekerja kantoran, dan yang lain sepertinya anak kuliahan.

Ia melongok keluar jendela, mencoba mengusir rasa bosan.
Pemandangan lahan persawahan yang baru ditanami padi menyejukkan matanya sesaat. Lokomotif kereta berwarna putih itu terlihat diujung rangkaian. Mengepulkan asap putih yang membumbung diiringi bunyi menderu.

Enam jam berlalu. Ia kini menjejakkan langkah pertamanya di stasiun tempat kereta itu berhenti. Entah dimana ia sekarang, ia sama sekali tak mengetahui apapun tentang kota tempatnya berpijak.

Ia sudah mematikan telepon selulernya. Menghindari kemungkinan jika polisi melacak signal.
‘moga-moga Naya baik-baik aja...’ kalimat itu entah sudah berapa kali melintas di pikirannya.

Tak banyak uangnya yang tersisa, sepertinya ia harus berusaha keras untuk menghidupi dirinya selama dalam pelarian ini.
“heeeeehhh....” ia menghela nafas panjang.
‘oke.... harus kemana sekarang?’ batinnya berbicara.

Tak punya arah tujuan, ia tak boleh menampakkan diri di depan orang yang ia kenal. Terlalu beresiko jika sampai keberadaanya diketahui, walaupun oleh saudaranya sekalipun.

Karena itulah ia memilih kota ini sebagai tempatnya melarikan diri. Alih-alih ada yang mengenalnya, seingatnya ia tak mempunyai saudara maupun teman di kota ini.

“kruyuuuukkkk......”
Perutnya mulai meronta, menagih makanan.

Tomi memegang perutnya sesaat dengan tangan kirinya. Sepertinya makan adalah pilihan yang bagus. Ia telah menetapkan pilihan.

Tak sulit menemukan tempat makan di daerah stasiun tersebut. Namun mengingat uang yang dimilikinya sangat terbatas, maka mau tak mau ia harus berusaha hidup sangat-sangat sederhana.

Tak mudah memang bagi seorang anak muda seperti Tomi, yang terbiasa hidup bergelimang harta, yang setiap kebutuhannya pasti ada yang melayani. Kini ia harus berjuang sendiri, syukurlah ia bukan typikal anak yang manja. Sedikit banyak ia tau bagaimana harus bertahan hidup.

Ia melangkahkan kakinya menuju warung nasi terdekat.
‘ramai juga... mungkin harganya murah’ pikirnya. Ia segera masuk kedalam.

“makan mas??” tanya seorang ibu.
“iya bu.... pakai telor dadar sama sayur aja bu, minumnya air putih...” jawab Tomi.

Tak lama hidangan yang ia pesan kini tersaji di piring putih yang ia terima dari ibu penjaga warung.

‘fuuuhhh.... sabar-sabar.... emang uda takdirnya begini kok....’ gumam Tomi dalam hati.
Ia mulai menyendok makanan itu. Terasa sedikit hambar dilidahnya, mungkin karena ia belum pernah makan sesederhana itu.
“anak kuliahan ya mas??” pertanyaan sang ibu penjaga warung mengagetkan lamunannya.
“hah?”
“pesanannya Cuma telor dadar sih... pasti mahasiswa ya?”
“ohhh... iya bu..”
“kuliah dimana?”
“eeehhmmm......” Tomi sedikit gugup menjawab pertanyaan itu, mengingat ia tak tau apa-apa tentang kota itu.
“saya.... masih nyari-nyari bu.... ini hari pertama saya di sini, perantauan....”
“ohhh.... sebelumnya tinggal dimana?”
“ahahaa... jauh bu dari sini.... enam jam naik kereta...”
“ooo.... kok bisa-bisanya nyasar kesini.... orang tuamu tau?”
“ngak tau bu... orang tua saya udah ngak ada... karena di tempat asal saya biaya hidup mahal, ya saya putuskan pindah.... nyoba-nyoba cari rejeki...”
“trus.. disini tinggal dimana?”

Tomi hanya menggelengkan kepala sambil mengunyah makananya.
“belom tau bu.... saya ga punya uang....”
“ya allah dek..... kok nekat sekali....”
“namanya juga merantau bu, musti nekat, kalo ngak gak bisa makan...”
“udah dapet kerja?”
Tomi menggeleng.

Ibu penjaga warung juga ikut menggelengkan kepalanya.
“dasar anak muda jaman sekarang... nekat semua.... kamu lulusan apa?”
“sarjana teknik bu... S1......”
“waduh.... pendidikannya udah tinggi to.... trus kenapa mau kuliah lagi”

‘siall........... salah ngomong gua......’ batin Tomi.
“yah.... kali aja bisa ngejar S2 bu... siapa tau masa depan saya jadi lebih terjamin...”
“ck ck ck..... yawdah habisin dulu makananmu....”

Sang ibu penjaga warung itu meraih telepon genggamnya.
“mase.... jek enek lowongan pora? Iki ono cah perantau golek kerjo.....” ucapnya lewat telepon.
Tomi tak mengerti apa yang dibicarakannya, ia terus menyendoki nasi yang tinggal separuh di piringnya itu.
“S1 teknik jare...piye”
‘lha kok bawa2-bawa S1?’ Tomi mulai penasaran.
“yowes tak kandani.....”

Ibu penjaga warung itu menyudahi percakapannya di telepon.
“dek.... kamu beneran sarjana teknik?”
Tomi mengangguk.
“gini dek.... suami ibu kan punya bengkel.. yahh bukan bengkel gede si.. kamu mau gak kerja disana?”
“ahh serius bu?”
“yo serius.... masak bercanda.....”

Tomi terdiam sejenak. Tawaran dari ibu itu sungguh menggiurkan, namun ia khawatir jika ia bekerja maka ia harus tinggal menetap. Itu bukanlah misinya.

Misinya saat ini adalah menghilangkan jejak. Tidak boleh ada informasi, tidak boleh ada bekas.
“bu... maaf ini sebelumnya, ibu kan baru kenal saya.... saya takutnya mengecewakan.. makasih banyak bu tawarannya, saya pikir-pikir dulu....”
“jadi anak muda itu ndak boleh mikir terlalu panjang dek... jaman saiki cari duit susah.... ya gak apa-apa sih dek... pesen ibu, kamu jangan nunda-nunda... kalok udah yakin, udah mantep.... kamu dateng lagi kesini....”
Tomi tersenyum dan mengangguk.

Tuhan memang tak pernah tidur.
Ia akan selalu mengawasi setiap insan di dunia ini. Memberi karunia bagi dia yang baik dan memberi ganjaran bagi ia yang jahat.

‘tapi gue ini udah jadi pembunuh.... emang pantes gue dapat belas kasihan dari tuhan?’
Tomi sedang mengutuki dirinya sendiri saat ini. Menjadi pembunuh memang merupakan pilihannya beberapa hari lalu. Dan kini ia harus siap menerima resiko akan ganjaran apapun yang akan ia terima.

Seusai makan ia kembali berjalan, menyusuri jalan-jalan di kota baru itu.
Cukup jauh ia berjalan. Ia kini tergoda untuk menelepon kakaknya Naya. Menanyakan tentang kabar kakaknya tercinta. Namun ia cukup dapat mengontrol diri untuk mengabaikan hasratnya itu.

Langit kini mendung. Cuaca mulai berubah tidak bersahabat.
Rintik hujan mulai turun, membasahi jalan-jalan yang ia lalui.

Ia berteduh disebuah pelataran toko buku. Ia berjongkok sejenak melepaskan rasa lelah yang diderita kedua kakinya. Butir-butir air yang jatuh itu terciprat tak tentu arah.
Debu-debu yang tadinya beterbangan kini telah melekat di tanah. Udara berubah menjadi sejuk.

‘sekarang gue mesti tidur dimana dong.....’ pikirnya.
Pertanyaan mendasar bagi seorang pelarian seperti dirinya.

Hujan kembali reda, jam tangan yang dikenakannya kini menunjukkan pukul empat sore. Ia harus cepat menemukan tempat bermalam.

‘tapi dimana..?? aduh kakak.... sengsara banget hidup gue sekarang....’
Kenyataan kontras itu harus ia telan bulat-bulat. Menyadari bahwa kakaknya kini sedang berada di kamar hotel yang nyaman dengan segala fasilitas. Sedangkan dirinya harus hidup dalam pelarian, dengan uang yang terbatas, tanpa bekal, tanpa tempat tinggal.

Sesungguhnya Tomi masih memiliki banyak uang di rekening tabunganya, mungkin cukup untuk membeli rumah di daerah pinggiran kota. Namun apa daya, jika ia mengambil uangnya polisi akan tau dimana ia berada dan tak lama ia akan segera ditangkap.

Membayangkan menerima vonis 10 tahun penjara sudah cukup membuat Tomi gentar. Kartu ATM berwarna kuning itu tetap terselip rapi tak tersentuh di dalam dompetnya.

Ia kembali menyusuri jalan-jalan becek, mencari tempat bermalam.
Menginap di penginapan saat ini bukanlah sebuah pilihan yang pintar, itu akan menghabiskan banyak uang. Jika ia memaksakan diri, maka ia hanya akan mampu bertahan hidup dalam jangka waktu empat hari saja. Pilihan yang sulit.

Satu jam sudah ia berjalan, kini jam tangannya menunjukkan pukul lima sore.
Matahari sudah sangat condong ke ufuk barat, menandakan sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Langit sore berwarna jingga temaram itu menemani langkahnya.

Akhirnya ia berhenti berjalan setelah sekian lama.
Ia kini duduk termenung di bawah jembatan penyebrangan. Tomi mengambil tempat duduk dibawah anak tangga menuju ke atas, berpaling sejenak dari dunia ini, mencari kesendirian.

Ia memutuskan untuk bermalam di tempat itu malam ini.

Hari berganti malam. Jalan-jalan yang tadinya ramai kini berubah hening. Tak banyak lagi orang melintas, hanya sesekali saja ia melihat siluet lampu mobil yang melaju di jalan raya.
Bunyi jangkrik terdengar di sana sini. Membuat pikirannya yang kalut sedikit teduh.

Tempat ini berbeda sekali dengan kota tempat tinggalnya dulu.
Ia masih bisa mengingat jelas, di kota tempat tinggalnya dahulu saat seperti ini tak ada bedanya dengan siang hari. Banyak sekali orang berlalu lalang.

Kantuk mulai menyerangnya. Rasa lelah yang menumpuk kini telah menjalar dalam aliran darahnya. Matanya mulai sayu, kelopak mata itu terasa begitu berat.

Ia duduk meringkuk sambil memeluk tas hitamnya untuk menghangatkan diri.
Matanya kini terpejam.

“WOOOYY.... BANGUN..........”
Teriakan itu memekakkan telinganya. Sesaat kemudian ia merasa lengannya ditarik untuk dipaksa berdiri.

Tomi mengejapkan matanya, berusaha mencerna apa yang ia lihat.
Berdiri disana, dua orang pemuda bertampang sangar dengan setelan khas anak punk.

“ANAK MANA LOO.....”
“ada apaan nih bang??”
“BANYAK TANYA LO... JAWAB PERTANYAAN GUA... ANAK MANA LOO.....”

‘halaaahhh... ni anak punk pake acara cari gara-gara sama gua..... bangsat..’ batinnya.
Ia menatap tajam kearah mata pemuda yang berbicara dengannya.

“apa urusannya sama lo?”
Tiba-tiba sebuah tangan mendorong kepalanya dari belakang. Tomi yang belum juga terbebas dari rasa kantuk hampir saja jatuh terhuyung ke depan.
Tubuhnya yang terhuyung ditangkap oleh tangan-tangan kasar yang kini mencengkeram bahunya.
“OOOHHH...........” pemuda yang mencengkeramnya berbicara.
“jadi lu mau cari gara-gara sama gua?.....LOO GA TAU GUA INI SIAPA????”

‘idih... ada gitu ya orang tolol kayak gini... yang cari gara-gara itu kan dia.... trus, dia pikir dirinya selebritis yang dikenal semua orang... cuih....’ batin Tomi.
“gua ga ada urusan sama lu pada.... lepasin sekarang atau...”

“ATAU APAA???????? LO MAU KITA HAJAR........” pemuda yang mencengkeram bahunya kembali berteriak.
“udah lah bos... kita abisin aja sekarang.....” pemuda yang satu lagi berbicara.

Tomi belum sempat melihat wajah pemuda yang satu lagi karena ia berdiri membelakangi pemuda itu.
“mana dompet lu? Kasi ke gua.......” pemuda di depan Tomi berbicara.

Tomi menepis kedua tangan yang mencengkeramnya itu kuat-kuat. Kini tubuhnya sudah bebas.
“coba aja ambil dari gua kalo lo bisa....” ucap Tomi.
“BANGSATTTTTTTT........”

Sebuah pukulan melesat ke arah wajah Tomi. Keadaan seperti ini sudah berulang kali ia alami dalam pertandingan karate. Dengan mudah ia mengelak ke kanan.
Dengan tangan kirinya Tomi mencengkeram pergelangan tangan yang melesat ke arah wajahnya, lalu dengan tangan kanannya yang sudah terkepal ia meninju wajah pemuda itu tepat di pelipisnya.

“Duuuugg....”
Hantaman itu tepat bersarang di wajah pemuda yang sekoyong-koyong terhuyung dan tersungkur di tanah.

“ANJIIINGGG......” pemuda di belakangnya mengumpat dan melayangkan pukulan hook kearah kepala Tomi.

Hampir saja Tomi telak terkena, karena pukulan itu dilancarkan dari titik buta matanya.
Namun refleksnya cukup baik. Ia menghindar dengan menundukkan tubuhnya.

Kepalan itu melintas di atas kepalanya.
Kini dengan tangan kanan Tomi, ia memukul perut pemuda itu keras-keras.

“Aaaaaaakkkhh.....” pemuda itu memekik ketika tubuhnya terlonjak beberapa senti ke udara.
Sekali lagi Tomi melancarkan tinjunya yang kini tepat bersarang di rahang bawah pemuda itu.

“Buuuuggghh....”
Pemuda itu jatuh terjengkang. Memegangi rahangnya yang terasa berdenyut-denyut.

Pemuda yang pertama jatuh kini sudah kembali berdiri. Ia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari pinggangnya. Pisau kecil itu mulai ia sabetkan.

Tomi mengelak dengan memundurkan tubuhnya satu langkah.
Jarak antara ia dan lawannya kini terlalu jauh untuk ia jangkau dengan kepalan tangannya.

Tomi mengambil kuda-kuda untuk mulai menyerang. Kali ini kakinya melesat cepat melewati lengan pemuda yang menggengam pisau itu.

“Duuuggghhhh......”
Tendangan itu tepat mengenai wajah pemuda itu. mematahkan hidungnya.
Pemuda itu meringis kesakitan sambil memegang wajahnya yang berlumuran darah.

Pisau kecil itu terjatuh dari tangannya. Tomi segera memungutnya dan berlari menjauh meninggalkan kedua preman kampung yang kini terkapar kesakitan.

Derap langkahnya bergema di tembok yang ia lalui.
“hoshh....hosshh...hoshhh...” nafasnya terengah-engah. Namun ia tak berhenti berlari.

Stamina yang belum juga pulih menyebabkan Tomi tak bisa berlari terlalu jauh. Ia kini kehabisan napas. Ia tertunduk, menyandarkan dirinya di sebuah tembok dengan tangan kirinya sambil memegang dadanya dengan tangan yang lain.

Pisau kecil yang tadi ia bawa kini ia lemparkan kedalam selokan.
Ia tak butuh benda seperti itu untuk mempertahankan diri.

Cahaya keemasan mulai nampak di ufuk timur, tanda bahwa sang fajar akan segera menemani harinya. Tak terhitung sudah berapa lama Tomi berjalan menjauh dari insiden itu. lututnya kini mulai kram. Ngilu sekali rasanya, ia bahkan sudah tak bisa lagi membedakan yang mana telapak kakinya dan yang mana sol sepatu. Seakan keduanya telah menyatu.

Disebuah warung rokok kecil pinggir jalan ia menghentikan langkahnya. Terlihat pemuda pemilik warung itu sedang membereskan dagangannya. Pemuda itu memandang ke arah Tomi.

“lari pagi kok subuh-subuh gini mas....” tanya pemilik warung itu.
“hahaha.... ngak mas... tadi abis berantem sama preman....”
“wooooo..... hati-hati mas kalo di daerah sini malem-malem... kamu bukan orang sini ya?”
“iya.... mas aku beli roti sama aqua gelas mas.....”
“tuh pilih aja rotinya... itu roti kemaren lho tapinya, jadi pilih yang bener, jangan yang udah jamuran....”
Tomi melongok dan mulai memilah roti di keranjang itu dengan sebelah tangan. Pilihannya jatuh pada sebuah roti isi coklat.
“ini aja mas.... sama aqua gelas.. jadi berapa?”
“seribu limaratus....”

Tomi merogoh kantung celananya mencari selembar uang pecahan dua ribu rupiah untuk membayar roti itu.
“ini mas... aku ambil aquanya satu lagi deh biar pas....”
“yowes.... makasi ya..”

Tomi mengambil dua buah air minum gelas di dalam box es batu berwarna merah. Ia kini duduk di trotoar jalan sambil menikmati sarapannya.

Terlihat di kejauhan cahaya menyilaukan mulai nampak di ujung jalan yang mengarah ke timur. Sang fajar sudah kembali. Langit biru gelap yang tadinya mendominasi, kini telah berganti dengan langit biru cerah. Di sisi yang lain, bulan yang tadinya terang benderang kini mulai memudar.

“hheeeeehhh...”
Tomi kembali menghela nafas panjang untuk kesekian kalinya. Mulutnya masih penuh dengan roti yang sedaritadi ia kunyah. Kerongkongannya tak kuasa menelan makanan itu.

‘ngak enaaaakkk.....’ begitu umpatnya dalam hati.
Tapi apa mau dikata. Itulah kenyataan.

Tidak selamanya orang akan berada di atas. Ada kalanya seseorang harus menelan pil pahit dan asam garam kehidupan.

Entah sampai kapan, Tomi tak mampu menjawabnya.
Yang pasti, ia harus tetap bertahan.

Dendam yang terbalas kini menyisakan ganjaran penderitaan yang harus ia jalani.
Suka atau tidak suka bukanlah pilihan.

Pilihannya saat ini hanyalah bebas tapi menderita, atau terpenjara dan menderita.
Kalau pembaca jadi Tomi...... anda mau pilih yang mana????

 BAB 2
SADNESS AND SORROW
Tomi masih saja berkutat dengan roti di tangannya.
Perutnya menolak mentah-mentah makanan murahan yang kali ini ia santap.
‘haduhh...... ini perut kok ga bisa diajak kompromi.....’ umpatnya dalam hati

“perantauan ya mas?” tanya penjaga warung rokok itu.
Tomi mengangguk.
“belum pernah kesini to??”
Tomi menggeleng.
“nih saya kasi tau..... kalo kamu belom punya tempat tinggal dan masih hidup ngegembel, jangan tidur sembarangan. Minimal kamu pergi ke kabupaten kota. Disana jarang ada preman, gak kaya di sini. Di kampung kayak gini preman bertebaran dimana-mana mas...”

Tomi menyimak pembicaraan itu sambil mencoba menelan roti yang dikunyahnya dengan meneguk air minum.

“seberapa jauh mas?”
“mau jalan kaki apa naik angkot?”
“kalau jalan kaki?”
“yahhh.... paling-paling sampenya besok... masih dua puluh kilo lagi....”
“kalo naik angkot bayar berapa mas...”

Pemuda itu mengangkat telunjuk sambil berkata.
“sepuluh ribu.... angkotnya yang warna kuning putih... tuh yang kayak gitu....”
Telunjuknya yang tadi menunjuk ke atas kini mengarah kepada mobil angkot yang sedang ‘ngetem’ di perempatan jalan.

“ohhh gitu ya..... makasih ya mas...”
“ga usah sungkan mas... saya juga pernah jadi perantauan... jadi saya paham susahnya jadi diri mas.....”

Tomi hanya tersenyum mendengarnya.
Mengetahui ada orang yang pernah senasib dengan dirinya merupakan obat yang sangat mujarab untuk mengusir sedikit rasa gundah.

“yawes to... kalo memang mau kesana harus cepat.... angkotnya gak banyak... sehari paling Cuma ada empat mobil aja yang lewat sini...”
Mata Tomi terbelalak. Serta merta ia segera menelan bulat-bulat roti di mulutnya dan menghabiskan air minum di gelas yang sudah ia buka.

“ohhh yaudah mas... makasih banyak ya mas...”
Tomi membungkukkan badan, mengutarakan rasa terima kasihnya. Ia memang jarang sekali melakukan hal itu ketika masih berstatus sebagai ‘anak orang kaya’ tapi sekarang keadaan sudah berbeda, maka dari itu ia tak segan untuk merendahkan egonya untuk sekedar mengucapkan terima kasih yang amat sangat.

Ia segera bangkit, menyambar tas hitamnya dan berlari kearah mobil angkot yang berada di perempatan jalan.

“kotaa...kotaaaa..kotaaa....” seorang pemuda berteriak-teriak memanggil penumpang.
Rupanya ia adalah supir angkot tersebut.

Hampir saja Tomi tak kebagian tempat, hanya tersisa satu saja tempat duduk di angkot tersebut walaupun berada di bibir pintu masuk. Beruntung baginya, angkot tersebut memang tidak akan pergi sebelum penumpangnya penuh.

“yoooo... berangkat yoo.....ayo mas.....naik-naik....”
Tomi yang sudah mencapai mobil itu segera naik, sebelah kakinya tidak bisa ia masukkan ke dalam mobil yang terpaksa harus ia letakkan di bagian pintu masuk yang seperti anak tangga.

Tubuhnya kini bersandar di pintu mobil yang terlipat dua.
Mobil mulai melaju. Deru angin semilir yang menerpanya seakan menjadi obat penghilang rasa lelah. Peluh dan keringat yang menempel di tubuhnya seakan tidak terasa, berganti dengan kesejukan yang kini menyeruak masuk di sela-sela sweater hoody (bener gak nik tulisannya ) yang ia kenakan.

Deretan bangunan yang ia lewati melesat dengan cepat di pandangannya.
Jalan di daerah itu sedikit rusak karena berlubang disana-sini. Namun sepertinya sang supir angkot sudah hapal betul dengan medan yang ia lalui. Beberapa kali mobil itu membanting setir ke kanan dan kekiri menghindari lubang.

Tomi harus ekstra waspada jika tidak ingin terlempar dari tempat duduknya. Berhubung ini adalah kali pertama ia naik angkutan kota, ia mengcengkeram badan angkot itu sekuatnya.

Pemandangan pedesaan kini telah berganti dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Hijaunya alam, rimbunnya pepohonan kini tak lagi dapat ia lihat.
Pemandangan seperti ini sudah sangat familiar dimatanya. Tak jauh berbeda dengan kota tempat ia tinggal dahulu.

Setidaknya ia cukup terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ia berharap dapat bertahan dengan keadaan ini sampai saatnya tiba, dan ia akan pulang.

Angkot itu sudah berhenti disebuah terminal besar dengan hiruk pikuk orang yang lalu-lalang.
Suasana khas perkotaan.

Di setiap sudut ia melayangkan pandangannya, puluhan pedagang kaki lima sedang menjajakan dagangannya.

“yoooo..... sepuluh ribu tiga yooo... celana dalam, sempak, BH, dipilih-dipilih... yooo...”
“sekilo lima belas rebu aja bu haji.. monggo bu..... apel, jeruk, pirnya dipilih ayoooo...”
“siapa lagi....siapa lagi.....obat mujarab buat ngobatin gatel-gatel, panu, kadas, kurap, semua bisa.... dari belerang asli.... siapa lagi.....”

‘hahaha...... sableng semua’ pikirnya.
Hari ini adalah pertama kalinya ia bisa tersenyum dengan tulus menghadapi kehidupan yang berat ini. Tak sepert hari-hari sebelumnya, ia hanya bisa tersenyum sedikit memaksa ketika berbicara dengan orang lain.

“kkkruuuuuyuukk...”
Perutnya yang tadi ia ganjal dengan roti nampaknya sudah mulai meronta kembali.

‘warung nasi...warung nasi... dimana engkau....’ batinnya.
Matanya kini jelalatan melihat berkeliling. Perhatiannya kemudian tertuju pada warung nasi yang berada di pojok terminal.

Perasaannya sedikit riang. Ia berjalan dengan santai, tanpa perlu khawatir ada orang yang tiba-tiba menarik lengannya dan memaksa menyerahkan dompetnya.
‘legaaaa......’

Ia memasuki warung nasi tersebut dan memesan menu standart, telor dadar dan sayur.
Tapi betapa terkejutnya ia, harga yang diminta begitu berbeda jauh dengan menu sama yang terakhir kali ia makan.

‘nasibbb...nasib.... apa mau dikata, ini kan di kota, bukan di desa...heeehhh’
Tomi menyodorkan selembar uang untuk membayar makanan itu.

Sesaat ia sempat menyesali kedatangannya ke kota besar itu. jika ia kalkulasi, maka ia harusnya dapat bertahan hidup dengan uang yang ia pegang hanya selama sebulan saja.
‘aduhhh....gimana ini....’

Selepas makan, ia kembali berjalan menyusuri hiruk pikuk kota itu.
Misi terbaru. Ia harus menemukan mata pencaharian, walaupun hasilnya tidak seberapa namun dirasa bisa mengulur waktu cukup lama agar ia tetap bisa makan.

Beberapa kali ia memasuki toko-toko di pinggir jalan, barang kali ada yang sudi mempekerjakan ia untuk satu hari saja. Ia memutuskan untuk bekerja serabutan. Setidaknya itu tidak meninggalkan jejak.

Hari-hari berlalu sejak saat itu.
Mencari pekerjaan di kota besar seperti itu tak semudah yang ia bayangkan.

Sejenak ia merenung, betapa mujur nasibnya dahulu.
Terlahir di keluarga yang kaya raya, seluruh kebutuhannya selalu terpenuhi, ia dapat bersekolah tinggi, masa depannya terjamin. ‘jadi begini nasib orang-orang kecil...’ batinnya.

Namun Tuhan masih berbaik hati menunjukkan jalannya. Walaupun terjal berliku, namun selama manusia percaya akan mukzizatnya, Tuhan tidak akan diam.

Setelah lelah berkeliling mencari pekerjaan yang tak kunjung ia dapatkan, Tomi kembali duduk termenung. Nafasnya masih terengah-engah, menimbangi suhu panas yang dipancarkan matahari.
Ia mengambil botol air yang ia simpan dalam tas hitam yang kini mulai kumal dan mulai meneguk isinya.

“glek..glek..glek..”
Air itu mengalir membasahi kerongkongannya, bagai oasis dipadang gurun nan gersang.
Kesadarannya yang mulai kabur kini pulih. Ia kembali bangkit berdiri dan mulai berjalan.

“Bruummm...brumm....”
Dua buah truk pengangkut beras berjalan dengan terburu-buru melalui belokan untuk masuk kedalam pasar. hampir saja tubuh Tomi terserempet.

‘heeeeeeehhh biarin lah.... namanya juga orang cari duit...’ pikirnya.
Jika saja ia masih berstatus ‘anak orang kaya’, mungkin ia akan segera melabrak dan memaki-maki pengemudi tersebut. Namun ketika ia merasakan beratnya mencari uang untuk hanya sekedar membeli sesuap nasi, ia dapat mengerti.

“ooyyyy...... mana si udin sama si maman??, ini barangnya dateng kenapa dia ga ada???”
“sakit bos.... meriang kata istrinya.... kalo si maman mah ngak tau kemana”
“adddoooohhhh..... udah cepet turunin tu beras.... jangan lama-lama, udah mau sore neehhh...”

Percakapan itu berlangsung di sebuah toko beras tempat kedua truk berwarna kuning itu berhenti. Tampaknya orang yang marah itu adalah sang pemilik toko. Ia kini duduk sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, hanya frustasi karena masalah yang baru saja datang.
‘hmmm.... barang kali gua bisa kerja di situ hari ini...’ batin Tomi.
Ia segera melangkah mendekati pria yang kini bangkit dari duduknya dan menunjuk-nunjuk para pekerjanya sambil sedikit berteriak.

“sore pak.....”
“ya..... kenapa dek?”
“saya liat toko bapak lagi sibuk... boleh gak saya minta kerjaan, untuk hari ini aja pak... saya belom dapet duit buat makan...” ucap Tomi.

Pria itu tertegun sejenak, wajah tampan Tomi sungguh tak menyiratkan bahwa ia adalah orang miskin yang bahkan tidak mampu membeli makanan.
“emang adek mau bantu ngangkutin beras?”
“mau pak.... gak apa-apa... yang penting saya dibayar....”
“ahhhh.... bagus-bagus... taro tas kamu di bangku sini trus kamu turunin tuh beras-berasnya...”
“baik pak..”

Dada Tomi kini bersorak. Senang sekali rasanya mendapatkan pekerjaan, walaupun hanya untuk satu hari. Ini adalah pekerjaan pertamanya dalam seumur hidup. Akhirnya....

Tas hitam kumal itu ia letakkan di atas bangku kecil di sudut tembok yang catnya sudah mengelupas. Ia melepaskan sweater yang ia kenakan lalu mulai terjun ditengah para pekerja yang sedang sibuk.

Kini, dua buah truk dengan muatan penuh itu digarap oleh empat orang termasuk dirinya. Tampaknya pekerja yang lainnya sudah lebih tua dari Tomi. Badan mereka sungguh kekar, dan terlihat terbiasa memanggul beban berat itu.
“ayo jangg....... angkutin kedalam... nanti mamang yang turunin berasnya dari atas....”
“oke mang... siap........”

Tomi mengulurkan tangannya meraih karung pertama.
‘aaaaaarrrrrrghhh..........gila, berat juga.... hampir kayak orang beratnya...’

Dengan sekuat tenaga ia mengangkat karung beras itu dan ia letakkan di bahunya.
Ia mulai melangkah dengan cepat agar beban di pundaknya itu cepat terlepas.

Ia kini sampai di tempat penumpukan beras. Karung putih berhias gambar dua ekor ikan lele itu ia hempaskan di bagian paling atas.
Berulang kali, satu persatu, akhirnya setelah dua jam bekerja keras ia dapat menghela napas panjang.

Ia duduk menyelonjorkan kaki sambil megap-megap mencari udara.
Latihan karate yang selama ini ia jalani serasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pekerjaanya hari ini. Sungguh melelahkan.
Ia menggengam bahu kanannya dengan tangan kiri dan mulai memijat. Rasa ngilu itu kini menghantui dirinya, pegal sekali.

“nih... minum dulu dek.....” pria pemilik toko itu menyodorkan segelas teh manis hangat kepada Tomi.
“aduh pak makasih banyak... jangan repot-repot...” Tomi mengulurkan tangan menerima pemberian itu.
“masih panas.... jangan diminum dulu.....”
Tomi hanya tersenyum dan mengangguk.
“kamu dari mana emangnya? Kok kumel amat....”
“saya perantauan pak, kabur dari rumah....” Tomi mencoba berbohong.
“lha kok kabur... kenapa? Ada masalah di rumah?”
“ibu tiri saya kasar.... jadi mendingan saya kabur aja pak.......”
“ooo gitu... trus tinggal sama siapa di sini?”
“hahaha.... saya ngegembel aja pak, tidur di emperan toko....”

Pria itu hanya menggelengkan kepala dengan heran.
“pantes....” ia berucap.
“kenapa pak?” tanya Tomi bingung.
“saya tau betul, tas, sepatu, sama pakaian kamu itu bukan barang murah... makanya saya bingung, kok mau-maunya kamu kerja serabutan begini...”
Tomi tertunduk malu.
“yahh... mau gimana pak... kalo gak kerja kayak begini saya gak makan...”
“yaudah gini.... kalo kamu mau, kamu boleh ke sini kapan aja kamu butuh kerja... memang sih saya gak bisa bantu banyak, Cuma bisa kasih segini.....”

Pria itu menyodorkan selembar uang kertas berwarna hijau.
“ohhh... gak apa-apa pak... segini juga udah bersyukur saya....”
“jadi gimana? Mau kerja lagi di sini kapan-kapan?”
“ya mau lah pak...”

Pria itu terkekeh.
“jarang lho ada anak muda kayak kamu mau kerja kasar begini, apalagi kamu dulu bukan orang susah.... yang anak orang susah aja kadang-kadang manja gak mau kerja....”
“aduh jangan gitu pak... saya jadi gak enak dipuji...”
“keh..keh..keh...... kamu ini lulusan apa?”

“sarjana teknik pak....”
Mata pria itu terbelalak.
“dunia ini emang udah gila..... sarjana teknik kok jadi kuli panggul....”
“ya gak apa-apa kan pak.. yang penting uangnya halal....”

Pria itu kembali menggelengkan kepala. Ia mengerutkan dahinya sejenak kemudian bangkit.
“ehh kamu mau duit lagi gak?”
“emang ada kerjaan lagi pak?”
“sini kamu ikut saya........”

Tomi menyeruput sedikit air teh yang sudah mulai agak dingin lalu bangkit mengikuti pria itu.
Mereka berjalan kedalam toko, lalu keluar lagi di pintu belakangnya.

“mobil saya rusak ngak mau nyala... saya belom ada waktu bawa ke bengkel... kamu bisa benerin ga”
“coba saya liat dulu pak..... bapak masuk aja ke mobil trus di stater...”

“nggggtttt...ngggtttttttt..ngggttt”
Mesin mobil itu berdecit tapi tidak mau menyala.

Tomi membuka kap mesin mobil itu, melihat berkeliling, mencari-cari sebuah kesalahan.
Tanganya dengan cekatan mengutak-atik mesin mobil itu.

“coba pak stater lagi....”
“nggtt...ngttt brrruuummmmmm.......”
Pria itu menggelengkan kepalanya sekali lagi sambil tersenyum di dalam mobil.

“bbruuuuuummmmmm.....bruuuuuuuuummmmmmmm”
Ia menginjak gas beberapa kali untuk memastikan bahwa mesin mobilnya sudah normal kembali.

“apa yang rusak dek?”
“cangklong businya karatan pak... udah berapa lama mobilnya di sini?”
“semingguan....”
“gak di kasih terpal?”
“hahaha ngak....”
“ohhh hahaha... gak apa-apa pak mobilnya, Cuma gara-gara kehujanan aja jadi koslet businya gak mau nyala semua, Cuma sebagian aja yang nyala...”

Pria itu merogoh kantung celananya, mengeluarkan dompet kulit berwarna cokelat tua.
Ia menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar kepada Tomi.

“wuihh pak.... banyak banget..... kebanyakan ini pak...”
“ssshhhhh.... udah kamu ambil aja.... toh kalo saya ke bengkel juga kenanya segitu kok....”
“ya tapi itu Cuma di bersihin doang pak...”
“kamu anggap aja rejeki kamu dek....”

Dengan ragu-ragu Tomi menerima uang yang di sodorkan oleh pria itu.
Matanya berkaca-kaca,tidak menyangka akan rejeki yang tidak ia duga.

“udah.. yuk balik lagi ke depan, saya mau nutup toko... udah sore...”
“iya pak.....”

“sreeekkkkkkkkkk..........”
Suara rolling door yang ditarik itu terdengar ketika Tomi sedang membereskan diri. Ia telah bangkit dan bersiap untuk pamit kepada bapak pemilik toko itu.

“pak makasih banyak sekali lagi... saya pamit...”
“ohhh.. iya-iya.. jangan sungkan dek... kalo butuh kerja kamu kesini aja...”
“iya pak....”

“crekkkk....crekkkk”
Rolling door itu telah digembok oleh sang pemilik.

Tomi kembali berjalan mencari tempat berteduh untuk ia bermalam.
Hari-hari berikutnya ia datang kembali ke toko beras itu untuk bekerja. Sang pemilik dengan senang hati memberinya pekerjaan, terkadang ia memberikan sepiring nasi dan lauk untuk Tomi makan.

Masih banyak orang baik di dunia ini. Hanya saja tak banyak di temui.
Setiap keburukan akan dibalas setimpal, namun sebuah kebaikan akan dibalas berlipat ganda. Hal itulah yang kini di imani oleh Tomi.

Hari-harinya berjalan dengan tenang, ia kini punya teman. Orang-orang di toko itu menyambut baik kehadiran dirinya. Canda tawa kembali ia rasakan. Walaupun...... bukan dengan keluarganya tercinta.

Ingatannya tentang Naya sempat terlupakan ketika ia menjalani hari-hari yang melelahkan dalam pelariannya. Namun sejenak ia kembali mengingatnya.

Siang ini, Tomi sedang duduk menyantap nasi bungkus yang ia beli di warung nasi dekat toko itu.
Atap asbes yang sudah pecah disana sini menjadi satu-satunya benda yang menaunginya dari terik sinar matahari.

Ia memandang sekilas kepada tas hitam yang setia menemaninya, di dalamnya terdapat sebuah telepon seluler yang entah sudah berapa lama tidak ia nyalakan.
Sejenak ia tergoda untuk menghubungi Naya. Sudah hampir dua bulan lamanya ia berkelana, entah apakah polisi masih mencarinya. Namun niat itu kembali ia urungkan.

Malam ini ia bernaung di sebuah jembatan penyebrangan. Angin berhembus. Hawa dinginnya menusuk kulit Tomi yang hanya terlindung oleh sweater tipis yang selalu ia kenakan.
Memandang ke langit berbintang adalah hobi barunya.Namun sayang, langit hari ini mendung. Tomi hanya tertunduk dan mencoba memejamkan mata.

“hahaha...hahh.... mulus banget boooyyy....”
“bangsat..... bajingan kalian.... lepasin...”
“tenang manis.... lu gak akan nyesel... kita berdua akan bikin lu klepek-klepek keenakan....”
“heh monyet... jaga mulut lu ya......kalo ngak....”
“apa sayang..... kan emang ini kerjaan lu..... udahlah, jangan munafik... sekarang lu nikmatin aja kontol kita.....hahahahaha.........”

Percakapan itu tak sengaja didengar oleh Tomi. Ia melirik jam tangannya.
Pukul sebelas malam, ternyata ia sudah tertidur sejenak tadi.

“toloonnnnnnnggg.....”
Suara itu kembali terdengar, suara seorang wanita yang putus asa mencari pertolongan.
“gak akan ada yang nolong perek macem lu Santi...... hahahah..... Beng... lu pegangin tangannya....”

Tomi segera bangkit. Mencari sumber suara itu terdengar.
Ia mulai melangkah. Suara itu terdengar dari sebuah lorong gelap diantara dua gedung bertingkat yang nyaris semua lampunya telah padam.

“jangaaaaaaaannn............”
Teriakan itu terdengar kembali.
Tomi mempercepat langkah kakinya. Setengah berlari, suara gaduh itu semakin dekat.

ia berhenti ketika melihat siluet tiga orang yang sedang dalam pergumulan.
Salah satunya wanita. Tangannya kini digenggam erat oleh seseorang di belakangnya, sementara yang satu lagi meraba tubuh wanita itu dengan jari-jari tangannya sambil menyeringai kejam.

“breeeeekkkkkk....”
Pakaian wanita itu dirobek dengan paksa oleh pria itu, kedua payudaranya kini menggantung bebas. Jari-jari tangan lelaki itu kini mulai menyentuhnya.

“Aaaaaaaaaa....................” wanita itu berteriak.
“hahaha..... kenapa Santi? Masa baru di grepe-grepe begini lu udah keenakan...?”

“cuiiihhhh.........”
Wanita itu meludah tepat diwajah sang pria.

“plak..............”
“perek bangsat...... berani-beraninya lu ludahin gua haa........ lu mau mati?? Ha???”
Tamparan itu tepat mendarat di pipi kiri wanita itu.

Wanita itu mulai meringis dan menangis terisak.
Tomi masih memandang berkeliling. Mencari sebuah tongkat atau apapun yang bisa di jadikan senjata. Namun sayang ia tak menemukan apapun.

Kedua pria itu tampak lebih besar dari dirinya.
Tomi berpikir sejenak, bagaimana menyelamatkan wanita itu. akhirnya ia bangkit.

“WOOOYYY...........LEPASIN....” Tomi berteriak.
Kedua pria itu menoleh kearahnya, sang wanita itu jatuh tersungkur. Kedua tangannya kini menyilang di dada menutupi payudaranya.

“ohhh...... ada pahlawan kesiangan boyyy........”
“hahahaaaa.........bocah begini mau lawan kita? Jangan mimpi........”
“udah ga usa lama-lama... kita habisin dulu ni bocah, baru kita garap perek itu lagi....”

Mereka melangkah maju mendekati Tomi. Tubuh mereka tidak seberapa tinggi. Tomi lebih tinggi beberapa senti dibanding mereka, namun ukuran tubuhnya sangat berbeda.

Salah satu pria itu berpostur tambun, gemuk dengan perut buncit dan kepala botak. Sedangkan yang satu lagi lebih kurus, namun perutnya sama buncit dan rambutnya gimbal.
Mereka menekan kepalan tangan dengan tangan yang lain, menciptakan bunyi gemeretak dari jari-jarinya.

Tomi sudah siap dengan semua kemungkinan. Tubuhnya sangat lelah karena seharian bekerja, ia tak tahu apakah ia dapat menang melawan mereka dengan keadaan seperti ini.
Ia mengangkat kedua tangannya kedepan dengan posisi kepalan tangan terbuka, siap untuk menangkis semua serangan yang dilancarkan kepadanya.

Melawan secara langsung kepada dua orang dengan postur tubuh lebih besar bukanlah pilihan bagus. Ia memilih untuk melawan dengan posisi bertahan.

“MATI LO BOCAAAHH.....” pria tambun itu melancarkan tinju dengan tangan kanannya.
Tomi berkelit ke kiri, meraih tangan pria itu dan menariknya ke belakang.

“Duuuunnnggg...”
Pria itu terungkur menghantam drum bekas yang berada di sebelah dinding karena momentum berat badannya yang tidak seimbang. Sementara pria yang lebih kurus mencoba menyerang Tomi.

Jangkauan tangan pria itu memang tak sejauh Tomi, namun gerakan tangannya cukup cepat karena lengannya yang tak seberapa besar.

Tomi berusaha menangkis serangan-serangan itu. salah satu pukulan itu mengenai bahunya, namun Tomi segera membalas dengan menyarangkan tinjunya ke wajah pria itu.

“duugggg........”
Pria itu jatuh terjerembab dengan rahang yang berdarah. Salah satu giginya patah, namun Tomi juga merasakan sakit di kepalan tangannya yang beradu dengan mulut pria itu.

Buku-buku kepalan Tomi mengeluarkan darah kulitnya robek sedikit.

Wanita itu memandang ngeri melihat ketiga laki-laki yang sedang berkelahi itu.
Bibirnya gemetaran, airmatanya mengalir lebih deras dari sebelumnya.

Pria tambun itu kebali bangkit. Ia menerjang Tomi dengan tubuhnya.
Tomi terhuyung kebelakang dan membentur tembok keras yang dingin.

Dengan dahinya Tomi menghantam wajah pria itu.
Pria itu terhuyung kebelakang, kemudian dengan sekuat tenaga Tomi mengayunkan kakinya kearah kepala pria itu.

“DAAAAKKKKK.....”
Sebuah hantaman keras membuat tubuh pria itu melayang sejauh satu meter. Ia jatuh terjerembab sampai berguling-guling.

Pria itu tidak bangkit lagi, hanya memegangi lehernya yang terasa sangat sakit karena beradu dengan ayunan kaki kanan Tomi.

Perhatian Tomi kini beralih kepada pria yang rahangnya berdarah.
Ia berjalan pelan mendekati pria itu.

Pria itu mundur perlahan, seperti takut untuk melawan.

Tomi melesat maju, ia menyarangkan pukulan tangan kirinya di rusuk pria itu.
“Aaaaaaaaghghhh....” pria itu tertunduk seketika.

Lalu dengan tangan kanannya Tomi mengakhiri perkelahian itu.
Sebuah pukulan sekuat tenaga ia sarangkan lagi di wajah pria itu.

“Duuuuugg....”
Pria itu jatuh terjerembab. Wajahnya membentur semen yang menjadi tempat mereka berpijak.
Kepala pria itu kini mengeluarkan darah yang menetes. Ia tidak bangkit lagi.

“hmmm..... banyak juga duit lu bocah.... oke lu bisa ambil cewe itu.. hahahaha.... gua udah dapet yang lebih bagus....”

Mata Tomi terbelalak melihat pria tambun itu sudah berdiri menggengam dompetnya.
Seketika itu ia meraba saku celananya. Benar saja dompet itu tak ada disana, mungkin dompet itu terjatuh ketika mereka berkelahi tadi.

Seluruh uang yang ada didalamnya kini berpindah tangan, digenggam kasar oleh pria tambun itu. Uang hasil kerja kerasnya.

“ANJING.... BALIKIN DUIT GUA....” Tomi berteriak.
Namun pria tambun itu melemparkan dompet Tomi jauh-jauh dan ia lari ke arah sebaliknya.

Dompet atau uang.... dompet atau uang......

Pilihan itu sangat sulit, mengingat di dompet itu terdapat kartu ATM yang berisi tabungannya.
Akhirnya ia memilih mengambil dompetnya.

Tomi menoleh kearah wanita yang ditolongnya itu. ia cantik, kulitnya putih bersih, tingginya kira-kira sebahu Tomi.
Ia berjalan berlahan kepada wanita itu sambil melepaskan sweaternya.

“nih mbak... pake aja dulu, baju mbak robek-robek......”
Tomi menyerahkan sweaternya kepada wanita itu.

“emmm.... emang agak bau sih mbak.... soalnya gak pernah dicuci... maklum, saya gelandangan....”
Wanita itu mengulurkan tangan menerima pemberian Tomi.

Sweater itu ia kenakan sementara Tomi memeriksa tubuh pria yang masih terbaring dengan kepala berdarah.

“Cuma pingsan.... ayo mbak.. saya anter pulang... sudah malam, bahaya cewek jalan sendirian” kata Tomi.
Wanita itu tetap membisu tak menjawab, ia hanya mengangguk.

Dalam perjalanan, wanita itu tetap tak mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin masih shock akibat insiden yang menimpanya.

Setelah lima belas menit berjalan kaki, wanita itu mulai bicara.
“makasih ya mas.... kalo gak ada mas, mungkin saya udah diperkosa sama mereka...”
“ohhh gapapa mbak, udah kewajiban saya nolong.... ngomong-ngomong mbak kenal sama mereka?”
Wanita itu mengangguk.
“oh iya.... kenalin, saya ummm Andre.....” Tomi mencoba berbohong. Ia tak ingin ada yang mengenal nama aslinya, karena nama Andre itulah yang juga diketahui oleh teman-temannya di toko beras.
“Santi.....” mereka berjabat tangan.

“aaaawwwwwww.........” Tomi memekik.
“aduh... kenapa mas?”
“emmm... ngak... gak apa-apa.. Cuma lecet...”
“mana sini saya liat........”

Wanita itu meraih telapak tangan Tomi. Di punggung tangan itu terdapat luka robek yang cukup besar dan dalam, tampaknya diperoleh Tomi ketika meninju rahang pria itu.
“tangan mas berdarah......” ucap wanita itu lirih.
“alahhh.... biasa kok.. Cuma luka kecil....” kata Tomi.

“nanti... saya obatin dulu dirumah saya ya mas....”
“ohhh gak usah.. udah...... gak apa-apa kok mbak...”
“jangan mas..... anggap aja saya balas budi.... yang bisa saya lakuin gak seberapa dibanding pertolongan mas.....” kata wanita itu.
“beneran mbak ngak apa-apa....”
“kalo saya maksa???”

‘aduh......... jadi tengsin gua.... mana di mbak cakep banget lagi.....hadehhh........’
“mmm... yaudah mbak........”
Wanita itu tersenyum tipis. Manis sekali senyumnya, sedari tadi Tomi belum melihat wanita itu tersenyum.

Setengah jam mereka berjalan.
Langkah kaki mereka bergulir menuju sebuah gang yang didalamnya terdapat kontrakan berderet yang agak kumuh.

Pintu kontrakan itu terbuka. Hanya ada satu kamar di dalamnya, dapur, ruang tidur, ruang tamu, semua menjadi satu. Hanya kamar mandi kecil berukuran 1x1 meter yang terlihat disekat. Dinding-dinding ruang kamar itu sudah mulai berjamur, catnya mengelupas, dan plafonnya juga sudah bolong disana-sini.

“rumah saya jelek mas.... jangan malu ya...”
“halah mbakk..... masi untung punya tempat tinggal... saya tuh kalo gak di kolong jembatan, ya di emperan toko tidurnya....”
“ahhh... bohong.... masa cowo seganteng mas....ups...”

Mereka tiba-tiba diam seribu bahasa.
“eeeeehhh..emm..... mau minum apa mas? Biar aku buatin... mas pasti haus...” kata Santi gelagapan.
“ohhh..emm...ahhh iya mbak... air putih aja... jangan repot-repot...” Tomi pun tak kalah salah tingkah dibuatnya.

Santi mengambil gelas dan menuangkan air dari ceret allumunium berwarna kuning.
Kemudian air itu disodorkan kepada Tomi.

“minum dulu mas Andre....” ucapnya.
Santi segera bangkit dan membelakangi Tomi. Sweater lusuh itu ia lepaskan, lalu ia letakkan kedalam ember yang berisi air.

“ehh mbak..... sweaternya kok dibasahin....”
“ohhh.... biar saya cuciin dulu mas.... udah kotor banget, biar kalo mas mau pergi besok pagi udah bersih.....”
“yaaahh...jangan mbak... gak usah repot-repot..... tadinya saya mau pergi sekarang...”

Santi menoleh tanpa membalikkan badannya.
“yahhhh..... maaf mas uda terlanjur basah nih.... aduh... maaf banget mas...”
“yaudah mbak gak apa-apa... nanti biar saya peres aja....”
“udah mas nginep aja dulu disini.... jangan sungkan....”
“ihhh mbak.... gak enak lah.... nanti kalo diliat tetangga mbak, bisa salah paham...”

Santi mengambil handuk dan melilitkan ketubuhnya yang terbalut pakaian robek.
Ia meraih ember tempat sweater Tomi lalu membawanya masuk kedalam kamar mandi.

“mas Andre tenang aja..... tetangga di sini semuanya temen saya....mereka malah lebih sering bawa lelaki”
“mm...maksudnya......”

“klek....”
Pintu kamar mandi itu menutup.

“yah.... mas mungkin tadi udah dengar dari dua orang itu.... saya ini dulunya pelacur...”
Santi berbicara dari dalam kamar mandi yang bagian atasnya tidak sepenuhnya tertutup. Tembok kamar mandi itu hanya setinggi dua meter, menyisakan ruang setengah meter di atasnya yang menyatu dengan ruang utama.

“umm.... maaf mbak.. bukan maksud saya nyinggung masalah itu....”
“mas malu ya..... kalo pagi-pagi keluar dari rumah pelacur....” ucap Santi lembut sambil mengguyur tubuhnya dengan air.

“ihhhh mbak... jangan pake kata-kata itu ahh.... gak enak di dengarnya...”
“kata-kata yang mana?”
“ituu..........” Tomi mulai gemas.
“pelacur...??”
“SSssssshhhhhh..... masih aja disebut ah.... jangan gitu mbak...”
“ohhh... hihihi..... tapi itu kan kenyataannya... dulu saya memang cewe kayak begitu.... tapi sekarang udah ngak....”
“ohhh..... bagus kalo gitu mbak.....sekarang kerja dimana?”
“jadi pelayan warung pecel lele...”
“ohhh.. pantesan pulangnya malem...”

“byurrr...byurrr...”
Siraman demi siraman terdengar. Mereka masih melanjutkan percakapan mereka.

Tak lama, Santi keluar dari kamar mandi. Handuk biru itu melilit tubuhnya yang langsing.
Sangat indah.....sangat sexy.... semok.....ahhhh.... pesona itu...oooohhhh

‘stoooppppp........... jangan berpikir yang ngak-ngak, tenang Tom tenang....’ batin Tomi. Seketika penis Tomi mulai menegang melihat pemandangan itu. membuat ukuran celananya seakan mengecil dua nomor.

Butir-butir air yang masih menempel di kulitnya yang putih bersih, tanpa noda sedikit pun. Rambut hitamnya yang tergerai lembut di bahunya. Wajahnya yang begitu cantik ketika mata wanita itu terpejam.

‘sss....sstoooopp...stooppp........ alamak....kenapa jadi keras begini...’
Keringat dingin mulai keluar di tengkuknya. Desir nafsu yang sudah hampir dua bulan ia pendam kini meluap-luap.

“kenapa mas?”
“engg....engak-engak.... udah mbak pake baju dulu... gerah saya liatnya...”
“ohhh..hahaha..... kirain apa... mas kalo mau mandi, pake aja kamar mandinya...”
“b-boleh mbak?”
“ya boleh lah.... masa mandi aja gak boleh...”

‘hufff....... selamet... ini si junior udah berontak..’
Tomi hanya tersenyum. Ia kini mengaduk-aduk tas hitamnya. Mencari sehelai baju yang masih bersih untuk ia pakai.

Tomi memang jarang mengganti baju walaupun ia mandi setiap hari di WC umum.
Maklum lah... ia hanya memiliki tiga stel baju yang ia bawa di dalam tas itu. hanya satu kali seminggu ia mencuci baju-bajunya yang sudah kotor. ‘hemat sabun’ pikirnya.

Ia melangkah, meninggalkan Santi yang tubuhnya masih terbalut handuk. Santi saat itu sedang mencari-cari pakaian untuk ia kenakan dari dalam lemari kecil sehingga ia harus membungkuk membelakangi Tomi yang lewat.

‘what a damn ass.......’ batin Tomi.
Ia menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Berusaha membuang jauh-jauh pikiran kotor yang sedari tadi hinggap dalam angannya.

“crekk..”
pintu kamar mandi yang terbuat dari alumunium itu tertutup.

Kini Tomi sudah berada di dalam ruang sempit itu. sebuah ember diletakkan di atas sebuah WC jongkok. Tempatnya berdiri sungguh sempit sekali. WC itu memakan setengah ruang yang terdapat didalamnya.
Dinding-dinding kamar mandi itu jauh lebih buruk dari tembok yang berada diruang utama. Tak hanya jamur, namun juga lumut hijau tebal menyelimuti sudut-sudutnya. Berbeda sekali dengan kamar mandi dirumah mewahnya dulu.

Ia segera menanggalkan pakaiannya satu persatu, lalu ia sangkutkan di deretan paku yang menancap di dinding.

“byurrrrr........byuurrr......”
Air yang menyiram tubuhnya terasa begitu dingin. Mengingat saat itu sudah lewat tengah malam. ‘juniornya’ yang sedari tadi tegak menjulang, kini meringkuk lesu kedinginan.

‘akhirnya....... tenang juga nih si Tomi jr.’

Dinginnya air membuat Tomi tak ingin berlama-lama didalam kamar mandi. Ia segera menyelesaikan mandinya dan mengenakan pakaian kembali.
Kali ini Tomi mengenakan kaus putih yang sebenarnya sudah tidak putih lagi. Beberapa bercak noda terlihat disana sini karena ia pakai bekerja.

Ia melangkah keluar kamar mandi. Badannya bergetar, ia menggigil kedinginan.
Seandainya saja sweaternya tidak basah, mungkin ia akan kembali mengenakan sweater bau itu agar tidak kedinginan.

“dingin ya mas airnya?”
‘Damn shit.... baju tidurnya...... my god, she’s damn sexy’
Darah di kepala Tomi mulai berdesir kembali. Dipandangan matanya, Santi kini mengenakan dress tanpa lengan berwarna pink yang cukup tipis, sehingga mata tomi dapat menerawang dan melihat pakaian dalam yang dikenakan oleh Santi.

“i-iya....brrrrr...... gak biasa mandi malem soalnya”
“ohhh.....sini, duduk samping Santi biar ‘anget’...”
“ehh.... iiiisshhh... mbak jangan gitu ah... gak enak saya...”
“hihihi.... kenapa? Takut digodain sama aku ya?”
“bukan gitu....hiiiiii dingin banget..........” Tomi mendekapkan kedua tangannya merapat, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kehangatan diri yang masih melekat.

“udah mas gak usah malu-malu gitu... kan kita Cuma ‘berdua’......”
“justru itu...... saya...emm..... takut hilang kontrol...hahahahaha....”
“udah gak usah segitunya.... sini...” Santi menepuk kasur kapuk tempatnya duduk.

Dengan senang hati... ehh...... dengan berat hati Tomi akhirnya menurut.
Mereka kini duduk bersebelahan. Santi mengambil selembar selimut untuk menutupi sebagian tubuh mereka.

“mbak tinggal sendirian? Keluarga mbak kemana?”
“ha.?? Ohhh.... pada mencar-mencar semua mas.... kalo orang tua udah ngak ada...”
“ups... maaf mbak.. ngak maksud...”
“iya...udah ga usah minta maaf segala.....”
“kamu sendiri kenapa hidup gak karuan gini?”

Mereka mulai bercakap-cakap membicarakan tentang diri mereka. Tomi menceritakan cerita bohong bahwa ia kabur dari rumah, seperti biasa. Sedangkan Santi mulai bercerita tentang dirinya.

Ia lahir dalam keluarga yang serba kekurangan, ayahnya sudah meninggal sejak ia masih berumur lima tahun, sejak itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Menghidupi keluarga yang terdiri dari satu ibu dan tiga orang anak.

Santi adalah anak pertama dari tiga bersaudara yang semuanya adalah perempuan.
Kehidupan mereka sebelumnya sangat normal. Walaupun terbentur berbagai keterbatasan, namun semuanya cukup normal. Mereka bisa makan, Santi dan adik-adiknya bisa bersekolah. Bereka bahagia. Sampai suatu hari, ibu Santi sakit keras.

Saat itu Santi baru saja lulus dari bangku SMA.
Tabungan yang selama ini dikumpulkan oleh ibunya, seketika itu ludes. Habis tak bersisa untuk biaya pengobatan (lhooo kok kayak agen asuransi ini narasinya... hadehhh).
Keharusan untuk tetap bertahan hidup, untuk membiayai pengobatan ibu dan biaya sekolah adik-adiknya kini menjadi beban yang dipikul oleh gadis berumur 18 tahun saat itu.
Ia segera mencari pekerjaan kesana-kemari.

Sampai pada suatu hari, Santi memutuskan untuk ‘menjual diri’.
Saat itu Santi sedang bekerja di sebuah agen sembako. Pekerjaan itu dijalaninya dengan ikhlas, walaupun memang hasilnya sangat pas-pasan. Pengobatan ibunya terhenti. Ibunya memberi amanat untuk mendahulukan pendidikan kedua adiknya.
Dilanda stress yang mendalam, bos pemilik agen itu menawarkan bantuan.
Santi dijanjikan akan diberi uang sebesar sepuluh juta rupiah, dengan syarat.... memberikan keperawanannya.

Sejak saat itulah kehidupan Santi berubah, ia lebih suka menjajakan tubuhnya demi mendapatkan uang.

Air mata mulai membasahi wajahnya yang sembab. Tampak berat sekali bagi Santi untuk menguak luka masa lalunya itu. sungguh kenyataan yang tak bisa disesali, bahwa setelah ia memiliki banyak uang, ternyata ibunya juga tak dapat tertolong.

Tomi menggengam jemari Santi untuk sekedar menenangkan wanita itu dari kelamnya kenangan masa lalu.

Genggaman itu dibalas dengan kuat oleh Santi.
Wanita itu merapatkan tubuhnya kepada Tomi. Menyandarkan kepalanya dipundak seorang laki-laki yang baru ia kenal.

Tomi tak kuasa menolak. Ia menaruh simpati yang besar kepada Santi yang kini sudah terlepas dari belenggu prostitusi dan kembali ke jalan yang lebih baik.

Harum aroma rambut Santi merebak. Memanjakan hidung pria manapun yang mencium aroma itu. Tomi membelai rambut wanita yang masih terisak di bahunya.
Lengan Santi kini memeluk perut Tomi. Entah mencari kehangatan di tengah udara dingin, ataukah mencari sebuah ketenangan dalam lindungan sesosok mahkluk bernama laki-laki.

Isak tangisnya mulai mereda. Namun dekapan tangan Santi semakin erat memeluk tubuh Tomi.
‘ohh god........ her breast...”

Pikiran Tomi mulai melayang-layang entah kemana.
Hangatnya tubuh Santi yang mendekapnya erat membuat penisnya kembali berdiri.

Santi mendongak, memandang wajah laki-laki yang sedang di dekapnya erat-erat.
Pandangan mereka bertemu.

‘lepasin mata gueee........lepasin mata gue..........’
Aroma nafasnya begitu menggairahkan. Tomi dapat dengan jelas mencium aroma pasta gigi yang digunakan oleh Santi. Aromanya segar, menggugah selera.

Kedua bibir mereka semakin dekat. Hangat nafas itu kini dapat Tomi rasakan dengan jelas. Kembusannya, aromanya. Bibir mereka kini hanya satu milimeter jauhnya.

Semakin dekat...... akhirnya bibir mereka bersentuhan satu sama lain.
Dilanda nafsu yang memuncak, Tomi dengan kesadarannya yang masih tersisa, sekuat tenaga berusaha melawan gejolak birahi yang menguasai pikirannya.

Lengan Santi yang mendekap erat pinggan Tomi, entah kapan sudah berada di pundaknya.
Kedua bibir mereka kini berhimpitan. Santi mengeluarkan lidahnya, menyapu bibir Tomi dengan sebuah jilatan penuh makna.

‘what everr..........damn she’s so sexy....’
Tomi membalas dengan menjilat lembut bibir Santi bagian atas. Lidah mereka kini bertemu, berdansa dalam tarian yang seakan tak akan berakhir.

Perlahan, posisi mereka mulai berubah. Dengan tangan yang merangkul leher Tomi, Santi menarik dirinya merebah, menghempaskan tubuh Tomi dalam lembah kenikmatan dekapan seorang wanita.

Payudara Santi yang cukup besar itu kini menghimpit dada Tomi.
Santi membuka pahanya lebar-lebar, membiarkan tubuh Tomi merapat lebih dekat. Ia menjepit pinggang Tomi dengan kedua pahanya, sementara ciuman mereka semakin memanas.

Dengan sebelah tangan, Tomi membelai rambut Santi. Memberi khayalan akan kenikmatan yang sekarang membuai angan wanita itu terbang menjauh.

Sapuan lidah Tomi kini merambah lehernya yang jenjang.
Kulit Santi yang putih bersih membuat nafsu Tomi makin memuncak.

Ia bagai terhipnotis oleh bayangan erotis yang memenuhi otaknya.
“mmmmmmhhhhhh..........” Santi melenguh pelan. Sapuan lidah itu mengenai bagian dirinya paling sensitiv. Lidah Tomi kini menyapu bagian bawah telinganya.

Kedua tangan Santi kini menyelusup dibawah kaus putih yang dikenakan Tomi. Membelai lembut punggung laki-laki itu. Desir aliran darah dirasakan oleh Tomi. Ciumannya kini menuruni leher jenjang wang wanita yang dimabuk asmara.

Perlahan sapi pasti, tiap inci lekuk dada wanita itu tak ada yang luput dari sapuan lidah Tomi.
Mata Santi terpejam. Ruangan itu kini dipenuhi oleh aroma birahi dari kedua insan yang sedang mabuk asmara. Asmara sesaat, namun cukup untuk menaikkan suhu ruangan itu beberapa derajat.

Dengan kedua tangannya, Santi menarik kaus putih yang dipakai Tomi melewati kepalanya.
Memamerkan dada Tomi yang kini mulai berotot, perutnya yang mulai kekar. Santi merasakan dengan seksama, tiap inci lekuk tubuh lawan mainnya itu.

“mmmhh...mas....” ia menggumam, Santi kini menggigit bibir bagian bawahnya yang berwarna merah muda.

Tak mau kalah. Jemari Tomi kini menjelajahi lekuk tubuh sang wanita. Menenterpresikan gambaran akan indahnya bentuk tubuh ideal seorang wanita. Rabaan itu kini mengusap lembut bongkahan payudara yang tak sanggup ia genggam.

Santi mengambil alih dominasi permainan. Tanpa dikomando ia melepaskan gaun tidur tipis yang ia kenakan. Lekuk tubuhnya kini hanya terhalang oleh bra dan celana dalam minim yang masih melekat.

Tomi kembali memeluk wanita itu. menyelusupkan jemarinya diantara kasur dan punggung sang gadis. Dengan cekatan, jemari itu melepas kait bra yang dikenakan Santi dengan mudah.
Perlahan, Tomi menarik ambang batas yang menghalangi wajahnya dengan bongkahan payudara utuh milik Santi.

Sapuan lidah Tomi semakin liar. Seakan lapar akan lekuk tubuh wanita.
Ia melahap bongkahan payudara itu dengan rakus. Dimulai dari kedua sisinya, memutar sampai ke atas, dan berakhir pada tonjolan kecil berwarna senada dengan bibir Santi.

Lidah Tomi seakan menemukan cinta sejatinya, ia melumat habis puting payudara yang mengeras itu. jilatan, hisapan, kuluman, bahkan gigitan kecil, semua yang dapat Tomi lakukan telah ia laksanakan.

“hhhhaaaaaahh...aaaaaaahhhhh.....mas Andre...Aaaaahhhh”
Santi memanggil pria yang ia kenal dengan nama itu.

Cukup lama bermain diatas bukit kembar itu, lidahnya kini menjelajah kebagian bawah tubuh Santi. Mengeksplorasi tiap jengkal tubuh yang sebentar lagi akan memberinya kenikmatan.

Dengan kedua tangannya Tomi menarik dengan lembut celana dalam yang dikenakan Santi. Lipatan vagina berwarna kemerahan yang jarang ditumbuhi rambut itu siap menerima apapun yang dilakukan oleh Tomi.

Tomi memulai kembali aksinya dengan gerakan yang lembut. Lidahnya tanpa sifat agresif menjelajahi lipatan-lipatan vagina Santi. Seakan membalik halaman buku dengan jari, lidah Tomi menyeruak masuk diantara lipatan vagina itu, menari-nari diatas titik super sensitiv dari diri seorang wanita.

“AaaaaaaHhhhh... mas....Aaaahh....enak mas......Teeruuuuss....MMMmmmhhh..”
Jemari tangan Tomi mulai bergerak, menyusuri tubuh Santi bagian samping, mulai dari pinggang, rusuknya, hingga ketiaknya.

Santi mengarahkan kedua tangannya keatas. Memberi jalan kepada sepasang tangan yang memberinya kenikmatan. Jemari Tomi kini mendarat kembali diatas bukit kembar yang sudah mengacung.

‘empukk gila.......kenyal.........mmmmmhhhhh.........’
Dengan gemas, Tomi memainkan puting payudara Santi dengan jari telunjuk dan jari tengahnya. Puting itu terselip rapat diantara sepasang jari yang mulai memilin dan menghimpitnya. Sementara telapak tangan Tomi menikmati tiap detik kelembutan yang dirasakan kulit tangannya yang kini agak kasar.

Santi mendekap sepasang tangan Tomi dengan kedua tangannya. Membimbing jemari Tomi untuk meremas lebih kuat, lebih kasar, lebih liar.

“Aaaaahhhh...Aaaaaaaaahhhh.....mmhhaaaassss....Aaa aahhh....”
Kelopak mata santi terpejam erat. Tekanan pada punggung tangan Tomi semakin menguat.

“AAAAaaaaaaakkhh.............aaaaaahhhhhhh”
Tiba-tiba kepala Tomi dijepit kuat oleh kedua paha Santi. Menandakan orgasme pertama wanita itu telah diraihnya.

“m-masss.... nakal yahh..... bikin aku keenakan....”
Santi kini telah membuka mata. Menatap wajah Tomi lekat-lekat.

Cairan kenikmatan yang menyembur dari vaginanya kini membasahi bibir Tomi.
Santi mengulurkan tangan, ia bangkit. Telapak tangan lembut itu menyentuh pipi kiri Tomi. Santi mendekatkan wajahnya dan mulai menjilati cairan vaginanya yang tersisa di wajah Tomi.

Lidah kedua insan itu kembali bertautan, sementara jemari tangan Santi mulai meraba tonggak kejantanan milik Tomi. Dengan cekatan ia melepaskan mahkluk buas itu dari sangkarnya.

Daging kenyal itu kini menjelma menjadi tiang pancang nan kokoh.
Santi mendorong perlahan dada Tomi. Mempersilahkan tubuh lelaki itu merebah.

Celana jeans yang dikenakan Tomi mulai ditariknya perlahan hingga terlepas, begitu juga dengan celana dalamnya. Kini, tak ada lagi yang dapat menghalangi lidah Santi untuk beraksi.

Sapuan pertama telah mendarat di kepala penis berbentuk jamur itu.
‘gila.... gede juga...’ batin Santi, sesaat ia menelan ludah.

Bibirnya yang merah merekah kini terbuka lebar. Mempersilahkan benda panjang nan keras itu untuk menyeruak memasuki mulutnya.

“sluuurrppp”
Santi menghisap kuat sambil mengangkat kepalanya perlahan. Seakan menyedot seluruh nyawa yang ada dalam tubuh terlentang itu.
Ketika bibirnya telah mencapai kepala penis itu, ia kembali melesakkan batang tegak itu kedalam mulutnya.

Tak mampu menelan seluruhnya, lidah Santi meliuk-liuk dalam rongga mulutnya.
Tomi tak kuasa membuka matanya. Kelopak mata itu terkatub rapat-rapat, satu-satunya reaksi yang nampak pada dirinya hanyalah desahan nafasnya yang mulai memburu.

Tak kuat menahan keinginan untuk segera merasakan kejantanan itu, Santi menyudahi aktiitasnya. Ia segera naik dan menduduki pinggang Tomi.

Badan Santi kini membungkuk, ia mengangkat pinggulnya agak tinggi sambil memegang penis Tomi. Jemari itu membimbing tonggak kenikmatan yang sebentar lagi akan mengeksplorasi vagina miliknya.

“Sssssreett.....”
“Aaaaaaaaa....aaahhh....”
Penis itu tenggelam seluruhnya dalam liang kenikmatan Santi.
Santi diam, belum bergerak sedikitpun. Hanya jemari tangannya yang menarik telapak tangan Tomi untuk singgah di payudaranya yang membusung. Ia masih membiasakan diri dengan penis yang baru kali ini ia rasakan.

Perlahan, pinggulnya mulai bergerak memutar.
Mata Santi terpejam, begitu juga dengan Tomi. Entah apa yang mereka bayangkan, namun raut wajah penuh kenikmatan itu tak mampu berbohong.

Dengan kedua tangannya, Tomi mulai meremas payudara Santi. Menemani tubuh wanita itu yang mulai bergerak naik turun melayani penisnya.

“Aaaaahhhh...Aaaaaahhhh.....Aaaahh....”
Desahan penuh kenikmatan itu tak mampu dibendung oleh bibir tipis sang wanita yang kini menggerakkan tubuhnya. Santi menopang tubuhnya dengan kedua tangan yang mencengkeram kuat dada Tomi yang bidang.

Perlahan tapi pasti, gerakan keduanya mulai berubah. Dari lembut, menjadi liar... dari liar, menjadi beringas...
Kedua insan itu telah dirasuki oleh birahi yang tak terbendung lagi.

Santi menggenjot tubuhnya sejadi-jadinya. Vagina kemerahan itu menagih untuk dimasuki lebih dalam lagi. Lebih cepat lagi...
“Aaaahhh......Shitttt..........masss.......aaahh.. ...” kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya yang kini terbuka.

Santi menghujamkan penis Tomi sedalam mungkin, mengejar kenikmatan yang hampir diraihnya lagi.
“gilaa.......aaaahhhhhhh.....mas.....enak banget......mmmmhh...”

Tomi menghentakkan pinggulnya naik turun. Beban berat tubuh sang gadis seakan tak menjadi penghalang baginya. Tubuh langsing sang gadis melompat-lompat. Area kelamin mereka berhimpit dengan keras, menciptakan bunyi kecipak bagai genangan air yang dilalui sepasang langkah kaki.

“creekkk....creekkk...creeeekk....”
“mmmaasss..maa...sss.....aku....keluaaarrrr....... .”
Cairan hangat menyembur di sela organ intim mereka yang masih bergesekan.

Beberapa detik kemudian Santi jatuh dalam pelukan pangeran cintanya malam ini. Tubuh itu lemas, tak kuasa menahan amukan orgasme yang baru ia rasakan.

Tomi merebahkan tubuh wanita itu kesamping. Ia bangkit dan mulai mengambil alih arah permainan. Penisnya sudah menagih untuk digesekkan kembali kedalam liang vagina itu.

“ssreeet....”
“Aaaahh.........” Santi memekik pelan.
“mmmmmhhh....memek kamu enak banget mbak......Ahhhh...Aahhh...”
Tomi berusaha mengatur napas disela gerakannya. Penis itu menghujam dalam, gerakan itu cukup cepat untuk membuat wanita manapun tak mampu menahan desahan dalam mulutnya.

