Minggu, 06 Desember 2015

CINTA SAYUR ASEM

Char


Ilustrasi Anik


Ilustrasi Rahma


PROLOG

Namaku Rian Ramadhani anak Pak Jaelani, seorang yang terpandang di kampung ini. Aku bukan orang yang istimewa sebenarnya, tapi karena status bapakku, akhirnya aku pun menjadi orang yang spesial di mata banyak orang. Aku cukup ganteng sih, cieeh....nggaklah biasa aja. Tapi statusku jomblo, nggak jelas juga kenapa orang seperti aku jomblo.

Persoalannya hanya karena satu hal. Aku kenal cewek cantik, pake jilbab dan dia sekelas denganku. Namanya Anik Yuanawati. Itu saja. Dan aku jadi secret admirernya dia. Aku kagum kepadanya pertama, karena dia pintar, kedua karena dia jujur, ketiga karena dia sering menjadi penyemangat ketika kami sedang down, dan keempat karena ia cewek tercantik yang pernah aku lihat. Jujur, semenjak kelas 1 aku sudah naksir ama dia. Dan semenjak itu pula aku tolak banyak surat cinta yang entah bagaimana bisa masuk ke ranselku. Dan jujur semenjak itu pula aku baru mengenal yang namanya cinta.

Siapa sangka Anik adalah wanita pertama yang menjadikan bingkai-bingkai kehidupanku begitu indah. Gambaran anaknya secara fisik ia itu cantiik, seperti Nabila Syakieb. Dia pakai kacamata minus. Kacamata yang selalu menyertainya kemana pun dia pergi. Aku suka ketika dia membetulkan kacamatanya itu, seandainya aku jadi kacamatanya aduuuhh....aku kenapa jadi malu-malu sendiri ya?

Tapi begitulah sayang sekali aku harus bersaing dengan banyak cowok. Aku tak pernah berharap kepadanya. Tak pernah berharap lebih. Tetapi kalau cuma menunggu saja rasanya aku seperti orang yang kena PHP. Ingin sih aku bilang, "Nik, aku suka kamu." Tapi apa tanggapannya nanti? Sampai sekarang ia hanya menganggapku sebagai sahabat, sebagai teman di kala sedih dan duka.

Dia punya kakak, namanya Rahma Savitri. Sama-sama berjilbabnya hanya saja beda sekolah. Keduanya punya sifat yang bertolak belakang. Sifat Rahma dia itu tegas dan perfeksionis. Dia nggak mau kalah sama siapapun, kalau kalah ia bakal nangis seharian. Itulah Rahma. Kalau Anik dia cenderung nerima apa adanya, walaupun kadang-kadang perfeksionis. Rahma selalu dimanja oleh orang tuanya, beda dengan Anik dia tidak dimanja oleh orang tuanya.

Kami bertiga teman main sejak kecil. Dari pada Rahma, aku lebih dekat dengan Anik. Selain karena dia teman sekelasku, mungkin karena aku lebih merasa nyaman dengan dia. Orang bilang rasa nyaman itu membahayakan. Dan sepertinya memang demikian.

Hmm...sebaiknya aku mulai kisah ini.


BAB I

Pagi Sendu


Pagi itu aku malas sebenarnya untuk bangun, karena aku masih ngantuk habis begadang tadi malam mengerjakan semua pekerjaan rumahku. Liburan semester memang menjengkelkan. PR banyak, tapi waktu sedikit. Sebenarnya sih nggak. Aku yang terlalu malas untuk mengerjakan. Baru ketika hari-hari terakhir saja aku ngerjainnya padahal bisa aku kerjakan sebelum-sebelumnya. Hihihihi.

Dengan langkah gontai aku mengambil handuk yang tersampir di hanger. Setelah itu aku menuju ke kamar mandi. Kamar mandi kami cuma satu dan dipakai bergantian. Saat aku mau masuk ternyata dikunci dari dalam.

"Hoi siapa ini? Cepetan keburu telat nih!" kataku.

"Salah sendiri bangun telat, bodo' ah!" kata suara di dalam. Dia kakakku namanya Yogi. Wong edan. Udah jam segini kenapa dia masih mandi juga sih?

"Woi, kalo coli lain kali aja, cepetan!" kataku sambil gedor-gedor pintu kamar mandi.

"Ah, rese' lu. Iya iya bentar!"

Setelah menunggu satu menit kemudian dia muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah.

"Naah, kan coli. Dasar Mas Yogi, cari istri napa mas?" sindirku.

"Kampret lu!" dia menepuk pantatku.

Aku tersenyum saja dan masuk ke kamar mandi. Setelah mandi cepat, aku segera kembali keluar dan ganti baju. Mas Yogi sudah rapi dengan kemeja dan dasinya. Ia sudah siap pergi ke kantor. Aku juga sudah siap untuk pergi ke sekolah.

"Bareng nggak, kowe(kamu)?" tanya Mas Yogi.

"Nggak mas, bisa sendiri," kataku.

"Yo wis, bu' saya berangkat dulu," katanya.

Ibu yang ada di dapur menjawab, "Lho, nggak sarapan dulu?"

"Nggak bu, udah telat," kata Mas Yogi.

"Yee, yang telat mah aku," kataku.

"Cerewet," Mas Yogi kemudian segera keluar rumah. Dia menyelempangkan tasnya ke pundak, lalu menstater motor Yamaha Vixionnya. Tak berapa lama kemudian motornya sudah melaju pergi meninggalkan rumah.

Aku pergi ke dapur sebentar. Kuambil kotak bekal. Kutata nasi, sayur dan lauk ke dalamnya. Setelah itu aku pun pamit kepada ibuku.

"Bu, pamit dulu," aku cium tangannya.

"Lho, ini juga nggak sarapan?" tanya ibuku. Ia selalu berprinsip anak-anaknya harus dan wajib sarapan pagi.

"Nggk deh bu? Saya bawa bekal aja," kataku.

"Ya udah, sana, hati-hati!" katanya.

Aku pun berangkat sekolah.

***

Sekolah, tempat semua anak abege menggantungkan cita-citanya di sini. Tempat di mana orang-orang seperti aku belajar ilmu-ilmu yang terkadang nggak ngerti kegunaannya apa. Coba aku tanya kegunaan integral itu apa sih? Kegunaan diagram ven untuk apa sih? Kegunaan mempelajari besaran gaya buat apa sih? Kita semua belum tahu kegunaan itu. Bahkan ada yang kepengen banget kuliah ngambil jurusan matematika. Emangnya kalau sudah lulus kerja di mana?

Itulah pemikiran polos anak abege, mau gimana lagi. Di otak mereka hanya ada senang-senang, gembira dan akhirnya setelah itu ketika mereka sudah menghadapi kejamnya dunia mereka hanya berkata, "Seperti ini ya dunia itu, kejam sekali" Sambil menangis karena sudah berbulan-bulan ijazah sarjana mereka tidak diterima di mana-mana.

Aku orangnya easy going. Kemana aja suka. Nggak peduli apakah aku terkena angin ini, atau angin itu. Aku tak pernah merasa di ping pong juga oleh issu-issu perpolitikan yang berkembang dewasa ini. Pejabat korupsi, pejabat selingkuh, skandal di mana-mana. Anak-anak saja yang sangat demen kisah-kisah seperti itu, atau mungkin para selebritis yang memanjakan diri mereka di spa, atau kawin cerai. Rasanya juga terlalu eneg ketika harus membahas hal-hal seperti itu.

Namun itu serasa indah kalau misalnya Anik yang membahas. Hari itu dia datang dengan tampang kuyu. Sama seperti aku.

"Welahdalah, kowe kenopo Nik(waduh, kamu kenapa Nik)?" tanya Elok.

"Aku baru ngerjain tugas tadi malem, ngantuk jes," jawabnya.

"Sama, podo karo aku(sama seperti saya)," celetukku.

"Halah, kowe(kamu) emang dari dulu suka begadang!" kata Elok.

Pagi itu tak ada yang istimewa selain aku menjadi semangat lagi setelah melihat wajah Anik. Bidadariku itu kembali masuk pagi dan kami sama-sama loyo karena tugas. Apa boleh buat. Secara ajaib dia telah memberikan semangat yang tidak terduga. Andai dia tahu itu.

Setelah jam pelajaran akhirnya jam istirahat pun datang.

"Eh, Rian!?" panggil Anik.

"Apaan?" tanyaku.

"Ikut bentar yuk," jawabnya.

"Ada apa?"

"Mau curhat."

Iya, biasalah anak cewek. Ia curhat. Aku pun diajaknya ke perpustakaan di mana biasanya kami saling curhat. Iya, kami. Aku kadang juga curhat soal kelakuan Mas Yogi. Dan dia curhat tentang dirinya yang diajak taruhan ama Elok buat agar si Zain, cowok idaman kelas sebelah jadi pacaranya selama sebulan trus mutusin begitu aja. Dan taruhannya cukup gedhe kalau bisa bikin Zain jadi pacarnya, maka Elok akan ngasih dia makan gratis di sebuah restoran plus ditraktir nonton bioskop. Kalau tidak bisa ya sebaliknya.

"Kamu trus jabanin aja gitu?" tanyaku.

"Yahh, kamu tahu kan aku ini terkenal dengan sebutan miss rempong," jawabnya.

"Trus? Sekarang?"

"Yah, terpaksa deh. Aku bakal ngerayu si Zain, kali aja dia suka ama aku," katanya.

"Yah...salahmu sendiri itu."

"Trus, gimana tanggapan Zain?"

"Belumlah, aku belum bertindak koq. Aku minta tolong kamu boleh nggak nih?"

"Minta tolong apaan?"

"Kasih surat cinta ini ke dia."

"Weleh, cowok ngasih surat cinta ke cowok, ntar aku dikira gay lagi."

"Yaelah, kan di dalemnya ada namaku, lagian kamu tinggal bilang dari aku."

Anik, Anik, kalau seandainya kamu tahu aku suka ama kamu. Apa kamu tetap akan berbuat seperti ini? Tapi tatapan mengibamu itu tak bisa aku tolak. Demi cinta aku rela melakukan ini.

Aku menghela nafas, "Ya udah deh, sini."

Aku menerima amplop warna pink pemberiannya.

"Makasih ya, aku tahu koq kamu baik banget. Kamu sahabatku yang paling baik deh. Makasih ya Rian," katanya.

"Anytime," kataku.

Kemudian Anik meninggalkanku seorang diri. Aku menggenggam surat itu erat-erat. Aku yakinkan dulu ia telah pergi sebelum rasa penasaranku terlalu tinggi dan ingin rasanya membuka amplop ini. Akhirnya aku buka juga amplop ini.




DEAR ZAIN,

Maaf ya, surat ini kecil. Tidak wangi. Dan juga mungkin tidak menarik perhatian. Aku sadar bahwa selama ini aku punya perasaan ama kamu. Kamunya saja yang cuek. Aku ingin sekali kamu menggandeng tanganku dan menghiasi hari-hariku bersamamu. Itu kalau kamu tak keberatan sih.

Dari

Anik Kelas XI-7



Aku marah sekali, emosi. Pagi itu menjadi pagiku yang sendu. Aku masukkan kembali surat itu ke dalam amplopnya. Setelah itu keluar dari perpustakaan. Aku menghampiri kelas XI-3, di mana si Zain ada di sana.

"Zain ada?" tanyaku.

"Tuh!" kata temannya menunjuk ke seorang anak yang sedang menulis di sebuah bukku.

Aku menghampiri cowok yang rambutnya tertata rapi itu. Ia memang terkenal kutu buku di kelas ini. Bahkan dia juga ikut lomba karya ilmiah remaja dan mendapatkan peringkat kedua. Pihak sekolah pun sangat senang dengan prestasinya itu.

"Zain," sapaku.

"Hai, ada apa ya?" tanyanya.

Aku berikan sebuah amplop kepadanya. "Dari Anik."

Ia mengerutkan dahi.

"Beneran ini dari Anik, bukan dari aku. Emange aku jeruk makan jeruk? Udah ya itu aja," kataku. Setelah itu aku pun pergi meninggalkan kelasnya.

Aku kembali ke kelas. Si Anik bertanya, "Gimana?"

Aku hanya memberi isyarat pakai jempol.

"Siip, makasih ya," katanya.

Aku pun ambruk lagi di bangkuku. Rasanya semangatku hari itu hilang. Anik ....


BAB II

Cinta itu Aneh


Hari ini si Anik jadian ama Zain. Jiaaan, rasane loro atiku(rasanya sakit hatiku). Kata Tukul Arwana seperti disobek-sobek. Tapi sekali lagi aku harus mengedepankan prasangka baik bahwa mereka bakal putus sebulan lagi sebagaimana taruhannya si Anik.

Anik memang terkenal seorang playgirl. Sering jadian ama cowok, tapi setelah itu putus, jadian lagi putus, jadian lagi putus. Dan setiap jadian putus-jadian putus itu selalu akulah yang jadi tempat sampahnya alias curhatnya. Aku pura-pura senyum di depannya seperti biasa, menyembunyikan luka di hatiku. Total hari itu aku nggak konsen apa yang diomongin ama guru di kelas. Gimana mau konsen? Di papan tulis ada wajahnya di sana. Duh, padahal duduknya dua bangku di samping kananku.

Setelah pulang sekolah. Tiba-tiba pasukan awan datang dari antah berantah membentuk awan hitam tebal sehingga dengan berbagai proses kimiwi dan fisikawi (emang ada?) akhirya terbentuklah sebuah rahmat dari tuhan berupa Hujan. Iya, hujan awal rintik-rintik, kemudian hujannya deras. Hujan deras disertai angin dan aku bengong di rumah.

"Heh, ngelamun aja," Mas Yogi melempar koran ke arahku yang sedang melamun di sore hari. Ngelamun karena emang sekarang ini hujan dan aku nggak bisa ke mana-mana. PR udah dikerjakan semua. Habis itu ngelamun.

"Opo seh mas(ada apa mas)?" gerutuku.

"Sedang mikirin cewek? Ngelamun wae."

"Sampeyan(kamu) itu lho, sok tahu!"

"Aku yo pernah muda An. Eh, sekarang juga masih muda ding, hehehehe. Biasanya anak cowok kalau sedang jatuh cinta itu ngelamunnya ya model kamu ini. Sopo iku(siapa itu)?"

"Anik," kataku spontan.

"Hah? Anik? Anaknya Pak Abdul Karim itu?"

Aku keceplosan.

"Wahahahaha, selaramu koq jos tenan? Hebat, hebat, nggak percuma kowe dadi adikku."

"Mas, ojok diomongne sopo-sopo(jangan bilang siapa-siapa) ya."

"Trus, udah nembak?"

Aku menggeleng.

"Ealaaaahh...asem kowe, jadi selama ini belum nembak?"

"Aku nggak berani mas."

"Lha? Kenapa? Takut ditolak?"

Aku mengangguk.

"Ealah Yan, Rian. Mendingan utarakan maksud hati kamu, biar cinta kamu nggak jadi sayur asem."

"Hah? Koq sayur asem?"

"Iyo, sayur asem, nanggung. Manis kalau dibayangin tapi sebenarnya asin. Asem kan? Untungnya bukan asemnya ketek."

"Wooo,...ndasmu mas mas(kepalamu itu kak kak)!" aku lempar koran tadi balik ke dirinya. Mas Yogi malah ketawa.

Sebuah BBM masuk ke ponselku. Aku lalu mengeceknya. Eh, dari Anik.


Anik: Hai Rian.

Me: Ada apa?

Anik:

Me:

Anik: Lho, kamu lagi sedih?

Me: Nggak, cuma niruin emot kamu.

Anik: Ih rese

Me: sama aja, baru buka BBM langsung ada emoticon sedih itu juga bikin bete tauk.

Anik: Idiihh...iya deh, aku nggak mau ngobrol ama kamu lagi. Dasar.

Me: Eh, bukan begitu maksudku. Maaf.
Agak lama ia tak menjawab.


Me: Maaf Nik, maaf. Ya udah deh. Aku ngaku salah, ngaku salah deh, kamu apain aja deh terserah.

Anik:

Me: Yee, malah senyum.

Anik: Maaf ya Rian, sorry deh. Habisnya aku hari ini ada janji ama Zain di mall, mau beli sesuatu tapi hujan. Gimana dong?
Aduh, Zain lagi nih.


Me: Lho, kamukan ceweknya. Masa' dia nggak bisa mikir apa kalau hujan??

Anik: Aku nggak tahu BBM-nya.

Me: Buseeett...kamu itu pacaran nggak ngerti BBM cowoknya gimana sih? Sing nggennah wae. (yang benar aja)

Anik: Aku lupa, nggak tanya.

Me: Nomor telepon.

Anik: Belum nyimpen.

Me: Yaelah mbak yuuuu...tobaat tobat. Pacaran yang aneh itu ya kamu ini. Udah deh, sudahi aja itu taruhannya. Kalau memang kamu kepengen nraktir temen-temenmu nonton bioskop aku bayarin deh.

Anik: Aduhhhh...nggak bisa gitu dong. Kan ini taruhanku.

Me: Nik, jujur ya. Aku itu bosen Nik lihat kamu mainin cowok terus. Kamu apa nggak punya perasaan apa mainin cowok-cowok itu? Kasihan, mereka juga punya hati. Pikir dong Nik, pikir.

Anik: :'( . Iya seh Rian. aku yang salah. Tapi aku sudah terlanjur janji nih. Gimana dong??? Ntar dia nungguin aku piye?.
Akhirnya dengan persetujuan yang aneh aku pun nganterin Anik ke mall pake sepeda motor minjem mas Yogi. Dengan bertutup mantel hujan kami pun berangkat. Dan aneh juga kenapa aku jabanin juga tuh anak. Udah hujan-hujan pake mantel pula. Tapi untungnya setelah sampai mall hujannya reda.

"Kamu tunggu bisa nggak?" kata Anik.

"Tunggu?" gumamku.

"Udah deh, tunggu bentar yah Yan. Aku takutnya anaknya nggak dateng," kata Anik dengan mengiba. Nik, kalau saja kamu bukan orang yang aku suka, aku nggk bakal bilang...

"Oke," kataku. "Aku tunggu di kafe depan itu ya sambil ngopi."

Ia tersenyum. "Makasih ya Rian, kamu emang sahabatku yang paling pengertian." Dia segera masuk ke mall. Nggak tahu mau cari apa sih mereka di mall ini.

Aku manggut-manggut aja. Setelah cari tempat parkir, aku pun duduk di kafe itu sambil memesan Cappucino. Yang kencan siapa eh, yang nungguin aku. Dasar semprul. Itulah masalahnya, aku nggak bisa bilang tidak ke Anik. Duh gusti. Aku menunggunya, setengah jam. Satu jam. Aku habiskan waktuku main wifi sambil online di kafe itu dengan smartphoneku. Mana tuh anak udah satu jam. Berarti kan dia ketemu ama si Zain. Ya udah deh, toh dia belum muncul juga. Kalau misalnya ada apa-apa juga paling nge-BBM aku. Kalau misalnya dia sudah selesai pastinya juga ngasih kabar aku. Toh dia tahu aku ada di sini. Tak mungkin si Anik ninggalin aku sendirian di sini.


#Pov Anik#

Ahhh...akhirnya selamet deh, selamet selamet selamet. Aku sampe juga di mall berkat bantuan Rian. Dia emang bener-bener sahabatku yang sangat diandalkan baik suka maupun duka. Aku segera menghampiri Zain yang sudah nunggu aku di stand Bread Talk.

"Lho, nekad juga ke sini? Kamu nggak datang aja aku nggak bakal marah koq. Wong hujan," kata Zain.

"Yah, nggak bisa gitu dong. Lagian aku belum nge-save BBM kamu ama nomor ponselmu," kataku.

"Yaelah," kata Zain.

"Sory sory sory," kataku.

Setelah itu aku pun mengesave nomor ponsel ama BBM-nya. Ya maklumlah baru jadian kemarin. Aku juga nggak pernah dekat ama Zain sebenarnya. Ini semua gara-gara Si Elok, kalau dia nggak nantangin taruhan aku nggak bakal deh kaya' gini. Tapi sebagai seseorang yang mempunyai gelar Miss Rempong, aku nggak boleh dong diam aja. Harga diriku mana coba. Total sampai sekarang aku sudah mutusin delapan cowok. Dan Zain ini korbanku ke sembilan habis ini. Hahahaha....

Aku senyum-senyum sendiri.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Zain.

"Eh, i..iya, nggak apa-apa," jawabku.

"Senyam-senyum sendiri, ntar dikira aku pacaran ama anak senewen lagi," kata Zain.

Aku tersipu-sipu.

Kami pun jalan-jalan hari itu, main di Time Zone, cari buku, trus makan. Setelah itu kita pulang. Aku dianter ama Zain. Zain ini anaknya sebenarnya baik, pintar, kaya. Bahkan ia nganter aku ake mobil ayahnya. Nggak tahu anak ini udah punya SIM apa belum. Kita ngobrol ngalur ngidul bahas banyak hal. Tapi karena seleranya si Zain ini tinggi, ia lebih suka membahas sepak bola dan film. Segala sesuatu tentang keduanya itu ia obrolin bersama aku sepanjang sore itu.

Bahkan kalau aku tidak bilang, "Sampai besok Zain." mungkin dia akan tetap ngoceh sekalipun aku sudah keluar dari mobilnya.

Aku hanya menghela nafas panjang. Akhirnya kencan pura-pura ini selesai. Ini demi taruhan. Pokoknya si Elok harus benar-benar bayar taruhannya ntar. Gila apa. Zain itu bukan cowok tipeku. Tipeku itu ya seperti Lee Min Ho gitu. Sebentar kayaknya ada yang lupa deh, tapi apa ya?

AKu masuk ke rumah.

"Assalaamualaikum?" sapaku.

"Wa alaikum salam." mbak Rahma ada di ruang keluarga sedang nonton tv. "Udah reda hujannya?"

"Wis mbak, wis terang (udah mbak, udah reda)," kataku.

"Helmnya bapak mana ya, nduk?" tanya bapak.

"Astaga! Aduh mati aku," kataku. "Aku lupa, lupa, kelaleen! (kelupaan)"

"Hah?" Mbak Rahma bingung ngelihat aku.

"Lho, Nduk!? Anik, mau kemana?" tanya bapak.

"Mau ngambil helm pak," kataku. Aku lupa kalau tadi kan aku perginya ama Rian naik sepeda motornya. Helmku masih ada ama dia.

Aku segera keluar lagi. Waduh, Rian. Aku lupa ama Rian. Koq aku nggak nge-BBM dia juga. Aku pun nge-BBM dia sekarang.

Me: Rian, kamu masih di sana?

Rian: Iya, habis dua Cappucino nih. Habis ini perutku bakal kembung.

Me: Aku ke sana ya, tunggu!
Aku naik angkot sekarang menyusul dia ke mall.

****

Setengah jam kemudian aku tiba. Aku panik dan segera menyusul dia di kafe itu. Dia masih ada di sana. Aku...aduuhh....aku terharu, Sahabatku, Rian. Dia setia menungguku sampai dua jam. Hiks...tak terasa air mataku meleleh. Rian, kamu baik banget. Aku menghampiri dia. Rian menoleh ke arahku. Ia langsung berdiri.

"Sudah?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Lho, koq kamu nangis? Kenopo Nik? (kenapa Nik) Diputus Zain? Biasanya kamu yang mutusin cowok."

Aku menggeleng.

"Trus?"

"Kamu begoooooo banget sih jadi cowok?" aku masih nangis.

"Hah?"

Aku langsung peluk dia. "Ayo, anter aku pulang sekarang!"


BAB III

Cinta itu Mbulet


#Pov Rian

Hal teraneh adalah ngelihat Anik nangis tanpa sebab kemarin. Kenapa juga ia bilang aku bego? Aku sendiri heran. Ah, tapi aku nggak tahu maksudnya. Paling nggak kencannya ama Zain nggak batal, kan? Heran. Kenapa juga aku seneng dia kencan ama cowok lain. Bego. Mungkin bener kata dia aku iki wonge bego.

Tapi lumayanlah dari hasil nganter si Anik. Itu boobsnya nekan aku berkali-kali. Aduh aku jadi malu mengakui kalau saat itu aku emang sedikit konak. Hehehe. Ya wajarlah aku cowok. Tapi yang membuatku spesial adalah Anik itu cewek berjilbab. Aku berusaha menyembunyikan si otongku dan menghilangkan segala bentuk pikiran mesumku ama dia. Dia terlalu spesial untuk dijadikan bahan fantasi seksku. Tapi beneran, tiap kali aku bayangin Anik, aku pasti nggak dapet. Entah kenapa otakku sepertinya nggak mau mikirin mesum ama dia.

"Hei, gelem ora? (mau nggak)" tanya Mas Yogi sambil nunjukin Hard Disk portablenya.

"Opo iku mas? (Apa itu mas)" tanyaku.

"Isine(isinya) JAV. Ada Saori Hara, Ameri Ichinose, Sherina Hayakawa, Tora-tora pokoknya."

"Waahh...mau-mau, aku kopi deh di laptopku."

"Yuk!"

Nah, biar pun aku dan Mas Yogi kadang ribut, tapi soal pikiran mesum kami kompak. Ya tentu saja, wong sodara. Aku masuk ke kamarnya dan meng-copy Hard Disk milik Mas Yogi. Gile bener ada 700GB isinya bokep JAV semua. Mana muat nih laptop, pilih-pilih aja deh. Lagian aku juga nggak mungkin nonton semua, gile aje. Bisa kering ntar otongku.

Saat enak-enaknya meng-copy Mas Yogi ditelpon seseorang.

"Halo, sayang....." kata mas Yogi. Dari pacarnya sepertinya. "Bentar yah..." Ia keluar kamar.

Ceweknya Mas Yogi ini rekan kerjanya. Cakep. Pernah diajak ke rumah sekali. Orangnya pake jilbab juga. Namanya Salsa. Walaupun pake jilbab, tapi beda ama Anik. Baju jilbab Anik lebih longgar daripada Salsa. Lekukan body Salsa lebih nampak daripada Anik. Dan jujur, aku lebih horni ngelihat si Salsa ini daripada si Anik dari soal body. Lucunya adalah aku pernah mergokin mereka ciuman di ruang tamu. Dan yah...aku akhirnya cuma coli di kamar mandi sambil bayangin pacar kakakku ini.

Setelah selesai meng-copy kakakku pun masuk lagi ke kamar.

"Udah?" tanyanya.

"Udah," jawabku sambil nyerahin hard disknya.

Dia lalu mutar salah satu film. Langsung deh wajah Saori Hara muncul di layar. Mana uncensored lagi.

"Mas, boleh nanya sesuatu?" tanyaku.

"Apaan?"

"Mas selama pacaran ini pernah gituan ama Mbak Salsa?" tanyaku.

Ia menatap ke arahku dengan pandangan nyelidik. "Ngapain tanya begitu?"

"Yah, takon wae(yah, tanya aja)," kataku.

Mas Yogi ngelirik kiri kanan lalu mendekat ke aku dan berbisik, "Sejujurnya pernah."

"HEeeeeehhhhh??????"

Aku ditempeleng. Sakiiit.

"Lapo jerit-jerit koyo' ndelok kuntilanak (kenapa jerit-jerit seperti habis lihat kuntilanak)?" bisik Mas Yogi.

"Seriusan mas?"

"Aku yang pertama lho, keren nggak?" dia kayaknya bangga banget dapetin perawannya Salsa, pacarnya itu. Beruntung sekali Mas Yogi ini.

"Koq, iso gelem karo sampeyan iku ceritane piye (koq mau ama kamu itu ceritanya gimana)?"

"Yang penting itu komitmen, bukan cinta sayur asem kayak kamu itu! Dipendeeeeeeemmm wae ampe kecut."

"Yah mas, akukan emang seneng beneran ama Anik. Nggak pengen ngerusak dialah. Tapi aku jujur nggak berani ngomong suka nang bocahe(sama anaknya)."

"Kenopo ora wani? Wedi ketolak(takut ditolak)?"

Aku mengangguk.

"Ditolak iku wajar Rian. Mas-mu iki ditolak wong wadon sepuluh, untunge sing kesewelas iki gelem. Hehehehe (kakakmu ini ditolak cewek 10 orang, beruntung yang ke-11 ini mau)."

Aku jadi mikir. Harus gimana ya ama Anik. Bingung juga.

****

Sebulan sudah si Anik menjalin hubungan ama Zain, setelah itu ia mutusin hubungannya. Zain tentunya patah hati, sampai berlutut di depan kelas kami agar si Anik kembali kepadanya. Tapi dengan dinginnya Anik bilang, "No way!"

Edan ini anak. Zain pasti habis ini bunuh dirilah dibuang gitu aja ama si Anik. Bener-bener Miss Rempong ini Anik. Trus, ngapain aku bisa naksir ama dia ya?

Alasan-alasan kucari tapi tak ada yang cocok. Aku sendiri tak tahu sejak kapan suka ama Anik. Yang jelas kami sejak kecil sudah main bersama, ngejar layangan bersama, main di got bersama. Nggak cuma ama Anik sama kakaknya juga si Rahma itu. Dia udah nganggap aku sebagai sahabatnya. Tapi aku tetap memberikan tempat khusus di hatiku.

"Plis Nik, kembalilah kepadaku," kata Zain sambil berlutut di hadapannya.

"Ogah, nggak mau," kata Anik. "Pergi sana, daripada ntar kamu disuruh pergi ama guru wali kelas."

Zain nangis. Gile cowok pake nangis juga? Dia pun berdiri dan keluar dari kelas si Anik sambil bersedih.

"Wong edan kamu Nik, ntar dia bunuh diri gimana?" tanyaku.

"Bukan urusanku," jawabnya dingin. Edan bener ini anak.

Anik jalan ke Elok dan melakukan tos. Dia menang taruhan.

"Iya, iya, ntar habis pulang sekolah ya," kata Elok.

****

#Pov Anik#

Horeee, akhirnya menang taruhan. Ntar sore aku ditraktir ama Elok. Hehehe. Segera setelah pulang sekolah kami pun pergi ke mall. Elok ngajak temen-temennya. Lebih tepatnya temen-temen geng kami. Hihihi. Kami ditraktir di sebuah restoran fast food Pizza Hutt. Kami ngobrol ngalor ngidul soal ekspresinya si Zain. Dan kami menganggap hal itu lucu. Entah kenapa perasaanku nggak enak hari itu. menganggap hal itu adalah lelucon adalah kesalahan terbesarku.

Setelah itu kami nonton bioskop. Elok benar-benar tekor kali ini. Tapi ternyata ia membuat rencana pembalasan yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Taruhan belum berakhir.

"Filmnya seru ya," kata Pipit, salah satu anggota geng Rempong kami.

"Iya seru," aku setuju.

"Eh, Nik. Aku belum mengaku kalah nih," kata Elok.

"Udah deh, aku sudah menaklukkan sembilan cowok, masa' nggak cukup?" tanyaku sombong.

"Gini, ini yang terakhir. Bener-bener terakhir, setelah itu aku akan akui kamu memang cewek yang hebat, bener-bener playgirl."

Aku agak ragu menerima tantangan Elok. Tapi entah kenapa aku pun bilang. "Ok, siapa takut. Taruhannya masih sama kan?"

"Nggak, beda dong. Enak aja sama," kata Elok.

"Apa?"

"Kali ini yang kalah harus nyium Pak Sapto satpam sekolahan di hadapan banyak anak-anak," kata Elok.

"Anjiiiirrr! Yang bener Lok. Ini sih keterlaluan namanya," kata Pipit.

"Iya, Lok. Ini kelewatan, Awakmu dewe paling yo ora gelem ngambung Pak Sapto(kamu sendiri juga nggak bakal mau nyium Pak Sapto)," kata Ririn.

"Wistalah, piye? Gelem ora? (Sudalah, gimana? Mau nggak?)" tantang Elok.

"OK, siapa takut. Nggak boleh mundur lho ya?"

"Deal!" kami besalaman.

"Waduh, manteng koen!" kata Pipit.

"Trus targetnya siapa?" tanyaku.

"Si Rian," kata Elok.

JEDEERRRR! Bagai disambar geledek aku denger nama Rian. Kenapa harus dia?

"Eh..bentar-bentar, nggak salah denger?" tanyaku.

"Nggak, beneran. Aku tahu kamu sahabatan lama ama dia. Kamu harus bisa naklukin dia, trus mutusin kaya' Zain. Gimana?" tanya Elok.

"Nggak ada cowok lain apa? Plis deh jangan! Kalau aku sampai ngelakuin itu ke dia. Rian bakal musuhin aku seumur hidup!" kataku. "Nggak Lok, cowok yang lain aja. Misalnya si Bima atau si Andre."

"Nggak, aku kepengen si Rian. Kalau dirimu nggak mau, ya kamu harus nyium Pak Sapto dihadapan banyak orang," ancam Elok.

Perasaan tak enakku ternyata ini. Duh, aku harus gimana ya? Rian. Maafin aku ya.

"Oke, aku akan lakukan."

==========

Terjemah kosakata:
Mbulet = Ruwet 


BAB IV

Cinta itu Ilusi


#Pov Rian#

Aku ada di kelas sendirian bersama Anik. Hari itu adalah hari Sabtu dan anak-anak sudah pulang semua. Kami sendirian di dalam kelas. Dia ingin bicarakan sesuatu kepadaku. Entah kenapa agak lain. Matahari sudah mulai berwarna kuning. Pertanda sebentar lagi sudah mau tenggelam. Ngapain juga kita masih di kelas coba?

"Rian, aku suka ama kamu," katanya.

"Kamu cuma kepengen ngomong ini doang?" tanyaku.

"Iya," katanya.

"Aku juga sebenarnya suka ama kamu Nik."

"Beneran?"

"Iya. Sejak dulu."

"Sejak kapan?"

"Sejak kamu masih kecil. Sejak kita masih bermain di empang, main di kebun tebu, dikejar ama Mbah Winih."

"Kamu masih inget aja, aku udah lupa malahan. Hihihihi."

"Trus?"

Kami berdua diam. Bingung mau ngomong apa. Hatiku saja berdebar-debar sekarang. Mungkin lebih cepat daripada seorang yang berlari maraton, mungkin juga lebih cepat dari kereta api ekspress, bahkan shinkasen sekalipun.

"Kita jadian?" tanyaku.

Anik mengangguk. Aku pun mendekat kepadanya. Kepalanya yang terbalut kerudung itu aku kecup keningnya. Tubuhku sangat nempel bahkan ia aku peluk. Eh, sejak kapan aku punya keberanian seperti itu? Nggak koq beneran aku meluk dia. Duh...dadanya kenyal banget menyentuh dadaku. Otongku langsung tegang.

Kacamata minusnya itu aku lepas. Kata orang anak cewek berkacamata itu nggak setia, karena bangun tidur yang dicari kacamatanya dulu. Sebenarnya aku sudah pernah lihat bagaimana dia tidak pakai kacamata. Dia agak sipit kalau nggak pake.

"Aku belum pernah ciuman ama cewek. Kamu mau aku cium?" tanyaku.

Anik mengangguk.

Perlahan-lahan bibirku sudah maju saja ke depan, mengecup sepasang bibir yang lembut miliknya itu. Aku mengecupnya lagi, kali ini aku basahi bibirnya dengan lidahku. Manisnyaaaa.....aku baru kali ini nyium cewek maaaak...enak rasanya maaakkk....selangiiiiiittt...Pokoknya rasanya ratusaaan....emang wafer?

Entah siapa yang memulai kami sudah berpanggutan. Aku ternyata berani juga ya? Hehehe. Aku menciumnya lagi dan lagi, bahkan ini pertama kalinya lidahku menari-nari di dalam lidahnya melakukan French Kiss. Nafas kami makin memburu, duh indah dunia saat itu. Kalau dipikir-pikir kita emang sahabatan lama, trus harus berakhir dengan cara seperti ini, rasanya mimpi. Tanganku mulai menggeranyangi tubuh Anik. Ia tak menolak ketika tanganku melingkar di pinggangnya. Kami masih berciuman entah berapa lama kami saling memanggut. Pokoknya sampai lidah kami pegel dan aku berhenti.

"Enak ya Nik?" kataku.

"Enak Yan," jawabnya.

"Aku boleh megang boobs kamu nggak?" tanyaku.

Ia mengangguk. "Kan kita udah jadian."

Duuhhh.....maaakk..aku megang susu maakk! Tanganku sudah ada di situ. Sesuatu bola yang empuk, kenyal, padat.

"Ohh...Rian...koq enak sih?" katanya.

Aku teruskan megang payudaranya itu. Kuremas-remas lembut, aku pun agak nakal sekarang kubuka kancing bajunya. Anik diam saja, ia bahkan ikut membantuku sekarang. Kemeja seragamnya sekarang dilepas. Heh?? Aku melihat cup bra berwarna hitam. Dan kulit buah dadanya itu ranum banget. Putih, aku bahkan bisa mencium parfumnya. Bau tubuhnya bikin aku makin konak.

"Niik, kamu koq seperti bidadari ya?" tanyaku.

Anik hanya tersenyum. Aku segera membenamkan wajahku di dua gundukan itu. Anik makin mendesah, tanganku mulai meraba-raba kaitan branya. Akhirnya lepas sudah bra itu. Aku turunkan dan kubuang ke lantai. Indah nian ini gundukan. Putingnya kecil sebesar kacang, warnanya pink merona. Alamaaak aku makin bernafsu ama Anik. Kuhisap dan kukenyot saja itu putingnya. Aku sekarang seperti bayi besar yang menyusu ke induknya.

"Ohh....ahh...Rian...hhhmmhh...teruss....aahhh h!"

Aku jilati dan mainkan puting susu itu sambil aku meremas-remas buah dadanya. Enak banget, sukar kuuangkapkan dengan kata-kata. Sensasinya seperti meremas marshmallow dengan susu di atasnya. Lidahku gemas sekali mengecup, menjilat dan bibirku menyedot kencang putingnya.

"Ahhh...Riaann....jangan kenceng-kenceng sakiit."

"Sluuuurrrppp...aahhhh..."

Wajah kami berdua sudah sange berat. Kami kemudian berciuman lagi. Anik mulai melepas ikat pinggangku membuka celanaku dan meloloskannya. Aku bantu dia, hingga kemudian batangku yang perkasa keluar dari balik celana dalamku. Ia langsung meremas batangku.

"Niik...enak banget," kataku.

"Nggak usah pemanasan yah, langsung. Aku kepengen ngerasain," katanya.

Tiba-tiba Anik menurunkan roknya, kemudian celana dalamnya yang berwarna putih pun diturunkan, Ia tinggal memakai kerudungnya aja. Dia duduk di atas meja kelas. Kakinya dilebarkan menantang juniorku untuk masuk ke sarangnya.

"Nik, nggak apa-apa? Kamu masih perawan kan?"

"Ini semua untukmu sayangku, masuklah! Jadilah yang pertama!"

Ahh...what the fuck! Koq terlalu kebetulan gini? Ini terlalu mudah namanya. Ya udah apa boleh buat, mumpung ada rejeki. Kapanlagi aku bisa ML ama cewek yang aku suka? Ya nggak? Mana di kelas lagi. Bodo amat ketahuan guru, toh mereka udah pulang semua.

Anik merangkul leherku. Dipejamkan matanya. Pionku sudah menyentuh bibir memeknya. Geli rasanya ketika benda itu kugesek-gesekan naik turun. Anik sudah banjir. Perlahan-lahan aku pun memasukkannya. Gilaaaa....sempit banget, batangku seperti menusuk sesuatu yang sangat keras.

"Aaahhh....Riaaann...sakiiittt!" katanya.

"Tahan ya sayang, aku sayang kamu, aku cinta kamu," kataku.

"Aku juga sayang!" katanya.

Untuk menghilangkan rasa sakit aku berciuman lagi dengan dia. Pantatku kumundurkan, kemudian aku majukan lagi. Kudorong, dorong dan SREETTT!

"NGGGGggggggggkkkk!" Anik menjerit dalam ciumanku. Aku sudah memerawani dia. Kini tinggal aku goyang maju mundur.

Tubuhnya yang duduk di atas meja itu bergetar hebat saat aku sudah memerawani dia. Aku memeluk Anik, dada kami berhimpitan, sementara pinggulku terus bergoyang maju mundur. Sempit rasanya, ahh...nggak...aku nggak kuat, rasanya ingin crot....Aduh, geli banget.

"Niik...aku mau keluar nih," kataku.

"Iya sayang keluarin aja," katanya.

"Aaahhhh....!" aku menjerit.

BYUUUUURRRRR! Tiba-tiba aku diguyur oleh air. Tampak Mas Yogi ada di depanku. Lho???

Aku terbangun. Aku masih ada di kamarku. Mas Yogi ada di sana dia nyiram aku pake segelas air. Aseeeeeemmmm.....itu tadi cuma mimpi toh? Ealaaaah...

"Mas Yogi, lagi enak-enak mimpi basah koq disiram sih?" tanyaku.

"Habis, berisik! Kowe(kamu) dari tadi manggil-manggil Anik. Mimpi basah? Makane ojo kakeyan ndelok bokep (makanya jangan banyak lihat bokep). Akhirnya kebawa mimpi," katanya.

Aku akhirnya bangun dan kudapati celanaku basah dan lengket. Ehhh??? Aku sampe keluar? Ini baru pertama kali aku mimpi sampe keluar begini.

"Heh, kunyu mandi sana!" kata Mas Yogi.

"Iya mas, iya! Lagian ini kan hari minggu," kataku.

"Habis ini bantu-bantu bapak sana, kerja bakti! Aku disuruh bangunin kamu tadi, ayo!"

Aku pun beranjak ke kamar mandi. Duh...kukira mimpi tadi itu beneran. Kalau beneran, waaaahh,...betapa indahnya dunia. Eh...tunggu tunggu tunggu. Aku nggak bakal seberani itu ama Anik. Aku nggak mau ngelakuin begituan ama dia. Kepengen aku awet-awetin. Ntar kalau sudah waktunya yang tepat aku kepengen begituan ama dia pas hari pernikahan. Nggak seperti di mimpi itu. Aku memang benar suka ama Anik, tapi bukan berarti aku harus berbuat seenaknya kepadanya. Cintaku bukan cinta nafsu. Ini baru pertama kali aku mimpiin Anik. Padahal biasanya nggak bisa bayangin mesum ke dia. Mungkin ini adalah Ultimate Fuck! Aku selama ini kan nggak pernah bayangin mesum ke Anik, sekali bayangin langsung bayangin ML.

Aku sudah putuskan. Dia bakal jadi istri masa depanku.

"Lho, Rian?! Koq belum mandi? Bantu-bantu bapak habis ini!" kata bapak.

"Nggih pak, nggih(iya pak, iya)," kataku. Aku pun masuk ke kamar mandi. Nggak perlu coli. Orang udah becek kayak gini koq coli. Tambah lemes nanti.



 BAB V

Cinta [ATM] itu Ada Saat Engkau Butuh


Aku pergi ke swalayan dekat rumah. Kepengen beli camilan ama minuman ringan. Soalnya banyak banget film yang mau aku tonton di laptop. Bukan JAV lho ya, bukan. Yah, paling juga nanti nonton dikit-dikit, hehehehe...Aku paling suka download film, tapi nontonnya yang jarang. Lucu kan?

Aku masuk ke swalayan I***maret. Ngambil keranjang, kemudian menuju ke rak makanan ringan. Dan aku nggak sengaja ketemu sama Rahma.

"Lho, Mbak Rahma?" sapaku.

"Eeh..Rian, nyari apa?"

"Cari-cari cemilan aja, buat nonton film di rumah."

"Punya film apa? Bagi dong!"

"Ada sih Amazing Spiderman 2, Transformers 4, Divergent, banyak deh. Mbak mau?"

"Mau mau mau, boleh ngopi yak?"

"Boleh-boleh aja sih. Gimana ngopinya?"

"Ke rumah aja."

"Ke rumahnya mbak?"

"Iya, nggak apa-apa. Kaya' nggak pernah main ke rumah aja."

"Ya deh."

"Asyiiikk. Eh, iya, film India ama Korea punya?"

"Wah, kalau film India ama Korea saya sih pilih-pilih mbak, nggak asal comot download. Cari ceritanya yang sip baru download."

"Boleh boleh, besok ke rumah ya? Apa hari ini?"

"Hari ini nggak masalah juga sih."

"Hari ini yah. Aku tunggu deh di rumah."

Aku lihat keranjang belanjaan Rahma penuh dengan sabun, sikat gigi, pasta gigi, sabun cuci dan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga lainnya. Sebenarnya Rahma ini anaknya manis, ia asyik juga kalau emang lagi asyik. Tapi ketika ia serius ia sudah tidak bisa dikatakan asyik lagi.

"Aku duluan ya, udah semua," katanya.

"OK."

Aku kemudian menuju ke lemari pendingin mencari minuman ringan. Setelah mengambil dua botol besar, kemudian aku berjalan ke kasir. Mas-mas penjaga kasirnya menghitung semua barangnya dengan barcode. Kemudian tertera jumlah nominal di layar monitor. Rahma kemudian merogoh sakunya. Ia tampak kebingungan.

"Waduh,..neng endhi yo?(aduh di mana ya)" gumamnya.

"Lapo mbak? (kenapa mbak)" tanyaku.

"Koq dompetku lupa nggak aku bawa sih," katanya.

JENG JENG! Saatnya pahlawan beraksi. Aku maju, "Aku bayarin aja deh." Aku mengeluarkan kartu ATM kuberikan kepada mas-mas kasir.

"Waduh, Rian. Makasih lho ya, ntar aku balikin," katanya.

"Wistalah mbak, gampang urusan iku(Udahlah mbak, gampang urusan itu)," kataku.

Rahma tersenyum. Senyumnya manis, mirip Anik. Ya iyalah, kakaknya koq. Mirip tetangganya ya tambah ngeri.

Setelah acara pembayaran di kasir selesai kami pun pergi. Kami berpisah, aku ke kiri, Rahma ke kanan. Entah kenapa aku koq deg deg ser ya ngelihat Rahma. Sebenarnya Mbak Rahma ini orangnya juga cakep sih. Sama kaya' adiknya. Apa aku jatuh cinta ama dua orang ya? Sebenarnya kami juga main sama-sama waktu kecil, soalnya setiap ada Anik pasti ada Rahma. Juga sebaliknya. Dan jujur sih, Rahma lebih care ama aku daripada adiknya sendiri.

Contohnya adalah ketika kami bermain bersama. Waktu lari dikejar ama Mbah Winih gara-gara bawa tebunya. Aku sampai terjatuh. Rahma rela kembali buat nolong aku. Aku jadi teringat lagi kenangan masa kecil itu. Dia sampai mapah aku yang mana kakiku keseleo. Ah iya, aku ingat. Agak lucu juga sih sebenarnya. Ditolong ama cewek.

Tapi kuakui Rahma ini biarpun perfeksionis ia tak pelit kalau dimintai tolong. Ketika aku kesulitan ama pelajaran dia rela koq bantuin aku. Ketika aku belajar bersama Anik, dia kadang nimbrung. Dan selalu yang ditanya aku bukan Anik. Misalnya, "Gimana Rian? Ada yang sulit?" bukan tanya ke Anik. Ah, perasaanku aja kali. Lha si Anik kan sudah pintar. Pastinya nggak mungkin tanya ke adiknya toh?

#Pov Rahma

Ketemu Rian di swalayan. Untuuuung aja ada dia. Dompetku ketinggalan soalnya. Entah tadi aku mikirin apa, oh iya mikirin soal Kimia makanya aku lupa nggak konsen. Ih dasar. Aku segera pulang ke rumah. Langkahku agak cepat. Begitu masuk aku segera meletakkan belanjaanku di meja. Aku masuk ke kamar dan iya benar. Dompet masih ada di sana. Goblook banget sih. Oh iya, habis ini Rian bakal datang.

Ya sudah deh. Berarti tinggal nunggu si Rian aja kan?

Aku segera mengambil belanjaanku tadi dan menaruhnya di tempat yang semestinya. Sabun di tempat sabun. Sabun cuci aku taruh di dekat tempat cucian, pasta gigi kubuang yang sudah habis dan kuganti yang baru. Aku juga beli sikat dan lain-lain. Aku kemudian menaruh pengepel lantai di tempat yang semestinya. Kulihat Anik tampak menyapu lantai. Rambutnya dikuncir, ia memakai baju kaos lengan pendek dan celana legging.

"Habis ini Rian ke sini lho," kataku.

"Oh ya? Mau ngapain?" tanyanya.

"Aku mau ngopi film-film dia," kataku.

"Oo,...emang juragan film dia, bagus-bagus filmnya," katanya.

"Lho, kamu tahu kalau dia punya banyak film?"

"Yah, sekelas mah tahu juga kale kalau dia koleksi banyak film. Hard Disknya aja sampai 2 Tera,"

"Wah, keren ya ini anak."

"Tapi nggak tahu isinya apa. Paling juga isinya bokep."

"Hush sembarangan aja. Kan nggak semuanya juga neng."

"Aku sih justru ngelihat anak laki-laki yang nggak nonton bokep itu nggak wajar mbak. Pastinya pernahlah sekalipun cuma sekali seumur hidupnya."

"Emangnya si Rian udah punya pacar?"

"Nggak kaya'nya."

"Tahu dari mana?"

"Yaelah mbak, Rian kan sahabat dekatku. Pastinya aku tahu dong."

Rian, kami sejak kecil sudah main bersama. Kalau ada aku, Anik pasti ketiganya ada anak itu. Sejak kecil, mungkin karena ia satu-satunya cowok yang pernah main bersama kami, membuat dia menjadi orang yang spesial buatku. Aku sejak dulu ingin memberikan perhatian-perhatian kepadanya. Dari tanya apakah ada pelajaran yang sulit. Lebih membela dia daripada adikku dan lain-lain.

Sebenarnya aku ingin dia masuk ke sekolah SMA tempat aku belajar sekarang, tapi ia lebih memilih sekolah d mana adikku belajar di sana. Yang membuatku suka ama Rian ini salah satunya adalah ia selalu ada di saat aku membutuhkannya. Dulu ketika SD aku pernah kedinginan karena lupa nggak bawa jaket, saat itu turun hujan. Dia meminjamkan jaketnya untukku hingga dia sendiri yang kedinginan. Saat aku sedang down karena nilaiku ada yang jelek dia ngasih aku semangat. Hari ini juga begitu. Dia ada di saat aku membutuhkannya.

"Assalaamualaikum!?" terdengar suara Rian.

"Waduh, itu anaknya!" Anik langsung melompat pergi ke kamar.

Aku segera pergi menyambutnya. Sebelum membuka pintu kubetulkan dulu kerudungku. Lalu pintu kubuka dan tampak Rian sudah membawa laptopnya

"Wa alaikum salam. Masuk masuk!"

Rian pun masuk. Dia permisi. Kemudian kusuruh duduk di kursi. Ia meletakkan laptop dan harddisknya di meja. Begitu dibuka langsung nyala.

"Koq bisa langsung nyala ya laptopnya, diapain itu?" tanyaku.

"Lho? Ini namanya suspend Mbak, nggak pernah pake?" katanya.

Aku menggeleng.

"Jadi suspend itu keadaan laptopnya masih menyala tapi kondisinya pakai power terkecil. Jadi ketika dibuka apa yang kita masih jalankan tadi kembali lagi kita bisa gunakan," aku gaptek ama urusan teknologi. Eh Rian ternyata pinter juga ya.

"Ohh...gitu, aku ora ngerti ngono kuwi (aku nggak ngerti model gituan)," kataku.

"Dicopy ke mana mbak?" katanya.

"Ke sini aja," jawabku sambil menunjuk ke dadaku.

"Hah?" Rian melongo. "Serius?"

Aku ketawa. "Ah bego kamu, diajak bercanda aja diseriusin. Bentar deh aku ambilin laptopku."

Rian garuk-garuk kepalanya. Hihihihi, dasar anaknya sedikit lambat kalau diajak bercanda. Laptop aku ambil di kamar, begitu balik aku sudah melihat Anik berada di samping Rian tampak serius banget. Aku segera membawa laptopku dan kutaruh di sebelah laptop Rian. Dia membuka laptopku dan menyalakannya.

"Wah, aku belum punya nih," kata Anik. "Ntar ngopi yah, kasih ke Mbak Rahma deh."

"Iya iya," kata Rian.

Aku pun megerubunginya. Dia tampak sedang memilih-milih folder filmnya. Si Anik kayaknya tambah dekat ke Rian. Koq aku jadi cemburu ya? Kepengen ngusir Anik rasanya.

"Nik, ambilin minum gih!" kataku.

"Ah mbak ini, aku kan masih nyapu tuh!" dia menunjuk ke pekerjaannya yang tertunda.

"Yee, kalau nyapu ya nyapu jangan lihat-lihat laptop," kataku.

"Bentar aja koq,"

"Udah sana, ambilin minum!" perintahku.

Ia cemberut trus pergi. Akhirnya aku bisa sendirian ama Rian. Aku kemudian milih-milih filmnya apa aja trus Rian memindahkannya ke Hard Disk miliknya. Setelah itu dari HardDisk portable itu dipindah ke laptopku. Anik membawa dua gelas dan satu botol minuman bersoda. Dia melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi. Sementara mengcopy kita ngobrol sebentar.

"Kamu nanti mau ke-IPS apa IPA, Yan?" tanyaku.

"Wah, kaya'nya mau ke-IPS aja deh. Hehehe, otakku nggak secanggih kalian. Tapi ku usahain aja deh, bisa IPA," jawabnya.

"Emang nanti mau kuliah di mana?" tanyaku.

"Sebenarnya kepengen kuliah di ITS atau di UNAIR mbak," jawabnya. "Enaknya di mana ya mbak?"

"Lha? Yo terserah kowe. Aku seh mau ke UNAIR aja."

"Oh ya?"

"Kepengen ngambil jurusan kedokteran."

"Wah, mahal mbak pastinya."

"Aku mau ngejar beasiswa, Yan. Kalau dapet aku bisa kuliah gratis di sana. Syaratnya cukup berat soalnya. Aku harus jadi ranking satu terus. Dan raportku nggak boleh ada merahnya. Makanya itu buat ngejar beasiswa ini aku nggak boleh jelek nilainya."

"Ohh...pantesan Mbak ini kalau nggak dapat juara sampai mewek. Ternyata karena ini, ya?"

Aku mengangguk.

Aku lanjut bertanya, "Kamu sekolahnya gimana? Masih ada masalah soal pelajaran. Biar mbak bantu kalau ada."

"Wah, makasih mbak. Ada sih macam matematika ama Kimia itu. Bikin pusing."

"Sebenarnya gampang koq, tinggal kamu saja yang mesti memperhatikan. Kamunya waktu diterangkan ama gurumu gimana lho?"

"Yah, diterangkan sih biasa-biasa aja mbak. Denger. Merhatikan tapi kalau sudah ketemu soalnya, serasa bingung 'Ini yang diterangin tadi sebelah mana ya?'"

"Itu artinya kamu nggak merhatikan. Ya udah, lain kali belajar aja di sini. Mbak akan ngajarin."

"Bener nih mbak?"

"Iya, beneran."

Ibu datang dari dapur. "Lho, Rian?!"

"Bu Ika," Rian berdiri.

"Halah, nggak usah berdiri duduk aja. Lanjutkan! Aku kira tadi siapa," kata ibuku. Beliau kemudian pergi keluar.

Dari arah luar Anik masuk lagi. Ia sudah selesai menyapunya lalu ia duduk di samping Rian lagi.

"Udah selesai nih," kata Rian.

"Koq cepet ya?" tanyaku.

"Kalau dari Hard Disk ke laptop sih ya cepet," jawabnya.

"Gimana tadi pesenanku?" tanya Anik.

"Beres, udah aku taruh di laptopnya Mbakmu," jawab Rian.

"Siipp!"

Rian mencopot Hard Disknya, ia beres-beres. Sepertinya ia mau pamit.

"Lho, udah mau pergi?" tanyaku.

"Yah, kalau aku nggak pergi kapan aku nonton ini filmnya? Mumpung weekend," jawabnya.

"Ya udah deh," kataku.

"Pergi dulu ya," Rian mengepalkan tangannya dan di arahkan ke diriku. Aku menempelkan tinjuku ke tangan itu. Anik juga. Cara tos yang aneh. Tapi ini sudah lama kami lakukan sejak kecil. Yahh...kami sih anggap wajar aja sih. Setelah Rian pergi aku masuk ke kamarku.

"Mbak, ntar pinjem lho ya," kata Anik.

"Iya, iya, bawel," kataku.

Aku masuk kamar dan menikmati apa yang barusan dicopy oleh Rian tadi. Aku buka-buka folder filmnya. Wah, keren-keren nih filmnya. Tapi apa ini? Koq ada folder dengan judul yang aneh. JAV. Apa itu? Film baru? Aku coba buka. Nggak jelas filenya. Banyak. Kuplay salah satunya.

Film mulai, ada cewek cakep. Seperti model gitu pake pakaian sexy. Heh? Film apaan ini? Adegan selanjutnya yang aku nggak sangka. Si cewek ciuman ama cowok, trus si cowok grepe-grepe gitu ke dada si cewek. Nggak cuma itu, si ceweknya ngelusin itunya si cowok. Idiiiiihh...ini mah film bokep! Aku langsung matiin. Duh...berdebar-debar aku nontonnya. Si Rian, tadi nggak sengaja kecopy film ini. Hihihihi...bener apa yang dibilang Anik, cowok itu pasti punya film ini. Wajar sih, dia lagi penasaran, lagi puber. Kuhapus nggak ya? Aku sembunyiin aja deh, siapa tahu suatu saat butuh.


BAB VI

He Loves Me He Loves Me Not

#Pov Anik#


Bener kaan, aku nggak bisa bilang suka ke Rian. Ia udah jadi sahabatku sejak kecil. Sialan si Elok. Ini sih bukan pembalasan, tapi penyiksaan. Kemarin saja waktu dia di rumah, aku bingung banget mau ngomong apa. Aku lesu hari ini di sekolah mikirin tantangannya Elok.

"Nik, kapan nih jadiannya?" sindir Elok.

"Aku butuh waktu," jawabku.

"Seminggu, dapetin dia dalam waktu seminggu. Kalau nggak. Kowe ngerti dewe (kamu ngerti sendiri). Hehehehe"

Aku serba salah sekarang. Aku nggak mau mengkhianati persahabatanku ama Rian. Ia sudah terlalu baik kepadaku. Aku masih keingat peristiwa kemarin di mall. Dia rela nunggu aku di sana. Emang bego banget dia. Tapi justru karena begonya itu aku jadi nggak tega mau ngancurin hatinya. Aku harus gimana??

Takut kalau misalnya Rian bener-bener jatuh cinta ama aku. Kenapa juga aku iyain tantangan si Elok. Rasanya saat itu aku seperti ketiban (kejatuhan) gunung. Beraaat banget.

Rian masuk kelas. Dia lalu duduk di bangkunya. Ia menguap lebar. Pasti tadi malam nonton film sampai lupa waktu. Dia menoleh ke arahku. Tiba-tiba saja raut mukanya berubah. Yang tadi ngantuk sekarang seperti orang yang sadar sepenuhnya. Eh, emang bisa kaya' gitu? Koq bisa. Wah, cocok jadi pemain pantomim nih anak.

Elok menaik-naikkan alisnya ketika kulihat dia. Sinting anak ini. Aku memberi isyarat kepadanya, 'Belum saatnya'.

Bel berbunyi dan kelas pun masuk. Hari itu pelajaran berlangsung seperti biasa. Aku malah tak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Aku cuma menatap ke arah Rian.

Rian, sosok cowok yang tidak sempurna. Anak Pak Jaelani salah seorang yang dihormati di kampungku. Bapakku dan bapaknya berteman baik. Aku dan dia sejak kecil mainannya ya di kebon, empang, di sawah. Kami sama-sama menikmati masa kecil kami bersama-sama. Ia selalu baik kepadaku. Nggak pernah sedikit pun menyakiti aku. Walaupun kadang ada pertengkaran kecil, tapi itu bukan pertengkaran yang membuat persahabatan kami retak.

Dia sahabatku, orang yang pertama kali menjengukku ketika aku sakit. Orang yang care kepadaku ketika aku sedang ketinggalan pelajaran. Dia mau membagikan catatannya. Pas aku kena maag, dia orang pertama yang tahu. Pas aku butuh obat asma, dialah rela beliin obatnya ke apotek. Dari sini dia baru tahu kalau aku ngidap penyakit asma. Orang tuaku dan Mbak Rahma saja nggak tahu. Apa iya tega aku harus nyakitin cowok yang udah baik kepadaku selama ini?

Jam istirahat datang. Rian mengambil sebuah kotak bekal, kemudian ia berjalan menuju ke kantin. Ah iya. Dia sering bawa kotak bekal. Aku ikuti dia sampai ke kantin. Di sana dia duduk sendiri. Seperti biasanya. Menikmati makan paginya seorang diri. Aku pun segera menghampirinya. Duduk di depannya.

"Hai," sapaku.

"Uhuk uhuk uhuk!" ia terkejut melihatku dan tersedak. Buru-buru ia mengambil minum air mineral yang ada di meja. "Aaahh...bikin kaget aja Nik. Ada apa?"

"Nggak apa-apa, cuma kepengen nemenin kamu aja," jawabku.

Matanya menyelidik ke mataku. Ia sepertinya mengetahui ada yang aneh.