“mmmaasss....ahhh...entotin San...tii.....teruss mas... ahhhh....ahhh....” ceracaunya.
Santi yang sudah lemas tak bisa berbuat banyak untuk mengimbangi permainan Tomi. Ia hanya diam, membiarkan Tomi menikmati tiap jengkal tubuh indahnya.

Lima menit berselang, mereka berganti posisi.
Santi merubah posisinya yang terlentang menjadi menelungkup tanpa melepaskan penis Tomi dari cengkeraman vaginanya. Santi mengangkat pinggulnya, ia kini berlutut membelakangi Tomi.

Tomi menrangkul pinggang Santi dengan lembut. Tubuh sintal itu mulai bergerak perlahan, maju mundur dengan irama stabil.

“mmppphh....” gerakan perlahan itu menimbulkan sensasi tersendiri bagi Tomi.
Gemas dengan ritme yang pelan, namun nikmat.

Tomi merasakan penisnya mulai berkedut. Darah yang mengalir di arterinya memaksa batang penis itu mengeras sempurna.

‘aarrrghhhhh... gila... gua udah ga tahan....’ batin Tomi.
Jemari tangan Tomi yang merangkul pinggang Santi kini meraih kedua payudara Santi yang menggantung.

“sllleeeeppp...sleeepp....”
Tomi menghentakkan tubuhnya dengan tiba-tiba. Menghujamkan penis itu kedalam vagina Santi.
“aaaaahhh... mm—mas... pelan-pelan......ahhhhhh.....”


“creekkk...crreeekk...creeekk...”
Organ kewanitaan itu kembali mengeluarkan lendir yang cukup banyak. Penis Tomi dengan murah mengeksplorasi liang misteri yang memberinya kenikmatan.
“mm-maaff.... mbak...aku udah... ga tahan...ahhhh...ahhhh.......”

Santi memejamkan matanya. Tubuhnya berguncang hebat kala itu.
Dalam buai kenikmatan, Santi mulai merasakan denyutan otot vaginnya.

Tomi dapat merasakan, penisnya kini dicengkeram kuat. Gerakan tubuhnya semakin liar.
“Oooohhhh......shitt........ahhhhh..ahhh”
Penis itu menusuk dengan cepat, dalam sekali sampai Tomi dapat merasakan kepala penisnya menyentuh sesuatu yang entah apa di dalam sana.

“aaaaaaaaahhhhhhhhhhhh.........mau keluar mbak......”
“tahan dulu mas.......aku.....sebentar lagi.....”
Santi mengulurkan salah satu tangan untuk meraih klitorisnya. Ia mengusap cepat, berpacu dengan waktu. Ia tak ingin melepaskan kenikmatan yang sebentar lagi akan ia raih.

Sadar akan hal itu, Tomi berusaha sekuat tenaga menahan spermanya agar tidak menyembur.
Ia memainkan puting Santi dengan jarinya, berharap dapat mempercepat orgasme Santi yang tak kunjung tiba.

“Mmmmmmmmmaa....aaasss....... remes yang kuat mass........aaaahhhh..aahhhhhh....”
Santi mulai meracau.

‘sedikit lagi.....sabaaar......’
Tomi mempercepat gerakannya. Tubuh Santi mulai mengeliang.

“Aaaaaahhhhhhhhhhhhh...............”
Santi melenguh panjang. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu telah tiba.

Lengan Santi sudah tak kuasa menahan berat tubuhnya. Ia jatuh tertelungkup, menanti Tomi menyemburkan benih-benih kedalam rahimnya.

“Aaaaaaaaaaaaaahhh.........”
Penis itu Tomi tancapkan sepenuhnya. Beberapa semburan ia rasakan meluncur dari ujung penisnya.

“ccrrrooootttt.......crrrooottt.......”

Santi merasakan cairan hangat itu kini memenuhi vaginanya. Memberikan kenikmatan terakhir yang mengakhiri persetubuhan mereka.

Tomi melepaskan penisnya dari vagina Santi.
Cairan putih kental itu meleleh diantara lipatan vagina kemerahan.

Lelah sekali..... entah berapa lama mereka bergumul dala persetubuhan itu.
Tomi terkulai lemas dalam pelukan Santi. Matanya terbuka separuh, keringat bercucuran di sekujur tubuhnya.

“makasih ya mas udah nemenin Santi malam ini.....” bisikan itu terdengar di telinga Tomi.
Ia tak menjawab, hanya membiarkan Santi memeluknya dari belakang. Payudara Santi yang kenyal itu kini menghimpit punggungnya.

Pandangan Tomi menatap kosong. Tubuhnya sangat lelah.
Belaian lembut pada dada Tomi kini mengantar lelaki itu kedalam dunia mimpi.

Esok paginya, Tomi membuka matanya.
Santi masih belum mengenakan pakaian, namun tampaknya ia sudah terjaga lebih dahulu. Wanita itu terlihat sedang memasukkan baju-bajunya kedalam sebuah tas besar berwarna hijau.

“mas udah bangun??”
“mmhh... iya.... mbak mau kemana?”
“ohh... aku mau pulang ke kampung halaman mas....”
“kok tiba-tiba.....??”

Santi hanya tersenyum.
“orang-orang sini kan kenalnya aku bukan cewe baik-baik.... aku ga mau insiden semalem keulang lagi mas.... iya kalo ada mas yang nolongin, kalo ngak??”

Terbayang kembali ingatan tentang kejadian semalam.
“trus kerjaan mbak gimana?”
“ohhh.. itu mah gak usah dipikirin, aku kan dibayar harian.... jadi gaji aku udah dibayar semalem...”

Tomi bangkit, rasa pegal di seluruh tubuhnya masih jelas terasa.
“dari sini mas mau kemana?”
“ngak tau mbak.... terserah kaki ini aja...”
“ikut aku aja mas......”

Tomi tertegun sejenak.
“jangan mbak.... bahaya buat mbak.....”
“lhoo.. kok bahaya.... malah aman to.... kan aku ada yang ngelindungin....”
“hahaha..... tadi malem Cuma kebetulan aja mbak.....”
“yakin gak mau ikut??”
“ngak mbak... makasih banyak.....”

Santi memandang dengan tatapan lembut ke arah Tomi. Ia meletakkan pakaian yang ia genggam lalu merangkak mendekat.

“cuuuppp...”
Bibir mereka menyatu. Entah apa arti dari ciuman itu. wajah Santi merona.

“makasih ya mas buat tadi malem.......”
“ahhh mbak.... itu Cuma kebetulan aja kok.... kalo lawannya tiga orang mungkin aku udah.....”

Santi menempelkan jari telunjuknya di bibir Tomi.
Ia menggelengkan kepala.

“bukan yang itu...... tapi yang ini...”
Santi meraih tangan Tomi, lalu ia letakkan di selangkangannya.

Wajah Tomi bersemu merah, ia merasakan darah dikepalanya kembali berdesir.
“eeeehmm...itu....itu........eeennggg....”
“udah mas... gak apa-apa..... baru semalem aku ngerasain berhubungan tanpa ada paksaan... ternyata enak banget.... beda sama biasa aku ngelayanin laki-laki hidung belang itu.....”

“mungkin kedengerannya aneh mas..... enggg......” Santi memalingkan wajahnya dari Tomi.
“kayaknya.... aku ngerasa..enngg..... sayang sama mas.....”

Tomi tertegun, lidahnya tak kuasa menjawab.
Ia kini mengulurkan tangan, menarik tubuh telanjang Santi dan didekapnya dengan erat.

“mbk hati-hati dijalan mbak... maaf...... bukanya aku gak sopan, tapi aku mesti pergi....”
Santi membalas pelukan itu. setetes air mata bergulir membasahi pipinya.

“gak apa-apa mas.... aku ngerti kok.... aku ini Cuma.....”
Tomi memotong ucapan Santi dengan mencium bibirnya.

“bukan karena itu mbak.... tapi aku ngak bisa.... ada yang mesti aku lakuin..sesuatu yang penting, ngak bisa ditunda...... maaf aku ngak bisa cerita yang sebenernya.......”

Santi menyeka air mata itu dengan punggung tangannya. Ia berbalik dan mengambil sweater Tomi yang masih sedikit basah.
“ngak apa-apa mas...... kalo memang gak bisa cerita, ya jangan diceritain...... tiap orang pasti punya rahasia... Santi ngerti..... ini mas jaketnya, masih agak basah tapi....”
“ohh gak apa-apa mbak..........”

Mereka segera mengenakan pakaian dan bersiap untuk pergi. Matahari pagi sudah bersinar terang, mereka kini siap menyongsong hari baru.
Santi mengulurkan tangan, mencoba meraih gagang pintu. Namun tangan Tomi mencegahnya.

“engg....sebelum kita pisah, dan mungkin.... gak akan ketemu lagi.... aku mau kasih tau....”
“apa mas?”

Wajah Santi sudah tak muram lagi. Ia kini dapat tersenyum lepas tanpa ada beban.
“namaku bukan Andre........ kenalin.... aku Tomi......”

Santi tak menjawab, hanya tersenyum.
Ia menarik tubuh Tomi mendekat lalu mencium bibirnya untuk terakhir kali.

Ketika pintu kamar itu terbuka, Santi membisikkan sebuah kalimat di telinga Tomi.

“selamat jalan mas Tomi..... moga-moga kita ketemu lagi.

Tomi mengangguk lalu berpaling darinya.
Perjalanan Tomi masih panjang.

Ingin sekali ia menoleh kebelakang, memandang wajah wanita itu sekali lagi. Sungguh sebuah pengobat hati ketika mengetahui ada orang yang menanggung beban berat seperti dirinya.
Namun ia tak ingin terkurung dalam egonya semata. Ia tetap berjalan lurus, menyongsong hari-hari baru.

Bisikan Santi masih terngiang di telinganya.
Hati kecilnya berbicara. ‘semoga kita ketemu lagi..........’

Hari ini Tomi mendapatkan pelajaran baru. Bahwa kesedihan dan kesengsaraan bukanlah miliknya seorang. Banyak orang lain yang mengalami hal serupa, bahkan lebih buruk darinya. Membuatnya sadar akan pentingnya berbagi dan saling menolong antar sesama.
Sedikit dari banyak sekali pelajaran yang tidak akan ia temukan dibangku sekolah.

Berbekal pengalaman baru, Tomi terus melangkah.


BAB 3
ALONE

Masih terbayang jelas di ingatannya, tentang lekuk tubuh indah milik Santi yang ia nikmati semalam. ‘ohhh.....manteeeep.......’
Setidaknya kenangan indah itu yang ia miliki saat ini.

Seluruh uangnya telah hilang, ia kini tak memiliki apapun untuk dimakan. Padahal hari ini ia harus mengumpulkan tenaga untuk kembali bekerja.

Jarak antara tempat tinggal Santi sampai ke pasar cukup jauh. Sementara perutnya telah meronta meminta diisi makanan.
Rasa perih di perutnya melanda, ketika langkah demi langkah ia lalui menuju ke pasar.
‘tuhannn..... kok gini amat nasibku.......’ batinnya.

Teriknya matahari menambah penderitaannya.
Biasanya, Tomi selalu memiliki cadangan air didalam tas hitamnya. Namun karena merasa memegang cukup uang untuk membeli makanan ia tak mau lagi repot-repot menggendong air yang menambah berat isi tas yang ia sandang.

‘stooop... jangan ngeluh.... tenang...’
Tomi tetap bertahan. Walau langkahnya begitu berat, namun ia tak memiliki pilihan selain tetap berjalan.

Empat puluh lima menit penuh penderitaan, akhirnya ia sampai di pasar itu. ia menghempaskan diri dibawah naungan sebuah pohon angsana. Mencoba mencari udara yang lebih segar untuk sekedar bernapas.

Setelah cukup beristirahat. Ia kembali bangkit. Melewati jalan-jalan yang sudah cukup dikenalnya. Belokan itu, tikungan terakhir sebelum ia sampai di toko beras tempatnya biasa bekerja.
Tomi mempercepat langkah kakinya. Secercah harapan mulai nampak di hatinya.

Namun seketika harapan itu sirna. Toko beras itu tidak buka hari ini.
‘ada apa ya.....’ pikirnya.

Ia kembali tertunduk lesu, tubuhnya kembali ia hempaskan di pelataran toko beras itu.
“huuuufffffffff..........” Tomi menghela napas panjang.

‘oke.... tenang.... pikiran harus jernih....... pasti ada yang butuh tenaga jadi kuli di tempat lain’ batinnnya.
Tomi berusaha untuk tetap optimis. Entah apakah intuisinya bisa dipercaya, karena sebelumnya ia juga pernah mencari-cari pekerjaan di tempat lain. Namun tak satupun yang menerimanya.

Hiruk pikuk orang berlalu-lalang kini memenuhi telinganya.
Orang-orang yang menjajakan dagangan, seorang ibu yang sedang menawar harga, tukang parkir yang sedang memberikan jalan kepada sebuah mobil...

‘tunggu....... kali aja hari ini gue bisa dapet duit dari markirin mobil orang...’
Tomi segera berjalan menghampiri seorang pemuda yang menjadi tukang parkir itu.

“misi bang......”
“hah?? Kenapa?”
“bang...... saya lagi gak punya duit... boleh gak saya bantu-bantu abang buat jadi tukang parkir... sehari ini aja bang....”

Wajah tukang parkir itu berubah masam.
“yeeeeee........enak aja lo... disini daerah gua.... lu cari tempat laen aja deh.......”
Sebuah reaksi yang mengagetkan dirinya. Dengan berat hati ia meninggalkan tempat itu.

Ia kembali berjalan menyusuri lorong-lorong sempit dan becek di dalam pasar itu.
Toko baju, toko perabotan, lapak pedagang sayur, semuanya sudah ia tanyai. Berharap ada satu dari sekian banyak orang yang mau mempekerjakan dirinya.

Namun apa daya, harapan tinggal harapan. Tak satupun yang terwujud.
Jam tangannya kini menunjukkan pukul satu siang.

Tubuhnya sudah begitu lemas karena belum mendapatkan makanan, bahkan segelas air putih saja ia tak mampu membelinya.

‘etsss...... tunggu dulu.........’
Tomi kini melirik jam tangan yang ia pakai.

Seingatnya jam tangan itu cukup mahal ketika ia membelinya dulu. Mungkin saja ia dapat menjualnya untuk mendapatkan uang.

Menyadari potensi diri sendiri memang merupakan kelemahan Tomi sejak dulu. Terkadang ia tak sadar bahwa dirinya memiliki banyak sekali potensi yang tidak ia sadari. Biasanya Naya yang selalu mengingatkan dirinya tentang apa yang sebenarnya ia miliki.

‘Nay....... gimana kabar lu sekarang.......’
Pikiran itu terbesit seketika. Baru ia ingat kembali, ia belum memberi kabar kepada kakaknya selama hampir dua bulan.

‘ahhh... udahlah, jangan gegabah... jangan keburu nafsu..... ntar aja gua telpon kalo keadaan udah bener-bener mendesak....’

Tomi segera melepaskan arloji itu dari pergelangan tangannya.
Ia mencari toko jam terkedat untuk menjualnya.

Tak jauh dari situ, ia menemukan tempat reparasi jam yang berada di emperan sebuah toko emas. Seorang laki-laki yang tampak sudah berumur duduk disana. Rambutnya sudah hampir seluruhnya berwarna putih. Pria itu mengenakan sebuah kacamata dengan lensa khusus, terlihat ia sedang tertunduk mengutak-atik sesuatu. Mungkin jam tangan yang sedang diservis.

“misi pak.....”
“ohhh iya... mau servis jam dek?”
“nnnggg.... ngak pak, saya mau jual jam tangan saya.... kira-kira laku berapa pak?”

Pria itu memandang kearah Tomi melalui bagian atas kacamata yang tidak tertutup lensa.
Ia menjulurkan tangan ke arah Tomi.

“coba bapak liat.....”
Tomi menyerahkan sebuah jam tangan dengan rantai berwarna silver kepada pria itu.
“hmmm...... seri edifice..... hmmmm asli rupanya....”
“gimana pak? Kira-kira laku berapa?”
“saya Cuma berani seratus ribu.....” kata pria itu.

Tomi terbelalak. Seingatnya, jam tangan itu harganya mencapai dua juta.
“ha..?? masa Cuma laku segitu pak?”
“dapat darimana?”
“punya saya sendiri pak..... masa nyolong......”
“jangan bohong....” kata pria itu datar.

Ia memandang Tomi dari ujung kaki sampai kepala.
“kamu bisa punya jam tangan semahal ini? Saya gak percaya......”

Kata-kata itu menusuk dalam dilubuk hati Tomi. Berat mengakuinya, namun memang sebuah kenyataan bahwa dirinya saat ini dipandang sebagai seorang miskin, entah gelandangan, atau apapun namanya.

“ya tapi itu emang punya saya pak.....” Tomi berusaha membela diri.
“hehhh..... yaudah kalo gak mau kamu bawa lagi nih.... lagian itu jam tangannya udah lecet disana-sini.... saya gak mau kalo diatas seratus ribu...”

Batin Tomi berkecamuk. Dirinya yang saat ini terhina karena ucapan itu, harus berperang dengan perutnya yang meronta meminta makanan.

Akhirnya ego itu kalah oleh keinginan bertahan hidup.
Tomi mengulurkan tangan kanannya kepada pria itu.

“yaudah mana uangnya........”
Pria itu tersenyum merayakan kemenangannya.
Dua lembar uang berwarna biru kini digenggam oleh Tomi. Dengan raut wajah penuh kekesalan Tomi melahkan meninggalkan tempat itu.

‘yaudah lah.... toh gak penting-penting amat.....’batinnya.
Dalam pikirannya saat ini yang terbayang hanya makanan. Ia masih memiliki kesempatan untuk mencari uang besok.

Ia melangkah masuk kedalam warung nasi tempat ia biasa makan.
Setelah perutnya terisi makanan, Tomi keluar dari warung nasi itu dengan wajah lebih berseri.
Tersisa sembilan puluh ribu lagi uang ditangannya.

Ia kembali duduk, menanti hari berganti.
Entah sudah sampai dimana wanita bernama Santi itu.

Matahari mulai condong kebarat. Menandakan hari sebentar lagi berganti.
Kini Tomi berjalan mencari tempat bermalam. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, sebuah botol air minum besar berada di dalam tasnya sementara tangan kirinya membawa sebuah nasi bungkus untuk ia makan nanti malam.

Tomi mencari tempat lain, jauh dari jembatan penyebrangan tempat insiden semalam berlangsung. Bisa gawat jika ia bertemu dengan sekawanan preman yang ingin balas dendam.
Dua orang saja sudah cukup merepotkan, apalagi beberapa.

Membayangkannya saja sudah membuat Tomi muak.
Ia tak ingin lagi terlibat dalam perkelahian apapun.

Malam ini ia tertidur di sebuah lorong gelap. Tempat ini adalah sudut sebuah kompleks ruko yang ramai di siang hari. Ia berteduh di bawah naungan atap beton tebal yang melindungi sebuah tempat sampah besar.

Tempat sampah itu kosong. Mungkin petugas kebersihan baru saja mengosongkannya sore tadi.
Tomi merebahkan diri dibagian paling sudut. Terlidung oleh tong sampah besar berbentuk persegi, tubuh Tomi tidak akan terlihat oleh orang yang lalu lalang di mulut lorong itu.

Hari-hari berlalu. Sudah empat hari lamanya toko beras itu tidak buka.
Sempat satu kali, Tomi bertemu dengan sesama kuli panggul yang datang untuk mengecek toko itu.

Nasib serupa menimpanya. Akhirnya laki-laki itu berpaling dan pulang.
Sekali lagi, harapan Tomi pupus.

Ia merogoh kantung celananya, mendapati beberapa lembar uang dua ribu rupiah dan selembar uang pecahan lima ribu berada disana.

‘satu hari lagi........’ batin Tomi.
Entah apakah intuisi itu benar. Tomi sendiri tak yakin apakah uang itu cukup untuk ia bertahan satu hari lagi.

Mengingat ia belum mencuci pakaiannya yang kotor, juga harus membayar untuk bisa mandi dan buang air, apalagi untuk makan.

Ingin sekali ia menghela napas panjang. Namun ia urungkan niat itu.
Ia harus belajar untuk tidak mengeluh.

Terpaksa ia tak mencuci pakaiannya kali ini.
Walaupun baunya sudah tidak karuan. ‘namanya juga habis keliling pasar...’

Keesokan harinya, Tomi kembali lagi ke toko beras itu.
Perasaan riang menyeruak dalam hatinya, mengetahui bahwa toko itu kini buka.

Ia melangkah mendekati toko itu. sang pemilik sedang berdiri di ambang pintunya, berbicara dengan seseorang.
“pagi pak..... apa kabar...”
“ehh kamu Ndre..... tumben pagi-pagi udah kesini.....”
“iya pak.... tadinya mau ngecek tokonya buka apa ngak, soalnya udah empat hari ngak buka, saya jadi kepikiran....”
“ohhh itu.... maaf kemaren saudara saya dirawat dirumah sakit......”
“ya ampun, sakit apa pak?”
“kayaknya sih berantem.... mukanya babak belur, kepalanya bocor.......”
“ooo.... jadi nemenin saudara dirumah sakit toh.... saya kira ada apa-apa....”
“ya..untung gak seberapa parah..... tapi ngomong-ngomong, hari ini lagi gak ada pengiriman”

Tomi tertegun sejenak. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan uang hari ini.
Ia menghela napas.

“ohh gitu ya pak.... yaudah gak apa-apa kok pak....”
“kalo kamu mau, bantuin saya beres-beres toko aja hari ini.. gimana?”
“boleh pak.... apa aja kerjaannya saya siap...”

Pemilik toko itu tersenyum dan mempersilahkan Tomi masuk untuk mulai bekerja.

Beberapa jam berlalu, membereskan toko ternyata tak semudah kedengarannya. Tak jauh berbeda rasa lelah yang ia rasakan ketimbang mengangkut beras dari atas truk.

“oyyyy bang......” sapa seorang laki-laki dari luar toko.
Tomi tak menoleh, ia masih meneruskan pekerjaanya.
“oyyy..... udah keluar lu? Gimana kepala lu, udah baekan?”
“aduh.... masi senut-senut sedikit.... eh ada rokok gak bang.... asem nih... udah empat hari ngak ngisep rokok.....”
“ya elu..... baru juga baekan dikit udah ngeroko lagi.... gimana mau sembuh......”

Dari percakapan itu Tomi bisa mengetahui, bahwa yang datang itu adalah saudara sang pemilik toko yang baru saja keluar dari rumah sakit.

“tunggu bentar bang........” laki-laki itu berbicara.
Ia melangkah mendekati Tomi yang sedang membawa sebuah kardus berisi kertas-kertas faktur pembelian berwarna merah.

“Duuuuaaggggg..............”
Sebuah pukulan mendarat di pipi kanan Tomi.
Ia tak sempat melihat serangan itu, karena sang pria berdiri di belakangnya.

Tomi jatuh tersungkur. Kardus berisi kertas itu terjatuh, isinya berserakan dilantai.
Serangan yang tiba-tiba itu mengagetkan dirinya.

Ia mencoba berdiri, namun sebuah tendangan mendarat di punggungnya.
Masih belum dapat mengetahui siapa yang menyerangnya, Tomi kembali tersungkur, kepalanya membentur meja kayu yang diletakkan di samping tembok.

“hoyyyyyyy........ apa-apaan lu Dar....... ngapain lu pukul tu anak....”
Sang pemilik toko berlari menghampiri pria itu dan mendorongnya kebelakang dengan sebelah tangan.

Tomi menggelengkan kepalanya. Pandangannya kabur karena benturan itu tepat mengenai dahinya. Dari luka memar itu setetes cairan merah mulai mengalir.

“kamu gak apa-apa Ndre....... ayo bangun...”
Tomi masih mengejapkan matanya, berusaha memfokuskan pandangan kepada sosok yang memukulnya itu.

Sesosok pria berperut buncit dengan perban melilit dahinya berdiri disana.
Tangan pria itu terkepal.

‘orang ini........’
Mata Tomi terbelalak, mengetahui bahwa pria itu adalah orang yang ia pukuli ketika berusaha menyelamatkan Santi.

“minggir bang.... gua punya urusan yang belom kelar sama ni anak......” pria itu mendekat.
Sang pemilik toko melotot kearah pria itu. ia mengacungkan jari telunjuknya mengarah ke hidung pria itu. pria itu berhenti.
“lu jangan bikin onar ya...... apa alasanlu mukulin ni anak......”
“dia yang bikin gua masuk rumah sakit bang........ sekarang gua bakal bales dia....”

Pandangan pemilik toko berpaling dari pria itu. ia kini menatap wajah Tomi yang sorot matanya memandang tajam kepada orang yang baru saja memukulnya.
“bener kamu yang mukulin sodara saya?

Tomi diam sejenak. Ia tau, tak ada gunanya menyangkal kebenaran itu.
“iya pak...... saya ingat, saya yang mukulin dia?”
“gak tau diri kamu........ pergi kamu sekarang.... saya gak mau liat kamu lagi di sini......”
Sang pemilik toko merogoh kantung bajunya, melemparkan selembar uang kertas berwarna biru kepada Tomi.

Tomi bangkit, mengambil tasnya dan tidak memedulikan selembar uang itu.

“MAU KEMANA LO BANGSAT........... URUSAN KITA BELOM KELAR......” pria itu berteriak.
Ia melompat mendekati Tomi dan bersiap untuk melancarkan tinjunya sekali lagi.

“Duuuuuaagggggg.......”
Namun bukan kepalan pria itu yang mengenai Tomi.
Kepalan tangan Tomi sudah melesat lebih dulu kerahang pria itu. ia jatuh terjerembab di tumpukan karung beras yang berada di sudut ruangan.

“asal bapak tau, saudara bapak berusaha memperkosa seorang cewe malem itu... saya kebetulan ada disana..... saudara bapak berdua sama temennya, sedang saya sendiri. Uang saya dibawa kabur sama temen saudara bapak........”
Raut wajah sang pemilik toko tetap tidak berubah. Tomi tau, tak ada gunanya menjelaskan, namun paling tidak ia telah membela pendiriannya di jalan yang benar.

“makasih udah kasih saya kesempatan kerja di sini pak....... sekarang saya pamit.. permisi......”
Tomi berjalan melewati ambang pintu menuju keluar.

Di luar toko itu, orang-orang telah berkerumun. Ingin tau apa yang menyebabkan keributan itu.
Tomi tidak menoleh ke belakang, namun dari telinganya ia dapat mendengar sebuah tamparan keras dan kata-kata makian yang diucapkan oleh sang pemilik toko.

“ANJING LU YA.......... LU UDAH BIKIN MALU GUA...... BANGSAT...... SODARA MACAM APA LU......”
Teriakan dan makian itu terdengar makin sayup ketika Tomi berjalan menjauh, melewati belokan terakhir meninggalkan tempat itu.

Suasana hatinya yang sempat ceria, kini kembali gundah.
Ia berjalan tak tentu arah, entah kemana namun hanya satu tujuannya.... menjauh.

Perutnya sudah lapar, ia belum sarapan pagi ini karena memang sudah tak memiliki uang. Tak ada lagi barang kepunyaanya yang cukup berharga untuk ia jual.
Kepalanya masih pusing, kendati darah di dahinya telah berhenti menetes.

Tomi merogoh tas hitamnya, mengeluarkan botol air minum yang isinya tinggal separuh.
Ia meminumnya dua tegukan, lalu ia simpan kembali.

‘apa lagi sekarang....... duit udah gak ada.... kepala pusing.... perut laper...... tai tu orang.....”
Umpatnya dalam hati.

Tak ada gunanya menyesali apa yang telah terjadi, Tomi hanya bisa pasrah menerima semua keadaan yang menimpa hidupnya kini.

Secercah harapan sudah tak terlihat lagi... apakah ia harus menyerah?
‘ngak........gak boleh..... terlalu beresiko......’

Ia kini duduk termenung di atas jembatan. Jembatan beton itu menghubungkan tanah seberang yang dipisahkan oleh sebuah sungai besar yang airnya berwarna cokelat kehitaman.

Akhirnya ia memutuskan untuk turun kebawah jembatan, mengasingkn diri dari orang-orang yang lalu lalang dan berteduh dari panasnya sinar sang surya hari itu.

Hari berganti malam, Tomi yang sedari tadi duduk termenung memeluk kedua kakinya kini bangkit berdiri. Beberapa jam yang ia lalui dibawah jembatan itu tak membuat dirinya bisa beristirahat. Aroma air sungai yang keruh itu begitu menyengat, mengusik indera penciumannya yang sedari tadi memberontak.

Ia kembali naik, menapaki anak tangga berlumut yang ia lalui ketika turun kebawah.
Entah sudah jam berapa ini, Tomi tak dapat mengetahui dengan pasti. Mengingat arlojinya sudah ia tukarkan dengan uang beberapa hari yang lalu.
Tak jauh dari situ, seorang pedagang buah kaki lima sedang membereskan dagangannya.
Beberapa buah terlihat bercecer di atas aspal hitam, sepertinya buah-buah itu busuk dan dibuang oleh sang pedagang.

“permisi pak..... itu buah yang dibawah udah dibuang ya?”
“iya......... kalo mau ambil aja.......” ucap pedagang itu tak peduli.

Tomi memungut beberapa buah apel dan pir yang sekiranya masih cukup baik. Beberapa bagian buah itu memang sudah tak karuan bentuknya. Ditambah lagi buah itu sudah kotor terkena genangan air yang membasahi aspal itu.

Pedagang buah itu telah pergi. Membawa dagangannya yang tersisa dengan sebuah motor bebek yang dibelakangnya terdapat sebuah tas besar yang menggantung di kedua sisinya.

Tak ada cukup air untuk mencuci buah itu. saat ini air bersih begitu berharga bagi Tomi. Ia tetap menyimpan sedikit air di botolnya untuk ia minum.

Ia kini berjalan dan mencari tempat bermalam. Pilihannya kini jatuh pada sebuah pos polisi yang tak terbengkalai.

Dengan bajunya yang juga kotor, Tomi mengelap permukaan buah-buah itu dan mulai memakannya.

Ia duduk merenung sambil mengunyah buah yang rasanya sedikit hambar. Air matanya menetes, ia tak kuasa membendungnya. Entah sampai kapan kesengsaraan ini harus ia jalani.
Mungkin hanya waktu yang dapat menjawab.

Tomi melempar sisa buah ditangannya kearah rerumputan, ia meneguk habis air dalam botol itu. Tubuhnya lelah, kepalanya sakit. Namun tak sesakit rasa yang melanda hatinya. Bagai tersayat pisau, perasaan tak nyaman itu menghantui pikirannya.

Ia merebahkan diri dibawah bangku beton itu dan meringkuk, memeluk tas hitam yang setia menemaninya. Tomi menyeka air matanya, mencoba menutup mata.

Rintik hujan terdengar ketika Tomi sudah terlelap.
Dinginnya udara malam membuat remaja itu menggigil.

Keadaan memang semakin tak bersahabat. Namun percayalah, Tuhan tak akan memberi cobaan kepada umatnya diluar batas kemampuan.


BAB 4
THE TRUTH
Lima hari sudah Tomi berkutat dengan sampah.
Satu-satunya pilihan yang tersisa saat ini untuk mencari makanan.

Mau bagaimana lagi, ia tak memiliki sepeserpun uang di sakunya. Semenjak hari itu ia diusir oleh pemilik toko beras tempatnya bekerja sebagai kuli panggul.

Hampir setiap malam, Tomi menyelinap masuk, melompati pagar yang menyekat lahan tempat berdirinya sebuah tempat ibadah. Kedatangan dirinya ketempat itu hanya untuk mengambil dua botol air bersih dari kamar mandi tempat ibadah itu.

Menyedihkan, hanya kata itu yang bisa menggambarkan hidupnya sekarang. Bahkan untuk sekedar minum ia harus mencuri dari tempat ibadah. Itu pun bukanlah air layak minum seperti yang dijual dalam kemasan, melainkan air tanah yang mengucur dari keran.

Tomi tak bisa mengeluh, pagi itu ia duduk dibawah naungan bayang-bayang sebuah jembatan penyebrangan di sudut kota itu. ia duduk bersandar sambil menikmati sepotong roti yang ia pungut dari tempat sampah.

Debu-debu beterbangan ketika angin bertiup. Tak sedikit yang hinggap pada roti yang sedang digenggamnya.
‘tak ada bedanya....’ batin Tomi. Ia tetap menikmati makanan itu.

Sorot mata penuh rasa jijik sudah tak terhitung banyaknya. Seluruh pandangan itu jatuh pada diri Tomi. Pakaianya lusuh, rambutnya berantakan, wajahnya penuh dengan kotoran yang mirip dengan jelaga dibalik sebuah penggorengan.

Beberapa teguk air memaksa kerongkongan Tomi untuk menelan roti itu.
Hari ini Tomi sudah memutuskan, setelah sekian lama ia larut dalam pelarian, hari ini ia akan menghubungi kakaknya, Naya.

Tomi kini duduk menyendiri, jauh dari kerumunan orang-orang itu. ia tak ingin pembicaraan itu didengar oleh siapapun. Ia memilih untuk bersembunyi dibawah sebuah pohon beringin tua yang sulur-sulurnya telah mencapai tanah.

Ia merogoh sebuah telepon seluler dari dalam tasnya. Telepon itu memang sengaja ia matikan sejak lama.
‘moga-moga masih nyala ni handphone......’ batinnya.

Handphone itu berwarna putih, dengan layar lebar berukuran lima inci. Sebuah tombol putih tersemat di bagian bawah layarnya.
Tomi menekan sebuah tombol kecil yang terletak di sebelah kanan handphone itu.

Layar hitam itu bereaksi, tak lama sebuah tulisan putih muncul disana, disusul oleh gambar animasi berwarna biru yang menjadi icon merek handphone itu.

Tomi mulai menyentuhkan jemarinya di layar handphone itu, mencari daftar kontak telepon yang menyimpan nomor telepon kakaknya.
Ia melambaikan tangan diatas layar handphone itu. tampilan daftar kontak itu otomatis bergerak keatas, menyingkap daftar nama yang terletak diurutan bawah.

“huuuuuuuffff.........” Tomi menghela napas panjang. ia mulai ragu, haruskah ia menelepon kakaknya sekarang.

Beberapa lama ia mematung, mempertimbangkan pilihan itu.
Akhirnya ia menyentuh layar itu.

Tomi mendekatkan handphone itu di telinganya untuk mendengarkan nada panggil.
“TUUUUUUTT........TUUUUTT............”

Tomi segera mematikanya kembali.
Ia teringat perjanjiannya dengan Naya sebelum mereka berpisah. Jika Naya masih ingat tentang perjanjian itu, pasti kakaknya akan menelepon dengan nomor yang berbeda.

Tomi menunggu beberapa menit, matanya terpaku pada layar handphone yang tergenggam erat di tangannya.

“bbbbbrrrrrrrrtttt.......bbbrrrrrrttttttt......... bbbbrrrrrrtttt...........”
Tomi tersentak kaget ketika handphone itu mulai bergetar. Alih-alih nomor yang berbeda, ia mendapati Naya menelepon dengan nomor pribadinya.

‘jangan-jangan.... handphone itu di sita sama polisi...’ pikiran Tomi berkecamuk.
Namun akhirnya ia putuskan untuk mengangkat panggilan telepon itu.

Ia menempelkan telinganya di bagian atas handphone itu namun tak berbicara sepatah katapun. Ia harus meyakinkan diri dahulu jika yang menelepon itu benar-benar kakaknya.

“haloo.......halloo....Tom......”
Suara itu sudah sangat lama tak didengar oleh Tomi. Suara Naya.

“halo........Tom......”
“halo.... kak.....”
Sunyi, yang terdengar di telinga Tomi kini hanya isak tangis. Naya tak menjawab panggilan adiknya itu.
“kak........ “ Tomi mencoba memanggil Naya kembali.
“HEH..... lu tuh KETERLALUAAAANNN....” tiba-tiba Naya berteriak memakinya dari ujung telepon.

Tomi serta merta menjauhkan telingganya dari handphone itu.
‘kenapa sih ni anak.....hadehh.........’

“jangan teriak-teriak gitu sih.... sakit ni kuping...” ucap Tomi.
“LAGIAN KAMU TUH.... GA NGASI KABAR.... GA NELEPON.... DI TELPON GAK AKTIF........”

Tomi mengerutkan dahinya. Rasanya ia sudah memberi tau Naya bahwa telepon genggamnya tidak akan dinyalakan, apa yang salah. Lagipula, apa yang dilakukannya kan untuk menghindari pelacakan polisi.

“Sssssshhhhhhhhh....... jangan teriak-teriak ah..... trus keadaan sekarang gimana? Polisi nanya apa aja sama kakak?” Tanya Tomi.

Terdengar Naya menghela napas di ujung sana.
Tak lama suara Naya kini mulai lembut.
“polisi sama sekali gak nyariin lu tau..........”

Deg......... jantung Tomi seakan berhenti seketika mendengar jawaban itu.
“a..ap-apa?? Gak ada yang ngira kalo aku yang ngeledakin rumah?”
“kakak juga bingung awalnya, tapi pas kakak dimintain keterangan, mereka sama sekali gak nyebut-nyebut nama lu...... sekarang lu dimana? Kapan pulang.........”

Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tomi tampak terdiam. Sekujur tubuhnya terpaku ditempat.

‘gilaaaaaaa......................... ada apaan nih?? Jadi selama ini usaha gua kabur, hidup ngegelandang, kerja jadi kuli, digebukin orang, makan sampah........ semuanya sia-sia????’
Batin Tomi berteriak.

Lututnya lemas, seakan tak kuat menopang berat tubuhnya sendiri.
“Tom... hoyy......... kok diem aja..........”

Tomi menelan ludah, ia tak mau begitu saja percaya dengan apa yang didengarnya. Skenario terburuk yang dapat di pikirkan olehnya saat ini adalah Naya sedang ‘bersekongkol’ dengan polisi untuk menangkapnya. Tapi untuk apa?

“lu gak bercanda kan kak?”
“buat apa gua bercanda sih?? Kasus kebakaran dirumah itu dianggap kecelakaan biasa. Kata mereka tabung gas di rumah kita meledak.. thats all...”
“gua gak percaya...... jelas-jelas iblis bangsat itu lagi ngentot di kamar ayah..... gua keluar gak lama sesudahnya lalu gua ledakin bom yang ada dibawah kasurnya... gak mungkin mereka selamat. Dan gak mungkin juga polisi gak nemuin potongan tangan apa kaki gitu disana.........”
“Ehhhh.... denger dulu makanya..... emang gue rasa ini aneh..... soalnya polisi juga sama sekali gak nyebut-nyebut soal ada mayat.....”

‘sebenernya apa yang udah terjadi..... gua harus cari tau.......’ batin Tomi.
“lu sekarang dmana kak?”
“di hotel.... lu balik aja dulu sekarang... nanti gue jemput.....”

“hhhhaaaaaahhhhhhh.........” Tomi menghela napas.
Tawaran itu sungguh tak bisa ia tolak sekarang. ia mulai lelah berlari, menjalani hidup yang penuh dengan kesengsaraan.

“oke.... gue pulang.... jemput gue di stasiun kereta api sore nanti..... jangan ada siapa-siapa... paham?”
“yaudah... jangan bohong..... pokoknya lu harus pulang Tom....”

Pembicaraan itu berakhir. Antara percaya dan tidak, Tomi tetap membulatkan tekadnya. Rasa ingin tau tentang apa yang sebenarnya terjadi kini mengiringi langkah kakinya.

Ia singgah disebuah ATM untuk mengambil uang.
Dengan uang itu ia membeli satu stel baju ganti dan makanan.

Setelah mandi, keramas, dan menggosok gigi yang menyegarkan tubuhnya, Tomi berjalan menuju jalan raya. Rambutnya yang masih basah ia kibas-kibaskan dengan tangan.
Tomi menaiki taksi untuk mencapai stasiun kereta.

Tak lama, selembar tiket perjalanan pulang telah dikantonginya.
Ia masih tak percaya. Setelah sekian lama tak berani mendekati mesin ATM, kini ia mengambil banyak uang. Jauh lebih banyak dari apa yang ia butuhkan.
Setelah melarikan diri dari sesuatu yang bahkan tak mengejarnya, Tomi akhirnya pulang.

Hamparan lahan persawahan menghiasi perjalanannya.
Sedikit banyak, ada rasa sesal yang menyayat hati Tomi. Mengapa ia harus melarikan diri? Ternyata tak ada yang mengejarnya. Namun rasa sesal itu tak sebanding dengan amarahnya karena gagal membunuh iblis yang menghantui keluarganya.

Siang berganti sore, enam jam sudah ia duduk didalam bangku kereta yang membawanya pulang. Menjauh dari kenangan yang dilaluinya selama berada di kota penuh kesengsaraan itu.

Keraguan kembali hinggap dalam dirinya ketika kereta itu berhenti. Ia diam, mematung ketika pintu gerbong itu terbuka. Puluhan orang segera turun, namun Tomi tetap berdiri di tempatnya.

Setelah menghela napas untuk kesekian kalinya, Tomi memantapkan kembali tekadnya yang sempat goyah. Ia siap menanggung resiko jika beberapa menit dari sekarang tangannya akan terikat oleh borgol logam yang dingin.

Ia melangkah, menuruni gerbong itu. kini ia berpijak di lantai peron yang sama dengan dua bulan lalu ketika ia melarikan diri.

‘hufff... sejauh ini semuanya baik...... no police, everything will be alright.....’
Bunyi peluit kereta terdengar. Gerbong yang membawanya pulang kini mulai bergerak kembali.

Tomi menyaksikan dengan seksama ketika kereta itu pergi menjauh, meninggalkan tembok putih di stasiun itu. rangkaian itu meliuk-liuk, berbelok, dan akhirnya lenyap dari pandangan. Membawa pergi seluruh kenangannya.

“sreeet.........”
Tiba-tiba Tomi merasakan genggaman kuat di pergelangan tangannya.
Tubuhnya terlonjak, serta merta ia menarik lengannya dengan kasar. Berusaha melepaskan diri dari belenggu yang menggengam pergelangan tangannya.

Ia berbalik, bersiap akan kemungkinan terburuk. Kemungkinan bahwa yang menarik lengannya iu adalah polisi yang sedari tadi sudah bersiap.

“lu kenapa sih Tom...... kok kagetan gitu...........”
“aaaaaaahhhh...... lu kak.... ngagetin aja kaya kuntilanak........” Tomi mengumpat.

Sosok kakaknya Naya kini berada disana. Berdiri sendirian menatap kepulangan adiknya tercinta. Tomi menoleh ke segala arah. Memastikan bahwa kekhawatirannya tak terwujud.

“nyari apaan sih???? Sejak kapan mata lu jadi jelalatan gitu ngeliat orang-orang....”
“sssssttttttttt......... udah jangan banyak ngomong..... ayo cepet kita cabut dari sini....”
Tomi menarik lengan Naya.

“iiihhh..... pelan-pelan sih...... lagian tas lu itu kenapa bau banget sih.......”
“udah jangan banyak tanya dulu lah.........”

Tomi berjalan secepat yang ia bisa menuju parkiran mobil. Terlihat mobil Naya berada disana. Mereka segera masuk, Tomi mengambil alih kemudinya.

“sejak lu minggat lu jadi aneh tau ga Tom.....”
“huh..... coba kalo lu jadi gue kak.... lu pasti udah nangis setiap malem.......”

“bbrrruuummmmm.......”
Mesin mobil itu menderu. Mereka segera meninggalkan tempat parkir itu, menyusuri jalan-jalan perkotaan yang sudah tak asing lagi dimata Tomi.

Naya mengarahkan Tomi untuk menuju ke tempat ia tinggal.
Lagi-lagi Naya tinggal disebuah hotel.

Memasuki kamar hotel yang sejuk, Tomi segera merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk. Sebuah benda yang sudah lama tak ditemuinya selama mengembara.
Naya menghampirinya, membawa dua buah kaleng bir dan menyerahkan salah satunya kepada Tomi. Ia membuka kaleng yang dipegangnya dan mulai berbicara.

“oke..... sekarang cerita sama kakak... lu kemana aja?”
Tomi meneguk bir itu. beberapa detik ia terdiam, lalu mulailah ia bercerita.

Mendengar seluruh cerita Tomi, Naya tak kuasa menahan air matanya. Butir-butir air itu meleleh di pipinya. Tak mampu berkata-kata, Naya hanya bisa memeluk adiknya dengan erat.

“hushhh.... udah si... jangan nangis melulu..... lagian gue kan baik-baik aja”
Naya melepaskan pelukan itu. kedua tangannya kini menggenggam erat pipi Tomi, mengarahkan pandangan Tomi untuk melihat matanya.
“lu sadar gak sih..... lu bisa mati..... kenapa lu gak nelpon gue lebih awal.... lu tega bikin kakak lu khawatir.. hah? Lu tega biarin gue sendirian disini??”

Detik selanjutnya, Tomi begitu terkejut ketika Naya mencium bibirnya.
Harum aroma tubuh Naya menyeruak kedalam lubang hidungnya. Tomi tak mampu berkata-kata sejenak.

Naya melepaskan ciuman itu. namun sorot matanya masih memandangi wajah Tomi lekat-lekat.
Tomi jadi salah tingkah diperlakukan seperti itu.

“emang mas Andre kemana?”
Naya menggeleng.
“Terakhir kali gue ketemu dia, pas lu dateng ke hotel.... habis itu dia gak nemuin kakak lagi.... gak nelpon, gak sms, gak bbm, di telpon gak ngangkat, sms gak dibales”
“kok gitu?? Tega-teganya dia ninggalin kakak kayak begitu?? Tapi dia tau kan kakak ada dimana?”
“dia ngak tau, kakak gak ngasih tau.... kan kamu yang nyuruh supaya jangan ada orang yang tau sebelum keadaan aman...”
“oke.... nah sekarang kan keadaan udah aman... kenapa kakak gak ngasih tau kalo ada di sini?”
“buat apa? Kayak gak ada cowok laen aja... dia bisa ninggalin kakak gitu aja... mang gue gak bisa ngelakuin yang sama?”

Ia mengambil napas panjang. wajah muramnya kini berubah sedikit ceria, walaupun wajah itu dihiasi dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
“aaaah.. udahlah biarin aja tu orang mau ngapain.... yang penting sekarang kita udah sama-sama lagi......”
“iya kak......”

Beban di hati Tomi telah banyak menghilang. Ia kini bebas, tak lagi dihantui oleh perasaan takut. Ditambah lagi kini ia bisa bersama kembali dengan keluarganya.

“oke sekarang giliran kakak yang cerita... sebenernya apa yang terjadi selama gue pergi?”
Naya merubah posisi duduknya. Ia mulai bercerita.

Kala itu, hari dimana ia meninggalkan Tomi sendiri dirumah keluarga mereka.
Naya pulang kembali ke kamar hotelnya, seluruh pakaian yang ia bawa segera di masukkan kedalam sebuah koper besar. Hari itu juga, Naya check-out dari hotel tempat ia selama ini tinggal.

Masuk kedalam mobilnya, Naya mencari tempat tinggal baru. Pilihannya jatuh pada hotel yang ia tempati sekarang.
Dilanda perasaan yang sama gundahnya dengan Tomi, Naya hanya bisa berdiam diri dikamar tanpa melakukan apa-apa. Sampai tiba saat ketika polisi mencarinya.

“krrriinngg.....”
Bunyi telepon di kamar hotel itu membuyarkan lamunan Naya.

“halo..... dengan ibu Naya?” sapa seorang resepsionis.
“iya... ada apa mbak?”
“bisa tolong turun ke lobby? Ada orang yang mencari ibu Naya.....”

Hatinya berdegub kencang, mungkin saja itu adalah Andre yang entah bagaimana bisa menemukn tempatnya menginap, pikir Naya.
Ia segera bergegas mengenakan pakaian. Naya memang terbiasa mengenakan pakaian seadanya jika berada di dalam kamar hotel itu.

Hatinya berbunga-bunga dalam perjalanan turun ke lobby dengan menggunakan lift.
Namun, harapan itu buyar seketika saat dua orang lelaki menyapanya.

“maaf... dengan ibu Naya?”
“eng.. iya pak saya sendiri? Bapak siapa ya?”
“kami dari kepolisian.......”

Deg....... jantung Naya seakan ingin melompat keluar dari dadanya.
“a-ada apa ya pak?”
“lebih baik kita bicara sambil duduk mbak...”
Naya mengangguk.

“jadi begini mbak....... kemarin, rumah mbak kebakaran..”
“aapa??? Trus gimana pak?? Ada yang luka-luka ngak??”
“ohhh ngak.. gak ada yang luka-luka kok... sy Cuma mau minta keterangan mbak, terkait dengan peristiwa itu”
“boleh pak... tanya aja...”
“oke... yang pertama, kenapa mbak ngak tinggal dirumah? Adik mbak yang laki-laki kemana?”

Seorang laki-laki yang lain mencatat pembicaraan mereka.
“jadi gini pak..... saya tadinya tinggal di rumah sama adik saya, ayah saya, dan ibu tiri saya. Tapi ibu tiri saya orangnya kasar, mulutnya gak bisa dijaga. Saya gak tahan, akhirnya saya pindah ke hotel. Kalo adik saya masih tinggal dirumah, tapi semenjak ayah saya meninggal, adik saya gak betah tinggal dirumah sama ibu tiri saya. Yang saya tau sih dia pergi, Cuma gak ngabarin pergi kemana....”
“ohh gitu.... selain keluarga kalian, ada orang lagi yang tinggal dirumah itu?”
“Cuma ada pembantu aja pak..... Cuma, yang saya denger terakhir dari adik saya, mereka dipecat sama ibu tiri saya.... selain itu saya gak tau apa yang terjadi dirumah karena saya memang gak pernah pulang”

Laki-laki itu menatap tajam kearah Naya, mencoba menerawang menguak kebenaran dari pembicaraan itu.
Namun Naya bukanlah wanita bodoh, ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi interogasi itu. sehingga ia dapat bertingkah sempurna seakan tak mengerti apa yang terjadi.

“trus keadaan rumah saya gimana pak?”
“yah.... rumah kamu rusak parah, ada dua mobil yang juga rusak, mungkin mobil ibu sama adik kamu..”
“hah???? Jadi adik saya ninggalin mobilnya disana? Aduhhh.... dimana itu anak.....”
“yah.. sampai sekarang saya juga belum mendapatkan informasi tentang adik mbak.... karena yang saya tangani hanya sebatas menyelidiki penyebab kebakaran itu. menurut tim forensik, rumah itu meledak karena tabung gas yang bocor..”
“trus, dirumah gak ada siapa-siapa pak?”
“yahh itu dia... sebelumnya saya mengira ada korban, tapi tidak ditemukan adanya jenazah dirumah itu...”

Naya memasang wajah penuh kepura-puraan, seakan lega mendengar penjelasan itu.
“pertanyaan terakhir sebelum saya pergi.....”
Naya bersiap, memikirkan apa yang kira-kira akan ditanyakan oleh polisi itu.
“kepindahan mbak ke hotel ini bertepatan dengan hari dimana rumah mbak kebakaran, kalau boleh tau, apa alasan mbak pindah ke hotel ini?”

“ohh....... saya lagi bertengkar sama pacar saya, saya gak mau dia nemuin saya, jadi saya pindah kesini....” jawab Naya.
‘hufffff................ untung aja kepikiran, bisa gawat kalo gue salah ngomong’ batinnya.

“yah.... saya kira cukup sampai disini pembicaraan kita. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih sudah meluangkan waktu untuk kami.....”
“ohh iya pak... kalau ada perkembangan informasi, bapak bisa cari saya disini.....”

Mereka bertiga bangkit dan bersalaman. Tak lama kedua polisi itu menghilang dari hotel.
Kini Naya berbalik menuju kamarnya.

“bbbrrrrrttt....bbbbrrrtttt.....” handphone yang berada di saku celananya bergetar.
Naya meraih handphone itu dengan gelagapan. Berharap agar Tomi yang menghubunginya.

Sayang, yang menghubunginya bukanlah Tomi, namun pengacara ayahnya.
Dalam pembicaraan telepon itu, pengacara ayahnya telah mengajukan surat perpindahan kuasa atas seluruh kekayaan keluarganya kepada Naya.

Hari selanjutnya Naya mengurus perpindahan kuasa itu ke hadapan notaris.
Kini seluruh kekayaan milik ayahnya sudah aman. Ia tak khawatir lagi tentang ibu tirinya yang berusaha menguasai kekayaan itu.

Namun sebuah pertanyaan besar kini mengganjal hatinya.
‘apa Tomi gagal........ jangan-jangan iblis itu masih hidup....’

Mengetahui bahwa polisi sama sekali tidak curiga, Naya berusaha menghubungi Tomi. Namun usaha itu nihil. Handphone milik Tomi sedang dalam keadaan mati.

‘Tom..... lu dimana.... cepet pulang... keadaan udah aman....’ batin Naya.
Sejak saat itu Naya menjalani hari-harinya sendirian. Terkadang, ia bosan berada di kamar. Lagi-lagi sms yang dikirim kepada Andre tak juga mendapat balasan.

“dasar cowo brengsek....... pasti dia udah dapet cewe lain yang bisa dipake.... awas aja kalo ketemu lagi.....” umpatnya.
Naya memandang keluar jendela dari kamarnya yang berada di lantai delapan.

Awan putih berarak itu menjadi pertanda bahwa hari sedang cerah. Naya akhirnya memutuskan untuk keluar kamar hotel itu. ia akan pergi ke tempat temannya Dini. Naya menghubunginya untuk memberitahukan bahwa ia akan datang.

Tempat tinggal Dini cukup jauh, dua jam perjalanan menggunakan mobil. Tapi Naya merasa hal itu sepadan, ia tak kuasa lagi menahan rasa kesepian tanpa teman untuk bicara.
Mobil yang dikendarai Naya melesat melewati batas wilayah kota itu. menuju rumah Dini yang terletak di daerah pegunungan.

Dini adalah sahabatnya semenjak duduk dibangku SMA, walaupun mereka tak lagi bersama ketika menjadi mahasiswi. Ia adalah anak tunggal. Seorang gadis yang periang, menjadikan dirinya disenangi hampir oleh semua orang yang mengenalnya, parasnya cantik, tubuhnya langsing.
Dulu, ketika masih sama-sama duduk dibangku SMA, Naya dan Dini adalah primadona di sekolah itu. sekolah elite tempat berkumpulnya para wanita cantik tak menjadi penghalang bagi pesona mereka.
Namun ada sebuah sisi dibalik kesempurnaan sosok Dini.
Ia adalah seorang lesbian.

“Din.... gue udah nyampe nih......”
“ehhh.... udah nyampe lu say... bentar ya gue bukain gerbang...”

Sosok tubuh semampai nan molek itu berjalan dari pintu rumahnya, menghampiri Naya yang berdiri di luar pintu gerbang besi berwarna hitam itu. payudara Dini yang besar membusung itu berguncang ketika ia setengah berlari mendekati Naya.

“ehhhh........... makin cantik aja lu say....” sapa Dini.
“alahhh.. basi lu say.....” balas Naya.
Mereka berpelukan dan menempelkan pipi mereka (bahasa inggrisnya : cipika-cipiki)

“ayo masukin mobil lu... kita ngobrol didalem....”
“oke....”

Naya memarkirkan mobilnya dibawah naungan sebuah pohon mangga yang cukup rindang. Sungguh berbeda sekali suasana disana, udaranya sejuk, tak ada debu beterbangan, ahh.... indah sekali.

“halo tante.... apa kabar?” sapa Naya kepada ibu Dini.
“ehhhhhh..... ini Naya kan? Ya ampun udah lama banget gak main kesini..... kamu makin sexy aja Nay......”
Naya mencium tangan ibu Dini.
“ah tante bisa aja..... namanya cewe kan harus cantik...”
“hehehe.... iya........, kamu kok gak ngomong-ngomong mau dateng, tau gitu kan tante bisa masak dulu....”
“ihh tante, gak usah repot-repot... Naya malah gak enak kalo dateng kesini Cuma bisa ngerepotin.... ini ada buah tante, tadi Naya mampir beli buah di jalan...”
“aduh.. makasih ya sayang..... Din... kamu ajak Naya istirahat dulu ya sayang....”
“iya mah....”

Ibu Dini berjalan menuju dapur, Naya dan Dini mengekor di belakangnya.
“tumben sepi banget tante....?” tanya Naya.
“ohh.... si om lagi dinas keluar kota. Yah namanya juga kuli, beda sama ayah kamu....”
“alah... tante sukanya merendah gitu.... masa general manager disamain sama kuli....”
“ahaha... ya kan tetep aja masih kerja sama orang...... gimana kabar ayahmu? Sehat?”

Naya terdiam sejenak.
“umm.... ayah udah meninggal tante, kecelakaan di jalan tol.....”
“hah???? Ya ampun..... tante minta maaf ya..... tante ikut sedih, trus sekarang kamu tinggal dimana?”
“di hotel tante sendirian, bosen akhirnya main kesini....”
“yang sabar ya Nay..... pasti ada hikmahnya kok....”
Ibu Dini mengelus rambut Naya.

“naik ke atas yuk Nay.... istirahat dikamar gue.....”
“boleh..... tante, Naya permisi naik dulu ya tan....”
‘iya-iya.. silahkan, kamu anggap aja rumah sendiri.....”

Langkah kaki mereka berderap menyusuri anak tangga menuju lantai kedua, Dini menggandeng lengan Naya erat-erat.
“ehhh..... belom sembuh juga lu ya??” kata Naya.
“hehehe..... biarin, lu jangan risih kaya gitu dong say...”

“mmuuuacchh” sebuah kecupan mendarat di pipi Naya.
“iya.... gue ngerti kok lu kaya apa ulahnya.......”

Pintu kamar Dini terbuka, suasana feminim langsung menyeruak kedalam hari Naya.
Kamar itu begitu rapi, kendati beberapa poster wanita sexy tertempel di dinding kamar itu. warna di kamar itu didominasi oleh warna pink muda, senada dengan pernak-pernik yang menghiasi meja riasnya.

“ahhhh........ akhirnya, suasana baru....” Naya merebahkan tubuhnya di kasur milik Dini.
“lu nginep sini kan say?” tanya Dini. Ia ikut merebah disamping Naya.
“ngak tau deh ya.....”

Dini memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah Naya yang berada disamping kanannya.
“ihhh... masa jauh-jauh kesini gak nginep sih.... ayo dong..... lagian ngapain lu di hotel, paling-paling ngesex seharian sama cowo lu?”
“hus.....ngak lah... cowo gue gak tau kemana... ga ada kabar... bodo amat lah...”
“nahhh... kalo gitu kan lu bisa disini, tinggal sama gue, nyokap gue gak akan keberatan.... dan lagi, lu bisa.... ehem..... nemenin gue bobo....”

Jemari lembut Dini mulai menggerayangi payudara Naya.
“aduh..... belom sembuh juga kebiasaanlu ya.... mmmmmmmmpphhh....”

Kalimatnya terhenti, bibir Dini kini dengan rakus melahap bibirnya. Naya tak sanggup mengatakan bahkan hanya sebuah kata.
“mmmuacchh....... hihihi.... bibir lu masih seenak dulu say....”
“ehhh..... dasar main nyosor aje ga bisa liat cewe sexy.....”
“hahaha..... yaudah si.... masi kaku aja....”

Dini memeluk tubuh Naya dengan gemas.
Kegangatan tubuhnya membuat Naya nyaman, menghindari terpaan angin dingin dari AC.
“ACnya kecilin dong say..... dingin banget nih....”
“mmmm... berarti lu butuh kehangatan dari gue.....”

Dini segera melepaskan kaus yang ia kenakan. Sepasang payudara yang besar dengan puting kemerahan kini mengacung didepan wajah Naya. Kebiasaan buruk Dini yang memang sudah diketahui Naya, bahwa Dini memang tak suka menggunakan pakaian dalam jika sedang berada dirumah.
Dini menarik kepala Naya, membenamkan wajah gadis cantik itu diantara payudaranya.
“ehhh........ dasar lu ye.... baru juga nyampe gue udah disuguhin toket...”
“mmmhh..... jilatin pentil gue dong say.... uhhh....” rengek Dini.

Naya menjulurkan lidahnya. Menyapu puting yang mengeras bak penghapus pada sebuah pinsil.
“Aaaaaahhh.........Aaaahhh..........” Dini meracau, desahannya itu cukup keras hingga Naya yakin ibunya akan mendengar desahan itu.

“kreeeekk.........”
Pintu kamar itu terbuka. Ibu Dini berdiri diambang pintu menyaksikan adegan panas yang dilakukan oleh kedua gadis itu. ditangannya tergenggam sebuah nampan besar berisi dua buah gelas, satu teko kaca berisi air jeruk dan beberapa snack yang diletakkan dipiring berwarna putih.

“hahhh.... tante.........” Naya memekik kaget ketika ia menyadari ibu Dini menyaksikan kelakuan mereka.
“udah......... jangan kaget gitu.. tante udah tau kok kelakuan Dini.....”
“j-jadi... tante udah tau.....?”
“haha.... udah lama..........” ibu Dini meletakkan nampan itu diatas meja rias.

“ahh mama..... lagi asik nih.....” kata Dini. Ia sedang memelintir putingnya sendiri dengan kedua tangan.
Ibunya mendekat, meraih wajah Dini dan mengulum bibirnya.

“tanteeeee............” kata Naya.
Ibu Dini melepaskan ciuman itu.

“hihihi..... kaget ya Nay..... tante juga kadang-kadang main sama Dini kalo om lagi gak ada.....”
Naya menutup kedua matanya dengan sebelah tangan sambil menggelengkan kepala.

‘keluarga yang aneh......’ pikirnya.
“udah ah.... mama mau mandi dulu.... lanjutin aja sayang.....”
“iya mah........” kata Dini.

Ibunya meninggalkan ruangan itu dan menutup pintunya rapat-rapat.
“iiisshhh.... gila lu Din.... gimana ceritanya nyokaplu bisa tau?”
“hahahaha...... lucu kalo di ceritain. Nyokap gue lagi horni berat waktu itu, soalnya bokap gue udah seminggu gak pulang. Pas lagi nonton TV gue grepe-grepe toketnya.. ehh dia malah keenakan....”
“ck ck ck.... bener-bener gila lu.... trus?”
“ya gue cerita kalo gue emank gak doyan sama cowo... tadinya nyokap gue sedih, dia ngarep banget gue cepet merit trus ngasi cucu buat dia......”
“elu juga sih..... makanya nyobain kontol sekali-sekali.... lu kan blom pernah nyoba... enak tau...”
“males........ cowo pada brengsek semua... lu sendiri udah buktiin kan? Cowolu aja yang punya cewe cakep, kaya, seperti lo bisa ninggalin gitu aja...”

Lagi-lagi Naya menggelengkan kepala. Jawaban seperti itu sudah didengarnya berkali-kali selama ia mengenal sosok Dini. Namun apa boleh buat, ia tetap menerima Dini sebagai seorang sahabat dengan segala kekurangan yang dimilikinya.

“udah si... jangan dipikirin gitu.... mendingan lu isepin toket gue.....”
Dini menggengam kedua payudaranya, lalu menyodorkan putingnya mendekati bibir Naya.
“hihihi.... dasar lu.... sini........”

Salah satu hal yang tak diketahui orang lain tentang Naya, adalah fakta bahwa selain dengan laki-laki, Naya juga tak keberatan untuk melakukan aktivitas intim dengan wanita. Walaupun hal itu terbatas hanya dengan Dini saja.

Walaupun begitu, nafsu birahinya ketika melihat laki-laki tetap tak berkurang. Salah satu hal yang tak dimiliki oleh Dini.

“Aaaaaaaaaaahh..... terus say... kenyotin yang kuat.....” Dini memegang bagian belakang kepala Naya dan menekannya kuat-kuat.
Dengan sebelah tangan yang lain, Dini mulai menanggalkan celana hot pants berwarna hitam yang ia kenakan.

Sebuah gundukan daging menyembul dari pangkal pahanya. Vagina itu tak ditumbuhi sehelai rambut pun.
“sejak kapan lu suka waxing say??”
“dari lulus SMA..... soalnya pasangan gue waktu kuliah gak suka kalo gue ada jembutnya....”
“buset.... main sama siapa aja lu?”
“mau tau????” Dini menggapai jemari Naya dan meletakkannya di selangkangan.

Naya mengetahui apa yang diinginkan oleh Dini. Ia segera memasukkan dua jari dan mengocok lubang vaginanya.
Didera perasaan nikmat di seluruh tubuhnya, Dini mulai bercerita.

Saat itu, dikampusnya.
Dini sedang mengikuti sebuah pelajaran yang dipimpin oleh dosen yang terkenal killer.
Rasa bosan melanda gadis itu, ia mengatur posisi duduknya berkali-kali. Mencegah agar ia tak tertidur mendengar ceramah tentang manajemen yang dilakukan oleh sang dosen.
“sstttt..... kenapa lu Din?” bisik seorang teman yang duduk di sebelahnya. Namany Astrid.
“bete gue As... cepetan udahan kek” bisiknya.

Astrid menahan tawa, menempelkan jemari tangannya menutupi mulut.
“SAYA....... PALING GAK SUKA......... KALO ADA SISWA YANG NGOBROL....... PAS SAYA LAGI NERANGIN.......” dosen itu berteriak dari depan ruangan.
Dosen dengan kumis tebal itu mendekati Dini dan Astrid.

“ngobrolin apa kalian?” tanya dosen itu datar. Suaranya sangat dalam, seakan ditahan, sampai-sampai hampir tak terdengar.
“nnggggg.... ngak pak tadi saya mau pinjem bolpen sama Astrid...” kata Dini.
“benar begitu?” dosen itu menoleh kearah Astrid.

“iya pak... “ Astrid menyerahkan sebuah ballpoint kepada Dini untuk meyakinkan.
Dosen itu berpaling, ia kembali kedepan kelas.
“NGELIATIN APA KALIAN..... CEPET BUKA HALAMAN 128...” dosen itu kembali berteriak, kali ini sambil memukul kepala salah seorang mahasiswa yang masih menoleh ke belakang dengan kertas yang digenggamnya.

“kriiinnnggg.......” bel berbunyi, tanda bahwa mata kuliah dosen itu sudah berakhir.
“oke....... cukup sampai disini.... pertemuan selanjutnya kita bahas bab 6... tolong kalian pelajari dirumah, karena saya akan berikan pre-test....” kata dosen itu.
“yaaaaaahhhhhh.........” seluruh siswa di kelas itu mengeluh.
“stopp.... gak ada tawar menawar... kalian mau cepet lulus kan? Gak mau jadi mahasiswa abadi kan? Lakuin aja oke...... “ dosen itu mengambil setumpuk buku yang berada di atas mejanya. Tak lama ia sudah berjalan keluar kelas, sosoknya menghilang ketika dosen itu bebelok di lorong.

“hhhhhhaaaaaahhhhh..... akhirnya kelar juga....” Dini menghela napas panjang.
“hahaha..... pasti jantunglu udah mau copot ya Din...” kata Astrid.
“iya,,,, thanks ya As.... gue ketolong banget....”
“no problem..... eh abis ini ke tempat kost gue yuk Din... gue bete nih malem minggu gak kemana-mana....”
“lah... emang lo ngak dijemput cowo lo?” Dini merapikan buku dan alat tulisnya yang kini ia masukkan kedalam
“mana ada yang mau sama gue... makanya gue ngajak lo ke kostan gue.... ada yang pengen gue obrolin....”
“ohh yaudah yuk....”

Siang menjelang sore, namun teriknya matahari masih cukup untuk membuat jalan yang meraka lalui menjadi semirip mungkin dengan gurun pasir. Debu-debu beterbangan, aroma asap knalpot kendaraan, ohh... suasana khas perkotaan.
“masuk Din... tempatnya sempit, maklumin aja....”
“ah jangan gitu..... masi mending disini daripada diluar....”
“haha iya.... panas banget diluar... anggep aja rumah sendiri... lo mau minum apa?” Astrid membuka sebuah lemari es kecil yang berada disamping lemari bajunya.
“ihh gak usah repot-repot As....”
“santai aja lagi... nih tangkap....”

Sekaleng minuman ringan berwarna merah melayang kearah Dini.
“tap........” Dini menangkapnya dengan tangan kanan.

“ihhh.... bikin kaget aja... coba kalo gak ketangkep... benjol kepala gue.....”
“hehehe... sorry deh....”

“psssss.......” suara kaleng terbuka itu mengawali pembicaraan mereka.
“ehm.... gini Din..... gue mau tanya-tanya soal yang sedikit private nih...”
“tanya apa?” Dini meneguk minumannya.

“toket lu kok bisa gede gitu sih..??”

“buuurrtt....... uhuk...uhukkk” minuman yang baru saja akan ditelan oleh Dini tiba-tiba tersembur. Ia terbatuk-batuk karena kaget mendengar pertanyaan itu.
“yaaahhh......... basah deh baju gue....” kata Astrid.
“uhukk.......uhukk.... so-sorry.....”

Astrid mendekati Dini dan menepuk-nepuk punggungnya.
“gimana udah enakan?”
“hadeeehhh.... ada-ada aja yang lo tanyain sih....”
“hehehe..... yah makanya gue ajak lo kesini... gak mungkin kan gue tanyain itu di kampus...”

Dini meraba payudaranya yang memang berukuran cukup besar, Cup C.
“masa sih segini termasuk gede?”
“isshh.... lu ngak nyadar ya kalo cowo-cowo dikampus tuh selalu nengok kalo lo lagi lewat?”
“ya nyadar....”
“nah... itu karena.. ehem... ukurannya...”

Dini meremas-remas payudaranya sendiri yang masih tertutup kaus.
“engg... trus kenapa nanya begitu?”
“ummm.... yah... gimana ya? Eng.... gue kurang pede, scara gitu.... punya gue kan agak.... emm... kecil....”

Dini memandang kearah wajah Astrid yang menoleh kesamping, seakan malu dengan keadaan dirinya.
Ia mendekati Astrid, tanpa meminta persetujuan, Dini menarik kaus yang dipakai astrid keatas.
“ehhhh...... ngapain.....” Astrid menepis tangan Dini lalu menyilangkan lengan untuk menutupi dadanya.
“mana sini gue liat?”
“ihhh......... malu gue.........”
“yaudah kalo gitu......”

Senyum tipis terlihat menghiasi wajah Dini.
Wajah Astrid kini memerah.
“iya-iya gue buka...... tapi janji lo jangan ngetawain gue....”
Akhirnya Astrid menyerah, dengan perlahan ia menanggalkan kausnya.

Sepasang payudara berukuran kira-kira 34B kini terlihat jelas, terbalut oleh bra berwarna putih yang agak basah karena terciprat air yang disemburkan oleh Dini. Memperlihatkan puting berwarna cokelat muda dibaliknya.
“itu Bhnya dibuka juga.. biar jelas.....”
“malu aahhh.........” Astrid merengek.
“hadehh..... yawdah, kalo malu gue ikut buka baju deh....” tanpa ragu Dini melepaskan pakaian serta bra yang menutup payudaranya. Kini payudara besar dengan puting kemerahan itu membusung bebas.

Astrid hanya bisa melongo melihat kelakuan sahabatnya itu. kini lengannya sudah tidak menutupi bongkahan bukit kembar miliknya.
“nah sekarang lo buka dong BH lo...” kata Dini.

Melihat Dini telah bertelanjang dada, Astrid tidak ragu lagi untuk menanggalkan bra yang ia kenakan. Kini kedua gadis remaja itu telah bertelanjang dada.

“nahh... gitu kan jadi keliatan....”
“gila.... gede banget toket lu Din....”

Dini meraih jemari Astrid. Ia menuntun telapak tangan itu untuk menyentuh payudaranya.
“nih pegang...”
“eemm........” Astrid terlihat agak ragu-ragu.

Beberapa detik kemudian, telapak tangannya telah menyentuh payudara Dini.
“mmhhhh.. yang satu juga As...”
Astrid menuruti permintaanya.

Jemari tangan Astrid kini berada diantara telapak tangan dan payudara Dini.
“remes pelan-pelan say......”

Astrid masih canggung dengan apa yang dilakukannya. Ia hanya menurut lalu meremas pelan payudara Dini.
Bongkahan payudara itu tak bisa ia genggam dengan seluruh telapak tangannya, besar sekali, sangat berbeda dengan miliknya.

“mmmmhhhhh......... terus say.....” Dini meracau.
“enak ya Din....”

Dini melepaskan tangannya dari tangan Astrid.
Ia mengulurkan tangannya, mencoba meraih payudara Astrid.