"Apaan sih?" tanyaku.

"Nggak, tumben aja. Pasti kamu ada masalah," ini yang kusuka dari Rian. Dia itu seperti punya radar di kepalanya. Kalau aku punya masalah ia pasti tahu.

"Iya juga sih," kataku.

"Naah, bener kan? Cerita aja, tapi aku sambil makan yah. Belum sarapan dari rumah," katanya.

Rian melanjutkan makannya. Enak sekali cara dia makan. Padahal lauknya cuma sayur oseng ama tempe goreng. Entah kenapa nasi itu bisa ia kunyah dengan sayurnya, ia sangat menikmati sarapan paginya. Aku menyangga kepalaku dengan tangan. Kutatap lekat-lekat wajahnya itu. Aku harus mulai dari mana ya?

"Silakan ngobrol!" katanya.

"Eh, iya. Anu...itu...hhmmm," aku nggak berani ngomong. Nggak, aku biasanya punya sesuatu yang bisa dibahas ama dia koq. "Ah iya, aku udah tobat Yan. Nggak mau lagi nyakitin hati cowok."

Dia menghentikan kunyahannya. Diambilnya air minum. Setelah isi mulutnya bersih ia baru bicara, "Serius?"

Aku mengangguk.

"Nah, gitu dong. Beneran lho ya, kalau habis ini kamu melakukan hal-hal gitu lagi, aku bakalan buenci ama kamu," katanya. "Cowok itu punya hati juga soalnya. ....(aku nggak dengerin dia karena aku sudah menerawang jauh)."

Kata-katanya itu. Dia akan membenci aku kalau sampai melakukannya lagi. Tapi masalahnya kamu yang jadi targetnya Rian. Masalahnya kamu yang jadi targetnya.

"Kamu sibuk nggak nanti?" tanyaku.

Dia menatap langit-langit seperti berpikir keras. "Nggak juga sih, kenapa?"

"Aku kepengen jalan-jalan aja, nenangin pikiran. Temenin yah!"

"Kapan? Nanti sore?"

"Habis pulang sekolah anterin aku."

"OK!" Begitulah Rian, selalu bilang OK walaupun dia sebenarnya nggak OK.

***

Pulang sekolah aku ama dia naik angkot menuju ke salah satu taman wisata yang ada Guanya di sebelah barat. Di sebelah selatan ada water parknya. Kami jalan-jalan di sekitar gua ini. Lalu duduk di atas tanah yang berada di atas gua. Dari sini aku bisa melihat pemandangan kota Kediri yang luas. Tampak dari kejauhan susunan kompleks pabrik rokok Gudang Garam terlihat dari sini. Tentu saja terlihat, kami ada di atas gunung soalnya.

"Dari tadi diem aja?" tanya Rian. Dia duduk di sampingku.

Aku kemudian menaruh kepalaku di bahunya. "Aku ingin bersandar sebentar Rian."

"Yah, silakan!"

Angin sepoi-sepoi menerpa kami berdua. Semilirnya membawa terbang beberapa dedaunan kering. Suara gesekan daun beringin yang pohonnya tumbuh di bawah kami terdengar. Agak jauh bisa kulihat bangunan Museum Airlangga dan pedagang kaki lima yang terjejer rapi menjajakan barang dagangan.

"Yan, kamu punya perasaan ama aku nggak sih?" tanyaku tiba-tiba.

Rian nggak menjawab.

"Punya nggak?" aku kembali bertanya.

"Kalau punya emang kenapa kalau nggak kenapa?"

"Koq jadi tanya balik sih?"

"Kalau aku suka ama kamu, bukannya itu wajar? Kamu kan sahabatku."

"Maksudku bukan itu," aku menegakkan kepalaku. Kutatap wajahnya. "Kamu, suka ama aku? Suka dalam arti cinta ama aku?"

Rian lagi-lagi nggak menjawab. Aku ingin tahu. Apakah dia benar-benar suka ama aku atau tidak? Kalau dia menyukaiku aku yakin dia makin benci kepadaku nantinya. Tapi kalau tidak, aku bisa minta tolong kepadanya untuk pura-pura menyukaiku di hadapan Elok.

"Sejujurnya...."

Aku menunggu. Ayo katakan.

"Ah, koq malah bahas ini? Udah ah, bahas yang lain aja."

"Riaaan...katakan dong!"

"Iya aku suka ama kamu. Aku jujur suka ama kamu, sejak dulu, sejak dulu aku suka ama kamu. Sejak kecil aku sudah suka ama kamu, sejak aku masih punya cinta monyet ama kamu," dia bilang itu sambil nafasnya terengah-engah. Seperti mengeluakan semua yang dipendam dia selama ini.

Naahh, kaaaaan. Dia suka beneran ama aku. Mati aku. Bego aku. Begooo...dia bakal benci ama aku. Riaan...maafin aku ya. Tak terasa air mataku mengalir.

"Anterin aku pulang deh," kataku.

Ia menoleh ke arahku. "Koq kamu nangis?"

"Kamu bego banget jadi cowok. Anterin aku pulang!"

"Iya, iya."

Kami pun berdiri. Selama menuju tempat parkir menuruni anak tangga di tempat wisata ini, kami tak bicara. Rian mungkin tak ingin bicara lagi. Dia sudah ungkapkan kata hatinya selama ini. Sedangkan aku, aku bingung. Hingga akhirnya aku pun mengeluarkannya.

"Aku juga suka ama kamu," kataku.

"Apa Nik? Kamu tadi ngomong apa?" tanya Rian.

"Aku suka ama kamu," aku memaksa senyum kepadanya. Senyum yang nggak ikhlas. Aku tersenyum tapi air mataku meleleh.

Untuk sesaat kami berdua saling pandang. Kami berdiri saling berhadapan, dua anak SMA yang masih saling mencari jati diri berdiri mengakui keadaan hati mereka saat ini. Rian, dengan berat hati aku mengatakan ini. Aku juga suka ama kamu sebenarnya. Tapi kenapa harus terjadi seperti ini??

"Ayo kita pulang!" katanya.

Ia menggandengku. Erat. Seakan ia tak mau melepasnya. Aku jatuh cinta ama dia. Tidak. Aku ini adalah penakluk laki-laki. Kenapa aku harus takluk kepada Rian? Kenapa malah aku yang takluk ama sahabatku sendiri. Ia tak bicara. Memang tak perlu kami bicara. Bahasa tubuh kami sudah mengatakan segalanya. Ia mencintaiku. Aku juga. Oh Rian. Maafkan aku.


BAB VII

Nikmati aja Part I




Orang bilang kala cinta itu datang
Tahi ayam rasa coklat

Kala cinta datang
Bagaikan disiram oleh air hujan setelah kering selama bertahun-tahun

Cinta itu indah
Kalau engkau tahu bagaimana cara mencintai

#Pov Rian#

GUENDEEEEENNGGG! EDAAAAAN! AAAARRGGHHH!

Aku lompat-lompat sendiri di halaman rumah. Aku baru saja jujur ama Anik. Dia juga suka ama aku. Mas Yogi baru pulang dengan sepeda motornya keheranan melihat aku lompat-lompat.

"Kowe kesurupan nyet(kamu kesurupan nyet)?" tanyanya.

Aku langsung memegang lengan Mas Yogi, "Aku baru nembak dia mas."

"Nembak? We...e...e...e..e...keren. Trus diterima pasti."

"Dia juga suka ama aku."

"Nah, ini baru adikku. Selamat yah, semoga langgeng kalian."

"Matur nuwun ya mas. Udah nasehatin aku selama ini. Tapi emang bener. Pas ngomongin suka itu rasanya plong banget, lebih plong dari pada kebelet di WC."

"Yo iyolah," kata Mas Yogi sambil turun dari sepeda motornya dan diparkir di teras. "Aku dulu juga mau bilang suka ama Salsa itu keringetan. Seperti orang habis lari maraton."

"Sama mas, aku juga, tapi setelah diucapkan itu rasanya plong banget."

"Iyo, opo maneh nek diterimo. Tapi nek ditolak rasane rai iku koyo diuntel-untel (Iya, apalagi kalau diterima. Tapi kalau ditolak rasanya itu seperti kertas yang diremas-remas)"

"Hahahaha, persis mas persis!" kataku.

"Yowis, ono pertandingan Persik Kediri iki, aku ndelok dhisik! (Ya udah, ada pertaandingan Persik Kediri ini, mau nonton dulu)"

Hari ini perasaanku berbunga-bunga. Aku BBM Anik dulu ah. Aku masuk ke dalam rumah, lepas sepatu terus masuk kamar. Di kamarku aku langsung BBM si Anik.


Me: Udah selesai nangisnya?

Anik:

Me: Malah melet. Aku gigit ntar itu lidah.

Anik: Kamu jahat.

Me: Lho, koq jahat?

Anik: Kalau suka ama aku kenapa nggak bilang dari dulu?

Me: Yah, gimana yah.

Anik: Apa susahnya sih bilang suka ama aku?

Me: Susah Nik, beneran susah.

Anik: Seandainya kamu sejak dulu udah bilang.

Me: Hah? Maksudnya?

Anik: Eh, nggak. Nggak apa-apa, hiraukan yang itu.

Me: Jadi kita beneran jadian nih?

Anik: Nggak.

Me: Lho?

Anik: Iya beneran jadian, emangnya apa? Kamu jadi cowok jangan banyak O'onnya dong.

Me: Hehehe...aku cinta ama kamu Nik

Anik: <3 u 2

Me: Boleh hari ini mimpiin kamu?

Anik: Emang bisa mimpi dipesen?

Me: Bisa koq. Sejujurnya tadi malam aku mimpi nyium kamu. Aku nggak tahu kalau ini firasat aku nembak kamu.

Anik: :"> jangan bikin aku malu. Aku blom pernah nyium cowok.

Me: Suwer?

Anik: Beneran.

Me: Lha, kamu selama ini pacaran nggak pernah nyium cowok?

Anik: Nggak pernah. Aku larang mereka nyium aku. Pegang tangan boleh. Malu tau anak pake jilbab koq nyium cowok. Kaya' wanita murahan gitu rasanya.

Me: Oh...aku juga nggak kepengen memperlakukanmu seperti cewek gampangan Nik. Kalau kita pacaran, jangan model kaya' orang-orang yah. Biasa aja.

Anik: Aku ngerti koq. Kamu selama ini baik sama aku. Terus terang aku trenyuh ketika kamu nunggu aku di mall kemarin. Padahal sebenarnya aku sudah di rumah lho.

Me: Hah? yang bener?

Anik: Iya, makanya aku bilang kamu ini begooo banget. Kenapa nggak BBM aku kek, atau telpon aku kek. Ninggalin aku juga kan nggak apa-apa.

Me: Yah...kamunya kan bilang suruh nunggu ya aku tunggu aja.

Anik: kalau sampai pagi kamu mau nunggu aku?

Me: Iya, sampai itu mall tutup aku tetep akan nunggu kamu.

Anik: :'( kenapa kamu baiiiik banget ama aku?

Me: Karena aku suka kamu Nik.
Kami ber-BBMan sampai malem. Bahkan sampai ketika kita mau berangkat tidur BBM terus tang! tung! tang! tung! Anik cerita banyak hal tentang dirinya yang selalu dinomor duakan di keluarganya. Tapi dia termasuk orang yang paling disayang oleh bapaknya. Anik juga cerita kalau ia tersentuh oleh sikapku selama ini. Ah, yang penting nikmati aja.


#Pov Anik#

Nah, bener kaaan. Rian cinta mati ama aku. Hiks....koq jadi gini ceritanya. Aku juga malah jadi cinta ama dia. Aku harus gimana sekarang? Kalau aku bilang ke dia bahwa dia cuma jadi target saja, bisa marah ia ke aku.

"Kowe lapo dek? Koq ngelamun? (kamu kenapa dek? koq melamun)" tanya Mbak Rahma.

"Nggak apa-apa koq mbak," jawabku.

Aku meluk bantal di atas karpet di ruang keluarga sambil nonton tv. Tapi pandanganku nggak fokus ke tvnya. Rahma tahu aku melamun. Dan kalau sudah begini ia bakal menyelidiki.

"Masalah cowok?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Kenapa? Cerita dong!"

"Yang ini nggak deh mbak. Lain kali aja."

"Lho, kenapa? Yang ini sudah nyantol beneran?"

Aku mengangguk.

"Siapa?"

"Nggak ah. Aku nggak mau cerita. Plis ya mbak."

"Iya deh. Jadi ini ceritanya kamu lagi kasmaran?"

"Udah deh mbak, jangan diledekin terus."

"Hehehehe, tapi jaga diri lho dek. Jangan kebablasan. Mbak nggak mau adek mbak nanti hamil diluar nikah."

"Nggak deh mbak, percaya ama aku. Yang ini spesial banget. Dia selama ini baik ama aku."

"Mbak jadi penasaran ama orangnya."

Aku tersenyum. Kenapa aku jadi malu-malu sendiri ya? Kalau mengingat-ingat Rian selama ini. Duh....gustiiii...kapok aku. Tobaaaat. Kenapa sekarang aku mikirin Rian terus?

Tung! Nah, BBM-ku bunyi lagi. Aku langsung ke kamarku. Kulanjutkan BBM-an di kamar aja ama dia. Setelah tadi sore dia mengutarakan perasaannya, rasanya aku lebih plong banget ama dia. Ngobrol lepas. Selama berjam-jam aku di kamar ber-BBM-an. Sampe aku colokin itu ponsel ke charger.


Me: Kamu belum bobo'?

Rian: Belum. Ini mau berangkat ke pulau kapuk. Kamu koq masih terjaga jam segini. Besok mbangkong (kesiangan) lho."

Me: Kamu juga. Besok kita masuk sekolah kan?

Rian: Ya udah, aku temenin sampe kamu bobo' ya.

Me: Adanya malah nggak tidur-tidur nanti.
Kami terdiam lama sekali


Rian: ping!

Me: Nah, kaan masih gangguin.

Rian: Lho, koq belum tidur?

Me: Habisnya diping terus.

Rian: Ya udah deh, tidur yuk...mimpiin aku ya.

Me: :">
Setelah itu aku sudah tak sadar lagi. AKu tertidur begitu saja. Tahu-tahu sudah pagi karena bunyi alarm. Aku terbangun melihat alarm sudah menunjukkan jam 5 pagi. Aku baca BBM sejenak dari Rian.


Rian: Ya udah, aku tidur. Kamu udah tidur?

Rian: ping!

Rian: OK, selamat tidur.
Singkat cerita setelah membersihkan diri dan berdandan yang rapi aku pun pergi ke sekolah. Tapi ada yang spesial hari ini. Seorang cowok menungguku di depan rumah. Ia mengendarai motor bebek, matic. Baru pula. Helmnya full face. Tapi dari tampangnya aku tahu siapa dia. Itu Rian. Dia membuka kaca helmnya.

"Lama banget cah ayu. Nih motor baruku! Keren nggak?" tanyanya.

"Uwaseeeemm...anyar iki yo?(baru ini ya)" tanyaku.

"Yoi, piye cah ayu? Aku anter?" tanyanya.

Dari dalam rumah tampak Rahma juga mau berangkat. Ia naik angkot seperti biasa. Aku menoleh ke arahnya.

"Lho, Rian? Motor baru?" tanya Rahma.

"Iya mbak, baru dibeliin bapak. Aku juga kaget kemarin," jawab Rian.

"Mau jemput siapa nih? Aku apa Anik?" Mbak Rahma ketawa geli.

"Ehhmm...itu...," Rian tampak gugup. Ia mau garuk-garuk kepala malah garuk-garuk helmnya.

"Mau jemput aku mbak, udah sana naik angkot aja. Weeekkk!" aku menjulurkan lidahku ke Mbak Rahma.

"Yahh....bukan aku ya," kata Mbak Rahma dengan tampang sedih.

"Lain kali aja deh mbak, aku antar ya?" kata Rian.

"Iya deh, eh...angkot! angkot!" Mbak Rahma berseru ke sebuah angkot yang baru saja datang. Angkot berwarna kuning dengan huruf A itu berhenti.

"Hati-hati mbak!" kata Rian.

Mbak Rahma tersenyum dan melambai. Setelah angkot sudah menjauh, Rian menjulurkan helm berwarna putih kepadaku. Dia tersenyum. Kupakai helm itu sampai bunyi 'klik'.

"Berangkat sekarang apa nanti?" tanyanya.

"Sekarang dong," kataku. Segera aku naik ke sadel belakang. Agak berbeda dari kemarin, agak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Aku tak pernah merangkul Rian ketika naik sepeda motor. Kali ini aku mendekapnya. Aku nyaman ketika memeluknya. Ia mengusap-usap punggung tanganku. Oh Rian.

Aku sudah putuskan. Untuk sementara waktu aku ingin menikmati hubunganku dengan Rian. Iya, lebih baik aku menikmatinya. Paling tidak, aku ingin merasakan bagaimana seseorang yang benar-benar aku sukai juga menyukaiku. Aku cium punggungnya. Ia tak merasakan, tak apa aku ingin mencium punggungnya. Punggung kekasihku.


BAB VIII

Nikmati aja Part II




Nikmatnya ciuman pertama itu seperti es salju
Dinginnya sampai ke hati
Manisnya seperti gula aren
Mabuk kepayang seperti anggur yang usianya ratusan tahun

Nggak perlu gin atau pun vodka
Para pecinta akan mabuk dengan sendirinya ketika mereka mendapatkan ciuman pertamanya.


#Pov Anik#

Elok kaget melihatku hari itu datang ke sekolah dibonceng oleh Rian. Aku tersenyum penuh kemenangan kepadanya. Dia menggeleng-geleng sambil mengacungkan jempol. Kemudian jari telunjuknya diacungkan dan memberikan isyarat untuk berhenti dengan menempelkannya di telapak tangan kirinya. Aku tahu artinya. Satu bulan lagi, aku harus mengakhiri hubungan ini. Bodo amat ama Elok. Aku tak peduli.

Ada yang aneh ama Rian hari ini. Ia menggandeng tanganku. Tak biasanya ia menggandeng tanganku. Dan ia menggenggam tanganku erat seolah-olah tak mau dilepaskan sampai aku sakit.

"Rian, udah dong! Sakit," kataku.

Rian melonggarkan genggamannya. "Maaf, aku hanya tak ingin engkau lari Nik. Aku ingin bisa menggandengmu terus."

Sial, kenapa jadi melankolis begini sih. Aku biasanya banyak bicara kalau di dekat Rian. Tapi dengan perlakuannya pagi ini. Aku banyak diam. Banyak menunduk, malu, bingung, campur aduk jadi satu.

Hari itu aku menemaninya kemana-mana. Bingung aja sih, kami sudah biasa melakukannya, tapi ini lain. Mungkin karena sekarang ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara kami. Aku baru menyadarinya. Rian telah lama menyebarkan benih-benih cintanya kepadaku dengan persahabatan. Dia berikan tanpa aku sadari. Hingga kemudian aku pun jatuh ke dalam perangkap cintanya. Aku yang seharusnya memberikan perangkap itu sekarang malah senjata makan tuan.

Ia menikmati hari-hari bersamaku, belajar bersamaku, makan di kantin bersamaku, berangkat sekolah bersamaku, pulang sekolah bersamaku. Dan malam minggu aku pun dijemputnya. Inilah malam yang tak akan terlupakan seumur hidupku. Aku tak akan melupakan momen-momen terindah yang ia berikan kepadaku malam ini.

"Jalan kemana kita?" tanya Rian.

"Terserah deh, aku ngikut," jawabku.

Dia menstarter motornya. Kota Kediri ini dekat dengan dua gunung. Gunung Klotok dan Gunung Wilis. Rian mengajakku untuk pergi ke Sumber Podang. Sebuah tempat di mana di sini cukup indah pemandangannya. Tanaman-tanamannya asri, ada hutan pinus yang masih ditemukan beberapa ekor tupai. Anak-anak tampak senang mandi di kali. Mereka mengingatkanku dengan Rian ketika kecil dulu. Rian mengajakku di sebuah gubuk di pinggir sawah. Kami duduk berdua di sana. Ia masih saja menggenggam erat tanganku.

"Aku jadi ingat ketika kita maen di empang dulu," kataku.

"Ah nggak, itu masa-masa terburuk," kata Rian.

"Apaan sih? Masa-masa indah tauk."

"Nggak ah, masa-masa buruk. Gara-gara main di empang pulang nginjek tletong sapi."

"Hahahahaha, salah sendiri nggak hati-hati."

"Bukan salahku. Kamunya juga yang ngejahilin aku."

"Kan emang kamu gampang dijahilin koq, Yan."

"Kalau aku sih emang sengaja ngalah koq Nik. Aku pasrah selalu kamu jahilin."

"Gombal."

"Yah, terserah percaya apa nggak. Tapi aku sekarang lega rasanya. Plooong banget."

"Lega gimana?"

"Aku telah menumpahkan perasaanku selama ini ke kamu."

Rian menoleh kepadaku. Tangannya mengusap pipiku. Duh...ini pertama kalinya seorang cowok mengusap pipiku.

"Aku sebenarnya penasaran Nik, mungkin juga bisa pingsan saat ini juga," katanya.

"Ada apa emang?"

"Aku boleh nyium kamu?"

DEG! Jantungku berdegup kencang. Apa aku nggak salah dengar? Rian....mau nyium aku. Aduh, sebentar. Sebentar. Rian, kamu tahu apa yang kamu katakan nggak? Aku nggak pernah dicium cowok Rian. Aku berkali-kali nolak koq mantan-mantanku mau nyium aku. Tapi, kenapa kamu ingin? Dan kenapa juga aku nggak nolak ya?

Tangan kananku digenggam dengan tangan kirinya. Tangan kanannya memegang wajahku agar maju ke arahnya. No no no...tidak, jangan Rian. Jangan, jangan Rian. Aku bisa cinta beneran ama kamu. Terlambat deh.....terlambat.

Aaahh....dunia melayang rasanya. Mataku terpejam saat bibirnya menyentuh bibirku. Alamak, aku mau pingsan sekarang. Nafasnya sekarang berhembus di wajahku. Aduh....nikmatnya. Manisnya ciuman ini. Dadaku makin berdegup kencang. Ada sesuatu rasa sesak di dadaku, rasa sesak yang amat, hingga seluruh panca inderaku tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Inikah rasanya ciuman pertama? Bibirku telah kuberikan kepada cowok ini. Teman sepermainanku sejak kecil. Dia menarik bibirnya. Tidak, aku ingin lagi. Tolong Rian lagi. Kepalaku kumajukan lagi dan mencari bibirnya. Ia menyambutku. Dicium lagi bibirku dan ditekannya lembut. Ahhh....Riaaann...

Cukup lama kami berciuman. Aku malu, mukaku memerah. Telingaku panas. Rian juga pasti. Kami canggung sekarang. Nggak ada kata-kata yang terucap. Aku kemudian bersandar di dadanya. Ia bersandar di dinding kayu gubuk ini. Tangan Rian melingkar diperutku. Tangan kiriku mendekap tangannya. Dadanya itu....nyaman sekali. Ia menciumi ubun-ubunku berkali-kali. Nyaman rasanya.

"Rian, aku baru kali ini dicium cowok," kataku jujur.

"Aku juga, baru kali ini nyium cewek," katanya.

"Berarti ini first kiss kita, ya?"

Rian mengangguk.

"Aku tak akan melupakan saat-saat ini Rian. Aku tak akan melupakannya. Aku ingin waktu berjalan lambat sekarang agar aku bisa seperti ini terus bersamamu."

Rian mencium kepalaku lagi. Kini ia mengangkat daguku. Kami berciuman lagi. Aduuhh...dia romantis sekali sih. Aku merasakan sesuatu yang mengganjal di pinggangku. Itunya Rian berdiri. Keras banget. Malu, itulah yang sekarang ini aku rasakan.

Pulang ke rumah wajahku memerah. Aku berusaha menyembunyikannya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku tahu Mbak Rahma sedikit suka ama Rian. Aku nggak ingin dia tahu kalau aku sudah jadian ama Rian. Kacaaau banget aku. Harusnya aku nggak jatuh cinta ama cowok, tapi ini beda. Aku yang jatuh cinta.

Aku tak banyak bicara. Langsung masuk kamar. Terus terang hatiku berbunga-bunga saat ini. Nggak mau siapapun menggangguku, kukunci pintu kamarku. Merebahkan diri di kasur sambil berulang kali aku sebut nama Rian. "Rian...Rian....Rian..."

#Pov Rian#

Sueneeeeeeeeeennngggg banget. Akhirnya aku bisa ngerasain gimana sih rasanya ciuman itu. Rasanya manis, lembut apalagi pake bibirnya Anik. Aduh....lemes aku, selama ciuman tadi otongku tegang terus. Buset dah. Cukup deh hari ini. Aku makin cinta ama Anik. Dia juga cinta ama aku. Duh gusti.

Mas Yogi tampak sedang menyemir sepatunya. Ia menatapku dengan pandangan aneh.

"Nahh...ini sepertinya ada kabar baru ini. Gimana kencannya?" tanyanya.

Aku cuma ngacungin jempol.

"Wasem, kon apakne si Anik(Asem, kamu apain si Anik)?" tanyanya.

Aku nempelin jari telunjuk ku yang kanan ke yang kiri. Tiba-tiba Mas Yogi ngelempar kain lapnya ke mukaku.

"Aduh!" aku segera menepisnya.

"Jiangkriiiikk....aseeem tenan. Adikku wis gedhe. Wahahahahaha," Mas Yogi ketawa keras. "Lanjutkan my brother, lanjutkan!"

Aku senyum-senyum sendiri masuk ke kamar. Dah ah, hatiku lagi seneng. Hari itu, aku pun mulai memasang foto Anik di laptopku. Aku ngeprint foto dia dan aku tempelin di kamar. Aku juga nyimpen foto dia di dompetku. Seneng pokoke atiku. Aku malam itu tidur sambil meluk guling, Moga malam ini mimpi ketemu dia. Emang bisa mimpi dipesen? Kalau bisa sih.


BAB IX

Nikmati Saja Part III




Kentang itu makanan yang enak kalau tahu cara mengolahnya
Tapi kentang juga jadi sesuatu yang nggak enak kalau dimasukkan ke makanan lain
Misalnya memasukkan kentang goreng ke dalam segelas susu

#Pov Rian#

Urghhh....soal Kimia ini berat banget. Mana habis ini mau UTS lagi. Mau nggak mau hari itu aku ke rumahnya Anik. Dia kan anaknya pinter. Pasti bisa deh nyelesaikan soal ini. Ku BBM dulu deh, biar tahu dia di rumah apa nggak.


Me: ping!
Kamu di rumah?

Anik: Iya, kenapa?

Me: Aku kesulitan soal kimia nih, minta tolong dong.

Anik: Kemari aja.

Me: Ok, aku ke sana ya.
Aku sudah siapin ranselku dan buku-buku catetan. Kuambil kunci sepeda motor dan segera aku starter.

"Cieeehhh...yang mau kencan," ejek Mas Yogi.

"Mau belajar kelompok koq," kataku.

"Iya, belajar kelompok tapi modus. Hehehehe."

Aku tak menghiraukannya dan segera meninggalkan rumah dengan motor maticku. Padahal ya jarak rumah kami bisa ditempuh dengan jalan kaki apalagi masih satu jalur angkot. Tapi aku pake sepeda motor. Yah, siapa tahu habis belajar mau aku ajak keluar. Hihihihi.

Nggak sampe lama kurang dari semenit aku sudah sampai. Di luar rumah ada Rahma yang sedang ngangkatin jemuran.

"Mbak?" sapaku.

"Eh, Rian. Mau belajar kelompok? Masuk gih!" katanya.

Aku lalu masuk ke dalam rumah. Di sana sudah ada Anik yang menungguku.

"Soal apa yang susah?" tanya Anik.

"Yang kemarin sama Bu Ana diterangin soal ngitung moralitas itu lho, susah banget," jawabku.

"Oh, yang itu. Mana, mana?"

Aku mengeluarkan buku catetanku. Kami pun belajar bersama. Soal demi soal aku selesaikan. Anik tampak menuntunku untuk memahami soal demi soal. Sekilas Rahma melintas dan melirik ke arah kami yang sedang belajar. Ia tersenyum aja, lalu masuk ke belakang. Tak berapa lama kemudian di saat kami sedang asyik belajar, Rahma datang sambil bawa minuman dan cemilan.

"Niih...belajar kalau nggak ada cemilannya pasti nggak enak," kata Rahma.

"Waah...makasih lho mbak. Ngerepotin banget," kataku.

"Hihihi, biasa aja. Ada kesulitan?" tanyanya.

"Sementara ini sih nggak. Anik udah cukup sepertinya, ntar aja kalau Anik mentok biar aku tanya ama mbak," kataku.

"Ya udah, mbak tinggal dulu ya," katanya. Ia lalu bergegas masuk ke dalam kamar.

Anik lalu berbisik, "Rian, aku minta satu hal ya."

"Apaan?"

"Rahasiakan hubungan kita ke Mbak Rahma," bisiknya lagi.

"Kenapa?" bisikku.

"Soalnya Mbak Rahma itu kayaknya suka ama kamu."

"Hah? Yang bener? Dari mana kamu tahu?"

"Aduuuhh....susah jelasinnya. Instingku aja. Aku takut kalau dia tahu hubungan kita, dia jadi benci ama aku, ama kamu. Yah, yah?"

"Hmm...yaa baiklah."

"Beneran lho."

"Iya, iya."

Nggak masalah sih buatku. Anik tersenyum sambil memegang tanganku. Aku membalas senyumannya. Kami lanjut lagi ngerjain soal kimia ini. Memang agak mengejutkan juga sih kalau Mbak Rahma suka juga kepadaku. Aku tak pernah melihatnya demikian. Aku hanya tahu orangnya baik. Itu aja. Selalu berbuat baik kepadaku, selalu perhatian. Memang tak ada salahnya kalau seseorang perhatian kepada orang lain. Tapi kalau sudah ada rasa suka, naah...itu yang lain jadinya.

Ah, sekarang kan sudah ada Anik. Nggak perlulah aku mikirin Mbak Rahma. Toh dia lebih tua dariku. Apalagi aku takut menjalin hubungan dengan orang yang lebih tua dariku.

Tak terasa kami sudah selesai.

"Ahh...selesai juga," kataku sambil melakukan peregangan otot.

"Diminum tuh!" kata Anik.

"Oh iya, sampe lupa kalau ada cemilan," kataku.

Aku minum jus jeruk yang disuguhkan oleh Rahma tadi, juga menikmati pisang goreng yang sudah dingin. Sambil membereskan buku-buku catatanku tentunya.

"Keluar sebentar yuk?!" ajakku.

"Kemana?" tanya Anik.

"Ke mana aja kek," jawabku.

"Ogah ah, di rumah aja," katanya. "Lagian kamu tahu kalau aku keluar malem bisa-bisa asmaku kambuh."

"Oh iya, aku lupa."

Anik tiba-tiba menggandengku. Aku ditariknya keluar rumah. Mau kemana? Kami lalu menyelinap ke samping rumahnya. Ada sebuah anak tangga. Kemudian aku naik ke atas. Di sini lantai dua. Ada sebuah kamar. Sekarang digunakan gudang dan atapnya digunakan oleh bapak mereka untuk memelihara beberapa tanaman. Tampak pot-pot tanaman hias ditaruh di atas sini. Ada anggrek dan juga beberapa tanaman hias yang aku tak tahu namanya.

Anik menggeretku sampai ke pojok bangunan. Ia menundukkan wajahnya.

"Aku tahu kamu ingin ini kan?" tanyanya sambil menunjuk ke bibirnya.

Aku mengangguk.

Dan tiba-tiba dia langsung memelukku dan menciumku. Kami berciuman lagi, kali ini lebih hot dari sebelumnya. Kami berciuman dengan nafsu, nafas kami sampai memburu. Lidah kami bertemu dan saling bertukar ludah. Saling mengisap. Sampai-sampai Anik gelagapan. Selesai berciuman nafas kami seperti orang yang baru saja dikejar anjing.

"Aku kangen ama kamu Nik," kataku.

"Aku juga, sehari aku nggak nyium kamu rasanya ada yang aneh ama diriku," katanya

Aku membelai kerudungnya yang berwarna pink itu. Aku beranikan diri untuk memepet dia sampai bersandar ke tembok. Nafas Anik mulai memburu. Dia menyentuh wajahku. Kami berciuman lagi. Kali ini tak senafsu tadi, tapi cukup untuk mengobati dahaga hati kami yang kehausan. Aku mulai beranikan diri menyentuh buah dadanya, perlahan-lahan tanganku mulai menyentuhnya. Saat telapak tanganku menyentuhnya, dia sedikit terkejut.

"Boleh?" tanyaku.

Ia mengangguk. Mendapat lampu hijau, aku pegang sepenuhnya buah dadanya itu. Dari kaosnya aku bisa merasakan branya menutup dengan pas buah dadanya yang sekal. Agaknya mimpiku kemarin terlalu berlebihan. Buah dada Anik tak begitu besar. Tapi cukup untuk dipegang. Aku tak berpengalaman dengan ukuran buah dada cewek, yang jelas aku bisa merasakannya. Empuk, mirip bakpao yang terbuat dari balon. Gimana itu penggambarannya? Entahlah, pokoknya enak megang dada cewek. Apalagi dia cewek seperti Anik. Berkerudung, manis, dan ia menatapku dengan tatapan sayu. Ia membetulkan kacamatanya. Ia mengusap-usap dadaku juga.

Aku merasakan sesuatu tonjolan di dadanya. Putingnya mengeras.

"Aku horni, Yan," bisiknya.

"Udahan?" tanyaku.

Ia menggeleng. "Nggak apa-apa. Terusin! Aku suka sentuhanmu."

Aku ciumi bibirnya lagi. Duh selangit rasanya. Nyium cewek berjilbab, sambil meremas dadanya, kiri kanan. Ciumanku penuh perasaan. Kuhayati setiap sudut bibirnya. Kurasakan setiap lekukan lidahnya. Kemudian kami akhiri dengan saling memeluk.

"Punyamu keras, Yan," bisiknya.

"Ya jelaslah, aku cowok normal. Kegiatan seperti ini nggak bikin horni ya aneh," bisikku.

"Aku janji ama kamu, Yan," katanya.

"Janji apa?"

"Aku nggak akan ngasih hatiku ke orang lain. Hatiku hanya ada dirimu."

"Lah? Kenapa begitu?"

"Karena aku sudah yakin kamu jodohku."

"Beneran?"

Ia mengangguk.

"Kalau misalnya, ini misalnya nih ya. Aku ninggalin kamu gimana?"

"Ih, jahat. Mikirnya koq gitu?"

"Yah, semisalnya aja."

"Hatiku nggak akan berubah."

"Nggak, akan berubah?"

"Sampai kapan pun. Ini janjiku."

"Aku terharu Nik."

Kami berpelukan lagi.

"Sebentar, Yan. Aku mau ngasih ini ke kamu. Tapi...jangan cerita ke siapa-siapa ya."

"Apaan?"

Anik melepaskan sesuatu di punggungnya, kemudian dia menaikkan kaosnya. Dan, sodara-sodara dia memperlihatkan boobsnya kepadaku. Aduh...Dadaku langsung berdebar-debar. Alamaaak, ane liat boobs. Duh, putihnya, putingnya...aku tak bisa lihat warnanya wong gelap. Tapi...aku lihat bentuknya sempurna walaupun tak besar.

"Nik, kamu?"

"Udah, masa' dilihat aja? Diapain kek," katanya.

Ini sesuatu yang sangat berharga tentu saja. Aku perlahan-lahan sentuhkan tanganku ke boobsnya. Empuk, tanpa penghalang apapun. Kulit dengan kulit. Anik memejamkan mata.

"Aku malu, Yan."

"Payudaramu indah Nik. Indah sekali. Aku jadi tak tega buat megang."

"Jangan bego ah, udah dikasih liat koq. Cium aja nggak apa-apa."

"Nik, aku...aku nggak tega buat nyium. Ini terlalu sempurna," aku tarik tanganku.

"Nggak apa-apa Yan. Aku ikhlas koq. Cium aja! Ini juga pertama kalinya cowok megang. Kamu dapat kesempatan perdana."

Aku agak ragu. Tapi kapanlagi aku bisa merasakannya? Akhirnya bibirku sudah menciumi buah dadanya. Ia merangkulku.

"Rian...cintailah aku ya, cintai aku," katanya.

"Iya Nik, aku akan mencintaimu seumur hidupku," kataku.

"Ohh...Rian."

Ini adalah momen yang tak terlupakan bagiku. Mendapatkan dua buah susu. Aku hisap putingnya. Manis. Lidahku menari-nari di sana.

"Rian...geli..," bisiknya.

"Niik?? Riaaan?? Kalian di mana?" terdengar suara Rahma.

Segera saja aku dan Anik kaget. Kami menghentikan aktivitas ini. Anik membetulkan pakaiannya yang berantakan. Membetulkan kembali branya. Aku juga segera pura-pura sedang melihat-lihat tanaman yang ada di atas ini.

"Ya mbak, di sini," kata Anik.

"Oh, di sana. Kukira di mana. Ngapain di atas itu?" tanya Rahma.

"Nggak apa-apa, cuman ngobrol aja ama Rian di sini," kata Anik.

"Oh ya udah. Kukira tadi Rian udah pulang. Udah belajarnya?" tanya Rahma.

"Udah mbak. Ini juga mau pamit," kataku. "Sampai besok ya Nik."

"Iya," kata Anik.

Aku pun menuruni anak tangga. Kemudian masuk ke dalam mengambil barang-barangku, ponsel, ranselku dan kunci motor. Setelah itu keluar. Aku sudah melihat Rahma dan Anik sedang ngobrol. Entah apa yang mereka obrolkan.

"Udah ya, makasih Nik kentangnya," kataku.

Anik ketawa.

"Hah? Kentang?" tanya Rahma. "Emang kamu ngasih kentang?"

"Ada deh," kata Anik.

Aku menstarter sepeda matic-ku dan meninggalkan rumah mereka. Bener-bener kentang.

#Pov Rahma#

Ada yang aneh. Kemana mereka berdua pergi? Koq ranselnya Rian masih di ruang tamu? Aku lihat ponselnya Rian juga masih ada di meja. Ponselnya Anik juga. Berarti mereka tak keluar jauh. Aku kemudian ke teras. Lho, sepi. Karena penasaran aku pun panggil saja mereka.

"Niik?? Riaaan?? Kalian di mana?" panggilku.

"Ya mbak, di sini," kata Anik.

"Oh, di sana. Kukira di mana. Ngapain di atas itu?" tanyaku.

"Nggak apa-apa, cuman ngobrol aja ama Rian di sini," kata Anik.

"Oh ya udah. Kukira tadi Rian udah pulang. Udah belajarnya?" tanyaku.

"Udah mbak. Ini juga mau pamit," kataku. "Sampai besok ya Nik."

"Iya," kata Anik.

Aneh. Ngapain mereka ada di atas. Mana tempatnya agak gelap juga. Rian buru-buru masuk mengambil barang-barangnya yang ada di dalam rumah.

"Kamu ngapain di atas sama Rian?" tanyaku.

"Nggak ada apa-apa mbak, cuman ngobrol. Salah ya?"

"Ngobrol kan bisa di dalem."

"Ngobrol rahasia, curhat ama Rian. Nggak boleh?"

"Tapi koq di tempat gelap. Ntar ada setan lewat lho."

"Tenang aja deh mbak, nggak terjadi apa-apa koq."

"Kamu pacaran ama Rian?"

"Nggak, nggak koq. Nggak, kita kan sahabatan Mbak. Gimana sih?"

"Mbak curiga aja sih ama kelakuan kalian."

"Mbak suka ama Rian?"

"Nggak ah, koq kamu punya pikiran begitu?"

"Habis, mbak itu paling sering nanyain dia. Tadi Rian di sekolah gimana? Koq Rian nggak main lagi ya? Kamu sama Rian kemarin ke mana? Nah lho, mbak kan sering nanya gitu."

"Nggak boleh tanya gitu?"

"Yaa...boleh aja sih."

Rian kemudian muncul lagi. Ia naik ke sepeda matic barunya.

"Udah ya, makasih Nik kentangnya," kata Rian.

Adikku itu ketawa. Ada apa sih? Aneh deh. Kentang? Suguhannya kan pisang goreng.

"Hah? Kentang?" tanyaku. "Emang kamu ngasih kentang?"

"Ada deh," kata Anik.

Rian menstarter sepeda motornya dan pergi. Rian ada hubungan ama Anik? Aduh. Apa aku salah kalau berharap banyak ama Rian? Apa dia pernah nganggap aku?


BAB X

Boleh Nyicip?



Ular itu berbisa
Dan bisanya kadang mematikan


#Pov Rian#

UTS dan kalau saja hari itu nggak ada kabar buruk, mungkin aku tak akan menyaksikan pemandangan yang mengharukan. Ketika hari pertama UTS, aku dapat kabar kalau Pak Abdul Karim kena stroke dan harus dibawa ke rumah sakit. Anik tidak konsen mengerjakan soal-soalnya. Aku tahu kalau Anik ini yang paling disayang oleh bapaknya. Selama UTS dia nangis. Ia segera memintaku untuk dianter ke rumah sakit setelah ngerjain soal. Aku pun ikut menungguinya di rumah sakit.

Mbak Rahma pun ada di sana. Mereka berdua menunggui bapak mereka. Suasana hening. Karena aku hanya bisa mendo'akan kesehatan Pak Karim saja, akhirnya aku pun pulang. Aku sempat berpapasan dengan bapak dan ibuku yang mau menjenguk Pak Karim.

"Loh, kamu sudah di sini to le?" tanya ibu.

"Nggih bu, tadi nganter Anik dari sekolah langsung ke sini," jawabku.

"Ohh..gitu."

"Yowis, bapak mau ke kamarnya dulu," kata bapak meninggalkan kami.

"Kamu pacaran ya ama Anik?" tanya ibuku. Lho, tahu dari mana?

"Ibu tahu dari mana?"

"Masmu yang cerita."

"I..iya sih bu."

"Ya udah, ibu setuju koq kamu pacaran ama dia, asal nggak kebablasan. Ngerti nggak?"

"Ngerti bu, ngerti."

"Ibu sudah suka ama Anik sejak dulu, juga Rahma. Ibu kepengen salah satu putri Pak Karim jadi menantu ibu. Kalau kamu dapet salah satunya ya ibu bersyukur."

"Hehehehe," koq aku jadi malu sendiri.

"Ya udah, ibu nyusul bapak dulu," kata ibu.

"Iya bu," kataku.

Aku makin seneng aja. Ibuku merestui hubunganku ama Anik. Ahh...akhirnya dari keluargaku nggak ada halangan. Aku makin mantab cinta ama Anik. Karena ia sedang sedih. Aku harus ada saat dia down. Sebaiknya aku pulang dululah. Besok masih UTS. Mungkin nanti aku BBM-an ama Anik. Tanya-tanya ia butuh apa.

***

Singkat cerita aku sudah di rumah. Hari sudah maghrib. Mas Yogi sudah pulang dari kantor. Dan, lho koq ada sepatu cewek. Waah...ini sepatunya Mbak Salsa nih. Begitu aku masuk koq sepi? Aku pun mengendap-endap, kudekati kamar Mas Yogi. Kupingku kutajamkan. Jangan-jangan mereka berdua sedang indehoi. Nah, bener kan.

"Ahh...ssshhh...Yogg...enak ...terus yog....sodok yang kenceng!" kudengar bisikan Mbak Salsa di kamar Mas Yogi. Ooo dasar, memanfaatkan kesempatan. Selagi kami nggak ada di rumah Mas Yogi kentu ama ceweknya di kamar. Karena penasaran aku coba mengintip mereka. Satu-satunya tempat mengintip adalah di jendela kamar. Aku kemudian mengendap-endap lagi pergi keluar rumah.

Aku kemudian mrepet ke tembok samping rumah menuju ke jendela kamarnya Mas Yogi. Dan ternyata kebuka sedikit. Tirainya nggak tertutup. Mungkin karena nggak menghadap jalan raya, makanya Mas Yogi nggak nutup tirai jendelanya. Aku ngintip dan iya, aku lihat Mbak Salsa sedang disodok pantatnya oleh Mas Yogi. Mereka telanjang bulat, kecuali Mbak Salsa yang masih pake kerudung.

Pantat Mas Yogi maju mundur dengan cepat sambil sesekali meremas toketnya mbak Salsa. Mbak Salsa merintih-rintih keenakan. Mas Yogi menampar pantat Mbak Salsa. PLAK!

"Ahhh....enak Yogg...terus...lagi!" pinta Mbak Salsa.

PLAK! Sekali lagi.

Kemudian Mas Yogi membalikkan badan Mbak Salsa. Kini pacarnya Mas Yogi itu terlentang. Senjatanya Mas Yogi yang tegang berat itu mengkilat. Dan kemudian dengan perlahan dimasukkannya ke dalam memek Mbak Salsa yang bulunya alus, eh nggak ada bulu. Dicukur ya? Dada Mbak Salsa bergoyang-goyang karena sodokan Mas Yogi. Gila, dadanya gedhe. Putingnya coklat. Mbak Salsa merintih-rintih, tapi ketika ia menoleh ke kanan ia melihatku.

Kedua mata kami bertemu. Mas Yogi nggak tahu kalau Mbak Salsa sedang menatapku. Mbak Salsa tahu aku ada di jendela mengintipnya. Aku ingin menghindar tapi entah kenapa rasanya aneh saja. Aku suka ketika Mbak Salsa menatapku, ia mengedipkan matanya kepadaku dan melenguh. Gila, buset dah, bikin konak.

Akhirnya aku keluarkan pionku yang udah tegang gara-gara peristiwa yang ada di hadapanku ini. Aku pun mengocoknya. Mas Yogi memeluk pacarnya ini sekarang sambil menindihnya. Ia benamkan wajahnya ke samping. Mbak Salsa masih melihatku. Ia tersenyum kapadaku. AKU makin cepat mengocok penisku.

"Sa, aku keluar! Aku keluar!" kata Mas Yogi.

"AKu juga Yog, ohhh...barengan yuk!" katanya.

Aku juga mau keluar nih. Dan akhirnya CROOOTT CROTTT! Ingusku keluar muncrat ke tembok. Gila bener. Aku baru kali ini coli langsung di hadapan orang yang sedang bersenggama. Mereka berdua berciuman setelah merengkuh kenikmatan bersama. Aku buru-buru pergi. Kumasukkan batangku lagi dan pura-pura baru datang.

"Mas Yogi!?" panggilku.

Dari kamar Mas Yogi menjawab, "Lapo(Ada apa)?"

"Oh, kirain nggak ada orang. Mbak Salsa di dalem ya? Soalnya sepatunya ada di luar," tanyaku.

"Iya," jawabnya.

"Awas loh ya digerebek ntar," sindirku.

"Urusanku, weekkk....,"

Aku langsung masuk ke kamarku. Gile bener Mas Yogi. Berani ya ngelakuin begituan di rumah ama pacarnya. Aku langsung bersih-bersih diri. Mandi dan ganti baju. Setelah itu aku BBM-an ama Anik.


Me: Nik, gimana? Ada yang bisa aku lakukan?

Anik: Do'ain bapak aja deh.

Me: Kamu masih di rumah sakit?

Anik: Sebentar lagi pulang. Makasih ya, ortumu tadi ke sini.

Me: Iya.

Anik: Koq ibumu tahu aku pacaran ama kamu?

Me: Mas Yogi yang cerita.

Anik: Untung Mbak Rahma nggak tahu.

Me: Lho, kan nggak apa-apa to kalau Mbak Rahma tahu.

Anik: Kamu nggak ngerti sih. Udah ah. Aku mau pulang ke rumah. Persiapan buat UTS besok. Sekarang ibu sudah ada di rumah sakit.

Me: Oke deh. Semangat yah cinta.

Anik: <3 u
Perutku keroncongan belum makan dari tadi siang. Aku tak melihat ada apapun di meja makan. Waduh. Alamat beli nasi goreng nih.

AKu lihat Mas Yogi sudah ada di ruang tamu ama Mbak Salsa. Mereka udah pake baju lagi. Mbak Salsa menatap ke arahku dengan pandangan penuh arti. Shit! Mengingat cara dia menatapku pas berhubungan intim jadi konak aku. Untuk menghindari hal yang nggak-nggak aku segera keluar.

"Arep nang endhi?(mau kemana)" tanya Mas Yogi.

"Beli nasi goreng mas," jawabku.

"Beliin kami juga dong. Mas juga belum makan."

"Oke, pedes nggak?"

"Pedes deh."

"Yog, kamu itu koq seenaknya sendiri nyuruh adikmu. Sesekali mbok ya kamu yang beliin!" kata Mbak Salsa.

"Hehehehe, lah itu kan gunanya adik," kata Mas Yogi.

"Pergi sana! Jangan susahin adikmu!" kata Mbak Salsa.

"Ya udah deh. Kamu tunggu di sini ya brother. Jaga itu bidadariku, awas kalo sampe lecet."

Aku mengangkat bahu.

"Duitnya?" tanya Mas Yogi.

"Aku belum ngambil duit mas, tadi kepengen ngambil dulu di ATM," jawabku.

"Yah, koq sama. Yawis aku ngambil ke ATM aja kalau gitu," kata Mas Yogi.

Dia lalu keluar rumah. Dan sudah pergi begitu saja dengan sepeda motornya. Aku lalu duduk di kursi sofa di ruang tamu.

"Enak dek colinya?" tanya Mbak Salsa.

Waduh...langsung menohok ini Mbak Salsa.

"Apaan sih mbak?"

"Udah deh, aku tahu koq kamu tadi ngintip kita, hihihihi."

"Sorry mbak, yang tadi,..."

"Nggak apa-apa, sante aja," ia mengedipkan matanya ke aku.

Waduh aku jadi konak nih. Aku berusaha menyembunyikan ini.

"Kenapa? Masih konak?" tanya Mbak Salsa.

"Nggak mbak,"

"Udah, kamu nggak usah malu. Kalau mau ngocok lagi ya sana ngocok."

"Ih, mbak deh, koq ngegodain aku? Sejak kapan sih gituan ama Mas Yogi?"

"Mau tahu apa emang mau tahu banget?"

"Kalau nggak mau jawab juga nggak apa-apa," kataku.

"Sudah setahun ini sih," mendengar jawabannya ini aku kaget. Setahun?

"Setahun ini mbak?"

Ia mengangguk.

"Koq bisa ya Mas Yogi dapetin mbak itu gimana ceritanya?"

"Panjang ceritanya, yang jelas Masmu itu orangnya asyik diajak ngobrol trus lucu."

Aku manggut-manggut. Tiba-tiba Mbak Salsa duduk di sampingku. Mau apa dia?

"Boleh mbak tanya sesuatu?"

"Apa mbak?"

"Udah punya pacar?"

"Udah."

"Ohh... cakep?"

"Cakep dong."

"Ngapain aja ama pacarmu?"

"Yahh..macem-macem mbak."

"Udah pernah ML?"

"Ih mbaknya koq menyelidik gitu?"

"Jadi belum ML nih ceritanya?"

Aku menggeleng.

"Masih perjaka dong."

Aku mengangguk.

"Mbak, minta tolong ama kamu boleh?"

"Apa mbak?"

"Mbak kepengen lihat otongmu."

"Ih, mbak ini apaan sih? Ntar kalau Mas Yogi lihat gimana?"

"Udah deh, Mas Yogi lama koq. Lagian aku tadi yang nyuruh dia pergi, ayolah bentar aja."

"Nggak deh mbak."

Aku mau beranjak.

"Ya udah deh, ntar aku bilang ke Masmu kalau kamu tadi ngintip kita."

"Waahh...jangan mbak! Jangan!" aku kembali duduk.

"Naah...boleh ya?"

Aku menghela nafas. Akhirnya entah kenapa mbak Salsa yang aku kenal ini sekarang menjadi binal. Ia mengelus-elus otongku dari luar celanaku. Tangannya lembut. Gila otongku langsung keras. ia membuka resleting celanaku dan menurunkannya. TUING!

"Kalian ini, kakak adek, sama-sama punya pusaka gedhe," kata Mbak Salsa. Otongku diremasnya. Ooohh...ini baru pertama kali otongku dipegang seperti ini.

"Mbak, katanya cuma dilihat? Udah mbak. Ntar kalau Mas Yogi tahu aku bisa digorok ama dia," kataku.

"Wistalah, awakmu menengo! (udahlah kamu diam aja)" kata Mbak Salsa. Ajaibnya aku menurut.

Mbak Salsa melakukan urutan-urutan ke batangku yang semakin mengeras itu. Begitu saja udah enak. Gila nih cewek. Jilbaban tapi binal banget. Dan gerakan selanjutnya aku tak pernah bayangkan sebelumnya. Di menjilati kepala pionku. Mateng aku. Langsung seluruh syarafku menyuruhku untuk menyerah. Dah, aku nggak kuat. Aku pasrah sekarang. Lidah Mbak Salsa menari-nari di lubang kencingku.

Aseeemm....Ia basahi otongku dengan lendirnya. Cewek ini berbahaya. Kalau dibiarkan aku bisa muncrat beneran ini.

"Rian, kamu perkasa banget," katanya sambil melirik ke arahku. Ia masukkan pionku ke mulutnya. Ini baru pertama aku dioral seorang cewek.

"Mbaak, jangan dong...hhmmfff...uuhhh..," keluhku.

Gimana ia bisa melakukan ini? Dia profesional banget ngulum penisku. Duh, mana sampe basah banget tuh otong dikulum. Plus dalem banget. Aku makin keenakan. Apalagi ia selusuri otongku sampai ke pangkalnya, lalu dihisapi bola-bolanya. Ahh....brengsek nih cewek.

"Kamu kalau mau grepe-grepe ke dadanya mbak nggak apa-apa koq," katanya.

Dia menaikkan bajunya dan kemudian meloloskan branya sehingga buah dadanya mencuat. Aku pun memegangnya. Gila, empuk banget, putingnya mengeras. Kepala mbak Salsa naik turun lagi. Aduh mas bro, kalau begini terus aku bisa muncrat nih. Dia ngisapnya gila nggak tanggung-tanggung kuat banget nyedotnya.

sllurrrupp! Clop clop clopp! sluurrruppp! clop clop clop!

"Mbak, aku nggak tahan mbak!" kataku. "Udah dong, mau muncrat ini!"

Tapi Mbak Salsa makin cepet. Aku makin keras meremas dadanya. Kakiku pun menegang. Dan CROOOOTTT! CROOOTT! CROOOTT! Aku keluar, aku keluar di mulut Mbak Salsa. Ahhh....banyak...aahhh....Mbak Salsa menampung semuanya. Uhh...ia jilati sisa-sisa spermaku.

Aku segera memasukkan kembali penisku setelah ia puas.

"Mbak Salsa ini keterlaluan," kataku.

"Tapi kamu suka kan? Buktinya sampai remas-remas dada mbak," kata Mbak Salsa.

"Nggak, itu tadi naluriah. Siapapun juga bakal melakukan hal yang sama," kataku.

"Hihihihi, manimu enak lho Rian. Mbak suka," katanya. "Lain kali mbak boleh ya minta lagi?"

"Nggak, aku sudah punya pacar mbak. Aku nggak mau mengkhianati pacarku," kataku.

Mbak Salsa hanya tersenyum. "Ya nggak apa-apa, mbak juga nggak maksa koq. Tapi mbak nanti bakal cerita lho ke Masmu."

Brengsek ini perempuan. Binal banget. AKu nggak nyangka Mbak Salsa bisa seperti ini sifatnya.

"Cerita aja deh, aku nggak takut," kataku.

"Termasuk aktivitas oral kita barusan?"

Aku menatap tajam matanya. Dia benar-benar ular. Aku sudah masuk ke perangkapnya. Apa yang harus aku lakukan? Ia mau menghancurkan hubungan kakak dan adik?

"Selama kamu nurutin mbak. Nggak masalah koq Rian," kata Mbak Salsa. "Kamu aman, kita aman. Kamu dan aku bisa melakukan ini kapan pun. Asal nggak ketahuan ama Masmu. OK?"

Aku menghela nafas. Menyerah. Dia terlalu licik. Brengsek. Ia tertawa sekarang. Tertawa jahat. Dari mana Mas Yogi kenal perempan brengsek kaya' gini?


BAB XI

Kamu Sedih Aku Sedih




Cinta adalah
bagaimana kamu bisa berbagi tawa dan kesedihan

Hari itu Anik menangis. Aku tak nganter dia karena dia ada di rumah sakit sejak tadi malam. UTS hari terakhir. Dan dia langsung meluk aku.

"Kenapa Nik? Kenapa?" tanyaku.

"Bapak...bapak.....bapak..," ia sesenggukan.

"Kenapa bapak?" tanyaku.

"Bapak hari ini udah tiada," tangisnya pecah.

Ia meluk aku erat.

"Bapak udah nggak ada Rian, Bapak udah nggak ada....huuaaaaaaa....," tangisnya menghebohkan teman-teman yang lain.

Semua anak-anak mencoba menenangkan dirinya. Walaupun tahu bapaknya meninggal kenapa ia masih masuk aja.

"Kenapa kamu masih masuk kalau bapakmu tiada?" tanyaku.

"Ini hari terakhir UTS, ibu suruh aku ke sini tadi, aku nggak boleh dapet nilai jelek gara-gara ini. Tapi... tapi... bapak Yan, bapak...huaaaa," tangisnya makin membuatku mengiba. Aku jadi ikut nangis. Duh air mataku juga tak bisa dibendung.

Setelah itu UTS itu jadi UTS yang memilukan. Guru menyuruh Anik untuk pulang tapi ia tak mau. Ia ingin menyelesaikan UTS hari ini. Gila ini anak. Dia ngerjain soal UTS itu sambil nangis. Aku jadi trenyuh. Aku juga seakan-akan bisa merasakan apa yang dia rasakan. Aku pun segera menyelesaikan UTS itu dan mengantarnya pulang.

Dengan gemetar tangan Anik mengumpulkan hasil jawaban UTS. Kulihat lembar jawabannya sampai basah oleh air matanya. Aku pegang tangannya. Dia menatapku. Aku memberi isyarat tak apa-apa. Ada aku. Aku akan bersedih kalau kamu bersedih. Kami segera keluar dari ruangan kelas itu dan pulang. Ia merangkulku. Mendekapku erat sambil nangis. Aku tak akan melupakan hari ini. Kuantar dia pulang ke rumah dalam keadaan seperti itu.

Sesampainya di rumah Anik aku pun ikut berkabung. Anik segera masuk ke dalam rumah sambil nangis. Tampak orang-orang sudah ada di sana semua. Termasuk ayahku. Mereka kemudian mengiringi jenazah untuk dimakamkan. Rupanya jenazah baru saja disholati, sekarang sedang diantar ke peraduan terakhir. Aku mengantar jenazah hingga ke kuburan. Aku pun membantu orang-orang untuk mengubur ayahnya Anik ini.

Selamat jalan Pak Abdul Karim. Aku janji akan menjaga Anik pak. Sebab aku sangat cinta kepada putri bapak itu. Entah kenapa, aku juga ikut sedih.

****

Malam minggu aku ke rumah Anik. Di sana sedang ada tahlilan. Yah, sambil ikutan tahlilan aku pun mencoba menghiburnya. Anik terpukul. Matanya masih bengkak karena menangis. Tapi aku tak melihat Rahma.

"Mbak Rahma kemana Nik?" tanyaku.

"Dia di kamar nggak keluar-keluar. Tampaknya ia lebih terpukul daripada aku, Yan," jawabnya.

"Oh, ya udah nggak usah diganggu. Toh nanti keluar sendiri," kataku.

"Sekarang bapak udah nggak ada Yan, padahal bapak baik banget ama kita."

"Aku belum pernah kehilangan orang Nik, jadi nggak tahu perasaanmu sekarang seperti apa. Tapi, aku ikut sedih Nik. Setiap tangisanmu aku bisa merasakannya. Sakit di sini," Aku memegang dadaku.

"Oh Rian...," ia memegang lenganku.

Iya, aku bisa merasakan kepedihan Anik hari itu. Pilu sekali. Minggu pagi pun aku sudah ada saja di rumahnya. Ia merasa senang aku temani. Paling tidak ia sudah bisa senyum. Aku menghiburnya dengan menceritakan kembali kenangan-kenangan masa kecil kita. Bagaimana kita semua pernah main di sawah. Numpang cikar sampai gerobak yang ditarik oleh sapi itu berguling karena masuk got. Untung kita semua nggak kenapa-napa. Ia sudah bisa tertawa.

"Mbak Rahma koq belum keluar?" tanyaku.

"Dia nggak mau keluar," jawabnya.

"Kamarnya dikunci?"

"Nggak koq. Kami bisa masuk, tapi dianya nggak mau keluar."

"Aku mau bicara ama dia. Mau menghibur dia," kataku.

"Yuk!"

Kami pun menuju ke kamarnya. Setelah di depan pintu kami diam. Anik mengetuk pintunya.

"Mbak? Mbak? Aku boleh masuk?" tanya Anik.

"Iya, masuk aja," jawabnya.

"Tapi aku ama Rian masuknya, nggak apa-apa?" tanya Anik.

"Sebentar!" katanya. Setelah tak ada jawaban selam kurang lebih satu menit, ia kemudian bersuara lagi. "Masuk aja!"