Bongkahan payudara itu usapnya perlahan dengan jemarinya, mulai bagian tepi gerakan jemarinya memutar. Perlahan-lahan hingga sampai pada puting Dini yang kini mengeras.
“Din.....geli....aaahhh....hahaha...”
“ihhh..... jangan dirasain geli, dinikmatin sensasinya. Kalo udah terangsang, nanti toket lo jadi kenceng...... semakin sering lo beginiin, lama-lama nanti gede sendiri... apalagi kalo pake breast-oil”
“apaan tuh Din?”
“itu loh.... minyak yang dipake buat mijet toket biar gede....”
“hah emang ada?”
“ya ada lah....... buktinya gue bisa segede ini...”

Dini merapatkan tubuhnya kepada Astrid. Kedua pasang payudara itu kini berhimpitan, memperlihatkan perbedaan ukuran yang sangat kontras.

“sekarang lu berbaring deh......”
“mau ngapain?”
“udah nurut aja..........”

Astrid berbaring. Ia mulai terangsang menerima perlakuan nakal dari Dini.
Kedua payudara itu mengacung keatas seakan menantang.

Dini melebarkan kedua paha Astrid, lalu menempatkan tubuhnya disana. Jemari tangannya mulai meraba tubuh Astrid dengan perlahan. Menimbulkan sensasi liar yang membuat Astrid menggeliang.
“mmmmpphh....geli Din....”
“jangan dirasain geli.... rasain enaknya..... kalo geli mah gak bakal gede-gede toket lo....”
“i-iya...mmmhhhh.....aahh....”

Perlahan-lahan, remasan itu semakin kuat.
Disela aktivitasnya, Dini menyempatkan diri bertanya.

“cowo lo dulu gak pernah remes-remes ya?”
“aaahhhh.....ngak....gue...gue malu Din.....” Astrid menjawab dengan mata terpejam.
“pantes..... “

Dini merebahkan tubuhnya menindih tubuh Astrid.
Dengan lidahnya, kini ia memainkan puting payudara Astrid.

“Aaaaaaaaaahhhhh........mmmhh.....” Astrid memekik dan melenguh. Merasakan sensasi ketika sapuan lidah itu mendarat di putingnya untuk pertama kali.
“D-din....udah.....hhaaahh...gue... ga tahan......”

Namun Astrid tak menunjukkan tanda-tanda penolakan. Matanya masih terpejam, pahanya menjepit kuat tubuh Dini. Kedua lengannya mendekap tubuh Dini erat-erat.
Dini menatap wajah Astrid dengan tajam, senyum lebar menghiasi raut wajahnya penuh kemenangan.

‘sekarang lo udah gak akan nolak lagi say......hihihi’ batinnya.
Dini mulai mengulum puting milik Astrid. Sekali lagi, tubuh Astrid menggeliat liar.

‘anjrit......ohhhhh.....enak banget......’
Astrid mulai dirasuki oleh nafsu birahi. Ia tak mengira bahwa permainannya dengan Dini yang notabene sesama wanita bisa senikmat ini.

“enak say.......”
“mmmhhh.....e-enak Din.... terus isepin toket gue.....”

Dini menghisap puting Astrid dengan kuat, dibarengi dengan jemari tangan Astrid yang kini menjambak rambutnya.
‘guess i won....’ batin Dini.
Jemari tangannya kini mulai meraba tubuh Astrid, dari dada turun keperut, melalui pinggang lalu membuka paha Astrid lebar-lebar dan berhenti di selangkangan Astrid. Dini menggerakan jemarinya, menggesek-gesek selangkangan yang masih terbalut celana jeans ketat itu.

“ohhhhh..shit.........fuck me baby.........” Astrid meracau.
“nahhh gitu.... dibayangin, biar makin terangsang....”

Dini mengangkat tubuhnya, melepaskan diri dari pelukan Astrid.
Ia kini membuka kait celana jeans itu lalu mulai melucuti sisa busana yang dikenakan Astrid. Tubuh molek seorang mahasiswi itu kini terbujur lemah tanpa busana, tak kuasa bertarung dengan luapan birahi dalam dirinya.

Dini kembali merebahkan diri, sapuan lidah itu memutari payudara Astrid, namun bukan disana lidah itu ingin bermain-main. Perlahan sapuan itu turun melewati perut Astrid.
“Din....ja-jangan disitu.......aahhhhhhh.....”

Lenguhan Astrid tak tertahan ketika sapuan lidah itu mendarat di klitorisnya. Dengan refleks ia menjepit kepala Dini dengan kedua pahanya.
“uuuffff....... jangan di jepit gini dong say.... kan susah geraknya....”
“s-sorry...... refleks gue tadi...”

Dini kembali tersenyum penuh kemenangan, takkala sahabatnya itu jatuh dalam permainannya.
Kedua tangannya kembali meremas payudara Astrid sementara lidahnya bermain dengan klitoris dibawah sana.

“mmmmmmmhhhh........oohhh...Shit.........” tubuh Astrid bergerak makin tak terkendali.
Dini membenamkan wajahnya diantara lipatan vagina yang telah dibasahi cairan kenikmatan.
Ia sangat menikmati detik-detik itu. memandang kearah wajah Astrid raut wajahnya mengekspresikan geliat nafsu yang membara.

“Aaaaahhhhhh...Din...guee....aaaaaaaahhhhhh”
Lenguhan panjang Astrid disertai cairan yang menyembur dari vaginanya. Membasahi bibir Dini yang tak henti-hentinya menebarkan senyum kemenangan.

“ohhhh jadi gitu....” kata Naya menimpali cerita Dini.
“yoi.....ssshhh...terusin say.... mmmhh....... udah mau nyampe nih...”

Dini mendekap wajah Naya, seakan berusaha memasukkan seluruh bongkahan payudarany kedalam bibir mungil itu.
“Aaaaaahhhhhh......aahh...............”

Lelehan cairan hangat terasa membasahi jemari Naya.
Dini melemparkan tubuhnya kebelakang dan berbaring. Raut wajahnya sayu, tenggelam dalam arus orgasme yang cukup deras.

Naya merebahkan diri disampingnya. Menikmati sentuhan yang dilakukan Dini pada tubuhnya.
“gantiannya ntar dulu ya say.... masih lemes nih gue.....”
“nyantai aja Din..... gue juga capek, mau tidur....”

“mmuuuaachhh.... thanks ya say buat pelayanan yang memuaskan...”
Kecupan itu mendarat di bibir Naya. Mengiringi kelopak matanya yang menutup perlahan.

Hari-hari berlalu.
Naya telah menginap selama tiga hari dirumah itu.

Saat-saat bersama dengan Dini dan ibunya ia habiskan dengan aktivitas ber-lesbi ria.
Sejenak, pikiran tentang nasib adiknya terlupakan.

Saat ini ia telah kembali lagi di kamar hotelnya, aroma kamar yang tak dihuni beberapa hari itu tampak tak berubah. Naya merebahkan diri di ranjangnya.
Teringat akan Tomi, Naya kini meraih handphonenya, mencoba menghubungi adiknya untuk kesekian kalinya. Namun hasilnya tetap nihil.

Menjalani hari dengan sebuah tanda tanya besar tentang keberadaan Tomi bukanlah hal yang menyenangkan. Tak jarang ia menjadi stress dan suka melamun sendiri.
Biasanya saat melihat Naya dalam keadaan seperti itu, Tomi selalu berkata “udah kak jangan dipikirin melulu... ngejalanin hidup itu slow aja...”.

Yahh... tak bisa dipungkiri, itulah sisi lemah dari seorang Naya. Saat Tomi tumbuh menjadi laki-laki yang lebih suka berspekulasi, Naya tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan berpikiran panjang. sebuah sifat yang saling bertolak belakang, namun saling mengisi kekurangan satu sama lain.

“trus ayah dimakamin dimana?” tanya Tomi.
Pandangan Naya yang kosong menerawang keluar jendela sambil bercerita tiba-tiba berubah.
“oh iya.... lupa....ayah dimakamin di sebelah mama....”
“gak jauh dong dari sini....”

Naya menganggukan kepala.
“besok kita kesana Tom... kamu kan belom ziarah...”
“iya....”
“yaudah sekarang tidur dulu yuk... kamu pasti capek, lagian udah malem...”
“tidur seranjang nih?”

Naya bangkit, mengambil dua buah bantal yang berada disofa.
“ya iya... emang mau tidur dikamar mandi lo?”
“udah kenyang gue tidur ditempat begituan...”

Naya melemparkan bantal itu kearah Tomi.
“makanya.... sekarang tidur sama kakak.... gue kangen....”
Naya memeluk tubuh Tomi erat-erat.

Selimut tebal sudah ditarik menutupi tubuh mereka.
Matahari telah kembali ke peraduannya, meninggalkan langit hitam yang menyelimuti seluruh kota. Cahaya berjuta lampu kini menghiasi pemandangan diluar jendela, bagai ribuan bintang yang turun menemani malam mereka.


BAB 4
THE TRUTH Part 2

Malam itu adalah malam panjang bagi Tomi.
Pikirannya kini melayang tak tentu arah, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah ia telah gagal? Benarkah ibu tirinya masih hidup entah dimana?

Ia kini berbaring dalam pelukan Naya.
Namun hal tersebut tidak membuatnya lebih baik, justru jauh....jauh....lebih buruk.

“kenapa Tom..... gak bisa tidur ya?”
“gimana bisa tidur..... gue hampir jatoh nih..........” protes Tomi.

Bagaimana tidak, walaupun ranjang tempat mereka tidur adalah ranjang untuk satu orang, namun seharusnya cukup luas agar Naya tidur sedikit menjauh darinya. Kini Tomi tidur menghadap ke luar jendela kamar yang tertutup gorden pada separuh lebarnya. Posisinya hanya beberapa senti dari bibir ranjang itu.
Tampak Naya memeluknya dari belakang, menghimpit tubuh Tomi kepinggir ranjang.

“sanaan dikit dong kak.....issshhh....”
Tomi mendorong tubuh Naya dengan punggungnya. Payudara besar itu menempel erat pada tubuhnya.
“lagian kamunya sih yang menghindar kalo dipeluk....sini agak ketengah..”
Naya menggeser tubuhnya mundur, namun ia tetap menghadap kearah Tomi.

“lagian lu nempel-nempel melulu sih.... jadi ga bisa tidur gue kak...”
“ihhhh gue kan kangen sama adek gua sendiri....emang gak boleh?”
“ya boleh, tapi jangan nempel-nempel banget kale....”

Naya tersenyum dibalik kepala Tomi.
“kenapa? Horny ya?? Masa sama kakak sendiri horny....”
“gue cowo normal..........”
“hahahaha...... yaudah si.... masih kaku aja...”

Naya menjauh sedikit, Tomi merasakan ada gerak kasak-kusuk dibalik punggungnya.
“ni anak nantangin.......” kata Tomi.
Ia membalikkan tubuhnya menghadap kearah Naya.

“KAAAAAKKK.........” Tomi memekik, seketika ia membalikkan tubuhnya kembali memunggungi naya.
“apaan?” ucap Naya dengan santai seraya cekikikan. Piyama tidur berwarna putih yang tadi ia kenakan kini sudah ia lepas.
“bajunya dipake...........”

“hahahaha...... hayo... makin horny ya?”
“isssshhhhhhh lama-lama gue nyewa kamar sendiri nih......”
“tega banget sih....... masa gue tidur sendirian disini?”

Naya kembali mendekatkan tubuhnya kearah Tomi. Ia menyingkap piyama yang menyelimuti punggung Tomi, lalu merapatkan tubuhnya.

‘adooohhh.......... lama-lama goyah juga iman gue...’ batin Tomi.
Sensasi hangat yang khas kini dirasakan oleh Tomi dibagian punggungnya. Tomi hapal sekali, sensasi itu hanya dirasakannya apabila payudara wanita menyentuh tubuhnya.
“ehem.......” Naya berdehem sekali.
“mmmm.........” Tomi membalas dengan bergumam tanpa arti.

“Tom........”
“mmm... apa?”
“gue lagi kepingin nih Tom........”
“ishhhh.... jadi yang sebenernya horny tuh lu apa gue??”
“masa sih lu gak horny?”

Naya mulai menggerayangi Tomi dengan jemarinya. Menyentuh dadanya, meraba perutnya, lalu menyelinap masuk di celananya.
Tomi menggigit bibir bawahnya, matanya ia paksakan untuk terpejam. Rasa geli yang dirasakan seluruh tubuhnya membuat ia merinding. Namun ia tak menghindar atau meminta Naya untuk berhenti.

“hayo...... bener kan lo lagi horny... nih udah keras gini....”
Mata Tomi terbelalak ketika batang penisnya kini sudah digenggam erat oleh Naya.
‘my goddd........kerasukan setan mana nih anak....’ batinnya.

“awas lu ya..... gue bales.........”
Tomi melepaskan cengkeraman kakaknya, ia kini membalikkan tubuhnya.
Ia melayangkan pandangan ke arah tubuh Naya yang sudah bertelanjang dada.

“eittsss.... gak boleh liat.... hihihi....”
Naya menutup kedua payudaranya dengan lengan kirinya, lalu berbalik memunggungi Tomi.

“wooo..... nantangin bener.....”
Ia menyergap tubuh Naya, jari-jari tangan Tomi dengan murah menarik celana tidur yang dikenakan Naya. Celana itu melorot hingga ke lututnya, memperlihatkan dengan jelas, lekuk bokong Naya yang sintal dan padat.
Tomi menyusupkan tangannya dari belakang, melalui selangkangan Naya dan mencengkeram vaginanya.

“aaaawwww........... hahaha... geli...geli... udah.. ampun....”
Naya menggeliat ketika jari tengah Tomi bermain di klitorisnya.
“ampun gak?”
“am...ampun... udah.... aaaaahhhhh.....ahhh......”

Aroma pheromone menyeruak dalam ruangan itu. Dua insan sedarah itu kini sedang dilanda birahi yang memuncak.
Lipatan vagina Naya mulai mengeluarkan lendir licin yang melumasi rongga vaginanya, sementara itu penis Tomi telah menegang dengan keras.

Cairan licin itu memudahkan jemari Tomi menerobos liang vaginanya.
“mmmmmmhhhhh........ampun....”
Naya melenguh.

“apa?? Coba bilang sekali lagi?”
“ampunn... udah.... ampun!!”
Tomi semakin liar menggerakan jemarinya didalam vagina Naya. Ia mengocok liang kenikmatan itu dengan cepat, menimbulkan suara bergesekan yang khas.

“kok ucapan gak sesuai dengan perbuatan ya??” kata Tomi.
Naya memang tidak menunjukkan tanda perlawanan. Sebaliknya, raut wajah Naya menunjukkan kenikmatan. Kelihatan sekali ia sedang menikmati permainan itu.

Tomi menarik tubuh Naya untuk terlentang. Kedua tangan Naya kini terangkat ke atas kepalanya, membiarkan kedua bukit kembar itu tanpa penjagaan.
Kini jemari tangan kiri Tomi memainkan vagina Naya dari bagian depan tubuhnya. Lidahnya kini bergerilya, menyapu seluruh bagian dada Naya.

‘rasain lu kak...... singa lagi tidur lu bangunin...hahaha.....’ batin Tomi.
“oohhhhh.....shit....fuck me babe.....” Naya meracau.

Tomi menikmati permainan itu, ia menjilati seluruh bagian tubuh Naya yang bisa ia raih dengan lidahnya.
“mmmhh........aaahh...geli Tom.....udah....”
Naya mendesah ketika Tomi mulai mengulum puting payudara kanannya.

“ohhh... udah nih? Yaudah.... selamat tidur....”
Tomi segera menarik tangannya yang sedang memainkan vagina Naya.
Ia kembali berbaring memunggungi Naya. Seberkas senyum tipis menghiasi bibirnya.
‘rasainnn....hahahahaha.............’

Tomi sadar, bahwa sebenarnya Naya menginginkan lebih dari itu.
“ihhhh kok udahan sih?” Naya merengek.
“lhoo... katanya minta udahan.... ya di stop dong...”

“lagi dong........” Naya mulai merajuk manja.
“ngak ahh.......wekkkkk”

Naya makin salah tingkah, luapan birahi itu sudah tak mampu lagi ia bendung.
Kini giliran ia menarik tubuh Tomi untuk berbaring terlentang.

“aduh kakak....sakit tau...” Tomi merajuk ketika lengan kanannya ditarik dengan paksa.
Naya segera berbaring di atas tubuh Tomi. Ia mencengkeram kedua lengan Tomi agar tidak memberontak.

“huss... gak usah protes.... daripada protes mendingan lu isepin toket gue....”
Naya mengarahkan puting payudaranya tepat bersentuhan dengan bibir Tomi.

“hayo.... siapa yang horny coba?” tanya Tomi.
Bibir Naya mengatup rapat. Ia melayangkan pandangan kesudut lain kamar itu, seakan tak sanggup bertatap muka dengan Tomi.

“grrrrooooookkkkk.......grroookkk...” Tomi berpura-pura tidur dan mengorok.
Mulutnya terbuka lebar.

“ihhhh jangan tidur.........”
Naya membenamkan puting payudaranya di dalam mulut Tomi yang terbuka.
“ayo dong say.... isepin toket gue.... bentarr aja, sampe gue keluar....”

“hawo....hiyafa hang holnyi?” ucapan Tomi terdengar tak jelas karena bibirnya tersumpal oleh puting Naya. Namun Naya dapat mencerna dengan jelas, ucapan itu sama dengan pertanyaan Tomi yang sebelumnya.

“aaaahhhh....isepin Tom.....please....” Naya semakin merengek.
“hiyafa hang holnyi??? Hawaaab...”

Pandangan mata Naya masih mengerling kesudut kamar. Bibirnya gemetar, namun tampaknya ia tak sanggup menahan kata-kata itu dalam mulutnya.
“iya..iya gue yang horny..... gue lagi kepingin ngentot....memek gue udah gatel....ayo Tom isepin....”

Tomi tersenyum penuh kemenangan. Ia baru saja menaklukkan Naya.
Perlahan, Tomi mulai memainkan puting Naya dengan lidahnya.

“mmmmhhh.......please...isepin...”
Akhirnya Tomi mengalah, ia menghisap puting payudara yang telah mengeras itu perlahan.

Naya melepaskan cengkeraman pada lengan Tomi. Kedua tangannya kini mendekap kepala Tomi, seakan mencegah adiknya melepaskan kulumannya.

Tangan Tomi yang kini bebas ia gunakan untuk melucuti sisa-sisa pertahanan Naya.
Tak lama sisa busananya telah terlepas. Kini mata Tomi disuguhi pemandangan yang menyejukkan hastarnya. Tubuh Naya dengan kulit putih mulus tanpa noda tersaji disana. Siap ia nikmati kapan saja.

Jemari tangannya kini meraba tubuh Naya, mencari-cari bagian paling sensitif pada tubuh wanita.
“sssshhhh....aahhh...iyahh...disituuuhh.....”
Tangan Tomi mendarat di gundukan vagina milik Naya. Diam tak bergerak, Tomi ingin membuat Naya semakin tersiksa dengan permainannya.

‘hahayyy.... liat apa yang terjadi nanti....’ batin Tomi.
Naya sudah tak sabar menunggu jemari tangan itu untuk mulai bergerak. Ia sudah habis kesabaran.
Naya menekan pinggulnya kebawah, menghimpit telapak tangan Tomi untuk mendekap erat vagina miliknya. Pinggul itu ia gerakkan maju mundur, membuat telapak tangan Tomi kini bergesekan dengan bibir kemaluan Naya yang sudah licin.

“aaaaaahhhhhhhhhhh......jahat banget lo Tom.... lo nyiksa gueeehhh.... aahhhh...ahhh...ahhh....ahhhh.....”
Naya mengeliat dengan liar. Sepertinya ia hampir mencapai klimaksnya.

“srett...srett....srett....”
Telapak tangan Tomi bergesekan dengan cepat. Tak lama, Naya mendekap erat kepala Tomi dan melenguh panjang.

“Aaaaaaaaaahahhhhhhhh.......”
Cairan hangat menyembur telapak tangan Tomi.

Naya kini tumbang, menikmati sisa-sisa orgasme yang ia raih dengan susah payah.
“jahat lo Tom...tega banget......”

“hohohohohh......... lagian pake pemaksaan sihh...”
Tomi bangkit dan melepaskan seluruh pakaiannya.
Naya masih tertelungkup di ranjang itu, melihat pasrah apa yang akan dilakukan oleh Tomi dari sudut matanya.

Penis Tomi sudah mengacung dengan tegak. Ia duduk diatas paha Naya lalu mulai menggesekkan penisnya di selangkangan Naya.

“sreettt....sreeettt...sreeett...”
Tomi menggengam pangkal penisnya dengan sebelah tangan. Kepala penis itu ia gesek-gesekkan di belahan pantat Naya.
Sesekali penisnya menyundul liang vagina Naya, namun belum sampai masuk kedalamnya.

“oohh.... Tom..... jangan siksa gue.....”
“hmmm......apa?”
“ssshhh.....masukin aja Tom.....gue udah gak tahan.....”

Tomi membuka mulutnya dan tersenyum lebar, ia ingin tertawa keras meledek Naya. Namun tak terdengar apapun dari mulutnya.
Ia tetap pada posisi semula, menggesekkan penisnya di bibir kemaluan Naya. Sementara tangannya yang lain meraih payudara Naya dan mengangkat tubuh itu untuk berlutut membelakanginya.

“apa?? Masukin??”
“ennngghhhhhh......iyahh....masukin Tom.... jangan siksa gue...”
Namun Tomi masih menikmati permainan itu, ia kini memelintir puting Naya dengan jemarinya. Penis itu masih gesek-gesekkan di bibir vagina yang licin itu.

‘gyahahahaha.....menang gue....... Tomi.. lo emang cowo paling hebat.....’ batinnya.
“mm... gimana kak? Enak.........” Tomi meledek.
“nngggghhhh......mas-sukin Tom... please.....”
“masukin?? Apanya nih yang dimasukin?”

Menikmati posisinya yang diatas angin, Tomi tak mau buru-buru menyelesaikan permainan itu. ia akan membuat Naya memohon dengan sangat untuk disetubuhi olehnya.

“uhhhh..... kontolnya Tom... masukin ke memek guee...”
Naya mendorong tubuhnya kebelakang, berharap dapat memasukkan penis Tomi ke liang vaginanya yang sudah berteriak minta di setubuhi.
“eiiittssss.......... hohoho... nanti dulu..nanti dulu...” Tomi kembali mengucapkan kata-kata dengan nada mengejek.
Hampir saja penis itu melesak masuk kedalam vagina Naya, jika saja Tomi tak buru-buru menariknya.

“please.....entotin gue Tom.... jangan siksa gue.... masukin kontol lo....”
“masukin??? Kontol gue??”

Tomi menekan tubuhnya, namun bukan kevagina Naya. Penis berlumuran cairan licin itu melesak masuk ke anusnya.
“aaaakkhhh.........ssshhhh...bukan....di.situ....a aahhh....”
“ohhhh..... salah berarti ya? Trus dimana dong...?”

Tomi merasakan penisnya dicengkeram oleh himpitan anus Naya.
‘gilee..... sempit bener..... mantabbbb....’

“memek gueTom... aaakkkkhhhh.....”
Naya memekik ketika Tomi mencabut penis itu, diiringi dengan bunyi ‘plop’ pelan.

“memek tuh yang mana sih kak?”
“ihhhhhhhh.........Tom please....entotin gue... masukin kontol lo ke memek gue... pleasee.....”
Naya berusaha meraih batang penis Tomi dengan tangan dan mengarahkan tepat di mulut vaginanya.

‘nyahaha.....yuhuuuu..... manteb bener ngerjain si Naya....hauahuahuahua..’
“ohhh disitu ya kak?”
“mmmhh....” Naya hanya mengangguk.

Tomi menekan penis itu dengan hujaman yang keras.
Batang penis yang mengeras itu seketika menyeruak masuk.

“sreeettt...........”
“aaakhhhhhh....mmmhhh......... iya Tom disitu....”
Hangatnya vagina Naya mulai membuat penis itu terasa gatal bagi Tomi. Ingin sekali ia menggerakkan tubuhnya, menggesekkan penisnya, namun ia tahan untuk sementara. Ia mulai terobsesi untuk mengerjai Naya lebih jauh.

Penis itu diam tak bergerak, hanya berkedut-kedut ringan.
“mmhh.... jangan diem aja Tom......... kocokin memek gueee......aaaahhhhh..........”

‘hahahahahaha......... asli koplak banget si Naya.....’
“emmm..... gimana caranya tu kak?? Gue gak paham deh....”
Tomi menyeringai lebar. Kemenangannya memang sudah mutlak, namun yang ada di pikirannya saat ini adalah ‘come on babe..... say it... who’s the boss here...’

“anjritt...... tega banget lu nyiksa gue Tom.... mmmmhhh...”
Naya kini kehabisan kesabarannya. Ia bergerak sendiri, maju-mundur menggesekkan penis itu di vagina miliknya.

Sementara itu, Tomi hanya diam mematung. Menikmati detik-detik kemenangannya atas tubuh Naya yang kini bergerak melayani nafsunya.

“aaahhh...ahhhhh...ahhhhhhh......”
Naya mulai meracau. Tak sabar untuk segera meraih kenikmatan sebuah orgasme sejati. Tubuhnya bergerak maju-mundur. Payudaranya yang bulat menggantung kini berayun-ayun.

“aaaaaakkkhhhhhhh...........sssssSHIT........ fuck me honey..........”
Gerakannya makin liar. Bagai seorang biduan yang beraksi diatas panggung, ia mengerakkan tubuhnya dalam tarian penuh hasrat.

“mmmhhh.....ssshhh........Aaaaaahhhhhhhhhh........ ...”
Naya kembali mendesah panjang. gerakannya melambat, ia kembali jatuh tertunduk. Butir-butir keringat di punggungnya berkilat diterpa cahaya dari luar jendela.

“udah kak??? Cepet amat?”
“sialan lo..... masih belom keluar juga lo?”
Tomi menggelengkan kepala. Senyum lebar masih menghiasi raut wajahnya.

Naya kini berbaring terlentang. Kedua kelopak matanya masih mengatup erat.
“sekarang giliran gue beraksi.....”

Tomi kembali menindih tubuh montok itu. nafsunya sendiri sudah memuncak sedari tadi, namun sengaja ia tahan untuk saat ini.

Aroma ruangan itu kini semerbak oleh bau lendir persetubuhan. Harumnya bagai narkotik yang membuat penghirupnya terbius, tak akan berhenti sebelum puncak kenikmatan itu berhasil diraih.
Belum sempat Naya mengatur napasnya, Tomi kembali mendekatkan penisnya kelubang vagina Naya.

“Tom.... sebentar dulu sih...gue masih...aaaaaaaakkkhhhhh......”
Penis itu melesak dengan cepat, menghujam jantung kenikmatan seorang Naya, membuat kata-kata itu berubah menjadi desahan penuh nikmat.

“ahhh...ahhhh...ahhhhhh.....”
“gimana kak?? Enak kan?”
“mmhhhhhh.....e-nak....mmmh.....”
Kedua paha Naya kini melingkar menjepit pinggang Tomi. Dibawah sana, vagina kemerahan itu sedang menerima serangan yang bertubi-tubi.

Penis Tomi menusuk dengan cepat, cairan kenikmatan dalam vagina Naya mulai menetes keluar, terciprat tak tentu arah ketika selangkangan mereka berhimpitan.

“plok...plok..plok....”
Suara persetubuhan itu bagai tepuk tangan para audience yang menyaksikan, bagaimana seorang adik sedang berhubungan intim dengan kakaknya sendiri.

“ahhh......ahhhh.....fuck me baby....mmmhh....aahhh.....”
Desahan, lenguhan, dan racauan itu seakan menjadi penyemangat untuk Tomi. Kata-kata yang dilontarkan Naya, dicerna oleh otak Tomi, bagai kata-kata seorang pelatih dari sudut ring tempat ia bertarung.

“mmmhhh...ahhh...gimana kak? Masih kuat.....”
“harder please....aahhhhhhh......come on....”
Seakan menantang keperkasaan Tomi, kata-kata itu membuat Tomi makin liar. Seakan dua buah taring panjang baru saja tumbuh di rahangnya, Tomi menghujamkan penisnya dengan kuat. Dalam sekali, hingga Tomi dapat merasakan sebuah tonjolan kecil diujung liang itu.

“you’re the best....aahhhhh........Tommmmmm..... gue.... hampir...”
“aaaahhhhhhhhhh....hahhh..ahh....haaahh..... gue...juga mau keluar...kak.....”
“aahhh..ahhhh.....go baby...gooo..... cum inside mee.....ahhhhh....ahhh....”

“crooottt....crroooottt...croooott...crrrooott.... .”
Beberapa semburan mendarat dirahim Naya. Cairan putih kental itu mengisi kekosongan dalam vaginanya.

Penis itu masih menancap dengan dalam, namun kini tak bergerak.
Yang dirasakan oleh mereka kini hanyalah denyutan-denyutan kuat antara organ intim mereka.

“aaaahhhh...hahhh..haahhh....” dengusan napas mereka bersahutan. Keduanya kini berusaha mengatur kembali napas mereka yang tersengal.

“sreett...”
Tomi menarik penisnya keluar. Membukakan jalan bagi spermanya untuk meleleh membasahi kain yang melapisi ranjang itu.
Ia merebahkan diri disamping tubuh Naya. Keringat yang memenuhi tubuh mereka seakan menjadi rantai tak terlihat yang membelenggu.

Kedua insan yang tenggelam dalam kenikmatan itu nyaris tak mampu menggerakkan tubuh mereka, bahkan tak mampu mengucapkan sepatah kata.

“uuuuaaahh.....”
Naya menggeliat, memiringkan tubuhnya mengharap kearah Tomi.
Kedua pahanya kini berhimpitan, cairan putih itu mengalir, melewati paha kirinya yang berada dibagian bawah.

Tomi masih memejamkan mata, napasnya belum juga kembali normal.
Naya mendekatkan wajahnya kearah wajah Tomi.

“muuacchhh... makasih malem ini ya Tom.... gue udah ngebet banget...”
“mmmhh.... iya... lagian kenapa ngebet gitu.... coli aja kan bisa?”
“bosen kale..... tiap hari coli mulu gue sama Dini..... dapet ‘O’ sih iya.. tapi kalo gak di kontolin, rasanya gimana gitu..... gue heran juga... kok bisa-bisanya Dini betah ngelakuin itu bertaun-taun.....”
“haaa.... namanya juga pilihan... lagian kan orientasinya emang beda...”

Naya hanya tersenyum, ia mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk meletakkan tangan kanannya diatas tubuh Tomi.
“tidur yuk..... gue mau mimpi indah malem ini....”
“mmmhh...iya... met tidur kak...”

~***~

Seberkas cahaya mendarat diwajah Tomi ketika Naya menyingkap tabir yang menutupi jendela pagi itu. Tomi mengejapkan matanya sekali, namun kembali terpejam erat sambil menutupi wajahnya dengan sebuah bantal.

“ehhh....ayo bangun jagoan....udah pagi nih....”
“mmm.....masih ngantuk gue kak?”

“sreet......”
Naya menarik selimut tebal yang menutupi Tomi.
Udara dingin kini menjalar di sekujur tubuh Tomi.

Naya merebahkan diri diatas tubuh Tomi. Ia meraih bantal yang menutupi wajah adiknya dan melemparkannya kesamping.
“ayo dong... jangan males gitu ahh..... mmmmuuuaacchh...”
Bibir mereka kembali beradu.

Tomi membalas ciuman itu.
Beberapa saat mereka bergumul diatas ranjang berselimut seprei putih yang berantakan.
Jemari-jemari Tomi sudah bergerilya menjelajahi lekuk tubuh Naya dibalik kemeja putih tipis yang ia kenakan.

“eehhh......udah ah... bangun, ntar malem aja kalo mau gitu-gituan lagi....”
“hehehe...... “

Naya bangkit, berjalan ke kamar mandi meninggalkan Tomi yang masih mengumpulkan sisa-sisa nyawanya yang beterbangan.
Tubuh Tomi seakan luluh lantak. Terjangan badai asmara tadi malam sudah cukup untuk membuat siapapun terkulai lemas tak berdaya.

Setelah bersusah payah, Tomi akhirnya mampu bangkit dan duduk di tepi ranjang itu.
Ia melayangkan pandangan keseluruh ruangan. Ruangan yang menjadi saksi bahwa ia telah melakukan hubungan terlarang dengan Naya semalam.

‘masa bodo teuing.....’ batin Tomi.
Baginya terlarang atau tidak tak menjadi soal. (hya iya lah....... yang penting CROOOTTT....)

Ia bangkit. Merentangkan kedua tangannya sambil menahan napas.
Berharap pemanasan itu sedikit mengobati tubuhnya yang kaku.

“mandi dulu Tom..... abis ini kita sarapan dibawah.....” ucap Naya dari dalam kamar mandi.
Tomi masih mengusap kedua matanya dengan tangan ketika melangkah mendekati kamar mandi itu.

“kreeekk.....”
Pintu kamar mandi itu terbuka, sudah ia duga sebelumnya, Naya pasti tidak akan mengunci kamar mandi itu.

“byurrrr.................” segayung air mengguyur tubuh Tomi hingga basah kuyup.
“anjrittt.......... dingin tau..... awas lu kak.....”

“aaaaauuu....hahaha...rasain, makanya jangan tidur melulu....”
Naya memekik ketika Tomi menyergap tubuhnya yang tak terbalut sehelai benang-pun.

Tomi segera melumat bibir tipis itu. sesaat kemuian, dua insan itu telah berpagutan.
Lidah mereka menari dengan liar.

Penis Tomi kembali mengeras. Ia meraih paha kanan Naya dan mengangkatnya dengan sebelah tangan.
Naya yang sudah tersudut di dinding kini merangkulkan kedua tangannya di leher Tomi sambil terus menggerakkan lidahnya menari.

“sreeettttttt........”
Penis Tomi dengan mudah menerobos vagina Naya yang sudah basah oleh guyuran air dari shower.

“plok...plok...plok....”
Suara itu kembali bergema.

“aaaahhhhh....ahhhhhh....ahhhh....”
Naya mendesah, menikmati tiap hujaman yang dilancarkan Tomi pada vaginanya.
Mereka kini terlibat persetubuhan dibawah guyuran rintik air yang terpancar dari shower.

Rasa dingin yang menerpa kulit mereka kini berganti dengan kehangatan.
“oooohhhhhhh..... enak Tom....terus....”
“aaahhh..ahhhh......ahhh.. jangan...lama-lama kak.... gue udah mau keluar.....”
“tahan dulu.....ahhh.....”

Naya memeluk tubuh Tomi erat-erat ketika Tomi meraih sebelah payudara miliknya dan mulai meremas lembut.
“mmmhh....... yang dalem Tom......ssshhhh....udah mulai enak nih....”
“oohhh...shitttt........ahhhh....ahhh....susa h posisinya.....”
“tahann.....sedikit lagi.....”

Tomi menghujamkan penis itu sedalam yang ia bisa.
Ia berusaha menahan denyutan penis itu selama yang ia mampu. Tak lucu rasanya jika kemenangannya tadi malam ternoda karena ia orgasme lebih dulu kali ini.

Naya kembali memagut bibir Tomi. Ia menekan tubuh Tomi kuat-kuat agar penis itu menyeruak lebih dalam. Denyutan dalam vaginanya makin kuat.
“ooohhh....mau...nyampe...dikit lagiiiiiiiii.......” Naya memekik.

“uuuuaaahhhhh......aahhhh..aaahhhh...aahhhh.. .”
Tomi mengerahkan sisa tenaganya, penis itu ia hujamkan dengan cepat dan dalam.
Tak lama lagi ia akan orgasme.

“ssssssstttt...TTToommm...aaahhhhhhhhhhhhh........ .”
Suara itu menjadi pertanda, orgasme Naya segera tiba.
Tomi terus menggerakkan tubuhnya.

“aaaaakkkhh............yees....aaaaaaaaaaaahhhhhhh hh.......”
“crooottt...crooott...crooottt”
Lenguhan panjang Naya dibarengi dengan menyemburnya sperma Tomi dalam rahimnya.

“ahhhh...ahh.....huff.... untung lu tahan Tom....”
“hahayyy.... seumur hidup gue belom pernah kalah kalo soal ginian...”
“huuuu...lagak lo... siapa tadi yang udah mau keluar dulua??”
“ehhh...tapi buktinya kan ngak....”

Naya melepaskan pelukanya.
Tomi mencabut penisnya dari vagina Naya. Cairan putih itu meleleh ke paha Naya yang putih mulus.

~***~

Bunyi peralatan makan yang beradu memenuhi ruangan besar itu. Belasan meja berjajar rapi, di samping tiap meja itu tampak puluhan orang sedang menikmati sarapannya. Ruangan itu terasa cukup besar untuk dikatakan sebagai tempat makan. Langit-langit setinggi tujuh meter berada jauh diatas, dihiasi oleh lampu-lampu kristal yang bergelayut pada seutas rantai berwarna emas.
Tepi ruangan besar itu dihiasi oleh jendela-jendela yang menjulang setinggi tiga meter. Tepiannya dihiasi oleh lembaran kain tipis berwarna merah bata.

Tomi dan Naya duduk disebuah meja yang terletak ditengah ruangan. Jauh dari jendela.
Padahal tempat disisi jendela itu sudah mereka incar sejak memasuki ruangan itu. namun apa mau dikata, meja-meja disana telah ditempati oleh orang lain.

“abis ziarah nanti mau kemana?” Naya bertanya sambil kembali menyendok sup ayam di piringnya.
“mau kerumah, liat keadaan....”
“lo masih penasaran?”
“mmm-hhmmm..” Tomi hanya bergumam. Ia sedang mengunyah makanan didalam mulutnya.

Naya mendekatkan wajahnya kearah Tomi.
“trus..... kalo bener dia masi idup lo mau gimana?” Naya berbisik pelan di telinga Tomi.
“bakalan gue cari dia, gak akan gue lepasin gitu aja......”

“ssshhhhh.... jangan gegabah.. keadaan udah tenang, masa mau dibikin keruh lagi.... yang penting kan dia udah gak ada di kehidupan kita....”
“tetep aja, gue gak bakalan maafin dia sampai kapanpun.....” Tomi kembali menyendok makananya.
“Tom...... gue ngerti, tapi nyimpen dendam di pikiran lo itu gak baik.... gimana lo mau move on kalo pikiran lo gak jernih?”
“justru itu.... supaya jernih ya harus di selesaiin....”
“susah ngomong sama lo...... yaudah kelarin tu makan, abis itu kita pergi...”

~***~

Mereka tiba disebuah pemakaman tempat mendiang ayah dan ibu mereka dikebumikan.
Tomi dan Naya, masing-masing membawa sekikat bunga mawar merah dan krisan kuning. Langkah kaki mereka begitu pelan, sama sekali tak terburu-buru, namun mereka belum mengucapkan sepatah kata pun sejak menginjakkan kaki disana.

Mereka tiba di tempat yang dituju, dua buah batu nisan berwarna hitam tersemat rapi diujung gundukan tanah yang ditumbuhi rumput. Bunga-bunga yang sudah mengering terlihat berceceran diatasnya.

Tomi dan Naya mengambil posisi duduk disamping makam itu.
Bunga yang digenggam erat oleh Tomi segera ia letakkan diatasnya.

Hati Tomi berkecamuk, sulit rasanya menerima kenyataan bahwa ayahnya telah tiada. Ia menangkupkan tangan diatas dadanya. Batinnya berdoa, semoga ayahanda mereka mendapatkan ketenangan dialam sana.

Mengetahui dimana ayahnya dimakamkan, adalah sebuah obat mujarap bagi kegundahan Tomi selama ini. Bagaimana tidak, ia telah terkurung dalam tepi dunia. Tanpa teman, tanpa tau apa yang terjadi. Sedikit beban dipundaknya telah berkurang.
Namun kobaran api dendam dalam dirinya masih menyala.

Setelah memanjatkan doa untuk ibunya, mereka bergegas meninggalkan tempat itu.
Ayah dan ibunya kini beristirahat dengan tenang, meninggalkan mereka berdua untuk menyusuri lembar-lembar baru dalam perjalanan hidup mereka.

~***~

“wwwwwuuuuuuuunnnggg..............”
Deru mobil Mazda RX-8 itu bergaung ketika Tomi menginjak pedal paling kanan.
Mobil berwarna merah itu melesat dalam jalan bebas hambatan menuju rumah mereka.

“lu udah nengok keadaan rumah kak?”
“udah, sekali... rusak parah.... tapi gue Cuma liat dari luar, gak masuk kedalem...”
“kenapa?”
“ngeri lah..... biarpun polisi bilang gak ada korban, tapi tetep aja gue ngeri.... entar kalo rumahnya tiba-tiba ambruk gimana?”

“hhhheeeehhh...” Tomi menghela napas.
“masih penasaran gue... masa sih gue gagal.... harusnya gue bikin Bom lebih gede kali ya...”
“hussss......... kalo lebih parah dari itu, rumah tetangga bisa ikutan rusak. Beruntung lo, karena bom itu kecil, polisi jadi ngira kebakaran itu gara-gara gas LPG....”
“iya juga si.....”
“halahhh.... kebiasaan lo, gak pernah mikir panjang....”
“iye-iye...........”

“ciitt...”
Ban mobil itu berdecit kecil ketika mereka berhenti tepat di depan rumah mereka.
Rumah itu luluh lantak, hampir tak terlihat lagi bentuk asli dari rumah itu.

Bangunan yang dulu menjulang tinggi dengan cat putih di sisi luarnya, kini telah berubah menjadi reruntuhan dengan noda hitam dimana-mana.
Tomi melepaskan garis polisi berwarna kuning yang menghiasi pagar rumah itu.

Dengan sekuat tenaga ia mendorong pagar besi berwarna hitam yang menjadi begitu berat setelah roda-rodanya dimakan karat.
Mereka berjalan, menyusuri halaman tempat dua mobil yang hangus terbakar itu berada.
Tomi ingat betul, salah satu mobil itu adalah mobil kesayangannya.

‘sorry buddy...... gara-gara gue lo berakhir kayak gini’
Ia menepuk badan mobil itu sambil lalu.

Mereka kini berada diambang pintu.
Yah.... tadinya itu pintu, namun kini telah berubah menjadi lubang besar menganga setelah pintu kayu itu habis dilalap api.

“tom... udah yuk, ngeri gue....”
“sssshhh...tenang aja sih....”

Tomi melangkah masuk dengan perlahan, diikuti Naya dibelakangnya yang masing sibuk menengok kanan kirinya.
Aroma arang dan debu-debu yang beterbangan menyambut mereka.
Rumah itu sepenuhnya hancur, tak tersisa lagi perabotan yang dulu biasa mereka gunakan.

Tomi melangkah dengan mantap, ia tau tempat yang ingin ia tuju.
Ia mulai melangkah, menaiki anak tangga yang sepertinya telah rapuh.

“grossaaakkk.....”
Bongkahan beton tempatnya berpijak tiba-tiba saja runtuh.

Untunglah ia berpegangan, tampaknya kebakaran hebat itu membuat struktur bangunan itu menjadi rapuh.
“ati-ati Tom....” kata Naya.
“kak.... kalo takut mending nunggu disini aja... tangganya udah rapuh, nanti lo jatoh..”
“gak mau.... gue gak mau ditinggal sendirian...”

Tomi menggelengkan kepala.
“yaudah, tapi ati-ati ngelangkahnya...”
Naya mengangguk, ia menyusuri tempat Tomi berpijak.

Ruangan yang mereka tuju, tak lain adalah kamar ayah dan ibu tirinya.
Namun yang mereka temukan saat ini hanyalah puing-puing reruntuhan. Dinding kamar itu sudah tidak ada lagi, tampak ledakan bom rakitan itu telah merusak ruangan itu sepenuhnya.

Tomi melangkahkan kaki, melewati puing-puing reruntuhan atap yang berserakan.
“gak mungkin.....”
“kenapa Tom...”
“gak mungkin mereka selamat dari bom itu.... kalo sampe ruangannya ancur begini, harusnya mayat mereka gak utuh lagi........”
“iiihhhh........ udah deh, jangan ngomongin mayat kek....gue takut.........”
“ssshhh... coba pikir, oke lah mayat mereka kebakar, tapi polisi gak mungkin gak nemuin apa-apa.... mereka pasti tau......”
“udah deh Tom....keluar yuk..... perasaan gue gak enak....”
“hheeehhh...yaudah, yuk keluar... yang penting kita tau keadaan disini...”

“duagg.....”
Kaki Tomi tersandung reruntuhan ketika ia membalikkan badan.
Sebuah benda berkilau jatuh didekat kakinya.

“aaaaaaaaaaaaawwww....” Tomi memekik.
“ihhh... ada-ada aja lo... ati-ati makanya...”

Tomi menundukkan badan mengusap kakinya yang kesakitan. Saat itulah perhatianya tertuju pada benda berkilau itu.
“apaan nih?” kata Tomi.
“hah?”

Naya membungkukkan badan.
Benda berkilau itu melingkar pada sebuah benda sepanjang tiga senti, benda berwarna putih yang penuh noda bekas terbakar.
“i-ini.....ini...........” kata Naya terbata-bata.

Tomi hampir tak percaya melihatnya. Benda berkilau itu....
“cincin.........”

Cincin yang melingkar disebuah tulang jemari manusia. Naya memekik tertahan, perasaannya campur aduk. Rasa takut menyelimuti dirinya.
Seketika itu mereka menoleh kearah reruntuhan yang menumpuk di tengah ruangan.

“ayo kak pergi dari sini.....”
Naya hanya mengangguk.

~***~

“gilaaaaaaaa..............bener-bener gila..........” Tomi mengumpat dengan frustasi.
“pasti ada mayat dibawah reruntuhan itu.. apa polisi begitu tolol sampe gak meriksa?”
“udah deh Tom......jangan ngomongin itu terus....... kita harusnya bersyukur polisi gak tau....”

‘tapi apa iya polisi gak tau..... trus itu cincin siapa? Bajingan itu, atau iblis itu?’ batin Tomi bertanya-tanya.
“seinget gue, Veni gak pernah make cincin segede itu..... kalo itu bukan punya Veni... artinya punya bajingan itu....” kata Tomi datar
“lu yakin Tom...?”
“yakin..... seinget gue, Veni Cuma make cincin pemberian ayah.... gak ada lagi.... kalo kalung ya gue gak tau... gak pernah merhatiin...”

Tomi terdiam sesaat.
“mungkin udah gak berbekas Tom.. namanya juga ledakan bom...”
“iya....tapi kan gak mungkin gak ada bekas sama sekali....”

Pikiran Tomi kembali berkecamuk, apa mungkin intuisinya berkata yang sebenarnya.
Jika benar mayat yang ada dibawah reruntuhan itu hanyalah mayat partner bisnis ayahnya, artinya.....

“dia masih hidup.........”



BAB 5
DISASTER
Mobil merah yang mereka kendarai melesat cepat, menjauh dari reruntuhan rumah mereka.
Satu hal yang tidak mereka ketahui, ada seseorang yang mengawasi gerak-gerik mereka. Ia memakai jaket bertudung warna cokelat yang panjang hingga menutupi lutut. Sosok itu berdiri agak jauh dari rumah mereka.
Wajahnya tersembunyi dibalik bayang-bayang rindangnya pohon tepi jalan. Namun senyum tipis jelas terlihat menghiasi bibirnya ketika sosok itu berbalik.

“wwuuuuuunnnnggg.............”
Deru mobil itu terjeda ketika Tomi menjejakkan kaki dalam-dalam pada pedal gas. Seketika, dapur pacu mobil itu memuntahkan torsi 211 Nm. membuat mobil itu melesat cepat di lajur paling kanan jalan bebas hambatan.

“pelan-pelan Tom....tenang.... jangan stress gitu ah...” kata Naya.
“ihh lu gimana.... harusnya lu yang seharusnya paham kalo intuisi gue bener...”
“iya-iya gue paham banget pemikiran lo... lo pasti mikir gini, kalo ada dua orang yang kena ledakan, pasti potongan tubuhnya jadi lebih banyak, dan gak mungkin polisi gak nemuin satu-pun potongan tubuh itu.... ya kan...”
“ya.....”

Tomi hanya menjawab singkat, tak perlu rasanya ia mengkonfirmasi pernyataan Naya yang benar adanya.
“nah.... tapi yang jelas, masalah udah selesai.... jangan lagi kita dipusingin sama masalah yang gak ada ujungnya Tom.... ayah udah tenang sekarang, dan gak ada gunanya balas dendam.....”
“hheeehhhh...” Tomi menghela napas.

“gini ya kak, gue tegesin sama lo. Biarpun iblis itu lari dari gue..... gue pastiin gak akan dia bisa sembunyi... ngak selama dia masi idup....”
“oke... kalo ternyata lu berhasil bales dendam...... trus lo mau lari lagi? Ninggalin gue lagi?”
Tomi terdiam.

“apa balas dendam itu sebegitu berharga bagi lo? Sampe-sampe lo tega ninggalin gue sendirian lagi?”
Batin Tomi kembali berkecamuk. Logika dan egonya kembali berperang.
Ingin sekali rasannya, ia menikmati saat dimana dirinya mencabik-cabik tubuh ibu tirinya dengan tangan sendiri. Namun dilain sisi, ia mengakui kebenaran dalam ucapan Naya. Ia sendiri tak kuasa membiarkan Naya sendiri, satu-satunya anggota keluarga yang tersisa selain dirinya.

“jawab Tom..... sebegitu penting?? Lo pasti tau, kalo saat itu tiba, polisi gak akan lagi tutup mata.... mungkin kali sebelumnya lo selamat, nama lo gak disebut-sebut.... tapi apa selanjutnya begitu??”
“hufff..... kita liat nanti kak... gue pusing... gak bisa mikir jernih sekarang...”
“oke..... tapi lo mesti inget, kita tinggal berdua... hidup kita udah cukup susah, jangan dibikin lebih susah.... gue sayang sama lo Tom... gue gak tega ngebiarin lo ngegelandang kaya waktu itu, dan gue juga gak mau ditinggal sendiri.....”

Tomi memandang kosong kearah jalan yang terbentang didepan mereka. Matanya sayu, menerawang diatas kemudi yang ia genggam dengan erat.

Mobil itu terus melaju, namun tak secepat sebelumnya. Tomi berpindah kelajur dua, ia berusaha mengemudi dengan tenang.


“ciiiittt..........”
Roda mobil itu berdecit. Sesaat sebelumnya badan mobil itu terasa berguncang.
Tomi membanting setir kearah kiri, berpindah ke lajur satu.

“kenapa Tom....???” Naya bertanya dengan panik.
“gak tau.... kayaknya mobilnya kesenggol.....”
Saat itu juga Tomi melirik kearah kaca spion tengah, namun tak ada tanda-tanda bahwa mobil mereka ditabrak.

“ggggggrrrrrrrrkkkk.......”
Suara memekakkan telinga itu menembus kaca mobil. Entah dari mana, namun suara itu jelas terdengar dari arah luar.
“ehhh...ehhh..kenapa ni mobil... suara apaan itu Tom...”
“ssshhhhh... jangan berisik.. gue gak tau....”

Pandangan mata Tomi menerawang dengan tajam. Mencari-cari asal suara memekakkan itu. mobil merah itu kini berhenti di bahu jalan. Begitu pula dengan mobil-mobil lainnya yang segera menepi dengan cepat.

Sesaat sebelumnya, Tomi mengira ada masalah dengan mesin mobil itu.
Namun, kali ini intuisinya salah. Saat mobil itu telah berhenti sepenuhnya. Mobil itu masih saja bergetar.

“BRAAAAKKKKKKKKK................”
Sebuah mobil kontainer di kejauhan tiba-tiba terbalik ketika roda depannya membentur jalan aspal yang kini berlubang. Tomi yakin sekali bahwa lubang sebesar itu tak mungkin ada di jalan bebas hambatan.
Muatan kayu diatas kontainer itu berceceran di jalan. Terlihat di kejauhan sebuah mobil sedan menabrak tumpukan kayu yang menghalangi jalan itu.

“gggrrrrrrkkk..........”
Getaran yang sempat hilang sesaat, kini kembali terasa. Tak salah lagi, gempa sedang melanda.

“gawat.......”
Tomi segera menginjak pedal gas. Mobil itu kembali melaju.
“hati-hati Tom........ AWAAAASSSSS.........” Naya memekik histeris ketika mobil yang mereka kendarai melesat melewati tumpukan kayu yang bercecer dijalan.

“craaakkkk........”
Terdengar suara seperti kaca pecah.
Tomi dapat mengetahui dengan jelas bahwa lampu kiri mobil mereka pecah ketika ia berusaha menghindari kayu-kayu itu.

“aaaaawwwww.........” Naya kembali memekik.
Tubuh mereka nyaris terlonjak dari jok mobil seandainya mereka tak memakai sabuk pengaman.

“cccrak..crakkkkk.......”
Suara kaca yang pecah terdengar sayup di kejauhan. Tomi tak memperdulikannya, namun Naya dengan jelas dapat mengamati bahwa suara itu berasal dari gedung-gedung pencakar langit yang mulai kehilangan jendelanya.

Mobil merah itu kembali melaju di lajur paling kanan. Mereka berusaha menghindari tumpukan mobil-mobil yang berhenti di lajur sebelah kiri.

“wuuunggggggggggg............................ ”
Jarum RPM naik dengan cepat. Tomi memacu mobil itu secepat mungkin. Ia sadar bahwa mereka akan terjebak jika tak segera meninggalkan tempat itu. tapi harus kemana? Berjalan di antara gedung-gedung tinggi menjulang bukan pilihan bagus jika terjadi gempa.

“braaaakkk.....”
Sebuah tiang lampu yang berada di pembatas jalan bagian tengah kini roboh. Bunga api memercik dari kabel yang berserakan.

“AWAAAAASSSSS........” Naya memekik.
Tomi membelakakkan matanya. Alih-alih menginjak pedal rem, Tomi menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Kemudi yang ia genggam kini dibanting kesebelah kiri sementara tangan kirinya menarik tuas rem tangan.

“CCCCIIIIIIITTTT.............”
Roda belakang mobil itu berdecit keras. Badan mobil itu terpeleset 60 derajat kesebelah kiri. Mobil itu tergelincir.
Naya hanya bisa menutup mata dengan kedua tangannya, sementara Tomi membanting kemudi kearah kanan. Badan mobil itu kembali terpelanting kearah sebaliknya. Rem tangan yang sedaritadi ia genggam kini kembali ke tempat semula.

Jejak roda mobil itu meninggalkan noda hitam diaspal. Beruntung, karena kesigapan Tomi mereka dapat lolos dari maut.
“Tommmmm......... nyetir yang bener ahhh...jangan ugal-ugalan gitu....”

Tomi tak membalas ucapan Naya. Jantungnya berdebar cepat.
Baru kali itu Tomi membuat mobil yang ia kendarai meluncur sedemikian rupa, mirip dengan adegan di film FaF-Tokyo Drift.

“BRAAAAAAAAAAAAKKKKKKK..........”
Entah sudah berapa kali mereka mendengar suara tubrukan itu. namun kali ini intensitasnya sangat berbeda.
Hantaman keras terjadi di jalur kanan yang berlawanan arah.

“AAAAAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaa...............” Tomi dan Naya memekik bersamaan.
Sebuah mobil mini bus melayang kearah lajur mereka.

Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Tomi sudah kehilangan akal sehat. Kaki kanannya tetap menjejak pedal gas dalam-dalam. Mobil itu melayang kearah mereka.

Semakin dekat, Naya hanya bisa memekik dan menutup mata.
Tomi membelalakkan mata menyaksikan kejadian itu. ia harus menghindar, tapi kemana? Lajur sebelah kiri telah dipenuhi oleh mobil-mobil yang berhenti.

Ia tak punya pilihan, bertaruh pada keberuntungan, jarum RPM telah berhenti di nomor paling akhir. Mobil yang melayang itu semakin dekat.

Sesaat Tomi dapat mendengar teriakan seseorang yang berada dalam kabin mobil itu.
Roda kemudi itu ia genggam dengan kuat. Kini Tomi memejamkan mata.

“craaaaakkkkkkkk.......BRAAAAAKKKKK.........”
Mobil yang melayang itu menghantam sayap diatas bagasi belakang mobil mereka lalu jatuh terjerembab di jalan aspal.
Bagian-bagian mobil merah yang mereka kendarai berserakan dijalan.

Tomi kembali membuka mata, mengatur napasnya yang terengah-engah.
Ia tak sanggup berkata-kata. Nyaris saja insiden itu merenggut nyawa mereka.

“bug......” Naya meninju bahu Tomi dengan tangan kanannya.
“GILA LO YA............... NEKAT BANGET SIH LO...........” ia berteriak.

“aaaadaawww..... iya-iya...... yang penting kan kita selamet....”
“SELAMEEEETTTT??????? SALAH PERHITUNGAN DIKIT NYAWA KITA UDAH GA TAU KEMANA!!”
“hehehh...eeeeehhh....” Tomi berusaha tertawa memecah kepanikan.

“KETAWA LAGI LO.....”
“hehe...sorryy...sorryyy....”
Tomi hanya bisa memasang raut wajah pasrah dan menyesal. Ia tau jika apa yang ia lakukan telah membuat Naya ketakutan.

“GGGGGGRRRRKKKKKKKKKK................”
Getaran kuat itu kembali melanda.

Sebuah fly-over terlihat dikejauhan. Tomi ingat, setelah fly-over itu mereka lalui, mereka dapat keluar dari jalan bebas hambatan itu.
Tomi tetap memacu mobil mereka dengan cepat.

Namun tanpa sepengetahuan mereka, separuh fly-over itu telah runtuh. Menciptakan lubang besar yang tak mungkin mereka lalui.

“Tom.....AAAAAWAAAAAAAAASSSSSSSSSSSSS............. .........” Naya memekik.
Pemandangan lubang besar itu telah mendarat dimatanya.
“PEGANGAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNNNN.............. ..” Tomi berteriak.

Tak ada waktu untuk mengerem, tak ada waktu untuk berpikir. Sekali lagi hidup mereka dipertaruhkan.
Lubang besar itu lebarnya mencapai lima meter. Harapan satu-satunya hanyalah mobil itu dapat melompati lubang.

Tomi kembali menjejakkan kaki pada pedal gas.
Mesin mobil itu meraung keras ketika mereka menanjak.

“wuuuuuunngggg.........”
Mobil itu melesat, lubang besar itu sudah nampak di depan mata mereka.

Tomi dapat melihat Naya membuka bibirnya lebar-lebar, namun selama beberapa saat tak ada suara yang dapat ia dengar.

Roda belakang mobil itu menjejak aspal di ujung lubang itu.
Mereka melayang, Tomi memegang erat roda kemudi. Sementara Naya berpegangan pada handle di atas kaca pintu.
Darah di seluruh tubuh mereka seakan mengalir ke kepala. Jantung mereka berdebar kencang, seakan ingin melompat keluar dari rongga dada.

“aaaaaaAAAAAAA........Uggghhhhh.......”
“braaaaaakkkkkkk.......”
Hantaman kecil terdengar. Bagian depan bumper mobil mereka menghantam keras jalan aspal.
Tubuh mereka terjungkal. Jika saja tak ada sabuk pengaman, mungkin mereka sudah terlempar keluar menembus kaca depan mobil.
Mereka selamat, mobil itu berhasil melewati lubang.

“AAAAaaaaaaaaa.........aAAAaaaaa.........” Naya kembali memekik. Kedua telapak tangannya kini menutupi telingaya rapat-rapat.
“ssshhhh....udah kak.......husss....” Tomi berusaha menenangkan Naya yang sedang panik.

“ciiitt....”
Mesin mobil itu berhenti meraung. Tomi menepi di bahu jalan, memberi jeda untuk Naya menenangkan diri.

Naya telah berhenti berteriak.
Sesaat pandangannya kosong. Tomi hanya bisa terdiam tanpa mampu melakukan apa-apa.

“hhhheeeehhhhh........hufffffff....... kepala gue masih nempel, tangan?? Ohh gak apa-apa... KAKI GUEEE......... ohhh baik-baik aja....” Naya meracau.
“kak...tenang..... jangan panik...”
“JANGAN PANIK KATA LOOO?????” Naya memekik.
Tomi menutup telinganya rapat-rapat dengan kedua tangan.

“GUE LAGI ADA SATU MOBIL DENGAN SEORANG PENGENDARA GILA..... DAN LO BILANG JANGAN PANIKKK??????”
Tomi hanya dapat menyuguhkan senyum masam tanda menyesal. Ia tau, saat seperti ini hanya ada satu hukum yang berlaku.
‘kalo cewe lagi ngamuk-ngamuk..... lebih baik lo pura-pura mati broo....’ begitu kata seorang komedian yang juga penulis buku.

Beberapa saat berlalu. Hembusan napas Naya mulai teratur.
“nnggg.......” Tomi berusaha bicara.
“APAAAA???” Naya menoleh sambil kembali berteriak.

Tomi merundukkan kepala dan memejamkan mata, khawatir jika ada sebuah pukulan yang melayang kearahnya.

Dirasa keadaan sudah mulai kondusif, ia kembali berbicara.
“enngg...jadi sekarang jalan lagi gak?”
Naya yang memalingkan wajahnya memandang keluar jendela hanya bisa mengangguk. bibirnya cemberut, namun Tomi dapat menyadari bahwa saat itu Naya sangat cantik.
‘mannn.... mungkin ini yang namanya inner beauty...’ batinnya.

Tomi kembali menginjak pedal gas. Namun kali ini mobil itu berjalan perlahan.
Mereka telah keluar dari jalan bebas hambatan.

“kemana kita sekar.......” belum sempat Naya menyelesaikan kata-katanya, getaran hebat itu kembali melanda.
Sebuah fenomena aneh, biasanya gempa hanya berlangsung sekali. Jika ada gempa susulan pastilah tak sebesar yang pertama. Namun kali ini lain, entah bencana apa yang sedang terjadi.

“ohh..god.... apa lagi sekarang.....” ucap Tomi.
“TOOMM...... MUNDURRRRRR.......”
“OHHHHH.......tidak.... jangan lagi....”

Sebuah gedung besar dengan kaca-kaca berwarna biru runtuh di depan mereka. Jarak mereka hanya sekitar seratus meter.
Tampak dengan jelas beberapa mobil tertimpa reruntuhan gedung itu.

Orang-orang berteriak histeris. Mereka berhamburan menjauh dari gedung itu.
Tomi meraih gagang persneling dan menariknya kebelakang. Pedal gas di kaki kanannya ia tekan dengan kuat.
Mobil itu mundur dengan cepat. Tomi menoleh kebelakang untuk melihat dengan lebih jelas.

Setir mobil itu ia banting ke arah kiri. Mobil itu berbelok dengan cepat.
Dengan sangat cekatan, tangan Tomi meraih tuas rem tangan dan menariknya lagi.

“ciiiiiiiiitttttttt.....”
Ban mobil itu kembali berdecit. Mereka berputar 180 derajat.
Tuas rem itu kembali dilepaskan, jemari Tomi kembali meraih persneling dan mengarahkannya ke huruf D lalu menginjak pedal gas dalam-dalam.

“wwwuuuuuunnngg....”
Deru mesin mobil kembali terdengar. Mobil itu melesat, entah kemana mereka harus pergi.
Tampaknya gempa besar itu melanda seluruh kota.

Mereka terjebak.

~***~

Satu jam sudah mereka berkendara. Gempa yang melanda kota itu beberapa kali, kini telah berhenti.
Tomi menyalakan radio pada mobil itu, berusaha mencari berita tentang gempa yang baru saja terjadi.

Baru saja ia berharap, keinginannya sudah terkabul.
Namun, bukan kesenangan yang ia dapat. Telinganya mendengar dengan seksama berita yang disiarkan itu.
Raut wajah Tomi dan Naya kini memperlihatkan kengerian yang amat sangat.

“....reaking news.... beberapa gempa besar melanda seluruh negeri... BMG telah mengkonfirmasi bahwa gempa besar itu juga melanda negara-negara tetangga... namun fisikawan terkemuka sekalipun belum dapat memberikan sebuah konfirmasi kongkrit tentang apa yang terjadi. Sementara itu daerah pesisir selatan, laporan seorang reporter menyebutkan bahwa air laut surut dengan drastis. BMG telah mengkonfirmasi pernyataan itu dan mengeluarkan peringatan akan terjadinya tsunami.... para pendengar diharapkan untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi agar terhindar dari bencana itu jika benar terjadi.... sementara itu di pesisir utara....”

“BEEP”
Naya mematikan radio itu.
“ihhh kok dimatiin......” protes Tomi.
Naya terdiam sesaat,

“kita harus lari kemana Tom? Daerah kita ini di pesisir selatan, gak akan ada cukup waktu buat kabur...” katanya lirih.
“kak... please deh.... lu ga usah mikir sejauh itu, lu percaya sama gue... kita pasti selamat.....”
“caranya??”

Kini Tomi terdiam. Tak tau harus menjawab apa, hal itu belum terpikirkan dalam otaknya.
“gue gak mau mati sekarang Tom....”

Tomi mengulurkan tangan kearah wajah Naya. Setetes air mata yang membasahi pipi Naya ia seka dengan jemari tangannya.
“jangan putus asa kak.... kita manusia Cuma bisa usaha, Tuhan yang akan nentuin...”
Naya hanya terdiam. Ia mengenggam telapak tangan Tomi dengan erat.

(cerita ini dipersembahkan untuk forum 64.237.43.94 tercinta... jika ingin copy paste, mohon meminta ijin terlebih dahulu kepada admin... salam megatron21)

“gue janji kak.... kalo emang akhirnya harus begini, gue akan nemeninlu sampe akhir.....”
Naya mengangguk dan menundukkan kepalanya.

‘oke.....tenang..... gak boleh panik.... pikirkan cara.....’ batin Tomi berkecamuk.
Ia sendiri sadar, bahwa dalam saat genting seperti ini, mereka tak akan bisa mencapai dataran yang lebih tinggi.
Tomi berpikir keras. Ia harus menemukan cara. Apapun untuk dapat menyelamatkan diri.
Sekecil apapun kemungkinan mereka, kesempatan itu tak boleh disia-siakan.

Mobil mereka berjalan pelan. Kepanikan yang melanda seluruh kota telah membuat suasana bagai medan perang.
Kebakaran terjadi dimana-mana, mungkin karena korsleting arus listrik.
Orang-orang berteriak sambil berlari menyelamatkan diri.

Mata Tomi kini tertuju pada sebuah minimarket di seberang jalan. Keadaan tempat itu sudah sangat memprihatinkan. Runtuh di satu sisi, kaca-kaca toko itu telah pecah.

“kak.... kita mesti cari persediaan makanan....”
“dimana?”
“disana...... pegangan yang kuat...”

Naya meraih handle diatas pintu mobil dan mengenggamnya kuat-kuat.
Tomi berusaha menerobos pembatas jalan, tak ada waktu untuk memutar arah.

Tomi menjejakkan kakinya kuat-kuat pada pedal gas dan membanting setir kesebelah kanan.
“GROOSAAAKKK..”

Mobil merah itu menerobos taman kecil yang ditumbuhi semak.
Mereka berhenti di pelataran minimarket itu.

Tomi dan Naya menyeruak keluar dari mobil dan bergegas masuk kedalam minimarket.
‘air........’ kata itulah yang pertama terlintas di benak Tomi.

Mereka menyambar keranjang belanja berwarna kuning (hayo.... mini market mana yang keranjang belanjanya warna kuning???)
Naya bergegas menuju rak yang berisi makanan, sementara Tomi memasukkan air minum sebanyak mungkin dalam keranjang yang ia bawa.

Beberapa kali mereka bolak-balik ke mobil. Persediaan makanan yang tersisa didalam minimarket itu mereka bawa sebanyak mungkin.
“ini namanya ngerampok Tom...” ucap Naya.
“ngerampok?? Mana kasirnya?? Sini gue bayar kalo ada kasirnya....”
Tomi melemparkan beberapa lembar uang keras berwarna merah kelantai.

Uang sudah tak ada gunanya dalam keadaan seperti ini. Toh tak lama lagi tempat ini akan disapu bersih oleh air bah.

“udah cukup kak.... sekarang kita mesti cari pakaian....”
Naya hanya mengangguk. ia mempercayakan nyawa sepenuhnya pada intuisi Tomi. Logikanya saat ini sama sekali tidak berguna.

Mobil mereka kembali melesat meninggalkan tempat itu. kabin mobil yang hanya cukup untuk dua orang itu kini tersi penuh oleh makanan, begitu juga dengan bagasinya.
Mesin rotari yang tersemat dibawah kap mobil itu menderu kencang.

Tomi berbelok dengan tiba-tiba ketika matanya tertuju pada sebuah toko pakaian.
Mereka bergegas turun.

“hah???? Jersey??? Masa gue disuruh pake jersey.....” Naya memprotes.
“yahh..... kalo lo lebih memilih telanjang gara-gara gak ada baju ganti, apa boleh buat...”
“NGAAAKKK...”
“makanya nurut aja........”

Mereka menyeruak masuk. Mengambil sebanyak mungkin pakaian yang bisa mereka raih.
Lima menit kemudian mereka kembali kedalam mobil.

Barang-barang yang mereka bawa kini dijejalkan di belakang kursi.
“sekarang apalagi??” tanya Naya.
“kita cari peralatan... kita gak tau keadaan nanti seberapa buruk....”
“peralatan???” tanya Naya,
“yup... obeng, palu, gergaji, apapun yang ada....”

Naya menggelengkan kepala, ia menyandarkan tubuhnya di jok mobil sambil memegang kening dengan tangan kirinya.
Ia sama sekali tak dapat mencerna jalan pikiran Tomi. Namun dilain sisi, ia begitu takjub menemukan adiknya dapat berpikir secepat itu dalam kondisi terpojok.

Mobil mereka berhenti di sebuah bengkel.
Seiring waktu berlalu, tak banyak lagi orang-orang yang mereka lihat berlarian dijalan. Yang ada hanyalah tumpukan mobil yang ditinggalkan pemiliknya. Tomi harus berusaha mengemudi sebaik mungkin untuk lolos dari kemacetan itu. tak jarang keadaan itu memaksanya untuk memacu mobil diatas trotoar.

“buka bagasi kak... gue masuk sendirian.....”
Naya mengangguk.

Naya berjalan kebagian belakang mobil dan membuka bagasinya.
Begitu banyak makanan ringan yang mereka jejalkan disana. Entah apakah peralatan yang dimaksud Tomi dapat muat didalam bagasi sempit itu.

Beberapa saat berlalu.
Kini Tomi keluar mendorong sebuah troli yang biasa digunakan untuk membawa kardus-kardus besar. Diatas troli itu entah sudah berapa banyak peralatan yang ia bawa dalam box hitam besar yang tutupnya masih terbuka.

“dongkrak??? Buat apaan barang beginian kita bawa-bawa...?”
“udehh... nurut aja kak.....”

Tak habis pikir, ingin sekali Naya mengeluh melihat kelakuan adiknya.
Namun ia sama sekali tak mengucapkan kata memprotes. Ia membantu Tomi mengangkut barang-barang itu kedalam bagasi.

Ruang sempit itu telah terisi penuh. Peralatan disematkan disebelah kiri, sementara makanan disebelah kanan.
Tetes-tetes keringat membasahi tubuh mereka.

“JEBBB...”
Bagasi mobil itu kini ditutup, mereka bergegas kembali kedalam mobil.

Tomi kembali memacu mobil itu.
“oke.... sekarang apa lagi??”
“kita gak mungkin selamat kalo naek mobil ini kak, kita harus cari kendaraan lain.......”
“ooooohhhh.....sekarang apalagi Tom? Lo mau cari helikopter?”
“bukan..... bukan kendaraan macam itu...”

Tomi meraih tuas radio yang sempat dimatikan oleh Naya.
“......elamatkan kami Tuhan.... ohhhh tidakk...... gelombang besar tsunami sudah mengarah ke pesisir selatan.... para pendengar yang masih berada disana dihimbau untuk mencari tempat berlindung..... my god.....”

“sekarang apa lagi Tom..... tsunaminya udah dekat..... kita gak bisa lari gara-gara lo sibuk nyari barang-barang gak berguna itu....”
“sssssstttttttt......... diam dulu kek.....”

Pupil mata Tomi bergerak kesana-sini. Entah apa yang dicarinya.
“disana.........itu.........”

“wuuuuungggggggg................”
Mobil itu melesat cepat, lalu berhenti dibawah lorong underpass.

Naya tak percaya apa yang dilihatnya, mobil mereka kini berhenti disebelah mobil pengangkut air minum yang terjebak di bawah sebuah underpass.
“sempurna...... kak ini satu-satunya kesempatan kita....”
“kesempatan apaaaa??????”
“udah... nurut aja.......”

Mereka bergegas turun dari mobil.
Penutup bagasi sudah terbuka. Tomi berlari menuju keran besar untuk mengalirkan air yang tersisa didalam tangki itu keluar.

“kak... lu sekarang naik.... masukin makanan kedalam tangki itu... cepat....”
Naya mulai mengerti jalan pikiran Tomi. Ia bergegas memanjat tangki itu dan berdiri diatasnya.