Aku dan Anik masuk ke kamarnya. Aku pernah masuk kamar Rahma waktu aku kecil. Tapi sekarang kondisi kamarnya sudah berubah. Jelas berubah. Dia udah gedhe. Aku juga penasaran bagaimana kamarnya Anik. Pasti nggak kalah jauh beda ama kakaknya.

Aku melihat Rahma ada di atas ranjang. Bersandar. Tatapannya kosong. Ia melihat ke arahku. Memaksakan senyum.

"Mbak Rahma koq nggak keluar?" tanyaku.

"Iya mbak, udah yuk keluar yuk!?" ajak Anik.

"Mbak kepengen sendiri Nik," jawabnya.

"Weeh...nggak boleh itu. Kami akan temeni, aku akan temani Mbak. Sampai mbak udah nggak sedih lagi. Udahlah mbak, ikhlaskan saja. Yang namanya hidup pasti ada kematian," kataku.

"Iya, Rian. Mbak udah tahu, mbak hanya masih shock. Padahal mbak belum ngasih bukti ke bapak bahwa mbak bisa sampai kuliah dengan dapetin beasiswa. Padahal mbak sudah janji akan bikin bapak bangga. Trus siapa sekarang yang bisa lihat mbak?" Rahma nangis lagi.

Ohh...jadi ini toh alasannya Rahma kerja keras banget selama ini. Bahkan ketika nilainya jelek (yah nggak jelek-jelek amat sih. Ia anggap nilai 80 itu jelek) ia nangis.

"Udah deh, gini aja. Kamu janji ama aku," kataku.

Rahma menoleh ke arahku. Pandangannya sekarang fokus.

"Janji apaan?"

"Kamu harus janji kepadaku dalam waktu 4 tahun kamu harus jadi dokter. Kamu katanya kepengen jadi dokter kan dulu?" tanyaku.

"I..itukan cuma cita-citaku waktu aku kecil, Yan," katanya.

"Nggak, aku ingin kamu janji. Kamu harus lulus dengan cumlaude, jadi dokter! Buat aku bangga!" kataku.

"Ah, kamu ngaco. Emangnya aku apamu?"

"Karena kamu adalah temanku, sahabatku, mbak juga sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Janjilah! Dan aku akan janji nyusul mbak. Aku nggak tahu nanti jadi apa, pokoknya aku juga bakal lulus jadi sarjana suatu saat nanti. Aku bakal nyusul mbak juga nanti," kataku.

"Dasar!" Rahma mulai tersenyum.

"Nah, gitu dong mbak, tersenyum," Anik tampak senang. "Kita hadapi bersama ya mbak."

Rahma mengangguk. Aku menghela nafas lega. Aku melihat dua orang ini berangkulan. Semoga mereka tabah terhadap ujian ini.


BAB XII

Time's up!



Andai seorang manusia bisa mengembalikan waktu
Akan banyak yang akan dia lakukan untuk kebaikan

#Pov Anik#

Sebulan sudah perjanjian aku dengan Elok. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Waktuku sudah habis. Kenapa cepat sekali berlalu? Perjanjianku dengan Elok. Waktuku sudah habis. Sekarang saatnya aku harus memutuskan hubungan ini ama Rian. Apa yang harus aku lakukan?

"Rian, kita nggak masuk yuk hari ini," kataku ketika dibonceng Rian.

"Kenapa?" tanyanya.

"Udah deh, nggak usah masuk yuk," kataku.

"Kamu masih sedih soal ayahmu? Kan udah seminggu."

"Iya, tapi...bukan itu koq. Temenin aku Yan."

"Mau kemana?"

"Ke Gua Selomangleng aja."

Akhirnya kami berdua ke sana. Aku sengaja berbuat demikian agar tidak ketemu ama Elok. Setelah sampai kami jalan-jalan di sekitar tempat wisata ini. Aku dan Rian pun naik sampai ke puncak. Tempat di mana dia bilang suka ama aku. Berat hatiku kali ini.

"Kamu kenapa? Nggak apa-apa kan?" tanyanya.

"Rian, aku cintaaaaaa banget ama kamu," kataku sambil memegang pipinya.

"Aku tahu koq, Nik. Aku tahu."

"Aku nggak ingin kamu pergi, sungguh. Aku ingin kamu selalu di sisiku, selamanya."

"Aku juga."

"Terus terang, sekarang ini kamu adalah orang yang mau mengisi hari-hariku disaat bapak udah pergi. Kamu baik Rian. Kamu sangaaaat baik. Aku tak tahu apakah aku bisa membalas kebaikanmu ataukah tidak."

"Kamu tak perlu membalasnya, aku ikhlas koq Nik. Sangat ikhlas."

"Bukan itu masalahnya Rian. Aku...aku takut kehilangan kamu."

"Aku juga."

"Kamu tidak mengerti Rian," aku langsung berbalik kemudian duduk diatas sebuah batu. AKu tutup mukaku. Aku bingung mengatakannya.

"Kamu kenapa sih? Koq nggak jelas gitu. Kalau kamu punya perasaan ama aku, aku sudah tahu. AKu sudah tahu kamu suka ama aku, sudah tahu."

"Tapi, bukan itu maksudku," air mataku mengalir. Aku nggak kuat lagi.

"Katakan dong, kalau kamu tak bilang mana aku bisa tahu?"

Maafkan aku Rian, aku harus jujur.

"Begini....aku akan cerita dari awal.."

Aku pun menceritakan semuanya kepada Rian dengan air mata bercucuran. Aku bahkan tak berani menatap wajahnya. Aku jujur kepadanya. Aku jujur tentang perjanjianku dengan Elok. Aku menangis saat itu, menangis sejadi-jadinya. Aku tutupi wajahku. AKu tak mampu melihat Rian. Aku tak mampu.

Rian diam. Ia telah mendengarkan seluruh penjelasanku. Tapi kenapa diam? Ia marah? Ia pantas marah.

"Ayo, kita kembali!" katanya.

Eh? Aku menoleh ke arahnya. Ia sudah membelakangiku. Punggungnya menjauh dariku. Tidak, Rian...maafkan aku.

"Rian, maafin aku! Maafin aku Rian!" aku mengiba kepadanya.

"Sudahlah, ayo kita masuk sekolah!" katanya.

Akhirnya aku dibonceng lagi olehnya. Kembali ke sekolah kami. Walaupun terlambat aku tetap masuk kelas. Itu pun dengan ijin dari Guru BP. Rian beralasan bahwa ia masih menemaniku yang lagi shock. Akhirnya setelah tahu aku sedang menangis, mereka mengijinkanku masuk ke kelas. Tentu saja teman-teman di kelas kaget melihat aku dan Rian yang baru masuk. Untung saat itu sedang nggak ada guru. Aku langsung melabrak ke Elok sambil sesenggukan.

Aku gebrak mejanya. BRAK! Semua anak menoleh ke arahku.

"Puas kamu? Puas?? Kamu kalah! Kalau sampai nanti aku nggak lihat kamu nyium Pak Sapto awas kamu!" kataku sambil menangis.

Aku menoleh ke arah Rian. Ia tanpa ekspresi. Tak menoleh ke arahku sama sekali. Aku tahu sekarang hatinya pasti hancur. Maafkan aku Rian. Maafkan aku. Elok gemetar melihatku yang sedang emosi. Aku kembali ke mejaku dan langsung menutupi mukaku dengan lengan. Kutundukkan kepalaku di meja dan menangis. Tak ada yang berani menenangkanku. Biasanya Rian yang menenangkanku ketika aku menangis. Sekarang ia pasti membenciku. Ia pasti membenciku. Aku sudah berjanji kalau aku tobat dari kelakuanku, tapi aku mengkhianatinya.

****

Aku sudah kehilangan bapak. Sekarang aku kehilangan Rian. Elok benar-benar brengsek. Hari itu dia benar-benar mencium Pak Sapto di hadapan banyak orang. Sukses hari itu dia dijuluki lonte. Rasain. Dia mengaku kalah. Aku menang. Tapi di sisi lain, aku kalah. Kalah segala-galanya. Tapi inilah keputusanku. Aku sudah tahu segala resikonya. Ini adalah resikonya. Resiko yang harus aku pilih. Resiko yang sudah aku pilih untuk aku hadapi seumur hidupku.

Mulai saat itu Rian tidak lagi menyapaku. Melihatku saja tidak. Ia tidak lagi main ke rumahku seperti biasanya. BBM pun nggak pernah dibalas. Tiap hari aku mengirim pesan "Maafkan aku". Dia tak pernah membacanya. Entah berapa kali aku mengirimkannya pesan. Dia sekarang menjadi dingin kepadaku. Seolah-olah dia adalah pangeran dari negeri es.

Aku mengirimkan pesan ke BBM-nya, juga SMS kepadanya. Pesan yang sangat panjang.

"Rian. Maafkan perbuatanku ya. Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Aku tahu sifatmu kalau sudah marah nggak bakal maafin orang itu. Aku tahu semuanya. Kan kita sudah sahabatan sejak lama.

Aku ingin jujur kepadamu. Aku ingin tumpahkan seluruhnya kepadamu. Kamu baca atau tidak itu terserah kamu. Aku tak pernah berharap pula pesan ini kamu baca. Karena sampai sekarang pun BBM-ku nggak pernah kamu baca.

Rian. Perasaanku jujur ama kamu. Aku beneran cinta ama kamu. Aku ingin bisa bersamamu. Aku jujur jatuh cinta kepadamu. Aku yang selama ini menaklukkan banyak laki-laki sekarang malah takluk kepadamu. Cara kamu menciumku, cara kamu memegang tanganku, cara kamu memperlakukanku. Semuanya. Itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu.

Rian, seandainya kamu bilang kepadaku sejak awal. Sejak dulu. Mungkin sekarang kita sudah jadi sepasang kekasih. Mungkin sekarang kita tak akan seperti ini. Aku hanya ingin pacaran dengan satu orang lelaki. Yaitu kamu. Aku sudah bersumpah, aku sudah bertekad. Aku tak akan menyerahkan diriku ke lelaki manapun. Aku akan menunggumu Rian. Aku akan menunggumu. Walaupun sakit diriku. Walaupun lama. Aku tetap berharap kepadamu. Aku bersumpah tidak akan menikahi laki-laki manapun. Aku hanya ingin kamu. Aku hanya ingin kamu. Beratkah permintaanku ini bagimu?

Rian. Jangan pergi. Tolong Rian, jangan pergi. Maafkan aku Rian. Rian....."

Setelah mengirim pesan panjang itu, aku menangis. Kamarku sekarang berisi aura kesedihan. Aura kesedihan seorang Anik. Yang menyesal terhadap apa yang telah dilakukannya. Inilah hukumanku. Setelah itu, aku jauh dari Rian. Jauuuuhhh sekali.

Apalagi setelah kenaikan kelas. Ia masuk ke IPS, sedangkan aku ke IPA. Dia tidak lagi peduli kepadaku. Walaupun kami berpapasan, tapi menoleh kepadaku saja tidak. Sebegitu bencinyakah dia kepadaku?

Rian tak pernah datang lagi ke rumahku. Mbak Rahma sudah kuliah. Aku sendirian sekarang. Di rumah hanya ditemani ibu. Kadang aku sendiri karena ibu pergi mencari nafkah untuk kami. Aku termenung di dalam kamarku. Kupandangi foto Rian yang ada di laptopku. Kuusap-usap foto itu. Aku masih ingat bagaimana dia menciumku. Aku tak akan pernah melupakannya. Rianku. Engkaulah pangeranku, cintaku, kekasihku. Maafkan aku Rian.

#Pov Rian

Sungguh hatiku terkoyak mendengar pengakuan Anik. Teganya dia melakukan itu. Dan kenapa dia mengingkari janjinya. Kenapa aku yang jadi targetnya. Hari itu setelah kami kembali ke sekolah, dia melabrak Elok. Dan hari itu Elok dipermalukan dengan mencium Pak Sapto satpam sekolah.

Aku benci sekarang ama Anik. Pupus sudah harapanku kepadanya. Cinta yang selama ini aku berikan. Sayang yang selama ini aku berikan. Entah kenapa aku tak mau lagi melihat dia. Aku tak mau lagi menegur dia. Entah dia nangis, entah ia tersenyum aku tak pernah lagi peduli. Semenjak itu, aku menempuh jalur lain. Kalau dulu aku berjuang agar bisa masuk IPA. Sekarang aku ingin ke tujuanku sendiri ke IPS.

Naik ke kelas 3 aku pun masuk IPS. Berpisah dengan Anik. Aku tahu dia berkali-kali mengirimkan BBM bahkan ada SMS dari dia. Tapi aku tak pernah membacanya. Bahkan aku pun membuang nomorku. Kujual ponselku. Dia tak tahu lagi nomorku sekarang. Aku benci ama dia. Aku tak memaafkan dia.

Mas Yogi sampai heran kenapa aku melakukan itu. Aku hanya bilang "Bukan urusan mas". Ibu juga heran dengan sikapku yang tiba-tiba memutuskan Anik. Anik, apakah engkau hanya sebuah pelangi? Yang hanya muncul sesaat setelah hujan reda? Padahal harapanku kepadamu ibarat bintang di langit. Mungkin kita nggak berjodoh Nik. Aku tak memaafkan dosamu ini. Sakit rasanya Nik, sakiiit.

Kabar terakhir, Mbak Rahma mendapatkan beasiswanya dan sekarang sudah kuliah. Entah si Anik. Aku tak peduli lagi kepadanya. Sudah kering air mataku untuknya. Andai ia tahu perasaanku kepadanya. Sesungguhnya aku pun berkorban untuk Anik. Kalau aku tak berpisah dengannya ia pasti akan disuruh mencium Pak Sapto itu. Satpam tua yang kumisnya lebar dan mata keranjang ke anak-anak sekolah. Aku tak mau dia menciumnya, maka aku pun berkorban untuk itu. APalagi cinta adalah pengorbanan.

Namun karena itu pula aku benci kepadanya. Benci dan cinta. Bedanya emang tipis. Tapi aku lebih memilih benci ama dia. Toh sampai sekarang aku masih kuat. Aku bisa berdiri sendiri. Aku bisa berjalan sendiri tanpa dia. Menikmati waktu-waktuku sendiri.

Tapi...tidak lama.


BAB XIII

Ular Berbisa




Ketika sang ular sudah mematuk korbannya
Maka tinggal menunggu waktu baginya untuk menelan korbannya hidup-hidup

#Pov Rian#

"Rian?!" aku kenal suara itu Mbak Salsa. Ngapain dia di sini?

"Ada apa mbak? Cari Mas Yogi?" tanyaku.

"Nggaklah, aku kepengen nyari kamu koq," jawabnya.

Bapak, ibu ama Mas Yogi sedang ke rumah kerabat karena ada acara ngunduh mantu. Mereka ke Madiun selama dua hari.

"Aku tahu koq kamu di rumah sendirian, makanya aku ke sini," katanya. "Nggak boleh ya?"

AKu tak menjawab. Ngapain si binal ini ke sini?

"Kalau aku tak bolehin kamu toh tetep bakal masuk juga," kataku ketus.

"Hehehehe, makasih," katanya.

Aku duduk di sofa ruang tamu. Tampak Mbak Salsa duduk juga. Dan hei, dia ngelepas jilbabnya. Aku baru tahu kalau rambutnya berombak dan disemir merah. Bajunya memakai kemeja kotak-kotak dan jeans ketat. Aku tak tahu apa maksudnya dengan mencari aku.

"Ada urusan apa mbak?"

Tiba-tiba dia berdiri dan langsung nemplok di sebelahku.

"Rian, kamu jahat ya? Masa' sama aku begitu?"

"Mbak, jangan mbak! Udahlah, aku sudah melupakan yang kemarin itu. Jangan begini. Mbak ini punyanya Mas Yogi. Aku nggak mau mbak."

"Aku dengar kamu sudah putus sama pacarmu. Artinya kamu sendiri kan? Ya kaaan?"

"Iya, tapi bukan berarti aku juga mau sama mbak," aku menyingkirkan tangannya yang menggelayut ke lenganku.

"Riaannn..." katanya manja.

"Pergi mbak, atau aku akan ngusir mbak," kataku.

"Ngusir aku, yang benar aja Rian. Kamu nggak takut ama masmu? Berani nyakitin pacarnya yang tercinta ini?" katanya dengan menjulurkan lidahnya ke aku. Ini sih dia levelnya sudah lonte lagi bukan lagi wanita baik-baik. Sepertinya Mas Yogi ini salah milih cewek.

"Keluar mbak! Keluar!" bentakku.

"Halah Rian, kamu ini lho dikasih enak nggak mau. Ya sudah deh, aku kelar tapi buka baju ya," katanya.

Ia membuka kancing kemejanya satu per satu, setelah itu dia melepaskan kemejanya dan disobek. Lalu dibuang ke lantai. Salsa sekarang hanya memakai bra berwarna putih. Dia berdiri sekarang.

"Kalau aku keluar begini gimana, Rian?" tanyanya. "Apalagi kalau aku sambil teriak minta tolong. Kira-kira mereka akan beranggapan apa? Cewek seksi sedang diperkosa oleh seorang cowok SMA. Mungkin besok akan jadi headline koran."

"Mbak, udah. OKe aku menyerah, maumu apa?" tanyaku sambil menelan ludah.

"Kamu kan masih perjaka. Gimana kalau kita begituan di sini? Mumpung sepi," katanya.

"Ini gila! AKU nggak mau."

"Oke, aku akan keluar..."

"Baiklah baik! Aku akan menurut."

"Naah, begitu dong. Ayo sayang kita ke kamarmu. Aku kepengen menghabiskan isi kantongmu itu," Salsa maju dan langsung meremas buah zakarku.

Aku digeretnya. Menuju ke kamarku. Langsung saja aku diserang olehnya. Bibirku diciumi dihisap.

"Balas dong Rian, masa' aku aja yang pasif? Aku buka semua bajumu yah?"

Aku tak menjawab. Kaosku diangkatnya. Celanaku pun di lepaskannya. Salsa juga membuka seluruh bajunya. Kini ia telanjang. Aku juga telanjang. Ia merangkulku. Badannya sintal, bener-bener seksi. Wajarlah penisku langsung berdiri. Toh aku tahan juga percuma.

"Wuiiih...udah berdiri aja, kamu terangsang ya?" Salsa bicara seperti itu sambil mengocoknya. Punyaku tiba-tiba ditarik. Aku jadi tertatih-tatih berjalan menurut kepadanya hingga Salsa merebahkan diri di atas ranjangku. Penisku ditarik hingga aku terus menurut saja. Kini penisku ada di depan mulutnya. Ia menciumi batangnya.

"Mbak, jangan lakukan ini ya, kumohon!" kataku.

Kepala pionku dijilatinya. Wanita binal ini menggelitiki penisku. Aku pun geli geli sedap. Sialan aku tak bisa melawan. Nafsuku sudah ada diubun-ubun. Aku juga bisa nafsu ama cewek ini. Ya udah deh. Udah terlanjur basah. Aku nikmati saja. Salsa dengan ganas kemudian mengulum penisku. Awwww...gila ini cewek profesional banget. Aku ragu cewek ini cuma beginian ama Mas Yogi. Yang seperti ini sudah terlalu pro, jam terbangnya tinggi.

"Rian, ciumi memekku dong. Jilat kek," katanya.

Aku menurut. Kurebahkan diriku dalam posisi 69, Posisinya aku ada di atas dan Salsa ada di bawah. Kulihat permukaan vaginanya. Ada bulu-bulu yang mulai tumbuh. Bulunya halus. Ini pertama kalinya aku melihat memek seorang cewek. Bibirnya merah ada sebuah lipatan di bibirnya itu. Di sekitarnya warnanya coklat kehitaman. Tapi bentuknya tembem. Ujung memek itu ada sebuah tonjolan kecil seperti kutil. Nggak deh, aku nggak mau.

"Riaann...ayo dong!" kata Salsa. Ia sampai menaikkan pantatnya.

Akhirnya aku pun menjulurkan lidahku. Menyapu bibir memeknya.

"Aahhh...iya...begitu. Terus Rian!" katanya.

Aku menjilati, setiap bagian memeknya. Menjilatinya sampai beberapa cairan keluar dan mengenai lidahku. Rasanya asem, kecut, asin. Bau memeknya memang menggiurkan dan menyebabkan birahi. Aaarrgghhh...fuuuccckk! Persetan. Mas Yogi, maaf ya. Aku terpaksa. Segera deh, kulumat memek itu. Aku praktekkan seperti yang aku lihat di film bokep.

"Aoohhh....hhmmmhhh...Iya Rian begitu...hhmmm...sluurrrrppp!" Salsa menikmati penisku dengan mengulumnya dan aku mengkobel memeknya dengan lidahku.

Cukup lama aku menjilati memeknya, mengkobel memeknya. kujilati juga klitorisnya. Entah berapa kali dia keluar. Ia pun sampai minta ampun agar memasukkan penisku ke miliknya. Akhirnya aku pun ada di atasnya.

"Mbak Salsa, aku kepengen ngentot ama mbak," kataku.

"Iya Rian, masukin aja!" katanya.

Aku menciumi dadanya dulu. Putingnya yang menonjol itu aku hisap.

"Aahh...Rian...hmmmmhh...Ohhhkkkk!" Ia tersentak ketika batang pionku sudah melesak ke dalam memeknya. Ini pertama kalinya penisku masuk ke memek seorang cewek. Hangat. Nikmat. Seperti inikah rasanya masuk ke kemaluan wanita? Punaku seperti disedot-sedot. Gila memeknya ini, enak banget.

"Enak Rian? Legit?" tanya Salsa. "Goyang aja! Aku tahu koq nanti kamu bakal cepat keluar. Maklum perjaka. Hehehehe."

Dan memang benar, aku goyang sedikit saja. Aku sudah merasakan gelombang kenikmatan yang tak penah aku rasakan sebelumnya. Enak banget. Seperti inikah rasanya bercinta? Dan beneran. Aku baru menggoyang beberapa saat saja udah mau klimaks.

"Nah...kan...udah keras banget ini mau ngecrot. Crotin aja di dalem RIan. Ayo!" kata Salsa.

AKu makin cepat menggenjotnya, bersamaan itu aku menghisap puting susunya. Gesekan kulit kemaluan kami menyebabkan rasanya nikmat tak terkira dan...jebol juga pertahananku. Kuhujamkan sedalam-dalamnya kemaluanku. Milyaran sel sperma membasahi rahim milik Salsa. Dia juga mengeluh, sepertinya ia juga orgasme. Aku lalu memeluk tubuhnya.

"Enak ya Rian?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Istirahat dulu aja, habis ini kita lanjutin lagi yah? AKu belum puas soalnya," kata Salsa.

Salsa si binal. Awal mula aku melihat dia sebagai seorang cewek yang anggun. Cantik, badannya seksi, walaupun pakai kerudung aku tak menyangka kalau ternyata ia sebinal ini. Aku selalu menghormati cewek-cewek yang berkerudung. Seperti Anik dan Rahma, aku menghormati mereka. Aku kira semua cewek berkerudung seperti mereka. Tapi aku salah.

Yang satu ini ular berbisa. Dia benar-benar sudah mematukku. Aku tak bisa lari lagi sekarang. Aku sudah terlanjur basah ngentot ama dia. Maafkan aku Mas Yogi. Cewek ini nggak bakal berhenti sampai memeknya puas.

Istirahat? Nggak, dasar wanita jalang. Kamu kepingin muasin memekmu bukan? Aku akan buat memekmu ngilu.

Aku memanggutnya. Satu-satunya biar aku bisa menyetubuhinya lagi adalah aku tak boleh mikirin dia sebagai Salsa. Dan lucunya adalah aku menganggap wanita ini adalah Anik. Aku tak boleh melihat matanya. Nggak boleh. Aku panggut bibirnya. Setelah itu aku ciumi lehernya.

"Ahhh..Rian, kamu masih mau? Ahh....!" desahnya.

Anik, aku bisa rasakan tubuhmu. Dadamu. Aku hisap putingmu Nik. Sluuurrpp....

"Aaahh....Riaaan....enak ....teruss...ssshhh...!"

Aku gelitiki dengan lidahku. Kusedot-sedot. Bibirku sudah ke perutnya, lalu ke pinggang. Kuselusuri tubuhnya bagian samping. Lalu ke atas, ke sebelah ketiak. Kemudian aku berlutut. Kubalikkan tubuhnya, Pionku masih mengeras, belum loyo.

"Rian...mau doggy style ya? Ayo...nih....sodok pantat mbak!"

Kupejamkan mataku, ini adalah pantat Anik. Aku usap-usap pantatnya sebentar. Kuarahkan pionku di lubangnya yang sudah becek oleh cairanku tadi. SLEBBB! Kusodok dengan tiba-tiba.

"Ahhhk...pelan-pelan sayang....ahhh..awwww...mau main kasar rupanya. Ayo deh...ahhh....ahhh...ahhh."

Pantatku bergoyang lagi. Nik, rasanya nikmat banget. Anikku....ahh....kugoyang pantatku terus dan terus. Aku masih membayangkan Anik. Makin lama aku bayangkan kenapa aku jadi sedih? Kenapa aku makin sedih? Tak terasa air mataku keluar. Tapi yang di bawah sana aku masih saja nyodok. Ini adalah teraneh dalam hidupku. Aku sedang ngentot ama si Ular ini sambil aku bayangin Anik tapi air mataku keluar.

"Kamu ingin dipuaskan bukan? Aku akan buat tulangmu rontok hari ini!" kataku kepada Salsa.

"Ayo Rian, buat tulangku rontok," kata Salsa.

Hari itu seharian aku terus ngentot ama dia bahkan aku tak berikan waktu istirahat untuk Salsa. Semuanya karena Anik. Aku bayangkan senyumannya. Aku bayangkan dirinya. Aneh. Sangat aneh. Si Ular sudah terkapar. Ia menyerah. Bercinta selama lima jam tanpa henti, bukan saja aku yang capek. Dia juga capek pasti. Dia lebih banyak keluarnya daripada aku.

Setelah bercinta hebat itu. Aku paksakan diri untuk bangun dan mengguyur tubuhku dengan air di kamar mandi.

Apakah aku masih cinta ama Anik? Nggak. Aku nggak maafin dia. Dia sudah menghancurkan hatiku. Tapi, makin banyak aku bilang nggak maafin dia perasaanku makin hancur. Aku makin ingat ama dia. Dan kenapa si Ular ini bisa ada di tengah kami. Mulai saat itulah, aku melihat semua wanita berkerudung itu tak seperti Anik dan Rahma. Kesalahan terbesarku adalah aku harus menyerah kepada keadaan. Dan hal ini membuat semuanya hancur berantakan.

#Pov Anik#

Rian? Dia manggil aku? Rian. Aku tahu kamu manggil aku. Walaupun aku tidak dengar aku bisa merasakannya. Kamu masih mencintaiku bukan?

Dadaku tiba-tiba berdebar kencang. Seperti ada sesuatu yang menyentuhnya. Lagi. Dentumannya makin keras. Aneh. Aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya.

DEG! Ini bukan asmaku, beda. Aku seperti disentuh. Lagi dan lagi. Aku tahu, kamu manggil aku bukan, Rian? Aku lihat ponselku. Aku ciumi fotonya. Aku menyesal Rian, aku menyesal. DEG! Nah kan. Lagi. Aku yakin sekarang ini kamu manggil namaku. Kamu ingat aku.


BAB XIV

Broken




Kamu tahu rasanya menjadi serpihan gelas?
Seperti seorang yang harus jujur sekalipun pahit
Apalagi ketika dua orang bersaudara harus menjadi musuh


"Piye hasile?(bagaimana hasilnya)" tanya Mas Yogi.

"Lulus mas!" jawabku.

"Selamat yo," katanya.

Ibuku memelukku, juga bapak. Aku akhirnya lulus. Nggak nyangka aja setelah lama menghabiskan masa-masa SMA aku bisa lulus. Yah, nilainya cukupanlah. Nggak terlalu baik, juga nggak terlalu jelek.

"Kuliah kemana rencananya?" tanya bapak.

"Aku kepengen ke UNAIR pak," jawabku.

"Bagus, ngambil apa?"

"Entahlah, paling manajemen. AKu sudah demen ama Manajemen sejak dulu," jawabku.

"Ya udah, bapak yakin kamu bisa," kata bapak.

Setelah kejadian dengan si Ular Berbisa itu. Setiap ada kesempatan Si Ular berbisa itu minta jatah. Dan aku harus muasin memeknya itu. Brengsek emang.

Dan aku total setahun ini nggak ketemuan ama Anik. Memang aku berpapasan, tapi cuek. Nggak ngelirik dia sama sekali. Noleh saja nggak. Biarin dah. Bukan urusanku dia mau lulus atau nggak. Aku sudah bulatkan tekadku untuk ke Surabaya. Mengikuti SNMPTN di UNAIR dan akhirnya keterima. Kedua orang tuaku bersyukur aku bisa diterima. Nggak kalah ama Mas Yogi yang dulu kuliah di ITS.

Beberapa minggu sebelum hari keberangkatanku ke Surabaya ternyata Mas Yogi mau menikah ama Si Ular Salsa. Akhirnya yaaa kita mau nggak mau rewang dong. Mungkin dari semua orang hanya aku saja yang nggak semangat. Terutama ketika si Ular itu menatap ke arahku. Senyumannya penuh arti. Moga aja peju-pejuku itu nggak bikin anak. Kalau sampai bikin anak aku nggak tahu harus gimana lagi.

Setelah acara resepsi pernikahan dengan segala tetek bengeknya selesai akhirnya kehidupan kembali normal. Seminggu setelah acara pernikahan itu Mas Yogi memboyong si Salsa ke rumah. Dasar Si Ular. Di depan semua orang dia sok alim. Sok Jaim, tapi sebenarnya aku tahu bagaimana wataknya. Semakin dekat aku ama dia, semakin aku benci dengan Si Ular ini.

Mas Yogi tentunya ya tidur sama Salsa di kamarnyalah. Hari-hari berikutnya Salsa hadir di dalam keluarga kami. Sebenarnya keadaan keluarga ini normal kalau semuanya ngumpul. Kita ngobrol ngalor-ngidul, bercanda sana bercanda sini, tapi kalau sudah aku dan Salsa sendirian di rumah....

"Rian!" panggil Salsa manja.

"Apa mbak?"

Dia ada di dapur. Aku segera ke dapur. Dia nggak pake kerudungnya sekarang. Dia sudah selesai memasak dan sedang menata meja makan.

"Nggak ada apa-apa cuma kangen aja," katanya.

"Udah deh mbak, nggak usah bercanda gitu."

"Aku nggak bercanda lho. Beneran."

"Mbak, harusnya mbak sudah sadar dong. Sekarang sudah punya Mas Yogi yang cinta banget ama mbak. Aku sudah maafin kelakuan mbak yang kemaren itu. Harusnya mbak sudah ngerti dan kita nggak perlu ngelakuin itu lagi."

Eh, malah si Ular ini ketawa. "Ealah Rian Rian, kamu pikir aku bakal berhenti apa? Ada perbedaan antara kamu dan masmu yang mbak nggak pernah dapet."

"Apa itu?"

"Kamu kalau di atas ranjang penuh perasaan, kaya' bercinta ama orang yang disukai. Beda ama masmu. Masmu kepengennya muasin nafsunya. Kalau sama kamu nggak. Aku tahu koq, kamu selama ini ngentot ama aku pasti merem matanya, nggak berani lihat mata aku. Dan itu bikin aku makin suka, Yan."

"Udah, aku nggak mau lagi melakukan ini mbak. Dosa!"

"Dosa? Dosa koq kamu juga mau? Hahahaha."

"Sekarang mumpung masmu nggak ada, yuk! Mbak udah kangen berat ama kamu. Apalagi tiap kali gituan ama kamu mbak sampe lemes. Dari semua laki-laki cuma kamu yang kuat main ama mbak lebih dari dua jam. Kamu makannya apa sih sebenarnya?"

"Berarti ada orang selain aku dan Mas Yogi yang begituan ama mbak?"

"Cerita nggak yaa??"

"Katakan aja, toh nggak ada yang denger selain aku."

"Hehehehe, jujurnya iya."

"Nah, kan. Mbak bener-bener jahat. Udah ngejahatin Mas Yogi sampai segitunya."

"Tapi bener, Yan. Mbak itu cinta ama masmu. Nggak tahu ya, mungkin karena masmu itu orangnya care sama mbak."

"Sama siapa saja selain aku dan Mas Yogi?"

"Mau tahu aja, apa mau tahu banget?"

Aku lalu berbalik meninggalkan Salsa di dapur.

"Rian?!" panggilnya.

"Apa?"

"Kalau kamu kepengen tahu nama-nama siapa saja yang ngentot ama aku, sini deh tiap kali kamu nyampe aku kasih satu nama," kata Salsa. Sekarang tiba-tiba dia sudah memelukku dan meremas-remas kontiku. "Jadi kalau kamu ngecrot, aku kasih satu nama buatmu."

"Ada berapa nama?"

"Hmm...aku nggak bakal bilang."

"Dasar lonte!"

"Emang, trus awakmu arep lapo(emang, trus kamu mau apa)?"

Aku meronta agar ia melepaskan pelukannya.

"Mbak, Mas Yogi itu cinta banget ama mbak. Dia selalu muji-muji mbak. Masa' mbak nggak ada perasaan sama sekali sih? Ini udah keterlaluan mbak. Aku takut kalau-kalau mbak sampai hamil gara-gara kelakuan kita," kataku.

"Nggak usah takut. Aku sudah hamil koq. Tapi ini anak Masmu."

"Yang bener?"

"Iya, setelah terakhir kali kita ML, aku kan haidh. Nah setelah haidh itu kamu nggak pernah ML ama aku. Cuma Mas Yogi aja, trus jadi deh. Kemarin itu pas resepsi sebenarnya aku udah hamil. Tenang aja, nggak perlu risau. Jadi kita kan bisa ngentot tanpa takut kan? Yuk!"

"Nggak mbak. Aku nggak mau."

"Rian! Mau kemana?" panggilnya.

Aku segera berlari keluar rumah. Kuambil kunci motor dan kustarter sepeda motorku. Aku pergi.

"Rian! Rian!" panggilnya.

Nggak. Aku nggak mau lagi masuk jebakannya. Hari itu aku kembali ke Gua Selomangleng. Tempat di mana aku dan Anik mengungkapkan perasaanku. Bagaimana Anik sekarang ya? Aku tak pernah tahu kabarnya lagi. Sebenarnya....aku masih care ama Anik. Aku masih cinta ama dia. Aku itu bego, bego banget. Kalau toh Elok punya perjanjian ama Anik, so what? Akukan masih bisa pacaran ama Anik. Aku kan masih mencintai dia. Kenapa aku harus membencinya? Bener kata Anik. Aku itu begooooo banget jadi cowok. Gara-gara urusan konti juga aku sampai masuk perangkap si Ular itu.

Anik, kamu masih cinta ama aku nggak sih? Aku maafin kamu koq. Kembali dong ke aku. Air mataku meleleh mikirin Anik. Aku begooo bener. Anik, Anik, Anik.

****

Malemnya aku balik. Mas Yogi, Ibu sama bapak udah ada di rumah semuanya. Aku mem-BBM Mas Yogi. Apa yang dilakukan oleh Si Ular itu harus dihentikan.


Me: Mas, aku kepengen ngomong sama mas.

Yogi: Ngomong aja di sini. Wong ada di rumah koq.

Me: Ini rahasia mas. Tolonglah. Ketemuan yuk di mana gitu. Tapi jangan sampai ada yang tahu. Plis ini rahasia dan penting.

Yogi: Tunggu aku di pos kamling!
Aku kemudian keluar ke pos kamling yang ada di perempatan jalan. Agak jauh dari rumah. Tapi dari sini aku bisa melihat rumahku ama rumahnya Anik di ujung sana. Gimana kabarnya Anik? Kemarin aku lihat dia pergi sama seorang laki-laki seperti keluarganya. Ah, masa bodoh. Aku nggak ada hubungan ama Anik lagi koq.

Tak berapa lama kemudian Mas Yogi datang. Ia langsung duduk di sebelahku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Aku mau minta maaf sama mas," jawabku. Aku harus berani. Aku harus berani jujur ama Mas Yogi. Biar dikata aku nanti bonyok dihajar oleh dia.

"Apaan?"

"Sejujurnya aku pernah ngentot ama Mbak Salsa."

JDUEESS! Beneran aku dipukul.

"Omong opo awakmu? Pernah ngentu bojoku? (Bicara apa kamu? Pernah ngentot ama istriku)" Mas Yogi mencengkeram kerah bajuku.

"Dengerin dulu! Dengerin dulu! Mas kudu percoyo karo aku!"

Dia pun melepaskan cengkramannya. Aku pun berdiri.

"Selama ini, aku kan nggak pernah bohong sama mas. Aku juga nggak pernah berbuat jahat sama mas. Tapi aku udah nggak kuat lagi mas. Mengkhianati kepercayaan mas. Aku dipaksa mas gituan sama mbak Salsa. Aku awalnya lihat mas gituan ama Mbak Salsa trus kemudian Mbak Salsa ngancem kelakuan aku bakal diceritain ke mas. Akhirnya terjadilah mas."

"Berapa kali kamu ngentot ama dia?"

"Kalo ada kesempatan pasti Mbak Salsa minta jatah ke aku."

"Bohong kamu! Trus anak itu? Anakku apa anakmu?"

"Anaknya mas. Itu aku nggak bohong Mas bisa cek DNA deh. AKu nggak bohong!"

"Brengsek! Awakmu emang nggatheli Yan. Aku nggak gelem ndelok rupamu maneh. Asu tenan kowe. Mas-e dewe dipangan. j*nc*k!" (brengsek! kamu emang nggatheli Yan. Aku nggak mau lihat wajahmu lagi. Anjing kamu ini. Masnya sendiri dimakan. j*nc*k)

"Mas, aku nyuwun ngapuro, tapi beneran. Mbak Salsa iku uwonge ora apik. Lonte!" (Mas, aku minta maaf tapi beneran. Mbak Salsa itu bukan wanita baik-baik. Lonte)

"j*nc*k!" aku dipukulnya lagi. Aku tak membalas aku terima semuanya. Aku terjatuh dengan mulut berdarah.

"Mas, percoyo karo aku! Percoyo mas! Mbak Salsa iku dudu wong wadon apik!" (mas percayalah ama aku. Percaya. Mbak Salsa itu bukan cewek baik-baik)

"Kapan awakmu budhal nang Suroboyo? Aku ora sudi ndelok rupamu!" (Kapan kamu berangkat ke Surabaya? Aku nggak sudi lihat wajahmu)

Mas Yogi berbalik dan meninggalkan aku. Jiampuuuttt...

#Pov Anik#

Jakarta nih. Waahhh....macetnyaaaaaaa ampuuuunn. Ini pertama kalinya aku ke ibu kota. Welahdalah. Baru pertama kali ke ibu kota dianter ama pak dheku. Rasanya puanaasss. Rambutku sampe gatel. Ini pasti banyak ketombenya. Pengap banget. Aku ke Jakarta sama pak dheku naik kereta Gajayana, turun di stasiun Gambir. Setelah itu naik Kopaja trus muter-muter pake angkot. Tiba di rumah pak dhe maghrib. Capek maaaak...

"Nik, kamu istirahatnya di kamarnya Yuli ya," kata pak Dhe.

"Nggih pak," jawabku.

Yuli ini adalah sepupuku. Aku tak begitu akrab ama dia. Tapi setelah ini aku bakal lebih banyak ketemu ama dia. Aku keterima di Jurusan Komunikasi FISIP UI, sesuai cita-citaku kepengen jadi wartawan, reporter, penyiar tv. Hehehe. Aku sudah tinggalkan masa-masa SMA. So long Rian. Aku udah move on. Nggak mau terus-terusan mikirin kamu. Aku sadari aku salah. Tapi aku nggak mau jalan di tempat. Ada masa depan yang harus aku raih. Aku kepengen jadi reporter. Itulah cita-citaku.

Seorang cewek pake hotpants keluar kamar. Dia adalah Yuli.

"Ehh...ini ya Anik? Waah...lama nggak ketemu ama lo," kata Yuli.

"Yulii...ya ampuun!" aku pelukan dan cipika-cipiki ama dia.

"Capek ya pasti?"

"Iya nih, capek banget!"

"Ya udah, sini gue bantu. Mandi sana, trus habis itu kita ngobrol yuk, udah lama nggak ketemu."

Malam itu aku mandi, badanku udah lengket semua. Seger.

Rumah pak dhe ini nggak begitu besar sih. Masih masuk kampung. Tapi bisa dilewati mobil. Buktinya ada mobil di garasinya. Malam itu sambil melepaskan lelah aku ngobrol banyak ama Yuli. Udah lama kami nggak ketemu. Mungkin dua lebaran yang lalu adalah terakhir kali aku ngobrol ama dia. Aku pun jadi lebih akrab. Suaraku yang agak medok mulai terbiasa dengan logat "lo gue" khas anak jakarta. Ada telepon masuk.

"Eh, bentar ada telepon dari ibu," kataku menyela perbincanganku ama Yuli.

"Halo bu," kataku.

"Eh, gimana udah nyampe?" tanya ibu.

"Beres, udah nyampe. Ini lagi ngobrol ama Yuli," jawabku.

"Syukurlah kalau begitu. Baik-baik di sana ya nak. Kuliah yang bener, jangan ikutan demo-demo nggak jelas! Jangan dugem! Jangan ikutan pergaulan bebas!......." ibuku menasehatiku panjaaaang banget.

"Iya bu, iya, ngerti. Anik nggak bakal jadi anak nakal. Anik bakal jadi anak baik," kataku.

"Ya udah. Istirahat kalau gitu," kata ibuku.

"Inggih bu."

Setelah itu ibu menutup teleponnya.

"Wah, foto siapa itu Nik?" tanya Yuli ketika melihat wallpaper ponselku. Oh iya. Aku lupa. Wallpaperku adalah wajahnya Rian. Fotonya. "Cowokmu?"

"Maunya sih gitu," jawabku.

"Hah? Maunya. Maksudnya gimana?"

Aku pun bercerita tentang Rian. Bagaimana ia sangat mencintaiku, bagaimana juga persahabatan kami yang kandas. Eh...malah Si Yuli kebawa suasana sampe nangis. Aku juga jadi ikutan nangis deh. Duh...padahal aku sudah janji bakal move on. Tapi rasanya nggak bisa. Apalagi aku sudah janji akan terus suka ama Rian. Terus cinta ama dia.

"Waduh Niiik, lo koq bego banget sih jadi cewek? Ada yang cinta tulus ama lo koq ya digituin," kata Yuli sambil menghapus air matanya pake tisu.

"Nggak taulah Yul, aku sampai sekarang masih kangen ama dia. Aku berharap ia masih mencintaiku," kataku. Kami pun berpelukan saling menenangkan diri.

Aku masih cinta ama Rian.


BAB XV

With You



Cinta itu bukan dicoba-coba seperti Sayur Asem
Kalau kamu yakin dia jodohmu
Maka seriuslah ama dia


#Pov Rian#

Hello Surabaya. Piye kabare cuk! Perjalanan dari Kediri ke Surabaya nggak susah-susah amat. Mau transportasi kereta ataupun bis sama enaknya. Tapi aku lebih suka pake kereta. Selain nanti turun di stasiun Gubeng dan tinggal jalan kaki menuju tempat kos, aku juga suka suasananya. Aku sengaja nggak bawa motor. Kepengen kenalan dulu ama kota ini. Puanas. Itulah yang pertama kali terlontar dalam hatiku. Panas banget. Gerah.

Bahkan ketika aku masuk ke kamar kosku yang lebarnya cuma 3 x 2,5 m ini rasanya pengap. Padahal jendelanya ada. Angin-anginnya ada. Tiap malam pasti masang kipas angin. Penghuni kosku rata-rata cowok semua. Dan di sini aturannya ketat. Nggak boleh bawa cewek masuk ke kamar. Ketemuan ya di teras saja sana. Jam 11 pagar sudah ditutup. Jangan harap ada bebas-bebasnya di sini.

Aku kenalan ama beberapa mahasiswa baru yang juga kuliah di UNAIR. Mereka adalah Erik, Andi, dan Totok. Yang lainnya sih kuliah di tempat lain. Aku tak begitu akrab karena mereka sudah senior dan katanya sebentar lagi udah mau skripsi.

"Sampeyan teko endhi?(kamu dari mana)" tanya Erik.

"Teko Kediri, lha sampeyan?(Dari Kediri, lha kamu)" tanyaku balik.

"Aku teko Jombang. Wah...cedak yo (aku dari Jombang, deket ya)," kata Erik. "Iso bareng iki mulihe (Bisa bareng ini kalau pulang)."

Jombang ama Kediri emang satu jalur. Dilewati bis bisa dilewati kereta juga bisa.

"Aku teko Jember, nek Totok iki teko Lamongan(Aku dari Jember, kalau Totok dari Lamongan)," kata Andi.

"Iki kabeh jurusan manajemen? (Ini semua jurusan manajemen)" tanyaku

"Nggak, Aku jurusan Teknik Sipil," kata Totok.

"Tapi ospek besok kan ya sama semua," kata Andi.

"Beda dong, anak teknik beda ospeknya," kata Totok.

"Oh, begitu. Sampeyan (kamu) ngerokok nggak mas?" tanya Erik menawariku sebungkus rokok MILD.

"Nggak, aku nggak ngerokok mas," kataku.

"Sorry yo, aku ngerokok," kata Erik.

Kami mempersilakan Erik ngerokok. Kami saling ngobrol satu sama lain. Yah, mengakrabkan suasana. Ngomong masalah Surabaya, masalah angkot, masalah SNMPTN, sampai masalah politik yang ruwet. Tapi kami tak sampai malam ngobrolnya. Jam sepuluh kami sudah harus tidur karena besok jam enam kita sudah ada agenda ospek.

Singkat cerita aja ya. Kita ospek. Melewati hari-hari perploncoan. Yah tahu sendirilah, tugasnya aneh-aneh. Bikin bambu runcing. Trus sampai bikin pertunjukan segala, bikin drama. Asem tenan. Emangnya kita ini kuliah di jurusan kesenian apa?

Saat itulah hari terakhir Ospek. Aku nggak sengaja ketemu ama dia. Seseorang yang sekilas mirip Anik. Tapi bukan Anik. Melainkan Rahma. Itu juga nggak sengaja. Ketika selesai sholat Ashar, aku melihat seorang anak cewek berjilbab lebar pake kacamata ngejar kertas-kertas yang ia bawa karena tertiup angin.

Aku otomatis bergerak membantu dia, memunguti satu-satu dan menangkap kertas-kertas yang kabur itu. Setelah itu aku serahkan ke dia.

"Ini mbak," kataku.

"Makasih ya mas....Lho, Rian???" katanya. Ia memanggil namaku.

Aku terkejut bukan main. "Mbak Rahma???"

"Ya ampuuuuunnn!" lenganku dicubit ama dia.

"Adududududuh!" aku mengaduh, sakit cubitannya.

"Nggak nyangka kamu kuliah di sini?" tanyanya.

"Iya mbak, noh pake baju item putih. Lagi ospek ini," jawabku.

"Ya Ampun, Rian. Lama nggak ketemu. Kamu makin cakep aja ya," ia mencubit pipiku.

"Aduh mbak udah dong, koq dicubiti terus sih?"

"Biarin, mbak kangen banget ama kamu. Sini deh ngobrol dulu yuk! Masih ISHOMA kan?"

"Iya."

"Ya udah ngobrol dulu ayuk!"

Akhirnya aku pun menurut. Kami pergi ke sebuah kantin yang lumayan sepi karena memang kampus belum aktif, selain anak-anak yang ikut ospek nggak ada yang terlihat. Kami duduk berdua di sana. Mbak Rahma ini makin cantik ya. Ia sekarang pake kacamata. Wajahnya malah mirip ama Anik kalau begini.

"Aku nggak nyangka kamu bisa masuk UNAIR," katanya.

"Mbak juga, jadi ngambil ke kedokteran?"

"Iya, kan mbak....sudah janji ama kamu."

"Wah, masih ingat janji itu?"

Rahma mengangguk. Ya tuhan, mbak Rahma masih ingat aja ama janji itu.

"Aku sudah masuk ke kedokteran. Nanti lulus bakal jadi dokter. Dapet beasiswa terus. Enak kuliah gratis hehehe."

"Selamat deh mbak."

"Ngomong-ngomong hubunganmu sama Anik gimana?"

"Hah?"

"Udah deh, nggak usah disembunyikan. Mbak tahu koq. Anik udah cerita semuanya."

Aku terdiam. Nggak tahu harus ngomong apa. Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Nggak usah cerita deh kalau nggak mau."

"Aku udah putus koq mbak," kataku tiba-tiba.

"Iya, mbak udah tahu kamu putus. Maksudku kamu balikan ama dia apa nggak?"

Aku menggeleng.

"Oh, begitu. Tapi kalian masih akrab kan?"

Aku menggeleng lagi. "Aku nggak mau lagi hubungan ama dia?"

"Lho, koq gitu?"

"Maaf ya mbak, jangan ngomongin lagi soal Anik. Sakit hatiku."

Mbak Rahma tersenyum. "Ya udah, aku ngerti koq. Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?"

"Jurusan Manajemen."

"Hihihi. Sesuai dengan bidangmu."

"Iya mbak, daripada mikirin matematika, fisika, kimia mending ini aja deh."

"Trus, disuruh ngapain aja selama ospek?"

"Halah, mbak kaya' nggak pernah ospek aja. Ya begitulah. Nih lihat disuruh bikin tag-name segedhe gaban gini trus kesana-kesini kaya' orang gila."

"Hahahaha."

"Yee, malah ketawa."

"Soale awakmu iku lucu (Soalnya kamu itu lucu)."

"Mbak, udah punya pacar belum?"

"Belum."

"Mosok? Gak percoyo aku. Cewek secakep Mbak Rahma ini nggak punya pacar?"

Kepalaku digetok ama kertas yang dia bawa. "Aduh."

"Mbak nggak mau pacaran. Itu udah komitmen mbak. Kenapa tanya gitu? Naksir ama mbak?"

DEG! Kenapa Mbak Rahma tanya gitu? Kalau soal naksir sih...bingung juga. Sedikit sih aku suka ama Mbak Rahma. Lagian dia juga sahabatku sejak kecil. Aku pun ingin mencairkan suasana. Kucoba bercanda aja ah.

"Kalau misalnya iya?"

"Huu...kerja sana dulu, trus lamar aku!" kata dia sambil melet.

"Serius nih? Kalau aku sudah kerja mbak aku lamar gitu?"

"Heeeh...siapa yang mau ama kamu?"

"Lho, kan tadi nyuruh aku kerja dulu trus boleh ngelamar?"

"Kamu sama Anik aja tuh."

"Nggak ah, kalau sama Mbak Rahma gimana?"

Kami terdiam. Ada sesuatu yang aneh menyelimuti kami berdua. Entah apa, tapi sesuatu kenyamanan lain. Apa aku jatuh cinta lagi??

"Udah ah, mbak mau pergi. Kamu nggak balik? Temen-temenmu udah balik lho."

Aku melihat beberapa peserta ospek udah kembali ke gedung. Aku berdiri. "Eh iya"

"Udah sana!" katanya sambil mendorongku agar pergi.

"Bentar-bentar. Mbak minta nomor ponselnya dong. Pin BB juga boleh," aku mengeluarkan ponselku.

"Nomorku 081244514XXX, pin ER71***"

Aku catet semuanya di memo. "Nanti aku call ya. Sampai besok ya mbak."

"Iya, dasar!"

#Pov Rahma

Lho, Rian kuliah di sini? Alamak udah lama aku nggak ketemu ama dia. Dia makin cakep aja. Aduhh..malu aku. Kenapa juga bercandaku keceplosan ya tadi. Pake bilang "kerja sana trus ngelamar aku."

Dia kan pernah pacaran ama Anik. Dulu Anik curhat ke aku. Kalau sebenarnya ia pacaran ama Rian, tapi dibuat taruhan sama temennya. Trus Rian jadi benci ama dia. Tapi aku tahu kalau Anik masih cinta ama Rian. Buktinya ponselnya Anik ada Wallpaper wajahnya Rian. Aku cemburuuu banget. Tapi yah, mau gimana lagi.

Namun setelah hari ini aku ketemu dia. Aku jadi tahu kalau dia beneran sudah putus ama Anik. Bahkan kaya'nya ia tak mau membahas hubungan mereka berdua. Setelah hari itu menyelesaikan tugasku. Aku segera pulang. Aku memang mengikuti semester pendek agar bisa ngejar SKS dan IPku. Selama ini IPku 3,7. Dan aku harus mempertahankannya atau lebih lagi. Belajar yang rajin. Hampir tiap hari aku habiskan waktu di perpustakaan sampai-sampai nggak terasa aku kena minus. Sekarang kacamataku selalu menemaniku. Kata ibuku aku jadi lebih mirip Anik kalau pake kacamata.

Malam Minggu. Aku tinggal di sebuah kos putri di sekitaran Gubeng. Dua lantai. Kamarnya ada lima belas. Banyak emang. Dan seperti biasa ada aja yang main ke kost putri ini buat dijemput. Maklumlah anak muda. Apel malam minggu. Aku masih jomblo dan nggak minat pacaran. Apalagi aku ikutan rohis. Jadinya yahh..nggak deh. Kalau mau ama aku lamar aja langsung.

Lho, ada BBM masuk.


Rian: ping!
Dari Rian!


Rian: ping!

Me: Iya, ada apa?

Rian: Bu dokter, saya sedang sakit bu.

Me: Heh? Sakit apa?

Rian: Sakit hati. Hati saya tadi dicuri.

Me: Gombal. :P

Rian: Habis. Dah lama nggak ketemu ama Mbak Rahma, sekarang tambah cantik aja, pake kacamata lagi.

Me: Kamu suka ta ama anak berkacamata?

Rian: iya sih.

Me: Huuuu dasar, fetishmu aneh.

Rian: Mbak tahu fetish juga?

Me: Tahu semua. Mbak juga tahu kamu punya simpenan film bokep ratusan giga.

Rian: Hah? Dari mana mbak tahu?

Me: Dulu waktu kamu ngopi film ke laptopku, kamu nggak sengaja ngopiin JAV. Ada Saori Hara, Ameri Ichinose, Sora Aoi. Siapa lagi itu...ah banyak.

Rian: Waduh, mbak tahu dong.

Me: Iya tahu. Mbak juga nonton

Rian: Waduh, maaf mbak. maaf
Lho? Mbak nonton juga? Waaahh...nakal juga ini mbak Rahma.

Me: Yee...bukan berarti mbak juga suka. Sekedar kepengen tahu aja, kenapa sih anak cowok suka ama film gituan.

Rian: :"> aku malu mbak.

Me: Halah malu-malu, tapi mau kan?

Rian: Jadi mbak, beneran nonton?

Me: Iya, bawel ih.

Rian: Trus filmnya sekarang masih ada?

Me: Udah aku hapus. Gila apa anak rohis nyimpen film bokep.

Rian: hehehehe
Mbak...jujur nih, beneran nggak punya pacar?

Me: Beneran. Kenapa? Mau daftar?

Rian: Kan katanya mbak nggak mau pacaran.

Me: Iya.

Rian: Trus? Kalau aku sekarang kepengen mbak yang jadi pacarku?
Duh,...ni anak. Pake nembak langsung lagi. Aku harus jawab apa ya? DEG! Dadaku berdebar-debar. Dasar si Rian ini ASEEEMM. Tapi yang namanya Cinta emang bukan Sayur Asem yang dikit-dikit harus dicoba agar bumbunya pas. Aku apa harus jujur ama Rian?


Me: Aku mau bilang sesuatu ama kamu.

Rian: Apa mbak?

Me: Aku ama Anik itu suka ama orang yang sama.

Rian: Hah??
Uffhh...akhirnya aku bisa jujur.


Rian: Maksudnya?

Me: Kamu ini jadi cowok koq begoooo banget sih. Maksudnya ya jelas kamulah. Gimana sih?

Rian: :"> Maaf mbak aku emang rada o'on soal ginian.

Me: Pantes kamu nggak lama ama Anik. Kamunya O'on.

Rian: Ya deh mbak, aku minta maaf. Maaf.

Me: Aku jujur suka ama kamu Rian. Jujuuurr banget. Kalau kamu mau menjalin hubungan ama aku, aku mau asal aku bukan tempat pelarianmu dari Anik. Anik adalah masa lalumu. Aku nggak mau ketika kamu sama aku malah yang ada pikiranmu adalah Anik. Kalau kamu mau dan bisa ayo kita lanjut.

Rian: Serius mbak?

Me: Nah, kaaan. Begonya kumat.

Rian: Maaf, maaf. Iya. Aku mau serius ama Mbak Rahma. Anik sudah jadi masa laluku. Aku nggak mau ngungkit-ungkit lagi. Aku juga udah nggak nyimpan foto-foto dia lagi. Kalau mbak Rahma emang mau jalan ama aku. Okelah. Aku terima syaratnya. Mbak, ketemuan yuk? Mbak tinggal di mana?

Me: Di kost Putri Gubeng gang sebelahnya masjid itu lho.

Rian: Ealaaaahh...lha koq cedak banget. Aku ke sono sekarang.

Me: Lho, eh? kamu mau ke sini?

Rian: Iya. AKu mau sekalian bilang sesuatu.
Dia serius mau ke sini? Aku akhirnya meletakkan ponselku. Nggak ada BBM lagi dari dia. Apa dia serius mau ke sini? Akhirnya aku di kamar cuma harap-harap cemas. Dia dateng nggak, dateng nggak, dateng nggak. Aku aja berdebar-debar. Aku barusan jujur ama Rian. Salah nggak sih aku ini? Gimana Anik? Dia kan masih suka ama Rian. Wallpaper ponselnya aja fotonya Rian.

Duh, aku musti gimana? Emang aku dan Anik suka ama cowok yang sama. Cowok teman bermain kami sejak kecil. Tapi kalau misalnya Rian suka ama aku bagaimana? Kalau dia emang jujur suka ama aku juga bagaimana? Entah kenapa hari ini aku bisa jujur kepada diriku sendiri, jujur juga kepada Rian. Pantas nggak sih anak rohis seperti aku bisa suka ama cowok? Tapi ini bukan sembarang cowok. Dia adalah Rian. Sosok cowok spesial bagiku. Juga bagi Anik.

Tapi ini adalah kehidupanku. Cintaku. Salahkah aku memperjuangkan cintaku? Cinta yang ingin aku raih sejak dulu, sejak aku masih bermain dengan dia. Kalau dia sudah ada di depan mataku apakah aku harus menolaknya? Kalau Anik juga masih suka ama dia trus kenapa? Bukannya Rian sudah nggak jalan lagi ama dia? Bukankah Rian sudah nggak mau lagi dengan Anik? Bukankah dia juga barusan bilang dia mau syaratku.

Ponselku berbunyi. Aku segera angkat, itu dari Rian.

"Ya?" kataku singkat.

"Aku ada di luar mbak," katanya.

Eh, beneran dia. Aku lihat ke luar jendela. Aku ada di lantai dua soalnya. Iya beneran. Itu dia pake kaos oblong. Ia ngos-ngosan seperti barusan lari dikejar anjing. Nekad juga ini anak.

"Bentar, aku turun!" kataku. Trus aku tutup teleponnya. Aku ambil kerudungku langsung kupakai. Segera aku turun dari kamarku lalu langsung keluar dari kost. Gila, turun dari tangga trus lari sampi depan aja aku juga ngos-ngosan.

Kini, coba bayangin deh seperti di film-film bagaimana kamera mengitari kami berdua. Kami saling berhadap-hadapan. Dia ada di depanku tersenyum manis sambil ngos-ngosan ngatur nafas. Aku juga. Trus kalau sudah begini ngapain? Nggak ada yang kami lakukan. Kami berdiam saling berhadapan. Sementara itu beberapa sepeda motor berjalan melintas di depan kami. Kadang juga penjual tahwa, anak-anak kecil yang lari-larian. Depan kostku memang jalan kecil yang mungkin hanya bisa dilewati oleh satu mobil. Jadi banyak yang lalu-lalang di sini. Ya, total kami diam saling berpandangan selama dua menit kurang lebih. Lucu kan?

Ini tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku jatuh cinta ama Rian. Cinta yang teramat dalam. Rian kemudian melangkah maju. Ia jalannya menyeret, eh ternyata sandal jepitnya putus! Ia lepas sandalnya, nyeker jalan ke arahku.

DIIINN! Sebuah sepeda motor hampir aja nabrak dia.

"Wooo, sontoloyo! Ndelok dalan cuk!" umpat pengemudi sepeda motor yang hampir nabrak Rian.

Tapi Rian tak peduli. Ia terus berjalan menuju ke arahku. Dan akhirnya jarak kami hanya tinggal dua langkah lagi. Aku berdebar-debar, aku nggak pernah seperti ini sebelumnya.

"Mbak Rahma, aku...aku...," Rian terbata-bata.

"Nggak usah dikatakan, aku sudah tahu," kataku.

Rian tersenyum. Ia menarik nafas dalam-dalam. "Hehehehe, aku nggak pernah seperti ini sebelumnya."

"Kamu ini jadi cowok koq bego banget sih?"

"Udah jadi kebiasaan mungkin," Rian menggaruk-garuk rambutnya.

"Trus?"

"Kita jadian?"

Aku mengangguk. Rian langsung mengepalkan tangannya dengan pose YES! Aku tertawa geli melihat itu.

"Lho, Rian? Lapo kon nang kene? (Lho, Rian? Ngapain kamu di sini?)" seorang pemuda naik motor berhenti di sebelahnya.

"Eh Rik," jawab Rian. "Gak lapo-lapo cuman ketemu konco lawas.(Nggak ada apa-apa cuma ketemu temen lama)"

"Konco opo konco? (temen apa temen)" goda temennya Rian itu.

"Aku pacare koq mas(aku pacarnya koq mas)," celetukku. Rian menoleh kepadaku. Ia agak terkejut mendengarnya.

"Hah? Beneran?"

"Yah...semenit yang lalu sih bisa dibilang begitu," kata Rian.

"We..e..e..ee, asem tenan awakmu. Kuliah aja belum udah dapat pacar. Cakep pula? Kenalin mbak, Erik. Temennya kost Rian," kata Erik.

"Rahma," kataku.

"Yo wis, aku tinggal yo?" kata Erik.

"Eh, Rik, bareng," kata Rian.

"Lho, udahan toh? Nggak ngobrol-ngobrol kalian?" tanya Erik

"Aku sih udah cukup, Rahma? Aku duluan ya?" kata Rian. Ini pertama kalinya ia nggak manggil aku dengan sebutan "mbak".

Aku tersenyum sambil memberi salam. Dia membalasnya. Aku hanya bisa melihat ia dibonceng ama Erik. Dia masih menoleh ke arahku sampai ia tak terlihat lagi. Duh, hatiku berbunga-bunga. Aaaaaaakkkkkk!

#Pov Anik

"Nik? Kamu Anik bukan?" sapa seseorang.

Aku menoleh ke arahnya. "Zain??"

"Weeii...apa kabar?" tanyanya.

"Baik, baik. Kamu di UI juga?" tanyaku.

"Iya. Ngambil jurusan apa?"

"Komunikasi"

Ahhh..kenapa aku ketemu ama Zain lagi? Orang yang dulu cintanya aku tolak. Dia berbeda sekarang. Nggak seperti dulu yang culun. Rambutnya cepak, bajunya pun modist. Dia keren sekarang.

"Ada kuliah?" tanyanya.

"Ada nanti jam sembilan," jawabku.

"Oh ya sudah, aku ada kuliah habis ini. Eh, boleh minta nomor ponselmu?" tanyanya.

"Boleh," kataku. Kami bertukar nomor hp. Setelah itu ia cabut. Apa ini suatu kebetulan? Ataukah memang takdirku ketemu ama Zain?


BAB XVI

Inikah Rasanya Cinta?




Ibuku berkata Apabila kamu jatuh cinta maka ketahuilah
Dadamu akan terasa sesak yang amat sangat yang kamu sama sekali tak tahu apa penyebabnya
Jantungmu akan berdebar tiga kali lebih cepat daripada biasanya
Panca inderamu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya
Hal itu terjadi ketika dua hati bertemu

#Pov Rian

Ibuku berkata, "Apabila kamu jatuh cinta maka ketahuilah, Dadamu akan terasa sesak yang amat sangat yang kamu sama sekali tak tahu apa penyebabnya, Jantungmu akan berdebar tiga kali lebih cepat daripada biasanya,Panca inderamu tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi ketika dua hati bertemu."

Duh, kaya'nya bener yang diomongin ibu. Aku merasakan hal itu ama Rahma kemarin. Hal yang luar biasa. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Bagaimana aku bisa berada tepat di depannya. Nembak dia. Jadian ama dia. Aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Duh Rahma, aku buka akun facebooknya. Aku ambil salah satu fotonya dan kujadikan wallpaper ponselku.

Rahma, yah..mirip sih ama Anik kalau pake kacamata gitu. Koq aku jadi mikirin Anik ya? Udah, ah. Aku komitmen dan janji ama Rahma. Dia bukan pelarianku. Dia adalah Rahma, bukan Anik. Walaupun mereka bersaudara, aku sekarang milih Rahma. Rahma, Rahma, Rahma. Namanya terus aku ucapkan. Susah, tapi aku terus berusaha. Karena di pikiranku ada Anik. Dan anehnya, semakin aku mikirin Rahma, bayangan Aniklah yang tampak.

Aku ke kamar mandi aku cuci mukaku. Kuguyur kepalaku pake air. Setelah itu aku ke kamar dan melakukan handstand. Hal itu dilihat oleh Erik ama Andi.

"Kowe lapo?(Kamu ngapain)" tanya Erik. "Salah minum obat?"

"Nggak koq, cuman lagi mikir," jawabku.

"Mikir koq kepalanya dibalik."

"Yan, aku pinjem laptopmu boleh?" tanya Andi.

"Pake aja!" kataku.

Andi masuk kamarku lalu langsung memakai laptopku.

"Wuihhh...wallpapernya gambar cewek, pacarmu ini?" tanya Andi.

"Iyo, iku pacare," kata Erik.

"Koq kamu tahu?" tanya Andi.

"Lha, kemaren mereka ketemuan koq," kata Erik. "Namanya Rahma, cakep ya? Aku dari dulu juga kepengen punya cewek berjilbab gitu."

"Wuiihh...belum kuliah udah ada pacar aja nih," kata Andi. "Kamu pake ilmu pelet ya, Yan?"

Aku turun dari handstand. "Pelet apaan? Dia temenku dari kecil koq. Tetanggaku malahan."

"Hmmm...pantes, anak mana ini?" tanya Andi.

"Kedokteran," jawabku.

"Wuiiih....manteb, kedokteran. Pake jilbab pula. Awakmu koq beruntung banget seh, Yan?" kata Erik.

"Lagi ngapain sih itu?" tanyaku ke Andi.

"Ini mau ngetik," jawab Andi.

"Eh, Yan. Kalau ada temennya Rahma yang nganggur dan berjilbab kasih kenal dong. Eyke juga kan mau, hehehehhe," kata Erik.

"Hahahaha, Rik Erik. Ya deh, ntar aku tanyain Rahma," kataku.

TUNG! Ada BBM masuk. Aku ambil ponselku. Eh dari Rahma.


Rahma: Rian, jogging yuk! Klo minggu gini banyak yg jogging di sekitaran UNAIR. Aku tunggu di depan kost ya?
Wah, ngajak jogging keliling kampus nih.


Me: Oke beib.

Rahma: Ih, manggil beib.

Me: Lha? Harusnya gimana?

Rahma: Terserah deh.

Me: Oke beib.

Rahma: :">
"Aku keluar dulu. Kalau udah selesai tutup aja ya laptopnya," kataku.

"Ok, mas bro. Beres!" kata Andi.

"Mau kemana?" tanya Erik.

"Jogginglah, ikut?"

"Emoh ah, paling ya nemenin orang pacaran," sindir Erik.

Aku ketawa. "Yowislah."

Aku langsung keluar, ngambil sepatu kets trus menuju ke kampus. Kampus UNAIR memang begitu. Kalau pagi anak-anak mahasiswa yang ngekos di sekitar kampus banyak yang lari pagi di sini. Kadang juga olahraga senam aerobik dengan instruktur. Rame deh. Tapi sekalipun begitu tetep aja Surabaya panas. Aku pakai sweater berhoodie dan celana training.

Aku melewati depan kost Rahma. Dia sudah ada di sana. Pakai training warna kelabu, kerudung warna kelabu. Ia melambai ke arahku. Aku pun jalan bareng ama dia.

"Jadi, gimana kemarin tuan putri? Mimpiin aku nggak?" gurauku.

"Nggak," jawab Rahma singkat.

"Waduh."

"Emangnya harus apa mimpiin kamu?"

"Ya nggak juga sih."

"Sebenarnya aku udah terlalu banyak mikirin kamu, jadinya nggak pake mimpi lagi."

"Masa' sih? Nggak percaya aku."

"Terserah," Rahma mulai berlari. Kami menyebrang jalan memasuki gerbang kampus. Aku melihat beberapa anak mahasiswa jogging.

Aku jogging mengitari kampus, cukup besar juga sih kampus tempat Ahmad Dhani dulu kuliah. Di salah satu sudut kampus ada kumpulan ibu-ibu yang melakukan senam aerobik. Rahma pun ikutan di sana. Aku ngikut juga. Ada anak cowok juga koq yang jadi pesertanya. Kami paling nggak sampai keringetan pagi itu.

Aku ke salah satu penjual air mineral yang sedang mangkal di lokasi kampus. Kubeli dua botol air minum. Maksudku sih yang satu aku kasih ke Rahma. Aku buka satu botol dan kuminum seteguk, setelah itu aku tutup lagi tutup botolnya. Aku kemudian membayar minumannya.

"Yan, ada air?" tanya Rahma.

Aku reflek menyerahkan botol air minum itu. Ia langsung membuka dan meminumnya. Glup, glup, glup, glup!

"Aaaaaahhhhh...segeeeerrr!" serunya.

Aku melihat tangan kiriku, lho. Botolnya salah. Itu tadi kan botol yang aku minum. Duh. Tadi bibirnya nempel di mulut botolnya. Secara tak langsung ya sama aja aku ciuman ama dia dong. Cessss....hatiku seperti terkena lelehan es. Anclesss (dingin)....

"Heh? Kamu koq bengong, ada apa?" tanya Rahma.

"Nggak apa-apa koq," kataku.

"Lho, itu botolnya masih baru? Lho, jadi ini tadi kamu udah minum?"

Aku mengangguk. Rahma wajahnya memerah. Ia baru sadar. Tanpa bicara kami pun berjalan beriringan.

"Maaf Ma, aku mau bilang tapi mbak udah langsung ngambil aja," kataku.

"Nggak apa-apa sih. Nih, kubalikin!" dia menyerahkan botol yang tadi ia minum ke aku. Maksudnya? Ia tersenyum melihatku.

Aku buka botol yang ada di tangan kiriku lalu aku minum. Setelah itu aku tutup lagi. Kuserahkan ke Rahma.

"Apaan maksudnya?" tanya dia.

"Biar, secara tak langsung bisa ciuman ama kamu," jawabku. Muka Rahma makin memerah.

Ia lalu membuka botol air minumnya tadi, kemudian ia siramkan airnya ke aku. "Iiihh...dasar, menggunakan kesempatan dalam kesempitan!" Aku menghindar. Dan kami pun kejar-kejaran. "Awas ya Riaaan!" Momen yang indah. Kami bercanda sampai aku pun nyerah dan kepalaku diguyur ama dia.

Sehabis itu kami sarapan nasi pecel yang ada di salah satu sudut kampus. Sebuah warung kecil, penjualnya ibu-ibu. Sepiring nasi pecel, segelas teh anget. Cukuplah. Ini aja udah kenyang. Aku yang bayar makan pagi itu.

"Maaf ya, yang tadi" kataku.

"Rian, tehnya boleh minta?" tanya Rahma tiba-tiba. Pantes saja Rahma nggak pesen minum.

"Lho, koq?"

"Biar bisa secara tak langsung ciuman ama kamu,"

Aduuuhhh....ancles lagi deh dadaku. Dia mengambil gelas tehku, lalu ia minum tepat di mana bibirku tadi minum. Satu seruput, dua seruput, tiga seruput. Ia tersenyum melihatku yang melongo. Setelah itu ia genggam tanganku. Aku pun menggenggam tangannya balik. Kami tersenyum penuh arti. Tersenyum karena kami saling mencintai.

****

Hari-hari berikutnya, aku sibuk kuliah. Aku bertekad untuk serius ama Rahma. Maka dari itulah aku tiap hari ketemu ama dia. Hampir sih, sebab ada kalanya emang ia sibuk, jadi aku tak mau mengganggunya. Aku dan Rahma makin dekat. Sering terlihat bersama, sering terlibat diskusi hangat, sering juga terlihat pertengkaran kecil karena memang pemahaman kami soal definisi dari kosakata tertentu berbeda. Iya, aku dan Rahma makin dekat.

Saat pulang ke rumah pun kami bersama. Sama-sama naik kereta. Duduk bersebelahan selama tiga jam dari stasiun Gubeng ke Stasiun Kediri dengan kereta Api Cepat Dhoho. Dan selama itu juga Rahma bersandar di bahuku. Tangannya menggenggam erat tanganku seolah tak ingin lepas.

Gelagatku yang dekat dengan Rahma ini pun tercium oleh bapak dan ibu. Terlebih aku mengantarnya tepat di depan rumah Rahma.

"Sampai nanti ya," kataku ke Rahma.

"Ya, hati-hati," katanya.

Aku pun berjalan menuju rumahku. Dan saat itulah sepeda motor berjalan pelan di sebelahku. Aku menoleh, lho Bapak? Ibu? Mereka baru dari belanja sepertinya.

"Nah lhoo...setelah Anik, terbitlah Rahma," goda ibuku.

"Apaan sih bu? Dari mana?" tanyaku.

"Dari belanja, yaudah bapak sama ibu cuma mau ngucapin satu hal," kata ibuku.

"Semoga langgeng ya," goda bapak. Mereka berdua tertawa dan melajukan motornya.

"Waaahh...bapak ibu, godain anak sendiri. Aarrghh!" kataku sambil lari ngejar mereka.


#Pov Anik

Aku jalan ama Zain di mall. Aku memang ingin belanja keperluan kuliahku. Tapi harus dihemat karena uangku sedikit. Ibuku nggak mampu kalau aku keluar banyak kuliah di Jakarta ini. Lagian aku nggak dapat beasiswa seperti Mbak Rahma. Dan Zain mulai mendekatiku dengan membelikan seluruh keperluanku. Aku berusaha menolak tapi dia memaksaku. Seperti juga hari ini. Aku ada tugas sebenarnya membuat dokumentasi. Dan itu butuh pocket kamera. Untunglah pak dhe ngasih aku duit buat beli pocket kamera. Karena mbak Yuli nggak bisa nganter, akhirnya aku minta bantuan Zain.

Zain nembak aku lagi. Tapi, aku tolak.

"Maaf ya Zain, aku masih ingat ama Rian," kataku dengan halus.

"Udahlah Nik, kamu itu udah dua tahunan putus ama dia. Move on dong, Aku tulus cinta ama kamu, suka ama kamu beneran."

"Aku ngerti koq Zain. Tapi kamu tahu sendirikan kisah kami berdua? Aku masih yakin ada setitik harapanku pada dirinya."

"Dia bakal punya cewek lagi Nik, kamu akan tetap nunggu dia?"

"Aku aka tetap nunggu."

Zain menghela nafasnya. "Sungguh, aku cemburu ama Rian. Beruntung sekali kalau dia dapetin kamu. Kamu orangnya setia dan nggak berubah penilaianmu ama dia. Oke, aku bisa terima."

"Maaf ya, aku tak bermaksud menyakitimu," kataku.

"Aku ngerti. Lanjut belanja nggak nih?"

"Pulang aja yuk!?"

Zain pun nganter aku pulang lagi. Makasih ya Zain. Aku harap kamu ngerti. Ini bukan persoalan aku harus move on atau nggak. Karena ini adalah persoalan hatiku. Dan aku sudah janji kepada diriku sendiri untuk hanya satu cowok yang mengisi hatiku. Dia cuma Rian. Biar dikata ia sekarang pacaran ama cewek lain kek. Aku nggak peduli. Rian tetap satu-satunya dan akan begitu seterusnya.


BAB XVII

Liburan itu Nyemek-nyemek (agak basah)




Sesuatu yang basah itu ada kuahnya
Sesuatu yang kering jelas nggak ada airnya.
Kalau yang agak nyemek-nyemek itu serasa basah, agak basah, becek


#Pov Rian

Liburan semester. Tadaaa. Aku bisa habiskan liburan semesterku bersama Anik, eh koq Anik lagi? Sama Rahma. Rahma kali ini bukan Anik. Ingat itu. Seperti biasa. Aku pulang pake kereta. Apalagi liburan semester ini Rahma nggak ngambil semester pendek. Capek katanya. Ingin liburan juga.

Singkat cerita nyampe Kediri dan aku nganter dia sampai ke rumah. Kemudian sungkem ama bapak dan ibu. Mas Yogi nggak ada di rumah. Diakan udah punya kontrakan sendiri. Yah, moga aja Si Ular berbisa itu nggak ganggu lagi. Aku selama ini di kampus nggak pernah ngajak jalan Rahma.

Mungkin karena kita satu kampus trus kalau janjian ketemuan ya di kampus. Di perpus, di kantin, di kelas. Toh juga hampir tiap hari ketemu di kampus. Tapi liburan semester ini adalah momen yang tepat untuk aku biar bisa lebih dekat ama Rahma. Aku BBM dia dulu


Me: ping!
Jalan yuk! Mumpung liburan

Rahma: Ngajak kencan ceritanya?

Me: Sibuk?

Rahma: Nggak sih.

Me: Yuk, udah lama nggak keliling kota Kediri.

Rahma: Oke deh, jemput!
YES! Aku segera dandan dong, mau ketemu pujaan hati masa' tampang kisut? Setelah selesai aku langsung melompat menuju ke garasi ngambil motor matic. Aku starter motorku.

"Lho? Mau pergi, Yan?" tanya ibu.

"Nggih bu," jawabku.

"Ohh...mau kencan ya?"

"Waduh, ibu koq tahu?"

"Lha parfumnya wangi. Sepuluh meter bisa kecium."

"Iya tah?" aku mencium bauku sendiri.

"Yowis, ati-ati. Tapi ojo kebablasan lho ya. Ibu nggak mau tiba-tiba Bu Ika datang kemari laporan anaknya dihamili ama kamu."

"Nggaklah bu. Kula pamit rumiyin (aku pergi dulu)"

Aku memakai helm dan mengambil sebuah helm yang nggak dipakai. Kemudian kutarik gasnya. Nggak berapa lama kemudian aku sudah ada di depan rumahnya. Rahma udah siap. Ia pakai kerudung hitam, atasan warna putih, pake rompi warna biru, dengan rok panjang warna abu-abu. Tahu nggak bedanya Anik ama Rahma. Anik, kadang pake celana. Rahma nggak. Ia pasti pake rok. Aku nggak pernah lihat dia pake celana. Rahma membetulkan kacamatanya.

Ia langsung menemuiku yang masih ada di atas sadel. "Wuihh...necisnya, wangi banget."

"Iya dong, buat kekasihnya masa' nggak boleh wangi?"

"Huu...uda mulai gombal."

Aku nyerahin helm kepadanya. Ia menerimanya dan langsung memakainya.

"Mau kemana emang?"

"Terserah deh, mau kemana?"

"Ke Selomangleng?"

"Jangan Ma, yang lain."

"Lho, kenapa?"

"Udah deh, kalau ke sana aku bisa ingat ama Anik lagi."

"Oh...iya deh, aku ngerti. Ke Taman Sekartaji aja kalau gitu. Gimana?"

"Naah, boleh tuh. Oke, tancaaaapp!"

Kami pun melaju di atas jalanan kota Tahu. Nggak ramai. Iyalah kotanya kecil. Nggak seperti Surabaya, nggak seperti Bandung, nggak seperti Jakarta. Mau makan di warung aja harganya sangat terjangkau. Kalau biasanya nasi pecel plus teh anget di Surabaya habis 10.000 paling murah. Di sini ada yang cuma habis 5.000. Setengahnya dan rasanya nggak kalah enaknya.

Selama perjalanan, Rahma ngamplok aku seperti cicak. Walaupun duduknya miring. Tangannya dilingkarkan ke perutku. Sensasinya beda tentu saja. Kalau dengan Anik aku bisa merasakan dua bukit kembarnya, kalau Rahma nggak. Dibonceng pun ia masih jaga jarak. Wah, lain ini. Nggak berapa lama kemudian setelah naik di Jembatan Lama. Kami pun sampai di Taman Sekartaji.

Taman ini ada di depan sebuah Air mancur di Bundaran Jalan Mojoroto. Tamannya ada beberapa pohon rindang dan kalau Malam Minggu rame banget tempat ini penuh muda-mudi. Berhubung ini masih sore, jadinya sepi. Setelah sampai aku parkir kendaraanku di tempat parkir dan mulai jalan-jalan untuk mencari bangku. Kami lalu duduk di sana.

Seperti Anik. Rahma nggak banyak bicara. Kami hanya menggunakan bahasa tubuh. Tangan kami bergandengan erat dan dia menyandarkan kepalanya ke pundaku. Setelah sepuluh menit diam, barulah Rahma bicara.

"Rian?" katanya.

"Ya?"

"Kamu serius nggak ama aku?"

"Maksudnya?"

"Pernah nggak kamu mikirin kalau hubungan ini lebih jauh lagi?"

"Maksudnya apa Ma? Kamu kepengen aku nikahin kamu?"

Rahma mengangguk. Jujur, aku nggak pernah mikir sampai ke situ.

"Aku belum pernah mikir sampai ke situ, Ma."

"Aku jujur belum pernah pacaran seperti ini, Yan. Aku juga sebenarnya nggak mau pacaran. Tapi....entah kenapa ama kamu aku mau. Mungkin emang kamu sudah jadi sahabat aku sejak lama. Sudah jadi orang yang spesial. Makanya aku jadi mau gitu aja."

"Kamu nyesel pacaran ama aku?"

"Bukan begitu. Aku malah senang. Aku gembira. Orang yang aku sukai sejak dulu bisa jadi kekasihku. Dan aku nggak mau kita cuma berhenti sampai di sini aja. Ada alasannya Yan aku bilang begini. Pertama aku ingin meyakinkan diriku bahwa kamu memang benar-benar menyukaiku, Kedua, aku tak ingin kamu lepas dariku. Makanya aku ngasih kamu komitmen. Dan aku ingin lebih dari sekedar komitmen."

Cinta itu bukan sayur asem. Yang bisa dicicip-cicip seenaknya. Ingat itu! Aku meyakinkan diriku. Apakah Rahma adalah wanita yang tepat? Apakah ia wanita yang tepat? Kalau memang ia wanita yang tepat. Kenapa aku masih belum bisa menyentuhnya? Tidak. Menyentuhnya bukan berarti menandakan ia wanita yang tepat atau tidak. Justru, seorang wanita yang mau menjaga dirinya itulah wanita yang tepat. Dan ini ada pada Rahma. Iya, ini ada pada Rahma. Itulah kenapa ia bertanya demikian.

Rahma sudah menyukaiku sejak dulu. Berbeda dengan Anik. Ia baru menyukaiku saat aku bilang perasaanku. Berbeda dengan Rahma. Dia sama seperti aku. Menyukai seseorang sudah sejak lama. Dan selama itu juga dipendam rasa cintanya. Sama seperti aku ketika aku harus mencintai Anik. Kupendam perasaanku selama itu juga. Tapi aku malah dikecewakan oleh dia. Aku bisa merasakan perasaan Rahma. Sekarang ketika orang yang disukainya bilang kalau ia suka ama dia. Maka jelas sekali, jelas sekali ia tak ingin aku pergi. Ia tak ingin hubungan ini seperti hubunganku dengan Anik. Ia ingin benar-benar mengunciku tepat di hatinya.

"Ma, aku barusan berpikir."

"Nggak usah diomongin deh, kamukan biasanya O'on."

"Waduh? Ngeledek," aku cubit pinggangnya.

"Aduh! Rian, dasar iihhh!" aku balas dicubit lenganku.

"Adudududuh."

Rahma tersenyum kepadaku, "Kamu mau ngomong apa, Yan?"

"Setelah dipikir-pikir....aku ingin serius ama kamu."

Rahma tampak sumringah. "Beneran?"

"Iya. Lagian... kalau aku nggak serius, aku akan mengecewakan hati orang yang selama ini suka kepadaku."

"Oh Riaan...," Rahma memelukku.

Setelah itu lagi, kami membisu. Orang yang lalu lalang di taman udah sepi.

"Boleh aku cium kamu, Ma?" tanyaku.

Ia menoleh kepadaku. Kami saling menatap. Rahma menatapku dengan pandangan sayu. Dia seolah sudah mengijinkan aku untuk mengecupnya. Beneran nih? Wajahku pun mendekat. Sedikit demi sedikit. Aku sudah pernah mencium cewek, jadinya mencium Rahma nggak ada kesulitan tentunya, hanya saja ada sebuah perasaan. Perasaan yang kuat. Dadaku sesak, jantungku sekarang berdebar, dan aku seolah-olah tak bisa mendengar apapun, tak bisa melihat apapun kecuali Rahma. Ya, kecuali dia. Ini seperti yang digambarkan oleh ibuku. Orang yang benar-benar sedang jatuh cinta, ketemu ama cinta sejatinya.

Pelan tapi pasti waktu serasa lambaaaaaaaaat sekali. Bahkan rasanya sedetik itu seperti satu menit yang panjang. Aku memiringkan wajahku, kemudian bibirku sudah menempel di bibirnya. Clesssssssss......hatiku seperti tersiram es. Aku kecup bibir Rahma. Manis, Nafas kami bertemu, Aku pun memagutnya, beberapa kali. Setelah itu sudah. Aku menarik nafas panjang, Ciuman yang sebentar, tapi rasanya lamaaaa sekali. Rahma juga mengambil nafas panjang. Seolah-olah ia tadi menahan nafasnya.

"Rian....," bisiknya.

"Ya?"

"Makasih ya, ini baru pertama kalinya aku dicium cowok. Aku tak akan melupakan momen ini. This is my first kiss. Aku tak tahu apakah kamu pernah ciuman ama cewek lain atau tidak sebelum ini, tapi....terus terang ciumanmu tadi dahsyat."

Aku tersenyum.

"Pulang yuk!?" ajaknya.

#Pov Rahma#

Oh, my Goooddd.....Riaan...kamu menciumku. Aduh...kalau saja aku saat itu jadi es krim, aku sudah lumer. Ciumannya dahsyat. Oh tidaak. Aku makin erat merangkul Rian saat diantar pulang. Duuuuhh....rasanya selangiiiitttt.

Tak lama kemudian aku sudah sampai di depan rumah.

"Makasih ya, Rian?" kataku.

"Iya, sama-sama," jawabnya.

Aku melihat ponselku ada SMS masuk. Aku langsung baca:

"Rahma, ibu pergi dulu nganter pesenan. Kalau sudah pulang dari acara kencannya kuncinya ibu taruh di bawah keset. Awas lho! Jangan kebablasan!"

"Wah, ibu nggak ada di rumah," gumamku. "Masuk dulu yuk!"

"Nggak apa-apa nih?" tanya Rian.

"Ayo dong! Temenin sebentar!" kataku. Padahal aku kepengen dicium lagi. Duh...malu aku.

Rian memasukkan sepeda motornya ke dalam halaman rumah. Aku kemudian mengambil kunci yang ada di bawah keset. Ibu sekarang kan kerjanya menjahit, nggak menikah lagi. Beliau udah banyak juga pegawainya, pesenannya juga banyak. Dengan itu aja bisa mengkuliahkan aku dan Anik. Aku cukup salut ama beliau.

Rumah terbuka dan aku masuk. Rian juga ikut.

"Mau minum apa?" tanyaku.

"Terserah deh," jawabnya.

Aku segera ke dapur ngambil sekotak jus dan dua gelas. Lalu kuantarkan kotak just itu ke meja. Rian segera menuangkan jus itu ke gelas. Aku duduk di sebelahnya. Rian minum satu gelas itu langsung. Kehausan sepertinya dia.

"Ahh...segerrr," katanya.

"Syukurlah," kataku.

"Makasih ya," katanya.

"Rian."

"Hmm?"

"Cium lagi dong!"

"Nah lho? Ketagihan ceritanya?"

"Kan udah aku bilang ciumanmu dahsyat. Kepengen dicium terus."

Rian tampaknya mengerti akan kebutuhanku ini. Tangannya langsung melingkar ke punggungku. Dan cup ah.....kami berciuman. Kini aku memejamkan mataku. Menikmati sensasi bertemunya dua bibir kami. Hingga ia mulai bermain dengan lidahnya membasahi dan menggelitik bibirku. Aku beranikan diri menyentuh lidahnya. Lidah kami bertemu. ZRRRTTTT! seperti ada yang nyetrum. Tapi enak. Eh...tunggu, ZRRTT! itu bukan nyetrum, iya sih itu nyetrum. Tapi...di vaginaku, ada yang keluar sepertinya. Tiap kali lidahku bertemu dengan lidahnya, pasti nyetrum.

Kini Rian lebih berani, ia menyatukan lidahku dan lidahnya. Ia menghisap isi mulutku. Ohhh...nikmatnya. Inikah yang namanya French Kiss itu? Manis banget. Iya sih dia barusan minum jus. Aku mengelamuti lidahnya. Kuhisap lidahnya Rian. Gantian. Dia juga. Entah berapa lama kami ciuman sampai basah. Setelah itu kami memisahkan kedua bibir kami. Saling berpandangan. Nafas kami memburu.

"Itu tadi...luar biasa," kata Rian.

"Iya, sama," kataku.

Aku kemudian mengusap pipi Rian. Tangan Rian memegang tanganku. Tanganku diciumnya. Ohh...rasanya, aku ingin melayang. Rian mendorongku perlahan untuk rebahan di sofa. Eh, dia mau apa?

"Rian...kamu mau apa?" tanyaku.

Ia tak bicara. Setelah rebahan dia berbaring di sebelahku.

"Rian, jangan yah. Nanti kebablasan," kataku.

"Nggak koq, aku nggak ngapa-ngapain kamu."

Aku percaya ama Rian. Aku percaya ama dia.

"Aku boleh pegang dadamu?" tanyanya.

"Hah?" aku sedikit terkejut. Rian koq gitu sih? Aduh...gimana ini....aku bingung. Aku nggak pernah memperlihatkan bagian itu ke cowok manapun.

"Kalau kamu keberatan nggak apa-apa koq," katanya.

Aku mengangguk. Aku mengangguk? Kenapa? Apakah aku nyaman dengan dirinya? Apakah karena aku sudah percaya penuh ama Rian? Dia mulai menyentuh gundukanku. Ahh....aneh rasanya, nyaman, enak. Dia pun memijatnya. Dan...sesuatu di bawah sana aku bisa rasakan mulai mengeras.

"Itu mu keras," bisikku.

"Biarin, aku kan orang normal. Kaya' gini nggak horni namanya ya nggak normal," candanya. Aku tersenyum sambil kucubit hidungnya.

"Rian, peluk aku dong!" kataku.

Dia pun memelukku, kami berciuman lagi. Berbaring di atas sofa panjang. Berperlukan dan berciuman. Barangnya Rian benar-benar menempel di sekitar perutku sekarang. Keras, perkasa. Aku jadi ingat film JAV yang dulu aku tonton. Apakah punya Rian seperti itu juga? Gedhe. Keras. Heran aku, benda seperti itu bisa masuk ke tempat milik wanita yang kecil. Aku nyaman sekali dipeluknya. Ia memelukku dengan penuh perasaan. Aku sudah becek. Kemaluanku udah keluar cairan, entah berapa banyak. Yang jelas aku rasanya becek banget.

Adzan maghrib langsung membuyarkan percumbuan panas kita. Rian bangun. Aku juga. Kerudungku udah awut-awutan. Bajuku juga.

"AKu harus pulang, Ma," katanya.

"Iya," jawabku.

"Makasih ya," katanya. Ia menciumku lagi sambil mengusap pipiku. Aku pun menciumnya lagi.

"Sama-sama Yan," kataku.

Dia kemudian pamit. Setelah Rian pulang aku langsung lemes. Aduhh...nikmat sekali tadi. Aku lalu menaikkan rokku dan melihat celana dalamku. Iya bener, becek sampai basah. Aku segera masuk ke kamarku buat ganti celana alam sekalian mandi.

#Pov Anik#

Kenapa dadaku sakit ya? Bukan. Ini bukan asmaku. Aku semula mengira ini asma, tapi aku sudah menghirup obat asmaku. Koq masih ada? Aku hiraukan ini. Liburan semester ini aku belajar banyak tentang ilmu jurnalistik dengan mendatangi salah satu kantor stasiun tv swasta. Aku belajar banyak cara broadcasting, cara membagi siaran dengan iklan. Banyak deh. Aku jadi makin kepengen jadi reporter.

Tapi tetap saja dadaku ada yang sakit. Hingga akhirnya, rasa sakit itu hilang ketika aku bersuara dalam hatiku, "Rian". DEG! Entah kenapa sakit itu lenyap. Aku pun menyebut namanya lagi dalam hati, "Rian, Rian, Rian, Rian"

Makin lama rasa sakit itu makin hilang. Apa yang terjadi ama Rian? Moga sekarang ia sudah dapat ganti diriku. Aku turut senang kalau dia sudah dapat ganti. Tapi tetap, cintaku tak akan berubah kepadanya. Aku masih banyak berharap, walaupun kemungkinannya kecil.


BAB XVIII

Ke Sarang Ular



Ular itu sebenarnya makhluk yang lemah
Karena lemah dia memakai bisa untuk melindungi diri
semakin bisanya mematikan semakin ular itu sejatinya lemah

#Pov Rian#

Aku cari sepatu baru. Rahma ikut. Jalan Doho kota Kediri merupakan sebuah jalan yang sepanjang deretan jalan ini adalah kawasan pertokoan. Pernah lihat Malioboro di Jogjakarta. Mungkin seperti itu. Tapi Jalan Doho ini nggak seperti Malioboro yang penuh dengan cita rasa seninya. Di Jalan Doho yang ada adalah pertokoannya saja. Dan yang paling menyenangkan adalah jalan-jalannya. Koq menyenangkan. Hmm....pertama karena barang-barangnya nggak terlalu mahal. Kedua, karena di pinggir jalan sini ada kuliner pecel yang rasanya nggak kalah enak dengan yang ada di restoran.

Mumpung masih liburan aku dan Rahma jalan-jalan di sini. Sepatuku udah usah. Aku ingin beli yang baru. Beli di Surabaya. Mahal bingiits. Sebenarnya ada yang murah cari sepatu yaitu di perempatan lampu merah jalan Kilisuci mau ke arah Jalan Kaliombo. Di sini ada yang jual sepatu obral. Tapi sayangnya sekalipun murah aku lebih senang ke sini nyari sandal daripada sepatu. Karena modelnya nggak aku suka.

"Rian, tuh belok situ!" Rahma nunjuk ke sebuah toko sepatu.

Aku langsung meminggirkan sepeda motorku dan memarkirnya. Setelah aku amankan sepeda motorku, aku masuk ke dalam toko sepatu itu. Waahh...banyak modelnya.

"Jadi pengen sepatu baru," gumam Rahma.

"Kamu mau?" tanyaku.

"Nggak ah, uangmu mana cukup?"

"Kalau kamu mau aku akan belikan buatmu, biar aku pake sepatu lamaku aja."

"Nggak ah, kamu aja yang beli. Kan aku cuma nemenin kamu."

"Baiklah, beib."

Aku pun milih-milih sepatu, keren-keren modelnya. Setelah hampir setengah jam muterin toko ini, akhirnya aku pun tertarik ama sebuah sepatu. Lalu sama mbak-mbak SPG-nya minta bungkus ini. Lagian harganya juga dapet diskon 40%. Lumayan kan. Rahma ikut andil bagian. Dia milihin sepatu buatku. Yah, sampe dikomentarin segala, "Kamu nggak cocok pake sepatu ini, kakimukan lebar" atau gini "Kamu cocok ini Yan, cuma kaya'nya mahal deh". Baru pacaran aja udah kaya' suami istri milih-milihin apa yang harus dibeli. Tapi begitulah Rahma, selalu tahu apa yang cocok bagiku. Dia tahu sifat-sifatku sejak dulu, dan setelah kami pacaran ia lebih makin tahu sifatku.

Puas beli sepatu kami mau beranjak pulang. Tapi Rahma kepengen jalan-jalan dulu di sepanjang Jalan Dhoho. Aku pun mengiyakannya. Banyak yang berubah ketika aku pergi dari kota kelahiran kami ini. Mall makin banyak. Ruko makin banyak. Lahan kosong makin menipis. Pabrik Rokok Gudang Garam juga sedikit berubah. Setelah dibeli ama American Tobacco, pabrik ini mengalami banyak perubahan terutama ketika direksinya diganti dengan yang lebih muda. Permasalahannya sebenarnya juga bertambah ketika peraturan pemerintah yang membatasi tentang produksi rokok ini, sehingga pabrik ini yang dulunya besar, sedikit-demi-sedikit mulai menjual asetnya. Walaupun masih besar, tapi sudah menjadi rahasia umum bahwa nafas pabrik rokok ini mulai terbatuk-batuk.

Saat aku asyik berjalan bergandengan tangan, tiba-tiba aku disenggol Rahma.

"Eh, Yan. Itu kaya'nya istrinya Mas Yogi deh," kata Rahma.

"Mana?" tanyaku.

"Ituuuuu...ya ampun beneran Yan!" Rahma menunjuk ke sebuah mobil Honda Accord mewah yang terpakir di depan Hotel Surya. Hotel besar yang ada di Jalan Dhoho ini dan satu-satunya. Aku memicingkan mata. Walaupun malam hari tapi lampu-lampu di sekitar hotel sangat terang sehingga aku bisa lihat Salsa keluar dari mobil itu. Dia pakai kerudung warna pink, jeans ketat dan baju warna pink juga serta syal yang dibelitkan di kerudungnya yang juga ikut dibelitkan di lehernya.

"Eh, iya. Kamu bener," kataku. "Koq kamu awas banget?"

"Iyalah. Aku ingat ama orang yang pernah aku lihat. Tuh lihat! Dia jalan ama siapa itu?" kata Rahma.

Salsa tampak gadengan tangan ama seorang Om-om. Aku jadi begidik melihatnya. Dia ngamplok Om-om itu. Pria itu badannya gedhe, tapi perutnya buncit. Dia meluk Salsa kemudian masuk ke lobi hotel.

"Ma, ikutin yuk. Aku jadi penasaran. Ngapain Mbak Salsa di sini," kataku.

"Wah, Yan. Kalau cewek bukan mahromnya, masuk ke sini sambil peluk-peluk gitu ngapain coba?"

"Check-in?"

"Nah, tumben kamu nggak O'on."

"Yah, semakin dekat ama kamu O'onku kan berkurang."

"Hihihihi. Iya deh, iya. Yuk, ikutin!" heran aku koq Rahma yang semangat.

Akhirnya ini menjadi pengalaman pertamaku mengikuti orang. Mbak Salsa sama sekali nggak nengok kemana-mana. Ia konsentrasi ke pria itu. Setelah ngobrol sama resepsionis mereka berdua kemudian melenggang masuk ke dalam lift. Aku yang masih menggotong sepatu yang tadi barusan aku beli agaknya terlalu ribet. Langsung deh aku ke meja resepsionis.

"Ma, kamu awasin lantai berapa liftnya berhenti ya!" perintahku.

Rahma mengangguk.

Aku kemudian ke meja resepsionis dan menyapa petugasnya.

"Selamat malam ada yang bisa saya bantu pak?" tanyanya.

"Mbak, mau nitip sepatu saya dulu ya. Saya mau ketemu ama temen saya di atas," kataku.

"Oh..iya pak, silakan!" kata mbak-mbak resepsionis sambil menerima bungkusan sepatuku. Aku lalu segera beringsut menuju ke Rahma yang mengawasi lift.

"Lantai berapa?" tanyaku.

"Lantai tiga," jawabnya.

"Yuk, ke lantai tiga," kataku.

"Naik lift?"

"Pake tangga aja, biar cepet. Kan kita sering olahraga," kataku sambil menggandengnya. Kami segera menuju ke anak tangga yang ada di sebelah kanan lift.

Seperti dikejar setan kami berdua naik tangga dengan cepat. Rahma tak kalah gesit dari aku rupanya. Dan kurang dari semenit kami sudah ada di lantai tiga dengan sedikit ngos-ngosan. Dan kami masih melihat Mbak Salsa berjalan lambat ama Om-om tadi. Kali ini pemandangannya menjijikan. Mereka berdua berciuman di depan pintu kamar. What the fuck? Aku dan Rahma bersembunyi di balik tembok sambil tetap mengawasi mereka.

"Yan, koq mereka ciuman ya? Mbak Salsa selingkuh?" tanya Rahma.

Aku mengangkat bahu.

"Trus gimana dong? Kamu nggak menghubungi Mas Yogi? Istrinya selingkuh gitu lho," bisik Rahma.

"Bentar, tunggu sampai mereka ada di dalam kamar," kataku.

Kami menunggu. Dan si Om-om itu akhirnya membuka pintu kamar. Sambil masih berciuman mereka pun masuk. Aku menarik nafas panjang. Kemudian berjalan sampai berada di depan pintu kamar itu. Kamar 314. Ada tag tulisan "Do Not Distrub" di gagang pintunya.Uedan. Si Ular ada di dalam sarangnya nih. Kesempatan pikirku. Aku ngambil ponselku. Aku tak pernah menghubungi Mas Yogi selama ini. Akhirnya inilah untuk pertama kalinya aku menelpon dia.

Mas Yogi mengangkat teleponnya. "Halo?"

"Mas Yogi, Iki aku Rian," kataku.

"Ono opo nyuk?"

"Mas, aku bisa minta tolong?"

"Minta tolong apa? Koq wani kowe nelpon aku? Aku wis muak ndelok raimu, nyuk! (Koq berani kamu nelpon aku? Aku udah muak lihat wajahmu, nyet)"

"Bentar dululah mas. Kita kesampingkan dulu dendamnya ini darurat. Beneran. Aku sama Rahma ini."

"Rahma? Mbaknya si Anik?"

"Iya."

"Di mana?"

"Di hotel Surya."

"Lha, lapo awakmu karo Rahma nang hotel? Kenthu kowe?(Lha, kenapa kamu ama Rahma di hotel? ngentot kalian?)"

"Ora mas ora. Masiho aku pacaran karo Rahma, tapi aku ora sampe adoh koyo iku.(Nggak mas, nggak. Meskipun aku pacaran ama Rahma, tapi aku nggak sampe sejauh itu.)"

"Halah, bojoku dewe wae kon kenthu koq. Lapo njaluk tulung? Koq jik eling karo masmu? Matio kono dewe!(Halah, istriku sendiri kamu entot koq. Kenapa minta tolong? Koq masih ingat sama masmu? Mati aja sendiri!)"

"Mas sik talah. Rungokno dhisik. Ini beneran emergency. Sampeyan ke sini. Ke Kamar 314. Pokoke ke sini. Nek sampe aku macem-macem, patenono pisan aku nang kene mas. Suwer! (Mas, sebentar dulu. Dengerin dulu. Ini beneran emergency. Kamu ke sini. Ke kamar 314. Pokoknya ke sini. Kalau sampai aku macem-macem bunuh aja aku sekalian di sini. Suwer!)"

Mas Yogi nggak bersuara.

"Ayo mas! Beneran iki. Mreneo. Aku njaluk tulung."

"Njaluk tulung opo? (Minta tolong apa)"

"Sampeyan mreneo dhisitlah aku nggak iso ngomong nek sampeyan ora mrene (Kamu ke sini dululah, aku nggak bisa ngomong kalau kamu nggak ke sini)"

Mungkin karena penasaran akhirnya Mas Yogi bilang, "Yo wis, tunggu sepuluh menit maneh aku teko."

Aku menutup teleponku.

"Gimana?" tanya Rahma.

"Sebentar lagi masku akan datang. Kita tunggu aja," jawabku.

"Waduh Rian, aku jadi nggak enak. Kita mergoki orang selingkuh kaya' gini."

"Biarin. Mbak Salsa itu orangnya udah nggak bener. Kamu udah bener tadi awas banget bisa tahu Mbak Salsa."

"Iya, tapi kan...."

"Udahlah, orangnya emang pantas dikasih pelajaran."

Sayup-sayup aku mendengar sesuatu. Aku dekatkan telingaku ke pintunya.

"Ahhh...ohhh...hhmmm....enak om. Terusin donnggg!" terdengar suara Mbak Salsa. Uedaaaann...uwonge lagi kentu. Bisa jadi tangkapan besar malam ini.

Rahma ikut-ikutan menguping. Aku heran aja ama tingkah Rahma yang ikut menguping.

"Wuih, kaya'nya seru mereka," bisiknya.

"Udah ah, kita tunggu saja," aku geret Rahma menjauh dari pintu.

Kami hanya berdiri di lorong panjang. Kadang juga bersandar di tembok, kadang juga jalan-jalan, muter-muter nggak jelas. Lama banget sih Mas Yogi. Udah lewat sepuluh menit ini. Akhirnya lima belas menit kemudian Mas Yogi datang. Ia pakai kaos Persik Kediri. Begitu melihatku dan Rahma yang sedang berdiri di lorong ia sedikit heran.

"Ada apa manggil aku ke sini?" tanyanya. Ia agak memelankan suaranya ketika melihat Rahma.

"Sebentar mas, Mas jangan emosi dulu," kataku.

"Ono opo seh? (Ada apa sih)"

Aku kemdian berdiri dan menunjuk ke kamar 314. "Di dalam sini ada Mbak Salsa. Aku mau buktikan kepada mas kalau aku selama ini nggak pernah bohong dan berusaha membela Mas Yogi. Dari dulu aku sudah bilang Mbak Salsa itu wanita yang nggak baik Mas Yogi nggak pernah dengar nasehatku."

"Awakmu ora usah memfitnah uwong, pengen tak hajar maneh? (Kamu jangan fitnah orang, mau tak hajar lagi?)" Mas Yogi mencengkram kerah bajuku.

Tiba-tiba tangan Rahma memegang tangan Mas Yogi. Entah kenapa Mas Yogi lalu perlahan-lahan melepasan cengkramannya.

"Mas, saya tahu perasaannya mas. Tapi jangan pakai kekerasan dulu. Aku yang pertama tahu kalau itu Mbak Salsa, bukan Rian. Kalau Mas Yogi nggak percaya ama Rian, trus kepada siapa lagi? Selama ini Rian baik. Dia sayang sama Mas. Dan nggak mau keluarga mas berantakan."

Mas Yogi menarik nafas dalam-dalam.

"OK, kalau kamu cuma ngerjain aku, aku bakal gorok lehermu di sini," ancam Mas Yogi.

Aku tak takut. Aku benar koq. Aku nggak bohong. Mas Yogi menempelkan telinganya di pintu. Ia mengerutkan dahinya, sampai-sampai alisnya hampir saja menyatu.

"J*nc*k!" umpatnya. Ia dengan kaki kanannya langsung menendang pintu itu hingga gagangnya lepas. BRAK!

Aku melihat pemandangan yang boleh dibilang salting. Om-om itu tampak sedang ngocok batangnya di depan wajah Mbak Salsa. Dan mereka berdua bugil. Ketika pintu didobrak sampai rusak Mbak Salsa seperti wajah seorang pemeran film bokep yang dipause. Melongo, mulut menganga dan dari penis si Om-om itu keluar sperma, muncrat membasahi wajahnya. Tapi mereka berdua mematung. Kaget, bingung.

"OOoo...jadi bener kata Rian, awakmu iki emang LONTE!" kata Mas Yogi masuk ke kamar dengan entengnya.

"Mas Yogi???" Salsa buru-buru mendorong Om-om tadi.

"Lho, lho, siapa kamu?" tanya Si Om-om.

"Saya suaminya, j*nc*k!" Mas Yogi marah. Bogem mentah langsung melayang ke arah Om-om itu. Pria paruh baya itu berguling karena pukulannya. Nggak tahu rasanya pasti sakit. Aku penah dipukul koq ama Mas Yogi, tahulah rasanya kaya' apa.

Mbak Salsa yang nggak pakai apa-apa itu langsung berusaha meraih Mas Yogi yang ngamuk.

"Mas...mas...Mas Yogi, maafin aku mas! Maafin aku!" katanya.

Mas Yogi mendorong istrinya itu hingga kembali ke kasur.

"Mas! Mas maafin aku!" ibanya.

Aku masih berdiri di luar pintu. Dan Rahma langsung memelukku nggak mau melihat apa yang terjadi di dalam ana. Salsa melihatku, ia terkejut.

"Gara-gara lonte kaya' kamu hubunganku sama adikku renggang, ya gara-gara lonte kaya' kamu ini aku sampe mukul adikku. Jadi yang dikatakan oleh adikku selama ini benar. Aku selalu muji kamu Sa, aku selalu bangga-banggain kamu di hadapan orang tuaku, adikku, bahkan di hadapan anak-anak kita. Tapi ini balasanmu? Brengsek bener kamu. Hari ini selesai. Nikmati saja itu kontol-kontol langgananmu. Jiamput!"

"Mas, mas Yogi, maafin aku maass!" Salsa menjerit.

"Ayo Rian, pergi!" ajak Mas Yogi mempercepat langkahnya. Aku ikut di belakangnya.

Salsa mengambil selimut dan menutupi tubuhnya, ia tak sadar kalau wajahnya masih belepotan sperma. Ia berlari melewatiku dan langsung bersujud di bawah kaki Mas Yogi.

"Mas, tolong mas maafin aku. Tolong! Aku masih sayang ama anak-anak mas, maafin aku!" mbak Salsa kembali mengiba.

"Kita cerai hari ini. Mulai detik ini aku ceraikan kamu. Masih banyak wanita-wanita yang baik buat aku," Mas Yogi menghindar dari Salsa. Ia berlari menuruni tangga.

Aku melewati Salsa yang menggelepar di lantai. Ia menangis. "Mas Yogiii...aahhhhhhhhhhhhh....maafin aku maaasss."

Aku hanya menghela nafas panjang. Sambil merangkul Rahma aku meninggalkannya seorang diri.

"Rian, kamu brengsek! Aku bersumpah, aku akan ngancurin hidup kamu. Aku akan balas kamu! Aku akan balaaaasss!" ancam Mbak Salsa. Aku tak takut. Yang penting Mas Yogi sekarang sudah melihat keburukanmu. Dan dia percaya kepadaku sekarang.



BAB XIX

Berusaha untuk Masa Depan




Aku adalah pejuang cinta
Berusaha untuk meraih harapan kan cinta
Berusaha mendapatkan bidadari impian

Hubunganku dengan Rahma kian hot. Bahkan saking hotnya setelah liburan itu dan kita kembali ke kampus aku makin berpikir untuk masa depan. Cari kerja sambil kuliah. Keinginanku cari kerja didukung oleh ibuku. Bahkan bapak membantu aku untuk dikenalkan ke temannya yang mempunyai sebuah percetakan besar di Surabaya. Dan, akhirnya aku kerja sambilan di sana.

Dengan bekerja sambilan aku punya uang saku tambahan. Dan dengan bekerja sambilan pula akhirnya aku bawa sepeda motor ke Surabaya. Hal ini semata-mata untuk menghemat pengeluaranku. Dan juga mempercepat mobilitasku. Rahma? Sangat senang dong pergi ama aku pulang pergi Kediri Surabaya ngamplok di motor kaya' cicak hehehe. Dan sekali lagi aku bisa merasakan empuknya payudaranya yang menempel di punggungku.

Sekarang Rahma nggak malu-malu lagi. Selama dua minggu liburan kami benar-benar melepaskan rasa kangen kami. Berciuman dan grepe-grepe. Intinya kita petting. Sebenarnya bisa aja sih aku minta dia untuk oral otongku, tapi aku tak mau memaksanya. Walaupun sebenarnya tinggal aku suruh dia mau aja. Tapi yang membuatku takjub adalah kejadian yang sama seperti apa yang aku dan Anik lakukan. Tapi bedanya adalah kini aku nggak kentang. Ceritanya begini.

Malam itu Hari Jumat. Aku maen ke rumahnya. Ibu Ika sedang keluar. Jadi aku di rumah Rahma sendirian. Saat itu agak beda.

Aku duduk di sofa dan Rahma ada di pangkuanku. Rahma saat itu pakai kemeja warna putih lengan panjang. Baru kali ini dia pake celana legging dengan kerudung warna orange. Kakinya mekangkang. Kami berciuman panas sekali. Tiba-tiba ia menghentikannya.

"Yan, aku mau ngasih sesuatu buat kamu," katanya.

"Apaan?"

Rahma perlahan-lahan melepas kerudungnya. Aku menelan ludah. Aku baru kali ini lihat rambutnya. Lurus panjangnya sepungung dia menguncir rambutnya. Cantik sekali, dan sesuatu yang tidak aku duga adalah dia melepaskan kancing bajunya satu per satu. Aku bisa melihat payudaranya yang tertutup bra sekarang. Ia lepas kemejanya.

"Rahma, kamu??" aku tak percaya.

"Rian, kamu sudah janji bukan untuk serius. Maka ini adalah harga keseriusanku agar kamu semangat. Tolong dibuka dong!"

Aku menurut. Segera aku cari kaitan branya. Setelah dapat kulepas. Dan Rahma melepasan branya. Ia taruh bra itu di kursi. Aku melihatnya. Sungguh pemandangan yang indah. Dua buah bukit kembar, sekal, montok. Iya lebih besar daripada yang aku bayangkan. Ternyata remasanku kemarin itu menipuku. Bentuknya lebih besar. Seolah-olah branya itu menipuku. Aku melihat dada berukuran 34c dengan putingnya berwarna pink kecoklatan terpampang dan tampak mengeras. Aku melotot.

"Rian, aku malu," katanya. Ia menutupi buah dadanya.

"Kenapa malu?"

"Habisnya kamu ngelihatku seperti itu," katanya manja.

Aku tersenyum dan mencium bibirnya. Kali ini legannya melingar di leherku.

"Rahma, punyamu sangat indah. Aku tak pernah menyaksikan bentuk sesempurna ini. Kamu yakin memberikan ini untukku?"

Ia mengangguk. "Yakin, tapi ini aja yah. Kalo yang di bawah, ntar kalau kita udah menikah."

Aku tersenyum. Dan, nggak perlu basa-basi. Karena ia masih aku pangku jadi jarak mulutku ama payudaranya sangat dekat. Aku ciumi teteknya, bagian atas, pangkalnya, lalu yang berada di dekat ketiak. Wangi sekali tubuh Rahma ini. Rahma menggelinjang setiap kali putingnya aku sentuh. Apalagi sampai aku jilat. Lalu aku kenyot.

"Ahh...Rian....nakal kamu!" keluhnya.

Aku sekarang menjadi bayi. Bayi yang kehausan. Kuhisap puting Rahma kiri kakan. Puas sekali aku.

"Riaaann...hhmmm...aku cinta kamu," bisiknya.

"Aku juga Ma," kataku.

Aku puas-puaskan diriku mencumi dadanya dan tanganku mulai beraksi. Kuremas-remas dadanya sambil kusedoti putingnya. Nikmat banget.

"Bentar Yan, aku ingin ngasih kami satu lagi," katanya.

Aku diam. Menunggu kejutannya. Ia turun dari pangkuanku. Lalu dibuka kancing celanaku, resletingku dibuka. Kemudian diloloskannya celanaku. Hah? Mau apa dia?

"Ya Ampuuunnn...Rian, ini punyamu?" Rahma tertegun dengan penisku.

"Kenapa?"

"Bentukya keras, tegang aku pegang ya?"

Ahhh....baru kali ini Rahma memegang penisku. Lalu dikocoknya. Matanya melihat ke arahku. Mata kami bertatapan. Ini, sesuatu yang luar biasa. Dikocok oleh wanita yang dicintai. Ahhh....nikmat banget. Dan kejutan tak sampai disitu. Rahma meludahi penisku. Aaahh...air liurnya membasahi batangku, malah tambah horni. Ia lalu mengocok sambil menggelitiki kepala penisku. tangannya diputar-putar di kepalanya pionnya membuatku lemas, bersandar dikursi.

"Ahh...Rahmaa...adddduuh...kamu belajar dari mana?" tanyaku.

"Dari bokepmu kemarin itu," jawabnya enteng.

"Gila, enak banget Ma," kataku.

Dan...langkah selanjutnya adalah Rahma memajukan badannya. Ini aku tak pernah menduga sebelumnya ia melakukan titfuck. OMG. OMG. OMG. Ini sih nggak cuman enak, uenaaaaaaakkkk banget. Rahma masih melihatku. Tapi buah dadanya sekarang menjepit batangku. Ia naik turunkan dadanya. Waduh, aku nggak tahan nih bisa-bisa. Tangannya yang lembut juga ikut menggelitiki batang pionku. Udah deh, ini sangat enak, terlalu enak. Ahhhhhhkkk....aku nggak tahan.

"Rahma, aku nggak tahan lagi," kataku.

"Iya Rian, keluarin aja!" katanya.

CROOOTTT CROOOTTT CROOOTTT! Tembakan spermaku berkali-kali muncrat, sebagian kena leher dan dagunya. Sebagian meleleh ke dadanya, ke perutku, sebagian mengotori daerah sebagian otongku, terutama rambut-rambutnya. Ini pengalaman baru bagi Rahma. Ia juga terkejut ketika punyaku keluar.

"Gileeeee, banyak bener," gumam Rahma.

Aku tersenyum. Puas rasanya melihat wajah polos Rahma di saat aku muncrat. Ia mengocok pelan batangku.

"Udah Ma, jangan dikocok lagi. Ngilu," kataku.

"Gimana tampangku?" tanya Rahma.

"Belepotan itu," kataku.

"Huu...enak?" tanyanya.

"Iya, Ma. Enak."

"Pengen nyoba blowjob, tapi ntar yah. Takut kebablasan. Aku bersihin dulu," kata Rahma. Ia mengambil tissue. Dilapnya bekas lahar panasku dengan telaten. Baik di batang, tangannya, perutku, leher dan dadanya. Setelah bersih ia melakukan sesuatu yang mengejutkan aku. Kepala pionku diciumnya. Cuupp..

"Aduh! Ma...," desahku.

"Rian, jangan pernah ini digunakan buat cewek lain. Ingat, kamu udah komitmen ama aku. Kalau sampai ini kamu gunain ama cewek lain. Aku potong!" ancamnya. Tapi sambil bilang gitu ia ngocokin punyaku. Waduuuhh...nggak deh, ampun Raham ampuuun.

"I...iya deh," kataku. "Aku janji."

Rahma tersenyum. Kami berciuman lagi kali ini toketnya nyentuh dadaku. Waaahhh....berjuta rasanya. Kenyal-kenyal gimana gitu.

Begitulah. Itu momen yang tak terlupakan. Aku dan Rahma benar-benar lengket seperti apa ya....seperti kertas ama lem. Dan karena aku bawa sepeda motor jugalah aku sering jalan-jalan kalau ada kesempatan ama Rahma. Kuliah, kerja, plus pacaran. Hingga tibalah saat yang kita tunggu ujian skripsinya Rahma. Bulan kemarin dia sudah lulus test untuk ijin kepraktekan sebagai dokter. Yah, punya cewek dokter juga ada enaknya, kalau sakit tahu harus bagaimana.

Aku ada di sidangnya waktu itu sebagai penonton. Memberi semangat kepadanya. Rahma emang luar biasa. Pintar, cerdas. Semua pertanyaan dosen penguji bisa ia jawab dengan sangat memuaskan. Ada yang menarik di dalam skripsinya. Sebagai kata pembukanya, ia memberikan tulisan:

"Ini kupersembakan untuk:

1. Tuhan YME yang selalu memberikan kebaikan kepadaku.
2. Kepada ayah yang selalu memanjakan aku.
3. Kepada seseorang yang akan mengisi hidupku dalam senang, susah, dan yang akan menjadi ayah dari anak-anakku."

Langsung deh seluruh ruangan menoleh ke arahku terutama yang udah tahu hubunganku ama Rahma. "Ciee...ciee....cieee....." gitu soraknya. Erik, Andi dan Totok kebetulan ikutan mereka langsung memukul-mukul bahuku. Aku ketawa saja melihat ulah mereka. Rahma tetep cool, aku tahu ia sangat malu saat itu.

Dan ketika sudah selesai sidangnya para dosen berdiskusi. Kami harap-harap cemas menunggu di luar. Moga aja Rahma dapat nilai yang baik. Aku berdo'a di luar ruangan. Kami yang terdiri dari temen-temenku yang udah kenal Rahma, juga temen-temen Rahma harap-harap cemas. Rahma di dalam juga belum keluar-keluar. Udah lima belas menit ini. Seperti nungguin orang bersalin aja. Begitu pintu terbuka kami melihat dosen penguji senyum-senyum sendiri. Kami melongo. Apaan nih?

Rahma keluar dengan derai air mata. Waduh....gimana hasilnya? Ia menghampiriku.

"Apa? Gimana?" tanyaku.

"Makasih ya Rian, selama ini udah dampingi aku. Hikss...," kata Rahma sambil nangis.

"Trus? Nilainya?" tanyaku.

"Dapat A. Sangat memuaskan," jawabnya.

Kami semua langsung bersorak. Wah, mirip ketika kesebelasan Persik Kediri menjebol gawang lawannya ini. Aku langsung meluk Rahma yang sedang terharu. Kami tertawa bersama. Hari itu, masa depan berubah. Rahma sudah menjadi sarjana sekarang. Bahkan dia juga sudah mengantongi surat ijin praktek. Apalagi punya cowok yang selalu mendampingi dia selama ini. Sempurna hidupnya.