Dibawah, Tomi melemparkan makanan yang mereka kumpulkan kepada Naya. Air didalam tangki itu masih belum keluar sepenuhnya, namun Naya tetap melemparkan makanan itu kedalam.

‘sedikit lagi....sedikit lagi.....’ mata Tomi tertuju pada aliran air yang kini tak sederas ketika pertama kali ia membuka keran. Tampaknya tangki itu tak terisi banyak air.

Makanan dan pakaian terakhir telah ia lemparkan.
Deru hempasan air telah terdengar di kejauhan. Hembusan angin tiba-tiba menderu tubuhnya.

“TOOMMM....CEPETAAAAANNNN....” Naya memekik.
Tomi berlari kearah bagasi mobil, mengambil beberapa peralatan yang dapat ia raih.

Satu set obeng, palu, tang dan gergaji kecil berada didalam sebuah kotak peralatan berwarna hitam kini ia bawa dengan sekuat tenaga.
Beban seberat itu mungkin tak sanggup dibawa orang pada umumnya, namun tubuh Tomi terlatih dengan baik.

Sebelum naik keatas, Tomi menutup keran air. Tak ada lagi air yang mengalir, hanya menetes, yang berarti sudah tak ada air menggenang didalam tangki itu.
Ia segera memanjat anak tangga besi di belakang tangki itu. tangan kirinya kini memegangi box besar yang dipanggul di bahunya.

Naya telah masuk kedalam tangki gelap itu terlebih dahulu. Beruntung, struktur tangki itu tak diperkuat oleh besi-besi yang menyekat ruang didalamnya.
Tomi menyerahkan box besar itu kepada Naya.

Naya terhuyung menopang beban berat itu.
Box besar itu ia hempaskan di lantai baja tempat ia berpijak.

“BUMMM...”
Suara debuman keras itu sampai di telinga Tomi.

‘dongkraknya belum.........’ batin Tomi.
Namun gelombang besar itu telah nampak dimatanya. Sebuah ombak setinggi tiga puluh meter terlihat dikejauhan.

“TOOOMMMMMMMM... CEPEEEEETTTTTT......” Naya berteriak.
Tak ada waktu lagi baginya untuk mengambil benda itu.
Tomi segera masuk kedalam tangki dan menutup pintu masuk berbentuk bulat diatas kepalanya.

“krekkk..kreekkk....”
Tomi memutar kenop yang terdapat pada kedua sisi pintu tangki itu.

Hening sejenak.
Tak ada satupun diantara mereka yang berbicara. Suara deru gelombang itu juga tak terdengar.

“BBBRUUUUUSSSSSSSSSS...............”
Suara ombak itu terdengar keras. Air memancar dengan deras di atas lorong itu.

Beruntunglah tangki itu berada dibawah sebuah underpass. Sehingga mereka tak terkena terjangan ombak secara langsung.
Air mulai menyeruak, tak sampai lima detik lorong itu telah penuh dengan air.

“craaaaakkkkk....”
Besi yang menempelkan tangki itu dengan badan truk telah patah. Seketika itu tangki yang mereka naiki bergerak mengapung..

“BUMM....”
Tangki itu membentur langit-langit underpass.
Goncangan itu membuat mereka tersungkur. Tomi dan Naya jatuh terjerembab di lantai baja yang dingin. Mereka berpelukan erat, bersiap untuk saat-saat terburuk.

Air menyemprot dengan deras melalui sela-sela penutup tangki. Tubuh mereka kini basah, tersiram oleh air asin.
“tenang kak..... kita pasti selamat..... jangan kuatir kak....”
Naya mengangguk. ia hanya bisa memejamkan matanya dalam pelukan Tomi.

“BRUUUKKKKKKKK............”
Sebuah reruntuhan gedung menimpa badan jalan diatas underpass itu.
Hantaman keras menyebabkan pelukan mereka terlepas.

“pegangan Tommm........” Naya berteriak
“pegangan sama apaaaa???”
Tubuh mereka terpelanting. Hantaman reruntuhan itu membuat air mendorong tangki yang mereka naiki keluar dari lindungan underpass itu.

“aaaaaaaaaaaaaaaaAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaa............ ..” mereka berteriak panjang.
Tangki itu kini terseret arus air.

Tomi dan Naya berusaha bertahan dalam tangki air yang bergulung-gulung.
Sensasi berada didalamnya tak berbeda dengan baju kotor yang sedang digiling dalam mesin cuci.

Rasa mual mulai menyiksa mereka. Entah sampai kapan, tangki itu terus bergulung-gulung.
“BUUUUUUUUMMMMMMM............”
Tangki yang mereka naiki menabrak sesuatu.

Tubuh Naya terpelanting kearah Tomi.
Tomi merentangkan tangan berusaha menangkap tubuh Naya.

‘dapat.........’
Ia memeluk tubuh Naya erat-erat.
Namun hal itu membuat tubuhnya membentur dinding baja dibelakangnya.

"DUUUUUGGG........."

Bunyi mendengung kini bergaung ditelinga Tomi.
Kepala bagian belakangnya membentur dinding baja itu. pandangan Tomi kini mulai kabur, bercak merah menghiasi dinding bagian dalam tangki itu.
pandangan mata Tomi mulai kabur, sejenak ia masih melihat Naya mencoba meraih dirinya.
namun ketika pemandangan gelap itu menawan indera pengelihatannya, Tomi hanya mendegar Naya berteriak.

“Toooooooooooommiiiiiiii.......................... ”


BAB 6
SECOND CHANCE
Mata Tomi mulai terbuka. Ia dapat melihat dengan samar tubuh Naya yang terbaring di sisinya, ia tertidur.
Naya baik-baik saja. Kendati dibeberapa bagian tubuhnya terdapat luka lecet, namun Tomi tau, Naya selamat.
Seberkas cahaya menyilaukan menyeruak masuk melalui lubang terbuka diatas kepala mereka. Cahaya itu menyinari bagian dalam tangki, memperlihatkan dengan jelas keadaan didalamnya yang berantakan.

‘aaaawwww............’ Tomi merasakan rasa sakit yang teramat sangat di kepalanya.
Seketika itu tangan kanannya meraih sebuah kain yang terikat kuat melilit kepalanya.

‘apa yang terjadi??’ batin Tomi.
Hal terakhir yang dapat ia ingat adalah saat mereka bergulung-gulung dalam tangki itu. kini goncangan itu sudah tidak terasa.

“mmmhhh.......” Naya menggumam. Tubuhnya menggeliat, sesaat ia mengusap kedua matanya sambil menguap.
Naya mengejapkan matanya dua kali.
Pada kedipan ketiga, mata Naya terbelalak.

“Tooomm....... lo udah sadar???” Naya berteriak.
‘ngiiiiiingggggggg...............’ suara berdengung itu kembali bergema di telinga Tomi.
“aaaaauuu.....jangan teriak-teriak dong.... pusing banget nih kepala gue......”
“terima kasih tuhan.............”

Naya segera memeluk tubuh Tomi sambil terisak. Tomi yang masih kesakitan tak dapat berbuat apa-apa.
“hhhnnngggg...kaaak...gue.......gha bisa....naphass..”
“ohhhhh sorry......sorryyyyy gue kelepasan.... gimana keadaan lo?”
“buruk.... yah setidaknya masi idup........”

Naya bersimpuh di sisi Tomi yang masih terbaring.
Air mata menghiasi pipinya.

Tomi bergerak, berusaha bangkit.
“udah jangan gerak-gerak dulu.... luka lo belom sembuh....”
“uuugghhhh...... ga papa... gue Cuma mau duduk.... pegel banget badan gue kak”

Naya memapah tubuh Tomi yang terbaring lemas untuk bangkit.
“Tom.... makasih banyak ya....”
“hmm?? Makasih untuk apa??”
“yah.... gara-gara nyelametin gue, kepala lo jadi berdarah gini...”
“ohh..... jangan digede-gedein... udah kewajiban cowo buat jadi pelindung....”

“mmuuuaaachhhh.......” sebuah ciuman mendarat di bibir Tomi.
“so sweet banget sih adek gue ini......”
“hahaha....bisa aja lo kak..... emmmm btw kita dimana?”

Naya mengangkat bahunya.
“ngak tau... yang pasti kita belom nemu daratan. Kayaknya banjirnya belom surut..”
“ohhh....”

“kruyuuuuukkkkk.....”
Tomi memegang perutnya yang berbunyi.
“anjrit...laper banget gue....”

“hya iyalahh.... lo udah tidur dua hari.... gue aja sampe harus nuangin aer ke mulut lo supaya lo minum...”
“HAH??? Dua hari???”
“iya......”
“jadi banjirnya belom surut sampe dua hari???”

“heeehhhh......”
Naya menghela napas. Tangannya kini meraih sebuah keripik kentang dan membuka bungkusnya. Makanan itu disodorkan kepada Tomi.
“yahh gitu deh.... gak tau juga separah apa tsunami itu.... menurut gue, kemungkinannya Cuma dua..... pertama, tsunaminya bener-bener dahsyat sampe airnya blom surut... kedua, kita kelempar ketengah laut.....”
“moga-moga bukan yang kedua.....”
“yup.... kalo kemungkinan yang kedua ternyata bener, kita dalam masalah...”

Tomi dapat mencerna dengan baik masalah apa yang dimaksud oleh Naya.
Terombang ambing ditengah laut tanpa motor atau dayung bukanlah hal yang patut dirayakan. Entah berapa lama persediaan makanan mereka dapat bertahan. Sampai saat itu tiba mereka harus menemukan cara mencapai daratan. Tapi bagaimana?

“diluar ada burung?” tanya Tomi.
Naya menggeleng.
“gak ada..... artinya kita cukup jauh dari daratan....”

“huffff......”
Tomi menghela napas. Bagai lolos dari kandang singa dan masuk kandang buaya. Nasib mereka sungguh tak dapat ditebak. Entah bagaimana caranya mereka harus bertahan. Mereka hanya bisa berdoa memohon pertolongan dari yang maha kuasa.

~***~

Hari berganti malam, cahaya yang menerangi mereka kini telah sirna. Digantikan oleh kegelapan pekat yang menyelimuti mereka. Langit malam yang biasanya kelam kini bertabur bintang.
Sebuah pemandangan yang jarang sekali mereka saksikan. Bintang-bintang itu bukanya lenyap selama ini. Namun tertutup oleh kemilau cahaya lampu yang menerangi kota.
Angin malam yang begitu dingin menyeruak masuk. Membuat sakit dikepala Tomi semakin menjadi-jadi.

“air yang kita punya cuma tinggal lima botol Tom.... gimana nih?”
“gak tau kak.... gue bingung... gak mungkin kita minum air laut...”
“ya.. makanya itu......gue juga bingung.... semoga aja kita cepet nemuin daratan....”

Naya mendekatkan tubuhnya kepada Tomi. Membiarkan adiknya bersandar dan menggunakan pahanya sebagai bantal.
“masih sakit kepala lo?”
“udah ngak begitu sakit..... untunglah cuma luka ringan.. gue pikir bakalan gegar otak....”
“yahhhh..... syukurlah..... gue gak tau gimana bisa hidup kalo ngak ada lo Tom....”
“jangan bilang gitu kak..... ada atau ngak ada gue.... lo harus tetep bertahan...”
Naya mengangguk.

Walaupun Tomi tak dapat melihat, namun pipi Naya telah kembali dibasahi oleh air mata.
Hati Naya sempat tersayat perih ketika mendapati Tomi tak sadarkan diri. Perasaan takut menyelimuti pikirannya, apakah adiknya bisa selamat, apakah adiknya akan meninggalkan dirinya sendirin.

Syukurlah saat-saat itu telah berlalu.
Kini mereka bisa kembali bersama. Berbagi canda tawa, berbagi cerita, menjalani hidup yang entah akan dibawa kemana.

“DUUNNGG...”
Sebuah suara mengagetkan mereka.
Tomi segera bangkit, memeriksa apa yang terjadi.

“jangan bangun dulu Tom.. biar gue yang keluar....”
Tomi mengangguk. sungguh berat baginya membiarkan Naya melakukan segala hal. Namun kenyataan bahwa dirinya kini sedang tak berdaya sungguh tak bisa dipungkirinya.

Naya memanjat keluar melalui lubang itu.
“tap....”
Dirinya kini sudah berdiri di atas tangki. Matanya menyipit, berusaha melihat benda yang menabrak tangki itu.

“ehhhh.....Tom..... kayaknya lu mesti liat deh...”
“ada apaan kak?” Tomi menjulurkan tangannya meraih tangan Naya yang dijulurkan kebawah.

“uuuuuuugghhhh.......gila... berat amat sih lo....” Naya berusaha menarik Tomi sekuat tenaga.
“hupppp.... jangan protes ahhh... kepala gue sakit nih...”

Dengan bersusah payah, akhirnya Tomi berhasil ditarik keluar.
Ia memicingkan matanya berusaha mencerna bayangan hitam yang menabrak tangki itu.

“i-itu......”
“yup........ kayaknya kita bisa selamet deh....” ucap Naya

Sebuah kapal nelayan kecil mengambang di sisi tangki itu. kapal itu rusak parah, namun kini Tomi dapat melihat dengan jelas bahwa kapal itu memiliki motor penggerak. Setidaknya kapal itu masih bisa terapung.

Naya memanjat turun melalui anak tangga besi di ujung tangki.
“byuurrrr.......”
Ia melompat. Terjun kedalam air dan berenang mendekati kapal itu.

“huppp........”
Naya menarik tubuhnya keluar dari air.
Kini ia berdiri di lantai kayu kapal kecil itu.

“kak....cari tali.... kita iket kapalnya di tangki....”
Naya mengangguk.

Kapal kecil itu telah porak-poranda.
Naya memeriksa tiap sudut kapal itu. mencari tali yang cukup panjang untuk mengikat kapal dan tangki itu menjadi satu.

‘ketemu.......’ batin Naya.
“ada Tom.........” Naya berteriak kepada Tomi.

Tomi berjalan menuruni anak tangga yang dilalui Naya. Menunggu Naya melemparkan tali kepadanya.

“cepluk........”
Ujung tali itu telah menyentuh air di dekat kakinya. Tomi meraih tali itu dan mengikatkannya pada salah satu anak tangga.

Naya menarik tali itu agar kapal mendekat.
“dug.......” sebuah benturan kecil terdengar.

Tomi melangkahkan kaki dan berjalan mengitari kapal itu.
“hahaha..... untunggg......”
“kenapa Tom?” Naya menghampiri Tomi yang berada dibagian depan lambung kapal. Ia telah selesai mengikat tali untuk menahan kapal itu menjauh.

“siapa yang mau sashimi??” kata Tomi.
Ia membuka sebuah terpal yang menutupi sebuah box stereofoam. Didalamnya terdapat banyak ikan beku hasil tangkapan nelayan pemilik kapal itu.
“horeee....... akhirnya kita selamatttt....mmuuuaccchh...” Naya kembali memeluk dan mencium pipi Tomi.

“lo cari bumbu gih... siapa tau ada garam atau saos di dalem kapal.....” kata Tomi.
Naya menganggukan kepala.

Kini Tomi memeriksa buritan kapal.
Disanalah perhatiannya tertuju pada sebuah motor penggerak.

Ia memeriksa tiap detil dengan seksama. Memastikan apakah motor itu masih berfungsi dengan baik. Bensinnya masih terisi, aroma menyengat itu menyeruak ketika Tomi membuka tutup tangki.

Tomi berusaha mencari-cari letak dari tali yang digunakan untuk menyalakan mesin itu.
Tak lama, sebuah handle berwarna hitam tergenggam ditangannya.

‘come on buddy.....’
Tomi menarik tuas itu sekuat tenaga.
“bruupp....bruuuppp.....”
Namun tak ada yang terjadi.

Saat itu Naya keluar menghampirinya. Ditangannya tergenggam dua buah botol yang entah apa isinya. Mungkin bumbu untuk memasak.
“ngapain Tom?”
“nyobain motornya...siapa tau masih jalan..”
“sini gue bantu.......” Naya mengulurkan tangan.

Kini tangan mereka berdua menggengam erat tuas itu.
“satu.....dua.....tigaaaa....”Mereka menarik bersamaan.
“bruuuppppp....bruuupppp....bruupp..”

“hufff....”Tomi menghela napas.
“jangan nyerah.... kita mesti usaha.... ayo coba lagi..” kata Naya.
Tomi mengangguk.

Sekali lagi. Kedua tangan mereka telah menggengam erat tuas itu.
“satuuu.....” mereka mengambil ancang-ancang.
“dua.....” tangan mereka semakin erat mencengkeram tuas itu.
“tigaaaaaaa......” dan sekali lagi, dalam hitungan ketiga mereka menarik tuas itu dengan kuat.
“bruuuuuupp...bruuuuuuuummm..bruuuummmmmmmm.. ..”

Mesin itu menyala.
Mereka bersorak. Sekali lagi, secercah harapan tampak di depan mata mereka.

Tomi segera mematikan mesin itu kembali.
“hahahah....tuh kan... bisa kan...” kata Naya.
“hehehe.....akhirnya ada harapan....”

Mereka larut dalam kebahagiaan, seakan bencana besar yang baru menimpa mereka tak pernah terjadi. Ada pepatah mengatakan, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Namun yang terjadi pada mereka adalah kebalikan dari pribahasa itu.
Setitik harapan, menjadi cahaya dalam kegelapan.

~***~

Hari-hari berlalu, luka di kepala Tomi semakin membaik. Ia kini dapat memanjat keluar tangki tanpa dibantu.
Keberuntungan kembali berpihak pada mereka. Sehari yang lalu, hujan mengguyur mereka. Namun hal itu bukan menjadi masalah. Mereka malah tertolong karenanya.

Air hujan adalah air tawar yang cukup bersih untuk dikonsumsi, walaupun memang tidak lebih baik dari air yang dimasak. Namun dalam keadaan serba kekurangan, apapun akan mereka lakukan demi bertahan hidup.
Mereka menampung air yang menetes dari atap kapal itu. kini persediaan air mereka cukup untuk bertahan beberapa hari.

Tomi dan Naya juga telah mendirikan sebuah layar. Kain terpal yang mereka temukan didalam kapal itu yang menjadi layarnya. Dengan sebuah kayu panjang yang mereka lepaskan dari badan kapal dan beberapa utas tali, membuat layar bukanlah perkara sulit.
Siang ini mereka kembali mengembangkan layar. Berharap angin laut membawa mereka mendekat ke daratan.

“hufffff...... moga-moga cepet nemu tanah.... gue udah capek goyang-goyang ditengah laut gini...” Tomi menyeka dahinya dari keringat.
Terlihat Naya sedang menyayat ikan dengan sebuah pisau. Ikan mentah memang bukan makanan yang enak, apalagi bagi Naya. Meskipun begitu Tomi tak mengeluh.
‘hahaha....begini doang mah kecilll.........’

Sayatan daging ikan itu kini mereka santap.
Dengan terpaksa, Naya memasukkan potongan daging itu ke mulutnya. Sudah menjadi pemandangan biasa bagi Tomi melihat Naya mual ketika potongan daging itu menyentuh lidahnya.
Naya menyiasati dengan mengoleskan kecap sebanyak mungkin. Namun sayangnya hal itu sama sekali tak membantu. Ia malah bergidik karena rasa yang begitu asin terasa di lidahnya.

“huuueeekkk.......” berkali-kali suara itu keluar dari bibir Naya.
Air matanya mulai mengalir, namun itu bukan karena Naya sedang sedih. Air mata itu menetes karena kerongkongannya memberontak ketika dimasuki makanan yang asing.

Kulit tubuh mereka mulai memerah terbakar sinar matahari.
Siang bolong begini, biasanya mereka masuk kedalam lambung kapal untuk berteduh. Mereka hanya tidur di dalam tangki pada waktu malam, karena jika siang hari panasnya minta ampun.

~***~

“ciaaaaaaapppppp......ciaaaappppp.........”
Suara burung camar terdengar di kejauhan.
Saat itu Tomi dan Naya sedang berteduh dibawah naungan kain terpal berwarna biru yang menutupi atap kapal.

“sssttt...... denger deh...” kata Naya.
“iya kak....... gue juga denger....”
Seketika itu mereka berhamburan keluar dari lambung kapal.

Sesaat, pandangan mata Tomi terasa gelap. Matanya sudah terbiasa dengan gelapnya lambung kapal yang tanpa penerangan.
Ia memicingkan mata dan menaruh telapak tangannya menutupi muka.

Ia melayangkan pandangan kesegala arah. Berusaha mencari daratan.
Penantian mereka segera berakhir, setelah sekian lama menunggu kesabaran mereka berbuah hasil. Naya kini telah berdiri disamping Tomi. Ia melakukan hal yang sama agar bisa melihat dengan jelas.

Tampak beberapa burung camar menukik tajam dan menyelam kedalam air.
Namun sejauh mata memandang, yang telihat hanya lautan luas membentang.

“mana daratannya....?? burung-burung gila....” Tomi mengumpat.
“ssshhhh..... sabar sih..... liatin dulu, komentar melulu...”

Mereka terus mengamati. Beberapa saat kemudian burung-burung itu berhenti menukik.
“itu.... liatin burungnya..........” Naya berseru.
“yang mana???”
“iiihhh... gak peka banget sih........ itu yang bawa ikan...”

Tomi kembali memicingkan matanya.
Tepat seperti yang Naya utarakan, burung-burung yang telah membawa ikan itu terbang beriringan ke satu arah.

“lohhh...... jangan-jangan......” Tomi bergegas melangkah mendekati tangki.
Ia memanjat anak tangga itu dan berdiri di atas.

Raut wajahnya kini berseri. Tomi yang berdiri diatas tangki itu mengangkat kedua tangannya yang terkepal ke udara.
“yyyyeeeeessssss........... akhirnyaa...........”

Naya tersenyum memandang adiknya.
Ia tau dari ekspresi Tomi. Daratan yang sedari tadi mereka cari, ternyata terhalang oleh tangki yang menutupi pandangan mereka.

Ia bergegas menyusul Tomi naik ke atas tangki.
Pandangan mereka kini tertuju pada sebuah pulau yang cukup besar. Mungkin luasnya sekitar 15 kilometer persegi. Di tengah pulau itu menjulang sebuah gunung yang tak seberapa tinggi, hanya sekitar 1000m di atas permukaan laut.
Pulau itu cukup jauh, mungkin sekitar sepuluh kilometer lagi.

Tomi turun dari tangki dengan terburu-buru.
Ia segera mengecek motor yang menempel di kapal kecil itu.

“kak.... ayo kita angkutin barang-barang di dalem tangki....”
Naya mengangguk. ia yang masih berada di atas tangki segera masuk kedalam silinder baja itu.

Tak banyak memang yang harus ia bereskan, hanya setumpuk pakaian kotor dan sebuah box besar berisi peralatan yang dibawa Tomi.

Tomi menyusul Naya. Ia paham, Naya tak akan kuat mengangkat box peralatan miliknya.
“pakaiannya aja kak... boxnya nanti biar gue yang ambil.....”
“Iya.......”

Naya menyerahkan seluruh pakaian didalam tangki itu kepada Tomi yang masih berdiri diluar. Setelah itu ia naik dan membawa pakaian itu kedalam perahu.
Tomi segera turun, bagian dalam tangki itu telah dipenuhi oleh sisa-sisa bungkus makanan ringan yang mereka makan.

“dug....”
Telapak kakinya telah perpijak di lantai baja yang hangat.

Di sudut dalam tangki itulah box hitam itu berada. Tomi meraihnya lalu mengangkatnya keluar.
“aaarrgghhh..... kok berat amat.....”
Cukup sulit ia mengangkat box itu. mungkin karena telah beberapa hari ini ia tak melakukan aktivitas yang membuat otot-ototnya menjadi kaku.

Tomi memanjat keluar lubang itu lalu turun ke kapal sambil membawa box hitam besar dibahunya.

“oke.... udah semua kan??” kata Tomi.
“udah... ngak ada lagi yang ketinggalan....”
“baguslah....”

Tomi kembali ke anak tangga di sisi tangki itu. ia berusaha melepaskan simpul yang menambatkan kapal itu.
Cukup sulit melepasnya, mengingat simpul itu semakin kuat ketika ombak membuat kapal dan tangki itu terombang-ambing.

“ambil pisau donk kak....”
“ehhh jangan...... lepasin aja pelan-pelan...”
“kenapa emangnya?”
“tali itu nanti masih bisa kita pake....”

‘yaaaa.... bener juga sih...’ batin Tomi.
Perlahan-lahan, simpul itu akhirnya terurai setelah Tomi mencongkelnya dengan sebuah obeng.

“okee..... sekarang tinggal nyalain mesinnya......” kata Tomi. Butir-butir keringat di dahinya ia seka dengan punggung tangannya.
Tomi kini berjalan menuju buritan kapal.
Sekuat tenaga ia mencoba menyalakan mesin itu kembali seperti sebelumnya.

“bruuummmmm........bbruuummmmm......”
Deru mesin kapal itu terdengar. Akhir perjalanan melelahkan itu segera berakhir.

“oke kak.... lo di depan.... arahin gue mesti belok kemana....oke...”
“oke......”

Naya berlari menuju anjungan kapal. Tangan kirinya kini memegang sebuah tiang kayu kecil agar ia tidak terjatuh. Sementara tangan kanannya menghalau sinar matahati yang menyilaukan matanya.
Sesaat, Tomi memandang kearah tangki berwarna biru muda yang telah menyelamatkan hidup mereka.

“agak kekiri Tom........” Naya berteriak dari arah depan.
Tomi memutar handle gas pada mesin itu lalu mengarahkan baling-baling ke arah kiri.

“syuuuurrrrrr..........” suara air yang terbelah lambung kapal terdengar.
Kapal berputar cepat.
Nyaris saja Naya terjatuh karena gerakan yang tiba-tiba itu.

“hoyyyy.......... pelan-pelan.....” protes Naya.
“sorrryyy—sorryyy..... belom biasa gue megang ginian....”
“sekarang agak kekanan..... awas pelan-pelan...........”

Kali ini Tomi mengarahkan baling-baling dengan perlahan.
“yakkk........ lurussss.................” Naya kembali berteriak.

“bruuummmm...bruuumm..........”
Mesin kapal itu kembali menderu kencang.
Perahu nelayan itu bergerak perlahan, namun semakin lama semakin cepat.

“craaaaasssssssss......craaasss......”
Hantaman ombak menerpa anjungan kapal. Naya sedikit terlonjak dari pijakannya ketika kapal itu seakan melompat-lompat.

~***~

Lima belas menit berlalu, mereka kini telah mencapai bibir pantai.
“hufff........ akhirnya..........aaaaahhhhhhhh..........”
Tomi dan Naya segera turun dari kapal. Mereka merebahkan diri diatas tanah berlumpur yang mereka pijak.

Tak salah lagi, banjir itu telah menenggelamkan seluruh negeri.
Cukup aneh rasanya jika bibir pantai tak dihiasi oleh pasir ataupun karang.
Namun mereka tak ambil pusing. Setidaknya kini mereka telah berada di tempat yang lebih baik.

Tak lama, mereka kembali bangkit. Sadar bahwa mereka tak boleh menyia-nyiakan waktu.
Mereka segera menurunkan barang-barang yang sekiranya berguna dari atas kapal.

~***~

“heeeeyyyyyy....... ada orang disana???”
Sebuah suara mengagetkan mereka. Dari kejauhan, tampak seorang perempuan berlari menghampiri mereka. Dibelakangnya ada seorang pemuda berbadan tegap mengikutinya.
Naya dan Tomi menoleh kearah datangnya suara itu. tangan mereka masih sibuk membereskan barang-barang.

“heeyyyy........ tadi itu kalian yang naik kapal??” tanya perempuan itu.
Naya segera turun dari kapal dan menghampirinya.

“iya...... aku Naya, itu Tomi adikku..... kita berdua udah dilaut beberapa hari..... boleh gak kami tinggal disini?”
“ohhhh boleh-boleh.... disini juga banyak pengungsi....... oh iya, kenalin.. nama gue Indah.... ini Aryo pacar gue.... gue juga pengungi disini...” perempuan bernama Indah itu menepuk bahu pemuda itu.

Tomi bergegas turun dari kapal menghampiri mereka.
Ia mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
“Tomi..........” ia menjabat tangan perempuan itu.
“iya... salam kenal ya......... gue Indah”
“gue Aryo... salam kenal bro.....” pemuda itu menjabat tangan Tomi.

“barang-barangnya emang masih banyak? Sini biar gue bantuin” Aryo menawarkan diri.
“yahh.... lumayan bro.... tinggal ngelepasin terpalnya aja.. siapa tau bisa dibikin tempat berteduh.....” kata Tomi.
“ohh oke... sini gue bantuin....”

Aryo dan Tomi kini sibuk dengan pekerjaan mereka, sementara Naya dan Indah membereskan pakaian dan makanan yang tersisa.
“ihhhhh baju jersey.... mau dong..... baju ganti gue cuma ada satu....” kata Indah
“kalo mau ambil aja..... santai aja, bajunya masih banyak kok....”
“lo sempet-sempetnya bawa baju banyak begini?”
“kerjaan adek gue tuh...... sempet-sempetnya dia ngejarah toko baju...... hahaha....”
“hahaha....... ga papa lagi... keadaan lagi kayak gini, toh baju-baju ini kalo gak diambil juga bakalan rusak kerendem air....”

“dasar cewek......” Tomi dan Aryo menggumam bersamaan.
Sadar akan hal itu, mereka saling berpandangan dan tertawa bersamaan.

Tak jauh dari sana terdapat sebuah pemukiman tempat para pengungsi berkumpul.
Mereka berempat kini berjalan menuju tempat itu.

Naya dan Indah membawa pakaian dan makanan, Tomi memanggul box peralatan dibahunya, sementara Aryo menggendong terpal yang sudah terlipat dan sebuah tali tambang yang melingkar di lengannya.
“bro.... kalo berat sini talinya biar gue yang bawa..........” kata Tomi.
“halah........santai aja bro...... lo kan abis perjalanan jauh, pasti capek.....” Aryo menyahut.
“aduh jadi gak enak nih..... makasi banyak ya.. kalian baik banget.....” Naya jadi sungkan menerima pertolongan mereka. Baru kali ini ia bertemu dengan orang yang begitu baik sejak pertama kali bertemu.
“aaahhh.... masi kaku aja..... santai aja... kita sekarang lagi senasib, jadi wajar kalo tolong menolong....” Indah menimpali.

Mereka berjalan menyusuri rimbunnya pepohonan, tak berselang lama mereka kini tiba di sebuah padang rumput kecil.
Beberapa pondok berbentuk segitiga yang terbuat dari ranting-ranting kayu telihat disana.
Tak kurang ada lima buah pondok yang berdiri berjauhan. Sekitar sepuluh meter jarak dari satu pondok ke pondok yang lain.
Diantara pondok-pondok itu terdapat lahan kosong yang ditanami berbagai sayuran.
Di sisi pemukiman itu terdapat sebuah aliran sungai kecil, lebarnya mungkin sekitar lima meter. Riak-riak air yang terlihat dipermukaannya menandakan bahwa aliran sungai itu tak dalam.
Tempat itu bagai pemukiman suku pedalaman. Di tengah tempat itu, terdapat sebuah lingkaran yang terbuat dari batu-batu besar. Di tengahnya terdapat tumpukan arang.
Tomi dapat mengetahui dengan jelas bahwa tempat itu adalah lokasi menyalakan api unggun.

Orang-orang yang tadinya sibuk, seketika berdiri dan menghampiri mereka.
Di tempat itu berkumpul setidaknya sepuluh orang. Enam orang wanita dan empat orang laki-laki, salah satu dari keempat laki-laki itu terlihat masih berusia sangat belia. Mungkin sekitar 14 tahun. Dengan hadirnya Naya, Tomi, Indah, dan Aryo, jumlah mereka jadi genap empat belas.

“wahhh...... ada pendatang baru..... selamat datang ya......” sapa seorang gadis belia. Umurnya kira-kira 17 tahun.
“wahhh....syukurlah, makin banyak anak muda seperti kalian makin baik.... nenek udah gak bisa bantu apa-apa, cuma bisa nyusahin kalian....” kata seorang nenek.
“selamat datang ya.... semoga kalian betah...” sapa seorang wanita, namun Tomi tak dapat melihat seluruh wajahnya karena tertutup cadar.
“yesss........ partner berburu baru..... kenalin bro.... nama gue Sandi....” pemuda itu menjabat tangan Tomi dengan antusias.
“aaaahhh elo San.... baru dateng udah diajak berburu aja....... jangan dengerin dia bro.... dia agak terobsesi jadi tim kopasus.... kenalin... gue Rangga” pemuda yang lain ikut menjabat tangannya.
“gue Erik.... jangan sungkan kalo minta bantuan ya......”
“ehhh...hehe.....iya.... kenalin gue Tomi....”

Ketika Tomi berjabat tangan dengan Erik, Rangga dan Sandi telah terlibat pergumulan di belakang mereka.
“apa lo kata? Kopasus.... lu tuh yang terobsesi sama cherrybelle....” kata Sandi.
“wooo... ni anak ngajak berantem....”

“hahaha... udah jangan peduliin... udah biasa mereka kayak gitu....” kata Erik.
“makan ni bulu ketek gua..... hahaha........”
“anjritttttttttt...... awas lo......”

Tomi hanya bisa tersenyum melihat pergumulan itu. box hitam besar yang ia panggul kini diletakkan ditanah.
Naya sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekan sesama wanita.
Entah apa yang dibicarakan mereka, Tomi tak dapat mendengar dengan jelas. Yang dapat ditangkap oleh telinganya hanyalah canda tawa dari para wanita.

“bawa apaan itu bro???” kata Sandi. Ia menunjjuk pada box hitam yang barusaja di letakkan oleh Tomi.
“ohh ini.....” Tomi membuka box berisi peralatan yang dibawanya.
“wuidiiihhhhhh........ ini dia yang kita butuh......” kata Rangga.
“siiipppp..... mantab lah.... bisa-bisanya lo sempet bawa barang beginian bro? kita bisa pake buat bangun sesuatu.....” Erik menimpali.
“haha... kepikiran sepintas doang bro... kali-kali aja berguna...”

“ehhhhh udah-udah... ini tamu-tamu masih capek... biar istirahat dulu lah....” kata Aryo.
Pemuda yang satu ini adalah yang paling tua diantara semua lelaki.
“ayo Tom....Nay.... kalian bisa istirahat dulu di tempat gue....” kata Indah.
“ga papa nih?? Aduh gue jadi gak enak lhoo...” jawab Naya.
“udah gak apa-apa.... kalian kan blom punya tempat tinggal, sementara sama kita aja dulu... biar nanti cowo-cowo bikin rumah baru buat kalian....”
“bener Tom.... istirahat dulu sana... besok pagi kita cari bahan-bahan buat bangun rumah lo.... lagian kan lo bawa peralatan...” Aryo membenarkan kata-kata Indah.

Naya dan Tomi mengangguk. saat selanjutnya mereka telah berada didalam pondok milik Indah dan Aryo. Mereka melangkah melewati tirai yang terbuat dari anyaman jerami.
Pondok itu tak seberapa besar. Mungkin panjangnya sekitar empat meter dengan lebar dua meter. Bentuknya mengerucut keatas dan memanjang, mirip seperti sebuah tenda. Atap-atapnya ditutupi dengan rerumputan kering yang disusun bertingkat.
Tak ada perabotan apapun disana. Yang ada hanya sebuah timbunan rerumputan kering yang digunakan sebagai kasur. Tak ada kursi, tak ada lemari. Semuanya serba sederhana.

“yup.... ngak mewah..... tapi setidaknya kalian bisa istirahat dulu.... gue sama Indah mau keluar dulu cari makanan.....” kata Aryo.
“iya... makasih banyak bro........” balas Tomi.
Aryo hanya tersenyum dan berpaling. Sosoknya lenyap ketika tirai jerami itu kembali menutup.

Tomi dan Naya menghempaskan diri diatas tumpukan jerami itu. melepaskan rasa lelah yang melanda tubuh mereka.
“untung ya... penduduk disini ramah-ramah... gue sempet ngebayangin ketemu orang setempat trus kita diusir....” kata Naya.
“lo kebiasaan mikin terlalu jauh kak....... hidup itu harus dihadapi, bukan direnungi....”
“iya-iya gue salah.........”

Hawa sejuk pepohonan itu membuat mereka terlelap.
Semilir angin yang berhembus, suara gurauan orang-orang, bunyi riak air dikejauhan, semuanya seakan menghipnotis mereka untuk tertidur.

~***~

Hari menjelang sore. Tomi membuka matanya dan menguap, tampak disisinya Naya masih terlelap. Ia berdiri dan melangkah keluar.
Matahari sudah condong kearah barat.
Pancaran cahayanya membuat langit kini berubah kemerahan. Awan-awan putih yang berarak kini berubah kelabu, menandakan malam segera datang.

“mampus dah...... gasnya abis........”
“seriusan lu?? Mana sini gua liat....”
Sandi dan Erik sedang berusaha menyalakan api, sementara Rangga hanya mengamati di belakang mereka dengan rerumputan kering tergenggam dikedua tangannya.
“kenapa bro????” tanya Tomi.
“gas koreknya abis....... aduhhh gimana nih.....” kata Sandi.
“ohhhh..... nyalain pake kayu aja si....”
“kita mana tau caranya... lo bisa Tom?’ tanya Erik.
“yahhh kita coba dulu.... ada kayu yang kering ga?” tanya Tomi.

Sandi menoleh lalu menyambar sebuah batang kayu dengan tangannya.
“ada nih.........” ucapnya.
“azzzz........ bukan yang begini... ini mah masih basahh....” kata Tomi.
“kalo yang ini bisa ga?” Rangga menyerahkan sebuah kayu berwarna cokelat muda.
“nahhhh ini bisa nih.... harus kayu yang bener-bener kering soalnya... ada lagi ga? Satu lagi yang agak kecil.. segede jempol kira-kira....”
“bentar-bentar..........” kata Erik.

Ketiga pemuda itu kini berpencar mencari kayu yang dimaksud.
Sementara Tomi membuka kotak peralatannya, mengambil sebuah pisau lipat yang berada disana.

Dengan pisau itu ia membuat sebuah coakan di sisi kayu itu. sementara di pangkal coakan itu ia membuat lubang dengan memutar-mutar ujung pisau yang digenggamnya.
“ada nihh...........” Erik berteriak dan berlari dari kejauhan.
“sippp.... ini yang kita perlu...”

Tomi menajamkan ujung kayu kecil itu. kemudian ia mencari sehelai daun kering dan ia letakkan dibawah batang kayu yang lebih besar tepat dibawah coakan yang sebelumnya telah ia buat.
“rumputnya taro disini aja bro...” kata Tomi.
Rangga mengambil rumput kering itu dan menaruhnya di tempat yang ditunjjuk oleh Tomi. Tepat di tengah lingkaran api unggun.

“nih.... gue kasi liat.....”
Ujung kayu kecil yang sudah ditajamkan kini diarahkan ke lubang yang sudah dibuat Tomi dengan ujung pisau.
Kedua telapak tangannya mengapit kuat batang kayu kecil itu, lalu mulai memutarnya dengan cepat.

“srettt..srett..srett.sretttt....”
Sekitar satu menit ia memutar batang kayu itu.
Kini diatas sehelai daun kering itu terdapat abu berwarna hitam.

Dengan hati-hati Tomi mengangkat daun berisi abu itu. abu hitam itu ia tuang dengan hati-hati ketengah rumput yang sudah disiapkan.
Dengan perlahan, Tomi mengambil senggam rumput itu dan ia dekatkan kewajah lalu meniupnya.

Asap putih mulai mengepul, tak lama kemudian api mulai berkobar.
Rumput kering yang menyala itu ia letakkan kembali ditengah lingkaran api unggun, kemudian ia mulai melemparkan ranting-ranting kecil kedalam kobaran api yang mulai membesar.

“GOKILLLLLL............... belajar darimana lu bro..... ck ck ck....” kata Sandi.
“baca dibuku survival.... hahaha........”
“keren abis.... salut gue sama lo...” Rangga menimpali.
Bahu Tomi ditepuk bergantian oleh ketiga pemuda itu.

Aryo dan Indah datang mendekati mereka dengan membawa makanan. Ehhh.... yahh, itu cuma daun pakis, beberapa jamur, dan tunas bambu. Tapi, yahhh itu makanan kan...

“kenapa pada ribut?” tanya Aryo.
“liat nih... sohib baru gue...... coba gak ada dia... bisa makan jamur mentah kita..” kata Sandi. Ia memang tipe orang yang periang, kata-katanya selalu ceplas-ceplos.
“kok bisa, emang ada apa?”
“gas di koreknya udah abis....” kata Erik.
“trus Tomi bikin api dari kayu...... kerennnn....” Rangga menimpali.

“serius??? Gile... keren banget lu bro......” Aryo menghampiri Tomi dan menepuk bahunya.
“ahhh jangan gitu.... cuma api kok....”
“hahaha..... eh ngomong-ngomong mana tuh anak... biasanya kan dia yang masak..” lanjut Aryo.
“anak cowo yang tadi siang itu?” tanya Tomi.
“iye... namanya Rafi.... dia satu-satunya cowo selain kita berlima..”

Sesosok anak menghampiri mereka.
“udah apinya?? Huuuuu lama banget si kak..” kata Rafi.
“koreknya abis tau....... untung ada si Tomi....”
“hehehh... salam kenal ya....” Tomi mengulurkan tangan kearah Rafi.
“wiihhh keren...... salam kenal kak.. aku Rafi...”
“tuh kan bro.... udah gue bilang lu tuh keren....” kata Sandi.

Dua orang wanita paruh baya mendekati mereka.
“apinya udah Raf??” tanya seorang wanita paruh baya. Dewi namanya.
“udah tante....” jawab Rafi.
“makasih ya mas-mas... sekarang biar kita yang masak.....” wanita paruh baya yang satu lagi tersenyum. Namanya Mia.
“sip tante.... kita tinggal dulu ya....” kata Rangga.

Mereka berlima pergi menjauh, membiarkan ketiga orang itu memasak.
“stttt...bro.... itu dua tante-tante tinggal serumah sama tu anak?” Tanya Tomi berbisik. Lokasi mereka sudah cukup jauh. Mereka berlima kini duduk dibawah sebuah pohon yang cukup besar.
“hahaha iye..... lu pasti kaget kalo gua kasi tau....” kata Sandi.
“hah? Apaan?” Tomi mulai pensaran.

Rangga, Erik, dan Aryo hanya tertawa pelan. Sementara Sandi membisikkan sesuatu ke telinga Tomi.
“anjrittt... seriusan lu? Yang bener........”
“lha iya.....ngapain gua boong... tar juga lu tau sendiri....”

Sesaat kemudian mereka mulai bercerita tentang keadaan tempat itu.
Dewi dan Mia, kedua wanita paruh baya itu sudah saling mengenal semenjak tiba disini. Kendati mereka masih tergolong cantik diusia yang paruh baya, namun ternyata mereka mengidap sebuah kelainan sexual. Lolita-complex.
Penyimpangan sexual itu adalah munculnya hasrat pada pasangan yang jauh lebih muda. Seringkali bahkan kelewat muda hingga dibawah umur.
Sementara Rafi sendiri adalah seorang anak yatim-piatu setelah ditinggal mati kedua orang tuanya dalam bencana tsunami itu.

Semua orang selain Tomi dan Naya adalah penumpang sebuah kapal feri yang terdampar dipulau ini ketika tsunami datang. Dari ribuan orang penumpang, hanya dua belas orang yang selamat.
Mereka semua memutuskan untuk berkumpul dan bekerjasama untuk melanjutkan hidup.

Lima orang yang lainnya juga sudah saling mengenal, Sandi, Erik, Rangga, dan dua orang perempuan bernama, Nasha dan Dara adalah teman satu kampus. Mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat wisata ketika menaiki kapal feri itu.
Sedangkan Aryo dan Indah adalah sepasang kekasih yang sedang pergi berlibur, mereka bekerja di tempat yang sama sebelum bencana itu terjadi.
Sosok wanita bercadar yang ditemui Tomi bernama Sarah. Tomi sempat berpikir bahwa Sarah adalah keturunan arab karena pakaian yang dikenakannya. Namun ternyata, cadar itu ia gunakan untuk menutupi bekas luka diwajahnya.
Sedangkan sang nenek, ia sedang dalam perjalanan pulang selepas bertandang kerumah anaknya. Tadinya ia bersama sang suami, namun suaminya meninggal dalam bencana ketika berusaha menyelamatkan sang nenek yang hampir tenggelam.

~***~

“lhoo... trus kapal ferinya mana? Kok gak tinggal disana aja?” tanya Tomi.
“mana bisa? Kapal feri itu posisinya miring... mau tidur dimana coba... lagipula.......” ucapan Sandi terputus.
“lagipula apa? Disana kan banyak peralatan yang bisa dipake...”
“diantara kita semua, gak ada yang mau kesana........” Rangga menimpali
Mereka semua terdiam.
“oke... alasannya?”
“menurut lo.... ribuan orang yang meningal itu kira-kira ada dimana?” tanya Aryo.

Deg..........., jantung Tomi berdegub kencang. Sadar akan kenyataan dibalik pertanyaan Aryo. Tempat itu pasti penuh dengan mayat yang bergelimpangan.
“.......... jadi gitu......”
“yahh..... lagipula kembali kesana cuma bikin kita semua keinget terus sama bencana itu.... mau gimana lagi... kita mesti move on... biarpun susah, kita semua kerjasama disini. Berharap nanti setelah bencana ini selesai kita bisa jalanin hidup normal sekali lagi...” kata Aryo.

Sesaat ia lupa, bahwa yang mengalami bencana ini bukanlah dirinya seorang. Entah dimana, pasti masih banyak orang-orang yang menangis karena kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Pasti masih banyak orang-orang yang sekarat karena kelaparan.
Memikirkan hal itu membuat Tomi sedikit gundah.

“yuppp....... kayaknya makanan udah mateng.... kita makan dulu yuk....”
Aryo bangkit dari duduknya, diikuti oleh keempat orang lainnya.

Mereka kini berjalan menuju api unggun. Disana telah berkumpul seluruh anggota kawanan mereka. Naya juga telah duduk disana, mengobrol dengan ketiga perempuan yang sebaya dengannya.
“udah bangun kak?” tanya Tomi.
“ngak... masih ngorok didalem...” jawab Naya.
“iiiiisssshhhh....... ditanyainnya begitu...”
“hahaha... lagian lo nanya hal yang udah jelas... ya iya lah udah bangun.... sini duduk samping kakak.....” kata Naya.
“ciee.... akur banget...... tumben ada sodara akur begitu...”
“hahaha......iya, ini adek kesayangan gue......” Naya merangkul lengan Tomi.

Keempat pemuda yang masih berdiri dibelakang Tomi hanya saling menyikut dan cekikikan.
“ihhh apaan...... diketawain tuh.....” kata Tomi.
“ahahahah...birain.....”

Malam mulai larut. Udara semakin dingin.
Langit hitam kini bertabur bintang. Cahaya bulan purnama menyinari langkah mereka menuju pondok.
Disaat semua orang kembali ke pondoknya, Sandi dan Aryo tetap duduk di dekat api unggun itu.

“lu pada kok gak balik ke pondok... gak tidur?”
“sekarang giliran gue jaga....” kata Aryo
“gue nemenin doang sebentar... abis ini gue balik ke pondok....” Sandi menyahut.
“jaga apaan? Emang disini banyak binatang buas...?” tanya Tomi.

Aryo sedang menggengam sebuah tongkat kayu dengan tangan kirinya, panjangnya sekitar dua meter. Ditangan kanannya, sebuah pisau besar tergenggam kuat. Ia sedang menajamkan salah satu ujungnya.
“sini... duduk dulu......” kata Aryo.
“gini bro..... ada satu hal yang lo belom tau tentang tempat ini....”
“hah apaan?” tanya Tomi. Ia segera duduk bersimpuh diantara mereka.

Aryo hanya terdiam. Matanya menatap tajam kearah lidah api yang berkobar.
Wajahnya sangat serius. Tangannya masih sibuk menajamkan ujung tongkat.

“yang lo tau... selain lo dan kakak lo, cuma ada dua belas orang kan?” Sandi mulai bercerita.
“ya... trus.....”
“dua minggu yang lalu, jumlah orang disini ada empat belas.....”
“oke.....trus??”
“nah.....yang dua lagi.....engg..........”

“mati di hutan.......” kata Aryo datar. Cahaya lidah api yang berkobar terpantul jelas dimatanya.
“hah?????? Kok bisa.......”
“yahh.... gak ngerti juga bro..... tapi kalo menurut kita, dihutan itu ada binatang buas.....”

Sandi mulai bercerita tentang tragedi itu.
Empat hari yang lalu, seperti biasa orang-orang pergi mencari makanan dihutan, ada yang menangkap ikan, mencari jamur, apapun yang bisa dimakan.
Hari-hari sebelumnya berjalan seperti biasa. Namun ada yang aneh pada hari itu.
Seorang anggota kawanan mereka yang perempuan tak juga kembali hingga sore menjelang.

Sesaat mereka mengira ia tersesat, lalu para lelaki pergi mencarinya. Tim itu terdiri dari Aryo, Sandi, Erik, dan Rangga. Sementara para wanita tetap tinggal di pondok.
Ditengah hutan lebat itu, mereka menemukan bercak darah yang tercecer ditanah. Namun, bukan seperti sesorang yang terluka dan berusaha berjalan. Noda darah itu memanjang, seperti mayat yang sedang diseret.

Panik melanda, mereka bersiaga dengan masing-masing memegang senjata.
Mereka berjalan beriringan saling membelakangi. Waspada jika ada hewan buas yang menyerang mereka.

Tak berapa jauh mereka melangkah, mereka menemukan jenazah wanita itu terbujur kaku dibawah sebuah pohon dengan luka yang mengenaskan. Lehernya robek, di sekujur tubuhnya terdapat bekas luka seperti dicakar.
Mereka segera menguburkan jenazah itu dan kembali ke pondok dengan kabar buruk.

Sejak saat itu mereka tak berani pergi sendirian ketengah hutan. Tim pencari makanan selalu dibekali dengan sebuah senjata dan minimal pergi berdua.
Namun tragedi itu kembali terulang.

Berselang satu malam, seseorang kembali ditemukan tewas dengan luka yang sama. Kembali seorang wanita.

Sejak saat itu ketika malam hari, para lelaki akan bergantian menjaga.
Api tak pernah sekalipun dimatikan, khawatir jika binatang buas itu mendekat.

“trus... sampe sekarang belom ketemu?” tanya Tomi.
“belum.... kita bahkan ngak tau itu binatang apa..... gak mungkin kan itu beruang? Di negara ini kan gak ada beruang, paling-paling macan...” kata Sandi.
“bisa aja emang macan....”
“bisa jadi..... tapi apapun itu, kalo gua nemuin, bakalan gua bunuh..... gua bakalan ngelindungin Indah walaupun nyawa gua tarohannya...” Aryo berkata sambil menancapkan pisau ditanah

Tomi paham betul perasaan yang dialami Aryo. Ia juga akan melakukan hal yang sama jika keselamatan Naya dipertaruhkan.

“lu ngak apa-apa bro ditinggal sendirian?” tanya Tomi.
“ga papa... lu tidur aja.. istirahat dulu, temenin Indah sama kakak lu didalem... setidaknya gua ngerasa aman kalo Indah ada yang jagain...”
“.................... yaudah bro... goodluck.....” Tomi menepun bahu Aryo.
“kalo lo capek, kasih tau gua... ntar gua gantiin..... gua istirahat dulu bro...” kata Sandi.
Aryo hanya memandang mereka dan mengangguk. ia kembali berbalik memandang kearah api unggun.

Entah apa yang sebenarnya terjadi disana, Tomi benar-benar tidak mengerti.
Ia kini merebahkan diri diatas tumpukan rumput kering itu.

Naya dan Indah masih bercengkerama. Entah, apakah Indah telah menceritakan tragedi itu kepada Naya. Tomi berharap hal itu tidak terjadi, ia tak ingin membuat Naya khawatir.

Jantung Tomi berdegub kencang, entah mengapa ia merasakan firasat buruk.
Batinnya terus berkecamuk, namun kelopak mata itu seakan begitu berat.

Naya dan Indah telah tertidur.
Tak ada lagi suara. Suasana hening itu seakan menghipnotis Tomi untuk memejamkan mata.
Tak sampai dua menit, ia telah tertidur.


BAB 7 – TRAGEDY
Seberkas cahaya mentari yang jatuh di wajahnya, membuat Tomi terjaga. Naya dan Indah sepertinya telah terbangun lebih dulu, karena yang bersamanya didalam pondok itu hanyalah Aryo.
Wajah lelah menghiasi raut muka pemuda yang sedang terlelap itu. Mungkin efek karena berjaga semalaman.
Mimpi buruk yang ia alami semalam masih jelas berbekas dalam sorot matanya yang sayu. Ia mengejapkan kelopak mata itu beberapa kali sebelum bangkit dari tumpukan rumput kering tempat ia berbaring.
Ia merenggangkan otot-ototnya sesaat sebelum melangkahi tirai jerami yang menutupi pondok itu.

“siiinnnggggggg........”
Dengungan ditelinga Tomi memaksanya untuk memicingkan mata, menghindari kemilau cahaya mentari yang mewarnai langit pagi itu.

Telihat Naya bersama para rekan-rekan wanitanya sedang berjalan menuju pemukiman mereka. Rambutnya lepek, masih terlihat jelas butir-butir air yang menetes membasahi bahunya.
Sepertinya mereka berdelapan baru saja selesai mandi.

Tomi berjalan menuju ke tempat para lelaki yang sedang duduk dibawah naungan sebuah pohon rindang.
“hoy bro...... udah bangun lo....” kata Sandi.
“hmmm....he-eh....” Tomi menjawab sekenanya, ia belum tersadar sepenuhnya untuk menjawab.
“masi ngantuk ya? Mandi yuk... udah pada siap nih..” Rangga bangkit dari duduknya.
“ayo kak..... udah gatel nih badan.......” Rafi yang paling muda juga ikut menimpali.

Setelah mendengar perkataan Rafi, Tomi baru sadar bahwa entah sudah berapa hari ia tak mandi dengan air tawar. Badannya sudah terasa seperti diselubungi oleh lumut dan lem.
“boleh.... mandi dimana?”
“air terjun brooww.......” kata Erik.

Mata Tomi seketika terbelalak.
“hah?? Ada aer terjun?? Wiiiihhhh..... ayo-ayo.....aduh jadi gak sabar gua....”
Keempat lelaki itu tersenyum lebar.

~***~

Hanya butuh lima menit berjalan kaki menuju air terjun yang dimaksud.
Mereka berjalan membentuk barisan, menyusuri bebatuan sungai menuju hulu.
Tomi tak henti-hentinya berseru dengan nada ‘norak’ ketika mereka berjalan.

“gileeee.... jernih banget...”
“gokillllll.......”
Kedua kalimat itu entah keluar beberapa kali. Keempat rekannya hanya bisa senyum-senyum saja.

Suara deru air yang pecah dibebatuan semakin membuat dada Tomi berdegub kencang.
Entah sudah berapa kali Tomi pergi ke air terjun, entah itu ketika hiking dengan teman-temannya, atau hanya menyambangi tempat-tempat wisata.
Namun baru sekali ini, Tomi merasakan sensasi yang benar-benar alami.
Tak ada lagi jalan aspal atau konblok yang menjadi pijakan kakinya menuju air terjun. Sekalipun ada jalan berbatu seperti saat ini, pastilah dipenuhi sampah yang berserakan.

“my godd............” hanya dua kata itu yang dapat ia ucapkan.
Sebuah air terjun setinggi dua puluh meter kini berada dalam pandangannya.

Jutaan tetes air berwarna putih jatuh. Menimbulkan suara seperti deburan ombak.
Uap-uap air sedingin embun menyeruak dari bebatuan tempat aliran air itu menghantam.

Cahaya mentari pagi menyuguhkan pemandangan dua buah pelangi yang bergelayut mesra pada dauh-dauh pohon pakis.
Sungguh sebuah surga tersembunyi, pikir Tomi.

“selamat datang di air terjun harapan......” Sandi mulai berucap.
Tomi masih terpaku di tempatnya, sementara ketiga rekannya sudah menanggalkan pakaiannya dan melompat ke air.
“ayo cepat..... jangan bengong mulu... abis ini kita nyari makanan....” Sandi berkata sambil membuka bajunya.
“hah??? Oh iya....”

Dengan cepat Tomi menyusul. Ia berlari mendekati bibir sungai dan melompat.
Air sungai itu sekilas berwarna hijau, namun Tomi tau, warna itu hanyalah refleksi dari lumut-lumut di dasar sungar.

Udara dingin dan embun air menerpa wajah Tomi ketika ia melompat.
Tomi melipat kaki dan memeluknya dengan kedua tangannya.
“CANNON BALLL..............”

“byuuuurrrrrrrr..................”
Butir-butir air itu menyiprat kesegala arah ketika tubuh Tomi resmi tercebur.

“busetttt........ kira-kira broooo.........” celetuk Sandi.
“fuuuuaaaaaahhhhhhhhhhh..........hahahahaha.. .... asik bener bro....” ucap Tomi ketika keluar dari kedalaman air.

Kelima pemuda itu sedang asik membersihkan diri. Namun dari arah hutan, tanpa mereka sadari seseorang sedang mengamati mereka.
Bayangan wajahnya tertutupi oleh rimbunnya pepohonan. Sebelum mereka menoleh, sosok itu telah pergi.

~***~

“gimana??? Asik kan??” kata Sandi.
Sandi memang yang paling suka bicara diantara seluruh anggota kawanan mereka.
“asik brayyy......” Tomi menyahut.
“tapi inget.... jangan coba-coba mandi sendirian.... udah tau blom?” Rannga menimpali.

Deg....... sejenak Tomi teringat.
“ehh....emm..iya udah tau kok.....”
“sip.... cewe-cewe juga udah siap tuh.....” Sandi menunjuk kearah pemikiman mereka.

Enam orang perempuan telah bersiap. Keranjang-keranjang yang terbuat dari anyaman sulur beringin telah tergenggam di tangan masing-masing.
Naya tampak berdiri disana. Rupanya ia ikut serta dalam perburuan makanan hari ini.

“lama amat sih mandinya?” Dara mulai berbicara dengan nada yang sedikit cempreng.
“ya maap.... ini si Tomi keasikan nyebur....” kata Sandi.
“oke hari ini kita bagi jadi dua kelompok aja ya.... yang satu nyari disungai, yang satu kehutan. Sandi, Nasha, Dara, sama indah ikut gue ke hutan. Tomi sama Erik lo ke sungai bareng tante Dewi, tante Mia, sama Naya. Seberapa banyak pun makanan yang didapet, kita mesti kumpul lagi disini jam 11 siang... inget... jam 11, dan jangan nyari terlalu jauh....” Rangga menjelaskan.
Rangga memang laki-laki kedua paling tua dalam kawanan itu, ketika Aryo sedang tidak ada, Rangga adalah yang memegang komando selanjutnya. Well, sebenarnya usia Tomi masih berada diatas Rangga, karena Rangga masih duduk dibangku kuliah. Mungkin saja setelah mereka mengetahui umut Tomi yang sebenarnya, ia akan dijadikan salah satu pemimpin juga.
“Tom..... lo udah ada senjata?” tanya Rangga.
“ohhhh udah, bentar gua ambil....” jawab Tomi.

Tomi segera berjalan menuju kotak perkakas hitam yang kini diletakkan di samping pondok tempat Aryo tertidur.
Ia mengambil sebuah pisau yang cukup besar. Panjangnya mungkin sekitar dua puluh senti. Pisau itu segera ia genggam dengan tangan kanannya.

“oke semua siap? Jangan lupa, selalu waspada... kalau ada apa-apa langsung teriak biar yang lain bisa dateng bantuin...jelas....”
“jelas...........” seluruh anggota kawanan berseru serempak, kecuali Tomi dan Naya yang masih kaku dengan keadaan baru itu.

~***~

Kedua tim kini berpencar, Tomi sempat menoleh sejenak ketika tim yang dipimpin oleh Rangga menghilang dibalik rimbunnya semak belukar.
“ehh.... ngomong-ngomong, apa aja yang biasa dicari disungai, trus kenapa lu bawa-bawa tombak aneh gitu Rik?” tanya Tomi.
“ohhh ini??” Erik menunjukkan tombak bermata empat yang terbuat dari sebuah tongkat. Ujung tongkat berdiameter tujuh senti itu dibelah menjadi empat lalu diselipkan dua buah batang kecil secara menyilang, sehingga keempat ujung kayu yang terbelah itu kini berjauhan.
“ini buat nangkep ikan, selain ikan kita bisa cari udang dan siput kalo lagi beruntung. Selain itu juga ada pohon pakis yang daun mudanya bisa dimakan....” Erik melanjutkan.
“ohhhh......”
“lu belom pernah naek gunung?” Erik balas bertanya.
“sering....”
“lha kok ngak tau apa yang dicari?”
“soalnya keseringan makan mi instan hahahaha.......” jawab Tomi, ia pun terbahak.
“wahahaha..... emang yah, mi instan tu paling yahud... hahaha...”

~***~

Sesi pencarian makanan dimulai. Para perempuan kini mulai menelusuri pesisir sungai, mencari-cari daun pakis muda. Tomi sendiri sedang diajari Erik menangkap ikan.
Berkali-kali ia gagal. Ikan-ikan itu sangat gesit dan sulit ditangkap.
Tomi membidik dari atas sebuah batu besar yang menjadi pijakannya.

“hiyaaaatt.....”
Tomi melempatkan tombak itu sekuat tenaga, namun lagi-lagi meleset.

“hahaha.... susah kan.... sini gua cobain...”
Erik terjun keair, meraih tombak yang digunakan Tomi.
“gila.... itu ikan mestinya ikut olimpiade berenang.....gesit bener...”
“koplak lo.....haha.. ya jelas menang ikan lah.... dan lo bantuin cewe-cewe sana, biar gua disini....” kata Erik.
“ok......”

Belum sempat ia menoleh dan berjalan kearah para perempuan, Naya sudah berteriak dari jauh.
“Tommmm.... sini dong, tinggi banget tuh....” Naya menunjuk sebuah pohon pakis setinggi tiga setengah meter.
“buset.... emang gak ada yang lebih pendek?”
“nyari makan tuh ga boleh pilih-pilih... udah sana manjat..... malu kalo cowo ga bisa manjat....” kata Naya.
“ehh... sekate-kate..... kalo manjat gunung kembar mah jago gua.... kalo manjat batang blom pernah.... masa jeruk makan jeruk....”
Kedua wanita paruh baya itu hanya bisa tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan.
“iissshhhh...... udah sana.....” Naya mendorong tubuh Tomi.
“iye-iye....... sabar dikit kek....”

“dia emang gitu tante.... bokep mulu pikirannya.....” kata Naya kepada dua wanita itu.
“apa?? Gak salah?? Yang bokep mulu tuh elu.....”
Tomi yang sudah memanjat setengah pohon itu berhenti.

“ehh...siapa suru ikutan ngobrol... panjat buruan...” Naya kembali berseru.
“@#&^@#&^$@&^............” Tomi bergumam tak jelas.
Tak lama ia sudah berada dipuncak. Tangan kirinya meraih-raih ujung pohon yang tak terlihat oleh matanya karena tertutup daun pakis yang sudah tua.
“ambil yang banyak.... itu di sebelah tangan lo...... bukan yang itu...isshhh.... yang satunya....”
“bawel..........”

Tomi mencabut daun pakis yang digenggamnya dan melemparkannya kebawah.
“nahhhhh kan jadi banyak.... lagi-lagi hahaha.....”
“iya ndoro putri.......”

~***~

Setelah cukup banyak dedaunan yang terkumpul, Tomi segera turun dari atas pohon itu. badannya yang tadi sudah bersih kini kembali dikotori oleh lumut-lumut yang bersarang di batang pohon pakis itu.
Mereka kembali menyusuri sungai menuju pemukiman mereka.
“abis dahhh..... kotor lagi kan....” protes Tomi.
“tinggal nyebur kok susah bener......” kata Naya. Senyum lebar menghiasi raut wajahnya.
‘enak bener ngomongnya.... dasar cewe.....’
“kalian kakak beradik akur yah.... hihihi......” tante Dewi tertawa kecil dari belakang.
“iya.... jangan-jangan ada apa-apa hayooo.......” tante Mia menimpali.
“ihhhhh tante... nggg...ngak kok...ga ada apa-apa... bener deh....” sahut Naya.
“hahaha.... kalo ada juga gak apa-apa.... hukum di kawanan kita ngak ketat kok....” kata tante Dewi.
“hukum gimana?”
“yahh... kalo gak ada hukum kan kita jadi manusia bar-bar.... hukum sederhana sih, gak boleh melukai sesama, gak ngambil barang orang lain tanpa ijin, dah gak boleh pergi sendirian..... kalo soal sex sih terserah, yang penting sama-sama suka.....” tante Mia melanjutkan
‘ooohhh....... pantesan......’ Tomi mengerti arah pembicaraan itu. rupanya seluruh kawanan sudah tau bahwa kedua wanita paruh baya itu pedofil.
“kita juga bebas-bebas aja.... iya ngak jeng??” kata tante Dewi, ia menoleh kearah tante Mia.
“iya.........”
“sama Rafi ya???” kata Tomi, seringai licik menghiasi wajahnya.
“hahaha... udah tau rupanya...” Tante Mia tertawa kecil.
“hah??? Apa?? Sama Rafi, yang masi kecil itu???” Naya terbelalak.
Kedua wanita itu tak menjawab, hanya mengangguk mengiyakan perkataan Naya.

‘buseeettt...... pedofil hahahaha......’ batin Naya.
Namun Naya sama sekali tidak berkomentar, ia hanya senyum-senyum saja.

“dapet ga broo???” tanya Tomi dari jauh.
Erik menoleh kemudian mengangkat jari jempolnya.

Erik memang sudah terbiasa mencari ikan, mungkin Tomi yang belum terbiasa.
Didalam keranjang yang tergeletak di pinggir sungai sudah terdapat beberapa ekor ikan. Tak begitu besar memang. Ikan-ikan air tawar sepertinya sudah sulit dijumpai, mungkin bencana tsunami yang sebelumnya melanda telah mencemari air sungai tersebut dengan air asin.
“lumayan lah.... biasanya paling-paling dapet dua.. dapet empat udah sukur nih....”
Erik keluar dari air dan mengibaskan pakaian yang dikenakannya dari lumut yang menempel.

Mereka terus berjalan di pinggir sungai, sementara Tomi malah terjun kedalam air untuk membersihkan sisa-sisa lumut ditubuhnya.
“cepetan.... nanti ketinggalan....” Naya berseru.
“iya......” kata Tomi

~***~

Tim yang dipimpin oleh Rangga telah kembali lebih dulu. Terlihat Sandi dan Rangga sedang sibuk, berusaha menyalakan api dengan cara yang diajarkan Tomi kemarin.
“oyyy Tom... lama amat kau...... ini gimana nyalainnya, dari tadi kagak nyala-nyala” kata Sandi.
“elu aja yang bego..... bukan begitu caranya...” kata Rangga.
“ngehe..... lu juga dari tadi gagal mulu” Sandi menjitak kepala Rangga.
“ehhhh udah-udah.... lu berdua ini gak ada abis-abisnya ngebanyol....” kata Erik.
“ni anak yang mulai duluan...” kata Sandi.
“ahh emang lu bego......hahaha” Rangga menyahut.
“wooooo...... sempak tuyul.....” kata Sandi.
“daripada elu... jamban ngak bolong.........” balas Rangga.

Tak butuh waktu lama, kedua pemuda itu kini terlibat saling lempar olok-olok.
Orang-orang yang menonton mereka hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata-kata ejekan yang keluar dari mulut mereka.

“hahahaha..... koplak asli.... udah-udah... sini mana kayunya....”
Tomi mengambil alih. Tak lama, api segera berkobar.

“tuh gitu caranya..... dasar upil genderuwo....” Sandi kembali mengejek.
“yeeeee....... bulu idung sponge-bob....” Rangga kembali membalas.

Api yang berkobar di terik matahari itu segera diambil alih oleh Rafi, nenek, dan Sarah si wanita bercadar.
Tak ada satu pun dari anggota kawanan yang mengenal pribadi Sarah dengan sangat dekat. Ia terbiasa menyendiri, asyik dengan sebuah buku yang hampir setiap saat terselip pinggangnya.
Mungkin buku harian, pikir Tomi.

Asap putih mulai membumbung tinggi.
Para wanita itu memasak diatas sebuah panci kecil yang sudah penyok disana-sini. Bagian bawah panci itu telah dipenuhi oleh jelaga hitam yang sangat kontras dengan warna bagian dalam panci yang keperakan.
Rafi, bocah remaja ‘peliharaan’ para tante pedofil itu sedang berusaha meletakkan ikan yang ia tusuk dengan sebuah ranting di sisi kobaran api. Tak mudah memang memasak dengan peralatan sederhana, khususnya memasak ikan. Jika tak hati-hati ikan tersebut malah akan gosong. Jika tidak gosong, maka ikan itu akan terjatuh ketanah karena ranting yang menusuknya habis terbakar.

~***~

Selepas makan siang tanpa sarapan, Rangga mengajak para lelaki untuk mengumpulkan dahan-dahan kayu yang akan digunakan untuk membuat pondok yang akan ditinggali oleh Tomi dan Naya nantinya.

Naya senang sekali mendengarnya, ia sampai membisikkan sebuah kalimat yang tak didengar siapapun kepada Indah.
‘sttt... sebentar lagi lu bebas Ndah..... gue sama Tomi gak akan ganggu2 lagi”
Indah hanya tersipu malu mendengar bisikan Naya, tangan kirinya menyikut perut Naya dengan manja. Wajahnya merona merah.

Tomi sudah bersiap bersama yang lain.
Mereka berdiri melingkar dengan posisi saling berhadapan, saat itu Rangga sedang memberi instruksi.
“oke..... yang lain gua anggap udah ngerti gimana caranya bikin pondok.. khusus untuk lu Tom, syukurlah lu bawa tali, itu bikin pekerjaan kita dua kali lebih cepat.....” kata Rangga.
“lu perhatiin pondok yang lainnya....” Rangga menunjjuk atap-atap pondok itu. “cari dahan yang panjang, gak terlalu besar, dan yang penting usahakan lurus. Kumpulin sebanyak-banyaknya, nanti biar temen-temen yang lain juga bantu nyari..... tapi jangan jauh-jauh, disekitar sini aja....paham?”

“oke capt.....” Tomi mengiyakan.
Mereka bepencar, kini para lelaki itu telah berada diatas pohon-pohon besar dengan sebilah pisau ditangan masing-masing.

“crakkk...crakkk....craaakkk......”
Bunyi dahan yang sedang dipotong itu memecah kesunyian hutan.

Sementara itu, para wanita sedang menganyam rumput-rumput kering untuk dijadikan atap. Rupanya sang nenek begitu terampil mengurusi hal itu. ia mengajarkan kepada rekan sesama wanita untuk membantunya.
Sungguh tak dapat dipercaya jika tak mendengar cerita itu dengan telinga sendiri. Seorang nenek yang berusia 69 tahun itu ternyata masih aktif menggarap ladang bersama mendiang suaminya yang seorang petani sebelum bencana itu melanda.
Tak heran, ia sangat terampil melakukan pekerjaan yang mungkin dianggap asing oleh kebanyakan orang.

~***~

Hari menjelang sore. Udara dingin memaksa mereka semua untuk berkumpul di sisi perapian yang kembali dinyalakan.
Sebuah pondok baru telah berdiri tegak, bau harum kayu yang baru ditebang masih santer tercium, getah-getah pohon ‘sengon’ itu terlihat masih mengental pada guratan-guratan yang terjadi akibat proses pemotongan.
Selain aromanya yang masih baru, hal lain yang membuat pondok itu begitu berbeda, adalah warnanya. Ketika pondok-pondok lain sudah mulai berwarna kuning karena rumput yang menutupiya mengering, pondok milik Tomi dan Naya justru berwana hijau terang.

Kali ini Rangga dan Sandi sudah mahir membuat api. Sampai-sampai mereka kini berebut untuk memutar tongkat kayu kecil yang diletakkan di batang kayu besar dengan telapak tangan.
Aryo sudah kembali terbangun, ia duduk disamping Indah sambil memeluk gadis itu dengan mesra.
Suasana kembali riang dengan obrolan-obrolan ringan diantara mereka.

Namun, ketika orang-orang asyik mengobrol. Sandi dan Nasha menyelinap masuk kedalam pondok.

“coba tebak mau ngapain mereka?” tanya Rangga setengah berbisik ditelinga Tomi.
“huhuhu..... pasti mau saling menghangatkan... cakung nih soalnya....” jawab Tomi
“cu-a-ca men-du-kung...hohohohoh.....” Rangga memperjelas.

~***~

“ayo San.... udah kepengen nih......” kata Nasha.
“hihihi.... sama, si junior udah kebelet pengen di asah.....” Sahut Sandi.

Mereka kini telah berduaan didalam pondok.
Nasha merebahkan diri diatas timbunan rumput kering. Rasa gatal yang merayap dipunggung gadis itu seolah menjadi sensasi tersendiri.
“sini say...... peluk badan gue.....” Nasha mengulurkan tangan kearah Sandi yang sedang berusaha melepaskan kausnya.

kaus yang telah terlepas itu diberikan kepada Nasha untuk menganjal kepalanya.
Sandi merebahkan diri diatas tubuh Nasha yang masih terbalut pakaian.

Wajah mereka bertemu, bibir mereka semakin berdekatan.
Alih-alih berciuman, mereka kini saling menautkan lidah mereka.

“mmm..aahhhh........ sssshhh...”
Nasha mendesah ketika jemari Sandi mulai menggerayangi payudaranya.
Jemari lentiknya kini menyelusup diantara tubuh mereka. Mencari-cari kancing celana yang dikenakan oleh Sandi.

Sementara itu Sandi kini beralih keleher Nasha.
Lekuk tubuh proporsional yang dimiliki oleh mahasiswi cantik itu, kini telah menjadi daerah kekuasaanya. Kedua tangannya dengan cekatan menyingkap kaus yang dikenakan Nasha.
Bongkahan payudara milik gadis setinggi 165cm itu kini menyembul keluar.

“ohhhhhsss......terus Aaaaahhhhhh........”
Nasha memekik keras ketika puting payudaranya dilahap oleh Sandi.

~***~

“aaaaasshhhhhhh.....enak sayang......mmmhh....” desahan-desahan itu sayup terdengar dari arah perapian.
“buset..... heboh bener mainnya.....” kata Tomi.
“hahaha..... udah biasa kalo Nasha mah... itu blom seberapa.. ntar lu pasti denger yang lebih heboh lagi....” kata Rangga.

~***~

“mmhhhh..... enak say?” tanya Sandi.
“mmhh.... enak banget.... sedotin terus say.... aaakkhhh.....” Nasha kembali meracau.

Seraya menikmati kenyalnya payudara Nasha. Sandi kini berusaha melepaskan celana yang dipakai gadis itu dengan kedua tangannya.
Tubuh molek Nasha sungguh memanjakan mata lelaki manapun yang memandang.

Sandi mendekatkan wajahnya kearah wajah Nasha.
‘rayu-rayu dikit ahhh......biar makin belingsatan maennya hahayy...’batin Sandi.

“say..... lu extraordinary banget......” Sandi berbisik.
“mmmmhhhhh....ohhh kenapa yank...” Nasha makin tak kuasa menahan belaian jemari Sandi pada pangkal pahanya.
“bodylu, bikin gw terpana tiap kali ngeliat lo....mmmmhhhhhhh.....”
Bisik rayuan gombal itu terus dilancarkan oleh Sandi. Anehnya, rayuan basi itu sukses membuat Nasha hanyut dalam buai kenikmatan.

“ssshhhh.... jangan ngobrol aja yank..., jilatin clit gue dong....”
Nasha yang sudah merasakan gatal di seluruh liang senggamanya, kini asyik memainkan jemarinya pada tonjolan kecil berwarna merah itu.
“mmmhhhh sure beib.... sluuurrpppp.....”
Sebuah sapuan panjang dari lidah Sandi menyapu vagina Nasha.

Gesekan antara permukaan lidah yang kasar itu menjalar, dari mulut vagina Nasha, naik melalui klitorisnya, sapuan lidah itu terus naik, beberapa detik berputar di perut Nasha yang rata, meliuk-liuk di sela payudaranya, merambat pelan di lehernya yang jenjang, dan bermuara di bibir Nasha

“hhhhhhaaaaAAAAAAAAAHHHHHHHHH...........” Nasha melenguh panjang.

~***~

“tuh... percaya kan apa kata gua?” Rangga kembali berbisik.
“gila... bener-bener edan....” kata Tomi.

Saat itu, Aryo membisikkan sesuatu di telinga Indah, gadis itu hanya tersenyum tipis.
“Nay... gue duluan ya....”
“waduh...... nambah yang lagi sange.......” kata Naya.
“tega banget si Ndah....... jadi tinggal gue berdua sama Naya yang ngobrol...” Dara memprotes.

Sementara itu kedua ‘tante girang’ yang doyan ‘berondong’ itu menarik tangan Rafi. Mereka masuk kedalam pondoknya. Meninggalkan tujuh orang lainnya yang masih duduk di perapian.
“ehhhhh buset.... pada nyusul..... wah, si Sandi sama Nasha bawa virus nih...” Erik mulai menimpali obrolan mereka.
“pppffttt.... udah pada ngak tahan bro....hihihi.....” Rangga tertawa kecil.
Tomi hanya bisa tersenyum simpul melihat apa yang terjadi.

~***~

Didera nafsu yang meluap-luap, Nasha menggeliang tak tentu arah.
Ia bangkit dan menarik tubuh Sandi untuk merebah.

“etttsss.... pelan-pelan sayang......” Kata Sandi.
“kamu lama sih.......... aku udah gak tahan nih... memek aku udah gatel....”

Nasha segera menarik celana yang dikenakan Sandi hingga terlepas. Batang kejantanan Sandi menegak. Penis itu tidak panjang, namun cukup besar untuk memenuhi liang vagina Nasha.
Gelondongan daging itu segera dilahap oleh bibir Nasha yang tebal namun sensual. Lidahnya menari-nari diujung tanduk yang sebentar lagi akan memuaskan hasratnya.

“sshhhhh.... ahhhh gila.. makin pinter aja lo Nasss...... mmhhh...”
“sluurrrppp..... plop...plopp...plopppp....sluurrrppp.....”
Nasha memainkan penis yang menegak itu dengan irama yang konstan.

“Aaaaahhhhh....shittttt...... jangan dulu....ahhhhh.....”
“plop....”
Nasha melepaskan kulumannya.

“ihhh masa udah mau keluar sih......” ia memprotes.
“ahhhhahahaha..... abis kamu pinter banget sih mainin kontol aku....”
“ngak..ngakk...... pokoknya gak boleh kluar sekarang... aku masih belom apa-apa.....”

Nasha merangkak keatas tubuh Sandi lalu duduk diatas dadanya.
“ahhhh..... nanggung nih.... keluarin dulu dong...” Sandi merengek.
“ngak..... jilatin dulu memek aku....”

Nasha menggeser tubuhnya maju, liang vaginanya telah berada pada posisi tepat di depan mulut Sandi.
“ahhhh.... please........ nanggung nih.....mmmmmffffff..”
Mulut Sandi telah terbenam pada vagina Nasha. Ia tak sanggup lagi mengucapkan kata-kata.

Dominasi permainan kini diambil alih oleh Nasha, dengan tangan kirinya ia menjambak rambut Sandi dan menarik kepalanya mendekat.
“ayo jilatin ahhhhh... malah diem aja.......”

Sandi sudah tak berkutik.
Ia memainkan lidahnya pada lubang vagina dan klitoris Nasha.
“mmmmhhhhh..... terus.... sedotin....jilatin....ahhh”

Nasha mencondongkan tubuhnya kebelakang, tangan kanannya kini meraih batang kejantanan milik Sandi yang sudah kembali mengendur.
Penis itu ia genggam dengan erat sementara Sandi sibuk memuaskan hasratnya.

‘gila.... diperkosa ini gua namanya...’ batin Sandi.
Kedua tangannya yang bebas kini mencoba meraih payudara Nasha.

Remasan lembut kini ia lakukan dengan jemarinya.
“ooouuuhhhh.......shit........do it again beib....”
Taktik Sandi berhasil. Ia harus membuat Nasha orgasme secepat mungkin agar ia dapat kembali mengambil alih permainan.

Pinggul Nasha mulai bergoyang, ia menggesekkan organ intimnya kepada wajah Sandi. Tangan kirinya masih menjambak rambut Sandi dengan kasar. Berusaha menghalangi jika Sandi memberontak.
“ooohhh....yess........almost.....ahhhh...ahhhh..a hhh...ahhhhh.....”

Desahan liar itu sejalan dengan gerakan tubuh Nasha yang semakin menggeliat.
Tubuh indah gadis itu meliuk-liuk bagai ular yang terhipnotis suara seruling.

“yeeesss.........aahhhhhhhh.....aaakkhhhhhhhhh.... .....”
“Seeeerrrrrrrrrr..............”
Semburan air yang deras itu menerpa wajah Sandi.

‘gila..... squirting dia.... hadehhhh......’
Cairan itu masuk sebagian dalam mulutnya. Tak kuasa dibendung, Sandi terpaksa menelannya agar bisa kembali bernapas.

“ahhhhh............” Nasha terkulai lemas. Orgasme yang susah payah ia raih membuat seluruh tenaganya terkuras.

Sandi bangkit dari posisinya yang ditindih oleh tubuh Nasha.
‘time to show......’ batinnya.
Dengan kedua tangannya ia membuka lebar selangkangan Nasha. Gadis itu diam saja.

‘terserah apa mau lo.... yang penting gue udah sampe.. yuhuuuuuu......’ batin Nasha.
“awas kamu beib.... aku bikin kelojotan nanti....”
“ahhhh... mau dong.... hihihi......”

“SLEEBBB......”
Penis Sandi menyeruak masuk kedalam vagina Nasha.
“aaaauuu.... pe-lan..pelan....say-a...ahhh...ahhhh....ahhhhh”

Bibir Nasha yang terbuka separuh itu tak mampu lagi mengeluarkan suara. Hujaman penis Sandi ternyata cukup ampuh untuk membungkam gadis itu.
“ahhhhh....gilaaaa...... sempit bener.... memek loo......”
“ahhhh...ahhhh....ahhhhhhh nikmatin aku....sayyy... ahhh....entotin terus.....”

Denyutan nikmat itu kembali dirasakan oleh Sandi. Penisnya mulai berkedut dalam cengkeraman vagina Nasha yang sedang ia eksplorasi.

“aaarrrrgghhhh........shittt.........aahhhhhh....a hhhhh.....ahhhhhh...aaaaahhhh....”
Gerakan tubuh Sandi tiba-tiba menjadi beringas.

Ia menghujamkan penisnya dengan kasar. Gerakan itu membuat Nasha sedikit meringis kesakitan. Namun Sandi yang sudah hanyut dalam luapan birahi tak melihatnya, ia kini sedang memejamkan mata.
“ahhhh....ahhhh....ahhhh....Sayy........pelan ...p-elann..”
“ohhhhh....shit....aaaaaaaaggggghhh...... udah mau keluar....”
“aaahhh......aaaaaahhhhhh.....terus say....ahhhhhh......”

“Aaaaaccccccchhhhhhhhh.........”
Nasha memekik tertahan, untuk kedua kalinya cairan hangat itu menyembur dari vagina miliknya.
“Aaaaaaaaaakkkhhhhh........aaaahhhh...”
“crooott....croooottt...crrooott.....”
Beberapa semburan sperma kini membasahi lorong gelap penuh kenikmatan itu.

Kedua insan itu telah mengibarkan bendera di puncak kenikmatan.
Seakan baru saja melalui perjalanan yang begitu panjang nan melelahkan, keduanya kini terkulai lemas dengan tangan yang saling memeluk mesra.

~***~

Naya dan Dara kini tak berada lagi di sisi perapian, kedua gadis itu telah masuk kedalam pondok hijau yang baru didirikan.

“aaaahhh....terus raf..... mama mau nyampe nih......”
“massss....ahhhh...ahhhh...ahhhhh........”
Desahan dari kedua pasangan yang masih bercinta masih terdengar.

Ketiga lelaki yang masih berada di perapian itu hanya bisa tertawa kecil.
“kok pada ketawa?” tanya ibu Sarah.

Jarang sekali wanita bercadar itu berbicara. Kalaupun sering, mayoritas hanya bicara dengan sang nenek. Ia berbicara tanpa memandang lawan bicaranya. Jemari tangannya masih asyik mencoret-coret sebuah buku yang di letakkan diatas pahanya.
“ehmmm... ngak tante..... lucu aja ngebayangin si Rafi...” kata Rangga.

Tomi hanya tersenyum dalam diam, ia tak ingin mengomentari orang yang belum ia kenal dengan cukup dekat.
“gak boleh gitu.... tiap orang pasti punya kekurangan, itulah kekurangan Dewi dan Mia...” lanjut Sarah.
“iya.... kalian masih muda, jalan hidup masih panjang... jangan nambah dosa dengan menertawakan aib seseorang....”

Tomi, Rangga dan Erik hanya tertunduk malu.
“iya nek... maaf.....” kata Rangga.

Tomi menatap lurus kearah Sarah, penasaran dengan apa yang sedang ia tulis.
“tante nulis apa?” tanya Tomi.
Sarah mengerling sejenak kearah Tomi. Mata mereka bertemu sejenak.
Namun Sarah segera menundukkan wajahnya kembali.

“ohhh ngak..... bukan apa-apa...” jawab Sarah
“umm..... saya pikir macem buku harian gitu...”
“yah...ehhhmm.... semacam itulah...”
Sarah segera menutup buku itu dan menyelipkannya dibalik baju.

“siapa yang jaga malem ini?” tanya Tomi.
“gue yang jaga.......” jawab Erik.

Rangga dan Tomi mengamati wajah Erik yang sedikit berkeringat.
“lu sakit?” Rangga bertanya.
“ahh ngak..... ga apa-apa...” jawab Erik seraya mengusap keringatnya.
“serius lu bro..... apa mau gue temenin?” Tomi menawarkan diri.

Entah panggilan darimana. Rasa penasaran Tomi akan tragedi yang terjadi di tempat itu kembali menggelora. Ia ingin sekali mengamati wilayah itu pada malam hari, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang terjadi.
“ohh ga usah Tom.. jangan repot-repot... nanti ada giliran lu jaga, kali ini serahin aja sama gue...”
“serius?” Tomi sedikit mendesak.

Erik memandang kearah Tomi dan tersenyum.
“yahh.... gapapa... ini udah kewajiban gue.....”

Tomi agak kecewa mendapati keinginanya ditolak.
Tapi ia mencoba berbesar hari. Benar kata Erik, ia akan memiliki kesempatannya sendiri lain waktu.

Malam semakin larut, Tomi dan yang lainnya meninggalkan tempat itu.
Erik kini berjaga sendirian. Ia tetap duduk menatap api unggun itu sambil menggengam sebuah tombak kayu ditangannya.

~***~

Pagi itu, mereka dikejutkan kembali dengan terbaringnya Erik ditanah dengan beberapa luka cakaran para tubuhnya. Sang nenek telah hilang entah kemana.
Tomi yang terbangun agak telat segera menyeruak keluar pondok karena mendengar keributan.

“lu liat binatangnya kayak apa????? Hah??” tanya Aryo pada Erik.
Ia saat itu sedang berlutut di depan Erik, kedua tangan Aryo menggengam bahu Erik kuat-kuat.
“hei.. jangan diem aja lo.... jawabbb....”
Aryo mengguncang-guncangkan tubuh Erik.

“udah-udah..... dia masih kesakitan, bisa kan tunggu dia baikan dulu....” Rangga menarik tubuh Aryo agar ia melepaskan cengkeraman tangannya.
“gak bisa.... kita mesti cari tau binatang apa itu......” Aryo terhuyung kebelakang.

Raut wajah Erik saat itu sangat penuh dengan ketakutan yang teramat sangat.
Ia bersimpuh beralaskan tanah, baju yang ia kenakan telah berlumuran darah. Luka-luka yang ia derita sdikit membuatnya shock. Hingga tak mampu berkata-kata.

Erik hanya dapat menoleh kearah hutan, ia mengangkat jari telunjuknya yang bergetar dan diarahkan ke hutan.

Seketika itu Aryo bangkit dan menoleh kearah yang ditunjuk oleh Erik.
Seluruh anggota kawanan itu ikut menoleh kearah yang sama.


“semua cowo tolong ikut gua.... bawa senjata masing-masing.... kita cari binatang itu sampe dapat....” Aryo menyambar tombak yang tergeletak ditanah. Tombak itu adalah alat yang dipakai Erik untuk membantunya lari ke pemukiman mereka.
Tim pemburu telah dibentuk.
Aryo sebagai pemimpinnya. Tomi, Rangga, dan Sandi telah bersiap dengan senjata di tangan mereka.

“stay close...... hati-hati, kalo ada gerakan mencurigakan jangan diem aja.... cepet teriak atau kasih tau temen yang lain..... kita ga bisa buang waktu, berangkat sekaran...”
“siapp......”

Semangat juang kini berkobar dalam hati mereka.
Misinya hanya satu, temukan dan bunuh. Tak ada kompromi, tak ada ragu-ragu. Jika salah perhitungan sedikit, nyawa mereka taruhannya.

Perjalanan mereka dimulai.
Aryo membabat semak belukar yang menghalangi jalan mereka dengan membabi buta, sementara yang lain mengekor dari belakang.

Wajah-wajah pemuda itu terlihat tegang.
Mereka menoleh seketika, saat ada suara sekecil apapun.

“stooppp...” Tomi berseru.
“kenapa?” tanya Rangga.
“ini........darah...”
Saat itu matanya melihat noda merah berkilauan pada tanah yang mereka pijak. Semak-semak pendek itu juga telah merebah ditanah. Seperti sebuah benda berat telah diseret melaluinya.
“ayo cepatt...... jangan buang waktu...... kita harus selametin nenek......” Aryo berseru.

Mereka berlari, menyusuri jejak darah itu. beberapa kali mereka sempat kehilangan jejak, namun tak butuh waktu lama untuk menemukan jalan kembali.

“Arrryoooo..........” tiba-tiba Rangga berteriak. Matanya terbelalak ngeri.
Ia kini sedang menunjjuk kesebuah tebing yang tak begitu tinggi, mungkin sekitar tiga meter.

“haaahhh... ada apaan....” Tomi yang berada paling dekat dengan Rangga segera menghampiri pemuda itu. tak lama, anggota yang lainpun segera menghampiri mereka.
Tak mampu berkata-kata lagi, para pemuda itu hanya bisa diam terpaku.

~***~

“kalian gak temuin binatannya?” tanya Naya.
Gadis itu sedang memeriksa jenazah nenek yang dibawa oleh keempat pemuda itu.

Keadaan jenazah sangat mengenaskan. Sama seperti dua korban sebelumnya, terdapat luka yang terbuka lebar di leher, dan sekujur tubuh terdapat bekas cakaran. Namun yang berbeda kali ini adalah adanya luka yang merobek pipi sang nenek, sehingga rahangnya jelas terlihat.

“ngak.... jejaknya abis disitu.. jadi kita mikir, lebih baik bawa jenazahnya balik kesini supaya bisa dikubur....” Tomi menjelaskan.
“yaudah..... mendingan kita kuburin cepet-cepet, kasihan nenek....”
“ya... ide yang bagus...... ayo guys, kita bikin makam.... setidaknya, itu yang bisa kita kasih buat nenek untuk terakhir kali....” kata Aryo lirih.

Sepakat dengan itu, mereka segera menggali makam. Kuburan itu ditempatkan di tempat yang agak jauh dari lokasi mereka bermukim.
Tomi baru menyadari ditempat itu ada makam, kendati ia telah melewati tempat itu setidaknya dua kali sejak tiba di sana.

Makam itu hanyalah lubang seadanya. Digali sedalam satu meter dengan menggunakan tongkat dan tangan kosong.
Jenazah nenek yang sudah mulai beraroma tak sedap itu segera mereka kubur.
Tanah yang teronggok disamping lubang itu segera mereka rapihkan untuk menimbun jenazah itu. terakhir, sebuah batu yang cukup besar mereka letakkan. Sebagai pertanda bahwa di tempat itu bersemayam mantan anggota mereka.

Dengan tubuh letih nan kotor, keempat pemuda itu kini membersihkan diri di sungai.
Mereka tak mengucapkan sepatah katapun sejak meninggalkan makam itu. setelah membersihkan diri, mereka kembali bergabung dengan anggota kawanan yang lain.

Saat mereka kembali, para perempuan sedang duduk berkumpul. Mungkin membicarakan tentang musibah itu. Namun, Naya tak berada disana.
Tomi memandang berkeliling, mencari sosok kakaknya. Ia sangat kuatir saat ini, ia tak ingin ada hal buruk yang menimpa Naya.

“sstt... Tom.....” suara berbisik itu terdengar dari pondok Tomi.
“ohh lu disitu kak... gue kira kemana...”
“sini bentar.......”

Tomi segera menghampiri Naya, ia masuk kedalam pondok dan menghilang dibalik tirai rerumputan itu.

“kenapa kak?
“ada yang mau gue omongin....tentang nenek....”
“hah?? Jangan bilang kalo lu tau sesuatu....”
Naya mengangguk, wajahnya sangat serius saat itu.

“pppsst....ppffftt...ssstt....stt....” Naya membisikkan sesuatu ketelinga Tomi.
Tomi diam tak bergerak, matanya terbelalak.

“jangan nuduh sembarangan kak..... emang lu punya bukti?” tanya Tomi.
“yahh..... kita bukan tim forensik, jadi gak bisa ngelakuin otopsi, gue emang belum punya bukti kuat..... kita liat aja nanti.... pokoknya kalo lu ngeliat gelagat aneh, cepet kasi tau ya....”
“yahhh.... oke.... tapi buat sementara, lu jangan ngomong apa-apa dulu sebelum kita nemuin bukti....”
Naya mengangguk.

“huuffff..........” Tomi menghela napas.
Wajahnya kini menampakkan raut muka sangat serius.

Sesaat yang lalu, Naya baru saja memberitahu sebuah dugaan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Entah apakah hipotesis yang dikatakan oleh Naya benar atau tidak. Namun jika benar, maka ada kemungkinan adanya korban lanjutan.
Tomi memandang tajam kearah kerumunan anggota kawanan lainnya.
Sejenak ia tak percaya, namun hipotesis yang dikatakan Naya bukanlah tanpa alasan.

Ketiga orang itu tidak mati dibunuh binatang.
Ada salah satu dari kawanan mereka yang menjadi dalang dari tragedi mengerikan itu. tapi siapa? Naya dengan segala hipotesisnya juga belum menemukan bukti kuat tentang siapa pelakunya.

‘gak akan gua biarin lagi kejadian itu terulang.... ngak selama gua ada disini....’
Batin Tomi.

Hari itu menjadi hari yang begitu panjang bagi mereka semua.
Kini seluruh kawanan dipenuhi ketakutan, yahh terkecuali Tomi, Naya, dan sang pelaku sendiri.

Rasa takut itu seakan membentengi lokasi mereka.
Walau berat, mereka memutuskan untuk tidak mencari makanan di hutan hari ini. Mereka terpaksa memakan makanan sisa kemarin, atau apapun yang bisa mereka temukan di dekat pemukiman mereka.

Jiwa manusia memang rapuh.
Walau berusaha memasang raut wajah tegar dan kuat, terkadang apa yang didalamnya begitu hancur.
Cinta, sedih, takut, khawatir, kesepian, dan nafsu terkadang menjadi pemicu rusaknya jiwa.
Namun, bagi mereka yang tetap percaya akan kebesaran yang maha kuasa, harapan akan tetap setia menemani jiwa-jiwa itu.


BAB 8 – UNFORGIVABLE

Hari berganti, namun tragedi yang kembali terulang, kini menyisakan ketakutan yang mendalam bagi kawanan itu.
Namun bagi Tomi dan Naya, keadaan mereka sedikit lebih beruntung karena mengetahui sedikit kebenaran yang tak diketahui orang lain.

Menilik sebuah petunjuk kecil tentang apa yang terjadi, bukanlah sebuah perkara besar bagi Naya. Dengan nilai IQ 146, Naya sudah tergolong orang yang sangat cerdas.

Saat memeriksa jenazah sang nenek dengan seksama, naya menemukan sebuah keganjilan yang menunjukkan bahwa kematian mereka bukan diakibatkan oleh serangan binatang.
Setetes sperma yang mengering terlihat membasahi paha keriput sang nenek.
Entah, siapa dari keempat laki-laki itu yang dengan keji membunuh orang lain hanya untuk sex semata.
Petunjuk selanjutnya mungkin bisa didapat dari penuturan Erik, sang saksi mata.

Pemuda itu mengalami shock karen peristiwa semalam.
Maklum, saat itu ialah yang sedang bertugas menjaga pemukiman mereka.

“gimana lu? Udah mendingan?” tanya Aryo dengan nada pelan.
Aryo sadar, kelakuannya kemarin memberondong Erik dengan pertanyaan yang bertubi-tubi adalah salah. Seharusnya ia paham, dalam kondisi terpukul Erik tak mungkin bisa berpikir dengan tenang.
“iya... udah mendingan bro.....” balas Erik.
Ia masih sedikit meringis kesakitan ketika membasuh luka berbentuk cakaran di lengan kirinya.

Tomi menghampiri mereka.
Ia berjalan dengan tenang, kendati ia tau apa yang sebenarnya terjadi, namun ia tak mau sang pelaku sadar bahwa dirinya dan Naya telah mengetahui sesutu.
Tomi kini duduk disamping Aryo, berharap ia bisa menemukan sedikit petunjuk dari perkataan Erik.

“oke... kalo lu udah tenang, gue rasa lu bisa mulai cerita....” kata Aryo.
Erik hanya mengangguk, diam sejenak. Pemuda itu tampak sedang merangkai ingatannya tentang kejadian semalam.

“kita dalam bahaya Yo....” kata Erik.
“maksudnya gimana? Bisa di jelasin lebih rinci?”
Aryo tampak sedikit terkejut, namun ia berusaha untuk tetap berbicara dengan tenang.

“semalem itu,..... itu....... bukan binatang....” kata Erik.
Tomi mendengarkan dengan seksama, namun Aryo tampak lebih terkejut dari sebelumnya.
“JADI.....ehh, ehm.... jadi gimana ceritanya.” Hampir saja Aryo berteriak.


~***~
Erik POV
‘Hufff.... dingin bener ni malem, gak kaya biasanya....’
Gue sadar, kebodohan gue sendiri yang bikin gue terjebak di tengah malam dingin ini sendiri. Coba tadi gue gak sok kuat, dan nerima tawaran Tomi. Kan seenggaknya ada temen ngobrol.

“hmmm....da.daramm..da..daramm..” azzz... ngapain gue nyanyi-nyanyi gak jelas.
Oke...... gue kesepian, tapi gue gak mesti nyanyi gak jelas juga kan? Udah kaya orang nunggu audisi X-pired.
Dunia ini entah kenapa jadi kejam gini sih.

Padahal, gue baru mau senang-senang sama Sheila...
“beib, gimana kabar kamu disana....”

‘Pertanyaan tolol.... ya jelas lah dia udah tenang disana. Gak kaya gue yang terkurung ditempat antah berantah yang entah dimana.... huff’
Gue saat ini cuma bisa ngelukis wajah Sheila, mantan gue. Dengan sebuah ranting kecil, gue membuat guratan di tanah untuk sekedar ngingetin gue, betapa indah dunia saat Sheila masih ada.
Tadinya, kalo udah sampai di tempat tujuan wisata, gue mau mesra-mesraan sama dia.

Kenapa sih bencana sialan ini mesti terjadi.
‘Kenapa ngak engkau cabut saja nyawaku tuhan. Kata orang, engkau maha pengasih. Tapi kenapa engkau memisahkan aku dengan Sheila.’

Sekilas tentang ‘dia’
Sheila adalah pacar gue sejak SMU. Orangnya periang, baik, ramah, dewasa, dan tentunya cantik.
Kalo di ibaratin tuh ya.... kaya... ehm, Manami Oku... hahahaha....(ngarep mode on)

Entah betapa gue sangat mencintai dia, sampai-sampai di dunia ini ngak ada lagi cewe lain, selain ‘dia’
Seandainya skenario film-film bisa menjadi kenyataan, gue berharap jiwa dia menitis sebagai orang lain, memakai tubuh lain, nyamperin gue, dan berkata ‘aku kangen sama kamu Rik..’
Ohhhh.....indahnya.
Sayang, khayalan ngak akan pernah jadi kenyataan. Gue cuma bisa pasrah ngelepas kepergian dia.
***
Gue masih inget betul saat-saat itu.
Entah, apakah saat yang gue maksud adalah saat paling menyedihkan, atau saat paling membahagiakan.
Karena kenangan yang masih terngiang itu tercipta saat gue terakhir kali meluk tubuh dia.

Badan gue berlumuran darahnya, gue cuma bisa menangis ngeliat perutnya yang udah robek karena tertusuk patahan balok kayu runcing itu.
Perasaan takut itu ngak akan pernah hilang. Rasa takut kehilangan, rasa takut kesepian.
Dunia ini terasa hampa bagi gue tanpa kehadiran dia.

Lhoo.... tapi kenapa kenangan itu terasa begitu indah buat gue.... kenapa....
“Erik....ma-maafin gue....uhukkkk....” saat itu gue ngeliat dengan mata kepala gue sendiri. Ketika Sheila terbatuk dan memuntahkan darah.
Gue cuma bisa nangis. Begitu pathetic diri gue...
Sebagai cowo yang seharusnya ngelindungin dia, gue malah gak berdaya.
“hiks..... kenapa kamu minta maaf..... please, jangan bilang begitu... ini salah aku gak bisa jagain kamu......” kata-kata itu meluncur sebagai bentuk penyesalan gue.
Sheila mengulurkan tangannya, menyentuh pipi gue.

“jangan..uhukkk.... jangan nyerah sayang.... walaupun aku mati, t-tapi.....aaaaakkkhhhhh.....”
Tubuh Sheila menegang, raut wajah itu gak akan bisa lagi gue lupain.

Senyumnya yang terlihat jelas dipaksakan, tapi jadi senyum terindah dalam hidup gue.
“a-akuuu.....nnngghhhh... gak akan pergi... uhuk....”
“sayang.... j-jangan banyak ngomong dulu.... d-darah kamu makin banyak keluar...” gue hanya bisa panik saat itu. dengan sebelah tangan, gue teken luka menganga di perutnya.
“aku... akan selalu ada... selama kamu.....uhukkk... selalu ingat aku....”

Deru napas Sheila semakin tak menentu. Bisa gue liat dengan jelas, dia lagi berusaha buat ngomong, yang gue takutin, kata-kata itu bakalan jadi yang terakhir.
“panggil nama aku.......hhaaah...hhaaaaarrrghh...... maka aku akan dat......ang......”

Kepalanya terkulai lemas, dengan mata yang masih terbuka, dia meninggal di pelukan gue.
“SHEILAAAAAAAAAAAAA........................” gue berteriak sejadi-jadinya.
Yang bisa gue lakukan, hanya memeluk tubuh dia erat-erat.

Gak rela, gue gak rela ngelepasin dia.
“aku.......aku gak akan ninggalin kamu............”

Setengah jam berlalu, gue masih meratapi kepergian Sheila untuk selamanya. Saat itulah gue denger beberapa orang ada diluar, mungkin mereka ngedenger tangisan gue.
Reruntuhan yang ngejebak gue didalam kompartemen itu sudah tersingkir.
Mereka menyeruak masuk, berusaha ngelepasin Sheila dari pelukan gue.

Temen-temen gue segera narik gue menjauh. Kapal feri yang gue naikin lagi-lagi kehempas ombak tinggi.
“ngaaakkkkkkkkkk...... lepasin gue... gue mau disini sama Sheila...... pergi....pergi lo semua......”
“sadar Rik... Sheila pasti mau lo tetep hidup...... jangan sia-siain harapan dia..... ayo...”

Lengan-lengan tak berperasaan itu ngelepasin gue dari Sheila
“sheilaaaaaaaa..................sheilaaaaaa....... .”

***

“nak Erik.......” suara itu menarik gue kembali kedunia nyata, lepas dari kenangan gue tentang Sheila. Tenyata itu si nenek.
“huaaaaahh...........” hampir aja gue lompat kedalam api unggun, karena si nenek tau-tau udah ada disamping gue ketika sedang melamun.
“haahah...apa......ada apa???” si nenek juga jadi gelagapan.
“hhheehhhh....... kirain siapa... nenek ngagetin aja ihh....” gue memprotes sambil membetulkan posisi duduk gue.

“maaf..... engg gini, nenek mau buang air.... bisa temenin gak? Nenek takut...” kata nenek. Si nenek sedang berdiri gemetar, kedua pahanya dirapatkan. Kayaknya sih beneran dia lagi mau pipis.
Aduhhhhh tapi kok malam-malam gini.... kalo ada apa-apa gimana coba??

“nek... ga bisa nunggu besok....”
Si nenek menggeleng.
“udah coba ditahan, tapi nenek udah gak kuat....”

Sejenak, gue memandang kesekeliling.
Orang-orang udah pada tidur nyenyak, terpaksa gue sendiri yang nemenin si nenek ini.

‘merusak suasana aja.... lagi asik-asik gue ngelamun tentang Sheila..... ohhh Sheila, tunggu sebentar ya sayang, habis nganterin nenek tua ini gue akan balik lagi ngelamunin lu.......’ batin gue saat itu.
“yaudah nek.... ayo, tapi jangan jauh-jauh” gue bangkit dari duduk dan menyambar tombak kayu panjang itu dengan sebelah tangan.
“makasih ya nak... maaf sekali lagi kalo nenek cuma bisa ngerepotin....”

‘emang.......’ batin gue.
Tapi yahh, apa mau dikata? Terpaksa juga gue nemenin si nenek.

Gue sama si nenek jalan kearah hutan. Gue juga gak berani jauh-jauh. Tempat itu paling cuma 50 meter dari pemukiman.
Setelah nerobos ke hutan sedikit, akhirnya gue suruh si nenek buang hajat.

Gue berdiri di sebelah pohon besar, sementara si nenek lagi nyelesaiin hajatnya dibalik pohon.
“akkkkkkkk.........” tiba-tiba si nenek njerit, tapi kok suaranya kayak di cekek?
“nek ada apa??????” gue segera ngehampirin dia, dada gue langsung deg-degan.

Saat itu gue bisa liat dengan jelas. Si nenek beneran lagi di cekek sama seseorang.
Kaki si nenek ngak napak di tanah, tubuh kerempeng itu dengan mudah diangkat pake sebelah tangan.
Orang itu tinggi gede.... gede banget, sampe-sampe gue kira itu Troll.
“siapa.....siapa itu..........” gue gelagapan, lansung gue siaga satu. Tombak kayu yang gue bawa langsung gue arahin kearah orang itu.

“brukkkk.......”
Badan si nenek di jatohin ketanah.
Orang itu mendekat, di tangannya ada senjata. Entah ya, bisa disebut senjata apa ngak, bagi gue sih cuma kaya garpu yang biasa dipake buat nyerok sampah dari dalem got.

“hhhhaaaarrrrrrrghh.....” dengan sekuat tenaga gue berusaha nusuk orang itu pake tombak yang gue pegang. Gini-gini gue jago nangkep ikan, masa nombak orang segede gini aja gue gak mampu.

“traaaakkkkkkk........”
Tombak itu ditepis dengan senjata yang dipegang ditangan kirinya.
Orang itu melompat dan nerjang badan gue.

Tongkat yang gue genggam, jatuh ketanah.
Gue ngak punya alat apa-apa lagi buat mempertahankan diri.

Gue berusaha bangkit dan ngambil tongkat itu. tapi badan gue ditendang sama orang misterius itu.
“duaggg....”
Lagi.... gue jatoh ketanah.

Orang itu bersiap mau ngehajar gue pake senjata yang dia bawa.
“wuuuuss.....”
Garpu serokan got itu melesat menghampiri wajah gue.

Reflek, gue langung ngangkat sebelah tangan gue buat nangkis serangan itu.
“sreeettt........”
“aaaarrrrghhh..........”
Tangan gue luka cukup dalam. Rasa sakit itu mulai gue rasain. Perih, lengan gue kini ngeluarin darah.

Sekarang gue takut, takut banget.
Gue ngerasa nyawa gue ngak akan lama lagi.

“hhhaarggh...” tiba-tiba si nenek bangkit.
Orang itu dipukul pake sebuah batang kayu.

“dug.....”
Tepat di samping kepalanya.

Orang gila itu terhuyung kesamping. Waktu itu gue manfaatkan buat ngabil tongkat yang jatoh itu.

“ssssraaaaaaak.........”
Tapi orang itu bener-bener kuat. Kalo gue yang dihantem dikepala, mungkin gue udah ngak sanggup berdiri.
Tapi orang itu, dia langsung berbalik dan nyabet muka si nenek pake serokan got.

Muka si nenek robek, dia jatoh ngak bergerak lagi.
Gue bener-bener udah ketakutan, gak ada kesempatan lagi buat nyelametin si nenek.

Akhirnya gue mutusin muat nyelametin diri.
Si orang gila itu berbalik dan ngejar gue. Sekali lagi, dia nyabetin tuh garpu kearah gue, kali ini kena kaki gue.
Hampir aja gue jatoh, untung ada tongkat.
Gue terus lari, gak sempet lagi gue ngeliat kebelakang.

Akhirnya gue keluar dari hutan. Sekarang gue udah ada ditanah lapang lagi. Cuma sekitar 20 meter dari pemukiman.
Kaki gue mulai berasa sakitnya, padahal tadi ngak loh.

Saat itu gue sempet noleh kebelakang.
Ternyata orang gila itu berdiri diem di dalam hutan.

‘huff.... untung udah ngak ngejar.... sebentar lagi gue bangunin orang-orang...’
Gue berusaha sekuat tenaga buat nahan rasa sakit itu.

Tapi entah kenapa, mata gue mulai berkunang-kunang.
Darah yang keluar dari tangan dan kaki gue bikin badan ini lemes. Lemes banget, tau kan rasanya donor darah? Keluar banyak darah tuh rasanya lemes.

Belom sempet gue teriak ngebangunin orang-orang, gue udah terjatoh lagi.

~***~
“jadi abis itu lu pingsan?” tanya Aryo.
“iya........... sorry guys, gue gak bisa nyelametin nenek.... gue cuma orang gak berguna....” Erik menyudahi cerita itu dengan suara lirih.
Anggota kawanan yang lain telah berkumpul di tempat itu. bahkan seluruh anggota perempuan.
Dengan seksama mereka mendengarkan cerita Erik.

‘whaaaaaatttttt................ jadi ternyata pembunuhnya ngak ada diantara kita?’ batin Tomi.
Hipotesis Naya ternyata salah.

“lu sempet liat mukanya?” tanya Aryo.
“ngak keliatan bro.... sorry.... dihutan gelap, dan orang itu pake tudung, yang gue inget, dia tinggi, mungkin 190cm.... tinggi banget. Dia pake jaket item panjang..... sampe-sampe gue sama sekali gak sadar orang itu udah nyergap nenek....” Erik melanjutkan.

Naya memasang raut wajah tak percaya.
Dalam hati, ia merasa bersalah telah mencurigai kawanan mereka.

“tapi apa motifnya???” tanya Aryo.
Erik menggelengkan kepala.
“gue ngak tau...... orang itu, sorot matanya seakan benci sama kita...... seolah-olah dia ngak akan berhenti sebelum seluruh orang disini mati....” lanjut Erik.

“gue rasa, orang itu cuma psycho yang gila sex....” kata Naya.
Seketika, seluruh orang ditempat itu menoleh memandangnya.
“maksudlu gimana Nay??” tanya Aryo.

“waktu meriksa jenazah nenek, gue nemuin ada sperma kering dipahanya. Jangan-jangan nenek diperkosa sebelum dibunuh... sama kaya korban-korban sebelumnya..... aneh gak sih? Semua korbannya itu cewe.... dan lagi ada bercak sperma yang kesisa....” kata Naya.
Seluruh orang terdiam. Raut wajah penuh ketakutan kembali menyelimuti mereka.

“kenapa lu gak ngomong dari kemaren?” tanya Aryo.
Naya terkejut mendengar perkataan itu. ia sadar, sungguh bodoh rasanya berusaha menjadi seorang penegak keadilan dalam situasi genting seperti itu.
“gue pikir kalian udah tau dari korban-korban sebelumnya.... makanya gue ngak ngomong...” lanjut Naya, wajahnya kini tertunduk.
“maaf.......” Naya melanjutkan.

“heehhh.....”
Aryo menghela napas panjang.
“udah.... gak apa-apa... itu bukan salah lo......” kata Aryo.
Pemuda itu kini bangkit dan berdiri diantara yang lain.

“gue bukan mau sok jadi pemimpin disini..... gue cuma mau minta kerjasaa diantara kalian, kalo ada apapun......apapun......sekecil apapun petunjuk, tolong kasih tau yang lain... kita gak bisa ngebiarin ini tetep terjadi..... sekarang giliran jaga di perketat.... tiap malem akan ada dua orang yang jaga..” kata Aryo.

“terlebih lagi..... yang diincer sama bajingan itu cuma perempuan..... jadi gue cuma ngasi satu instruksi..... gak ada yang boleh keluar malam-malam....apapun alasannya.... apalagi sampai masuk hutan...... kejadian terakhir ini harus kita jadiin pelajaran.....” lanjutnya.
“gue..... khususnya..... gak akan ngebiarin hal-hal buruk nimpa kawanan kita.... gue harap semuanya paham kewajiban masing-masing....” Aryo mengakhiri instruksi singkat itu dan kembali duduk.

“oke.... malem ini biar gue yang jaga...” kata Tomi.
“sip... gue temenin....” Sandi menimpali.
“good... makasi banyak guys.... sorry kalo stamina gue belom pulih sepenuhnya, besok gue sama Rangga yang gantian jaga...” lanjut Aryo.
“oke bro.....” Rangga menyahut.
“trus gue gimana??? Masa gue mau diem sedangkan kalian bisa ngelakuin sesuatu....”
“nanti akan ada giliran lu..... itu pun kalo lu udah sembuh... “ kata Aryo.
“tapi Ar....???” Erik bersikukuh.

“GAK ADA TAPI-TAPIAN...... TURUTIN AJA, DAN JANGAN NGEBANTAH......” tiba-tiba Aryo berteriak.
Erik terdiam, ia sadar bahwa apa yang dikatakan oleh Aryo ada benarnya. Ia saat ini tak berdaya, jangankan untuk membantu, menjaga dirinya sendiri saja ia tak mampu.
“sorry Rik.. bukan maksud gue ngebentak lo.... gue cuma........” kata-kata Aryo segera dipotong oleh Erik.
“its ok bro.... gue paham lu panik, toh kalo gue ikutan jaga, gue cuma bisa jadi beban...”

~***~
Matahari sudah naik cukup tinggi. Cahayanya menerangi pulau kecil itu, membuat suasana sejuk kini berubah menjadi terik.
Tim pengumpul makanan kini tak lagi dipecah menjadi dua tim. Mereka berombongan yang terdiri dari tujuh orang kini mencari makanan di dekat sungai. Tak ada lagi acara mencari makanan di tengah hutan, terlalu berresiko.

Ketujuh orang tersebut terdiri dari empat wanita, dan tiga orang laki-laki.
Sementara empat orang yang tersisa kini berdiam di pemukiman.

Aryo, Rangga, dan Sandi kini memimpin tim pencari makanan. Tante Dewi, Tante mia, Nasha, dan Dara ikut dengan mereka.
Sementara di pemukiman tinggal ada Tomi, Naya, Rafi, Sarah, Indah dan Erik yang sedang terluka.

Erik yang sedang terluka masih terbaring lemas didalam pondok.
Indah dan Naya sedang mencari makanan di di sekitar pemukiman, tante Sarah sedang menyiapkan perapian bersama dengan Rafi.
Sedangkan Tomi kini sibuk dengan beberapa tongkat yang ia tajamkan salah satu ujungnya dengan sebilah pisau.

“kak..... minta tolong nyalain apinya dong...” kata Rafi.
“emang belom bisa Raf? Yaudah sini kakak ajarin, biar bisa...” kata Tomi.

Tomi kembali menjelaskan tentang cara kerja pematik darurat itu.
Perlahan, Rafi mulai mengerti dan mencobanya sendiri.

Akhirnya api menyala, Tomi senang bisa memberikan sedikit ilmu yang dimilikinya kepada orang lain. Ia kembali duduk dan menajamkan tombak-tombak itu.

~***~
Waktu berjalan. Cuaca terik itu kini mulai teduh.
Panasnya sengatan matahari, telah berganti dengan semilir angin yang berhembus. Rumput-rumput yang menghiasi padang terbuka itu kini bergulung bagai ombak karena diterpa angin.
Bunga alang-alang beterbangan, menyejukkan mata siapapun yang memandang.

Namun, apa yang terlihat diluar, tak selalu sama dengan yang terjadi didalam.
Sekilas, raut wajah lelah dari kawanan itu terlihat kembali ceria. Namun malam yang sebentar lagi akan menepati janjinya untuk datang, seakan menjadi momok yang menakutkan.

Sore ini, Tomi dan Sandi bersiap untuk berjaga.
Tak banyak makanan yang bisa disantap hari itu. tepian sungai tak menjanjikan banyak bahan makanan. Mereka harus puas mengganjal perut yang meronta dengan beberapa batang daun pakis muda yang direbus.

Seluruh kawanan kini sedang menikmati hangatnya api unggun. Mereka kembali duduk melingkar.
Naya menyandarkan kepalanya dibahu Tomi. Wajahnya terlihat bingung.

Rupanya ia masih memikirkan tentang siapakah dalang pembunuhan itu.
‘jangan-jangan ada orang lain selain kawanan ini....’batinnya.
‘tapi kalo ada, kenapa dia justru membunuh.... kenapa ngak gabung disini dengan damai....’ logikanya kembali bertanya-tanya.
‘oke.... kita simpulkan dia gila sex..... tapi kalo gila sex, kenapa dia mesti ngebunuh korbannya?? Kenapa ngak nyulik aja buat dinikmatin sampai dia puas.....’

“lo kenapa kak? Masih mikirin?” tanya Tomi.
Naya hanya mengangguk.

“udah Nay.... jangan terlalu dipusingin, kita serahin aja semuanya sama cowo-cowo... gue yakin, Aryo bakalan jagain gue.... iya kan sayang?” kata Indah, ia kemudian merangkul lengan Aryo.
“iya.....” jawab Aryo ramah.

Aturan dasar dalam menyikap misteri adalah menemukan motif.
Darisana, seseorang dapat menggali jauh lebih dalam tentang bagaimana pelaku beraksi.

‘tapi apa motifnya???? Apa sesederhana itu?? orang gila..psyco.... hypersex.... nangkep orang, diperkosa, trus dibunuh..........itu gak mungkin....’ batin Naya.
Untuk menemukan motif, tak jarang seorang analis harus memposisikan diri sebagai sang pelaku. Dengan mengumpulkan petunjuk-petunjuk dan dirangkai menjadi satu, sang analis biasanya mampu memecahkan misteri.

‘mana bisa gue memposisikan diri jadi orang psycho yang tega ngebunuh hanya buat sebuah kenikmatan sex............ tunggu’
Tiba-tiba saja Naya tersadar dari lamunanya.
Naya baru saja menemukan sebuah petunjuk inti yang dapat memecahkan misteri pembunuhan berantai yang telah terjadi. Ia tiba-tiba menegakkan posisi duduknya.

‘oke.... gue ngerti motifnya....... tapi, siapa pelakunya?? Gue masih gagal paham.....’ batin Naya.
“lu daritadi diem aja kak.... sakit?” Tomi menyentuh dahi Naya dengan punggung tangannya.
“ehh.... ngak kok...... ada yang kepikiran tadi...” jawab Naya.

‘ni anak jangan2 bikin hipotesis lagi....’ batin Tomi.
“sstt.... ada petunjuk emangnya?” Tomi berbisik ditelinga Naya.
Naya tak menjawab. Ia hanya mengenggam pergelangan tangan Tomi dan menariknya masuk kedalam pondok.

Gelagat mereka di amati oleh seluruh anggota kawanan.
“ehem......ehemm...... mau ngapain tuh.. bisik-bisik sebentar trus masuk ke dalem... ehmmm...” kata Rangga.
“ada yang kedinginan barangkali.....hihihihi.....” Sandi menyahut.

“bletak.....”
Sebuah jitakan mendarat diatas kepala masing-masing pemuda itu.
Sepasang iblis betina berdiri dibelakang mereka.

“pasti ngomongin mereka..... ya kan?” tanya Dara.
“ngaku.... atau mau dijitak lagi......” Nasha menimpali.
“iya-iya..... orang cuma becanda.... iya kan Ga...” kata Sandi.
“iya.... orang kita cuma becanda...” Rangga menimpali.
“bisanya ngomongin orang.... sendirinya muka sange....” kata Nasha.

Kedua pemuda itu memajukan bibirnya sambil mengusap kepala masing-masing.
‘muka keset...’
‘beha kolong wewe.....’
Umpat mereka dalam hati.

“kalian sih..... ngomongin orang kerjaannya..... kalo udah begini gue gak mau belain...” kata Aryo.
“huh..... siapa yang butuh dibelain......” sahut Sandi.

~***~
Lima menit berselang, Tomi dan Naya kembali keluar dari pondok.
‘adoohhhhh dugaan macam apa itu...... gak mungkin banget...’ batin Tomi.
Mereka segera kembali duduk di tepi api unggun.

“kok cepet amat..... wah... si Tomi gak tahan lama....” kata Sandi.
“iya nih..... payah.......”

“beletakkkkkk...........”
Sebuah jitakan kembali bersarang di ubun-ubun mereka.
“adawwwwww.........” kedua pemuda itu menjerit.

“hah??? Cepet kenapa?” tanya Naya.
“ahhh...ahahah... ngak apa-apa kok Nay.... jangan dengerin dua bajingan ini...... mereka mah suka asal...” kata Dara.
“ngak ngerti gue.... ada apaan sih?” tanya Tomi.

Seluruh kawanan tertawa. Namun Tomi dan Naya hanya dapat memasang raut wajah bingung dan mengeluarkan tawa kecil terpaksa.

~***~

Malam semakin larut.
Tomi dan Sandi sudah bersiaga di depan api unggun sementara yang lain sudah tertidur di pondok. Kini, sebuah pondok diisi lebih banyak orang dari biasanya.
Jika biasanya satu pondok diisi hanya oleh dua atau tiga orang. Kali ini diisi oleh empat orang. Dari enam pondok yang berada disana, hanya 3 pondok yang digunakan.
Yang pertama berada di bagian paling kanan, berdekatan dengan hutan. Diisi oleh Aryo, Rangga, Erik, dan Rafi. yang kedua dibagian tengah, diisi oleh Naya, Indah, Dara, dan Nasha. Yang terakhir diisi oleh tante Dewi, tante Mia, dan tante Sarah.
Tomi dan Sandi duduk berdampingan menghadap kearah ketiga pondok itu.
Mereka mengawasi jika ada gerakan mencurigakan dari arah hutan.

“hoaaaaammm..... anjrit, bete banget..... berdua aja bete begini, gimana sendirian...” Tomi menguap.
“hahah.. emang gitu Tom.... sendirian malah makin parah....”
“coba ada catur.... bisa maen kita....” Tomi mencoba mengusir kebosanan dengan memainkan sebuah ranting.
“kalo niat bikin sih bisa aja..... tapi bikin papannya itu yang males... ngak ada serutan kayu....”
“iya juga si...... kalo papannya gak datar gak enak....”

Akhirnya mereka memutuskan untuk memainkan catur jawa dengan beberapa batu kecil yang ada disana.
Cukup membantu untuk mengusir kebosanan, yah.... paling tidak untuk beberapa lama.

Entah jam berapa saat itu, mereka tak tau pasti. Namun dinginnya udara malam itu seakan memberitahu bahwa waktu sudah melewati tengah malam.

“tukkk....... tukkk”
Sandi melemparkan beberapa batang kayu kedalam kobaran api yang mulai mengecil.

“gila... gak biasanya dingin bgini....” ujar Sandi.
“masa sih?”
“iye... lu kan blm pernah jaga, jadi blm tau udara malem.... kali ini sumpah dingin banget.... gua harap orang gila yang sembunyi di hutan cepet mati kedinginan....”
“yah.... gue harap juga gitu....”

“cetakk...cetakkk...” arang yang membara itu berbunyi ketika memecah.
Tomi kini melamun, sorot matanya memandang kosong kearah jilatan lidah api yang berwarna kuning.

‘gila aja si Naya..... masa dia bilang kalo........ ihhhhhhh najis banget gue ngebayanginnya.... huekk..’ Tomi bergidik.
“kenapa lu bro?” tanya Sandi.
“ohhhh ngak... kedinginan aja.....”

~***~

Malam itu berjalan dengan tenang. Tak ada tanda-tanda kehadiran pembunuh berantai itu.
Mentari pagi sudah nampak kembali.
Mempertegas kehadirannya dengan sorot cahaya kemilau nan benderang.

Saat itu, Tomi dan Sandi sudah tertidur di dalam pondok.
Sementara anggota kawanan yang lain sudah kembali beraktivitas.

“huaaaahhh........” Naya bangun dari tidurnya.
Kedua tangannya diangkat keatas tinggi-tinggi, sementara Naya merenggangkan tubuhnya.
“Nayy..... udah bangun?” kata Indah dengan muram.
“hu-uh.....” kata Naya, ia masih menguap sesekali.

“kenapa lu? Bete amat?” tanya Naya.
“cowo-cowo gak ngebolehin kita mandi.....” katanya lirih.
“whatttt???? Gila aja....” Naya terbelalak mendengarnya.

“non-sense banget ngelarang kita mandi..........” lanjut Naya.
“huh...... katanya bahaya.... iya sih bahaya, tapi kan badan gue gatelll....”
Indah sedang berusaha menggaruk punggungnya dengan gusar.

“udah deh say...... jangan ngeluh terus.... ini semua kan demi keselamatan....” Aryo menghampiri mereka. Tangan kanannya kini membantu Indah menggaruk punggung.
“gak bisa gitu juga Aryoo..... kita tetep harus perhatiin kesehatan, mandi tanpa sabun aja udah cukup jorok menurut gue... lha ini sama sekali ngak mandi.......” Naya memprotes.

“adoooo....ada apa si....brisik bener ah.... ga tau orang ngantuk....”
Tomi yang berada didalam tenda kembali terbangun. Ia mengusap kedua matanya yang masih memerah karena kantuk.
Ia turun dari tumpukan rumput kering yang ditidurinya dan berjalan keluar pondok dengan gontai

“mmmmhh.... ada apa sih??” tanya Tomi.
“tuh kan..... si Tomi sampe kebangun... kasian tuh....” kata Aryo.
“ya tapi....aduh......” Naya tetap bersikukuh dengan opininya.
“gini Tom.... gue ngelarang cewe-cewe buat mandi..... yah, karena keadaan sekarang lagi bahaya......” Aryo mencoba menjelaskan.
“ooohhh.......” Tomi menimpali dengan santai. Ia terlalu malas untuk berbicara saat ini.

“hah??? Cuma ooohhh?? Pokonya kita tetep harus mandi........” kata Naya.
“kalo gitu, cowo-cowo musti nemenin......” kata Aryo santai.
“eeeekk..... ngak-ngak..... absolutely not.....” wajah Naya berubah gugup.
“betul....... disini banyak cowo mesum soalnya....” Nasha datang menimpali obrolan itu.

Tomi duduk dan menyandarkan dirinya pada sebuah batu. Ia kembali memejamkan mata.
“hooooaaaaaammmm...... kenapa gak bikin kamar mandi aja?”
“bikin kamar mandi sih gampang...... tapi masa musti ngangkutin aer kesini??? Pe-er bener...” kata Aryo.

“pake pipa......” kata Tomi singkat.
“haha.....pipa? lu lupa Tom... kita lagi ditengah pulau ngak berpenghuni, entah berapa lama sampe kita nunggu ada yg bangun toko material....trus kita beli pipa, trusss.........”
Kata-kata Aryo segera dipotong oleh tomi.
“disungai banyak..........hoahhemm...”

Tomi mengarahkan jari telunjuknya kearah rumpun-rumpun bambu.
“ppppffftttt..... trus bambu itu musti dibelah buat ngalirin aer gitu?” tanya Aryo.

Tomi menggeleng, ia masih memejamkan matanya.
“jangan dibelah....nanti aernya rawan jadi kotor....”
“oyy oyyy.... ada apaan nih?” Rangga ikut bergabung dalam obrolan itu.
“ini... si Tomi bilang, kita bisa pake bambu buat bikin pipa air...” Aryo menjelaskan.
Tomi hanya manggut-mangut saja.

“ehm...... entah apa pemahaman gue salah, tapi gue rasa ngak..... bambu itu kan ada sekatnya...” kata Rangga.
“nah itu dia.......”
“ada linggis? Atau besi panjang yang berat gitu?” Tanya Tomi. Kali ini ia berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat.

“ada sih..... tapi mesti nyari di bangke kapal feri....” kata Rangga.
“yaudah cari dulu, ntar gue kasi tau caranya..... udah ya, gue ngantuk banget.....”
“serius lu, bisa bikin pipa pake bambu...”
“iye...... percaya aja.....hoaaaammmmm.........”

Tomi kembali memejamkan mata. Ia bangkit dari duduknya dan merebahkan diri dibawah sebuah pohon rindang.

“lu paham Yo?” tanya Rangga
“mungkin maksud dia tuh buat ngelubangin sekat antara ruas bambunya....” Aryo beropini sambil mengangkat bahu.
“tapi gimana caranya ngelobangin yang tengah... emang ada besi sepanjang itu....?”
“ya ngak ada lah... paling-paling satu setengah meter panjang besinya.....”
“oyyy Tom..... besinya musti sepanjang apa?” tanya Rangga.
“semeter juga cukup, asal besinya padet dan berat....”
“yaudah.... turutin aja....... kali aja bisa....” kata Aryo.

Kedua pemuda itu mengambil masing-masing sebilah pisau besar untuk berjaga-jaga. Akhirnya mereka tetap menuruti apa yang dikatakan oleh Tomi.

~***~

“klontang......klontang.....”
Setengah jam berlalu, Aryo dan Rangga sudah kembali lagi ke pemukiman. Dua buah besi yang cukup berat itu mereka jatuhkan ketanah.
“trus gimana...... si Tomi malah udah tidur lagi tuh....” tanya Rangga.
“dah.... jangan dibangunin dulu, kita cari bambunya aja dulu satu biji buat percobaan.” Jawab Aryo.

“adek lu agak-agak aneh ya Nay....” kata Dara.
Keempat gadis sebaya itu sedang larut dalam obrolan mereka.
“ngak ngerti..... kadang-kadang gue gak ngerti apa yang ada di pikiran dia.... tapi dia itu emang kreatif... buktinya gue selamet sampe di sini..... tau ngak, gue slamet gara-gara apa?”
“gara-gara apa?” tanya Indah.
“Tomi maksa gue masuk ketangki mobil pengangkut air supaya bisa selamet.... gila ngak....”
“hah?? Hawahahahahaha..... ada-ada aja..... trus-trus....” Nasha, Dara, dan Indah serempak tertawa.
“anehnya lagi, dia sempet-sempetnya nyari kotak peralatan itu.... padahal radio mobil gue udah nyiarin ‘tsunami sebentar lagi datang’.....” lanjut Naya.
“bener-bener sarap.....” Indah menggelengkan kepala.

“tapi...... karena insting dia itulah, gue bisa tetep hidup....” kata Naya.
Naya masih ingat betul saat dimana dirinya memprotes apa yang dilakukan oleh Tomi saat itu. ketika mereka sedang berusaha lari dari maut, Tomi bersikeras untuk mencari makanan dan pakaian. Tanpa itu, mungkin mereka tak akan bisa bertahan.
Naya memandang sejenak kearah Tomi yang sedang tertidur dibawah pohon. Senyum tipis sesaat menghiasi raut wajahnya.

“glodak.....”
Sebuah batang bambu besar dijatuhkan oleh Aryo dan Rangga.
“Tom..... gimana ini caranya???” tanya Rangga.

Tomi tak bergeming.
Aryo mendekati tubuh Tomi dan menepuk pundaknya.
“Tom..... besi sama bambunya udah ada..... gimana cara ngelubanginnya...”
“mmmmhhh...... apah??? Ohhh..........hoooaaaahhheemmm....” Tomi kembali menguap, mengumpulkan sisa tenaganya, dan berusaha bangkit berdiri.

Ia meraih batang besi hitam sepanjang satu meter yang tergeletak ditanah.
“anjrit.... berat juga......” ucap Tomi.
“lha katanya minta yang berat........ udah susah payah ni.... mana disana bau banget lagi...”
Rangga menimpali.

“memang yang kaya gini yang dibutuhin kok..... “ kata Tomi. Berkali-kali Tomi menghela napas panjang untuk mengumpulkan tenaga, tubuhnya terasa bergoyang-goyang. Langkah kakinya masih gontai.
“trus gimana.........” tanya Aryo.
“salah satu ujungnya di bobok dulu sampe bolong.....” jawab Tomi.
“oke.... bentar...... Ga.... bantuin gue, lo pegangin bambunya.... gue ngelobangin ruasnya.”
“oke....”

“dooooooggg...dooooggg...kracccckkk.....”
Terdengar suara kayu yang patah setelah Aryo menyodok beberapa kali.
“stooopp....jangan dicabut besinya” kata Tomi.

Rangga dan Aryo menoleh kearah Tomi.
“sekarang, bambunya ditegakin.... ujung yang ada besinya diatas...” kata Tomi.

Aryo dan Rangga berpandangan sejenak, akhirnya mereka melakukan apa yang dikatakan oleh Tomi. Bambu yang mereka pegang kini ditegakkan sesuai petunjuk Tomi.
“trus gimana???” tanya Aryo.

“angkat bambunya, trus jatohin.... ntar besinya lama-lama masuk ketengah.....”
“ooooooooo........ paham gua sekarang..... hahaha bener juga lo.....” kata Aryo.
“canggih lu Tom..... sempak, ada aja idenya.....”

“dug....dugg...dugg...krakkk.......” satu sekat ruas bambu berhasil mereka lubangi lagi.
Begitu juga dengan yang kedua, ketiga, dan seterusnya.

“kraaaakkk.........”
Hujaman terakhir telah mengeluarkan ujung besi itu dari bambu.
Kini seluruh penyekat dalam batang bambu itu telah pecah. Menyisakan sebuah bambu utuh dengan lubang pada rongganya.

“bisa kan?? Nah..... sekarang gue istirahat lagi ya.... sorry banget nih, tapi suer... gue ngantuk.... kumpulin aja dulu bambunya, ntar kalo gue sama Sandi udah bangun, gue bantuin deh....” kata Tomi.
“sippp.... dah lo tidur lagi sana.......” kata Rangga.

“okay ladies..... siapa yang mau cepet mandi harus bantuin kita ngangkatin bambu.....” kata Aryo
“waduh....yaudah deh..... gak apa-apa.... demi bisa mandi.....” kata Nasha.
Tak butuh waktu lama hingga seluruh anggota yang tersisa kini kembali sibuk.
Aryo, Rangga, dan ketujuh orang perempuan itu kini sibuk menebang pohon bambu di pinggir sungai. Syukurlah, letaknya tak jauh, bahkan masih terlihat dari pemukiman mereka.

“yo...... gue bantuin ngambil bambunya ya....” Erik dan Rafi menghampiri Aryo dan Rangga yang sedang menebang batang-batang bambu itu.
“ehh... lu masih luka-luka gitu.....” kata Aryo.
“gak apa-apa.... cuma luka kecil, lagian masa gue diem aja gak ngebantuin apa-apa....” Erik memperlihatkan luka ditangannya yang sudah mengering.
“iya kak..... Rafi juga pengen bantuin... gini-gini Rafi udah kelas 1 SMA... masa bantuin gini aja ngak bisa....”

Aryo memandang mereka sejenak.
“yaudah..... bantuin angkutin bambunya ya..... disini biar gue sama rangga yang nebangin bambu....” kata Aryo.
“oke.....”

Satu-persatu, batang-batang bambu itu telah terkumpul. Para perempuan mengankut bambu-bambu itu berdua, sementara Erik dan Rafi cukup kuat untuk memanggul batang bambu itu seorang diri.

~***~

Hari menjelang siang. Mungkin saat itu sekitar pukul 9 pagi.
Tomi dan Sandi masih tertidur pulas didalam pondok. Sementara di luar, batang-batang bambu yang terkumpul sudah cukup banyak.

Rasa lapar mulai melanda mereka.
Kini, saatnya mereka mencari makan. Rafi tinggal di pemukiman bersama Naya dan Indah. Mereka sedang diberi tugas untuk menyiapkan perapian sementara yang lain pergi mencari makanan.

Saat itu Naya dan Indah sedang belajar membuat api.
Ternyata tidak terlalu sulit, namun Naya mulai mengeluhkan telapak tangannya yang mulai kasar karena memutar-mutar ranting.

Api segera berkobar, asap putih yang membumbung tinggi menjadi pertanda bagi para pencari bahan makanan untuk segera pulang.
“cuma ada pakis, sama jamur.......” tante Dewi menyerahkan keranjang yang dibawanya.
“ngak apa-apa..... udah mulai biasa makan beginian kok...” kata Indah.
“iya tante.... masi untung kita bisa makan...” Naya menambahkan.

Sejenak Naya teringat tentang cerita Tomi. Tentang apa yang telah ia lalui selama dalam pelarian. Naya sadar, ia tak boleh mengeluh, dibandingkan keadaan Tomi saat itu, penderitaan dirinya saat ini sungguh tak bisa dibandingkan.
Setidaknya ia masih bisa memakan makanan yang bersih, sedangkan Tomi harus memakan sampah untuk bisa bertahan hidup.


BAB 8 – Part 2
Tomi dan Sandi terbangun dari tidurnya ketika hari beranjak siang.
Naya segera menyodorkan pakis rebus kearah Tomi. Pakis itu segera dilahap oleh Tomi.

“masi ngantuk gak?” tanya Aryo.
“ngak begitu kok....... udah mendingan daripada tadi..” jawab Tomi.
“good.... kalo gitu kita selesaiin hari ini juga....” Aryo yang telah menyelesaikan makannya segera bangkit.

Tomi segera melanjutkan makannya, sementara Aryo dan Rangga sudah kembali disibukkan oleh ‘ritual’ menghujamkan bambu ketanah.
“pada ngapain si?” tanya Sandi.
“ngelubangin bambu supaya bisa dibuat pipa......” jawab Tomi.
“wew..... kenapa ngak dari kemaren-kemaren??”
“kalian ngak nanya..... lagian gue masi seneng mandi disungai....” kata Tomi.
“jadi itu ide lu? Kereeennn...” Sandi mengacungkan jari jempolnya kearah Tomi.
“alah ngak juga.....”
“ngak perlu merendah gitu...... kalo gak ada lo, mungkin semua orang disini udah makan pakis mentah.........” kata Erik seraya kembali melahap makanannya.

Apa yang dikatakan Erik memang sepenuhnya benar, namun Tomi tetap tak ingin menyombongkan diri. Mereka segera menghabiskan makanan mereka dan membantu Aryo dan Rangga yang sudah disibukkan dengan pekerjaan mereka.

“ini yang terakhir..... semangatttttt...........” kata Aryo.
Puluhan batang bambu sudah ditumpuk rapi. Dengan bambu sebanyak itu, mereka yakin dapat mencapai air terjun untuk mengalirkan air.

“kraakk......”
Sebuah hantaman kuat menyebabkan ruas bambu itu kembali pecah.

“lagii................aaarrgh....”
“DUGG.......KRAAAAKK....”
Lubang terakhir telah berhasil dibuat. Kelima lelaki itu bersorak-sorai merayakan keberhasilan mereka.

“udah pada capek blom?” tanya Aryo.
“dikit........... baru pemanasan...” kata Tomi.
“gile lu ndro...... badan udah lepek gini masi pemanasan....” Sandi memprotes.
“kalo masih kuat, kita cepet nyusun bambunya nih..... enggg..oh iya... nyambunginnya gimana tom?” tanya Aryo.
“halah.... ya tinggal disambung aja, kulit bambunya di buang dulu biar nempelnya kuat... ujung bambu yang kecil dimasukin ke pangkal bambu yang gede.... simple...”jawab Tomi.
“ohhh.... trus di samping bambu-bambu itu nanti di tahan pake batu gitu ya?” tanya Erik
“bisa....... tapi lebih bagus kalo bambunya bisa ditanem ditanah, biar gak goyang-goyang.....” Tomi menambahkan penjelasannya.
“okeeee......... semangat..... kita selesaiin hari ini juga...” Sandi berseru.

“nah.... oke ladies........... sekarang tolong buatin tirai buat nutupin kamar mandi..... cowo-cowo mau nyelesaiin kerjaan ini sebelum sore.....” Aryo menoleh kearah para perempuan.
“oke.... disini serahin aja sama kita.... kalian fokus aja...” kata Indah.
Gadis itu mendekatkan dirinya kepada Aryo dan mengecup mesra bibirnya.

“hati-hati ya sayang.......” Indah berkata dengan manja.
“iya.... kalian disini juga waspada ya..... Erik sama Rafi, kalian jaga disini.... gue percayain semua anggota yang lain sama kalian.....” kata Aryo.
“oke..... kalian hati-hati guys..... tetap waspada oke...” kata Erik.

Satu persatu bambu itu segera mereka bawa.
Rangga dan Aryo bertugas menggali tanah dengan dua batang besi yang mereka gunakan melubangi bambu, sementara Tomi dan Sandi kebagian tugas untuk mengangkut dan memasang bambu-bambu itu didalam lubang galian yang sudah dibuat.


~***~

Waktu berlalu, hari sudah mulai beranjak sore.
Dua jam sudah mereka bekerja merangkai bambu-bambu itu sampai keair terjun. Mereka harus mencari permukaan air yang lebih tinggi agar air dapat mengalir kearah pemukiman mereka.
Beberapa kali mereka disulitkan oleh batu yang menghalangi jalan, namun berkat kerjasama tim yang kompak, mereka mampu melalui rintangan itu.

“sepuluh meter lagi guys.... ayo semangat... udah mau sore nih...” Aryo berseru memberi semangat kepada rekannya.
“huffffff.......... tenang bro.... masih kuat kok....” Tomi menimpali.
“Erik sama Rafi juga udah selesai bikin kamar mandi kayaknya....” kata Sandi.
“serius? Kaya apa bentuknya?” tanya Aryo.
“gak jauh beda sama pondok... cuma lebih kecil aja.....”

“bruk.....”
Bambu terakhir mereka jatuhkan. Salah satu ujungnya kini tercelup kedalam air sungai.
Air telah mengalir melewati rongga didalam bambu itu hingga keluar di ujung yang akan disatukan dengan rangkaian bambu-bambu lainnya.

“sretttt.........sreet....”
Tomi dan Sandi memutar-mutar bambu itu agar menancap kuat dengan bambu yang lainnya.

“krucuk..krucukkkkk....krucukkk....”
Suara aliran air dalam bambu itu terdengar.

Mereka serempak melakukan toss untuk merayakan pekerjaan yang telah usai.
Keempat pemuda itu kini berjalan menuruni tanah yang landai menyusuri rangkaian bambu-bambu itu. beberapa bambu yang mereka pasang ada yang kurang rapat, mereka segera membetulkannya.

Dua puluh meter sebelum mencapai pemukiman. Mereka dapat mendengar sorak-sorai dari kawanan yang berada disana. Sepertinya pekerjaan mereka berhasil, kini air sudah mengalir dengan deras melalui rangkaian bambu itu.
Ditengah pemukiman itu kini terdapat bangunan baru. Sebuah pondok kecil dimana rangkaian bambu itu bermuara. Sebuah batu besar diletakkan ditempat kucuran air dalam pondok itu. dari sisi pondok, air mengalir melalui parit kecil sedalam sepuluh sentimeter yang digali oleh Erik dan Rafi.

“yaaaayyyyyyyy.......... akhirnya bisa mandi....”
“seneng banget rasanya..........”
“makasih ya cowo-cowo...... sekarang kita bisa mandi dengan tenang........”
Kata-kata para perempuan itu seakan mengusir rasa lelah yang dirasakan oleh keempat pemuda yang baru saja sampai.

“haha.... yah.. kita juga ikut seneng...... kalian ucapin makasih sama Tomi tuh... ini kan idenya dia...” kata Aryo.
“makasih banyak Tomi..........” seru para gadis bersamaan.
Wajah Tomi bersemu merah, ia hanya tersenyum tanpa tau harus berkata apa.

Para gadis segera mandi terlebih dahulu.
Mereka berempat mandi bersama-sama dalam pondok kecil yang ditutupi oleh tirai rumput kering, setelah itu ketiga tante segera menyusul. Barulah para lelaki mandi bergantian.
Sisa makanan yang tinggal sedikit segera mereka masak. Jika tidak, pastilah bahan makanan itu segera membusuk dan tak enak lagi dimakan.
Sore itu, mereka menghabiskan waktu dengan suka cita.

~***~
Malam menjelang.
Satu persatu orang-orang telah meninggalkan perapian yang berkobar dan masuk kedalam pondok.
Aryo dan Rangga kini siap melakukan kewajiban mereka untuk berjaga malam itu.
Satu-satunya yang belum beranjak masuk selain mereka bertiga, adalah tante Sarah yang masih asyik menulis diatas buku kecil yang setia berada dibalik bajunya.