Bulan Agustus, setelah Rahma wisuda. Aku, ibu, bapak dan Mas Yogi pergi ke rumahnya Rahma. Aku sudah bertekad bulat. Melamar Rahma. Rahma tentu saja kaget, tapi ia sangat senang bahwa aku benar-benar menjaga komitmenku. Aku benar-benar memilih dia untuk menjadi pendamping hidupku. Bu Ika tentu saja senang, karena memang sudah tahu kedekatanku ama Rahma. Dan tanggal pernikahan pun ditetapkan 4 November.

#Pov Anik

Capeknya kuliah. Udah tiga tahun ini aku nggak pulang. Ibu juga jarang aku telepon. Lebaran pun aku habiskan di rumah Pak Dhe. Ibu ngerti bahwa buat ongkos pulang pergi saja uangku nggak bakal cukup. Tapi hari ini aku dapat kabar dari Rahma. Kami ketemu di Skype. Aku melihat wajah Rahma di layar monitor.

Ia memberi salam kepadaku. Aku menjawabnya.

"Bagaimana kabarmu di Jakarta? Koq lama nggak pulang?" tanya Rahma.

"Mbak tahu sendiri kan ongkos bolak-balik itu nggak cukup buatku. Makanya aku di sini terus sampai aku lulus," jawabku.

"Iya. AKu mau ngasih banyak kabar nih. Ada kabar buruk, ada kabar baik. Kamu mau pilih yang mana?"

Apaan sih Mbak Rahma ini, ngasih kabar koq ada dua. Tapi wajahnya koq cerah sih? Yang pasti kabar buruknya nggak begitu buruk.

"Apaan sih mbak? kalau ada kabar yang ingin disampaikan ngomong ajalah!"

"Ya udah, aku kasih kabar baik yah. Aku lulus, udah jadi dokter sekarang, nih surat ijin prakteknya. Truss ini dia aku dapet A, ayo jangan sampai kalah sama aku," mbak Rahma memamerkan hasil skripsinya sama surat ijin praktek kedokteran.

"Waaaaaaaa.....selamat mbak! Aku juga senang, Mbak Rahma sih, aku nggak kaget. Emang hebat," kataku.

"Hehehehe. Iya, semua orang ngucapin selamat. Setelah ini aku mau ngabarin ibu."

"Trus, kabar satunya?"

Mbak Rahma terdiam sejenak. Tapi dia raut wajahnya nggak berubah. Tetep ceria. Aku jadi heran, kabar buruknya apa?

"Nik, aku minta maaf ya," kata Mbak Rahma.

"Minta maaf kenapa mbak?"

"Soal Rian."

"Rian? Kenapa dengan Rian?"

"Sebenarnya, aku sama Rian sudah menjalin hubungan selama tiga tahun ini."

Tiba-tiba dadaku sesak. Aku mengambil nafas dalam-dalam.

"Nik, kamu nggak apa-apa?"

Aku menggeleng. Mataku berkaca-kaca.

"Maafin mbak ya. Itu terjadi begitu saja. Aku tahu kamu masih cinta ama Rian. Tapi, Rian malah dekat ama aku dia nembak aku dulu. Maaf aku nggak cerita ke kamu. Karena aku tahu perasaanmu. Aku nggak enak ama kamu, Nik. Aku seperti merebut Rian dari kamu."

Air mataku meleleh. Aku menangis.

"Nik, maaf ya."

"Ini memang salahku koq mbak. Aku harusnya nggak nyakiti Rian seperti itu. Huuuuu.....," tangisku tak bisa dibendung.

"Aku pengen meluk kamu, Nik. Kalau misalnya ini terlalu menyakitkan bagimu,...aku akan paksa Rian untuk kembali kepadamu."

"Nggak mbak! Nggak, jangan!" kataku. "Dia sudah milih mbak. Itu yang terbaik bagi dia. Ini adalah hukumanku mbak. Aku tak bisa berbuat seperti itu. Kalau Rian bahagia bersama mbak aku juga senang. Aku gembira. Apalagi melihat wajah mbak sekarang yang ceria aku ikut gembira."

"Nik,..," aku lihat Mbak Rahma juga menangis. "Kenapa ya kita suka ama cowok yang sama?"

Sakit sekali rasanya mendengar ini.

"Kamu baik-baik di Jakarta ya, cepet selesaikan kuliahnya. Oh iya, ada kabar lagi. Kuharap yang ini kamu siap, Mbak harap kamu lebih rela lagi kalau dengar yang ini."

"Apa mbak?"

"Tanggal 4 November nanti Rian dan aku akan menikah."

JDEERRRR! Jantungku serasa berhenti tiba-tiba. Aku memaksakan senyum.

"Oh ya? Syukurlah mbak. Berarti Rian emang serius ama mbak, aku turut senang," kataku.

Sambil menangis, Mbak Rahma berkata, "Iya, tapi koq aku jadi sedih ya, Dek? Aku mikirin perasaan kamu. Aku juga kaget ketika dua hari yang lalu Rian datang ke rumah buat ngelamar aku. Aku bingung harus bagaimana ketika ingat dirimu, Nik. Hikkss...."

"Sudahlah mbak, aku nggak apa-apa. Kalau mbakku senang, kalau mbakku bahagia, kenapa aku harus sedih?"

"Trus kenapa kamu nangis, Nik? Mbak juga ikut nangis...hikkss..hikss.."

"Mbak Rahma jahat...bagaimana aku nggak nangis kalau orang yang aku cintai nggak milih aku...hikss...hikss...tapi....hikss...aku senang koq dia lebih milih Mbak Rahma. Aku selama ini kagum ama Mbak. Aku jujur sekarang, aku kagum sama mbak. Selalu sempurna. Semuanya selalu sempurna, pelajaran, nilai, bahkan dapat beasiswa. Aku aja nggak bisa seperti mbak...hikss...aku nggak nyesal Rian dapetin mbak...hikss..."

"Aku pengen meluk kamu, Nik."

"Aku juga mbak."

Kami berdua bervideo chat sambil sama-sama menangis.

"Mbak, boleh minta nomor teleponnya Rian?" tanyaku.

Mbak Rahma kemudian mengetikkan di layar chat nomor telepon Rian. Aku menyimpannya di ponselku. Kami tak lama kemudian mengakhiri chat itu.

***

Butuh waktu tiga hari agar diriku tenang. Tiga hari yang berat. Karena dua harinya aku terus menangis di kamar. Menyesal sekali, menyesal kenapa aku dulu nggak nyium Pak Sapto satpam sekolah itu. Aku yang bodoh. Bukankah cinta butuh pengorbanan? Aku tak pernah berkorban demi Rian. Selama ini justru Rian yang berkorban untukku. Ia sudah berkorban banyak untukku, tapi aku? Sama sekali tidak.

Pada hari ketiga, aku telpon Rian. Dia tak tahu nomor telepon ini. Jadi ia pasti akan mengangkatnya. Dia pun mengangkat.

"Yak, dengan Rian di sini?" aku kangen ama suara itu. Oh Rian, kamu tahu nggak kerinduanku sekarang ini?

"Halo, Rian?" sapaku.

Rian terdiam.

"Kamu masih ingat aku?" tanyaku.

"Anik?"

"Iya," aku terdiam lagi. Cukup lama mungkin. Kemudian aku melanjutkan lagi, "Selamat yah, kudengar dari Rahma kalian akan menikah. Aku turut senang akhirnya kamu menemukan cewek pilihan. Mbak Rahma emang baik. Dia cewek yang cocok buatmu."

"Iya."

"Kamu gimana kabar?"

"Baik. Sekarang sedang di kantor ngurusi percetakan. Kuliah sambil kerja."

"Oh, baguslah. Mbak Rahma emang suka ama cowok yang komitmen," aku sedikit tertawa canggung. Benar-benar canggung. "Jangan sakiti Mbak Rahma ya, kamu harus setia ama dia!"

"Iya, aku akan setia ama dia."

"Kamu masih marah ama aku, Rian?"

"Nggak, aku nggak marah, koq."

"Syukurlah."

"Kamu bagaimana kuliahnya?"

"Yah, begitulah. Aku kepengen jadi reporter."

"Oh, begitu, ya? Sukses ya?"

"Makasih."

"Kamu datang tanggal 4 November nanti?"

"Aku nggak janji."

"Kamu nggak usah merasa bersalah lagi, Nik. Aku sudah maafin kamu koq."

Bukan itu masalahnya Rian, bukan itu. "Iya, makasih ya.....,"

"Datang nggak?"

"Aku usahakan."

"Makasih ya, kedatanganmu nanti aku tunggu."

"Ok, maaf ganggu waktumu."

"Nggak apa-apa."

Setelah itu aku tutup teleponnya. Rian, kamu tetep aja bego. Bukan itu maksudku. Bukan. Kamu menyuruhku datang di hari pernikahanmu itu sama saja dengan membunuhku. Kamu tahu nggak sih? Kamu bego Rian, bego. O'onmu nggak pernah sembuh. Huaaaaaaa.......aku nangis lagi. Nyesal aku menelpon dia barusan.



BAB XX
Cinta itu Bahagia Part I




Engkaulah yang aku pilih
Engkaulah yang hidup bersamaku
Engkaulah yang akan mengisi hari-hariku
Engkaulah wanita yang aku cintai

Tanggal 1 November

#Pov Anik#

Aku curhat kepada Yuli. Tentang Rian, tentang Mbak Rahma, tentang pernikahan mereka. Aku curahkan semua hatiku, semua perasaanku yang selama ini terpendam. Yuli ikut terbawa suasana. Ia juga menangis.

"Nik, trus rencana lo gimana? Datang ke pernikahan Mbak Rahma?" tanya Yuli.

"Mau bagaimana lagi Yul, dia mbakku satu-satunya. Orang yang aku kagumi, orang yang aku hormati sebagai kakak, orang yang dituakan setelah ayahku pergi. Tapi di sana juga ada Rian. Orang yang aku cintai selama ini dan aku berharap banyak ama dia," kata Anik.

"Udahlah Nik, lo harus menerima ini semua. Berat memang, Rian sudah milih Mbak Rahma. Bukannya banyak tuh yang deketin kamu selama ini? Kenapa kamu nggak move on?"

"Aku nggak bisa Yul, kenanganku ama Rian terlalu indah untuk dilupakan."

"Anik, Anik, koq ya ada ya cewek seperti kamu. Sulit banget buat move on, kalau aku sih sudah lama move on, Nik. Seindah apapun kenangan kita ama orang ang kita suka, kita tetap harus menatap masa depan. Kamu masih punya cita-cita bukan? Udah deh, ambil cita-citamu ini, gapai. Biar tuhan yang mengatur segalanya."

Kata-kata Yuli itu sedikit menyadarkanku. Aku selama ini selalu dalam bayang-bayang Rian. Aku masih punya cita-cita yang ingin aku gapai. Menjadi seorang reporter, penyiar tv. Itulah cita-citaku. Percuma aku kuliah selama ini kalau masih mikirin Rian, gagal move on. Tapi....Rian...

"Nik, ikhlaskan Rian, ya? Aku jadi ikut sedih lihat kamu seperti ini terus-terusan."

"Yul, bisa nemenin aku pulang?"

"Ke Kediri?"

"Iya, aku butuh orang yang bisa kubuat pegangan. Aku takut kalau-kalau di acara mereka aku bakal pingsan."

Yuli memelukku. "Iya, aku akan dampingi kamu."


#Pov Rian#

"Heh, nyuk?" sapa mas Yogi di telepon.

"Ya mas?" tanyaku.

"Awakmu jik nang Suroboyo?" tanyanya.

"Ini mau pulang mas," jawabku.

"Ealah, yang nikah kamu koq yang ribut kita semua. Tinggal tiga hari lagi lho. Ini urusan ama KUA-nya belum selesai soalnya, gara-gara orangnya ribet. Udah pulang gih, kamu juga harus nyiapin baju penganten juga."

"Iya mas, iya. Ini lho kustarter motorku," sambil kustarter sepeda motorku biar Mas Yogi denger.

"Oo, udah mau berangkat toh. Yo wis ati-ati, ojok sampe calon pengantin durung rabi koq ono masalah."

"Iya mas."

"Eh, Rian."

"Apa mas?"

"Aku minta maaf ya."

"Minta maaf kenapa mas?"

"Bener kata orang, siapa lagi yang harus kita percaya kalau bukan saudara sendiri. Aku dulu meragukanmu, Yan. Aku sampai nyakitin kamu. Aku minta maaf ya?"

"Halah, mas ini. Pukulan sampeyan iku kurang keras mas. Nggak kerasa sakit."

"Weeee...mosok?"

"Pukulan sampeyan itu pukulan kasih sayang mas, aku nggak kerasa sakit."

"J*nc*k, garai aku mbrebes wae. Wis ah, ati-ati yo!"

"Iyo mas."

Aku tutup teleponku. Rahma, aku datang.


Tanggal 2 November

#Pov Anik#

Jadilah aku pulang naik kereta Gajayana. Yuli mendampingi aku. Kereta berangkat pagi, jadi pasti datangnya besok pagi juga. Atau paling nggak molor sampai jam 11 siang. Aku berharap-harap cemas, bingung mau ngapain nanti kalau sudah ada di rumah. Pasti sekarang ini mereka sedang sibuk.

Bagaimana ya wajah Mbak Rahma ketika jadi penganten? Pasti cantik. Aku masih memikirkan apa yang akan aku lakukan nanti di hadapan Rian. Aku cukup salut Rian mampu menaklukkan hati Mbak Rahma, tapi emang Mbak Rahma orangnya udah suka Rian dari dulu koq. Tiap aku pulang sekolah yang ditanya Rian. Gimana Rian? Sekolahnya baik nggak? Nilainya Rian gimana? Dia tadi bawa bekal ya? Gelagatnya Mbak Rahma yang suka ama Rian ini aku udah tahu. Aku mungkin belum pernah punya rasa ama Rian. Aku baru suka ama Rian ketika dia ungkapkan perasaannya kepadaku. Beda dengan Mbak Rahma, ia sudah suka ama Rian sejak dulu.

Ponselku sudah tidak ada lagi wajah Rian. Aku nggak mau nanti malah jadi perkara. Aku ingin menunjukkan kepada Rian kalau aku tidak apa-apa. Ia harus bahagia ama Mbak Rahma. Aku memandangi pemandangan sawah yang luas membentang. Padinya menguning, agaknya sebentar lagi panen. Kereta baru saja masuk Cirebon. Aku menghela nafas. Yuli menenangkan aku. Semoga aku kuat ketika melihat dia nanti.

Ponselku berbunyi. Dari Mbak Rahma, aku angkat.

"Halo?" sapaku.

"Nik, kamu jadi pulang?" tanyanya.

"Iya, ini lagi di kereta," jawabku.

"Kamu yakin, nggak apa-apa?"

"Iya mbak, nggak apa-apa. Aku nggak apa-apa. Aku nggak mungkin ngerusak acara pernikahan mbakku sendiri."

"Jangan gitu dong, Nik. Segera pulang deh. Aku kangen berat ama kamu. Aku kepengen meluk kamu."

"Aku juga koq mbak."

"Kamu sama siapa?"

"Sama Yuli."

"Yuli? Yuli anaknya pak Dhe?"

"Iya. Sekaligus dia mewakili Pak Dhe, karena nggak bisa datang, soalnya masih ada kiriman ke Lampung katanya."

"Waahhh...udah kangen aku ama Yuli, kasih teleponnya ke dia dong. Aku mau ngobrol!"

Aku menyerahkan ponselku ke Yuli. "Dari Mbak Rahma."

Yuli menerimanya, "Halo? Hai Rahma. Wah, lama nggak ketemu. Gimana kabar lo? Wah, tahu-tahu udah mau nikah aje. Iya....iya..he-eeh.... Hehehehe, belumlah. Tapi ada koq yang udah daftar, ngantri. Banyak. Hehehehe, kenapa?...Ohh...begitu. Iya nih, tauk tuh.....iya. Aku sama Anik koq. Makasih. Iya....Semoga aja ya. Anik? Oke. Nik, nih Mbakmu mau ngomong!" kata Yuli sambil ngasih ponselnya. Aku terima.

"Ya Mbak?" tanyaku.

"Aku sayang kamu, Nik. Nggak sabar kepengen ketemu."

"Aku juga mbak."



Tanggal 3 November

Nyampe juga akhirnya. Uhhh...pinggangku mau rontok rasanya. Tapi perjuangan belum berakhir. Untuk sampai ke rumah, kami masih harus naik kendaraan lagi. Karena udah capek, kami pun naik taksi aja. Dan ya emang nggak butuh waktu lama kami sudah sampai di rumah. Aku melihat tumpukan kursi-kursi udah tertata di halaman. Sudah pasang tenda juga.

Aku dan Yuli keluar dari taksi, kemudian dari bagasi aku keluarkan barang bawaanku. Yng pertama kali menyambutku adalah ibu.

"Aniiikk, ya ampun udah datang aja. Ini sama Yuli ya?" kata ibuku.

"Iya bu," kataku.

"Ya udah, pasti capek. Mandi trus istirahat sana gih. Nik, Yuli bisa pake kamarmu aja ya?"

"Nggih bu," jawabku.

"Ayo Yul!" ajakku.

Yuli pun mengikutiku masuk ke rumah. Tradisi kita adalah setiap pengantin wanita bakal dipingit. Artinya nggak boleh keluar rumah sampai hari akad nikah. Ya beneran. Aku di rumah langsung disambut oleh Rahma.

"Niiiikk!" ia langsung memelukku begitu tahu aku yang masuk.

"Mbak Rahma," kataku.

Kami berdua berpelukan. Tangis kami pecah.

"Aku kangen ama kamu," kata Mbak Rahma.

"Aku juga mbak," kataku.

"Rahma, biarin Anik bersih-bersih dulu trus istirahat. Kangen-kangenannya habis ini aja," kata ibuku.

Rahma pun menurut. Ia menciumi pipiku. Kami cipika-cipiki. Tapi Mbak Rahma menambahi bonus dengan mencium keningku. Mbak Rahma lalu merangkul Yuli. Yah, begitulah acara kangen-kagenan kami. Hari itu aku banyak menghabiskan waktu ngobrol ama Rahma, juga Yuli. Dari semua obrolan Mbak Rahma menghindari ngobrolin tentang Rian. Dia sepertinya faham, tak ingin menambah rasa sakit hatiku.

Tapi di rumah ini, rasanya semua kenangan itu datang lagi. Aku masih ingat Rian belajar bersamaku di meja itu. Aku masih ingat bagaimana kami berciuman di samping rumah. Semuanya jelas. Tapi sosok Rian sekarang sudah mendapatkan Mbak Rahma. Aku tak mau mengganggunya. Aku akan tahan rasa sakit ini sekuat tenaga.


#Pov Rian#

Aku berBBM ria ama teman-temanku. Mereka emang kompak kalau jahil dan usil. Aku mulai digoda mulai dari "pake jamu nggak", "perlu pesta bujang nggak?" dan macem-macem. Iya, malam ini ada pesta bujang. Temen-temenku yang ngadain. Aneh-aneh aja. Kebanyakan sih temen-temen SMA. Temen-temen kampusku ya cuman si Erik aja yang datang, karena rumahnya ada di Jombang.

Sebelum pesta bujang aku BBM-an ama Rahma.


Me: Beib, hari ini istirahat yang cukup lho.

Rahma; Iya say. Ngerti koq aku. Sibuk banget ini rumah.

Me: Malam ini temen-temenku mau ngadain pesta bujang. Tapi cowok aja yang dateng.

Rahma: Ih, dasar cowok.

Me: Beib, aku makin cinta ama kamu nih menjelang hari H.

Rahma: Sama say, aku juga. Aku berdebar-debar.

Me: Aku juga. Nggak enak makan hari ini, keinget kamu terus. Aku khawatir besok salah ngucapin Ijab Qabul.

Rahma: Ya pake bahasa Indonesia ajalah, nggak usah bahasa arab.

Me; Iya. Gimana perasaan kamu malam ini?

Rahma: Sejuk. Seperti kena angin sepoi-sepoi.

Me: Duh, jadi kepengen meluk kamu Beib.

Rahma: Tahanlah say, kan tinggal besok. Besok aku milikmu seutuhnya.

Me: Jadi nggak sabar nih.

Rahma; nggak sabar ngapain? Nggak sabar buat praktek?

Me: Tahu aja.

Rahma: Dasar cowok, pikirannya ngeres mulu.

Me: Biarpun ngeres tapi kamu suka kan?

Rahma; Ih, dasar, pinter banget ngerayu.

Me: Ya udah deh, met istirahat. Temen-temenku dah dateng.

Rahma: Jangan malem-malem bobo'nya say.

Me: Iya. Bye cantik.

Rahma: Bye ganteng.
Aduuuhh...BBM-anku mesra banget ama Rahma. Aku berbunga-bunga. Ahhhh...

"Heh, Nyuk!" celetuk Mas Yogi.

"Opo mas?" aku terkejut.

"Senyam-senyum dewe, BBMan karo Rahma?"

"Iyo mas."

"Hahahaha, dasar wis ora sabar ta? Yo coli kono nang jeding.(dasar udah nggak sabar ya? Ya coli sana di kamar mandi)"

"Wasem sampeyan mas," aku langsung menggelitiki kakakku. Kami bercanda kejar-kejaran.

Si Erik dan beberapa teman-teman SMA-ku datang. Yah, seperti itulah, mereka mengadakan pesta bujang. Kita ngobrol ketawa-ketiwi, dan dari situ juga kita sampai curhat. Kemudian aku pun sampai ditanyai sama Rofiq. Rofiq ini teman sekelasku dulu waktu SMA. Dia tahu hubunganku ama Anik. Dia pun tanya, "Yan, perasaanmu sama Anik sekarang gimana? Masih tetep suka atau nggak? Jujur aja wis."

Semuanya menoleh ke arahku menunggu jawaban. Mas Yogi koq ya ada di sini pula. Ia senang aja denger curhatan kami. Aku menarik nafas dalam-dalam.

"Sejujurnya beberapa waktu lalu dia nelpon aku," jawabku.

"Heeeeeeeeehhhh????" kompak banget sih mereka.

"Trus, trus?" tanya Rofiq menyelidik.

"Trus, yaa....dia ngasih ucapan selamat. Aku undang aja dia biar dateng," kataku.

"Goblooooookkk!" suara Mas Yogi paling kenceng.

Erik, Rofiq dan lain-lain sampe kaget.

"Kenapa mas?" tanyaku.

"Kamu itu bego banget jadi cowok, Rian."

"Maksudnya?"

"Heh, kalau si Anik itu masih ngarep kamu gimana? Masih cinta ama kamu gimana? Koq malah nyuruh dateng sih? Edan awakmu. Mengko kalau dia semaput pas acara pernikahan gimana?" kata Mas Yogi. Aku nggak pernah mikir sampai sejauh itu. Mikirku ya wajar dong nyuruh dia datang ke acara pernikahan lha Rahma itu kan mbaknya.

"Aduh, beneran ini Yan, parah awakmu. Kalau dia sampai semaput gimana? Kita juga tahu kalau Anik itu sampai sekarang masih cinta ama kamu," kata Rofiq.

"Hah??" aku terkejut. "Serius?"

"Kon iku ora sensitif blas!(kamu itu nggak sensitif sama sekali)" kata Mas Yogi.

"Coba deh kamu buka facebooknya. Pernah lihat facebooknya nggak?" tanya Rofiq.

Aku menggeleng.

"Wooo...bener kata masmu kamu itu cowok yang bego. Buka'en saiki!(buka sekarang)" sambung Rofiq.

Aku kemudian membuka facebook pake ponselku. Aku ketik pencarian nama. Emang aku jarang gunain facebook sih. Dan keluarlah akun Anik Yuanawati. Profil fotonya ia pake jilbab dengan kacamatanya. Tersenyum tipis. Trus aku lihat status-statusnya.

Status terbarunya, baru ditulis: [Status berikut dibaca dari bawah ke atas]


"Hari ini aku seneng ketemu Mbak Rahma. Kami pelukan cipika-cipiki. Selamat ya mbak atas pernikahannya." [penulis: Anik mention Rahma]

"Aku udah sampai Kediri, kota tahu. Wuiiihhhh....capek. Naik taksi aja deh."

"Kereta udah sampai Jogja. Lambat banget sih perasaan."

"Jadi, tadi dari Stasiun Gambir pake Kereta Api Gajayana. Biar cepet nyampe. Moga aja besok udah nyampe Kediri."

"Sharing status....." (skip)

"Sharing status....." (skip)

"Sharing status....." (skip)

"Sharing status....." (skip)

"Yuli akhirnya mau nemenin aku pulang. Biar ada pegangan kalau-kalau tiba-tiba aku semaput. Aku tak peduli lagi sekarang, biar dia lihat aku pingsan. Biar dia sadar. Jadi cowok nggak sensitif banget. Biar ia tahu kalau aku masih cinta ama dia. Walaupun mungkin untuk cinta kepadaku harapannya kecil."

"Kenapa ya aku begooo banget, bisa cinta ama cowok yang begooo banget pula. Dia nggak mikir apa kalau aku suka banget ama dia. Cinta mati ama dia. Trus habis itu di telpon tadi suruh datang ke nikahannya dia. Mau bunuh aku? Bunuh aja deh sekalian pake pisau gitu, itu lebih aku sukai daripada kamu ngundang aku ke acara nikahanmu. Walaupun itu yang nikah kakakku sendiri."

"Aku masih kepikiran ama Rian. Dia ngapain ya sekarang? Kemarin itu dadaku sesak. Trus ketika aku sebut namanya, eh rasa sesaknya hilang. Kenapa coba? Aneh kan?"
Aku kemudian mundur lagi, ke waktu di mana aku mutusin dia. Di facebook ada timeline sekarang. Jadi aku bisa milih tanggal dan tahun di mana aku terakhir kali mutusin dia. Dan...oh tidak... tanganku gemetar.

"Hari ini aku sebenarnya ngirim SMS ke dia, ngirim BBM juga, tapi ia tak akan baca. Nggak pernah tuh BBM-ku dibaca, centang melulu. SMS pun rasanya nggak dibaca. Ia udah ganti nomor aja. Nomorku udah dihapus dari ingatannya. Aku kirim isinya seperti ini:

"Rian. Maafkan perbuatanku ya. Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Aku tahu sifatmu kalau sudah marah nggak bakal maafin orang itu. Aku tahu semuanya. Kan kita sudah sahabatan sejak lama.

Aku ingin jujur kepadamu. Aku ingin tumpahkan seluruhnya kepadamu. Kamu baca atau tidak itu terserah kamu. Aku tak pernah berharap pula pesan ini kamu baca. Karena sampai sekarang pun BBM-ku nggak pernah kamu baca.

Rian. Perasaanku jujur ama kamu. Aku beneran cinta ama kamu. Aku ingin bisa bersamamu. Aku jujur jatuh cinta kepadamu. Aku yang selama ini menaklukkan banyak laki-laki sekarang malah takluk kepadamu. Cara kamu menciumku, cara kamu memegang tanganku, cara kamu memperlakukanku. Semuanya. Itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu.

Rian, seandainya kamu bilang kepadaku sejak awal. Sejak dulu. Mungkin sekarang kita sudah jadi sepasang kekasih. Mungkin sekarang kita tak akan seperti ini. Aku hanya ingin pacaran dengan satu orang lelaki. Yaitu kamu. Aku sudah bersumpah, aku sudah bertekad. Aku tak akan menyerahkan diriku ke lelaki manapun. Aku akan menunggumu Rian. Aku akan menunggumu. Walaupun sakit diriku. Walaupun lama. Aku tetap berharap kepadamu. Aku bersumpah tidak akan menikahi laki-laki manapun. Aku hanya ingin kamu. Aku hanya ingin kamu. Beratkah permintaanku ini bagimu?

Rian. Jangan pergi. Tolong Rian, jangan pergi. Maafkan aku Rian. Rian....."

Tapi koq aku posting di sini? Ah biarin, toh dia juga jarang buka facebook."
Aku menjatuhkn ponselku.

"Lapo, Yan?" tanya Erik.

"Kenapa aku jahat kepada Anik? Salah apa dia coba? Itukan cuman taruhan konyol, kan?" kataku.

"Lha? kamu sendiri gimana, lho?" kata Rofiq. "Yan, kita itu tahu semua. Udah jadi rahasia umum kalau Anik naksir kamu, suka ama kamu. Semuanya juga tahu. Kita ya kaget aja kalau kamu tiba-tiba jadian ama Rahma. Tapi kan ya...itu keputusanmu."

"Ealah Yan, Rian. Nggak sensitif blas," kata Mas Yogi. "Yowislah, itukan udah keputusanmu. Jangan kecewain Rahma. Udah terlambat. Kamu lagian udah komitmen ama Rahma, kesampingkan Anik."

"Gini aja Yan. Kan besok dia ada dan mestinya ada di acara nikahanmu, aku ama temen-temen bakal jaga dia. Kita akan coba hibur dia. Ah, andai saja kamu lebih sensitif, Yan," Rofiq menimpali.

Aku mengusap wajahku. Bingung, galau, merasa bersalah. Aku kemudian ambil ponselku. Aku pergi.

"Lho, lho? Yan? Mau kemana?" tanya Mas Yogi.

"Mau nemui Anik," kataku.

"Eh, cah edan. Ojok!(Eh, anak sinting, Jangan!)" teriak Mas Yogi.

Terlambat aku udah menstarter motorku. Kemudian pergi. Di depan rumahnya sudah ada tenda. Aku nggak mungkin berhenti di sana. Aku tak ingin terlihat. Segera aku hubungi nomornya Anik. Cukup lama untuk mengangkat tapi akhirnya diangkat juga.

"Halo?" sapanya.

"Temui aku di pos kamling! Ada yang ingin aku bicarakan," kataku.

"Rian? Ada ap..." aku tutup langsung teleponnya.

Aku menunggu di pos kamling. Dan dari kejauhan kulihat Anik keluar dari rumahnya. Aku melihat ia memakai kerudung yang lebar, pakai rok. Rok? Anik pake rok? Tumben. Dia berjalan menuju ke pos kamling tempat yang aku bilang tadi. Dia memperlambat langkahnya ketika melihatku. Setelah sampai di depanku dia berhenti.

"Nik, apa kabar?" tanyaku.

"Yah, beginilah, Yan. Katanya ada yang ingin dibicarakan?"

"Kamu bener koq Nik, kamu bener. Aku ini cowok yang bego. Cowok yang nggak sensitif."

"Apaan sih?"

"Udahlah aku udah sadar. Aku bodoh, bego, nggak sensitif. Aku nggak peka selama ini. Bodoh emang. Aku bodoh."

"Kamu kenapa?"

Aku langsung maju. Aku rengkuh dia dan dalam satu gerakan aku sudah mencium dia. Anik terkejut. Ia tak melawan. Nafas kami memburu. Aku tak peduli seandainya ada orang yang lewat melintasi jalanan itu. Tapi untunglah nggak ada yang melihat kami. Selain itu juga lampu jalanan mati. Air mata Anik meleleh. Setelah ciuman itu. Ia sesenggukan.

"Apa itu tadi, Rian? Kenapa?"

"Itu perasaanku yang masih sedikit tersisa untukmu. Aku tahu semuanya sekarang. Betapa hatimu sakit selama ini, kenapa kamu tak bilang? Kenapa kamu tak coba titip pesan kek ke mas-ku. Atau ke Rahma kek, ke siapa kek? Kamu juga kan tahu akun facebook-ku, nggak coba cari kek nomorku yang baru. Kamu juga harusnya tahu aku melakukan itu semua karena memang aku bodoh, o'on, udah tahu begitu kamu biarin aku begitu saja?"

Kami berdua sesenggukan sekarang.

"Maafkan aku Rian."

"Aku yang harusnya minta maaf. Aku nggak sensitif. Aku bodoh. Dengan aku ngundang kamu ke sini sama saja nyakiti hati kamu. Aku juga bodoh, kamu tahu? Dari hatiku yang paling dalam aku masih ingat namamu, Nik. Aku juga bingung mengatakannya. Aku emang nembak Rahma, aku juga pacaran ama dia. Tapi....kenapa ketika kamu hadir namamu sekarang yang terngiang-ngiang di benakku?"

"Udahlah, Yan. Kamu besok nikah sama Mbak Rahma. Jangan ungkit-ungkit lagi."

"Tapi Nik..."

Anik membalikkan badan.

"Rian, kisah kita sudah selesai. Kamu ada kisah baru yang harus kamu tulis sama Mbak Rahma. Aku memang cinta ama kamu sampai sekarang. Tapi kisah cinta kita memang harus berakhir di sini. Bahagiakan Mbak Rahma, dia sangat mencintaimu dengan tulus. Jangan kecewakan dia. Kalau kita jodoh, kita akan ketemu lagi di lain kesempatan."

Anik melangkah pergi. Kata-kata Anik itu adalah kata-kata yang menusuk. Sekaligus juga pemberitahuan akan sesuatu hal, dia masih mencintaiku. Si bego ini yaitu diriku cuma bisa menyesali segala tindakan bodohnya. Membiarkan bidadarinya pergi meninggalkannya. Tapi, perkataan Anik ada benarnya. Aku sekarang ada Rahma. Aku sudah memilih dia. Dengan dirinyalah aku akan menulis masa depan. Aku pun pulang kembali ke rumah.

#Pov Anik#

Aku bisa mengeluarkan semua kata hatiku barusan. Aku sempat terkejut ketika Rian menyuruhku pergi ke pos kamling. Dia sampai menciumku segala. Oh...aku rindu ciumannya itu. Dia menyesali apa yang telah dilakukannya. Dan dia jujur. Kami sampai menangis bersama saat itu. Tapi...aku tak mau mengecewakan Mbak Rahma. Dia harus menulis masa depannya dengan Rian. Bukan dengan aku.

Aku sekarang lega. Sangat lega. Aku punya kekuatan sekarang. Punya kekuatan melihat mereka bersanding. Apakah kekuatanku itu karena aku tahu kalau Rian masih mencintaiku? Semoga saja bukan karena itu.


Tanggal 4 November

#Pov Rian

Hari pernikahan tiba. Dari semua wanita di dunia ini Rahma-lah yang paling bahagia. Aku mencoba melupakan apa yang terjadi tadi malam. Aku lihat banyak teman-temanku yang datang pula. Setelah tadi pagi aku Ijab Qabul di depan petugas KUA, kami pun resmi jadi suami istri. Aku pun berjanji kepada diriku sendiri. Aku suaminya Rahma dan aku akan benar-benar mencintai dirinya dengan sebenar-benarnya. Aku sudah komitmen ama dia. Aku tak akan mengkhianatinya.

Acara pernikahan itu meriah. Teman-teman benar-benar banyak yang mengerumuni Anik. Mereka benar-benar mencoba menghibur Anik. Mungkin dengan demikian bisa menjadi obat yang mujarab bagi dirinya. Obat yang paling mujarab daripada dia harus mencari cara sendiri.

Hari itu Rahma jadi wanita tercantik di acara resepsian. Dia memakai jilbab putih, gamis putih dengan untaian bunga melati melingkar di kepalanya. Dia luar biasa cantik. Siapapun pasti akan mengira ia adalah bidadari yang turun dari kayangan. Bulan madu? Jangan tanya bulan madu deh. Aku tak punya rencana bulan madu. Pernikahan ini aja sederhana. Yah, paling tidak aku akan nikmati kesederhanaan ini. Apalagi Rahma orangnya perfeksionis. Ia nggak suka ada sedikit saja yang kurang.

Setelah para tamu dan undangan pergi Anik menghampiri kami.

"Selamat ya mbak, aku seneng sekali," Anik merangkul kakaknya ini.

"Makasih ya dek, udah datang jauh-jauh dari Jakarta," kata Rahma.

Setelah mereka berpelukan giliran Anik yang berada di depanku. Mata kami menyiratkan sesuatu. Sesuatu yang sama-sama kami ketahui. Aku tahu dia masih mencintaiku. Aku juga. ANik pun bicara, "Kamu, awas ya kalau sampai nyakiti Mbak Rahma. Aku nggak akan maafin kamu. Selamat atas kalian berdua."

Anik nggak menyalamiku. Ia langsung pergi. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Rahma mengelus-elus pundakku. Ia tahu apa yang aku rasakan. Aku ingat, aku tetap komitmen ama Rahma. Selamat tinggal Anik, kisah kita memang harus berakhir.






BAB XXI
Cinta itu Bahagia Part II




Rasanya malam penganten itu.......koq udah pagi aja ya???


#PoV Rian#

"Uhh....capeeeekkk!" kata Rahma ketika masuk ke kamar.

Aku sudah merebahkan diri di kasur setelah mandi tadi. Entah tadi Rahma belum masuk kamar, katanya ada yang ingin diomongin ama ibu dan adiknya. Aku sekarang merebahkan diri. Pake kaos oblong dan boxer. Capek bener ngurus pernikahan gini.

"Lho, beib? Udah mandi?" tanyanya.

"Udah dong. Capek juga ya. Ntar ah, merebahkan diri dulu ngumpulin tenaga," jawabku.

"Ngumpulin tenaga?"

"Ah, kaya' nggak tahu aja mau ngapain."

"Udah nggak sabar ya?" goda Rahma. Ia mendekatkan bibirnya ke bibirku. Kami berciuman.

"Iya dong," jawabku.

"Aku mandi dulu ya?"

"Oke."

Rahma segera mencopot seluruh bajunya. Lalu dengan hanya berbalut handuk ia masuk ke kamar mandi. Aku nggak melihat dia tadi telanjang, soalnya mataku terpejam. Ternyata aku ketiduran sebentar sampai aku merasakan sensasi yang hangat-hangat gimana gitu. Penisku rasanya enak tiba-tiba. Basah, geli. Aku tersadar dan melihat Rahma sudah mengelamuti senjataku di bawah sana. Ohhh....tegang deh.

"Beib?" kataku.

"Enak ya? Udah bangun?" tanyanya. Ia mengelamuti pangkal batangnya dan lidahnya menari-nari di antara kedua bolaku. Aduuhhh....lemes deh.

"Enak yang," kataku.

"Sluurrppp...," Rahma langsung memasukkan kepala pionku ke mulutnya dan disedotnya. Uuuhhh.....ngilu-ngilu sedap. Ia lakukan itu sambil melirik ke arahku. Lidahnya kemudian menari-nari di kepala pionku. Kemudian dimasukkan lagi ke mulutnya. Kepalanya naik turun sambil terus menyedot kemaluanku hingga pipinya kempot. Hebat nih sedotannya Rahma.

"Duh Ma...hebat banget dirimu," kataku.

Tangan Rahma dengan lembut memberikan kocokan, nggak cepat tapi cukup untuk memberikan efek tegang dan keras kepada senjataku. OK, aku sudah sadar. Birahiku sudah naik, sudah waktunya aku bangun. Aku pegang wajahnya. Ternyata Rahma masih pakai handuk. Ia pun bangun dan merangkak ke atas tubuhku.

"Sudah siap beib?" tanyanya.

"Iya, kamu sudah membangunkanku. Atas dan bawah," jawabku.

"Hihihihi," Rahma tertawa geli. Handuknya dilepas. Tampaklah olehku dua buah bukit yang menggantung. Sekal dan ujungnya runcing.

"Aku baru saja melihat seorang dewi turun dari langit, Ma," kataku.

Rahma membantuku untuk melepaskan kaosku, sekarang kami benar-benar polos, tak ada satu helai benang pun menutupi kami. Ia ambruk di atas tubuhku. Diciuminya bibirku.

"Rian, aku siap," katanya. "Reguklah kenikmatan ini Rian!"

"Rahma, sayangku oohh...hhmmhhhh," bibir kami saling memanggut dada kami saling berhimpit. Sensasinya luar biasa. Malam ini kami all out. Aku akan membuktikan Rahma bahwa aku komitmen kepadanya. Aku akan buktikan, kalau sekarang ini aku mencintainya. Bibirku mulai bergerak nakal menyusuri lehernya. Bau wangi sabunnya tercium, menambahkan sensasi rasa birahi kepadaku.

"Riann....hhhmmm...ohh..."

Bibirku bergerak ke bawah, menelusuri gundukan bukit kembarnya, membuat jejak-jejak kemerahan di atas kulit putihnya. Aku bisa melihat urat-uratnya yang kelihatan di seputar buah dadanya. Kini sudah ada empat cupangan terukir di sana. Hasil sebuah karya seni yang kuukir di atas kulit mulusnya. Dua insan manusia yang sedang dimabuk birahi kini berguling ke sana kemari mencari kepuasan, mencari kenikmatan menelusuri setiap lekuk tubuh lawan jenisnya.

Aku kembali mengisap puting susu Rahma. Puting susu yang membuatku mabuk kepayang. Ia telah pasrahkan apa yang menjadi miliknya selama ini kepadaku. Kini tak ada lagi perasaan canggung, malu dan sejenisnya. Sungguh apa yang ada di depannya ini adalah sebuah anugrah yang tak terkira. Tanganku sudah menjelajah kemana-mana, hanya satu tempat yang belum kujelajahi dan memang aku sisakan untuk nanti. Kakinya aku usap-usap, dari pahanya, betisnya. Aku ciumi setiap jengkal kakinya yang mulus itu. Rahma menggelepar seperti ikan yang keluar dari kolam saat jempol kakinya aku kenyot. Telapak kaki yang sangat indah, aku jilati semuanya seperti es krim.

Aku balikkan tubuhnya, punggungnya sangat halus, mulus. Lidahku kembali menggelitik garis lurus punggungnya. Kusibakkan rambutnya yang menutupi keindahan tubuhnya ini. Kuhisap kulitnya. Rahma makin mendesah. Tanganku mengusapi punggungnya hingga ke pantatnya yang padat dan menggoda. Aku tak malu-malu untuk menciumi kedua pantatnya. Kusibakkan hingga aku bisa melihat lubang pantatnya yang tertutup. Lagi aku balikkan badannya. Aku kini seperti seseorang dokter yang mengobservasi tubuh pasiennya.

"Say, kamu sedang penasaran ama tubuhku kah?" tanyanya.

"Iya, aku tak ingin melewati satu inchi pun tubuhmu. Rahma, boleh aku lihat?" aku meminta ijin.

"Silakan, aku siap apapun yang kamu lakukan," kata Rahma. Ia memejamkan matanya. Kakinya dibuka sekarang.

Di depanku ada sebuah pemandangan yang langka. Sebuah belahan berwarna merah. Tertutup. Rambut halus tumbuh di atasnya tapi tak lebat. Aku sentuh permukaannya. Kuraba dan rambut-rambutnya aku usap. Rahma menggigit bibirya. Aku mencoba sibakkan kedua bibir kemaluanya. Terlihatlah bagian dalamnya yang berwarna merah. Ada lendir yang membasahi lubangnya. Seperti inikah bentuk memek seorang gadis yang setiap hari memakai kerudungnya? Nafasku berhembus di kemaluannya.

"Ahhh....Rian..." desah Rahma.

Bibirku maju sekarang bertemu dengan kedua bibir kemaluannya. Seolah-olah ingin mengucapkan permisi aku menciumnya. Rahma menggelinjang. Kucium lagi ia menggelinjang lagi. Bersamaan dengan itu kemaluannya makin banjir. Lidahku mulai menjilatinya.

"Aaahkkkk Riaann...hhhmmmmmsssssss....aahhkk....terus Rian....iya, di situ.....ohhhh.....aahhhh,"

Pantat Rahma bergerak makin liar. Jilatanku yang menstimulus birahinya itu makin basah dan makin membuatnya becek. Kuhisap cairan yang keluar dari kemaluannya. Tangan Rahma mulai memegangi kepalaku, tangannya menyetir kepalaku seolah-olah ingin agar aku bisa menggelitiki bagian di mana ia menekannya. Lidahku terus menjilatinya sambil menghirup cairan yang keluar dari kemaluannya.

"Riaan...sudahhh....aku nggak tahan lagi...Riaann...ohhh....ohhkk...!" Rahma menjepit kepalaku dengan kedua pahanya. Aku bisa merasakan bulu kuduk Rahma merinding. Pantatnya pun naik. Punggungnya juga. Selama tiga detik ia melengkung sambil mengapit kepalaku. Aku hentikan aktivitasku.

Rahma lalu lemas. Orgasme pertamanya dalam sejarah hidupnya.

"Luar biasa Rian....aku baru kali ini merasakannya," katanya.

Aku sudah bersiap ingin masuk. Kepala pionku sudah berada di bibir kemaluannya.

"Rian, setelah kamu masuk nanti kamu akan menguasaiku sepenuhnya. Kamu tak menyesal memilihku?" tanya Rahma.

"Kenapa kamu bertanya begitu?"

"Sebab, hanya lubang inilah yang boleh kamu masuki selama aku menjadi istrimu. Aku akan berikan yang kamu inginkan, aku akan mematuhimu sebagai suamiku, walaupun usiaku lebih tua setahun darimu, tapi aku merasa aku adalah bagian dari tulang rusukmu," Rahma mengusap pipiku.

"Aku sangat senang mendapatkan istri seperti dirimu Ma," kataku. "Aku tak akan menyia-nyiakan kamu, susah senang aku akan bersamamu. Semua yang ada pada diriku juga adalah milikmu. Batangku ini juga tak akan aku masukkan ke lubang lainnya. Semuanya untukmu."

"Rian...kamu lelaki yang baik, aku tak salah mencintaimu selama ini. Masuklah sayang. Puaskan dirimu!" katanya.

"Aku datang,"

Kepala pionku mulai masuk. Seret dan ngilu. Itulah yang terjadi ketika kemaluanku berusaha menerobosnya. Aku terus menahan, aku gerakkan maju mundur dengan perlahan-lahan, hingga kemaluan Rahma benar-benar banjir. Cairan pelumas itu pun mempermudahkan kepala pionku makin masuk, seperempat, setengah dan akhirnya, robeklah selaput dara Rahma. Rahma menjerit. Moga aja jeritannya nggak terdengar yang ada di luar kamar.

Aku melihat air mata keluar membasahi pipinya, "Rian, akhirnya aku memberikannya kepadamu. Milikku yang paling berharga."

"Rahma....aahhhh...," kemaluanku seperti diremas-remas oleh lubangnya. Sempit dan menghisap. Aku menariknya sebentar, lalu kembali mendorongnya hingga mentok menyentuh rahimnya.

"Riiaaann....aku akan tahan....teruskan! Buat dirimu puas. Buat dirimu puas Rian!" katanya.

Aku terus bergoyang, kutindih tubuhnya. Kupeluk. Nikmat sekali. Orang yang aku cintai. Bersamamu kita rengkuh kenikmatan bersama. Rahma, aku merasakan kenikmatan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Terima kasih Rahma, cintaku. Aku tak akan melupakan malam pertama kita.

Plok! Plok! Plok! Bunyi kedua selakangan kami beradu. Ahh...aku sudah mentok rasanya. Aku sepertinya sudah diujung. Kemaluanku makin keras.

"Rian....nikmat sekali...ahhh...oohhh...ohhh.....aaaahhh...."

"Aku mau nyampe, Ma," kataku.

"Oh iya....?? Aku belum, Yan. Dikit lagi, yang cepet dong!" katanya.

AKu percepat pompaannya.

"Naahh...iya Rian, terus, terus....ahahhh...ohh...ahhhh....ahhh....ahhhhh... aku mau nyampe Rian!"

"Aku juga Ma, udah diujung ini!" kataku.

"Ayo sayang, keluarkan saja. Ayo hamili aku, hamili istrimu ini."

"Ahhh...ahhh...aahhh...Ma, aku.....tak tahan lagi...ini...ini....sampeeee ...!" jeritku.

"Riaaaann....aku juga.....aaaaaaaaaahhhhhhhH!"

Aku tekan kuat kuat kemaluanku hingga mentok tertelan semua. Spermaku muncrat di dalam rahimnya. Kami berpelukan erat sekali sambil saling menekan kemaluan kami.

Aku coba mengatur nafas kami. Rahma terlihat dadanya naik turun. Ia sekarang sedang tenggelam dalam lautan orgasme. Perlahan-lahan aku mencabut senjataku. Sreeett...Cepluk!

"Rian...," desah Rahma.

Dari memeknya mengalirlah lahar putih hasil karyaku dan bonus sebercak warna merah. Aku memerawani seorang gadis. Aku merangkulnya sekarang. Kudekap dan tak ingin kulepas lagi. Kami berciuman, untuk memberikan perasaan nyaman setelah orgasme kami.

"Enak Rahma?" tanyaku.

"Nggak bisa diungkapkan dangan kata-kata Rian," jawabnya.

"Istirahat dulu deh, habis ini kita lagi yuk?"

"Iya sayangku, terserah kamu. Mau sampai tulangku copot semua aku akan melayanimu."

"Oh...Rahma....," kami berciuman lagi. Kali ini aku putar tubuhnya agar miring, Aku peluk dia dari belakang sambil kemaluanku kuposisikan membelah memeknya dari pantatnya.

"Ahh...udah keras aja beib?" tanyanya.

"Harusnya gimana?"

"Ahh...masih tegang. Masukin aja nggak papa."

Aku memegang batangku mencari celang di lubangnya. Lalu setelah ketemu aku tekan. Tak ada halangan untukku agar bisa masuk. Perlahan-lahan aku menggoyangnya. Duh, enak banget.....walaupun tadi barusan keluar, tapi otong masih tegang aja. Tubuh Rahma benar-benar menggodaku. Tangan kiriku mengobel klitorisnya sekarang. Sedangkan pusakaku sudah keluar masuk dengan posisi tubuh kami menyamping. Rahma meremas payudaranya sendiri.

Kali ini penetrasinya lebih mudah, karena kemaluannya benar-benar udah becek dengan lendir kami berdua. Tentu saja, sempit. Otongku ketika masuk serasa dicengkeram dengan kuat. Perutku memukul-mukul pantatnya. Duh, sukar diungkapkan dengan kata-kata. Enak banget. Setiap sodokan membuat pabrik yang memproduksi spermaku makin semangat kerja keras.

"Rian, udah dong, jangan dikobel ituku, bisa cepet keluar lagi aku!" keluh Rahma.

"Tapi enak kan?" tanyaku.

"Enak ya enak, tapi aku...nggak tahan...duh...aahhh...ahhhh..Riiiiaaaaannn....!" keluar deh itu Rahma.

Serrrrr.....serrr....kemaluan Rahma makin banjir aja nih. Aku mencabut kemaluanku sekarang. Aku telungkupkan dia. Seolah mengerti kemauanku, Rahma segera menungging. Kumasukkan lagi pionku ke dalam liang senggamanya yang udah belepotan cairan itu. Begitu masuk Rahma kusodok. Kali ini Rahma menjerit-jerit keenakan. Mirip jeritannya bintang film JAV yang videonya aku koleksi.

"Ma, jangan keras-keras nanti kedengaran!" bisikku.

"Tapi beneran enak Rian, ahhh...ahhh..ahhh...biarin....ahhh...toh...ini malam pengantin kita," katanya.

Akhirnya aku tak peduli lagi, apalagi setiap benturan perut dan pantatku membuatku makin sampai ke puncak.

"Nah, tegang lagi tuh. Mau nembak ya?" tanya Rahma.

"Iya beib," kataku.

"Tembak aja beib, aku udah keluar bolak-balik," kata Rahma.

Dan saudara-saudara pejuhku keluar lagi. Kusemprotkan sedalam-dalamnya. Kutekan pantatnya hingga aku yakin telah menyemprot rahimnya, mengisi rahimnya dengan cikal bakal anakku. Setelah itu, barulah beneran kita kelelahan. Rahma menaikkan selimut. Dia menyelimuti tubuh kami berdua. Aku tidur memeluk dia sepeti guling dan aku tersenyum aja ketika tidur tangan Rahma menggenggam batangku, seolah-olah ia berkata, 'Ini milikku, nggak boleh ada yang merebutnya'


#Pov Anik#

Mereka apa nggak bisa tenang sedikit sih? Iya malam pengantin, tapi suaranya sampai masuk kamarku. Bikin aku cemburu saja. Aku tutupi telingaku dengan bantal. Rian, jagalah Mbak Rahma. Aku yakin Mbak Rahma bakal setia selamanya. Kamu jangan ingat aku lagi ya. Mungkin memang benar nasehat si Yuli, aku harus melupakan Rian. Tapi aku juga udah janji kalau aku hanya akan mencintai Rian.

Aneh ah Yuli, kedengeran suara ahh...uhh...seperti ini koq ya tetep bisa tidur? Aku pun meringkuk. Kamar Rahma memang bersebelahan dengan kamarku, Yah maklum kalau gitu. Tiba-tiba Yuli merangkulku.

"Udah, dipaksa tidur aja Nik. Yah wajar malam pengantin mereka semangat kaya' gitu," bisiknya. Aku salah ternyata Yuli belum tidur juga. Aku tersenyum. Kini aku bisa tidur nyenyak setelah tak lagi terdengar suara mereka.



BAB XXII

Bertemu dengan Masa Lalu


#Pov Anik#

Aku sulit Move on. Itulah yang terjadi. Biar dikata aku move on, tetep aja nggak bisa. Seolah-olah ada sesuatu denganku ama Rian yang belum tuntas. Sebagai seorang cewek aku memang bodoh. Bodoh banget. Ada cowok yang berkorban untukku tapi aku bego. Rian benar, aku harusnya tahu kalau dia itu O'on, lalu kenapa aku nggak berusaha dulu?

Setelah pernikahan Rahma, aku putuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Aku tak mau membuat hatiku makin hancur. Biarlah semuanya berjalan apa adanya. Aku pun akan bertekad untuk menerima lelaki yang ingin mendekatiku nanti. Walaupun mungkin berat. Aku tak pamitan kepada Rian. Aku takut hatiku makin sakit. Apalagi sebelum pernikahan dia malah menciumku. Aku takut malah terjadi lagi nanti. Akhirnya aku pergi.

Dan ceritaku kini sampai kepada dimana aku menikmati hari-hari perkuliahan lagi. Agar aku tak ingat Rian lagi, aku konsentrasi kepada perkuliahan. Aku ingin buktikan bahwa aku bisa. Dan sebagaimana yang telah aku prediksikan, Zain tak menyerah untuk mendekatiku. Tapi kali ini ia main cara yang alus. Ia tak memaksaku. Tetap menganggapku berkawan baik dengannya.

Aku berada di perpustakaan waktu itu sambil konsentrasi menulis tugas-tugasku. Zain pun kemudian nimbrung.

"Hai Nik?!" sapanya.

"Zain?"

"Ngerjain tugas dari Pak Cahyo ya?"

"Iya nih. Kamu udah selesai emangnya?"

"Udah. Lagi ngumpulin bahan buat skripsi," jelasnya.

"Ohh...iya ya, kamu pinter sih. Cepet banget mau skripsi. Aku masih ada matkul yang nyantol," kataku.

"Hehehe, ya udah semangat aja kalau gitu. Oh iya, kamu nanti ada acara?"

"Nggak ada, kenapa?"

"Jalan yuk. Udah lama aku nggak nonton. Nggak, jangan anggap ini kencan. Mumpung filmnya bagus tuh."

"Hmm, tapi aku sama Pak Dhe nggak boleh keluar malam-malam lho."

"Iya, aku ngerti. Kita nontonnya yang sorean aja. Biar nggak kemaleman."

"Oke," kataku.

Zain pasti gembira. Iyalah. Baru kali ini aku mau diajak keluar. Aku sudah bertekad untuk bisa menerima laki-laki lain. Yah, memang tak mudah tapi harus aku lakukan. Zain dan aku ngobrol sebentar soal perkuliahan dan dia cabut setelah itu. Aku keluar dari perpustakaan, tiba-tiba ada cowok yang manggil aku.

"Anik?!" sapanya.

"Siapa ya?" tanyaku.

"Ini aku Fajrul. Kamu Anik kan?" kata cowok itu.

"Fajrul?...ya ampuuuunnn....Fajrul?! Lho, kamu kuliah di sini?" tanyaku.

Fajrul adalah cowok yang dulu pernah jadi korbanku. Dia orang yang pertama. Aku nggak nyangka dia juga di UI juga. Anaknya tampangnya agak alim gitu. Pake kemeja, rapi, ia bawa ransel Eiger dan sepatu kets.

"Kamu kuliah di sini juga?" tanya Fajrul.

"Iya, hehehe. Wah kamu ikut UKI ya? Tampang-tampang gini," kataku.

"Wahahahaha, iya. Anak komunikasi?"

Aku mengangguk.

"OOoo sama Zain berarti ya?"

"Iya, koq tahu?"

"Ya tahulah. Zain nggak cerita kalau kamu juga kuliah di sini."

"Kamu anak mana?"

"Anak Psikolog."

"Ohh..."

"Eh, ya udah. Aku mau cabut."

"Ok."

"Eh bentar, minta no hp atau BBM?"

Setelah kita bertukar no hp dan BBM dia pun pergi meninggalkan aku. Hari ini aku mau ngumpulin tugas, trus setelah itu pulang. Gerah banget.

***

"Anik, dicariin Zain tuh," seru Yuli. Yuli ternyata juga baru pulang dari kampus. Aku hampir lupa kalau hari ini aku ada janji ama Zain buat nonton.

"Suruh tunggu sebentar!" seruku dari dalam kamar. Aku buru-buru dandan. Pakai baju apa yah? Koq aku pusing sih? Ambil aja deh baju warna hitam, kerudung kotak-kotak warna hijau dan rok panjang. Aku akhir-akhir ini lebih sering pake rok daripada celana kalau keluar. Nggak tahu kenapa. Mungkin ngikuti cara berpakaiannya Mbak Rahma. Ibu saja sampai bilang aku mirip banget ama Rahma kalau pake rok. Masa' iya?

Tapi memang, sekilas kami memang mirip satu sama lain. Awalnya Ibu bilang Mbak Rahma yang mirip aku karena pakai kacamata. Trus sekarang makin mirip ketika aku pakai rok. Setelah rapi aku pun keluar dari kamar. Kulihat Zain sudah ada di ruang tamu sedang membaca-baca majalah.

"Hai, jadi berangkat?" tanyaku.

"Yuk!" kata Zain.

Sore itu aku habiskan waktu bersama Zain. Aku tahu dia punya perasaan kepadaku. Tapi, apa aku sudah siap untuk membuka diriku. Aku mencoba memahami diriku sendiri. Bagaimana perang batin agar aku bisa merupakan Rian bergejolak. Aku mengutuk diriku sendiri sekarang. Pikiranku benar-benar kacau. Masalah kuliah, masalah Rian. Kenapa dia mesti hadir di dalam kehidupanku?

Dibonceng Zain seperti ini, aku jadi ingat bagaimana dulu aku dibonceng oleh Rian. Aku jadi kangen ama Rian. Aku ingat dulu ketika aku dibonceng aku pasti menciumi punggung Rian. Entah dia merasakannya atau tidak. Pipiku kutempelkan di punggung Zain. Aku ingin menganggap ini adalah Rian. Kupeluk Zain dengan erat.

"Kamu nggak apa-apa, Nik?" tanya Zain.

"Nggak apa-apa koq. Udah nyetir aja!"


#Pov Yuli#

[narator: Timeline Yuli ini adalah sebelum pernikahan Rahma]

Arrghh...gue nggak nyangka punya sepupu yang O'onnya nggak ketulungan. Ya, si Anik itu. Dulu ada cowok yang suka ama dia dengan tulus, eh dipermainkan. Sekarang ia menyesal. Dan gue baru tahu kalau sepupuku ini orang yang sangat gagal Move On. Anik, Anik gemes deh dengerin kisah cintanya.

Hari ini gue lihat Anik udah mau berangkat ke kampus aja. Rajin banget dia. Kalah deh gue. Tiap pagi dia sudah bangun buat sholat subuh. gue malah molor. Hihihihi. Gara-gara Anik juga gue bisa berubah, mulai yang nggak pernah sholat jadi mulai agak rajin sholat. Walaupun masih ada yang bolong. Dan gara-gara Anik jugalah akhirnya gue mulai jaga kelakukan. Nggak pake baju-baju seksi lagi kalau keluar. Yah, walaupun begitu tetep aja kalau udah ketemu ama temen-temenku jadi liar deh.

Gue boleh dibilang masih single, jomblowati. Aneh juga dan heran karena gue ini nggak dibilang jelek juga sih, pakaianku tiap keluar juga seksi, bahkan banyak pasang mata cowok yang ngelirik, tapi yang nembak gue lho koq nggak ada. Apa ada yang salah sih? Bau badan? No way! gue itu pasti pake parfum. Wangi! Beda ama Anik, dia pake kerudung, rapi, modist, sopan, banyak banget yang deket dia.

Baru semester satu aja udah ada tiga cowok berbeda yang berkunjung buat maen ke rumah. Dari Zain, Irwan ama seniornya namanya Luki. Entah deh, apa dia pake pelet ya? gue pun tanya ama dia sebelum berangkat ke kampus.

"Eh, Nik. Boleh tanya nggak?" tanyaku.

"Apaan?"

"Lo itu koq banyak cowok yang deketin sih? Dari mulai Rian, Zain, Irwan, Luki. Lo pake pelet yah?"

"Yul yul, jaman sekarang pake pelet? Nggak lah. Aku biasa aja koq."

"Lha itu buktinya, koq banyak cowok yang ngamplok kayak cicak?"

"Entah deh, aku juga nggak ngerti. Yang jelas, aku tahu koq siapa cowok yang bener-bener tulus, mana yang nggak."

"Dari mana lo tahu?"

"Dari ini Yul," Anik menunjuk ke hatiku.

Gue selama ini menganggap itu cuma bualan. Karena cowok itu pastinya ya suka cewek yang modelnya seperti gue ini. Tapi ternyata cara itu emang nggak cocok koq. Buktinya gue masih sendiri aja tuh sampai sekarang. Makanya gue coba deh berguru ama Anik, siapa tahu emang ada caranya. Tapi kalau kata dia tahu cowok yang tulus atau nggak dari hati ya aku bingung, gimana nilainya?

"Gue selama ini mikir itu semua cuma omong kosong, Nik," kataku. "Buktinya aku sudah pake pakaian seksi, pake parfum wangi, ya banyak sih yang ngelirik tapi yang nembak gue nggak pernah ada."

"Yul coba deh sekarang mbak ubah sedikit sifat mbak. Maaf lho ya, aku nggak bermaksud menggurui. Siapa tahu jodoh mbak itu bukan di tempat yang biasanya mbak nongkrong. Kalau selama ini mbak pergi ke kafe atau mall coba deh yul ubah haluan. Pergi ke perpustakaan kek, pergi ke tempat-tempat yang menyejukkan mata, merilekskan pikiran, biasanya akan ada yang nyamperin."

"Apa ya di Jakarta ini, tempat yang seperti itu mana ada? yang menyejukkan mata dan merilekskan pikiran?"

"Kalau kamu berusaha pasti ada koq. Trus cowok itu suka ama cewek yang jual mahal. Semakin mahal harga seorang cewek maka dia akan banyak yang ngejar."

"Maksudnya gue harus matre gitu?"

"Bukan. Hargailah diri mbak sebagai wanita yang dihormati. Coba deh sekarang pakaiannya nggak seksi, tapi tetep modist. Norma, jadi diri sendiri."

Gue terdiam. Kaget denger kata-katanya. Apa selama ini aku seperti itu? Nggak menghormati diriku sendiri? Terlalu murah memampangkan diriku kepada cowok-cowok?? Tapi emang bener koq. Gue kepengen nyoba. Nggak ada salahnya kan nyoba?

"Udah ah, Yul. Aku berangkat dulu. Be a good girl ya?"

Gue tersenyum kepadanya. Dan mulai saat itulah gue berubah. Efeknya cukup luar biasa sih. Hehehehe. Mulai banyak cowok-cowok yang deketin. Dan setelah itu ada cowok yang nembak gue, namanya Fajrul seorang pengurus UKI. Adik kelas sih. Awalnya aku kira cowok UKI itu orangnya alim-alim, tapi yaaahhh...sama aja.

Awal pertama kali kami kenal ia cukup alimlah. Aku seneng ama cowok alim. Ia bahkan tak pernah minta yang neko-neko, seperti pegangan tangan kek, ciuman kek, aku cukup nyaman selama pacaran ama dia. Tapi tak selamanya demikian.

Setelah dua kami bersama, mulai deh ketahuan sifat aslinya. Hari itu liburan semester. Anik nggak kemana-mana. Menghabiskan waktu di rumah bantu-bantu nyokap ama bokap di rumah. Cuman aku yang keluyuran. Mungkin emang sifatku yang seperti ini. Dan keluyuranku adalah ke tempatnya Fajrul. Iseng aja sih sebenarnya.

"Permisi?! Fajrulnya ada?" tanyaku.

"OO...cari mas Fajrul? Ada mbak," kata seorang cowok yang saat itu sedang ngutak-atik sepeda motor. Ia segera bergegas masuk ke rumah, "Jrul! dicariin cewek!"

"Siapa?" terdengar suaranya.

"Nggak tahu, cakep pokoknya," kata cowok tadi. Ia segera keluar dari rumah dan kembali ngutak-atik motornya. "Udah mbak, habis ini keluar dia."

Dari dalam tampak aku lihat Fajrul. Dia pakai celana selutut dan kaos oblong.

"Lho, Yuli? Koq nggak disuruh masuk, Rom?" kata Fajrul.

"Lha? gue nggak sembarangan cewek boleh masuk?" kata cowok tadi.

"Ini cewek gue," kata Fajrul sambil menggandengku.

"Ohh...ceweknya. Maaf mbak, hehehehe," kata cowok tadi.

"Misi ya mas," kataku sambil berjalan mengikuti Fajrul

Kejutan. Aku nggak pernah masuk ke kamar cowok. Ini adalah untuk pertama kalinya. Kamarnya berukuran 3x3m, cukup besar sih untuk ukuran kamar kost. Di dindingnya ada poster-poster pemain bola dan bendera klub Intermilan. Kamarnya cukup berantakan, berantakan sekali malah. Hehehehe.

"Sorry Yul, berantakan," katanya.

"Nggak apa-apa," kataku.

"Ada keperluan apa?"

"Surprise aja sih, kepengen tahu tempat kost lo, hehehehe."

"Aduh, gue jadi malu."

"Lagi ngapain tadi?"

"Hmm...lagi....,"

"Hayo lagi ngapain?" aku lalu berdiri menghampiri meja belajarnya, laptopnya masih menyala dan aku melihat sebuah video yang sedang dipause. Seorang cewek sedang menjulurkan lidahnya, dan di depannya barang laki-laki mengeluarkan cairan putih. Heh? Ini film porno!

Fajrul buru-buru menutup laptopnya.

"Halah Jrul, nggak usah ditutup. Kalau memang itu sih semua cowok juga tahu. Lagi lihat bokep ya?"

"I...iya, hehehehe."

"Hmmm...katanya anak UKI, koq lihat bokep?"

"Yah, mau gimana lagi Yul. Wajar dong, lagi puber koq. Kamu keberatan Yul? Aku hapus deh kalau gitu," ia membuka laptopnya lagi.

"Nggak, nggak koq aku nggak keberatan. Menurutku cowok lihat bokep itu wajar, bahkan itu nggak munafik. Aku suka orang yang apa adanya koq."

"Sungguh?"

Gue mengangguk. Kulihat wajahnya lega. Kami jadi ketawa-ketiwi setelah itu. Hmm...begitulah sifat asli Fajrul dan dari sinilah ia pun makin terbuka ama gue. Namun, keterbukaannya itu makin membuatku bersalah. Seharusnya gue biarkan ia dengan sifat dia yang munafik itu. Membiarkan dia jujur, sama saja membiarkan melepaskan macan dari kandangnya. 


BAB XXIII

Firasat




Cinta sejati itu misteri
Terkadang perasaan yang terlalu kuat bisa menimbulkan firasat
Hanya saja terkadang mereka tak saling menyadari

#Pov Yuli#

Hubunganku dengan Fajrul kian hot. Aku bahkan tak segan-segan untuk minta diciumnya, atau bahkan dia sendiri yang meminta. Sekalipun begitu kami tetap jaga diri agar jangan kelewatan. Namun tidak pada hari itu.

Hari Jumat, aku main ke kostnya lagi. Sebenarnya tidak sengaja aku berada di kostnya. Hanya setelah tadi jum'atan aku nebeng sih kepengen ke rumah temen karena masih satu jalur. Eh, malah kehujanan. Akhirnya sementara berteduh di tempat kostnya.

"Lho, koq sepi ya kost lo?" tanyaku.

"Paling juga masih pada keluar semua, belum balik. Mau minum apa? Aku buatin?"

"Yang anget-anget aja deh."

"Beres."

Fajrul pergi ke dapur, aku duduk aja di kamarnya. Sepi banget tempat kostnya kaya' kuburan. Hanya suara air hujan yang turun cukup deras hari itu satu-satunya yang membuat suasana sedikit ramai. Aku kemudian menghabiskan waktuku bermain-main jejaring sosial sebentar. Tak berapa lama kemudian Fajrul datang sambil bawa nampan yang di atasya ada teh ama kopi. Dia taruh nampan itu di atas meja belajarnya.

"Waah...asiik ada yang anget-anget," seruku. Segera aku ambil segelas teh itu. Fajrul mengambil kopinya. "Kamu suka kopi ya?"

"Yup, hampir tiap hari ngopi," jawabnya.

Gue akhirnya menikmati teh anget ini. Dingin-dingin minum teh anget, sip deh. Gue pertamanya sih nggak curiga waktu Fajrul menutup pintu kamarnya. Sebab setelah itu dia minta ijin untuk ngerjain tugas, lalu dia buka laptopnya dan mulai ngerjain sesuatu. Aku sibuk sendiri dengan ponselku. Nah, aku mulai aneh. Koq badanku panas ya? Trus merinding. Memekku pun rasanya gatel. Aku coba membenarkan posisi dudukku. Trus aku gesek-gesek pake tangan, seperti aku ketika mastrubasi sendiri. Ahh...koq enak? Waduh, aku sange nih kaya'nya.

Apa karena aku ada di kamar Fajrul trus cuaca hujan ya? Tapi ini kuat banget. Aku jadi punya pikiran yang aneh-aneh. Apa Fajrul ngasih aku obat perangsang? Aku tepis pemikiran itu. Dia itu anaknya baik, nggak mungkin melakukan hal-hal seperti ini. Makin lama aku beneran sange nih. Fajrul masih ngetik aja di laptopnya sambil sesekali nyeruput kopi yang ia seduh tadi.

"Akhirnya selesai juga," gumam Fajrul. Setelah itu ia menoleh ke arahku. Duh, kenapa gue sekarang butuh Fajrul ya? Brengsek ah.

"Jrul, lo tadi naruh obat perangsang ya?" tanyaku.

"Hah? Obat perangsang?"

"Halah, nggak usah bohong deh. Gue tahu koq, gue sekarang lagi sange berat ini. Lo harus tanggung jawab!" kataku.

"I..itu...,"

"Ayo sinih, cepetan!" kataku.

Fajrul kikuk, ia pun mendekat ke arahku. Aku langsung tarik tangannya dan kami bergumul di atas kasurnya. Dan dimulailah pertempuran kami. Dengan ganas aku menghisapi bibirnya. Ini bukan pertama kali aku berciuman. Dulu waktu SMA aku pernah koq ciuman ama cowokku. Dan dia juga orang yang pertama kali ngambil keperawanan gue.

"Hmmhhhhhmmm...kamu ternyata cowok nakal ya, Jrul?" bisikku sambil terus menciuminya.

"Yul, kamu seksi banget sih," bisiknya.

"Lo kalau mau bilang aja, nggak usah pake obat segala. Pokoknya kalau gue belum KO, lo harus muasin gue!"

"Siap nyonya," katanya.

Fajrul pun semangat ia buka kancing bajuku, ia juga buka kaosnya. Aku membuka kaitan braku dan melemparnya. Fajrul tampak takjub dengan dua buah dadaku. Ia tak henti-hentinya menatapnya.

"Udah, koq nggak dilanjut? Dilihatin melulu," kataku.

Fajrul langsung deh menciumi dadaku, sasaran utama langsung ia kenyot puting susuku. Aku menggelinjang hebat. Buru-buru aku juga melepaskan rokku, dalam sekejap aku dan Fajrul sudah telanjang satu sama lain. Dia cukup lihai memberikan rangsangan-rangsangan ke seluruh tubuhku. Kulihat penisnya yang berotot mengacung ke arahku. Dia arahkan batang itu ke mulutku. Aku ngerti apa yang ia inginkan. Segera saja aku hisap pionnya.

"Aahh...Yul...enak Yul...," rancaunya.

Kepalaku maju mundur memberikan efek surga dunia kepadanya. Aku bantu dia mengocok dengan tangan dan kepala pionnya aku remas-remas dengan bibir dan lidahku. Efeknya luar biasa. Dia meremas-remas kepalaku. Ia ingin agar penisnya bisa makin dalam kerongkonganku.

Gloogkkkhh...gloggkkhh....gloggkkkh

Batangnya masuk penuh ke mulutku. Hampir saja aku muntah, tapi aku suka. Aku benar-benar bernafsu. Setelah Fajrul puas, ia kemudian mencabut penisnya dari mulutku. Dia buka lebar kakiku. Pasti ia takjub dengan pemandangan di bawah sana. Ia ciumi memekku yang sudah basah. Lidahnya kemudian mulai aktif menjilat dan menghisap. Aahhh...gilaaakk...enak banget.

"Terusin Jrul, iya di situ...ohh...aaahhh....cepetan! puasin gue, aduhhh....aaahhh...iaaaahhhh!"

"Tenang habis ini aku berikan koq," kata Fajrul.

"Udah Jrul...langsung aja. Udah nggak tahan!" kataku.

Tapi Fajrul tetep menjilati memekku sampai bener-bener banjir. Dannn....ahhh...gue nyampeee....aahhh...aaahhh. Pantatku kuangkat. Pungguku melengkung dan kedua tanganku mendekap kepala Fajrul. Brengsek ini anak, hebat bener mainnya. Aku curiga kalau dia pasti pernah melakukan ini sebelumnya.

Melihat aku keluar Fajrul mulai naik sekarang. Mulutnya masih belepotan cairan kewanitaanku. Aku tak peduli. Aku langsung ciumi dia, kuhisap apa yang ada di dalam mulutnya. Tanpa diaba-aba ia tiba-tiba langsung menusukkan senjata tumpulnya ke liang senggamaku. SLEBB...mudahnya, karena aku benar-benar sudah banjir. Otot-otot vaginaku langsung mencengkram pusaka Fajrul yang keras itu.

"Ahhh....Yul, enak banget Yul!" bisik Fajrul.

"Iya Jrul, enak banget. Ayo genjot! Ahhh....!"

Fajrul mulai menggenjot pantatnya. Batangnya mulai keluar masuk, menggesek rongga vaginaku. Bahkan kemaluannya pun menggesek klitorisku. Aduuhh...nikmat, aku nggak nyangka aku bisa ngentot ama anak UKI ini. Dari luar dia kelihatan alim, dalemnya ya sama aja. Suka ngewe. Fajrul mencoba berbagai gaya, dari misionari, gaya miring, 69, doggie, macem-macem. Hingga aku keluar berkali-kali. Tapi kuat sekali ni anak, dari tadi blom keluar-keluar.

"Lo kuat banget Jrul? Kapan keluarnya?" tanyaku sambil berada di atasnya dengan posisi WOT.

"Bentar lagi sayang? Ini...ahh...nyampe...nyampe..!"

"Iya,...aku bisa rasain, keras banget lo," kataku.

Aku makin liar menggoyang pantatku. Fajrul pun menekan-nekan pantatnya ke atas. Dan, beneran ia keluar. Diremasnya toketku. Aku pun ambruk. Semprotan lahar kentalnya benar-benar memabukkanku. Aku puas...puass banget. Nafas kami memburu. Aku ambruk di atas tubuh telanjangnya. Penisnya masih berkedut-kedut aja nyemprot di dalam.

"Makasih ya sayang," kata Fajrul.

"Huuu...dasar. Lain kali kalau kepengen bilang aja," kataku.

"Hehehehe, gimana? Puas?" tanya Fajrul.

"Iya, tulangku rasanya copot semua, hebat kamu Jrul," kataku.

Setelah peristiwa di kosan itu aku dan Fajrul sering bercinta kalau ada kesempatan. Entah di kosnya atau check in. Di rumahku? Nggak. Gila apa, ibu ada di rumah koq. Lagian tamu cowok juga jarang yang mampir ke rumahku. Alasannya takut ama bokap. Bokapku termasuk kolot soal temen laki-laki. Pasti diinterogasi macem-macem kalau bertamu.

Hubunganku ama Fajrul terus berlanjut, hanya sayang akhirnya kandas. Hal itu karena Fajrul udah nggak asik lagi. Dia hanya kepengen dapat pelampiasan aja ke aku. Dan fetishnya agak aneh sih. Akhir-akhir sebelum kita putus dia selalu dandanin aku pake kerudung gitu. Dan tiap kali ngentot pasti aku disuruh pake. Aneh kan? Dari situ akhirnya aku tahu kalau dia emang tergila-gila ama cewek berjilbab. Mungkin karena dia sering lihat temen UKI yang pake berjilbab dan dia melampiaskannya kepadaku. Sungguh sinting anak ini. Akhirnya aku nggak mau lagi jalan ama dia. Dan aku pun jomblo lagi.

Sampai kemudian Anik curhat kalau Rian mau nikah ama kakaknya. Aku kaget juga sih. Koq bisa? Akhirnya dari situlah Anik nyesel banget kenapa dulu nggak pernah berkorban demi Rian. Akhirnya dia aku dampingi pulang ke Kediri, sekaligus mewakili bokap karena nggak bisa dateng ada urusan di Lampung. Maklum bokapku ini kerjanya di perkapalan, jadi sering keluar pulau gitu.

Singkat ceritanya setelah hari pernikahan. Aku mau balik ke Jakarta ama Anik. Aku baru tahu sosok Rian yang sebenarnya. Anaknya sih biasa saja. Tapi ramah banget. Dari cara dia menyapaku, menyapa orang-orang, sepertinya ia disukai banyak orang. Aku saja sudah dianggap sebagai keluarga. Yah, kami kan akhirnya jadi keluarga toh? Aku kan masih sepupu sama Anik dan Rahma. Jadinya ya dia keluargaku juga sekarang.

"Mbak Yuli, boleh ngobrol sebentar?" tanya Rian.

"Apaan?" tanyaku.

"Sebentar aja, keluar dulu yuk!" katanya.

Aku dan cowok yang diperebutkan oleh dua bersaudari ini pun keluar. Dia mengajakku ngobrol di teras. Sepertinya ada yang ingin dia bicarakan serius.

"Ada apa?" tanyaku.

"Mbak, aku boleh minta tolong ke mbak?" tanyanya.

"Apa?"

"Tolong jagain Anik, ya?"

"Hah? Maksudnya?"

"Aku dapat firasat buruk, sepertinya Anik bakal dapat musibah."

"Ah, lo ini aneh-aneh aja Rian. Firasatmu itu...."

"Mbak, dengerin dulu!" kata-kataku dipotong oleh Rian.

"Ya ya aku dengerin."

"Semalam aku bermimpi, Anik tenggelam. Ini firasat yang jelas nggak enak. Tolong deh mbak. Awasi Anik bener-bener."

"Lo masih suka ama Anik?"

"Hah? Maksud mbak?"

"Gue tahu semuanya dari Anik kalau kalian dulu pacaran."

"Iya, benar. Tapi tolong deh mbak. Ya? Perasaanku nggak enak saat ini."

Aku menghela nafas. "Iya deh, iya deh. Gue akan jagain Anik."

Rian tampak lega mendengar itu. "Makasih mbak. Makasih."

"Rian, aku kepengen tanya ama kamu."

"Apa mbak?"

"Kalau misalnya nih ya. Misalnya, Anik ama Rahma belum pernah lo tembak. Maksudku misalnya kita kembali lagi ke awal di mana lo belum punya hubungan dengan keduanya. Lo bakal milih siapa?"

Rian berpikir sejenak, kemudian dengan mantab ia menjawab, "Aku akan pilih Anik."

DUEEERRR! Edan ini anak. Jawaban ini mengejutkanku.

"Kenapa lo milih dia?"

"Karena sejak dulu aku suka ama Anik dan rasa itu masih ada sampai sekarang. Mbak mau jaga rahasia?"

"Iya, apa?"

"Walaupun sekarang aku harus menulis sisa hidupku bersama Rahma, dari lubuk hatiku yang paling dalam aku masih menyukai Anik. Itu rasanya sulit dihapus. Rahma juga tahu kalau aku suka ama adiknya. Dan Anik juga tahu, tapi ini sudah menjadi keputusanku. Aku telah memilih Rahma sebagai istriku, dan aku tak bisa mengubah itu. Kisah cintaku dengan Anik sudah berakhir, dan aku punya kisah cinta sendiri sekarang dengan Rahma."

"Anjir lo, sok puistis. Tapi lo ini emang O'on sih, bener kata Anik."

"Hah?"

"Ada lagi?"

"Boleh minta nomor telp dan BBM-nya?"

"Boleh."

Setelah kami saling tukar nomor telepon dan BBM. Aku pun pergi.

"Beneran ya mbak, jagain Anik."

"Iya, iya. Oh iya, kaya'nya kamarmu butuh pengedap suara deh."

"Buat apa?"

"Habis tadi malem kedengeran sampe orang serumah nggak bisa tidur."

"Eh? Beneran? Aduh....malu aku."

"Hihihi, sante aja. Maklum Yan, pengantin baru. Hahahaha."

Aku segera balik ke kamar untuk mengepak barang-barang. Di kamar aku melihat Anik juga sudah mengepak barang-barang.

"Ngobrol apa ama Rian, Yul?" tanya Anik.

"Ada deh. Kenapa? Cemburu? Dia udah jadi iparmu lho."

"Nggak, ah. Udah. Ditanyain beneran koq jawabnya apa."

"Hehehehe. Rian itu baik ya. Pantes elu nggak bisa move on ama dia."

"Udahlah Yul, udah. Dia udah jadi iparku, nggak mau aku ngerusak rumah tangga orang."

"Iya, iya," aku berhenti menggodanya. Anik, Anik, kalian berdua ini sekalipun jauh ternyata masih ada percikan-percikan bunga cinta di antara kalian. Sayang nasib kalian harus sampai di sini. Aku berdo'a agar kamu bisa move on Nik. Rian sudah jadi ipar kamu, so live must go on.


BAB XXIV

This Is (Not) First Date




Tataplah masa depan Move On!

#Pov Anik#

Ada dua orang yang nembak aku. Zain sama Fajrul. Semuanya sama-sama temenku waktu SMA, tapi Fajrul lebih ke kakak kelas sih. Kejadian dengan Zain adalah ketika kami jalan-jalan aja buat beli buku. Lama nggak beli buku, sekali beli buku Zain pun ngajak aku. Sebenarnya Zain udah nembak aku berkali-kali dan tetep aku tolak. Tapi kali ini aku bilang ke dia lain daripada biasanya.

Setelah kami membayar buku yang dibeli Zain ngajak aku ke kafe sebentar buat ngopi-ngopi sambil nikmatin buku yang barusan dibeli. Kafenya nggak jauh. Begitu kami sudah dapat tempat duduk, Zain langsung pesen Cappucino, aku juga.

"Suka ya kamu ama novel-novel percintaan gitu?" tanya Zain.

"Yah, begitulah," jawabku.

"Kamu sendiri lebih suka novel fantasy sepertinya."

"Yup, bener."

"Kamu kira-kira malem minggu kosong nggak?"

"Kenapa?"

"Aku mau ngajak kencan kamu."

"Heleh."

"Lho, kenapa? Kan wajar toh. Kamu sedang jomblo, di sini ada lelaki yang sudah siap menantimu sejak dulu."

Aku tak menjawab.

"Koq diem?"

"Udah Ah, Zain. Lain kali aja."

"Kenapa? Aku tahu kamu nggak ada acara tiap malem minggu, makanya aku mau ngajak keluar. Rian kan udah menikah tuh, kamu pastinya udah tak berharap lagi kepadanya kan?"

"Iya sih."

Tiba-tiba Zain berlutut di depanku, "Nik?"

"Aduh, Zain! Ngapain sih? Malu!"

"Nik, aku selama ini masih setia menunggumu. Aku luangkan waktuku untuk dirimu. Aku juga bela-belain kamu yang kehujanan, dengerin curhat kamu. Semuanya karena aku menunggumu untuk bilang 'iya'. Kamu tahu perasaanku kepadamu seperti apa. Aku maafin koq apa yang telah kamu lakukan dulu, aku maafin. Aku bukan Rian yang nggak pemaaf. Aku orangnya pemaaf. Bahkan segala sikap dinginmu aku maafkan. Dan kini aku meminta kepadamu Nik, mau kah kamu jadi kekasihku?"

Zain menggenggam tanganku. Aduuuhh...posisinya seperti ngelamar aku. Aku jadi terharu ama sikapnya selama ini. Aku ingin bisa move on. Aku berusaha. Berusaha. Dan apa yang keluar dari mulutku pun aku terkejut.

"Aku pikir-pikir dulu ya," kataku. Bego, kenapa aku bilang begitu kalau emang benar kepingin move on. Tampak raut wajah kecewa terpancar dari wajah Zain. "Tapi tenang aja, aku emang jomblo koq. Blom ada pacar, jadi kesempatanmu masih terbuka seratus persen."

Zain tersenyum.

"Udah ah, malu kaya' gini, tuh mas-masnya datang!" kataku.

Zain langsung kembali ke tempat duduknya ketika Cappucino pesenannya datang. Kami tersenyum penuh arti. Aku mengutuk diriku sendiri. Kamu bego Niiikk...emang bener, Begonya Rian pindah ke kamu! Duh.

***

Di hari yang berbeda dengan Fajrul. Saat itu aku sedang asyik duduk-duduk sama mahasiswa lain. Saat itulah Fajrul menghampiriku. Katanya ada sesuatu yang ingin dia bicarakan. Akhirnya aku pun menurut dan ikut bersama dia. Ternyata dia mengajak aku sedikit menjauh dari teman-temanku.

Aku dan Fajrul memang mulai dekat selama beberapa bulan ini. Dia juga anaknya baik. Selalu menolong aku kalau dalam kesusahan. Dia juga kadang nasehatin aku seperti khas anak-anak UKI, sok dakwahlah. Hahahaha. Tapi emang anaknya asyik kalau diajak ngobrol. Murah senyum dan kata temen-temen dia disukai banyak akhwat di kampus. Mungkin kalau sekarang ada sayembara bakal banyak yang ngantri buat dapetin cintanya. Dia agak lain hari itu emang.

"Ada apa?" tanyaku.

"Nik, gue pengen ngomong sesuatu yang penting. Tapi boleh nih tanya-tanya dulu?"

"Apaan?"

"Kamu punya pacar?"

"Nggak. Kenapa?"

"Bener?"

"Ealah, mau nembak aku?" langsung saja deh aku to the point.

"Waduh?"

"Bener kan?"

"II..iya..." tampak Fajrul gugup dan kikuk.

"Hahahaha...kamu nggak berubah Jrul. Duh, aku ini emang cakep ya? Perasaan banyak yang lebih cantik dari aku. Tuh si Zaitun, cantik orangnya, pake jilbab pula. Kenapa nggak milih dia? Atau Si Erlin, dia juga cantik, manis, cerdas. Banyak tuh cowok-cowok yang ngantri ama dia."

"Sejujurnya aku suka ama kamu sejak SMA, Nik. Aku tahu kamu dulu suka mainin perasaan cowok. Tapi...aku sekarang udah maafin kamu. Dan kalau bisa, aku ingin kamu jadi kekasihku lagi, tapi ini beneran bukan bohongan seperti dulu kamu taruhan ama temen-temenmu," kata Fajrul.

Inilah yang aku nggak tahu. Kenapa sih para cowok itu ngerubuti aku? Nggak si Zain, nggak Fajrul ini, sebelumnya juga ada yang lain. Sebenarnya apa yang ada pada diriku? Aku juga nggak tebar pesona koq. Profile facebook-ku saja aku ganti gambar bunga biar nggak ada yang usil ama aku. Dan sekarang nggak yang ikut UKI nggak yang biasa semuanya nembak aku. Bikin galau saja mereka ini.

"Koq diem, Nik?"

"Yee, aku bingung tauk! Banyak yang nembak aku."

"Hah? Beneran?"

"Ya udah deh, aku pikir-pikir dulu ya."

"Koq pikir-pikir? Jawab sekarang dong!"

"Duh, nggak bisa Jrul. Ntar aja deh ya?"

"Oke. Dua hari lagi?"

"Oke deh. Ntar aku kasih kabar."

Setelah itu Fajrul bergegas pergi. Gila, gila, gila. Aku menghela nafas panjang. Kalau aku tolak mereka semuanya juga kasihan sih. Aku harus gimana sekarang? Pilih Zain apa pilih Fajrul?

Malamnya aku BBM-an ama Zain


Me: ping!

Zain: Yap?

Me: Masih mikirin jawabanku?

Zain: Iyalah, gimana?

Me: Hmm...aku bingung Zain.

Zain: Bingung gimana?

Me: Sejujurnya yah, aku sekarang sedang belajar untuk move on. Bener yang kamu bilang, aku memang nggak boleh terus-terusan begini. Aku juga tahu kamu baik ama aku, selalu ada untukku.

Zain: Trus?

Me: Kalau aku terima, kamu nggak marah kalau seandainya aku masih belum bisa melupakan Rian?

Zain: Aku tahu koq, Nik. Melupakan orang yang dicintai itu butuh proses. Aku bisa mengerti itu.

Me: Kamu mau bantu aku biar aku tak ingat Rian lagi?

Zain: Aku akan bantu kamu. Apapun yang kamu inginkan.

Me: Kamu selama ini baik ama aku Zain, mau berkorban buat aku. Tapi aku tak pernah menganggapmu.

Zain: it's ok. Aku bisa memahaminya.

Me: Kamu mau ngajak aku keluar besok?

Zain: Keluar?

Me: Terserah deh, mau ajak aku kemana.

Zain: Yakin?

Me; kamu mau jawaban iya atau tidak?

Zain: Eh? Jadi jawabannya.

Me: Iya.
Lega rasanya setelah bilang itu ke Zain. Selamat tinggal Rian. Aku akan menjadikanmu momen terindah dalam hidupku. Tapi hidupku masih terus berjalan. Aku tak mau terkurung dalam bayang-bayangmu terus. Aku putuskan aku akan jalan sama Zain. Nggak tahu ke depannya nanti seperti apa.

Aku yakin Zain sekarang sedang gembira melihat jawabanku di BBM-nya. Sebab setelah aku bilang Iya, ia tak membalas lagi. Hihihi. Zain, kalau ingat tampang culunnya pas SMA dulu, aku jadi ketawa sendiri. Sekarang ia banyak berubah.

#Pov Yuli#

TING TONG! Hah? Ada tamu?

"Sebentar!" kataku. Aku segera keluar dan membuka pintu. Dan aku kaget setengah mati. "FAJRUL?!"

"Lho, Yuli? Kamu tinggal di sini?" katanya. Fajrul. Aku ingat dia. Tentu saja aku ingat.

"Iya, tinggal di sini. Mau apa?" tanyaku sedikit sewot.

"Sabar dong! Aku kemari mau ketemu ama Anik," jawabnya.

"Anik? Kamu kenal Anik?"

"Kenallah, dulu temen SMA, sekarang kuliah di UI, kebetulan nggak tuh?"

"Oh, begitu."

"Siapa Yul?" tanya Anik yang keluar kamarnya pake kerudung.

"Fajrul!" jawabku.

"Oh, suruh masuk aja nggak apa-apa!" kata Anik. Duh Nik, kamu koq bisa kenal ama buaya ini ceritanya bagaimana?

Fajrul pun masuk. Aku langsung menggeret Anik untuk pergi ke kamar.

"Sebentar ya!?" kataku ke Fajrul.

Anik agak kaget dengan ulahku. Pintu kamar kututup.

"Eh, lo kenal ama Fajrul?" tanyaku.

"Kenal dong, dia temenku SMA, seniorku dulu," jawab Anik.

"Nik, lo harus jauhin dia!" kataku.

"Kenapa?"

"Udah deh, anak kaya' lo jangan sampai ketemu ama dia! Jangan pernah juga pacaran ama dia."

"Bentar Yul, koq kamu kenal ama dia?"

"Jelas kenal, aku dulu pacaran ama dia."

"Yang bener?"

"Serius ini! Beneran."

"Hmm....trus kalian putus?"

"Iya, tapi Nik. Beneran ini, jangan deket-deket ama dia!"

"Tenang aja Yul, aku cuma deket dia di organisasi. Aku juga nggak minat ama dia koq."

"Ohh...syukurlah, moga aja firasatnya nggak benar."

"Firasat? Firasat apa?"

"Oh, nggak. Nggak ada apa-apa. Tapi beneran lho ya, jangan deket-deket ama dia. Dia itu berbahaya Nik."

"Tapi dia anak UKI lho Yul, masa' nggak bener?"

"Gue saksinya, dia pernah jalan ama gue, ngentot ama gue juga pernah."

"Seriusan?"

Aku mengangguk.

"Oh, Ok deh. Aku akan jaga jarak ama dia."

"Nah, bagus. Trus dia kemari mau ngapain?"

"Mau ngasih berkas buat kegiatan minggu depan."

"Hmm....oke deh."

"Aku keluar dulu nemuin dia."

Anik kemudian keluar dari kamar. Aku juga. Aku trus awasi si Fajrul ini agar jangan sampai berbuat macam-macam ama Anik. Anik terlalu berharga buat orang munafik seperti Fajrul. Aku tak akan tinggal diam kalau sampai ia menyakiti Anik. Dan aku nggak nyangka firasat Rian bener. Anik dalam bahaya. Gila, gue baru kali ini melihat kekuatan cinta. Orangnya jauh di sana, tapi tahu bakal ada bahaya yang mengancam Anik. Ternyata si Fajrul. Rian, lo ngasih gua tanggung jawab yang gedhe nih. Bisa nggak gue jaga Anik?

****

Malam Minggu aku lihat Zain bertamu lagi ke rumahku. Aku langsung tanya ke Anik di kamarnya.

"Perasaan ada yang beda deh. Kamu kan nggak pernah pergi malam mingguan. Nik, lo jangan-jangan jadian ama Zain?" tanyaku menyelidik.

Anik mengangguk.

"Waah...sudah move on nih ceritanya. Selamat deh," kataku.

"Aku sedang belajar Yul, moga aja bisa ya," katanya.

"Bisa, kamu pasti bisa."

"Temenin Zain dulu gih, aku mau dandan!"

"Oke, tuan putri."

Gue segera keluar menemui Zain.

"Hai Zain, tunggu ya. Anik sedang dandan buat pangerannya," gurauku.

"Ah, Mbak Yuli ini bisa aja," kata Zain dengan malu-malu.

"Oh iya, aku titip sesuatu ya."

"Apa mbak?"

"Begini.... kan gue nggak selamanya ngawasin Anik. Gue mohon lo awasin Anik ya?! Gue khawatir aja ama dia. Yah, kamukan mobilitasnya tinggi, setiap kegiatan Anik pastinya lo juga tahu."

Zain mengerutkan dahi.

"Zain, setiap kegiatan Anik, gue mohon lo dampingi dia. Ngerti?"

"Oke deh mbak. Aku akan usahakan."

"Makasih. Oh ya, kalian udah jadian kan? Selamat deh."

"Hehehehe...ah mbak bikin malu aku aja," tampak Zain tersipu-sipu.

Tampak Anik keluar dari kamar dengan baju yang rapi. Siap kencan nih ceritanya.

"Yul, aku tinggal dulu ya?!" kata Anik.

"Eh, awas lho ya, jangan malem-malem. Ntar dikunci ama ibu kapok lo!"

"Iya iya."

Mereka berdua pamit. Aku hanya bisa melihat mereka pergi begitu saja. Zain, sekarang harapanku satu-satunya buat menjaga Anik hanya di elo. TUNG! Ada BBM Masuk. Aku dapat BBM dari Rian. Ngapain dia BBM aku?


Rian: ping!

Me: Yap. Apa kabar Rian?

Rian: Baik mbak.

Me: Ada apa ya?

Rian: Mau tanya aja kabar Anik.

Me: Heeeh....lo udah punya istri koq masih tanyain kabar Anik?

Rian: Lho, salah ya? Dia kan juga ipar aku. Lagian Rahma juga kepengen tahu kabarnya.

Me: Yaaa, nggak juga sih.

Rian: Mbak, jujur ya. Kemarin mimpiku datang lagi. Anik tenggelam dan minta tolong. Anik nggak kenapa-napa kan?

Me: Nggak koq. Dia sehat wal afiat. Dia udah jadian lho sekarang ama cowok.

Rian: Oh ya, syukurlah kalau begitu. Siapa orangnya kalau boleh tahu?

Me: Namanya Zain, temen sekolah dulu katanya.

Rian: Ohh...si Zain itu. Tahu tahu. Dia di Jakarta toh?

Me: Lho, lo kenal?

Rian: Kenal banget mbak. Dulu anaknya culun. Nggak tahu sekarang seperti apa. Kalau Anik jadi jalan Zain sih, ya baguslah. Moga aja Zain bisa melindungi dia.

Me: Rian, gue mau ngasih tahu sesuatu.

Rian: Apaan?

Me: Ehhmm...nggak jadi deh. Ntar aja kapan-kapan.

Rian: Ya udah. Makasih ya mbak.
Nah, kan? Rian ini emang firasatnya kuat ama Anik. Kaya'nya mereka berdua ini sebenarnya harus dipasangkan koq. Duh, kenapa jadi complicated gini ya? Di sisi lain Rian nggak mungkin deketan ama Anik. Dia udah punya bini. Tapi di sisi lain perasaannya ama Anik kuat banget. Apa sebenarnya cinta sejati Rian ini adalah untuk Anik ya? Ini bener-bener sinting. Kenapa gue yang pusing mikirin mereka coba?


BAB XXV

Perawan di Sarang Penjahat Kelamin




Terkadang suara orang yang dicintai adalah sebuah harapan
Dan terkadang kita juga salah menilainya


#Pov Anik#

Aku bernyanyi pagi itu. Lagu Sheila 7 On (iya kami anak Kediri kadang nyebut band Sheila on 7 itu dibalik jadi Sheila 7 on). "Jadikanlah aku pacarmu, kan kubingkai slalu indahmu...."

"Cieee....ciee...yang lagi kasmaran," celetuk Yuli.

Aku cuek. Lagi seneng koq. Aku membersihkan rumah sama Yuli. Tadi malam Zain menciumku. Aduhhh....baru kali ini Zain menciumku. Dia adalah lelaki kedua yang menciumku setelah Rian. Jadi kemarin malam kami habiskan waktu jalan-jalan dan ngobrol banyak hal. Dan selama jalan Zain menggenggam erat tanganku. Kita gandengan gitu. Dia tak kalah romantisnya ama Rian. Ternyata masing-masing cowok itu punya cara tersendiri untuk mengungkapkan cintanya.

Dan di akhir waktu sebelum kita berpisah, Zain menciumku di depan rumah. Tentu saja aku kaget. Takut kalau-kalau ada yang lihat. Ah, tapi masa bodoh. Aku sekarang benar-benar sedang kasmaran koq. Lumer deh pokoknya.

"Gimana tadi malam? Kencannya dahsyat?" tanya Yuli yang sedang membersihkan bufet dengan kemoceng.

"Halah Yul, kaya' nggak pernah tahu kencan aja," jawabku.

"Lo, diapain ama Zain? Pake ciuman nggak?"

Aku nggak menjawab.

"Hoo...berarti dicium ya? Hihihihi....nah, gitu dong. Sekarang lo tahu kan ada orang yang suka ama lo. Bagus deh, gue nggak khawatir lagi sekarang ama lo."

"Khawatir apa sih?"

"Ada deh. Pokoknya hari ini gue lega banget denger kalian jadian. Jadi gue nggak bakal dengerin curhatmu lagi. Curhat koq sedih melulu."

"Oo...berarti selama ini kamu bete ya Yul denger curhatku?"

"Nggak bete, cuman ya tiap curhat pasti soal Rian. Yang lain kek, hihihi."

"Ih, awas ya!" aku kejar Yuli. Kami jadi bergurau dan meninggalkan aktivitas bersih-bersih rumah. Kami kejar-kejaran sambil menggelitiki tubuh kami. Saling berbalas. Seneng deh kami hari itu. Dan akhirnya kami dimarahi ama budhe, kerjaan bersih-bersih rumah koq belum kelar.

Aku harus ngasih balasan nih ke Fajrul kalau aku udah jadian ama Zain. Hari ini aku mau menemui dia. Aku mau menemui dia di Starbuck Kafe. Karena aku niat cuma pergi sebentar akhirnya aku naik angkot buat pergi ke sana. Aku sengaja nggak ngasih tahu Zain, daripada ntar jadi cekcok. Yang aku kasih tahu cuma Yuli.

"Mau kemana lo?" tanya Yuli.

"Mau ke Starbuck," jawabku.

"Lho, nggak sama Zain?"

"Nggak, sendirian aja. Toh ya deket dari sini."

Tangan Yuli tiba-tiba memegang lenganku.

"Ada apa Yul?"

"Jangan pergi, Nik! Perasaan gue nggak enak."

"Apaan sih? Nggak apa-apa, cuman sebentar koq!" kataku meyakinkan dia.

"Tapi perasaan gue nggak enak, Nik. Gue hubungi Zain yah?"

"Nggak usah. Nggak apa-apa koq."

"Ya udah tapi nanti calling-calling gue yah?"

"Iya."

Yuli agaknya nggak rela melepaskan tanganku. Kenapa ini anak? Aku segera keluar setelah itu. Aku nyegat angkot trus jalan deh. Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Yah, masih lama aku ketemuan ama Fajrul. Kami kemarin janji jam setengah lima. Dan benar deh, ketika aku sampai di Starbuck, nggak ada dianya. Aku mesan kopi satu dan donat. Sambil nunggu dia aku sibuk mainin ponselku.

Tak berapa lama kemudian Fajrul datang.

"Hai Nik? Udah lama?" tanyanya.

"Nggak koq, baru saja," jawabku.

"Maaf deh, hehehe."

Aku memasukkan ponselku ke tas.

"Kamu naik apa? Pake angkot?" tanyanya.

"Iya, mau gimana lagi? Aku nggak ada kendaraan koq. Kamu naik apa?"

"Naik mobil, minjem temen. Sebentar yah mau pesen kopi dulu!"

Fajrul kemudian beranjak meninggalkanku. Setelah ia membayar kopinya kemudian menghampiriku lagi. Ia menyeruput kopinya.

"Jadi ada yang ingin disampaikan?" tanya Fajrul.

"Ehmmm jadi gini Jrul. Aku...nggak bisa. Aku udah punya cowok, aku nggak bisa nerima cinta kamu. Kuharap kamu mengerti," kataku.

Fajrul sedikit kecewa, tapi kemudian dia tersenyum. "Yah, baiklah. Nggak apa-apa. Namanya juga nembak. Pastinya akan ada yang katanya ditolak atau diterima. Makasih ya, Nik. Yah, mungkin aku bukan jodohmu kali."

"Kamu nggak kecewa atau marah?"

"Kecewa sih ada, marah nggak. Buat apa? Toh aku nggak bisa memaksakan cinta. Iya kan?"

"Syukurlah kamu mengerti."

"Tenang Nik, aku dulu sudah diputus kamu. Itu sudah terbiasa. Hahahaha," tertawanya terlalu dipaksakan.

"Oh iya, ngomong-ngomong kamu dulu pernah pacaran ama Yuli ya?" selidikku.

"Iya, pernah," jawabnya. "Yuli cerita ya?"

"Cerita sih, tapi nggak banyak. Nggak nyangka aja dunia ini sempit," kataku.

"Tuh, lihat dari sini kamu bisa lihat mobilku. Yang warna hitam itu. MPV," katanya sambil menunjuk keluar ke tempat parkir. Aku menoleh ke sana. Ada dua MPV satu hitam satu abu-abu.

"Yang hitam? Kaya' mobil travel aja," gumamku.

"Emang temenku kerja di travel koq."

Aku manggut-manggut. Terdengar suara SMS masuk. Aku kemudian mengambil ponselku. Dari Yuli.

"Nik, kamu di Starbuck nemui siapa? Jangan bilang kalau nemui Fajrul!"
Koq tahu sih Yuli ini. Aku pun bales.

"Iya nemuin Fajrul. Kenapa mbak?"
Tak berapa lama kemudian SMS masuk.

"Waduuuhhh...gawat! Pulang Nik, cepetan pulang! Dia itu berbahaya!"
Apaan sih Yuli ini?

"Udahan yuk," kata Fajrul.

"Hmm? udahan?" aku memperhatikan Fajrul. Ia meminum kopinya sampai habis.

"Aku anter pulang? Daripada kamu naik angkot. Di minum gih kopimu. Mubadzir kalau nggak dihabiskan," kata Fajrul.

Aku mengangguk. Sebentar sepertinya ada yang aneh ama gelasku. Tapi apa ya? ah masa bodoh. Aku pun menyeruput kopiku dua teguk. Setelah itu aku beranjak. Kami pun pergi dari Starbuck Kafe. Begitu keluar koq aku merasa pusing ya. Aku masih memainkan ponselku ketika keluar. Sebentar, Yuli...tadi bilang berbahaya? Kenapa? Tiba-tiba aku tak ingat apa-apa lagi. Dunia serasa berputar, aku ambruk nggak sadarkan diri, tapi aku tetap menggenggam erat ponselku.

****

Kepalaku berat. Aku tak bisa melihat apa-apa. Gelap. Apa yang sebenarnya terjadi? Tunggu. Bukan gelap, aku disekap. Mataku ditutup oleh sesuatu. Aku tak bisa menggerakkan tanganku. Aku diikat. Mulutku seperti dibekap, aku bisa merasakan sesuatu. Aku menggigit sesuatu. Mulutku disumpal. Kepalaku masih pusing aku masih tak tahu kenapa aku begini. Kakiku juga tak bisa digerakkan. Aku diculik? Siapa? Siapa yang melakukannya? Oh tidak. Aku mengerang, memekik tertahan.

"Tahan ya manis. Aku akan bawa kamu ke tempat yang tidak ada satupun orang yang tahu," suara itu? Fajrul! Apa yang dia lakukan??

"HHHMMmm! fffefasfhhh aggffuu (lepaskan aku!)" jeritku.

"Maaf, ya. Dari dulu aku demen banget ama kamu Nik, aku ingin memilikimu lebih dulu daripada cowok manapun. Tadi di kafe aku menukar gelasmu dengan gelasku, gelasku sudah aku isi obat tidur. Dikit aja dosisnya yang penting aku bisa naruh kamu di mobil. Hehehehe," katanya.

Sialan. Bener kata Yuli. Si Fajrul ini orangnya sinting. Dia mau memperkosa aku. Tidaaaak...apa yang harus aku lakukan? Siapa yang bisa nolong aku? Tolong! Tolooooong! Yuli, Zain siapa saja tolong aku. Ya tuhaan tolong aku. Aku menjerit berulang-ulang. Tiba-tiba aku teringat Rian. Kenapa disaat-saat seperti ini aku malah teringat ama dia? Iya, aku pernah berjanji akan terus mencintai dia. Dan aku berjanji hanya akan menyerahkan tubuhku kepada Rian. Tapi itukan janji konyol, sumpah konyol. Toh aku sudah jadian ama Zain, siapa tahu nanti Zain jadi suamiku . Tapi ini....ini....ini tidak mungkin. Aku tak mau diperkosa.

Aku meronta-ronta. Aku tak bisa bergerak. Kuat sekali ikatannya. Dari dalam hatiku yang paling dalam aku menjerit memangil nama Rian. RIAAAAANNNN! RIAANN! RIAAANN!

Mobil terus melaju entah berapa lama aku di dalam mobil itu sampai akhirnya mobil berhenti dan tubuhku ada yang mengangkat.

"Ayo bawa dia ke dalam!" suara Fajrul.

"Siap bos!" kata seseorang. Lebih dari seorang. Aku digotong oleh tiga orang. Aku berusaha meronta tapi sia-sia. Otot-otot mereka kurasakan bersentuhan dengan tubuhku. Aku bisa mencium bau tubuh mereka yang menjijikkan.

Aku seperti naik anak tangga sebentar lalu terdengar pintu terbuka. Aku kemudian masih diangkat berjalan menuju ke sebuah ruangan dan aku direbahkan di atas ranjang spring bed. Di mana aku? Aku sepertinya berada di sebuah kamar. Penutup mataku dibuka. Aku mengejap-ejapkan mata. Aku lihat Fajrul. Dia tak sendiri ada dua orang lagi, tidak tiga orang lagi. Aku hanya kenal Fajrul tak kenal sisanya.

"Nggak usah terkejut Nik, santai saja. Habis ini aku ingin merasakan sesuatu yang enak bersamamu. Hehehehe!" kata Fajrul.

Air mataku keluar. Ini keterlaluan, mataku tak bisa melihat tiga orang lainnya karena kacamataku nggak ada. Pasti terjatuh tadi. Ini mengerikan. Mengerikan sekali. Aku memejamkan mataku. Aku tak mau melihat mereka. Rian! Rian! Rian! Kalau kamu dengar suara hatiku tolonglah aku! Tolonglah aku! Kenapa aku malah manggil Rian? Kenapa?

"Woi bangsat! Siapa lo!?" terdengar suara ribut-ribut di luar. BRAK! BUK! BAK! BUK!

"Apa itu?" tanya Fajrul.

Tiba-tiba dari pintu aku melihat Zain. Dia membawa sebuah kayu dan menghajar tiga orang yang ada di ruangan itu. Ia memukul-mukulkan kayu yang dibawanya ke kepala tiga orang itu. Lalu satu tendangan menghantam kepala Fajrul. Fajrul mundur ke belakang. Ia menghantamkan kayu itu ke tubuh Fajrul berkali-kali. Fajrul tak sadarkan diri dengan luka di kepalanya. Zain melihat ada orang yang bangkit lagi. Ia menghantamkan kayu itu lagi ke wajah orang yang bangkit itu. Dia menghajar semua orang itu seorang diri.

Zain?? Zain menolongku?? Bagaimana ia bisa tahu aku ada di sini?

Zain melepaskan ikatanku, sumpalan mulutku dilepasnya. Aku langsung merangkulnya. Memeluknya dan menangis.

"Sudah sudah, ayo kita pergi dari sini," kata Zain.

Aku masih menangis ketika Zain mengantarku keluar dari rumah ini. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Yuli tadi memberitahuku kalau kamu di Starbuck bersama Fajrul. Dan katanya firasatnya buruk. Aku langsung ke sana. Dan dari kejauhan aku melihat kamu digotong ama Fajrul masuk ke dalam mobil bersama empat orang. Aku yakin pasti ada firasat buruk. Yuli lalu menelponku kalau ponselmu tak bisa diangkat. Dan kamu diculik. Aku membuntutimu mobil mereka sampai di sini. Setelah itu aku berani menyerbu masuk," jelas Zain.

"Makasih ya Zain, kalau tak ada kamu, kalau tak ada kamu, aku....," aku tak melanjutkan kata-kataku. Zain sudah menciumku. Ahh...aku nyaman sekali sekarang. Aduhhh...Zain, terima kasih ya.

*****

#Pov Yuli

Seumur hidup aku baru kali ini melihat keajaiban. Melihat kekuatan cinta dari dua orang manusia. Mereka adalah Rian dan Anik. Hati mereka sebenarnya masih terikat, aku sebelumnya tak pernah percaya akan kekuatan cinta. Setelah ini aku baru sadari bahwa kekuatan cinta antara Rian dan Anik itu sebenarnya luar biasa. Hanya saja mereka tak memahaminya dan kenapa juga mereka harus bertemu dengan takdir seperti ini.

Sore itu ada BBM masuk. Lho, dari Rian.


Rian: ping!

Me: W'sup Rian?

Rian: Mbak, perasaanku nggak enak mbak. Sepertinya akan terjadi sesuatu ama Anik. Mbak jangan ijinkan Anik keluar.

Me: Itu cuma perasaan Lo aja Rian. Anik lho nggak keluar.

Rian: Nggak mbak, perasaanku nggak enak. Aku tadi malam mimpi lagi. Anik tenggelam mbak. Plis kaya'nya hari ini ada sesuatu yang bakal menimpa dia. Tolong jangan biarkan dia keluar.

Me: Waduh...ntar deh aku lihat ya.
Aku melihat Anik yang udah rapi. Mau kemana dia?

"Mau kemana lo?" tanyaku.

"Mau ke Starbuck," jawabnya.

"Lho, nggak sama Zain?"

"Nggak, sendirian aja. Toh ya deket dari sini."

Perasaan Rian beneran. Dia mau keluar. Duh, kenapa perasaanku juga nggak enak? Aku segera pegang lengannya

"Ada apa Yul?"

"Jangan pergi, Nik! Perasaan gue nggak enak."

"Apaan sih? Nggak apa-apa, cuman sebentar koq!"

"Tapi perasaan gue nggak enak, Nik. Gue hubungi Zain yah?"

"Nggak usah. Nggak apa-apa koq."

"Ya udah tapi nanti calling-calling gue yah?"

"Iya."

Rian, lo ini apa dukun sih? Koq tahu kalau Anik mau keluar. Celaka. Aku harus hubungi Zain. Aku segera menelpon Zain. Dia segera mengangkat.

"Zain, tolong Zain cepet kemari!" panggilku.

"Hah? Ada apa mbak?" tanyanya.

"Si Anik barusan keluar mau ke Starbuck, kamu susul dia. Perasaanku nggak enak nih!" kataku.

"OK, aku segera meluncur," katanya.

Aku lalu menutup teleponku. Duh, apa yang terjadi nanti? Dan setengah jam kemudian aku galau. Mondar-mandir ke sana-kemari. Aku SMS Anik. Aku curiga soalnya setiap kali Rian punya firasat pasti ada hubungannya ama Fajrul. Aku langsung tebak saja barangkali emang dengan Fajrul.

"Nik, kamu di Starbuck nemui siapa? Jangan bilang kalau nemui Fajrul!"
Trus dia bales

"Iya nemuin Fajrul. Kenapa mbak?"
Nah, kaaaaaan beneran. Aku bales.

"Waduuuhhh...gawat! Pulang Nik, cepetan pulang! Dia itu berbahaya!"
Setelah itu tak ada balasan lagi. Aduuuhh....Gimana ini? Aku khawatir banget. Aku lalu telepon Anik, tak ada balasan. Aku telepon Zain tak ada balasan. Waduh apa yang terjadi ini. Aku cemas sekali. Dan perasaanku tak enak sampai dua jam lamanya, hingga ada suara motor di luar rumah. Aku segera menghambur keluar. Kulihat Anik. Dia menangis sesenggukan. Tampak Zain bersamanya.

"Niiiiik! Kamu nggak apa-apa?" aku segera memeluk dia.

"Udah mbak, bawa masuk aja! Dia hampir diperkosa orang," kata Zain.

"Haah?? Aduh, untung gue tadi nelpon elo, ayo Nik masuk!" kataku.

Anik berjalan sempoyongan karena masih shock. Zain mohon pamit karena menurutnya lebih baik biar keluarganya saja yang membantu Anik. Aku sangat berterima kasih ama Zain. Kami sekeluarga bener-bener shock mendengar apa yang barusan terjadi. Bokap yang baru saja pulang langsung nelpon pihak yang berwajib untuk mengurus Si Brengsek Fajrul itu. Entah bagaimana nasibnya setelah itu. Yang jelas, besoknya Anik ditemeni bokap, nyokap, aku dan Zain melapor ke pihak yang berwajib. Dua hari kemudian Fajrul ditangkap dan dikenai pasal penculikan dan penganiayaan.

Makasih tuhan, Engkau masih tunjukkan kemurahan-Mu. Dan Engkau telah menunjukkan bagaimana kekuatan cinta antara Rian dan Anik. Arghh...kenapa juga mereka bisa sampai berpisah kalau memang seharusnya mereka bersatu? Duh, emang aneh kisah mereka ini.


BAB XXVI

Kenapa Masih Ingat?




Cinta Pertama
cinta yang tak akan pernah mati
dan akan kamu ingat selamanya


#Pov Anik#

Zain benar-benar membuktikan bahwa dia memang pantas disebut lelaki sejati. Dan iya, aku sudah move on. Dan aku sudah pacaran ama dia. Dia benar-benar peduli kepadaku dan melindungiku. Aku sangat bersyukur ia jadi pacarku. Apalagi sebenarnya Zain itu orangnya romantis. Hari-hari kami lalui dengan jalan bersama, mengerjakan skripsi bersama dan tibalah aku akan lulus. Fiuh...mau ujian skripsi saja bingungnya setengah mati, berdebar-debar.

Dan ucapan terima kasih yang aku bingung mau nulis apa. Akhirnya entah bagaimana aku menulis sesuatu yang tidak aku duga. Tiba di hari ujian skripsi. Aku membacakan skripsiku terutama ucapan terima kasih. Inilah yang tidak aku duga.

"Ucapan Terima kasih ditujukan kepada
1. Kepada Tuhan YME yang telah memberikanku hidup
2. Kepada kedua orang tuaku yang telah merawatku, terutama ayah yang selalu memanjakanku.
3. Kepada Mbak Rahma yang aku kagumi sehingga menjadi penyemangatku agar terus berjuang.
4. Kepada Rian yang tak akan aku lupakan......."

Semuanya hening. Mungkin mereka bingung, siapa Rian?

Hah? Aku nggak salah tulis? aku mengucek-ucek mataku. Nomor 4 beneran itu Rian. Kapan aku nulisnya? Perasaan aku nggak nulis ini deh. Aku melihat para peserta seminar menantiku untuk membacakan skripsiku. Aku bingung kenapa nama Rian ada di sana??? Aku sendiri yang mengetiknya, akulah yang membacanya, tapi kenapa nomor 4 itu ada di sana? Siapa yang menambahkan? Aku sendirikah yang menulis tanpa sadar?

Aku pun melanjutkan membaca nomor 5 dan seterusnya. Nomor 5 baru nama Zain di sana. Koq aneh ya? Aku melihat ke arah peserta, aku tak melihat Zain. Untung dia tak ada, kalau ada bisa geger. Ujian skripsi berlangsung tegang. Iya dong. Tapi aku bisa melewatinya. Walaupun nilaiku tak mendapat A, cuma B. Aku sudah senang. Paling tidak aku lulus. Tinggal wisuda. Legaaaaaaaaaa.....

"Selamat ya," kata Zain.

"Makasih," kataku.

"Besok aku ujian, kamu datang ya," katanya.

"Huuu...ceweknya ujian kamu nggak datang, giliran kamu ujian aku suruh datang," gerutuku.

"Maaf deh, aku soalnya ada keperluan. Bapak ibu jenguk aku kepengen tahu lansung aku ujian skripsi," kataku.

"Wah, hebat dong. Ibuku seh nggak bakal datang."

"Iya, aku ngerti. Oh iya, katanya kamu akan direkrut ya ama stasiun tv. Beneran itu?"

"Aku sudah ngajuin sih, mereka tertarik emang jadiin aku reporter. Wuihh...seneng deh pokoknya. Tinggal nunggu skripsiku selesai aku bisa langsung join."

"Koq bisa sih? Enak banget kamu."

"Kebetulan pas waktu career day aku ikut seleksi mereka. Mereka tertarik ama aku akhirnya jadi deh."

"Keren keren," kata Zain. "Ya udah, besok datang ya."

Aku pulang hari itu setelah mendapatkan nilai skripsi. Dan juga tentunya temen-temen ngucapin selamat. Ahh...selesai deh akhirnya. Pulang aku sudah disambut oleh Pak Dhe dan Bu Dhe. Mereka senang mendengarkan kabar skripsiku dapat nilai B. Yah, lumayan daripada C. Hehehehe.

Malamnya aku kembali buka skype. Udah janjian ama Mbak Rahma.

"Assalaamualaikum, bu dokter," sapaku.

"Wa alaikumsalam, gimana dek skripsinya?" aku melihat dari video chat wajah Mbak Rahma ini sekilas beneran mirip aku. Pake kacamata sekarang. Pake kemeja putih.

"Lumayan mbak, dapat B," kataku.

"Wah, bagus itu."

"Bagusan mbak dong, dapat A."

Rahma tampak sedang memberi isyarat kepada seseorang. Lagi ngomong ama siapa dia? Spekaernya dimatiin. Aku kemudian melihat seseorang yang asing di layar video chat, nggak kenal aku ama dia. Dia lalu pasang speakernya lagi.

"Siapa barusan mbak?" tanyaku.

"Asisten," jawabnya.

"Asisten?"

"Aku sekarang kerja di Dokter Bersama Di Surabaya," jelasnya.

"Ooo...pantes pake baju putih. Lho, Sampeyan di Surabaya? Sama Mas Rian berarti?" Koq aku manggil Rian Mas ya? Mungkin ngikutin aja karena diakan jadi kakak iparku.

"Iya dampingi suamiku di sini, tambah gerah aku di Surabaya ini. Padahal dulu pas kuliah nggak segerah ini."

"Mas Rian masih di percetakan?"

"He-eh, dia naik pangkat sekarang jadi Manager, sibuk dari pagi sampai maghrib baru pulang. Tiap hari ya ngurusin buku melulu. Kadang kerjaannya sampai di bawa pulang."

"Waah...sukses ya."

"Sebentar ya Nik, ada pasien. Tunggu bentaaarr aja...nggak lama koq."

Aku mengangguk. Kulihat Mbak Rahma berdiri. Eh...? Perutnya buncit? Lho, Mbak Rahma udah hamil ya? Koq dia nggak bilang-bilang kalau hamil? Aku tersenyum melihatnya turut senang pastinya dan penasaran. Mbak Rahma pasti bahagia dapat suami seperti Rian. Sekarang kebahagiaannya bertambah dengan calon si buah hati. Duh, jadi iri aku kepengen juga. Hihihihi. Aku menunggu mbak Rahma lumayanlah semenit dua menit gitu, setelah itu dia duduk lagi di depan komputernya.

"Mbak, sampeyan hamil ya?" tanyaku

"Iyolah, hampir tiap hari digarap ama Suamiku, jadi deh. Hehehehe," katanya.

"Hehehehe, maklum dong penganten baru masa' didiemin aja," aku menjulurkan lidahku sambil ketawa. "Cowok apa cewek?"

"Belum aku USG sih, ibu malah nebak-nebak berhadiah gitu. Ah pasti ini cewek bentuknya bulet, padahal kan ya nggak mesti begitu. Kamu gimana di Jakarta? Udah punya cowok belum?"

"Udah sih, sama Zain."