“nulis apaan sih tante? Asik banget kayaknya....” kata Aryo.
“iya tante, kok belom tidur..” Rangga menimpali.

Tante Sarah segera menutup buku itu, sama seperti biasanya jika seseorang menanyakan tentang hal itu.
“ohhh... cuma buku harian.... gak penting kok....” wanita paruh baya yang selalu mengenakan cadar diwajahnya itu segera menyelipkan buku dibalik bajunya.

“ohhh kirain apa.. pantesan tiap hari ditulis....” kata Aryo.
Tiba-tiba Indah keluar dari pondok dan duduk disamping Aryo.

“kok keluar lagi...? kamu tidur aja didalam....” kata Aryo.
“ngak bisa tidur... mau disini dulu sama kamu.....”
Dua insan itu segera berpagutan, seakan tak melihat bahwa ada dua orang lain bersama mereka.

Rangga yang tadinya duduk didekat Aryo kini bergeser menjauh.
“kenapa?” tanya tante Sarah.
“haha... takut ganggu tante...” jawab Rangga.

“mmhhh..... sayang... aku lagi kepingin... masuk sebentar yuk...” ajak Indah.
“ehh... jangan, sekarang giliran aku jaga....”

“ehemm.........” Rangga berdehem.
“apa sih lo.... sirik aja de....” kata Indah. Kedua insan itu bergeser agak menjauh.

“liat tuh tan.... kayak gak ada orang lain aja.....” kata Rangga.
Tante Sarah hanya tertawa kecil dibalik cadarnya.
“tante....?” tanya Rangga.
“hmmm.... ada apa?”
“mau nanya aja.....” Rangga memandangi wajah tante Sarah.
“tanya aja..... kalo bisa pasti tante jawab...”

Rangga sejenak nampak ragu, namun ia tetap memberanikan diri bertanya.
“kenapa cadarnya gak pernah dilepas? Emang lukanya parah banget?”
“ohhhh..... lumayan lah....”
“mana? Coba liat?”
“jangan ahh.... tante malu.... muka tante jelek...” tante Sarah memalingkan wajahnya.

“mmmhhhh... sayang, aku udah gak tahan....” Indah mendesah.
Disisi lain api unggun yang berkobar. Sepasang muda-mudi itu sedang memadu kasih. Beratapkan langit, beralaskan tanah, apa yang mereka lakukan kini sudah jauh dari sekedar bercumbu.

Jemari tangan Aryo kini sudah bermain dibalik kaus jersey pemberian Naya yang dikenakan Indah. Mereka merebahkan diri, menghindari dari pandangan orang lain.
“aduh.... mulai panas......” Rangga terlihat salah tingkah melihat Aryo dan Indah yang sedang bermesraan. Ia merebahkan dirinya agar tidak memandangi mereka bercumbu.
“kenapa?” tanya tante sarah.
“ngak tante.... cuma gak pengen ganggu mereka aja.....” kata Rangga seraya tersenyum.
“ohhh kirain apa...... bener juga” tante Sarah ikut merebahkan dirinya disamping Rangga.

Diatas mereka kini terhampar lautan bintang-bintang.
Langit itu seakan hidup, bagai jutaan kunang-kunang yang beterbangan dilangit malam.

“sebenernya sih tante juga tertekan make cadar terus...” tante Sarah berkata pelan.
“yaudah, buka aja tante.... toh cuma aku yang liat....”
“haha.... paling nanti kamu ketakutan...”
“ngak.... suer... janji deh.... aku udah penasaran pengen liat muka tante kayak apa... masa sih udah kenal lama, tapi ngeliat mukanya aja gak pernah...”

Tante Sarah kini berbaring menyamping, memunggungi pondok tempat orang-orang beristirahat.
“yaudah..... kamu boleh liat.... tapi jangan lama-lama, tante takut ada yg ngintip....” perlahan, tangan tante Sarah membuka cadar yang menutupi wajahnya.
Rangga memandang dengan gugup, ia sudah siap melihat pemandangan mengerikan jika saja luka diwajahnya separah yang konon dikatakan.

Namun, setelah tante Sarah membuka cadarnya, yang terlihat kini justru raut wajah seorang wanita cantik. Di pipi kirinya memang ada bekas luka yang membuat kulit wajahnya mengkerut. Tapi selain itu, segalanya seakan sempurna. Hidungnya mancung, kulitnya putih, dan senyumnya begitu menawan.
“astaga..... tante cantik banget ternyata....” kata Rangga.
“ihh... jangan ngeledek, muka rusak gini dibilang cantik.....” tante Sarah segera menutupi wajahnya kembali.
“suer tante..... emang sih ada luka dikit, tapi selain itu tante cantik banget....”
“ahhh udah ah... jangan bahas itu lagi....”

Rangga menggeser posisi tidurnya mendekat kearah tante Sarah.
Dipandanginya mata tante Sarah yang terlihat sayu. Rangga mengulurkan tangannya kewajah yang tertutup cadar itu dan perlahan membuka tabir yang menyelimutinya.
Wajah tante Sarah kini kembali nampak dimatanya.
“udah.. tante malu.......” namun tante Sarah tak menghentikan Rangga.

“Ssssshh....mmmhh........ enak sayang... iyaahh... disitu.... jilatin memek aku....” Indah meracau.
Perkataan itu terdengar ditelinga Rangga dan tante Sarah.

Aryo kini sedang menjilati vagina Indah.
Kepalanya dijepit erat oleh kedua paha yang tak terbalut oleh busana itu.
“aaaaaahhhhhh....aaakkkkkhhhhh...mmmhh.....oooohhh hhhhhh...”
Indah melenguh panjang. ia telah mencapai orgasmenya yang pertama.

“tante..........” Rangga berseru.
“hmmmm?? Kenapa?” tante Sarah memandang lekat-lekat wajah pemuda itu.
“mereka kayaknya keenakan banget....” mata mereka bertemu.
“emmm... terus.??”

Sesaat Rangga ragu, tapi akhirnya ia mengulurka tangannya menyentuh bagian pipi tante Sarah yang terluka.
“aku liat, selama tante disini, tante blum pernah ML...”
Sarah menepis telapak tangan Rangga dengan halus.
“jangan.......”

Namun, alih-alih menghentikan aksinya, telapak tangan Rangga kini meraba pundak tante Sarah.
“kenapa tante?”
“Dara mau kamu kemanain? Dia kan pacar kamu..... lagian, tante ini udah tua, mukanya rusak...” tante Sarah berkata lirih, namun ia tak menolak sentuhan yang dilakukan oleh Rangga.
“ohhh..... kirain apa...” Rangga tersenyum kecil.
“Dara sama aku ngak pacaran tante.....gak pernah ngapa-ngapain juga..... tante liat sendiri jutek gitu..... kita cuma temenan doang... beda sama Sandi.... dia sama Nasha mah emang pacaran...”

“ahhhhhh...ahhhhhhhh.........mmmhh..... terus sayang, masukin yang dalem....” Indah kembali meracau. “oohh.....shh...ahhh..ahhh..ahhhhhhh enak banget memek kamu sayang...” Aryo pun tak mau kalah.
Rangga dan tante Sarah seketika bangkit dan melirik kearah Aryo dan Indah yang kini sudah bertindak lebih jauh. Mereka bersetubuh dalam posisi misionaris. Tubuh Aryo menindih Indah, pinggangnya dijepit oleh sepasang paha yang sekal dan berkulit kencang.
Indah terbaring ditanah, kaus yang ia pakai sudah tersingkap keatas. Payudaranya yang membusung, kini bergerak maju-mundur seiring dengan gerakan Aryo.

Tante Sarah dan Rangga menelan ludah melihat aksi mereka.
Mereka kembali merebahkan diri ditanah.

“tante...........” Rangga kembali merajuk.
“apa?” tante Sarah menyahut.
“masa tante gak pingin kaya mereka??” kini telapak tangan Rangga mengusap pinggang tante Sarah. Perlahan, usapan itu bergerak menyusuri lekuk tubuh tante Sarah.
Posisi mereka kini sangat berdekatan.
Entah siapa yang mendekat, namun kini jarak antara mereka tak sampai sepuluh senti.

“nnngghhh...Rangga geli.... udah.....” tante Sarah memejamkan matanya, kedua tangannya berhimpit di depan dadanya. Telapak tangannya ditumpuk sebagai bantal yang menyangga kepalanya.
“emang aku bukan tipe yang tante suka ya?” tanya Rangga.
Jemari tangannya kini sudah merayap masuk kedalam pakaian yang dikenakan tante Sarah.

“mmmmhhhhhh....b-bukan gitu..ohhhh Rangga.... jangan...” kendati berkata seperti itu, namun tante Sarah tetap membiarkan Rangga menyentuh tubuhnya.
“aku kurang ganteng yah tan?”
Rangga mulai menyentuh bagian bawah payudara tante Sarah dengan ujung jarinya.

Tante sarah tampak gemetar. Kedua pahanya dirapatkan.
“iya kan tante... pasti aku kurang ganteng.......”
Wajah Rangga semakin mendekati wajah tante Sarah. Ia dapat merasakan hembusan nafas wanita itu dengan jelas.
Tangan Rangga semakin nakal.
Tak mendapat penolakan yang berarti, ia semakin berani untuk menyentuh bongkahan payudara dibalik busana itu dengan telapak tangannya.

“ssssshhhh....mmmhh..... udah Rangga.....j-jangan.....mmhhhhh....”
Desahan yang keluar dari bibir tante Sarah semakin menjadi-jadi ketika Rangga memilin puting susunya yang telah mengeras dengan dua jari.

“apa jangan-jangan tante nganggap aku gak bisa muasin tante??”
Jarak antara wajah mereka semakin dekat. Tante Sarah tak dapat lagi menyembunyikan hasratnya yang semakin menggebu.
“nnngghhh....bu-kan...gitu....hhhaaaahh......aaahhh....”

“terus??”
Rangga semakin menggila. Ia mengeluarkan tangannya dari balik pakaian yang dikenakan tante Sarah. Kemudian ia menarik sebelah tangan tante Sarah. Jemari lembut milik wanita itu kini ia sentuhkan pada penisnya yang mengeras dibalik celana.

“apa jangan-jangan tante pikir kontol aku kecil??” Rangga semakin jauh menggoyak pertahanan wanita paruh baya itu.
“nnngaakk.... kontol.kam-mu.... gede.....aaaaaahhhh.......” Tante Sarah sedikit memekik ketika Rangga menyentuhkan tangan pada selangkangannya.
Vagina berbalut busana itu kini ditekan dengan kuat oleh jemari Rangga.
Sesekali ia menggesekkan tangannya pada vagina itu.

“nnnnngggggg.....aaaaahhh...udah.....Rangga.....ud ahh....ahhh..ahhhh”
Bibir tante Sarah menolak. Namun jemari tangannya malah meremas penis Rangga yang mulai mengeras.

“jangan tolak aku tante..... aku juga udah lama banget gak begituan..... mau kan?”
Jemari Rangga kini mulai menyelusup dibalik rok pendek yang dikenakan tante Sarah. Dengan lembut, ia menggesekkan jemarinya pada lipatan vagina tante Sarah.

“Rang-ngga....ahh...... j-jangan..... tante....malu....”
Tante Sarah telah dikuasai nafsu, tanpa sadar ia membuka kedua pahanya lebar-lebar. Membiarkan jemari Rangga bebas bermain di vaginanya yang ditumbuhi sedikit bulu.

“tante cantik...... tubuh tante bagus......” Rangga kembali memainkan perasaan tante Sarah. Ia ingin agar wanita itu tenggelam dalam buai kata-kata dan sentuhan penuh nikmat sebelum ia melancarkan aksinya lebih jauh.

“Aaaaaaahhhhh.....terus sayang...aku mau....nyampe....ahhhhhhh..ahhhh....” racauan Indah semakin menjadi-jadi.
Aryo kini menyetubuhinya dalam posisi doggy style.
Payudara ranum milik mahasiswi cantik itu berayun-ayun dibawah tubuhnya.

“ahhhhhh...ahh..ahhh...enak sayang? Ahhh...ahhh......” Racauan Aryo tak kalah binal.
“nnghhh.....ahhhh.....iyahhh......puasin aku sayang.......ahhhh....”

“plok...plokkk..plok...plokkk....”
Suara persetubuhan itu semakin menggoyahkan pertahanan tante Sarah.

Wanita itu kini terbaring disamping Rangga. Cadar yang menutupi wajahnya telah terlepas. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakannya.
Kendati pakaian itu tak dilucuti sepenuhnya, namun Rangga dapat melihat keseluruhan lekuk tubuh sensual milik tante Sarah.

“tetek tante gede banget......... kulit tante mulus...”
Rangga menghirup napas panjang, menikmati aroma tubuh tante Sarah. Ia mendekatkan hidungnya hingga bersentuhan dengan perut tante Sarah. Perlahan ia menggerakkan wajahnya menyusuri lekuk tubuh wanita itu.

“tante udah tua....aahhhhhh.....nnghhh...... tetek tante udah kendor....ahhh...ahhh”
Dalih macam apa itu, jelas-jelas Rangga dapat melihat betapa besar payudara milik tante Sarah. Puting susunya telah mengeras. Di posisi tante Sarah yang terbaring, payudara itu menjulang keatas. Bagai gunung yang tinggi dengan puncak berwarna kemerahan.

“mmmmhhhh......menurut aku tante sexy banget...... tetek tante sekel dan kenceng......ahhh... aku mau isepin tetek tante.......”
Rangga menciumi belahan dada wanita itu. perlahan, ciuman itu bergulir memutari bukit kembar didepan wajahnya.

“nnnnnngggggghhhh....ahhh......Rang...gga...tante. .malu......”
Tante sarah merangkul leher Rangga dengan sebelah tangannya. Kepala Rangga dibenamkan pada sebelah payudaranya.

“aaaaakkkkkkkhhhh.....Rangga...aahh....ahhhhh...ah hh....” desahan nikmat itu kembali terdengar dari bibir tante Sarah.
Rangga kini sedang memainkan jari tengahnya di klitoris wanita itu.

“boleh kan aku isepin tetek tante??”
“mmmmmmhhhhh......hhhahhhh..”
Tante Sarah tak menjawab. Ia hanya mengangguk sedikit.

Merasa diberi lampu hijau, Rangga segera memainkan lidahnya di puncak gunung kembar itu.
Lidah itu menari memutari puting payudara kemerahan itu sebelum ia melumatnya.

“mmmhhhhhhhhh......ahhhhhh.....ahhhh.....”
Tante Sarah meracau hebat. Dengan sebelah tangan, tante Sarah menurunkan resleting celana Rangga. Kini, penis Rangga sudah keluar dari kandangnya. Penis yang mengeras itu digenggam dengan kuat oleh tante Sarah, seraya dengan perlahan ia menggerakkan jemarinya mengocok penis yang menegang itu.

Vagina tante Sarah yang sudah basah oleh cairan kenikmatan, membuat Rangga tak kesulitan untuk memasukkan jari tengah dan jari manisnya kedalam liang kenikmatan itu.
Dengan lembut ia menggerakkan jemarinya. Wajah Rangga terbenam diantara kedua payudara tante Sarah.

“oooohhhhhhh...sayangg......aku mau...keluar...aaaaaahhhhh..ahhh...ahhh....”
“aaarrghh.....aku juga.....ahhhh...ahhhhhhhh....”
Kedua insan itu kini terlibat bergumulan panas. Aryo menghujamkan penisnya sedalam mungkin, namun Indah yang sudah dikuasai nafsu tetap saja merasa kurang. Gadis itu memaju-mundurkan tubuhnya seirama dengan gerakan Aryo, berharap penis itu menyodok vaginanya lebih dalam lagi.
“Rangga....ahhhh....tante udah...gak kuat.........mmmhh.....ahhh...ahhhh..ahhhh”
Tante Sarah kini menggerakkan pinggulnya. Sepertinya ia akan segera mencapai orgasmenya yang pertama.

Rangga mempercepat gerakannya mengocok vagina itu.
Dengan rakus, ia melahap bongkahan payudara itu bergantian. Lehernya di dekap kuat oleh lengan tante Sarah.

“ohhhh.....terus sayang....ahhhhhhhh.....ahhhhhhhhhhh......” Indah melenguh panjang.
Aryo merasakan penisnya dibasahi oleh cairan hangat.
“aahhh...ahhh..ahhhh...aaaaahhhh....”
Aryo semakin mempercepat gerakannya.

“mmmhh.....tante...mau kelua...aarr...ahhhhhh...ahhhhhh...ahhhhhhhhhh.... ” tante Sarah melenguh panjang.

“ahh...aaaaaaaaaaaaaaahhhhhh....” Aryo membenamkan penis itu sedalam mungkin
“croooott....crooott...crooottt.....”
Beberapa semburan sperma mengalir memenuhi vagina Indah.

Disaat yang bersamaan, jemari Rangga kini dibasahi oleh cairan hangat yang keluar dari vagina tante Sarah. Wanita paruh baya itu telah menggapai orgasme pertamanya.

“aaakkkhh....”
“plop...” Aryo mencabut penisnya yang masih menancap pada vagina Indah.
Pemuda itu merebahkan diri di tanah. Kehabisan tenaga dan napas. Aryo kini hanya terpejam menikmati penisnya yang masih berkedut pelan.

Rangga bersiap memulai aksi yang sebenarnya.
Pemuda itu kini menindih tubuh tante Sarah yang terkulai lemas karena orgasme yang pertama.

Dengan tangan kirinya ia mengarahkan penisnya kemulut vagina yang telah licin itu.
“sreeetttttt...........”
Dengan sekali tekanan, penis itu menyeruak masuk seluruhnya.

“aaakkkhhhhhhhhhhhhh.........” tante Sarah memekik tertahan ketika penis sepanjang 15cm dengan diameter 4cm itu menyeruak masuk kedalam liang vaginanya.
“Ohhhhhh...gila......enak banget memek tante...ahhh....ahhh......” Rangga mulai meracau.
“ahhh...ahhhhhhhhh.....terus Rangga....ahhhh...ahhhh”

Indah telah bangkit dari posisi tidurnya.
Dengan rasa ingin tau yang besar, ia mengamati detik-detik disetubuhinya tante Sarah.

Tampak belum puas menikmati permainan itu, Indah kini mengusap-usap vaginanya dengan tangan. Aryo ikut bangkit, pemuda itu memeluk tubuh Indah dari belakang.
Jemari tangan Aryo kini menggantikan Indah mengusap vaginanya.
“kamu masih mau sayang??” Aryo berbisik di telinga Indah. Tangan yang lainnya sudah meremas lembut payudara Indah.
“hihi.....iyahh......”

Indah menengok kesamping, mendekatkan wajahnya dengan wajah Aryo.
Sesaat kemudian, mereka telah berpagutan. Tubuh Indah tenggelam dalam dekapan pemuda itu. payudara dan vaginanya sedang menerima rangsangan yang membuat hasratnya kembali bangkit.

Penis Aryo belum kembali bangkit setelah orgasmenya yang pertama.
Indah yang menyadari itu segera merebah diatas paha Aryo dan melumat penisnya.

“oooohhh...... terus sayang.... enak banget blowjob kamu...ahhh...”
Aryo kembali meracau, menikmati tiap detik ketika lidah Indah merayap dibatang penisnya yang masih terkulai.

“aaaahhhhhh...ahhhh....ahhhhhhh........” racauan tante Sarah semakin menjadi-jadi.
Rangga kini menusuk vaginanya sambil menikmati payudara tante Sarah degan rakus.
“mmmhhhhhh..... tetek tante nikmat banget.....mmmhhh.. slurppp....”

“iyaaahh....... isepin terus Rangga...ahhh....ahhhh......ahhh”
Tubuh tante Sarah bergerak maju mundur. Punggungnya bergesekan dengan tanah. Jika saja tak ada pakaian yang menghalangi, mungkin punggungnya telah dipenuhi oleh luka lecet karena bergesekan dengan tanah yang kering.

“plok...plokk...plokkk....”
Suara itu menggema dalam udara bebas.
Dinginnya malam itu telah tergantikan oleh kehangatan tubuh dua insan yang sedang bersenggama. Takkala nafsu sudah membara, tak ada ‘apapun’ yang dapat menghalangi seseorang untuk meraih kenikmatan itu.

Indah mendorong tubuh Aryo merebah ketika penis pemuda itu telah mengeras kembali.
“uughh.... kenapa sayang??” tanya Aryo.
“sekarang giliran aku yang ambil alih....” Indah merayap naik keatas tubuh Aryo.
Ia menggerakkan pinggulnya, mencoba mengarahkan penis itu tanpa menyentuh.

“mmmmmhhhhh...........” Indah mendesah tertahan.
Ia menekan pinggulnya dengan perlahan. Penis itu kembali bertandang di kandang lawan.
“aaaahhhh...shhhhh..ahhh...ahhh...ahhh..ahhh”

Indah mulai bergerak. Ia bertumpu pada sepasang tangannya dan menggerakkan pinggulnya naik turun.
“sreet...sreet...sreett.......jjebbbbbb.....”
Sesekali, Indah sengaja menjatuhkan pinggulnya agar mendapat penetrasi yang sempurna.
Penis itu menancap dalam. Indah memutar-mutar pinggulnya perlahan, memainkan penis itu bagai sebuah tongkat kemudi jet tempur.

“ahhhhh...ahhhh...ahhhh..... stop Rangga.... tante mau pipis.....ahhh...” tante Sarah meracau.
“pipis ajahhh..tanteeee...ahhh..ahhhh....” Rangga sama sekali tak mengurangi tempo gerakannya.
“mmmhh...... seriiussss ini....ahhhhhh....ahhhhh........” tubuh tante Sarah menegang.

“aaaaaakkkhhhhhhh.......” tante Sarah memekik.
“sseeeerrrrrrrrrrr...........”
Cairan itu menyemprot disela tubuh mereka yang terus berhimpitan.
Seakan tak terganggu oleh cairan yang membasahi tubuh mereka, Rangga tetap melanjutkan hujamannya.

“isepin toket... akuhhhh sayang... ahhhh....aahhh...aaaaahhh....” Indah meracau.
Gadis itu menyodorkan kedua payudaraya kewajah Aryo.

Seperti orang yang kelaparan, Aryo melahap bongkahan payudara itu dengan rakus.
Sesekali ia menggigit puting Indah dengan lembut, “aaaahhhh....enak sayang....”.
Aryo paham betul apa yang diinginkan oleh kekasihnya, Indah memang senang diperlakukan dengan sedikit nakal.
Biasanya Indah mampu mencapai hingga tiga orgasme dalam satu permainan dengan cara itu.

“crekk..creekkk..creekk...”
Gesekan antara penis Rangga dan vagina tante Sarah menimbulkan suara berdecak karena cairan yang membasahi tubuh mereka.
Tante Sarah telah hanyut dalam buat kenikmatan. Tubuhnya diam, tak sanggup mengimbangi permainan yang dilakukan Rangga. Wanita paruh baya itu hanya dapat mendesah

“uugghhhh....sayang........ aku udah mau keluar ahhh.....” kata Aryo.
“tahan dulu.....ahhh...... cepet banget.......” Indah memprotes.
“abis....kamu bikin.....akuhhh... gak nahan....ahhhhhhhh..........ahhhh......”
Indah kembali bergerak dengan liar. Tubuhnya naik turun dengan cepat.
Cipratan cairan kewanitaan itu menempel di paha Indah. Vaginanya mulai berdenyut.

“ahhhhhh...ahhhhh....ahhhh........ terus Rangga.... tante udah mau nyampeeee.....ahhh...”
“aagghhhh...ahhh...aku..jugaaaahhhhhhhhh...ahhhhhh hh..ahhhhhhhhhh.....” Rangga menggenjot tubuhnya lebih keras. Lubang vagina tante Sarah mengembang dan menyempit dengan cepat.

“aaakkhhhh..aaakkh...ahhhhh..ahhhh.......sedi kit lagi beib.... ta..haaann.....Aaaaaaaa... ahhhhhhhhhhh....” tubuh Indah menegang. Ia menekan pantatnya dengan kuat.
Aryo merasakan remasan-remasan kuat pada batang kejantananya.
“Aaaaagghhh...arghhh......ahhh..ahh”
Aryo kembali menggenjot tubuh Indah yang terkulai diatasnya. Tubuh gadis itu terlonjak-lonjak karena gerakan Aryo.

“sssssttt..ahhh...ahhhh..ahhh....enah Rangga.....mmh.....AAaaaaaaaaaaaaahh......” tante Sarah telah melenguh panjang. ia segera menyusul orgasme yang telah didapatkan oleh Indah.
“aaaaahhhh....ahhhhhhhh....ahhhhhhhhhhhhhh........ ..”
Rangga menghujamkan penisnya sedalam mungkin.

“crrroooooootttttt........crrrrooottt.........crrr ooottttt................”
Semburan sperma membasahi vagina kedua wanita itu. Aryo dan Rangga mencapai orgasme itu bersamaan.

~***~

“buset..... itu mereka nekat banget ngesex diluar....” kata Tomi.
Ia sedang mengintip sebab keributan yang ia dengar dengan telinganya.

“hah?? Mana-mana????” Naya menyeruak, berusaha merebut tempat Tomi.
“buset.... masa sih?”

Diluar, keempat insan itu terkulai lemas.
Mereka merebah saling berpelukan.

“gila....Dara... itu si Rangga maen sama tante Sarah...” kata Naya.
“lhoo...emang kenapa?” tanya Dara. Ia menyembulkan kepalanya diatas kepala Naya.
Mereka kini berbagi tempat untuk mengintip dari celah tirai rerumputan yang terbuka vertikal.

“bukannya Rangga itu cowo lo?” tanya Naya.
“bukan kok...........” kata Dara.
“bukanya kata Sandi kalian deket.....?” Tomi ikut bertanya.
“cuma temen biasa, gak ada yg spesial.....” jawab Dara.

“emang gak pernah ngesex???” tanya Naya.
“idihhhhh.......... sama dia???? Nooo..nooo..nooooo” Dara menggeleng

‘akhirnya ada satu orang yang waras.....’ batin Tomi.

~***~

Malam itu kembali mereka lalui dengan ‘tenang’. Well, selama yang dimaksud dengan tenang itu diluar kegaduhan yang terdengar sepanjang malam.
Indah dan tante Sarah menemani kedua pemuda itu berjaga hingga larut malam.
Lewat tengah malam, mereka baru kembali kedalam pondok untuk beristirahat.

Tomi dan Sandi kali ini menjadi orang pertama yang bangun pagi itu.
Mereka berdua berjalan kearah Aryo dan Rangga yang terbaring lemas.

“berapa ronde bro??? lemes banget kayaknya?” tanya Tomi.
“pokonya mantabb......” Aryo yang berbaring telungkup, berbicara tanpa menoleh.
“hahahaha....... gila, gue gak nyangka banget lo nekat ngajakin tante Sarah maen.....ck ck ck...” Sandi mengacak-acak rambut Rangga. Rangga hanya melemparkan senyum lebar hingga hampir semua giginya terlihat.

Hari itu, Tomi, Sandi, dan Erik memimpin tim pencari makanan. Seluruh anggota wanita ikut bersama mereka. Yah, kecuali Indah dan tante Sarah yang sedang kelelahan sepulang dari medan tempur semalam. Kedua wanita itu menemani Rafi menyiapkan perapian.

“sreekk...srekk....srekkk..”
Langkah-langkah mereka berbunyi ketika menembus semak belukar.
Tak ada lagi cukup makanan yang tersedia di pinggir sungai. Mereka memutuskan untuk mencoba mencari makanan lagi dihutan.
Ketiga lelaki itu masing-masing memegang senjata ditangan mereka.

“untung ya... tadi malem gak ada kejadian lagi...” kata Naya.
“iya.... kayanya kita tetep harus tidur rame-rame biar aman.....” Tomi menyahut.
“lahhhhhh...... masa gue selamanya mesti tidur sama Erik.... gue masi normal nih.....” kata Sandi.
“setan lo... lo pikir gue homo......” Erik menimpali.
“iya tuh...... gue sama Sandi kan pengen mesra-mesraan lagi.....uhhh.. iya kan sayang...” Nasha merangkul tangan Sandi.
“siang-siang aja sih maennya... pas keadaan lagi aman....” Tomi menimpali.
Dara dan kedua tante yang berada di barisan belakang hanya tertawa kecil.

Cukup jauh menjelajah hutan, mereka menemukan sebuah pohon jambu yang sedang berbuah. Sandi dan Erik segera memanjat pohon itu sementara Tomi menjaga para wanita dibawah yang memunguti buah-buahan yang dijatuhkan.
Dua keranjang kini telah dipenuhi oleh buah-buahan itu.
Sambil berjalan kembali, mereka memetik jamur dan daun pakis untuk dimasak.

Keberuntungan rupanya sedang berpihak pada mereka.
Setelah dua hari tak mencari makan dihutan, ternyata pohon dan jamur itu bersemi dengan cepat. Mereka juga menemukan semak-semak yang ditumbuhi buah arbei hutan berwarna merah.
Tampaknya, makanan hari ini akan didominasi oleh buah-buahan.

~***~

Matahari semakin meninggi. Hari mulai siang, mereka segera kembali kepemukiman untuk mempersiapkan makanan.
Mungkin tak ada yang memperhatikan gerak-gerik Naya, selain Tomi tentunya.

Sedaritadi, Naya selalu melayangkan pandangan kesudut-sudut hutan untuk mencari tanda-tanda jika pembunuh itu benar-benar bersembunyi disana.
Namun nihil, tak ada jejak kaki, tak ada tanda pondok untuk berlindung.

Ia semakin yakin dengan hipotesisnya bahwa pembunuh sebenarnya ada diantara kawanan mereka. Namun yang menjadi masalah adalah, bagaimana ia membuktikan dugaannya.

Tomi dan Naya berjalan di barisan paling belakang ketika rombongan itu kembali ke pemukiman.
“gimana kak? Ada petunjuk?” Tomi berbisik pelan ditelinga Naya.
Naya tak menjawab, ia melirik kearah Tomi dan hanya mengangguk. ia tak ingin seorangpun mencurigai bahwa dirinya mengetahui sesuatu.
Insting Tomi memberitahu bahwa ini bukanlah saat yang tepat untuk mengajukan pertanyaan lanjutan.

Ia hanya terdiam dan terus berjalan.
Setidaknya ia tenang, karena Naya telah mengetahui sedikit lebih banyak.

“ayo dong....cepetan jalannya.... gue udah gatel nih pengen mandi....” Nasha merajuk.
“mandi sama-sama lagi yuk........” kata Dara.
“mau dong ikutannn....... “ Sandi menimpali.
“NGAKKK.......” Nasha dan Dara menyahut bersamaan.
“tega......” Sandi tertunduk lesu.
Seperti biasa, kedua tante itu hanya tertawa kecil bersama-sama. Mereka memang jarang berkomunikasi dengan anggota kawanan. Mungkin malu dan takut diejek karena dirinya seorang pedofil.

~***~

Asap putih mengepul.
Tante Sarah dan Indah sedang asyik memasak. Sementara Rafi sedang membelah kayu bakar dengan sebuah golok besar. Kayu-kayu itu ia tumpul di samping pondok yang ditempati olehnya. Sebuah atap pendek tanpa dinding dibangun disana. Atap itu didirikan untuk mencegah kayu bakar menjadi basah jika hujan turun.
Namun sepertinya sia-sia.
Semenjak tsunami besar itu melanda, hujan belum pernah turun di pulau itu.

Tomi saat ini sedang membelah jambu yang ia ambil dari dalam keranjang menjadi empat bagian samarata. Buah yang sudah siap disajikan itu ia letakkan diatas selembar daun jati lebar berbentuk oval.
Saat itu para perempuan sedang asyik mandi bersama didalam bilik kecil.
“rasainnn.......kenaaa....”
“ihhhhh jahat..... awas ya.... bales lohh....”
“kyaaaaa.........”
“hahaha........”

Racauan dan candaan itu terdengar jelas dari luar.
Sampai-sampai, Rafi gagal mengenai sebatang kayu yang sedang dibelahnya. Golok besar itu menancap di batang pohon tua tempat ia meletakkan batang kayu sebesar lengan orang dewasa.

“itu cewe-cewe kenapa sih.....” Rafi terdengar gusar.
“hahah... emang gitu.... cewe tuh suka heboh kalo udh ngumpul...” kata Erik.
“emm.... ngomong-ngomong Sheila itu kayak gimana orangnya?” tanya Tomi.

Tomi kembali teringat tentang cerita Erik saat malam terulangnya tragedi itu.
“ohhh dia....”

Tomi mengangguk.

“dia segalanya...... gak ada yang bisa gantiin dia dihati gue.....” jawab Erik
Pemuda itu terdiam sejenak.
“apapun bakal gue lakuin buat bisa ketemu sama dia..... sekali lagi.....” lanjutnya.
“hehehe.... lu sedikit lebih beruntung rupanya....” kata Tomi. Ia menundukkan wajahnya, memandang kearah buah jambu berwarna hijau yang sedang ia belah.
“kenapa? Bukanya lu punya Naya....?”

Tomi menghela napas sejenak.
“rasa gue buat Naya itu beda.....” kata Tomi.
“bedanya.........?” Erik mengerling kearah Tomi yang sedang tertunduk.

“gue itu cinta sama Naya dari gue lahir..... dia itu kakak gue satu-satunya, dia baik, pengertian, ramah, perfect deh.... tapi, rasa cinta gue cuma sebatas saudara.... gue belum pernah punya seorang cewe yang teramat berarti, seperti Sheila dimata lu....” jawab Tomi.
Ia kembali membelah jambu yang digenggamnya, lalu meletakkannya diatas daun jati yang ia lebarkan ditanah.
“yahh.... emang gak bisa disamain.... tapi lu kan pernah ngesex sama Naya..” kata Erik.

Raut wajah Tomi kembali berubah.
“s-siapa yang bilang?”
“Aryo....” kata Erik santai.
“dia tau darimana?”
“ohhh.... berarti bener ya? Gue gak ngerti, dia tau darimana, mungkin Naya cerita ke Indah, trus Indah cerita ke Aryo... mungkin loh ya....”

‘sempakkkk........ bener-bener ketauan....’
“yahhh....... sex itu kan gak selalu berarti cinta....” kata Tomi.
“maksudnya?”
“gue sering...... having sex, sama temen-temen cewe gue..... tapi itu cuma sebatas seneng-seneng aja...... gak lebih..... “
“apa itu artinya lo belum pernah paham arti cinta yang sebenernya?” tanya Erik.
“mungkin....”

Aryo hanya tersenyum.
“masa?”,”gue mau tanya deh..... kalo ada sesuatu terjadi sama Naya, perasaan lo gimana?”
“gimana apanya?”
“semisal...... Naya jadi korban disini.........”

Tomi menelan ludah sejenak.
“tuh kan.... lu gak rela..... gue bisa jamin, lo gak akan ngebiarin hal buruk nimpa dia...bahkan kalo nyawa lu jadi tarohannya...” kata Erik.
“apa itu namanya cinta....?”
“ngak selalu begitu bro..... pemahaman cinta tiap manusia itu berbeda-beda... lu harus nemuin arti cinta yang sebenernya bagi diri lo.... contohnya Aryo.... cinta menurut dia, adalah rasa ingin selalu bersama dan memiliki.... kalo Rangga, menurut dia cinta itu adalah rasa saling melengkapi.... dia gak peduli siapa orangnya, selama dia dan cewe itu sama-sama senang.... apapun oke...” lanjut Erik.

“trus.... menurut lo pribadi, cinta itu apa?” Tomi balik bertanya.
“cinta itu pengorbanan..... saat kita bersedia ngorbanin apapun demi dia, saat kita menangis ngeliat pengorbanan dia untuk kita.... bagi gue, itu cinta....”
“apa lu pernah nangis ketika dia berkorban buat lu?”
“sering....yang terakhir, saat dia meninggal.... dia meninggal karena nyelametin gue....”

~***~
“La.... kita mesti keluar dari sini......” Erik berseru kepada gadis disampingnya. Gadis itu mengangguk.
Saat itu, kapal feri yang mereka naiki baru saja bergulung-gulung dihantam ombak besar.

Sempat terbalik sekali, hampir seluruh jendela kapal itu pecah.
Serpihan kaca itu menyeruak bersama air yang memancar dari jendela kapal berbentuk bundar itu. lorong-lorong kapal itu begitu gelap. Runtuh disana sini, balok-balok kayu besar menghalangi jalan mereka untuk melarikan diri.

“awass....”
Erik menarik tangan Sheila kedalam sebuah kompartemen. Mereka terjerembab.
Langit-langit lorong itu runtuh. Hampir saja menimpa mereka.

Reruntuhan itu mengunci mereka didalam.
Satu-satunya jalan keluar adalah melalui pintu yang mereka masuki.

Erik bangkit, ia meraih puing-puing reruntuhan itu. sekuat tenaga ia berusaha mengeluarkan mereka. Namun balok-balok kayu besar itu menghalangi dirinya untuk keluar.

“kita terjebak......... Erik.. aku takut.....”
“tenang, apapun yang terjadi, aku gak akan ngebiarin kamu kenapa-napa.....tenang ya....”

Erik membelai rambut Sheila dengan lembut, ia berusaha memenangkan gadis itu, walaupun saat ini dirinya mengalami kepanikan yang luar biasa.

“CRRRAAAAAAAAZZZZZZ............”
Ombak besar kembali menghantam sisi kiri lambung kapal.

Kapal itu oleng, nyaris terbalik.
“Aaaaaaaaaaa.............”
Erik dan Sheila berteriak ketika tubuh mereka tiba-tiba terlempar.

Atap yang menaungi ruangan itu kini runtuh.
Erik sedang terbaring menelungkup dilantai. Saat itu Sheila melihat sebuah puing reruntuhan akan jatuh menimpa Erik.

“awaaaaaaaaassssssss.................” Sheila berteriak.
Gadis itu segera bangkit, ia melompat keatas tubuh Erik yang baru saja menengok kebelakang kepalanya.

“Crrreeekkk...........”
Darah segar menyiprat, tetesan cairan merah itu membasahi dinding dan lantai kompartemen.

Mata Erik terbelalak memandang tubuh Sheila yang telah tertembus sebuah potongan kayu runcing sebesar lengan orang dewasa.
Sheila telah mengorbankan diri demi menyelamatkan Erik.

Darah terus menetes dari luka di perut Sheila.
Perlahan, tetesan darah itu mulai keluar dari bibir tipisnya yang terbuka sedikit.

“SHEILLLLLLAAAAAAAAAA......................” Erik berteriak sejadi-jadinya.
Entah mendapatkan kekuatan darimana. Pemuda itu segera berdiri dan menyingkirkan puing-puing yang menimpa mereka.

~***~
Tetesan air mata membasahi pipi Erik.
Ia tak kuasa membendung rasa haru ketika mengingat kenangan itu.

“sorry..... gue gak maksud bikin lu keingetan lagi....” kata Tomi menyesal.
“gak apa-apa.....” Erik menyeka air matanya. “gue seneng masih bisa nginget keberadaan Sheila....”,” gue gak mau dia hilang dari hidup gue.... setidaknya, dalam ingatan gue dia akan terus hidup...”
Tomi bangkit dan menepuk pundak Erik.
“sabar ya bro....”


BAB 8 – Part 3
Tomi belajar hal baru hari ini.
Arti cinta, sesuatu yang belum pernah terpikirkan dalam hidupnya.

Apa yang dikatakan oleh Erik sangat berbekas dalam hati dan pikiran Tomi. Namun, alih-alih mengobati cacat pada perasaannya. Perkataan Erik kini bagai lubang besar dihatinya.
Mungkin lubang itu akan dapat tertutup kembali ketika Tomi telah menemukan arti cinta yang sebenarnya.
(halahhh..... bahasa apa ini.....)

Tomi kini membereskan pekerjaannya.
Buah-buahan yang telah dibelah olehnya kini diletakkan di tempat teduh dan terlindung dari debu.

“fuahhhh......segernya..............” para perempuan tampaknya telah selesai mandi.
“curanggg.... kasi tau si!!” kata Dara
“kasi tau apa???” Nasha memperjelas.
“ituuu......supaya gede....” Dara memajukan bibirnya sambil menyentuhkan jari telunjuknya satu sama lain.
“ahahaha.......... udah si.. jangan dipikirin, ntar juga gede sendiri...” Naya menimpali.

Tawa canda itu membuyarkan kegundahan Tomi.
Sesaat ia memandang kearah Naya lekat-lekat.

‘apa bener ya..... kalo yg selama ini gue rasain ke Naya bukan cinta yang sebenernya...’
Tomi mencoba menerka, namun sayang ia tak juga menemukan jawaban.

“gue duluannnnn.......” Sandi berteriak. Ia mencoba menyerobot Rangga yang baru akan memasuki bilik kamar mandi.
“eeeeehhhhhhh.... enak aja lo......” Rangga merentangkan tangannya menghalangi Sandi.
“wooo....... udel kebo.... gue udah ngantri daritadi...”
“ingus buto ijo....... kalo ngantri tuh tungguin disini.... bukanya tidur-tiduran di dalem pondok...”

Erik berjalan santai dan memasuki kamar mandi, tanpa mempedulikan musuh alami yang sedang bertengkar itu.
“woi woi sempak....... enak aje lu maen serobot...” Rangga memprotes.
“udeeee.... kelarin dulu tuh adu bacot.... gue mandi duluu... hahaha....” Erik menghilang dibalik tirai.

Rangga dan Sandi terdiam.
“salahh lo.......” Sandi berseru lebih dulu.
“enak aja.... salah lo kampret....”
Tak lama, mereka kembali saling lempar ejekan.

“ehh.. udah dong... jangan berantem gitu....” tante Sarah berkata dengan lembut, ia datang melerai mereka.
“eh....tante...... ng-ngak kok.....kita kan temen baik.... iya kan bro....” Rangga merangkul leher Sandi. Namun yang sebenarnya terlihat, Rangga sedang mencoba memiting sahabatnya itu.
“iya kan?????” Rangga mempertegas.
“i-iya tante.....iya.....”
Rangga tersenyum merayakan kemenangannya.

“dasar..... yaudah, jangan berantem terus... gak enak diliat sama yang lain...” tante Sarah berbalik dan meninggalkan mereka.

Rangga memperhatikan dengan seksama ketika tante Sarah berjalan menjauh.
‘aduhhhh tante...... itu bokongmu kok sexy sekale......’
“i am falling in love.... falling in love..... with youuu” Sandi meledek Rangga dengan menyanyikan sebuah lagu.
“sempak..... ngeledek aje lo....” Rangga masih menatap kearah tante Sarah.

“ehem......” Sandi berdehem.
“ngeliatinnya biasa kelessss..... sampe gak ngedip gitu...” tambahnya.
“lu gak tau sih...... tante sarah tu cantik bangeeettt......aduhhh....” kata Rangga
“bukanya dimukanya ada bekas luka?” tanya Sandi.
“ada sedikit, di pipi kirinya, tapi gak seberapa keliatan........ bodynya itu braaayyy.... beuh, bengissssss....”
“lu mah gak bisa ngeliat lobang kebuka dikit.... langsung aja lu sodok...” Sandi mengacak-acak rambut Rangga.

Sandi berlari, Rangga mengejarnya dari belakang.
Kini kedua pemuda itu bak kucing dan tikus yang sedang bermain kejar-kejaran.


~***~

“Naya......” Dara memanggil.
“yahhh?? Kenapa Ra??” Naya keluar dari balik tirai.
“mmmm.... Nay... masih ada baju ngak? Bajuku kotor semua... pinjem dong...” Dara berkata dengan malu-malu.
“ohhhhh sini masuk.....”
Naya menarik lengan Dara dan memaksa gadis itu masuk kedalam pondok.

Naya kemudian mengeluarkan sebuah jersey yang ukurannya dirasa sesuai dengan tubuh Dara.
“adanya jersey.... mau?” tanya Naya. Ia mengulurkan baju itu kearah Dara.
“mau Nay... gak apa-apa... yang penting ada baju ganti....” Dara menerima uluran itu.
“coba dulu.... kalo gak cocok nanti kita cari yang lain..... masih banyak kok....” Naya menunjuk kearah tumpukan baju di sudut pondok itu.

Dara melepaskan pakaiannya.
Jersey berwarna putih yang diberi oleh Naya segera ia kenakan.

“kak..........” Tomi tiba-tiba menyeruak masuk kedalam pondok.
Saat itu Dara yang hampir bugil sedang mengangkat kedua tangannya, berusaha memasukkan kepalanya kedalam baju itu.

“kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa........................... ...............”

~***~

Sore menjelang.
Tomi sedang duduk di tepi perapian bersama anggota kawanan yang lain. Di pipi kirinya kini terdapat rona merah berbentuk telapak tangan.

“pppffffttttttt.....AHAHAHAHAHAHA............ ....” Sandi dan Rangga tak dapat menahan tawa mereka ketika memandang Tomi yang tertunduk lesu.
“kenapa muka lo brooo??? Waaaaahahaa....” Aryo yang baru menyadarinya juga ikut tertawa.
“haaaahhh? Wahahahahahahaha.............” tapi ternyata Erik tertawa lebih keras lagi.

“puas lo pada ngeledekin gua??” Tomi mengusap pipinya yang masih agak pedih.
“makanya, jangan maen masuk-masuk aja...... kena deh..hahaha” Naya yang berada disamping Tomi ikut tertawa. Ia menekan pipi Tomi yang memerah dengan jari telunjuknya,
“aaaaaawwwwwwwwwwww.......” Tomi menjerit.
“maafin gue Tom.....gue bener-bener reflek... sorryyy....” Dara yang duduk disamping Naya berusaha meminta maaf.
“hehe...gak apa-apa....harusnya gue yang minta maaf....”
Tomi kembali mengusap pipinya dengan telapak tangan.

“pergi dulu ahhhhh.....hihihi...........” Naya yang berada diantara Tomi dan Dara kini berpindah tempat duduk. Ia kini duduk di samping Indah.
Dara bergeser mendekati Tomi.
Gadis itu mengulurkan tangannya meraih wajah Tomi.

“masih sakit ya.......maaf.....”
“iyah..... gak apa-apa kok” ucap Tomi.
‘sakiiiiiiiiiiiittttttttttt............... mamahhh.... aku ditamparrr.... hiks hiks hiks....’ batin Tomi.

“Tomi dan Daraaaa... sedang dimabuk cintaaaaaa.....” Sandi dan Rangga bernyanyi dengan nada meledek.
“lemper loo pada.........wedus....” Tomi mengumpat.
“wahahahahahahaaaa...........” namun umpatan Tomi seakan menjadi stimulan bagi mereka untuk kembali tertawa lepas.

Malam itu, Tomi menjadi bulan-bulanan bagi Sandi dan Rangga. Sisi positifnya, ia bisa duduk berdekatan dengan Dara, walaupun malam itu mereka habiskan tanpa berbicara. Lagipula Sandi dan Rangga tiba-tiba menjadi sangat akur dan kompak.

Tomi masih dapat mengingat dengan jelas tentang apa yang disaksikan matanya sesaat sebelum telapak tangan itu mendarat di pipinya.
Ia memandang dari samping ketika Dara terlihat hampir bugil tanpa busana. Payudaranya yang tak seberapa besar namun kencang itu menonjol dibagian depan tubuhnya, sedangkan bokongnya yang membusung itu terlihat di sisi lainnya.

Melihat tubuh wanita memang bukanlah hal baru bagi Tomi. Namun entah mengapa setelah melihat Dara, perasaan itu seakan menghantuinya.
‘galau...... gue ngerasa bersalah banget...........’ batin Tomi.
Tapi apakah kata hatinya itu benar?

Malam itu giliran Tomi berjaga bersama Sandi. Erik yang sudah merasa lebih sehat ingin bergabung dengan mereka. Namun Aryo melarangnya.
Tim pencari makanan akan kesulitan jika tiga orang pemuda itu terkapar lelah setelah berjaga semalaman, begitu pendapat Aryo.

“ngantuk banget kayaknya lu San?” tanya Tomi.
Ditengah malam yang dingin itu, ia hanya berdua dengan Sandi yang terlihat merenung dan menatap nyala api dengan pandangan kosong.
“hah??? Apa?” Sandi lepas dari lamunanya
“hadehh..... udah... kalo ngantuk lu tidur aja dulu disitu....”
“hoaaaaaaaammmm..... gak apa-apa kok.... santai aja.....” kata Sandi.

Namun, lima menit berselang. Sandi telah terkapar ditanah dengan mulut menganga dan air liur yang membasahi pipinya.
‘parah....’ batin Tomi.

Tomi kini duduk termenung. Ia mencondongkan tubuhnya kebelakang dan bertumpu pada dua tangan. Kakinya ia luruskan kedepan karena kesemutan.

Tiba-tiba Tomi mendengar suara langkah kaki dari balik punggungnya.
Ia menoleh, mencari asal suara itu.

“kok sendirian Tom?” tanya Dara.
“si Sandi ngantuk berat... lo sendiri kok belum tidur?” tanya Tomi.
Dara duduk bersimpuh di sisi Tomi.
“baru aja bangun.... trus gak bisa tidur lagi....”
“ohhhh......”

Keduanya kembali terdiam cukup lama.
Seakan tak saling mengenal. Tak ada diantara mereka yang berani memulai pembicaraan.

‘duhhh...... awkward banget......... musti ngomong apa gua...’batin Tomi.
‘Tomi masih marah gak ya sama gue.....duhhhhhh...........’ batin Dara.

“eeeemm.... Tom...” Dara menoleh kearah Tomi
“eeeemm.... Ra....” Tomi menoleh kearah Dara
Mereka berseru bersamaan.

Sejenak pandangan mereka bertemu, namun buru-buru mereka memalingkan wajah kearah lain.
“deg...deg...deg....” Tomi dan Dara dapat mendengar dengan jelas jantung mereka yang berdebar kencang.

“ehem.... ladies first....” kata Tomi. Ia mencoba tersenyum. Namun alih-alih memasang wajah ramah, wajah Tomi saat itu seperti baru saja memakan jeruk lemon.
Wajah Dara bersemu merah.

“ehh..haha.... ngak kok.... cuma pengen cari temen ngobrol aja....” kata Dara.
“bagus lah haha...... bosen juga kalo sendirian jaga malem....” kata Tomi.

Dara mengangkat wajahnya. Sorot matanya memandang kagum ke angkasa. Tomi yang menyadari gelagat Dara segera melakukan hal yang sama.
Langit malam itu begitu indah, bertabur jutaan bintang yang membentuk sebuah garis seperti sungai yang mengalir.

“dulu.... waktu kecil gue suka diem-diem keluar dari jendela kamar gue..... duduk di atap trus ngeliatin langit malam....” Dara mulai bercerita.
“nekat amat...... kalo jatoh gimana?”
“haha....... abis, langit malam tuh keren banget...... bikin gue tenang gitu.. kalo mandangin bintang-bintang, gue ngerasa seakan-akan orang tua gue masih ada.....” ucap Dara.
“eh.... so-sorry.... gue gak tau kalo.....”
“ngak apa-apa....... gue udah terbiasa kok....” Dara tersenyum.
“kalo ngeliat langit malam, gue ngerasa seakan mereka ngeliatin gue dari atas sana....” lanjutnya.

Tomi memandang kearah langit yang membentang luas.
“yahh.... gue paham perasaan itu.....” kata Tomi
“masa sih?”
“yahhhhh....... ibu gue udah meninggal, ayah gue juga...... sebelum sampai disini, gue sempet pergi berkelana....”
Mereka mulai bertukar cerita, mulai dari Tomi dengan perjalanannya, Dara dengan hobinya bermain musik, dan lain-lain.

Suasana beku diantara mereka mulai mencair.
Sesekali Dara sempat menangis haru ketika bercerita tentang masa lalu, Tomi menyeka air matanya dengan jari telunjuknya.
Tak butuh waktu lama hingga mereka menjadi akrab. Mungkin kesamaan penderitaanlah yang menyatukan mereka. Sama-sama tak memiliki orang tua, dan pernah merasakan hidup menderita.

Selepas kepergian orangtuanya, Dara tinggal bersama neneknya.
Hidup sangat, sangat, sangat sederhana. Bahkan untuk bisa bersekolah, Dara harus membantu neneknya berjualan nasi uduk pada pagi hari.
Dari gadis kecil yang manis, Dara tumbuh menjadi remaja yang kuat.
Tak jarang ia diejek oleh teman-temannya disekolah.

“hahaha..... liat tuh, tukang nasi uduk dateng....”
“wooo..... kasian deh lo gak punya orang tua......”
Hinaan semacam itu sudah terbiasa hinggap ditelinga gadis itu. namun Dara tak menanggapi, bisa saja ia balik menghina mereka. Namun Dara mengurungkan niat itu.
Dara sadar, menjadi jahat bukanlah pilihan. Ia berprinsip, ‘seburuk apapun keadaanku, aku harus tetap jadi orang baik’.

Kalimat itu belum pernah terlintas dalam benak Tomi.
Jika saja ia memiliki prinsip seperti itu, mungkin saat ini jiwanya tak akan dipenuhi dendam.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, dendam itu terlanjur membara. Namun, kini Tomi ragu, ia mempertimbangkan ucapan Naya untuk tidak membalas dendam.
Sejujurnya, Tomi kini tak tau pasti. Apa yang akan dilakukannya seandainya berhasil menemukan ibu tirinya.
‘Yah, itupun seandainya dia masih hidup.........’ batin Tomi.

Waktu berlalu dengan cepat. Mengobrol bersama Dara ternyata begitu mengasyikkan.
Dara adalah gadis periang, suka bercanda, pintar, dan mandiri.
Entah sejak kapan. Namun saat ini Tomi memendam rasa kagum pada sosok Dara.

Cuma kagum?????? Ahhhh masa iya......

~***~

Langit di ufuk timur telah berubah kemerahan. Seandainya ada ayam di pulau itu, mungkin suaranya sudah terdengar nyaring.
Sandi terbangun dari tidurnya. Ia mengejapkan matanya ketika menyadari hari telah berganti.

“hoaaaaaaaammm........” Sandi menggeliat mengusir kantuk yang menyandera matanya.
“udah pagi...... huuaaaaaahemm... AAAAAAAAAAAA.............. ngapain kalian semalemannnn...” mata Sandi tiba-tiba terbelalak melihat Dara yang kini tertidur di pangkuan Tomi.
“ssssssstttttt............. dasar ayam... pagi-pagi udah teriak-teriak..... berisik....” kata Tomi.

Teriakan Sandi rupanya membangunkan seluruh anggota kawanan.
Dara yang tertidur di paha Tomi ikut terbangun.

“adappaa siiii.......?” Dara menengok kekiri dan kekanan sebelum merebahkan diri kembali di pangkuan Tomi.
“tuh kan...... lu sih...pake teriak-teriak....” kata Tomi.
“hehehe......sorryyy.... kaget aja gua....hahaha......” Sandi menggaruk-garuk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.

“oooyyy..... pagi-pagi udah teriak-teriak.... ada apaan si?” Rangga menyeruak keluar dari balik tirai pondok tempat ia beristirahat.
“ssstttt..... liat deh.......” Sandi menunjjuk kearah Dara.
“whaaattt????? Oh maannn....... Tomi udah menaklukkan dia...... ini patut dirayakan......” kata Rangga.

“Tomi dan Daraaaa... sedang dimabuk cintaaaaaa.....” Sandi dan Rangga kembali menyanyikan lagu memuakkan itu dengan nada meledek.
“oyyyy gak ada duit recehan.... pergi-pergi.... husss..husss....” Naya menghampiri mereka.

Tomi menoleh. Dengan matanya yang memerah, ia tak dapat membuka matanya lebar-lebar.

“ciiyeee....... adikku udah dapet pacar baru nih yeee.....mmuuuachhh” Naya mencium pipi Tomi.
“ihhh apaan sih kak...... orang cuma ngobrol......” kata Tomi.
“semaleman??? Ngobrolin apaan? Pasti tentang masa depan....... nanti akan punya anak, tinggal dirumah mungil dengan halaman yang luasssss...... so sweettttttt..........” Naya mencubit pipi kanan Tomi.
“husss.... ngaco aja, cuma ngobrol biasa.....hooooaaaahhemmm....” Tomi tak bisa lagi menahan kantuk yang menghinggapi dirinya.

“yaudah sana... istirahat didalem......”,”Daraaaa... bangun sayang...... tidur didalem aja yahh....” Naya berbisik pelan di telinga Dara.
Gadis itu membuka matanya. Ia bangkit dan mengusap-usap kelopak matanya yang tak terbuka sempurna.

‘ohhhh.... akhirnyaaaaaa....bebaaassssss.........’
Tomi menekuk dan meluruskan kakinya yang kesemutan berulang-ulang. Ia segera bangkit dan masuk kedalam pondok untuk beristirahat.
Naya memapah Dara untuk masuk dan bergabung bersama Tomi.

Setelah merebahkan Dara disamping Tomi, Naya segera kembali keluar pondok. Diluar, tampak orang-orang yang telah terbangun mengerumuni pondok itu.
“sssstttttt.... jangan ribut.. biarin mereka berduaan hihihihi.....” kata Naya kepada mereka.

Para wanita hanya tertawa kecil, Aryo tersenyum sambil menggelengkan kepala, sedangkan Rangga dan Sandi kini melakukan toss setinggi mungkin.

~***~

Menjelang siang hari, para pencari makanan sudah kembali ke pemukiman.
Terlihat di dekat perapian, Rafi sedang berusaha menyalakan api.

“certak.....ceteekk...”
Kayu yang sedang terbakar itu mengeluarkan suara berdetik ketika mulai membara. Tante Sarah meletakkan sebuah panci untuk mulai memanaskan air.

“yaaaaaaayyyyyyyy......... saatnya mandi....” Indah dan Naya berseru.
Saat-saat itu memang sudah dinanti-nanti oleh para gadis.
Dengan absennya Dara, mereka kini mandi bertiga.

Gadis-gadis itu meletakkan keranjang penuh bahan makanan di dekat perapian, lalu berbondong-bondong masuk kedalam kamar mandi kecil itu.

“krucccuukkk...krucukkk....”
Air tak henti-hentinya mengalir dari pipa bambu yang berada sejajar dengan wajah merka.

“aduh Nay....... gede bener punya lo....” Indah berseru.
Ia sedang memegangi payudaranya sendiri dengan kedua tangan.
“hmmm?? Ahh biasa aja ahh......” sahut Naya.
“apaan yang biasa..... aduhh... gue aja sampe ngiri...” Nasha menimpali.

Entah kenapa, terkadang para wanita suka membanding-bandingkan ukuran payudara mereka satu sama lain. Yah, memang mayoritas dari mereka menjadi lebih percaya diri jika memiliki ukuran payudara yang besar.
Diantara keempat gadis itu, payudara milik Naya adalah yang paling besar, disusul oleh Nasha di urutan kedua. Milik Indah tak seberapa besar mengingat ia hanya memakai bra dengan ukuran cup B, begitu juga dengan Dara.
Dara sering kali merajuk kepada Naya untuk memberi tau, bagaimana agar payudaranya bisa menjadi seperti milik Naya.

“sering-sering dipijit dong.... remes pelan-pelan....... pentilnya di pelintir.... kayak gini...” Naya memperagakan.
“uuuuuhhhh........ aku gak bisaa.... aku gak pernah masturbasi....” Indah mencobanya, namun ia begitu canggung ketika Nasha dan Naya memperhatikan aksinya
“bukan gituuu Ndahh.... gini nih.....ayo ikutin...” Nasha memperagakan hal yang sama seperti yang dilakukan Naya.

“mmmmhh.......” Indah mendengus.
“aku ngak bisa...uhhhhhhh........ gimana gitu... enakan diremesin sama Aryo....” lanjutnya.

“sshhhhh...... sini-sini kita ajarin... ayo Sha... lo yang kiri, gue yang kanan.....” kata Naya.
“ehh..ehh...... gue mau diapain ini....” Indah bergerak menjauh sambil menyilangkan lengan di dada.
“hehehe...... udah diem aja.... cini-cini....biar kaka ajarin....” Nasha tersenyum licik.

“aahh...gak mau...gak mau..... malu ahhh..” Indah tetap bersikukuh melindungi payudaranya dari kedua tangan mereka yang mencoba meraihnya.

Namun kini kedua tangan yang menutupi payudara milik Indah telah digenggam oleh Naya dan Nasha.
Pasrah dengan nasibnya, Indah hanya bisa memejamkan matanya, menunggu saat-saat kedua payudaranya menerima sentuhan dari jemari-jemari nakal itu.

“squuuezee....squeze.....”
Payudara milik Indah kini diremas perlahan.
“ssshhh...geli....udah...ahhh...hahaha.....”

“lhooo?? Udah terangsang?? Cepet banget....hehehe....” Naya tersenyum puas.
“gimana??? Enak gak pijitan gue?” kata Nasha.

“oouuhhh..... udah dong.... malu tau......” Indah merengek.
“malu.....apa mauuu????” Naya mencoba memprofokasi.
“iya.... ni pentilnya aja udah ngacung....” Nasha mulai memainkan puting Indah dengan jari telunjuknya.

Tubuh Indah menegang, ia merasaka getaran-getaran halus dari ujung payudaranya.
“mmmmmmhhh......ahhh...udah dong... gue...gak tahannn....” Indah menatap kedua gadis itu dengan sorot mata sayu.

“yahhhh..... masa begitu aja ngak tahan,....”,”kalo gini gimana?” Naya merundukkan posisi tubuhnya. Puting payudara Indah yang berwarna kemerahan itu segera ia kulum dengan mulutnya.
“Mmmmmmhhhh.....Naaayy...ahhhh....ahhhhh..... .gue gak kuaaat... ahhhh.....ahhhh” Indah mulai meracau.

Nasha hanya memandang takjub ketika Naya mulai mengulum puting milik Indah.
“gile.... lu doyan sama cewe juga Nay???” tanya Nasha.
“ha???” Naya melepaskan kulumannya, tubuh Indah yang tadi menegang kini mulai kembali rileks. “oohh...... dulu temen gue ada yang lesbi, jadinya gue kebawa-bawa..... tapi gue tetep doyan sama cowo kok hehehehe.....” kata Naya.

“hufff....... bisa-bisanya.... lu gak jijik ngisep toket gue Nay?” tanya Indah.
“begini maksudnya???” Naya kembali mengulum puting milik Indah.
“aaaaakkkhhh....aahhh...geli Nay.....ahhh...” Indah kembali meracau. Namun ia sama sekali tak memberontak.

“gimana si rasanya?” tanya Nasha yang sedari tadi mengamati mulai penasaran.
“cobain aja....” Naya melepaskan kulumannya.
“j-jangan...ahh..jangan dua-duanya please......aaaakkkkkkkkkhhhhhh............”

~***~

“mereka lagi ngapain si?” tanya Aryo.
Rangga, Erik dan Sandi yang sedang bersamanya hanya bisa mengangkat bahu.
“dasar cewe.....” lanjutnya.

~***~

“uuuuuhhhhhh......aaaaahhh...udahh....” Indah kembali meracau
“kenapa? Gak enak ya?” tanya Naya.
“bukan gituuu...... tapi geliii..... geli banget....”
“emang kalo diisepin sama Aryo gak geli...?” tanya Nasha.
“ihhh...beda tau.... rasanya tuh..... aduh, susah dijelasin....”

“kalo begini?” Naya mulai menyusupkan jemarinya di selangkangan Indah.
“kyaaaaaahhhhh.....aaaaaahhhhhh...ahhh...geli Nayy.....”
Vagina milik Indah sedang di eksplorasi oleh jemari Naya. Ia memasukkan satu jari kedalam liang kenikmatan itu.

“hihihi..... ikutan ahhhh......” Nasha kembali mengulum payudara Indah dan mengusapkan jarinya pada klitoris gadis itu.
“ooohhh......mmmhh.......” Indah menggeliang hebat. Kedua tangannya yang sudah tak dipegangi oleh Naya dan Nasha mulai mengusap kepala mereka dengan lembut.

“enak ngak?” tanya Naya.
“uuuhhhh...iyaaah..... terusin Nay....... ahhh..ahhh......ahh..”

Naya menambahkan satu jari lagi yang ia masukkan kedalam vagina milik Indah.
“crekk...creekkk..creeekk......” Naya mengocokkan jarinya dengan cepat.

“yeeessss...... iyahh....enak...ahhhhh....ahhh....” Indah mulai menikmati permainan itu.
Nasha menghisap dengan kuat puting Indah yang melekat di bibirnya.

“nnnngggghhhhhh....... ahhh......gue....mau... keluaaarr...... nnnghhhhhhhh....”
Indah menahan diri untuk tidak melenguh panjang. ia tak ingin membuat orang-orang diluar menjadi curiga.

Naya merasakan cairan hangat itu keluar membasahi jemarinya.
Dengan perlahan, ia menarik jemari tangannya yang masih berada dalam vagina Indah.

“ooouhhh........ enak yah ternyata.... ahhh” kata Indah.
“masa sih.... gantian please.... pengen nyoba juga gue jadinya....” Nasha menarik tubuh Indah dan membenamkan wajah gadis itu dipayudaranya.
“uufuffffffff...... gile... susah napasnya tau... pelan-pelan....” Indah memprotes. Namun gadis itu segera memainkan lidahnya di puting Nasha yang mengeras.

“mmmmhh.....iyaaahh....enak juga...aahh.......”
“lahhhhh..... malah ada yang ngiri.... hihihihi.....” Naya segera menghampiri tubuh Nasha.
Ia membenamkan wajahnya diselangkangan Nasha lalu mulai mejilati klitorisnya.

“uuuuuuaaaahhh....Naaaayy.... gila... nnnngghhhhhhhh” Nasha berusaha menahan gejolak nafsu itu ketika lidah Naya mulai merayap diatas klitorisnya.

Indah mulai meraba bongkahan payudara milik Nasha. ukurannya memang berbeda dengan miliknya, dengan lembut ia mulai meremas payudara itu.
“nnghhh.....aahhhhh...ahhhhh....ahhhhhhh..... ” Nasha mulai mendesah.

Indah melepaskan kuluman pada puting Nasha dan mencium bibir gadis itu.
“mmmmmmmhhh...nnnngghh....mmmhh...” kedua gadis itu melenguh tertahan.

Jilatan lidah Naya mulai menyusuri lekuk tubuh Nasha meninggalkan klitorisnya.
Sebagai gantinya, ia memasukkan dua jari kedalam liang vagina Nasha yang sudah becek dengan cairan nikmat itu.

“mmmmmmhhhh....aaaahhhh.....aahhh.....ahh...” Nasha meracau hebat ketika lubang vagina miliknya di permainkan oleh jari-jari yang menari didalamnya.
“enak say???” tanya Naya.
“uuuuhhhhhh.....iyaahh....mmmmmhh...gue..mau keluaaaarr.....”

Naya mempercepat kocokannya.
Seiring dengan lenguhan panjang yang keluar dari bibir Nasha, cairan hangat itu menyembur.

“uuuhhh....... gila... jago banget sih lu Nay.....”
Nasha menarik kepala Naya dan mengecup bibirnya.
“kan udah pengalaman..... hihihi....” kata Naya.
“sssttt... cowo-cowo jangan sampe tau kita beginian.... bilang aja kita cuma bercanda, soalnya suara kita pasti kedengeran sampe keluar...” kata Indah.
Naya dan Nasha hanya tersenyum sambil mengangguk.

~***~

“mandi aja kok ribut banget sih?.... mana lama banget....?” tanya Aryo ketika kedua gadis yang sudah berpakaian lengkap itu keluar dari kamar mandi.
“urusan cewe...... cowo gak boleh tauuu... weeekk...” Indah menjulurkan lidahnya.
“dasar..... yaudah makan dulu sana” kata Aryo sembari tersenyum dan mengecup bibir Indah.

Matahari menanjak semakin tinggi di angkasa.
Namun, alih-alih panas terik menerpa, cuaca justru menjadi sangat teduh karena awan mendung yang membumbung di angkasa.

Akhirnya, setelah sekian lama tanah di pulau itu mengering, hujan akan turun.
Seluruh anggota kawanan kini sibuk membereskan barang-barang yang masih tertinggal diluar.
Sebuah pondok yang tadinya ditinggali oleh Sandi, Erik dan Rangga kini berubah menjadi gudang dadakan.

“tes.....tesss.........”
Rintik hujan mulai turun, debu yang beterbangan kini telah terperangkap di tanah basah yang becek.
Semua orang kini berteduh didalam pondok. Tante Sarah bergabung dengan Naya dan gengnya, Rafi dan kedua tante kini berada di pondok yang bersebelahan dengan tempat geng wanita itu berkumpul.
Mereka dapat dengan mudah menebak apa yang sedang dilakukan mereka. Bagaimana tidak? Suara desahan dan lenguhan itu bergema mengalahkan deru rintik hujan deras di luar.
Sementara itu, Aryo, Sandi, Rangga, dan Erik sedang asyik bermain X.O.X di dalam pondok yang lain.

Tinggalah Tomi dan Dara berdua dalam sebuah pondok.
Keduanya kini kembali terjaga karena mendengar deru hujan yang terjadi diluar.

“seneng deh akhirnya hujan juga.....” kata Dara.
“hmm... kenapa?” tanya Tomi.
“nnngg....ngak... gak kenapa-kenapa...”

Dua insan anak manusia itu kini duduk bersebelahan diatas timbunan rumput kering.
Sesekali mereka saling berpandangan, namun ketika mata mereka bertemu pandang, Dara segera tertunduk malu.
“iyahh... gue juga seneng hujan turun....” kata Tomi.
“alasannya........” tanya Dara. Ia memandangi wajah Tomi yang sedang menerawang tak tentu arah.
“nngg... yahh... cuacanya jadi sejuk kan....” kata Tomi.
Dara hanya tersenyum.

“trus? Cuma itu?” tanya Dara.
“uumm... well.... duh, gimana ngomongnya ya....” Tomi mulai gugup. Tak biasanya ia salah tingkah seperti itu ketika berhadapan dengan wanita.

“ya ngomong aja..... gue dengerin kok.....”
Dara menggerakkan jemarinya. Telapak tangannya kini mendekap telapak tangan Tomi yang berada diantara mereka.

‘aduhhh....... kenapa gue gelagapan gini’ batin Tomi
“eh.....ummm...hehe.....” wajah Tomi bersemu merah.
“trus apa alasannya?” Dara mendesak.
“nnghh........yahh....karena diluar hujan....gue...-j-jadi.... ehem... bisa sama lo..... engg.. disini”
“hihihi.... ngomong gitu aja kok susah....” Dara tertawa kecil.
“terus dehhh..... ngeledekkkk..... huh” Tomi memalingkan wajahnya, bibirnya cemberut, namun sorot mata itu melirik disudut matanya kearah Dara.
“hihihi... kamu lucu deh...... iyahh aku juga seneng bisa sama kamu disini...” kata Dara.

‘hah.... apa?? Apa?? Gue gak salah denger???’ batin Tomi.
“ennngg... apa tadi...” Tomi mencoba memperjelas.
“gak ada siaran ulang....... huh.....” kini Dara gantian memasang raut wajah cemberut.
“ihhh... ambekan... hehehe......” Tomi mencoba mencairkan suasana
“bodo.........” Dara menjawab ketus. Jemari tangannya kini meremas kuat telapak tangan Tomi.

“emm..... Dara.....” kata Tomi lembut.
“mmmm..........” Dara menjawab seakan tak acuh.
“a..... ehem...a-aku.... baru ini... ngomong ‘aku-kamu’ sama cewe.... rasanya canggung...” kata Tomi.

Dara menoleh menatap wajah Tomi lekat-lekat.
Beberapa saat ia memandangi wajah Tomi dengan sorot mata tajam, kemudian ia memalingkan wajahnya lagi.
“boong.......” kata Dara singkat.
“dihh........ seriusan.... biasanya ngomongnya ‘gua-elo’...”
“tetep gak percaya.....hihihi” Dara tertawa kecil.
“suuuueeerr... uhhh... yaudah kalo gak percaya....” Tomi menarik telapak tangannya dari dekapan jemari Dara.

“ihhh...... malah gantian dia yang ngambek....hihihi.......”
“bodo...........” Tomi menjawab dengan ketus.
“hahaha... iya-iya percaya dehh..... jangan ngambek lagi si.... aku kan bete dicuekin....”
“mmmmm............” Tomi menjawab Dara dengan menggumam.

‘yahhhh....... jangan ngambek sii.... aduhh........’ batin Dara.
Dara mengulurkan tangannya meraih wajah Tomi.
Perlahan, wajah pemuda itu ia tarik untuk memandang kearahnya.
“senyum dongg..... masa berduaan sama cewe cemberut gitu....”

Tomi tersenyum lebar, gigi-gigi yang berbaris di dalam rongga mulutnya hampir semua terlihat. Namun sorot matanya tetap tak berubah, seperti orang yang sedang sebal.
“uhhh.... dipaksain..... senyumnya yang ikhlas dongg...” Dara merajuk manja.
“ehe..hehehe..........” Tomi mulai tertawa.
“gitu kan jadi lebih keren.....” kata Dara.

‘mamii..... aku dibilang keren looohhh......’
“emang aku keren?” tanya Tomi.

Dara tak menjawab, ia segera melepaskan tangannya dari pipi Tomi dan tertunduk malu.
“hahaahaha.... akhirnya ada juga cewe yang naksir sama aku......yuhuuu....” Tomi tertawa riang
“ihhhhh ge-er......... siapa yang naksir kamu...........” Dara mencubit pinggang Tomi dengan jemarinya.
“aaaawwwwww.......... ehhh awas ya... aku bales......” Tomi mencoba mencubit Dara. Namun gadis itu mengelak.
“eittsss.... gak kena-gak kena.........”

~***~

Sementara itu para lelaki sudah menyembulkan kepalanya keluar melalui celah tirai yang menutupi pondok. Berusaha mencuri dengar tentang apa yang dibicarakan Tomi dan Dara.
“hahh??? Aku-kamu.... hahahahahahaha......... baru kali ini gue denger Dara ngomong begitu....” kata Rangga.
“hmm... iya tuh.... aneh, bisa-bisanya si Tomi naklukin macan kayak Dara....” kata Erik.
“ternyata cewe kejam itu punya sisi feminim juga ya... hahahaha...” Sandi menimpali.
Dara memang dikenal sebagai perempuan jutek nan judes dikampus. Mungkin pembawaan dirinya yang terlalu mandiri.

~***~

“udaaaahh... gelii....geliii... Dara...ampun....hahahaha” Tomi sedang berusaha lepas dari jerat tangan Dara yang sedaritadi mengelitik perutnya.
“mau lagi????”
“udah...ampun...... kamu curang ahhh....... beraninya gelitikan, nanti kalo aku bales... trus kepegang kan bahaya..... tato di pipi aku nongol lagi ntar...”

Dara menghentikan aksinya.
Ia hanya bisa tersenyum mendengarkan kata-kata Tomi.

“maat yah..... aku janji deh, gak akan nampar kamu lagi....” kata Dara.
“boong.... gak percaya aku....” kata Tomi.

Wajah manis Dara kembali merona.
Sejenak ia terdiam memandangi wajah Tomi.

“cuuuppp...”
Dengan cepat ciuman itu mendarat di pipi kiri Tomi. Dara kini kembali tertunduk malu.
“impas yah.......” kata Dara.

Tomi masih diam membeku.
Ia meraih pipi kirinya yang baru saja bersentuhan dengan bibir Dara. Ia hanya dapat tersenyum lebar.
‘yeeessssssss.................... gue gak akan pernah cuci muka setelah ini aaaaahhhhhhh......senangnya’

“hehe.......impas deh.....” kata Tomi.
“jangan minta lagi ya........” kata Dara. Ia masih tertunduk malu, merusaha menutupi wajahnya yang merah bagai udang rebus.
“yaaaahhhh......... boleh dong..... hehehe....”
“ngak..... maunya......... weeeekkk” Dara menjulurkan lidahnya kearah Tomi.

Mereka kembali berpandangan, lekat sekali. Seakan tak ada lagi hujan badai yang mampu menghalangi pandangan itu.
Perlahan-lahan, wajah mereka mendekat satu sama lain.

Senti demi senti, mereka semakin dekat.
Nafas mereka memburu, hasrat itu berkobar. Hanya sedikit lagi bibir mereka akan bersentuhan.

“enngggghhh...............” Tomi tersadar dari lamunanya dan tertunduk.
“um...maaf..........” Dara memalingkan wajahnya.

Suasana menjadi canggung kembali. Setelah canda tawa yang mereka lalui, kini mereka diam seribu bahasa.
‘astagaaa...... apa yang gua lakukaaannn...... sekarang dia pasti illfeel sama gua..’ batin Tomi
‘ya ampun..... tadi itu deket banget........my gooodd.....’

Batin keduanya berkecamuk.
Hingga hujan reda, mereka tak mengucapkan sepatah kata pun.

~***~

Sejak hujan berhenti, sang surya tak lagi menampakkan kehadirannya. Langit malam yang kelabu kini mulai gelap. Hari sudah menjelang malam.

“kalian tegaaaaa............” Dara mendengus dengan gusar.
“ihhhh tega apanya.....??” tanya Naya.
“masa.... aku ditinggal.... berdua....sama Tomi.....” kata Dara lirih, ia mulai kembali salah tingkah.
“bukanya enak yah berdua.... bisaaaa............” Naya meledek.
“ihhhhhh Naya maahhh..........” Dara merajuk.
“hahaha... bener berarti tuh..... kalo sampe salah tingkah begitu.........” Indah menimpali.
“ngaakk......” Dara berusaha mengelak.

Nasha memandangi wajah Dara yang kembali bersemu merah.
“masa sih??? Kalian gak ciuman??? Yang benerr?????” Nasha mencondongkan tubuhnya kearah Dara.
“i-itu....itu......” Dara kembali salah tingkah.
“nahhh bener kann..... berarti bener....hihihi..........” kata Naya.
“umm....... hampir sii....” Dara kembali mengulang kebiasaanya menempelkan ujung jari telunjuknya satu sama lain.
“haaahhh????? Cuma hampir????” kata Nasha.
“wah... Tomi bener-bener gak normal...... mana tuh anak... TOOOMIIIIIIII..................” Naya berteriak sambil menunjuk-nunjuk kearah adiknya.

Tomi yang sedang mencoba menyalakan api langsung pergi menghindar.
‘hiiiiiiii............’

~***~

Suasana canggung antara Tomi dan Dara tak kunjung mencair.
Kendati mereka duduk bersebelahan, tak ada satu pun kata yang terlontar dari bibir mereka.
Dua insan itu hanya memandang kosong kearah nyala api yang berkobar.

Seluruh anggota kawanan kini berkumpul di perapian.
Tanah yang becek itu memaksa mereka duduk beralaskan daun jati.

“Dara tercipta di duniaaaaa...... untuk menemani sang Tomii.........hahahahaha” Rangga dan Sandi masih saja menjadikan dua insan itu sebagai bahan olok-olok. Tampaknya kedua pemuda itu sedang mengalami degradasi mental akut semenjak Tomi dan Dara menjadi dekat.
“berisik.... suara kalian tuh jelek.........” kata Tomi.
“iya....... mirip kodok disawah........” Dara menambahkan.

“CIIYYEEEEEEEEEEEE............... jadi kompakan gitu, berarti udah sehati......hahahahahahaha.......”
Tomi dan Dara menyadari. Melawan olok-olok itu adalah kesalahan besar.
Rangga dan Sandi segera melontarkan olok-olok lanjutan.

“ehhh..... awas, jangan sampe keceplosan yang tadi pagi...” kata Naya setengah berbisik.
“hihihi.... iya, nanti kita jadi bahan tertawaan kayak Tomi sama Dara....” Indah menambahkan.
“tenang aja... selama kita gak ngasih tau yang sebenernya, mereka gak bakalan tau........”

Naya tertawa kecil.
“hihihi.... tapi tetep aja, jangan disinggung, nanti mereka curiga...”
“tenang aja, gue pinter jaga rahasia kok.....” kata Indah.
“huu..... masa?”
“seriusss.......... nih gue bocorin sedikit rahasia gue......” kata Indah.

“sebenernya gue sama Aryo itu udah dijodohin dari kecil..........” kata Indah berbisik.
“haa??? Masa?? Masih ada gitu jodoh-jodohan....” tanya Nasha
“yahhh dia gak percaya........”
“serius???? Masa sih?” Naya mulai penasaran.

Indah tersenyum lebar. Ia mendekatkan wajanya kearah Naya dan Nasha sambil tangannya melambai, mengisyaratkan agar mereka mendekat.
Naya dan Nasha mendekatkan telinga mereka di bibir Indah.

Diam sejenak.
“gue boonnnngg... whahahahahaha....” Indah tertawa puas.
“oooooo... rese..... gue kira beneran..” Nasha mendengus kesal.
‘iya...... gue sampe penasaran...” Naya menimpali.

Indah masih tertawa terbahak-bahak menyaksikan reaksi kedua wanita itu.
“ahahaha..... kalian lucu....” ucapnya.
“bodo ahh...” kata Nasha.

“hihihi... iya-iya gue jujur.... lagian juga kalian gak akan percaya kalo gue jujur...” kata Indah.
“maksudnya?” Nasha kembali penasaran.
“cerita sebenernya nih.... jujur kali ini............”

“ya..ya.... terus....” Nasha mendekat.
“ehem.... gue.. kenal sama Aryo tuh dari telepon salah sambung........”
“haaaaaa????????” Naya terbelalak.
“gimana bisa.........??” Nasha menimpali.
“susah nyeritainnya.... bener kan, kalopun gue jujur, kalian gak akan percaya...... toh kalian lebih percaya gue waktu lagi boong....”

“cccraaassssss...........” seakan perit baru saja menyambar.
Tiba-tiba Naya terdiam.

Wajahnya berubah serius, ia menatap tajam kearah nyala api unggun.
Diam seribu bahasa, Nasha dan Indah justru malah keheranan melihat perubahan raut wajah Naya yang teramat drastis.

“jadi gitu caranya.......... jadi gitu yang sebenernya.... gue paham sekarang....” kata Naya. Kali ini ia berkata dengan cukup jelas hingga seluruh anggota kawanan menoleh kearahnya.
“kenapa kak?” tanya Tomi.

Naya terdiam sejenak.
Ia berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan maksudnya.
“jadi ternyata dugaan gue selama ini benar...... pembunuh itu ada diantara kita...” kata Naya.
“haaaah?? Apa maksudnya? Gimana bisa???” tanya Aryo. Ia bangkit dan berjalan kearah Naya.

“coba kasi tau...... gue pengen tau” Aryo memandang Naya dengan seksama.
“tadinya gue juga sempet ragu, tapi sekarang gue yakin....”
“jadi siapa kak???” tanya Tomi.

Naya menghela nafas panjang.




“bener kan yang gue bilang............. lo pelakunya............”



BAB 9
WHISPER
“atau..... ada yang mau lo sanggah dari perkataan gue?” Naya memandang tajam kearah Erik yang sedang duduk di seberang api unggun yang memisahkan jarak antara mereka.

Seketika itulah, Rangga dan Sandi yang berada disamping Erik bangkit dan bergerak menjauh.
“ap-apa maksudnya?.... tolong jelasin semuanya..” Rangga terbata-bata, raut wajahnya tampak kebingungan.
“gak mungkin..... gimana bisa? Erik diserang....” Sandi tak dapat mencerna arti dibalik kata-kata yang diucapkan oleh Naya.

“yahh, itu kan yang dia ingin kalian percaya....” Naya melanjutkan.
“dari awal gue udah curiga, pembunuhan itu gak mungkin dilakukan sama binatang...”

“yahh.... gue pikir juga begitu....., agak aneh rasanya kalo orang-orang diserang sama binatang, tapi ngak ada satu pun bagian tubuh mereka yang hilang karena dimakan....” Kata Tomi.
“oke... yang itu udah dijelasin juga sama Erik..... tapi apa motifnya? Waktu itu Erik diserang...” Aryo kembali mengutarakan argumennya.

“oke.... itu fakta pertama...., masih ada lagi fakta kedua.....”
“fakta macem apa?” Sandi mulai penasaran.
“selama kita nyari makanan dihutan, apa kalian pernah, nemuin tanda-tanda ada kehidupan?”,”apa pernah ada tanda-tanda bekas perapian, atau tempat tinggal.... atau mungkin sisa makanan dan kotoran manusia.... pernah??” lanjut Naya.

Seluruh anggota kawanan terdiam.
“itu menguatkan lagi dugaan gue bahwa pembunuh yang dimaksud itu sama sekali ngak ada....”,”sosok pembunuh itu sengaja diciptakan supaya perhtian kita teralih” lanjut Naya.
“oke.... lantas apa motifnya....... buat apa?” Aryo kembali memberondong Naya dengan pertanyaan.

“j-jangan-jangan yang waktu itu lo ceritain....” wajah Tomi berubah ngeri.
“yah..... dugaan gue mengarah pada penyimpangan perilaku sex....”
“gimana sih maksudnya? Bisa gak sih lo jelasin dengan bahasa yang lebih sederhana..... lo lagi nuduh salah satu diantara kita tau..........” Rangga mulai gusar.

“ya..... orang macam apa yang tega ngebunuh cuma buat sex?” Sandi menimpali.
“necrophilia.......” jawab Naya.

Seluruh kawanan menoleh. Mereka memandang ngeri kepada Erik yang raut wajahnya mulai gugup.

“j-jangan nuduh gue yang macem-macem yah...... lo gak punya bukti...” kata Erik.
“gue punya bukti kuat...... lo masi inget kan apa yang gue temuin di mayat nenek?” kata Naya.
“ya....sperma itu.....” Indah menimpali.

“apa buktinya itu sperma gue.... lo punya bukti?” kata Erik.
“ada kok....... itu ditangan sama kaki lo buktinya....”,”sama siapa lo dilukain? Padahal jelas-jelas gak ada yang tinggal dipulau ini selain kita.... lo bisa jawab.....?” tanya Naya.

Rangga dan Sandi mulai menjauh. Mereka mulai bisa menangkap pemjelasan Naya dibalik kepanikan dalam diri mereka.
“jangan bilang ini gara-gara Sheila....... please Rik..... gak mungkin lo masih percaya sama halusinasi itu....” kata Rangga.
“a-apa.... halusinasi apa?” tanya Tomi.
“Erik pernah cerita, dia ngalamin halusinasi.... katanya Sheila manggil namanya.......” kata Sandi.

“JANGAN LO BAWA-BAWA SHEILA.....” Erik berteriak.
“gue sama sekali gak tau ya...... gue diserang.. mana gue tau apa yang terjadi sebenernya..... gue bahkan gak tau apa yang dilakuin pembunuh itu sama tubuh nenek di tebing....” lanjut Erik. Raut wajahnya mulai panik, keringat mulai membasahi tengkuk dan dahinya.

“tebing....? gimana lo bisa tau kalo kita nemuin nenek di tebing..........” kata Aryo. Wajahnya mulai memancarkan kecurigaan.
“ya.... seinget gue, gak ada yang cerita nenek ditemuin dimana.... seharusnya yang tau kalo jenazah nenek di temuin ditebing, cuma gue, Aryo, Rangga, sama Sandi....” Tomi menambahkan.
“i-itu....... bukan gitu...” Erik membantah.

“lo cerita, waktu lo diserang, lo langsung kabur pake tongkat..... gimana lo bisa tau jenazahnya dibawa kemana?” kata Naya.
“fakta yang lebih mengejutkan, lo ngak memperkosa mereka sebelum mereka lo bunuh....”,”mereka lo perkosa... setelah lo bunuh...........”


~***~

Erik menangis tersedu-sedu di samping tubuh Sheila yang terbujur lemas.
“a-aku gak bisa hidup tanpa kamu......” kata Erik lirih.

‘panggil nama aku.......hhaaah...hhaaaaarrrghh...... maka aku akan dat......ang......’
Kalimat yang diucapkan Sheila terakhir kali sebelum ajal menjemput itu terngiang di telinga Erik.
“sheeeeilllaa...........” Erik mendekatkan bibirnya di telinga Sheila, ia membisikkan kata itu dengan nada lirih.

Erik memeluk tubuh Sheila erat-erat.
“aku sayang sama kamu.....”
Bibir Erik mengecup lembut bibir jenazah itu. lidahnya mengecap rasa darah yang anyir.

“aku gak akan pernah berpisah dari kamu....”
Wajah Sheila yang diam tak bergerak, kini dinikmatinya dengan penuh rasa kasih.
“aku akan tunjukin, bahwa cinta aku ke kamu gak akan dihalangi oleh apapun....”

Spoiler for disturbing scene, jangan dibaca.... kecuali anda ingin mimpi buruk seperti yg TS alami:


“dug..dugg...duggg........”
Derap langkah kaki itu mendekat.

“Eriiiiikkkkkkkk........ lo dimana.........” Rangga berteriak.
Erik tetap diam tak menyahut, ia tetap membelai mesra jenazah Sheila dalam pangkuannya.

“dia disini............... ayo bantu gue....cepaaatt.......” Sandi berteriak.
Sesaat sebelumnya, Sandi melihat Erik sedang duduk melalui celah diantara reruntuhan.

“aaaaarrrghhhhhh....bantuin gue........” Sandi sedang berusaha menyingkirkan puing yang begitu berat untuk ia angkat sendirian.
Rangga meraih puing itu dan membantu Sandi menyingkirkannya.

“EERIIKKK.....BANTUIN GUEEEE........” Indah berteriak. Ia dan Dara sedang berusaha menyingkitkan reruntuhan terakhir yang menghalangi jalan mereka.
Namun Erik tetap terdiam, seakan suara-suara mereka tak mampu meraihnya.

Setelah seluruh reruntuhan tersingkir, keempat remaja itu menyeruak masuk.
Sandi dan Rangga menarik lengan Erik.
“ngaaakkkkkkkkkk...... lepasin gue... gue mau disini sama Sheila...... pergi....pergi lo semua......”

Indah dan Dara menutup wajah mereka dengan telapak tangan ketika melihat keadaan jenazah Sheila yang bersimbah darah.
“sadar Rik... Sheila pasti mau lo tetep hidup...... jangan sia-siain harapan dia..... ayo...” Rangga berusaha membujuk sambil menarik tubuh Erik lebih keras.

“sheilaaaaaaaa..................sheilaaaaaa....... .”
Erik berteriak histeris ketika kedua pemuda itu menyeretnya keluar dari kompartemen itu.
Lengannya menggapai-gapai, berusaha meraih sesuatu yang dapat ia pegang untuk menarik dirinya lepas dari jerat lengan kedua pemuda itu.

Dengan susah payah, Rangga dan Sandi menyeret Erik keluar.
Wajah Erik kini dipenuhi air mata yang mengalir. Ia memandang lurus kearah jenazah Sheila yang terbaring.

Semakin jauh, kini bayangan tubuh Sheila hilang dibalik dinding kompartemen itu.

[center]~***~[center]

Beberapa hari berlalu, Erik masih belum dapat melupakan kesedihan karena kehilangan belahan jiwanya. Saat itulah ia melihat Erika, seorang gadis yang berhasil selamat dari bencana.
Saat itu Erik tak sengaja berpapasan dengan gadis itu dihutan.

‘Erik....... aku mau ketemu kamu sekali lagi..........’
Bisikan itu kembali terdengar.

Erik yang sudah dikuasai iblis segera menerjang tubuh Erika dari belakang.
Kedua telapak tangannya sudah menempel erat di leher gadis itu. leher jenjang itu ia remas dengan sekuat tenaga hingga gadis itu tak mampu menjerit.

Dua menit berlalu, tubuh gadis itu terbaring kaku ditanah.
Erik segera melampiaskan hasratnya akan bisikan Sheila.

Demi menutupi jejak, ia meninggalkan bekas luka seperti cakaran binatang buas pada sekujur tubuh Erika.
Puas dengan apa yang dilakukannya, Erik meninggalkan tubuh tak berdaya itu ditengah hutan.

~***~

Dua hari berselang, Erik kembali melancarkan aksinya.
Kali ini korbannya adalah seorang wanita paruh baya bernama Annisa.

Erik memukul bagian belakang kepala wanita itu dengan sebuah batang kayu hinggga wanita itu terjerembab tak sadarkan diri.
Setelah mencekiknya, Erik kembali menyetubuhi jenazah wanita itu.
‘eriikkk.........kamu sungguh rela berkorban demi aku’
Suara-suara itu menenggelamkan jiwa Erik dalam ilusi abadi.

~***~

Selama beberapa waktu, Erik terus tersenyum dibalik tragedi mengerikan yang telah ia ciptakan.
Sosok dirinya yang menjadi dalang dibalik pembunuhan berantai itu, kini mulai menagih adanya tumbal.
Saat itulah sang nenek keluar dari pondok.
Ia meminta Erik agar mengantarnya buang air.

Ketika sang nenek berbalik, Erik segera mencekik lehernya.
Nenek itu jatuh tak bergerak.

“hihihihihi.....” tawa yang keluar dari mulut Erik begitu mengerikan.
Ia kini sedang membuka celananya, batang penis yang masih mengendur itu ia urut dengan jemari tangan kanannya.

Saat Erik mendekati tubuh sang nenek yang diam tak bergerak, tiba-tiba...
“Aaaaarrrrrgggg.............” sang nenek mengulurkan tangannya mencekik leher Erik.

“huaaaaa........” Erik berteriak kaget.”lepasin bangsattt.....” dengan buku-buku jarinya, Erik menghantam wajah sang nenek hingga cekikan di lehernya terlepas.
Erik segera merunduk, tangannya meraih tombak kayu yang ia letakkan ditanah.

Perlawanan nenek belum berakhir, ia kembali bangkit dan bergerak menerjang tubuh Erik yang hendak mengambil tombak.

Erik menoleh, ia panik.
Dengan sekuat tenaga, tombak kayu itu ia tusukkan kearah sang nenek.
“zraaaakkkkkkk...........”

Tombak yang ia genggam menusuk wajah sang nenek dibagian pipinya.
Cipratan darah itu mengenai baju yang dikenakan oleh Erik.

‘g-gawat.... gua bisa ketauan..... bangsat ni tua bangka....”
Erik segera bangkit. Dengan kakinya ia menginjak-injak kepala sang nenek beberapa kali.

Tubuh sang nenek kini benar-benar tak bergerak.
Erik menyeret jenazah itu sampai ke tebing, disana ia segera melampiaskan nafsunya.

Setelah puas memainkan jenazah itu, Erik membuat bekas luka di lengan kiri dan kakinya agar ia tampak sebagai korban.

~***~

“huh......hehehe...........” Erik tertawa kecil, ia menundukkan kepalanya.

“apanya yang lucu....... lo udah tega menghabisi nyawa orang hanya karena bisikan tolol yang terngiang di telinga loo?????” suara Naya meninggi.

Erik bankit, ia melompati api unggun yang menyala dan menerjang tubuh Naya.
“Aaaaaaarrrghh......... lepasin gue........anjingggg......... “ Naya memberontak.

Erik segera menarik tubuh Naya, lengan kirinya ia gunakan untuk memiting leher Naya.
Naya mengapai-gapai, berusaha melepaskan diri. Namun sebilah pisau besar kini menempel di lehernya.
Dengan putus asa, Naya meremas kuat lengan yang menahannya.

“BANGSAAAATTTTTTTTTT...............LEPASIN NAYA......” Tomi berteriak.
Seluruh anggota kawanan kini dilanda kepanikan.

Para wanita berlari menjauh, sementara Tomi berjalan mendekati Erik.
“selangkah lagi lo maju..... leher kakak lo bakal putus....” hardik Erik.

Langkah Tomi terhenti.
“j-jaaangan..peduliin guee.... lo harus selametin kawanan ini... Aaaaaagghhhh...”
Erik mempererat jepitan lengannya.

“BANGSATTT........ KALO BERANI HADAPIN GUA.............” Tomi berusaha memprovokasi Erik agar melepaskan Naya.

“hehehe.......ngelepasin dia” Erik tertawa sinis. “ngelepasin orang yang udah ngerusak kesenangan gua sama Sheila? Jangan mimpi.......”
“Erik.......sadaaarrr... Sheila udah meninggal.... lo harus bisa terima kenyataan itu....” kata Rangga.

“DDDIIIIIIIIIAAAAAAAAAAMMMMMMMMM LO SEMUA....... BANGSAAT..” Erik berteriak. Sebilah pisau yang digenggamnya kini diacungkan kearah para kawanan itu.
Sandi yang baru akan angkat bicara mengurungkan niatnya.
“lo ngak tau... lo gak akan paham..... KARENA LOOOO GAK NGERASAIN APA YANG GUA RASAAA...” kata Erik. Suaranya kini mulai parau karena banyak berteriak.

“asal lo tau ya...... dari ketika lo semua misahin gue sama Sheila.... gua bersumpah, gak akan maafin lo semua seumur hidup gua......” kata Erik. Sorot matanya tajam, jilatan lidah api kini terpantul jelas dari bola matanya.

Tomi maju selangkah.
“gue gak percaya.........” ucapnya.
“apa ini bener-bener lo? Apa ini bener-bener orang yang sama yang ngajarin gue arti cinta yang sebenernya?” Tomi maju selangkah lagi.

“diem disitu...... lo yang gak tau arti cinta yang sebenernya.....LO GAK AKAN PAHAM PERASAAN GGUAAA........” Erik mengacungkan pisau itu kearah Tomi.
“pengorbanan hah? Jangan bikin gua ketawa.....”
Tomi maju selangkah lagi.

“mundur lo.... GUA BILANG MUNDUUUURR...” Erik kembali berteriak parau.
Tangannya mulai gemetar. Ia mundur selangkah menjauhi Tomi.

“kenapa? Lo pikir dengan pengorbanan lo Sheila bakal bahagia...?”,”lo salah......” kata Tomi.
“DIAM LO BANGSAAAT....”

Tomi kembali maju selangkah.
“haha....gua pengen tau apa yang kira-kira bakal diucapin sama si Sheila itu....” ucap Tomi.
“ANJING LO.... DIAM KATA GUA.....”
“kalau dia tau...... cowo yang dia selametin dengan ngorbanin nyawanya..... tega ngebunuh cuma supaya bisa ngesex sama wanita lain selain dia...” Tomi kembali maju selangkah.
“..............” Erik terdiam. Ia hanya dapat mengacungkan senjata itu kearah Tomi.

“....dan bisa-bisanya lo berdalih, itu sebuah pengorbanan??? Ngelawak jangan disini broo.....”
Posisi Tomi semakin dekat. Erik hanya dapat mengacungkan pisau yang digenggamnya dengan gemetar.

“hiiiikkkkkkkkkk...........” Naya menggigit lengan Erik.
“Aaaaaaaaaarrrghhhhhhh,........ dasar pelacur.......” Erik mengibaskan tangannya. Tubuh Naya terhempas ketanah.

“MAAATTIII LO PEREEEKKKKKKK...............” Erik mengangkat pisau yang digenggamnya tinggi-tinggi.
Tomi terbelalak ngeri, ia berusaha mencegah serangan itu.

“ccccrroooott..........”
Cairan merah itu menyiprat.

Tomi tertegun sejenak melihat pemandangan itu.
Tante Sarah telah menghalangi tusukan itu dengan tubuhnya, darah menetes dari mata pisau yang kini tertancap di perutnya.

“Aaaaaaaaaaaaaarrrrrrghhhhhhhh............... ..” Tomi menerjang tubuh Erik.
Kedua pemuda itu kini jatuh terjerembab.

Tubuh tante Sarah jatuh terkulai ditanah.
Teriakan histeris terdengar. Seluruh anggota kawanan menghampiri tubuh wanita itu. Naya meraih pundah tante Sarah dan membalikkan tubuhnya.
“cari air bersih, jarum, dan benang kalau ada........cepaaaaaat........”
Para wanita berlarian. Aryo, Rangga, dan Sandi berusaha membawa tubuh tante Sarah menjauh.

“hhhhaaaaarrgghh.......” Tomi melesatkan sebuah tendangan kearah Erik.

“duggg......”
Erik menepis dengan lengan kirinya.
Sedangkan tangan kanannya kini telah terkepal. Tinju itu melesat kearah wajah Tomi.

“DUAAGGG.......”
Tubuh Tomi terhempas ditanah.
Erik berbalik dan lari menjauhi pemukiman itu.

Tomi kembali memulihkan kesadarannya. Disamping tubuhnya kini tergeletak sebilah pisau penuh darah yang digunakan Erik untuk menusuk tante Sarah. Ia segera meraih pisau itu dan berlari mengejar Erik.

Erik menoleh kebelakang, ia sadar Tomi mengejarnya.
Ia merunduk dan meraih sebuah batang kayu lapuk sepanjang satu meter yang tergeletak ditanah.

Tomi mengayunkan pisau yang tergenggam di tangannya, sementara itu tongkat yang digenggam Erik juga melesat kearah Tomi.

“kraakk.....”
Batang kayu dan pisau itu beradu.
Beberapa saat kemudian kedua pemuda itu saling jual-beli pukulan.

“semua yang lo omongin omong kosoooonnng.....” Tomi menyabetkan pisau itu.
Erik mundur selangkah menghindarinya. “orang yang gak tau apa-apa... mending gak usah ngomongg.......” batang kayu yang dipegangnya kembali ia ayunkan.

“zzzraaaaaakkkkk...........”
Batang kayu itu hancur ketika menghantam kepala Tomi. Serpihan kayu-kayu lapuk itu bertebaran di udara.
Tampak jelas di keremangan cahaya malam, setetes cairan gelap menetes turun dari dahi Tomi.

Ia terjerembab ditanah, pisau yang digenggamnya telah terlepas.
Erik menerjang tubuh Tomi. Ia kini berlutut diatas tubuh Tomi dan mulai melesatkan pukulan demi pukulan.
“buggg...bugg...buggg..buggg........”

Tomi melindungi kepalanya dengan kedua lengan yang menyilang.
Kakinya yang dapat bergerak bebas ia gunakan untuk menyerang Erik dengan lututnya.

“Aaaaaaaaaaaaarrggh...”
Tendangan itu tepat mengenai tulang rusuk Erik.
Ia jatuh berguling di sebelah Tomi.

Tomi bangkit, ia meraih kerah baju yang dikenakan Erik.
“gue gak akan maafin.............”.“BUGG......” pukulan itu tepat bersarang diwajah Erik.
“karena loooooo......................”,”BUG.......” pukulan berikutnya mendarat ditempat yang sama.
“BERANI BAHAYAIN NYAWA KAKAK GUAAAAAA........................”,”BUUUUUGGGGG.... ...”
Sebuah pukulan yang jauh lebih keras dari sebelumnya membuat tubuh Erik terhempas ditanah.

Tomi mengambil sebilah pisau yang sempat terlepas.
Ia mengenggam erat pisau itu dengan posisi bilah mengarah kebawah.

Erik berusaha bangkit dengan membalikkan tubuhnya.
Namun Tomi sudah menerjang kembali kearah Erik.
“bruuakk.........”

Tubuh Erik kembali terkapar.
Tomi menindih tubuh Erik dengan duduk diatas perutnya.
Pisau yang tergenggam erat ditangannya itu kini ia angkat tinggi-tinggi.

“Aaaaaaaaaaaaarrrrggggggggghhhhhhhhhh............. ” bilah pisau itu melesat cepat.
Erik memejamkan mata menanti ajalnya.

“Ccccccrrrekkk...................”

Percakapannya Tomi dengan Naya kembali terngiang di pikirannya.
“tetep aja, gue gak bakalan maafin dia sampai kapanpun.....” Tomi kembali menyendok makananya.
“Tom...... gue ngerti, tapi nyimpen dendam di pikiran lo itu gak baik.... gimana lo mau move on kalo pikiran lo gak jernih?”
“justru itu.... supaya jernih ya harus di selesaiin....”
“susah ngomong sama lo...... yaudah kelarin tu makan, abis itu kita pergi...”


Kedua pemuda itu terdiam.
Tomi masih mengerutkan dahinya, giginya mengatup rapat, matanya memandang dengan tajam.
Erik membuka matanya dengan perlahan.
Tubuhnya yang kesakitan karena dihajar bertubi-tubi tak mampu bergerak.

Tomi masih menggenggam gagang pisau yang bilahnya kini menancap ditanah, hanya beberapa senti dari kepala Erik.

“kenapa? Lo takut?” kata Erik datar.
Tomi terdiam.

Derap langkah kaki mendekati mereka. Aryo, Rangga, dan Sandi segera menyergap tubuh Erik.
Tomi menyingkir, membiarkan ketiga pemuda itu menyeret tubuh Erik.

“pengecut.......... cuihhh........” Erik memandang Tomi dengan tajam, ia meludahkan darah yang mengumpul di rongga mulutnya ketanah.
“.................” Tomi hanya berdiri terdiam tak mampu bicara.

‘ANJINGGGGGGGG.......... KENAPA GUA GAK BUNUH DIA TADI..........’ umpat Tomi dalam hati.
Ia tampak sedikit menyesali keputusannya barusan, mengingat Erik sudah melukai seseorang yang berusaha melindungi Naya, Tomi merasa begitu bodoh.

~***~

Malam itu, tragedi pembunuhan sadis telah terungkap.
Erik melakukannya didasari rasa ingin bersama dengan Sheila.

Pemuda itu kini diikat dengan tali pada sebuah pohon besar.
Tomi berjalan gontai menuju pemukiman mereka. Ditangannya masih tergenggam erat sebilah pisau berlumuran darah dan tanah.

Aryo dan Sandi sedang menjaga Erik agar tidak melarikan diri, sementara Rangga terlihat cemas dibalik tirai rerumputan yang menutupi pondok tempat tante Sarah dirawat oleh pada perempuan.
Tante Dewi dan tante Mia sedang berusaha merebus air.
Sementara Rafi bolak-balik mengantarkan air yang sudah dipanaskan kedalam pondok itu.

Suasana diluar pondok menjadi hening. Tak ada yang berbicara.

~***~

“naayy...gimana ini... ngak ada jarum.... kita ngak bisa jahit lukanya.... kalo benang masih ada, tapi jarumnya...” Indah berkata dengan panik.
“ambil bambu sama pisau... cepetannnn..........” Kata Naya.
“darahnya keluar lagi Nay..........” Dara yang sedang merapatkan kulit perut tante Sarah terlihat panik.
“airnya manaaa......” Naya berseru kepada Nasha yang sedang memeras kain berlumuran darah.
“i-iya....sebentar...”

~***~

Suara gaduh didalam pondok membuat para lelaki bertambah gusar.
Rangga berpaling dari posisinya di depan pondok dan menghampiri Erik.

“BUUUGGGG...............” sebuah pukulan telak mengenai wajah Erik.
Pemuda yang terikat itu hanya dapat menundukkan kepalanya. Tetesan darah mulai membasahi tali yang mengikat tubuhnya.

“Hoooyyy...... apa-apaan lo.... mau main hakim sendiri...” Aryo berseru lantang.
“woooyy.............jangan emosi.......sadaarrr...” Sandi menarik tubuh Rangga menjauh.
“LEEPAASSSSSS... BIAR GUA HAJAR BAJINGAN INI..... BANGSAT..” Rangga meronta.

“hehheheeeehh.... lo marah karena gua mau bunuh tante bermuka rusak itu?” Erik menyeringai licik.

“PLAAAAAKKKKKKKK.............” sebuah tamparan keras dilancarkan Tomi kearah wajah memuakkan itu. Erik kembali tertunduk.
“hehh..hahaha.....sekarang apalagi.... si pengecut mau jadi pahlawan? Begitu?” Erik kembali memprovokasi.
~***~

“nayyy... ini bambunya... pisaunya..... gue harus apaa???” Indah hampir menangis karena panik.
“siapin benangnya.....” kata Naya.

“uuughhhhh....Nay......” tante Sarah tampak berusaha mengucapkan sesuatu.
“tante jangan ngomong dulu yahh..... nanti darahnya ngak berhenti...” kata Naya pelan.
“bukuuu.... kamu bawa buku-akuuhh.......” tante Sarah berkata lirih.

Dengan cekatan, Naya membelah bambu itu dengan sebilah pisau menjadi sebesar tusuk gigi.
Salah satu ujungnya ia tajamkan setajam mungkin. Sementara itu diujung yang lain Naya membuat sebuah guratan untuk mengikatkan benang.

“mana benangnya...........” Naya mengulurkan tangan kepada Indah.
Indah memberikan ujung benang kepada Naya. Ujung benang itu segera diikatkan pada jarum yang terbuat dari bambu.
Simpul itu mengikat kuat.

Perlahan-lahan Naya berusaha menjahit luka di perut tante Sarah yang terbuka.
Syukurlah, luka itu tak mengenai bagian vital. Lubang vertikal yang dibuat oleh bilah pisau itu menyoyak buku harian tante Sarah yang selalu ia selipkan dibalik bajunya, sehingga pisau itu tak dapat menjangkau organ-organ vitalnya.
Namun kendati demikian, kulit perutnya terkoyak sedalam dua sentimeter.

Menjahit luka dengan jarum biasa saja sudah cukup sulit. Mengingat jarum untuk menjahit luka biasanya berbentuk melengkung untuk memudahkan jarum itu keluar dari tubuh pasien. Sekarang Naya dihadapkan dengan tantangan yang lebih sulit. Ia harus menjahit luka itu dengan jarum yang terbuat dari bambu yang tak seberapa tajam.
Tak jarang Naya dipaksa menajamkan jarum bambu itu berulang kali ketika ia sedang menjahit luka itu.

~***~

Satu jam berlalu.
Naya kini keluar dari pondok dengan tubuh yang berlumuran darah.

“Nayyy......... gimana keadaan tante? Gimana? Dia gak apa-apa kan?????” Rangga bertanya dengan panik. Ia mencengkeram bahu Naya dengan kedua tangannya.
“aduhh... sakit tau.... iya-iya....dia gak apa-apa...”
“terimakasih tuhannn..........syukurlah...” Rangga berlutut dihadapan Naya. Kedua tangannya kini ia gunakan untuk menutupi wajahnya.

“jangan seneng dulu....” Naya menunduk memandangi wajah pemuda yang sedang berlutut itu.
“k-kenapa?? Apa yang salah???” Rangga kembali bangkit.

“tante Sarah terancam infeksi serius.... alat yang kita gunain buat ngobatin dia gak steril.... gue gak mau tau.... kalian harus balik ke kapal feri buat nyari obat antibiotik.... kalo ngak, tante gak bakalan bertahan lebih dari satu bulan. Lagipula............” Naya belum selesai menjelaskan.

Namun Rangga sudah melesat berlari meninggalkan tempat itu.
“anjing..... tu anak maen kabur-kabur aja.......... OOOYYY TUNGGUIN GUEE....” Sandi bangkit dan mengejar Rangga.

Deretan pohon-pohon besar dilalui oleh Rangga. Langkah kakinya berderap dilantai hutan yang dipenuhi semak-semak.

“bruuukk.............”
Rangga terjatuh karena terantuk akar pohon yang melintang.

“haahh..haahh..haahh........makanya tungguin....” nafas Sandi terengah-engah, ia yang telah mengejar Rangga kini mengulurkan tangan untuk membantu sahabatnya itu.
Rangga tersenyum. “thanks bro.......”
“tappp.........” uluran tangan itu disambul oleh Rangga.

“sahabat memang seharusnya ada disaat kaya bgini broo...” kata Sandi.
Rangga mengangguk. setelah itu mereka kembali berlari menembus kegelapan hutan menuju pantai.

Kini mereka berlarian menyusuri tepi laut. Tanah becak dan lumpur sedikit mempersulit mereka. Namun tak butuh waktu lama untuk mencapai pintu di sisi lambung kapal feri besar berwarna putih itu.
Dari pintu itu menjuntai seutas tangga tali yang digunakan para survivor untuk turun dari kapal.

Rangga dan Sandi mulai memanjat naik.
Aroma busuk mulai tercium, namun semangat mereka tak tergoyahkan.

Mereka segera menyusuri lorong-lorong gelap tanpa cahaya.
Langkah-langkah kaki mereka berderap melangkahi mayat-mayat yang bergelimpangan. Posisi kapal yang miring sangat mempersulit langkah mereka.
Hampir seluruh mayat itu dipenuhi belatung dan lalar yang beterbangan ketika mereka berlari.

‘dapurr.....pasti didapurrr..........’ batin Rangga.
Kedua pemuda itu terus berlari. Rangga menghentikan langkahnya di balik pintu baja berwarna putih.

“braakkk..............”
Pintu itu menjeblak ke dinding ketika Rangga menendangnya dengan sekuat tenaga.
Mereka menyeruak masuk. Mata mereka menerawang ditengah keadaan minim cahaya. Satu-satunya penerangan saat itu hanyalah cahaya bulan yang masuk melalui jendela besar yang sudah kehilangan kacanya.

“SSHIIIITTTTTTTTT.............” Rangga mengebrak meja.
Ia mulai putus asa karena tak menemukan kotak obat di tempat itu.

“tenang bro..... jangan panik, ayo kita cari ruang medis... pasti kapal segede ini punya ruangan khusus untuk keadaan darurat....” Sandi berusaha menenangkan sahabatnya.
Rangga mengangguk.

Mereka kembali berlarian di lorong menuju aula utama.
Mereka berharap dapat menemukan papan petunjuk jalan yang dapat membimbing mereka ke ruangan kesehatan.

“sreeekk....”
Kaki Sandi berhenti melangkah.
Ia kini berdiri disamping tembok tempat sebuah poster disematkan.

“kenapa?” tanya Rangga yang juga menghentikan langkahnya.
Sandi menunjjuk poster itu. isi poster itu adalah denah lokasi didalam kapal feri itu.

Rangga dan Sandi memperhatikan dengan seksama tiap detil yang dijelaskan dalam gambar itu. jari-jari mereka menyusuri gambar denah kapal yang berwarna-warni
“bingggo.........” Sandi berseru. Jari telunjuknya telah ia arahkan pada satu titik yang terdapat tanda plus tebal berwarna merah.

Sandi dan Rangga kembali berlari menuju ruangan yang dimaksud.

“BRAAAKKK.........” pintu baja itu menghantam dinding.
Rangga dan Sandi kini memasuki ruangan yang didalamnya terdapat dua buah jenazah yang tak bernyawa.
Sandi sempat mengurungkan niatnya, namun karena melihat Rangga segera masuk, ia tak tega membiarkan sahabatnya mencari sendirian.

Ruangan itu sangat berantakan, bau bangkai yang menyeruak di dalam ruangan itu begitu menyegat, botol-botol berisi cairan terlihat berserakan dilantai ruangan itu. toples berisi pil berwarna kuning telah pecah, menyebabkan pil-pil itu berceceran dilantai.

‘mana sih antibiotik........’ batin Rangga.
Ia sedang mengaduk-aduk sebuah lemari, memeriksa tiap strip obat yang ia temui.

“antibiotik itu yang mana sih.........asuuu......” Rangga mengumpat.
“gua juga gak ngerti.... mana si Naya gak ngomong....” sahut Sandi.
“yaudah... tolong ambilin kotak gede itu San.... kita bawa aja semuanya, moga-moga ada antibiotiknya.........” Rangga menunjjuk sebuah kotak transparan besar yang tergeletak disudut ruangan.

Tanpa banyak berpikir. Mereka segera memasukkan seluruh obat yang ditemuinya kedalam kotak besar itu.
“udah gak muat....... gimana nih?” tanya Sandi.

Rangga segera melepas kaus yang ia kenakan. Bagian pinggangnya diikat membentuk simpul.
“masukin kesini...........” kata Rangga.

“ehhh... gak usah deng... itu masih ada satu kotak lagi di atas lemari.....” Sandi menunjjuk keatas lemari yang sedang mereka aduk-aduk isinya.
“woooooo...... sempak... kenapa gak ngomong dari tadi......” Rangga kembali mengenakan bajunya yang telah lecek karena diikat.

~***~

Mereka kini telah kembali berlari menyusuri hutan kearah pemukiman mereka.
Masing-masing dari mereka sedang menggendong kotak besar di pundak.

“srrraaakkk...ssraaakk..sraakkk...”
Rimbunnya semak-semak itu mereka terobos dengan membabi buta.
Tak lama, mereka segera sampai di pemukiman.

“naaaayyyyy..... ini obatnya.......” Rangga berteriak.
Sementara Sandi yang kelelahan segera meletakkan kotak besar yang dibawanya dan duduk meluruskan kakinya.

“gila...... lu nyari obat apa ngerampok...??” kata Naya.
“uda jangan banyak tanya... gua gak ngerti antibiotik tuh yang mana... makanya gua bawa semuanya...............”
“ck ck ck ...... makanya baca buku........ bawa masuk cepet” kata Naya.

Didalam, Naya memeriksa seluruh obat yang ada didalam kotak besar itu.
Sebuah strip obat berwarna silver bertuliskan ciprofloxacin kini berada di genggamannya.

“tante...... minum obatnya dulu....” kata Naya,
Ia menyerahkan obat itu kepada tante Sarah dan bergegas mengambilkan air untuk minum.

Tante Sarah memandang sayu.
Obat yang diserahkan Naya kini telah berada digenggamannya.

Naya mengambilkan air yang ia isikan kedalam sebuah botol plastik.
Ia menghampiri tante Sarah dan meraih cadar yang menutupi wajahnya agar tante Sarah dapat meminum obat.
“j-jangan....biar tante...minum sendiri........”

“bluukk..............”
Botol berisi air itu jatuh dari genggaman Naya.
Cadar yang dikenakan tante Sarah telah terlepas. Sesaat mereka berdua berpandangan.

“N-Nayyy........” tante Sarah berkata lirih. Ia terlalu lemas untuk berkata-kata.

Naya menggelengkan wajahnya beberapa kali dengan cepat. Ia segera mengambil botol yang ia jatuhkan lalu kembali diserahkan kepada tante Sarah.
“udah.... jangan banyak bicara dulu tante... yang penting tante harus minum obat....” kata Naya.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi wanita paruh baya itu. ia mulai menangis tersedu.
Dara, Nasha, dan Indah yang berada didalam pondok itu hanya bisa saling berpandangan. Bingung karena gelagat aneh Naya dan tante Sarah.

“sekarang tante istirahat..... aku mau keluar dulu....”
Naya berbalik, namun pergelangan tangannya ditangkap oleh tante Sarah.

Kendati genggaman tangan tante Sarah sangat lemah, namun Naya tetap berhenti.
“kenapa tante? Masih ada yang sakit?”
Tante Sarah menggelengkan kepalanya perlahan.
Ia mengambil buku harian berlumuran darah yang kini tergeletak di sisinya.

“bawalah..... aku tulis buat kamu....” tante Sarah mengulurkan buku yang digengganya kearah Naya.
“iya.........” Naya mengangguk.

Dengan langkah gontai setelah dua jam dilanda panik, kini Naya berjalan menuju perapian.
Ia duduk disana, dan mebaca buku itu sejenak. Raut wajah Naya mulai berubah, matanya menitikkan air mata, setelah selesai membaca buku itu, ia meletakkannya di sisi tempat ia duduk

Kedua kakinya ia peluk dengan kedua lengannya. Matanya memandang kosong kearah lidah api yang menjilat-jilat diudara.

Tomi berjalan mendekat, menghampiri Naya yang kelelahan.
Raut wajah Naya terlihat sendu. Sesaat Tomi sadar, Naya baru saja menangis.

“kenapa kak?” tanya Tomi.
Naya hanya terdiam. Buku harian tante Sarah yang sudah selesai ia baca, kini berada disisi tubuhnya.

“ini bukanya buku punya tante Sarah ya?” tanya Tomi lagi.
Naya mengangguk.
“gue udah baca.......” kata Naya.

Tomi memandang buku dengan bercak darah itu dengan penasaran.
Ia meraih buku itu dan membalik covernya.

Mata Tomi terbelalak, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat itu.


BAB 10
THE DIARY
Sebuah foto tersemat di halaman pertama ketika Tomi membuka cover tebal pada buku itu




Dear Diary.
Entah apakah aku harus menulis buku diary ini, sesungguhnya aku ragu buku ini akan ada gunanya.
Well, setelah mengalami berbagai hal mengerikan, aku tak yakin dapat hidup lebih lama lagi.
Biarlah tuhan yang akan memutuskan apakah diary ini akan berbicara nantinya.

halaman 1

“DUUAAAAAAAAARRRRRRRRR....................”
Sebuah ledakan besar berhasil merobohkan dinding kamar mandi ketika aku sedang berada didalamnya. Aku panik, kesal, marah, dan takut pada saat itu.
Bayangkan, sedang berada didalam sebuah bak mandi ketika sebuah dinding tiba-tiba roboh kearahku.
“aaaaaaaarrrghhhhhh.....” seketika aku mengangkat kedua tanganku untuk melindungi diri.

“bruukk.........”
Namun dinding itu tetap rubuh kearahku. Puing-puing kecil jatuh.
Untung saja, saat itu aku berada dekat dengan dinding, sehingga aku terlindung dari reruntuhan besar yang membentur dinding yang kusandari.

“toolooonggggggggg.....tolonggggggggg........ ...” jantungku berdebar cepat.
Api dengan cepat menjalar didalam kamarku. Untung saja, aku saat ini terlindung oleh reruntuhan dan juga berada didalam air.
Jika tidak, mungkin tubuhku yang tak terbalut satu busana pun sudah hangus terbakar.

Dengan selang air yang kugenggam, kini aku sekuat tenaga berusaha memadamkan api yang sedikit demi sedikit mulai menyeruak masuk.

halaman 2

Rumahku hangus terbakar.
Namun aku bersyukur dapat selamat. Well, setidaknya sampai saat ini.

Nasib buruk sudah menantiku ketika pemadam kebakaran mendatangi tempat ini.
Mereka begitu terkejut melihat diriku sedang telanjang tanpa busana.

Sejujurnya mereka menyelamatkanku, jika saja mereka tidak segera datang dan memadamkan api, mungkin diriku sudah mati karena air tempatku berendam berubah menjadi air mendidih.
Namun, ketika mereka membawaku keluar dan bertemu dengan polisi, disanalah nasib sialku terjadi.

Alih-alih dibawa kedalam ambulance, mereka justru menyeretku masuk kedalam mobil.
Entah aku dibawa kemana, namun mereka bahkan tetap membiarkanku telanjang tanpa busana. Aku kini duduk di kursi belakang, diapit oleh dua orang polisi berperut buncit.

Aku hanya dapat menunduk malu dalam mobil itu.
“duhhhh......... dapet barang bagus.....” polisi yang duduk disamping kiriku mulai meraba tubuhku. Sentuhan itu merayap diatas pahaku.
“j-jangaaann.....tidakk....” aku menjerit. Kedua tangan yang kusilangkan didada untuk melindungi auratku terpaksa kugunakan untuk menepis jemari nakal itu.

“hehehe..... pemanasan dulu enak kali ya?”
Polisi yang duduk disebelah kananku ikut meraba-raba tubuhku. Kini payudaraku telah berada didalam genggaman telapak tangan kasar itu.
“aaaaakkkkkhhhhhhhhhh................ toolllooooooooooonnnnnggggggg...” aku berteriak sejadi-jadinya.

Seorang polisi yang duduk di kursi depan segera berbalik.
Ia menodongkan sebuah pistol revolver kearah dahiku. Aku seketika diam, air mataku jatuh bercucuran.
“diaaammmmmmm......... kalo gak diam gua bolongin kepala lu.....” kata polisi di bangku depan itu.
“hehehehe..... udah manis... nurut aja.....” polisi disamping kananku mulai menciumi bahuku. Jenggotnya yang pendek mulai menusuk-nusuk permukaan kulitku.
Sementara polisi disamping kiriku kini menarik lenganku kesamping. Wajahnya mendekati payudaraku.

“aAaaaaakkhh....” aku mencoba meronta, namun sia-sia. Cengkeraman mereka bagai jerat setan yang tak mengijinkanku untuk lepas. Bibir polisi yang pecah-pecah itu kini menelusuri payudaraku.
“aa...j-jangaan.......saya mohoooonn...aaaaakhh........”
Permohonanku tak dihiraukan, polisi yang sedang menikmati payudaraku malah menggigit putingku dengan keras.

“Jo...... memeknya udah basah nih......” kata polisi disamping kananku.
“wooooo...... gue duluan boleh gak nih?” polisi yang duduk dibangku depan itu berbalik dan memandangi tubuhku.

Ia berbadan kurus, polisi yang sempat menodongku dengan senjata api itu kini melangkah menuju kursi belakang.
Kedua polisi disampingku menarik pahaku melebar.
Saat itulah aku melihat polisi kurus itu membuka resleting celananya.

Penis yang kurus itu mencuat keluar dari lubang di celana hitamnya.
Ia mendekatkan tubuhnya kearahku. Dapat kucium dengan jelas aroma rokok yang memuakkan itu mendarat dihidungku.

“toolllonngg.... lepasin....jangaaannnn...............” aku kembali meronta.
“PLAAKKK............”
Namun tamparan keras itu membuatku diam seketika. Polisi kurus itu menampar pipi kiriku.

“heh perek....... kalo lo mau hidup.. turutin aja kemauan kita-kita.....heheh”
“t-tolong........ aaaaaaakkkhhhhhhhhh.........”
Aku menjerit ketika penis itu didorong masuk dengan paksa kedalam vaginaku.

Dalam kabin sempit itu, mereka memperkosaku. Mempermainkan tubuhku, menghancurkan harga diriku.

“aaahhhhhhhh...... gila.... memek ni cewe mantep bener Rud....” kata polisi kurus itu.
“ahh masa sih Jo? Masi legit?” polisi disamping kananku menimpali.

“aaakakkhhh...aahhkkkk......tiidaaaaakkk..... ” aku mencoba meronta.
Polisi kurus itu kini menggenjot tubuhku. Penis itu menyeruak masuk ke dalam vaginaku berkali-kali. “ahhhh....mmh..aaaaaahhhh..gila.... mantep banget memeknya.......uuuhh....”

“ni mulut mesti di sekolahin rupanya.......”
Polisi disamping kananku menarik wajahku. Lidahnya kini menjilati wajahku.
Aroma nafasnya begitu busuk, aku sangat ingin muntah jika mengingatnya. lidah gempal itu berusaha menerobos bibir yang kukatubkan rapat-rapat.
Sementara itu polisi disamping kiriku sedang menikmati payudaraku dengan rakus.

“oooohhh......ohhhhh....ohh.....jj-jjjaaanngannn....ohhh.... saya mohooonn.........”
“hahaha.......sekarang lo udah jadi milik kita....... gak usah melawan.........” polisi yang sedang menyetir itu tertawa.

“aaaaaaaaahhhhhhhssshh....aahhh....ahhhh....ahhhhh hhhhhh..........ahhhhhhhhh....” polisi kurus itu meracau.
“croooott....cccrooott...ccrrrroootttttttt........ ..”
Tumpahan sperma itu membasahi liang vaginaku. Hangat, kedutan-kedutan itu sempat kurasakan sejenak sebelum penis itu dicabut.

Aku merasakan sakit, perih sekali ketika aku menerima serangan itu.
Air mataku jatuh terurai, bagai tirai besar yang menutup masa depanku dengan bayangan gelap.

Selama dalam perjalanan setelah itu, kedua polisi disampingku terus menikmati payudaraku yang membusung, sementara polisi yang tadi menyetubuhiku telah kembali ketempatnya.

Setengah jam berlalu, aku tiba disuatu tempat.
Sepertinya sebuah kompleks pergudangan yang tak terpakai.

Mereka menendangku keluar dari mobil.
Aku jatuh terjerembab di lantai semen yang kasar. Kulit siku tanganku terkelupas. Perih sekali rasanya.
Nampaknya disana sudah ada dua orang polisi lainnya yang sudah menunggu.

Polisi buncit yang duduk disebelah kananku langsung meraih rambutku yang terurai dan menjambaknya, memaksaku berdiri.
“ini dia komandan.... yang kita ceritain....hehehe............” polisi itu mengarahkan wajahku kepada sosok lelaki tua yang berdiri disamping mobil.

Pria tua itu mendekat, meraih daguku, dan mengamati tiap inci wajahku.
“PLAAAKKKKKKKK.................”
Tanpa alasan yang jelas, ia menamparku dengan keras.

Tubuhku terlonjak kesamping, namun rambutku yang dijambak menahanku agar tidak terjatuh.
“hehehehe....... hebat juga kalian dapat barang bagus....”
Pria tua itu menurunkan resleting celana dan mengeluarkan penisnya yang keriput.’

“ayo isepin dulu manis.....” ia berkata semanis mungkin.
“cuihh............” aku meludahinya.

“BANGSAT...........”
“duaaAAAAAGG...................” pria tua itu menendang dadaku, aku jatuh terjerembab. Beberapa helai rambutku yang terputus kini berada didalam genggaman polisi buncit itu.

“aaaaaggghh......sa-kit.......toloonnngg....” aku terus memohon.
“udah komandan.... kaya begini mah langsung di coblos ajaaa.........” polisi kurus itu memberi komentar.

Pria tua itu memandangku dengan sorot mata kelaparan.
Tangan kanannya mengurut batang penis keriput miliknya agar mengeras.

Ia mendekati tubuhku yang merangkak menjauh.
“Duuuag............”
Sekali lagi, sebuah tendangan mendarat di tubuhku.

Aku jatuh menelungkup, meringis menahan sakit.
Pria tua itu meraih pinggangku dengan jemari tangannya yang terdapat beberapa cincin batu besar berwarna-warni.

Ia menarik pinggangku agar aku berlutut membelakanginya.
“sssreeett....”
“aaaaakkkkkhhhhhhhhhh................” aku kembali memekik tertahan.
Perih sekali rasanya, sepertinya ada luka didalam liang vaginaku. Penis keriput itu kini bergesekan dengan dinding organ intimku. Sakit, perih, namun rasa itu tak sebanding dengan hancurnya kehormatanku.

“ooohhh....bener jo....mantap........ ahhh..ahhh............ahhh.......ahhhhhhh......... ..”

Ia menggenjot tubuhku maju mundur dengan irama tetap.
Tak sampai satu menit, ia sudah mengejang hebat.
“aaakkkhh....aaaaaahhh......ahhhhhhhh.aaaaaaahhhhh hhhhhhh....”

“crooott......Crooottt....crooott............ .”
Semburan sperma kembali membasahi liang kewanitaanku.
Pria tua itu tersenyum puas setelah berhasil menikmati tubuhku.

Saat itu aku diperkosa berkali-kali oleh mereka secara bergantian, setelah puas menikmati tubuhku, mereka mengurungku dalam sebuah sel besi yang berada di ruang sebelah.
Sel itu sangat kecil. Sekitar 1,5x1,5 meter. Aku bahkan tak bisa berbaring didalamnya.


halaman 3

Kekejaman yang mereka lakukan berlangsung selama satu minggu.
Setiap hari aku dipaksa untuk melayani nafsu bejat para ‘oknum’ aparat penegak hukum itu, pernah suatu hari aku dipaksa untuk bersetubuh oleh sepuluh orang secara bergantian.

Saat itu aku sampai sulit bergerak.
Selangkanganku perih dan mulai berdarah, tubuhku penuh luka memar berwarna biru akibat pukulan mereka.

Mungkin mereka telah bosan mempermainkan aku, aku sempat berharap mereka akan melepaskanku. Namun ternyata mereka menjualku kepada rumah prostitusi, disana nasibku tak bertambah baik.

Hari-hariku diisi oleh rasa sakit yang harus kurasakan ketika menjadi budak sex dan melayani tiap pria yang datang.

Aku sudah tak tahan lagi, kuputuskan untuk kabur.
Aku mencoba pergi dengan menjebol teralis jendela tempatku dikurung. Tanpa bekal apapun aku lari dari tempat itu.

halaman 4
Aku berusaha kabur tanpa menimbulkan kegaduhan, namun aku sama sekali tak mengangka bahwa ketika sedang menyelinap dihalaman, kehadiranku diketahui oleh anjing penjaga yang seketika mengonggong.

Aku kembali ditangkap.
Kali ini, aku disekap dalam ruang bawah tanah yang gelap dan lembab.

“PLAKKK............”
Tamparan keras itu menimbulkan rona merah yang pedih pada pipi kiriku.
“mau kemana lu perek?”,”... lu pikir bisa kabur dari sini? Lu lupa? Tempat ini di bekinging sama polisi?” pria dengan brewok tebal itu menghardik.
“tolong...... saya mohon, lepasin saya.... saya gak akan ngadu kesiapapun... tapi tolong lepasin saya”

Pria itu tertawa.
“hahahaha? Lo pikir gua takut lo ngomong sama orang-orang? Atau takut lu lapor polisi? Hahahaha............... Blek... lo kasi perek ini pelajaran...” pria itu menengok kearah lelaki dengan badan kekar yang mengawalnya.
“heh..... ini mah kecil.......” pria besar itu menghampiriku.

Aku kembali dihajar, diperkosa berkali-kali.
Saat itu aku berharap, tuhan segera mencabut nyawa ini.

Aku tak kuat lagi, bahkan untuk sekedar menangis aku sudah tak mampu.
Mungkin mata ini sudah lelah mengucurkan air mata, yang tersisa hanyalah luka dalam yang menyayat hati.

halaman 5

Hari-hari kembali berlalu, namun hari ini aku seperti mendapatkan sebuah harapan baru.

Setelah melayani nafsu seorang pelanggan, pria itu tertidur pulas di kamar 102 yang kami tempati.
Saat itu aku melihat ponselnya tergeletak.
Tanpa pikir panjang, aku segera menelepon Andre, yahh... Andre adalah adikku yang kuutus untuk memata-matai gerak gerik Naya.

Aku sadar, caraku sungguh licik.
Berkali-kali Andre memintaku untuk mengehentikan itu, namun aku tak menampiknya.
Saat itu, mataku telah dibutakan oleh kemilau harta.

~***~

“rrrttt......rrrttttt....rrttt..........”
Handphone yang tergeletak di permukaan meja kaca itu bergetar.
Andre baru saja keluar dari kamar mandi.

Ia berjalan dengan sebuah handuk putih yang terlilit di tubuhnya.
Andre meraih ponselnya, sejenak ia memandang kearah layar yang menunjukkan nomor telepon tak dikenal. Ia ragu sejenak, namun akhirnya ia mengangkat telepon itu.

“halo....” kata Andre santai.
“h-halo..Ndre..... ini kakak.... tolonggg......” suara itu berbisik dari ujung telepon.

Andre diam sejenak, suara itu adalah suara yang sangat dirindukannya.
Suara kakaknya Veni yang sudah beberapa lama hilang tanpa jejak.

“kak??? Ini beneran kakak....” Andre mulai bertanya
“i-iya....tolong Ndre, kakak ada di rumah prostitusi, gak jauh dari kost kamu... tolongg bebasin kakak dari sini........” suara Veni lirih dan tetap berbisik pelan.
“APAA.....g-gimana ceritanya.....”
Andre memegang dahinya. Rambutnya yang masih basah menyipratkan air ketika rambut hitam itu tersibak.
“jangan sekarang.... nanti kakak jelasin, please...... tolongin kakak... kakak takut..”

Andre menarik napas panjang.
“oke.... kakak ada dimana, nanti aku ajak temen-temen....” kata Andre.
“lantai 3... kamar 102..... cepetan Ndre...”

“tuuutt..tuuttt....tuuttt..”
Ponsel yang masih menempel di telinganya berbunyi.

Andre segera berpakaian, ia menyambar jaket kulit yang ia gantungkan di belakang pintu kamar kost itu lalu bergegas menuju halaman parkir.
Sebuah kunci ia sematkan di lubang yang terdapat pada motor sport berwarna hitam.
Tuas gas itu ia tarik.

“wuuuuuuuuungggggggggg.....”
Mesin motor itu meraung keras.

Andre mengenakan sebuah helm fullface untuk melindungi kepalanya dan bergegas pergi.
Tujuannya saat itu adalah pergi ketempat teman-temannya sesama geng motor tempat ia biasa berkumpul.

***

“zzzraaaakkkkkk........”
Ban depan motor itu berhenti di atas aspal berpasir.
Ia meninggalkan motor itu, dan melepas helmnya.

“whats app bro..... bete banget tampang lo?” sapa seorang pemuda dengan tato ditangan kirinya. Pemuda itu mengulurkan tangan yang dibalas oleh Andre.
“lagi gawat Ri..... kalian bisa tolongin gue ga?” kata Andre.

Andre kini berada di sebuah tanah lapang di antara gedung yang tinggi menjulang.
Disanalah geng motor itu biasa berkumpul.

Terlihat tak kurang dari dua puluh orang dengan tampang sangar berkumpul disana. Mereka serempak berdiri dan menghampiri Andre.
“ada masalah apa Ndre..... ada yang bisa kita bantu?” seorang pemuda berbicara pada Andre. Ia adalah Gama, kepala geng motor itu.
“iya bang..... gue mau minta tolong sama abang.... kakak gua di sekap di Orion.... gua mau nyelametin kakak gua bang, tapi gak mungkin kalo gua sendiri.....” kata Andre
“Orion? Lu gak salah ngomong kan?” tanya Gama.
“sorry bang... gue ngerti tempat itu bahaya, makanya gue mohon pertolongan dari lo bang.... gue paham kalo ada diantara temen-temen disini yang ragu buat ikut.... tapi kalo memang abang gak bisa bantu gak apa-apa... nanti gue minta tolong sama temen-temen gua....” Andre memohon.

Suasanya hening sejenak. Tampak jelas dari raut wajah Gama, pemuda itu sedang memikirkan tiap resiko yang mungkin mereka alami.

“gue ikut...........” seorang pemuda berseru, ia maju mendekati Andre dan Gama. Ditangannya sudah tergenggam sebuah stik baseball.
“gue juga......” seorang pemuda lagi mengeluarkan sebilah pedang dari tasnya.
Belasan anggota yang lain segera bangkit berdiri dari motor mereka. Seluruh anggota geng itu kini berbaris dibelakang Gama.

Gama menoleh memandang kesekeliling. Tampaknya seluruh anggota geng itu sudah setuju untuk membantu Andre.
“soo... tunggu apa lagi.... kita serbu tempat itu....” kata Gama.
“HOOOOOOOOOO...................” seluruh anggota geng itu berseru lantang seraya mengacungkan tinjunya ke udara.

Andre memandang dengan takjub.
Tanpa ia sadari airmatanya menetes. Ini adalah kesempatan satu-satunya untuk dapat bertemu kembali dengan kakaknya, ia bersedia mengambil segala resiko untuk itu.

“ambil nih.....” Gama menyerahkan sepucuk pistol kearah Andre.
“buat jaga-jaga, gue sama temen-temen cuma bisa bukain jalan dan ngalihin perhatian... setelah itu lo mesti usaha sendiri....” lanjutnya.

“makasih bang... gue gak tau gimana ngebales kebaikan lo.......” kata Andre.
Sebuah harapan kini tersirat diraut wajahnya.
Gama menepuk bahu Andre.
“kita berangkat sekarang....... AYO GUYS...........” Gama berseru lantang

“Rrrrroooooooon.....ddroooooonnnnnnn...”
“wwwoooooooonggggggggggg”
Belasan motor menderu. Asap putih mulai mengepul di tanah lapang itu.

Mereka melesat menuju rumah prostitusi tempat Veni di sekap.
Dengan senjata yang tergenggam ditangan mereka, mereka menerobos kemacetan.

Para pengendara yang sedang berada di jalan mereka melintas segera minggir. Raut wajah ketakutan menghiasi muka mereka.

“wwwoouunnggggg..............” motor-motor mereka berhenti di pelataran parkir gedung itu.
Gedung itu tak terlalu besar, namun mewah. Orion adalah tempat prostitusi ternama di kota itu, penjagaanya sangat ketat.
Anjing-anjing penjaga mulai menggonggong.
Tak butuh waktu lama hingga para penjaga berdatangan.

“kita cuma punya waktu sedikit... polisi pasti langsung dateng kesini... lu harus cepet....” Gama berkata kepada Andre.

“crekkk..........”
Andre mereload senjata yang digenggamnya. Senjata berwarna hitam itu segera ia selipkan dibalik baju kemeja yang ia kenakan.
“oke bang.... makasih banyak ya bang......” Andre menganggukan kepala.
“hati-hati lo.....” kata Gama.

“WOYYYY....... APA-APAAN LO?” seorang penjaga berbadan kekar berteriak sambil menunjuk kearah kawanan geng motor itu.

“DOORR..............” Gama menarik pelatuk senjata yang ia genggam.
Sebuah peluru melesat, kepala penjaga itu tertembus hingga darah dan otaknya menyiprat di jendela kaca yang ia punggungi.

“kkyaaaaaaaaaaaaa..................”
Teriakan mulai terdengar. Orang-orang didalam gedung itu berhamburan keluar.
“praaangg........praaanggggggggggg..........”
Suara kaca yang pecah itu berkelontang ketika anggota geng memecahkannya dengan senjata yang mereka genggam.

“woooff...woofff.......ggrrrrrr.......”
Seekor anjing herder besar berwarna hitam menerjang salah satu anggota geng itu.
“zraaaakkkkkkkkk.............” pemuda bertampang sangar itu menyabetkan sebilah pedang panjang yang ia genggam.

Darah anjing itu menyiprat dimuka pemuda itu.
Anjing itu terhempas ketanah, kepalanya telah berpisah dari badannya. Kejang beberapa saat, tubuh anjing itu kini diam tak bergerak.

“MAJUUUUU...........” Gama berteriak.
Seluruh anggota geng motor itu menyerbu kedalam gedung.

“DOORR....DOOORR...DORR....” tembakan bertubi-tubi terdegar.
Peluru itu berseliweran, mereka kini terlibat adu tembak dengan para penjaga.

“Aaaaaaarrrrghh....... gue kena.......” seorang anggota geng berteriak kesakitan ketika peluru itu menembus bahunya. Pakaian yang dikenakannya perlahan mulai memerah.
“DOOORR..............”
Gama melesatkan sebuah tembakan spekulasi dari balik tembok.

“praaangggggggg..........”
Tembakan itu mengenai dada seorang penjaga, tubuh penjaga itu terhempas dan menghantam kaca.

“UUUoooooooooooo...................” anggota geng berseru.
Mereka yang tak memegang senjata api segera menerobos.

“zraaaaaakkkkkk....zraaakkk.......” pedang yang mereka genggam disabetkan dengan membabi buta.
“aaaaaaaaaahhhh...............” seorang perempuan berjongkok sambil memegangi telinganya. Cipratan darah segar memercik mengenai wajah perempuan itu. matanya terbelalak ngeri ketika melihat sebuah kepala jatuh dihadapannya.

“baakk..buggg..bakkk..buggg.............” anggota geng yang memegang stik baseball tak kalah beringas. Mereka menghantamkan pemukul itu kepada setiap orang yang menghalangi.

Para penjaga itu roboh tak bernyawa.
“Ndreeeee........ cepaaaaaaattttt.............” Gama berseru.

Para anggota geng itu berjaga di pintu masuk. Pistol-pistol yang sudah tak berpeluru itu segera mereka isi kembali.
“kita tunggu Andre disini.... bisa gawat kalo polisi datang....” kata Gama.
“oke bang.......” seorang anggota geng menyahut.

“dak...dakk..dakk..dakk..dakkk.dak....”
Derap langkah Andre terdengar menyusuri anak tangga menuju lantai tiga.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang berlarian panik.

Jeritan-jeritan itu bergema dalam lorong yang sempit, Andre kini sudah berada dilantai tiga.
“DOOORRRRRR..............” sebuah tembakan terdengar.
Peluru itu melesat di sisi kepala Andre.

Pemuda itu merunduk dan berguling menuju dinding untuk berlindung.
“bangsat.... masi ada ternyata...” gumam Andre
Ia mengeluarkan pistol yang terselip di balik bajunya.
“DOOORR.....DORRR....DORRR...........”

Peluru-peluru yang ditembakkan oleh penjaga itu mengenai dinding tempat Andre berlindung.
Ia bersiaga, mencari celah untuk keluar dan menyerang. Saat ini jantungnya berdegub kencang, ia menghela napas dengan cepat untuk menstabilkan emosinya.

“hhaarrgggh.....” Andre melompat.
Pistol hitam yang tergenggam ditangannya ia arahkan kebalik dinding.
“DOOORRR...DOOOORR.......” dua tembakkan ia arahkan ke ujung lorong itu.

“aaaaaaaggghh.............” bahu penjaga itu terkena. Ia jatuh terjerembab dilantai, sementara pistol yang digenggamnya kini terlepas.

Andre meraih sebuah bangku yang tergeletak di lorong.
Ia berlari kearah penjaga yang berusaha meraih pistolnya yang terjatuh.

“BRAAAAAAAKKKKKK..........BRAAAAAAAAKKK....BRAAAAA KKKK...”
Kursi itu dihujamkan Andre bertubi-tubi. Hingga penjaga itu mengerang kesakitan.
“DOOORRRRR..........” sebuah tembakan ia arahkan di kepala penjaga itu untuk memastikan agar sang pria berbaju hitam itu mati.

Sepucuk pistol yang tergeletak dilantai ia raih.
Andre kembali berlari menyusuri lorong dengan dua pucuk pistol yang ia arahkan kedepan.
Matanya mencari-cari angka 102 tempat kakaknya berada.

‘itu dia...........’
Mata Andre kini tertuju pada sebuah pintu kayu berwarna cokelat.

“BBRAAKKKKKKKKK.........”
Andre menendang pintu itu yang seketika terbuka dan menghantam dinding.
Dua pucuk pistol yang ia genggam masih terarah kedepan.

“Andre.............” Veni berseru.
“kakak... ayo cepat.........” Andre bergerak menuju kakaknya.

“AAWAAAAASSSS............” Veni berteriak. Pria yang menjadi lawan mainnya sudah bersiap dengan sebuah botol bir tergenggam ditangannya.

Andre seketika menoleh.
“Praaanggggggg........”
Botol itu disabetkan mengenai kepala Andre. Rasa sakit yang teramat sangat kini dirasakan oleh pemuda itu. kepalanya kini mengeluarkan darah yang mengalir di dahinya.
Andre rubuh kelantai.

“Aaaaaaaaarrgh.......” Pria itu mencoba menusuk Andre dengan pecahan botol yang masih tergenggam di tangannya.

“DOOOORRRRRRRRRRR................”
Darah segar menyiprat membasahi langit-langit ketika Andre yang masih terbaring dilantai melesatkan sebuah tembakan yang menembus kepala pria itu.
“bruukkk.........” pria itu terjerembab tak bernyawa dilantai kamar.

“Andreeeeeeee............” Veni meraih tubuh Andre yang masih tergeletak dilantai.
“aaarrghhh....” Andre mengerang. Sebelah tangannya kini memegangi dahinya yang terluka.
“k-kamu gak apa-apa? Ndreee...........” Veni berseru dengan panik.

Andre mengangguk. ia mencoba berdiri dengan sisa-sisa tenaganya.
“iya... gak apa-apa... kita harus cepat.... temen-temen aku lagi nunggu dibawah....”,”ambil ini kak... buat jaga-jaga.........” Andre menyerahkan sepucuk senjata kepada Veni.

“ayo kak.....” Andre berseru.
Veni mengangguk. mereka segera keluar dari ruangan itu dan berusaha turun kelantai paling bawah.

***

“DOORR...DOOORRR..DOOORR..DOORR...”
Para anggota geng kini terlibat adu tembak dengan polisi yang sudah mendatangi tempat itu.
“aaarghh.............” seorang anggota tertembak. Ia merunduk dibalik meja, disampingnya terlihat salah satu anggota geng sudah terbaring tak bernyawa.

“Andreeeeeee... ayo cepaaaattt..........” Gama berteriak.
Andre yang baru saja tiba segera berlari menuju pintu masuk.

Baku tembak terus terjadi. Sesekali mereka terdiam untuk mengisi peluru pada pistol mereka.
“Aaaaaaaaaaarrgghhhhhhhhh......” Gama berteriak. Ia melompat keluar dari persembunyiannya.

“DOORRRR..DOORR..DOOORR......” tembakan itu ia arahkan ke bagian belakang mobil tempat polisi itu berlindung.

“krucukk.. krucukk....”
Bensin mobil itu mulai menetes.

“TEMBAAAAAAKKKKKKKKKKKKK.........” Gama kembali berteriak.
Para anggota geng segera menghujani mobil polisi itu dengan peluru.

“DUUUUUUUUUUUUAAAAAARRRR.................”
Mobil itu meledak hebat dan terbakar. Polisi yang berlindung dibalik mobil itu seketika terhempas kebelakang.

“AYOOOO CEPAAAAAAAT..................” Gama kembali berseru lantang.
Para anggota geng mereka segera menyeruak keluar dari gedung itu.

Andre kini menggenggam pergelangan tangan Veni dan berlari mengejar anggota geng itu.

“BANGSAATTTTTT...............” seorang pria berteriak dari dalam gedung.
Andre menoleh, pria itu mengenggam sepucuk senjata ditangannya.

“AWAAAASSSSSS..............” Andre berteriak, ia menarik lengan Veni.
Perempuan itu jatuh terjerembab di pelataran berbatu.

“DOOORRR......” sebuah peluru melesar dan menembus dada kanan Andre.
Pemuda itu tercekat menahan sakit yang ia rasakan. Andre segera mengarahkan senjata yang ia genggam kearah pria itu.

“DOOORR...DOOOORR...DOORRRRR..............”
Dua tembakan meleset, namun tembakan ketiga tepat bersarang di dada pria itu.
“aaaarrrghhhhhh...........” pria itu mengerang. Darah kini memancar dari dadanya.

“Ndreee.......... ayo.... jangan tinggalin kakak....” Veni meraih tubuh Andre yang baru saja jatuh berlutut di tanah.
“aarghhh......haaahhhhhh...haahhh.........” Andre mengerang.

“ayo Ndreeeee...... kita harus cepat........” seorang anggota geng memapah tubuh Andre untuk naik keatas motor yang sudah bersiaga.
“ayo.... lo naik.....” kata pemuda itu kepada Veni. Pemuda itu sudah bersiap diatas motornya sendiri. Tanpa berpikir panjang, Veni segera naik.

“WUUUNGGGGGGG...WUUNNGGGGGGGGGGGGGG............... .” mesin motor meraung hebat.
Motor-motor itu melesat meninggalkan gedung yang kini hancur disana-sini.
Mereka menuju kesebuah tempat yang hanya diketahui mereka. Sebuah daerah yang digunakan untuk menumpuk peti kemas yang berada dekat dengan pelabuhan.
Mereka masuk kedalam sebuah gedung tua melalui rolling door besar yang sudah terangkat keatas.

“wwuuunnggg.........wuunggggggg............” suara motor-motor itu bergema dalam gedung tua itu.

Veni turun dari motor dan berlari menghampiri Andre yang kini di baringkan diatas tumpukan kayu lembab.
“Andreeeeeee...............” Veni berseru.
“hhhhhaaaahhhhh....kak.............uuugghhhhhhhhh. ...........” Andre mengerang.
“Andree.... jangan tinggalin kakak...... pleaseeee......” Veni mulai menangis memandangi tubuh Andre yang bersimbah darah.
“kkhh..k-kak....... “ kata Andre.
“i-iyaaahhh.... kenapa Ndre... hiks..hikss..” Veni masih terisak. Butir-butir air mata masih membasahi pipinya.
“tol-long...janji....sama aku....... j-jagain Naya.....” kata Andre terbata-bata.
“jangan sekarang..... please... kamu gak boleh ninggalin kakak...... pleasee...”

“bos.... kita keluar dulu ya... ngak enak kalo kita tetep disini..” seorang anggota geng berkata kepada Gama.
Gama membalas dengan menganggukkan kepala.
Anggota geng yang lain meninggalkan mereka berdua, kecuali Gama, yang masih berdiri memandangi mereka.
“Ndreee.... lu harus bertahan... lu harus kuat...” kata Gama
“b-bang..... makasih...banyak..., m-maafin..gue... gara-gara gue.........”
“sshhhh.....”,”udah... lu gak perlu minta maaf, mereka berkoban atas kemauan sendiri.... yang penting lu harus bertahan sekarang...” kata Gama

“Ndre... please...... jangan tinggalin kakak....” Veni kembali menangis.
“bang....gue...g-gue gak bisa lama-lam-aaa.... tolongin gue....sekali lagi.........” Andre meraih tangan Gama. “janji.....s-sama gue bang....aarrghhhh....... tolong.. jagain kakak gue....”
“iya... gue bakal jagain kakak lo..... tapi tolong lo tenang sekarang..... lo gak boleh banyak ngomong dulu.....” kata Gama. Ia menggenggam telapak tangan Andre erat-erat.

“m-makasih....” sejenak, Andre memandangi wajah Gama. Kemudian, ia menoleh memandangi wajah Veni yang kini bersimbah air mata ”kak.... janji ya..... kakak harus...t-tetep hidup... buat jagain...Naya....” Kata Andre.
“i-iya... hiks hiks...... kakak janji.....” kata Veni.
“jaga...diri baik...baik...” Andre meraih wajah Veni dengan jemarinya.

“j-jangan......pleaseeee.............Ndree....” Veni kini tak kuasa menahan tangis.
“hhhh-aahh...............”
Lengan Andre terkulai lemas. Ia telah menghembuskan napas terakhirnya.
Veni meraung sekeras-kerasnya meratapi tubuh Andre yang kini tak bernyawa.

“Aaaaaaaaaaaandreeeeee.......jangan tinggalin kakak......... pleasee.......hiks...hikss.........” Veni masih menangis. Air mata itu tak henti-hentinya mengalir, air mata yang sebelumnya sempat hilang, kini kembali.

~***~

halaman 6

Kini aku menjalani hari-hari baru.
Setelah kepergian Andre, aku harus pergi sejauh mungkin menghindari kejaran polisi.

Gama memintaku untuk tetap tinggal, ia tak ingin mengingkari janjinya kepada Andre.
Namun aku menolak dengan halus.

“maaf bang..... gue harus jagain Naya buat Andre...” ucapku.
Gama tertegun sejenak, namun akhirnya ia mengijinkanku pergi. Ia memberiku uang untuk bekal perjalanan selama dalam pelarian. Saat itulah aku merubah namaku menjadi Sarah.

Aku tak tau harus kemana.
Dimana aku harus mencari Naya.

Sejujurnya, dendam dalam hatiku masih membara. Namun permintaan Andre sungguh tak mampu kutolak. Ia telah mengorbankan nyawanya demi menyelamatkanku.
Aku tak ingin lagi menjadi sosok yang mementingkan diriku sendiri.

Aku egois, aku jahat, aku laksana iblis. Aku sadar akan hal itu.
Entah, apakah masih ada cukup harapan untuk menebus segala dosaku, semoga saja iya.

Aku kini berjalan, sebuah jaket bertudung warna cokelat kukenakan untuk menutupi wajahku.
Aku tak bisa mengambil resiko jika ada orang yang mengenaliku saat ini. Janjiku untuk menjaga Naya harus kutepati.
Andre memang mencurahkan seluruh perasaannya pada diri Naya. Kendati pada awalnya ia mendekati Naya karena suruhanku, namun lama kelamaan hatinya berlabuh pada sosok gadis yang menjadi anak tiriku.

Aku masih ingat, ketika aku mengutarakan niatku untuk menghancurkan keluarga Sudrajat.
Saat itu Andre marah besar. Ia tak rela jika Naya sampai disakiti. Maka dari itu aku berjanji untuk tidak menyentuh gadis itu.
Aku menyanggupi permintaannya, karena bagiku yang penting dari keluarga itu hanyalah harta semata. Mas Roni dan aku memang sudah menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi, status dirinya yang merupakan rekan bisnis suamiku itu memudahkan aku untuk sering bertemu dan berhubungan dengannya.
Pria itulah yang membujukku untuk menghancurkan keluarga Sudrajat.
Ia berambisi untuk meraup keuntungan lebih besar dengan menyingkirkan suamiku yang notabene adalah partner bisnisnya.
Terlebih, statusku sebagai istri keluarga sudrajat akan memudahkannya untuk menyelesaikan misi itu.

Ia sudah berencana untuk menyingkirkan suamiku.
Saat itu ia memberiku iming-iming untuk menjadikanku seorang direktur utama disalah satu perusahaannya.
Aku gelap mata, tanpa pikir panjang aku meng-iyakan ajakannya.

Namun kini keadaan berubah. Setelah aku mengetahui bahwa mas Roni telah mati, aku mulai berubah pikiran. Disamping itu aku harus menepati janji kepada Andre untuk menjaga Naya.

Hari-hariku kulewati untuk mengawasi puing-puing reruntuhan rumah keluarga Sudrajat.
Aku yakin, cepat atau lambat anak-anak tiriku akan datang kesana.

Tak mungkin rasanya aku muncul tiba-tiba dan menjelaskan seluruh perjalanan hidupku kepada mereka. Yang ada, aku justru akan dijebloskan kedalam penjara dan bertemu lagi dengan polisi-polisi bajingan yang menyeretku ke lembah prostitusi.

halaman 7

Aku beruntung.
Setelah beberapa minggu mengawasi keadaan rumah itu, akhirnya aku melihat mereka.

Melihat mereka baik-baik saja, akhirnya aku bisa tersenyum.
“Ndre..... Naya baik-baik aja.... kamu bisa tenang...” aku bergumam pelan.
Aku tetap mengawasi gerak-gerik mereka sampai mereka pergi meninggalkan rumah.
Aku kembali tersenyum dan berbalik.

Melihat mereka hidup tanpa orang tua, sesaat aku teringat dengan orang tuaku.
Mereka sempat mengusirku dari rumah ketika aku masih remaja. Saat itu aku sempat hamil karena berhubungan sex dengan kekasihku.
Terlebih karena kekasihku tak mau bertanggung jawab.
Akhirnya aku menggugurkan kandunganku dengan obat yang kuperoleh dari seorang teman.

Aku hanya ingin memberi tau orang tuaku bahwa Andre telah tiada.
Andre adalah anak kesayangan mereka. Ia cerdas, tampan, berani, dan memiliki banyak prestasi.
Sungguh bertolak belakang dengan diriku yang hanya dapat membawa aib dalam keluarga itu.

Aku tak mengharapkan mereka memaafkanku.
Diriku memang sudah terlanjur dilumuri dosa, namun setidaknya aku bisa mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.

Sebuah tiket perjalanan sudah terselip rapi dibalik jaket yang kukenakan.
Aku akan pergi mengunjungi orang tuaku selama beberapa hari.

Kapal feri berwarna putih sudah bersiap untuk membawaku.
Pelabuhan memang berada tak jauh dari tempat tinggal keluarga Sudrajat yang berada di pesisir selatan.
Aku melangkah masuk, menaiki anak tangga menuju lobby utama dalam kapal itu.
Pemandangan orang yang lalu lalang bersama sanak saudaranya, sejenak membuatku lupa dengan seluruh masalah yang kualami.

Disanalah aku duduk.
Disebuah bangku panjang yang terbuat dari besi, menunggu kapal ini segera berangkat.

~***~

Disaat aku mulai tenang dengan segala harapan yang kumiliki.
Kini aku dihadapkan dengan sebuah bencana besar.

Kapal feri yang sedang mengarungi lautan itu kini dihantam gelombang besar.
Seluruh penumpang berteriak ketakutan, tak terkecuali diriku.

Aku berlari masuk kedalam sebuah kompartemen kosong, berusaha berlindung dari terjangan air yang menyeruak masuk kedalam kapal.

Tubuhku terbentur disana-sini ketika kapal itu terbalik dan bergulung-gulung dihempas gelombang. Saat itulah wajahku tersayat oleh sebuah pecahan kaca jendela yang melesat kearahku.
Aku jatuh kesakitan dengan darah melumuri wajahku, saat itulah sebuah reruntuhan menimpaku.
Kepalaku terbentur, namun aku masih sadarkan diri.

halaman 8

Inilah aku sekarang.
Seorang yang bertahan hidup diantara empat belas orang lain yang sama-sama menumpangi kapal feri itu.
Dilanda rasa malu karena luka diwajahku, akhirnya aku mengenakan sebuah kain yang dijadikan cadar untuk menutupi wajahku.

Kami membuat sebuah pemukiman ditengah padang rumput terbuka disebuah pulau.
Entah pulau apa namanya, aku sendiri tak tau pasti.

Namun hari-hari penuh ketakutan seakan tak henti-hentinya menderaku.
Tak berselang lama, seorang diantara kami dibunuh oleh binatang buas.

Hal itu berulang lagi beberapa hari kemudian.
Aku semakin takut, mungkinkah aku akan mati di tempat ini tanpa melaksanakan janjiku kepada Andre.

halaman 9

Dear Diary,
Hari ini, aku melihat Indah dan Aryo kembali ke pemukiman bersama dengan dua orang.
Aku tak dapat melihat dengan jelas karena benturan dikepala itu membuat pengelihatanku menjadi kabur.

Aku mendekat, menyambut kehadiran anggota baru itu.
Disana aku berdiri. Dua meter dari jarak mereka yang sedang bersalaman dengan para anggota lainnya. Aku tertegun, sesaat aku menuduh mata ini berbohong.

‘ohhh tuhan........... terima kasih... mereka selamat....’ batinku saat itu.
Sungguh tak dapat dipercaya, Naya dan Tomi dapat selamat dari bencana itu.

Dengan ini aku sedikit tenang.
Aku maju dan menyalami mereka, setelah itu aku segera berbalik dan pergi menjauh.

halaman 10

Dear Diary,
Para pemuda sedang mandi saat itu, disela hiruk pikuk kesibukanku, aku menyempatkan diri untuk mengawasi gerak-gerik Tomi.

Saat itulah aku berdiri dibawah naungan sebuah pohon besar tak jauh dari air terjun.
Aku mencoba menerka, apakah mereka masih menyimpan dendam kepadaku.

Tapi saat itu yang kulihat adalah raut wajah ceria dari seorang pemuda.
Sama sekali tak nampak kesedihan dalam raut wajahnya.

Akhirnya aku berbalik dengan perasaan bahagia, dan pergi meninggalkan mereka.

halaman 11

Dear Diary,
Tragedi itu kembali terulang, kali ini korbannya adalah seorang nenek yang tinggal satu pondok bersama denganku. Aku takut, takut sekali.
Aku sama sekali tidak tau bagaimana ia bisa ditemukan tak bernyawa, karena pada malam itu aku masih dapat melihatnya tidur bersamaku.

Aku kembali takut, resah, dan gelisah.
Apakah aku akan menjadi salah satu korban kekejaman binatang itu.

Namun penurutan Erik sebagai saksi mata justru membuatku semakin takut. Jauh lebih takut daripada sebelumnya.
Ia memberitahu bahwa pembunuh sebenarnya adalah seorang lelaki tinggi besar.

halaman 12

Dear Diary,
Tidak seperti biasanya, mungkin dirimu sudah bosan mendengar keluh kesahku.
Kali ini aku akan menceritakan sedikit kisah yang membuat diriku sangat bahagia.

Sungguh tak dapat kupercaya apa yang baru saja kualami semalam.
Rangga, pemuda yang masih remaja itu telah menyetubuhiku.

Aku senang sekali mendapatkan perlakuan lembut darinya.
Entahlah, apakah aku akan menceritakan seluruh kisahku padanya.
Kurasa tidak. Aku tak sanggup membuat pemuda itu menyesal telah melakukan hubungan sex denganku, ketika ia tau bahwa tubuhku ini sudah dikotori oleh para lelaki hidung belang.

~***~

Tomi membalik halaman demi halaman berikutnya yang ternyata masih kosong. Matanya terlihat sendu, deru napas Tomi kini terdengar tak teratur.

“ini gak mungkin....” Tomi berseru.
“apanya yang gak mungkin.....” tanya Naya. Matanya masih memandang lurus ke arah kobaran api dihadapannya.
“jangan bilang kalo dia emang bener-bener.........aaakkkkkhhh......”
Tomi menggaruk kepalanya dengan gusar.

Ia menoleh kearah sebuah pondok tempat ibu tirinya dirawat.
“Tom......” Naya berseru.
“..........” Tomi tak menjawab.

“janji sama gue....... lo gak usah nyimpen dendam lagi........” kata Naya.
“...........................” Tomi tetap diam seribu bahasa. Pikirannya kalut, ia masih ingat betul detik-detik ketika mobil kontainer itu menggilas mobil ayahnya.

Putus asa, sedih, takut, dan marah.
Ia telah bersumpah untuk mencabik-cabik tubuh ibu tirinya jika ia menemukannya kelak.

Namun kini, keadaan sudah berubah.
Ibu tirinya hadir dan menyelamatkan nyawa Naya.

Sesungguhnya ia tak ingin menerima kenyataan itu.
Namun waktu yang berlalu sudah tak mungkin kembali.

“Tom....... jawab gue..............” Naya mendesak.
Tomi hanya tertunduk memandangi tanah yang masih lembab.
“please..... gue gak mau lo terus menerus nyimpen dendam dihati lo..... kita mesti move on...”

Setitik air mata jatuh membasahi tanah.
Tomi tak sadar bahwa dirinya sudah menangis. Naya menghampiri Tomi dan merangkul lehernya. Ia menarik tubuh Tomi sehingga pemuda itu kini berbaring dipangkuannya.
“lo gak mau kan.... Rangga sampai sedih....iii...ehem...iiibu udah menyesali perbuatannya.... dia juga udah mengalami penderitaan sama seperti yang lo rasain.... jadi adil rasanya kalau kita sekarang bisa ikhlas maafin dia...” Naya berkata sambil membelai rambut Tomi dengan lembut.

“kenapa.............KENAPAA............”Tomi berteriak dengan gusar. Sungguh sebuah ironi, Tomi sendiri tak mengetahui kenapa ia bisa berteriak.
Air matanya tak mampu ia bendung. Tangannya menggengam erat buku harian itu.

Kenyataan memang tak selalu manis.
Namun manusia hanya dapat berusaha merubah keadaan menjadi lebih baik.

Saat itu Tomi teringat tentang ucapan Dara.
‘seburuk apapun keadaanku, aku harus tetap jadi orang baik’



BAB 11
NEW LIGHT

Tomi hanya bisa terdiam.
Menatap kosong kearah api unggun yang menghangatkan tubuhnya malam itu.

Pikirannya kalut, ia bahkan tak selera untuk merayakan saat-saat tenang yang kini sudah terjadi.
Selepas terbongkarnya kasus pembunuhan yang di dalangi oleh Erik, seharusnya para anggota kawanan dapat bersuka cita.
Namun, kenyataan tak selalu berjalan sesuai logika.

Tomi dan Naya sudah mengetahui kebenaran tentang ibu tirinya, Veni.
Sedangkan Rangga, ia tampak masih terpukul melihat Tante Sarah aka Veni, terbaring lemah di dalam pondok.

Sandi, Dara, dan Nasha, seakan tak percaya, bahwa pelaku pembunuhan sadis itu adalah sahabat mereka selama duduk di bangku perguruan tinggi.
Aryo, pemimpin kawanan itu cuma bisa diam. Ia tak tau lagi harus bagaimana, ingin rasanya ia melampiaskan segala kekesalannya pada Erik yang kini terikat kuat di pohon. Ia sempat membayangkan, jika saja Indah tak sengaja keluar pondok pada malam hari di luar pengawasannya, Indah bisa saja menjadi salah satu korban kekejaman Erik.

Sementara Rafi dan kedua tante itu, juga hanya bisa diam tanpa berkomentar. Mereka terlalu takut menyinggung perasaan Rangga, Sandi, Dara, dan Nasha.

Suasana menjadi sunyi, tanpa gelak canda yang biasa di lontarkan Sandi dan Rangga.
Yang terdengar saat itu hanyalah suara desiran angin malam yang berhembus melalui sela pepohonan.

“kak.......” Tomi membuka pembicaraan.
“mmhh....”,”.. kenapa?” Naya menjawab. Raut wajahnya masih terlihat sendu.
Kekasihnya Andre, yang hilang tanpa kabar berita, ternyata telah tiada. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pemuda yang sangat dicintainya itu, mendekati dirinya hanya karena suruhan ibu tiri Naya.
Pedih dan gundah, mungkin itu yang dirasakan Naya saat ini.
Namun, kenyataan bahwa Andre mencintainya sepenuh hati, sedikit mengobati rasa sakitnya.

“gue mau ketemu........ ibu.... boleh?” tanya Tomi.
Naya menoleh, memandang raut wajah adiknya yang menatap kosong.
“asal lo gak berbuat bodoh, boleh....” Naya menjawab.

Tomi hanya mengangguk, menyetujui syarat yang diajukan Naya.
Mereka bangkit, lalu berjalan menuju pondok tempat Veni beristirahat.

“misi tante.... aku boleh masuk?” tanya Naya.
Ia kini sedang berada dibalik tirai yang menutupi pondok. Tomi yang mengikuti Naya berjalan, kini berdiri canggung di balik punggungnya.

“kalian mau ngapain?” tanya Rangga yang sedang duduk di sebelah pintu masuk pondok.
“urusan keluarga bro.... sorry ya, lu tunggu disini dulu....” kata Tomi.
“keluarga?” Rangga mengerutkan dahinya.

Tomi mengangguk.
Namun, sebelum Tomi menjelaskan apa-apa, Naya sudah masuk kedalam pondok karena mendengar suara yang diucapkan oleh Veni.
Tomi segera berpaling dari Rangga yang memandangnya dengan heran, ia bergegas masuk mengikuti Naya yang sudah berada di dalam pondok.

“tante Sarah udah baikan?” tanya Naya lembut.
“i-iya.....” Veni mengangguk. “please.... jangan panggil aku pakai nama itu lagi...” lanjutnya. Cadar yang menutupi wajahnya sudah tak ia kenakan lagi.

“ibu.......” Tomi memanggil wanita yang sedang terbaring itu. Ia kini sedang berdiri dua meter dari tempat Veni terbaring.
Veni tak menjawab, bibirnya bergetar. Tiba-tiba, Veni menitikkan air mata.

“hiks....hiksss........ a-apa yang kamu bilang barusan? Hiks.... hiks...” Veni berusaha berbicara sambil terus menitikkan air mata. Ia bangkit dari pembaringannya dan duduk diatas rerumputan kering itu.
Naya yang kini duduk disamping Veni segera mendekap wajah ibunya.
“udah bu...... jangan nangis gitu....” kata Naya.
“i-ibu...... hiks...hiks...... aku ngak pantes jadi ibu kalian...... aku orang jahat... aku iblis...” kata Veni.

Tomi yang masih berdiri, kini berjalan mendekat.
Ia duduk disamping Veni yang sedang menangis di pelukan Naya.

“Tomi udah baca bu..... semuanya.....” kata Tomi.
“hiks....hiks......” Veni menarik wajahnya dari pelukan Naya. Dengan punggung tangannya, ia berusaha menyeka air mata yang membasahi wajahnya.
“k-kamu boleh hukum aku Tom.... ambillah pisau yang tumpul, kamu boleh siksa aku sampai aku mati......” tangisan Veni mulai mereda. Ia kini memandang Tomi dengan raut wajah bersalah yang teramat sangat.

“ngak bu..... aku ngak mungkin nyakitin orng yang udah nyelametin Naya....” kata Tomi.
“kenapa....... kenapa.......??? cekik aku Tom.... cekikk..... aku mau mati...” Veni meraih kedua tangan Tomi dan ia arahkan ke lehernya. “ayo Tom...... ayahmu pasti senang... please.......hiks..hiks....” Veni kembali menangis.

Tomi menarik tangannya perlahan, kedua telapak tangannya kini menggengam telapak tangan Veni erat-erat.
“ibu..... jangan begitu...... lupain masa lalu, sekarang kita buka lembaran baru ya....” kata Naya. Melihat ibu tirinya begitu putus asa, Naya menjadi iba.
“aku ngak bisa...... ngak setelah aku tau yang sebenarnya....” kata Tomi.

Veni tertunduk, air matanya yang kembali mengalir, kini menetes membasahi rerumputan kering tempat ia berbaring.
“manusia macam apa aku ini.......aaarrghhhhh.......” Veni mengerang, sebelah tangannya kini mengenggam perutnya yang terluka.
“i-ibu...... berbaring dulu... jangan banyak bergerak...” Naya memapah tubuh Veni untuk kembali berbaring. Ia mengambil secarik kain lebar untuk menutupi tubuh Veni.

“a-aku... aku paham..... kalau kalian ngak bisa maafin aku..... aku cuma ingin kalian tau...” kata Veni terbata-bata.
“bu........” kata Tomi pelan. “Tomi dan Naya udah maafin ibu........” lanjutnya.

Tangis Veni kembali meledak.
Air matanya sudah tak mampu ia bendung. Ingin rasanya ia pergi, jauh... jauh meninggalkan tempat itu, dan mati sendirian. Ia tak kuasa menahan malu, atas dosa yang telah ia perbuat.
Kemilau harta itu sempat membutakan matanya, merubahnya menjadi sesosok iblis wanita yang tega menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya.

“bu..... jangan nangis lagi ya...” Naya membelai rambut Veni dengan lembut. “please.... aku ngak mau masalah itu diungkit-ungkit lagi...”
“yaudah bu.... cuma itu yang pingin Tomi bilang.... sekarang ibu istirahat lagi ya... biar cepet sembuh...” kata Tomi.
Ia meraih telapak tangan Veni, lalu menempelkan punggung tangan itu di dahinya.

Tomi bangkit berdiri, disusul oleh Naya. Mereka berdua kini berjalan keluar dari pondok meninggalkan Veni yang masih tenggelam dalam tangisnya.

“kalian apain dia?” tanya Rangga. Pemuda itu kini berdiri diambang pintu karena mendengar Veni menangis.
“susah jelasinnya bro...” kata Tomi.
“LO APAIN DIAA?” Rangga mulai meninggikan suaranya. Kedua tangan Rangga kini sudah mencengkeram kerah kaus yang dikenakan Tomi.

“Rangga..... apa-apaan sih lo?” Sandi yang sedari tadi duduk menjaga Erik, kini berdiri menghampiri Rangga. Ia mendorong tubuh Tomi dan Rangga dengan kedua tangan yang ia rentangkan, berusaha melerai jika sampai mereka berkelahi.

“r-rangga...... kamu disitu....” suara Veni terdengar samar dari dalam pondok.
Rangga menoleh, namun ia sama sekali tak menjawab.

“dia mau ketemu lo kayaknya.....” ucap Naya.
Sandi melepaskan tubuh Rangga yang tak melawan.

Sejenak, Rangga masih menatap tajam kearah Tomi yang hanya bisa diam.
Ia tertunduk lemas, kemudian berlalu meninggalkan mereka, dan masuk kedalam pondok.

“ada apa tante.....” tanya Rangga. Ia kini sedang berdua bersama Veni didalam pondok, Tomi, Naya dan Sandi menghilang dibalik tirai yang kembali menutup.
“duduk sini.... tante mau cerita sebentar...”


~***~

Satu jam saja.... ku telah bisa....sayangi.....upss.....
Satu jam sudah Rangga berada didalam pondok bersama Veni.

Veni telah menceritakan semuanya kepada pemuda itu.
Rangga kini hanya bisa tertunduk malu karena telah memperlakukan Tomi dengan kasar.

“tante......” kata Rangga lirih.
“iyah...” Veni menjawab.

“tante gak akan pergi kan?” Rangga meraih telapak tangan Veni. “tante gak akan ninggalin aku kan?” lanjutnya.

Veni menarik telapak tangannya agar terlepas dari genggaman Rangga.
“please.... tante ngak pantas untuk dapet belas kasihan, termasuk dari kamu Rangga....” ucapnya.
“a-aku......” Rangga terbata.
“tante ini orang jahat.... kamu pasti ngerti, tante ngak bisa terus hidup didalam bayang-bayang penyesalan.....” Veni melanjutkan.
“t-tapi.. aku....”
“udah ya.... kamu jangan temuin tante lagi.... tante udah bikin kesalahan fatal, karena udah libatin kamu dalam masalah tante...”
“ngak....t-tapi.....”
“tante ngerti...... kejadian malem itu... tante ngak menyesal... kamu ngak perlu merasa bersalah”
“b-bukan.....a-aku........”
“please...... kamu lanjutin hidup kamu...... anggap aja kita ngak pernah saling kenal....”

Rangga kembali meraih telapak tangan Veni. Kali ini, ia menggengamnya dengan kuat, seakan tak ingin Veni menarik tangannya kembali.
“aku sayang sama tante.......” kata-kata itu meluncur begitu saja.
“a-aku.... cinta sama tante... kenapa... kenapa tante nyuruh aku pergi.... aku mau disini....”
Rangga tertunduk, ia masih menggengam erat telapak tangan Veni.

“r-rangga....” Veni memandang wajah Rangga lekat-lekat.
Tanpa sadar, air mata Rangga menetes.
“a-aku..... ngak mau jauh dari tante...... aku takut..... bakal kehilangan orang yang aku sayang...” lanjut Rangga.

“jangan.... tante ngak bisa... tolong lupain hal itu..... tante ngak pantes disayangi....” kata Veni
“ngak........ aku cinta sama tante... aku mau habisin sisa hidup aku buat ngelindungin tante...” Rangga mengangkat wajahnya.

Veni dapat melihat raut wajah itu. Raut wajah yang sama dengan yang ia pernah saksikan, ketika ayah Tomi melamar dirinya.
“hiks..........hiks......” air mata Veni seketika kembali mengalir.
Bukan karena sedih, maupun tertekan. Air mata itu, adalah simbol kebahagiaan.

Tuhan sedang memancarkan cahaya harapan pada dirinya.
Namun, rasa sesal akibat dosa yang telah ia perbuat, menggodanya untuk berpaling dari harapan itu.
“aku ngak bisssaa..... Rangga please........ jangan ucapin kata-kata itu lagi.......” Veni memohon.
“aku cinta sama tante...... aku cinta sama tante....... berapa banyak yang harus aku ucapin sampai tante percaya......... a-aku... cinta... kamu Veni.....”

~***~

Dari luar pondok.
Tomi, Naya, dan Sandi dapat mendengar dengan jelas percakapan mereka.

Naya kini menangis di pelukan Tomi. Pemuda itu membelai lembut rambut kakaknya.
“makasih ya kak.... udah ngingetin aku supaya ngak balas dendam.....” kata Tomi.
Naya tak menjawab. Ia hanya mengangguk sambil mengusapkan air matanya pada pakaian yang dikenakan Tomi.

Anggota kawanan yang lain sama sekali tak mengerti tentang fakta yang sebenarnya.
Mereka hanya menghampiri ketiga remaja yang berdiri di depan pondok itu dengan raut wajah bingung.

“ada apa Tom....?” tanya Dara.
“ohhh.... ngak ada apa-apa....... hehehehe.....” Tomi tersenyum singkat. “ngak lama lagi aku bakal punya ayah lagi.....” lanjutnya.
“engg......... ngak ngerti.. aku sama sekali gak ngerti....” Dara memasang raut wajah penuh kebingungan.

“ada apa sih?” tanya Aryo yang baru saja bergabung.
“haha... kaga ada apa-apa..... udahlah....” kata Tomi.

~***~

Malam itu terasa begitu panjang.
Tak hanya bagi Tomi, Naya, Rangga, dan Veni. Namun bagi seluruh anggota kawanan.

Rasa lelah yang teramat sangat kini mereka rasakan.
Bulan terang benderang, langit malam di penuhi bintang-bintang. Tomi kini duduk disamping Erik yang terikat kuat.
Ia memandang ke langit malam dengan takjub. Seakan tiap bintang itu adalah harapan yang dipersiapkan oleh tuhan baginya.

‘terima kasih tuhan.........’ Tomi bergumam dalam hati.

Erik yang terikat kuat di pohon hanya bisa diam.
Entah sudah berapa jam berlalu, ia sama sekali tak mengucapkan apa-apa.

“eng..... ehem..... masih sakit?” tanya Tomi.
Erik merilik dari sudut matanya, raut wajah penuh dendam itu sama sekali tak beranjak pergi. Ia hanya diam, tak ingin menjawab pertanyaan bodoh itu.

“umm..... oke... gue anggap itu sebagai iya..” kata Tomi.
Pemuda itu menggaruk dahi dengan jari telunjuknya. Seakan berpikir apa yang harus dikatakan.

“ehm...... Rik....” lanjut Tomi.
“....................” Erik tetap tak menjawab. Matanya masih menatap kosong kearah tanah berbatu yang terhampar di depannya.

“heloooo..............” Tomi menjulurkan kepalanya, mencoba memandang kearah wajah Erik.
“pergi........ tinggalin gua sendiri......” kata Erik.
“nahh... gitu kek ngejawab..... kan enak kalo ada interaksi.....” Tomi mencoba tersenyum sebisanya.

“ehem.... gue..........”,”cuma mau ngucapin makasih.... buat lo...”
“.........................” Erik kembali melirik kearah Tomi yang kini kembali memandang ke langit malam.

“makasih.... lu udah sharing.... tentang arti cinta....... gue sekarang paham...” kata Tomi.
“..... gue kira apa...... jangan ngelawak deh...... lu pasti mau ngejelekin Sheila di depan gua..” balas Erik.
“n-ngak.... sama sekali ngak...... justru menurut gue, Sheila itu beruntung.......”
“............................................ .” Erik diam seribu bahasa.

Tomi mulai tersenyum lepas. Ia menarik napas dalam-dalam.
“huuufff............” Tomi menghembuskan napasnya. “jarang lho.... orang yang bisa berkorban begitu jauh............. kaya lo tentunya.....” kata Tomi.
Erik tetap terdiam.

“entah apakah yang lo lakuin itu salah... atau bener.. menurut lo” Tomi melirik kearah Erik.
“setidaknya....... lo udah buktiin cinta lo buat Sheila.... gue salut...” lanjutnya.

“udah.........? kalo udah, mending lo tinggalin gue sendiri....” kata Erik.
“jangan gitu....... kita manusia itu ngak bisa hidup sendiri.....” jawab Tomi.
“gua bisa........ gua gak butuh siapa-siapa....”,”lagipula... mungkin besok kalian bakal bunuh gua.. apa bedanya.........” ucap Erik.
Tomi terdiam. Sesungguhnya ia tak tau apa yang akan di perbuat anggota kawanan yang lain terhadap Erik.

”ehem.....kenapa lo putus asa gitu....?” tanya Tomi.
“...........” Erik terdiam sejenak.”udah ngak ada alasan bagi gue untuk tetep hidup” lanjutnya.
“no....no....no..... selalu ada alasan...”
“oke.... sebutin salah satu..........”

“ehh....i-itu.......ehem........” Tomi mencoba berpikir keras. Menyedihkan, ia mampu mengatakan kalimat itu, namun ia sendiri tak tau alasannya.
“huh........” Erik mendengus.

“oke....gini-gini....... kalo emang lo udah ngak punya alasan untuk hidup... setidaknya kan lo bisa abdiin hidup lu, buat nolong orang lain yang kesusahan...” lanjut Tomi.
“orang yang mana? Naya dan Dara udah punya lo.... Indah udah punya Aryo... Rangga udah punya Sarah... Nasha udah ada Sandi... Rafi udah sama Dewi sama Mia..... ngak ada yang butuh pertolongan.... satu-satunya pertolongan yang bisa gue kasi ke mereka, adalah pergi selama-lamanya supaya gua ngak ngebahayain hidup mereka....LAGI........” Erik memperjelas kata terakhir yang ia ucapkan.
“jadi lo sadar lo salah?” tanya Tomi.
“............................” Erik kembali diam “hahahahaha.......... tentu aja gua ngak salah... gua menikmati detik-detik ketika gua cekek mereka... ketika gua nikmatin tubuh mereka.... ketika gua denger Sheila manggil-manggil nama gua....” kata Erik.

Tomi memandang wajah Erik lekat-lekat.
“mmmmm.......... terus....” kata Tomi. Mata tajamnya seakan menerawang kedalam lubuk hati Erik. Tomi sadar, dari nada bicara Erik barusan, ia sama sekali tak bersungguh-sungguh.
“i-itu......” Erik kembali tertunduk. “oke....... gua salah..”,”puas??”

“nah... kalo udah tau dimana letak kesalahan lo..... lo bisa mulai lembaran baru.... temen-temen pasti maafin lo.....” kata Tomi.
“heh..... kata-kata tolol..... dunia ini ngak semunafik yang lo bayangin..... kalo dunia ini sempurna.... seperti yang lo bilang... gak akan ada perang... gak akan ada perselisihan.... gak akan ada dendam....”
“yah....... lo bisa memulai dunia itu dengan tangan lo sendiri....”kata Tomi. “gue gak tau.... dunia seperti apa yang bakal terbentuk setelah bencana ini selesai.....”
“.....................” sekali lagi Erik terdiam.
“tapi..... gua pastiin..... gua akan berusaha, sekuat tenaga.. supaya di dunia ini, ngak akan ada lagi perang...........”

“huh........naif.....” kata Erik.
“lo bisa apa? Ngelindungin Naya aja lo ngak bisa.......” lanjutnya. “kalo seandainya Naya mati tadi.... gue gak yakin lo bisa ngomong kaya gini.........”
“.............................” kini giliran Tomi yang terdiam.

‘sempak ni orang.... batu bener di bilanginnya.........’
“oke........ gua gak se-sempurna itu.......” kata Tomi.
“huh...... sampai kiamat, dunia impian lo ngak bakalan terwujud....”

Tomi mulai sebal. Ia memandang Erik dengan sorot mata tajam.
“ehem...........” Tomi berusaha menenangkan diri.” Ngomong-ngomong...... gimana sih rasanya? Exe mayat?” tanya Tomi.
“anjing lo...... lo mau ngeledek gua...hah.... bangsat..... ribut ayo.... lepasin gua, biar gua tampol mukalo yang nyolot itu...........” Erik memberontak, berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikat tubuhnya.

Tomi tersenyum sejenak.
“nahh... gitu kan jadi lebih punya semangat hidup....” kata Tomi
“........................” Erik terdiam, bibirnya bergetar, namun ia tak mampu lagi berkata apapun.
“setidaknya..... marah itu lebih baik dari putus asa......”

~***~

Pagi menjelang.
Langit kelam kini berubah keemasan.

Tomi yang tertidur di dekat Erik, kini mulai membuka matanya.
“Tom..... kok kamu tidur diluar.....” tanya Dara.
“nngg..... huaaaaamm...” Tomi menguap sambil merentangkan tangannya.“nemenin Erik ngobrol semalem...” jawab Tomi.
“ohhh.........” Dara memandang kearah Erik yang masih tertunduk.
Mata Erik masih terbuka, tampaknya ia tidak tidur semalaman.

Dara mengalihkan pandangannya dan kembali memandang wajah Tomi.
“bangun yuk..... kita mandi.....” kata Dara.
“m-man..di........” Tomi seakan tak percaya dengan yang didengarnya.
“apa........!!! kotor deh pikirannya...... mandinya sendiri-sendiri...... huh enak aja.....” Dara mencubit perut Tomi.
“adaaaawwwwwwww.......” Tomi terlonjak, ia mengusap-usap perutnya yang baru saja dicubit oleh Dara.
“hihihi........ udah ah... cepet mandi sana... abis itu kita siap-siap cari makanan....” kata Dara.
“hehehe... kirain...”
“apa.......?? mau dicubit lagi.....” Dara mengacungkan jarinya.
“ng-ngak....hehehe...........” Tomi mundur selangkah.

‘jadi ini maksud Sandi sama Rangga..... ternyata Dara emang galak...’ batin Tomi.
“kenapa? Aku galak ya?” tanya Dara.

‘shiitttt........... dia ngebaca pikiran gueee.........’
“nggg....hehehe....dikit...” kata Tomi.
“huuuu......”,”jujur aja gak apa-apa.... aku juga ngerasa kok kalo aku galak....” kata Dara sambil tersenyum
“hehehe...... ngak apa-apa..... kamu cantik deh kalo senyum gitu...”
“gombaaallll............” Dara mengulurkan tangannya kearah Tomi.

Seketika Tomi menjauh, khawatir kalau sampai Dara mencubi dirinya, lagi.
Namun alih-alih mencubit Tomi. Dara kini malah memeluk lengan Tomi dengan lembut.

“psst.... sini-sini...” Dara melambaikan tangannya, mengisyaratkan Tomi untuk mendekatkan telinga kearah wajahnya.
“emang kamu mau mandi sama aku?” Dara berbisik, pelan sekali.
“eeeeekkkkk...........”:gawat:
Tomi terbelalak kaget.

Mereka diam sejenak.
Dara memandang mata Tomi lekat-lekat. Wajah Tomi saat itu seperti baru saja melihat hantu.
“hihihi........... becanda....wekkkkk...”:weK: “Nayaa...... ayo mandi barengggg..........”
Dara berlari meninggalkan Tomi yang masih berdiri terpaku.

‘sialan tu anak...... awas nanti........’ batin Tomi

Tak lama keempat gadis itu sudah asyik dengan canda tawa mereka di dalam kamar mandi.
Saat itulah Rangga keluar dari pondok tempat Veni beristirahat.

Tomi menoleh kearah Rangga yang sedang memicingkan mata, menghindari paparan cahaya mentari.
“oyy.... udah bangun bro........” sapa Tomi.
Rangga hanya terdiam, ia menjawab sapa Tomi dengan anggukan kepalanya.

Tomi berjalan mendekati pemuda itu.
Rangga hanya tertunduk malu, ia merasa sangat bersalah telah berlaku kasar kepada Tomi.
“kenapa lo? Gak semangat amat......” Tomi menepuk bahu Rangga.

“Tom.... sorry yang semalem... gue emosi...”
“hah... yang mana””ohhhhh...itu.... hahaha... santai aja” kata Tomi.

“gue udah denger semuanya......” kata Rangga.”hehehe..... bisa begitu.... gue sama sekali ngak nyangka.....” lanjutnya.
“ohh.... hehehe... iya, gua sendiri juga ngak nyangka....” kata Tomi.

Aryo dan Sandi berjalan kearah mereka.
“cari makan yuk......... laper banget....” kata Sandi. Seperti biasa, pemuda itu selalu membuka pembicaraan pada saat orang lain hanya terdiam.
“ohh iya... yuk.......” Rangga menjawab.
“lohh... itu cewe-cewe.........?” tanya Aryo sambil menunjuk kearah kamar mandi.
“udah......... tinggalin aja.... nungguin mereka ntar malah kelaperan semua......” kata Tomi.

Sejenak, mereka semua memandang kearah Erik yang tetap diam termenung.
“yaudah, yuk jalan.... sekalian olahraga pagi...” kata Aryo.

~***~

“enggg........... jadi gimana si Erik?” tanya Tomi.
Mereka kini sedang berjalan menyusuri hutan, mencari pohon buah, dan apapun yang bisa dimakan. Aryo dan Tomi berjalan di depan, sementara Sandi dan Rangga di belakang. Masing-masing dari mereka berempat kini membawa dua buah keranjang untuk membawa makanan yang mereka kumpulkan.
“gak tau gua.... bingung mesti bagaimana...... lu tanya aja sama Sandi dan Rangga.... mereka maunya gimana.... gua sih ikut aja......” kata Aryo.
“oyyy...... denger tuh komandan bicara..... lu pada maunya gimana?” tanya Tomi sambil menoleh kebelakang.

Sandi dan Rangga berpandangan sejenak, lalu menundukkan wajah.
“gak tau....... bingung.......” jawab mereka bersamaan.

Aryo dan Tomi memandang mereka dengan heran.
“lu berdua itu udah kaya anak kembar aja si.......” kata Aryo.
“haha..... iya, kompak bener.....”

Rangga dan Sandi mengangkat wajah mereka bersamaan.
“apa? Gue disamain sama ketek uler ini? Gak sudi gue..........” kata Sandi.
“lo kira gua sudi...... disamain sama daki selangkangan kaya lo...........” Rangga membalas.

Aryo dan Tomi hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala ketika melihat kedua pemuda itu kembali lontar ejekan.

~***~

Hari sama sekali belum beranjak siang, namun keempat pemuda itu telah kembali dari hutan.
Dua buah keranjang yang dibawa oleh masing-masing dari mereka, kini sudah penuh dengan makanan.

“brukk.......”
Kedelapan keranjang itu mereka letakkan di tanah.

“kalian nyari makanan apa ngerampok.......... banyak amat......” kata Naya. Keempat gadis yang sedang duduk, kini berdiri menghampiri.
“sedikit salah........ banyak salah.......... emang mau makan pakis melulu?” tanya Tomi.
“enggg......ngak si...hehehe...........” kata Naya.
“yaudah..... sekarang cewe-cewe tugasnya nyiapin makanan...” kata Aryo.
“siap boss......” keempat gadis itu berseru kompak.

~***~

Keempat pemuda yang lelah itu, kini merebahkan dirinya ditanah.
Menikmati hebusan angin yang semilir, dan aroma rerumputan yang kini mulai tumbuh lebat karena hujan kemarin.
Aryo dan Tomi kini memejamkan mata sejenak untuk mengusir rasa lelah.

Namun, Sandi dan Rangga kini duduk terdiam. Pikiran mereka kini sedang dipenuhi oleh pertanyaan Tomi dan Aryo.

“gak tau gua.... bingung mesti bagaimana...... lu tanya aja sama Sandi dan Rangga.... mereka maunya gimana.... gua sih ikut aja......” kata Aryo.
“oyyy...... denger tuh komandan bicara..... lu pada maunya gimana?” tanya Tomi

Kata-kata itu terus terngiang.

Mereka masih tak percaya dengan apa yang telah mereka saksikan semalam. Erik, sahabat mereka yang sudah lama mereka kenal. Kini berperan sebagai pembunuh berdarah dingin yang tega mencabut nyawa beberapa orang.

Mereka hanya tertunduk diam, mencoba menjernihkan pikiran.
Sesekali mereka saling berpandangan dan mencoba mengatakan sesuatu, namun kata-kata itu sungguh sulit untuk keluar dari mulut mereka. Mereka kembali tertunduk.

~***~

Menjelang siang hari.
Para gadis sudah selesai menyiapkan makanan.

Tomi, yang mendapat giliran mandi paling akhir kini berjalan dengan rambut yang masih basah kearah anggota kawanan yang mulai makan.
Diatas sebuah daun jati yang dihamparkan ditanah, Tomi meraih beberapa potong buah yang kemudian ia bawa kepada Erik.

“makan dulu........ lo juga pasti laper.......” Kata Tomi.
“tinggalin gue Tom.... gue ngak pantes dikasihani....” ucap Erik. Entah sampai kapan pemuda itu akan tertunduk lesu tanpa semangat.

“hehhhh...........” Tomi menghela napas. Ia mengambil posisi duduk berjongkok di hadapan Erik seraya menyodorkan sepotong buah mendekati wajah pemuda yang terikat itu.
“makan..........” kata Tomi.

Erik mengangkat wajahnya, memandang kearah Tomi.
Saat itu Tomi dapat melihat bekas air mata yang mengering diwajah Erik.

“eh......ehem....... yah.....”,”syukurlah kalo lo udah nyesel........” kata Tomi.
Erik kembali tertunduk lesu.

Aryo datang menghampiri mereka.
“lu kenapa ngak mau makan?” tanya Aryo kepada Erik.
“......................” Erik tak menjawab.
“udah.... biar gue yang handle...... terusin aja makan lo.......” Tomi memberi isyarat pada Aryo dengan melambaikan tangannya.
Rangga dan Sandi menoleh, mata mereka kini tertuju pada sosok Erik. Sejenak mereka saling berpandangan, lalu mereka bangkit.

Saat itulah Sandi dan Rangga datang menghampiri Erik dengan sebuah pisau tergenggam ditangan mereka masing-masing.
“woy....woyyyy............ mau apa lo?” Aryo berteriak panik. Ia berusaha menghalangi kedua pemuda itu.

Rangga yang berada paling dekat dengan Aryo segera menarik bahu Aryo agar menyingkir.
“brukk.........”
Aryo terjengkang ditanah.

“gue ngak punya pilihan Yo...........” kata Rangga.
“yah......... cuma ini satu-satunya cara......” Sandi menimpali.
Mereka kembali mendekat.

Erik memandang kedua pemuda itu dengan sebuah senyuman.
‘yah........ memang harus begini.... gue udah siap......’ batin Erik. Ia kini memejamkan matanya dan kembali tertunduk.

“lo jangan bodoh ya........... mau apa lo...........” Tomi berusaha menghalangi.
Kali ini, Rangga dan Sandi mendorong tubuh Tomi bersama-sama.

“bruakkkk............” Tomi tersingkir.
“jangaaaaaaaaaaaaaaa.............................. ....” Nasha, Naya dan Dara berteriak bersamaan.
“kyaaaaaaaaaaaa.............................. ...” tante Dewi dan tante Mia kini histeris. Rafi berusaha menutup mata mereka dengan kedua tangannya, ia lalu memejamkan mata. Tak sanggup melihat apa yang akan terjadi.

Sandi dan Rangga kini mengangkat kedua pisau itu tinggi-tinggi.
‘selamat tinggal.........................teman-teman...’ batin Erik.

Tomi dan Aryo berusaha bangkit dengan cepat. Mereka berusaha meraih lengan Sandi dan Rangga. Jarak mereka saat itu sekitar dua meter.
“ZRAAAAAAKKKKKKKKKKKK......................”
Kedua pisau itu telah mereka ayunkan kearah Erik.







Hening. Selama beberapa saat, tak ada satupun dari mereka yang bersuara.
Kedua pisau itu menancap erat di pohon.

Jerat tali yang mengekang tubuh Erik kini terlepas.
Perlahan-lahan pemuda itu membuka matanya.

Dara dan Nasha segera berlari menghampiri mereka.
Kini, dihadapan Erik telah berdiri keempat sahabatnya. Sandi, Nasha, Rangga, dan Dara.
Keempat sahabatnya kini mengulurkan tangan kearah Erik.

“ayo makan........ jangan diem aja... laper gue.” Kata Sandi.
“iya.... ngapain lo.... malah cengo begitu........” Rangga menimpali.
“Erik......... lo jangan putus asa...” kata Nasha.
“iya............ harapan akan selalu ada kok.......” Dara menambahkan.

Air mata kini kembali terurai membasahi wajah Erik.
Beberapa detik yang lalu, ia sudah siap untuk meregang nyawa. Ia siap menerima segala dendam, amarah, dan kekesalan yang akan ditumpahkan pada tubuhnya.

Namun, kenyataan berkata lain.
Ia kini masih dapat menghirup napas, walau terasa sangat sulit di sela tangisannya.

Erik bersujud ditanah.
“kenapa........ Aaaaaaaaaaaaaaaargghhhhhhhhh.............. KENAPAAAAAAAAAAA.......” Erik menghujamkan kepalan tangannya ke tanah berkali-kali.
“kenapa lo mesti biarin guee...... kenapa gue mesti hidupp........ kenapaaaa.....................”

“karena mereka adalah temen-temen lo........” Tomi yang sudah menyadari apa yang terjadi, kini bisa bicara. “sempak lo............. bikin gua panik aja.........” ia meninju bahu Sandi.
“parah lo........ kelakuan minus lo udah bikin semuanya ketakutan....... liat tuh...” Aryo menunjuk kearah anggota kawanan lain yang masih terdiam.

“gimana? Keren gak akting gua.........hahahahahahahaha...........” Sandi mulai tertawa terbahak-bahak.
“kalo keadaan udah normal, kayaknya gue bisa ikut casting film nehh.........” Rangga menempelkan jari telunjuk dan jempolnya di dagu, raut wajahnya kini tersenyum menjijikkan seperti remaja yang ingin berfoto selfie.

“beletak..............”
“duaaaaag...........”
Dua pukulan mendarat tepat di ubun-ubun kedua pemuda itu.
“JANGAN NGIMPI..............” Dara berteriak.
“AKTING LO JELEEEEEEKKKKKKKKKK..............” Nasha ikut menimpali.

Naya terlihat menarik napas panjang sambil mengelus dadanya. Ia sempat berpikir akan terjadi pertumpahan darah. Syukurlah, keadaan kini kembali normal.

Tomi memapah tubuh Erik yang masih bersujud ditanah untuk bergabung bersama kawanan yang lain.
Erik bangkit dan menyeka air matanya.
“maaf..................... maafin gue semuanya..... gue salah...” Erik berkata lirih.

Gelak canda kini telah kembali di tengah-tengah mereka.
Sinar matahari yang begitu terik kini bersinar, menandakan saat itu tepat tengah hari.

Hari itu berlalu dengan normal, tak ada lagi kesedihan dan air mata.
Tragedi mengerikan yang sempat menghantui mereka kini terlupakan.


~***~

Keesokan paginya.
“woy................. Erik kemana? Ada yang liat dia?” Aryo berseru panik.
“ngak ada........ baju-bajunya juga udah ilang..........” Rangga berlari menghampirinya.
Aryo, Tomi, Sandi dan Rangga kini panik.

Mereka berpencar mencari-cari keberadaan Erik.
Khawatir jika Erik sampai melakukan tindakan bodoh untuk kedua kalinya.

Keempat pemuda itu baru akan menerobos kedalam hutan, namun langkah mereka terhenti karena teriakan Naya.
“hoyyyyyyyyyy............” Naya berseru dari pemukiman.
Keempat pemuda itu menoleh. Ditangan Naya kini tergenggam secarik kertas yang ia lambaikan keudara.

~***~

malam itu.......


“srekkk.....srekk.....”
Erik sudah menunggu saat-saat ini. Ia sengaja tidak tidur untuk menyelinap pergi.
Beberapa helai baju kepunyaannya segera ia jejalkan kedalam sebuah tas hitam lusuh miliknya.

Ia melongok keluar pondok, memandang ke sekeliling.
Setelah yakin tak ada orang selain dirinya, ia menyelinap keluar.

Dear all.
Sorry guys, ini pilihan hidup gue.


Erik menghampiri batang pohon tempat ia diikat, lalu menancapkan pisau pada secarik kertas yang telah ia tulis sebelumnya.

sekali lagi maaf
Gue ngak bisa pamitan sama kalian.


Pemuda itu berjalan menerobos rimbunnya hutan menuju pantai, tas hitam lusuh itu disandang pada bahunya.

gue rasa ini yang terbaik buat kita semua.
Gue mutusin muat pergi berkelana, yah... walaupun entah kemana, gue sendiri ngak tau


Melewati semak belukar, Erik sudah membulatkan tekadnya.
Ia ingin menjauh, menggapai harapan baru yang ‘mungkin’ masih tersisa baginya.

entah, apakah kalian bener-bener bisa maafin semua kelakuan gue....
Gue hanya bisa berharap dengan naif, bahwa kalian bener-bener maafin gue


Erik melompati akar-akar pohon yang mencuat dari dalam tanah.
Dengan sebuah tongkat yang ia genggam ditangannya, ia terus berjalan.

Sandi, Rangga, Nasha, Dara...
Ngak banyak yang bisa gue utarakan buat kalian, gue cuma bisa bersyukur. Ternyata, dibalik sisi kejam gue, gue masih punya kalian. Sahabat sejati gue


Erik kini sampai di bibir pantai, matanya menerawang di kegelapan malam, mencari-cari sesuatu yang ditinggalkan Tomi ketika sampai di pulau itu.

buat Aryo, dan Indah.
Sorry, kalau selama tinggal di pulau ini, gue cuma bisa bikin masalah. Khususnya buat lo Aryo, gue cuma bisa doain, lo bisa terus memimpin kelompok ini sampai keadaan jadi lebih baik.


Mata Erik tertuju pada sebuah bayangan hitam yang teronggok di bibir pantai.
Disanalah perahu yang dinaiki Tomi dan Naya berada.

untuk Rafi...
Maaf, gue sebagai orang yang lebih dewasa, ngak bisa ngasih contoh baik buat lo. Lo masih muda, jalan hidup masih panjang, gue harap lo cepet belajar.
Untuk tante Dewi, dan tante Mia..
Tolong jagain Rafi ya, kalian itu sosok ibu yang baik, Erik yakin kalian bisa membimbing Rafi jadi orang hebat


Erik melangkahkan kakinya, ia naik keatas perahu itu, lalu memeriksa mesinnya.
Bensin yang tersisa tak banyak, entah ia dapat pergi sejauh apa.

untuk tante Sarah,
Aku ngak tau, apakah tante bisa maafin perbuatan aku. Aku merasa begitu bersalah, udah ngelukain tante. Sekali lagi aku minta maaf, aku cuma bisa doain tante supaya cepat sembuh


Erik kembali turun dari kapal, melemparkan tas hitamnya kedalam kapal dan mengumpulkan tenaga sejenak.
Kedua telapak tangannya kini menggenggam erat badan kapal itu, lalu mulai mendorongnya masuk keair.

untuk Naya,
Mungkin ngak ada kata yang bisa menggambarkan diri gue, selain bodoh, bego, dan tolol tentunya. Gara-gara kelakuan gue, lo sempet berada dalam bahaya.
Sekali lagi, yang gue bisa cuma minta maaf.


Kapal itu bergerak perlahan, masuk kedalam air yang gelap dan kelam.
Tubuh Erik kini dibasahi oleh air laut, dengan kedua tangannya Erik menarik tubuhnya masuk kedalam kapal.

untuk Tomi,
Gue bingung harus ngomong apa. Jujur, banyak yang terlintas dipikiran gue, tapi ngak ada cukup kata yang bisa menggambarkan perasaan gua.
Maaf, dan terima kasih untuk semuanya. Cuma itu yang bisa gue ucapkan buat lo.
Harapan gue buat lo, semoga lo cepet nemuin arti cinta yang sebenarnya. Well, ada Dara kok...


Erik kembali menghampiri mesin kapal itu.
Ia menariknya beberapa kali sebelum mesin kapal itu menyala. Tuas gas yang berada di mesin itu segera ia putar.

Kapal itu melaju semakin cepat.
Membawa Erik menjauh bersama seluruh harapannya.

akhir kata,
Gue cuma berharap, kalian bisa tetap solid, tetap percaya satu sama lain, tetap saling menghormati, menghargai, dan menyayangi.

Gue akan jalanin hidup baru, bersama harapan-harapan baru, bersama segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Gue sayang sama kalian semua.

Selamat tinggal.


Erik


Saat ini, saat ketika Naya membacakan surat yang ditinggalkan oleh Erik.
Erik sudah berada jauh di tengah lautan.

Kapal kecil itu seakan melompat ketika melewati gelombang-gelombang kecil yang diterjangnya.
Erik memandang langit yang keemasan dengan senyum. Ia tak tau pasti, kehidupan seperti apa yang menantinya.

~***~

“hufff..........” Naya menghela napas panjang ketika usai membacakan surat Erik.
“yah..... gue cuma berharap dia baik-baik aja........” kata Naya.

“yah..... gue juga gitu. Kita cuma bisa doain dia supaya Erik dapet kehidupan yang lebih baik.” Kata Tomi. Ia meraih surat yang dibacakan Naya, dan berjalan menuju pohon tempat Erik pernah diikat.
Tomi meraih sebilah pisau yang tergeletak di tanah, lalu mencungkil kulit kayu pada pohon itu.
Surat peninggalan Erik ia lipat hingga ukurannya menjadi kecil.
Secarik kertas itu ia selipkan diantara kulit kayu yang terbuka.

“yup....... selesai. Dengan begini, kita ngak perlu ngerasa Erik udah pergi......” kata Tomi.
“hihihi........”Dara tertawa kecil.

Tomi menoleh kearah gadis itu.
“lhoo... kenapa?”
“kamu romantis deh....” kata Dara.

Sandi dan Rangga menyeringai lebar.
“CIIIEEEEEEEEEEEEEEEEE...................... Tomi dan Dara.... sedang dimabuk cintaaaaa......” keduanya kembali menyanyikan sebuah lagu memuakkan.
Namun, alih-alih membuat Tomi sebal, lagu itu kini malah membuat Tomi tersenyum lebar.

~***~

Menjelang siang hari.
Tomi dan kawan-kawannya sedang membuat sesuatu. Sandi dan Aryo merobek kaus mereka, lalu kedua kain berlainan warna itu disatukan dengan benang.

“emang kalian yakin, ini masih di Indonesia?” tanya Aryo.
“yahh..... dimana bumi di pijak, disitu langit dijunjung kan?” kata Tomi.
“yoi...... kita ini orang Indonesia, harus bangga dong....” kata Sandi.
“haha..... lagian ini momen yang tepat.....” Rangga menimpali.

Hari itu, sebuah bendera sederhana ditegakkan.
Diujung sebuah bambu, kain merah-putih itu berkibar gagah diterpa angin.

Mereka sama sekali lupa dengan waktu, dan tanggal.
Satu-satunya yang mereka ingat, bulan itu adalah bulan agustus. Bulan dimana negara mereka mendapatkan kemerdekaan. Kebebasan dari belenggu para penjajah.

Perasaan itu kini dapat mereka rasakan sepenuh hati, rasa merdeka yang sejati.
Namun kini, sebuah tanggung jawab telah singgah dibahu mereka. Tanggung jawab untuk tidak menyia-nyiakan kemerdekaan yang telah diraih.

Mereka mengangkat tangan kanannya, ujung telapak tangan itu mereka letakkan di dahi.
Sebuah penghormatan mereka berikan kepada simbol negara indonesia.
Bendera pusaka merah-putih.

~***~

Menjelang sore.
Tomi dan Dara, kini kedua insan itu sedang asyik berjalan-jalan menyusuri pepohonan.
Kedua telapak tangan mereka saling menggengam.

“ehmmm.... Dara..” Tomi memulai pembicaraan.
“hmmm? Kenapa?” jawabnya.

Tomi memandang kearah langit yang mulai berwarna jingga.
“kalo bencana ini udah lewat..... kamu mau ngapain?”
“nnnggg....... ngak tau...”

“ihhhh kok gak tau..... ehhh kamu tuh mesti punya rencana. Biar hidup ini ngak hampa... bgitu”
Entah kenapa, Tomi mengatakan kata-kata itu dengan nada seperti yang TS biasa ucapkan.

Bgitu

Dara memandang kearah rerumputan tempat mereka berpijak.
“yahh..... terserah kamu.....” kata Dara.
“kok terserah aku......?” tanya Tomi.
“aku sih..... ikut kemana kamu aja......” lanjut Dara.

Wajah Tomi berseri.
“ehemm..... ee.... brarti kamu mau ikut aku?” tanya Tomi.
“yahh.... kalo kamu ngak keberatan....”
“emang, kamu seneng kalo terus sama aku? Aku tuh orangnya nyebelin, keras kepala, egois, bla..bla..bla..bla..blaa....”

“hihihi..... ngak apa-apa..... aku suka kok kamu apa adanya...”
“enggg......... maksudnya....”
“uhhhhhh............ Tomi ngak peka deh...” Dara memajukan bibirnya.
“hehehe.... emang kamu suka sama aku?” tanya Tomi.
“bodo ahh......aku ngak mau jawab..”
“yaaahhhh kok gitu..... berarti kalo aku tanya sesuatu, kamu tetep gak mau jawab dong....”
“ya tergantung...hihihi.... apa dulu yang ditanya...” jawab Dara.

Tomi menghentikan langkah kakinya. Mereka kini ada di tepi sungai yang mengalir.
Kedua tangan Dara kini diraih oleh Tomi. Dengan lembut, jemari mereka saling bertautan.

Tomi dan Dara kini berhadapan, mata mereka bertemu pandang.
Sepasang insan itu kini diam, seakan mereka bicara dengan bahasa hati.

“aku.... sayang sama kamu Dara....” kata Tomi.
“hihihi.... jangan ngeliatin aku gitu dong.... kan malu...” Dara menundukkan wajahnya.
“ihhh... seriusssss...........” Tomi mulai gusar.

“hihi...oke... ehem.... ulangi lagi coba...” pinta Dara.
“aku.... sayang sama kamu Dara....” Tomi mengulangi.
Dara diam sejenak, tak sulit mengartikan kata-kata Tomi. Namun, sepertinya butuh waktu hingga ia menjawab.

“iya... aku juga sayang sama kamu Tom...” jawab Dara.
“hufff........ hehehe..” Tomi tertawa lega. “trus.....ehem.... kamu, mau ngak jadi pacar aku....?” lanjutnya. Wajah Tomi terlihat sangat antusias menunggu jawaban Dara.
“ngak.......” jawab Dara.

“hufff......... eh? Apa tadi?” Tomi menghela napas, sejenak ia tak menyadari apa yang dikatakan oleh Dara.
“aku ngak mau jadi pacar kamu.........” Dara mempertegas.
“t-tapi........ kenapa?” raut wajah Tomi berubah tak bersemangat.
“pokoknya gak mau..... sekali gak mau tetep ngak mau........” jawab Dara.
“t-tapi...katanya...... tadi.....” Tomi memajukan bibirnya. Ia kini menyentuhkan ujung telunjuknya satu sama lain, persis seperti yang biasa dilakukan Dara.
“hihihihi...... emang kamu mau banget jadi pacar aku?” Dara balik bertanya.
“a-aku............aku........” Tomi kini ragu, ia seolah tak tau harus menjawab apa.

“mau ngak? Kalo ngak dijawab berarti ngak mau.....” kata Dara.
“bukan gitu....... aduhhhh...”


“aku mau....... aku mau jadi pacar kamu, aku pingin terus sama-sama kamu.... pingin ngelindungin kamu.....tapi... kamunya....” hati Tomi kini gundah. Pertama kali ia menyatakan rasa cintanya, pertama kali juga ia merasakan pahitnya sebuah penolakan.
“aku ngak mau jadi pacar kamu..... bukan berarti ngak mau sama-sama kamu kan?” Dara melanjutkan.
“trus...... aku........ aku gimana......” Tomi kini duduk di rerumputan. Kedua kakinya dirapatkan, lalu Tomi memeluk kedua kakinya dengan lengannya.

“uhh... Tomi sayang..........” kata Dara lembut. Gadis itu mengikuti Tomi duduk di rerumputan.
“boong..... kamu ngak sayang sama aku.......” Tomi kini memandang kosong.
“ihhh..... beneran, aku sayang sama kamu....... aku cinta kok sama kamu....” kata Dara

“cuppppppp............” sebuah kecupan mendarat di pipi Tomi.
Dara kini merapatkan tubuhnya pada tubuh Tomi.

“percaya kan...?” tanya Dara.
“aku bingung....” kata Tomi singkat. Ekspresi wajahnya belum berubah.
“kok bingung.... jangan bingung dong....” kata Dara. Ia menyandarkan dagunya di bahu Tomi, jemari tangannya kini mengusap lembut lengan lelaki yang dikasihinya.
“habis.... aku di tolak...”
“emang belum pernah di tolak?”
“belum............”
“pantes..... kalo aku sih udah berulang kali nolak cowo...” kata Dara.
“ohhh.........” Tomi menjawab singkat.

Dara mulai gusar.
“ihhh........ kok cuma ‘oohhh...’....” kata Dara.
“lha terus aku musti gimana....... aku udah utarain perasaan aku.... aku udah minta kamu jadi pacar aku... tapi.... kamunya......”,“nolak.......” Tomi kini menggambar sebuah hati ditanah dengan jari telunjuknya, kemudian ia menggambarkan garis zig-zag yang memisahkan belahan kanan dan kirinya.

Dara melihat gambar itu sambil tersenyum.
Dengan jemari tangannya, Dara menghapus gambar itu, lalu ia gantikan dengan gambar hati yang tertembus oleh sebuah anak panah.
“aku sama sekali ngak ngerti..... dada aku terasa sakit.......” ucap Tomi.
Dara mengulurkan tangan, menyentuh dada Tomi.
“iya.... aku ngerti, dada aku juga sekarang sakit......” kemudian, Dara meraih tangan Tomi, dan ia letakkan di dadanya.

“deg...degg...deg...”
Tomi dapat merasakan dengan jelas detak jantung Dara yang menggebu di balik telapak tangannya.
“kenapa bisa sakit?” tanya Tomi.
“karena......... aku udah nolak kamu....” kata Dara.
“kenapa begitu? Kalo karena nolak aku, dada kamu juga jadi sakit, kenapa kamu lakukan itu?” tanya Tomi.
“hihihi....... pingin tau?”
Tomi mengangguk.

“aku cuma gak siap.....kalo suatu saat nanti, kamu pergi dan hilang dari hidup aku.... aku maunya, terus sama-sama kamu selamanya.......” kata Dara.
“.............” Tomi tak berkata apa-apa, namun raut wajahnya mulai berubah.
Melihat perubahan para ekspresi Tomi, Dara tersenyum dan mengangguk. mempertegas bahwa kalimat itu bukanlah kebohongan.

“ehm..... gini kan jadi jelas.... hehehe... bentar....” Tomi bangkit berdiri, lalu pergi meninggalkan Dara.

Beberapa menit kemudian, Tomi kembali menghampiri Dara dan duduk di sisinya. Sebelah tangannya ia sembunyikan dibalik punggung.
“tutup mata kamu dulu.......” kata Tomi. Ia kemudian meraih tangan kiri Dara.
“hihihihi........ iyah deh....” Dara menutup matanya.

Tomi menarik lengan yang sedari tadi tersembunyi dibalik punggungnya.
Kini, digenggaman jarinya, Tomi membawa sebuah bunga kecil berwarna putih yang dirangkai seperti sebuah cincin.
Cincin bunga itu ia sematkan di jari manis Dara.

“sekarang... buka matanya....” pinta Tomi.
Dara membuka matanya perlahan, ia memandangi jari manisnya yang bertatahkan sepucuk bunga. Ia memandang takjub, matanya kini berkaca-kaca.

“Dara...........” Tomi memanggil nama gadis itu.
“i-iya.......” Dara menjawab seraya menyeka air mata yang jatuh di pipinya.
“aku janji.... akan selalu nemenin kamu, baik senang, mau pun susah, aku...... mau kamu jadi istri aku.............” Dada Tomi berdebar hebat setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

Dara hanya bisa terdiam. ia menutup mulutnya sambil kembali terisak.
Air mata kembali jatuh membasahi pipinya.
Tomi mengulurkan tangan, berusaha menyeka air mata itu.

Dara mengangguk.
“i-iya...... aku mau..... aku mau jadi istri kamu........” gadis itu tersenyum.
Tomi tersenyum. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya.
“makasih ya..... aku janji, aku akan bahagiain kamu.....”

Sepasang anak manusia, kini telah mengikat janji setia.
Mata mereka memandang lekat satu sama lain. Perlahan, wajah mereka mendekat.

“cupppppp.............”
Bibir mereka bertemu dalam sebuah kecupan lembut penuh arti.
Sejenak, ingatan mereka dipenuhi oleh kenangan saat mereka bersama. Memandangi langit malam, saling berbagi kisah, menghabiskan waktu, menikmati rintik hujan.
Kenangan itu begitu indah.



THE END




1 komentar:

  1. Forum semprot dengan judul yg sama..dan cerita yg sama..tapi ceritanya emang seru dan keren

    BalasHapus