"Siapa nih? Salah satu korbanmu?"

"Hehehehe, tahu aja nih mbak."

"Tahu dong, sepak terjangmu seperti apa aku tahu."

"Hehehehe...aku kemarin itu ada kejadian yang menyedihkan mbak. Hampir saja aku diperkosa."

"Hah?? Yang bener dek? Gimana kejadiannya?"

Aku kemudian menceritakan panjang lebar kejadian yang menimpaku. Sampai kemudian Zain menolongku.

"Syukurlah kamu nggak apa-apa," katanya. Tapi raut wajah Mbak Rahma nggak senang. Aku bisa perhatikan dari matanya. Seperti menyiratkan sesuatu.

"Kenapa mbak? Ada apa?" tanyaku.

"Aku nggak mau nyembunyiin ini dari kamu. Beberapa waktu yang lalu Rian ngigau manggil-manggil namamu. Ketika aku bangunin ia mimpi buruk, ia mimpi kalau kamu tenggelam gitu. Aku cuma bilang ah itu bunga tidur aja, nggak usah dipikirkan. Dia akhirnya tenang. Tapi aku salah. Dia terus nggak tenang, kerjaannya nggak beres, semuanya salah. Dia bahkan masak air saja sampai pancinya kering. Dia lalu bilang kepadaku, kalau dia punya firasat buruk, akhirnya ia menghubungi Yuli katanya mencegah agar kamu jangan keluar rumah atau apa gitu. Ternyata itu ya?"

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang saat itu, entah kenapa. Sesak sekali. Nggak, nggak mungkin. Sudah cukup. Jangan sampai aku ada rasa lagi sama Rian. Aku udah punya cowok. Tapi itulah yang terjadi. Mendengar penjelasan kakakku ini, aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang beberapa saat lalu hilang. Ibarat bensin, sekarang terkena percikan api, timbullah api. Ya Ampun...nggak mungkin aku merasakan ini lagi.

"Nik, aku tak bisa mencegah Rian dengan perasaannya. Tapi selama ini ia sudah baik sebagai suami, mencintaiku sepenuhnya, memberikan nafkah lahir batin dengan sempurna. Terus terang aku cemburu ama kamu. Walaupun Rian tak pernah bilang tapi, aku tahu di alam bawah sadarnya dia masih menginginkanmu. Tapi, kenapa juga aku harus cemburu ama adikku sendiri?" aku lihat wajah Mbak Rahma sedih.

"Mbak, jangan gitu dong. Kisahku ama Rian udah berakhir."

"Iya aku tahu itu, aku juga tahu. Rian sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakanmu. Dia bahkan sampai ingin menghapus semua kenangan tentangmu. Itulah sebabnya kenapa ia tetap tinggal di Surabaya, pindah ke sini. Sebab kalau dia kembali ke Kediri ia takut kenangan akan dirimu kembali lagi. Dia nggak mau itu. Aku hargai semua jerih payahnya. Dan dia selalu memberikanku kejutan tiap hari. Sampai buat gambar dari kertas bertuliskan 'I Love U My Wife'. Tiap malam juga dia menciumi perutku, seneng banget ama calon bayinya. Tapi bagaimana kalau tiap tidur dia terus manggil namamu? Dan semua firasatnya tentang dirimu benar semua. Kamu bisa lulus skripsi juga dia udah bisa menebak. Pagi tadi dia ngomong 'Tadi malem aku mimpi, aneh. Adikmu naik pesawat. Kayaknya bakal sukses nih skripsinya'. Nah, ternyata bener kan? Kamu kasih kabar aku. Nik, kayaknya aku salah selama ini merebut Rian dari kamu."

"Mbak, koq gitu sih mbak? Mbak nggak merebut Rian koq. Kan dia sendiri yang nembak mbak."

"Bukan, dia nembak aku karena aku lebih mirip kamu, bukan diriku sendiri," Mbak Rahma koq malah nangis sih.

"Mbak udah dong. Jangan ungkit-ungkit itu lagi. Itu udah masa lalu. Aku udah punya Zain sekarang."

"Iya, harusnya aku nggak ungkit-ungkit lagi, tapi beneran aku merasa bersalah, Nik. Harusnya pas hari pernikahan itu aku mengalah saja. Rian buatmu. Aku bisa ikhlas dan rela. Hidup tiap hari seperti ini juga aku nggak sanggup Nik. Dia tiap hari ya memang begitu. Memanjakan aku persis seperti bapak. Tapi bagaimana kalau di bawah alam sadarnya masih suka ama kamu? Aku tidak marah ama Rian, tapi aku marah kepada diriku sendiri. Aku memang terlihat pintar tapi sebenarnya aku bodoh. Bagaimana mungkin aku sebodoh ini memisahkan kalian? Kalian seharusnya bisa bersama, aku menyesal Nik menikah ama Rian."

"Mbak sudah mbak, nggak boleh Mbak bilang begitu. Rian pasti mencintai mbak."

"Iya, dia mencintaiku. Tapi dia melihat dirimu dalam diriku Nik. Bukan aku yang seutuhnya."

Aku menarik nafas panjang. Selama semenit kami diam. Aku hanya melihat Mbak Rahma menangis. Ia melepaskan kacamatanya, kemudian mengusap air matanya. Mbak, kenapa jadi begini?

"Maaf ya, Nik. Lupakan saja apa yang barusan kita omongkan. Aku turut senang kamu sudah ada Zain. Moga langgeng ya. Maaf, aku ada pasien, sampai nanti ya. Assalaamu alaikum."

"Wa alaikumsalam."

Skype terputus. Aku menutup laptopku. Aku langsung merebahkan diri ke kasur. Jadi, yang kemarin itu kenapa Yuli melarangku keluar karena Rian. Karena firasatnya. Kenapa Rian masih ingat ama aku? Jadi harapan-harapanku ketika memanggil nama Rian waktu itu adalah ini. Dia yang sejatinya menolongku, bukan Zain. Kenapa, kenapa air mataku sampai mengalir?

Nggak, udah. Aku nggak mau mikirin dia lagi. Sekarang sudah ada Zain. Aku harus menatap masa depanku. Aku hapus air mataku. Dan aku benar-benar tak ingin mengingat video chat barusan. Sudah cukup. Mbak Rahma sudah kuberitahukan tentang skripsiku. Selesai. Aku nggak mau lagi ngungkit-ngungkit hubunganku ama Rian.

****

Hari-hari berlalu, aku pun wisuda. Ibuku datang jauh-jauh dari Kediri ke Jakarta. Kali ini naik pesawat ditemani oleh Mbak Rahma dan.........Rian. Kenapa dia ada di saat wisudaku? Dia memakai baju kemeja warna biru, tampak rapi sekali. Mbak Rahma pakai baju hamil warna putih jilbabnya lebar. Mereka berdua memang pasangan serasi. Mereka pun bertemu ama Zain. Rian tentu saja kenal ama Zain mereka pun bercanda berdua. Aku, ibu dan Rahma

#Pov Rian#

"Kenapa yang?" tanyaku ke Rahma.

"Nggak ada apa-apa koq," jawabnya.

"Nggak mungkin, orang matanya sembab gitu koq," kataku.

"Nggak ada apa-apa, terharu aja tadi chat ama Anik. Udah lulus dia," katanya.

"Oh..syukurlah kalau begitu."

Aku kembali mengakses file Excelku. Semua data buku-buku ini harus segera diselesaikan malam ini soalnya. Aku sempat heran melihat Rahma yang pulang dalam keadaan matanya sembab. Ternyata kangen ama Anik. Rahma segera pergi dan tak mau menggangguku yang sedang bekerja. Setelah berjibaku dengan kerjaan, akhirnya aku selesai. Tampak istriku sedang menata meja makan.

"Makan dulu mas, yuk!" ajaknya.

Aku menghampirinya aku cium bibir Rahma dengan mesra. Kami saling memagut. Ia mencubitku.

"Aduh!"

"Makan dulu, koq sukanya makan telat?"

"Hehehe, iya sayangku," kataku. Aku mencium perutnya setelah itu. "Kamu sehat-sehat aja ya dedek kecil. Mmmuachh."

"Aduh...dudududuh...!" Rahma merintih.

"Hah? Kenapa?"

"Gerak-gerak. Tiap kali dicium papanya koq geraknya aktif ya?"

"Hehehehe, kepengen ketemu papanya ini," kataku sambil mengusap perutnya. Rahma tersenyum, kebahagiaan jelas terlintas di wajahnya.

Kami pun menghabiskan waktu dengan makan malam. Aku banyak ngobrol tentang kerjaanku, tentang karyawan-karyawan baru dan disiplinnya mereka. Rahma memang suka orang yang disiplin. Aku banyak berubah setelah menikahi dirinya. Dia mengajariku disiplin, perfeksionis. Pakaian kalau ke kantor harus rapi. Cucian nggak boleh sampai menumpuk, dapur harus bersih, lantai rumah harus bersih, steril. Hihihi, dasar bu dokter.

Dengan pekerjaanku sekarang aku bersyukur bisa beli mobil. Walaupun kredit. Jadi dengan keadaan Rahma yang sekarang aku nggak mungkin bonceng dia pake sepeda motorku. Kuanter kemana-mana ya pake mobil. Dia akhir-akhir ini ngeluh gerah, bawaan orok kali. Dan katanya bayinya makin aktif di dalam perut.

"Oh iya mas, Anik kan mau wisuda. Dateng ya ke Jakarta nanti," katanya.

"Beres, bisa diatur itu, tapi jangan naik kereta lagi. Naik pesawat aja," usulku.

"Iya deh, sekalian ngajak ibu," katanya.

"Yup."

Setelah makan malam selesai. Kami habiskan waktu untuk bercumbu. Aku memang tiap malam bercumbu dengan istriku ini. Kami bercumbu di ruang keluarga sambil nonton tv. Biasaya kalau sudah panas, kami bakal teruskan di dalam kamar. Rahma selalu melayaniku apapun kebutuhanku. Dan selalu mengerti kapan aku butuh. Aku mencium bibirnya. Kami bermain lidah. Aku remas buah dadanya yang makin besar itu.

Karena Rahma pakai baju hamil jadi gampang banget buat buka baju atasnya yang cuma pake resleting itu. Begitu aku turunkan resletingnya terpampanglah buah dadanya yang montok.

"Makin besar aja punyamu," kataku.

"Ya wajar dong, lagi hamil. Nanti juga penuh ama susu."

Kepalaku kubenamkan di sana. Kuhirup aroma buah dadanya. Luar biasa nikmat. Aku pun kembali mencupangi kulit buah dadanya itu.

"Kamu suka sekali bikin cupangan disitu say? Gimana sih rasanya?" tanyanya.

"Mirip nyedotin balon, tapi ini lebih lembut. Duh, aku koq jadi kepingin ya?"

"Kalau mau aku siap koq. Mau diisep apa masuk?"

"Emang nggak apa-apa masuk?"

"Kalau sudah lima bulan kandungan itu akan kuat. Masukin aja nggak apa-apa."

"Ke kamar yuk?!" ajakku.

Rahma pun menurut. Kami bergandengan tangan, layaknya seperti penganten baru. Begitu masuk kamar aku langsung membuka bajunya, branya dan celana dalamnya. Tapi nggak cepet-cepet, pelan-pelan sambil kunikmati lekuk tubuh istriku yang hamil ini. Mulai ada sedikit lemak di lengan dan pahanya. Tapi menurutku itu wajar sebagai wanita hamil. Kutelusuri dan kubelai tubuhnya seperti biasa bagaimana aku melakukannya kepada istriku. Ia memasrahkan lehernya untuk aku ciumi.

"Aahh...beib," desahnya.

Aku meremasi buah dadanya yang mulai membesar itu seiring dengan pertumbuhan kehamilannya. Perutnya bersentuhan dengan perutku. Hihihi, geli juga. Tangan Rahma mengusap dadaku dan menggelitiki putingku. Punyaku udah on aja, perlahan-lahan aku loloskan celanaku, hingga aku tak tertutup apapun.

Rahma lalu berbalik, ia berpegangan kepada ranjang. Ia menungging memperlihatkan belahan memeknya yang sudah becek.

"Masukkan sayang, aku ingin disodok!" katanya.

Aku mempersiapkan batangku, kocolok-colok dan kugesek-gesek belahan memeknya. Kemudian dengan perlahan aku masuk. Otongku benar-benar tegang maksimal ketika benar-benar masuk sepenuhnya. Hangat dan becek. Rahma ini termasuk wanita yang mudah banjir kalau sudah horni. Jadi setiap kali bercinta ia benar-benar bisa dipuaskan. Aku memejamkan mataku merasakan sensasi remasan yang aku rasakan di senjataku.

Rahma menggerakkan pinggulnya sendiri depan belakang. Ahh...boleh juga nih. Gini aja udah nikmat.

"Enak sayangku?" tanyanya.

"Iya, beib. Kamu selalu tahu cara memuaskanku."

"Syukurlah. Pelan-pelan yah, biar nggak keganggu oroknya."

"Iyahh...aaahhhh....uhhh...," aku keenakan diperlakukan seperti ini. Benar-benar tegang maksimal. Walaupun pelan tapi remasannya benar-benar kerasa. Kupegang pantatnya dan kuremas-remas. Enak sekali.

Aku pelankan goyanganku. Sekalipun pelan aku saja sudah merasakan nikmat. Buah dadanya itu ahhh...aku ingin meremasnya. Kujulurkan tanganku untuk menggapainya walaupun agak susah karena ia harus menjaga perutnya. Aku bisa menggapainya. Kuremas-remas buah dadanya. Rahma makin mendesah.

"Ahhh...Beib, enak beib. Aku mau keluar beib," katanya. Koq cepet ya? Aku belum apa-apa ini.

Dan Rahma menghentikan gerakan pinggulnya. Kemaluannya seperti menggerus batangku. Serrr....serr...tampak cairan kewanitaannya mengalir membasahi penisku. Ia lalu mencabut punyaku dan tidur miring.

"Kamu belum puas ya beib? Maaf ya, aku nggak kuat kalau terus nungging. Berat nyangga perut," kata Rahma.

"Aku tahu koq," kataku.

Aku berbaring dan memeluknya dari belakang. Kumasukkan lagi batang kemaluan ke liang senggamanya. Kali ini kaki Rahma sedikit diangkat untuk biar leluasa aku bergerak. SLEEBB...ahhh...aku merasa enak lagi. Dengan gaya miring gini tubuh Rahma yang lelah akan tidak terlalu banyak gerak. Jadi aku bisa menggenjotnya lebih cepat. Aku pun mulai bergoyang menggesek-gesek rongga kemaluannya. Tanganku sudah meremas toketnya yang mulai besar itu. Putingnya pun aku pijit-pijit.

"Sayangku...ohh...teruss...terusss....enak banget!...Ahhh..ahhh..!" rancaunya.

"Iya sayang, enak banget. Pantatmu makin gedhe aja nih, enak banget nyentuh selakangku," kataku.

"Iya ta? Sodokanmu juga lebih bergairah beib," katanya.

Aku terus menggoyang-goyangkan makin cepat, makin cepat. Ahh...aku nggak kuat lagi. Kepengen ngecret rasanya.

"Mau keluar say?" tanyanya.

"Iya, udah mentok!" kataku.

"Iya, semprotin aja!" kata Rahma.

Ahhhh...aku hujamkan sedalam-dalamnya sampai kepala pionku menyentuh rahimnya. Muncrat deh semuanya. Banyak karena seminggu ini aku nggak ML ama dia. Akibatnya produksi spermaku lumayan. Aku tak mencabut batangku. Kubiarkan ada di dalam sana.

"Ahh...nikmat banget beib," kataku.

"Syukurlah kalau kamu merasa nikmat. Peluk aku dong yang," katanya. Kupeluk Rahma. Dia emang suka dipeluk sehabis ML. Hal itu membuat dia nyaman. Aku pun tertidur sambil memeluknya. Ahh..Rahma...

***

Aku menjemput Bu Ika mertuaku di Kediri. Kemudian menginap selama semalam di Surabaya. Lalu Setelah itu kami berangkat ke Jakarta melewati Bandar Udara Juanda. Perjalanan Surabaya jakarta cukup cepat. Hanya setengah jam. Setelah tiba di Bandara Soekarno Hatta kami langsung naik taksi menuju Kampus UI. Untung saja Rahma baru hamil 6 bulan. Sebab aturan pesawat nggak boleh penumpang pesawat hamil di atas 7 bulan.

Di sana aku ketemu lagi dengan Anik. Anik mencium tangan ibunya dan memeluk Rahma serta cipika-cipiki. Dan lagi-lagi ia tak menyalamiku. Anik ini sangat cantik. Aku tak pernah melihat dia dandan seperti ini. Mata kami masih menyiratkan sesuatu pancaran yang hanya kami sendiri yang mengerti itu apa. Anik tampak senang sekali dengan kehamilan istriku. Berkali-kali ia memegang perutnya.

"Wah, Rian tok cer nih udah hamil aja," katanya.

"Yah wajar dong, lemes tiap hari digarap terus," kata Rahma. Disusul tawa ibu mertuaku dan Anik.

"Syukurlah, eh Rian! Masih inget dia?" Anik menunjuk ke seorang laki-laki. Aku kenal dia. Zain.

"Zain ya?" tanyaku.

"Iya. Zaaaainn! Sini!" Anik memanggil cowok itu.

Zain dengan baju toganya langsung menuju ke arah kami. Ia agak kaget melihatku.

"Rian??! Ahh apa kabar?" katanya kami langsung berpelukan sebagaimana teman yang sudah lama nggak ketemu.

Yah, setidaknya kami ada reuni lagi.


BAB XXVII

Hai Cita-citaku




Selamat Datang Masa Depan


#Pov Anik

Aku akhirnya bekerja di sebuah stasiun tv swasta (maaf ye, nggak bisa disebut;penulis). Aku nikmati hari-hariku menjadi reporter, lari ke sana-kemari buat nyari berita. Mewawancarai nara sumber, sampai berdesak-desakan untuk memasangkan mic di depan nara sumbernya. Capek memang, tapi aku suka. Terlebih wajahku sudah nampang di layar kaca. Awalnya grogi, tapi akhirnya terbiasa. Hehehe.

Saat itu menjelang lebaran. Kami ditugaskan untuk meliput arus mudik. Aku termasuk yang mendapatkan tugas tim di daerah Jawa Timur. Hehehehe, kebetulan sekali ya sampai ditempatkan di sini. Mungkin mereka juga faham kalau aku kan rumahku di Jawa Timur, jadi dianggap aku paling tahu daerah ini. Aku berangkat dengan mobil van yang biasanya digunakan untuk meliput.

"Eh, Nik. Nanti mampir rumah lo yah kalau kerjaan beres, hehehe," kata Ferdi. Dia kameramenku.

"Boleh aja Fer, tapi bayar!" kataku sambil nyengir.

"Yaaahh...pelit!" kata Ferdi.

"Eh, rumah lo Kediri kan? Jauh beud!" kata Rudi yang sedang menyopiri mobil.

"Iya kita kan kerjanya di jalur pantura masuk area Jawa Timur. Belum masuk Kediri, masih jauh, empat jam perjalan," kataku.

"Yah, nggak apa-apa toh, sekalian deh ntar pas lebaran sungkem sekalian ama orang tuamu," kata Leli dia juga reporter sama kaya' aku. Cuma Budi yang diem aja, sibuk mantau berita dari internet. Ada empat orang di dalam mobil box ini. Mereka adalah timku.

Setelah perjalanan panjang kami pun sampai di Tuban. Gile bener ini macetnya, nggak tanggung-tanggung. Panjang banget. Ternyata setelah diselidiki ada perbaikan jalan yang menyebabkan kemacetan luar biasa. Koq bisa sih memperbaiki jalan pas ada arus mudik seperti ini?

Ponselku berdering. Dari ibu.

"Assalaamu alaikum bu?" sapaku.

"Wa alaikumsalam. Nik? Kamu masih tugas?" tanya beliau.

"Nggih bu, masih tugas. Niki kula wonten Tuban (Iya, bu. Masih tugas. Ini saya ada di Tuban)," jawabku.

"Koq kebetulan. Itu Si Rahma mau ke Tuban juga ama Rian, mau jenguk Mbah Yayat. Orangnya kan sakit, yah siapa tahu Rahma bisa ngasih obat gitu sakitnya bagaimana."

"Oh, Mbak Rahma ke Tubah? Ya udah nanti aku hubungi kalau ada kesempatan. Tapi nggak janji lho bu. Tahu sendiri kan kerjaanku."

"Iya, ibu ngerti. Ya udah, jaga diri ya?"

"Inggih bu," setelah itu telepon ditutup.

"Dari siapa Nik?" tanya Leli.

"Dari nyokap. Katanya mbakku ada di Tuban jenguk salah satu sanak famili yang sakit," jawabku.

"Hei, mau live nih! Nik!?" panggil Ferdi.

"Aku datang!" kataku.

Aku mempersiapkan semuanya. Dandan rapi. mic sudah siap. Budi membantuku untuk memasang backdrop sponsor pendukung. Ferdi siap dengan kameranya. Di depanku ada layar tv di mana dua orang penyiar sedang menyampaikan berita. Aku sudah siap. Sudah terbiasa koq aku melakukannya. Jadi tak ada masalah mestinya.

"Oke, dalam waktu lima, empat, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi.

Tampak aku liha di layar tv dua penyiar sudah langsung berhubungan denganku. Dari earphone aku bisa dengar percakapan mereka.

"Kita sudah terhubung dengan rekan kita di Tuban, Anik? Bisa dilaporkan bagaimana kondisi arus lalu lintas di sana?" tanya penyiar itu.

"Ya, terima kasih rekan Rizal di Jakarta. Saudara, arus mudik kali ini dari Pantura yang seperti Anda saksikan di layar kaca tampak dipenuhi dengan antrean kendaraan. Antrean ini akan terus mengular sampai kurang lebih sepuluh kilometer. Bagi Anda yang melewati jalur Pantura harap mempersiapkan diri dan kondisi karena arus mudiknya benar-benar macet luar biasa," kataku.

"Bisa dijelaskan Anik, kenapa kemacetan bisa terjadi?" tanya rekanku.

"Ada perbaikan jalan yang seharusnya sudah selesai tapi belum selesai sampai sekarang. Begitu rekan Rizal," kataku. "Saya tambahkan dari pantauan helikopter juga kami mendapatkan visual bahwa antrian ini belum terurai kalau sampai dua belas jam belum terurai maka akan berdampak jalur pantura bakal macet parah."

Begitulah pekerjaanku. Jadi reporter. Akhirnya cita-citaku kesampaian juga. Hampir tiap hari aku melaporkan keadaan jalan. Setelah aku melaporkan itu perasaanku tiba-tiba nggak enak. Nggak enak sekali. Kenapa ini?

Karena khawatir maka orang yang aku telepon pertama kali adalah Mbak Rahma.

"Assalaamu alaikum, mbak?"

"Wa alaikum salam, Nik? Apa kabar?"

"Baik mbak. Mbak nggak kenapa-napa kan?"

"Heh, ada apa? Koq tanya gitu?"

"Perasaanku saja mbak, nggak enak."

"Ah, kamu ini. Mbak ada di rumah Mbah Yayat sekarang ini. Beliau ternyata kena hepatitis."

"Innalillahi, koq bisa mbak?"

"Mbak juga baru tahu koq. Ini barusan dari rumah sakit."

"Hmm...ngomong-ngomong gimana kandungannya mbak. Mau lahir toh?"

"Iya, ini kan udah masuk bulan sembilan. Paling juga habis lebaran lahirnya."

"Nggak capek ta jalan-jalan gitu wong hamil juga?"

"Kan ada suami, jadi enak aja."

"Ihhh...bikin ngiri."

"Hehehehe...kamu di mana?"

"Di Tuban juga, ini lagi ngeliput."

"Oh, ya udah deh. Mampir aja ntar ke Mbah Yayat. Kasihan beliau."

"Iya, mbak."

Setelah menelpon Mbak Rahma, aku menelpon Zain. Dia sekarang masih ada di Jakarta. Dia juga bekerja sebagai reporter, sama juga sih di stasiun tv swasta, tapi beda ama aku.

"Halo, Beib? kamu nggak apa-apa?" tanyaku.

"Ya? Nggak apa-apa. Aku sehat koq. Kenapa?" tanyanya.

"Perasaanku nggak enak nih. Seperti bakal terjadi sesuatu gitu."

"Ah, cuma perasaanmu aja kali."

"Nggak ini beneran, duh kenapa ini aku."

"Mungkin kamu lelah, coba deh kamu istirahat gitu, kamu puasa kan?"

"Iya dong, apa aku PMS ya?"

"Bisa jadi. Istirahat dulu lah kalau capek say. Aku juga khawatir kalau kamu nanti sakit."

"Iya deh, aku sepertinya terlalu capek."

Setelah menelpon Zain, perasaanku masih belum tenang. Kumohon ya tuhan, moga nggak terjadi apa-apa.

"Eh, Nik, jalan-jalan dulu yuk! Kan kita nanti masih lama nanti live-nya," ajak Ferdi.

"Lo enak nggak puasa, aku puasa tauk!" kataku.

"Yah, maklumlah beda keyakinan. Hehehehe," Ferdi meringis. "Setidaknya kita nggak di sini melulu. Ntar kita kembali lagi ke sini deh,"

"Ayo Nik, bentar aja!" ajak Leli.

Akhirnya kami pun jalan-jalan, menelusuri jalanan kampung. Bukan hanya jalan-jalan kami juga sambil nyari-nyari berita sebenarnya. Kalau ada sesuatu yang unik, kami pasti liput. Aku cukup jeli melihat keadaan sebenarnya melihat-lihat sesuatu yang bisa diambil objeknya. Ferdi cukup tangkas ketika harus menyorot pemandangan di sekitar jalan. Juga ketika mobil berjalan dia menyorot pinggir jalan dan beberapa pegunungan yang terlihat dari jauh.

Kami melewati jalanan tembus, hingga tak terasa sampai juga di arah pantura dari sisi lain.

"Wah, koq kita tembusnya di sini ya? Padahal tadi muter-muter nggak karuan," ujar Rudi.

"Eh, tuh-tuh ada warung buka. Aku laper nih, tak makan dulu ya," kata Ferdi.

"Huuu...dasar, ya udah deh, toh kita muter jalan juga balik lagi ke sini. Aneh sih," kata Rudi. Aku juga keluar dari mobil van. Capek di dalam.

Dari arah barat muncul mobil ambulance meraung-raung. Heh? Koq ada mobil ambulance segala?

"Fer, Ferdi! BALIK! ADA BERITA!" seruku.

Ferdi yang mau masuk warung langsung melompat. Aku kembali masuk ke dalam mobil.

"Rud! Rud kejar mobil ambulancenya Rud!" seruku.

Ferdi langsung masuk ke dalam mobil. Mobil langsung memutar mengejar mobil putih yang berjalan cepat di sisi kanan jalan. Kami mengikuti mobil itu seperti kejar-kejaran di film Fast & Furious. Oke, mungkin terlalu berlebihan. Tapi ketrampilan Rudi dalam mengemudi ini tak bisa diremehkan. Dalam sekejap mobil ambulance sudah dia kuntit. Kami terus berjalan hingga berhenti sampai di sebuah kerumunan. Aku melihat ada sebuah truk tronton yang baru saja menghantam sebuah mobil. Kecelakaan!

Aku dan Ferdi segera keluar. Kuambil mic dan kabelnya. Kami berjibaku untuk bisa menyiarkan ini secara live. Budi sudah bersiap untuk menyiarkannya. Aku pun memasang tampang yang cerah. Ya, bagaimana pun beritanya sang reporter harus bisa membawakan berita dengan wajah yang fresh.

"Oke, siap, tiga, dua, satu, rolling!" kata Ferdi.

"Saudara-saudara kami baru saja melihat ada kecelakaan di jalur pantura. Seperti yang Anda lihat di belakang saya, baru saja ada mobil ambulance datang. Tampaknya ada sebuah mobil yang ringsek, jenis sedan ditabrak oleh Truk tronton. Kita tidak tahu apakah ada korban yang selamat ataukah tidak. Beberapa krumunan orang tampak sedang berusaha menolong korban. Mari kita lihat lebih dekat..."

Aku berlari mendekat ke arah kecelakaan itu. Ferdi menyorot orang-orang yang bahu-membahu mengeluarkan korban. Mereka memecahkan kaca mobilnya. Kemudian seorang bisa dikeluarkan.

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

"Saudara tampaknya korban adalah sepasang suami istri. Dan diketahui sang wanita sedang hamil. Oh tidak...!" aku menjatuhkan mic.

Ferdi kebingungan, "Kenapa Nik?"

Tidak! Tidak! Tidak! Aku melihat mereka, aku kenal mereka. Rahmaa! RIAAN!

"Mbak Rahma! RIAAAANN!"

***

#Pov Rian#

"Mas, Mbah Yayat sakit," kata Rahma.

"Mbah Yayat?" tanyaku.

"Iya, mbahku. Orangnya tinggal di Tuban. Ibu nyuruh aku untuk ngecek beliau sakit apa. Kalau dilihat dari tanda-tandanya sih Hepatitis. Tapi buat mastikan aja aku kepengen tahu."

"Hmm...mau ke sana?" tanyaku.

"Iya deh, bentar aja ya, habis itu pulang," jawabnya.

"Ya udah, berangkat kapan? Sekarang?" tanyaku.

"Ya sekarang dong. Yuk?! Dari pada ntar kena arus mudik."

Aku tak begitu mengenal keluarga Rahma yang jauh-jauh. Mungkin yang aku tahu sik Pak Dhe-nya, Yuli, trus Pak Liknya sama beberapa sepupu. Tapi soal mbah, aku tak begitu tahu. Rahma baru bilang kepadaku kalau ia punya dua mbah. Satunya udah meninggal Mbah Yayat ini boleh dibilang mbahnya yang terakhir.

Aku akhirnya bersiap. Kupanasi mobilku. Kami nggak bawa barang-barang. Lha wong cuman jenguk orang sakit koq. Mau bawa barang apaan? Tapi hari itu istriku agak aneh. Ia bingung seperti mau nyari sesuatu.

"Kenapa yang?" tanyaku.

"Koq seperti ada yang ketinggalan ya? Bentar aku ingat-ingat dulu," jawabnya.

Aku cuma nunggu aja sambil bersandar di mobil. Ia lalu ingat. "Ah, iya!"

Setelah itu buru-buru masuk ke rumah. Baru kemudian balik. Ia bawa peralatan dokternya.

"Masa' mau jenguk orang sakit koq nggak bawa ini. Gimana seh," kata Rahma. "Yuk berangkat!"

Aku kemudian mengunci rumah. Rahma udah masuk mobil terlebih dahulu. Setelah yakin semua udah dikunci, aku masukkan kuncinya di bawah pot. Hahaha, kebiasaan dari dulu. Kunci dimasukkan di bawah pot. Setelah itu aku masuk ke mobil dan melajukan kendaraan meninggalkan perumahan Semolowaru, tempatku tinggal di Surabaya.

Mobil yang keluar dari Surabaya cukup padat. Kami menuju ke barat melewati tol kemudian menghindari jalan-jalan utama yang emang bikin macet. Jam sepuluh kami sudah masuk Tuban. Rumahnya Mbah Yayat ternyata dekat ama Jalur Pantura. Kalau Jalur Panturan ini dari arah keluar Surabaya macet, tapi sebaliknya cukup lancar. Rupanya Rahma ini hafal jalan juga. Aku cukup senang ditunjukin rutenya, belok mana harus kemana, sehingga nggak lama kami pun sampai.

Kami sempat melewati sebuah mobil box sebuah stasiun tv yang terparkir di pinggir jalan. Kalau lihat stasiun tv itu jadi inget kalau Anik kerja di sana sekarang. Mungkin itu rekannya Anik yang sedang meliput. Mereka sepertinya mau siaran meliput arus mudik ini. Aku tak begitu menghiraukannya.

Rumah Mbah Yayat ini cukup sederhana. Begitu kami tiba kami langsung disambut. Mbah Yayat orangnya udah sepuh ya emang wajar kalau misalnya sakit-sakitan. Aku kenalan dengan beberapa anggota keluarga yang memang belum aku kenal. Kami cukup beramah tamah. Yang cukup cerewet itu Rahma, ketika ada yang ngerokok seperti Mas Gito, anaknya si Mbah ini dia marah-marah.

"Mas, aku hamil lho, masa' ada orang hamil ngerokok?" kata Rahma.

"Oh iya dik, maaf." kata mas Gito.

"Nggak baik rokok itu bla bla bla..." yah, dicerahamin deh. Rahma kalau udah ceramah soal kesehatan bisa panjang lebar. Dan beneran. Aku cuma bisa senyam-senyum aja. Pas meriksa keadaan Mbah Yayat ia kaget.

"Lho, Mbah, panjenengan harus dibawa ke rumah sakit ini. Ini kena liver!" kata Rahma.

"Waduh? Beneran ta mbak?" tanya Mas Gito

"Iya beneran ini. Segera bawa ke rumah sakit!" kata Rahma.

"Tapi biaya rumah sakitnya gimana?" tanya Mas Gito.

"Nggak apa-apa bawa aja, ntar kami bantu deh," kataku.

Akhirnya dengan mobilku Mbah Yayat pun dibawa ke rumah sakit. Matanya sudah menguning dan dia merasa sakit di mana-mana. Rahma mengatakan Si Mbah ini kena komplikasi. Setelah lima belas menit mobilku melaju. Kami pun sampai di rumah sakit dan langsung mendaftar di sana. Rahma yang cukup telaten ini pun langsung minta kepada pihak Rumah sakit agar segera diopname, harus gini, harus gitu. Aku sendiri nggak tahu. Yang jelas dia cekatan banget. Maklumlah dokter.

Cukup cepat, baru beberapa saat saja Mbah Yayat sudah masuk kamar dan dirawat di sana. Tapi menurut dokter spesialisnya ternyata beliau kena komplikasi juga, masalah di ginjal, hipertensi dan liver. Waduh. Kasihan beliau. Kata Rahma sih beliau kayaknya nggak tertolong lagi karena sepertinya sudah terlambat bawa ke rumah sakitnya. Tapi kata dokter yang merawatnya akan diusahakan yang terbaik. Apalagi mendapatkan laporan kalau semua yang dimakan kembali lagi, kayaknya udah parah banget.

Maklum keluarga Rahma yang ini takut dengan yang namanya rumah sakit. Biasanya rumah sakit itu hanya buat orang-orang kaya saja. Yang miskin dipinggirkan. Aku kemudian kembali lagi setelah Rahma selesai mengurus soal administrasi Mbah Yayat. Setelah itu kami undur diri mau pulang balik ke Surabaya. Karena memang nggak ada rencana buat nginep. Keluarga Mbah Yayat berterima kasih atas bantuan Rahma.

Di mobil dia pun banyak bicara tentang alasan dia jadi dokter.

"Yang, tahu nggak kenapa aku kepingin jadi dokter?" tanyanya.

"Kenapa?"

"Karena aku kepengen menolong orang-orang seperti Mbah Yayat itu. Aku tahu sebagian keluargaku masih kolot seperti itu, takut ama jarum suntik, takut ama obat-obatan. Mahalnya biaya rumah sakit, itu semua karena mereka kurang pendidikan. Nasib mereka mungkin akan sedikit baik kalau saja mereka punya pendidikan yang lebih baik. Aku ingin bisa menolong orang-orang seperti itu. Karena itulah aku jadi dokter. Kamu tahu, terkadang juga aku nggak ngambil imbalan lho pas meriksa orang."

Aku makin kagum ama istriku ini. Hatinya mulia sekali. Aku makin cinta ama dia.

"Yang, aku punya permintaan. Menepi dulu dong!" aneh dia bilang begitu. Aku kemudian menepi.

"Ya? Sudah menepi ini. Permintaan apa?" tanyaku.

"Kalau misalnya aku nanti nggak ada, kamu jagain Anik ya?"

"Ah, apaan sih kamu ini. Bicaranya ngaco."

"Ehh...dengerin dulu!"

Aku menghela nafas.

"Aku sekarang udah bahagia ama kamu. Kamu berikan segalanya buatku Yan. Aku bahagia banget, apalagi sekarang udah mengandung anakmu. Kamu orangnya setia, kamu juga suami yang bertanggung jawab. Tak ada satupun bagian dari dirimu yang membuatku tidak mencintaimu, Yan. Tapi ada satu yang kurang."

"Apa?"

"Hatimu bukan milikku."

"Nah, kaan? Udah deh Ma, aku nggak mau bahas itu. Aku ama Anik udah berakhir, Ma."

"Belum Yan, belum berakhir. Aku melihatnya, kamu masih suka ama dia. Dan aku ikhlas koq....."

BRAAAAAK! Tiba-tiba ada sebuah mobil yang menabrak kami dari belakang, kemudian mendorong kami hingga ke tengah jalan. Karena kaget Rahma sampai nggak siap. Kepalanya menghantam dashboard. Aku juga menghantam setir. Aku melihat ke belakang. Ada sebuah mobil SUV warna merah menghantamku. Karena aku tadi nggak pake rem tangan akhirnya mobilku jalan sendiri ke tengah jalan raya. Siapa juga yang nabrak ini?

Belum selesai kagetku tiba-tiba dari arah kiri, aku melihat sebuah truk tronton mengklakson.

DIIIIINNN! BRAAAAAK!

Mobilku terseret beberapa meter. Kepalaku terbentur kaca mobil, aku pakai sabuk pengaman jadinya nggak ikut terombang-ambing. Rahma tidak. Aku melihat dari kain kerudungnya darah merembes. Tidak....Tidak! Jangan! TIDAK! Aku pun tak sadarkan diri. Gelap.

Aku hanya bisa dengar orang-orang teriak-teriak.

"Eh, itu wanita hamil keluarkan itu!" kata orang-orang.

Aku digotong oleh orang-orang. Aku masih bisa melihat, masih bisa berbisik. "Rahma...Rahmaa...Rahmaa..."

"Riaan! Rian! RIAAAN!" aku dengar sebuah suara. Suara itu??? Anik?? Anik kaukah itu? Dan aku tak sadarkan diri.






BAB XXVIII

Jangan Pergi!





Aku tak mau kamu pergi
Kenapa perjumpaan denganmu begitu singkat?


#Pov Anik#

Aku menangis di hadapan tubuh Mbak Rahma yang terbujur kaku. Aku malah meliput kecelakaan saudaraku sendiri. Kenapa bisa begini?? Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin bahkan menyelamatkan nyawa bayi yang ada di dalam kandungannya. Anaknya Mbak Rahma seorang laki-laki dan sekarang sedang berada di ruang bayi. Rian masih hidup, karena dia tidak menghantam langsung truk tronton itu. Mbak Rahma yang kena telak. Ketika dalam perjalan ke rumah sakit dia masih hidup, tapi setelah itu tidak bisa diselamatkan.

Aku langsung menghubungi keluargaku. Ibuku terutama. Kemudian keluarga Rian. Aku terpaksa minta ijin kepada kru-ku yang lain untuk mengurus Mbak Rahma, Rian, serta anaknya. Mereka mau memahamiku. Aku juga nelpon ke produser tentang apa yang terjadi. Akhirnya beliau mengijinkanku untuk rehat dulu. Karena memang musibah.

Begitu Ibuku datang ia langsung menangis melihat jasad Mbak Rahma. Ibuku histeris. Ia bahkan sampai ngomong sama Rahma.

"Ma, Rahma tangio nduuuk! Tangii! Koq ya tego men awakmu ninggalne aku nduuukk? (Ma, Rahma bangun nak! Koq ya tega kamu ninggalin aku nak?)" suara ibu yang menyayat hati ini membuatku ikut menangis.

Aku lalu beritahukan anaknya Mbak Rahma selamat. Tangis ibuku mulai mereda tapi tetep sedih. Anaknya Mbak Rahma lucu, sedang tidur. Pipinya yang montok itu pun diciumi oleh ibuku. Kasihan anak ini, ia baru saja melihat dunia sudah kehilangan sang ibu.

Aku melihat keluarga Rian yang pergi bareng bersama ibuku pun tak bisa membendung kesedihan. Rian masih tak sadarkan diri. Cedera di kepalanya sepertinya parah. Tulang rusuknya patah. Sekalipun tak sadarkan diri, dia terkadang masih berbisik memanggil-manggil nama istrinya.

Singkat cerita Mbak Rahma pun dikuburkan. Tangis haru mengiringi kepergian Mbak Rahma ini. Teman-temannya ikut melayat, semua orang berduka. Bahkan teman-temannya Rian pun ikut melayat. Mbak Rahma dikuburkan di sebelah makam bapak. Kenapa aku harus kehilangan dua orang yang aku sayangi? Aku tak tega melihat Mbak Rahma yang tubuhnya dibungkus kain kafan itu. Aku tak tega ketika kemudian dia dibaringkan di liang lahat. Ketika kayu-kayu itu menutupi tubuhnya satu persatu, kemudian tanah mulai menimbunnya. Mbaak...kenapa mbak harus pergi?

Mbak Rahma, engkau adalah kakakku yang paling aku kagumi. Orang yang paling aku sayangi. Orang yang bisa membuatku tersenyum. Orang yang membuatku semangat. Engkau selalu menasehatiku untuk menjadi orang yang baik. Peduli kepada keluarga. Semenjak bapak meninggal kamulah yang aku anggap sebagai orang yang paling baik, orang yang kujadikan panutan. Aku ikhlas koq mbak kalau mbak jalan sama Rian, jadi istrinya aku ikhlas. Aku nggak marah. Aku merasa justru pilihan mbak emang tepat.

Kita bermain sejak kecil, bersama lari-lari ketika siang hari panas-panas sampai rambut kita berwarna merah terbakar panas matahari. Kita main di empang, nyari bekicot, main di sawah nyari kedelai trus kita bakar bersama. Aku ingat semuanya mbak, bagaimana mbak selalu membela Rian daripada aku. Aku yang adiknya sendiri malah dicuekin, nggak diperhatikan. Dari situ aku tahu kalau mbak itu sebenarnya suka ama Rian sejak dulu. Aku tak pernah bisa marah ama Mbak Rahma, aku tak pernah bisa marah ama mbak.

Kita berdua sayang ama bapak. Tapi mbaklah yang paling sayang ama bapak. Mbak yang paling dekat ama ibu. Itulah sebabnya mbak shock dan ngurung diri di kamar ketika bapak tiada. Aku tak seperti mbak, aku memang kehilangan bapak, tapi tidak seperti mbak. Mbak merasa kehilangan separuh nyawa mbak. Aku juga sedih, tapi tidak sesedih mbak. Kenapa mbak harus pergi? Apa salahku mbak? Mbak kan udah bahagia ama Rian. Udah mengandung anaknya. Udah jadi dokter seperti yang mbak cita-citakan. Kehidupan mbak udah sempurna. Aku iri sama mbak yang hidup sempurna ini. Rasanya nggak ada yang lain yang mbak butuhkan lagi. Apakah karena itu mbak harus pergi?

Setelah tanah itu menimbun dengan sempurna di puasara Mbak Rahma dan do'a-do'a dipanjatkan, tubuhku lemas. Aku tak sadarkan diri. Orang-orang pun menolongku. Aku tahu-tahu bangun sudah ada di rumah karena terdengar suara tangis bayi. Itu bayinya Mbak Rahma. Bayi yang belum dinamai. Rupanya bayi itu lapar, sehingga ibuku langsung memberinya botol susu.

Aku langsung bangun dan beranjak keluar kamar. Di ruang tamu yang kursi-kursinya dipinggirkan itu aku melihat dua orang berseragam polisi tampak sedang berbincang-bincang dengan Mas Yogi.

"Dari saksi mata mobilnya korban ditabrak dari belakang oleh mobil SUV warna merah, trus mobil korban dihantam truk tronton dari depan. Sayangnya mobil itu lari. Kami akan selidiki lebih lanjut," kata salah satu anggota polisi.

"Terima kasih pak atas informasinya," kata Mas Yogi.

"Kami turut berduka yang sedalam-dalamnya atas peristiwa ini."

Setelah itu kedua polisi itu pamit. Aku yang mendengar itu langsung lemas lagi. Pingsan lagi.

"Lho lho lho! Nik! ANik!" ibuku histeris. Mengetahui aku pingsan lagi.

Total hari itu aku pingsan entah aku pingsan berapa kali. Bangun teringat Mbak Rahma, aku pingsan lagi. Aku sangat terpukul. Sangat sedih.

Butuh waktu tiga hari aku untuk bisa dihibur. Terlebih lagi dengan anaknya Mbak Rahma yang lucu ini. Aku sedikit terhibur. Tanpa persetujuan Rian aku menamai anaknya dengan sebutan Ramadhani, biarin deh nama Rian kan Rian Ramadhani. Toh kalau dia mau nambahin namanya lagi ya silakan. Daripada dipanggil Ucil ama orang-orang.

Sampai sekarang Rian masih belum sadar. Dia telah dipindahkan dari Rumah sakit yang ada di Tuban sana ke Rumah Sakit Muhammadiyah di Kediri. Aku terpaksa minta cuti kepada kantor untuk beberapa waktu. Karena memang keadaanku yang masih shock. Mereka mengijinkannya. Aku menjenguk Rian di rumah sakit. Paling tidak, dia kan jadi kakak iparku sekarang. Masa' nggak pengertian banget?

Dia tampak berada di ruangan bersama Mas Yogi.

"Eh, Anik," sapa Mas Yogi. "Sendirian aja?"

Aku mengangguk. "Bagaimana keadaanya?"

"Yah, masih belum sadar," jawabnya.

Aku mendekat Mas Yogi langsung berdiri. "Sebaiknya aku tinggalkan kalian dulu ya."

Aku tak menjawab. Mas Yogi kemudian keluar dari ruangan ini. Tinggal aku dan Rian sendirian. Dia masih belum sadarkan diri juga. Padahal sudah hampir satu minggu. Lebaran juga barusan lewat kemarin. Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Rian. Entah mungkin reflek atau gimana tanganku menggenggam tangan Rian lagi. Aku genggam tangannya dengan erat. Seperti aku menggenggam tangannya dulu. Rian...bagaimana dia nanti kalau bangun tahu bahwa Mbak Rahma telah pergi? Dia pasti shock, bahkan yang terburuk ia kepingin sekalian nyusul Mbak Rahma.

Aku mengelus-elus rambutnya. Rambut orang yang dulu pernah aku cintai. Wajahnya lebih berwibawa sekarang. Mungkin karena ia telah menjadi seorang ayah. Atau mungkin karena Mbak Rahma yang mengubahnya. Mbak Rahma orangnya perfeksionis, pasti Rian diubah agar dia menjadi seorang yang baik, jadi seorang suami yang baik. Dari kamar kami, kamar Mbak Rahmalah yang paling rapi, pasti Rian diubah agar jadi cowok yang rapi. Koq aku senyum-senyum sendiri sekarang?

"Rahma?" bisik Rian.

Eh? Dia bangun!

"Iya, ini aku," goblok kenapa aku bilang begitu?

"Rahma?" lagi-lagi ia memanggil nama Mbak Rahma. Duh aku makin sedih. Air mataku mengalir lagi.

"Aku di sini yang, aku di sini," aku ingin jadi Mbak Rahma untuk sementara waktu biar ia nggak shock.

"Bukan, kamu bukan Rahma kamu Anik. Mana Rahma?" katanya. Eh, dia tahu?

"Rian, ini aku Rahma," kataku.

"Nggak, Rahma nggak pernah megang tanganku kuat-kuat, yang pernah megang seperti ini hanya Anik," katanya. Ia masih mengigau. Aku tak bisa membendung tangisku. Ia masih ingat cara aku memegang tangannya. Hatiku seperti tertusuk pisau rasanya.

"Iya, aku Anik, aku Anik, Yan," kataku.

Rian, masih mengigau terus. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Akhirnya, setelah itu aku bertekad untuk menjaga Rian sampai ia sadar.

****

"Hai, Rian? Masih belum bangun?" kataku sambil membawa bunga segar dan kutaruh di pot bunga. "Aku hari ini bacain kamu kitab suci ya, biar cepet sembuh."

Ya, itulah hari-hariku. Aku menunggui Rian yang kamar pasien. Aku menunggui dia persis seperti aku menunggui bapak dulu. Minta tolong ke suster untuk ganti infus, mengganti pispot untuk buang air, semuanya aku lakukan. Aku nggak perlu merasa jijik. Ini aku lakukan benar-benar karena semata-mata aku kasihan ama dia. Mas Yogi sebenarnya tidak mengijinkan, tapi aku harus melakukannya.

Hingga suatu malam, aku tertidur di sampingnya sambil memeluk lengannya. Tiba-tiba Rian terbangun. Ia seperti orang yang kaget melihat sesuatu.

"Rahma! Rahma! Rahma!" panggilnya. Aku juga terkejut. Aku pun terbangun karenanya.

"Rian, Rian, sabaarr...tenang! Tenanglah!" kataku.

"Rahma? Di mana Rahma?" tanyanya.

"Rahma baik-baik saja, dia sedang istirahat," kataku.

Nafas Rian terengah-engah. Aku segera menekan tombol untuk memanggil suster. Suster pun datang dan memeriksa kondisi Rian. Kemudian dikatakan kalau Rian baik-baik saja. Kalau sudah sadar berarti kondisinya sudah stabil.

Rian berbaring sekarang. Ia terus bertanya di mana Rahma. Aku mencoba mengalihkan perhatian.

"Rahma sudah istirahat, dia baik-baik saja. Ngomong-ngomong kamu punya anak cowok lho," kataku.

"Iya ta? Beneran?"

Aku mengangguk, "Iya, beneran. Kamu belum namain dia, karena nunggu kamu bangun kelamaan akhirnay kami panggil Ramadhani deh, kan namamu juga ada Ramadhaninya."

Rian tersenyum. Wajahnya menunjukkan wajah bahagia. "Makasih ya, Nik."

"Sama-sama, dah sekarang kamu istirahat ya. Aku seneng kamu sudah bangun. Aku bisa pergi, biar Mas Yogi yang menjagamu sekarang," kataku.

"Kamu selama ini jagain aku?" tanya Rian.

"Iya, nggak suka ya?"

"Nggak koq, aku berterima kasih atas semuanya. Kirim salam buat Rahma ya, bilang aku akan segera pulang!" katanya.

"Iya, aku akan sampaikan," kataku.

Aku kemudian bergegas keluar kamar. Aku pun menangis. Bagaimana aku bisa kirim salam ke Rahma? Dia udah nggak ada Rian. Mbak Rahma, aku harus bagaimana?

Di luar aku bertemu dengan Mas Yogi. Aku beritahukan kalau Rian sudah sadar tapi aku minta dia untuk tidak menceritakan tentang Rahma untuk sementara waktu. Mas Yogi bisa memahami hal itu. Akhirnya aku bisa kembali lagi ke rumah. Tugasku sudah selesai di sini.



BAB XXIX

Kembali




Terima kasih untuk segalanya.....


#Pov Rian#

Dua hari kemudian aku keluar dari rumah sakit, setelah perjumpaan dengan Anik waktu itu. Tulang rusukku masih terasa sakit. Tapi aku sudah pulang aja. Dan akhirnya aku tahu kebenarannya. Istriku telah tiada. Awalnya mereka menyembunyikannya dariku, tapi akhirnya mereka tak menutupinya lagi. Dan kini aku berada di depan makam istriku. Aku menangis di sana.

Rahma, kenapa kamu pergi? Bukankah kamu berjanji akan menemaniku selamanya? Rahma, kenapa perjumpaan kepadamu begitu singkat? Rahmaku, sayangku, cintaku....kenapa kamu pergi?

Aku kemudian berbaring di sisi kuburan Rahma dan aku peluk liang lahatnya. Mas Yogi yang mendampingiku pun tak kuasa menahan tangis. Ia menepuk-nepuk pundakku.

"Udah Yan, udahlah. Ikhlaskan! Kita juga semuanya kehilangan. Pulang yuk!" ajaknya.

"Aku ingin nemani Rahma mas, Rahma sendirian di sini," kataku.

"Udah dong, Rahma udah bahagia di alam sana, Yan. Dia sudah ditemani ama bapaknya, kamu nggak usah khawatir lagi," kata Mas Yogi.

"Tapi kenapa begitu cepat mas? Kenapa begitu cepat?" aku masih sesenggukan.

"Sudah Yan, pulang yuk! Kasihan anakmu di rumah sendirian. Dia adalah hadiah yang diberikan Rahma buatmu. Kamu harusnya menjaganya. Jangan bersedih!" kata Mas Yogi.

Aku baru ingat kalau aku sudah punya anak. Anak pemberian Rahma. Sebuah anugrah yang tidak akan ternilai. Aku ciumi kuburan Rahma lalu aku berdiri.

"Aku janji Ma, aku akan jaga anak kita. Aku akan didik anak kita agar jadi anak yang baik, berbakti ama orang tua, jadi anak yang sholih sebagaimana cita-citamu. Selamat tinggal sayangku, cintaku, aku tak pernah menyangka kisah kita hanya sampai di sini saja," aku pun berbalik dengan dirangkul oleh Mas Yogi.

***

Dua bulan kemudian aku sudah kembali bekerja. Aku tak bisa terus-terusan bersedih. Anakku aku beri nama Rangga Ramadhani. Dia menjadi permata bagi kami. Mertuaku yang sekarang merawat Rangga. Bahkan di Kediri sana dia jadi rebutan buat diasuh oleh ibuku atau mertuaku. Aku geli sendiri melihat mereka yang rebutin Rangga. Emang Rangga lucu, imut, menggemaskan. Aku kembali sibuk. Dan hanya seminggu sekali pulang ke Kediri nengok anak. Senin sampai Sabtu ada di Surabaya. Capek? Iya. Tapi mau gimana lagi? Demi anakku.

Untuk sebulan ini aku nggak pernah mikirin tentang Anik. Tentang bagaimana ia terus menemaniku sampai aku sadar dari koma. Namun, entah kenapa dalam diriku ada sesuatu yang hilang.

Hari Jum'at, aku duduk di ruang tamu sendirian. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Rahma. Biasanya sekarang ia sudah menyiapkan makan malam. Dan dia pasti ngamplok aku sambil tangannya usil megangin si otong. Atau kadang juga aku berciuman ama dia sampai klomoh. Kalau sudah begitu pasti lanjut. Duh, jadi inget almarhum. Fotonya masih aku pajang di dinding, foto kami berdua tepatnya. Foto kami yang mana aku memeluk dia dari belakang dan dia tersenyum. Rahma memakai kerudung putih, gamis putih. Senyumnya sangat khas.

Aku jadi kangen ama dia. Aku kemudian membuka laptopku dan mulai online. Aku sudah lama nggak buka facebook, di sana ada banyak sekali ucapan dukacita ke aku. Aku hanya bisa membalas terima kasih atas ucapan mereka. Kemudian aku buka akun facebook Rahma dan kemudian aku laporkan bahwa dia telah tiada di facebook. Agar tak ada orang yang iseng pake akun dia.

TUNG! Tiba-tiba ada BBM masuk. Aku ambil ponselku. Eh dari Anik?


Anik: ping!
Bagaimana keadaanmu?

Me: Baik-baik aja. Mencoba menyesuaikan hidup sendiri. Kamu?

Anik: Aku baik-baik saja menyesuaikan hidup sendiri juga.

Me: Lho, kamu putus ama Zain?

Anik: Yup, tiga hari yang lalu.

Me: Kenapa?

Anik: Ada deh.

Me: Padahal kan dia baik.

Anik: Masalahnya bukan baik atau nggak. Keluarganya yang nggak setuju.

Me: Oh, begitu.

Anik: Gimana kabar ponakanku? Kamu beri nama siapa akhirnya?

Me: Aku beri nama Rangga. Dia jadi rebutan tuh di rumah.

Anik: Hahahaha. Seperti bapaknya jadi rebutan.

Me:

Anik: Eh, maaf. Aku koq bilang itu lagi.

Me: Nggak apa-apa. Semua orang juga tahu koq hubungan kita di masa lalu. Aku mau ngucapin terima kasih sama kamu Nik.

Anik: Makasih buat apa?

Me: Kamu udah nemani aku selama aku di rumah sakit.

Anik: Ah, ama ipar sendiri koq. Wajar dong.

Me: Moga pisahnya Zain ama kamu bener karena keluarga mereka nggak setuju bukan karena aku.

Anik: Beneran koq, mereka nggak setuju aku dekat ama Zain. Bukan karena kamu.

Me: Syukurlah. Aku tak mau gara-gara aku malah merusak hubungan kalian.

Anik: Tenang aja, nggak koq.

Me: Aku kangen Nik, ama Rahma. Duduk di ruangan tamu sendirian begini bikin aku ingat dia terus. Aku terus memandangi fotonya. Rasanya bagian dari diriku ada yang hilang.

Anik: Yang sabar Rian, aku juga kehilangan Mbak Rahma koq. Ngomongin yang lain yuk, jangan ngomongin Mbak Rahma terus. Aku tambah sedih nih.

Me: Oke. Kamu sendiri sekarang bagaimana? Masih jadi reporter?

Anik: Masihlah. Ngejar berita kasus korupsi pejabat.

Me: Oh iya, lagi trend itu sekarang.

Anik: Aku sampai bingung ama negara ini, koq ya jadi gini ya? Ribet banget ngurusi pejabat-pejabat yang bermuka dua itu. Pengen ku gampar aja tuh, aku kadang juga gemes kepengen nonjok wajah mereka. Soalnya di depan kamera mereka sok manis.

Me: Tapi tetep jaga profesionalitas dong ya?

Anik: Iyalah, gila apa nonjok beneran? Bisa dipecat aku.

Me:

Anik: Ye malah ketawa, beneran ini.

Me: Iya, iya. Kamu kapan mudik?

Anik: Aku udah ngambil cuti nggak bisa mudik. Kamu tahu kan?

Me: Gara-gara aku ya?

Anik: Yaaa...nggak juga sih.

Me: Sorry deh kalau gitu. Aku boleh ketemu ama kamu?

Anik: Hah? Ketemuan? Kamu di Surabaya gitu aku di Jakarta koq.

Me: Yah, bisa diatur itu. Aku bisa koq pergi ke Jakarta kalau kamu mau ketemuan.

Anik: Nggak ah. Aku nggak mau, Yan. Nanti kenangan kita bakal muncul lagi.

Me: Kenapa? Kamu takut?

Anik: Bukan begitu. Aku masih nggak bisa melupakan Mbak Rahma. Aku nggak enak kalau kamu deket ama aku lagi.

Me: Aku tahu. Baiklah, aku juga tak memaksa. Aku mau telpon kamu sekarang.
Aku kemudian mencari nomor telepon Anik dan menelponnya.

"Halo?" sapa Anik.

"Nik, aku ingin ngomong ini secara langsung ama kamu," kataku.

"Apaan?"

"Aku ingin berterima kasih kepadamu. Atas segalanya."

"Iya, aku ngerti. Sama-sama Rian."

"Maukah kamu kembali kepadaku, Nik?"

Aku tak mendengar suara Anik untuk beberapa saat. Ia sepertinya diam. Nafasnya terdengar berat di telepon.

"Apa kamu bilang?" tanya Anik.

"Maukah kamu kembali kepadaku? Aku ingin kamu kembali kepadaku, Nik. Aku ingin menulis kisah cinta kita bersama lagi. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku lagi, aku ingin bersamamu Nik. Aku ingin kembali bersamamu."

"Kenapa kamu ingin kembali?"

"Aku memang orang yang bodoh, menyukai dua kakak beradik sekaligus. Tapi aku harus memilih salah satunya. Dan kini satu orang sudah menungguku di surga sana. Aku ingin yang satu lagi menemaniku agar kita bisa bertemu bersama-sama lagi di surga. Aku masih mencintaimu sampai sekarang."

Anik agak lama menjawab, "Aku tahu itu Rian. Aku tahu. Tapi, apa mungkin kita bisa bersama lagi? Aku di sini kamu di sana?"

"Kalau kamu tak bisa ke sini aku yang akan ke sana. Kamu masih cinta ama aku kan?"

"Aku tak tahu Rian."

"Kalau kamu tak mencintaiku kenapa kamu berada di rumah sakit menemaniku?"

"Itu wajar kan aku iparmu."

"Lalu kenapa kamu menghubungiku sekarang?"

"Aku ingin tahu kabarmu. Itu aja."

"Aku rindu ama kamu, aku juga rindu ama Rahma. Setidaknya aku ingin salah satu dari kalian datang kemari. Menemaniku."

Anik terlihat bernafas berat. "Kamu itu....bodoh, begooo banget... entah kenapa karena begomu itu aku jadi suka ama kamu." Anik aku dengar menangis di telepon.

"Kamu masih ingat kita dulu teleponan sampai salah satu dari kita ketiduran?"

"Iya, aku masih ingat."

"Kamu masih ingat aku ucapkan perasaanku kepadamu di atas Gua Selomangleng?"

"Iya, aku masih ingat."

"Kamu masih ingat first kiss kita di Sumber Podang dulu?"

"Iya, aku masih ingat. Aku masih ingat Rian. Ingat semuanya."

"Kamu masih ingat kita di lantai dua rumahmu itu?"

"Aku masih ingat," Anik tertawa. "Aku masih ingat waktu itu."

"Aku tak ingin setiap memori itu terhapus begitu saja. Maukah kamu kembali kepadaku?"

"Aku......hiks...aku mau....aku mauu....hiks....aku mau Rian. Aku mau kembali kepadamu."


BAB XXX

Darah itu Merah




Seseorang yang pernah memberikan kehidupan kepada orang lain
Pasti akan diampuni
~ by Anonymous

Mas Yogi menemuiku di Surabaya. Aku agak terkejut juga dia menemuiku. Aku buru-buru membereskan berkas-berkas yang tercecer di atas meja kerjaku.

"Gimana kabar?" tanyanya.

"Yo ngene iki mas," jawabku.

"Yan, aku wis ngerti sopo sing nabrak awakmu (Yan, aku tahu siapa yang nabrak dirimu)"

Aku yang saat itu sedang beres-beres menghentikan aktivitasku. Aku menoleh ke Mas Yogi yang duduk di sofa.

"Siapa?" tanyaku.

"Salsa," jawabnya.

"Dari mana mas tahu?"

"Ceritanya panjang. Duduklah aku ceritain!" kata Mas Yogi.

Mas Yogi kemudian cerita panjang lebar mengenai Salsa. Semenjak kami pergoki Salsa di Hotel itu dia benar-benar dendam kepadaku. Apalagi setelah Mas Yogi menceraikan dia. Dia merana hidupnya dan menjadi lonte high class. Dia hanya menerima mereka yang mau membayarnya mahal. Hingga kemudian dia pun merayu salah seorang konglomerat agar bisa menikahinya. Akhirnya mereka pun menikah.

Salsa kemudian mulai mengumpulkan banyak uang dari sana. Hidupnya cukup royal dan mewah. Dan kebetulan waktu itu dia melihatku dan Rahma sedang berada di jalur Pantura. Karena kalut ia pun menabrakkan mobil SUV warna merahnya ke arah mobilku. Akhirnya ia tabrakkan mobilnya ke mobilku hingga terjadilah hal itu. Dia membalas dendam kepadaku. Setelah itu ia lari dan mencoba menyembunyikan mobilnya, tapi sudah terlacak. Ia sekarang menjadi buron.

Mendengar cerita Mas Yogi ini membuatku pedih. Hatiku seperti terluka yang amat dalam. Aku menarik nafas dalam-dalam menghirup banyak-banyak oksigen ke dalam paru-paruku.

"Trus, sekarang?" tanyaku.

"Salsa sudah terendus pihak kepolisian dari plat nomor kendaraannya. Tapi...aku berhasil menangkapnya," jawab Mas Yogi.

"Maksud mas?"

"Aku tangkap dia. Sekarang aku sekap ama teman-temanku. Aku ingin memberitahukannya kepadamu, barangkali kamu ingin melakukan sesuatu kepadanya. Sebelum ia diserahkan kepada yang berwajib."

"Di mana dia?"

"Di Surabaya sini aja. Mau ikut?"

Aku agak ragu. Aku melihat fotoku dan Rahma. Darahku tiba-tiba mendidih. Salsa, ia harus membayar mahal.

Aku diajak Mas Yogi ke sebuah daerah di salah satu sudut Kota Surabaya. Daerah ini di kawasan Keputih, suasananya sangat sepi. Perumahannya juga terlihat sepi tak ada orang yang lalu lalang. Kami pun berhenti di sebuah rumah yang pagarnya tertutup. Rumah lantai dua yang kanan-kirinya masih sepi. Setelah pagar dibuka mobil kami pun masuk. Mas Yogi mengunci pagar lagi. Aku disuruh masuk dan naik ke lantai dua.

Di lantai dua ini ada sebuah kamar yang luas. Tampak ada empat orang di dalam kamar itu. Badan mereka cukup kekar, bahkan salah seorang dari mereka tatoan.

"Kenalin ini temen-temenku," kata Mas Yogi.

Aku menyalami teman-teman Mas Yogi, nama mereka Ucek, Kancil, Raihan dan Aswan. Kancil lebih terlihat seperti preman. Badannya besar, gendut, nggak ada kekarnya sama sekali.

"Noh, Si Salsa!" Mas Yogi menunjuk ke seorang cewek berkerudung merah terikat dan mulutnya disumpal. Matanya melotot melihatku.

Darahku benar-benar mendidih sekarang. Aku jadi ingat bahwa ia akan membalasku. Jadi ini balas dendamnya. Baiklah. Aku ambil sebuah kursi dan duduk menghadap kepadanya. Kakiku kusilangkan.

"Mulutnya, biar dia bisa bicara!" kataku.

Mas Yogi mengambil sumpalan di mulut Salsa.

"Rian, apa kabar? Hahahaha, gimana rasanya kehilangan? Enak nggak?" kata Salsa. "Aku puas Rian, aku puaasss...puas sekali."

Aku tak bicara. Mas Yogi ingin menampar Salsa aku larang.

"Biar dia bicara mas," kataku.

"Mau apa kalian? Mau bunuh aku? Silakan! Biar kita sama-sama jadi kriminal, kalau toh kalian lepaskan aku akan laporkan kalian ke yang berwajib. Suamiku orang kaya, punya uang buat nangkap kalian," kata Salsa.

Aku memejamkan mata. Rasa sakit hatiku sudah tak tertahankan lagi.

"Mas, boleh aku melakukan sesuatu kepada Salsa?" tanyaku.

"Ya silakan aja, dia milikmu. Dia hakmu," kata Mas Yogi. "Lakukan apa yang mesti kamu lakukan kepadanya."

Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku lepas kerudungnya Salsa dengan kasar.

"Engkau nggak pantas pakai ini," kataku.

Dengan kasar aku melepaskan seluruh bajunya, aku robek, branya aku copot. Aku lepas seluruh pakaiannya hingga ia telanjang.

"Nah, ini baru pas," kataku.

"Mau apa kau?" tanya Salsa. "Lepasin aku! Kau mau merkosa aku?"

"Dari dulu kamu itu emang Lonte, nggak puas ama satu kontol. Kamu ingin dipuaskan ama banyak kontol bukan? Mas Yogi, perkosa dia rame-rame!" kataku.

"Hah? Yan, kowe yakin?" tanya Mas Yogi.

"Salsa itu nggak akan bisa disakiti pake pukulan atau pun dibunuh. Aku nggak mau bunuh dia dengan cara itu. Aku ingin dia diperkosa sampai mampus. Biar memeknya kerasa ngilu, karena hanya dengan cara itu ia bisa mati dan aku bisa puas," kataku.

Semua teman-temannya Mas Yogi saling berpandangan.

Mas Yogi menghela nafa, "Kamu denger kan apa kata adikku? Silakan bersenang-senang."

"Naah, gitu dong, dari tadi kek. Yuk!" kata Kancil. Ia mulai melepaskan bajunya satu-per-satu.

"Mau apa kalian? Brengsek! Lepasin aku, lepasin aku!" Salsa meronta-ronta.

PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi Salsa. Belum ia sempat mengaduh Kancil sudah mengenyot payudaranya. Disusul dengan yang lain, mereka juga telanjang mulai menggeranyangi Salsa. Salsa meronta-ronta ketika kedua dadanya dikenyot oleh dua orang laki-laki. Memeknya pun disodok-sodok oleh jari Ucek. Sedangkan Aswan sibuk menciumi paha Salsa.

"Brengsek kamu Rian! Brengsek! Kamu kira istrimu bakal kembali kamu giniin aku?" tanya Salsa.

"Aku tahu istriku nggak bakal kembali. Aku hanya ingin memberikan apa yang kamu inginkan, kamu kepingin dipuasin kan? Ya, aku berikan sekarang. Dan kamu jangan bilang aku brengsek karena hal ini," kataku.

Maka digaraplah Salsa oleh keempat temannya Mas Yogi. Aku dan Mas Yogi hanya melihat mereka saja. Aku lihat semuanya tanpa berkedip. Bagaimana Salsa meronta-ronta ketika tubuhnya digeranyangi. Ketika kemaluannya disodok bergiliran oleh keempat preman ini. Ketika duburnya dianal. Semua lubang diperkosa oleh keempat lelaki ini. Aku menyaksikan tanpa berkedip. Rasanya aku benar-benar belum puas. Penyiksaannya kurang. Keempat pria ini pun sampai lelah menggarap Salsa, tubuh Salsa belepotan sperma di mana-mana. Tapi ia terus mengumpatku.

"Ayo, siapa lagi? Aku masih kuat! Ayo!" kata Salsa.

"j*nc*k, lonte ini kuat juga," kata Kancil.

"Istirahat aja dulu, masih banyak waktu," kataku.

Setelah istirahat beberapa waktu, kembali lagi Salsa digarap. Kini Mas Yogi ikutan menggarap mantan istrinya itu. Tapi tidak sebagai seorang istri, melainkan sebagai seorang pelacur. Ditamparnya mantan istrinya itu berkali-kali. Lalu digarapnya. Entah berapa lama Mas Yogi menggarap Salsa, yang jelas hari sudah larut malam dan mereka terus menggarap Salsa. Aku tetap duduk di kursi tak berkedip. Pemandangan ini sama sekali tak membuatku horni karena dadaku benar-benar dipenuhi oleh dendam.

Semua orang sudah terkapar menggarap Salsa. Salsa sendiri sudah tak berdaya. Tubuhnya lemes. Ia bahkan sampai be'ol di atas ranjang gara-gara disodok terus duburnya. Salsa sekarang malah mirip mayat hidup, ia masih bernafas dan menatapku. Kali ini dengan mengiba.

"Rian, sudah Rian. Aku sudah tak sanggup lagi, tolong sudahi. Aku minta maaf, memekku ngilu, duburku ngilu, udah Rian. Tolong sudahi," katanya.

Aku masih duduk melihatnya. Menatap tajam kepada matanya. Aku belum beranjak dari tempatku duduk. Aku lihat keempat teman Mas Yogi dan Mas Yogi sendiri duduk di lantai bawah. Mereka lemes juga menggarap Salsa.

"Kamu mengaku salah?" tanyaku.

"Iya, aku mengaku salah. Maafkan aku. Aku menyesal, aku menyesal Rian," katanya.

"Aku akan membiarkanmu hidup. Tapi kalau aku lihat lagi batang hidungmu, aku akan menghabisimu," kataku. Aku berdir dari kursiku. "Mas Yogi, udah mas. Lepaskan dia!"

"Tapi Yan, dia udah bikin istrimu pergi!" katanya.

"Aku tahu, tapi dia juga ibu dari anak-anak mas bukan? Aku tak mau jadi orang jahat. Biarkan dia pergi," kataku. Setelah itu aku keluar dari kamarnya.



BAB XXXI

My Love


#Pov Anik#

Setelah Rian menelponku, hatiku entah kenapa gembiraaaaaaaa banget. Setelah beberapa saat lalu aku diputuskan ama Zain karena permasalahan keluarganya, akhirnya aku sendiri lagi. Zain tampak terlibat cekcok ama keluarganya setelah mengetahui aku adalah pacarnya. Mereka sampai bawa-bawa silsilah segala. Duh, aku jadi nggak enak. Akhirnya malam itu Zain mohon maaf atas perlakuan orang tuanya. Dan ia pun dengan sangat terpaksa memutuskan aku.

Aku sempat marah.

"Kamu ini jadi cowok gimana sih? Aku ada di sini mencintaimu tapi kamu sama sekali tak berkorban untukku?" kataku kepada Zain. "Kamu lihat tadi di dalam aku dihina, pake bawa-bawa silsilah segala."

"Nik, maafin aku yah. Tapi mau bagaimana lagi, mereka itu...iya, kami masih ada keluarga bangsawan. Aku nggak pernah bilang ini ke kamu. Aku anggap mereka bakal menerimamu," katanya.

"Setidaknya bela aku dong Zain, kamu cinta aku kan?" tanyaku.

"Iya, aku cinta kamu, tapi Nik.....aku sendiri bingung," jawabnya.

"Kamu beda ama Rian. Rian berani berkorban apapun buat aku. Kamu tidak," kataku.

"Koq kamu bandingin aku ama Rian sih?"

"Iya jelas, ia berkorban buatku, ia juga berkorban buat istrinya. Ia berkorban buat orang-orang yang disayanginya. Kamu nggak!" kataku.

"Aku juga berkorban buat kamu, Nik!"

"Korban apa? Kamu selama ini hanya kepengen agar aku jadi pacarmu sebagai status itu aja kan? Dan ketika statusmu berubah kamu sudah senang, itu aja!"

"Nik, aku juga berkorban. Aku khawatir ama kamu, aku sampai bela-belain kamu, melindungi kamu."

"Trus kenapa kamu diam saja ketika aku dilecehkan sama keluargamu? Kenapa?"

"Itu..."

"Ah, sudahlah Zain. Nikmati saja kamu sama keluargamu itu. Semoga kamu juga dapat istri dari keluarga bangsawan."

"Nik, tunggu Nik!"

Aku langsung pergi meninggalkan Zain. Zain memanggilku berkali-kali, tapi aku terus melangkah meninggalkannya. Hingga kemudian aku nyegat taksi. Aku tinggalkan restoran tempat kami makan malam tadi. Sebel aku. Sebel dengan Zain dan kelakuan keluarganya. Mereka dari orang Palembang, entah keluarga bangsawan apa namanya aku juga nggak jelas. Masih ingat aku bagaimana dengan pedas ibunya menyindirku, "Cari jodoh itu harus jelas bibit, bobot dan bebetnya. Kalau orang ningrat maka harus dengan orang ningrat biar serasi. Bukan dengan orang biasa."

Persetan ama mereka masa bodoh.

Baru setelah tiga hari kemudian Rian BBM dan nelpon aku ingin kembali. Aku rasanya bahagia banget. Ketika aku pulang dari kantor Yuli malah mengerutkan dahi. Tatapannya menyelidik.

"Lo kenapa?" tanyanya.

"Ada deh," jawabku.

"Tiga hari lalu sedih, sekarang ceria lagi, dah dapat cowok baru?"

"Hmm....nggak juga sih."

"Halah, gue itu heran ama elu, koq cepet banget dapat cowok."

"Yee...nggak juga kale," kataku sambil mencibir.

"Habis Zain siapa lagi sekarang?"

"Rian."

"HAH?! Serius lo?"

"Iya, hari Sabtu itu...ah besok berarti dia mau ke sini."

"Serius LO?" Lagi-lagi Yuli menggoyang-goyang bahuku.

"Seriuslah. Besok ia mau ke sini," kataku.

"ADUUUUUHHHHHH Aniiiikk!" Yuli meluk aku.

"Lho, Yul, kenapa lo?" tanyaku.

"Aku turut seneeeeeng!" jawabnya.

"Apaan sih? Yang harusnya senengkan aku," kataku.

"Yah, gue juga seneng dong. Duh mulai dari mana ya? Pokoknya seneng deh. Lo nggak bakal ngerti kalau nggak lihat sendiri Nik. Gue bener-bener nggak habis pikir akhirnya lo bakal kembali ama Rian."

"Emangnya kenapa sih?"

"Udahlah, dari lubuk hati yang paling dalam, lo itu masih suka ama Rian. Gue tau itu, lo nggak usah munafik deh. Selama ini, lo pasti ngarepin ini kan? Jujur deh ama gue!"

Aku memikirkannya dalam-dalam. Bener sih, selama ini memang masih ngarepin dia. "Iya juga sih."

"Nah kaan, kalian berdua itu sama-sama O'onnya dari dulu. Sama-sama suka tapi dipendeeeem terus ampe asem. Udah bersatu eh pisah lagi, habis itu saling memendam rasa lagi. Dah kayak sayur asem. Pake coba-coba mencari cinta segala. Niik Anik. Moga kalian lancar deh."

"Makasih Yul," kataku. Aku tersenyum. Dia sekarang menjadi satu-satunya orang yang sering mendengarkan curhatku. Aku tiba-tiba bisa kangen ama Rian sekarang. Perasaanku yang terkubur selama ini sekarang mulai bangkit lagi. Cintaku kepada dia mulai tumbuh lagi.

****

Pukul sepuluh pagi pesawat Rian datang. Aku sudah menunggunya di Bandara. Rian kulihat sedang berjalan mendorong trolli. Aku dan Yuli melambai kepadanya. Rian segera berjalan cepat ke arahku.

Aku dan dia tinggal beberapa langkah saja sih. Yuli menatap kami berdua, kemudian bilang, "Aku tinggalin kalian dulu deh, sepertinya ada yang ingin disampaikan."

Yuli buru-buru pergi.

Aku hanya menatap mata Rian lekat-lekat. Dia sepertinya lebih tinggi. Nafasku sesak. Melihat dirinya di depanku, menatapku seperti ini. Dan kita tidak ada yang menghalangi selain udara di sekitar kita bahkan kita sampai mematung untuk dua menit. Iya dua menit yang panjang. Kami hanya saling berhadapan tanpa suara. Tanpa bergerak. Mulai menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Nggak Rian, jangan cium aku. Ini tempat publik. Aku nggak mau malu di tempat umum. Itu yang aku batin. Moga dia nggak menciumku. Tapi aku salah. Dia maju ke arahku dan langsung menciumku. Aaaaaakkkkk....no no no...tidaaaak.....Yuliiii, tolong aku. Tolong akuuu...Yuulll aku dicium Rian Yul, dia menciumku lagi Yul. Aduuuuhhh...

Aku emang aneh, dicium di tempat umum tapi nggak ngelawan malah kepengen terus dan terus. Setelah itu Rian melepaskan ciumannya. Iya, Rian tambah tinggi, aku saja sampai mendongak.

Aku mendorong Rian.

"Ini tempat umum, apa nggak nunggu nanti aja?" kataku.

"Bodo amat," katanya.

"Ihh...," aku dorong lagi dia.

"So dengan ini. Kita kembali?" tanyanya.

"Ya deh, terserah," jawabku.

"Ya udah deh, aku pulang," Rian berbalik.

"Rian, Rian koq marah sih!"

Ia berbalik lagi lalu tertawa. "Nggaklah, aku nggak bakal balik pulang tanpa dirimu. Kamu mau pulang bersamaku?"

"Maksudnya?"

"Kembali Ke Kediri, menikah denganku, jadi ibu dari anak-anakku?"

Tiba-tiba Rian berlutut di depanku. Beberapa orang yang lalu lalang di tempat itu tampak tertarik melihat kami. Aku malu. Apalagi dia memegang tanganku. Matanya menatapku.

"Anik Yuanawati. Aku cuma orang biasa, temanmu sejak kecil, sekaligus sahabatmu. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku untuk terus memikirkanmu. Aku ingin kamu menjadi istriku, menjadi pendamping hidupku. Untuk selamanya, hingga maut memisahkan kita. Apakah kamu bersedia ikut denganku? Kembali ke rumah, ke kampung halaman kita dan kita menulis kisah-kisah kita di sana?"

"Rian..."

"Terima! Terima! Terima!" aku mendengar suara Yuli dari kejauhan. Dan tiba-tiba setiap orang yang melihat kami ikut bersorak juga. Aduuuuhhh....aku harus jawab apa?? Teriakannya makin ramai diiringi tepuk tangan. Udah doong....aku maluuu...

Akhirnya aku pun mengangguk, "Iya deh." Daripada disoraki terus.

"YEEEEE!" sorak semua orang. Mereka bertepuk tangan. Rian langsung berdiri memelukku. Kami berpelukan eraat sekali. Aku tak pernah dipeluk Rian seerat ini seolah-olah ia tak ingin melepaskan diriku lagi. Ini sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Rian Rian, dari dulu kek kamu ngelamar aku.

****

Seminggu kemudian aku mengundurkan diri jadi reporter. Aku kembali ke Kediri, dan secara resmi Rian melamarku kepada keluargaku. Ibuku ketawa saja mendengar itu sambil bilang begini, "Sudah dapat mbaknya kepengen adiknya juga."

Aku kangen ama keponakanku yang lucu itu. Duh Rangga imutnya. Lucunya adalah tiap kali nangis aku gendong eh, dia diem. Sepertinya nurut ama aku. Bahkan ketika tidur dinina bobokan susah, aku gendong bisa tidur dia. Hihihihi. Lucu. Sampai ibuku nyeletuk "Ya udah, kamu jadi ibunya aja."

Dua hari menjelang pernikahanku dengan Rian. Sesuatu yang tak terkira datang. Zain datang bersama keluarganya ke rumahku. 


BAB XXXII

The Moment


#Pov Anik#

Aku terkejut. Ada banyak mobil di luar rumah. Kemudian aku pun melihat Zain keluar dari mobil. Kemudian diikuti yang lainnya. Wah, ada apa ini? Aku berdebar-debar, perasaanku nggak enak nih. Aku lihat kedua orang tua Zain yang kemarin meremehkan aku. Mereka berada di belakang Zain, tampak sang ibu yang merendahkanku kemarin menangis di sana.

Aku pun keluar rumah. Dalam sekejap halaman rumahku penuh orang.

"Ada apa ini?" tanyaku. Aku waktu itu menggendong si Rangga yang sedang tidur. Ibuku soalnya sedang ngurusi butiknya. Aku kebetulan di rumah sendirian.

"Nik, aku ke sini bersama rombongan keluargaku bermaksud melamar kamu," kata Zain.

"Hah?" aku terkejut.

"Iya, aku sudah berikan pengertian kepada kedua orang tuaku, mereka tak akan bisa mencegahku. Biar pun aku harus keluar dari silsilah keluarga mereka aku tak peduli. Aku akan buktikan kepadamu bahwa aku juga bisa berkorban. Aku mengancam kepada mereka aku akan benar-benar pergi dari keluargaku, sekarang aku sudah di sini. Aku dengar kamu pulang ke Kediri, akhirnya kami pun ke sini," kata Zain.

Aduh mak, mateng aku. Gimana ini?

"Aduh, Zain...itu...duh gimana ya...," aku jadi nggak enak ngomong ama dia.

"Nak Anik, ibu mohon maaf ya atas sikap ibu kemarin. Zain udah nggak bisa diubah pendiriannya. Ibu mohon maaf banget, Zain udah bersikeras kepengen ngelamar kamu," kata ibunya Zain.

"Masalahnya nggak semudah itu. Aku...aku mau menikah ama bapaknya anak ini," aku jujur deh.

Semua orang tampak tertegun. Mereka heran.

"Anak siapa itu?" tanya Zain.

"Ini anaknya Mbak Rahma, kakakku," jawabku.

"Oh, Rian ya?" kata Zain. Ia menghela nafas.

"Maaf ya, Zain. Aku emang belum bilang ke kamu. Dua hari lagi aku akan menikah ama Rian. Ma'aaaaf banget, aku nggak bisa menerimamu. Aku mohon maaf juga buat bapak, ibu. Aku memang nggak pantas buat Zain. Kita dari kasta yang berbeda. Aku bisa fahami koq semua itu. Aku mohon maaf sekali. Aku sudah menemukan orang yang aku cintai sejak dulu, sejak ketika pertama kali aku bermain di sawah bersama-sama, bermain layang-layang bersama-sama, belajar bersama, lari-lari ngejar truk tebu bersama-sama. Aku mencintai dia dan aku sadari aku tak bisa melepaskan dia. Maaf ya, kalian semua, terutama kamu Zain. Aku minta maaf banget."

Zain tersenyum. "Tak apa-apa Nik, tak apa-apa. Aku emang terlambat. Seharusnya aku melamar kamu dari dulu. Dan seharusnya mereka tak mencegah aku." Zain menoleh ke ayah dan ibunya.

Tiba-tiba ibunya Zain menghambur ke arahku dan berlutut.

"Nak Anik, kumohon terimalah Zain nak. Ia mengancam akan ninggalin kami kalau ia tak menikah ama kamu, kumohon nak, terimalah Zain. Ibu akan berlutut di sini sampai kamu mau. Apa mas kawin yang diberikan ama calon suamimu itu, ibu bisa berikan lebih banyak, ibu bisa berikan lebih baik. Kamu mau apa nak? Akan ibu berikan," kata wanita ini. Aku lalu duduk di depannya.

"Nggak ibu, tidak. Zain tak akan mungkin melakukan itu. Saya tahu bagaimana sifat Zain. Ia tak akan menyakiti ibunya sendiri. Ibu, bukan masalah mas kawin banyak atau sedikit. Bukan masalah itu. Semuanya adalah masalah ini bu," aku menunjuk ke dadaku. "Karena inilah seseorang akan dicintai, dan dengan karenanyalah aku memilih Rian. Ibu, berdirilah nggak pantas seorang ibu berlutut kepada seorang wanita seperti aku. Ayo bu, berdiri!"

Aku menuntun Ibunya Zain untuk berdiri. Ia menangis tersedu-sedu. Kemudian memelukku. "Ibu minta maaf ya nak. Ibu sangat menyesal sekarang. Kamulah yang seharusnya pantas jadi istrinya Zain. Bukan yang lain. Kamu punya saudari nggak nak? Biar Zain ibu nikahkan ama saudarimu."

"Kakak saya udah meninggal bu, ini anaknya," jawabku.

"Oh...lucunya anak ini," Ibunya Zain tampak mengelus-elus pipinya Rangga. "Kamu punya keluarga yang masih single?"

Wah ini ibu, koq ngebet banget nyari keluargaku yang masih single. Agak aneh aja sih.

"Ada sih, Zain juga kenal koq," kataku.

"Wah, Nik udah nggak usah dituruti maunya ibu," kata Zain.

"Zain, mata ibu terbuka sekarang. Ibu yakin keluarganya Anik ini orangnya baik semua, anaknya aja seperti ini koq. Yang pasti ibu akan nikahkan kamu sama keluarganya Anik. Bagaimana Anik ada nggak?" ibunya Zain jadi superior lagi sekarang. Zain cuma diem. Ia menggeleng-geleng.

"Ada, itu Yuli. Dia masih single bingung cari jodoh sampai sekarang," kataku.

"Wah, Mbak Yuli??" Zain ketawa.

"Eh, kenapa kamu anak ketawa?" tanya ibunya. "Kamu kenal ama dia Zain?"

"Ya iyalah, eh sebentar ibu nggak kepengen jodohin aku ama dia kan?" tanya Zain agak ketakutan.

"Kenapa? Daripada kita nggak ada hasil, lagipula ibu yakin siapa tadi namanya? Yuli ya? Iya Yuli juga pasti sama baiknya ama Anik. Di mana dia tinggal?" tanya ibunya Zain.

"Di jakarta bu," jawab Zain.

"Ayo, sekarang kita ke Jakarta!" kata ibunya Zain. "Makasih ya nak Anik, moga pernikahan kalian langgeng. Ayo pergi!"

Waduh??! Semua rombongan keluarganya Zain pergi. Zain kebingungan.

"Koq bisa jadi begini?" gumam Zain sambil menoleh ke arahku. Aku hanya mengangkat bahu. "Selamat ya, ibuku nggak bisa dihentikan kalau sudah begini. Sampai jumpa, Nik!"

Aku melambaikan tanganku ke arah Zain. Ibunya dan ayahnya sudah masuk ke dalam mobil, Zain mengikutinya. Mereka pun kemudian pergi. Tak berapa lama kemudian Rian jalan kaki pakai sandal jepit, kaos oblong dan celana selutut sambil membawa belanjaan. Sangat kontras dengan rombongan keluarga Zain yang barusan aku lihat yang bersepatu, rapi, necis.

"Lho, itu tadi Zain yah? Mau ngapain?" tanya Rian.

"Mau ngelamar Yuli," jawabku.

"Hah? Yang bener!?"

"Kasih tahu Yuli gih, biar dia nggak kaget kalau Zain dan keluarganya datang!"

Rian ketawa, "Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi kayaknya seru deh."

Iya Rian, seru. Pasti habis ini Yuli bakal marah-marah ke aku. Hihihihihi.

***

Benarlah apa yang aku pikirkan kemarin. Esoknya Yuli marah-marah ke aku. Ia BBM aku.



Yuli: Niiiiiiikkkk....gilaaaaakkk. Lo kirim rombongan semut ke rumah gue!?

Me:
Bagus toh, sekarang nggak jomblo lagi.

Yuli: Nggak jomblo sih nggak jomblo tapi ya nggak gini jugak kale, gue sampe diisuin teroris ama orang-orang. Gara-gara dikunjungi mobil SUV warna item. Trus ngapain lo bilang kalo gue masih kerabat ama lo?

Me: Lah, emang kerabat kan?

Yuli: Iya, tapi koq cowoknya si Zain sih?

Me: Kenapa? Zainnya nolak kamu?

Yuli: Dia juga bingung mutusin.

Me:

Yuli: Pake ketawa lagi. Awas lu ya.

Me: Lah, kamunya gimana lho? Mumpung kesempatan ini. Mumpung kamu masih jomblo, toh Zain juga keluarganya tajir, anaknya single. Kurang apa cobak?

Yuli: Tapi ini terlalu instan Nik, gue aja lebih suka bakmi yang dimasak di pinggir jalan daripada masak mie instan.

Me: Ya udahlah Yul, jodoh kan di tangan Tuhan. Kamu mau nerima atau nggak itu keputusanmu.

Yuli: Duh, serba salah lagi deh gue. Gue bilang tadi tunggu dua hari deh. Gilaaaaakkk! Awas kalau nanti ketemu ama lo, gue gelitikin lo ampe mampus.

Me:

Yuli:
Aku ketawa-ketiwi sendiri sampai perutku sakit. Rian yang sedang bermain ama anaknya jadi bingung sendiri, "Ngapain ketawa-ketawa sendiri?"

"Habis lucu, HAhahahahahaha."


BAB XXXIII

Before Mariying You





Komitmen....
Itulah hal yang terpenting dalam sebuah hubungan


#Pov Rian

Aku membantu orang-orang untuk mengatur tenda dan menata kursi. Pernikahanku kali ini kubuat sesederhana mungkin. Karena yah....dananya terbatas. Aku masih ribet ama urusan buka kantor di Kediri, jadi dananya belum begitu banyak. Tapi untung deh, aku ditolong ama Mas Yogi. Semuanya sudah dipersiapkan, sehari menjelang pernikahan aku mengajak Anik sebentar. Aku ingin mengingat-ingat kembali momen kebersamaan kita dulu.

Aku mengajaknya ke sekolah kami. Beda tentu saja. Sudah banyak yang berubah. Karena pagarnya terbuka kami pun masuk, anak-anak sekolah masih ada yang mengikuti ekstrakurikuler.

"Heh, harusnya aku hari ini dipingit lho, ngapain ngajak aku ke sini?" tanya Anik.

"Udah deh, dipingit pun percuma wong aku juga serumah ama kamu koq sekarang," jawabku.

"Aku ingin kembali mengingat-ingat kembali kenangan kita, moga kamu nggak keberatan," kataku.

Anik menyunggingkan senyumnya sampai giginya kelihatan. Beda emang dengan Anik yang dulu.

"Kamu berbeda dengan yang dulu Nik. Aku ingin ungkapkan semuanya sekarang. Kuharap kamu mau denger ya," kataku.

Dia menarik nafas dalam-dalam. "Oke deh. Silakan!"

"Kamu pasti tahu, kalau aku suka ama kamu sejak dulu. Sejak kita masih kecil, sejak kita masih belum mengenal arti cinta yang sesungguhnya," kataku.

"Iya, aku ngerti."

"Kamu juga pasti tahu, alasanku selalu ikut kemanapun kamu sekolah, itu karena aku suka ama kamu."

"Masa' sih? Aku baru tahu."

"Yah, sekarang kamu tahu kan? Aku memang tak sepintar kamu. Untuk ngejar kamu sampai sekolah di sini aku berjuang mati-matian. Akhirnya aku bisa ketemu kamu di sekolah ini dan kita di kelas yang sama."

"Hehehehe, aku terkejut. Beneran, ternyata kamu selama ini terobsesi ama aku ya?"

"Lebih tepatnya pengagum rahasia."

"Ya ya ya terus?"

"Aku sebagai seorang sahabat, sebagai teman, ingin selalu melindungimu, juga Rahma. Kalian berdua lebih dekat kepadaku daripada teman-teman yang lain. Pak Jaelani dan Pak Abdul Karim dua sahabat, kedua ayah kita memang sudah dekat dari dulu, jadi wajar kalau anak-anaknya terutama aku bisa dekat dengan kalian. Jalan lagi yuk!"

Aku menggandeng tangan Anik, sekarang kami berjalan menyusuri lorong kelas. Sampailah kami di depan kelas di mana aku dan anik dulu berada.

"Kamu ingat kelas ini?"

"Iya, ini kelas kita."

"Kamu tahu aku sering lesu kalau pagi karena ngantuk begadang buat belajar, tapi begitu lihat kamu rasa ngantukku hilang."

"Gombal ah."

"Bener koq, terserah deh percaya atau tidak. Itulah kenyataannya. Kamu adalah lentera dalam hari-hariku Nik, aku sebenarnya marah waktu kamu jadikan aku barang taruhan. Tapi sesungguhnya aku tidak bisa marah kepadamu. Aku ingin mengatakan bahwa saat itu aku tak benar-benar marah kepadamu. Aku hanya ingin memberikan pelajaran kepadamu. Itu saja sebenarnya, tapi aku terlalu O'on untuk masalah ini. Aku tak sanggup melihatmu menangis, maka dari itulah aku tak pernah melihatmu ketika kamu bersedih. Untuk menghindar dari dirimu, aku pun tak lagi mengejarmu, aku memilih jurusan yang berbeda denganmu, hal itu semata-mata karena keegoisanku."

"Rian..."

"Yuk, kita jalan lagi!" aku menggandengnya untuk pergi lagi. Kali ini kami pergi ke Gua Selomangleng tempat di mana aku nembak dia.

Aku tahu Anik sekarang berdebar-debar, mengingat kembali kenangan kita di tempat ini. Gua yang konon katanya jadi tempat bertapanya Dewi Kediri ini sekarang sudah banyak berubah. Tempat wisata ini sudah ada tempat parkir yang tertata rapi. Berbeda saat kita dulu ke sini. Aku menggandeng Anik untuk menaiki tangga menuju ke atas. Ke tempat di mana kita dulu saling mengungkapkan perasaan.

Anik terharu. "Kamu masih inget aja tempat ini?"

"Aku tak bisa melupakannya Nik, ini adalah kenangan yang tak akan terlupakan bagiku. Bagaimana aku bisa melupakan saat aku bilang mencintaimu? Nggak akan bisa. Kamu adalah cinta pertamaku, dan akan selamanya seperti itu."

"Rian...tahu nggak sih? Kamu juga cinta pertamaku."

"Sekarang dan selamanya?"

"Iya, sekarang dan selamanya."

"Nik?!" aku menggenggam tangannya, Aku tarik tubuhnya, "Aku mencintaimu."

"Aku juga Rian," katanya. Dahi kami saling menempel. Mata kami terpejam meresapi perasaan kami masing-masing, sebuah kerinduan yang tak tertahankan pun akhirnya terjawab sudah. Kami masih saling mencintai satu sama lain. Sebuah perjalanan cinta yang panjang. Sebuah perjalanan cinta yang penuh liku.

Kusadari sekarang sebenarnya cinta sejatiku bukan hanya Anik, tapi juga Rahma. Keduanya adalah orang-orang yang aku cintai. Mereka berdua adalah teman, sahabat dan juga kekasihku. Sayangnya Rahma harus pergi lebih dulu. Kalau saja Rahma masih hidup, aku tak akan melepaskan mereka berdua. Rahma yang baik kepadaku. Anik yang aku sayangi. Mereka berdua bagaikan dua bidadari yang memang tercipta hanya untukku.

Dan kini salah satu bidadari akan mengisi hidupku lagi. Pancaran mata mereka sama, mata seseorang yang mencintaiku. Pandangan yang mana Rahma juga pernah memandangku dengan cara seperti itu, Anik kini menatapku dengan pandangan yang sama. Wajahku maju dan kini kami berciuman lagi, entah sudah berapa banyak kami berciuman tapi ciuman kali ini adalah ciuman kerinduan kami. Bahasa tubuh kami sudah mengatakannya. Ini adalah awal bagi kami untuk menulis kisah cinta kami di masa depan.

Aku merindukanmu Nik, sangat merindukanmu. Bibirnya tetap manis, sama seperti ketika pertama kali aku menciumnya. Setelah ciuman itu kami menundukkan wajah kami dan saling menyentuhkan dahi kami. Kami tersenyum penuh arti. Seolah-olah hari itu semuanya menjadi ada pada tempatnya. Kembali ke tempat semula, tempat di mana hati bertaut kepada yang semestinya.

"Kita pulang yuk!?" kata Anik. "Nanti dicariin ibu."

Aku kemudian menggadenganya. Tangannya menggenggam erat tanganku. Berbeda dengan Rahma, Rahma tak pernah menggenggam erat tanganku seperti ini, itulah perbedaan dia dengan kakaknya. Rahma, kali ini aku akan menjaga Anik, sesuai dengan wasiat terakhirmu.

***

Aku dijewer oleh ibuku. "Adudududuh! Ampun bu, ampuun."

"Awakmu iki lho, sesuk iku rabi. Kudune arek wadon dipingit eeeeeehhh....malah diajak gendhakan!(Kamu ini lho, besok itu nikah. Harusnya anak gadis itu dipingit eeehhh...malah diajak pacaran)" kata ibuku.

Mas Yogi ngakak. "Wis ora kuat bu si Rian. Hahahahahaha!"

Telingaku sampai panas dijewer ibu. Aku melihat Rangga yang masih bayi digendong ibuku itu ketawa melihatku dijewer. Waduh anakku saja sampai ketawa.

"Hahahahaha, rasakno kon, diguyu anake dhewe(Rasakan kamu, sampai diketawain anaknya sendiri)" kata Mas Yogi. Di rumah ini ada dua anaknya Mas Yogi, Yudistira ama Arjuna. Mereka tampak sedang mengetawai aku juga.

Walah, semua anak kecil ini ngetawain aku. Dasar....



BAB XXXIV

After Mariying You





Inilah The Ultimate Fuck!


Aku ke KUA pakai kemeja putih dan jas hitam. Sang penghulu sudah siap, aku pun dijabat tangannya. Ada bapak, ibu, sama wali dan saksi dari pihak Anik ada Pak Liknya. Ini adalah saat-saat yang bersejarah. Anik menunggu di rumah. Karena Ijab Qabul emang nggak perlu wanitanya datang. Aku berdebar-debar, takut salah ngomong.

"Saudara Rian Ramadhani bin Jaelani, apakah saudara bersedia menikah dengan Anik Yuanawati binti Abdul Karim dengan mas kawin uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai?"

"Saya terima nikahnya Anik Yuanawati binti Abdul Karim dengan mas kawin uang sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah dibayar tunai," kataku. Agak ngos-ngosan juga. Bukan karena lari-larian, tapi karena beban berat yang tiba-tiba saja kerasa di punggungku.

"Sah saksi?" tanya pak penghulu.

"Saaahhh," jawab semua orang serempak.

Yah, inilah masa depan itu. Aku sudah resmi jadi suaminya. Pernikahan ini aku hanya mengundang teman-temanku yang dekat aja dan para tetangga, sangat berbeda dengan pernikahan pertamaku yang meriah.

Anik, wanita yang menjadi istriku ini memakai gamis putih, persis seperti Rahma. Wajah mereka berdua mirip. Ahh...sial, aku jadi teringat Rahma. Anik mengusap bahuku. Ia membisikkan sesuatu.

"Aku tahu aku mirip Mbak Rahma, tapi jangan tampilkan ekspresi terharu ya. Nggak enak dilihat para tamu," katanya. Tahu aja apa yang ada di pikiranku. Aku menoleh ke arahnya. Ia mengangguk sambil senyum.

Hari itu tamu-tamunya nggak sebanyak dulu. Setidaknya malam pengantin keduaku, aku tidak secapek dulu. Aku heran kenapa kamarnya Anik dikasih wallpaper segala. Sore hari semuanya sudah beres-beres. Kursi-kursi sudah dibereskan. Ya emang kami nggak mewah acaranya. Biasa aja. Yang penting kan para tetangga udah tahu kalau kita menikah.

"Ini apaan, Nik?" tanyaku.

"Oh...aku yang minta dipasangin," jawabnya.

"Kenapa? Nggak biasanya. Beda banget."

Anik melepaskan kerudungnya. Rambutnya panjang, sama seperti Rahma. Aneh juga sih, Rahma nggak kepengen aku membayangkan Anik ketika melihat dirinya, tapi ini sebaliknya melihat Anik aku malah terbayang wajahnya. Apa memang ia inginkan aku seperti ini? Apa dia memang inginkan agar aku bisa bersama Anik dengan terus mengingatnya? Sekarang aku malah melihat dua orang ada dalam satu tubuh. Anik dan Rahma ada dalam satu tubuh yang sama. Aku tak melihat ada perbedaan pada diri mereka. Sama semuanya. Sifat-sifat Anik sekarang seperti Rahma, hampir tak ada perbedaan.

Ia menoleh ke arahku. "Aku mandi dulu ya?!"

"Silakan!" kataku. "Aku sudah koq tadi."

Anik menuju kamar mandi. Aku kemudian membuka laptopku memeriksa email-email sebentar karena dealku dengan beberapa orang untuk membuka kantor di Kediri harus aku cek lagi. Sibuk membalasi email dan membalas ucapan selamat teman-temanku di facebook sampai aku lupa waktu. Tiba-tiba saja Anik udah selesai Mandinya. Wangi bener. Dia cuma pake handuk. Aduh...bener kan? Sama seperti Rahma.

"Urusan kerjaan?" tanyanya.

"Iya," jawabku. "Maaf ya."

Aku tutup laptopku.

"Teruskan saja nggak apa-apa kalau memang penting," katanya.

Rambut Anik sedikit basah. Wajahnya sangat cantik habis mandi. Aku letakkan laptop di meja. Dia berdiri menuju ke lemari baju. Aku mencegahnya dan langsung aku ciumi lehernya.

"Rian, udah dong. Aku mau ganti baju dulu," katanya.

"Aku melarangmu," kataku.

"Duh, yang udah nggak sabar," katanya.

Aku tak peduli, aku balikkan badannya dan aku cium dia. Lidah kami saling memagut. Perasaan ini...sebentar aku pernah merasakan perasaan ini. Aku ingat-ingat lagi, ya...ini dia. Ini dia perasaanku, perasaan pertama kali aku mimpi basah dengan Anik. Tapi kali ini beda, aku merasa aku bercinta dengan dua orang. Dua orang dalam satu tubuh.

Anik menaikkan kaosku hingga terlepas. Aku kemudian membuka lilitan handuknya telanjanglah dia sekarang. Aku kembali lagi melihat dadanya. Dada yang dulu pernah aku lihat. Payudara yang menantang, payudara yang dulu kentang banget ingin aku hisap. Sekarang tak ada lagi yang menghalangiku. Aku hanya menatapnya saja.

"Kenapa hanya dilihat saja, Rian?"

"Kamu tahu apa yang aku pikirkan kali ini?"

"Apa?"

"Ini adalah The Ultimate Fuck," kataku.

"Apaan itu?"

Aku tak memberi jawabannya. Aku segera menggendong Anik hingga kami sudah ada di atas ranjang. Kami berciuman lagi sambil aku meremas kedua buah dadanya. Anik menggeliat merangkulku. Ciumanku mulai turun ke lehernya, aku cupangi lehernya, aku cipok sampai membekas kemerahan.

"Rian...sayang....ahhh....ahhhh," Anik merinding, aku bisa merasakan bulu kuduknya merinding. Aku tak puas menciumi lehernya. Cipokanku benar-benar membekas bahkan mungkin bakal terlihat kalau dia nggak pakai kerudung nanti. Aku benar-benar rindu dia. Kuciumi buah dadanya. Ahh...aku baru lihat sekarang putingnya warnanya benar-benar sempurna, pink kecoklatan. Warna putingnya itu membuatku ingin mengisapnya. Kuhisap putingnya, kujilati.

Sluurrrppp. Aku hisap sampai pipiku kempot.

"Riaan....aahh...jangan keras-keras. Sakit..!" katanya. Aku melihat wajah Anik yang memohon. Aku mengangguk. Aku pelankan sekarang menghisap putingnya. Putingnya mulai mengeras. Ahh..nikmat sekali. Kucupangi pula buah dadanya. Sampai benar-benar membekas merah. Seperti Rahma, aku mencupangi buah dadanya gemas sekali. "Riaaannn....hhmmmhh...terus...enak Rian..!"

Aku pandangi hasil karyaku sebentar. Aku menciumi perutnya setelah itu. Anik mulai tahu apa arah tujuanku dan dia membuka pahanya. Aku terus ke bawah kukelamuti seluruh kulitnya yang mulus itu. Sampailah aku di sebuah surga yang selama ini tertutup dan tabu dilihat oleh siapa saja. Surga milik Anik ini bersih. Aku bahkan tak melihat bekas sehelai pun bulu tumbuh di sana. Apa emang dia nggak pernah tumbuh bulu? Indah sekali. Aku bisa melihat seluruh bentuk kemaluannya, merah, tembem dan menggiurkan. Ingin aku kecup dan jilati. Ingin juga aku hisap seluruh cairan yang keluar dari sana. Aku sibakkan sebentar, ah iya, cairannya udah keluar.

"Riaann...," desahnya.

Mulutku kemudian menempel di bibir kemaluannya. Pantatnya menggelinjang. Merasakan sesuatu luar biasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apalagi ketika lidahku masuk ke lubangnya, menggelitik dan menyedoti cairannya. Tangan Anik mulai meremas rambutku, meremas-remas rambutku seperti membuat adonan kue. Aku sibuk menjilati dan memberikan kenikmatan kepada Anik. Kepalanya bergoyang kiri kanan, pantatnya naik turun, ia sudah menggelepar-gelepar seperti cacing kepanasan.

"Riaaan...ehhkkk...aahhhhkk...ohh...sssshhhttt.... udah Rian! Udah....udah doongg! Aku nggak kuat Rian....aduh...aduhhhh.....aaaaahhhhh!"

Anik melenguh keras. Ia bahkan sampai bangun sambil memeluk kepalaku. Kuhentikan aktivitasku yang membuatnya keenakan itu. Setelah berhenti ia ambruk lagi. Nafasnya ngos-ngosan seperti lari maraton.

"Rian,...kamu tega! Aku keluar tadi!" katanya cemberut. "Kamu apain punyaku? Enak banget."

"Hehehe....kasih tahu nggak ya?"

"Rian, masukin yah? Aku udah nggak tahan Rian, punyaku gatel banget. Aku sudah siap."

Inilah dia The Ultimate Fuck! Rasanya benar-benar berbeda. Semuanya berbeda. Aku akan benar-benar memasukkan senjataku ke Anik. Orang yang benar-benar aku cintai. Aku seperti mendapat kekuatan entah dari mana, punyaku tegang sekali, nggak pernah sekeras ini sebelumnya.

"Rian, itu punyamu, gedhe banget. Sakit nggak ya masuk nanti?" tanyanya. "Peluk aku!"

Aku kemudian memeluknya. Kuposisikan kepala pionku tepat di depan lubangnya. Mungkin karena emang sudah becek, atau memang sudah jodohnya tiba-tiba saja pionku sudah masuk saja setengah, membuat Anik tersentak. Dia menatap wajahku. Ditampakkannyalah rasa sakit di raut wajahnya. Ia meringis sambil menggigit bibir bawahnya.

"Riaan...cium aku!" katanya. Kuciumi dia sekarang. Pinggulku mulai bergerak, naik turun perlahan-lahan. Batangku yang tegang maksimal ini mulai menyesuaikan diri dengan rongga kemaluannya, kemudian satu tekanan yang agak keras lagi membuat kedua pahanya menjepit pinggangku. Aku merasakan sekarang ini selaput daranya pecah, SREETTTTT! Anik tegang. Aku bisa merasakannya, dia merangkulku erat. Mungkin benar-benar sakit rasanya. Aku diamkan saja kemaluannya meremas-remas dan menyedot-nyedot batangku. Ahh....rasanya seperti inilah, persis seperti mimpiku dulu. Mimpi basahku ketika aku bercinta bersamanya.

Anik, tahukah engkau, sekarang ini aku benar-benar merasakan yang namanya Ultimate Fuck. Aku mulai goyangkan setelah beberapa lama penisku ada di dalam kemaluannya. Kali ini ia melepaskan ciumannya. Hanya suara ah dan uh yang aku dengar keluar dari mulutnya. Ia masih memejamkan mata. Dada kami berhimpitan menimbulkan sensasi yang luar biasa nikmat. Kualihkan sekarang mulutku ke buah dadanya, aku menyusu disana. Menyusu seperti anakku Rangga.

"Aaaahh....Riaan...kamu cinta aku Rian?"

"Iya, Nik. Sangaaaat cinta."

"Aku juga Rian. Aku rela jadi ibu dari anak-anakmu. Inilah keinginanku sekarang. Aku tak pernah berkorban cinta demi dirimu. Sekarang aku ingin berkorban demi cintaku kepadamu. Ayo Rian, buahi rahimku. Isilah rahimku Rian. Ayo! Terusss.....teruss...!"

Sesuai keinginannya aku percepat goyanganku.

"Ohh...Nik...Nik...enak banget, seret, punyamu seperti mijit-mijit punyaku," kataku.

"Penuh banget Rian. Punyamu penuh....sesek rasanya, ngilu...ahhkkk."

"Ahhh...Niiik....enak Niiik.....bercinta denganmu sungguh enak. Aku mau lagi dan lagi."

"Ahhh....sayangku, teruslah, terus....terserah kamu mau berapa kali bercinta denganku. Aku akan meladenimu."

"Aku kangen kamu Rian. Jangan pergi lagi dariku ya?"

"Aku tak akan pergi lagi. Ahhh...ahh...Niik....aku mentok nih, mau keluar...oohh...ohh..."

"Rian, punyamu tegang banget, keras....aahhh...ahh...ayo Rian, rahimku siap disemprot. Semprotkan Rian, basahi Rahimku."

"Aaahh...ahhh....ahhhh...ini dia, ini...ini.....aahhh....AAAAHHKKK!"

"Riaaann...aaaahhhhh....aahhh!"

Lahar panas keluar dari penisku membasahi rahimnya. Nikmat banget. Baru kali ini aku menyemprot selega ini. Tidak dengan Rahma. Ini beda. Aku benar-benar merasakan Ultimate Fuck yang sebenarnya. Puasnya benar-benar dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kedua insan ini pun saling berpelukan erat. Kami akhiri orgasme ini dengan berciuman mesra, saling memagut lagi. Aku masih menindih Anik, membelai rambutnya keringatnya bercucuran.

Punyaku masih tegang aja. Belum tidur juga, padahal biasanya kalau sudah bercinta bakal lemes sebentar. Ini tidak. Sepertinya ingin lagi.

"Belum lemes?" bisiknya.

"Belum nih," kataku.

Aku pun menggoyang lagi. Aahh...nikmat sekali, baru kali ini aku merasakan setelah keluar aku masih bisa keenakan kalau digoyang.

"Teruskan saja sayang, aku akan menerimanya," kata Anik.

Aku teruskan goyanganku. Anik hanya pasrah menerima genjotanku yang naik turun ini. Kakinya hanya dibuka lebar saja menerima setiap tusukanku. Goyanganku makin berenergi, makin semangat. Pelukanku makin menghangat. Anik makin keenakan terhadap perlakuanku. Pantatnya pun ikut bergoyang kiri kanan. Batang kemaluanku seperti dioblok-oblok. Uhh..ngilu rasanya, apalagi kemaluannya makin menjepitku erat dan menyedot-nyedot.

Ahhh....sebentar lagi aku akan keluar lagi. Dan bener saja. Pantatku makin bergoyang naik turun. Anik tahu aku akan keluar lagi. Ia mangerang.

"Aaaaahhhh....Riaaaaaaannnnnnnnn!" ia berteriak keras. Seakan tak peduli ada yang mendengar atau tidak.

"Niiikkk...aaahhhhhh....keluar aku!" gila, aku belum mencabut kemaluanku padahal. Udah dua kali keluar aja. CROOT! CROOT! CROOT! Uuhhh...masih banyak yang keluar membasahi rahim Anik. Tapi aku belum lelah. Penisku pun masih tegang. Apa-apaan ini, aku sepertinya benar-benar tak kelelahan.

"Sayang....masih tegang aja? Aku sudah lemes," katanya.

"Sudahankah?"

"Teruskan sampai kamu puas," kata Anik yang kelelahan.

Aku bergoyang lagi naik turun. Ahhh...makin enak aja ini. Aku rasanya nggak puas-puas ngentotin dia. Uhhh...aahhh....enak banget. Penisku serasa digelitik. Ngilu tapi enak, bahkan mungkin rasa kenikmatan saja yang bisa aku rasakan dari penisku. Seluruh tubuhku benar-benar seperti merasakannya. Kami berciuman lagi, kedutan-kedutan di penisku makin menambah sensasi kenikmatan, dan....edaaaaann....penisku gatel lagi. KEluar lagii! AAAHHHHHH.....CROOOTT! CROOOTT!

Anik sedikit tersentak. Ia sudah kelelahan menerima tiga kali spermaku. Entah sudah berapa kali dia orgasme. Punyaku baru mulai lemes, mengkerut. Kemudian keluar dengan sendirinya. Aku berlutut dan kulihat hasil karyaku di bawah sana. Spermaku banyak sekali keluar dari kemaluannya disusul bercak darah yang bercampur. Batangku juga dipenuhi lendir dan bercak darah. Inilah dia Ultimate Fuck. Ahh....aku puas sekali. Puasss.... Aku mengambil selimut, kututupi tubuh Anik dan diriku. Ia kelelahan hingga tertidur sambil terlentang. Aku kemudian memeluknya. Kuciumi pipinya.

Anik sudah tertidur. Nafasnya yang tadi memburu kini mulai tenang dan mendengkur halus. Malam pengantin ini tak akan aku lupakan. Benar-benar luar biasa.

****

Pagi sudah datang. Anik sudah bangun dan mandi. Aku masih tertidur. Baru bangun ketika ia menciumku.

"Bangun say," katanya.

"Eh, udah pagi ya?" tanyaku.

"Udah dong. Hebat banget semalem. Punyaku ampe ngilu. Masih kerasa sampe sekarang. Pantes aja Mbak Rahma sampe lemes digarap ama kamu."

"Hehehehe, habis ini juga kamu bakal ngerasain koq."

"Idih, ogah ah."

"Lah, kenapa?"

"Kalau aku lemes, siapa yang ngurus kamu nantinya?"

"Hehehehe. Yah, bisa diatur itu."

Hidungku dicubit olehnya. "Dasar lelaki maunya ituuu mulu."

"Kamu tahu kan sekarang artinya apa itu Ultimate Fuck?"

"Iya, tahu. Kamu benar-benar melampiaskan semuanya kepadaku tadi malem ya? Melampiaskan semua angan, cinta, sayang dan nafsumu. Gilaaak, ampe lemes."

Aku bangun lalu kucium bibirnya. Kami berpagutan lagi. Ia mendorongku.

"Kenapa?"

"Ih, belum gosok gigi. Asem," katanya sambil menutup mulutnya.

"Hehehehe, biarin. Kan enak."

Aku lalu berdiri. Nggak pake baju. Punyaku tegang aja.

"Duh, Beib, tegang lagi nih," kataku.

"Idiiihh...semalem apa belum cukup?"

"Belum kayaknya," kataku.

"Hehehehe, sini sini!" ia memeluk pantatku dan tanpa basa-basi pionku sudah dilahapnya HAP!

"Aaahhh...," desahku.

Pagi-pagi dapat blowjob itu sesuatu. Anik terampil sekali mengurut kemaluanku tangan satunya memeluk pinggangku, kadang diusap-usapnya perutku. Kepalanya maju mundur memberikan stimulus ke batangku. Nikmat banget. Mulutnya menjepit kemaluanku dan lidahnya menari-nari menggelitik kepala pionku.

"Belajar di mana Nik?" tanyaku.

Ia menggeleng. Kocokannya makin cepat dan ia menyedotnya. Ahhh...gilaaakk...aku nggak tahan. Aku goyang-goyangkan pinggangku dan...keluar deh pejuhnya. Anik tampung semuanya di mulutnya. Ia sedot-sedot. Uhhh....aku biasa juga keluarkan di mulut Rahma dan dia nggak nolak untuk nelan pejuhku. Dan....surprise, Anik juga nggak nolak ia telan semuanya.

Setelah selesai, Anik berdiri.

"Puas sayang?" tanyanya.

"Iya."

"Lain kali banyak makan buah ya, rasanya asin," katanya.

"Iya deh, iya."

"Mandi sanah, habis ini anterin aku yah, ke Radio Suara ******."

"Mau apa?"

"Ada lowongan jadi penyiar radio, siapa tahu rejekiku di sana."

"Oke deh," aku bergegas ke kamar mandi.

Ini adalah kisahku dengan Anik. Berakhir dengan Happy Ending semoga. Aku masih menuliskan perjalanan cinta kami sampai sekarang.

Aku bermimpi bertemu lagi dengan Rahma. Kali ini Rahma menungguku di sebuah tikar. Aku berjalan bersama Anik menuju ke tikar itu yang ternyata sudah ada banyak sekali makanan di sana.

"Apa kabar Yang?" sapanya.

"Baik," kataku.

"Nih, aku suapin," katanya. Aku pun disuapi olehnya.

"Anik, kamu juga ya," katanya. Ia menyuapi Anik.

Aku rindu wajahnya, wajah Rahma yang tersenyum. Rahma kemudian bercanda bersama Anik. Mereka berdua mirip. Sangat mirip. Bahkan aku melihat di dalam diri Anik ada Rahma. Sosok yang telah pergi mendahuluiku. Dan di akhir mimpiku, aku memeluk mereka semua, aku memeluk keduanya. Mereka berdua bersandar ke dadaku. Aku mencintai mereka berdua. Ya, aku mencintai mereka berdua.


BAB TERAKHIR

ENDING


#Pov Anik#

Rian, sosok laki-laki yang bukan saja suami, tapi juga teman dan sahabat. Ayah dari anak-anakku. Hidup menjadi seorang istri dari sahabat masa kecil mungkin adalah hal yang langka. Setiap kenangan masa kecilku selalu membekas di hatiku. Ibaratnya Rian ini juga adalah saudaraku. Aku tak pernah lagi menyesali perjumpaanku dengan dia. Aku tak pernah menyesali perpisahanku dengan dia dulu. Justru jalan-jalan itulah yang membuatku makin tegar menghadapi halangan dan rintangan.

Aku sekarang menjadi penyiar radio di salah satu radio swasta di Kota Tahu. Awalnya sih agak kagok juga, tapi Rian menyemangatiku. Rindu rasanya aku ingin kembali jadi reporter. Tapi itu udah masa lalu. Aku tak mau lagi jauh dari orang yang aku cintai. Aku tak mau jauh dari anak-anakku. Tak mau jauh dari suamiku. Tak mau juga jauh dari ibuku. Aku terpaksa mengorbankan cita-citaku demi mereka. Demi orang-orang yang aku cintai. Bukankah Cinta itu butuh pengorbanan? Inilah pengorbananku untuk mereka. I love you my family.

Rangga sudah aku anggap sebagai anakku sendiri dan kini ia manggil aku dengan sebutan ibu. Duh, bisa melihat anak-anakku main bersama denannya itu suatu anugrah yang tak terkira. Suamiku sendiri? Dia sekarang bikin percetakan sendiri di Kediri. Dengan berbekal pengalamannya di Surabaya, akhirnya ia mendirikan percetakan yang boleh dibilang nggak sepi order.

Ah iya, Yuli ama Zain beneran nikah. Dan Yuli masih aja dendam ama aku. Tapi ia menerima tuh lamaran orang tuanya Zain. Lucu juga. Mirip kisah sinetron aja. Ia masih dendam buat ngelitikin aku sampe mampus. Entah deh kapan juga ia akan ke Kediri. Sekarang ia sudah ke Palembang. Ikut Zain, bahagia di sana. Kami masih berhubungan lewat telepon, ataupun lewat BBM. Sekarang mereka sudah dikaruniai seorang anak. Kami bersenda gurau sambil bilang, "Jodohin yuk anak kita Nik, kayaknya cocok deh." Aku tertawa aja kala ingat itu.

Ini kisahku, kisahnya Rian, kisahnya Mbak Rahma. Tiga orang yang terlibat cinta segitiga. Akhirnya dari teman jadi sahabat. Dari sahabat jadi pacar. Dari pacar jadi suami istri. Kami pun menyadari bahwa kekuatan cinta itu emang ada. Terbukti dari apa yang terjadi kepada kami. Terpisah oleh jarak tapi masing-masing dari kami masih punya keterikatan satu dengan yang lain.

~ END OF STORY ~

done.
barangkali ada yang tahu nih siapa Anik. Hehehehe.
tebakannya siapa tadi yang jadi reporternya stasiun tvnya CT. Anda tepat dapat 100


Thnk you Anik untuk sharing ceritanya dengan menyesuaikan di sana-sini agar enak dibaca. Ada beberapa bagian yang aku tambahkan sendiri. Ya iyalah, harus itu. Masa' malam penganten juga aku harus liat mereka?

Thx for para suhu dan agan yang sudah memberikan atensinya. Maaf ya menghabiskan stock tissue. Hihihihi.

Moga nggak mirip cerita sinetron. Karena ini cerita diangkat dari kisah nyata saya harap kurang lebihnya mohon dimaafkan. Pasti banyak kekurangannya. Tapi kuharap nggak bikin ceritanya jadi jelek.

dah ah. 

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar